Tampilkan postingan dengan label Nikah muhtah 1. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Nikah muhtah 1. Tampilkan semua postingan

Nikah muhtah 1

 



Nikah mut'ah dengan istilah lain nikah dengan batas waktu tertentu, pada masa 

pra-Islam memang pernah ada. Dalam beberapa peristiwa pada masa sahabat 

nikah mut'ah memang pernah di izinkan. Merujuk pada keseluruhan uraian 

dalam artikel ini, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: Pertama, 

Menurut M. Quraish Shihab, pembolehan nikah mut'ah terjadi dalam keadaan 

darurat, seperti untuk menghindari perbuatan zina. Namun, perlu dicatat bahwa 

nikah mut'ah tidak diperbolehkan dengan sembarang wanita. Kedua, Tokok 

MUI Kota Malang yang menjadi informan dalam penelitian ini seluruhnya tidak 

sepakat mengenai pembolehan nikah mut’ah menurut M. Quraish Shihab yang 

mengatasnamakan darurat sebagai batas pembolehnya. Menurut para informan 

konsep darurat itu jikalau tidak dilakukan maka akan sangat berbahaya bagi 

orang yang tidak melakukannya seperti akan memicu   kematian, berbeda 

dengan pembolehan nikah mut’ah ini. Jika dilihat pembolehan nikah mut’ah ini 

didasarkan pada kondisi jika tidak dilakukan akan memicu   zina, maka 

hal ini   tidak disebut darurat sebab  masih ada solusi untuk menanganinya 

seperti melakukan kegiatan yang bisa mendekatkan diri kepada Allah SWT dan 

hal ini terlihat bukan seperti darurat melainkan hajat atau sebuah keinginan. 

Pendapat lain mengatakan bahwa jika nikah mut’ah diperbolehkan maka akan 

memicu  banyak kemadharatan bagi kaum wanita, sebab  pada dasarnya 

nikah mut’ah tidaklah tercatat dalam sistem perkawinan, sehingga mereka 

tidak mendapatkan perlindungan hukum. Di sisi lain nikah mut’ah juga akan memberikan peluang seorang laki-laki untuk memicu  penyakit menular 

seperti HIV.



MPernikahan yaitu  ritual   yang sakral dan signifikan bagi setiap penganut 

agama. Tujuan pernikahan yaitu  untuk membentuk keluarga yang bahagia dan 

abadi. Suami dan istri harus saling mendukung dan memenuhi kebutuhan satu 

sama lain, sehingga masing-masing dapat mengembangkan pribadi mereka guna 

mencapai kesejahteraan baik secara spiritual maupun materiil. Untuk mencapai 

tujuan pernikahan ini, hubungan suami istri harus didasari oleh cinta dan kasih 

sayang, serta berlandaskan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini diatur dalam 

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Oleh sebab  

itu, pernikahan sangat berkaitan dengan aspek agama atau spiritual, dan tidak 

hanya melibatkan faktor fisik tetapi juga faktor internal (rohani) yang sangat 

penting dalam pernikahan.1

Tidak semua pernikahan serta merta memiliki tujuan yang baik. Ada beberapa 

pernikahan yang dilarang dalam Islam dengan alas an merugikan salah satu pihak 

jika dilaksanakan meliputi pernikahan misyar, pernikahan muhaliil, pernikahan 

syihgar, dan pernikahan mut’ah. Dari empat jenis pernikahan yang dilarang 

dalam Islam, nikah mut'ah menjadi topik yang menarik untuk dikaji sebab  

konsepnya yang sementara atau bersifat kontrak, yang dianggap tidak relevan 

untuk masa kini. Nikah mut'ah yaitu  tradisi yang diwariskan dari warga   

pra-Islam, di mana pelaksanaannya bertujuan melindungi perempuan dalam 

suatu suku. Praktik ini mengalami berbagai perubahan selama masa pra-Islam. 

Pada masa Nabi Muhammad SAW, hukum nikah mut'ah berubah beberapa kali: 

diperbolehkan dua kali, dilarang dua kali, dan akhirnya dilarang secara permanen 

hingga saat ini. Pada era Sahabat, larangan dari Nabi Muhammad SAW umumnya 

diikuti oleh para Sahabat. Namun, masih ada beberapa pihak yang membolehkan 

nikah mut'ah, seperti yang dilakukan oleh Jabir bin Abdullah. Selama masa kekhalifahan Umar bin al-Khattab, beliau dengan tegas melarang nikah mut'ah 

dan mengancam hukuman rajam bagi yang melanggarnya. Larangan ini berhasil 

menghentikan praktik nikah mut'ah secara total dan diteruskan oleh generasi 

berikutnya. Dalam hal ini, Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata: “Tidak ada keraguan 

lagi, nikah mut’ah hanya diperbolehkan pada masa pra-Islam. Sebagian ulama 

berpendapat, bahwa ia dihalalkan kemudian dimansukhkan (dihapus), lalu 

dihalalkan kemudian dimansukhkan. Sebagian yang lain berpendapat, bahwa 

penghalalan dan pengharaman berlaku terjadi beberapa kali”.2

Dalam perspektif empat madzhab, dan sebagian besar shahabat dan Tabi’in 

yang disebutkan oleh kaum Sunni, nikah mut’ah tetap dilarang. Ada beberapa 

hal yang menjadi dasar terhadap pelarangan ini  , Yaitu: Pertama, pelarangan 

oleh Rasulullah SAW dalam beberapa Hadits. Menurut Ibnu Rusyd, menurutnya 

larangan ini sudah diketahui secara mutawatir dan sudah dikenal luas.3

 Menurut 

para ahli hadits, semua hadits, termasuk larangan ini, yaitu  shahih. Diantaranya 

yaitu  hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Shahih Muslim seperti di bawah ini:

“Dari Rabi` bin Sabrah, dari ayahnya Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya ia bersama 

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda: “Wahai, sekalian 

manusia. Sebelumnya aku telah mengizinkan kalian melakukan mut’ah dengan 

wanita. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengharamkannya hingga 

hari Kiamat. Barangsiapa yang mempunyai sesuatu pada mereka, maka biarkanlah! 

Jangan ambil sedikitpun dari apa yang telah diberikan”.4 Kedua, sebagian ulama 

berpendapat bahwa larangan nikah mut’ah dalam Islam yaitu  hasil dari ijma'. 

Ketiga, dilihat dari tujuann nya, sejak saat itu nikah mut’ah hanya berfungsi untuk 

memenuhi kebutuhan hawa nafsu, bukan untuk memelihara kesejahteraan serta 

memperoleh keturunan seperti yang diharapkan dari pernikahan.5

Sedangkan, dari sisi lain beberapa ulama lain di kalangan sahabat dan Tabi’in 

berpandapat sebaliknya, yakni pernikahan mut’ah masih diperbolehkan dengan 

berdasarkan Surat an-Nisa’ (4) 24:

“Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah 

kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban”.6

Ketika ulama Sunni mencoba menjelaskan larangan nikah mut'ah, justru

ulama Syiah sejak awal berbanding terbalik dengan memperbolehkan dan 

mempertahankannya hingga sekarang, bahkan sampai menjadikannya bagian 

dari hukum nikah yang dianut. Dengan demikian dalam padangan ulama mereka 

kawinan mut'ah diperbolahkan hingga saat ini, sebagaimana halnya dengan 

perkawinan permanen (pernikahan daim). Dalam pembahasan secara fiqih, Syiah 

percaya bahwa pernikahan mut'ah dapat diperbolehkan berdasarkan Al-Qur'an, 

Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.

7

 Mereka juga berpendapat bahwa mut’ah merupakan 

sebuah solusi untuk mencegah zina. Bahkan sebagian ulama mereka sampai 

mengeluarkan fatwa bahwa nikah mut’ah dapat mengampuni dosa, dan ada juga 

yang mengatakan bahwa seorang mukmin belum sempurna jika belum nikah 

mut’ah.

8

Perbedaan pendapat antara ulama Sunni dan Syiah mengenai status hukum 

nikah mut’ah merupakan fenomena yang sangat. Bahkan, mengenai persoalan 

waktu dan sejarah tentang pembolehan dan pelarangan mut’ah oleh Rasulullah 

SAW sendiri, para ulama masih berbeda pendapat, sehingga wajar jika ada yang 

berpikir panjang tentang nikah mut’ah, terutama jika berkaitan dengan hakikat 

pernikahan. Perbedaan ini semakin menjadi-jadi dengan fakta perkara ikhtilaf 

nikah mut’ah ini terjadi tidak dalam satu rumpun “aliran”, melainkan pada dua 

kubu yang diketahui telah lama berkonflik, yaitu Sunni dan Syiah.9

Perbedaan metodologi dalam menetapkan kriteria atau indikator keabsahan 

hadis menyebabkan Sunni dan Syiah memiliki penilaian yang berbeda terhadap 

hadis tentang nikah mut'ah. Kaum Syiah menolak hadis tentang nikah mut'ah

versi Sunni seperti yang tercantum dalam Shahih al-Bukhari ataupun Muslim, 

meskipun perawi terakhirnya yaitu  Ali bin Abi Thalib. Menurut Sunni, hadis ini 

menunjukkan bahwa izin nikah mut'ah telah dihapus (nasakh), namun menurut 

Syiah, nikah mut'ah justru didorong dan dibuat sistematis dalam bab-bab fikih. 

Akibatnya, yang terlihat bukan lagi perkataan Rasul, tetapi rekayasa sanad dan 

materi.


Kontradiksi mengenai status hukum nikah mut’ah ini juga terjadi di 

Indonesia tepatnya salah satu ulama ternama di Indonesia yang sangat masyhur, 

yaitu Quraish Shihab. Quraish Shihab yaitu  ulama yang beraliran Sunni, akan 

tetapi dalam salah satu buku karangannya yang berjudul “Perempuan” beliau 

mengeluarkan pendapat yang senada dengan Syaikh Muhammad Thahir Ibnu 

Asyur yang menyimpulkan bahwa nikah mut’ah itu diperbolehkan dalam keadaan 

darurat dan mendesak.11 Pembolehan M. Quraish Shihab ini tidak terlepas dari 

beberapa batasan-batasan dan syarat. Tentunya hal ini dinilai cukup kontroversial 

sebab  beliau yaitu  salah satu ulama terkemuka di Indonesia. Pendapat ini   

tidak hanya ada dalam bukunya yang berjudul Perempuan dari Cinta Sampai 

Seks, dari Nikah Mut'ah Sampai Nikah Sunnah, dari Bias Lama sampai Bias 

baru. Pendapat Quraish Shihab juga dapat ditemukan juga dalam berbagai 

seminar dan sebuah berita dari situs Majalah IJABI. Quraish Shihab tidak hanya 

membolehkan nikah mut’ah tapi juga membolehkan poligami.

Pemilihan M. Quraish Shihab sebagai tokoh yang akan penulis teliti yaitu  

sebab  beliau menaruh perhatian terhadap persoalan perkawinan yang selama ini 

terus berkembang, beliau merupakan salah satu tokoh di Indonesia yang banyak 

menyinggung kehidupan keluarga, perempuan dan statusnya dalam keluarga yang 

dibuktikan dengan salah satu karyanya yang berjudul: Perempuan: dari Cinta 

Sampai Seks, dari Nikah Mut'ah Sampai Nikah Sunnah, dari Bias Lama Sampai 

Bias Baru. Terlebih lagi beliau pernah menduduki posisi ketua MUI pusat pada 

tahun 1984 bahkan beliau juga pernah menjadi menteri agama pada tahun 1998 

yang menjadikan beliau salah satu ulama yang harus dipertimbangkan ketika 

melakukan pengkajian fiqih terlebih di Indonesia serta lantas bagaimana bisa 

terjadi kontradiksi antara keputusan M. Quraish Shihab dengan keputusan MUI 

itu sendiri yang mana mengharamkan nikah mut’ah di indonesia yang dimana 

notabenenya beliau juga p-ernah menjadi anggota dari lembaga ini  .

Dalam hal ini Peneliti juga akan mengkaitkan pendapat M. Quraish Shihab 

tentang batas-batas kebolehan nikah mut’ah dengan pendapat ulama dari 

organisasi lajnah Islam di Indonesia, yakni Majelis Ulama Indonesia (MUI) 

khusus nya yang ada di wilayah Kota Malang. Mengapa demikian, sebab  

organisasi ini memiliki peran yang sangat besar terhadap perkembangan Islam di 

Indonesia serta memiliki peran aktif dalam menyaring fatwa atau meneliti fatwa 

yang kemudian akan sampai ke umat Islam di Indonesia. Di lain itu organisasi 

ini memiliki sistem pencarian fatwa yang terbilang terorganisir dengan mewadahi 

para ulama, zu’ama dan cendikiawan Islam untuk membimbing, membina dan 

mengayomi umat Islam di Indonesia.Konsep pernikahan mut’ah ini dikemudian hari bisa saja akan disalah 

gunakan di Indonesia, terlebih lagi bagi peneliti, nikah mut’ah ini lebih banyak 

memicu  maslahat seperti yang disinggung oleh peneliti lain dengan 

menjelaskan seolah pernikahan mut’ah ini mengarah pada sumber dari bentuk 

pembebasan dari nafsu yang terus berlanjut. Ini menghancurkan fitrah (kodrat) 

dan moralitas serta bertentangan dengan syariah-Nya secara keseluruhan. 

Jika dipelajari secara mendalam, hubungan antara seorang pria dan wanita 

yang berkumpul dalam bentuk komunitas keluarga akan digambarkan sebagai 

keluarga yang mampu hidup dan memenuhi perintah-Nya dengan sempurna.12

Kontradiksi lain dari pembolehan nikah mut’ah ini dengan adanya persepsi 

bahwa adanya pandangan yang berbeda tentang kesesuaian nikah mut'ah dengan 

nilai-nilai pernikahan Islam yang lebih mapan. Beberapa orang menganggapnya 

bertentangan dengan prinsip pernikahan yang mengutamakan komitmen jangka 

panjang dan stabilitas keluarga. Misalnya, Dr. Tariq Ramadan menyatakan, 

"Nikah mut'ah bertentangan dengan prinsip dasar pernikahan dalam Islam, yang 

menekankan kesatuan jangka panjang, stabilitas, dan tanggung jawab antara 

suami dan istri."13

Berlandaskan uraian di atas, akan sangat menarik untuk mengkaji perkara 

nikah mut’ah dan juga batasan kebolehan nikah mut’ah oleh M. Quraish Shihab 

apakah di aminkan oleh Organisasi Islam di Indonesia yakni Majelis Ulama 

Indonesia yang ada di Kota Malang.

BATAS-BATAS KEBOLEHAN NIKAH MUT’AH PERSPEKTIF M. 

QURAISH SHIHAB

Fatwa M. Quraish Shihab Tentang Nikah Mut’ah

Berikut yaitu  kutipan M. Quraish Shihab dalam bukunya yang berjudul

Perempuan, dari Cinta Sampai Seks, dari Nikah Mut`ah Sampai Nikah Sunnah, 

dari Bias Lama Sampai Bias Baru :

“kalaulah pendapat tentang bolehnya mut’ah dapat diterima, -sekali lagi 

kalau ia dapat diterima- sebagai sesuatu yang bersifat kebutuhan yang sangat 

mendesak atau bahkan darurat, ini bukan berarti bahwa pergantian pasangan 

dapat dilakukan oleh siapa, kapan dan dengan perempuan apa saja”.14

Pernyataan ini mengesankan bahwa M. Quraish Shihab membolehkan nikah 

mut’ah, tetapi hanya dalam keadaan darurat dan tidak secara umum. Persetujuan ini bergantung pada siapa yang terlibat dalam nikah mut’ah ini  , sebab  

melegalkan nikah mut’ah bisa memberikan celah bagi laki-laki tidak bermoral 

dan perempuan yang tidak baik untuk melakukan perzinaan dengan dalih 

agama. Jika kita mencermati pandangan M. Quraish Shihab dan ulama lainnya, 

tampaknya M. Quraish Shihab mengizinkan nikah mut’ah dalam situasi darurat 

untuk menghindari perzinaan. Hal ini dapat dimengerti, misalnya, ketika seorang 

suami harus pergi untuk waktu yang sangat lama dan tinggal di tempat atau 

negara lain, sehingga dia membutuhkan pemenuhan kebutuhan biologis. Dalam 

situasi seperti itu, nikah mut’ah bisa dianggap sah sebab  alasan darurat untuk 

menghindari perzinaan. Keadaan mendesak ini dapat dilihat dari kutipan beliau 

dalam bukunya, yang berbunyi, "demikian terlihat bahwa ada syarat-syarat yang 

ditegaskan oleh para ulama yang membenarkan nikah mut’ah yang harus dipenuhi 

oleh mereka yang terpaksa melakukannya." Kata "terpaksa" dalam kutipan ini 

jelas menunjukkan situasi darurat. Dalam bukunya, beliau juga menetapkan 

beberapa batasan atau syarat untuk melakukan nikah mut’ah. Salah satu syarat 

yang disebutkan yaitu  bahwa perempuan yang dinikahi secara mut’ah haruslah 

perempuan yang terhormat. Kutipan beliau yang relevan berbunyi, "di sisi lain, 

perlu diingat oleh mereka yang bermaksud melakukan mut’ah, bahwa perempuan 

yang hendak dinikahi secara mut’ah haruslah perempuan yang terhormat." 

Dengan demikian, M. Quraish Shihab tidak membolehkan nikah mut’ah secara 

bebas, melainkan hanya dalam kondisi darurat dengan batasan-batasan tertentu, 

untuk mencegah terjadinya perzinaan yang berkedok agama.

Batas-Batas Kebolehan Nikah Mut’ah Perspektif M. Quraish Shihab

Penggalian informasi mengenai batas-batas nikah mut’ah, peneliti akan berfokus 

ke salah satu buku yang menjadi karangan beliau yang berjudul “Perempuan” dari 

“Cinta Sampai Seks, dari Nikah Mut`ah Sampai Nikah Sunnah, dari Bias Lama 

Sampai Bias Baru”. Dalam buku ini membahas mengenai seputar permasalahan 

wanita, meliputi permasalahan wanita secara pribadi seperti halnya hubungan 

pernikahan hingga permasalahan wanita secara umum dalam warga   seperti 

peran Wanita dalam politik dan sebagainya. Dan tentunya, dalam buku ini juga 

dibahas mengenai nikah mut’ah dalam pandangan M. Quraish Shihab, hal inilah 

yang menjadikan buku ini sebagai dasar data primer dalam penelitian ini.

Dalam buku ini  , M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa Nikah Mut'ah 

merupakan salah satu hal yang diperbincangkan di berbagai kalangan dari dulu 

hingga sekarang. Ada yang menyatakan halal, dan ada juga yang menegaskan 

keharamannya. Ada juga yang memperbolehkan jika dalam kebutuhan mendesak 

atau darurat.15 Banyak orang yang salah paham tentang hal ini sehingga ada yang menyamakannya dengan zina, meskipun para ulama yang mengharamkannya 

tidak berpendapat demikian. Salah satu penyebab kesalahpahaman ini yaitu  

adanya praktik zina yang dilakukan atas nama nikah mut'ah, atau sebab  mereka 

yang melakukannya tidak mengikuti syarat-syarat yang ditetapkan oleh para ulama 

yang menghalalkan nikah mut'ah. Pernikahan dimaksudkan untuk melanjutkan 

keturunan, dan keturunan itu sebaiknya dipelihara dan dididik oleh kedua orang 

tuanya. Hal ini tidak dapat dicapai jika pernikahan hanya berlangsung beberapa 

hari, bahkan beberapa tahun sekalipun. Pendapat tentang mut’ah, baik mengenai 

kehalalannya atau keharamannya serta syarat-syaratnya, berbeda-beda. Masing￾masing pihak memiliki alasan tersendiri sehingga para ulama sepakat bahwa 

nikah mut’ah yang memenuhi syarat-syaratnya tidak identik dengan perzinaan. 

Kita juga bisa mengatakan bahwa, jika alasan ulama Syiah diakui oleh ulama 

Sunni, tentu ulama Sunni tidak akan mengharamkan mut’ah. Sebaliknya, jika 

ulama Syiah puas dengan alasan-alasan ulama Sunni, mereka tentu tidak akan 

menghalalkannya.16

Dalam perkara nikah mut'ah, M. Quraish Shihab mengutip pendapat 

Syaikh Muhammad Thahir Ibnu Asyur, seorang ulama besar dari Tunisia, yang 

menyimpulkan bahwa Rasulullah SAW mengizinkan nikah mut'ah dua kali 

dan melarangnya dua kali. Menurut Ibnu Asyur, larangan ini   bukanlah 

pembatalan, melainkan penyesuaian dengan kondisi yang mendesak atau darurat. 

Ibnu Asyur berpendapat bahwa nikah mut'ah dipraktikkan pada masa khalifah 

Abu Bakar ra. dan Umar bin Khattab ra., namun keduanya melarangnya secara 

permanen pada akhir masa jabatan mereka. Ibnu Asyur, yang bermazhab Sunni 

Maliki, menyimpulkan bahwa nikah mut'ah hanya diperbolehkan dalam keadaan 

darurat, seperti dalam perjalanan jauh atau perang bagi yang tidak membawa 

istri. Menurut Quraish Shihab, jika pendapat tentang bolehnya mut'ah diterima 

sebagai kebutuhan mendesak atau darurat, ini tidak berarti bahwa pergantian 

pasangan dapat dilakukan oleh siapa saja, kapan saja, dan dengan perempuan 

mana saja, Inilah konsep mendesak yang secara tersirat disampaikan oleh Quraish 

Shihab dalam bukunya. sebab  menurut beliau dengan melegalkan nikah mut'ah 

dapat membuka peluang bagi lelaki tidak bermoral dan perempuan yang tidak 

baik untuk melakukan perzinaan atas nama agama.17 Tentunya dimata peneliti 

hal ini juga akan memicu  kemadharatan sebab  konsepnya yang hamper 

dekat dengan zina.

Kesalahpahaman mengenai nikah mut'ah sering terjadi, dengan 

beberapa orang menyamakannya dengan zina, meskipun para ulama yang

mengharamkannya tidak berpendapat demikian. Kesalahpahaman ini sering kali 

timbul sebab  adanya praktik zina yang dilakukan atas nama nikah mut'ah atau 

sebab  pelakunya tidak memperhatikan syarat-syarat yang ditetapkan oleh ulama 

yang membolehkannya. Salah satu tujuan utama pernikahan yaitu  melanjutkan 

keturunan yang sebaiknya dipelihara dan dididik oleh kedua orang tuanya, yang 

tentu saja tidak dapat dicapai jika pernikahan hanya berlangsung beberapa hari 

atau bahkan beberapa tahun sekalipun. Apabila mencermati dan menyikapi 

pendapat M. Quraish Shihab dan pendapat ulama lain, maka tampaknya M. 

Quraish Shihab membolehkan nikah mut’ah dalam situasi darurat sebab  untuk 

menghindari perzinaan. Hal ini bisa dimengerti apabila seorang suami pergi dalam 

waktu yang sangat lama dan menetap di suatu tempat atau negeri lain tentunya 

membutuhkan terpenuhinya kebutuhan biologis, maka nikah mut'ah dapat 

dibenarkan sebab  alasan darurat untuk menghindari perzinaan. Hal mendesak 

ini   bisa dilihat dari kutipan beliau dalam bukunya yakni “demikian terlihat 

bahwa ada syarat-syarat yang ditegaskan oleh para ulama yang membenarkan 

nikah mut’ah yang harus dipenuhi oleh mereka yang terpaksa melakukannya”.18

Kata "terpaksa" dalam kutipan ini jelas mengindikasikan keadaan mendesak. 

Selain itu, dalam bukunya juga disebutkan beberapa batasan atau syarat jika 

melakukan nikah mut’ah.

Batasan pertama yang disebutkan dalam bukunya yaitu  bahwa nikah mut'ah 

sebaiknya tidak dilakukan oleh seseorang yang sudah memiliki istri, hal ini bersifat 

himbauan, dan menjadi boleh dilakukan jika seseorang jauh dari istrinya. Hal ini 

dikutip dari pernyataan Imam Ja’far ash-Shadiq as., salah satu imam mazhab 

Syiah, yang menjawab pertanyaan seorang suami tentang nikah mut'ah dengan 

mengatakan, "Apa hubunganmu dengan itu? Allah telah menjadikanmu tidak 

membutuhkannya". Indikasi ini menunjukkan bahwa seseorang yang sudah dekat 

dengan istrinya dan terpenuhi kebutuhan biologisnya sebaiknya tidak melakukan 

mut'ah. Selain itu, Imam ash-Shadiq dalam kesempatan lain menyatakan bahwa 

"mut'ah diperbolehkan bagi yang belum dianugerahi pasangan, namun jika sudah 

menikah, maka itu boleh jika jauh dari istrinya." Hal ini menunjukkan bahwa 

keadaan jauh dari istri bagi seorang suami menjadi kondisi mendesak, terkait 

dengan kebutuhan biologisnya. Oleh sebab  itu, untuk menghindari zina, nikah 

mut'ah menjadi boleh baginya.

Kemudian mengenai batasan atau ketentuan beliau selanjutnya juga 

mengutip dari buku beliau yang berbunyi “disisi lain, perlu diingat oleh mereka 

yang bermaksud melakukan mut’ah, bahwa perempuan yang hendak dinikahi

secara mut’ah haruslah perempuan yang terhormat”19. Hal ini beliau kutip 

dari pernyataan imam ja’far ash-shadiq Ketika ditanta tentang mut’ah beliau 

menjawab “mut’ah halal tetapi janganlah menikah kecuali dengan perempuan 

yang suci/ terhormat. Allah berfirman (tentang orang mukmin); mereka itu 

yaitu  pemelihara-pemelihara kemaluan mereka”.

Pendapat M. Quraish Shihab pada dasarnya tidak hanya menguntungkan 

pihak pria tapi juga wanita. Jika nikah mut'ah dilarang, padahal kondisinya 

memenuhi syarat untuk melakukannya, maka banyak suami mungkin akan 

menyalurkan kebutuhan biologisnya melalui perzinaan, seperti melacur. Hal 

ini justru bisa membahayakan sebab  penyakit menular ini   dapat tersebar 

kepada istri mereka.

PANDANGAN TOKOH MEJELIS ULAMA INDONESIA (MUI) KOTA 

MALANG TERHADAP FATWA M. QURAISH SHIHAB TENTANG 

BATAS-BATAS DIPERBOLEHKANNYA NIKAH MUT’AH

Fatwa MUI tentang Nikah Mut’ah

Tanggal 25 Oktober tahun 1997, Majelis Ulama Indonesia dengan ketua umum 

masih dipegang oleh KH. Hasan Basri pernah mengeluarkan fatwa seputar nikah 

mut’ah dengan putusan sebagai berikut :

Dengan memohon taufiq dan hidayah dari Allah SWT, memutuskan serta 

menetapkan :

1. Nikah mut’ah hukumnya yaitu  HARAM.

2. Pelaku nikah mut’ah harus dihadapkan ke pengadilan sesuai dengan 

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. Surat keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan bila 

dikemudian hari terdapat kekeliruan dalam keputusan ini akan diadakan 

pembetulan sebagaimana mestinya.20

Adapun dalam memutuskan hukum nikah mut’ah di Indonesia ini, MUI 

menetapkannya dengan dasar beberapa alasan/ dalil yang amat relevan terhadap 

pelarangan nikah mut’ah ini, diantaranya seperti disebutkannya dalil dari Al￾Qur’an yakni dalam QS. Al-Mukminun yang menjelasakan seputar kedudukan 

wanita yang dinikahi dengan jalan mut’ah memiliki perbedaan yang amat kontras 

dengan wanita yang dinikahi secara akad nikah yang sebenarnya. Kemudian 

dengan memaparkan dalil dari hadits Rasulullah SAW dengan menasakh hukum 

nikah mut’ah yang memang sebelumnya telah diperbolehkan sebagai rukhsah 

dan pada akhirnya dilarang untuk selamanya.

Implementasi Praktik Pernikahan Dalam Undang-Undang Perkawinan 

di Indonesia.

Di Indonesia sendiri, peraturan perundang-undangan yang memegang peran 

sebagai acuan dalam perkawinan yaitu  Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. 

Konsep perkawinan yang dijelaskan dalam undang-undang ini bisa kita lihat dari 

pasal 1 mengenai pengertian perkawinan sebagai berikut:

Pasal 1

Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang 

wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) 

yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.21

Penjelasan terhadap pasal ini menunjukkan bahwa perkawinan yaitu  suatu 

ikatan yang bersifat kuat, baik lahir maupun batin serta teguh dengan pendirian 

dan niat untuk bergaul secara halal antara suami dan istri dengan dasar ketaatan 

kepada Allah SWT. Kemudian dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan 

dalam Buku 1 tentang Hukum Perkawinan Bab 2 Pasal 2 dan 3 yang disebutkan:

Pasal 2

Perkawinan menurut hukum Islam yaitu  pernikahan, yaitu akad yang 

sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan 

melaksanakannya merupakan ibadah.

Pasal 3

Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang 

sakinah, mawaddah, dan rahmah.22

Dua pasal di atas dengan jelas menunjukkan bahwa pernikahan dilakukan 

berdasarkan ketaatan kepada Allah SWT dan pelaksanaannya dinilai sebagai 

suatu ibadah serta tujuan dilakukan pernikahan ini   yakni untyk mewujudkan 

kehidupan rumah tangga yang bahagia yakni sakinah, mawaddah dan Rahmah. 

Hal memiliki arti tersirat bahwa pernikahan bukanlah bersifat sementara akan 

tetapi selamanya disebab kan tiga tujuan yang terdapat dalam pasal ini   

sebagai himpunan dari kebahagiaan dari pernikahan tidak dapat didapat dengan 

pernikahan yang hanya bersofat sementara.

Kemudian dalam pasal 5 ayat satu (1) disebutkan:

Pasal 5

1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi warga   Islam setiap perkawinan 

harus dicatat.23

Ayat dalam pasal ini secara jelas menjelaskan bahwa pernikahan yang 

dilakukan oleh seluruh warga   di Indonesia harus jelas tercatatkan 

dan dilaksanakan dalam pengawasan pegawai pencatat nikah. Sedangkan perkawinan yang tidak tercatat serta dilakukan di luar dari pengawasan 

pegawai pencatat nikah atau yang biasanya disebut nikah siri atau nikah 

illegal, pernikahan ini   tidak memiliki kekuatan hukum. Hal ini juga jelas 

disebutkan dalam pasal 6 ayat 2 yang berbunyi:

Pasal 6

2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah 

tidak mempunyai kekuatan Hukum.24

Dapat disimpulkan bahwa pernikahan yang dilaksanakan di Indonesia 

harus tercatat oleh pegawai pencatat nikah yang berwenang. Hal ini sebab  

pernikahan yang tidak tercatat secara resmi tidak memiliki kekuatan hukum, 

yang dapat mempengaruhi status hukum suami dan istri. Selain itu, jika 

pernikahan tidak tercatat, masa depan anak hasil pernikahan ini   juga 

bisa terpengaruh. Berdasarkan pengalaman peneliti, sebab  pentingnya 

pencatatan pernikahan, pihak yang belum cukup umur untuk menikah harus 

mengajukan permohonan dispensasi nikah di Pengadilan Agama dengan 

pengantar dari KUA (Kantor Urusan Agama) yang berwenang.

Dengan demikian konsep nikah mut’ah ini memang sudah sangat tidak 

relevan dengan peraturan perundang undangan yang ada di Indonesia. Konsep 

nikah mut'ah, yang pada dasarnya bersifat sementara dan tidak permanen, 

bertentangan dengan esensi perkawinan yang diatur dalam UU Perkawinan di 

Indonesia yang menekankan pada kesetiaan, saling pengertian, dan tujuan untuk 

membentuk keluarga yang harmonis, kekal, dan sejahtera. Oleh sebab  itu, 

konsep nikah mut'ah ini sudah sangat tidak relevan dengan peraturan perundang￾undangan yang ada di Indonesia.

PANDANGAN TOKOH MEJELIS ULAMA INDONESIA (MUI) KOTA 

MALANG TERHADAP FATWA M. QURAISH SHIHAB TENTANG 

BATAS-BATAS DIPERBOLEHKANNYA NIKAH MUT’AH

Berdasarkan hasil wawancara yang telah peneliti lakukan, maka diperoleh 

beberapa pendapat atau pandangan dari tokoh-tokoh Majelis Ulama Indonesia 

(MUI) Kota Malang mengenai fatwa M. Quraish Shihab tentang nikah mut’ah. 

Adapun hasil dari wawancara para informan sebagai berikut:

1) H. Farid Hamidy, Lc. Beliau yaitu  anggota komisi fatwa dan ekonomi 

syariah Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan anggota Corps Mubaligh 

Muhammadiyah (CMM) Kota Malang. Beliau secara tegas tidak setuju 

dengan pendapat ulama yang membenarkan/ membolehkan nikah mut’ah

dengan alasan apapun, mendesak atau darurat untuk menghindari perzinaan, 

nikah mut’ah tidak dapat diterima (haram). Sebagaimana fatwa MUI yang menghukumi haram suatu pernikahan dengan adanya batas waktu tertentu 

atau nikah mut’ah apapun alasannya. Sebagaimana yang telah diungkapkan 

oleh Ustadz H Farid Hamidy, Lc., :

“Tentang nikah Mut’ah, dalam prinsip hukum Ad-Daruratu Tubihul 

Mahdhurat menyatakan bahwa dalam keadaan mendesak atau darurat, yang 

sebelumnya dianggap haram dapat menjadi halal. Batasan darurat yaitu  

situasi di mana tindakan yang tidak diambil dapat membahayakan diri atau 

bahkan memicu   kematian. Beberapa ulama menetapkan bahwa situasi 

darurat yaitu  ketika tindakan tidak diambil akan menyebabkan kematian, 

seperti kelaparan 3-5 hari tanpa makanan halal dan hanya ada daging babi 

sebagai opsi. Prinsip ushul fiqhnya, al-Darurah Taqaddanu Bi Qadariha, 

mengizinkan keringanan hukum dalam keadaan darurat. Namun, alasan 

menggunakan nikah mut’ah untuk menghindari perzinaan dipertanyakan. 

Pernikahan berulang tidak dapat menjamin bebas dari perzinaan. Jika 

seseorang terpaksa melakukan nikah mut’ah, “terpaksa” harus diartikan 

dengan hati-hati. Terpaksa dapat diterima jika gairah biologis dialihkan ke 

aktivitas positif, seperti meningkatkan ibadah dan partisipasi dalam kegiatan 

sosial, sebagai alternatif menghindari perzinaan. Penting dicatat bahwa 

hingga saat ini, negara tidak mengakui nikah mut’ah, yang bertentangan 

dengan hukum peraturan perkawinan dan KHI di Indonesia.Top of Form”25

Kesimpulan dari pendapat beliau ini yaitu  perihal mendesak dalam konteks 

pembolehan M. Quraish Shihab terhadap nikah mut’ah kuranglah tepat. 

sebab  dalam pandangan beliau yang dikatakan mendesak yaitu  dimana 

jika tidak melakukan hal ini   maka akan memicu  hal yang amat 

fatal. Dan jika dilihat, darurat dalam konteks pembolehan nikah mut’ah ini 

tidak sampai pada hal ini   sebab  sebesar nafsu seseorang pasti bisa 

direda dengan melakukan kegiatan yang lain seperti mendekatkan diri kepada 

Allah SWT. Alhasil beliau tidak setuju dengan pendapat M. Quraish Shihab 

ini.

2) Drs. KH. Chamzawi Syakur, M.HI., Beliau yaitu  wakil ketua umum Majelis 

Ulama Indonesia (MUI) Kota Malang dan juga pengasuh Ma’had ‘Aliy 

Sunan Ampel Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. 

Beliau tidak sependapat dengan M. Quraish Shihab dan niatnya mesti tidak 

baik seperti nikah untuk diceraikan. Nikah mut’ah hanya diperbolehkan 

pada masa pra-Islam, pada masa Umar sudah tidak diperkenankan. Sampai 

sekarang ulama-ulama tidak ada yang mengizinkan nikah mut’ah, kecuali 

ulama Syi’ah. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Drs. KH. Chamzawi 

Syakur, M.HI., :“Nikah mut’ah mirip dengan nikah biasa dalam syarat rukun, nafkah, dan 

masa iddah. Meskipun sebagian setuju, saya tidak setuju dan lebih condong 

pada nikah biasa. keadaan darurat diterapkan pada barang haram dengan 

ukuran Keadaan “tidak makan sampai mati.” Nikah mut’ah pernah ada 

pada zaman Nabi dan pra-Islam, namun dilarang pada zaman Umar. Nikah 

mut’ah dianggap berbahaya jika hanya untuk sementara dan diakhiri dengan 

cerai. Nikah mut’ah harus dilakukan dengan perempuan baik-baik, tetapi hal 

ini bisa berpotensi seperti prostitusi jika dilakukan berulang kali. Motivasi 

menikah mut’ah harus jelas, hindari nikah jika memiliki kecenderungan 

menyakiti orang. Jika jauh dari isteri, sebaiknya pulang ke rumahnya. Nikah 

dengan orang luar negeri dapat memicu  masalah, terutama jika tidak 

terekspos. Dalam taliqu ta’laq, suami yang tidak menafkahi isteri dapat jatuh 

talak jika tuntutan nafkah tidak terpenuhi selama beberapa bulan berturut￾turut.”26

Dengan demikian, beliau ikut dengan pendapat H. Farid Hamidy yakni tidak 

sepakat dengan pendapat M. Quraish Shihab tentang nikah mut’ah. Dalam 

pandangan beliau konsep darurat yaitu  yang memicu   hal yang fatal 

seperti pendapat yang pertama. Dan jikalau nikah mut’ah tidak bersifat 

selamanya berarti sama saja dengan talaq, dan hal ini   merupakan 

kehalalan yang paling dibenci dalam Islam.

3) Dr. Hj. Muslihati, S.Ag., M.Pd., Beliau yaitu  anggota dari komisi 

pemberdayaan dan perlindungan keluarga Majelis Ulama Indonesia (MUI) 

Kota Malang dan ia juga aktif pada organisasi warga   PC Muslimat NU 

Kota Malang. Beliau berpendapat bahwasan nya kurang mendukung pendapat 

dari M. Quraish shihab tentang bolehnya nikah mut’ah. Sebagaimana yang 

diungkapkan oleh Dr. Hj. Muslihati, S.Ag., M.Pd., :

“Pernikahan mut’ah berdampak besar pada perempuan, terutama dalam hak 

sipil, status, pengakuan anak, dan aspek ekonomi. Saya tidak sepenuhnya 

mendukung pandangan ini  , terutama jika perempuan masih gadis, 

belum menikah, dan belum mandiri secara finansial. Dampaknya tidak 

hanya pada dirinya sendiri, tetapi juga pada keinginan hidup anak. Namun, 

jika perempuan siap menerima konsekuensinya dan dapat mengelolanya, 

pilihan ini   merupakan haknya.”27

Beliau tidak sependapat dengan pendapat M. Quraish Shihab ini. 

Pembolehan nikah mut’ah dengan alasan apapun dinilai sangat merugikan 

pihak perempuan, pun demikian dengan anak hasil nikah mut’ah ini  .

4) Prof. Dr. Hj. Tutik Hamidah, M.Ag., Selaku komisi pendidikan, penelitian & 

pengembangan dan kaderisasi Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Malang dan saat ini ia menjabat sebagai aktivis Kongres Ulama Perempuan Inonesia 

(KUPI). Beliau berpendapat bergonta-ganti pasangan yaitu  salah satu 

penyebab penyakit menular human immunodeficiency virus (HIV), sebab  

itu berkaitan dengan medis bahaya, beliau cenderung untuk tidak setuju. 

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Prof. Dr. Hj. Tutik Hamidah, M.Ag., :

“Dalam buku Quraish Shihab, alasan mendesak untuk menikah mut’ah 

dipahami dalam konteks kekhawatiran terjerumus ke dalam zina atau 

ketidaktersediaan isteri dalam jangkauan suami, terutama jika berada di 

provinsi, pulau, atau negara yang berbeda. Imam Syiah mensyaratkan nikah 

mut’ah dengan wanita terhormat, bukan pezina. Keperluan seks dianggap 

sebagai kebutuhan dasar, namun disarankan mencari cara untuk mengalihkan 

pikiran dari kebutuhan ini  . Nikah mut’ah dinilai merugikan pihak isteri 

sebab  tidak mendapatkan waris dan akta, meski mungkin ada kompensasi. 

Keberlanjutan pernikahan mut’ah berisiko bagi istri dan suami, terutama jika 

menjadi kebiasaan atau profesi, yang dapat meningkatkan risiko penularan 

HIV. Oleh sebab  itu, saya tidak setuju dengan nikah mut’ah sebab  dianggap 

membahayakan bagi perempuan dan laki-laki, terutama dalam konteks 

bahaya gonta-ganti pasangan.”28

Dalam pandangan beliau nikah mut’ah memiliki banyak hal madharat. Seperti 

bisa menjadi kebiasaan bergonta-ganti pasangan yang mana dapat memicu  

HIV AISD. Oleh sebab  itu beliau juga tidak sependapat dengan M. Quraish 

Shihab ini.

Demikian hasil wawancara dari para informan, yang berbeda-beda dalam 

mengungkapkan pendapatnya, yang kemudian akan menjadi sumber data primer 

dalam penelitian ini.

PENDAPAT TOKOH-TOKOH MUI KOTA MALANG TERHADAP 

FATWA M. QURAISH SHIHAB

Sebagaimana data yang peneliti peroleh dan kumpulkan melalui wawancara 

para informan yang kemudian peneliti simpulkan, sebagai berikut:

a) H. Farid Hamidy, Lc.

Dari hasil wawancra yang telah dilaksanakan, kesimpulan paling jelas 

dari beliau yaitu  tidak setuju. Dalam hal ini beliau membantah akan batas 

pembolehan dari nikah mut’ah menurut M. Quraish Shihab yaitu  darurat 

dengan artian pendapat ini seolah mengikuti kaidah fiqhiyyah yakni Ad-Daruratu 

Tubihul Mahdhurat yang berarti mendesak bisa menjadikan yang haram menjadi 

halal. Padahal sudah jelas kaidah ini diperbolehkan jika memang jika tidak menerjang hal yang telah diharamkan ini   akan memicu  sesuatu yang 

membahayakan bagi si pelaku seperti kematian. Sangat berbeda dengan konsep 

darurat yang dijadikan batas pembolehan nikah mut’ah oleh M. Quraish Shihab.

Jika batasan yang dikemukakan oleh M. Quraish Shihab untuk membolehkan 

nikah mut’ah yaitu  keadaan darurat seperti menjauhi dari zina, maka apakah ada 

jaminan bahwa seseorang yang telah menikah tidak akan melakukan zina lagi. 

Dalam hal ini penjelasan dari H. Farid Hamidy, Lc. Seolah menegaskan bahwa 

batas pembolehan nikah mut’ah oleh M. Quraish Shihab bukanlah suatu hal 

yang bisa dibilang kebutuhan darurat yang amat mendesak, malah seolah disini 

jikalau harus melakukan nikah mut’ah untuk menahan gairah biologis maka hal 

ini   seolah seperti suatu hajat manusia yang harus dipenuhi dan bukan suatu 

hal yang darurat.

Perlu diketahui bahwasanya dharurat dan hajat memiliki solusi yang berbeda 

dimana jikalau kondisi dharurat ini jika tidak dilaksanakan akan membahayakan 

si pelaku dan jalan keluar satu-satunya yaitu  menerjang kemadharatan lain 

ini  . Sedangkan hajat ini yaitu  sesuatu yang bila tidak dilaksanakan, maka 

bisa mendatangkan bahaya, akan tetapi masih bisa diganti dengan yang lain

Dalam hal ini perlu dilakukan pencermatan lagi bahwa hawa nafsu 

biologis manusia apakah jika tidak dipenuhi akan memicu  kematian atau 

kemadharatan yang amat besar atau tidak. Dalam hal ini mari kita lihat lagi dalam 

hadits Rasulullah SAW dalam anjuran menikah yang diriwayatkan oleh Bukhari 

dan Muslim sebagai beriku:

Artinya, "Wahai para pemuda, siapa saja di antara kalian yang sudah mampu 

menanggung nafkah, hendaknya dia menikah. sebab  menikah lebih mampu 

menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Sementara siapa saja yang tidak 

mampu, maka hendaknya ia berpuasa. sebab  puasa bisa menjadi tameng syahwat 

baginya". (HR Bukhari & Muslim)

Dalam hadits ini sepertinya sudah jelas bahwasanya nafsu biologis yaitu  

sesuatu yang bersifat hajat dan bukan suatu hal yang darurat. Rasulullah SAW 

sendiri bahkan menganjurkan jika tidak kuat untuk menikah maka berpuasalah 

(untuk menahan nafsu). Maka bisa disimpulkan bahwa jika nikah mut’ah sebagai 

satu-satunya solusi untuk menghindari perilaku zina yaitu  pernyataan yang 

tidak benar, bahkan disini H. Farid Hamidy Lc. bisa dikatakan memberikan 

solusi lain selain nikah mut’ah yakni dengan memperbanyak ibadah atau bisa 

lebih bersosialisasi dalam warga  . Lebih lanjut alasan diharamkannya nikah 

mut’ah di fatwa MUI dinilai sudah sangat jelas, yakni Fatwa MUI tanggal 25 oktober 1997M/ 22 Jumadil ‘akhir 1418H tentang nikah mut’ah dengan 

keputusan sebagai berikut :

1. Nikah mut’ah hukumnya yaitu  HARAM.

2. Pelaku nikah mut’ah harus dihadapkan ke pengadilan sesuai dengan 

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. Surat Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan bila 

dikemudian hari terdapat kekeliruan dalam keputusan ini akan diadakan 

pembetulan sebagaimana mestinya.

Dalam hal ini sudah paling jelas bahwa memang nikah mut’ah pada dasarnya 

telah diharamkan sejak lama oleh MUI.

b) Drs. KH. Chamzawi Syakur, M.HI.

Drs. KH. Chamzawi Syakur, M.HI memiliki pendapat yang hampir sama 

dengan pendapat Ustadz Ahmad Farid Khamidi, Lc. yakni tidak mendukung 

pendapat M. Quraish Shihab terhadap batas-batas pembolehan nikah mut’ah 

yang berupa keadaan darurat. Pendapat beliau kurang lebih sama dengan pendapat 

Ustadz Ahmad Farid yakni keadaan dikatakan darurat oleh M. Quraish Shihab 

dalam hal membolehkan nikah mut’ah ini bukanlah hal dharurat sangat dharurat 

dan tidak memicu  bahaya yang fatal jika tidak dilaksanakan. Sangat berbeda 

dengan kaidah fiqhiyyah Ad-Daruratu Tubihul Mahdhurat.

Jikalau memang darurat dalam pembolehan nikah mut’ah yaitu  sebab  

menahan hawa nafsu sebab  alasan jauh dari istri, dan menikahi wanita lain 

dengan cara mut’ah dengan tujuan diceraikan lagi, maka hal ini   bisa 

dibilang seperti prostitusi jika diperbolehkan. Hal ini   dinilai sangat tidak 

bermoral jika terjadi. Tambah beliau jika darurat yang dimaksud untuk nikah 

mut’ah yaitu  untuk menahan hawa nafsu berzina, maka kenapa tidak sekalian 

menikah secara resmi/ menikah seperti halnya umumnya (beliau disini seperti 

menyiratkan poligami).

Jelas beliau seperti menyiratkan bahwa nikah mut’ah yaitu  fenomena 

zaman Rasulullah SAW yang tidak relevan dengan masa sekarang. Pada zaman 

Rasulullah, saat itu Rasulullah mengizinkan tentaranya yang terpisah jauh dari 

istrinya untuk melakukan nikah mut’ah, dari pada melakukan penyimpangan. 

Namun kemudian Rasulullah mengharamkannya ketika melakukan pembebasan 

kota Mekah pada tahun 8 H / 630 M.

Nikah mut’ah di awal-awal Islam dihukumi halal lalu dinaskh (dihapus). 

Nikah ini menjadi haram hingga hari kiamat. Demikianlah yang menjadi 

pegangan jumhur (mayoritas) sahabat, tabi’in dan para ulama madzhab (Shahih 

Fiqh Sunnah, 2: 99). Dari Sabroh Al Juhaniy radhiyallahu ‘anhu, ia berkata.“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan kami untuk 

melakukan nikah mut’ah pada saat Fathul Makkah ketika memasuki kota Makkah. 

Kemudian sebelum kami meninggalkan Makkah, beliau pun telah melarang kami 

dari bentuk nikah ini  .” (HR. Muslim no. 1406)

Diantara perang-perang ini   yaitu  perang Khaibar, Umrah Qadha, 

perang Authas, Fathul Makkah, Haji Wada’ dan Perang Tabuk. Di sanalah 

baginda Nabi memberi keringanan untuk nikah dengan penduduk di tempat 

mereka mempertaruhkan nyawa untuk membela agama. Setelah selesai perang, 

putuslah tali pernikahan itu sebab  kontraknya telah habis.

c) Dr. Hj. Muslihati, S.Ag., M.Pd.

Dr. Hj. Muslihati, S.Ag., M.Pd. juga mengemukakan ketidak setujuannya 

terhadap batas-batas diperbolehkannya nikah mut’ah oleh M’ Quraish Shihab. 

Dasar ketidak setujuan beliau ini sebab  nikah mut’ah dinilai akan sangat 

merugikan bagi pihak wanita terlebih jika wanita ini   memiliki seorang anak. 

Terlebih (dengan tersirat) jika anak ini   yaitu  anak yang lahir dari hasil 

hubungan nikah mut’ah. Hal ini tidak terlepas seperti apa yang telah di sebutkan 

dalam fatwa MUI dengan pertimbangan bahwa nikah mut’ah ini tidak akan 

memberikan efek waris bagi pelakunya serta iddah mut’ah sangatlah berbeda 

dengan pernikahan biasa. Hal ini tidak terlepas dari fakta bahwa pernikahan 

mut’ah memang bisa dikatakan pernikahan illegal alias tidak tercatatkan oleh 

pegawai pencatat nikah dan tentunya tidak ada data yang valid terhadap bukti 

pernikahan ini  .

Pencatatan perkawinan yang diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan, 

merupakan hal yang sangat urgen sebab  dapat memberikan jaminan perlindungan 

serta kepastian hukum terkait dengan status perkawinan dan memberikan jaminan 

ketertiban dalam kehidupan berwarga  . Artinya ketentuan yang terdapat 

dalam Pasal 2 ayat (2) itu mempunyai fungsi untuk mengatur dan merekayasa 

interaksi sosial warga  .

Sementara nikah mut’ah yaitu  suatu pernikahan yang hanya dianggap 

sementara dengan perjanjian untuk sementara waktu, dan tidak sesuai dengan 

tujuan dari pernikahan itu, seperti halnya hak yang akan didapatkan dari suatu 

pernikahan seperti hak sipil meliputi hak suami atas kewajiban memberikan 

nafkah kepada isteri, hak pencatatatan sipil atau akta nikah yang jika di kemudian 

hari dalam pernikahan itu terjadi sesuatu maka akan mendapatkan perlindungan 

hukum, dan lain sebagainya, seperti halnya hak-hak yang tidak didapatkan dari 

pernikahan sunnah pada umumnya.

d) Prof. Dr. Hj. Tutik Hamidah, M.Ag.

Prof. Dr. Hj. Tutik Hamidah, M.Ag. juga mengemukakan ketidaksetujuannya 

terhadap fatwa M. Quraish Shihab ini. Diantara alasan beliau yaitu  sikap nikah mut’ah yang seperti bergonta ganti pasangan ini akan memicu  hal-hal 

negatif seperti penyebaran penyakit dan lain sebagainya. Salah satu penyakit yang 

disebutkan oleh beliau yaitu  Human Immunodeficiency Virus (HIV).

Human Immunodeficiency Virus (HIV) yaitu  sejenis virus yang menginfeksi 

sel darah putih yang menyebabkan turunnya kekebalan tubuh manusia. Acquired 

Immune Deficiency Syndrome (AIDS) yaitu  sekumpulan gejala yang timbul 

sebab  turunnya kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi oleh HIV. Penderita 

HIV memerlukan pengobatan dengan Antiretroviral (ARV) untuk menurunkan 

jumlah virus HIV di dalam tubuh agar tidak masuk ke dalam stadium AIDS, 

sedangkan penderita AIDS membutuhkan pengobatan ARV untuk mencegah 

terjadinya infeksi oportunistik dengan berbagai komplikasinya.

AIDS merupakan tahap terakhir dan paling serius dari infeksi virus HIV. 

Orang dengan AIDS memiliki sel darah putih dalam jumlah rendah dan sistem 

kekebalan tubuh yang mulai melemah. Tanpa pengobatan yang intensif, infeksi 

HIV dapat berkembang menjadi AIDS dalam waktu sekitar 10 tahun.

Untuk itu sangat tidak dianjurkan atau bahkan dikecam agar tidak bergonta￾ganti pasangan untuk hindari melakukan kontak langsung dengan cairan tubuh 

orang lain. Salah satunya yaitu dengan menikah hanya untuk semestara waktu 

(nikah mut’ah) kemudian menikah lagi selesai dan menikah lagi.

Berdasarkan hasil wawancara dan analisa dari peneliti, maka ada beberapa 

point kesimpulan yang menyebabkan para narasumber mufakat untuk tidak 

sependapat dengan konsep pembolehan nikah mut’ah oleh M. Quraish Shihab 

yakni sebagai beriku:

a) (MUI) memberikan fatwa tentang haramnya nikah mut’ah atau kawin kontrak 

dengan sejumlah argumentasi. MUI melihat bahwa kawin kontrak banyak 

memicu  masalah dan keresahan bagi warga   secara umum. Fatwa 

Majelis Ulama Indonesia (MUI),DULU Keputusan Fatwa MUI tentang 

Nikah Mut’ah Nomor Kep-B- 679/MUI/XI/1997, yang menyatakan bahwa 

nikah Mut’ah haram hukumnya.

b) Dalam kaidah Fiqh yang dimaksud -mendesak atau darurat- itu ialah Ad￾Daruratu Tubihul Mahdhurat yang mendesak bisa menjadikan yang haram 

menjadi halal. Kemudian dharurat itu ada batasannya yang apabila tidak 

dilakukan maka mati, demikian keadaan ini   pun tidak terlepas dari 

hal yang ketika keadaan dharurat bisa dilakukan agar tidak berlebih-lebihan 

dalam hal itu.

c) sebab  dalam hukum perundangan perkawinan maupun KHI di Indonesia 

tidak ada undang-undang yang sesuai dengan konsep nikah seperti nikah 

mut’ah;

d) Nikah mut’ah merupakan warisan dari tradisi warga   pra-Islam yang 

dimaksudkan untuk melindungi wanita dalam sukunya. Pada masa itu nikah seperti ini mengalami pasang surut. Pada masa Rasulullah SAW, nikah mut’ah

mengalami beberapa kali perubahan hukum, dua kali dibolehkan dan dua kali 

dilarang, dan akhirnya diharamkan untuk selamanya. kemudian Pada masa 

kekhalifahannya Sayyidina Umar bin Khattab ra, beliau menyampaikan pada 

pidatonya secara tegas melarang siapa saja yang melakukan nikah mut’ah

dengan ancaman hukum rajam. Larangan Umar ini dapat menghentikan 

secara total praktek nikah mut’ah;

e) Selain itu nikah mut’ah sangat merugikan bagi pihak perempuan, baik 

dalam hal hak sipil meliputi status dan pengakuan anak, maupun dalam 

hal ekonomi. sebab  pernikahan yang dilaksanakan dari pernikahan mut’ah

terbatas oleh waktu, tidak mengikat warisan dan tidak berkewajiban kepada 

suami untuk memberikan/ menafkahi istrinya;

f) Dari segi medis juga sangat berbahaya jika pernikahan mut’ah itu terus 

dipraktikan atau mungkin menjadi kebiasaan maka di khawatir akan 

menularkan penyakit HIV pada suami maupun istri sebab  bergonta-ganti 

pasangan



. Quraish Shihab, seorang ulama terkenal, dalam bukunya “Perempuan,” menyatakan bahwa 

nikah mut’ah dapat diterima dalam situasi darurat dan mendesak dengan batasan dan syarat 

tertentu, seperti harus dilakukan dengan wanita yang terhormat. Pernyataan ini memicu  

kontroversi, sehingga menarik untuk mengkaji pandangan Tokoh Majelis Ulama Indonesia 

(MUI) Kota Malang mengenai batasan nikah mut’ah dalam perspektif M. Quraish Shihab. 

Penelitian ini bertujuan untuk memahami batas-batas kebolehan nikah mut’ah menurut M. 

Quraish Shihab dan pandangan Tokoh MUI Kota Malang terhadap fatwa ini  . Penelitian ini merupakan studi yuridis empiris dengan pendekatan deskriptif kualitatif, mengumpulkan 

data melalui wawancara dan dokumentasi dari sumber data primer dan sekunder. Proses 

pengolahan data meliputi teknik edit, klasifikasi, verifikasi, analisis, dan penarikan kesimpulan. 

Hasil penelitian menunjukkan bahwa para tokoh MUI yang diwawancarai tidak sepakat dengan 

pembolehan nikah mut’ah berdasarkan “darurat atau mendesak” sebagai batasannya. Mereka 

berpendapat bahwa konsep darurat yang dikemukakan oleh M. Quraish Shihab tidak berlaku 

dalam konteks ini dan menekankan adanya alternatif lain untuk mencegah perbuatan zina. 

Selain itu, mereka menyoroti dampak negatif dari nikah mut’ah, terutama terhadap kaum wanita, 

termasuk kurangnya perlindungan hukum dan risiko penularan penyakit berbahaya seperti HIV. 

Kesimpulan penelitian ini menunjukkan bahwa meskipun M. Quraish Shihab mengemukakan 

batasan-batasan tertentu untuk kebolehan nikah mut’ah, pandangan tokoh MUI Kota Malang 

cenderung menolak praktik ini dalam segala situasi.