ianlah ia
menjelaskan kebahagiaan yang muncul dari ketidakmelekatan
terhadap para dermawan laki-laki maupun perempuan dan
tidak berkumpul dengan mereka.)
5. “Raja besar, (seorang petapa yang memiliki barang-barang
kebutuhan yang berlebih dan menitipkannya kepada si
dermawan untuk disimpan. Jika pada lalu hari ia
mendengar berita bahwa, rumah si pemberi dà na ini
kebakaran, ia akan merasa tertekan dan pikirannya tidak
tenang. Sebaliknya, petapa lain yang memiliki perlengkapan
hanya yang menempel di badannya atau yang selalu ia bawa
bersamanya yaitu bagaikan sayap burung yang mengikutinya
ke mana pun ia terbang). Ia tidak merasa kehilangan saat suatu
kota atau desa tertimpa bencana kebakaran. Tidak merasa
kehilangan miliknya oleh api yaitu berkah kelima bagi
seorang petapa.” (Demikianlah ia menjelaskan kebahagiaan
yang diperoleh dari tidak menjadi korban api.)
6. “Raja besar, jika suatu kota atau desa dirampas oleh para
perampok, seorang petapa, sepertiku, yang memakai atau
membawa semua miliknya bersamanya, tidak akan kehilangan
apa pun (sedangkan orang lain yang memiliki banyak harta
benda akan menderita kehilangan sebab dirampas oleh
perampok dan pikirannya menjadi tidak tenang). Bebas dari
kesulitan menyimpan harta benda yaitu berkah keenam bagi
seorang petapa.” (Demikianlah ia menjelaskan kebahagiaan
yang diperoleh sebab merasa aman dari perampok.)
7. “Raja besar, seorang petapa yang hanya memiliki delapan
perlengkapan sebagai hartanya bebas bepergian tanpa
diberhentikan, ditanyai atau ditangkap di dalam perjalanan
oleh para perampok atau petugas keamanan. Ini yaitu berkah
ketujuh bagi seorang petapa.” (Demikianlah ia menjelaskan
kebahagiaan yang diperoleh dari perjalanan yang aman di
mana telah menunggu perampok atau petugas keamanan.)
3131
1
8. “Raja besar, seorang petapa yang hanya memiliki delapan
perlengkapan sebagai hartanya bebas bepergian ke mana pun
yang ia inginkan tanpa merasa rindu (akan tempatnya yang
lama). Kemungkinan untuk berpindah-pindah yaitu berkah
kedelapan bagi seorang petapa yang tidak memiliki banyak
harta benda.” (Demikianlah ia menjelaskan kebahagiaan yang
diperoleh dari kebebasan berpindah-pindah tanpa merindukan
tempat asalnya.)
Raja Arindama menyela khotbah Pacceka Buddha Soõaka mengenai
berkah petapa dan bertanya, “Walaupun engkau memuji-muji berkah
seorang petapa, aku tidak dapat memujinya sebab aku selalu dalam
kebahagiaan. Kenikmatan indria, baik duniawi maupun surgawi,
yang kusukai. Bagaimanakah aku dapat memperoleh kehidupan
sebagai manusia dan dewa?” Pacceka Buddha Soõaka menjawab
bahwa mereka yang menyukai kenikmatan indria akan terlahir di
alam yang tidak berbahagia, dan hanya mereka yang melepaskan
kenikmatan indria yang akan terlahir di alam yang berbahagia.
Sebagai perumpamaan, ia menceritakan kisah seekor burung gagak
yang dengan penuh kegembiraan mengejar mayat seekor gajah yang
terapung di laut dan mati sebab nya; Pacceka Buddha lalu
menjelaskan cacat dari kenikmatan indria dan lalu pergi,
berjalan melalui angkasa.
Tergerak oleh perasaan religius sebagai akibat dari nasihat Pacceka
Buddha, Raja Arindama menyerahkan kerajaannya kepada
putranya Dãghà vu dan pergi menuju Pegunungan Himalaya. sesudah
menjadi petapa, hidup hanya dari buah-buahan dan melatih serta
mengembangkan Jhà na melalui meditasi empat cara hidup yang
luhur (Brahmà vihà ra—mettà , karuõà , mudità , dan upekkhà ) ia
terlahir kembali di alam brahmà .
Sembilan Cacat Pakaian Orang Biasa
1. Harganya mahal.
2. Tersedia hanya melalui hubungan dengan pembuatnya.
3. Cepat rusak jika sering dipakai.
4. Cepat usang dan mudah robek sebab sering dicuci dan
3132
dicelup.
5. Sulit mencari penggantinya.
6. Tidak cocok untuk petapa.
7. Harus dijaga agar tidak dicuri.
8. Terlihat seperti hendak dipamerkan saat dikenakan.
9. Jika dibawa pergi tanpa dikenakan, akan menjadi beban berat
dan orang yang membawanya terlihat serakah.
Dua Belas Manfaat Jubah Serat
1. Harga murah dan kualitasnya baik.
2. Dapat dibuat sendiri.
3. Tidak cepat usang dan mudah dibersihkan.
4. Mudah dibuang jika sudah usang, tanpa perlu dijahit dan
ditambal.
5. Tidak sulit mencari penggantinya.
6. Cocok untuk petapa.
7. Tidak harus dijaga untuk menghindari pencurian.
8. Tidak terlihat seperti hendak dipamerkan jika dikenakan.
9. Tidak menjadi beban berat jika dikenakan atau dibawa
bepergian.
10. Pemakainya tidak melekat kepada jubah ini .
11. Dibuat dengan cara memukul-mukul kulit kayu; sehingga tidak
ada cacat dalam usaha memperolehnya.
12. Bukan barang berharga, jadi tidak akan merasa menyesal jika
hilang atau rusak.
Jubah Serat
Jubah serat yaitu jubah yang terbuat dari serat yang diperoleh
dari sejenis rumput yang ditenun. (Hal ini dijelaskan dalam
Aññhasà linã.)
Menurut Hsutaunggan Pyo, menenun serat saja masih belum
cukup untuk membuat jubah. Masih harus dipukul-pukul untuk
membuatnya lunak dan halus. Itulah sebabnya di Myanmar
dinamakan serat pukulan.
3133
1
“Jubah serat” diberi nama và kacãra, vakkala, dan tirãñaka dalam
bahasa Pà ëi.
Và kacãra secara harfiah berarti jubah yang terbuat dari rumput, dan
oleh sebab itu seharusnya diterjemahkan “jubah rumput.” Namun,
guru-guru zaman dulu menerjemahkan sebagai “jubah serat”.
Nama lainnya, vakkala dan tirãñaka, merujuk kepada jubah yang
terbuat dari kulit kayu. Walaupun kata vakka pada vakkala artinya
yaitu “kulit pohon.” Yang dimaksudkan bukanlah kulit pohon
bagian luar yang tebal dan keras, tetapi lapisan bagian dalam yang
merupakan serat yang membungkus inti pohon ini . sebab
serat ini diambil, ditenun dan dipukul agar halus dan lunak,
maka jubah ini disebut jubah serat. Walaupun và kacãra berarti
“jubah rumput,” proses membuat jubah dari serat yang diambil dari
pohon lebih sering dilakukan daripada jubah dari rumput sehingga
nama “jubah serat” lebih dikenal daripada “jubah rumput.” Itulah
sebabnya istilah “jubah serat” dikutip dalam Hsutaunggan Pyo.
Penyangga Berkaki Tiga dari Kayu
Penyangga berkaki tiga dari kayu (tidaõóa atau tayosålã) yaitu
perlengkapan seorang petapa. Sebagai tempat untuk meletakkan
kendi air.
Kendi Air dan Gandar
Kendi air (kuõóika) yaitu perlengkapan lainnya dari seorang
petapa. Khà rikà ja berarti sebuah galah yang dikutip oleh guru-
guru zaman dulu berasal dari kombinasi kata khà ri dan kà ja yang
dua-duanya berarti galah yang melengkung. Menurut beberapa
sumber, khà ri berarti seperangkat perlengkapan petapa yang terdiri
dari sebuah batu api, sebuah jarum, kipas dan lain-lain. Mengutip
terjemahan ini, khà rikaja dapat diartikan sebagai sebuah pikulan di
mana digantung berbagai perlengkapan seorang petapa.
3134
Kulit Rusa Hitam (Ajinacamma)
Kulit rusa hitam, lengkap dengan kukunya disebut ajinacamma
juga yaitu salah satu perlengkapan petapa, yang dapat dijelaskan
sebagai berikut:
Kata Pà ëi ajinacamma secara umum diterjemahkan sebagai kulit
rusa hitam oleh para terpelajar zaman dulu, hal ini disebab kan
binatang yang berkulit hitam biasanya disebut “rusa hitam.” Dalam
Amarakosa Abhidhà na (bagian 17, v.47) kata Ajima dijelaskan
sebagai “kulit” yang memiliki arti yang sama dengan camma.
Demikianlah penjelasan dari Amarakosa yang layak diperhatikan.
Dalam Aññhasà linã dan komentar lainnya, terdapat kalimat yang
berarti “kulit, lengkap dengan kukunya, dari seekor rusa hitam,
yang mirip seperti hamparan bunga punnà ga”.
Frasa “lengkap dengan kukunya” (sakhuraÿ) merujuk kepada
kulit dari binatang yang berkuku. Sedangkan ungkapan “seperti
hamparan bunga Puõõà ga”, kita harus menentukan apakah yang
dimaksud yaitu warnanya atau kelembutannya. Bahwa bunga
Puõõà ga tidaklah lebih lembut dari bunga-bunga lainnya, jadi lebih
tepat jika yang dimaksudkan yaitu warnanya. Hal ini menyiratkan
bahwa kulit ini bukan berasal dari rusa hitam.
Walaupun oleh para terpelajar zaman dulu, ajina diterjemahkan
sebagai “macan tutul hitam”, dan bahwa sebenarnya berarti kulit
binatang dan memiliki arti yang sama dengan camma seperti yang
terbukti pada kalimat “ajinamhã ha¤¤ate dãpi”, (seekor macan
tutul yang dibunuh untuk diambil kulitnya) dalam Janaka dan
Suvaõõasà ma Jà kata. Komentar Jataka ini juga menjelaskan
ajina yaitu sinonim dari camma dalam kalimat “ajinamhãti
cammatthà ya cammakaraõà ” (“mengambil kulitnya untuk dibuat
jubah”). Dalam bahasa Pà ëi, hanya ada dua kata yaitu dãpi dan
saddåla yang memiliki arti macan tutul. Ajina tidak termasuk.
Kitab Buddhavaÿsa juga menyebutkan “kese mu¤citva’ham tattha
và kacira¤ ca cammakaÿ”, saat Sumedha berbaring tiarap di
3135
1
hadapan Buddha Dãpaïkara, menjadi jembatan, ia melepas pengikat
rambutnya dan menghamparkan jubah seratnya dan kulit binatang
di atas lumpur. Kata Pà ëi yang digunakan di sini yaitu cammaka
yang memiliki arti yang sama dengan ajinacamma yang telah
dijelaskan di atas.
Semua ini menunjukkan bahwa ajinacamma bukanlah kulit binatang
bercakar seperti harimau, macan tutul atau kucing dan frasa
keterangan “lengkap dengan kuku” menunjukkan bahwa yang
dimaksud yaitu kulit dari binatang berkuku seperti kuda dan sapi.
Kulit ini memiliki warna bagaikan hamparan bunga punnà ga
seperti yang disebutkan dalam aññhasà linã. Kulit ini juga sangat
halus saat disentuh. Binatang-binatang seperti eõã banyak terdapat
di seluruh Himalaya. sebab kulitnya yang halus dan sangat indah
serta tidak mudah didapat, orang-orang menganggapnya sebagai
simbol kemewahan.
saat Bodhisatta Siddhattha lahir, para Dewa Cà tuMahà rà jika
dari empat penjuru, menerima Beliau dari tangan brahmà dari
Alam Suddhà và sa dengan memakai kulit dari binatang
tertentu—kulit yang memiliki bulu-bulu yang halus dan merupakan
barang yang mewah. Hal ini dijelaskan dalam bagian pendahuluan
Komentar Jà taka, juga dalam Komentar Buddhavaÿsa.
Rambut yang Digelung (Jaña) dan Pengikat Rambut Bundar dari
Rambut (Jatà maõóala)
Perbedaan antara rambut yang digelung dan rambut yang diikat
dengan pengikat rambut bundar terbuat dari rambut harus
dipahami. Rambut yang digelung yaitu merupakan bagian dari
tubuh si petapa. Untuk tidak dipersulit oleh merawat rambut yang
panjang, si petapa mengelung rambutnya dengan erat. Inilah yang
disebut dengan rambut yang digelung.
Salah satu perlengkapan yang diciptakan dan ditinggalkan di dalam
gubuk oleh Visukamma seperti yang dijelaskan dalam aññhasà linã
yaitu pengikat rambut bundar terbuat dari rambut yang disebut
jatà maõóala. Benda ini merupakan bagian terpisah dari tubuh
3136
si petapa, bukan bagian tubuhnya. Dari kalimat “Ia mengenakan
pengikat kepala di kepalanya dan mengencangkannya dengan
memakai jepit rambut terbuat dari gading”, jelas bahwa
pengikat rambut ini yaitu benda yang terpisah dari rambut
Sumedha. Benda ini lalu berevolusi menjadi benda yang
berguna untuk melindungi rambut dari debu dan kotoran.
Delapan Jenis Petapa
Kata “petapa” merujuk kepada mereka yang berada di luar ajaran
Buddha, namun demikian mereka dianggap sebagai orang suci
pada masa itu.
Komentar Ambaññha Sutta dari Silakkhandha Vagga mencantumkan
delapan jenis petapa sebagai berikut:
1. Saputtabhariya
2. U¤chà cariya
3. AnaggipakkikÃ
4. Asà mapà ka
5. Ayamuññhika (Asmamuññhika)
6. Dantavakkalika
7. Pavattaphalabhojana
8. Paõóupalà sika
1. Seorang petapa yang mengumpulkan kekayaan dan menjalani
kehidupan berumahtangga disebut saputtabhariya (contohnya:
Keniya pada zaman Buddha).
2. Seorang petapa yang tidak mengumpulkan kekayaan dan tidak
menjalani kehidupan berumah tangga, tetapi mengumpulkan
beras dari orang-orang awam di tempat-tempat penggilingan
padi dan memasaknya sendiri disebut u¤chà cariya.
3. Seorang petapa yang mengumpulkan padi dari orang-
orang awam dan memasak makanannya sendiri disebut
anaggipakkika. Ia berpikir bahwa menguliti padi dengan cara
memukul-mukul padi ini tidaklah layak dimakan oleh
petapa.
4. Seorang petapa yang memasuki desa dan mengumpulkan nasi
3137
1
disebut asà mapà ka. Ia berpikir bahwa memasak tidaklah layak
dilakukan oleh petapa.
5. Seorang petapa yang mengambil kulit pohon sebagai
makanannya dengan memakai logam atau batu disebut
ayamuññhika (atau asmamuññhika). Ia berpikir mengumpulkan
makanan dari orang-orang awam sangatlah melelahkan.
6. Seorang petapa yang mengambil kulit pohon sebagai
makanannya dengan memakai g ig inya disebut
dantavakkalika. Ia berpikir bahwa membawa-bawa logam atau
batu sangatlah melelahkan.
7. Seorang petapa yang hidup dari buah-buahan yang
dilempar jatuh dengan memakai batu atau kayu disebut
pavattaphalabhojana. Ia berpikir bahwa mengambil kulit pohon
sangatlah melelahkan.
8. Seorang petapa yang hidup hanya dari daun-daunan, bunga-
bungaan dan buah-buahan yang jatuh secara alami dari pohon
disebut paõóupalà sika.
Paõóupalà sika dibagi menjadi tiga jenis:
(1) Ukkaññha-paõóupalà sika, ia yang tetap duduk dan tidak pernah
bangkit dan hanya hidup dari daun-daunan, bunga, dan buah-
buahan yang jatuh dalam jangkauannya.
(2) Majjhuÿ-paõóupalà sika, ia yang tidak berpindah dari satu
pohon ke pohon lainnya dan hanya hidup dari daun-daunan,
bunga, dan buah-buahan yang jatuh dari satu pohon; dan
(3) Muduÿ-paõóupalà sika, ia yang berpindah-pindah dari satu
pohon ke pohon lain untuk mencari daun-daunan, bunga, dan
buah-buahan yang jatuh dari pohon untuk bertahan hidup.
Demikianlah penjelasan delapan jenis petapa yang terdapat dalam
Komentar Ambaññha Sutta.
Sebagai perbandingan, penulis juga mencantumkan penjelasan yang
terdapat pada Komentar Hiri Sutta dari Sutta Nipà ta.
1. Saputtabhariya,
2. U¤chà carika,
3. Sampattakà lika,
3138
4. Anaggipakkika,
5. Ayamuññhika,
6. Dantaluyyaka,
7. Pavattaphalika, dan
8. Vaõñamuttika.
1. Petapa yang menjalani kehidupan berumah tangga dan bermata
pencaharian sebagai petani, pedagang, dan lain-lain. Contohnya
Keniya dan lain-lain, disebut saputtabhariya.
2. Petapa yang bertempat tinggal di dekat gerbang kota dan
mengajarkan putra-putri khattiya dan bramana, hanya
menerima hasil panen dan tidak menerima emas dan perak
disebut u¤chà carika.
3. Petapa yang hidup hanya dari makanan yang diperoleh pada
waktu-waktu makan disebut sampattakà lika.
4. Petapa yang hidup hanya dari buah-buahan dan sayur-sayuran
yang tidak dimasak disebut anaggipakkika.
5. Petapa yang berkelana dari satu tempat ke tempat lain dengan
berbekal sepotong logam atau batu untuk mengambil kulit
pohon sebagai makanan saat ia merasa lapar. Ia melaksanakan
Sãla, berlatih meditasi empat sifat luhur, disebut ayamuññhika.
6. Petapa yang berkelana dari satu tempat ke tempat lain tanpa
berbekal sepotong logam atau batu tapi memakai giginya
untuk mengambil kulit pohon sebagai makanan saat ia merasa
lapar. Ia melaksanakan sãla, berlatih meditasi empat sifat luhur,
disebut dantaluyyaka.
7. Petapa yang bergantung hanya dari kolam-kolam alami atau
hutan-hutan dan tidak bepergian ke mana-mana, bertahan
hidup hanya dari tangkai dan kuntum bunga teratai dari
kolam atau bunga dan buah-buahan dari hutan atau bahkan
dari kulit pohon (jika tidak tersedia makanan lain) dan ia juga
melaksanakan Sãla, berlatih meditasi empat sifat luhur, disebut
pavattaphalika.
8. Petapa yang bertahan hidup hanya dari daun-daunan yang
jatuh secara alami dan melaksanakan sãla serta berlatih meditasi
empat sifat luhur, disebut vaõñamuttika.
Kedua urutan petapa ini, diurutkan berdasarkan urutan
3139
1
kemuliaannya, tiap-tiap jenis petapa lebih mulia dari jenis
sebelumnya.
Dengan pengecualian saputtabhariya, semua petapa ini yaitu
orang-orang suci yang melaksanakan sãla dan berlatih meditasi
empat sifat luhur.
Sumedha yaitu petapa jenis keempat (dalam urutan yang terdapat
dalam Komentar Silà kkhandha), yaitu, asamapaka, selama satu hari,
yaitu petapa yang mengumpulkan makanan-makanan yang telah
dimasak. Tetapi keesokan harinya, ia yaitu petapa jenis kedelapan,
yaitu, paõóupalasika, yang hanya hidup dari daun-daunan, bunga,
dan buah-buahan yang jatuh secara alami dari pohon. Menurut
urutan yang diberikan dalam Komentar Sutta Nipà ta, ia berada
dalam jenis kedelapan, yaitu, vaõñamuttika, yaitu, petapa yang
bertahan hidup hanya dari daun-daunan yang jatuh secara alami
dari pohon dan melaksanakan sãla serta berlatih meditasi empat
sifat luhur.
Tiga Jenis PabbajjÃ
“Pabbajjà ” dalam bahasa Pà ëi artinya yaitu “pergi menjadi petapa”
oleh guru-guru zaman dulu. Yaitu, meninggalkan kehidupan
duniawi, yang terdiri dari tiga jenis:
1. Isi-pabbajjà , meninggalkan kehidupan duniawi dan menjadi
isi (petapa).
2. Samaõa-pabbajjà , meninggalkan kehidupan duniawi dan
menjadi samaõa (bhikkhu).
3. Sà maõera-pabbajjà , meninggalkan kehidupan duniawi dan
menjadi sà maõera (bakal bhikkhu).
Oleh sebab itu, ada tiga jenis manusia yang layak mendapat
penghormatan: isi (petapa), samaõa (bhikkhu), dan sà maõera (bakal
bhikkhu).
3140
Delapan Cacat Gubuk Daun-daunan
1. Gubuk memaksa penghuninya untuk mencari kayu dan bahan-
bahan lainnya dalam proses pembangunan.
2. Penghuninya harus memelihara dan memperbaiki jika atap
rumput dan dinding lumpurnya mulai rusak.
3. Penghuninya harus menyediakan ruangan saat seorang
pengunjung senior datang, yang harus diberikan akomodasi
yang sesuai, kesibukan ini akan menyebabkan pikirannya
menjadi tidak terkonsentrasi.
4. sebab terlindung dari hujan dan sinar matahari, penghuninya
cenderung menjadi lebih lemah.
5. Dengan adanya atap dan dinding yang memberi privasi,
gubuk ini dapat menjadi tempat persembunyian jika
penghuninya melakukan perbuatan jahat.
6. Dapat menyebabkan kemelekatan bagi penghuninya, yang
berpikir, “Ini yaitu tempat tinggalku.”
7. Tinggal di dalamnya, membuat penghuninya merasa seolah-
olah hidup sebagai perumah tangga bersama keluarganya.
8. Penghuninya harus berurusan dengan hama seperti kutu,
serangga, dan lain-lain.
Inilah kerugian dari gubuk yang disadari oleh Sumedha dan yang
menyebabkannya meninggalkan gubuk daun-daunan.
Sepuluh Keuntungan Menetap di Bawah Pohon
1. Bawah pohon tidak mengharuskan penghuninya untuk
mendapatkan bahan-bahan bangunan, tempat tinggal yang
telah tersedia secara alami.
2. Penghuninya tidak perlu melakukan pemeliharaan atau
perbaikan secara rutin.
3. Penghuninya tidak perlu menyiapkan ruangan jika menerima
kunjungan dari seniornya.
4. Tidak memberi privasi sehingga tidak dapat menjadi tempat
persembunyian atas tindak kejahatan.
5. Penghuninya bebas dari kekakuan organ-organ tubuh seperti
yang diderita oleh mereka yang tinggal di dalam ruangan.
3141
1
6. Penghuninya tidak merasa memiliki tempat itu sebagai
hartanya.
7. Penghuninya dapat meninggalkan tempat itu setiap saat
tanpa kemelekatan dengan mengatakan, “Ini yaitu tempat
tinggalku.”
8. Penghuninya tidak perlu mengusir orang lain misalnya untuk
membersihkan.
9. Tempat yang menyenangkan bagi penghuninya.
10. sebab penghuninya dengan mudah dapat menemukan tempat
yang sama di tempat lain, ia tidak melekat dengan “tempat
tinggalku”.
Ramalan
Telah disebutkan bahwa, Sumedha merenungkan, “Apalah gunanya
secara egois melarikan diri dari lingkaran kelahiran sendirian,”
hal ini disebutkan dalam Kitab Buddhavaÿsa, “Kiÿ me ekena
tiõõena.”
Mengutip kalimat ini, orang-orang sering berkata dengan nada
kasar, “Seseorang tidak boleh egois di dunia ini. Orang yang egois
yaitu orang yang hanya mencari kesejahteraannya sendiri. Orang
yang hanya mencari kesejahteraannya sendiri yaitu orang yang
tidak berguna.”
Tetapi jika seseorang melanjutkan membaca kalimat tadi hingga
pada kalimat “purisena thanadassina”, yang artinya, “sebab dalam
kenyataannya, aku yaitu orang yang superior dan menyadari
akan kebijaksanaan, keyakinan, dan usaha yang kumiliki,” yang
memenuhi syarat atas kalimat sebelumnya. Semua ini menunjukkan
bahwa, hanya mereka, yang memiliki kemampuan.
Nera¤jarÃ
Nera¤jarà yaitu nama sungai yang berasal dari kata nelajala, nela
berarti ‘tanpa cacat’ dan jala berarti ‘air’; dengan demikian artinya
yaitu ‘sungai yang airnya jernih dan murni’.
3142
Penurunan lain yaitu dari kata nãlajala, nãla berarti ‘biru’ dan jala
berarti ‘air’; dengan demikian artinya yaitu ‘sungai yang airnya
biru jernih’.
Penurunan lain lagi yaitu dari kata narijarà yang berarti sejenis
alat musik yang menghasilkan bunyi yang mirip seperti suara air
yang mengalir di sungai.
Yang Penting Dalam Ramalan
Sehubungan dengan frasa ‘melangkah keluar dengan kaki kanannya’
dan ‘menghormat kepadanya dengan delapan genggam bunga-
bungaan’, penulis menjelaskan sebagai berikut:
‘Melangkah keluar dengan kaki kanannya’ yaitu terjemahan dari
bahasa Pà ëi dakkhiõam padam uddhari. Buddha Dipankara pergi
tidak hanya dengan melangkah dengan kaki kanan-Nya tetapi juga
tetap memposisikan Sumedha agar berada di sebelah kanan-Bya.
Cara meninggalkan orang terhormat seperti ini yaitu kebiasaan
sejak zaman India kuno untuk menunjukkan penghormatan yang
tinggi.
‘Menghormat kepadanya dengan delapan genggam bunga-bungaan’
dalam bahasa Pà ëi yaitu atthahi pupphamuññhãhi pujetva yang
terdapat dalam Komentar JÃ taka dan Komentar Buddhavamsa.
Terhadap frasa ini terdapat banyak kontroversi mengenai apakah
seorang Buddha hidup harus memberi hormat kepada seorang
Bodhisatta yang akan menjadi Buddha berkappa-kappa lalu .
Bahkan jika seseorang berpendapat bahwa Buddha Dãpaïkara
memberi hormat bukan kepada individu Sumedha, melainkan
kepada Sabba¤¤uta ¥Ã õa, Kebijaksanaan tertinggi, yang akan
dicapainya, pendapat ini juga tidak dapat diterima sebab tidak pada
tempatnya bahwa seseorang yang telah mencapai Kemahatahuan
memberi hormat kepada Kemahatahuan yang akan dicapai kelak
oleh seorang Bodhisatta.
Seluruh kontroversi ini teletak pada terjemahan kata pÃ¥jetvÃ
yang dihubungkan dengan kata puja: Komentar Khuddakapà tha
3143
1
menjelaskan bahwa pÃ¥jà berarti sakkà ra, ‘memperlakukan dengan
sepantasnya’, mà nana ‘menghargai’, dan vandanà ‘menghormat,
menyembah, atau bersujud’. Penulis memberi pendapat
bahwa menghormat Petapa Sumedha dengan delapan genggam
bunga, Ia tidak menyembah atau bersujud (vandanà ), melainkan
hanya memperlakukan dengan sepantasnya (sakkà ra) kepada
Sumedha dan menunjukkan penghargaan tinggi (mà nana) kepada
Sumedha.
Kitab ini menyebutkan bahwa fenomena ramalan yang terjadi pada
hari Planet Visà khà berada sejajar dengan bulan purnama. Hari itu
di Myanmar yaitu hari purnama di bulan Kason (April-Mei). Hari
itu yaitu hari yang sangat penting sebab merupakan Purnama
pertama dalam setiap tahun.
Semua Buddha menerima ramalan untuk menjadi Buddha pada
hari Purnama di bulan Kason. Jadi, saat Sumedha menerima
ramalan pada hari yang penting itu, para dewa dan brahmà yakin
sekali dalam seruan mereka bahwa Sumedha pasti akan menjadi
Buddha.
Penulis lebih jauh menyebutkan bahwa, hari purnama di bulan
Kason bukan hanya hari di mana ramalan diterima tetapi juga
yaitu hari di mana Bodhisatta terlahir di alam manusia dalam
kelahiran terakhirnya; juga yaitu hari di mana mereka mencapai
Pencerahan Sempurna dan hari di mana mereka wafat dan mencapai
Nibbà na.
Purnama di bulan Kason begitu penting dalam tradisi Myanmar
sehingga raja-raja zaman dulu memilih hari ini untuk naik tahta.
Dewa Menyerukan Tiga Puluh Dua Fenomena Ramalan
Tiga puluh dua fenomena ramalan yang terjadi saat Sumedha
menerima ramalan. Fenomena-fenomena ini berbeda dengan
fenomena yang terjadi saat seorang Bakal Buddha memasuki
rahim, saat kelahiran, mencapai Pencerahan Sempurna dan
membabarkan khotbah pertama. Fenomena ini akan dijelaskan
3144
dalam Riwayat Gotama.
Yang Penting Dalam Fenomena Ramalan
‘Fenomena ramalan’ diterjemahkan dari kata Pà ëi ”nimitta”, yang
berarti tanda-tanda yang meramalkan peristiwa baik atau buruk
yang kemungkinan besar akan terjadi.
Kesempurnaan (Pà ramã)
(A) Kesempurnaan Kedermawanan (Dà na Pà ramã)
Sehubungan dengan Kesempurnaan Kedermawanan, jelas
disebutkan dalam Kitab Pà ëi mengenai riwayat para Buddha bahwa
Bodhisatta Sumedha menasihati dirinya sendiri untuk memulai
dengan praktik Kesempurnaan Kedermawanan sebab para
Bodhisatta pada masa lampau juga melakukan hal yang sama. Oleh
sebab itu jelas terlihat bahwa di antara Sepuluh Kesempurnaan,
Kesempurnaan Kedermawanan menuntut prioritas tertinggi untuk
dipenuhi.
Tetapi, dalam Sagà thà Vagga dari Saÿyutta Nikà ya, kita menemukan
syair, “Sãle patiññhà ya naro sapa¤¤o... “ yang mana Buddha
menjelaskan bahwa seseorang yang memiliki kebijaksanaan
yang matang yang terlahir dengan tiga kondisi utama*, memiliki
moralitas yang baik, tekun mengembangkan konsentrasi dan
kebijaksanaan Pandangan Cerah, ia dapat meluruskan kekusutan
jaring keserakahan. Di sini Buddha hanya menyebut Tiga Latihan:
moralitas (sãla), konsentrasi (samà dhi), dan kebijaksanaan
Pandangan Cerah (pa¤¤Ã ); tidak disebutkan sedikit pun tentang
praktik kedermawanan. (*Catatan: tiga kondisi utama: tihetu-
pañisandhika, seseorang yang kesadaran saat kelahirannya disertai
oleh tiga kondisi utama, ketidak-serakahan, ketidak-bencian, dan
ketidak-bodohan.)
Lebih jauh lagi, Komentar Visuddhimagga (Jalan Kesucian) yang
merupakan sumber kutipan syair Sagà thà vagga Saÿyutta di atas juga
tidak menyentuh topik kedermawanan dan Jalan Mulia Berfaktor
3145
1
Delapan yang mengarah menuju Nibbà na juga hanya menyebutkan
moralitas, konsentrasi, dan kebijaksanaan, tidak ada jalan yang
menyebutkan kedermawanan, beberapa pendapat menyalahartikan
bahwa kedermawanan tidak dianggap penting oleh Buddha, tidak
mendukung pencapaian Nibbà na, bahwa kedermawanan hanya
menghasilkan kelahiran kembali yang lebih banyak lagi dalam
lingkaran kehidupan dan kedermawanan demikian seharusnya
tidak dikembangkan.
Menteri terkenal Raja Mindon, U Hlaing Yaw, menulis dalam
bukunya ”Rasa Pembebasan” (Vimuttirasa) bahwa Buddha
mengajarkan kedermawanan hanya untuk orang-orang biasa seperti
putra si orang kaya, Siïgà la.
Banyak umat Buddha yang merasa terusik dengan pendapat
bahwa kedermawanan tidak perlu dilatih dan yang marah atas
tulisan Menteri Yaw bahwa Buddha mengajarkan kedermawanan
hanya untuk orang-orang biasa. Namun sekadar tidak menyetujui
pendapat ini dan marah saja tidak ada gunanya. Yang lebih
penting yaitu memahami dengan benar apa yang dimaksudkan
oleh Buddha dalam ajaran-Nya ini .
Sehubungan dengan syair Sagà thà vagga Saÿyutta yang disebutkan
di atas, apa yang harus dipahami sebagai arti sesungguhnya dari
khotbah Buddha yaitu sebagai berikut: Khotbah ini diajarkan
oleh Buddha demi manfaat bagi orang-orang mulia yang mampu
berusaha keras untuk melenyapkan kotoran secara total, untuk
mencapai Kearahattaan dalam kehidupan ini juga, tidak ada lagi
kelahiran kembali. Jika orang-orang mulia ini benar-benar
berusaha keras untuk mencapai Kearahattaan dalam kehidupan ini
juga dan jika, sebagai akibat dari usaha kerasnya, ia menjadi seorang
Arahanta, maka ia tidak perlu terlahir kembali. Kedermawanan
yaitu perbuatan yang menghasilkan kelahiran kembali, kenikmatan
baru; bagi mereka, yang akan mematahkan lingkaran kelahiran
kembali dalam kehidupan ini juga, tidak akan ada kelahiran
kembali. sebab tidak ada kelahiran baru baginya untuk memetik
buah dari kedermawanannya, tindakan memberi yaitu tidak
diperlukan. Itulah sebabnya Buddha, demi manfaat bagi orang-
3146
orang mulia ini , dalam Saÿyutta membabarkan khususnya
tentang moralitas, konsentrasi, dan kebijaksanaan Pandangan Cerah
yang lebih penting daripada kedermawanan dengan tujuan untuk
melenyapkan kotoran batin. Buddha sama sekali tidak mengatakan
bahwa kedermawanan tidak seharusnya dilatih.
Kedermawanan memiliki kualitas membuat batin menjadi lunak.
saat seseorang memberi persembahan, tindakan memberi
ini bertindak sebagai pendukung penentu (upanissaya-paccaya:
pendukung langsung kehidupan). Untuk membuat batin menjadi
lebih lunak dan siap untuk menjalani Moralitas, untuk melatih
Konsentrasi, dan untuk mengembangkan kebijaksanaan meditasi
Pandangan Cerah Vipassanà . yaitu merupakan pengalaman
setiap umat Buddha, bahwa perasaan aneh dan malu muncul jika
berkunjung ke vihà ra untuk menerima Sãla, mendengarkan Dhamma
atau untuk berlatih meditasi, tanpa memberi persembahan. Oleh
sebab itu, sudah menjadi kebiasaan bagi para siswa mulia seperti
Visà khà untuk membawa persembahan seperti nasi, manisan atau
buah-buahan pada pagi hari dan minuman serta obat-obatan pada
malam hari saat ia pergi mengunjungi Buddha.
Setiap orang yang tidak menjadi Arahanta dalam kehidupan ini
akan mengalami kelahiran kembali. Akan sulit bagi mereka untuk
mencapai kelahiran yang menyenangkan tanpa mempraktikkan
kedermawanan dalam kehidupan ini. Bahkan jika kebetulan mereka
terlahir kembali di alam yang baik, mereka akan kekurangan harta
benda yang membuat mereka sulit untuk melakukan perbuatan
baik. (Dalam hal ini, akan diperdebatkan bahwa mereka masih
dapat mempraktikkan moralitas, konsentrasi, dan kebijaksanaan
Pandangan Cerah. Namun hal ini lebih mudah diucapkan daripada
dilaksanakan. Sesungguhnya, hanya dengan dukungan dari manfaat
baik yang dihasilkan dari tindakan kedermawanan masa lampau,
maka Tiga Latihan, moralitas, konsentrasi, dan kebijaksanaan
Pandangan Cerah dapat dilatih dengan berhasil.) Oleh sebab
itu, yaitu penting bagi mereka yang masih harus melanjutkan
perjalanan dalam perjalanan panjang saÿsara, lingkaran
kehidupan, untuk melatih kedermawanan. Hanya jika seseorang
melengkapi dirinya dengan ‘bekal untuk perjalanan panjang’, yaitu,
3147
1
kedermawanan, maka ia dapat mencapai tujuan yang baik; dan dari
sana, dengan memiliki kekayaan harta benda sebagai akibat dari
kedermawanan masa lampau, ia akan dapat mengabdikan dirinya
untuk melakukan kebajikan apa pun yang ingin ia lakukan.
Di antara para pengembara dalam lingkaran saÿsara, para
Bodhisatta yaitu para individu yang paling luar biasa.
sesudah menerima ramalan pasti dari seorang Buddha bahwa ia akan
mencapai Kebuddhaan, seorang Bodhisatta melanjutkan usahanya
memenuhi Kesempurnaan untuk mencapai Kemahatahuan
(Sabba¤¤uta ¥Ã õa) selama empat siklus dunia yang tidak terhitung
lamanya ditambah seratus ribu kappa. Seorang Pacceka Buddha,
yaitu, Buddha yang tidak mengajar harus memenuhi Kesempurnaan-
Nya selama dua siklus dunia ditambah seratus ribu kappa; seorang
Aggasà vaka, Siswa Utama Buddha memenuhi Kesempurnaan
selama satu siklus dunia ditambah seratus ribu kappa; dan seorang
Mahà sà vaka, seorang Siswa Besar, selama seratus ribu kappa. Oleh
sebab itu, bagi para Bodhisatta yang yaitu pengembara besar
dalam perjalanan panjang saÿsara, Kesempurnaan Kedermawanan
yaitu hal penting yang paling utama.
Demikianlah, sebab khotbah dalam Saÿyutta Pà ëi yang disebutkan
di atas ditujukan kepada para individu yang telah matang
untuk mencapai Kearahattaan; mereka yang belum memenuhi
Kesempurnaan tidak boleh mengatakan bahwa Kesempurnaan
Kedermawanan yaitu tidak penting.
Ada yang menanyakan apakah mungkin mencapai Nibbà na
dengan hanya mempraktikkan kedermawanan. Jawabannya yaitu
bahwa, mempraktikkan satu Kesempurnaan saja, apakah itu
kedermawanan, moralitas, atau meditasi tidak akan menghasilkan
pencapaian Nibbà na. Mempraktikkan kedermawanan saja berarti
tidak disertai oleh moralitas atau meditasi; demikian pula,
mempraktikkan meditasi saja berarti tidak didukung oleh moralitas
dan kedermawanan. Jika tidak dikendalikan oleh moralitas,
seseorang akan dapat terlibat dalam perbuatan jahat; jika orang yang
memiliki kebiasaan melakukan kejahatan mencoba untuk berlatih
3148
meditasi, usahanya akan sia-sia bagaikan benih yang baik, yang
ditanam di atas besi panas membara, tidak akan bertunas, melainkan
akan berubah menjadi abu. sebab itu harus dipahami bahwa
yaitu tidak pada tempatnya mengatakan ‘cukup mempraktikkan
kedermawanan saja’.
Dalam bab tentang kedermawanan dalam riwayat para Buddha, jelas
disebutkan bahwa persembahan harus diberikan tanpa memandang
status si penerima, apakah tinggi, menengah atau rendah. Dalam
memandang pernyataan tegas ini , yaitu tidak perlu memilih
siapa yang akan menerima sewaktu memberi persembahan.
Namun, dalam Dakkhiõà vibhà ïga Sutta dari Uparipaõõà sa,
Majjhima Nikà ya, Buddha mengajarkan tujuh jenis persembahan
yang dapat diberikan kepada Saÿgha, komunitas para bhikkhu,
dan empat belas jenis persembahan kepada penerima secara
individu. Dijelaskan bahwa sehubungan dengan empat belas jenis
persembahan yang diberikan kepada individu, jasa yang dihasilkan
meningkat sesuai penerimanya, dari yang terendah binatang hingga
ke makhluk yang tertinggi; persembahan yang paling baik, tentu
saja, yang dipersembahkan kepada Komunitas para bhikkhu.
lalu , dalam kisah Aïkura Peta dari Petavatthu, kita menemukan
kisah dua dewa. saat Buddha mengajarkan AbhidhammÃ
sambil duduk di atas singgasana Sakka di Alam Tà vatiÿsa, dua
Dewa—Indaka dan Ankura datang mendengarkan khotbah. saat
para dewa yang lebih berkuasa datang, Aïkura harus menyingkir
mundur hingga sepuluh yojanà jauhnya dari Buddha.
Akan tetapi Indaka tetap diam di tempat duduknya; ia tidak
menyingkir. Alasannya yaitu sebagai berikut: pada suatu masa
saat umur kehidupan manusia yaitu sepuluh ribu tahun, Aïkura
yaitu seorang manusia yang sangat kaya. Sepanjang hidupnya
ia memberi persembahan makanan kepada banyak orang-
orang biasa, memasak makanan di atas tungku yang panjangnya
dua belas yojanà . sebab jasanya ini , ia terlahir kembali
sebagai dewa. Akan tetapi Indaka, menjadi dewa sebab ia telah
mempersembahkan sesendok nasi kepada Arahanta Anuruddhà .
3149
1
Meskipun persembahan yang diberikan oleh Indaka hanyalah
sesendok nasi, penerimanya yaitu seorang Arahanta dan sebab
itu jasa yang ia terima sangatlah besar dan mulia. Demikianlah,
sebagai dewa yang berkuasa, ia tidak harus menyingkir untuk dewa
lainnya. Sebaliknya, walaupun Aïkura telah memberi banyak
persembahan dan dalam waktu yang lama, penerimanya hanyalah
orang-orang duniawi dan akibatnya, jasa yang ia terima tidak
terlalu besar. Dan ia terpaksa mundur setiap kali dewa yang lebih
berkuasa tiba. Oleh sebab itu kita menemukan nasihat dalam Kitab
Pà ëi ‘Viceyya danam databbam yattha dinnam mahapphalam’ yang
artinya ‘jika ingin memberi persembahan, orang yang membawa
manfaat terbesar harus dipilih untuk menjadi penerima’.
Terlihat seperti terdapat kontradiksi antara Kitab Pà ëi dari riwayat
para Buddha dan khotbah Sakkhiõà vibhaïga Sutta, dan lain-
lain dari Kitab Pà ëi. Kontradiksi ini mudah dipecahkan jika kita
ingat bahwa khotbah Dakkhinà vibhaÿga Sutta ditujukan untuk
orang-orang biasa atau dewa, sedangkan diskusi dalam Riwayat
para Buddha ditujukan khusus untuk para Bodhisatta yang
bercita-cita untuk mencapai Kemahatahuan, Sabba¤¤uta ¥Ã õa,
atau Kebijaksanaan Buddha. Kebijaksanaan ini hanya ada satu
jenis dan tidak dikelompokkan menjadi kebijaksanaan rendah,
menengah atau tinggi. Seorang Bodhisatta harus memberi
apa yang dapat ia berikan kepada siapa pun yang datang untuk
menerimanya, tanpa memandang status tinggi, menengah atau
rendah. Ia tidak perlu mempertimbangkan, “Penerima ini berstatus
rendah, dengan memberi persembahan kepadanya, aku akan
mendapatkan Kebijaksanaan Buddha yang rendah. Penerima ini
berstatus menengah, dengan memberi persembahan kepadanya,
aku akan mendapatkan Kebijaksanaan Buddha tingkat menengah.”
memberi persembahan kepada siapa pun yang datang untuk
menerimanya tanpa membeda-bedakan, yaitu kebiasaan para
Bodhisatta yang bertujuan untuk mencapai Saba¤¤uta ¥Ã õa.
Di pihak lain, tujuan kaum duniawi biasa, manusia atau dewa,
dalam mempraktikkan kedermawanan yaitu untuk mencapai
kesejahteraan duniawi yang mereka sukai, dan sebab itu, yaitu
wajar jika mereka memilih penerima terbaik untuk menerima
3150
persembahan mereka.
Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa tidak ada kontradiksi
antara naskah dalam riwayat para Buddha, yang ditujukan kepada
para Bodhisatta mulia dan khotbah seperti Dakkhiõà vibhaïga Sutta
yang ditujukan bagi kaum duniawi biasa dan para dewa.
Arti Pà ramã
Makna yang mungkin dari kata Pà ramã dijelaskan dalam berbagai
cara dalam Komentar Cariyà -Piñaka. Untuk memberi gagasan
kepada para pembaca:
Pà ramã yaitu kombinasi dari parama dan ã. Parama berarti ‘terbaik’,
digunakan dalam arti Bakal Buddha yaitu yang terbaik.
Atau Pà ramã diturunkan dari kata dasar para dengan akhiran ma.
Akar kata para berarti ‘memenuhi’ atau ‘melindungi’. sebab
mereka memenuhi dan melindungi kebajikan seperti dà na, dan
seterusnya, maka Bakal Buddha disebut parama.
Atau para, sebuah awalan, yang melekat pada kata dasar maya
yang berarti ‘mengikat’ sebab para Bakal Buddha bersikap seolah-
olah mereka mengikat dan menarik makhluk-makhluk lain ke
arah mereka melalui kebajikan istimewa, maka mereka disebut
parama.
Atau paraÿ, sebuah awalan, yang melekat pada kata dasar maja yang
berarti ‘murni’; paraÿ berarti ‘lebih.’ sebab para Bakal Buddha
yaitu bebas dari kotoran batin dan jauh lebih murni daripada
makhluk lain, maka mereka disebut parama.
Atau paraÿ, sebuah awalan, yang melekat pada kata dasar ‘maya’
yang artinya ‘pergi’; paraÿ artinya ‘mulia.’ sebab para Bakal
Buddha pergi ke kondisi mulia Nibbà na dengan cara yang istimewa,
maka mereka disebut parama.
Atau paraÿ, sebuah awalan, yang melekat pada kata dasar mu
3151
1
yang artinya ‘memastikan’. sebab para Bakal Buddha memastikan
kelahiran berikut mereka seperti yang telah mereka lakukan pada
kehidupan sekarang, maka mereka disebut parama. (Apa yang
dimaksudkan di sini yaitu bahwa sebab Bakal Buddha mampu
dengan tepat memastikan apa yang harus dilakukan agar kehidupan
mereka sekarang menyenangkan dan tanpa cacat, demikian pula
sehubungan dengan kehidupan berikut mereka. Mereka memiliki
kemampuan memperbaiki kehidupan mereka.)
Atau paraÿ, sebuah awalan, yang melekat pada kata dasar mi
yang artinya ‘memasukkan’; Pà ramã berarti ‘lebih’. sebab para
Bakal Buddha ‘memasukkan’ lebih dan lebih lagi kebajikan seperti
sãla (moralitas) dan sebagainya, dalam proses batin mereka, maka
mereka disebut parama.
Atau paraÿ, yang berarti ‘berbeda dari’ atau ‘berlawanan dengan’;
kata dasarnya yaitu mi yang berarti ‘menggilas.’ sebab para
Bakal Buddha menggilas semua musuh mereka, yang berbentuk
kotoran, yang berbeda dan berlawanan dengan semua kebajikan,
maka mereka disebut parama.
Atau, pà ra, sebuah kata benda, yang melekat pada kata dasar maja
yang berarti ‘menyucikan’; pà ra berarti ‘pantai seberang’. Di sini
saÿsà ra dianggap sebagai ‘pantai sebelah sini’ dan Nibbà na ‘pantai
seberang’. sebab para Bakal Buddha menyucikan diri mereka
serta orang lain di pantai seberang Nibbà na, maka mereka disebut
Pà ramã.
Atau pà ra, sebuah kata benda, yang melekat pada kata dasar maya
yang berarti ‘mengikat’ atau ‘mengumpulkan’. sebab para Bakal
Buddha mengikat atau mengumpulkan makhluk-makhluk di
Nibbà na, maka mereka disebut Pà ramã.
Atau kata dasarnya maya, yang berarti ‘pergi’. sebab para Bakal
Buddha pergi ke pantai seberang Nibbà na, maka mereka disebut
Parà mã.
Atau kata dasarnya yaitu mu yang artinya ‘memahami.’ sebab
3152
para Bakal Buddha memahami benar pantai seberang Nibbà na
sebagaimana adanya, maka mereka disebut Pà ramã.
Atau kata dasarnya yaitu mi, yang berarti ‘menggilas.’ sebab
para Bakal Buddha di Nibbà na menggilas dan melenyapkan kotoran
yang merupakan musuh makhluk-makhluk, maka mereka disebut
Pà ramã.
(Ini yaitu berbagai makna yang disajikan sesuai sabhà vanirutti
(etimologi alami).)
Paramà naÿ ayaÿ Pà ramã Pà ramã artinya harta dalam bentuk
praktik para Bakal Buddha; (atau) paramà nnaÿ kammaÿ Pà ramã,
Pà ramã artinya kewajiban-kewajiban para Bakal Buddha; pà ramãssa
bhà vo pà ramãtà pà ramãssa kammaÿ, pà ramãta: artinya kewajiban-
kewajiban yang membawa pengetahuan bahwa orang demikian
yaitu seorang Bakal Buddha.
Semua ini berarti: kewaijban-kewajiban seperti dà na dan lain-lain
yang harus dipenuhi oleh para Bakal Buddha disebut Pà ramã (atau
Pà ramãtà ).
Dalam Subkomentar Jinalaïkà ra, dikatakan, “Pà raÿ Nibbà naÿ ayan
ti gacchanti età hi ti Pà ramãyo, Nibbà nasà dhakà hi dà nacetanà dayo
dhammà Pà ramã ti vuccanti,” yang maksudnya yaitu bahwa
“Dà nacetanà atau kehendak memberi, dan lain-lain, membentuk
jalan menuju Nibbà na, pantai seberang saÿsà ra, disebut Pà ramã.”
Dalam Komentar Cariyà Piñaka, dikatakan, “Taõhà -mà na-
diññhãhi anupahatà karun’ upà yakosalla-pariggahita dà nà dayo
gunà Pà ramãyo.” Pà ramã merupakan kebajikan seperti dà na, dan
seterusnya, yang harus dipegang dengan welas asih dan kepiawaian.
Welas asih ditunjukkan ke arah makhluk-makhluk yang tidak rusak
(dikuasai) oleh kemelekatan, keangkuhan, dan pandangan salah.
Kepiawaian artinya kebijaksanaan dalam mencari cara dan jalan.
DÃ na, dan seterusnya, (yang harus dipimpin oleh welas asih dan
kebijaksanaan) disebut Pà ramã. (Penjelasan ini khususnya merujuk
pada Pà ramã para Sambuddha.)
3153
1
Kesempurnaan
Sepuluh Kesempurnaan yaitu :
(1) Kedermawanan (DÃ na)
(2) Moralitas (Sãla)
(3) Melepaskan keduniawian (Nekkhamma)
(4) Kebijaksanaan (Pa¤¤Ã )
(5) Usaha (Viriya)
(6) Kesabaran (Khantã)
(7) Kejujuran (Sacca)
(8) Tekad (Adhiññhà na)
(9) Cinta Kasih (Mettà )
(10) Ketenangseimbangan (Upekkhà )
Sehubungan dengan Kesempurnaan-Kesempurnaan ini, telah
disebutkan dalam bab mengenai ‘Jarangnya Kemunculan Seorang
Buddha’ bahwa ada empat jenis pengembangan batin. Salah satu
dari pengembangan ini berhubungan dengan fakta bahwa sejak para
Bodhisatta menerima ramalan pasti dari seorang Buddha mengenai
pencapaian Kebuddhaan mereka hingga kelahiran terakhir mereka
saat mereka akan menjadi Buddha yang mencapai Pencerahan
Sempurna, tidak ada masa di antara rentang yang lama ini yang
mereka lewatkan tanpa memenuhi sepuluh Pà ramã, paling sedikit,
mereka tidak pernah lalai memenuhi Kesempurnaan Kedermawanan.
Ini memberi inspirasi kepada kita untuk merenungkan praktik
mulia yang dijalankan oleh para Bodhisatta.
Karakteristik, Fungsi, Manefestasi, dan pemicu Langsung
Kesempurnaan
Seseorang yang berlatih meditasi Vipassanà harus mengetahui sifat
dari nà ma dan råpa, karakteristik, fungsi, manifestasi, dan pemicu
langsungnya. Hanya dengan demikian ia akan memiliki pandangan
yang jernih terhadapnya. Demikian pula, hanya jika seseorang
mengetahui karakteristik, fungsi, manifestasi, dan pemicu
langsung dari Kesempurnaan, maka ia akan memiliki pemahaman
benar mengenainya. Oleh sebab itu, dalam Komentar Cariyà Piñaka
3154
terdapat bab terpisah yang menjelaskan tentang karakteristik,
fungsi, manifestasi, dan pemicu langsung dari Kesempurnaan.
Ciri umum dari seluruh Sepuluh Kesempurnaan yaitu
bahwa semuanya memiliki karakteristik melayani kepentingan
makhluk-makhluk lain. Fungsinya yaitu (a) memberi
bantuan kepada makhluk-makhluk lain (kicca rasa); memiliki
kemapanan (kemakmuran, kesuksesan), pemenuhan (sampatti
rasa). Manifestasinya yaitu (a) fenomena berulang dalam
perjalanan menyejahterakan makhluk-makhluk lain; atau (b)
fenomena berulang dari munculnya dalam batin (para Bodhisatta)
bahwa Kesempurnaan yaitu alat yang berguna untuk mencapai
Kebuddhaan. pemicu langsungnya yaitu (a) welas asih yang
agung atau (b) welas asih agung dan keterampilan dalam berbagai
cara.
Penjelasan dari definisi di atas. Karakteristik (lakkhaõà ) memiliki
dua aspek: (i) Sama¤¤asabhà va, ciri umum dari segala sesuatu, yaitu
ciri yang juga terdapat pada makhluk lain dan (ii) Visesabhà va, ciri
khusus yang tidak terdapat pada makhluk lain. Misalnya, di antara
kualitas-kualitas materi, unsur tanah dari empat unsur utama
memiliki dua karakteristik, yaitu, tidak kekal dan keras. Dari dua
ini, karakteristik tidak kekal juga terdapat dalam unsur lain dan
sebab itu disebut ciri umum; sedangkan, karakteritik keras yaitu
ciri khusus yang hanya dimiliki oleh unsur tanah, tidak dimiliki
oleh unsur lain dan sebab itu disebut ciri khusus.
Fungsi, rasa, juga memiliki dua aspek. (i) Kiccarasa, fungsi, yang
harus dilaksanakan; (ii) Sampattirasa, pemenuhan, pencapaian.
Misalnya, saat kebajikan muncul, kemunculannya terjadi sesudah
melawan atau melenyapkan kejahatan. Dengan demikian, dikatakan
bahwa fungsi kebajikan yaitu melawan kejahatan. Pemenuhan
akhir dari tindakan kebajikan yaitu hasil dari akibat bermanfaat;
dengan demikian fungsi kebajikan yaitu mencapai hasil yang
bermanfaat.
saat seseorang mempertimbangkan dalam-dalam suatu
objek batin tertentu, apa yang biasanya muncul dalam batinnya
3155
1
berhubungan dengan sifat dari objek batin ini dengan
pertimbangan; berhubungan dengan fungsi; berhubungan dengan
pemicu ; berhubungan dengan akibat. Manifestasinya yang
muncul dalam batinnya sehubungan dengan objek batin yang ia
pikirkan disebut manifestasinya. Misalnya, saat seseorang mulai
menyelidiki ‘apakah kebajikan itu?’, akan muncul dalam batinnya,
‘kebajikan bersifat menyucikan’ menurut sifatnya; ‘kebajikan yaitu
yang melawan atau melenyapkan kejahatan’ menurut fungsinya;
‘kebajikan hanya mungkin jika seseorang bergaul dengan orang-
orang baik dan mulia’ menurut pemicu nya; ‘kebajikan yaitu
yang memungkinkan hasil yang diinginkan’ menurut buahnya.
Faktor pendukung langsung yang paling utama terhadap
kemunculannya disebut pemicu langsung. Misalnya, dari banyak
faktor yang menyebabkan munculnya kebajikan, sikap batin yang
baik yaitu faktor pendukung yang paling utama dan sebab itu
disebut pemicu langsung, dalam Kitab Pà ëi disebut Padatthà na.
Beberapa Ciri Penting Sehubungan Dengan Kedermawanan
Hal penting yang harus diketahui sehubungan dengan kata DÃ na
Pà ramã (Kesempurnaan Kedermawanan) yaitu bahwa segala
sesuatu yang diberikan atau setiap tindakan memberi yaitu dà na
(derma atau kedermawanan). Ada dua jenis tindakan memberi:
1. memberi sebagai suatu perbuatan baik (pu¤¤avisayadà na),
dan
2. m e m b e r i s e b ag a i s u at u t i n d a k a n k e d u n i aw i a n
(lokavisayadà na).
Tindakan memberi sebab keyakinan murni yaitu kebajikan
(pu¤¤avisayadà na), dan hanya pemberian demikian yang
merupakan Kesempurnaan Kedermawanan.
Tetapi barang yang diberikan untuk mengejar cinta, atau sebab
marah, takut, atau bodoh, dan sebagainya, dan bahkan memberi
hukuman, memberi hukuman mati yaitu pemberian duniawi;
bukan bagian dari Kesempurnaan Kedermawanan.
3156
Dà na (Kedermawanan) dan Pariccà ga (Pelepasan)
Sehubungan dengan memberi yang merupakan perbuatan baik,
yaitu penting untuk memahami perbedaan dan persamaan antara
apa yang disebut dà na, yang diterjemahkan sebagai kedermawanan
dan apa yang disebut pariccà ga, yang diterjemahkan sebagai
pelepasan, meninggalkan melalui derma.
Dalam Mahà haÿsa Jà taka dari Asãtinipà ta, terdapat penjelasan dari
sepuluh kewajiban seorang raja, yaitu, kedermawanan, moralitas,
pelepasan, kejujuran, kelembutan, pengendalian diri, bebas dari
kemarahan, welas asih, kesabaran, dan tidak adanya kesukaran.
Kita melihat bahwa kedermawanan dan pelepasan disebutkan
secara terpisah.
Menurut Komentar JÃ taka, terdapat sepuluh objek yang dapat
diberikan sebagai persembahan: makanan, minuman, transportasi
(termasuk payung, sandal atau sepatu yang diperlukan dalam
melakukan perjalanan), bunga, serbuk wangi-wangian, salep harum,
tempat tidur, tempat tinggal, dan fasilitas penerangan. Kehendak
yang memicu pemberian persembahan ini disebut kedermawanan,
dà na. Kehendak yang menyertai tindakan memberi benda-benda
lainnya dianggap sebagai pelepasan, Pariccà ga. Demikianlah
perbedaannya yang terletak pada jenis-jenis yang berbeda dari
objek persembahan.
Tetapi Subkomentar JÃ taka, mengutip pandangan dari banyak guru,
mengatakan bahwa ‘memberi persembahan dengan harapan
untuk menikmati akibat baik pada kehidupan mendatang disebut
dà na; memberi hadiah kepada para pelayan dan pekerja, dan
sebagainya, untuk mendapatkan manfaat dalam kehidupan ini
disebut pariccà ga’.
Sebuah kisah yang memberi ilustrasi lainnya atas perbedaan
antara kedermawanan dan pelepasan dijelaskan dalam Komentar
Cariyà Piñaka Pà ëi dan dalam Komentar Terasanipà ta Jà taka.
Secara singkat, Bodhisatta pada saat itu yaitu seorang brahmana
terpelajar bernama Akitti. saat orangtuanya meninggal dunia,
3157
1
ia mendapatkan warisan banyak harta kekayaan. Tergerak oleh
semangat spiritual, ia merenungkan, “Orangtuaku dan leluhurku
yang telah mengumpulkan kekayaan ini telah meninggalkan harta
ini dan pergi; sedangkan aku, aku akan mengambil sedikit dari
harta ini dan pergi.” lalu sesudah mendapat restu dari raja.
Ia menabuh genderang di seluruh negeri mengumumkan bahwa ia
akan membagi-bagikan kekayaannya sebagai derma. Selama tujuh
hari ia secara pribadi membagi-bagikan kekayaannya; namun masih
tersisa banyak.
Ia melihat tidak ada gunanya melakukan Ritual pembagian harta
ini ; maka ia membiarkan pintu istana, gudang harta dan
lumbungnya terbuka, sehingga mereka yang menginginkan boleh
datang dan mengambil apa yang mereka inginkan, lalu ia
meninggalkan kehidupan duniawi dan pergi.
Dari kisah ini dapat dikatakan bahwa, pembagian harta secara
pribadi oleh Bodhisatta selama tujuh hari pertama yaitu tindakan
kedermawanan (dà na), sedangkan melepaskan harta sisanya sesudah
tujuh hari yaitu tindakan Pelepasan (pariccà ga). Perbedaannya
yaitu , agar suatu persembahan disebut tindakan kedermawanan,
dà na, empat kondisi harus dipenuhi, 1. si pemberi, 2. objek yang
akan diberikan, 3. penerima yang datang langsung untuk menerima,
dan 4. kehendak untuk memberi. Pembagian harta selama tujuh
hari pertama oleh Akitti bijaksana memenuhi semua kondisi ini;
sebab itu disebut tindakan kedermawanan, dà na. sesudah tujuh hari
berlalu, ia pergi meninggalkan hartanya sebelum penerima datang
atau hadir untuk menerima benda-benda; sebab itu persembahan
demikian dianggap sebagai pelepasan.
Dalam praktik sehari-hari yang merupakan perbuatan baik. saat
memberi sesuatu kepada seseorang, kita hanya menyebutnya
‘memberi’; ‘deti’ dalam bahasa Pà ëi. Tetapi jika kita berpisah dengan
harta kita dengan pikiran ‘siapa pun yang menginginkannya boleh
mengambilnya, jika tidak ada yang menginginkan, biarlah begitu’
ini bukan memberi tetapi melepaskan; dalam bahasa Pà ëi, ini
bukan dà na, tetapi cà ga.
3158
Singkatnya, jika kita menyerahkan harta kita kepada orang lain,
dikatakan memberi atau tindakan derma; jika kita melepaskan
keinginan untuk memiliki harta yang telah kita miliki, disebut
melepaskan (seperti halnya seseorang menyingkirkan sesuatu yang
tidak diperlukan lagi).
Cara lain dalam membedakan yaitu : memberi kepada orang
mulia yaitu dà na; memberi kepada orang yang berstatus lebih
rendah yaitu pariccà ga. Dengan demikian, jika seorang raja, dalam
melaksanakan sepuluh kewajiban raja, memberi persembahan
kepada para bhikkhu mulia, brahmana, dan lain-lain, itu yaitu
kedermawanan, dà na; jika ia memberi kepada pengemis rendah,
itu yaitu pariccà ga.
Demikianlah bagaimana kedermawanan, dà na, diajarkan berbeda
dari pelepasan, pariccà ga.
Kapan Dà na dan Pariccà ga Sama
Walaupun dà na dan pariccà ga dibedakan dalam daftar sepuluh
kewajiban raja seperti dijelaskan di atas, dalam kebenaran mutlak,
keduanya tidak dibedakan satu sama lain. saat ada dà na, di sana
juga ada pariccà ga; saat ada pariccà ga, di sana juga ada dà na.
Alasannya yaitu saat persembahan diberikan kepada penerima,
apakah jauh ataupun dekat, itu yaitu tindakan kedermawanan
(dà na); saat rasa memiliki lenyap dari batin seseorang (pada
saat memberi ), pelepasan itu yaitu pariccà ga. Demikianlah,
saat seseorang memberi sesuatu, hal itu selalui didahului
oleh pikiran, ”Aku tidak akan memakai nya lagi,” yang berarti
melepaskan. sebab itu, dalam perbuatan baik, pariccà ga selalu
menyertai kedermawanan.
Dalam riwayat para Buddha dari Kitab Pà ëi juga, dalam membahas
Sepuluh Kesempurnaan, Buddha hanya menyebutkan Kesempurnaan
Kedermawanan, bukan Kesempurnaan Melepaskan (CÃ ga), sebab
(seperti dijelaskan di atas) melepaskan yaitu termasuk dalam
tindakan kedermawanan. sebab naskah riwayat para Buddha hanya
membahas dengan kebenaran mutlak (tanpa mempertimbangkan
3159
1
kebenaran umum) disebutkan bahwa memberi persembahan
kepada penerima, apakah yang berstatus tinggi, menengah atau
rendah, yaitu kedermawanan (dà na). Tidak pada tempatnya jika
dikatakan bahwa disebut dà na jika persembahan diberikan kepada
orang mulia dan disebut pariccà ga jika penerimanya berstatus
rendah.
Demikian pula dalam Aïguttara Nikà ya dan Kitab Pà ëi lainnya,
kita menemukan daftar tujuh kualitas seorang mulia: keyakinan,
moralitas, pengetahuan, kedermawanan (cà ga), kebijaksanaan,
rasa malu (dalam melakukan kejahatan), dan rasa takut (dalam
melakukan kejahatan). Hanya cà ga yang ada dalam daftar; dà na
tidak disebutkan di sini, sebab dà na termasuk dalam cà ga.
Ini yaitu contoh di mana dà na dan cà ga disebutkan tanpa
perbedaan, dengan makna yang sama.
Kapan Dà na Disebut Pariccà ga
Walaupun semua perbuatan memberi pada umumnya disebut
Kesempurnaan Kedermawanan, persembahan besar (yang luar biasa)
dijelaskan dalam Kitab sebagai pelepasan besar, mahà pariccà ga.
Pelepasan besar yang terdiri dari lima jenis pelepasan kepemilikan
dijelaskan secara terpisah dalam Komentar yang berbeda.
Komentar Sãlakkhandha, Målapaõõà sa, dan Aïguttara (dalam
menjelaskan arti kata ‘Tathà gata’) mengurutkan pelepasan besar
sebagai berikut:
1. Melepaskan lengan atau tungkai,
2. Melepaskan mata,
3. Melepaskan kekayaan,
4. Melepaskan kerajaan,
5. Melepaskan istri dan anak.
Komentar Målapaõõà sa (dalam penjelasan Cåëà sãhanà da Sutta)
memberi urutan lain:
1. Melepaskan lengan atau tungkai,
2. Melepaskan istri dan anak,
3160
3. Melepaskan kerajaan,
4. Melepaskan tubuh (nyawa),
5. Melepaskan mata.
Subkomentar Visuddhimagga, memberi daftar:
1. Melepaskan tubuh (nyawa),
2. Melepaskan mata,
3. Melepaskan kekayaan,
4. Melepaskan kerajaan,
5. Melepaskan istri dan anak.
Subkomentar Mahà Vagga dari Dãgha Nikà ya (dalam penjelasan
Mahà padà na Sutta) memberi daftar:
1. Melepaskan lengan atau tungkai,
2. Melepaskan mata,
3. Melepaskan tubuh (nyawa),
4. Melepaskan kerajaan,
5. Melepaskan istri dan anak,
Komentar Itivuttaka (Dalam penjelasan Sutta pertama Dukanipà ta,
Dutiyavagga) memberi daftar:
1. Melepaskan lengan atau tungkai,
2. Melepaskan tubuh (nyawa),
3. Melepaskan kekayaan,
4. Melepaskan istri dan anak,
5. Melepaskan kerajaan.
Komentar Buddhavaÿsa memberi daftar:
1. Melepaskan lengan atau tungkai,
2. Melepaskan tubuh (nyawa),
3. Melepaskan kekayaan,
4. Melepaskan kerajaan,
5. Melepaskan istri dan anak.
Komentar Vessantara JÃ taka memberi daftar:
1. Melepaskan kekayaan,
2. Melepaskan lengan atau tungkai,
3. Melepaskan anak-anak,
3161
1
4. Melepaskan istri,
5. Melepaskan tubuh (nyawa).
Daftar yang sama terdapat dalam Subkomentar Jinà laïkà ra namun
dengan urutan yang berbeda.
Walaupun masing-masing daftar di atas terdiri dari komponen
yang berbeda-beda, namun harus dipahami bahwa intinya yaitu
sama yaitu, objek-objek eksternal dan tubuh sendiri. Pada bagian
objek-objek eksternal, kita menemukan benda-benda materi yang
terpisah dari tubuh, misalnya, melepaskan kekayaan, melepaskan
istri dan anak, yang sangat disayangi; melepaskan kerajaan, harta
yang paling penting yang dimiliki oleh seseorang. Sehubungan
dengan melepaskan bagian-bagian tubuh, ada dua jenis: yang tidak
membahayakan nyawa, yaitu melepaskan lengan atau tungkai
(aïgapariccà ga) dan yang membahayakan nyawa, yaitu melepaskan
mata (nayanapariccà ga), atau melepaskan nyawa (jivitapariccà ga)
dan melepaskan tubuh (attapariccà ga). Di sini dijelaskan bahwa
memberi mata atau tubuh akan menimbulkan risiko kematian,
maka ini dianggap sama seperti memberi nyawa.
Ritual persembahan besar yang dilakukan oleh Raja Vessantara
saat Ia memberi tujuh jenis objek, masing-masing berjumlah
seratus, dijelaskan dalam Komentar sebagai mahà dà na dan
bukan mahà pariccà ga. Tetapi seseorang dapat membantah bahwa
persembahan besar ini dapat dianggap sebagai satu dari lima
pelepasan besar, yaitu, melepaskan kekayaan.
Catatan Atas Aspek yang Berbeda-beda dari DÃ na
Demi kemajuan mereka yang bercita-cita dan berusaha dengan
sungguh-sungguh untuk mencapai Kebuddhaan, atau menjadi
seorang Pacceka Buddha, atau seorang Siswa dari Buddha, berikut
ini kami memberi catatan mengenai aspek-aspek yang berbeda-
beda dari kedermawanan, yang membentuk sebagian kondisi untuk
mencapai Pencerahan. Catatan ini disajikan dalam bentuk jawaban
atas pertanyaan-pertanyaan berikut:
3162
1. Hal-hal apakah yang disebut dà na?
2. Mengapa hal-hal ini disebut dà na?
3. Apakah karakteristik fungsi, manifestasi, dan pemicu
langsung dari dà na?
4. Ada berapa jenis dà na?
5. Apakah unsur yang memperkuat manfaat dà na?
6. Apakah unsur yang memperlemah manfaat dà na?
(Susunan ini juga diterapkan sewaktu membahas Kesempurnaan
yang lain juga)
1. Hal-hal Apakah yang Disebut DÃ na?
Secara singkat, dapat dijawab bahwa kehendak untuk memberi
benda-benda yang layak diberikan disebut dà na, makna ini akan
menjadi lebih jelas dalam penjelasan berikutnya.
2. Mengapa Hal-hal ini Disebut DÃ na?
Kehendak disebut dà na sebab kehendak bertanggung jawab
atas sebuah tindakan kedermawanan yang terjadi. Tidak akan
ada kedermawanan tanpa kehendak untuk memberi; sebuah
tindakan kedermawanan hanya mungkin jika ada kehendak untuk
memberi.
Sehubungan dengan hal ini, kehendak maksudnya yaitu (i)
kehendak yang muncul pada saat memberi. Ini disebut mu¤ca
cetanà , kehendak ‘melepaskan’, mu¤ca artinya melepaskan.
Hanya kehendak ini, yang menyertai tindakan melepaskan, yang
membentuk unsur sejati dari kedermawanan.
(ii) Kehendak yang muncul sebelum seseorang melakukan tindakan
memberi disebut ‘pubba cetanà ’, kehendak jenis ini juga dapat
dianggap sebagai dà na, asalkan objek yang akan diberikan sudah
ada pada saat niat “Aku akan mempersembahkan objek ini,”
muncul. Tanpa adanya objek yang akan diberikan, niat memberi
ini juga dapat disebut ‘pubba cetanà ’ tetapi tidak memenuhi syarat
untuk disebut sebagai dà na; ini hanya pikiran baik biasa.
3163
1
Bagaimana kehendak dianggap sama dengan dà na yaitu
berdasarkan definisi dãyati anenà ti dà nam secara tata bahasa, yang
menegaskan bahwa memberi yaitu tindakan kedermawanan, dà na.
(Kehendak, di sini, tentu saja menjadi pemicu utama tindakan
memberi.)
Benda-benda yang diberikan juga disebut dà na dari definisi
secara tata bahasa dãyatiti dà nam yang artinya obyek-objek yang
dipersembahkan sebagai dà na.
Menuruti definisi tata bahasa ini, Kitab menyebutkan dua jenis dà na,
yaitu dà na kehendak dan dà na materi. Sehubungan dengan hal ini,
ada pertanyaan mengapa objek-objek yang dipersembahkan disebut
dà na, sebab hanya kehendak yang mampu menghasilkan akibat
sedangkan materi tidak. Benar bahwa hanya kehendak yang mampu
menghasilkan akibat sebab kehendak yaitu tindakan batin; namun
seperti telah dijelaskan di atas, kehendak dapat disebut dà na hanya
jika kehendak muncul saat benda-benda yang layak diberikan telah
tersedia. Oleh sebab itu, objek materi yang akan diberikan juga
merupakan faktor penting dari sebuah tindakan memberi agar
memenuhi syarat kedermawanan, dà na.
Misalnya, kita mengatakan ‘nasi masak sebab ada kayu bakar’;
sebenarnya api yang memasak nasi itu. Tetapi tidak akan ada api tanpa
kayu. Maka api ada sebab kayu; dan nasi menjadi masak sebab
api. Dengan mempertimbangkan fenomena yang berhubungan ini,
tidak salah jika dikatakan ‘nasi menjadi masak sempurna sebab
kayu yang baik.’ Demikian pula, kita dapat mengatakan ‘manfaat
baik didapat sebab objek-objek persembahan’.
sebab benda-benda yang diberikan berperan penting dalam
tindakan kedermawanan, Kitab menyebutkan beberapa jenis dà na
menurut objek-objek yang dipersembahkan. Dalam penjelasan
Vinaya terdapat empat jenis dà na, yaitu, persembahan makanan,
jubah, tempat tinggal, dan obat-obatan. Walaupun Vinaya tidak
membahas jenis-jenis dà na, sebab Buddha memperbolehkan empat
jenis kebutuhan Saÿgha, persembahan yang diberikan kepada
3164
Saÿgha biasanya dikelompokkan dalam empat jenis; demikianlah
pengelompokan dalam Vinaya yang berdasarkan jenis objek yang
dipersembahkan.
Menurut pengelompokan yang terdapat dalam penjelasan
Abhidhammà , segala sesuatu di dunia ini dapat dikelompokkan
menjadi enam jenis sesuai dengan enam objek indria, dengan
demikian terdapat enam jenis dà na bergantung pada apakah
objek ini yaitu objek terlihat, objek suara, bau-bauan, rasa
kecapan, sentuhan atau objek pikiran. Di sini juga, meskipun tidak
disebutkan secara langsung terhadap enam jenis dà na, dalam ajaran
Abhidahammà , jika pemberian dilakukan pada masing-masing
objek indria, maka terdapat enam jenis persembahan; demikianlah
pengelompokan dalam penjelasan Abhidhammà atas enam jenis
dà na.
Pengelompokan dalam Suttanta, terdapat sepuluh jenis dà na, yaitu,
persembahan berbagai jenis makanan, minuman, transportasi,
bunga, wangi-wangian, salep harum, tempat tidur, tempat tinggal,
dan penerangan. Di sini juga, ajaran dalam Sutta hanya menyebutkan
sepuluh kelompok objek yang dapat dipersembahkan sebagai dà na.
Tetapi saat sepuluh objek ini dipersembahkan sebagai dà na, akan
ada sepuluh jenis persembahan; demikianlah pengelompokan dalam
penjelasan Suttanta atas sepuluh jenis dà na.
Bahwa Buddha hanya mengajarkan sepuluh objek persembahan
ini, kita tidak boleh menganggap bahwa hanya sepuluh ini yang
boleh dipersembahkan; dan objek-objek lainnya tidak boleh. Kita
harus memahami bahwa Buddha hanya menyebutkan objek-objek
yang biasa dipersembahkan dalam praktiknya; atau sebab banyak
benda yang dapat dikelompokkan ke dalam salah satu dari sepuluh
jenis ini , kita harus menganggap bahwa sepuluh jenis objek
ini mencakup seluruh objek yang sehari-hari digunakan oleh para
penerima mulia.
Dari apa yang telah dijelaskan di atas, harus dipahami bagaimana
sebuah objek materi menjadi suatu faktor pendukung penting (bagi
munculnya) kehendak kedermawanan. Akan terlihat bahwa berbagai
3165
1
jenis kedermawanan yang akan dijelaskan berikutnya akan banyak
berkisar pada objek-objek persembahan
Sebagai kesimpulan, harus diingat bahwa kehendak yaitu dà na
sebab kehendak mendorong tindakan memberi; benda-benda
materi yaitu dà na sebab merupakan benda yang layak untuk
diberikan.
3. Apakah Karakteristik, Fungsi, Manifestasi dan pemicu
Langsung DÃ na?
(a) Dà na memiliki karakteristik (lakkhaõa) melepaskan.
(b) Fungsinya (kicca-rasa) yaitu menghancurkan kemelekatan
terhadap objek persembahan; atau dà na memiliki sifat tanpa cacat
(sampatti-rasa).
(c) Manifestasinya yaitu tidak adanya kemelekatan, yaitu
kebebasan dari kemelekatan yang muncul dalam batin si pemberi,
atau mengetahui bahwa dà na mendukung kelahiran kembali
di alam yang baik dan mendukung kekayaan, yaitu, dengan
memikirkan akibat dari memberi, si pemberi merasa bahwa tindakan
kedermawanan yang ia lakukan akan berakibat pada kelahiran di
alam manusia, alam dewa dan pencapaian kekayaan.
(d) pemicu langsung dari tindakan memberi yaitu memiliki
objek yang akan dipersembahkan. Tanpa memiliki apa-apa untuk
diberikan, tidak akan ada tindakan derma, hanya membayangkan
bahwa ia sedang memberi . Dengan demikian, objek-objek yang
akan dipersembahkan yaitu pemicu langsung dari dà na.
4. Ada Berapa Jenis DÃ na?
Topik yang dibahas di sini cukup luas; memerlukan kesiapan batin
dan kecerdasan untuk memelajarinya.
3166
Jenis DÃ na Dalam Kelompok Dua
(1) Pemberian Benda Materi (âmisa Dà na) dan Pemberian
Ajaran (Dhamma DÃ na).
(a) Persembahan benda-benda materi seperti nasi, dan sebagainya,
disebut sebagai à misa dà na. Juga disebut sebagai paccaya dà na (jika
benda-benda yang dipersembahkan yaitu benda-benda kebutuhan
bhikkhu).
Ajaran Buddha dalam bentuk khotbah, kuliah, dan sebagainya,
yaitu pemberian Dhamma. Buddha berkata bahwa dà na ini yaitu
yang paling mulia dari segala jenis dà na. (Pengelompokan dà na
dalam dua jenis ini dilakukan sehubungan dengan objek-objek yang
dipersembahkan.)
Sehubungan dengan pembagian jenis dà na ini, perlu dipertanyakan
jenis dà na apakah yang dilakukan seseorang yang membangun
pagoda dan patung Buddha.
Ada yang berpendapat bahwa meskipun membangun pagoda dan
patung Buddha melibatkan pelepasan sejumlah besar uang, namun
hal itu bukanlah tindakan kedermawanan, dà na; sebab mereka
berpendapat, suatu tindakan disebut dà na, harus memenuhi tiga
kondisi, harus ada objek yang dipersembahkan; harus ada yang
menerima; dan harus ada yang memberi . Dalam membangun
pagoda dan patung Buddha, jelas ada yang memberi, tetapi siapakah
yang menerima. sebab tidak ada yang menerima pemberian itu,
bagaimana tindakan ini dapat disebut tindakan kedermawanan,
dà na?
Dari sudut pandang mereka, pagoda dan patung Buddha bukanlah
suatu objek yang diberikan sebagai suatu tindakan dà na, namun
sebagai alat bantu dalam melakukan perenungan terhadap sifat-
sifat Buddha. Mereka yang membangun pagoda dan patung
Buddha, dalam pikiran, mereka tidak menentukan siapa yang akan
menerima benda-benda ini ; mereka membangunnya untuk
membantu menghasilkan visualisasi jelas dari Buddha dalam batin
3167
1
para pemuja yang memungkinkan mereka melatih perenungan
terhadap kemuliaan Buddha. Oleh sebab itu, harus dimengerti,
bahwa mereka membangun pagoda dan patung Buddha yaitu
sehubungan dengan meditasi perenungan terhadap Buddha, dan
bukan suatu tindakan kedermawanan.
Ada lagi beberapa orang yang berpendapat bahwa orang-orang yang
membangun pagoda dan patung Buddha melakukan hal ini untuk
menghormati Buddha yang patut dihormati, tindakannya harus
dianggap sebagai tindakan menghormati Buddha (apacà yana), satu
dari sepuluh kualitas yang menghasilkan jasa (Pu¤¤akiriya vatthu).
Lebih jauh lagi mereka berkata bahwa sebab jasa jenis ini, yaitu,
menghormati yang patut dihormati, yaitu praktik moralitas (cà ritta
sãla), maka hal ini harus dikelompokkan sebagai pelaksanaan sãla
dan bukan praktik meditasi Buddhà nussati.
Akan tetapi, baik kebajikan meditasi Buddhà nussati atau kebajikan
menghormati (apacà yana), keduanya tidak melibatkan pelepasan
objek persembahan; sedangkan membangun pagoda dan patung
Buddha memerlukan pengeluaran uang yang cukup banyak. sebab
itu pekerjaan kebajikan ini harus dianggap sebagai dà na.
Akan muncul pertanyaan, ‘Jika termasuk dà na, apakah ini tindakan
dà na jika tidak ada yang menerimanya?’ Menurut Kitab, apakah
sebuah persembahan dapat dianggap sebagai tindakan dà na
dapat diputuskan dari suatu analisis empat bagian: karakteristik,
fungsi, manifestasi, dan pemicu langsung. Kita telah membahas
mengenai empat ciri ini dalam tindakan dà na. Sekarang kita akan
memakai nya untuk menguji persoalan ini. Kita mengetahui
adanya karakteristik melepaskan sebab orang yang membangun
pagoda dan patung Buddha melepaskan banyak uang; sebagai
fungsinya, yaitu hancurnya kemelekatan terhadap objek yang
dipersembahkan oleh si pemberi; si pemberi menyadari bahwa
tindakan kedermawanannya itu akan berakibat pada kelahiran
kembali di alam manusia atau dewa dan akan memperoleh
kekayaan; dan akhirnya, sebagai pemicu langsung, ada objek yang
akan dipersembahkan. Dengan demikian, seluruh empat ciri yang
diperlukan dalam sebuah perbuatan agar memenuhi syarat sebagai
3168
dà na ada di sini, dan sebab itu kita dapat menyimpulkan bahwa
membangun pagoda dan patung Buddha yaitu benar, tindakan
kedermawanan.
Atas pertanyaan siapakah yang menerima pemberian itu, tidak
salah jika dikatakan bahwa semua dewa dan manusia yang memuja
pagoda dan patung Buddha untuk mengenang kemuliaan Buddha
yaitu para penerima dà na ini . Pada saat yang sama, sebab
benda-benda ini juga yaitu objek pemujaan bagi para dewa
dan manusia dalam melakukan perenungan terhadap kemuliaan
Buddha, maka ini juga membentuk objek persembahan. Semua
benda-benda materi di dunia ini dimanfaatkan dalam cara yang
berbeda-beda sesuai sifatnya; makanan digunakan sebagai materi
yang dikonsumsi; materi pakaian digunakan dengan cara dikenakan;
materi-materi keagamaan dan penghormatan digunakan sebagai
objek penghormatan.
Jika sumur dan toilet digali di dekat jalan umum, semua orang
dapat memakai nya sebagai air minum, mencuci, dan lain-
lain. Si pemberi tidak menentukan siapa penerimanya sewaktu ia
menggali sumur dan toilet ini . Jika, sesuai tujuannya, para
pengembara melewati jalan itu dan memakai benda-benda
pemberiannya itu, tidak seorang pun yang dapat mengatakan bahwa
pemberiannya bukan suatu tindakan dà na; walaupun jika tindakan
itu tidak diakhiri dengan Ritual menuang air.
Sekarang, untuk mengakhiri diskusi ini, yaitu benar jika dikatakan
bahwa si pembangun pagoda dan patung Buddha yaitu si pemberi,
pagoda dan patung Buddha yaitu objek dà na, para dewa dan
manusia yang melakukan pemujaan yaitu penerima dà na.
Ada lagi pertanyaan tambahan, ‘Apakah layak menganggap
pagoda dan patung Buddha sebagai objek dà na; apakah bukan
suatu tindakan yang melanggar kesucian dengan mengelompokkan
seperti itu?’ Bagaikan rak buku yang digunakan di dalam vihà ra
untuk menyimpan Kitab yang dianggap suci (Dhamma-cetiya).
Demikian pula pagoda dan patung Buddha yang berfungsi sebagai
tempat penyimpanan relik-relik suci sebagai objek penghormatan.
3169
1
Maka dapat dijawab bahwa sangatlah layak menganggapnya sebagai
suatu objek kedermawanan, dà na.
Apakah Ritual Menuang Air Penting Dalam Sebuah
Persembahan Agar Memenuhi Syarat Sebagai Tindakan
Kedermawanan?
Hal penting untuk dipertimbangkan yaitu suatu tindakan
merupakan tindakan dà na jika tidak diakhiri dengan Ritual
menuang air. Sesungguhnya Ritual ini tidak pernah disebutkan
dalam Kitab. Praktik ini, hanyalah sekadar kebiasaan atau tradisi
yang telah berlangsung lama.
Dalam komentar pada Bab ‘Cãvarakkhandhaka’ dari Vinaya
Mahà Vagga, kita dapat menemukan keterangan mengenai tradisi
menuang air. “Terjadi perpecahan di antara para bhikkhu dalam
sebuah vihà ra sebelum dilakukan Ritual persembahan jubah
sesudah masa vassa. saat waktunya tiba, umat-umat awam datang
dan mempersembahkan jubah, yang ditumpuk di suatu tempat,
kepada sekelompok bhikkhu. Para umat lalu mendatangi
kelompok bhikkhu lainnya dan melakukan Ritual menuang
air, sambil mengatakan, “Kami mempersembahkan kepada para
bhikkhu kelompok yang lain.” Sehubungan dengan bagaimana
jubah-jubah ini dibagikan di antara anggota Saÿgha, Komentar
mengatakan bahwa jika mereka tidak memberi penghormatan
dengan menuang air, jubah-jubah itu yaitu milik kelompok
(bhikkhu) yang menerima jubah secara langsung. Kelompok yang
hanya menerima Ritual menuang air tidak berhak atas jubah-
jubah ini . Tetapi jika mereka memberi penghormatan
dengan Ritual menuang air, kelompok yang hanya menerima
Ritual ‘menuang air’ berhak atas jubah-jubah ini sebab
Ritual menuang air dilakukan pada mereka; kelompok lainnya
yang menerima jubah secara langsung juga berhak atas jubah-
jubah ini sebab mereka telah memiliki jubah-jubah ini .
Oleh sebab itu kedua kelompok harus membagi rata jubah-jubah
ini . Cara pembagian seperti ini yaitu praktik yang diikuti di
wilayah-wilayah seberang samudra.
3170
Wilayah seberang samudra, dari Sri Lanka termasuk ‘JambÃ¥dãpa’,
yaitu India. Oleh sebab itu, harus diperhatikan bahwa Ritual
menuang air yaitu praktik yang menjadi tradisi yang diikuti oleh
masyarakat India.
Mempertimbangkan bahwa ada yang menerima penghormatan
dengan Ritual menuang air dan ada yang tidak menerima
penghormatan dengan menuang air, bukan berarti bahwa suatu
persembahan merupakan tindakan kedermawanan hanya jika
diakhiri dengan Ritual menuang air. Ritual ini penting hanya
bagi mereka yang mengikuti tradisi menuang air; jelas bahwa tidak
ada manfaatnya Ritual ini bagi mereka yang tidak mengikuti
tradisi ini . Harus dipahami bahwa Ritual menuang air
bukanlah faktor penting dalam suatu tindakan kedermawanan.
(b) Sehubungan dengan pemberian ajaran, Dhamma dà na, sekarang
ini, banyak orang yang tidak mampu mengajarkan Dhamma, tetapi
mereka ingin memberi ajaran, mereka mengeluarkan uang
untuk mencetak buku-buku, atau naskah-naskah daun lontar (yang
berisikan naskah-naskah Kitab) lalu menyumbangkannya.
Meskipun persembahan buku-buku ini bukanlah suatu pemberian
ajaran yang sesungguhnya, tetapi sebab para pembaca dapat
memperoleh manfaat dengan membaca dari buku-buku tentang
praktik dan instruksi yang mengarah menuju Nibbà na, si
penyumbang dapat dianggap sebagai seseorang yang melakukan
pemberian ajaran.
Hal ini dapat diumpamakan sebagai seseorang yang tidak
mempunyai obat untuk diberikan kepada orang sakit, tetapi ia
mempunyai resep untuk menyembuhkan penyakit. saat obat-
obatan dipersiapkan sesuai resep dan diminum, penyakit dapat
disembuhkan. Meskipun orang itu tidak benar-benar membuat
obat, tetapi sebab resepnya yang efektif, ia dapat dianggap
sebagai seseorang yang menyembuhkan penyakit. Demikian pula,
penyumbang buku-buku Dhamma yang secara pribadi tidak
mampu mengajarkan Dhamma dapat membantu para pembaca
bukunya untuk mencapai Pengetahuan Dhamma dan sebab itu
dapat dianggap sebagai penyumbang Dhamma.
3171
1
Sekarang, untuk mengakhiri bagian ini, pasangan pemberian
ini di atas, yaitu, à misa dà na dan Dhamma dà na juga dapat
disebut à misa påjà , menghormati dengan benda-benda materi
dan Dhamma påjà , menghormati dengan ajaran; istilah-istilah itu
memiliki arti yang sama.
Kata ‘pÃ¥jà ’ artinya ‘menghormati’ dan biasanya digunakan saat
seseorang yang lebih muda memberi persembahan kepada
orang yang lebih tua atau orang yang berstatus lebih tinggi. sebab
kebiasaan ini, beberapa orang berpendapat bahwa dà na harus
dibedakan antara ‘pÃ¥jà dà na’ dan ‘anuggaha dà na’; ‘pÃ¥jà dà na’,
menghormati dengan memberi persembahan oleh seorang yang
lebih muda kepada orang yang lebih tua atau orang yang berstatus
lebih tinggi dan ‘anuggaha dà na’, memberi persembahan sebagai
bantuan sebab welas asih yang diberikan oleh orang yang lebih
tua atau orang yang berstatus lebih tinggi kepada orang yang lebih
muda atau orang yang berstatus lebih rendah.
Tetapi seperti telah kita ketahui dalam bab tentang ‘ramalan’. Kata
påjà dapat digunakan oleh yang berstatus tinggi maupun yang
rendah dan kata anuggaha juga berlaku untuk kedua kelompok.
Benar bahwa, biasanya, anuggaha digunakan saat pemberian
dilakukan oleh yang tinggi kepada yang rendah atau yang tua
kepada yang muda. Tetapi kita harus ingat penggunaan kata ‘Ã misÃ
nuggaha’ dan ‘Dhammà nuggaha’ untuk menjelaskan bantuan dan
dukungan yang diberikan, yaitu demi kemajuan dan pengembangan
ajaran Buddha. Di sini kata anuggaha juga digunakan walaupun
pemberiannya yaitu ajaran Buddha yang tertinggi dan termulia.
Dengan demikian, harus dimengerti bahwa pengelompokan påja
dà na dan anuggaha dà na bukanlah pengelompokan mutlak dalam
dua aspek dà na, namun sekadar pengelompokan mengikuti
penggunaan umum.
(2) Mempersembahkan Diri Sendiri (Ajjhattika DÃ na) dan
Mempersembahkan Harta Eksternal (BÃ hira DÃ na)
Mempersembahkan diri sendiri maksudnya yaitu memberi
3172
nyawa dan organ-organ tubuhnya. Mempersembahkan harta
eksternal termasuk memberi benda-benda eksternal milik si
penyumbang.
Bahkan di zaman modern sekarang ini, kadang-kadang kita
membaca di koran tentang berita orang yang mempersembahkan
tubuhnya di pagoda atau ‘menghormati persembahan’ ini
dengan membakar diri sesudah membungkus seluruh tubuhnya
dengan kain dan menyiramkan minyak. Banyak pendapat mengenai
dà na yang melibatkan organ-organ tubuh. Menurut mereka,
persembahan tubuh dan organ-organ tubuh yaitu perbuatan yang
hanya dilakukan oleh para Bodhisatta mulia dan bukan urusan
orang-orang biasa. Mereka meragukan persembahan demikian yang
dilakukan oleh orang-orang biasa dapat menghasilkan jasa.
Sekarang untuk mempertimbangkan apakah pandangan demikian
benar atau tidak. Seorang Bodhisatta tidak tiba-tiba muncul di
dunia ini begitu saja. Hanya sesudah perlahan-lahan memenuhi
Kesempurnaan sesuai batas kemampuannya, seseorang dapat
tumbuh matang dan mengembangkan dirinya setahap demi setahap
untuk menjadi seorang Bodhisatta. Para penyair pada masa lalu
menulis: Hanya dengan setahap demi setahap menghadapi risiko,
seseorang memastikan kemajuannya dalam kehidupan berikut. Oleh
sebab itu, kita tidak boleh secara gegabah mencela mereka yang
mempersembahkan sebagian atau seluruh tubuhnya. Jika seseorang,
sebab kehendak dan keyakinan yang kuat, sangat bersemangat
mempersembahkan tubuhnya, bahkan hingga mengorbankan
nyawanya, ia sesungguhnya layak dipuji sebagai seorang yang
menyumbangkan dirinya sendiri, ajjhattika dà na.
(3) Mempersembahkan Harta (Vatthu DÃ na) dan memberi
Keselamatan (Abhaya DÃ na)
Vatthu dà na berhubungan dengan persembahan benda-benda materi.
Abhaya dà na berhubungan dengan memberi keselamatan atau
keamanan terhadap kehidupan atau harta, ini biasanya merupakan
praktik welas asih oleh para raja.
3173
1
(4) Vattanissita DÃ na dan Vivattanissita DÃ na
Vattanissita dà na yaitu persembahan yang dilakukan dengan
harapan untuk mendapatkan kekayaan dan kenikmatan duniawi
pada masa depan, yang berarti penderitaan dalam lingkaran
kehidupan. Vivattanissita dà na yaitu persembahan yang
dilakukan dengan cita-cita untuk mencapai Nibbà na yang bebas
dari penderitaan akan kelahiran kembali.
(5) DÃ na yang Dinodai Cacat (SÃ vajja DÃ na) dan DÃ na yang
Tidak Dinodai Cacat (Anà vajja Dà na)
Mempersembahkan makanan yang mengandung daging yang
diperoleh dari membunuh binatang yaitu contoh dari dà na yang
dinodai cacat. Mempersembahkan makanan yang tidak melibatkan
pembunuhan binatang yaitu dà na yang tidak dinodai cacat.
Jenis pertama yaitu perbuatan kedermawanan yang disertai oleh
kejahatan; jenis kedua yaitu dà na yang tidak disertai kejahatan.
Pada kasus beberapa nelayan, yang mengumpulkan kekayaan dari
menangkap ikan memutuskan untuk menghentikan usaha mereka
dengan pikiran, ”Aku akan menghentikan pekerjaan menangkap
ikan yang tidak baik dan menjalani penghidupan benar,” lalu
dalam menjalani usaha lain, kekayaan mereka menurun; saat
kembali kepada usaha lama, kekayaan mereka bertambah lagi.
Ini yaitu contoh dà na yang dinodai cacat (sà vajja dà na) yang
mereka lakukan dalam kehidupan lampau yang berbuah dalam
kehidupan sekarang. sebab tindakan dà na mengandung perbuatan
membunuh, saat berbuah juga, keberhasilan akan diperoleh saat
berhubungan dengan tindak





.jpeg)
.jpeg)





