Gayam dan Blu’uran. Biasanya sudah
ada semacam kesepakatan tidak tertulis dalam pengaturan
jadwal pengajian sehingga tidak terjadi tabrakan acara dan
sehingga kiai-kiai yang diundang dapat menghadiri acara
ini satu per satu.
Dalam konteks hubungan antara Sunni dan Syiah,
ada tradisi Safar yang diklaim sebagai tradisi Syiah yang
diadopsi oleh orang-orang Sunni Madura.3 Menganggap
bulan Safar ini bulan baik, selama sebulan, warga Madura
saling mengirim ke surau bubur manis merah dan putih
dengan sedikit ketan di atasnya. Bubur ini disajikan
di atas piring yang dilapisi daun pisang. Meski tidak ada
aturan baku, biasanya warga membuat 40 piring bubur
untuk dibagikan ke empat arah mata angin (tetangga depan,
belakang, kanan, dan kiri), masing-masing 10 piring. Khusus
piring yang diberikan kepada kiai, warga menyelipkan uang
sekitar Rp. 5,000 atau lebih sesuai kemampuan. Ada pula
warga yang tidak mengirimkan bubur tapi menggantinya
dengan mengadakan pengajian di suraunya sendiri.
Waktunya pun bebas asal masih dalam bulan Safar ini ,
dan tidak ada kesepakatan tertulis. Biasanya si empu hajat
sudah menetapkan tiap tahunnya dia akan mengadakan
pada tanggal tertentu yang itu menjadi kebiasaan tahunan,
sehingga warga lain yang ingin membuat hajat yang sama
tidak mengadakan pengajian di hari dan waktu yang sama.
Demikian juga, warga biasanya saling membantu baik
berupa tenaga maupun sumbangan bahan-bahan mentah
yang akan dijadikan sajian dalam pengajian.
Sistem Sosial di Sampang
Sebagaimana kebudayaan Madura secara umum,
Sampang mengadopsi sistem sosial yang diambil dari pepatah
“Buppha’ Babbhu’ Guruh Rato,” yang berarti “Orang Tua,
Guru, Penguasa.” Ungkapan ini menggambarkan strata sosial
Mengenal Sampang
27
yang ada di pulau ini.4 Buppha’ Babbhu’ (orang tua) mewakili
keluarga, yakni struktur mikro dalam sebuah warga ,
sedang Rato (penguasa) mewakili struktur makro, yakni
pemerintahan. Adapun Guruh (guru), mewakili struktur
tengah yang menjembatani antara struktur mikro dan makro.
Satu per satu akan saya jabarkan di bawah ini.
Keluarga yaitu unsur utama dalam struktur sosial
warga Madura. Keluarga yaitu pilar utama yang harus
dijaga kehormatannya sehingga seseorang akan menjadi
bangga dengan keluarga besarnya. Dalam konteks tertentu,
menghormati seseorang sama halnya menghormati seluruh
keluarga. Demikian sebaliknya, menghina atau melukai
seseorang sama halnya menghina dan melukai seluruh
keluarga.
Sistem keluarga besar (extended family) ini5 disimbolkan
dalam bangunan rumah dalam tradisi Madura yang dikenal
dengan taneyan lanjhang (=halaman panjang), yakni
semacam halaman luas yang dikelilingi beberapa rumah yang
penghuninya masih terikat famili. Biasanya rumah-rumah
ini dibangun secara berurutan sesuai dengan jumlah
anak perempuan yang mereka miliki. Secara adat, orang
tua wajib membangunkan rumah bagi anak perempuan
mereka saat mereka sudah berkeluarga.6 Mereka tidak
perlu membangunkan rumah untuk anak laki-laki mereka
sebab mereka pasti akan mengikuti istrinya saat mereka
menikah. Rumah-rumah ini biasanya dibangun antara
model huruf L atau U.
Adat taneyan lanjhang ini merepresentasikan suatu
keluarga besar (baca: bani). Agar “kemurnian darah” keluarga
tidak tercampur dengan keluarga lain, mereka melakukan
pernikahan antarsaudara, seperti sepupu-sepupu, sepupu-
duapupu (mindoan), sepupu-tigapupu (menteloan), atau
antarsesama keluarga lainnya. Meski sekarang warga tidak
lagi bisa secara bebas sebab keterbatasan lahan yang mereka
miliki, spirit untuk menjaga “kemurnian” ini tetap dimiliki
28
dan diwariskan secara turun temurun kepada anak cucu
mereka. Di tiap kompleks taneyan lanjhang ini ada
surau kecil untuk salat berjamaah bagi seluruh keluarga.
Rumah para kiai atau ustad biasanya berukuran lebih besar
dan luas sebab surau yang dimiliki pasti lebih besar selain
digunakan untuk salat berjamaah keluarga mereka sendiri,
juga digunakan untuk menampung warga yang mengaji di
rumah mereka. Selain itu, dalam kompleks rumah kiai juga
biasanya dibangun madrasah diniyah atau pesantren. Selain
surau, rumah-rumah di dusun juga biasanya dilengkapi
kandang hewan atau kolam ikan. Hewan favorit warga
yaitu sapi dan kambing.
Struktur kedua yaitu Ghuru (guru). Dalam hal ini
yaitu guru agama atau yang lebih dikenal dengan kiai.
Secara sosial, kiai mempunyai peranan penting di Madura.7
Ia yaitu ghuru/guru yang mendidik dan mengajarkan
pengetahuan agama, yang memberikan tuntunan dan
pedoman dalam menjalani kehidupan dunia dan akhirat.8
Selain itu, warga juga menghormati kiai sebab mereka
memiliki sesuatu yang berbeda dari warga pada
umumnya, yakni kesaktian.9 Mereka menyebut kekuatan
ini dengan helap, yang berasal dari bahasa Arab khilaf,
yang berarti lupa atau alpa. Hal ini merujuk pada tindakan
seorang kiai sakti yang kadang melakukan sesuatu di luar
rasio atau kewajaran.10
Tidak heran kemudian warga juga merujuk
kepada kiai dalam urusan duniawi. Setiap kali seseorang
mempunyai hajat seperti memulai usaha ekonomi, ujian
sekolah, merantau, dia pasti akan meminta nasihat dan
doa agar setiap usaha mereka berhasil. Tradisi di Madura
menyebutkan bahwa warga ‘tidak memperbolehkan’
kiai mereka untuk bekerja.11 Sebagai gantinya, saat musim
panen tiba, warga dengan suka rela memberikan
sebagian hasil panen mereka kepada kiai mereka. Jumlahnya
tergantung kemampuan masing-masing individu. Jika sang
Mengenal Sampang
29
kiai mempunyai toko, mereka tidak segan-segan untuk
menjaga tokonya. Tentu sang kiai juga memberi upah
sebagai jasa mereka.
Seorang kiai juga mendapatkan ‘amplop’ atau slabet
dari setiap aktivitas keagamaan seperti undangan pengajian,
pernikahan, atau pun saat ada orang yang menemuinya
untuk meminta nasihat dan doa. Semua itu diperoleh kiai
secara sukarela dalam arti tidak ada tarif tertentu yang
ditetapkan oleh kiai. Semua bergantung pada kemampuan
finansial warga . Oleh sebab itu, semakin banyak
jumlah santri atau jamaah, semakin banyak pula kesempatan
kiai untuk mendapatkan pemasukan secara ekonomi.
Perlu diketahui, santri seorang kiai tidak bersifat
individu, melainkan bersifat komunal sebab satu
keluarga akan berguru ke satu kiai sesuai dengan
panutan kepala keluarga. Penghormatan warga
kepada kiai tidak hanya kepada kiai ini seorang,
tetapi juga kepada anak-anaknya. Sehingga silsilah
penghormatan tidak hanya berhenti di tingkat kiai tapi
juga kepada keturunannya.
Implikasi sosial dari kondisi ini yaitu kehidupan
religi warga menjadi sangat homogen. Keragaman pola
pandang dan pikir warga tentang Islam juga diperkuat
dengan budaya Madura yang menyerahkan segala urusan
interpretasi agama kepada kiai dan dengan menaati segala
apa yang diucapkan dan dititahkan oleh ulama tanpa pikir
panjang dan tanpa rasionalisasi tertentu. Mereka juga siap
berada di garda depan jika ada yang berani melawan atau
mengganggu eksistensi para kiai. Walhasil, konstruksi sosial
semacam ini meletakkan kiai pada posisi di atas segala-
galanya, selalu benar, dan segala ucapan dan titahnya harus
diikuti.
Kepercayaan tinggi warga kepada kiai dalam
urusan agama dan sosial menempatkan kiai pada posisi
yang strategis dalam urusan sosial-politik. Setiap kebijakan
30
pemerintah yang berkaitan dengan warga , pasti harus
melalui ‘persetujuan’ kiai. Demikian sebaliknya, saat
warga ingin menyampaikan aspirasinya, mereka harus
melalui kiai yang memiliki jaringan ke pemerintahan. Sadar
atau tidak, kiai kemudian memainkan perannya sebagai apa
yang disebut dengan cultural broker (makelar budaya),12
yang menyaring setiap informasi yang masuk dan keluar
dari warga .
Dalam konteks yang lebih luas, kiai yang mampu
memainkan perannya sebagai broker dengan baik akan
memiliki akses yang baik di tingkat pemerintahan dan
di lingkaran politik dan akan mampu dengan cepat
mengembangkan aktivitasnya dalam berdakwah seperti
pembangunan masjid, gedung madrasah. Sedangkan mereka
yang tidak mampu memainkan peran ini akan tersisih
dalam panggung perpolitikan lokal. Secara tidak langsung,
stratifikasi sosial politik kiai ditentukan oleh kemampuan
mereka memainkan peran ini.
Selain kiai, tokoh warga juga bisa lahir dari
blater. Kelompok ini lahir dari elit pedesaan yang asal usul
dan tradisinya berbeda dengan kiai. Bila kiai berasal dan
dibesarkan di dalam kultur keagamaan, dan dekat dengan
budaya tahlilan dan pengajian, maka blater dibesarkan
dalam budaya jagoanisme, yang mendekat ritus kekerasan,
serta dekat dengan tradisi sadur, remoh, dan karapan sapi.13
Ada dua sumber kekuasaan blater di warga ,
yakni wibawa (karisma) dan kekayaan.14 Sumber pertama
diperoleh dari keberaniannya dan sifatnya yang pantang
menyerah dalam menghadapi setiap masalah meski harus
mempertaruhkan nyawa. Salah satu bentuk tindakan berani
yaitu menghadapi tantangan carok. Semakin sering seorang
blater memenangi duel carok, semakin kuat karismanya di
antara sesama blater maupun di warga . Adapun sumber
kedua lebih pada kekuatan ekonomi untuk menopang
kekuasaannya di warga . Blater dalam kategori ini
Mengenal Sampang
31
berubah peran dari aktor kriminal menjadi penyokong dana
untuk para blater kecil di bawahnya. Dua sumber kekuasaan
blater ini membagi kelompok ini menjadi dua, yakni blater
rajeh (blater besar) dan blater kene’ (blater kecil). Blater
rajeh yaitu mereka yang memiliki karisma yang tinggi dan
mapan secara ekonomi, sedangkan blater kene’ lebih banyak
mengekor ke kelompok pertama untuk menjaga eksistensi
mereka.
Struktur ketiga yaitu Rato, yang berarti pejabat
negara dan aparatur birokrasi. Menjadi struktur tertinggi di
Madura, mereka bertanggung jawab atas keberlangsungan
kehidupan sosial ekonomi politik dan keamanan di wilayah
yurisdiksi masing-masing. Oleh sebab nya, warga Madura
sangat menghormat keberadaan mereka. Bersama-sama
dengan kiai dan tokoh warga lainnya, mereka menjadi
tumpuan warga saat terjadi sesuatu yang dianggap dapat
mengakibatkan keresahan warga . Mereka juga akan
diundang dan dituntut untuk berpartisipasi aktif dalam
musyawarah yang terkait masalah warga.15
Meski demikian, sebagaimana umumnya orang
Madura, para aparat juga menjadikan kiai sebagai panutan
baik dalam urusan pribadi (agama) maupun urusan
kantor. Mereka berkonsultasi kepada kiai saat mereka
ingin mendapat kelancaran pekerjaan dan karier mereka.
Demikian pula dalam urusan kantor. sebab kiai mempunyai
basis massa yang kuat, mereka membutuhkan peran kiai
untuk memudahkan transformasi kebijakan pemerintah ke
warga . Sebaliknya, mereka juga membutuhkan kiai
untuk menyerap aspirasi warga secara masif. Urusan
seperti ini juga berlaku dalam hal politik.16
Dari interaksi ini, tercipta hubungan mutual symbiosis
antara rato dan guruh. Transaksi politik antara kedua belah
pihak tidak dapat dihindarkan. Para politisi yang ingin
memenangkan pesta demokrasi baik yang lokal maupun
nasional pasti akan mengunjungi kiai untuk mendapatkan
32
dukungan doa dan suara massa di belakangnya. Sebaliknya,
kiai mendapat sokongan dana dan akses ke birokrasi
pemerintah untuk mempermudah urusan-urusannya dan
urusan pengikutnya.
Faktor Pemersatu dan Pemisah dalam Budaya Madura
warga Madura sangat kuat memegang teguh
tradisinya. Meski demikian, tidak semua tradisi ini
berakhir baik. Berkaitan dengan konflik kekerasan Sunni
dan Syiah, saya akan mengurai dua diktum yang saling
bertolak belakang di satu sisi, namun juga saling berkaitan
di sisi lain; yang menjadi pendukung konflik di satu sisi dan
penahan konflik di sisi lain. Dua diktum ini yaitu
taretan dibi’, yang berarti “persaudaraan dan persahabatan,”
dan “lebbhi bagus pote tolang etembheng pote mata” (lebih
baik mati daripada harus hidup menanggung malu). Tradisi
pertama ini yaitu ejawantah dari konsep besar “keluarga”
yang digambarkan dalam struktur sosial “buppha’ babbhu’.”
Tradisi ini mewakili filosofi tentang dua hal, yakni bahwa
semua orang Madura yaitu saudara dan sahabat. Oleh
sebab nya, setiap orang harus saling bahu membahu baik
dalam kondisi senang maupun duka.
Tidak hanya berlaku di pulau Madura, tradisi ini juga
sangat menguntungkan warga Madura di perantauan. Di
mana ada orang Madura menetap, dia pasti mengundang
saudara, teman, atau tetangganya untuk tinggal dan berusaha
bersama mengais rupiah. Kemudian, mereka membuat
komunitasnya sendiri yang tidak jauh berbeda dengan adat
istiadat yang ada di Madura sendiri.17
Dalam kehidupan sehari-hari, filosofi taretan dibi’
diwakili oleh tradisi gerjih, yang berarti gotong-royong.
Sikap suka menolong yaitu yang sifat alami orang Madura.
Setiap kali ada satu keluarga yang memiliki hajatan, tetangga-
tetangganya akan berbondong-bondong membantu untuk
mempersiapkan acara secara sukarela dan tanpa dibayar.
Mengenal Sampang
33
Tradisi ini berjalan cukup baik di pedesaan tapi tidak di
perkotaan. Mereka yang hidup di kota harus mempekerjakan
orang lain untuk membantunya. Membantu sesama yaitu
bagian dari jati diri orang Madura
Sisi lain dari “keluarga” terletak pada pepatah “lebbhi
bagus pote tolang etembheng pote mata.” Ungkapan ini
merujuk pada kewajiban orang Madura untuk bangga
menjadi orang Madura dan untuk menjaga sepenuh jiwanya,
martabat dan harga dirinya. Jika harga diri ini dilanggar,
dia wajib membela dirinya dengan cara kekerasan, yakni
dengan menantang duel maut orang yang melanggar
martabatnya ini .18 Duel antara dua orang yang harus
berhenti dengan kematian salah satu lawan ini sering dikenal
dengan carok. Salah satu pelanggaran harga diri yang sering
menjadi penyebab carok yaitu urusan perempuan, baik itu
pelecehan atau penghinaan kepada istri, atau pun sebab
berebut perempuan untuk dijadikan istri. Penyebab lainnya
yaitu penghinaan terhadap agama, terhadap diri dan
perebutan harta.19
Biasanya pemenang duel carok segera melaporkan
diri ke kantor kepolisian agar segera dijebloskan ke penjara
sehingga bisa “mengamankan” dirinya dari tindakan balas
dendam oleh keluarga korban. Bagian dari harga diri juga
yaitu “kewajiban” untuk melakukan balas dendam kepada
orang yang telah menyebabkan kematian orang tua atau
saudara mereka. Bola salju balas dendam ini akan terus
berlangsung hingga kedua keluarga besar bertemu untuk
melakukan pesta rekonsiliasi dan untuk menghapus rasa
ingin balas dendam di masa mendatang.20
Dua wajah budaya ini dapat menjadi pemicu damai
maupun kekerasan. Gerjih, misalnya, meski berkonotasi
baik, pada saat-saat tertentu dia bisa menjadi faktor eskalasi
konflik. Beberapa kasus pengeroyokan pemuda di Madura
diakibatkan oleh pertengkaran sepele antara dua orang, tapi
kemudian membesar sebab kesalahan memahami makna
34
“saling bantu membantu.” Dari hasil wawancara saya dengan
banyak pihak, saya melihat “persaudaraan” ini menjadi salah
satu penyebab perluasan area konflik dan penambahan
jumlah pelaku kekerasan pada saat peristiwa kekerasan 29
Desember 2011 dan 26 Agustus 2012 berlangsung. Bagian
ini akan saya bahas secara lebih mendalam pada bab
selanjutnya. Di sisi lain, pepatah “lebbhi bagus pote tolang
etembheng pote mata” dapat menunjukkan wajah lain dari
“ketegasan” orang Madura untuk menjaga martabat dan
harga diri mereka.
Mengenal Sampang
Konflik kekerasan yang melibatkan komunitas Sunni
dan Syiah di Dusun Nangkernang Desa Karang Gayam
Kecamatan Omben dan Dusun Gading Laok Desa Blu’uran
Kecamatan Karang Penang ―keduanya berada di Kabupaten
Sampang Propinsi Jawa Timur― memiliki riwayat yang
cukup panjang. Riset ini menunjukkan bahwa kekerasan
fisik yang menimpa komunitas Syiah Sampang yang terjadi
pada Desember 2011, Agustus 2012, dan Juni 2013 yaitu
bentuk manifes dari kekerasan-kekerasan lain yang lebih
besar yang dialami komunitas ini. Bab ini akan menjelaskan
peristiwa-peristiwa kekerasan fisik tidak hanya pada tiga
kejadian di atas, melainkan jauh sebelum itu, yakni mulai
tahun 2004.
Sebagaimana asumsi yang dibangun dalam penelitian
ini, bahwa konflik kekerasan bukanlah peristiwa independen
namun lebih sebagai hasil dari rangkaian kejadian yang
mengarah pada kekerasan ini . Sayangnya kajian
dan komentar yang beredar di publik tentang konflik ini
seringkali memberikan perspektif yang menyederhanakan
dengan menekankan faktor tertentu mulai konflik keluarga,
perbedaan teologis hingga perebutan sumberdaya alam. Bab
ini bertujuan unutk menunjukkan kompleksitas masalah dan
mengurainya dengan menunjukkan keterkaitan satu faktor
dengan faktor yang lain. Untuk itu, bab ini menjelaskan
INISIASI KONFLIK
38
tiga dari lima faktor penyebab konflik kekerasan yang telah
disebutkan di bab , yakni: konflik keluarga,
perebutan pengaruh keagamaan di warga , dan
ekonomi.
Konflik Dua Kiai Bersaudara
Jauh sebelum adanya konflik keluarga antara Tajul dan
Rois, telah terjadi konflik yang kurang lebih sama antara dua
kiai yang masih mempunyai hubungan kekerabatan, yakni
Abuya Ali Karrar Sinhaji (selanjutnya disebut Kiai Karrar)
dan Kiai Makmun. Hubungan keduanya yaitu paman dan
keponakan yang berasal dari keluarga besar Buju’1 Batu
Ampar,2 salah seorang kiai pembawa ajaran Islam pertama
di Madura dan masih mempunyai hubungan kekerabatan
dengan Sunan Ampel.
Kiai Karrar sangat mengagungkan ajaran sang buju’
dengan cara mengamalkan, mengajarkan, dan meneruskan
perjuangan dakwah Islam ke seantero pulau Madura.
Selain itu, untuk melestarikan ajaran buju’, ada sebuah
kesepakatan tidak tertulis yang dipegang oleh para ulama
Madura dan para santrinya untuk memondokkan anak-
anak mereka ke pesantren-pesantren di Madura; atau jika
di luar Madura, di pesantren-pesantren yang kiainya masih
mempunyai hubungan kekerabatan dengan atau pernah
belajar kepada ulama di Madura, seperti di pesantren
Sidogiri, Sukorejo, Tebuireng, atau bahkan di Arab Saudi.
Tradisi ini berjalan puluhan bahkan mungkin ratusan tahun
sehingga membentuk kodifikasi keagamaan Islam Madura
yang tunggal, yakni berpaham ahl al-sunnah wa al-jama’ah
(aswaja), berakidah Asy’ariyah dan Maturidiyah, berpegang
pada fiqh Syafi’i dengan tetap menerima paham tiga fiqh
lainnya,yakni Maliki, Hanbali, dan Hanafi, dan merujuk pada
ajaran tasawuf Imam al-Ghazali dan Junaid al-Baghdadi.3
Kiai Karrar yang juga kiai dan ulama besar di Madura
menjaga betul warisan ajaran buju’-nya melalui pesantren
39
yang didirikannya, Darut Tauhid, yang terletak di Desa
Lenteng, Pamekasan, yang berbatasan dengan Kabupaten
Sampang. Alumnus Ma’had Al-Sayyid Muhammad bin Alwi
al-Maliki Makkah, atau yang lebih sering disebut Ma’had
Maliki, ini memiliki santri-santri yang tersebar di penjuru
pulau Madura termasuk di wilayah Karang Gayam dan
Blu’uran yang menjadi tempat konflik. Santri-santri inilah
yang kemudian turut aktif berpartisipasi dalam penyebaran
paham aswaja di Madura. Kiai Karrar juga memiliki hubungan
yang erat dengan pesantren-pesantren besar di Madura, baik
sebab hubungan darah sesama keturunan Buju’ Batu Ampar
atau dengan antar keturunan buju’-buju’ yang lain.
Selain itu, beliau juga aktif bergerak dalam organisasi
BASSRA (Badan Silaturahmi Ulama Pesantren Madura) dan
FMU (Forum Musyawarah Ulama) Pamekasan. Organisasi
pertama yaitu organisasi ulama setingkat Madura yang
memiliki koordinator di masing-masing kabupaten se-
Madura. Organisasi yang berdiri pertengahan 1990-an
ini lebih bersifat paguyuban, di mana para kiai/ulama
berkumpul untuk membahas permasalahan umat, dan
tidak diperkenankan untuk diformalkan menjadi semacam
organisasi sosial keagamaan seperti NU atau Muhammadiyah
sebab khawatir akan dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu.
Bahkan, ada satu masa di mana BASSRA pernah terbelah
sebab menjadi dua kelompok, BASSRA Tua dan BASSRA
Muda sebab BASSRA Tua menyetujui usulan pembangunan
jembatan Suramadu yang diusulkan oleh pemerintah,
sedang BASSRA Muda tidak. Singkat kata, BASSRA tidak
bisa merepresentasikan ulama Madura secara keseluruhan
sebab pemikiran para kiai dan ulama itu beragam dan
tidak tunggal.4 Terkait isu Syiah di Sampang, pengamatan di
lapangan menunjukkan bahwa BASSRA tampaknya memiliki
kesamaan suara meski mereka tidak sepaham terkait metode
yang digunakan Kiai Karrar dan kelompoknya. Sedangkan
FMU menyerupai yang pertama namun hanya dalam lingkup
40
Kabupaten Pamekasan. Singkat cerita, dengan karisma yang
diwarisi dari “kakeknya” dan keaktifannya dalam gerakan
sosial keagamaan melalui organisasi yang dinahkodainya,
Kiai Karrar memiliki pengaruh sosial keagamaan yang cukup
besar baik di Pamekasan maupun di Madura.
Sedangkan Kiai Makmun hanyalah kiai lokal di sebuah
desa kecil miskin di Sampang yang hanya bisa dilalui jalan
setapak dengan jalan kaki atau motor. Bahkan, jika musim
penghujan, motor pun akan kesulitan menjangkau desa ini.
Berbeda dengan Kiai Karrar yang memiliki pesantren besar,
kiai ini hanya memiliki satu surau yang ada di kompleks
rumahnya ―sebagaimana ghalib-nya rumah-rumah di
Madura― dan satu madrasah diniyah yang didirikannya
untuk mengajari anak-anak desa belajar mengaji. Meski
hanya kiai lokal, warga sekitar sangat menghormatinya.
Bahkan mereka memberi gelar Rah Toan, atau anak kiai yang
agung sebab keilmuannya dan kepandaiannya, kepada Kiai
Makmun. Sering kali beliau tertangkap basah menunjukkan
perilaku istimewa atau luar biasa yang orang awam tidak
mungkin bisa menirunya, seperti kemampuannya menguasai
ilmu nah}wu (gramatikal Arab) meski tanpa pernah
mempelajarinya dari seorang guru pun, atau saat beliau
kedapatan berpindah dari satu tempat ke tempat lain dengan
cepat seperti ada satu orang di dua tempat yang berbeda. Di
Madura, perilaku istimewa ini disebut dengan helap5. sebab
ta‘dzim/hormat warga kepadanya, seorang kiai di
Omben yang juga pernah nyantri di rumahnya berseloroh,
“seandainya boleh menyembah selain Tuhan, Kiai Makmun
itu akan disembah oleh warga sana.”6
Dalam konteks ini, sama halnya Kiai Karrar, Kiai
Makmun juga mempunyai pengaruh yang cukup kuat meski
hanya dalam lingkup desa saja. Perbedaan mendasar antara
keduanya yaitu bahwa pengaruh keagamaan di warga
yang diperoleh Kiai Karrar lebih bersifat struktural dalam arti
41
lebih ditopang oleh institusi pendidikan yang didirikannya
dan gerakan sosial keagamaan yang dilakukannya.
Sedangkan Kiai Makmun memperoleh karisma dan
mempunyai pengaruh keagamaan dari jalur kultural, yakni
dari interaksi sosial sehari-hari dengan warga desa.
Menurut banyak cerita yang peneliti sering dengar di
lapangan penelitian, Kiai Makmun mulai mempelajari ajaran
Syiah pada akhir dekade 1970-an, tepatnya saat Ayatullah
Khumaini berhasil memenangkan gerakan revolusi Islam
Syiah di Iran. Entah siapa yang mengawali, apakah sang kiai
ataukah ada seseorang atau organisasi, setiap bulan beliau
mendapat kiriman naskah -naskah tentang Syiah yang selalu
diterima oleh santrinya yang berada di Surabaya untuk
kemudian dikirimkan kepada dirinya di Sampang.7
Konflik antara Kiai Karrar dan Kiai Makmun bermula
pada saat Kiai Makmun menyekolahkan dua anaknya Tajul
dan Rois ke Pondok YAPI di Bangil. Tajul, yang lebih tua,
mengenyam pendidikan setingkat SLTP atau tsanawiyah,
sedang Rois setingkat SD/ibtidaiyah. Keduanya belajar di
YAPI cukup lama, yakni kurang lebih tiga tahun (1987-
1991), sampai kemudian Kiai Karrar meminta Kiai Makmun
untuk menarik keduanya dari YAPI. Kiai Makmun akhirnya
mau menarik dua putranya saat ayahnya, Kiai Achmad,
juga meminta hal yang sama. Menurut pengakuan Kiai
Karrar, beliau menemui kakak sepupunya ini (Kiai
Achmad) agar mau membujuk Kiai Makmun menarik kedua
anaknya dari YAPI.8 Kiai Karrar juga menuturkan dua alasan
mengapa Tajul dan Rois harus keluar dari YAPI. Pertama,
YAPI yaitu pondok Syiah9 yang mengajarkan sesuatu yang
berbeda dengan ajaran Buju’ Batu Ampar, yakni ajaran
Syiah. Kedua, YAPI tidak memiliki afiliasi kekerabatan atau
keilmuan dengan pesantren-pesantren di Madura. Hal ini
dianggap melanggar pakem tradisi pembelajaran ke-Islam-
an di Madura.
42
Pada saat Rois memilih pulang kampung membantu
ayahnya mengajar di madrasah, Tajul menerima tawaran
ayahnya untuk menimba ilmu di Arab Saudi, tepatnya di
Ma’had Maliki, sesudah sebelumnya menyatakan tidak nyaman
ngaji di pondok Kiai Karrar. Ma’had Maliki yaitu tempat Kiai
Karrar pernah belajar dulu. Meski demikian, Tajul mengaku
bahwa dia juga tidak betah belajar di Ma’had Maliki sebab
merasa ilmu yang diterimanya tidak jauh berbeda dengan
apa yang diajarkan Kiai Karrar. Dia kemudian memilih keluar
bekerja sebagai TKI (Tenaga Kerja negara kita ) dan belajar
Islam secara autodidak. Pada saat inilah, Tajul bertemu
dengan Muhammad Liwa’ Mahdi, seorang penganut Syiah
dari daerah Qatif di Arab Saudi yang juga mahasiswa di
Universitas King Abdul Aziz, yang menyediakan kitab-kitab
Syiah untuk dipelajari Tajul.10 Selama kurang lebih enam
tahun pengembaraannya di Arab Saudi (1993-1999), Tajul
mempelajari Syiah secara autodidak.
Peristiwa konflik antara Kiai Karrar dengan Kiai
Makmun dan Tajul Muluk menunjukkan bahwa benih
konflik keluarga sebenarnya sudah ada sejak tahun 1990-
an. Konflik internal ini pada fase selanjutnya berpengaruh
pada pecahnya konflik keluarga antara Tajul Muluk dengan
Roisul Hukama yang berakibat pada pecahnya keluarga
besar Kiai Makmun. Selain itu, peristiwa penarikan paksa
Tajul dan Rois dari YAPI juga menunjukkan bahwa sentimen
anti-Syiah bukan hal baru di Madura. Paling tidak, sentimen
itu mulai muncul sejak tahun 1990-an.
Konflik antara Tajul dan Kiai Lokal
Untuk mengamalkan ilmu yang telah dipelajarinya,
Tajul mengalami banyak pertentangan dari kiai-kiai lokal.
Kedatangan Tajul datang kembali ke kampungnya untuk
berdakwah dinilai mengganggu eksistensi para kiai lokal
yang terlebih dahulu menyebarkan ajaran Islam di Karang
Gayam dan Blu’uran. Di bawah ini peneliti merangkum tiga
hal utama yang merupakan perselisihan awal antara Tajul
Konflik
Keluarga
Perebutan Pengaruh di warga
Masalah
Ekonomi
Politisasi
Kasus Tajul
Penist an
Agam
Pendirian madrasahIsu “Halimah”War s keluarg
Kiai kehilangan pengikut
Pecahnya keluarga Makmun
Tajul kehilangan dukungan keluarga
Martabat
kiai
Hilangnya
sumber
ekonomi
Tawar
menawar
politik
Konflik baru
I u slabet
Demonstrasi anti-Syiah
Merelokasi Tajul
Mengkambinghitamkan Tajul
Tobat paksa ke Sunni untuk rekonsiliasi
Tajul mengganggu eksistensi kiai
Pembakaran properti milik Syiah
Regulasi pemerintah terkait agama Regulasi sos al terkait g m
Komunitas Syiah diusir dari Madura
Agenda pemenangan pemilukada
Indikator
Hubungan langsung
Hubungan tidak langsung
Aksi lanjutan
i lama
Pend dikan Syiah
Fatwa sesat
ajaran Tajul
Tajul dipenjara
Gambar 2
Pemetaan Lima Faktor Penyebab Konflik Sunni-Syiah di Madura
43
Pada saat Rois memilih pulang kampung membantu
ayahnya mengajar di madrasah, Tajul menerima tawaran
ayahnya untuk menimba ilmu di Arab Saudi, tepatnya di
Ma’had Maliki, sesudah sebelumnya menyatakan tidak nyaman
ngaji di pondok Kiai Karrar. Ma’had Maliki yaitu tempat Kiai
Karrar pernah belajar dulu. Meski demikian, Tajul mengaku
bahwa dia juga tidak betah belajar di Ma’had Maliki sebab
merasa ilmu yang diterimanya tidak jauh berbeda dengan
apa yang diajarkan Kiai Karrar. Dia kemudian memilih keluar
bekerja sebagai TKI (Tenaga Kerja negara kita ) dan belajar
Islam secara autodidak. Pada saat inilah, Tajul bertemu
dengan Muhammad Liwa’ Mahdi, seorang penganut Syiah
dari daerah Qatif di Arab Saudi yang juga mahasiswa di
Universitas King Abdul Aziz, yang menyediakan kitab-kitab
Syiah untuk dipelajari Tajul.10 Selama kurang lebih enam
tahun pengembaraannya di Arab Saudi (1993-1999), Tajul
mempelajari Syiah secara autodidak.
Peristiwa konflik antara Kiai Karrar dengan Kiai
Makmun dan Tajul Muluk menunjukkan bahwa benih
konflik keluarga sebenarnya sudah ada sejak tahun 1990-
an. Konflik internal ini pada fase selanjutnya berpengaruh
pada pecahnya konflik keluarga antara Tajul Muluk dengan
Roisul Hukama yang berakibat pada pecahnya keluarga
besar Kiai Makmun. Selain itu, peristiwa penarikan paksa
Tajul dan Rois dari YAPI juga menunjukkan bahwa sentimen
anti-Syiah bukan hal baru di Madura. Paling tidak, sentimen
itu mulai muncul sejak tahun 1990-an.
Konflik antara Tajul dan Kiai Lokal
Untuk mengamalkan ilmu yang telah dipelajarinya,
Tajul mengalami banyak pertentangan dari kiai-kiai lokal.
Kedatangan Tajul datang kembali ke kampungnya untuk
berdakwah dinilai mengganggu eksistensi para kiai lokal
yang terlebih dahulu menyebarkan ajaran Islam di Karang
Gayam dan Blu’uran. Di bawah ini peneliti merangkum tiga
hal utama yang merupakan perselisihan awal antara Tajul
Konflik
Keluarga
Perebutan Pengaruh di warga
Masalah
Ekonomi
Politisasi
Kasus Tajul
Penist an
Agam
Pendirian madrasahIsu “Halimah”War s keluarg
Kiai kehilangan pengikut
Pecahnya keluarga Makmun
Tajul kehilangan dukungan keluarga
Martabat
kiai
Hilangnya
sumber
ekonomi
Tawar
menawar
politik
Konflik baru
I u slabet
Demonstrasi anti-Syiah
Merelokasi Tajul
Mengkambinghitamkan Tajul
Tobat paksa ke Sunni untuk rekonsiliasi
Tajul mengganggu eksistensi kiai
Pembakaran properti milik Syiah
Regulasi pemerintah terkait agama Regulasi sos al terkait g m
Komunitas Syiah diusir dari Madura
Agenda pemenangan pemilukada
Indikator
Hubungan langsung
Hubungan tidak langsung
Aksi lanjutan
i lama
Pend dikan Syiah
Fatwa sesat
ajaran Tajul
Tajul dipenjara
Gambar 2
Pemetaan Lima Faktor Penyebab Konflik Sunni-Syiah di Madura
dan para kiai di dua desa ini. Tiga hal ini yaitu (1)
metode dakwah Tajul, (2) isu ekonomi, dan (3) isu ajaran
sesat Tajul. Ketiga isu ini berkembang secara bertahap dari
perbedaan kepentingan dakwah antara Tajul dan kiai lokal
hingga berujung pada polarisasi interaksi antara kedua
pihak.
Dakwah sosial yang bermasalah
Sepulang dari Arab Saudi pada tahun 1999, sebagaimana
tanggung jawab yang harus diemban oleh anak seorang kiai
di kampung, Tajul membantu adiknya mengurus madrasah
milik ayahnya.11 Dengan kemampuan ilmu yang di atas rata-
rata kiai-kiai lokal lainnya, gelar haji yang sangat disegani
oleh orang Madura, karisma yang diwariskan ayahnya,
perilaku santun dan suka menolong sesama, lengkap sudah
modal sosial Tajul untuk berdakwah. Tradisi Madura yang
identik dengan Islam, menghormati kiai dan keturunannya,
mendudukkan posisi orang yang sudah haji lebih tinggi di
warga 12 merupakan modal besar yang dimiliki Tajul
untuk menyebarkan ajarannya. Selain itu, kondisi warga
Karang Gayam dan Blu’uran, sebagaimana kondisi mayoritas
penduduk Madura, yang bersifat tegalan dan kompleks
rumah sebaran (scattered village)13 menjadikan dua desa ini
seperti pusat dakwah; mempermudah Tajul dan Rois untuk
membentengi dakwahnya sehingga tidak “terganggu” oleh
kelompok kiai lokal lainnya.
Walhasil, dakwah ini dapat berjalan dengan masif.
Terhitung tahun 2004, mereka berdua dapat memperoleh
santri 50 KK (kepala keluarga), kemudian berkembang
pesat menjadi 150 KK pada tahun 2011.14 Tidak ada angka
pasti jumlah seluruh pengikut Tajul. Penggunaan jumlah
KK ini merujuk pada tradisi orang Madura, yang selain
mengirimkan anaknya untuk ngaji di salah satu kiai atau
ustad, mereka juga mempunyai perkumpulan-perkumpulan
rutin seperti kolom, yasinan, sebelasan, selamadan, rasulan,
mustami’an, dan lain sebagainya,15 sehingga santri seorang
44
kiai itu tidak hanya anak-anak tapi juga sampai orang
dewasa. Untuk memperkuat basis dakwahnya, Tajul dan
Rois bergabung ke dalam IJABI (Ikatan Jama'ah Ahlul Bait
negara kita ), organisasi resmi pertama yang berafiliasi Syiah di
negara kita , pada tahun 2007.
Metode dakwah yang mengombinasikan antara ukhrowi
dan duniawi terbukti berhasil digerakkan Tajul untuk
memperluas ajarannya. Tajul tidak hanya berdakwah tapi
juga terjun langsung membantu perekonomian warga desa
yang memang hidup di bawah garis kemiskinan. Banyak
kesaksian mengatakan bahwa Tajul sering membantu warga
yang terbelit masalah finansial baik itu untuk modal kerja
atau untuk menutupi kebutuhan hidup mereka sehari-hari.
Istri Tajul juga turut andil membantu mengelola keuangan
jemaahnya sehingga aktivitas keagamaan dapat berjalan
lancar dan tidak membebani kondisi finansial mereka. Selain
itu, Tajul juga merubah secara radikal ritual maulidan yang
biasanya dilakukan door-to-door menjadi tersentral di masjid
desa. Warga hanya ditarik iuran Rp. 20,000 per keluarga untuk
membiayai makanan dan minuman, sedang sisanya akan
disisihkan untuk kebutuhan kegiatan dakwah selanjutnya.
Metode dakwah seperti ini telah mengikat jamaah Tajul
tidak hanya dalam urusan ukhrowi (akherat), tetapi juga
duniawi. Bahkan, para loyalis pengikut Tajul bersedia untuk
melakukan sabilen16 atau berinfaq di jalan Allah sebesar
20% dari rezeki yang mereka peroleh, sebagaimana ajaran
khumus yang tertuang dalam rukun Islam dalam Syiah.17
Perlahan tapi pasti, mulai tahun 2004, Tajul
memperkenalkan ajarannya secara mendalam kepada para
pengikutnya. Ajaran ini yaitu ajaran Syiah. Menurut
Tajul, dia mendeklarasikan Syiah secara terbuka untuk
menunjukkan hakikat ajaran Syiah yang menurutnya banyak
kiai dan orang di sekitarnya tidak memahaminya. Dengan
demikian, mereka dapat mengetahui perbedaan antara
ajaran ahlussunnah waljamaah dan alhul bait.18 Dia juga,
45
atas permintaan dari jemaahnya, membangun madrasah
diniyah miliknya sendiri, memisahkan diri dari madrasah
yang dikelola Rois.19 Melalui madrasah ini, Tajul menjalankan
seluruh program dakwahnya.
Meski langkah Tajul ini dinilai melanggar pakem
yang berlaku di Madura, misinya tampak berjalan dengan
baik. Dia membagi jemaahnya dalam “kelas-kelas” dimana
mereka akan mendapatkan pelajaran tentang Syiah sesuai
“kelas” masing-masing.20 “Kurikulum” yang jelas dan
jenjang perkaderan ustad Syiah untuk meneruskan estafet
perjuangan dakwahnya di kemudian hari menunjukkan misi
dakwah Tajul yang sistematis. Dengan jaringan pesantren
dan yayasan Syiah di Jawa Timur dan di tingkat nasional
yang dimilikinya, Tajul mengirim anak-anak pengikutnya
untuk belajar Syiah di sana.21 Program-program ini sangat
menguntungkan para jemaahnya sehingga meningkatkan
loyalitas mereka kepada Tajul sehingga mereka tidak tergoda
untuk berpindah ke kiai lain dan siap mati demi Tajul.
Loyalitas ini juga menunjukkan bahwa Tajul berhasil
menciptakan karismanya sendiri melengkapi karisma yang
diwarisi dari ayahnya sendiri.22
Kesuksesan Tajul menyisakan permasalahan tersendiri
di tingkat para kiai dan ustad lokal lainnya. Semakin banyak
pengikut Tajul secara tidak langsung memperkecil jumlah
pengikut kiai-kiai lokal lainnya. Acara maulidan yang
tersentral selain mengurangi intensitas pertemuan antara kiai
dengan pengikutnya juga mengurangi pendapatan mereka.
Selain itu, forum-forum pengajian yang mulai didominasi
Tajul dengan metode revolusionernya, suka tidak suka,
telah mengganggu eksistensi dan prestise para kiai di Desa
Karang Gayam dan Blu’uran. Kehilangan jemaah yaitu
permasalahan tersendiri bagi para kiai. Hal ini mengganggu
eksistensi mereka sebagai kiai. Gelar “kiai” yang mereka
sandang dan warisi dari orang tuanya tidak berarti apa-apa
jika mereka tidak memiliki santri.23
46
Masalah lain yang muncul yaitu keengganan Tajul
untuk berbaur dengan kiai-kiai lainnya. Para kiai Sunni
menganggap Tajul bersikap eksklusif dan tidak mau
menghadiri forum-forum kiai yang digelar oleh MWC NU
Omben dan Karang Penang.24 Selain itu, Tajul juga dituduh
mendorong warga desa untuk menyekolahkan anak-anak
mereka ke sekolah negeri daripada madrasah yang didirikan/
dipimpin oleh kiai atau yang dimiliki pesantren.25 Ajakan
Tajul ini didorong atas dasar profesionalisme pendidik di
madrasah-madrasah milik pesantren yang dimiliki oleh
pesantren. Pantauan peneliti di lapangan menemukan
bahwa beberapa kepala madrasah milik pesantren ―meski
tidak bisa digeneralisir― buta aksara latin; mereka hanya
mengetahui tulis menulis dalam bahasa Arab, tapi tidak
bahasa negara kita . Selain itu, temuan lain menunjukkan
bahwa adanya kecurangan yang dilakukan oleh madrasah
milik pesantren dalam pengelolaan dana BOS. Menurut
penuturan salah seorang kepala madrasah yang peneliti
temui mengatakan bahwa yaitu hal biasa saat suatu
madrasah me-mark up jumlah siswa di sekolahnya agar dapat
mendapatkan dana BOS yang lebih dari yang seharusnya.26
Para kiai yang merasa terancam dengan advokasi yang
dilakukan Tajul semakin resisten terhadap keberadaannya
di Omben.
Kiai Slabet
Masih terkait dengan masalah uang. yaitu sebuah
kebiasaan di Madura untuk memberikan slabet atau bisyarah
(uang tanda terima kasih) kepada kiai.27 Jika seseorang
membutuhkan doa agar diberi kemudahan dalam segala
urusannya, baik itu dalam urusan perdagangan, pendidikan,
dan lain sebagainya, dia pasti sowan kepada kiai. Sebagai
balasannya, dia menyiapkan sejumlah uang tertentu untuk
diberikan kepada kiai.28 Demikian juga saat seseorang
mempunyai hajatan di rumahnya yang mengundang seorang
atau lebih kiai. Uang ini dikenal dengan slabet. Para
kiai sendiri lebih senang menyebutnya dengan bisyarah.29
Tidak ada ketentuan berapa jumlah yang harus diberikan,
tergantung pada kemampuan si empu hajat. Selain uang,
bentuk slabet juga bisa berupa harta benda seperti tanah
dan hewan ternak. Meski para kiai tidak pernah menarif
kedatangan mereka, tradisi ini sudah mendekati kewajiban.
Akan sangat janggal saat seseorang sowan ke rumah
kiai atau mengundang beliau tetapi tidak menyiapkan
slabet. Secara tidak langsung, slabet ini menjadi sumber
perekonomian para kiai dan ustad di Sampang secara khusus
dan di Madura secara umum.30
Demikian dalam ritual tahunan maulid nabi yang sudah
menjadi wajib di Karang Gayam dan Blu’uran secara khusus
dan di Sampang bahkan Madura secara umum. Pengalaman
peneliti menunjukkan bahwa pada musim maulid, satu bulan
penuh, yakni pada bulan Rabiul Awwal dalam kalender
Islam, setiap rumah di kampung mengadakan acara maulid.
Dalam satu hari, peneliti bisa menghadiri paling sedikit tiga
kali acara maulidan. Bahkan, menurut seorang kawan yang
rumahnya peneliti tinggali, semakin masuk ke pelosok desa,
acara maulidan semakin semarak. Meski bukanlah faktor
utama dalam berdakwah, harus diakui bahwa bulan maulid
yaitu musim panen bagi para kiai.31 Pada musim seperti
ini, jadwal kiai sangat padat. Bagaimana tidak, dalam satu
hari, mereka bisa datang memimpin atau hanya sekedar
menghadiri 3-5 tahlilan maulid yang diadakan oleh warga
kampung. Tentu baik warga yang mengundang maupun
mereka yang menghadiri tahlilan memberikan bisyarah
kepada kiai mereka. Meski jumlahnya tidak seberapa, tapi
jika dijumlahkan, dalam satu bulan “penghasilan” para kiai ini
mampu menembus angka belasan juta rupiah. Sebuah angka
yang besar mengingat kondisi ekonomi warga Karang Gayam
dan Blu’uran tidak masuk kategori warga mapan.
Tajul melihat tradisi ini menyusahkan kondisi
perekonomian warga Karang Gayam dan Blu’uran
yang hidup miskin. Menurut catatan Kapolsek Omben saat
itu,32 banyak warga yang terpaksa untuk berhutang untuk
mengadakan acara maulid. Tidak sedikit pula dari mereka
yang belum bisa mengembalikan hutang terdahulu hingga
masuk musim maulid selanjutnya. Dan bahkan tidak sedikit
pula dari mereka meminjam uang untuk maulid kepada
kiai yang akan mereka undang sendiri. Dalam konteks ini,
dengan tanpa mencoba untuk menggeneralisasi semua
kiai berbuat demikian, Tajul mengkritik perilaku kiai
ini dan secara kasar menyebut mereka sebagai “kiai
amplop,” kiai yang hanya memperbesar perutnya tanpa
mengindahkan kebutuhan riil warga !33 Itulah mengapa
Tajul mengonsep acara maulid yang dilaksanakan satu atap,
tidak lagi setiap rumah agar warga tidak lagi terbebani
dengan hutang maulid.
Permasalahan muncul saat pernyataan Tajul yang
menyudutkan posisi para kiai ini di atas tersebar
ke khalayak luas.34 Pernyataan yang harusnya hanya
disampaikan kepada pengikut Tajul ini direkam oleh
salah seorang peserta rapat yang kemudian disebarluaskan
melalui telepon seluler dari satu orang ke orang lain, dari
satu kiai ke kiai lain; melalui pengajian-pengajian dan
forum-forum kiai lainnya.35 Tak ayal rekaman ini
menyulut kemarahan para warga yang sangat menghormati
kiai mereka dan bahkan meletakkan posisi mereka di atas
segalanya.36
Bagi warga Madura, apa yang sudah diucapkan Tajul
melukai hati, melecehkan eksistensi, dan membuat malo37
para kiai yang mereka hormati. Meski demikian, warga di
sekitar Omben dan Karang Penang tidak bertindak atas
perilaku Tajul sebab mereka masih menghormati kakek
Tajul yang juga kiai yang sangat disegani di wilayah itu.
Rekaman yang tersebar ini juga kemudian menyatukan
para kiai lokal dalam satu misi, yakni menyingkirkan Tajul
dari Omben, Sampang, dan bahkan dari Madura. Mereka
yang sebenarnya tidak tahu menahu tentang gerakan Tajul
menjadi tahu dari forum-forum yang diadakan oleh PCNU
atau MWCNU di Omben dan Karang Penang. Sebagaimana
perkataan yang bisa bertambah dan berkurang, informasi
yang tersebar baik dalam forum-forum resmi atau tidak, para
kiai tidak banyak mengetahui permasalahan utama yang
terjadi kecuali dari qila wa qala, atau informasi dari mulut
ke mulut.
Dakwah misionaris dan ajaran sesat
saat masuk dalam forum formal seperti rapat-rapat
MWCNU Omben dan Karang Penang, diskusi tentang Tajul
tidak hanya membahas masalah slabet, melainkan juga
metode dakwah yang diterapkan dan ajaran yang disebarkan
Tajul pun menjadi sorotan. Setiap kali pertemuan, para kiai
kerap membahas metode dakwah Tajul yang dianggap terlalu
agresif dan lebih mirip gerakan misionaris Kristen daripada
dakwah Islam. Salah satu informasi yang tersebar yaitu
metode dakwah Tajul yang memersuasi warga untuk masuk
Syiah dengan imbalan uang antara Rp. 300,000 hingga Rp.
1,000,000 tergantung “kadar keimanan” mereka terhadap
Syiah.38 Tujuan utama dari dakwah Tajul yaitu men-Syiah-
kan orang-orang desa, demikian kecurigaan banyak kiai
yang saya temui.
Diskusi mengenai Tajul secara tidak langsung
juga mendorong para kiai untuk mempelajari ajaran
yang dikembangkannya. Namun sayang, mereka tidak
mempelajarinya dari sumber yang kredibel, melainkan
hanya mengamini hasil rapat kiai-kiai BASSRA, MUI, dan
PCNU Sampang, seperti kompilasi 29 kesesatan ajaran Tajul
tahun 2006, hasil rekomendasi BASSRA terkait ajaran Tajul
tahun 2012, dan fatwa MUI Kabupaten Sampang No. A-035/
MUI/Spg/I/2012 terkait ajaran Tajul pada tahun 2012.
Diantara banyak kesesatan Tajul yang telah mereka
kumpulkan, ada dua topik yang selalu menjadi bahan
kajian para kiai baik pada saat wawancara maupun dalam
forum pengajian, yaitu nikah mut'ah dan taqiyya. Dalam
membandingkan pernikahan dalam Sunni dan Syiah, topik
nikah mut'ah selalu dimunculkan. Bagi para kiai, mut'ah
yaitu zina yang dilegalkan melalui hukum agama. Disebut
zina sebab ia tidak memiliki batasan jumlah perempuan
yang bisa dinikahi, tanpa aturan waktu jarak antara satu
pernikahan dengan pernikahan yang lainnya termasuk
waktu ‘iddah (jarak antara perceraian dengan pernikahan
baru), tanpa ada saksi, dan tanpa wali. Sangat berbeda dari
ajaran Sunni yang mengatur hal-hal ini .39
Di sisi lain, pemimpin Syiah sendiri menganggap
bahwa urusan pernikahan yang dipraktikkan oleh para kiai
Sunni juga banyak mengundang kritik sosial. Secara normatif
hukum agama, poligami dengan empat istri memang
diperbolehkan (QS. 4:3), tapi permasalahan sosial yang
muncul yaitu saat istri-istri para kiai ini menjadi
janda baik akibat sebab kematian atau pun perceraian,
tidak ada seorang pun yang berani atau mungkin tidak
boleh menikahi janda para kiai ini .40 Ada semacam
kesepakatan tidak tertulis di warga bahwa para janda
ini tidak boleh dinikahi oleh orang lain, selain sebab
kiai yaitu figur utama dalam warga (buppha’ bhabhu’
ghuru rato) yang harus dihormati. Sama halnya janda-janda
nabi yang tidak dipersunting oleh para sahabat beliau. Faktor
kedua yaitu agar rahasia-rahasia dalem (rumah tangga) kiai
tidak diketahui oleh suami barunya.41 Oleh sebab itu, para
kiai yang suka gonta-ganti pasangan (kawin cerai) secara
tidak langsung dapat mematikan nasib perempuan Madura
sebab tidak ada orang yang mau menikahinya kecuali si
perempuan ini keluar dari Madura.
Persoalan selanjutnya yaitu taqiyya. Secara terminologi,
ia berarti takut, waspada, dan saleh. Sedang terminologinya
menunjuk pada satu tindakan untuk menyelamatkan jiwa,
harga diri, harta benda baik yang dimilikinya sendiri maupun
orang lain dengan menyembunyikan keyakinan keagamaan
seseorang.42 Setiap agama mengajarkan ajaran yang kurang
lebih sama tentu dengan penggunaan istilah yang berbeda;
demikian pula juga dilakukan oleh ulama-ulama Sunni,
bahkan oleh Nabi Muhammad SAW sendiri.43 Senada dengan
itu, Tajul juga berpendapat bahwa taqiyya diajarkan dalam
Alquran (3:28),44 yakni saat seseorang dalam keadaan
terpaksa dan terancam jiwa dan hartanya kecuali dengan
mengingkari keimanannya, maka ia diperbolehkan untuk
melakukannya.45 Dari penjelasan ini, bisa dipastikan Tajul
melakukan taqiyya saat dia dipaksa untuk menandatangani
beberapa surat perjanjian yang diusulkan oleh para kiai-kiai
yang berafiliasi dalam BASSRA, MUI, dan NU.
Pendapat sebaliknya diutarakan oleh para kiai Sunni.
Mereka menganggap ajaran taqiyya mendorong seseorang
untuk menjadi pembohong dan munafik. Hal ini dibuktikan
dengan banyaknya perjanjian antara kiai-kiai Sunni dengan
Tajul dilanggar oleh Tajul sendiri, yang kemudian berakibat
pada kemarahan warga sehingga terjadilah penyerangan
dan pembakaran terhadap rumah-rumah orang Syiah
pada kejadian tanggal 29 Desember 2011.46 Tajul dianggap
berbohong sebab meski telah menandatangani kesepakatan
relokasi selama satu tahun, hampir tiap minggu warga
melihat Tajul kembali ke kampungnya dengan berbagai
alasan seperti menjenguk istri maupun berziarah ke makam
ayahnya. Dan sebab taqiyya pula, kesaksian Tajul dan para
saksi yang meringankan tidak diterima oleh majelis hakim
Pengadilan Negeri Sampang selama proses pengadilan.47
Konflik antara Tajul dan Tokoh warga
Sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya bahwa
Tajul sangat peduli dengan kondisi warga yang
hidup di bawah garis kemiskinan. Menurutnya, salah
satu penyebab kemiskinan itu yaitu akibat sistem yang
salah di warga . Sistem ini yaitu terpusatnya
seluruh urusan yang menyangkut warga kepada klebun
dan apel. Banyak program pemerintah yang berkaitan
dengan kesejahteraan warga miskin berhenti di tingkat
pemerintahan desa; demikian pula dengan pelayanan
warga yang seharusnya gratis menjadi berbayar dengan
tarif yang tidak wajar.48 Untuk memberi advokasi warga
yang kesulitan menghadapi kepala desa dan kepala dusun,
Tajul dan pengikutnya (termasuk Rois juga di dalamnya)
mendirikan lembaga sosial warga yang diberi nama
FMB (Forum warga Bersatu).49
Dalam catatan peneliti, ada beberapa hal yang menjadi
fokus advokasi lembaga ini terhadap kebijakan kepala desa
dan jajarannya.50 Pertama, tidak tersalurkannya berbagai
program subsidi pemerintah untuk warga miskin
kepada pihak yang berhak menerima. Program pemerintah
seperti pembagian beras untuk warga miskin atau program
konversi kompor minyak tanah ke kompor gas tidak bisa
berjalan dengan baik sebab semuanya berhenti di tingkat
desa dan dusun. Untuk menikmati subsidi-subsidi ini ,
warga harus menyerahkan sejumlah uang kepada oknum
pemerintah desa. Kedua, warga desa juga tidak bisa
menikmati pelayanan desa dengan nyaman sebab semuanya
bertarif dan terpusat di dusun. Jika ingin mendapatkan KTP,
akta nikah, atau dokumen negara lainnya, warga tidak bisa
langsung mengurusnya ke balai desa atau kantor kecamatan.
Semuanya harus diberikan kepada oknum di dusun dan
warga harus memberikan sejumlah uang jasa. Dan terakhir,
persoalan sertifikasi tanah. Hampir semua tanah di dusun
Nangkernang dan Gading Laok tidak bersertifikasi. Hanya
sedikit diantaranya bersertikat “petok D.” Advokasi sertifikat
tanah ini sudah menahun, bahkan saat Kiai Makmun
masih hidup, beliau sering melakukannya sampai satu saat
beliau harus dipenjara akibat berseteru dengan kepala desa
dalam persoalan tanah.
Selain kegiatan advokasi sosial, Tajul dkk juga
mengaktifkan ronda malam. Tujuannya yaitu untuk
mencegah maraknya pencurian hewan ternak yang
menimpa warga sekitar kediaman Tajul. Mengingat tempat
Dusun Gading Laok dan Nangkernang terpisah dari dusun-
dusun lainnya dan dikelilingi sawah, pepohonan, sungai,
dan jalanan berbukit dan bebatuan; dan mengingat kondisi
perumahan di dusun ini masih mengadopsi scattered village,
semakin memudahkan pencuri untuk masuk dusun dan
mencuri hewan ternak dan kabur tanpa diketahui oleh
warga. Dengan ronda malam, para pencuri ini tidak
lagi leluasa untuk keluar masuk dusun dan melakukan
tindak pidana pencurian. Akibat dari kegiatan gerjih (gotong
royong) untuk melakukan ronda, keamanan dusun menjadi
lebih kondusif, namun di sisi lain pemasukan para blatter
(preman) menjadi berkurang. Namun demikian, Tajul dan
warga desa sering mendapat ancaman dari para preman
yang merasa terganggu dengan program ronda ini .52
Gerakan sosial yang dilakukan Tajul di Nangkernang
dan Gading Laok sangat mempengaruhi hubungannya
baik dengan klebun dan apel maupun dengan para blatter.
saat konflik antara Tajul dan para kiai memuncak, tidak
ada elemen pemerintah dan warga yang berdiri netral
menyelesaikan konflik. Bahkan mereka menjadikan konflik
ini sebagai ajang untuk ‘mengusir’ Tajul dari kampung dan
berusaha untuk mengambil alih lahan-lahan yang ditinggal
warga Syiah ke tempat pengungsian.
Pecah Kongsi Dua Bersaudara
Penolakan ajaran Tajul tidak hanya berasal dari para
kiai maupun warga desa Karang Gayam dan Blu’uran,
tetapi juga dari internal keluarga Tajul sendiri. saat Rois
keluar dari lingkaran Tajul atas nasihat kakeknya, Kiai
Achmad, pada tahun 2009,54 terhitung empat saudara yang
mengikutinya, yaitu Ummu Kultsum, Ahmad, Bujur, dan
Fatimah, sedangkan tiga lainnya (Nyai Khoirul Ummah, Iklil
Milal, dan Ummu Hani) mengikuti langkah Tajul Muluk.55
Penelitian ini menunjukkan bahwa persoalan keluarga yang
terjadi bersifat sentrifugal dengan persoalan sosial yang
berkembang di warga .
Hilangnya dukungan Rois membuat keadaan Tajul
semakin terjepit. Sebagai seorang kiai-blatter56 yang diberi
amanah oleh ayahnya untuk membantu Tajul,57 posisi
Rois sangat penting dalam meredam gejolak kemarahan
kelompok Sunni yang sudah tidak suka dengan keberadaan
Tajul. Posisinya tepat di tengah antara Tajul dan kiai-klebun-
apel-blatter yang memusuhinya. Terbukti saat Rois masih
bersama-sama dengan Tajul baik dalam mengembangkan
madrasah milik ayah mereka maupun saat bergabung
dengan IJABI (Ikatan Jama’ah Ahlul Bait negara kita ) pada
tahun 2007,58 hampir tidak ada gejolak yang besar yang terjadi
di Nangkerkang dan Gading Laok. Permasalahan antara
keduanya muncul saat Tajul menuntut kejelasan sikap
Rois terhadap ajaran Syiah yang sedang dikembangkannya.
Tuntutan ini muncul saat Tajul mendapatkan tekanan
yang kuat dari para kiai di sekitarnya khususnya sesudah
demonstrasi maulid Nabi pada tahun 2006.
saat Rois bersikukuh untuk tetap mengajarkan ajaran
Sunni, friksi antara dirinya dan Tajul semakin menguat.
Rois menuduh Tajul telah menyebarkan fitnah tentang
dirinya di hadapan para santrinya bahwa dia tidak pernah
mengajarkan para santrinya kecuali hanya bermain jangkrik
hingga larut malam sehingga mengganggu sekolah mereka
di pagi harinya; bahwa ajaran Rois itu salah dan mereka yang
mengikutinya tidak akan masuk surga; dan bahwa Rois itu
suka gonta-ganti istri dan kawin-cerai. Puncak kemarahan
Rois kepada Tajul saat para wali santri kemudian termakan
isu ini dan menarik diri dan anak-anak mereka dari madrasah
milik Rois sehingga dia tidak memiliki satu santri pun. Di sisi
lain, Tajul menganggap Rois yaitu musuh dalam selimut
sebab telah menyebarkan fitnah di warga dan para
kiai bahwa Tajul telah mengajarkan ajaran sesat.
Permasalahan kedua soal perempuan. Saat itu, tahun
2009, Halimah, santriwati Tajul yang kebetulan akan
“diminta” oleh Nyai Khalifah (istri pertama Rois) untuk
menjadi istri Rois, ternyata sudah dipinang oleh Tajul
mewakili santrinya Dul Azid.61 Rois yang sudah terlanjur
terlibat konflik dengan Tajul, melihat hal ini sebagai bentuk
konfrontasi yang dilakukan Tajul melawan dirinya. Walhasil,
permasalahan sepele yang sebenarnya bisa diselesaikan
dengan cepat menjadi persoalan yang besar hingga menarik
perhatian media massa.
Perpecahan keduanya memberikan efek buruk terhadap
hubungan antarsaudara dalam keluarga Bani Makmun. Sejak
Kiai Makmun wafat pada tahun 2006, komunikasi antara
Tajul dan saudara-saudaranya semakin tidak kondusif dari
tahun ke tahun. Ketidakmampuan sang ibu untuk mengganti
peran sang ayah dalam mediasi perbedaan yang ada dalam
keluarga ini mengakibatkan keluarga semakin
besar. Terhitung sejak wafatnya Kiai Makmun, komunikasi
antaranggota keluarga sudah mulai renggang, bahkan pada
saat perayaan hari raya pun seluruh keluarga tidak bisa akur.
Dan sejak 2009, komunikasi ini benar-benar terputus.
Kedua kubu tidak mau bersilaturahmi ke rumah ibu mereka
dalam satu waktu. Pada hari raya Idul Fitri, misalnya, jika
keluarga Sunni datang pada hari pertama, maka keluarga
Syiah akan datang pada hari kedua. Demikian sebaliknya.62
Persoalan lain yang muncul sebagai akibat dari perbedaan
paham dalam keluarga ini yaitu ketidakberhasilan mereka
untuk membagi harta warisan ayah mereka. Keluarga Sunni
menolak konsep fara'id (hukum pembagian waris dalam
Islam) yang ditawarkan oleh keluarga Syiah, demikian
sebaliknya. Saling tuduh pun muncul. Pihak Sunni menuduh
saudara-saudara mereka yang Syiah ingin menguasai seluruh
harta warisan sebagai modal dakwah, sedangkan kelompok
tertuduh balik membalas dengan tuduhan bahwa pihak
Sunni menganggap orang Syiah sebagai kafir, maka fara'id
mereka tidak sah dan mereka tidak layak mendapatkan
warisan.63 Hingga laporan penelitian ini dibuat, warisan
ini terbengkalai tidak terurus sebab keluarga Sunni
pun enggan untuk mengurusnya.
Selain itu, pecahnya Tajul dan Rois juga membuat
hubungan antara Tajul dan pihak-pihak yang membencinya
semakin buruk. Rois yang awalnya berada di garda depan
untuk membela kepentingan sang kakak berbalik menjadi
musuh besar. Hampir saban hari dia keliling ke forum-
forum pengajian mempropaganda warga akan
sesatnya ajaran Syiah yang dibawa sang kakak.65 Walhasil,
kelompok yang selama ini berseberangan dengan Tajul
semakin berani melakukan perlawanan sebab figur-figur
yang mereka segani sudah tidak lagi berpihak kepada
Tajul. Filosofi buppa’ bhabhu’ ghuru rato meletakkan posisi
keluarga sebagai institusi sosial pertama —sebelum kiai
dan pemerintah yang berada di posisi kedua dan ketiga
secara berurutan— yang harus dihormati oleh warga
Madura;66 memusuhi salah seorang anggota keluarga bisa
berarti memusuhi seluruh anggota keluarga. Terlebih Tajul
dan Rois yaitu keturunan keluarga terpandang, Buju’
Batu Ampar, yang semua warga pasti akan menaruh
hormat kepada mereka meski mereka mendapat label nakal
atau bahkan tidak mencerminkan nilai-nilai ke-kiai-an. Jika
salah seorang tetua dalam keluarga ini mengatakan
bahwa si A yaitu keluarganya dan meminta siapa saja
untuk tidak mengganggu dirinya, maka si A mendapat
“jaminan keselamatan” meski dia mungkin sangat nakal atau
melakukan perbuatan yang sangat meresahkan warga .67
Lain halnya jika tetua keluarga mengacuhkan eksistensi si A,
maka segala perbuatan dan tindakannya yaitu sepenuhnya
tanggung jawab dirinya sendiri, terlepas dari para tetua.
Demikian halnya dengan konteks masalah Tajul. Dia
berada dalam “lindungan” sang ayah saat masih hidup
dan dari sang kakek dan adiknya saat sang ayah sudah
meninggal. Maka, selama mereka berada di belakang Tajul,
orang-orang tidak akan berani “menyentuh” Tajul meski
mereka sangat membencinya. Sebaliknya, saat keduanya
acuh terhadap Tajul, mereka yang sudah terlanjur tidak suka
dengan Tajul tidak lagi segan untuk menyakitinya. Itulah
mengapa pada tahun 2006, saat para kiai meminta Tajul
bertaubat, mereka juga melobi kakeknya yang saat itu masih
hidup. Itulah juga mengapa saat sang ayah meninggal,
warga yang tidak suka dirinya mulai berani menyerang
meski kemudian dihalangi sang adik. Dan itulah mengapa
saat sang kakek meminta Rois keluar (dari lingkaran
Tajul), Tajul menjadi sendirian dan tidak ada perlindungan
keluarga besarnya, warga dan para kiai lainnya berani
melakukan perlawanan secara terbuka.
Implikasi Sosial dari Konflik antara Tajul dan Kiai,
Tokoh warga , dan Blatter
saat friksi antara Tajul dan para kiai di Omben dan
Karang Penang memuncak, yang menjadi korban yaitu
warga . Masing-masing pihak saling mengklaim bahwa
ajarannya yang paling benar dan saling mempropagandakan
bahwa ajaran pihak lain yaitu sesat. Dengan pengetahuan
agama yang biasa-biasa saja dan dengan budaya patron
kepada kiai yang mengakar, warga menjadi bingung
dalam menyikapi perseteruan antara Tajul, yang merupakan
kiai dan anak kiai dari keluarga kiai terpandang, dan para
kiai Sunni yang selama ini mereka hormati. Perseteruan para
kiai Sunni dan Tajul yang kemudian berubah menjadi saling
sesat-menyesatkan satu sama lain secara tidak langsung
membuat warga “tersesatkan.”
Implikasi terbesar dari kondisi ini yaitu kehidupan
sosial warga Karang Gayam dan Blu’uran yang terpecah
menjadi dua, Sunni dan Syiah. Tidak ada lagi tegur sapa
yang harmonis antarwarga, yang ada yaitu saling
mencurigai satu sama lain. saat seseorang dari salah
satu kelompok mengadakan hajatan, mereka yang berasal
dari kelompok seberang enggan untuk menghadiri bahkan
hanya untuk memakan makanan yang dihidangkan untuk
mereka atau dikirimkan ke rumah masing-masing. sebab
hidangan ini haram untuk dimakan.68 Demikian pula
dengan hubungan suami istri yang kebetulan berasal dari
kelompok yang berbeda. Tidak sedikit dari mereka yang
berdebat tentang keabsahan pernikahan mereka. Hubungan
mereka yang awalnya baik-baik saja menjadi bermasalah
seiring dengan memanasnya konflik antara kelompok Sunni
dan Syiah. Tidak sedikit kemudian mereka bercerai akibat
perbedaan ini.69 Selain itu, ketegangan sosial pun terjadi
hampir saban hari. Meski hidup sekampung, interaksi sosial
antara dua komunitas pemeluk ajaran yang berbeda ini
selalu dalam tensi yang tinggi; saling curiga satu sama lain,
saling mengawasi tindakan apa yang diambil oleh pihak
lawan. Tidak sedikit pula kedua kubu kedapatan membawa
celurit atau senjata tajam lainnya saat menghadiri suatu
acara tertentu atau bahkan saat mereka pergi ke sawah.70
Pada titik ini, hubungan antara warga Sunni dan Syiah
mudah memanas. Sedikit saja provokasi, konflik kekerasan
fisik tidak dapat dihindarkan. Pada demonstrasi tahun 2006
misalnya, warga yang sedang menikmati musim maulid
harus terganggu dengan demonstrasi warga ke rumah Tajul
yang sedang mengadakan pengajian maulid di rumahnya
sekaligus selamatan 40 hari wafatnya sang ayah. Tanpa
klarifikasi terlebih dahulu, warga berbondong-bondong
mendatangi Tajul memintanya untuk tidak melanjutkan
acara pengajiannya sebab dia disinyalir akan mengundang
12 habib Syiah dari Kuwait.71 Padahal, sebagaimana
pengakuannya, Tajul hanya mengundang habib Syi