suni syiah di sampang 1




Kekerasan terhadap komunitas Syiah di Sampang 

memberi ilustrasi paling tidak dua hal tentang problematika 

pengelolaan keragaman di negara kita . 

Pertama, cara pandang kita dalam memahami 

kasus kekerasan terhadap kelompok minoritas menuntut 

perspektif yang lebih luas dari sekedar memahaminya 

sebagai masalah intoleransi dan pelanggaran hukum. Tidak 

bisa dipungkiri sentimen anti-Syiah mengalami peningkatan 

luar biasa dalam kurun lima tahun terahir. Konteks ini bisa 

menciptakan asumsi bahwa kekerasan terhadap komunitas 

Syiah di Sampang dilandasi oleh sikap intoleran dalam 

bentuk keengganan hidup berdampingan secara damai 

dengan mereka yang berbeda keyakinan. Meski demikian 

cara pandang demikian tidak cukup untuk menjelaskan 

fakta bahwa di wilayah-wilayah dengan karakter kelompok 

minoritas yang serupa dengan Sampang, komunitas Syiah 

dapat hidup dengan relatif aman.

Demikian juga tidak bisa dipungkiri bahwa ada banyak 

kejadian pelanggaran hukum yang tidak mendapatkan 

penanganan sewajarnya dari aparat keamanan, mulai 

dari persebaran ujaran kebencian, mobilisasi, sampai 

pada tindakan kekerasan. Hingga hari ini banyak pelaku 

pelanggaran bebas dari proses peradilan. Situasi demikian 

memberikan pelajaran bahwa pendekatan hukum seringkali 

tidak efektif dan justru merugikan korban. Dalam banyak 

kasus argumen hukum seringkali justru dipakai sebagai dalih 

bagi aksi kekerasan terhadap kelompok minoritas seperti 

tuduhan penodaan agama dan pelanggaran izin pendirian 

rumah ibadah.  Kita tidak bisa menafikan pentingnya 

kepastian hukum untuk melindungi korban kekerasan, 

tetapi hal ini sebaiknya tidak mengesampingkan pentingnya 

upaya-upaya mediasi dalam menyelesaikan kasus kekerasan 

terhadap kelompok minoritas.

Kedua, studi kasus Sampang ini menunjukkan 

pentingnya melihat suatu kasus dalam konteks yang 

lebih, tidak terbatas pada kejadian masa kini tetapi juga 

proses yang melatarbelakangi dan situasi berpengaruh di 

lingkup yang lebih luas. naskah  ini menunjukkan bahwa 

konflik antara komunitas Sunni dan Syiah tidak muncul 

tiba-tiba. Keberadaan komunitas Syiah pada awalnya 

tidak dipermasalahkan oleh komunitas Sunni, tetapi ada 

dinamika yang berkembang sejak awal tahun 1990-an yang 

menimbullkan ketegangan relasi antar kedua komunitas. 

Ketegangan ini mengalami eskalasi dan ledakan kekerasan, 

terutama pada tahun-tahun politik menjelang dan sesudah  

Pilkada di Sampang tahun 2008 dan Pilkada Jawa Timur 

tahun 2012. 

Dengan memahami kompleksitas masalah ini bukan 

berarti kita bisa mengatakan bahwa agama tidak memainkan 

peran signifikan. Kekhawatiran tentang keberlangsungan 

sebuah keyakinan yang dipersepsikan sedang berhadapan 

dengan ancaman dari luar jelas bernunasa agama dan 

sebab  itu membutuhkan upaya untuk membangun rasa 

aman bersama tanpa mereduksi situasi keragaman. 

naskah  ini memberikan sumbangan penting untuk 

mengurai konflik Sunni-Syiah di Sampang yang hingga kini 

harus dikatakan belum selesai. Sebagian anggota komunitas 

Syiah Sampang yang diusir dari kampung halamannya 

terpaksa harus tinggal di tempat pengungsian dalam kurun 

waktu yang sangat lama. naskah  ini diharapkan bisa menjadi 

sumber informasi untuk terus mengupayakan rekonsiliasi 

yang bisa mengembalikan korban yang terusir untuk pulang, 

tinggal dan mengelola ladang di kampung halaman mereka.

naskah  ini yaitu  yang kedua dari program Thesis Award 

oleh Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS). 

Program ini  yaitu  salah satu bentuk komitmen 

CRCS untuk mendukung penulisan tesis mahasiswa yang 

berkualitas dan layak terbit agar bisa menjadi konsumsi 

publik. Sebelumnya tesis mahasiswa yang telah diterbitkan 

yaitu  karya Jimmy Marcos Immanuel, Merapu dalam 

Bencana Alam: Pemaknaan dan Respons warga  

Wunga Sumba Timur negara kita . 


naskah  ini, , diangkat 

dari tesis yang diajukan di Program Studi Agama dan Lintas 

Budaya, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, 

pada tahun 2013. Masa studi penulisnya di Pascasarjana 

UGM berlangsung bersamaan dengan    antara 

warga Sunni dan Syiah di Kabupaten Sampang, Jawa Timur. 

Pihak-pihak yang bertikai, pemerintah daerah, polisi, wakil-

wakil warga  sipil, bahkan pemerintah pusat, tidak dapat 

menyelesaikan konflik ini  sampai sekarang. 

Beberapa aspek konflik dan kekerasan Sunni-Syiah di 

Sampang dibahas di dalam naskah  ini. Salah satu di antaranya 

penyebab konflik antara komunitas Sunni dan Syiah di 

Sampang. Selain itu, naskah  ini membahas dinamika konflik 

Sunni-Syiah, khususnya    yang terjadi seiring 

dengan berjalannya waktu dan kegagalan intervensi dan 

penanganan terhadap konflik ini . Akhirnya, naskah  ini 

juga membahas usaha-usaha rekonsiliasi kedua komunitas, 

khususnya sesudah  kekerasan terbuka yang terjadi di bulan 

Desember 2011 dan Agustus 2012. 

Supaya data dan informasi mengenai relasi dan konflik 

Sunni-Syiah di Sampang diperoleh, penulis naskah  ini tinggal 

di Sampang. Ini memudahkannya menemui sumber data 

dan informasi yang diperlukan, mengunjungi lokasi konflik, 

dan tempat pengungsian warga Syiah yang saat  itu 

ditempatkan di GOR Sampang. Cara ini tidak bisa dihindari 

sebab  informasi mengenai kasus Sunni-Syiah di Sampang 

masih terbatas. Selain itu, penulis memakai  dokumen, 

termasuk laporan lembaga swadaya warga  dan polisi. 

Saya menemani penulis naskah  ini dalam beberapa 

kunjungan penelitian. Salah satu di antaranya yaitu  

mewawancarai Kapolsek Omben di kantornya. Selama lebih 

dari empat jam wawancara, kami mendapatkan berbagai 

informasi dari pihak yang paling bertanggungjawab di 

bidang keamanan dan ketertiban warga , yaitu polisi. 

Akan tetapi, polisi sendiri mengakui tidak banyak yang dapat 

mereka lakukan kalau pihak-pihak yang bertikai bersikeras 

melanjutkan konflik dan melakukan eskalasi. Seperti polisi 

yang tidak bisa terus-terusan menghalangi niat seorang 

pencuri menunaikan niatnya. 

Kunjungan lainnya yaitu  ke Lembaga Pewarga an 

Sidoarjo, Jawa Timur, tempat Ustad Tajul Muluk ditahan. 

saat  itu kami memandang Tajul Muluk sebagai seorang 

tokoh warga  yang ingin mengadakan perubahan 

di warga nya, tetapi mendapatkan penolakan dari 

warga  sebab  perubahan ini  menyinggung relasi 

kekuasaan, perbedaan praktik dan keyakinan keagamaan, 

dan kapasitas mengelola konflik yang lemah, termasuk 

di pemerintah daerah. Kami juga mengajukan berbagai 

pertanyaan kepada Tajul Muluk, khususnya yang menyangkut 

latar belakang konflik Sunni-Syiah di Sampang, hubungan 

Tajul Muluk dengan adiknya, Rois al Hukama, yang menjadi 

bagian dari biografi konflik Sunni-Syiah. 

Kami juga melakukan wawancara di Bangil dan 

Pasuruan, tempat lain di Jawa Timur yang memiliki warga 

Syiah tetapi dengan pola hubungan yang sangat berbeda. 

Kami menemui tokoh Sunni dan Syiah, dan polisi. Di Sampang 

ada ketegangan dan kekerasan antarsekte, di Pasuruan tidak 

ada kekerasan walaupun sesekali ada ketegangan. Strategi 

penanganan konflik yang diambil pemerintah daerah, polisi, 

dan lembaga serta tokoh agama yang berasal dari aliran 

dan sekte berbeda menjadi kunci yang menentukan apakah 

ketegangan antarsekte akan berubah menjadi kekerasan 

atau tidak. 

Pengalaman Bangil khususnya dan Pasuruan umumnya 

menunjukkan bahwa perbedaan keyakinan dan praktik 

keagamaan dapat berlangsung tanpa kekerasan. Ini selaras 

dengan pengalaman warga  di tempat lain, seperti 

Jepara, Balikpapan, Kendari, dan lain-lain; tempat warga 

Sunni dan Syiah dapat hidup berdampingan secara damai. 

Bagi yang tertarik mengkaji perdamaian antarkelompok 

warga  dan antarsekte, tempat-tempat semacam ini 

jauh lebih banyak walaupun jarang dikaji. Kasus Sampang, 

dengan kata lain, yaitu  insiden yang amat jarang terjadi.  

Tentu saja, insiden yang jarang terjadi juga perlu diteliti. 

Pengalaman Sampang menunjukkan bahwa, jika pihak-pihak 

yang bertikai tidak ingin berdamai dan rujuk, tak banyak 

yang dapat dilakukan pihak ketiga walaupun mereka telah 

berusaha sekuat tenaga. Pihak ketiga yang memainkan peran 

menyelesaikan konflik seringkali beranggapan bahwa pihak-

pihak yang bertikai menginginkan penyelesaian. Anggapan 

seperti ini tidak selalu benar. Beberapa episode konflik 

warga Sunni dan Syiah di Sampang pada 2011 dan 2012 dan 

sesudahnya menunjukkan sulitnya menghindari kekerasan 

jika pihak-pihak yang bertikai berniat melakukannya. 


Sisi kontestasi Sunni-Syiah di negara kita  seakan 

menemukan momentum ledakan dalam beberapa tahun 

belakangan. naskah  ini difokuskan untuk mengurai benang 

kusut konflik kekerasan yang melibatkan komunitas Sunni 

dan Syiah di Kabupaten Sampang Madura sejak 2004 hingga 

2014. Titik tolak penelitian ini yaitu  peristiwa kekerasan 

yang menimpa warga Syiah di wilayah ini pada 29 Desember 

2011, 26 Agustus 2012, dan 20 Juni 2013.  Tiga peristiwa 

kekerasan ini yaitu  yang banyak disorot media massa, baik 

cetak maupun elektronik.

Pada dua peristiwa pertama, sekelompok orang 

menyerang warga Syiah dan membakar rumah-rumah 

mereka. Akibatnya, satu warga Syiah meninggal dunia, 

puluhan orang baik dari pihak penyerang maupun dari 

pihak Syiah mengalami luka-luka, ratusan rumah dibakar, 

serta ratusan warga Syiah harus mengungsi ke GOR (Gedung 

Olah Raga) milik Pemerintah Kabupaten Sampang. sesudah  

hampir setahun tinggal di GOR tanpa kejelasan nasib, pada 

20 Juni 2013, Pemerintah Kabupaten Sampang bersama para 

kiai Sunni dan didukung oleh Pemerintah Propinsi Jawa 

Timur merelokasi paksa pengungsi Syiah ke luar pulau 

Madura. Tepatnya di Flat Puspa Agro Jemundo Sidoarjo, 

sekitar 100 km dari kampung halaman mereka. Hingga naskah  

ini ditulis, warga Syiah belum bisa kembali pulang

Konflik kekerasan antara warga Sunni dan Syiah di 

Sampang bukanlah yang pertama kali terjadi di negara kita . 

Selama era Orde Baru, para pemeluk Syiah tidak bisa 

leluasa untuk mempraktikkan ajarannya. Mereka harus 

menyembunyikan keimanannya agar terhindar dari tekanan 

pemerintah. Dengan alasan meminimalisasi pengaruh 

keberhasilan Revolusi Islam di Iran terhadap stabilitas 

nasional, pemerintah Orde Baru memberikan pengawasan 

yang cukup ketat terhadap individu, kelompok, atau 

lembaga yang dicurigai mempunyai afiliasi dengan Syiah.1 

Mandat diberikan kepada Depag (Departemen Agama, saat 

ini Kementrian Agama) dan MUI (Majelis Ulama negara kita ) 

untuk mengawasi aktivitas dakwah Syiah saat itu. Kedua 

lembaga ini pada tahun 1983 dan 1984 secara berurutan 

melahirkan surat edaran dan himbauan kepada seluruh umat 

Islam negara kita  agar berhati-hati terhadap keberadaan dan 

perkembangan ajaran Syiah di sekitar mereka.2

Kedua lembaga ini juga dibantu oleh beberapa ormas 

(organisasi warga ) yang secara aktif mempropaganda 

anti-Syiah di warga . Di antara ormas-ormas ini  

yaitu  LPPI (Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam) yang 

berdiri pada tahun 1980 dan Albayyinat pada tahun 1982.3 

Bersama-sama, mereka berkampanye sesatnya ajaran aliran 

Syiah dan berbahayanya ia terhadap Islam dan kesatuan 

NKRI (Negara Kesatuan Republik negara kita ). Untuk 

mencapai tujuan ini, mereka menggelar berbagai seminar 

dan pengajian, menerbitkan naskah , dan bahkan melakukan 

persekusi terhadap mereka yang menganut Syiah atau yang 

dicurigai berafiliasi dengan aliran ini. 

Hasilnya sangat efektif. Warga secara aktif melaporkan 

gerakan tertentu yang melibatkan orang Syiah atau mereka 

yang dicurigai berafiliasi dengan dan atau mendukung 

Syiah. Habib Abdul Qadir Balfagih dari Jepara Jawa 

Tengah, misalnya, sempat mendapat label ‘ekstremis’ dari 

warga  dan pesantren al-Khairat yang didirikannya 

hampir dibubarkan oleh Depag ‘hanya’ sebab  mendukung 

ideologi, ajaran, dan keyakinan Ayatollah Khomeini; Habib 

Husein al-Habsyi, pendiri YAPI (Yayasan Pendidikan Islam) 

di Bangil Jawa Timur harus sibuk menanggapi tuduhan sesat 

oleh ulama di Bangil; KH. Abdurrahman Wahid dan KH. 

Sayyid Aqil Siradj secara berurutan pada tahun 1993 dan 

1996 pernah dipaksa oleh sekelompok ormas Muslim untuk 

berhenti sebagai posisi masing-masing di PBNU (Pengurus 

Besar Nahdatul Ulama) sebab  dicurigai mendukung 

eksistensi Syiah di negara kita .4 Dan masih banyak lagi kasus 

seperti ini, yang menurut Zulkifli,5 telah mendorong sebagian 

besar penganut Syiah untuk menyembunyikan iman mereka 

(ber-taqiyya) dari publik. Setiap usaha dialog yang dilakukan 

oleh mereka untuk mengklarifikasi tuduhan sesat menjadi 

forum justifikasi kesesatan oleh kelompok arus besar Sunni. 

Implikasi jangka panjang dari kampanye ‘Syiah sesat’ 

yaitu  bahwa stigma ‘sesat’ yang disematkan kepada 

penganut Syiah dan para simpatisannya telah tertanam dalam 

benak sebagian besar ulama dan warga  awam negara kita  

sehingga mereka enggan atau takut untuk mempelajari Syiah 

dari perspektif Syiah sehingga dialog untuk menjembatani 

dua aliran Islam ini tidak bisa dilakukan. Lebih buruk 

lagi, warga  awam Sunni mudah diprovokasi untuk 

melakukan tindak kekerasan terhadap kelompok Syiah. 

sesudah  era Orde Baru berakhir, kelompok Syiah mulai 

mendapat tempat di negara kita . Reformasi politik negara kita  

pada tahun 1998 telah membuka sangat lebar kran kebebasan 

berekspresi dan berserikat sehingga sebagian penganut 

Syiah berani membuka identitas iman Syiahnya.6 Pada 1 Juli 

2000, beberapa pemeluk Syiah di bawah kepemimpinan 

Jalaluddin Rakhmat mendirikan IJABI (Ikatan Jamaah Ahlul 

Bait negara kita ).7 Ormas ini banyak bergerak dalam bidang 

dakwah dan pendidikan seperti pengembangan sekolah dan 

pesantren yang berafiliasi dengan Syiah di seluruh negara kita . 

Selain itu, ia juga bergerak dalam bidang dialog agama (Sunni 

dan Syiah) dan pelayanan ekonomi-sosial seperti khitanan 

massal, bantuan sosial bencana alam. Tercatat, ormas ini 

telah memiliki cabang di seluruh wilayah di Jawa dan pulau-

pulau lainnya di negara kita . 

Selain IJABI, komunitas Syiah juga memiliki ABI (Ahlul 

Bait negara kita ) yang berdiri pada 25 Juli 2010 di Jakarta.8 

ABI menghimpun kalangan asatidh (mubalig) Syiah, yayasan 

dan lembaga-lembaga pendidikan Syiah, dan para aktivis 

dan individu yang mempunyai semangat menyebarkan 

ajaran Syiah di negara kita . Tidak seperti IJABI, gerakan ABI 

mencakup hal-hal yang lebih luas seperti advokasi hukum 

untuk kasus-kasus HAM dan isu-isu persekusi terhadap 

kelompok minoritas di negara kita . Tajul Muluk, pemimpin 

Syiah di Sampang, pernah menjadi bagian dari IJABI dari 

2007 hingga 2009 sebelum kemudian bergabung di ABI pada 

tahun 2010 sebab  ormas Syiah terakhir dirasa lebih dapat 

melakukan advokasi terhadap masalah yang menimpa Tajul. 

Sejalan dengan terbukanya ruang berekspresi untuk 

pemeluk Syiah negara kita , gerakan anti-Syiah juga berjalan 

lebih terbuka. Dakwah anti-Syiah tidak lagi di ruang 

tertutup seperti seminar atau dialog Sunni-Syiah saja, tetapi 

berkembang ke pengajian massal di ruang terbuka. Tak sedikit 

pula pengajian ini  berubah menjadi ajang provokasi 

yang berujung pada penyerangan terhadap lembaga-

lembaga Syiah yang berada di sekitarnya. Konflik antara 

YAPI dan Jam’iyyah ASWAJA (Ahlussunnah Waljama’ah)9 di 

Bangil Jawa Timur mewakili isu ini. Sejak 2006, ormas ini 

mengadakan pawai keliling kota Bangil untuk memperingati 

tahun baru Hijriah 1 Muharram. Dalam pawai ini , yel-

yel kebencian dan ujaran kebencian anti-Syiah senantiasa 

didengungkan.10 

Selain pawai, ormas ini juga sering mengadakan 

pengajian akbar yang melibatkan massa besar. Salah satu 

pengajian yang menjadi sorotan yaitu  pengajian 15 Februari 

2011 yang berujung penyerangan Pesantren YAPI.11 Akibat

dari peristiwa ini, 6 (enam) santri YAPI terluka dan 6 (enam) 

orang dari pihak ASWAJA dinyatakan sebagai tersangka 

dan dihukum penjara 3 (tiga) bulan.12 Pengajian lain yang 

dijadikan sebagai forum konsolidasi anti-Syiah yaitu  

Deklarasi FAAS (Front Anti Aliran Sesat) di Sampang pada 29 

September 2013 dan Deklarasi ANAS (Aliansi Nasional Anti-

Syiah) di Bandung pada 20 April 2014.13 Ujaran kebencian 

terhadap ajaran Syiah dan pemeluknya juga mudah didapati 

di media-media sosial seperti www.nahimungkar.com, 

www.albayyinat.net, dan www.aswajabangil.com. 

Secara teoretis, setiap kekerasan yang terjadi pasti 

diakibatkan oleh rentetan peristiwa yang mendahuluinya.14 Ia 

tidak mungkin datang dengan sendirinya sebab  kekerasan 

fisik yaitu  bentuk terakhir dan paling nyata dari kekerasan 

struktural dan kultural yang terjadi di suatu warga . 

Kekerasan fisik yaitu  kekerasan langsung (direct) antara 

pelaku dan korban seperti pemerkosaan, pembunuhan, 

dan penyerangan. Sedang kekerasan struktural dan kultural 

bersifat tidak langsung (indirect). Kekerasan pertama 

dibentuk oleh sistem sosial, ekonomi, dan politik yang 

mengatur tatanan sosial warga , negara, dan dunia. 

Perbedaan antara miskin-kaya, rakyat-penguasa, kecil-besar, 

buruh-pengusaha yaitu  contoh dari kekerasan struktural. 

Sedangkan kekerasan kultural mengandung unsur budaya, 

ideologi atau agama. Dalam tahap ini, kekerasan muncul 

saat  seseorang menganggap orang lain lebih rendah, 

saat  seseorang merasa superior atas orang lain, dan 

saat  seseorang merasa “dipilih Tuhan” sehingga berhak 

menghakimi orang lain.15 

Menurut Galtung, 16 ada dua proses yang mendahului 

sebuah peristiwa kekerasan, yakni konflik dan polarisasi. 

Konflik muncul saat  terjadi blocked goals (tujuan-tujuan 

yang tidak tercapai) antara dua kubu yang berseteru (carriers 

of goals) terkait goals (tujuan-tujuan yang ingin dicapai) yang 

mereka pegang. Dalam konteks penelitian ini, carriers of 

goals yaitu  Tajul Muluk dan para kiai Sunni; dan kelompok-

kelompok yang mendukung dua pihak ini. Adapun goals 

yang diperebutkan bisa bersifat religius, politis, ekonomis, 

tergantung kepentingan masing-masing kelompok yang 

berseteru dan para pendukungnya. Besar kecilnya pemicu 

konflik dapat dilihat dari besar kecilnya kerusakan yang 

diakibatkan oleh konflik ini . Lima indikator untuk 

mengukur besarnya sebuah kekerasan yaitu  (1) angka 

kematian; (2) korban luka/cacat permanen; (3) kebebasan 

yang terpasung; (4) hilang/rusaknya aset properti; dan (5) 

jumlah pengungsi (internally displaced persons atau IDPs).17 

saat  dua aspek konflik (carriers of goals dan goals) 

tidak bisa ‘bertemu,’ konflik akan bereskalasi ke babakan 

selanjutnya, yakni polarisasi konflik. Dalam proses ini, dua 

kelompok yang berseteru akan dipisah oleh stigma yang 

mereka buat terhadap lawan mereka. Batasan antara Diri 

(Self) dan Lain (Other) akan semakin jelas. Menurut Galtung,18 

di sinilah proses yang rawan. saat   baik 

yang dilakukan oleh pihak ketiga maupun oleh masing-

masing pihak yang berseteru mampu mengelola polarisasi 

ini dengan baik, polarisasi dapat mentransformasikan 

konflik menjadi perdamaian. Dalam tahap ini, konflik 

kedua kelompok dieliminasi dan diarahkan kepada reaksi 

yang empati, kreatif, dan nirkekerasan. Sebaliknya, saat  

 gagal mengelola polarisasi ini dengan 

baik, konflik akan bereskalasi menjadi kekerasan. Kekerasan 

dalam tahap ini bisa berupa dehumanisasi atau satanisasi 

dan bahkan agresi (penyerangan), terutama oleh pihak 

pemenang atas pihak pecundang. 

naskah  ini akan menggambarkan tiga mekanisme 

kekerasan di atas, yakni periode konflik, polarisasi konflik, 

dan konflik kekerasan beserta dinamika konflik di dalamnya. 

Berdasarkan pada teori dan fakta yang telah digambarkan 

di atas, penelitian ini berpegang pada dua asumsi dasar, 

yakni (1) semakin besar jumlah korban atau kerusakan yang

diakibatkan, semakin besar pula penyebab konflik yang 

memicunya; dan (2) semakin besar kekerasan fisik yang 

terjadi, semakin besar pula kekerasan struktural dan kultural 

yang melatarbelakanginya. 

Penelitian Terdahulu tentang Syiah negara kita 

Meski konflik kekerasan antara Sunni dan Syiah sering 

terjadi di negara kita  sebagaimana yang telah dipaparkan di 

atas, tidak banyak penelitian yang difokuskan dalam isu ini. 

Selama ini, penelitian terkait Syiah negara kita  banyak berkutat 

pada isu kedatangan Syiah di negara kita , akulturasi Syiah 

dan budaya Islam negara kita , taqiyya, lembaga pendidikan 

Syiah, dan tentu terkait kekerasan anti-Syiah di negara kita . 

Kelima hal ini akan dibahas satu per satu.

Isu terkait kapan sebenarnya Syiah datang ke negara kita  

atau aliran Islam apa yang pertama kali datang ke negara kita  

menarik untuk dikaji mengingat hasil kajian ini  dapat 

menjadi landasan untuk melegitimasi keberadaan Syiah di 

negara kita . Ada dua pendapat utama terkait perdebatan ini. 

Pertama, pendapat yang menyatakan bahwa Islam Syiah 

yaitu  salah satu aliran Islam yang pertama kali hadir di 

negara kita . Pendapat ini didukung oleh Atjeh19 yang mencatat 

dua aliran Islam yang masuk negara kita  pertama kali, yakni 

Syafi’i dan Syiah, meski dia tidak memberikan penjelasan 

lebih detail aliran mana yang datang pertama kali. Dua aliran 

ini dibawa oleh para saudagar dan sufi dari Gujarat India dan 

Arab. Alatas,20 Rabbani,21 dan Yusuf22 memberikan informasi 

lebih detail terkait hal ini. Menurut mereka, Islam dibawa 

masuk oleh para sayyid ‘Alawy dari Hadramaut Yaman ke 

negara kita . Para sufi beraliran al-tariqah ‘alawiyyah ini lari 

dari tekanan politik Dinasti Umayyah dan Dinasti Abasiyyah 

di Timur Tengah. Mereka bermigrasi dari Arab ke Afrika 

Timur, India Selatan, daerah kepulauan Melayu-negara kita . 

Di setiap kunjungan mereka, para sayyid ini 

menyebarkan Islam di daerah-daerah ini. Di negara kita  

sendiri, wilayah yang pertama kali dikunjungi yaitu  Aceh. 

Pengaruh budaya Syiah dapat dilihat dari kemiripan tradisi 

keagamaan yang dipertahankan oleh umat Islam di beberapa 

daerah di negara kita  dengan tradisi keagamaan di Asia 

Tenggara dan di Persia.23 Selain itu, pengaruh Syiah juga 

tampak di literatur-literatur yang tersebar di Asia Tenggara. 

Literatur ini  tidak hanya naskah -naskah  ilmiah yang 

digunakan untuk berdakwah ataupun diajarkan di lembaga-

lembaga pendidikan seperti pesantren, tapi juga naskah -naskah  

dongeng untuk anak-anak.24 Pendapat ini menunjukkan 

bahwa Syiah telah memberikan kontribusi yang signifikan 

terhadap agama, budaya, dan dunia intelektual negara kita .

Pendapat kedua terkait isu masuknya Islam di negara kita  

datang dari Azra25 yang menolak tesis di atas. Menurutnya, 

sejarah negara kita  mencatat bahwa meski pedagang Muslim 

telah masuk ke Nusantara pada abad ke-8, tidak ada 

bukti penyebaran Islam di wilayah ini  dan tidak ada 

bukti konversi penduduk lokal ke Islam secara signifikan. 

Sebagaimana Azra, Alatas26 juga menolak pendapat bahwa 

perdagangan sebagai salah satu sarana untuk mengonversi 

penduduk  ke Islam. Menurutnya, para sufi yaitu  kelompok 

yang berjasa dalam penyebaran agama Islam di negara kita  

(dan di Asia Tenggara) pada abad 11 hingga 14. 

Selain itu, Azra27 juga menolak pendapat bahwa tradisi 

keagamaan yang menjadi budaya Islam lokal di beberapa 

daerah di negara kita  sebagai bentuk Islamisasi Syiah 

yang dilakukan oleh ulama Syiah. Catatan lain diberikan 

Bustamam-Ahmad28 mengenai hal ini. Tradisi Syiah yang 

masuk dan kemudian menjadi tradisi keagamaan di Aceh, 

dianggap sebagai adat-istiadat yang diwariskan oleh leluhur. 

Urusan agama, warga Aceh akan mengikuti fikih Syafi’i, 

tasawuf Ghazali, dan teologi Asy’ari. Dalam perspektif ini, 

saat  umat Muslim negara kita  melakukan ritual agama yang 

dianggap berasal dari ajaran Syiah seperti merayakan ‘ashura, 

mengadakan tahlilan, membuat bubur Sapar bukan berarti 

mereka berkonversi ke Syiah dan tidak juga menunjukkan 

dalamnya pengaruh Syiah di negara kita . Budaya ini lahir 

sebagai bagian dari identitas Islam yang masuk ke negara kita . 

Terlepas dari berbagai argumen terkait kedatangan 

Syiah di negara kita , penelitian-penelitian di atas menunjukkan 

bahwa Syiah telah menjadi bagian integral dari Islam 

negara kita  sejak lama. Saby,29 yaitu  satu dari beberapa 

peneliti yang mempunyai perhatian tentang isu ini. Secara 

umum, dia mencatat pengaruh budaya Persia (dan Syiah) 

dalam kebersamaan dan budaya Melayu, seperti memuliakan 

ahl al-bayt (secara khusus kepada Ali dan keluarganya), 

memuliakan kuburan para ulama, praktik ritual Manoe 

Rabu Abeh (mandi besar di hari Rabu penghabisan bulan 

Muharram), dan upacara daboih (atau dabus). Saby juga 

mencatat pengaruh Persia ke dalam budaya negara kita  seperti 

penggunaan nama-nama berakar pada bahasa atau tempat-

tempat di Persia seperti bandar, syah, dewan, Jailani. Selain 

itu, beberapa kisah rakyat Aceh seperti Putro Bungsu, Malem 

Diwa, Kulam Ru menunjukkan Persia secara umum dan 

Syiah secara khusus telah berkontribusi dalam pembentukan 

identitas Islam dan budaya di negara kita . 

Senada dengan penelitian Saby, Andoni30 yang 

menelaah festival peringatan wafatnya Husein dalam tradisi 

Hoyak Hosen di Pariaman Sumatra Barat melihat tradisi ini 

sebagai saksi bisu bahwa Syiah pernah hadir menghiasi 

wajah Islam di Sumatra Barat. Peneliti lain, Supratman31 yang 

meneliti pengaruh Persia dalam sastra, budaya dan dalam 

pembentukan identitas Islam di Sulawesi menunjukkan bahwa 

“asimilasi budaya Syiah Persia dengan suku-suku di Sulawesi 

tidak bisa disangkal.” Peneliti terakhir yaitu  Rumahuru32 

yang meneliti Islam dalam Komunitas Muslim Hatuhaha di 

Maluku Tengah. Penelitiannya menunjukkan bahwa ritual-

ritual Islam di Maluku Tengah sangat bercorak Syiah. Contoh 

yang diangkat yaitu  ritual Ma’atenu (ritual perang penduduk 

Muslim Hatuhaha) yang memakai  simbol-simbol yang 

digunakan seperti pedang Ali, atraksi-atraksi dan kata-kata 

ritual yang mengacu pada kesetiaan pada Ali. Penelitian-

penelitian ini membuktikan bahwa budaya Islam lokal di 

beberapa wilayah di negara kita  menunjukkan hubungan yang 

harmonis antara Sunni dan Syiah. 

Diskusi lain yang menarik tentang Syiah negara kita  

yaitu  terkait negosiasi identitas yang dilakukan oleh 

penganut Syiah di tengah-tengah komunitas Sunni negara kita . 

Penelitian-penelitian terdahulu mencatat dua cara yang umum 

digunakan oleh pemeluk Syiah untuk ‘menjaga iman’ mereka 

di tengah-tengah kelompok mayoritas Sunni negara kita , yakni 

praktik taqiyya dan melalui dunia pendidikan. Menurut 

Zulkifli,33 taqiyya merupakan praktik religius sekaligus 

produk sejarah yang dikembangkan oleh pemeluk Syiah. 

Secara teologis, praktik taqiyya berdasarkan pada QS. 3:28 

dan QS. 16:106. Kedua ayat ini memperbolehkan seseorang 

untuk menyembunyikan imannya demi menghindarkan 

diri dari ancaman dan siksaan. Alasan naqly (teologis) ini 

didukung dengan pengalaman historis Syiah yang selalu 

menjadi minoritas dan hidup di bawah bayang-bayang 

rezim yang tidak suka keberadaannya. Itulah mengapa tidak 

banyak pemeluk Syiah yang mendeklarasikan keimanannya 

ke publik. Hal ini juga, menurut Zulkfili,34 menjelaskan tidak 

adanya data statistik yang jelas penganut Syiah di negara kita . 

Setiap klaim atas jumlah penganut Syiah dipastikan tidak 

berdasarkan metode statistik yang baku, melainkan hanya 

berdasarkan pada perkiraan saja. 

Cara lain pemeluk Syiah untuk dapat diterima di 

negara kita  yaitu  melalui pendidikan. Penelitian terkait 

lembaga pendidikan Syiah di negara kita  penting untuk 

diperhatikan sebab  menyangkut penerimaan negara dan 

warga  negara kita  terhadap Syiah, pengembangan 

ajaran Syiah itu sendiri, dan pembentukan identitas Syiah 

di negara kita . Beberapa penelitian yang cukup intens dalam 

menjelaskan peran pendidikan Syiah di negara kita  yaitu  


11

Zulkifli,35 Latief,36 dan Marcinkowski.37 Penelitian mereka 

menunjukkan bahwa lembaga pendidikan Syiah berhasil 

mendapatkan tempat tersendiri dari warga . Pelacakan 

data media menunjukkan bahwa beberapa lembaga 

pendidikan Syiah mempunyai reputasi yang baik, mulai dari 

tingkat lokal hingga internasional.38 Hal ini menunjukkan 

bahwa lembaga pendidikan Syiah dikelola dengan baik 

dan sebab nya mendapatkan kepercayaan dari publik dan 

pemerintah. 

Merujuk pada sistem pendidikannya, lembaga 

pendidikan Syiah terbagi dalam dua kategori, yakni 

lembaga pendidikan tradisional dan modern.39 Untuk 

menyebut sedikit contoh lembaga pendidikan tradisional 

yaitu  pesantren seperti Pondok Pesantren YAPI (Yayasan 

Pendidikan Islam) di Bangil, Al-Hadi di Pekalongan, Dar 

al-Taqrib di Jepara, al-Mukarramah di Bandung, Nurul 

Tsaqalain di Maluku Tengah. Semua pesantren ini mengikuti 

pola pendidikan hawza ‘ilmiyya di Qom Iran. Sedangkan 

lembaga pendidikan modern yaitu  sekolah tingkat dasar, 

menengah, dan tinggi dan bernaung di bawah Kementrian 

Pendidikan dan Kebudayaan RI. Untuk menyebut contoh, 

SD, SMP, dan SMA Muthahhari di Bandung, Hauzah Ilmiah 

Amirul Mukminin dan az-Zahra di Bogor, Sekolah Tinggi 

Agama Islam Madinatul Ilmi (STAIMI) di Depok, Sekolah 

Tinggi Filsafat Islam (STFI) Sadra di Jakarta, dan Islamic 

College for Advanced Studies (ICAS) di Jakarta. Selain 

lembaga-lembaga pendidikan di atas, Latief40 mencatat 

beberapa institusi yang berkontribusi pada pengenalan dan 

pengembangan Syiah di negara kita  seperti pusat-pusat studi 

Iran (Iran Corner) yang didirikan di beberapa universitas 

di negara kita  dan aktivitas-aktivitas “Dakwah Kampus” di 

Universitas Padjajaran Bandung, ITB, dan UI Jakarta.  

Melalui lembaga-lembaga ini, para pemeluk dan 

simpatisan Syiah berkarya, mempertahankan identitas 

keagamaan mereka, dan mengembangkan ajaran Syiah di 

12


negara kita . Para pemimpin pesantren Syiah yang mayoritas 

berasal dari kalangan imigran Arab mampu mempertahankan 

identitas keagamaannya dan bahkan mengembangkan Syiah 

ke warga  lokal. Pesantren juga menjadi kantong basis 

pengiriman warga negara kita  yang ingin menuntut ilmu di 

hawza ‘ilmiyya di Qom Iran.41 sesudah  mereka kembali ke 

tanah air, mereka turut andil besar dalam mengembangkan 

Syiah di negara kita . STAIMI yang didirikan oleh para alumni 

Qom dapat menjadi contoh untuk hal ini.42 Sedangkan 

melalui pendidikan umum, Syiah berkembang ke kalangan 

pelajar dan mahasiswa. Semangat memperdalam Islam di 

antara mereka merupakan kunci untuk mengembangkan 

Syiah. Kesuksesan revolusi Islam di Iran menjadi motivasi 

mereka untuk mempelajari Syiah lebih mendalam. Terlebih 

lagi, menurut catatan Latief43 dan Azra,44 Syiah sangat cocok 

untuk dijadikan sebagai landasan ideologis untuk melakukan 

perlawanan terhadap rezim Orde Baru pada masa itu. Itulah 

mengapa para simpatisan dan pemeluk Syiah pada masa 

itu yaitu  kelompok pelajar dan mahasiswa di sekolah dan 

kampus umum (bukan agama). 

Diskusi terakhir yang perlu diangkat yaitu  terkait 

kekerasan terhadap Syiah di negara kita  itu sendiri. Sejak 

kekerasan terhadap komunitas Syiah di Sampang mencuat 

ke publik, beberapa peneliti melakukan penelitian terhadap 

permasalahan ini. Di antara penelitian ini  yaitu  

Putri,45 Panggabean dan Ali-Fauzi,46 Formichi,47 Ahnaf,48 dan 

Ahnaf et.al.49 Masing-masing peneliti melakukan pendekatan 

yang berbeda terhadap kekerasan yang terjadi di Sampang 

sehingga menghasilkan kesimpulan yang berbeda pula. 

Putri,50 yang menelaah kasus ini dari berbagai sumber 

media massa, mencatat bahwa kasus kekerasan ini  

tidak disebabkan oleh kontestasi agama, melainkan oleh 

kepentingan sosial politik dan lemahnya penegakan hukum 

di Sampang. Menurutnya, sejarah Islam mencatat bahwa 

konflik Sunni-Syiah bukanlah konflik teologis melainkan 


13

konflik politik untuk memperebutkan kuasa. Demikian 

halnya dengan kekerasan terhadap komunitas Syiah di 

Sampang. Senada dengan hal ini, Ahnaf51 dan Ahnaf 

et.al.52 melihat kesempatan politik dari para politisi yang 

sedang berkompetisi untuk memenangkan pemilukada 

Sampang 2014 berkontribusi besar dalam pelanggengan 

kekerasan terhadap komunitas Syiah di Sampang. Selain itu, 

penelitian yang meliputi tiga kabupaten/kota di negara kita  

ini menyimpulkan bahwa para calon kepala daerah yang 

memakai  isu agama sebagai alat kampanye sehingga 

melibatkan konflik kekerasan di tingkat akar rumput tidak 

bisa memenangkan pemilukada. Sedangkan Formichi,53 yang 

menelaah kekerasan terhadap komunitas Syiah di negara kita  

sejak zaman Orde Baru, berpendapat bahwa kekerasan fisik 

di Sampang yaitu  akumulasi dari kekerasan struktural dan 

kultural yang dipupuk sejak zaman Orde Baru. 

Penelitian lain tentang kekerasan terhadap Syiah 

Sampang dilakukan oleh Panggabean dan Ali-Fauzi yang 

menelaah permasalahan ini dalam kerangka studi keamanan. 

Studi yang meliputi pemolisian konflik keagamaan di delapan 

kota di negara kita , termasuk perbandingan penanganan 

kekerasan terhadap komunitas Syiah di Bangil dan Sampang, 

menunjukkan bahwa pemolisian konflik Syiah di Bangil 

berhasil dilakukan sebab  pihak kepolisian mendapatkan 

ruang untuk melakukan tugas mereka untuk memelihara 

keamanan dan ketertiban. Ruang ini  datang tidak hanya 

dari pemerintah daerah dan tokoh warga , melainkan 

juga dari pihak yang bertikai. Hal ini tidak tampak dalam 

penyelesaian konflik Sunni-Syiah di Sampang. Bahkan, 

Pemda dan tokoh warga  sering kali merongrong kinerja 

kepolisian sehingga tidak mampu menjalankan perannya.54 

Tentang naskah  ini

Sebagaimana telah disampaikan di awal , 

naskah  ini dimaksudkan untuk menelaah konflik kekerasan 

antara komunitas Sunni dan Syiah di Sampang tidak hanya 

14


dari aspek kekerasan fisik seperti korban pembunuhan, 

pembakaran properti, dan pengusiran komunitas Syiah, 

melainkan juga kekerasan lebih besar, yakni kekerasan 

struktural yang dilakukan oleh aparatur pemerintah dan 

kekerasan kultural yang terjadi di Sampang secara khusus 

dan di Madura dan Jawa Timur secara umum. Kekerasan 

struktural ini  tampak pada keengganan pemerintah 

untuk menegakkan konstitusi dan menerapkan hukum 

yang berlaku terhadap para aktor perusakan properti, 

penyerangan, penyebaran ujaran kebencian (hate-speech) 

terhadap pemimpin dan warga penganut Syiah di Sampang. 

Selain itu, kekerasan ini  juga tampak pada dukungan 

pemerintah terhadap aktivitas para aktor ini . Sedangkan 

kekerasan kultural merujuk pada pola kebersamaan 

warga  Sampang yang homogen dan pada fanatisme 

warga  terhadap para kiai. Sehingga, saat  sesuatu hal 

baru muncul, khususnya yang berkaitan dengan agama, 

mereka tidak siap untuk menghadapinya dan cenderung 

memusuhi, mengucilkan, dan bahkan mengusir seseorang 

atau kelompok penganut ajaran agama yang berbeda dengan 

ajaran mayoritas.

Merujuk pada asumsi-asumsi di atas, naskah  ini didasarkan 

pada satu pertanyaan mendasar dan yang paling asasi, yaitu 

“apa yang dapat menjelaskan konflik antara komunitas 

Sunni dan Syiah di Sampang?” Untuk mendapatkan jawaban 

pertanyaan besar ini, disusun beberapa pertanyaan praktis, 

seperti: (1) apa yang menyebabkan konflik di internal 

keluarga Bani Makmun, khususnya antara Tajul Muluk 

dan Rois Hukama? dan (2) bagaimana konflik keluarga ini 

berperan terhadap konflik kekerasan antara warga Sunni dan 

Syiah di Sampang?; (3) mengapa kekerasan agama terhadap 

komunitas Syiah di Sampang terus berlanjut meski pemimpin 

mereka Tajul Muluk sudah dipenjara?; (4) mengapa kekerasan 

terhadap komunitas Syiah di Sampang terus berlangsung 

hingga menjadi atensi pemerintah pusat dan publik luas?; 


15

dan (5) mengapa penyelesaian kekerasan agama terhadap 

komunitas Syiah di Sampang selalu menemui jalan buntu?

Dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, 

saya mencoba mengurai benang kusut setiap satu peristiwa 

satu dengan lainnya sehingga permasalahan utama dari 

kekerasan ini dapat diketahui secara komprehensif dan 

penyebab eskalasi kekerasan dari setiap peristiwa kekerasan 

dapat dipetakan secara jelas dan rinci. Untuk mendapatkan 

jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini , saya meneliti 

lima hal yang oleh beberapa kalangan dianggap sebagai 

penyebab konflik, yakni: konflik keluarga, perebutan 

pengaruh keagamaan di warga , ekonomi, politik, dan 

penistaan agama. 

Fenomena sosial yaitu  hal yang kompleks. Ia 

menghubungkan berbagai aktor di mana setiap interaksi 

yang ada mengundang konsekuensi-konsekuensi yang dapat 

diperhitungkan/direncanakan maupun yang tidak. Metode 

process-tracing berfungsi untuk memilah dan menganalisis 

hubungan interaksi sosial ini  beserta konsekuensi logis 

yang menyertainya.55 Penelitian ini difokuskan secara khusus 

kepada peristiwa-peristiwa yang melatarbelakangi konflik 

kekerasan agama antara komunitas Sunni dan Syiah di Sampang 

pada tahun 2006, 2011, dan 2012. Termasuk di dalamnya juga 

isu, pernyataan, ujaran kebencian, dan provokasi yang muncul 

selama peristiwa konflik berlangsung. Demikian pula dengan 

para aktor di balik isu, pernyataan, ujaran kebencian, dan 

provokasi ini . Mengingat basis penelitian ini yaitu  fakta 

lapangan, peneliti memakai  alur penalaran penelitian 

induktif, yakni menelaah detail peristiwa kekerasan langsung 

atau fisik untuk memperoleh gambaran yang lebih besar, yaitu 

kekerasan struktural dan kultural yang tidak tampak.

16


Catatan Kaki

1 Chiara Formichi, “Violence, Sectarianism, and the Politics of Religion: 

Articulations of Anti-Shi’a Discourses in negara kita ,” negara kita  98 

(October 2014): 1–27; Christoph Marcinkowski, “Aspects of Shi’ism in 

Contemporary Southeast Asia,” The Muslim World 98, no. 1 (January 

2008): 36–71.

2 Departemen Agama Republik negara kita , “Surat Edaran Departemen 

Agama Nomor: D/BA/01/4865/1983 Tentang Hal Ikhwal Mengenai 

Golongan Syiah,” Desember 1983; MUI, “Himbauan Kepada Umat 

Islam negara kita  Terkait Adanya Paham Ajaran Syiah Dalam Rapat 

Kerja Nasional MUI,” March 7, 1984.

3 Profi LPPI dapat dilihat di “LPPI Jakarta,” n.d., accessed December 

27, 2014, http://infolppi.blogspot.com/; “Apa Dan Siapa Albayyinat,” 

Www.albayyinat.net, accessed December 26, 2014, http://www.

albayyinat.net/ind1.html sedangkan profil Albayyinat di .

4 Beberapa kasus persekusi terhadap penganut Syiah atau simpatisan 

Syiah telah dicatat oleh Formichi, Zulkifli, dan Latief. Lihat Formichi, 

“Violence, Sectarianism, and the Politics of Religion: Articulations of 

Anti-Shi’a Discourses in negara kita ”; Chiara Formichi, “Contemporary 

Patterns in Transregional Islam: negara kita ’s Shi’a,” Middle East 

Institute, last modified October 30, 2014, accessed December 9, 

2014, http://www.mei.edu/content/map/contemporary-patterns-

transregional-islam-negara kita %E2%80%99s-shi%E2%80%98; Zulkifli, 

The Struggle of the Shi‘is in negara kita  (Australia: The Australian 

National University, 2013), accessed December 9, 2014, http://press.

anu.edu.au/titles/islam-in-southeast-asia/the-struggle-of-the-shiis-in-

negara kita /; Zulkifli, “Education, Identity, and Recognition: The Shi’i 

Islamic Education in negara kita ,” Studia Islamika: negara kita n Journal 

for Islamic Studies 21, no. 1 (2014): 77–108; Hilman Latief, “The 

Identity of Shi’a Sympathizers in Contemporary negara kita ,” Journal of 

negara kita n Islam 2, no. 2 (December 2008): 300–335.

5 Zulkifli, “Praksis Taqiyah: Strategi Syiah di negara kita  untuk 

Pengakuan,” in Sejarah & Budaya Syiah di Asia Tenggara, ed. Dicky 

Sofjan (Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, 

2013), 291–313.

6 Marcinkowski, “Aspects of Shi’ism in Contemporary Southeast Asia.”

7 “Tentang Kami,” accessed December 28, 2014, http://www.ijabi.or.id/

tentang-kami.html.

8 “Sejarah Ahlul Bait negara kita  | Ahlulbait negara kita ,” n.d., diakses 

pada 28 Desember, 2014, http://ahlulbaitnegara kita .org/berita/tentang-

ahlul-bait-negara kita /.

9 Jam’iyyah ASWAJA yaitu  salah satu ormas anti-Syiah yang berbasis 

di Bangil Jawa Timur. Profil lengkap ormas ini dapat dilihat di “Aswaja 

Bangil,” accessed December 28, 2014, http://aswajabangil.com/.

10 Salah satu pawai terbesar yaitu  saat peringatan Muharram pada 


17

15 November 2013. “Pawai Ingatkan Ancaman Syiah Di Bangil,” 

Nahimunkar.com, n.d., diakses pada 28 Desember, 2014, http://

www.nahimunkar.com/pawai-ingatkan-ancaman-syiah-di-bangil/.

11 Hasil penelitian tentang kasus ini dapat dirujuk di Samsu Rizal 

Panggabean and Ihsan Ali-Fauzi, Pemolisian Konflik Keagamaan 

di negara kita  (Jakarta: Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) 

Paramadina, 2014), 135–167.

12 “detikNews : Humas ASWAJA: Kami Sengaja Dijebak YAPI,” accessed 

December 28, 2014, http://news.detik.com/surabaya/read/2011/02

/17/142559/1572977/475/humas-aswaja-kami-sengaja-dijebak-yapi; 

“Kasus YAPI Pasuruan Terdakwa Divonis 3 Bulan,” accessed December 

28, 2014, http://www.kejati-jatim.go.id/index.php?option=com_con

tent&view=article&id=174:kasus-yapi-pasuruan-terdakwa-divonis-3-

bulan&catid=47:berita-umum&Itemid=108.

13 “Ulama Sosialisasi FAAS Di Madura - Surya,” diakses pada 28 

Desember, 2014, http://surabaya.tribunnews.com/2013/09/29/ulama-

sosialisasi-faas-di-madura; “Teks Deklarasi Aliansi Nasional Anti Syiah 

Di Bandung,” Nahimunkar.com, n.d., diakses pada 28 Desember, 

2014, http://www.nahimunkar.com/teks-deklarasi-aliansi-nasional-

anti-syiah-di-bandung/; video lengkap terkait deklarasi ANAS dapat 

dilihat di Deklarasi Aliansi Nasional Anti Syiah Part 1, 2014, diakses 

pada 25 September, 2014, https://www.youtube.com/watch?v=AYDc

S02DLMs&feature=youtube_gdata_player; Deklarasi Aliansi Nasional 

Anti Syiah Part 2, 2014, diakses pada 25 September, 2014, https://

www.youtube.com/watch?v=VOAoCfXucHA&feature=youtube_

gdata_player; Deklarasi Aliansi Nasional Anti Syiah Part 3, 2014, 

diakses pada 25 September, 2014, https://www.youtube.com/watch

?v=04wO6jhg1CQ&feature=youtube_gdata_player; Deklarasi Aliansi 

Nasional Anti Syiah Part 4, 2014, diakses pada 25 September, 2014, 

https://www.youtube.com/watch?v=tJHjd18B7rg&feature=youtube_

gdata_player.

14 Johan Galtung, Transcend & Transform; an Introduction to Conflict 

Work (London, UK: Pluto Press, 2004), 3–4.

15 Kai Frithjof Brand-Jacobsen, “Peace: The Goal and the Way,” in 

Searching for Peace; the Road to TRANSCEND, by Johan Galtung, 

Carl G. Jacobsen, and Kai Frithjof Brand-Jacobsen, Second Edition. 

(London, UK: Pluto Press, 2002), 16–24.

16 Johan Galtung, “Conflict, War and Peace: A Bird’s Eye View,” in 

Searching for Peace; the Road to TRANSCEND, by Johan Galtung, 

Carl G. Jacobsen, and Kai Frithjof Brand-Jacobsen, Second Edition. 

(London, UK: Pluto Press, 2002), 3–4; Galtung, Transcend & Transform; 

an Introduction to Conflict Work, 3–4; Johan Galtung, “Introduction; 

Peace by Peaceful Conflict Transformation – the TRANSCEND 

Approach,” ed. Charles Webel and Johan Galtung, Handbook of Peace 

and Conflict Studies (New York, NY: Routledge, 2007), 16.

17 Ashutosh Varshney, Mohammad Zulfan Tadjoeddin, and Samsu 

Rizal Panggabean, “Patterns of Collective Violence in negara kita ,” in 

18


Collective Violence in negara kita , ed. Ashutosh Varshney (Boulder, 

CO: Lynne Rienner Publishers, Inc., 2010), 26.

18 Galtung, “Conflict, War and Peace: A Bird’s Eye View,” 3–4.

19 Aboebakar Atjeh, Sekitar Masuknya Islam di negara kita , vol. Cetakan 

Keempat (Solo: Ramadhani, 1985).

20 Syed Farid Alatas, “The Ṭariqat Al-’Alawiyyah and the Emergence of 

the Shi’i School in negara kita  and Malaysia,” Oriente Moderno XVIII 

(LXXIX), no. 2 (1999): 323–339.

21 Mohammad Ali Rabbani, “Faktor Syiah dalam Masuk dan Tersebarnya 

Islam di Asia Tenggara melalui Arab, India, Persia, dan Cina,” in Sejarah 

& Budaya Syiah di Asia Tenggara, ed. Dicky Sofjan (Yogyakarta: 

Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, 2013), 33–71.

22 Imtiyaz Yusuf, “Pengaruh Historis Persia pada Islam di Asia Tenggara 

dan Kesatuan Umat Muslim,” in Sejarah & Budaya Syiah di Asia 

Tenggara, ed. Dicky Sofjan (Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana 

Universitas Gadjah Mada, 2013), 73–105.

23 Rabbani, “Faktor Syiah dalam Masuk dan Tersebarnya Islam di Asia 

Tenggara melalui Arab, India, Persia, dan Cina”; Yusuf, “Pengaruh 

Historis Persia pada Islam di Asia Tenggara dan Kesatuan Umat 

Muslim”; Julispong Chularatana, “Muslim Syiah di Thailand: Dari 

Periode Ayutthaya sampai Sekarang,” in Sejarah & Budaya Syiah di 

Asia Tenggara, ed. Dicky Sofjan (Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana 

Universitas Gadjah Mada, 2013), 109–138; Yusuf Roque Santos 

Morales, “Signifikansi Syiah Periode Alawi Pra-Hispanik hingga Itsna 

Asyaariyah Modern di Filipina,” in Sejarah & Budaya Syiah di Asia 

Tenggara (Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah 

Mada, 2013), 141–151; Rabitah Mohamad Ghazali, “Syiahisme di 

Malaysia,” in Sejarah & Budaya Syiah di Asia Tenggara (Yogyakarta: 

Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, 2013), 173–181; Yusni 

Saby, “Jejak Persia di Nusantara: Interplay antara Agama dan Budaya,” 

in Sejarah & Budaya Syiah di Asia Tenggara, ed. Dicky Sofjan 

(Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, 2013), 

185–196; Yudhi Andoni, “Kesalehan nan Terlampaui: Desakralisasi 

Ritus Hoyak Hosen di Sumatera Barat,” in Sejarah & Budaya Syiah di 

Asia Tenggara, ed. Dicky Sofjan (Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana 

Universitas Gadjah Mada, 2013), 213–224; Supratman, “Jejak Pengaruh 

Syiah (Persia) di Sulawesi: Studi Kasus Suku Bugis, Makasar, dan 

Mandar,” in Sejarah & Budaya Syiah di Asia Tenggara, ed. Dicky 

Sofjan (Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, 

2013), 225–251; Yance Zadrak Rumahuru, “Kebudayaan dan Tradisi 

Syiah di Maluku: Studi Kasus Komunitas Muslim Hatuhaha,” in Sejarah 

& Budaya Syiah di Asia Tenggara, ed. Dicky Sofjan (Yogyakarta: 

Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, 2013), 255–270.

24 Majid Daneshgar, “The Study of Persian Shi‘ism in the Malay-

negara kita n World: A Review of Literature from the Nineteenth Century 

Onwards,” Journal of Shi’a Islamic Studies 7, no. 2 (Spring 2014): 

191–229; Mohd Faizal bin Musa, “Sayyidina Husein dalam Telks Klasik 


19

Melayu,” in Sejarah & Budaya Syiah di Asia Tenggara, ed. Dicky 

Sofjan (Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, 

2013), 153–172.

25 Azyumardi Azra, “Kaum Syiah di Asia Tenggara: Menuju Pemulihan 

Hubungan dan Kerjasama,” in Sejarah & Budaya Syiah di Asia 

Tenggara, ed. Dicky Sofjan (Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana 

Universitas Gadjah Mada, 2013), 5–31.

26 Alatas, “The Ṭariqat Al-’Alawiyyah and the Emergence of the Shi’i 

School in negara kita  and Malaysia.”

27 Azra, “Kaum Syiah di Asia Tenggara: Menuju Pemulihan Hubungan 

dan Kerjasama.”

28 Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, “Sejarah Syiah di Aceh,” in Sejarah 

& Budaya Syiah di Asia Tenggara, ed. Dicky Sofjan (Yogyakarta: 

Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, 2013), 197–210.

29  Saby, “Jejak Persia di Nusantara: Interplay antara Agama dan Budaya.”

30 Andoni, “Kesalehan nan Terlampaui: Desakralisasi Ritus Hoyak Hosen 

di Sumatera Barat.”

31 Supratman, “Jejak Pengaruh Syiah (Persia) di Sulawesi: Studi Kasus 

Suku Bugis, Makasar, dan Mandar.”

32 Rumahuru, “Kebudayaan dan Tradisi Syiah di Maluku: Studi Kasus 

Komunitas Muslim Hatuhaha.”

33 Zulkifli, “Praksis Taqiyah: Strategi Syiah di negara kita  untuk 

Pengakuan”; Zulkifli, “Education, Identity, and Recognition: The Shi’i 

Islamic Education in negara kita ”; Christoph Marcinkowski, Twelver 

Shi’ite Islam: Conceptual and Practical Aspects (Singapore: Institute of 

Defence and Strategic Studies, July 2006), diakses pada 9 Desember, 

2014, http://www.rsis.edu.sg/wp-content/uploads/rsis-pubs/WP114.

pdf.

34 Zulkifli, The Struggle of the Shi‘is in negara kita , 15; Zulkifli, “Education, 

Identity, and Recognition: The Shi’i Islamic Education in negara kita .”

35 Zulkifli, The Struggle of the Shi‘is in negara kita ; Zulkifli, “Education, 

Identity, and Recognition: The Shi’i Islamic Education in negara kita .”

36  Latief, “The Identity of Shi’a Sympathizers in Contemporary negara kita .”

37 Marcinkowski, “Aspects of Shi’ism in Contemporary Southeast Asia.”

38 Beberapa contoh lembaga pendidikan Syiah yang memiliki prestasi 

yang sangat baik yaitu  YAPI Bangil dan SMA Plus Muthahhari Bangil 

“YAPI Bangil - Prestasi YAPI Bangil,” accessed January 23, 2015, 

http://www.yapibangil.org/index.php/prestasi; “- Profil SMA PLus 

Muthahhari,” accessed January 23, 2015, http://sekolahparajuara.com/

viewpage.php?page_id=5.

39 Zulkifli, “Education, Identity, and Recognition: The Shi’i Islamic 

Education in negara kita ”; Zulkifli, The Struggle of the Shi‘is in negara kita , 

chap. 5.

40 Latief, “The Identity of Shi’a Sympathizers in Contemporary negara kita .”

41 Zulkifli, The Struggle of the Shi‘is in negara kita ; Zulkifli, “Education, 

20


Identity, and Recognition: The Shi’i Islamic Education in negara kita ”; 

Latief, “The Identity of Shi’a Sympathizers in Contemporary negara kita .”

42 Latief, “The Identity of Shi’a Sympathizers in Contemporary negara kita ”; 

Zulkifli, “Education, Identity, and Recognition: The Shi’i Islamic 

Education in negara kita .”

43  Latief, “The Identity of Shi’a Sympathizers in Contemporary negara kita .”

44 Azra, “Kaum Syiah di Asia Tenggara: Menuju Pemulihan Hubungan 

dan Kerjasama.”

45  Rima Sari Idra Putri, “Mata Rantai Sebab-sebab Konflik di Antara Syiah 

dan Sunni di Madura,” in Sejarah & Budaya Syiah di Asia Tenggara, 

ed. Dicky Sofjan (Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah 

Mada, 2013), 271–289.

46 Panggabean and Ali-Fauzi, Pemolisian Konflik Keagamaan di 

negara kita  Penulis terlibat langsung dalam penelitian ini.

47 Formichi, “Violence, Sectarianism, and the Politics of Religion: 

Articulations of Anti-Shi’a Discourses in negara kita ”; Chiara Formichi, 

“From Fluid Identities to Sectarian Labels: A Historical Investigation of 

negara kita ’s Shi‘i Communities,” Al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies 

52, no. 1 (June 30, 2014): 101–126.

48 Mohammad Iqbal Ahnaf, “Local Elections and Intolerance: A Lesson 

from Sampang,” Perspectives on Religious Life in negara kita , May 2014.

49  Mohammad Iqbal Ahnaf et al., Politik Lokal Dan Konflik Keagamaan: 

Pilkada Dan Struktur Kesempatan Politik Dalam Konflik Keagamaan 

Di Sampang, Bekasi Dan Kupang (Yogyakarta: CRCS, 2015).

50 Putri, “Mata Rantai Sebab-sebab Konflik di Antara Syiah dan Sunni di 

Madura.”

51 Ahnaf, “Local Elections and Intolerance: A Lesson from Sampang.”

52 Ahnaf et al., Politik Lokal Dan Konflik Keagamaan: Pilkada Dan 

Struktur Kesempatan Politik Dalam Konflik Keagamaan Di Sampang, 

Bekasi Dan Kupang.

53 Formichi, “Violence, Sectarianism, and the Politics of Religion: 

Articulations of Anti-Shi’a Discourses in negara kita .”

54 Panggabean and Ali-Fauzi, Pemolisian Konflik Keagamaan di 

negara kita , 310–11.

55 Alexander L. George and Andrew Bennett, Case Studies and Theory 

Development in the Social Sciences (Cambridge, Mass: MIT Press, 

2005), 206.

Mengenal Sampang

21

Sampang yaitu  salah satu kabupaten di pulau Madura 

yang memiliki kultur sosial unik. Kultur ini dibentuk oleh tiga 

nilai yang membentuk cara pandang dan perilaku warga . 

Ketiga nilai ini  yaitu  (a) “buppha’ babbhu’ guruh 

rato,” (b) “taretan dibi’” dan (c) “lebbhi bagus pote tolang 

etembheng pote mata.” Pemahaman tentang ketiga sistem 

nilai ini sangat penting dalam memahami cara pandang 

aktor-aktor dalam konflik dan kekerasan di Sampang. Bab 

ini akan membahas satu per satu, ketiga tradisi ini; namun 

sebelumnya akan dimulai dengan pengalaman penulis 

berkunjung ke lokasi konflik. 

Menuju Daerah Konflik

Sebelum jauh melangkah ke dalam diskusi tradisi 

Madura, saya akan mengajak pembaca untuk mengikuti 

proses saya selama penelitian di wilayah ini.

Sampang yaitu  satu dari empat kabupaten yang 

berada di pulau Madura. Saya mengenal pulau ini dari 

kolega yang berasal dari pulau ini dan dari pengalaman 

pribadi mengunjungi pulau ini baik untuk kepentingan 

penelitian maupun pribadi. Ini yaitu  kali kedua saya 

melakukan penelitian di pulau Madura. Dari Kota Surabaya, 

ibukota Propinsi Jawa Timur, Kabupaten Sampang berjarak 

+ 100km dan dapat ditempuh dengan kendaraan pribadi 

MENGENAL SAMPANG



22

antara 1.5 hingga 2 jam, tergantung cara mengemudi dan 

tingkat kemacetan di jalanan. Pusat konflik kekerasan antara 

komunitas Sunni dan Syiah terpusat di dua desa, yakni 

Desa Karang Gayam Kecamatan Omben dan Desa Blu’uran 

Kecamatan Karang Penang. Secara lebih spesifik, Dusun 

Nangkernang di desa pertama dan Dusun Gading Laok di 

desa kedua. 

Selama penelitian, saya tinggal di pinggiran Kecamatan 

Omben berbatasan dengan Kota Sampang, sehingga akses 

ke Nangkernang dan Gading Laok dapat diakses dengan 

mudah, yakni sekitar 15-20 km. Namun, sebab  akses jalan 

yang tidak terlalu baik, berliku, menanjak, dan berlubang, 

menempuh kedua dusun itu membutuhkan waktu antara 

20-30 menit.1* Itu pun hanya sampai di pusat desa. Untuk 

masuk ke masing-masing dusun yaitu  urusan lain lagi. Dari 

jalan utama desa, kita harus masuk + 2km ke area pematang 

sawah yang hanya bisa dilakukan dengan berjalan kaki, 

bersepeda kayuh, atau bersepeda motor. Pada musim 

penghujan, opsi pertama yaitu  yang paling memungkinkan 

untuk dilakukan, sedangkan opsi kedua dan ketiga hanya 

bisa dilakukan oleh penduduk lokal atau mereka yang 

memiliki kemampuan tertentu dalam bersepeda.

Untuk memasuki daerah konflik, Dusun Nangkernang 

dan Gading Laok, saya harus mendapatkan izin dari pihak 

keamanan. Dalam hal ini yaitu  Badan Kesatuan Bangsa dan 

Politik (Bakesbangpol) Kabupaten Sampang dan Kepolisian 

Resort (Polres) Sampang untuk kemudian surat izin ini  

ditunjukkan ke Pos Keamanan yang menjaga setiap pintu 

masuk ke dusun. Seorang penerjemah dari penduduk 

lokal menemani hampir setiap perjalanan saya menuju ke 

daerah konflik. Keberadaannya sangat membantu tidak 

hanya sebagai penerjemah, tapi juga untuk memperlancar 

1 * Kunjungan terakhir saya ke daerah ini menunjukkan bahwa kondisi 

ini telah jauh berubah sesudah  pembangunan difokuskan di wilayah 

Karang Gayam dan Blu’uran. Jalanan diaspal dengan baik dan lampu-

lampu penerang jalan sudah dipasang meski masih perlu ditambah.

Mengenal Sampang

23

komunikasi dengan penduduk setempat terutama dengan 

narasumber sehingga proses wawancara berjalan lancar. 

Perlu diketahui, semenjak kekerasan fisik antara 

komunitas Sunni dan Syiah berlangsung antara Desember 

2011 hingga Agustus 2012 di kedua dusun ini dan mencuat 

ke publik, warga sedikit menaruh curiga kepada setiap 

orang asing yang datang. Mereka cukup berhati-hati saat  

berbicara dengan orang asing apalagi saat  obrolan 

ini  menyangkut peristiwa kekerasan yang telah terjadi. 

Meski demikian, saat  mereka sudah mengetahui tujuan 

dan maksud kedatangan orang asing ini  serta surat izin 

dari Bakesbangpol dan Polres Sampang, keramahan pasti 

tampak dalam wajah mereka. 

Untuk menemui warga atau narasumber yang 

berdomisili di kedua dusun ini, saya biasanya berangkat 

menjelang zuhur sehingga dapat menemui mereka sesudah  

salat zuhur atau sesudah  pulang dari sawah atau bekerja. 

Penduduk lokal, termasuk beberapa narasumber, kebanyakan 

berprofesi sebagai petani. Mereka berangkat ke sawah pada 

jam 5.30 WIB atau paling lambat 6.00 WIB pagi hari dan 

pulang jelang siang antara jam 10.00 hingga 10.30. sesudah  

itu, biasanya mereka istirahat di rumah atau mengerjakan 

pekerjaan lainnya dan tidak balik lagi ke sawah. Kecuali 

pada musim panen, mereka bisa pulang menjelang magrib 

sebab  harus mengurusi tanaman mereka terlebih dahulu. 

sesudah  bertemu narasumber yang dituju, saya biasanya 

kembali ke tempat penginapan menjelang magrib. Jalanan 

dusun yang tidak dilengkapi penerangan yang memadai 

cukup menyulitkan perjalanan peneliti jika pulang terlalu 

malam sebab  harus melewati jalanan yang gelap gulita. 

Selain itu, wilayah-wilayah tertentu merupakan daerah rawan 

pencurian khususnya kendaraan bermotor, sehingga akan 

mengancam keamanan saya sendiri maupun penerjemah.

Aktivitas observasi dilakukan setiap saat tentu juga 

dengan memperhatikan waktu yang sudah dijelaskan di atas. 


24

Jika diperlukan, saya bermalam baik di rumah kepala dusun 

atau di rumah warga di Desa Karang Gayam dan Blu’uran 

ditemani penerjemah. Dari pengalaman ini, saya menemukan 

bahwa penduduk dua desa yang berjumlah hampir 20.000 

jiwa ini cukup ramah, saling tegur sapa setiap kali bertemu 

sesama di jalan. Hampir pasti setiap orang mengetahui satu 

sama lain. Jika seseorang mengendarai mobil atau sepeda 

motor, tak segan dia mengajak orang lain naik kendaraannya 

selama perjalanan mereka masih satu arah. Warga daerah ini, 

dan saya kira seluruh warga Madura secara umum, sangat 

menghormati tamu yang datang ke rumah mereka. Setiap 

tamu yang datang pasti mendapatkan suguhan minimal kopi 

atau teh dan makanan kecil. Beberapa tuan rumah yang 

cukup berada biasanya juga menyuguhkan hidangan makan 

dan minum yang cukup megah. 

Suasana islami sangat tampak dalam kehidupan sehari-

hari di dua desa ini maupun di Sampang secara umum. Setiap 

azan berkumandang, setiap aktivitas warga akan berhenti 

sejenak. Hampir seluruh sekolah di sana meliburkan diri pada 

hari Jumat, bukan hari Minggu seperti sekolah umum lainnya. 

Dan pada saat salat Jumat berlangsung, seluruh aktivitas 

berhenti, bahkan petugas POM Bensin pun memasang tanda 

tutup untuk salat Jumat, meski di antara mereka ada petugas 

perempuan untuk mengganti posisi petugas laki-laki yang 

sedang salat Jumat. Mereka yang sudah menunaikan ibadah 

haji akan mendapatkan penghormatan sendiri dari warga 

lainnya sebab  mereka dianggap mampu menjalankan 

rukun Islam kelima, yakni ibadah yang dianggap paling 

berat sebab  tidak hanya melibatkan fisik tetapi juga harta. 

Identitas ke-Muslim-an inilah yang terbangun dalam diri 

seluruh warga  Sampang. Pendidikan formal tidaklah 

menjadi patokan kesuksesan. Para orang tua lebih senang 

jika anaknya pandai membaca Alquran daripada pintar 

matematika atau ilmu umum lainnya. Demikian pula, anak-

anak lebih suka masuk pesantren atau sekolah-sekolah Islam 

Mengenal Sampang

25

daripada masuk sekolah umum.1 Itulah mengapa jumlah 

pesantren dan madrasah yang dikelola oleh pesantren di 

kedua desa lebih banyak daripada jumlah sekolah umum 

yang dikelola oleh negara.

Aktivitas keagamaan biasanya berlangsung sesudah  

salat magrib, yakni saat  warga sudah menyelesaikan 

pekerjaan mereka di sawah atau di tempat lainnya. Berbagai 

jenis pengajian dilaksanakan oleh warga sesuai dengan 

kesepakatan bersama, bisa seminggu sekali, dua Minggu 

sekali, atau sebulan sekali. Ada beberapa jenis pengajian 

yang ada di dua desa ini , seperti kolom, yasinan, 

sebelasan, selamadan, rasulan, mustami’an, dan lain 

sebagainya.2 Kolom, yasinan, mustami’an, dan rasulan 

yaitu  pengajian tiap malam Jumat. Isinya berupa yasinan 

dan shalawatan. Nama-nama ini  merujuk pada 

perbedaan istilah yang digunakan di daerah-daerah tertentu, 

tapi esensinya tetap sama. Sedangkan sebelasan yaitu  

pengajian dzikr setiap tanggal 10 Muharam, setiap tanggal 

10 ba‘da maulid, dan nisfu Sya‘ban. 

Pada musim-musim tertentu, pengajian ini  

akan semakin masif diadakan, di antaranya yaitu  musim 

kawinan dan bulan maulid. Musim kawinan biasanya 

diadakan sesudah  selesai perayaan bulan Syawal. Disebut 

demikian sebab  bulan ini dianggap bulan baik untuk 

melakukan prosesi pernikahan. Tak heran kemudian banyak 

sekali undangan mantenan pada musim ini. Si empu hajat 

mengundang kiai untuk mengisi ceramah atau menjadi 

wakil orang tua untuk menikahkan anaknya. Jika sedang 

ramai, satu hari seorang kiai bisa menghadiri 3 sampai 5 kali 

prosesi pernikahan. Yang kedua yaitu  bulan maulid untuk 

memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW. 

Di Sampang secara umum dan di dua desa ini secara 

khusus, perayaan maulid bisa semarak selama satu bulan 

penuh, bahkan mungkin lebih. Tiap-tiap keluarga merasa 

mempunyai kewajiban untuk membuat acara maulid 


26

semeriah yang mereka mampu. Dalam satu bulan ini , 

warga bisa menghadiri tiga hingga lima acara perayaan 

maulid di Karang 


Related Posts:

  • suni syiah di sampang 1Kekerasan terhadap komunitas Syiah di Sampang memberi ilustrasi paling tidak dua hal tentang problematika pengelolaan keragaman di negara kita . Pertama, cara pandang kita dalam memahami kasus kekerasan te… Read More