tentang manusia 4



 a apa adanya berarti mengamati dunia di dalam perubahannya. 

Segala sesuatu terus berubah, tanpa henti. Kita tak akan pernah 

menginjakkan kaki di sungai yang sama, begitu kata Herakleitos, fi lsuf 

Yunani Kuno.

Apa yang kita lihat sekarang bukanlah yang kita lihat sebelumnya. 

Setiap tujuh tahun, tubuh manusia berganti sepenuhnya. Ia menjadi 

manusia yang sama sekali baru. Yang sama dari manusia itu dengan 

manusia sebelumnya hanyalah namanya.

Apa yang kita anggap tetap dan akan memuaskan kita pada 

akhirnya akan berubah, dan lenyap dari muka bumi ini. Apa yang kita 

perolah akan berubah, dan akan lenyap. Apa yang kita pegang erat-erat 

juga akan berubah. Apa yang kita perjuangkan dengan seluruh hidup 

kita akan hilang ditelan angin.

Memahami kenyataan di dalam perubahannya berarti juga 

memahami alam di dalam keterhubungannya. Segala hal saling 

terhubung satu sama lain. Hukum-hukum fi sika yang bekerja, saat  

kita mengangkat tangan kita, sama dengan hukum-hukum fi sika yang 

menggerakan meteor di ruang angkasa nan jauh disana. Perbedaan 

hanya merupakan ilusi yang diciptakan oleh pikiran kita yang terbatas.

Kotoran bagi satu mahluk yaitu  makanan bagi mahluk lain. Apa 

yang dianggap menjijikan oleh manusia justru menjadi rumah bagi 

peradaban serangga atau tumbuhan tertentu. Lingkaran saling keter-

hubungan yaitu  bentuk dari alam semesta kita. Tidak ada yang suci 

dan tidak suci, sebab  semuanya saling membutuhkan satu sama lain.

Kenyataan juga tidak memiliki konsep. Kenyataan yaitu  apa 

adanya,just as it is. Ia tidak memiliki nama. Kata ”kenyataan” juga 

sebenarnya salah kaprah. Ia membuat aliran perubahan seolah-oleh 

menjadi tetap, dan bisa disebut sebagai ”kenyataan”.

Konsep membuat sesuatu tampak tetap. Padahal, sejatinya, segala 

hal terus berubah, tiap detik, tanpa henti. Konsep bukanlah kenyataan. 

Bahkan seringkali, ia menghalangi kita untuk memahami kenyataan.

Salah satu konsep yang paling banyak dipakai  manusia yaitu  

konsep ”awal dan akhir”. Di dalam alam, tidak ada awal dan tidak ada 

akhir. Segalanya berubah, bergerak. Apa yang kita sebut sebagai ”awal” 

dan ”akhir” juga merupakan sebuah perubahan yang tak istimewa.

Jika tak ada awal dan akhir, maka tidak ada hidup dan mati. 

Hidup dan mati hanyalah sebentuk perubahan. Pikiran kitalah yang 

mencapnya sebagai sesuatu yang penting. Alam semesta itu sejatinya 

tidak pernah hidup dan tidak pernah mati. Ia juga tidak memiliki awal 

dan tidak memiliki akhir. Ia hanya ada, dan terus ada.

”Awal-akhir”, ”hidup-mati”, itu yaitu  konsep-konsep di dalam 

pikiran kita. Kita lalu melekat pada konsep-konsep itu. Kebahagiaan 

kita menjadi tergantung padanya. Jika sesuatu hidup atau dimulai, kita 

senang. Sebaliknya, jika sesuatu berakhir atau mati, kita lalu sedih. Ini 

yaitu  ilusi dari pikiran kita.

saat  orang mati, tubuhnya menjadi bangkai di tanah. Rumput 

dan tanaman tumbuh subur di tanah yang berisi bangkai. Sapi lalu 

memakan rumput itu, lalu manusia memotong mati untuk lauk pauk 

di meja makannya. Inilah lingkaran kehidupan yang tak mengenal awal 

dan akhir, mati dan hidup.

Dalam arti ini, dapat juga dikatakan, bahwa seluruh alam ini 

yaitu  satu kesatuan. Tidak ada perbedaan. Semua terhubung, dan 

tidak hanya itu, semua yaitu  satu. Butiran pasir di pantai dan bintang 

raksasa yang berukuran ratusan kali lebih besar dari matahari yaitu  

satu dan sama.

Argumen ini didukung oleh penemuan terbaru di dalam fi sika. 

Komponen terkecil alam semesta yaitu  satu dan sama. Antara 

semut dan gajah tidak ada perbedaan, saat  kita melihat komponen 

terkecilnya. Perbedaan hanya tampak di mata dan pikiran kita.

Kesatuan ini ditunjang oleh harmoni di dalam alam semesta. 

Harmoni berarti segala sesuatu memiliki tatanan tertentu. Ada hukum-

hukum alam yang mengatur segalanya. Tidak pernah ada chaos dan 

kekacauan, sebagaimana dibayangkan oleh manusia.

Sayangnya, banyak orang tak paham akan hal ini. Mereka meng-

anggap, apa yang mereka punya akan tetap dan abadi. Mereka lalu 

melekat pada harta, ambisi dan nama besar. Mereka juga mengira, diri 

mereka abadi dan tetap. Tak heran, mereka hidup dalam penderitaan.

Mereka juga hidup dalam delusi. Mereka mengira, kematian yaitu  

akhir. Lalu, mereka marah, takut serta sedih, saat  orang yang mereka 

sayangi meninggal. Mereka juga berusaha untuk bisa hidup sehat dan 

awet muda, serta berusaha untuk menghindari kematian. Usaha yang 

sejatinya sia-sia.

Banyak orang juga berambisi untuk memulai sesuatu. Lalu, mereka 

melekat pada ambisi dan pada sesuatu itu. Ambisi membutakan mata 

mereka. Padahal, itu pun juga sejatinya akan berakhir.

Orang yang hidup dalam delusi berarti hidup dalam penderitaan. 

Mereka melekat dan memegang erat hal-hal yang sejatinya terus 

berubah. Mereka mengira, bahwa pikiran dan konsep-konsep mereka 

yaitu  kenyataan. Mereka juga takut pada kematian dan usia tua.

Orang yang menderita akan cenderung membuat orang lain men-

derita. Penderitaan kolektif akan mendorong konfl ik antar kelompok. 

Perang antar negara juga bisa terjadi, sebab  penderitaan batin yang 

amat besar dari kedua belah pihak yang berperang. Perdamaian 

dunia tidak akan pernah tercapai, jika orang masih terjebak di dalam 

delusinya masing-masing.

Bagaimana kita membangun sikap hidup yang tepat dengan 

berpijak sebagaimana adanya? Bagaimana kita bisa melepaskan 

segala harapan kosong dan pikiran-pikiran delusional yang menutupi 

mata kita dari dunia apa adanya? Inilah pertanyaan yang menjadi 

pergulatan fi lsafat Yunani Kuno dan fi lsafat Timur. Bagaimana kita 

bisa melepaskan konsep-konsep pikiran kita, dan kemudian hidup 

mengalir mengikuti perubahan semesta?

Keputusan

Hidup kita disusun oleh berbagai keputusan yang telah kita buat. Setiap harinya, kita pun diminta untuk membuat keputusan. Di 

sisi lain, ke putusan-keputusan kita juga berdampak langsung pada 

orang lain. Keadaan pikiran dan fi sik hidup mereka juga menerima 

dampak dari keputusan yang kita buat. Pertanyaan yang patut dijawab 

pada titik ini yaitu , bagaimana kita bisa membuat keputusan yang 

tepat untuk hidup kita, terutama dengan mempertimbangkan keadaan 

dunia yang semakin hari semakin rumit ini?

Kejernihan

Ada empat hal yang diperlukan, guna membuat keputusan, 

yakni kejer nihan, dialog, keputusan dan kontrol. Kejernihan pikiran 

yaitu  kemampuan untuk memahami keadaan apa adanya, lepas dari 

segala bentuk kotoran yang menutupi pikiran kita, seperti prasangka, 

ketakutan, kecemasan dan trauma dari peristiwa masa lalu. Pikiran 

yang kotor ini akan bermuara pada pertimbangan-pertimbangan yang 

kacau. Ini semua akan mendorong kita membuat keputusan yang 

salah, yakni keputusan yang menciptakan penderitaan bagi diri kita, 

maupun orang lain.

Bagaimana cara mencapai kejernihan pikiran semacam ini? Kita 

harus membersihkan kepala kita dari semua pertimbangan konseptual 

abstrak, terkait dengan keputusan yang akan kita buat. Kita juga harus 

melepaskan kepentingan pribadi kita. Hanya dengan begitu, pikiran 

kita akan menjadi jernih seperti ruang kosong, dan bisa membuat 

keputusan yang tepat, sesuai dengan keadaan yang ada di depan mata.

saat  pikiran jernih, maka keadaan akan jelas. Segala hal menjadi 

jelas dengan sendirinya. Kita tak lagi lagi sibuk pada apa yang kita 

inginkan, melainkan pada keadaan sesungguhnya. Dengan berpijak 

pada pengetahuan tentang keadaan sebagaimana adanya, kita bisa 

menanggapi setiap keadaan dengan tepat. Kita menjadi pribadi yang 

responsif, yakni berani dan mampu menanggapi segala keadaan yang 

terjadi apa adanya.

 Banyak orang tidak responsif pada keadaan sebenarnya. Mereka 

bersikap reaksioner terhadap keadaan. Artinya, mereka menanggapi 

keadaan tidak dengan kejernihan, melainkan dengan ketakutan, 

kecemasan dan prasangka. Semua ini menghasilkan kebencian yang 

akan membuat keputusan yang diambil menjadi salah, dan menciptakan 

penderitaan bagi banyak orang.

Dialog, Keputusan dan Kontrol

Kejernihan lalu menjadi dasar untuk proses berikutnya, yakni 

dialog. Dialog mengandaikan kerja sama antara berbagai pihak, guna 

membuat sebuah keputusan yang nantinya akan mempengaruhi 

kehidupan banyak orang. Segala kehendak dari semua pihak terkait dan 

dampak yang timbul dari keputusan yang diambil harus diperhatikan. 

Semua itu harus menjadi bahan di dalam dialog.

Namun, dialog tidak boleh berlangsung tanpa henti. Keputusan 

harus dibuat, walaupun keadaan memang tak sesempurna yang 

diinginkan. Sikap perfeksionis di dalam membuat keputusan haruslah 

dihindari, tanpa terjatuh pada sikap sembrono. Kejernihan pikiran 

menjadi dasar utama dari semua proses ini.

Setelah keputusan dibuat, ia harus dipantau terus menerus, apakah 

berjalan dengan baik, atau tidak. Pemantauan ini amatlah penting. 

Begitu banyak keputusan politik di buat di Indonesia, namun  tidak 

me miliki dampak yang diharapkan. Tanpa kontrol yang jelas, setiap 

keputus an, sebagus apapun, tidak akan memberi  kebaikan pada 

siapapun.

Kejernihan pikiran, dialog, keputusan dan kontrol yaitu  langkah-

langkah yang harus ditempuh, guna membuat keputusan yang tepat, 

sesuai dengan keadaan sebagaimana adanya. Ini semua harus dilakukan 

dengan kesadaran penuh, bahwa semuanya yaitu  kosong, sementara 

serta terus berubah. Perubahan yaitu  keniscayaan di dalam hidup. 

Maka, semuanya pun harus terbuka untuk perubahan yang diperlukan, 

guna menanggapi keadaan yang ada.

Walaupun dibuat dengan kejernihan, pasti ada kesalahan. Itu 

yaitu  bagian dari hidup. Penyesalan tidaklah diperlukan. Kita hanya 

perlu terus berusaha jernih, dan maju terus dalam dialog, memutuskan 

apa yang perlu dilakukan, dan melakukan kontrol atasnya. Maju 

terus….

Media, Citra dan Realita

Citra memang bukan realita. Namun, perannya tetaplah penting, terutama di dunia digital yang sekarang ini mengepung hidup kita. 

Citra menentukan sikap orang lain pada kita. Citra juga mempengaruhi 

selera massa, yang akhirnya berpengaruh langsung pada keberhasilan 

ekonomi seseorang, dan bahkan satu negara.

Citra merupakan abstraksi dari realita. Ia bukanlah realita itu 

sendiri. Citra dibangun di atas sekumpulan informasi yang diperoleh 

dari sumber-sumber tertentu. Sayangnya, informasi-informasi ini  

tidak sepenuhnya sesuai kenyataan.

Citra berpijak pada persepsi. Persepsi dibangun atas bayangan 

tentang realita. Bayangan ini  lalu menjadi semacam penuntun 

cara berpikir dan cara bertindak yang tidak disadari. Orang menjalani 

hidupnya dengan berpijak pada persepsinya atas kenyataan ini .

Realita yang sesungguhnya, dalam konteks ini, berada di luar 

genggaman tangan kita. Ia berada di luar dan melampaui persepsi. 

Pada titik ini, orang perlu berpikir terbalik. Persepsi justru bertentangan 

dengan kenyataan. Jadi, anggapan yang ada di kepala justru harus 

dilihat terbalik dari kenyataan yang ada.

Citra dan Media

Darimana persepsi muncul? Dari mana citra tercipta? Peran media 

amatlah besar dalam hal ini, termasuk di dalamnya yaitu  koran, 

majalah, iklan, berita-berita di internet serta gosip-gosip di blog pribadi 

mau pun jaringan sosial. Cara pandang kita atas dunia, perilaku kita 

serta selera kita dibangun oleh media-media modern berukuran raksasa 

ini.

 saat  media menyebarkan berita, bahwa kulit putih lebih 

baik dari kulit hitam, maka kita pun lebih suka pada laki-laki atau 

perempuan berikulit putih, daripada mereka yang berkulit hitam. 

saat  media menyebarkan informasi, bahwa Eropa itu indah, maka 

orang berbondong-bondong berwisata ke Eropa, walaupun dengan 

biaya yang tidak masuk akal. saat  media menyebarkan berita, bahwa 

pendidikan di Amerika Serikat yaitu  yang terbaik di dunia, maka 

orang berbondong-bondong sekolah disana, juga dengan biaya yang 

amat tinggi. Jadi, apa kata media, itulah yang menjadi selera kita, dan 

akhirnya menuntun hampir semua tindakan kita.

Padahal, media tidaklah pernah netral. Media selalu merupakan 

corong dari kepentingan pihak tertentu. Dalam banyak hal, media 

justru melestarikan keadaan sosial tertentu yang tidak adil. Dengan 

kata lain, media kerap menjadi kaki tangan para penguasa yang 

ingin menjaga kekuasaannya dengan cara-cara yang tidak dapat 

dipertanggungjawabkan.

Media dan Realita

Media menyebarkan info dan berita yang menguntungkan 

pihak tertentu. Dari pola pemberitaan semacam ini, media lalu juga 

memperoleh keuntungan. Pola ini sudah kita rasakan bersama, sewaktu 

Orde Baru di bawah Soeharto memerintah Indonesia. Pemberitaan 

media dipelintir untuk membangun citra baik bagi pemerintah yang 

berkuasa.

Dengan pola ini, media juga merugikan kepentingan pihak lainnya. 

Media meminggirkan kepentingan dan aspirasi dari kelompok tertentu 

di dalam warga . Kelompok-kelompok ini biasanya menjadi 

kambing hitam atas segala permasalahan sosial yang ada di warga . 

Mereka biasanya kaum minoritas yang tidak mendapatkan pendidikan 

yang memadai, serta terjebak dalam kemiskinan.

Dengan demikian, pemberitaan media bukanlah realita. Justru 

sebaliknya, kita kerap perlu membaca berita-berita media secara 

terbalik, sebab  ia jelas bertentangan dengan realita. Tidak ada fakta 

di dalam media. Yang ada hanyalah sudut pandang yang perlu untuk 

terus dibaca serta ditanggapi secara kritis.

Kritis, Kritis dan Kritis

Pada titik ini, sikap kritis mutlak diperlukan. Di tingkat pertama 

dan terpenting, kita perlu kritis pada selera kita. Kita perlu sadar, selera 

dan cara berpikir kita dibentuk oleh kepungan media di sekitar kita. 

Dalam banyak hal, kita perlu untuk menolak selera kita, dan melihatnya 

semata sebagai ilusi.

Kritis pada selera berarti juga kritis pada persepsi. Persepsi yaitu  

kesan dan bayangan kita akan sesuatu yang tak selalu mencerminkan 

realita. Maka, persepsi pun harus ditunda kepastiannya, dan diuji 

keabsahannya. Persepsi harus dilihat sebagai salah, sampai terbukti 

sebaliknya.

Pada titik ini, sikap kritis pada media pun juga mutlak ada. 

Informasi-informasi dari berbagai media juga harus dilihat sebagai 

salah, sampai terbukti sebaliknya. Fakta harus dilihat sebagai pendapat 

yang perlu untuk dilihat dengan kaca mata kritis. Hanya dengan begini, 

kita bisa lolos dari penipuan media yang mengacaukan persepsi serta 

selera kita.

Dalam konteks ini, kebenaran yaitu  hasil dari falsifi kasi. Ia 

bukanlah hasil dari afi rmasi buta atas apa yang tertulis dan terdengar. 

Hasil dari falsifi kasi berarti kebenaran itu telah lolos dari uji coba 

pencarian hal-hal yang bertentangan dengan kebenaran itu. saat  

segala yang bertentangan telah diajukan, dan kebenaran itu tetap tegak 

berdiri, maka mungkin kita bisa sedikit yakin, bahwa kita sudah tiba 

di pintu gerbang kebenaran. Mungkin…

Dekonstruksi dan Kebenaran

Kebenaran merupakan hal penting dalam hidup setiap orang. Tidak ada orang yang mau hidup dalam kebohongan dan kepalsuan. 

Mereka menginginkan dan mencari kebenaran. Semua keputusan 

dalam hidup mereka, sedapat mungkin, didasarkan atas kebenaran.

Hal yang sama berlaku di dalam politik. Hidup bersama tentu 

membutuhkan aturan. Namun, aturan ini  tidak boleh berpijak 

pada semata kekuasaan belaka, melainkan pada keadilan dan kebenaran. 

Tanpa keadilan dan kebenaran, tata politik akan bermuara pada perang 

dan kehancuran semua pihak.

Banyak orang bilang, hal terpenting dalam hidup yaitu  cinta. 

Banyak juga agama dan fi lsafat yang mengajarkan itu. Namun, cinta 

tidak boleh disamakan melulu dengan memanjakan. Cinta juga 

harus tetap berpijak pada kebenaran, yang memang seringkali perlu 

disampaikan dengan cara-cara yang kurang bersahabat.

Namun, pertanyaan mendasar kemudian muncul. Mungkinkah 

kita sebagai manusia memahami kebenaran? Mungkinkah pikiran dan 

kemampuan kita yang terbatas memahami dan menerapkan kebenaran 

di dalam hidup sehari-hari kita? Inilah salah satu pertanyaan mendasar 

di dalam fi lsafat dan ilmu pengetahuan.

Dekonstruksi

Jacques Derrida, seorang fi lsuf Prancis di abad 20, mengajukan 

pendapat menarik soal kebenaran. Baginya, kebenaran selalu terkait 

dengan proses dekonstruksi. Kebenaran bukanlah sesuatu yang mutlak 

dan tetap, melainkan bergerak sejalan dengan perubahan kenyataan 

itu sendiri. Dalam arti ini dapatlah dikatakan, bahwa dekonstruksi 

merupakan sebuah teori tentang kebenaran.

 Dekonstruksi hendak mengritik tradisi Logosentrisme di dalam 

fi lsafat Eropa. Logosentrisme menekankan kepastian keberadaan dari 

simbol dan bahasa yang kita gunakan di dalam berpikir. Kita, dari 

sudut pandang Logosentrisme, memahami dunia lewat simbol dan 

kata. Simbol dan kata itu mewakili sesuatu yang nyata di dunia, yang 

bisa dirumuskan dan diketahui secara pasti melalui simbol dan konsep 

yang kita gunakan.

Derrida berpendapat, bahwa Logosentrisme itu salah kaprah. 

Simbol dan bahasa yang kita gunakan tidak otomatis mewakili apa 

yang ada secara nyata di dunia. Simbol dan bahasa ini  yaitu  

suatu sistem mandiri yang kita bangun lewat pikiran dan komunikasi. 

Oleh sebab  itu, Derrida kemudian mencoba melampaui Logosentrisme 

dengan melihat ke sisi lain dari kenyataan, yakni sisi dekonstruksi.

Dekonstruksi yaitu  metode yang dipakai  oleh Derrida untuk 

menekankan, bahwa bahasa dan simbol tidak pernah bisa mewakili 

kenyataan yang ada. Keduanya bersifat ambigu dan tidak pasti. 

Dekonstruksi sebenarnya sudah selalu berada di dalam teks. Ia berada 

dalam bentuk ketidakpastian yang mengaburkan makna teks, dan 

membuatnya terbuka untuk berbagai kemungkinan tafsiran.

Dalam arti ini, teks tidak hanya berarti tulisan, namun  juga kenyataan 

itu sendiri. Bahasa dan simbol yaitu  alat-alat yang dipakai  oleh 

pikiran manusia untuk memahami kenyataan. sebab  bahasa dan 

simbol selalu berubah dan tidak pasti, pemahaman kita akan kenyataan 

pun selalu berubah dan tidak pasti. Ketidakpastian ini sudah tertanam 

di dalam bahasa dan simbol yang kita ciptakan.

Dekonstruksi bergerak dengan dua pola, yakni pembedaan dan 

penundaan. Membedakan berarti mengaktivkan ketidakstabilan di 

dalam teks yang menghasilkan pemahaman yang berbeda atas kata 

ataupun kalimat yang sama. Satu simbol atau satu kata bisa dibaca 

dengan beragam cara yang berbeda, bahkan saling bertentangan. 

Dekonstruksi hendak mendorong pembedaan semacam ini.

Penundaan berarti gerak dekonstruksi yang menunda kepastian 

makna yang ada. Kata dan simbol hendak digerakkan sedemikian rupa, 

sehingga tidak ada kepastian yang dihasilkan dari hubungan yang ada. 

Makna pun menjadi ambigu, dan terbuka untuk gerak dekonstruksi 

lebih jauh. Orang berhenti merumuskan apa yang sesungguhnya tak 

bisa dirumuskan, yakni kebenaran tentang teks itu sendiri.

Kebenaran

Metode dekonstruksi melihat kebenaran hanya sebagai jejak. 

Manusia tak mampu memahami kebenaran mutlak pada dirinya 

sendiri. Yang bisa ia capai hanya merupakan jejak-jejak kebenaran. Ia 

hanya bisa mendekati kebenaran, tanpa pernah bisa meraihnya dengan 

utuh dan penuh.

Dalam arti ini, setiap jejak kebenaran selalu bersifat tidak pasti 

dan terbuka. Ia bisa berubah, seturut dengan perubahan waktu dan 

peristiwa. Ia selalu terbuka untuk pertanyaan dan sanggahan, sampai 

muncul kemungkinan lain yang dianggap lebih baik. Dekonstruksi 

yaitu  proses yang terus bergerak tanpa henti dari dalam diri teks itu 

sendiri.

Kebenaran pun lalu dilihat sebagai tafsiran. Ia menafsirkan ulang 

dirinya sendiri terus menerus, tanpa henti. Pembaca dan pengarang 

hanya memainkan gerak ketegangan dan kontradiksi yang selalu 

sudah hadir di dalam bahasa dan simbol yang dipakai  manusia 

untuk memahami kenyataan. Pada satu titik, dekonstruksi bergerak 

melampaui dirinya sendiri, dan mengajak orang untuk masuk ke ranah 

sebelum kata.

Filsafat dan Depresi

Banyak orang hidup dalam depresi sekarang ini. Tuntutan pekerjaan, masalah rumah tangga serta beragam tantangan hidup lainnya 

mendorong orang masuk ke dalam depresi. Dalam arti ini, depresi 

dapat dilihat sebagai keadaan emosional yang dipenuhi kesedihan dan 

kekecewaan dalam jangka waktu lebih dari dua bulan. Ada beragam 

teori tentang ini. Namun, dua bulan hidup dalam keadaan batin yang 

menyakitkan, pada hemat saya, sudah menandakan, bahwa orang 

masuk ke dalam depresi.

Depresi membuat orang tak bisa menikmati hidup. Segalanya 

terlihat salah. Hal-hal kecil seringkali memancing beragam emosi 

negatif di dalam diri. Keadaan ini berlangsung cukup lama, dan 

seringkali disertai dengan gejala senang berlebihan, yang kemudian 

dilanjutkan pula dengan kesedihan berlebihan.

Depresi biasanya dipicu oleh rangkaian peristiwa menyedihan dan 

menyakitkan, seperti kehilangan anggota keluarga, kegagalan di dalam 

karir atau sekolah, sakit berkepanjangan atau perceraian. Keadaan ini 

membuat tubuh dan pikiran seseorang tertekan, jauh melampaui batas 

yang mampu ditanggungnya. Pikirannya kacau, sebab  selalu bergerak 

ke masa lalu yang penuh penyesalan, dan masa depan yang penuh 

kecemasan. Tubuhnya pun melemah, sebab  dalam keadaan seperti 

ini, orang tak mampu beristirahat dengan cukup, dan nafsu makan 

serta minum pun menurun.

Terapi Depresi

Ada beragam terapi yang ditawarkan. Namun, pada hemat saya, 

banyak hanya merupakan omong kosong. Orang diminta untuk 

menghabiskan waktu dan uang hanya untuk menjalani terapi yang 

dipenuhi janji palsu belaka. Akan namun , ada satu alternatif yang mung-

kin belum banyak dicoba orang, namun memiliki kemungkinan besar 

untuk berhasil, yakni fi lsafat sebagai terapi.

Tidak semua jenis fi lsafat bisa berfungsi sebagai terapi. Banyak 

pemikiran fi lsafat yang justru menjadi sumber depresi. Abstraksi 

berlebihan justru menumpulkan kepekaan orang pada kenyataan 

hidup. Jenis fi lsafat ini sungguh harus ditanggapi secara kritis.

 Akan namun , ada jenis fi lsafat lainnya yang dikembangkan di 

masa Yunani Kuno dan Romawi di Eropa, yakni fi lsafat Stoa. Tokoh 

yang menjadi acuan saya disini yaitu  seorang Kaisar Romawi 

bernama Marcus Aurelius. Ia menuliskan gagasannya di dalam buku 

yang berjudul Meditations. Ia bukan hanya seorang kaisar yang bijak 

memimpin, namun  juga seorang pemikir yang mendalam.

Kontrol dan Kesadaran

Ada dua ide darinya yang kiranya cocok menjadi dasar dari terapi 

fi losofi s untuk despresi, yakni kontrol diri dan kesadaran. Kontrol 

diri berarti kemampuan orang untuk mengendalikan perasaan dan 

pikirannya di hadapan berbagai bentuk keadaan. Kesulitan dan 

tantangan yang datang dari luar diri tidak mempengaruhi stabilitas 

batinnya. Kemampuan ini tidak datang hanya dengan pengetahuan 

intelektual semata, namun  dengan latihan dari kegiatan sehari-hari yang 

berpijak pada kesadaran.

Dalam arti ini, kesadaran merupakan kemampuan orang untuk 

menjalani hidup dari saat ke saat dengan sepenuh hati dan pikirannya. 

saat  ia makan, maka ia sepenuhnya makan. saat  ia berjalan, maka 

ia sepenuhnya berjalan. Pikirannya tidak bergerak ke tempat lain. 

Pikirannya juga tidak bergerak ke masa lalu, ataupun masa depan.

Dengan melatih kesadaran semacam ini, orang akan menemukan 

ke damaian di dalam hatinya. Ia menjalani saat ke saat dalam hidupnya 

dengan ketenangan batin. Ia pun lalu mampu mengendalikan emosi 

dan pikirannya di hadapan berbagai keadaan. Kesulitan hidup tidak 

membuat batinnya tergoyahkan. Ia tidak akan mengalami depresi.

Di dalam fi lsafat Yunani kuno, kaum Stoa menganjurkan setiap 

orang untuk melatih kesadaran dari saat ke saat semacam ini. Filsafat 

Timur sudah lama melihat kesadaran semacam ini sebagai sumber 

dari segala kebijaksanaan hidup. Di dalam Zen Buddhisme dijelaskan, 

bahwa kebenaran dan kesejatian hanya dapat ditemukan disini dan 

saat ini, bukan di tempat atau di waktu yang lain. Ilmu pengetahuan 

modern menyebut kesadaran ini sebagai Achtsamkeit, dan ia sudah 

banyak diteliti sebagai salah satu bentuk terapi terbaik untuk beragam 

bentuk penyakit kejiwaan.

Kontrol diri hanya bisa dibangun dengan kesadaran diri. Inilah 

fi lsafat yang amat sederhana, namun  banyak orang sulit menjalankannya, 

sebab  pikirannya terlalu rumit. Mereka mau menjalani terapi yang 

mahal dan rumit, walaupun tidak banyak membuahkan hasil. Namun, 

terapi yang berpijak pada pemikiran Stoa dan Marcus Aurelius ini 

tidak membutuhkan biaya apapun. Anda hanya perlu mencobanya, 

dan merasakan sendiri hasilnya. Jadi tunggu apa lagi?

Kenyataan dan Moralitas

Banyak orang hidup sekedar untuk mengumpulkan uang. Ia haus akan harta, guna memuaskan semua keinginannya. Orang-orang 

ini juga hidup untuk memperoleh nama baik. Ia mengira, uang dan 

nama baik akan memberi  kepenuhan hidup baginya.

Sayangnya, orang yang telah memperoleh uang banyak dan nama 

baik seringkali tidak kunjung merasa bahagia. Sebaliknya, mereka 

hidup dengan rasa takut akan kehilangan uang dan nama baik ini . 

Mereka melekat pada kedua benda itu. Dikiranya, tanpa kedua benda 

itu, hidupnya akan hancur.

Hidup dalam Ilusi

Inilah salah satu salah paham terbesar manusia dalam hidupnya. Ia 

mengira ilusi sebagai kenyataan. Akhirnya, ia hidup dalam kebohongan. 

Dari kebohongan lahirlah penderitaan yang mendorong dia untuk 

membuat orang-orang sekitarnya juga menderita.

Uang dan nama baik sejatinya yaitu  kosong. Keduanya yaitu  

ilusi. saat  kita lapar, kita tidak bisa makan uang. saat  kita haus, 

kita tidak bisa minum nama baik. Uang dan nama baik yaitu  sesuatu 

yang rapuh, sementara dan, dalam banyak masalah , justru berbahaya.

Perang dan pembunuhan dilakukan demi uang dan nama baik. 

Mereka yang memperolehnya menjadi tergantung padanya. Hidupnya 

berada dalam keadaan kompetisi terus menerus dengan orang-orang 

lain yang dianggap sebagai lawannya. Ia hidup dalam tegangan dan 

penderitaan terus menerus.

Or ang yang berhasil memperoleh uang dan nama baik juga 

akan tiba di tujuan yang sama dengan orang yang miskin dan me-

miliki reputasi jelek, yakni kehampaan batin. Alih-alih memberi  

kebahagiaan, uang dan nama baik justru membuat mereka takut dan 

agresif terhadap orang lain. Sejatinya, uang dan nama baik yaitu  

sesuatu yang netral, yang bisa dipakai untuk mempertahankan hidup 

dan membantu orang lain. Namun, jika orang melekatkan dirinya pada 

kedua benda itu, maka masalah besar akan timbul.

Kriminalitas berakar dalam pada kelekatan manusia akan uang dan 

nama baik ini . Korupsi dan penipuan lahir dari kelekatan akan 

uang. Kehampaan dan ketergantungan pada narkoba serta alkohol lahir 

dari kelekatan pada nama baik. Semuanya yaitu  ilusi yang kosong 

dan rapuh.

Orang yang hidup semata untuk uang dan nama baik berarti hidup 

dalam ilusi. Mereka hidup dalam kepalsuan dan kebohongan. Justru 

mereka yaitu  orang-orang yang ”lari dari kenyataan”. Kenyataan 

yang sesungguhnya tidak ada hubungannya dengan kelekatan pada 

uang dan nama baik.

Maka dari itu, orang perlu untuk keluar dari ilusi yang menceng-

kramnya. Ia perlu keluar dari kebohongan dan penipuan yang ia peluk 

erat sebelumnya. Ia perlu untuk melihat dan memahami kenyataan 

sebagaimana adanya. Dari pemahaman ini , ia lalu bisa menjalani 

hidup yang penuh makna dan kebahagiaan.

Kenyataan Sebagaimana Adanya

Apa yang sesungguhnya nyata? Apa kenyataan sebagaimana 

adanya, tanpa bumbu kelekatan yang dibuat oleh pikiran dan perasaan 

manusia? Kenyataan apa adanya berarti kenyataan sebelum kita 

memikirkannya dalam konsep dan bahasa. Di dalam kenyataan ini, 

yang ada hanya satu hal, yakni kekosongan yang besar.

Kekosongan yang besar ini yaitu  keadaan asali dari seluruh alam 

semesta. Ia juga menjadi bagian tersebar dari seluruh alam semesta. 

Segalanya lahir dari kekosongan besar, dan kemudian berakhir pada 

kekosongan semacam itu pula. Pemahaman semacam ini merupakan 

buah dari penelitian astrofi sika dan fi sika modern yang menemukan, 

bahwa unsur terkecil materi yaitu  kekosongan.

Dalam konteks ini, orang lalu diajak untuk hidup dengan berpijak 

pada kenyataan sebagaimana adanya. Ia diajak untuk melepaskan 

semua kelekatan pada uang, nama baik, pikiran maupun perasaannya. 

Di dalam kekosongan yang luas ini, orang akan menemukan kejernihan 

dan kedamaian. Ia lalu bisa menjalani hidupnya penuh kebahagiaan, 

sekaligus membantu orang lain di dalam prosesnya.

Bagaimana cara melepaskan semua kelekatan, pikiran dan 

perasaan? Yang jelas, orang perlu melepaskan semua bentuk kelekatan 

pada uang dan nama baik. Setelah itu, ia perlu melepaskan semua 

kelekatannya pada ide, identitas, harapan, ketakutan dan segala bentuk 

perasaan maupun pikiran yang muncul di kepalanya. Ia lalu sampai 

pada kekosongan itu sendiri, yakni kenyataan sebagaimana adanya.

Pada titik ini, orang menemukan kejernihan dan kedamaian. 

Namun, ini belum cukup. Pada titik ini, orang justru seringkali 

melekat pada kekosongan itu sendiri, yakni melekat pada ide tentang 

kekosongan yang juga bisa menggiringnya pada penderitaan dan 

kehampaan batin. Maka dari itu, ia harus bergerak maju dengan 

melepaskan kekosongan itu sendiri, yakni melepaskan ide tentang 

kekosongan.

saat  ia melepaskan kelekatannya pada kekosongan, ia lalu 

kembali ke dunia. Ia kembali hidup dan bergerak di dalam warga . 

Namun, ia hidup dalam kebebasan yang sejati, yakni kebebasan dari 

kelekatan pada apapun. Ia bisa berpikir, merasa, mencari uang, dan 

memperoleh nama baik, namun semua itu dilihatnya hanya sebagai 

alat untuk membantu alam semesta itu sendiri, dan bukan tujuan dari 

hidup itu sendiri.

Moralitas yang Baru

Orang yang telah menyentuh kenyataan sebagaimana adanya akan 

sampai pada kesadaran, bahwa segala hal di alam semesta ini satu 

dan sama. Semua orang yaitu  bagian dari segala sesuatu. Tidak ada 

keterpisahan. Yang ada hanya kesatuan dan kesalingbergantungan 

satu sama lain.

Ia lalu tidak akan berbuat jahat pada orang lain. Ia tidak akan 

menyakiti apapun dan siapapun, sebab  ia sepenuhnya sadar, bahwa 

ia yaitu  segala sesuatu, dan segala sesuatu yaitu  dia. Tidak ada yang 

disebut sebagai diri pribadi yang terpisah dari alam semesta dengan 

segala isinya.

Inilah moralitas yang baru. Ia tidak lagi berpijak pada perintah, 

himbauan, pahala ataupun hukuman, namun  pada sikap batin 

alamiah manusia yang berpijak pada pemahaman tentang kenyataan 

sebagaimana adanya. Ia tidak lagi lari dari kenyataan, melainkan 

memeluk kenyataan itu di dalam batin dan pikirannya. Ini yaitu  cinta 

yang sesungguhnya. Orang yang hidup dengan cara semacam ini akan 

membawa kebahagiaan bagi dunia di sekitarnya.

Agama, Alam dan Alat

Laudato si yaitu  salah satu teks paling indah, jujur, lugas, men-dalam, ilmiah, fi losofi s dan teologis yang pernah saya baca di 

dalam hidup saya.1 Jujur saja, saat  membacanya, saya menangis 

terharu dan bangga. Laudato si (terjemahan: Terpujilah Engkau, Tuhan) 

yaitu  ensiklik2 terbaru dari Paus Fransiskus, pimpinan tertinggi 

Gereja Katolik Roma. Menurut Michael Schöpf, pimpinan Institut 

für Gesellschaftspolitik, Hochschule für Philosophie München, ensiklik ini 

bukanlah semata tulisan resmi Gereja Katolik Roma tentang lingkungan 

hidup.3 Ini yaitu  tulisan tentang kaitan antara krisis lingkungan 

hidup dan krisis sosial dalam bentuk ketidakadilan global. Keduanya 

memiliki kaitan yang amat erat sekaligus akar yang sama. Keduanya 

hanya bisa diatasi dengan kerja sama yang erat dari berbagai pihak, 

mulai dari politik, agama dan ekonomi.

Johannes Wallacher, pimpinan Hochschule für Philosophie München, 

melihat kritik tajam Paus Fransiskus terhadap orang-orang yang masih 

menyangkal adanya perubahan iklim di dunia sekarang ini. Para 

penyangkal ini yaitu  orang-orang yang memiliki kepentingan tertentu 

di politik dan ekonomi, guna memperkaya dirinya sendiri dengan 

merugikan orang lain. Wallacher menegaskan, bahwa Paus Fransiskus 

amat menekankan keterhubungan antara segala sesuatu, terutama 

hubungan antar manusia, dan hubungan antara manusia dan alam. 

Tulisannya merumuskan fondasi yang menyeluruh dan mendalam 

untuk menjadi dasar bagi perkembangan peradaban manusia secara 

global. Dialog yang seimbang antara ilmu pengetahuan, politik dan 

agama yaitu  kuncinya.

Michael Reder, fi  lsuf politik asal München, juga melihat aspek 

tang gung jawab pribadi dalam kaitan dengan pelestarian lingkungan 

hdup dan ketidakadilan global. Tanggung jawab pribadi ini terwujud 

di dalam perubahan mendasar pola hidup sehari-hari, terutama mereka 

yang hidup di negara-negara industri. Ia juga melihat pengaruh besar 

tulisan Paus ini untuk pola pendidikan di sekolah-universitas dan 

pola asuh orang tua di keluarga. Arahnya yaitu  kesadaran ekologis 

dan pengembangan ilmu pengetahuan yang berpijak pada pelestarian 

lingkungan hidup dan keadilan sosial. Hanya dengan jalan ini, 

kemiskinan global dan pengrusakan lingkungan hidup akibat tindakan 

manusia bisa diatasi.

Laudato si

Ensiklik ”Laudato si” merupakan langkah penting dalam dialog 

antara agama dengan lingkungan hidup di dalam dunia berteknologi 

modern sekarang ini.4 Bagian awal tulisan ini  menjabarkan 

tantangan manusia sekarang ini dalam hubungan dengan lingkungan 

hidup. Seperti disinggung sebelumnya, tantangan ini  juga tidak 

bisa dilepaskan dari salah satu tantangan terbesar global sekarang ini, 

yakni kemiskinan. Ada kaitan yang amat erat antara sikap melestarikan 

lingkungan hidup dengan perjuangan untuk menghapuskan kemiskinan 

dari muka bumi ini.

Di banyak negara, dua hal itu tampak dalam krisis air bersih dan 

krisis pangan. Di dalam dua bentuk krisis ini, kemiskinan tak bisa 

dipisahkan dari kerusakan lingkungan hidup, akibat pemakaian 

teknologi yang tidak bertanggung jawab. Ini yaitu  salah satu tantangan 

terbesar umat manusia di awal abad 21 ini. Di bagian dunia lainnya, 

orang hidup dengan foya-foya, seringkali tanpa pertimbangan. Inilah 

yang disebut sebagai ”budaya membuang-buang” (WegwerĤ ultur). 

Akibatnya, bumi dipenuhi dengan sampah yang seharusnya bisa didaur 

ulang.

Maka, krisis lingkungan hidup dan kemiskinan global tak bisa juga 

dipisahkan dari gaya hidup manusia. Kritik ekologis dan kritik sosial 

tidak dapat dipisahkan. Agama memainkan peranan besar di dalam 

gerakan sosial guna menopang kritik semacam ini, yakni kritik terhadap 

kecenderungan konsumsi berlebihan dan tindakan tidak bertanggung 

jawab dalam kaitan dengan lingkungan hidup dan kemiskinan global.

Teknologi, Ekologi dan Dialog

Ada beberapa konsep penting di dalam ensiklik ini. Yang 

pertama yaitu  konsep teknologi, atau teknik. Kata ini merujuk pada 

perkembangan pesat teknologi modern yang tidak berjalan searah 

dengan perkembangan kesadaran moral manusia. Akibatnya, teknologi 

modern ini  justru menghancurkan hidup manusia dan alam itu 

sendiri.

Konsep kritik teknologis ini terkait dengan konsep kedua, yakni 

kritik warga . Ensiklik tulisan Paus Fransiskus ini langsung 

mengritik hubungan-hubungan kekuasaan yang tidak adil, yang 

menjadi dasar dari sistem politik dan sistem ekonomi dunia sekarang 

ini. Dalam konteks ini, ada dua bentuk tanggung jawab yang perlu 

diperhatikan, yakni tanggung jawab pribadi sebagai pelaku utama 

di bidang politik dan ekonomi, dan tanggung jawab bersama dalam 

bentuk solidaritas global. Fokus kepedulian dari Ensiklik ini yaitu  

kehidupan orang-orang miskin di berbagai belahan dunia. Mereka 

yaitu  orang-orang yang kalah ataupun tak punya kesempatan 

untuk menikmati kemakmuran global. Mereka yaitu  korban dari 

ketidakadilan sistem ekonomi dan sistem politik global.

Konsep penting kedua yaitu  ekologi, yakni kesadaran akan 

pelestarian lingkungan hidup sebagai rumah bagi semua kehidupan 

di bumi. Ia memberi  kehidupan bagi semua, tanpa kecuali. Segala 

mahluk hidup berkembang di bawah naungannya. Di dalam alam 

ada  jaringan yang luar biasa luas dan rumit antara berbagai hal. 

Tidak ada yang bisa berdiri sendiri, tanpa jaringan raksasa ini. Sebagai 

keseluruhan, segalanya yaitu  satu. Kita yaitu  bagian dari segalanya, 

dan segalanya yaitu  bagian dari kita. Dengan cara berpikir ini, 

kita harus hidup dan membuat keputusan di dalam politik maupun 

ekonomi, yakni dari sudut pandang keseluruhan alam semesta, serta 

segala isinya, dan bukan dari sudut pandang pribadi atau kelompok 

kita semata.

Di dalam kerangka berpikir ini, kritik ekologi sekaligus yaitu  

kritik atas ketidakadilan sosial di dalam warga , terutama dalam 

bentuk kemiskinan global sekaligus kesenjangan sosial yang begitu 

besar antara yang kaya dan yang miskin. Dasar dari ensiklik ini yaitu  

tradisi biblis dan teologis di dalam Gereja Katolik Roma, sekaligus 

penelitian-penelitian di dalam ilmu pengetahuan, terkait dengan 

permasalahan lingkungan hidup dan kemiskinan global. Seruan 

utamanya yaitu  pembangunan bersama bumi ini sebagai rumah bagi 

semua, tanpa kecuali. Kritik ekologi (Ökologie, rumah bersama) tidak 

hanya berarti berpikir kritis tentang lingkungan hidup, melainkan juga 

berpikir dari sudut pandang keseluruhan semesta.

Konsep penting lainnya yaitu  konsep ekologi manusia 

(Humanökologie). Konsep ini telah lama menjadi bagian dari seruan 

Gereja Katolik Roma soal pelestarian lingkungan hidup, terutama oleh 

Paus Yohanes Paulus II. Konsep ini terkait dengan konsep ekologi 

budaya (Kulturökologie) yang mengacu pada arah hidup yang baik 

dalam kaitan antara manusia dengan alam. Konsep ini mengalir deras 

di dalam tulisan Paus Fransiskus ini. Umat manusia membutuhkan 

perubahan mendasar gaya hidup, sehingga mereka bisa hidup secara 

harmonis dan bertanggung jawab dengan seluruh alam ini.

Paus juga mengritik tajam soal pandangan antroposentrik yang 

mengakar begitu kuat di dalam peradaban modern. Pandangan ini 

melihat manusia sebagai ukuran dari segalanya. Seluruh alam dilihat 

sebagai obyek untuk pemenuhan kebutuhan manusia. Ini pandangan 

yang salah dan merusak. Di dalam tulisannya, Paus Fransiskus 

menekankan arti penting dari hewan dan tumbuhan sebagai bagian 

dari semesta. Hanya dengan begini, kita bisa hidup dalam ekosistem 

bersama yang lestari. Di dalam ekosistem yang lestari (nachhaltig) 

semacam ini, kelestarian lingkungan hidup bisa terjaga, dan tidak 

ada kemiskinan global, akibat dari kerusakan lingkungan ataupun 

ketidakadilan global.

Tulisan Paus Fransiskus ini berasal dari beragam konferensi dan 

penelitian yang dilakukan oleh Akademi Ilmu Pengetahuan Vatikan 

dan Komisi Keadilan dan Perdamaian di Vatikan. Beragam konferensi 

dan penelitian ini sampai pada satu kesimpulan, bahwa kesalahan tata 

kelola politik dan ekonomi, terutama dalam kaitan dengan teknologi, 

telah membuat perubahan iklim mendasar di bumi ini. Perubahan iklim 

menciptakan banyak bencana alam, seperti krisis pangan dan krisis air 

bersih, di berbagai tempat. Melalui tulisan dalam bentuk Ensiklik ini, 

Paus Fransiskus ingin membangun kesadaran global akan pentingnya 

mengubah seluruh tata kelola mendasar politik dan ekonomi dunia 

sekarang ini. Ia juga melakukan kritik tajam pada para penyangkal 

perubahan iklim (Klimaskeptiker) yang menolak adanya fenomena 

perubahan iklim yang sebagian terjadi, sebab  ulah manusia yang tak 

bertanggung jawab.

Bumi yaitu  rumah bagi semua, termasuk manusia di dalamnya. 

Semua ajaran etika sosial dan fi lsafat politik berpijak pada pengandaian 

mendasar ini. sebab  bumi yaitu  rumah bagi semua, maka yaitu  

tanggung jawab kita semua untuk melestarikannya. Ini sudah selalu 

menjadi bagian dari ajaran fi losofi s dan teologis di dalam Gereja 

Katolik Roma. Salah satu hal nyata yang bisa dilakukan yaitu  dengan 

memberi  perlindungan nyata bagi para pengungsi yang harus 

meninggalkan kampung halamannya, sebab  kerusakan lingkungan 

hidup yang parah. Mereka tidak bisa mendapatkan air bersih dan 

gizi yang memadai di kampung halaman mereka, akibat kerusakan 

lingkungan yang terjadi.

Konsep dialog juga menjadi bagian penting dari tulisan Paus 

Fransiskus. Dialog disini berarti dua hal, yakni dialog di dalam agama 

dan dialog antar agama. Dialog menjadi kunci penting untuk melakukan 

perubahan bersama, terutama untuk mengubah pemikiran orang-

orang yang merasa, bahwa masalah lingkungan hidup dan masalah 

ketidakadilan global yaitu  masalah bohongan. Dialog juga menjadi 

jalan utama, supaya   para penyangkal masalah global ini bisa kembali 

menatap kenyataan yang ada, dan mencari jalan keluar bersama.

Beragam argumen yang diajukan di dalam Ensiklik ini juga 

merupakan hasil dari dialog dengan Gereja Dunia. Paus Fransiskus 

mengutip banyak sekali surat-surat dari beragam Keuskupan Gereja 

Katolik Roma di berbagai tempat di dunia. Ini yaitu  pertama kalinya 

dalam sejarah, seorang Paus, sebagai pimpinan tertinggi lembaga 

keagamaan terbesar di dunia, memberi  ruang besar bagi suara-

suara di luar Vatikan dan di luar Eropa. Suara dan aspirasi dari 

berbagai gereja dunia di Afrika, Asia, Amerika, Eropa dan Australia 

mendapatkan tempat yang seimbang di tulisan Paus Fransiskus terbaru 

ini.

Di sisi lain, Paus Fransiskus juga mengutip banyak pendapat 

dari para pimpinan dan tokoh agama lain. Ini juga menjadi sejarah 

baru bagi Gereja Katolik Roma. Ini menandakan adanya usaha untuk 

bekerja sama dengan berbagai agama di dunia, guna menghadapi 

tantangan kerusakan lingkungan hidup dan ketidakadilan global secara 

bersama-sama. Inti dari dialog ini yaitu  seruan untuk mengubah 

pola hidup konsumtiv yang telah menciptakan begitu banyak sampah 

setiap harinya, dan akibatnya membawa kerusakan lingkungan 

hidup dan bencana alam lainnya di berbagai tempat di dunia. Pola 

hidup konsumtiv semacam ini juga dianggap tidak pantas, terutama 

mengingat masih begitu besarnya kesenjangan sosial antara si kaya 

dan si miskin di berbagai belahan dunia sekarang ini.

Metode penulisan teks ini juga perlu diperhatikan. Paus Fransiskus 

memakai  metode melihat-menilai-bertindak. Semua analisis 

dilakukan atas dasar hal-hal yang sungguh terjadi di dalam kehidupan 

manusia, yakni krisis lingkungan hidup dalam kaitan dengan 

ketidakadilan dan kemiskinan global. Ini membuat tulisannya menjadi 

nyata dan jelas, serta tidak lagi dipenuhi dengan pesan-pesan religius 

yang seringkali abstrak dan tak berguna. Paus Fransiskus juga banyak 

memakai  bahasa-bahasa yang indah dan jelas, sehingga tulisan 

ini amat mudah dimengerti oleh semua orang. Di samping itu, ia 

juga banyak mengutip dari ajaran tradisional Gereja Katolik Roma, 

tanpa kehilangan pendasaran pada kenyataan konkret yang terjadi di 

lapangan.

Harapan dan Spiritualitas

Tulisan Paus Fransiskus ini bukanlah sebuah ratapan. Sebaliknya, 

ini yaitu  seruan, bahwa perubahan ke arah yang lebih baik untuk 

semua itu mungkin. Ini juga yaitu  ungkapan syukur, bahwa lepas dari 

segala masalah dan tantangan yang ada, banyak orang mulai terlibat 

ambil bagian untuk menjadi jalan keluar dari beragam masalah dan 

tantangan yang ada. Laudato si yaitu  seruan perubahan yang berpijak 

pada harapan.

Paus Fransiskus menjadikan spiritualitas Santo Fransiskus 

Asisi sebagai dasar. Fransiskus Asisi yaitu  simbol bagi kesucian, 

kesederhanaan, dialog dan pelestarian lingkungan hidup di dalam 

Gereja Katolik Roma. Ia yaitu  orang suci yang memberi  teladan 

nyata bagi hidup banyak orang, tidak hanya orang Katolik. Di dalam 

pandangannya, seluruh alam ini yaitu  saudara. Binatang yaitu  

saudara. Tumbuhan yaitu  saudara. Tidak ada perbedaan dan 

pertentangan antara manusia dan alam semesta.

Paus Fransiskus juga banyak mendapatkan pengaruh dari 

spiritualitas alamiah dari Amerika Selatan. Di dalam spiritualitas ini, 

alam dilihat sebagai ibu dan rumah untuk semua. Dari sudut pandang 

ini, manusia harus membangun tata politik dan tata ekonomi yang 

baru dalam kaitan dengan bumi sebagai rumah untuk semua, tanpa 

kecuali. Hanya dengan ini, kehidupan yang bermutu untuk semua bisa 

diwujudkan di dunia ini. Ini tidak hanya sejalan dengan ajaran Gereja 

Katolik Roma, namun  juga dengan ajaran semua agama dan fi lsafat yang 

pernah ada di muka bumi ini. Harapannya, tulisan Paus Fransiskus ini 

bisa mendorong perubahan nyata di dunia.

Kritik atas Laudato si

Ensiklik Laudato si ini merangsang banyak perdebatan di masya-

rakat luas. Beragam pujian dan kritik datang begitu cepat dan begitu 

intens. Secara pribadi, saya memiliki tiga kritik atas Ensiklik ini. 

Walaupun, Ensiklik ini, pada hemat saya pribadi, sungguh merupakan 

pencapaian luar biasa di dalam Gereja Katolik Roma dan dunia sebagai 

keseluruhan.

Pertama, agama-agama Timur Tengah (Yahudi, Kristen dan 

Islam) memang memiliki akar antroposentrisme yang kuat. Manusia 

dilihat sebagai titik pusat dan bahkan mahluk terpenting di seluruh 

semesta. Pandangan ini begitu kuat mengakar, sehingga kerap tidak 

lagi dipertanyakan secara kritis. Tulisan Paus Fransiskus ini juga tidak 

lepas dari pengandaian, bahwa manusia yaitu  mahluk terpenting di 

dalam alam ini, walaupun ia berkata sebaliknya. Antroposentrisme 

tersembunyi ini telah membawa akibat jelek untuk banyak hal, mulai 

dari kerusakan alam (sebab  diperas habis untuk kepentingan manusia), 

egoisme ekstrem (sebab  merasa paling penting dan paling berharga) 

sampai dengan beragam penyakit kejiwaan (depresi dan stress akut), 

akibat kesalahan berpikir. Selama Gereja Katolik Roma masih belum 

sadar akan antroposentrisme tersembunyi ini, selama itu pula ia bisa 

memperparah masalah, justru saat  ia berusaha berbuat baik.

Kedua, kemunafi kan sering menjadi masalah bagi orang-orang 

yang berusaha berbuat baik. Ada jurang besar antara kata, pikiran 

dan tindakan nyata. Dalam beberapa hal, ini memang tak mungkin 

dihindarkan. Kita memiliki cita-cita indah. Namun, kita seringkali 

bertindak dari kebutuhan akan kekuasaan serta kenikmatan. Semua 

orang di muka bumi ini pasti mengalami ini. Saya rasa, sampai 

batas tertentu, jurang, atau kemunafi kan, semacam ini bisa diterima. 

Namun, dalam banyak hal, jurang antara kata dan tindakan masih 

begitu besar di dalam Gereja Katolik Roma. Pemerkosaan terhadap 

anak kecil di berbagai belahan dunia oleh para pemuka agama Katolik 

dan intoleransi terhadap perbedaan (kaum Gay, transeksual, dan 

kepentingan kaum perempuan) masih menjadi masalah besar di dalam 

Gereja Katolik Roma, lepas dari cita-cita indah yang mereka suarakan. 

Ini tentu harus menjadi perhatian lebih jauh.

Ketiga, Gereja Katolik Roma jelas amat terlambat dalam hal 

kesadaran lingkungan hidup. Terlalu lama kita melihat dalam sejarah, 

Gereja Katolik Roma berpelukan dengan kekuasaan yang korup 

demi uang dan kejayaan politik semata. Kita masih ingat semboyan 

penjajahan dan penindasan Eropa atas seluruh dunia: Gold, Glory 

and Gospel (Emas, Kejayaan dan Injil Kristiani). Ini juga memberi  

pengaruh besar bagi pengrusakan lingkungan dan pelanggaran hak-

hak asasi manusia yang melahirkan ketidakadilan global. Bisa dibilang, 

dalam banyak hal, Gereja Katolik Roma terkait erat dengan para pelaku 

pengrusakan lingkungan hidup dan pelanggaran hak-hak asasi manusia 

di masa lalu. Semua ini membuat Gereja Katolik Roma terlambat untuk 

sadar akan apa yang penting dalam hidup bersama kita di dunia. 

Dibandingkan dengan ajaran Filsafat Timur (Buddhisme, Taoisme dan 

Hinduisme) yang selalu menekankan keterkaitan antara segala sesuatu, 

Gereja Katolik Roma tertinggal jauh dalam soal kesadaran ekologis. 

Namun, seperti banyak orang bilang, lebih baik terlambat, daripada 

tidak sama sekali. Begitu bukan?

Satu Paket

Di dalam hidup, kita cenderung mencari senang dan nikmat. Kita berusaha menghindari semua bentuk penderitaan. Kita mau 

apa yang kita anggap baik untuk hidup kita. Dan kita juga berusaha 

menyingkirkan apa yang kita anggap jelek untuk kita.

Namun, hidup tidak bisa seperti itu. Hidup tidak melulu enak, 

walaupun kita berusaha untuk selalu mencari yang enak dan nikmat. 

Hidup juga tidak selalu susah, walaupun seringkali, kita merasa 

begitu. Di dalam hidup, kita tidak bisa memperoleh kenikmatan, tanpa 

penderitaan yang mengikutinya.

Satu Paket

Hidup itu satu paket. Istilahnya, kita memiliki bayi yang manis 

dan cantik, namun  juga gemar kencing dan berak. Ia cantik dan manis, 

namun  juga bau dan jorok. Ia satu paket, dan kita tidak punya pilihan 

lain, selain menerimanya sebagai satu paket.

Anda ingin menjadi cerdas? Orang cerdas kerap menjadi sangat 

kritis dan analitis. Dua sikap ini membuat orang kerap jatuh ke dalam 

penderitaan batin, dan konfl ik dengan orang lain. Jadi, cerdas pun tidak 

bisa dilepas dari penderitaan batin semacam itu. Satu paket.

Anda ingin sukses? Orang sukses kerap harus bekerja lebih 

keras. Nantinya, ia juga seringkali menjadi begitu melekat dengan 

kesuksesannya, dan amat kecewa, saat  ia gagal. Kesuksesan dan 

ketegangan batin semacam ini juga satu paket.

Anda in gin punya pacar cantik, atau ganteng? Punya pacar 

ganteng atau cantik memang menyenangkan. Namun, ada resiko besar 

disini, sebab  anda pasti banyak saingan berat di luar sana yang juga 

menyukai pacar anda. Punya pacar ganteng dan cantik pun juga diikuti 

dengan ketegangan serta penderitaan tertentu. Satu paket.

Anda ingin menikah dan berkeluarga? Ini memang terdengar 

indah. Namun, hidup berkeluarga kerap dipenuhi tuntutan-tuntutan. 

Ia juga penuh dengan penderitaan.

Anda ingin tidak menikah? Tidak menikah memang enak, sebab  

anda tidak punya banyak tanggung jawab. Namun, kesepian kerap 

begitu membuat dada sesak, apalagi saat  dibandingkan dengan 

hidup teman-teman anda yang menikah. Jadi menderita juga bukan?

Jadi, anda ingin hidup nikmat? Jika ya, maka bersiaplah untuk 

menanggung penderitaan. Nikmat dan derita itu selalu satu paket 

dalam hidup. Tidak ada pilihan lain. Sengsara membawa nikmat, dan 

nikmat membawa sengsara. Begitulah hidup ini, it is the way it is.

Melampaui Paket

Namun, sejatinya, sengsara atau nikmat itu ciptaan pikiran kita. 

Tidak ada sengsara mutlak, dan tidak ada nikmat mutlak. Semua itu 

hanya label-label yang kita tempel. Label-label itu semu.

Kalau kita sepenuhya sadar akan hal ini, hidup kita akan jernih dan 

damai. Tidak ada sengsara. Tidak ada nikmat. Semuanya dilakukan, 

dan kita jalan terus dalam hidup.

Semua yaitu  ”apa adanya”. Tidak baik, dan tidak buruk. Tidak 

benar dan tidak salah. Bukan penderitaan dan bukan juga kenikmatan. 

Lakukan apa yang perlu dilakukan disini serta saat ini, dan sisanya, 

jalan terus!!!! Jalan terus dalam kehidupan ini, tanpa menoleh ke 

belakang,…atau ke samping. Ini yaitu  kebijaksanaan tertinggi dalam 

hidup.

Setuju?

Omong Kosong

Kita hidup di dalam warga  yang penuh dengan omong kosong. Berita-berita di media dipelintir untuk mencipakan sensasi dan 

kegelisahan sosial di warga . Dengan begitu, stasiun televisi lalu 

mendapatkan pemasukan iklan yang lebih besar. Iklan dan berbagai 

propaganda bohong lainnya juga memenuhi jaringan sosial kita.

Akibatnya, kita tidak bisa membedakan antara kenyataan dan 

penipuan. Pikiran kita tertipu oleh fi tnah dan propaganda di berbagai 

media. Uang kita juga habis, sebab  sering salah ambil keputusan, 

akibat kurangnya informasi yang akurat. Waktu dan tenaga kita pun 

terbuang percuma untuk hal-hal yang tidak penting.

Di sisi lain, keluarga dan orang-orang yang kita sayangi terabaikan. 

Kita sibuk mengejar omong kosong, dan melupakan apa yang sungguh 

penting dalam hidup. Hidup kita tersesat, namun seringkali kita tidak 

menyadarinya. Pada akhirnya, kita pun menderita, dan membuat 

orang-orang di sekitar kita menderita.

Omong Kosong

Omong kosong yaitu  kebohongan yang dibungkus dengan 

cara-cara tertentu, sehingga ia tampak sebagai benar. Omong kosong 

diciptakan dan disebar untuk memenuhi kepentingan pihak-pihak 

tertentu. Di Indonesia sekarang ini, ada dua kepentingan yang secara 

langsung ditopang oleh omong kosong ini, yakni fanatisme agama 

dan konsumtivisme ekonomi. Keduanya mengakar begitu dalam dan 

tersebar begitu luas di Indonesia.

Agama di Indonesia, dan mungkin di seluruh dunia, menyebarkan 

begitu banyak omong kosong, sehingga menutupi pesan luhur dan 

sejati agama ini . Omong kosong ini lalu menciptakan fanatisme 

yang akhirnya berujung pada kekerasan. Omong kosong ini juga 

menciptakan pembodohan di berbagai bidang, mulai dari larangan 

untuk sekolah, sampai dengan penindasan pada kaum perempuan. 

Omong kosong ini juga sejatinya melestarikan tata warga  feodal 

yang menguntungkan segelintir kecil orang, dan merugikan warga  

secara luas.

Omong ko song juga tersebar begitu luas di bidang ekonomi. Orang 

dirayu untuk terus membeli barang yang ia tidak perlu, walaupun 

uangnya terbatas untuk melakukan itu. Akibatnya, banyak orang hanya 

hidup untuk bekerja, menabung dan membeli barang-barang lebih 

banyak lagi. Mereka kehilangan kepedulian pada kehidupan bersama, 

dan berubah menjadi robot-robot bodoh yang doyan berbelanja.

Yang juga menyedihkan, institusi pendidikan juga banyak menyebar 

omong kosong. Mereka membalut segala bentuk omong kosong dengan 

penelitian (yang juga omong kosong), sehingga tampak ilmiah dan 

bisa dipercaya oleh warga . Milyaran rupiah dikeluarkan untuk 

membiayai penelitian omong kosong untuk menopang omong kosong 

pula. Pendidikan berubah menjadi pembodohan dan pusat penelitian 

berubah menjadi pusat omong kosong.

Anti Omong Kosong

Dengan demikian, kita semua perlu belajar untuk mendeteksi 

omong kosong di sekitar kita. Kita perlu melihat kotoran sebagai 

kotoran, dan bukan sebagai makanan enak. Kita perlu berhenti untuk 

menelan mentah-mentah omong kosong yang disebarkan oleh agama 

dan ekonomi. Kita perlu kembali ke pesan asali agama dan ekonomi, 

yakni untuk kesejahteraan batin dan kesejateraan sosial.

Dua hal kiranya penting disini. Pemikiran kritis yang ditawarkan 

fi lsafat amat berguna untuk mendeteksi segala bentuk omong kosong 

di sekitar kita. Filsafat kritis perlu diajarkan secara luas di warga . 

Filsafat tidak boleh diajarkan sebagai dogma untuk membenarkan 

ajaran agama tertentu, seperti yang banyak terjadi di Indonesia, dan 

berbagai negara lainnya.

Namun, fi lsafat kritis harus juga diimbangi dengan pemikiran Zen 

yang berkembang di dalam Filsafat Timur. Zen mengajarkan orang 

untuk menyadari jati diri sejatinya, yang lebih dari sekedar pikiran 

maupun emosi yang muncul di kepalanya. Dengan kata lain, Zen 

mengajak orang untuk menjaga jarak dari pikirannya sendiri. Ini amat 

penting, sehingga orang tidak larut dan tenggelam di dalam pikiran 

kritisnya.

Hanya dengan begini, kita bisa terlindungi dari beragam omong 

kosong di warga  kita, dan tidak terjebak pada omong kosong di 

kepala kita sendiri.

Akar dari Segala Kecanduan

Kita hidup di dunia yang penuh dengan orang yang kecanduan. 

Ada orang yang kecanduan belanja. Mereka merasa hampa dan 

menderita, jika tidak belanja. Ada yang kecanduan kerja. Mereka 

merasa hidup mereka tak berharga, jika tak bekerja dengan rajin.

Ada orang yang kecanduan bermain, atau sekedar nongkrong, 

sambil ngerokok dan minum bersama teman-temannya. Mereka merasa 

kesepian dan ketinggalan berita, jika tidak rajin nongkrong. Sekarang 

ini, banyak orang kecanduan internet, terutama jaringan sosial. Mereka 

merasa tak bisa hidup, jika tidak mengecek situs jaringan sosial mereka.

Yang pal ing parah tentu kecanduan narkotika. Mereka merusak 

dirinya sendiri dengan memakan obat-obat terlarang. Namun, mereka 

merasa tak berdaya di hadapan kecanduannya ini . Akhirnya, 

banyak orang menghancurkan hidupnya dan keluarganya, sebab  

kecanduan narkotika semacam ini.

Ciri Kecanduan

Ciri utama dari segala bentuk kecanduan yaitu  ilusi, bahwa kita 

tidak dapat hidup, tanpa melakukan hal-hal tertentu, seperti belanja, 

seks, nongkrong dan sebagainya. Semua itu seolah seperti udara bagi 

hidup kita. Ia perlu untuk segera dipenuhi sesegera mungkin. Dengan 

kata lain, kita melekat pada suatu hal, sehingga hidup kita terasa 

hampa dan menderita, jika kita tidak memilikinya.

Dalam arti ini, ambisi juga yaitu  suatu bentuk kecanduan. Banyak 

orang dididik untuk memiliki ambisi dalam hidupnya. Sedari kecil, 

mereka dilatih untuk merumuskan dan mewujudkan ambisi pribadi 

mereka, seringkali dengan mengorbankan orang lain. Namun, saat  

ambisi ini tidak terwujud, atau justru terwujud, yang tersisa seringkali 

hanya perasaan hampa.

Ciri kedua kecanduan yaitu  ia akan merusak hidup orang 

ini . Hidup orang yang kecanduan akan terpaku pada satu hal, 

dan melupakan banyak hal lainnya. Keseimbangan hidup pun rusak. 

Akibatnya, dimensi spiritual dirinya rusak, dan akhirnya juga merusak 

hubungannya dengan orang lain.

Banyak orang memutuskan untuk bunuh diri, sebab  penderitaan 

yang ia alami, akibat kecanduan. Banyak juga yang memutuskan untuk 

membunuh orang lain, supaya   bisa memenuhi kecanduannya. Pendek 

kata, kecanduan membuat orang menjadi ”gila”. Mengapa orang 

mengalami kecanduan ini? Apa akar penyebabnya?

Akar dari Segala Kecanduan

Akar dari segala bentuk kecanduan yaitu  kecanduan untuk 

berpikir. Kecanduan berpikir yaitu  kecenderungan orang untuk 

terus berpikir, tanpa bisa dihentikan. Ia terus menganalisis segala 

sesuatu yang ada di depannya, bahkan saat  ia tidur. Pada satu titik, 

pikirannya hangus, dan ia jatuh ke dalam depresi, stress dan beragam 

penyakit kejiwaan lainnya.

saat  orang berpikir dan menganalisis berlebihan, dirinya akan 

tegang. Ketidakpuasan muncul di dalam dirinya. Ada perasaan 

menderita yang muncul, sebab  pikiran yang tak lagi terkendali. Masa 

lalu, masa kini dan masa depan tumpang tindih, dan membuatnya 

segala sesuatu terlihat sulit dan membingungkan.

Ketegangan dan ketidakpuasan tentu perlu diredakan. Orang lalu 

mencari cara-cara tertentu, seperti belanja, minum, nongkrong, jalan-

jalan atau seks. Namun, semua cara-cara itu tidak akan pernah bisa 

meredakan ketegangan sepenuhnya. Orang pun semakin menderita, 

dan justru jatuh ke dalam kecanduan-kecanduan lainnya.

Kecanduan berpikir melahirkan analisis berlebihan atas segala 

sesuatu. Ini juga menciptakan kecemasan-kecemasan yang tidak perlu. 

Orang lalu membayangkan hal-hal terburuk terjadi pada dirinya, 

atau pada orang-orang yang ia sayangi. Disini juga sama, bahwa 

hal-hal sementara, seperti belanja, seks dan nongkrong, tidak akan 

menyelesaikan masalah, namun justru melahirkan kecanduan baru. 

Lalu, kita harus bagaimana?

Melampaui Kecanduan

Kita hanya perlu untuk berhenti berpikir. Kita perlu melepaskan 

diri dari kecanduan berpikir yang kita alami. Ini penyakit khas manusia 

modern yang selalu memikirkan segala sesuatu, sampai pikirannya 

pecah. Akan namun , bagaimana cara untuk berhenti berpikir?

Caranya tidak dengan mencari keluar diri, seperti belanja dan 

sebagainya, namun  melihat ke dalam. Kita mencoba untuk merasakan 

nafas kita. saat  kita merasakan nafas kita, pikiran berhenti, walaupun 

sesaat. saat  kita melakukannya lebih lama, maka pikiran juga akan 

berhenti lebih lama.

saat  pikiran berhenti, intuisi terlatih. Intuisi terbentuk melalui 

persentuhan diri kita langsung dengan realitas. Jadi, misalnya. saat  

kita makan, rasakan makanan kita sepenuhnya. saat  itu terjadi, 

pikiran kita berhenti, dan yang ada hanya persentuhan langsung 

dengan makan.

Setelah beberapa melakukan ini di berbagai kegiatan, pikiran kita 

akan lebih tenang. Kecanduan berpikir mulai hilang secara perlahan. 

Kecanduan-kecanduan lainnya pun juga perlahan berkurang. Secara 

keseluruhan, hidup kita akan membaik.

Kita lalu akan sadar, bahwa diri kita bukanlah pikiran kita. Pikiran 

kita hanya bagian kecil dari diri kita. Pikiran itu seperti awan yang 

berganti, walaupun langit biru tetap membentang luas di belakangnya. 

Kita yaitu  langit biru itu.

Ga percaya? Coba deh.

Mengapa Indonesia Miskin?

Mengapa Indonesia miskin? Padahal, jumlah rakyatnya banyak. Banyak yang berbakat, cerdas dan mau bekerja keras untuk 

mengembangkan diri dan bangsanya. Kekayaan alam pun berlimpah 

ruah.

Kita memiliki minyak, gas dan beragam logam sebagai sumber 

daya alam yang siap untuk diolah. Kita memiliki tanah yang subur 

yang siap ditanami beragam jenis tanaman. Kita memiliki hutan yang 

luas yang bisa memberi  udara segar tidak hanya untuk bangsa kita, 

namun  untuk seluruh dunia. Akan namun , mengapa kita masih miskin, 

walaupun kita memiliki itu semua?

Keadaan  Kita

Di satu sisi, banyak orang kesulitan untuk mencari pekerjaan yang 

layak. Mereka harus menerima fakta, bahwa pekerjaan mereka bersifat 

sementara. Mereka bisa dipecat sewaktu-waktu. Gajinya pun tidak 

layak untuk memberi  kehidupan yang layak.

Banyak juga orang yang kesulitan untuk memenuhi kebutuhan 

dasa