Kekerasan terhadap komunitas Syiah di Sampang
memberi ilustrasi paling tidak dua hal tentang problematika
pengelolaan keragaman di negara kita .
Pertama, cara pandang kita dalam memahami
kasus kekerasan terhadap kelompok minoritas menuntut
perspektif yang lebih luas dari sekedar memahaminya
sebagai masalah intoleransi dan pelanggaran hukum. Tidak
bisa dipungkiri sentimen anti-Syiah mengalami peningkatan
luar biasa dalam kurun lima tahun terahir. Konteks ini bisa
menciptakan asumsi bahwa kekerasan terhadap komunitas
Syiah di Sampang dilandasi oleh sikap intoleran dalam
bentuk keengganan hidup berdampingan secara damai
dengan mereka yang berbeda keyakinan. Meski demikian
cara pandang demikian tidak cukup untuk menjelaskan
fakta bahwa di wilayah-wilayah dengan karakter kelompok
minoritas yang serupa dengan Sampang, komunitas Syiah
dapat hidup dengan relatif aman.
Demikian juga tidak bisa dipungkiri bahwa ada banyak
kejadian pelanggaran hukum yang tidak mendapatkan
penanganan sewajarnya dari aparat keamanan, mulai
dari persebaran ujaran kebencian, mobilisasi, sampai
pada tindakan kekerasan. Hingga hari ini banyak pelaku
pelanggaran bebas dari proses peradilan. Situasi demikian
memberikan pelajaran bahwa pendekatan hukum seringkali
tidak efektif dan justru merugikan korban. Dalam banyak
kasus argumen hukum seringkali justru dipakai sebagai dalih
bagi aksi kekerasan terhadap kelompok minoritas seperti
tuduhan penodaan agama dan pelanggaran izin pendirian
rumah ibadah. Kita tidak bisa menafikan pentingnya
kepastian hukum untuk melindungi korban kekerasan,
tetapi hal ini sebaiknya tidak mengesampingkan pentingnya
upaya-upaya mediasi dalam menyelesaikan kasus kekerasan
terhadap kelompok minoritas.
Kedua, studi kasus Sampang ini menunjukkan
pentingnya melihat suatu kasus dalam konteks yang
lebih, tidak terbatas pada kejadian masa kini tetapi juga
proses yang melatarbelakangi dan situasi berpengaruh di
lingkup yang lebih luas. naskah ini menunjukkan bahwa
konflik antara komunitas Sunni dan Syiah tidak muncul
tiba-tiba. Keberadaan komunitas Syiah pada awalnya
tidak dipermasalahkan oleh komunitas Sunni, tetapi ada
dinamika yang berkembang sejak awal tahun 1990-an yang
menimbullkan ketegangan relasi antar kedua komunitas.
Ketegangan ini mengalami eskalasi dan ledakan kekerasan,
terutama pada tahun-tahun politik menjelang dan sesudah
Pilkada di Sampang tahun 2008 dan Pilkada Jawa Timur
tahun 2012.
Dengan memahami kompleksitas masalah ini bukan
berarti kita bisa mengatakan bahwa agama tidak memainkan
peran signifikan. Kekhawatiran tentang keberlangsungan
sebuah keyakinan yang dipersepsikan sedang berhadapan
dengan ancaman dari luar jelas bernunasa agama dan
sebab itu membutuhkan upaya untuk membangun rasa
aman bersama tanpa mereduksi situasi keragaman.
naskah ini memberikan sumbangan penting untuk
mengurai konflik Sunni-Syiah di Sampang yang hingga kini
harus dikatakan belum selesai. Sebagian anggota komunitas
Syiah Sampang yang diusir dari kampung halamannya
terpaksa harus tinggal di tempat pengungsian dalam kurun
waktu yang sangat lama. naskah ini diharapkan bisa menjadi
sumber informasi untuk terus mengupayakan rekonsiliasi
yang bisa mengembalikan korban yang terusir untuk pulang,
tinggal dan mengelola ladang di kampung halaman mereka.
naskah ini yaitu yang kedua dari program Thesis Award
oleh Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS).
Program ini yaitu salah satu bentuk komitmen
CRCS untuk mendukung penulisan tesis mahasiswa yang
berkualitas dan layak terbit agar bisa menjadi konsumsi
publik. Sebelumnya tesis mahasiswa yang telah diterbitkan
yaitu karya Jimmy Marcos Immanuel, Merapu dalam
Bencana Alam: Pemaknaan dan Respons warga
Wunga Sumba Timur negara kita .
naskah ini, , diangkat
dari tesis yang diajukan di Program Studi Agama dan Lintas
Budaya, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada,
pada tahun 2013. Masa studi penulisnya di Pascasarjana
UGM berlangsung bersamaan dengan antara
warga Sunni dan Syiah di Kabupaten Sampang, Jawa Timur.
Pihak-pihak yang bertikai, pemerintah daerah, polisi, wakil-
wakil warga sipil, bahkan pemerintah pusat, tidak dapat
menyelesaikan konflik ini sampai sekarang.
Beberapa aspek konflik dan kekerasan Sunni-Syiah di
Sampang dibahas di dalam naskah ini. Salah satu di antaranya
penyebab konflik antara komunitas Sunni dan Syiah di
Sampang. Selain itu, naskah ini membahas dinamika konflik
Sunni-Syiah, khususnya yang terjadi seiring
dengan berjalannya waktu dan kegagalan intervensi dan
penanganan terhadap konflik ini . Akhirnya, naskah ini
juga membahas usaha-usaha rekonsiliasi kedua komunitas,
khususnya sesudah kekerasan terbuka yang terjadi di bulan
Desember 2011 dan Agustus 2012.
Supaya data dan informasi mengenai relasi dan konflik
Sunni-Syiah di Sampang diperoleh, penulis naskah ini tinggal
di Sampang. Ini memudahkannya menemui sumber data
dan informasi yang diperlukan, mengunjungi lokasi konflik,
dan tempat pengungsian warga Syiah yang saat itu
ditempatkan di GOR Sampang. Cara ini tidak bisa dihindari
sebab informasi mengenai kasus Sunni-Syiah di Sampang
masih terbatas. Selain itu, penulis memakai dokumen,
termasuk laporan lembaga swadaya warga dan polisi.
Saya menemani penulis naskah ini dalam beberapa
kunjungan penelitian. Salah satu di antaranya yaitu
mewawancarai Kapolsek Omben di kantornya. Selama lebih
dari empat jam wawancara, kami mendapatkan berbagai
informasi dari pihak yang paling bertanggungjawab di
bidang keamanan dan ketertiban warga , yaitu polisi.
Akan tetapi, polisi sendiri mengakui tidak banyak yang dapat
mereka lakukan kalau pihak-pihak yang bertikai bersikeras
melanjutkan konflik dan melakukan eskalasi. Seperti polisi
yang tidak bisa terus-terusan menghalangi niat seorang
pencuri menunaikan niatnya.
Kunjungan lainnya yaitu ke Lembaga Pewarga an
Sidoarjo, Jawa Timur, tempat Ustad Tajul Muluk ditahan.
saat itu kami memandang Tajul Muluk sebagai seorang
tokoh warga yang ingin mengadakan perubahan
di warga nya, tetapi mendapatkan penolakan dari
warga sebab perubahan ini menyinggung relasi
kekuasaan, perbedaan praktik dan keyakinan keagamaan,
dan kapasitas mengelola konflik yang lemah, termasuk
di pemerintah daerah. Kami juga mengajukan berbagai
pertanyaan kepada Tajul Muluk, khususnya yang menyangkut
latar belakang konflik Sunni-Syiah di Sampang, hubungan
Tajul Muluk dengan adiknya, Rois al Hukama, yang menjadi
bagian dari biografi konflik Sunni-Syiah.
Kami juga melakukan wawancara di Bangil dan
Pasuruan, tempat lain di Jawa Timur yang memiliki warga
Syiah tetapi dengan pola hubungan yang sangat berbeda.
Kami menemui tokoh Sunni dan Syiah, dan polisi. Di Sampang
ada ketegangan dan kekerasan antarsekte, di Pasuruan tidak
ada kekerasan walaupun sesekali ada ketegangan. Strategi
penanganan konflik yang diambil pemerintah daerah, polisi,
dan lembaga serta tokoh agama yang berasal dari aliran
dan sekte berbeda menjadi kunci yang menentukan apakah
ketegangan antarsekte akan berubah menjadi kekerasan
atau tidak.
Pengalaman Bangil khususnya dan Pasuruan umumnya
menunjukkan bahwa perbedaan keyakinan dan praktik
keagamaan dapat berlangsung tanpa kekerasan. Ini selaras
dengan pengalaman warga di tempat lain, seperti
Jepara, Balikpapan, Kendari, dan lain-lain; tempat warga
Sunni dan Syiah dapat hidup berdampingan secara damai.
Bagi yang tertarik mengkaji perdamaian antarkelompok
warga dan antarsekte, tempat-tempat semacam ini
jauh lebih banyak walaupun jarang dikaji. Kasus Sampang,
dengan kata lain, yaitu insiden yang amat jarang terjadi.
Tentu saja, insiden yang jarang terjadi juga perlu diteliti.
Pengalaman Sampang menunjukkan bahwa, jika pihak-pihak
yang bertikai tidak ingin berdamai dan rujuk, tak banyak
yang dapat dilakukan pihak ketiga walaupun mereka telah
berusaha sekuat tenaga. Pihak ketiga yang memainkan peran
menyelesaikan konflik seringkali beranggapan bahwa pihak-
pihak yang bertikai menginginkan penyelesaian. Anggapan
seperti ini tidak selalu benar. Beberapa episode konflik
warga Sunni dan Syiah di Sampang pada 2011 dan 2012 dan
sesudahnya menunjukkan sulitnya menghindari kekerasan
jika pihak-pihak yang bertikai berniat melakukannya.
Sisi kontestasi Sunni-Syiah di negara kita seakan
menemukan momentum ledakan dalam beberapa tahun
belakangan. naskah ini difokuskan untuk mengurai benang
kusut konflik kekerasan yang melibatkan komunitas Sunni
dan Syiah di Kabupaten Sampang Madura sejak 2004 hingga
2014. Titik tolak penelitian ini yaitu peristiwa kekerasan
yang menimpa warga Syiah di wilayah ini pada 29 Desember
2011, 26 Agustus 2012, dan 20 Juni 2013. Tiga peristiwa
kekerasan ini yaitu yang banyak disorot media massa, baik
cetak maupun elektronik.
Pada dua peristiwa pertama, sekelompok orang
menyerang warga Syiah dan membakar rumah-rumah
mereka. Akibatnya, satu warga Syiah meninggal dunia,
puluhan orang baik dari pihak penyerang maupun dari
pihak Syiah mengalami luka-luka, ratusan rumah dibakar,
serta ratusan warga Syiah harus mengungsi ke GOR (Gedung
Olah Raga) milik Pemerintah Kabupaten Sampang. sesudah
hampir setahun tinggal di GOR tanpa kejelasan nasib, pada
20 Juni 2013, Pemerintah Kabupaten Sampang bersama para
kiai Sunni dan didukung oleh Pemerintah Propinsi Jawa
Timur merelokasi paksa pengungsi Syiah ke luar pulau
Madura. Tepatnya di Flat Puspa Agro Jemundo Sidoarjo,
sekitar 100 km dari kampung halaman mereka. Hingga naskah
ini ditulis, warga Syiah belum bisa kembali pulang
Konflik kekerasan antara warga Sunni dan Syiah di
Sampang bukanlah yang pertama kali terjadi di negara kita .
Selama era Orde Baru, para pemeluk Syiah tidak bisa
leluasa untuk mempraktikkan ajarannya. Mereka harus
menyembunyikan keimanannya agar terhindar dari tekanan
pemerintah. Dengan alasan meminimalisasi pengaruh
keberhasilan Revolusi Islam di Iran terhadap stabilitas
nasional, pemerintah Orde Baru memberikan pengawasan
yang cukup ketat terhadap individu, kelompok, atau
lembaga yang dicurigai mempunyai afiliasi dengan Syiah.1
Mandat diberikan kepada Depag (Departemen Agama, saat
ini Kementrian Agama) dan MUI (Majelis Ulama negara kita )
untuk mengawasi aktivitas dakwah Syiah saat itu. Kedua
lembaga ini pada tahun 1983 dan 1984 secara berurutan
melahirkan surat edaran dan himbauan kepada seluruh umat
Islam negara kita agar berhati-hati terhadap keberadaan dan
perkembangan ajaran Syiah di sekitar mereka.2
Kedua lembaga ini juga dibantu oleh beberapa ormas
(organisasi warga ) yang secara aktif mempropaganda
anti-Syiah di warga . Di antara ormas-ormas ini
yaitu LPPI (Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam) yang
berdiri pada tahun 1980 dan Albayyinat pada tahun 1982.3
Bersama-sama, mereka berkampanye sesatnya ajaran aliran
Syiah dan berbahayanya ia terhadap Islam dan kesatuan
NKRI (Negara Kesatuan Republik negara kita ). Untuk
mencapai tujuan ini, mereka menggelar berbagai seminar
dan pengajian, menerbitkan naskah , dan bahkan melakukan
persekusi terhadap mereka yang menganut Syiah atau yang
dicurigai berafiliasi dengan aliran ini.
Hasilnya sangat efektif. Warga secara aktif melaporkan
gerakan tertentu yang melibatkan orang Syiah atau mereka
yang dicurigai berafiliasi dengan dan atau mendukung
Syiah. Habib Abdul Qadir Balfagih dari Jepara Jawa
Tengah, misalnya, sempat mendapat label ‘ekstremis’ dari
warga dan pesantren al-Khairat yang didirikannya
hampir dibubarkan oleh Depag ‘hanya’ sebab mendukung
ideologi, ajaran, dan keyakinan Ayatollah Khomeini; Habib
Husein al-Habsyi, pendiri YAPI (Yayasan Pendidikan Islam)
di Bangil Jawa Timur harus sibuk menanggapi tuduhan sesat
oleh ulama di Bangil; KH. Abdurrahman Wahid dan KH.
Sayyid Aqil Siradj secara berurutan pada tahun 1993 dan
1996 pernah dipaksa oleh sekelompok ormas Muslim untuk
berhenti sebagai posisi masing-masing di PBNU (Pengurus
Besar Nahdatul Ulama) sebab dicurigai mendukung
eksistensi Syiah di negara kita .4 Dan masih banyak lagi kasus
seperti ini, yang menurut Zulkifli,5 telah mendorong sebagian
besar penganut Syiah untuk menyembunyikan iman mereka
(ber-taqiyya) dari publik. Setiap usaha dialog yang dilakukan
oleh mereka untuk mengklarifikasi tuduhan sesat menjadi
forum justifikasi kesesatan oleh kelompok arus besar Sunni.
Implikasi jangka panjang dari kampanye ‘Syiah sesat’
yaitu bahwa stigma ‘sesat’ yang disematkan kepada
penganut Syiah dan para simpatisannya telah tertanam dalam
benak sebagian besar ulama dan warga awam negara kita
sehingga mereka enggan atau takut untuk mempelajari Syiah
dari perspektif Syiah sehingga dialog untuk menjembatani
dua aliran Islam ini tidak bisa dilakukan. Lebih buruk
lagi, warga awam Sunni mudah diprovokasi untuk
melakukan tindak kekerasan terhadap kelompok Syiah.
sesudah era Orde Baru berakhir, kelompok Syiah mulai
mendapat tempat di negara kita . Reformasi politik negara kita
pada tahun 1998 telah membuka sangat lebar kran kebebasan
berekspresi dan berserikat sehingga sebagian penganut
Syiah berani membuka identitas iman Syiahnya.6 Pada 1 Juli
2000, beberapa pemeluk Syiah di bawah kepemimpinan
Jalaluddin Rakhmat mendirikan IJABI (Ikatan Jamaah Ahlul
Bait negara kita ).7 Ormas ini banyak bergerak dalam bidang
dakwah dan pendidikan seperti pengembangan sekolah dan
pesantren yang berafiliasi dengan Syiah di seluruh negara kita .
Selain itu, ia juga bergerak dalam bidang dialog agama (Sunni
dan Syiah) dan pelayanan ekonomi-sosial seperti khitanan
massal, bantuan sosial bencana alam. Tercatat, ormas ini
telah memiliki cabang di seluruh wilayah di Jawa dan pulau-
pulau lainnya di negara kita .
Selain IJABI, komunitas Syiah juga memiliki ABI (Ahlul
Bait negara kita ) yang berdiri pada 25 Juli 2010 di Jakarta.8
ABI menghimpun kalangan asatidh (mubalig) Syiah, yayasan
dan lembaga-lembaga pendidikan Syiah, dan para aktivis
dan individu yang mempunyai semangat menyebarkan
ajaran Syiah di negara kita . Tidak seperti IJABI, gerakan ABI
mencakup hal-hal yang lebih luas seperti advokasi hukum
untuk kasus-kasus HAM dan isu-isu persekusi terhadap
kelompok minoritas di negara kita . Tajul Muluk, pemimpin
Syiah di Sampang, pernah menjadi bagian dari IJABI dari
2007 hingga 2009 sebelum kemudian bergabung di ABI pada
tahun 2010 sebab ormas Syiah terakhir dirasa lebih dapat
melakukan advokasi terhadap masalah yang menimpa Tajul.
Sejalan dengan terbukanya ruang berekspresi untuk
pemeluk Syiah negara kita , gerakan anti-Syiah juga berjalan
lebih terbuka. Dakwah anti-Syiah tidak lagi di ruang
tertutup seperti seminar atau dialog Sunni-Syiah saja, tetapi
berkembang ke pengajian massal di ruang terbuka. Tak sedikit
pula pengajian ini berubah menjadi ajang provokasi
yang berujung pada penyerangan terhadap lembaga-
lembaga Syiah yang berada di sekitarnya. Konflik antara
YAPI dan Jam’iyyah ASWAJA (Ahlussunnah Waljama’ah)9 di
Bangil Jawa Timur mewakili isu ini. Sejak 2006, ormas ini
mengadakan pawai keliling kota Bangil untuk memperingati
tahun baru Hijriah 1 Muharram. Dalam pawai ini , yel-
yel kebencian dan ujaran kebencian anti-Syiah senantiasa
didengungkan.10
Selain pawai, ormas ini juga sering mengadakan
pengajian akbar yang melibatkan massa besar. Salah satu
pengajian yang menjadi sorotan yaitu pengajian 15 Februari
2011 yang berujung penyerangan Pesantren YAPI.11 Akibat
dari peristiwa ini, 6 (enam) santri YAPI terluka dan 6 (enam)
orang dari pihak ASWAJA dinyatakan sebagai tersangka
dan dihukum penjara 3 (tiga) bulan.12 Pengajian lain yang
dijadikan sebagai forum konsolidasi anti-Syiah yaitu
Deklarasi FAAS (Front Anti Aliran Sesat) di Sampang pada 29
September 2013 dan Deklarasi ANAS (Aliansi Nasional Anti-
Syiah) di Bandung pada 20 April 2014.13 Ujaran kebencian
terhadap ajaran Syiah dan pemeluknya juga mudah didapati
di media-media sosial seperti www.nahimungkar.com,
www.albayyinat.net, dan www.aswajabangil.com.
Secara teoretis, setiap kekerasan yang terjadi pasti
diakibatkan oleh rentetan peristiwa yang mendahuluinya.14 Ia
tidak mungkin datang dengan sendirinya sebab kekerasan
fisik yaitu bentuk terakhir dan paling nyata dari kekerasan
struktural dan kultural yang terjadi di suatu warga .
Kekerasan fisik yaitu kekerasan langsung (direct) antara
pelaku dan korban seperti pemerkosaan, pembunuhan,
dan penyerangan. Sedang kekerasan struktural dan kultural
bersifat tidak langsung (indirect). Kekerasan pertama
dibentuk oleh sistem sosial, ekonomi, dan politik yang
mengatur tatanan sosial warga , negara, dan dunia.
Perbedaan antara miskin-kaya, rakyat-penguasa, kecil-besar,
buruh-pengusaha yaitu contoh dari kekerasan struktural.
Sedangkan kekerasan kultural mengandung unsur budaya,
ideologi atau agama. Dalam tahap ini, kekerasan muncul
saat seseorang menganggap orang lain lebih rendah,
saat seseorang merasa superior atas orang lain, dan
saat seseorang merasa “dipilih Tuhan” sehingga berhak
menghakimi orang lain.15
Menurut Galtung, 16 ada dua proses yang mendahului
sebuah peristiwa kekerasan, yakni konflik dan polarisasi.
Konflik muncul saat terjadi blocked goals (tujuan-tujuan
yang tidak tercapai) antara dua kubu yang berseteru (carriers
of goals) terkait goals (tujuan-tujuan yang ingin dicapai) yang
mereka pegang. Dalam konteks penelitian ini, carriers of
goals yaitu Tajul Muluk dan para kiai Sunni; dan kelompok-
kelompok yang mendukung dua pihak ini. Adapun goals
yang diperebutkan bisa bersifat religius, politis, ekonomis,
tergantung kepentingan masing-masing kelompok yang
berseteru dan para pendukungnya. Besar kecilnya pemicu
konflik dapat dilihat dari besar kecilnya kerusakan yang
diakibatkan oleh konflik ini . Lima indikator untuk
mengukur besarnya sebuah kekerasan yaitu (1) angka
kematian; (2) korban luka/cacat permanen; (3) kebebasan
yang terpasung; (4) hilang/rusaknya aset properti; dan (5)
jumlah pengungsi (internally displaced persons atau IDPs).17
saat dua aspek konflik (carriers of goals dan goals)
tidak bisa ‘bertemu,’ konflik akan bereskalasi ke babakan
selanjutnya, yakni polarisasi konflik. Dalam proses ini, dua
kelompok yang berseteru akan dipisah oleh stigma yang
mereka buat terhadap lawan mereka. Batasan antara Diri
(Self) dan Lain (Other) akan semakin jelas. Menurut Galtung,18
di sinilah proses yang rawan. saat baik
yang dilakukan oleh pihak ketiga maupun oleh masing-
masing pihak yang berseteru mampu mengelola polarisasi
ini dengan baik, polarisasi dapat mentransformasikan
konflik menjadi perdamaian. Dalam tahap ini, konflik
kedua kelompok dieliminasi dan diarahkan kepada reaksi
yang empati, kreatif, dan nirkekerasan. Sebaliknya, saat
gagal mengelola polarisasi ini dengan
baik, konflik akan bereskalasi menjadi kekerasan. Kekerasan
dalam tahap ini bisa berupa dehumanisasi atau satanisasi
dan bahkan agresi (penyerangan), terutama oleh pihak
pemenang atas pihak pecundang.
naskah ini akan menggambarkan tiga mekanisme
kekerasan di atas, yakni periode konflik, polarisasi konflik,
dan konflik kekerasan beserta dinamika konflik di dalamnya.
Berdasarkan pada teori dan fakta yang telah digambarkan
di atas, penelitian ini berpegang pada dua asumsi dasar,
yakni (1) semakin besar jumlah korban atau kerusakan yang
diakibatkan, semakin besar pula penyebab konflik yang
memicunya; dan (2) semakin besar kekerasan fisik yang
terjadi, semakin besar pula kekerasan struktural dan kultural
yang melatarbelakanginya.
Penelitian Terdahulu tentang Syiah negara kita
Meski konflik kekerasan antara Sunni dan Syiah sering
terjadi di negara kita sebagaimana yang telah dipaparkan di
atas, tidak banyak penelitian yang difokuskan dalam isu ini.
Selama ini, penelitian terkait Syiah negara kita banyak berkutat
pada isu kedatangan Syiah di negara kita , akulturasi Syiah
dan budaya Islam negara kita , taqiyya, lembaga pendidikan
Syiah, dan tentu terkait kekerasan anti-Syiah di negara kita .
Kelima hal ini akan dibahas satu per satu.
Isu terkait kapan sebenarnya Syiah datang ke negara kita
atau aliran Islam apa yang pertama kali datang ke negara kita
menarik untuk dikaji mengingat hasil kajian ini dapat
menjadi landasan untuk melegitimasi keberadaan Syiah di
negara kita . Ada dua pendapat utama terkait perdebatan ini.
Pertama, pendapat yang menyatakan bahwa Islam Syiah
yaitu salah satu aliran Islam yang pertama kali hadir di
negara kita . Pendapat ini didukung oleh Atjeh19 yang mencatat
dua aliran Islam yang masuk negara kita pertama kali, yakni
Syafi’i dan Syiah, meski dia tidak memberikan penjelasan
lebih detail aliran mana yang datang pertama kali. Dua aliran
ini dibawa oleh para saudagar dan sufi dari Gujarat India dan
Arab. Alatas,20 Rabbani,21 dan Yusuf22 memberikan informasi
lebih detail terkait hal ini. Menurut mereka, Islam dibawa
masuk oleh para sayyid ‘Alawy dari Hadramaut Yaman ke
negara kita . Para sufi beraliran al-tariqah ‘alawiyyah ini lari
dari tekanan politik Dinasti Umayyah dan Dinasti Abasiyyah
di Timur Tengah. Mereka bermigrasi dari Arab ke Afrika
Timur, India Selatan, daerah kepulauan Melayu-negara kita .
Di setiap kunjungan mereka, para sayyid ini
menyebarkan Islam di daerah-daerah ini. Di negara kita
sendiri, wilayah yang pertama kali dikunjungi yaitu Aceh.
Pengaruh budaya Syiah dapat dilihat dari kemiripan tradisi
keagamaan yang dipertahankan oleh umat Islam di beberapa
daerah di negara kita dengan tradisi keagamaan di Asia
Tenggara dan di Persia.23 Selain itu, pengaruh Syiah juga
tampak di literatur-literatur yang tersebar di Asia Tenggara.
Literatur ini tidak hanya naskah -naskah ilmiah yang
digunakan untuk berdakwah ataupun diajarkan di lembaga-
lembaga pendidikan seperti pesantren, tapi juga naskah -naskah
dongeng untuk anak-anak.24 Pendapat ini menunjukkan
bahwa Syiah telah memberikan kontribusi yang signifikan
terhadap agama, budaya, dan dunia intelektual negara kita .
Pendapat kedua terkait isu masuknya Islam di negara kita
datang dari Azra25 yang menolak tesis di atas. Menurutnya,
sejarah negara kita mencatat bahwa meski pedagang Muslim
telah masuk ke Nusantara pada abad ke-8, tidak ada
bukti penyebaran Islam di wilayah ini dan tidak ada
bukti konversi penduduk lokal ke Islam secara signifikan.
Sebagaimana Azra, Alatas26 juga menolak pendapat bahwa
perdagangan sebagai salah satu sarana untuk mengonversi
penduduk ke Islam. Menurutnya, para sufi yaitu kelompok
yang berjasa dalam penyebaran agama Islam di negara kita
(dan di Asia Tenggara) pada abad 11 hingga 14.
Selain itu, Azra27 juga menolak pendapat bahwa tradisi
keagamaan yang menjadi budaya Islam lokal di beberapa
daerah di negara kita sebagai bentuk Islamisasi Syiah
yang dilakukan oleh ulama Syiah. Catatan lain diberikan
Bustamam-Ahmad28 mengenai hal ini. Tradisi Syiah yang
masuk dan kemudian menjadi tradisi keagamaan di Aceh,
dianggap sebagai adat-istiadat yang diwariskan oleh leluhur.
Urusan agama, warga Aceh akan mengikuti fikih Syafi’i,
tasawuf Ghazali, dan teologi Asy’ari. Dalam perspektif ini,
saat umat Muslim negara kita melakukan ritual agama yang
dianggap berasal dari ajaran Syiah seperti merayakan ‘ashura,
mengadakan tahlilan, membuat bubur Sapar bukan berarti
mereka berkonversi ke Syiah dan tidak juga menunjukkan
dalamnya pengaruh Syiah di negara kita . Budaya ini lahir
sebagai bagian dari identitas Islam yang masuk ke negara kita .
Terlepas dari berbagai argumen terkait kedatangan
Syiah di negara kita , penelitian-penelitian di atas menunjukkan
bahwa Syiah telah menjadi bagian integral dari Islam
negara kita sejak lama. Saby,29 yaitu satu dari beberapa
peneliti yang mempunyai perhatian tentang isu ini. Secara
umum, dia mencatat pengaruh budaya Persia (dan Syiah)
dalam kebersamaan dan budaya Melayu, seperti memuliakan
ahl al-bayt (secara khusus kepada Ali dan keluarganya),
memuliakan kuburan para ulama, praktik ritual Manoe
Rabu Abeh (mandi besar di hari Rabu penghabisan bulan
Muharram), dan upacara daboih (atau dabus). Saby juga
mencatat pengaruh Persia ke dalam budaya negara kita seperti
penggunaan nama-nama berakar pada bahasa atau tempat-
tempat di Persia seperti bandar, syah, dewan, Jailani. Selain
itu, beberapa kisah rakyat Aceh seperti Putro Bungsu, Malem
Diwa, Kulam Ru menunjukkan Persia secara umum dan
Syiah secara khusus telah berkontribusi dalam pembentukan
identitas Islam dan budaya di negara kita .
Senada dengan penelitian Saby, Andoni30 yang
menelaah festival peringatan wafatnya Husein dalam tradisi
Hoyak Hosen di Pariaman Sumatra Barat melihat tradisi ini
sebagai saksi bisu bahwa Syiah pernah hadir menghiasi
wajah Islam di Sumatra Barat. Peneliti lain, Supratman31 yang
meneliti pengaruh Persia dalam sastra, budaya dan dalam
pembentukan identitas Islam di Sulawesi menunjukkan bahwa
“asimilasi budaya Syiah Persia dengan suku-suku di Sulawesi
tidak bisa disangkal.” Peneliti terakhir yaitu Rumahuru32
yang meneliti Islam dalam Komunitas Muslim Hatuhaha di
Maluku Tengah. Penelitiannya menunjukkan bahwa ritual-
ritual Islam di Maluku Tengah sangat bercorak Syiah. Contoh
yang diangkat yaitu ritual Ma’atenu (ritual perang penduduk
Muslim Hatuhaha) yang memakai simbol-simbol yang
digunakan seperti pedang Ali, atraksi-atraksi dan kata-kata
ritual yang mengacu pada kesetiaan pada Ali. Penelitian-
penelitian ini membuktikan bahwa budaya Islam lokal di
beberapa wilayah di negara kita menunjukkan hubungan yang
harmonis antara Sunni dan Syiah.
Diskusi lain yang menarik tentang Syiah negara kita
yaitu terkait negosiasi identitas yang dilakukan oleh
penganut Syiah di tengah-tengah komunitas Sunni negara kita .
Penelitian-penelitian terdahulu mencatat dua cara yang umum
digunakan oleh pemeluk Syiah untuk ‘menjaga iman’ mereka
di tengah-tengah kelompok mayoritas Sunni negara kita , yakni
praktik taqiyya dan melalui dunia pendidikan. Menurut
Zulkifli,33 taqiyya merupakan praktik religius sekaligus
produk sejarah yang dikembangkan oleh pemeluk Syiah.
Secara teologis, praktik taqiyya berdasarkan pada QS. 3:28
dan QS. 16:106. Kedua ayat ini memperbolehkan seseorang
untuk menyembunyikan imannya demi menghindarkan
diri dari ancaman dan siksaan. Alasan naqly (teologis) ini
didukung dengan pengalaman historis Syiah yang selalu
menjadi minoritas dan hidup di bawah bayang-bayang
rezim yang tidak suka keberadaannya. Itulah mengapa tidak
banyak pemeluk Syiah yang mendeklarasikan keimanannya
ke publik. Hal ini juga, menurut Zulkfili,34 menjelaskan tidak
adanya data statistik yang jelas penganut Syiah di negara kita .
Setiap klaim atas jumlah penganut Syiah dipastikan tidak
berdasarkan metode statistik yang baku, melainkan hanya
berdasarkan pada perkiraan saja.
Cara lain pemeluk Syiah untuk dapat diterima di
negara kita yaitu melalui pendidikan. Penelitian terkait
lembaga pendidikan Syiah di negara kita penting untuk
diperhatikan sebab menyangkut penerimaan negara dan
warga negara kita terhadap Syiah, pengembangan
ajaran Syiah itu sendiri, dan pembentukan identitas Syiah
di negara kita . Beberapa penelitian yang cukup intens dalam
menjelaskan peran pendidikan Syiah di negara kita yaitu
11
Zulkifli,35 Latief,36 dan Marcinkowski.37 Penelitian mereka
menunjukkan bahwa lembaga pendidikan Syiah berhasil
mendapatkan tempat tersendiri dari warga . Pelacakan
data media menunjukkan bahwa beberapa lembaga
pendidikan Syiah mempunyai reputasi yang baik, mulai dari
tingkat lokal hingga internasional.38 Hal ini menunjukkan
bahwa lembaga pendidikan Syiah dikelola dengan baik
dan sebab nya mendapatkan kepercayaan dari publik dan
pemerintah.
Merujuk pada sistem pendidikannya, lembaga
pendidikan Syiah terbagi dalam dua kategori, yakni
lembaga pendidikan tradisional dan modern.39 Untuk
menyebut sedikit contoh lembaga pendidikan tradisional
yaitu pesantren seperti Pondok Pesantren YAPI (Yayasan
Pendidikan Islam) di Bangil, Al-Hadi di Pekalongan, Dar
al-Taqrib di Jepara, al-Mukarramah di Bandung, Nurul
Tsaqalain di Maluku Tengah. Semua pesantren ini mengikuti
pola pendidikan hawza ‘ilmiyya di Qom Iran. Sedangkan
lembaga pendidikan modern yaitu sekolah tingkat dasar,
menengah, dan tinggi dan bernaung di bawah Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan RI. Untuk menyebut contoh,
SD, SMP, dan SMA Muthahhari di Bandung, Hauzah Ilmiah
Amirul Mukminin dan az-Zahra di Bogor, Sekolah Tinggi
Agama Islam Madinatul Ilmi (STAIMI) di Depok, Sekolah
Tinggi Filsafat Islam (STFI) Sadra di Jakarta, dan Islamic
College for Advanced Studies (ICAS) di Jakarta. Selain
lembaga-lembaga pendidikan di atas, Latief40 mencatat
beberapa institusi yang berkontribusi pada pengenalan dan
pengembangan Syiah di negara kita seperti pusat-pusat studi
Iran (Iran Corner) yang didirikan di beberapa universitas
di negara kita dan aktivitas-aktivitas “Dakwah Kampus” di
Universitas Padjajaran Bandung, ITB, dan UI Jakarta.
Melalui lembaga-lembaga ini, para pemeluk dan
simpatisan Syiah berkarya, mempertahankan identitas
keagamaan mereka, dan mengembangkan ajaran Syiah di
12
negara kita . Para pemimpin pesantren Syiah yang mayoritas
berasal dari kalangan imigran Arab mampu mempertahankan
identitas keagamaannya dan bahkan mengembangkan Syiah
ke warga lokal. Pesantren juga menjadi kantong basis
pengiriman warga negara kita yang ingin menuntut ilmu di
hawza ‘ilmiyya di Qom Iran.41 sesudah mereka kembali ke
tanah air, mereka turut andil besar dalam mengembangkan
Syiah di negara kita . STAIMI yang didirikan oleh para alumni
Qom dapat menjadi contoh untuk hal ini.42 Sedangkan
melalui pendidikan umum, Syiah berkembang ke kalangan
pelajar dan mahasiswa. Semangat memperdalam Islam di
antara mereka merupakan kunci untuk mengembangkan
Syiah. Kesuksesan revolusi Islam di Iran menjadi motivasi
mereka untuk mempelajari Syiah lebih mendalam. Terlebih
lagi, menurut catatan Latief43 dan Azra,44 Syiah sangat cocok
untuk dijadikan sebagai landasan ideologis untuk melakukan
perlawanan terhadap rezim Orde Baru pada masa itu. Itulah
mengapa para simpatisan dan pemeluk Syiah pada masa
itu yaitu kelompok pelajar dan mahasiswa di sekolah dan
kampus umum (bukan agama).
Diskusi terakhir yang perlu diangkat yaitu terkait
kekerasan terhadap Syiah di negara kita itu sendiri. Sejak
kekerasan terhadap komunitas Syiah di Sampang mencuat
ke publik, beberapa peneliti melakukan penelitian terhadap
permasalahan ini. Di antara penelitian ini yaitu
Putri,45 Panggabean dan Ali-Fauzi,46 Formichi,47 Ahnaf,48 dan
Ahnaf et.al.49 Masing-masing peneliti melakukan pendekatan
yang berbeda terhadap kekerasan yang terjadi di Sampang
sehingga menghasilkan kesimpulan yang berbeda pula.
Putri,50 yang menelaah kasus ini dari berbagai sumber
media massa, mencatat bahwa kasus kekerasan ini
tidak disebabkan oleh kontestasi agama, melainkan oleh
kepentingan sosial politik dan lemahnya penegakan hukum
di Sampang. Menurutnya, sejarah Islam mencatat bahwa
konflik Sunni-Syiah bukanlah konflik teologis melainkan
13
konflik politik untuk memperebutkan kuasa. Demikian
halnya dengan kekerasan terhadap komunitas Syiah di
Sampang. Senada dengan hal ini, Ahnaf51 dan Ahnaf
et.al.52 melihat kesempatan politik dari para politisi yang
sedang berkompetisi untuk memenangkan pemilukada
Sampang 2014 berkontribusi besar dalam pelanggengan
kekerasan terhadap komunitas Syiah di Sampang. Selain itu,
penelitian yang meliputi tiga kabupaten/kota di negara kita
ini menyimpulkan bahwa para calon kepala daerah yang
memakai isu agama sebagai alat kampanye sehingga
melibatkan konflik kekerasan di tingkat akar rumput tidak
bisa memenangkan pemilukada. Sedangkan Formichi,53 yang
menelaah kekerasan terhadap komunitas Syiah di negara kita
sejak zaman Orde Baru, berpendapat bahwa kekerasan fisik
di Sampang yaitu akumulasi dari kekerasan struktural dan
kultural yang dipupuk sejak zaman Orde Baru.
Penelitian lain tentang kekerasan terhadap Syiah
Sampang dilakukan oleh Panggabean dan Ali-Fauzi yang
menelaah permasalahan ini dalam kerangka studi keamanan.
Studi yang meliputi pemolisian konflik keagamaan di delapan
kota di negara kita , termasuk perbandingan penanganan
kekerasan terhadap komunitas Syiah di Bangil dan Sampang,
menunjukkan bahwa pemolisian konflik Syiah di Bangil
berhasil dilakukan sebab pihak kepolisian mendapatkan
ruang untuk melakukan tugas mereka untuk memelihara
keamanan dan ketertiban. Ruang ini datang tidak hanya
dari pemerintah daerah dan tokoh warga , melainkan
juga dari pihak yang bertikai. Hal ini tidak tampak dalam
penyelesaian konflik Sunni-Syiah di Sampang. Bahkan,
Pemda dan tokoh warga sering kali merongrong kinerja
kepolisian sehingga tidak mampu menjalankan perannya.54
Tentang naskah ini
Sebagaimana telah disampaikan di awal ,
naskah ini dimaksudkan untuk menelaah konflik kekerasan
antara komunitas Sunni dan Syiah di Sampang tidak hanya
14
dari aspek kekerasan fisik seperti korban pembunuhan,
pembakaran properti, dan pengusiran komunitas Syiah,
melainkan juga kekerasan lebih besar, yakni kekerasan
struktural yang dilakukan oleh aparatur pemerintah dan
kekerasan kultural yang terjadi di Sampang secara khusus
dan di Madura dan Jawa Timur secara umum. Kekerasan
struktural ini tampak pada keengganan pemerintah
untuk menegakkan konstitusi dan menerapkan hukum
yang berlaku terhadap para aktor perusakan properti,
penyerangan, penyebaran ujaran kebencian (hate-speech)
terhadap pemimpin dan warga penganut Syiah di Sampang.
Selain itu, kekerasan ini juga tampak pada dukungan
pemerintah terhadap aktivitas para aktor ini . Sedangkan
kekerasan kultural merujuk pada pola kebersamaan
warga Sampang yang homogen dan pada fanatisme
warga terhadap para kiai. Sehingga, saat sesuatu hal
baru muncul, khususnya yang berkaitan dengan agama,
mereka tidak siap untuk menghadapinya dan cenderung
memusuhi, mengucilkan, dan bahkan mengusir seseorang
atau kelompok penganut ajaran agama yang berbeda dengan
ajaran mayoritas.
Merujuk pada asumsi-asumsi di atas, naskah ini didasarkan
pada satu pertanyaan mendasar dan yang paling asasi, yaitu
“apa yang dapat menjelaskan konflik antara komunitas
Sunni dan Syiah di Sampang?” Untuk mendapatkan jawaban
pertanyaan besar ini, disusun beberapa pertanyaan praktis,
seperti: (1) apa yang menyebabkan konflik di internal
keluarga Bani Makmun, khususnya antara Tajul Muluk
dan Rois Hukama? dan (2) bagaimana konflik keluarga ini
berperan terhadap konflik kekerasan antara warga Sunni dan
Syiah di Sampang?; (3) mengapa kekerasan agama terhadap
komunitas Syiah di Sampang terus berlanjut meski pemimpin
mereka Tajul Muluk sudah dipenjara?; (4) mengapa kekerasan
terhadap komunitas Syiah di Sampang terus berlangsung
hingga menjadi atensi pemerintah pusat dan publik luas?;
15
dan (5) mengapa penyelesaian kekerasan agama terhadap
komunitas Syiah di Sampang selalu menemui jalan buntu?
Dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas,
saya mencoba mengurai benang kusut setiap satu peristiwa
satu dengan lainnya sehingga permasalahan utama dari
kekerasan ini dapat diketahui secara komprehensif dan
penyebab eskalasi kekerasan dari setiap peristiwa kekerasan
dapat dipetakan secara jelas dan rinci. Untuk mendapatkan
jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini , saya meneliti
lima hal yang oleh beberapa kalangan dianggap sebagai
penyebab konflik, yakni: konflik keluarga, perebutan
pengaruh keagamaan di warga , ekonomi, politik, dan
penistaan agama.
Fenomena sosial yaitu hal yang kompleks. Ia
menghubungkan berbagai aktor di mana setiap interaksi
yang ada mengundang konsekuensi-konsekuensi yang dapat
diperhitungkan/direncanakan maupun yang tidak. Metode
process-tracing berfungsi untuk memilah dan menganalisis
hubungan interaksi sosial ini beserta konsekuensi logis
yang menyertainya.55 Penelitian ini difokuskan secara khusus
kepada peristiwa-peristiwa yang melatarbelakangi konflik
kekerasan agama antara komunitas Sunni dan Syiah di Sampang
pada tahun 2006, 2011, dan 2012. Termasuk di dalamnya juga
isu, pernyataan, ujaran kebencian, dan provokasi yang muncul
selama peristiwa konflik berlangsung. Demikian pula dengan
para aktor di balik isu, pernyataan, ujaran kebencian, dan
provokasi ini . Mengingat basis penelitian ini yaitu fakta
lapangan, peneliti memakai alur penalaran penelitian
induktif, yakni menelaah detail peristiwa kekerasan langsung
atau fisik untuk memperoleh gambaran yang lebih besar, yaitu
kekerasan struktural dan kultural yang tidak tampak.
16
Catatan Kaki
1 Chiara Formichi, “Violence, Sectarianism, and the Politics of Religion:
Articulations of Anti-Shi’a Discourses in negara kita ,” negara kita 98
(October 2014): 1–27; Christoph Marcinkowski, “Aspects of Shi’ism in
Contemporary Southeast Asia,” The Muslim World 98, no. 1 (January
2008): 36–71.
2 Departemen Agama Republik negara kita , “Surat Edaran Departemen
Agama Nomor: D/BA/01/4865/1983 Tentang Hal Ikhwal Mengenai
Golongan Syiah,” Desember 1983; MUI, “Himbauan Kepada Umat
Islam negara kita Terkait Adanya Paham Ajaran Syiah Dalam Rapat
Kerja Nasional MUI,” March 7, 1984.
3 Profi LPPI dapat dilihat di “LPPI Jakarta,” n.d., accessed December
27, 2014, http://infolppi.blogspot.com/; “Apa Dan Siapa Albayyinat,”
Www.albayyinat.net, accessed December 26, 2014, http://www.
albayyinat.net/ind1.html sedangkan profil Albayyinat di .
4 Beberapa kasus persekusi terhadap penganut Syiah atau simpatisan
Syiah telah dicatat oleh Formichi, Zulkifli, dan Latief. Lihat Formichi,
“Violence, Sectarianism, and the Politics of Religion: Articulations of
Anti-Shi’a Discourses in negara kita ”; Chiara Formichi, “Contemporary
Patterns in Transregional Islam: negara kita ’s Shi’a,” Middle East
Institute, last modified October 30, 2014, accessed December 9,
2014, http://www.mei.edu/content/map/contemporary-patterns-
transregional-islam-negara kita %E2%80%99s-shi%E2%80%98; Zulkifli,
The Struggle of the Shi‘is in negara kita (Australia: The Australian
National University, 2013), accessed December 9, 2014, http://press.
anu.edu.au/titles/islam-in-southeast-asia/the-struggle-of-the-shiis-in-
negara kita /; Zulkifli, “Education, Identity, and Recognition: The Shi’i
Islamic Education in negara kita ,” Studia Islamika: negara kita n Journal
for Islamic Studies 21, no. 1 (2014): 77–108; Hilman Latief, “The
Identity of Shi’a Sympathizers in Contemporary negara kita ,” Journal of
negara kita n Islam 2, no. 2 (December 2008): 300–335.
5 Zulkifli, “Praksis Taqiyah: Strategi Syiah di negara kita untuk
Pengakuan,” in Sejarah & Budaya Syiah di Asia Tenggara, ed. Dicky
Sofjan (Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada,
2013), 291–313.
6 Marcinkowski, “Aspects of Shi’ism in Contemporary Southeast Asia.”
7 “Tentang Kami,” accessed December 28, 2014, http://www.ijabi.or.id/
tentang-kami.html.
8 “Sejarah Ahlul Bait negara kita | Ahlulbait negara kita ,” n.d., diakses
pada 28 Desember, 2014, http://ahlulbaitnegara kita .org/berita/tentang-
ahlul-bait-negara kita /.
9 Jam’iyyah ASWAJA yaitu salah satu ormas anti-Syiah yang berbasis
di Bangil Jawa Timur. Profil lengkap ormas ini dapat dilihat di “Aswaja
Bangil,” accessed December 28, 2014, http://aswajabangil.com/.
10 Salah satu pawai terbesar yaitu saat peringatan Muharram pada
17
15 November 2013. “Pawai Ingatkan Ancaman Syiah Di Bangil,”
Nahimunkar.com, n.d., diakses pada 28 Desember, 2014, http://
www.nahimunkar.com/pawai-ingatkan-ancaman-syiah-di-bangil/.
11 Hasil penelitian tentang kasus ini dapat dirujuk di Samsu Rizal
Panggabean and Ihsan Ali-Fauzi, Pemolisian Konflik Keagamaan
di negara kita (Jakarta: Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD)
Paramadina, 2014), 135–167.
12 “detikNews : Humas ASWAJA: Kami Sengaja Dijebak YAPI,” accessed
December 28, 2014, http://news.detik.com/surabaya/read/2011/02
/17/142559/1572977/475/humas-aswaja-kami-sengaja-dijebak-yapi;
“Kasus YAPI Pasuruan Terdakwa Divonis 3 Bulan,” accessed December
28, 2014, http://www.kejati-jatim.go.id/index.php?option=com_con
tent&view=article&id=174:kasus-yapi-pasuruan-terdakwa-divonis-3-
bulan&catid=47:berita-umum&Itemid=108.
13 “Ulama Sosialisasi FAAS Di Madura - Surya,” diakses pada 28
Desember, 2014, http://surabaya.tribunnews.com/2013/09/29/ulama-
sosialisasi-faas-di-madura; “Teks Deklarasi Aliansi Nasional Anti Syiah
Di Bandung,” Nahimunkar.com, n.d., diakses pada 28 Desember,
2014, http://www.nahimunkar.com/teks-deklarasi-aliansi-nasional-
anti-syiah-di-bandung/; video lengkap terkait deklarasi ANAS dapat
dilihat di Deklarasi Aliansi Nasional Anti Syiah Part 1, 2014, diakses
pada 25 September, 2014, https://www.youtube.com/watch?v=AYDc
S02DLMs&feature=youtube_gdata_player; Deklarasi Aliansi Nasional
Anti Syiah Part 2, 2014, diakses pada 25 September, 2014, https://
www.youtube.com/watch?v=VOAoCfXucHA&feature=youtube_
gdata_player; Deklarasi Aliansi Nasional Anti Syiah Part 3, 2014,
diakses pada 25 September, 2014, https://www.youtube.com/watch
?v=04wO6jhg1CQ&feature=youtube_gdata_player; Deklarasi Aliansi
Nasional Anti Syiah Part 4, 2014, diakses pada 25 September, 2014,
https://www.youtube.com/watch?v=tJHjd18B7rg&feature=youtube_
gdata_player.
14 Johan Galtung, Transcend & Transform; an Introduction to Conflict
Work (London, UK: Pluto Press, 2004), 3–4.
15 Kai Frithjof Brand-Jacobsen, “Peace: The Goal and the Way,” in
Searching for Peace; the Road to TRANSCEND, by Johan Galtung,
Carl G. Jacobsen, and Kai Frithjof Brand-Jacobsen, Second Edition.
(London, UK: Pluto Press, 2002), 16–24.
16 Johan Galtung, “Conflict, War and Peace: A Bird’s Eye View,” in
Searching for Peace; the Road to TRANSCEND, by Johan Galtung,
Carl G. Jacobsen, and Kai Frithjof Brand-Jacobsen, Second Edition.
(London, UK: Pluto Press, 2002), 3–4; Galtung, Transcend & Transform;
an Introduction to Conflict Work, 3–4; Johan Galtung, “Introduction;
Peace by Peaceful Conflict Transformation – the TRANSCEND
Approach,” ed. Charles Webel and Johan Galtung, Handbook of Peace
and Conflict Studies (New York, NY: Routledge, 2007), 16.
17 Ashutosh Varshney, Mohammad Zulfan Tadjoeddin, and Samsu
Rizal Panggabean, “Patterns of Collective Violence in negara kita ,” in
18
Collective Violence in negara kita , ed. Ashutosh Varshney (Boulder,
CO: Lynne Rienner Publishers, Inc., 2010), 26.
18 Galtung, “Conflict, War and Peace: A Bird’s Eye View,” 3–4.
19 Aboebakar Atjeh, Sekitar Masuknya Islam di negara kita , vol. Cetakan
Keempat (Solo: Ramadhani, 1985).
20 Syed Farid Alatas, “The Ṭariqat Al-’Alawiyyah and the Emergence of
the Shi’i School in negara kita and Malaysia,” Oriente Moderno XVIII
(LXXIX), no. 2 (1999): 323–339.
21 Mohammad Ali Rabbani, “Faktor Syiah dalam Masuk dan Tersebarnya
Islam di Asia Tenggara melalui Arab, India, Persia, dan Cina,” in Sejarah
& Budaya Syiah di Asia Tenggara, ed. Dicky Sofjan (Yogyakarta:
Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, 2013), 33–71.
22 Imtiyaz Yusuf, “Pengaruh Historis Persia pada Islam di Asia Tenggara
dan Kesatuan Umat Muslim,” in Sejarah & Budaya Syiah di Asia
Tenggara, ed. Dicky Sofjan (Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana
Universitas Gadjah Mada, 2013), 73–105.
23 Rabbani, “Faktor Syiah dalam Masuk dan Tersebarnya Islam di Asia
Tenggara melalui Arab, India, Persia, dan Cina”; Yusuf, “Pengaruh
Historis Persia pada Islam di Asia Tenggara dan Kesatuan Umat
Muslim”; Julispong Chularatana, “Muslim Syiah di Thailand: Dari
Periode Ayutthaya sampai Sekarang,” in Sejarah & Budaya Syiah di
Asia Tenggara, ed. Dicky Sofjan (Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana
Universitas Gadjah Mada, 2013), 109–138; Yusuf Roque Santos
Morales, “Signifikansi Syiah Periode Alawi Pra-Hispanik hingga Itsna
Asyaariyah Modern di Filipina,” in Sejarah & Budaya Syiah di Asia
Tenggara (Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah
Mada, 2013), 141–151; Rabitah Mohamad Ghazali, “Syiahisme di
Malaysia,” in Sejarah & Budaya Syiah di Asia Tenggara (Yogyakarta:
Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, 2013), 173–181; Yusni
Saby, “Jejak Persia di Nusantara: Interplay antara Agama dan Budaya,”
in Sejarah & Budaya Syiah di Asia Tenggara, ed. Dicky Sofjan
(Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, 2013),
185–196; Yudhi Andoni, “Kesalehan nan Terlampaui: Desakralisasi
Ritus Hoyak Hosen di Sumatera Barat,” in Sejarah & Budaya Syiah di
Asia Tenggara, ed. Dicky Sofjan (Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana
Universitas Gadjah Mada, 2013), 213–224; Supratman, “Jejak Pengaruh
Syiah (Persia) di Sulawesi: Studi Kasus Suku Bugis, Makasar, dan
Mandar,” in Sejarah & Budaya Syiah di Asia Tenggara, ed. Dicky
Sofjan (Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada,
2013), 225–251; Yance Zadrak Rumahuru, “Kebudayaan dan Tradisi
Syiah di Maluku: Studi Kasus Komunitas Muslim Hatuhaha,” in Sejarah
& Budaya Syiah di Asia Tenggara, ed. Dicky Sofjan (Yogyakarta:
Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, 2013), 255–270.
24 Majid Daneshgar, “The Study of Persian Shi‘ism in the Malay-
negara kita n World: A Review of Literature from the Nineteenth Century
Onwards,” Journal of Shi’a Islamic Studies 7, no. 2 (Spring 2014):
191–229; Mohd Faizal bin Musa, “Sayyidina Husein dalam Telks Klasik
19
Melayu,” in Sejarah & Budaya Syiah di Asia Tenggara, ed. Dicky
Sofjan (Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada,
2013), 153–172.
25 Azyumardi Azra, “Kaum Syiah di Asia Tenggara: Menuju Pemulihan
Hubungan dan Kerjasama,” in Sejarah & Budaya Syiah di Asia
Tenggara, ed. Dicky Sofjan (Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana
Universitas Gadjah Mada, 2013), 5–31.
26 Alatas, “The Ṭariqat Al-’Alawiyyah and the Emergence of the Shi’i
School in negara kita and Malaysia.”
27 Azra, “Kaum Syiah di Asia Tenggara: Menuju Pemulihan Hubungan
dan Kerjasama.”
28 Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, “Sejarah Syiah di Aceh,” in Sejarah
& Budaya Syiah di Asia Tenggara, ed. Dicky Sofjan (Yogyakarta:
Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, 2013), 197–210.
29 Saby, “Jejak Persia di Nusantara: Interplay antara Agama dan Budaya.”
30 Andoni, “Kesalehan nan Terlampaui: Desakralisasi Ritus Hoyak Hosen
di Sumatera Barat.”
31 Supratman, “Jejak Pengaruh Syiah (Persia) di Sulawesi: Studi Kasus
Suku Bugis, Makasar, dan Mandar.”
32 Rumahuru, “Kebudayaan dan Tradisi Syiah di Maluku: Studi Kasus
Komunitas Muslim Hatuhaha.”
33 Zulkifli, “Praksis Taqiyah: Strategi Syiah di negara kita untuk
Pengakuan”; Zulkifli, “Education, Identity, and Recognition: The Shi’i
Islamic Education in negara kita ”; Christoph Marcinkowski, Twelver
Shi’ite Islam: Conceptual and Practical Aspects (Singapore: Institute of
Defence and Strategic Studies, July 2006), diakses pada 9 Desember,
2014, http://www.rsis.edu.sg/wp-content/uploads/rsis-pubs/WP114.
pdf.
34 Zulkifli, The Struggle of the Shi‘is in negara kita , 15; Zulkifli, “Education,
Identity, and Recognition: The Shi’i Islamic Education in negara kita .”
35 Zulkifli, The Struggle of the Shi‘is in negara kita ; Zulkifli, “Education,
Identity, and Recognition: The Shi’i Islamic Education in negara kita .”
36 Latief, “The Identity of Shi’a Sympathizers in Contemporary negara kita .”
37 Marcinkowski, “Aspects of Shi’ism in Contemporary Southeast Asia.”
38 Beberapa contoh lembaga pendidikan Syiah yang memiliki prestasi
yang sangat baik yaitu YAPI Bangil dan SMA Plus Muthahhari Bangil
“YAPI Bangil - Prestasi YAPI Bangil,” accessed January 23, 2015,
http://www.yapibangil.org/index.php/prestasi; “- Profil SMA PLus
Muthahhari,” accessed January 23, 2015, http://sekolahparajuara.com/
viewpage.php?page_id=5.
39 Zulkifli, “Education, Identity, and Recognition: The Shi’i Islamic
Education in negara kita ”; Zulkifli, The Struggle of the Shi‘is in negara kita ,
chap. 5.
40 Latief, “The Identity of Shi’a Sympathizers in Contemporary negara kita .”
41 Zulkifli, The Struggle of the Shi‘is in negara kita ; Zulkifli, “Education,
20
Identity, and Recognition: The Shi’i Islamic Education in negara kita ”;
Latief, “The Identity of Shi’a Sympathizers in Contemporary negara kita .”
42 Latief, “The Identity of Shi’a Sympathizers in Contemporary negara kita ”;
Zulkifli, “Education, Identity, and Recognition: The Shi’i Islamic
Education in negara kita .”
43 Latief, “The Identity of Shi’a Sympathizers in Contemporary negara kita .”
44 Azra, “Kaum Syiah di Asia Tenggara: Menuju Pemulihan Hubungan
dan Kerjasama.”
45 Rima Sari Idra Putri, “Mata Rantai Sebab-sebab Konflik di Antara Syiah
dan Sunni di Madura,” in Sejarah & Budaya Syiah di Asia Tenggara,
ed. Dicky Sofjan (Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah
Mada, 2013), 271–289.
46 Panggabean and Ali-Fauzi, Pemolisian Konflik Keagamaan di
negara kita Penulis terlibat langsung dalam penelitian ini.
47 Formichi, “Violence, Sectarianism, and the Politics of Religion:
Articulations of Anti-Shi’a Discourses in negara kita ”; Chiara Formichi,
“From Fluid Identities to Sectarian Labels: A Historical Investigation of
negara kita ’s Shi‘i Communities,” Al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies
52, no. 1 (June 30, 2014): 101–126.
48 Mohammad Iqbal Ahnaf, “Local Elections and Intolerance: A Lesson
from Sampang,” Perspectives on Religious Life in negara kita , May 2014.
49 Mohammad Iqbal Ahnaf et al., Politik Lokal Dan Konflik Keagamaan:
Pilkada Dan Struktur Kesempatan Politik Dalam Konflik Keagamaan
Di Sampang, Bekasi Dan Kupang (Yogyakarta: CRCS, 2015).
50 Putri, “Mata Rantai Sebab-sebab Konflik di Antara Syiah dan Sunni di
Madura.”
51 Ahnaf, “Local Elections and Intolerance: A Lesson from Sampang.”
52 Ahnaf et al., Politik Lokal Dan Konflik Keagamaan: Pilkada Dan
Struktur Kesempatan Politik Dalam Konflik Keagamaan Di Sampang,
Bekasi Dan Kupang.
53 Formichi, “Violence, Sectarianism, and the Politics of Religion:
Articulations of Anti-Shi’a Discourses in negara kita .”
54 Panggabean and Ali-Fauzi, Pemolisian Konflik Keagamaan di
negara kita , 310–11.
55 Alexander L. George and Andrew Bennett, Case Studies and Theory
Development in the Social Sciences (Cambridge, Mass: MIT Press,
2005), 206.
Mengenal Sampang
21
Sampang yaitu salah satu kabupaten di pulau Madura
yang memiliki kultur sosial unik. Kultur ini dibentuk oleh tiga
nilai yang membentuk cara pandang dan perilaku warga .
Ketiga nilai ini yaitu (a) “buppha’ babbhu’ guruh
rato,” (b) “taretan dibi’” dan (c) “lebbhi bagus pote tolang
etembheng pote mata.” Pemahaman tentang ketiga sistem
nilai ini sangat penting dalam memahami cara pandang
aktor-aktor dalam konflik dan kekerasan di Sampang. Bab
ini akan membahas satu per satu, ketiga tradisi ini; namun
sebelumnya akan dimulai dengan pengalaman penulis
berkunjung ke lokasi konflik.
Menuju Daerah Konflik
Sebelum jauh melangkah ke dalam diskusi tradisi
Madura, saya akan mengajak pembaca untuk mengikuti
proses saya selama penelitian di wilayah ini.
Sampang yaitu satu dari empat kabupaten yang
berada di pulau Madura. Saya mengenal pulau ini dari
kolega yang berasal dari pulau ini dan dari pengalaman
pribadi mengunjungi pulau ini baik untuk kepentingan
penelitian maupun pribadi. Ini yaitu kali kedua saya
melakukan penelitian di pulau Madura. Dari Kota Surabaya,
ibukota Propinsi Jawa Timur, Kabupaten Sampang berjarak
+ 100km dan dapat ditempuh dengan kendaraan pribadi
MENGENAL SAMPANG
22
antara 1.5 hingga 2 jam, tergantung cara mengemudi dan
tingkat kemacetan di jalanan. Pusat konflik kekerasan antara
komunitas Sunni dan Syiah terpusat di dua desa, yakni
Desa Karang Gayam Kecamatan Omben dan Desa Blu’uran
Kecamatan Karang Penang. Secara lebih spesifik, Dusun
Nangkernang di desa pertama dan Dusun Gading Laok di
desa kedua.
Selama penelitian, saya tinggal di pinggiran Kecamatan
Omben berbatasan dengan Kota Sampang, sehingga akses
ke Nangkernang dan Gading Laok dapat diakses dengan
mudah, yakni sekitar 15-20 km. Namun, sebab akses jalan
yang tidak terlalu baik, berliku, menanjak, dan berlubang,
menempuh kedua dusun itu membutuhkan waktu antara
20-30 menit.1* Itu pun hanya sampai di pusat desa. Untuk
masuk ke masing-masing dusun yaitu urusan lain lagi. Dari
jalan utama desa, kita harus masuk + 2km ke area pematang
sawah yang hanya bisa dilakukan dengan berjalan kaki,
bersepeda kayuh, atau bersepeda motor. Pada musim
penghujan, opsi pertama yaitu yang paling memungkinkan
untuk dilakukan, sedangkan opsi kedua dan ketiga hanya
bisa dilakukan oleh penduduk lokal atau mereka yang
memiliki kemampuan tertentu dalam bersepeda.
Untuk memasuki daerah konflik, Dusun Nangkernang
dan Gading Laok, saya harus mendapatkan izin dari pihak
keamanan. Dalam hal ini yaitu Badan Kesatuan Bangsa dan
Politik (Bakesbangpol) Kabupaten Sampang dan Kepolisian
Resort (Polres) Sampang untuk kemudian surat izin ini
ditunjukkan ke Pos Keamanan yang menjaga setiap pintu
masuk ke dusun. Seorang penerjemah dari penduduk
lokal menemani hampir setiap perjalanan saya menuju ke
daerah konflik. Keberadaannya sangat membantu tidak
hanya sebagai penerjemah, tapi juga untuk memperlancar
1 * Kunjungan terakhir saya ke daerah ini menunjukkan bahwa kondisi
ini telah jauh berubah sesudah pembangunan difokuskan di wilayah
Karang Gayam dan Blu’uran. Jalanan diaspal dengan baik dan lampu-
lampu penerang jalan sudah dipasang meski masih perlu ditambah.
Mengenal Sampang
23
komunikasi dengan penduduk setempat terutama dengan
narasumber sehingga proses wawancara berjalan lancar.
Perlu diketahui, semenjak kekerasan fisik antara
komunitas Sunni dan Syiah berlangsung antara Desember
2011 hingga Agustus 2012 di kedua dusun ini dan mencuat
ke publik, warga sedikit menaruh curiga kepada setiap
orang asing yang datang. Mereka cukup berhati-hati saat
berbicara dengan orang asing apalagi saat obrolan
ini menyangkut peristiwa kekerasan yang telah terjadi.
Meski demikian, saat mereka sudah mengetahui tujuan
dan maksud kedatangan orang asing ini serta surat izin
dari Bakesbangpol dan Polres Sampang, keramahan pasti
tampak dalam wajah mereka.
Untuk menemui warga atau narasumber yang
berdomisili di kedua dusun ini, saya biasanya berangkat
menjelang zuhur sehingga dapat menemui mereka sesudah
salat zuhur atau sesudah pulang dari sawah atau bekerja.
Penduduk lokal, termasuk beberapa narasumber, kebanyakan
berprofesi sebagai petani. Mereka berangkat ke sawah pada
jam 5.30 WIB atau paling lambat 6.00 WIB pagi hari dan
pulang jelang siang antara jam 10.00 hingga 10.30. sesudah
itu, biasanya mereka istirahat di rumah atau mengerjakan
pekerjaan lainnya dan tidak balik lagi ke sawah. Kecuali
pada musim panen, mereka bisa pulang menjelang magrib
sebab harus mengurusi tanaman mereka terlebih dahulu.
sesudah bertemu narasumber yang dituju, saya biasanya
kembali ke tempat penginapan menjelang magrib. Jalanan
dusun yang tidak dilengkapi penerangan yang memadai
cukup menyulitkan perjalanan peneliti jika pulang terlalu
malam sebab harus melewati jalanan yang gelap gulita.
Selain itu, wilayah-wilayah tertentu merupakan daerah rawan
pencurian khususnya kendaraan bermotor, sehingga akan
mengancam keamanan saya sendiri maupun penerjemah.
Aktivitas observasi dilakukan setiap saat tentu juga
dengan memperhatikan waktu yang sudah dijelaskan di atas.
24
Jika diperlukan, saya bermalam baik di rumah kepala dusun
atau di rumah warga di Desa Karang Gayam dan Blu’uran
ditemani penerjemah. Dari pengalaman ini, saya menemukan
bahwa penduduk dua desa yang berjumlah hampir 20.000
jiwa ini cukup ramah, saling tegur sapa setiap kali bertemu
sesama di jalan. Hampir pasti setiap orang mengetahui satu
sama lain. Jika seseorang mengendarai mobil atau sepeda
motor, tak segan dia mengajak orang lain naik kendaraannya
selama perjalanan mereka masih satu arah. Warga daerah ini,
dan saya kira seluruh warga Madura secara umum, sangat
menghormati tamu yang datang ke rumah mereka. Setiap
tamu yang datang pasti mendapatkan suguhan minimal kopi
atau teh dan makanan kecil. Beberapa tuan rumah yang
cukup berada biasanya juga menyuguhkan hidangan makan
dan minum yang cukup megah.
Suasana islami sangat tampak dalam kehidupan sehari-
hari di dua desa ini maupun di Sampang secara umum. Setiap
azan berkumandang, setiap aktivitas warga akan berhenti
sejenak. Hampir seluruh sekolah di sana meliburkan diri pada
hari Jumat, bukan hari Minggu seperti sekolah umum lainnya.
Dan pada saat salat Jumat berlangsung, seluruh aktivitas
berhenti, bahkan petugas POM Bensin pun memasang tanda
tutup untuk salat Jumat, meski di antara mereka ada petugas
perempuan untuk mengganti posisi petugas laki-laki yang
sedang salat Jumat. Mereka yang sudah menunaikan ibadah
haji akan mendapatkan penghormatan sendiri dari warga
lainnya sebab mereka dianggap mampu menjalankan
rukun Islam kelima, yakni ibadah yang dianggap paling
berat sebab tidak hanya melibatkan fisik tetapi juga harta.
Identitas ke-Muslim-an inilah yang terbangun dalam diri
seluruh warga Sampang. Pendidikan formal tidaklah
menjadi patokan kesuksesan. Para orang tua lebih senang
jika anaknya pandai membaca Alquran daripada pintar
matematika atau ilmu umum lainnya. Demikian pula, anak-
anak lebih suka masuk pesantren atau sekolah-sekolah Islam
Mengenal Sampang
25
daripada masuk sekolah umum.1 Itulah mengapa jumlah
pesantren dan madrasah yang dikelola oleh pesantren di
kedua desa lebih banyak daripada jumlah sekolah umum
yang dikelola oleh negara.
Aktivitas keagamaan biasanya berlangsung sesudah
salat magrib, yakni saat warga sudah menyelesaikan
pekerjaan mereka di sawah atau di tempat lainnya. Berbagai
jenis pengajian dilaksanakan oleh warga sesuai dengan
kesepakatan bersama, bisa seminggu sekali, dua Minggu
sekali, atau sebulan sekali. Ada beberapa jenis pengajian
yang ada di dua desa ini , seperti kolom, yasinan,
sebelasan, selamadan, rasulan, mustami’an, dan lain
sebagainya.2 Kolom, yasinan, mustami’an, dan rasulan
yaitu pengajian tiap malam Jumat. Isinya berupa yasinan
dan shalawatan. Nama-nama ini merujuk pada
perbedaan istilah yang digunakan di daerah-daerah tertentu,
tapi esensinya tetap sama. Sedangkan sebelasan yaitu
pengajian dzikr setiap tanggal 10 Muharam, setiap tanggal
10 ba‘da maulid, dan nisfu Sya‘ban.
Pada musim-musim tertentu, pengajian ini
akan semakin masif diadakan, di antaranya yaitu musim
kawinan dan bulan maulid. Musim kawinan biasanya
diadakan sesudah selesai perayaan bulan Syawal. Disebut
demikian sebab bulan ini dianggap bulan baik untuk
melakukan prosesi pernikahan. Tak heran kemudian banyak
sekali undangan mantenan pada musim ini. Si empu hajat
mengundang kiai untuk mengisi ceramah atau menjadi
wakil orang tua untuk menikahkan anaknya. Jika sedang
ramai, satu hari seorang kiai bisa menghadiri 3 sampai 5 kali
prosesi pernikahan. Yang kedua yaitu bulan maulid untuk
memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Di Sampang secara umum dan di dua desa ini secara
khusus, perayaan maulid bisa semarak selama satu bulan
penuh, bahkan mungkin lebih. Tiap-tiap keluarga merasa
mempunyai kewajiban untuk membuat acara maulid
26
semeriah yang mereka mampu. Dalam satu bulan ini ,
warga bisa menghadiri tiga hingga lima acara perayaan
maulid di Karang