pengkhotbah kidungagung 5


 ek dari hidupnya yang sia-sia, yang 

ditempuhnya seperti bayangan? Siapakah yang dapat mengatakan kepada 

manusia apa yang akan terjadi di bawah matahari sesudah dia? 

Di sini:  

1. Salomo menetapkan kesimpulan yang telah dibuktikannya, seba-

gaimana yang telah ditegaskan dalam pembahasan sebelumnya: 

Makin banyak kesia-siaan. Kehidupan manusia, pada akhirnya, 

yaitu  sia-sia, dan ada banyak peristiwa yang terjadi bersamaan 

yang makin memperburuk keadaannya. Bahkan ada yang me-

mang menambah banyak kesia-siaan dan yang menjadikan hidup 

lebih susah. 

Kitab Pengkhotbah 6:11-12 

 131 

2. Ia menarik beberapa kesimpulan dari kehidupan, yang lebih lan-

jut membuktikan kebenaran kesimpulannya: 

(1) Bahwa manusia tidaklah pernah menjadi lebih dekat ke keba-

hagiaan yang sejati oleh banyaknya harta yang dimilikinya di 

dalam dunia ini: Apakah faedahnya untuk manusia memiliki 

kekayaan dan kesenangan, kehormatan dan kedudukan yang 

tinggi? Apa yang tinggal tetap bagi manusia? Apakah yang di-

tinggalkannya, apa kelebihannya, apa keuntungan yang sebe-

narnya, saat  ia menghitung kekayaannya? Tidak ada yang 

berguna baginya atau menguntungkan. 

(2) Bahwa kita tidak tahu apa yang kita inginkan, sebab kepuasan 

tertinggi yang kita janjikan untuk diri sendiri sering kali justru 

terbukti yang paling menyusahkan kita: Apa yang baik bagi 

manusia sepanjang waktu yang pendek dari hidupnya yang 

sia-sia, saat  segala sesuatu yaitu  sia-sia, dan apa saja, 

bahkan yang paling kita idam-idamkan justru menyebabkan 

malapetaka bagi kita? Orang-orang yang bijaksana berhati-

hati untuk melakukan setiap hal yang terbaik, seandainya dia 

mengetahuinya. Namun, disebabkan oleh kebobrokan hati kita 

maka apa yang kita harapkan baik justru menimbulkan cela-

ka, seperti anak-anak yang menginginkan pisau untuk memo-

tong jari mereka. Demikian pula kesia-siaan dunia ini sehingga 

apa, yang menurut segala dugaan yaitu  mungkin tampak se-

bagai hal yang baik, justru sering terjadi hal yang sebaliknya. 

Seperti itulah kepicikan kita mengenai masalah dan peristiwa 

dari segala sesuatu. Semua keyakinan diri kita pada makhluk 

ciptaan yaitu  seperti buluh yang terkulai. Kita tidak tahu 

bagaimana memberi nasihat yang baik kepada orang lain atau 

bagaimana bertindak, sebab yang kita pandang akan memberi 

kesejahteraan justru mungkin menjadi sebuah perangkap. 

(3) Bahwa sebab  itu janganlah kita menaruh harapan dalam 

hidup kita di dunia ini untuk memperoleh kepuasan. Juga, 

janganlah percaya bahwa hidup kita itu akan terus berlanjut. 

Hidup ini seharusnya dinikmati setiap hari. Itu suatu kehidup-

an yang sia-sia, dan kita menempuhnya seperti bayangan. Hanya 

ada sedikit inti sari di dalamnya, dan begitu sekejap berlang-

sung, begitu tidak pasti, begitu sementara, dan hanya sedikit 

saja kesenangan atau yang dapat diharapkan darinya. jika  

kebahagiaan hidup yaitu  kesia-siaan, maka kehidupan itu 


 132

sendiri tidak mempunyai hal nyata yang besar untuk memben-

tuk kebahagiaan bagi kita.  

(4) Bahwa pengharapan kita akan dunia ini yaitu  sama tidak 

pasti dan sama bohongnya dengan kesenangan diri kita. Oleh 

sebab  segala sesuatu yaitu  sia-sia, Siapakah yang dapat 

mengatakan kepada manusia apa yang akan terjadi di bawah 

matahari sesudah dia? (6:12) Ia tidak dapat lagi memuaskan 

diri dengan harapan tentang apa yang akan terjadi sesudah 

dia, bagi anak-anak dan keluarganya, selain dengan kenikmat-

an dari apa yang dimilikinya, sebab dia pun tidak dapat mera-

mal nasibnya sendiri, dan begitu pun orang lain tidak dapat 

meramal nasib baginya, apa yang akan terjadi sesudah dia. Ia 

juga tidak dapat mengetahui apa-apa sesudah ia tiada. Anak-

anaknya menjadi mulia, namun  ia tidak tahu. sebab  itu, lihat-

lah jalan yang akan kita tempuh, Kesia-siaan atas kesia-siaan, 

semuanya yaitu  sia-sia. 

 

 

 

 

PASAL  7  

alomo sudah memberikan banyak bukti dan contoh tentang kesia-

siaan dunia ini dan perkara-perkaranya. Sekarang, dalam pasal 

ini,  

I. Ia menganjurkan kepada kita beberapa sarana yang baik yang 

tepat digunakan untuk mengimbangi kesusahan-kesusahan 

ini dan untuk mempersenjatai diri kita melawan kejahatan 

yang mengancam kita sebab nya, supaya kita dapat menjadi-

kan yang terbaik dari apa yang buruk, seperti  

1. Kepedulian terhadap nama baik kita (ay. 1).  

2. Kesungguhan (ay. 2-6).  

3. Ketenangan jiwa (ay. 7-10).  

4. Kebijaksanaan dalam mengatur semua urusan kita (ay. 

11-12). 

5. Berserah kepada kehendak Tuhan  dalam segala peristiwa, 

sambil menyesuaikan diri dengan setiap keadaan (ay. 13-15).  

6. Menghindari segala sesuatu di luar batas yang membaha-

yakan, dengan kesadaran hati nurani (ay. 16-18).  

7. Kelemahlembutan terhadap orang-orang yang sudah men-

jahati kita (ay. 19-22). Singkatnya, cara terbaik untuk me-

nyelamatkan diri kita dari kesusahan yang ditimbulkan 

oleh kesia-siaan dunia kepada kita yaitu  dengan men-

jaga perangai kita dan mengendalikan hawa nafsu kita 

secara ketat.  

II. Salomo meratapi pelanggarannya sendiri, sebagai sesuatu yang 

lebih menyusahkan daripada semua kesia-siaan ini, rahasia 

kedurhakaan itu, yaitu memiliki banyak istri, yang sebab nya 

ia dijauhkan dari Tuhan  dan kewajibannya (ay. 23-29). 


 134

Berharganya Nama Baik 

(7:1-6) 

1 Nama yang harum lebih baik dari pada minyak yang mahal, dan hari 

kematian lebih baik dari pada hari kelahiran. 2 Pergi ke rumah duka lebih 

baik dari pada pergi ke rumah pesta, sebab  di rumah dukalah kesudahan 

setiap manusia; hendaknya orang yang hidup memperhatikannya. 3 Bersedih 

lebih baik dari pada tertawa, sebab  muka muram membuat hati lega.  

4 Orang berhikmat senang berada di rumah duka, namun  orang bodoh senang 

berada di rumah tempat bersukaria. 5 Mendengar hardikan orang berhikmat 

lebih baik dari pada mendengar nyanyian orang bodoh. 6 sebab  seperti 

bunyi duri terbakar di bawah kuali, demikian tertawa orang bodoh. Ini pun 

sia-sia. 

Dalam ayat-ayat ini Salomo menetapkan beberapa kebenaran agung 

yang tampak berlawan dengan kebenaran pada umumnya bagi seba-

gian umat manusia yang tidak punya pikiran panjang, yaitu bagian 

terbesar dari mereka. Yaitu, 

I. Bahwa kehormatan kebajikan benar-benar lebih berharga dan 

diinginkan daripada semua kekayaan dan kesenangan di dunia ini 

(ay. 1): Nama yang harum lebih utama dari pada minyak yang 

mahal (demikian ayat itu bisa dibaca). Nama yang harum lebih 

baik dari minyak yang mahal, dan akan lebih dipilih oleh semua 

orang yang bijak. Minyak yang mahal di sini dipahami sebagai 

semua keuntungan di bumi (yang di antara hasil-hasilnya minyak 

dianggap sebagai salah satu yang paling berharga), sebagai semua 

kesenangan inderawi (sebab minyak dan wangi-wangianlah yang 

menyukakan hati, dan itu disebut minyak sebagai tanda kesuka-

an). Bahkan, minyak yang mahal itu dipahami sebagai gelar-gelar 

kehormatan tertinggi yang dengannya martabat manusia dijun-

jung, sebab raja-raja diurapi dengan minyak. Nama yang harum 

lebih baik dari pada semua kekayaan (Ams. 22:1), yaitu, nama 

baik oleh sebab  kebijaksanaan dan kebaikan bagi orang-orang 

yang bijak dan baik, kenangan kepada orang benar. Ini yaitu  

kebaikan yang akan memberikan kesenangan dan ungkapan 

syukur lebih besar kepada pikiran. Kebaikan yang akan memberi 

orang kesempatan lebih besar untuk berguna, kebaikan yang 

akan menggapai lebih jauh, dan tahan lebih lama, daripada botol 

minyak yang paling mahal. Sebab Kristus membayar minyak 

Maria dengan nama yang harum, sebuah nama dalam kitab-kitab 

Injil (Mat. 26:13), dan kita yakin bahwa Ia selalu membayar de-

ngan memberi keuntungan. 

Kitab Pengkhotbah 7:1-6 

 135 

II.  Bahwa, dengan menimbang segala sesuatunya, perginya kita dari 

dunia merupakan kebaikan yang besar bagi kita daripada datang-

nya kita ke dalam dunia: Hari kematian lebih baik daripada hari 

kelahiran. Meskipun, bagi sebagian orang, ada sukacita saat  

seorang anak dilahirkan ke dunia, dan pada saat kematian ada 

ratapan, namun, bagi kita sendiri, jika kita hidup sedemikian 

rupa hingga pantas mendapat nama yang harum, maka hari 

kematian kita yaitu  lebih baik dari pada hari kelahiran kita. Hari 

kematian kita akan mengakhiri semua kekhawatiran kita, kerja 

keras kita, dan dukacita kita, dan memindahkan kita ke tempat 

peristirahatan, sukacita, dan kepuasan kekal, sedangkan hari 

kelahiran kita menghantar kita ke dalam dunia yang begitu penuh 

dosa dan permasalahan, kesia-siaan dan usaha menjaring angin. 

Kita dilahirkan ke dalam ketidakpastian, namun  orang baik tidak 

akan mati dalam ketidakpastian. Hari kelahiran kita menyumbat 

jiwa kita dengan beban daging, namun  hari kematian kita akan 

membebaskannya dari beban itu. 

III. Bahwa akan lebih bermanfaat bagi kita untuk pergi ke pemakam-

an daripada pergi ke perayaan (ay. 2): Lebih baik pergi ke rumah 

duka, dan di sana menangis dengan orang yang menangis, dari 

pada pergi ke rumah pesta, ke pernikahan, atau ke perayaan 

keagamaan semalam suntuk, dan di sana bersukacita dengan 

orang yang bersukacita. Itu akan lebih bermanfaat bagi kita, dan 

akan menimbulkan kesan-kesan yang lebih baik pada diri kita. 

Kita boleh saja pergi ke pemakaman atau ke perayaan, kalau 

memang ada keperluan untuk itu. Juruselamat kita pergi ke pesta 

pernikahan teman-Nya di Kana, dan juga menangis di makam 

teman-Nya di Betania. Dan mungkin saja kita dapat memuliakan 

Tuhan , berbuat baik, dan mendapat kebaikan di rumah pesta. 

namun  , mengingat betapa kita cenderung berlagak hebat dan 

suka membual, sombong dan merasa aman, dan memanjakan 

daging, maka lebih baik bagi kita untuk pergi ke rumah duka. 

Bukan untuk melihat megahnya pemakaman, melainkan untuk 

berbagi dalam kedukaannya, dan untuk mendapat pelajaran-

pelajaran yang baik, baik dari orang yang mati, yang sedang pergi 

dari sini ke rumah abadinya, maupun dari para pelayat, yang 

berkeliling di jalan-jalan. 


 136

1. Manfaat-manfaat yang akan didapat dari rumah duka yaitu ,  

(1) Melalui keterangan yang diperoleh: sebab  di rumah duka-

lah kesudahan manusia. Itu yaitu  kesudahan setiap ma-

nusia dalam kaitannya dengan dunia ini, titik akhir bagi 

keberadaannya di sini. Ia tidak akan kembali lagi ke rumah-

nya. Itu yaitu  kesudahan setiap manusia. Semua orang 

telah berdosa dan sebab  itu maut telah menjalar kepada 

semua orang. Kita harus ditinggalkan seperti itu oleh 

teman-teman kita, seperti orang-orang yang berkabung, 

dan harus pergi seperti itu, seperti orang yang meninggal. 

Apa yang menjadi bagian orang lain akan menjadi bagian 

kita. Cawan itu sedang bergulir dan berpindah tangan, dan 

akan tiba giliran kita untuk meminumnya sebentar lagi.  

(2) Melalui peringatan: Hendaknya orang yang hidup memper-

hatikannya. Maukah mereka memperhatikannya? Baguslah 

kalau mereka mau. Orang-orang yang hidup secara rohani 

akan memperhatikannya, dan, berkenaan dengan semua 

orang yang ditinggalkan, orang akan berpikir bahwa mere-

ka juga harus memperhatikannya. Salah mereka sendiri 

jika mereka tidak memperhatikannya, sebab tidak ada cara 

yang lebih mudah dan alami untuk diingatkan akan kema-

tian kita sendiri selain melalui kematian orang lain. Sebagi-

an orang yang tidak mau memperhatikan khotbah yang 

baik, mungkin saja akan memperhatikannya, dan mem-

perhatikan kesudahan mereka. 

2. Sebagai bukti lebih jauh akan hal ini (ay. 4), Salomo berpen-

dapat bahwa sudah menjadi tabiat,  

(1) Orang berhikmat bahwa hatinya senang berada di rumah 

duka. Ia sangat mengenal masalah-masalah kedukaan, dan 

ini merupakan bukti maupun hasil dari hikmatnya. Rumah 

duka yaitu  sekolah orang bijak, di mana ia sudah mem-

pelajari banyak pelajaran yang baik, dan di sana ia menjadi 

sangat bersungguh-sungguh, seperti menemukan apa yang 

menjadi keinginan hatinya. saat  ia berada di rumah 

duka, hatinya ada di sana untuk memanfaatkan dengan 

baik tontonan-tontonan kefanaan yang disajikan kepada-

nya. Bahkan, saat  ia sedang berada di rumah pesta pun, 

Kitab Pengkhotbah 7:1-6 

 137 

hatinya berada di rumah duka, dengan menunjukkan bela 

rasanya dengan orang-orang yang sedang berduka. 

(2) yaitu  tabiat orang bodoh bahwa hatinya berada di rumah 

tempat bersukaria. Segenap hatinya terpatri padanya untuk 

bergembira dan bersukaria. Yang semata-mata menjadi ke-

senangannya yaitu  permainan dan keceriaan, cerita-cerita 

riang, lagu-lagu riang, dan kawanan yang riang, siang hari 

yang riang dan malam hari yang riang. Jika pada suatu 

waktu ia berada di rumah duka, ia sedang berada di bawah 

kekangan, sebab  hatinya pada saat yang sama berada di 

rumah tempat bersukaria. Inilah kebodohannya, dan itu 

membantu menjadikannya semakin hari semakin bodoh. 

IV. Bahwa kekhidmatan dan kesungguhan yaitu  hal yang lebih 

patut bagi kita, dan lebih baik untuk kita, daripada kegembiraan 

dan keriangan (ay. 3). Pepatah umum berkata, “Satu ons kegem-

biraan sama nilainya dengan satu kilo kesedihan.” namun  sang 

pengkhotbah mengajarkan kepada kita pelajaran yang sebaliknya: 

Bersedih lebih baik dari pada tertawa, lebih sesuai dengan keada-

an kita sekarang, di mana kita sendiri setiap hari sedikit banyak 

berbuat dosa dan menderita, dan setiap hari melihat dosa-dosa 

dan penderitaan-penderitaan orang lain. Selama kita berada di 

lembah air mata, kita harus menyesuaikan diri dengan cuacanya. 

Itu juga lebih menguntungkan kita. sebab  oleh muka yang 

tampak muram, sering kali hati dibuat lega. Perhatikanlah, 

1. Apa yang paling baik bagi kita yaitu  yang paling baik bagi 

jiwa kita, yang olehnya hati menjadi lega, meskipun itu tidak 

menyenangkan bagi indra jasmani.  

2. Kesedihan sering kali merupakan sarana yang membahagia-

kan yang dapat membuat kita bersungguh-sungguh, dan pen-

deritaan yang merusak kesehatan, harta benda, dan keluarga, 

bisa jadi memperbaiki pikiran, dan menimbulkan kesan-kesan 

yang demikian rupa padanya hingga mengubah perangainya 

secara jauh lebih baik. Penderitaan itu bisa membuat pikiran 

merendah dan lemah lembut, lepas dari dunia, bertobat dari 

dosa, dan menjalankan kewajiban dengan hati-hati. Vexatio 

dat intellectum – Kesusahan menajamkan akal budi. Periissem 

nisi periissem – Aku pasti sudah binasa seandainya aku tidak 

dibuat sengsara. Maka dari itu, sebaliknya, oleh wajah yang 


 138

gembira dan bersukaria, hati dibuat menjadi lebih buruk, lebih 

angkuh, bersifat kedagingan, penuh nafsu, dan merasa aman, 

lebih cinta kepada dunia dan lebih terasing dari Tuhan  dan hal-

hal rohani (Ayb. 21:12, 14). Sampai ia benar-benar menjadi 

tidak peduli terhadap hancurnya keturunan Yusuf, seperti 

orang-orang dalam Amos 4:5-6, dan raja serta Haman dalam 

Ester 3:15. 

V. Bahwa jauh lebih baik bagi kita jika kebobrokan-kebobrokan kita 

dipermalukan oleh hardikan orang berhikmat daripada dipuaskan 

oleh nyanyian orang bodoh (ay. 5). Banyak orang sangat senang 

mendengar keterangan dari orang bijak, dan jauh lebih senang 

lagi mendapat pujian dan penghiburan dari mereka, namun tidak 

peduli untuk mendengar hardikan mereka, yaitu, tidak peduli 

untuk diberi tahu tentang kesalahan-kesalahan mereka, meski-

pun itu dilakukan dengan begitu bijak. namun  dalam hal ini mere-

ka tidak menjadi teman bagi diri mereka sendiri, sebab teguran 

yang mendidik itu jalan kehidupan (Ams. 6:23), dan, meskipun 

teguran itu tidak begitu menyenangkan seperti nyanyian orang 

bodoh, namun teguran itu lebih menyehatkan. Mendengar, bukan 

hanya dengan sabar, melainkan juga dengan senang hati, hardik-

an orang berhikmat, yaitu  tanda dan sarana hikmat. namun  

menyukai nyanyian orang bodoh yaitu  tanda bahwa pikiran itu 

berlaku sia-sia dan merupakan cara untuk membuatnya lebih sia-

sia lagi. Dan sungguh tidak masuk akal bahwa orang begitu me-

nyukai kesenangan yang hanya sementara seperti tertawa orang 

bodoh, yang pantas bila dibandingkan dengan bunyi duri terbakar 

di bawah kuali. Bunyi itu membuat suara ribut yang keras dan 

kobaran api yang besar, selama sebentar saja, namun  segera 

lenyap, menyebarkan abu-abunya, dan tidak memberikan apa-

apa untuk menghasilkan panas yang bisa membuat air mendidih, 

sebab untuk mendidih, dibutuhkan api yang terus-menerus! 

Tertawa orang bodoh itu berisik dan menarik perhatian orang, dan 

bukan contoh dari sukacita yang sejati. Ini pun sia-sia. Tawa itu 

menipu orang hingga membuat mereka hancur, sebab kesukaan 

dapat berakhir dengan kedukaan. Juruselamat kita yang terpuji 

telah membacakan hukuman kita kepada kita: Berbahagialah, hai 

kamu yang sekarang ini menangis, sebab  kamu akan tertawa.

Kitab Pengkhotbah 7:7-10 

 139 

 Celakalah kamu, yang sekarang ini tertawa, sebab  kamu akan 

berdukacita dan menangis (Luk. 6:21, 25). 

Pemandangan Dukacita dan  

Pemandangan Sukacita 

(7:7-10) 

7 Sungguh, pemerasan membodohkan orang berhikmat, dan uang suap me-

rusakkan hati. 8 Akhir suatu hal lebih baik dari pada awalnya. Panjang sabar 

lebih baik dari pada tinggi hati. 9 Janganlah lekas-lekas marah dalam hati, 

sebab  amarah menetap dalam dada orang bodoh. 10 Janganlah mengatakan: 

“Mengapa zaman dulu lebih baik dari pada zaman sekarang?” sebab  bukan-

nya berdasarkan hikmat engkau menanyakan hal itu. 

Salomo sudah sering mengeluh sebelumnya tentang penindasan yang 

dilihatnya di bawah matahari, yang menimbulkan banyak kesedihan 

dan sangat mengecilkan hati orang untuk berbuat kebajikan dan 

kesalehan. Sekarang di sini, 

I. Ia mengakui bahwa godaan itu kuat (ay. 7): Sungguh, sering kali 

benar bahwa pemerasan membodohkan orang berhikmat (KJV: 

penindasan membuat orang bijak menjadi gila). Jika orang bijak 

banyak ditindas untuk waktu yang lama, ia sangat cenderung 

berbicara dan bertindak dengan cara yang tidak seperti dirinya. Ia 

cenderung menaruh kekang pada leher amarahnya, dan meluap-

kan keluhan-keluhan yang tidak pantas terhadap Tuhan  dan 

manusia, atau memakai sarana-sarana yang tidak halal dan tidak 

terhormat untuk melegakan dirinya sendiri. Orang-orang benar, 

saat  tongkat kerajaan orang fasik tinggal tetap untuk waktu 

yang lama di atas tanah mereka, terancam bahaya akan mengulur-

kan tangan mereka kepada kejahatan (Mzm. 125:3). saat  bah-

kan orang-orang bijak ditimpa kesusahan-kesusahan yang tidak 

masuk akal, banyak yang harus mereka lakukan untuk menjaga 

perangai mereka dan tetap tegar. Penindasan merusakkan hati 

yang mau memberi (demikian kalimat terakhir bisa dibaca). Bah-

kan hati yang dermawan yang siap untuk memberikan pemberi-

an-pemberian, dan hati yang penuh rahmat yang dikaruniai 

dengan banyak pemberian yang unggul, menjadi rusak sebab  

ditindas. Oleh sebab itu, kita harus banyak memaklumi orang-

orang yang diperlakukan dengan semena-mena dan dijahati, dan 

tidak mengecam mereka dengan keras, meskipun mereka tidak 


 140

bertindak dengan sangat hati-hati seperti yang seharusnya. Kita 

tidak tahu apa yang harus kita lakukan seandainya itu menimpa 

diri kita sendiri. 

II. Salomo mengajukan alasan untuk menentangnya. Janganlah kita 

geram terhadap kekuatan dan keberhasilan para penindas, atau 

iri hati terhadap mereka, sebab,  

1. Tabiat para penindas sangatlah buruk, demikian sebagian 

orang memahaminya (ay. 7). Jika orang yang dikenal sebagai 

orang bijak menjadi penindas, maka ia menjadi orang gila. Akal 

budinya telah meninggalkan dia. Ia tidak lebih baik daripada 

singa yang mengaum dan beruang yang berkeliaran, dan pem-

berian-pemberian, uang suap, yang diambilnya, keuntungan-

keuntungan yang tampak diraupnya dari penindasan-penin-

dasannya, hanya akan menghancurkan hatinya dan mema-

damkan sedikit akal sehatnya dan kebajikan yang tersisa 

dalam dirinya. Oleh sebab itu, ia harus lebih dikasihani dari-

pada dicemburui. Biarkan dia saja, ia akan bertindak dengan 

bodoh, dan merangsek dengan ganasnya hingga dalam waktu 

sebentar saja ia akan menghancurkan dirinya sendiri.  

2. Kesudahannya, pada akhirnya, akan menjadi baik: Akhir suatu 

hal lebih baik dari pada awalnya. Dengan iman, lihatlah 

bagaimana kesudahannya, dan dengan sabar, nantikanlah itu. 

saat  orang-orang sombong mulai menindas sesama mereka 

yang miskin dan jujur, mereka berpikir bahwa kekuasaan 

mereka akan menyokong mereka dalam berbuat demikian. Me-

reka tidak ragu bahwa mereka akan maju terus dan berhasil. 

namun  akan terbukti seperti apa jadinya nanti pada akhirnya, 

walaupun tidak tampak pada awalnya. Kekuasaan mereka 

akan dihancurkan, kekayaan mereka yang diperoleh dari pe-

nindasan akan terkuras habis, mereka akan direndahkan dan 

diturunkan, dan kepada mereka akan diadakan perhitungan 

atas ketidakadilan mereka, dan orang-orang tidak bersalah 

yang ditindas akan dibebaskan dan diberi ganti rugi. Akhir 

dari perjanjian Musa dengan Firaun, si penindas yang congkak 

itu, saat  Israel dibawa keluar dengan kemenangan, lebih baik 

dari pada awalnya, walaupun pada awalnya jumlah batu bata 

dinaikkan dua kali lipat, dan segala sesuatunya tampak me-

ngecilkan hati. 

Kitab Pengkhotbah 7:7-10 

 141 

III. Salomo mempersenjatai kita untuk melawannya dengan beberapa 

petunjuk yang diperlukan. Jika kita tidak mau menjadi gila oleh 

penindasan, namun  tetap menjaga kewarasan jiwa kita, 

1. Kita harus mengenakan kerendahan hati sebagai pakaian. 

Sebab orang yang tinggi hati yaitu  mereka yang tidak tahan 

diinjak-injak, namun  menjadi geram, dan kesal, saat  mereka 

sudah terpojok. Yang akan menghancurkan hati orang som-

bong, tidak akan mengganggu tidur orang yang rendah hati. 

Oleh sebab itu, matikanlah kesombongan, maka hati yang me-

rendah akan dengan mudah berdamai dengan keadaan yang 

rendah. 

2. Kita harus bersabar, sabar menanggung, untuk berserah ke-

pada kehendak Tuhan  dalam penderitaan, dan sabar menunggu, 

untuk menantikan kesudahannya dalam waktu Tuhan  yang 

sepantasnya. Panjang sabar di sini dipertentangkan dengan 

tinggi hati, sebab di mana ada kerendahan hati, di situ akan 

ada kesabaran. Orang-orang yang mengakui bahwa mereka 

tidak layak mendapat apa-apa dari tangan Tuhan  akan bersyu-

kur atas apa saja, dan orang yang panjang sabar dikatakan 

lebih baik dari pada orang yang tinggi hati. Mereka lebih 

tenang bagi diri mereka sendiri, lebih dapat diterima oleh 

orang lain, dan lebih mungkin akan melihat kesudahan yang 

baik dari kesusahan-kesusahan mereka. 

3. Kita harus mengendalikan nafsu kita dengan hikmat dan 

anugerah (ay. 9): Janganlah lekas-lekas marah dalam hati. 

Orang-orang yang tergesa-gesa dalam pengharapan mereka, 

dan tidak tahan dengan penundaan, cenderung marah jika 

pengharapan-pengharapan mereka tidak segera dipuaskan. 

“Janganlah marah terhadap para penindas yang sombong, 

atau siapa saja yang dijadikan alat-alat bagi kesusahanmu.”  

(1) “Janganlah cepat marah, jangan cepat menerima penghina-

an dan membencinya, atau tergerak untuk mengungkap-

kan kebencian-kebencianmu terhadapnya.” 

(2) “Janganlah marah lama-lama.” Sebab meskipun amarah 

bisa saja datang ke dalam dada orang bijak, dan melewati-

nya seperti musafir, amarah hanya menetap dalam dada 

orang bodoh. Di sana ia tinggal, di sana ia menetap, di sana 

ia mendapatkan tempat yang paling dalam dan paling 


 142

tinggi, di sana ia dipeluk sebagai kesayangan, dan disim-

pan di dalam dada, dan tidak mudah untuk dilepaskan. 

Oleh sebab itu, orang yang mau membuktikan dirinya 

sedemikian bijak hingga tidak memberi kesempatan kepada 

Iblis, tidak boleh membiarkan matahari terbenam, sebelum 

padam amarahnya (Ef. 4:26-27). 

4. Kita harus menjadikan yang terbaik dari apa yang ada (ay. 10): 

“Jangan menganggap benar begitu saja bahwa zaman dulu 

lebih baik dari pada zaman sekarang, atau mempertanyakan 

apa penyebabnya hal itu demikian, sebab bukannya berdasar-

kan hikmat engkau menanyakan hal itu, sebab  engkau mena-

nyakan alasan dari suatu hal sebelum engkau yakin bahwa 

hal itu sendiri benar. Dan, selain itu, engkau yaitu  orang 

yang sangat asing bagi masa-masa yang lalu, dan hakim yang 

sangat tidak cakap bahkan atas masa-masa sekarang, sehing-

ga engkau tidak dapat mengharapkan jawaban yang memuas-

kan untuk pertanyaan itu, dan sebab  itu bukannya berdasar-

kan hikmat engkau menanyakan hal itu. Bahkan, anggapan itu 

yaitu  penghinaan yang bodoh terhadap penyelenggaraan 

Tuhan  dalam mengatur dunia.” Perhatikanlah, 

(1) Suatu kebodohan untuk mengeluhkan keburukan zaman 

kita sendiri saat kita mempunyai lebih banyak alasan un-

tuk mengeluhkan keburukan hati kita sendiri (seandainya 

hati manusia lebih baik, zaman pun akan menjadi baik), 

dan saat kita mempunyai lebih banyak alasan untuk ber-

syukur bahwa zaman kita tidak lebih buruk. namun  bahkan 

pada saat-saat terburuk kita menikmati banyak rahmat, 

yang membantu membuat saat yang buruk itu bukan 

hanya dapat ditanggung, namun  juga terasa nyaman.  

(2) Suatu kebodohan untuk menyerukan kebaikan masa-masa 

lalu, sehingga mengecilkan rahmat Tuhan  kepada kita di 

masa-masa kita sendiri sekarang ini. Seolah-olah zaman 

dulu tidak mempunyai hal-hal yang sama untuk dikeluh-

kan seperti yang kita keluhkan sekarang. Atau mungkin 

jika, dalam beberapa hal, zaman-zaman dulu tidak memi-

liki keluhan, tetap saja seolah-olah Tuhan  sudah berbuat 

tidak adil dan tidak baik terhadap kita dengan melempar-

kan kita ke zaman besi, dibandingkan dengan zaman-

Kitab Pengkhotbah 7:11-22 

 143 

zaman emas yang sudah mendahului kita. Hal ini timbul 

tiada lain selain dari kekesalan dan ketidakpuasan, dan 

kecenderungan untuk mengadakan perselisihan dengan 

Tuhan  sendiri. Kita tidak boleh berpikir bahwa ada pem-

busukan di mana-mana dalam alam, atau kemerosotan di 

mana-mana dalam perilaku. Tuhan  selalu baik, dan manusia 

selalu jahat. Dan kalaupun, dalam beberapa hal, masa-masa 

sekarang lebih buruk daripada sebelumnya, mungkin dalam 

hal-hal lain lebih baik. 

Keuntungan-keuntungan Hikmat 

(7:11-22) 

11 Hikmat yaitu  sama baiknya dengan warisan dan merupakan suatu 

keuntungan bagi orang-orang yang melihat matahari. 12 sebab  perlindungan 

hikmat yaitu  seperti perlindungan uang. Dan beruntunglah yang mengeta-

hui bahwa hikmat memelihara hidup pemilik-pemiliknya. 13 Perhatikanlah 

pekerjaan Tuhan ! Siapakah dapat meluruskan apa yang telah dibengkokkan-

Nya? 14 Pada hari mujur bergembiralah, namun  pada hari malang ingatlah, bah-

wa hari malang ini pun dijadikan Tuhan  seperti juga hari mujur, supaya ma-

nusia tidak dapat menemukan sesuatu mengenai masa depannya. 15 Dalam 

hidupku yang sia-sia aku telah melihat segala hal ini: ada orang saleh yang 

binasa dalam kesalehannya, ada orang fasik yang hidup lama dalam kejahatan-

nya. 16 Janganlah terlalu saleh, janganlah perilakumu terlalu berhikmat; 

mengapa engkau akan membinasakan dirimu sendiri? 17 Janganlah terlalu 

fasik, janganlah bodoh! Mengapa engkau mau mati sebelum waktumu? 18 Ada-

lah baik kalau engkau memegang yang satu, dan juga tidak melepaskan yang 

lain, sebab  orang yang takut akan Tuhan  luput dari kedua-duanya. 19 Hikmat 

memberi kepada yang memilikinya lebih banyak kekuatan dari pada sepuluh 

penguasa dalam kota. 20 Sesungguhnya, di bumi tidak ada orang yang saleh: 

yang berbuat baik dan tak pernah berbuat dosa! 21 Juga janganlah memperhati-

kan segala perkataan yang diucapkan orang, supaya engkau tidak mendengar 

pelayanmu mengutuki engkau. 22 sebab  hatimu tahu bahwa engkau juga telah 

kerapkali mengutuki orang-orang lain. 

Salomo, dalam ayat-ayat ini, menganjurkan hikmat kepada kita seba-

gai penangkal terbaik melawan penyakit-penyakit pikiran yang cende-

rung kita derita, oleh sebab  kesia-siaan dan usaha menjaring angin 

yang ada  dalam perkara-perkara dunia ini. Di sini ada beberapa 

pujian dan ajaran hikmat. 

I. Pujian-pujian terhadap hikmat. Banyak hal dikatakan di sini se-

bagai pujian terhadapnya, untuk menggugah kita supaya mem-

peroleh dan mempertahankan hikmat.  


 144

1. Hikmat itu penting untuk mengelola dan memanfaatkan de-

ngan benar harta duniawi kita: Hikmat yaitu  sama baiknya 

dengan warisan (KJV: hikmat itu baik dengan warisan), yaitu, 

warisan itu sedikit kebaikannya tanpa hikmat. Meskipun 

orang mempunyai harta yang banyak, meskipun harta itu 

datang kepadanya dengan mudah, diwariskan dari nenek 

moyangnya, namun jika ia tidak memiliki hikmat untuk meng-

gunakannya sesuai tujuan mengapa ia memilikinya, maka 

lebih baik ia tidak memilikinya. Hikmat tidak hanya baik un-

tuk kaum miskin, untuk membuat mereka puas dan tenang, 

namun  juga baik untuk orang kaya, untuk menjaganya supaya 

tidak dicederai oleh kekayaan itu, dan untuk membuat orang 

mampu berbuat baik dengannya. Hikmat itu baik dengan 

sendirinya, dan membuat orang berguna. namun  , jika ia 

memiliki harta yang baik bersama dengan hikmat itu, maka 

itu akan memberinya kemampuan lebih besar untuk menjadi 

berguna, dan dengan kekayaannya ia dapat lebih berguna bagi 

angkatannya daripada seandainya ia tidak memilikinya. Ia 

juga akan mengikat persahabatan bagi dirinya sendiri (Luk. 

16:9). Hikmat yaitu  sama baiknya dengan warisan, ya, bah-

kan lebih baik (demikian tafsiran yang agak luas). Hikmat itu 

lebih merupakan milik kita sendiri, lebih merupakan kehor-

matan kita, akan membuat kita menjadi berkat-berkat yang 

lebih besar. Ia akan tinggal lebih lama dengan kita, dan men-

jadi sesuatu yang lebih baik.  

2. Hikmat yaitu  keuntungan besar bagi kita di sepanjang per-

jalanan kita dalam melewati dunia ini: Oleh hikmat ada suatu 

keuntungan nyata bagi orang-orang yang melihat matahari, 

baik bagi mereka yang berhikmat maupun bagi orang-orang 

yang sezaman dengan mereka. Melihat matahari itu menye-

nangkan (11:7), namun  kesenangan itu tidak sebanding dengan 

kesenangan hikmat. Terang dunia ini yaitu  keuntungan bagi 

kita dalam melakukan urusan dunia ini (Yoh. 11:9). namun  

bagi orang-orang yang mendapat keuntungan itu, kecuali ber-

samaan dengan itu mereka memiliki hikmat untuk mengelola 

urusan mereka, maka keuntungan itu sedikit nilainya bagi 

mereka. Kejernihan mata hati yaitu  lebih berguna bagi kita 

daripada penglihatan mata jasmani.  

Kitab Pengkhotbah 7:11-22 

 145 

3. Hikmat jauh lebih berperan bagi keselamatan kita, dan meru-

pakan tempat bernaung bagi kita dari badai kesusahan dan 

panasnya yang menyengat. Hikmat itu seperti bayangan (demi-

kian kata yang dipakai), seperti naungan batu yang besar, di 

tanah yang tandus. Hikmat yaitu  perlindungan, dan uang 

(yaitu, seperti uang) yaitu  perlindungan. Sama seperti orang 

kaya menjadikan kekayaannya sebagai kota yang kuat, demi-

kian pula orang bijak dengan hikmatnya. Dalam naungan hik-

mat (demikian bunyi kata-kata itu) dan dalam naungan uang, 

ada keamanan. Salomo menempatkan hikmat dan uang ber-

sama-sama, untuk menegaskan apa yang sudah dia katakan 

sebelumnya, bahwa hikmat yaitu  sama baiknya dengan 

warisan. Hikmat itu seperti dinding, dan uang berguna sebagai 

pagar duri, yang melindungi ladang.  

4. Hikmat yaitu  sukacita dan kebahagiaan yang sejati bagi ma-

nusia. Inilah keunggulan pengetahuan, pengetahuan ilahi, 

yang tidak hanya lebih tinggi daripada uang, namun  juga meng-

atasi hikmat, hikmat manusia, hikmat dunia ini, sebab  pengeta-

huan ilahi itu memelihara hidup pemilik-pemiliknya. Takut akan 

Tuhan, itulah hikmat, dan itulah hidup. Takut akan Tuhan mem-

perpanjang hidup. Kekayaan manusia menghadapkan hidup 

mereka pada bahaya, namun  hikmat mereka melindungi mereka. 

Bahkan, sementara kekayaan tidak akan memperpanjang ke-

hidupan alami, hikmat yang sejati akan memberikan kehidup-

an rohani, yang yaitu  jaminan dari hidup yang kekal. Mem-

peroleh hikmat sungguh jauh lebih baik daripada memperoleh 

emas.  

5.  Hikmat ini akan memberikan kekuatan kepada manusia, dan 

menjadi penopang dan penyokongnya (ay. 19): Hikmat memberi 

kepada yang memilikinya kekuatan. Hikmat menguatkan roh 

mereka, dan membuat mereka berani dan tegas, dengan mem-

buat mereka selalu berpijak di atas dasar-dasar yang kuat. Hik-

mat menguatkan kepentingan mereka, dan membuat mereka 

memperoleh teman-teman dan nama baik. Hikmat menguatkan 

mereka untuk melakukan pelayanan-pelayanan mereka di ba-

wah penderitaan-penderitaan mereka, dan melawan serangan-

serangan yang dilancarkan terhadap mereka, lebih dari pada 

sepuluh penguasa dan panglima-panglima besar yang memper-

kuat kota. Orang yang benar-benar bijak dan baik dibawa ke 


 146

dalam perlindungan Tuhan , dan lebih aman di sana daripada 

jika sepuluh orang yang terkuat ada di kota. Mereka aman di 

bawah perlindungan Tuhan  lebih daripada jika orang-orang yang 

paling berkuasa dan berpengaruh turun tangan untuk meng-

amankan mereka, dan menjadi pengayom-pengayom mereka. 

II.  Beberapa ajaran hikmat, yaitu hikmat yang akan membawa begitu 

banyak keuntungan bagi kita. 

1. Kita harus mengarahkan pandangan kepada Tuhan  dan kepada 

tangan-Nya dalam segala sesuatu yang menimpa kita (ay. 13): 

Perhatikanlah pekerjaan Tuhan . Untuk membungkam keluhan-

keluhan kita mengenai peristiwa-peristiwa malang, marilah 

kita perhatikan tangan Tuhan  di dalamnya dan tidak membuka 

mulut kita melawan apa yang merupakan perbuatan-Nya. Ma-

rilah kita lihat keadaan kita dan segala sesuatu di sekeliling-

nya sebagai pekerjaan Tuhan , dan menganggapnya sebagai hasil 

dari putusan hikmat-Nya yang kekal, yang digenapi dalam 

segala hal yang menimpa kita. Pikirkanlah bahwa setiap peker-

jaan Tuhan  itu bijak, adil, dan baik, dan ada keindahan serta 

keselarasan yang mengagumkan dalam pekerjaan-pekerjaan-

Nya, dan semuanya pada akhirnya akan tampak untuk yang 

terbaik. Oleh sebab itu, marilah kita memuliakan Dia atas 

segala perbuatan-Nya yang berkenaan dengan kita, dan ber-

usaha memenuhi rancangan-rancangan-Nya di dalamnya. Per-

hatikanlah pekerjaan Tuhan  sebagai sesuatu yang tidak dapat 

kita ubah sama sekali. Siapakah dapat meluruskan apa yang 

telah dibengkokkan-Nya? Siapakah yang dapat mengubah haki-

kat segala sesuatu dari apa yang sudah ditetapkan oleh Tuhan  

pencipta alam? Jika Ia menetapkan kesusahan, siapa yang da-

pat membuat damai? Dan, jika Ia memagari jalan dengan pagar 

duri, siapa yang bisa terus maju? Jika penghakiman-pengha-

kiman yang menghancurkan datang dengan membawa tugas, 

siapa yang bisa menghentikannya? Maka dari itu, sebab  kita 

tidak dapat memperbaiki pekerjaan Tuhan , kita harus menjadi-

kan yang terbaik darinya.  

2. Kita harus menyesuaikan diri kita dengan berbagai tindakan 

penyelenggaraan ilahi yang menyangkut kita, dan melakukan 

pekerjaan dan kewajiban sehari-hari pada hari itu juga (ay. 

14). Amatilah,  

Kitab Pengkhotbah 7:11-22 

 147 

(1) Bagaimana ketetapan-ketetapan dan peristiwa-peristiwa 

penyelenggaraan ilahi saling bertukar tempat. Di dunia ini, 

pada saat yang sama, sebagian orang hidup dalam kemu-

juran, sebagian yang lain dalam kemalangan. Orang-orang 

yang sama pada satu waktu sangat mujur, pada waktu lain 

sangat malang. Bahkan, satu peristiwa yang mujur, dan 

peristiwa lain yang menyedihkan, bisa saja terjadi pada 

orang yang sama pada saat yang sama. Keduanya berasal 

dari tangan Tuhan . Bukankah dari mulut Yang Mahatinggi 

keluar apa yang buruk dan apa yang baik? (Rat. 3:38), dan 

hari malang dijadikan Tuhan  seperti juga hari mujur (KJV: 

Tuhan  mempertentangkan yang satu dengan yang lain), se-

hingga ada jalan yang sangat pendek dan mudah yang 

menghubungkan keduanya, dan keduanya saling berten-

tangan. Siang dan malam, musim panas dan musim dingin, 

dipertentangkan satu dengan yang lain, supaya dalam ke-

mujuran kita dapat bergembira seolah-olah tidak bergem-

bira, dan dalam kemalangan kita dapat menangis seolah-

olah tidak menangis, sebab kita dapat melihat dengan jelas 

yang satu dari yang lain, dan cepat bertukar dari tempat 

yang satu ke tempat yang lain. Dan hal itu terjadi supaya 

manusia tidak dapat menemukan sesuatu mengenai masa 

depannya, supaya ia tidak yakin sama sekali mengenai ke-

jadian-kejadian masa depan atau kelanjutan dari keadaan 

sekarang, namun  dapat hidup dengan bergantung pada 

penyelenggaraan ilahi dan siap untuk apa saja yang terjadi. 

Atau supaya manusia tidak dapat menemukan apa-apa 

dalam pekerjaan Tuhan  yang berlagak ingin diperbaikinya.  

(2) Bagaimana kita harus mematuhi kehendak Tuhan  dalam 

kedua macam peristiwa itu. Agama kita, secara umum, 

harus tetap sama dalam setiap keadaan, namun  perbuatan-

perbuatan dan kegiatan-kegiatannya secara khusus harus 

beragam, sesuai dengan keadaan lahiriah kita, supaya kita 

berjalan mengikuti Tuhan. 

[1] Pada hari mujur (dan itu hanya satu hari), kita harus 

bergembira, hidup tenang, berbuat baik, dan hidup 

baik-baik, menjaga keceriaan yang kudus, dan menjadi 

hamba kepada TUHAN Tuhan  dengan sukacita dan gem-

bira hati walaupun kelimpahan akan segala-galanya. 


 148

“saat  dunia tersenyum, bergembiralah dalam Tuhan , 

dan pujilah Dia, dan biarlah sukacita sebab  TUHAN 

menjadi perlindunganmu.”  

[2] Pada hari malang (dan itu hanya satu hari juga) ingat-

lah. Masa-masa penderitaan yaitu  masa-masa yang 

tepat untuk merenung, pada saat itu Tuhan  memanggil 

untuk memperhatikan keadaan kita (Hag. 1:5), pada 

saat itu, kalaupun memang tertimpa penderitaan, maka 

tidak ada kebaikan yang akan diperoleh darinya tanpa 

perenungan. Kita tidak dapat memenuhi tujuan Tuhan  

dalam menimpakan penderitaan kepada kita kecuali 

kita merenungkan mengapa dan kenapa Ia berseteru 

dengan kita. Dan permenungan juga penting sebagai 

penghiburan dan penopang kita di bawah penderitaan-

penderitaan kita. 

3. Kita tidak boleh marah dengan kemakmuran besar orang-

orang fasik, atau pula oleh malapetaka-malapetaka yang pa-

ling menyedihkan yang menimpa orang-orang saleh dalam 

hidup ini (ay. 15). Hikmat akan mengajar kita bagaimana me-

nafsirkan bab-bab yang gelap dari penyelenggaraan ilahi itu 

sehingga kita dapat mendamaikannya dengan hikmat, keku-

dusan, kebaikan, dan kesetiaan kepada Tuhan . Kita tidak boleh 

terheran-heran sebab nya. Salomo memberi tahu kita bahwa 

ada contoh-contoh semacam ini pada masanya: “Dalam hidup-

ku yang sia-sia aku telah melihat segala hal ini. Aku telah 

memperhatikan semua yang terjadi, dan hal ini sudah menge-

jutkan dan membingungkan aku seperti hal-hal lain.” Amati-

lah, meskipun Salomo yaitu  orang yang begitu bijak dan be-

sar, namun ia menyebut hari-harinya sebagai hidupnya yang 

sia-sia, sebab hari-hari yang terbaik di bumi yaitu  demikian, 

dibandingkan dengan hari-hari dalam kekekalan. Atau mung-

kin ia merujuk pada hari-hari kemurtadannya dari Tuhan  (itu 

memang hidupnya yang sia-sia). Dan ia merenungkan hal ini 

sebagai satu hal yang menggodanya untuk berlaku tidak setia, 

atau setidak-tidaknya untuk bersikap tak acuh dalam agama, 

bahwa ia melihat ada orang saleh yang binasa dalam kesaleh-

annya, bahwa kesalehan terbesar tidak akan melindungi orang 

dari penderitaan-penderitaan terbesar oleh tangan Tuhan . Bah-

kan, kesalehan terbesar ada kalanya menghadapkan orang 

Kitab Pengkhotbah 7:11-22 

 149 

pada kejahatan-kejahatan terbesar dari tangan orang-orang 

fasik dan tidak waras. Nabot binasa dalam kesalehannya, dan 

Habel jauh sebelum itu. Ia juga sudah melihat orang-orang 

fasik berumur panjang dalam kefasikan mereka. Mereka tetap 

hidup, menjadi tua, bahkan menjadi bertambah-tambah kuat 

(Ayb. 21:7). Ya, bahkan dengan tipuan dan kekerasan mereka, 

mereka meloloskan diri dari pedang keadilan. “Nah, dalam hal

ini, renungkanlah pekerjaan Tuhan , dan janganlah itu menjadi 

batu sandungan bagimu.” Segala malapetaka yang menimpa 

orang-orang benar sedang mempersiapkan mereka untuk 

kebahagiaan mereka di masa depan, dan orang-orang fasik, 

walaupun umur mereka panjang, hanya menjadi matang bagi 

kehancuran. Ada penghakiman yang akan datang, yang akan 

meluruskan apa yang tampak tidak teratur ini, bagi kemuliaan 

Tuhan  dan kepuasan penuh semua umat-Nya, dan kita harus 

menanti dengan sabar sampai waktu itu tiba.  

4.  Hikmat akan berguna baik sebagai peringatan untuk orang-

orang kudus di jalan mereka, maupun sebagai teguran untuk 

orang-orang berdosa di jalan mereka.  

(1) Berkenaan dengan orang-orang kudus, hikmat akan meng-

gugah mereka untuk terus dan bertekun dalam kesalehan 

mereka, namun juga akan menjadi peringatan bagi mereka 

untuk berjaga-jaga supaya tidak bertindak berlebihan: 

Orang saleh binasa dalam kesalehannya, namun  janganlah 

ia, sebab  kelalaiannya sendiri dan semangatnya yang ge-

gabah, menimpakan kesusahan atas dirinya sendiri, lalu 

mencela penyelenggaraan ilahi sebab  berlaku keras terha-

dapnya. “Janganlah terlalu saleh (ay. 16). Dalam tindakan-

tindakan kesalehan, aturlah dirimu sendiri dengan aturan-

aturan kebijaksanaan, dan janganlah terbawa-bawa, sekali-

pun itu oleh semangat untuk Tuhan , ke dalam amarah atau 

hawa nafsu yang di luar batas, atau ke dalam perbuatan-

perbuatan apa saja yang tidak patut atau berbahaya bagi 

kepentingan-kepentinganmu.” Perhatikanlah, orang bisa saja 

berlebih-lebihan dalam berbuat baik. Penyangkalan diri dan 

mati raga itu baik. namun  jika kita membahayakan kesehat-

an kita dengannya, dan membuat diri kita tidak layak untuk 

melayani Tuhan , maka kita bertindak terlalu saleh. Menegur 

orang-orang yang melanggar itu baik, namun  melemparkan 


 150

mutiara kepada babi, yang akan berbalik dan mengoyak 

kita, itu yaitu  bertindak terlalu saleh. “Janganlah perilaku-

mu terlalu berhikmat. Janganlah berpendirian keras, dan 

tinggi hati dengan kemampuan-kemampuanmu sendiri. Ja-

ngan mengangkat diri menjadi penguasa yang lalim, atau 

berlagak memberikan hukum kepada, dan memberikan 

penghakiman atas, semua orang di sekelilingmu. Jangan-

lah mengangkat diri menjadi pencela, untuk mencari-cari 

kesalahan dalam segala sesuatu yang dikatakan dan di-

lakukan, atau menyibukkan dirimu dengan urusan-urusan 

orang lain, seolah-olah engkau mengetahui segala sesuatu 

dan dapat berbuat apa saja. Mengapa engkau akan mem-

binasakan dirimu sendiri, seperti yang sering dilakukan 

oleh orang-orang bodoh dengan ikut campur dalam perseli-

sihan yang bukan menjadi urusan mereka? Mengapa eng-

kau harus menyulut amarah pihak yang berwenang, dan 

membiarkan dirimu berjalan menginjak onak duri, oleh 

perselisihan-perselisihan yang tidak perlu, dan dengan ke-

luar dari ruang lingkupmu, ingin memperbaiki apa yang 

salah? Hendaklah kamu cerdik seperti ular. Waspyaitu  

terhadap semua orang.”  

(2) Berkenaan dengan orang-orang berdosa, walaupun hikmat 

tidak dapat berhasil membuat mereka meninggalkan dosa-

dosa mereka, namun hikmat dapat menahan mereka su-

paya tidak bertambah menjadi sangat keterlaluan. Memang 

benar bahwa ada orang fasik yang hidup lama dalam keja-

hatannya (ay. 15). namun  janganlah sebab  itu ada orang 

yang berkata bahwa mereka bisa berlaku fasik dengan 

aman seperti yang mereka mau. Tidak, janganlah terlalu 

fasik (ay. 17). Jangan membuat kerusuhan yang berlebih-

an. Banyak orang tidak akan tergerak oleh takut akan 

Tuhan , dan kengerian terhadap siksaan-siksaan neraka, un-

tuk menghindari semua dosa. Namun, jika mereka mere-

nung sedikit saja, mereka akan menghindari dosa-dosa 

yang merusak kesehatan dan harta benda mereka, dan 

yang menghadapkan mereka pada keadilan umum. Dan 

Salomo di sini memanfaatkan permenungan-permenungan 

ini. “Tidak percuma pemerintah menyandang pedang, memi-

liki mata yang cepat dan tangan yang berat, dan menjadi 

Kitab Pengkhotbah 7:11-22 

 151 

kengerian bagi para pembuat kejahatan. Oleh sebab itu, 

takutlah untuk berada dalam jangkauannya, dan janganlah 

begitu bodoh hingga engkau menghadapkan dirimu pada 

hukum. Mengapa engkau mau mati sebelum waktumu?” 

Salomo, dalam dua peringatan ini, mungkin memberikan 

perhatian khusus terhadap sebagian dari rakyatnya sendiri 

yang tidak puas dengan pemerintahannya dan sedang me-

rencanakan pemberontakan, yang mereka adakan segera 

sesudah  kematiannya. Sebagian orang, mungkin, memper-

masalahkan dosa-dosa pemimpin mereka, dan menjadikan-

nya sebagai dalih. Kepada mereka Salomo berkata, jangan-

lah terlalu saleh. Sebagian yang lain lelah dengan ketatnya 

pemerintahan, dan ibadah di Bait Suci, sehingga membuat 

mereka ingin mengangkat raja lain. namun  Salomo mena-

kut-nakuti kedua golongan warga  ini dengan pedang 

keadilan, supaya mereka tidak melakukan perbuatan-per-

buatan yang menghasut. Sebagian yang lain juga diancam 

untuk tidak ikut-ikut campur dengan orang-orang yang 

ingin melakukan perubahan (Ams. 24:21, KJV). 

5.  Hikmat akan mengarahkan kita untuk berada di tengah-

tengah di antara dua ujung yang berlebihan, dan menjaga kita 

selalu di jalan kewajiban kita, yang akan kita dapati sebagai 

jalan yang rata dan aman (ay. 18): “yaitu  baik kalau engkau 

memegang yang satu, yaitu hikmat ini, kepedulian ini, dan 

tidak membawa dirimu ke dalam jerat. Dan juga tidak melepas-

kan yang lain. Jangan pernah membiarkan ketekunanmu 

menjadi kendor, dan jangan pula meredakan tekadmu untuk 

menjaga perilaku yang pantas, dan untuk menguasai dirimu. 

Peganglah kekang yang olehnya amarah-amarahmu yang tidak 

mau diatur akan dikendalikan supaya tidak membuatmu ber-

gegas melakukan satu atau lain kejahatan. Jangan seperti 

kuda atau bagal yang tidak berakal. Dan, sesudah  memegang 

kekang itu, peganglah dengan erat-erat, dan jangan lepaskan 

tanganmu darinya, sebab, jika engkau melepaskannya, maka 

amarah-amarah itu akan bebas dan menjadi seperti air mene-

robos, dan engkau tidak akan bisa memegang kembali kekang 

itu dengan mudah. Bertindaklah dengan kesadaran hati nu-

rani, namun berhati-hatilah, dan latihlah dirimu untuk mela-

kukan ini. Kuasailah dirimu dengan mantap oleh dasar-dasar 


 152

pegangan agama, maka engkau akan mendapati bahwa orang 

yang takut akan Tuhan  luput dari semua kesesakan dan kesulit-

an yang bisa menimpa orang-orang yang sudah membuang 

rasa takut akan Tuhan .” Takut akan Tuhan yaitu  hikmat yang 

akan berguna sebagai petunjuk untuk melepaskan diri kita 

dari labirin-labirin (jalan yang berkelok-kelok hingga menye-

satkan – pen.) yang paling rumit. Kejujuran yaitu  cara yang 

terbaik. Orang yang benar-benar takut akan Tuhan  hanya 

memiliki satu tujuan untuk dicapai, dan sebab  itu bertindak 

dengan mantap. Tuhan  juga telah berjanji untuk mengarahkan 

orang-orang yang takut akan Dia, dan untuk mengatur lang-

kah-langkah mereka ke jalan yang benar serta menjauhkan 

langkah mereka jalan yang berbahaya (Mzm. 37:23-24). 

6. Hikmat akan mengajar kita bagaimana harus berperilaku dalam 

kaitannya dengan dosa dan pelanggaran-pelanggaran orang 

lain, yang biasanya sangat mengganggu ketenangan kita diban-

dingkan dengan hal-hal lain, dan yang menimbulkan rasa ber-

salah maupun kesedihan. 

(1) Hikmat mengajar kita untuk tidak berharap bahwa orang-

orang yang berurusan dengan kita harus tidak punya kesa-

lahan. Kita sendiri tidak demikian, tidak seorang pun demi-

kian, bahkan yang terbaik sekali pun. Hikmat ini memberi 

kepada yang memilikinya kekuatan untuk menghadapi sega-

la sesuatu, dan mempersenjatai mereka melawan bahaya 

saat  disalahi (ay. 19), sehingga mereka tidak kehilangan 

kendali oleh sebab nya. Mereka bisa berpikir dengan baik 

bahwa orang-orang yang berhubungan dan bergaul dengan 

mereka bukanlah jelmaan malaikat, melainkan putra dan 

putri Adam yang berdosa. Bahkan orang-orang yang ter-

baik sekali pun demikian, sehingga di bumi tidak ada orang 

yang saleh: yang berbuat baik dan tak pernah berbuat dosa 

(ay. 20). Salomo menyebutkan ini dalam doanya (1Raj. 8:46), 

dalam amsal-amsalnya (Ams. 20:9), dan di sini dalam khot-

bahnya. Perhatikanlah,  

[1] yaitu  tabiat orang benar bahwa mereka berbuat baik. 

Sebab pohon dikenal dari buahnya.  

[2] Orang-orang terbaik, dan orang-orang yang berbuat ke-

baikan paling banyak, tetap tidak dapat berkata bahwa 

Kitab Pengkhotbah 7:11-22 

 153 

mereka secara sempurna bebas dari dosa. Bahkan orang-

orang yang dikuduskan sekalipun bukannya tanpa dosa. 

Tak seorang pun yang hidup di seberang sorga sini hidup 

tanpa dosa. Jika kita berkata, bahwa kita tidak berdosa, 

maka kita menipu diri kita sendiri.  

[3] Kita berdosa bahkan dalam berbuat baik. Ada sesuatu 

yang cacat, bahkan, sesuatu yang melanggar hukum, 

dalam perbuatan-perbuatan terbaik kita. Apa yang pada 

intinya baik, dan berkenan kepada Tuhan , tidak dilaku-

kan dengan begitu baik seperti yang seharusnya, dan 

melalaikan kewajiban yaitu  dosa, seperti juga menia-

dakan kewajiban.  

[4] Hanya orang-orang benar yang di bumi yang tunduk 

pada dosa dan kelemahan seperti itu. Roh-roh orang-

orang benar, sesudah  mereka terbebas dari tubuh, dibuat 

menjadi sempurna dalam kekudusan (Ibr. 12:23), dan di 

sorga mereka berbuat baik dan tidak berdosa. 

(2) Hikmat mengajar kita untuk tidak terlalu cepat melihat, 

atau terlalu cepat mencium, dalam menanggapi dan marah 

terhadap tindakan penghinaan. Sebaliknya, pandanglah 

dengan sebelah mata saja segala perbuatan jahat yang 

dilakukan orang terhadap kita, dan bertindaklah seolah-olah 

kita tidak melihatnya (ay. 21): “Juga janganlah memper-

hatikan segala perkataan yang diucapkan orang. Janganlah 

hatimu terpatri padanya. Janganlah membuat hatimu kesal 

dengan caci maki orang terhadapmu, atau kecurigaan-kecu-

rigaan mereka terhadapmu, namun  jadilah seperti orang tuli 

yang tidak mendengar (Mzm. 38:14-15). Janganlah cemas 

atau penasaran untuk mengetahui apa yang dikatakan 

orang tentangmu. Jika mereka berkata-kata baik tentang-

mu, itu akan membuatmu semakin sombong, jika tidak 

baik, itu akan membangkitkan amarahmu. Oleh sebab itu, 

pastikan bahwa engkau membuktikan dirimu layak di 

hadapan Tuhan  dan hati nuranimu sendiri, dan kemudian 

jangan pedulikan apa yang dikatakan orang tentangmu. 

Orang yang mendengar perkataan orang, kita berkata, 

jarang mendengar yang baik tentang diri mereka sendiri. 

Jika engkau mengindahkan setiap kata yang diucapkan, 

mungkin engkau akan mendengar pelayanmu mengutuki 


 154

engkau saat  ia menyangka bahwa engkau tidak men-

dengarnya. Engkau akan diberi tahu apa yang dia lakukan, 

dan mungkin diberi tahu dengan salah, jika engkau mem-

buka telingamu kepada para pemfitnah (Ams. 29:12). Bah-

kan, mungkin saja itu benar, dan engkau bisa saja berdiri di 

belakang tirai dan mendengarnya sendiri, mendengar dirimu 

sendiri tidak hanya dipersalahkan dan dipandang rendah, 

namun  juga dikutuk, hal-hal terburuk dikatakan tentangmu 

dan diharapkan terjadi kepadamu. Dan itu dilakukan oleh 

seorang pelayan, salah seorang dari kalangan terendah, dari 

kaum yang hina dina. Bahkan oleh pelayanmu sendiri, yang 

seharusnya menjadi pembela bagimu, dan melindungi nama 

baikmu dan juga kepentingan-kepentinganmu yang lain. 

Mungkin itu yaitu  pelayan yang kepadanya engkau sudah 

bersikap baik, namun ia membalasmu dengan perbuatan 

jahat seperti itu, dan ini akan membuatmu marah. Lebih 

baik engkau tidak pernah mendengar apa yang dikatakan-

nya. Mungkin itu seorang pelayan yang terhadapnya eng-

kau telah berbuat jahat, dan yang telah engkau perlakukan 

secara tidak adil. Dan, meskipun ia tidak berani memberi 

tahumu demikian, ia memberi tahu orang lain demikian, 

dan memberi tahu Tuhan  demikian, dan kemudian hati nu-

ranimu sendiri akan bergabung bersamanya dalam celaan-

nya itu, yang akan membuat celaannya jauh lebih meng-

gelisahkan.” Nama baik orang-orang yang paling besar 

sekalipun terletak pada tangan orang-orang yang paling 

hina. Dan mungkin ada jauh lebih banyak hal jahat yang 

dikatakan tentang kita daripada yang kita pikirkan, dan itu 

dikatakan oleh orang-orang yang tidak kita sangka. namun  

kita tidak mengutamakan ketenangan kita sendiri, atau 

bahkan nama baik kita, meskipun kita mengaku menjaga-

nya dengan cemburu, jika kita memperhatikan setiap kata 

yang merendahkan yang diucapkan tentang kita. Lebih 

mudah mengabaikan dua puluh penghinaan seperti itu 

daripada membalas salah satunya.  

(3) Hikmat mengingatkan kita akan kesalahan-kesalahan kita 

sendiri (ay. 22): “Janganlah geram terhadap orang-orang 

yang berbicara buruk tentangmu, atau yang berharap bu-

ruk untukmu, sebab  kerap kali, dalam hal itu, jika engkau

Kitab Pengkhotbah 7:23-29 

 155 

 merenungkannya sendiri, hati nuranimu sendiri akan 

memberi tahu engkau bahwa engkau juga telah mengutuki 

orang-orang lain, telah berbicara buruk tentang mereka dan 

berharap yang buruk untuk mereka, dan engkau dibayar 

dengan perbuatanmu sendiri.” Perhatikanlah, jika  peng-

hinaan atau kejahatan apa saja dilakukan terhadap kita, 

maka sudah waktunya untuk memeriksa batin kita apakah 

kita sudah berbuat hal yang sama, atau yang sama buruk-

nya, terhadap orang lain. Dan jika, sesudah  direnungkan, 

kita mendapati bahwa kita sudah berbuat hal yang serupa, 

maka kita harus mengambil kesempatan itu untuk mem-

perbarui pertobatan kita atas perbuatan itu, harus mem-

benarkan Tuhan  atas kejadian ini, dan menggunakannya 

untuk meredakan rasa marah kita sendiri. Jika kita benar-

benar marah terhadap diri kita sendiri, seperti yang seha-

rusnya, sebab  telah menggunjingkan dan mencela orang 

lain, maka kita tidak akan begitu marah terhadap orang 

lain sebab  telah menggunjingkan dan mencela kita. Kita 

harus menunjukkan segala kelembutan terhadap semua 

orang, sebab dahulu kita sendiri juga hidup dalam kejahilan 

(Tit. 3:2-3; Mat. 7:1-2; Yak. 3:1-2). 

Kejahatan Dosa 

(7:23-29) 

23 Kesemuanya ini telah kuuji untuk mencapai hikmat. Kataku: “Aku hendak 

memperoleh hikmat,” namun  hikmat itu jauh dari padaku. 24 Apa yang ada, itu 

jauh dan dalam, sangat dalam, siapa yang dapat menemukannya? 25 Aku 

tujukan perhatianku untuk memahami, menyelidiki, dan mencari hikmat 

dan kesimpulan, serta untuk mengetahui bahwa kefasikan itu kebodohan 

dan kebebalan itu kegilaan. 26 Dan aku menemukan sesuatu yang lebih pahit 

dari pada maut: wanita  yang yaitu  jala, yang hatinya yaitu  jerat dan 

tangannya yaitu  belenggu. Orang yang dikenan Tuhan  terhindar dari pada-

nya, namun  orang yang berdosa ditangkapnya. 27 Lihatlah, ini yang kudapati, 

kata Pengkhotbah: Sementara menyatukan yang satu dengan yang lain untuk 

mendapat kesimpulan, 28 yang masih kucari namun  tidak kudapati, kudapati 

seorang laki-laki di antara seribu, namun  tidak kudapati seorang wanita  di 

antara mereka. 29 Lihatlah, hanya ini yang kudapati: bahwa Tuhan  telah men-

jadikan manusia yang jujur, namun  mereka mencari banyak dalih. 

Salomo sejauh ini sudah membuktikan kesia-siaan dunia dan keti-

daksanggupannya sama sekali untuk membuat manusia bahagia. 

Sekarang di sini ia hendak menunjukkan kekejian dosa, dan kecen-


 156

derungannya yang pasti untuk membuat manusia sengsara. Dan hal 

ini, seperti hal sebelumnya, dibuktikannya dari pengalamannya 

sendiri, dan itu pengalaman yang dibayar dengan harga mahal. Ia di 

sini, lebih daripada di tempat lain dalam seluruh kitab ini, mengena-

kan jubah seorang petobat. Ia mengulas kembali apa yang sudah 

dibicarakannya sejauh ini, dan memberi tahu kita bahwa apa yang 

sudah dikatakannya yaitu  yang ia ketahui dan yang sangat ia 

yakini, dan yang bertekad untuk dia pegang: Kesemuanya ini telah 

kuuji untuk mencapai hikmat (ay. 23). Sekarang di sini. 

I.   Ia mengakui dan meratapi kekurangan-kekurangan hikmatnya. Ia 

memiliki cukup hikmat untuk melihat kesia-siaan dunia dan 

untuk mengalami bahwa dunia tidak akan menjadi bagian untuk 

jiwa. namun  , saat  ia ingin mencari tahu lebih jauh, ia men-

dapati dirinya kebingungan. Matanya terlalu redup, jarak pan-

dangnya terlalu pendek, dan, meskipun ia menyingkapkan hal ini, 

ada banyak hal lain yang tidak bisa dibuktikannya dengan hikmat. 

1.  Pencarian-pencariannya dilakukan dengan tekun. Tuhan  telah 

memberinya kemampuan untuk memperoleh pengetahuan 

melebihi siapa pun. Ia membangun persediaan hikmat yang 

besar. Ia mempunyai peluang-peluang terbesar untuk mem-

perbaiki dirinya dibandingkan dengan siapa pun juga. Dan,  

(1) Ia bertekad, sekiranya mungkin, untuk mencapai tujuan-

nya: Kataku: “Aku hendak memperoleh hikmat.” Ia meng-

inginkannya dengan sungguh-sungguh sebagai hal yang 

sangat berharga. Ia merancangnya sepenuh-penuhnya 

sebagai sesuatu yang ingin dicapainya. Ia menetapkan hati 

untuk tidak duduk tanpa meraihnya (Ams. 18:1). Banyak 

orang tidak menjadi bijak sebab mereka tidak pernah ber-

kata bahwa mereka ingin menjadi bijak, dan bersikap tak 

acuh terhadapnya. namun  Salomo menetapkannya sebagai 

sasaran yang ingin dia bidik. saat  ia mencoba kesenang-

an-kesenangan inderawi, akal budinya tetap memimpin de-

ngan hikmat (2:3) dan tidak beralih dari mengejar hikmat. 

namun  mungkin ia tidak mendapatinya sebagai hal yang 

mudah seperti yang dibayangkannya untuk menjaga hu-

bungannya dengan hikmat, sementara ia sendiri sangat 

kecanduan dengan kesenangan-kesenangan diri. Namun 

Kitab Pengkhotbah 7:23-29 

 157 

demikian, kehendaknya baik. Katanya, Aku hendak mem-

peroleh hikmat. Dan itu belum semua:  

(2) Ia bertekad untuk tidak segan-segan bersusah payah (ay. 

25): “Aku tujukan perhatianku. Aku dan hatiku melihat ke 

segala arah. Aku tidak membiarkan satu pun batu tak 

terbalik, tak satu pun sarana yang tidak dicoba, untuk me-

raih apa yang ada dalam pandanganku. Aku menetapkan 

diriku untuk memahami, menyelidiki, dan mencari hikmat, 

untuk mencapai bagi diriku sendiri semua ilmu pengetahu-

an yang berguna, filsafat, dan ilmu ketuhanan.” Seandai-

nya ia tidak mengerahkan segenap kekuatannya seperti itu 

untuk belajar, maka hanya akan menjadi lelucon baginya 

untuk berkata, aku hendak memperoleh hikmat, sebab 

orang-orang yang ingin mencapai tujuan harus mengambil 

jalan yang benar. Salomo yaitu  orang yang sangat tang-

gap, dan sekalipun begitu, bukannya menggunakan ke-

mampuan untuk menanggap itu (seperti pada banyak 

orang) sebagai alasan untuk bermalas-malas, ia menekan-

kannya pada dirinya sendiri sebagai dorongan untuk berte-

kun. Dan semakin mudah yang ia dapati untuk menguasai 

suatu gagasan yang baik, semakin ia berniat untuk bisa 

menguasai lebih banyak gagasan lain lagi yang baik. 

Orang-orang yang mendapat bagian-bagian terbaik harus 

melakukan upaya-upaya terbesar, seperti halnya orang-

orang yang mempunyai persediaan paling besar harus 

berdagang paling banyak. Ia mengerahkan segenap kekuat-

annya bukan hanya untuk mengetahui apa yang terletak 

pada permukaan, namun  juga untuk menyelidiki apa yang 

tersembunyi dari pandangan dan jalan umum. Tidak pula 

ia hanya mencari sebentar saja, dan kemudian menyerah 

sebab  tidak segera menemukan apa yang dicarinya. 

Sebaliknya, ia menyelidikinya, sampai ke dasar-dasarnya. 

Tidak pula ia bertujuan untuk mengetahui berbagai hal 

saja, melainkan juga alasan-alasan di balik semua hal itu, 

supaya ia bisa memberikan penjelasan tentangnya. 

2. Namun keberhasilannya tidak tercapai atau memuaskan: “Ka-

taku: ‘Aku hendak memperoleh hikmat,’ namun  hikmat itu jauh 

daripadaku. Aku tidak bisa meraihnya. Lagi pula, hanya ini 

yang kuketahui, bahwa aku tidak tahu apa-apa, dan semakin 


 158

aku mengetahui, semakin aku melihat bahwa masih ada yang 

harus diketahui, dan semakin sadar aku akan ketidaktahuan-

ku sendiri. Apa yang ada, itu jauh dan dalam, sangat dalam, 

siapa yang dapat menemukannya?” Yang dimaksudkannya 

yaitu  Tuhan  sendiri, putusan-putusan hikmat-Nya dan peker-

jaan-pekerjaan-Nya. saat  ia menyelidiki perkara-perkara ini, 

ia mendapati dirinya kebingungan dan menemui jalan buntu. 

Tak ada yang dapat ia paparkan oleh sebab  kegelapan. Ting-

ginya seperti langit, jadi apa yang dapat ia lakukan? (Ayb. 

11:8). Terpujilah Tuhan , tak ada satu pun yang harus kita laku-

kan yang tidak jelas dan mudah. Firman itu dekat kepadamu  

(Ams. 8:9). namun  ada banyak hal yang ingin kita ketahui yang 

jauh dan dalam, sangat dalam, di antara hal-hal rahasia yang 

bukan untuk kita. Dan mungkin ketidaktahuan yang salah dan 

kesesatanlah yang diratapi Salomo di sini, bahwa kesenangan-

kesenangannya, dan banyaknya hiburan di istananya, telah 

membutakan matanya dan mendatangkan kabut di depannya, 

sehingga ia tidak dapat mencapai hikmat sejati seperti yang 

dirancangkannya. 

II. Ia mengakui dan meratapi contoh-contoh kebodohannya yang di 

dalamnya ia sudah bertindak terlalu jauh, yang menjadi keku-

rangannya, seperti halnya dalam hikmat. Di sini ada, 

1. Pertanyaannya mengenai kejahatan dosa. Ia menujukan per-

hatiannya untuk mengetahui bahwa kefasikan itu kebodohan 

dan kebebalan itu kegilaan. Amatilah,  

(1) Pengetahuan tentang dosa yaitu  pengetahuan yang sulit, 

dan susah dicapai. Salomo bersusah payah memperolehnya. 

Dosa memiliki banyak penyamaran untuk menyembunyikan 

dirinya, sebab  ia tidak mau tampak sebagai dosa, dan sa-

ngat sulit untuk melucutinya dari penyamaran-penyamaran 

ini dan melihatnya dalam kodrat dan warna aslinya.  

(2) Untuk bertobat, penting bagi kita untuk mengenal kejahatan 

dari dosa itu, seperti halnya untuk menyembuhkan penyakit 

kita harus mengenal sifatnya, penyebab-penyebabnya, dan 

bahayanya. Itulah sebabnya Rasul Paulus menghargai ting-

gi hukum ilahi, sebab  hukum itu menyingkapkan dosa 

kepadanya (Rm. 7:7). Salomo yang, dalam hidupnya yang 

Kitab Pengkhotbah 7:23-29 

 159 

sia-sia, telah menetapkan akalnya untuk bekerja menemu-

kan kesenangan-kesenangan dan menajamkannya, dan 

cerdik dalam membuat persediaan untuk memenuhi ke-

inginan daging, sekarang sebab  Tuhan  sudah membuka 

matanya, menjadi sangat tekun untuk mengetahui hal-hal 

yang memperparah dosa, sehingga semakin membantu 

dirinya untuk bertobat. Orang-orang berdosa yang cerdik 

harus menjadi petobat-petobat yang cerdik, dan akal serta 

pengetahuan, di antara rampasan-rampasan lain dari 

orang yang kuat dan yang lengkap bersenjata, harus dibagi-

bagi oleh Tuhan Yesus. 

(3) Sudah sepatutnya para pertobat mengatakan yang ter-

buruk yang bisa mereka katakan tentang dosa, sebab pada 

kenyataannya kita ini tidak pernah dapat berkata yang 

sejahat-jahatnya tentang dosa. Salomo di sini, untuk sema-

kin merendahkan dirinya lagi, ingin melihat lebih banyak,  

[1] Tentang keberdosaan dosa. Inilah yang sangat ditekan-

kannya dalam pencariannya, yaitu untuk mengetahui 

bahwa kefasikan itu kebodohan. Mungkin yang dimak-

sudkannya yaitu  pelanggarannya sendiri, dosa kena-

jisan, sebab dosa itu biasa disebut sebagai kebodohan 

atau noda di antara orang Israel (Kej. 34:7; Ul. 22:21; 

Hak. 20:6; 2Sam. 13:12. KJV: kebodohan di Israel). Keti-

ka ia memanjakan dirinya dalam dosa itu, ia mengang-

gapnya sebagai perkara yang remeh. namun  sekarang ia 

ingin melihat kejahatannya, kejahatan yang besar (de-

mikian yang dikatakan Yusuf tentang dosa [Kej. 39:9]). 

Atau mungkin yang dimaksudkan Salomo yaitu  semua 

dosa secara umum. Banyak orang memandang remeh 

dosa-dosa mereka, dan itulah kebodohan mereka. namun  

Salomo melihat kefasikan dalam kebodohan-kebodohan 

itu, sebuah pelanggaran terhadap Tuhan  dan sebuah ke-

jahatan terhadap hati nurani. Itulah kefasikan (Yer. 

4:18; Za. 5:8).  

[2] Tentang kebodohan dosa. Sama seperti ada kefasikan 

dalam kebodohan, demikian pula ada kebodohan dalam 

kefasikan, bahkan kebebalan dan kegilaan. Para pen-

dosa yang berbuat dosa secara sengaja yaitu  orang-

orang bodoh dan gila. Mereka bertindak bertentangan 


 160

dengan akal sehat maupun kepentingan mereka yang 

sebenarnya. 

2. Hasil dari pencarian ini. 

(1) Ia sekarang, lebih daripada sebelumnya, menyingkapkan 

kejahatan dari dosa besar yang sudah menjadi kesalahan-

nya sendiri, yaitu mencintai banyak wanita  asing (1Raj. 

11:1). Inilah hal yang di sini diratapinya dengan sepenuh 

hati, dan dalam ungkapan-ungkapan yang sangat memilu-

kan.  

[1] Ia mendapati bahwa ingatan akan dosa itu sangat men-

dukakan. Oh, betapa beratnya ingatan itu membebani 

hati nuraninya! Betapa tersiksanya ia saat  memikir-

kannya, yaitu kefasikan, kebodohan, kegilaan yang su-

dah menjadi kesalahannya! Aku menemukan sesuatu 

yang lebih pahit dari pada maut. Seperti ada kengerian 

besar yang mencekamnya, saat  ia merenungkannya, 

seolah-olah ia terkena sergapan maut. Demikianlah 

yang dialami orang-orang yang dosa-dosanya diperha-

dapkan kepada mereka oleh jeritan yang berteriak-

teriak meyakinkan mereka bahwa mereka bersalah. 

Dosa-dosa itu pahit seperti empedu, bahkan, pahit se-

perti maut, bagi semua petobat sejati. Kenajisan yaitu  

dosa yang, dalam kodratnya, lebih merusak daripada 

maut itu sendiri. Maut bisa dibuat terhormat dan 

menghibur, namun  dosa ini tidak bisa menjadi yang lain 

selain rasa malu dan penderitaan (Ams. 5:9, 11).  

[2] Ia mendapati godaan untuk berbuat dosa itu sangat 

berbahaya, dan bahwa luar biasa sulit, dan hampir 

mustahil, bagi orang-orang yang coba-coba berani ma-

suk ke dalam godaan untuk menghindari dosa itu, dan 

bagi orang-orang yang sudah jatuh ke dalam dosa itu 

untuk memulihkan diri mereka dengan pertobatan. Hati 

wanita  pezinah yaitu  jala dan jerat. Ia memainkan 

permainannya untuk menghancurkan jiwa-jiwa dengan 

banyak kecerdikan dan kelicikan seperti yang diguna-

kan seorang pemburu untuk menangkap burung yang 

bodoh. Cara-cara yang dipakai oleh para pendosa seper-

ti itu yaitu  menipu dan menghancurkan, seperti jala 

Kitab Pengkhotbah 7:23-29 

 161 

dan jerat. Jiwa-jiwa yang tidak waspada terpikat ke 

dalamnya oleh umpan kesenangan, yang dengan rakus 

mereka lahap dan yang di dalamnya mereka banyak 

berharap akan mendapat kepuasan. namun  mereka ter-

perangkap sebelum mereka sadar, dan terperangkap 

tanpa bisa keluar lagi. Tangan wanita  pezinah itu 

seperti tali, yang dengannya, sambil berpura-pura mem-

berikan pelukan hangat, ia mengikat erat-erat orang-

orang yang sudah ditangkapnya. Mereka terjerat dalam 

tali dosanya sendiri (Ams. 5:22). Hawa nafsu mendapat 

kekuatan dengan dipuaskan, dan pesona-pesonanya 

menjadi lebih merajalela.  

[3] Salomo menganggapnya sebagai contoh besar dari per-

kenanan Tuhan  terhadap siapa saja jika dengan anuge-

rah-Nya Tuhan  sudah menjaganya dari dosa ini: Orang 

yang dikenan Tuhan  terhindar dari padanya, akan dilin-

dungi sehingga ia tidak tergoda pada dosa ini atau dika-

lahkan oleh godaannya. Orang-orang yang dijaga dari 

dosa ini harus mengakui bahwa Tuhan -lah yang menjaga 

mereka, dan bukan kekuatan atau tekad mereka sen-

diri, harus mengakuinya sebagai rahmat yang besar. 

Dan orang-orang yang ingin mendapat anugerah yang 

cukup bagi mereka untuk mempersenjatai diri mereka 

melawan dosa ini harus bertindak dengan hati-hati un-

tuk menyenangkan Tuhan  dalam segala hal, dengan 

berpegang pada ketetapan-ketetapan-Nya (Im. 18:30).  

[4] Ia menganggapnya sebagai dosa yang merupakan hu-

kuman pedih atas dosa-dosa lain, yang ke dalamnya 

orang bisa jatuh dalam hidup ini: Orang yang berdosa 

ditangkapnya. Pertama, orang-orang yang membiarkan 

diri mereka jatuh dalam dosa-dosa lain, yang olehnya pi-

kiran mereka dibutakan dan hati nurani mereka diru-

sak, lebih mudah tertarik pada dosa ini. Kedua, adillah 

bagi Tuhan  untuk membiarkan mereka jatuh sendiri ke 

dalamnya. Lihat Roma 1:26-28; Efesus 4:18-19. Demi-

kianlah Salomo, oleh sebab  itu, dengan perasaan ngeri, 

merasa bersyukur atas kesadarannya dari dosa yang di 

dalamnya ia telah menjerumuskan dirinya sendiri itu. 


 162

(2) Ia sekarang, lebih daripada sebelumnya, menyingkapkan ke-

rusakan kodrat seluruh umat manusia. Ia menelusuri sam-

pai ke sumbernya, seperti yang dilakukan ayahnya sebelum 

dia, dalam kesempatan serupa (Mzm. 51:7): Sesungguhnya, 

dalam kesalahan aku diperanakkan.  

[1] Ia berusaha untuk mengetahui jumlah pelanggaran yang 

dilakukannya (ay. 27): “Lihatlah, ini yang kudapati, yaitu, 

inilah yang kuharap akan kudapati. Aku mengira bahwa 

aku dapat memahami kesalahan-kesalahanku dan sudah 

mendaftarnya secara lengkap, paling tidak pokok-pokok-

nya. Aku menyangka bahwa aku dapat menghitungnya 

satu per satu, dan sudah menemukan penjelasannya.” 

Ia ingin mencari tahu kesalahan-kesalahan itu sebagai 

seorang petobat, supaya ia dapat mengakuinya secara 

lebih rinci. Dan, secara umum, semakin rinci kita dalam 

mengakui dosa, semakin besar penghiburan yang kita 

dapatkan dalam merasakan pengampunan. Ia meng-

inginkannya juga sebagai seorang pengkhotbah, supaya 

ia dapat memberikan peringatan secara lebih rinci ke-

pada orang lain. Perhatikanlah, rasa insyaf yang penuh 

akan satu dosa akan membuat kita mencari tahu seluk 

beluknya. Dan semakin kita melihat ada yang salah 

dalam diri kita sendiri, semakin kita harus tekun men-

cari tahu kesalahan-kesalahan kita lebih jauh, supaya 

apa yang tidak kita lihat dapat disingkapkan kepada 

kita (Ayb. 34:32).  

[2] Ia segera mendapati dirinya kebingungan, dan mema-

hami bahwa kesalahan-kesalahan itu tak terhitung jum-

lahnya (ay. 28): “Yang masih kucari. Aku masih meng-

hitung, dan masih ingin mencari tahu penjelasannya, 

namun  tidak kutemukan, aku tidak bisa menghitung 

semuanya, atau mencari tahu penjelasannya secara 

sempurna. Aku masih membuat penyingkapan-penying-

kapan yang baru dan menakjubkan tentang kefasikan 

yang sefasik-fasiknya yang ada  dalam hatiku sen-

diri” (Yer. 17:9-10). Siapakah yang dapat mengetahui-

nya? Siapakah yang dapat mengetahui kesesatan? 

Siapakah yang dapat mengatakan berapa sering ia me-

langgar? (Mzm. 19:13). Ia mendapati bahwa jika Tuhan  

Kitab Pengkhotbah 7:23-29 

 163 

mengadakan penghakiman terhadapnya, atau dia ter-

hadap dirinya sendiri, atas semua pikirannya, perkata-

annya, dan perbuatannya, maka satu dari seribu kali ia 

tidak dapat membantah-Nya (Ayb. 9:3). Hal ini digam-

barkannya dengan membandingkan kebobrokan hati 

dan hidupnya sendiri dengan kebobrokan dunia, di 

mana ia hampir tidak dapat menemukan satu orang 

baik di antara seribu. Bahkan di antara seribu istri dan 

gundik yang dimilikinya, ia tidak menemukan seorang 

wanita  yang baik. “Meskipun demikian,” katanya, 

“saat  aku mengingat dan melihat kembali pikiran-

pikiranku, perkataan-perkataanku, dan perbuatan-per-

buatanku sendiri, dan semua jalan hidupku di masa lalu, 

mungkin di antara orang laki-laki, aku dapat menemu-

kan satu orang baik di antara seribu, namun  ternyata 

semuanya sama. Semua yang lainnya bahkan dari para 

lelaki itu mempunyai satu atau lain kebobrokan dalam 

diri mereka.” Ia mendapati (ay. 20) bahwa ia telah ber-

dosa bahkan dalam berbuat baik. namun  untuk para 

wanita , yang datang untuk memanjakan kesenang-

an-kesenangannya, mereka semua juga tidak ada apa-

apanya. Dalam bagian hidupnya itu, tidak tampak bah-

kan 


Related Posts:

  • pengkhotbah kidungagung 5 ek dari hidupnya yang sia-sia, yang ditempuhnya seperti bayangan? Siapakah yang dapat mengatakan kepada manusia apa yang akan terjadi di bawah matahari sesudah dia? Di sini:  1. Salomo menetapka… Read More