Nikah mut'ah dengan istilah lain nikah dengan batas waktu tertentu, pada masa
pra-Islam memang pernah ada. Dalam beberapa peristiwa pada masa sahabat
nikah mut'ah memang pernah di izinkan. Merujuk pada keseluruhan uraian
dalam artikel ini, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: Pertama,
Menurut M. Quraish Shihab, pembolehan nikah mut'ah terjadi dalam keadaan
darurat, seperti untuk menghindari perbuatan zina. Namun, perlu dicatat bahwa
nikah mut'ah tidak diperbolehkan dengan sembarang wanita. Kedua, Tokok
MUI Kota Malang yang menjadi informan dalam penelitian ini seluruhnya tidak
sepakat mengenai pembolehan nikah mut’ah menurut M. Quraish Shihab yang
mengatasnamakan darurat sebagai batas pembolehnya. Menurut para informan
konsep darurat itu jikalau tidak dilakukan maka akan sangat berbahaya bagi
orang yang tidak melakukannya seperti akan memicu kematian, berbeda
dengan pembolehan nikah mut’ah ini. Jika dilihat pembolehan nikah mut’ah ini
didasarkan pada kondisi jika tidak dilakukan akan memicu zina, maka
hal ini tidak disebut darurat sebab masih ada solusi untuk menanganinya
seperti melakukan kegiatan yang bisa mendekatkan diri kepada Allah SWT dan
hal ini terlihat bukan seperti darurat melainkan hajat atau sebuah keinginan.
Pendapat lain mengatakan bahwa jika nikah mut’ah diperbolehkan maka akan
memicu banyak kemadharatan bagi kaum wanita, sebab pada dasarnya
nikah mut’ah tidaklah tercatat dalam sistem perkawinan, sehingga mereka
tidak mendapatkan perlindungan hukum. Di sisi lain nikah mut’ah juga akan memberikan peluang seorang laki-laki untuk memicu penyakit menular
seperti HIV.
MPernikahan yaitu ritual yang sakral dan signifikan bagi setiap penganut
agama. Tujuan pernikahan yaitu untuk membentuk keluarga yang bahagia dan
abadi. Suami dan istri harus saling mendukung dan memenuhi kebutuhan satu
sama lain, sehingga masing-masing dapat mengembangkan pribadi mereka guna
mencapai kesejahteraan baik secara spiritual maupun materiil. Untuk mencapai
tujuan pernikahan ini, hubungan suami istri harus didasari oleh cinta dan kasih
sayang, serta berlandaskan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini diatur dalam
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Oleh sebab
itu, pernikahan sangat berkaitan dengan aspek agama atau spiritual, dan tidak
hanya melibatkan faktor fisik tetapi juga faktor internal (rohani) yang sangat
penting dalam pernikahan.1
Tidak semua pernikahan serta merta memiliki tujuan yang baik. Ada beberapa
pernikahan yang dilarang dalam Islam dengan alas an merugikan salah satu pihak
jika dilaksanakan meliputi pernikahan misyar, pernikahan muhaliil, pernikahan
syihgar, dan pernikahan mut’ah. Dari empat jenis pernikahan yang dilarang
dalam Islam, nikah mut'ah menjadi topik yang menarik untuk dikaji sebab
konsepnya yang sementara atau bersifat kontrak, yang dianggap tidak relevan
untuk masa kini. Nikah mut'ah yaitu tradisi yang diwariskan dari warga
pra-Islam, di mana pelaksanaannya bertujuan melindungi perempuan dalam
suatu suku. Praktik ini mengalami berbagai perubahan selama masa pra-Islam.
Pada masa Nabi Muhammad SAW, hukum nikah mut'ah berubah beberapa kali:
diperbolehkan dua kali, dilarang dua kali, dan akhirnya dilarang secara permanen
hingga saat ini. Pada era Sahabat, larangan dari Nabi Muhammad SAW umumnya
diikuti oleh para Sahabat. Namun, masih ada beberapa pihak yang membolehkan
nikah mut'ah, seperti yang dilakukan oleh Jabir bin Abdullah. Selama masa kekhalifahan Umar bin al-Khattab, beliau dengan tegas melarang nikah mut'ah
dan mengancam hukuman rajam bagi yang melanggarnya. Larangan ini berhasil
menghentikan praktik nikah mut'ah secara total dan diteruskan oleh generasi
berikutnya. Dalam hal ini, Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata: “Tidak ada keraguan
lagi, nikah mut’ah hanya diperbolehkan pada masa pra-Islam. Sebagian ulama
berpendapat, bahwa ia dihalalkan kemudian dimansukhkan (dihapus), lalu
dihalalkan kemudian dimansukhkan. Sebagian yang lain berpendapat, bahwa
penghalalan dan pengharaman berlaku terjadi beberapa kali”.2
Dalam perspektif empat madzhab, dan sebagian besar shahabat dan Tabi’in
yang disebutkan oleh kaum Sunni, nikah mut’ah tetap dilarang. Ada beberapa
hal yang menjadi dasar terhadap pelarangan ini , Yaitu: Pertama, pelarangan
oleh Rasulullah SAW dalam beberapa Hadits. Menurut Ibnu Rusyd, menurutnya
larangan ini sudah diketahui secara mutawatir dan sudah dikenal luas.3
Menurut
para ahli hadits, semua hadits, termasuk larangan ini, yaitu shahih. Diantaranya
yaitu hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Shahih Muslim seperti di bawah ini:
“Dari Rabi` bin Sabrah, dari ayahnya Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya ia bersama
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda: “Wahai, sekalian
manusia. Sebelumnya aku telah mengizinkan kalian melakukan mut’ah dengan
wanita. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengharamkannya hingga
hari Kiamat. Barangsiapa yang mempunyai sesuatu pada mereka, maka biarkanlah!
Jangan ambil sedikitpun dari apa yang telah diberikan”.4 Kedua, sebagian ulama
berpendapat bahwa larangan nikah mut’ah dalam Islam yaitu hasil dari ijma'.
Ketiga, dilihat dari tujuann nya, sejak saat itu nikah mut’ah hanya berfungsi untuk
memenuhi kebutuhan hawa nafsu, bukan untuk memelihara kesejahteraan serta
memperoleh keturunan seperti yang diharapkan dari pernikahan.5
Sedangkan, dari sisi lain beberapa ulama lain di kalangan sahabat dan Tabi’in
berpandapat sebaliknya, yakni pernikahan mut’ah masih diperbolehkan dengan
berdasarkan Surat an-Nisa’ (4) 24:
“Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah
kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban”.6
Ketika ulama Sunni mencoba menjelaskan larangan nikah mut'ah, justru
ulama Syiah sejak awal berbanding terbalik dengan memperbolehkan dan
mempertahankannya hingga sekarang, bahkan sampai menjadikannya bagian
dari hukum nikah yang dianut. Dengan demikian dalam padangan ulama mereka
kawinan mut'ah diperbolahkan hingga saat ini, sebagaimana halnya dengan
perkawinan permanen (pernikahan daim). Dalam pembahasan secara fiqih, Syiah
percaya bahwa pernikahan mut'ah dapat diperbolehkan berdasarkan Al-Qur'an,
Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.
7
Mereka juga berpendapat bahwa mut’ah merupakan
sebuah solusi untuk mencegah zina. Bahkan sebagian ulama mereka sampai
mengeluarkan fatwa bahwa nikah mut’ah dapat mengampuni dosa, dan ada juga
yang mengatakan bahwa seorang mukmin belum sempurna jika belum nikah
mut’ah.
8
Perbedaan pendapat antara ulama Sunni dan Syiah mengenai status hukum
nikah mut’ah merupakan fenomena yang sangat. Bahkan, mengenai persoalan
waktu dan sejarah tentang pembolehan dan pelarangan mut’ah oleh Rasulullah
SAW sendiri, para ulama masih berbeda pendapat, sehingga wajar jika ada yang
berpikir panjang tentang nikah mut’ah, terutama jika berkaitan dengan hakikat
pernikahan. Perbedaan ini semakin menjadi-jadi dengan fakta perkara ikhtilaf
nikah mut’ah ini terjadi tidak dalam satu rumpun “aliran”, melainkan pada dua
kubu yang diketahui telah lama berkonflik, yaitu Sunni dan Syiah.9
Perbedaan metodologi dalam menetapkan kriteria atau indikator keabsahan
hadis menyebabkan Sunni dan Syiah memiliki penilaian yang berbeda terhadap
hadis tentang nikah mut'ah. Kaum Syiah menolak hadis tentang nikah mut'ah
versi Sunni seperti yang tercantum dalam Shahih al-Bukhari ataupun Muslim,
meskipun perawi terakhirnya yaitu Ali bin Abi Thalib. Menurut Sunni, hadis ini
menunjukkan bahwa izin nikah mut'ah telah dihapus (nasakh), namun menurut
Syiah, nikah mut'ah justru didorong dan dibuat sistematis dalam bab-bab fikih.
Akibatnya, yang terlihat bukan lagi perkataan Rasul, tetapi rekayasa sanad dan
materi.
Kontradiksi mengenai status hukum nikah mut’ah ini juga terjadi di
Indonesia tepatnya salah satu ulama ternama di Indonesia yang sangat masyhur,
yaitu Quraish Shihab. Quraish Shihab yaitu ulama yang beraliran Sunni, akan
tetapi dalam salah satu buku karangannya yang berjudul “Perempuan” beliau
mengeluarkan pendapat yang senada dengan Syaikh Muhammad Thahir Ibnu
Asyur yang menyimpulkan bahwa nikah mut’ah itu diperbolehkan dalam keadaan
darurat dan mendesak.11 Pembolehan M. Quraish Shihab ini tidak terlepas dari
beberapa batasan-batasan dan syarat. Tentunya hal ini dinilai cukup kontroversial
sebab beliau yaitu salah satu ulama terkemuka di Indonesia. Pendapat ini
tidak hanya ada dalam bukunya yang berjudul Perempuan dari Cinta Sampai
Seks, dari Nikah Mut'ah Sampai Nikah Sunnah, dari Bias Lama sampai Bias
baru. Pendapat Quraish Shihab juga dapat ditemukan juga dalam berbagai
seminar dan sebuah berita dari situs Majalah IJABI. Quraish Shihab tidak hanya
membolehkan nikah mut’ah tapi juga membolehkan poligami.
Pemilihan M. Quraish Shihab sebagai tokoh yang akan penulis teliti yaitu
sebab beliau menaruh perhatian terhadap persoalan perkawinan yang selama ini
terus berkembang, beliau merupakan salah satu tokoh di Indonesia yang banyak
menyinggung kehidupan keluarga, perempuan dan statusnya dalam keluarga yang
dibuktikan dengan salah satu karyanya yang berjudul: Perempuan: dari Cinta
Sampai Seks, dari Nikah Mut'ah Sampai Nikah Sunnah, dari Bias Lama Sampai
Bias Baru. Terlebih lagi beliau pernah menduduki posisi ketua MUI pusat pada
tahun 1984 bahkan beliau juga pernah menjadi menteri agama pada tahun 1998
yang menjadikan beliau salah satu ulama yang harus dipertimbangkan ketika
melakukan pengkajian fiqih terlebih di Indonesia serta lantas bagaimana bisa
terjadi kontradiksi antara keputusan M. Quraish Shihab dengan keputusan MUI
itu sendiri yang mana mengharamkan nikah mut’ah di indonesia yang dimana
notabenenya beliau juga p-ernah menjadi anggota dari lembaga ini .
Dalam hal ini Peneliti juga akan mengkaitkan pendapat M. Quraish Shihab
tentang batas-batas kebolehan nikah mut’ah dengan pendapat ulama dari
organisasi lajnah Islam di Indonesia, yakni Majelis Ulama Indonesia (MUI)
khusus nya yang ada di wilayah Kota Malang. Mengapa demikian, sebab
organisasi ini memiliki peran yang sangat besar terhadap perkembangan Islam di
Indonesia serta memiliki peran aktif dalam menyaring fatwa atau meneliti fatwa
yang kemudian akan sampai ke umat Islam di Indonesia. Di lain itu organisasi
ini memiliki sistem pencarian fatwa yang terbilang terorganisir dengan mewadahi
para ulama, zu’ama dan cendikiawan Islam untuk membimbing, membina dan
mengayomi umat Islam di Indonesia.Konsep pernikahan mut’ah ini dikemudian hari bisa saja akan disalah
gunakan di Indonesia, terlebih lagi bagi peneliti, nikah mut’ah ini lebih banyak
memicu maslahat seperti yang disinggung oleh peneliti lain dengan
menjelaskan seolah pernikahan mut’ah ini mengarah pada sumber dari bentuk
pembebasan dari nafsu yang terus berlanjut. Ini menghancurkan fitrah (kodrat)
dan moralitas serta bertentangan dengan syariah-Nya secara keseluruhan.
Jika dipelajari secara mendalam, hubungan antara seorang pria dan wanita
yang berkumpul dalam bentuk komunitas keluarga akan digambarkan sebagai
keluarga yang mampu hidup dan memenuhi perintah-Nya dengan sempurna.12
Kontradiksi lain dari pembolehan nikah mut’ah ini dengan adanya persepsi
bahwa adanya pandangan yang berbeda tentang kesesuaian nikah mut'ah dengan
nilai-nilai pernikahan Islam yang lebih mapan. Beberapa orang menganggapnya
bertentangan dengan prinsip pernikahan yang mengutamakan komitmen jangka
panjang dan stabilitas keluarga. Misalnya, Dr. Tariq Ramadan menyatakan,
"Nikah mut'ah bertentangan dengan prinsip dasar pernikahan dalam Islam, yang
menekankan kesatuan jangka panjang, stabilitas, dan tanggung jawab antara
suami dan istri."13
Berlandaskan uraian di atas, akan sangat menarik untuk mengkaji perkara
nikah mut’ah dan juga batasan kebolehan nikah mut’ah oleh M. Quraish Shihab
apakah di aminkan oleh Organisasi Islam di Indonesia yakni Majelis Ulama
Indonesia yang ada di Kota Malang.
BATAS-BATAS KEBOLEHAN NIKAH MUT’AH PERSPEKTIF M.
QURAISH SHIHAB
Fatwa M. Quraish Shihab Tentang Nikah Mut’ah
Berikut yaitu kutipan M. Quraish Shihab dalam bukunya yang berjudul
Perempuan, dari Cinta Sampai Seks, dari Nikah Mut`ah Sampai Nikah Sunnah,
dari Bias Lama Sampai Bias Baru :
“kalaulah pendapat tentang bolehnya mut’ah dapat diterima, -sekali lagi
kalau ia dapat diterima- sebagai sesuatu yang bersifat kebutuhan yang sangat
mendesak atau bahkan darurat, ini bukan berarti bahwa pergantian pasangan
dapat dilakukan oleh siapa, kapan dan dengan perempuan apa saja”.14
Pernyataan ini mengesankan bahwa M. Quraish Shihab membolehkan nikah
mut’ah, tetapi hanya dalam keadaan darurat dan tidak secara umum. Persetujuan ini bergantung pada siapa yang terlibat dalam nikah mut’ah ini , sebab
melegalkan nikah mut’ah bisa memberikan celah bagi laki-laki tidak bermoral
dan perempuan yang tidak baik untuk melakukan perzinaan dengan dalih
agama. Jika kita mencermati pandangan M. Quraish Shihab dan ulama lainnya,
tampaknya M. Quraish Shihab mengizinkan nikah mut’ah dalam situasi darurat
untuk menghindari perzinaan. Hal ini dapat dimengerti, misalnya, ketika seorang
suami harus pergi untuk waktu yang sangat lama dan tinggal di tempat atau
negara lain, sehingga dia membutuhkan pemenuhan kebutuhan biologis. Dalam
situasi seperti itu, nikah mut’ah bisa dianggap sah sebab alasan darurat untuk
menghindari perzinaan. Keadaan mendesak ini dapat dilihat dari kutipan beliau
dalam bukunya, yang berbunyi, "demikian terlihat bahwa ada syarat-syarat yang
ditegaskan oleh para ulama yang membenarkan nikah mut’ah yang harus dipenuhi
oleh mereka yang terpaksa melakukannya." Kata "terpaksa" dalam kutipan ini
jelas menunjukkan situasi darurat. Dalam bukunya, beliau juga menetapkan
beberapa batasan atau syarat untuk melakukan nikah mut’ah. Salah satu syarat
yang disebutkan yaitu bahwa perempuan yang dinikahi secara mut’ah haruslah
perempuan yang terhormat. Kutipan beliau yang relevan berbunyi, "di sisi lain,
perlu diingat oleh mereka yang bermaksud melakukan mut’ah, bahwa perempuan
yang hendak dinikahi secara mut’ah haruslah perempuan yang terhormat."
Dengan demikian, M. Quraish Shihab tidak membolehkan nikah mut’ah secara
bebas, melainkan hanya dalam kondisi darurat dengan batasan-batasan tertentu,
untuk mencegah terjadinya perzinaan yang berkedok agama.
Batas-Batas Kebolehan Nikah Mut’ah Perspektif M. Quraish Shihab
Penggalian informasi mengenai batas-batas nikah mut’ah, peneliti akan berfokus
ke salah satu buku yang menjadi karangan beliau yang berjudul “Perempuan” dari
“Cinta Sampai Seks, dari Nikah Mut`ah Sampai Nikah Sunnah, dari Bias Lama
Sampai Bias Baru”. Dalam buku ini membahas mengenai seputar permasalahan
wanita, meliputi permasalahan wanita secara pribadi seperti halnya hubungan
pernikahan hingga permasalahan wanita secara umum dalam warga seperti
peran Wanita dalam politik dan sebagainya. Dan tentunya, dalam buku ini juga
dibahas mengenai nikah mut’ah dalam pandangan M. Quraish Shihab, hal inilah
yang menjadikan buku ini sebagai dasar data primer dalam penelitian ini.
Dalam buku ini , M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa Nikah Mut'ah
merupakan salah satu hal yang diperbincangkan di berbagai kalangan dari dulu
hingga sekarang. Ada yang menyatakan halal, dan ada juga yang menegaskan
keharamannya. Ada juga yang memperbolehkan jika dalam kebutuhan mendesak
atau darurat.15 Banyak orang yang salah paham tentang hal ini sehingga ada yang menyamakannya dengan zina, meskipun para ulama yang mengharamkannya
tidak berpendapat demikian. Salah satu penyebab kesalahpahaman ini yaitu
adanya praktik zina yang dilakukan atas nama nikah mut'ah, atau sebab mereka
yang melakukannya tidak mengikuti syarat-syarat yang ditetapkan oleh para ulama
yang menghalalkan nikah mut'ah. Pernikahan dimaksudkan untuk melanjutkan
keturunan, dan keturunan itu sebaiknya dipelihara dan dididik oleh kedua orang
tuanya. Hal ini tidak dapat dicapai jika pernikahan hanya berlangsung beberapa
hari, bahkan beberapa tahun sekalipun. Pendapat tentang mut’ah, baik mengenai
kehalalannya atau keharamannya serta syarat-syaratnya, berbeda-beda. Masingmasing pihak memiliki alasan tersendiri sehingga para ulama sepakat bahwa
nikah mut’ah yang memenuhi syarat-syaratnya tidak identik dengan perzinaan.
Kita juga bisa mengatakan bahwa, jika alasan ulama Syiah diakui oleh ulama
Sunni, tentu ulama Sunni tidak akan mengharamkan mut’ah. Sebaliknya, jika
ulama Syiah puas dengan alasan-alasan ulama Sunni, mereka tentu tidak akan
menghalalkannya.16
Dalam perkara nikah mut'ah, M. Quraish Shihab mengutip pendapat
Syaikh Muhammad Thahir Ibnu Asyur, seorang ulama besar dari Tunisia, yang
menyimpulkan bahwa Rasulullah SAW mengizinkan nikah mut'ah dua kali
dan melarangnya dua kali. Menurut Ibnu Asyur, larangan ini bukanlah
pembatalan, melainkan penyesuaian dengan kondisi yang mendesak atau darurat.
Ibnu Asyur berpendapat bahwa nikah mut'ah dipraktikkan pada masa khalifah
Abu Bakar ra. dan Umar bin Khattab ra., namun keduanya melarangnya secara
permanen pada akhir masa jabatan mereka. Ibnu Asyur, yang bermazhab Sunni
Maliki, menyimpulkan bahwa nikah mut'ah hanya diperbolehkan dalam keadaan
darurat, seperti dalam perjalanan jauh atau perang bagi yang tidak membawa
istri. Menurut Quraish Shihab, jika pendapat tentang bolehnya mut'ah diterima
sebagai kebutuhan mendesak atau darurat, ini tidak berarti bahwa pergantian
pasangan dapat dilakukan oleh siapa saja, kapan saja, dan dengan perempuan
mana saja, Inilah konsep mendesak yang secara tersirat disampaikan oleh Quraish
Shihab dalam bukunya. sebab menurut beliau dengan melegalkan nikah mut'ah
dapat membuka peluang bagi lelaki tidak bermoral dan perempuan yang tidak
baik untuk melakukan perzinaan atas nama agama.17 Tentunya dimata peneliti
hal ini juga akan memicu kemadharatan sebab konsepnya yang hamper
dekat dengan zina.
Kesalahpahaman mengenai nikah mut'ah sering terjadi, dengan
beberapa orang menyamakannya dengan zina, meskipun para ulama yang
mengharamkannya tidak berpendapat demikian. Kesalahpahaman ini sering kali
timbul sebab adanya praktik zina yang dilakukan atas nama nikah mut'ah atau
sebab pelakunya tidak memperhatikan syarat-syarat yang ditetapkan oleh ulama
yang membolehkannya. Salah satu tujuan utama pernikahan yaitu melanjutkan
keturunan yang sebaiknya dipelihara dan dididik oleh kedua orang tuanya, yang
tentu saja tidak dapat dicapai jika pernikahan hanya berlangsung beberapa hari
atau bahkan beberapa tahun sekalipun. Apabila mencermati dan menyikapi
pendapat M. Quraish Shihab dan pendapat ulama lain, maka tampaknya M.
Quraish Shihab membolehkan nikah mut’ah dalam situasi darurat sebab untuk
menghindari perzinaan. Hal ini bisa dimengerti apabila seorang suami pergi dalam
waktu yang sangat lama dan menetap di suatu tempat atau negeri lain tentunya
membutuhkan terpenuhinya kebutuhan biologis, maka nikah mut'ah dapat
dibenarkan sebab alasan darurat untuk menghindari perzinaan. Hal mendesak
ini bisa dilihat dari kutipan beliau dalam bukunya yakni “demikian terlihat
bahwa ada syarat-syarat yang ditegaskan oleh para ulama yang membenarkan
nikah mut’ah yang harus dipenuhi oleh mereka yang terpaksa melakukannya”.18
Kata "terpaksa" dalam kutipan ini jelas mengindikasikan keadaan mendesak.
Selain itu, dalam bukunya juga disebutkan beberapa batasan atau syarat jika
melakukan nikah mut’ah.
Batasan pertama yang disebutkan dalam bukunya yaitu bahwa nikah mut'ah
sebaiknya tidak dilakukan oleh seseorang yang sudah memiliki istri, hal ini bersifat
himbauan, dan menjadi boleh dilakukan jika seseorang jauh dari istrinya. Hal ini
dikutip dari pernyataan Imam Ja’far ash-Shadiq as., salah satu imam mazhab
Syiah, yang menjawab pertanyaan seorang suami tentang nikah mut'ah dengan
mengatakan, "Apa hubunganmu dengan itu? Allah telah menjadikanmu tidak
membutuhkannya". Indikasi ini menunjukkan bahwa seseorang yang sudah dekat
dengan istrinya dan terpenuhi kebutuhan biologisnya sebaiknya tidak melakukan
mut'ah. Selain itu, Imam ash-Shadiq dalam kesempatan lain menyatakan bahwa
"mut'ah diperbolehkan bagi yang belum dianugerahi pasangan, namun jika sudah
menikah, maka itu boleh jika jauh dari istrinya." Hal ini menunjukkan bahwa
keadaan jauh dari istri bagi seorang suami menjadi kondisi mendesak, terkait
dengan kebutuhan biologisnya. Oleh sebab itu, untuk menghindari zina, nikah
mut'ah menjadi boleh baginya.
Kemudian mengenai batasan atau ketentuan beliau selanjutnya juga
mengutip dari buku beliau yang berbunyi “disisi lain, perlu diingat oleh mereka
yang bermaksud melakukan mut’ah, bahwa perempuan yang hendak dinikahi
secara mut’ah haruslah perempuan yang terhormat”19. Hal ini beliau kutip
dari pernyataan imam ja’far ash-shadiq Ketika ditanta tentang mut’ah beliau
menjawab “mut’ah halal tetapi janganlah menikah kecuali dengan perempuan
yang suci/ terhormat. Allah berfirman (tentang orang mukmin); mereka itu
yaitu pemelihara-pemelihara kemaluan mereka”.
Pendapat M. Quraish Shihab pada dasarnya tidak hanya menguntungkan
pihak pria tapi juga wanita. Jika nikah mut'ah dilarang, padahal kondisinya
memenuhi syarat untuk melakukannya, maka banyak suami mungkin akan
menyalurkan kebutuhan biologisnya melalui perzinaan, seperti melacur. Hal
ini justru bisa membahayakan sebab penyakit menular ini dapat tersebar
kepada istri mereka.
PANDANGAN TOKOH MEJELIS ULAMA INDONESIA (MUI) KOTA
MALANG TERHADAP FATWA M. QURAISH SHIHAB TENTANG
BATAS-BATAS DIPERBOLEHKANNYA NIKAH MUT’AH
Fatwa MUI tentang Nikah Mut’ah
Tanggal 25 Oktober tahun 1997, Majelis Ulama Indonesia dengan ketua umum
masih dipegang oleh KH. Hasan Basri pernah mengeluarkan fatwa seputar nikah
mut’ah dengan putusan sebagai berikut :
Dengan memohon taufiq dan hidayah dari Allah SWT, memutuskan serta
menetapkan :
1. Nikah mut’ah hukumnya yaitu HARAM.
2. Pelaku nikah mut’ah harus dihadapkan ke pengadilan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Surat keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan bila
dikemudian hari terdapat kekeliruan dalam keputusan ini akan diadakan
pembetulan sebagaimana mestinya.20
Adapun dalam memutuskan hukum nikah mut’ah di Indonesia ini, MUI
menetapkannya dengan dasar beberapa alasan/ dalil yang amat relevan terhadap
pelarangan nikah mut’ah ini, diantaranya seperti disebutkannya dalil dari AlQur’an yakni dalam QS. Al-Mukminun yang menjelasakan seputar kedudukan
wanita yang dinikahi dengan jalan mut’ah memiliki perbedaan yang amat kontras
dengan wanita yang dinikahi secara akad nikah yang sebenarnya. Kemudian
dengan memaparkan dalil dari hadits Rasulullah SAW dengan menasakh hukum
nikah mut’ah yang memang sebelumnya telah diperbolehkan sebagai rukhsah
dan pada akhirnya dilarang untuk selamanya.
Implementasi Praktik Pernikahan Dalam Undang-Undang Perkawinan
di Indonesia.
Di Indonesia sendiri, peraturan perundang-undangan yang memegang peran
sebagai acuan dalam perkawinan yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Konsep perkawinan yang dijelaskan dalam undang-undang ini bisa kita lihat dari
pasal 1 mengenai pengertian perkawinan sebagai berikut:
Pasal 1
Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.21
Penjelasan terhadap pasal ini menunjukkan bahwa perkawinan yaitu suatu
ikatan yang bersifat kuat, baik lahir maupun batin serta teguh dengan pendirian
dan niat untuk bergaul secara halal antara suami dan istri dengan dasar ketaatan
kepada Allah SWT. Kemudian dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan
dalam Buku 1 tentang Hukum Perkawinan Bab 2 Pasal 2 dan 3 yang disebutkan:
Pasal 2
Perkawinan menurut hukum Islam yaitu pernikahan, yaitu akad yang
sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah.
Pasal 3
Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang
sakinah, mawaddah, dan rahmah.22
Dua pasal di atas dengan jelas menunjukkan bahwa pernikahan dilakukan
berdasarkan ketaatan kepada Allah SWT dan pelaksanaannya dinilai sebagai
suatu ibadah serta tujuan dilakukan pernikahan ini yakni untyk mewujudkan
kehidupan rumah tangga yang bahagia yakni sakinah, mawaddah dan Rahmah.
Hal memiliki arti tersirat bahwa pernikahan bukanlah bersifat sementara akan
tetapi selamanya disebab kan tiga tujuan yang terdapat dalam pasal ini
sebagai himpunan dari kebahagiaan dari pernikahan tidak dapat didapat dengan
pernikahan yang hanya bersofat sementara.
Kemudian dalam pasal 5 ayat satu (1) disebutkan:
Pasal 5
1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi warga Islam setiap perkawinan
harus dicatat.23
Ayat dalam pasal ini secara jelas menjelaskan bahwa pernikahan yang
dilakukan oleh seluruh warga di Indonesia harus jelas tercatatkan
dan dilaksanakan dalam pengawasan pegawai pencatat nikah. Sedangkan perkawinan yang tidak tercatat serta dilakukan di luar dari pengawasan
pegawai pencatat nikah atau yang biasanya disebut nikah siri atau nikah
illegal, pernikahan ini tidak memiliki kekuatan hukum. Hal ini juga jelas
disebutkan dalam pasal 6 ayat 2 yang berbunyi:
Pasal 6
2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah
tidak mempunyai kekuatan Hukum.24
Dapat disimpulkan bahwa pernikahan yang dilaksanakan di Indonesia
harus tercatat oleh pegawai pencatat nikah yang berwenang. Hal ini sebab
pernikahan yang tidak tercatat secara resmi tidak memiliki kekuatan hukum,
yang dapat mempengaruhi status hukum suami dan istri. Selain itu, jika
pernikahan tidak tercatat, masa depan anak hasil pernikahan ini juga
bisa terpengaruh. Berdasarkan pengalaman peneliti, sebab pentingnya
pencatatan pernikahan, pihak yang belum cukup umur untuk menikah harus
mengajukan permohonan dispensasi nikah di Pengadilan Agama dengan
pengantar dari KUA (Kantor Urusan Agama) yang berwenang.
Dengan demikian konsep nikah mut’ah ini memang sudah sangat tidak
relevan dengan peraturan perundang undangan yang ada di Indonesia. Konsep
nikah mut'ah, yang pada dasarnya bersifat sementara dan tidak permanen,
bertentangan dengan esensi perkawinan yang diatur dalam UU Perkawinan di
Indonesia yang menekankan pada kesetiaan, saling pengertian, dan tujuan untuk
membentuk keluarga yang harmonis, kekal, dan sejahtera. Oleh sebab itu,
konsep nikah mut'ah ini sudah sangat tidak relevan dengan peraturan perundangundangan yang ada di Indonesia.
PANDANGAN TOKOH MEJELIS ULAMA INDONESIA (MUI) KOTA
MALANG TERHADAP FATWA M. QURAISH SHIHAB TENTANG
BATAS-BATAS DIPERBOLEHKANNYA NIKAH MUT’AH
Berdasarkan hasil wawancara yang telah peneliti lakukan, maka diperoleh
beberapa pendapat atau pandangan dari tokoh-tokoh Majelis Ulama Indonesia
(MUI) Kota Malang mengenai fatwa M. Quraish Shihab tentang nikah mut’ah.
Adapun hasil dari wawancara para informan sebagai berikut:
1) H. Farid Hamidy, Lc. Beliau yaitu anggota komisi fatwa dan ekonomi
syariah Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan anggota Corps Mubaligh
Muhammadiyah (CMM) Kota Malang. Beliau secara tegas tidak setuju
dengan pendapat ulama yang membenarkan/ membolehkan nikah mut’ah
dengan alasan apapun, mendesak atau darurat untuk menghindari perzinaan,
nikah mut’ah tidak dapat diterima (haram). Sebagaimana fatwa MUI yang menghukumi haram suatu pernikahan dengan adanya batas waktu tertentu
atau nikah mut’ah apapun alasannya. Sebagaimana yang telah diungkapkan
oleh Ustadz H Farid Hamidy, Lc., :
“Tentang nikah Mut’ah, dalam prinsip hukum Ad-Daruratu Tubihul
Mahdhurat menyatakan bahwa dalam keadaan mendesak atau darurat, yang
sebelumnya dianggap haram dapat menjadi halal. Batasan darurat yaitu
situasi di mana tindakan yang tidak diambil dapat membahayakan diri atau
bahkan memicu kematian. Beberapa ulama menetapkan bahwa situasi
darurat yaitu ketika tindakan tidak diambil akan menyebabkan kematian,
seperti kelaparan 3-5 hari tanpa makanan halal dan hanya ada daging babi
sebagai opsi. Prinsip ushul fiqhnya, al-Darurah Taqaddanu Bi Qadariha,
mengizinkan keringanan hukum dalam keadaan darurat. Namun, alasan
menggunakan nikah mut’ah untuk menghindari perzinaan dipertanyakan.
Pernikahan berulang tidak dapat menjamin bebas dari perzinaan. Jika
seseorang terpaksa melakukan nikah mut’ah, “terpaksa” harus diartikan
dengan hati-hati. Terpaksa dapat diterima jika gairah biologis dialihkan ke
aktivitas positif, seperti meningkatkan ibadah dan partisipasi dalam kegiatan
sosial, sebagai alternatif menghindari perzinaan. Penting dicatat bahwa
hingga saat ini, negara tidak mengakui nikah mut’ah, yang bertentangan
dengan hukum peraturan perkawinan dan KHI di Indonesia.Top of Form”25
Kesimpulan dari pendapat beliau ini yaitu perihal mendesak dalam konteks
pembolehan M. Quraish Shihab terhadap nikah mut’ah kuranglah tepat.
sebab dalam pandangan beliau yang dikatakan mendesak yaitu dimana
jika tidak melakukan hal ini maka akan memicu hal yang amat
fatal. Dan jika dilihat, darurat dalam konteks pembolehan nikah mut’ah ini
tidak sampai pada hal ini sebab sebesar nafsu seseorang pasti bisa
direda dengan melakukan kegiatan yang lain seperti mendekatkan diri kepada
Allah SWT. Alhasil beliau tidak setuju dengan pendapat M. Quraish Shihab
ini.
2) Drs. KH. Chamzawi Syakur, M.HI., Beliau yaitu wakil ketua umum Majelis
Ulama Indonesia (MUI) Kota Malang dan juga pengasuh Ma’had ‘Aliy
Sunan Ampel Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.
Beliau tidak sependapat dengan M. Quraish Shihab dan niatnya mesti tidak
baik seperti nikah untuk diceraikan. Nikah mut’ah hanya diperbolehkan
pada masa pra-Islam, pada masa Umar sudah tidak diperkenankan. Sampai
sekarang ulama-ulama tidak ada yang mengizinkan nikah mut’ah, kecuali
ulama Syi’ah. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Drs. KH. Chamzawi
Syakur, M.HI., :“Nikah mut’ah mirip dengan nikah biasa dalam syarat rukun, nafkah, dan
masa iddah. Meskipun sebagian setuju, saya tidak setuju dan lebih condong
pada nikah biasa. keadaan darurat diterapkan pada barang haram dengan
ukuran Keadaan “tidak makan sampai mati.” Nikah mut’ah pernah ada
pada zaman Nabi dan pra-Islam, namun dilarang pada zaman Umar. Nikah
mut’ah dianggap berbahaya jika hanya untuk sementara dan diakhiri dengan
cerai. Nikah mut’ah harus dilakukan dengan perempuan baik-baik, tetapi hal
ini bisa berpotensi seperti prostitusi jika dilakukan berulang kali. Motivasi
menikah mut’ah harus jelas, hindari nikah jika memiliki kecenderungan
menyakiti orang. Jika jauh dari isteri, sebaiknya pulang ke rumahnya. Nikah
dengan orang luar negeri dapat memicu masalah, terutama jika tidak
terekspos. Dalam taliqu ta’laq, suami yang tidak menafkahi isteri dapat jatuh
talak jika tuntutan nafkah tidak terpenuhi selama beberapa bulan berturutturut.”26
Dengan demikian, beliau ikut dengan pendapat H. Farid Hamidy yakni tidak
sepakat dengan pendapat M. Quraish Shihab tentang nikah mut’ah. Dalam
pandangan beliau konsep darurat yaitu yang memicu hal yang fatal
seperti pendapat yang pertama. Dan jikalau nikah mut’ah tidak bersifat
selamanya berarti sama saja dengan talaq, dan hal ini merupakan
kehalalan yang paling dibenci dalam Islam.
3) Dr. Hj. Muslihati, S.Ag., M.Pd., Beliau yaitu anggota dari komisi
pemberdayaan dan perlindungan keluarga Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Kota Malang dan ia juga aktif pada organisasi warga PC Muslimat NU
Kota Malang. Beliau berpendapat bahwasan nya kurang mendukung pendapat
dari M. Quraish shihab tentang bolehnya nikah mut’ah. Sebagaimana yang
diungkapkan oleh Dr. Hj. Muslihati, S.Ag., M.Pd., :
“Pernikahan mut’ah berdampak besar pada perempuan, terutama dalam hak
sipil, status, pengakuan anak, dan aspek ekonomi. Saya tidak sepenuhnya
mendukung pandangan ini , terutama jika perempuan masih gadis,
belum menikah, dan belum mandiri secara finansial. Dampaknya tidak
hanya pada dirinya sendiri, tetapi juga pada keinginan hidup anak. Namun,
jika perempuan siap menerima konsekuensinya dan dapat mengelolanya,
pilihan ini merupakan haknya.”27
Beliau tidak sependapat dengan pendapat M. Quraish Shihab ini.
Pembolehan nikah mut’ah dengan alasan apapun dinilai sangat merugikan
pihak perempuan, pun demikian dengan anak hasil nikah mut’ah ini .
4) Prof. Dr. Hj. Tutik Hamidah, M.Ag., Selaku komisi pendidikan, penelitian &
pengembangan dan kaderisasi Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Malang dan saat ini ia menjabat sebagai aktivis Kongres Ulama Perempuan Inonesia
(KUPI). Beliau berpendapat bergonta-ganti pasangan yaitu salah satu
penyebab penyakit menular human immunodeficiency virus (HIV), sebab
itu berkaitan dengan medis bahaya, beliau cenderung untuk tidak setuju.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Prof. Dr. Hj. Tutik Hamidah, M.Ag., :
“Dalam buku Quraish Shihab, alasan mendesak untuk menikah mut’ah
dipahami dalam konteks kekhawatiran terjerumus ke dalam zina atau
ketidaktersediaan isteri dalam jangkauan suami, terutama jika berada di
provinsi, pulau, atau negara yang berbeda. Imam Syiah mensyaratkan nikah
mut’ah dengan wanita terhormat, bukan pezina. Keperluan seks dianggap
sebagai kebutuhan dasar, namun disarankan mencari cara untuk mengalihkan
pikiran dari kebutuhan ini . Nikah mut’ah dinilai merugikan pihak isteri
sebab tidak mendapatkan waris dan akta, meski mungkin ada kompensasi.
Keberlanjutan pernikahan mut’ah berisiko bagi istri dan suami, terutama jika
menjadi kebiasaan atau profesi, yang dapat meningkatkan risiko penularan
HIV. Oleh sebab itu, saya tidak setuju dengan nikah mut’ah sebab dianggap
membahayakan bagi perempuan dan laki-laki, terutama dalam konteks
bahaya gonta-ganti pasangan.”28
Dalam pandangan beliau nikah mut’ah memiliki banyak hal madharat. Seperti
bisa menjadi kebiasaan bergonta-ganti pasangan yang mana dapat memicu
HIV AISD. Oleh sebab itu beliau juga tidak sependapat dengan M. Quraish
Shihab ini.
Demikian hasil wawancara dari para informan, yang berbeda-beda dalam
mengungkapkan pendapatnya, yang kemudian akan menjadi sumber data primer
dalam penelitian ini.
PENDAPAT TOKOH-TOKOH MUI KOTA MALANG TERHADAP
FATWA M. QURAISH SHIHAB
Sebagaimana data yang peneliti peroleh dan kumpulkan melalui wawancara
para informan yang kemudian peneliti simpulkan, sebagai berikut:
a) H. Farid Hamidy, Lc.
Dari hasil wawancra yang telah dilaksanakan, kesimpulan paling jelas
dari beliau yaitu tidak setuju. Dalam hal ini beliau membantah akan batas
pembolehan dari nikah mut’ah menurut M. Quraish Shihab yaitu darurat
dengan artian pendapat ini seolah mengikuti kaidah fiqhiyyah yakni Ad-Daruratu
Tubihul Mahdhurat yang berarti mendesak bisa menjadikan yang haram menjadi
halal. Padahal sudah jelas kaidah ini diperbolehkan jika memang jika tidak menerjang hal yang telah diharamkan ini akan memicu sesuatu yang
membahayakan bagi si pelaku seperti kematian. Sangat berbeda dengan konsep
darurat yang dijadikan batas pembolehan nikah mut’ah oleh M. Quraish Shihab.
Jika batasan yang dikemukakan oleh M. Quraish Shihab untuk membolehkan
nikah mut’ah yaitu keadaan darurat seperti menjauhi dari zina, maka apakah ada
jaminan bahwa seseorang yang telah menikah tidak akan melakukan zina lagi.
Dalam hal ini penjelasan dari H. Farid Hamidy, Lc. Seolah menegaskan bahwa
batas pembolehan nikah mut’ah oleh M. Quraish Shihab bukanlah suatu hal
yang bisa dibilang kebutuhan darurat yang amat mendesak, malah seolah disini
jikalau harus melakukan nikah mut’ah untuk menahan gairah biologis maka hal
ini seolah seperti suatu hajat manusia yang harus dipenuhi dan bukan suatu
hal yang darurat.
Perlu diketahui bahwasanya dharurat dan hajat memiliki solusi yang berbeda
dimana jikalau kondisi dharurat ini jika tidak dilaksanakan akan membahayakan
si pelaku dan jalan keluar satu-satunya yaitu menerjang kemadharatan lain
ini . Sedangkan hajat ini yaitu sesuatu yang bila tidak dilaksanakan, maka
bisa mendatangkan bahaya, akan tetapi masih bisa diganti dengan yang lain
Dalam hal ini perlu dilakukan pencermatan lagi bahwa hawa nafsu
biologis manusia apakah jika tidak dipenuhi akan memicu kematian atau
kemadharatan yang amat besar atau tidak. Dalam hal ini mari kita lihat lagi dalam
hadits Rasulullah SAW dalam anjuran menikah yang diriwayatkan oleh Bukhari
dan Muslim sebagai beriku:
Artinya, "Wahai para pemuda, siapa saja di antara kalian yang sudah mampu
menanggung nafkah, hendaknya dia menikah. sebab menikah lebih mampu
menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Sementara siapa saja yang tidak
mampu, maka hendaknya ia berpuasa. sebab puasa bisa menjadi tameng syahwat
baginya". (HR Bukhari & Muslim)
Dalam hadits ini sepertinya sudah jelas bahwasanya nafsu biologis yaitu
sesuatu yang bersifat hajat dan bukan suatu hal yang darurat. Rasulullah SAW
sendiri bahkan menganjurkan jika tidak kuat untuk menikah maka berpuasalah
(untuk menahan nafsu). Maka bisa disimpulkan bahwa jika nikah mut’ah sebagai
satu-satunya solusi untuk menghindari perilaku zina yaitu pernyataan yang
tidak benar, bahkan disini H. Farid Hamidy Lc. bisa dikatakan memberikan
solusi lain selain nikah mut’ah yakni dengan memperbanyak ibadah atau bisa
lebih bersosialisasi dalam warga . Lebih lanjut alasan diharamkannya nikah
mut’ah di fatwa MUI dinilai sudah sangat jelas, yakni Fatwa MUI tanggal 25 oktober 1997M/ 22 Jumadil ‘akhir 1418H tentang nikah mut’ah dengan
keputusan sebagai berikut :
1. Nikah mut’ah hukumnya yaitu HARAM.
2. Pelaku nikah mut’ah harus dihadapkan ke pengadilan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Surat Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan bila
dikemudian hari terdapat kekeliruan dalam keputusan ini akan diadakan
pembetulan sebagaimana mestinya.
Dalam hal ini sudah paling jelas bahwa memang nikah mut’ah pada dasarnya
telah diharamkan sejak lama oleh MUI.
b) Drs. KH. Chamzawi Syakur, M.HI.
Drs. KH. Chamzawi Syakur, M.HI memiliki pendapat yang hampir sama
dengan pendapat Ustadz Ahmad Farid Khamidi, Lc. yakni tidak mendukung
pendapat M. Quraish Shihab terhadap batas-batas pembolehan nikah mut’ah
yang berupa keadaan darurat. Pendapat beliau kurang lebih sama dengan pendapat
Ustadz Ahmad Farid yakni keadaan dikatakan darurat oleh M. Quraish Shihab
dalam hal membolehkan nikah mut’ah ini bukanlah hal dharurat sangat dharurat
dan tidak memicu bahaya yang fatal jika tidak dilaksanakan. Sangat berbeda
dengan kaidah fiqhiyyah Ad-Daruratu Tubihul Mahdhurat.
Jikalau memang darurat dalam pembolehan nikah mut’ah yaitu sebab
menahan hawa nafsu sebab alasan jauh dari istri, dan menikahi wanita lain
dengan cara mut’ah dengan tujuan diceraikan lagi, maka hal ini bisa
dibilang seperti prostitusi jika diperbolehkan. Hal ini dinilai sangat tidak
bermoral jika terjadi. Tambah beliau jika darurat yang dimaksud untuk nikah
mut’ah yaitu untuk menahan hawa nafsu berzina, maka kenapa tidak sekalian
menikah secara resmi/ menikah seperti halnya umumnya (beliau disini seperti
menyiratkan poligami).
Jelas beliau seperti menyiratkan bahwa nikah mut’ah yaitu fenomena
zaman Rasulullah SAW yang tidak relevan dengan masa sekarang. Pada zaman
Rasulullah, saat itu Rasulullah mengizinkan tentaranya yang terpisah jauh dari
istrinya untuk melakukan nikah mut’ah, dari pada melakukan penyimpangan.
Namun kemudian Rasulullah mengharamkannya ketika melakukan pembebasan
kota Mekah pada tahun 8 H / 630 M.
Nikah mut’ah di awal-awal Islam dihukumi halal lalu dinaskh (dihapus).
Nikah ini menjadi haram hingga hari kiamat. Demikianlah yang menjadi
pegangan jumhur (mayoritas) sahabat, tabi’in dan para ulama madzhab (Shahih
Fiqh Sunnah, 2: 99). Dari Sabroh Al Juhaniy radhiyallahu ‘anhu, ia berkata.“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan kami untuk
melakukan nikah mut’ah pada saat Fathul Makkah ketika memasuki kota Makkah.
Kemudian sebelum kami meninggalkan Makkah, beliau pun telah melarang kami
dari bentuk nikah ini .” (HR. Muslim no. 1406)
Diantara perang-perang ini yaitu perang Khaibar, Umrah Qadha,
perang Authas, Fathul Makkah, Haji Wada’ dan Perang Tabuk. Di sanalah
baginda Nabi memberi keringanan untuk nikah dengan penduduk di tempat
mereka mempertaruhkan nyawa untuk membela agama. Setelah selesai perang,
putuslah tali pernikahan itu sebab kontraknya telah habis.
c) Dr. Hj. Muslihati, S.Ag., M.Pd.
Dr. Hj. Muslihati, S.Ag., M.Pd. juga mengemukakan ketidak setujuannya
terhadap batas-batas diperbolehkannya nikah mut’ah oleh M’ Quraish Shihab.
Dasar ketidak setujuan beliau ini sebab nikah mut’ah dinilai akan sangat
merugikan bagi pihak wanita terlebih jika wanita ini memiliki seorang anak.
Terlebih (dengan tersirat) jika anak ini yaitu anak yang lahir dari hasil
hubungan nikah mut’ah. Hal ini tidak terlepas seperti apa yang telah di sebutkan
dalam fatwa MUI dengan pertimbangan bahwa nikah mut’ah ini tidak akan
memberikan efek waris bagi pelakunya serta iddah mut’ah sangatlah berbeda
dengan pernikahan biasa. Hal ini tidak terlepas dari fakta bahwa pernikahan
mut’ah memang bisa dikatakan pernikahan illegal alias tidak tercatatkan oleh
pegawai pencatat nikah dan tentunya tidak ada data yang valid terhadap bukti
pernikahan ini .
Pencatatan perkawinan yang diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan,
merupakan hal yang sangat urgen sebab dapat memberikan jaminan perlindungan
serta kepastian hukum terkait dengan status perkawinan dan memberikan jaminan
ketertiban dalam kehidupan berwarga . Artinya ketentuan yang terdapat
dalam Pasal 2 ayat (2) itu mempunyai fungsi untuk mengatur dan merekayasa
interaksi sosial warga .
Sementara nikah mut’ah yaitu suatu pernikahan yang hanya dianggap
sementara dengan perjanjian untuk sementara waktu, dan tidak sesuai dengan
tujuan dari pernikahan itu, seperti halnya hak yang akan didapatkan dari suatu
pernikahan seperti hak sipil meliputi hak suami atas kewajiban memberikan
nafkah kepada isteri, hak pencatatatan sipil atau akta nikah yang jika di kemudian
hari dalam pernikahan itu terjadi sesuatu maka akan mendapatkan perlindungan
hukum, dan lain sebagainya, seperti halnya hak-hak yang tidak didapatkan dari
pernikahan sunnah pada umumnya.
d) Prof. Dr. Hj. Tutik Hamidah, M.Ag.
Prof. Dr. Hj. Tutik Hamidah, M.Ag. juga mengemukakan ketidaksetujuannya
terhadap fatwa M. Quraish Shihab ini. Diantara alasan beliau yaitu sikap nikah mut’ah yang seperti bergonta ganti pasangan ini akan memicu hal-hal
negatif seperti penyebaran penyakit dan lain sebagainya. Salah satu penyakit yang
disebutkan oleh beliau yaitu Human Immunodeficiency Virus (HIV).
Human Immunodeficiency Virus (HIV) yaitu sejenis virus yang menginfeksi
sel darah putih yang menyebabkan turunnya kekebalan tubuh manusia. Acquired
Immune Deficiency Syndrome (AIDS) yaitu sekumpulan gejala yang timbul
sebab turunnya kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi oleh HIV. Penderita
HIV memerlukan pengobatan dengan Antiretroviral (ARV) untuk menurunkan
jumlah virus HIV di dalam tubuh agar tidak masuk ke dalam stadium AIDS,
sedangkan penderita AIDS membutuhkan pengobatan ARV untuk mencegah
terjadinya infeksi oportunistik dengan berbagai komplikasinya.
AIDS merupakan tahap terakhir dan paling serius dari infeksi virus HIV.
Orang dengan AIDS memiliki sel darah putih dalam jumlah rendah dan sistem
kekebalan tubuh yang mulai melemah. Tanpa pengobatan yang intensif, infeksi
HIV dapat berkembang menjadi AIDS dalam waktu sekitar 10 tahun.
Untuk itu sangat tidak dianjurkan atau bahkan dikecam agar tidak bergontaganti pasangan untuk hindari melakukan kontak langsung dengan cairan tubuh
orang lain. Salah satunya yaitu dengan menikah hanya untuk semestara waktu
(nikah mut’ah) kemudian menikah lagi selesai dan menikah lagi.
Berdasarkan hasil wawancara dan analisa dari peneliti, maka ada beberapa
point kesimpulan yang menyebabkan para narasumber mufakat untuk tidak
sependapat dengan konsep pembolehan nikah mut’ah oleh M. Quraish Shihab
yakni sebagai beriku:
a) (MUI) memberikan fatwa tentang haramnya nikah mut’ah atau kawin kontrak
dengan sejumlah argumentasi. MUI melihat bahwa kawin kontrak banyak
memicu masalah dan keresahan bagi warga secara umum. Fatwa
Majelis Ulama Indonesia (MUI),DULU Keputusan Fatwa MUI tentang
Nikah Mut’ah Nomor Kep-B- 679/MUI/XI/1997, yang menyatakan bahwa
nikah Mut’ah haram hukumnya.
b) Dalam kaidah Fiqh yang dimaksud -mendesak atau darurat- itu ialah AdDaruratu Tubihul Mahdhurat yang mendesak bisa menjadikan yang haram
menjadi halal. Kemudian dharurat itu ada batasannya yang apabila tidak
dilakukan maka mati, demikian keadaan ini pun tidak terlepas dari
hal yang ketika keadaan dharurat bisa dilakukan agar tidak berlebih-lebihan
dalam hal itu.
c) sebab dalam hukum perundangan perkawinan maupun KHI di Indonesia
tidak ada undang-undang yang sesuai dengan konsep nikah seperti nikah
mut’ah;
d) Nikah mut’ah merupakan warisan dari tradisi warga pra-Islam yang
dimaksudkan untuk melindungi wanita dalam sukunya. Pada masa itu nikah seperti ini mengalami pasang surut. Pada masa Rasulullah SAW, nikah mut’ah
mengalami beberapa kali perubahan hukum, dua kali dibolehkan dan dua kali
dilarang, dan akhirnya diharamkan untuk selamanya. kemudian Pada masa
kekhalifahannya Sayyidina Umar bin Khattab ra, beliau menyampaikan pada
pidatonya secara tegas melarang siapa saja yang melakukan nikah mut’ah
dengan ancaman hukum rajam. Larangan Umar ini dapat menghentikan
secara total praktek nikah mut’ah;
e) Selain itu nikah mut’ah sangat merugikan bagi pihak perempuan, baik
dalam hal hak sipil meliputi status dan pengakuan anak, maupun dalam
hal ekonomi. sebab pernikahan yang dilaksanakan dari pernikahan mut’ah
terbatas oleh waktu, tidak mengikat warisan dan tidak berkewajiban kepada
suami untuk memberikan/ menafkahi istrinya;
f) Dari segi medis juga sangat berbahaya jika pernikahan mut’ah itu terus
dipraktikan atau mungkin menjadi kebiasaan maka di khawatir akan
menularkan penyakit HIV pada suami maupun istri sebab bergonta-ganti
pasangan
. Quraish Shihab, seorang ulama terkenal, dalam bukunya “Perempuan,” menyatakan bahwa
nikah mut’ah dapat diterima dalam situasi darurat dan mendesak dengan batasan dan syarat
tertentu, seperti harus dilakukan dengan wanita yang terhormat. Pernyataan ini memicu
kontroversi, sehingga menarik untuk mengkaji pandangan Tokoh Majelis Ulama Indonesia
(MUI) Kota Malang mengenai batasan nikah mut’ah dalam perspektif M. Quraish Shihab.
Penelitian ini bertujuan untuk memahami batas-batas kebolehan nikah mut’ah menurut M.
Quraish Shihab dan pandangan Tokoh MUI Kota Malang terhadap fatwa ini . Penelitian ini merupakan studi yuridis empiris dengan pendekatan deskriptif kualitatif, mengumpulkan
data melalui wawancara dan dokumentasi dari sumber data primer dan sekunder. Proses
pengolahan data meliputi teknik edit, klasifikasi, verifikasi, analisis, dan penarikan kesimpulan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa para tokoh MUI yang diwawancarai tidak sepakat dengan
pembolehan nikah mut’ah berdasarkan “darurat atau mendesak” sebagai batasannya. Mereka
berpendapat bahwa konsep darurat yang dikemukakan oleh M. Quraish Shihab tidak berlaku
dalam konteks ini dan menekankan adanya alternatif lain untuk mencegah perbuatan zina.
Selain itu, mereka menyoroti dampak negatif dari nikah mut’ah, terutama terhadap kaum wanita,
termasuk kurangnya perlindungan hukum dan risiko penularan penyakit berbahaya seperti HIV.
Kesimpulan penelitian ini menunjukkan bahwa meskipun M. Quraish Shihab mengemukakan
batasan-batasan tertentu untuk kebolehan nikah mut’ah, pandangan tokoh MUI Kota Malang
cenderung menolak praktik ini dalam segala situasi.






.jpeg)





