tentang manusia 3



  kesadaran kita akan meningkat. Kita akan 

memiliki pikiran jernih untuk menanggapi apa pun yang terjadi.

Pikiran menciptakan analisis dan pemahaman. Namun, keduanya 

kerap berujung pada ketakutan dan kecemasan. saat  orang hidup 

”disini dan saat ini”, pikiran lenyap. Kesadaran pun muncul dan 

berkembang, guna menanggapi secara tepat dan jernih apa yang sedang 

terjadi.

Kekuatan terbesar manusia, menurut Tolle, yaitu  kesadarannya. 

Orang bisa melakukan apapun secara tepat sesuai dengan keadaan yang 

ada, saat  ia mampu memakai  kesadarannya secara penuh. Jadi, 

rumusnya yaitu : terima keadaan yang ada, lalu bertindak! Kesadaran 

bisa dipakai , jika orang hidup di ”saat ini”. Ia lalu bisa hidup 

dengan perasaan mengalir yang penuh kedamaian dan kebahagiaan, 

walaupun banyak tantangan menghadang.

Kehidupan yaitu  sebuah jaringan. Tidak ada satu hal pun di 

alam semesta ini yang berada sendirian. Semuanya saling terhubung 

satu sama lain, tanpa bisa dipisahkan. Perasaan kesepian dan sendiri 

hanyalah ilusi, sebab  sejatinya, kita tak pernah sendirian.

Segala masalah yang datang juga yaitu  bagian dari jaringan 

kehidupan ini. Semuanya berguna dan berharga, asal ditanggapi tidak 

melulu dengan pikiran yang analitis, namun  juga dengan kesadaran. 

Pikiran untuk menganalisis dipakai  seperlunya saja. Sisanya, orang 

perlu hidup dengan memakai  kesadarannya.

Pikiran itu memisahkan. Ia menganalisis dan memberi penilaian 

baik-buruk, benar-salah, dan sebagainya. Ia yaitu  alat yang berguna. 

Namun, jika orang hidup hanya dengan menganalisis dan memisahkan, 

ia akan terus menderita dalam hidupnya.

Pikiran (Gedanken) yaitu  bagian dari kesadaran (Bewusstsein). 

Kesadaran lebih besar dari pikiran. Di dalam kesadaran, orang berhenti 

untuk menganalisis dan memisahkan. Ia hanya ada ”disini dan saat 

ini” dalam hubungan dengan segala sesuatu yang ada.

Orang yang bisa menemukan dan memakai  kesadarannya 

tidak akan pernah merasa takut. Ia hidup tanpa penilaian baik-buruk, 

benar-salah dan enak-tidak enak. Ia melihat dan menerima apa yang 

ada ”saat ini” sepenuhnya. Ia lalu menemukan kekuatan dan kedamaian 

hati untuk bertindak sesuai dengan keadaan yang ada.

Orang yang hidup di ”saat ini” tidak akan pernah merasa susah. Ia 

akan sadar, bahwa hidup tidaklah perlu terlalu ngotot. Ia sadar akan 

aspek santai dan lucu dari kehidupan. Bahkan, ia bisa sengaja merasa 

sedih, supaya   bisa menikmati kesedihan itu.

Ia juga sadar, bahwa kebahagiaan dan cinta yang sejati tidak 

bisa dicari di luar sana. Keduanya ada di dalam hati manusia. Cinta 

bukanlah perasaan, melainkan cara hidup ”saat ini”. Ia selalu ada. 

Tinggal kita saja yang mencoba meraihnya.

Cinta dan kebahagiaan tidak pernah bisa hilang. Tidak ada yang 

bisa mengambilnya, sebab  ia ada di dalam hati setiap manusia. 

saat  orang hidup ”saat ini”, maka otomatis cinta dan kebahagiaan 

akan muncul. Kesadaran akan ”saat ini” juga menghasilkan cinta dan 

kejernihan pikiran dalam hidup.

Penderitaan, kecemasan dan ketakutan akan muncul, saat  orang 

meninggalkan ”saat ini”. saat  orang mengira, bahwa masa lalu dan 

masa depan yaitu  nyata, maka ia akan terjebak di dalam penderitaan. 

Pikirannya sibuk. Ia akan menganalisis, memisahkan dan menilai. Ini 

menciptakan penderitaan.

Pikiran menciptakan penilaian. Penilaian lalu melahirkan keluhan 

atau pujian. Keduanya sama saja, sebab  keduanya tidak berakar pada 

”saat ini”. Keduanya lahir dari penolakan pada ”saat ini”. saat  

keadaan menjadi sulit, ada tiga hal, entah ubah situasinya, terima atau 

tinggalkan. Mengeluh yaitu  tindakan sia-sia.

Kita harus belajar untuk hidup tanpa pikiran. Kita harus belajar 

untuk menunda semua analisis dan penilaian kita. Pikiran, analisis dan 

penilaian hanya dipakai  seperlunya saja untuk keperluan praktis, 

misalnya memasak, bekerja, dan sebagainya. saat  pikiran ditunda, 

yang muncul yaitu  kesadaran. Kesadaran yaitu  ”saat ini”, yakni 

sumber dari segala kedamaian dan kebahagiaan manusia.

Masa lalu dan masa depan hanyalah alat yang bersifat sementara. 

Kita perlu masa lalu, supaya   kita bisa belajar dari apa yang telah terjadi. 

Kita juga perlu masa depan, supaya   kita bisa membuat rencana kerja 

dan rencana hidup yang tepat. Namun, keduanya perlu ditinggalkan, 

saat  kita tidak lagi memerlukannya. Kita bisa meninggalkannya 

dengan memasuki kesadaran kita, yakni ”saat ini”.

Sejatinya, kita yaitu  manusia. Kita bukanlah mahluk pekerja atau 

mahluk berpikir. Bekerja dan berpikir hanya merupakan bagian dari 

diri kita. Kesadaran kita sebagai manusia lebih luas dan lebih besar 

daripada pekerjaan dan pikiran kita.

Banyak orang hidup hanya untuk bekerja dan berpikir. Mereka 

bekerja terlalu banyak. Mereka berpikir terlalu banyak. Kesadaran 

mereka tidak tersentuh. Mereka pun lalu hidup dalam penderitaan.

Kita juga senang sekali dengan defi nisi. Kita ingin memberi nama 

pada segala sesuatu. Memberi nama, menurut Tolle, juga berarti 

mengurung sesuatu itu. Memberi nama berarti juga membangun 

penjara.

Di dalam defi nisi, kita juga memberi penilaian. Kita berpikir, 

bahwa orang itu baik. Orang itu jahat. Hidup kita pun dipenuhi dengan 

defi nisi dan penilaian. Kita tidak akan pernah bahagia dengan cara 

hidup semacam ini.

Kita perlu belajar untuk menunda semua defi nisi dan penilaian. 

Kita perlu belajar untuk membiarkan apa adanya, tanpa defi nisi 

dan penilaian. Kita tidak perlu takut. Sebaliknya, tanpa defi nisi dan 

penilaian, hidup kita akan damai dan bahagia. Bukankah ini yang 

diinginkan semua orang?

Lalu, bagaimana jika ada orang yang sibuk menilai hidup kita? 

Bagaimana jika ada orang yang mendefi nisikan kita melulu dengan 

pikiran mereka? Kita tidak perlu takut. Kita bisa menanggapi, jika 

diperlukan. Jika tidak, kita bisa membiarkan saja.

Orang yang menilai kita membangun penjara dalam pikiran 

mereka. Mereka membatasi pikiran mereka sendiri. Mereka tidak akan 

bisa menemukan kedamaian dan kebahagiaan. Mereka kehilangan ”saat 

ini”. Mereka juga kehilangan kesadaran dirinya.

Dalam hubungan dengan orang lain, kita juga perlu sadar akan 

”saat ini”. Dengan ini, kita bisa hadir sepenuhnya untuk orang lain. Kita 

bisa memberi  diri kita seutuhnya untuk membantu dia. saat  kita 

kehilangan ”saat ini”, hubungan kita dengan orang lain pun dipenuhi 

dengan ingatan akan masa lalu serta kecemasan akan masa datang. Ini 

bisa merusak hubungan kita dengan orang itu.

Banyak orang sibuk mencari kebahagiaan di luar dirinya. Mereka 

berpikir, uang, harta dan nama baik bisa memberi  kebahagiaan. 

Namun, pikiran ini salah. Ia hanya menghasilkan penderitaan.

Sejatinya, menurut Tolle, setiap orang sudah penuh dan bahagia di 

dalam dirinya. Yang ia perlukan hanyalah kesadaran akan ”saat ini”. 

”Saat ini” akan menghasilkan kesadaran. Orang yang hidup melulu 

dengan pikirannya akan kehilangan kesadarannya. Ia akan hidup dalam 

kecemasan, ketakutan dan penderitaan.

Kita bukanlah pikiran kita. Kita bukanlah kecemasan dan ketakutan 

yang dihasilkan pikiran kita. Pikiran kita sementara. Ia akan segera 

berlalu.

Kita yaitu  kesadaran kita. Itu lebih besar dan lebih agung dari 

pikiran yang kita punya. Kesadaran kita memberi  kedamaian. Ia 

memberi  cinta. Ia tidak menilai dan mendefi nisikan. Ia membiarkan 

segalanya ada dengan ketulusan hati.

Orang yang bisa menunda semua pikirannya akan mencapai 

pencerahan batin. Pencerahan batin berarti orang sudah paham akan 

hakekat dari segala yang ada, termasuk hakekat dari dirinya sendiri. 

Hakekat dari segala yang ada, menurut Tolle, yaitu  kesadaran. Kesa-

daran itu merawat dan membangun. Ia tidak menilai dan memisahkan.

Orang yang hidup dengan kesadarannya berarti hidup dalam 

keterhubungan dengan alam semesta. Ia terhubung dengan manusia 

lain. Ia terhubung dengan semua hewan. Ia terhubung dengan semua 

tumbuhan. Ia terhubung dengan semua benda yang ada.

Ia memakai  pikirannya hanya pada saat-saat tertentu saja. 

Ia tidak melihat dirinya sama dengan pikirannya. Ia melihat dirinya 

lebih besar dari pikirannya. Ia akan mampu hidup dalam aliran yang 

alamiah dalam hubungan dengan orang lain.

Pikiran membuat orang tak mampu mencintai sepenuhnya. 

Sebaliknya, kesadaran ”saat ini” sejatinya yaitu  cinta tanpa syarat. 

Ia memberi  tanpa mengharap apapun. Ia tidak mengikat dan 

memenjara, melainkan merawat dan membiarkan berkembang.

Dengan kesadarannya akan ”saat ini”, orang bisa hidup secara 

alamiah. Artinya, ia tidak melawan kehidupan, melainkan mengalir 

bersama kehidupan itu sendiri. Ia tidak sibuk menilai, apakah sesuatu 

itu baik atau buruk, benar atau salah. Jika orang sampai pada kesadaran 

akan ”saat ini”, tidak ada tegangan dan penderitaan lagi dalam 

hidupnya.

Apapun yang kita lawan pasti akan menguat. Apapun yang kita 

tentang dan tolak justru semakin menguasai kita. Sebaliknya, jika 

kita membiarkan segala sesuatu ada secara alamiah, justru kita akan 

tidak akan mengalami tegangan dan pertentangan. Jika kita tidak 

menolak apapun, maka kita akan bisa mencapai kejernihan pikiran 

dan kedamaian hati.

Kita juga sering melihat orang-orang yang suka menjajah orang 

lain. Mereka ingin dipatuhi. Mereka kerap sekali bersembunyi di balik 

agama. Mereka juga suka memanfaatkan orang lain, guna memuaskan 

diri mereka.

Menurut Tolle, orang-orang semacam ini hidup dalam penderitaan 

yang besar. Mereka lemah dan menderita, maka mereka menindas 

orang lain. Harapannya, dengan menindas orang lain, penderitaan 

mereka berkurang. Namun, ini tak akan pernah terjadi.

Banyak juga orang yang mengalami kecanduan. Mereka kecanduan 

narkoba, alkohol, seks, belanja dan sebagainya. Mereka seolah tidak 

dapat hidup, jika tidak memuaskan kecanduannya. Kecanduan berakar 

pada pen deritaan dan berakhir pada penderitaan juga, jika dipuaskan.

Akar dari kecanduan yaitu  ketidakmampuan untuk hidup di 

”saat ini”. Orang menjadi kecanduan untuk mengobati luka, akibat 

masa lalunya. Orang menjadi kecanduan, sebab  ia cemas akan masa 

depannya. saat  ia melepaskan masa lalu dan masa depannya, ia lalu 

bisa memasuki kesadaran akan ”saat ini”. Di detik itu, kecanduannya 

hilang.

Banyak orang juga mencari Tuhan di luar dirinya. Ini salah. Tuhan 

ada di dalam hati setiap orang. Tuhan ada di dalam kesadaran setiap 

orang. Tuhan ada di ”saat ini”.

Segala ritual dan aturan agama hanya ada untuk membantu kita 

menemukan Tuhan di dalam hati kita. Itu semua hanya alat. Ia tidak 

boleh menjadi tujuan utama. Di dalam kesadaran akan ”saat ini”, kita 

akan menemukan surga, nirvana, Tuhan dan kebahagiaan yang sejati.

saat  kita sadar sepenuhnya akan ”saat ini”, kita akan berhenti 

berpikir. Kita berhenti menilai. Kita berhenti cemas akan masa lalu dan 

masa depan. Kita akan sepenuhnya sadar.

Pada keadaan itu, kita akan menjadi cinta itu sendiri. Cinta sejati 

itu seperti matahari. Ia bersinar untuk semua, tanpa kecuali. Cinta yang 

sejati diberikan untuk semua, tanpa kecuali.

Cinta yang sejati dapat diperoleh, jika orang hidup di ”saat ini”. 

Cinta sejati berakar pada kesadaran. Ia tidak dapat hilang. Ia tidak 

dapat diambil.

Orang yang hidup di ”saat ini” berarti hidup secara asli. Ia tidak 

memiliki kepura-puraan. Ia tidak memiliki kemunafi kan. Ia tidak takut 

akan penilaian dan defi nisi dari orang lain. Ia sepenuhnya bebas dan 

damai. Lalu, ia bisa memberi  kedamaian dan cinta pada orang lain 

dengan tulus.

Banyak orang juga berusaha mencari kebahagiaan. Namun, sejatinya, 

kebahagiaan tidak bisa dicari. Orang yang mencari kebahagiaan justru 

tidak akan pernah menemukan kebahagiaan. Kebahagiaan hanya 

muncul, jika orang hidup dengan kesadaran akan ”saat ini”. Kesadaran 

ini sudah ada di dalam diri manusia. Ia tidak akan bisa hancur, atau 

diambil orang lain.

Dunia yaitu  cerminan dari kesadaran. Sejatinya, tidak ada 

perbedaan antara kesadaran dan dunia. Keduanya yaitu  satu dan 

sama. Pikiran dan bahasa yang memisahkan keduanya.

Namun, banyak orang lupa dengan kesadarannya. Mereka 

sibuk dengan pikirannya. Mereka sibuk menganalisis, menebak, 

merencanakan dan mengkhawatirkan segalanya. saat  pikiran ditunda 

dan dihentikan, kesadaran muncul, yakni kesadaran ”saat ini”. Jika 

kesadaran dicapai, maka dunia tidak lagi memiliki masalah dan 

penderitaan.

Lalu, apakan pikiran harus dibuang? Apakah kita harus berhenti 

berpikir? Berhenti berpikir, menurut Tolle, tidaklah mungkin dilakukan. 

Berpikir yaitu  bagian dari kodrat manusia.

Namun, pikiran tidak boleh menguasai manusia. Manusia yaitu  

kesadarannya. Ini lebih luas dari pikiran. Pikiran dipakai  seperlunya 

saja untuk memenuhi kebutuhan praktis. Selebihnya, orang perlu 

belajar untuk hidup dengan kesadaran akan ”saat ini”. Ia lalu akan 

menemukan kebebasan yang sejati.

Sekarang ini, kita, sebagai manusia, harus mengubah cara hidup 

kita. Kita harus melakukan revolusi hidup! Kita harus belajar untuk 

menjaga jarak dari pikiran kita. Kita lalu harus belajar untuk hidup 

dengan kesadaran akan ”saat ini” di dalam diri kita. Hanya dengan 

ini, kita bisa hidup dalam hubungan yang damai dengan segala hal 

yang ada. Alternatifnya yaitu  kehancuran

Mobilitas

Siapa yang tidak kenal BMW? Atau VW, Volkswagen? Siapa juga yang tidak pernah mendengar merk mobil Audi? Ini yaitu  merk-

merk mobil Jerman yang sudah memiliki reputasi internasional.

Mobil-mobil Jerman memang terkenal sebab  tiga hal, yakni 

kualitas, prestise dan harganya yang mahal. Perusahaan-perusahaan 

mobil di Jerman, mulai dari tingkat perakitan struktur kaki mobil 

sampai dengan direktur utama, memang amat menekankan ketepatan, 

guna menghasilkan mobil bermutu tinggi. Namun, mereka juga 

tidak kebal terhadap iklim persaingan ekonomi global, terutama dari 

AS, Jepang dan Cina. Dalam banyak hal, perusahaan-perusahaan 

mobil Jerman pun harus melakukan kompromi, bahkan seringkali 

menurunkan kualitas, supaya   bisa menjual dengan harga yang lebih 

murah.

Jerman dan Mobilnya

Ekonomi Jerman hancur total setelah perang dunia kedua. Pada 

1945, politik Jerman juga lumpuh total. Orang-orang Jerman bisa 

hidup, sebab  semata menerima bantuan dari tentara Sekutu (Inggris, 

AS, Prancis dan Uni Soviet). Kebangkitan ekonomi Jerman ditandai 

dengan berkembangya Volkswagen sebagai salah satu produsen mobil 

bermutu di dunia. Jenis mobil yang paling terkenal pada dekade 1950-

an di dunia yaitu  VW Kodok (Volkswagen Käff er).

Mobil ini telah menyelamatkan Jerman dari keterpurukan ekonomi 

berkelanjutan. Tidak hanya itu, mobil VW kodok juga telah menjadi 

ciri khas Jerman setelah perang dunia kedua. Ia menawarkan fungsi 

sekaligus prestise bagi penggunanya. Tentu saja, kualitasnya juga tidak 

perlu dipertanyakan.

Kebangkitan ekonomi Jerman juga diikuti dengan kebangkitan 

berbagai perusahaan mobil lainnya, seperti Audi dan BMW. Pabrik-

pabrik mobil di Jerman, dan berbagai industri pendukungnya, seperti 

industri ban, shock breaker dan sebagainya, menyediakan lapangan kerja 

bagi jutaan penduduk Jerman. Banyak tenaga ahli pun didatangkan dari 

luar negeri, guna mengem bangkan teknologi di dalam pabrik-pabrik 

ini. Pajak yang ditarik dari perusahaan-perusahaan mobil Jerman juga 

amat besar.

M engapa Jerman memilih mengembangkan industri mobil setelah 

perang dunia kedua? Ada dua hal. Yang pertama, menurut Lars 

Döhmann dalam kuliahnya yang berjudul Schlaglichter auf die deutsche 

Automobilgeschichte, yaitu  ketersediaan sarana dan prasarana untuk 

industri mobil. Sebelum perang dunia kedua, Jerman sudah berusaha 

dengan gigih mengembangkan teknologi untuk produksi mobil massal.

Yang kedua, para politikus Jerman sudah sadar, bahwa di masa 

depan, banyak orang akan melakukan mobilitas dengan tingkat 

yang semakin sering dan tinggi. Mobilitas yaitu  gerak perpindahan 

manusia, dan mobil yaitu  alat utama untuk menunjang pergerakan 

semacam ini. Motif utamanya sudah jelas, yakni ada uang yang besar di 

dalam perkembangan industri mobil. Begitulah pendapat Luĵ  Fügener 

dalam kuliahnya yang berjudul Automobildesign der Zukunft.

Mobilitas Manusia

Perkiraan para politikus Jerman setelah perang dunia kedua 

ternyata benar. Mobilitas memang menjadi fakta nyata dunia sekarang 

ini. Pergerakan manusia dari satu tempat ke tempat lainnya terjadi 

dalam jumlah yang amat besar setiap harinya. Alat transportasi publik 

dan transportasi pribadi dikembangkan sedemikian rupa, sehingga bisa 

menunjang pergerakan manusia ini .

Jerman yaitu  salah satu negara yang cukup berhasil mencapai 

keseimbangan mobilitas ini . Sarana transportasi publik di Jerman, 

dengan perpaduan antara kereta bawah tanah, tram, bus umum, taksi, 

pesawat terbang dan jaringan kereta api raksasa yang terhubung 

dengan hampir semua negara di Eropa, bisa dibilang salah satu yang 

termaju di dunia. Di sisi lain, jumlah jalan tol dan pengguna mobil 

terus meningkat. Ada sekitar 45 juta mobil yang dipakai  di Jerman 

sekarang ini. Jumlah penduduk Jerman sendiri sekarang ini sekitar 81 

juta penduduk.

Mobilitas juga sudah menjadi fakta nyata di tingkat internasional. 

Pergerakan manusia antar negara dan antar benua sudah menjadi fakta 

sehari-hari. Berbagai kepentingan ekonomi, politik, seni dan budaya 

bergantung pada pergerakan manusia (mobilitas) ini. Perkembangan 

industri transportasi dan komunikasi membuat jarak menjadi tak lagi 

berarti.

Sahabat saya di Munich tinggal sendiri untuk meneruskan pen-

didikan Masternya. Ibunya yaitu  seorang dokter di Inggris. Adiknya 

sedang belajar di Amerika Serikat. Sementara, ayahnya kini bekerja 

sebagai peneliti neurosains di Australia.

Minimal dua kali dalam setahun, mereka berkumpul. Seringkali, 

mereka juga saling mengunjungi satu sama lain. Keluarga ini bergerak 

melintasi tiga benua setiap tahunnya. Masih banyak keluarga lain yang 

memiliki pola serupa semacam ini.

Perkembangan ekonomi dunia juga amat tergantung pada 

mobilitas penduduknya. Dengan mobilitas yang baik, kekayaan pun 

bisa bergerak ke berbagai penjuru dunia. Industri pariwisata dan 

transportasi berkembang pesat sejalan dengan perkembangan mobilitas 

manusia. Jika keseimbangan antara mobilitas dengan memakai  

alat transportasi pribadi dan transportasi publik bisa dicapai, maka 

kemiskinan di berbagai negara bisa secara perlahan dikikis.

Perkembangan mobilitas juga mendorong proses defundamentalisasi. 

Artinya, orang menjadi semakin terbuka pandangannya, sebab  sering 

berhubungan dengan orang-orang lainnya dari berbagai penjuru 

dunia yang memiliki pandangan berbeda. Orang tidak lagi menjadi 

sempit dan fanatik dengan pandangannya sendiri, atau pandangan 

kelompoknya. Terorisme yang berpijak pada fundamentalisme banyak 

berkembang di tempat-tempat dengan mobilitas penduduk yang kecil.

Mobilitas yang tinggi juga mengubah bentuk warga . Kita 

hampir tidak dapat menemukan masyarakan yang homogen sekarang 

ini. Seluruh dunia hampir sepenuhnya berubah menjadi ruang 

multikultur. Konsep iden titas pun juga mengalami perubahan mendasar 

yang akhirnya mendorong juga perubahan cara berpikir dan cara hidup 

manusia sebagai keseluruhan.

Tantangan dan Kemungkinan

Saya sendiri berpendapat, bahwa mobilitas manusia bisa semakin 

ditingkatkan kuantitas dan kualitasnya, jika kita tidak lagi berfokus 

pada perkembangan mobil sebagai alat transportasi pribadi. Yang 

harus menjadi perhatian kita yaitu  teleportasi, yakni perpindahan 

manusia dari satu tempat ke tempat lainnya dalam hitungan detik 

dengan memanfaatkan teknologi manipulasi ruang dan waktu yang 

menciptakan semacam lubang cacing. Secara teoritik, ini mungkin 

dilakukan, walaupun beberapa persamaan matematisnya masih harus 

terus dipikirkan. Namun, investasi besar yang dilakukan secara 

internasional harus terus dilakukan, supaya   teknologi teleportasi bisa 

sungguh menjadi kenyataan.

Tentu saja, transportasi publik juga harus dikembangkan. Yang 

menjadi masalah dengan transportasi publik dan transportasi pribadi 

sekarang ini yaitu  soal kelestarian lingkungan hidup. Semua 

alat transportasi menghasilkan pembakaran yang secara langsung 

mencemari udara yang tidak hanya dihirup oleh manusia, namun  

juga oleh hewan dan tumbuhan. Sudah bukan rahasia lagi, bahwa 

perkembangan teknologi (pabrik, transportasi) telah mendorong 

perubahan iklim yang memicu kepunahan berbagai jenis hewan 

dan tumbuhan di berbagai belahan dunia.

Soal kedua yaitu  soal energi. Setiap jenis pabrik dan alat trans-

portasi selalu membutuhkan energi. warga  modern bergantung 

sepenuhnya pada ketersediaan energi. Namun, elemen penghasil energi 

ini  sebagian besar masih berpijak pada energi tak terbarukan, 

seperti minyak bumi dan batu bara. Jika sumber energi ini habis, maka 

warga  modern, beserta segala perkembangan teknologinya, akan 

lumpuh total.

Banyak ahli berusaha mencari cara untuk menghemat energi. 

Perusahaan-perusahaan mobil raksasa, seperti Toyota, BMW dan VW, 

berlomba-lomba untuk menghasilkan dan menjual mobil yang hemat 

energi dengan harga terjangkau. Namun, usaha ini tidak menyelesaikan 

masalah. Ada dua alasan.

Yang pertama, jumlah energi yang dibutuhkan untuk menghasilkan 

mesin-mesin hemat energi masih amatlah besar. Jumlah energi yang 

dibutuhkan untuk membangun sarana dan prasarana untuk menunjang 

mesin hemat energi (atau misalnya mobil listrik) juga masih amat besar. 

Yang kedua, jika mobil hemat energi (atau mobil listrik) dijual dengan 

harga terjangkau, maka penggunanya semakin banyak. Pada akhirnya, 

jumlah total energi yang dibutuhkan dan polusi yang dihasilkan akan 

lebih besar dari sebelumnya.

Di sisi lain, pencarian energi terbarukan juga masih terus berjalan. 

Perkembangannya amat lambat, sebab  kurangnya perhatian dan 

investasi dalam bidang ini. Lobi-lobi dari perusahaan minyak raksasa 

juga menghambat perkembangan di bidang ini. Sampai detik ini, 

seluruh peradaban modern di dunia masih bergantung mayoritas pada 

minyak bumi, dan berbagai sumber energi tak terbarukan lainnya.

Perubahan

Yang jelas, gaya hidup manusia modern, dengan tingkat mobilitas 

yang begitu tinggi, pemakaian energi yang begitu besar ditambah 

dengan jumlah polusi yang dihasilkan, tidak lagi dapat dipertahankan. 

Mobil pribadi tidak lagi pas untuk hidup kita. Transportasi publik dan 

sepeda menjadi alternatif yang menarik, jika sarana dan prasarananya 

juga dikembangkan. Investasi dan penelitian untuk memakai  

teknologi teleportasi juga harus ditingkatkan.

Kita di Indonesia masih harus terus berjuang untuk membangun 

jaringan transportasi publik yang aman dan nyaman. Ini jelas harus 

menjadi prioritas utama kita. pemakaian kendaraan pribadi, dari 

tinjauan ekonomi dan dampak lingkungan, tidak lagi dapat dibenarkan. 

Sebagai pribadi, kita perlu mencari alternatif dari pemakaian mobil 

dan motor pribadi. Sebagai kelompok, kita harus menekan agenda 

pembangunan transportasi publik ke pemerintah kita.

Jika mobil dan motor pribadi tidak lagi dipakai , atau dikurangi 

penggunaannya, lalu bagaimana dengan para pekerja di pabrik-

pabrik otomotif ini ? Persoalan ini tentu harus ditemukan 

jawabannya. Para pekerja otomatif ini  bisa dialihkan sebagai 

pekerja pembangunan dan perawatan jaringan transportasi publik 

raksasa yang akan dibangun. Mereka juga nantinya bisa dialihkan untuk 

pembangunan dan perawatan jaringan teleportasi, jika teknologinya 

sudah menjadi kenyataan.

Mobilitas juga membutuhkan perubahan. Mobil tidak lagi bisa 

menjadi sarana utama untuk mobilitas. Bahkan, pola mobilitas manusia 

sekarang ini tidak lagi dapat dipertahankan. Perubahan jelas yaitu  

sesuatu yang amat diperlukan.

Namun, kita seringkali takut pada perubahan. Kita ingin segalanya 

tetap sama, jika keadaan ini sudah menguntungkan kita. Namun, 

hidup tidak akan pernah sama. Kodrat manusia yaitu  untuk berubah 

dan terus bergerak sepan jang hidupnya. Kita bisa memilih alternatif 

lainnya, yakni menyingkir sama sekali dari gerak kehidupan. Tentu 

saja, saya tidak ingin menyarankan itu.

Paradoks

Hidup manusia modern ditandai dengan satu ciri, yakni ketakutan. Di satu sisi, mereka hidup dengan menata masa depan. Mereka 

takut, jika masa depan mereka kacau, dan hidup mereka pun kacau. Di 

sisi lain, mereka takut akan masa lalu, sebab  telah melakukan sesuatu 

yang mereka sesali.

Rasa takut membuat pikiran kacau. Pertimbangan menjadi kacau. 

Banyak keputusan pun dibuat dengan kekacauan pikiran. Akhirnya, 

keputusan-keputusan itu justru menciptakan masalah yang lebih besar.

Pada tingkat politik, dampak keputusan yang salah amatlah 

merugikan. Banyak orang menderita, sebab  kesalahan kebijakan yang 

dibuat pemerintah. Sayangnya, banyak kebijakan ini  dibuat atas 

dasar rasa takut akan masa depan. Rasa takut mengaburkan kejernihan 

berpikir, dan memperbesar masalah yang sudah ada sebelumnya.

Rasa takut juga menciptakan penderitaan batin yang besar. 

Banyak orang terjebak di dalam depresi, sebab  rasa takut yang 

berlebihan. Banyak orang jatuh ke dalam ketergantungan narkoba, 

sebab  penderitaan batin dan rasa takut di dalam hati mereka. Orang 

yang menderita cenderung kejam tidak hanya pada dirinya sendiri, 

namun  juga pada orang lain.

Ketakutan dan Kehidupan

Dari mana akar ketakutan semacam ini? Saya melihat, akar keta-

kutan terletak pada kegagalan memahami arti hidup sesungguhnya. 

Artinya, ketakut an lahir, saat  orang gagal memahami kenyataan 

apa adanya. Ia melihat dunia hanya semata dengan pikiran dan pe-

rasaannya, yang seringkali jauh dari kebenaran.

Apa arti dari hidup sesungguhnya? Apa hukum-hukum yang 

meng gerakkan segala yang ada? Saya menyebutnya sebagai hukum 

paradoks, sebab  sejatinya, kenyataan ini yaitu  paradoks. Segala 

kebenaran yang ada di muka bumi ini selalu mengambil bentuk 

paradoks.

Paradoks yaitu  dua hal yang berbeda, namun  benar dalam ke-

utuhannya. Ia menolak untuk membagi dunia ke dalam kelompok-

kelompok. Paradoks memberi ruang untuk ketidakmasukakalan. Ia 

melihat segala yang berten tangan sebagai sama dan utuh di dalam 

kebenarannya. Inilah hukum yang mengendalikan seluruh kenyataan 

yang ada.

Tujuh Paradoks

Dampak dari paradoks semacam ini amat nyata di dalam kehidupan 

manusia. Saya merumuskan tujuh bentuk paradoks. Pandangan ini 

tersebar begitu luas di dalam pemikiran Barat maupun Timur. Ia telah 

berkembang dan diwariskan melalui berbagai cara, namun kini seolah 

terpinggirkan oleh kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan yang 

mendewakan akal budi.

Paradoks pertama yaitu  paradoks rasa sakit. Banyak orang 

menghindari rasa sakit. Mereka takut akan rasa sakit. Berbagai cara 

dilakukan, mulai dari yang masuk akal sampai dengan yang mistik, 

untuk menghindari rasa sakit.

Padahal, rasa takut akan rasa sakit yaitu  rasa sakit itu sendiri. 

Usaha untuk menghindari rasa sakit akan menghasilkan rasa sakit itu 

sendiri. saat  orang berusaha untuk menghindari rasa sakit, maka 

rasa sakit itu akan bertambah. Inilah paradoks pertama dari kehidupan, 

yakni paradoks rasa sakit.

Paradoks kedua yaitu  paradoks kedamaian. Banyak orang 

berusaha mencari kedamaian dalam hidupnya. Banyak yang melihat 

agama sebagai jalan menuju kedamaian. Banyak pula yang mencari 

jalan lain, guna memperoleh kedamaian di dalam hatinya.

Namun, keinginan untuk merasa damai justru menciptakan 

perasaan tidak damai. Segala usaha  untuk mencapai kedamaian hanya 

akan menghasilkan ketegangan. Ketegangan itulah yang menjadi akar 

dari rasa tidak damai. Inilah inti dari paradoks kedamaian.

Paradoks ketiga yaitu  paradoks keberanian. Banyak orang 

menghindari rasa takutnya. Mereka mencari berbagai cara, supaya   bisa 

melampaui rasa takutnya. Mereka bekerja keras untuk menemukan 

keberanian di dalam hidupnya.

Padahal, keinginan untuk berani yaitu  tanda dari ketakutan. 

Semakin kita ingin berani, semakin ketakutan akan mencekam hidup 

kita. Orang yang mencari segala cara untuk melampaui ketakutannya 

justru akan selamanya dijajah oleh rasa takut di dalam hatinya. Inilah 

paradoks keberanian.

Paradoks keempat yaitu  paradoks memberi. Banyak orang takut 

mem beri, sebab  mereka takut kehilangan. Akhirnya, mereka menjadi 

pelit. Mereka menutup diri dari dunia, dan hidup semata untuk dirinya 

sendiri.

Padahal, di dalam hidup ini, semakin banyak kita melepas, semakin 

banyak kita mendapat. Orang harus keluar uang, guna mendapat 

uang. Orang harus memberi, guna mendapat. Orang harus melepaskan 

keinginan untuk damai, jika ingin memperoleh kedamaian di dalam 

hidup.

Apakah anda pernah berenang? Mereka yang berenang pasti sadar, 

bahwa mereka harus tenang, supaya   bisa mengambang di air. Semakin 

kita melawan arus, semakin kita akan celaka, sebab  tekanan arus 

ini . Namun, sebaliknya, semakin kita pasrah pada arus, semakin 

kita akan mengambang di atas air, sehingga bisa bertahan hidup. Inilah 

paradoks kelima, yakni paradoks menyelam-mengambang.

Para ahli manajemen abad 21 sadar akan paradoks keenam, yakni 

para doks manajemen. Semakin kita mengontrol orang dengan ketat, 

semakin semuanya kacau. Namun, semakin kita memberi  ruang 

kebebasan di dalam manajemen, maka produktivitas dan kebahagiaan 

perusahaan akan meningkat. Kontrol yang keras akan menghasilkan 

kebencian dari pihak yang dikontrol.

Manajemen itu sejatinya seperti musik jazz. Ia tidak perlu ketukan 

yang terkontrol rapat. Ia tidak perlu nada yang pasti yang diatur secara 

ketat. Yang ia perlukan yaitu  struktur yang dapat dipercaya, dan 

kebebasan untuk bergerak di dalam struktur itu.

Paradoks ketujuh yaitu  paradoks pengetahuan. Banyak orang 

mencari pengetahuan di dalam hidupnya. Mereka pergi ke sekolah 

dan perguruan tinggi ternama. Mereka mencari pengetahuan di negara 

lain, jauh dari tanah air mereka.

Padahal, pengetahuan yang sesungguhnya bisa dicapai, jika kita 

berhenti dan berdiam diri. Pengetahuan yang sejati tidak berada di luar 

diri kita, melainkan di dalam diri kita. saat  bergerak dan berbicara, 

kita justru akan terlepas dari pengetahuan yang sejati. Kita lalu hanya 

akan terjebak di dalam jutaan pendapat yang mayoritas yaitu  omong 

kosong.

Saat ke Saat

Bagaimana kita bisa hidup dengan segala paradoks ini? Paradoks 

ini, pada hemat saya, yaitu  hukum yang menata segala yang 

ada. Ia yaitu  aturan-aturan kehidupan. Orang yang mengikutinya 

akan menemukan kedamaian dan kepenuhan hidup. Orang yang 

melawannya akan terjebak di dalam penderitaan tanpa henti.

Hidup di dalam paradoks berarti hidup sesuai dengan kenyataan 

yang ada. Kita melepas semua ambisi dan ketakutan kita. Kita hidup 

secara alamiah mengikuti hukum-hukum kenyataan yang ada. Kita 

tidak melawan alam, melainkan hidup berdampingan dengan alam 

seturut dengan hukum-hukumnya.

Artinya lalu, kita hidup dari saat ke saat. Belajar dari pengalaman 

masa lalu boleh dilakukan, namun  tidak pernah boleh melupakan 

keadaan disini dan saat ini. Membuat rencana tentu saja boleh, asal 

tetap berjangkar pada keadaan disini dan saat ini. Yang ada hanyalah 

saat ini. Masa lalu dan masa depan tidaklah ada.

saat  kita tidak ngotot, semuanya akan tampak jelas. saat  kita 

jernih, keberanian dan kedamaian otomatis akan datang. saat  kita 

diam dan melihat ke dalam diri, maka kita akan mengetahui segalanya. 

Sederhana, namun  begitu banyak orang melupakannya. Sayang sekali.

Memegang dan Melepas

Peristiwa jatuhnya salah satu pesawat Germanwings menggetarkan hati banyak orang. Pesawat ini  telah diperiksa sebelumnya. 

Tidak ada masalah. Kru yang bekerja menerbangkan pesawat ini  

pun yaitu  kru profesional yang memiliki reputasi baik.

Namun, tiba-tiba, pesawat menukik ke bawah, dan menghantam 

tanah. Ratusan orang dari berbagai negara meninggal dalam sekejap 

mata. Banyak penjelasan dijabarkan, mengapa peristiwa ini terjadi. 

Namun, semua penjelasan tampak percuma di hadapan anggota 

keluarga dari korban yang meninggal dunia.

Musibah semacam ini juga tidak asing bagi kita yang tinggal di 

Asia. Beberapa waktu yang lalu, pesawat Malaysian Airlines dan Air 

Asia juga mengalami musibah yang sama. Ratusan orang meninggal 

dunia dalam sekejap mata. Bagaimana kita harus bersikap di dalam 

menanggapi tragedi yang nyaris tanpa makna ini?

Mengatur Alam

Tragedi yaitu  bagian dari hidup manusia. Ia disebut sebagai 

tragedi, sebab  peristiwa ini menciptakan penderitaan dan kesedihan 

yang amat dalam bagi banyak orang. Peristiwa ini juga menyadarkan 

kita, bahwa hidup kita ini pendek dan rapuh. Namun, peristiwa ini juga 

bisa menjadi saat yang baik untuk belajar, sehingga tidak mengulangi 

kesalahan yang sama di masa depan.

Manusia memiliki akal budi. Dengan akal budinya, ia bisa 

mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, guna mengatur 

alam untuk memenuhi kebutuhannya. Ia bisa menciptakan peradaban 

dengan pencapaian-pencapaian yang luar biasa, seperti perkembangan 

pertanian, kedokteran, sastra, seni, politik dan sebagainya. Dengan 

akal budinya pula, ia berusaha memahami dirinya sendiri dalam 

hubungannya dengan alam. 

Francis Bacon, fi lsuf asal Inggris, pernah menegaskan, bahwa 

pengetahuan yaitu  kekuatan. Dengan memahami alam, manusia bisa 

memakai  alam untuk kepentingannya. Bacon sebenarnya hanya 

mengulang apa yang dikatakan Chung Tzu, fi lsuf asal Cina, 1000 tahun 

sebelumnya. Manusia hanya bisa mengatur alam, jika ia paham dan 

mengikuti hukum-hukum alam ini .

Jika kita melawan alam, maka kita akan hancur. Filsafat, ilmu 

pengetahuan dan teknologi yaitu  beragam cara untuk memahami 

alam. Peradaban berkembang dari usaha manusia untuk mengatur 

alam dengan menaati hukum-hukum alam itu sendiri. Kontrol atas 

alam ini berarti manusia berusaha untuk ”memegang” alam ke dalam 

genggamannya.

Alam yang Elusif

Namun, alam itu selalu lebih besar dari manusia. Alam tidak 

pernah bisa sepenuhnya dipahami oleh manusia. Akal budi dan 

kemampuan manusia terlalu kecil untuk memahami dan ”memegang” 

alam ke dalam tangannya. Inilah paradoks dasar dari fi lsafat, ilmu 

pengetahuan dan teknologi, yakni mereka berusaha untuk memahami 

apa sesungguhnya tak terpahami.

Di titik batas ini, saat  kita tidak bisa lagi memahami, kita perlu 

melepas akal budi kita. Kita perlu sadar sepenuhnya, bahwa kita 

hanyalah titik kecil di tengah jagad semesta yang luas, nyaris tak 

terkira. Kita perlu berusaha sampai pada satu titik, dimana kita harus 

melepaskan usaha kita.

Untuk mengontrol alam, manusia membutuhkan akal budi. Untuk 

melepas alam, manusia memerlukan kebijaksanaan. Inilah yang 

sekarang ini kurang di dunia kita. Kita ingin mengontrol segala sesuatu, 

namun  kita tidak pernah siap untuk melepaskan.

Bagaimana kita bisa memiliki kebijaksanaan untuk melepaskan? 

Kita perlu sadar, bahwa segala hal di dunia ini sementara. Ia ada dan 

kemudian dengan berjalannya waktu, ia menghilang. Hal ini berlaku 

untuk segala sesuatu, mulai dari karir, keluarga, harapan, kekecewaan 

dan kehidupan itu sendiri. Semua ada dan akan berlalu.

Plato, fi lsuf Yunani Kuno, juga sudah menegaskan, bahwa tubuh 

yaitu  penjara bagi jiwa. Tubuh itu hanya seperti kendaraan yang 

mengantar manusia ke berbagai ruang. Namun, ia menghalangi jiwa 

manusia untuk sampai pada pengetahuan sejati. Tubuh manusia akan 

sakit, menua dan akhirnya mati.

Namun, jiwa manusia tidak pernah lahir, dan juga tidak akan 

pernah akan mati. Ia selalu ada. Tubuh dan segala yang ada hanyalah 

kesementaraan yang bersifat kosong. Semuanya yaitu  ilusi yang 

tampak bagi indra kita. Begitulah ajaran Buddhisme Hinayana yang 

berkembang di Asia Tenggara.

Memegang dan Melepas

Maka dari itu, kita, sebagai manusia, harus hidup di antara sikap 

memegang dan melepas. Kita perlu mengatur alam, sambil belajar 

untuk melepasnya. Kita perlu menata hidup kita, sambil terus sadar, 

bahwa ini pun akan segera berlalu. Kita harus hidup dengan sepenuh 

hati, sambil terus sadar, bahwa tubuh kita semua akan menjadi bangkai 

dan debu pada akhirnya nanti.

Hidup dengan kesadaran ini berarti hidup sejalan dengan alam. 

Hidup sejalan dengan alam berarti hidup seirama dengan hukum-

hukum alam. Kita tidak lagi memaksakan ambisi kita di dalam 

kehidupan. Kita mengatur diri kita dan alam sekitar kita dengan 

kesadaran penuh, bahwa semuanya perlu dilepas pada akhirnya nanti.

Jerman boleh terkenal dengan teknologinya. Eropa boleh terkenal 

dengan ilmu pengetahuannya. Namun, di hadapan alam, semuanya 

hampir tak ada artinya. Pelajaran terpenting di dunia ini yaitu  belajar 

untuk melepas, saat  waktunya melepas. Inilah yang tak diajarkan di 

dalam ilmu pengetahuan dan teknologi…

Kebebasan dari Pendapat

Kita tentu ingin bisa bebas berpendapat. Kita ingin menyuarakan pendapat kita, tanpa rasa takut. Kita pun berjuang untuk 

mewujudkan kebebasan berpendapat di warga  kita. Dalam hal 

ini, kita harus melawan kesempitan berpikir yang kerap melekat pada 

agama dan tradisi warga  kita.

Kebebasan berpendapat berpijak pada kebebasan berpikir. Kita 

ingin berpikir sesuai dengan kehendak dan kebutuhan kita. Kita tak 

ingin orang lain melarang kita untuk berpikir. Kebebasan berpikir 

dan berpendapat telah menjadi bagian dari perjuangan hak-hak sipil 

di berbagai negara.

Namun, seringkali, kita memakai  kebebasan berpikir dan 

berpendapat untuk menghina orang lain. Kita merasa, bahwa kita 

punya hak dan kebebasan untuk menyakiti orang lain dengan pendapat 

kita. Kaum mayoritas merasa punya hak menghina yang minoritas. 

Mereka merasa, bahwa itu yaitu  bagian dari demokrasi.

Mengapa kebebasan berpikir dan berpendapat dipakai  untuk 

saling menghina? Mengapa kebebasan seringkali dipelintir untuk 

tujuan-tujuan yang menyakiti orang lain? Ini terjadi, sebab  kebebasan 

kita masih dangkal. Kebebasan berpendapat dan berpikir, tanpa 

kesadaran akan kekosongan dari pikiran dan pendapat kita, hanya akan 

mendorong perpecahan dan penderitaan.

Pikiran

Untuk bisa sungguh bebas berpikir, kita perlu memahami hakekat 

dari pikiran kita. Apa itu pikiran? Pikiran yaitu  aktivitas mental 

manusia yang berpijak pada kesadarannya. Jadi, pikiran berbeda 

dengan kesadaran. Aktivitas mental ini terjadi, sebab  hubungan 

dengan dunia luar.

B anyak penelitian dijalankan untuk memahami arti kesadaran, 

terutama dalam hubungan dengan otak. Namun, sampai sekarang, 

belum ada defi nisi yang cukup diterima secara umum tentang 

kesadaran. Di dalam tradisi fi lsafat Timur, kesadaran manusia sama 

dengan kesadaran semesta, dan kesadaran segala yang ada. Segala hal 

terhubung dalam jaringan kesadaran raksasa seluas semesta itu sendiri.

Di dalam diri manusia, kesadaran lalu melahirkan pikiran. Pikiran 

ber guna bagi manusia untuk memempertahankan dirinya. Untuk itulah 

ilmu pe nge tahuan dan teknologi dilahirkan. Pikiran manusia juga 

menciptakan konsep dan bahasa yang berguna untuk memahami segala 

sesuatu. Dalam arti ini, dapatlah dikatakan, bahwa pikiran menciptakan 

segalanya yang diketahui manusia.

Namun, pikiran manusia juga memiliki kelemahan. Sejatinya, 

ia bersifat kosong, sementara dan tidak pasti. Pikiran manusia 

tidak mencerminkan kebenaran, melainkan hanya aktivitas mental 

subyektifnya saja. Ia datang dan pergi, bagaikan angin dingin di tengah 

musim panas.

Banyak orang sibuk dengan pikirannya. Mereka mengira, bahwa 

pikirannya nyata. Mereka mengira, bahwa pikirannya yaitu  kebenaran. 

Inilah sumber dari segala penderitaan batin dan konfl ik antar manusia, 

yakni dari pikiran kacau yang dianggap sebagai kebenaran.

Kebebasan dari Pikiran

Orang semacam ini mengalami kemelekatan pada pikirannya. Ia 

tidak sadar, bahwa pikirannya kosong, sementara dan tidak pasti. 

sebab  kemelakatan ini, ia menganggap dirinya benar. Ia pun menjadi 

orang yang sombong. Sikap semacam ini mengundang banyak 

kesalahpahaman dan konfl ik.

Orang yang melekat pada pikirannya juga akan melekat pada 

pendapatnya. Ia mengira, pendapatnya memiliki kebenaran mutlak. Ia 

tidak sadar, bahwa pendapatnya pun tidak mencerminkan kenyataan 

apa adanya. Orang semacam ini juga akan terjebak pada penyakit yang 

sama, yakni arogansi, dan mendorong kesalahpahaman serta konfl ik 

dengan orang lain.

Kemelekatan pada pikiran juga menciptakan penderitaan. Orang 

diatur oleh pikirannya. saat  senang, ia senang secara berlebihan. 

saat  sedih, ia amat menderita, bahkan ingin bunuh diri.

Menyadari, bahwa setiap pikiran dan pendapat itu kosong, membuat 

orang mampu mengambil jarak pada pikiran dan pendapatnya. Ia pun 

bebas dari pikiran dan pendapatnya. Ia tidak lagi dijajah oleh pikiran 

maupun pendapatnya. Dengan keadaan ini, ia bisa memakai  

pikiran dan pendapatnya untuk menolong orang lain, dan bukan untuk 

menghina orang lain.

Kebebasan berpikir dan berpendapat haruslah dibarengi dengan 

kebebasan dari pikiran dan pendapat. Inilah kebebasan yang sejati. 

Inilah kebebasan manusia dewasa. Selama orang masih mengira, bahwa 

pikiran dan pendapatnya mencerminkan kebenaran mutlak, selama itu 

pula, ia akan menjadi manusia arogan yang gemar memicu konfl ik.

Semua masalah di dunia lahir, sebab  orang melekat pada pikiran 

dan pendapatnya. Sayang sekali memang…

Tetralema

Ilmu pengetahuan modern telah berulang kali membuktikan kepada kita, bahwa apa yang kita anggap sebagai nyata dan benar ternyata 

salah. Berulang kali, kelima indera kita memberi  infor masi yang 

tidak tepat tentang dunia. Akhirnya, kita sulit membedakan antara 

kenyataan dan ilusi. Banyak dari kita justru hidup dalam ilusi.

Kita mengira apa yang tidak ada sebagai ada. Sebaliknya, kita 

tidak tahu, apa sesungguhnya yang ada. Kita buta, akibat pikiran-

pikiran yang bermunculan di kepala kita. Dalam arti ini, pikiran 

tidak mengantarkan kita pada kebenaran, melainkan justru menjadi 

penghalang terbesar kita untuk mencapai kebenaran.

Steve Hagen menulis tentang tetralema, yakni kebingungan kita, 

saat  kita hendak memahami hakekat dari materi. Ia mendasarkan 

dirinya pada pemikiran Nagarjuna, fi lsuf India yang hidup sekitar 

2300 tahun yang lalu. Tetralema yaitu  jalan bagi pikiran kita, guna 

memahami materi yang ada di depan mata kita, misalnya komputer, 

layar televisi, meja, kursi dan sebagainya. Tetralema menggiring kita 

untuk meragukan keberadaan materi yang sebelumnya tampak begitu 

jelas kepada kita.

Tetralema

Tetralema berisi empat argumen tentang hakekat dari materi. 

Ini yaitu  empat jalan yang mungkin bagi pikiran manusia, guna 

mengetahui materi yang ada di depan matanya. Hagen dan Nagarjuna 

akan menunjukkan, bahwa semua argumen di dalam tetralema tidaklah 

meyakinkan.

Argumen pertama; suatu benda didefi nisikan pada dirinya sendiri. 

Artinya, ia tidak membutuhkan benda-benda lainnya. Meja yaitu  

meja, kursi yaitu  kursi. Mereka absolut pada dirinya sendiri. Titik.

Arg umen ini lemah. Kenyataanya, kita mengenali sesuatu dalam 

hubungan dengan hal-hal lainnya. Baik ada, sebab  ada buruk. Cantik 

ada, sebab  ada jelek. Meja bisa dikenali, sebab  ia berbeda dengan 

kursi, korden, dan sebagainya.

Argumen kedua; suatu benda didefi nisikan oleh lingkungannya. 

Suatu benda bisa dikenali sebagai ada, sebab  segala hal di sekitarnya 

mendefi nisikan benda ini . Meja didefi nisikan oleh kursi. Aku 

didefi nisikan oleh kamu, dan sebagainya.

Argumen ini juga lemah. Jika suatu benda melulu didefi nisikan 

oleh lingkungannya atau oleh benda-benda lainnya, maka ia tidak 

memiliki identitas pada dirinya sendiri. Ia tidak memiliki kepadatan 

pada dirinya sendiri. Maka, ia pun tidak bisa dikenali.

Argumen ketiga yaitu  gabungan antara argumen pertama dan 

kedua. Benda bisa dikenali sebagai ada, sebab  ia ada pada dirinya 

sendiri, dan terhubung dengan lingkungan sekitarnya. Meja ada, sebab  

meja ada dan dibatasi oleh kursi, korden dan sebagainya. Linkungan 

dan isi dari benda ini  membuat benda itu menjadi ada, dan dapat 

dikenali oleh manusia.

Argumen ini juga tidaklah meyakinkan. Jika inti dari benda 

bercampur dengan lingkungannya, maka semuanya akan melebur. 

Tidak ada lagi perbedaan. Kita pun tidak bisa mengetahuinya sebagai 

benda. Pengetahuan membutuhkan distingsi. Tanpa distingsi, tidak 

ada pengetahuan.

Argumen keempat; suatu benda tidak didefi nisikan oleh benda 

itu sendiri, maupun oleh lingkungannya. Sekilas mendengar, kita 

akan langsung sadar, bahwa argumen ini tidak masuk akal. Jika suatu 

benda tidak didefi nisikan oleh dirinya sendiri atau lingkungannya, lalu 

bagaimana kita bisa mengenalinya? Ini juga berarti, bahwa benda itu 

tidak ada.

Dengan demikian, keempat argumen tetralema tidak bisa 

membuktikan, bahwa materi ada. Tidak ada jalan yang kokoh untuk 

mengenali materi. Ia tampak seolah ada di depan mata kita. Namun, 

sesungguhnya, ia tidak sungguh ada, sebab  ia tidak sungguh dapat 

diketahui secara meyakinkan.

Artinya, lokalitas yaitu  ilusi. Lokalitas yaitu  fakta, bahwa suatu 

benda menempati ruang dan waktu tertentu, sehingga ia bisa dikenali. 

Namun, lewat tetralema di atas, kita sadar, bahwa lokalitas tidak dapat 

dipastikan. Artinya, pengetahuan kita tentang dunia juga tidak dapat 

dipastikan.

Teori Kuantum

Teori kuantum berkembang pesat di abad 20 dan 21 ini. Ia 

menjelaskan perilaku elektron dan partikel, yakni unsur terkecil dari 

materi. Di dalam teori ini dijelaskan, bahwa elektron dan partikel 

bisa bergerak seperti cahaya atau gelombang. Keduanya mungkin, 

dan itu tergantung dari pengamat yang mengamati gerak elektron 

ini . Pengamat?

Artinya, keberadaan pengamat mempengaruhi pola gerak elektron 

dan partikel. Cara pengamat ini  mengamati juga menentukan 

perilaku elektron dan partikel. Artinya, realitas itu tergantung dari 

keberadaan pengamat, dan bagaimana ia mengamati realitas ini . 

Realitas tidak ada pada dirinya sendiri, melainkan tergantung dari kita 

yang mengamatinya.

Tetralema dan teori kuantum membuka pemahaman baru pada 

kita. Tidak ada realitas obyektif di luar sana. Tidak ada takdir yang 

sudah ditulis sebelumnya. Segalanya bergerak dan berubah, tergantung 

pada keberadaan kita, dan cara berpikir kita di dalam hidup.

Perubahan Cara Hidup

Di dalam Zen Buddhisme, pikiran yaitu  pencipta segalanya. 

saat  pikiran berhenti, maka segalanya juga akan berhenti. Yang ada 

hanyalah ruang luas sebesar semesta itu sendiri. Pikiran dan hidup 

kita pun menjadi jernih.

Pandangan ini sejalan dengan tetralema dan teori kuantum. Apa 

yang kita anggap sebagai ada, termasuk uang, nama baik, keluarga, 

kesedihan, ketakutan, kekecewaan, sesungguhnya tidaklah ada. Ia ada, 

sebab  ia diciptakan oleh pikiran kita. Dengan menyadari ini, kita bisa 

mengatur pikiran dan hidup kita, dan bukan sebaliknya. Kita tidak lagi 

dijajah oleh pikiran kita.

Kita menemukan kebebasan yang sejati, yakni kebebas an 

dari pemikiran konseptual. Kita lalu bisa secara bebas mengguna kan 

pi kir an kita untuk membantu orang lain yang membutuhkan. Pikiran 

ha nya alat, dan ia bisa menjadi alat yang baik. Ia menjadi salah, saat  

ia tidak dapat diatur, dan bergerak menciptakan ketakut an dan pende-

ritaan di dalam batin manusia.

Argumen tetralema dan teori kuantum membuka cara hidup 

baru kepada kita. Cara hidup ini berfokus pada pemahaman yang 

nyata tentang dunia sebagaimana adanya (wie die Dinge sind), dan bukan 

dunia sebagaimana kita inginkan atau bayangkan (wie die Dinge sein 

sollen). Ia tidak lahir dari mitos atau ajaran moral untuk mengontrol 

perilaku sosial, seperti yang banyak ditemukan di dalam agama-agama 

tradisional. Ia lahir dari kebebasan sejati yang tidak berpijak pada 

kepercayaan buta, melainkan dari pengalaman persentuhan langsung 

dengan kenyataan apa adanya.

Ilmu Pengetahuan dan Tantangan Global

Kita hidup di dunia yang penuh tantangan. Di satu sisi, berbagai masalah sosial, seperti kemiskinan, perang dan kesenjangan sosial 

di berbagai negara, tetap ada, dan bahkan menyebar. Di sisi lain, 

krisis lingkungan hidup memicu berbagai bencana alam di berbagai 

tempat. Kita membutuhkan cara berpikir serta metode yang tepat, guna 

menghadapi dua tantangan ini .

Ilmu pengetahuan mencoba melakukan berbagai penelitian untuk 

memahami akar masalah, dan menawarkan jalan keluar. Beragam 

kajian dibuat. Beragam teori dirumuskan. Akan namun , seringkali 

semua itu hanya menjadi tumpukan kertas belaka yang tidak membawa 

perubahan nyata.

Bahkan, kini penelitian sedang dilakukan untuk memahami 

beragam penelitian yang ada. Jadi, ”penelitian atas penelitian”. Di-

lihat dari kaca mata ilmu pengetahuan, kegiatan ini memang perlu 

dan menarik. Namun, dilihat dari sudut akal sehat sederhana, ini 

merupakan tanda, bahwa telah ada begitu banyak kajian dan teori yang 

lahir dari penelitian dengan nilai milyaran dollar, sementara hasilnya 

masih dipertanyakan.

Banjir Teori

Kondisi ini saya sebut sebagai ”banjir teori” dan ”banjir kajian”. 

Kajian dibuat demi kajian itu sendiri. Teori dirumuskan demi teori itu 

sendiri. Ini merupakan kesalahan berpikir mendasar di dalam dunia 

akademik sekarang ini.

Kondisi juga me nciptakan kebingungan, baik di antara para 

ilmuwan sendiri, maupun warga  luas. Di dalam kebingungan 

semacam ini, beragam masalah tetap ada. Bahkan, dalam beberapa 

masalah , masalah-masalah yang ada justru membesar dan menyebar. 

Uang milyaran dollar pun lenyap begitu saja untuk penelitian-pene-

litian yang absurd.

Kajian banyak terjadi di level teori. Perdebatan juga terjadi di level 

teori. Namun, ini jelas tidak cukup. Umat manusia membutuhkan cara 

berpikir yang baru, guna menghadapi berbagai tantangan dunia.

Hakekat Teori

Teori yaitu  rangkaian kata-kata ataupun simbol untuk menjelaskan 

suatu keadaan atau fenomena di dalam dunia. Teori juga merupakan 

bentuk abstraksi pikiran manusia atas keadaan atau benda di dunia. 

Dalam arti ini, dapat dengan lugas dikatakan, bahwa teori itu 

bukanlah kenyataan, melainkan abstraksi yang sekaligus juga berarti 

penyempitan (reduksi) dari kenyataan itu sendiri. Berteori berarti 

mencabut unsur-unsur di dalam kenyataan yang dianggap penting, dan 

berarti mengabaikan atau bahkan membuang hal-hal yang dianggap 

tidak penting.

Perdebatan pun lalu banyak terjadi di level teoritis. Para ilmuwan 

sibuk dengan konsep, kata dan simbol. Mereka kerap lupa, bahwa apa 

yang mereka bicarakan dan teliti itu yaitu  kehidupan manusia dengan 

segala kekayaannya. Mereka lalu membangun teori di atas teori, dan 

begitu terus, sampai tidak lagi memiliki akar di dalam kenyataan.

Jadi, teori tidak membantu manusia untuk memahami kenyataan. 

Bahkan, yang terjadi yaitu  sebaliknya, yakni teori justru mengaburkan 

pengetahuan manusia atas kenyataan. Kita tidak lagi dapat memahami 

realitas sebagaimana adanya, melainkan hanya realitas sebagaimana 

kita teorikan di dalam kepala dan penelitian kita. Dan sebab  begitu 

banyak teori, maka ada begitu banyak ”realitas”, dan akhirnya 

menciptakan kebingungan yang besar.

Dunia akademik menciptakan semacam dunia baru, yakni dunia 

imajinasi. Dunia imajinasi ini berisi kata, simbol dan teori. Di dalamnya 

terkandung, harapan dan ketakutan yang ditutupi dengan selubung 

 — 111

rumusan, formula, ataupun teori. Semua ini membuat orang tak lagi 

mampu memahami realitas apa adanya.

Melampaui Teori

Jika kita hanya memahami dunia melalui teori dan konsep di dalam 

kepala kita, maka kita tidak akan bisa memahami realitas apa adanya. 

Jika kita tidak dapat memahami realitas apa adanya, maka kita akan 

tersesat. Kita tidak lagi bisa membedakan antara kenyataan dan ilusi 

yang muncul di kepala kita. Akibatnya, kita pun bingung, dan tidak 

dapat menanggapi dengan tepat beragam tantangan yang ada.

Untuk mencegah itu, kita perlu memahami kenyataan apa adanya. 

Kita perlu bergerak melampaui teori, dan memahami dunia apa adanya. 

Kata ”melampaui” bisa juga diganti dengan kata ”sebelum” teori, 

yakni dunia apa adanya, sebelum kita merumuskan konsep atasnya. 

Para fi lsuf fenomenologi Jerman, seperti Edmund Husserl dan Martin 

Heidegger, menyebutnya sebagai dunia kehidupan (Lebenswelt), yakni 

dunia prakonseptual (sebelum konsep). Para pemikir fi lsafat Timur, 

se perti Seung Sahn dan Lin-Chi, menyebutnya sebagai dunia-tanpa-

pikiran.

Bagaimana kita bisa memahami kenyataan apa adanya? Kita harus 

me lepaskan diri dari konsep dan teori. Kita harus melepaskan diri kita 

dari ke biasaan berpikir konseptual. Dengan ini, lalu kita bisa mencerap 

(wahrnehmen) kenyataan apa adanya, yakni kenyataan sebelum dan 

sekaligus melampaui konsep serta teori.

Dalam arti ini, kita tidak lagi memahami (begreifen) kenyataan, 

melainkan mengalami (erleben) kenyataan. Kita tidak memenjara realitas 

ke dalam kata dan simbol, melainkan membiarkan realitas itu tampil 

apa adanya ke dalam kesadaran kita. Kita bergerak ke level sebelum 

pemikiran, dan kemudian menyentuh realitas apa adanya. Dalam arti 

ini, tidak ada lagi perbedaan antara aku dan realitas.

Di dalam persentuhan dan kesatuan dengan realitas ini, kita pun 

mengalami perubahan kesadaran. Cara berpikir kita berubah. Cara 

hidup kita berubah. Keputusan dan prioritas dalam hidup kita pun 

lalu ikut berubah.

Kebingungan lenyap. Orang bingung, sebab  kepalanya dipenuhi 

konsep dan teori. Keadaan ini menciptakan ketakutan dan harapan 

berlebihan yang membuat orang tak jernih memandang realitas. Kepu-

tusan-keputusan yang ia ambil pun lalu mencerminkan kebingungan 

di dalam hidupnya.

Sebaliknya, persentuhan langsung dengan realitas membuat 

teori dan konsep lenyap sesaat . Segalanya menjadi jelas dan jernih. 

Orang tahu, apa yang harus ia lakukan. Pijakannya bukanlah lagi 

melulu pertimbangan rasional dan logis, melainkan ”intuisi”, yakni 

pengalaman langsung dengan kenyataan.

Dalam keadaan ini, moralitas sebagai seperangkat aturan bertindak 

tidak lagi diperlukan. Berbuat baik yaitu  sesuatu yang alamiah, saat  

orang menyentuh realitas dengan intuisinya. Berbuat jahat, dalam arti 

mendorong penderitaan, juga secara alamiah dihindari. Orang tidak 

dipenuhi oleh ”perang teori” dan ”perang konsep” di dalam kepalanya 

soal baik buruk- benar salah, melainkan hidup dengan pikiran jernih, 

guna menghadapi segala yang ada sesuai keadaan yang nyata.

Dengan kejernihan semacam ini, kita bisa bekerja sama, guna 

menghadapi berbagai tantangan jaman yang ada. Kita tidak lagi 

terjebak dengan teori dan konsep. Kita juga tidak lagi terjebak dalam 

kebingungan dan ketakutan. Namun, keadaan ini haruslah dilatih terus 

menerus, sehingga ia sungguh menjadi bagian nyata dari kehidupan 

kita, dan bukan sekedar sensasi sesaat belaka.

Perdamaian yang sejati dapat terbentuk, saat  kita melepaskan 

ide-ide kita tentang perdamaian. Kita tidak lagi ngotot menciptakan 

per da maian ”versi kita”. Kita tidak lagi terjebak pada ”konsep per da-

mai an” atau ”teori tentang perdamaian” yang kita anggap benar. saat  

kita bisa mencerap kenyataan apa adanya, pada saat itulah, kita bisa 

mengalami perdamaian sejati di dalam batin, maupun dengan orang 

sekitar.

Menyamaratakan

”sebab  nila setitik, rusak susu sebelanga.” Benarkah? sebab  satu kesalahan, lalu semua hal baik juga ikut rusak? sebab  kesalahan 

satu orang, lalu seluruh kelompoknya juga ikut bersalah?

Inilah salah satu pertanyaan terpenting yang perlu kita ajukan 

sekarang ini. Banyak orang hidup dengan prasangka. Pikirannya 

melihat sesuatu, lalu menyamaratakan kesalahan itu ke konteks yang 

lebih luas. Misalnya, ada satu orang Ambon yang menjadi preman. 

Lalu, kita dengan gampangnya menarik kesimpulan, ”semua orang 

Ambon itu preman”.

Kesalahan satu orang lalu dianggap sebagai kesalahan kelompok. 

Ada orang asing berbuat kriminal, maka semua orang asing lalu 

dicurigai sebagai kriminal. Inilah yang sekarang ini berkembang di 

Jerman, dan di berbagai tempat lainnya. Saya menyebut gejala ini 

sebagai pola pikir ”menyamaratakan”.

Kecenderungan ini lalu juga meluas. Kesalahan kelompok dianggap 

sebagai kesalahan ras. Kesalahan ras lalu dianggap sebagai kesalahan 

seluruh peradaban. Dunia lalu terpecah di antara berbagai kelompok 

yang saling membenci satu sama lain.

Prasangka

Pola pikir menyamaratakan yaitu  ibu kandung dari prasangka. 

Prasangka yaitu  pandangan kita akan sesuatu, sebelum sesuatu itu 

terjadi. Ia tidak nyata. Ia hanya khayalan di kepala kita yang berpijak 

pada ketakutan dan kesalahpahaman.

Prasangka lalu  melahirkan diskriminasi. Kita menilai orang 

berdasar  warna kulit, ras, suku atau agamanya. Kita bersikap keras 

dan tidak adil kepada seseorang, sebab  ia memiliki latar belakang yang 

tidak sama dengan kita. Dengan cara berpikir ini, kita bisa menjadi 

pelaku pembunuhan massal.

Dunia sekarang ini hidup dalam bayang-bayang diskriminasi 

dan rasisme. Orang dipisahkan oleh tembok warna kulit dan agama. 

Berita-berita di media dipelintir, guna memanaskan keadaan. Banyak 

keluarga harus menderita, sebab  mengalami ketidakadilan di berbagai 

segi kehidupannya.

Keadaan ini bagaikan bom waktu. Konfl ik besar antar kelompok 

menanti di depan mata. Ketegangan politis dan militer membawa pen-

deritaan bagi banyak orang yang tak bersalah. Keadaan ini diperparah 

oleh rusaknya alam, akibat dari kerakusan dan kebodohan manusia.

Pembunuhan massal etnis Yahudi tak jauh dari ingatan kita. 

Orang-orang Yahudi ditangkap dan dibunuh, tanpa alasan yang 

jelas. Di Indonesia, jutaan anggota PKI dan organisasi-organisasinya 

ditangkap, ditahan dan dibunuh demi kekuasaan belaka. Pola pikir 

menyamaratakan ada di balik semua peristiwa mengerikan ini.

Akar

Memang, sulit bagi kita untuk tidak menyamaratakan, saat  kita 

secara langsung menjadi korban dari suatu bentuk kejahatan. Kita 

mengalami trauma dan sakit hati, akibat penghinaan dan ketidakadilan 

yang secara langsung kita alami. Berpijak pada kekalutan batin semacam 

itu, kita lalu menyamaratakan. Selama konfl ik dan trauma tidak 

mengalami rekonsiliasi, selama itu pula pola pikir menyamaratakan 

akan berkembang, dan mendorong berbagai bentuk diskriminasi.

Misalnya, kita diancam oleh preman yang berasal dari Medan. 

Maka sulit bagi kita untuk menolak logika berpikir, bahwa ”semua 

orang Batak yaitu  preman”. Ada semacam ketakutan yang menutupi 

pikiran kita di dalam peristiwa ini. Akibatnya, kita tidak lagi mampu 

berpikir jernih, dan kemudian menyamaratakan.

Ini juga seringkali terkait dengan harga diri kita sebagai manusia. 

Korban penghinaan terluka harga dirinya. Kemarahan dan kebencian 

menutupi matanya, sehingga ia berpikir dengan menyamaratakan, dan 

mendorong terjadinya diskriminasi serta konfl ik. Hal yang sama terjadi 

dengan harga diri kelompok, sehingga konfl ik perorangan berubah 

menjadi konfl ik antar kelompok.

Pola pikir ”menyamaratakan” ini juga diakibatkan oleh hubungan 

sebab akibat semu di dalam kepala. Kita membuat hubungan tanpa 

dasar antara dua peristiwa. Kita melihat sebab dari suatu akibat 

(penderitaan kita), walaupun sesungguhnya tidak ada hubungan 

langsung. Analisis kita dikotori oleh rasa takut, trauma dan kebencian.

Keadaan ini juga disebut sebagai ketidakberpikiran. Kita mengira 

ketakutan kita sebagai kebenaran. Kita mengira pikiran kita sebagai 

kebenaran. Pikiran yang diyakini sebagai kebenaran justru melahirkan 

ketidakberpikiran.

Pada saat yang sama, keadaan ini juga bisa disebut tindak berpikir 

yang berlebihan. Para master Zen di dalam fi lsafat Timur berulang kali 

menegaskan, pikiran yaitu  sumber dari segala penderitaan. Pikiran 

dan analisis memisahkan manusia dengan manusia lainnya, dan 

manusia dengan alam. Keadaan ini berpotensi besar untuk mendorong 

konfl ik.

Pola pikir menyamaratakan bisa dilampaui, jika orang menyadari 

pikirannya sendiri. Ia lalu bisa mengambil jarak dari prasangka yang 

bercokol di kepalanya. Ketakutannya tetap ada, namun  tidak mem-

pengaruhinya. Setelah prasangka dan ketakutan lenyap, orang lalu 

masuk ke dalam kejernihan.

Orang juga tak perlu takut dan marah, jika ia mengalami diskri-

minasi, akibat penyamarataan. Para pelaku diskriminasi yaitu  orang-

orang yang takut dan menderita. Justru, mereka harus dibantu dengan 

berbagai cara yang mungkin. Kekuatan terbesar manusia yaitu  

kelembutannya di dalam menghadapi segala sesuatu.

Apa yang Sesungguhnya Ada

Sejak awal keberadaannya, manusia ingin memahami dunianya. Ia juga ingin memahami dirinya sendiri. Dorongan ini bersifat 

alamiah. Ia akan selalu ada, selama manusia masih hidup.

Memahami dunia berarti mengamati dunia apa adanya. Mengamati 

duni