an
g
turut dalam bai’at Aqabah, perang Badr dan Uhud. Seorang pemuda
Quraisy telah membelinya dari orang Anshar tadi lalu dipakainyalah….
Apakah kau mengira ucapan yang pernah disabdakan Rasulullah Saw ini
terjadi di zamanku?!!”
Usaid menjawab: “Demi Allah, ya Amirul Mukminin tadinya aku tidak
mengira bahwa ini bakal terjadi di zamanmu.”
sesudah itu, usia Usaid bin Al Hudhair tak tersisa lama. Allah telah
mengakhiri hidupnya pada masa pemerintahan Umar ra.
Didapati bahwa ia masih berhutang sebanyak 4000 dirham. Ahli
warisnya berniat menjual tanah miliknya untuk membayar hutang
ini .
Saat Umar mengetahui hal itu, ia berkata: “Aku tidak akan membiarkan
keturunan saudaraku Usaid menjadi beban masyarakat!” Kemudian Umar
bernegosiasi dengan orang yang memberinya hutan. Mereka semua sepakat
untuk membeli hasil bumi tanah ini selama empat tahun, setiap
tahunnya seharga seribu dirham.
Abdullah bin Abbad
Tinta Ummat Muhammad
“Dia yaitu Pemuda Pemilik Lisan yang Senantiasa Bertanya dan Hati
yang Berakal”(Umar bin Khattab)
Dia adlaah tokoh sahabat ternama yang memiliki kemulyaan dari
dirinya. Ia tidak pernah ketinggalan untuk mendapatkan kemulyaan:
Pada dirinya telah terkumpul kemulyaan menjadi seorang sahabat
Rasul, meski ia lahir terlambat namun ia mendapatkan kemuliaan menjadi
salah seorang sahabat Nabi Saw.
Ia juga mendapatkan kemuliaan sebab masih ada hubungan kerabat
dengan Rasulullah Saw. Dia yaitu sepupu Rasulullah Saw. Ia juga
mendapatkan kemuliaan atas ilmunya, sebab ia yaitu tinta55 ummat
Muhammad, dan lautan ilmu ummat Muhammad Saw.
Ia juga mendapatkan kemuliaan atas ketaqwaan yang dimilikinya. Ia
yaitu orang yang senantiasa puasa di siang hari dan melakukan qiyam
pada malam hari. Sering beristighfar pada waktu sahur, menangis sebab
takut kepada Allah Swt sehingga air mata membasahi kedua pipinya.
Dialah Abdullah bin Abbas sebagai seorang rabbani56 ummat
Muhammad. Dia yaitu orang yang paling mengerti tentang Kitabullah di
antara ummat Muhammad. Dia yaitu orang yang paling paham tentang
takwil Al Qur’an, paling mampu menyelaminya dan memahami tujuan dan
rahasia Al Qur’an.
Ibnu Abbas dilahirkan 3 tahun sebelum hijrah. Saat Rasulullah Saw
wafat, dia baru berusia 13 tahun. Meski demikian ia telah mampu
menghapalkan 1660 hadits dari Nabi Saw yang dituliskan oleh Bukhari dan
Muslim dalam kitab shahih mereka berdua.
55
Maksudnya yaitu seorang yang memiliki ilmu pengetahuan yang luas.
56
Robbani yaitu orang yang memiliki ilmu sekaligus bermakrifat kepada Allah Swt
134
Begitu ibunya melahirkan Abdullah, ia membawanya menghadap
Rasulullah Saw untuk ditahniq57 dengan ludah Beliau. Maka hal yang
pertama kali masuk ke dalam perut Ibnu Abbas yaitu air liur Rasul Saw
yang suci dan penuh berkah. Beserta dengan air liur ini , masuk juga
ke dalam lambungnya ketaqwaan dan hikmah.
⎯tΒ uρ |N÷σムsπ yϑ ò6Ås ø9$# ô‰s)sù u’ ÎAρé& #Zöyz #ZÏWŸ2 3
“Siapa yang diberi hikmah, maka ia telah diberi kebaikan yang
banyak.” (QS. al-Baqarah [2] : 269)
Begitu pemuda berbangsa Hasyimi tumbuh dewasa dan menginjak usia
tamyiz58, ia selalu mendampingi Rasulullah Saw seperti layaknya seorang
saudara.
Ibnu Abbas menyiapkan air jika Rasulullah Saw hendak berwudhu. Ia
melakukan shalat di belakang Rasulullah. Setiap kali Rasulullah Saw
bepergian, Ibnu Abbas selalu berada di belakang Rasul dalam kendaraan
yang sama.
Sehingga ia bagaikan bayangan yang selalu mengikuti Rasul apabila
Beliau berjalan. Ia selalu berada di sekeliling Rasul, dimana saja Beliau
berada.
Dalam semua kondisi tadi, Ibnu Abbas selalu membawa hati yang
hidup, pikiran yang jernih dan menghapalkan apa saja sehingga ia dapat
mengalahkan semua alat rekam yang dikenal pada zaman modern ini.
Ia bercerita tentang dirinya:
“Suatu saat Rasulullah Saw hendak berwudhu. Lalu aku segera
menyiapkan air untuk Beliau sehingga Beliau senang dengan apa yang aku
lakukan.
Tatkala Beliau hendak melakukan shalat, Beliau memberikan isyarat
kepadaku supaya aku berdiri di sampingnya, dan aku pun berdiri di
belakang Beliau.
Begitu shalat usai, Beliau menoleh ke arahku dan bersabda: “Mengapa
engkau tidak berdiri di sampingku, ya Abdullah?” Aku menjawab: “Engkau
yaitu manusia terhormat dalam pandanganku dan aku tidak pantas
berdiri di sampingmu.”
57
Memijat tenggorokan bayi dengan ludah beliau sebelum bayi ini menyusu.
58
Usia 7 tahun, dan ada pendapat yang mengatakan berbeda
135
Kemudian Beliau mengangkat kedua tangannya ke arah langit seraya
berdo’a: “Ya Allah, berikanlah kepadanya hikmah!”59
Allah telah mengabulkan do’a Nabi-Nya Saw sehingga Allah
memberikan pemuda Al Hasyimi ini sebagian hikmah yang mengalahkan
kehebatan para ahli hikmah terbesar.
Tidak dipungkiri bahwa Anda ingin mengetahui sebuah kisah hikmah
milik Abdullah bin Abbas. Inilah sebagian kisahnya dan Anda akan
mendapati apa yang Anda cari:
Tatkala sebagian pendukung Ali meninggalkannya, dan menyalahkan
Ali dalam konflik yang terjadi antara dia dan Muawiyah ra. Abdullah bin
Abbas berkata kepada Ali ra: “Izinkan aku, wahai Amirul Mukminin untuk
mendatangi kaummu dan berbicara kepada mereka!” Ali menjawab: “Aku
khawatir terhadap keselamatanmu dari kejahatan mereka.” Ibnu Abbas
menjawab: “Insya Allah, tidak.”
Kemudian Ibnu Abbas mendatangi mereka dan ia belum pernah melihat
kaum yang lebih giat beribadah daripada mereka.
Mereka berkata: “Selamat datang kepadamu, ya Ibnu Abbas! Ada apa
engkau datang ke sini?!”
Ia menjawab: “Aku datang untuk berbicara kepada kalian.”
Sebagian mereka berseru: “Jangan kalian berbicara dengannya!”
Sebagian lain dari mereka berkata: “Katakanlah, kami akan
mendengarkannya darimu!”
Ibnu Abbas berkata: “Ceritakanlah kepadaku ap yang kalian tidak sukai
dari sepupu Rasulullah, dan suami dari putri Beliau serta orang yang
pertama kali beriman kepada Beliau?!” Mereka menjawab: “Kami tidak
menyukai tiga perkara dari dirinya!” Ibnu Abbas bertanya: “Apa saja?”
Mereka menjawab: “Pertama: ia telah mengangkat orang untuk
memberikan keputusan dalam agama Allah60. Kedua: ia telah berperang
melawan Aisyah dan Mu’awiyah, dan tidak mengambil ghanimah serta
budak. Ketiga: Ia menghapuskan gelar Amirul Mukminin dari dirinya
padahal kaum muslimin telah berbaiat kepadanya dan menjadikan dirinya
sebagai amir mereka.”
Ibnu Abbas menjawab: “Bagaimana pendapat kalian kalau aku
membacakan kepada kalian beberapa ayat dari Kitabullah dan hadits dari
Rasulullah yang kalian tidak pungkiri kebenarannya. Apakah kalian akan
menarik ucapan kalian ini?” Mereka menjawab: “Baiklah!” Ibnu Abbas
59
Sumber kisah ini terdapat dalam Bukhari, Muslim dan Musnad Imam Ahmad bin Hanbal
60
Maksudnya yaitu Ali menerima keputusan antara dirinya dengan Muawiyah yang dilakukan
oleh Abu Musa Al Asy’ari dan Amr bin Ash
136
berkata: “Perkataan kalian bahwa ia telah mengangkat orang untuk
memberikan keputusan dalam agama Allah. Maka Allah Swt berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh
binatang buruan, saat kamu sedang ihram. Barangsiapa diantara
kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah
mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang
dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu.”
(QS. al-Maidah [5] : 95)
Aku bersumpah kepada Allah dihadapan kalian, apakah keputusan
orang dalam menjaga darah dan jiwa mereka serta menjaga hubungan baik
di antara mereka lebih baik dari keputusan mereka atas kelinci yang haya
seharga 4 dirham saja?”
Mereka menjawab: “Yang lebih baik yaitu keputusan mereka dalam
menjaga tumpahnya darah kaum muslimin dan menjaga hubungan baik
diantara mereka.”
Ibnu Abbas bertanya: “Apakah kita sudah sepakat dalam masalah ini?”
Mereka menjawab: “Ya, kita sepakat!”
Ibnu Abbas berkata: “Adapun ucapan kalian: bahwa Ali melakukan
perang namun tidak menjadikan Aisyah sebagai budaknya sebagaimana
Rasul Saw selalu menangkap wanita milik musuh sebagai budak. Apakah
kalian menginginkan untuk menjadikan ibu kalian ‘Aisyah menjadi budak
kalian yang dapat kalian pergauli sebagaimana layaknya budak wanita?!
Jika kalian mengatakan ‘ya’ maka kalian telah kafir. Jika kalian mengatakan
bahwa ia bukanlah ibu kalian, maka kalian juga telah kafir. Allah Swt
berfirman:
“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari
diri mereka sendiri dan isteri-isterinya yaitu ibu-ibu mereka.” (QS.
al-Ahzab [33] : 6)
Pilihlah mana yang kalian sukai bagi diri kalian.”
Kemudian Ibnu Abbas bertanya: “Apakah kita sepakat mengenai hal
ini?” Mereka menjawab: “Ya, kami sepakat!”
Ibnu Abbas berkata lagi: “Sedangkan perkataan kalian yang
mengatakan bahwa Ali telah menghapuskan gelar Amirul Mukminin, itu
disebabkan sebab Rasulullah Saw saat Beliau meminta kepada kaum
musyrikin pada perjanjian Hudaibiyah untuk menuliskan dalam perjanjian
137
damai yang Beliau adakan bersama mereka “Inilah yang diputuskan oleh
Muhammad Rasulullah” Mereka berkata: ‘Kalau kami beriman bahwa
engkau yaitu Rasulullah, maka kami tidak akan menghalangimu untuk
datang ke Baitullah dan kami tidak akan memerangimu, namun
tuliskanlah ‘Muhammad bin Abdullah.’ Maka saat mereka berkata
demikian Rasul bersabda: “Demi Allah, saya yaitu Rasulullah meski kalian
mendustaiku.”
Ibnu Abbas bertanya: “Apakah kita sepakat dalam masalah ini?”
Mereka menjawab: “Ya, kami sepakat!”
Maka hasil dari pertemuan itu, dan hasil dari hikmah yang begitu
mendalam yang ditampilkan Ibnu Abbas telah membuat 20 ribu orang
kembali bergabung dengan pasukan Ali, dan masih ada 4 ribu lagi orang
yang berkeras untuk memusuhi Ali dan berpaling dari kebenaran.
Pemuda bernama Abdullah bin Abbas ini telah menempuh semua jalan
untuk mendapatkan ilmu, dan mengeluarkan segala kemampuannya untuk
meraihnya.
Ia telah meminum air wahyu dari Rasulullah Saw selagi Beliau hidup.
Begitu Rasulullah Saw kembali ke pangkuan Tuhannya, maka Ibnu Abbas
belajar langsung dengan para ulama sahabat.
Ia bercerita tentang dirinya: “Jika aku mendengar ada sebuah hadits
yang dimiliki oleh salah seorang sahabat Nabi Saw, maka aku akan
mendatangi pintu rumahnya pada waktu qailulah61 dan aku akan
membentangkan selendangku digerbang rumahnya. Maka debu pun
beterbangan di atas tubuhku. Kalau aku ingin meminta izin agar
diperbolehkan masuk, pasti ia akan mengizinkanku…
namun , aku melakukan hal itu sebagai penghormatan terhadap
dirinya. Jika ia keluar dari rumahnya dan melihatku dalam kondisi
demikian, ia akan berkata: “Wahai sepupu Rasulullah, apa yang
membuatmu datang ke sini?! Apakah engkau tidak berkirim surat saja
sehingga aku datang kepadamu?”
Maka aku menjawab: “Aku yang lebih pantas untuk datang kepadamu.
Ilmu itu didatangi bukan datang sendiri.” Kemudian aku menanyakan
kepadanya tentang hadits Rasulullah Saw.
Sebagaimana Ibnu Abbas menghinakan dirinya saat menuntut ilmi, ia
juga memulyakan derajat ulama.
61
Waktu tidur di siang hari
138
Inilah Zaid bin Tsabit sang penulis wahyu dan pemuka Madinah dalam
urusan qadha, fiqih, qira’at dan al faraidh62 yang saat itu hendak
menunggangi kendaraannya, lalu berdirilah pemuda Al Hasyimi bernama
Abdullah bin Abbas dihadapannya seperti berdirinya seorang budak
dihadapan tuannya. Ia memegang kendali tunggangan tuannya.
Zaid berkata kepada Ibnu Abbas: “Tidak usah kau lakukan itu, wahai
sepupu Rasulullah!” Ibnu Abbas menjawab: “Inilah yang diajarkan kepada
kami untuk bersikap kepada para ulama!” Zaid lalu berkata: “Perlihatkan
tanganmu kepadaku!”
Ibnu Abbas lalu menjulurkan tangannya. Lalu Zaid mendekati tangan
ini dan menciuminya seraya berkata: “Demikianlah, kami
diperintahkan untuk bersikap kepada ahlu bait Nabi kami.”
Ibnu Abbas telah menempuh perjalanan dalam menuntut ilmu yang
dapat membuat unta jantan tercengang…
Masruq bin Al Ajda’ salah seorang tabi’in ternama berkata tentang diri
Ibnu Abbas: “Jika aku melihat Ibnu Abbas, menurutku dia yaitu manusia
yang paling tampan. Jika ia berkata, maka menurutku ia yaitu orang yang
paling fasih. Jika ia berbicara, menurutku ia yaitu orang yang paling
alim.”
Begitu Ibnu Abbas merasa puas dengan obsesi yang dikejarnya sebagai
penuntut ilmu, maka ia beralih menjadi seorang muallim yang
mengajarkan ilmu kepada manusia.
Maka rumah Ibnu Abbas menjadi seperti sebuah universitas bagi kaum
muslimin. Benar, bagai sebuah universitas seperti universitas yang ada pada
zaman sekarang ini.
Perbedaan yang mendasar antara universitas Ibnu Abbas dan
universitas masa kini yaitu bahwa universitas pada masa kini memiliki
puluhan bahkan ratusan dosen. Sedangkan universitas Ibnu Abbas hanya
memiliki seorang dosen saja, yaitu Ibnu Abbas sendiri.
Salah seorang sahabatnya meriwayatkan: “Aku melihat Ibnu Abbas
memiliki sebuah majlis yang dapat membuat bangga seluruh bangsa
Quraisy. Aku pernah melihat banyak orang yang berkumpul di jalan
menuju rumah Ibnu Abbas sehingga jalan terasa sempit sekali dan mereka
hampir menutupi jalan ini dari pandangan manusia. Lalu aku masuk
ke rumah Ibnu Abbas dan kabarkan padanya bahwa banyak manusia
berkumpul di depan pintu rumahnya. Ia berkata kepadaku: ‘Siapkan air
62
Faraidh; yaitu ilmu pembagian harta waris terhadap ahli waris
139
untuk aku berwudhu!’ kemudian ia berwudhu dan duduk. Lalu ia berkata:
‘Keluarlah dan katakan kepada mereka, siapa yang ingin bertanya tentang
Al Qur’an dan hurufnya maka masuklah!’ Maka aku pun keluar dan aku
katakan hal itu kepada mereka. Mereka pun masuk sehingga memenuhi
seluruh isi rumah dan kamar. Tidak ada satu pertanyaan yang mereka
lontarkan, kecuali ia jawab. Bahkan ia menambahkan jawaban lebih dari
apa yang mereka tanyakan. Kemudian ia berkata kepada mereka:
‘Lapangkanlah jalan untuk sahabat-sahabat kalian!’ Lalu mereka pun
keluar semuanya.
Kemudian ia berkata kepadaku: ‘Keluarlah dan katakan, Siapa yang
hendak bertanya tentang tafsir dan takwil Al Qur’an maka masuklah! Maka
aku pun keluar dan aku katakan hal itu kepada mereka.
Lalu masuklah orang-orang hingga seluruh rumah dan kamar terisi
penuh. Tidak ada pertanyaan yang mereka lontarkan, kecuali ia jawab.
Bahkan ia menambahkan jawaban lebih dari apa yang mereka tanyakan.
Kemudian ia berkata kepada mereka: ‘Lapangkanlah jalan untuk sahabat-
sahabat kalian!’ Lalu mereka pun keluar semuanya.
Kemudian ia berkata kepadaku: ‘Keluarlah dan katakan kepada mereka,
siapa yang hendak bertanya tentang halal dan haram serta fiqih maka
masuklah!’ Maka aku pun keluar dan aku katakan hal itu kepada mereka.
Lalu masuklah orang-orang hingga seluruh rumah dan kamar terisi
penuh. Tidak ada pertanyaan yang mereka lontarkan, kecuali ia jawab.
Bahkan ia menambahkan jawaban lebih dari apa yang mereka tanyakan.
Kemudian ia berkata kepada mereka: ‘Lapangkanlah jalan untuk sahabat-
sahabat kalian!’ Lalu mereka pun keluar semuanya. ”
Kemudian ia berkata kepadaku: ‘Keluarlah dan katakan kepada mereka,
siapa yang hendak bertanya tentang faraidh dan sebagainya maka
masuklah!’ Maka aku pun keluar dan aku katakan hal itu kepada mereka.
Lalu masuklah orang-orang hingga seluruh rumah dan kamar terisi
penuh. Tidak ada pertanyaan yang mereka lontarkan, kecuali ia jawab.
Bahkan ia menambahkan jawaban lebih dari apa yang mereka tanyakan.
Kemudian ia berkata kepada mereka: ‘Lapangkanlah jalan untuk sahabat-
sahabat kalian!’ Lalu mereka pun keluar semuanya.
Kemudian ia berkata kepadaku: ‘Keluarlah dan katakan kepada mereka,
siapa yang hendak bertanya tentang bahasa Arab, syair dan ucapan bangsa
Arab yang asing maka masuklah!’ Maka aku pun keluar dan aku katakan
hal itu kepada mereka.
Lalu masuklah orang-orang hingga seluruh rumah dan kamar terisi
penuh. Tidak ada pertanyaan yang mereka lontarkan, kecuali ia jawab.
Bahkan ia menambahkan jawaban lebih dari apa yang mereka tanyakan.”
Periwayat kisah ini berkata: “Jika bangsa Quraisy bangga akan hal ini,
sudah sepantasnyalah mereka bangga!”
140
Ibnu Abbas ra lalu membagi ilmu yang ia miliki pada beberapa hari
sehingga hal ini tidak terjadi lagi kerumunan manusia di pintu
rumahnya.
Maka ia kemudian membuka sebuah majlis pada hari tertentu di mana
ia hanya mengajarkan tafsir. Satu hari hanya untuk mengajarkan fiqih.
Satu hari hanya untuk mengajarkan kisah peperangan Rasul Saw. Satu hari
hanya untuk mengajarkan syair. Satu hari hanya untuk mengajarkan
sejarah bangsa Arab. Tidak ada seorang berilmu yang menghadiri
majlisnya, kecuali tunduk dihadapnnya. Tidak ada orang yang bertanya
kepadanya, kecuali mendapatkan jawaban dan ilmu darinya.
Ibnu Abbas dengan keutamaan ilmu dan pemahaman yang ia miliki
telah menjadi penasehat khulafaur rasyidin meskipun ia masih berusia
muda.
Jika Umar bin Khattab memiliki masalah yang sulit untuk dipecahkan
maka ia akan mengundang para pembesar sahabat termasuk di antara
mereka yaitu Abdullah bin Abbas. Jika Ibnu Abbas sudah hadir, maka
Umar akan memuliakannya dan merendahkan derajat diri Umar dan
berkata: “Kami memiliki permasalahan sulit yang hanya dapat dipecahkan
oleh orang-orang sepertimu!”
Umar suatu saat pernah dikecam sebab lebih mendahulukan Ibnu
Abbas dan menyamakan Ibnu Abbas dengan orang-orang tua, padahal ia
yaitu seorang pemuda. Umar pun berkata: “Dia yaitu seorang pemuda
kahul63 yang memiliki lisan senantiasa bertanya dan hati yang berakal.”
Meski Ibnu Abbas sering memberikan pengajaran kepada kalangan
khusus, namun ia tidak pernah lupa hak kalangan umum pada dirinya. Ia
masih saja membuat majlis untuk memberi nasihat dan peringatan bagi
manusia awam.
Salah satu dari nasehatnya yaitu ucapannya kepada para pelaku
kejahatan dan dosa: “Wahai orang yang melakukan dosa, janganlah
engkau merasa aman dari hasil perbuatan dosamu. Ketahuilah konsekuensi
dari perbuatan dosa itu lebih besar daripada dosa itu sendiri. Ketahuilah
ketidak-maluanmu dengan orang yang berada di kanan dan kirimu saat
engkau melakukan dosa itu tidak akan mengurangi dosamu. Ketahuilah
bahwa tawamu saat melakukan dosa dan engkau tidak tahu apa yang akan
Allah perbuat terhadap dirimu itu lebih besar dari dosa yang kau lakukan.
Ketahuilah kebahagiaanmu saat berdosa jika kau melakukannya itu lebih
besar dari dosa itu sendiri. Ketahuilah kesedihanmu apabila kau tak sempat
63
Berusia antara 30-50 tahun
141
melakukan dosa itu lebih besar dari dosa itu sendiri. Ketakutanmu terhadap
angin yang dapat menyingkapkan rahasiamu saat engkau melakukan
perbuatan dosa dan hatimu tidak takut dengan pandangan Allah kepada
dirimu, itu lebih besar dari dosa.
Pahai pelaku dosa: ‘Apakah engkau tahu dosa apayang telah diperbuat
oleh Ayyub as saat Allah menguji dirinya dan hartanya? Dosanya yaitu
saat ada seorang yang miskin meminta tolong kepadanya untuk melawan
kezaliman atas dirinya, Ayyub tidak berkenan membantunya.”
Ibnu Abbas bukanlah termasuk orang yang dapat berkata namun tidak
mampu melakukannya. Ia juga tidak termasuk orang yang bisa melarang,
namun malah mengerjakannya. Dia yaitu orang yang senantiasa berpuasa
pada waktu siang, dan melakukan qiyam pada saat malam.
Abdullah bin Mulaikah mengisahkan tentang Ibnu Abbas:
“Aku menemani Ibnu Abbas dari Mekkah ke Madinah. Jika kami
singgah di suatu tempat, tengah malam ia melakukan qiyam dan manusia
lain tertidur sebab kelelahan. Suatu malam aku melihatnya sedang
membaca:
“Dan datanglah sakaratul maut yang sebenar-benarnya.Itulah yang
kamu selalu lari dari padanya.” (QS. Qaaf [50] : 19)
Ia terus mengulangi ayat ini dan menangis dengan suara yang
keras hingga fajar menjelang.
Sejak itu kami tahu bahwa Ibnu Abbas yaitu manusia yang paling
tampan, manusia yang paling cerah wajahnya. Ia selalu menangis sebab
takut kepada Allah sehingga air mata selalu membasahi kedua pipinya yang
bagus.”
Ibnu Abbas telah mencapai batas kemuliaan ilmu.
Hal itu sebab pada tahun tertentu khalifatul muslimin Mua’wiyah bin
Abi Sufyan hendak melakukan haji. Dan Ibnu Abbas juga hendak
melakukan haji juga, namun ia tidak memiliki kekuatan dan
kekuasaan. Mua’wiyah diiringi oelh segerombolan pembantu
kenegaraannya. Namun Ibnu Abbas memiliki rombongan yang
mengalahkan rombongan khalifah yang terdiri dari para penuntut ilmu.
142
Ibnu Abbas berusia 71 tahun yang ia hias dengan mengisi dunia
dengan ilmu, pemahaman, hikmah dan taqwa.
Saat ia wafat, Muhammad bin Al Hanafiah64 memimpin shalat jenazah
atasnya dengan diiringi oleh para sahabat Rasul Saw yang tersisa dan para
pembesar tabi’in.
Saat mereka sedang menguburkan jasadnya, mereka mendengar ada
orang yang membacakan ayat:
“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati
yang puas lagi diridhoi-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah
hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. al-Fajr
[89] : 27-30)
Muhammad bin Al Hanafiah yaitu Muhammad bin Ali bin Abi Thalib. Ia dinasabkan kepada
ibunya untuk membedakan dirinya dengan Hasan dan Husein. sebab ibu keduanya yaitu Fathimah
binti Nabi Saw sedangkan ibu Muhammad yaitu seorang wanita dari Bani Hanifah. Lihat profilnya
dalam buku Shuwar min Hayat At Tabi’in karya penulis, penerbit Dar Al Adab Al Islamy.
143
An Nu’man bin Muqarrin Al Muzani
“Iman Memiliki Rumah, Kemunafikan juga Memiliki Rumah.
Sedangkang Rumah Bani Muqarrin termasuk Salah Satu Rumah
Iman” (Abdullah bin Mas’ud)
Kabilah Muzainah membuat perumahan bagi penduduknya berdekatan
dengan kota Yatsrib yang berada pada tepi jalan yang melintas antara
Madinah dan Mekkah.
Saat Rasul Saw berhijrah ke Madinah, kabar tentang Beliau sampai ke
perkampungan Muzainah lewat orang yang lalu-lalang di sana. Tidak ada
satu kabar pun tentang Beliau yang sampai kepada mereka, kecuali kabar
yang baik saja.
Pada suatu petang, pemimpin kabilah ini yang bernama An Nu’man
bbin Muqarrin Al Muzani sedang duduk bersama para sahabat dan para
pembesar kabilahnya. Ia berkata kepada mereka:
“Wahai kaumku, tidak ada yang kita ketahui tentang Muhammad
kecuali kebaikan saja. Tiada yang kita dengarkan tentangnya selain kasih
sayang, kebaikan dan keadilan. Mengapa kita masih berleha-leha, sedang
banyak manusia yang bersegera untuk menjumpainya?!”
Kemudian ia meneruskan:
“Aku telah berniat akan mendatanginya esok hari. Siapa yang ingin
berangkat bersamaku, maka bersiaplah!”
Apa yang diucapkan Nu’man begitu membekas pada diri kaumnya.
Pada pagi harinya, ia menjumpai sahabatnya yang berjumlah 10 orang,
400 orang penunggang kuda dari suku Muzainah yang telah siap untuk
berangkat bersamanya ke Yatsrib demi menjumpai Nabi Saw dan
menyatakan diri masuk ke dalam agama Allah.
Namun An Nu’man merasa malu untuk membawa rombongan yang
begitu banyak datang menghadap Rasulullah Saw tanpa membawa apa-apa
untuk Beliau dan kaum muslimin sebagai oleh-oleh.
namun kemarau yang panjang yang terjadi di daerah Muzainah
telah menyebabkan tidak ada hasil ternak dan sawah yang tersisa dan dapat
dibawa sebagai hadiah.
Maka An Nu’man bersama para sahabatnya mulai mengumpulkan apa
saja yang ada di rumah mereka. Akhirnya mereka mengumpulkan apa
yang tersisa dari apa yang mereka miliki. Mereka mengumpulkannya di
hadapan An Nu’man. Lalu ia membawanya kepada Rasulullah Saw, dan ia
144
mengumumkan bahwa dirinya dan rombongannya menyatakan masuk ke
dalam Islam dihadapan Rasul.
Kota Yatsrib menjadi gempar dari ujung kota ke ujung lainnya sebab
merasa bahagia dengan Islamnya An Nu’man bin Muqarrin dan para
sahabatnya. sebab tidak ada satu rumahpun dari rumah-rumah bangsa
Arab yang telah masuk Islam 10 anggotanya yang semuanya yaitu
saudara kandung berasal dari 1 bapak dan mereka membawa 400
penunggang kuda bersama mereka.
Rasul Saw amat senang dengan masuknya An Nu’man ke dalam agama
Islam. Allah pun menerima pemberian Nu’man dan menurunkan sebuah
ayat yang berbunyi:
“Dan di antara orang-orang Badui itu, ada orang yang beriman
kepada Allah dan hari kemudian, dan memandang apa yang
dinafkahkannya (di jalan Allah) itu, sebagai jalan mendekatkannya
kepada Allah dan sebagai jalan untuk memperoleh do'a Rasul.
Ketahuilah sesungguhnya nafkah itu yaitu suatu jalan bagi mereka
untuk mendekatkan diri (kepada Allah). Kelak Allah akan
memasukkan mereka ke dalam rahmat (surga)-Nya; sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. At-Taubah [9]
:99)
Nu’man bin Muqarrin bergabung di bawah panji Rasulullah Saw, dan
ia mengikuti semua peperangan yang Rasul lakukan tanpa pernah
terlewatkan satu pun juga.
Saat kekhalifahan dipimpin oleh Abu Bakar As Shiddiq, Nu’man dan
kaumnya dari Bani Muzainah mendukung Abu Bakar sepenuhnya dan itu
berdampak penting untuk menumpas para manusia yang kembali murtad.
Saat kekhalifahan berpindah kepada Umar Al Faruq, Nu’man bin
Muqarrin memiliki posisi yang senantiasa di ingat oleh sejarah dengan
pujian dan sanjungan.
145
Sebelum terjadinya perang Al Qadisiyah65, Sa’d bin Abi Waqash sebagai
panglima pasukan muslimin mengirimkan sebuah utusan kepada Kisra
Yazdajurd yang dipimpin oleh An Nu’man bin Muqarrin agar Kisra mau
masuk ke dalam Islam.
Saat rombongan ini tiba di ibu kota Kisra yang bernama Al Mada’in66,
mereka meminta izin agar dibolehkan masuk dan mereka pun
mendapatkan izin ini . Kemudian Kisra memanggil seorang
penterjemah dan berkata kepadanya: “Tanyakan kepada mereka, Apa yang
membuat kalian datang ke daerah kami dan hendak memerangi kami?!
Mungkin kalian ingin menguasai kami, dan berani menyerang kami sebab
kami tidak pernah memperhitungkan kekuatan kalian. Sehingga kami tidak
berkeinginan untuk mengalahkan dan menundukkan kalian.”
Maka Nu’man bin Muqarrin menoleh kepada rekan-rekannya dan
berkata: “Jika kalian memperbolehkan, aku akan menjawabnya. Jika ada di
antara kalian yang mau menjawabnya, maka akan aku persilahkan.” Para
rekannya berkata: “Engkau saja yang berbicara!”
Kemudian rekan-rekannya melihat ke arah Kisra lalu berkata: “Orang
ini yang akan menjadi juru bicara kami, maka dengarkanlah apa yang akan
ia katakan!”
Maka Nu’man memulai pembicaraannya dengan memuji Allah Swt,
membaca shalawat atas Nabi-Nya lalu ia berkata: “Allah Swt telah
memberikan rahmatnya kepada kami sehingga Ia mengutus seorang Rasul
untuk menunjukkan kepada kami kebenaran dan kami diperintahkan
untuk melakukan kebenaran. Rasul juga mengajarkan kepada kami tentang
keburukan dan Beliau melarang kami untuk melakukannya.
Rasul menjanjikan kepada kami –Jika kami menyukai apa yang ia
dakwahkan- bahwa Allah Swt akan memberikan kepada kami kebaikan
dunia dan akhirat.
Tidak membutuhkan waktu yang lama, sehingga Allah menggantikan
untuk kami kesempitan menjadi keluasan. Kehinaan menjadi kemuliaan.
Permusuhan menjadi persaudaraan dan kasih-sayang.
Rasul memerintahkan kami untuk mengajak manusia mendapatkan
kebaikan bagi diri mereka, dan kami diperintahkan untuk memulai dari
orang-orang terdekat terlebih dahulu.
Kami sekarang mengajakmu untuk masuk ke dalam agama kami.
Dialah agama yang memperbaiki apa yang telah baik dan menyeru untuk
melakukan kebaikan. Ia juga merupakan agama yang menganggap buruk
apa yang telah buruk dan melarang untuk melakukannya.
65
Al Qadisiyah yaitu sebuah tempat di Iraq sebelah barat kota An Najf dimana terjadi pada
tempat ini sebuah peperangan besar yang dikenal dengan perang Al Qadisiyah.
66
Al Mada’in yaitu sebuah kota tua yang berada di Iraq
146
Agama ini akan membuat orang yang memeluknya berpindah dari
kegelapan kekufuran menuju cahaya iman dan keadilan.
Jika kalian menerima ajakan kami untuk masuk ke dalam Islam, maka
kami akan meninggalkan Kitabullah kepada kalian dan kami akan tegakkan
kehidupan kalian berdasarkan kitab ini , supaya kalian dapat
menetapkan hukum dengannya, dan kami pun akan kembali ke daerah
kami dan membiarkan kalian tanpa perlu diganggu.
Jika kalian tidak mau masuk ke dalam Islam, kami akan mengambil
jizyah (upeti) dari kalian dan kami akan memberikan perlindungan untuk
kalian. Jika kalian tidak mau membayar jizyah, maka kami akan
memerangi kalian.”
Maka meledaklah amarah Yazdajurd begitu mendengar kalimat tadi. Ia
lalu berkata: “Aku belum pernah tahu adanya sebuah ummat di muka bumi
ini yang lebih celaka dari kalian, lebih sedikit jumlahnya, amat tercerai-
berai, dan paling buruk kondisinya. Kami telah mempercayai urusan
penanganan kalian kepada para gubernur daerah agar kalian mau tunduk
dan taat kepadaku.”
Kemudian ia berkata dengan tenang:
“Jika kebutuhan hidup yang telah membuat kalian datang ke tempat
kami ini, maka kami akan memerintahkan untuk menyiapkan pasokan
makanan sehingga daerah kalian tidak kelaparan. Kami juga akan
mengirimkan pakaian bagus untuk para pembesar dan pemuka kaum
kalian. Dan kami akan menunjuk salah seorang di antara kami untuk
menjadi raja yang dapat melindungi kalian.”
Salah seorang utusan kaum muslimin menjawab dengan nada emosi. Ia
berkata: “Kalau saja para utusan dijamin tidak akan dibunuh, pasti aku
akan membunuhmu! Bangunlah kalian sebab aku tidak membutuhkan
apapun dan beritahukanlah kepada panglima kalian bahwa aku diutus
kepadanya (Rustum)67 sehingga aku akan menguburkannya dan
menguburkan kalian semua dalam parit Al Qadisiyah.”
Kemudian Yazdajurd memerintahkan untuk dibawakan kantong pasir
dan ia berkata kepada para pembantunya: “Bawalah kantong pasir ini di
atas kepala mereka semua. Giringlah ia di depan kalian sehingga orang-
orang menyaksikan sehingga ia keluar dari gerbang ibu kota ini.”
Maka para pembantu Yazdajurd bertanya kepada para utusan muslimin
ini: “Siapakah pemimpin kalian?” Maka ‘Ashim bin Umar segera
menjawab: “Akulah pemimpin mereka!”
Maka para pembantu raja tadi menaruh kantong pasir di atas kepala
‘Ashim sehingga ia keluar dari kota Al Mada’in. Kemudian para pembantu
raja membawa ‘Ashim menuju untanya dan mereka juga membawanya
untuk kembali ke Sa’d bin Abi Waqash. Sa’d memberitahukan ‘Ashim
67
Rustum yaitu panglima pasukan Persia
147
bahwa Allah akan menundukan negeri Persia bagi kaum Muslimin, dan
debu tanah mereka akan membuat mereka tunduk.
Kemudian terjadilah peperangan Al Qadisiyah. Dan parit-parit di Al
Qadisiyah penuh dengan ribuan bangkai korban. namun bangkai-
bangkai ini bukan berasal dari pasukan kaum muslimin, namun
mereka yaitu para pasukan Kisra.
Persia tidak menerima kekalahan mereka di Al Qadisiyah. Maka mereka
mengumpulkan kekuatan dan menyiapkan pasukan. Sehingga jumlah
pasukan ini mencapai bilangan 150 ribu orang para pejuang yang
gagah berani.
Sat Umar Al Faruq mendengar berita pasukan musuh yang begitu
banyak, ia berniat untuk turun menghadapi bahaya besar ini. namun
para pemuka kaum muslimin saat itu menolaknya untuk melakukan hal
itu. Mereka berpendapat hendaknya Umar mengirimkan seorang panglima
yang ia percaya untuk menyelesaikan permasalahan besar ini.
Umar lalu berkata: “Tunjukkanlah kepadaku seseorang yang dapat aku
tunjuk menjadi panglima dalam perang ini!”
Mereka menjawab: “Engkau lebih tahu tentang tentaramu sendiri, ya
Amirul Mukminin!”
Ia berkata: “Demi Allah, aku akan menunjuk seorang panglima dari
pasukan muslimin yaitu seseorang –yang jika kedua pasukan sudah
bertemu –ia akan menjadi orang yang lebih cepat dari ujung anak panah,
dialah Nu’man bin Muqarrin Al Muzani!” Mereka menjawab: “Ya, dia
memang pantas!”
Umar lalu mengirimkan surat kepadanya yang berbunyi: “Dari hamba
Allah Umar bin Khattab kepada Nu’man bin Muqarrin.
Amma Ba’du, Aku mendapat kabar bahwa ada pasukan bangsa asing
yang telah dikumpulkan untuk menghadapi kalian yang kini berada di kota
Nahawand. Jika suratku ini telah sampai di tanganmu, maka
berangkatlahdengan perintah, pertolongan Allah bagi kaum muslimin yang
menyertaimu. Dan jangan tenpatkan mereka di tanah yang tidak rata,
sebab itu akan menyulitkan mereka. Sebab seorang muslim lebih aku
cintai dari pada 100 ribu dinar. Wassalamu alaika.
Nu’man berangkat bersama pasukannya untuk berhadapan dengan
musuh. Ia mengutus beberapa orang penunggang kuda di depannya untuk
membuka jalan. Saat para penunggang kuda ini mendekat ke kota
Nahawand, maka kuda-kuda mereka berhenti. Lalu mereka menyentak
kuda mereka untuk berlari, namun kuda-kuda tadi tetap saja diam di
148
tempatnya. Maka mereka pun turun dari punggung kuda untuk
mengetahui apa yang telah terjadi. Rupanya mereka mendapati pada kaki-
kaki kuda terdapat serpisan besi yang menyerupai ujung paku. Mereka lalu
melemparkan pandangan ke tanah dan ternyata rupanya Persia telah
menabarkan duri besi pada jalan yang menuju kota Nahawand; itu mereka
gunakan untuk melukai para penunggang kuda dan pasukan berjalan
(infantry) untuk menghalang mereka tiba di Nahawand.
Para penunggang kuda lalu memberitahukan Nu’man apa yang telah
mereka lihat. Mereka meminta Nu’man untuk berpendapat dalam masalah
ini. Maka Nu’man memerintahkan mereka untuk tetap berada di tempat
mereka. Serta agar mereka menyalakan api pada malam hari agar pihak
musuh melihat mereka. Pada saat itu mereka harus berpura-pura takut
dihadapan musuh, dan merasa takut kalah agar para musuh mau mengejar
mereka dan menyingkirkan duri besi yang telah mereka tanam di jalanan.
Dan tak-tik ini ternyata dapat memperdaya bangsa Persia. Begitu
mereka melihat pasukan muslimin seperti ketakutan dihadapan mereka,
maka mereka mengirimkan beberapa tentara mereka untuk membersihkan
jalan. Maka pasukan muslimin dapat menyerang mereka dan menguasai
jalan ini .
Nu’man bin Muqarrin berkemah di pinggiran kota Nahawand dan ia
bertekad untuk membuat serangan yang mengejutkan bagi musuhnya. Ia
berkata kepada pasukannya: “Aku akan bertakbir sebanyak 3 kali. Jika aku
bertakbir pada kali pertama, maka yang belum siap, bersiaplah! Jika aku
bertakbir untuk yang kedua kali, maka masing-masing harus menyiapkan
senjatanya.Jika aku bertakbir untuk yang ketiga kali, itu berarti aku mulai
menyerang musuh-musuh Allah, dan kalian harus mengikutiku!”
Nu’man bin Muqarrin meneriakkan ketiga takbirnya. Ia merangsek ke
barisan musuh seolah ia seekor singa yang menerkam. Di belakangnya,
pasukan muslimin mengalir bagaikan air. Maka terjadilah antara dua belah
pihak sebuah peperangan yang begitu sengit dan jarang terjadi sepanjang
sejarah.
Pasukan Persia amat terpecah dengan barisan yang tanpa komando lagi.
Korban dari pihak Persia memenuhi semua daratan dan pegunungan.
Darah mereka membasahi semua jalan dan gang. Kuda Nu’man tergelincir
oleh darah sehingga ia tewas. Nu’man terluka serius sebab nya.
Saudaranya segera merebut panji dari tangannya kemudian menutup
jasadnya dengan selendang yang ia bawa. Saudaranya tadi
menyembunyikan berita kematian Nu’man kepada pasukan muslimin.
149
Begitu kemenangan besar telah diraih oleh pihak muslimin yang
mereka namakan dengan ‘Penaklukan Terbesar.’ Maka para tentara kaum
muslimin menanyakan panglima mereka yang gagah berani, Nu’man bin
Muqarrin.
Maka saudara Nu’man mengangkat selendang yang menutupi jasadnya
seraya berkata:
“Inilah panglima kalian. Allah telah membuat hatinya tenang dengan
penaklukan ini, dan menutup usianya dengan syahadah.
Shuhaib Al Rumy
“Perdagangan Untung, Ya Abu Yahya… Perdagangan Untung!”
(Muhammad Rasulullah)
Siapakah di antara kita –wahai kaum muslimin- yang tidak mengenal
Shuhaib Al Rumy, tidak mengetahui kisah tentang dirinya dan
biografinya?!
namun yang sering tidak diketahui oleh kita yaitu bahwa Shuhaib
bukanlah berasal dari bangsa romawi. Dia yaitu orang Arab asli. Ayahnya
berasal dari Bani Numair dan ibunya berasal dari Bani Tamim.
Mengapa Shuhaib dinisbatkan kepada bangsa Romawi, ternyata ada
sebuah kisah yang senantiasa di ingat dalam sejarah dan diceritakan oleh
legenda.
Sekitar 2 dekade sebelum masa kenabian ada seorang yang menjadi
gubernur daerah Al Ubullah68 bernama Sinan bin Malik An Numairi. Dia
menjadi seorang gubernur dalam rezim Kisra Raja Persia.
Anak yang paling dicintai oleh Sinan yaitu seorang anak yang belum
genap berusia 5 tahun dan ia panggil dengan nama Shuhaib.
Shuhaib memiliki wajah yang ceria, rambutnya berwarna merah. Selalu
aktif dan riang, dan ia memiliki dua bola mata yang memancarkan
kecerdasan dan kepintaran. Ia juga merupakan bocah yang periang,
memiliki jiwa yang tenang dan selalu membuat hati ayahnya merasa
senang dan membuat ayahnya lupa akan segala permasalahan jabatannya.
Ibu Shuhaib berangkat dnegan membawa anaknya yang kecil dan
rombongan yang terdiri dari para kerabat dan pembantunya ke sebuah
kampung bernama Al Tsany di negeri Iraq untuk beristirahat dan
berekreasi. Lalu sebuah pasukan dari tentara Romawi menyerang kampung
ini , membunuh para penjaganya, mencuri harta dan menawan
penduduknya. Salah seorang yang menjadi tawanan yaitu Shuhaib.
68
Al Ubullah yaitu sebuah kota tua yang termasuk dalam wilayah Basrah.
151
Shuhaib di jual di pasar perbudakan di negeri Romawi. Maka ia
mengalami pergantian tuan, sebab selalu berpindah dari tuan yang satu
kepada yang lain. Dalam kondisi demikian ia seperti ribuan budak baru
lainnya yang bertugas di istana-istana negeri Romawi.
Shuhaib pernah berkesempatan untuk mengenali masyarakat Romawi
lebih mendalam. Ia mendapati bahwa dalam istana-istana mereka amat
penuh dengan perbuatan hina dan keji. Ia mendengarkan dengan
telinganya kedzaliman dan perbuatan dosa yang mereka perbuat. Maka ia
pun membenci masyarakat Romawi dan menganggap mereka hina.
Ia pernah berkata bahwa masyarakat seperti ini tidak dapat disucikan
kembali kecuali dengan angin topan.
Meskipun Shuhaib tumbuh dewasa di negeri Romawi dan besar di
antara penduduknya. Meski ia sudah melupakan Arab, atau hampir
melupakannya, namun tidak pernah sirna dalam dirinya bahwa ia
yaitu seorang berkebangsaan Arab yang pernah tinggal di tengah padang
pasir. Kerinduannya tidak pernah pupus hingga pada hari ia dibebaskan, ia
langsung menuju tanah asalnya.
Ia semakin rindu kepada negerinya Arab saat ia mendengar seorang
pendeta Nashrani berkata kepada salah seorang tuannya: “Sudah dekat
datangnya sebuah zaman dimana akan muncul di Mekkah di jazirah Arab
seorang Nabi yang membenarkan ajaran Isa putra Maryam, dan
mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya.”
Kemudian Shuhaib memiliki kesempatan untuk kabur dari perbudakan
tuannya. Ia langsung menuju ke Mekkah dan jantung Arab tempat
diutusnya seorang Nabi yang telah dinanti-nanti.
Begitu sesampainya di sana, manusia menyebutnya dengan nama
Shuhaib si Romawi sebab bahasanya yang sulit dimengerti dan rambutnya
yang berwarna merah.
Shuhaib lalu bergabung dengan salah seorang pembesar di Mekkah
yang bernama Abdullah bin Jud’an. Ia lalu bekerja sebagai seorang
pedagang, maka datanglah kebaikan dan harta yang banyak pada dirinya.
Namun meski Shuhaib telah sibuk dengan perdagangan dan usahanya
namun ia tidak melupakan ucapan pendeta Nashrani dulu. Maka setiap ia
152
teringat akan ucapan pendeta ini , ia akan bertanya pada dirinya:
“Kapankah hal ini terjadi?”
Tidak lama berselang, jawaban pun datang kepadanya.
Pada suatu hari Shuhaib baru kembali ke Mekkah dari salah satu
perjalanannya. Lalu ada yang mengatakan kepadanya bahwa Muhammad
bin Abdullah baru saja di utus sebagai Nabi, dan kini ia berdakwah kepada
manusia untuk beriman kepada Allah. Mengajak mereka untuk berbuat
adil dan baik. Melarang mereka berbuat keji dan mungkar.
Shuhaib bertanya: “Bukankah dia yaitu orang yang dikenal oleh
penduduk Mekkah dengan Al Amin (orang yang terpercaya)?” Kemudian
orang ini menjawab: “Ya, benar!” Shuhaib bertanya: “Lalu, dimana
tempatnya?” Orang itu menjawab: “Di rumah Al Arqam bin Abi Al
Arqam69 dekat bukit Shafa.namun waspyaitu jangan sampai ada
orang Quraisy yang melihatmu. Jika mereka melihatmu, pasti mereka akan
menyiksamu. Mereka akan menyiksamu sedangkan engkau yaitu orang
asing yang tidak memiliki suku dan keluarga yang dapat melindungimu.
Shuhaib berangkat menuju rumah Al Arqam dengan amat hati-hati.
Sesampainya di sana, ia menjumpai Ammar bin Yasir di depan pintu, dan ia
sudah mengenal dia sebelumnya. Shuhaib agak grogi sejenak kemudian ia
menghampirinya lalu berkata: “Apa yang kau hendak lakukan, ya
Ammar?” Ammar lalu bertanya balik: “Engkau sendiri, apa yang hendak
engkau lakukan?” Shuhaib menjawab: “Aku ingin menjumpai orang ini
untuk mendengarkan apa yang ia katakan.” Ammar membalas: “Akupun
hendak melakukan hal yang sama.” Shuhaib berkata: “Kalau begitu, mari
kita masuk sama-sama dengan berkah Allah!”
Shuhaib bin Sinan Al Rumy dan Ammar bin Yasir menjumpai
Rasulullah saw dan mendengarkan apa yang Beliau sampaikan. Lalu cahaya
keimanan terbit di hati mereka berdua. Keduanya berlomba untuk
menjulurkan tangan mereka ke arah Rasulullah Saw. Keduanya
bersyahadat bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad yaitu
hamba sekaligus utusan-Nya. Keduanya menghabiskan hari mereka
bersama Rasul Saw untuk menyerap petunjuk Beliau dan menemani Beliau
sepanjang hari.
69
Dia yaitu putra Abdu Manaf bin Asad Al Makhzumi. Dia termasuk orang pertama yang
memeluk Islam. Rumahnya (Darus Salam) yaitu pusat dakwah Rasulullah Saw. Rasul Saw menugas dia
untuk mengurus harta sedekah.
153
Saat malam tiba dan suasana mulai tenang, keduanya keluar
meninggalkan Rasulullah di kegelapan malam. Masing-masing telah
membawa cahaya di dalam dada mereka yang dapat menyinari seluruh
dunia.
Shuhaib merasakan penyiksaan dirinya yang dilakukan oleh para suku
Quraisy. Bersamanya yaitu Bilal, Ammar, Sumayyah, Khabbab dan lain-
lain yang termasuk sepuluh orang yang dijamin masuk ke surga. Mereka
merasakan kebengisan suku Quraisy yang jika dipindahkan ke gunung,
pasti gunung ini akan hancur berantakan. Shuhaib merasakan semua
penderitaan itu dengan jiwa yang tenang lagi sabar. Dan ia menyadari
bahwa jalan ke surga sarat dengan penderitaan.
Begitu Rasulullah Saw mengizinkan para sahabatnya untuk berhijrah
ke Madinah. Shuhaib berniat untuk berangkat bersama Rasulullah Saw dan
Abu Bakar. namun Quraisy mengetahui rencana Shuhaib untuk
berhijrah, lalu mereka menghalangi Shuhaib untuk melaksanakan niatnya.
Suku Quraisy juga memasang beberapa orang untuk memata-matai
Shuhaib agar ia tidak lari dari mereka sehingga membawa apa yang telah
ia dapatkan dari mereka lewat perdagangan berupa emas dan perak.
sesudah Rasul Saw dan Abu Bakar berhijrah, Shuhaib menunggu-
nunggu saat yang tepat untuk menyusul mereka namun ia tidak
berhasil. Itu disebab kan, sebab mata para pengintai selalu mengawasi
gerak-geriknya. sebab nya, ia tidak bisa menemukan jalan kecuali dengan
sebuah tipuan.
Pada suatu malam yang dingin, Shuhaib bolak-balik ke kamar kecil
seolah-olah ia ingin buang air. Ia belum juga selesai dari buang airnya,
maka ia kembali lagi ke kamar kecil.
Salah seorang yang mengawasinya berkata: “Bersantailah kalian, Lata
dan Uzza telah membuatnya mual-mual!” Kemudian mereka mulai
merebahkan diri, dan tak lama kemudian mereka tertidur.
Begitu mereka tak sadarkan diri, Shuhaib menyusup pergi dan menuju
ke Madinah.
Tidak lama sesudah Shuhaib pergi, para pengintai Shuhaib sadarkan diri.
Mereka langsung lompat dari tidur mereka. Mereka langsung
154
menunggangi kuda-kuda mereka. Lalu menghentakkan tali kendalinya
guna menyusul Shuhaib.
Saat Shuhaib menyadari bahwa mereka menyusulnya. Ia berdiri di
sebuah tempat yang tinggi, lalu mengluarkan anak panahnya dari sarung.
Ia mengarahkan busur sambil berkata: “Wahai bangsa Quraisy, Demi
Allah, kalian telah tahu bahwa aku yaitu orang yang paling hebat dalam
memanah dan paling tepat mengenai sasaran. Demi Allah, kalian tidak
akan dapat menangkapku sehingga setiap anak panah yang aku miliki
dapat membunuh satu orang dari kalian. Lalu aku akan mengibaskan
pedang kepada kalian, bila anak panah yang aku miliki telah habis!”
Lalu salah seorang dari Quraisy menjawab: “Demi Allah, kami tak akan
membiarkan engkau berlari membawa diri dan hartamu. Engkau dulu
datang ke Mekkah tanpa membawa apa-apa dan kau yaitu seorang
miskin dulunya. Sekarang engkau telah kaya dan telah mencapai posisi
seperti saat ini.”
Shuhaib lalu berkata: “Bagaimana pendapat kalian, bila aku tinggalkan
hartaku. Apakah kalian akan membiarkan aku pergi?” Mereka menjawab:
“Ya!”
Lalu Shuhaib menunjukkan tempat penyimpanan harta di dalam
rumahnya di Mekkah. Lalu bangsa Quraisy mendatangi tempat itu dan
mengambil harta Shuhaib. Kemudian mereka membiarkan Shuhaib
berangkat.
Shuhaib langsung berangkat ke Madinah untuk menyelamatkan agama
Allah. Ia tidak menyesal dengan harta yang telah ia berikan meskipun ia
telah mengumpulkannya sepanjang umur.
Setiap kali ia merasa lelah dalam perjalanan, maka kerinduan kepada
Rasulullah Saw membuatnya kembali semangat dan meneruskan
perjalanannya.
Saat ia tiba di Quba70, Rasulullah Saw melihat Shuhaib yang datang.
Maka Rasul Saw langsung menyambutnya dengan ramah seraya berkata:
“Perdagangan untung, Ya Abu Yahya. Perdagangan untung!” Rasul Saw
mengulanginya sampai tiga kali.
Maka kegembiraan mendominasi wajah Shuhaib yang kemudian
berkata: “Demi Allah, tidak ada yang mendahuluiku dalam perjalanan ini,
ya Rasulullah. Tiada yang memberi kabar kepadamu tentang kedatanganku
selain Jibril.”
70
Quba yaitu sebuah desa berjarak dua mil dari Madinah
155
Benar, telah beruntung perdagangan dan benar wahyu dari langit itu.
Dan ini disaksikan oleh Jibril, saat Allah Swt menurunkan ayat tentang
Shuhaib yang berbunyi:
“Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya
sebab mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada
hamba-hamba-Nya.” (QS. Al-Baqarah [2] : 207)
Beruntung sekali Shuhaib bin Sinan Al Rumy, dan ia beruntung dengan
tempat kembali yang amat baik.
Abu Darda
(Uwaimar bin Malik Al Khajrajy)
“Abu Darda Mampu Menolak Dunia Dengan Kedua Telapak Tangan
dan Dada” (Abdurrahman bin ‘Auf)
Uwaimar bin Malik Al Khajrajy71 yang disebut dengan Abu Darda
bangun dari tidurnya pagi-pagi sekali. Ia menuju berhalanya yang ia
pasang di tempat yang paling terhormat dalam rumahnya. Ia lalu
memberikan penghormatan kepada berhala dan memberikan parfum
terbaik berasal dari tokonya. Kemudian ia memakaikan pakaian pada
berhala ini yang terbuat dari sutra terbaik yang dihadiahkan oleh
salah seorang saudagar yang datang menemuinya dari Yaman.
Saat matahari mulai meninggi, Abu Darda meninggalkan rumahnya
untuk pergi ke toko.
Tiba-tiba jalan di Yatsrib penuh dengan para pengikut Muhammad.
Mereka semua baru saja kembali dari perang Badr, dan di depan mereka
terdapat barisan tawanan dari suku Quraisy. Abu Darda menjauh dari
mereka, namun ia masih sempat berpapasan dengan seorang pemuda yang
berasal dari suku Khajraj dan ia bertanya kepada pemuda ini tentang
kabar Abdullah bin Rawahah72. Pemuda dari suku Khajraj tadi menjawab:
“Dia telah berjuang dengan amat dahsyat dalam perang dan ia sudah
kembali ke tanah airnya dengan selamat dan membawa harta ghanimah.”
Mendengar jawaban itu, menjadi tenanglah hati Abu Darda.
Pemuda tadi tidak heran dengan pertanyaan Abu Darda tentang kabar
Abdullah bin Rawahah, sebab ia tahu bahwa semua manusia terkait
dengan tali persaudaraan yang barangkali ada di antara mereka berdua.
Hal itu disebab kan Abu Darda dan Abdullah bin Rawahah dulunya
bersaudara pada zaman jahiliah. Begitu Islam datang, Ibnu Rawahah mau
menerimanya, sedangkan Abu Darda berpaling darinya.
Meski demikian, hal itu tidak memutus hubungan antara mereka
berdua. sebab Abdullah bin Rawahah masih saja sering mengunjungi Abu
Darda dan mengajaknya untuk memeluk Islam. Ia senantiasa memberi
71
Al Khajrajy yaitu nisbat kepada suku Khajraj yaitu sebuah kabilah yang berasal dari Yaman,
Mereka datang ke Madinah dan menetap di sana. Kabilah ini dan Aus yaitu dua kabilah terbesar kaum
Anshar.
72
Abdullah bin Rawahah Al Anshary Al Khajrajy yaitu seorang penyair terkenal. Dia juga salah
seorang yang paling dulu masuk Islam. Ia turut dalam perang Badr dan tewas dalam perang Mu’tah
pada tahun 8 H. Dia yaitu salah seorang dari ketiga panglima dalam perang ini .
157
semangat kepada Abu Darda untuk masuk Islam, dan ia turut prihatin atas
setiap hari dalam umur Abu Darda sedangkan ia masih menjadi seorang
musyrik.
Abu Darda tiba di tokonya. Ia duduk di atas kursi tinggi. Ia mulai
melakukan perdagangan. Ia memerintahkan dan melarang para budaknya.
Namun ia tidak tahu apa yang tengah berlangsung di rumahnya.
Pada saat yang sama, Abdullah bin Rawahah pergi ke rumah
sahabatnya Abu Darda sebab ia menginginkan suatu hal…
Begitu Abdullah sampai di rumah ini , ia melihat pintu rumah
terbuka dan ia dapati Ummu Darda sedang berada di beranda depan
rumah. Abdullah berkata: “Assalamu alaiki, wahai hamba Allah!” Ia
menjawab: “Wa ‘alaika salam, wahai saudara Abu Darda!” Abdullah
bertanya: “Kemana Abu Darda?” Ia menjawab: “Ia pergi ke tokonya,
sebentar lagi ia pulang.” Abdullah bertanya: Apakah engkau mengizinkan
aku masuk?” Ia menjawab: “Dengan senang hati.” Ummu Darda
mempersilahkan Abdullah masuk, dan ia masuk ke dalam kamarnya.
Ummu Darda kemudian membiarkan Abdullah sendirian sebab ia sibuk
dengan pekerjaan rumahnya dan mengurus anak-anak.
Abdullah bin Rawahah masuk ke dalam ruangan di mana Abu Darda
menaruh berhalanya. Kemudian ia keluar dengan membawa berhala tadi.
Ia menghampiri berhala ini dan mulai memotong-motongnya sambil
berkata: “Bukankah setiap yang disembah selain Allah yaitu batil?
Bukankah setiap yang disembah selain Allah yaitu batil?”
Begitu ia selesai memotong-motong berhala ini , ia pun
meninggalkan rumah itu.
Ummu Darda masuk ke dalam kamar di mana berhala berada. Ia
tersentak kaget begitu melihat berhala telah terpotong-potong. Ia dapati
bagian tubuh berhala ini sudah terburai di tanah. Ia lalu memukul-
mukul pipinya sambil berkata: “Engkau telah mencelakaiku, wahai Ibnu
Ruwahah… Engkau telah mencelakaiku, wahai Ibnu Ruwahah!”
Tidak terlalu lama berselang, Abu Darda pun kembali ke rumah. Ia
mendapati istrinya sedang duduk di depan pintu kamar di mana berhala itu
berada. Istrinya menangis dengan suara yang keras. Ada rona ketakutan
yang nampak pada wajahnya. Abu Darda bertanya: “Ada apa?” Istrinya
158
menjawab: “saat engkau pergi, saudaramu Abdullah bin Rawahah
datang, lalu melakukan apa yang kau lihat kini pada berhalamu.”
Abu Darda lalu melihat berhalanya dan ia dapati berhala ini telah
hancur. Ia naik pitam, dan berniat akan menuntut balas. namun tidak
berselang lama, emosinya kembali stabil, dan amarahnya mulai mereda. Ia
memikirkan apa yang telah terjadi, lalu ia berkata: “Kalau ada kebaikan
dalam diri berhala ini, pasti ia dapat menolak keburukan yang terjadi pada
dirinya.”
Lalu dalam sejenak ia sudah berangkat menemui Abdullah bin Rawahah
sehingga keduanya berangkat menghadap Rasulullah Saw. Abu Darda
menyatakan masuk Islam, dan ia yaitu orang terakhir dari kampungnya
yang masuk Islam.
Abu Darda –sejak pertama kali- beriman kepada Allah dan Rasul-Nya
dengan keimanan yang mengisi setiap ruang dalam ruas badannya.
Ia amat menyesal sebab telah ketinggalan banyak sekali kebaikan. Ia
mulai mempelajari ajaran agama Allah seperti para sahabat yang telah
mendahuluinya, menghapalkan Kitabullah, beribadah dan bertaqwa yang
dijadikan sebagai tabungan diri di sisi Allah.
Ia bertekad untuk mengejar ketertinggalannya dengan sungguh-
sungguh. Ia tidak pernah mengenal lelah sepanjang siang dan malam demi
menyusul ketertinggalannya dan mendahului mereka semua.
Ia terus giat melakukan ibadah seperti orang yang berpaling dari dunia
dan mencari Allah. Ia mencari ilmu ibarat orang yang kehausan. Ia selalu
bersama Kitabullah dan selalu mengapalkan kalimat-kalimatnya. Ia
mendalami pemahamannya akan Al Qur’an.
Begitu ia menyadari bahwa perdagangan memperkeruh kenikmatan
ibadahnya dan membuat ia ketinggalan majlis ilmu, maka ia meninggalkan
perdagangannya tanpa ragu dan menyesal.
Ada orang yang bertanya akan perbuatannya ini. Ia menjawab: “Aku
yaitu seorang pedagang sebelum masa Rasulullah Saw. Saat aku masuk
Islam, aku hendak menggabungkan antara perdagangan dan ibadah akan
tetapi aku tidak mampu mewujudkan keinginanku. Maka aku tinggalkan
perdagangan dan aku memilih ibadah.
Demi Dzat Yang jiwa Abu Darda berada dalam genggaman-Nya, aku
tidak menyukai bila aku hari ini memiliki sebuah kedai dekat pintu masjid
sehingga aku tidak pernah ketinggalan shalat berjama’ah. Aku dapat
berjual beli sehingga setiap hari aku akan untung 300 dinar.” Kemudian ia
menatap orang yang bertanya tadi sambil berkata: “Aku tidak mengatakan
bahwa Allah Swt telah mengharamkan perdagangan, namun aku lebih
menyukai bila kau termasuk mereka yang tidak pernah dilengahkan oleh
perdagangan dan jual-beli dari mengingat Allah.”
159
Abu Darda tidak hanya meninggalkan perdagangannya, bahkan ia juga
meninggalkan dunia. Ia selalu berpaling dari keglamoran dan perhiasan
dunia. Ia merasa cukup dengan sesuap gandum kasar yang dapat membuat
dirinya tegap dan pakaian yang kasar untuk menutup auratnya.
Pada suatu malam yang amat dingin ada segerombolan orang yang
mampir di rumah Abu Darda. Abu Darda lalu mengirimkan kepada mereka
makanan yang hangat, namun tidak memberi mereka selimut. Begitu
mereka hendak tidur, mereka bermusyawarah tentang selimut. Salah
seorang dari mereka berkata: “Aku akan datang menghadap dan berbicara
kepadanya.”
Salah seorang yang lainnya mengatakan: “Tidak usah kau lakukan itu!”
Namun orang tadi meneruskan niatnya. Ia pun pergi dan berhenti di depan
pintu kamar Abu Darda dan ia lihat Abu Darda tengah berbaring. Istrinya
duduk dekat dengan Abu Darda keduanya tidak menggunakan apa-apa
selain baju tipis yang tidak dapat melindungi mereka dari sengatan panas
atau hawa dingin. Orang tadi lalu berkata kepada Abu Darda: “Aku
meihatmu tidur, tidak seperti yang biasa kami lakukan!! Kemana barang-
barangmu?!” Abu Darda menjawab: “Kami memiliki rumah di sana yang
kami kirimkan semua barang kami ke sana. Kalau kami menyisakan
barang-barang ini di rumah ini, pasti sudah kami kirimkan kepada
kalian.
Kemudian dalam jalan yang kami susuri menuju rumah ini ada
sebuah rintangan yang sulit. Orang yang membawa beban ringan lebih
baik daripada yang membawa beban berat dalam melewatinya. Oleh
sebab nya kami ingin agar kami hanya membawa beban ringan saat
melintasinya.” Kemudian Abu Darda bertanya kepada orang tadi: “Apakah
engkau sudah paham?” Ia menjawab: “Ya, aku sudah paham. Semoga
kebaikanmu dibalas.”
Pada masa kekhalifahan Umar Al Faruq, Beliau hendak menjadikan Abu
Darda untuk menjabat sebagai wali di Syam. Namun Abu Darda
menolaknya. Abu Darda berkata:
“Jika kau mempersilahkan aku pergi ke sana untuk mengajarkan
kepada mereka kitab Allah dan sunnah Nabi dan menjadi imam shalat
mereka maka aku akan berangkat.” Umar pun setuju dengan usulnya.
Akhirnya Abu Darda berangkat ke Damaskus. Sesampainya di sana, ia
dapati bahwa penduduknya hidup dalam kemewahan dan kenikmatan. Hal
itu membuatnya terkejut, dan ia mengajak manusia ke mesjid dan orang-
orang pun datang menemuinya. Abdullah berdiri dihadapan mereka dan
berkata:
“Wahai penduduk Damaskus, kalian yaitu saudara seagama, tetangga
negeri dan penolong dalam menghadapi musuh! Wahai penduduk
Damaskus, apa yang membuat kalian tidak dapat mencintaiku dan
menerima nasehatku. Aku tidak meminta apapun dari kalian, dan aku telah
160
diberi nafkah oleh orang selain kalian. Aku dapati, para ulama kalian telah
tiada, dan kalian tidak belajar?! Aku memperhatikan bahwa kalian
mengejar-ngejar apa yang telah Allah jamin bagi kalian, dan kalian
meninggalkan apa yang diperintahkan kepada kalian?! Mengapa aku
dapati kalian mengumpulkan sesuatu yang tidak kalian makan!!
Membangun gedung yang kalian tidak tempati!! Menghayalkan apa yang
tidak pernah kalian capai!! Telah banyak kaum dan bangsa yang
mengumpulkan harta dan berhayal… Tidak lama berselang, semua yang
mereka kumpulkan akan hancur dan binasa. Hayalan mereka menjadi
buyar. Rumah mereka menjadi kuburan. Itulah kaum ‘Ad73, wahai
penduduk Damaskus! Mereka telah memenuhi bumi ini dengan harta dan
keturunan mereka. Lalu siapa yang mau membeli seluruh peninggalan
kaum ‘Ad dariku dengan harga dua dirham?”
Maka semua manusia yang hadir menangis, sehingga isakan mereka
terdengar dari luar masjid.
Sejak saat itu, Abu Darda menjadi memimpin majlis mereka di
Damaskus. Ia berkeliling di pasar mereka. Menjawab pertanyaan orang.
Mengajarkan orang yang tidak mengerti. Memperingatkan orang yang
lalai. Ia memanfaatkan setiap peluang dan kesempatan.
Suatu saat Abu Darda mendapati ada sekumpulan manusia yang sedang
berkumpul dan memukuli serta mencerca seseorang. Abu Darda
mendatangi mereka sambil bertanya: “Apa yang terjadi?” Mereka
menjawab: “Dia yaitu orang yang telah melakukan dosa besar!” Abu
Darda bertanya: “Apa yang kalian lakukan bila orang ini masuk ke dalam
sumur, apakah kalian akan mengeluarkannya?” Mereka menjawab:
“Tentu.” Abu Darda meneruskan: “Kalau demikian, janganlah kalian cela
dan pukul dia, namun berilah kepadanya nasehat dan tunjukkanlah
kepadanya. Bersyukurlah kepada Allah yang telah menyelamatkan kalian
untuk tidak terjebak dalam dosa yang ia perbuat.” Mereka bertanya:
“Apakah engkau tidak membencinya?!” Abu Darda menjawab: “Aku hanya
membenci perbuatannya; jika ia meninggalkan perbuatannya itu maka dia
yaitu saudaraku.” Lalu orang itu mulai menangis dan menyatakan diri
bahwa dirinya bertaubat.
Ada seorang pemuda yang menghadap Abu Darda dan berkata:
“Berilah wasiat kepadaku, wahai sahabat Rasulullah Saw!” Abu Darda
berkata: “Wahai anakku, ingatlah Allah saat lapang, maka Ia akan
73
‘Ad yaitu kaum Nabi Hud. Mereka menentang nabinya, maka Allah membinasakan mereka.
161
mengingatmu pada saat sempit. Wahai anakku, jadilah engkau orang yang
berilmu atau penuntut ilmu atau orang yang mau mendengarkan ilmu.
Janganlah menjadi orang yang keempat sebab engkau akan celaka. Wahai
anakku, jadikanlah mesjid sebagai rumahmu. Sebab aku pernah mendengar
Rasulullah Saw bersabda: “Masjid merupakan rumah bagi setiap orang
yang bertaqwa”. Allah telah menjamin bagi setiap orang yang menjadikan
masjid sebagai rumahnya ketentraman, rahmat dan melintas di atas shirat
menuju keridhaan Allah.
Ada segerombolan pemuda yang sedang duduk di pinggir jalan sambil
berbincang-bincang dan memandangi orang yang lewat. Abu Darda lalu
menghampiri mereka sambil berkata: “Wahai anak-anakku, tempat bertapa
orang muslim yaitu rumahnya dimana ia bisa menahan diri dan
pandangannya. Janganlah kalian duduk-duduk di pasar, sebab hal itu
dapat memperdayakan.”
Saat Abu Darda berada di Damaskus, Muawiyah bin Abi Sufyan
mengirim seorang utusan untuk meminang putrinya yang bernama Darda
buat anak Muawiyah yang bernama Yazid. Abu Darda menolak untuk
menikahkan anaknya kepada Yazid. Malah Abu Darda menikahkan
putrinya dengan seorang pemuda biasa yang ia sukai agama dan
akhlaknya.
Berita ini tersiar ke semua telinga manusia. Mereka berkata: Yazid bin
Muawiyah meminang putri Abu Darda, namun Abu Darda menolak. Malah
ia menikahinya dengan seorang pria muslim biasa.
Lalu ada seseorang yang langsung menanyakan hal itu kepada Abu
Darda? Ia menjawab: “Aku hanya memilih yang terbaik untuk Darda.”
Orang tadi bertanya: “Bagaimana caranya?” Abu Darda menjawab: “Apa
yang kau bayangkan bila Darda berdiri di mana dihadapannya terdapat
banyak para dayang yang melayaninya. Ia dapati dirinya berada dalam
istana di mana setiap mata merasa ingin mendapatkan kenikmatannya. Lalu
kalau ia sudah seperti itu, bagaimana dengan agamanya?!”
Saat Abu Darda masih berada di negeri Syam, Amirul Mukminin Umar
bin Khattab datang untuk memeriksa kondisinya. Umar lalu mengunjungi
sahabatnya, Abu Darda di rumahnya pada suatu malam. Ia mendorong
pintu rumahnya dan rupanya pintu ini tidak terkunci. Umar lalu
masuk ke dalam rumah yang tidak memiliki lampu. Saat Abu Darda
mendengar, ia langsung berdiri dan menyambut Umar lalu
mempersilahkan ia duduk.
162
Kedua orang itu pun lalu berbincang-bincang. Sementara kegelapan
menghalangi mereka untuk melihat bola mata sahabatnya.
Umar lalu meraba bantal milik Abu Darda dan ternyata ia yaitu
pelana hewan… Ia juga meraba kasurnya dan ternyata terbuat dari pasir…
Ia meraba selimutnya dan ternyata yaitu sebuah kain tipis yang tidak
dapat menghalau rasa dingin daerah Damaskus.
Umar berkata kepadanya: “Semoga Allah merahmatimu, bukankah aku
sudah memudahkan beban hidupmu?! Bukankah aku telah mengirimkan
(nafkah)mu?!”
Abu Darda menjawab: “Apakah engkau masih ingat –ya Umar- sebuah
hadits yang pernah disampaikan oleh Rasulullah Saw kepada kita?” Umar
bertanya: “Apa itu?” Abu Darda menjawab: “Bukankah Beliau pernah
bersabda: ‘Hendaknya harta kalian di dunia seperti bekal yang dibawa oleh
seorang pengelana?’ Umar menjawb: “Benar!” Abu Darda bertanya: “Lalu
apa yang telah kita lakukan sesudah Beliau meninggal, wahai Umar?”
Maka menangislah Umar dan Abu Darda pun turut menangis.
Mereka terus menangis sehingga waktu Shubuh menjelang.
Abu Darda terus menetap di Damaskus untuk memberi nasehat kepada
penduduk serta mengingatkan dan mengajarkan mereka akan Al Qur’an
dan hikmah sehingga ia wafat.
Saat ajal menjelang, para sahabatnya mendatanginya. Mereka berkata:
“Apa yang engkau takutkan?” Ia menjawab: “Dosa-dosaku.” Mereka
bertanya lagi: “Apa yang engkau inginkan?” Ia menjawab: “Ampunan
Tuhanku.”
Kemudian ia berkata kepada orang yang ada di sekelilingnya: “Talqin
aku kalimat Laa ilaha illa-Llahu, Muhammadun Rasulullahi.” Ia terus
mengucapkan kalimat ini sehingga ruhnya berpisah dari badan.
Saat Abu Darda telah kembali ke pangkuan Tuhannya, Auf bin Malik Al
Asyja’i bermimpi melihat sebuah kebun hijau yang amat luas dengan
dedaunan yang hijau dan di tengahnya terdapat sebuah kubah besar yang
terbuat dari kulit, di sekelilingnya terdapat domba-domba yang sedang
berlutut yang belum pernah terlihat domba seperti ini sebelumnya. Auf
bertanya: “Milik siapa ini?!” Dijawab: “Milik Abdurrahman bin Auf!”
Kemudian dari kubah, Abdurahman bin Auf melihatnya seraya berkata:
“Wahai, Ibnu Malik, inilah yang diberikan Allah Swt dari Al Qur’an. Jika
engkau tetap berada dalam jalan ini, maka engkau akan mendapati apa
yang belum pernah terlihat oleh mata. Engkau akan mendapati apa yang
163
belum pernah terdengar oleh telinga. Engkau akan mendapati apa yang
belum pernah terbersit dalam hati.”
Ibnu Malik bertanya: “Milik siapa semua itu, wahai Abu Muhammad?”
Ia menjawab: “Allah mempersiapkannya untuk Abu Darda, sebab ia
mampu menolak dunia dengan kedua telapak tangan dan dadanya.”
Zaid bin Haritsah
“Kehendak Allah, Zaid bin Haritsah Tadinya yaitu Budak dari
Seorang Perempuan, dan Ia telah Menjadi Manusia yang Paling Aku
Cintai” (Muhammad Rasulullah)
Su’da binti Tsa’labah pergi untuk mengunjungi kaumnya yaitu Bani
Ma’nin, dan ia ditemani seorang anaknya yang bernama Zaid bin Haritsah
Al Ka’bi.
Baru saja ia sampai di sana, maka pasukan berkuda Bani Qain telah
menyerang sukunya dan mengambil semua harta. Mereka juga menggiring
unta-unta dan menyandera beberapa tawanan.
Salah seorang yang mereka tawan yaitu anaknya yang bernama Zaid
bin Haritsah.
Zaid –saat itu- yaitu seorang anak kecil yang baru berusia sekitar 8
tahun. Mereka lalu membawa Zaid ke pasar Ukadz dan menawarkan
dirinya untuk dibeli. Lalu ada seorang kaya dari pemuka Quraisy yang
bernama Hakim bin Hizam bin Khuwailid membelinya dengan harga 400
dirham. Selain dia, ada juga beberapa budak lain yang ia beli, kemudian ia
bawa ke Mekkah.
Begitu bibinya Khadijah binti Khuwailid mengetahui kedatangan
Hakim, bibinya mengunjungi Hakim untuk memberikan selamat dan
sambutan kepadanya. Hakim berkata kepada bibinya: “Wahai bibi, aku
telah beli beberapa budak dari pasar Ukadz. Pilihlah yang mana saja,
engkau sukai. Aku akan menghadiahkannya untukmu!”
Lalu Sayyidah Khadijah memandangi wajah para budak tadi… dan
akhirnya ia memilih Zaid bin Haritsah, sebab Khadijah melihat bahwa
Zaid memiliki tanda-tanda kecerdesan. Ia pun membawa Zaid pulang.
Tidak lama kemudian Khadijah binti Khuwailid menikah dengan
Muhammad bin Abdullah. Maka Khadijah ingin memberikan hadiah
kepada suaminya, namun ia tidak menemukan sesuatu yang lebih baik
daripada budaknya yang muli