suni syiah di sampang 2



 Gayam dan Blu’uran. Biasanya sudah 

ada semacam kesepakatan tidak tertulis dalam pengaturan 

jadwal pengajian sehingga tidak terjadi tabrakan acara dan 

sehingga kiai-kiai yang diundang dapat menghadiri acara 

ini  satu per satu. 

Dalam konteks hubungan antara Sunni dan Syiah, 

ada tradisi Safar yang diklaim sebagai tradisi Syiah yang 

diadopsi oleh orang-orang Sunni Madura.3 Menganggap 

bulan Safar ini bulan baik, selama sebulan, warga Madura 

saling mengirim ke surau bubur manis merah dan putih 

dengan sedikit ketan di atasnya. Bubur ini  disajikan 

di atas piring yang dilapisi daun pisang. Meski tidak ada 

aturan baku, biasanya warga membuat 40 piring bubur 

untuk dibagikan ke empat arah mata angin (tetangga depan, 

belakang, kanan, dan kiri), masing-masing 10 piring. Khusus 

piring yang diberikan kepada kiai, warga menyelipkan uang 

sekitar Rp. 5,000 atau lebih sesuai kemampuan. Ada pula 

warga yang tidak mengirimkan bubur tapi menggantinya 

dengan mengadakan pengajian di suraunya sendiri. 

Waktunya pun bebas asal masih dalam bulan Safar ini , 

dan tidak ada kesepakatan tertulis. Biasanya si empu hajat 

sudah menetapkan tiap tahunnya dia akan mengadakan 

pada tanggal tertentu yang itu menjadi kebiasaan tahunan, 

sehingga warga lain yang ingin membuat hajat yang sama 

tidak mengadakan pengajian di hari dan waktu yang sama. 

Demikian juga, warga biasanya saling membantu baik 

berupa tenaga maupun sumbangan bahan-bahan mentah 

yang akan dijadikan sajian dalam pengajian.

Sistem Sosial di Sampang

Sebagaimana kebudayaan Madura secara umum, 

Sampang mengadopsi sistem sosial yang diambil dari pepatah 

“Buppha’ Babbhu’ Guruh Rato,” yang berarti “Orang Tua, 

Guru, Penguasa.” Ungkapan ini menggambarkan strata sosial 

Mengenal Sampang

27

yang ada di pulau ini.4 Buppha’ Babbhu’ (orang tua) mewakili 

keluarga, yakni struktur mikro dalam sebuah warga , 

sedang Rato (penguasa) mewakili struktur makro, yakni 

pemerintahan. Adapun Guruh (guru), mewakili struktur 

tengah yang menjembatani antara struktur mikro dan makro. 

Satu per satu akan saya jabarkan di bawah ini.

Keluarga yaitu  unsur utama dalam struktur sosial 

warga  Madura. Keluarga yaitu  pilar utama yang harus 

dijaga kehormatannya sehingga seseorang akan menjadi 

bangga dengan keluarga besarnya. Dalam konteks tertentu, 

menghormati seseorang sama halnya menghormati seluruh 

keluarga. Demikian sebaliknya, menghina atau melukai 

seseorang sama halnya menghina dan melukai seluruh 

keluarga. 

Sistem keluarga besar (extended family) ini5 disimbolkan 

dalam bangunan rumah dalam tradisi Madura yang dikenal 

dengan taneyan lanjhang (=halaman panjang), yakni 

semacam halaman luas yang dikelilingi beberapa rumah yang 

penghuninya masih terikat famili. Biasanya rumah-rumah 

ini  dibangun secara berurutan sesuai dengan jumlah 

anak perempuan yang mereka miliki. Secara adat, orang 

tua wajib membangunkan rumah bagi anak perempuan 

mereka saat  mereka sudah berkeluarga.6 Mereka tidak 

perlu membangunkan rumah untuk anak laki-laki mereka 

sebab  mereka pasti akan mengikuti istrinya saat  mereka 

menikah. Rumah-rumah ini  biasanya dibangun antara 

model huruf L atau U. 

Adat taneyan lanjhang ini merepresentasikan suatu 

keluarga besar (baca: bani). Agar “kemurnian darah” keluarga 

tidak tercampur dengan keluarga lain, mereka melakukan 

pernikahan antarsaudara, seperti sepupu-sepupu, sepupu-

duapupu (mindoan), sepupu-tigapupu (menteloan), atau 

antarsesama keluarga lainnya. Meski sekarang warga tidak 

lagi bisa secara bebas sebab  keterbatasan lahan yang mereka 

miliki, spirit untuk menjaga “kemurnian” ini tetap dimiliki 


28

dan diwariskan secara turun temurun kepada anak cucu 

mereka. Di tiap kompleks taneyan lanjhang ini ada 

surau kecil untuk salat berjamaah bagi seluruh keluarga. 

Rumah para kiai atau ustad biasanya berukuran lebih besar 

dan luas sebab  surau yang dimiliki pasti lebih besar selain 

digunakan untuk salat berjamaah keluarga mereka sendiri, 

juga digunakan untuk menampung warga yang mengaji di 

rumah mereka. Selain itu, dalam kompleks rumah kiai juga 

biasanya dibangun madrasah diniyah atau pesantren. Selain 

surau, rumah-rumah di dusun juga biasanya dilengkapi 

kandang hewan atau kolam ikan. Hewan favorit warga 

yaitu  sapi dan kambing.

Struktur kedua yaitu  Ghuru (guru). Dalam hal ini 

yaitu  guru agama atau yang lebih dikenal dengan kiai. 

Secara sosial, kiai mempunyai peranan penting di Madura.7 

Ia yaitu  ghuru/guru yang mendidik dan mengajarkan 

pengetahuan agama, yang memberikan tuntunan dan 

pedoman dalam menjalani kehidupan dunia dan akhirat.8 

Selain itu, warga  juga menghormati kiai sebab  mereka 

memiliki sesuatu yang berbeda dari warga  pada 

umumnya, yakni kesaktian.9 Mereka menyebut kekuatan 

ini dengan helap, yang berasal dari bahasa Arab khilaf, 

yang berarti lupa atau alpa. Hal ini merujuk pada tindakan 

seorang kiai sakti yang kadang melakukan sesuatu di luar 

rasio atau kewajaran.10 

Tidak heran kemudian warga  juga merujuk 

kepada kiai dalam urusan duniawi. Setiap kali seseorang 

mempunyai hajat seperti memulai usaha ekonomi, ujian 

sekolah, merantau, dia pasti akan meminta nasihat dan 

doa agar setiap usaha mereka berhasil. Tradisi di Madura 

menyebutkan bahwa warga  ‘tidak memperbolehkan’ 

kiai mereka untuk bekerja.11 Sebagai gantinya, saat musim 

panen tiba, warga  dengan suka rela memberikan 

sebagian hasil panen mereka kepada kiai mereka. Jumlahnya 

tergantung kemampuan masing-masing individu. Jika sang 

Mengenal Sampang

29

kiai mempunyai toko, mereka tidak segan-segan untuk 

menjaga tokonya. Tentu sang kiai juga memberi upah 

sebagai jasa mereka. 

Seorang kiai juga mendapatkan ‘amplop’ atau slabet 

dari setiap aktivitas keagamaan seperti undangan pengajian, 

pernikahan, atau pun saat  ada orang yang menemuinya 

untuk meminta nasihat dan doa. Semua itu diperoleh kiai 

secara sukarela dalam arti tidak ada tarif tertentu yang 

ditetapkan oleh kiai. Semua bergantung pada kemampuan 

finansial warga . Oleh sebab  itu, semakin banyak 

jumlah santri atau jamaah, semakin banyak pula kesempatan 

kiai untuk mendapatkan pemasukan secara ekonomi. 

Perlu diketahui, santri seorang kiai tidak bersifat 

individu, melainkan bersifat komunal sebab  satu 

keluarga akan berguru ke satu kiai sesuai dengan 

panutan kepala keluarga. Penghormatan warga  

kepada kiai tidak hanya kepada kiai ini  seorang, 

tetapi juga kepada anak-anaknya. Sehingga silsilah 

penghormatan tidak hanya berhenti di tingkat kiai tapi 

juga kepada keturunannya.

Implikasi sosial dari kondisi ini yaitu  kehidupan 

religi warga  menjadi sangat homogen. Keragaman pola 

pandang dan pikir warga  tentang Islam juga diperkuat 

dengan budaya Madura yang menyerahkan segala urusan 

interpretasi agama kepada kiai dan dengan menaati segala 

apa yang diucapkan dan dititahkan oleh ulama tanpa pikir 

panjang dan tanpa rasionalisasi tertentu. Mereka juga siap 

berada di garda depan jika ada yang berani melawan atau 

mengganggu eksistensi para kiai. Walhasil, konstruksi sosial 

semacam ini meletakkan kiai pada posisi di atas segala-

galanya, selalu benar, dan segala ucapan dan titahnya harus 

diikuti.

Kepercayaan tinggi warga  kepada kiai dalam 

urusan agama dan sosial menempatkan kiai pada posisi 

yang strategis dalam urusan sosial-politik. Setiap kebijakan 


30

pemerintah yang berkaitan dengan warga , pasti harus 

melalui ‘persetujuan’ kiai. Demikian sebaliknya, saat  

warga  ingin menyampaikan aspirasinya, mereka harus 

melalui kiai yang memiliki jaringan ke pemerintahan. Sadar 

atau tidak, kiai kemudian memainkan perannya sebagai apa 

yang disebut dengan cultural broker (makelar budaya),12 

yang menyaring setiap informasi yang masuk dan keluar 

dari warga . 

Dalam konteks yang lebih luas, kiai yang mampu 

memainkan perannya sebagai broker dengan baik akan 

memiliki akses yang baik di tingkat pemerintahan dan 

di lingkaran politik dan akan mampu dengan cepat 

mengembangkan aktivitasnya dalam berdakwah seperti 

pembangunan masjid, gedung madrasah. Sedangkan mereka 

yang tidak mampu memainkan peran ini akan tersisih 

dalam panggung perpolitikan lokal. Secara tidak langsung, 

stratifikasi sosial politik kiai ditentukan oleh kemampuan 

mereka memainkan peran ini.

Selain kiai, tokoh warga  juga bisa lahir dari 

blater. Kelompok ini lahir dari elit pedesaan yang asal usul 

dan tradisinya berbeda dengan kiai. Bila kiai berasal dan 

dibesarkan di dalam kultur keagamaan, dan dekat dengan 

budaya tahlilan dan pengajian, maka blater dibesarkan 

dalam budaya jagoanisme, yang mendekat ritus kekerasan, 

serta dekat dengan tradisi sadur, remoh, dan karapan sapi.13 

Ada dua sumber kekuasaan blater di warga , 

yakni wibawa (karisma) dan kekayaan.14 Sumber pertama 

diperoleh dari keberaniannya dan sifatnya yang pantang 

menyerah dalam menghadapi setiap masalah meski harus 

mempertaruhkan nyawa. Salah satu bentuk tindakan berani 

yaitu  menghadapi tantangan carok. Semakin sering seorang 

blater memenangi duel carok, semakin kuat karismanya di 

antara sesama blater maupun di warga . Adapun sumber 

kedua lebih pada kekuatan ekonomi untuk menopang 

kekuasaannya di warga . Blater dalam kategori ini 

Mengenal Sampang

31

berubah peran dari aktor kriminal menjadi penyokong dana 

untuk para blater kecil di bawahnya. Dua sumber kekuasaan 

blater ini membagi kelompok ini menjadi dua, yakni blater 

rajeh (blater besar) dan blater kene’ (blater kecil). Blater 

rajeh yaitu  mereka yang memiliki karisma yang tinggi dan 

mapan secara ekonomi, sedangkan blater kene’ lebih banyak 

mengekor ke kelompok pertama untuk menjaga eksistensi 

mereka.

Struktur ketiga yaitu  Rato, yang berarti pejabat 

negara dan aparatur birokrasi. Menjadi struktur tertinggi di 

Madura, mereka bertanggung jawab atas keberlangsungan 

kehidupan sosial ekonomi politik dan keamanan di wilayah 

yurisdiksi masing-masing. Oleh sebab nya, warga Madura 

sangat menghormat keberadaan mereka. Bersama-sama 

dengan kiai dan tokoh warga  lainnya, mereka menjadi 

tumpuan warga saat  terjadi sesuatu yang dianggap dapat 

mengakibatkan keresahan warga . Mereka juga akan 

diundang dan dituntut untuk berpartisipasi aktif dalam 

musyawarah yang terkait masalah warga.15 

Meski demikian, sebagaimana umumnya orang 

Madura, para aparat juga menjadikan kiai sebagai panutan 

baik dalam urusan pribadi (agama) maupun urusan 

kantor. Mereka berkonsultasi kepada kiai saat  mereka 

ingin mendapat kelancaran pekerjaan dan karier mereka. 

Demikian pula dalam urusan kantor. sebab  kiai mempunyai 

basis massa yang kuat, mereka membutuhkan peran kiai 

untuk memudahkan transformasi kebijakan pemerintah ke 

warga . Sebaliknya, mereka juga membutuhkan kiai 

untuk menyerap aspirasi warga  secara masif. Urusan 

seperti ini juga berlaku dalam hal politik.16 

Dari interaksi ini, tercipta hubungan mutual symbiosis 

antara rato dan guruh. Transaksi politik antara kedua belah 

pihak tidak dapat dihindarkan. Para politisi yang ingin 

memenangkan pesta demokrasi baik yang lokal maupun 

nasional pasti akan mengunjungi kiai untuk mendapatkan 


32

dukungan doa dan suara massa di belakangnya. Sebaliknya, 

kiai mendapat sokongan dana dan akses ke birokrasi 

pemerintah untuk mempermudah urusan-urusannya dan 

urusan pengikutnya. 

Faktor Pemersatu dan Pemisah dalam Budaya Madura

warga  Madura sangat kuat memegang teguh 

tradisinya. Meski demikian, tidak semua tradisi ini  

berakhir baik. Berkaitan dengan konflik kekerasan Sunni 

dan Syiah, saya akan mengurai dua diktum yang saling 

bertolak belakang di satu sisi, namun juga saling berkaitan 

di sisi lain; yang menjadi pendukung konflik di satu sisi dan 

penahan konflik di sisi lain. Dua diktum ini  yaitu  

taretan dibi’, yang berarti “persaudaraan dan persahabatan,” 

dan “lebbhi bagus pote tolang etembheng pote mata” (lebih 

baik mati daripada harus hidup menanggung malu). Tradisi 

pertama ini yaitu  ejawantah dari konsep besar “keluarga” 

yang digambarkan dalam struktur sosial “buppha’ babbhu’.” 

Tradisi ini mewakili filosofi tentang dua hal, yakni bahwa 

semua orang Madura yaitu  saudara dan sahabat. Oleh 

sebab nya, setiap orang harus saling bahu membahu baik 

dalam kondisi senang maupun duka. 

Tidak hanya berlaku di pulau Madura, tradisi ini juga 

sangat menguntungkan warga Madura di perantauan. Di 

mana ada orang Madura menetap, dia pasti mengundang 

saudara, teman, atau tetangganya untuk tinggal dan berusaha 

bersama mengais rupiah. Kemudian, mereka membuat 

komunitasnya sendiri yang tidak jauh berbeda dengan adat 

istiadat yang ada di Madura sendiri.17 

Dalam kehidupan sehari-hari, filosofi taretan dibi’ 

diwakili oleh tradisi gerjih, yang berarti gotong-royong. 

Sikap suka menolong yaitu  yang sifat alami orang Madura. 

Setiap kali ada satu keluarga yang memiliki hajatan, tetangga-

tetangganya akan berbondong-bondong membantu untuk 

mempersiapkan acara secara sukarela dan tanpa dibayar. 

Mengenal Sampang

33

Tradisi ini berjalan cukup baik di pedesaan tapi tidak di 

perkotaan. Mereka yang hidup di kota harus mempekerjakan 

orang lain untuk membantunya. Membantu sesama yaitu  

bagian dari jati diri orang Madura

Sisi lain dari “keluarga” terletak pada pepatah “lebbhi 

bagus pote tolang etembheng pote mata.” Ungkapan ini 

merujuk pada kewajiban orang Madura untuk bangga 

menjadi orang Madura dan untuk menjaga sepenuh jiwanya, 

martabat dan harga dirinya. Jika harga diri ini  dilanggar, 

dia wajib membela dirinya dengan cara kekerasan, yakni 

dengan menantang duel maut orang yang melanggar 

martabatnya ini .18 Duel antara dua orang yang harus 

berhenti dengan kematian salah satu lawan ini sering dikenal 

dengan carok. Salah satu pelanggaran harga diri yang sering 

menjadi penyebab carok yaitu  urusan perempuan, baik itu 

pelecehan atau penghinaan kepada istri, atau pun sebab  

berebut perempuan untuk dijadikan istri. Penyebab lainnya 

yaitu  penghinaan terhadap agama, terhadap diri dan 

perebutan harta.19  

Biasanya pemenang duel carok segera melaporkan 

diri ke kantor kepolisian agar segera dijebloskan ke penjara 

sehingga bisa “mengamankan” dirinya dari tindakan balas 

dendam oleh keluarga korban. Bagian dari harga diri juga 

yaitu  “kewajiban” untuk melakukan balas dendam kepada 

orang yang telah menyebabkan kematian orang tua atau 

saudara mereka. Bola salju balas dendam ini akan terus 

berlangsung hingga kedua keluarga besar bertemu untuk 

melakukan pesta rekonsiliasi dan untuk menghapus rasa 

ingin balas dendam di masa mendatang.20

Dua wajah budaya ini dapat menjadi pemicu damai 

maupun kekerasan. Gerjih, misalnya, meski berkonotasi 

baik, pada saat-saat tertentu dia bisa menjadi faktor eskalasi 

konflik. Beberapa kasus pengeroyokan pemuda di Madura 

diakibatkan oleh pertengkaran sepele antara dua orang, tapi 

kemudian membesar sebab  kesalahan memahami makna 


34

“saling bantu membantu.” Dari hasil wawancara saya dengan 

banyak pihak, saya melihat “persaudaraan” ini menjadi salah 

satu penyebab perluasan area konflik dan penambahan 

jumlah pelaku kekerasan pada saat peristiwa kekerasan 29 

Desember 2011 dan 26 Agustus 2012 berlangsung. Bagian 

ini akan saya bahas secara lebih mendalam pada bab 

selanjutnya. Di sisi lain, pepatah “lebbhi bagus pote tolang 

etembheng pote mata” dapat menunjukkan wajah lain dari 

“ketegasan” orang Madura untuk menjaga martabat dan 

harga diri mereka. 

Mengenal Sampang


Konflik kekerasan yang melibatkan komunitas Sunni 

dan Syiah di Dusun Nangkernang Desa Karang Gayam 

Kecamatan Omben dan Dusun Gading Laok Desa Blu’uran 

Kecamatan Karang Penang ―keduanya berada di Kabupaten 

Sampang Propinsi Jawa Timur― memiliki riwayat yang 

cukup panjang. Riset ini menunjukkan bahwa kekerasan 

fisik yang menimpa komunitas Syiah Sampang yang terjadi 

pada Desember 2011, Agustus 2012, dan Juni 2013 yaitu  

bentuk manifes dari kekerasan-kekerasan lain yang lebih 

besar yang dialami komunitas ini. Bab ini akan menjelaskan 

peristiwa-peristiwa kekerasan fisik tidak hanya pada tiga 

kejadian di atas, melainkan jauh sebelum itu, yakni mulai 

tahun 2004. 

Sebagaimana asumsi yang dibangun dalam penelitian 

ini, bahwa konflik kekerasan bukanlah peristiwa independen 

namun lebih sebagai hasil dari rangkaian kejadian yang 

mengarah pada kekerasan ini . Sayangnya kajian 

dan komentar yang beredar di publik tentang konflik ini 

seringkali memberikan perspektif yang menyederhanakan 

dengan menekankan faktor tertentu mulai konflik keluarga, 

perbedaan teologis hingga perebutan sumberdaya alam. Bab 

ini bertujuan unutk menunjukkan kompleksitas masalah dan 

mengurainya dengan menunjukkan keterkaitan satu faktor 

dengan faktor yang lain. Untuk itu, bab ini menjelaskan 

INISIASI  KONFLIK



38

tiga dari lima faktor penyebab konflik kekerasan yang telah 

disebutkan di bab , yakni: konflik keluarga, 

perebutan pengaruh keagamaan di warga , dan 

ekonomi. 

Konflik Dua Kiai Bersaudara

Jauh sebelum adanya konflik keluarga antara Tajul dan 

Rois, telah terjadi konflik yang kurang lebih sama antara dua 

kiai yang masih mempunyai hubungan kekerabatan, yakni 

Abuya Ali Karrar Sinhaji (selanjutnya disebut Kiai Karrar) 

dan Kiai Makmun. Hubungan keduanya yaitu  paman dan 

keponakan yang berasal dari keluarga besar Buju’1 Batu 

Ampar,2 salah seorang kiai pembawa ajaran Islam pertama 

di Madura dan masih mempunyai hubungan kekerabatan 

dengan Sunan Ampel. 

Kiai Karrar sangat mengagungkan ajaran sang buju’ 

dengan cara mengamalkan, mengajarkan, dan meneruskan 

perjuangan dakwah Islam ke seantero pulau Madura. 

Selain itu, untuk melestarikan ajaran buju’, ada sebuah 

kesepakatan tidak tertulis yang dipegang oleh para ulama 

Madura dan para santrinya untuk memondokkan anak-

anak mereka ke pesantren-pesantren di Madura; atau jika 

di luar Madura, di pesantren-pesantren yang kiainya masih 

mempunyai hubungan kekerabatan dengan atau pernah 

belajar kepada ulama di Madura, seperti di pesantren 

Sidogiri, Sukorejo, Tebuireng, atau bahkan di Arab Saudi. 

Tradisi ini berjalan puluhan bahkan mungkin ratusan tahun 

sehingga membentuk kodifikasi keagamaan Islam Madura 

yang tunggal, yakni berpaham ahl al-sunnah wa al-jama’ah 

(aswaja), berakidah Asy’ariyah dan Maturidiyah, berpegang 

pada fiqh Syafi’i dengan tetap menerima paham tiga fiqh 

lainnya,yakni Maliki, Hanbali, dan Hanafi, dan merujuk pada 

ajaran tasawuf Imam al-Ghazali dan Junaid al-Baghdadi.3 

Kiai Karrar yang juga kiai dan ulama besar di Madura 

menjaga betul warisan ajaran buju’-nya melalui pesantren 

  

39

yang didirikannya, Darut Tauhid, yang terletak di Desa 

Lenteng, Pamekasan, yang berbatasan dengan Kabupaten 

Sampang. Alumnus Ma’had Al-Sayyid Muhammad bin Alwi 

al-Maliki Makkah, atau yang lebih sering disebut Ma’had 

Maliki, ini memiliki santri-santri yang tersebar di penjuru 

pulau Madura termasuk di wilayah Karang Gayam dan 

Blu’uran yang menjadi tempat konflik. Santri-santri inilah 

yang kemudian turut aktif berpartisipasi dalam penyebaran 

paham aswaja di Madura. Kiai Karrar juga memiliki hubungan 

yang erat dengan pesantren-pesantren besar di Madura, baik 

sebab  hubungan darah sesama keturunan Buju’ Batu Ampar 

atau dengan antar keturunan buju’-buju’ yang lain. 

Selain itu, beliau juga aktif bergerak dalam organisasi 

BASSRA (Badan Silaturahmi Ulama Pesantren Madura) dan 

FMU (Forum Musyawarah Ulama) Pamekasan. Organisasi 

pertama yaitu  organisasi ulama setingkat Madura yang 

memiliki koordinator di masing-masing kabupaten se-

Madura. Organisasi yang berdiri pertengahan 1990-an 

ini lebih bersifat paguyuban, di mana para kiai/ulama 

berkumpul untuk membahas permasalahan umat, dan 

tidak diperkenankan untuk diformalkan menjadi semacam 

organisasi sosial keagamaan seperti NU atau Muhammadiyah 

sebab  khawatir akan dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu. 

Bahkan, ada satu masa di mana BASSRA pernah terbelah 

sebab  menjadi dua kelompok, BASSRA Tua dan BASSRA 

Muda sebab  BASSRA Tua menyetujui usulan pembangunan 

jembatan Suramadu yang diusulkan oleh pemerintah, 

sedang BASSRA Muda tidak. Singkat kata, BASSRA tidak 

bisa merepresentasikan ulama Madura secara keseluruhan 

sebab  pemikiran para kiai dan ulama itu beragam dan 

tidak tunggal.4 Terkait isu Syiah di Sampang, pengamatan di 

lapangan menunjukkan bahwa BASSRA tampaknya memiliki 

kesamaan suara meski mereka tidak sepaham terkait metode 

yang digunakan Kiai Karrar dan kelompoknya. Sedangkan 

FMU menyerupai yang pertama namun hanya dalam lingkup 


40

Kabupaten Pamekasan. Singkat cerita, dengan karisma yang 

diwarisi dari “kakeknya” dan keaktifannya dalam gerakan 

sosial keagamaan melalui organisasi yang dinahkodainya, 

Kiai Karrar memiliki pengaruh sosial keagamaan yang cukup 

besar baik di Pamekasan maupun di Madura.

Sedangkan Kiai Makmun hanyalah kiai lokal di sebuah 

desa kecil miskin di Sampang yang hanya bisa dilalui jalan 

setapak dengan jalan kaki atau motor. Bahkan, jika musim 

penghujan, motor pun akan kesulitan menjangkau desa ini. 

Berbeda dengan Kiai Karrar yang memiliki pesantren besar, 

kiai ini hanya memiliki satu surau yang ada di kompleks 

rumahnya ―sebagaimana ghalib-nya rumah-rumah di 

Madura― dan satu madrasah diniyah yang didirikannya 

untuk mengajari anak-anak desa belajar mengaji. Meski 

hanya kiai lokal, warga  sekitar sangat menghormatinya. 

Bahkan mereka memberi gelar Rah Toan, atau anak kiai yang 

agung sebab  keilmuannya dan kepandaiannya, kepada Kiai 

Makmun. Sering kali beliau tertangkap basah menunjukkan 

perilaku istimewa atau luar biasa yang orang awam tidak 

mungkin bisa menirunya, seperti kemampuannya menguasai 

ilmu nah}wu (gramatikal Arab) meski tanpa pernah 

mempelajarinya dari seorang guru pun, atau saat  beliau 

kedapatan berpindah dari satu tempat ke tempat lain dengan 

cepat seperti ada satu orang di dua tempat yang berbeda. Di 

Madura, perilaku istimewa ini disebut dengan helap5. sebab  

ta‘dzim/hormat warga  kepadanya, seorang kiai di 

Omben yang juga pernah nyantri di rumahnya berseloroh, 

“seandainya boleh menyembah selain Tuhan, Kiai Makmun 

itu akan disembah oleh warga  sana.”6 

Dalam konteks ini, sama halnya Kiai Karrar, Kiai 

Makmun juga mempunyai pengaruh yang cukup kuat meski 

hanya dalam lingkup desa saja. Perbedaan mendasar antara 

keduanya yaitu  bahwa pengaruh keagamaan di warga  

yang diperoleh Kiai Karrar lebih bersifat struktural dalam arti 

  

41

lebih ditopang oleh institusi pendidikan yang didirikannya 

dan gerakan sosial keagamaan yang dilakukannya. 

Sedangkan Kiai Makmun memperoleh karisma dan 

mempunyai pengaruh keagamaan dari jalur kultural, yakni 

dari interaksi sosial sehari-hari dengan warga  desa. 

Menurut banyak cerita yang peneliti sering dengar di 

lapangan penelitian, Kiai Makmun mulai mempelajari ajaran 

Syiah pada akhir dekade 1970-an, tepatnya saat  Ayatullah 

Khumaini berhasil memenangkan gerakan revolusi Islam 

Syiah di Iran. Entah siapa yang mengawali, apakah sang kiai 

ataukah ada seseorang atau organisasi, setiap bulan beliau 

mendapat kiriman naskah -naskah  tentang Syiah yang selalu 

diterima oleh santrinya yang berada di Surabaya untuk 

kemudian dikirimkan kepada dirinya di Sampang.7 

Konflik antara Kiai Karrar dan Kiai Makmun bermula 

pada saat Kiai Makmun menyekolahkan dua anaknya Tajul 

dan Rois ke Pondok YAPI di Bangil. Tajul, yang lebih tua, 

mengenyam pendidikan setingkat SLTP atau tsanawiyah, 

sedang Rois setingkat SD/ibtidaiyah. Keduanya belajar di 

YAPI cukup lama, yakni kurang lebih tiga tahun (1987-

1991), sampai kemudian Kiai Karrar meminta Kiai Makmun 

untuk menarik keduanya dari YAPI. Kiai Makmun akhirnya 

mau menarik dua putranya saat  ayahnya, Kiai Achmad, 

juga meminta hal yang sama. Menurut pengakuan Kiai 

Karrar, beliau menemui kakak sepupunya ini  (Kiai 

Achmad) agar mau membujuk Kiai Makmun menarik kedua 

anaknya dari YAPI.8 Kiai Karrar juga menuturkan dua alasan 

mengapa Tajul dan Rois harus keluar dari YAPI. Pertama, 

YAPI yaitu  pondok Syiah9 yang mengajarkan sesuatu yang 

berbeda dengan ajaran Buju’ Batu Ampar, yakni ajaran 

Syiah. Kedua, YAPI tidak memiliki afiliasi kekerabatan atau 

keilmuan dengan pesantren-pesantren di Madura. Hal ini 

dianggap melanggar pakem tradisi pembelajaran ke-Islam-

an di Madura.


42

Pada saat Rois memilih pulang kampung membantu 

ayahnya mengajar di madrasah, Tajul menerima tawaran 

ayahnya untuk menimba ilmu di Arab Saudi, tepatnya di 

Ma’had Maliki, sesudah  sebelumnya menyatakan tidak nyaman 

ngaji di pondok Kiai Karrar. Ma’had Maliki yaitu  tempat Kiai 

Karrar pernah belajar dulu. Meski demikian, Tajul mengaku 

bahwa dia juga tidak betah belajar di Ma’had Maliki sebab  

merasa ilmu yang diterimanya tidak jauh berbeda dengan 

apa yang diajarkan Kiai Karrar. Dia kemudian memilih keluar 

bekerja sebagai TKI (Tenaga Kerja negara kita ) dan belajar 

Islam secara autodidak. Pada saat inilah, Tajul bertemu 

dengan Muhammad Liwa’ Mahdi, seorang penganut Syiah 

dari daerah Qatif di Arab Saudi yang juga mahasiswa di 

Universitas King Abdul Aziz, yang menyediakan kitab-kitab 

Syiah untuk dipelajari Tajul.10 Selama kurang lebih enam 

tahun pengembaraannya di Arab Saudi (1993-1999), Tajul 

mempelajari Syiah secara autodidak.

Peristiwa konflik antara Kiai Karrar dengan Kiai 

Makmun dan Tajul Muluk menunjukkan bahwa benih 

konflik keluarga sebenarnya sudah ada sejak tahun 1990-

an. Konflik internal ini pada fase selanjutnya berpengaruh 

pada pecahnya konflik keluarga antara Tajul Muluk dengan 

Roisul Hukama yang berakibat pada pecahnya keluarga 

besar Kiai Makmun. Selain itu, peristiwa penarikan paksa 

Tajul dan Rois dari YAPI juga menunjukkan bahwa sentimen 

anti-Syiah bukan hal baru di Madura. Paling tidak, sentimen 

itu mulai muncul sejak tahun 1990-an.

Konflik antara Tajul dan Kiai Lokal

Untuk mengamalkan ilmu yang telah dipelajarinya, 

Tajul mengalami banyak pertentangan dari kiai-kiai lokal. 

Kedatangan Tajul datang kembali ke kampungnya untuk 

berdakwah dinilai mengganggu eksistensi para kiai lokal 

yang terlebih dahulu menyebarkan ajaran Islam di Karang 

Gayam dan Blu’uran. Di bawah ini peneliti merangkum tiga 

hal utama yang merupakan perselisihan awal antara Tajul 

Konflik 

Keluarga

Perebutan Pengaruh di warga 

Masalah 

Ekonomi

Politisasi 

Kasus Tajul

Penist an 

Agam

Pendirian madrasahIsu “Halimah”War s keluarg

Kiai kehilangan pengikut

Pecahnya keluarga Makmun

Tajul kehilangan dukungan keluarga

Martabat 

kiai

Hilangnya 

sumber 

ekonomi

Tawar 

menawar 

politik

Konflik baru

I u slabet 

Demonstrasi anti-Syiah

Merelokasi Tajul

Mengkambinghitamkan Tajul

Tobat paksa ke Sunni untuk rekonsiliasi

Tajul mengganggu eksistensi kiai

Pembakaran properti milik Syiah

Regulasi pemerintah terkait agama Regulasi sos al terkait g m

Komunitas Syiah diusir dari Madura

Agenda pemenangan pemilukada

Indikator

Hubungan langsung

Hubungan tidak langsung

Aksi lanjutan

i lama

Pend dikan Syiah

Fatwa sesat 

ajaran Tajul 

Tajul dipenjara

Gambar 2

Pemetaan Lima Faktor Penyebab Konflik Sunni-Syiah di Madura

  

43

Pada saat Rois memilih pulang kampung membantu 

ayahnya mengajar di madrasah, Tajul menerima tawaran 

ayahnya untuk menimba ilmu di Arab Saudi, tepatnya di 

Ma’had Maliki, sesudah  sebelumnya menyatakan tidak nyaman 

ngaji di pondok Kiai Karrar. Ma’had Maliki yaitu  tempat Kiai 

Karrar pernah belajar dulu. Meski demikian, Tajul mengaku 

bahwa dia juga tidak betah belajar di Ma’had Maliki sebab  

merasa ilmu yang diterimanya tidak jauh berbeda dengan 

apa yang diajarkan Kiai Karrar. Dia kemudian memilih keluar 

bekerja sebagai TKI (Tenaga Kerja negara kita ) dan belajar 

Islam secara autodidak. Pada saat inilah, Tajul bertemu 

dengan Muhammad Liwa’ Mahdi, seorang penganut Syiah 

dari daerah Qatif di Arab Saudi yang juga mahasiswa di 

Universitas King Abdul Aziz, yang menyediakan kitab-kitab 

Syiah untuk dipelajari Tajul.10 Selama kurang lebih enam 

tahun pengembaraannya di Arab Saudi (1993-1999), Tajul 

mempelajari Syiah secara autodidak.

Peristiwa konflik antara Kiai Karrar dengan Kiai 

Makmun dan Tajul Muluk menunjukkan bahwa benih 

konflik keluarga sebenarnya sudah ada sejak tahun 1990-

an. Konflik internal ini pada fase selanjutnya berpengaruh 

pada pecahnya konflik keluarga antara Tajul Muluk dengan 

Roisul Hukama yang berakibat pada pecahnya keluarga 

besar Kiai Makmun. Selain itu, peristiwa penarikan paksa 

Tajul dan Rois dari YAPI juga menunjukkan bahwa sentimen 

anti-Syiah bukan hal baru di Madura. Paling tidak, sentimen 

itu mulai muncul sejak tahun 1990-an.

Konflik antara Tajul dan Kiai Lokal

Untuk mengamalkan ilmu yang telah dipelajarinya, 

Tajul mengalami banyak pertentangan dari kiai-kiai lokal. 

Kedatangan Tajul datang kembali ke kampungnya untuk 

berdakwah dinilai mengganggu eksistensi para kiai lokal 

yang terlebih dahulu menyebarkan ajaran Islam di Karang 

Gayam dan Blu’uran. Di bawah ini peneliti merangkum tiga 

hal utama yang merupakan perselisihan awal antara Tajul 

Konflik 

Keluarga

Perebutan Pengaruh di warga 

Masalah 

Ekonomi

Politisasi 

Kasus Tajul

Penist an 

Agam

Pendirian madrasahIsu “Halimah”War s keluarg

Kiai kehilangan pengikut

Pecahnya keluarga Makmun

Tajul kehilangan dukungan keluarga

Martabat 

kiai

Hilangnya 

sumber 

ekonomi

Tawar 

menawar 

politik

Konflik baru

I u slabet 

Demonstrasi anti-Syiah

Merelokasi Tajul

Mengkambinghitamkan Tajul

Tobat paksa ke Sunni untuk rekonsiliasi

Tajul mengganggu eksistensi kiai

Pembakaran properti milik Syiah

Regulasi pemerintah terkait agama Regulasi sos al terkait g m

Komunitas Syiah diusir dari Madura

Agenda pemenangan pemilukada

Indikator

Hubungan langsung

Hubungan tidak langsung

Aksi lanjutan

i lama

Pend dikan Syiah

Fatwa sesat 

ajaran Tajul 

Tajul dipenjara

Gambar 2

Pemetaan Lima Faktor Penyebab Konflik Sunni-Syiah di Madura

dan para kiai di dua desa ini. Tiga hal ini  yaitu  (1) 

metode dakwah Tajul, (2) isu ekonomi, dan (3) isu ajaran 

sesat Tajul. Ketiga isu ini berkembang secara bertahap dari 

perbedaan kepentingan dakwah antara Tajul dan kiai lokal 

hingga berujung pada polarisasi interaksi antara kedua 

pihak.

Dakwah sosial yang bermasalah

Sepulang dari Arab Saudi pada tahun 1999, sebagaimana 

tanggung jawab yang harus diemban oleh anak seorang kiai 

di kampung, Tajul membantu adiknya mengurus madrasah 

milik ayahnya.11 Dengan kemampuan ilmu yang di atas rata-

rata kiai-kiai lokal lainnya, gelar haji yang sangat disegani 

oleh orang Madura, karisma yang diwariskan ayahnya, 

perilaku santun dan suka menolong sesama, lengkap sudah 

modal sosial Tajul untuk berdakwah. Tradisi Madura yang 

identik dengan Islam, menghormati kiai dan keturunannya, 

mendudukkan posisi orang yang sudah haji lebih tinggi di 

warga 12 merupakan modal besar yang dimiliki Tajul 

untuk menyebarkan ajarannya. Selain itu, kondisi warga  

Karang Gayam dan Blu’uran, sebagaimana kondisi mayoritas 

penduduk Madura, yang bersifat tegalan dan kompleks 

rumah sebaran (scattered village)13 menjadikan dua desa ini 

seperti pusat dakwah; mempermudah Tajul dan Rois untuk 

membentengi dakwahnya sehingga tidak “terganggu” oleh 

kelompok kiai lokal lainnya. 

Walhasil, dakwah ini  dapat berjalan dengan masif. 

Terhitung tahun 2004, mereka berdua dapat memperoleh 

santri 50 KK (kepala keluarga), kemudian berkembang 

pesat menjadi 150 KK pada tahun 2011.14 Tidak ada angka 

pasti jumlah seluruh pengikut Tajul. Penggunaan jumlah 

KK ini  merujuk pada tradisi orang Madura, yang selain 

mengirimkan anaknya untuk ngaji di salah satu kiai atau 

ustad, mereka juga mempunyai perkumpulan-perkumpulan 

rutin seperti kolom, yasinan, sebelasan, selamadan, rasulan, 

mustami’an, dan lain sebagainya,15 sehingga santri seorang 


44

kiai itu tidak hanya anak-anak tapi juga sampai orang 

dewasa. Untuk memperkuat basis dakwahnya, Tajul dan 

Rois bergabung ke dalam IJABI (Ikatan Jama'ah Ahlul Bait 

negara kita ), organisasi resmi pertama yang berafiliasi Syiah di 

negara kita , pada tahun 2007.

Metode dakwah yang mengombinasikan antara ukhrowi 

dan duniawi terbukti berhasil digerakkan Tajul untuk 

memperluas ajarannya. Tajul tidak hanya berdakwah tapi 

juga terjun langsung membantu perekonomian warga desa 

yang memang hidup di bawah garis kemiskinan. Banyak 

kesaksian mengatakan bahwa Tajul sering membantu warga 

yang terbelit masalah finansial baik itu untuk modal kerja 

atau untuk menutupi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. 

Istri Tajul juga turut andil membantu mengelola keuangan 

jemaahnya sehingga aktivitas keagamaan dapat berjalan 

lancar dan tidak membebani kondisi finansial mereka. Selain 

itu, Tajul juga merubah secara radikal ritual maulidan yang 

biasanya dilakukan door-to-door menjadi tersentral di masjid 

desa. Warga hanya ditarik iuran Rp. 20,000 per keluarga untuk 

membiayai makanan dan minuman, sedang sisanya akan 

disisihkan untuk kebutuhan kegiatan dakwah selanjutnya. 

Metode dakwah seperti ini telah mengikat jamaah Tajul 

tidak hanya dalam urusan ukhrowi (akherat), tetapi juga 

duniawi. Bahkan, para loyalis pengikut Tajul bersedia untuk 

melakukan sabilen16 atau berinfaq di jalan Allah sebesar 

20% dari rezeki yang mereka peroleh, sebagaimana ajaran 

khumus yang tertuang dalam rukun Islam dalam Syiah.17 

Perlahan tapi pasti, mulai tahun 2004, Tajul 

memperkenalkan ajarannya secara mendalam kepada para 

pengikutnya. Ajaran ini  yaitu  ajaran Syiah. Menurut 

Tajul, dia mendeklarasikan Syiah secara terbuka untuk 

menunjukkan hakikat ajaran Syiah yang menurutnya banyak 

kiai dan orang di sekitarnya tidak memahaminya. Dengan 

demikian, mereka dapat mengetahui perbedaan antara 

ajaran ahlussunnah waljamaah dan alhul bait.18 Dia juga, 

  

45

atas permintaan dari jemaahnya, membangun madrasah 

diniyah miliknya sendiri, memisahkan diri dari madrasah 

yang dikelola Rois.19 Melalui madrasah ini, Tajul menjalankan 

seluruh program dakwahnya. 

Meski langkah Tajul ini dinilai melanggar pakem 

yang berlaku di Madura, misinya tampak berjalan dengan 

baik. Dia membagi jemaahnya dalam “kelas-kelas” dimana 

mereka akan mendapatkan pelajaran tentang Syiah sesuai 

“kelas” masing-masing.20 “Kurikulum” yang jelas dan 

jenjang perkaderan ustad Syiah untuk meneruskan estafet 

perjuangan dakwahnya di kemudian hari menunjukkan misi 

dakwah Tajul yang sistematis. Dengan jaringan pesantren 

dan yayasan Syiah di Jawa Timur dan di tingkat nasional 

yang dimilikinya, Tajul mengirim anak-anak pengikutnya 

untuk belajar Syiah di sana.21 Program-program ini sangat 

menguntungkan para jemaahnya sehingga meningkatkan 

loyalitas mereka kepada Tajul sehingga mereka tidak tergoda 

untuk berpindah ke kiai lain dan siap mati demi Tajul. 

Loyalitas ini  juga menunjukkan bahwa Tajul berhasil 

menciptakan karismanya sendiri melengkapi karisma yang 

diwarisi dari ayahnya sendiri.22 

Kesuksesan Tajul menyisakan permasalahan tersendiri 

di tingkat para kiai dan ustad lokal lainnya. Semakin banyak 

pengikut Tajul secara tidak langsung memperkecil jumlah 

pengikut kiai-kiai lokal lainnya. Acara maulidan yang 

tersentral selain mengurangi intensitas pertemuan antara kiai 

dengan pengikutnya juga mengurangi pendapatan mereka. 

Selain itu, forum-forum pengajian yang mulai didominasi 

Tajul dengan metode revolusionernya, suka tidak suka, 

telah mengganggu eksistensi dan prestise para kiai di Desa 

Karang Gayam dan Blu’uran. Kehilangan jemaah yaitu  

permasalahan tersendiri bagi para kiai. Hal ini mengganggu 

eksistensi mereka sebagai kiai. Gelar “kiai” yang mereka 

sandang dan warisi dari orang tuanya tidak berarti apa-apa 

jika mereka tidak memiliki santri.23


46

Masalah lain yang muncul yaitu  keengganan Tajul 

untuk berbaur dengan kiai-kiai lainnya. Para kiai Sunni 

menganggap Tajul bersikap eksklusif dan tidak mau 

menghadiri forum-forum kiai yang digelar oleh MWC NU 

Omben dan Karang Penang.24 Selain itu, Tajul juga dituduh 

mendorong warga desa untuk menyekolahkan anak-anak 

mereka ke sekolah negeri daripada madrasah yang didirikan/

dipimpin oleh kiai atau yang dimiliki pesantren.25 Ajakan 

Tajul ini didorong atas dasar profesionalisme pendidik di 

madrasah-madrasah milik pesantren yang dimiliki oleh 

pesantren. Pantauan peneliti di lapangan menemukan 

bahwa beberapa kepala madrasah milik pesantren ―meski 

tidak bisa digeneralisir― buta aksara latin; mereka hanya 

mengetahui tulis menulis dalam bahasa Arab, tapi tidak 

bahasa negara kita . Selain itu, temuan lain menunjukkan 

bahwa adanya kecurangan yang dilakukan oleh madrasah 

milik pesantren dalam pengelolaan dana BOS. Menurut 

penuturan salah seorang kepala madrasah yang peneliti 

temui mengatakan bahwa yaitu  hal biasa saat  suatu 

madrasah me-mark up jumlah siswa di sekolahnya agar dapat 

mendapatkan dana BOS yang lebih dari yang seharusnya.26 

Para kiai yang merasa terancam dengan advokasi yang 

dilakukan Tajul semakin resisten terhadap keberadaannya 

di Omben.

Kiai Slabet

Masih terkait dengan masalah uang. yaitu  sebuah 

kebiasaan di Madura untuk memberikan slabet atau bisyarah 

(uang tanda terima kasih) kepada kiai.27 Jika seseorang 

membutuhkan doa agar diberi kemudahan dalam segala 

urusannya, baik itu dalam urusan perdagangan, pendidikan, 

dan lain sebagainya, dia pasti sowan kepada kiai. Sebagai 

balasannya, dia menyiapkan sejumlah uang tertentu untuk 

diberikan kepada kiai.28 Demikian juga saat  seseorang 

mempunyai hajatan di rumahnya yang mengundang seorang 

atau lebih kiai. Uang ini  dikenal dengan slabet. Para 

kiai sendiri lebih senang menyebutnya dengan bisyarah.29 

Tidak ada ketentuan berapa jumlah yang harus diberikan, 

tergantung pada kemampuan si empu hajat. Selain uang, 

bentuk slabet juga bisa berupa harta benda seperti tanah 

dan hewan ternak. Meski para kiai tidak pernah menarif 

kedatangan mereka, tradisi ini sudah mendekati kewajiban. 

Akan sangat janggal saat  seseorang sowan ke rumah 

kiai atau mengundang beliau tetapi tidak menyiapkan 

slabet. Secara tidak langsung, slabet ini menjadi sumber 

perekonomian para kiai dan ustad di Sampang secara khusus 

dan di Madura secara umum.30 

Demikian dalam ritual tahunan maulid nabi yang sudah 

menjadi wajib di Karang Gayam dan Blu’uran secara khusus 

dan di Sampang bahkan Madura secara umum. Pengalaman 

peneliti menunjukkan bahwa pada musim maulid, satu bulan 

penuh, yakni pada bulan Rabiul Awwal dalam kalender 

Islam, setiap rumah di kampung mengadakan acara maulid. 

Dalam satu hari, peneliti bisa menghadiri paling sedikit tiga 

kali acara maulidan. Bahkan, menurut seorang kawan yang 

rumahnya peneliti tinggali, semakin masuk ke pelosok desa, 

acara maulidan semakin semarak. Meski bukanlah faktor 

utama dalam berdakwah, harus diakui bahwa bulan maulid 

yaitu  musim panen bagi para kiai.31 Pada musim seperti 

ini, jadwal kiai sangat padat. Bagaimana tidak, dalam satu 

hari, mereka bisa datang memimpin atau hanya sekedar 

menghadiri 3-5 tahlilan maulid yang diadakan oleh warga 

kampung. Tentu baik warga yang mengundang maupun 

mereka yang menghadiri tahlilan memberikan bisyarah 

kepada kiai mereka. Meski jumlahnya tidak seberapa, tapi 

jika dijumlahkan, dalam satu bulan “penghasilan” para kiai ini 

mampu menembus angka belasan juta rupiah. Sebuah angka 

yang besar mengingat kondisi ekonomi warga Karang Gayam 

dan Blu’uran tidak masuk kategori warga  mapan. 

Tajul melihat tradisi ini menyusahkan kondisi 

perekonomian warga  Karang Gayam dan Blu’uran

yang hidup miskin. Menurut catatan Kapolsek Omben saat 

itu,32 banyak warga yang terpaksa untuk berhutang untuk 

mengadakan acara maulid. Tidak sedikit pula dari mereka 

yang belum bisa mengembalikan hutang terdahulu hingga 

masuk musim maulid selanjutnya. Dan bahkan tidak sedikit 

pula dari mereka meminjam uang untuk maulid kepada 

kiai yang akan mereka undang sendiri. Dalam konteks ini, 

dengan tanpa mencoba untuk menggeneralisasi semua 

kiai berbuat demikian, Tajul mengkritik perilaku kiai 

ini  dan secara kasar menyebut mereka sebagai “kiai 

amplop,” kiai yang hanya memperbesar perutnya tanpa 

mengindahkan kebutuhan riil warga !33 Itulah mengapa 

Tajul mengonsep acara maulid yang dilaksanakan satu atap, 

tidak lagi setiap rumah agar warga  tidak lagi terbebani 

dengan hutang maulid.

Permasalahan muncul saat  pernyataan Tajul yang 

menyudutkan posisi para kiai ini  di atas tersebar 

ke khalayak luas.34 Pernyataan yang harusnya hanya 

disampaikan kepada pengikut Tajul ini  direkam oleh 

salah seorang peserta rapat yang kemudian disebarluaskan 

melalui telepon seluler dari satu orang ke orang lain, dari 

satu kiai ke kiai lain; melalui pengajian-pengajian dan 

forum-forum kiai lainnya.35 Tak ayal rekaman ini  

menyulut kemarahan para warga yang sangat menghormati 

kiai mereka dan bahkan meletakkan posisi mereka di atas 

segalanya.36 

Bagi warga Madura, apa yang sudah diucapkan Tajul 

melukai hati, melecehkan eksistensi, dan membuat malo37 

para kiai yang mereka hormati. Meski demikian, warga di 

sekitar Omben dan Karang Penang tidak bertindak atas 

perilaku Tajul sebab  mereka masih menghormati kakek 

Tajul yang juga kiai yang sangat disegani di wilayah itu. 

Rekaman yang tersebar ini juga kemudian menyatukan 

para kiai lokal dalam satu misi, yakni menyingkirkan Tajul 

dari Omben, Sampang, dan bahkan dari Madura. Mereka 

yang sebenarnya tidak tahu menahu tentang gerakan Tajul 

menjadi tahu dari forum-forum yang diadakan oleh PCNU 

atau MWCNU di Omben dan Karang Penang. Sebagaimana 

perkataan yang bisa bertambah dan berkurang, informasi 

yang tersebar baik dalam forum-forum resmi atau tidak, para 

kiai tidak banyak mengetahui permasalahan utama yang 

terjadi kecuali dari qila wa qala, atau informasi dari mulut 

ke mulut.

Dakwah misionaris dan ajaran sesat

saat  masuk dalam forum formal seperti rapat-rapat 

MWCNU Omben dan Karang Penang, diskusi tentang Tajul 

tidak hanya membahas masalah slabet, melainkan juga 

metode dakwah yang diterapkan dan ajaran yang disebarkan 

Tajul pun menjadi sorotan. Setiap kali pertemuan, para kiai 

kerap membahas metode dakwah Tajul yang dianggap terlalu 

agresif dan lebih mirip gerakan misionaris Kristen daripada 

dakwah Islam.  Salah satu informasi yang tersebar yaitu  

metode dakwah Tajul yang memersuasi warga untuk masuk 

Syiah dengan imbalan uang antara Rp. 300,000 hingga Rp. 

1,000,000 tergantung “kadar keimanan” mereka terhadap 

Syiah.38 Tujuan utama dari dakwah Tajul yaitu  men-Syiah-

kan orang-orang desa, demikian kecurigaan banyak kiai 

yang saya temui. 

Diskusi mengenai Tajul secara tidak langsung 

juga mendorong para kiai untuk mempelajari ajaran 

yang dikembangkannya. Namun sayang, mereka tidak 

mempelajarinya dari sumber yang kredibel, melainkan 

hanya mengamini hasil rapat kiai-kiai BASSRA, MUI, dan 

PCNU Sampang, seperti kompilasi 29 kesesatan ajaran Tajul 

tahun 2006, hasil rekomendasi BASSRA terkait ajaran Tajul 

tahun 2012, dan fatwa MUI Kabupaten Sampang No. A-035/

MUI/Spg/I/2012 terkait ajaran Tajul pada tahun 2012. 

Diantara banyak kesesatan Tajul yang telah mereka 

kumpulkan, ada dua topik yang selalu menjadi bahan 

kajian para kiai baik pada saat wawancara maupun dalam 

forum pengajian, yaitu nikah mut'ah dan taqiyya. Dalam 

membandingkan pernikahan dalam Sunni dan Syiah, topik 

nikah mut'ah selalu dimunculkan. Bagi para kiai, mut'ah 

yaitu  zina yang dilegalkan melalui hukum agama. Disebut 

zina sebab  ia tidak memiliki batasan jumlah perempuan 

yang bisa dinikahi, tanpa aturan waktu jarak antara satu 

pernikahan dengan pernikahan yang lainnya termasuk 

waktu ‘iddah (jarak antara perceraian dengan pernikahan 

baru), tanpa ada saksi, dan tanpa wali. Sangat berbeda dari 

ajaran Sunni yang mengatur hal-hal ini .39 

Di sisi lain, pemimpin Syiah sendiri menganggap 

bahwa urusan pernikahan yang dipraktikkan oleh para kiai 

Sunni juga banyak mengundang kritik sosial. Secara normatif 

hukum agama, poligami dengan empat istri memang 

diperbolehkan (QS. 4:3), tapi permasalahan sosial yang 

muncul yaitu  saat  istri-istri para kiai ini  menjadi 

janda baik akibat sebab  kematian atau pun perceraian, 

tidak ada seorang pun yang berani atau mungkin tidak 

boleh menikahi janda para kiai ini .40 Ada semacam 

kesepakatan tidak tertulis di warga  bahwa para janda 

ini  tidak boleh dinikahi oleh orang lain, selain sebab  

kiai yaitu  figur utama dalam warga  (buppha’ bhabhu’ 

ghuru rato) yang harus dihormati. Sama halnya janda-janda 

nabi yang tidak dipersunting oleh para sahabat beliau. Faktor 

kedua yaitu  agar rahasia-rahasia dalem (rumah tangga) kiai 

tidak diketahui oleh suami barunya.41 Oleh sebab  itu, para 

kiai yang suka gonta-ganti pasangan (kawin cerai) secara 

tidak langsung dapat mematikan nasib perempuan Madura 

sebab  tidak ada orang yang mau menikahinya kecuali si 

perempuan ini  keluar dari Madura.

Persoalan selanjutnya yaitu  taqiyya. Secara terminologi, 

ia berarti takut, waspada, dan saleh. Sedang terminologinya 

menunjuk pada satu tindakan untuk menyelamatkan jiwa, 

harga diri, harta benda baik yang dimilikinya sendiri maupun 

orang lain dengan menyembunyikan keyakinan keagamaan 

seseorang.42 Setiap agama mengajarkan ajaran yang kurang 

lebih sama tentu dengan penggunaan istilah yang berbeda; 

demikian pula juga dilakukan oleh ulama-ulama Sunni, 

bahkan oleh Nabi Muhammad SAW sendiri.43 Senada dengan 

itu, Tajul juga berpendapat bahwa taqiyya diajarkan dalam 

Alquran (3:28),44 yakni saat  seseorang dalam keadaan 

terpaksa dan terancam jiwa dan hartanya kecuali dengan 

mengingkari keimanannya, maka ia diperbolehkan untuk 

melakukannya.45 Dari penjelasan ini, bisa dipastikan Tajul 

melakukan taqiyya saat  dia dipaksa untuk menandatangani 

beberapa surat perjanjian yang diusulkan oleh para kiai-kiai 

yang berafiliasi dalam BASSRA, MUI, dan NU. 

Pendapat sebaliknya diutarakan oleh para kiai Sunni. 

Mereka menganggap ajaran taqiyya mendorong seseorang 

untuk menjadi pembohong dan munafik. Hal ini dibuktikan 

dengan banyaknya perjanjian antara kiai-kiai Sunni dengan 

Tajul dilanggar oleh Tajul sendiri, yang kemudian berakibat 

pada kemarahan warga sehingga terjadilah penyerangan 

dan pembakaran terhadap rumah-rumah orang Syiah 

pada kejadian tanggal 29 Desember 2011.46 Tajul dianggap 

berbohong sebab  meski telah menandatangani kesepakatan 

relokasi selama satu tahun, hampir tiap minggu warga 

melihat Tajul kembali ke kampungnya dengan berbagai 

alasan seperti menjenguk istri maupun berziarah ke makam 

ayahnya. Dan sebab  taqiyya pula, kesaksian Tajul dan para 

saksi yang meringankan tidak diterima oleh majelis hakim 

Pengadilan Negeri Sampang selama proses pengadilan.47

Konflik antara Tajul dan Tokoh warga  

Sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya bahwa 

Tajul sangat peduli dengan kondisi warga  yang 

hidup di bawah garis kemiskinan. Menurutnya, salah 

satu penyebab kemiskinan itu yaitu  akibat sistem yang 

salah di warga . Sistem ini  yaitu  terpusatnya 

seluruh urusan yang menyangkut warga kepada klebun 

dan apel. Banyak program pemerintah yang berkaitan 

dengan kesejahteraan warga  miskin berhenti di tingkat 

pemerintahan desa; demikian pula dengan pelayanan 

warga  yang seharusnya gratis menjadi berbayar dengan 

tarif yang tidak wajar.48 Untuk memberi advokasi warga 

yang kesulitan menghadapi kepala desa dan kepala dusun, 

Tajul dan pengikutnya (termasuk Rois juga di dalamnya) 

mendirikan lembaga sosial warga  yang diberi nama 

FMB (Forum warga  Bersatu).49

Dalam catatan peneliti, ada beberapa hal yang menjadi 

fokus advokasi lembaga ini terhadap kebijakan kepala desa 

dan jajarannya.50 Pertama, tidak tersalurkannya berbagai 

program subsidi pemerintah untuk warga  miskin 

kepada pihak yang berhak menerima. Program pemerintah 

seperti pembagian beras untuk warga miskin atau program 

konversi kompor minyak tanah ke kompor gas tidak bisa 

berjalan dengan baik sebab  semuanya berhenti di tingkat 

desa dan dusun. Untuk menikmati subsidi-subsidi ini , 

warga harus menyerahkan sejumlah uang kepada oknum 

pemerintah desa. Kedua, warga desa juga tidak bisa 

menikmati pelayanan desa dengan nyaman sebab  semuanya 

bertarif dan terpusat di dusun. Jika ingin mendapatkan KTP, 

akta nikah, atau dokumen negara lainnya, warga tidak bisa 

langsung mengurusnya ke balai desa atau kantor kecamatan. 

Semuanya harus diberikan kepada oknum di dusun dan 

warga harus memberikan sejumlah uang jasa. Dan terakhir, 

persoalan sertifikasi tanah. Hampir semua tanah di dusun 

Nangkernang dan Gading Laok tidak bersertifikasi. Hanya 

sedikit diantaranya bersertikat “petok D.” Advokasi sertifikat 

tanah ini sudah menahun, bahkan saat  Kiai Makmun 

masih hidup, beliau sering melakukannya sampai satu saat  

beliau harus dipenjara akibat berseteru dengan kepala desa 

dalam persoalan tanah.

Selain kegiatan advokasi sosial, Tajul dkk juga 

mengaktifkan ronda malam. Tujuannya yaitu  untuk 

mencegah maraknya pencurian hewan ternak yang 

menimpa warga sekitar kediaman Tajul. Mengingat tempat 

Dusun Gading Laok dan Nangkernang terpisah dari dusun-

dusun lainnya dan dikelilingi sawah, pepohonan, sungai, 

dan jalanan berbukit dan bebatuan; dan mengingat kondisi 

perumahan di dusun ini masih mengadopsi scattered village, 

semakin memudahkan pencuri untuk masuk dusun dan 

mencuri hewan ternak dan kabur tanpa diketahui oleh 

warga. Dengan ronda malam, para pencuri ini  tidak 

lagi leluasa untuk keluar masuk dusun dan melakukan 

tindak pidana pencurian. Akibat dari kegiatan gerjih  (gotong 

royong) untuk melakukan ronda, keamanan dusun menjadi 

lebih kondusif, namun di sisi lain pemasukan para blatter 

(preman) menjadi berkurang. Namun demikian, Tajul dan 

warga desa sering mendapat ancaman dari para preman 

yang merasa terganggu dengan program ronda ini .52

Gerakan sosial yang dilakukan Tajul di Nangkernang 

dan Gading Laok sangat mempengaruhi hubungannya 

baik dengan klebun dan apel maupun dengan para blatter. 

saat  konflik antara Tajul dan para kiai memuncak, tidak 

ada elemen pemerintah dan warga  yang berdiri netral 

menyelesaikan konflik. Bahkan mereka menjadikan konflik 

ini sebagai ajang untuk ‘mengusir’ Tajul dari kampung dan 

berusaha untuk mengambil alih lahan-lahan yang ditinggal 

warga Syiah ke tempat pengungsian.

Pecah Kongsi Dua Bersaudara

Penolakan ajaran Tajul tidak hanya berasal dari para 

kiai maupun warga  desa Karang Gayam dan Blu’uran, 

tetapi juga dari internal keluarga Tajul sendiri. saat  Rois 

keluar dari lingkaran Tajul atas nasihat kakeknya, Kiai 

Achmad, pada tahun 2009,54 terhitung empat saudara yang 

mengikutinya, yaitu Ummu Kultsum, Ahmad, Bujur, dan 

Fatimah, sedangkan tiga lainnya (Nyai Khoirul Ummah, Iklil 

Milal, dan Ummu Hani) mengikuti langkah Tajul Muluk.55 

Penelitian ini menunjukkan bahwa persoalan keluarga yang

terjadi bersifat sentrifugal dengan persoalan sosial yang 

berkembang di warga .

Hilangnya dukungan Rois membuat keadaan Tajul 

semakin terjepit. Sebagai seorang kiai-blatter56 yang diberi 

amanah oleh ayahnya untuk membantu Tajul,57 posisi 

Rois sangat penting dalam meredam gejolak kemarahan 

kelompok Sunni yang sudah tidak suka dengan keberadaan 

Tajul. Posisinya tepat di tengah antara Tajul dan kiai-klebun-

apel-blatter yang memusuhinya. Terbukti saat  Rois masih 

bersama-sama dengan Tajul baik dalam mengembangkan 

madrasah milik ayah mereka maupun saat  bergabung 

dengan IJABI (Ikatan Jama’ah Ahlul Bait negara kita ) pada 

tahun 2007,58 hampir tidak ada gejolak yang besar yang terjadi 

di Nangkerkang dan Gading Laok. Permasalahan antara 

keduanya muncul saat  Tajul menuntut kejelasan sikap 

Rois terhadap ajaran Syiah yang sedang dikembangkannya. 

Tuntutan ini  muncul saat  Tajul mendapatkan tekanan 

yang kuat dari para kiai di sekitarnya khususnya sesudah  

demonstrasi maulid Nabi pada tahun 2006. 

saat  Rois bersikukuh untuk tetap mengajarkan ajaran 

Sunni, friksi antara dirinya dan Tajul semakin menguat. 

Rois menuduh Tajul telah menyebarkan fitnah tentang 

dirinya di hadapan para santrinya bahwa dia tidak pernah 

mengajarkan para santrinya kecuali hanya bermain jangkrik 

hingga larut malam sehingga mengganggu sekolah mereka 

di pagi harinya; bahwa ajaran Rois itu salah dan mereka yang 

mengikutinya tidak akan masuk surga; dan bahwa Rois itu 

suka gonta-ganti istri dan kawin-cerai. Puncak kemarahan 

Rois kepada Tajul saat  para wali santri kemudian termakan 

isu ini dan menarik diri dan anak-anak mereka dari madrasah 

milik Rois sehingga dia tidak memiliki satu santri pun. Di sisi 

lain, Tajul menganggap Rois yaitu  musuh dalam selimut 

sebab  telah menyebarkan fitnah di warga  dan para 

kiai bahwa Tajul telah mengajarkan ajaran sesat.

Permasalahan kedua soal perempuan. Saat itu, tahun 

2009, Halimah, santriwati Tajul yang kebetulan akan 

“diminta” oleh Nyai Khalifah (istri pertama Rois) untuk 

menjadi istri Rois, ternyata sudah dipinang oleh Tajul 

mewakili santrinya Dul Azid.61 Rois yang sudah terlanjur 

terlibat konflik dengan Tajul, melihat hal ini sebagai bentuk 

konfrontasi yang dilakukan Tajul melawan dirinya. Walhasil, 

permasalahan sepele yang sebenarnya bisa diselesaikan 

dengan cepat menjadi persoalan yang besar hingga menarik 

perhatian media massa.

Perpecahan keduanya memberikan efek buruk terhadap 

hubungan antarsaudara dalam keluarga Bani Makmun. Sejak 

Kiai Makmun wafat pada tahun 2006, komunikasi antara 

Tajul dan saudara-saudaranya semakin tidak kondusif dari 

tahun ke tahun. Ketidakmampuan sang ibu untuk mengganti 

peran sang ayah dalam mediasi perbedaan yang ada dalam 

keluarga ini mengakibatkan    keluarga semakin 

besar. Terhitung sejak wafatnya Kiai Makmun, komunikasi 

antaranggota keluarga sudah mulai renggang, bahkan pada 

saat perayaan hari raya pun seluruh keluarga tidak bisa akur. 

Dan sejak 2009, komunikasi ini  benar-benar terputus. 

Kedua kubu tidak mau bersilaturahmi ke rumah ibu mereka 

dalam satu waktu. Pada hari raya Idul Fitri, misalnya, jika 

keluarga Sunni datang pada hari pertama, maka keluarga 

Syiah akan datang pada hari kedua. Demikian sebaliknya.62

Persoalan lain yang muncul sebagai akibat dari perbedaan 

paham dalam keluarga ini yaitu  ketidakberhasilan mereka 

untuk membagi harta warisan ayah mereka. Keluarga Sunni 

menolak konsep fara'id  (hukum pembagian waris dalam 

Islam) yang ditawarkan oleh keluarga Syiah, demikian 

sebaliknya. Saling tuduh pun muncul. Pihak Sunni menuduh 

saudara-saudara mereka yang  Syiah ingin menguasai seluruh 

harta warisan sebagai modal dakwah, sedangkan kelompok 

tertuduh balik membalas dengan tuduhan bahwa pihak 

Sunni menganggap orang Syiah sebagai kafir, maka fara'id 

mereka tidak sah dan mereka tidak layak mendapatkan 

warisan.63 Hingga laporan penelitian ini dibuat, warisan 

ini  terbengkalai tidak terurus sebab  keluarga Sunni 

pun enggan untuk mengurusnya.

Selain itu, pecahnya Tajul dan Rois juga membuat 

hubungan antara Tajul dan pihak-pihak yang membencinya 

semakin buruk. Rois yang awalnya berada di garda depan 

untuk membela kepentingan sang kakak berbalik menjadi 

musuh besar. Hampir saban hari dia keliling ke forum-

forum pengajian mempropaganda warga  akan 

sesatnya ajaran Syiah yang dibawa sang kakak.65 Walhasil, 

kelompok yang selama ini berseberangan dengan Tajul 

semakin berani melakukan perlawanan sebab  figur-figur 

yang mereka segani sudah tidak lagi berpihak kepada 

Tajul. Filosofi buppa’ bhabhu’ ghuru rato meletakkan posisi 

keluarga sebagai institusi sosial pertama —sebelum kiai 

dan pemerintah yang berada di posisi kedua dan ketiga 

secara berurutan— yang harus dihormati oleh warga  

Madura;66 memusuhi salah seorang anggota keluarga bisa 

berarti memusuhi seluruh anggota keluarga. Terlebih Tajul 

dan Rois yaitu  keturunan keluarga terpandang, Buju’ 

Batu Ampar, yang semua warga  pasti akan menaruh 

hormat kepada mereka meski mereka mendapat label nakal 

atau bahkan tidak mencerminkan nilai-nilai ke-kiai-an. Jika 

salah seorang tetua dalam keluarga ini  mengatakan 

bahwa si A yaitu  keluarganya dan meminta siapa saja 

untuk tidak mengganggu dirinya, maka si A mendapat 

“jaminan keselamatan” meski dia mungkin sangat nakal atau 

melakukan perbuatan yang sangat meresahkan warga .67 

Lain halnya jika tetua keluarga mengacuhkan eksistensi si A, 

maka segala perbuatan dan tindakannya yaitu  sepenuhnya 

tanggung jawab dirinya sendiri, terlepas dari para tetua. 

Demikian halnya dengan konteks masalah Tajul. Dia 

berada dalam “lindungan” sang ayah saat  masih hidup 

dan dari sang kakek dan adiknya saat  sang ayah sudah 

meninggal.  Maka, selama mereka berada di belakang Tajul, 

orang-orang tidak akan berani “menyentuh” Tajul meski 

mereka sangat membencinya. Sebaliknya, saat  keduanya 

acuh terhadap Tajul, mereka yang sudah terlanjur tidak suka 

dengan Tajul tidak lagi segan untuk menyakitinya. Itulah 

mengapa pada tahun 2006, saat  para kiai meminta Tajul 

bertaubat, mereka juga melobi kakeknya yang saat itu masih 

hidup. Itulah juga mengapa saat  sang ayah meninggal, 

warga yang tidak suka dirinya mulai berani menyerang 

meski kemudian dihalangi sang adik. Dan itulah mengapa 

saat  sang kakek meminta Rois keluar (dari lingkaran 

Tajul), Tajul menjadi sendirian dan tidak ada perlindungan 

keluarga besarnya, warga  dan para kiai lainnya berani 

melakukan perlawanan secara terbuka.

Implikasi Sosial dari Konflik antara Tajul dan Kiai, 

Tokoh warga , dan Blatter 

saat  friksi antara Tajul dan para kiai di Omben dan 

Karang Penang memuncak, yang menjadi korban yaitu  

warga . Masing-masing pihak saling mengklaim bahwa 

ajarannya yang paling benar dan saling mempropagandakan 

bahwa ajaran pihak lain yaitu  sesat. Dengan pengetahuan 

agama yang biasa-biasa saja dan dengan budaya patron 

kepada kiai yang mengakar, warga  menjadi bingung 

dalam menyikapi perseteruan antara Tajul, yang merupakan 

kiai dan anak kiai dari keluarga kiai terpandang, dan para 

kiai Sunni yang selama ini mereka hormati. Perseteruan para 

kiai Sunni dan Tajul yang kemudian berubah menjadi saling 

sesat-menyesatkan satu sama lain secara tidak langsung 

membuat warga  “tersesatkan.” 

Implikasi terbesar dari kondisi ini yaitu  kehidupan 

sosial warga Karang Gayam dan Blu’uran yang terpecah 

menjadi dua, Sunni dan Syiah. Tidak ada lagi tegur sapa 

yang harmonis antarwarga, yang ada yaitu  saling 

mencurigai satu sama lain. saat  seseorang dari salah 

satu kelompok mengadakan hajatan, mereka yang berasal 

dari kelompok seberang enggan untuk menghadiri bahkan 

hanya untuk memakan makanan yang dihidangkan untuk 

mereka atau dikirimkan ke rumah masing-masing. sebab  

hidangan ini  haram untuk dimakan.68 Demikian pula 

dengan hubungan suami istri yang kebetulan berasal dari 

kelompok yang berbeda. Tidak sedikit dari mereka yang 

berdebat tentang keabsahan pernikahan mereka. Hubungan 

mereka yang awalnya baik-baik saja menjadi bermasalah 

seiring dengan memanasnya konflik antara kelompok Sunni 

dan Syiah. Tidak sedikit kemudian mereka bercerai akibat 

perbedaan ini.69 Selain itu, ketegangan sosial pun terjadi 

hampir saban hari. Meski hidup sekampung, interaksi sosial 

antara dua komunitas pemeluk ajaran yang berbeda ini  

selalu dalam tensi yang tinggi; saling curiga satu sama lain, 

saling mengawasi tindakan apa yang diambil oleh pihak 

lawan. Tidak sedikit pula kedua kubu kedapatan membawa 

celurit atau senjata tajam lainnya saat  menghadiri suatu 

acara tertentu atau bahkan saat  mereka pergi ke sawah.70 

Pada titik ini, hubungan antara warga Sunni dan Syiah 

mudah memanas. Sedikit saja provokasi, konflik kekerasan 

fisik tidak dapat dihindarkan. Pada demonstrasi tahun 2006 

misalnya, warga yang sedang menikmati musim maulid 

harus terganggu dengan demonstrasi warga ke rumah Tajul 

yang sedang mengadakan pengajian maulid di rumahnya 

sekaligus selamatan 40 hari wafatnya sang ayah. Tanpa 

klarifikasi terlebih dahulu, warga berbondong-bondong 

mendatangi Tajul memintanya untuk tidak melanjutkan 

acara pengajiannya sebab  dia disinyalir akan mengundang 

12 habib Syiah dari Kuwait.71 Padahal, sebagaimana 

pengakuannya, Tajul hanya mengundang habib Syi


Related Posts:

  • suni syiah di sampang 2 Gayam dan Blu’uran. Biasanya sudah ada semacam kesepakatan tidak tertulis dalam pengaturan jadwal pengajian sehingga tidak terjadi tabrakan acara dan sehingga kiai-kiai yang diundang dapat menghadiri acar… Read More