a bernama Zaid bin Al Haritsah. Maka
dihadiahkanlah Zaid kepada suaminya.
Selagi budak yang beruntung ini tinggal di bawah pengawasan
Muhammad bin Abdullah, bernasib baik dengan persahabatannya yang
mulia, dan menikmati keindahan akhlak Beliau. Hal sebaliknya terjadi pada
ibunya yang shock sebab kehilangan anaknya. Air matanya tidak pernah
berhenti mengalir, ia tidak pernah berhenti bersedih dan ia tidak pernah
merasa tenang. Dan hal yang lebih membuatnya berputus asa yaitu ia
165
tidak tahu, apakah anaknya masih hidup sehingga ia masih dapat berharap,
ataukah sudah mati yang dapat membuatnya putus harapan.
Sedangkan ayahnya mencari Zaid di seluruh penjuru bumi. Bertanya
kepada setiap kafilah tentang anaknya. Dan ia membuatkan sebuah syair
kerinduan yang dapat menyayat hati yang berbunyi:
Aku menangis sebab Zaid dan aku tidak tahu apa yang ia kerjakan
Apakah ia masih hidup hingga masih dapat diharapkan, ataukah ajal
telah menjemputnya?
Demi Allah, aku tak mengerti dan aku terus bertanya
Apakah yang memberi makan kepadamu yaitu hamparan luas
ataukah pegunungan?
Matahari senantiasa membuat aku selalu mengenangnya saat ia terbit
Dan kenangan tentang dirinya kembali terulang saat ia tenggelam
Aku akan memberitahukan unta untuk terus berjalan menyusuri bumi
Dan aku tidak akan bosan untuk berputar mencarimu sebagaimana
unta yang tidak bosan berjalan
Hidupku, atau harapanku tercapai…
Setiap orang bakal binasa, meski harapan telah menipunya
Dalam suatu musim haji74, sebuah rombongan dari kaum Zaid berniat
untuk datang ke Baitullah Al Haram. Saat mereka sedang berthawaf di
seputar Ka’bah, mereka bertemu dengan Zaid. Mereka mengenalinya dan
Zaid mengenali mereka. Mereka saling bertanya. Begitu mereka semua
selesai mengerjakan manasiknya dan kembali ke kampung. Mereka
bercerita kepada Haritsah apa yang mereka lihat dan apa yang mereka
dengar.
Maka Haritsah segera menyiapkan kendaraannya, dan ia membawa
sejumlah uang untuk menebus anaknya yang menjadi buah hati dan
penyejuk mata. Ia ditemani oleh seorang saudaranya yang bernama Ka’b.
Keduanya berangkat segera menuju Mekkah. Begitu sampai di sana,
keduanya menghadap Muhammad bin Abdullah dan berkata:
“Wahai Ibnu Abdul Muthalib. Kalian yaitu tetangga Allah yang suka
membebaskan orang yang menderita, memberi makan orang yang
kelaparan dan membantu orang yang kesulitan. Kami datang untuk
membawa anak kami yang ada padamu, dan kami membawa sejumlah
uang sebagai tebusannya. Berbaik budilah kepada kami, dan serahkan ia
kepada kami jika engkau izinkan.”
Muhammad lalu berkata: “Siapakah anak yang kalian maksudkan itu?”
Mereka menjawab: “Budakmu yang bernama Zaid bin Haritsah.”
74
Ini terjadi pada masa Jahiliyah
166
Muhammad lalu berkata: “Apakah kalian memiliki hal yang lebih baik
dari uang tebusan?” Keduanya bertanya: “Apa itu?”
Muhammad menjawab: “Aku akan memanggilnya untuk berjumpa
kalian. Suruhlah dia memilih untuk mengikutiku atau mengikuti kalian.
Jika ia memilih untuk ikut dengan kalian, maka bawalah ia tanpa perlu
membayar apa-apa. Jika ia memilih untuk mengikutiku, Demi Allah, aku
tidak mempengaruhi dia saat memilih.”
Keduanya berkata: “Engkau berlaku adil dengan demikian.”
Muhammad lalu memanggil Zaid dan bertanya kepadanya: “Siapa
kedua orang ini?” Zaid menjawab: “Ini yaitu ayahku Haritsah bin
Syurahil dan ini yaitu pamanku, Ka’b.”
Muhammad berkata: “Aku memintamu untuk memilih: Jika kau mau,
kamu boleh pergi bersama mereka. Jika kamu mau, kau juga boleh tinggal
bersamaku.”
Zaid menjawab –tanpa ragu dan lambat-: “Aku akan tinggal
bersamamu.”
Maka ayahnya berkata: “Celaka kamu Zaid, apakah engkau memilih
untuk menjadi seorang budak ketimbang hidup bersama ayah dan
ibumu?!”
Zaid menjawab: “Aku mendapatkan sesuatu dari orang ini, dan aku
tidak akan pernah meninggalkannya!”
Begitu Muhammad melihat apa yang dilakukan Zaid, kemudian
Muhammad menggandeng tangan Zaid dan membawanya ke Baitullah Al
Haram. Keduanya berhenti di Hijir Ismail di tengah kumpulan bangsa
Quraisy. Muhammad berkata: “Wahai bangsa Quraisy, saksikanlah bahwa
ini yaitu anakku. Ia berhak mewarisiku dan aku berhak mewarisinya.”
Maka menjadi tenanglah jiwa ayah dan pamannya. Mereka berdua
membiarkan Zaid tinggal bersama Muhammad. Mereka lalu kembali ke
kampungnya dengan hati yang tenang dan damai.
Sejak saat itu, Zaid bin Haritsah mulai dipanggil dengan Zaid bin
Muhammad. Ia terus menggunakan nama itu hingga Muhammad diutus
sebagai Rasulullah. Islam melarang adopsi (mengangkat anak) saat turun
firman Allah Swt:
öΝèδθã ÷Š$# öΝÎγ Í←!$ t/Kψ
“Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama
bapak-bapak mereka.” (QS. al-Ahzab [33] : 5)
Maka sejak itu, ia dipanggil dengan nama Zaid bin Haritsah.
Zaid tidak mengetahui manfaat apa yang akan ia dapatkan –saat ia
memilih Muhammad daripada ibu dan bapaknya-. Ia juga tidak tahu
167
bahwa tuannya yang ia pilih mengalahkan keluarga dan kabilahnya akan
menjadi pemimpin manusia dari awal hingga akhir, juga akan menjadi
seorang utusan Allah kepada semua makhluk-Nya.
Tidak pernah terbersit di hatinya bahwa kerajaan langit akan berdiri di
muka bumi yang akan memenuhi timur hingga baratnya dengan kebaikan
dan keadilan. Dan Muhammad akan menjadi batu pertama dalam
pembangunan kerajaan yang besar ini.
Hal ini tidak pernah terbersit di benak Zaid, ini merupakan anugerah
yang Allah berikan kepada siapa saja yang Ia kehendaki. Allah yaitu Dzat
Yang Memiliki anugerah yang amat besar.
Hal itu sebab tidak selang lama dari peristiwa pemilihan tadi kecuali
hanya beberapa tahun saja sehingga Allah mengutus Nabi-Nya yang
bernama Muhammad untuk membawa agama petunjuk dan kebenaran.
Maka Zaid bin Haritsah yaitu manusia pertama yang beriman kepadanya
dari kalangan pria.
Apakah ada kemuliaan seperti ini yang dikejar oleh manusia yang
berlomba untuk mendapatkannya?!
Zaid bin Haritsah yaitu orang yang dipercaya untuk menyimpan
rahasia Rasulullah. Ia juga yaitu orang yang ditunjuk sebagai panglima
delegasi dan pasukan Rasul. Dia juga salah seorang pengganti Rasul Saw
sebagai penguasa Madinah, bila Beliau meninggalkan kota ini .
Sebagaimana Zaid telah mencintai Nabi Saw dan memilih Beliau
ketimbang ibu dan bapaknya, maka Rasul Saw juga mencintainya dan
mengajak Zaid untuk hidup bersama keluarga dan anak-anak Beliau. Rasul
sering kali merindukan Zaid, bila ia tidak ada. Rasul Saw gembira dengan
kedatangannya saat ia baru kembali. Rasul Saw menyambutnya dengan
gembira dimana tidak seorang pun yang mendapatkan kemuliaan seperti
ini.
Inilah kisah Aisyah ra yang menggambarkan kepada kita bagaimana
gembiranya Rasulullah Saw saat berjumpa dengan Zaid. Ia menceritakan:
“Zaid bin Haritsah datang ke Madinah. Rasulullah Saw saat itu sedang
berada di rumahku. Lalu Zaid mengetuk pintu, Rasul lalu berdiri
menyambutnya sambil telanjang –Beliau tidak memakai apapun kecuali
pakaian yang menutupi bagian antara pusat dan lututnya- Beliau berjalan
ke arah pintu dengan menggaet bajunya. Rasul lalu memeluk dan
menciuminya. Demi Allah, aku belum pernah melihat Rasulullah Saw
bertelanjang sebelum dan sesudah itu.”75
Kisah Rasul Saw mencintai Zaid telah diketahui oleh kaum muslimin.
Sehingga mereka menyebutnya dengan Zaid Al Hubb (Zaid yang dicintai),
dan mereka memberinya gelar dengan nama Hibbi Rasulillah yang berarti
kesayangan Rasulullah; dan mereka memberikan nama kepada anaknya
75
Lihat dalam Jami Al Ushul : 10/25 dan kisah ini juga telah ditakhrij oleh At Tirmidzi.
168
Usamah dengan Hibbi Rasulillah wa ibnu hibbihi yang berarti anak dari
orang yang disayang Rasulullah.
Pada tahun 8 H Allah berkehendak –Maha Suci hikmah-Nya – untuk
memberikan ujian dengan memisahkan orang yang dicintai dari
kekasihnya.
Hal itu dimulai saat Rasulullah Saw mengirim Al Harits bin Umair Al
Azdy untuk membawa surat kepada raja Bushra agar ia masuk ke dalam
Islam. Begitu Al Harits tiba di Mu’tah di daerah timur Yordania, salah
seorang pemimpin Al Ghasasinah yang bernama Syurahbil bin Amr
memberikan tawaran kepada Al Harits sehingga Al Harits tertawan dan
terbunuh.
Hal itu membuat Nabi Saw terkejut, sebab tidak ada utusannya yang
lain sampai terbunuh.
Maka Rasulullah Saw lalu mempersiapkan pasukan yang terdiri dari
3000 prajurit untuk menyerang Mu’tah. Rasul Saw menunjuk untuk
menjadi pemimpin pasukan ini yaitu kekasihnya Zaid bin Haritsah. Rasul
bersabda: “Jika Zaid tewas, maka kepemimpinan akan dipegang oleh Ja’far
bin Abu Thalib. Jika Ja’far juga tewas, maka kepemimpinan dipegang oleh
Abdullah bin Rawahah.Jika Abdullah bin Rawahah tewas, maka pasukan
muslimin harus memilih salah seorang dari mereka untuk menjadi
pemimpin.”
Pasukan ini bergerak hingga tiba di Ma’an sebelah timur Yordania.
Heraclius raja Romawi berangkat dengan diiringi 100 ribu prajurit demi
mempertahankan Al Ghasasinah, dan ada 100 ribu kaum musyrikin Arab
yang bergabung dengannya. Pasukan yang besar ini berkemah tidak terlalu
jauh dari tempat pasukan muslimin berada.
Pasukan muslimin menginap di Ma’an selama dua hari untuk
bermusyawarah langkah apa yang mereka harus ambil.
Salah seorang dari mereka berkata: “Kita kirimkan surat kepada
Rasulullah Saw untuk memberitahukan Beliau jumlah musuh kita dan kita
tunggu perintah Beliau.”
Ada yang mengatakan: “Demi Allah, wahai kaumku, kita tidak berjuang
dengan jumlah, kekuatan dan banyaknya pasukan. namun kita
berjuang dengan bekal agama ini! Berangkatlah sesuai niat kalian saat
berangkat! Allah telah menjamin kalian dengan keberuntungan
mendapatkan salah satu dari dua kebaikan: baik itu berupa kemenangan…
atau mati sebagai syahid.”
Kemudian bertemulah kedua pasukan di bumi Mu’tah. Pasukan
muslimin membuat heran pasukan Romawi, dan membuat mereka
terpesona dengan kehebatan 3000 prajurit muslimin yang mampu
menghadapi pasukan mereka yang amat besar berjumlah 200 ribu prajurit.
Zaid bin Haritsah mempertahankan panji Rasulullah Saw dengan begitu
semangat dan tidak ada dalam sejarah yang dapat menandinginya,
169
sehingga tubuhnya tertembus 100 tombak. Ia tersungkur tewas dengan
berlumuran darah. Lalu Ja’far bin Abu Thalib mengambil panji dari
tangannya. Ia lalu mempertahankan panji tadi dengan begitu hebatnya,
sehingga ia menyusul sahabatnya tadi.
Lalu panji ini diambil oleh Abdullah bin Rawahah. Ia
mempertahankan panji ini dengan begitu sengitnya sehingga kisahnya
berakhir seperti kedua sahabatnya.
Maka pasukan muslimin menunjuk Khalid bin Walid sebagai panglima
mereka –saat itu ia baru masuk Islam-. Khalid menarik mundur pasukan
muslimin dan menyelamatkan mereka dari kekalahan yang telak.
Rasulullah Saw menerima kabar tentang peristiwa Mu’tah dan
tewasnya ketiga panglima. Rasul Saw menjadi sedih dan belum pernah
Beliau sesedih itu. Rasul Saw lalu pergi ke keluarga mereka untuk
memberikan bela sungkawa.
Saat Beliau tiba di rumah Zaid bin Haritsah, putrinya yang masih kecil
berlari ke arah Beliau mencari perlindungan sambil menangis. Maka
Rasulullah Saw menangis sehingga terdengar suaranya.
Sa’d bin Ubadah bertanya kepada Beliau: “Apakah ini ya Rasulullah?”
Beliau Saw menjawab: “Ini yaitu tangisan seorang kekasih atas
kekasihnya.”
Usamah bin Zaid
“Sungguh Ayah Usamah Lebih Dicintai oleh Rasulullah daripada
Ayahmu, dan Dia yaitu Orang yang Lebih Dicintai Rasul
daripadamu” (Ucapan Umar Al Faruq kepada Anaknya)
Kita sekarang berada pada tahun ketujuh sebelum hijrah dan berada di
Mekkah. Rasulullah Saw saat itu sedang menderita sebab siksaan kaum
Quraisy kepadanya dan kepada para sahabatnya.
Derita dakwah yang Beliau emban dapat dituliskan dalam serial yang
panjang serta sarat dengan kesedihan dan penderitaan.
Saat Beliau dalam kondisi demikian, maka tersembulah rona
kebahagiaan di kehidupan Beliau. Ada seorang yang membawa kabar
gembira kepadanya bahwa Ummu Aiman telah melahirkan seorang anak.
Maka merebaklah kebahagiaan lewat wajah Rasulullah Saw.
Siapakah anak beruntung ini yang telah membuat bahagia Rasulullah
Saw?! Dia yaitu Usamah bin Zaid.
Tidak seorang pun sahabat Rasulullah Saw yang merasa aneh dengan
kebahagiaan Beliau atas lahirnya anak ini. Hal itu sebab posisi kedua
orang tuanya bagi Beliau.
Ibu dari anak ini yaitu Barakah al Hasanah yang dikenal dengan
Ummu Aiman. Dia yaitu budak Aminah binti Wahab, ibunda Rasulullah
Saw. Ummu Aiman membesarkan Rasulullah dalam hidupnya. Ia
memelihara Rasulullah Saw sesudah ibunda Beliau wafat. Rasul Saw
membuka matanya untuk melihat dunia, dan tidak kenal siapapun sebagai
ibunya kecuali Ummu Aiman.
Rasul Saw betapa amat mencintai Ummu Aiman. Beliau sering berkata:
“Dia yaitu ibuku sesudah ibuku, dan anggota keluargaku yang tersisa.”
Inilah ibu dari anak yang beruntung. Adapun ayahnya yaitu orang
yang paling disayang oleh Rasulullah Saw yaitu Zaid bin Haritsah, yang
merupakan anak yang diadopsi oleh Rasulullah Saw. Dia juga sahabat Rasul
yang banyak mengetahui rahasia Rasulullah Saw. Menjadi salah seorang
anggota keluarga Rasul dan merupakan orang yang paling Beliau cinta
sesudah Islam.
Kaum muslimin bergembira dengan lahirnya Usamah bin Zaid, seperti
belum pernah ada bayi yang terlahir selainnya. Sebab, apa yang membuat
Nabi bahagia, akan membuat mereka semua bahagia. Setiap hal yang
membuat Nabi Saw senang, maka akan membuat senang juga hati mereka.
171
Maka kaum muslimin memberikan gelar kepada anak yang beruntung
ini dengan panggilan Al Hibb wa Ibnul Hibb (Orang yang disayangi dan
anak dari orang yang disayangi).
Kaum muslimin tidak berlebihan saat mereka memberikan gelar kepada
anak kecil yang bernama Usamah ini. Rasul Saw amat mencintai dia
sehingga dunia merasa cemburu kepadanya. Usamah hampir seusia dengan
cucu Rasul yang bernama Al Hasan bin Fathimah al Zahra.
Al Hasan ini berkulit putih, cerah dan amat mirip dengan kakeknya,
yaitu Rasulullah Saw.
Sedangkan Usamah berkulit hitam, pesek hidungnya dan amat mirip
dengan ibunya yang berasal dari Habasyah.
Namun dengan demikian, Rasul Saw tidak pernah membedakan kepada
mereka berdua dalam membagikan cintanya. Ia menggendong Usamah dan
menaruhnya di salah satu pahanya, dan ia juga menggendong Al Hasan
dan menaruhnya pada paha satunya lagi. Kemudian Rasul menganggkat
mereka berdua ke arah dadanya dan berdo’a: “Ya Allah, aku mencintai
mereka berdua maka cintailah mereka berdua oleh Mu!”
Rasul Saw amat mencintai Usamah hingga suatu saat Usamah melewati
gerbang pintu, lalu kepalanya terantuk. Maka mengalirlah darah dari
lukanya. Maka Nabi Saw menyuruh Aisyah ra untuk menghilangkan darah
dari lukanya, namun Aisyah tidak mampu melakukannya.
Maka Rasul Saw langsung menghampiri Usamah dan Rasul menyedot
memar di tubuhnya sehingga darah habis, dan Rasul Saw menghibur
Usamah dengan ucapan-ucapan yang baik sehingga Usamah merasa
tenang dan tidak kesakitan.
Sebagaimana Rasulullah Saw mencintai Usamah saat ia masih kecil,
Beliau pun mencintai Usamah saat ia sudah menjadi remaja. Hakim bin
Hazam salah seorang pembesar Quraisy menghadiahkan Rasulullah Saw
sebuah pekaian bagus yang ia beli dari Yaman seharga 50 dinar emas yang
dulunya milik Dzu Yazan salah seorang raja Yaman.
Rasul Saw menolak untuk menerima hadiah ini sebab Hakim saat
itu masih menjadi seorang musyrik. Namun Rasul Saw malah membelinya.
Suatu saat Rasul Saw mengenakan pakaian itu satu kali pada hari
Jum’at. Kemudian Beliau menanggalkannya untuk diberikan kepada
Usamah bin Zaid. Maka Usamah mengenakan pakaian ini sepanjang
pagi dan petang untuk pergi bersama para sahabatnya para pemuda
Muhajirin dan Anshar.
172
Saat Usamah menginjak usia dewasa. Maka baru terlhatlah sifat mulia
dari dirinya yang membuat ia pantas menjadi orang kesayangan Rasulullah
Saw.
Dia yaitu orang yang amat cerdas. Dia seorang pemberani yang luar
biasa. Bijak, dapat menempatkan segala urusan pada tempatnya. Memiliki
iffah yang menjauhkan segala hal yang nista. Pencinta, sehingga manusia
mencintainya. Taqwa serta wara’ yang membuat Allah cinta kepadanya.
Pada peristiwa Uhud, Usamah bin Zaid beserta anak-anak para sahabat
yang lain ingin ikut serta dalam jihad fi sabilillah. Maka Rasulullah Saw
memilih di antara mereka siapa yang dapat ikut serta, dan Rasul menolak
keikut sertaan mereka sebab belum cukup umur. Salah seorang yang
dilarang ikut oleh Rasulullah Saw yaitu Usamah bin Zaid. Maka ia
kembali pulang dan dari matanya mengalir deras deraian air mata sebab
merasa sedih tidak dapat ikut berjihad di bawah panji Rasulullah Saw.
Pada perang Khandaq, Usamah bin Zaid juga datang bersama para
pemuda dari kalangan sahabat. Ia mengganjal kakinya agar supaya terlihat
tinggi, sehingga Rasul Saw memperbolehkannya ikut serta dalam jihad.
Maka Rasul Saw memilihnya dan memperbolehkan ia untuk ikut serta. Ia
pun lalu membawa pedangnya untuk berjihad di jalan Allah dan pada saat
itu ia baru berusia 15 tahun.
Pada peristiwa Hunainin saat kaum muslimin kalah. Usamah bin Zaid
beserta Abbas paman Rasulullah Saw, Abu Sufyan bin Al Harits sepupu
Rasul, dan 6 orang lainnya dari para pembesar sahabat berjuang dengan
begitu semangat. Maka dengan kelompok yang kecil namun berani ini,
Rasulullah Saw mampu merubah kekalahan para sahabatnya menjadi
kemenangan, dan mampu melindungi kaum muslimin yang mundur dari
serangan kaum musyrikin yang dapat mencelakakan mereka.
Pada peristiwa Mu’tah, Usamah bin Zaid berjuang di bawah komando
ayahnya Zaid bin Haritsah padahal umurnya baru 18 tahun. Ia melihat
dengan mata kepalanya sendiri bagaimana ayahnya tewas. Ia tidak lemas
dibuatnya dan tidak gentar. Ia melanjutkan jihadnya dibawah komando
Ja’far bin Abu Thalib sehingga ia pun tewas. Kemudian ia masih terus
berjuang di bawah komando Abdullah bin Rawahah sehingga ia pun
menyusul kedua sahabatnya. Kemudian ia masih berjihad di bawah
komando Khalid bin Walid, sehingga pasukan yang sedikit tersisa ini
mampu lolos dari cengkeraman Romawi.
173
Usamah kembali ke Madinah dengan berharap ayahnya mendapatkan
ganjaran terbaik di sisi Allah. Ia meninggalkan jasad ayahnya yang suci di
bumi Syam. Usamah menunggangi kuda ayahnya yang ia pakai saat
berperang.
Pada tahun 11 H. Rasulullah Saw memerintahkan untuk
mempersiapkan pasukan demi menghadapi pasukan Romawi. Dalam
pasukan ini terdapat Abu Bakar, Umar, Sa’d bin Abi Waqash, Abu
Ubaidah bin Al Jarrah dan banyak lagi para sahabat yang terkenal lainnya.
Rasul menunjuk sebagai panglima pasukan ini yaitu Usamah bin Zaid,
padahal pada saat itu usianya belum genap 20 tahun… Rasul Saw
memerintahkan Usamah untuk membawa pasukan ke Al Balqa, Benteng Al
Darum yang terletak dekat Gaza di negeri Romawi.
Begitu pasukan mulai bersiap, Rasulullah Saw jatuh sakit. Begitu
sakitnya semakin parah, pasukan ini menunda keberangkatannya, sehingga
mereka mengetahui kondisi Rasulullah Saw.
Usamah berkata: “Begitu penyakit semakin parah pada diri Rasulullah.
Aku menghadapnya dan banyak orang yang ikut bersamaku. Aku
menghadapnya dan aku dapati Beliau diam tak mampu bicara sebab
sulitnya penyakit yang ia derita. Beliau mengangkat tangannya kelangit lalu
menurunkannya lagi di tubuhku.Aku mengerti bahwa ia baru saja
mendo’akanku.”
Begitu Rasulullah Saw wafat, dan bai’at telah dilangsungkan terhadap
Abu Bakar, maka Abu Bakar memerintahkan agar pasukan Usamah
diberangkatkan.
namun ada sekelompok orang Anshar berpendapat agar
pengiriman pasukan dituda saja, dan mereka meminta Umar untuk
menyampaikan hal ini kepada Abu Bakar. Mereka berkata kepada Umar:
“Jika Abu Bakar masih berkeras untuk mengirimkan pasukan, tolong
beritahukan ia agar mau menunjuk orang yang lebih tua dari Usamah.”
Begitu Abu Bakar mendengar permintaan kaum Anshar dari Umar, ia
langsung melompat –tadinya ia duduk- dan menarik janggut Umar dan
berkata dengan nada emosi: “Ibumu tak pernah berharap mendapatkan
anak sepertimu, ya Ibnu Khattab… Rasul Saw telah menunjuknya menjadi
pemimpin dan engkau malah menyuruhku untuk menggantinya? Demi
Allah, hal itub tidak akan pernah terjadi.”
Begitu Umar bertemu lagi dengan orang-orang tadi, mereka
menanyakannya apa yang telah diputuskan Abu Bakar. Umar menjawab:
174
“Ibu kalian tidak pernah berharap punya anak seperti kalian. Aku telah
menjadi korban dari perbuatan kalian dihadapan khalifah Rasulullah.”
Saat pasukan di bawah komando seorang panglima muda, khalifah
Rasulillah Saw mengiringinya sambil berjalan kaki, sedangkan Usamah
menunggang kuda. Usamah berkata: “Ya Khalifah Rasulillah, demi Allah
naiklah kuda atau aku turun!”
Abu Bakar menjawab: “Demi Allah, janganlah kau turun. Demi Allah,
aku tidak akan naik… aku hanya ingin membasuh telapak kakiku dengan
debu di jalan Allah sesaat saja.”
Kemudian Abu Bakar berkata kepada Usamah: “Aku menitipkan kepada
Allah agama, amanah dan akhir amalmu. Aku berpesan kepadamu untuk
menjalankan apa yang telah diperintahkan Rasul Saw kepadamu.”
Kemudian Abu Bakar mendekatinya sambil berkata: “Jika kau
mempersilahkan aku meminta Umar untuk tinggal membantuku disini.”
Kemudian Usamah mempersilahkan Umar untuk tidak berangkat
berperang.
Usamah bin Zaid berangkat dengan pasukannya dan ia melaksanakan
semua perintah Rasulullah Saw. Maka pasukan berkudanya ia tempatkan di
Al Balqa dan benteng Al Darum di daerah Palestina. Ia menghilangkan
kehebatan Romawi dari hati pasukan muslimin. Usamah membuka jalan
bagi pasukan muslimin untuk menaklukan beberapa wilayah Syam, Mesir
dan Afrika Utara semuanya hingga sampai ke Laut Hitam.
Kemudian Usamah kembali dengan menunggangi pelana yang sama
digunakan oleh ayahnya sewaktu terbunuh dulu, dengan membawa
ghanimah yang melampaui perkiraan manusia. Sehingga ada yang
mengatakan: “Tidak pernah ada pasukan yang lebih selamat dan membawa
ghanimah lebih banyak dari pasukan Usamah bin Zaid.”
Usamah bin Zaid –selagi ia hidup- menjadi orang yang dihormati dan
dicintai oleh kaum muslimin. Itu disebabkan sebab ia menepati janjinya
kepada Rasulullah Saw dan senantiasa menghormati Beliau.
Umar Al Faruq bahkan memberikan gaji kepada Usamah melebihi apa
yang ia berikan kepada anaknya Abdullah bin Umar. Maka Abdullah
berkata kepada ayahnya: “Wahai ayahku, Engkau memberikan gaji kepada
Usamah 4000 sedangkan engkau memberikan aku hanya 3000. Padahal
ayahnya tidak lebih utama dari dirimu, dan ia juga tidak lebih mulia
daripadaku.”
175
Umar Al Faruq berkata: “Engkau keliru… Ayahnya lebih dicintai oleh
Rasul daripada ayahmu. Dan ia lebih dicintai Rasul dari dirimu!”
Maka Abdullah bin Umar rela menerima pemberian gaji yang diberikan
untuknya. Dan Umar bin Khattab setiap kali ia berjumpa dengan Usamah
bin Zaid akan berkata: “Selamat datang, Amirku!” Jika ada orang yang
merasa aneh dengan tingkah Umar ini, ia akan berkata kepada orang itu:
“Rasul Saw telah menjadikan dia sebagai amirku!”
Semoga Allah Swt merahmati jiwa yang besar ini. Sejarah tidak pernah
mencatat profil yang lebih agung, sempurna dan mulia daripada para
sahabat Rasulullah Saw.
Said Bin Zaid
“Ya Allah, Jika Engkau telah Menghalangiku Untuk Mendapatkan
Kebaikan ini, Maka Janganlah Kau Halangi Anakku Said untuk
Melakukannya.” (Zaid, Orang Tua Said)
Zaid bin ‘Amr bin Nufail berdiri jauh dari kerumunan manusia yang
menyaksikan bangsa Quraisy yang sedang meramaikan sebuah hari raya.
Zaid melihat para lelaki yang menggunakan ikat kepala yang terbuat dari
sutra mahal dan mengenakan selendang mahal dari Yaman. Ia juga
memandangi para wanita dan anak-anak yang mengenakan pakaian yang
bagus dan perhiasan yang indah. Ia juga menatap hewan-hewan yang
dibawa oleh beberapa pria yang berjalan. Hewan ini telah dihiasi
dengan berbagai macam perhiasan, untuk kemudian disembelih dihadapan
berhala.
Ia berdiri dengan punggung bersandar ke Ka’bah dan berkata: “Wahai
bangsa Quraisy, domba yaitu makhluk Allah! Allah Swt Yang telah
menurunkan hujan dari langit sehingga domba-domba ini tidak
kehausan. Ia juga yang menumbuhkan rerumputan untuk mereka sehingga
mereka kenyang. Lalu kalian menyembelih mereka bukan atas nama-Nya.
Menurutku kalian yaitu kaum yang bodoh!”
Lalu berdirilah pamannya yang bernama Al Khattab lalu memukulnya
dan berkata: “Celaka kamu. Kami sudah mencoba bersabar dan menahan
diri saat mendengarkan omong kosong ini, hingga kami hilang kesabaran.
Kemudian Al Khattab mengajak para rekannya untuk menyiksa Zaid, dan
mereka pun langsung menyiksa Zaid sehingga Zaid menyingkir dari kota
Mekkah dan berlindung di gunung Hira. Al Khattab kemudian
mempercayakan kepada para pemuda Quraisy untuk mencegah Zaid
masuk ke kota Mekkah lagi, dan nyata Zaid tidak dapat masuk ke kota
Mekkah kecuali dengan cara sembunyi-sembunyi.
Lalu Zaid bin ‘Amr bin Nufail berkumpul –saat suku Quraisy lengah
darinya- bersama Waraqah bin Naufal76, Abdullah bin Jahsy, Utsman bin
Al Harits, Umaimah binti Abdul Muthalib bibi Rasulullah Saw. Mereka
76
Waraqah bin Naufal bin Asad yaitu sepupu Ummul Mukminin Sayidah Khadijah binti
Khuwailid ra. Yaitu istri pertama Rasulullah Saw. Rasul memberitahukan Naufal apa yang terjadi
dengan dirinya dan pertemuannya dengan Jibril dan apa yang diwahyukan kepada beliau. Maka Naufal
membenarkan beliu dan berjanji akan membantu Rasul jika ia mampu dan ia beragama Nashrani.
177
semua mendiskusikan kesesatan yang terjadi pada bangsa Arab. Zaid lalu
berkata kepada para sahabatnya:
“Demi Allah, kalian semua tahu bahwa kaum kalian sudah tidak
bernilai apa-apa lagi. Mereka semua sudah melanggar agama Ibrahim.
Carilah oleh kalian agama yang dapat dianut, jika kalian ingin selamat!”
Maka keempat pria ini bergegas mencari para pendeta Yahudi dan
Nashrani dan para pemuka agama lainnya untuk mencari agama hanafiyah
Ibrahim.
Adapun Waraqah bin Naufal, ia memeluk agama Nashrani. Abdullah
bin Jahsy dan Utsman bin Al Harits tidak menemukan agama yang tepat.
Sedangkan Zaid bin Amr bin Naufal memiliki kisah tersendiri. Mari kita
dengarkan kisah yang akan ia sampaikan sendiri…
Zaid bin Amr berkata: “Aku mempelajari agama Yahudi dan Nashrai
namun aku berpaling dari keduanya sebab aku tidak mendapatkan hal
yang membuat jiwaku tenang. Aku lalu mencari ke seluruh penjuru demi
menemukan agama Ibrahim sehingga aku sampai di negeri Syam. Ada yang
menunjukkan kepadaku tentang adanya seorang Rahib yang mempunyai
ilmu tentang kitab. Aku pun mendatanginya, dan aku ceritakan kisahku
kepadanya.Ia berkata: “Aku lihat engkau sedang mencari agama Ibrahim,
wahai saudara yang berasal dari Mekkah?” Aku menjawab: “Benar. Itulah
yang aku cari.” Ia berkata: “Engkau mencari sebuah agama yang belum ada
sekarang. Namun, kembalilah ke negerimu sebab Allah akan mengutus
seseorang dari kaummu untuk memperbaharui agama Ibrahim. Jika
engkau telah menemuinya, maka peganglah olehmu agamanya itu!”
Maka kembalilah Zaid ke Mekkah dengan menyusuri jalan untuk
mencari Nabi yang dijanjikan.
Saat ia sedang berada di tengah jalan, Allah Swt mengutus Muhammad
untuk menjadi Nabi-Nya dengan agama petunjuk dan kebenaran. Akan
tetapi Zaid belum sempat bertemu dengannya, sebab ada segerombolan
orang Badu’I yang membunuhnya sebelum ia tiba di Mekkah dan sebelum
matanya merasa puas berjumpa dengan Rasulullah Saw.
Saat Zaid menghembuskan nafasnya yang terakhir, ia mengangkat
pandangannya ke arah langit sambil berdo’a: “Ya Allah, jika Engkau telah
mencegahku untuk mendapatkan kebaikan ini. Maka janganlah engkau
halangi kebaikan itu dari anakku, Said!”
Allah berkenan untuk mengabulkan permintaan Zaid. Begitu Rasulullah
Saw memulai dakwahnya kepada manusia untuk masuk Islam, Said bin
Zaid termasuk orang yang pertama beriman kepada Allah dan
membenarkan kenabiannya.
178
Ini tidak mengherankan, sebab Said tumbuh dalam suasana rumah
yang menolak kesesatan yang dikerjakan oleh bangsa Quraisy. Dan ia
dididik oleh seorang ayah yang selalu mencari kebenaran…Ayahnya
meninggal dan ia dalam kondisi sedang mencari kebenaran. Said masuk
Islam tidak sendirian, namun turut masuk Islam bersamanya yaitu
istrinya Fathimah binti Al Khattab, saudari Umar bin Khattab.
Maka pemuda Quraisy ini merasakan penyiksaan kaumnya yang tidak
sepantasnya ia terima sebab agama ini. namun tujuan Quraisy untuk
mengeluarkan ia dari Islam tidak berhasil, malah ia dan istrinya mampu
menarik seorang tokoh mereka yang paling berbobot dan berbahaya…
sebab Said dan istrinya merupakan penyebab masuknya Umar bin Khattab
ke dalam Islam.
Said mendedikasikan semua energinya untuk membantu Islam. Itu
dilakukannya sebab umurnya belum genap 20 tahun saat ia masuk ke
dalam Islam. Ia turut serta bersama Rasulullah dalam seluruh peperangan
yang Beliau lakukan kecuali dalam perang Badr saja. Ia tidak mengikutinya
sebab pada hari itu Rasulullah Saw memerintahkan sesuatu kepadanya.
Ia turut serta bersama pasukan muslimin dalam pengambil alihan
kekuasaan Kisra dan menggulingkan kerajaan Kaisar. Ia memiliki peran
tersendiri dalam setiap perang yang dilakukan kaum muslimin.
Salah satu kisah patriotismenya yang terbaik yaitu kisahnya yang
tercatat dalam peristiwa Yarmuk. Maka kita akan membiarkan ia untuk
menceritakan sebagian kisah peristiwa ini …
Said bin Zaid berkata: Pada saat perang Yarmuk kami berjumlah kira-
kira 24 ribu orang. Pasukan Romawi saat itu berjumlah 120 ribu. Mereka
melangkah dengan kaki yang kokoh ke arah kami seolah gunung yang
digerakkan oleh tangan tersembunyi. Di bagian depan mereka ada para
uskup, pastor dan pendeta yang membawa salib dan membacakan do’a
dengan suara keras. Ucapan mereka diikuti oleh para tentaranya yang
berada di belakang dengan suara keras bagaikan petir.
Begitu pasukan muslimin melihat musuh yang sedemikian, maka
jumlah mereka membuat pasukan muslimin menjadi gentar, dan di hati
mereka ada rasa takut yang menyelimut.
Pada saat itu, berdirilah Abu Ubaidah bin Al Jarrah yang memberikan
semangat kepada pasukan muslimin untuk berperang. Ia berseru: “Wahai
para hamba Allah. Tolonglah agama Allah, maka Ia akan menolong kalian
dan akan mebuat kalian teguh!
Wahai para hamba Allah, bersabarlah! Sebab sabar yaitu penyelamat
dari kekufuran dan dapat mendatangkan keridhaan Tuhan. Ia juga dapat
179
menolak kehinaan. Arahkanlah tombak kalian. Berlindunglah dengan
tameng. Janganlah berbicara kecuali berdzikir kepada Allah dalam hati
kalian, sehingga aku perintahkan kepada kalian, Insya Allah!”
Said berkata: Pada saat itu ada seorang pria yang keluar dari barisan
pasukan muslimin dan berkata kepada Abu Ubaidah: “Aku bertekad untuk
mati pada saat ini. Maukah engkau membawa surat ini kepada Rasulullah
Saw?!”
Abu Ubaidah menjawab: “Ya.” Orang itu menyambung: “Sampaikan
salam ku dan salam pasukan muslimin kepada Beliau dan katakan
kepadanya: ‘Ya Rasulullah, Kami telah menemukan apa yang dijanjikan
Tuhan kami yaitu benar!”
Said meneruskan ceritanya: Begitu aku mendengar ucapannya, dan aku
melihat ia menghunuskan pedang dan pergi untuk menghadapi para
musuh Allah. Maka akupun turun ke medan juang. Aku tersungkur di atas
lutut. Aku angkat tombakku dan aku tusuk penunggang kuda pertama yang
datang ke arah kami. Kemudian aku melompat ke arah musuh, dan Allah
telah mencabut semua rasa takutku. Pasukan muslim begitu gagah berani
dihadapan pasukan Romawi. Mereka terus berperang sehingga Allah
memberikan kemenangan bagi kaum muslimin.
Said turut serta dalam penaklukan kota Damaskus. Begitu penduduk
kota ini tunduk dan taat, Abu Ubaidah bin Al Jarrah menjadikan Said
sebagai wali di sana. Dan Said yaitu orang pertama dari kaum muslimin
yang menjadi wali di Damaskus.
Pada zaman Bani Umayyah, Said bin Zaid mendapat sebuah kejadian
yang lama menjadi pembicaraan penduduk Yatsrib.
Hal ini bermula bahwa Arwa binti Uwais mengira bahwa Said bin
Zaid telah merampas sebagian tanahnya dan kemudian diakui sebagai
tanah Said. Arwa selalu menceritakan hal ini dikalangan kaum muslimin
sehingga akhirnya hal ini sampai ke Marwan bin Al Hakam dan sampai ke
Madinah. Oleh sebab nya, Marwan mengirimkan beberapa orang utusan
untuk berbicara dengan Said tentang permasalahan ini. Hal ini
membuat sulit sahabat Rasul Saw ini. Ia berkata: “Orang-orang mengira
bahwa aku menzaliminya!! Bagaimana aku bisa menzaliminya?! Padahal
aku pernah mendengar Rasulullah Saw bersabda: ‘Barang siapa yang
merampas sejengkal tanah, maka Allah akan membebaninya dengan beban
yang seberat 7 kali bumi.’ Ya Allah, dia telah mengira bahwa aku telah
menzaliminya. Jika ia ternyata bohong, maka butakanlah matanya dan
masukkanlah ia ke dalam sumur tanahnya dimana ia menggugatku.
Tampakkanlah kebenaranku dengan sebuah cahaya yang dapat
menjelaskan kepada kaum muslimin bahwa aku tidak menzaliminya.”
180
Tidak lama berselang, Al Aqiq77 mengalirkan air yang belum pernah
sebegitu besar, sehingga menyingkapkan batas yang menjadi sengketa
mereka berdua. Dan kaum muslimin tahu bahwa Said benar dan tidak
salah.
Hanya berselang satu bulan saja, wanita ini menjadi buta. saat
ia sedang berjalan mengelilingi tanahnya itu, ia terjerumus masuk ke dalam
sumur.
Abdullah bin Umar berkata: “Sejak saat itu kami –dan saat itu kami
masih anak-anak – sering mendengarkan orang yang berkata kepada orang
lain: “Semoga Allah membutakanmu sebagaimana ia membutakan Arwa.”
Hal itu tidak mengherankan, sebab Rasulullah Saw pernah bersabda:
“Takutlah kepada do’a orang yang dizalimi, sebab tiada penghalang antara
dirinya dengan Allah.”
Apalagi bila yang dizalimi yaitu Said bin Zaid, salah seorang dari 10
nama yang dijamin surga?!
Sebuah lembah di Madinah
Umair bin Sa’d
“Umair bin Sa’d Menangisi Dirinya.” (Umar bin Khattab)
Dalam Masa Belianya
Bocah bernama Umair bin Sa’d Al Anshary telah merasakan hidup
sebagai yatim dan orang miskin sejak kecilnya. Ayahnya telah kembali ke
pangkuan Tuhan tanpa meninggalkan harta atau orang yang akan
membiayainya.
Namun ibunya berhasil untuk menikah lagi dengan seorang hartawan
dari suku Aus78 yang dikenal dengan Al Julas bin Suwaid. Pria ini kemudian
menanggung biaya hidup Umair dan menjadikan ia sebagai anggota
keluarga.
Umair merasakan kebaikan, asuhan dan perasaan lembut yang dimiliki
Al Julas sehingga membuatnya terlupa bahwa dia yaitu seorang yatim.
Umair mencintai Al Julas seperti ayahnya sendiri. Sebagaimana Al Julas
mencintai Umair seperti layaknya seorang anaknya.
Semakin Umair bertambah dewasa, maka Al Julas semakin cinta
kepadanya. Sebab Al Julas mendapati bahwa Umair memiliki tanda-tanda
kecerdasan dan kemulyaan yang terlihat dari setiap amalnya. Ia juga
memiliki sifat amanah, jujur yang terlihat dari prilakunya.
Pemuda yang bernama Umair memeluk Islam pada saat ia masih belia
belum genap 10 tahun. Iman merasuk ke dalam sebuah ruang di hatinya
dan tidak berlari dari tempatnya. Ia juga mendapati Islam dalam jiwanya
yang masih suci dan bersih. Meski masih dalam usia belia, namun ia tidak
pernah absen dari shalat berjamaah di belakang Rasulullah Saw. Ibunya
merasa bahagia setiap kali melihatnya pergi ke Masjid atau kembali
darinya. Terkadang bersama suaminya, terkadang ia berangkat sendiri saja.
Beginilah kehidupan pemuda Umair berlangsung; tenang tanpa ada
halangan dan tidak ada kekeruhan. Sehingga kehendak Allah menentukan
bahwa bocah yang hampir baligh ini akan mendapatkan cobaan yang
78
Aus yaitu sebuah kabilah besar dari Azd yang mendiami Madinah. Kabilah ini telah berjanji
kepada Rasulullah Saw untuk melindungi beliau.
182
paling berat, dan memberikannya ujian yang jarang diterima oleh seorang
pemuda dalam usianya.
Pada tahun 9 H, Rasulullah Saw mengumumkan niatnya untuk
menyerang Romawi di Tabuk79. Beliau memerintahkan kaum muslimin
untuk bersiap-siap.
Kebiasaan Rasulullah Saw yaitu jika Beliau hendak melakukan perang,
Beliau tidak akan menceritakannya. Manusia menduga bahwa Rasulullah
Saw akan menuju suatu arah yang sebenarnya bukan itu yang dimaksud.
Kecuali dalam perang Tabuk. Dalam perang ini, Rasul menceritakan
niatnya kepada seluruh manusia sebab jauhnya jarak, beratnya
penderitaan, dan kuatnya musuh agar manusia semuanya mengerti akan
tugas mereka. Agar mereka dapat mempersiapkan dengan baik tugas ini.
Meskipun musim panas telah datang, cuaca panas terik terasa, buah-
buahan telah masak, bayangan telah sempurna dan jiwa manusia menjadi
malas dan tak mau bergerak. Meski demikian kaum muslimin memenuhi
seruan Nabi mereka dan langsung bersiap-siap.
Namun sebagian kaum munafikin membuat tekad kaum muslimin
melemah, membuat mereka ragu, dan menjelek-jelekkan Rasulullah Saw
dan mengucapkan kata-kata yang dapat menjerumuskan mereka dalam
kekufuran.
Pada suatu hari saat pasukan muslim akan berangkat, pemuda yang
bernama Umair bin Sa’d kembali ke rumahnya sesudah menyelesaikan
shalat di Masjid. Hatinya dipenuhi dengan sekumpulan kisah menarik dari
pengorbanan kaum muslimin yang ia lihat dengan matanya dan ia dengar
lewat telinganya.
Ia melihat para wanita kaum Muhajirin dan Anshar yang datang
menghadap Rasulullah Saw lalu melepaskan dan memberikan perhiasan
mereka kepada Rasulullah untuk membayar biaya pasukan yang berperang
di jalan Allah Swt.
Dan ia melihat dengan mata kepalanya bahwa Utsman bin Affan
membawa sebuah kantung yang berisikan 1000 dinar emas dan diberikan
kepada Nabi Saw.
Ia menyaksikan Abdurrahman bin Auf membawa di atas lehernya 100
awqiyah dari emas dan diberikan kepada Rasulullah Saw.
Bahkan ia juga melihat seorang pria yang menjual kudanya untuk
dibelikan pedang sehingga ia dapat berjuang di jalan Allah.
Maka Umair bin Said menjadi amat kagum dengan peristiwa ini ,
dan ia merasa aneh mengapa Al Julas tidak bersegera untuk siap dan
79
Tabuk yaitu sebuah tempat di perbatasan Syam
183
berangkat bersama Rasulullah Saw, dan mengapa ia terlambat memberikan
bantuan padahal ia yaitu orang yang mampu dan memiliki keluasan.
Maka Umair berusaha untuk membangkitkan semangat Al Julas dan
memotivasinya. Umair menceritakan kisah tentang apa yang telah ia lihat
dan ia dengar. Khususnya kisah beberapa orang muslimin yang datang
menghadap Rasul Saw dan meminta Beliau agar mengizinkan mereka
untuk bergabung dengan pasukan muslimin berjihad di jalan Allah. Namun
Rasul menolak permintaan mereka sebab mereka tidak memiliki kendaraan
yang dapat membawa mereka ke sana. Maka orang-orang tadi kembali
dengan mata berlinang sebab merasa sedih sebab mereka tidak
menemukan harta yang dapat mewujudkan keinginan mereka untuk
berjihad, dan mewujudkan impian mereka untuk mendapatkan kesyahidan.
namun Al Julas sesudah ia mendengarkan pembicaraan Umair,
maka meluncurlah dari mulut Al Julas yang membuat heran Umair saat
Umair mendengarnya mengucapkan: “Jika Muhammad benar sebagaimana
pengakuannya bahwa dia yaitu seorang Nabi, bila demikian maka kita
yaitu lebih buruk dari keledai.”
Umair kaget dengan apa yang baru saja ia dengar. Ia tidak pernah
mendengar bahwa seseorang yang berakal dan dewasa seperti Al Julas
keluar dari mulutnya kalimat yang dapat mengeluarkan orang yang
mengucapkannya dari keimanan dengan serta-merta, dan memasukkannya
dalam kekafiran.
Sebagaimana alat hitung canggih dapat menyelesaikan setiap
permasalahan yang dilontarkan kepadanya, maka akal Umair bin Sa’d
berpikir segera untuk mengerjakan apa yang semestinya ia lakukan.
Ia menduga bahwa berdiam diri dari apa yang dikatakan Al Julas lalu
menutupinya yaitu sebuah pengkhianatan kepada Allah dan Rasul-Nya,
juga dapat mencelakai Islam sebagaimana yang sering dilakukan oleh kaum
munafik.
Ia juga mengira bahwa mengumumkan kepada orang lain apa yang ia
dengar dari Al Julas yaitu merupakan kedurhakaan dirinya kepada orang
yang telah menjadi seperti ayah baginya, dan membalas air susu dengan air
tuba. Al Julas lah yang telah memelihara dia yang tadinya hanyalah seorang
yatim. Ia telah mencukupkan kebutuhan dirinya dari kefakiran, dan
menggantikan posisi ayahnya.
Tiada lain, bagi bocah ini haruslah memilih mana yang paling manis
dari dua pilihan pahit. Sesegera mungkin Umair memilih…
Ia menatap Al Julas sambil berkata: “Demi Allah, ya Julas, tidak ada
orang yang lebih aku cintai sesudah Muhammad bin Abdullah selain
kamu… Engkau yaitu orang yang aku sayangi.Engkau yaitu orang yang
paling mencintaiku. Namun engkau telah mengucapkan kalimat yang bila
aku ceritakan kepada orang lain, maka aku sudah membuatmu sulit.
184
Namun jika aku sembunyikan, itu berarti aku telah mengkhianati
amanahku dan aku sama saja telah mencelakakan agama dan diriku. Aku
bertekad untuk datang menghadap Rasulullah Saw dan menceritakan apa
yang telah kau katakan. Sadarilah apa yang telah kau lakukan.
Pemuda Umair bin Sa’d berangkat ke masjid dan menceritakan kepada
Rasulullah Saw apa yang ia dengar dari Al Julas bin Suwaid.
Maka Rasul Saw meminta Umair tinggal bersamanya dan Beliau
mengirim salah seorang sahabatnya untuk memanggil Al Julas.
Tidak berselang lama, maka datanglah Al Julas kemudian ia memberi
salam kepada Rasulullah lalu duduk dihadapan Rasulullah Saw. Nabi Saw
bertanya kepada Al Julas: “Ucapan apa yang kau katakan dan didengar oleh
Umair bin Sa’d?!”… Rasul menyebutkan seperti apa yang telah ia ucapkan.
Al Julas lalu berkata: “Dia telah berbohong tentangku dan telah
membuat-buatnya, Ya Rasulullah! Aku tidak pernah mengucapkan hal itu.”
Maka para sahabat memandangi Al Julas dan Umair bin Sa’d seolah
mereka ingin melihat dari roman wajah keduanya apa yang tersimpan di
dalam dada.
Mereka lalu saling berbisik. Salah seorang yang memiliki penyakit di
hatiny berkata: “Ini yaitu pemuda yang durhaka. Ia mau membalas
kebaikan orang yang mengasuhnya dengan keburukan.”
Salah seorang lagi mengatakan: “Malah, anak ini tumbuh dalam
ketaatan kepada Allah. Raut mukanya menggambarkan hal itu.”
Rasul Saw memandang Umair. Beliau mendapati wajah Umair
memerah, dan air mata mengalir dari bola matanya. Air mata ini
menetes di pipi dan dadanya dan ia berdo’a: “Ya Allah, turunkanlah bukti
kepada Nabi-Mu apa yang telah aku ceritakan kepadanya… Ya Allah,
turunkanlah bukti kepada Nabi-Mu apa yang telah aku ceritakan
kepadanya.”
Maka berdirilah Al Julas sambil berkata: “Apa yang aku ceritakan
kepadamu yaitu benar, ya Rasulullah. Jika engkau berkenan, kami akan
bersumpah dihadapanmu. Aku bersumpah kepada Allah bahwa aku tidak
mengatakan seperti apa yang disampaikan Umair kepadamu.”
Al Julas tidak berhenti mengucapkan sumpahnya sehingga mata
manusia tertuju kepada Umair bin Sa’d sehingga Rasulullah terdiam. Para
sahabat tahu bahwa ini pertanda turunnya wahyu. Mereka berdiri tak
bergeming. Tidak satupun yang bergerak. Mereka membeku dan
pandangan mereka tertuju kepada Nabi Saw.
Saat itu, baru muncul rona ketakutan dan malu di wajah Al Julas.
Munculah kemenangan pada Umair. Semua orang merasakan itu sehingga
Rasulullah Saw siuman lagi. Beliau lalu membaca:
“Mereka (orang-orang munafik itu) bersumpah dengan (nama)
Allah, bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang menyakitimu).
Sesungguhnya mereka telah mengucapkan perkataan kekafiran, dan
telah menjadi kafir sesudah Islam, dan menginginkan apa yang
mereka tidak dapat mencapainya; dan mereka tidak mencela (Allah
dan Rasul-Nya), kecuali sebab Allah dan Rasul-Nya telah
melimpahkan karunia-Nya kepada mereka. Maka jika mereka
bertaubat, itu yaitu lebih baik bagi mereka, dan jika mereka
berpaling, niscaya Allah akan mengazab mereka denga azab yang
pedih di dunia dan di akhirat; dan mereka sekali-kali tidak
mempunyai pelindung dan tidak (pula) penolong di muka bumi.”
(QS. At-Taubah [9] :74)
Al Julas gemetar ketakutan usai mendengar ayat ini . Hampir saja
lisannya terlilit sebab takut. Kemudian ia menatap Rasulullah Saw dan
berkata: “Aku bertaubat, ya Rasulullah… aku bertaubat. Umair benar, ya
Rasulullah dan aku yaitu orang yang berdusta. Pintalah Allah untuk
menerima taubatku, aku siap menjadi tebusanmu, ya Rasulullah!”
Lalu Rasulullah saw melihat ke arah Umair bin Sa’d, rupanya air mata
kebahagiaan telah membasahi wajahnya yang bersinar dengan cahaya
iman.
Rasul Saw lalu menjulurkan tangannya yang mulia ke telinga Umair
dan memegangnya dengan lembut sambil berkata: “Telingamu telah jujur
mendengarkan, wahai anak dan Tuhanmu telah membenarkanmu.”
Al Julas kembali ke pangkuan Islam dan ia menjalankan keislamannya
dengan baik. Para sahabat mengetahui perbaikan kondisinya sebab ia
memberikan banyak kebaikan kepada Umair.
Al Julas berkata setiap kali diingatkan tentang Umair:
“Allah akan membalasnya atas kebaikan yang ia lakukan padaku. Ia
telah menyelamatkan aku dari kekafiran, dan membebaskan diriku dari api
neraka.”
186
Wa ba’du… ini bukanlah kisah yang paling menarik dalam hidup
seorang pemuda yang menjadi sahabat Rasul bernama Umair bin Sa’d.
Dalam hidupnya banyak sekali kisah yang lebih baik dan menarik.
Sampai jumpa lagi dengan kisah Umair bin Sa’d pada usia dewasanya.
Dalam Usia Dewasa
“Aku Amat Berharap Memiliki Orang Seperti Umair bin Sa’d untuk
Menjadi Pembantuku dalam Menangani Urusan Kaum Muslimin.”
(Umar bin Khattab)
Baru saja kita mengetahui sebuah kisah hidup seorang sahbat yang
terkenal Umair bin Sa’d pada usia mudanya. Mari bersama kita ikuti kisah
hidupnya yang hebat pada usia dewasanya. Kalian akan mendapati bahwa
kisah ini tidak kalah menarik dengan kisah yang pertama.
Penduduk Himsh80 yaitu penduduk yang paling sering mengeluhkan
pemimpin mereka. Tidak ada seorang wali yang datang kepada mereka,
kecuali mereka mendapati pada diri wali ini banyak sekali aib dan
dosa yang ia lakukan dan mereka akan melaporkan hal ini kepada
Khalifatul Muslimin, dan mereka berharap agar Khalifah berkenan
menggantikannya dengan yang lebih baik lagi.
Umar Al Faruq berniat untuk mengirimkan kepada mereka seorang
wali yang tidak cacat dan memiliki track record yang baik di mata mereka.
Maka Umar menyeleksi para pembantunya dan ia menguji mereka satu
per satu, namun ia tidak menemukan adanya orang yang lebih baik
daripada Umair bin Sa’d.
Umair saat itu sedang berangkat berperang ke sebuah pulau di negeri
Syam sebagai pemimpin pasukan pejuang di jalan Allah. Ia membebaskan
banyak kota dan merobohkan banyak benteng, menundukkan banyak
kabilah dan mendirikan banyak masjid di setiap daerah di manapun ia
berada.
Meski ia sedang melakukan itu semua, Amirul Mukminin
memanggilnya, dan menyuruhnya untuk berangkat ke Himsh dan menjadi
wali di sana. Ia pun menuruti perintah Amirul Mukminin meski
sebenarnya ia tidak menyenanginya sebab tidak ada yang lebih ia sukai
selain jihad di jalan Allah.
80
Himsh yaitu sebuah kota di Syiria terletak di antara Damaskus dan Halb. Di sana terdapat
makam Khalid bin Walid ra.
187
Umair tiba di Himsh dan ia mengajak manusia untuk shalat berjama’ah.
Usai shalat, ia berkhutbah dihadapan manusia. Ia memulainya dengan
memuji Allah dan bershalawat kepada Muhammad Saw. Ia lalu berkata:
“Wahai manusia, Islam yaitu benteng yang kokoh dan gerbang yang
kuat. Benteng Islam yaitu keadilan dan gerbangnya yaitu kebenaran.
Jika benteng telah dihancurkan dan gerbang telah dirobohkan, maka
perlindungan agama ini tidak ada lagi. Islam akan senantiasa melindungi
selagi kekuasaan tegak berdiri. Tegaknya kekuasaan bukanlah dengan
cambukan dan sabetan pedang. namun dengan keadilan dan
kebenaran.”
Kemudian ia meneruskan pekerjaannya untuk melaksanakan apa yang
telah ia rancang untuk mereka dari rencananya yang ia paparkan lewat
khutbah yang singkat.
Umair menjalankan tugasnya di Himsh selama setahun penuh, namun
tidak ada surat yang dikirimkan kepada Amirul Mukminin dan tidak ada 1
dirham atau dinar dari harta fai’ yang sampai ke baitul mal. Maka hal itu
menimbulkan keraguan pada diri Umar, sebab ia amat khawatir terhadap
para wali yang ia angkat akan ujian kepemimpinan. Tidak ada yang
ma’shum menurut Umar selain Rasulullah Saw.
Umar langsung memerintahkan kepada sekretarisnya: “Kirimkan surat
kepada Umair bin Sa’d yang berbunyi: ‘Jika surat Amirul Mukminin telah
sampai kepadamu, maka tinggalkanlah Himsh dan datanglah kepadanya.
Bawalah harta fai’ muslimin yang kau sembunyikan.”
Umair bin Sa’d menerima surat Umar bin Khattab ra. Ia lalu membawa
tempat bekalnya, ia membawa tempat makannya di atas pundak dan juga
tempat air wudhunya. Ia juga memegang senjatanya dengan tangan. Ia
meninggalkan Himsh dan menyusuri jalan di atas kedua kakinya menuju
Madinah.
Begitu Umair tiba di Madinah, nampak sekali bahwa kulitnya telah
berubah, tubuhnya kurus, rambutnya panjang. Dan nampak pada dirinya
kelelahan akibat perjalanan.
Umair datang menghadap Umar bin Khattab. Kondisi Umair membuat
Umar keheranan dan berkata: “Apa yang terjadi padamu, wahai Umair?!”
Umair menjawab: “Tidak ada yang terjadi pada diriku, wahai Amirul
Mukminin. Aku seha wal afiat, Alhamdulillah. Aku membawa semua dunia
bersamaku dan aku tarik dari kedua tanduknya.”
188
Umar bertanya: “Apa yang kau bawa dari dunia? (Umar menduga
bahwa Umair membawa harta untuk Baitul Mal muslimin)”
Umair menjawab: “Aku membawa tempat bekalku dimana aku simpan
di situ bekal perjalananku. Aku juga membawa piring besar tempat aku
makan dan membasuh tubuh dan menyuci bajuku. Aku juga membawa
tempat air untuk wudhu dan minum.
Lalu dunia semuanya –wahai amirul mukminin- mengikuti barang-
barangku ini, aku tidak memerlukan hal yang lebih dari ini, dan tidak ada
selain aku yang memiliki barang-barang ini.”
Umar bertanya: “Apakah engkau datang dengan berjalan kaki?” Ia
menjawab: “Benar, ya Amirul Mukminin.” Umar bertanya: “Bukankah
sebagai pemimpin engkau telah diberikan hewan tunggangan?” Ia
menjawab: “Mereka belum memberiku, dan aku tidak minta kepada
mereka.” Umar bertanya: “Lalu mana harta yang akan engkau setorkan ke
Baitul Mal?” Ia menjawab: “Aku tidak membawa apapun.” Umar bertanya:
“Mengapa demikian?” Ia menjawab: “Begitu aku sampai di Himsh, aku
mengumpulkan para penduduknya yang shalih. Aku menunjuk mereka
sebagai pengumpul fai’ dari para penduduk. Setiap kali mereka
mengumpulkan fai’, aku bermusyawarah kepada mereka tentang
penggunaan harta fai’ ini dan aku tempatkan pada alokasinya, dan aku
infakkan kepada orang-orang yang berhak menerimanya.”
Umar lalu berkata kepada sekretarisnya: “Perbaharuilah perjanjian
untuk Umair agar menjadi wali di daerah Himsh!”
Umair berkata: “Jangan… itulah yang tidak aku inginkan. Aku tidak
akan bekerja untukmu dan tidak untuk orang sesudah mu, ya Amirul
Mukminin.”
Lalu Umair meminta izin untuk pergi ke suatu kampung di ujung
Madinah dimana keluarganya berada. Maka Umar pun mengizinkannya.
Tidak lama Umair pergi menuju kampungnya, Umar berniat untuk
menguji sahabatnya ini, dan menguji kepercayaannya. Ia berkata kepada
salah seorang kepercayaannya yang bernama Al Harits: “Susullah Umair
bin Sa’d, wahai Al Harits! Singgahlah dirumahnya seolah engkau bertamu.
Jika engkau menemukan tanda-tanda kemakmuran pada dirinya, maka
kembalilah. Jika engkau melihatnya dalam kondisi amat sulit, maka
berikanlah dinar-dinar ini.”
Lalu Umar memberikan sekantung uang yang berisikan 100 dinar.
Al Harits berangkat hingga tiba di kampun Umair bin Sa’d. Ia bertanya
dimana alamatnya, lalu ia ditunjukkan oleh seseorang.
Saat Al Harits menjumpainya, ia berkata: “Assalamu’alaika wa
rahmatu-Llahi.” Umair menjawab: “Wa alaikas salam wa rahmatullahi wa
barakatuhu. Dari mana engkau datang?” Al Harits menjawab: “Dari
189
Madinah.” Umair bertanya: “Bagaimana kondisi muslimin di sana saat kau
meninggalkan mereka?” Al Harits menjawab: “Mereka baik-baik saja.”
Umair bertanya: “Bagaimana kabar Amirul Mukminin?” Al Harits
menjawab: “Ia sehat dan shalih.” Umair bertanya: “Bukankah ia
menegakkan hukum hudud?” Al Harits menjawab: “Benar, Ia pernah
mendera anaknya yang melakukan dosa keji.” Umair berkata: “Ya Allah,
tolonglah Umar. Yang aku ketahui tentangnya yaitu bahwa ia yaitu
orang yang amat mencintai-Mu!”
Al Harits menjadi tamu Umair bin Sa’d selama 3 malam. Setiap malam,
Umair menghidangkan sepotong roti gandum.
Pada hari ketiga; ada seorang dari kaum Umair berkata kepada Al
Harits: “Engkau telah merepotkan Umair dan keluarganya. Mereka tidak
memiliki apapun kecuali roti gandum yang mereka berikan kepadamu
meski mereka sendiri tidak memakannya. Kelaparan telah mengancam
hidup mereka. Jika kau berkenan, menginaplah di tempatku!”
Saat itu, Al Harits mengeluarkan kantung dinar dan memberikannya
kepada Umair. Umair bertanya: “Apa ini?” Al Harits menjawab: “Itu
dikirimkan untukmu oleh Amirul Mukminin.” Umair berkata: “Kembalikan
kepadanya, sampaikan salamku padanya dan katakan padanya bahwa
Umair tidak membutuhkan dinar ini !”
Tiba-tiba istri Umair berteriak –rupanya ia mendengarkan pembicaraan
suaminya dengan si tamu- ia berkata: “Ambillah, ya Umair. Jika kau
membutuhkannya engkau dapat memberi nafkah dari uang itu. Jika kau
tidak membutuhkannya, maka engkau akan dapat menyalurkannya.
Banyak orang yang membutuhkan di daerah ini.”
Begitu Al Harits mendengar ucapan istri Umair, Al Harits menaruh
uang dinar ini di depan Umair dan lalu pergi. Lalu Umair mengambil
uangdinar ini dan ia bagikan dalam kantung-kantung kecil. Ia tidak
tidur pada malam itu sebelum ia membagikan semuanya kepada orang
yang membutuhkan, khususnya para anak syuhada.
Al Harits kembali ke Madinah, dan Umar bertanya kepadanya: “Apa
yang kau dapat, ya Harits?” Ia menjawab: “Kondisi yang amat sulit, wahai
Amirul Mukminin!” Umar bertanya: “Apakah kau berikan dinar-dinar itu
kepadanya?” Ia menjawab: “Ya, wahai Amirul Mukminin!” Umar bertanya
lagi: “Lalu apa yang ia perbuat dengan uang dinar tadi?” Ia menjawab:
“Aku tidak tahu. Aku menduga ia tidak akan menyisakan 1 dirham pun
untuk dirinya.”
190
Lalu Umar mengirimkan surat kepada Umair yang berbunyi: “Jika
suratku ini telah datang kepadamu, janganlah kau letakan sebelum kau
datang kepadaku!”
Umair bin Sa’d berangkat ke Madinah dan menghadap kepada Amirul
Mukminin. Umar menyambutnya dan berkata kepadanya: “Apa yang kau
perbuat dengan uang dinar itu, ya Umair?” Ia menjawab: “Apa urusanmu,
ya Umar.” Umar berkata: “Aku berkeras untuk mengetahui apa yang telah
kau lakukan dengan uang dinar itu?” Ia menjawab: “Aku telah
menabungnya untuk diriku agar ia bermanfaat bagiku di hari tiada harta
dan keturunan yang akan memberi manfaat…”
Maka meneteslah air mata Umar. Ia berkata: “Aku bersaksi bahwa
engkau yaitu termasuk orang yang mengutamakan orang lain atas diri
mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan
itu).” Kemudian Umar memerintahkan agar Umair diberi makan dan 2
helai baju.
Umair berkata: “Kami tidak memerlukan makanan, wahai Amirul
Mukminin. Aku telah menyisakan 2 sha’ gandum buat keluargaku. Jika 2
sha’ tadi habis maka Allah Swt akan memberikan rizqi lagi kepada kami…
Sedangkan baju, akan aku ambil untuk Ummu Fulan (maksudnya yaitu
istrinya) bajunya sudah rusak dan hampir saja ia telanjang.
Tidak lama berselang sesudah perjumpaan itu antara Umar al Faruq dan
sahabatnya, sehingga Allah Swt mengizinkan Umair bin Sa’d untuk
menyusul Nabi dan kekasihnya Muhammad bin Abdullah Saw sesudah
kerinduan yang lama ia simpan untuk berjumpa dengannya.
Umair berangkat menyusuri jalan akhirat dengan meninggalkan
dirinya, ia berjalan dengan langkah pasti, ia tidak merasa terbebani dengan
segala macam permasalahan dunia, dan punggungnya tidak dibebani
dengan hiruk-pikuk dunia.
Tidak ada yang ia bawa selain cahaya, petunjuk, wara dan taqwa…
Saat Umar Al Faruq berta’ziah, wajahnya diliputi dengan kesedihan,
dan duka menghiasi hatinya. Ia berkata: “Aku amat berharap memiliki
orang seperti Umair bin Sa’d untuk menjadi pembantuku dalam menangani
urusan kaum muslimin.”
Semoga Allah meridhai Umair bin Sa’d. Dia yaitu seorang tauladan
yang harus ditiru dari sekian banyak orang. Ia juga merupakan seorang
191
murid yang istimewa dalam asuhan Rasulullah Muhammad bin Abdullah
Saw.
Abdurrahman Bin Auf
“Semoga Allah Memberkahi Harta yang Kau Berikan. Semoga Allah
Memberkahi Harta yang Kau Simpan.” (Salah Satu Do’a Rasulullah
Kepadanya)
Dia yaitu salah satu dari 8 orang yang pertama kali masuk ke dalam
Islam. Ia juga termasuk 10 orang yang dijamin masuk surga. Dia juga salah
satu dari 6 orang ahli syura pada hari pemilihan khalifah sesudah Umar Al
Faruq. ………
Namanya pada masa jahiliah yaitu Abdu Amrin. Saat ia masuk Islam
Rasulullah Saw memanggilnya dengan Abdurrahman. Inilah Abdurrahman
bin auf ra.
Abdurrahman bin Auf masuk Islam sebelum Rasulullah Saw masuk ke
rumah Al Arqam81, dan itu terjadi sesudah 2 hari Abu Bakar memeluk Islam.
Ia juga merasakan penyiksaan seperti yang dirasakan oleh kaum
muslimin pada saat itu, dan ia mampu menghadapinya dengan sabar dan
teguh. Ia menyelamatkan agamanya dengan melarikan diri ke Habasyah
sebagaimana yang dilakukan oleh kaum muslimin lainnya.
Saat Rasul Saw diizinkan untuk berhijrah ke Madinah, Abdurrahman
termasuk orang muhajirin pertama yang berhijrah sebab Allah dan Rasul-
Nya.
Saat Rasulullah Saw menjadikan kaum Muhajirin dan Anshar
bersaudara maka Beliau menjadikan Abdurrahman bin Auf sebagai saudara
Sa’d bin Rabi’ Al Anshary82 ra. Sa’d berkata kepada saudara barunya
Abdurrahman bin Auf: “Saudaraku, aku yaitu penduduk Madinah yang
paling banyak hartanya. Aku memiliki 2 kebun, dan aku punya dua istri.
Pilihlah kebun mana yang kau sukai sehingga aku memberikannya
padamu. Dan pilihlah istriku yang mana yang kau sukai agar aku
mentalaknya untukmu!”
Abdurrahman lalu berkata kepada saudara barunya yang berasal dari
suku Anshar: “Semoga Allah memberkahi keluarga dan hartamu. Tetapi,
81
Darul Arqam yaitu sebuah rumah tempat Rasul Saw menyampaikan Islam. Rumah ini milik
Al Arqam bin Abdi Manaf Al Makhzumy dan rumah ini disebut juga dengan Darul Islam.
82
Sa’d bin Rabi’ bin Amr bin Abi Zuhair bin Malik Al Anshary Al Khajrajy yaitu seorang
sahabat terkemuka. Dia gugur dalam perang Uhud.
193
tunjukkan kepadaku di mana pasar!” Sa’d lalu menunjukkan Abdurahman,
dan ia mulai berdagang sehingga mendapatkan keuntungan dan ia tabung
keuntungan ini .
Tidak lama berselang, ia sudah dapat mengumpulkan uang sebagai
mahar pengantin dan ia pun menikah. Maka datanglah Rasulullah Saw
dengan membawa minyak wangi dan Beliau berkata: “Mahyam83, ya
Abdurrahman!” Ia menjawab: “Aku menikah.” Rasul bertanya: “Mahar apa
yang kau berikan kepada istrimu?” Ia menjawab: “Emas seberat atom.”
Rasul Saw bersabda: “Buatlah walimah meski hanya dengan seekor domba.
Semoga Allah memberkahi hartamu!”
Abdurrahman berkata: Sepertinya dunia mendatangiku sehingga aku
merasa bila aku mengangkat sebuah batu, maka aku menduga bahwa aku
akan menemukan emas atau perak di bawahnya.
Pada peristiwa Badr, Abdurrahman bin Auf berjihad dengan sungguh-
sungguh di jalan Allah Swt, dan ia berhasil membunuh musuh Allah yang
bernama Umair bin Utsman bin Ka’b At Taimy.
Pada perang Uhud, ia termasuk orang yang teguh berjuang, dan tetap
tak bergeming saat banyak orang yang lari takut kalah. Ia keluar dari
perang dan pada tubuhnya terdapat lebih dari 20 luka. Sebagian dari luka
ini amat dalam yang dapat dimasuki tangan seseorang.
namun jihad Abdurrahman yang dilakukan dengan jiwa lebih
sedikit dengan jihadnya yang ia lakukan dengan harta.
Suatu saat Rasulullah Saw hendak memberangkatkan sebuah pasukan.
Ia berdiri dihadapan para sahabatnya dan bersabda: “Bersedekahlah kalian,
sebab aku akan mengirimkan utusan!”
Abdurrahman lalu pulang ke rumah dan kembali lagi dengan segera. Ia
berkata: “Ya Rasulullah, aku mempunyai 4000: Dua ribu aku pinjamkan
kepada Tuhanku, dan dua ribu lagi aku sisakan untuk keluargaku.”
Rasulullah Saw lalu bersabda: “Semoga Allah memberkahi harta yang
kau berikan dan semoga Ia memberkahi harta yang kau simpan!”
Saat Rasul saw berniat melakukan perang Tabuk –perang ini yaitu
perang terakhir yang Beliau lakukan dalam hidupnya- kebutuhan terhadap
harta saat itu sama dengan kebutuhan jumlah pasukan. Pasukan Romawi
saat itu berjumlah dan berbekal banyak. Padahal tahun itu di Madinah
sedang paceklik. Perjalanan yang mereka lalui amat panjang. Biaya mereka
sedikit. Kendaraan juga sedikit sehingga ada sekelompok mukminin datang
83
Kalimat berasal dari bangsa Yaman yang mengekspresikan rasa takjub.
194
kepada Rasulullah Saw yang meminta Beliau untuk mengadakan kendaraan
yang dapat membawa mereka ikut serta dalam jihad. Namun Rasulullah
Saw menolak permintaan mereka, sebab mereka tidak memiliki kendaraan
untuk membawa mereka ke sana. Maka mereka pun kembali dengan mata
berlinang sebab merasa sedih sebab mereka tidak memiliki apapun juga
yang bisa diinfaqkan. Mereka itu dikenal dengan orang-orang yang
menangis. Dan pasukan inipun dikenal dengan pasukan ‘susah.’
Saat itu Rasulullah Saw memerintahkan mereka untuk berinfaq di jalan
Allah dan memohon balasannya kepada Allah. Maka kaum muslimin
bersegera dalam menjawab seruan Rasulullah Saw, dan salah satu orang
yang melakukan sedekah saat itu yaitu Abdurrahman bin Auf. Ia
bersedekah dengan 200 awqiyah dari emas. Umar bin Khattab lalu berkata
kepada Nabi Saw: “Menurutku, Abdurrahman bin Auf telah berbuat dosa,
sebab ia tidak menyisakan apapun untuk keluarganya…” Rasulullah Saw
lalu bertanya kepada Abdurrahman bin Auf: “Apakah engkau telah
menyisakan harta untuk keluargamu, ya Abdurrahman?”
Ia menjawab: “Ya. Aku telah sisakan untuk mereka lebih dari apa yang
telah aku infaqkan dan lebih baik.”
Rasul bertanya: “Berapa?” Ia menjawab: “Sebanyak apa yang telah
Allah dan Rasul-Nya janjikan dari rizqi, kebaikan dan balasan.”
Pasukan ini lalu berangkat ke Tabuk… Di sana Allah Swt memberikan
Abdurrahman bin Auf kemuliaan yang belum pernah diterima oleh
muslimin lainnya. Waktu shalat sudah tiba, sedang Rasulullah Saw tidak
ada. Maka Abdurrahman bin Auf menjadi imam bagi kaum muslimin saat
itu. Hampir saja mereka menyelesaikan raka’at pertama, maka Rasulullah
Saw menyusul mereka dalam jamaah. Beliau mengikuti shalat
Abdurrahman bin Auf dan berada dibelakangnya…
Apakah ada kemuliaan yang melebihi seseorang yang menjadi imam
bagi pemimpin seluruh makhluk sekaligus pemimpin para Nabi, yaitu
Muhammad bin Abdullah?!!
sesudah Rasulullah Saw kembali ke pangkuan Tuhannya, Abdurrahman
bin Auf mencukupi segala kebutuhan Ummahatul Mukminin (para istri
Rasulullah Saw)… Ia berangkat bersama mereka bila mereka bepergian.
Berhaji, jika mereka melaksanakan haji. Ia membuat pada sekudup84
mereka kain hijau untuk berteduh yang biasa dipakai oleh orang-orang
tertentu. Ia akan menemani mereka berhenti di tempat yang mereka sukai.
Sekudup yaitu sebuah tempat yang memiliki kubah dan diletakkan di atas punggung unta,
dikhususkan bagi wanita.
Itulah kisah hidup Abdurrahman bin Auf dan kepercayaan para
Ummahatul Mukminin kepadanya yang dapat ia banggakan.
Kebaikan Abdurrahman terhadap kaum muslimin dan Ummahatul
Mukminin bahkan membuatnya menjual tanah miliknya seharga 1000
dinar. Ia bagikan semua uang itu kepada Bani Zuhra, orang-orang faqir
dari golongan Muhajirin, dan para istri Nabi Saw. Saat ia mengirimkan
bagian harta ini untuk Ummul Mukminin Aisyah ra. Aisyah bertanya:
“Siapakah yang mengirimkan harta ini?” Ada yang mengatakan kepadanya:
“Abdurrahman bin Auf.” Kemudian Aisyah berkata: Rasulullah Saw pernah
bersabda: “Tidak ada orang yang bersimpati kepada kalian sesudah aku mati
kecuali mereka orang-orang yang sabar.”
Do’a Nabi Saw dikabulkan sehingga Abdurrahman bin Auf
mendapatkan keberkahan pada hartanya. Perdagangan Abdurrahman bin
Auf terus berkembang dan bertambah. Kafilah miliknya terus-menerus
pergi dan kembali ke Madinah dengan membawa gandum, tepung, minyak,
pakaian, bejana, minyak wangi dan semua kebutuhan masyarakat
Madinah.
Suatu hari datanglah kafilah Abdurrahman bin Auf ke Madinah yang
terdiri dari 700 kendaraan. Ya, 700 kendaraan yang membawa makanan,
barang-barang yang dibutuhkan oleh penduduk Madinah.
Begitu kafilah ini memasuki Madinah, maka bumi terasa bergoyang dan
terdengar sorak-sorai manusia. Aisyah ra bertanya: “Ada apa ramai-ramai
begini?” Ada orang yang menjawabnya: “Ini yaitu kafilah Abdurrahman
bin Auf… 700 unta yang membawa, gandum, tepung dan makanan.”
Aisyah ra berkata: “Semoga Allah memberkahi harta yang telah ia
berikan di dunia demi ganjaran akhirat yang lebih besar.”
Sebelum unta-unta ini berhenti. Kabar ini telah sampai
kepada Abdurrahman bin Auf. Begitu telinganya mendengar apa yang
dikatakan Ummul Mukminin Aisyah,