dak akan diterima, dan sebab
itu bodohlah untuk membawanya. Kita juga harus berjaga-
jaga supaya tidak mengandalkan tanda dan upacara ibadah,
dan bentuk lahiriah dari pelaksanaan ibadah, tanpa mengin-
dahkan arti dan maknanya, sebab itu yaitu korban orang-
orang bodoh. Latihan badani, jika cuma itu saja, hanyalah
hiburan saja. Tak seorang pun selain orang-orang bodoh yang
berpikir bahwa dengan mementingkan yan lahiriah begitu
mereka akan berkenan kepada Dia yang yaitu Roh dan yang
menuntut hati. Dan mereka akan melihat kebodohan mereka
saat mereka mendapati bahwa betapa banyaknya susah
payah yang sudah mereka lakukan, namun itu tidak berguna
sebab tidak adanya ketulusan. Mereka yaitu orang-orang
bodoh, sebab mereka tidak tahu, bahwa mereka berbuat jahat.
Mereka menyangka bahwa mereka sedang melakukan pelayan-
an yang baik untuk Tuhan dan diri mereka sendiri, padahal se-
benarnya mereka sedang memberikan penghinaan yang besar
kepada Tuhan dan tipuan yang besar kepada jiwa mereka sen-
diri dengan ibadah-ibadah mereka yang munafik. Orang bisa
jadi sedang berbuat jahat saat mereka mengaku sedang ber-
buat baik, dan bahkan saat mereka tidak mengetahuinya,
saat mereka tidak mempertimbangkannya. Mereka tidak me-
Kitab Pengkhotbah 4:17, 5:1-2
99
ngetahui hal lain selain berbuat jahat, demikian sebagian orang
membacanya. Pikiran-pikiran yang fasik tidak bisa memilih hal
lain selain dosa, bahkan dalam tindakan-tindakan ibadah.
Atau, mereka tidak tahu, bahwa mereka berbuat jahat. Mereka
bertindak sembarangan, benar atau salah, berkenan kepada
Tuhan atau tidak, semua itu sama saja bagi mereka.
3. Supaya kita tidak membawa korban orang-orang bodoh, kita
harus datang ke rumah Tuhan dengan hati yang condong untuk
mengetahui dan melakukan kewajiban kita. Kita harus siap
untuk mendengar, yaitu,
(1) Kita harus memerhatikan dengan tekun firman Tuhan yang
dibacakan dan dikhotbahkan. “Hendaklah kita cepat untuk
mendengar penjelasan yang diberikan para imam tentang
korban-korban, yang menyatakan maksud dan maknanya.
Dan jangan merasa cukup hanya dengan memandang apa
yang mereka lakukan, sebab ibadah itu harus menjadi
ibadah yang sejati, kalau tidak, itu yaitu korban orang-
orang bodoh.”
(2) Kita harus menetapkan hati untuk mematuhi kehendak
Tuhan sebagaimana yang diberitahukan kepada kita. Mende-
ngarkan sering kali diartikan sebagai menaati, dan itulah
ketaatan yang lebih baik dari pada korban sembelihan
(1Sam. 15:22; Yes. 1:15-16). Kita datang untuk melakukan
kewajiban-kewajiban kudus dalam keadaan hati yang
benar jika kita datang dengan hati yang berseru, ber-
bicaralah, TUHAN, sebab hamba-Mu ini mendengar. Biarlah
firman Tuhan datang (kata orang baik), maka andai pun aku
mempunyai 600 leher, aku akan menundukkan semuanya
kepada wewenangnya.
4. Kita harus sangat berhati-hati dan penuh pertimbangan setiap
kali kita mendekat dan membawa diri kita kepada Tuhan (ay. 1):
Janganlah terburu-buru dengan mulutmu, dalam mengucapkan
doa-doa, atau mengajukan keberatan-keberatan, atau mem-
buat janji-janji. Janganlah hatimu lekas-lekas mengeluarkan
perkataan di hadapan Tuhan . Perhatikanlah,
(1) saat kita berada di rumah Tuhan , dalam perkumpulan
yang khidmat untuk beribadah, kita secara khusus ada di
hadapan Tuhan dan dalam hadirat-Nya, di sana di mana Ia
100
telah berjanji untuk menjumpai umat-Nya, di mana mata-
Nya tertuju kepada kita dan mata kita seharusnya tertuju
kepada Dia.
(2) Kita mempunyai sesuatu untuk dikatakan, sesuatu untuk
diutarakan di hadapan Tuhan , saat kita datang mendekat
kepada-Nya dalam kewajiban-kewajiban kudus. Dengan Dia-
lah kita harus berhadapan, dengan Dialah kita mempunyai
urusan yang sangat penting. Jika kita datang tanpa keper-
luan, maka kita akan pergi tanpa keuntungan apa pun.
(3) Apa yang kita ucapkan di hadapan Tuhan harus datang dari
hati, dan sebab itu kita tidak boleh terburu-buru dengan
mulut kita, jangan pernah membiarkan lidah kita mendahu-
lui pikiran kita dalam ibadah-ibadah kita. Ucapan mulut
kita haruslah selalu merupakan buah dari renungan hati
kita. Pikiran yaitu kata-kata bagi Tuhan , dan kata-kata ha-
nyalah angin jika tidak disalin dari pikiran. Ucapan di bibir,
meskipun dipoles dengan begitu baik, jika cuma itu saja,
hanyalah usaha yang sia-sia dalam ibadah (Mat. 15:8-9).
(4) Tidak cukup bahwa apa yang kita katakan datang dari hati,
itu juga harus datang dari hati yang tenang, dan bukan
dari hati yang tiba-tiba panas atau penuh amarah. Sama
seperti mulut tidak boleh terburu-buru, demikian pula hati
tidak boleh tergesa-gesa. Kita tidak hanya harus berpikir,
namun juga berpikir dua kali, sebelum berbicara, saat kita
harus berbicara dari Tuhan dalam berkhotbah, ataupun
kepada Tuhan dalam doa, dan tidak mengucapkan apa saja
yang tidak pantas dan belum dicerna (1Kor. 14:15).
5. Kita harus berhemat dalam berkata-kata di hadapan Tuhan .
Yaitu, kita harus bersikap hormat dan hati-hati, tidak ber-
bicara kepada Tuhan dengan lancang dan gegabah seperti kita
berbicara satu sama lain, tidak mengatakan apa yang pertama
kali terbersit dalam pikiran, dan tidak mengulangi sesuatu
berkali-kali, seperti yang kita lakukan satu terhadap yang lain.
Supaya apa yang kita katakan dapat dipahami dan diingat,
dan dapat meninggalkan kesan. Jadi, saat kita berbicara
kepada Tuhan , kita harus ingat,
(1) Bahwa antara Dia dan kita terbentang jarak yang tak ter-
hingga: Tuhan ada di sorga, di mana Ia memerintah dalam
Kitab Pengkhotbah 4:17, 5:1-2
101
kemuliaan atas diri kita dan semua anak manusia, di mana
Ia diiringi oleh kawanan malaikat kudus yang tak terbilang
banyaknya, dan jauh ditinggikan mengatasi segala puji dan
hormat. Kita ada di bumi, tumpuan takhta-Nya. Kita hina
dan rendah, tidak seperti Tuhan , dan sama sekali tidak
layak untuk menerima perkenanan apa saja dari-Nya atau
mempunyai persekutuan apa saja dengan-Nya. Oleh sebab
itu kita harus bersikap sangat khidmat, rendah hati, ber-
sungguh-sungguh, dan hormat dalam berbicara kepada-
Nya, seperti saat kita berbicara kepada orang besar yang
jauh lebih tinggi kedudukannya daripada kita. Dan, sebagai
pertanda akan hal ini, biarlah perkataan kita sedikit, supaya
perkataan itu terpilih dengan baik (Ayb. 9:14). Ini bukanlah
mencela semua doa yang panjang-panjang. Seandainya doa-
doa yang panjang-panjang itu tidak baik, orang-orang Farisi
tidak akan menggunakannya untuk berpura-pura. Kristus
berdoa sepanjang malam, dan kita diperintahkan untuk
bertekun dalam doa. Namun, ini maksudnya untuk men-
cela doa yang diucapkan dengan sembrono dan tidak hati-
hati, pengulangan yang bertele-tele (Mat. 6:7), mengulang
doa Bapa kami dalam hitungan-hitungan tertentu. Marilah
kita berbicara kepada Tuhan , dan tentang Dia, dalam kata-
kata-Nya sendiri, kata-kata yang diajarkan oleh Kitab Suci.
Dan biarlah perkataan kita, perkataan yang kita buat sen-
diri, sedikit, sebab kalau tidak, sebab tidak berbicara se-
suai aturan, kita salah berbicara.
(2) Bahwa banyaknya kata-kata dalam ibadah kita akan mem-
buat ibadah kita menjadi korban orang-orang bodoh (ay. 2).
Mimpi-mimpi yang kacau, menakutkan dan membingung-
kan, yang mengganggu tidur, yaitu bukti dari kesibukan
pekerjaan yang memenuhi kepala kita. Demikian pula kata-
kata yang banyak dan yang diucapkan secara tergesa-gesa,
yang dipakai dalam doa, yaitu bukti dari kebodohan yang
bertakhta di dalam hati, sebab kita tidak tahu dan tidak
mengenal Tuhan dan diri kita sendiri. Itu juga merupakan
bukti dari pikiran-pikiran yang rendah tentang Tuhan , dan
pikiran-pikiran yang sembarangan tentang jiwa kita sen-
diri. Bahkan dalam percakapan biasa, orang bodoh diketa-
hui oleh banyaknya perkataan (KJV). Orang-orang yang tahu
102
paling sedikit berbicara paling banyak (10:2), terutama
dalam ibadah. Dalam ibadah, tidak diragukan lagi, siapa
bodoh bicaranya, akan jatuh (Ams. 10:8, 10), akan jatuh
dan tidak diterima. Memang bodoh orang-orang yang ber-
pikir bahwa sebab banyaknya kata-kata, doa mereka akan
dikabulkan.
Kewajiban Nazar
(5:3-7)
3 Kalau engkau bernazar kepada Tuhan , janganlah menunda-nunda menepati-
nya, sebab Ia tidak senang kepada orang-orang bodoh. Tepatilah nazarmu.
4 Lebih baik engkau tidak bernazar dari pada bernazar namun tidak menepati-
nya. 5 Janganlah mulutmu membawa engkau ke dalam dosa, dan janganlah
berkata di hadapan utusan Tuhan bahwa engkau khilaf. Apakah perlu Tuhan
menjadi murka atas ucapan-ucapanmu dan merusakkan pekerjaan tangan-
mu? 6 sebab sebagaimana mimpi banyak, demikian juga perkataan sia-sia
banyak. namun takutlah akan Tuhan . 7 Kalau engkau melihat dalam suatu
daerah orang miskin ditindas dan hukum serta keadilan diperkosa, jangan-
lah heran akan perkara itu, sebab pejabat tinggi yang satu mengawasi yang
lain, begitu pula pejabat-pejabat yang lebih tinggi mengawasi mereka.
Empat hal dinasihatkan kepada kita dalam ayat-ayat ini:
I. Untuk bersikap penuh tanggung jawab dalam menepati nazar-
nazar kita.
1. Nazar yaitu pengikat jiwa (Bil. 30:2), yang melaluinya kita
dengan bersungguh-sungguh mewajibkan diri kita sendiri,
bukan hanya, secara umum, melakukan apa yang untuknya
kita sudah terikat, namun juga, dalam beberapa contoh terten-
tu, melakukan apa yang untuknya kita tidak berada di bawah
kewajiban apa pun sebelumnya, apakah itu menyangkut
menghormati Tuhan atau melayani kepentingan-kepentingan
kerajaan-Nya di antara manusia. saat , dalam merasakan
suatu penderitaan (Mzm. 66:14), atau dalam mengejar suatu
rahmat (1Sam. 1:11), engkau mengucapkan nazar seperti ini
kepada Tuhan , ketahuilah bahwa engkau telah membuka mulut-
mu kepada TUHAN, dan tidak dapat engkau mundur. Oleh
sebab itu,
(1) Tepatilah nazar itu. Laksanakanlah apa yang sudah engkau
janjikan. Bawalah kepada Tuhan apa yang sudah engkau
abdikan dan persembahkan untuk-Nya: Tepatilah nazarmu.
Kitab Pengkhotbah 5:3-7
103
Tepatilah itu sepenuhnya dan jangan menahan sebagian
dari hasil penjualan itu. Tepatilah sesuai jenisnya, dan
jangan menggantinya atau menukarnya, demikianlah me-
nurut hukumnya (Im. 27:10). Adakah kita bernazar untuk
memberikan diri kita sendiri kepada Tuhan? Maka marilah
kita menepati perkataan kita, bertindak untuk melayani-
Nya, demi kemuliaan-Nya, dan tidak secara durhaka meng-
asingkan diri kita sendiri.
(2) Janganlah menunda-nunda menepatinya. Jika tanganmu
sanggup untuk menepatinya hari ini, janganlah meninggal-
kannya sampai besok. Janganlah memohon sehari, atau
menundanya untuk waktu yang lebih nyaman. Dengan
menunda-nunda, rasa untuk memenuhi kewajiban menjadi
kendor dan dingin, dan terancam akan hilang. Dengan ber-
buat begitu, kita menyingkapkan keengganan dan kelam-
banan kita untuk melaksanakan nazar kita. Dan qui non
est hodie cras minus aptus erit – orang yang tidak condong
hari ini akan enggan besok. Semakin lama ditunda, sema-
kin sulit kita mendorong diri kita sendiri untuk melaku-
kannya. Kematian mungkin tidak hanya akan mencegahmu
untuk menepati nazar, namun juga akan membawamu ke
penghakiman, di bawah kesalahan melanggar nazar (Mzm.
76:12).
2. Dua alasan diberikan di sini mengapa kita harus menepati
nazar kita dengan segera dan senang hati:
(1) sebab kalau tidak, kita menghina Tuhan . Kita memper-
mainkan Dia seperti orang bodoh, seolah-olah kita bermak-
sud untuk berbuat curang terhadap-Nya. Dan Tuhan tidak
senang kepada orang-orang bodoh. Yang tersirat lebih ba-
nyak daripada yang diungkapkan. Artinya yaitu , Ia sangat
membenci orang-orang bodoh seperti itu dan tindakan-
tindakan bodoh seperti itu. Adakah Dia memerlukan orang-
orang bodoh? Tidak. Jangan sesat! Tuhan tidak membiarkan
diri-Nya dipermainkan, namun dengan pasti dan keras Ia
akan mengadakan perhitungan dengan orang-orang yang
berubah-ubah sikap seperti itu terhadap-Nya.
(2) sebab kalau tidak, kita menjahati diri kita sendiri, kita
kehilangan manfaat dari bernazar, bahkan, kita menda-
104
tangkan hukuman sebab sudah melanggarnya. Jadi, akan
jauh lebih baik tidak bernazar, lebih aman dan lebih meng-
untungkan kita, daripada bernazar namun tidak menepati-
nya. Tidak bernazar hanyalah suatu kelalaian, namun ber-
nazar dan tidak menepati mengakibatkan perbuatan salah,
yaitu pengkhianatan dan sumpah palsu. Itu sama saja
dengan mendustai Tuhan (Kis. 5:4).
II. Untuk berhati-hati dalam bernazar. Ini penting supaya kita ber-
sikap penuh tanggung jawab dalam melaksanakannya (ay. 5).
1. Kita harus berjaga-jaga supaya kita tidak pernah bernazar apa
saja yang berdosa, atau yang dapat menimbulkan dosa, sebab
nazar seperti itu dibuat dengan tidak baik dan harus dilang-
gar. Janganlah mulutmu, dengan nazar seperti itu, membawa
engkau ke dalam dosa, seperti janji Herodes yang tergesa-gesa
menyebabkan dia harus memenggal kepala Yohanes Pembap-
tis.
2. Kita tidak boleh bernazar apa yang, sebab kelemahan daging,
memberi kita alasan untuk takut bahwa kita tidak akan mam-
pu melaksanakannya nanti, seperti orang-orang yang bernazar
untuk hidup selibat, namun tidak tahu bagaimana menjaga
nazar mereka. Dengan berbuat begitu,
(1) Mereka mempermalukan diri mereka sendiri. Sebab mereka
terpaksa berkata di hadapan utusan Tuhan bahwa mereka
khilaf, bahwa mereka tidak bermaksud ataupun tidak
mempertimbangkan apa yang mereka katakan. Dan, apa-
pun alasan mereka, kedua-duanya tetap buruk. “jika
engkau sudah bernazar, janganlah berusaha untuk meng-
hindarinya, atau mencari-cari alasan untuk membersihkan
dirimu dari kewajibannya. Jangan katakan di hadapan
imam, yang disebut malaikat atau utusan TUHAN semesta
alam, bahwa, sesudah dipikir dua kali, engkau berubah
pikiran, dan ingin dibebaskan dari kewajiban nazarmu. Se-
baliknya, tetaplah berpegang pada nazarmu itu, dan jangan
mencari lobang untuk merangkak keluar dari situ.” Sebagi-
an orang memahami malaikat sebagai malaikat pelindung
yang mereka anggap menyertai setiap orang dan memeriksa
apa yang dia lakukan. Sebagian yang lain memahaminya
Kitab Pengkhotbah 5:3-7
105
sebagai Kristus, Malaikat perjanjian, yang hadir bersama
umat-Nya dalam kumpulan-kumpulan ibadah mereka,
yang menyelidiki hati, dan tidak bisa diperdaya. Janganlah
engkau mendurhaka kepada-Nya, sebab nama Tuhan ada di
dalam Dia, dan Ia digambarkan sebagai pribadi yang tegas
dan pencemburu (Kel. 23:20-21).
(2) Mereka menghadapkan diri mereka sendiri pada murka
Tuhan , sebab Ia murka atas ucapan-ucapan orang yang mem-
perdaya Dia seperti itu dengan mulut mereka, dan mem-
bohongi Dia dengan lidah mereka. Ia tidak senang dengan
kepura-puraan mereka, dan merusakkan pekerjaan tangan
mereka, yaitu, menghancurkan usaha-usaha mereka, dan
menggagalkan tujuan-tujuan yang, saat mereka mem-
buat nazar ini, keberhasilannya mereka mohonkan kepada
Tuhan . Jika kita dengan khianat membatalkan perkataan
mulut kita, dan mencabut nazar kita, maka Tuhan dengan
adil akan menggagalkan rencana-rencana kita, dan ber-
jalan bertentangan, dalam segala hal, dengan orang-orang
yang berjalan bertentangan dengan-Nya seperti itu, dalam
segala hal. Suatu jerat bagi manusia, sesudah bernazar,
baru menimbang-nimbang.
III. Untuk menjaga rasa takut akan Tuhan (ay. 6). Banyak orang, pada
zaman dulu, mengaku-ngaku mengetahui pikiran Tuhan melalui
mimpi-mimpi, dan mereka begitu penuh dengan mimpi-mimpi itu
sehingga mereka hampir membuat umat Tuhan melupakan nama-
Nya oleh mimpi-mimpi mereka (Yer. 23:25-26). Dan banyak orang
sekarang membingungkan diri mereka sendiri dengan mimpi-
mimpi yang menakutkan atau janggal, atau dengan mimpi-mimpi
orang lain, seolah-olah mimpi-mimpi itu menandakan bencana ini
atau itu. Orang-orang yang mengindahkan mimpi akan mendapat
sangat banyak mimpi untuk memenuhi kepala mereka. Jadi yang
benar yaitu , dalam semua mimpi itu ada berbagai macam
kesia-siaan, seperti yang ada dalam banyaknya kata-kata,
dan semakin banyak lagi jika kita mengindahkannya. “Mimpi-
mimpi itu hanyalah seperti obrolan yang tidak karuan dari anak-
anak kecil dan orang-orang bodoh, dan sebab itu janganlah
pernah mengindahkannya. Lupakan itu semua. Bukannya meng-
ulangi mimpi-mimpi itu, janganlah menekankannya, janganlah
106
ambil kesimpulan-kesimpulan yang menggelisahkan darinya,
namun takutlah akan Tuhan . Arahkanlah mata kepada kekuasaan-
Nya yang berdaulat, tempatkanlah Dia di hadapanmu, jagalah
supaya dirimu tetap berada dalam kasih-Nya, dan takutlah untuk
menyakiti hati-Nya, maka engkau tidak akan mengganggu dirimu
sendiri dengan mimpi-mimpi yang bodoh.” Cara untuk tidak gen-
tar terhadap tanda-tanda di langit, atau takut terhadap berhala
bangsa-bangsa yaitu dengan takut kepada Tuhan sebagai Raja
bangsa-bangsa (Yer. 10:2, 5, 7).
IV. Dengan takut akan Tuhan , kita tidak akan takut terhadap manusia
(ay. 7). “Tempatkanlah Tuhan di hadapanmu, maka, jika engkau
melihat dalam suatu daerah orang miskin ditindas, engkau tidak
akan heran akan perkara itu. Engkau juga tidak akan memper-
salahkan penyelenggaraan ilahi, atau memandang buruk lembaga
kehakiman, saat engkau melihat tujuan-tujuannya diseleweng-
kan seperti itu, atau memandang buruk agama, saat engkau
melihat bahwa agama tidak akan melindungi orang untuk tidak
dijahati.” Amatilah di sini,
1. Pemandangan yang memilukan di atas bumi, dan yang begitu
rupa hingga tidak bisa tidak pasti akan mengusik setiap orang
baik yang mempunyai rasa keadilan dan kepedulian terhadap
umat manusia. Yaitu, saat mereka melihat orang miskin di-
tindas sebab miskin dan tidak bisa membela diri, dan hukum
serta keadilan diperkosa dalam suatu daerah, penindasan
dilakukan dengan dalih hukum dan didukung oleh kekuasaan.
Suatu kerajaan bisa saja secara umum memiliki pemerintahan
yang baik, namun bisa saja terjadi bahwa suatu daerah terten-
tu diserahkan pemerintahannya kepada orang jahat, yang oleh
penyelewengannya keadilan diselewengkan. Begitu susahnya
raja-raja yang paling bijak sekalipun untuk yakin dengan
bawahan mereka saat memberikan kedudukan kepada me-
reka. Jadi orang baik itu hanya bisa memperbaiki penderitaan
saat penderitaan itu muncul.
2. Pemandangan yang menghibur di sorga. saat segala sesuatu
terlihat begitu suram, kita dapat menyenangkan diri kita sen-
diri dengan hal ini,
Kitab Pengkhotbah 5:3-7
107
(1) Bahwa, meskipun para penindas ada di tempat tinggi, Tuhan
ada di atas mereka, dan tepat di tempat di mana mereka
bertindak angkuh (Kel. 18:11). Tuhan lebih tinggi dari pada
makhluk-makhluk ciptaan yang tertinggi, daripada raja-
raja yang tertinggi, daripada raja yang naik tinggi melebihi
Agag (Bil. 24:7), daripara malaikat-malaikat tertinggi, dari-
pada takhta dan kekuasaan dari dunia atas. Tuhan yaitu
yang Mahatinggi atas seluruh bumi, dan keagungan-Nya
mengatasi langit. Di hadapan-Nya raja-raja hanyalah ca-
cing, yang terang benderang namun hanya ulat kelap-kelip
saja.
(2) Bahwa, meskipun para penindas aman-aman saja, namun
Tuhan mengarahkan pandangan-Nya kepada mereka, mem-
perhatikan, dan akan memperhitungkan semua tindakan
mereka yang memperkosa keadilan. Ia mengawasi, tidak
hanya melihatnya, namun juga mengamatinya, dan men-
catatnya, untuk dilihat kembali. Ia mengawasi jalan-jalan
mereka. Lihat Ayub 24:23.
(3) Bahwa ada dunia para malaikat, sebab ada yang lebih ting-
gi dari pada mereka, yang dipekerjakan oleh keadilan ilahi
untuk melindungi orang-orang yang dijahati dan menghu-
kum orang-orang yang berbuat jahat. Sanherib menghargai
tinggi dirinya sebab tentaranya yang kuat, namun satu ma-
laikat terbukti terlalu tangguh baginya dan semua pasuk-
annya itu. Sebagian orang memahami yang lebih tinggi dari
pada mereka (KJV) sebagai dewan agung dari bangsa itu,
pejabat-pejabat tinggi yang kepada mereka wakil-wakil raja
harus memberi pertanggungan jawab (Dan. 6:3), dewan ma-
jelis yang menerima keluhan-keluhan terhadap para guber-
nur, pengadilan-pengadilan di atas yang kepadanya peng-
adilan-pengadilan di bawah mengajukan banding, yang
penting bagi pemerintahan yang baik dari sebuah kerajaan.
Biarlah menjadi pengekang bagi para penindas bahwa ada
kemungkinan atasan-atasan mereka di bumi akan memin-
ta pertanggungjawaban dari mereka. namun bagaimanapun
juga, Tuhan yang Mahatinggi di sorga akan memintanya.
108
Sia-sianya Kekayaan
(5:8-16)
8 Suatu keuntungan bagi negara dalam keadaan demikian ialah, kalau raja-
nya dihormati di daerah itu. 9 Siapa mencintai uang tidak akan puas dengan
uang, dan siapa mencintai kekayaan tidak akan puas dengan penghasilan-
nya. Ini pun sia-sia. 10 Dengan bertambahnya harta, bertambah pula orang-
orang yang menghabiskannya. Dan apakah keuntungan pemiliknya selain
dari pada melihatnya? 11 Enak tidurnya orang yang bekerja, baik ia makan
sedikit maupun banyak; namun kekenyangan orang kaya sekali-kali tidak
membiarkan dia tidur. 12 Ada kemalangan yang menyedihkan kulihat di ba-
wah matahari: kekayaan yang disimpan oleh pemiliknya menjadi kecelakaan-
nya sendiri. 13 Dan kekayaan itu binasa oleh kemalangan, sehingga tak ada
suatu pun padanya untuk anaknya. 14 Sebagaimana ia keluar dari kandung-
an ibunya, demikian juga ia akan pergi, telanjang seperti saat ia datang,
dan tak diperolehnya dari jerih payahnya suatu pun yang dapat dibawa da-
lam tangannya. 15 Ini pun kemalangan yang menyedihkan. Sebagaimana ia
datang, demikian pun ia akan pergi. Dan apakah keuntungan orang tadi
yang telah berlelah-lelah menjaring angin? 16 Malah sepanjang umurnya ia
berada dalam kegelapan dan kesedihan, mengalami banyak kesusahan, pen-
deritaan dan kekesalan.
Salomo sudah menunjukkan sia-sianya kesenangan, kegembiraan,
dan pekerjaan-pekerjaan yang baik, kehormatan, kekuasaan, dan
martabat rajawi. Dan ada banyak orang duniawi yang tamak yang
akan setuju dengannya, dan berbicara dengan merendahkan tentang
hal-hal ini seperti dia. namun uang, menurutnya, yaitu hal yang
penting, dan kalau saja ia dapat cukup memilikinya, ia akan bahagia.
Ini yaitu kesalahan yang diserang Salomo, dan berusaha dilurus-
kannya, dalam ayat-ayat ini. Ia menunjukkan bahwa ada banyak
kesia-siaan dalam kekayaan yang besar, dan keinginan mata terha-
dapnya, sama seperti ada banyak kesia-siaan dalam keinginan daging
dan keangkuhan hidup. Dan orang tidak dapat membuat dirinya ber-
bahagia dengan menimbun harta, sama seperti dengan membelanja-
kannya.
I. Ia mengakui bahwa hasil-hasil bumi, untuk menopang dan meng-
hibur hidup manusia, yaitu hal-hal yang berharga (ay. 8, KJV):
Keuntungan dari bumi yaitu untuk semua. Tubuh manusia, kare-
na terbuat dari tanah, mendapat pemeliharaannya dari situ (Ayb.
28:5). Bahwa hal itu demikian, dan bahwa tanah yang gundul
tidak dijadikan tempat tinggalnya (seperti yang pantas didapat-
kannya sebab memberontak, Mzm. 68:7), merupakan contoh dari
kemurahan Tuhan yang besar terhadapnya. Ada keuntungan yang
harus didapatkan dari bumi, dan keuntungan itu untuk semua.
Kitab Pengkhotbah 5:8-16
109
Semua membutuhkannya. Keuntungan itu ditetapkan untuk se-
mua. Ada cukup banyak untuk semua. Keuntungan itu bukan
hanya untuk semua orang, melainkan juga untuk semua makh-
luk ciptaan yang lebih rendah. Tanah yang sama yang menum-
buhkan rumput bagi hewan, juga menumbuhkan tumbuh-tumbuh-
an untuk diusahakan manusia. Israel mendapat roti dari langit, roti
malaikat, namun (yang merupakan sebuah permenungan yang
merendahkan hati) bumi yaitu lumbung kita, dan binatang-
binatang yaitu sesama kawan kita. Raja sendiri dipenuhi kebu-
tuhannya dari ladang, dan tidak akan terpenuhi kebutuhannya,
akan menderita kelaparan, tanpa hasil-hasilnya. Hal ini memberi-
kan kehormatan yang besar kepada panggilan sebagai petani,
bahwa pekerjaan itu paling penting dari semuanya untuk meno-
pang hidup manusia. Banyak orang mendapat manfaat darinya.
Orang-orang perkasa tidak bisa hidup tanpanya. Keuntungan itu
untuk semua. Keuntungan itu untuk raja sendiri. Orang-orang
yang memiliki hasil-hasil bumi dengan berlimpah harus ingat
bahwa hasil-hasil bumi itu yaitu untuk semua. Oleh sebab itu,
mereka harus memandang diri mereka hanya sebagai pengurus
dari kelimpahannya, yang darinya mereka harus memberikan
kepada orang-orang yang membutuhkan. Makanan yang enak dan
pakaian yang halus hanya untuk sebagian orang, namun hasil bumi
yaitu untuk semua. Dan bahkan orang-orang yang mengisap
kelimpahan laut (Ul. 33:19) tidak dapat hidup tanpa hasil bumi,
sementara orang-orang yang mampu mendapatkan hasil bumi
bisa memandang rendah kelimpahan laut.
II. Salomo berpendapat bahwa kekayaan-kekayaan yang lebih dari-
pada ini, yang untuk ditimbun, bukan untuk digunakan, yaitu
hal-hal yang sia-sia, dan tidak akan membuat orang tenang atau
bahagia. Apa yang sudah dikatakan Juruselamat kita (Luk. 12:15),
bahwa walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya
tidaklah tergantung dari pada kekayaannya itu, yaitu apa yang
berusaha dibuktikan Salomo di sini dengan berbagai alasan.
1. Semakin banyak orang memiliki, semakin banyak lagi yang
ingin mereka miliki (ay. 9). Orang bisa saja hanya mempunyai
sedikit perak dan puas dengannya, bisa tahu bahwa apa yang
dimilikinya sudah cukup, dan tidak menginginkan apa-apa
lagi. Ibadah itu kalau disertai rasa cukup, memberi keuntungan
110
besar. Yang kupunya sudah cukup, kata Yakub. Aku telah me-
nerima semua, malahan lebih dari pada itu, kata Rasul Paulus.
namun ,
(1) Orang yang mencintai uang, dan yang hatinya terpatri
padanya, tidak akan pernah merasa cukup, namun menga-
ngakan mulutnya seperti dunia orang mati (Hab. 2:5), me-
nyerobot rumah demi rumah dan mencekau ladang demi
ladang (Yes. 5:8), dan, seperti anak wanita si lintah,
terus saja berteriak, untukku, untukku. Keinginan-keingin-
an alami akan dipuaskan jika yang diinginkan sudah
diperoleh, namun keinginan-keinginan yang bobrok tidak da-
pat dipuaskan. Alam puas dengan sedikit, anugerah dengan
lebih sedikit lagi, namun hawa nafsu tidak puas dengan apa
pun.
(2) Orang yang mempunyai perak dengan berlimpah, dan terus
bertambah untuknya dengan begitu cepat, tidak akan men-
dapati bahwa itu memberikan kepuasan yang nyata bagi
jiwanya. Ada keinginan-keinginan badani yang tidak akan
terpuaskan oleh perak itu sendiri. Jika orang lapar, perak
batangan tidak akan memuaskan rasa laparnya sama se-
perti gumpalan tanah liat. Terlebih lagi kelimpahan dunia-
wi tidak akan memuaskan keinginan-keinginan rohani.
Orang yang mempunyai begitu banyak perak masih meng-
inginkan lebih banyak, bukan hanya perak, melainkan juga
sesuatu yang lain, sesuatu yang sifatnya lain. Orang-orang
yang membuat diri mereka membanting tulang bagi dunia
menghabiskan jerih payah mereka untuk sesuatu yang
tidak mengenyangkan (Yes. 55:2), yang memuaskan perut,
namun tidak akan pernah memuaskan jiwa (Yeh. 7:19).
2. Semakin banyak orang memiliki, semakin banyak kesempatan
yang mereka miliki untuk mendapatkannya, dan semakin ba-
nyak yang harus mereka lakukan dengannya, sehingga barang
itu meluas dan juga memanjang: Dengan bertambahnya harta,
bertambah pula orang-orang yang menghabiskannya (ay. 10).
Semakin banyak makanan, semakin banyak mulut. Apakah
harta benda itu berkembang? Dan bukankah keluarga itu
pada saat yang sama bertambah banyak dan anak-anak tum-
buh besar untuk membutuhkan lebih banyak lagi? Semakin
Kitab Pengkhotbah 5:8-16
111
banyak orang memiliki, semakin bagus rumah yang harus me-
reka pelihara, semakin banyak pembantu yang harus mereka
pekerjakan, semakin banyak tamu yang harus mereka jamu,
semakin banyak yang harus mereka berikan kepada orang-
orang miskin, dan semakin banyak orang yang akan bergan-
tung pada mereka. Sebab di mana ada bangkai, di situ burung
nazar berkerumun. Apa yang kita miliki lebih daripada makan-
an dan pakaian, itu kita miliki untuk orang lain. Lalu apakah
keuntungan pemiliknya sendiri, selain mendapat kesenangan
dengan melihatnya dengan matanya? Dan itu kesenangan
yang buruk. Dugaan yang kosong, itu sajalah yang membeda-
kan pemilik dan orang-orang yang menikmati. Pemilik melihat
suatu barang sebagai miliknya sendiri, sementara orang-orang
di sekelilingnya menikmati keuntungan yang nyata dari barang
itu sama seperti dia. Hanya saja ia mendapat kepuasan dengan
berbuat baik kepada orang lain, yang memang merupakan
kepuasan bagi orang yang percaya pada apa yang dikatakan
Kristus, bahwa lebih berbahagia memberi dari pada menerima.
namun bagi orang yang tamak, yang memandang bahwa segala
sesuatu yang dihabiskan selain untuk dirinya sendiri merupa-
kan kerugian, ia akan terus merasa kesal melihat orang lain
makan dari penghasilannya.
3. Semakin banyak orang memiliki, semakin banyak perhatian
yang harus mereka berikan untuknya, yang merisaukan mere-
ka dan mengganggu istirahat mereka (ay. 11). Tidur yang me-
nyegarkan yaitu penopang dan penghiburan bagi hidup ini
sama seperti makanan. Nah,
(1) Orang-orang yang bekerja keras dan hanya memiliki apa
yang untuknya mereka bekerja, mereka itu biasanya tidur
paling nyenyak: Enak tidurnya orang yang bekerja, bukan
hanya sebab ia sudah membuat dirinya lelah dengan pe-
kerjaannya, yang membuat tidurnya lebih dinantikan dan
membuatnya tidur nyenyak, melainkan juga sebab hanya
sedikit yang harus dipikirkannya, dan dengan begitu yang
akan mengganggu tidurnya. Tidurnya enak, meskipun ia
hanya makan sedikit dan hanya mempunyai sedikit untuk
dimakan, sebab kelelahannya melelapkannya. Dan, meski-
pun ia makan banyak, namun ia bisa tidur nyenyak, sebab
pekerjaannya membuat pencernaannya bekerja dengan
112
baik. Enak tidur orang Kristen yang tekun, dan tidur pan-
jangnya. Sebab, sesudah menghabiskan dirinya dan waktu-
nya untuk melayani Tuhan , ia dengan senang hati bisa
kembali kepada Tuhan dan beristirahat di dalam Dia sebagai
tempat peristirahatannya.
(2) Orang-orang yang memiliki segala hal yang lain sering kali
gagal untuk mendapatkan tidur malam yang nyenyak.
Entah mata mereka tetap terjaga atau tidur mereka gelisah
dan tidak menyegarkan mereka. Dan kelimpahan mereka-
lah yang membangunkan tidur mereka dan mengganggu-
nya. Baik itu kelimpahan kekhawatiran mereka, seperti
orang kaya yang, saat tanahnya memberikan hasil yang
berlimpah, berkata dalam hatinya, apakah yang harus aku
perbuat? (Luk. 12:17) maupun kelimpahan dari apa yang
mereka makan dan minum, yang terlalu membebani jan-
tung, membuat mereka sakit, dan dengan demikian meng-
halangi istirahat mereka. Ahasyweros, sesudah pesta ang-
gur, tidak bisa tidur. Dan mungkin kesadaran akan kesa-
lahan, baik dalam memperoleh maupun menggunakan apa
yang mereka miliki, mengganggu tidur mereka sama seperti
hal-hal lain. namun Tuhan memberikannya kepada yang di-
cintai-Nya pada waktu tidur.
4. Semakin banyak orang memiliki, semakin besar bahaya yang
mengancam mereka baik dalam berbuat kejahatan maupun
dalam ditimpa kejahatan (ay. 12): Ada kemalangan yang me-
nyedihkan, yang sudah dilihat Salomo sendiri di bawah ma-
tahari, di dunia bawah ini, panggung dosa dan celaka ini.
Kekayaan yang disimpan oleh pemiliknya, yang sudah tekun
menimbunnya dan menjaganya supaya tetap aman, menjadi
kecelakaannya sendiri. Mereka akan lebih baik tanpanya.
(1) Kekayaan mereka mencelakai mereka, membuat mereka
sombong, merasa aman, dan mencintai dunia, menjauhkan
hati mereka dari Tuhan dan kewajiban, dan membuat sangat
sulit bagi mereka untuk masuk ke dalam Kerajaan Sorga,
bahkan, membantu membuatnya tertutup bagi mereka.
(2) Mereka membuat celaka dengan kekayaan mereka, yang
tidak hanya membuat mereka mampu untuk memuaskan
hawa nafsu mereka sendiri dan hidup bermewah-mewah,
Kitab Pengkhotbah 5:8-16
113
namun juga memberi mereka kesempatan untuk menindas
orang lain dan memperlakukan mereka dengan keras.
(3) Sering kali mereka memelihara celaka oleh kekayaan mere-
ka. Mereka tidak akan menjadi sasaran iri hati, tidak akan
dirampok, seandainya mereka tidak kaya. Binatang yang
gemuklah yang pertama-tama dibawa ke tempat penyembeli-
han. Orang yang sangat kaya seperti yang dapat diamati,
kadang-kadang dikecualikan dari pengampunan umum,
baik menyangkut hidup maupun harta kekayaan, hanya
sebab harta bendanya yang luas dan bertambah terlalu ba-
nyak. Demikianlah kekayaan sering kali mengambil nyawa
orang yang mempunyainya (Ams. 1:19).
5. Semakin banyak orang memiliki, semakin banyak yang akan
terhilang dari mereka, dan mungkin mereka akan kehilangan
semuanya (ay. 13). Kekayaan-kekayaan yang sudah disimpan
dengan banyak jerih payah, dan dijaga dengan banyak per-
hatian, binasa oleh kemalangan, oleh jerih payah yang sama
yang mereka lakukan untuk mengamankan dan memper-
banyaknya. Banyak orang sudah menghancurkan harta benda
mereka sebab mereka terlalu bernafsu untuk menambah dan
memperbanyaknya, dan kehilangan semua sebab berusaha
meraup semua. Kekayaan yaitu hal yang binasa, dan semua
kekhawatiran kita terhadapnya tidak akan menjadikannya
tidak binasa. Kekayaan tiba-tiba bersayap, lalu terbang ke ang-
kasa. Orang yang tadinya berpikir bahwa ia akan menjadikan
anaknya sebagai seorang yang terhormat, justru meninggal-
kannya sebagai pengemis. Ia mempunyai seorang anak, dan
membesarkannya dalam harta benda yang dimilikinya. Na-
mun, saat ia mati, ia meninggalkan harta bendanya di
bawah utang yang banyak, sebanyak harta benda itu, sehingga
tak ada suatu pun padanya untuk anaknya. Ini biasa terjadi.
Harta benda yang tampak megah tidaklah seperti kelihatan-
nya, namun menipu ahli waris.
6. Berapa pun banyaknya yang dimiliki orang saat mati, mere-
ka harus meninggalkan semuanya itu (ay. 14-15): Sebagai-
mana ia keluar dari kandungan ibunya, demikian juga ia akan
pergi, telanjang. Hanya teman-temannya, saat ia terhadap-
nya, membantu membungkusnya dengan kain lampin, demi-
kian pula, saat ia meninggalkan dunia, mereka membantu
114
menutupinya dengan kain kafan, dan itu saja (lihat Ayb.1:21;
Mzm. 49:18). Hal ini didesakkan sebagai alasan mengapa kita
harus puas dengan hal-hal yang kita miliki (1Tim. 6:7).
Berkenaan dengan tubuh, kita harus pergi sama seperti kita
datang. Debu akan kembali ke tanah seperti sedia kala. namun
sungguh menyedihkan keadaan kita, jika jiwa kembali sama
seperti ia datang. Sebab kita dilahirkan dalam dosa, dan jika
kita mati dalam dosa, tidak dikuduskan, maka lebih baik kita
tidak pernah dilahirkan. Dan itulah yang tampak menjadi
keadaan orang duniawi yang dibicarakan di sini, sebab dikata-
kan, sebagaimana ia datang, demikian pun ia akan pergi, tetap
berdosa, tetap sengsara, dan bahkan jauh lebih lagi. Ini yaitu
kemalangan yang menyedihkan. Salomo menganggap demikian
orang yang hatinya menempel kepada dunia, bahwa tak diper-
olehnya dari jerih payahnya suatu pun yang dapat dibawa
dalam tangannya. Kekayaan-kekayaannya tidak akan pergi
bersamanya ke dunia lain atau memberinya manfaat apa pun
di sana. Jika kita berjerih payah dalam agama, maka anugerah
dan penghiburan yang kita dapatkan dari pekerjaan itu bisa
kita bawa dalam hati kita, dan itu akan sampai pada keke-
kalan. Itulah makanan yang akan bertahan. namun jika kita
bekerja hanya untuk dunia, untuk memenuhi tangan kita
dengannya, maka kita tidak bisa membawa itu bersama kita.
Kita lahir dengan tangan yang mengepal, namun kita mati
dengan tangan yang terentang, melepaskan apa yang kita
pegang erat-erat. Dengan begitu, secara keseluruhan, kita da-
pat bertanya dengan baik, apakah keuntungan orang tadi yang
telah berlelah-lelah menjaring angin? Perhatikanlah, orang-
orang yang bekerja untuk dunia bekerja untuk angin, sebab
angin lebih mempunyai suara daripada wujud yang nyata,
tidak pasti, dan selalu berpindah-pindah, tidak memuaskan,
dan sering kali mencelakakan. Angin tidak bisa kita pegang
erat, dan, jika kita mengambilnya sebagai bagian kita, tidak
akan dapat memberi kita makan, itulah angin (Hos. 12:2).
Orang akan melihat bahwa mereka sudah berlelah-lelah men-
jaring angin saat pada kematian mereka mendapati keun-
tungan dari pekerjaan mereka lenyap semuanya, lenyap seper-
ti angin, tanpa mereka tahu ke mana.
Kitab Pengkhotbah 5:8-16
115
7. Orang-orang yang memiliki banyak hal, jika hati mereka ter-
patri padanya, tidak saja mengalami kematian yang tidak
menghibur, namun juga menjalani hidup yang tidak menghibur
(ay. 16). Orang duniawi yang tamak ini, yang begitu condong
untuk memperbanyak harta benda, sepanjang umurnya ber-
ada dalam kegelapan dan kesedihan, mengalami banyak kesu-
sahan, penderitaan dan kekesalan. Ia bukan saja tidak mera-
sakan kesenangan dari harta bendanya, atau tidak dapat me-
nikmatinya sendiri, sebab ia makan roti yang diperoleh dengan
susah payah (Mzm. 127:2), namun juga ia sangat kesal melihat
orang lain makan darinya. Pengeluaran-pengeluaran yang di-
belanjakannya membuatnya sakit, membuatnya jengkel, dan
ia tampak seolah-olah marah bahwa dirinya sendiri dan orang-
orang di sekitarnya tidak dapat hidup tanpa makanan. Sewak-
tu kita membaca kalimat terakhir, tersirat bagaimana orang
duniawi yang tamak ini tidak dapat menanggung dengan baik
bencana-bencana hidup yang biasa dan tak terhindarkan.
saat ia sehat, ia makan dalam kegelapan (KJV), selalu dihan-
tui rasa cemas dan takut akan apa yang dimilikinya. namun ,
kalau ia sakit, ia mengalami banyak kesusahan, penderitaan
dan kekesalan (KJV: ia mengalami banyak kesusahan dan
amarah, bersama dengan penyakitnya). Ia kesal sebab penya-
kitnya menjauhkannya dari pekerjaannya dan menghalanginya
untuk mengejar dunia, kesal bahwa semua kekayaannya tidak
akan memberinya suatu ketenangan atau kelegaan. namun ia
terutama ngeri dengan kekhawatiran-kekhawatiran akan ke-
matian yang ditandakan oleh penyakit-penyakitnya, ngeri me-
ninggalkan dunia ini dan segala sesuatu di dalamnya, yang
sudah disayanginya, dan berpindah ke dunia yang untuknya
ia belum membuat persiapan. Ia tidak berdukacita menurut ke-
hendak Tuhan , dukacita yang menghasilkan pertobatan. namun
ia mengalami kesusahan dan kekesalan, marah terhadap
penyelenggaraan Tuhan , marah terhadap penyakitnya, marah
terhadap semua orang di sekelilingnya, kesal dan mengomel
sana-sini, yang melipatgandakan penderitaannya. Sementara
orang baik mengurangi dan meringankan penderitaannya de-
ngan bersabar dan bersukacita dalam penyakitnya.
116
Kenikmatan yang Penuh Syukur
(5:17-19)
17 Lihatlah, yang kuanggap baik dan tepat ialah, kalau orang makan minum
dan bersenang-senang dalam segala usaha yang dilakukan dengan jerih
payah di bawah matahari selama hidup yang pendek, yang dikaruniakan
Tuhan kepadanya, sebab itulah bahagiannya. 18 Setiap orang yang dikaruniai
Tuhan kekayaan dan harta benda dan kuasa untuk menikmatinya, untuk
menerima bahagiannya, dan untuk bersukacita dalam jerih payahnya – juga
itu pun karunia Tuhan . 19 Tidak sering ia mengingat umurnya, sebab Tuhan
membiarkan dia sibuk dengan kesenangan hatinya.
Salomo, berdasarkan sia-sianya kekayaan yang ditimbun, di sini me-
nyimpulkan bahwa jalan terbaik yang bisa kita tempuh yaitu meng-
gunakan dengan baik apa yang kita miliki, melayani Tuhan dengannya,
berbuat baik dengannya, dan mengambil penghiburanya bagi diri kita
sendiri dan keluarga kita. Hal ini sudah dia tekankan sebelumnya
(2:24; 3:22). Amatilah,
1. Apa yang di sini dianjurkan kepada kita, yaitu untuk tidak me-
manjakan nafsu kedagingan, atau mengambil kesenangan-kese-
nangan atau keuntungan-keuntungan pada saat ini sebagai
bagian kita, namun dengan tenang dan tanpa berlebihan meman-
faatkan apa yang ditetapkan oleh sang Pemelihara sebagai jalan
yang menghibur bagi kita yang harus kita lewati di dunia ini. Kita
tidak boleh membuat diri kita sendiri kelaparan oleh ketamakan,
sebab kita tidak mampu membeli makanan yang lezat-lezat, atau
oleh semangat dalam mengejar kepentingan-kepentingan duniawi,
atau oleh kecemasan dan kesedihan yang berlebihan. Sebaliknya,
kita harus makan dan minum apa yang pantas bagi kita untuk
menjaga tubuh kita dalam keadaan baik supaya jiwa kita dapat
melayani Tuhan . Kita tidak boleh membunuh diri kita sendiri
dengan pekerjaan, dan kemudian meninggalkan kepada orang lain
untuk bersenang-senang menikmati kebaikannya. namun kita
harus mengambil penghiburan dari apa yang untuknya tangan
kita sudah bekerja, dan itu bukan sesekali, melainkan selama
hidup yang dikaruniakan Tuhan kepada kita. Hidup yaitu karunia
Tuhan , dan Ia telah menetapkan bagi kita jumlah hari dalam hidup
kita (Ayb. 14:5). Oleh sebab itu, hendaklah kita menghabiskan
hari-hari itu dengan menjadi hamba kepada TUHAN, Tuhan kita,
dengan sukacita dan gembira hati. Kita tidak boleh melakukan
pekerjaan yang merupakan panggilan kita sebagai pekerjaan yang
membosankan, dan memperbudak diri kita sendiri untuknya.
Kitab Pengkhotbah 5:17-19
117
namun kita harus bersukacita dalam jerih payah kita, tidak ber-
usaha menyambar lebih banyak pekerjaan daripada yang dapat
kita lalui tanpa kebingungan dan keresahan, namun merasakan
kesenangan dalam panggilan di mana Tuhan telah menempatkan
kita, dan terus melakukan pekerjaannya dengan hati yang riang.
Ini berarti bersukacita dalam jerih payah kita, apa pun itu, seperti
Zebulon atas perjalanan-perjalanannya, dan Isakhar atas kemah-
kemahnya.
2. Apa yang didesakkan untuk dianjurkan kepada kita.
(1) Bahwa sungguh baik dan tepat untuk melakukan ini. Itu baik,
dan tampak baik. Orang-orang yang dengan riang hati meman-
faatkan apa yang telah diberikan Tuhan kepada mereka, dengan
begitu menghormati sang Pemberi, memenuhi maksud dari
pemberian itu, bertindak secara masuk akal dan murah hati,
berbuat kebaikan di dalam dunia, dan membuat apa yang
mereka miliki menjadi hal yang terbaik. Dan ini merupakan
pujian maupun penghiburan mereka. Itu baik dan tepat. Ada
kewajiban dan kepatutan di dalamnya.
(2) Bahwa itu yaitu segala kebaikan yang dapat kita miliki dari
hal-hal di dunia ini: Itulah bagian kita, dan dengan berbuat
begitu kita mengambil bagian kita, dan menjadikan yang ter-
baik dari apa yang buruk. Ini yaitu bagian kita dari harta
duniawi. Tuhan harus mendapatkan bagian-Nya, kaum miskin
bagian mereka, dan keluarga kita bagian mereka, namun ini
yaitu bagian kita. Ini sajalah yang jatuh sebagai bagian kita
dari hal-hal duniawi.
(3) Bahwa hati yang sanggup untuk berbuat demikian yaitu pem-
berian anugerah Tuhan yang begitu rupa hingga memahkotai se-
mua pemberian dari penyelenggaraan-Nya. Jika Tuhan sudah
memberikan kepada seseorang kekayaan dan harta benda, maka
Ia akan menuntaskan perkenanan itu, dan membuatnya menjadi
benar-benar berkat, jika bersamaan dengan itu Ia memberinya
kuasa untuk menikmatinya, hikmat dan anugerah untuk meng-
ambil kebaikan darinya, dan untuk berbuat baik dengannya.
Jika ini yaitu karunia Tuhan , maka kita harus berusaha untuk
memperoleh karunia-karunia yang paling utama yang berkaitan
dengan kenikmatan-kenikmatan kita di dunia ini.
(4) Bahwa ini yaitu cara untuk mempermudah hidup kita sen-
diri dan meringankan diri kita sendiri dari banyaknya kerja
118
keras dan kesulitan yang harus kita lalui dalam hidup kita di
bumi. Tidak sering ia mengingat umurnya (ay. 19), mengingat
hari-hari dukacitanya dan kesusahannya, hari-hari kerjanya,
hari-hari menangisnya. Ia akan melupakannya atau akan
mengingatnya seperti air yang mengalir. Ia tidak akan terlalu
melekatkan dalam hatinya salib-salibnya, atau berlama-lama
merasakan kepahitannya, sebab Tuhan membiarkan dia sibuk
dengan kesenangan hatinya, menyeimbangkan semua kesu-
sahan pekerjaannya dengan sukacita dari pekerjaan itu, dan
memberinya upah untuk itu dengan membuatnya memakan
hasil jerih payah tangannya. Walaupun Tuhan tidak memenuhi
semua keinginan dan harapannya, secara sama persis, namun
Ia memenuhinya dengan apa yang lebih daripada sepadan,
dengan kesenangan hatinya. Roh yang gembira yaitu berkat
yang besar. Roh yang gembira membuat kuk pekerjaan kita
mudah dan beban penderitaan kita ringan.
PASAL 6
Dalam pasal ini:
I. Sang pengkhotbah yang rajawi ini melanjutkan pembicaraan-
nya untuk menunjukkan kesia-siaan dari kekayaan duniawi,
yaitu saat manusia menempatkan kebahagiaannya di da-
lam harta benda itu dan sangat berhasrat menumpuknya
secara berlebihan. Kekayaan, di tangan orang yang bijaksana
dan dermawan, pastilah berguna, namun di tangan orang yang
keji, licik, dan tamak serta pelit, tidaklah ada gunanya.
1. Sang Pengkhotbah menggambarkan harta benda dan kenik-
matan yang dimiliki oleh orang yang mempunyainya. Orang
seperti ini punya kekayaan (ay. 2), memiliki anak-anak
sebagai pewarisnya (ay. 3), dan umur panjang (ay. 3, 6).
2. Ia menjelaskan kebodohan orang itu untuk tidak menik-
matinya, yang tidak pernah mencicipinya namun membiar-
kan orang lain menikmatinya, tidak pernah merasa puas,
dan pada akhirnya tidak mendapat penguburan (ay. 2-3).
3. Ia mengutuk keadaan yang demikian sebagai suatu kema-
langan, kemalangan yang biasa terjadi, kesia-siaan, suatu
penyakit (ay. 1-2).
4. Ia menganggap bahwa keadaan anak yang mati saat lahir
lebih baik daripada keadaan orang ini (ay. 3). Nasib buruk
anak yang mati saat lahir tidak ada (ay. 4-5), namun nasib
malang orang yang tamak yaitu pasti, yaitu hidup seke-
jap hanya untuk menyaksikan dirinya sengsara (ay. 6).
5. Ia menunjukkan kesia-siaan harta benda hanya berkena-
an dengan tubuh saja dan tidak memberikan kepuasan
kepada jiwa (ay. 7-8). Ia juga menunjukkan kesia-siaan
dari nafsu tanpa batas yang dengannya orang tamak me-
120
nyusahkan diri mereka sendiri (ay. 9), sebab jika semua
nafsunya dipuaskan, maka orang itu akan tinggal seperti
keadaannya semula (ay. 10).
II. Ia mengakhiri pembahasan tentang kesia-siaan manusia dengan
kesimpulan yang sederhana dan jelas ini, yaitu bodoh untuk ber-
pikir dapat menciptakan kebahagiaan diri dari segala sesuatu yang
ada di dalam dunia ini (ay. 11-12). Kepuasan kita pasti ada di
dalam kehidupan yang lain, bukan dalam kehidupan di dunia ini.
Kesengsaraan Orang yang Tamak
(6:1-6)
1 Ada suatu kemalangan yang telah kulihat di bawah matahari, yang sangat
menekan manusia: 2 orang yang dikaruniai Tuhan kekayaan, harta benda dan
kemuliaan, sehingga ia tak kekurangan suatu pun yang diingininya, namun
orang itu tidak dikaruniai kuasa oleh Tuhan untuk menikmatinya, melainkan
orang lain yang menikmatinya! Inilah kesia-siaan dan penderitaan yang
pahit. 3 Jika orang memperoleh seratus anak dan hidup lama sampai menca-
pai umur panjang, namun ia tidak puas dengan kesenangan, bahkan tidak
mendapat penguburan, kataku, anak gugur lebih baik dari pada orang ini.
4 Sebab anak gugur itu datang dalam kesia-siaan dan pergi dalam kegelapan,
dan namanya ditutupi kegelapan. 5 Lagipula ia tidak melihat matahari dan
tidak mengetahui apa-apa. Ia lebih tenteram dari pada orang tadi. 6 Biarpun
ia hidup dua kali seribu tahun, kalau ia tidak menikmati kesenangan: bukan-
kah segala sesuatu menuju satu tempat?
Salomo telah menunjukkan, di akhir pasal sebelumnya, betapa se-
nangnya memanfaatkan dengan nikmat pemberian-pemberian yang
dikaruniakan Tuhan melalui penyelenggaraan-Nya. namun sekarang
dia menunjukkan kemalangan dari keadaan yang sebaliknya, yaitu
memiliki namun tidak pernah menikmatinya, mengumpulkan dan me-
numpuk untuk keadaan darurat yang tidak diketahui secara pasti
akan datang, dan bukannya menyiapkan diri untuk keadaan seka-
rang yang justru paling genting. Inilah suatu kemalangan yang telah
dilihat oleh Salomo di bawah matahari (ay. 1). Begitu banyak kema-
langan terjadi di bawah matahari. Ada suatu dunia di atas matahari
yang bebas dari kemalangan, namun TUHAN yang menerbitkan mata-
hari bagi orang jahat dan orang baik, semakin menambah parah
kemalangan itu. TUHAN telah menyalakan sebuah lilin bagi hamba-
hamba-Nya supaya mereka bisa bekerja dengannya, namun mereka
mengubur talenta mereka sebab malas dan tidak berguna, sehingga
menyia-nyiakan terang itu dan menjadikan diri tidak layak baginya.
Salomo, sebagai seorang raja, telah menyelidiki tingkah laku rakyat-
Kitab Pengkhotbah 6:1-6
121
nya, dan memperhatikan kemalangan ini sebagai sesuatu yang mem-
bahayakan orang banyak, yang telah dirugikan tidak hanya oleh
pemborosan mereka di satu pihak namun juga oleh kekikiran mereka
di pihak lain. Sama seperti darah di dalam tubuh jasmani manusia,
demikian pula kekayaan di dalam kegiatan tubuh, jika tidak mengalir
namun berhenti, maka tubuh pun akan sakit. Salomo sebagai seorang
pengkhotbah mengamat-amati segala kemalangan yang ditimbulkan
oleh manusia, supaya ia bisa menegur serta memperingatkan mereka
agar terhindar darinya. Kemalangan ini, di zamannya, lazim terjadi,
namun anehnya saat itu ada sangat banyak perak dan emas, yang
pikir orang seharusnya menyebabkan orang kurang tergila-gila
dengan kekayaan. Keadaan pada masa itu pun tenteram dan damai,
tidak ada tanda-tanda masalah, yang bagi beberapa orang menjadi
suatu godaan untuk menimbun harta. namun bekal persediaan apa
pun tidak bisa menyembuhkan keinginan nafsu terhadap dunia dan
hal-hal di dalamnya saat keinginan itu sudah menguasai pikiran
kedagingan, kecuali ada anugerah Tuhan yang bekerja dengan bekal
persediaan itu. Bahkan lebih dari itu, saat kekayaan bertambah,
maka hati kita makin tertuju kepadanya. Nah berkenaan dengan
orang yang suka menimbun harta dan pelit ini, amatilah,
I. Banyaknya alasan sebenarnya yang mengharuskannya untuk
melayani TUHAN dengan sukacita dan hati yang gembira, sebab
TUHAN telah berbuat begitu baik kepadanya.
1. Ia telah dikaruniai Tuhan kekayaan, harta benda dan kemulia-
an (ay. 2). Perhatikanlah:
(1) Kekayaan dan harta benda umumnya mendatangkan kemu-
liaan kepada orang di antara sesamanya. Walaupun hanya
sebuah patung, namun jika itu sebuah patung emas, maka
semua orang, bangsa, dan bahasa akan jatuh tersungkur dan
menyembahnya.
(2) Kekayaan, harta benda, dan kemuliaan, yaitu karunia
Tuhan , karunia penyelenggaraan-Nya, dan tidak diberikan
kepada semua orang seperti halnya hujan dan matahari,
melainkan hanya kepada sebagian orang tertentu, sesuai
dengan kehendak-Nya.
(3) Namun semuanya itu diberikan kepada banyak orang yang
tidak menggunakannya dengan baik, kepada banyak orang
122
yang tidak diberikan hikmat dan karunia oleh Tuhan untuk
menikmati penghiburan darinya dan untuk melayani Tuhan
dengannya. Karunia-karunia penyelenggaraan umum diberi-
kan kepada orang-orang yang tidak menerima suatu anuge-
rah khusus, sehingga semua karunia itu lebih sering men-
datangkan kerugian daripada kebaikan.
2. Ia tak kekurangan suatu pun yang diingininya. Begitu murah
hatinya Sang Pemelihara kepada mereka, sampai hati mereka
meluap-luap dengan sangkaan (Mzm. 73:7, KJV: sampai hati
mereka mempunyai sebanyak yang diingini hati mereka, dan
malah lebih lagi). Orang seperti ini tidak mengingini anugerah
bagi jiwanya, yang merupakan bagian yang lebih baik dari
dirinya. Apa yang diinginkannya hanyalah untuk memuaskan
keinginan nafsu tubuhnya, dan ia mendapatinya. Perut mereka
dikenyangkan dengan apa yang Engkau simpan (Mzm. 17:14).
3. Orang kaya itu biasanya memiliki sebuah keluarga yang besar,
memperoleh seratus anak, yang menjadi penopang dan kekuat-
an keluarganya, dan seperti sebuah tabung yang penuh de-
ngan anak panah, yang menjadi kemuliaan dan kebanggaan isi
rumahnya, yang melalui mereka dia dapat membangun nama-
nya dan memiliki semua ketenaran yang tidak bisa padam yang
dapat diberikan oleh dunia ini. Ia mempunyai banyak anak
(Mzm. 17:14), sementara banyak umat Tuhan yang tidak dikaru-
nia anak sama sekali dan dilucuti dari semua kepemilikan.
4. Untuk melengkapi kebahagiaannya, dia seharusnya hidup
lama sampai mencapai umur panjang, atau lebih banyak hari,
sebab hidup kita dihitung dengan menggunakan hari ketim-
bang tahun: Hari-hari di dalam hidupnya begitu banyak, dan
begitu sehat tubuhnya, serta begitu lamban menjadi tua, se-
hingga sepertinya bertambah panjang lagi umurnya. Bahkan,
dia hidup selama seribu tahun (yang tidak ada seorang pun,
yang kita ketahui, pernah dapat mencapainya), bahkan hidup
dua kali seribu tahun, padahal suatu bagian kecil saja dari
waktu ini , seperti pikir orang, cukuplah untuk meyakin-
kan manusia, berdasarkan pengalamannya, tentang kebodoh-
an orang-orang yang berharap untuk mendapatkan kebaikan
di dalam kekayaan duniawi, dan tentang kebodohan orang-
orang yang berharap untuk mendapatkan apa pun yang baik
di dalamnya selain dengan menggunakannya dengan baik.
Kitab Pengkhotbah 6:1-6
123
II. Hatinya tidak tertuju untuk menggunakan kekayaan yang telah
dikaruniakan Tuhan kepadanya sesuai dengan maksud dan tu-
juan-Nya. Ini merupakan kesalahan dan kebodohannya sendiri,
yaitu tidak berterima kasih atas kebaikan yang ditunjukkan ke-
padanya, dan tidak melayani TUHAN Tuhan sang Pemberi, dengan
sukacita dan gembira hati walaupun kelimpahan akan segala-
galanya. Di masa kemakmuran hatinya tidak gembira. Tristis es,
et felix? – Engkau bahagia, namun sedih? Lihatlah kebodohannya:
1. Ia tidak mendapat penghiburan dari apa yang dimilikinya. Ia
punya makanan di hadapannya. Ia punya kekayaan untuk me-
melihara hidupnya dan keluarganya, namun dia tidak memiliki
kuasa untuk menikmatinya. Sifatnya yang jelek dan kikir mem-
buatnya tidak rela mengulurkan hartanya itu, bahkan untuk
dirinya, untuk apa yang paling dibutuhkan dirinya sendiri. Ia
tidak berdaya untuk berpikir mengapa ia melakukan hal yang
tidak masuk akal ini, untuk mengalahkan sifat tamaknya yang
berlebihan. Ia memang lemah, tidak berdaya untuk mengguna-
kan apa yang Tuhan berikan kepadanya, sebab Tuhan tidak mem-
berikan kuasa ini kepadanya, namun menahan kuasa itu,
untuk menghukum dia atas penyalahgunaan lain dari kekaya-
annya. Oleh sebab tidak memiliki kemauan untuk melayani
Tuhan dengan hartanya, Tuhan juga meniadakan kuasa di dalam
dirinya untuk melayani diri sendiri dengan hartanya ini .
2. Ia menderita akibat orang-orang yang memangsanya, yang
tidak wajib untuk ditanggungnya: orang lain yang menikmati-
nya. Ini yaitu nasib yang biasa dialami orang-orang kikir.
Mereka bisa jadi tidak akan memercayai anak-anak mereka
sendiri, melainkan para pengikut dan pendukungnya, yang
punya keahlian untuk membujuk, menyusup, dan mencari
cara untuk melahap harta benda tuannya, atau memperoleh
bagian yang ditinggalkan bagi diri mereka atas kehendak tuan-
nya. Tuhan yang menetapkan hal ini agar orang lain yang
menikmatinya. Orang-orang luar memakan habis kekuatannya
(Hos. 7:9; Ams. 5:10). Inilah yang mungkin dengan tepat dise-
but kesia-siaan dan penderitaan yang pahit. Apa yang kita
miliki, kita miliki dengan sia-sia jika kita tidak menggunakan-
nya. Dan tabiat untuk tidak menggunakan milik sendiri itu
sudah pasti merupakan suatu gangguan pikiran yang paling
menyedihkan, sebab menahan kita untuk tidak mengguna-
124
kan kekayaan kita. Penyakit kita yang paling parah yaitu
yang timbul dari kebejatan hati kita sendiri.
3. Ia mencabut dari dirinya sendiri kebaikan yang mungkin telah
diperoleh dari kekayaan duniawinya, tidak hanya menghilang-
kannya namun juga merampas dan melempar keluar dari
hidupnya: ia tidak puas dengan kesenangan (ay. 3). Ia tetap
tidak puas dan gelisah. Tangannya berlimpah dengan kekaya-
an, lumbung-lumbungnya penuh terisi, dan kantong-kantong-
nya pun terisi penuh, namun ia tidak puas dengan kesenang-
an, belum puas dengan kekayaannya, sebab dia masih meng-
harapkan lebih banyak lagi. Bahkan (ay. 6), ia tidak menikmati
kesenangan. Ia tidak dapat memuaskan matanya yang masih
terus mencari dan mencarinya dengan iri hati terhadap orang-
orang yang memiliki lebih banyak. Ia bahkan tidak merasakan
kebaikan dari sebidang tanah. Ia tidak memandang jauh me-
lampaui hal-hal yang kelihatan, bahkan ia tidak melihat hal-
hal yang kelihatan itu dengan kesenangan hati yang sejati.
4. Ia tidak mendapat penguburan, tidak ada kuburan yang sepa-
dan dengan kedudukannya, tidak ada kuburan yang pantas,
kecuali penguburan seekor keledai. Dengan sifatnya yang kikir
itu dia pasti tidak akan membolehkan suatu penguburan yang
mewah bagi dirinya, namun melarangnya. Atau orang-orang lain
yang telah memakan habis kekayaannya meninggalkannya ter-
lantar, pada akhirnya, sehingga dia tidak memiliki uang untuk
penguburannya. Atau, orang-orang lain yang ia wariskan harta
bendanya tidak memiliki rasa hormat sedikit pun terhadapnya
dan sedemikian tamaknya dengan apa yang mereka warisi dari
dia, sehingga mereka tidak merasa terbeban untuk mengubur-
kannya dengan baik-baik. Padahal anak-anaknya sendiri, jika
dia mewariskan kekayaannya kepada mereka, tidak akan ber-
buat jelek seperti itu kepadanya.
III. Pilihan diberikan oleh sang pengkhotbah kepada seorang anak
gugur di hadapan orang kaya yang malang: Seorang anak gu-
gur, anak yang dibawa dari rahim menuju kubur, yaitu lebih
baik dari pada dirinya. Lebih baik buah yang jatuh dari pohon
sebelum matang daripada yang tetap tergantung sampai busuk.
Ayub, dalam penderitaannya, berpikir bahwa keadaan seorang
anak gugur yaitu lebih baik daripada keadaannya saat sedang
Kitab Pengkhotbah 6:1-6
125
di dalam kesulitan (Ayb. 3:16). namun , Salomo di sini men-
jelaskan bahwa keadaan anak gugur yaitu lebih baik daripada
keadaan orang duniawi yang berlimpah hartanya, saat dunia
tersenyum kepadanya.
1. Ia mengakui bahwa keadaan dari seorang anak gugur, dalam
banyak hal, yaitu sangat menyedihkan (ay. 4-5): anak gugur
itu datang dalam kesia-siaan sebab, bagi dunia ini, anak yang
dilahirkan dan kemudian mati sesaat yaitu dilahirkan de-
ngan sia-sia, dan pergi dalam kegelapan. Hanya sedikit saja
atau tidak ada sama sekali kenangan terhadapnya. Sebagai
anak yang lahir gugur, dia tidak mempunyai nama, atau, se-
andainya punya nama, maka dia akan segera dilupakan dan
namanya dikuburkan dalam-dalam. Namanya ditutupi kegelap-
an, seperti tubuh terbenam ke dalam bumi. Bahkan (ay. 5), ia
tidak melihat matahari, melainkan dari kegelapan rahim ia
bergegas menuju kubur, dan, jauh lebih buruk daripada tidak
dikenal sama sekali, ia tidak mengetahui apa-apa, dan sebab -
nya telah kehilangan kesenangan dan kehormatan dari seorang
manusia. Orang-orang yang hidup acuh-tak-acuh dengan se-
ngaja dan tidak mempunyai arah tujuan, tidaklah jauh lebih
baik daripada seorang anak gugur yang tidak melihat matahari
dan tidak mengetahui apa-apa.
2. Walaupun begitu, Salomo lebih menyukai anak yang gugur
ini daripada seorang kaya yang kikir. Anak yang gugur
ini yaitu lebih tenteram dari pada orang itu, sebab anak yang
gugur ini dapat beristirahat sedangkan orang kaya tadi tidak
dapat beristirahat. Anak gugur ini tidak mempunyai masalah
dan kekhawatiran, namun orang kaya tadi mempunyai per-
gumulan yang panjang, dan tidak ada hal lain selain masalah,
masalah yang dibuatnya sendiri. Lebih singkat kehidupan
maka lebih panjang istirahat. Lebih sedikit hari-hari, dan lebih
kurang urusan kita dengan dunia yang penuh masalah ini,
maka lebih sedikit masalah yang akan kita hadapi.
Lebih baik seorang anak yang meninggal pada usia
empat tahun daripada terus hidup dan
meninggal pada usia delapan puluh tahun.
Alasan yang diberikan Salomo mengapa anak gugur ada-
lah lebih tenteram yaitu sebab segala sesuatu menuju ke
126
satu tempat untuk beristirahat, dan anak gugur ini lebih cepat
menuju ke tempat istirahatnya (ay. 6). Orang yang hidup sela-
ma seribu tahun pergi ke tempat yang sama dengan anak gugur
yang tidak hidup lebih dari satu jam (3:20). Kuburan yaitu
tempat pertemuan kita semua. Apa pun perbedaan yang mung-
kin dimiliki di dalam kehidupan manusia di dunia ini, mereka
semua pasti akan mati, dan berada di bawah hukuman yang
sama, dan secara lahiriah, kematian mereka semua sama. Ku-
buran bagi seseorang, dan juga bagi yang lain, yaitu sebuah
negeri yang sunyi, tempat kegelapan, keterpisahan dari yang
hidup, dan suatu tempat istirahat. Kuburan yaitu tempat per-
temuan yang sama bagi orang kaya dan orang miskin, yang ter-
hormat dan hina, yang terpelajar dan tidak. Yang hidupnya pen-
dek dan panjang akan bertemu di dalam kubur, hanya yang satu
berangkat lebih cepat dan yang lain pergi lebih lambat. Debu
tanah keduanya bercampur dan tergeletak tanpa perbedaan.
Keinginan yang Tidak Terpuaskan
(6:7-10)
7 Segala jerih payah manusia yaitu untuk mulutnya, namun keinginannya
tidak terpuaskan. 8 sebab apakah kelebihan orang yang berhikmat dari
pada orang yang bodoh? Apakah kelebihan orang miskin yang tahu berperi-
laku di hadapan orang? 9 Lebih baik melihat saja dari pada menuruti nafsu.
Ini pun kesia-siaan dan usaha menjaring angin. 10 Apa pun yang ada, sudah
lama disebut namanya. Dan sudah diketahui siapa manusia, yaitu bahwa ia
tidak dapat mengadakan perkara dengan yang lebih kuat dari padanya.
Sang pengkhotbah di sini lebih lanjut menunjukkan kesia-siaan dan
kebodohan menumpuk kekayaan duniawi dan mengharapkan keba-
hagiaan di dalamnya.
I. Betapa pun besarnya kita bekerja keras untuk dunia dan menda-
patkan hasil darinya, apa yang kita punya tidaklah lebih dari
sekadar suatu penunjang hidup (ay. 7): Segala jerih payah manu-
sia yaitu untuk mulutnya, sebab mulutnya memaksa dia (Ams.
16:26). Semuanya yaitu tentang makanan dan pakaian. Apalagi
kalau yang lain punya dan kita tidak. Semuanya yaitu untuk
mulut. Makanan yaitu untuk perut dan perut untuk makan-
an. Semua itu tidak ada yang untuk kepala dan hati, tidak ada
untuk memberi makan dan memperkaya jiwa. Sesuatu yang sedi-
Kitab Pengkhotbah 6:7-10
127
kit akan berguna untuk menopang hidup kita dengan nyaman,
sedangkan sesuatu yang banyak tidak dapat berbuat lebih.
II. Orang-orang yang pernah memiliki banyak harta masih terus
ingin memiliki lagi. Biarpun seseorang bekerja sedemikian keras
untuk mulutnya, namun keinginannya tidak terpuaskan.
1. Keinginan-keinginan jasmani masih terus kembali dan kem-
bali, masih terus menuntut. Seseorang yang telah makan ke-
nyang pada hari ini akan menjadi lapar lagi pada keesokan
harinya.
2. Keinginan duniawi yang berdosa tidak pernah terpuaskan
(5:10). Kekayaan bagi seorang yang duniawi yaitu seperti mi-
numan bagi seseorang yang sakit gembur-gembur, sakit kare-
na kelebihan cairan namun justru semakin menimbulkan rasa
haus. Beberapa orang membaca seluruh isi ayat ini demikian:
Meskipun seluruh kerja keras seseorang tercurah di alam
pikirannya (ori ejus obveniat – agar sesuai dengan pandangan-
nya, Juv.), seakan-akan dirinya akan memilikinya, namun
keinginannya tidak terpuaskan, masih tetap memikirkan se-
suatu yang lebih banyak lagi.
3. Keinginan batin manusia tidak memperoleh apa-apa di dalam
kekayaan duniawi untuk memberinya kepuasan. Hatinya tidak
terpuaskan, demikian arti katanya. Pada waktu Tuhan memberi
Israel apa yang mereka minta, didatangkan-Nya penyakit paru-
paru di antara mereka (Mzm. 106:15). Dia orang bodoh yang
berkata, saat lumbung-lumbungnya penuh, Jiwaku, beristi-
rahatlah.
III. Orang yang bodoh mungkin memiliki banyak kekayaan duniawi,
dan mungkin menikmati banyak kesenangan di dalamnya, sama
banyaknya seperti orang yang berhikmat. Bahkan, mungkin dia
tidak begitu sadar akan gangguan yang ditimbulkannya: Apakah
kelebihan orang yang berhikmat dari pada orang yang bodoh? (ay.
8). Mungkin orang yang berhikmat tidak memiliki sebuah kebun
yang sangat bagus, sebuah usaha yang sangat bagus, atau memi-
liki kedudukan yang baik seperti yang dimiliki oleh orang bodoh.
Bahkan, anggaplah mereka sama di dalam hal kekayaan, maka
apakah yang dapat diperas sehabis-habisnya oleh seorang yang
berhikmat, seorang yang terpelajar, seorang yang pandai, seorang
128
politikus, dari hartanya melebihi apa yang hanya diperlukannya
sehari-hari? Orang dungu pun melakukan hal yang sama. Orang
yang bodoh dapat membelanjakan hartanya dan menikmatinya,
dapat berpakaian, dan berpenampilan yang menarik di muka
umum, sama seperti seorang yang berhikmat. sebab itulah,
seandainya tidak ada kesenangan dan penghargaan yang khusus
terhadap akal budi, yang lebih banyak dimiliki oleh orang yang
berhikmat dari pada orang yang bodoh, berkenaan dengan dunia
ini, maka orang berhikmat dan orang bodoh itu sederajat saja.
IV. Bahkan orang yang miskin, yang memiliki usaha dan bijaksana,
rajin, serta terampil dalam mengelolanya, dapat memperoleh kese-
nangan melalui dunia ini sama seperti orang yang sarat dengan
harta benda yang terus bertambah. Pikirkanlah apa kekurangan
orang miskin dari orang kaya, jika dia tahu berperilaku di hadapan
orang (6:8), tahu bagaimana berperilaku yang sopan, dan melaku-
kan tugasnya dengan baik, bagaimana memperoleh suatu peng-
hasilan yang halal melalui kerja kerasnya, bagaimana meng-
gunakan waktu dengan baik dan mengembangkan setiap kesem-
patan. Apa yang dimilikinya? Mengapa ia lebih dicintai dan dihar-
gai di kalangan tetangganya, dan mendapat perhatian yang lebih
baik daripada orang kaya yang kikir dan angkuh. Apa yang di-
milikinya? Mengapa dia memiliki sama banyaknya kesenangan
hidup ini, makanan dan pakaian, cukuplah, dan benar-benar kaya
seperti orang yang memiliki kekayaan yang berlimpah.
V. Kenikmatan yang kita nikmati dari apa yang kita miliki pastilah
akan diakui lebih masuk akal daripada orang serakah yang terus
mencari lebih banyak (ay. 9): Lebih baik melihat saja, menikmati
apa yang ada sekarang, dari pada menuruti nafsu, mencari-cari
keinginan hati, yang yaitu perjalanan jiwa yang melelahkan
dalam mencari segala sesuatu yang masih jauh, dan yang hanya
merasakan kepuasan yang tidak nyata. Lebih berbahagia orang
yang selalu puas, meski dia hanya memiliki begitu sedikit, dari-
pada orang yang selalu iri hati, meski dia sudah memiliki banyak.
Kita tidak dapat berkata, Lebih baik melihat dari pada mengarah-
kan keinginan kepada Tuhan , dan menyandarkan jiwa di dalam-
Nya. Lebih baik hidup oleh iman akan segala sesuatu yang akan
datang daripada hidup dengan penglihatan lahiriah, yang hanya
Kitab Pengkhotbah 6:7-10
129
bertumpu pada hal-hal yang hanya ada sekarang ini. Namun lebih
baik melihat dari pada mengembara dengan keinginan akan dunia,
dan segala sesuatu yang duniawi, yang lebih tidak menentu dan ti-
dak memuaskan. Ini pun kesia-siaan dan usaha menjaring angin. Ini
benar-benar kesia-siaan. jika apa yang diinginkan itu diper-
oleh, belum pasti itu memberikan apa yang kita janjikan pada diri
kita, sebab biasanya hawa nafsu yang dikejar-kejar itu tidak
terpenuhi dan gagal, sehingga berubah menjadi usaha menjaring
angin.
VI. Nasib kita, apa pun itu, telah ditetapkan bagi kita oleh kebijak-
sanaan Tuhan , yang tidak dapat diubah. Oleh sebab itu bijaklah
kita untuk menyesuaikan diri dengan ketetapan Tuhan ini
dan menyetujuinya dengan hati gembira (ay. 10): Apa pun yang
ada, atau (seperti yang dipahami sebagian orang) sudah lama, dan
begitu juga yang akan ada, sudah disebut namanya. Hal itu sudah
ditentukan dalam pengetahuan Tuhan dari awalnya, dan semua
perhatian serta jerih payah kita tidak dapat mengubah apa yang
sudah ditetapkan. Jacta est alea – putusan sudah dibuat, tidak
dapat diubah lagi. Maka bodohlah untuk berdebat dengan apa
yang sudah ditentukan akan ada, dan bijaksanalah untuk meng-
utamakan kebajikan. Mari kita mengejar apa yang menyenangkan
hati Tuhan , dan kiranya hal itu memuaskan kita.
VII. Apa pun yang kita capai di dalam dunia ini, kita tetap manusia,
dan kekayaan serta kedudukan yang paling tinggi tidak akan
dapat melepaskan kita dari kejadian-kejadian yang lazim terjadi
dalam hidup manusia: Apapun yang sudah ada, dan yang ada
sekarang, binatang-binatang yang bergerak dan membuat kera-
maian di dalam dunia, sudah disebut namanya. Tuhan yang telah
menjadikannya memberikan nama kepadanya, yang dikenal
sebagai manusia (KJV). Itulah namanya yang harus diketahuinya,
dan itu sebuah nama yang hina (Kej. 5:2). Ia memberikan nama
“Manusia” kepada mereka, dan semua keturunannya mempu-
nyai tabiat yang sama, tanah liat. Meskipun seorang manusia
dapat berkuasa atas semua perbendaharaan kerajaan-kerajaan
dan daerah-daerah, ia tetap hanyalah manusia, yang hina, dapat
berubah, dan fana, yang kapan saja bisa tertimpa bencana yang
berlaku bagi manusia. Kiranya orang yang kaya dan besar menge-
130
tahui bahwa mereka hanyalah manusia saja (Mzm. 9:21). Kiranya
mereka tahu bahwa mereka hanyalah manusia saja. Kiranya
mereka menjadi malu, dan, seperti raja Tirus, walaupun menem-
patkan diri sama dengan Tuhan , tetap saja orang-orang Mesir yang
yaitu manusia, bukan Tuhan , dan sudah diketahui demikian.
VIII. Betapa pun besar hasrat kita mengembara dan betapa pun besar
usaha kita untuk mengikutinya, kita tidak dapat bersaing de-
ngan tindakan penyelenggaraan ilahi, namun sebaliknya harus
memasrahkan diri, mau atau tidak mau padanya. Jika ia yaitu
manusia, ia tidak dapat mengadakan perkara dengan yang lebih
kuat dari padanya. Janganlah gegabah untuk melawan cara
kerja Tuhan dan menuduh-Nya dengan kebodohan dan kejahatan.
Juga, janganlah dengan maksud apa pun mengeluhkan Dia,
sebab Ia tidak pernah berubah, dan siapa dapat menghalangi
Dia? Elihu membungkam Ayub dengan prinsip yang tidak ter-
bantahkan ini, bahwa Tuhan itu lebih dari pada manusia (Ayb.
33:12) dan sebab nya manusia tidak dapat berbantah dengan-
Nya, atau menolak hukuman-Nya saat dikirim dengan suatu
ketetapan. Manusia dengan harta kekayaannya yang berlimpah
tidaklah dapat meluputkan diri dari serangan penyakit atau
kematian, melainkan harus tunduk kepada nasibnya.
Keinginan yang Tidak Terpuaskan
(6:11-12)
11 sebab makin banyak kata-kata, makin banyak kesia-siaan. Apakah fae-
dahnya untuk manusia? 12 sebab siapakah yang mengetahui apa yang baik
bagi manusia sepanjang waktu yang pend