Tampilkan postingan dengan label Biksu Budha 18. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Biksu Budha 18. Tampilkan semua postingan

Biksu Budha 18

 



ianlah ia 

menjelaskan kebahagiaan yang muncul dari ketidakmelekatan 

terhadap para dermawan laki-laki maupun perempuan dan 

tidak berkumpul dengan mereka.)

5. “Raja besar, (seorang petapa yang memiliki barang-barang 

kebutuhan yang berlebih dan menitipkannya kepada si 

dermawan untuk disimpan. Jika pada lalu   hari ia 

mendengar berita bahwa, rumah si pemberi dàna ini   

kebakaran, ia akan merasa tertekan dan pikirannya tidak 

tenang. Sebaliknya, petapa lain yang memiliki perlengkapan 

hanya yang menempel di badannya atau yang selalu ia bawa 

bersamanya yaitu   bagaikan sayap burung yang mengikutinya 

ke mana pun ia terbang). Ia tidak merasa kehilangan saat suatu 

kota atau desa tertimpa bencana kebakaran. Tidak merasa 

kehilangan miliknya oleh api yaitu   berkah kelima bagi 

seorang petapa.” (Demikianlah ia menjelaskan kebahagiaan 

yang diperoleh dari tidak menjadi korban api.)

6. “Raja besar, jika suatu kota atau desa dirampas oleh para 

perampok, seorang petapa, sepertiku, yang memakai atau 

membawa semua miliknya bersamanya, tidak akan kehilangan 

apa pun (sedangkan orang lain yang memiliki banyak harta 

benda akan menderita kehilangan sebab   dirampas oleh 

perampok dan pikirannya menjadi tidak tenang). Bebas dari 

kesulitan menyimpan harta benda yaitu   berkah keenam bagi 

seorang petapa.” (Demikianlah ia menjelaskan kebahagiaan 

yang diperoleh sebab   merasa aman dari perampok.)

7. “Raja besar, seorang petapa yang hanya memiliki delapan 

perlengkapan sebagai hartanya bebas bepergian tanpa 

diberhentikan, ditanyai atau ditangkap di dalam perjalanan 

oleh para perampok atau petugas keamanan. Ini yaitu   berkah 

ketujuh bagi seorang petapa.” (Demikianlah ia menjelaskan 

kebahagiaan yang diperoleh dari perjalanan yang aman di 

mana telah menunggu perampok atau petugas keamanan.)

3131

 1

8. “Raja besar, seorang petapa yang hanya memiliki delapan 

perlengkapan sebagai hartanya bebas bepergian ke mana pun 

yang ia inginkan tanpa merasa rindu (akan tempatnya yang 

lama). Kemungkinan untuk berpindah-pindah yaitu   berkah 

kedelapan bagi seorang petapa yang tidak memiliki banyak 

harta benda.” (Demikianlah ia menjelaskan kebahagiaan yang 

diperoleh dari kebebasan berpindah-pindah tanpa merindukan 

tempat asalnya.)

Raja Arindama menyela khotbah Pacceka Buddha Soõaka mengenai 

berkah petapa dan bertanya, “Walaupun engkau memuji-muji berkah 

seorang petapa, aku tidak dapat memujinya sebab   aku selalu dalam 

kebahagiaan. Kenikmatan indria, baik duniawi maupun surgawi, 

yang kusukai. Bagaimanakah aku dapat memperoleh kehidupan 

sebagai manusia dan dewa?” Pacceka Buddha Soõaka menjawab 

bahwa mereka yang menyukai kenikmatan indria akan terlahir di 

alam yang tidak berbahagia, dan hanya mereka yang melepaskan 

kenikmatan indria yang akan terlahir di alam yang berbahagia. 

Sebagai perumpamaan, ia menceritakan kisah seekor burung gagak 

yang dengan penuh kegembiraan mengejar mayat seekor gajah yang 

terapung di laut dan mati sebab  nya; Pacceka Buddha lalu   

menjelaskan cacat dari kenikmatan indria dan lalu   pergi, 

berjalan melalui angkasa.

Tergerak oleh perasaan religius sebagai akibat dari nasihat Pacceka 

Buddha, Raja Arindama menyerahkan kerajaannya kepada 

putranya Dãghàvu dan pergi menuju Pegunungan Himalaya. sesudah   

menjadi petapa, hidup hanya dari buah-buahan dan melatih serta 

mengembangkan Jhàna melalui meditasi empat cara hidup yang 

luhur (Brahmàvihàra—mettà, karuõà, mudità, dan upekkhà) ia 

terlahir kembali di alam brahmà.

Sembilan Cacat Pakaian Orang Biasa

1. Harganya mahal.

2. Tersedia hanya melalui hubungan dengan pembuatnya.

3. Cepat rusak jika sering dipakai.

4. Cepat usang dan mudah robek sebab   sering dicuci dan 

3132


dicelup.

5. Sulit mencari penggantinya.

6. Tidak cocok untuk petapa.

7. Harus dijaga agar tidak dicuri.

8. Terlihat seperti hendak dipamerkan saat dikenakan.

9. Jika dibawa pergi tanpa dikenakan, akan menjadi beban berat 

dan orang yang membawanya terlihat serakah.

Dua Belas Manfaat Jubah Serat

1. Harga murah dan kualitasnya baik.

2. Dapat dibuat sendiri.

3. Tidak cepat usang dan mudah dibersihkan.

4. Mudah dibuang jika sudah usang, tanpa perlu dijahit dan 

ditambal.

5. Tidak sulit mencari penggantinya.

6. Cocok untuk petapa.

7. Tidak harus dijaga untuk menghindari pencurian.

8. Tidak terlihat seperti hendak dipamerkan jika dikenakan.

9. Tidak menjadi beban berat jika dikenakan atau dibawa 

bepergian.

10. Pemakainya tidak melekat kepada jubah ini  .

11. Dibuat dengan cara memukul-mukul kulit kayu; sehingga tidak 

ada cacat dalam usaha memperolehnya.

12. Bukan barang berharga, jadi tidak akan merasa menyesal jika 

hilang atau rusak.

Jubah Serat

Jubah serat yaitu   jubah yang terbuat dari serat yang diperoleh 

dari sejenis rumput yang ditenun. (Hal ini dijelaskan dalam 

Aññhasàlinã.)

Menurut Hsutaunggan Pyo, menenun serat saja masih belum 

cukup untuk membuat jubah. Masih harus dipukul-pukul untuk 

membuatnya lunak dan halus. Itulah sebabnya di Myanmar 

dinamakan serat pukulan.

3133

 1

“Jubah serat” diberi nama vàkacãra, vakkala, dan tirãñaka dalam 

bahasa Pàëi.

Vàkacãra secara harfiah berarti jubah yang terbuat dari rumput, dan 

oleh sebab   itu seharusnya diterjemahkan “jubah rumput.” Namun, 

guru-guru zaman dulu menerjemahkan sebagai “jubah serat”.

Nama lainnya, vakkala dan tirãñaka, merujuk kepada jubah yang 

terbuat dari kulit kayu. Walaupun kata vakka pada vakkala artinya 

yaitu   “kulit pohon.” Yang dimaksudkan bukanlah kulit pohon 

bagian luar yang tebal dan keras, tetapi lapisan bagian dalam yang 

merupakan serat yang membungkus inti pohon ini  . sebab   

serat ini   diambil, ditenun dan dipukul agar halus dan lunak, 

maka jubah ini   disebut jubah serat. Walaupun vàkacãra berarti 

“jubah rumput,” proses membuat jubah dari serat yang diambil dari 

pohon lebih sering dilakukan daripada jubah dari rumput sehingga 

nama “jubah serat” lebih dikenal daripada “jubah rumput.” Itulah 

sebabnya istilah “jubah serat” dikutip dalam Hsutaunggan Pyo.

Penyangga Berkaki Tiga dari Kayu

Penyangga berkaki tiga dari kayu (tidaõóa atau tayosÃ¥lã) yaitu   

perlengkapan seorang petapa. Sebagai tempat untuk meletakkan 

kendi air.

Kendi Air dan Gandar

Kendi air (kuõóika) yaitu   perlengkapan lainnya dari seorang 

petapa. Khàrikàja berarti sebuah galah yang dikutip oleh guru-

guru zaman dulu berasal dari kombinasi kata khàri dan kàja yang 

dua-duanya berarti galah yang melengkung. Menurut beberapa 

sumber, khàri berarti seperangkat perlengkapan petapa yang terdiri 

dari sebuah batu api, sebuah jarum, kipas dan lain-lain. Mengutip 

terjemahan ini, khàrikaja dapat diartikan sebagai sebuah pikulan di 

mana digantung berbagai perlengkapan seorang petapa.

3134


Kulit Rusa Hitam (Ajinacamma)

Kulit rusa hitam, lengkap dengan kukunya disebut ajinacamma 

juga yaitu   salah satu perlengkapan petapa, yang dapat dijelaskan 

sebagai berikut:

Kata Pàëi ajinacamma secara umum diterjemahkan sebagai kulit 

rusa hitam oleh para terpelajar zaman dulu, hal ini disebab  kan 

binatang yang berkulit hitam biasanya disebut “rusa hitam.” Dalam 

Amarakosa Abhidhàna (bagian 17, v.47) kata Ajima dijelaskan 

sebagai “kulit” yang memiliki arti yang sama dengan camma. 

Demikianlah penjelasan dari Amarakosa yang layak diperhatikan.

Dalam Aññhasàlinã dan komentar lainnya, terdapat kalimat yang 

berarti “kulit, lengkap dengan kukunya, dari seekor rusa hitam, 

yang mirip seperti hamparan bunga punnàga”. 

Frasa “lengkap dengan kukunya” (sakhuraÿ) merujuk kepada 

kulit dari binatang yang berkuku. Sedangkan ungkapan “seperti 

hamparan bunga Puõõàga”, kita harus menentukan apakah yang 

dimaksud yaitu   warnanya atau kelembutannya. Bahwa bunga 

Puõõàga tidaklah lebih lembut dari bunga-bunga lainnya, jadi lebih 

tepat jika yang dimaksudkan yaitu   warnanya. Hal ini menyiratkan 

bahwa kulit ini   bukan berasal dari rusa hitam.

Walaupun oleh para terpelajar zaman dulu, ajina diterjemahkan 

sebagai “macan tutul hitam”, dan bahwa sebenarnya berarti kulit 

binatang dan memiliki arti yang sama dengan camma seperti yang 

terbukti pada kalimat “ajinamhã ha¤¤ate dãpi”, (seekor macan 

tutul yang dibunuh untuk diambil kulitnya) dalam Janaka dan 

Suvaõõasàma Jàkata. Komentar Jataka ini   juga menjelaskan 

ajina yaitu   sinonim dari camma dalam kalimat “ajinamhãti 

cammatthàya cammakaraõà” (“mengambil kulitnya untuk dibuat 

jubah”). Dalam bahasa Pàëi, hanya ada dua kata yaitu dãpi dan 

saddåla yang memiliki arti macan tutul. Ajina tidak termasuk.

Kitab Buddhavaÿsa juga menyebutkan “kese mu¤citva’ham tattha 

vàkacira¤ ca cammakaÿ”, saat   Sumedha berbaring tiarap di 

3135

 1

hadapan Buddha Dãpaïkara, menjadi jembatan, ia melepas pengikat 

rambutnya dan menghamparkan jubah seratnya dan kulit binatang 

di atas lumpur. Kata Pàëi yang digunakan di sini yaitu   cammaka 

yang memiliki arti yang sama dengan ajinacamma yang telah 

dijelaskan di atas.

Semua ini menunjukkan bahwa ajinacamma bukanlah kulit binatang 

bercakar seperti harimau, macan tutul atau kucing dan frasa 

keterangan “lengkap dengan kuku” menunjukkan bahwa yang 

dimaksud yaitu   kulit dari binatang berkuku seperti kuda dan sapi. 

Kulit ini   memiliki warna bagaikan hamparan bunga punnàga 

seperti yang disebutkan dalam aññhasàlinã. Kulit ini juga sangat 

halus saat disentuh. Binatang-binatang seperti eõã banyak terdapat 

di seluruh Himalaya. sebab   kulitnya yang halus dan sangat indah 

serta tidak mudah didapat, orang-orang menganggapnya sebagai 

simbol kemewahan.

saat   Bodhisatta Siddhattha lahir, para Dewa CàtuMahàràjika 

dari empat penjuru, menerima Beliau dari tangan brahmà dari 

Alam Suddhàvàsa dengan memakai   kulit dari binatang 

tertentu—kulit yang memiliki bulu-bulu yang halus dan merupakan 

barang yang mewah. Hal ini dijelaskan dalam bagian pendahuluan 

Komentar Jàtaka, juga dalam Komentar Buddhavaÿsa.

Rambut yang Digelung (Jaña) dan Pengikat Rambut Bundar dari 

Rambut (Jatàmaõóala)

Perbedaan antara rambut yang digelung dan rambut yang diikat 

dengan pengikat rambut bundar terbuat dari rambut harus 

dipahami. Rambut yang digelung yaitu   merupakan bagian dari 

tubuh si petapa. Untuk tidak dipersulit oleh merawat rambut yang 

panjang, si petapa mengelung rambutnya dengan erat. Inilah yang 

disebut dengan rambut yang digelung.

Salah satu perlengkapan yang diciptakan dan ditinggalkan di dalam 

gubuk oleh Visukamma seperti yang dijelaskan dalam aññhasàlinã 

yaitu   pengikat rambut bundar terbuat dari rambut yang disebut 

jatàmaõóala. Benda ini merupakan bagian terpisah dari tubuh 

3136


si petapa, bukan bagian tubuhnya. Dari kalimat “Ia mengenakan 

pengikat kepala di kepalanya dan mengencangkannya dengan 

memakai   jepit rambut terbuat dari gading”, jelas bahwa 

pengikat rambut ini yaitu   benda yang terpisah dari rambut 

Sumedha. Benda ini lalu   berevolusi menjadi benda yang 

berguna untuk melindungi rambut dari debu dan kotoran.

Delapan Jenis Petapa

Kata “petapa” merujuk kepada mereka yang berada di luar ajaran 

Buddha, namun demikian mereka dianggap sebagai orang suci 

pada masa itu.

Komentar Ambaññha Sutta dari Silakkhandha Vagga mencantumkan 

delapan jenis petapa sebagai berikut:

1. Saputtabhariya

2. U¤chàcariya

3. Anaggipakkikà

4. Asàmapàka

5. Ayamuññhika (Asmamuññhika)

6. Dantavakkalika

7. Pavattaphalabhojana

8. Paõóupalàsika

1. Seorang petapa yang mengumpulkan kekayaan dan menjalani 

kehidupan berumahtangga disebut saputtabhariya (contohnya: 

Keniya pada zaman Buddha).

2. Seorang petapa yang tidak mengumpulkan kekayaan dan tidak 

menjalani kehidupan berumah tangga, tetapi mengumpulkan 

beras dari orang-orang awam di tempat-tempat penggilingan 

padi dan memasaknya sendiri disebut u¤chàcariya.

3. Seorang petapa yang mengumpulkan padi dari orang-

orang awam dan memasak makanannya sendiri disebut 

anaggipakkika. Ia berpikir bahwa menguliti padi dengan cara 

memukul-mukul padi ini   tidaklah layak dimakan oleh 

petapa.

4. Seorang petapa yang memasuki desa dan mengumpulkan nasi 

3137

 1

disebut asàmapàka. Ia berpikir bahwa memasak tidaklah layak 

dilakukan oleh petapa.

5. Seorang petapa yang mengambil kulit pohon sebagai 

makanannya dengan memakai   logam atau batu disebut 

ayamuññhika (atau asmamuññhika). Ia berpikir mengumpulkan 

makanan dari orang-orang awam sangatlah melelahkan.

6. Seorang petapa yang mengambil kulit pohon sebagai 

makanannya dengan memakai   g ig inya disebut 

dantavakkalika. Ia berpikir bahwa membawa-bawa logam atau 

batu sangatlah melelahkan.

7. Seorang petapa yang hidup dari buah-buahan yang 

dilempar jatuh dengan memakai   batu atau kayu disebut 

pavattaphalabhojana. Ia berpikir bahwa mengambil kulit pohon 

sangatlah melelahkan.

8. Seorang petapa yang hidup hanya dari daun-daunan, bunga-

bungaan dan buah-buahan yang jatuh secara alami dari pohon 

disebut paõóupalàsika.

Paõóupalàsika dibagi menjadi tiga jenis:

(1) Ukkaññha-paõóupalàsika, ia yang tetap duduk dan tidak pernah 

bangkit dan hanya hidup dari daun-daunan, bunga, dan buah-

buahan yang jatuh dalam jangkauannya.

(2) Majjhuÿ-paõóupalàsika, ia yang tidak berpindah dari satu 

pohon ke pohon lainnya dan hanya hidup dari daun-daunan, 

bunga, dan buah-buahan yang jatuh dari satu pohon; dan

(3) Muduÿ-paõóupalàsika, ia yang berpindah-pindah dari satu 

pohon ke pohon lain untuk mencari daun-daunan, bunga, dan 

buah-buahan yang jatuh dari pohon untuk bertahan hidup.

Demikianlah penjelasan delapan jenis petapa yang terdapat dalam 

Komentar Ambaññha Sutta.

Sebagai perbandingan, penulis juga mencantumkan penjelasan yang 

terdapat pada Komentar Hiri Sutta dari Sutta Nipàta.

1. Saputtabhariya,

2. U¤chàcarika,

3. Sampattakàlika,

3138


4. Anaggipakkika,

5. Ayamuññhika,

6. Dantaluyyaka,

7. Pavattaphalika, dan

8. Vaõñamuttika.

1. Petapa yang menjalani kehidupan berumah tangga dan bermata 

pencaharian sebagai petani, pedagang, dan lain-lain. Contohnya 

Keniya dan lain-lain, disebut saputtabhariya.

2. Petapa yang bertempat tinggal di dekat gerbang kota dan 

mengajarkan putra-putri khattiya dan bramana, hanya 

menerima hasil panen dan tidak menerima emas dan perak 

disebut u¤chàcarika.

3. Petapa yang hidup hanya dari makanan yang diperoleh pada 

waktu-waktu makan disebut sampattakàlika.

4. Petapa yang hidup hanya dari buah-buahan dan sayur-sayuran 

yang tidak dimasak disebut anaggipakkika.

5. Petapa yang berkelana dari satu tempat ke tempat lain dengan 

berbekal sepotong logam atau batu untuk mengambil kulit 

pohon sebagai makanan saat ia merasa lapar. Ia melaksanakan 

Sãla, berlatih meditasi empat sifat luhur, disebut ayamuññhika.

6. Petapa yang berkelana dari satu tempat ke tempat lain tanpa 

berbekal sepotong logam atau batu tapi memakai   giginya 

untuk mengambil kulit pohon sebagai makanan saat ia merasa 

lapar. Ia melaksanakan sãla, berlatih meditasi empat sifat luhur, 

disebut dantaluyyaka.

7. Petapa yang bergantung hanya dari kolam-kolam alami atau 

hutan-hutan dan tidak bepergian ke mana-mana, bertahan 

hidup hanya dari tangkai dan kuntum bunga teratai dari 

kolam atau bunga dan buah-buahan dari hutan atau bahkan 

dari kulit pohon (jika tidak tersedia makanan lain) dan ia juga 

melaksanakan Sãla, berlatih meditasi empat sifat luhur, disebut 

pavattaphalika.

8. Petapa yang bertahan hidup hanya dari daun-daunan yang 

jatuh secara alami dan melaksanakan sãla serta berlatih meditasi 

empat sifat luhur, disebut vaõñamuttika.

Kedua urutan petapa ini, diurutkan berdasarkan urutan 

3139

 1

kemuliaannya, tiap-tiap jenis petapa lebih mulia dari jenis 

sebelumnya.

Dengan pengecualian saputtabhariya, semua petapa ini yaitu   

orang-orang suci yang melaksanakan sãla dan berlatih meditasi 

empat sifat luhur.

Sumedha yaitu   petapa jenis keempat (dalam urutan yang terdapat 

dalam Komentar Silàkkhandha), yaitu, asamapaka, selama satu hari, 

yaitu petapa yang mengumpulkan makanan-makanan yang telah 

dimasak. Tetapi keesokan harinya, ia yaitu   petapa jenis kedelapan, 

yaitu, paõóupalasika, yang hanya hidup dari daun-daunan, bunga, 

dan buah-buahan yang jatuh secara alami dari pohon. Menurut 

urutan yang diberikan dalam Komentar Sutta Nipàta, ia berada 

dalam jenis kedelapan, yaitu, vaõñamuttika, yaitu, petapa yang 

bertahan hidup hanya dari daun-daunan yang jatuh secara alami 

dari pohon dan melaksanakan sãla serta berlatih meditasi empat 

sifat luhur.

Tiga Jenis Pabbajjà

“Pabbajjà” dalam bahasa Pàëi artinya yaitu   “pergi menjadi petapa” 

oleh guru-guru zaman dulu. Yaitu, meninggalkan kehidupan 

duniawi, yang terdiri dari tiga jenis:

1. Isi-pabbajjà, meninggalkan kehidupan duniawi dan menjadi 

isi (petapa).

2. Samaõa-pabbajjà, meninggalkan kehidupan duniawi dan 

menjadi samaõa (bhikkhu).

3. Sàmaõera-pabbajjà, meninggalkan kehidupan duniawi dan 

menjadi sàmaõera (bakal bhikkhu).

 

Oleh sebab   itu, ada tiga jenis manusia yang layak mendapat 

penghormatan: isi (petapa), samaõa (bhikkhu), dan sàmaõera (bakal 

bhikkhu).

3140


Delapan Cacat Gubuk Daun-daunan

1. Gubuk memaksa penghuninya untuk mencari kayu dan bahan-

bahan lainnya dalam proses pembangunan.

2. Penghuninya harus memelihara dan memperbaiki jika atap 

rumput dan dinding lumpurnya mulai rusak.

3. Penghuninya harus menyediakan ruangan saat seorang 

pengunjung senior datang, yang harus diberikan akomodasi 

yang sesuai, kesibukan ini akan menyebabkan pikirannya 

menjadi tidak terkonsentrasi.

4. sebab   terlindung dari hujan dan sinar matahari, penghuninya 

cenderung menjadi lebih lemah.

5. Dengan adanya atap dan dinding yang memberi   privasi, 

gubuk ini dapat menjadi tempat persembunyian jika 

penghuninya melakukan perbuatan jahat.

6. Dapat menyebabkan kemelekatan bagi penghuninya, yang 

berpikir, “Ini yaitu   tempat tinggalku.”

7. Tinggal di dalamnya, membuat penghuninya merasa seolah-

olah hidup sebagai perumah tangga bersama keluarganya.

8. Penghuninya harus berurusan dengan hama seperti kutu, 

serangga, dan lain-lain.

Inilah kerugian dari gubuk yang disadari oleh Sumedha dan yang 

menyebabkannya meninggalkan gubuk daun-daunan.

Sepuluh Keuntungan Menetap di Bawah Pohon

1. Bawah pohon tidak mengharuskan penghuninya untuk 

mendapatkan bahan-bahan bangunan, tempat tinggal yang 

telah tersedia secara alami.

2. Penghuninya tidak perlu melakukan pemeliharaan atau 

perbaikan secara rutin.

3. Penghuninya tidak perlu menyiapkan ruangan jika menerima 

kunjungan dari seniornya.

4. Tidak memberi   privasi sehingga tidak dapat menjadi tempat 

persembunyian atas tindak kejahatan.

5. Penghuninya bebas dari kekakuan organ-organ tubuh seperti 

yang diderita oleh mereka yang tinggal di dalam ruangan.

3141

 1

6. Penghuninya tidak merasa memiliki tempat itu sebagai 

hartanya.

7. Penghuninya dapat meninggalkan tempat itu setiap saat 

tanpa kemelekatan dengan mengatakan, “Ini yaitu   tempat 

tinggalku.”

8. Penghuninya tidak perlu mengusir orang lain misalnya untuk 

membersihkan.

9. Tempat yang menyenangkan bagi penghuninya.

10. sebab   penghuninya dengan mudah dapat menemukan tempat 

yang sama di tempat lain, ia tidak melekat dengan “tempat 

tinggalku”.

Ramalan

Telah disebutkan bahwa, Sumedha merenungkan, “Apalah gunanya 

secara egois melarikan diri dari lingkaran kelahiran sendirian,” 

hal ini disebutkan dalam Kitab Buddhavaÿsa, “Kiÿ me ekena 

tiõõena.”

Mengutip kalimat ini, orang-orang sering berkata dengan nada 

kasar, “Seseorang tidak boleh egois di dunia ini. Orang yang egois 

yaitu   orang yang hanya mencari kesejahteraannya sendiri. Orang 

yang hanya mencari kesejahteraannya sendiri yaitu   orang yang 

tidak berguna.”

Tetapi jika seseorang melanjutkan membaca kalimat tadi hingga 

pada kalimat “purisena thanadassina”, yang artinya, “sebab   dalam 

kenyataannya, aku yaitu   orang yang superior dan menyadari 

akan kebijaksanaan, keyakinan, dan usaha yang kumiliki,” yang 

memenuhi syarat atas kalimat sebelumnya. Semua ini menunjukkan 

bahwa, hanya mereka, yang memiliki kemampuan.

Nera¤jarà

Nera¤jarà yaitu   nama sungai yang berasal dari kata nelajala, nela 

berarti ‘tanpa cacat’ dan jala berarti ‘air’; dengan demikian artinya 

yaitu   ‘sungai yang airnya jernih dan murni’.

3142


Penurunan lain yaitu   dari kata nãlajala, nãla berarti ‘biru’ dan jala 

berarti ‘air’; dengan demikian artinya yaitu   ‘sungai yang airnya 

biru jernih’.

Penurunan lain lagi yaitu   dari kata narijarà yang berarti sejenis 

alat musik yang menghasilkan bunyi yang mirip seperti suara air 

yang mengalir di sungai.

Yang Penting Dalam Ramalan

Sehubungan dengan frasa ‘melangkah keluar dengan kaki kanannya’ 

dan ‘menghormat kepadanya dengan delapan genggam bunga-

bungaan’, penulis menjelaskan sebagai berikut:

‘Melangkah keluar dengan kaki kanannya’ yaitu   terjemahan dari 

bahasa Pàëi dakkhiõam padam uddhari. Buddha Dipankara pergi 

tidak hanya dengan melangkah dengan kaki kanan-Nya tetapi juga 

tetap memposisikan Sumedha agar berada di sebelah kanan-Bya. 

Cara meninggalkan orang terhormat seperti ini yaitu   kebiasaan 

sejak zaman India kuno untuk menunjukkan penghormatan yang 

tinggi.

‘Menghormat kepadanya dengan delapan genggam bunga-bungaan’ 

dalam bahasa Pàëi yaitu   atthahi pupphamuññhãhi pujetva yang 

terdapat dalam Komentar Jàtaka dan Komentar Buddhavamsa. 

Terhadap frasa ini terdapat banyak kontroversi mengenai apakah 

seorang Buddha hidup harus memberi hormat kepada seorang 

Bodhisatta yang akan menjadi Buddha berkappa-kappa lalu  . 

Bahkan jika seseorang berpendapat bahwa Buddha Dãpaïkara 

memberi hormat bukan kepada individu Sumedha, melainkan 

kepada Sabba¤¤uta ¥Ã Ãµa, Kebijaksanaan tertinggi, yang akan 

dicapainya, pendapat ini juga tidak dapat diterima sebab   tidak pada 

tempatnya bahwa seseorang yang telah mencapai Kemahatahuan 

memberi hormat kepada Kemahatahuan yang akan dicapai kelak 

oleh seorang Bodhisatta.

Seluruh kontroversi ini teletak pada terjemahan kata pÃ¥jetvà 

yang dihubungkan dengan kata puja: Komentar Khuddakapàtha 

3143

 1

menjelaskan bahwa pÃ¥jà berarti sakkàra, ‘memperlakukan dengan 

sepantasnya’, mànana ‘menghargai’, dan vandanà ‘menghormat, 

menyembah, atau bersujud’. Penulis memberi   pendapat 

bahwa menghormat Petapa Sumedha dengan delapan genggam 

bunga, Ia tidak menyembah atau bersujud (vandanà), melainkan 

hanya memperlakukan dengan sepantasnya (sakkàra) kepada 

Sumedha dan menunjukkan penghargaan tinggi (mànana) kepada 

Sumedha.

Kitab ini menyebutkan bahwa fenomena ramalan yang terjadi pada 

hari Planet Visàkhà berada sejajar dengan bulan purnama. Hari itu 

di Myanmar yaitu   hari purnama di bulan Kason (April-Mei). Hari 

itu yaitu   hari yang sangat penting sebab   merupakan Purnama 

pertama dalam setiap tahun.

Semua Buddha menerima ramalan untuk menjadi Buddha pada 

hari Purnama di bulan Kason. Jadi, saat Sumedha menerima 

ramalan pada hari yang penting itu, para dewa dan brahmà yakin 

sekali dalam seruan mereka bahwa Sumedha pasti akan menjadi 

Buddha.

Penulis lebih jauh menyebutkan bahwa, hari purnama di bulan 

Kason bukan hanya hari di mana ramalan diterima tetapi juga 

yaitu   hari di mana Bodhisatta terlahir di alam manusia dalam 

kelahiran terakhirnya; juga yaitu   hari di mana mereka mencapai 

Pencerahan Sempurna dan hari di mana mereka wafat dan mencapai 

Nibbàna.

Purnama di bulan Kason begitu penting dalam tradisi Myanmar 

sehingga raja-raja zaman dulu memilih hari ini untuk naik tahta.

Dewa Menyerukan Tiga Puluh Dua Fenomena Ramalan

Tiga puluh dua fenomena ramalan yang terjadi saat Sumedha 

menerima ramalan. Fenomena-fenomena ini berbeda dengan 

fenomena yang terjadi saat seorang Bakal Buddha memasuki 

rahim, saat kelahiran, mencapai Pencerahan Sempurna dan 

membabarkan khotbah pertama. Fenomena ini akan dijelaskan 

3144


dalam Riwayat Gotama.

Yang Penting Dalam Fenomena Ramalan

‘Fenomena ramalan’ diterjemahkan dari kata Pàëi ”nimitta”, yang 

berarti tanda-tanda yang meramalkan peristiwa baik atau buruk 

yang kemungkinan besar akan terjadi.

Kesempurnaan (Pàramã)

(A) Kesempurnaan Kedermawanan (Dàna Pàramã)

Sehubungan dengan Kesempurnaan Kedermawanan, jelas 

disebutkan dalam Kitab Pàëi mengenai riwayat para Buddha bahwa 

Bodhisatta Sumedha menasihati dirinya sendiri untuk memulai 

dengan praktik Kesempurnaan Kedermawanan sebab   para 

Bodhisatta pada masa lampau juga melakukan hal yang sama. Oleh 

sebab   itu jelas terlihat bahwa di antara Sepuluh Kesempurnaan, 

Kesempurnaan Kedermawanan menuntut prioritas tertinggi untuk 

dipenuhi.

Tetapi, dalam Sagàthà Vagga dari Saÿyutta Nikàya, kita menemukan 

syair, “Sãle patiññhàya naro sapa¤¤o... “ yang mana Buddha 

menjelaskan bahwa seseorang yang memiliki kebijaksanaan 

yang matang yang terlahir dengan tiga kondisi utama*, memiliki 

moralitas yang baik, tekun mengembangkan konsentrasi dan 

kebijaksanaan Pandangan Cerah, ia dapat meluruskan kekusutan 

jaring keserakahan. Di sini Buddha hanya menyebut Tiga Latihan: 

moralitas (sãla), konsentrasi (samàdhi), dan kebijaksanaan 

Pandangan Cerah (pa¤¤Ã ); tidak disebutkan sedikit pun tentang 

praktik kedermawanan. (*Catatan: tiga kondisi utama: tihetu-

pañisandhika, seseorang yang kesadaran saat kelahirannya disertai 

oleh tiga kondisi utama, ketidak-serakahan, ketidak-bencian, dan 

ketidak-bodohan.)

Lebih jauh lagi, Komentar Visuddhimagga (Jalan Kesucian) yang 

merupakan sumber kutipan syair Sagàthàvagga Saÿyutta di atas juga 

tidak menyentuh topik kedermawanan dan Jalan Mulia Berfaktor 

3145

 1

Delapan yang mengarah menuju Nibbàna juga hanya menyebutkan 

moralitas, konsentrasi, dan kebijaksanaan, tidak ada jalan yang 

menyebutkan kedermawanan, beberapa pendapat menyalahartikan 

bahwa kedermawanan tidak dianggap penting oleh Buddha, tidak 

mendukung pencapaian Nibbàna, bahwa kedermawanan hanya 

menghasilkan kelahiran kembali yang lebih banyak lagi dalam 

lingkaran kehidupan dan kedermawanan demikian seharusnya 

tidak dikembangkan.

Menteri terkenal Raja Mindon, U Hlaing Yaw, menulis dalam 

bukunya ”Rasa Pembebasan” (Vimuttirasa) bahwa Buddha 

mengajarkan kedermawanan hanya untuk orang-orang biasa seperti 

putra si orang kaya, Siïgàla.

Banyak umat Buddha yang merasa terusik dengan pendapat 

bahwa kedermawanan tidak perlu dilatih dan yang marah atas 

tulisan Menteri Yaw bahwa Buddha mengajarkan kedermawanan 

hanya untuk orang-orang biasa. Namun sekadar tidak menyetujui 

pendapat ini   dan marah saja tidak ada gunanya. Yang lebih 

penting yaitu   memahami dengan benar apa yang dimaksudkan 

oleh Buddha dalam ajaran-Nya ini  .

Sehubungan dengan syair Sagàthàvagga Saÿyutta yang disebutkan 

di atas, apa yang harus dipahami sebagai arti sesungguhnya dari 

khotbah Buddha yaitu   sebagai berikut: Khotbah ini diajarkan 

oleh Buddha demi manfaat bagi orang-orang mulia yang mampu 

berusaha keras untuk melenyapkan kotoran secara total, untuk 

mencapai Kearahattaan dalam kehidupan ini juga, tidak ada lagi 

kelahiran kembali. Jika orang-orang mulia ini   benar-benar 

berusaha keras untuk mencapai Kearahattaan dalam kehidupan ini 

juga dan jika, sebagai akibat dari usaha kerasnya, ia menjadi seorang 

Arahanta, maka ia tidak perlu terlahir kembali. Kedermawanan 

yaitu   perbuatan yang menghasilkan kelahiran kembali, kenikmatan 

baru; bagi mereka, yang akan mematahkan lingkaran kelahiran 

kembali dalam kehidupan ini juga, tidak akan ada kelahiran 

kembali. sebab   tidak ada kelahiran baru baginya untuk memetik 

buah dari kedermawanannya, tindakan memberi yaitu   tidak 

diperlukan. Itulah sebabnya Buddha, demi manfaat bagi orang-

3146


orang mulia ini  , dalam Saÿyutta membabarkan khususnya 

tentang moralitas, konsentrasi, dan kebijaksanaan Pandangan Cerah 

yang lebih penting daripada kedermawanan dengan tujuan untuk 

melenyapkan kotoran batin. Buddha sama sekali tidak mengatakan 

bahwa kedermawanan tidak seharusnya dilatih.

Kedermawanan memiliki kualitas membuat batin menjadi lunak. 

saat   seseorang memberi   persembahan, tindakan memberi 

ini   bertindak sebagai pendukung penentu (upanissaya-paccaya: 

pendukung langsung kehidupan). Untuk membuat batin menjadi 

lebih lunak dan siap untuk menjalani Moralitas, untuk melatih 

Konsentrasi, dan untuk mengembangkan kebijaksanaan meditasi 

Pandangan Cerah Vipassanà. yaitu   merupakan pengalaman 

setiap umat Buddha, bahwa perasaan aneh dan malu muncul jika 

berkunjung ke vihàra untuk menerima Sãla, mendengarkan Dhamma 

atau untuk berlatih meditasi, tanpa memberi   persembahan. Oleh 

sebab   itu, sudah menjadi kebiasaan bagi para siswa mulia seperti 

Visàkhà untuk membawa persembahan seperti nasi, manisan atau 

buah-buahan pada pagi hari dan minuman serta obat-obatan pada 

malam hari saat ia pergi mengunjungi Buddha.

Setiap orang yang tidak menjadi Arahanta dalam kehidupan ini 

akan mengalami kelahiran kembali. Akan sulit bagi mereka untuk 

mencapai kelahiran yang menyenangkan tanpa mempraktikkan 

kedermawanan dalam kehidupan ini. Bahkan jika kebetulan mereka 

terlahir kembali di alam yang baik, mereka akan kekurangan harta 

benda yang membuat mereka sulit untuk melakukan perbuatan 

baik. (Dalam hal ini, akan diperdebatkan bahwa mereka masih 

dapat mempraktikkan moralitas, konsentrasi, dan kebijaksanaan 

Pandangan Cerah. Namun hal ini lebih mudah diucapkan daripada 

dilaksanakan. Sesungguhnya, hanya dengan dukungan dari manfaat 

baik yang dihasilkan dari tindakan kedermawanan masa lampau, 

maka Tiga Latihan, moralitas, konsentrasi, dan kebijaksanaan 

Pandangan Cerah dapat dilatih dengan berhasil.) Oleh sebab   

itu, yaitu   penting bagi mereka yang masih harus melanjutkan 

perjalanan dalam perjalanan panjang saÿsara, lingkaran 

kehidupan, untuk melatih kedermawanan. Hanya jika seseorang 

melengkapi dirinya dengan ‘bekal untuk perjalanan panjang’, yaitu, 

3147

 1

kedermawanan, maka ia dapat mencapai tujuan yang baik; dan dari 

sana, dengan memiliki kekayaan harta benda sebagai akibat dari 

kedermawanan masa lampau, ia akan dapat mengabdikan dirinya 

untuk melakukan kebajikan apa pun yang ingin ia lakukan.

Di antara para pengembara dalam lingkaran saÿsara, para 

Bodhisatta yaitu   para individu yang paling luar biasa.

sesudah   menerima ramalan pasti dari seorang Buddha bahwa ia akan 

mencapai Kebuddhaan, seorang Bodhisatta melanjutkan usahanya 

memenuhi Kesempurnaan untuk mencapai Kemahatahuan 

(Sabba¤¤uta ¥Ã Ãµa) selama empat siklus dunia yang tidak terhitung 

lamanya ditambah seratus ribu kappa. Seorang Pacceka Buddha, 

yaitu, Buddha yang tidak mengajar harus memenuhi Kesempurnaan-

Nya selama dua siklus dunia ditambah seratus ribu kappa; seorang 

Aggasàvaka, Siswa Utama Buddha memenuhi Kesempurnaan 

selama satu siklus dunia ditambah seratus ribu kappa; dan seorang 

Mahàsàvaka, seorang Siswa Besar, selama seratus ribu kappa. Oleh 

sebab   itu, bagi para Bodhisatta yang yaitu   pengembara besar 

dalam perjalanan panjang saÿsara, Kesempurnaan Kedermawanan 

yaitu   hal penting yang paling utama.

Demikianlah, sebab   khotbah dalam Saÿyutta Pàëi yang disebutkan 

di atas ditujukan kepada para individu yang telah matang 

untuk mencapai Kearahattaan; mereka yang belum memenuhi 

Kesempurnaan tidak boleh mengatakan bahwa Kesempurnaan 

Kedermawanan yaitu   tidak penting.

Ada yang menanyakan apakah mungkin mencapai Nibbàna 

dengan hanya mempraktikkan kedermawanan. Jawabannya yaitu   

bahwa, mempraktikkan satu Kesempurnaan saja, apakah itu 

kedermawanan, moralitas, atau meditasi tidak akan menghasilkan 

pencapaian Nibbàna. Mempraktikkan kedermawanan saja berarti 

tidak disertai oleh moralitas atau meditasi; demikian pula, 

mempraktikkan meditasi saja berarti tidak didukung oleh moralitas 

dan kedermawanan. Jika tidak dikendalikan oleh moralitas, 

seseorang akan dapat terlibat dalam perbuatan jahat; jika orang yang 

memiliki kebiasaan melakukan kejahatan mencoba untuk berlatih 

3148


meditasi, usahanya akan sia-sia bagaikan benih yang baik, yang 

ditanam di atas besi panas membara, tidak akan bertunas, melainkan 

akan berubah menjadi abu. sebab   itu harus dipahami bahwa 

yaitu   tidak pada tempatnya mengatakan ‘cukup mempraktikkan 

kedermawanan saja’.

Dalam bab tentang kedermawanan dalam riwayat para Buddha, jelas 

disebutkan bahwa persembahan harus diberikan tanpa memandang 

status si penerima, apakah tinggi, menengah atau rendah. Dalam 

memandang pernyataan tegas ini  , yaitu   tidak perlu memilih 

siapa yang akan menerima sewaktu memberi   persembahan.

Namun, dalam Dakkhiõàvibhàïga Sutta dari Uparipaõõàsa, 

Majjhima Nikàya, Buddha mengajarkan tujuh jenis persembahan 

yang dapat diberikan kepada Saÿgha, komunitas para bhikkhu, 

dan empat belas jenis persembahan kepada penerima secara 

individu. Dijelaskan bahwa sehubungan dengan empat belas jenis 

persembahan yang diberikan kepada individu, jasa yang dihasilkan 

meningkat sesuai penerimanya, dari yang terendah binatang hingga 

ke makhluk yang tertinggi; persembahan yang paling baik, tentu 

saja, yang dipersembahkan kepada Komunitas para bhikkhu.

lalu  , dalam kisah Aïkura Peta dari Petavatthu, kita menemukan 

kisah dua dewa. saat   Buddha mengajarkan Abhidhammà 

sambil duduk di atas singgasana Sakka di Alam Tàvatiÿsa, dua 

Dewa—Indaka dan Ankura datang mendengarkan khotbah. saat   

para dewa yang lebih berkuasa datang, Aïkura harus menyingkir 

mundur hingga sepuluh yojanà jauhnya dari Buddha.

Akan tetapi Indaka tetap diam di tempat duduknya; ia tidak 

menyingkir. Alasannya yaitu   sebagai berikut: pada suatu masa 

saat   umur kehidupan manusia yaitu   sepuluh ribu tahun, Aïkura 

yaitu   seorang manusia yang sangat kaya. Sepanjang hidupnya 

ia memberi   persembahan makanan kepada banyak orang-

orang biasa, memasak makanan di atas tungku yang panjangnya 

dua belas yojanà. sebab   jasanya ini  , ia terlahir kembali 

sebagai dewa. Akan tetapi Indaka, menjadi dewa sebab   ia telah 

mempersembahkan sesendok nasi kepada Arahanta Anuruddhà.

3149

 1

Meskipun persembahan yang diberikan oleh Indaka hanyalah 

sesendok nasi, penerimanya yaitu   seorang Arahanta dan sebab   

itu jasa yang ia terima sangatlah besar dan mulia. Demikianlah, 

sebagai dewa yang berkuasa, ia tidak harus menyingkir untuk dewa 

lainnya. Sebaliknya, walaupun Aïkura telah memberi   banyak 

persembahan dan dalam waktu yang lama, penerimanya hanyalah 

orang-orang duniawi dan akibatnya, jasa yang ia terima tidak 

terlalu besar. Dan ia terpaksa mundur setiap kali dewa yang lebih 

berkuasa tiba. Oleh sebab   itu kita menemukan nasihat dalam Kitab 

Pàëi ‘Viceyya danam databbam yattha dinnam mahapphalam’ yang 

artinya ‘jika ingin memberi   persembahan, orang yang membawa 

manfaat terbesar harus dipilih untuk menjadi penerima’.

Terlihat seperti terdapat kontradiksi antara Kitab Pàëi dari riwayat 

para Buddha dan khotbah Sakkhiõàvibhaïga Sutta, dan lain-

lain dari Kitab Pàëi. Kontradiksi ini mudah dipecahkan jika kita 

ingat bahwa khotbah Dakkhinàvibhaÿga Sutta ditujukan untuk 

orang-orang biasa atau dewa, sedangkan diskusi dalam Riwayat 

para Buddha ditujukan khusus untuk para Bodhisatta yang 

bercita-cita untuk mencapai Kemahatahuan, Sabba¤¤uta ¥Ã Ãµa, 

atau Kebijaksanaan Buddha. Kebijaksanaan ini hanya ada satu 

jenis dan tidak dikelompokkan menjadi kebijaksanaan rendah, 

menengah atau tinggi. Seorang Bodhisatta harus memberi   

apa yang dapat ia berikan kepada siapa pun yang datang untuk 

menerimanya, tanpa memandang status tinggi, menengah atau 

rendah. Ia tidak perlu mempertimbangkan, “Penerima ini berstatus 

rendah, dengan memberi   persembahan kepadanya, aku akan 

mendapatkan Kebijaksanaan Buddha yang rendah. Penerima ini 

berstatus menengah, dengan memberi   persembahan kepadanya, 

aku akan mendapatkan Kebijaksanaan Buddha tingkat menengah.” 

memberi   persembahan kepada siapa pun yang datang untuk 

menerimanya tanpa membeda-bedakan, yaitu   kebiasaan para 

Bodhisatta yang bertujuan untuk mencapai Saba¤¤uta ¥Ã Ãµa. 

Di pihak lain, tujuan kaum duniawi biasa, manusia atau dewa, 

dalam mempraktikkan kedermawanan yaitu   untuk mencapai 

kesejahteraan duniawi yang mereka sukai, dan sebab   itu, yaitu   

wajar jika mereka memilih penerima terbaik untuk menerima 

3150


persembahan mereka.

Oleh sebab   itu, dapat disimpulkan bahwa tidak ada kontradiksi 

antara naskah dalam riwayat para Buddha, yang ditujukan kepada 

para Bodhisatta mulia dan khotbah seperti Dakkhiõàvibhaïga Sutta 

yang ditujukan bagi kaum duniawi biasa dan para dewa.

Arti Pàramã

Makna yang mungkin dari kata Pàramã dijelaskan dalam berbagai 

cara dalam Komentar Cariyà-Piñaka. Untuk memberi   gagasan 

kepada para pembaca:

Pàramã yaitu   kombinasi dari parama dan ã. Parama berarti ‘terbaik’, 

digunakan dalam arti Bakal Buddha yaitu   yang terbaik.

Atau Pàramã diturunkan dari kata dasar para dengan akhiran ma. 

Akar kata para berarti ‘memenuhi’ atau ‘melindungi’. sebab   

mereka memenuhi dan melindungi kebajikan seperti dàna, dan 

seterusnya, maka Bakal Buddha disebut parama.

Atau para, sebuah awalan, yang melekat pada kata dasar maya 

yang berarti ‘mengikat’ sebab   para Bakal Buddha bersikap seolah-

olah mereka mengikat dan menarik makhluk-makhluk lain ke 

arah mereka melalui kebajikan istimewa, maka mereka disebut 

parama.

Atau paraÿ, sebuah awalan, yang melekat pada kata dasar maja yang 

berarti ‘murni’; paraÿ berarti ‘lebih.’ sebab   para Bakal Buddha 

yaitu   bebas dari kotoran batin dan jauh lebih murni daripada 

makhluk lain, maka mereka disebut parama.

Atau paraÿ, sebuah awalan, yang melekat pada kata dasar ‘maya’ 

yang artinya ‘pergi’; paraÿ artinya ‘mulia.’ sebab   para Bakal 

Buddha pergi ke kondisi mulia Nibbàna dengan cara yang istimewa, 

maka mereka disebut parama.

Atau paraÿ, sebuah awalan, yang melekat pada kata dasar mu 

3151

 1

yang artinya ‘memastikan’. sebab   para Bakal Buddha memastikan 

kelahiran berikut mereka seperti yang telah mereka lakukan pada 

kehidupan sekarang, maka mereka disebut parama. (Apa yang 

dimaksudkan di sini yaitu   bahwa sebab   Bakal Buddha mampu 

dengan tepat memastikan apa yang harus dilakukan agar kehidupan 

mereka sekarang menyenangkan dan tanpa cacat, demikian pula 

sehubungan dengan kehidupan berikut mereka. Mereka memiliki 

kemampuan memperbaiki kehidupan mereka.)

Atau paraÿ, sebuah awalan, yang melekat pada kata dasar mi 

yang artinya ‘memasukkan’; Pàramã berarti ‘lebih’. sebab   para 

Bakal Buddha ‘memasukkan’ lebih dan lebih lagi kebajikan seperti 

sãla (moralitas) dan sebagainya, dalam proses batin mereka, maka 

mereka disebut parama.

Atau paraÿ, yang berarti ‘berbeda dari’ atau ‘berlawanan dengan’; 

kata dasarnya yaitu   mi yang berarti ‘menggilas.’ sebab   para 

Bakal Buddha menggilas semua musuh mereka, yang berbentuk 

kotoran, yang berbeda dan berlawanan dengan semua kebajikan, 

maka mereka disebut parama.

Atau, pàra, sebuah kata benda, yang melekat pada kata dasar maja 

yang berarti ‘menyucikan’; pàra berarti ‘pantai seberang’. Di sini 

saÿsàra dianggap sebagai ‘pantai sebelah sini’ dan Nibbàna ‘pantai 

seberang’. sebab   para Bakal Buddha menyucikan diri mereka 

serta orang lain di pantai seberang Nibbàna, maka mereka disebut 

Pàramã.

Atau pàra, sebuah kata benda, yang melekat pada kata dasar maya 

yang berarti ‘mengikat’ atau ‘mengumpulkan’. sebab   para Bakal 

Buddha mengikat atau mengumpulkan makhluk-makhluk di 

Nibbàna, maka mereka disebut Pàramã.

Atau kata dasarnya maya, yang berarti ‘pergi’. sebab   para Bakal 

Buddha pergi ke pantai seberang Nibbàna, maka mereka disebut 

Paràmã.

Atau kata dasarnya yaitu   mu yang artinya ‘memahami.’ sebab   

3152


para Bakal Buddha memahami benar pantai seberang Nibbàna 

sebagaimana adanya, maka mereka disebut Pàramã.

Atau kata dasarnya yaitu   mi, yang berarti ‘menggilas.’ sebab   

para Bakal Buddha di Nibbàna menggilas dan melenyapkan kotoran 

yang merupakan musuh makhluk-makhluk, maka mereka disebut 

Pàramã.

(Ini yaitu   berbagai makna yang disajikan sesuai sabhàvanirutti 

(etimologi alami).)

Paramànaÿ ayaÿ Pàramã Pàramã artinya harta dalam bentuk 

praktik para Bakal Buddha; (atau) paramànnaÿ kammaÿ Pàramã, 

Pàramã artinya kewajiban-kewajiban para Bakal Buddha; pàramãssa 

bhàvo pàramãtà pàramãssa kammaÿ, pàramãta: artinya kewajiban-

kewajiban yang membawa pengetahuan bahwa orang demikian 

yaitu   seorang Bakal Buddha.

Semua ini berarti: kewaijban-kewajiban seperti dàna dan lain-lain 

yang harus dipenuhi oleh para Bakal Buddha disebut Pàramã (atau 

Pàramãtà).

Dalam Subkomentar Jinalaïkàra, dikatakan, “Pàraÿ Nibbànaÿ ayan 

ti gacchanti etàhi ti Pàramãyo, Nibbànasàdhakà hi dànacetanàdayo 

dhammà Pàramã ti vuccanti,” yang maksudnya yaitu   bahwa 

“Dànacetanà atau kehendak memberi, dan lain-lain, membentuk 

jalan menuju Nibbàna, pantai seberang saÿsàra, disebut Pàramã.”

Dalam Komentar Cariyà Piñaka, dikatakan, “Taõhà-màna-

diññhãhi anupahatà karun’ upàyakosalla-pariggahita dànàdayo 

gunà Pàramãyo.” Pàramã merupakan kebajikan seperti dàna, dan 

seterusnya, yang harus dipegang dengan welas asih dan kepiawaian. 

Welas asih ditunjukkan ke arah makhluk-makhluk yang tidak rusak 

(dikuasai) oleh kemelekatan, keangkuhan, dan pandangan salah. 

Kepiawaian artinya kebijaksanaan dalam mencari cara dan jalan. 

Dàna, dan seterusnya, (yang harus dipimpin oleh welas asih dan 

kebijaksanaan) disebut Pàramã. (Penjelasan ini khususnya merujuk 

pada Pàramã para Sambuddha.)

3153

 1

Kesempurnaan

Sepuluh Kesempurnaan yaitu  :

(1) Kedermawanan (Dàna)

(2) Moralitas (Sãla)

(3) Melepaskan keduniawian (Nekkhamma)

(4) Kebijaksanaan (Pa¤¤Ã )

(5) Usaha (Viriya)

(6) Kesabaran (Khantã)

(7) Kejujuran (Sacca)

(8) Tekad (Adhiññhàna)

(9) Cinta Kasih (Mettà)

(10) Ketenangseimbangan (Upekkhà)

Sehubungan dengan Kesempurnaan-Kesempurnaan ini, telah 

disebutkan dalam bab mengenai ‘Jarangnya Kemunculan Seorang 

Buddha’ bahwa ada empat jenis pengembangan batin. Salah satu 

dari pengembangan ini berhubungan dengan fakta bahwa sejak para 

Bodhisatta menerima ramalan pasti dari seorang Buddha mengenai 

pencapaian Kebuddhaan mereka hingga kelahiran terakhir mereka 

saat mereka akan menjadi Buddha yang mencapai Pencerahan 

Sempurna, tidak ada masa di antara rentang yang lama ini yang 

mereka lewatkan tanpa memenuhi sepuluh Pàramã, paling sedikit, 

mereka tidak pernah lalai memenuhi Kesempurnaan Kedermawanan. 

Ini memberi   inspirasi kepada kita untuk merenungkan praktik 

mulia yang dijalankan oleh para Bodhisatta.

Karakteristik, Fungsi, Manefestasi, dan pemicu   Langsung 

Kesempurnaan

Seseorang yang berlatih meditasi Vipassanà harus mengetahui sifat 

dari nàma dan rÃ¥pa, karakteristik, fungsi, manifestasi, dan pemicu   

langsungnya. Hanya dengan demikian ia akan memiliki pandangan 

yang jernih terhadapnya. Demikian pula, hanya jika seseorang 

mengetahui karakteristik, fungsi, manifestasi, dan pemicu   

langsung dari Kesempurnaan, maka ia akan memiliki pemahaman 

benar mengenainya. Oleh sebab   itu, dalam Komentar Cariyà Piñaka 

3154


terdapat bab terpisah yang menjelaskan tentang karakteristik, 

fungsi, manifestasi, dan pemicu   langsung dari Kesempurnaan.

Ciri umum dari seluruh Sepuluh Kesempurnaan yaitu   

bahwa semuanya memiliki karakteristik melayani kepentingan 

makhluk-makhluk lain. Fungsinya yaitu   (a) memberi   

bantuan kepada makhluk-makhluk lain (kicca rasa); memiliki 

kemapanan (kemakmuran, kesuksesan), pemenuhan (sampatti 

rasa). Manifestasinya yaitu   (a) fenomena berulang dalam 

perjalanan menyejahterakan makhluk-makhluk lain; atau (b) 

fenomena berulang dari munculnya dalam batin (para Bodhisatta) 

bahwa Kesempurnaan yaitu   alat yang berguna untuk mencapai 

Kebuddhaan. pemicu   langsungnya yaitu   (a) welas asih yang 

agung atau (b) welas asih agung dan keterampilan dalam berbagai 

cara.

Penjelasan dari definisi di atas. Karakteristik (lakkhaõà) memiliki 

dua aspek: (i) Sama¤¤asabhàva, ciri umum dari segala sesuatu, yaitu 

ciri yang juga terdapat pada makhluk lain dan (ii) Visesabhàva, ciri 

khusus yang tidak terdapat pada makhluk lain. Misalnya, di antara 

kualitas-kualitas materi, unsur tanah dari empat unsur utama 

memiliki dua karakteristik, yaitu, tidak kekal dan keras. Dari dua 

ini, karakteristik tidak kekal juga terdapat dalam unsur lain dan 

sebab   itu disebut ciri umum; sedangkan, karakteritik keras yaitu   

ciri khusus yang hanya dimiliki oleh unsur tanah, tidak dimiliki 

oleh unsur lain dan sebab   itu disebut ciri khusus.

Fungsi, rasa, juga memiliki dua aspek. (i) Kiccarasa, fungsi, yang 

harus dilaksanakan; (ii) Sampattirasa, pemenuhan, pencapaian. 

Misalnya, saat   kebajikan muncul, kemunculannya terjadi sesudah   

melawan atau melenyapkan kejahatan. Dengan demikian, dikatakan 

bahwa fungsi kebajikan yaitu   melawan kejahatan. Pemenuhan 

akhir dari tindakan kebajikan yaitu   hasil dari akibat bermanfaat; 

dengan demikian fungsi kebajikan yaitu   mencapai hasil yang 

bermanfaat.

saat   seseorang mempertimbangkan dalam-dalam suatu 

objek batin tertentu, apa yang biasanya muncul dalam batinnya 

3155

 1

berhubungan dengan sifat dari objek batin ini   dengan 

pertimbangan; berhubungan dengan fungsi; berhubungan dengan 

pemicu  ; berhubungan dengan akibat. Manifestasinya yang 

muncul dalam batinnya sehubungan dengan objek batin yang ia 

pikirkan disebut manifestasinya. Misalnya, saat   seseorang mulai 

menyelidiki ‘apakah kebajikan itu?’, akan muncul dalam batinnya, 

‘kebajikan bersifat menyucikan’ menurut sifatnya; ‘kebajikan yaitu   

yang melawan atau melenyapkan kejahatan’ menurut fungsinya; 

‘kebajikan hanya mungkin jika seseorang bergaul dengan orang-

orang baik dan mulia’ menurut pemicu  nya; ‘kebajikan yaitu   

yang memungkinkan hasil yang diinginkan’ menurut buahnya.

Faktor pendukung langsung yang paling utama terhadap 

kemunculannya disebut pemicu   langsung. Misalnya, dari banyak 

faktor yang menyebabkan munculnya kebajikan, sikap batin yang 

baik yaitu   faktor pendukung yang paling utama dan sebab   itu 

disebut pemicu   langsung, dalam Kitab Pàëi disebut Padatthàna.

Beberapa Ciri Penting Sehubungan Dengan Kedermawanan

Hal penting yang harus diketahui sehubungan dengan kata Dàna 

Pàramã (Kesempurnaan Kedermawanan) yaitu   bahwa segala 

sesuatu yang diberikan atau setiap tindakan memberi yaitu   dàna 

(derma atau kedermawanan). Ada dua jenis tindakan memberi:

1. memberi sebagai suatu perbuatan baik (pu¤¤avisayadàna), 

dan 

2. m e m b e r i  s e b ag a i  s u at u  t i n d a k a n  k e d u n i aw i a n 

(lokavisayadàna).

Tindakan memberi sebab   keyakinan murni yaitu   kebajikan 

(pu¤¤avisayadàna), dan hanya pemberian demikian yang 

merupakan Kesempurnaan Kedermawanan.

Tetapi barang yang diberikan untuk mengejar cinta, atau sebab   

marah, takut, atau bodoh, dan sebagainya, dan bahkan memberi   

hukuman, memberi   hukuman mati yaitu   pemberian duniawi; 

bukan bagian dari Kesempurnaan Kedermawanan.

3156


Dàna (Kedermawanan) dan Pariccàga (Pelepasan)

Sehubungan dengan memberi   yang merupakan perbuatan baik, 

yaitu   penting untuk memahami perbedaan dan persamaan antara 

apa yang disebut dàna, yang diterjemahkan sebagai kedermawanan 

dan apa yang disebut pariccàga, yang diterjemahkan sebagai 

pelepasan, meninggalkan melalui derma.

Dalam Mahàhaÿsa Jàtaka dari Asãtinipàta, terdapat penjelasan dari 

sepuluh kewajiban seorang raja, yaitu, kedermawanan, moralitas, 

pelepasan, kejujuran, kelembutan, pengendalian diri, bebas dari 

kemarahan, welas asih, kesabaran, dan tidak adanya kesukaran. 

Kita melihat bahwa kedermawanan dan pelepasan disebutkan 

secara terpisah.

Menurut Komentar Jàtaka, terdapat sepuluh objek yang dapat 

diberikan sebagai persembahan: makanan, minuman, transportasi 

(termasuk payung, sandal atau sepatu yang diperlukan dalam 

melakukan perjalanan), bunga, serbuk wangi-wangian, salep harum, 

tempat tidur, tempat tinggal, dan fasilitas penerangan. Kehendak 

yang memicu pemberian persembahan ini disebut kedermawanan, 

dàna. Kehendak yang menyertai tindakan memberi benda-benda 

lainnya dianggap sebagai pelepasan, Pariccàga. Demikianlah 

perbedaannya yang terletak pada jenis-jenis yang berbeda dari 

objek persembahan.

Tetapi Subkomentar Jàtaka, mengutip pandangan dari banyak guru, 

mengatakan bahwa ‘memberi   persembahan dengan harapan 

untuk menikmati akibat baik pada kehidupan mendatang disebut 

dàna; memberi   hadiah kepada para pelayan dan pekerja, dan 

sebagainya, untuk mendapatkan manfaat dalam kehidupan ini 

disebut pariccàga’.

Sebuah kisah yang memberi   ilustrasi lainnya atas perbedaan 

antara kedermawanan dan pelepasan dijelaskan dalam Komentar 

Cariyà Piñaka Pàëi dan dalam Komentar Terasanipàta Jàtaka. 

Secara singkat, Bodhisatta pada saat itu yaitu   seorang brahmana 

terpelajar bernama Akitti. saat   orangtuanya meninggal dunia, 

3157

 1

ia mendapatkan warisan banyak harta kekayaan. Tergerak oleh 

semangat spiritual, ia merenungkan, “Orangtuaku dan leluhurku 

yang telah mengumpulkan kekayaan ini telah meninggalkan harta 

ini dan pergi; sedangkan aku, aku akan mengambil sedikit dari 

harta ini dan pergi.” lalu   sesudah   mendapat restu dari raja. 

Ia menabuh genderang di seluruh negeri mengumumkan bahwa ia 

akan membagi-bagikan kekayaannya sebagai derma. Selama tujuh 

hari ia secara pribadi membagi-bagikan kekayaannya; namun masih 

tersisa banyak.

Ia melihat tidak ada gunanya melakukan Ritual   pembagian harta 

ini  ; maka ia membiarkan pintu istana, gudang harta dan 

lumbungnya terbuka, sehingga mereka yang menginginkan boleh 

datang dan mengambil apa yang mereka inginkan, lalu   ia 

meninggalkan kehidupan duniawi dan pergi.

Dari kisah ini   dapat dikatakan bahwa, pembagian harta secara 

pribadi oleh Bodhisatta selama tujuh hari pertama yaitu   tindakan 

kedermawanan (dàna), sedangkan melepaskan harta sisanya sesudah   

tujuh hari yaitu   tindakan Pelepasan (pariccàga). Perbedaannya 

yaitu  , agar suatu persembahan disebut tindakan kedermawanan, 

dàna, empat kondisi harus dipenuhi, 1. si pemberi, 2. objek yang 

akan diberikan, 3. penerima yang datang langsung untuk menerima, 

dan 4. kehendak untuk memberi. Pembagian harta selama tujuh 

hari pertama oleh Akitti bijaksana memenuhi semua kondisi ini; 

sebab   itu disebut tindakan kedermawanan, dàna. sesudah   tujuh hari 

berlalu, ia pergi meninggalkan hartanya sebelum penerima datang 

atau hadir untuk menerima benda-benda; sebab   itu persembahan 

demikian dianggap sebagai pelepasan.

Dalam praktik sehari-hari yang merupakan perbuatan baik. saat   

memberi   sesuatu kepada seseorang, kita hanya menyebutnya 

‘memberi’; ‘deti’ dalam bahasa Pàëi. Tetapi jika kita berpisah dengan 

harta kita dengan pikiran ‘siapa pun yang menginginkannya boleh 

mengambilnya, jika tidak ada yang menginginkan, biarlah begitu’ 

ini bukan memberi   tetapi melepaskan; dalam bahasa Pàëi, ini 

bukan dàna, tetapi càga.

3158


Singkatnya, jika kita menyerahkan harta kita kepada orang lain, 

dikatakan memberi   atau tindakan derma; jika kita melepaskan 

keinginan untuk memiliki harta yang telah kita miliki, disebut 

melepaskan (seperti halnya seseorang menyingkirkan sesuatu yang 

tidak diperlukan lagi).

Cara lain dalam membedakan yaitu  : memberi   kepada orang 

mulia yaitu   dàna; memberi   kepada orang yang berstatus lebih 

rendah yaitu   pariccàga. Dengan demikian, jika seorang raja, dalam 

melaksanakan sepuluh kewajiban raja, memberi   persembahan 

kepada para bhikkhu mulia, brahmana, dan lain-lain, itu yaitu   

kedermawanan, dàna; jika ia memberi   kepada pengemis rendah, 

itu yaitu   pariccàga.

Demikianlah bagaimana kedermawanan, dàna, diajarkan berbeda 

dari pelepasan, pariccàga.

Kapan Dàna dan Pariccàga Sama

Walaupun dàna dan pariccàga dibedakan dalam daftar sepuluh 

kewajiban raja seperti dijelaskan di atas, dalam kebenaran mutlak, 

keduanya tidak dibedakan satu sama lain. saat   ada dàna, di sana 

juga ada pariccàga; saat   ada pariccàga, di sana juga ada dàna. 

Alasannya yaitu   saat persembahan diberikan kepada penerima, 

apakah jauh ataupun dekat, itu yaitu   tindakan kedermawanan 

(dàna); saat   rasa memiliki lenyap dari batin seseorang (pada 

saat memberi  ), pelepasan itu yaitu   pariccàga. Demikianlah, 

saat   seseorang memberi   sesuatu, hal itu selalui didahului 

oleh pikiran, ”Aku tidak akan memakai  nya lagi,” yang berarti 

melepaskan. sebab   itu, dalam perbuatan baik, pariccàga selalu 

menyertai kedermawanan.

Dalam riwayat para Buddha dari Kitab Pàëi juga, dalam membahas 

Sepuluh Kesempurnaan, Buddha hanya menyebutkan Kesempurnaan 

Kedermawanan, bukan Kesempurnaan Melepaskan (Càga), sebab   

(seperti dijelaskan di atas) melepaskan yaitu   termasuk dalam 

tindakan kedermawanan. sebab   naskah riwayat para Buddha hanya 

membahas dengan kebenaran mutlak (tanpa mempertimbangkan 

3159

 1

kebenaran umum) disebutkan bahwa memberi   persembahan 

kepada penerima, apakah yang berstatus tinggi, menengah atau 

rendah, yaitu   kedermawanan (dàna). Tidak pada tempatnya jika 

dikatakan bahwa disebut dàna jika persembahan diberikan kepada 

orang mulia dan disebut pariccàga jika penerimanya berstatus 

rendah.

Demikian pula dalam Aïguttara Nikàya dan Kitab Pàëi lainnya, 

kita menemukan daftar tujuh kualitas seorang mulia: keyakinan, 

moralitas, pengetahuan, kedermawanan (càga), kebijaksanaan, 

rasa malu (dalam melakukan kejahatan), dan rasa takut (dalam 

melakukan kejahatan). Hanya càga yang ada dalam daftar; dàna 

tidak disebutkan di sini, sebab   dàna termasuk dalam càga.

Ini yaitu   contoh di mana dàna dan càga disebutkan tanpa 

perbedaan, dengan makna yang sama.

Kapan Dàna Disebut Pariccàga

Walaupun semua perbuatan memberi pada umumnya disebut 

Kesempurnaan Kedermawanan, persembahan besar (yang luar biasa) 

dijelaskan dalam Kitab sebagai pelepasan besar, mahàpariccàga. 

Pelepasan besar yang terdiri dari lima jenis pelepasan kepemilikan 

dijelaskan secara terpisah dalam Komentar yang berbeda.

Komentar Sãlakkhandha, MÃ¥lapaõõàsa, dan Aïguttara (dalam 

menjelaskan arti kata ‘Tathàgata’) mengurutkan pelepasan besar 

sebagai berikut:

1. Melepaskan lengan atau tungkai,

2. Melepaskan mata,

3. Melepaskan kekayaan,

4. Melepaskan kerajaan,

5. Melepaskan istri dan anak.

Komentar MÃ¥lapaõõàsa (dalam penjelasan Cåëàsãhanàda Sutta) 

memberi   urutan lain:

1. Melepaskan lengan atau tungkai,

2. Melepaskan istri dan anak,

3160


3. Melepaskan kerajaan,

4. Melepaskan tubuh (nyawa),

5. Melepaskan mata.

Subkomentar Visuddhimagga, memberi   daftar:

1. Melepaskan tubuh (nyawa),

2. Melepaskan mata,

3. Melepaskan kekayaan,

4. Melepaskan kerajaan,

5. Melepaskan istri dan anak.

Subkomentar Mahà Vagga dari Dãgha Nikàya (dalam penjelasan 

Mahàpadàna Sutta) memberi   daftar:

1. Melepaskan lengan atau tungkai,

2. Melepaskan mata,

3. Melepaskan tubuh (nyawa),

4. Melepaskan kerajaan,

5. Melepaskan istri dan anak,

Komentar Itivuttaka (Dalam penjelasan Sutta pertama Dukanipàta, 

Dutiyavagga) memberi   daftar:

1. Melepaskan lengan atau tungkai,

2. Melepaskan tubuh (nyawa),

3. Melepaskan kekayaan,

4. Melepaskan istri dan anak,

5. Melepaskan kerajaan.

Komentar Buddhavaÿsa memberi   daftar:

1. Melepaskan lengan atau tungkai,

2. Melepaskan tubuh (nyawa),

3. Melepaskan kekayaan,

4. Melepaskan kerajaan,

5. Melepaskan istri dan anak.

Komentar Vessantara Jàtaka memberi   daftar:

1. Melepaskan kekayaan,

2. Melepaskan lengan atau tungkai,

3. Melepaskan anak-anak,

3161

 1

4. Melepaskan istri,

5. Melepaskan tubuh (nyawa).

Daftar yang sama terdapat dalam Subkomentar Jinàlaïkàra namun 

dengan urutan yang berbeda.

Walaupun masing-masing daftar di atas terdiri dari komponen 

yang berbeda-beda, namun harus dipahami bahwa intinya yaitu   

sama yaitu, objek-objek eksternal dan tubuh sendiri. Pada bagian 

objek-objek eksternal, kita menemukan benda-benda materi yang 

terpisah dari tubuh, misalnya, melepaskan kekayaan, melepaskan 

istri dan anak, yang sangat disayangi; melepaskan kerajaan, harta 

yang paling penting yang dimiliki oleh seseorang. Sehubungan 

dengan melepaskan bagian-bagian tubuh, ada dua jenis: yang tidak 

membahayakan nyawa, yaitu melepaskan lengan atau tungkai 

(aïgapariccàga) dan yang membahayakan nyawa, yaitu melepaskan 

mata (nayanapariccàga), atau melepaskan nyawa (jivitapariccàga) 

dan melepaskan tubuh (attapariccàga). Di sini dijelaskan bahwa 

memberi   mata atau tubuh akan menimbulkan risiko kematian, 

maka ini dianggap sama seperti memberi   nyawa.

Ritual   persembahan besar yang dilakukan oleh Raja Vessantara 

saat   Ia memberi   tujuh jenis objek, masing-masing berjumlah 

seratus, dijelaskan dalam Komentar sebagai mahàdàna dan 

bukan mahàpariccàga. Tetapi seseorang dapat membantah bahwa 

persembahan besar ini dapat dianggap sebagai satu dari lima 

pelepasan besar, yaitu, melepaskan kekayaan.

Catatan Atas Aspek yang Berbeda-beda dari Dàna

Demi kemajuan mereka yang bercita-cita dan berusaha dengan 

sungguh-sungguh untuk mencapai Kebuddhaan, atau menjadi 

seorang Pacceka Buddha, atau seorang Siswa dari Buddha, berikut 

ini kami memberi   catatan mengenai aspek-aspek yang berbeda-

beda dari kedermawanan, yang membentuk sebagian kondisi untuk 

mencapai Pencerahan. Catatan ini disajikan dalam bentuk jawaban 

atas pertanyaan-pertanyaan berikut:

3162


1. Hal-hal apakah yang disebut dàna?

2. Mengapa hal-hal ini   disebut dàna?

3. Apakah karakteristik fungsi, manifestasi, dan pemicu   

langsung dari dàna?

4. Ada berapa jenis dàna?

5. Apakah unsur yang memperkuat manfaat dàna?

6. Apakah unsur yang memperlemah manfaat dàna?

(Susunan ini juga diterapkan sewaktu membahas Kesempurnaan 

yang lain juga)

1. Hal-hal Apakah yang Disebut Dàna?

Secara singkat, dapat dijawab bahwa kehendak untuk memberi   

benda-benda yang layak diberikan disebut dàna, makna ini akan 

menjadi lebih jelas dalam penjelasan berikutnya.

2. Mengapa Hal-hal ini   Disebut Dàna?

Kehendak disebut dàna sebab   kehendak bertanggung jawab 

atas sebuah tindakan kedermawanan yang terjadi. Tidak akan 

ada kedermawanan tanpa kehendak untuk memberi; sebuah 

tindakan kedermawanan hanya mungkin jika ada kehendak untuk 

memberi.

Sehubungan dengan hal ini, kehendak maksudnya yaitu   (i) 

kehendak yang muncul pada saat memberi. Ini disebut mu¤ca 

cetanà, kehendak ‘melepaskan’, mu¤ca artinya melepaskan. 

Hanya kehendak ini, yang menyertai tindakan melepaskan, yang 

membentuk unsur sejati dari kedermawanan.

(ii) Kehendak yang muncul sebelum seseorang melakukan tindakan 

memberi disebut ‘pubba cetanà’, kehendak jenis ini juga dapat 

dianggap sebagai dàna, asalkan objek yang akan diberikan sudah 

ada pada saat niat “Aku akan mempersembahkan objek ini,” 

muncul. Tanpa adanya objek yang akan diberikan, niat memberi 

ini juga dapat disebut ‘pubba cetanà’ tetapi tidak memenuhi syarat 

untuk disebut sebagai dàna; ini hanya pikiran baik biasa.

3163

 1

Bagaimana kehendak dianggap sama dengan dàna yaitu   

berdasarkan definisi dãyati anenàti dànam secara tata bahasa, yang 

menegaskan bahwa memberi yaitu   tindakan kedermawanan, dàna. 

(Kehendak, di sini, tentu saja menjadi pemicu   utama tindakan 

memberi.)

Benda-benda yang diberikan juga disebut dàna dari definisi 

secara tata bahasa dãyatiti dànam yang artinya obyek-objek yang 

dipersembahkan sebagai dàna.

Menuruti definisi tata bahasa ini, Kitab menyebutkan dua jenis dàna, 

yaitu dàna kehendak dan dàna materi. Sehubungan dengan hal ini, 

ada pertanyaan mengapa objek-objek yang dipersembahkan disebut 

dàna, sebab   hanya kehendak yang mampu menghasilkan akibat 

sedangkan materi tidak. Benar bahwa hanya kehendak yang mampu 

menghasilkan akibat sebab   kehendak yaitu   tindakan batin; namun 

seperti telah dijelaskan di atas, kehendak dapat disebut dàna hanya 

jika kehendak muncul saat benda-benda yang layak diberikan telah 

tersedia. Oleh sebab   itu, objek materi yang akan diberikan juga 

merupakan faktor penting dari sebuah tindakan memberi agar 

memenuhi syarat kedermawanan, dàna.

Misalnya, kita mengatakan ‘nasi masak sebab   ada kayu bakar’; 

sebenarnya api yang memasak nasi itu. Tetapi tidak akan ada api tanpa 

kayu. Maka api ada sebab   kayu; dan nasi menjadi masak sebab   

api. Dengan mempertimbangkan fenomena yang berhubungan ini, 

tidak salah jika dikatakan ‘nasi menjadi masak sempurna sebab   

kayu yang baik.’ Demikian pula, kita dapat mengatakan ‘manfaat 

baik didapat sebab   objek-objek persembahan’.

sebab   benda-benda yang diberikan berperan penting dalam 

tindakan kedermawanan, Kitab menyebutkan beberapa jenis dàna 

menurut objek-objek yang dipersembahkan. Dalam penjelasan 

Vinaya terdapat empat jenis dàna, yaitu, persembahan makanan, 

jubah, tempat tinggal, dan obat-obatan. Walaupun Vinaya tidak 

membahas jenis-jenis dàna, sebab   Buddha memperbolehkan empat 

jenis kebutuhan Saÿgha, persembahan yang diberikan kepada 

3164


Saÿgha biasanya dikelompokkan dalam empat jenis; demikianlah 

pengelompokan dalam Vinaya yang berdasarkan jenis objek yang 

dipersembahkan.

Menurut pengelompokan yang terdapat dalam penjelasan 

Abhidhammà, segala sesuatu di dunia ini dapat dikelompokkan 

menjadi enam jenis sesuai dengan enam objek indria, dengan 

demikian terdapat enam jenis dàna bergantung pada apakah 

objek ini   yaitu   objek terlihat, objek suara, bau-bauan, rasa 

kecapan, sentuhan atau objek pikiran. Di sini juga, meskipun tidak 

disebutkan secara langsung terhadap enam jenis dàna, dalam ajaran 

Abhidahammà, jika pemberian dilakukan pada masing-masing 

objek indria, maka terdapat enam jenis persembahan; demikianlah 

pengelompokan dalam penjelasan Abhidhammà atas enam jenis 

dàna.

Pengelompokan dalam Suttanta, terdapat sepuluh jenis dàna, yaitu, 

persembahan berbagai jenis makanan, minuman, transportasi, 

bunga, wangi-wangian, salep harum, tempat tidur, tempat tinggal, 

dan penerangan. Di sini juga, ajaran dalam Sutta hanya menyebutkan 

sepuluh kelompok objek yang dapat dipersembahkan sebagai dàna. 

Tetapi saat   sepuluh objek ini dipersembahkan sebagai dàna, akan 

ada sepuluh jenis persembahan; demikianlah pengelompokan dalam 

penjelasan Suttanta atas sepuluh jenis dàna.

Bahwa Buddha hanya mengajarkan sepuluh objek persembahan 

ini, kita tidak boleh menganggap bahwa hanya sepuluh ini yang 

boleh dipersembahkan; dan objek-objek lainnya tidak boleh. Kita 

harus memahami bahwa Buddha hanya menyebutkan objek-objek 

yang biasa dipersembahkan dalam praktiknya; atau sebab   banyak 

benda yang dapat dikelompokkan ke dalam salah satu dari sepuluh 

jenis ini  , kita harus menganggap bahwa sepuluh jenis objek 

ini mencakup seluruh objek yang sehari-hari digunakan oleh para 

penerima mulia.

Dari apa yang telah dijelaskan di atas, harus dipahami bagaimana 

sebuah objek materi menjadi suatu faktor pendukung penting (bagi 

munculnya) kehendak kedermawanan. Akan terlihat bahwa berbagai 

3165

 1

jenis kedermawanan yang akan dijelaskan berikutnya akan banyak 

berkisar pada objek-objek persembahan 

Sebagai kesimpulan, harus diingat bahwa kehendak yaitu   dàna 

sebab   kehendak mendorong tindakan memberi; benda-benda 

materi yaitu   dàna sebab   merupakan benda yang layak untuk 

diberikan.

3. Apakah Karakteristik, Fungsi, Manifestasi dan pemicu   

Langsung Dàna?

(a) Dàna memiliki karakteristik (lakkhaõa) melepaskan.

(b) Fungsinya (kicca-rasa) yaitu   menghancurkan kemelekatan 

terhadap objek persembahan; atau dàna memiliki sifat tanpa cacat 

(sampatti-rasa).

(c) Manifestasinya yaitu   tidak adanya kemelekatan, yaitu 

kebebasan dari kemelekatan yang muncul dalam batin si pemberi, 

atau mengetahui bahwa dàna mendukung kelahiran kembali 

di alam yang baik dan mendukung kekayaan, yaitu, dengan 

memikirkan akibat dari memberi, si pemberi merasa bahwa tindakan 

kedermawanan yang ia lakukan akan berakibat pada kelahiran di 

alam manusia, alam dewa dan pencapaian kekayaan.

(d) pemicu   langsung dari tindakan memberi yaitu   memiliki 

objek yang akan dipersembahkan. Tanpa memiliki apa-apa untuk 

diberikan, tidak akan ada tindakan derma, hanya membayangkan 

bahwa ia sedang memberi  . Dengan demikian, objek-objek yang 

akan dipersembahkan yaitu   pemicu   langsung dari dàna.

4. Ada Berapa Jenis Dàna?

Topik yang dibahas di sini cukup luas; memerlukan kesiapan batin 

dan kecerdasan untuk memelajarinya.

3166


Jenis Dàna Dalam Kelompok Dua

(1) Pemberian Benda Materi (âmisa Dàna) dan Pemberian 

Ajaran (Dhamma Dàna). 

(a) Persembahan benda-benda materi seperti nasi, dan sebagainya, 

disebut sebagai àmisa dàna. Juga disebut sebagai paccaya dàna (jika 

benda-benda yang dipersembahkan yaitu   benda-benda kebutuhan 

bhikkhu).

Ajaran Buddha dalam bentuk khotbah, kuliah, dan sebagainya, 

yaitu   pemberian Dhamma. Buddha berkata bahwa dàna ini yaitu   

yang paling mulia dari segala jenis dàna. (Pengelompokan dàna 

dalam dua jenis ini dilakukan sehubungan dengan objek-objek yang 

dipersembahkan.)

Sehubungan dengan pembagian jenis dàna ini, perlu dipertanyakan 

jenis dàna apakah yang dilakukan seseorang yang membangun 

pagoda dan patung Buddha.

Ada yang berpendapat bahwa meskipun membangun pagoda dan 

patung Buddha melibatkan pelepasan sejumlah besar uang, namun 

hal itu bukanlah tindakan kedermawanan, dàna; sebab   mereka 

berpendapat, suatu tindakan disebut dàna, harus memenuhi tiga 

kondisi, harus ada objek yang dipersembahkan; harus ada yang 

menerima; dan harus ada yang memberi  . Dalam membangun 

pagoda dan patung Buddha, jelas ada yang memberi, tetapi siapakah 

yang menerima. sebab   tidak ada yang menerima pemberian itu, 

bagaimana tindakan ini   dapat disebut tindakan kedermawanan, 

dàna?

Dari sudut pandang mereka, pagoda dan patung Buddha bukanlah 

suatu objek yang diberikan sebagai suatu tindakan dàna, namun 

sebagai alat bantu dalam melakukan perenungan terhadap sifat-

sifat Buddha. Mereka yang membangun pagoda dan patung 

Buddha, dalam pikiran, mereka tidak menentukan siapa yang akan 

menerima benda-benda ini  ; mereka membangunnya untuk 

membantu menghasilkan visualisasi jelas dari Buddha dalam batin 

3167

 1

para pemuja yang memungkinkan mereka melatih perenungan 

terhadap kemuliaan Buddha. Oleh sebab   itu, harus dimengerti, 

bahwa mereka membangun pagoda dan patung Buddha yaitu   

sehubungan dengan meditasi perenungan terhadap Buddha, dan 

bukan suatu tindakan kedermawanan.

Ada lagi beberapa orang yang berpendapat bahwa orang-orang yang 

membangun pagoda dan patung Buddha melakukan hal ini untuk 

menghormati Buddha yang patut dihormati, tindakannya harus 

dianggap sebagai tindakan menghormati Buddha (apacàyana), satu 

dari sepuluh kualitas yang menghasilkan jasa (Pu¤¤akiriya vatthu). 

Lebih jauh lagi mereka berkata bahwa sebab   jasa jenis ini, yaitu, 

menghormati yang patut dihormati, yaitu   praktik moralitas (càritta 

sãla), maka hal ini harus dikelompokkan sebagai pelaksanaan sãla 

dan bukan praktik meditasi Buddhànussati.

Akan tetapi, baik kebajikan meditasi Buddhànussati atau kebajikan 

menghormati (apacàyana), keduanya tidak melibatkan pelepasan 

objek persembahan; sedangkan membangun pagoda dan patung 

Buddha memerlukan pengeluaran uang yang cukup banyak. sebab   

itu pekerjaan kebajikan ini harus dianggap sebagai dàna.

Akan muncul pertanyaan, ‘Jika termasuk dàna, apakah ini tindakan 

dàna jika tidak ada yang menerimanya?’ Menurut Kitab, apakah 

sebuah persembahan dapat dianggap sebagai tindakan dàna 

dapat diputuskan dari suatu analisis empat bagian: karakteristik, 

fungsi, manifestasi, dan pemicu   langsung. Kita telah membahas 

mengenai empat ciri ini dalam tindakan dàna. Sekarang kita akan 

memakai  nya untuk menguji persoalan ini. Kita mengetahui 

adanya karakteristik melepaskan sebab   orang yang membangun 

pagoda dan patung Buddha melepaskan banyak uang; sebagai 

fungsinya, yaitu   hancurnya kemelekatan terhadap objek yang 

dipersembahkan oleh si pemberi; si pemberi menyadari bahwa 

tindakan kedermawanannya itu akan berakibat pada kelahiran 

kembali di alam manusia atau dewa dan akan memperoleh 

kekayaan; dan akhirnya, sebagai pemicu   langsung, ada objek yang 

akan dipersembahkan. Dengan demikian, seluruh empat ciri yang 

diperlukan dalam sebuah perbuatan agar memenuhi syarat sebagai 

3168


dàna ada di sini, dan sebab   itu kita dapat menyimpulkan bahwa 

membangun pagoda dan patung Buddha yaitu   benar, tindakan 

kedermawanan.

Atas pertanyaan siapakah yang menerima pemberian itu, tidak 

salah jika dikatakan bahwa semua dewa dan manusia yang memuja 

pagoda dan patung Buddha untuk mengenang kemuliaan Buddha 

yaitu   para penerima dàna ini  . Pada saat yang sama, sebab   

benda-benda ini   juga yaitu   objek pemujaan bagi para dewa 

dan manusia dalam melakukan perenungan terhadap kemuliaan 

Buddha, maka ini juga membentuk objek persembahan. Semua 

benda-benda materi di dunia ini dimanfaatkan dalam cara yang 

berbeda-beda sesuai sifatnya; makanan digunakan sebagai materi 

yang dikonsumsi; materi pakaian digunakan dengan cara dikenakan; 

materi-materi keagamaan dan penghormatan digunakan sebagai 

objek penghormatan.

Jika sumur dan toilet digali di dekat jalan umum, semua orang 

dapat memakai  nya sebagai air minum, mencuci, dan lain-

lain. Si pemberi tidak menentukan siapa penerimanya sewaktu ia 

menggali sumur dan toilet ini  . Jika, sesuai tujuannya, para 

pengembara melewati jalan itu dan memakai   benda-benda 

pemberiannya itu, tidak seorang pun yang dapat mengatakan bahwa 

pemberiannya bukan suatu tindakan dàna; walaupun jika tindakan 

itu tidak diakhiri dengan Ritual   menuang air.

Sekarang, untuk mengakhiri diskusi ini, yaitu   benar jika dikatakan 

bahwa si pembangun pagoda dan patung Buddha yaitu   si pemberi, 

pagoda dan patung Buddha yaitu   objek dàna, para dewa dan 

manusia yang melakukan pemujaan yaitu   penerima dàna.

Ada lagi pertanyaan tambahan, ‘Apakah layak menganggap 

pagoda dan patung Buddha sebagai objek dàna; apakah bukan 

suatu tindakan yang melanggar kesucian dengan mengelompokkan 

seperti itu?’ Bagaikan rak buku yang digunakan di dalam vihàra 

untuk menyimpan Kitab yang dianggap suci (Dhamma-cetiya). 

Demikian pula pagoda dan patung Buddha yang berfungsi sebagai 

tempat penyimpanan relik-relik suci sebagai objek penghormatan. 

3169

 1

Maka dapat dijawab bahwa sangatlah layak menganggapnya sebagai 

suatu objek kedermawanan, dàna.

Apakah Ritual   Menuang Air Penting Dalam Sebuah 

Persembahan Agar Memenuhi Syarat Sebagai Tindakan 

Kedermawanan?

Hal penting untuk dipertimbangkan yaitu   suatu tindakan 

merupakan tindakan dàna jika tidak diakhiri dengan Ritual   

menuang air. Sesungguhnya Ritual   ini tidak pernah disebutkan 

dalam Kitab. Praktik ini, hanyalah sekadar kebiasaan atau tradisi 

yang telah berlangsung lama.

Dalam komentar pada Bab ‘Cãvarakkhandhaka’ dari Vinaya 

Mahà Vagga, kita dapat menemukan keterangan mengenai tradisi 

menuang air. “Terjadi perpecahan di antara para bhikkhu dalam 

sebuah vihàra sebelum dilakukan Ritual   persembahan jubah 

sesudah   masa vassa. saat   waktunya tiba, umat-umat awam datang 

dan mempersembahkan jubah, yang ditumpuk di suatu tempat, 

kepada sekelompok bhikkhu. Para umat lalu   mendatangi 

kelompok bhikkhu lainnya dan melakukan Ritual   menuang 

air, sambil mengatakan, “Kami mempersembahkan kepada para 

bhikkhu kelompok yang lain.” Sehubungan dengan bagaimana 

jubah-jubah ini   dibagikan di antara anggota Saÿgha, Komentar 

mengatakan bahwa jika mereka tidak memberi   penghormatan 

dengan menuang air, jubah-jubah itu yaitu   milik kelompok 

(bhikkhu) yang menerima jubah secara langsung. Kelompok yang 

hanya menerima Ritual   menuang air tidak berhak atas jubah-

jubah ini  . Tetapi jika mereka memberi   penghormatan 

dengan Ritual   menuang air, kelompok yang hanya menerima 

Ritual   ‘menuang air’ berhak atas jubah-jubah ini   sebab   

Ritual   menuang air dilakukan pada mereka; kelompok lainnya 

yang menerima jubah secara langsung juga berhak atas jubah-

jubah ini   sebab   mereka telah memiliki jubah-jubah ini  . 

Oleh sebab   itu kedua kelompok harus membagi rata jubah-jubah 

ini  . Cara pembagian seperti ini yaitu   praktik yang diikuti di 

wilayah-wilayah seberang samudra.

3170


Wilayah seberang samudra, dari Sri Lanka termasuk ‘JambÃ¥dãpa’, 

yaitu India. Oleh sebab   itu, harus diperhatikan bahwa Ritual   

menuang air yaitu   praktik yang menjadi tradisi yang diikuti oleh 

masyarakat India.

Mempertimbangkan bahwa ada yang menerima penghormatan 

dengan Ritual   menuang air dan ada yang tidak menerima 

penghormatan dengan menuang air, bukan berarti bahwa suatu 

persembahan merupakan tindakan kedermawanan hanya jika 

diakhiri dengan Ritual   menuang air. Ritual   ini penting hanya 

bagi mereka yang mengikuti tradisi menuang air; jelas bahwa tidak 

ada manfaatnya Ritual   ini   bagi mereka yang tidak mengikuti 

tradisi ini  . Harus dipahami bahwa Ritual   menuang air 

bukanlah faktor penting dalam suatu tindakan kedermawanan.

(b) Sehubungan dengan pemberian ajaran, Dhamma dàna, sekarang 

ini, banyak orang yang tidak mampu mengajarkan Dhamma, tetapi 

mereka ingin memberi   ajaran, mereka mengeluarkan uang 

untuk mencetak buku-buku, atau naskah-naskah daun lontar (yang 

berisikan naskah-naskah Kitab) lalu   menyumbangkannya. 

Meskipun persembahan buku-buku ini bukanlah suatu pemberian 

ajaran yang sesungguhnya, tetapi sebab   para pembaca dapat 

memperoleh manfaat dengan membaca dari buku-buku tentang 

praktik dan instruksi yang mengarah menuju Nibbàna, si 

penyumbang dapat dianggap sebagai seseorang yang melakukan 

pemberian ajaran.

Hal ini dapat diumpamakan sebagai seseorang yang tidak 

mempunyai obat untuk diberikan kepada orang sakit, tetapi ia 

mempunyai resep untuk menyembuhkan penyakit. saat   obat-

obatan dipersiapkan sesuai resep dan diminum, penyakit dapat 

disembuhkan. Meskipun orang itu tidak benar-benar membuat 

obat, tetapi sebab   resepnya yang efektif, ia dapat dianggap 

sebagai seseorang yang menyembuhkan penyakit. Demikian pula, 

penyumbang buku-buku Dhamma yang secara pribadi tidak 

mampu mengajarkan Dhamma dapat membantu para pembaca 

bukunya untuk mencapai Pengetahuan Dhamma dan sebab   itu 

dapat dianggap sebagai penyumbang Dhamma.

3171

 1

Sekarang, untuk mengakhiri bagian ini, pasangan pemberian 

ini   di atas, yaitu, àmisa dàna dan Dhamma dàna juga dapat 

disebut àmisa pÃ¥jà, menghormati dengan benda-benda materi 

dan Dhamma pÃ¥jà, menghormati dengan ajaran; istilah-istilah itu 

memiliki arti yang sama.

Kata ‘pÃ¥jà’ artinya ‘menghormati’ dan biasanya digunakan saat 

seseorang yang lebih muda memberi   persembahan kepada 

orang yang lebih tua atau orang yang berstatus lebih tinggi. sebab   

kebiasaan ini, beberapa orang berpendapat bahwa dàna harus 

dibedakan antara ‘pÃ¥jà dàna’ dan ‘anuggaha dàna’; ‘pÃ¥jà dàna’, 

menghormati dengan memberi   persembahan oleh seorang yang 

lebih muda kepada orang yang lebih tua atau orang yang berstatus 

lebih tinggi dan ‘anuggaha dàna’, memberi   persembahan sebagai 

bantuan sebab   welas asih yang diberikan oleh orang yang lebih 

tua atau orang yang berstatus lebih tinggi kepada orang yang lebih 

muda atau orang yang berstatus lebih rendah.

Tetapi seperti telah kita ketahui dalam bab tentang ‘ramalan’. Kata 

pÃ¥jà dapat digunakan oleh yang berstatus tinggi maupun yang 

rendah dan kata anuggaha juga berlaku untuk kedua kelompok. 

Benar bahwa, biasanya, anuggaha digunakan saat   pemberian 

dilakukan oleh yang tinggi kepada yang rendah atau yang tua 

kepada yang muda. Tetapi kita harus ingat penggunaan kata ‘àmisà 

nuggaha’ dan ‘Dhammà nuggaha’ untuk menjelaskan bantuan dan 

dukungan yang diberikan, yaitu demi kemajuan dan pengembangan 

ajaran Buddha. Di sini kata anuggaha juga digunakan walaupun 

pemberiannya yaitu   ajaran Buddha yang tertinggi dan termulia. 

Dengan demikian, harus dimengerti bahwa pengelompokan pÃ¥ja 

dàna dan anuggaha dàna bukanlah pengelompokan mutlak dalam 

dua aspek dàna, namun sekadar pengelompokan mengikuti 

penggunaan umum.

(2) Mempersembahkan Diri Sendiri (Ajjhattika Dàna) dan 

Mempersembahkan Harta Eksternal (Bàhira Dàna)

Mempersembahkan diri sendiri maksudnya yaitu   memberi   

3172


nyawa dan organ-organ tubuhnya. Mempersembahkan harta 

eksternal termasuk memberi   benda-benda eksternal milik si 

penyumbang.

Bahkan di zaman modern sekarang ini, kadang-kadang kita 

membaca di koran tentang berita orang yang mempersembahkan 

tubuhnya di pagoda atau ‘menghormati persembahan’ ini   

dengan membakar diri sesudah   membungkus seluruh tubuhnya 

dengan kain dan menyiramkan minyak. Banyak pendapat mengenai 

dàna yang melibatkan organ-organ tubuh. Menurut mereka, 

persembahan tubuh dan organ-organ tubuh yaitu   perbuatan yang 

hanya dilakukan oleh para Bodhisatta mulia dan bukan urusan 

orang-orang biasa. Mereka meragukan persembahan demikian yang 

dilakukan oleh orang-orang biasa dapat menghasilkan jasa.

Sekarang untuk mempertimbangkan apakah pandangan demikian 

benar atau tidak. Seorang Bodhisatta tidak tiba-tiba muncul di 

dunia ini begitu saja. Hanya sesudah   perlahan-lahan memenuhi 

Kesempurnaan sesuai batas kemampuannya, seseorang dapat 

tumbuh matang dan mengembangkan dirinya setahap demi setahap 

untuk menjadi seorang Bodhisatta. Para penyair pada masa lalu 

menulis: Hanya dengan setahap demi setahap menghadapi risiko, 

seseorang memastikan kemajuannya dalam kehidupan berikut. Oleh 

sebab   itu, kita tidak boleh secara gegabah mencela mereka yang 

mempersembahkan sebagian atau seluruh tubuhnya. Jika seseorang, 

sebab   kehendak dan keyakinan yang kuat, sangat bersemangat 

mempersembahkan tubuhnya, bahkan hingga mengorbankan 

nyawanya, ia sesungguhnya layak dipuji sebagai seorang yang 

menyumbangkan dirinya sendiri, ajjhattika dàna.

(3) Mempersembahkan Harta (Vatthu Dàna) dan memberi   

Keselamatan (Abhaya Dàna)

Vatthu dàna berhubungan dengan persembahan benda-benda materi. 

Abhaya dàna berhubungan dengan memberi   keselamatan atau 

keamanan terhadap kehidupan atau harta, ini biasanya merupakan 

praktik welas asih oleh para raja.

3173

 1

(4) Vattanissita Dàna dan Vivattanissita Dàna

Vattanissita dàna yaitu   persembahan yang dilakukan dengan 

harapan untuk mendapatkan kekayaan dan kenikmatan duniawi 

pada masa depan, yang berarti penderitaan dalam lingkaran 

kehidupan. Vivattanissita dàna yaitu   persembahan yang 

dilakukan dengan cita-cita untuk mencapai Nibbàna yang bebas 

dari penderitaan akan kelahiran kembali.

(5) Dàna yang Dinodai Cacat (Sàvajja Dàna) dan Dàna yang 

Tidak Dinodai Cacat (Anàvajja Dàna)

Mempersembahkan makanan yang mengandung daging yang 

diperoleh dari membunuh binatang yaitu   contoh dari dàna yang 

dinodai cacat. Mempersembahkan makanan yang tidak melibatkan 

pembunuhan binatang yaitu   dàna yang tidak dinodai cacat. 

Jenis pertama yaitu   perbuatan kedermawanan yang disertai oleh 

kejahatan; jenis kedua yaitu   dàna yang tidak disertai kejahatan.

Pada kasus beberapa nelayan, yang mengumpulkan kekayaan dari 

menangkap ikan memutuskan untuk menghentikan usaha mereka 

dengan pikiran, ”Aku akan menghentikan pekerjaan menangkap 

ikan yang tidak baik dan menjalani penghidupan benar,” lalu   

dalam menjalani usaha lain, kekayaan mereka menurun; saat 

kembali kepada usaha lama, kekayaan mereka bertambah lagi. 

Ini yaitu   contoh dàna yang dinodai cacat (sàvajja dàna) yang 

mereka lakukan dalam kehidupan lampau yang berbuah dalam 

kehidupan sekarang. sebab   tindakan dàna mengandung perbuatan 

membunuh, saat berbuah juga, keberhasilan akan diperoleh saat   

berhubungan dengan tindak