Tampilkan postingan dengan label Santo Aurelius Augustinus. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Santo Aurelius Augustinus. Tampilkan semua postingan

Santo Aurelius Augustinus

 



masa pertengahan



Santo Aurelius Augustinus adalah sejarawan yang mewakili 

karakter zamannya yakni masa Pertengahan. Periode pertengahan 

identik dengan masa pengaruh agama Kristen yang theosentris, 

dominasi gereja, dan feodalistik. Kondisi ini berpengaruh terhadap 

karya tulis yang ia hasilkan termasuk penulisan sejarah. Penulisan 

sejarahnya bertolak dari gereja dan pendekatan yang ia gunakan adalah 

teologis. Para penulis sejarah masa itu banyak di antaranya adalah para 

aktifis gereja. 

Salah satu karya Augustinus yang masyhur adalah The Civitate 

Dei atau The City of God. Buku ini ditulis dengan maksud keagamaan 

yakni melakukan pembelaan atas tuduhan kaum Pagan kepada 

masyarakat Romawi yang telah memeluk agama Kristen sebagai 

penyebab kehancuran kekaisaran Romawi. 

Karyanya menunjukkan bahwa penulisan itu bertujuan untuk 

melakukan pembelaan terhadap agama. Kendati demikian, karyanya 

juga berisi kesejarahan yang agamis, mendalam, dan sistematis. Pada 

karya ini, Augustinus menunjukkan kemampuannya dalam 

mengintegrasikan sejarah dengan filsafat sehingga menjadi suatu 

penjelasan sejarah yang kritis dan sistematis. Dalam hal ini, ia berusaha merelevankan kekristenan dengan kehidupan intelektual pada masanya. 

Pandangan ini tidak lepas dari pengetahuan (filsafat, retorika, dan 

sejarah) yang dimilikinya dan pengalaman hidup dilaluinya. Terakhir, 

kajian ini juga potensial memberikan kontribusi berharga bagi 

pengembangan, penjelasan, dan penulisan sejarah Islam.



Masa pertengahan sejarah Eropa dimulai dari abad ke-5 M 

hingga abad ke-15 M1 seiring dengan lahirnya era baru dalam sejarah 

Eropa yang disebut masa Renaissance.

2 Permulaan dan akhir era itu 

ditandai dengan terbaginya dan berakhirnya kekaisaran Romawi Suci. 

Pada era itu, para kaisar harus patuh dan taat pada perintah agama, 

khususnya Paus sebagai wakil Tuhan di dunia, serta harus membangun 

gereja sebagai tempat berkembangnya agama Kristen. 

Salah seorang tokoh sejarawan yang dipandang mewakili era ini

adalah Augustinus. Ia adalah penganut agama Kristen yang taat dan 

saleh. Berkat kesalehannya, ia ditahbiskan sebagai uskup di Hippo pada 

396 M menggantikan uskup Valerius. Ia memegang jabatan ini hingga 

akhir hayatnya pada tahun 430 M. 

Di tengah-tengah kesibukannya sebagai uskup, ia 

menyempatkan diri untuk menulis. Di antara karyanya adalah 

Confessions dan De Civitate Dei. Kedua karya tersebut, terutama De 

Civitate Dei berisi pembahasan terkait dengan pemikiran sejarah, filsafat

agama, teologi, etika, dan filsafat politik. Keluasan kajiannya 

menunjukkan wawasan dan pemikiran tokoh ini. 

 

B. ABAD PERTENGAHAN 

1. Kemunduran Romawi 

Kekaisaran Romawi berdiri sekitar tahun 30 SM dengan kaisar 

pertama Gaius Julius Caesar Octavianus. Ia lahir pada 23 September 63 

SM dan meninggal 19 Agustus 14 SM. Octavianus memperoleh gelar 

Augustus (yang mulia) pada tahun 27 SM. Kaisar Augustus merupakan 

kaisar terbesar sepanjang sejarah kekaisaran Romawi. Ia berhasil 

mengembangkan kota Romawi menjadi kota yang besar.3

Puncak kejayaan kekaisaran Romawi pada tahun 69 – 180 M. 

Setelah itu kejayaan dan kegemilangan Romawi mulai mundur. Masa 

suram kekaisaran Romawi dari 180 – 284 M. Sejak tahun 180 M agama 

Kristen telah tersebar luas. Penyebaran dan perkembangan agama 

Kristen telah menjadi persoalan politik sebab mayoritas penduduk 

Romawi adalah paganis. Oleh karenanya, dapat dimengerti apabila 

pada masa Kaisar Decius (249 – 251 M) terjadi penganiayaan atas umat 

Kristiani. Akibatnya adalah banyak jemaat Kristen yang kembali kepada 

agama semula demi keamanan dan keselamatan jiwanya. Yang paling 

tragis adalah Kaisar Valerianus mengeluarkan keputusan (edic) untuk 

menghukum mati orang-orang yang tetap setia pada agama Kristen 

pada tahun 257 M. Akan tetapi, keputusan ini justru membawa dampak 

positif yakni bertambahnya umat Kristiani secara signifikan. 

Puncak penganiayaan dan penindasan terhadap umat Kristen 

terjadi pada masa Kaisar Diocletianus dan penggantinya, Kaisar 

Galerius. Pada masa Galerius (303 – 311 M), ia memerintahkan untuk

menyita kekayaan gereja, membakar Alkitab (Perjanjian Lama dan 

Baru), menghancurkan gereja, dan menangkap serta membunuh para 

pengikut gereja. Namun dikabarkan, menjelang kematiannya (311 M), ia 

mengeluarkan perintah untuk menghentikan penganiayaan dan 

meminta umat Kristiani untuk mendoakannya. 

Umat Kristiani mulai mendapat angin segar pada masa Kaisar 

Konstantin Agung. Kaisar ini banyak mendukung perkembangan agama 

Kristen. Dialah yang mengeluarkan Edic Milano pada 313 M4, bahkan 

pada masa Theodosius, agama Kristen dijadikan sebagai agama resmi 

negara. Dengan demikian, agama Kristen mendapat dukungan penuh 

dari negara. Setelah Theodosius meninggal pada 395 M, kekaisaran 

Romawi dibagi menjadi dua yakni Romawi Timur dan Romawi Barat. 

Kekaisaran Romawi Barat berakhir 476 M sementara kekaisaran Romawi 

Timur dapat bertahan sampai pertengahan abad ke-15 M. Di Romawi 

Barat penduduknya menggunakan bahasa Latin sedangkan di Timur

menggunakan bahasa Yunani. Tidak mengherankan jika pembagian ini 

mulai menggerogoti persatuan kekaisaran Romawi. 

2. Abad Pertengahan dan Penulisan Sejarah 

Abad pertengahan sejarah Eropa merupakan suatu masa 

peralihan dari masa kejayaan kekaisaran Romawi dan Hellenisme ke 

kemenangan kelompok Kristen. Pada masa ini, agama Kristen sudah 

menjadi agama resmi negara.5 Kekaisaran Romawi berubah menjadi 

kekaisaran Romawi Suci; kaisar harus taat dan patuh pada perintah 

agama dan Paus. Untuk menjadi agama resmi kekaisaran Romawi, 

agama Kristen memerlukan waktu yang panjang dan perjalanan yang

penuh liku. 

Setelah tekanan dan kekejaman dari para kaisar Romawi dalam 

waktu panjang, Kristen dan gereja memperoleh “kebebasan penuh” 

dengan dikeluarkannya Edic Milano. Sejak saat itu, agama Kristen 

mendapat dukungan penuh dari negara, bahkan di kemudian hari,

Kristen dan gereja memiliki peran dominan dalam segala bidang 

kehidupan. 

Abad Iman adalah istilah lain untuk menyebut abad 

pertengahan. Istilah ini merupakan stereotype yang menggambarkan 

abad pertengahan dengan ciri kebangkitan agama (Kristen) secara besar￾besar dan menggema di wilayah Eropa Barat khususnya. Revitalisasi 

jiwa religius masyarakat Eropa merupakan tanda sekaligus visi etis￾religius zaman itu. Agama Kristen berkembang secara cepat dan 

memengaruhi seluruh dimensi kehidupan manusia baik yang bersifat 

privat maupun publik seperti politik, ekonomi, sosial, dan budaya. 

Seluruh kehidupan manusia harus sesuai dengan dogma agama, taat 

dan beriman secara tulus pada Tuhan serta kehidupan yang duniawi 

harus berubah berorientasi kepada Tuhan. 

Abad pertengahan juga disebut sebagai “The Dark Ages” atau 

“Zaman Kegelapan atau Zaman Kebodohan”.6 Istilah ini 

menggambarkan kondisi dan situasi Eropa pada Abad Pertengahan

yang mengalami dekadensi intelektual dan ilmu pengetahuan di 

seluruh bidang. Kegelapan juga dimaknai sebagai tertutupnya 

intelektual dan rasionalitas manusia oleh dogma agama serta hegemoni 

gereja. Etnosentris dan logosentris yang berkembang pesat pada masa Yunani Klasik dan Kekaisaran Romawi berubah secara drastis menjadi 

theosentris sehingga segala sesuatunya harus berlandaskan pada dogma 

agama dan gereja. Semua yang berasal dari agama dan kitab suci adalah 

yang paling benar, dan selain itu adalah bid’ah. Penggunaan intelektual 

dan rasionalitas adalah sesuatu yang menyimpang dari agama dan akan 

merusak keimanan seseorang. Sains dan ilmu pengetahuan harus

dijauhkan dari kehidupan masyarakat. Sebab, sains dan ilmu 

pengetahuan mendorong orang mempertanyakan segala hal termasuk 

tentang kebenaran agama. 

Dengan demikian, kelam dan gelap merupakan sebuah 

gambaran kehidupan pada Abad Pertengahan karena akal, rasionalitas, 

dan ilmu pengetahuan dilarang keras untuk berkembang. Sementara itu 

bagi kalangan agamawan, masa ini merupakan abad yang didambakan 

karena kehidupan begitu damai dengan berpegang pada dogma agama 

dan kitab suci sehingga tujuan hidup adalah menuju kedamaian dan 

surga. 

Situasi kebudayaan seperti ini tidak lepas dari pengaruh “jiwa 

zaman” pada waktu itu sebagai berikut. 

1. Theosentrisme, yaitu pandangan hidup yang berpusat pada 

Tuhan. Maksudnya bahwa kehidupan manusia itu berpusat 

pada Tuhan, dan Tuhanlah yang mengatur seluruh hidup 

manusia baik secara individu maupun kelompok. Dalam hal ini 

Tuhan juga mengatur seluruh sejarah manusia. 

2. Providensi, yaitu pandangan hidup yang menganggap bahwa 

segala sesuatu di dunia dan seisinya ini berjalan menurut 

rencana Tuhan (God Plan). Sengsara merupakan peringatan 

terhadap manusia. Faktor Tuhan selalu dikaitkan dengan segala 

hal, demikian juga dengan sejarah selalu dikembalikan kepada 

Tuhan. 

3. Yenseitigheit, yaitu pandangan hidup yang mementingkan 

kehidupan di alam baka atau akhirat. Atinya yang terpenting 

dalam hidup ini adalah untuk mempersiapkan diri demi 

kehidupan di alam baka. 

Demikian halnya dengan sejarah historiografi Eropa, periode 

Pertengahan merupakan suatu masa setelah masa Yunani dan Romawi.

Kondisi masa Pertengahan yang penuh dogma ikut mewarnai corak 

penulisan sejarah. Penulisan sejarah pada masa ini juga memiliki tema 

dan ciri khusus sebagaimana jiwa zamannya, yakni theosentris, berpusat 

pada gereja, dan feodalistis. 

a. Theosentris atau Teologis 

Theosentris merupakan ciri utama dan pertama dari 

historiografi Abad Pertengahan. Pemusatan pada ketuhanan dan 

kehidupan beragama mendapat bobot yang besar, atau bahkan bisa 

dikatakan seluruh kehidupan harus berpusat padanya. Penulisan 

sejarah pun akan berkaitan dengan masalah-masalah ketuhanan dan 

keagamaan sebagaimana tulisan Augustinus dalam karyanya yang 

berjudul Confenssion dan The City of God. Keduanya merupakan fakta 

dari historiografi Abad Pertengahan. Penulisan sejarah yang 

dilakukan tidak akan keluar dari lingkaran theosentris dan teologis. 

b. Pusat ilmu pengetahuan dan kebudayaan berada di biara-biara. 

Hal ini merupakan suatu keniscayaan sejarah pada masa 

Pertengahan. Gereja mendapat otoritas secara penuh atas 

keberlangsungan hidup manusia di dunia. Pada masa ini, biara 

merupakan tempat para biarawan dan para “bapak” mengabdikan 

hidupnya untuk agama. Dalam kompleks tersebut terdapat gereja, 

perpustakaan, dan sekolah-sekolah (paroki) serta pusat kajian 

kebudayaan. Dengan demikian, praktis orang-orang yang 

berpendidikan dan memiliki ilmu pengetahuan adalah para 

biarawan dan biarawati. Penulisan sejarah pun dilakukan oleh

mereka dengan objek kajian masalah ketuhanan, keagamaan, dan 

gereja. Persentase penulisan sejarah dengan obyek tersebut begitu 

besar secara kuantitaf karena para sejarawan masa ini adalah para 

ahli agama dan orang-orang dari gereja. 

c. Feodalistis 

Feodalistis merupakan fenomena sejarah yang muncul dan 

berkembang pada zaman Pertengahan. Sistem kepemilikan tanah

dan sewa tanah oleh para tuan tanah merupakan kegiatan sosial￾ekonomi yang berkembang. Penulisan sejarah pun juga 

terkonsentrasi pada fenomena sosial tersebut. Bagaimana kehidupan 

sosial, khususnya stratifikasi masyarakat masa feodalisme, dan

respon agama dalam menanggapi fenomena tersebut adalah 

masalah-masalah yang menjadi obyek penulisan sejarah yang 

penting. 

Bentuk penulisan sejarah pada era ini terutama memasuki abad 

ke-9 sudah mengedepankan bentuk naratif. Bentuk penulisan yang 

naratif merupakan salah satu ciri yang membedakan hasil penulisan 

pada masa Pertengahan dengan masa sebelumnya yakni annals dan 

cronicles. 

B. BIOGRAFI AUGUSTINUS 

Augustinus lahir di Tagaste, Aljazair, Afrika Utara, 13 

November 354 M sebagai putra seorang ibu yang taat beragama yaitu 

Monika.8 Ayahnya bernama Patricius, seorang tuan tanah kecil dan 

anggota dewan kota yang kurang taat beragama hingga menjelang akhir 

hayatnya. Augustinus dididik dan dibesarkan secara Kristen kendatipun 

karena adat istiadat yang berlaku pada masa itu, ia tidak dibaptiskan 

ketika masih bayi. 

Augustinus memperoleh pendidikan dasar di Tagaste dan 

secara khusus mempelajari bahasa latin dan ilmu hitung. Ketika berusia 

sekitar sebelas tahun, Augustinus dikirim ayahnya ke Maduna untuk 

menyelesaikan pendidikan dasarnya dan berhasil memperoleh

pengetahuan yang cukup mengagumkan dalam tata bahasa dan sastra 

Latin. 

Pada tahun 370 M, Augustinus dikirim ke Carthago untuk 

melanjutkan studinya dalam bidang ilmu hukum sesuai dengan 

keinginan ayahnya. Akan tetapi ia lebih tertarik mempelajari retorika, 

karena pada masa itu kefasihan lidah akan mempermudah seseorang

untuk meraih jabatan yang tinggi. Gaya hidup Augustinus hedonistik9

untuk sementara waktu. Di Carthago ia menjalin hubungan dengan 

seorang perempuan muda selama lebih dari sepuluh tahun. Dari 

hubungan suami istri tanpa nikah itu Augustinus memperoleh seorang 

anak bernama Adeodatus.10

Setelah membaca Hortensius karya Cicero yang berisi pujian

dan pujaan terhadap filsafat, Augustinus (373 M) mulai tertarik pada 

filsafat, khususnya ajaran Manicheisme. Dari sinilah Augustinus 

kemudian menjadi pengikut Manicheisme11 yang setia. Setelah kurang 

lebih 4 tahun menjadi pengikut Manicheisme, Augustinus mulai 

merasakan bahwa sebenarnya karakter filsafat Manicheisme bersifat 

destruktif. Menurut pandangannya ajaran ini dapat merusak dan 

memusnahkan segala sesuatu tetapi tidak sanggup membangun 

apapun. Moralitas para pengikut Manicheisme ternyata juga lebih buruk 

dari dugaannya. Oleh sebab itu, ia mulai meninggalkan ajaran 

Manicheisme. Dalam waktu beberapa tahun, ia menjadi orang yang 

skeptis. 

Pada tahun 383 M, Augustinus meninggalkan Carthago menuju 

Roma, kemudian pindah ke Milano (tempat tinggal Ambrosius) dan 

diangkat menjadi guru besar ilmu retorika. Di sini, ia berkenalan dengan 

ajaran filsafat Plato dan Neo-Plantonis sebelum masuk agama Kristen. 

Dalam hidupnya, ia banyak dipengaruhi oleh Ambrosius, seorang ahli 

retorika sebagaimana Augustinus sendiri, namun lebih tua dan lebih 

berpengalaman. 

Pada tahun 386 M, ia “bertaubat” dan memutuskan menjadi 

Kristen. Peristiwa ini terjadi setelah ia membaca riwayat hidup St. 

Antonius dari Padang Pasir yang sangat menarik perhatiannya. Ia 

meninggalkan kariernya dalam retorika, melepaskan jabatannya sebagai 

seorang profesor di Milano, dan keinginannya untuk menikah, dan 

mengabdikan diri sepenuhnya untuk melayani Allah dan praktik 

imamat. 

Sebuah pengalaman penting yang memengaruhi 

pertaubatannya adalah suara dari seorang gadis kecil yang didengarnya 

menyampaikan pesan kepadanya melalui sebuah nyanyian kecil untuk 

"mengambil dan membaca" Alkitab. Pada saat itu, ia membuka Alkitab

secara asal dan menemukan sebuah ayat dari Paulus. Ia menceritakan 

perjalanan rohani ini dalam bukunya yang terkenal dengan pengakuan￾pengakuan Augustinus. Buku itu kemudian menjadi sebuah buku klasik 

dalam teologi Kristen maupun sastra dunia. 

Uskup Ambrosius membaptiskan Augustinus pada hari Paskah 

pada 387 M, dan tidak lama sesudah itu pada 388 M ia kembali ke 

Afrika. Dalam perjalanan ke Afrika itulah Monika (ibu Augustunus) 

meninggal. Tidak lama kemudian anak laki-lakinya menyusul kematian 

sang nenek sehingga ia praktis hidup sendiri di dunia tanpa keluarga. 

Di Afrika Utara, ia membangun sebuah biara di Tagaste untuk 

dirinya sendiri dan sekelompok temannya. Pada tahun 391 M, ia 

ditahbiskan menjadi seorang imam gereja di Hippo Regius, (kini 

Annaba, di Aljazair).12 Ia menjadi seorang pengkhotbah terkenal (lebih 

dari 350 khotbahnya yang terlestarikan diyakini otentik) dan dicatat 

karena melawan ajaran Manicheisme yang pernah dianutnya. 

Ia merupakan seorang yang berdedikasi dan memiliki loyalitas

tinggi sehingga dalam kepemimpinannya sebagai uskup kegiatan gereja 

berjalan baik dan bertambah maju. Ia tidak hanya memimpin keuskupan 

dan berkhotbah saja tetapi juga mengajar dan berdiskusi dengan 

penganut-penganut bid’ah (Manicheisme, Donatisme, dan 

Pelagianisme). Oleh karena hasil-hasil karya dan jasa keuskupannya, ia 

dijuluki sebagai pujangga dan Bapak Gereja Latin yang terbesar.13

C. KARYA TULIS AUGUSTINUS 

Augustinus merupakan seorang penulis yang sangat produktif, 

terutama dalam hal teologi. Beberapa karya tulisnya yang kontroversial 

berkaitan dengan persoalan masa itu yakni yang berkaitan dengan kaum 

Pelagian, masih tetap berpengaruh hingga zaman modern.14 Di antara 

karyanya yang sangat berpengaruh dan terkenal sampai sekarang ini, 

adalah: 

1. Confessiones, pengakuan (semacam riwayat hidup); 

2. De Trinitate , tentang Allah Tri Tunggal;

3. De Natura et Gratia, tentang kodrat dan rahmat; 

4. De Civitate Dei, tentang negeri Allah (sebuah buku mengenai 

masyarakat Kristiani yang ideal dan hubungan antara negara 

dan agama, besar pengaruhnya pada masa Pertengahan); 

5. De Quantitate Animae, tentang mutu jiwa.15

6. Confessiones

Buku yang berjudul Confessiones karya Augustinus 

memiliki karakteristik sejarah. Buku yang terdiri dari 13 jilid ini 

terdiri dari dua bagian besar pembahasan yakni riwayat hidup 

Augustinus dan pembahasan masalah keagamaan. Sembilan 

jilid di antaranya menjelaskan tentang riwayat hidup 

Augustinus dari kecil hingga memeluk agama Kristen pada usia 

32 tahun sekaligus tentang ayahnya yang “kafir” dan ibunya 

yang taat beragama. Sementara yang empat jilid lebih 

menjelaskan tentang perjalanan dan pencarian yang 

dianggapnya sebagai sebuah kebenaran (masalah keagamaan). 

Menurut Yusouf Ibrahim, Confessiones mengisahkan 

pengalaman-pengalaman yang telah dilalui penulisnya pada 

tahap tertentu dalam kehidupannya. Harapannya buku itu 

menjadi petunjuk menuju ke jalan yang benar. Kebenaran yang

dimaksud adalah agama Kristen yang kemudian dianutnya 

dengan teguh. 

7. De Civitate Dei 

Kesibukannya sebagai seorang uskup tidak menjadi 

hambatan baginya untuk menghasilkan karya sejarah. Ia 

senantiasa menyisihkan waktunya untuk menulis. Hal ini 

dibuktikan dengan lahirnya sebuah karya yang monumental. 

Buku tersebut diberi judul De Civitate Dei (The City of God) yang 

ditulis selama kurang lebih 15 tahun.16 Dari sekian banyak karya 

yang dihasilkannya, buku inilah yang paling lama proses 

penyusunan dan penulisannya. Hampir seluruh pemikiran 

filsafat dan teologinya dituangkan pada buku tersebut. Jadi,

tidak mengherankan apabila banyak tokoh memberi apresiasi 

terhadap karya tersebut. 

Buku ini terdiri dari 22 jilid dengan rincian dan ikhtisar sebagai 

berikut. 

JILID URAIAN 

Pertama 

Jawaban atas tuduhan orang Romawi pagan yang menuduh 

bahwa bencana yang dialami kekaisaran Romawi adalah 

akibat orang Romawi menganut Kristen. 

Kedua 

Bencana yang dialami kekaisaran Romawi sudah biasa 

terjadi, sejak sebelum Kristus. 

Ketiga 

Lanjutan buku kedua, bahwa terbukti bencana spiritual dan 

bencana fisik tersebut senantiasa dialami kaum Romawi 

sejak kota Roma didirikan 

Keempat 

Kejayaan Romawi bukan karena perlindungan dan 

pemeliharaan dewa-dewa, tetapi karena perlindungan dan 

pemeliharaan Tuhan Yang Maha Esa dan Yang Maha Benar. 

Kelima Takdir Tuhan. 

Keenam 

Argumentasi-argumentasi Augustinus yang secara khusus 

mengarah kepada mereka yang yakin bahwa dewa-dewa 

harus disembah agar terlepas dari bencana yang dihadapi 

kekaisaran Romawi. 

Ketujuh 

Kehidupan yang kekal tidak akan diperoleh dengan 

menyembah para dewa sebagaimana yang disampaikan 

oleh Varro. 

Kedelapan Pengujian terhadap teologi natural Varro. 

Kesembilan Lanjutan buku sebelumnya . 

Kesepuluh Malaikat-malaikat yang melayani Allah. 

Kesebalas 

Memaparkan asal mula, sejarah, dan tujuan dari dua 

negara: sekuler dan surgawi. 

Kedua belas 

Menjelaskan tentang malaikat-malaikat serta asal mula dari 

kehendak yang jahat. 

Ketiga belas 

Augustinus mengajarkan bahwa kematian adalah suatu 

hukuman. Hukuman terhadap kejahatan dan dosa manusia 

yang asal mulanya dari dosa Adam. 

Keempat Dosa manusia pertama adalah dosa Adam yang menjadi

belas asal mula dari kehidupan duniawi dan nafsu-nafsu keji 

manusia. 

Kelima belas 

Pertumbuhan dan perkembangan negara sekuler dan 

negara surgawi. 

Keenam belas 

Perkembangan Negara sekuler dan Negara surgawi dari 

zaman Nabi Nuh sampai zaman raja-raja yang tercantum 

dalam Kitab Suci. 

Ketujuh belas 

Sejarah Negara surgawi pada masa raja-raja dan nabi-nabi 

sampai pada masa Kristus. 

Kedelapan 

belas 

Memaparkan peristiwa-peristiwa yang paralel antara 

negara sekuler dan negara surgawi sejak Abraham sampai 

akhir dunia. 

Kesembilan 

belas 

Menjelaskan tentang akhir dari dua negara. 

Kedua puluh 

Penghakiman terakhir yang berdasarkan pada Kitab Suci 

Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. 

Kedua puluh 

satu 

Hukuman yang kekal pada negara sekuler 

Kedua puluh 

dua 

Akhir dari negara surgawi atau negara Allah. Para 

warganya yang akan berlimpah kebahagiaan dan bersatu 

dengan tubuh yang tidak dapat binasa. 

Adapun hasil tulisannya yang berbentuk surat-surat di 

antaranya: 

1. Tentang Mengajarkan Iman Kepada Mereka yang Tidak 

Berpendidikan 

2. Tentang Iman dan Kredo 

3. Mengenai Iman tentang Hal-hal yang Tidak Kelihatan 

4. Tentang Manfaat Percaya 

5. Tentang Kredo: Khotbah kepada para Calon Baptisan 

6. Tentang Penahanan Diri 

7. Tentang Pernikahan yang Baik 

8. Tentang Keperawanan yang Kudus 

9. Tentang Kebaikan Kehidupan sebagai Janda 

10. Tentang Berbohong 

11. Kepada Consentius: Menentang Dusta 

12. Tentang Karya para Biarawan 

13. Tentang Kesabaran

14. Tentang Pemeliharaan yang Harus Diberikan kepada Orang 

yang Meninggal 

15. Tentang Moral Gereja Katolik 

16. Tentang Moral Kaum Manikhean 

17. Tentang Dua Jiwa, Menentang Kaum Manikhean 

18. Tindakan atau Bantahan terhadap Fortunatus sang Manikhean 

19. Melawan Surat Manikheus yang disebut Dasariah 

20. Jawaban kepada Faustus sang Manikhean 

21. Mengenai Hakikat yang Baik, Melawan Kaum Manikhean 

22. Tentang Baptisan, Menentang Kaum Donatis 

23. Jawaban kepada Surat-surat dari Petilianus, Uskup Cirta 

24. Koreksi Kaum Donatus 

25. Jasa dan Penghapusan Dosa, dan Baptisan Anak 

26. Tentang Roh dan Tulisan 

27. Tentang Alam dan Anugerah 

28. Tentang Kesempurnaan Manusia di dalam Kebenaran 

29. Tentang Proses Peradilan Pelagius 

30. Tentang Anugerah Kristus, dan Dosa Asal 

31. Tentang Pernikahan dan Concupiscence 

32. Tentang Jiwa dan Asal-usulnya 

33. Menentang Dua Surat dari kaum Pelagian 

34. Tentang Anugerah dan Kehendak Bebas 

35. Tentang Kecaman dan Anugerah 

36. Predestinasi orang-orang Kudus / Karunia untuk Bertahan 

37. Khotbah Tuhan Kita di Bukit 

38. Harmoni Kitab-kitab Injil 

39. Khotbah-khotbah berdasaran Bacaan Terpilih dari Perjanjian 

Baru 

40. Traktat-traktat tentang Injil Yohanes 

41. Traktat-traktat tentang Injil Yohanes 

42. Khotbah-khotbah berdasaran Surat Yohanes yang Pertama 

43. Solilokui 

44. Narasi, atau Eksposisi tentang Mazmur 

45. Tentang Keabadian Jiwa.

Ditinjau dari sisi sejarah, beberapa karyanya mengandung 

pembahasan sejarah terutama sejarah agama dan filsafat sejarah yakni 

Confessions dan De Civitate Dei.

18 

D. SEMANGAT DAN TUJUAN PENULISAN 

Hampir semua hasil karyanya merupakan tuntutan atau untuk 

memenuhi maksud keagamaannya. Hal ini dapat dilihat dari perjalanan 

hidupnya sebagai santo (orang suci) ataupun penganut Kristen yang 

taat. Ia bukanlah sejarawan murni, baik dilihat dari sisi sejarawan tradisi 

ataupun dari sisi sejarawan modern yang sekuler.19 

Sebagaimana telah disebutkan sebalumnya bahwa di antara 

sekian banyak hasil karyanya yang terkenal dan mengandung unsur 

kesejarahan adalah Confessions dan De Civitate Dei. Confessions ditulis 

dengan tujuan untuk mencari kebenaran yang berlandaskan agama

sementara De Civitate Dei ditulis untuk melakukan pembelaan atau 

mempertahankan diri dari ejekan bahkan fitnah yang dilontarkan orang￾orang Pagan Romawi. Mereka menuduh bahwa keruntuhan kejayaan 

Romawi sebagai akibat kekristenan orang-orang Romawi. 

Penulisan sejarah “De Civitate Dei” adalah atas permintaan 

Marcellinus.20 Pernyataan ini disampaikan dalam kata pengantar buku 

pertamanya. Permintaan ini untuk merespon kondisi pada waktu itu 

yang dianggapnya merugikan kaum Kristiani. Pada waktu itu 409 M, 

datanglah serbuan dari bangsa Gothia Barat yang dipimpin oleh Alaric 

sebagai rajanya. Mereka mengepung dan menyerbu kota Roma. Setelah 

berhasil masuk kota Roma, pasukan Alaric melakukan penjarahan.

Hanya orang-orang Kristen yang selamat dari penjarahan. Hal ini lebih 

dikarenakan faktor kesamaan agama (Alaric seorang Kristiani). Berdasarkan alasan itulah kaum Kristiani dituduh sebagai 

penyebab runtuhnya kejayaan dan kewibawaan kekaisaran Romawi 

Barat. Orang-orang Romawi Pagan percaya bahwa para dewa telah 

mengutuk kaisar Romawi dan dan orang-orang Romawi yang sudah 

keluar dari agama asli dan tidak lagi memuja para dewa. Oleh karena itu 

agama Kristen harus dihapuskan dari kekaisaran Romawi. Dengan

datangnya tuduhan tersebut perlu kiranya dilakukan suatu usaha untuk 

menjelaskan kepada orang-orang Romawi Pagan bahwa tuduhan yang 

dilontarkannya tidak benar. Keruntuhan kekaisaran Romawi bukan 

karena agama Kristen tetapi dikarenakan oleh banyak hal sebagaimana 

yang disampaikan dalam De Civitate Dei. 

De Civitate Dei sebenarnya merupakan sebuah karya yang berisi 

pembelaan terhadap agama Kristen atas serangan orang-orang Romawi 

paganis. Pembelaan yang diwujudkan dalam bentuk tulisan tersebut 

telah menunjukkan betapa Augustinus berhasil mengembangkan 

pemikiran filsafat dan teologinya. Semuanya ini tidak lepas dari 

kegemarannya mempelajari dan mendalami filsafat. Bagi Augustinus, 

filsafat harus dimanfaatkan untuk menjelaskan dan memperkuat

kebenaran-kebenaran yang telah dipahami melalui keyakinan. Dengan 

demikian, buku tersebut bukan hanya merupakan bantahan atau 

jawaban atas persoalan masyarakapat ditemukat waktu itu, tetapi juga 

memuat uraian filsafat sejarah yang sistematis.21 

Jadi, dapat disimpulkan bahwa tujuan dari penulisan De Civitate 

Dei lebih didorong oleh motif agama, meskipun demikian sisi-sisi 

sejarah dapat ditemukan di dalamnya. Uraiannya tentang sejarah sangat 

filosofis dan sistematis. Sejak dituliskannya karya ini, untuk waktu yang 

panjang De Civitate Dei bukan saja dianggap sebagai karya sejarah, tetapi 

juga sebagai satu-satunya karya sejarah yang menjadi “perhatian”. 

Sepanjang Abad Pertengahan, karya ini memengaruhi dan membentuk 

sikap orang Eropa.E. PEMIKIRAN SEJARAH AUGUSTINUS 

Augustinus merupakan orang pertama di Eropa yang 

merefleksikan hakikat sejarah dari sudut pandang teologis. Titik pusat 

yang menguasai segala-galanya di dalam sejarah adalah kedatangan 

messiah yang dapat memberi arti dan makna bagi setiap kejadian 

sejarah masa lampau dan akan datang. Pandangan ini dapat diketahui 

dari karya-karya yang telah dihasilkannya, di antaranya adalah De 

Civitate Dei dan Confessions. Sejarah menurut Augustinus merupakan 

epos perjuangan antara dua unsur yang saling bertentangan; yang baik 

dan yang buruk. 

Ia menggambarkan sejarah sebagai sebuah proses gerakan 

horisontal dari suatu titik awal hingga tujuan akhir. Sejarah merupakan 

suatu proses bertahap dari tahap awal hingga paling tahap akhir. Proses 

sejarah bersifat linier dengan membentuk garis lurus menuju pada suatu 

tahap titik akhir yang merupakan akhir sejarah. Manusia adalah pelaku 

sejarah dari awal sampai akhir. 

 Gerak sejarah diibaratkan sebuah drama yang diciptakan dan 

dijalankan oleh Tuhan. Manusia tidak dapat mengetahui apalagi 

menentukan proses akhir sejarah. Proses dan gerak sejarah bukanlah 

ciptaan manusia, tetapi ciptaan Tuhan yang Maha Kuasa. Dengan kata 

lain, Tuhan selalu mengintervensi gerak sejarah manusia sehingga 

manusia harus taat dan tundak kepada-Nya. Caranya adalah dengan 

mengikuti ajaran dan dogma agama Kristen dan kitab suci agar menuju 

pada tahap akhir sejarah yang damai dan selamat, yaitu kota Tuhan. 

Dengan demikian, gerak sejarah ditentukan oleh kehendak 

Tuhan. Hukum alam menjadi hukum Tuhan, kodrat alam menjadi 

kodrat Tuhan, Tuhan menentukan takdir, dan manusia menerima nasib 

sebagaimana yang telah ditentukan Tuhan. Oleh karenanya, gerak 

manusia bersifat pasif karena segala sesuatunya ditentukan oleh Tuhan. 

Augustinus juga menerangkan dalam kitabnya bahwa tujuan gerak 

sejarah ialah terwujudnya kehendak Tuhan dalam Civitas Dei atau 

Kerajaan Tuhan. Civitas Dei merupakan tempat manusia pilihan Tuhan 

yang menerima ajaran Tuhan. Bagi manusia yang menolak ajarannya 

akan ditampung didalam Civitas Diaboli (kerajaan setan) atau neraka. 

1. Sejarah dengan Sudut Pandang Teologis 

Bagi Augustinus, sejarah merupakan misteri Allah. Maksudnya, 

di satu sisi Allah merupakan “Sesuatu” yang tidak terselami dan tidak terjangkau oleh pikiran dan pengetahuan manusia23 dan di sisi yang 

lain, manusia memiliki keterbatasan untuk memahami secara 

keseluruhan ruang dan waktu yang diciptakan Allah ini, termasuk 

peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalamnya. 

Kondisi seperti ini menyebabkan manusia tidak mampu 

memahami sejarah dengan sejelas-jelasnya. Oleh karenanya tidak 

seorang pun dapat mengungkap sejarah secara total karena sejarah 

dunia merupakan suatu misteri. Allah hanya menyingkapkan "sebagian" 

dari sejarah ini di dalam Alkitab. Tidak ada seorang pun yang dapat 

menelusuri sejarah tanpa bimbingan ilahi dari kitab suci.24 

Pada karya Augustinus De Civitate Dei atau The City of God,

bagian sejarah dijelaskan pada bagian paroh kedua yakni di bagian XI￾XXIII. Pada bagian ini, Augustinus menjelaskan asal mula atau 

munculnya negara manusia dan negara Tuhan. Ia mencoba menelusuri 

sejarah dunia25 melalui sejarah suci dalam Alkitab. Dijelaskan pada 

mulanya Allah menciptakan dunia. Ia menciptakan ruang dan waktu 

sebagai elemen-elemen dasar dari sejarah. Oleh karena ia menjelaskan 

sejarah melalui Alkitab maka Allah di dalam Kristus tetap bekerja dan 

berkuasa di dalam kedua sejarah itu. Ia berkuasa atas kota surgawi dan 

datang ke kota duniawi untuk menyelamatkan orang-orang berdosa 

sehingga orang berdosa dapat masuk dan hidup di dalam kota Allah. Penciptaan sejarah yang demikian berimplikasi pada pengertian 

bahwa waktu memiliki awal atau permulaan. Prinsip ini dinyatakan 

sebagai argumentasi terhadap pandangan yang berkembang sebelum 

dan pada waktu itu, yakni sejarah berpola siklus. Pemahaman waktu 

merupakan suatu keharusan. Hal ini berarti bahwa dunia tidak berada 

di dalam waktu melainkan secara simultan berada bersama-sama 

dengan waktu, sesudahnya berarti masa lalu dan sebelumnya berarti 

masa depan. Di dalam ruang dan waktu, pengaruh dosa sangat besar 

dan fatal. 

Dosa telah memisahkan dua kota, yakni kota manusia dan kota 

Allah. Augustinus menjelaskan bahwa kota manusia telah dibangun 

oleh Kain pada awal sejarah ras manusia dan ini berkembang sampai ke 

masa kerajaan Romawi. Sementara itu, Habel telah membangun kota 

Allah, yang kemudian diteruskan kepada Abraham dan keturunannya. 

Ditekankan juga bahwa orang-orang yang hidup di kota Allah telah 

dipredestinasikan oleh anugerah untuk berada di tempat itu. Kota 

manusia dan kota Allah memiliki bentuk dan karakteristiknya sendiri￾sendiri. 

Bentuk dan karakter ini berakar pada kondisi manusia sejak 

awalnya:26 manusia yang berdosa dan manusia berdosa tetapi telah 

memperoleh anugerah pengampunan dari Allah. Kondisi inilah yang 

telah membedakan keduanya. Kota manusia bercirikan kehidupan yang 

sangat mengasihi dan memuliakan diri sendiri, sedangkan kota Allah, di 

sisi lain, bercirikan hidup yang mengasihi dan memuliakan Allah. 

Kedua perbedaan ini terus ada dan berkembang dalam lintasan sejarah 

dan semua perbedaan yang berkembang ini akan menjadi sangat jelas 

pada akhir zaman. 

2. Filsafat Sejarah 

Sebelum menjadi seorang Kristiani, Augustinus adalah seorang 

filsuf Platonik yang memiliki minat besar di bidang sejarah. Di samping itu, ia juga telah belajar sejarah di sekolah yang juga melahirkan 

sejarawan Theopompus dan Ephorus. Selain mampu mengintegrasikan 

filsafat dan sejarah, Augustinus juga mampu mengintegrasikan

pemikiran-pemikiran filosofis dan pemikiran-pemikiran teologisnya. 

Sejarah universal yang dikemukakan Augustinus adalah sebuah produk 

yang dihasilkan lewat formulasi konsep-konsep teologis dan filosofis 

berdasarkan ajaran Alkitab. 

Pada kondisi tertentu, filsafat dan sejarah agak bertentangan. Di 

tangan para filsuf, sebuah fakta dicari universalitasnya sementara di 

tangan sejarawan sebuah fakta dicari partikularitasnya. Lain halnya 

dengan Augustinus, keduanya tidak dipertentangkan, sebab pendekatan 

filsafat dan sejarah dapat diintegrasikan. Melalui integrasi, kerangka 

yang komplit tentang filsafat "sejarah universal" dapat disusun.27 

Sebuah karya Augustinus yang berkenaan tentang filsafat 

sejarah adalah De Civitate Dei atau The City of God. Pemikiran filosofis 

Augustinus dipengaruhi oleh Manicheisme, Skeptisisme, dan Neo￾platonisme. Terkait dengan pandangan tentang filsafat sejarah, 

Augustinus berusaha mensintesakan pandangan kitab suci (dalam hal 

ini Genesis) dengan pandangan filsafat Neoplatonisme Plotinos. Para 

penentangnya menuduh Augustinus adalah seorang pantheis dan 

bertentangan dengan doktrin Kreasio Ex-nihilo.28

De Civitate Dei adalah karya filsafat yang positif dan 

komprehensif tentang sejarah. Karya ini berisi interpretasi terhadap 

drama hidup manusia. Sejarah dimengerti sebagai sesuatu yang berawal 

dan berakhir. Hal ini sangat berbeda dengan pandangan Yunani atau ide 

klasik (siklus). Sejarah terbagi dua, yakni sejarah sakral dan sejarah 

sekuler. Sejarah sekuler berjalan berputar-putar, tetapi sejarah sakral 

berjalan maju searah. 

Pendapat ini didasari atas pemahaman tentang sejarah dari 

perspektif Alkitab yang kuat, yaitu waktu memiliki awal dan bergerak 

menuju akhir. Hubungan antara keduanya sangat unik sebab sementara 

sejarah sekuler berputar terus, sejarah sekuler ini menjadi ruang bagi 

sejarah sakral untuk bergerak ke depan. Sejarah sekuler menjadi milik 

waktu dan tidak dapat menghindar atau bangkit dari batasan-batasan 

kesementaraannya. 

Menurut Augustinus, waktu sama sekali berbeda dengan 

kekekalan. Untuk membedakan waktu dan kekekalan, Augustinus

menjelaskan bahwa tidak mungkin sesuatu eksis tanpa pergerakan dan 

transisi. Jika penafsiran pernyataannya ini benar bahwa "pergerakan dan 

transisi" ini dimengerti sebagai peristiwa-peristiwa sejarah maka sejarah 

hanya ada di dunia atau di dalam ruang dan waktu sedangkan 

kekekalan tidak dapat dipengaruhi oleh pergerakan atau perubahan. 

Kekekalan selalu berada di luar pengaruh ruang dan waktu. 

Dalam De Civitate Dei, sejarah dipandang sebagai sebuah cerita 

tentang dua kota, yakni kota duniawi dan surgawi. Konsep-konsep 

seperti kejahatan dan kebaikan atau duniawi dan surgawi atau 

sementara dan kekal yang ada di sepanjang cerita itu sering dicurigai 

sebagai pengaruh dari filsafat dan pemikiran yang bersifat Platonistik, 

khususnya dualisme Platonik. Namun demikian, meskipun Augustinus 

sangat memahami dualisme Platonik, ia tidak mendasari konsepnya 

pada dualisme yang nyata, sebagaimana Plato mengajarkannya. 

Terbukti ketika Augustinus mendasari filsafat sejarahnya 

sebagaimana umumnya filsafat sejarah yakni pada dualisme sejarah

bukan kepada dualisme ontologisme. Walaupun Augustinus telah 

mempelajari filsafat Plato secara mendalam dan pernah menjadi seorang 

Neo-Platonik namun ide sejarahnya masih tetap banyak dan sangat 

dipengaruhi oleh pandangan Alkitab. 

F. KONTRIBUSI UNTUK KAJIAN SEJARAH ISLAM

Kajian terhadap profil Augustinus sebagai sejarawan dan karya￾karyanya dapat memberikan kontribusi berharga bagi kajian sejarah 

Islam, di antaranya: 

1. Gagasan integrasi filsafat, sejarah, dan teologi merupakan 

gagasan penting yang bisa dikembangkan dan diaplikasikan 

dalam kajian sejarah Islam. Gagasan itu semakin relevan di 

tengah tantangan arus pemikiran dari berbagai spectrum ideologi 

yang menuntut formulasi teologi dan narasi sejarah yang dapat 

dipertanggungjawabkan secara intelektual. Penulisan sejarah

Islam tidak mesti bertitik tolak dari “objektivitas” historis yang 

membuat sejarawan harus menjaga jarak sejauh-jauhnya dari peristiwa. Akan tetapi, ia dapat “berangkat” dari kediriannya 

yang utuh yakni seorang muslim yang beriman sekaligus 

sejarawan. Augustinus memberikan contoh terhadap integrasi 

ini. 

2. Pandangan Agustinus mengenai filsafat sejarah juga menarik 

untuk menjadi alat menyusun dan menjelaskan fakta sejarah 

Islam. Sejarah Islam sangat mungkin dibaca, misalnya, bergerak

linier sekaligus circle. Peristiwa-peristiwa “profan” dalam 

sejarah Islam mulai perluasan, islamisasi, pembangunan 

peradaban, konflik, diplomasi, dan perang memang memiliki

potensi untuk dibaca dengan cara “O. Spengler” ini. Namun 

demikian, umat Islam juga berpotensi menarasikan sejarah “ide￾idenya” dalam kerangka linier. Dengan demikian, sejarah Islam 

adalah sejarah linier sekaligus circle. Sekali lagi, ini adalah narasi 

yang mungkin dapat dibuktikan dengan fakta-fakta sejarah 

Islam.



Ciri utama abad pertengahan adalah theosentris, dominasi gereja, dan 

feodalistik. Pada masa ini, seluruh tatanan kehidupan masyarakat diatur 

sepenuhnya oleh agama (dogma) atau gereja. Oleh karenanya, akal dan 

rasionalitas ditekan bahkan dibungkam agar tidak berseberangan dengan gereja. 

Kondisi inilah yang kemudian mengantarkan Eropa ke arah kemunduran, atau 

lebih dikenal sebagai “masa kegelapan”. Kondisi ini turut mewarnai corak 

historiografi Eropa. Tema-tema penulisan sejarah senantiasa berkaitan dengan 

agama dan gereja sedangkan penulis sejarah adalah para pendeta, pastor, atau 

biarawati yang sekaligus bertindak sebagai aktor sejarah. Dengan demikian 

penulisan yang “bebas”dan “obyektif” hampir bisa dikatakan tidak ada sebab 

tidak ada jarak antara aktor dan penulis sejarah. Agustinus adalah sosok 

sejarawan abad pertengahan yang “mewakili” semua karakter itu.