inspiratif 1

 


Seseorang yang datang, selalu membawa kabar dan 

menorehkan cerita. Seperti dia, Ayah, dengan gigih 

memberikan semua makna yang ia punya. Seluruhnya 

dititipkan padaku, yang waktu itu masih berusia belasan.  

Ayah tahu benar bagaimana menjadi lelaki. Darinya, aku 

mendapat beberapa rahasia hidup perihal tanggung jawab dan 

bekerja keras. Aku sebegitu berterima kasih kepadanya, hingga 

saat ia mengutusku untuk mengantarnya ke Stasiun Gubeng 

Surabaya, aku tak menolak. Aku turuti, hingga bayangan Ayah 

hilang bersama bunyi klakson kereta. 

Namun, sungguh bukan Ayah apabila tidak menitipkan 

kejutan. Benar saja, di esok siang yang terik, Ibu mengutus 

seseorang untuk menjemputku pulang bersama adik. ―Ada 

   

 

apa?‖ batinku. Dan, sesap itu terjawab ketika tenda ditambah 

beberapa bendera silang dikibarkan di pelataran rumah. ―Siapa 

yang tiada?‖ air mataku bertanya. 

―Dham, Ayah pergi, karena jantung...‖ nenekku berbisik, 

sambil memelukku erat, ―Ibumu ke Jakarta, mengurus jenazah 

Ayah.‖ 

Aku hanya menangis. Sejenak berhenti. Apabila 

teringat, biarlah air mata ini jatuh lagi. 

*** 

Bagaimana rasanya menjadi anak lelaki semata wayang 

dalam keluarga tanpa ayah? Ya, penuh tekanan dan harapan. 

Satu sisi, aku depresi dengan status yatim di pikiranku. Lalu, 

sisi yang lain menginginkanku menjadi sekuat baja menopang 

biduk ekonomi keluarga yang mandek . Bukan apa-apa, Ibu, 

dahulu hanya seorang perawat rumah tangga, tidak bekerja, 

dan hanya mengandalkan kiriman dari Ayah. Akan tetapi, Sang 

Pengirim itu telah pensiun memberikan nominalnya. Akankah 

kami kelaparan dan mati akibat kekhawatiran? 

Jawabnya tidak. Aku, Ibu, dan adik masih sehat hingga 

tujuh tahun pasca kepergian Ayah. Meski, beberapa keadaan 

teramat berbeda. Tak ada lagi rumah yang dulu berubin 

persegi lebar, tak ada lagi kereta kencana untuk bepergian, 

                                                           

 

 berhenti  

   

 

serta tak ada lagi barang-barang peninggalan hasil kerja keras 

Ayah. 

Semuanya ludes, terjual, dijual, atau bahkan disita oleh 

lintah-lintah darat yang berkedok memberi bantuan. Lalu, 

bagaimana melanjutkan hidup seperti ini? 

Kami mulai berpindah-pindah alamat setiap tahun. Dari 

bilik satu, mengontrak ke bilik lain apabila biaya sewa naik. 

Dari usaha satu, beralih ke usaha lain apabila mengalami rugi 

atau sepi. Ya, saat itu usiaku masih belasan tahun, dan Ibu, 

mau tak mau mengutusku membantunya mengais rupiah. Tapi 

tenang, kami tidak sampai mengemis. Kami masih punya harga 

diri. 

Saat di bangku SMP, berbagai pengalaman hidup 

kujalani, yang tiada kutemui saat Ayah masih ada. Di sekolah, 

aku sering kucing-kucingan dengan penagih biaya bulanan, 

sebab pengajuan keringanan belum disetujui hingga beberapa 

bulan lamanya. Pulang dari sekolah, aku buru-buru balik ke 

rumah, bersepeda angin sejauh enam kilometer jauhnya. Dan 

setelah tiba, beberapa pekerjaan mengantar sembako, kue, 

dan baju pesanan teman Ibu sudah menjadi rutinitas. ―Panas 

sekali di luar,‖ gerutuku, saat bulan puasa dan harus 

mengantar barang. Maaf, latar cerita ini bukan di Bandung 

yang sejuk, tetapi di Sidoarjo, sebuah kota terik dekat lokasi 

lumpur Lapindo. 

*** 

   

 

Singkat cerita, aku diterima di SMA negeri favorit di 

sana. SBI pula. Dan setelah melalui seleksi panjang, aku diberi 

kesempatan memperoleh beasiswa. Sejenak, aku panjatkan 

puji syukur kepada Tuhan. 

Siapa bilang masa SMA ialah masa terindah? Bagiku 

sama saja, tak berubah. Aku hanya fokus ke studi dan 

membantu Ibu memeras rupiah. Tak ada namanya suka ke 

lawan jenis, atau pergi ke bioskop saat Sabtu-Minggu. Yang 

kutahu, duduk di kelas sambil memerhati, bersapa dengan 

guru seramah mungkin, dan pulang dengan rutinitas harian 

yang bertambah di malamnya. Ya, kini tiap malam aku 

mengajar murid SD dan SMP putra tetangga. Setelah pukul 

sembilan malam, barulah buku diktat pelajaran aku jamah, 

atau lebih sering tertidur di atasnya karena lelah. 

*** 

Biaya hidup makin menanjak, sementara penghasilan 

hanya cukup untuk makan. Maka, aku mempunyai ide untuk 

berjualan hijab/kerudung di sekolah. Coba kau bayangkan, 

seorang anak lelaki, berkulit hitam, berambut cepak, dan 

berjerawat karena puber, membawa katalog dan sampel 

hijab/kerudung ke kelas-kelas serta ruang guru untuk 

dijajakan. Oh, apa mungkin terjual? 

Jawabnya mungkin, meski lebih banyak yang tertegun 

kaget. Beberapa lain kasihan, dan akhirnya membeli satu. 

   

 

Namun, tak masalah bagiku. Asalkan perut kenyang, beribu 

ejekan bukan halangan.  

Suatu ketika, Bu Aisyah, seorang guru baik hati 

menawari untuk membawa daganganku ke arisan 

Dharmawanita. Tentu saja aku setuju, maka tak kusia-siakan 

kesempatan itu. Bermodal ratusan ribu, Ibu belanja, dan 

memberi stok untuk kubawa nantinya. Kegiatan itu 

berlangsung sampai aku genap kelas tiga, dan akhirnya cuti, 

sesaat sebelum UN serta SNMPTN dengan alasan fokus belajar. 

*** 

Nilai UN milikku biasa saja, di ambang batas rata-rata 

sekolah. Aku masih gamang, ingin lanjut kuliah atau mencari 

kerja. Hingga, Bu Karomah, seorang guru BK menunjukkan 

poster mpu tantular  dan aku tertarik mempelajari. Kukumpulkan 

semua berkas, mulai kopian SKTM dari kelurahan yang 

birokrasinya luar biasa berliku, sampai transkrip rapor. 

Bermodal keyakinan, aku mendaftar Universitas Mpu Nala  jalur undangan 

dengan pilihan: FTI , FTTM , dan FMIPA . 

Pukul   .   sepulang dari masjid, seseorang menelepon 

Ibu, memberikan selamat karena aku diterima di FMIPA Universitas Mpu Nala . 

Aku tak percaya, hingga tak sadar telah tersujud di lantai. Ini 

tangis kedua setelah Ayah tiada, tangis bahagia. 

                                                           

 

 Fakultas Teknik Industri 

 

 Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan 

 

 Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam 

   

 

*** 

Bandung, sebatang kara, bermodal hasil jualan Ibu, aku 

berangkat meraih masa depan. Daftar ulang, matrikulasi, dan 

perkuliahan segera dimulai. 

Ketika tak ada yang mengenalmu, bolehkah kau 

menjadi dirimu yang baru? Aku mengubah bentuk pribadiku di 

sini. Di SMP-SMA, aku termasuk pribadi pemalu dan takut akan 

tanggung jawab. Maka di sini, aku masukkan diriku ke 

kemungkinan lain. Aku mulai berani berbicara, berani 

mencalonkan diri memangku tanggung jawab, dan berani 

mencoba. 

Apa hasilnya? Ya, kini aku diamanahi rekan-rekan untuk 

menjadi Ketua Angkatan Kimia Universitas Mpu Nala       serta Ketua Unit 

Majalah Kampus Boulevard Universitas Mpu Nala . Kelak, saat aku lulus, dengan 

bekal mengarahkan orang, aku ingin jadi seorang pengusaha di 

bidang media. Tak nyambung? Tak masalah. 

Barangkali, aku memulai episode hidup dari titik balik 

ini. Dari kepergian Ayah yang tiba-tiba. Dari lintah darat yang 

menggerogoti kami setelahnya. Dari lika-liku di SMP dan SMA. 

Dari masuk kuliah, hingga kini menjadi mahasiswa tingkat tiga 

di prodi kimia. Ini hitam-merah hidupku, bagaimana 

denganmu? 

 

 

 Sore yang hangat. Matahari hampir tenggelam di 

peraduan. Namun belum sampai tujuannya. Cahayanya indah. 

Jingga membaur di langit luas. Jalanan tampak masih basah 

karena hujan siang tadi  menambah suasana hangat yang 

selalu kurindukan. Aku masih ingat dengan sangat lekat, saat 

itu jam dinding di rumahku menunjuk angka tiga. Ibuku baru 

pulang dari suatu tempat yang tidak kuketahui. Sambil 

membawa map di tangan kirinya dan menggandeng adikku 

yang masih kelas nol kecil dengan tangan kanannya. Ibuku 

memasuki gubukku yang reot, tidak pernah lupa beliau 

mengucap salam dengan nada yang riang.  

―Assalamu‘alaikuumm!‖ 

Kala itu aku masih duduk di kelas tiga SD. Aku telah 

menanti ibuku yang biasanya jarang bepergian itu sejak pulang 

   

 

sekolah tadi. ―Walaikumsalam! Ibu dari mana?‖ aku menjawab 

dengan bersemangat dan wajah berbinar. Karena aku selalu 

cemas ketika ditinggal ibuku pergi dan kecemasan itu pecah 

saat mendengar salam ibu. Aku curiga dengan map merah di 

tangan kirinya. 

―Ibu, itu apa?‖ tanyaku penasaran. Padahal ibuku belum 

sempat menjawab pertanyaan sebelumnya.  

―Bukan apa-apa,‖ jawab ibu singkat sembari menaruh 

map merah itu di dalam lemari bagian paling atas. Aku yakin 

tujuannya supaya aku, si bocah ingusan ini, tidak bisa 

menjangkaunya. 

―Bagaimana tadi sekolahnya, nak? Bisa tidak ngerjakan 

soal dari Bu Guru?‖ ibuku mengalihkan pembicaraan. 

―Bisa kok. Gampang!‖ jawabku arogan lalu masuk ke 

dalam kamar. Ayu kecil adalah gadis dengan rasa 

keingintahuan yang sangat tinggi. Dia akan mencari jawaban 

atas segala pertanyaan yang hilir mudik di kepalanya sampai 

dapat! Apapun itu dan dengan cara apapun.  

Dari dalam kamar, aku menguping pembicaraan ibu 

dengan bibiku. Aku mendengar kata ‗hakim‘, ‗jaksa‘, 

‗persidangan‘ di antara pembicaraan mereka. Aku sangat asing 

dengan kata-kata tersebut. Tapi satu kata yang aku tangkap 

dan aku samar-samar tahu maknanya, yaitu kata ‗cerai‘. 

Beberapa menit aku terus menguping, dan tanpa sadar 

   

 

melelehlah air mata si gadis kecil yang periang itu. Hancur 

sudah hatiku. Apa yang aku takutkan terjadi pada akhirnya. 

Iya, ayah dan ibu memang sudah lama tidak serumah karena 

ayah harus bekerja di luar kota. Beberapa kali tetangga 

menggunjing ayah menikah lagi, mungkin itu yang menjadi 

alasan ibu menggugat cerai ayah walau tanpa bukti yang kuat. 

Memori itu tidak akan pernah hilang dari ingatan. Akan 

mengalir bersama aliran darah dan ikut bertumbuh tak akan 

termakan waktu.  Rasa sakit harus menerima kenyataan 

keluarganya tidak lagi utuh menjadi cambuk bagi si gadis kecil 

untuk terus berprestasi.  

Pada awalnya aku merasa sangat minder. Di dalam 

kelas aku yang ceria menjadi murung dan malas berbicara. 

Ketika bel istirahat berbunyi, aku lebih memilih diam di kelas 

dari pada berbaur dengan teman sejawat. Tapi ketika pelajaran 

aku tetap berusaha aktif. Menjawab pertanyaan guru dengan 

tangkas, dan mengerjakan tugas-tugas dengan tepat dan 

cepat. Satu yang mendorongku mengalahkan rasa minder itu 

adalah kata-kata ibuku, yang tidak akan pernah kulupakan 

sampai kapan pun. Pesan ibu adalah ―Tentang perceraian Ayah 

dan Ibu itu masalah orang dewasa. Ibu yakin suatu saat nanti 

kamu akan menemukan alasannya. Tugasmu hanya satu, 

buktikan ke orang-orang bahwa kamu bisa berprestasi. 

Melebihi anak-anak dari keluarga yang masih lengkap.‖ Sampai 

sekarang pesan ibu itu masih kupegang. Menjadi bahan bakar 

ketika api  terlihat mulai redup.  

   

 

Untuk biaya sekolah dan keseharian kami ditanggung 

oleh keluarga ibu. Sebagai ucapan terima kasih ibu rela 

menjadi ―pembantu‖ di rumah saudaranya sendiri. Meskipun 

sesungguhnya keluarga ibuku tidak menginginkan imbalan atas 

bantuan yang diberikan, tapi ibuku merasa tidak enak ketika 

menerima bantuan tersebut dengan cara cuma-cuma. Hal ini 

ibu lakukan dari awal ibu bercerai dengan Ayah hingga 

sekarang. 

Beberapa tahun yang lalu, tepatnya pada tahun     , 

bibi yang membiayai hidup kami jatuh sakit. Tidak hanya bibi 

saja tetapi juga paman terserang penyakit stroke, meskipun 

dalam waktu yang tidak bersamaan. Tentu ini menjadi pukulan 

besar bagi keluarga kami. Tidak hanya fisik dan mental yang 

dihabiskan untuk mencari pengobatan terbaik, tetapi juga 

dalam hal keuangan.  

Hingga pada akhirnya, di titik puncak kelelahan anak 

dari sepasang malaikat kami ini berbicara pada ibu, ‖Lek , kami 

bisa bantu sekolah Ayu dan Bagas mungkin hanya sampai SMA. 

Karena jujur, biaya kuliah itu mahal. Sedangkan kami juga 

punya keluarga yang juga harus dicukupi kebutuhannya. Tapi 

kami akan membantu semampu kami‖ 

Hancurlah harapanku untuk melanjutkan ke perguruan 

tinggi. Rasanya aku sudah pasrah dengan segala hal yang 

ditetapkan Sang Maha Kuasa. Meskipun begitu aku tidak 

                                                           

 

 Panggilan ke anak kecil atau bocah 

   

 

menyerah. Ketika SMA aku tetap memberikan yang terbaik. 

Berusaha menjadi yang terbaik. Beberapa kali aku mewakili 

sekolahku lomba mata pelajaran Biologi, meskipun menang 

hanya sekali. Di kelas pun persaingan sangat ketat. Wajar saja, 

sekolahku adalah satu-satunya SMA RSBI  di Bojonegoro saat 

itu. SMAN   Bojonegoro juga dikenal oleh masyarakat di kotaku 

sebagai sekolah terbaik sejak dulu.  

Meskipun sudah belajar sampai larut, juara pertama di 

kelas tidak pernah aku raih. Tapi paling tidak aku telah 

berusaha, aku tidak pernah menyesali setiap usahaku karena 

aku percaya tidak ada satu pun usaha yang sia-sia, aku 

percaya ada Tuhan Yang Maha Adil.  

Ketika teman yang lain sudah memutuskan dan mantap 

akan pilihannya, aku, hingga minus    hari pengisian kuesioner 

SNMPTN, belum juga terpikir fakultas dan universitas mana 

yang harus kupilih. Karena aku pesimis aku tidak tega melihat 

ibuku semakin sengsara jika aku meminta melanjutkan kuliah. 

Apalagi saat itu aku menginginkan fakultas kedokteran. Aku 

tetap berdoa kepada Sang Maha Pemberi Rizki, mengharapkan 

diberi jalan dan kemudahan atas masalah ini. 

Hingga suatu saat ibu mendapat kabar dari temannya 

bahwa ada program mpu tantular , yaitu program pemerintah yang 

dikhususkan untuk siswa berprestasi yang ingin melanjutkan ke 

                                                           

 

 Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional 

   

 

perguruan tinggi tapi tidak mampu secara finansial. Ada 

secercah harapan untukku membayar semua pengorbanan ibu.  

Selama waktu menanti hasil pengumuman, aku belajar 

siang-malam. Shalat tahajjud dan istiqarah hingga puasa 

Senin-Kamis aku lakukan. Semakin lama, aku semakin 

bersemangat dan optimis. Hingga akhirnya, kuyakinkan untuk 

memilih Universitas Mpu Nala  (Institut Teknologi Bandung) sebagai PTN 

(Perguruan Tinggi Negeri) pertama dan SBM (Sekolah Bisnis 

dan Manajemen) sebagai prodi pertama.  

Pada tanggal    Mei     , setengah berdebar aku 

memberanikan diri membuka pengumuman hasil SNMPTN di 

web DIKTI, dan alhamdulillah aku dinyatakan diterima.  

Betapa bahagianya melihat ibu menangis terharu 

mengucapkan selamat untukku. Memelukku erat dan 

menciumku berkali-kali. Tidak semua hal di dunia ini bisa 

dimasukkan ilmu nalar, Kawan. Sebutlah yang kudapatkan ini 

adalah keajaiban yang dikirim Tuhan untuk ibuku. Pelangi yang 

indah untuknya. Untuk perjuangan kerasnya. Untuk air 

matanya. Berbaktilah dan lakukan yang terbaik, Tuhan 

memberi jalan! 

 

 Namaku tribuanatunggadewi , ibu dan ayahku menamaiku seperti ini 

karena tribuanatunggadewi  bermakna kunci dalam Bahasa Jawa. Aku harus 

menjadi kunci untuk membuka semua pintu di hidup ini, mulai 

dari pintu kesuksesan, pintu rejeki, pintu kebahagian dan pintu 

kebaikan lain yang belum terbuka.    

Ibuku adalah pensiunan PNS sedangkan ayahku sudah 

lama meninggal ketika aku berumur satu tahun karena 

tersengat aliran listrik. My Mother is also my father. Dalam 

didikan seorang ibu yang keras dan tangguh aku terus dibekali 

semangat untuk tidak pantang menyerah, tidak pernah pesimis 

dan percaya bahwa kemungkinan selalu ada.  

Aku merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Kakak 

laki-lakiku adalah seorang yang cukup cerdas. Namun ia tak 

bisa melanjutkan ke bangku kuliah karena permasalahan klasik 

   

 

yaitu biaya. Saat itu untuk bisa melanjutkan kuliah dengan 

biaya yang cukup murah sangat sulit adanya.  

Menjadi mahasiswa adalah salah satu keinginan 

terbesarku selama ini, lebih tepatnya keinginan seluruh 

keluarga besarku dan kakak laki-lakiku. Bisa dihitung dengan 

jari sanak saudara dariku yang menimba ilmu di PT dan 

menjadi sarjana.  

Untuk merajut apa yang telah menjadi asa aku 

mengukuhkan diri untuk terus menimba ilmu. Semenjak SMP 

tiga belas kilometer adalah jarak yang selalu aku tempuh 

setiap hari dari sekolah ke rumahku dan berlanjut pula sampai 

SMA. Tiga belas kilometer pula yang selalu aku lalui dengan 

kendaraan umum.  

Satu kali naik angkot dan satu kali pula naik bus. Tiga 

belas kilometer, jarak peraduan dan ilmu yang aku tempuh. 

Setengah enam pagi dan tak boleh telat aku berangkat dari 

rumahku. Langsung aku menunggu bersama orang yang akan 

pergi ke pasar dengan beragam dagangan. Jika musim panen 

tiba maka aku akan bersama-sama dengan ibu-ibu yang pergi 

bekerja mencangkul di lahan orang dengan capingnya dan juga 

karung berasnya.  

Pulangnya biasanya aku akan bersama dengan ibu-ibu 

atau mbak-mbak buruh pabrik wig dan bulu mata dari Korea 

yang setiap harinya bekerja dengan telaten memintal satu 

persatu rambut untuk dijadikan mahkota wanita.  

   

 

Tiga belas kilometer inilah beragam golongan pernah 

kujumpa.  

Dari cerita perjalanan setiap harinya inilah aku selalu 

ingin bermimpi bahwa tigabelas kilometer ini bisa membawaku 

lebih dari berkilo-kilo meter jauhnya dari yang aku bisa. 

Membawa mimpi dan harapan baru. Aku tidak ingin anganku 

hanya berhenti menjadi sesosok orang bercaping dan menjadi 

buruh bulu mata saja. Dengan ilmu yang aku genggam aku 

ingin bisa bermanfaat untuk orang banyak, untuk tetangga-

tetanggaku di desa. Entah kenapa aku ingin sekali menjadi 

pemimpin di kota kelahiranku inil Dan aku tahu perjuangan 

untuk mencapainya akan susah.  

Semasa SMA aku aktif di kegiatan Olimpiade Sains 

Nasional di bidang Astronomi. Sejak itu aku baru mengenal 

bagaimana hebatnya Universitas Mpu Nala  karena banyak sekali pemenang 

olimpiade yang berkuliah disana. Terpikir pula sosok seperti 

Habibie dan Soekarno dan saat itu pulalah hasrat untuk 

mengejar cita di kampus ini tumbuh begitu kuat.  

Dengan keterbatasan yang aku miliki aku malah 

menjadi lebih bersemangat. Saat itu aku tak punya kompoter 

maupun labtop, untuk menunjang mata pelajaran maka setiap 

pulang sekolah aku selalu ke perpustakaan maupun lab 

komputer untuk mencari tambahan ilmu atau sekedar mencari 

informasi beasiswa. Pulang sore adalah rutinitas karena di 

rumahku yang terbilang di daerah desa aku tak bisa 

mengakses informasi.  

   

 

Informasi dari BK pun kurang terbuka dan kurang 

memadai dengan kehausan informasiku. Dari internetlah aku 

mengetahui banyak sekali kesempatan emas untuk 

mendapatkan kuliah gratis. Aku mencoba beasiswa seperti 

Paramadina Fellowship, Monbukagakusho ke Jepang, dan 

tentunya lewat internetlah.  

Aku tahu ada kesempatan berkuliah di PTN secara gratis 

yaitu lewat mpu tantular . Aku pun mendaftar SNMPTN undangan 

dan mpu tantular  sekaligus untuk pilihan pertama Fakultas 

Kedokteran Universitas Mpu Nala  (pilihan dari ibuku) dan pilihan kedua adalah 

SAPPK Universitas Mpu Nala  (pilihanku sendiri). Namun sayang aku gagal di 

keduanya, nilai rapotku tidak tembus ke kedokteran dan aku 

pun kecewa karena tidak bisa lolos juga di pilihan hatiku.  

Saat aku aku sangat terpuruk, ketakutan datang 

menghadang, aku takut tidak bisa masuk ke universitas mana 

pun, tidak bisa kuliah dan akhirnya mimpiku untuk kuliah 

pupus sudah seperti halnya kakak laki-lakiku. Waktu makin 

dekat dengan SNMPTN tulis sedangkan aku sama sekali tidak 

ikut les bimbingan belajar mana pun. Ikut bimbel sama saja 

dengan harga biaya sekolahku di SMA, yang bahkan aku tidak 

pernah membayar karena selalu mendapat beasiswa. Saat itu 

perekonomian keluarga sedang tidak baik, kakakku uring-

uringan dan menyalahkan ibuku karena memaksaku 

mengambil kedokteran.  

Terpuruk boleh saja, tapi matahari masih akan terbit 

esok hari. Aku harus bersinar lagi laksana mentari pagi itu 

   

 

yang kupandang dari sudut jendela bis yang kutumpangi. 

Beragam langkah kususun di otak untuk tetap bisa 

melanjutkan mimpi. Setelah dinyatakan lulus UN dengan 

peringkat   dari SMA aku dan beberapa temanku mendaftar 

magang di kantor tata usaha SMA. Sudah menjadi tradisi di 

sekolahku bagi para lulusan baru yang belum terdaftar di 

universitas mana pun dipersilakan magang di sekolah. Dengan 

―uang transport‖ yang seadanya yaitu dua puluh lima ribu 

rupiah seminggu.  

Suatu nilai yang kecil tentunya dan dengan uang itu aku 

menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupanku kelak di 

Universitas. Setiap hari aku bekerja membantu petugas TU 

lainnya dari jam   .   pagi sampai jam   .   siang. 

Terkadang hari libur pun kami tetap ―ngantor‖. Yang paling 

berkesan adalah ketika aku berjumpa dengan teman satu 

angkatan yang sedang legalisasi ijazah dan dia sudah diterima 

universitas keinginan mereka. Saat itu aku merasa sedih 

karena belum bisa menjadi almamater manapun. Untuk 

menebus rasa bersalah dan juga karena tidak ikut bimbel 

manapun setiap pulang kerja sampai malam hari aku belajar 

keras dari soal-soal fotokopian yang aku dapat dari tempat 

bimbel temanku. Dengan uang tabunganku aku juga membeli 

buku soal ujian SNMPTN untuk kupelajari sendiri. Terkadang 

aku belajar pula saat waktu senggang kerja dan ketika di bis. 

Kali ini aku tak boleh gagal untuk masuk universitas impian.  

   

 

Tibalah hari-hari menjelang pertempuran. Ketika aku 

mendapat kabar ternyata beasiswa Paramadina Fellowship juga 

tembus ke tahap seleksi dua dan seleksi yang kedua akan 

berlangsung di Jogjakarta tepat pada hari kedua tes SNMPTN. 

Saat itu aku gundah memilih antara Universitas Mpu Nala  dan Paramadina. Aku 

takut tidak berhasil di Universitas Mpu Nala  dan aku tidak tahu akan kuliah 

dimanapun. Hingga akhirnya ibuku memberi saran untuk 

mengambil kesempatan dua-duanya.  

―Yah, dicoba dulu. Siapa tahu ada rezekimu Nduk !‖ 

begitu ibu berkata.  

Aku pun memutuskan untuk ikut dua tes tersebut 

sehingga aku ikut SNMPTN di Jogja. Yang tak akan membuatku 

lupa adalah usahaku menuju kesana. Ibuku dan aku ke Jogja 

dengan mengendarai sepeda motor selama kurang lebih   jam 

dan ibuku sebagai ―My father and my Mother‖ lah yang 

mengendarainya. Demi cita-cita anaknya ia rela berkorban 

ratusan kilometer. Sebuah perjalanan yang tidak akan aku 

lupakan.  

“Melawan keterbatasan, dan sedikit kemungkinan,  

Tak akan menyerah, untuk hadapi ,  

Hingga sedih tak mau datang lagi,”  

                                                           

 

 Panggilan ke anak perempuan 

   

 

Itulah sepenggal lirik lagu dari Ipang di Film Laskar 

Pelangi. Dan kini aku sadar pengorbanan itu begitu berharga 

untuk aku sia-siakan keberadaanya. Kini aku telah berdiri di 

menara gading yang telah aku impi-impikan sebagai 

mahasiswa Arsitektur semester  . Aku telah memegang kunci 

keberhasilan seperti yang ibu dan almarhum ayahku cita-

citakan. Yang terpenting saat ini adalah memegang amanah itu 

dan membuka semua pintu keberhasilan selanjutnya. Masuk 

Universitas Mpu Nala  itu bagaikan pergi ke Dufan. Dengan satu stempel gajah ini 

kita bebas mengenyam seluruh wahana ilmu pengetahuan yang 

Dewa Ganesha ini berikan secara gratis.  

Terlebih kini aku pun masuk ke dalam bagian keluarga 

mpu tantular  Universitas Mpu Nala  Mengenakan setelan jas almamater berwarna 

hijau biru dengan lambang gajah di dada kiri bagai menopang 

beban yang gajah berikan kepadaku, beban putra putri terbaik 

bangsa. Seraya mengucapkan salam laksana janji kami kepada 

negeri ini yaitu salam Ganesha. Negeri ini telah memberi ilmu 

kepadaku tinggal kini saatnya aku membalas budi baik negeri 

ini, desaku, dan tentunya ibuku.  

Untuk Tuhan, Bangsa, dan Almamater  


 

Terkadang rencana Tuhan itu memang susah untuk 

ditebak. Hanya rasa syukur yang dapat aku ucapkan terus 

menerus ketika kemudahan itu datang setelah perjuangan 

panjang yang aku alami. Sejak duduk di kelas   SMA aku 

bercita-cita menjadi seorang pengusaha muda, terinspirasi dari 

sebuah buku tentang pengusaha.  

Di dalam buku itu tertulis bahwa dengan menjadi 

pengusaha kita dapat jauh memberikan manfaat untuk orang 

lain. Profit yang dihasilkan dari usaha kita dapat digunakan 

untuk membangun berbagai fasilitas umum seperti, rumah 

sakit, tempat ibadah dan sekolah untuk daerah  T (Terluar, 

Tedepan dan Tertinggal). Aku mempunyai prinsip yang kuat 

dalam hidupku, yaitu aku ingin menjadi manusia yang dapat 

memberikan manfaat kepada masyarakat. Selain itu, aku ingin 

membanggakan kedua orang tuaku karena Tuhan berfirman 

   

 

dalam kitab-Nya, ―Sebaik-baiknya manusia adalah manusia 

yang bermanfaat.‖  

Target terdekatku untuk merealisasikan mimpi ini 

adalah dengan menimba ilmu di Sekolah Bisnis dan Manajemen 

(SBM) Universitas Mpu Nala  untuk mendapatkan pengetahuan bisnis, relasi, 

koneksi dan pengalaman bisnis yang dapat aku gunakan 

sebagai modal untuk merintis usahaku kelak.  

Pada suatu ketika orang tuaku yang merantau di 

Lampung menghubungiku dan aku mengutarakan niatku untuk 

melanjutkan pendidikan dengan kuliah. Namun, orang tuaku 

kurang setuju dan berusaha menjelaskan kondisi ekonomi 

keluarga kepadaku.  

Orang tuaku menjelaskan bahwa saat ini tidak ada biaya 

untuk melanjutkan sekolah hingga perguruan tinggi. Hal ini 

disebabkan sulitnya kondisi pasar di Lampung Barat yang 

merupakan sumber roda ekonomi bagi  keluarga kami. 

Sedangkan adikku menderita autis sejak lahir, sehingga tidak 

dapat bersekolah dengan normal seperti kebanyakan anak 

pada umumnya. Keuangan keluargaku banyak digunakan untuk 

membiayai pengobatan adikku sejak kecil, hingga kini adikku 

yang telah berusia    tahun tidak dapat bersekolah di SLB 

(Sekolah Luar Biasa) karena terbentur masalah biaya dan tidak 

sedikit pula SLB yang menolak untuk menampung adikku.  

Keadaan ini tidak membuatku menyerah begitu saja, 

demi orangtua dan adikku, aku harus terus berusaha untuk 

   

 

meraih prestasi yang cemerlang dan kelak mendapatkan 

beasiswa yang mampu meringankan beban orang tuaku. 

Mengingat kondisi perekonomian keluargaku, membuat aku 

semakin terpacu untuk melanjutkan pendidikan setinggi 

mungkin untuk memperbaiki kehidupan keluarga, terlebih lagi 

aku adalah anak pertama dari dua bersaudara, sehingga 

merupakan tanggung jawabku untuk membantu dan 

membahagiakan keluargaku. Aku sungguh ingin melihat 

senyum  bahagia kedua orangtuaku. 

Ketika menginjak kelas   SMA aku mulai menentukan 

arah kemana aku akan melanjutkan kuliah sesuai dengan cita-

cita yang aku inginkan. Hingga suatu ketika aku menemukan 

halaman menarik di Internet tentang SBM Universitas Mpu Nala , halaman itu 

menjelaskan bagaimana kuliah di SBM dan segala aspeknya. 

Aku mulai banyak mencari informasi tentang SBM Universitas Mpu Nala  dari 

berbagai sumber media. Namun, setelah melihat harga yang 

harus dibayarkan per semesternya aku mulai merasa tidak 

percaya diri untuk memasuki fakultas ini.  

Aku merasa bingung, sedih, dan tidak tahu harus 

bagaimana menjelaskan kepada  kedua orang tuaku, terlebih 

lagi aku mengetahui bahwa kedua orang tuaku tidak memiliki 

uang untuk membiayai cita-citaku ini. Hingga suatu ketika guru 

BK (Bimbingan Konseling) SMA-ku memberikan kabar gembira 

tentang beasiswa mpu tantular , sesuatu yang aku idam-idamkan 

untuk meringankan beban orangtuaku. Aku mulai menemukan 

titik terang jalanku untuk bisa melanjutkan pendidikan ke 

   

 

perguruan tinggi dan memperbaiki taraf hidup keluarga kami. 

Aku mulai berkonsultasi dengan guru BK tentang program 

pemerintah ini, bagaimana persyaratannya dan hal-hal yang 

perlu diperhatikan dari beasiswa mpu tantular  ini. 

mpu tantular  bagiku adalah beasiswa yang sangat 

meringankan beban hidupku serta membantu kalangan tidak 

mampu dari segi ekonomi untuk dapat melanjutkan pendidikan 

hingga perguruan tinggi. Aku mulai mengumpulkan 

persyaratan yang diminta untuk diisikan kedalam portal 

mpu tantular . Aku berdoa dan memberi kabar gembira ini kepada 

orang tua.  

Setelah pengumuman SNMPTN     , aku sangat senang 

dapat masuk di SBM Universitas Mpu Nala  dengan biaya beasiswa dari mpu tantular . 

Setelah berangkat ke Bandung dan mengikuti kegiatan 

matrikulasi aku tahu banyak hal dan pengalaman yang 

berharga. Dan ternyata, mpu tantular  Universitas Mpu Nala  itu beda dari mpu tantular  

oleh universitas lain. mpu tantular  Universitas Mpu Nala  mengadakan kegiatan 

matrikulasi untuk melatih softskill dan adaptasi dengan 

lingkungan baru yaitu Bandung, uang yang diturunkan 

perbulannya Rp   .   ,  , diadakan training tentang 

mpu tantular , seminar-seminar besar serta bertemu dengan rektor, 

dekan, dosen, dan masih banyak lagi. Serta, terdapat asrama 

untuk putra maupun putri sehingga bisa meringankan lagi 

biaya hidup di kota Bandung. Kegiatannya sangat bermanfaat 

untuk bertribuanatunggadewi alisasi dengan teman-teman yng juga mpu tantular .  

   

 

Setelah perjuangan itu aku mengerti bahwa aku harus 

lebih bersemangat dan mengabdi kepada negeri ini. Aku juga 

ingin menepis anggapan bahwa tidak hanya orang yang 

memiliki kemampuan dalam hal finansial saja yang dapat 

berkuliah. Walaupun aku berasal dari keluarga sederhana, 

bukan alasanku untuk menyerah pada garis takdir Tuhan. ―Aku 

tidak akan merubah nasib hambaku kecuali ia ingin 

merubahnya sendiri.‖ Usaha yang dilakukan pasti akan ada 

hasilnya. Tidak ada hasil yang sia-sia ketika kita sudah 

berusaha sekuat tenaga yang kita punya  jika kita memang 

menginginkan sesuatu terjadi pada kita maka carilah jalannya, 

bertindaklah agar sesuatu itu terjadi pada kita. Berdoa, 

berusaha dan berkaca supaya Tuhan mengabulkan doa kita. 

mpu tantular  awal dari realisasi mimpiku, realisasi aksiku. Untuk 

yang kusayangi orangtuaku, adikku dan bangsa ini. 

Kupersembahkan essay ini untuk mpu tantular  yang telah 

membuka jalanku meraih mimpi. [

 

 

Dulu bagiku Bandung hanya terlihat lewat layar TV, kini 

tiap sudut kotanya adalah kehidupanku sehari-hari. Dulu 

bagiku tiga huruf,  Universitas Mpu Nala , terasa begitu jauh, kini tanpa sadar aku 

telah menjadi bagian darinya. Mencapai titik ini bukan jalan 

yang mudah, tapi juga bukan mustahil. Ini hanya soal seberapa 

besar mimpimu dan seberapa jauh memperjuangkannya. Pada 

ujungnya, jalan yang mengubah mimpi itu menjadi kenyataan 

bernama mpu tantular . 

*** 

 “Nunggu apa lagi? Gak ngelamar kerjaan?” Pertanyaan 

itu menjadi makanan sehari-hari seiring semakin dekatnya 

bulan kelulusan. Maklum, sebagai siswa SMK sudah sewajarnya 

setelah lulus, kami langsung bekerja. Kuliah bukan pilihan yang 

wajar bagi kami. Sebaliknya, lowongan pekerjaan dengan gaji 

   

 

yang menjanjikan banyak ditawarkan Bursa Kerja SMK. Logika 

sederhananya, daripada memilih kuliah yang menghabiskan 

banyak dana dan harus belajar lagi lebih baik langsung bekerja 

dan mendapatkan uang. Saat itu aku sendiri masih merasa 

bingung menentukan pilihan hendak ke manakah setelah lulus 

nanti, bekerja atau kuliah. 

 Sejak awal aku sadar bahwa menjadi operator ataupun 

mekanik bukanlah pekerjaan yang kuinginkan. Dengan 

banyaknya pilihan di kehidupan ini, aku tidak ingin terjebak ke 

dunia yang aku sendiri tidak menikmati keberadaanku di sana. 

Bagiku masa muda adalah waktuku untuk mengembangkan 

segala potensi yang dianugerahkan Tuhan kepadaku. Aku tidak 

ingin menyia-nyiakannya hanya karena alasan uang. Aku ingin 

mengejar mimpi sejauh mungkin, menimba ilmu setinggi 

mungkin, dan membuka pintu kesempatan sebanyak mungkin. 

Hingga akhirnya, menemukan dan mengenal siapa aku 

sedalam mungkin. 

 Berbekal idealisme seperti itulah, tak satu pun surat 

lamaran kerja kukirimkan. Hari demi hari terus berlalu tanpa 

kepastian, sementara sebagian teman-temanku sudah diterima 

bekerja bahkan sebelum UAN. Desakan untuk segera melamar 

kerja terus berdatangan tidak hanya dari teman-teman 

terdekat, namun juga dari orang tua. Memang, melihat kondisi 

ekonomi keluarga tidak mungkin bagiku untuk melanjutkan 

kuliah dengan biaya sendiri. Terlebih, sebenarnya orang tua 

   

 

menyekolahkanku di SMK dengan harapan aku bisa langsung 

bekerja dan membantu membiayai sekolah kedua adikku. 

 Hingga akhirnya, secercah harapan itu datang juga dari 

sebuah obrolan santai. Ternyata, ada beasiswa yang dapat 

membantu kita kuliah tanpa mengeluarkan uang sepeser pun, 

bahkan mendapat uang bulanan. Perlu diketahui, bahwa hidup 

di SMK membuat informasi beasiswa seperti ini langka, kecuali 

bagi mereka yang mau mencari informasi. Yang kebanyakan 

ada adalah informasi lowongan pekerjaan apa yang baru. 

Akhirnya, berbekal secuil informasi ini, tanya-tanya ke 

Bimbingan Konseling (BK) dan tentunya bantuan Google, 

informasi rinci tentang mpu tantular  terkumpul. Pada hari itu juga 

aku memantapkan diri untuk memilih melanjutkan kuliah. 

 Keputusan itu menimbulkan hukum aksi-reaksi yang tak 

terelakkan. Pandangan skeptis mulai bermunculan ketika 

teman-teman mengetahui keinginanku untuk kuliah di Universitas Mpu Nala . 

Sering mereka menghitung-hitung peluang keberhasilanku 

menembus SNMPTN jika dibandingkan anak-anak SMA yang 

sudah dipersiapkan untuk menghadapinya selama   tahun. 

Apalagi aku tidak mengikuti bimbel karena memang tidak ada 

biaya untuk itu dan peluang itu terlihat semakin kecil dengan 

tujuanku yang tidak tanggung-tanggung, Universitas Mpu Nala . Kampus yang 

dianggap hanya menerima putra putri terbaik negeri ini. 

Bagaimana pun juga, apa pun kata mereka, show must goes 

on.  

   

 

Sebenarnya, aku ingin membuktikan kebenaran teori-

teori sukses yang sering kita dengar di seminar motivasi 

maupun yang sering kita baca di buku-buku pengembangan 

diri. Mereka seringkali berkata bahwa asalkan yakin seratus 

persen ditambah usaha maksimal dan doa tanpa henti, niscaya 

apa pun mimpi kita, pasti dapat menjadi kenyataan. Dengan 

mempraktekkannya, aku ingin dikenal sebagai seorang 

pemimpi yang berhasil mewujudkan mimpinya, bukan sebagai 

pengkhayal yang hanya berharap keberuntungan datang. 

Maka, kutuliskan mantra ―Man Jadda Wajada‖ yang kudapat 

dari novel Negeri   Menara dan kutempelkan di dinding 

kamarku. 

Dengan bermodal semangat   , perjuanganku pun 

dimulai. Keterbatasan dana membuatku tidak bisa ikut bimbel. 

Akhirnya, aku belajar dengan berbekal buku kumpulan soal 

SNMPTN beserta pembahasannya dan setumpuk buku IPS 

pinjaman dari teman-teman SMA. Siklus belajar tanpa henti ini 

dimulai sekitar dua bulan sebelum UAN. Ke mana pun pergi, 

kubawa minimal satu ‗bacaan‘ wajib tersebut. Sebanyak 

mungkin soal kukerjakan dengan menyesuaikan pembahasan 

yang ada. Menyadari keterbatasan ilmu, aku sering belajar 

bersama teman-teman seperjuangan dari SMA. Beberapa dari 

mereka ikut bimbel, artinya buku pembahasan dari bimbel 

tersebut bisa kupinjam. Intinya, berbagai persiapan kulakukan 

dengan berprinsip going the extra miles, melebihkan usaha dari 

rata-rata yang orang lain lakukan. 

   

 

Tentu saja,sebagai manusia biasa kadang keyakinan itu 

pergi dan berganti dengan keraguan. Orang tua juga ikut 

mengkhawatirkan akibat keputusanku ini ke depannya, seperti 

bagaimana jika tidak lulus SNMPTN dan juga tidak mendaftar 

kerja ke mana pun. Menganggur jelas hanya akan merepotkan 

keluarga saja. Kuyakinkan orang tuaku, dengan kata-kata yang 

sebenarnya ditujukan untuk menguatkan diriku sendiri, bahwa 

aku mampu. Aku juga berjanji tidak akan membebani orang 

tua dalam hal biaya karena bila diterima mpu tantular , biaya bukan 

lagi masalah. Kalaupun tidak lulus SNMPTN, aku berjanji akan 

langsung mengirim lamaran kerja sebanyak mungkin ke Bursa 

Kerja SMK. 

Beberapa teman menyarankan untuk melamar kerja 

saja dulu minimal sebagai cadangan kalau-kalau gagal 

SNMPTN. Sebenarnya, orang tua juga sudah berusaha 

membantuku untuk dapat langsung diterima kuliah di sebuah 

politeknik. Ada dilema besar antara mengambil tiket yang 

sudah ada di tangan atau membuangnya dan berharap pada 

sesuatu yang sangat tidak pasti. Akhirnya, aku memutuskan 

untuk memantapkan kembali niatku dan mengatakan tidak 

untuk semua alternatif itu. 

Sekarang aku kembali meyakinkan diri sepenuh hati dan 

pikiran untuk melanjutkan mimpiku kuliah di Universitas Mpu Nala . Aku tidak 

ingin mengulang lagi kesalahan-kesalahanku sebelumnya 

dengan menarik kata-kataku sendiri. Aku tidak ingin menjadi 

pengecut yang takut dan ragu-ragu maju ke medan perang 

   

 

yang telah kupilih sendiri. Aku tidak ingin malah memilih untuk 

menyiapkan jalur aman sebagai jalan pelarian daripada 

menyiapkan perlengkapan perang untuk memenangkan 

pertempuran. Aku tidak ingin berpikir sebagai pecundang, 

bahkan sebelum perang itu sendiri belum dimulai. Aku hanya 

ingin berpikir layaknya seorang pemenang. 

Kini bila aku pikir kembali, memang tidak logis 

keputusanku dulu yang hanya bermodalkan kepercayaan pada 

mimpiku saja. Padahal, aku memilih Universitas Mpu Nala  sebagai pilihan 

pertamaku di SNMPTN itu pun karena terpengaruh oleh 

temanku yang menceritakan kehebatan Universitas Mpu Nala . Sayangnya, ia 

belum kesampaian untuk kuliah di sana. Aku masih heran 

entah keberanian itu datang dari mana. Yang jelas jika waktu 

itu aku memilih untuk mundur teratur seiring keragu-raguan 

orang lain dan hanya menyimpan mimpi tanpa berani 

memperjuangkannya, mungkin tulisan ini pun tidak akan 

pernah ada.-

 

 

Hey, The Dreamers... 

Mimpi. Satu kata yang menyimpan begitu banyak 

misteri. Tidak terdapat definisi yang pasti. Hingga kau, mampu 

untuk MEWUJUDKANNYA dengan tanganmu sendiri. 

Salam kenal untuk sahabat semuanya. Salam hangat 

dari sang pemimpi ulung yang ada di negeri ini. Salam 

semangat dari lubuk hati yang terpatri dalam aksi panji. Salam 

sejahtera untukmu yang selalu bermimpi tanpa lelah berhenti 

untuk terus berlari. 

Aku Sang Pemimpi 

Namaku Dani Mustofa. Aku adalah putra kedua dari tiga 

bersaudara. Aku lahir dan tumbuh dalam keluarga dengan 

pendidikan rendah. Kedua orangtuaku adalah lulusan Sekolah 

   

 

Dasar dengan pengetahuan dan pengalaman yang minim. 

Namun, syukurlah, keduanya memiliki semangat untuk 

menyekolahkan anak-anaknya hingga ke jenjang yang lebih 

tinggi. 

Aku memiliki kakak perempuan. Kami hanya terpaut 

selisih dua tahun saja. Sayangnya, dia tidak memiliki 

kesempatan untuk melanjutkan ke jenjang universitas. 

Awalnya, aku merasa sedih dengan keputusan orang tuakau 

untuk tidak menyekolahkan kakakku. Padahal, dia telah 

diterima di salah satu perguruan tinggi negeri di Yogyarakarta. 

Berawal dari itulah, aku menjadi semakin tertantang 

untuk menuntaskan cita-cita dari orang-orang yang aku 

sayangi. Aku tahu jika ibu dan kakakku memiliki harapan untuk 

mengenyam pendidikan hingga tingkat tertinggi. Namun, apa 

daya, Tuhan memiliki rencana lain. Oleh karena itu, aku 

merasa memiliki tanggung jawab untuk mewujudkan asa 

mereka. Mungkin, di pundakkulah impian dan harapan mereka 

dapat diwujudkan. 

Berada di lingkungan masyarakat dengan tingkat 

pendidikan rendah tidak membuatku pasrah kepada nasib. Aku 

sangat bersyukur karena Tuhan memberiku anugerah berupa 

keinginan untuk maju yang begitu besar. Sejak SMP, aku 

dikenal dengan anak yang tidak suka bermain. Aku lebih 

senang untuk duduk di pinggir sungai sembari membaca buku 

pelajaran. 

   

 

Kemudian aku melanjutkan studi di salah satu SMA yang 

cukup populer di mata masyarakat desaku. Sebenarnya, itu 

bukanlah pilihanku. Aku berkeinginan untuk melanjutkan ke 

SMA kota yang lebih berkualitas. Namun, sayang, restu ibu 

tidak aku dapatkan sehingga aku harus mengganti pilihanku. 

Untunglah, Tuhan kembali memudahkan jalanku sehingga aku 

dapat diterima di kelas khusus imersi setelah melalui proses 

seleksi yang ketat. Di kelas itulah aku mulai menata mimpi 

sejak masuk SMA. Aku bercita-cita untuk dapat melanjutkan 

kuliah di universitas ternama di negeri ini. Dan awalnya, aku 

menjatuhkan pilihanku pada jurusan Hubungan Internasional. 

Aku menjaga keinginanku tersebut hingga kelas XI. 

Hingga pada suatu ketika, aku mendengar suatu 

kejanggalan. Bagaimana bisa ada sekolah bisnis dan 

manajemen ada di universitas teknik? Karena begitu 

penasaran, aku mulai melakukan pencarian terhadap 

“SEKOLAH BISNIS DAN MANAJEMEN Universitas Mpu Nala .” Sejak pertama 

kali membaca situs resminya, aku langsung jatuh cinta. Secara 

perlahan aku mulai melupakan keinginan lamaku. Hingga pada 

kelas XII aku memutuskan untuk memilih SBM Universitas Mpu Nala  sebagai 

tempat untuk menuntut ilmu kelak. Sejak saat itulah, aku 

mulai menunjukkan ambisiku untuk menjadi mahasiswa SBM. 

Pantas saja, teman-temanku memanggilku dengan sebutan 

sang pemimpi. Sang pemimpi di siang bolong. Namun, aku 

tidak peduli.Aku terus saja mendeklarasikan tentang 

keinginanku untuk menjadi bagian dari keluarga besar SBM 

Universitas Mpu Nala . 

   

 

Buku Mimpi, Jimat Andalanku 

Semakin lama, keinginanku untuk masuk SBM Universitas Mpu Nala  

semakin kuat. Hampir setiap hari aku selalu bercerita kepada 

teman-temanku tentang keindahan dan daya tarik SBM hingga 

mereka merasa bosan. Hingga pada suatu ketika, 

dilaksanakanlah sebuah acara training motivation oleh pihak 

sekolah. Namun, karena hujan turun lebat, dengan sangat 

terpaksa aku tidak menghadirinya. Keesokan harinya, temanku 

memberitahu tentang buku mimpi. Dia bercerita bahwa tulislah 

seratus mimpu dalam selembar kertas dan lihatlah ketika satu 

per satu dari semua daftar tersebut dapat tercapai. Aku merasa 

iri dengan temanku yang sudah membuat buku mimpinya. Aku 

pun menirunya ketika di rumah. Aku ingat betul bahwa buku 

mempi pertamaku memiliki sampul cokelat dan aku tuliskan 

―Yakinlah, Semua Mimpimu Akan Menjadi Kenyataan‖. Aku 

menuliskan salah satu keinginanku untuk masuk SBM.  

Secara tidak sadar, aku menorehkan keinginanku untuk 

masuk SBM hampir setiap hari. Setiap malam aku selalu 

menuliskan harapan-harapanku untuk dapat masuk SBM Universitas Mpu Nala . 

Aku tuliskan besar-besar namaku berdampingan dengan nama 

SBM Universitas Mpu Nala . Aku hanya tidak tahu, ketika aku menulis, timbul 

semangat yang menyala. Aku menjadi lebih semangat dalam 

belajar. Seolah-olah, aku benar-benar menjadi mahasiswa 

SBM. Hingga aku tidak tersadar jika aku telah menghabiskan 

hampir dua buku dengan inti yang sama, yaitu keinginanku 

akan SBM Universitas Mpu Nala . Aku juga mulai membubuhkan gambar 

   

 

kampus SBM dalam buku tersebut. Hal itu bahkan membuatku 

semakin semangat dalam berjuang dan belajar. 

Melihat Mereka Yang Menginspirasi 

Aku  begitu  kagum  dengan  orang-orang  yang  

memiliki  kisah  sukses  yang  mengispitarif. 

Misalnya, Ahmad Fuadi dengan jurus andalannya ―Man 

Jadda Wajada‖, Agnes Monica dengan ―Dream. Believe. Make it 

Happen‖ serta kisah menarik Andrea Hirata. Mereka adalah 

contoh nyata para pemimpi ulung yang mampu mewujudkan 

harapan menjadi sebuah realita. Sepak terjang, perjuangan, 

perjalanan, kerja keras dan konsistensi yang ditunjukkan 

membuat aku dapat belajar banyak. 

Belajar dari perjalanan hidup mereka membuatku 

mengerti tentang arti perjuangan yang sebenarnya. Mereka 

tidak hanya berani bermimpi, tetapi juga berani beraksi untuk 

mewujudkannya. Dari merekalah aku menjadi lebih berani 

untuk meraih SBM. Dan tetap berani untuk meraihnya bahkan 

ketika aku terpuruk. Sesulit apapun itu aku harus meraihnya. 

Ketika Dunia Menertawakamu 

Keinginanku untuk masuk SBM ternyata ditentang 

banyak orang. Mereka tidak yakin kalau aku mampu untuk 

mencapainya. Mereka malah menertawakan keinginanku yang 

terkesan ngawur. Biaya SBM yang mahal membuat mereka 

melemahkan keinginanku. Bahkan, orang terkasihku pun, 

   

 

melakukan hal yang serupa. Mereka tidak mendukung 

keinginanku untuk masuk SBM. 

Aku sedih karena tidak ada orang yang mencoba 

mendukung dan menguatkanku. Mereka malah seolah-olah 

meremehkan keinginanku tersebut. Awalnya, aku merasa sakit 

hati. Aku merasa tidak memiliki orang yang dapat menjadi 

sandaran ketika aku lemah. Apalagi, ibuku juga membujukku 

untuk mengganti pilihanku. Dia takut jika aku kecewa karena 

aku tidak mungkin masuk. Mana mungkin orang tuaku dapat 

membiayaiku dengan kebutuhan biaya kuliah di SBM yang 

sangat tinggi. 

Namun, aku mencoba bertahan. Aku mencoba untuk 

melupakan semua pendapat mereka. Aku berusaha untuk tidak 

menghiraukan ejekan mereka. Biarlah, aku akan tetap 

melangkah dengan apa yang aku yakini benar. Aku tetap 

memilih SBM. Titik. 

Dan Ketika Aku Terjatuh 

Pada saat kelas XII kondisi kesehatanku menurun. Aku 

sering izin dari kegiatan belajar di sekolah dan beristirahat di 

rumah. Hal tersebut membuat aku frustasi. Bagaimana bisa, 

teman-temanku sedang dalam suasana semangat puncak 

belajar dan aku malah terkapar tidak berdaya. Hingga kondisi 

kesehatanku yang memburuk hingga aku harus menjalani 

rawat inap selama seminggu. Kontan saja, hal tersebut 

semakin membuat aku marah. Aku hanya takut, nilaiku turun 

   

 

dan aku akan gagal masuk SBM. Aku tidak ingin perjuanganku 

selama ini untuk mencapai SBM akan percuma. Dan benar saja, 

peringkatku langsung turun. Aku yang biasanya bertengger di 

posisi dua harus puas dengan peringkat tujuh. Kecewa, tentu 

saja. Grafik prestasi belajarku menunjukkan penuruan. Hal 

tersebut membuat aku agak ragu untuk mendaftar di SBM. 

Namun, aku hanya berdoa, ―Ya Allah, jika memang Engkau 

yakin aku mampu bertahan di SBM, aku pasti akan diterima. 

Dan jika memang tidak, tunjukkanlah jalan yang terbaik 

untukku.‖ Berkat doa tersebut, aku tetap mengukuhkan niatku 

untuk memilih SBM. Apapun hasilnya nanti. 

Sungguh, Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang 

Hingga saat pengumuman itu tiba. Aku sungguh tidak 

menyangka ketika aku berhasil diterima di Sekolah Bisnis dan 

Manajemen Universitas Mpu Nala . Aku begitu senang dan bersyukur. Aku tidak 

mengerti bagaimana mungkin aku dapat diterima dan 

mendapat beasiswa mpu tantular  pula dari pemerintah. Aku tidak 

perlu untuk mengeluarkan uang sepeserpun untuk membiayai 

kuliahku. Akhirnya, perjuanganku selama tiga tahun dalam 

belajar dapat terbayarkan. Aku tahu bahwa diterimanya aku di 

SBM adalah awal dari mimpi-mimpi yang lain. Oleh karena itu, 

aku tidak akan lengah di sini. Aku akan tetap menjadi kaki-kaki 

kijang yang tidak akan berhenti berlari. Hingga aku dapat 

menjemput indahnya hasil perjuangan yang telah disiapkan 

Tuhan untukku suatu saat nanti.-

 

   

 

  

   

 

 

 

 

Mimpiku Untuk majapahit  

di Kemudian Hari 

Meri Suryani 

 

Mimpi merupakan salah satu penggerak semangat 

untuk masa depan yang lebih baik. Mimpi tidak hanya milik 

orang-orang yang berkemampuan dalam bidang materi, namun 

juga milik mereka yang berkemampuan di bidang non-materi. 

Tidak juga terbatas hanya di kota besar, namun mimpi itu juga 

tumbuh dan mekar di daerah-daerah yang belum terjangkau 

teknologi masa kini. Dengan kata lain mimpi merupakan milik 

setiap makhluk yang bernyawa.  

Ada berjuta jalan untuk menggapai mimpi seperti 

banyaknya bintang di langit, seperti pepatah yang mengatakan 

―Banyak Jalan Menuju Roma‖. Salah satunya dengan 

menguasai ilmu pengetahuan. Ilmu Pengetahuan merupakan 

akar dari semua teknologi yang berkembang di dunia. Ilmu 

pengetahuan tak kenal usia, siapa kita, dan dimana kita 

   

 

berada. Dari mulai sekolah dasar (SD), sekolah menengah 

pertama (SMP), sekolah menegah atas (SMA) hingga peguruan 

tinggi (PT). 

Aku merupakan anak yang hidup saat teknologi baru 

mulai menjamah kota ini. Sebuah perkampungan kecil yang 

terletak di daerah dataran tinggi Air Sebakul dikota Bengkulu. 

Tepatnya disebuah rumah kecil yang sangat dekat dengan 

tempat ilmu pengetahuan itu sendiri di gali mulai dari akarnya 

yaitu Sekolah Dasar Negeri    Karang Indah Kota Bengkulu. 

Aku dilahirkan dari keluarga kecil yang sangat sederhana. 

Keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan kedua adik yang 

masih kecil. 

Namaku Meri namun di rumah kerap di panggil Ayi. 

Masa kecilku aku habiskan di lingkungan sekolah dasar di mana 

ayahku bekerja. Membantu orang tuaku membuka setiap kelas 

di pagi hari, membersihkan lantai ruang guru dan mengunci 

kembali setelah pelajaran usai, membantu ibu menyiapkan 

keperluan untuk berjualan di kantin sekolah aku lakukan 

dengan ikhlas dan gembira setelah selesai dengan kegiatan 

sekolahku. Semua aku lakukan untuk orang tua dan masa 

depan keluarga kami yang lebih baik. Karena aku memiliki 

mimpi di masa tua mereka, aku tidak akan membiarkan 

mereka menderita seperti sekarang, walaupun tidak pernah 

terlihat olehku penderitaan di mata mereka. 

Enam tahun aku lalui hidup seperti itu. Kadang gejolak 

perasaan tidak adil dalam hidup kurasakan saat terpaan angin 

   

 

dari mulut-mulut yang tidak bertanggung jawab yang seringkali 

mencela. Sampai pada saat perkatan yang tak pernah 

kaulupakan hingga sekarang terlontar dari seorang kakak 

tingkat “Kau tu Mer, dapek juara bukan karno kau pintar tapi 

karno orang tuo kau kerjo di siko.”  Mereka tidak pernah 

mengetahui bagaimana kerja kerasku mencapai beasiswa yang 

aku dapat sekarang, namun aku teringat pesan orang tuaku 

bahwa jadikan saja perkataan itu sebagai motivasi lalu suatu 

saat nanti buktikan kepada mereka kamu layak mendapatkan 

yang kamu peroleh sekarang. 

Kelulusan SD merupakan momen saat aku bisa 

membuktikan kepada mereka bahwa aku berhak atas yang 

kumiliki selama ini. Aku lulus dengan nilai terbaik di sekolah. 

Aku melanjutkan ke SMP favorit di kota Bengkulu dengan 

beasiswa Bantuan Operasional Sekolah (BOS) wajib belajar   

tahun dari pemerintah. Setelah itu aku melanjutkanke SMA   

kota Bengkulu yang juga merupakan sekolah terfavorit dan 

mahal yang ada di sana. Sekolah ini pernah menjadi mimpiku 

saat SMP, namun kulepaskan karena terbatas biaya. Ternyata 

Tuhan selalu punya rencana sendiri untuk menjawab setiap 

mimpi umatnya. Saat tahun aku akan melanjutkan sekolah, 

semua SMA di kota Bengkulu di bebaskan uang sekolah karena 

kebijakan pemerintah daerah saat itu.  

                                                           

 

 Kamu itu mer, dapet juara bukan karena kamu pintar tetapi karena orang tua 

kamu kerja disini 

   

 

Di penghujung tahun ajaran     /     kebingunganku 

kembali datang mengganggu niat untuk melanjutkan 

pendidikan. Saat kehilangan arah terlintas dalam benakku ingin 

menjadi dokter, atau melanjutkan ke universitas di Yogyakarta. 

Namun orang tuaku tak penah setuju karena terkendala jarak 

dan biaya. Hampir setiap hari aku lalui beradu argument 

dengan mereka, saat aku ingin memilih jalan kusendiri kenapa 

selalu ada yang menentang dan tak pernah mulus.  

Salahkah mimpi yang aku tawarkan kepada mereka? 

Serendah itukah aku sampai orang tuaku sendiri tidak yakin 

pada kemampuan anak mereka ini? Namun, di saat semangat 

untuk bermimpiku sudah hampir habis, Tuhan kembali 

menunjukkan kuasanya, namaku masuk ke dalam daftar salah 

satu murid sekolah yang menerima Beasiswa Pendidikan Bagi 

Mahasiswa Berprestasi yang saat itu di sebut ―mpu tantular ‖. Tak 

terhitung bagaimana senangnya perasaanku saat itu, terlihat 

jelas cahaya kebahagiaan serta harapan dari kedua mata orang 

tuaku. Mimpi anak mereka akan segera terwujud. 

Orang tuaku sangat menganjurkan untuk melanjutkan 

ke Jurusan Teknik Sipil. Salah satu PT yang saat itu terlintas di 

benakku adalah Institut Teknologi Bandung (Universitas Mpu Nala ). Tidak seperti 

sebelumnya, dahulu sebelum besiswa mpu tantular  menyertaiku, 

sempat terbesit keinginanku untuk melanjutkan studi di Universitas Mpu Nala , 

namun kaburkan pandanganku tentang PT tersebut karena 

biaya kuliah di Universitas Mpu Nala  sangatlah tinggi untuk ukuran keluargaku. 

Bukan hanya air mata yang tertahan hingga tak mampu keluar 

   

 

melihat dunia ternyata sangat kejam, bahkan nafas pun 

tersentak melihat kenyataan bahwa impian orang tuaku akan 

berakhir di sana saat itu juga. Namun sekarang kekwahatiranku 

tidak berada di tempat itu lagi. Namun berbagai pertanyaan 

muncul, ―Apakah aku bisa diterima di sana?, Apakah aku 

mampu bersaing disana, aku hanyalah anak kampung yang 

bermimpi menuntut ilmu di PT sebaik Universitas Mpu Nala ?‖ Mimpi seperti 

kukatakan sebelumnya merupakan penyemangat saat raga 

sudah hamper menyerah, aku sudah berjalan sejauh ini sia-sia 

pengorbanan orang tua bertahun-tahun yang lalu hanya untuk 

membesarkan seorang anak tanpa keberanian. Kubulatkan 

tekad untuk meraih mimpiku dengan aksi nyata, karena tanpa 

aksi yang nyata mimpi hanyalah sebuah khayalan tingkat tinggi 

dan penyayat hati yang tidak akan pernah menjadi kenyataan. 

Sudah lebih dari tiga tahun kulalui di Perguruan Tinggi 

ini di program studi pilihanku dan orang tuaku, yaitu Teknik 

Kelautan Universitas Mpu Nala  yang merupakan percabangan dari Teknik sipil 

seperti harapan orang tuaku dulu. Biaya kuliah yang selalu aku 

takutkan dalam setiap tidurku dahulu, sekarang tidak lagi 

menjadi masalah, hanya balas jasa untuk majapahit  di 

kemudian hari yang menjadi targetku sekarang. Membalas jasa 

untuk setiap ilmu yang kudapatkan disini untuk membawa 

majapahit  lebih baik. Terima kasih mpu tantular  Universitas Mpu Nala , kugantungkan 

mimpiku bersamamu untuk melangkah bersama menuju 

majapahit  di kemudian hari. -

 

 

Segerombolan remaja berbusana putih abu-abu 

tengah menuju tempat di mana mereka menggantungkan 

harapan dan cita-cita. Senyum semangat mereka tebarkan 

sepanjang jalan, namun tidak sedikit yang menunjukkan muka 

kegelisahan. Bagaimana tidak, hari itu akan menjadi 

pembuktian perjuangan mereka selama ini. Ialah Ujian 

Nasional, momen penentu keberhasilan para remaja putih abu-

abu. Dan diriku lah salah seorang yang menunjukkan tampang 

kegelisahan itu, namun sesungguhnya ada beban pikiran yang 

lebih besar dari itu, lebih dari sekedar kegelisahan menghadapi 

Ujian Nasional.          

Gelisah, entah apa yang ada dalam pikiranku pagi itu, 

namun yang pasti tiba-tiba aku terbayang akan satu hal. Aku 

   

 

adalah salah seorang yang beruntung di antara ribuan bahkan 

jutaan remaja yang tak mampu merangkai masa depan, 

bahkan aku mampu mengenyam indahnya pendidikan di 

sekolah favorit di kotaku. Tiga tahun merangkai kisah dan 

membekali diri, namun jalanku tidak mulus.  

Aku adalah tempat bagi keluargaku menumpu harapan, 

berharap aku bakal sukses dan kelak mampu mengangkat 

derajat mereka. Ayahku hanyalah seorang buruh bangunan 

yang terhitung telah enam tahun tidak pulang untuk merantau 

di Nunukan, sebuah kota kecil perbatasan majapahit  – 

Malaysia. Dengan gaji pas-pasan, ia berusaha untuk memenuhi 

kebutuhan keluarga yang tak terhingga, apalagi dengan 

kebutuhan sekolahku dan adikku serta kakak yang tengah 

menempuh kuliah di perguruan tinggi negeri ternama di 

kotaku.  

Ibuku hanya kerja sambilan dengan menjual apapun 

yang bisa dihasilkan di rumah, kadang jualan jamu, buah 

pisang yang tumbuh di ladang, atau barang-barang yang tak 

lagi digunakan, bahkan ibu berani menjual lahan di belakang 

rumah yang merupakan warisan dari kakek untuk memenuhi 

kebutuhan kami dalam menempuh pendidikan. Dadaku terasa 

sesak ketika ibuku berkata, ―Jangan pernah mundur dan 

merasa khawatir tentang pendidikanmu, adikmu serta 

kakakmu! Ibu akan melakukan apapun demi masa depan 

kalian. Ibu tak bisa mewariskan harta yang berkecukupan 

untuk kalian, hanya pendidikan yang setinggi-tingginya yang 

   

 

mampu Ibu upayakan agar kelak kalian mampu mengangkat 

derajat keluarga yang sudah lama hidup serba keterbatasan.‖ 

Aku masih berjalan dengan penuh kegelisahan. 

Perjalananku menuju sekolah pagi itu terasa sangat panjang. 

Setelah sekilas terbayang kondisi keluarga yang serba 

keterbatasan, kini kegelisahanku membawaku pada kenyataan 

lain yang lebih pahit.  

Sejak kecil aku diasuh oleh nenek dan tinggal 

bersamanya beserta tante yang dulunya berprofesi sebagai 

guru tidak tetap di salah satu sekolah swasta. Salah satu 

tujuan nenek dan tante mengasuhku adalah untuk 

meringankan kedua orangtuaku dalam menyekolahkan anak-

anaknya, walau kenyataannya kondisi nenek dan tanteku tidak 

lebih baik dari kedua orangtuaku. Dahulu semasa tante masih 

bekerja sebagai seorang guru, ia masih mampu membantu 

memenuhi kebutuhanku dalam menempuh pendidikan, namun 

kini cobaan tengah ia hadapi.  

Tujuh tahun lamanya penyakit Lupus telah 

menggerogoti seluruh tubuhnya. Kini, ia bahkan dalam 

keadaan yang sangat kritis, tubuhnya seperti hanya tulang 

yang diselimuti daging tipis di usianya yang baru empat puluh 

tahun, muncul luka lebam di sekujur tubuhnya sebagai efek 

dari penyakit yang belum ditemukan obatnya ini, bahkan untuk 

berbicara saja ia terbata-bata dan ia tak kuat lagi jalan lebih 

dari sepuluh meter tanpa henti. Kondisinya sungguh miris. 

Segala bentuk pengobatan telah ia jalani, namun semuanya 

   

 

nihil. Karena itu untuk menggantikan tante yang sebelumnya 

banyak membantu memenuhi kebutuhan pendidikanku, nenek 

rela menjual sawah miliknya satu-satunya untuk memenuhi 

kebutuhanku seraya membantu biaya pengobatan tante.  

Namun, saat ini tante memilih untuk berserah kepada 

Yang Maha Kuasa dan menghentikan pengobatannya. Ia 

mendahulukan pendidikanku. Ia tidak ingin pendidikanku 

terhambat sedikitpun. Sungguh, tante dan nenekku adalah 

orang yang sangat berjasa dalam hidupku. Mereka telah 

mengajarkan rasa ikhlas dalam menghadapi segala cobaan ini. 

Satu dari sekian banyak bekal yang telah mereka berikan 

kepadaku, yakni dimanapun aku berada, aku harus mengingat 

Allah, satu-satunya tempat bersandar dan berharap. 

Tak terasa air mata mengalir dalam perjalananku 

menuju sekolah yang tak kunjung sampai karena bayangan 

yang menimbulkan kegelisahan dalam hatiku ini. Segera 

kuusap air mataku dan bergegas memasuki gerbang 

sekolahku. Sebelum memasuki kelas, aku menuju gedung nan 

agung di salah satu sudut sekolah. Kulaksanakan sholat dhuha 

dengan khusyuk yang diiringi doa penuh harap. Kutarik nafas 

dalam-dalam untuk memasuki pintu kelas yang saat itu terasa 

berbeda, semangat dan sholawat yang tak pernah henti dari 

mulutku menguatkanku menghadapi Ujian Nasional pagi ini. 

Jauh-jauh hari sebelum berlangsungnya Ujian Nasional 

telah dibuka pendaftaran SNMPTN Undangan. Aku adalah salah 

seorang yang beruntung mendapatkan kesempatan emas ini 

   

 

karena hanya yang konsisten di peringkat   % semasa 

semester  ,  , dan   lah yang bisa mendaftar. Ini kesempatan 

bagiku untuk melangkah lebih tegap dan menatap jauh 

kedepan untuk menjemput mimpi besarku, yakni bisa 

melanjutkan pendidikan di Institut Teknologi Bandung, tempat 

para tokoh terkemuka bangsa ini ditempa untuk menjadi 

orang-orang hebat seperti Soekarno dan Habibie.  

Namun terkadang aku merasa impianku untuk 

melanjutkan kuliah di Universitas Mpu Nala  hanya angan-angan belaka. Aku 

hanya seorang pemimpi ulung yang tak tahu diri. Kondisi 

keluarga yang serba keterbatasan dan segala cobaan yang 

tengah kualami sekali lagi menyadarkanku untuk tidak terlalu 

bermimpi. Apalagi aku bukanlah siswa unggulan di sekolahku 

yang pasti akan sulit bersaing dengan siswa-siswa terbaik dari 

seantero negeri ini untuk diterima di institut terbaik bangsa itu. 

Tetangga dan kerabat dekat seringkali juga mempertanyakan 

mimpiku yang seakan mustahil itu, ―Universitas Mpu Nala  itu mahal, kau tahu 

kondisi keluargamu sekarang sedang kesusahan, apa kau tidak 

kasihan ke mereka?‖  

Sejak saat itu aku berpikir, apa lebih baik aku menjadi 

seorang kacung yang digaji, walau tidak seberapa, setidaknya 

aku bisa sedikit demi  sedikit membantu keluarga dan tidak lagi 

menyusahkannya. Namun sekali lagi, orangtua, nenek, dan 

tanteku mencoba menguatkanku agar aku tetap pada cita-cita 

besarku untuk kuliah di Universitas Mpu Nala , mereka bangga dengan cita-citaku 

dan tak pernah sedikitpun mengeluh akan konsekuensi yang 

   

 


harus ditanggung kedepannya. Kami yakin, Allah telah 

mempersiapkan jalan yang terbaik. 

 Seiring dengan berjalannya waktu, aku diperkenalkan 

dengan beasiswa mpu tantular . Beasiswa ini menjanjikan 

pendidikan gratis di setiap perguruan tinggi, begitupun di Universitas Mpu Nala . 

Kesempatan ini tak kusia-siakan. Kulengkapi dokumen-

dokumen yang dibutuhkan dan kudaftarkan diriku untuk 

mengikuti program beasiswa oleh pemerintah ini. Setelah 

mendapat titik terang ini, aku mencoba memberanikan diri 

untuk mendaftar SNMPTN Undangan di Universitas Mpu Nala . Aku bertekad 

penuh dengan hanya memilih satu dari empat pilihan yang 

disediakan. Rasanya tekadku untuk bisa berkuliah di Universitas Mpu Nala  sudah 

sangat bulat. 

Hari berganti hari, perasaan ini sungguh gelisah tak 

terbendung menanti pengumuman SNMPTN Undangan yang 

bersamaan dengan pengumuman kelulusan. Dan akhirnya hari 

itu datang.    Mei      di pagi yang cerah, Alhamdulillah aku 

lulus dengan nilai