teladan sahabat nabi 13


 berdirilah Rasulullah bersama para sahabatnya 

yang terkemuka untuk melihat para tawanan musyrikin, dan ternyata 

mereka mendapati Suhail bin Amr menjadi salah satu tawanan mereka. 

Begitu Suhail bin Amr dihadapkan kepada Nabi Saw, ia berniat untuk 

menebus dirinya. Lalu Umar bin Khattab menatapnya dan berkata: 

“Biarkan aku ya Rasulullah untuk mencabut dua gigi depannya, sehingga 

sesudah  hari ini ia tidak dapat menjadi orator lagi di perkumpulan manusia 

di Mekkah, sebab  ia telah berani menyerang Islam dan Nabinya.” 

Rasulullah Saw menjawab: “Biarkan kedua giginya, ya Umar! 

Barangkali saja engkau akan mendapati bahwa kedua gigi depannya akan 

memberi kebahagiaan kepadamu, Insya Allah!” 

Hari terus berganti, dan terjadilah perjanjian damai Hudaibiyah. 

Bangsa Quraisy mengutus Suhail bin Amr sebagai juru runding mereka 

dalam melaksanakan perjanjian damai ini. Rasulullah Saw menjumpainya 

bersama beberapa sahabatnya, dan dari salah seorang sahabat yang Beliau 

bawa terdapat Abdullah bin Suhail. 

Nabi Saw lalu memanggil Ali bin Abi Thalib untuk menuliskan 

perjanjian, kemudian Nabi Saw mulai mendiktekan isi perjanjian itu 

kepada Ali. Nabi bersabda: “Tuliskan: Bismillahirrahmanirrahim!” 

Suhail langsung berkata: “Kami tidak mengenal kalimat ini, namun  

tulislah Bismika Allahumma (Dengan Nama-Mu ya Allah)! 

Maka Nabi Saw bersabda kepada Ali: “Tuliskan: Bismika Allahumma!” 

Kemudian Rasul bersabda kepada Ali: “Tuliskan: Ini yaitu  perjanjian 

damai yang dituliskan oleh Muhammad Rasulullah!” Suhail langsung 

menanggapi: “Kalau kami bersaksi bahwa engkau yaitu  Rasulullah maka 

kami tidak akan memerangimu, namun  tuliskanlah namamu dan nama 

ayahmu!” 

Maka Nabi Saw membalas: “Demi Allah, aku yaitu  Rasulullah 

meskipun kalian mendustai aku… Tuliskanlah: Muhammad bin Abdullah!” 

Lalu selesailah akad perjanjian ini , dan Suhail bin Amr kembali 

dengan langkah yang tegap sebab  ia menduga bahwa ia telah 

menyebabkan kemenangan kaumnya atas Muhammad. 


Hari terus berganti, dan bangsa Quraisy mengalami kekalahan yang 

telak tanpa peperangan. Sebab Rasulullah Saw datang ke Mekkah untuk 

menaklukkannya. 

Terdengar ada seorang yang berseru: “Wahai penduduk Mekkah, siapa 

yang masuk ke dalam rumahnya maka ia akan aman. Siapa yang masuk ke 

dalam Masjidil Haram maka ia akan aman. Siapa yang masuk rumah Abu 

Sufyan maka ia akan aman.” 

Begitu Suhail bin Amr mendengar seruan ini , maka ia langsung 

merasa takut dan menutup sendiri pintu rumahnya. Ia kebingungan dan 

tidak punya kemampuan apa-apa. 

Kita akan mempersilahkan Suhail bin Amr untuk menceritakan detik-

detik yang menentukan dalam hidupnya. Suhail berkisah: 

Saat Rasulullah Saw masuk ke Mekkah, aku masuk ke dalam rumah dan 

langsung mengunci pintu. Aku pun segera mencari anakku yang bernama 

Abdullah. Aku merasa malu bila mataku bertemu dengan matanya, sebab 

aku pernah kelewat batas dalam menyiksanya sebab  ia masuk Islam. 

Begitu ia masuk ke rumah dan menemuiku, maka aku berkata kepadanya: 

“Tuliskan untukku pernyataan perlindungan dari Muhammad, sebab aku 

tidak merasa aman bahwa aku akan terbunuh. Maka Abdullah pun 

berangkat menemui Nabi Saw dan berkata: “Ayahku… apakah engkau 

akan memberinya perlindungan, ya Rasulllah?! Aku sendiri yang akan 

menjadi jaminannya.” 

Beliau menjawab: “Ya, dia aman dengan jaminan keamanan dari Allah. 

Dia boleh keluar.” Kemudian Rasul Saw menatap para sahabatnya dan 

bersabda: “Siapa di antara kalian yang berjumpa dengan Suhail, maka 

janganlah mengganggunya. Sebab Suhail yaitu  orang yang memiliki akal 

dan kemulyaan. Dengan memiliki orang seperti Suhail, maka Islam tidak 

akan bodoh, namun  ia mesti mendapatkan apresiasi, barulah ia akan 

memunculkan potensinya.” 


Suhail bin Amr sesudah  itu masuk Islam dengan sepenuh hati dan 

sanubarinya. Ia amat mencintai Rasulullah Saw dari lubuk hatinya yang 

terdalam. 

Abu Bakar As Shiddiq berkomentar tentang Suhail: “Aku melihat Suhail 

bin Amr pada haji Wada berdiri di hadapan Rasulullah Saw. Suhail 

mempersembahkan beberapa unta untuk dijadikan qurban dan Rasulullah 

Saw sendiri yang menyembelihnya dengan tangan Beliau yang mulia. 

Kemudian Nabi Saw memanggil seorang tukang cukur untuk mencukur 

rambut Beliau. Aku pun memperhatikan Suhail yang sedang 

mengumpulkan rambut Nabi Saw lalu meletakkannya di atas kedua 

matanya. 

Lalu aku pun teringat peristiwa perjanjian Hudaibiyah, dan bagaimana 

bisa ia menolak untuk menuliskan ‘Muhammad Rasulullah’. Aku pun 

bersyukur kepada Allah Swt Yang telah memberikan petunjuk kepadanya. 


Sejak masuk Islam, Suhail menghabiskan umurnya untuk melakukan 

hal yang dapat mendekatkan dirinya kepada Allah dan bermanfaat bagi 

alam akhirat kelak. 

Dibandingkan orang yang masuk Islam sesudah  peristiwa penaklukan 

Mekkah, maka tidak ada seorang pun yang mengalahkan Suhail dalam 

jumlah bilangan shalat, puasa, sedekah, kelembutan hati dan seringnya 

menangis sebab  merasa takut kepada Allah Swt. 

Setiap hari ia selalu datang menemui Muadz bin Jabal sehingga ia 

mendengarkan darinya beberapa ayat Al Qur’an. Dhirar bin Khattab 

pernah bertanya kepada Suhail: “Wahai Abu Zaid (panggilan Suhail), 

engkau selalu mendatangi orang Khajraj ini untuk mendengarkan Al 

Qur’an. Mengapa tidak engkau datangi saja orang yang berasal dari 

kaummu yaitu suku Quraisy?!” 

Suhail menjawab: “Ya Dhirar, apa yang telah kau katakan yaitu  

peningggalan jahiliah yang telah membuat kita ketinggalan dalam berbuat 

kebaikan. Islam telah melenyapkan fanatisme jahiliah dari diri kita, dan 

mengangkat suku-suku baru yang dulunya tidak dikenal orang. Semoga 

saja kita termasuk golongan mereka sehingga kita bisa terus maju 

sebagaimana mereka.” 


Suhail bin Amr merasakan adanya kelebihan dan keutamaan orang 

yang lebih dahulu masuk Islam daripadanya dan dari orang-orang seperti 

dirinya. Ia menyadari adanya perbedaan orang yang lebih dahulu masuk 

Islam dengan dirinya. 

Suatu hari Suhail, Al Harits bin Hisyam dan Abu Sufyan bin Harb 

pernah datang ke depan pintu rumah Umar bin Khattab. Turut serta ikut 

dengan mereka yaitu  Ammar bin Yasir, Shuhaib Al Rumy dan beberapa 

orang yang dulunya yaitu  budak namun termasuk para sahabat yang 

lebih dahulu masuk Islam. Tidak lama kemudian lalu keluarlah seorang 

pembantu Umar dan berkata: “Ammar dan Shuhaib dipersilakan masuk!”  

Maka orang-orang Quraisy yang menunggu di depan rumah Umar saling 

melemparkan pandangan dengan perasaan kesal. Kemudian salah seorang 

dari mereka berkata: “Kami belum pernah merasakan hal seperti saat ini. 

Umar telah mempersilakan mereka masuk, sementara kami yang berada di 

depan pintu rumahnya tidak diindahkan?!!” 

Suhail langsung membalas: “Jika kalian merasa kesal, maka salahkan 

saja diri kalian. Mereka pernah diseru dan kita pun pernah diseru 

(menerima dakwah). Mereka segera menyambut seruan, namun kita 

bermalas-malasan. Bagaimana bila mereka diseru untuk masuk surga pada 

hari kiamat sementara kita akan dibiarkan?! Demi Allah, Mereka tidak 

hanya mendahului kalian dalam mendapatkan kemulyaan yang tidak 

terlihat dan lebih besar dari pintu yang sedang kalian perebutkan ini.” 

Kemudian ia menyambung: “Mereka telah mendahului kalian. Demi 

Allah, kalian tidak dapat menyusul mereka atas ketertingalan ini kecuali 

dengan jihad dan mati sebagai syahid.” 

Kemudian Suhail mengibaskan bajunya lalu berdiri. 


Pada saat itu peperangan sedang berlangsung diperbatasan Syam antara 

pasukan Muslimin dan Romawi. Suhail bin Amr segera mengumpulkan 

anak-anaknya, istri-istrinya dan semua cucunya. Ia berangkat dengan 

semua keluarganya menuju Syam untuk berjuang di jalan Allah. Suhail 

berkata kepada mereka: “Demi Allah aku tidak akan membiarkan sebuah 

saat bersama kaum musyrikin kecuali aku akan melakukannya bersama 

pasukan muslimin. Aku juga akan berinfaq untuk pasukan muslimin 

seperti dahulu aku berinfaq buat kaum musyrikin. 

Demi Allah aku akan terus berjuang di jalan Allah sehingga aku 

terbunuh sebagai seorang syahid, atau aku mati jauh terasing dari negeri 

Mekkah. 


Suhail bin Amr menepati janjinya. Ia turut serta dalam peperangan 

Yarmuk bersama pasukan muslimin dan ia berjuang dengan sungguh-

sungguh dalam perang ini  sebagai layaknya seorang mukmin sejati. 

Ia juga mengikuti beberapa peperangan yang lain, sehingga di 

perkampungan Syam terjangkit wabah Thaun Amwas168 dan ia bersama 

keluarganya menjadi korbannya. 

Semoga Allah meridhai Suhail bin Amr, dan menetapkannya sebagai 

pendamping para Nabi dan syuhada. Mereka itulah para sahabat yang 

terbaik. 


 Amwas yaitu  sebuah perkampungan di Syam. Dari situ mulailah wabah thaun yang 

selanjutnya menyebar ke seluruh perkampungan di Syam. Akibat wabah ini banyak korban yang 

berjatuhan. Wabah ini  dikenal dengan Thaun Amwas. 


Jabir bin Abdillah Al Anshary 

“Ia Telah Meriwayatkan Bagi Kaum Muslimin dari Nabi Saw 1540 

Hadits” 

 

Berangkatlah sebuah rombongan menyusuri jalan dari Yatsrib ke 

Mekkah yang didorong oleh rasa rindu dan cinta. 

Rombongan ini  sudah membuat janji dengan Rasulullah Saw. 

Setiap orang yang menjadi anggota rombongan ini  amat berharap 

bahwa mereka akan segera berjumpa dengan Nabi Saw… Meletakkan 

tangannya di tangan Beliau untuk berbai’at agar selalu patuh dan taat 

kepada Beliau, disamping itu pula mereka akan melakukan sumpah setia 

kepada Beliau untuk senantiasa mendukung dan membantu Beliau. 

Dalam rombongan ini  terdapat seorang tua yang termasuk 

pemuka kaum rombongan ini . Orang tua ini membonceng seorang 

bocah lelaki kecil bersamanya, dan ia meninggalkan kesembilan putrinya di 

Yatsrib, sebab  ia tidak punya anak laki-laki lagi selain bocah ini.  

Orang tua ini amat berharap bahwa putranya dapat turut menyaksikan 

pembaiatan ini, dan agar bocahnya tidak melewatkan sebuah hari 

bersejarah dalam hidup ini. 

Orang tua ini bernama Abdullah bin Amr Al Khajrajy Al Anshary. 

Sedangkan anaknya bernama Jabir bin Abdullah Al Anshary. 


Cahaya keimanan terpancar di hati Jabir bin Abdullah saat ia masih 

belia, dan cahaya ini  terpendar ke seluruh anggota tubuhnya. 

Islam telah menyentuh relung hati bocah ini bagai tetesan embun yang 

membuka kelopak bunga, lalu memenuhinya dengan wewangian. 

Jabir sudah akrab berhubungan dengan Rasulullah Saw sejak ia masih 

berusia dini. 


Saat Rasulullah Saw tiba di Madinah sebagai orang yang berhijrah, 

bocah kecil yang beriman ini langsung menimba ilmu lewat tangan dan 

binaan Rasulullah Saw sendiri. Jabir termasuk salah seorang murid yang 

paling cerdas yang lulus dari pembinaan dan bimbingan Muhammad Saw 

dalam bidang penghapalan Kitabullah, menguasai ilmu keagamaan, dan 

periwayatan hadits Rasulullah Saw. 


Hal ini cukup dibuktikan dengan adanya Musnad Jabir bin Abdullah 

yang mencakup lebih dari 1540 hadits. Kesemuanya dihapal oleh murid 

yang cerdas ini dan diriwayatkan dari Nabi Saw untuk kemaslahatan kaum 

muslimin semuanya. 

Imam Bukhari dan Imam Muslim telah memastikan dalam kitab shahih 

mereka berdua adanya lebih dari 200 hadits shahih yang pernah 

diriwayatkan Jabir. 

Jabir pun menjadi sumber cahaya dan petunjuk bagi kaum muslimin 

untuk beberapa masa. Sebab Allah Swt telah memanjangkan umurnya 

sehinggga usianya hampir mencapai satu abad. 


Jabir tidak turut serta bersama Rasulullah Saw dalam perang Badr dan 

Uhud, sebab dalam satu sisi saat itu ia masih berusia dini. Disisi lain, ia 

diperintahkan oleh ayahnya untuk menjaga kesembilan saudarinya, hal itu 

disebab kan tidak ada orang lagi selain dirinya untuk melakukan hal itu. 

Jabir berkisah: “Pada malam sebelum terjadinya perang Uhud, ayah 

memanggilku seraya berkata: “Aku menduga bahwa aku akan terbunuh 

bersama para sahabat Rasul Saw yang terbunuh. Demi Allah, aku tidak 

meninggalkan orang yang paling aku cintai selainmu sesudah  Rasulullah 

Saw.” 

Aku mempunyai sejumlah hutang, maka bayarkanlah hutangku! 

Sayangilah para saudarimu! Jagalah mereka dengan baik.” 

Keesokan harinya, ayah menjadi korban pertama dalam perang Uhud. 

sesudah  aku menguburkannya, maka aku mendatangi Rasulullah Saw dan 

berkata: “Ya Rasulullah, ayahku memiliki sejumlah hutang, sedangkan aku 

tidak memiliki apa-apa untuk melunaskannya kecuali hasil dari pohon 

kurma milik ayah. Kalau aku mengandalkan buah kurma ini  untuk 

membayarkan hutang ayah, pasti tidak akan terlunaskan selama bertahun-

tahun. Sedangkan aku tidak punya uang untuk memberikan nafkah kepada 

para saudariku.” 

Rasulullah Saw langsung berdiri dan berangkat bersamaku ke tempat 

jatuhnya buah kurma kami. Beliau bersabda kepadaku: “Sebutkan berapa 

hutang ayahmu!” Maka aku pun menyebutkannya. 

Maka para penagih hutang terus saja memunguti hasil buah kurma 

sehingga Allah Swt membayarkan semua hutang ayahku dari hasil pohon 

kurma ini  pada tahun itu. 

Kemudian aku melihat ke tempat jatuhnya kurma, dan aku lihat 

rupanya ia tidak berubah sedikitpun seolah ia tidak berkurang meski satu 

biji saja. 

Sejak ayahnya meninggal, maka Jabir tidak pernah ketinggalan untuk 

turut-serta dalam peperangan yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. 

Dalam setiap peperangan, ia memiliki kisah yang layak untuk 

dikisahkan dan dikenang. 

Kita akan mempersilahkan Jabir untuk menceritakan salah satu 

kisahnya bersama Rasulullah Saw. 

Jabir berkisah: 

Pada perang Khandaq kami sedang menggali parit saatitu. Tiba-tiba 

kami menemukan sebuah batu yang amat keras dan kami tidak sanggup 

untuk memecahnya. Kami pun mendatangi Rasulullah Saw dan berkata: 

“Ya Nabi Allah, di parit yang sedang kami gali ditemukan adanya sebuah 

batu keras. Pacul kami tidak sanggup untuk memecahkannya.” 

Rasulullah Saw menjawab: “Biarkan batu ini , aku sendiri yang 

akan datang ke sana dan menghancurkannya!” 

Kemudian Beliau bangun dan perut Beliau diganjal dengan batu sebab  

merasa amat lapar, hal itu sebab  kami sudah tiga hari tidak makan apa-

apa. Nabi Saw langsung mengambil cangkul kemudian Beliau memukulkan 

cangkul ini  kepada batu dan akhirnya batu ini  dapat dipecahkan 

dengan mudah. 

Pada saat itu aku merasa kasihan kepada Rasulullah Saw yang 

menderita lapar. Aku pun menghampiri Beliau dan berkata: “Bolehkah aku 

kembali ke rumah, ya Rasul?” Beliau menjawab: “Pergilah!”  

Sesampainya di rumah, aku berkata kepada istriku: “Aku melihat 

Rasulullah Saw dalam kondisi yang amat lapar. Tidak ada seorang manusia 

pun yang sanggup menahan lapar seperti itu. Apakah engkau memiliki 

sesuatu untuk dimakan?” 

Istriku menjawab: “Aku hanya memiliki sedikit gandum dan domba 

yang masih kecil.” Maka aku segera mengambil domba ini , lalu aku 

menyembelihnya, memotongnya dan aku masukkan ke dalam tungku. Aku 

pun segera mengambil gandum yang aku tumbuk sendiri kemudian aku 

serahkan kepada istriku. Aku pun melakukan peragian terhadap tepung itu. 

Begitu aku tahu bahwa daging sudah hampir matang, dan adonan tepung 

sudah hampir lembut dan sebentar lagi dapat dibakar. Aku pun berangkat 

menghadap Rasulullah Saw dan aku berkata kepada Beliau: “Ada sedikit 

makanan yang kami buat untukmu, ya Rasulullah. Silahkan Engkau dan 1 

atau 2 orang untuk menyantapnya.” Rasul bertanya: “Ada berapa banyak 

yang kau masak?” Aku pun memberitahukan Beliau apa saja yang aku 

masak. 

Begitu Nabi Saw mengetahui porsi makanan yang aku buat, Beliau 

bersabda: “Wahai para pejuang Khandaq! Jabir telah menyiapkan 

makanan, marilah kita makan bersama!” Kemudian Beliau menatapku dan 

bersabda: “Temuilah istrimu dan katakan kepadanya: ‘Janganlah tungku

diturunkan, dan jangan dulu tepung tadi dijadikan roti, sebelum aku 

datang ke sana.” 

Aku pun pulang ke rumah, dalam hatiku ada rasa galau dan malu yang 

hanya diketahui oleh Allah Swt saja. Aku bertanya sendiri: “Apakah semua 

pejuang Khandaq dapat menyantap makanan yang hanya terdiri dari 1 sha’ 

gandum dan domba kecil?!” 

Kemudian aku menemui istriku dan aku berkata kepadanya: “Celaka 

kita, aku telah menceritakan segalanya! Rasulullah Saw akan datang ke sini 

dengan semua pejuang Khandaq!” Istriku bertanya: “Apakah Beliau tidak 

bertanya kepadamu berapa jumlah makanan yang kau siapkan?’ Aku 

menjawab: “Ya, Beliau menanyakannya.” Istriku berkata: “Tidak usah kau 

risau, sebab Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Maka ucapannya 

membuat semua kegalauanku sirna sesaat . 

Tidak lama kemudian, datanglah Rasulullah Saw bersama rombongan 

kaum Muhajirin dan Anshar. Rasul Saw berkata kepada mereka: “Masuklah 

dan jangan berdesak-desakan!” Kemudian Beliau bersabda kepada istriku: 

“Berikan kepadaku sepotong roti, agar ia membantumu dalam membuat 

roti. Ambillah sesendok kuah air dari tungkumu tapi jangan diturunkan 

dari perapian.” 

Tiba-tiba roti jadi semakin banyak, yang ditaruh di atasnya daging. 

Kemudian Beliau membawa makanan ini  kepada para sahabatnya, 

dan mereka semua menikmati makanan ini  sehingga mereka merasa 

kenyang. 

Kemudian Jabir berkata: “Demi Allah, mereka semua sudah pulang 

namun tungku kami masih penuh dengan daging kambing dan adonan 

kami masih dapat dibuat roti tidak kurang sedikitpun, persis seperti 

semula.” 

Kemudian Rasulullah Saw bersabda kepada istriku: “Makanlah engkau, 

dan hadiahkan sebagiannya!”  

Lalu istriku makan, dan sepanjang hari ia membagikan dan 

menghadiahkan makan ini  kepada banyak orang. 


Demikianlah kisah Jabir bin Abdullah Al Asnhary dan ia menjadi 

sumber cahaya dan petunjuk bagi kaum muslimin untuk beberapa masa, 

sebab  Allah Swt berkenan untuk memperpanjang usianya hingga 

mencapai umur mendekati satu abad. 

Suatu saat Jabir berangkat untuk berperang di jalan Allah Swt ke negeri 

Romawi. Pada saat itu pasukan dipimpin oleh Malik bin Abdillah Al 

Khats’amy.  

Malik saat itu sedang memeriksa pasukannya yang tengah berangkat 

menuju medan laga. Malik melakukannya untuk mengetahui kondisi 

mereka, memberikan semangat, dan membantu serta melayani prajurit 

yang sudah tua. 

Lalu ia berjumpa dengan Jabir bin Abdullah, yang ia dapati sedang 

berjalan kaki padahal ia bersama seekor bighal169 yang tali kendalinya ia 

pegang dengan tangan. 

Malik kemudian bertanya kepada Jabir: “Ada apa denganmu wahai Abu 

Abdillah (pangggilan Jabir)? Mengapa engkau tidak menunggang 

bighalmu?! Padahal Allah sudah memberimu tunggangan yang dapat 

membawamu.” 

Jabir menjawab: “Aku pernah mendengar Rasulullah Saw bersabda: 

‘Siapa orang yang kakinya terbasuh debu saat berperang di jalan Allah, 

maka Allah akan mengharamkan dirinya dari neraka.” 

Malik lalu meninggalkan Jabir kemudian ia menuju barisan terdepan 

pasukan. Kemudian Malik menoleh ke arah Jabir, kemudian Malik 

memanggil Jabir dengan suara yang amat keras seraya berseru: “Ya Abu 

Abdillah, mengapa engkau tidak menunggangi bighalmu, padahal ia sudah 

menjadi milikmu?!” Jabir mengerti maksud Malik. Kemudian Jabir 

menjawabnya dengan suara yang keras: “Aku pernah mendengar 

Rasulullah Saw bersabda: ‘Siapa orang yang kakinya terbasuh debu saat 

berperang di jalan Allah, maka Allah akan mengharamkan dirinya dari 

neraka.” 

Maka spontan semua prajurit melompat turun dari tunggangan 

mereka. Semuanya berharap mendapatkan pahala ini . 

Tidak pernah didapati ada pasukan yang berjalan kaki melebihi 

pasukan ini . 


Selamat untuk Jabir bin Abdullah Al Anshary. Ia pernah turut berbai’at 

kepada Rasulullah Saw padahal ia belum mencapai usia baligh pada saat 

itu. 

Ia juga beruntung pernah mendapat bimbingan Rasulullah Saw sejak 

usia dini, dan ia banyak meriwayatkan hadits dari Rasulullah Saw yang 

kemudian riwayatnya banyak digunakan oleh para perawi hadits. 

Ia juga beruntung dapat turut-serta berjihad bersama Rasulullah Saw 

saat masih berusia remaja, kemudian ia membasuhkan kakinya dengan 

debu untuk berjuang di jalan Allah Swt padahal ia yaitu  seorang tua renta 

yang telah lanjut usia. 


Salim Budak Abu Hudzaifah 

“Kalau Saja Salim Masih Hidup, Maka Aku akan Mengangkatnya 

untuk Menjadi Pemimpin sesudah ku” (Umar bin Khattab) 

 

Tsubaitah binti Ya’ar memerdekakan budaknya yang bernama Salim 

yang pada saat itu ia masih berusia remaja mendekati usia baligh. 

Tsubaitah membebaskannya sebab  ia melihat dalam diri Salim terdapat 

kelembutan prilaku, kemurnian sifat dan tanda kecerdasan. 

Ia pun memiliki tanda-tanda kebaikan dan kebajikan dalam tindak-

tanduknya. 

Namun suami Tsubaitah yang bernama Abu Hudzaifah yang menjadi 

salah seorang pemuka Bani Abdi Syamsin merasa berat untuk melepaskan 

Salim dalam usianya yang masih dini. Maka Abu Hudzaifah mengajak 

Salim untuk ikut bersamanya menuju Masjidil Haram, kemudian Abu 

Hudzaifah berdiri di tengah keramaian bangsa Quraisy yang sedang 

berkumpul di sekitar Ka’bah. Abu Hudzaifah berseru: “Saksikanlah wahai 

bangsa Quraisy bahwa aku telah mengadopsi Salim, sesudah  istriku 

memerdekakannya. Ia bagiku kini sudah seperti anak kepada ayahnya.” 

Bangsa Quraisy pun menanggapi dengan berkata: “Alangkah terpujinya 

tindakanmu itu, wahai Ibnu Utbah (panggilan Abu Hudzaifah)!” 

Sejak saat itu, anak tadi mulai dipanggil dengan Salim ibnu Abi 

Hudzaifah. 


Tidak lama berselang, maka terpendarlah cahaya ilahi di padang pasir 

Mekkah. Dan Allah Swt telah mengutus seorang Nabi-nya dengan 

membawa ajara agama petunjuk dan kebenaran. Abu Hudzaifah dan 

anaknya yang bernama Salim termasuk orang pertama yang hatinya 

tersinari oleh cahaya suci ini. 

Kedua anak-beranak ini datang untuk menghadap Rasulullah Saw dan 

menyatakan keislaman mereka berdua dihadapan Beliau. 

Keduanya bersama-sama bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah Yang 

Esa dan tiada sekutu bagi-Nya dan bahwa Muhammad yaitu  hamba-Nya 

dan penutup para Rasul-Nya. 


Tidak lama sesudah  Abu Hudzaifah dan anaknya yang bernama Salim 

masuk ke dalam Islam, maka Islam pun membatalkan sistem adopsi anak. 

Islam mengajarkan kepada manusia untuk mengembalikan anak 

kepada bapak mereka yang asli demi menjaga keturunan (nasab) dan 

membongkar sebuah kebiasaan kaum jahiliah. 

Maka turunlah firman Allah Swt dalam masalah pengadopsian anak:  

“Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama 

bapak-bapak mereka.” (QS. Al-Ahzab [33] : 5) 

Kaum muslimin pun menyambut perintah Tuhan mereka. 

Mereka segera mencari urutan nasab anak yang telah mereka adopsi, 

mencari informasi tentang ayah mereka sebenarnya, kemudian 

mengembalikan anak-anak adopsi kepada ayah mereka yang sejati. 

namun  Abu Hudzaifah tidak menemukan ayah Salim yang 

sebenarnya meskipun ia selalu mencari-cari informasi akan 

keberadaannya. Hal itu disebab kan Salim telah tertawan pada usia dini, 

kemudian dipaksa ikut ke Mekkah dan di jual di pasar perbudakan dan 

pada saat itu Salim dalam usia yang belum bisa mengenal siapa ayah dan 

ibunya. 

Maka sebab nya, orang-orang menyebut Salim dengan panggilan Salim 

budak Abu Hudzaifah. Ia pun terus menyandang nama ini  sepanjang 

hidupnya. 


namun  hubungan Salim dengan Abu Hudzaifah bukanlah seperti 

hubungan seorang tuan dengan budaknya. namun  ia merupakan 

hubungan seorang saudara terhadap saudaranya sesudah  Islam menyatukan 

dua hati yang berbeda, dan sesudah  iman mempersaudarakan dua jiwa yang 

berpisah. 

Kedua hati mereka amat dipenuhi dengan kecintaan terhadap Allah dan 

Rasul-Nya. 

Abu Hudzaifah berniat untuk semakin mempererat dan memperdalam 

hubungannya kepada Salim, dan ia juga hendak memupus semua 

peninggalan fanatisme jahiliah yang diberantas oleh Islam. 

Maka Abu Hudzaifah menikahkan Salim dengan keponakan Abu 

Hudzaifah yang berbangsa Quraisy (Al Absyami170) yang memiliki 

kedudukan dan nasab terpandang. 

Maka kini Salim telah menjadi al akh fillah (saudara seiman) bagi Abu 

Hudzaifah sekaligus menjadi salah satu kerabatnya. 

                                                   

 Bernasab ke Bani Abdu Syamsin 

 


Tidak lama sejak itu, maka kedua saudara ini dipisahkan oleh berbagai 

peristiwa yang telah membuat kaum muslimin tersiksa dan teraniaya. 

Abu Hudzaifah pergi berhijrah ke negeri Habasyah untuk 

menyelamatkan agama dan keimanannya serta akidahnya dari siksaan 

bangsa Quraisy. 

Sementara Salim lebih memilih untuk tinggal di Mekkah bersama 

Rasulullah Saw dan menghabiskan usianya untuk mempelajari Kitabullah 

agar Salim dapat mengambilnya secara langsung dari Beliau begitu ayat-

ayat AlQur’an turun. Maka Salim dapat membacakan ayat-ayat Al Qur’an 

dengan khusyuk. Kemudian ia dapat memahami dan mentadabburi surat-

surat Al Qur’an yang diturunkan, sehingga ia menjadi salah seorang 

sahabat yang menghapalkan Al Qur’an pada zaman Nabi Saw. 

Salim juga termasuk salah satu dari 4 orang yang dipesankan Nabi Saw 

kepada ummat ini untuk mengambil pelajaran Al Qur’an dari mereka. 

Sabdanya: “Pelajarilah Al Qur’an dari keempat orang ini: Abdullah bin 

Mas’ud, Salim budak Abu Hudzaifah, Ubai bin Ka’b dan Muadz bin Jabal.” 


Para sahabat Nabi Saw yang mulia mengetahui kelebihan Salim 

dibandingkan mereka dalam menghapal Kitabullah, penguasaannya, 

pentadabburan ayatnya dan pemahaman akan makna dan maksudnya. 

Saat kaum muslimin berhijrah dari Mekkah ke Madinah, maka kaum 

muslimin mendaulat Salim untuk menjadi imam bagi mereka. 

Kaum muslimin terus shalat dengan Salim sebagai imamnya sehingga 

Rasulullah Saw tiba, meskipun dalam barisan muslimin saat itu terdapat 

Umar bin Khattab dan beberapa tokoh sahabat yang ternama. 


Kemudian Allah berkenan untuk mempertemukan Salim dengan 

saudaranya seiman yaitu Abu Hudzaifah sesudah  hijrah. Allah Swt juga 

memperkenankan mereka berdua untuk turut-serta dalam perang Badr 

bersama Rasulullah Saw. 

Saat pasukan muslimin hendak turun ke medan laga, Salim berkata 

kepada saudaranya Hudzaifah: “Lihatlah wahai Abu Hudzaifah, itu ayahmu 

Utbah bin Rabiah berada di barisan terdepan, ia bersiap untuk menghadapi 

Islam dan pasukan muslimin.” Abu Hudzaifah menjawab: “Benar, aku 

melihatnya. Dan itu ada dua orang musuh Allah yang bernama Syaibah bin 

Rabi’ah pamanku dan saudaraku yang bernama Al Walid bin Utbah, yang 

mengiringi ayahku. 

Kalau saja Rasulullah Saw mengizinkan, maka aku akan menghadapi 

mereka satu demi satu dan aku akan membuat mereka mati terbunuh, atau 

aku akan berpulang ke sisi Tuhanku dalam kondisi ridha dan diridhai. 


Begitu peperangan usai, Salim dan Abu Hudzaifah melihat orang yang 

tewas menjadi korban perang. Ternyata mereka menemukan Utbah ayah 

dari Abu Hudzaifah, Syaibah pamannya dan Al Walid saudaranya. 

Kesemuanya tewas tak bergerak. Abu Huzaifah lalu berkata: “Segala puji 

bagi Allah yang telah membuat hati Nabi-Nya tenang dengan kematian 

mereka semua.” 


Kedua bersaudara dalam ikatan iman ini senantiasa turut-serta berjihad 

di bawah komando Rasulullah Saw dalam setiap peperangan pada masa 

Beliau. Mereka juga menunaikan hak Alah dan Rasul-Nya hingga pada saat 

perang Yamamah pada masa pemerintahan Abu Bakar As Shiddiq ra. 

Pada hari itu, Abu Bakar berniat untuk berperang menumpas 

Musailamah Al Kadzzab, dan mengerahkan pasukan muslimin di segala 

penjuru untuk memberantas fitnah buta yang hampir mencelakakan Islam 

dan membahayakan penganutnya. 

Maka Salim dan Abu Hudzaifah bersegera untuk mempertahankan 

agama Allah, dan berangkat untuk berperang melawan Musailamah sang 

musuh Allah. 


Kedua pasukan bertemu di bumi Yamamah, dan peperangan 

berlangsung dengan sengit antara keduanya yang jarang sekali ditemukan 

peperangan sedahsyat itu dalam sejarah. 

Pasukan muslimin merangsek masuk dengan komando Ikrimah bin Abu 

Jahl dan Khalid bin Walid dengan begitu berani yang sulit digambarkan 

tentang keberanian mereka. 

Begitu juga halnya dengan kaum murtad dengan komando Musailamah 

yang tidak kalah beraninya. 

namun  kemenangan berada dalam pihak Musailamah Al Kadzzab, 

bahkan beberapa orang prajuritnya berhasil menyusup ke tenda Khalid bin 

Walid dan hampir menyandera istri Khalid kalau saja tidak ada salah 

seorang di antara mereka yang mencegahnya. 

Pada saat itulah semangat pasukan muslimin mulai bangkit, dan ada di 

antara mereka beberapa prajurit yang gagah berani. Mereka rela menukar 

diri mereka yang dapat mati hari itu atau keesokannya dengan diri dan 

jiwa yang tidak akan mati untuk selamanya. 

Pada saat itu, Khalid kembali mengatur barisan pasukan muslimin, dan 

ia menyerahkan panji komando pasukan Muhajirin kepada Salim budak 

Abu Hudzaifah sebagaimana ia menyerahkan panji komando pasukan 

Anshar kepada Tsabit bin Qais. 

Zaid bin Khattab berdiri memberikan semangat kepada pasukan 

muslimin untuk bertempur seraya berseru: “Wahai manusia, gigitlah 

geraham kalian dengan keras! Tebaslah leher musuh kalian! Majulah 

terus….! 

Wahai manusia, Demi Allah aku tidak akan mengatakan apapun juga 

sesudah  ini, sehingga Allah Swt mengalahkan Musailamah Al Kadzzab dan 

para pengikutnya atau aku sendiri yang akan terbunuh, sehingga aku dapat 

berjumpa Allah dengan membawa alasanku.” 

Kemudian Zaid lansung masuk ke dalam barisan. Ia terus berjuang 

melawan musuh hingga akhirnya ia mati terbunuh. 

Kemudian Abu Hudzaifah mengikuti jejak Zaid bin Khattab dan segera 

berseru: “Wahai para pengemban Al Qur’an, hiasilah Al Qur’an dengan 

aksi kalian!”  

Kemudian ia maju ke medan laga untuk berjuang sehingga ia 

menjumpai ajalnya saat ia maju terus pantang mundur. 

Sedangkan Salim budak Abu Hudzaifah menuju barisan Muhajirin dan 

berkata kepada dirinya sendiri: “Seburuk-buruknya pengemban Al Qur’an 

yaitu  aku bila kaum muslimin berdatangan dan berlindung ke arahku.” 

Kemudian ia langsung terjun ke medan laga untuk mempertahankan panji 

kaumnya sehingga tangan kanannya putus. Ia pun mengambil panji 

ini  dengan tangan kirinya. Ia terus berjuang hingga tangan kirinya 

pun putus. Ia pun kini mengambil panji ini  dengan kedua lengan 

atasnya. Ia terus mempertahankan panji ini  sehingga ia tidak mampu 

lagi menanggung luka di badan, lalu ia terjatuh ke tanah dengan 

bersimbah darah. 


Saat perang telah usai, Khalid bin Walid menemukan Salim budak Abu 

Hudzaifah masih dalam kondisi hidup. Salim lalu bertanya kepada Khalid: 

“Apa yang telah didapat oleh pasukan muslimin?” Khalid menjawab: “Allah 

telah memberikan kemenangan kepada mereka, Allah telah membunuh 

Musailamah Al Kadzzab buat kaum muslimin, dan Allah telah 

menghancurkan pasukan dan pendukung Musailamah.” 

Salim bertanya lagi: “Lalu apa yang dilakukan oleh saudaraku Abu 

Hudzaifah?” Khalid menjawab: “Ia telah pergi ke pangkuan Tuhannya. Ia 

terbunuh sebagai seorang syahid.” 

Salim berkata: “Letakkanlah tubuhkuk disamping tubuhnya!” Khalid 

menjawab: “Itulah tubuhnya yang sedang berbaring dengan sebuah bantal 

dekat kakimu.” Kemudian Salim memekamkan kedua matanya sambil 

berkata: “Kita bersama disini (di dunia) ya Abu Hudzaifah, dan Insya Allah 

kita akan bersama di sana (di akhirat).” 

Kemudian Salim menghembuskan nafasnya yang terakhir. 

Utsman bin Affan 

“Sejarah Kenabian Tidak Pernah Mendapati Orang yang Menjadi 

Menantu Rasulullah Sebanyak Dua Kali Selain Utsman bin Affan.” 

 

Dia yaitu  dzu nurain (pemilik dua cahaya), orang yang pernah 

berhijrah dua kali sekaligus suami dari dua putri Rasulullah Saw. Dialah 

Utsman bin Affan ra. 


Utsman bin Affan memiliki posisi terpandang di kalangan kaumnya 

pada masa jahiliah. Ia yaitu  orang yang memiliki harta kekayaan yang 

berlimpah. Ia juga yaitu  orang yang rendah hati dan pemalu. Kaumnya 

amat mencintai dirinya, sehingga ada seorang wanita Quraisy yang sedang 

memomong anaknya dengan bersenandung: 

Aku dan Ar Rahman (Tuhan Yang Penyayang) menyayangimu 

Seperti orang Quraisy menyayangi Utsman 

Begitu Islam memancarkan cahayanya di Mekkah, Utsman yaitu  

orang yang termasuk para pendahulu yang segera menyerap cahaya 

ini . 


Kisah keislaman Utsman bin Affan hingga sekarang masih sering 

dikisahkan orang. 

Hal itu disebab kan saat pada masa jahiliah ia mendengar bahwa 

Muhammad bin Abdullah telah menikahkan putrinya yang bernama 

Ruqayah dengan sepupunya yang bernama Utbah bin Abi Lahab, Utsman 

merasa menyesal sebab  ia sudah kedahuluan. Ia merasa kesal sebab  tidak 

beruntung mendapatkan istri yang memiliki akhlak yang mulia dan 

berketurunan baik. 

Utsma pun kembali pulang ke rumah dengan perasaan kesal dan sedih. 

Saat pulang, ia mendapati bibinya sedang berada di rumah yang 

bernama Su’da binti Kuraizin. Su’da ini yaitu  perempuan yang tegas, 

cerdas dan sudah berusia senja. Su’da berhasil menghilangkan kekesalan 

Utsman dengan memberitahukan kepadanya bahwa akan muncul seorang 

Nabi yang menghancurkan penyembahan kepada berhala, dan menyeru 

untuk beribadah kepada Tuhan Yang Esa. Su’da menyuruh Utsman untuk 


mengikuti ajaran agama Nabi ini , dan ia menjanjikan bahwa Utsman 

akan mendapatkan apa yang pantas bagi dirinya. 

Utsman berkisah: “Maka aku segera memikirkan apa yang baru saja 

dikatakan oleh bibiku tadi. Aku pun segera menemui Abu Bakar dan aku 

ceritakan kepadanya apa yang telah diberitahukan bibi kepadaku.” 

Abu Bakar berkata: “Demi Allah, bibimu telah berkata benar atas apa 

yang ia sampaikan kepadamu dan dengan kebaikan yang ia janjikan 

untukmu, ya Utsman! Engkau pun yaitu  seorang yang bijak dan tegas 

yang mampu membedakan kebenaran,dan tidak ada kebathilan yang samar 

bagi dirimu.” Kemudian Abu Bakar berkata kepadaku:  

“Apakah makna dari berhala yang disembah oleh kaum kita ini?! 

Bukankah berhala ini terbuat dari batu yang tuli. Tidak bisa mendengar 

dan melihat?” Aku menjawab: “Benar.” Abu Bakar berkata: “Apa yang telah 

dikatakan oleh bibimu telah terbukti, ya Utsman! Allah Swt telah 

mengirimkan Rasul-Nya yang dinanti-nanti. Ia mengutusnya untuk semua 

orang dengan membawa agama petunjuk dan kebenaran.” 

Aku bertanya: “Siapakah dia?!” Abu Bakar menjawab: “Dialah 

Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib.” 

Aku bertanya keheranan: “Muhammad As Shodiq Al Amin (orang yang 

terkenal jujur dan terpercaya) itu?” Abu Bakar menjawab: “Benar. Dialah 

orangnya.” Aku bertanya kepada Abu Bakar: “Apakah engkau mau 

menemaniku untuk menemuinya?” Abu Bakar menjawab: “Baiklah.” Maka 

kami pun berangkat untuk menemui Nabi Saw. 

Begitu Beliau melihatku Beliau langsung bersabda: “Ya Utsman, 

sambutlah seruan orang yang mengajak ke jalan Allah! Sebab aku yaitu  

utusan Allah kepada kalian secara khusus, dan kepada semua makhluk 

Allah secara umum.” 

Utsman berkata: “Demi Allah, begitu aku melihat Beliau dan 

mendengarkan sabdanya, maka aku langsung merasa nyaman dan aku 

percaya akan keRasulannya. Kemudian akupun langsung bersaksi bahwa 

tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad yaitu  hamba-Nya dan 

Rasul-Nya.” 


Hingga hari itu tidak ada satupun orang yang berasal dari kaumnya 

yang mau beriman kepada Rasulullah Saw. 

Meswki tidak ada satupun yang menyatakan permusuhan kepada Nabi 

Saw selain pamannya yang bernama Abu Lahab. 

Abu Lahab dan istrinya yang bernama Ummu Jamil yaitu  orang dari 

suku Quraisy yang paling keras melakukan perlawanan dan makar 

terhadap diri Nabi Saw. Maka Allah Swt menurunkan sebuah surat tentang 

diri Abu Lahab dan istrinya: 

“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan 

binasa.Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang 

ia usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. 

Dan (begitu pula) isterinya, pembawa kayu bakar. Yang di lehernya 

ada tali dari sabut.” (QS. Al-Lahab [111] : 1-5) 

Kebencian Abu Lahab kepada Rasulullah Saw semakin menjadi. 

Demikian juga kedengkian istrinya. Tidak hanya ditujukan kepada 

Muhammad Saw namun  kepada kaum muslimin yang menjadi 

pendukungnya. Abu Lahab dan Ummu Jamil menyuruh putranya Utbah 

untuk menceraikan istrinya yang bernama Ruqayyah putri Muhammad 

Saw.  Maka Utbah pun menceraikan Ruqayyah sebab  alasan dendam 

kepada ayahnya. 


Begitu Utsman mendengar berita telah dicerainya Ruqayyah, maka ia 

langsung teriak kegirangan. Ia lalu segera meminang Ruqayyah dari 

Rasulullah Saw. Maka Rasul Saw pun menikahkan Ruqayyah kepadanya. 

Ummul Mukminin Khadijah binti Khuwailid mengadakan walimah untuk 

perkawinan putrinya ini. 

Utsman yaitu  seorang dari bangsa Quraisy yang memiliki tampang 

yang paling tampan, sedangkan Ruqayyah juga tidak kalah cantik dan 

menarik. Maka banyak orang yang berkata kepada Ruqayyah saat dirinya 

dinikahkan dengan Utsman: 

Inilah pasangan terbaik yang pernah dilihat manusia 

Ruqayyah, dan suaminya yang bernama Utsman 


Utsman -meski dia memiliki kedudukan dan kebaikan yang banyak- 

tidak terlepas dari siksaan kaumnya saat ia memeluk Islam. 

Pamannya yang bernama Hakam merasa malu bila ada seorang pemuda 

dari Bani Abdi Syamsin yang keluar dari agama bangsa Qurasiy, dan 

Hakam amat malu dibuatnya. Maka Hakim bersama para pengikutnya 

berusaha menghadapi Utsman dengan siksaan dan perlakuan yang kejam. 

Hakam menangkap Utsman dan mengikatkan tubuh Utsman dengan 

tali. Hakam bertanya kepada Utsman: “Apakah engkau membenci agama 

ayah dan kakek moyangmu, dan kini engkau masuk ke dalam agama yang 

dibuat-buat itu?! Demi Allah, aku tidak akan membiarkanmu hingga 

engkau meninggalkan agama yang kau anut ini!” 

Utsman menjawab: “Demi Allah, aku tidak akan meninggalkan 

agamaku ini untuk selamanya, dan aku tidak akan berpisah dengan Nabiku 

selagi aku hidup. 

Meski pamannya terus menyiksa dirinya, namun  ia semakin teguh 

dan tak tergoyahkan dalam berakidah sehingga pamannya merasa putus 

asa dan akhirnya melepaskan Utsman dan tidak lagi mengganggunya. 

namun  bangsa Quraisy masih saja membuat permusuhan kepada 

Utsman dan menyiksanya, sehingga hal itu membuat Utsman berkeputusan 

untuk lari dan menyelamatkan agamanya serta meninggalkan Nabinya.  

Utsman yaitu  muslim pertama yang berhijrah ke Habasyah bersama 

istrinya ra. Saat mereka berdua hendak berangkat untuk berhijrah, 

Rasulullah Saw melepas mereka dan berpesan: “Semoga Allah Swt akan 

menemani Utsman dan istrinya yang bernama Ruqayah… Semoga Allah 

Swt akan menemani Utsman dan istrinya yang bernama Ruqayah. Utsman 

yaitu  orang pertama yang berhijrah bersama keluarganya sesudah  Nabi 

Allah Luth as.” 


Utsman bersama istrinya tidak tinggal lama di Habasyah seperti para 

muhajirin lainnya. Mereka berdua merasakan kerinduan yang amat sangat 

kepada Nabi Saw dan kepada Mekkah. 

Maka keduanya kembali ke Mekkah dan menetap di sana hingga saat 

Allah Swt mengizinkan kepada Nabi-Nya dan kepada kaum mukminin 

untuk berhijrah ke Madinah. Maka Utsman dan Ruqayah pun berangkat 

bersama rombongan muhajirin. 


Utsman mendampingi Rasulullah Saw dalam semua pertempuran yang 

pernah Beliau lakukan. Tidak ada satu perang pun yang terlewatkan selain 

perang Badr. Dia tidak turut-serta dalam perang ini sebab  harus merawat 

istrinya yang bernama Ruqayah sebab sakit. 

Saat Rasulullah Saw kembali dari Badr, dan Beliau mendapati Ruqayah 

telah kembali ke pangkuan Allah, maka Rasul Saw menjadi amat sedih. 

Rasul Saw berbagi kesedihan dengan Utsman atas musibah yang terjadi. 

Maka Rasul Saw memasukkan Utsman ke dalam golongan ahli Badr, dan 

mendapatkan jatah ghanimah. Kemudian Rasulullah Saw menikahkan 

Utsman dengan putri kedua Rasulullah Saw yang bernama Ummu Kultsum. 

Oleh sebab nya, manusia memanggil Utsman dengan sebutan Dzu Nuraini 

(orang yang memiliki dua cahaya).  


Pernikahan Utsman yang kedua kalinya dengan putri Nabi Saw yaitu  

sebuah keutamaan yang tidak didapatkan pria lain selain dirinya. Hal itu 

disebab kan, belum pernah terjadi sebelumnya ada orang yang menjadi 

menantu Nabi sebanyak dua kali selain Utsman bin Affan ra. 


Keislaman Utsman ra yaitu  salah satu nikmat terbesar yang Allah Swt 

anugerahkan kepada kaum muslimin dan kepada Islam. Tidak ada 

kesulitan yang dirasakan oleh kaum muslimin, maka Utsman akan menjadi 

orang yang akan segera membantu kesulitan mereka. Tidak ada satu 

musibah pun yang menimpa Islam, kecuali Utsman akan menjadi orang 

terdepan yang akan mengurangi beban yang diderita Islam. 


Salah satunya yaitu  saat Rasulullah Saw hendak melakukan perang 

Tabuk, pada saat itu Rasulullah Saw amat membutuhkan bantuan finansial 

sebagaimana Beliau juga membutuhkan orang-orang yang akan menjadi 

prajurit dalam perang ini. 

Sementara pasukan Romawi memiliki prajurit yang banyak, logistik 

yang memadai dan mereka bertempur di negerinya sendiri. 

Sedangkan kaum muslimin, mereka akan melalui perjalanan yang 

panjang dengan bekal yang sedikit dan kendaraan yang tidak memadai. 

Saat itu, kaum muslimin juga sedang mengalami masa paceklik, yang 

jarang terjadi hal seperti ini di jazirah Arab. 

Dengan terpaksa maka Rasulullah Saw menolak banyak orang yang 

hendak melakukan jihad dan melarang mereka untuk mencari syahadah 

(mati di jalan Allah) sebab mereka tidak memiliki kendaraan yang dapat 

membawa mereka ke sana. Maka orang-orang tadi kembali pulang ke 

tempat masing-masing dengan mata yang berlinang. 


Pada saat itulah Rasulullah Saw naik ke atas mimbar. Beliau memuji 

Allah Swt, kemudian Beliau menganjurkan umat Islam untuk mengerahkan 

segala kemampuan mereka dan menjanjikan mereka dengan balasan yang 

besar. 

Serta-merta Utsman berdiri dan berkata: “Aku akan memberikan 100 

unta lengkap dengan bekalnya, ya Rasulullah!” 

Kemudian Rasulullah Saw turun satu anak tangga dari mimbarnya dan 

Beliau terus menganjurkan umat Islam untuk mengerahkan apa yang 

mereka punya. Maka untuk kedua kalinya Utsman berdiri dan berkata: 

“Aku akan memberikan 100 unta lagi lengkap dengan bekalnya, ya 

Rasulullah!” 

Wajah Rasul Saw menjadi cerah, kemudian Beliau turun satu anak 

tangga lagi dari mimbar dan Beliau masih saja menyerukan umat Islam 

untuk mengerahkan segala yang mereka miliki. Utsman untuk ketiga 

kalinya berdiri dan berkata: “Aku akan memberikan 100 unta lagi lengkap 

dengan bekalnya, ya Rasulullah!” 

Pada saat itu Rasulullah Saw mengarahkan tangannya ke arah Utsman 

pertanda Beliau senang dengan apa yang telah dilakukan Utsman ra. Beliau 

pun bersabda: “Utsman sesudah  hari ini tidak akan pernah kesulitan… 

Utsman sesudah  hari ini tidak akan pernah kesulitan.” 


Belum lagi Rasulullah Saw turun dari mimbarnya, namun Utsman 

sudah berlari pulang ke rumah. Ia segera mengirimkan semua unta yang ia 

janjikan dan disertai dengan 1000 dinar emas. 

Begitu uang-uang dinar tadi diserahkan kepangkuan Rasulullah Saw, 

Beliau lalu membolak-balikkan uang dinar ini  seraya bersabda: 

“Semoga Allah Swt akan mengampunimu, ya Utsman atas sedekah yang 

kau berikan secara terang-terangan maupun sembunyi. Semoga Allah juga 

akan mengampuni segala sesuatu yang ada pada dirimu, dan apa yang 

telah Ia ciptakan hingga terjadinya hari kiamat.” 


Pada saat kekhalifahan Umar Al Faruq ra, saat itu manusia sedang 

menderita tahun paceklik yang mengakibatkan banyak sawah ladang serta 

hewan yang menjadi korbannya. Sehingga tahun ini  dikenang dengan 

sebutan tahun Ramadah (debu)171 sebab  parahnya paceklik yang terjadi. 

Kesulitan yang dirasakan oleh manusia di Madinah terus semakin 

mengganas sehingga banyak nyawa manusia yang terancam. Suatu pagi 

para penduduk datang menghadap khalifah Umar dan berkata: “Wahai 

khalifah Rasulullah. Langit sudah lama tidak menurunkan hujan, dan bumi 

sudah tidak menumbuhkan pephonan. Banyak nyawa manusia yang 

terancam. Apa yang mesti kita lakukan?!” 

Dengan tatapan penuh kegelisahan Umar melihat wajah mereka dan 

berkata: “Bersabarlah dan berharap pahalalah kalian kepada Allah! Aku 

amat berharap semoga Allah Swt akan memudahkan kesulitan kalian pada 

petang ini.” 

Pada penghujung hari, terdengar kabar bahwa kafilah Utsman bin 

Affan telah datang dari Syam, dan rombongan ini  akan tiba di 

Madinah pada pagi hari. 

                                                   

 Tahun Ramadah (debu): yaitu  suatu tahun dimana tanah menjadi kering-kerontang dan 

warnanya seperti debu. Banyak manusia yang kelaparan, oleh sebab nya ia disebut dengan nama 

sedemikian.  

 

Begitu shalat Fajar usai dilaksanakan, maka semua orang berbondong-

bondong menyambut kedatangan kafilah ini. 

Para pedagang yang menyambut kedatangan kafilah ini mendapati 

bahwa rombongan Utsman terdiri dari 1000 unta yang sarat dipenuhi 

dengan gandum, minyak dan anggur kering. 


Kafilah unta ini  berhenti di depan pintu rumah Utsman bin Affan 

ra. Para budak segera menurunkan muatan dari punggung unta. 

Para pedagang pun segera menemui Utsman dan berkata kepadanya: 

“Juallah kepada kami segala yang kau bawa, ya Abu Amr (panggilan 

Utsman)!” 

Utsman berkata: “Aku akan menjualnya dengan senang hati kepada 

kalian, namun  berapa harga yang hendak kalian tawarkan kepadaku?” 

Mereka menjawab: “Setiap dirham yang kau bayarkan akan kami ganti 

dengan dua dirham.” 

Utsman menjawab: “Aku akan mendapatkan lebih dari itu.” Maka para 

pedagangpun menambahkan lagi harga tawaran mereka. 

Utsman lalu berkata: “Aku akan mendapatkan lebih dari harga yang 

telah kalian tambahkan.” Para pedagangpun menambahkan lagi harga 

tawaran mereka. 

Namun Utsman tetap berkata: “Aku akan mendapatkan lebih dari ini.” 

Para pedagang tadi berkata: “Wahai Abu Amr, tidak ada para pedagang 

lain di Madinah selainkami. Juga tidak ada seorang pun yang mendahului 

kami datang ke tempat ini. Lalu siapa yang telah memberikan tawaran 

kepadamu melebihi harga yang kami tawarkan?!”  

Ustman menjawab: “Allah Swt akan memberikan 10 kali lipat dari 

setiap dirham yang aku bayarkan. Apakah kalian dapat membayar lebih 

dari ini?” 

Para pedagang itu menjawab: “Kami tidak sanggup untuk 

membayarnya, wahai Abu Amr. 

Utsman langsung berseru: “Aku bersaksi kepada Allah bahwa aku akan 

menjadikan semua barang bawaan yang dibawa oleh kafilah ini sebagai 

sedekah kepada para fuqara kaum muslimin. Aku tidak pernah berharap 

satu dirham ataupun satu dinar sebagai gantinya. Aku hanya berharap 

keridhaan dan balasan dari Allah Swt. 


Saat kekhalifahan berpindah ke tangan Utsman bin Affan, Allah Swt 

berkenan menaklukan pada masa Utsman daerah Armenia dan Kaukasus. 

Allah juga memenangkan kaum muslimin untuk menaklukan daerah 

Khurasan, Karman, Sigistan, cyprus dan beberapa daerah kecil di benua 

Afrika. 

Kaum muslimin pada masa Utsman mendapatkan kesejahteraan yang 

belum pernah dirasakan oleh bangsa lain di muka bumi ini. 


Hasan Al Bashry172 ra mengisahkan kesejahteraan penduduk pada masa 

Utsman bin Affan Dzu Nurain, serta kedamaian dan kenyamanan yang 

dirasakan oleh umat Islam. Ia berkata: 

“Aku pernah melihat ada seorang pegawai Utsman berseru: ‘Wahai 

manusia, segeralah kalian mengambil jatah!’ Maka semua orang pun 

segera mengambil jatah mereka secara merata. 

‘Wahai manusia, segeralah datang untuk mengambil rizqi kalian!’ 

Maka semua manusia segera berdatangan dan mereka mendapatkan jatah 

rizqi yang berlimpah. 

Demi Allah kedua telingaku mendengar pegawai tadi berseru: 

‘Segeralah kalian mengambil pakaian kalian!’ Semua orang segera 

mengambil pakaian yang panjang dan lebar. Pegawai tadi juga berseru: 

‘Segeralah kalian mengambil minyak dan juga madu!’ 

Semua itu tidak mengherankan sebab  harta pada masa Utsman terus 

menerus berdatangan dan berlimpah. 

Hubungan antara sesama muslim menjadi nyaman. Tidak ada di muka 

bumi seorang mukmin yang merasa khawatir terhadap seorang mukmin 

yang lain. Yang ada yaitu  seorang muslim yang menyayangi, mencintai 

dan membantu muslim lainnya. 


namun  ada sebagian orang yang bila sudah merasa kenyang maka 

mereka akan kelewat batas. Jika mereka mendapatkan nikmat Allah maka 

mereka akan menjadi kufur. 

Maka sebagian orang tadi malah melemparkan cacian kepada Utsman 

tentang berbagai permasalahan, yang bila permasalah ini  dilakukan 

oleh orang selain Utsman maka mereka tidak akan mencacinya. 

Mereka tidak hanya mencaci Utsman. Kalau saja mereka berhenti 

mencaci Utsman, maka keadaan akan bertambah tenang. 

namun  setan terus meniupkan api permusuhan dan kejahatan pada 

diri orang-orang tadi. 

                                                     

 Hasan Al Bashry: Lihatla profilnya dalam buku Shuwar min Hayatit Tabi’in karya penulis 

 

Sehingga ada sekelompok orang yang berjumlah banyak dari berbagai 

suku berbeda berkumpul di sekeliling rumah Utsman selama 40 malam. 

Mereka menghalangi penduduk rumah Utsman untuk mendapatkan air 

bersih. 

Orang-orang zhalim ini telah lupa bahwa Utsman-lah orang yang 

pernah membeli sumur rumah173 dengan hartanya agar pada penduduk 

dan orang yang melancong ke Madinah Al Munawarah tidak kehausan. 

Padahal sebelumnya, penduduk Madinah tidak memiliki sumber air jernih 

yang dapat mereka minum. 

Mereka juga menghalangi Utsman untuk melakukan shalat berjamaah 

di Masjid Rasulullah Saw. 

Orang-orang ini  telah tertutup matanya untuk mengetahui bahwa 

Utsman-lah yang pernah memperluas Masjid Nabawi dengan hartanya 

sendiri, agar kaum muslimin merasa lapang dan nyaman berada di 

dalamnya. 

Saat kesulitan ini semakin menghebat menimpa diri Utsman, maka 

sekitar 700 orang dari kalangan sahabat dan anak-anak mereka segera 

berusaha melindungi Utsman. 

Di antara mereka yaitu : Abdullah bin Umar bin Khattab, Abdullah bin 

Zubair Al Awwam, Al Hasan dan Al Husain kedua putra Ali bin Abi Thalib, 

Abu Hurairah dan banyak lagi. 


namun  Utsman bin Affan lebih memilih dirinya yang akan menjadi 

korban daripada banyak nyawa kaum muslimin yang akan menjadi korban 

hanya demi melindungi dirinya saja. Ia juga memilih untuk meregang 

nyawa daripada kaum muslimin lain yang akan menjadi korban 

pembunuhan. 

Utsman berpesan kepada orang-orang yang hendak melindunginya 

agar ia dibiarkan sesuai kehendak Allah Swt saja. 

Utsman berkata kepada mereka: “Aku berjanji kepada orang yang 

memiliki tanggung jawab kepadaku agar mereka menahan diri dan 

tangannya.” Ia juga berkata kepada para budaknya: “Siapa yang 

mengembalikan pedang ke sarungnya, maka ia akan merdeka!” 


Saat Utsman memejamkan matanya sebelum terjadi pembunuhan 

terhadap dirinya,ia melihat Nabi Saw yang diiringi oleh kedua sahabatnya 

yang bernama Abu Bakar As Shiddiq dan Umar bin Khattab. 

                                                   

 Sumur Rumah yaitu  sebuah sumur di Madinah yang dibeli Utsman dari seorang beragama 

Yahudi 


Utsman mendengar Rasulullah Saw bersabda kepadanya: “Segeralah 

menyusul kami, ya Utsman!” Maka Utsman merasa yakin bahwa ia akan 

segera berjumpa dengan Tuhannya dan Nabinya. 


Pagi itu Utsman bin Affab berpuasa. Ia meminta untuk dibawakan 

celana panjang dan kemudian ia mengenakannya sebab  ia merasa 

khawatir bahwa auratnya dapat tersingkap jika ia dibunuh oleh orang-

orang durjana tadi. 

Pada hari Jum;at 18 Dzul Hijjah, terbunuhlah seorang hamba yang 

rajin beribadah dan berzuhud. Orang yang suka berpuasa dan melakukan 

qiyamul lail. Orang yang berhasil menyatukan mushaf Al Qur’an174. 

Menantu Rasulullah Saw. 

Ia berpulang ke pangkuan Tuhan saat ia sedang kehausan sebab  

berpuasa, sementara Kitabullah terbentang di antara kedua tangannya. 


Hal yang membuat kaum muslimin semakin sedih yaitu  di antara para 

pembunuh Utsman ra tidak terdapat seorang tokoh sahabat maupun anak 

sahabat yang turut-serta dalam proses pembunuhannya ini kecuali seorang 

saja dari mereka yang pada akhirnya ia merasa malu dan enggan untuk 

melakukannya. 


 Pada masa Utsman telah berhasil dituliskan Mushaf Al Qur’an pertama dengan naskah yang 

terjaga dari Hafshah binti Umar bin Khattab – dan mushaf yang pernah dikumpulkan oleh Zaid bin 

Tsabit pada masa Abu Bakar As Shiddiq. Dalam penulisan mushaf ini amat mempertimbangkan adanya 

perbedaan bacaan (qira’at) demi menjaga adanya perpecahan. Untuk proses penulisan Mushaf ini, 

Utsman memerintahkan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Al Zubeir, Said bin Al Ash dan Abdurrahman bin 

Al Harits bin Hisyam. 

 

Amr bin Al Ash 

“Amr bin Al Ash Masuk Islam sesudah  Ia Melakukan Perenungan dan 

Pemikiran yang Cukup Panjang. Rasulullah Saw Pernah Bersabda 

tentang Diri Amr: “Para Manusia telah Masuk Islam, dan Amr bin Al 

Ash telah Beriman.”

 

“Ya Allah, Engkau dulu pernah memerintahkan kami, namun kami 

bermaksiat. Engkau dulu pernah melarang kami, namun kami masih saja 

tak berhenti melakukannya. Tidak ada daya upaya kami selain berharap 

ampunan-Mu, wahai Dzat Yang Paling Penyayang!” 

Dengan do’a yang sarat dengan kerendahan hati dan harapan ini, Amr 

bin Ash menutup usia dan menjelang kematian. 


Kisah hidup Amr bi Ash sarat dengan cerita berharga. 

Dalam masa hidupnya, ia telah berhasil mempersembahkan untuk 

Islam dua daerah besar dan makmur. Keduanya yaitu  Palestina dan Mesir. 

Ia berhasil meninggalkan sebuah riwayat berharga dan senantiasa 

dibaca oleh manusia sepanjang masa. 


Kisah ini di mulai kira-kira setengah abad sebelum hijrah saat Amr 

dilahirkan, dan berakhir 43 tahun sesudah  hijrah saat ia menutup usia. 

Ayahnya bernama Al Ash bin Wa’il yang menjadi salah seorang 

pemimpin dan  tokoh Arab terpandang pada masa jahiliah. Ayahnya juga 

merupakan sosok yang memiliki kedudukan tinggi pada bangsa Quraisy. 

Sedangkan ibunya, memiliki nasib yang berbeda. Ibunya yaitu  seorang 

budak tawanan saja. 

Oleh sebab nya orang-orang yang merasa iri terhadap Amr bin Ash 

selalu mengungkit kisah ibunya saat Amr sudah menjabat posisi tertentu 

atau saat ia sedang menaiki tangga mimbar untuk memberikan khutbah. 

Bahkan ada seseorang yang membujuk seorang lain untuk berdiri saat 

Amr bin Ash hendak naik ke atas mimbar lalu menanyakan Amr tentang 

                                                     

 HR. Imam Ahmad dan At Tirmidzi. Barangkali yang dimaksudkan di sini yaitu  orang-orang 

yang masuk Islam pada tahap-tahap akhir. 


kisah ibunya. Orang yang menyuruh tadi menjanjikan sejumlah uang 

kepada orang yang berani melakukan hal ini. 

Orang yang disuruh itu bertanya: “Siapakah ibu dari pemimpin kita 

ini?” Amr langsung berusaha menekan emosinya dan menggunakan akal 

sehatnya. Ia menjawab: “Dia yaitu  Nabighah binti Abdullah. Ia pernah 

tertawan pada masa jahiliah kemudian ia dijual sebagai budak di pasar 

Ukadz. Kemudian ia dibeli oleh Abdullah bin Jad’an yang kemudian 

diberikan kepada Ash bin Wa’il (yaitu ayah Amr) sehingga membawa 

karunia seorang anak bagi Ash. Jika orang yang hatinya teracuni sifat 

dengki menjanjikan sejumlah uang kepadamu, maka ambillah!” 


Saat kaum muslimin yang menderita berhijrah ke Habasyah untuk 

menyelamatkan diri dari siksaan bangsa Quraisy dan tinggal di sana. Pada 

saat itu bangsa Quraisy bertekad untuk memulangkan mereka ke Mekkah 

lagi, kemudian menyiksa mereka dengan berbagai siksaan. 

Bangsa Quraisy menunjuk Amr bin Ash untuk melakukan tugas ini, 

sebab ia memiliki hubungan lama yang baik dengan An Najasy176. 

Bangsa Quraisy juga membekali Amr dengan hadiah yang disenangi 

oleh An Najasy dan para pemuka agama di sana. 

Begitu Amr bin Ash bertemu dengan An Najasy, Amr bin Ash 

memberikan penghormatan kepadanya dan berkata: “Ada sebuah 

kelompok dari kaum kami yang telah berpaling dari agama orang tua dan 

kakek moyang kami, mereka kini telah membuat agama baru untuk diri 

mereka. Bangsa Quraisy mengutusku untuk bertemu denganmu untuk 

mendapatkan izin darimu agar mereka dapat dikembalikan kepada 

kaumnya dan kembali kepada agama mereka.” 

Maka An Najasy segera memanggil beberapa orang dari sahabat Nabi 

yang berhijrah. An Najasy bertanya kepada mereka tentang agama yang 

mereka anut, Tuhan yang mereka imani dan tentang Nabi mereka yang 

membawa ajaran agama ini. 

An Najasy mendengarkan dari penuturan para sahabat tadi yang 

membuat hatinya menjadi yakin dan tenang. Akidah mereka telah 

membuat An Najasy menjadi suka dengan ajaran agama mereka dan 

beriman kepadanya. 

Maka An Najasy menolak dengan keras permintaan Amr bin Ash. 

Kemudian An Najasy mengembalikan semua hadiah yang diberikan oleh 

Amr bin Ash. 


                                                    

 An Najasy: Lihat profilnya dalam buku Shuwar min Hayatit Tabi’in karya penulis. Terbitan 

Darul Adab Al Islamy 

Saat Amr bin Ash hendak berangkat menuju Mekkah, An Najasy 

berkata kepadanya: “Bagaimana bisa engkau menjauh dari urusan 

Muhammad, ya Amr padahal aku tahu bahwa engkau yaitu  orang yang 

berpikiran cerdas dan berwawasan luas?! Demi Allah dia yaitu  seorang 

utusan Allah kepada kalian khususnya dan kepada manusia secara umum.” 

Amr lalu bertanya: “Apakah kau sungguh mengatakan hal demikian, 

wahai paduka raja?!” 

An Najasy menjawab: “Demi Allah, taatilah titahku, ya Amr dan 

berimanlah kepada Muhammad dan kepada kebenaran yang ia bawa untuk 

kalian!” 


Amr bin Ash meninggalkan Habasyah. Ia terus melanjutkan 

perjalanannya namun ia tidak mengerti apa yang ia lakukan. Kalimat yang 

telah diucapkan An Najasy meninggalkan bekas mendalam dan berhasil 

mengguncang hatinya. 

Ucapan An Najasy tentang Muhammad membuat dirinya ingin segera 

menemui Muhammad, namun  ia tidak memiliki kesempatan hingga 

pada tahun 8 hijriyah. Pada saat Allah Swt berkenan untuk melapangkan 

dadanya untuk menerima agama yang baru. Maka pada saat itulah Amr 

berangkat menyusuri jalan yang menuju ke Madinah Munawarah untuk 

menemui Rasulullah Saw dan menyatakan keislaman dirinya dihadapan 

Beliau. 

Saat ia sedang di tengah perjalanan, ia berjumpa dengan Khalid bin Al 

Walid dan Utsman bin Thalhah. Keduanya pun memiliki tujuan yang sama. 

Akhirnya ketiga orang itu pun berangkat bersama-sama. 

Begitu mereka menjumpai Nabi Saw, Khalid bin Walid dan Utsman bin 

Thalhah segera berbai’at (melakukan sumpah setia) kepada Nabi Saw. 

Kemudian Rasulullah Saw membentangkan tangannya kepada Amr, 

lalu Amr memegang tangan Beliau. 

Rasulullah Saw lalu bertanya kepada Amr: “Apa yang terjadi dengan 

dirimu, ya Amr?!” Ia menjawab: “Aku berbai’at kepadamu agar dosaku 

yang terdahulu diampuni.” 

Nabi Saw langsung berujar: “Islam dan hijrah keduanya menghapuskan 

dosa yang terjadi sebelumnya.” Pada saat itu Amr langsung berbai’at 

kepada Rasul Saw. 

namun  kejadian ini meninggalkan kesan pada diri Amr bin Ash 

yang sering ia ucapkan: “Demi Allah, mataku tidak pernah memandang 

Rasulullah Saw dan menatap wajah Beliau hingga Beliau kembali ke 

pangkuan Tuhannya.”

Dengan cahaya kenabian Rasulullah Saw melihat diri Amr bin Ash. 

Beliau mengetahui adanya potensi tertentu dalam dirinya. Maka Rasulullah 

Saw menunjuk Amr untuk menjadi pemimpin pasukan muslimin dalam 

perang Dzatus Salasil meski dalam pasukan ini  banyak terdapat para 

tokoh Muhajirin dan Anshar yang lebih dahulu masuk Islam. 


Saat Rasulullah Saw sudah wafat, dan kekhalifahan berada di tangan 

Abu Bakar As Shiddiq ra maka Amr bin Asha berjuang keras dalam 

peperangan melawan gerakan kemurtadan. 

Amr bin Ash juga memberantas fitnah yang merebak saat itu bersama 

Abu Bakar As Shiddiq Ra. 

Amr bin Ash pernah singgah di Bani Amir dan bertemu dengan 

pemimpin mereka yang bernama Qurrata bin Hubairaj yang berniat untuk 

murtad. Qurrata berkata kepada Amr: “Wahai Amr, Bangsa Arab tidak 

menyukai kewajiban pembayaran yang kalian tetapkan kepada semua 

orang (maksudnya yaitu  zakat). Jika kalian menghilangkan zakat ini , 

maka bangsa Arab akan patuh dan taat kepada kalian. Jika kalian menolak 

untuk menghapuskannya, maka mereka tidak akan bersatu lagi dengan 

kalian sesudah  hari ini. 

Maka Amr pun langsung berseru kepada Bani Amir: “Celaka kamu!! 

Apakah engkau sudah menjadi kafir wahai Qurrata?! Apakah engkau mau 

menakutiku dengan murtadnya bangsa Arab?! Demi Allah, aku akan 

menjejakan kaki kuda di kemah ibumu!” 


Saat Abu Bakar As Shiddiq kembali ke pangkuan Tuhannya, dan 

amanah kekuasaan diserahkan kepada Umar Al Faruq. Al Faruq 

memanfaatkan kemampuan dan pengalaman yang dimiliki oleh Amr bin 

Ash kemudian Umar menempatkan Amr untuk berkhidmat kepada Islam 

dan muslimin. 

Maka lewat Amr bin Ash, Allah Swt berkenan menaklukan satu negeri 

demi negeri lainnya yang berada di tepi pantai Palestina. Pasukan Romawi 

satu demi satu menemukan kekalahan mereka. Kemudian Amr bin Ash 

bersama pasukannya berniat untuk memblokade Baitul Maqdis. 

Amr bin Ash semakin memperketat blokade di sekeliling wilayah Baitul 

Maqdis sehingga Arthabun panglima pasukan Romawi merasa putus asa. 

Blokade ini  menyebabkan Arthabun melepaskan kota suci ini  

dan lebih memilih untuk melarikan diri. Maka Jerusalem pun kembali ke 

pangkuan kaum muslimin. 

Pada saat itu, seorang pemuka agama Nashrani di sana berharap 

penyerahan kota suci ini dapat dihadiri oleh Khalifah sendiri. 

Maka Amr bin Ash segera menuliskan sebuah surat kepada Umar Al 

Faruq yang mengundang khalifah untuk menerima secara langsung 

penyerahan Baitul Maqdis. Khalifah Umar pun hadir dalam penyerahan 

ini  dan ia menandatangani perjanjian penyerahan kota Jerusalem. 

Maka Jerusalem pun diserahkan kepada kaum muslimin pada tahun 15 

hijriyah berkat usaha Amr bin Ash ra. 

Umar Al Faruq jika diingatkan tentang peristiwa blokade Baitul Maqdis 

dan teringat akan kehebatan Amr bin Ash, ia akan berkata: “Kita telah 

berhasil mengusir Arthabun Romawi dengan Arthabun Arab.” 

Amr bin Ash masih meneruskan kemenangan besarnya dengan 

menaklukan Mesir. Akhirnya negeri yang subur ini menjadi bagian dari 

wilayah Islam. 

Di samping itu, Amr bin Ash berhasil menaklukan pintu-pintu benua 

Afrika, negeri Maroko lalu Spanyol. 

Semua ini dilakukan oleh Amr bin Ash untuk kaum muslimin hanya 

dalam setengah abad saja. 


Kelebihan Amr bin Ash bukan hanya pada bidang ini saja. Ia juga salah 

seorang ahli makar dan tipu daya bangsa Arab. Ia juga termasuk salah 

seorang yang paling jenius di antara mereka. 

Barangkali salah satu kisah kecerdikannya yaitu  saat ia menaklukkan 

Mesir. Amr bin Ash terus membujuk Umar Al Faruq agar diperbolehkan 

untuk menaklukkan Mesir, sehingga Umar pun mengizinkannya. Umar 

memberikan dukungan kepada Amr bin Ash dengan 4000 prajurit 

muslimin. 

Maka berangkatlah Amr bin Ash dengan pasukannya dengan begitu 

gagah dan tanpa beban. namun  yang turut serta dalam rombongannya 

hanya sedikit prajurit saja, sehingga Utsman bin Affan pun menemui Umar 

dan berkata kepadanya: 

“Wahai Amirul Mukminin, Amr bin Ash yaitu  orang yang gagah 

berani. Dalam dirinya terdapat kecintaan kepada jabatan. Aku khawatir ia 

pergi ke Mesir tanpa jumlah pasukan yang cukup dan logistik yang 

memadai, dan hal itu dapat membawa petaka bagi pasukan muslimin. 

Umar langsung menyesal telah memberikan izin kepada Amr bin Ash 

untuk menaklukan Mesir. Maka ia langsung mengirimkan seorang utusan 

yang membawa surat dari khalifah untuk Amr tentang masalah ini. 


Utusan yang dikirim Umar tadi menjumpai pasukan muslimin di 

daerah Rafah di bagian negeri Palestina. saat  Amr in Ash mengetahui 

kedatangan seorang utusan Umar Al Faruq yang membawa sebuah surat 

yang ditujukan kepadanya dari Khalifah, Amr langsung merasa khawatir 

akan isi surat ini . 

Amr terus berpura-pura sibuk dan meneruskan perjalanannya sehingga 

ia masuk ke sebuah perkampungan Mesir. 

Pada saat itu, Amr baru menemui utusan khalifah. Ia langsung 

mengambil surat ini  dan membukanya. Di dalamnya tertulis: “Jika 

engkau menerima suratku ini sebelum memasuki daerah Mesir, maka 

kembalilah ke tempat asalmu! Jika kau telah menginjak tanah Mesir, maka 

teruskanlah perjalananmu!” 

Kemudian Amr bin Ash menyeru semua prajurit muslimin dan 

membacakan surat dari Umar Al Faruq. Kemudian Amr bertanya: “Apakah 

kalian sudah tahu bahwa kita sekarangsudah berada di tanah Mesir?” 

Mereka menjawab: “Ya, kami tahu.” Amr berujar: “Kalau demikian, 

marilah kita meneruskan perjalanan ini di bawah keberkahan dan taufiq 

Allah Swt!” 

Allah Swt pun berkenan menaklukkan Mesir lewat perjuangan Amr bin 

Ash. 


Salah satu bukti kecerdasannya juga yaitu  saat ia sedang mengepung 

salah satu benteng negeri Mesir yang kuat, tokoh agama Romawi meminta 

panglima pasukan muslimin untuk mengirimkan seorang negosiator dan 

juru runding. Beberapa orang dari pasukan muslimin rela untuk 

melakukan tugas ini. namun  Amr bin Ash berkata: “Aku akan menjadi 

utusan kaumku untuk menemuinya.” Lalu Amr bin Ash menemui tokoh 

agama tadi, kemudian ia berhasil memasuki benteng tadi dengan berpura-

pura bahwa dirinya yaitu  utusan panglima pasukan muslimin. 


Tokoh agama itu bertemu dengan Amr dan tokoh agama ini  tidak 

mengenalinya. 

Maka terjadilah perundingan antara mereka berdua dan Amr bin Ash 

berhasil memperlihatkan kecerdasan dan pengalamannya. Maka tokoh 

agama Romawi ini berniat untuk mengkhianati Amr. Tokoh agama ini  

memberikan hadiah yang besar kepada Amr dan menyuruh para penjaga 

benteng untuk membunuh Amr sebelum ia melewati parit. 

namun  Amr mengetahui niat jahat dari pancaran mata para 

penjaga ini . Lalu Amr kembali lagi menemui tokoh agama tadi dan 

berkata: “Wahai Tuan, pemberian yang engkau berikan kepadaku tidak 

bakal cukup untuk dibagi kepada seluruh sepupuku. Maukah engkau 

mengizinkan aku untuk mengajak sepuluh orang dari mereka untuk 

mendapatkan hadiah yang sama darimu?” 

Tokoh agama tadi menjadi bahagia, dan ia berharap dapat membunuh 

sepuluh orang dari pihak muslim daripada hanya membunuh satu orang 

saja.” 

Kemudian tokoh agama tadi memberi isyarat kepada para penjaga 

benteng untuk membiarkan Amr bin Ash pergi. 

Maka selamatlah Amr bin Ash dari ancaman pembunuhan. 

saat  Mesir berhasil ditaklukan dan diserahkan kepada pihak 

muslimin, tokoh agama tadi berjumpa dengan Amr bin Ash dan bertanya 

dengan nada keheranan: “Apakah ini yaitu  kamu sebenarnya?” Amr 

menjawab: “Ya, seperti saat hendak kau khianati dulu.” 


Amr bin Ash yaitu  manusia yang amat pandai berbicara dan 

berdialog. Sehingga Umar Al Faruq menganggap bahwa kepandaian Amr 

bin Ash dalam berbicara merupakan tanda kekuasaan Allah Swt. 

Maka setiap kali Umar melihat ada orang yang gagap dalam berbicara, 

maka Umar berkata: “Sang Pencipta orang ini dan Sang Pencipta Amr bin 

Ash yaitu  Tunggal.” 

Salah satu ucapan Amr bin Ash yang sarat dengan makna yaitu : 

“Manusia itu terbagi tiga; Manusia yang sempurna, separuh manusia dan 

manusia yang tak bermakna. 

Adapun manusia yang sempurna yaitu  manusia yang lengkap agama 

dan akalnya. Jika ia hendak memutuskan sebuah perkara, maka ia akan 

meminta pendapat orang-orang cerdas sehingga ia akan terus 

mendapatkan petunjuk. 

Sedangkan separuh manusia yaitu  orang yang yang disempurnakan 

agama dan akalnya oleh Allah. Jika ia hendak meutuskan sebuah perkara, 

ia tidak meminta pendapat orang lain, dan ia akan berkata: “Manusia 

seperti apa yang mesti aku ikuti pendapatnya kemudian aku akan 

meninggalkan pendapatku dan mengikuti pendapatnya?” Maka terkadang 

ia benar, terkadang ia salah. 

Adapun orang yang tak bermakna yaitu  orang yang tidak beragama 

dan tidak berakal. Maka ia akan selalu keliru dan terbelakang. 

Demi Allah, aku senantiasa meminta pendapat orang lain, bahkan 

kepada pembantuku. 


Saat Amr bin Ash jatuh sakit dan merasakan ajalnya telah tiba, ia 

meneteskan air mata dan berkata kepada anaknya: “Aku pernah menjalani 

tiga kondisi yang diketahui oleh diriku sendiri. Aku pernah menjadi orang 

kafir, kalau saja saat itu aku mati maka aku pasti akan masuk ke dalam 

neraka. Saat aku berbai’at kepada Rasulullah Saw, aku menjadi manusia 

yang amat malu terhadap Beliau, sehingga kedua mataku tak berani 

menatap Beliau. Kalau saja aku mati pada saat itu, pasti banyak orang yang 

mengatakan: ‘Selamat bagi Amr yang telah masuk Islam secara baik dan 

mati secara baik.’ 

Kemudian aku mengalami banyak kejadian sesudah  itu, dan aku tidak 

tahu bahwa semua itu akan memberi kebaikan kepadaku ataukah 

keburukan?” 

Kemudian Amr bin Ash menghadapkan wajahnya ke arah dinding dan 

berkata: “Ya Allah, Engkau dulu pernah memerintahkan kami, namun kami 

bermaksiat. Engkau dulu pernah melarang kami, namun kami masih saja 

tak berhenti melakukannya. Tidak ada daya upaya kami selain berharap 

ampunan-Mu, wahai Dzat Yang Paling Penyayang!” 

Kemudian ia meletakkan tangannya di bawah lehernya dan ia 

mengangkat pandangannya ke arah langit dan berdo’a: “Ya Allah tidak ada 

kekuatan yang aku miliki, maka menangkanlah aku! Tidak ada yang tidak 

memiliki kesalahan, maka maafkanlah! Aku bukanlah orang yang sombong 

namun  orang yang memohon ampunan. Maka ampunilah aku, wahai 

Dzat Yang Maha Pengampun!” 

Ia terus mengulangi do’a ini  sehingga ruhnya berpisah dari badan. 



Related Posts:

  • teladan sahabat nabi 13 berdirilah Rasulullah bersama para sahabatnya yang terkemuka untuk melihat para tawanan musyrikin, dan ternyata mereka mendapati Suhail bin Amr menjadi salah satu tawanan mereka. Begitu Suhail bin Amr dih… Read More