kesadaran kita akan meningkat. Kita akan
memiliki pikiran jernih untuk menanggapi apa pun yang terjadi.
Pikiran menciptakan analisis dan pemahaman. Namun, keduanya
kerap berujung pada ketakutan dan kecemasan. saat orang hidup
”disini dan saat ini”, pikiran lenyap. Kesadaran pun muncul dan
berkembang, guna menanggapi secara tepat dan jernih apa yang sedang
terjadi.
Kekuatan terbesar manusia, menurut Tolle, yaitu kesadarannya.
Orang bisa melakukan apapun secara tepat sesuai dengan keadaan yang
ada, saat ia mampu memakai kesadarannya secara penuh. Jadi,
rumusnya yaitu : terima keadaan yang ada, lalu bertindak! Kesadaran
bisa dipakai , jika orang hidup di ”saat ini”. Ia lalu bisa hidup
dengan perasaan mengalir yang penuh kedamaian dan kebahagiaan,
walaupun banyak tantangan menghadang.
Kehidupan yaitu sebuah jaringan. Tidak ada satu hal pun di
alam semesta ini yang berada sendirian. Semuanya saling terhubung
satu sama lain, tanpa bisa dipisahkan. Perasaan kesepian dan sendiri
hanyalah ilusi, sebab sejatinya, kita tak pernah sendirian.
Segala masalah yang datang juga yaitu bagian dari jaringan
kehidupan ini. Semuanya berguna dan berharga, asal ditanggapi tidak
melulu dengan pikiran yang analitis, namun juga dengan kesadaran.
Pikiran untuk menganalisis dipakai seperlunya saja. Sisanya, orang
perlu hidup dengan memakai kesadarannya.
Pikiran itu memisahkan. Ia menganalisis dan memberi penilaian
baik-buruk, benar-salah, dan sebagainya. Ia yaitu alat yang berguna.
Namun, jika orang hidup hanya dengan menganalisis dan memisahkan,
ia akan terus menderita dalam hidupnya.
Pikiran (Gedanken) yaitu bagian dari kesadaran (Bewusstsein).
Kesadaran lebih besar dari pikiran. Di dalam kesadaran, orang berhenti
untuk menganalisis dan memisahkan. Ia hanya ada ”disini dan saat
ini” dalam hubungan dengan segala sesuatu yang ada.
Orang yang bisa menemukan dan memakai kesadarannya
tidak akan pernah merasa takut. Ia hidup tanpa penilaian baik-buruk,
benar-salah dan enak-tidak enak. Ia melihat dan menerima apa yang
ada ”saat ini” sepenuhnya. Ia lalu menemukan kekuatan dan kedamaian
hati untuk bertindak sesuai dengan keadaan yang ada.
Orang yang hidup di ”saat ini” tidak akan pernah merasa susah. Ia
akan sadar, bahwa hidup tidaklah perlu terlalu ngotot. Ia sadar akan
aspek santai dan lucu dari kehidupan. Bahkan, ia bisa sengaja merasa
sedih, supaya bisa menikmati kesedihan itu.
Ia juga sadar, bahwa kebahagiaan dan cinta yang sejati tidak
bisa dicari di luar sana. Keduanya ada di dalam hati manusia. Cinta
bukanlah perasaan, melainkan cara hidup ”saat ini”. Ia selalu ada.
Tinggal kita saja yang mencoba meraihnya.
Cinta dan kebahagiaan tidak pernah bisa hilang. Tidak ada yang
bisa mengambilnya, sebab ia ada di dalam hati setiap manusia.
saat orang hidup ”saat ini”, maka otomatis cinta dan kebahagiaan
akan muncul. Kesadaran akan ”saat ini” juga menghasilkan cinta dan
kejernihan pikiran dalam hidup.
Penderitaan, kecemasan dan ketakutan akan muncul, saat orang
meninggalkan ”saat ini”. saat orang mengira, bahwa masa lalu dan
masa depan yaitu nyata, maka ia akan terjebak di dalam penderitaan.
Pikirannya sibuk. Ia akan menganalisis, memisahkan dan menilai. Ini
menciptakan penderitaan.
Pikiran menciptakan penilaian. Penilaian lalu melahirkan keluhan
atau pujian. Keduanya sama saja, sebab keduanya tidak berakar pada
”saat ini”. Keduanya lahir dari penolakan pada ”saat ini”. saat
keadaan menjadi sulit, ada tiga hal, entah ubah situasinya, terima atau
tinggalkan. Mengeluh yaitu tindakan sia-sia.
Kita harus belajar untuk hidup tanpa pikiran. Kita harus belajar
untuk menunda semua analisis dan penilaian kita. Pikiran, analisis dan
penilaian hanya dipakai seperlunya saja untuk keperluan praktis,
misalnya memasak, bekerja, dan sebagainya. saat pikiran ditunda,
yang muncul yaitu kesadaran. Kesadaran yaitu ”saat ini”, yakni
sumber dari segala kedamaian dan kebahagiaan manusia.
Masa lalu dan masa depan hanyalah alat yang bersifat sementara.
Kita perlu masa lalu, supaya kita bisa belajar dari apa yang telah terjadi.
Kita juga perlu masa depan, supaya kita bisa membuat rencana kerja
dan rencana hidup yang tepat. Namun, keduanya perlu ditinggalkan,
saat kita tidak lagi memerlukannya. Kita bisa meninggalkannya
dengan memasuki kesadaran kita, yakni ”saat ini”.
Sejatinya, kita yaitu manusia. Kita bukanlah mahluk pekerja atau
mahluk berpikir. Bekerja dan berpikir hanya merupakan bagian dari
diri kita. Kesadaran kita sebagai manusia lebih luas dan lebih besar
daripada pekerjaan dan pikiran kita.
Banyak orang hidup hanya untuk bekerja dan berpikir. Mereka
bekerja terlalu banyak. Mereka berpikir terlalu banyak. Kesadaran
mereka tidak tersentuh. Mereka pun lalu hidup dalam penderitaan.
Kita juga senang sekali dengan defi nisi. Kita ingin memberi nama
pada segala sesuatu. Memberi nama, menurut Tolle, juga berarti
mengurung sesuatu itu. Memberi nama berarti juga membangun
penjara.
Di dalam defi nisi, kita juga memberi penilaian. Kita berpikir,
bahwa orang itu baik. Orang itu jahat. Hidup kita pun dipenuhi dengan
defi nisi dan penilaian. Kita tidak akan pernah bahagia dengan cara
hidup semacam ini.
Kita perlu belajar untuk menunda semua defi nisi dan penilaian.
Kita perlu belajar untuk membiarkan apa adanya, tanpa defi nisi
dan penilaian. Kita tidak perlu takut. Sebaliknya, tanpa defi nisi dan
penilaian, hidup kita akan damai dan bahagia. Bukankah ini yang
diinginkan semua orang?
Lalu, bagaimana jika ada orang yang sibuk menilai hidup kita?
Bagaimana jika ada orang yang mendefi nisikan kita melulu dengan
pikiran mereka? Kita tidak perlu takut. Kita bisa menanggapi, jika
diperlukan. Jika tidak, kita bisa membiarkan saja.
Orang yang menilai kita membangun penjara dalam pikiran
mereka. Mereka membatasi pikiran mereka sendiri. Mereka tidak akan
bisa menemukan kedamaian dan kebahagiaan. Mereka kehilangan ”saat
ini”. Mereka juga kehilangan kesadaran dirinya.
Dalam hubungan dengan orang lain, kita juga perlu sadar akan
”saat ini”. Dengan ini, kita bisa hadir sepenuhnya untuk orang lain. Kita
bisa memberi diri kita seutuhnya untuk membantu dia. saat kita
kehilangan ”saat ini”, hubungan kita dengan orang lain pun dipenuhi
dengan ingatan akan masa lalu serta kecemasan akan masa datang. Ini
bisa merusak hubungan kita dengan orang itu.
Banyak orang sibuk mencari kebahagiaan di luar dirinya. Mereka
berpikir, uang, harta dan nama baik bisa memberi kebahagiaan.
Namun, pikiran ini salah. Ia hanya menghasilkan penderitaan.
Sejatinya, menurut Tolle, setiap orang sudah penuh dan bahagia di
dalam dirinya. Yang ia perlukan hanyalah kesadaran akan ”saat ini”.
”Saat ini” akan menghasilkan kesadaran. Orang yang hidup melulu
dengan pikirannya akan kehilangan kesadarannya. Ia akan hidup dalam
kecemasan, ketakutan dan penderitaan.
Kita bukanlah pikiran kita. Kita bukanlah kecemasan dan ketakutan
yang dihasilkan pikiran kita. Pikiran kita sementara. Ia akan segera
berlalu.
Kita yaitu kesadaran kita. Itu lebih besar dan lebih agung dari
pikiran yang kita punya. Kesadaran kita memberi kedamaian. Ia
memberi cinta. Ia tidak menilai dan mendefi nisikan. Ia membiarkan
segalanya ada dengan ketulusan hati.
Orang yang bisa menunda semua pikirannya akan mencapai
pencerahan batin. Pencerahan batin berarti orang sudah paham akan
hakekat dari segala yang ada, termasuk hakekat dari dirinya sendiri.
Hakekat dari segala yang ada, menurut Tolle, yaitu kesadaran. Kesa-
daran itu merawat dan membangun. Ia tidak menilai dan memisahkan.
Orang yang hidup dengan kesadarannya berarti hidup dalam
keterhubungan dengan alam semesta. Ia terhubung dengan manusia
lain. Ia terhubung dengan semua hewan. Ia terhubung dengan semua
tumbuhan. Ia terhubung dengan semua benda yang ada.
Ia memakai pikirannya hanya pada saat-saat tertentu saja.
Ia tidak melihat dirinya sama dengan pikirannya. Ia melihat dirinya
lebih besar dari pikirannya. Ia akan mampu hidup dalam aliran yang
alamiah dalam hubungan dengan orang lain.
Pikiran membuat orang tak mampu mencintai sepenuhnya.
Sebaliknya, kesadaran ”saat ini” sejatinya yaitu cinta tanpa syarat.
Ia memberi tanpa mengharap apapun. Ia tidak mengikat dan
memenjara, melainkan merawat dan membiarkan berkembang.
Dengan kesadarannya akan ”saat ini”, orang bisa hidup secara
alamiah. Artinya, ia tidak melawan kehidupan, melainkan mengalir
bersama kehidupan itu sendiri. Ia tidak sibuk menilai, apakah sesuatu
itu baik atau buruk, benar atau salah. Jika orang sampai pada kesadaran
akan ”saat ini”, tidak ada tegangan dan penderitaan lagi dalam
hidupnya.
Apapun yang kita lawan pasti akan menguat. Apapun yang kita
tentang dan tolak justru semakin menguasai kita. Sebaliknya, jika
kita membiarkan segala sesuatu ada secara alamiah, justru kita akan
tidak akan mengalami tegangan dan pertentangan. Jika kita tidak
menolak apapun, maka kita akan bisa mencapai kejernihan pikiran
dan kedamaian hati.
Kita juga sering melihat orang-orang yang suka menjajah orang
lain. Mereka ingin dipatuhi. Mereka kerap sekali bersembunyi di balik
agama. Mereka juga suka memanfaatkan orang lain, guna memuaskan
diri mereka.
Menurut Tolle, orang-orang semacam ini hidup dalam penderitaan
yang besar. Mereka lemah dan menderita, maka mereka menindas
orang lain. Harapannya, dengan menindas orang lain, penderitaan
mereka berkurang. Namun, ini tak akan pernah terjadi.
Banyak juga orang yang mengalami kecanduan. Mereka kecanduan
narkoba, alkohol, seks, belanja dan sebagainya. Mereka seolah tidak
dapat hidup, jika tidak memuaskan kecanduannya. Kecanduan berakar
pada pen deritaan dan berakhir pada penderitaan juga, jika dipuaskan.
Akar dari kecanduan yaitu ketidakmampuan untuk hidup di
”saat ini”. Orang menjadi kecanduan untuk mengobati luka, akibat
masa lalunya. Orang menjadi kecanduan, sebab ia cemas akan masa
depannya. saat ia melepaskan masa lalu dan masa depannya, ia lalu
bisa memasuki kesadaran akan ”saat ini”. Di detik itu, kecanduannya
hilang.
Banyak orang juga mencari Tuhan di luar dirinya. Ini salah. Tuhan
ada di dalam hati setiap orang. Tuhan ada di dalam kesadaran setiap
orang. Tuhan ada di ”saat ini”.
Segala ritual dan aturan agama hanya ada untuk membantu kita
menemukan Tuhan di dalam hati kita. Itu semua hanya alat. Ia tidak
boleh menjadi tujuan utama. Di dalam kesadaran akan ”saat ini”, kita
akan menemukan surga, nirvana, Tuhan dan kebahagiaan yang sejati.
saat kita sadar sepenuhnya akan ”saat ini”, kita akan berhenti
berpikir. Kita berhenti menilai. Kita berhenti cemas akan masa lalu dan
masa depan. Kita akan sepenuhnya sadar.
Pada keadaan itu, kita akan menjadi cinta itu sendiri. Cinta sejati
itu seperti matahari. Ia bersinar untuk semua, tanpa kecuali. Cinta yang
sejati diberikan untuk semua, tanpa kecuali.
Cinta yang sejati dapat diperoleh, jika orang hidup di ”saat ini”.
Cinta sejati berakar pada kesadaran. Ia tidak dapat hilang. Ia tidak
dapat diambil.
Orang yang hidup di ”saat ini” berarti hidup secara asli. Ia tidak
memiliki kepura-puraan. Ia tidak memiliki kemunafi kan. Ia tidak takut
akan penilaian dan defi nisi dari orang lain. Ia sepenuhnya bebas dan
damai. Lalu, ia bisa memberi kedamaian dan cinta pada orang lain
dengan tulus.
Banyak orang juga berusaha mencari kebahagiaan. Namun, sejatinya,
kebahagiaan tidak bisa dicari. Orang yang mencari kebahagiaan justru
tidak akan pernah menemukan kebahagiaan. Kebahagiaan hanya
muncul, jika orang hidup dengan kesadaran akan ”saat ini”. Kesadaran
ini sudah ada di dalam diri manusia. Ia tidak akan bisa hancur, atau
diambil orang lain.
Dunia yaitu cerminan dari kesadaran. Sejatinya, tidak ada
perbedaan antara kesadaran dan dunia. Keduanya yaitu satu dan
sama. Pikiran dan bahasa yang memisahkan keduanya.
Namun, banyak orang lupa dengan kesadarannya. Mereka
sibuk dengan pikirannya. Mereka sibuk menganalisis, menebak,
merencanakan dan mengkhawatirkan segalanya. saat pikiran ditunda
dan dihentikan, kesadaran muncul, yakni kesadaran ”saat ini”. Jika
kesadaran dicapai, maka dunia tidak lagi memiliki masalah dan
penderitaan.
Lalu, apakan pikiran harus dibuang? Apakah kita harus berhenti
berpikir? Berhenti berpikir, menurut Tolle, tidaklah mungkin dilakukan.
Berpikir yaitu bagian dari kodrat manusia.
Namun, pikiran tidak boleh menguasai manusia. Manusia yaitu
kesadarannya. Ini lebih luas dari pikiran. Pikiran dipakai seperlunya
saja untuk memenuhi kebutuhan praktis. Selebihnya, orang perlu
belajar untuk hidup dengan kesadaran akan ”saat ini”. Ia lalu akan
menemukan kebebasan yang sejati.
Sekarang ini, kita, sebagai manusia, harus mengubah cara hidup
kita. Kita harus melakukan revolusi hidup! Kita harus belajar untuk
menjaga jarak dari pikiran kita. Kita lalu harus belajar untuk hidup
dengan kesadaran akan ”saat ini” di dalam diri kita. Hanya dengan
ini, kita bisa hidup dalam hubungan yang damai dengan segala hal
yang ada. Alternatifnya yaitu kehancuran
Mobilitas
Siapa yang tidak kenal BMW? Atau VW, Volkswagen? Siapa juga yang tidak pernah mendengar merk mobil Audi? Ini yaitu merk-
merk mobil Jerman yang sudah memiliki reputasi internasional.
Mobil-mobil Jerman memang terkenal sebab tiga hal, yakni
kualitas, prestise dan harganya yang mahal. Perusahaan-perusahaan
mobil di Jerman, mulai dari tingkat perakitan struktur kaki mobil
sampai dengan direktur utama, memang amat menekankan ketepatan,
guna menghasilkan mobil bermutu tinggi. Namun, mereka juga
tidak kebal terhadap iklim persaingan ekonomi global, terutama dari
AS, Jepang dan Cina. Dalam banyak hal, perusahaan-perusahaan
mobil Jerman pun harus melakukan kompromi, bahkan seringkali
menurunkan kualitas, supaya bisa menjual dengan harga yang lebih
murah.
Jerman dan Mobilnya
Ekonomi Jerman hancur total setelah perang dunia kedua. Pada
1945, politik Jerman juga lumpuh total. Orang-orang Jerman bisa
hidup, sebab semata menerima bantuan dari tentara Sekutu (Inggris,
AS, Prancis dan Uni Soviet). Kebangkitan ekonomi Jerman ditandai
dengan berkembangya Volkswagen sebagai salah satu produsen mobil
bermutu di dunia. Jenis mobil yang paling terkenal pada dekade 1950-
an di dunia yaitu VW Kodok (Volkswagen Käff er).
Mobil ini telah menyelamatkan Jerman dari keterpurukan ekonomi
berkelanjutan. Tidak hanya itu, mobil VW kodok juga telah menjadi
ciri khas Jerman setelah perang dunia kedua. Ia menawarkan fungsi
sekaligus prestise bagi penggunanya. Tentu saja, kualitasnya juga tidak
perlu dipertanyakan.
Kebangkitan ekonomi Jerman juga diikuti dengan kebangkitan
berbagai perusahaan mobil lainnya, seperti Audi dan BMW. Pabrik-
pabrik mobil di Jerman, dan berbagai industri pendukungnya, seperti
industri ban, shock breaker dan sebagainya, menyediakan lapangan kerja
bagi jutaan penduduk Jerman. Banyak tenaga ahli pun didatangkan dari
luar negeri, guna mengem bangkan teknologi di dalam pabrik-pabrik
ini. Pajak yang ditarik dari perusahaan-perusahaan mobil Jerman juga
amat besar.
M engapa Jerman memilih mengembangkan industri mobil setelah
perang dunia kedua? Ada dua hal. Yang pertama, menurut Lars
Döhmann dalam kuliahnya yang berjudul Schlaglichter auf die deutsche
Automobilgeschichte, yaitu ketersediaan sarana dan prasarana untuk
industri mobil. Sebelum perang dunia kedua, Jerman sudah berusaha
dengan gigih mengembangkan teknologi untuk produksi mobil massal.
Yang kedua, para politikus Jerman sudah sadar, bahwa di masa
depan, banyak orang akan melakukan mobilitas dengan tingkat
yang semakin sering dan tinggi. Mobilitas yaitu gerak perpindahan
manusia, dan mobil yaitu alat utama untuk menunjang pergerakan
semacam ini. Motif utamanya sudah jelas, yakni ada uang yang besar di
dalam perkembangan industri mobil. Begitulah pendapat Luĵ Fügener
dalam kuliahnya yang berjudul Automobildesign der Zukunft.
Mobilitas Manusia
Perkiraan para politikus Jerman setelah perang dunia kedua
ternyata benar. Mobilitas memang menjadi fakta nyata dunia sekarang
ini. Pergerakan manusia dari satu tempat ke tempat lainnya terjadi
dalam jumlah yang amat besar setiap harinya. Alat transportasi publik
dan transportasi pribadi dikembangkan sedemikian rupa, sehingga bisa
menunjang pergerakan manusia ini .
Jerman yaitu salah satu negara yang cukup berhasil mencapai
keseimbangan mobilitas ini . Sarana transportasi publik di Jerman,
dengan perpaduan antara kereta bawah tanah, tram, bus umum, taksi,
pesawat terbang dan jaringan kereta api raksasa yang terhubung
dengan hampir semua negara di Eropa, bisa dibilang salah satu yang
termaju di dunia. Di sisi lain, jumlah jalan tol dan pengguna mobil
terus meningkat. Ada sekitar 45 juta mobil yang dipakai di Jerman
sekarang ini. Jumlah penduduk Jerman sendiri sekarang ini sekitar 81
juta penduduk.
Mobilitas juga sudah menjadi fakta nyata di tingkat internasional.
Pergerakan manusia antar negara dan antar benua sudah menjadi fakta
sehari-hari. Berbagai kepentingan ekonomi, politik, seni dan budaya
bergantung pada pergerakan manusia (mobilitas) ini. Perkembangan
industri transportasi dan komunikasi membuat jarak menjadi tak lagi
berarti.
Sahabat saya di Munich tinggal sendiri untuk meneruskan pen-
didikan Masternya. Ibunya yaitu seorang dokter di Inggris. Adiknya
sedang belajar di Amerika Serikat. Sementara, ayahnya kini bekerja
sebagai peneliti neurosains di Australia.
Minimal dua kali dalam setahun, mereka berkumpul. Seringkali,
mereka juga saling mengunjungi satu sama lain. Keluarga ini bergerak
melintasi tiga benua setiap tahunnya. Masih banyak keluarga lain yang
memiliki pola serupa semacam ini.
Perkembangan ekonomi dunia juga amat tergantung pada
mobilitas penduduknya. Dengan mobilitas yang baik, kekayaan pun
bisa bergerak ke berbagai penjuru dunia. Industri pariwisata dan
transportasi berkembang pesat sejalan dengan perkembangan mobilitas
manusia. Jika keseimbangan antara mobilitas dengan memakai
alat transportasi pribadi dan transportasi publik bisa dicapai, maka
kemiskinan di berbagai negara bisa secara perlahan dikikis.
Perkembangan mobilitas juga mendorong proses defundamentalisasi.
Artinya, orang menjadi semakin terbuka pandangannya, sebab sering
berhubungan dengan orang-orang lainnya dari berbagai penjuru
dunia yang memiliki pandangan berbeda. Orang tidak lagi menjadi
sempit dan fanatik dengan pandangannya sendiri, atau pandangan
kelompoknya. Terorisme yang berpijak pada fundamentalisme banyak
berkembang di tempat-tempat dengan mobilitas penduduk yang kecil.
Mobilitas yang tinggi juga mengubah bentuk warga . Kita
hampir tidak dapat menemukan masyarakan yang homogen sekarang
ini. Seluruh dunia hampir sepenuhnya berubah menjadi ruang
multikultur. Konsep iden titas pun juga mengalami perubahan mendasar
yang akhirnya mendorong juga perubahan cara berpikir dan cara hidup
manusia sebagai keseluruhan.
Tantangan dan Kemungkinan
Saya sendiri berpendapat, bahwa mobilitas manusia bisa semakin
ditingkatkan kuantitas dan kualitasnya, jika kita tidak lagi berfokus
pada perkembangan mobil sebagai alat transportasi pribadi. Yang
harus menjadi perhatian kita yaitu teleportasi, yakni perpindahan
manusia dari satu tempat ke tempat lainnya dalam hitungan detik
dengan memanfaatkan teknologi manipulasi ruang dan waktu yang
menciptakan semacam lubang cacing. Secara teoritik, ini mungkin
dilakukan, walaupun beberapa persamaan matematisnya masih harus
terus dipikirkan. Namun, investasi besar yang dilakukan secara
internasional harus terus dilakukan, supaya teknologi teleportasi bisa
sungguh menjadi kenyataan.
Tentu saja, transportasi publik juga harus dikembangkan. Yang
menjadi masalah dengan transportasi publik dan transportasi pribadi
sekarang ini yaitu soal kelestarian lingkungan hidup. Semua
alat transportasi menghasilkan pembakaran yang secara langsung
mencemari udara yang tidak hanya dihirup oleh manusia, namun
juga oleh hewan dan tumbuhan. Sudah bukan rahasia lagi, bahwa
perkembangan teknologi (pabrik, transportasi) telah mendorong
perubahan iklim yang memicu kepunahan berbagai jenis hewan
dan tumbuhan di berbagai belahan dunia.
Soal kedua yaitu soal energi. Setiap jenis pabrik dan alat trans-
portasi selalu membutuhkan energi. warga modern bergantung
sepenuhnya pada ketersediaan energi. Namun, elemen penghasil energi
ini sebagian besar masih berpijak pada energi tak terbarukan,
seperti minyak bumi dan batu bara. Jika sumber energi ini habis, maka
warga modern, beserta segala perkembangan teknologinya, akan
lumpuh total.
Banyak ahli berusaha mencari cara untuk menghemat energi.
Perusahaan-perusahaan mobil raksasa, seperti Toyota, BMW dan VW,
berlomba-lomba untuk menghasilkan dan menjual mobil yang hemat
energi dengan harga terjangkau. Namun, usaha ini tidak menyelesaikan
masalah. Ada dua alasan.
Yang pertama, jumlah energi yang dibutuhkan untuk menghasilkan
mesin-mesin hemat energi masih amatlah besar. Jumlah energi yang
dibutuhkan untuk membangun sarana dan prasarana untuk menunjang
mesin hemat energi (atau misalnya mobil listrik) juga masih amat besar.
Yang kedua, jika mobil hemat energi (atau mobil listrik) dijual dengan
harga terjangkau, maka penggunanya semakin banyak. Pada akhirnya,
jumlah total energi yang dibutuhkan dan polusi yang dihasilkan akan
lebih besar dari sebelumnya.
Di sisi lain, pencarian energi terbarukan juga masih terus berjalan.
Perkembangannya amat lambat, sebab kurangnya perhatian dan
investasi dalam bidang ini. Lobi-lobi dari perusahaan minyak raksasa
juga menghambat perkembangan di bidang ini. Sampai detik ini,
seluruh peradaban modern di dunia masih bergantung mayoritas pada
minyak bumi, dan berbagai sumber energi tak terbarukan lainnya.
Perubahan
Yang jelas, gaya hidup manusia modern, dengan tingkat mobilitas
yang begitu tinggi, pemakaian energi yang begitu besar ditambah
dengan jumlah polusi yang dihasilkan, tidak lagi dapat dipertahankan.
Mobil pribadi tidak lagi pas untuk hidup kita. Transportasi publik dan
sepeda menjadi alternatif yang menarik, jika sarana dan prasarananya
juga dikembangkan. Investasi dan penelitian untuk memakai
teknologi teleportasi juga harus ditingkatkan.
Kita di Indonesia masih harus terus berjuang untuk membangun
jaringan transportasi publik yang aman dan nyaman. Ini jelas harus
menjadi prioritas utama kita. pemakaian kendaraan pribadi, dari
tinjauan ekonomi dan dampak lingkungan, tidak lagi dapat dibenarkan.
Sebagai pribadi, kita perlu mencari alternatif dari pemakaian mobil
dan motor pribadi. Sebagai kelompok, kita harus menekan agenda
pembangunan transportasi publik ke pemerintah kita.
Jika mobil dan motor pribadi tidak lagi dipakai , atau dikurangi
penggunaannya, lalu bagaimana dengan para pekerja di pabrik-
pabrik otomotif ini ? Persoalan ini tentu harus ditemukan
jawabannya. Para pekerja otomatif ini bisa dialihkan sebagai
pekerja pembangunan dan perawatan jaringan transportasi publik
raksasa yang akan dibangun. Mereka juga nantinya bisa dialihkan untuk
pembangunan dan perawatan jaringan teleportasi, jika teknologinya
sudah menjadi kenyataan.
Mobilitas juga membutuhkan perubahan. Mobil tidak lagi bisa
menjadi sarana utama untuk mobilitas. Bahkan, pola mobilitas manusia
sekarang ini tidak lagi dapat dipertahankan. Perubahan jelas yaitu
sesuatu yang amat diperlukan.
Namun, kita seringkali takut pada perubahan. Kita ingin segalanya
tetap sama, jika keadaan ini sudah menguntungkan kita. Namun,
hidup tidak akan pernah sama. Kodrat manusia yaitu untuk berubah
dan terus bergerak sepan jang hidupnya. Kita bisa memilih alternatif
lainnya, yakni menyingkir sama sekali dari gerak kehidupan. Tentu
saja, saya tidak ingin menyarankan itu.
Paradoks
Hidup manusia modern ditandai dengan satu ciri, yakni ketakutan. Di satu sisi, mereka hidup dengan menata masa depan. Mereka
takut, jika masa depan mereka kacau, dan hidup mereka pun kacau. Di
sisi lain, mereka takut akan masa lalu, sebab telah melakukan sesuatu
yang mereka sesali.
Rasa takut membuat pikiran kacau. Pertimbangan menjadi kacau.
Banyak keputusan pun dibuat dengan kekacauan pikiran. Akhirnya,
keputusan-keputusan itu justru menciptakan masalah yang lebih besar.
Pada tingkat politik, dampak keputusan yang salah amatlah
merugikan. Banyak orang menderita, sebab kesalahan kebijakan yang
dibuat pemerintah. Sayangnya, banyak kebijakan ini dibuat atas
dasar rasa takut akan masa depan. Rasa takut mengaburkan kejernihan
berpikir, dan memperbesar masalah yang sudah ada sebelumnya.
Rasa takut juga menciptakan penderitaan batin yang besar.
Banyak orang terjebak di dalam depresi, sebab rasa takut yang
berlebihan. Banyak orang jatuh ke dalam ketergantungan narkoba,
sebab penderitaan batin dan rasa takut di dalam hati mereka. Orang
yang menderita cenderung kejam tidak hanya pada dirinya sendiri,
namun juga pada orang lain.
Ketakutan dan Kehidupan
Dari mana akar ketakutan semacam ini? Saya melihat, akar keta-
kutan terletak pada kegagalan memahami arti hidup sesungguhnya.
Artinya, ketakut an lahir, saat orang gagal memahami kenyataan
apa adanya. Ia melihat dunia hanya semata dengan pikiran dan pe-
rasaannya, yang seringkali jauh dari kebenaran.
Apa arti dari hidup sesungguhnya? Apa hukum-hukum yang
meng gerakkan segala yang ada? Saya menyebutnya sebagai hukum
paradoks, sebab sejatinya, kenyataan ini yaitu paradoks. Segala
kebenaran yang ada di muka bumi ini selalu mengambil bentuk
paradoks.
Paradoks yaitu dua hal yang berbeda, namun benar dalam ke-
utuhannya. Ia menolak untuk membagi dunia ke dalam kelompok-
kelompok. Paradoks memberi ruang untuk ketidakmasukakalan. Ia
melihat segala yang berten tangan sebagai sama dan utuh di dalam
kebenarannya. Inilah hukum yang mengendalikan seluruh kenyataan
yang ada.
Tujuh Paradoks
Dampak dari paradoks semacam ini amat nyata di dalam kehidupan
manusia. Saya merumuskan tujuh bentuk paradoks. Pandangan ini
tersebar begitu luas di dalam pemikiran Barat maupun Timur. Ia telah
berkembang dan diwariskan melalui berbagai cara, namun kini seolah
terpinggirkan oleh kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan yang
mendewakan akal budi.
Paradoks pertama yaitu paradoks rasa sakit. Banyak orang
menghindari rasa sakit. Mereka takut akan rasa sakit. Berbagai cara
dilakukan, mulai dari yang masuk akal sampai dengan yang mistik,
untuk menghindari rasa sakit.
Padahal, rasa takut akan rasa sakit yaitu rasa sakit itu sendiri.
Usaha untuk menghindari rasa sakit akan menghasilkan rasa sakit itu
sendiri. saat orang berusaha untuk menghindari rasa sakit, maka
rasa sakit itu akan bertambah. Inilah paradoks pertama dari kehidupan,
yakni paradoks rasa sakit.
Paradoks kedua yaitu paradoks kedamaian. Banyak orang
berusaha mencari kedamaian dalam hidupnya. Banyak yang melihat
agama sebagai jalan menuju kedamaian. Banyak pula yang mencari
jalan lain, guna memperoleh kedamaian di dalam hatinya.
Namun, keinginan untuk merasa damai justru menciptakan
perasaan tidak damai. Segala usaha untuk mencapai kedamaian hanya
akan menghasilkan ketegangan. Ketegangan itulah yang menjadi akar
dari rasa tidak damai. Inilah inti dari paradoks kedamaian.
Paradoks ketiga yaitu paradoks keberanian. Banyak orang
menghindari rasa takutnya. Mereka mencari berbagai cara, supaya bisa
melampaui rasa takutnya. Mereka bekerja keras untuk menemukan
keberanian di dalam hidupnya.
Padahal, keinginan untuk berani yaitu tanda dari ketakutan.
Semakin kita ingin berani, semakin ketakutan akan mencekam hidup
kita. Orang yang mencari segala cara untuk melampaui ketakutannya
justru akan selamanya dijajah oleh rasa takut di dalam hatinya. Inilah
paradoks keberanian.
Paradoks keempat yaitu paradoks memberi. Banyak orang takut
mem beri, sebab mereka takut kehilangan. Akhirnya, mereka menjadi
pelit. Mereka menutup diri dari dunia, dan hidup semata untuk dirinya
sendiri.
Padahal, di dalam hidup ini, semakin banyak kita melepas, semakin
banyak kita mendapat. Orang harus keluar uang, guna mendapat
uang. Orang harus memberi, guna mendapat. Orang harus melepaskan
keinginan untuk damai, jika ingin memperoleh kedamaian di dalam
hidup.
Apakah anda pernah berenang? Mereka yang berenang pasti sadar,
bahwa mereka harus tenang, supaya bisa mengambang di air. Semakin
kita melawan arus, semakin kita akan celaka, sebab tekanan arus
ini . Namun, sebaliknya, semakin kita pasrah pada arus, semakin
kita akan mengambang di atas air, sehingga bisa bertahan hidup. Inilah
paradoks kelima, yakni paradoks menyelam-mengambang.
Para ahli manajemen abad 21 sadar akan paradoks keenam, yakni
para doks manajemen. Semakin kita mengontrol orang dengan ketat,
semakin semuanya kacau. Namun, semakin kita memberi ruang
kebebasan di dalam manajemen, maka produktivitas dan kebahagiaan
perusahaan akan meningkat. Kontrol yang keras akan menghasilkan
kebencian dari pihak yang dikontrol.
Manajemen itu sejatinya seperti musik jazz. Ia tidak perlu ketukan
yang terkontrol rapat. Ia tidak perlu nada yang pasti yang diatur secara
ketat. Yang ia perlukan yaitu struktur yang dapat dipercaya, dan
kebebasan untuk bergerak di dalam struktur itu.
Paradoks ketujuh yaitu paradoks pengetahuan. Banyak orang
mencari pengetahuan di dalam hidupnya. Mereka pergi ke sekolah
dan perguruan tinggi ternama. Mereka mencari pengetahuan di negara
lain, jauh dari tanah air mereka.
Padahal, pengetahuan yang sesungguhnya bisa dicapai, jika kita
berhenti dan berdiam diri. Pengetahuan yang sejati tidak berada di luar
diri kita, melainkan di dalam diri kita. saat bergerak dan berbicara,
kita justru akan terlepas dari pengetahuan yang sejati. Kita lalu hanya
akan terjebak di dalam jutaan pendapat yang mayoritas yaitu omong
kosong.
Saat ke Saat
Bagaimana kita bisa hidup dengan segala paradoks ini? Paradoks
ini, pada hemat saya, yaitu hukum yang menata segala yang
ada. Ia yaitu aturan-aturan kehidupan. Orang yang mengikutinya
akan menemukan kedamaian dan kepenuhan hidup. Orang yang
melawannya akan terjebak di dalam penderitaan tanpa henti.
Hidup di dalam paradoks berarti hidup sesuai dengan kenyataan
yang ada. Kita melepas semua ambisi dan ketakutan kita. Kita hidup
secara alamiah mengikuti hukum-hukum kenyataan yang ada. Kita
tidak melawan alam, melainkan hidup berdampingan dengan alam
seturut dengan hukum-hukumnya.
Artinya lalu, kita hidup dari saat ke saat. Belajar dari pengalaman
masa lalu boleh dilakukan, namun tidak pernah boleh melupakan
keadaan disini dan saat ini. Membuat rencana tentu saja boleh, asal
tetap berjangkar pada keadaan disini dan saat ini. Yang ada hanyalah
saat ini. Masa lalu dan masa depan tidaklah ada.
saat kita tidak ngotot, semuanya akan tampak jelas. saat kita
jernih, keberanian dan kedamaian otomatis akan datang. saat kita
diam dan melihat ke dalam diri, maka kita akan mengetahui segalanya.
Sederhana, namun begitu banyak orang melupakannya. Sayang sekali.
Memegang dan Melepas
Peristiwa jatuhnya salah satu pesawat Germanwings menggetarkan hati banyak orang. Pesawat ini telah diperiksa sebelumnya.
Tidak ada masalah. Kru yang bekerja menerbangkan pesawat ini
pun yaitu kru profesional yang memiliki reputasi baik.
Namun, tiba-tiba, pesawat menukik ke bawah, dan menghantam
tanah. Ratusan orang dari berbagai negara meninggal dalam sekejap
mata. Banyak penjelasan dijabarkan, mengapa peristiwa ini terjadi.
Namun, semua penjelasan tampak percuma di hadapan anggota
keluarga dari korban yang meninggal dunia.
Musibah semacam ini juga tidak asing bagi kita yang tinggal di
Asia. Beberapa waktu yang lalu, pesawat Malaysian Airlines dan Air
Asia juga mengalami musibah yang sama. Ratusan orang meninggal
dunia dalam sekejap mata. Bagaimana kita harus bersikap di dalam
menanggapi tragedi yang nyaris tanpa makna ini?
Mengatur Alam
Tragedi yaitu bagian dari hidup manusia. Ia disebut sebagai
tragedi, sebab peristiwa ini menciptakan penderitaan dan kesedihan
yang amat dalam bagi banyak orang. Peristiwa ini juga menyadarkan
kita, bahwa hidup kita ini pendek dan rapuh. Namun, peristiwa ini juga
bisa menjadi saat yang baik untuk belajar, sehingga tidak mengulangi
kesalahan yang sama di masa depan.
Manusia memiliki akal budi. Dengan akal budinya, ia bisa
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, guna mengatur
alam untuk memenuhi kebutuhannya. Ia bisa menciptakan peradaban
dengan pencapaian-pencapaian yang luar biasa, seperti perkembangan
pertanian, kedokteran, sastra, seni, politik dan sebagainya. Dengan
akal budinya pula, ia berusaha memahami dirinya sendiri dalam
hubungannya dengan alam.
Francis Bacon, fi lsuf asal Inggris, pernah menegaskan, bahwa
pengetahuan yaitu kekuatan. Dengan memahami alam, manusia bisa
memakai alam untuk kepentingannya. Bacon sebenarnya hanya
mengulang apa yang dikatakan Chung Tzu, fi lsuf asal Cina, 1000 tahun
sebelumnya. Manusia hanya bisa mengatur alam, jika ia paham dan
mengikuti hukum-hukum alam ini .
Jika kita melawan alam, maka kita akan hancur. Filsafat, ilmu
pengetahuan dan teknologi yaitu beragam cara untuk memahami
alam. Peradaban berkembang dari usaha manusia untuk mengatur
alam dengan menaati hukum-hukum alam itu sendiri. Kontrol atas
alam ini berarti manusia berusaha untuk ”memegang” alam ke dalam
genggamannya.
Alam yang Elusif
Namun, alam itu selalu lebih besar dari manusia. Alam tidak
pernah bisa sepenuhnya dipahami oleh manusia. Akal budi dan
kemampuan manusia terlalu kecil untuk memahami dan ”memegang”
alam ke dalam tangannya. Inilah paradoks dasar dari fi lsafat, ilmu
pengetahuan dan teknologi, yakni mereka berusaha untuk memahami
apa sesungguhnya tak terpahami.
Di titik batas ini, saat kita tidak bisa lagi memahami, kita perlu
melepas akal budi kita. Kita perlu sadar sepenuhnya, bahwa kita
hanyalah titik kecil di tengah jagad semesta yang luas, nyaris tak
terkira. Kita perlu berusaha sampai pada satu titik, dimana kita harus
melepaskan usaha kita.
Untuk mengontrol alam, manusia membutuhkan akal budi. Untuk
melepas alam, manusia memerlukan kebijaksanaan. Inilah yang
sekarang ini kurang di dunia kita. Kita ingin mengontrol segala sesuatu,
namun kita tidak pernah siap untuk melepaskan.
Bagaimana kita bisa memiliki kebijaksanaan untuk melepaskan?
Kita perlu sadar, bahwa segala hal di dunia ini sementara. Ia ada dan
kemudian dengan berjalannya waktu, ia menghilang. Hal ini berlaku
untuk segala sesuatu, mulai dari karir, keluarga, harapan, kekecewaan
dan kehidupan itu sendiri. Semua ada dan akan berlalu.
Plato, fi lsuf Yunani Kuno, juga sudah menegaskan, bahwa tubuh
yaitu penjara bagi jiwa. Tubuh itu hanya seperti kendaraan yang
mengantar manusia ke berbagai ruang. Namun, ia menghalangi jiwa
manusia untuk sampai pada pengetahuan sejati. Tubuh manusia akan
sakit, menua dan akhirnya mati.
Namun, jiwa manusia tidak pernah lahir, dan juga tidak akan
pernah akan mati. Ia selalu ada. Tubuh dan segala yang ada hanyalah
kesementaraan yang bersifat kosong. Semuanya yaitu ilusi yang
tampak bagi indra kita. Begitulah ajaran Buddhisme Hinayana yang
berkembang di Asia Tenggara.
Memegang dan Melepas
Maka dari itu, kita, sebagai manusia, harus hidup di antara sikap
memegang dan melepas. Kita perlu mengatur alam, sambil belajar
untuk melepasnya. Kita perlu menata hidup kita, sambil terus sadar,
bahwa ini pun akan segera berlalu. Kita harus hidup dengan sepenuh
hati, sambil terus sadar, bahwa tubuh kita semua akan menjadi bangkai
dan debu pada akhirnya nanti.
Hidup dengan kesadaran ini berarti hidup sejalan dengan alam.
Hidup sejalan dengan alam berarti hidup seirama dengan hukum-
hukum alam. Kita tidak lagi memaksakan ambisi kita di dalam
kehidupan. Kita mengatur diri kita dan alam sekitar kita dengan
kesadaran penuh, bahwa semuanya perlu dilepas pada akhirnya nanti.
Jerman boleh terkenal dengan teknologinya. Eropa boleh terkenal
dengan ilmu pengetahuannya. Namun, di hadapan alam, semuanya
hampir tak ada artinya. Pelajaran terpenting di dunia ini yaitu belajar
untuk melepas, saat waktunya melepas. Inilah yang tak diajarkan di
dalam ilmu pengetahuan dan teknologi…
Kebebasan dari Pendapat
Kita tentu ingin bisa bebas berpendapat. Kita ingin menyuarakan pendapat kita, tanpa rasa takut. Kita pun berjuang untuk
mewujudkan kebebasan berpendapat di warga kita. Dalam hal
ini, kita harus melawan kesempitan berpikir yang kerap melekat pada
agama dan tradisi warga kita.
Kebebasan berpendapat berpijak pada kebebasan berpikir. Kita
ingin berpikir sesuai dengan kehendak dan kebutuhan kita. Kita tak
ingin orang lain melarang kita untuk berpikir. Kebebasan berpikir
dan berpendapat telah menjadi bagian dari perjuangan hak-hak sipil
di berbagai negara.
Namun, seringkali, kita memakai kebebasan berpikir dan
berpendapat untuk menghina orang lain. Kita merasa, bahwa kita
punya hak dan kebebasan untuk menyakiti orang lain dengan pendapat
kita. Kaum mayoritas merasa punya hak menghina yang minoritas.
Mereka merasa, bahwa itu yaitu bagian dari demokrasi.
Mengapa kebebasan berpikir dan berpendapat dipakai untuk
saling menghina? Mengapa kebebasan seringkali dipelintir untuk
tujuan-tujuan yang menyakiti orang lain? Ini terjadi, sebab kebebasan
kita masih dangkal. Kebebasan berpendapat dan berpikir, tanpa
kesadaran akan kekosongan dari pikiran dan pendapat kita, hanya akan
mendorong perpecahan dan penderitaan.
Pikiran
Untuk bisa sungguh bebas berpikir, kita perlu memahami hakekat
dari pikiran kita. Apa itu pikiran? Pikiran yaitu aktivitas mental
manusia yang berpijak pada kesadarannya. Jadi, pikiran berbeda
dengan kesadaran. Aktivitas mental ini terjadi, sebab hubungan
dengan dunia luar.
B anyak penelitian dijalankan untuk memahami arti kesadaran,
terutama dalam hubungan dengan otak. Namun, sampai sekarang,
belum ada defi nisi yang cukup diterima secara umum tentang
kesadaran. Di dalam tradisi fi lsafat Timur, kesadaran manusia sama
dengan kesadaran semesta, dan kesadaran segala yang ada. Segala hal
terhubung dalam jaringan kesadaran raksasa seluas semesta itu sendiri.
Di dalam diri manusia, kesadaran lalu melahirkan pikiran. Pikiran
ber guna bagi manusia untuk memempertahankan dirinya. Untuk itulah
ilmu pe nge tahuan dan teknologi dilahirkan. Pikiran manusia juga
menciptakan konsep dan bahasa yang berguna untuk memahami segala
sesuatu. Dalam arti ini, dapatlah dikatakan, bahwa pikiran menciptakan
segalanya yang diketahui manusia.
Namun, pikiran manusia juga memiliki kelemahan. Sejatinya,
ia bersifat kosong, sementara dan tidak pasti. Pikiran manusia
tidak mencerminkan kebenaran, melainkan hanya aktivitas mental
subyektifnya saja. Ia datang dan pergi, bagaikan angin dingin di tengah
musim panas.
Banyak orang sibuk dengan pikirannya. Mereka mengira, bahwa
pikirannya nyata. Mereka mengira, bahwa pikirannya yaitu kebenaran.
Inilah sumber dari segala penderitaan batin dan konfl ik antar manusia,
yakni dari pikiran kacau yang dianggap sebagai kebenaran.
Kebebasan dari Pikiran
Orang semacam ini mengalami kemelekatan pada pikirannya. Ia
tidak sadar, bahwa pikirannya kosong, sementara dan tidak pasti.
sebab kemelakatan ini, ia menganggap dirinya benar. Ia pun menjadi
orang yang sombong. Sikap semacam ini mengundang banyak
kesalahpahaman dan konfl ik.
Orang yang melekat pada pikirannya juga akan melekat pada
pendapatnya. Ia mengira, pendapatnya memiliki kebenaran mutlak. Ia
tidak sadar, bahwa pendapatnya pun tidak mencerminkan kenyataan
apa adanya. Orang semacam ini juga akan terjebak pada penyakit yang
sama, yakni arogansi, dan mendorong kesalahpahaman serta konfl ik
dengan orang lain.
Kemelekatan pada pikiran juga menciptakan penderitaan. Orang
diatur oleh pikirannya. saat senang, ia senang secara berlebihan.
saat sedih, ia amat menderita, bahkan ingin bunuh diri.
Menyadari, bahwa setiap pikiran dan pendapat itu kosong, membuat
orang mampu mengambil jarak pada pikiran dan pendapatnya. Ia pun
bebas dari pikiran dan pendapatnya. Ia tidak lagi dijajah oleh pikiran
maupun pendapatnya. Dengan keadaan ini, ia bisa memakai
pikiran dan pendapatnya untuk menolong orang lain, dan bukan untuk
menghina orang lain.
Kebebasan berpikir dan berpendapat haruslah dibarengi dengan
kebebasan dari pikiran dan pendapat. Inilah kebebasan yang sejati.
Inilah kebebasan manusia dewasa. Selama orang masih mengira, bahwa
pikiran dan pendapatnya mencerminkan kebenaran mutlak, selama itu
pula, ia akan menjadi manusia arogan yang gemar memicu konfl ik.
Semua masalah di dunia lahir, sebab orang melekat pada pikiran
dan pendapatnya. Sayang sekali memang…
Tetralema
Ilmu pengetahuan modern telah berulang kali membuktikan kepada kita, bahwa apa yang kita anggap sebagai nyata dan benar ternyata
salah. Berulang kali, kelima indera kita memberi infor masi yang
tidak tepat tentang dunia. Akhirnya, kita sulit membedakan antara
kenyataan dan ilusi. Banyak dari kita justru hidup dalam ilusi.
Kita mengira apa yang tidak ada sebagai ada. Sebaliknya, kita
tidak tahu, apa sesungguhnya yang ada. Kita buta, akibat pikiran-
pikiran yang bermunculan di kepala kita. Dalam arti ini, pikiran
tidak mengantarkan kita pada kebenaran, melainkan justru menjadi
penghalang terbesar kita untuk mencapai kebenaran.
Steve Hagen menulis tentang tetralema, yakni kebingungan kita,
saat kita hendak memahami hakekat dari materi. Ia mendasarkan
dirinya pada pemikiran Nagarjuna, fi lsuf India yang hidup sekitar
2300 tahun yang lalu. Tetralema yaitu jalan bagi pikiran kita, guna
memahami materi yang ada di depan mata kita, misalnya komputer,
layar televisi, meja, kursi dan sebagainya. Tetralema menggiring kita
untuk meragukan keberadaan materi yang sebelumnya tampak begitu
jelas kepada kita.
Tetralema
Tetralema berisi empat argumen tentang hakekat dari materi.
Ini yaitu empat jalan yang mungkin bagi pikiran manusia, guna
mengetahui materi yang ada di depan matanya. Hagen dan Nagarjuna
akan menunjukkan, bahwa semua argumen di dalam tetralema tidaklah
meyakinkan.
Argumen pertama; suatu benda didefi nisikan pada dirinya sendiri.
Artinya, ia tidak membutuhkan benda-benda lainnya. Meja yaitu
meja, kursi yaitu kursi. Mereka absolut pada dirinya sendiri. Titik.
Arg umen ini lemah. Kenyataanya, kita mengenali sesuatu dalam
hubungan dengan hal-hal lainnya. Baik ada, sebab ada buruk. Cantik
ada, sebab ada jelek. Meja bisa dikenali, sebab ia berbeda dengan
kursi, korden, dan sebagainya.
Argumen kedua; suatu benda didefi nisikan oleh lingkungannya.
Suatu benda bisa dikenali sebagai ada, sebab segala hal di sekitarnya
mendefi nisikan benda ini . Meja didefi nisikan oleh kursi. Aku
didefi nisikan oleh kamu, dan sebagainya.
Argumen ini juga lemah. Jika suatu benda melulu didefi nisikan
oleh lingkungannya atau oleh benda-benda lainnya, maka ia tidak
memiliki identitas pada dirinya sendiri. Ia tidak memiliki kepadatan
pada dirinya sendiri. Maka, ia pun tidak bisa dikenali.
Argumen ketiga yaitu gabungan antara argumen pertama dan
kedua. Benda bisa dikenali sebagai ada, sebab ia ada pada dirinya
sendiri, dan terhubung dengan lingkungan sekitarnya. Meja ada, sebab
meja ada dan dibatasi oleh kursi, korden dan sebagainya. Linkungan
dan isi dari benda ini membuat benda itu menjadi ada, dan dapat
dikenali oleh manusia.
Argumen ini juga tidaklah meyakinkan. Jika inti dari benda
bercampur dengan lingkungannya, maka semuanya akan melebur.
Tidak ada lagi perbedaan. Kita pun tidak bisa mengetahuinya sebagai
benda. Pengetahuan membutuhkan distingsi. Tanpa distingsi, tidak
ada pengetahuan.
Argumen keempat; suatu benda tidak didefi nisikan oleh benda
itu sendiri, maupun oleh lingkungannya. Sekilas mendengar, kita
akan langsung sadar, bahwa argumen ini tidak masuk akal. Jika suatu
benda tidak didefi nisikan oleh dirinya sendiri atau lingkungannya, lalu
bagaimana kita bisa mengenalinya? Ini juga berarti, bahwa benda itu
tidak ada.
Dengan demikian, keempat argumen tetralema tidak bisa
membuktikan, bahwa materi ada. Tidak ada jalan yang kokoh untuk
mengenali materi. Ia tampak seolah ada di depan mata kita. Namun,
sesungguhnya, ia tidak sungguh ada, sebab ia tidak sungguh dapat
diketahui secara meyakinkan.
Artinya, lokalitas yaitu ilusi. Lokalitas yaitu fakta, bahwa suatu
benda menempati ruang dan waktu tertentu, sehingga ia bisa dikenali.
Namun, lewat tetralema di atas, kita sadar, bahwa lokalitas tidak dapat
dipastikan. Artinya, pengetahuan kita tentang dunia juga tidak dapat
dipastikan.
Teori Kuantum
Teori kuantum berkembang pesat di abad 20 dan 21 ini. Ia
menjelaskan perilaku elektron dan partikel, yakni unsur terkecil dari
materi. Di dalam teori ini dijelaskan, bahwa elektron dan partikel
bisa bergerak seperti cahaya atau gelombang. Keduanya mungkin,
dan itu tergantung dari pengamat yang mengamati gerak elektron
ini . Pengamat?
Artinya, keberadaan pengamat mempengaruhi pola gerak elektron
dan partikel. Cara pengamat ini mengamati juga menentukan
perilaku elektron dan partikel. Artinya, realitas itu tergantung dari
keberadaan pengamat, dan bagaimana ia mengamati realitas ini .
Realitas tidak ada pada dirinya sendiri, melainkan tergantung dari kita
yang mengamatinya.
Tetralema dan teori kuantum membuka pemahaman baru pada
kita. Tidak ada realitas obyektif di luar sana. Tidak ada takdir yang
sudah ditulis sebelumnya. Segalanya bergerak dan berubah, tergantung
pada keberadaan kita, dan cara berpikir kita di dalam hidup.
Perubahan Cara Hidup
Di dalam Zen Buddhisme, pikiran yaitu pencipta segalanya.
saat pikiran berhenti, maka segalanya juga akan berhenti. Yang ada
hanyalah ruang luas sebesar semesta itu sendiri. Pikiran dan hidup
kita pun menjadi jernih.
Pandangan ini sejalan dengan tetralema dan teori kuantum. Apa
yang kita anggap sebagai ada, termasuk uang, nama baik, keluarga,
kesedihan, ketakutan, kekecewaan, sesungguhnya tidaklah ada. Ia ada,
sebab ia diciptakan oleh pikiran kita. Dengan menyadari ini, kita bisa
mengatur pikiran dan hidup kita, dan bukan sebaliknya. Kita tidak lagi
dijajah oleh pikiran kita.
Kita menemukan kebebasan yang sejati, yakni kebebas an
dari pemikiran konseptual. Kita lalu bisa secara bebas mengguna kan
pi kir an kita untuk membantu orang lain yang membutuhkan. Pikiran
ha nya alat, dan ia bisa menjadi alat yang baik. Ia menjadi salah, saat
ia tidak dapat diatur, dan bergerak menciptakan ketakut an dan pende-
ritaan di dalam batin manusia.
Argumen tetralema dan teori kuantum membuka cara hidup
baru kepada kita. Cara hidup ini berfokus pada pemahaman yang
nyata tentang dunia sebagaimana adanya (wie die Dinge sind), dan bukan
dunia sebagaimana kita inginkan atau bayangkan (wie die Dinge sein
sollen). Ia tidak lahir dari mitos atau ajaran moral untuk mengontrol
perilaku sosial, seperti yang banyak ditemukan di dalam agama-agama
tradisional. Ia lahir dari kebebasan sejati yang tidak berpijak pada
kepercayaan buta, melainkan dari pengalaman persentuhan langsung
dengan kenyataan apa adanya.
Ilmu Pengetahuan dan Tantangan Global
Kita hidup di dunia yang penuh tantangan. Di satu sisi, berbagai masalah sosial, seperti kemiskinan, perang dan kesenjangan sosial
di berbagai negara, tetap ada, dan bahkan menyebar. Di sisi lain,
krisis lingkungan hidup memicu berbagai bencana alam di berbagai
tempat. Kita membutuhkan cara berpikir serta metode yang tepat, guna
menghadapi dua tantangan ini .
Ilmu pengetahuan mencoba melakukan berbagai penelitian untuk
memahami akar masalah, dan menawarkan jalan keluar. Beragam
kajian dibuat. Beragam teori dirumuskan. Akan namun , seringkali
semua itu hanya menjadi tumpukan kertas belaka yang tidak membawa
perubahan nyata.
Bahkan, kini penelitian sedang dilakukan untuk memahami
beragam penelitian yang ada. Jadi, ”penelitian atas penelitian”. Di-
lihat dari kaca mata ilmu pengetahuan, kegiatan ini memang perlu
dan menarik. Namun, dilihat dari sudut akal sehat sederhana, ini
merupakan tanda, bahwa telah ada begitu banyak kajian dan teori yang
lahir dari penelitian dengan nilai milyaran dollar, sementara hasilnya
masih dipertanyakan.
Banjir Teori
Kondisi ini saya sebut sebagai ”banjir teori” dan ”banjir kajian”.
Kajian dibuat demi kajian itu sendiri. Teori dirumuskan demi teori itu
sendiri. Ini merupakan kesalahan berpikir mendasar di dalam dunia
akademik sekarang ini.
Kondisi juga me nciptakan kebingungan, baik di antara para
ilmuwan sendiri, maupun warga luas. Di dalam kebingungan
semacam ini, beragam masalah tetap ada. Bahkan, dalam beberapa
masalah , masalah-masalah yang ada justru membesar dan menyebar.
Uang milyaran dollar pun lenyap begitu saja untuk penelitian-pene-
litian yang absurd.
Kajian banyak terjadi di level teori. Perdebatan juga terjadi di level
teori. Namun, ini jelas tidak cukup. Umat manusia membutuhkan cara
berpikir yang baru, guna menghadapi berbagai tantangan dunia.
Hakekat Teori
Teori yaitu rangkaian kata-kata ataupun simbol untuk menjelaskan
suatu keadaan atau fenomena di dalam dunia. Teori juga merupakan
bentuk abstraksi pikiran manusia atas keadaan atau benda di dunia.
Dalam arti ini, dapat dengan lugas dikatakan, bahwa teori itu
bukanlah kenyataan, melainkan abstraksi yang sekaligus juga berarti
penyempitan (reduksi) dari kenyataan itu sendiri. Berteori berarti
mencabut unsur-unsur di dalam kenyataan yang dianggap penting, dan
berarti mengabaikan atau bahkan membuang hal-hal yang dianggap
tidak penting.
Perdebatan pun lalu banyak terjadi di level teoritis. Para ilmuwan
sibuk dengan konsep, kata dan simbol. Mereka kerap lupa, bahwa apa
yang mereka bicarakan dan teliti itu yaitu kehidupan manusia dengan
segala kekayaannya. Mereka lalu membangun teori di atas teori, dan
begitu terus, sampai tidak lagi memiliki akar di dalam kenyataan.
Jadi, teori tidak membantu manusia untuk memahami kenyataan.
Bahkan, yang terjadi yaitu sebaliknya, yakni teori justru mengaburkan
pengetahuan manusia atas kenyataan. Kita tidak lagi dapat memahami
realitas sebagaimana adanya, melainkan hanya realitas sebagaimana
kita teorikan di dalam kepala dan penelitian kita. Dan sebab begitu
banyak teori, maka ada begitu banyak ”realitas”, dan akhirnya
menciptakan kebingungan yang besar.
Dunia akademik menciptakan semacam dunia baru, yakni dunia
imajinasi. Dunia imajinasi ini berisi kata, simbol dan teori. Di dalamnya
terkandung, harapan dan ketakutan yang ditutupi dengan selubung
— 111
rumusan, formula, ataupun teori. Semua ini membuat orang tak lagi
mampu memahami realitas apa adanya.
Melampaui Teori
Jika kita hanya memahami dunia melalui teori dan konsep di dalam
kepala kita, maka kita tidak akan bisa memahami realitas apa adanya.
Jika kita tidak dapat memahami realitas apa adanya, maka kita akan
tersesat. Kita tidak lagi bisa membedakan antara kenyataan dan ilusi
yang muncul di kepala kita. Akibatnya, kita pun bingung, dan tidak
dapat menanggapi dengan tepat beragam tantangan yang ada.
Untuk mencegah itu, kita perlu memahami kenyataan apa adanya.
Kita perlu bergerak melampaui teori, dan memahami dunia apa adanya.
Kata ”melampaui” bisa juga diganti dengan kata ”sebelum” teori,
yakni dunia apa adanya, sebelum kita merumuskan konsep atasnya.
Para fi lsuf fenomenologi Jerman, seperti Edmund Husserl dan Martin
Heidegger, menyebutnya sebagai dunia kehidupan (Lebenswelt), yakni
dunia prakonseptual (sebelum konsep). Para pemikir fi lsafat Timur,
se perti Seung Sahn dan Lin-Chi, menyebutnya sebagai dunia-tanpa-
pikiran.
Bagaimana kita bisa memahami kenyataan apa adanya? Kita harus
me lepaskan diri dari konsep dan teori. Kita harus melepaskan diri kita
dari ke biasaan berpikir konseptual. Dengan ini, lalu kita bisa mencerap
(wahrnehmen) kenyataan apa adanya, yakni kenyataan sebelum dan
sekaligus melampaui konsep serta teori.
Dalam arti ini, kita tidak lagi memahami (begreifen) kenyataan,
melainkan mengalami (erleben) kenyataan. Kita tidak memenjara realitas
ke dalam kata dan simbol, melainkan membiarkan realitas itu tampil
apa adanya ke dalam kesadaran kita. Kita bergerak ke level sebelum
pemikiran, dan kemudian menyentuh realitas apa adanya. Dalam arti
ini, tidak ada lagi perbedaan antara aku dan realitas.
Di dalam persentuhan dan kesatuan dengan realitas ini, kita pun
mengalami perubahan kesadaran. Cara berpikir kita berubah. Cara
hidup kita berubah. Keputusan dan prioritas dalam hidup kita pun
lalu ikut berubah.
Kebingungan lenyap. Orang bingung, sebab kepalanya dipenuhi
konsep dan teori. Keadaan ini menciptakan ketakutan dan harapan
berlebihan yang membuat orang tak jernih memandang realitas. Kepu-
tusan-keputusan yang ia ambil pun lalu mencerminkan kebingungan
di dalam hidupnya.
Sebaliknya, persentuhan langsung dengan realitas membuat
teori dan konsep lenyap sesaat . Segalanya menjadi jelas dan jernih.
Orang tahu, apa yang harus ia lakukan. Pijakannya bukanlah lagi
melulu pertimbangan rasional dan logis, melainkan ”intuisi”, yakni
pengalaman langsung dengan kenyataan.
Dalam keadaan ini, moralitas sebagai seperangkat aturan bertindak
tidak lagi diperlukan. Berbuat baik yaitu sesuatu yang alamiah, saat
orang menyentuh realitas dengan intuisinya. Berbuat jahat, dalam arti
mendorong penderitaan, juga secara alamiah dihindari. Orang tidak
dipenuhi oleh ”perang teori” dan ”perang konsep” di dalam kepalanya
soal baik buruk- benar salah, melainkan hidup dengan pikiran jernih,
guna menghadapi segala yang ada sesuai keadaan yang nyata.
Dengan kejernihan semacam ini, kita bisa bekerja sama, guna
menghadapi berbagai tantangan jaman yang ada. Kita tidak lagi
terjebak dengan teori dan konsep. Kita juga tidak lagi terjebak dalam
kebingungan dan ketakutan. Namun, keadaan ini haruslah dilatih terus
menerus, sehingga ia sungguh menjadi bagian nyata dari kehidupan
kita, dan bukan sekedar sensasi sesaat belaka.
Perdamaian yang sejati dapat terbentuk, saat kita melepaskan
ide-ide kita tentang perdamaian. Kita tidak lagi ngotot menciptakan
per da maian ”versi kita”. Kita tidak lagi terjebak pada ”konsep per da-
mai an” atau ”teori tentang perdamaian” yang kita anggap benar. saat
kita bisa mencerap kenyataan apa adanya, pada saat itulah, kita bisa
mengalami perdamaian sejati di dalam batin, maupun dengan orang
sekitar.
Menyamaratakan
”sebab nila setitik, rusak susu sebelanga.” Benarkah? sebab satu kesalahan, lalu semua hal baik juga ikut rusak? sebab kesalahan
satu orang, lalu seluruh kelompoknya juga ikut bersalah?
Inilah salah satu pertanyaan terpenting yang perlu kita ajukan
sekarang ini. Banyak orang hidup dengan prasangka. Pikirannya
melihat sesuatu, lalu menyamaratakan kesalahan itu ke konteks yang
lebih luas. Misalnya, ada satu orang Ambon yang menjadi preman.
Lalu, kita dengan gampangnya menarik kesimpulan, ”semua orang
Ambon itu preman”.
Kesalahan satu orang lalu dianggap sebagai kesalahan kelompok.
Ada orang asing berbuat kriminal, maka semua orang asing lalu
dicurigai sebagai kriminal. Inilah yang sekarang ini berkembang di
Jerman, dan di berbagai tempat lainnya. Saya menyebut gejala ini
sebagai pola pikir ”menyamaratakan”.
Kecenderungan ini lalu juga meluas. Kesalahan kelompok dianggap
sebagai kesalahan ras. Kesalahan ras lalu dianggap sebagai kesalahan
seluruh peradaban. Dunia lalu terpecah di antara berbagai kelompok
yang saling membenci satu sama lain.
Prasangka
Pola pikir menyamaratakan yaitu ibu kandung dari prasangka.
Prasangka yaitu pandangan kita akan sesuatu, sebelum sesuatu itu
terjadi. Ia tidak nyata. Ia hanya khayalan di kepala kita yang berpijak
pada ketakutan dan kesalahpahaman.
Prasangka lalu melahirkan diskriminasi. Kita menilai orang
berdasar warna kulit, ras, suku atau agamanya. Kita bersikap keras
dan tidak adil kepada seseorang, sebab ia memiliki latar belakang yang
tidak sama dengan kita. Dengan cara berpikir ini, kita bisa menjadi
pelaku pembunuhan massal.
Dunia sekarang ini hidup dalam bayang-bayang diskriminasi
dan rasisme. Orang dipisahkan oleh tembok warna kulit dan agama.
Berita-berita di media dipelintir, guna memanaskan keadaan. Banyak
keluarga harus menderita, sebab mengalami ketidakadilan di berbagai
segi kehidupannya.
Keadaan ini bagaikan bom waktu. Konfl ik besar antar kelompok
menanti di depan mata. Ketegangan politis dan militer membawa pen-
deritaan bagi banyak orang yang tak bersalah. Keadaan ini diperparah
oleh rusaknya alam, akibat dari kerakusan dan kebodohan manusia.
Pembunuhan massal etnis Yahudi tak jauh dari ingatan kita.
Orang-orang Yahudi ditangkap dan dibunuh, tanpa alasan yang
jelas. Di Indonesia, jutaan anggota PKI dan organisasi-organisasinya
ditangkap, ditahan dan dibunuh demi kekuasaan belaka. Pola pikir
menyamaratakan ada di balik semua peristiwa mengerikan ini.
Akar
Memang, sulit bagi kita untuk tidak menyamaratakan, saat kita
secara langsung menjadi korban dari suatu bentuk kejahatan. Kita
mengalami trauma dan sakit hati, akibat penghinaan dan ketidakadilan
yang secara langsung kita alami. Berpijak pada kekalutan batin semacam
itu, kita lalu menyamaratakan. Selama konfl ik dan trauma tidak
mengalami rekonsiliasi, selama itu pula pola pikir menyamaratakan
akan berkembang, dan mendorong berbagai bentuk diskriminasi.
Misalnya, kita diancam oleh preman yang berasal dari Medan.
Maka sulit bagi kita untuk menolak logika berpikir, bahwa ”semua
orang Batak yaitu preman”. Ada semacam ketakutan yang menutupi
pikiran kita di dalam peristiwa ini. Akibatnya, kita tidak lagi mampu
berpikir jernih, dan kemudian menyamaratakan.
Ini juga seringkali terkait dengan harga diri kita sebagai manusia.
Korban penghinaan terluka harga dirinya. Kemarahan dan kebencian
menutupi matanya, sehingga ia berpikir dengan menyamaratakan, dan
mendorong terjadinya diskriminasi serta konfl ik. Hal yang sama terjadi
dengan harga diri kelompok, sehingga konfl ik perorangan berubah
menjadi konfl ik antar kelompok.
Pola pikir ”menyamaratakan” ini juga diakibatkan oleh hubungan
sebab akibat semu di dalam kepala. Kita membuat hubungan tanpa
dasar antara dua peristiwa. Kita melihat sebab dari suatu akibat
(penderitaan kita), walaupun sesungguhnya tidak ada hubungan
langsung. Analisis kita dikotori oleh rasa takut, trauma dan kebencian.
Keadaan ini juga disebut sebagai ketidakberpikiran. Kita mengira
ketakutan kita sebagai kebenaran. Kita mengira pikiran kita sebagai
kebenaran. Pikiran yang diyakini sebagai kebenaran justru melahirkan
ketidakberpikiran.
Pada saat yang sama, keadaan ini juga bisa disebut tindak berpikir
yang berlebihan. Para master Zen di dalam fi lsafat Timur berulang kali
menegaskan, pikiran yaitu sumber dari segala penderitaan. Pikiran
dan analisis memisahkan manusia dengan manusia lainnya, dan
manusia dengan alam. Keadaan ini berpotensi besar untuk mendorong
konfl ik.
Pola pikir menyamaratakan bisa dilampaui, jika orang menyadari
pikirannya sendiri. Ia lalu bisa mengambil jarak dari prasangka yang
bercokol di kepalanya. Ketakutannya tetap ada, namun tidak mem-
pengaruhinya. Setelah prasangka dan ketakutan lenyap, orang lalu
masuk ke dalam kejernihan.
Orang juga tak perlu takut dan marah, jika ia mengalami diskri-
minasi, akibat penyamarataan. Para pelaku diskriminasi yaitu orang-
orang yang takut dan menderita. Justru, mereka harus dibantu dengan
berbagai cara yang mungkin. Kekuatan terbesar manusia yaitu
kelembutannya di dalam menghadapi segala sesuatu.
Apa yang Sesungguhnya Ada
Sejak awal keberadaannya, manusia ingin memahami dunianya. Ia juga ingin memahami dirinya sendiri. Dorongan ini bersifat
alamiah. Ia akan selalu ada, selama manusia masih hidup.
Memahami dunia berarti mengamati dunia apa adanya. Mengamati
duni