Tuhan telah menempatkan yang satu berhadap-hadapan
dengan yang lain, agar kita dapat bergembira seolah-olah
tidak bergembira, dan menangis seolah-olah tidak menangis.
III. Kesimpulan yang ditarik dari pengamatan ini. Jika keadaan kita
sekarang begitu mudah berubah-ubah,
1. Maka kita tidak boleh mengharapkan bagian kita dari keadaan
kita itu, sebab hal-hal yang baik di dalamnya tidak menentu,
dan tidak untuk selamanya ada (ay. 9): Apakah untung pekerja
dari yang dikerjakannya? Apa yang dapat dijanjikan orang bagi
dirinya dari menanam dan membangun, jika yang disangkanya
dibangun dengan sempurna bisa saja segera, bahkan pasti
akan, dicabut dan dirombak. Semua jerih lelah dan kekhawa-
tiran kita tidak akan mengubah sifat keadaan yang berubah-
ubah itu, dan juga tidak dapat mengubah keputusan ilahi
tentang keadaan itu.
2. Maka kita harus melihat diri kita seperti sedang dalam masa
percobaan menghadapi perkara-perkara itu. Sungguhlah tidak
ada keuntungan dalam jerih payah kita. Suatu benda, saat
kita memilikinya, hanya memberi sedikit manfaat bagi kita.
Namun, jika kita menggunakan dengan benar hal-hal yang
disediakan Sang Penyelenggara, maka akan ada keuntungan
di dalamnya (ay. 10): Aku telah melihat pekerjaan yang diberi-
kan Tuhan kepada anak-anak manusia, bukan untuk membuat-
nya bahagia, namun untuk melelahkan dirinya, agar berbagai
karunia yang didapatnya dilatih oleh berbagai-bagai peristiwa,
agar ketergantungan mereka kepada Tuhan diuji dalam berba-
gai perubahan, agar mereka menjadi terlatih sebab nya, dan
diajar apa itu kekurangan dan apa itu kelimpahan (Flp. 4:12).
Perhatikanlah,
64
(1) Ada jerih lelah dan kesusahan yang besar di antara anak
manusia. Jerih payah dan kesedihan memenuhi dunia ini.
(2) Jerih lelah dan kesusahan ini yaitu bagian yang diberikan
Tuhan bagi kita. Dia tidak pernah menetapkan dunia ini
menjadi tempat istirahat kita, dan sebab itu tidak pernah
menyuruh kita untuk bersantai-santai di dalamnya.
(3) Bagi banyak orang, jerih lelah itu terbukti hadiah. Tuhan
memberikannya kepada manusia, seperti dokter memberi-
kan obat kepada pasiennya, untuk kebaikannya. Susah
payah ini diberikan kepada kita agar kita jemu dengan dunia
ini dan merindukan istirahat sesudahnya. Susah payah ini
diberikan agar kita terus bekerja dan selalu punya sesuatu
untuk dikerjakan. Sebab, tidak ada seorang pun dikirim ke
dalam dunia ini untuk bermasalas-malas saja. Setiap per-
ubahan membawa suatu pekerjaan baru bagi kita, yang
seharusnya membuat kita bersemangat, lebih daripada per-
ubahan itu sendiri.
Berubah-ubahnya Perkara Manusia
(3:11-15)
11 Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan
kekekalan dalam hati mereka. namun manusia tidak dapat menyelami peker-
jaan yang dilakukan Tuhan dari awal sampai akhir. 12 Aku tahu bahwa untuk
mereka tak ada yang lebih baik dari pada bersuka-suka dan menikmati
kesenangan dalam hidup mereka. 13 Dan bahwa setiap orang dapat makan,
minum dan menikmati kesenangan dalam segala jerih payahnya, itu juga
yaitu pemberian Tuhan . 14 Aku tahu bahwa segala sesuatu yang dilakukan
Tuhan akan tetap ada untuk selamanya; itu tak dapat ditambah dan tak dapat
dikurangi; Tuhan berbuat demikian, supaya manusia takut akan Dia. 15 Yang
sekarang ada dulu sudah ada, dan yang akan ada sudah lama ada; dan Tuhan
mencari yang sudah lalu.
Kita telah melihat perubahan-perubahan yang ada di dalam dunia,
dan seharusnya tidak berharap dunia ini lebih memberi kepastian
bagi kita daripada bagi yang lain. Nah, di sini Salomo memperlihat-
kan keterlibatan Tuhan dalam semua perubahan ini. Tuhan -lah yang
membuat setiap ciptaan sebagaimana adanya bagi kita. Oleh sebab
itu, kita harus selalu mengarahkan mata kita kepada-Nya.
I. Kita harus melakukan yang terbaik dalam keadaan yang sekarang
ada, dan harus percaya bahwa keadaan itu yang terbaik untuk
Kitab Pengkhotbah 3:11-15
65
saat ini, serta menyesuaikan diri kita dengan keadaan itu: Ia
membuat segala sesuatu indah pada waktunya (ay. 11). Oleh
sebab itu, selama waktunya belum berlalu, kita harus berdamai
dengan keadaan yang ada. Bahkan, kita harus membuat diri kita
bersukacita dengan keindahannya. Perhatikanlah,
1. Segala sesuatu ada sebagaimana Tuhan menciptakannya. Se-
mua sungguh ada sebagaimana Tuhan menetapkannya, bukan
sebagaimana tampaknya bagi kita.
2. Hal-hal yang tampak paling tidak menyenangkan bagi kita, pada
waktunya, akan menjadi sangat menyenangkan. Dingin di mu-
sim dingin sama indahnya dengan panas di musim panas.
Malam, pada waktunya, yaitu keindahan gelap, seperti siang,
pada waktunya, keindahan terang.
3. Ada keharmonisan yang luar biasa dalam penyelenggaraan
ilahi dan semua pemberiannya, sehingga peristiwa-peristiwa
yang ada di dalamnya, jika direnungkan keterkaitannya, alas-
an terjadinya, dan juga waktu terjadinya, akan tampak sangat
indah, bagi kemuliaan Tuhan dan penghiburan orang-orang
yang percaya kepada-Nya. Sekalipun kita belum melihat sepe-
nuhnya keindahan penyelenggaraan ilahi, namun kita akan
melihatnya, dan penglihatan itu akan menjadi penglihatan
yang mulia, saat rahasia Tuhan disingkapkan. Maka akan
tampak bahwa segala sesuatu terjadi di waktu yang paling
tepat, dan inilah keajaiban kekekalan (Ul. 32:4; Yeh. 1:18).
II. Kita harus sabar menantikan penyataan penuh hal-hal yang bagi
kita tampaknya rumit dan membingungkan, dengan menyadari
bahwa kita tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Tuhan
dari awal sampai akhir. Oleh sebab itu, kita tidak boleh meng-
hakimi apa pun sebelum waktunya. Kita harus percaya bahwa
Tuhan telah membuat segala sesuatu indah. Segala sesuatu diker-
jakan dengan sempurna, baik penciptaan, maupun penyelengga-
raan, dan kita akan menyadarinya saat kita ada di kesudahannya.
namun , sampai saat itu datang, kita tidak dapat menilainya.
Saat lukisan sedang digambar, dan rumah sedang dibangun, kita
tidak melihat keindahan dalam keduanya. Namun, sesudah sang
artis menyelesaikan tahap akhir pekerjaannya, dan memberikan
sentuhan terakhirnya, maka semua tampak sangat bagus. Seka-
rang kita hanya melihat bagian tengah pekerjaan Tuhan , tidak
66
sejak awal (maka kita pasti melihat betapa menakjubkan rencana
yang ditetapkan dalam pertimbangan ilahi), dan tidak juga bagian
akhirnya, yang menyempurnakan tindakan-Nya (maka kita pasti
melihat bahwa hasil akhirnya mulia). sebab itu kita harus me-
nunggu sampai tirai dirobek, dan tidak mengecam penyelenggara-
an Tuhan atau berlagak menghakiminya. Hal-hal yang tersembunyi
bukanlah bagi kita. Kata-kata ini, Ia meletakkan dunia dalam hati
mereka (TB LAI: Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka –
pen.), ditafsirkan berbeda-beda.
1. Beberapa penafsir mengartikannya sebagai alasan kita dapat
memahami pekerjaan Tuhan lebih daripada yang kita pahami
sekarang. Demikian menurut Tn. Pemble: “Tuhan tidak mem-
biarkan diri-Nya tanpa kesaksian mengenai kebenaran, keadil-
an, dan keindahan-Nya dalam mengatur segala sesuatu, namun
Dia menyatakannya, untuk dibaca di artikel dunia, dan artikel
ini diletakkannya dalam hati manusia. artikel ini memberi ma-
nusia hasrat yang tinggi, dan kuasa, dalam takaran yang besar,
untuk menelusuri dan memahami sejarah alam, dalam kait-
annya dengan perkara-perkara manusia. Dengan demikian, jika
saja manusia memberi diri sepenuhnya untuk mengamati
dengan seksama bagaimana segala sesuatu berlangsung,
dalam sebagian besar pengamatan itu, mereka akan mampu
melihat penataan dan perencanaan yang mengagumkan.”
2. Beberapa penafsir lain mengartikannya sebagai alasan kita
tidak memahami pekerjaan Tuhan sebanyak yang seharusnya.
Demikian menurut Uskup Reynolds: “Kita menempatkan dunia
begitu besar dalam hati kita, begitu dikuasai oleh pikiran dan
kekhawatiran akan perkara-perkara duniawi, dan begitu ter-
sita dalam jerih lelah kita di dalamnya, sampai-sampai kita
tidak mempunyai waktu maupun semangat untuk melihat
keterlibatan Tuhan di dalamnya.” Dunia bukan saja sudah
menguasai hati, namun juga membentuk prasangka dalam hati
terhadap keindahan karya Tuhan .
III. Kita semestinya puas dengan bagian kita di dunia ini dan mene-
rima dengan gembira kehendak Tuhan mengenai diri kita, serta
menyesuaikan diri kita dengan bagian kita itu. Tak ada hal yang
pasti dan selalu baik dalam perkara-perkara ini. Kebaikan yang
ada dalam perkara-perkara ini diberitahukan kepada kita di sini
Kitab Pengkhotbah 3:11-15
67
(ay. 12-13). Kita harus melakukan yang terbaik dalam perkara-
perkara ini,
1. Untuk manfaat orang lain. Satu-satunya yang baik dalam per-
kara-perkara ini yaitu melakukan kebaikan (KJV) pada ke-
luarga kita, pada sesama kita, pada orang miskin, pada orang
banyak, untuk kepentingan warga dan agama. Untuk
apakah kita memiliki keberadaan kita, kemampuan dan harta
kita, jika bukan supaya berguna bagi generasi kita? Salahlah
kita jika berpikir kita lahir untuk diri kita sendiri. Tidak. Ke-
pentingan kitalah untuk melakukan kebaikan. Dalam berbuat
baiklah kita menemukan kebahagiaan yang sebenarnya, dan
kebaikan yang dikerjakan dengan sepenuh hati yaitu yang
paling bermanfaat di masa depan dan akhirnya akan mengha-
silkan sesuatu yang baik. Amatilah, untuk melakukan kebaik-
anlah hidup yang singkat dan tidak pasti ini. Kita hanya memi-
liki waktu yang singkat untuk melakukan kebaikan, dan
sebab itu kita perlu mempergunakan waktu yang ada. Dalam
hidup inilah kita harus melakukannya, saat kita berada dalam
masa pengujian dan percobaan untuk kehidupan berikutnya.
Hidup setiap orang yaitu kesempatan baginya untuk melaku-
kan perkara yang menghasilkan upah baginya dalam kekekal-
an.
2. Untuk kesenangan kita sendiri. Marilah kita menyenangkan
diri, bersuka-suka, menikmati kesenangan dalam segala jerih
lelah kita, sebab itu juga yaitu pemberian Tuhan . Oleh sebab
itu, nikmatilah Tuhan di dalamnya, kecaplah cinta-Nya, bersyu-
kurlah kepada-Nya, dan jadikanlah Dia pusat sukacita kita,
makan minum untuk kemuliaan-Nya, menjadi hamba-Nya
dengan sukacita, dalam kelimpahan akan segala-galanya. Jika
segala sesuatu di dalam dunia ini begitu tidak pasti, bodohlah
manusia yang dengan egois menyimpan di masa sekarang agar
mereka dapat menumpuk semua untuk masa depan. Lebih
baik bagi kita untuk hidup dengan gembira ria dan berguna
dengan apa yang kita miliki, dan biarlah hari besok mempu-
nyai kesusahannya sendiri. Anugerah dan hikmat untuk mela-
kukan hal ini yaitu pemberian Tuhan , suatu pemberian yang
baik, yang menjadi puncak segala pemberian yang berasal dari
kelimpahan karunia-Nya.
68
IV. Kita harus benar-benar puas dengan semua pemberian yang ber-
asal dari penyelenggaraan ilahi, baik yang berkaitan dengan diri
kita sendiri maupun orang banyak, dan mengingatkan diri kita
dengan semua itu. Sebab Tuhan , dalam segala sesuatu, melakukan
perkara yang ditetapkan bagi kita berdasarkan keputusan kehen-
dak-Nya. Kita di sini diberi tahu,
1. Bahwa pertimbangan ilahi tidak dapat diubah. Oleh sebab itu,
berhikmatlah kita jika kita mengambil kebajikan darinya de-
ngan menerima pertimbangan itu. Semua harus terjadi sesuai
dengan kehendak Tuhan : Aku tahu (dan setiap orang yang
mengetahui tentang Tuhan juga tahu) bahwa segala sesuatu
yang dilakukan Tuhan akan tetap ada untuk selamanya (ay. 14).
namun Ia tidak pernah berubah, dan siapa dapat menghalangi
Dia? Tindakan-tindakan-Nya tidak pernah dibatalkan, juga
tidak pernah Dia membuat keputusan baru. Apa yang dipu-
tuskan-Nya pasti dikerjakan, seluruh dunia tidak dapat meng-
hapuskan ataupun membatalkannya. Oleh sebab itu, kita
harus berkata, “Biarlah terjadi menurut kehendak Tuhan ,” ka-
rena, betapa bertentangan pun dengan rancangan dan kepen-
tingan kita, kehendak Tuhan yaitu hikmat-Nya.
2. Bahwa pertimbangan ilahi tidak perlu diubah, sebab tidak
ada yang salah didalamnya, tidak ada yang harus diperbaiki.
Jika kita dapat melihatnya sekaligus, kita akan melihat bahwa
pertimbangan itu tak dapat ditambah, sebab tidak ada yang
kurang di dalamnya, dan tak dapat dikurangi, sebab tidak
ada yang tidak penting di dalamnya, atau dapat disisihkan.
Seperti firman Tuhan , pekerjaan Tuhan juga sempurna dalam
setiap jenisnya, dan lancanglah kita jika kita menambahi atau
menguranginya (Ul. 4:2). Oleh sebab itu, tugas dan kepenting-
an kitalah untuk menyesuaikan kehendak kita dengan kehen-
dak Tuhan .
V. Kita harus belajar menggenapi tujuan akhir Tuhan dalam segala
penetapan-Nya, yang secara umum untuk membuat kita menjadi
saleh. Tuhan berbuat semuanya supaya manusia takut akan Dia,
untuk meyakinkan mereka bahwa ada Tuhan di atas mereka yang
memiliki kuasa dan kedaulatan atas mereka. Mereka dan segala
jalan mereka ada dalam pengaturan-Nya. Waktu mereka dan se-
mua peristiwa yang berkaitan dengan mereka ada dalam tangan-
Kitab Pengkhotbah 3:11-15
69
Nya. Oleh sebab itu, mereka harus mengarahkan mata mereka
kepada-Nya, untuk menyembah dan mengagumi-Nya, mengakui
Dia dalam segala jalan mereka, bertindak hati-hati dalam segala
hal untuk menyenangkan-Nya, dan takut untuk menyakiti-Nya
dalam perkara apa pun. Tuhan memang mengubah pemberian-
pemberian-Nya, namun Dia tidak terubahkan dalam keputusan-
keputusan-Nya, bukan untuk membingungkan kita, apalagi mem-
buat kita putus asa, namun untuk mengajar kita akan kewajiban
kita kepada-Nya dan untuk membawa kita melakukannya. Ran-
cangan Tuhan dalam pemerintahan dunia yaitu untuk mendu-
kung dan memajukan agama di antara manusia.
VI. Perubahan apa pun yang kita lihat atau rasakan di dalam dunia
ini, kita harus mengakui ketetapan pengaturan Tuhan yang tidak
dapat dilanggar. Matahari terbit dan terbenam, bulan membesar
dan mengecil, padahal keduanya tetap seperti apa mereka sedari
semulanya, dan perputarannya terjadi dengan cara yang sama
sejak semula menurut hukum-hukum bagi langit. Demikian pula
dengan penyelenggaraan Tuhan (ay. 15): Yang sekarang ada dulu
sudah ada. Tuhan bukan baru saja menggunakan cara ini. Tidak,
segala sesuatu selalu berubah-ubah dan tidak pasti seperti halnya
sekarang, dan akan tetap demikian nanti: Yang akan ada sudah
lama ada. Oleh sebab itu, kita berbicara tanpa pertimbangan bila
kita berkata, “Sesungguhnya dunia ini tidak pernah seburuk
sekarang,” atau “Tidak ada orang yang pernah begitu dikecewakan
seperti kita ini,” atau “Waktu tidak akan pernah mengobati.”
Waktu dapat mengobati kita, sesudah suatu waktu untuk berka-
bung, mungkin akan datang waktu untuk bersuka, namun hal itu
tetap tergantung pada sifat yang berlaku untuk semua orang,
pada nasib yang menimpa semua orang. Dunia ini, seperti yang
sudah-sudah, memang dan akan terus berubah-ubah. Tuhan men-
cari yang sudah lalu, artinya Dia mengulangi yang pernah dilaku-
kan-Nya dan menghadapi kita tidak ubahnya Dia biasa berurusan
dengan orang benar. Demi kepentingan kitakah bumi harus men-
jadi sunyi, dan gunung batu bergeser dari tempatnya? Tidak ada
perubahan yang mengenai kita, ataupun pencobaan yang menim-
pa kita yang melebih kekuatan manusia. Janganlah kita menjadi
sombong dan merasa aman dalam kemakmuran, sebab Tuhan
dapat memanggil kesusahan masa lalu, dan memerintahkannya
70
untuk membekuk kita dan memusnahkan kegirangan kita (Mzm.
30:8). Janganlah juga kita putus asa dalam kesengsaraan, sebab
Tuhan dapat mengembalikan penghiburan masa lalu, seperti yang
dilakukan-Nya pada Ayub. Kita dapat menerapkan prinsip ini
pada tindakan-tindakan kita di masa lalu, dan pada perilaku kita
saat perubahan-perubahan itu terjadi, yaitu perilaku yang meme-
ngaruhi kita. Tuhan akan meminta pertanggungjawaban kita untuk
hal-hal yang sudah lalu. Oleh sebab itu, saat kita memasuki
keadaan yang baru, kita harus menghakimi diri kita sendiri akan
dosa-dosa kita di keadaan sebelumnya, berhasil atau gagal.
Keabadian Putusan Tuhan ; Tingkat Kematian
(3:16-22)
16 Ada lagi yang kulihat di bawah matahari: di tempat pengadilan, di situpun
ada ketidakadilan, dan di tempat keadilan, di situpun ada ketidak-
adilan. 17 Berkatalah aku dalam hati: “Tuhan akan mengadili baik orang yang
benar maupun yang tidak adil, sebab untuk segala hal dan segala pekerjaan
ada waktunya.” 18 Tentang anak-anak manusia aku berkata dalam hati:
“Tuhan hendak menguji mereka dan memperlihatkan kepada mereka bahwa
mereka hanyalah binatang.” 19 sebab nasib manusia yaitu sama dengan
nasib binatang, nasib yang sama menimpa mereka; sebagaimana yang satu
mati, demikian juga yang lain. Kedua-duanya mempunyai nafas yang sama,
dan manusia tak mempunyai kelebihan atas binatang, sebab segala sesuatu
yaitu sia-sia. 20 Kedua-duanya menuju satu tempat; kedua-duanya terjadi
dari debu dan kedua-duanya kembali kepada debu. 21 Siapakah yang menge-
tahui, apakah nafas manusia naik ke atas dan nafas binatang turun ke
bawah bumi. 22 Aku melihat bahwa tidak ada yang lebih baik bagi manusia
dari pada bergembira dalam pekerjaannya, sebab itu yaitu bahagiannya.
sebab siapa akan memperlihatkan kepadanya apa yang akan terjadi sesu-
dah dia?
Salomo masih memperlihatkan bahwa segala sesuatu di dunia ini,
tanpa kesalehan dan rasa takut akan Tuhan , sia-sia. Ambillah agama,
maka tidak ada lagi yang berharga di tengah-tengah umat manusia,
maka tidak ada lagi tujuan yang dianggap orang bijak berharga
untuk dihidupi di dunia ini. Dalam ayat-ayat ini, ia menunjukkan
bahwa kuasa (yang paling diingini manusia tanpa ada bandingannya)
dan hidup itu sendiri (yang paling disukai dan dicemburui manusia
tanpa ada bandingannya) tidak berarti apa-apa tanpa takut akan
Tuhan .
I. Di sini dijelaskan kesia-siaan manusia yang perkasa, manusia
dalam kondisi terbaiknya, manusia yang duduk di atas takhta,
Kitab Pengkhotbah 3:16-22
71
yang kekuasaannya dijunjung, manusia yang duduk di kursi
pengadilan, yang hikmat dan keadilannya diperlukan, dan yang,
jika berada di bawah hukum agama, dialah wakil Tuhan . Bahkan,
dialah salah satu yang disebut saat orang berkata, “Kamu ada-
lah Tuhan .” Namun, tanpa takut akan Tuhan , semua sia-sia, sebab ,
sisihkanlah takut akan Tuhan , maka,
1. Hakim tidak akan menghakimi dengan benar, tidak akan
menggunakan wewenangnya dengan baik, namun akan menya-
lahgunakannya. Bukannya melakukan kebaikan dengan we-
wenangnya, dia akan merusak dengan kuasa itu, maka bukan
hanya kesia-siaan yang dihasilkan, namun kebohongan, tipuan,
baik pada dirinya sendiri maupun semua orang di sekitarnya,
(ay. 16). Salomo memahami, berdasarkan yang dibacanya me-
ngenai kejadian di masa lampau, yang didengarnya dari
negeri-negeri lain, dan yang dilihatnya pada beberapa hakim
yang jahat, juga di tanah Israel sendiri, terlepas dari semua
yang dia lakukan untuk memilih orang yang baik, memang ter-
dapat ketidakadilan di tempat pengadilan. Tidaklah demikian
di atas matahari: Jauhlah dari Tuhan untuk melakukan kela-
liman, atau membengkokkan keadilan. Namun, di bawah
matahari, sering kali dijumpai bahwa yang seharusnya mem-
bebaskan, malah menjebloskan ke penjara, dan menghukum
yang tidak bersalah. Manusia, yang dengan segala kegemilang-
annya tidak mempunyai pengertian mengenai yang harus
dilakukannya, boleh disamakan dengan hewan yang dibinasa-
kan, seperti hewan pemakan mangsa, bahkan yang paling ra-
kus (Mzm. 49:21). Bukan hanya dari orang-orang yang duduk
di pengadilan, bahkan di tempat keadilan seolah-olah dijalan-
kan, dan kebenaran diharapkan, di situpun ada ketidak-
adilan. Orang menjumpai ketidakadilan terbesar di pengadil-
an-pengadilan tempat mereka berlari untuk mendapatkan ke-
adilan. Hal ini kesia-siaan dan usaha menjaring angin, sebab,
(1) Lebih baik umat tidak memiliki hakim daripada memiliki
hakim yang seperti itu.
(2) Lebih baik hakim tidak memiliki kuasa daripada memiliki-
nya dan menggunakannya untuk tujuan yang jahat. Maka,
orang akan berkata, mungkin di lain hari.
72
2. Hakim itu sendiri akan dihakimi sebab tidak menghakimi
dengan benar. saat Salomo melihat bahwa penghakiman
dibengkokkan di antara manusia, dia melihat kepada Tuhan
Sang Hakim, dan menantikan hari penghakiman-Nya (ay. 17):
“Berkatalah aku dalam hati bahwa penghakiman yang jahat ini
tidak semeyakinkan yang dianggap kedua belah pihak, sebab
akan ada peninjauan terhadap penghakiman ini. Tuhan akan
mengadili antara orang yang benar dan yang tidak adil. Tuhan
akan mengadili membela orang benar dan perkaranya, meski-
pun saat ini ditindas, dan akan mengadili melawan orang yang
tidak adil serta memperhitungkan kepada mereka semua
ketetapan-ketetapan yang tidak adil dan keputusan-keputusan
kelaliman yang mereka keluarkan” (Yes. 10:1). Dengan mata
iman kita dapat melihat, bukan hanya kesudahan, namun juga
hukuman terhadap kesombongan dan kekejaman si penindas
(Mzm. 92:8). Inilah penghiburan yang tidak terkatakan bagi
yang ditindas, bahwa perkara mereka akan disidangkan lagi.
Oleh sebab itu, biarlah mereka menanti dengan sabar, sebab
akan ada Hakim lain yang berdiri di ambang pintu. Lagi pula,
meskipun hari kesesakan lama berakhir, ada waktunya, wak-
tu yang ditetapkan, untuk pengujian segala hal dan segala
pekerjaan yang dilakukan di bawah matahari. Manusia boleh
berkuasa sekarang, namun hari Tuhan akan datang (Mzm.
37:13). Dengan Tuhan , ada waktunya untuk menyidangkan lagi
perkara-perkara, menebus kesedihan, dan membalikkan kepu-
tusan-keputusan yang tidak adil, sekalipun kita belum meli-
hatnya di sini (Ayb. 24:1).
II. Di sini dijelaskan kesia-siaan manusia yang fana. Salomo seka-
rang berbicara lebih umum, tentang anak-anak manusia di dunia
ini, hidup mereka, dan keberadaan mereka di bumi. Salomo juga
menunjukkan bahwa pemikiran mereka, tanpa agama dan rasa
takut akan Tuhan , hanya menempatkan mereka sedikit di atas
binatang. Nah, amatilah,
1. Tujuan Salomo dalam penjelasannya tentang anak-anak ma-
nusia.
(1) Agar Tuhan dihormati, diakui, dimuliakan, yaitu agar mere-
ka dapat membersihkan nama Tuhan (demikianlah tafsiran
Kitab Pengkhotbah 3:16-22
73
luasnya). Agar jika manusia menghadapi hidup yang sulit
di dunia ini, penuh dengan kesia-siaan dan usaha men-
jaring angin, mereka menyalahkan dirinya sendiri dan
tidak melemparkan kesalahan kepada Tuhan . Biarlah mere-
ka membersihkan nama-Nya dan tidak berkata bahwa Dia-
lah yang membuat dunia ini menjadi penjara manusia dan
hidup menjadi hukuman-Nya. Tidak, Tuhan membuat ma-
nusia, yang dalam hal kehormatan dan kesenangan hampir
sama seperti Tuhan . Jika hidup manusia susah dan seng-
sara, itu sebab kesalahannya sendiri. Atau, agar Tuhan
(yaitu firman Tuhan ) menguji mereka, dan mengungkapkan
mereka kepada diri mereka sendiri, sehingga terbukti bah-
wa firman Tuhan itu hidup dan kuat, dan merupakan penilai
watak manusia. Dan, agar kita dibuat mengerti betapa kita
ini terbuka pada pengetahuan dan penilaian Tuhan .
(2) Agar manusia bisa dibuat merendah, dihina, dipermalukan,
untuk memperlihatkan kepada mereka bahwa mereka ha-
nyalah binatang. Bukanlah perkara mudah meyakinkan
orang yang sombong bahwa mereka manusia saja (Mzm.
9:21), apalagi meyakinkan orang jahat bahwa mereka ha-
nyalah binatang. Tanpa agama, mereka seperti hewan yang
dibinasakan, seperti kuda atau bagal yang tidak berakal.
Penindas yang sombong dapat disamakan dengan binatang,
seperti singa yang meraung atau beruang yang menyerbu.
Bahkan, setiap orang yang hanya memikirkan tubuhnya
saja, dan tidak memikirkan jiwanya, membuat dirinya tidak
lebih daripada sekadar binatang, dan seharusnya, paling
tidak sudah bisa mengira bahwa mereka akan mati seperti
binatang.
2. Cara Salomo membuktikan perkataannya. Yang berusaha dia
buktikan yaitu manusia yang duniawi, kedagingan, dan ha-
nya memikirkan yang jasmani, tak mempunyai kelebihan atas
binatang, sebab segala sesuatu yang dituju hatinya, yang
menjadi kepercayaannya, dan yang menjadi harapan kebaha-
giaannya, yaitu sia-sia, (ay. 19). Beberapa penafsir mengata-
kan inilah bahasa seorang yang tidak bertuhan, yang mem-
benarkan dirinya dalam ketidakadilannya (ay. 16) dan meng-
hindari pernyataan tentang pengadilan yang akan datang (ay.
17). Ia berdalih bahwa tidak ada kehidupan lain sesudah
74
kehidupan ini, namun saat manusia mati, itulah kesudahan-
nya. Oleh sebab itu, saat ia hidup, ia boleh hidup sesukanya.
namun , menurut penafsir lain, Salomo di sini berbicara
seperti yang ia pikirkan sendiri, dan bahwa perkataan ini ha-
rus dipahami seperti perkataan ayahnya (Mzm. 49:15), Seperti
domba mereka meluncur ke dalam dunia orang mati. Salomo
bermaksud menunjukkan kesia-siaan harta dan kehormatan
dunia ini “dengan membandingkan keadaan yang sama antara
manusia dan binatang jika hanya dilihat dari luar (seperti
dijelaskan Uskup Reynolds),”
(1) Peristiwa yang menimpa keduanya tampak sangat mirip
(ay. 19). Nasib manusia tidak ada bedanya dengan nasib
binatang. Sebagian besar pengetahuan tentang tubuh ma-
nusia diperoleh dari anatomi tubuh binatang. Saat air bah
menyapu dunia purba, binatang habis binasa bersama
dengan umat manusia. Kuda dan manusia dibunuh dalam
peperangan dengan senjata perang yang sama.
(2) Akhir hidup keduanya, dilihat dengan mata jasmani, tam-
paknya juga sama: Kedua-duanya mempunyai nafas yang
sama, dan menghirup udara yang sama, dan inilah gam-
baran yang sama untuk keduanya, segala yang ada nafas
hidup dalam hidungnya (Kej. 7:22). Oleh sebab itu, seba-
gaimana yang satu mati, demikian juga yang lain. Dalam
penghabisan umur, tidak terlihat ada perbedaan, kematian
membuat perubahan yang hampir sama pada binatang
seperti pada manusia.
[1] Berkaitan dengan jasadnya, perubahannya sama persis,
kecuali perbedaan penghormatan yang diberikan pada
jasad itu oleh orang yang hidup. Biarlah manusia diku-
bur secara penguburan keledai (Yer. 22:19) maka apakah
kelebihan yang dimilikinya atas binatang? Sentuhan
dengan mayat manusia, menurut hukum Musa, menye-
babkan kenajisan yang lebih besar daripada sentuhan
dengan jasad binatang, bahkan binatang atau burung
yang najis. Dan, Salomo di sini mengamati bahwa ke-
dua-duanya menuju satu tempat, pembusukan mayat
manusia dan binatang sama, kedua-duanya dari debu,
menurut asalnya, sebab kita melihat bahwa kedua-
Kitab Pengkhotbah 3:16-22
75
duanya kembali kepada debu dalam pembusukannya.
Oleh sebab itu, janganlah kita membanggakan tubuh
kita, atau suatu pencapaian badani kita, sebab
semuanya itu akan segera menjadi debu, menjadi sama
seperti yang terjadi dengan binatang, dan debu tubuh
kita akhirnya menjadi satu dengan debu binatang!
[2] Mengenai roh manusia dan binatang, memang ada per-
bedaan yang besar, namun bukan perbedaan yang dapat
dilihat (ay. 21). Jelas bahwa roh (KJV) anak manusia
naik ke atas pada saat matinya. Roh itu naik ke atas
kepada Bapa segala roh yang menciptakannya, ke dunia
roh tempat ia bersekutu. Roh itu tidak mati bersama
tubuh, namun dibebaskan dari cengkeraman dunia orang
mati (Mzm. 49:16). Roh itu naik ke atas untuk dihakimi
dan ditetapkan masuk ke dalam keadaan yang tidak
dapat berubah. Jelas bahwa nafas binatang turun ke
bawah bumi. Nafas itu mati bersama tubuhnya. Nafas
itu binasa dan lenyap pada saat binatang mati. Jiwa
binatang, pada saat matinya, seperti lilin yang ditiup –
itulah kesudahannya. Di lain pihak, jiwa manusia seperti
lilin yang diambil dari lentera gelap, sehingga lentera itu
tidak berguna lagi, namun lilin itu sendiri bersinar lebih
terang. Perbedaan besar ini membedakan antara roh ma-
nusia dan binatang. Dan, inilah alasan yang baik bagi
manusia untuk memikirkan perkara yang di atas, dan
mengangkat jiwanya pada perkara-perkara itu, bukan
mengabaikannya, seolah-olah jiwa mereka itu jiwa bina-
tang, yang akan bertaut dengan bumi ini. Namun, sia-
pakah yang mengetahui perbedaan ini? Kita tidak dapat
melihat naiknya nafas yang satu dan turunnya nafas
yang lain dengan mata jasmani kita. Oleh sebab itu,
semua yang hidup hanya mengandalkan indranya, seper-
ti semua orang yang kedagingan, yang berjalan mengikuti
pandangan matanya dan tidak mau menerima penyataan
lain apa pun, menurut aturan penilaian mereka sendiri,
tak mempunyai kelebihan atas binatang. Siapakah yang
mengetahui, yaitu , siapakah yang memperhatikan hal
ini? (Yes. 53:1). Sangat sedikit orang. Kalau saja hal ini
lebih diperhatikan, dunia ini akan lebih baik dalam
76
segala hal. Namun, kebanyakan manusia hidup seakan-
akan mereka akan ada di dunia ini selamanya, atau
seakan-akan saat mereka mati, itulah kesudahannya
bagi mereka. Tidaklah mengherankan jika orang yang
hidup seperti binatang berpikir mereka akan mati
seperti binatang. Pada diri mereka, indra kemampuan
untuk memikirkan perkara-perkara yang mulia seperti
ini benar-benar sudah hilang dan dibuang jauh-jauh.
3. Kesimpulan yang ditarik dari pengamatan ini (ay. 22): Tidak
ada yang lebih baik, dalam dunia ini, tidak ada yang lebih baik
untuk dinikmati dari kekayaan dan kehormatan kita, dari
pada manusia bersukacita atas pekerjaan-pekerjaannya (TB:
bagi manusia dari pada bergembira dalam pekerjaannya).
Dengan kata lain,
(1) Jagalah hati nurani yang bersih, jangan pernah melakukan
ketidakadilan di dalam tempat keadilan. Baiklah tiap-tiap
orang menguji pekerjaannya sendiri, dan membuktikan diri-
nya berkenan kepada Tuhan dalam pekerjaannya, maka ia
boleh bermegah melihat keadaannya sendiri (Gal. 6:4).
Baiklah ia tidak mencari atau menyimpan apa pun, kecuali
hal-hal yang dapat ia megahkan (lihat 2Kor 1:12).
(2) Hiduplah dengan gembira. Jika Tuhan telah membuat peker-
jaan tangan kita berhasil, maka marilah kita bersukacita
dan merasa senang sebab nya. Janganlah menjadikannya
beban bagi diri kita, dan membiarkan orang lain yang ber-
suka sebab nya. Sebab itu yaitu bahagian kita, bukan
bagian jiwa kita (sungguh kasihan mereka yang bagiannya
yaitu dalam hidup ini [Mzm. 17:14], dan bodohlah mereka
yang memilih bagiannya dalam hidup ini dan sibuk de-
ngannya [Luk. 12:19]). Bagian dalam hidup ini yaitu bagi-
an tubuh jasmani kita. Hanya bagian yang kita nikmatilah
menjadi milik kita di dunia ini. Artinya, kita menerima yang
harus terjadi dan melakukan yang terbaik dalam keadaan
itu. Alasannya, sebab tidak ada yang dapat memperlihat-
kan kepada kita yang akan terjadi sesudah kita, baik siapa
yang akan memiliki harta kita, maupun apa yang akan di-
perbuatnya dengan harta itu. Saat kita pergi, kita mungkin
tidak akan melihat apa yang terjadi sesudah kita. Tidak
Kitab Pengkhotbah 3:16-22
77
ada hubungan, sepanjang yang kita tahu, antara dunia
yang di sana dengan dunia ini (Ayb. 14:21). Mereka yang
ada di dunia yang di sana itu akan sepenuhnya disibukkan
oleh dunia itu, sehingga mereka tidak akan peduli untuk
memerhatikan yang terjadi di dunia ini. Dilain pihak, kita
yang di sini tidak dapat meramalkan apa yang terjadi
sesudah kita, baik pada keluarga kita maupun pada orang
banyak. Kita tidak perlu mengetahui masa dan waktu yang
terjadi sesudah kita, sebab hal itu mengurangi kepedulian
kita pada dunia ini. Maka hal itu menjadi alasan bagi kita
untuk memikirkan dunia yang lain. sebab kematian ada-
lah perpisahan terakhir dengan kehidupan ini, marilah kita
melihat ke depan kita, ke kehidupan yang lain.
PASAL 4
alomo, sesudah menunjukkan kesia-siaan dunia ini dalam godaan
yang dirasakan orang-orang berkuasa untuk menindas dan meng-
injak-injak rakyat mereka, di sini menunjukkan lebih jauh,
I. Godaan yang dirasakan orang-orang tertindas untuk tidak
puas dan tidak sabar (ay. 1-3).
II. Godaan yang dirasakan orang-orang yang mencintai keadaan
mereka untuk menerima keadaan mereka dan melalaikan
pekerjaan, sebab takut orang akan iri hati terhadap mereka
(ay. 4-6).
III. Kebodohan dalam menimbun kekayaan duniawi dengan ber-
limpah (ay. 7-8).
IV. Penangkal melawan kebodohan itu, dengan menyadari ke-
untungan hidup berwarga dan saling tolong-menolong
(ay. 9-12).
V. Tidak menetapnya bahkan martabat rajawi, bukan hanya
melalui kebodohan raja sendiri (ay. 13-14), melainkan juga
melalui sikap rakyat yang berubah-ubah, sekalipun sang raja
sudah begitu berhati-hati (ay. 15-16). Bukan hak istimewa
bahkan para raja sekalipun untuk terluput dari kesia-siaan
dan kesusahan yang menyertai perkara-perkara ini. Jadi,
janganlah orang lain berharap akan terluput darinya.
Merajalelanya Penindasan
(4:1-3)
1 Lagi aku melihat segala penindasan yang terjadi di bawah matahari, dan
lihatlah, air mata orang-orang yang ditindas dan tak ada yang menghibur
mereka, sebab di fihak orang-orang yang menindas ada kekuasaan. 2 Oleh
sebab itu aku menganggap orang-orang mati, yang sudah lama meninggal,
S
80
lebih bahagia dari pada orang-orang hidup, yang sekarang masih hidup.
3 namun yang lebih bahagia dari pada kedua-duanya itu kuanggap orang yang
belum ada, yang belum melihat perbuatan jahat, yang terjadi di bawah
matahari.
Salomo memiliki jiwa yang lapang (1Raj. 4:29), dan itu tampak,
antara lain, dengan ini, bahwa ia sangat peduli dengan sebagian
umat manusia yang sengsara dan memerhatikan penderitaan-pen-
deritaan orang yang menderita. Ia sudah mengecam para penindas
(3:16-17) dan mengingatkan mereka akan penghakiman yang akan
datang, sebagai pengekang bagi kekurangajaran mereka. Sekarang di
sini ia mengamati orang-orang yang ditindas. Hal ini dilakukannya,
tidak diragukan lagi, sebagai seorang raja, untuk memberikan keadil-
an kepada mereka dan membela hak mereka terhadap lawan mereka,
sebab ia takut akan Tuhan dan menghormati manusia. namun di sini ia
melakukannya sebagai seorang pengkhotbah, dan menunjukkan,
I. Susahnya keadaan mereka (ay. 1). Tentang hal ini ia berbicara
dengan penuh perasaan dan belas kasihan. Hatinya terenyuh,
1. Melihat kekuatan menang melawan kebenaran, melihat begitu
banyak penindasan yang terjadi di bawah matahari, melihat
hamba-hamba, para buruh, dan para pekerja yang miskin
ditindas oleh tuan-tuan mereka, yang mengambil keuntungan
dari kebutuhan para pekerja untuk memaksakan syarat-syarat
apa saja yang mereka kehendaki terhadap para pekerja itu.
Orang-orang yang berutang ditindas oleh para pemberi piutang
yang kejam, dan para pemberi piutang juga ditindas oleh
orang-orang berutang yang curang. Para penyewa ditindas oleh
tuan-tuan tanah yang keras, dan anak-anak yatim piatu oleh
para wali yang berkhianat. Dan, yang terburuk dari semuanya,
rakyat ditindas oleh para raja yang sewenang-wenang dan para
hakim yang tidak adil. Penindasan-penindasan seperti itu
terjadi di bawah matahari. Di atas matahari, kebenaran meme-
rintah untuk selama-lamanya. Orang-orang bijak akan melihat
segala penindasan ini, dan berusaha melakukan sesuatu un-
tuk melegakan orang-orang yang tertindas. Berbahagialah
orang yang memerhatikan orang lemah.
2. Melihat bagaimana orang-orang yang dijahati menyimpan di
dalam hati kejahatan-kejahatan yang diperbuat terhadap me-
reka. Ia melihat air mata orang-orang yang ditindas, dan mung-
Kitab Pengkhotbah 4:1-3
81
kin tidak bisa menahan diri untuk menangis bersama mereka.
Dunia menjadi tempat orang-orang menangis. Ke mana saja
kita melihat, kita dihadapkan dengan pemandangan yang me-
milukan, air mata orang-orang yang ditindas oleh satu atau
lain kesusahan. Mereka mendapati bahwa tidak ada gunanya
mengeluh, dan sebab itu mereka berduka di dalam batin saja
(seperti Ayub, Ayb. 16:20; 30:28). namun berbahagialah orang
yang berdukacita.
3. Melihat bagaimana tidak mampunya mereka untuk menolong
diri mereka sendiri: Di fihak orang-orang yang menindas ada
kekuasaan, saat mereka berbuat salah, untuk menyokong-
nya dan membenarkan apa yang telah mereka lakukan, se-
hingga orang-orang miskin ditindih oleh tangan yang kuat dan
tidak mempunyai jalan untuk mendapat ganti rugi. Sungguh
sedih melihat kekuasaan disalahgunakan, dan melihat apa
yang diberikan kepada manusia untuk memampukan mereka
berbuat baik diselewengkan untuk menyokong mereka dalam
berbuat jahat.
4. Melihat bagaimana mereka dan malapetaka-malapetaka yang
menimpa mereka diremehkan oleh semua orang di sekeliling
mereka. Mereka menangis dan membutuhkan penghiburan,
namun tidak ada orang yang mau melakukan pekerjaan yang
baik hati itu: Tak ada yang menghibur mereka. Para penindas
mereka berkuasa dan mengancam, dan sebab itu tak ada
yang menghibur mereka. Orang-orang yang seharusnya meng-
hibur mereka tidak berani melakukannya, sebab takut akan
membuat marah para penindas dan dijadikan teman sepen-
deritaan dengan orang-orang yang tertindas. Sungguh sedih
melihat begitu sedikitnya rasa perikemanusiaan di antara umat
manusia.
II. Godaan-godaan dari keadaan mereka. sebab diperlakukan de-
ngan keras seperti itu, mereka tergoda untuk membenci dan
memandang rendah kehidupan, dan iri hati terhadap orang-orang
yang sudah mati dan berada dalam kubur. Mereka juga berharap
sekiranya tidak pernah dilahirkan (ay. 2-3). Dan Salomo pastilah
setuju dengan mereka, sebab pikiran demikian dapat membukti-
kan bahwa segala sesuatu yaitu kesia-siaan dan usaha men-
jaring angin, sebab kehidupan itu sendiri sering kali demikian.
82
Dan jika kita tidak mengindahkan kehidupan, dibandingkan de-
ngan perkenanan Tuhan dan kebersamaan dengan-Nya (seperti
Rasul Paulus, Kis. 20:24, Flp. 1:23), maka itu menjadi pujian bagi
kita. namun , jika (seperti di sini) itu hanya sebab kesengsaraan-
kesengsaraan yang menyertainya, maka itu yaitu kelemahan
kita, dan dalam hal ini kita menghakimi menurut daging, seperti
yang dilakukan Ayub dan Elia.
1. Di sini Salomo menganggap berbahagia orang-orang yang su-
dah mengakhiri kehidupan yang sengsara ini, yang sudah
melakukan bagian mereka dan meninggalkan panggung. “Aku
menganggap lebih bahagia orang-orang mati, yang sudah lama
meninggal, yang langsung terbunuh, atau yang melewati dunia
ini dengan cepat, menempuh jalan pintas menyeberangi lautan
hidup, yang sudah mati, sebelum mereka benar-benar mulai
hidup. Aku senang dengan bagian mereka, dan, jika itu pilihan
mereka sendiri, aku harus memuji hikmat mereka untuk ha-
nya memandang ke dunia saja, dan kemudian mengundurkan
diri, sebab tidak menyukainya. Aku menyimpulkan bahwa
lebih baik mereka daripada orang-orang hidup, yang sekarang
masih hidup, yang melulu hanya menyeret rantai kehidupan
yang panjang dan berat, dan berlelah-lelah melewati detik-
detiknya yang membosankan.” Ini dapat dibandingkan, bukan
dengan Ayub 3:20-21, melainkan dengan Wahyu 14:13, di
mana, di masa-masa penganiayaan (seperti yang digambarkan
Salomo di sini), bukan amarah manusia, melainkan Roh Tuhan ,
yang berkata, berbahagialah orang-orang mati yang mati dalam
Tuhan, sejak sekarang ini. Perhatikanlah, keadaan orang-orang
kudus yang sudah mati, dan pergi untuk beristirahat dengan
Tuhan , untuk banyak alasan lebih baik dan lebih diinginkan
daripada keadaan orang-orang kudus yang masih hidup, yang
masih meneruskan pekerjaan dan perjuangan mereka.
2. Salomo menganggap berbahagia orang-orang yang tidak per-
nah memulai kehidupan yang menyengsarakan ini. Bahkan,
mereka yaitu yang paling berbahagia dari semuanya: namun
yang lebih bahagia dari pada kedua-duanya itu kuanggap
orang yang belum ada. Lebih baik tidak pernah dilahirkan
daripada dilahirkan untuk melihat perbuatan jahat yang ter-
jadi di bawah matahari, untuk melihat begitu banyak kefasik-
an diperbuat, begitu banyak kejahatan dilakukan, dan bukan
Kitab Pengkhotbah 4:4-6
83
saja tidak mampu untuk memperbaiki masalah itu, namun juga
mengalami penderitaan sebab berbuat baik. Orang yang baik,
betapa pun celakanya keadaannya di dunia ini, tidak bisa
menginginkan supaya ia jangan pernah dilahirkan, sebab ia
memuliakan Tuhan bahkan di dalam api, dan akan berbahagia
pada akhirnya, selama-lamanya berbahagia. Dan janganlah
ada seorang pun yang berharap demikian selama ia masih
hidup, sebab selama ada hidup, ada harapan. Orang belum
binasa sampai ia ada di neraka.
Merajalelanya Penindasan
(4:4-6)
4 Dan aku melihat bahwa segala jerih payah dan segala kecakapan dalam
pekerjaan yaitu iri hati seseorang terhadap yang lain. Ini pun kesia-siaan
dan usaha menjaring angin. 5 Orang yang bodoh melipat tangannya dan me-
makan dagingnya sendiri. 6 Segenggam ketenangan lebih baik dari pada dua
genggam jerih payah dan usaha menjaring angin.
Di sini Salomo kembali mengamati dan merenungkan kesia-siaan
dunia dan usaha menjaring angin yang menyertai urusan dunia ini,
yang sudah dia bicarakan sebelumnya (2:11).
I. Jika ada orang yang cekatan, terampil, dan berhasil dalam peker-
jaannya, maka tetangga-tetangganya akan beritikad buruk terha-
dapnya (ay. 4). Ia bekerja sangat keras, dan melewati segala jerih
payah, ia tidak memperoleh kekayaannya dengan mudah, namun
itu menuntut usaha yang sangat keras darinya, tidak pula ia
mendapatkannya secara tidak jujur. Ia tidak menjahati siapa pun,
tidak menipu siapa pun, namun bekerja dengan segala kecakapan
dalam pekerjaan, dengan mengerahkan tenaganya untuk melaku-
kan pekerjaan dengan benar, dan mengelolanya dengan semua
aturan yang adil dan merata. Meskipun demikian, untuk itu ia
menjadi sasaran iri hati sesamanya (KJV), dan terlebih lagi untuk
nama baik yang diperolehnya dengan kejujurannya. Hal ini menun-
jukkan,
1. Betapa sudah hilangnya hati nurani kebanyakan orang, sehing-
ga mereka berniat jahat terhadap sesama mereka, berkata-ber-
kata buruk tentangnya dan membalasnya dengan kejahatan,
hanya sebab sesama mereka itu lebih terampil dan tekun
84
daripada mereka sendiri, dan mendapatkan lebih banyak berkat
dari sorga. Kain iri hati terhadap Habel, Esau terhadap Yakub,
dan Saul terhadap Daud, dan semua itu sebab pekerjaan-
pekerjaan mereka yang benar. Sungguh luar biasa jahatnya.
2. Betapa sedikitnya penghiburan yang bisa diharapkan orang-
orang yang bijak dan berguna di dunia ini. Bagaimanapun
hati-hatinya mereka berperilaku, mereka tidak dapat luput
dari sasaran iri hati. Dan siapa dapat tahan terhadap cem-
buru? (Ams. 27:4). Orang-orang yang unggul dalam kebajikan
akan selalu membuat pedih mata orang-orang yang unggul
dalam perbuatan tercela. Namun hal ini tidak boleh membuat
kita berkecil hati untuk melakukan suatu pekerjaan yang benar,
namun harus mendorong kita untuk mengharapkan pujiannya,
bukan dari manusia, melainkan dari Tuhan . Dan janganlah kita
mengandalkan kepuasan dan kebahagiaan pada makhluk cipta-
an. Sebab, jika kecakapan dalam pekerjaan terbukti sebagai
kesia-siaan dan usaha menjaring angin, maka tidak ada pekerja-
an di bawah matahari dapat terbukti sebaliknya. namun untuk
segala kecakapan dalam pekerjaan, orang akan diterima oleh
Tuhan nya, dan dengan begitu ia tidak perlu berberat hati mes-
kipun menjadi sasaran iri hati sesamanya, sebab iri hati itu
hanya dapat membuatnya semakin tidak mencintai dunia.
II. Jika ada orang yang bodoh, dungu, dan melakukan kesalahan
yang tolol dalam pekerjaannya, ia berbuat buruk bagi dirinya
sendiri (ay. 5): Orang yang bodoh mengerjakan pekerjaannya se-
olah-olah tangannya disarungi dan dilipat. Ia melakukan segala
sesuatu dengan canggung, si pemalas (sebab ia bodoh) yang men-
cintai kenyamanannya dan melipat tangannya agar tetap hangat,
sebab tangannya menolak untuk bekerja. Ia memakan dagingnya
sendiri, ia pemakan daging sendiri, membawa dirinya ke dalam
keadaan yang begitu miskin hingga tidak mempunyai apa-apa
untuk dimakan selain dagingnya sendiri. Ia membawa dirinya ke
dalam keadaan yang begitu hampa harapan hingga ia siap mema-
kan dagingnya sendiri sebab kesusahan. Ia hidup seperti anjing,
hanya mengenal rasa lapar dan mau enak-enak saja. sebab ia
melihat orang-orang giat yang maju di dunia menjadi sasaran iri
hati, maka ia melakukan hal yang sangat berlawanan, yaitu lebih
baik bermalas-malasan. Dan, supaya ia tidak menjadi sasaran iri
Kitab Pengkhotbah 4:7-12
85
hati sebab pekerjaan-pekerjaannya yang benar, maka ia melaku-
kan segala sesuatunya dengan salah, dan tidak pantas untuk
dikasihani. Perhatikanlah, kemalasan yaitu dosa yang mengan-
dung hukumannya sendiri. Kata-kata berikut ini (ay. 6), segeng-
gam ketenangan lebih baik dari pada dua genggam jerih payah
dan usaha menjaring angin, dapat dipahami sebagai,
1. Alasan si pemalas untuk memaklumi dirinya sendiri dalam ke-
malasannya. Ia melipat tangannya, menyalahgunakan dan
menerapkan dengan salah kebenaran yang baik untuk mem-
benarkan dirinya sendiri, seolah-olah, sebab sedikit ketenang-
an lebih baik daripada berlimpah perselisihan, maka sedikit
kemalasan lebih baik daripada berlimpah pekerjaan yang
jujur. Demikianlah ia menganggap dirinya bijak (Ams. 26:16).
namun ,
2. Saya lebih memandangnya sebagai nasihat Salomo untuk
menjaga keseimbangan antara jerih payah yang akan mem-
buat orang menjadi sasaran iri hati dan kemalasan yang akan
membuat orang memakan dagingnya sendiri. Marilah kita
dengan ketekunan yang jujur menggenggam apa yang segelin-
tir itu, supaya kita tidak menderita kekurangan, namun tidak
mengenggam penuh dengan dua tangan, yang hanya akan
membuat kita kesusahan. Jerih payah yang tidak berlebihan
dan keuntungan yang tidak berlebihan, itulah yang paling
baik. Orang bisa saja hanya mempunyai segenggam dari dunia
ini, namun ia dapat menikmatinya dan dirinya sendiri dengan
banyak ketenangan, dengan pikiran yang penuh syukur, hati
nurani yang damai, dan kasih serta kehendak baik dari tetang-
ga-tetangganya. Sementara banyak orang yang mempunyai
dua genggam penuh, yang memiliki lebih daripada apa yang
dapat diharapkan hati, justru lebih banyak berjerih payah dan
kesusahan dengannya. Orang yang tidak bisa hidup dengan
sedikit, ditakutkan tidak akan hidup seperti yang seharusnya
jika mereka mempunyai begitu banyak.
Kesia-siaan Harapan Manusia
(4:7-12)
7 Aku melihat lagi kesia-siaan di bawah matahari: 8 ada seorang sendirian, ia
tidak mempunyai anak laki-laki atau saudara laki-laki, dan tidak henti-henti-
86
nya ia berlelah-lelah, matanya pun tidak puas dengan kekayaan; – untuk
siapa aku berlelah-lelah dan menolak kesenangan? – Ini pun kesia-siaan dan
hal yang menyusahkan. 9 Berdua lebih baik dari pada seorang diri, sebab
mereka menerima upah yang baik dalam jerih payah mereka. 10 sebab kalau
mereka jatuh, yang seorang mengangkat temannya, namun wai orang yang
jatuh, yang tidak mempunyai orang lain untuk mengangkatnya! 11 Juga
kalau orang tidur berdua, mereka menjadi panas, namun bagaimana seorang
saja dapat menjadi panas? 12 Dan bilamana seorang dapat dialahkan, dua
orang akan dapat bertahan. Tali tiga lembar tak mudah diputuskan.
Di sini Salomo memancangkan pandangannya pada contoh lain dari
kesia-siaan dunia ini, bahwa sering kali semakin banyak orang me-
miliki, semakin banyak lagi yang ingin mereka miliki. Dan mereka
begitu menggebu-gebu menginginkan lebih hingga tidak bisa menik-
mati apa yang mereka miliki. Nah, Salomo di sini menunjukkan,
I. Bahwa sifat mementingkan diri sendiri yaitu penyebab dari keja-
hatan ini (ay. 7-8): Ada seorang sendirian, yang tidak memikirkan
siapa pun kecuali dirinya sendiri. Ia tidak peduli terhadap siapa
pun, namun ingin, kalau bisa, ditempatkan sendirian di tengah-te-
ngah bumi. Tidak ada orang lain, tidak pula ia menginginkannya.
Satu mulut menurutnya cukup dalam satu rumah, dan ia meng-
gerutu kalau ada yang lain di samping dirinya. Lihatlah bagai-
mana orang kikir yang tamak ini digambarkan di sini.
1. Ia menjadikan dirinya sendiri hanya sebagai budak bagi peker-
jaannya. Meskipun ia tidak mempunyai tanggungan, tidak
mempunyai anak laki-laki atau saudara laki-laki, tidak ada
yang lain yang harus diurus selain dirinya sendiri, tidak ada
yang lain yang bergantung padanya, atau meminta darinya,
tidak ada saudara-saudara yang miskin, tidak pula ia berani
menikah, sebab takut dengan biaya hidup berkeluarga,
namun tidak henti-hentinya ia berlelah-lelah. Ia bekerja siang
dan malam, pagi-pagi dan larut malam, dan hampir tidak
membiarkan dirinya dan orang-orang yang dipekerjakannya
beristirahat seperlunya. Ia tidak membatasi dirinya dalam
batas-batas panggilannya sendiri, namun ingin melakukan apa
saja yang bisa dilakukannya. Lihat Mazmur 127:2.
2. Ia tidak pernah merasa bahwa apa yang dia punyai sudah
cukup: Matanya pun tidak puas dengan kekayaan. Ketamakan
disebut sebagai keinginan mata (1Yoh. 2:16), sebab melihat
kekayaan dengan kedua matanya merupakan dambaan satu-
satunya orang-orang duniawi (5:10). Ia mempunyai apa yang
Kitab Pengkhotbah 4:7-12
87
cukup untuk tulang punggungnya (seperti yang diamati oleh
Uskup Reynolds), untuk perutnya, untuk panggilannya, untuk
keluarganya, untuknya sendiri supaya bisa hidup layak di
dunia, namun ia tidak mempunyai cukup untuk matanya. Mes-
kipun ia hanya bisa melihatnya, hanya bisa menghitung uang-
nya, dan tidak sampai hati untuk menggunakannya, namun ia
tidak tenang sebab ia tidak mempunyai lebih untuk meman-
jakan matanya.
3. Ia menolak bagi dirinya sendiri penghiburan dari apa yang
dimilikinya: Ia menolak kesenangan (KJV: ia menjauhkan jiwa-
nya dari kebaikan). Jika jiwa kita dijauhkan dari kebaikan, itu
sebab kita sendirilah yang menjauhkannya. Orang lain bisa
saja menjauhkan kita dari kebaikan lahiriah, namun tidak
dapat merampas dari kita anugerah-anugerah dan penghibur-
an-penghiburan kita, kebaikan-kebaikan rohani kita. Salah
kita sendiri jika kita tidak menikmati diri kita sendiri. Namun
banyak orang begitu terpatri pada dunia sehingga, dalam
mengejar-ngejarnya, mereka menjauhkan jiwa mereka dari
kebaikan di sini dan untuk selama-lamanya, membuat kandas
iman dan hati nurani, menjauhkan diri mereka sendiri bukan
hanya dari perkenanan Tuhan dan hidup yang kekal, melainkan
juga dari kesenangan-kesenangan dunia ini dan kehidupan
pada saat ini. Orang-orang duniawi, dengan berlagak bijak
bagi diri mereka sendiri, sebenarnya yaitu musuh bagi diri
mereka sendiri.
4. Tidak ada alasan baginya untuk tidak bersenang-senang: Ia
tidak mempunyai anak laki-laki atau saudara laki-laki. Ia tidak
terikat kepada siapa-siapa, sehingga harus mengeluarkan apa
yang dimilikinya bagi kepuasannya selama ia hidup. Tak ada
seorang pun yang kepadanya ia bisa berbaik hati, yang untuk-
nya ia dapat menyimpan apa yang dimilikinya bagi kepuasan-
nya, dan yang kepadanya ia dapat meninggalkannya saat ia
mati. Tak ada seorang pun yang miskin baginya atau disayang
olehnya.
5. Ia tidak mempunyai cukup pertimbangan untuk menunjukkan
kepada dirinya sendiri kebodohan dari hal ini. Ia tidak pernah
mengajukan pertanyaan ini kepada dirinya sendiri, “Untuk
siapa aku berlelah-lelah seperti itu? Apakah aku bekerja, se-
perti yang seharusnya, demi kemuliaan Tuhan , dan supaya aku
88
mempunyai sesuatu untuk diberikan kepada orang-orang yang
membutuhkan? Apakah aku mempertimbangkan bahwa hanya
untuk tubuh sajakah aku bekerja, tubuh yang akan mati. Un-
tuk orang lainkah, dan aku tidak tahu untuk siapa, mungkin
untuk orang bodohkah, yang akan menghambur-hamburkan-
nya dengan cepat begitu aku mengumpulkannya? Mungkin
jugakah untuk seorang musuh, yang tidak akan tahu ber-
terima kasih sebagai kenangan akan diriku?” Perhatikanlah,
berhikmatlah orang-orang yang bersusah payah di dunia ini
jika mereka merenungkan kepada siapa mereka bersusah
payah seperti ini, dan apakah benar-benar ada gunanya meno-
lak kesenangan bagi diri mereka sendiri supaya mereka dapat
memberikannya kepada orang asing. Jika orang tidak mere-
nungkan hal ini, maka ini pun kesia-siaan dan hal yang me-
nyusahkan. Mereka mempermalukan dan menyusahkan diri
mereka sendiri tanpa tujuan.
II. Bahwa hidup berwarga yaitu penyembuh untuk kejahatan
ini. Manusia menjadi demikian kotor sebab mereka hidup hanya
untuk diri mereka sendiri. Sekarang Salomo menunjukkan di sini,
melalui berbagai contoh, bahwa tidak baik kalau manusia itu
seorang diri saja (Kej. 2:18). Dengan ini ia bermaksud untuk
menyarankan kepada kita untuk melakukan pernikahan dan
pertemanan, dua hal yang ditolak oleh orang kikir yang tamak,
sebab biaya yang harus ditanggungnya. namun penghiburan dan
keuntungan dari keduanya sangatlah besar, jika dijalani dengan
bijaksana, hingga keduanya tidak begitu menuntut banyak biaya.
Manusia, di taman Firdaus sendiri, tidak bisa berbahagia tanpa
pasangan, dan oleh sebab itu, begitu ia diciptakan, ia segera
mendapat pasangan.
1. Salomo menetapkan ini sebagai kebenaran, bahwa berdua
lebih baik dari pada seorang diri, dan mereka lebih bahagia
bersama-sama daripada sendiri-sendiri, lebih senang dengan
satu sama lain daripada dengan diri mereka sendiri saja,
saling berguna bagi kesejahteraan satu sama lain, dan dengan
kekuatan yang disatukan lebih mungkin untuk berbuat baik
kepada orang lain: Mereka menerima upah yang baik dalam
jerih payah mereka. Pelayanan apa saja yang mereka lakukan,
itu dikembalikan kepada mereka dengan cara lain. Orang yang
Kitab Pengkhotbah 4:7-12
89
hanya melayani dirinya sendiri, ia hanya menjadi pembayar
upah bagi dirinya sendiri, dan biasanya terbukti lebih tidak
adil dan tidak tahu berterima kasih kepada dirinya sendiri
daripada temannya kepada dia, sekiranya ia melayani teman-
nya. Lihatlah orang yang tiada henti berlelah-lelah namun
menolak kesenangan ini. Ia tidak mendapat upah dari pekerja-
annya. namun orang yang baik terhadap orang lain mendapat
upah yang baik. Kesenangan dan keuntungan dari kasih yang
kudus akan menjadi balasan yang berlimpah atas semua
pekerjaan dan kasih. Dari sini Salomo menyimpulkan kebu-
rukan dari kesendirian: Celakalah orang yang sendirian (KJV).
Ia memperhadapkan dirinya sendiri pada banyak godaan, yang
akan dicegah oleh kebersamaan dan pertemanan yang baik,
dan akan membantunya untuk berjaga-jaga terhadapnya. Ia
tidak mempunyai keuntungan yang dimiliki orang lain dengan
kehadiran temannya, seperti besi yang ditajamkan oleh besi.
Dengan demikian, hidup membiara tidak pernah dimaksudkan
sebagai keadaan yang sempurna, dan orang-orang yang tidak
dapat menemukan tempat dalam hati mereka untuk mengasihi
orang lain tidak boleh dianggap sebagai kekasih-kekasih Tuhan
yang paling besar.
2. Salomo membuktikannya melalui berbagai contoh dari man-
faat pertemanan dan pergaulan yang baik.
(1) Pertolongan yang didapat dalam keadaan yang mendesak.
Sungguh baik jika dua orang bepergian bersama-sama,
sebab jika yang satu kebetulan jatuh, ia bisa saja tersesat
sebab tidak adanya sedikit pertolongan. Jika seorang jatuh
ke dalam dosa, maka temannya akan membantu memimpin
orang itu ke jalan yang benar dalam roh lemah lembut. Jika
ia jatuh dalam kesulitan, maka temannya akan membantu
menghiburnya dan meredakan kesedihannya.
(2) Kehangatan bagi satu sama lain. Seperti halnya teman
seperjalanan berguna (amicus pro vehiculo – teman yaitu
pengganti yang baik untuk kendaraan), demikian pula teman
tidur: Kalau orang tidur berdua, mereka menjadi panas. Jadi
perasaan-perasaan yang penuh kebajikan dan rahmat digu-
gah oleh kebersamaan yang baik, dan orang-orang Kristen
menghangatkan satu sama lain dengan saling mendorong
dalam kasih dan dalam pekerjaan baik.
90
(3) Kekuatan yang disatukan. Jika musuh mendapati sese-
orang sendirian, maka besar kemungkinan musuh itu akan
menang melawannya. Dengan kekuatannya sendiri ia tidak
dapat melakukan yang baik bagi dirinya, namun , jika ada
orang lain bersamanya, ia bisa berbuat cukup baik. Dua
orang akan dapat bertahan. “Engkau akan membantuku
melawan musuhku, dan aku akan membantumu melawan
musuhmu,” sesuai dengan persetujuan antara Yoab dan
Abisai (2Sam. 10:11), dan dengan demikian kedua-duanya
menjadi penakluk. Sementara, kalau mereka bertindak
sendiri-sendiri, maka keduanya akan ditaklukkan. Seperti
yang dikatakan tentang orang-orang Inggris kuno, saat
orang-orang Roma menyerang mereka, Dum singuli pug-
nant, universi vincuntur – Selama mereka bertempur dalam
kelompok yang terpisah-pisah, mereka mengorbankan ke-
pentingan bersama. Dalam peperangan rohani kita, seperti
juga dalam pekerjaan rohani kita, kita dapat membantu
satu sama lain. Di samping penghiburan dari persekutuan
dengan Tuhan , ada juga penghiburan dari persekutuan
dengan orang-orang kudus. Salomo menutup dengan pepa-
tah ini, tali tiga lembar tak mudah diputuskan, sama seperti
seikat anak panah, namun seuntai benang, dan sebatang
anak panah, mudah diputuskan atau dipatahkan. Dua
orang yang bersama-sama ia bandingkan dengan tali tiga
lembar. Sebab di mana dua orang bergabung erat dalam
kasih dan persekutuan yang kudus, Kristus melalui Roh-
Nya akan datang kepada mereka, dan menjadi yang ketiga,
seperti Ia bergabung dengan dua murid yang sedang pergi
ke Emaus. Maka pada saat itu ada tali tiga lembar yang
tidak akan pernah diputuskan. Barangsiapa tetap berada di
dalam kasih, ia tetap berada di dalam Tuhan dan Tuhan di
dalam dia.
Keuntungan-keuntungan Hidup Berwarga
(4:13-16)
13 Lebih baik seorang muda miskin namun berhikmat dari pada seorang raja
tua namun bodoh, yang tak mau diberi peringatan lagi. 14 sebab dari penjara
orang muda itu keluar untuk menjadi raja, biarpun ia dilahirkan miskin
semasa pemerintahan orang yang tua itu. 15 Aku melihat semua orang yang
Kitab Pengkhotbah 4:13-16
91
hidup di bawah matahari berjalan bersama-sama dengan orang muda tadi,
yang akan menjadi pengganti raja itu. 16 Tiada habis-habisnya rakyat yang
dipimpinnya, namun orang yang datang kemudian tidak menyukai dia. Oleh
sebab itu, ini pun kesia-siaan dan usaha menjaring angin.
Salomo sendiri yaitu seorang raja, dan sebab itu pantaslah ia
berbicara dengan lebih bebas daripada orang lain tentang kesia-siaan
pemerintahan dan martabat rajawi, yang ditunjukkannya di sini
sebagai hal yang tidak pasti. Ia sudah berkata demikian sebelumnya
(Ams. 27:24, mahkota tidak tetap turun-temurun), dan anaknya men-
dapatinya demikian. Tidak ada yang lebih licin daripada tempat
kehormatan tertinggi tanpa hikmat dan tanpa cinta dari rakyat.
I. Seorang raja tidak berbahagia kecuali ia memiliki hikmat (ay. 13-
14). Orang yang benar-benar berhikmat, bijaksana, dan saleh,
meskipun ia miskin di dunia, dan sangat muda, dan sebab kedua
alasan itu dipandang rendah dan sedikit diperhatikan, yaitu
lebih baik dari pada seorang raja. Ia benar-benar lebih bernilai
dan layak dihormati, mempunyai kemungkinan untuk berbuat
lebih baik bagi dirinya sendiri dan menjadi berkat yang lebih
besar bagi angkatannya, dari pada seorang raja, dari pada
seorang raja tua. Raja tua demikian walaupun terhormat sebab
kesungguhannya maupun sebab martabatnya, ia itu bodoh, jika
ia tidak tahu bagaimana mengurus kepentingan-kepentingan rak-
yat, atau tak mau diberi peringatan lagi dan diberi nasihat oleh
orang lain, tidak tahu diberi peringatan, yaitu, tidak mau mem-
biarkan dirinya diberi nasihat atau peringatan apa saja (tak
seorang pun di sekelilingnya berani membantahnya), atau tidak
mau mendengarkan nasihat dan peringatan yang diberikan ke-
padanya. Tidak mau diberi peringatan sama sekali bukan merupa-
kan bagian dari kehormatan para raja, melainkan justru menjadi
penghinaan terbesar kepada mereka. Kebodohan dan sikap kepala
batu biasanya berjalan berdampingan, dan orang-orang yang
paling membutuhkan peringatan paling tidak tahan dengannya.
namun bukan usia ataupun gelar yang akan membuat orang
dihormati, jika mereka tidak memiliki hikmat dan kebajikan yang
sejati sehingga orang memuji mereka. Hikmat dan kebajikan akan
membuat orang mendapat kehormatan bahkan sekalipun ia
berusia muda dan miskin. Untuk membuktikan bahwa seorang
muda yang berhikmat lebih baik dari pada seorang raja yang
92
bodoh, Salomo menunjukkan apa jadinya dengan mereka masing-
masing (ay. 14).
1. Orang yang miskin melalui hikmatnya akan lebih disukai,
seperti Yusuf, yang, saat masih muda, dibawa keluar dari
penjara untuk menjadi orang kedua di kerajaan, sebuah cerita
yang tampak dirujuk Salomo di sini. Penyelenggaraan ilahi ka-
dang-kadang menegakkan orang yang hina dari dalam debu,
untuk mendudukkan dia bersama-sama dengan para bangsa-
wan (Mzm. 113:7-8). Hikmat mendatangkan kebebasan manu-
sia dan juga martabat mereka, mengangkat mereka dari tim-
bunan sampah, dari lobang yang dalam, ke atas takhta.
2. Seorang raja oleh kebodohan dan sikap kepala batunya akan
jatuh miskin. Meskipun ia dilahirkan dalam kerajaannya,
memperoleh kerajaan itu melalui warisan, walaupun ia hidup
sampai tua di dalamnya dan mempunyai waktu untuk meme-
nuhi harta bendanya, namun jika ia mengambil jalan-jalan
yang jahat, dan tak mau diberi peringatan lagi seperti sebelum-
nya, dengan berpikir, sebab ia sudah tua, ia tidak perlu lagi
diberi peringatan, maka ia menjadi miskin. Harta bendanya
terkuras, dan mungkin ia dipaksa untuk menyerahkan mah-
kotanya dan mengundurkan diri.
II. Seorang raja kemungkinan tidak akan terus menjadi raja jika ia
tidak mendapat tempat yang tetap di hati rakyatnya. Hal ini disi-
ratkan, namun secara agak samar-samar, dalam dua ayat terakhir.
1. Salomo yang yaitu raja pasti mempunyai seorang pengganti,
orang kedua, anak yang akan menjadi penggantinya, diduga
anaknya sendiri, atau mungkin orang muda miskin namun ber-
hikmat yang dibicarakan itu (ay. 13). Para raja, saat mereka
menjadi tua, pasti merasa dipermalukan melihat orang-orang
yang akan mendesak mereka keluar dan berdiri menggantikan
mereka.
2. Sudah biasa bagi orang banyak untuk memuja sang matahari
yang terbit: Semua orang yang hidup di bawah matahari ber-
jalan bersama-sama dengan orang muda tadi, berpihak pada
kepentingan-kepentingannya, bercakap-cakap dengannya, dan
merayu dia lebih daripada mereka merayu ayahnya, yang me-
reka lihat akan segera pergi, dan yang mereka pandang rendah
Kitab Pengkhotbah 4:13-16
93
sebab hari-hari terbaiknya sudah berlalu. Salomo merenung-
kan hal ini. Ia melihat ini sebagai kecenderungan rakyatnya
sendiri, yang segera tampak sesudah kematiannya, dalam
keluhan-keluhan mereka terhadap pemerintahannya dan kesu-
kaan mereka akan perubahan.
3. Orang tidak pernah merasa nyaman dan puas untuk waktu
yang lama: Tiada habis-habisnya, tidak ada istirahat, rakyat
yang dipimpinnya. Mereka terus-menerus menyukai perubah-
an, dan tidak tahu apa yang mereka inginkan.
4. Ini bukan perkara baru, melainkan sudah menjadi cara dari
semua orang yang ada sebelum mereka (KJV). Sudah ada
contoh-contohnya di setiap zaman. Bahkan Samuel dan Daud
tidak bisa selalu menyenangkan hati orang.
5. Seperti yang pernah terjadi, demikian pula yang masih akan
terjadi: Orang yang datang kemudian akan berjiwa sama, dan
tidak akan lama menyukai dia, yang pada awalnya tampak
mereka senangi dengan luar biasa. Hari ini hosana, besok
salibkan Dia.
6. Tidak bisa tidak, pasti akan menjadi kesedihan yang besar
bagi raja-raja untuk melihat diri mereka sendiri diremehkan
seperti itu oleh orang-orang yang selama ini sudah berusaha
mereka topang hidupnya dan menjadi tanggungan mereka.
Tidak ada kesetiaan pada manusia, tidak ada rasa bakti yang
teguh. Ini pun kesia-siaan dan usaha menjaring angin.
PASAL 5
Salomo, dalam pasal ini, berbicara,
I. Tentang penyembahan terhadap Tuhan , dengan menetapkan-
nya sebagai obat penawar bagi semua kesia-siaan yang su-
dah diamatinya ada dalam hikmat, pengetahuan, kese-
nangan, kehormatan, kekuasaan, dan pekerjaan. Supaya kita
tidak tertipu oleh hal-hal itu, atau jiwa kita dibuat susah oleh
kekecewaan-kekecewaan yang kita jumpai di dalamnya,
maka marilah kita menjalankan kewajiban kita kepada Tuhan
dan menjaga persekutuan kita dengan-Nya dengan kesadar-
an hati nurani. namun , bersamaan dengan itu, Salomo mem-
berikan peringatan yang diperlukan melawan kesia-siaan
yang sering kali dijumpai dalam kegiatan-kegiatan ibadah,
yang membuat ibadah itu kehilangan keunggulannya, dan
menjadikannya tidak mampu membantu melawan berbagai
kesia-siaan lain. Jika agama kita menjadi agama yang sia-sia,
betapa besarnya kesia-siaan itu! Oleh sebab itu, marilah kita
berjaga-jaga terhadap kesia-siaan,
1. saat mendengarkan firman, dan mempersembahkan kor-
ban (4:17).
2. saat berdoa (ay. 1-2).
3. saat bernazar (ay. 3-5).
4. saat mengaku-ngaku mendapat mimpi-mimpi ilahi (ay.
6). Nah,
(1) Sebagai penangkal terhadap kesia-siaan itu, ia mene-
tapkan takut akan Tuhan (ay. 6).
(2) Untuk mencegah pelanggaran yang dapat timbul dari
penderitaan-penderitaan orang baik pada saat ini, ia
96
mengarahkan kita untuk menengadah kepada Tuhan
(ay. 7).
II. Tentang kekayaan dunia ini dan kesia-siaan serta usaha men-
jaring angin yang menyertainya. Hasil-hasil bumi memang
penting untuk menopang hidup (ay. 8), namun kalau perak,
emas, dan kekayaan,
1. Semuanya itu tidak memuaskan (ay. 9).
2. Semuanya itu tidak bermanfaat (ay. 10).
3. Semuanya itu menggelisahkan (ay. 11).
4. Semuanya itu ternyata sering kali menyakitkan dan meng-
hancurkan (ay. 12).
5. Semuanya itu akan binasa (ay. 13).
6. Semuanya itu harus ditinggalkan saat kita mati (ay. 14-15).
7. Jika kita tidak mempunyai hati untuk memanfaatkannya,
maka emas, perak, dan kekayaan itu akan menimbulkan
banyak kegelisahan (ay. 16). Oleh sebab itu, Salomo
menganjurkan kepada kita untuk menggunakan dengan
nyaman apa yang telah diberikan Tuhan kepada kita,
dengan mata yang tertuju kepada Dia yang yaitu sang
Pemberi. Inilah cara terbaik untuk memenuhi tujuan kita
memilikinya, dan juga untuk menghindarkan kejahatan-
kejahatan yang biasanya menyertai harta benda yang
banyak (ay. 17-19). Jadi, kalau saja kita dapat belajar dari
pasal ini bagaimana harus mengatur urusan agama, dan
urusan dunia ini (yang keduanya menghabiskan sebagian
besar dari waktu kita), sehingga keduanya bisa menjadi
sesuatu yang baik, dan hari-hari Sabat kita maupun hari-
hari kerja kita tidak terbuang sia-sia, maka beralasan
bagi kita untuk berkata, bahwa kita sudah belajar dua
pelajaran yang baik.
Sebuah Peringatan terhadap Para Penyembah Tuhan
(4:17, 5:1-2)
17 Jagalah langkahmu, kalau engkau berjalan ke rumah Tuhan ! Menghampiri
untuk mendengar yaitu lebih baik dari pada mempersembahkan korban
yang dilakukan oleh orang-orang bodoh, sebab mereka tidak tahu, bahwa
mereka berbuat jahat. 1 Janganlah terburu-buru dengan mulutmu, dan ja-
nganlah hatimu lekas-lekas mengeluarkan perkataan di hadapan Tuhan , kare-
na Tuhan ada di sorga dan engkau di bumi; oleh sebab itu, biarlah perkataan-
Kitab Pengkhotbah 4:17, 5:1-2
97
mu sedikit. 2 sebab sebagaimana mimpi disebabkan oleh banyak kesibukan,
demikian pula percakapan bodoh disebabkan oleh banyak perkataan.
Maksud Salomo dalam menjauhkan kita dari dunia, dengan menun-
jukkan kepada kita kesia-siaannya, yaitu untuk mendorong kita
kepada Tuhan dan kewajiban kita, supaya kita tidak berjalan meng-
ikuti cara dunia, namun mengikuti aturan-aturan agama, dan tidak
pula bergantung pada kekayaan dunia, melainkan pada keuntungan-
keuntungan agama. Oleh sebab itu,
I. Ia di sini membawa kita ke rumah Tuhan , ke tempat ibadah ber-
sama, ke Bait Suci, yang sudah dibangunnya sendiri dengan biaya
yang sangat besar. saat ia dengan menyesal merenungkan
semua pekerjaannya yang lain (2:4), ia tidak menyesali pekerjaan
yang ini, namun merenungkannya dengan senang hati. Namun ia
tidak menyebutkannya, supaya ia tidak terlihat merenungkannya
dengan sombong. namun di sini ia membawa ke sana orang-orang
yang ingin mengetahui lebih banyak lagi tentang kesia-siaan
dunia dan ingin menemukan kebahagiaan yang dengan sia-sia
dicari dalam makhluk ciptaan. Daud, saat sedang kebingungan,
masuk ke dalam tempat kudus Tuhan (Mzm. 73:17). Hendaklah
kekecewaan-kekecewaan kita terhadap makhluk ciptaan meng-
arahkan mata kita kepada sang Pencipta. Marilah kita datang
kepada firman anugerah Tuhan dan mencari petunjuk dari firman
itu, kepada takhta anugerah-Nya dan meminta anugerah-Nya itu.
Dalam firman dan doa, ada obat bagi setiap luka.
II. Ia memerintahkan kita untuk berperilaku baik di sana, supaya kita
tidak kehilangan tujuan kita datang ke sana. Kegiatan-kegiatan
ibadah bukanlah hal yang sia-sia, namun , jika kita salah meng-
aturnya, maka ibadah itu menjadi sia-sia bagi kita. Oleh sebab itu,
1. Kita harus membawa diri kita untuk beribadah dengan segala
kesungguhan dan perhatian: “Jagalah langkahmu, jangan
menahannya untuk ke rumah Tuhan (seperti dalam Ams.
25:17), atau pergi ke sana dengan pelan-pelan, seperti orang
yang enggan mendekat kepada Tuhan . namun perhatikan baik-
baik langkahmu, tempuhlah jalan yang rata, supaya engkau
tidak salah melangkah. Bawalah dirimu untuk menyembah
Tuhan dengan berdiam sejenak secara khusyuk, dan ambillah
waktu untuk menenangkan dirimu untuk itu, jangan dengan
98
terburu-buru, yang disebut langkah yang tergesa-gesa (Ams.
19:2). Jagalah pikiranmu supaya tidak melantur dan mengem-
bara dari pekerjaan itu. Jagalah perasaanmu supaya tidak lari
kepada hal-hal yang salah, sebab dalam urusan rumah Tuhan ,
ada cukup banyak pekerjaan untuk manusia secara keselu-
ruhan, dan semuanya masih terlalu sedikit untuk dipekerja-
kan.” Sebagian orang berpikir bahwa hal ini merujuk pada pe-
rintah yang diberikan kepada Musa dan Yosua untuk menang-
galkan kasut mereka (Kel. 3:5, Yos. 5:15), sebagai tanda tun-
duk dan rasa hormat. Jagalah kakimu supaya tetap bersih
(Kel. 30:19).
2. Kita harus berjaga-jaga supaya korban yang kita bawa bukan
korban orang-orang bodoh (orang-orang fasik), sebab mereka
yaitu orang-orang bodoh dan korban mereka yaitu kekejian
bagi TUHAN, Amsal 15:8, supaya kita tidak membawa binatang
yang dirampas, binatang yang timpang, dan binatang yang
sakit sebagai persembahan. Sebab kita diberi tahu dengan
jelas bahwa korban seperti itu ti