teladan sahabat nabi 5

 an


turut dalam bai’at Aqabah, perang Badr dan Uhud. Seorang pemuda 

Quraisy telah membelinya dari orang Anshar tadi lalu dipakainyalah…. 

Apakah kau mengira ucapan yang pernah disabdakan Rasulullah Saw ini 

terjadi di zamanku?!!” 

Usaid menjawab: “Demi Allah, ya Amirul Mukminin tadinya aku tidak 

mengira bahwa ini bakal terjadi di zamanmu.” 


sesudah  itu, usia Usaid bin Al Hudhair tak tersisa lama. Allah telah 

mengakhiri hidupnya pada masa pemerintahan Umar ra. 

Didapati bahwa ia masih berhutang sebanyak 4000 dirham. Ahli 

warisnya berniat menjual tanah miliknya untuk membayar hutang 

ini . 

Saat Umar mengetahui hal itu, ia berkata: “Aku tidak akan membiarkan 

keturunan saudaraku Usaid menjadi beban masyarakat!” Kemudian Umar 

bernegosiasi dengan orang yang memberinya hutan. Mereka semua sepakat 

untuk membeli hasil bumi tanah ini  selama empat tahun, setiap 

tahunnya seharga seribu dirham. 


Abdullah bin Abbad 

Tinta Ummat Muhammad 

“Dia yaitu  Pemuda Pemilik Lisan yang Senantiasa Bertanya dan Hati 

yang Berakal”(Umar bin Khattab) 

 

Dia adlaah tokoh sahabat ternama yang memiliki kemulyaan dari 

dirinya. Ia tidak pernah ketinggalan untuk mendapatkan kemulyaan:  

Pada dirinya telah terkumpul kemulyaan menjadi seorang sahabat 

Rasul, meski ia lahir terlambat namun ia mendapatkan kemuliaan menjadi 

salah seorang sahabat Nabi Saw.  

Ia juga mendapatkan kemuliaan sebab  masih ada hubungan kerabat 

dengan Rasulullah Saw. Dia yaitu  sepupu Rasulullah Saw. Ia juga 

mendapatkan kemuliaan atas ilmunya, sebab ia yaitu  tinta55 ummat 

Muhammad, dan lautan ilmu ummat Muhammad Saw. 

Ia juga mendapatkan kemuliaan atas ketaqwaan yang dimilikinya. Ia 

yaitu  orang yang senantiasa puasa di siang hari dan melakukan qiyam 

pada malam hari. Sering beristighfar pada waktu sahur, menangis sebab  

takut kepada Allah Swt sehingga air mata membasahi kedua pipinya. 

Dialah Abdullah bin Abbas sebagai seorang rabbani56 ummat 

Muhammad. Dia yaitu  orang yang paling mengerti tentang Kitabullah di 

antara ummat Muhammad. Dia yaitu  orang yang paling paham tentang 

takwil Al Qur’an, paling mampu menyelaminya dan memahami tujuan dan 

rahasia Al Qur’an. 


Ibnu Abbas dilahirkan 3 tahun sebelum hijrah. Saat Rasulullah Saw 

wafat, dia baru berusia 13 tahun. Meski demikian ia telah mampu 

menghapalkan 1660 hadits dari Nabi Saw yang dituliskan oleh Bukhari dan 

Muslim dalam kitab shahih mereka berdua. 


                                                     

55

 Maksudnya yaitu  seorang yang memiliki ilmu pengetahuan yang luas. 

56

 Robbani yaitu  orang yang memiliki ilmu sekaligus bermakrifat kepada Allah Swt 

  

 134

Begitu ibunya melahirkan Abdullah, ia membawanya menghadap 

Rasulullah Saw untuk ditahniq57 dengan ludah Beliau. Maka hal yang 

pertama kali masuk ke dalam perut Ibnu Abbas yaitu  air liur Rasul Saw 

yang suci dan penuh berkah. Beserta dengan air liur ini , masuk juga 

ke dalam lambungnya ketaqwaan dan hikmah.  

⎯tΒ uρ |N÷σムsπ yϑ ò6Ås ø9$# ô‰s)sù u’ ÎAρé& #Zöyz #ZÏWŸ2 3   

“Siapa yang diberi hikmah, maka ia telah diberi kebaikan yang 

banyak.” (QS. al-Baqarah [2] : 269) 


Begitu pemuda berbangsa Hasyimi tumbuh dewasa dan menginjak usia 

tamyiz58, ia selalu mendampingi Rasulullah Saw seperti layaknya seorang 

saudara. 

Ibnu Abbas menyiapkan air jika Rasulullah Saw hendak berwudhu. Ia 

melakukan shalat di belakang Rasulullah. Setiap kali Rasulullah Saw 

bepergian, Ibnu Abbas selalu berada di belakang Rasul dalam kendaraan 

yang sama. 

Sehingga ia bagaikan bayangan yang selalu mengikuti Rasul apabila 

Beliau berjalan. Ia selalu berada di sekeliling Rasul, dimana saja Beliau 

berada. 

Dalam semua kondisi tadi, Ibnu Abbas selalu membawa hati yang 

hidup, pikiran yang jernih dan menghapalkan apa saja sehingga ia dapat 

mengalahkan semua alat rekam yang dikenal pada zaman modern ini. 


Ia bercerita tentang dirinya:  

“Suatu saat Rasulullah Saw hendak berwudhu. Lalu aku segera 

menyiapkan air untuk Beliau sehingga Beliau senang dengan apa yang aku 

lakukan. 

Tatkala Beliau hendak melakukan shalat, Beliau memberikan isyarat 

kepadaku supaya aku berdiri di sampingnya, dan aku pun berdiri di 

belakang Beliau. 

Begitu shalat usai, Beliau menoleh ke arahku dan bersabda: “Mengapa 

engkau tidak berdiri di sampingku, ya Abdullah?” Aku menjawab: “Engkau 

yaitu  manusia terhormat dalam pandanganku dan aku tidak pantas 

berdiri di sampingmu.” 

                                                     

57

 Memijat tenggorokan bayi dengan ludah beliau sebelum bayi ini  menyusu. 

58

 Usia 7 tahun, dan ada pendapat yang mengatakan berbeda 

  135

Kemudian Beliau mengangkat kedua tangannya ke arah langit seraya 

berdo’a: “Ya Allah, berikanlah kepadanya hikmah!”59 

Allah telah mengabulkan do’a Nabi-Nya Saw sehingga Allah 

memberikan pemuda Al Hasyimi ini sebagian hikmah yang mengalahkan 

kehebatan para ahli hikmah terbesar. 

Tidak dipungkiri bahwa Anda ingin mengetahui sebuah kisah hikmah 

milik Abdullah bin Abbas. Inilah sebagian kisahnya dan Anda akan 

mendapati apa yang Anda cari:  


Tatkala sebagian pendukung Ali meninggalkannya, dan menyalahkan 

Ali dalam konflik yang terjadi antara dia dan Muawiyah ra. Abdullah bin 

Abbas berkata kepada Ali ra: “Izinkan aku, wahai Amirul Mukminin untuk 

mendatangi kaummu dan berbicara kepada mereka!” Ali menjawab: “Aku 

khawatir terhadap keselamatanmu dari kejahatan mereka.” Ibnu Abbas 

menjawab: “Insya Allah, tidak.” 

Kemudian Ibnu Abbas mendatangi mereka dan ia belum pernah melihat 

kaum yang lebih giat beribadah daripada mereka. 

Mereka berkata: “Selamat datang kepadamu, ya Ibnu Abbas! Ada apa 

engkau datang ke sini?!” 

Ia menjawab: “Aku datang untuk berbicara kepada kalian.” 

Sebagian mereka berseru: “Jangan kalian berbicara dengannya!” 

Sebagian lain dari mereka berkata: “Katakanlah, kami akan 

mendengarkannya darimu!” 

Ibnu Abbas berkata: “Ceritakanlah kepadaku ap yang kalian tidak sukai 

dari sepupu Rasulullah, dan suami dari putri Beliau serta orang yang 

pertama kali beriman kepada Beliau?!” Mereka menjawab: “Kami tidak 

menyukai tiga perkara dari dirinya!” Ibnu Abbas bertanya: “Apa saja?” 

Mereka menjawab: “Pertama: ia telah mengangkat orang untuk 

memberikan keputusan dalam agama Allah60. Kedua: ia telah berperang 

melawan Aisyah dan Mu’awiyah, dan tidak mengambil ghanimah serta 

budak. Ketiga: Ia menghapuskan gelar Amirul Mukminin dari dirinya 

padahal kaum muslimin telah berbaiat kepadanya dan menjadikan dirinya 

sebagai amir mereka.” 

Ibnu Abbas menjawab: “Bagaimana pendapat kalian kalau aku 

membacakan kepada kalian beberapa ayat dari Kitabullah dan hadits dari 

Rasulullah yang kalian tidak pungkiri kebenarannya. Apakah kalian akan 

menarik ucapan kalian ini?” Mereka menjawab: “Baiklah!” Ibnu Abbas 

                                                     

59

 Sumber kisah ini terdapat dalam Bukhari, Muslim dan Musnad Imam Ahmad bin Hanbal 

60

 Maksudnya yaitu  Ali menerima keputusan antara dirinya dengan Muawiyah yang dilakukan 

oleh Abu Musa Al Asy’ari dan Amr bin Ash  

 136

berkata: “Perkataan kalian bahwa ia telah mengangkat orang untuk 

memberikan keputusan dalam agama Allah. Maka Allah Swt berfirman:  

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh 

binatang buruan, saat  kamu sedang ihram. Barangsiapa diantara 

kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah 

mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang 

dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu.” 

(QS. al-Maidah [5] : 95) 

Aku bersumpah kepada Allah dihadapan kalian, apakah keputusan 

orang dalam menjaga darah dan jiwa mereka serta menjaga hubungan baik 

di antara mereka lebih baik dari keputusan mereka atas kelinci yang haya 

seharga 4 dirham saja?” 

Mereka menjawab: “Yang lebih baik yaitu  keputusan mereka dalam 

menjaga tumpahnya darah kaum muslimin dan menjaga hubungan baik 

diantara mereka.” 

Ibnu Abbas bertanya: “Apakah kita sudah sepakat dalam masalah ini?” 

Mereka menjawab: “Ya, kita sepakat!” 

Ibnu Abbas berkata: “Adapun ucapan kalian: bahwa Ali melakukan 

perang namun tidak menjadikan Aisyah sebagai budaknya sebagaimana 

Rasul Saw selalu menangkap wanita milik musuh sebagai budak. Apakah 

kalian menginginkan untuk menjadikan ibu kalian ‘Aisyah menjadi budak 

kalian yang dapat kalian pergauli sebagaimana layaknya budak wanita?! 

Jika kalian mengatakan ‘ya’ maka kalian telah kafir. Jika kalian mengatakan 

bahwa ia bukanlah ibu kalian, maka kalian juga telah kafir. Allah Swt 

berfirman:  


“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari 

diri mereka sendiri dan isteri-isterinya yaitu  ibu-ibu mereka.” (QS. 

al-Ahzab [33] : 6) 

Pilihlah mana yang kalian sukai bagi diri kalian.” 

Kemudian Ibnu Abbas bertanya: “Apakah kita sepakat mengenai hal 

ini?” Mereka menjawab: “Ya, kami sepakat!” 

Ibnu Abbas berkata lagi: “Sedangkan perkataan kalian yang 

mengatakan bahwa Ali telah menghapuskan gelar Amirul Mukminin, itu 

disebabkan sebab  Rasulullah Saw saat Beliau meminta kepada kaum 

musyrikin pada perjanjian Hudaibiyah untuk menuliskan dalam perjanjian 

  137

damai yang Beliau adakan bersama mereka “Inilah yang diputuskan oleh 

Muhammad Rasulullah” Mereka berkata: ‘Kalau kami beriman bahwa 

engkau yaitu  Rasulullah, maka kami tidak akan menghalangimu untuk 

datang ke Baitullah dan kami tidak akan memerangimu, namun  

tuliskanlah ‘Muhammad bin Abdullah.’ Maka saat mereka berkata 

demikian Rasul bersabda: “Demi Allah, saya yaitu  Rasulullah meski kalian 

mendustaiku.” 

Ibnu Abbas bertanya: “Apakah kita sepakat dalam masalah ini?” 

Mereka menjawab: “Ya, kami sepakat!” 

Maka hasil dari pertemuan itu, dan hasil dari hikmah yang begitu 

mendalam yang ditampilkan Ibnu Abbas telah membuat 20 ribu orang 

kembali bergabung dengan pasukan Ali, dan masih ada 4 ribu lagi orang 

yang berkeras untuk memusuhi Ali dan berpaling dari kebenaran. 


Pemuda bernama Abdullah bin Abbas ini telah menempuh semua jalan 

untuk mendapatkan ilmu, dan mengeluarkan segala kemampuannya untuk 

meraihnya. 

Ia telah meminum air wahyu dari Rasulullah Saw selagi Beliau hidup. 

Begitu Rasulullah Saw kembali ke pangkuan Tuhannya, maka Ibnu Abbas 

belajar langsung dengan para ulama sahabat. 

Ia bercerita tentang dirinya: “Jika aku mendengar ada sebuah hadits 

yang dimiliki oleh salah seorang sahabat Nabi Saw, maka aku akan 

mendatangi pintu rumahnya pada waktu qailulah61 dan aku akan 

membentangkan selendangku digerbang rumahnya. Maka debu pun 

beterbangan di atas tubuhku. Kalau aku ingin meminta izin agar 

diperbolehkan masuk, pasti ia akan mengizinkanku… 

namun , aku melakukan hal itu sebagai penghormatan terhadap 

dirinya. Jika ia keluar dari rumahnya dan melihatku dalam kondisi 

demikian, ia akan berkata: “Wahai sepupu Rasulullah, apa yang 

membuatmu datang ke sini?! Apakah engkau tidak berkirim surat saja 

sehingga aku datang kepadamu?” 

Maka aku menjawab: “Aku yang lebih pantas untuk datang kepadamu. 

Ilmu itu didatangi bukan datang sendiri.” Kemudian aku menanyakan 

kepadanya tentang hadits Rasulullah Saw. 


Sebagaimana Ibnu Abbas menghinakan dirinya saat menuntut ilmi, ia 

juga memulyakan derajat ulama. 

                                                     

61

 Waktu tidur di siang hari 

 138

Inilah Zaid bin Tsabit sang penulis wahyu dan pemuka Madinah dalam 

urusan qadha, fiqih, qira’at dan al faraidh62 yang saat itu hendak 

menunggangi kendaraannya, lalu berdirilah pemuda Al Hasyimi bernama 

Abdullah bin Abbas dihadapannya seperti berdirinya seorang budak 

dihadapan tuannya. Ia memegang kendali tunggangan tuannya. 

Zaid berkata kepada Ibnu Abbas: “Tidak usah kau lakukan itu, wahai 

sepupu Rasulullah!” Ibnu Abbas menjawab: “Inilah yang diajarkan kepada 

kami untuk bersikap kepada para ulama!” Zaid lalu berkata: “Perlihatkan 

tanganmu kepadaku!” 

Ibnu Abbas lalu menjulurkan tangannya. Lalu Zaid mendekati tangan 

ini  dan menciuminya seraya berkata: “Demikianlah, kami 

diperintahkan untuk bersikap kepada ahlu bait Nabi kami.” 


Ibnu Abbas telah menempuh perjalanan dalam menuntut ilmu yang 

dapat membuat unta jantan tercengang… 

Masruq bin Al Ajda’ salah seorang tabi’in ternama berkata tentang diri 

Ibnu Abbas: “Jika aku melihat Ibnu Abbas, menurutku dia yaitu  manusia 

yang paling tampan. Jika ia berkata, maka menurutku ia yaitu  orang yang 

paling fasih. Jika ia berbicara, menurutku ia yaitu  orang yang paling 

alim.” 


Begitu Ibnu Abbas merasa puas dengan obsesi yang dikejarnya sebagai 

penuntut ilmu, maka ia beralih menjadi seorang muallim yang 

mengajarkan ilmu kepada manusia. 

Maka rumah Ibnu Abbas menjadi seperti sebuah universitas bagi kaum 

muslimin. Benar, bagai sebuah universitas seperti universitas yang ada pada 

zaman sekarang ini. 

Perbedaan yang mendasar antara universitas Ibnu Abbas dan 

universitas masa kini yaitu  bahwa universitas pada masa kini memiliki 

puluhan bahkan ratusan dosen. Sedangkan universitas Ibnu Abbas hanya 

memiliki seorang dosen saja, yaitu Ibnu Abbas sendiri. 

Salah seorang sahabatnya meriwayatkan: “Aku melihat Ibnu Abbas 

memiliki sebuah majlis yang dapat membuat bangga seluruh bangsa 

Quraisy. Aku pernah melihat banyak orang yang berkumpul di jalan 

menuju rumah Ibnu Abbas sehingga jalan terasa sempit sekali dan mereka 

hampir menutupi jalan ini  dari pandangan manusia. Lalu aku masuk 

ke rumah Ibnu Abbas dan kabarkan padanya bahwa banyak manusia 

berkumpul di depan pintu rumahnya. Ia berkata kepadaku: ‘Siapkan air 

                                                     

62

 Faraidh; yaitu  ilmu pembagian harta waris terhadap ahli waris 

  139

untuk aku berwudhu!’ kemudian ia berwudhu dan duduk. Lalu ia berkata: 

‘Keluarlah dan katakan kepada mereka, siapa yang ingin bertanya tentang 

Al Qur’an dan hurufnya maka masuklah!’ Maka aku pun keluar dan aku 

katakan hal itu kepada mereka. Mereka pun masuk sehingga memenuhi 

seluruh isi rumah dan kamar. Tidak ada satu pertanyaan yang mereka 

lontarkan, kecuali ia jawab. Bahkan ia menambahkan jawaban lebih dari 

apa yang mereka tanyakan. Kemudian ia berkata kepada mereka: 

‘Lapangkanlah jalan untuk sahabat-sahabat kalian!’ Lalu mereka pun 

keluar semuanya.  

Kemudian ia berkata kepadaku: ‘Keluarlah dan katakan, Siapa yang 

hendak bertanya tentang tafsir dan takwil Al Qur’an maka masuklah! Maka 

aku pun keluar dan aku katakan hal itu kepada mereka. 

Lalu masuklah orang-orang hingga seluruh rumah dan kamar terisi 

penuh. Tidak ada pertanyaan yang mereka lontarkan, kecuali ia jawab. 

Bahkan ia menambahkan jawaban lebih dari apa yang mereka tanyakan. 

Kemudian ia berkata kepada mereka: ‘Lapangkanlah jalan untuk sahabat-

sahabat kalian!’ Lalu mereka pun keluar semuanya.  

Kemudian ia berkata kepadaku: ‘Keluarlah dan katakan kepada mereka, 

siapa yang hendak bertanya tentang halal dan haram serta fiqih maka 

masuklah!’ Maka aku pun keluar dan aku katakan hal itu kepada mereka. 

Lalu masuklah orang-orang hingga seluruh rumah dan kamar terisi 

penuh. Tidak ada pertanyaan yang mereka lontarkan, kecuali ia jawab. 

Bahkan ia menambahkan jawaban lebih dari apa yang mereka tanyakan. 

Kemudian ia berkata kepada mereka: ‘Lapangkanlah jalan untuk sahabat-

sahabat kalian!’ Lalu mereka pun keluar semuanya. ” 

Kemudian ia berkata kepadaku: ‘Keluarlah dan katakan kepada mereka, 

siapa yang hendak bertanya tentang faraidh dan sebagainya maka 

masuklah!’ Maka aku pun keluar dan aku katakan hal itu kepada mereka. 

Lalu masuklah orang-orang hingga seluruh rumah dan kamar terisi 

penuh. Tidak ada pertanyaan yang mereka lontarkan, kecuali ia jawab. 

Bahkan ia menambahkan jawaban lebih dari apa yang mereka tanyakan. 

Kemudian ia berkata kepada mereka: ‘Lapangkanlah jalan untuk sahabat-

sahabat kalian!’ Lalu mereka pun keluar semuanya. 

Kemudian ia berkata kepadaku: ‘Keluarlah dan katakan kepada mereka, 

siapa yang hendak bertanya tentang bahasa Arab, syair dan ucapan bangsa 

Arab yang asing maka masuklah!’ Maka aku pun keluar dan aku katakan 

hal itu kepada mereka. 

Lalu masuklah orang-orang hingga seluruh rumah dan kamar terisi 

penuh. Tidak ada pertanyaan yang mereka lontarkan, kecuali ia jawab. 

Bahkan ia menambahkan jawaban lebih dari apa yang mereka tanyakan.” 

Periwayat kisah ini berkata: “Jika bangsa Quraisy bangga akan hal ini, 

sudah sepantasnyalah mereka bangga!” 


 140

Ibnu Abbas ra lalu membagi ilmu yang ia miliki pada beberapa hari 

sehingga hal ini  tidak terjadi lagi kerumunan manusia di pintu 

rumahnya. 

Maka ia kemudian membuka sebuah majlis pada hari tertentu di mana 

ia hanya mengajarkan tafsir. Satu hari hanya untuk mengajarkan fiqih. 

Satu hari hanya untuk mengajarkan kisah peperangan Rasul Saw. Satu hari 

hanya untuk mengajarkan syair. Satu hari hanya untuk mengajarkan 

sejarah bangsa Arab. Tidak ada seorang berilmu yang menghadiri 

majlisnya, kecuali tunduk dihadapnnya. Tidak ada orang yang bertanya 

kepadanya, kecuali mendapatkan jawaban dan ilmu darinya. 


Ibnu Abbas dengan keutamaan ilmu dan pemahaman yang ia miliki 

telah menjadi penasehat khulafaur rasyidin meskipun ia masih berusia 

muda. 

Jika Umar bin Khattab memiliki masalah yang sulit untuk dipecahkan 

maka ia akan mengundang para pembesar sahabat termasuk di antara 

mereka yaitu  Abdullah bin Abbas. Jika Ibnu Abbas sudah hadir, maka 

Umar akan memuliakannya dan merendahkan derajat diri Umar dan 

berkata: “Kami memiliki permasalahan sulit yang hanya dapat dipecahkan 

oleh orang-orang sepertimu!” 

Umar suatu saat pernah dikecam sebab  lebih mendahulukan Ibnu 

Abbas dan menyamakan Ibnu Abbas dengan orang-orang tua, padahal ia 

yaitu  seorang pemuda. Umar pun berkata: “Dia yaitu  seorang pemuda 

kahul63 yang memiliki lisan senantiasa bertanya dan hati yang berakal.” 


Meski Ibnu Abbas sering memberikan pengajaran kepada kalangan 

khusus, namun ia tidak pernah lupa hak kalangan umum pada dirinya. Ia 

masih saja membuat majlis untuk memberi nasihat dan peringatan bagi 

manusia awam. 

Salah satu dari nasehatnya yaitu  ucapannya kepada para pelaku 

kejahatan dan dosa: “Wahai orang yang melakukan dosa, janganlah 

engkau merasa aman dari hasil perbuatan dosamu. Ketahuilah konsekuensi 

dari perbuatan dosa itu lebih besar daripada dosa itu sendiri. Ketahuilah 

ketidak-maluanmu dengan orang yang berada di kanan dan kirimu saat 

engkau melakukan dosa itu tidak akan mengurangi dosamu. Ketahuilah 

bahwa tawamu saat melakukan dosa dan engkau tidak tahu apa yang akan 

Allah perbuat terhadap dirimu itu lebih besar dari dosa yang kau lakukan. 

Ketahuilah kebahagiaanmu saat berdosa jika kau melakukannya itu lebih 

besar dari dosa itu sendiri. Ketahuilah kesedihanmu apabila kau tak sempat 

                                                     

63

 Berusia antara 30-50 tahun 

  141

melakukan dosa itu lebih besar dari dosa itu sendiri. Ketakutanmu terhadap 

angin yang dapat menyingkapkan rahasiamu saat engkau melakukan 

perbuatan dosa dan hatimu tidak takut dengan pandangan Allah kepada 

dirimu, itu lebih besar dari dosa. 

Pahai pelaku dosa: ‘Apakah engkau tahu dosa apayang telah diperbuat 

oleh Ayyub as saat  Allah menguji dirinya dan hartanya? Dosanya yaitu  

saat ada seorang yang miskin meminta tolong kepadanya untuk melawan 

kezaliman atas dirinya, Ayyub tidak berkenan membantunya.” 


Ibnu Abbas bukanlah termasuk orang yang dapat berkata namun tidak 

mampu melakukannya. Ia juga tidak termasuk orang yang bisa melarang, 

namun malah mengerjakannya. Dia yaitu  orang yang senantiasa berpuasa 

pada waktu siang, dan melakukan qiyam pada saat malam. 

Abdullah bin Mulaikah mengisahkan tentang Ibnu Abbas:  

“Aku menemani Ibnu Abbas dari Mekkah ke Madinah. Jika kami 

singgah di suatu tempat, tengah malam ia melakukan qiyam dan manusia 

lain tertidur sebab  kelelahan. Suatu malam aku melihatnya sedang 

membaca:  

“Dan datanglah sakaratul maut yang sebenar-benarnya.Itulah yang 

kamu selalu lari dari padanya.” (QS. Qaaf [50] : 19) 

Ia terus mengulangi ayat ini  dan menangis dengan suara yang 

keras hingga fajar menjelang. 

Sejak itu kami tahu bahwa Ibnu Abbas yaitu  manusia yang paling 

tampan, manusia yang paling cerah wajahnya. Ia selalu menangis sebab  

takut kepada Allah sehingga air mata selalu membasahi kedua pipinya yang 

bagus.” 


Ibnu Abbas telah mencapai batas kemuliaan ilmu. 

Hal itu sebab  pada tahun tertentu khalifatul muslimin Mua’wiyah bin 

Abi Sufyan hendak melakukan haji. Dan Ibnu Abbas juga hendak 

melakukan haji juga, namun  ia tidak memiliki kekuatan dan 

kekuasaan. Mua’wiyah diiringi oelh segerombolan pembantu 

kenegaraannya. Namun Ibnu Abbas memiliki rombongan yang 

mengalahkan rombongan khalifah yang terdiri dari para penuntut ilmu. 


 142

Ibnu Abbas berusia 71 tahun yang ia hias dengan mengisi dunia 

dengan ilmu, pemahaman, hikmah dan taqwa. 

Saat ia wafat, Muhammad bin Al Hanafiah64 memimpin shalat jenazah 

atasnya dengan diiringi oleh para sahabat Rasul Saw yang tersisa dan para 

pembesar tabi’in. 

Saat mereka sedang menguburkan jasadnya, mereka mendengar ada 

orang yang membacakan ayat:  

“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati 

yang puas lagi diridhoi-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah 

hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. al-Fajr 

[89] : 27-30) 


 Muhammad bin Al Hanafiah yaitu  Muhammad bin Ali bin Abi Thalib. Ia dinasabkan kepada 

ibunya untuk membedakan dirinya dengan Hasan dan Husein. sebab  ibu keduanya yaitu  Fathimah 

binti Nabi Saw sedangkan ibu Muhammad yaitu  seorang wanita dari Bani Hanifah. Lihat profilnya 

dalam buku Shuwar min Hayat At Tabi’in karya penulis, penerbit Dar Al Adab Al Islamy. 

  143

An Nu’man bin Muqarrin Al Muzani 

“Iman Memiliki Rumah, Kemunafikan juga Memiliki Rumah. 

Sedangkang Rumah Bani Muqarrin termasuk Salah Satu Rumah 

Iman” (Abdullah bin Mas’ud) 

 

Kabilah Muzainah membuat perumahan bagi penduduknya berdekatan 

dengan kota Yatsrib yang berada pada tepi jalan yang melintas antara 

Madinah dan Mekkah. 

Saat Rasul Saw berhijrah ke Madinah, kabar tentang Beliau sampai ke 

perkampungan Muzainah lewat orang yang lalu-lalang di sana. Tidak ada 

satu kabar pun tentang Beliau yang sampai kepada mereka, kecuali kabar 

yang baik saja. 

Pada suatu petang, pemimpin kabilah ini yang bernama An Nu’man 

bbin Muqarrin Al Muzani sedang duduk bersama para sahabat dan para 

pembesar kabilahnya. Ia berkata kepada mereka: 

“Wahai kaumku, tidak ada yang kita ketahui tentang Muhammad 

kecuali kebaikan saja. Tiada yang kita dengarkan tentangnya selain kasih 

sayang, kebaikan dan keadilan.  Mengapa kita masih berleha-leha, sedang 

banyak manusia yang bersegera untuk menjumpainya?!” 

Kemudian ia meneruskan: 

“Aku telah berniat akan mendatanginya esok hari. Siapa yang ingin 

berangkat bersamaku, maka bersiaplah!” 

Apa yang diucapkan Nu’man begitu membekas pada diri kaumnya. 

Pada pagi harinya, ia menjumpai sahabatnya yang berjumlah 10 orang, 

400 orang penunggang kuda dari suku Muzainah yang telah siap untuk 

berangkat bersamanya ke Yatsrib demi menjumpai Nabi Saw dan 

menyatakan diri masuk ke dalam agama Allah. 

Namun An Nu’man merasa malu untuk membawa rombongan yang 

begitu banyak datang menghadap Rasulullah Saw tanpa membawa apa-apa 

untuk Beliau dan kaum muslimin sebagai oleh-oleh. 

namun  kemarau yang panjang yang terjadi di daerah Muzainah 

telah menyebabkan tidak ada hasil ternak dan sawah yang tersisa dan dapat 

dibawa sebagai hadiah. 

Maka An Nu’man bersama para sahabatnya mulai mengumpulkan apa 

saja yang ada di rumah mereka. Akhirnya mereka mengumpulkan apa 

yang tersisa dari apa yang mereka miliki. Mereka mengumpulkannya di 

hadapan An Nu’man. Lalu ia membawanya kepada Rasulullah Saw, dan ia 

 

 

 144

mengumumkan bahwa dirinya dan rombongannya menyatakan masuk ke 

dalam Islam dihadapan Rasul.  


Kota Yatsrib menjadi gempar dari ujung kota ke ujung lainnya sebab  

merasa bahagia dengan Islamnya An Nu’man bin Muqarrin dan para 

sahabatnya. sebab  tidak ada satu rumahpun dari rumah-rumah bangsa 

Arab yang telah masuk Islam 10 anggotanya yang semuanya yaitu  

saudara kandung berasal dari 1 bapak dan mereka membawa 400 

penunggang kuda bersama mereka. 

Rasul Saw amat senang dengan masuknya An Nu’man ke dalam agama 

Islam. Allah pun menerima pemberian Nu’man dan menurunkan sebuah 

ayat yang berbunyi: 


“Dan di antara orang-orang Badui itu, ada orang yang beriman 

kepada Allah dan hari kemudian, dan memandang apa yang 

dinafkahkannya (di jalan Allah) itu, sebagai jalan mendekatkannya 

kepada Allah dan sebagai jalan untuk memperoleh do'a Rasul. 

Ketahuilah sesungguhnya nafkah itu yaitu  suatu jalan bagi mereka 

untuk mendekatkan diri (kepada Allah). Kelak Allah akan 

memasukkan mereka ke dalam rahmat (surga)-Nya; sesungguhnya 

Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. At-Taubah [9] 

:99) 


Nu’man bin Muqarrin bergabung di bawah panji Rasulullah Saw, dan 

ia mengikuti semua peperangan yang Rasul lakukan tanpa pernah 

terlewatkan satu pun juga. 

Saat kekhalifahan dipimpin oleh Abu Bakar As Shiddiq, Nu’man dan 

kaumnya dari Bani Muzainah mendukung Abu Bakar sepenuhnya dan itu 

berdampak penting untuk menumpas para manusia yang kembali murtad.  


Saat kekhalifahan berpindah kepada Umar Al Faruq, Nu’man bin 

Muqarrin memiliki posisi yang senantiasa di ingat oleh sejarah dengan 

pujian dan sanjungan. 

  145


Sebelum terjadinya perang Al Qadisiyah65, Sa’d bin Abi Waqash sebagai 

panglima pasukan muslimin mengirimkan sebuah utusan kepada Kisra 

Yazdajurd yang dipimpin oleh An Nu’man bin Muqarrin agar Kisra mau 

masuk ke dalam Islam. 

Saat rombongan ini tiba di ibu kota Kisra yang bernama Al Mada’in66, 

mereka meminta izin agar dibolehkan masuk dan mereka pun 

mendapatkan izin ini . Kemudian Kisra memanggil seorang 

penterjemah dan berkata kepadanya: “Tanyakan kepada mereka, Apa yang 

membuat kalian datang ke daerah kami dan hendak memerangi kami?! 

Mungkin kalian ingin menguasai kami, dan berani menyerang kami sebab  

kami tidak pernah memperhitungkan kekuatan kalian. Sehingga kami tidak 

berkeinginan untuk mengalahkan dan menundukkan kalian.” 

Maka Nu’man bin Muqarrin menoleh kepada rekan-rekannya dan 

berkata: “Jika kalian memperbolehkan, aku akan menjawabnya. Jika ada di 

antara kalian yang mau menjawabnya, maka akan aku persilahkan.” Para 

rekannya berkata: “Engkau saja yang berbicara!” 

Kemudian rekan-rekannya melihat ke arah Kisra lalu berkata: “Orang 

ini yang akan menjadi juru bicara kami, maka dengarkanlah apa yang akan 

ia katakan!” 

Maka Nu’man memulai pembicaraannya dengan memuji Allah Swt, 

membaca shalawat atas Nabi-Nya lalu ia berkata: “Allah Swt telah 

memberikan rahmatnya kepada kami sehingga Ia mengutus seorang Rasul 

untuk menunjukkan kepada kami kebenaran dan kami diperintahkan 

untuk melakukan kebenaran. Rasul juga mengajarkan kepada kami tentang 

keburukan dan Beliau melarang kami untuk melakukannya. 

Rasul menjanjikan kepada kami –Jika kami menyukai apa yang ia 

dakwahkan- bahwa Allah Swt akan memberikan kepada kami kebaikan 

dunia dan akhirat. 

Tidak membutuhkan waktu yang lama, sehingga Allah menggantikan 

untuk kami kesempitan menjadi keluasan. Kehinaan menjadi kemuliaan. 

Permusuhan menjadi persaudaraan dan kasih-sayang. 

Rasul memerintahkan kami untuk mengajak manusia mendapatkan 

kebaikan bagi diri mereka, dan kami diperintahkan untuk memulai dari 

orang-orang terdekat terlebih dahulu. 

Kami sekarang mengajakmu untuk masuk ke dalam agama kami. 

Dialah agama yang memperbaiki apa yang telah baik dan menyeru untuk 

melakukan kebaikan. Ia juga merupakan agama yang menganggap buruk 

apa yang telah buruk dan melarang untuk melakukannya. 

                                                     

65

 Al Qadisiyah yaitu  sebuah tempat di Iraq sebelah barat kota An Najf dimana terjadi pada 

tempat ini sebuah peperangan besar yang dikenal dengan perang Al Qadisiyah. 

66

 Al Mada’in yaitu  sebuah kota tua yang berada di Iraq 

 146

Agama ini akan membuat orang yang memeluknya berpindah dari 

kegelapan kekufuran menuju cahaya iman dan keadilan. 

Jika kalian menerima ajakan kami untuk masuk ke dalam Islam, maka 

kami akan meninggalkan Kitabullah kepada kalian dan kami akan tegakkan 

kehidupan kalian berdasarkan kitab ini , supaya kalian dapat 

menetapkan hukum dengannya, dan kami pun akan kembali ke daerah 

kami dan membiarkan kalian tanpa perlu diganggu. 

Jika kalian tidak mau masuk ke dalam Islam, kami akan mengambil 

jizyah (upeti) dari kalian dan kami akan memberikan perlindungan untuk 

kalian. Jika kalian tidak mau membayar jizyah, maka kami akan 

memerangi kalian.” 

Maka meledaklah amarah Yazdajurd begitu mendengar kalimat tadi. Ia 

lalu berkata: “Aku belum pernah tahu adanya sebuah ummat di muka bumi 

ini yang lebih celaka dari kalian, lebih sedikit jumlahnya, amat tercerai-

berai, dan paling buruk kondisinya. Kami telah mempercayai urusan 

penanganan kalian kepada para gubernur daerah agar kalian mau tunduk 

dan taat kepadaku.” 

Kemudian ia berkata dengan tenang: 

“Jika kebutuhan hidup yang telah membuat kalian datang ke tempat 

kami ini, maka kami akan memerintahkan untuk menyiapkan pasokan 

makanan sehingga daerah kalian tidak kelaparan. Kami juga akan 

mengirimkan pakaian bagus untuk para pembesar dan pemuka kaum 

kalian. Dan kami akan menunjuk salah seorang di antara kami untuk 

menjadi raja yang dapat melindungi kalian.” 

Salah seorang utusan kaum muslimin menjawab dengan nada emosi. Ia 

berkata: “Kalau saja para utusan dijamin tidak akan dibunuh, pasti aku 

akan membunuhmu! Bangunlah kalian sebab  aku tidak membutuhkan 

apapun dan beritahukanlah kepada panglima kalian bahwa aku diutus 

kepadanya (Rustum)67 sehingga aku akan menguburkannya dan 

menguburkan kalian semua dalam parit Al Qadisiyah.” 

Kemudian Yazdajurd memerintahkan untuk dibawakan kantong pasir 

dan ia berkata kepada para pembantunya: “Bawalah kantong pasir ini di 

atas kepala mereka semua. Giringlah ia di depan kalian sehingga orang-

orang menyaksikan sehingga ia keluar dari gerbang ibu kota ini.” 

Maka para pembantu Yazdajurd bertanya kepada para utusan muslimin 

ini: “Siapakah pemimpin kalian?” Maka ‘Ashim bin Umar segera 

menjawab: “Akulah pemimpin mereka!” 

Maka para pembantu raja tadi menaruh kantong pasir di atas kepala 

‘Ashim sehingga ia keluar dari kota Al Mada’in. Kemudian para pembantu 

raja membawa ‘Ashim menuju untanya dan mereka juga membawanya 

untuk kembali ke Sa’d bin Abi Waqash. Sa’d memberitahukan ‘Ashim 

                                                     

67

 Rustum yaitu  panglima pasukan Persia 

  147

bahwa Allah akan menundukan negeri Persia bagi kaum Muslimin, dan 

debu tanah mereka akan membuat mereka tunduk. 

Kemudian terjadilah peperangan Al Qadisiyah. Dan parit-parit di Al 

Qadisiyah penuh dengan ribuan bangkai korban. namun  bangkai-

bangkai ini bukan berasal dari pasukan kaum muslimin, namun  

mereka yaitu  para pasukan Kisra. 


Persia tidak menerima kekalahan mereka di Al Qadisiyah. Maka mereka 

mengumpulkan kekuatan dan menyiapkan pasukan. Sehingga jumlah 

pasukan ini  mencapai bilangan 150 ribu orang para pejuang yang 

gagah berani. 

Sat Umar Al Faruq mendengar berita pasukan musuh yang begitu 

banyak, ia berniat untuk turun menghadapi bahaya besar ini. namun  

para pemuka kaum muslimin saat itu menolaknya untuk melakukan hal 

itu. Mereka berpendapat hendaknya Umar mengirimkan seorang panglima 

yang ia percaya untuk menyelesaikan permasalahan besar ini. 

Umar lalu berkata: “Tunjukkanlah kepadaku seseorang yang dapat aku 

tunjuk menjadi panglima dalam perang ini!” 

Mereka menjawab: “Engkau lebih tahu tentang tentaramu sendiri, ya 

Amirul Mukminin!” 

Ia berkata: “Demi Allah, aku akan menunjuk seorang panglima dari 

pasukan muslimin yaitu seseorang –yang jika kedua pasukan sudah 

bertemu –ia akan menjadi orang yang lebih cepat dari ujung anak panah, 

dialah Nu’man bin Muqarrin Al Muzani!” Mereka menjawab: “Ya, dia 

memang pantas!” 

Umar lalu mengirimkan surat kepadanya yang berbunyi: “Dari hamba 

Allah Umar bin Khattab kepada Nu’man bin Muqarrin. 

Amma Ba’du, Aku mendapat kabar bahwa ada pasukan bangsa asing 

yang telah dikumpulkan untuk menghadapi kalian yang kini berada di kota 

Nahawand. Jika suratku ini telah sampai di tanganmu, maka 

berangkatlahdengan perintah, pertolongan Allah bagi kaum muslimin yang 

menyertaimu. Dan jangan tenpatkan mereka di tanah yang tidak rata, 

sebab  itu akan menyulitkan mereka. Sebab seorang muslim lebih aku 

cintai dari pada 100 ribu dinar. Wassalamu alaika. 


Nu’man berangkat bersama pasukannya untuk berhadapan dengan 

musuh. Ia mengutus beberapa orang penunggang kuda di depannya untuk 

membuka jalan. Saat para penunggang kuda ini mendekat ke kota 

Nahawand, maka kuda-kuda mereka berhenti. Lalu mereka menyentak 

kuda mereka untuk berlari, namun kuda-kuda tadi tetap saja diam di 

 148

tempatnya. Maka mereka pun turun dari punggung kuda untuk 

mengetahui apa yang telah terjadi. Rupanya mereka mendapati pada kaki-

kaki kuda terdapat serpisan besi yang menyerupai ujung paku. Mereka lalu 

melemparkan pandangan ke tanah dan ternyata rupanya Persia telah 

menabarkan duri besi pada jalan yang menuju kota Nahawand; itu mereka 

gunakan untuk melukai para penunggang kuda dan pasukan berjalan 

(infantry) untuk menghalang mereka tiba di Nahawand. 


Para penunggang kuda lalu memberitahukan Nu’man apa yang telah 

mereka lihat. Mereka meminta Nu’man untuk berpendapat dalam masalah 

ini. Maka Nu’man memerintahkan mereka untuk tetap berada di tempat 

mereka. Serta agar mereka menyalakan api pada malam hari agar pihak 

musuh melihat mereka. Pada saat itu mereka harus berpura-pura takut 

dihadapan musuh, dan merasa takut kalah agar para musuh mau mengejar 

mereka dan menyingkirkan duri besi yang telah mereka tanam di jalanan. 

Dan tak-tik ini ternyata dapat memperdaya bangsa Persia. Begitu 

mereka melihat pasukan muslimin seperti ketakutan dihadapan mereka, 

maka mereka mengirimkan beberapa tentara mereka untuk membersihkan 

jalan. Maka pasukan muslimin dapat menyerang mereka dan menguasai 

jalan ini . 


Nu’man bin Muqarrin berkemah di pinggiran kota Nahawand dan ia 

bertekad untuk membuat serangan yang mengejutkan bagi musuhnya. Ia 

berkata kepada pasukannya: “Aku akan bertakbir sebanyak 3 kali. Jika aku 

bertakbir pada kali pertama, maka yang belum siap, bersiaplah! Jika aku 

bertakbir untuk yang kedua kali, maka masing-masing harus menyiapkan 

senjatanya.Jika aku bertakbir untuk yang ketiga kali, itu berarti aku mulai 

menyerang musuh-musuh Allah, dan kalian harus mengikutiku!” 


Nu’man bin Muqarrin meneriakkan ketiga takbirnya. Ia merangsek ke 

barisan musuh seolah ia seekor singa yang menerkam. Di belakangnya, 

pasukan muslimin mengalir bagaikan air. Maka terjadilah antara dua belah 

pihak sebuah peperangan yang begitu sengit dan jarang terjadi sepanjang 

sejarah. 

Pasukan Persia amat terpecah dengan barisan yang tanpa komando lagi. 

Korban dari pihak Persia memenuhi semua daratan dan pegunungan. 

Darah mereka membasahi semua jalan dan gang. Kuda Nu’man tergelincir 

oleh darah sehingga ia tewas. Nu’man terluka serius sebab nya. 

Saudaranya segera merebut panji dari tangannya kemudian menutup 

jasadnya dengan selendang yang ia bawa. Saudaranya tadi 

menyembunyikan berita kematian Nu’man kepada pasukan muslimin. 

  149

Begitu kemenangan besar telah diraih oleh pihak muslimin yang 

mereka namakan dengan ‘Penaklukan Terbesar.’ Maka para tentara kaum 

muslimin menanyakan panglima mereka yang gagah berani, Nu’man bin 

Muqarrin. 

Maka saudara Nu’man mengangkat selendang yang menutupi jasadnya 

seraya berkata:  

“Inilah panglima kalian. Allah telah membuat hatinya tenang dengan 

penaklukan ini, dan menutup usianya dengan syahadah. 


Shuhaib Al Rumy 

“Perdagangan Untung, Ya Abu Yahya… Perdagangan Untung!” 

(Muhammad Rasulullah) 

 

Siapakah di antara kita –wahai kaum muslimin- yang tidak mengenal 

Shuhaib Al Rumy, tidak mengetahui kisah tentang dirinya dan 

biografinya?! 

namun  yang sering tidak diketahui oleh kita yaitu  bahwa Shuhaib 

bukanlah berasal dari bangsa romawi. Dia yaitu  orang Arab asli. Ayahnya 

berasal dari Bani Numair dan ibunya berasal dari Bani Tamim. 

Mengapa Shuhaib dinisbatkan kepada bangsa Romawi, ternyata ada 

sebuah kisah yang senantiasa di ingat dalam sejarah dan diceritakan oleh 

legenda. 

Sekitar 2 dekade sebelum masa kenabian ada seorang yang menjadi 

gubernur daerah Al Ubullah68 bernama Sinan bin Malik An Numairi. Dia 

menjadi seorang gubernur dalam rezim Kisra Raja Persia. 

Anak yang paling dicintai oleh Sinan yaitu  seorang anak yang belum 

genap berusia 5 tahun dan ia panggil dengan nama Shuhaib. 


Shuhaib memiliki wajah yang ceria, rambutnya berwarna merah. Selalu 

aktif dan riang, dan ia memiliki dua bola mata yang memancarkan 

kecerdasan dan kepintaran.  Ia juga merupakan bocah yang periang, 

memiliki jiwa yang tenang dan selalu membuat hati ayahnya merasa 

senang dan membuat ayahnya lupa akan segala permasalahan jabatannya. 


Ibu Shuhaib berangkat dnegan membawa anaknya yang kecil dan 

rombongan yang terdiri dari para kerabat dan pembantunya ke sebuah 

kampung bernama Al Tsany di negeri Iraq untuk beristirahat dan 

berekreasi. Lalu sebuah pasukan dari tentara Romawi menyerang kampung 

ini , membunuh para penjaganya, mencuri harta dan menawan 

penduduknya. Salah seorang yang menjadi tawanan yaitu  Shuhaib. 


                                                     

68

 Al Ubullah yaitu  sebuah kota tua yang termasuk dalam wilayah Basrah. 

 

 

  151

Shuhaib di jual di pasar perbudakan di negeri Romawi. Maka ia 

mengalami pergantian tuan, sebab  selalu berpindah dari tuan yang satu 

kepada yang lain. Dalam kondisi demikian ia seperti ribuan budak baru 

lainnya yang bertugas di istana-istana negeri Romawi. 


Shuhaib pernah berkesempatan untuk mengenali masyarakat Romawi 

lebih mendalam. Ia mendapati bahwa dalam istana-istana mereka amat 

penuh dengan perbuatan hina dan keji. Ia mendengarkan dengan 

telinganya kedzaliman dan perbuatan dosa yang mereka perbuat. Maka ia 

pun membenci masyarakat Romawi dan menganggap mereka hina. 

Ia pernah berkata bahwa masyarakat seperti ini tidak dapat disucikan 

kembali kecuali dengan angin topan. 


Meskipun Shuhaib tumbuh dewasa di negeri Romawi dan besar di 

antara penduduknya. Meski ia sudah melupakan Arab, atau hampir 

melupakannya, namun  tidak pernah sirna dalam dirinya bahwa ia 

yaitu  seorang berkebangsaan Arab yang pernah tinggal di tengah padang 

pasir. Kerinduannya tidak pernah pupus hingga pada hari ia dibebaskan, ia 

langsung menuju tanah asalnya. 

Ia semakin rindu kepada negerinya Arab saat ia mendengar seorang 

pendeta Nashrani berkata kepada salah seorang tuannya: “Sudah dekat 

datangnya sebuah zaman dimana akan muncul di Mekkah di jazirah Arab 

seorang Nabi yang membenarkan ajaran Isa putra Maryam, dan 

mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya.” 


Kemudian Shuhaib memiliki kesempatan untuk kabur dari perbudakan 

tuannya. Ia langsung menuju ke Mekkah dan jantung Arab tempat 

diutusnya seorang Nabi yang telah dinanti-nanti. 

Begitu sesampainya di sana, manusia menyebutnya dengan nama 

Shuhaib si Romawi sebab  bahasanya yang sulit dimengerti dan rambutnya 

yang berwarna merah. 


Shuhaib lalu bergabung dengan salah seorang pembesar di Mekkah 

yang bernama Abdullah bin Jud’an. Ia lalu bekerja sebagai seorang 

pedagang, maka datanglah kebaikan dan harta yang banyak pada dirinya. 

Namun meski Shuhaib telah sibuk dengan perdagangan dan usahanya 

namun ia tidak melupakan ucapan pendeta Nashrani dulu. Maka setiap ia 

 152

teringat akan ucapan pendeta ini , ia akan bertanya pada dirinya: 

“Kapankah hal ini terjadi?”  

Tidak lama berselang, jawaban pun datang kepadanya. 


Pada suatu hari Shuhaib baru kembali ke Mekkah dari salah satu 

perjalanannya. Lalu ada yang mengatakan kepadanya bahwa Muhammad 

bin Abdullah baru saja di utus sebagai Nabi, dan kini ia berdakwah kepada 

manusia untuk beriman kepada Allah. Mengajak mereka untuk berbuat 

adil dan baik. Melarang mereka berbuat keji dan mungkar. 

Shuhaib bertanya: “Bukankah dia yaitu  orang yang dikenal oleh 

penduduk Mekkah dengan Al Amin (orang yang terpercaya)?” Kemudian 

orang ini  menjawab: “Ya, benar!” Shuhaib bertanya: “Lalu, dimana 

tempatnya?” Orang itu menjawab: “Di rumah Al Arqam bin Abi Al 

Arqam69 dekat bukit Shafa.namun  waspyaitu  jangan sampai ada 

orang Quraisy yang melihatmu. Jika mereka melihatmu, pasti mereka akan 

menyiksamu. Mereka akan menyiksamu sedangkan engkau yaitu  orang 

asing yang tidak memiliki suku dan keluarga yang dapat melindungimu. 


Shuhaib berangkat menuju rumah Al Arqam dengan amat hati-hati. 

Sesampainya di sana, ia menjumpai Ammar bin Yasir di depan pintu, dan ia 

sudah mengenal dia sebelumnya. Shuhaib agak grogi sejenak kemudian ia 

menghampirinya lalu berkata: “Apa yang kau hendak lakukan, ya 

Ammar?” Ammar lalu bertanya balik: “Engkau sendiri, apa yang hendak 

engkau lakukan?” Shuhaib menjawab: “Aku ingin menjumpai orang ini 

untuk mendengarkan apa yang ia katakan.” Ammar membalas: “Akupun 

hendak melakukan hal yang sama.” Shuhaib berkata: “Kalau begitu, mari 

kita masuk sama-sama dengan berkah Allah!” 


Shuhaib bin Sinan Al Rumy dan Ammar bin Yasir menjumpai 

Rasulullah saw dan mendengarkan apa yang Beliau sampaikan. Lalu cahaya 

keimanan terbit di hati mereka berdua. Keduanya berlomba untuk 

menjulurkan tangan mereka ke arah Rasulullah Saw. Keduanya 

bersyahadat bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad yaitu  

hamba sekaligus utusan-Nya. Keduanya menghabiskan hari mereka 

bersama Rasul Saw untuk menyerap petunjuk Beliau dan menemani Beliau 

sepanjang hari. 

                                                     

69

 Dia yaitu  putra Abdu Manaf bin Asad Al Makhzumi. Dia termasuk orang pertama yang 

memeluk Islam. Rumahnya (Darus Salam) yaitu  pusat dakwah Rasulullah Saw. Rasul Saw menugas dia 

untuk mengurus harta sedekah. 

  153

Saat malam tiba dan suasana mulai tenang, keduanya keluar 

meninggalkan Rasulullah di kegelapan malam. Masing-masing telah 

membawa cahaya di dalam dada mereka yang dapat menyinari seluruh 

dunia. 


Shuhaib merasakan penyiksaan dirinya yang dilakukan oleh para suku 

Quraisy. Bersamanya yaitu  Bilal, Ammar, Sumayyah, Khabbab dan lain-

lain yang termasuk sepuluh orang yang dijamin masuk ke surga. Mereka 

merasakan kebengisan suku Quraisy yang jika dipindahkan ke gunung, 

pasti gunung ini  akan hancur berantakan. Shuhaib merasakan semua 

penderitaan itu dengan jiwa yang tenang lagi sabar. Dan ia menyadari 

bahwa jalan ke surga sarat dengan penderitaan. 


Begitu Rasulullah Saw mengizinkan para sahabatnya untuk berhijrah 

ke Madinah. Shuhaib berniat untuk berangkat bersama Rasulullah Saw dan 

Abu Bakar. namun  Quraisy mengetahui rencana Shuhaib untuk 

berhijrah, lalu mereka menghalangi Shuhaib untuk melaksanakan niatnya. 

Suku Quraisy juga memasang beberapa orang untuk memata-matai 

Shuhaib agar ia tidak lari dari mereka sehingga membawa apa yang telah 

ia dapatkan dari mereka lewat perdagangan berupa emas dan perak. 


sesudah  Rasul Saw dan Abu Bakar berhijrah, Shuhaib menunggu-

nunggu saat yang tepat untuk menyusul mereka namun  ia tidak 

berhasil. Itu disebab kan, sebab  mata para pengintai selalu mengawasi 

gerak-geriknya. sebab nya, ia tidak bisa menemukan jalan kecuali dengan 

sebuah tipuan. 

Pada suatu malam yang dingin, Shuhaib bolak-balik ke kamar kecil 

seolah-olah ia ingin buang air. Ia belum juga selesai dari buang airnya, 

maka ia kembali lagi ke kamar kecil. 

Salah seorang yang mengawasinya berkata: “Bersantailah kalian, Lata 

dan Uzza telah membuatnya mual-mual!” Kemudian mereka mulai 

merebahkan diri, dan tak lama kemudian mereka tertidur. 

Begitu mereka tak sadarkan diri, Shuhaib menyusup pergi dan menuju 

ke Madinah. 


Tidak lama sesudah  Shuhaib pergi, para pengintai Shuhaib sadarkan diri. 

Mereka langsung lompat dari tidur mereka. Mereka langsung 

 154

menunggangi kuda-kuda mereka. Lalu menghentakkan tali kendalinya 

guna menyusul Shuhaib. 

Saat Shuhaib menyadari bahwa mereka menyusulnya. Ia berdiri di 

sebuah tempat yang tinggi, lalu mengluarkan anak panahnya dari sarung. 

Ia mengarahkan busur sambil berkata: “Wahai bangsa Quraisy, Demi 

Allah, kalian telah tahu bahwa aku yaitu  orang yang paling hebat dalam 

memanah dan paling tepat mengenai sasaran. Demi Allah, kalian tidak 

akan dapat menangkapku sehingga setiap anak panah yang aku miliki 

dapat membunuh satu orang dari kalian. Lalu aku akan mengibaskan 

pedang kepada kalian, bila anak panah yang aku miliki telah habis!” 

Lalu salah seorang dari Quraisy menjawab: “Demi Allah, kami tak akan 

membiarkan engkau berlari membawa diri dan hartamu. Engkau dulu 

datang ke Mekkah tanpa membawa apa-apa dan kau yaitu  seorang 

miskin dulunya. Sekarang engkau telah kaya dan telah mencapai posisi 

seperti saat ini.” 

Shuhaib lalu berkata: “Bagaimana pendapat kalian, bila aku tinggalkan 

hartaku. Apakah kalian akan membiarkan aku pergi?” Mereka menjawab: 

“Ya!”  

Lalu Shuhaib menunjukkan tempat penyimpanan harta di dalam 

rumahnya di Mekkah. Lalu bangsa Quraisy mendatangi tempat itu dan 

mengambil harta Shuhaib. Kemudian mereka membiarkan Shuhaib 

berangkat. 


Shuhaib langsung berangkat ke Madinah untuk menyelamatkan agama 

Allah. Ia tidak menyesal dengan harta yang telah ia berikan meskipun ia 

telah mengumpulkannya sepanjang umur. 

Setiap kali ia merasa lelah dalam perjalanan, maka kerinduan kepada 

Rasulullah Saw membuatnya kembali semangat dan meneruskan 

perjalanannya. 

Saat ia tiba di Quba70, Rasulullah Saw melihat Shuhaib yang datang. 

Maka Rasul Saw langsung menyambutnya dengan ramah seraya berkata: 

“Perdagangan untung, Ya Abu Yahya. Perdagangan untung!” Rasul Saw 

mengulanginya sampai tiga kali. 

Maka kegembiraan mendominasi wajah Shuhaib yang kemudian 

berkata: “Demi Allah, tidak ada yang mendahuluiku dalam perjalanan ini, 

ya Rasulullah. Tiada yang memberi kabar kepadamu tentang kedatanganku 

selain Jibril.” 


                                                     

70

 Quba yaitu  sebuah desa berjarak dua mil dari Madinah 

  155

Benar, telah beruntung perdagangan dan benar wahyu dari langit itu. 

Dan ini disaksikan oleh Jibril, saat Allah Swt menurunkan ayat tentang 

Shuhaib yang berbunyi:  


“Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya 

sebab  mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada 

hamba-hamba-Nya.” (QS. Al-Baqarah [2] : 207) 

Beruntung sekali Shuhaib bin Sinan Al Rumy, dan ia beruntung dengan 

tempat kembali yang amat baik. 


Abu Darda                             

(Uwaimar bin Malik Al Khajrajy) 

 “Abu Darda Mampu Menolak Dunia Dengan Kedua Telapak Tangan 

dan Dada” (Abdurrahman bin ‘Auf) 

 

Uwaimar bin Malik Al Khajrajy71 yang disebut dengan Abu Darda 

bangun dari tidurnya pagi-pagi sekali. Ia menuju berhalanya yang ia 

pasang di tempat yang paling terhormat dalam rumahnya. Ia lalu 

memberikan penghormatan kepada berhala dan memberikan parfum 

terbaik berasal dari tokonya. Kemudian ia memakaikan pakaian pada 

berhala ini  yang terbuat dari sutra terbaik yang dihadiahkan oleh 

salah seorang saudagar yang datang menemuinya dari Yaman. 

Saat matahari mulai meninggi, Abu Darda meninggalkan rumahnya 

untuk pergi ke toko. 

Tiba-tiba jalan di Yatsrib penuh dengan para pengikut Muhammad. 

Mereka semua baru saja kembali dari perang Badr, dan di depan mereka 

terdapat barisan tawanan dari suku Quraisy. Abu Darda menjauh dari 

mereka, namun ia masih sempat berpapasan dengan seorang pemuda yang 

berasal dari suku Khajraj dan ia bertanya kepada pemuda ini  tentang 

kabar Abdullah bin Rawahah72. Pemuda dari suku Khajraj tadi menjawab: 

“Dia telah berjuang dengan amat dahsyat dalam perang dan ia sudah 

kembali ke tanah airnya dengan selamat dan membawa harta ghanimah.” 

Mendengar jawaban itu, menjadi tenanglah hati Abu Darda. 

Pemuda tadi tidak heran dengan pertanyaan Abu Darda tentang kabar 

Abdullah bin Rawahah, sebab  ia tahu bahwa semua manusia terkait 

dengan tali persaudaraan yang barangkali ada di antara mereka berdua. 

Hal itu disebab kan Abu Darda dan Abdullah bin Rawahah dulunya 

bersaudara pada zaman jahiliah. Begitu Islam datang, Ibnu Rawahah mau 

menerimanya, sedangkan Abu Darda berpaling darinya. 

Meski demikian, hal itu tidak memutus hubungan antara mereka 

berdua. sebab  Abdullah bin Rawahah masih saja sering mengunjungi Abu 

Darda dan mengajaknya untuk memeluk Islam. Ia senantiasa memberi 

                                                     

71

 Al Khajrajy yaitu  nisbat kepada suku Khajraj yaitu sebuah kabilah yang berasal dari Yaman, 

Mereka datang ke Madinah dan menetap di sana. Kabilah ini dan Aus yaitu  dua kabilah terbesar kaum 

Anshar. 

72

 Abdullah bin Rawahah Al Anshary Al Khajrajy yaitu  seorang penyair terkenal. Dia juga salah 

seorang yang paling dulu masuk Islam. Ia turut dalam perang Badr dan tewas dalam perang Mu’tah 

pada tahun 8 H. Dia yaitu  salah seorang dari ketiga panglima dalam perang ini . 

 

 

  157

semangat kepada Abu Darda untuk masuk Islam, dan ia turut prihatin atas 

setiap hari dalam umur Abu Darda sedangkan ia masih menjadi seorang 

musyrik. 


Abu Darda tiba di tokonya. Ia duduk di atas kursi tinggi. Ia mulai 

melakukan perdagangan. Ia memerintahkan dan melarang para budaknya. 

Namun ia tidak tahu apa yang tengah berlangsung di rumahnya. 

Pada saat yang sama, Abdullah bin Rawahah pergi ke rumah 

sahabatnya Abu Darda sebab  ia menginginkan suatu hal… 

Begitu Abdullah sampai di rumah ini , ia melihat pintu rumah 

terbuka dan ia dapati Ummu Darda sedang berada di beranda depan 

rumah. Abdullah berkata: “Assalamu alaiki, wahai hamba Allah!” Ia 

menjawab: “Wa ‘alaika salam, wahai saudara Abu Darda!” Abdullah 

bertanya: “Kemana Abu Darda?” Ia menjawab: “Ia pergi ke tokonya, 

sebentar lagi ia pulang.” Abdullah bertanya: Apakah engkau mengizinkan 

aku masuk?” Ia menjawab: “Dengan senang hati.” Ummu Darda 

mempersilahkan Abdullah masuk, dan ia masuk ke dalam kamarnya. 

Ummu Darda kemudian membiarkan Abdullah sendirian sebab  ia sibuk 

dengan pekerjaan rumahnya dan mengurus anak-anak. 


Abdullah bin Rawahah masuk ke dalam ruangan di mana Abu Darda 

menaruh berhalanya. Kemudian ia keluar dengan membawa berhala tadi. 

Ia menghampiri berhala ini  dan mulai memotong-motongnya sambil 

berkata: “Bukankah setiap yang disembah selain Allah yaitu  batil? 

Bukankah setiap yang disembah selain Allah yaitu  batil?” 

Begitu ia selesai memotong-motong berhala ini , ia pun 

meninggalkan rumah itu. 


Ummu Darda masuk ke dalam kamar di mana berhala berada. Ia 

tersentak kaget begitu melihat berhala telah terpotong-potong. Ia dapati 

bagian tubuh berhala ini  sudah terburai di tanah. Ia lalu memukul-

mukul pipinya sambil berkata: “Engkau telah mencelakaiku, wahai Ibnu 

Ruwahah… Engkau telah mencelakaiku, wahai Ibnu Ruwahah!” 


Tidak terlalu lama berselang, Abu Darda pun kembali ke rumah. Ia 

mendapati istrinya sedang duduk di depan pintu kamar di mana berhala itu 

berada. Istrinya menangis dengan suara yang keras. Ada rona ketakutan 

yang nampak pada wajahnya. Abu Darda bertanya: “Ada apa?” Istrinya 

 158

menjawab: “saat  engkau pergi, saudaramu Abdullah bin Rawahah 

datang, lalu melakukan apa yang kau lihat kini pada berhalamu.” 

Abu Darda lalu melihat berhalanya dan ia dapati berhala ini  telah 

hancur. Ia naik pitam, dan berniat akan menuntut balas. namun  tidak 

berselang lama, emosinya kembali stabil, dan amarahnya mulai mereda. Ia 

memikirkan apa yang telah terjadi, lalu ia berkata: “Kalau ada kebaikan 

dalam diri berhala ini, pasti ia dapat menolak keburukan yang terjadi pada 

dirinya.” 

Lalu dalam sejenak ia sudah berangkat menemui Abdullah bin Rawahah 

sehingga keduanya berangkat menghadap Rasulullah Saw. Abu Darda 

menyatakan masuk Islam, dan ia yaitu  orang terakhir dari kampungnya 

yang masuk Islam. 

Abu Darda –sejak pertama kali- beriman kepada Allah dan Rasul-Nya 

dengan keimanan yang mengisi setiap ruang dalam ruas badannya. 

Ia amat menyesal sebab  telah ketinggalan banyak sekali kebaikan. Ia 

mulai mempelajari ajaran agama Allah seperti para sahabat yang telah 

mendahuluinya, menghapalkan Kitabullah, beribadah dan bertaqwa yang 

dijadikan sebagai tabungan diri di sisi Allah. 

Ia bertekad untuk mengejar ketertinggalannya dengan sungguh-

sungguh. Ia tidak pernah mengenal lelah sepanjang siang dan malam demi 

menyusul ketertinggalannya dan mendahului mereka semua. 

Ia terus giat melakukan ibadah seperti orang yang berpaling dari dunia 

dan mencari Allah. Ia mencari ilmu ibarat orang yang kehausan. Ia selalu 

bersama Kitabullah dan selalu mengapalkan kalimat-kalimatnya. Ia 

mendalami pemahamannya akan Al Qur’an. 

Begitu ia menyadari bahwa perdagangan memperkeruh kenikmatan 

ibadahnya dan membuat ia ketinggalan majlis ilmu, maka ia meninggalkan 

perdagangannya tanpa ragu dan menyesal. 

Ada orang yang bertanya akan perbuatannya ini. Ia menjawab: “Aku 

yaitu  seorang pedagang sebelum masa Rasulullah Saw. Saat aku masuk 

Islam, aku hendak menggabungkan antara perdagangan dan ibadah akan 

tetapi aku tidak mampu mewujudkan keinginanku. Maka aku tinggalkan 

perdagangan dan aku memilih ibadah. 

Demi Dzat Yang jiwa Abu Darda berada dalam genggaman-Nya, aku 

tidak menyukai bila aku hari ini memiliki sebuah kedai dekat pintu masjid 

sehingga aku tidak pernah ketinggalan shalat berjama’ah. Aku dapat 

berjual beli sehingga setiap hari aku akan untung 300 dinar.” Kemudian ia 

menatap orang yang bertanya tadi sambil berkata: “Aku tidak mengatakan 

bahwa Allah Swt telah mengharamkan perdagangan, namun  aku lebih 

menyukai bila kau termasuk mereka yang tidak pernah dilengahkan oleh 

perdagangan dan jual-beli dari mengingat Allah.” 


  159

Abu Darda tidak hanya meninggalkan perdagangannya, bahkan ia juga 

meninggalkan dunia. Ia selalu berpaling dari keglamoran dan perhiasan 

dunia. Ia merasa cukup dengan sesuap gandum kasar yang dapat membuat 

dirinya tegap dan pakaian yang kasar untuk menutup auratnya. 

Pada suatu malam yang amat dingin ada segerombolan orang yang 

mampir di rumah Abu Darda. Abu Darda lalu mengirimkan kepada mereka 

makanan yang hangat, namun tidak memberi mereka selimut. Begitu 

mereka hendak tidur, mereka bermusyawarah tentang selimut. Salah 

seorang dari mereka berkata: “Aku akan datang menghadap dan berbicara 

kepadanya.” 

Salah seorang yang lainnya mengatakan: “Tidak usah kau lakukan itu!” 

Namun orang tadi meneruskan niatnya. Ia pun pergi dan berhenti di depan 

pintu kamar Abu Darda dan ia lihat Abu Darda tengah berbaring. Istrinya 

duduk dekat dengan Abu Darda keduanya tidak menggunakan apa-apa 

selain baju tipis yang tidak dapat melindungi mereka dari sengatan panas 

atau hawa dingin. Orang tadi lalu berkata kepada Abu Darda: “Aku 

meihatmu tidur, tidak seperti yang biasa kami lakukan!! Kemana barang-

barangmu?!” Abu Darda menjawab: “Kami memiliki rumah di sana yang 

kami kirimkan semua barang kami ke sana. Kalau kami menyisakan 

barang-barang ini  di rumah ini, pasti sudah kami kirimkan kepada 

kalian. 

Kemudian dalam jalan yang kami susuri menuju rumah ini  ada 

sebuah rintangan yang sulit. Orang yang membawa beban ringan lebih 

baik daripada yang membawa beban berat dalam melewatinya. Oleh 

sebab nya kami ingin agar kami hanya membawa beban ringan saat 

melintasinya.” Kemudian Abu Darda bertanya kepada orang tadi: “Apakah 

engkau sudah paham?” Ia menjawab: “Ya, aku sudah paham. Semoga 

kebaikanmu dibalas.” 


Pada masa kekhalifahan Umar Al Faruq, Beliau hendak menjadikan Abu 

Darda untuk menjabat sebagai wali di Syam. Namun Abu Darda 

menolaknya. Abu Darda berkata:  

“Jika kau mempersilahkan aku pergi ke sana untuk mengajarkan 

kepada mereka kitab Allah dan sunnah Nabi dan menjadi imam shalat 

mereka maka aku akan berangkat.” Umar pun setuju dengan usulnya. 

Akhirnya Abu Darda berangkat ke Damaskus. Sesampainya di sana, ia 

dapati bahwa penduduknya hidup dalam kemewahan dan kenikmatan. Hal 

itu membuatnya terkejut, dan ia mengajak manusia ke mesjid dan orang-

orang pun datang menemuinya. Abdullah berdiri dihadapan mereka dan 

berkata:  

“Wahai penduduk Damaskus, kalian yaitu  saudara seagama, tetangga 

negeri dan penolong dalam menghadapi musuh! Wahai penduduk 

Damaskus, apa yang membuat kalian tidak dapat mencintaiku dan 

menerima nasehatku. Aku tidak meminta apapun dari kalian, dan aku telah 

 160

diberi nafkah oleh orang selain kalian. Aku dapati, para ulama kalian telah 

tiada, dan kalian tidak belajar?! Aku memperhatikan bahwa kalian 

mengejar-ngejar apa yang telah Allah jamin bagi kalian, dan kalian 

meninggalkan apa yang diperintahkan kepada kalian?! Mengapa aku 

dapati kalian mengumpulkan sesuatu yang tidak kalian makan!! 

Membangun gedung yang kalian tidak tempati!! Menghayalkan apa yang 

tidak pernah kalian capai!! Telah banyak kaum dan bangsa yang 

mengumpulkan harta dan berhayal… Tidak lama berselang, semua yang 

mereka kumpulkan akan hancur dan binasa. Hayalan mereka menjadi 

buyar. Rumah mereka menjadi kuburan. Itulah kaum ‘Ad73, wahai 

penduduk Damaskus! Mereka telah memenuhi bumi ini dengan harta dan 

keturunan mereka. Lalu siapa yang mau membeli seluruh peninggalan 

kaum ‘Ad dariku dengan harga dua dirham?” 

Maka semua manusia yang hadir menangis, sehingga isakan mereka 

terdengar dari luar masjid. 


Sejak saat itu, Abu Darda menjadi memimpin majlis mereka di 

Damaskus. Ia berkeliling di pasar mereka. Menjawab pertanyaan orang. 

Mengajarkan orang yang tidak mengerti. Memperingatkan orang yang 

lalai. Ia memanfaatkan setiap peluang dan kesempatan. 


Suatu saat Abu Darda mendapati ada sekumpulan manusia yang sedang 

berkumpul dan memukuli serta mencerca seseorang. Abu Darda 

mendatangi mereka sambil bertanya: “Apa yang terjadi?” Mereka 

menjawab: “Dia yaitu  orang yang telah melakukan dosa besar!” Abu 

Darda bertanya: “Apa yang kalian lakukan bila orang ini masuk ke dalam 

sumur, apakah kalian akan mengeluarkannya?” Mereka menjawab: 

“Tentu.” Abu Darda meneruskan: “Kalau demikian, janganlah kalian cela 

dan pukul dia, namun  berilah kepadanya nasehat dan tunjukkanlah 

kepadanya. Bersyukurlah kepada Allah yang telah menyelamatkan kalian 

untuk tidak terjebak dalam dosa yang ia perbuat.” Mereka bertanya: 

“Apakah engkau tidak membencinya?!” Abu Darda menjawab: “Aku hanya 

membenci perbuatannya; jika ia meninggalkan perbuatannya itu maka dia 

yaitu  saudaraku.” Lalu orang itu mulai menangis dan menyatakan diri 

bahwa dirinya bertaubat. 


Ada seorang pemuda yang menghadap Abu Darda dan berkata: 

“Berilah wasiat kepadaku, wahai sahabat Rasulullah Saw!” Abu Darda 

berkata: “Wahai anakku, ingatlah Allah saat lapang, maka Ia akan 

                                                     

73

 ‘Ad yaitu  kaum Nabi Hud. Mereka menentang nabinya, maka Allah membinasakan mereka. 

  161

mengingatmu pada saat sempit. Wahai anakku, jadilah engkau orang yang 

berilmu atau penuntut ilmu atau orang yang mau mendengarkan ilmu. 

Janganlah menjadi orang yang keempat sebab  engkau akan celaka. Wahai 

anakku, jadikanlah mesjid sebagai rumahmu. Sebab aku pernah mendengar 

Rasulullah Saw bersabda: “Masjid merupakan rumah bagi setiap orang 

yang bertaqwa”. Allah telah menjamin bagi setiap orang yang menjadikan 

masjid sebagai rumahnya ketentraman, rahmat dan melintas di atas shirat 

menuju keridhaan Allah. 


Ada segerombolan pemuda yang sedang duduk di pinggir jalan sambil 

berbincang-bincang dan memandangi orang yang lewat. Abu Darda lalu 

menghampiri mereka sambil berkata: “Wahai anak-anakku, tempat bertapa 

orang muslim yaitu  rumahnya dimana ia bisa menahan diri dan 

pandangannya. Janganlah kalian duduk-duduk di pasar, sebab hal itu 

dapat memperdayakan.” 


Saat Abu Darda berada di Damaskus, Muawiyah bin Abi Sufyan 

mengirim seorang utusan untuk meminang putrinya yang bernama Darda 

buat anak Muawiyah yang bernama Yazid. Abu Darda menolak untuk 

menikahkan anaknya kepada Yazid. Malah Abu Darda menikahkan 

putrinya dengan seorang pemuda biasa yang ia sukai agama dan 

akhlaknya. 

Berita ini tersiar ke semua telinga manusia. Mereka berkata: Yazid bin 

Muawiyah meminang putri Abu Darda, namun Abu Darda menolak. Malah 

ia menikahinya dengan seorang pria muslim biasa. 

Lalu ada seseorang yang langsung menanyakan hal itu kepada Abu 

Darda? Ia menjawab: “Aku hanya memilih yang terbaik untuk Darda.” 

Orang tadi bertanya: “Bagaimana caranya?” Abu Darda menjawab: “Apa 

yang kau bayangkan bila Darda berdiri di mana dihadapannya terdapat 

banyak para dayang yang melayaninya. Ia dapati dirinya berada dalam 

istana di mana setiap mata merasa ingin mendapatkan kenikmatannya. Lalu 

kalau ia sudah seperti itu, bagaimana dengan agamanya?!” 


Saat Abu Darda masih berada di negeri Syam, Amirul Mukminin Umar 

bin Khattab datang untuk memeriksa kondisinya. Umar lalu mengunjungi 

sahabatnya, Abu Darda di rumahnya pada suatu malam. Ia mendorong 

pintu rumahnya dan rupanya pintu ini  tidak terkunci. Umar lalu 

masuk ke dalam rumah yang tidak memiliki lampu. Saat Abu Darda 

mendengar, ia langsung berdiri dan menyambut Umar lalu 

mempersilahkan ia duduk. 

 162

Kedua orang itu pun lalu berbincang-bincang. Sementara kegelapan 

menghalangi mereka untuk melihat bola mata sahabatnya. 

Umar lalu meraba bantal milik Abu Darda dan ternyata ia yaitu  

pelana hewan… Ia juga meraba kasurnya dan ternyata terbuat dari pasir… 

Ia meraba selimutnya dan ternyata yaitu  sebuah kain tipis yang tidak 

dapat menghalau rasa dingin daerah Damaskus. 

Umar berkata kepadanya: “Semoga Allah merahmatimu, bukankah aku 

sudah memudahkan beban hidupmu?! Bukankah aku telah mengirimkan 

(nafkah)mu?!” 

Abu Darda menjawab: “Apakah engkau masih ingat –ya Umar- sebuah 

hadits yang pernah disampaikan oleh Rasulullah Saw kepada kita?” Umar 

bertanya: “Apa itu?” Abu Darda menjawab: “Bukankah Beliau pernah 

bersabda: ‘Hendaknya harta kalian di dunia seperti bekal yang dibawa oleh 

seorang pengelana?’ Umar menjawb: “Benar!” Abu Darda bertanya: “Lalu 

apa yang telah kita lakukan sesudah  Beliau meninggal, wahai Umar?” 

Maka menangislah Umar dan Abu Darda pun turut menangis. 

Mereka terus menangis sehingga waktu Shubuh menjelang. 


Abu Darda terus menetap di Damaskus untuk memberi nasehat kepada 

penduduk serta mengingatkan dan mengajarkan mereka akan Al Qur’an 

dan hikmah sehingga ia wafat. 

Saat ajal menjelang, para sahabatnya mendatanginya. Mereka berkata: 

“Apa yang engkau takutkan?” Ia menjawab: “Dosa-dosaku.” Mereka 

bertanya lagi: “Apa yang engkau inginkan?” Ia menjawab: “Ampunan 

Tuhanku.” 

Kemudian ia berkata kepada orang yang ada di sekelilingnya: “Talqin 

aku kalimat Laa ilaha illa-Llahu, Muhammadun Rasulullahi.” Ia terus 

mengucapkan kalimat ini  sehingga ruhnya berpisah dari badan. 


Saat Abu Darda telah kembali ke pangkuan Tuhannya, Auf bin Malik Al 

Asyja’i bermimpi melihat sebuah kebun hijau yang amat luas dengan 

dedaunan yang hijau dan di tengahnya terdapat sebuah kubah besar yang 

terbuat dari kulit, di sekelilingnya terdapat domba-domba yang sedang 

berlutut yang belum pernah terlihat domba seperti ini sebelumnya. Auf 

bertanya: “Milik siapa ini?!” Dijawab: “Milik Abdurrahman bin Auf!” 

Kemudian dari kubah, Abdurahman bin Auf melihatnya seraya berkata: 

“Wahai, Ibnu Malik, inilah yang diberikan Allah Swt dari Al Qur’an. Jika 

engkau tetap berada dalam jalan ini, maka engkau akan mendapati apa 

yang belum pernah terlihat oleh mata. Engkau akan mendapati apa yang 

  163

belum pernah terdengar oleh telinga. Engkau akan mendapati apa yang 

belum pernah terbersit dalam hati.” 

Ibnu Malik bertanya: “Milik siapa semua itu, wahai Abu Muhammad?” 

Ia menjawab: “Allah mempersiapkannya untuk Abu Darda, sebab  ia 

mampu menolak dunia dengan kedua telapak tangan dan dadanya.”  


Zaid bin Haritsah 

“Kehendak Allah, Zaid bin Haritsah Tadinya yaitu  Budak dari 

Seorang Perempuan, dan Ia telah Menjadi Manusia yang Paling Aku 

Cintai” (Muhammad Rasulullah) 

 

Su’da binti Tsa’labah pergi untuk mengunjungi kaumnya yaitu Bani 

Ma’nin, dan ia ditemani seorang anaknya yang bernama Zaid bin Haritsah 

Al Ka’bi. 

Baru saja ia sampai di sana, maka pasukan berkuda Bani Qain telah 

menyerang sukunya dan mengambil semua harta. Mereka juga menggiring 

unta-unta dan menyandera beberapa tawanan. 

Salah seorang yang mereka tawan yaitu  anaknya yang bernama Zaid 

bin Haritsah. 

Zaid –saat itu- yaitu  seorang anak kecil yang baru berusia sekitar 8 

tahun. Mereka lalu membawa Zaid ke pasar Ukadz dan menawarkan 

dirinya untuk dibeli. Lalu ada seorang kaya dari pemuka Quraisy yang 

bernama Hakim bin Hizam bin Khuwailid membelinya dengan harga 400 

dirham. Selain dia, ada juga beberapa budak lain yang ia beli, kemudian ia 

bawa ke Mekkah. 

Begitu bibinya Khadijah binti Khuwailid mengetahui kedatangan 

Hakim, bibinya mengunjungi Hakim untuk memberikan selamat dan 

sambutan kepadanya. Hakim berkata kepada bibinya: “Wahai bibi, aku 

telah beli beberapa budak dari pasar Ukadz. Pilihlah yang mana saja, 

engkau sukai. Aku akan menghadiahkannya untukmu!” 

Lalu Sayyidah Khadijah memandangi wajah para budak tadi… dan 

akhirnya ia memilih Zaid bin Haritsah, sebab  Khadijah melihat bahwa 

Zaid memiliki tanda-tanda kecerdesan. Ia pun membawa Zaid pulang. 

Tidak lama kemudian Khadijah binti Khuwailid  menikah dengan 

Muhammad bin Abdullah. Maka Khadijah ingin memberikan hadiah 

kepada suaminya, namun ia tidak menemukan sesuatu yang lebih baik 

daripada budaknya yang muli


Related Posts:

  • teladan sahabat nabi 5 ang turut dalam bai’at Aqabah, perang Badr dan Uhud. Seorang pemuda Quraisy telah membelinya dari orang Anshar tadi lalu dipakainyalah…. Apakah kau mengira ucapan yang pernah disabdakan Rasulullah Saw ini… Read More