pengkhotbah kidungagung 4


 dak akan diterima, dan sebab  

itu bodohlah untuk membawanya. Kita juga harus berjaga-

jaga supaya tidak mengandalkan tanda dan upacara ibadah, 

dan bentuk lahiriah dari pelaksanaan ibadah, tanpa mengin-

dahkan arti dan maknanya, sebab itu yaitu  korban orang-

orang bodoh. Latihan badani, jika cuma itu saja, hanyalah 

hiburan saja. Tak seorang pun selain orang-orang bodoh yang 

berpikir bahwa dengan mementingkan yan lahiriah begitu 

mereka akan berkenan kepada Dia yang yaitu  Roh dan yang 

menuntut hati. Dan mereka akan melihat kebodohan mereka 

saat  mereka mendapati bahwa betapa banyaknya susah 

payah yang sudah mereka lakukan, namun  itu tidak berguna 

sebab  tidak adanya ketulusan. Mereka yaitu  orang-orang 

bodoh, sebab mereka tidak tahu, bahwa mereka berbuat jahat. 

Mereka menyangka bahwa mereka sedang melakukan pelayan-

an yang baik untuk Tuhan  dan diri mereka sendiri, padahal se-

benarnya mereka sedang memberikan penghinaan yang besar 

kepada Tuhan  dan tipuan yang besar kepada jiwa mereka sen-

diri dengan ibadah-ibadah mereka yang munafik. Orang bisa 

jadi sedang berbuat jahat saat  mereka mengaku sedang ber-

buat baik, dan bahkan saat  mereka tidak mengetahuinya, 

saat  mereka tidak mempertimbangkannya. Mereka tidak me-

Kitab Pengkhotbah 4:17, 5:1-2 

 99

ngetahui hal lain selain berbuat jahat, demikian sebagian orang 

membacanya. Pikiran-pikiran yang fasik tidak bisa memilih hal 

lain selain dosa, bahkan dalam tindakan-tindakan ibadah. 

Atau, mereka tidak tahu, bahwa mereka berbuat jahat. Mereka 

bertindak sembarangan, benar atau salah, berkenan kepada 

Tuhan  atau tidak, semua itu sama saja bagi mereka. 

3. Supaya kita tidak membawa korban orang-orang bodoh, kita 

harus datang ke rumah Tuhan  dengan hati yang condong untuk 

mengetahui dan melakukan kewajiban kita. Kita harus siap 

untuk mendengar, yaitu,  

(1) Kita harus memerhatikan dengan tekun firman Tuhan  yang 

dibacakan dan dikhotbahkan. “Hendaklah kita cepat untuk 

mendengar  penjelasan yang diberikan para imam tentang 

korban-korban, yang menyatakan maksud dan maknanya. 

Dan jangan merasa cukup hanya dengan memandang apa 

yang mereka lakukan, sebab ibadah itu harus menjadi 

ibadah yang sejati, kalau tidak, itu yaitu  korban orang-

orang bodoh.”  

(2) Kita harus menetapkan hati untuk mematuhi kehendak 

Tuhan  sebagaimana yang diberitahukan kepada kita. Mende-

ngarkan sering kali diartikan sebagai menaati, dan itulah 

ketaatan yang lebih baik dari pada korban sembelihan 

(1Sam. 15:22; Yes. 1:15-16). Kita datang untuk melakukan 

kewajiban-kewajiban kudus dalam keadaan hati yang 

benar jika  kita datang dengan hati yang berseru, ber-

bicaralah, TUHAN, sebab hamba-Mu ini mendengar. Biarlah 

firman Tuhan datang (kata orang baik), maka andai pun aku 

mempunyai 600 leher, aku akan menundukkan semuanya 

kepada wewenangnya. 

4. Kita harus sangat berhati-hati dan penuh pertimbangan setiap 

kali kita mendekat dan membawa diri kita kepada Tuhan  (ay. 1): 

Janganlah terburu-buru dengan mulutmu, dalam mengucapkan 

doa-doa, atau mengajukan keberatan-keberatan, atau mem-

buat janji-janji. Janganlah hatimu lekas-lekas mengeluarkan 

perkataan di hadapan Tuhan . Perhatikanlah,  

(1) saat  kita berada di rumah Tuhan , dalam perkumpulan 

yang khidmat untuk beribadah, kita secara khusus ada di 

hadapan Tuhan  dan dalam hadirat-Nya, di sana di mana Ia 


 100

telah berjanji untuk menjumpai umat-Nya, di mana mata-

Nya tertuju kepada kita dan mata kita seharusnya tertuju 

kepada Dia.  

(2) Kita mempunyai sesuatu untuk dikatakan, sesuatu untuk 

diutarakan di hadapan Tuhan , saat  kita datang mendekat 

kepada-Nya dalam kewajiban-kewajiban kudus. Dengan Dia-

lah kita harus berhadapan, dengan Dialah kita mempunyai 

urusan yang sangat penting. Jika kita datang tanpa keper-

luan, maka kita akan pergi tanpa keuntungan apa pun.  

(3) Apa yang kita ucapkan di hadapan Tuhan  harus datang dari 

hati, dan sebab  itu kita tidak boleh terburu-buru dengan 

mulut kita, jangan pernah membiarkan lidah kita mendahu-

lui pikiran kita dalam ibadah-ibadah kita. Ucapan mulut 

kita haruslah selalu merupakan buah dari renungan hati 

kita. Pikiran yaitu  kata-kata bagi Tuhan , dan kata-kata ha-

nyalah angin jika tidak disalin dari pikiran. Ucapan di bibir, 

meskipun dipoles dengan begitu baik, jika cuma itu saja, 

hanyalah usaha yang sia-sia dalam ibadah (Mat. 15:8-9).  

(4) Tidak cukup bahwa apa yang kita katakan datang dari hati, 

itu juga harus datang dari hati yang tenang, dan bukan 

dari hati yang tiba-tiba panas atau penuh amarah. Sama 

seperti mulut tidak boleh terburu-buru, demikian pula hati 

tidak boleh tergesa-gesa. Kita tidak hanya harus berpikir, 

namun  juga berpikir dua kali, sebelum berbicara, saat  kita 

harus berbicara dari Tuhan  dalam berkhotbah, ataupun 

kepada Tuhan  dalam doa, dan tidak mengucapkan apa saja 

yang tidak pantas dan belum dicerna (1Kor. 14:15). 

5. Kita harus berhemat dalam berkata-kata di hadapan Tuhan . 

Yaitu, kita harus bersikap hormat dan hati-hati, tidak ber-

bicara kepada Tuhan  dengan lancang dan gegabah seperti kita 

berbicara satu sama lain, tidak mengatakan apa yang pertama 

kali terbersit dalam pikiran, dan tidak mengulangi sesuatu 

berkali-kali, seperti yang kita lakukan satu terhadap yang lain. 

Supaya apa yang kita katakan dapat dipahami dan diingat, 

dan dapat meninggalkan kesan. Jadi, saat  kita berbicara 

kepada Tuhan , kita harus ingat, 

(1) Bahwa antara Dia dan kita terbentang jarak yang tak ter-

hingga: Tuhan  ada di sorga, di mana Ia memerintah dalam 

Kitab Pengkhotbah 4:17, 5:1-2 

 101 

kemuliaan atas diri kita dan semua anak manusia, di mana 

Ia diiringi oleh kawanan malaikat kudus yang tak terbilang 

banyaknya, dan jauh ditinggikan mengatasi segala puji dan 

hormat. Kita ada di bumi, tumpuan takhta-Nya. Kita hina 

dan rendah, tidak seperti Tuhan , dan sama sekali tidak 

layak untuk menerima perkenanan apa saja dari-Nya atau 

mempunyai persekutuan apa saja dengan-Nya. Oleh sebab 

itu kita harus bersikap sangat khidmat, rendah hati, ber-

sungguh-sungguh, dan hormat dalam berbicara kepada-

Nya, seperti saat  kita berbicara kepada orang besar yang 

jauh lebih tinggi kedudukannya daripada kita. Dan, sebagai 

pertanda akan hal ini, biarlah perkataan kita sedikit, supaya 

perkataan itu terpilih dengan baik (Ayb. 9:14). Ini bukanlah 

mencela semua doa yang panjang-panjang. Seandainya doa-

doa yang panjang-panjang itu tidak baik, orang-orang Farisi 

tidak akan menggunakannya untuk berpura-pura. Kristus 

berdoa sepanjang malam, dan kita diperintahkan untuk 

bertekun dalam doa. Namun, ini maksudnya untuk men-

cela doa yang diucapkan dengan sembrono dan tidak hati-

hati, pengulangan yang bertele-tele (Mat. 6:7), mengulang 

doa Bapa kami dalam hitungan-hitungan tertentu. Marilah 

kita berbicara kepada Tuhan , dan tentang Dia, dalam kata-

kata-Nya sendiri, kata-kata yang diajarkan oleh Kitab Suci. 

Dan biarlah perkataan kita, perkataan yang kita buat sen-

diri, sedikit, sebab kalau tidak, sebab  tidak berbicara se-

suai aturan, kita salah berbicara.  

(2) Bahwa banyaknya kata-kata dalam ibadah kita akan mem-

buat ibadah kita menjadi korban orang-orang bodoh (ay. 2). 

Mimpi-mimpi yang kacau, menakutkan dan membingung-

kan, yang mengganggu tidur, yaitu  bukti dari kesibukan 

pekerjaan yang memenuhi kepala kita. Demikian pula kata-

kata yang banyak dan yang diucapkan secara tergesa-gesa, 

yang dipakai dalam doa, yaitu  bukti dari kebodohan yang 

bertakhta di dalam hati, sebab  kita tidak tahu dan tidak 

mengenal Tuhan  dan diri kita sendiri. Itu juga merupakan 

bukti dari pikiran-pikiran yang rendah tentang Tuhan , dan 

pikiran-pikiran yang sembarangan tentang jiwa kita sen-

diri. Bahkan dalam percakapan biasa, orang bodoh diketa-

hui oleh banyaknya perkataan (KJV). Orang-orang yang tahu 


 102

paling sedikit berbicara paling banyak (10:2), terutama 

dalam ibadah. Dalam ibadah, tidak diragukan lagi, siapa 

bodoh bicaranya, akan jatuh (Ams. 10:8, 10), akan jatuh 

dan tidak diterima. Memang bodoh orang-orang yang ber-

pikir bahwa sebab  banyaknya kata-kata, doa mereka akan 

dikabulkan.  

Kewajiban Nazar 

(5:3-7) 

3 Kalau engkau bernazar kepada Tuhan , janganlah menunda-nunda menepati-

nya, sebab  Ia tidak senang kepada orang-orang bodoh. Tepatilah nazarmu.  

4 Lebih baik engkau tidak bernazar dari pada bernazar namun  tidak menepati-

nya. 5 Janganlah mulutmu membawa engkau ke dalam dosa, dan janganlah 

berkata di hadapan utusan Tuhan  bahwa engkau khilaf. Apakah perlu Tuhan  

menjadi murka atas ucapan-ucapanmu dan merusakkan pekerjaan tangan-

mu? 6 sebab  sebagaimana mimpi banyak, demikian juga perkataan sia-sia 

banyak. namun  takutlah akan Tuhan . 7 Kalau engkau melihat dalam suatu 

daerah orang miskin ditindas dan hukum serta keadilan diperkosa, jangan-

lah heran akan perkara itu, sebab  pejabat tinggi yang satu mengawasi yang 

lain, begitu pula pejabat-pejabat yang lebih tinggi mengawasi mereka. 

Empat hal dinasihatkan kepada kita dalam ayat-ayat ini: 

I. Untuk bersikap penuh tanggung jawab dalam menepati nazar-

nazar kita. 

1. Nazar yaitu  pengikat jiwa (Bil. 30:2), yang melaluinya kita 

dengan bersungguh-sungguh mewajibkan diri kita sendiri, 

bukan hanya, secara umum, melakukan apa yang untuknya 

kita sudah terikat, namun  juga, dalam beberapa contoh terten-

tu, melakukan apa yang untuknya kita tidak berada di bawah 

kewajiban apa pun sebelumnya, apakah itu menyangkut 

menghormati Tuhan  atau melayani kepentingan-kepentingan 

kerajaan-Nya di antara manusia. saat , dalam merasakan 

suatu penderitaan (Mzm. 66:14), atau dalam mengejar suatu 

rahmat (1Sam. 1:11), engkau mengucapkan nazar seperti ini 

kepada Tuhan , ketahuilah bahwa engkau telah membuka mulut-

mu kepada TUHAN, dan tidak dapat engkau mundur. Oleh 

sebab  itu,  

(1) Tepatilah nazar itu. Laksanakanlah apa yang sudah engkau 

janjikan. Bawalah kepada Tuhan  apa yang sudah engkau 

abdikan dan persembahkan untuk-Nya: Tepatilah nazarmu.

Kitab Pengkhotbah 5:3-7 

 103 

 Tepatilah itu sepenuhnya dan jangan menahan sebagian 

dari hasil penjualan itu. Tepatilah sesuai jenisnya, dan 

jangan menggantinya atau menukarnya, demikianlah me-

nurut hukumnya (Im. 27:10). Adakah kita bernazar untuk 

memberikan diri kita sendiri kepada Tuhan? Maka marilah 

kita menepati perkataan kita, bertindak untuk melayani-

Nya, demi kemuliaan-Nya, dan tidak secara durhaka meng-

asingkan diri kita sendiri.  

(2) Janganlah menunda-nunda menepatinya. Jika tanganmu 

sanggup untuk menepatinya hari ini, janganlah meninggal-

kannya sampai besok. Janganlah memohon sehari, atau 

menundanya untuk waktu yang lebih nyaman. Dengan 

menunda-nunda, rasa untuk memenuhi kewajiban menjadi 

kendor dan dingin, dan terancam akan hilang. Dengan ber-

buat begitu, kita menyingkapkan keengganan dan kelam-

banan kita untuk melaksanakan nazar kita. Dan qui non 

est hodie cras minus aptus erit – orang yang tidak condong 

hari ini akan enggan besok. Semakin lama ditunda, sema-

kin sulit kita mendorong diri kita sendiri untuk melaku-

kannya. Kematian mungkin tidak hanya akan mencegahmu 

untuk menepati nazar, namun  juga akan membawamu ke 

penghakiman, di bawah kesalahan melanggar nazar (Mzm. 

76:12). 

2. Dua alasan diberikan di sini mengapa kita harus menepati 

nazar kita dengan segera dan senang hati:  

(1) sebab  kalau tidak, kita menghina Tuhan . Kita memper-

mainkan Dia seperti orang bodoh, seolah-olah kita bermak-

sud untuk berbuat curang terhadap-Nya. Dan Tuhan  tidak 

senang kepada orang-orang bodoh. Yang tersirat lebih ba-

nyak daripada yang diungkapkan. Artinya yaitu , Ia sangat 

membenci orang-orang bodoh seperti itu dan tindakan-

tindakan bodoh seperti itu. Adakah Dia memerlukan orang-

orang bodoh? Tidak. Jangan sesat! Tuhan  tidak membiarkan 

diri-Nya dipermainkan, namun  dengan pasti dan keras Ia 

akan mengadakan perhitungan dengan orang-orang yang 

berubah-ubah sikap seperti itu terhadap-Nya.  

(2) sebab  kalau tidak, kita menjahati diri kita sendiri, kita 

kehilangan manfaat dari bernazar, bahkan, kita menda-


 104

tangkan hukuman sebab  sudah melanggarnya. Jadi, akan 

jauh lebih baik tidak bernazar, lebih aman dan lebih meng-

untungkan kita, daripada bernazar namun  tidak menepati-

nya. Tidak bernazar hanyalah suatu kelalaian, namun  ber-

nazar dan tidak menepati mengakibatkan perbuatan salah, 

yaitu pengkhianatan dan sumpah palsu. Itu sama saja 

dengan mendustai Tuhan  (Kis. 5:4). 

II. Untuk berhati-hati dalam bernazar. Ini penting supaya kita ber-

sikap penuh tanggung jawab dalam melaksanakannya (ay. 5).  

1. Kita harus berjaga-jaga supaya kita tidak pernah bernazar apa 

saja yang berdosa, atau yang dapat menimbulkan dosa, sebab 

nazar seperti itu dibuat dengan tidak baik dan harus dilang-

gar. Janganlah mulutmu, dengan nazar seperti itu, membawa 

engkau ke dalam dosa, seperti janji Herodes yang tergesa-gesa 

menyebabkan dia harus memenggal kepala Yohanes Pembap-

tis.  

2. Kita tidak boleh bernazar apa yang, sebab  kelemahan daging, 

memberi kita alasan untuk takut bahwa kita tidak akan mam-

pu melaksanakannya nanti, seperti orang-orang yang bernazar 

untuk hidup selibat, namun tidak tahu bagaimana menjaga 

nazar mereka. Dengan berbuat begitu,  

(1) Mereka mempermalukan diri mereka sendiri. Sebab mereka 

terpaksa berkata di hadapan utusan Tuhan  bahwa mereka 

khilaf, bahwa mereka tidak bermaksud ataupun tidak 

mempertimbangkan apa yang mereka katakan. Dan, apa-

pun alasan mereka, kedua-duanya tetap buruk. “jika  

engkau sudah bernazar, janganlah berusaha untuk meng-

hindarinya, atau mencari-cari alasan untuk membersihkan 

dirimu dari kewajibannya. Jangan katakan di hadapan 

imam, yang disebut malaikat atau utusan TUHAN semesta 

alam, bahwa, sesudah  dipikir dua kali, engkau berubah 

pikiran, dan ingin dibebaskan dari kewajiban nazarmu. Se-

baliknya, tetaplah berpegang pada nazarmu itu, dan jangan 

mencari lobang untuk merangkak keluar dari situ.” Sebagi-

an orang memahami malaikat sebagai malaikat pelindung 

yang mereka anggap menyertai setiap orang dan memeriksa 

apa yang dia lakukan. Sebagian yang lain memahaminya 

Kitab Pengkhotbah 5:3-7 

 105 

sebagai Kristus, Malaikat perjanjian, yang hadir bersama 

umat-Nya dalam kumpulan-kumpulan ibadah mereka, 

yang menyelidiki hati, dan tidak bisa diperdaya. Janganlah 

engkau mendurhaka kepada-Nya, sebab nama Tuhan  ada di 

dalam Dia, dan Ia digambarkan sebagai pribadi yang tegas 

dan pencemburu (Kel. 23:20-21).  

(2) Mereka menghadapkan diri mereka sendiri pada murka 

Tuhan , sebab Ia murka atas ucapan-ucapan orang yang mem-

perdaya Dia seperti itu dengan mulut mereka, dan mem-

bohongi Dia dengan lidah mereka. Ia tidak senang dengan 

kepura-puraan mereka, dan merusakkan pekerjaan tangan 

mereka, yaitu, menghancurkan usaha-usaha mereka, dan 

menggagalkan tujuan-tujuan yang, saat  mereka mem-

buat nazar ini, keberhasilannya mereka mohonkan kepada 

Tuhan . Jika kita dengan khianat membatalkan perkataan 

mulut kita, dan mencabut nazar kita, maka Tuhan  dengan 

adil akan menggagalkan rencana-rencana kita, dan ber-

jalan bertentangan, dalam segala hal, dengan orang-orang 

yang berjalan bertentangan dengan-Nya seperti itu, dalam 

segala hal. Suatu jerat bagi manusia, sesudah bernazar, 

baru menimbang-nimbang. 

III. Untuk menjaga rasa takut akan Tuhan  (ay. 6). Banyak orang, pada 

zaman dulu, mengaku-ngaku mengetahui pikiran Tuhan  melalui 

mimpi-mimpi, dan mereka begitu penuh dengan mimpi-mimpi itu 

sehingga mereka hampir membuat umat Tuhan  melupakan nama-

Nya oleh mimpi-mimpi mereka (Yer. 23:25-26). Dan banyak orang 

sekarang membingungkan diri mereka sendiri dengan mimpi-

mimpi yang menakutkan atau janggal, atau dengan mimpi-mimpi 

orang lain, seolah-olah mimpi-mimpi itu menandakan bencana ini 

atau itu. Orang-orang yang mengindahkan mimpi akan mendapat 

sangat banyak mimpi untuk memenuhi kepala mereka. Jadi yang 

benar yaitu , dalam semua mimpi itu ada  berbagai macam 

kesia-siaan, seperti yang ada  dalam banyaknya kata-kata, 

dan semakin banyak lagi jika kita mengindahkannya. “Mimpi-

mimpi itu hanyalah seperti obrolan yang tidak karuan dari anak-

anak kecil dan orang-orang bodoh, dan sebab  itu janganlah 

pernah mengindahkannya. Lupakan itu semua. Bukannya meng-

ulangi mimpi-mimpi itu, janganlah menekankannya, janganlah 


 106

ambil kesimpulan-kesimpulan yang menggelisahkan darinya, 

namun  takutlah akan Tuhan . Arahkanlah mata kepada kekuasaan-

Nya yang berdaulat, tempatkanlah Dia di hadapanmu, jagalah 

supaya dirimu tetap berada dalam kasih-Nya, dan takutlah untuk 

menyakiti hati-Nya, maka engkau tidak akan mengganggu dirimu 

sendiri dengan mimpi-mimpi yang bodoh.” Cara untuk tidak gen-

tar terhadap tanda-tanda di langit, atau takut terhadap berhala 

bangsa-bangsa yaitu  dengan takut kepada Tuhan  sebagai Raja 

bangsa-bangsa (Yer. 10:2, 5, 7). 

IV. Dengan takut akan Tuhan , kita tidak akan takut terhadap manusia 

(ay. 7). “Tempatkanlah Tuhan  di hadapanmu, maka, jika engkau 

melihat dalam suatu daerah orang miskin ditindas, engkau tidak 

akan heran akan perkara itu. Engkau juga tidak akan memper-

salahkan penyelenggaraan ilahi, atau memandang buruk lembaga 

kehakiman, saat  engkau melihat tujuan-tujuannya diseleweng-

kan seperti itu, atau memandang buruk agama, saat  engkau 

melihat bahwa agama tidak akan melindungi orang untuk tidak 

dijahati.” Amatilah di sini, 

1. Pemandangan yang memilukan di atas bumi, dan yang begitu 

rupa hingga tidak bisa tidak pasti akan mengusik setiap orang 

baik yang mempunyai rasa keadilan dan kepedulian terhadap 

umat manusia. Yaitu, saat  mereka melihat orang miskin di-

tindas sebab  miskin dan tidak bisa membela diri, dan hukum 

serta keadilan diperkosa dalam suatu daerah, penindasan 

dilakukan dengan dalih hukum dan didukung oleh kekuasaan. 

Suatu kerajaan bisa saja secara umum memiliki pemerintahan 

yang baik, namun bisa saja terjadi bahwa suatu daerah terten-

tu diserahkan pemerintahannya kepada orang jahat, yang oleh 

penyelewengannya keadilan diselewengkan. Begitu susahnya 

raja-raja yang paling bijak sekalipun untuk yakin dengan 

bawahan mereka saat  memberikan kedudukan kepada me-

reka. Jadi orang baik itu hanya bisa memperbaiki penderitaan 

saat  penderitaan itu muncul. 

2. Pemandangan yang menghibur di sorga. saat  segala sesuatu 

terlihat begitu suram, kita dapat menyenangkan diri kita sen-

diri dengan hal ini,  

Kitab Pengkhotbah 5:3-7 

 107 

(1) Bahwa, meskipun para penindas ada di tempat tinggi, Tuhan  

ada di atas mereka, dan tepat di tempat di mana mereka 

bertindak angkuh (Kel. 18:11). Tuhan  lebih tinggi dari pada 

makhluk-makhluk ciptaan yang tertinggi, daripada raja-

raja yang tertinggi, daripada raja yang naik tinggi melebihi 

Agag (Bil. 24:7), daripara malaikat-malaikat tertinggi, dari-

pada takhta dan kekuasaan dari dunia atas. Tuhan  yaitu  

yang Mahatinggi atas seluruh bumi, dan keagungan-Nya 

mengatasi langit. Di hadapan-Nya raja-raja hanyalah ca-

cing, yang terang benderang namun hanya ulat kelap-kelip 

saja.  

(2) Bahwa, meskipun para penindas aman-aman saja, namun 

Tuhan  mengarahkan pandangan-Nya kepada mereka, mem-

perhatikan, dan akan memperhitungkan semua tindakan 

mereka yang memperkosa keadilan. Ia mengawasi, tidak 

hanya melihatnya, namun  juga mengamatinya, dan men-

catatnya, untuk dilihat kembali. Ia mengawasi jalan-jalan 

mereka. Lihat Ayub 24:23.  

(3) Bahwa ada dunia para malaikat, sebab ada yang lebih ting-

gi dari pada mereka, yang dipekerjakan oleh keadilan ilahi 

untuk melindungi orang-orang yang dijahati dan menghu-

kum orang-orang yang berbuat jahat. Sanherib menghargai 

tinggi dirinya sebab  tentaranya yang kuat, namun  satu ma-

laikat terbukti terlalu tangguh baginya dan semua pasuk-

annya itu. Sebagian orang memahami yang lebih tinggi dari 

pada mereka (KJV) sebagai dewan agung dari bangsa itu, 

pejabat-pejabat tinggi yang kepada mereka wakil-wakil raja 

harus memberi pertanggungan jawab (Dan. 6:3), dewan ma-

jelis yang menerima keluhan-keluhan terhadap para guber-

nur, pengadilan-pengadilan di atas yang kepadanya peng-

adilan-pengadilan di bawah mengajukan banding, yang 

penting bagi pemerintahan yang baik dari sebuah kerajaan. 

Biarlah menjadi pengekang bagi para penindas bahwa ada 

kemungkinan atasan-atasan mereka di bumi akan memin-

ta pertanggungjawaban dari mereka. namun  bagaimanapun 

juga, Tuhan  yang Mahatinggi di sorga akan memintanya. 


 108

Sia-sianya Kekayaan 

(5:8-16) 

8 Suatu keuntungan bagi negara dalam keadaan demikian ialah, kalau raja-

nya dihormati di daerah itu. 9 Siapa mencintai uang tidak akan puas dengan 

uang, dan siapa mencintai kekayaan tidak akan puas dengan penghasilan-

nya. Ini pun sia-sia. 10 Dengan bertambahnya harta, bertambah pula orang-

orang yang menghabiskannya. Dan apakah keuntungan pemiliknya selain 

dari pada melihatnya? 11 Enak tidurnya orang yang bekerja, baik ia makan 

sedikit maupun banyak; namun  kekenyangan orang kaya sekali-kali tidak 

membiarkan dia tidur. 12 Ada kemalangan yang menyedihkan kulihat di ba-

wah matahari: kekayaan yang disimpan oleh pemiliknya menjadi kecelakaan-

nya sendiri. 13 Dan kekayaan itu binasa oleh kemalangan, sehingga tak ada 

suatu pun padanya untuk anaknya. 14 Sebagaimana ia keluar dari kandung-

an ibunya, demikian juga ia akan pergi, telanjang seperti saat  ia datang, 

dan tak diperolehnya dari jerih payahnya suatu pun yang dapat dibawa da-

lam tangannya. 15 Ini pun kemalangan yang menyedihkan. Sebagaimana ia 

datang, demikian pun ia akan pergi. Dan apakah keuntungan orang tadi 

yang telah berlelah-lelah menjaring angin? 16 Malah sepanjang umurnya ia 

berada dalam kegelapan dan kesedihan, mengalami banyak kesusahan, pen-

deritaan dan kekesalan. 

Salomo sudah menunjukkan sia-sianya kesenangan, kegembiraan, 

dan pekerjaan-pekerjaan yang baik, kehormatan, kekuasaan, dan 

martabat rajawi. Dan ada banyak orang duniawi yang tamak yang 

akan setuju dengannya, dan berbicara dengan merendahkan tentang 

hal-hal ini seperti dia. namun  uang, menurutnya, yaitu  hal yang 

penting, dan kalau saja ia dapat cukup memilikinya, ia akan bahagia. 

Ini yaitu  kesalahan yang diserang Salomo, dan berusaha dilurus-

kannya, dalam ayat-ayat ini. Ia menunjukkan bahwa ada banyak 

kesia-siaan dalam kekayaan yang besar, dan keinginan mata terha-

dapnya, sama seperti ada banyak kesia-siaan dalam keinginan daging 

dan keangkuhan hidup. Dan orang tidak dapat membuat dirinya ber-

bahagia dengan menimbun harta, sama seperti dengan membelanja-

kannya. 

I. Ia mengakui bahwa hasil-hasil bumi, untuk menopang dan meng-

hibur hidup manusia, yaitu  hal-hal yang berharga (ay. 8, KJV): 

Keuntungan dari bumi yaitu  untuk semua. Tubuh manusia, kare-

na terbuat dari tanah, mendapat pemeliharaannya dari situ (Ayb. 

28:5). Bahwa hal itu demikian, dan bahwa tanah yang gundul 

tidak dijadikan tempat tinggalnya (seperti yang pantas didapat-

kannya sebab  memberontak, Mzm. 68:7), merupakan contoh dari 

kemurahan Tuhan  yang besar terhadapnya. Ada keuntungan yang 

harus didapatkan dari bumi, dan keuntungan itu untuk semua.

Kitab Pengkhotbah 5:8-16 

 109 

 Semua membutuhkannya. Keuntungan itu ditetapkan untuk se-

mua. Ada cukup banyak untuk semua. Keuntungan itu bukan 

hanya untuk semua orang, melainkan juga untuk semua makh-

luk ciptaan yang lebih rendah. Tanah yang sama yang menum-

buhkan rumput bagi hewan, juga menumbuhkan tumbuh-tumbuh-

an untuk diusahakan manusia. Israel mendapat roti dari langit, roti 

malaikat, namun  (yang merupakan sebuah permenungan yang 

merendahkan hati) bumi yaitu  lumbung kita, dan binatang-

binatang yaitu  sesama kawan kita. Raja sendiri dipenuhi kebu-

tuhannya dari ladang, dan tidak akan terpenuhi kebutuhannya, 

akan menderita kelaparan, tanpa hasil-hasilnya. Hal ini memberi-

kan kehormatan yang besar kepada panggilan sebagai petani, 

bahwa pekerjaan itu paling penting dari semuanya untuk meno-

pang hidup manusia. Banyak orang mendapat manfaat darinya. 

Orang-orang perkasa tidak bisa hidup tanpanya. Keuntungan itu 

untuk semua. Keuntungan itu untuk raja sendiri. Orang-orang 

yang memiliki hasil-hasil bumi dengan berlimpah harus ingat 

bahwa hasil-hasil bumi itu yaitu  untuk semua. Oleh sebab  itu, 

mereka harus memandang diri mereka hanya sebagai pengurus 

dari kelimpahannya, yang darinya mereka harus memberikan 

kepada orang-orang yang membutuhkan. Makanan yang enak dan 

pakaian yang halus hanya untuk sebagian orang, namun  hasil bumi 

yaitu  untuk semua. Dan bahkan orang-orang yang mengisap 

kelimpahan laut (Ul. 33:19) tidak dapat hidup tanpa hasil bumi, 

sementara orang-orang yang mampu mendapatkan hasil bumi 

bisa memandang rendah kelimpahan laut. 

II. Salomo berpendapat bahwa kekayaan-kekayaan yang lebih dari-

pada ini, yang untuk ditimbun, bukan untuk digunakan, yaitu  

hal-hal yang sia-sia, dan tidak akan membuat orang tenang atau 

bahagia. Apa yang sudah dikatakan Juruselamat kita (Luk. 12:15), 

bahwa walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya 

tidaklah tergantung dari pada kekayaannya itu, yaitu  apa yang 

berusaha dibuktikan Salomo di sini dengan berbagai alasan. 

1. Semakin banyak orang memiliki, semakin banyak lagi yang 

ingin mereka miliki (ay. 9). Orang bisa saja hanya mempunyai 

sedikit perak dan puas dengannya, bisa tahu bahwa apa yang 

dimilikinya sudah cukup, dan tidak menginginkan apa-apa 

lagi. Ibadah itu kalau disertai rasa cukup, memberi keuntungan 


 110

besar. Yang kupunya sudah cukup, kata Yakub. Aku telah me-

nerima semua, malahan lebih dari pada itu, kata Rasul Paulus. 

namun ,  

(1) Orang yang mencintai uang, dan yang hatinya terpatri 

padanya, tidak akan pernah merasa cukup, namun  menga-

ngakan mulutnya seperti dunia orang mati (Hab. 2:5), me-

nyerobot rumah demi rumah dan mencekau ladang demi 

ladang (Yes. 5:8), dan, seperti anak wanita  si lintah, 

terus saja berteriak, untukku, untukku. Keinginan-keingin-

an alami akan dipuaskan jika  yang diinginkan sudah 

diperoleh, namun  keinginan-keinginan yang bobrok tidak da-

pat dipuaskan. Alam puas dengan sedikit, anugerah dengan 

lebih sedikit lagi, namun  hawa nafsu tidak puas dengan apa 

pun.  

(2) Orang yang mempunyai perak dengan berlimpah, dan terus 

bertambah untuknya dengan begitu cepat, tidak akan men-

dapati bahwa itu memberikan kepuasan yang nyata bagi 

jiwanya. Ada keinginan-keinginan badani yang tidak akan 

terpuaskan oleh perak itu sendiri. Jika orang lapar, perak 

batangan tidak akan memuaskan rasa laparnya sama se-

perti gumpalan tanah liat. Terlebih lagi kelimpahan dunia-

wi tidak akan memuaskan keinginan-keinginan rohani. 

Orang yang mempunyai begitu banyak perak masih meng-

inginkan lebih banyak, bukan hanya perak, melainkan juga 

sesuatu yang lain, sesuatu yang sifatnya lain. Orang-orang 

yang membuat diri mereka membanting tulang bagi dunia 

menghabiskan jerih payah mereka untuk sesuatu yang 

tidak mengenyangkan (Yes. 55:2), yang memuaskan perut, 

namun  tidak akan pernah memuaskan jiwa (Yeh. 7:19). 

2. Semakin banyak orang memiliki, semakin banyak kesempatan 

yang mereka miliki untuk mendapatkannya, dan semakin ba-

nyak yang harus mereka lakukan dengannya, sehingga barang 

itu meluas dan juga memanjang: Dengan bertambahnya harta, 

bertambah pula orang-orang yang menghabiskannya (ay. 10). 

Semakin banyak makanan, semakin banyak mulut. Apakah 

harta benda itu berkembang? Dan bukankah keluarga itu 

pada saat yang sama bertambah banyak dan anak-anak tum-

buh besar untuk membutuhkan lebih banyak lagi? Semakin 

Kitab Pengkhotbah 5:8-16 

 111 

banyak orang memiliki, semakin bagus rumah yang harus me-

reka pelihara, semakin banyak pembantu yang harus mereka 

pekerjakan, semakin banyak tamu yang harus mereka jamu, 

semakin banyak yang harus mereka berikan kepada orang-

orang miskin, dan semakin banyak orang yang akan bergan-

tung pada mereka. Sebab di mana ada bangkai, di situ burung 

nazar berkerumun. Apa yang kita miliki lebih daripada makan-

an dan pakaian, itu kita miliki untuk orang lain. Lalu apakah 

keuntungan pemiliknya sendiri, selain mendapat kesenangan 

dengan melihatnya dengan matanya? Dan itu kesenangan 

yang buruk. Dugaan yang kosong, itu sajalah yang membeda-

kan pemilik dan orang-orang yang menikmati. Pemilik melihat 

suatu barang sebagai miliknya sendiri, sementara orang-orang 

di sekelilingnya menikmati keuntungan yang nyata dari barang 

itu sama seperti dia. Hanya saja ia mendapat kepuasan dengan 

berbuat baik kepada orang lain, yang memang merupakan 

kepuasan bagi orang yang percaya pada apa yang dikatakan 

Kristus, bahwa lebih berbahagia memberi dari pada menerima. 

namun  bagi orang yang tamak, yang memandang bahwa segala 

sesuatu yang dihabiskan selain untuk dirinya sendiri merupa-

kan kerugian, ia akan terus merasa kesal melihat orang lain 

makan dari penghasilannya. 

3. Semakin banyak orang memiliki, semakin banyak perhatian 

yang harus mereka berikan untuknya, yang merisaukan mere-

ka dan mengganggu istirahat mereka (ay. 11). Tidur yang me-

nyegarkan yaitu  penopang dan penghiburan bagi hidup ini 

sama seperti makanan. Nah,  

(1) Orang-orang yang bekerja keras dan hanya memiliki apa 

yang untuknya mereka bekerja, mereka itu biasanya tidur 

paling nyenyak: Enak tidurnya orang yang bekerja, bukan 

hanya sebab  ia sudah membuat dirinya lelah dengan pe-

kerjaannya, yang membuat tidurnya lebih dinantikan dan 

membuatnya tidur nyenyak, melainkan juga sebab  hanya 

sedikit yang harus dipikirkannya, dan dengan begitu yang 

akan mengganggu tidurnya. Tidurnya enak, meskipun ia 

hanya makan sedikit dan hanya mempunyai sedikit untuk 

dimakan, sebab kelelahannya melelapkannya. Dan, meski-

pun ia makan banyak, namun ia bisa tidur nyenyak, sebab 

pekerjaannya membuat pencernaannya bekerja dengan 


 112

baik. Enak tidur orang Kristen yang tekun, dan tidur pan-

jangnya. Sebab, sesudah  menghabiskan dirinya dan waktu-

nya untuk melayani Tuhan , ia dengan senang hati bisa 

kembali kepada Tuhan  dan beristirahat di dalam Dia sebagai 

tempat peristirahatannya.  

(2) Orang-orang yang memiliki segala hal yang lain sering kali 

gagal untuk mendapatkan tidur malam yang nyenyak. 

Entah mata mereka tetap terjaga atau tidur mereka gelisah 

dan tidak menyegarkan mereka. Dan kelimpahan mereka-

lah yang membangunkan tidur mereka dan mengganggu-

nya. Baik itu kelimpahan kekhawatiran mereka, seperti 

orang kaya yang, saat  tanahnya memberikan hasil yang 

berlimpah, berkata dalam hatinya, apakah yang harus aku 

perbuat? (Luk. 12:17) maupun kelimpahan dari apa yang 

mereka makan dan minum, yang terlalu membebani jan-

tung, membuat mereka sakit, dan dengan demikian meng-

halangi istirahat mereka. Ahasyweros, sesudah  pesta ang-

gur, tidak bisa tidur. Dan mungkin kesadaran akan kesa-

lahan, baik dalam memperoleh maupun menggunakan apa 

yang mereka miliki, mengganggu tidur mereka sama seperti 

hal-hal lain. namun  Tuhan  memberikannya kepada yang di-

cintai-Nya pada waktu tidur. 

4. Semakin banyak orang memiliki, semakin besar bahaya yang 

mengancam mereka baik dalam berbuat kejahatan maupun 

dalam ditimpa kejahatan (ay. 12): Ada kemalangan yang me-

nyedihkan, yang sudah dilihat Salomo sendiri di bawah ma-

tahari, di dunia bawah ini, panggung dosa dan celaka ini. 

Kekayaan yang disimpan oleh pemiliknya, yang sudah tekun 

menimbunnya dan menjaganya supaya tetap aman, menjadi 

kecelakaannya sendiri. Mereka akan lebih baik tanpanya.  

(1) Kekayaan mereka mencelakai mereka, membuat mereka 

sombong, merasa aman, dan mencintai dunia, menjauhkan 

hati mereka dari Tuhan  dan kewajiban, dan membuat sangat 

sulit bagi mereka untuk masuk ke dalam Kerajaan Sorga, 

bahkan, membantu membuatnya tertutup bagi mereka.  

(2) Mereka membuat celaka dengan kekayaan mereka, yang 

tidak hanya membuat mereka mampu untuk memuaskan 

hawa nafsu mereka sendiri dan hidup bermewah-mewah, 

Kitab Pengkhotbah 5:8-16 

 113 

namun  juga memberi mereka kesempatan untuk menindas 

orang lain dan memperlakukan mereka dengan keras. 

(3) Sering kali mereka memelihara celaka oleh kekayaan mere-

ka. Mereka tidak akan menjadi sasaran iri hati, tidak akan 

dirampok, seandainya mereka tidak kaya. Binatang yang 

gemuklah yang pertama-tama dibawa ke tempat penyembeli-

han. Orang yang sangat kaya seperti yang dapat diamati, 

kadang-kadang dikecualikan dari pengampunan umum, 

baik menyangkut hidup maupun harta kekayaan, hanya 

sebab  harta bendanya yang luas dan bertambah terlalu ba-

nyak. Demikianlah kekayaan sering kali mengambil nyawa 

orang yang mempunyainya (Ams. 1:19). 

5. Semakin banyak orang memiliki, semakin banyak yang akan 

terhilang dari mereka, dan mungkin mereka akan kehilangan 

semuanya (ay. 13). Kekayaan-kekayaan yang sudah disimpan 

dengan banyak jerih payah, dan dijaga dengan banyak per-

hatian, binasa oleh kemalangan, oleh jerih payah yang sama 

yang mereka lakukan untuk mengamankan dan memper-

banyaknya. Banyak orang sudah menghancurkan harta benda 

mereka sebab  mereka terlalu bernafsu untuk menambah dan 

memperbanyaknya, dan kehilangan semua sebab  berusaha 

meraup semua. Kekayaan yaitu  hal yang binasa, dan semua 

kekhawatiran kita terhadapnya tidak akan menjadikannya 

tidak binasa. Kekayaan tiba-tiba bersayap, lalu terbang ke ang-

kasa. Orang yang tadinya berpikir bahwa ia akan menjadikan 

anaknya sebagai seorang yang terhormat, justru meninggal-

kannya sebagai pengemis. Ia mempunyai seorang anak, dan 

membesarkannya dalam harta benda yang dimilikinya. Na-

mun, saat  ia mati, ia meninggalkan harta bendanya di 

bawah utang yang banyak, sebanyak harta benda itu, sehingga 

tak ada suatu pun padanya untuk anaknya. Ini biasa terjadi. 

Harta benda yang tampak megah tidaklah seperti kelihatan-

nya, namun  menipu ahli waris. 

6.  Berapa pun banyaknya yang dimiliki orang saat  mati, mere-

ka harus meninggalkan semuanya itu (ay. 14-15): Sebagai-

mana ia keluar dari kandungan ibunya, demikian juga ia akan 

pergi, telanjang. Hanya teman-temannya, saat  ia terhadap-

nya, membantu membungkusnya dengan kain lampin, demi-

kian pula, saat  ia meninggalkan dunia, mereka membantu 


 114

menutupinya dengan kain kafan, dan itu saja (lihat Ayb.1:21; 

Mzm. 49:18). Hal ini didesakkan sebagai alasan mengapa kita 

harus puas dengan hal-hal yang kita miliki (1Tim. 6:7). 

Berkenaan dengan tubuh, kita harus pergi sama seperti kita 

datang. Debu akan kembali ke tanah seperti sedia kala. namun  

sungguh menyedihkan keadaan kita, jika jiwa kembali sama 

seperti ia datang. Sebab kita dilahirkan dalam dosa, dan jika 

kita mati dalam dosa, tidak dikuduskan, maka lebih baik kita 

tidak pernah dilahirkan. Dan itulah yang tampak menjadi 

keadaan orang duniawi yang dibicarakan di sini, sebab dikata-

kan, sebagaimana ia datang, demikian pun ia akan pergi, tetap 

berdosa, tetap sengsara, dan bahkan jauh lebih lagi. Ini yaitu  

kemalangan yang menyedihkan. Salomo menganggap demikian 

orang yang hatinya menempel kepada dunia, bahwa tak diper-

olehnya dari jerih payahnya suatu pun yang dapat dibawa 

dalam tangannya. Kekayaan-kekayaannya tidak akan pergi 

bersamanya ke dunia lain atau memberinya manfaat apa pun 

di sana. Jika kita berjerih payah dalam agama, maka anugerah 

dan penghiburan yang kita dapatkan dari pekerjaan itu bisa 

kita bawa dalam hati kita, dan itu akan sampai pada keke-

kalan. Itulah makanan yang akan bertahan. namun  jika kita 

bekerja hanya untuk dunia, untuk memenuhi tangan kita 

dengannya, maka kita tidak bisa membawa itu bersama kita. 

Kita lahir dengan tangan yang mengepal, namun  kita mati 

dengan tangan yang terentang, melepaskan apa yang kita 

pegang erat-erat. Dengan begitu, secara keseluruhan, kita da-

pat bertanya dengan baik, apakah keuntungan orang tadi yang 

telah berlelah-lelah menjaring angin? Perhatikanlah, orang-

orang yang bekerja untuk dunia bekerja untuk angin, sebab 

angin lebih mempunyai suara daripada wujud yang nyata, 

tidak pasti, dan selalu berpindah-pindah, tidak memuaskan, 

dan sering kali mencelakakan. Angin tidak bisa kita pegang 

erat, dan, jika kita mengambilnya sebagai bagian kita, tidak 

akan dapat memberi kita makan, itulah angin (Hos. 12:2). 

Orang akan melihat bahwa mereka sudah berlelah-lelah men-

jaring angin saat  pada kematian mereka mendapati keun-

tungan dari pekerjaan mereka lenyap semuanya, lenyap seper-

ti angin, tanpa mereka tahu ke mana. 

Kitab Pengkhotbah 5:8-16 

 115 

7. Orang-orang yang memiliki banyak hal, jika hati mereka ter-

patri padanya, tidak saja mengalami kematian yang tidak 

menghibur, namun  juga menjalani hidup yang tidak menghibur 

(ay. 16). Orang duniawi yang tamak ini, yang begitu condong 

untuk memperbanyak harta benda, sepanjang umurnya ber-

ada dalam kegelapan dan kesedihan, mengalami banyak kesu-

sahan, penderitaan dan kekesalan. Ia bukan saja tidak mera-

sakan kesenangan dari harta bendanya, atau tidak dapat me-

nikmatinya sendiri, sebab ia makan roti yang diperoleh dengan 

susah payah (Mzm. 127:2), namun  juga ia sangat kesal melihat 

orang lain makan darinya. Pengeluaran-pengeluaran yang di-

belanjakannya membuatnya sakit, membuatnya jengkel, dan 

ia tampak seolah-olah marah bahwa dirinya sendiri dan orang-

orang di sekitarnya tidak dapat hidup tanpa makanan. Sewak-

tu kita membaca kalimat terakhir, tersirat bagaimana orang 

duniawi yang tamak ini tidak dapat menanggung dengan baik 

bencana-bencana hidup yang biasa dan tak terhindarkan. 

saat  ia sehat, ia makan dalam kegelapan (KJV), selalu dihan-

tui rasa cemas dan takut akan apa yang dimilikinya. namun , 

kalau ia sakit, ia mengalami banyak kesusahan, penderitaan 

dan kekesalan (KJV: ia mengalami banyak kesusahan dan 

amarah, bersama dengan penyakitnya). Ia kesal sebab  penya-

kitnya menjauhkannya dari pekerjaannya dan menghalanginya 

untuk mengejar dunia, kesal bahwa semua kekayaannya tidak 

akan memberinya suatu ketenangan atau kelegaan. namun  ia 

terutama ngeri dengan kekhawatiran-kekhawatiran akan ke-

matian yang ditandakan oleh penyakit-penyakitnya, ngeri me-

ninggalkan dunia ini dan segala sesuatu di dalamnya, yang 

sudah disayanginya, dan berpindah ke dunia yang untuknya 

ia belum membuat persiapan. Ia tidak berdukacita menurut ke-

hendak Tuhan , dukacita yang menghasilkan pertobatan. namun  

ia mengalami kesusahan dan kekesalan, marah terhadap 

penyelenggaraan Tuhan , marah terhadap penyakitnya, marah 

terhadap semua orang di sekelilingnya, kesal dan mengomel 

sana-sini, yang melipatgandakan penderitaannya. Sementara 

orang baik mengurangi dan meringankan penderitaannya de-

ngan bersabar dan bersukacita dalam penyakitnya. 


 116

Kenikmatan yang Penuh Syukur 

(5:17-19) 

17 Lihatlah, yang kuanggap baik dan tepat ialah, kalau orang makan minum 

dan bersenang-senang dalam segala usaha yang dilakukan dengan jerih 

payah di bawah matahari selama hidup yang pendek, yang dikaruniakan 

Tuhan  kepadanya, sebab itulah bahagiannya. 18 Setiap orang yang dikaruniai 

Tuhan  kekayaan dan harta benda dan kuasa untuk menikmatinya, untuk 

menerima bahagiannya, dan untuk bersukacita dalam jerih payahnya – juga 

itu pun karunia Tuhan . 19 Tidak sering ia mengingat umurnya, sebab  Tuhan  

membiarkan dia sibuk dengan kesenangan hatinya. 

Salomo, berdasarkan sia-sianya kekayaan yang ditimbun, di sini me-

nyimpulkan bahwa jalan terbaik yang bisa kita tempuh yaitu  meng-

gunakan dengan baik apa yang kita miliki, melayani Tuhan  dengannya, 

berbuat baik dengannya, dan mengambil penghiburanya bagi diri kita 

sendiri dan keluarga kita. Hal ini sudah dia tekankan sebelumnya 

(2:24; 3:22). Amatilah,  

1. Apa yang di sini dianjurkan kepada kita, yaitu untuk tidak me-

manjakan nafsu kedagingan, atau mengambil kesenangan-kese-

nangan atau keuntungan-keuntungan pada saat ini sebagai 

bagian kita, namun  dengan tenang dan tanpa berlebihan meman-

faatkan apa yang ditetapkan oleh sang Pemelihara sebagai jalan 

yang menghibur bagi kita yang harus kita lewati di dunia ini. Kita 

tidak boleh membuat diri kita sendiri kelaparan oleh ketamakan, 

sebab  kita tidak mampu membeli makanan yang lezat-lezat, atau 

oleh semangat dalam mengejar kepentingan-kepentingan duniawi, 

atau oleh kecemasan dan kesedihan yang berlebihan. Sebaliknya, 

kita harus makan dan minum apa yang pantas bagi kita untuk 

menjaga tubuh kita dalam keadaan baik supaya jiwa kita dapat 

melayani Tuhan . Kita tidak boleh membunuh diri kita sendiri 

dengan pekerjaan, dan kemudian meninggalkan kepada orang lain 

untuk bersenang-senang menikmati kebaikannya. namun  kita 

harus mengambil penghiburan dari apa yang untuknya tangan 

kita sudah bekerja, dan itu bukan sesekali, melainkan selama 

hidup yang dikaruniakan Tuhan  kepada kita. Hidup yaitu  karunia 

Tuhan , dan Ia telah menetapkan bagi kita jumlah hari dalam hidup 

kita (Ayb. 14:5). Oleh sebab itu, hendaklah kita menghabiskan 

hari-hari itu dengan menjadi hamba kepada TUHAN, Tuhan  kita, 

dengan sukacita dan gembira hati. Kita tidak boleh melakukan 

pekerjaan yang merupakan panggilan kita sebagai pekerjaan yang 

membosankan, dan memperbudak diri kita sendiri untuknya.

Kitab Pengkhotbah 5:17-19 

 117 

 namun  kita harus bersukacita dalam jerih payah kita, tidak ber-

usaha menyambar lebih banyak pekerjaan daripada yang dapat 

kita lalui tanpa kebingungan dan keresahan, namun  merasakan 

kesenangan dalam panggilan di mana Tuhan  telah menempatkan 

kita, dan terus melakukan pekerjaannya dengan hati yang riang. 

Ini berarti bersukacita dalam jerih payah kita, apa pun itu, seperti 

Zebulon atas perjalanan-perjalanannya, dan Isakhar atas kemah-

kemahnya.  

2.  Apa yang didesakkan untuk dianjurkan kepada kita.  

(1) Bahwa sungguh baik dan tepat untuk melakukan ini. Itu baik, 

dan tampak baik. Orang-orang yang dengan riang hati meman-

faatkan apa yang telah diberikan Tuhan  kepada mereka, dengan 

begitu menghormati sang Pemberi, memenuhi maksud dari 

pemberian itu, bertindak secara masuk akal dan murah hati, 

berbuat kebaikan di dalam dunia, dan membuat apa yang 

mereka miliki menjadi hal yang terbaik. Dan ini merupakan 

pujian maupun penghiburan mereka. Itu baik dan tepat. Ada 

kewajiban dan kepatutan di dalamnya.  

(2) Bahwa itu yaitu  segala kebaikan yang dapat kita miliki dari 

hal-hal di dunia ini: Itulah bagian kita, dan dengan berbuat 

begitu kita mengambil bagian kita, dan menjadikan yang ter-

baik dari apa yang buruk. Ini yaitu  bagian kita dari harta 

duniawi. Tuhan  harus mendapatkan bagian-Nya, kaum miskin 

bagian mereka, dan keluarga kita bagian mereka, namun  ini 

yaitu  bagian kita. Ini sajalah yang jatuh sebagai bagian kita 

dari hal-hal duniawi.  

(3) Bahwa hati yang sanggup untuk berbuat demikian yaitu  pem-

berian anugerah Tuhan  yang begitu rupa hingga memahkotai se-

mua pemberian dari penyelenggaraan-Nya. Jika Tuhan  sudah 

memberikan kepada seseorang kekayaan dan harta benda, maka 

Ia akan menuntaskan perkenanan itu, dan membuatnya menjadi 

benar-benar berkat, jika bersamaan dengan itu Ia memberinya 

kuasa untuk menikmatinya, hikmat dan anugerah untuk meng-

ambil kebaikan darinya, dan untuk berbuat baik dengannya. 

Jika ini yaitu  karunia Tuhan , maka kita harus berusaha untuk 

memperoleh karunia-karunia yang paling utama yang berkaitan 

dengan kenikmatan-kenikmatan kita di dunia ini.  

(4) Bahwa ini yaitu  cara untuk mempermudah hidup kita sen-

diri dan meringankan diri kita sendiri dari banyaknya kerja 


 118

keras dan kesulitan yang harus kita lalui dalam hidup kita di 

bumi. Tidak sering ia mengingat umurnya (ay. 19), mengingat 

hari-hari dukacitanya dan kesusahannya, hari-hari kerjanya, 

hari-hari menangisnya. Ia akan melupakannya atau akan 

mengingatnya seperti air yang mengalir. Ia tidak akan terlalu 

melekatkan dalam hatinya salib-salibnya, atau berlama-lama 

merasakan kepahitannya, sebab  Tuhan  membiarkan dia sibuk 

dengan kesenangan hatinya, menyeimbangkan semua kesu-

sahan pekerjaannya dengan sukacita dari pekerjaan itu, dan 

memberinya upah untuk itu dengan membuatnya memakan 

hasil jerih payah tangannya. Walaupun Tuhan  tidak memenuhi 

semua keinginan dan harapannya, secara sama persis, namun 

Ia memenuhinya dengan apa yang lebih daripada sepadan, 

dengan kesenangan hatinya. Roh yang gembira yaitu  berkat 

yang besar. Roh yang gembira membuat kuk pekerjaan kita 

mudah dan beban penderitaan kita ringan. 

 

 

PASAL  6  

Dalam pasal ini:  

I. Sang pengkhotbah yang rajawi ini melanjutkan pembicaraan-

nya untuk menunjukkan kesia-siaan dari kekayaan duniawi, 

yaitu saat  manusia menempatkan kebahagiaannya di da-

lam harta benda itu dan sangat berhasrat menumpuknya 

secara berlebihan. Kekayaan, di tangan orang yang bijaksana 

dan dermawan, pastilah berguna, namun  di tangan orang yang 

keji, licik, dan tamak serta pelit, tidaklah ada gunanya.  

1. Sang Pengkhotbah menggambarkan harta benda dan kenik-

matan yang dimiliki oleh orang yang mempunyainya. Orang 

seperti ini punya kekayaan (ay. 2), memiliki anak-anak 

sebagai pewarisnya (ay. 3), dan umur panjang (ay. 3, 6). 

2. Ia menjelaskan kebodohan orang itu untuk tidak menik-

matinya, yang tidak pernah mencicipinya namun  membiar-

kan orang lain menikmatinya, tidak pernah merasa puas, 

dan pada akhirnya tidak mendapat penguburan (ay. 2-3).  

3. Ia mengutuk keadaan yang demikian sebagai suatu kema-

langan, kemalangan yang biasa terjadi, kesia-siaan, suatu 

penyakit (ay. 1-2).  

4. Ia menganggap bahwa keadaan anak yang mati saat lahir 

lebih baik daripada keadaan orang ini (ay. 3). Nasib buruk 

anak yang mati saat lahir tidak ada (ay. 4-5), namun  nasib 

malang orang yang tamak yaitu  pasti, yaitu hidup seke-

jap hanya untuk menyaksikan dirinya sengsara (ay. 6).  

5.  Ia menunjukkan kesia-siaan harta benda hanya berkena-

an dengan tubuh saja dan tidak memberikan kepuasan 

kepada jiwa (ay. 7-8). Ia juga menunjukkan kesia-siaan 

dari nafsu tanpa batas yang dengannya orang tamak me-


 120

nyusahkan diri mereka sendiri (ay. 9), sebab jika semua 

nafsunya dipuaskan, maka orang itu akan tinggal seperti 

keadaannya semula (ay. 10).  

II. Ia mengakhiri pembahasan tentang kesia-siaan manusia dengan 

kesimpulan yang sederhana dan jelas ini, yaitu bodoh untuk ber-

pikir dapat menciptakan kebahagiaan diri dari segala sesuatu yang 

ada di dalam dunia ini (ay. 11-12). Kepuasan kita pasti ada di 

dalam kehidupan yang lain, bukan dalam kehidupan di dunia ini. 

Kesengsaraan Orang yang Tamak 

(6:1-6) 

1 Ada suatu kemalangan yang telah kulihat di bawah matahari, yang sangat 

menekan manusia: 2 orang yang dikaruniai Tuhan  kekayaan, harta benda dan 

kemuliaan, sehingga ia tak kekurangan suatu pun yang diingininya, namun  

orang itu tidak dikaruniai kuasa oleh Tuhan  untuk menikmatinya, melainkan 

orang lain yang menikmatinya! Inilah kesia-siaan dan penderitaan yang 

pahit. 3 Jika orang memperoleh seratus anak dan hidup lama sampai menca-

pai umur panjang, namun  ia tidak puas dengan kesenangan, bahkan tidak 

mendapat penguburan, kataku, anak gugur lebih baik dari pada orang ini.  

4 Sebab anak gugur itu datang dalam kesia-siaan dan pergi dalam kegelapan, 

dan namanya ditutupi kegelapan. 5 Lagipula ia tidak melihat matahari dan 

tidak mengetahui apa-apa. Ia lebih tenteram dari pada orang tadi. 6 Biarpun 

ia hidup dua kali seribu tahun, kalau ia tidak menikmati kesenangan: bukan-

kah segala sesuatu menuju satu tempat? 

Salomo telah menunjukkan, di akhir pasal sebelumnya, betapa se-

nangnya memanfaatkan dengan nikmat pemberian-pemberian yang 

dikaruniakan Tuhan  melalui penyelenggaraan-Nya. namun  sekarang 

dia menunjukkan kemalangan dari keadaan yang sebaliknya, yaitu 

memiliki namun  tidak pernah menikmatinya, mengumpulkan dan me-

numpuk untuk keadaan darurat yang tidak diketahui secara pasti 

akan datang, dan bukannya menyiapkan diri untuk keadaan seka-

rang yang justru paling genting. Inilah suatu kemalangan yang telah 

dilihat oleh Salomo di bawah matahari (ay. 1). Begitu banyak kema-

langan terjadi di bawah matahari. Ada suatu dunia di atas matahari 

yang bebas dari kemalangan, namun TUHAN yang menerbitkan mata-

hari bagi orang jahat dan orang baik, semakin menambah parah 

kemalangan itu. TUHAN telah menyalakan sebuah lilin bagi hamba-

hamba-Nya supaya mereka bisa bekerja dengannya, namun mereka 

mengubur talenta mereka sebab  malas dan tidak berguna, sehingga 

menyia-nyiakan terang itu dan menjadikan diri tidak layak baginya. 

Salomo, sebagai seorang raja, telah menyelidiki tingkah laku rakyat-

Kitab Pengkhotbah 6:1-6 

 121 

nya, dan memperhatikan kemalangan ini sebagai sesuatu yang mem-

bahayakan orang banyak, yang telah dirugikan tidak hanya oleh 

pemborosan mereka di satu pihak namun  juga oleh kekikiran mereka 

di pihak lain. Sama seperti darah di dalam tubuh jasmani manusia, 

demikian pula kekayaan di dalam kegiatan tubuh, jika tidak mengalir 

namun  berhenti, maka tubuh pun akan sakit. Salomo sebagai seorang 

pengkhotbah mengamat-amati segala kemalangan yang ditimbulkan 

oleh manusia, supaya ia bisa menegur serta memperingatkan mereka 

agar terhindar darinya. Kemalangan  ini, di zamannya, lazim terjadi, 

namun anehnya saat itu ada sangat banyak perak dan emas, yang 

pikir orang seharusnya menyebabkan orang kurang tergila-gila 

dengan kekayaan. Keadaan pada masa itu pun tenteram dan damai, 

tidak ada tanda-tanda masalah, yang bagi beberapa orang menjadi 

suatu godaan untuk menimbun harta. namun  bekal persediaan apa 

pun tidak bisa menyembuhkan keinginan nafsu terhadap dunia dan 

hal-hal di dalamnya saat  keinginan itu sudah menguasai pikiran 

kedagingan, kecuali ada anugerah Tuhan  yang bekerja dengan bekal 

persediaan itu. Bahkan lebih dari itu, saat  kekayaan bertambah, 

maka hati kita makin tertuju kepadanya. Nah berkenaan dengan 

orang yang suka menimbun harta dan pelit ini, amatilah,  

I. Banyaknya alasan sebenarnya yang mengharuskannya untuk 

melayani TUHAN dengan sukacita dan hati yang gembira, sebab 

TUHAN telah berbuat begitu baik kepadanya.  

1. Ia telah dikaruniai Tuhan  kekayaan, harta benda dan kemulia-

an (ay. 2). Perhatikanlah:   

(1) Kekayaan dan harta benda umumnya mendatangkan kemu-

liaan kepada orang di antara sesamanya. Walaupun hanya 

sebuah patung, namun  jika itu sebuah patung emas, maka 

semua orang, bangsa, dan bahasa akan jatuh tersungkur dan 

menyembahnya.  

(2) Kekayaan, harta benda, dan kemuliaan, yaitu  karunia 

Tuhan , karunia penyelenggaraan-Nya, dan tidak diberikan 

kepada semua orang seperti halnya hujan dan matahari, 

melainkan hanya kepada sebagian orang tertentu, sesuai 

dengan kehendak-Nya.  

(3) Namun semuanya itu diberikan kepada banyak orang yang 

tidak menggunakannya dengan baik, kepada banyak orang 


 122

yang tidak diberikan hikmat dan karunia oleh Tuhan  untuk 

menikmati penghiburan darinya dan untuk melayani Tuhan  

dengannya. Karunia-karunia penyelenggaraan umum diberi-

kan kepada orang-orang yang tidak menerima suatu anuge-

rah khusus, sehingga semua karunia itu lebih sering men-

datangkan kerugian daripada kebaikan. 

2. Ia tak kekurangan suatu pun yang diingininya. Begitu murah 

hatinya Sang Pemelihara kepada mereka, sampai hati mereka 

meluap-luap dengan sangkaan (Mzm. 73:7, KJV: sampai hati 

mereka mempunyai sebanyak yang diingini hati mereka, dan 

malah lebih lagi). Orang seperti ini tidak mengingini anugerah 

bagi jiwanya, yang merupakan bagian yang lebih baik dari 

dirinya. Apa yang diinginkannya hanyalah untuk memuaskan 

keinginan nafsu tubuhnya, dan ia mendapatinya. Perut mereka 

dikenyangkan dengan apa yang Engkau simpan (Mzm. 17:14). 

3. Orang kaya itu biasanya memiliki sebuah keluarga yang besar, 

memperoleh seratus anak, yang menjadi penopang dan kekuat-

an keluarganya, dan seperti sebuah tabung yang penuh de-

ngan anak panah, yang menjadi kemuliaan dan kebanggaan isi 

rumahnya, yang melalui mereka dia dapat membangun nama-

nya dan memiliki semua ketenaran yang tidak bisa padam yang 

dapat diberikan oleh dunia ini. Ia mempunyai banyak anak 

(Mzm. 17:14), sementara banyak umat Tuhan  yang tidak dikaru-

nia anak sama sekali dan dilucuti dari semua kepemilikan.  

4. Untuk melengkapi kebahagiaannya, dia seharusnya hidup 

lama sampai mencapai umur panjang, atau lebih banyak hari, 

sebab hidup kita dihitung dengan menggunakan hari ketim-

bang tahun: Hari-hari di dalam hidupnya begitu banyak, dan 

begitu sehat tubuhnya, serta begitu lamban menjadi tua, se-

hingga sepertinya bertambah panjang lagi umurnya. Bahkan, 

dia hidup selama seribu tahun (yang tidak ada seorang pun, 

yang kita ketahui, pernah dapat mencapainya), bahkan hidup 

dua kali seribu tahun, padahal suatu bagian kecil saja dari 

waktu ini , seperti pikir orang, cukuplah untuk meyakin-

kan manusia, berdasarkan pengalamannya, tentang kebodoh-

an orang-orang yang berharap untuk mendapatkan kebaikan 

di dalam kekayaan duniawi, dan tentang kebodohan orang-

orang yang berharap untuk mendapatkan apa pun yang baik 

di dalamnya selain dengan menggunakannya dengan baik.  

Kitab Pengkhotbah 6:1-6 

 123 

II. Hatinya tidak tertuju untuk menggunakan kekayaan yang telah 

dikaruniakan Tuhan  kepadanya sesuai dengan maksud dan tu-

juan-Nya. Ini merupakan kesalahan dan kebodohannya sendiri, 

yaitu tidak berterima kasih atas kebaikan yang ditunjukkan ke-

padanya, dan tidak melayani TUHAN Tuhan  sang Pemberi, dengan 

sukacita dan gembira hati walaupun kelimpahan akan segala-

galanya. Di masa kemakmuran hatinya tidak gembira. Tristis es, 

et felix? – Engkau bahagia, namun  sedih? Lihatlah kebodohannya:  

1. Ia tidak mendapat penghiburan dari apa yang dimilikinya. Ia 

punya makanan di hadapannya. Ia punya kekayaan untuk me-

melihara hidupnya dan keluarganya, namun  dia tidak memiliki 

kuasa untuk menikmatinya. Sifatnya yang jelek dan kikir mem-

buatnya tidak rela mengulurkan hartanya itu, bahkan untuk 

dirinya, untuk apa yang paling dibutuhkan dirinya sendiri. Ia 

tidak berdaya untuk berpikir mengapa ia melakukan hal yang 

tidak masuk akal ini, untuk mengalahkan sifat tamaknya yang 

berlebihan. Ia memang lemah, tidak berdaya untuk mengguna-

kan apa yang Tuhan  berikan kepadanya, sebab Tuhan  tidak mem-

berikan kuasa ini  kepadanya, namun  menahan kuasa itu, 

untuk menghukum dia atas penyalahgunaan lain dari kekaya-

annya. Oleh sebab  tidak memiliki kemauan untuk melayani 

Tuhan  dengan hartanya, Tuhan  juga meniadakan kuasa di dalam 

dirinya untuk melayani diri sendiri dengan hartanya ini .  

2. Ia menderita akibat orang-orang yang memangsanya, yang 

tidak wajib untuk ditanggungnya: orang lain yang menikmati-

nya. Ini yaitu  nasib yang biasa dialami orang-orang kikir. 

Mereka bisa jadi tidak akan memercayai anak-anak mereka 

sendiri, melainkan para pengikut dan pendukungnya, yang 

punya keahlian untuk membujuk, menyusup, dan mencari 

cara untuk melahap harta benda tuannya, atau memperoleh 

bagian yang ditinggalkan bagi diri mereka atas kehendak tuan-

nya. Tuhan  yang menetapkan hal ini  agar orang lain yang 

menikmatinya. Orang-orang luar memakan habis kekuatannya  

(Hos. 7:9; Ams. 5:10). Inilah yang mungkin dengan tepat dise-

but kesia-siaan dan penderitaan yang pahit. Apa yang kita 

miliki, kita miliki dengan sia-sia jika kita tidak menggunakan-

nya. Dan tabiat untuk tidak menggunakan milik sendiri itu 

sudah pasti merupakan suatu gangguan pikiran yang paling 

menyedihkan, sebab  menahan kita untuk tidak mengguna-


 124

kan kekayaan kita. Penyakit kita yang paling parah yaitu  

yang timbul dari kebejatan hati kita sendiri. 

3. Ia mencabut dari dirinya sendiri kebaikan yang mungkin telah 

diperoleh dari kekayaan duniawinya, tidak hanya menghilang-

kannya namun  juga merampas dan melempar keluar dari 

hidupnya: ia tidak puas dengan kesenangan (ay. 3). Ia tetap 

tidak puas dan gelisah. Tangannya berlimpah dengan kekaya-

an, lumbung-lumbungnya penuh terisi, dan kantong-kantong-

nya pun terisi penuh, namun ia tidak puas dengan kesenang-

an, belum puas dengan kekayaannya, sebab dia masih meng-

harapkan lebih banyak lagi. Bahkan (ay. 6), ia tidak menikmati 

kesenangan. Ia tidak dapat memuaskan matanya yang masih 

terus mencari dan mencarinya dengan iri hati terhadap orang-

orang yang memiliki lebih banyak. Ia bahkan tidak merasakan 

kebaikan dari sebidang tanah. Ia tidak memandang jauh me-

lampaui hal-hal yang kelihatan, bahkan ia tidak melihat hal-

hal yang kelihatan itu dengan kesenangan hati yang sejati.  

4. Ia tidak mendapat penguburan, tidak ada kuburan yang sepa-

dan dengan kedudukannya, tidak ada kuburan yang pantas, 

kecuali penguburan seekor keledai. Dengan sifatnya yang kikir 

itu dia pasti tidak akan membolehkan suatu penguburan yang 

mewah bagi dirinya, namun  melarangnya. Atau orang-orang lain 

yang telah memakan habis kekayaannya meninggalkannya ter-

lantar, pada akhirnya, sehingga dia tidak memiliki uang untuk 

penguburannya. Atau, orang-orang lain yang ia wariskan harta 

bendanya tidak memiliki rasa hormat sedikit pun terhadapnya 

dan sedemikian tamaknya dengan apa yang mereka warisi dari 

dia, sehingga mereka tidak merasa terbeban untuk mengubur-

kannya dengan baik-baik. Padahal anak-anaknya sendiri, jika 

dia mewariskan kekayaannya kepada mereka, tidak akan ber-

buat jelek seperti itu kepadanya. 

III. Pilihan diberikan oleh sang pengkhotbah kepada seorang anak 

gugur di hadapan orang kaya yang malang: Seorang anak gu-

gur, anak yang dibawa dari rahim menuju kubur, yaitu  lebih 

baik dari pada dirinya. Lebih baik buah yang jatuh dari pohon 

sebelum matang daripada yang tetap tergantung sampai busuk. 

Ayub, dalam penderitaannya, berpikir bahwa keadaan seorang 

anak gugur yaitu  lebih baik daripada keadaannya saat  sedang 

Kitab Pengkhotbah 6:1-6 

 125 

di dalam kesulitan (Ayb. 3:16). namun  , Salomo di sini men-

jelaskan bahwa keadaan anak gugur yaitu  lebih baik daripada 

keadaan orang duniawi yang berlimpah hartanya, saat  dunia 

tersenyum kepadanya. 

1. Ia mengakui bahwa keadaan dari seorang anak gugur, dalam 

banyak hal, yaitu  sangat menyedihkan (ay. 4-5): anak gugur 

itu datang dalam kesia-siaan sebab, bagi dunia ini, anak yang 

dilahirkan dan kemudian mati sesaat  yaitu  dilahirkan de-

ngan sia-sia, dan pergi dalam kegelapan. Hanya sedikit saja 

atau tidak ada sama sekali kenangan terhadapnya. Sebagai 

anak yang lahir gugur, dia tidak mempunyai nama, atau, se-

andainya punya nama, maka dia akan segera dilupakan dan 

namanya dikuburkan dalam-dalam. Namanya ditutupi kegelap-

an, seperti tubuh terbenam ke dalam bumi. Bahkan (ay. 5), ia 

tidak melihat matahari, melainkan dari kegelapan rahim ia 

bergegas menuju kubur, dan, jauh lebih buruk daripada tidak 

dikenal sama sekali, ia tidak mengetahui apa-apa, dan sebab -

nya telah kehilangan kesenangan dan kehormatan dari seorang 

manusia. Orang-orang yang hidup acuh-tak-acuh dengan se-

ngaja dan tidak mempunyai arah tujuan, tidaklah jauh lebih 

baik daripada seorang anak gugur yang tidak melihat matahari 

dan tidak mengetahui apa-apa. 

2. Walaupun begitu, Salomo lebih menyukai anak yang gugur 

ini  daripada seorang kaya yang kikir. Anak yang gugur 

ini yaitu  lebih tenteram dari pada orang itu, sebab anak yang 

gugur ini dapat beristirahat sedangkan orang kaya tadi tidak 

dapat beristirahat. Anak gugur ini tidak mempunyai masalah 

dan kekhawatiran, namun  orang kaya tadi mempunyai per-

gumulan yang panjang, dan tidak ada hal lain selain masalah, 

masalah yang dibuatnya sendiri. Lebih singkat kehidupan 

maka lebih panjang istirahat. Lebih sedikit hari-hari, dan lebih 

kurang urusan kita dengan dunia yang penuh masalah ini, 

maka lebih sedikit masalah yang akan kita hadapi. 

Lebih baik seorang anak yang meninggal pada usia  

empat tahun daripada terus hidup dan  

meninggal pada usia delapan puluh tahun. 

Alasan yang diberikan Salomo mengapa anak gugur ada-

lah lebih tenteram yaitu  sebab  segala sesuatu menuju ke 


 126

satu tempat untuk beristirahat, dan anak gugur ini lebih cepat 

menuju ke tempat istirahatnya (ay. 6). Orang yang hidup sela-

ma seribu tahun pergi ke tempat yang sama dengan anak gugur 

yang tidak hidup lebih dari satu jam (3:20). Kuburan yaitu  

tempat pertemuan kita semua. Apa pun perbedaan yang mung-

kin dimiliki di dalam kehidupan manusia di dunia ini, mereka 

semua pasti akan mati, dan berada di bawah hukuman yang 

sama, dan secara lahiriah, kematian mereka semua sama. Ku-

buran bagi seseorang, dan juga bagi yang lain, yaitu  sebuah 

negeri yang sunyi, tempat kegelapan, keterpisahan dari yang 

hidup, dan suatu tempat istirahat. Kuburan yaitu  tempat per-

temuan yang sama bagi orang kaya dan orang miskin, yang ter-

hormat dan hina, yang terpelajar dan tidak. Yang hidupnya pen-

dek dan panjang akan bertemu di dalam kubur, hanya yang satu 

berangkat lebih cepat dan yang lain pergi lebih lambat. Debu 

tanah keduanya bercampur dan tergeletak tanpa perbedaan.  

Keinginan yang Tidak Terpuaskan 

(6:7-10) 

7 Segala jerih payah manusia yaitu  untuk mulutnya, namun keinginannya 

tidak terpuaskan. 8 sebab  apakah kelebihan orang yang berhikmat dari 

pada orang yang bodoh? Apakah kelebihan orang miskin yang tahu berperi-

laku di hadapan orang? 9 Lebih baik melihat saja dari pada menuruti nafsu. 

Ini pun kesia-siaan dan usaha menjaring angin. 10 Apa pun yang ada, sudah 

lama disebut namanya. Dan sudah diketahui siapa manusia, yaitu bahwa ia 

tidak dapat mengadakan perkara dengan yang lebih kuat dari padanya. 

Sang pengkhotbah di sini lebih lanjut menunjukkan kesia-siaan dan 

kebodohan menumpuk kekayaan duniawi dan mengharapkan keba-

hagiaan di dalamnya.  

I. Betapa pun besarnya kita bekerja keras untuk  dunia dan menda-

patkan hasil darinya, apa yang kita punya tidaklah lebih dari 

sekadar suatu penunjang hidup (ay. 7): Segala jerih payah manu-

sia yaitu  untuk mulutnya, sebab  mulutnya memaksa dia (Ams. 

16:26). Semuanya yaitu  tentang makanan dan pakaian. Apalagi 

kalau yang lain punya dan kita tidak. Semuanya yaitu  untuk 

mulut. Makanan yaitu  untuk perut dan perut untuk makan-

an. Semua itu tidak ada yang untuk kepala dan hati, tidak ada 

untuk memberi makan dan memperkaya jiwa. Sesuatu yang sedi-

Kitab Pengkhotbah 6:7-10 

 127 

kit akan berguna untuk menopang hidup kita dengan nyaman, 

sedangkan sesuatu yang banyak tidak dapat berbuat lebih. 

II. Orang-orang yang pernah memiliki banyak harta masih terus 

ingin memiliki lagi. Biarpun seseorang bekerja sedemikian keras 

untuk mulutnya, namun keinginannya tidak terpuaskan.  

1. Keinginan-keinginan jasmani masih terus kembali dan kem-

bali, masih terus menuntut. Seseorang yang telah makan ke-

nyang pada hari ini akan menjadi lapar lagi pada keesokan 

harinya. 

2. Keinginan duniawi yang berdosa tidak pernah terpuaskan 

(5:10). Kekayaan bagi seorang yang duniawi yaitu  seperti mi-

numan bagi seseorang yang sakit gembur-gembur, sakit kare-

na kelebihan cairan namun justru semakin menimbulkan rasa 

haus. Beberapa orang membaca seluruh isi ayat ini demikian: 

Meskipun seluruh kerja keras seseorang tercurah di alam 

pikirannya (ori ejus obveniat – agar sesuai dengan pandangan-

nya, Juv.), seakan-akan dirinya akan memilikinya, namun 

keinginannya tidak terpuaskan, masih tetap memikirkan se-

suatu yang lebih banyak lagi. 

3. Keinginan batin manusia tidak memperoleh apa-apa di dalam 

kekayaan duniawi untuk memberinya kepuasan. Hatinya tidak 

terpuaskan, demikian arti katanya. Pada waktu Tuhan  memberi 

Israel apa yang mereka minta, didatangkan-Nya penyakit paru-

paru di antara mereka (Mzm. 106:15). Dia orang bodoh yang 

berkata, saat  lumbung-lumbungnya penuh, Jiwaku, beristi-

rahatlah. 

III. Orang yang bodoh mungkin memiliki banyak kekayaan duniawi, 

dan mungkin menikmati banyak kesenangan di dalamnya, sama 

banyaknya seperti orang yang berhikmat. Bahkan, mungkin dia 

tidak begitu sadar akan gangguan yang ditimbulkannya:  Apakah 

kelebihan orang yang berhikmat dari pada orang yang bodoh? (ay. 

8). Mungkin orang yang berhikmat tidak memiliki sebuah kebun 

yang sangat bagus, sebuah usaha yang sangat bagus, atau memi-

liki kedudukan yang baik seperti yang dimiliki oleh orang bodoh. 

Bahkan, anggaplah mereka sama di dalam hal kekayaan, maka 

apakah yang dapat diperas sehabis-habisnya oleh seorang yang 

berhikmat, seorang yang terpelajar, seorang yang pandai, seorang 


 128

politikus, dari hartanya melebihi apa yang hanya  diperlukannya 

sehari-hari? Orang dungu pun melakukan hal yang sama. Orang 

yang bodoh dapat membelanjakan hartanya dan menikmatinya, 

dapat berpakaian, dan berpenampilan yang menarik di muka 

umum, sama seperti seorang yang berhikmat. sebab  itulah, 

seandainya tidak ada kesenangan dan penghargaan yang khusus 

terhadap akal budi, yang lebih banyak dimiliki oleh orang yang 

berhikmat dari pada orang yang bodoh, berkenaan dengan dunia 

ini, maka orang berhikmat dan orang bodoh itu sederajat saja. 

IV. Bahkan orang yang miskin, yang memiliki usaha dan bijaksana, 

rajin, serta terampil dalam mengelolanya, dapat memperoleh kese-

nangan melalui dunia ini sama seperti orang yang sarat dengan 

harta benda yang terus bertambah. Pikirkanlah apa kekurangan 

orang miskin dari orang kaya, jika dia tahu berperilaku di hadapan 

orang (6:8), tahu bagaimana berperilaku yang sopan, dan melaku-

kan tugasnya dengan baik, bagaimana memperoleh suatu peng-

hasilan yang halal melalui kerja kerasnya, bagaimana meng-

gunakan waktu dengan baik dan mengembangkan setiap kesem-

patan. Apa yang dimilikinya? Mengapa ia lebih dicintai dan dihar-

gai di kalangan tetangganya, dan mendapat perhatian yang lebih 

baik daripada orang kaya yang kikir dan angkuh. Apa yang di-

milikinya? Mengapa dia memiliki sama banyaknya kesenangan 

hidup ini, makanan dan pakaian, cukuplah, dan benar-benar kaya 

seperti orang yang memiliki kekayaan yang berlimpah. 

V. Kenikmatan yang kita nikmati dari apa yang kita miliki pastilah 

akan diakui lebih masuk akal daripada orang serakah yang terus 

mencari lebih banyak (ay. 9): Lebih baik melihat saja, menikmati 

apa yang ada sekarang, dari pada menuruti nafsu, mencari-cari 

keinginan hati, yang yaitu  perjalanan jiwa yang melelahkan 

dalam mencari segala sesuatu yang masih jauh, dan yang hanya 

merasakan kepuasan yang tidak nyata. Lebih berbahagia orang 

yang selalu puas, meski dia hanya memiliki begitu sedikit, dari-

pada orang yang selalu iri hati, meski dia sudah memiliki banyak. 

Kita tidak dapat berkata, Lebih baik melihat dari pada mengarah-

kan keinginan kepada Tuhan , dan menyandarkan jiwa di dalam-

Nya. Lebih baik hidup oleh iman akan segala sesuatu yang akan 

datang daripada hidup dengan penglihatan lahiriah, yang hanya 

Kitab Pengkhotbah 6:7-10 

 129 

bertumpu pada hal-hal yang hanya ada sekarang ini. Namun lebih 

baik melihat dari pada mengembara dengan keinginan akan dunia, 

dan segala sesuatu yang duniawi, yang lebih tidak menentu dan ti-

dak memuaskan. Ini pun kesia-siaan dan usaha menjaring angin. Ini 

benar-benar kesia-siaan. jika  apa yang diinginkan itu diper-

oleh, belum pasti itu memberikan apa yang kita janjikan pada diri 

kita, sebab  biasanya hawa nafsu yang dikejar-kejar itu tidak 

terpenuhi dan gagal, sehingga berubah menjadi usaha menjaring 

angin.  

VI. Nasib kita, apa pun itu, telah ditetapkan bagi kita oleh kebijak-

sanaan Tuhan , yang tidak dapat diubah. Oleh sebab  itu bijaklah 

kita untuk menyesuaikan diri dengan ketetapan Tuhan  ini  

dan menyetujuinya dengan hati gembira (ay. 10): Apa pun yang 

ada, atau (seperti yang dipahami sebagian orang) sudah lama, dan 

begitu juga yang akan ada, sudah disebut namanya. Hal itu sudah 

ditentukan dalam pengetahuan Tuhan  dari awalnya, dan semua 

perhatian serta jerih payah kita tidak dapat mengubah apa yang 

sudah ditetapkan. Jacta est alea – putusan sudah dibuat, tidak 

dapat diubah lagi. Maka bodohlah untuk berdebat dengan apa 

yang sudah ditentukan akan ada, dan bijaksanalah untuk meng-

utamakan kebajikan. Mari kita mengejar apa yang menyenangkan 

hati Tuhan , dan kiranya hal itu memuaskan kita. 

VII. Apa pun yang kita capai di dalam dunia ini, kita tetap manusia, 

dan kekayaan serta kedudukan yang paling tinggi tidak akan 

dapat melepaskan kita dari kejadian-kejadian yang lazim terjadi 

dalam hidup manusia: Apapun yang sudah ada, dan yang ada 

sekarang, binatang-binatang yang bergerak dan membuat kera-

maian di dalam dunia, sudah disebut namanya. Tuhan  yang telah 

menjadikannya memberikan nama kepadanya, yang dikenal 

sebagai manusia (KJV). Itulah namanya yang harus diketahuinya, 

dan itu sebuah nama yang hina (Kej. 5:2). Ia memberikan nama 

“Manusia” kepada mereka, dan semua keturunannya mempu-

nyai tabiat yang sama, tanah liat. Meskipun seorang manusia 

dapat berkuasa atas semua perbendaharaan kerajaan-kerajaan 

dan daerah-daerah, ia tetap hanyalah manusia, yang hina, dapat 

berubah, dan fana, yang kapan saja bisa tertimpa bencana yang 

berlaku bagi manusia. Kiranya orang yang kaya dan besar menge-


 130

tahui bahwa mereka hanyalah manusia saja (Mzm. 9:21). Kiranya 

mereka tahu bahwa mereka hanyalah manusia saja. Kiranya 

mereka menjadi malu, dan, seperti raja Tirus, walaupun menem-

patkan diri sama dengan Tuhan , tetap saja orang-orang Mesir yang 

yaitu  manusia, bukan Tuhan , dan sudah diketahui demikian. 

VIII. Betapa pun besar hasrat kita mengembara dan betapa pun besar 

usaha kita untuk mengikutinya, kita tidak dapat bersaing de-

ngan tindakan penyelenggaraan ilahi, namun  sebaliknya harus 

memasrahkan diri, mau atau tidak mau padanya. Jika ia yaitu  

manusia, ia tidak dapat mengadakan perkara dengan yang lebih 

kuat dari padanya. Janganlah gegabah untuk melawan cara 

kerja Tuhan  dan menuduh-Nya dengan kebodohan dan kejahatan. 

Juga, janganlah dengan maksud apa pun mengeluhkan Dia, 

sebab Ia tidak pernah berubah, dan siapa dapat menghalangi 

Dia? Elihu membungkam Ayub dengan prinsip yang tidak ter-

bantahkan ini, bahwa Tuhan  itu lebih dari pada manusia (Ayb. 

33:12) dan sebab nya manusia tidak dapat berbantah dengan-

Nya, atau menolak hukuman-Nya saat  dikirim dengan suatu 

ketetapan. Manusia dengan harta kekayaannya yang berlimpah 

tidaklah dapat meluputkan diri dari serangan penyakit atau 

kematian, melainkan harus tunduk kepada nasibnya. 

Keinginan yang Tidak Terpuaskan 

(6:11-12) 

11 sebab  makin banyak kata-kata, makin banyak kesia-siaan. Apakah fae-

dahnya untuk manusia? 12 sebab  siapakah yang mengetahui apa yang baik 

bagi manusia sepanjang waktu yang pend


Related Posts:

  • pengkhotbah kidungagung 4 dak akan diterima, dan sebab  itu bodohlah untuk membawanya. Kita juga harus berjaga-jaga supaya tidak mengandalkan tanda dan upacara ibadah, dan bentuk lahiriah dari pelaksanaan ibadah, tanpa mengin-dahk… Read More