amah Muhanarah (318).
I
2
Bab 5: Empat UlamaAhli Fikih... ltr 273
pada masa sesudahnya, sebagaimana tampak pula pada sikapnya dalam
menghadapi kehidupan yaitu sikap rerkait keagamaan yang bermuara
pada Al-Qur'an dan sunnah. Maksud saya, dia menyelesaikan perkara-
perkara di sekitarnya dengan mengacu pada petunjuk generasi terdahulu
yang meyakinkan baik terkait penyampaian nasihat kepada Para Penguasa
maupun dalam hal kepedulian terhadap masyarakat pada umumnya'
Sekilas Tentang Manhai Malik ddam Fikih dan Akidah
Sudah lazim -menurut pandangan kami- bahwa manhaj seoran8
ulama dan pokok-pokok pemikirannya tidak terbagi-bagi. Jika dia mengacu
pada manhaj generasi terdahulu terkait fikih dan ijtihadnya, maka lebih
dari itu rentunya demikian pula terkait pemahamannya terhadap masdah-
masalah dan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan akidah' Akan
tetapi pengklasifikasian di sini dimalsudkan untuk kaiian dan memudahkan
penerapannya terhadap hal-hal yang melibatkan pola-pola pemikirannya,
kedudukannya secara keilmuan, dan pengetahuannya terhadap
^pa
yang
harus dilakukannya bagi umatnya, sebagaimana kita pun memahami itu
dalam kerangka istilah-istilah dan landasan-landasan yang diterimanya
sendiri. Ini merupakan hal yang dituntut oleh obyektifitas bahasan ilmiah
bagi kajian yang dilakukan oleh orang-orangyanghidup bukan pada masa
kita, yaitu dari kalangan ulama Islam.t Hal ini akan semakin jelas jika kita
menetapkan batasan pokok-pokok manhajnya yang secara keseluruhan
dapat digambarkan sebagai berikut:
Pertama, Mak.a Fikih Menurut Imam Malik
Bidang-bidangyangditekuni oleh para ulama fikih pada masa Malik
terbams pada kisaran makna fikih, menurut Malik, dan keluasan wilayah
jangkauannya menunjukkan indikasi bahwa makna fikih ini mencakup
berbagai macam kerentuan hukum yang berbeda-beda, sebagaimana
yang terdapar dalam raranan pokok-pokok masalah dalam kehidupan
umat Islam. Ini terjadi lantaran ulama fikih senantiasa bergerak dalam
menghadapi dinamika berbagai golongan yang berbeda-beda, baik yang
berkaitan dengan akidah maupun yang berkaitan dengan politik, meskipun
seorang ulama 6kih tidak mengikuti suatu pandangan tertentu. Fikih yang
1 Al-Khauli , Malik Tarjamab Muhanarah (665).
274 lE eUa*, Islam Menurut Empat Madzhab
ditekuni oleh para ulama hadits, hakim, dan mufti ini mengatur berbagai
macam ketentuan hukum yang berbeda-beda. Yaitu mencakup ketentuan
hukum politik praktis, dan memaparkan kondisi-kondisi yang berkaitan
dengan hukum, yaitu mencakup undang-undang negara dengan kedua
jenisnya umum dan khusus, serta menyentuh hubungan antar bangsa, yaitu
mencakup berbagai macam undang-undang yang mengatur kehidupan
bersama, seperti undang-undang sipil dengan beragam bahasannya, dan
undang-undang pidan a juga.
Jika kita perhatikan, apabila perkaranya seperti demikian,
bahwa perbedaan pada golongan-golongan umat Islam dan tema-tema
pembicaraannya berkisar di antara dua hal; kepemimpinan dan hal-hal
pokokyang menjadi landasan,r dan bahwasanya perbedaan ini menyentuh
pokok-pokok hukum serta dasar-dasar aturannya, dan perbedaan pada
pokok-pokok menyentuh kebebasan perbuatan dan kebebasan akal, kita
dapat mengetahui bahwa 6kih yang ditekuni oleh imam kita dan rekan-
rekannya tidak dapat dielakkan benabrakan dengan hal-hal yang dibicarakan
ini, baik pelakunya memiliki pernyata:rn yang dikenal dan pandangan yang
masyhur maupun tidak memiliki kriteria.y^ng menonjol ini di medan
perbedaan-perbedaan tersebut."2
Melalui luasnya bidang amal fikih kita melihat Malik. Dan ulama
fikih pada masanya juga memahami fikih dalam arti pemahaman tentang
agama, dan pemahaman terhadap kitab Allah serta sunnah Rasul-Nya
dengan masdah-masalah akidah yang terkandung di dalam keduanya serta
implikasi-implikasinya yaitu fikih. Hikmah, dengan segala keteladan dan
kesimpulan yang disinyalir adalah fikih (pemahaman) juga. Maka dari itu
kita dapati sebagian ahlut tafsir menafsirkan hikmah dalam firman Allah,
"Dia rnernberihan hikmah krprfu siapa yng Dia hehendzhi. Barang-
siapa diberi hihmah, sesunguhnya dia tekh diberi hebaihan yng
b anln h, " (Al-Baqar $z 269) .
Asy-Syahrustani, Al-Mihl uan Nihal (l I 27).
Al-Khauli, Tarjanah Muhanarah (17 5).
I
2
Bab 5: Empat UlamaAhli Fikh... ltr 275
Mereka menafsirkan hikmah dalam ayat ini dengan penafsiran yang
dinisbatkan kepada sebagian generasi sahabat dart'tabi' in, yaitu Al-Qur' an
dan pemahaman terhadapnya, atau pemahaman tentang Al-Qur'an, atau
hikmah adalah Al-Qur'an, ilmu, dan fikih.t
Abu Hanifah (150 H) dan fuy-Syaf i (204 H) memandang bahwa
fikih tentang agama secara umum addah pemahaman, akan tetapi 6kih
akidah adalah fil<th akbar (istimewa).2 Pemahaman ini tidaklah jauh dari
yang dimaknai menurut pendapat Imam Malik, yaitu dia mengatakan,
'Hikmah addah cahayayangdilimpahkan olehAllah ke dalam hati hamba."
Dia juga mengatakan, "Yang tebersit dalam hatiku bahwa hikmah
adalah fikih tentang agama Allah, dan suatu hd yang dimCIukkan oleh Allah
ke ddam hati hamba-hamba-Nya berupa rahmat-Nya dan anugerah-Nya."
Dia juga mengatakan, "Hikmah adalah penghayatan terhadap
perintah Allah dan peneladanannya."
Dia mengatakan tentang yang didengarkan Ibnu \fahb dan Ibnu
Qasim; hikmah adalah ketaatan kepada Allah, peneladanan terhadapnya,
dan fikih tentang agame serta pengamalannya.
Dia mengatakan, 'hdab Allah adalah Al-Qur'an, adab Rasul-Nya
adalah sunnah, dan adab orang-orang saleh adalah fikih."3 Jadi, fikih
menurur Imam Malik memiliki jangkauan yang lebih luas daripada ilmu
yang dibatasi oleh gerakan pembatasan ilmu dalam batasan tertentu.
Dengan demikian, ilmu-ilmu Al-Qur'an dan kebutuhannya kepadanya,
hadits dan kepeduliannya untuk menjaga keshahihannya, Pengetahuannya
renrang amal-amd yang diterapkan oleh generasi sahabat dan tabi'in, dan
ilmu-ilmu serta pengetahuan-pengetahuan yang berkaitan dengannya, itu
semua termasuk dalam bahasan fikih menurut tokoh kita ini, &n semuanya
merupakan jalan untuk memahami pokok-pokok agama, dan penerapan
ketentuan-ketentuannya. Jika tidak demikian, lantas adakah pengaruh yang
dapat ditinggalkan oleh ilmu ddam kehidupan manusia.
Dari maknayangluas dan selaras dengan risalah ilmu ddam Islam
Ta$ir Ath-Tbabar, (3/60), Bulaq.
Abu Hanifah dan fuy-Syaf i memiliki karya berupa risalah yang masingmasing dari keduanya disebut
Al-Fiqh Al-Ahbar tentang akidah salafiyah.
Tartib Al-Madanh (2162, 63).
I
2
3
276 6 et ia"l Islam Menurut Empat Madzhab
ini, Imam Malik tergerak untuk membatasi langkahJangkah penerapan
bagi pemahaman ini. t
Kedua: Sdafiyah dan konsep lttiba' (Mengihuti Sunnah) dalam
Manhai Imam [talik
Istilah-istilah yang beredar di dalam kamus pemikir mana pun
didasarkan pada manhajnya dan cara penilaiannya terhadap masalah-
masdah. Orang yang mempelajari istilah-istilah Imam Malik, dia akan
mendapati bahwa istilah-istilah tersebut sarat dengan manhaj salafiyah
drn iniba'(mengikuti sunnah). Dia mendahulukan teks syariar dan
menerapkan pemahaman generasi sahabat dan tabi'in yang mengikudnya
tanpa menguranginya dengan alasan-alasan ijtihad dan pendapat menu-
rumya. Barangkali kita dapat langsung menyimpulkan hal ini jika kita
membaca sendiri istilah-istilahnya, sebagai jawaban atas perranyaan seputar
pembatasan ini.
Ibnu Abi Uwais mengatakan, Malik ditanya, "Apa maksud dari
pernyataanmu dalam berbagai kitab: "hal yang telah disepakati, "menurur
kami", atau "di negeri kami", dan "aku mengetahui orang-orang berilmu",
dan "aku mendengar di antara kdangan berilmu"?"
Malik menjawab, "Aku sering mengarakan di berbagai kitab
"pendapatku" maka sebenarnya bukanlah pendapatku sendiri, akan tetapi
pendapat yang aku dengar dari lebih dari satu kalangan yang memiliki ilmu
dan keutamaan, serta kalangan imam yang diteladani yang dari merekalah
aku belajar. Mereka ituaddah orang-orang yang bertakwa kepada Allah.
l,antaran begitu banyaknya, maka aku mengatakan "pendapatku" dan iru
pendapatku. Sebab, pendapat mereka seperti pendapat generasi sahabat,
mereka mendapati generasi sahabat berpendapar seperri itu, dan aku
mendapati mereka juga demikian, maka ini merupakan warisan yang sequa
turun temurun mereka wariskan dari masa ke masa hingga zaman kita.
Adapun pernyataan "aku berpendapat", maka ini merupakan pendapat
kalangan imam yang telah disebutkan di atas.
Adapun pernyataan "hal yang disepakati" yaitu pendapat para ulama
fikih dan kalangan ulama yang disepakati dan tidak mereka perselisihkan.
Sedangkan perkataanku "menurut kami" yaitu yang diamalkan
oleh berbagai kalangan menurut kami, dan terdapat ketenruan-ketentuan
Bab 5: Empat Ulama Ahli Fikih... e 277
hukumnya yang berlaku, serta diketahui oleh orang yang bodoh mauPun
orang yang berilmu.
Demikian pula yang aku katakan "di negeri kami," dan yang aku
katakan "menurut sebagian ulama," maka itu merupakan hal yang aku
pandang baik dari perkataan ulama.
Sedangkan )ang tidak aku dengar, maka aku berijtihad dan mencermati
berdasarkan madzhab ulama yang aku temui' hingga hd itu dapat dipahami
dengan benar atau mendekati kebenaran, agar tidak keluar dari ma&hab
dan pendapat penduduk Madinah. Dan iika aku tidak mendengar itu
sendiri, lantas aku lupa terhadap pendapat itu hingga setelah melakukan
ijtihad dengan dasar sunnah serta yang dianut oleh ulama terdahulu yang
diteladani, serta hal yang diamalkan di antara kami sejak masa Rasulullah 6
dan para imam yang mengikuti petunjuk, beserta mereka yang aku temui.
Maka itulah pendapat mereka yang ddak aku tinggalkan dengan beralih
kepada yang lain."r
Jawaban Imam Malikdi atas menunjukkan dengan jelas istilah-istilah
yang digunakannya, sebagaimana juga mengungkap indikasi-indikasi
argumentasinya, dan pada keduanya terdapat penjelasan bahwa Malik
menerapkan ketentuan syariat yang terdapat dalam Al-Qur'an dan sunnah,
dan mengacu pada pemahaman generasi sahabat dan tabi'in serta ulama
pa& masanya yang berkomitmen terhadap manhaj mereka. Ini addah sikap
yang mengutamakan kehati-hatian dan mencari posisi aman dan selaras
dengan sifat yang dikend pada tokoh kita ini berupa kesahajaan, zuhud,
dan takut kepada Allah.
Di samping itu, perlu kami sinyalir juga bahwa peneraPan manhaj
salafi ini memiliki pengaruh-pengaruh yang tampak pada pemahaman fikih
dan pemikiran Malik. Kami sebutkan di antaranya:
a) KecnssnanMalik&lamMenlamp"ikan PenilaianHukumHalal
atau Haram
Berbeda dengan apa yang terjadi pada masanya. yai:Ju keberanian
sebagian ulama dalam menyampaikan penilaian hukum, Imam Malik justru
menyadari bahwa ini merupakan keputusan yang pasti terkait ketentuan
I TdltibAl-Mddarih2l74'
275 O et ia"l Islam Menurut Empat Madzhab
hukum Allah. Dia berargumen bahwa generasi sahabat yang merupakan
generasi pilihan umat ini pun keberatan dalam menyampaikan penilaian
hukum, demikian pula dengan ulama umat yang mengikuti manhaj mereka,
lantaran khawatir melakukan perbuatan mengada-ada terhadap Allah terkait
penghdalan dan penghararnan.
Malik mengatakan, 'Tidak ada sesuatu yang sangat memberatkanku
daripada aku ditanya tentang hdd dan haram. Karena ini adalah keputusan
pasti tentang hukum Allah. Aku mendapati orang-orang berilmu dan ulama
fikih di negeri kami, dan seorang dari mereka bila ditanya rentang suaru
masalah, maka seakan-akan kematian hendak mengintainya. Umar bin Al-
Khathab, Ali, dan Alqamah, adalah orang-orang terbaik di antara generasi
sahabat. Mereka menghadapi masalah-masalah sebagai generasi terbaik yang
di antara mereka Nabi diutus, mereka mengumpulkan para sahabat Nabi
dan menanyakan, kemudian mereka menyampaikan fawa rerkait masalah-
masalah tersebut. Namun orang-orang pada masa kita sekarang ini justru
membanggakan penyampaian farwa. Begiru mendapatkan pengetahuan
meskipun tidak memiliki kapasitas yang memadai dan tidak mengacu pada
pandangan generasi yang mendahului kita yang dijadikan sebagai teladan
-padahal mereka menguasai sumber-sumber keislaman- orang-orang pada
masa kita ini begitu mudahnya mengatakan yang ini halal, dan yang itu
haram. Semestinya mereka mengatakan: aku tidak menyukai demikian,
dan menurutku demikian.
Adapun penilaian halal dan haram, itu merupakan perbuatan
mengada-ada terhadap Allah. Tidakkah kdian mendengar firman Allah,
(GiiA4 *,-jFr"t{}il1 3':J S
{"n,;r}@ fq
"I(atahanhh (Muhamrnad), "Tbranghanhh hepadahu tentang rezeki
yang diturankan Alhh kepadamu, klu kamu jadikan sebagiannlra
haram dan sebagiannya hahl," (Yunus: 59).
Karena halal adalah yang dihalalkan oleh Allah dan Rasul-Nya, dan
haram adalah yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya."r
I TdrtibAl-Mddaik(11179,180).
Bab 5: Empat UlamaAhli Fikh... lE 279
Keengganan ini membuat Malik sering mengatakan, "Aku tidak
menguasai dengan baik, aku tidak tahu." Dia merenung cukup lama hingga
dapat menjawab orang yang benanya kepadanya. Barangkali dia mengatakan
kepada penanya setelah cukup lama mencermati dan membahas, "Aku tidak
menguasai dengan baik, hingga sekdipun penanya menduga kuat bahwa
Malik adalah orang yang paling luas ilmunya di antara penduduk bumi ini
seluruhnya terkait masdah yang ditanyakan atau masalah lainnya.t Sungguh,
itu merupakan amanat ilmu yang diapresiasi oleh ulama'
b) Sikapnya terhadaP Takqril
Malik hidup pada masa yang identik dengan perdebatan dan dialog
sengit yang sangat dominan di Irak dan negeri-negeri Islam lainnya. Malik
menyadari bahwa perdebatan dan suka mengungguli mengantarkan orang
untuk membuat talcwil-talcqril yang bisa saja tidak didasarkan pada dalil'
Ini petaka bagi ilmu dan orang-orang berilmu sebelum menjadi Petaka
bagi orang-orang pada umumnya. Maka dari itu di antara pengaruh-
pengaruh salafiyah dan penerapannya terhadap manhajnya membuat Malik
menolak takwil yang mengarah pada penyampaian pernyataan tanpa ilmu,
"sesungguh nyayangmembinasakan manusia addah menalnvilkan apa yang
tidak mereka ketahui."2
Ini mengingat, dia berpendapat bahwa manusia mempelajari setelah
ketidaktahuan, maka dia tidak dikenai tanggungan jika dia berhenti pada
satu batas yang tidak diketahuinya. "Manusia itu memang tidak tahu
kemudian tahu. Tidakkah kamu mendengar firman Allah,
{,r,Ju! } @ 63}"&i J1r-ii}fr oy
Jiha hamu bertakwa kepada Alhh, niscaYa Dia ahan rnernberikan
furqan (hemarnpuan mernbedahan dntdrd Tang hak dan batil)
k ep adamu. " (Al-Anfal z 29)'
Ketidalsukaan dan penolakannya terhadap talsvil dikarenakan takrvil
bertentangan dengan apa yang diterapkannya terhadap dirinya sendiri, yaitu
tidak mengatakan kecuali dengan dalil yang dipercayainya, dan membuang
I Tdrtib Al-Mddaih (llr8r'184).
2 lbid(2162).
3 TartibAl-Madarib(2162).
28O l0eUa*, Islam Menurut Empat Ma&hab
yang meragukannya hingga ada kepastian yang menghilangkan apa yang
meragukannya itu berdasarkan telrs syariat atau pemahaman yang didasarkan
dalil. Ibnu \fahb menyatakan, Malik berkata "sebaik-baik perkara adalah
yang jelas, terang perkaranya. Dan jika kamu menghadapi dua perkara
sementara kamu ragu pada keduanya, maka ambillah yang lebih kuar."r
Malik berpendapat bahwa hasrat untuk memberikan jawaban atas
setiap permasalahan mendorong pada sikap tidak cermar, dan ini berarti
pembunuhan terhadap ilmu. Anda saja para ulama mengerri hakikat hd
ini hingga mereka menyadari bahwa farwa yang terluputkan oleh mereka
adalah lebih baik bagi mereka, karena dengan demikian mereka rerhindar
dari kemungkinan keliru atau sdah.
Dia mengatakan, adalah sebuah pengekangan terhadap ilmu bila
kamu menjawab setiap orang yang bertanya kepadamu, dan tidaklah
menjadi imam orang yang membicarakan seriap yang didengarnya, dan
juga termasuk pengekangan terhadap ilmu bila orang membicarakannya
sebelum ditanya tentangnya."
Dia mengatakan, "Sesungguhnya jika masalah ditanyakan kepada
orang narnun dia tidak menjawab dan masalah iru beranjak darinya, maka
sebenarnya itu merupakan petaka yang dihindarkan oleh Allah darinya."2
Demikianlah Malik berpendapat bahwa ilmu adalah amanar yang
harus dijaga jauh dari keinginan hawa nafsu dan kecintaan terhadap dunia.
c) Manhai Salaf yang Dititi Imam Malik Menjadi Faktor yang
Melapangkan Penyebaran Madzhabnya di Maroko
Melalui paparan di atas jelaslah anrusiasme Malik dalam konsep
mengikuti sunnah (itti b a), ketidaksukaannya pada perkara-perkara bid'ah,
dan kegemarannya melakukan penelaahan rerhadap ketentuan-kerenruan
yang diterapkan oleh generasi terdahulu di samping bahwa hal ini menjadi
lebih jelas dan keterkaitan dengan kehidupan yang dialaminya pada masanya.
Dengan demikian madzhab salaf menjadi lebih jelas.3 Sisi inilah yang
menjadi sebab penyebaran madzhabnya di Hijaz dan di negeri-negeri serupa
dari sisi kegemaran dalam perdebatan logis. Ibnu Khaldun mengaitkan
rbid(216r).
rbid(2t61).
lbnu F arhw, Ad- D i b aj A l- M*d.zt h h a b (l 6).
I
.,
3
Bab 5: Empat UlamaAhli Fikih... If 281
antara manhaj salafiyah Imam Malik dengan penyebaran ma&habnya di
Maghrib(Maroko), dengan menyarakan bahwa dia merupakan "pembesar
,rl"*" 6kih salaf."r Ibnu Khaldun menyebutkan dalam Muqadd.imahnyt
bahwa di antara faktor-faktor yang mendorong penyebaran ma&hab Imam
Malik di Maghrib adalah salafiyah dan konsep ittiba'. Karena penduduk
Maghrib a"r, errd"l.rsia memiliki keserupaan yang dekat dengan tabiat
pend,rduk Hijaz lantaran adanya kesesuaian iklim pedalaman di antara
keduanya, berbanding terbdik dengan peradaban penduduk Irak'z
Ini tidak berarti bahwa Ibnu Khaldun memandang Andalusia tidak
mendapatkan peradabann y a., ah,an tetapi dia mensinydir tabiat peradaban
di masing-masing dari Irak dan Anddusia, dan kesesuaian Anddusia dengan
manhaj ittlba'yurg"ermar pada diri Imam Malik. Maka dari itu madzhabnya
tersebar, dan salafiyahnya menjadi sebab yang kuat di samping sisi sebab-
sebab lain yang dipaparkan oleh para ahli sejarah dan para penulis tentang
tingkaan madzhab-m adzhtb -3
.,Jika kamu tidak menemukan terkait kesalafiyahan yang dipaparkan
oleh Ibnu Khaldun terkait Imam Malik, makna-makna kedekatan antara
lingkungannya di Hiiaz danlingkungan Maghrib serta kedekatannya dengan
Arrd"l*i", maka kamu bisa menemukan dari pandangan sosial terhadap
Irak dan keadaannya, bahwa itu addah lingkungan yang secara logika da
sosial berbeda dengan Andalusia dan lingkungannya, meskipun kedua
lingkungan ini sudah maju peradabannya, karena keserupaan peradaban
y*g ai..*pkan, dari sisi kesuburan dan fenomena-fenomena kehidupan,
iid"t b..i-plikasi pada keserupaan secara intelektud dan psikologi. Irak
dengan letaknya dan warisan peradabannya lebih berimplikasi pada sisi-sisi
intelektual yang berbeda dengan hal-hal seruPa di Anddusia, meskipun
masing-masih dari dua wilayah ini memiliki peradaban yang maju atau
makmur."4
Dengan demikian manhaj Malik dalam fikih dengan maknanya
yang dipahaminya juga masanya adalah sebab yang menjadikan berbagai
kalangan menerimanYa.
I IbnuKhddun,At'Taihh(21r4),t936'
2 Mqaddinah lbnu Khaldun(392)' Thab ah MuhammadAbdurrahman'
I S^;, Ad-Oibaj, Ta*ibAl-Madar;k' Muqaddinah lbnuKhaAan' dan lainnya'
4 Al-Khauli , Malih; Tarianah Mthanarah (77 8) '
282 lS etaa*, Islam Menurut Empat Madzhab
Ketiga: Subtansi dari Salafifh adalahAkurasi d", Kehati-hatian
Menurut Malik, ittiba'tidak berarti meriwayatkan semua, yang
didengarnya, atau membicarakan semua yang dihafalkan, atau mengambil
dari setiap guru yang majlisnya diikuti dan yang dipelajari darinya, akan
tetapi dia seorang yang berhati-hati dan cerdik ddam memahami ittiba'.lni
ditunjukkan pada banyak hal yang cukup jelas bagi orang yang mempelajari
kepribadian Malik sebagai pemikir dengan kejelasan yang lebih luas. Terkait
apayangkami sinyalir ini, cukup bagi kami menunjukkan kecermatannya,
kecerdikanny1 dan sikap lritisnya, sebagai berikut:
a) Kecermatannya terhadap Orang-orang yang Menjadi Sumber
Ruiukan llmunya
Ibnu Abi Uwais mengatakan: aku mendengar Malik berkata, "ilmu
ini adalah utang, maka perhatikan dari siapa kdian mengambilnya. Aku
menemui 70 orang yang mengatakan, 'Rasulullah 6 bersabda di dekat
tiang-tiang ini,' dia menunjuk ke arah masjid, narnun aku tidak mengambil
arpa- pedari mereka, dan jika ada seorang dari mereka yang dipercaya untuk
mengunrs kas negara niscaya dia tepercay\hanya saja mereka tidak termasuk
kalangan yang memiliki kapasitas ddam hd ini."r
Dan karena ilmu ini adalah utang yang tidak diambil dari setiap
orang yang menawarkannya, akan tetapi harus ada ketentuan-ketentuan
yang sebagiannya berkaitan dengan kepribadian ulama dan sebagian lainnya
berkaitan dengan jenis ilmu dan manhajnya, ytitu ketentuan-ketentuan
yang diterapkan agar orang yang mengambil dapat mengetahui apa yang
diambilanya dan apa yang tidak diambilnya. Y*g sering diumumkan oleh
Malik bahwa dia mendatangi majelis para qyaikh yang memenuhi dunia
dengan hadits dan ilmu, namun ternyata dia tidak mengambil apa-apa dari
mereka, karena ketentuan-ketentuan yang diterapkan dalam hidupnya dan
yang dicerm atinyadalam ke+dafiyah-annya tidak memberinya kelonggaran
baginya untuk mengambil dari siapa pun dari mereka.2 Perhatikan
kepeduliannya ddam hal ini.
Dia ditanya, "Mengapa engkau tidah menulis tentang Atha'?"
Tarti b Al- M dda ri k (l I I 36).
rbid(il37-r39).
I
2
Bab 5: Empat UlamaAhli Fikih... O 283
Dia menjawab, "Aku ingin mengambil darinya, dan aku ingin melihat
ciri khas dan perihal dirinya, maka aku pun mengikutinya hingga begitu
sampai di mimbar Nabi, dia mengusap pinggiran mimbar dan tangga yang
paling rendah -maksudnya pada mimbar. Namun saat itu aku tidak menulis
darinya karena itu merupakan perbuatan orang-orang pada umumnya,
Engga yang pding rendah dan pinggiran mimbar addah hasil perbaikan
yang dilakukan oleh Bani Umayah. Namun saat aku melihatnya tidak
membedakan antara mimbar Nabi dan yang dilakukan oleh orang-orang
pada umumnya, maka aku pun meninggalkannya."r
Padahal qebagian riwayat menegaskan bahwa setelah dia mendapatkan
kejelasan rentang suatu ilmu dan keutam aannya, maka dia juga mengambil
ilmu itu dari yang lainnya lagi.
b) Tidak Menyampaikan Setiap yang Dihafalkannya
Imam Malik menghafal dan mencermati hadits-hadits yang ditalair
mencapai lebih dari 10.000 hadits, akan tetapi dia tidak memuat dalam
Al-Muuaththa'-nya,kecuali hanya sekitar 1000 atau lebih sedikit. Ada yang
mengatakan, dia memu at dalam Al-Muwaththa' -nya4000 hadits kemudian
menguranginya untuk menjag kemaslahatan umar Islam hingga tinggd
yang ada dalam Al-Muuaththa' rcrsebut.z
Dia tidakmelakukan hd demikian kecuali didasarkan padakajian dan
sikap kritis yang menunjukkan kepeduliannya sebagai sosok yang bermanhaj
sdafi dan kecermatannya dalam peneladanannya. Kami paparkan sebagian
ungkapannya dalam hal ini:
Imam Malik mengatakan, "Aku mendengar banyak hadits dari Ibnu
syihab, namun aku sama sekdi tidak pernah menyampaikannya, dan tidak
akan menyampaikannya."
Al-Farawi bertanya, "Mengapa?" Dia menjawab, "Tidak ada peng-
amalan padanya."
Asy-Syaf i mengatakan, dikatakan kepada Malik; "Pada Ibnu Uyainah
terdapat hadits-hadits yang ddak terdapat padamu?" Dia menjawab, 'Jika
aku menyampaikan kepada orang-orang semua yang aku dengar, maka
t rbid(ilr3B).
2 Al-Khauli , Tarjamah Muhanarah (474).
254 O et ia*, Islam Menurut Empat Ma&hab
jadilah aku orang yang bodoh. Dalam riwayat lain disebutkan: "Berarti
aku hendak menyesatkan mereka. tlah terlontar dariku hadits-hadi$ yang
sesungguhnya aku lebih suka bila dicambuk satu kali untuk setiaP hadits
darinya, namun aku tidak menyampaikannya, meskipun aku termasuk
orang yang paling ngeri terhadap tukang cambuk."r
Dan karena dia sangat gemar unruk mengambil haditsnya dari orang
yang tepercaya, dan mengamati dengan cermat sebelum menyampaikannya,
maka dia menolak untuk mengambil hadits dari penduduk Irak dengan
alasan dia mendapati mereka di Hiiez mengambil dari orang yang ddak
tepercaya. Dia mengatakan, "Mereka pun demikian di negeri mereka."2
Di antara harta peninggalannya terdapat sejumlah Ped yang dipenuhi
dengan buku dan kertas-kertas yang digunakan untuk menulis hadits.
Begitu murid-murid dan rekan-rekannya membacanya maka jelaslah bagi
mereka bahwa dia tidak menyampaikan satu pun darinya. Itu lantaran
pertimbangan-peftimbangan cermat dan kekritisan yang ilmiah. Dari Ishaq
bin Babin: "Kami mendapati di antara peninggdan Malik terdapat dua peti
terkunci berisi buku-buku. Begitu membacanya, ayahku menangis dan
berkata, 'semoga Allah merahmatimu, jika engkau hanya menghendaki
ridhaAllah dengan ilmumu. Aku berinteraksi dengannya ddam kurun waktu
yang cukup lama namun aku ddak pernah mendengarnya menyampaikan
apa pun dari yang aku baca."3
c) Qiyas (Analogt) yang DiterapLan oleh Imam Malik
Benar bahwa qiyas menurut Malik memiliki cakupan yang lebih sempit
baginya daripada menurur ulama fikih lain pada masanya. Akan tetapi jika
kita memahami itu dalam batas-batas kesdafiyahan dan peneladanannya,
keberatannya terkait penyampaian fatwa, dan penolakannya terhadap
ral$/il, maka kita dapat memahami bahwa qiyas menurutnya semacam
pendapat akd, tapi qiyas tetap mengacu pada ketentuan-ketentuan pokok
dari kitab dan sunnah, dan dia membuat ketentuan yang ketat dalam hal
ini karena dikhawatirkan akal terjebak dalam penyimpangan atau jauh dari
indikasi dalil ryariat yang seben^rny^ yaitu kitab dan sunnah. Maka dari
Tafti b Al- M ddzn h ( I / I 8 8).
rbid(ilr89).
rbid(ilr87).
I
.,
3
Bab 5: Empat UlamaAhli Fikih...lf 285
itu dia mengatakan, "Aku hanyalah seorang manusia yang bisa salah dan
bisa benar, maka cermarilah pendapatku. setiap yang sesuai dengan kitab
dan sunnah maka ambillah, dan seriap yang ddak sesuai kitab dan sunnah
maka tinggdkanlah."r
Dia menegaskan bahwa dia memiliki pendapat namun dia tetap
berupaya dengan serius agar pendapatnya berada dalam koridor nas-nas
berupa kitab dan sunnah, dan mengacu pada pemahaman generasi sahabat
dan tabi'in.
Jika ini kita tambah dengan apa yang dikatakan oleh Imam Asy-Syaf i
dalam dialognya bersama Muhammad bin Hasan seputarAbu Hanifah dan
Malik, yaitu Asy-Syaf i menegaskan kepada Muhammad bin Hasan bahwa
sahabatnya -yakni Malik- tidak menolak qiyas, akan tetapi dia berupaya
^gar
yalng dianutnya tetap mengacu pada generasi sdaf (generasi sahabat
dan tabi'in).2
Saya katakan, 'Jika yang ini kita tambah dengan paparan di atas maka
jelaskan bagi kita bahwa qiyas menurut Malik adalah pendapat akd dengan
makna yang terendah.
Barangkali saat kira membicarakan tentang sikapnya terhadap
perdebatan rentang akidah, maka kita menambahkan indikasi lain yang
menegaskan bahwa dia membedakan anrara dua jenis pendapat akal;
salah satunya diikuti yang ditetapkannya dan diupayakannya, dan lainnya
mengada-a da ya.ng ditolaknya serta dikaitkan dengan kerusakan perkara
umat terkait fikih dan akidah sekaligus.
Ini tentang manhajnya secara umum. Dalam bahasan sebelumnya
telah kami tetapkan bahwa fikih menurutnya memiliki jangkauan yang
luas hingga mencakup akidah dengan berbagai bahasannya. Hd inilah yang
mendorong kami membuat bahasan sisi ini secara tersendiri agar kita dapat
mengetahui peran kesalafiyahannya ini dalam menjaga akidah manhaj sala6.
Imam Malik dan PembahasanAkidah
Berangkat dari pemahaman Imam Malik rentang makna fikih
sebagaimanayangtelah kita bahas di atas, dan interaksinya pada masanya
I TaftibAl-Madanh(11189).
2 lbid(r183),danAl-Hilyab (61329).
286 t& aua* Islam Menurut Empat Madzhab
yang dinyaakan sebagai masa perdebatan dan peftentangan serta perpecahan
terkait perkara-perkara akidah, di mana perbedaan pendapat berkembang
sebagaimana yang diungkap oleh Ibnu Khaldun sePutar aya:t-ayat
muasyabi har, maka generasi mengambil sikap penyucian dan mengatakan,
tetap berlakukan sebagaimanayan1 disampaikan. Mereka pun tidak
melibatkan diri ddam pendalaman maknanya, sementara kalangan yang lain
menaruh perhatian terhadap pencermata n ayat-tyat yang rniltatabihat ini.
Ada kdangan yang terjebak ddam penyeruPaan terkait Dzat (diri Allah),
yaitu kdangan yang menyatakan wujud fisik pada-Nya. Sementara kalangan
yang lain membuat penyerupaan pada sifat, narnun pada akhirnya pendapat
mereka pun bermuara peda penetapan wujud fisik juga. Ada kdangan
yang berpandangan pada keumuman penyucian namun mereka menafikan
sebagian sifat dan menalorilkan sebagian yang lain.t
Asy-Syahrastani menyatakan bahwa generasi salaf berdebat dengan
Mu'tazilah terkait sifat bukan dengan ketentuan ilmu kalam, namun
berdasarkan pendapat yang memuaskan.2
Saya katakan, berangkat dari makna 6kih menurutnya, dan kondisi-
kondisi masanya, maka urgensi pembicaraan kita membahas tentang Malik
berkaian dengan bidang akidah agar menjadi lebih jelas bagi kia manhajnya
ddam hal ini dan sikapnya terhadap arus-arus pemikiran pada masanya.
Urgensi ini akan lebih jelas saat kita mengetahui bahwa Imam Malik
memiliki karya tulis yang dinisbatkan kepadanya di antara berbagai karya
tulis. Karya tulis ini adalah risalahnya terkait sanggahan terhadap golongan
Qadariyah yang ditujukan kepada Ibnu Vahb. Benar bahwa risalah ini
tidak sampai kepada kita, akan tetapi berbeda dengan risalah-risalah [mam
Malik lainnya yang hilang, risalah ini memiliki sanad yang disebutkan oleh
Al-Qadhi Iyadh dan dinyatakan dengan pernyataan yang menggambarkan
urgensinya. Hd inilah yang menguatkan bahwa Imam Malik memiliki
kontribusi ddam bidangakidah dengan penimbangan bahwaitu merupakan
sdah satu sisi fikih dengan maknanya yang komprehensif.
Penulis Tartib Al-Madaih mengatalan, "Yang paling masyhur adalah
risalahnya yang ditujukan kepada Ibnu \7ahb terkait takdir dan sanggahan
Muqaddiflah lbnu KhaAun 404, Thab'ah Abdurahman Muhammad.
Asy-Syahrasani , Al-Mihl wan Nihal32, ThaHah Badran.
I
')
Bab 5: Empat UlamaAhli Fikih... lf 287
terhadap golongan Qadariyah. Ini merupakan sdah satu buku terbaik dalam
hal ini, yang menunjukkan pada keluasan ilmu Malik dalam bidang ini."
Lebih dari satu di antara syaikh-syaikh kami menyampaikan kepada
kami dengan isnad-isnadnya yang terhubung pada Malik, di antaranya
adalah Al-Faqih Abu Muhammad bin Attab, dia sendiri dan lainnya yang
menyampaikan kepada kami, dari Hasyim bin Muhammad, dari Abu
Muhammad bin Danir Ath-Thalirhdi, dari Abu Faraj Abdullah bin Abdul
'W'arits, dari Muhammad bin Ahmad bin Sa'dun, dari Muhammad bin
Sahnun, dari Abdul AzizbinYahyaAl-Qurasyi dari Ibnu \7ahb.
Al-Qadhi Abu Ali fuh-Shadafi menyampaikannya kepadaku, dari
Al-Qadhi Abu Valid Al-Baji, dari Abu Muhammad bin \falid, dari Abu
Muhammad bin Abu Zaid, dari Sa'dun bin Ahmad Al'Khaulani, dari
Muhammad bin Abdul Hakam, dari Ibnu \fahb.
Ini adalah sanad yang shahih, para periwayatnya masyhur, dan
semuanya adalah imam tepercaya.r
Ini tidak berarti bahwa Imam Malik dianggap termasuk kalangan
pengusung ilmu kalam. Karena manhaj yang diterapkannya dalam diskusi
dengan rival dari kalangan yang memPerturutkan hawa nafsu jauh dari
manhaj pengusung ilmu kalam dan perdebatan mereka.2 Itu karena dia
sebagaimanayang dikatakan oleh Abu Thalib Al-Makki; Malik adalah
orang yang paling jauh dari madzhab-madzhab ahlul kalam, dan paling
marah terhadap orang-orang Irak, dan yang paling berkomitmen terhadap
runtunan generasi salaf yaitu generasi sahabat dan tabi'in."3
Manhai Salaf Imam Malik dalam Akidah
Pandangan salafnya terkait akidah tampak pada manhainya' yang
dipandang sebagai perpanjangan dari manhajnya secara umum, dan pada
sikapnya terhadap kalangan penganur hawa nafsu dan golongan-golongan
yang ada pada masanya, sebagaimana hal ini juga tampak pada pendapat-
pendapatnya terkait ap^y^ngdinukil kepada kita bahwa dia membicarakan
masdah-masalah akidah. Maka dari itu kita harus mencermati hal-hal
berikut:
Tdrtib Al-Mddai h (21 90, 9 1).
Baca buku karya Abdul Ghani Ad-Daqar, Mdlik bifi AflLt 285, Darul Qalam, Beirut, cet. l, 1402
11982.
Tdrnb Al-Mdd4ik (2139) .
I
2
3
288 E eru*, Islam Menurut Empat Ma&hab
Gambaran (Jmum tentang Manhai Salaf Imam Malik ddam
Akidah
(a) Berpegang teguh pada keterangan-keterangan Al-Qur'an dan
sunnah serta mengimani hal-hal gaib yang dipaparkan tanpa membahasnya
dengan menelisik tata caranya, atau menyimpangkan makna yang
dimaksudkan untuk membuat asumsi hingga hasil dari ini semua berupa
semacam pengesampingan makna tanpa didasarkan pada dalil. Komitmen
inilah yang diterapkan oleh generasi sahabat pada masa Rasulullah ffi dan
generasi tabi'in setelah mereka. Maka dari itu pernah terjadi dalam kurun
waktu di masa silam di mana persatuan lebih dominan daripada perpecahan,
dan keamanan lebih dominan daripada kekacauan. Semua keadaan demikian
berlangsung hingga terjadilah perpecahan dalam golongan-golongan dan
berbagai permasalahan yang mereka picu dalam kehidupan umat Islam.r
Dengan demikian ulama salaf seperti imam kita ini bertanggung jawab
untuk mempertahankan akidah salaf dan menjaganya agar, tetap jernih
hingga sampai kepada generasi-generasi selanj utnya.
Ustadz Ahmad Amin menegaskan kebenaran fakta ini dengan
menyatakan bahwa generasi sahabat dan tabi'in memahami akidah
sebagaimana yeng disampaikan dalam Al-Qur'an dan sunnah tanpa
memperdebatkan seputar akidah ini, kemudian mengatakan, "Datanglah
setelah mereka kaum yang meniti jejak ini. Diriwayatkan dari Valid bin
Muslim bahwa dia mengatakan, "Aku bertanya kepada Malik bin Anas,
Sufyan Ats-Tsauri, dan Laits bin Sa'd tentang berbagai riwayaryarrg berkaitan
dengan sifat-sifat (maksudnya sifat-sifat Allah)." Mereka menjawab,
"Berlakukan sebagaiman a yan1 disampaikan tanpa mempertanyakan tata
cata."
Rabi'ah Ar-Ra'yi ditanya tentang firman Allah: 'Alhh yang Maha
Pengasih bersernayam di atas Arry $ingasana)," (Thaha: 5). Bagaimana dia
bersemayam?" Rabi'ah menganggukkan kepalanya lantas menjawab, "Dia
bersemayam memang sudah lazim diketahui, tata cara;nya tidak dapat
dijangkau akal, mengimaninya wajib, dan menanyakannya bid'ah."
Mereka berpendapat bahwa tetap berpegang pada apey^ngdisam-
paikan dalam agama tanpa penafsiran addah lantaran satu dari dua sebab;
Ibnu Taimiyah,,4 l-Furqan baina Al- Haqq taa Al- Bathil (34).
Bab 5: Empat UlamaAhli Fikih... {F 289
bisa karena bahasan-bahasan ini tidak memberikan maslahat kepada
kalangan pada umumnya, atau karena yang berkaitan dengan Allah dan
sifat-sifatNya adalah sesuatu yang berada di bdik akal yang tidak dapat
dijangkau oleh manusia kecuali dengan mengandogikan Allah atas diri-
Nya. Namun ini merupakan kesdahan besar. Dengan demikian sikap yang
paling tepat addah tetap berpegang pada tpayangdisampaikan ddam teks
syariat tanpa menanyakan tata cara dan di mana."r
(b) Imam Malik tidak menyukai logika semata dalam masdah-masalah
akidah.
Logika dalam artian sebagai pemahaman, Pencermatan, dan
pengamatan terhadap dalil-dalil serta kesimpulannya adalah hal yang
menurut Malik tidak dapat dipungkiri oleh seorang ahli fikih. Karena
inilah makna kebahasaan dan yang diterapkan pada pendapat akal, dan
sesuai dengan hal inilah yang diterimanya. Bahkan sebagian penulis
memandangnya sebagai orang yang juga menganut pendapat akal.
Syaikhnya, Abul fuwad, ditanya, "Siapa yang memiliki pendapat setelah
Rabi'ah di Madinah?" Syaikhnya menjawab, "Anak mudaAl-fuhbahi."
Bahkan Ibnu Hambal, murid Malik, ditanya tentang orang yang
hendak dijadikan rujukan terkait pendapat akal, pendapat siapa yang
mencermati? Ibnu Hambal menjawab, "Pendapat Malik."2
Inilah pendapat sebagai pemahaman dan pengetahuan, bukan
madzhab bukan pula golongan, dan bukan pula perpecahan serta asumsi
terkait masalah-masalah, akan tetapi itulah pendapat yang merujuk pada
pengemban risalah itu sendiri, Muhammad, saat menetapkan hukum
berdasarkan wahyu, dan dengan demikian juga dari generasi sahabat,
sebagaimana juga dari generasi tabi'in serta Penerusnya, pendapat adalah
pemahaman sesuai dengan yang dimampui akd orang yang memahami.3
Dengan makna di atas maka Mdik pun memiliki pendapat akal
narnun ini tidak menghindarkannya dari manhaj sdafnya dan anrusiasmenya
dalam ittiba'(mengikuti sunnah). Akan tetapi indikasi makna kata pendapat
akd ini mengalami perkembangan dan menjadi bermakna sesuatu yang
I AhmadAmin, DhuhaAl-hhm(3114,15), Gt. 10, t.t, DarAl-KitabAl-'Arabi, Beirut.
2 TaftibAl-Mada,ik(1183).
3 Al-Khauli, Tarjanab Muhanarah (641\.
29O @ em* Islam Mcnurut Empat Ma&hab
melebihi pemahaman dan pencermatan dalam bidang akidah. Maksud
saya asumsi analisa keagamaan terhadap masalah-masalah tanpa didasarkan
pada tels syariat atau indikasi maknanya menurut bahasa, dan barangkali
berkaitan dengan masdah Khawarij den tahhim sebelum keterkaitannya
dengan yang lain.
Maka dari itu, penyusu n Lisan Al-Arab mengatal<an, "Dikatal<an Fulan
termasuk kdangan penganut pendapat akd, maksudnya dia berpendapat
sebagaimana pendapat Khawarij, dan menganut madzhab mereka."rAkan
tetapi penggunaan apa pun pada kata pendapat al<al (ra'y) terkait bidang
akidah dan kecaman terhadapnya tersebar luas, dan terjadilah perbincangan
seputar masdah apakah boleh menggunakan qiyas terkait masdah akidah
atau tidak boleh? Dan apakah tidak digunakannya qiyas berimplikasi pada
sesuatu yang merugikan pemahaman atau tidak? Ada hadits-hadits yang
diriwayatkan yang membuat kalangan yang menganut pendapat akal terkait
akdah menjadi fitnah yang lebih besar daripada kalangan lain, seperti hadits:
u'-,st op, ?py#i ,nz*rr: yr,F ,ii 3;X
\. .a/ ! t. t- a..'1 . . o l*. I o ?.
..11 pr u o)..1) nl J,-i V ts3trz-'- ,€)t.
"UrnAthu terpecah menjadi hbih dzri 70 golongan, yang paling besar
fmahnya di antara rnereha adahh kaarn yang mengqiyashan agarrul
fungan pendapat ahal rnereha, rnereha mengharamkan yang dihahlhan
Alkh dan menghahlkan yang diharamhan Alhh.'z
Pendapat akal semacam ini ditolak Malik, karena pendapat akal
semacam ini mempengaruhi ilmu naqli (Al-Qur'an dan sunnah). Imam
Malik mengatakan, "Tidaklah aku mengatakan riwayat-riwayat di antara
suatu kaum melainkan di antara mereka terdapat hawa nafsu."3 Maka dari
iu, dia berkata kepada Ibnu Vahb, "Janganlah engkau membuat seorang
pun meremehkanmu, dan jangan beri kesempatan kepada orang-orang
untuk menistakan dirimu, tunaikan apa yang cukup bagimu, serta jangan
taklid dengan taklid yang buruk."a
Lisan Al-Arab, snkukata. ra' a1a.
Ibnu AMil Barr, Jami Bayn Al-'Ilmi ua Fadhlihi (21 134).
Az-Zaw awi, A l- M a naq i b (3 8).
rbid.
I
2
3
4
Bab 5: Empat UlamaAhli Fikih... E 291
Maka dari itu, dia mengeqrm pandangan Mutazilah terkait pelontaran
berbagai wacana dan mengatakan kepada orang yang bertanya kepadanya
rentang Al-Qur'an, "Barangkali engkau rermasuk pengikut Amr bin
Ubaid, Allah mengutuk Amr, karena dia mengada-adakan bid'ah ini."'
Itu tidak lain karena tujuan ilmu menurut Imam Malik telah ditetapkan
dan jelas, yaitu sebagai jalarrr untuk amal, maka dia tidak menyukai ilmu
kalam kecuali yang mengarahkan pada amal, dan dia mendorong adanya
keseriusan dalam mencari ilmu, akan tetapi dengan syarat seorang ulama
harus memperhatikan apayang mesd dilakukannya sejak masukwaktu Pagi
sampai petang.z Dia mengatakan, 'Jauhilah oleh kalian para Pengusung
pendapat akal, karena mereka adalah musuh Ahlu Sunnah."3
Ketika ditanya tentang suatu masalah, dia menjawab dengan
mengatakan, Rasulullah bersabda. Begitu penanya berkata kepadanya,
"Menurutmu, dia pun membaca firman Allah,
o)z t j,ftg--r,;3# 6 "r/ d"'bAri'"-$t4
{'rr:,;} @ 4,rt'i
'Maha hendahlab orang-orang ltmg rnenyahhi perintah Rasul-Nya uhat
ahan mendzpat cobaan atau ditimpa ad.zabyangpedih." (A*Nun63).4
(c) Imam Malik tidak menyukai perdebatan tentang agama.
Jika dia dapat menerima pendapat akal dengan makna pemahaman
lantaran dipandang sebagai kebutuhan ilmu, dan menolak pendapat akd
yang bermakna madzhab, maka di sini dia menolak perdebatan yang bermula
dari asumsi-asumsi, dan mengarahkan pada asumsi-asumsi lain hingga pada
akhirnya menjadi jauh dari tpayangharus menjadi fokus perhatian ulama
dengan mencurahkan waktu dan tenaga mereka. Ini bila perkaranya sudah
menjadi perkara yang hanya mengedepankan keunggulan dan kemenangan
dalam perdebatan. Akan tetapi Malikyang menolak perdebatan semacam ini
melibatkan diri dalam bentuk lain yang tidak dapat dilepaskan dari seorang
ulamayang menjadi rujukan fatwa, yaitu penyampaian argumentasi dalam
I lbid.
2 Al-Khauli , Tarjamab Mubanarah (464).
3 Al-Hilyah(61327).
4 tbid(61326).
292 6 et ia*, Islam Menurut Empat Madzhab
diskusi dan menjelaskan pendapat kepada orang yang tidak sependapat
dengannya disertai dalil-dalil terkait suatu masalah yang diperbincangkan,
sebagaimanay^n1dilakukannya bersama Abu Yusuf, Ar-Rasyid, dan yang
lainnya. Perdebatan semacarn ini merupakan penjelasan hukum dalam
koridor pemahaman dalil-dalil syariat. I
Yang diriwayatkan dari Malik mengenai hal ini memperjelas sebab-
sebab penolakannya terhadap perdebatan tentang agamt sebagaimana
yang terjadi pada orang-orangyang memperturutkan hawa nafsu. "Main
mengatakan; pada suatu hari Malik pergi ke masjid dengan bersandar
pada tanganku. Ada seorang yang dipanggil dengan nama Abu Tharidah,
dia dicurigai sebagai pengikut golongan Murjiah, menyusulnya dan
berkata, "'Wahai Abu Abdillah, dengarkan sesuatu dariku, aku hendak
mengatakannya kepadamu dan berhujah kepadamu, dan aku akan
menyampaikan pendapatku kepadamu." Mdik berkata kepadanya, "J*grt
sampai aku menyatakan hal yang memberatkanmu."
Dia berkata, "Demi Allah, aku hanya menghendaki kebenaran,
dengarkan saja jika itu benar maka katakan apa itu, atau berbicaralah."
Malik bertanya, "Bagaimana jika engkau mengalahkanku?" Dia
menjawab, "Ikutilah aku."
Imam Malik bertanya lagi, "Jika aku mengalahkanmu?" Dia
menjawab, "Aku yang mengikutimu."
Malik berkata, "Jika ada orang yang datang, lantas kita berbicara
dengannya kemudian dia mengalahkan kita?" Dia menjawab, "Kita
mengikutinya."
Malik berkata kepadanya, "'Wahai Abu Abdillah, Allah mengutus
Muhammad dengan membawa satu agama, dan aku melihat kamu
beralih-alih (plin-plan), padahal Umar bin Abdul Azizberkata, 'Siapa yang
menjadikan agamanya sebagai sasaran bagi perselisihan-perselisihan maka
dia sering beralih-dih."'
Dan dia pun berkata, "Perdebatan tentang agama tidak berarti sama
sekali."2
Baca buku karyaAbdul GhaniAd-Dqa4Malih (244),AbuZ.atuah, Malih(65,76), danAl-Khauli,
Tarj atnah M* h anarah (46 l).
Al-Madaih(2138,39).
I
2
Bab 5: Empat UlamaAhli Fikih... e 293
Jelaslah bahwa Imam Malik mengungkapkan hasil di balik
perdebatan sengit hanya menimbulkan keraguan ddam agama, dan tidak
adtnya, kemantapan pada pemahaman yang hakiki terhadap agama.
Dengan demikian, siapa yang hendak menjaga akidahnya maka dia mesti
meninggalkan perdebatan sengit dan adu argumentasi yang menyesakkan
tanpa menambah ilmu ini, dan tidak membantu penyebaran ilmu
hingga sekalipun yang dibahas itu ilmu syariat. Ini karena perdebatan
menghilangkan cahaya ilmu dan kemuliaan hakikat kebenaran lantaran
morivasinya hanya memenangkan perdebatan, dan juga membuat hati
menjadi keras hingga mengantarkan pada kebencian yang ditimbulkan
dari adanya saling curiga dan pengguguran dalil-ddil lawan bicara hingga
sekalipun itu benar.
Imam Malik mengatakan, "Perdebatan dan adu argumentasi dalam
ilmu menghilangkan cahaya ilmu oleh hamba."
Dia juga mengatakan, "Perdebatan mengeraskan hati dan menim-
bulkan kedengkian."
Haitsam bin Jamil bertanya kepada Malik, "Orang memiliki
pengetahuan tentang sunnah, apakah dia berdebat untuk membela sunnah?"
Malik menjawab, 'Tidak, akan tetapi untuk menyampaikan sunnah, itu
jika dapat diterima, dan jika tidak maka hendaknya dia diam-"l
Imam Malik tidak mau bertahan di majelis-majelis perdebatan ini,
lebih-lebih terlibat di dalamnya. Maka dari itu diriwayatkan tentang dia,
bahwaAz-Zuhri mengatakan, "Aku melihat Mdik, sementara orang-orang
berdebat di dekatnya, dia pun bangkit dan mengibaskan pakaiannya, dan
berkata: sebenarnya kalian hanyalah bermusuhan."2
lmam Malik tidak berkenan untuk mengambil selain sikap ini
ddam menghadapi perdebatan, yaitu dia sangat peduli agar orang-orang
dapat belajar dengan mengikuti jejak-jejak para pendahulu mereka, dan
menyampaikannya kepada orang lain dalam keadaan jernih dan jelas agar
mereka dapat mengamalkannya. Jika tidak demikian, lantas apakah orang-
orang beralih dari agama mereka yang jelas kepada pendapat kalangan
yang terlibat dalam perdebatan hanya lantaran daya tariknyadern tipu daya
I Tartib Al-Madarih (2139).
2 rbid(2t19).
294 @ at ia"l Islam Menurut Empat Madzhab
dalil-dalilnya. "Begitu datang kepada kita orang yang lebih piawai dalam
berdebat daripada orang lain, maka kita tinggalkan apa yang diturunkan
melalui Jibril #t kepada Muhammad lantaran debarnya."r
Malik memang selayaknya mengambil sikap ini di saat masanya
merupakan masa perdebatan dan adu argumenrasi hingga melampaui
wilayah fikih sampai pada masalah-masalah akidah. Ada perdebatan-
perdebatan yang terjadi antara golongan Syiah danJamaah, anrara Khawarij
dan kalangan lain, dan hal ini hingga sampai pada batas yang membuat
ulama perlu pergi dari negerinya,hanya untuk perdebatan-perdebatan ini.
Sebagian ulama Bashrah pergi ke Kufah untuk berdebat dengan ulama
Kufah. Demikian pula dengan ulama Kufah. Adapun Malik, justru menaruh
perhatian yang serius agar ilmu memiliki kelebihan tersendiri di Madinah,
dan mengalami peningkatan melebihi perselisihan-perselisihan pemikiran
yang ada pada masanya.2
(d) Imam Malik mengecam penganur hawa nafsu dan bid'ah.
Orang yang sangar peduli agar kehidupan didominasi oleh tunrunan-
tuntunan yang benar dan yang menjadi rujukan penyelesaian berbagai
perkara addah kitab dan sunnah, maka selayaknya dia memerangi para
penganut hawa nafsu dan bid'ah. Jika dia tidak menyukai pengambilan
ilmu dari syaikh, lalu berbuat sebagaimana perbuatan orang-orang pada
umumnya, maka tidaklah aneh bila dia meninggalkan hadits yang dikatakau
ini termasuk yang dijadikan hujah oleh ahlul bid'ah.3 Sementara dialah
yang mengarakan, "Jangan mengambil ilmu dari empar, dan ambillah dari
yang selain itu. Jangan ambil dari orang bodoh yang jelas kebodohannya,
meskipun dia orang yang pding banyak meriwayatkan, jangan ambil dari
pendusta yang berdusta terkait pembicaraan orang-orang, jika dia telah
mengalami itu, meskipun dia tidak dicurigai berdusta terhadap Rasulullah
ffi, dan jangan ambil dari penurut hawa nafsu yang mengajak orang-orang
untuk memperturutkan keinginan hawa nafsunya, tidak pula dari syaikh
yang memiliki keutamaan dan ritual ibadah jika syaikh ini tidak mengerahui
apa y
^nB
disampaikannya."4
Al-Hilyah (61324).
Abu Tahr a\, M a li h (l 20).
Tanib Al-Madaik (t I 85) .
Al-KhathibAl-Baghdadi,Al-Kifqah (116), dinukil dari bukuAl-Khauli (577).Beca.pula,Al-Jami'li
I
2
3
4
Bab 5: Empat UlamaAhli Fikih...Ip 295
Penganut hawa nafsu dan bid'ah adalah merekayang berbicara tentang
nama-narna Allah, sifat-sifat-Nya, kalam-Nya, ilmu-Nya, dan kekuasaan-
Nya, namun mereka tidak menahan diri dari pembicaraan tentang^Paytng
tidak dibicarakan oleh generasi sahabat dan tabi'in yang mengikuti mereka
dengan kebaikan.
Malik berpendapat bahwa ilmu mereka ini termasuk amal yang
paling buruk dan juga termasuk dosa besar. Ibnu Nafi' mengatal€n, "Aku
mendengar Malik berkata, seandainya hamba melakukan dosa-dosa besar
semuanya setelah tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu aPa Pun,
kemudian dia selamat dari kemauan hawa nafsu ini niscaya aku berharap
bahwa dia termasuk penghuni surga Firdaus, karena setiaP dosa besar antara
hamba dengan Tirhannya yang mana dia masih dapat berharap diampuni,
narnun seriap keinginan hawa nafsu tidak ada harap darinya, akan tetapi
justru mengantarkan pelakunya ke neraka Jahannam"'r
Pemahaman inilah yang membuatnya mengatakan, "Penganut hawa
nafsu semuanya kafir, dan yang paling buruk di antara mereka adalah
golongan Ra6dhah. Dia ditanya; bagaimana dengan golongan Nashibah?
dia menjawab; mereka adalah Rafidhah, mereka menolak kebenaran dan
mengukuhkan permusuhan serta kebencian terhadapnya"'2
Imam Malik memiliki sikap-sikap yang mengukuhkan pemahamannya
ini dan kesadarannya terhadap bahaya ahlul bid'ah yang menurutnya mereka
adalah para penganut berbagai golongan, seperti Rafidhah, Jahmiyah,
Qadariyah, dan Murjiah, serta semua yang selain Ahlu Sunnah'3
Di antara Pernyataan-Pernyataan yang mengungkap sikapnya ter-
hadap para penganut hawa nafsu dan bid'ah kami bagi dalam kategori
berikut ini:
Ibnu Wahb mengatakan, "Aku mendengar Malik mengatakan jika
didatangi penganut hawa nafsu, 'Aku telah memiliki kejelasan terhadap
Tirhanku, sedangkan kamu sebagai orang yang meragukan, maka pergilah
Ahl.,l"q Ar-R"-l ," Ad"b ,4s-sami"keryaAl-Khathib Al-Baghdadi, tahqiq olch Dr. Muhammad Rafat
Seid(i1259-262). Diterbitkan DarAl-Falah, Kuwait, Cet' I' 1983'
1 Al-Mad4ik(2149).
2 lbid.
3 lbidQl$t).
296 $ etua*, Islam Menurut Empat Madzhab
kepada orang yang peragu seperti kamu lantas bersainglah dengannya.
Kemudian Malik membaca,
{, . n,-, } @ rti JyY}'s -,sr^i" .,:s, 3
"I{aukankh (Muharnrnad), "Inihh jahnhu, aku dan orang-orangldng
mengikutihu mengajak (kamu) hepada Alhh dengan yuhin." (Yu"ufi
r08)
Mutharrif mengatakan, "Aku mendengar Malik saat berada di
tempat seorang yang menyimpang dan memperturutkan hawa nafsu dia
mengatakan, 'IJmar bin Abdul Aziz berkata, 'Rasulullah dan para pemimpin
sepeninggal beliau telah menetapkan ketentuan-ketentuan, menerapkannya
berarti meneladani Kitab Allah, penyempurnaan bagi ketaatan kepada
Allah, dan kekuatan pada agama Allah. Setelah mereka tidak ada seorang
pun yang berhak untuk menggantinya tidak pula memiliki pandangan
terkait sesuatu pun yang bertentangan dengannya. Siapa yang mengikuti
petunjuk itu maka dia berada ddam petunjuk, siapa yang membelanya
maka dia dibela, siapa yang meninggalkannya berarti dia mengikuti selain
jalan orang-orang yang beriman, dan Allah menyerahkannya pada apa
yang diperturutkannya serta memasuklennya ke neraka Jahannam sebagai
seburuk-buruk tempat kembali." 1
Itulah indikasi-indikasi sdafiyah yang paling menonjol pada diri
tokoh kita ini ddam bidang akidah. Sebagaimana yang kamu lihat, indikasi-
indikasi tersebut selaras dengan kesdafiyahannya ddam manhajnya seczra
umum yang diterapkannya ddam fikih dan hadits. Jelas bahwa tokoh ini saat
mengetahui golongan-golongan yang ada pada masa dan lingkungannya, dan
bahwa dia memiliki sikap tersendiri dalam menghadapi golongan-golongan
itu, bahkan memiliki penilai hukum syariat terhadapnya sebagaiman^y{rg
telah kami sinyalir, akan tetapi lantaran ini memiliki urgensinya tersendiri
maka kami membahasnyr secara terpisah, insya Allah.
Imam Malik dan Kelompok-kelompok Keagamaan pada Masanya
Dalam pembahasan tentang masa Abu Hanifah An-An-Nu'man,
kami telah menyinggung bahwa itu adalah masa perdebatan, dan
Al-Mdd4nh (21 4t), Al-Hibah (61 324-329).
Bab 5: Empat UlamaAhli Fikih...lf 297
bahwasanya masa itu identik dengan banyaknya golongan-golongan
yang berkaitan dengan bidang politik dan bidang akidah, golongan Syiah
dengan golongan-golongan pecahannya, demikian pula dengan golongan
Khawarij, sebagaimana Mutazilah -yarng merupakan golongan terkuat
dalam memunculkan berbagai masalah saat iru- golongan Murjiah, dan
Jabariyah, mereka semua berhadapan dengan Ahlu sunnah. Di sini kami
tidak ingin mengulangi pembicaraan kami yang telah kami sinyalir di atas,
akan tetapi hanya hendak menyarakan bahwa Imam Malikyang hidup pada
masa iru dan menyikapi kejadian-kejadiannya dengan berbagai ragamnya dia
mengetahui keberadaan golongan-golongan tersebut, meskipun berita-berita
rentang berbagai golongan tersebut di Madinah tidak sampai kepadanya.
Sebagaimana Imam Malik pun melihat adanya pengaruh.pengaruh serta
para penganut berbagai golongan itu sehingga dia semakin mengetahui
mereka lebih jauh.
Imam Malik pun menyaksikan saat Madinah berada di bawah
kekuasaan Khawarij, dan di saat lain berada di bawah kekuasaan Muhammad
bin Abdullah bin Hasan An-Nafs Az-2il<ryyah, dan saat kekuasaan yang
kedua ini dia dituduh telah menyampaikan fatwa dibolehkannya melakukan
penentangan dan Pengguguran sumpah setia orang-orang yang telah
berbaiat.t
Terkait hal ini kami mensinyalir dua hal berikut:
Pertanna, Malik sesuai dengan ketentuan manhajnya yang dite-
rapkannya bagi dirinya sendiri dalam fikih, akidah, dan hadits, serta sesuai
dengan sikapnya yang ridak menyukai perdebatan dan percekcokan,
dan sesuai dengan adanya jarak yang jauh dari sengitnya pergolakan
golongan-golongan rersebur, maka tidak diketahui banyak tentang
hubungannya dengan golongan-golongan rersebur, dan tidak ada riwayat
yang menceritakan tentang perdebatannya dalam bidang ini kecuali hanya
sekilas saja. Hal ini berbeda dengan ap?- y?Lng dialaminya bersama Abu
Hanifah mengingat adanya perbedaan kondisi masing-masing dari keduanya
terhadap golongan-golongan tersebut. Maka dari itu terdapat sinyalemen-
sinyalemen tentang hubungan Malik dengan golongan-golongan ini secara
ringkas dan global serta seringnya sesuai dengan PaParan yang disampaikan.
Abu 7-ahruh, M a li h (l 5 2\ .
298 & eUa*, Islam Menurut Empat Madzhab
Kedra, di antara berbagai sinydemen yang kami sampaikan ini
kita tidak menemukan adanya penyebutan masing-masing dari berbagai
golongan tersebut pada masanya, akan tetapi hanya sebagiannya saja,
seperti Qadariyah. Mereka itulah yang membuat dia menulis surat kepada
Ibnu\fahb terkait sanggahan terhadap mereka. Ini memberikan penjelasan
kepadamu bahwa Malik memiliki kelebihan berupa sanggahan secara
nyata mengingat kekacauan pandangan dalam akidah umat yang mereka
munculkan. Termasuk juga terhadap golongan Qadariyah, Murjiah, dan
Rafidhah.t Sebagaimana terdapat pula penyebutan golongan Khawarij
dalam ungkapan yang dapat dimaknai sebagai paparan tentang sikap Mdik
terhadap mereka, sebagaimana riwayat tentang dia yang memaparkan
penolakannya terhadap bualan-bualan kaum sufi .2
Qadariyah
Sebelum kami menjelaskan pemahaman Imam Malik mengenai
golongan ini dan lainnya, kami mensinydir bahwa Imam Malik menganggap
golongan-golongan ini semuanya bertentangan dengan Ahlu Sunnah yang
mengemban, menjaga, dan membela akidah salaf, Seorang bertanya kepada
Malik, "Siapa Ahlu Sunnah wahai Abu Abdillah?" Dia menjawab, "Mereka
yang tidak memiliki julukan untuk mengenali mereka, bukan Jahmiyah,
Rafidhah, bukan pula Qadariyrh."'
Qadariyah addah golongan yang muncul pada akhir masa generasi
sahabat -sebagaimana yang dikatakan Ibnu Thimiyah- dan pokok bid'ah
mereka bermula dari kelemahan akal mereka dalam memahami keimanan
rerhadap takdirAllah, dan keimanan terhadap perintah, larangan, janji, dan
ancaman-Nya, mereka mengira bahwa itu tidak dimungkinkan. Kemudian
terjadilah banyak perdebatan tentang takdir, dan muncullah pandangan
tentang adanya keinginan dan penciptaan perbuatan. Merekalah yang
disebut Mutazilah lantaran suatu sebab atau lainnya.4 Sikap generasi sahabat
terhadap mereka bersesuaian sikap terhadap bid'ah-bid'ah dalam agama
yang mereka ciptakan.
Baca buku karya Ibnu Thimiyah, I l-Furqan baina Al-Haqq wa Al-Bathil 34, yutu terkait penjelasan
makna istilah-istilah tersebut secara lebih tepat.
Al-Madanh (2138-54).
Al-Madtih (214r).
IbnuTaimiyah, ,ll l-Furqan baina Al-Haqq uta Al-Bathil (27, 28).
1
.,
3
4
Bab 5: Empat UlamaAhli Fikih... trtr 299
BegitugenerasisahabatmendapatkanpemberitahuantentangPer-
nyaraan L.r.t "
terkait pengingkaran terhadap takdir yang mendahului'
g.rr.r"ri sahabat Pun menyampaikan penolakan keras dan berlepas diri
dari mereka, hingga Abdullah bin Umar berkata, "Beritahu mereka bahwa
aku berlepas diri dari mereka, dan mereka pun terbebas dariku. Demi yang
disebutkan dalam sumpah Abdullah bin umar, seandainya seorang dari
mereka mempunyai emas seperti Gunung Uhud lantas menginfakkannya
niscaya Allah iid"k -.rr.rimanya hingga dia mengimani takdir. Disebutkan
dari ayahnya tenmng hadits Jibril, ini merupakan hadim Pertama dalam
shabih Muslim, disampaikan oleh Bukhari dan Muslim melalui Abu
Hurairah iuga secara ringkas."r
Sinyalemen-sinyalemen yang kami paparkan tenang Imam Malik
menunjukkan pengetahuannya tentang akidah golongan ini' sebagaimana
juga mengindikasikan bahwa dia pun bersinggungan dengan sebagian
dari mereka, serta dia mengetahui mereka secara pandangan mauPun
pengamalan yang membuatnya menyampaikan pendapatnya tentang mereka
saat ditanya:
Al-Karayisimengatakan,,.AkumendengarMalikditanyatentang
golongan Qadariyah ,Lp" -t"ka?" Dia menjawab' "Y*g mengatakan
kedurhakaan-kedurhakaan tidak diciptakan." Qasim bin Muhammad
mengarakan,..AkubertanyakepadaMaliktentanggolonganQadariyah;
siapiah mereka?" Dia menjawab, "Aku bertanya kepada Abu Suhail
sebagaimana perranyaanmu kepadaku, dan dia mengatakan' "Merekalah
y"rrf -.rrgatakan bahwa kemampuan tergantung pada mereka' jika
,rr.righerrd"ki maka mereka dapat melakukan ketaatan, dan jika meng-
hendaki maka mereka dapat melakukan kedurhakaan'"2
Pengetahuan dan sanggahannya terhadap mereka tampak pada
^pa.
yangditunlukkan sikap ini; Al-Mahdi mengatakan' "Di antara Para
p.rrgkitiLMutazilah yang berasal dari perkamPungan memberitahukan
Lpia"n dengan mengatakan,
,Aku mendatangi Matik bin Anas, lantas
aku bertanya kepadanya tenrang masalah takdir dan saat itu ada orang-
orang yang hadir. Dia memberi isyarat kepadaku untuk diam. Begitu
I Ibid, hdaman Yang sama.
2 Al-Mad4ik(2148).
300 {& eUa* Islam Menurut Empat Madzhab
majlis sepi, dia berkata kepadaku, 'Sekarang bertanyalah.' Dia tidak suka
memberikan jawabannya kepadaku saat orang-orang masih ada di majelis.
Dia mengatakan, orang Mutazilah menyatakan bahwa tidak ada satu
masdah pun padanya di antara masalah-masdah mereka melainkan telah
ditanyakannya kepadanya, dan dia menjawabnya serta menunjukkan hujah
atas kebatilan madzhab mereka, hingga tidak ada perkara lagi pada orang
Mutazilah itu dan dia pun bergegas pergi darinya."r
Barangkali untuk mendapatkan risalahnya tentang takdir dan
sanggahan terhadap golongan Qadariyah dapat lebih banyak menjelaskan
manhajnya terkait sanggahan terhadap mereka.
Adapun penilaian hukumnya tentang mereka, yaitu dia berpendapat,
"Mereka tidak dishalatkan, jenazah mereka tidak diiringi, dan menurutku
tidak pula ada pernikahan dengan mereka."2 Dalam riwayat darinya
juga, "Tidak boleh ada kesaksian penganut Qadariyah yang menyerukan
madzhabnya, ddak pula penganut Khawarij dan Rafidhah. Diriwayatkan
dari Malik bahwa kesaksiannya dilarang secara global. Diriwayatkan darinya,
jika dia sebagai penyeru."3 Ketika ditanya tentang orang yang mengatakan
bahwa Al-Qur'an adalah makhluk -sementara golongan Qadariyah pun
berpendapat demikian- dia menjawab orang itu diminta untuk bertaubat.
Jika bertobat maka baik baginya. Namun jika tidak bertobat maka dia
dihukum mati. Dalam riwayat lain dia menjawab bahwa orang itu atheis
maka bunuhlah dia."4
Dalam Al-Muwdthth a' diriwayatkan dari pamannya, Abu Suhail bin
Malik, bahwa dia mengatakan, "Aku berjalan bersama Umar bin Abdul
Aziz, lantas dia bertanya, ?\p" pendapatmu tentang golongan Qadariyah
itu?'Aku mengatakan, 'Pendapatku; hendaknya engkau meminta mereka
untuk bertaubat. Jika menerima pemobatan maka mereka dibiarkan. Namun
jika tidak, hendaknya engkau hadapkan mereka pada pedang.' Umar bin
Abdul Aziz berkata, '[tu pendapatku.' Malik berkata, 'Itu pendapatku."'5
Di antara pengamat tda,yangberpendapat bahwa kerasnya penilaian
t Al-Madaih(t182).
2 tbid(2t47).
3 rbid(2t47).
4 tbid.(2t44).
5 TanuirAl-HawalitSldrh Muuaththa' MaliL,karyaAs-Suyurhi (3/93), DarAn-NadwahAl-Jadidah,
Libanon, t.t.
Bab 5: Empat Ulama Ahli Fikih... O 30r
hukum Malik terhadap Mu'tazilah "Qadariyah" mengandung unsur
hiperbola (sengaja dilebih-lebihkan) yang dimaksudkan agar mereka
dihindari dan diwaspadai. Namun pada akhirnya dia mengatakan bahwa
mereka adalah umat Islam bukan golongan musyrik, dan tidak ada orang
yang mustahil berlaku salah selain orang-oran g yang mAls ltum." t
Kami mengajak pengamat ini untuk memperhatikan apa yang
diriwayatkan oleh Ibnutimiyah terkait penghindaran generasi sahabat dari
golongan Qadariyah dan pemikiran mereka lantaran mereka menyatakan
penafian takdir, dan hadits Abdullah bin Umar yang diriwayatkannya,
namun tidak dapat digambarkan bahwa Malik yang bermanhaj salafi
kurang keras sikapnya daripada sikap ini, namun ini merupakan sikap keras
yang menunjukkan kepeduliannya, dan tidak menutup pintu tobat -yang
senantiasa terbuka bagi manusia- bagi mereka. Allah tempat memohon
pertolongan.
Muriiah, Khawarij, dan Rafidhah
Murjiah adalah mereka yang mengatakan bahwasanya dengan
keimanan maka perbuatan durhaka tidak berpengaruh buruk sebagaimana
dengan adtnya kekafiran maka ketaatan tidak berguna.2 Malik menge-
tahui akidah mereka dan bersinggungan dengan mereka saat dia didatangi
seorang yang memintanya untuk berdebat dengannya. Jika dia mamPu
mengalahkannya maka orang itu mengikutinya. Imam Malik berbincang
dengannya hingga pada akhirnya pandangan orang ini disimpulkan
menyimpang dan tidak ada pembenarannya setelah dia mengetahui bahwa
Muhammad membawa satu agamt.3
Imam Malik menilai bahwa pemahaman mereka terhadap keimanan
adalah pemahaman yang salah dan menyanggah mereka, "Ibnu \W'ahb
mengatakan, 'Aku mendengar Malik berkata, 'Murjiah salah dan mereka
mengatakan pernyataan yang besar.' Mereka mengatakan, 'Orang yang
membakar Ka'bah dan melakukan apa saja maka dia muslim.'
Malik ditanya, Apa pendapatmu mengenai mereka? dia menjawab;
Allah berfirman,
1 Abdul GhaniAd-Daqar, Malih (289).
2 Ibnu Taimiyah, Al-Farqan baina Al-Haqq wa Al-Bathil (27), fuy-Syahrasta ni, Al-Mikl uan Nihal
( I / I I 4), mhqiq Abdul Aziz Al-'lVakil, terbitan Yayasan Al-Hdbi, t.t.
3 Al-Mddaik(2138).
3O2 & aUa"n Ishm Menurut Empat Madzhab
f$',;41\Yjr7r'iitA)i
{ rr 'uir} @
"Dan jiha rnereka bertobat, mehhsanakan shalat dan menunaihan
zahat, maha (berarti mereha iru) adahh saudara+audarAmu seagamd."
(At-Thubah:1f)
Ibnu Vahb mengatakan, 'Aku mendengar Malik saat dikatakan
kepadanya bahwa kalangan yang memperturutkan hawa nafsu berhujah
terhadap kami dengan hadits: 'Setiap bayi dilahirhan dahmftab. "Hadits.
Malik mengatakan, 'Berargumentasilah terhadap mereka dengan bagian
akhirnya: Alkh lebih mengetahui apd lang mereha perbuat."
Diriwayatkan bahwa Malik ditanya tentang apayangdikatakan oleh
golongan Murjiah bahwa shalat bukan dari iman, maka dia pun marah dan
meminta kepada orang yang bertanya ini untuk keluar.2
Adapun Khawarij dan Rafidhah telah dia sinyalir saat dia meng-
golongkan dua golongan ini bersama penganut Qadariyah yang kesaksiannya
tidak diperkenankan jika dia sebagai penyeru, berdasarkan riwayat
sebagaimanayang telah dipaparkan di aras. Akan tetapi dia menyebut
golongan Rafidhah secara tersendiri dengan sebutan khusus, saat dia
mengatakan, "Kalangan yang memperturutkan hawa nafsu semuanya di
neraka, dan yang paling buruk di antara mereka adalah golongan Rafidhah."
Dia ditanya, "Bagaimana dengan golongan Nashibah?" Dia menjawab,
"Mereka termasuk golongan Rafidhah karena mereka menolak kebenaran
dan mengukuhkan permusuhan serta kebencian terhadapnya."
Al-Qadhi Iyadh mengatakan, "Maknanya bahwa empar orang itu
(empat khalifah) adalah orang-orang yang memihak kebenaran. Dengan
demikian siapa yang menolak satu pun dari mereka maka dia telah
menentang kebenaran."3
Jika sinyalemen-sinyalemen ini menunjukkan pengetahuan Imam
Malik tentang pemikiran kelompok-kelompok pada masanya dalam
1;6rr${: o$",r"lia#
I
)
3
rbid(2t49).
rbid(2t43).
rbid(2t49).
Bab 5: Empat UlamaAhli Fikih... {tr 303
bidang akidah, maka kita tetap berharap ada banyak hd semacam ini yang
terungkap bagi kita lantaran telah tergapanya apa yang hilang pada kita,
dan terkait pendapat-pendapatnya dalam sejumlah masalah secara lebih jelas.
Sufi
Istilah golongan sufi tidak seperti suatu golongan di antara golongan-
golongan pemikiran yang telah ditetapkan pada masa Imam Malik, kecuali
berdasarkan pendapat yang menyatakan bahwa sebutan ini telah dikenal
200 tahun sebelum hijrah, akan tetapi pemikiran sufi telah ada sejak masa
Dinasti Abbasiyah. Ada sejumlah sinyalemen yang menunjukkan bahwa
ada hubungan antara pandangan Syiah dan su6 yang banyak dipengaruhi
oleh pemikiran-pemikiran yang menyimpang. I
Malik telah mengetahui golongan ini saat dia ditanya tentang
mereka dan jawabannya menegaskan kepada mereka bahwa keyakinan
dan prilaku mereka menyimpang. Seorang bertanya kepada Malik tentang
ilmu batin. Malik pun marah dan berkata, "Ilmu batin hanya dikenal oleh
orang yang mengetahui ilmu lahir. Begitu dia mengetahui ilmu lahir dan
mengamalkannya, maka Allah membukakan baginya ilmu batin. Dan itu
hanya terjadi dengan pembukaan dan penerangan hatinya."
Kemudian Imam Malik berkata kepada orang yang bertanya tersebut,
"Engkau harus mengacu pada yang jelas saja, jauhi jalan sempit yang
bercabang-cabang, dan engkau harus mengacu pada apa yang kamu ketahui
serta tinggalkan yang tidak kamu ketahui."2
Akan tetapi perkaranya itu justru menjadi suatu ketentuan dalam
golongan sufi saat kita membaca: At-Tirnnisi mengatakan, "Kami berada di
tempat Malik sementara sahabat-sahabatnya berada di sekitarnya. Seorang
penduduk Nashibin mengatakan, 'Di antara kami ada orang-oran1yang
disebut golongan sufi, mereka banyak makan, kemudian melantunkan
syair-syair, lantas berdiri dan menari.'
Malik bertanya, Apakah mereka anak-anak?' Dia menjawab, 'Bukan.'
Malik bertanya, hpakah mereka orang-orang gila?' Orang itu menjawab,
'Bukan, mereka addah kumpulan para syaikh dan lainnya, mereka waras.'
lbnuHazm Al- Fashl f I Mihl wa An-Nihdl (21 | 12).
Al-Madoih214l.
I
a
304 {E eUa*, Islam Menurut Empat Ma&hab
Malik berkata, 'Aku tidak pernah mendengar bahwa ada seorang dari
umat Islam melakukan itu.'
Orang itu berkata kepadanya, 'Bahkan mereka makan kemudian
berdiri dan menari dawatsibt , di antara mereka ada yang memukul kepalanya
dan yang lain menampar wajahnya. Malik tertawa kemudian berdiri lantas
masuk rumahnya. Sahabat-sahabat Malik berkata kepada orang itu; hai
orang ini, kamu benar-benar orang yang pesimis terhadap sahabat kami.
Kami bergaul dengannya selama lebih dari 30 tahun namun kami belum
pernah melihatnya tertawa kecudi pada hari ini."2 Seburuk-buruk petaka
addah yang membuat tertawa.
Imam M4Iik dan Masalah-masalah Akidah pada Masanya
Dari teks-tels yang ada mungkin kita tidak menemukan pendapat
Malik dan keyakinannya terkait setiap masalah-masalah yang banyak
diperdebatkan yang mencuat di sekitarnya. Akan tetapi cukup bagi kita
dengan apayangkita dapatkan lantaran dia mengutamakan manhaj yang
menegaskan manhaj salafiyahnya dan pengaruhnya nampak pada generasi
sepeninggalnya.
Iman
Hakikat iman menurut Malik adalah uqrpan dan perbuatan. Maka
dari itu, dia menganggap shalat termasuk iman dengan argumen beberapa
ayat Al-Qur'an. Malik mengatakan, "Orang-orang tetap menunaikan
shalat dengan menghadap ke Baitul Maqdis selama 6 bulan. Kemudian
mereka diperintahkan shalat dengan menghadap Baitul Haram. Allah
berfirman, "Dan Alhh tidah ahan rnenyia-nyiaban irnanrnz, " (Al-Baqarah:
143) Malsudnya, shalatmu menghadap Baitul Maqdis." Dengan ayat ini
aku benar-benar ingat perkataan golongan Murjiah, "Sesungguhnya shalat
bukan dari iman."3
Diriwayatkan darinya riwayat yang mengatakan bahwa dia ber-
pendapat adanya pertambahan dan pengurangan iman lantaran perbuatan.
Sebagaimana diriwayatkan pula darinya riwayat lain yang menyatakan
bahwa tidak menyampaikan pendapatnya terkait pertambahan iman, dan
I TariankhaskelompokSufi.
2 rbid(2t54).
3 Al-Mdd4ih(2141).
Bab 5: Empat UlamaAhli Fikih...ltr 3O5
meminta kepada sahabat-sahabatnya untuk menghentikan pembicaraan
terkait pengurangan iman. Jika akidah salaf adalah bahwa iman merupakan
perkataan dan perbuatan yang bertambah dengan ketaatan dan berkurang
dengan kedurhakaan,r maka Mdik berkomitmen terhadap akidah ini tepat
sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat pertama, dan dia tidak menjauh
darinya ddam riwayat yang kedua, karena dia lebih memilih untuk tidak
membicarakan pengurangan iman, lantaran eyat'ayathanya membicarakan
tentang pertambahan saja. Ini selaras dengan manhajnya terkait PenetaPan
hukum dengan mengacu pada teks-tels syariat dan lebih mengutamakannya
serta penerapannya sebagaimana.yang disampaikan. Maka dari itu dia
melarang sahabat-sahabatnya membicarakan perkataan kalangan lain yang
saat itu tersebar luas, seperti perkataan: "kami beriman insya Alhh (iika
Allah menghendaki), kami beriman dengan sebenarnya, iman penduduk
bumi seperti iman penduduk langit." Malik hanya meminta mereka untuk
mengatakan kami beriman kemudian menahan diri dari pembicaraan yang
lain.2 Adapun yang diriwayatkan darinya yang telah sampai kepada kita,
yaitu:
Lebih dari satu orang mengatakan: Aku mendengar Malik berkata,
"Iman adalah perkataan dan perbuatan yang bertambah dan berkurang,
sebagiannya lebih utama dari yang lain." Dia mengatakan, "Allah di langit,
dan ilmu-Nya di segala tempat."
Ibnu Qasim menyatakan, Imam Malik berkata, "Iman bertambah."
Namun dia tidak membicarakan terkait pengurangan. Dan dia mengatakan,
"Allah menyebutkan pertambahan iman di lebih dari satu tempat, maka
tinggalkanlah pembicaraan terkait pengurangannya dan tahan diri darinya."
Malik mengatakan, "kami beriman walharndulilkh."3
Sifat-sifat Ketuhanan
Malik seorang yang logis terhadap dirinya. Selama teks syariat
baginya sebagai sumber hukum dan keyakinannya, maka sifat-sifat yang
dinyatakan oleh Allah bagi diri-Nya yang terdapat dalam Kitab-Nya atau
I IbnuThimiyah,Al-AqidahAl-\Vashhiyyah(405), dimuatdi dalamMajmu'hAr-Rasd'il,iilid,l, cetakan
Shabi.
2 Al-Madaik(2142).
3 Ibid (2143), Al-H;bah 6t327 ,Ibnu Abdil Bur, Al-Intiqa' (32), dm baca buku karya Abu Zahrah:
Malik (154), dan karyaAd-Daqari Malih (286).
}OG tS eUa"l Islam Menurut Empat Madzhab
yang disampaikan oleh rasul-rasulNya sebagai sifat-sifatNya harus kita
yakini sebagaiman a yangdisampaikan tanpa takwil arau menerapkan tata
qrranya atau membuat penyerupaannya yang menjerumuskan kalangan
selain generasi salaf dalam kesesatan-kesesatan pengabaian makna atau
penyerupaan. fuwayar masyhur yang dinisbatkan kepadanya sebagaimana
yang dinisbatkan kepada Rabiah Ar-Ra'yi -tidak ada kontradilsi lantaran
dia sebagai muridnya- merupakan indikasi yang menguatkan kesalafiyahan
Malik terkait akidahnya secara umum, dan terkait masalah sifat-sifat secara
khusus.
Sufyan bin uyainah mengatakan, seorang bertanya kepada Malik
dengan mengatakan, "Tuhan yang Maha pengasih bersemayam di atas Arsy
(singasana), "(Thaha: 4) Bagaimana Dia bersemayam wahai Abu Abdillah?,,
Imam Malik diam sejenak hingga keringat bercucuran, kami belum
pernah melihat Malik kesal terhadap sesuatu sebagaimana kekesalannya
terhadap perkataan orang itu, orang-orang pun menantikan apa yang
disuruhkannya terkait orang itu. Kemudian dia menghindari darinya dan
berkata, "Persemayaman dari-Nya telah diketahui, tara caranyatidak dapat
dijangkau akal, menanyakan hal ini adalah bid,ah, dan mengimaninya
wajib, sesungguhnya aku benar-benar mengira kamu orang yang sesar,
keluarkan dia."
orang itu lantas berseru, "'wahai Abu Abdillah, demi Allah yang tidak
adaTirhan selain Dia, aku telah menanyakan masalah ini kepada penduduk
Bashrah, Kufah, dan Irak, namun aku tidak menemukan seorang pun yang
dapat menjawab dengan baik sebagaimana jawabanmu.,,r
ndaklah berlebihan bila orang iru mengatakan bahwa dia tidak
mendengar dari penduduk Kufah dan Bashrah sebagaiman ayangdiadengar,
karena Irak saat itu didominasi perdebatan di anrara golongan-golongan
yang menafikan sifat arau yang menakwilkan sebagian sifat, dan golongan
yang membuar penyerupaan dan perumpamaannya.Akan tetapi Malik di
Madinah memberikan jawaban yang menunjukkan pilihannya terhadap
manhaj generasi sahabat dan tabi'in ddam memahami akidah dari teks-
teks syariar.
Adapun riwayat yang disinyalir dalam riwayat rerkait keadaan Malik,
1 Al-Madaih(2139).
Bab 5: Empat UlamaAhli Fikih...ltr 307
itu tidak lain karena dia berpendapat bahwa perkara-perkara seperti ini
menjerumuskan umat Islam ke dalam petaka yang tidak ada manfaat di
baliknya, dan tidak ada kebaikan di belakangnya, sebagai akibat dari ulah
akd terkait apa yang tidak mampu dijangkau oleh akal, dan sebagai akibat
dari penyebaran hd ini di antara kalangan umum yang membuat bahayanya
bagi mereka menjadi lebih banyak daripada manfaatnya bagi mereka.r
Apralrah Al-Qur' an Makhluk?
Malik hidup pada masa mencuatnya masalah pendapat yang
menyatakan bahwa Al-Qur'an adalah makhluk, yaitu pendtPet yang
dilontarkan oleh Ja'ad bin Dirham yang mencapai puncaknya pada
golongan Mutazilah, dan disampaikan dalam ungkapan penafian sifat
kdam dari Allah sebagai sifat yang dahulu, karena mereka mengira bahwa
itu berimplikasi pada pensucian. Masdah ini dari segi bentuknya jauh
dari apa yang diterapkan generasi salaf terkait sifat-sifat ketuhanan yaitu
memberlakukannya sebagaiman a, yangdisampaikan tanPa melibatkan diri
dalam pembicaraan tentang asumsi-asumsi dan perdebatan-perdebatan
yang tidak ada gunanya. Akan tetapi Malik dinyatakan ddam riwayat telah
menyampaikan paparan tentang hal tersebut karena masalahnya cukup
populer pada masanya, dan karena dia pun ditanya tentang hal ini serta
sikapnya sesuai dengan manhajnya yang menjadi acuan penilaian keyakinan,
pemikiran, dan perilakunya.
Ibnu Abi Uwais menyatakan, Malik berkata, "Al-Qur'an kalam Allah,
dan kalam Allah dari Allah, dan tidak ada sesuatu pun pada Allah yang
merupakan makhluk." Yang lain menambahkan dengan riwayat darinya:
"Siapa yang mengatakan Al-Qur'an adalah makhluk maka dia kafir, dan
yang bersikap tebih dari itu maka dia diminta bertaubat. Jika tidak bertobat
maka lehernya ditebas."
Dalam riwayat Ibnu Nafi', darinya: "Orang yang mengatakan hal itu
dicambuk dan ditahan."
Dalam riwayat Bisyr bin BalrrAt-TLnnis: "(Orang itu) dibunuh, dan
taubatnya tidak diterima."
Al-Burkani dan At-Tasturi dari kalangan syaikh kami dari Irak
I DhuhaAl-Ishn(3114,15).
308 lS aUa*, Islam Menurut Empat Madzhab
mengaral€n, "Makna dua jawaban rersebut berbeda, yang dibunuh adalah
yang sebagai penyeru, dan dicambuk lainnya.,,r
Diriwayatkan darinya selain ini namun dalam hal yang berkaitan
"Yahya bin Khalaf bin Rabi' Ath-Tharthusi -salah satu tokoh repercaya
dan ahli ibadah di antara umat Islam- menyampaikan dengan berkata,
',{}u bersama Malik bin Anas saat ada seorang yang menemuinya lantas
bertanya, 'v'ahai Abu Abdillah, apa yang engkau katakan rentang orang
yang mengatakan bahwa Al-Qur'an makhluk?' Imam Malik -.rrj.*b,
iA.theis, bunuhlah dia.'
Orang itu bertanya, '\7ahai Abu Abdillah, aku hanya menceritakan
pembicaraan yang aku dengar.' Imam Malik menimpali, ,Aku
belum pernah
mendengarnya dari seorang pun, aku hanya mendengarnya darimu, betapa
dahsyatnya perkataan ini."2
Akidah salaf dalam hal ini selaras dengan yang diterapkan oleh
Imam Malik yaitu didasarkan bahwa kalam Allah adalah salah satu dari
sifat-sifat diri-Nya, dan tidak boreh ada di anrara sifat-sifat diri-Nya yang
menjadi makhluk, tidak pula diada-adakan, tidak pula yang baru. Mereka
berargumentasi atas kesimpulan ini dengan ,.yet-ay,r_ dan hadim-hadits.
Tema ini dijelaskan dalam buku-buku akidah dan Al-Mihl wan Mbal.3
Melihat AIIah dengan Mata
Di antara masalah-masalah yang mencuar pada masa Imam Malik
adalah masalah melihat Allah. Golongan Mutazilah mengatakan, iru
mustahil, karena -sebagaimana yang mereka pahami- menuntut adanya
fisik, tempat, dan cakupan. Mereka pun menakwirkan ayat- ayat yang
menyebutkan itu secara jelas, mereka menakwilkannya sesuai d.rrg".,
keinginan mereka sendiri, dan berargumenrasi dengan firman Allah
kepada Musa: "I{art* tidak akan GanwrD merihat-Ku, " (et-.rron tan).
Mereka memaknainya bahwa melihat Allah itu mustahil. Hal ini pada
hakikatnya adalah bahwa orang yang mengingkari penglihatan terhadap
Allah didominasi oleh paramerer-paramerer manusia terkait penglihatan
Al-Madzrih (21 43 , 44) .
Al-Hihah(61325).
Baca buJ<u lelya N-Buha}i, At-I w( \ua
uiaayal ih sabilir Raryad(93) , tahqiq oreh Ahmad IshamAI-Kadb, I 40 I H/ I 98 I M, Dar Al-Ittihad Al-;"did.h, B.i.u,.
I
)
3
Bab 5: Empat UlamaAhli Fikih... 6 309
mereka terhadap apa. yang mereka lihat, dan mereka lupa bahwa ini
merupakan anugerah dari Allah bagi hamba-hamba-Nya yang layak untuk
mendapatkannya, serta bahwasanya itu adalah melihatAllah bukan melihat
fisik dan sesuatu. Allah Mahatinggi dari apa yang mereka katakan.
Diriwayatkan dari Malik terkait hal ini yang sesuai dengan manhajnya
yang mengacu pada generasi sdaf Ibnu Nafi' dan fuyhab -salah satu dari
keduanya menambahkan yang lain- aku bertanya, "'wahai Abu Abdillah,
"rVajah-wajah (orang rnuhmin) pada hari itu berseri-seri. Mernandang
Tuhannya," (Al-Qiyamthz 22-23). Mereka memandang Allah?" Imam
Malik menjawab, "Ya, dengan mata mereka ini."
Aku berkata kepadanya, "Ada orang-oran 8 yang mengatakan, Allah
tidak dapat dilihat, karena ;'tau (dilam ayat di atas diartikan berseri-seri)
artinya menunggu pahala." Dia berkata, "Mereka dusta, ddakkah engkau
mendengar perkataan Nabi Musa: "Ya Thhanhu, tampakkankh (diri-
Mu) hepadaha agar ahu dapat melihat Engkau," (Al-Arafi f6). Apakah
menururmu Musa meminta sesuaru yang mustahil kepada Tirhannya.
Allah berfirm an, "Enghau tidah akan ?angguD melihat-I{u. "Di dunia,
karena dunia adalah negeri kefanaan, dan yang kekal tidak dilihat dengan
yang fana.. Jika mereka telah sampai ke negeri keabadian maka mereka
melihat dengan yang api kepada yang abadi. Allah berfirman, "sehAli-hali
tidah. Sesungguhnya merekapadz ban bu benar-benar terhahngdai (melihat)
Tithannrya," (Al-Muthaffifin: l5). Yang dimaksud oleh Malik sebagaimana
yang diriwayatkan darinya bahwa jika melihat Allah itu tidak akan terjadi
niscaya keterhalangan bukan sebagai hukuman bagi orang yang dihukum
dengan tidak dapat melihat-Nya. dia mengatakan; manusia memandang
Allah pada Hari Kiamat dengan mata mereka.r
Seakan-akan Malik menukil makna hadits Rasulullah dari Shuhaib
yang mengatakan, "Rasulullah 6 bersabda, 'Jika penghuni surga tehh
masuh surga, rnaha mereka diseru; wahai penghuni surga, sesunguhnya halian
memilihi sesuaruyang dijanjikan di sisi Alhh yang belurn halian lihat. Beliau
melanjuthan; mereha bertanya, apa itu? Buhanhah Dia mernbuat wajah kami
putih, menghindarhan kami dzri neraka, dan memasukhan harni he surga?
Beliau melznjutkan; hlu hijab penghahng dislnghap hingga mereha dapat
t Al-Hifah(61326).
3f 0 € at ia*, Islam Menurut Empat Madzhab
rnelihat-Nla. Beliau mehnjutkan; demi Allzh, tidah ada sesaatu pan lang
dibeikan Alhh kEada mereka lung lebih mereha sukai daripada itu (melihat-
Nla)." Shuhaib mengatakan; kemudian beliau membaca, "Bagi orang-
oranglang berbuat baih, ada pahahyang terbaih (surga) dan tarnbahannya
(henihmatan melihat Alhh), " (Yunus: 25) I
Malik dan Generasi Sahabat Rasulullah 6
Riwayat yang dinukil oleh penulis Al-Madarik dalam hd ini dapat
disimpulkan bahwa jika dia diranya tenrang manusia yang paling urama
setelah Rasulullah ffi maka dia menjawab Abu Bakar, Umar, LJrsman,
kemudian menahan pembicaraan dan berpendapat bahwaAli sama dengan
yang lainnya. Dia menyampaikan alasannya dengan mengatakan, "Mereka
adalah oranB-orang pilihan di antara sahabat-sahabat Rasulullah ffi. Beliau
menunjuk Abu Bakar untuk menjadi imam shalat, Abu Bakar memilih
Umar, dan Umar mengdihkan kepadaenam orang,lantas mereka memilih
LJtsman, lantas orang-orang tidak melakukan itu lagi."2
Dengan demikian dia tidak sependapat dengan Abu Hanifah dan
fuy-Syafi'i di mana keduanya tidak berpendapat terkait AIi sebagaimana
pendapat Malik. Lazim diketahui bahwa Ali memiliki keutamaan dan
keteladanan yang diakui, namun barangkali dia sebagaimana menurut
pendapat Syaikh Abu Zahrahmemandang perkara ini dari sisi pemerintahan
dan cara penguasaannya serra realita umat pada masa masing-masing dari
mereka.3
Dari sisi lain, pandangan ini bagi generasi salaf memiliki acuan
yaitu bahwa urutan (penetapan keutamaan) tidak membuat orang yang
menyatakannya keluar dari Ahlu Sunnah, akan tetapi memungkiri
kekhilafahan seorang dari mereka adalah hal yang berimplikasi pada
kesesatan dan penyimpangan.
Setelah menyebutkan bahwa pada dasarnya ururan mereka sebagai
berikut; Abu Bakac Umar, LJrsman, Ali, setelah menyebutkan demikian
Ibnu Thimiyah berkata, "Meski sebagian Ahlu Sunnah berselisih pendapat
HR Muslim tentang iman, bab mengenai penetapan bahwa orang-orang beriman dapar melihatAllah
di akhirar. HR. At-Tirmidzi tentangsurga, dan lainnya.
Al-Mddarih (2146).
Abr Z.abr ah, M al ik (5 6 - 60).
I
)
J
Bab 5: Empat UlamaAhli Fikih...6 3ll
terkait LJtsman dan Ali setelah mereka bersepakat terkait Abu Bakar
dan Umar siapa yang lebih utama dari keduanya, hingga ada kalangan
yang mengutamakan Ustman lantas mereka diam, atau menetapkan Ali
pada urutan keempat, sementara kdangan yang lain mengutamakan Ali,
dan ada kalangan yang ridak memberikan komentar, akan tetapi Ahlu
Sunnah memiliki kemantapan atas Pengutamaan Utsman kemudian Ali,
meskipun masalah ini, malsudnya masalah Utsman danAli, tidak termasuk
masalah-masalah fundamental yang bagi Penentangnya dinyatakan sesat
menurut mayoritas Ahlu Sunnah, akan tetapi masalah yang dinyatakan
penentangnya sesat adalah masalah kekhilafahan (pemerintahan). Yaitu
lantaran mereka mempercayai bahwa khdifuh setelah Rasulullah adalah
Abu Bakar, kemudian (Jmar, kemudian (Jtsman, kemudian Ali, dan siapa
yang menggugar pemerintahan seorang pun dari para pemimpin itu maka
dia lebih sesat dari keledai yang dimilikinya."l
Jadi, perka ranya. terkait riwayat yang disampaikan oleh Iyadh
dari Malik masuk dalam batas-batas ijtihad dan pemahaman, bukan
pengingkaran arau penggugatan, khususnya, ilka kita mengetahui bahwa
riwayat-riwayat lain yang tePercaya menunjukkan kecintaannya kepada
seluruh generasi sahabat dan menolak kalangan yang mencaci sahabat-
sahabat Rasulullah atau sebagian dari mereka.
Kemudian dia mengatakan, "Aku tidak berpendapat bahwa orang
yang mencaci sahabat-sahabat Rasulullah berhak mendapatkan bagian dari
hartafai'(harta yang didapatkan dari musuh)."2 Dalam riwayat lain dia
menegaskan penilaian ini kemudian membaca firman Allah, "Dan harta
rampasanfai' dari rnereha yang diberikan Alkh kepada Rasul-Nla,"hingga
sampai pada firman-Nya, "Ddn orang-ordng lang daung sesudah mereha
(Muhajirin dan Anshar), mereha berdoa, "Ya Tahan kami, arnpunihh hami
d.an saudzra-saudara karni yang tehh berirnan hbib dahulu dari hami, dan
janganhh Enghau tanamhan hedrnghun dahrn hati hami "(AI-Hasyr: 6-10).
Kemudian berkata, "Siapa yang meremehkan mereka atau di dalam hatinya
terdapat kedengkian terhadap mereka maka dia tidak berhak mendapatkan
bagian dari harta fai'.3 Dari Abu Urwah -seorang anak keturunanZubtir
AlAqidz h Al-lVas ith iyl ah (407), terdapat dalam ,tl r- Pasdi l, iilid satu'
Al-Hibab (61324).
rbid(6t327).
I
2
3
3r2 IS efia"n Islam Menurut Empat Ma&hab
dia mengatakan, "Saat itu kami bersama Malik lantas mereka menyebutkan
seorang yang meremehkan sahabat-sahabat Rasulullah ffi, maka Malik
pun membaca ayat: "Muhamrnad adalzh utusan Alhh, dan orang-orang
ltang bersarna dtngan dia,"hinggasampai: "tAnaman itu rnenyenanghan hati
?enanarn-penanarnnla harena Alhh hendah rnenj enghelkan hati orang-orang
kafi r (dengan he huatan orang-orung mahrnin), " (Al-Fath: 29).
Imam Malik mengatakan, 'Siapa yang di dalam hatinya terdapat
kemarahan terhadap seorang pun dari sahabat-sahabat Rasulullah maka
ayat ini berkenaan dengannya."r
Bahkan Malik berpendapat bahwa Madinah yang ketika itu menjadi
tempat tersebarnya cacian terhadap sahabat-sahabat Rasulullah wajib keluar
darinya, seperti tinggal di suatu negeri yang tidak ada penegakan kebenaran
di dalamnya dan kondisi ini tidak dapat diubah, sementara di negeri lain
ada penegakan kebenaran, atau dapat diubah. Dalam hal ini dia memiliki
ungkapan, "Tidak layak tinggal di negeri yang di dalamnya terdapat
pengamalan selain kebenaran, dan terdapat cacian terhadap generasi salaf"2
Itulah pendapat-pendapat Malik yang paling menonjol sebagaimana
yang telah kita paparkan, akan tetapi di sejumlah riwayat lain dia mensinyalir
pendapatnya terkait masalah-masalah lain. Yaitu misalnya terkait masalah
orang yang melakukan dosa besar, seorang generasi salaf berpendapat
sebagaimana yang dinukil Ibnu Abi Hanafiyah kepadanya bahwa kami
tidak menilai kafir lantaran dosa, orang-orang yang berdosa itu semuanya
tetap sebagai muslim. Dan dia berpendapat bahwa siapa yang selamat dari
memperturutkan hawa nafsu maka dia berada ddam wilayah harap dan
maaf dari Atlah bahkan dia dapat berharap menempati surga Firdaus yang
tertinggi.3
Sebagaimana yang disampaikan terkait pendapatnya tentang golongan
Qadariyah yang menetapkan bahwa segala sesuatu yang dilakukan manusia
addah kewenangannya, menunjukkan ciri umum sikapnya yang bermanhaj
sala6. Dalam riwayat darinya dinyatakan, I-Imar bin Abdul Aziz berl<ata;
seandainya Allah menghendaki untuk tidak didurhakai niscaya Allah tidak
Al-Hifiah (61 327), dan Al-Madaik (21 46).
Ibnu Abdil Barr, Al-Intiqa' 26, AbuZtfurh, Malih 160.
Al-Madzfih (2149).
I
')
3
Bab 5: Empat UlamaAhli Fikih...ltr 313
menciprakan iblis, dia addah pangkal kesalahan. Betapa jelas ayat berikut
sebagai sanggahan terhadap golongan Qadariyah, dan berat bagi mereka,
iJ.I'i a3r;t'6 :,{sJ r+ iG e
{,r,;"*^r } @ <rAS*!:V *trq;i;
"Dan jiha l{ami menghendaki niscaya l(ami berikan kepadz setiap jiwa
peanjuh (bagi)nya, taapi tehh dintapkan perhataan (hetetapan) dari-
Ku, 'Pasti ahan Ahu penuhi neraka Jahanam dengan jin dzn manusia
bersarna-sama " (QS. As-Saidah: 13)I
Penutup
Barangkali cukup jelas dari bahasan tentang Imam Malik ini, bahwa
kami membicarakannya secara ringkas tentang masanya' dan pembicaraan
rentang berbagai golongan, dan kesaksian dari generasi salaf tentang
pendapat-pendapatnya, dan juga saat kami memaparkan pendapat-
pendapatnya (dibicarakan secara ringkas jtg"). Akan tetapi itu lantaran
begitu kami membicarakan tentanglmamAbu Hanifah kami membicarakan
panjang lebar terkait masdah-masalah ini secara mendasar, dan di sini kami
mensinyalirnya kembali dan