Tampilkan postingan dengan label Asal-usul penciptaan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Asal-usul penciptaan. Tampilkan semua postingan

Asal-usul penciptaan

 


Asal-usul penciptaan alam telah menjadi fokus sentral dalam setiap agama. Para 

ahli agama telah menyampaikan pandangan mereka tentang topik ini, dengan didasarkan 

pada interpretasi kitab suci masing-masing. Begitu pula para filsuf, mulai dari zaman 

Yunani kuno hingga filsuf Muslim, telah memberikan kontribusi mereka terhadap 

pemahaman tentang asal-usul penciptaan alam. Sebagai contoh, Tales meyakini bahwa 

asal mula segala sesuatu di alam semesta berasal dari air. Ada juga yang berpendapat 

bahwa asal-usul segala sesuatu yaitu   tanah, dan ada yang meyakini bahwa asal-usulnya 

yaitu   api.

Pemahaman tentang penciptaan alam semesta telah menjadi subjek yang menarik 

dalam studi agama dan filsafat. Konsep ini tidak hanya mencerminkan pandangan 

metafisik tentang asal usul kehidupan, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai, keyakinan, 

dan identitas. Dalam konteks global yang semakin terhubung dan pluralistik, penelitian 

yang membandingkan pandangan tentang penciptaan alam semesta dalam berbagai 

tradisi keagamaan menjadi semakin relevan. 

Sebagian meyakini bahwa asal usul alam semesta yaitu   hasil dari peristiwa 

ledakan besar yang dikenal sebagai Big Bang, yang terjadi jutaan tahun lalu menurut teori 

kosmologi. Big Bang menyebabkan alam semesta awalnya berada dalam keadaan sangat 

panas dan padat, kemudian mengalami ekspansi hingga saat ini, dengan perkiraan 

kejadian ini terjadi sekitar 13,7 miliar tahun lalu. (Juwaini & Rahmasari, 2022)

Sebelum al-Ghazali, beberapa filsuf, termasuk Aristoteles dan pengikutnya, serta 

sebagian filsuf Muslim seperti al-Farabi dan Ibnu Sina, meyakini bahwa alam yaitu   

qadim, artinya tanpa awal. Mereka berpendapat bahwa keabadian Tuhan terhadap alam 

sesuai dengan konsep sebab dan akibat, baik dari segi substansi maupun waktu, alam 

tidak diciptakan, melainkan Allah bertindak sebagai penggerak pertama. Mereka 

meyakini bahwa alam telah ada sejak awal, tetapi disusun melalui proses emanasi dari 

pemikiran pertama. Namun, al-Ghazali berpendapat bahwa keabadian hanya berlaku 

bagi Tuhan, sementara yang lain, termasuk alam, haruslah baru. Jika alam dianggap 

qadim, maka alam tidak diciptakan dan Allah tidak bisa dianggap sebagai Pencipta. 

(Hayani et al., 2019)Berdasarkan keragaman pandangan tentang asal usul alam, studi ini bertujuan 

untuk menyelidiki tulisan-tulisan yang membandingkan perspektif agama-agama di 

Indonesia mengenai penciptaan alam. Penelitian ini akan mengulas konsep penciptaan 

alam secara umum, serta konsep-konsep yang terdapat dalam agama-agama seperti 

Islam (al-Qur’an), Kristen (al-Kitab), Hindu, dan Buddha. Sudut pandang ini akan 

menjelaskan pandangan dari masing-masing agama dengan merujuk pada teks-teks suci 

yang relevan.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif untuk mendeskripsikan 

berbagai pendapat mengenai asal usul penciptaan alam semesta berdasarkan dalil 

normatif dari beberapa agama dngan langkah langkah tertentu, diantaranya:

Studi Literatur: Peneliti melakukan kajian mendalam terhadap literatur yang 

relevan, termasuk kitab suci dan teks-teks keagamaan dari Islam, Kristen, Hindu, dan 

Buddha. Literatur ini mencakup berbagai cerita, ajaran, dan simbol-simbol yang terkait 

dengan konsep penciptaan alam semesta.

Analisis Dokumen: Analisis dilakukan terhadap dokumen-dokumen keagamaan 

yang mengandung dalil normatif mengenai asal usul penciptaan alam semesta. Dokumen 

ini diidentifikasi dan diinterpretasikan untuk memahami perspektif masing-masing 

agama.

Pendekatan Komparatif: Peneliti menggunakan metode analisis komparatif untuk 

mengeksplorasi pandangan keagamaan tentang penciptaan alam semesta. Interpretasi 

Kualitatif: Temuan-temuan dianalisis secara kualitatif untuk menghasilkan pemahaman 

yang mendalam tentang keragaman pandangan agama-agama terkait penciptaan alam 

semesta. Interpretasi ini dilakukan dengan memperhatikan konteks historis dan budaya 

dari masing-masing agama. 

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan yang lebih komprehensif 

mengenai cara berbagai agama memandang penciptaan alam semesta dan memperkaya 

dialog antar agama dalam memahami asal usul alam semesta.Al-Qur’an, sebagai sumber utama ajaran Islam, diturunkan untuk menjelaskan 

kepada manusia hal-hal yang tidak dapat dipahami oleh akal mereka sendiri, seperti 

hakikat iman, ritual-ritual ibadah, serta prinsip-prinsip etis dan hukum yang berguna 

untuk mengatur interaksi sosial di antara manusia. Selain itu, Al-Qur’an juga membahas 

tentang alam semesta, termasuk bumi dan langit, berbagai unsurnya, para penghuninya, 

serta fenomena-fenomena yang terjadi di dalamnya. 

Tidak ada pembahasan yang rinci mengenai alam semesta dalam Al-Qur’an, 

namun didalamnya terdapat aspek-aspek garis besar mengenai penciptaan alam 

semesta. Al-Quran bukanlah kitab kosmologi atau buku ilmu pengetahuan yang 

menjelaskan penciptaan alam semesta secara sistematis. Meskipun begitu, terdapat ayat 

dalam Al-Qur'an yang membahas tentang alam semesta, sebagai petunjuk bahwa Allah 

yang maha kuasa mampu menciptakan, melenyapkan, dan mengembalikan jagat raya ke 

bentuk semula.

Dalam Islam, alam semesta tercipta karena keberadaan Allah Sang Pencipta. 

Diciptakannya alam semesta ini pada dasarnya yaitu   bukti bahwa Tuhan semesta alam 

itu nyata, karena alam semesta beserta isinya tidak akan ada tanpa peran Allah sebagai 

pencipta. Hal ini sejalan dengan ajaran dalam Al-Qur'an, bahwa adanya alam yaitu   

akibat dari adanya Allah sebagai pencipta dan penguasa alam semesta, sebagaimana 

tercantum dalam surah Al-Baqarah (2) ayat 117:

Ayat di atas menjelaskan bahwa keberadaan Allah dapat dibuktikan melalui 

eksistensi alam semesta yang Dia ciptakan, yang meliputi penciptaan langit, bumi, serta 

segala isinya. Dia-lah Tuhan semesta alam yang dengan kekuasaan-Nya mengatur segala 

sesuatu. 

Penciptaan jagat raya, termasuk langit, bumi, dan isinya, terjadi dalam enam masa. 

Hal ini diungkapkan dalam Al-Qur'an. Ayat yang menjelaskan hal ini diantaranya tredapat 

pada surah QS. Al-A'raaf/7: 54 Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam 

enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang 

mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan, dan bintang￾bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan 

memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam."

Selain ayat di atas, beberapa ayat lainnya yang menunjukkan penciptaan langit 

dan bumi dalam enam masa terdapat pada QS. As-Sajadah/32: 4, QS. Hud/11: 7, QS. 

Yunus/10: 3, QS. Al-Hadid/57: 4, QS. Qaf/50: 38, dan QS. Al-Furqan/25: 59. (Hendra & 

Rezi, 2021)

Dalam ayat-ayat tersebut, terdapat penggunaan untuk kata "yaum". 

Mengartikannya sebagai "hari" dalam arti peredaran matahari kurang relevan karena 

konsep hari dalam 24 jam belum ada saat penciptaan alam semesta. Ayat-ayat tersebut 

menjelaskan penciptaan 7 langit dan bumi, termasuk lapisan dan inti bumi, serta apa 

yang ada di antaranya, dalam enam masa. Merujuk pada (Yunus, 2004) konteks “yaum”

atau “ayyam” dalam ayat ayat ini bukanlah hari sebagaimana kita ketahui selama 24 jam, 

tetapi sehari di sisi Allah setara dengan seribu tahun, sesuai dengan ayat dalam Al-Qur'an. 

Seperti yang dinyatakan dalam QS. Al-Hajj (22:47): 

"Dan mereka meminta kepadamu agar azab itu disegerakan, padahal Allah sekali-kali 

tidak akan menyalahi janji-Nya. Sesungguhnya sehari disisi Tuhanmu yaitu   seperti seribu 

tahun menurut perhitunganmu." 

Dalam ayat lain menjelaskan bahwa yaum setara dengan lima puluh ribu tahun 

sebagaimana pada QS. Al-Ma'arij (70:4),

"Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang 

kadarnya limapuluh ribu tahun."

Hal ini menggambarkan bahwa waktu di sisi Allah memiliki skala yang sangat 

berbeda dengan waktu manusia. Untuk memahami makna "enam masa" penciptaan, 

dapat merujuk pada Surah an-Nazi'at ayat 27-32 yang mengungkapkan secara kronologis 

dan implisit penciptaan langit dan bumi. (Zuhri et al., 2022) Berikut penjelasan konsep 

enam masa penciptaan langit dan bumi sebagaimana dalam firman Allah surah an￾Nazi’at: 27-33: “Apakah kalian yang lebih sulit penciptaannya ataukah langit? Allah telah membangunnya. 

Dia meninggikan bangunannya, lalu menyempurnakannya, dan Dia menjadikan malamnya 

gelap gulita dan menjadikan siangnya terang benderang. Dan bumi sesudah itu 

dihamparkan-Nya. Ia memancarkan darinya mata airnya, dan (menumbuhkan) tumbuh￾tumbuhannya. Dan gunung-gunung dipancarkan-Nya dengan teguh, (semua itu) untuk 

kesenangan kalian dan untuk binatang-binatang ternakmu.

An-nazi’at ayat 27: Mengawali pembahasan tentang masa pertama penciptaan 

bumi, yang dijelaskan sebagai penciptaan langit. Teori Big Bang dalam ilmu tata surya 

menggambarkan asal usul alam semesta dari kondisi super padat dan panas, yang 

kemudian mengembang sekitar 13.700 juta tahun lalu. Ini didukung oleh bukti 

gelombang mikrokosmik di angkasa dan meteorit.

An-nazi’at ayat 28: Menjelaskan masa kedua penciptaan dengan kata kunci 

"meninggikan dan menyempurnakan", menggambarkan kelanjutan Big Bang, termasuk 

pengembangan galaksi yang menjauh satu sama lain serta kelahiran dan kematian 

bintang.

An-nazi’at ayat 29: Membawa kita ke masa ketiga, memperkenalkan konsep siang 

dan malam yang bergantian dalam kehidupan sehari-hari. Allah menciptakan malam 

yang gelap gulita dan siang yang terang benderang, dengan Matahari sebagai sumber 

cahaya yang mengelilingi bumi.

An-nazi’at ayat 30: Menunjukkan masa keempat, dimana pada terjemah pada ayat 

ini berbunyi “ketika bumi dihamparkan” yang mengartikan sebagai proses evolusi bumi 

yang terjadi setelah terciptanya siang dan malam, setelah matahari dan bulan terbentuk 

dari pecahan kulit bumi karena bertumbukan dengan benda langit lainnya. 

An-nazi’at ayat 31: Menggambarkan masa kelima, yang menjelaskan evolusi air 

dan kemunculan kehidupan pertama dalam bentuk tumbuhan bersel satu di dalamnya.

An-nazi’at ayat 32: Mengakhiri rangkaian atau masa terakhir, bumi mulai diisi 

dengan gunung-gunung yang terbentuk setelah pembentukan daratan, air, dan 

munculnya tumbuhan pertama. Gunung-gunung ini terbentuk dari interaksi antar 

lempeng. Setelah terbentuknya gunung, hewan-hewan dan manusia diciptakan.Penciptaan alam semesta yang terjadi dalam enam masa atau periode, selain 

dijelaskan dalam surah An-Nazi’at ayat 27-33, terdapat pula periodesasi penciptaan alam 

semesta yang terdapat pada Surah Fushilat ayat 9-12. (Prakoso, 2020)

Konsep Penciptaan Alam Semesta Menurut Kristen

Sebagai agama samawi, Kristen dan Islam tidak memiliki perbedaan yang jauh 

tentang penciptaan alam semesta. Dalam ajaran agama Kristen, adanya alam semesta 

disebabkan oleh Sang Pencipta. Penciptaan alam semesta tertulis dalam Alkitab yakni 

pada Kitab Kejadian. Kitab Kejadian merupakan kitab pertama dari Perjanjian Lama yang 

ditulis oleh Nabi Musa yang memuat diataranya mengenai penciptaan bumi.(Halawa, 

2022, p. 23) Kalimat pembuka pada kitab ini bertuliskan : “pada mulanya Allah 

menciptakan langit dan bumi (Kej. 1:1)”. 

Pada ayat lain dijelaskan bahwa alam semesta diciptakan selama enam hari dan 

Allah beristirahat pada hari ketujuh. Hal ini terdapat pada Alkitab, “sebab enam hari 

lamanya Tuhan menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya, dan ia berhenti pada 

hari ketujuh”. 

Di dalam Alkitab dinyatakan bahwa penciptaan alam semesta terjadi melalui 

beberapa fase. Pada mulanya, Tuhan menciptakan segala sesuatu yang ada di bumi dalam 

jangka waktu enam hari dengan perhitungan satu hari sama dengan 24 jam.(Hannas & 

Rinawaty, 2019, p. 60) Pada hari pertama, penciptaan dimulai dengan pembentukan jagat 

raya dan bumi. Umat Kristen meyakini akan kebesaran Tuhan jika Tuhan telah berkata 

“jadilah” maka segala yang dikehendaki Tuhan akan terwujud. Hal ini sesuai dengan isi 

kitab Injil: 

Berfirmanlah Allah, “jadilah terang”. Lalu terang itu jadi. Allah melihat bahwa 

terang itu baik, lalu dipisahkan-Nyalah terang itu dari gelap. Dan Allah menamai terang 

itu itu siang, dan gelap itu malam. Jadilah petang dan jadilah pagi, itulah hari pertama.” 

(Bible, Kitab Kejadian Pasal 1 ayat 3-5)

Langit dan atmosfer tercipta pada hari kedua. Dalil penciptaan langit dan atmosfer 

ini termuat dalam Injil: 

“Berfirmanlah Allah:” Jadilah cakrawala di tengah segala air untuk memisahkan air 

dari air.” Maka Allah menjadikan cakrawala dan Ia memisahkan air yang ada di bawah 

cakrawala itu dari air yang ada di atasnya. Dan jadilah demikian.” (Bible, Kitab Kejadian 

Pasal 1 ayat 6-7). Kemudian cakrawala tersebut diberi Allah nama sebagai langit. Pada hari ketiga terjadi penciptaan benua, tumbuhan, bintang, dan benda langit 

seperti matahari dan bulan. Uraian tentang penciptaan tersebut termaktub dalam 

Alkitab:

“Berfirmanlah Allah:” Hendaklah tanah menumbuhkan tunas-tunas muda, tumbuh￾tumbuhan yang berbiji, segala jenis pohon buah-buahan yang menghasilkan buah yang 

berbiji, supaya ada tumbuh-tumbuhan di bumi.” Dan jadilah demikian.” (Bibel, Kitab 

Kejadian Pasal 11-13). 

Dari tanah tersebut kemudian tumbuh tunas-tunas muda, segala jenis tumbuh￾tumbuhan yang berbiji dan segala jenis pohon-pohonan yang menghasilkan buah yang 

berbiji. 

Untuk memisahkan antara siang dan malam, maka Allah menciptakan benda 

penerang pada cakrawala. Sebagaimana dalam Alkitab, Berfirmanlah Allah: 

” Jadilah benda-benda penerang pada cakrawala untuk memisahkan siang dari 

malam. Biarlah benda-benda penerang itu menjadi tanda yang menunjukkan masa-masa 

yang tetap dan hari-hari dan tahun-tahun, dan sebagai penerang pada cakrawala biarlah 

benda-benda itu menerangi bumi.” Dan jadilah demikian. Maka Allah menjadikan kedua 

benda penerang yang besar itu, yakni yang lebih besar untuk menguasai siang dan yang 

lebih kecil untuk menguasai malam, dan menjadikan juga bintang-bintang. Allah menaruh 

semuanya itu di cakrawala untuk menerangi bumi, dan untuk menguasai siang dan malam, 

dan untuk memisahkan terang dari gelap. Allah melihat bahwa semuanya itu baik. Jadilah 

petang dan jadilah pagi, itulah hari keempat. (Bible, Kitab Kejadian Pasal 1 ayat 14-19)

Burung dan segala jenis makhluk hidup yang ada di air menempati urutan 

penciptaan pada hari kelima. Alkitab menjelaskan, Berfirmanlah Allah: 

” Hendaklah dalam air berkeriapan makhluk yang hidup, dan hendaklah burung 

beterbangan di atas bumi melintasi cakrawala.” Maka Allah menciptakan binatang￾binatang laut yang besar dan segala jenis makhluk hidup yang bergerak, yang berkeriapan 

dalam air, dan segala jenis burung yang bersayap. Allah melihat bahwa semuanya itu baik. 

Lalu Allah memberkati semuanya itu, firman-Nya:” Berkembangbiaklah dan bertambah 

banyaklah serta penuhilah air dalam laut, dan hendaklah burung-burung di bumi 

bertambah banyak.” (Bible, Kitab Kejadian Pasal 1 ayat 20-23)

Pada hari ke 6, Tuhan menciptakan manusia dan hewan. Diantara beberapa 

penciptaan tersebut, manusia memiliki tanggung jawab atas pelestarian dan 

penakklukan bumi.(Sipahutar, 2020, p. 205). Alkitab menyatakan, Berfirmanlah Allah: 

” Hendaklah bumi mengeluarkan segala jenis makhluk yang hidup, ternak dan 

binatang melata dan segala jenis binatang liar.” Dan jadilah demikian. Allah menjadikan 

segala jenis binatang liar dan segala jenis ternak dan segala jenis binatang melata di muka 

bumi. Allah melihat bahwa semuanya itu baik.Berfirmanlah Allah: 

” Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka 

berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas 

seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi.” Maka Allah 

menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya 

dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. Allah memberkati mereka, lalu Allah 

berfirman kepada mereka:” Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan 

taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas 

segala binatang yang merayap di bumi.”

Berfirmanlah Allah:” Lihatlah, Aku memberikan kepadamu segala tumbuh￾tumbuhan yang berbiji di seluruh bumi dan segala pohon-pohonan yang buahnya berbiji; 

itulah akan menjadi makananmu. Tetapi kepada segala binatang di bumi dan segala 

burung di udara dan segala yang merayap di bumi, yang bernyawa, Kuberikan segala 

tumbuh-tumbuhan hijau menjadi makanannya.” Dan jadilah demikian. (Bible, Kitab 

Kejadian Pasal 1 ayat 24-30)

Setelah Tuhan menyelesaikan enam hari tersebut dengan segala penciptaannya, 

maka di hari ketujuh Tuhan mengakhiri dengan memberkati dan mengkuduskan apa 

yang telah dikerjakan. Diciptakannya alam semesta telah memberikan bukti akan 

kemuliaan Tuhan. Melalui ciptaan Tuhan, manusia mampu mengenal adanya Tuhan. 

Manusia mampu mengabdi, dan berharap memperoleh kebahagiaan selamanya. Hal ini 

dikarenakan adanya jaminan pemeliharaan dan pembimbingan dari Tuhan untuk 

makhluknya yang diperoleh melalui hati nurani manusia tentang petunjuk hal yang baik 

dan buruk untuk menuju tujuan akhir keselamatan hari akhir.

Konsep Penciptaan Alam Semesta dalam Agama Hindu

Kosmologi penciptaan alam semesta dalam agama Hindu yaitu   suatu konsep 

yang kompleks yang melibatkan aspek-aspek metafisika, mitologi, dan filsafat. 

Pandangan Hindu tentang penciptaan alam semesta sangat dipengaruhi oleh teks-teks 

kuno seperti Veda, Upanishad, Purana, dan epik-epik seperti Mahabharata dan 

Ramayana.(Sandi Untara, 2020, p. 36) Dalam teks-teks ini, terdapat beragam interpretasi 

dan cerita mengenai asal mula alam semesta dan perannya dalam siklus kehidupan yang 

tak terbatas.

Salah satu konsep utama dalam kosmologi Hindu yaitu   konsep Brahman, yang 

merupakan asal usul segala sesuatu, atau realitas absolut. Brahman dianggap sebagai 

kekuatan transenden yang tak terbatas, yang ada di luar batas-batas ruang dan waktu. 

Dari Brahman ini, timbullah konsep Trimurti, yang terdiri dari tiga dewa utama: Brahma, 

Vishnu, dan Shiva. 


Brahma, dalam peran sebagai dewa pencipta, diyakini sebagai entitas yang 

bertanggung jawab atas penciptaan alam semesta.(Sujaelanto, 2020, p. 181) Dalam 

beberapa tradisi Hindu, dikatakan bahwa Brahma muncul dari pusat Brahman melalui 

proses meditasi yang panjang. Sebagai pencipta, Brahma menciptakan langit, bumi, dan 

seluruh isinya, termasuk makhluk hidup. Namun, pandangan ini juga menyatakan bahwa 

Brahma bukanlah objek pemujaan yang banyak, karena perannya dalam siklus 

penciptaan hanya terjadi pada awal suatu era tertentu, yang kemudian diikuti oleh era di 

mana peran-pemeran lain dalam Trimurti mengambil alih.

Vishnu, sebagai dewa pemelihara, memainkan peran penting dalam menjaga 

keseimbangan dan keharmonisan alam semesta. Vishnu dianggap sebagai pemelihara 

yang aktif dalam mempertahankan dharma (ketertiban kosmis) dan mengamankan 

keberlangsungan alam semesta. Dalam konsep avatara, Vishnu turun ke dunia dalam 

berbagai bentuk fisik untuk memerangi kejahatan dan memulihkan 

ketertiban.(Sujaelanto, 2020, p. 181)

Shiva, sebagai dewa penghancur, memiliki peran dalam mengakhiri suatu siklus 

yang sudah selesai dan mempersiapkan untuk penciptaan yang baru. Dalam perannya 

sebagai penghancur, Shiva diyakini bertanggung jawab atas destruksi alam semesta yang 

sudah usang, sehingga memberikan ruang bagi penciptaan yang baru. Namun, peran 

Shiva dalam penghancuran juga dipahami dalam konteks transformatif, dimana destruksi 

membawa potensi untuk regenerasi dan pembaharuan.

Selain konsep Trimurti, kosmologi Hindu juga melibatkan pemahaman tentang 

samsara, yaitu siklus kelahiran kembali atau reinkarnasi. Dalam samsara, makhluk hidup 

mengalami serangkaian kelahiran dan kematian, yang dipengaruhi oleh karma, yaitu 

hukum tindakan dan akibat.(Wahid & Syah, 2023, p. 388) Karma mengatur bagaimana 

individu diposisikan dalam siklus penciptaan, pemeliharaan, dan penghancuran alam 

semesta. Dengan demikian, karma memainkan peran kunci dalam menentukan nasib 

individu dalam kehidupan selanjutnya.

Pandangan Hindu tentang kosmologi juga mencakup konsep-konsep seperti yuga 

(zaman), di mana alam semesta mengalami perubahan secara periodik, dan loka (alam 

semesta), yang merujuk pada berbagai tingkat realitas atau dimensi yang ada di 

dalamnya.


Dalam konteks kosmologi Hindu, penting untuk diingat bahwa interpretasi dan 

penjelasan tentang penciptaan alam semesta dapat bervariasi antara aliran-aliran 

kepercayaan dan tradisi-tradisi yang berbeda di dalam agama tersebut. Berbagai teks 

kuno dan komentar-komentar para cendekiawan Hindu juga memberikan pandangan 

yang berbeda-beda tentang asal mula alam semesta dan peran dewa-dewa dalam proses 

penciptaan, pemeliharaan, dan penghancuran.

Konsep Penciptaan Alam Semesta dalam Agama Buddha 

Dalam agama Buddha, konsep penciptaan alam semesta berbeda dengan 

pandangan dalam banyak agama lain yang menekankan peran pencipta ilahi. Dalam 

ajaran Buddha, tidak ada entitas ilahi tunggal yang bertanggung jawab atas penciptaan 

langit dan bumi. Sebaliknya, alam semesta dipandang sebagai hasil dari hukum kausalitas 

yang kompleks, di mana segala sesuatu terjadi karena adanya sebab-sebab dan kondisi 

yang saling terkait. (Puspita, n.d.)

Dalam pandangan agama Buddha, kosmos atau alam semesta terbagi menjadi tiga 

alam besar: alam indria, alam bermateri halus, dan alam tanpa materi. (Sena, 2015)

Alam Indria: Ini yaitu   alam di mana makhluk hidup mengalami panca indria atau 

panca indera, yaitu lima kemampuan persepsi yang dimiliki manusia dan makhluk hidup 

lainnya. Di alam ini, makhluk hidup memiliki tubuh fisik dan dapat merasakan panas, 

dingin, sakit, sukacita, dan berbagai pengalaman lainnya yang dikendalikan oleh panca 

indria mereka.

Alam Bermateri Halus: Alam ini lebih halus daripada alam indria dan tidak 

terbatas oleh panca indria. Makhluk hidup di alam ini memiliki tubuh yang lebih halus 

dan kurang terikat oleh hukum fisika konvensional. Mereka dapat memiliki kemampuan 

supranatural dan pengalaman spiritual yang lebih mendalam.

Alam Tanpa Materi: Alam ini yaitu   alam yang tidak memiliki materi fisik dan 

lebih bersifat spiritual. Makhluk hidup di alam ini tidak memiliki tubuh fisik seperti yang 

kita kenal dan mengalami keadaan yang lebih dekat dengan kesadaran murni.

Setiap alam besar ini terdiri dari sejumlah alam kehidupan yang lebih kecil, yang 

secara total berjumlah 31 alam kehidupan. Dalam setiap alam kehidupan ini, makhluk 

hidup masih mengalami siklus kelahiran, penderitaan, dan kematian, yang merupakan 

konsep sentral dalam ajaran Buddha tentang samsara atau siklus kelahiran dan kematian.


Mengutip (Sena, 2015) meskipun terdapat 31 alam kehidupan yang berbeda, baik 

dalam hal tingkat materialitas maupun spiritualitas, semua alam ini tidak kekal. Mereka 

terus mengalami perubahan dan berada dalam keadaan sementara. Pandangan ini 

sejalan dengan konsep Anicca (ketidaktetapan), Dukkha (penderitaan), dan Anatta

(ketiadaan diri) dalam ajaran Buddha, yang menekankan bahwa semua fenomena, 

termasuk alam semesta, yaitu   sementara, penuh dengan penderitaan, dan tidak 

memiliki esensi diri yang tetap.

Dalam konsep kosmologi dan siklus kehidupan agama ini, alam semesta 

dipandang sebagai lingkungan di mana makhluk hidup bereinkarnasi dalam berbagai 

bentuk kehidupan sesuai dengan akumulasi karma mereka. Siklus kelahiran dan 

kematian ini dianggap sebagai bagian dari proses evolusi spiritual, di mana makhluk 

hidup berusaha mencapai pencerahan dan kebebasan dari siklus tersebut. (Hayati et al., 

2023)

Dengan demikian, meskipun tidak ada “sesuatu” yang dianggap sebagai actor pada 

penciptaan alam semesta dalam konsep Buddha, alam semesta tetap menjadi bagian 

integral dari perjalanan spiritual individu, di mana pencarian kebijaksanaan dan 

pembebasan dari penderitaan menjadi fokus utama.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil kajian yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa konsep 

penciptaan alam semesta berdasarkan dalil normative dari agama Islam, Kristen, Hindu 

dan Budha sebagai berikut: 

Dalam Islam, konsep penciptaan alam semesta sangat terkait dengan keyakinan 

akan keberadaan Allah sebagai Sang Pencipta yang Maha Kuasa. Al-Qur'an memberikan 

gambaran yang mendalam tentang penciptaan alam semesta sebagai tindakan kehendak 

dan kuasa Allah. Penciptaan dilihat sebagai manifestasi dari kebesaran-Nya, dengan 

langit dan bumi diciptakan dalam waktu yang ditentukan sebagai bukti bagi orang-orang 

yang berpikir. Dalam pandangan Islam, alam semesta merupakan tanda keagungan dan 

kebijaksanaan Allah, yang menuntun manusia untuk merenungkan keberadaan-Nya dan 

meraih keimanan yang kokoh.

Di dalam agama Kristen, konsep penciptaan alam semesta dideskripsikan dalam 

Kitab Kejadian, di mana proses penciptaan dilihat sebagai tindakan langsung Allah dalam enam hari. Allah berkata, "Jadilah terang!" dan terjadilah terang. Dalam pandangan 

Kristen, alam semesta diciptakan sebagai manifestasi dari kehendak dan kekuasaan Allah 

yang abadi. Manusia, sebagai mahkluk yang paling dihargai dalam penciptaan, dipercayai 

diciptakan menurut gambar Allah dan diberi tanggung jawab untuk mengelola dan 

merawat ciptaan-Nya.

Dalam Hinduisme, konsep penciptaan alam semesta terkait erat dengan ajaran 

tentang Brahman, sumber dari segala sesuatu. Dalam kepercayaan Hindu, Trimurti yang 

terdiri dari Brahma, Vishnu, dan Shiva memiliki peran dalam siklus penciptaan, 

pemeliharaan, dan penghancuran. Brahma yaitu   dewa pencipta yang bertanggung 

jawab atas kelahiran alam semesta, sementara Vishnu yaitu   dewa pemelihara yang 

memelihara kehidupan di dalamnya, dan Shiva yaitu   dewa penghancur yang membawa 

akhir siklus dan memulai yang baru.

Dalam Buddhisme, konsep penciptaan alam semesta berbeda dengan agama￾agama lainnya karena tidak ada entitas ilahi tunggal yang bertanggung jawab atas 

penciptaan. Dalam ajaran Buddha, alam semesta dipandang sebagai hasil dari hukum 

kausalitas, di mana semua fenomena terjadi sebagai akibat dari sebab-sebab sebelumnya. 

Oleh karena itu, alam semesta tidak diciptakan oleh dewa atau kekuatan ilahi, tetapi 

sebagai hasil dari proses yang alamiah dan tidak berkelanjutan.