dup ada dan juga tidak ada sesudah
2871
Riwayat Para Bhikkhunã Arahanta
kematian?”
“Tuanku, Buddha tidak mengatakan bahwa makhluk hidup ada
dan juga tidak ada sesudah kematian.”
“Yang Mulia, apakah makhluk hidup tidak ada atau tidak tidak-ada
sesudah kematian?”
“Tuanku, Buddha tidak mengatakan bahwa makhluk hidup tidak-
ada atau tidak tidak-ada sesudah kematian.”
Raja tidak dapat berkata apa-apa lagi. Ia mengajukan pertanyaan
lagi yang dijawab sebagai berikut:
“Yang Mulia, saat aku bertanya ‘apakah makhluk hidup tetap
ada sesudah kematian?’ engkau menjawab, ‘Tuanku, Buddha tidak
mengatakan bahwa makhluk hidup tetap ada sesudah kematian!’ (1).
saat aku bertanya, ‘Kalau begitu, Yang Mulia, apakah makhluk
hidup tidak ada sesudah kematian?’ engkau menjawab, ‘Tuanku,
Buddha tidak mengatakan bahwa makhluk hidup tidak ada sesudah
kematian.’ (2) saat aku bertanya, ‘Yang Mulia, apakah makhluk
hidup ada dan juga tidak ada sesudah kematian?’, engkau menjawab,
‘Tuanku, Buddha tidak mengatakan bahwa makhluk hidup ada
dan juga tidak ada sesudah kematian.’ (3) saat aku bertanya,
‘Yang Mulia, apakah makhluk hidup tidak ada dan juga tidak
tidak-ada sesudah kematian?’, engkau menjawab, ‘Tuanku, Buddha
tidak mengatakan bahwa makhluk hidup tidak ada dan juga tidak
tidak-ada sesudah kematian.’ (4) Sekarang, Yang Mulia, mengapa
Buddha tidak mengatakan apa pun sehubungan dengan empat
pertanyaan ini? Apakah alasan Buddha menolak menjawab empat
pertanyaan ini?”
Therã Khemà lalu berkata, “Tuanku, izinkan aku mengajukan
satu pertanyaan kepadamu. Engkau boleh menjawabnya sesukamu.
Bagaimana menurutmu tentang apa yang akan kukatakan ini?
Apakah di dalam kekuasaanmu engkau memiliki seorang ahli
berhitung yang dapat menyebutkan, ‘Terdapat sekian banyak
butir-butir pasir di Sungai Gaïgà . Atau seseorang yang dapat
2872
menyebutkan, ‘Terdapat sekian ratus, sekian ribu, sekian ratus ribu
butir pasir di Sungai Gaïgà ?”
“Tidak ada, Yang Mulia, tidak ada seorang pun.”
“Tuanku, apakah engkau memiliki seorang yang ahli berhitung
yang dapat menyebutkan, ‘Terdapat sekian banyak kendi atau
mangkuk air di lautan.’ Atau seseorang yang dapat menyebutkan,
‘Terdapat sekian ratus, sekian ribu, sekian ratus ribu mangkuk air
di lautan?”
“Tidak, Yang Mulia, hal itu sebab lautan terlalu dalam, mustahil
untuk diukur.”
“Demikian pula, Tuanku. Buddha telah meninggalkan materi
(jasmani) yang dianggap sebagai makhluk hidup, Beliau telah
melenyapkannya secara total. Beliau telah mencabutnya bagaikan
mencabut pohon kelapa sehingga tidak dapat hidup kembali, dan
tidak mampu tumbuh lagi pada masa depan.
Buddha yang telah bebas dari apa yang disebut kelompok jasmani
atau fenomena materi memiliki kemuliaan dan watak atau kehendak
yang luasnya bagaikan lautan, mustahil diukur, tidak dapat dipahami.
Bagi Buddha, pernyataan, ‘Makhluk hidup ada sesudah kematian’
yaitu pernyataan yang tidak relevan. Pernyataan ‘Makhluk hidup
tidak ada sesudah kematian’ juga tidak relevan; pernyataan ‘Makhluk
hidup ada dan juga tidak ada sesudah kematian’ juga tidak relevan;
pernyataan, ‘Makhluk hidup tidak ada dan juga tidak tidak-ada
sesudah kematian’ juga tidak relevan.”)
(Tidaklah tepat jika Buddha mengatakan bahwa makhluk hidup ada
sesudah kematian; atau makhluk hidup tidak ada sesudah kematian;
atau bahwa makhluk ada dan juga tidak ada sesudah kematian, atau
bahwa makhluk hidup tidak ada dan juga tidak tidak-ada sesudah
kematian. Ini yaitu topik yang sangat dalam.)
Buddha telah meninggalkan perasaan … pencerapan … aktivitas
kehendak … kesadaran yang dianggap sebagai makkhluk hidup;
2873
Riwayat Para Bhikkhunã Arahanta
telah melenyapkannya secara total, telah membuatnya seperti
tunggul pohon kelapa yang tidak dapat hidup lagi, dan telah
membuatnya tidak dapat tumbuh lagi pada masa depan.
Buddha yang telah bebas dari sebutan kelompok kesadaran atau
fenomena kesadaran memiliki kemuliaan dan watak atau kehendak
yang luasnya seperti lautan, mustahil diukur, tidak dapat dipahami.
Bagi Buddha, pernyataan, ‘Makhluk hidup ada sesudah kematian’
yaitu pernyataan yang tidak relevan. … Pernyataan ‘makhluk
hidup tidak ada dan juga tidak tidak-ada sesudah kematian’ juga
tidak relevan.”
(Demikianlah diskusi yang terjadi antara Raja Kosala dengan Therã
Khemà . )
Raja Pasenadi dari Kosala gembira mendengar kata-kata Therã
Khemà . Ia bersujud kepadanya dan meninggalkan tempat itu
dengan penuh hormat. Pada lalu hari, raja mengunjungi
Buddha dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sama seperti
yang ia ajukan kepada Therã Khemà . Buddha menjawab persis
seperti yang dijawab oleh Therã Khemà .
saat Raja mengetahui bahwa jawaban Buddha dan jawaban Therã
Khemà yaitu persis sama, hingga ke huruf-hurufnya, ia menjadi
takjub dan berseru, “Sungguh menakjubkan, Yang Mulia! Sungguh
mengherankan! Penjelasan Buddha sama persis dengan penjelasan
Siswa Buddha, baik dalam makna maupun kata-katanya. Selaras
tanpa ada penyimpangan. Yang Mulia, aku pernah mengajukan
pertanyaan-pertanyaan ini kepada Therã Khemà dan ia menjawab
dengan cara yang persis sama baik dalam makna maupun
kata-katanya. Sungguh menakjubkan, Yang Mulia!, sungguh
mengagumkan! Penjelasan Buddha sama persis dengan penjelasan
Siswa Buddha, baik dalam makna maupun kata-katanya. Selaras
tanpa ada penyimpangan.” lalu ia pamit kepada Buddha
untuk meninggalkan tempat itu. ia sangat gembira mendengar
jawaban Buddha. Ia bangkit, bersujud kepada Buddha dan dengan
penuh hormat meninggalkan tempat itu.
2874
Demikianlah inti dari Khemà Sutta.
Penjelasan:
Mengapa Buddha tidak memberi jawaban atas pernyataan-
pernyataan yang begitu mendasar, ‘Makhluk hidup ada sesudah
kematian’, ‘Makhluk hidup tidak ada sesudah kematian’, ‘Makhluk
hidup ada dan juga tidak ada sesudah kematian’, ‘Makhluk hidup
tidak ada dan juga tidak tidak-ada sesudah kematian’?
1. Sesungguhnya tidak ada apa pun di dunia ini selain lima kelompok
kehidupan. Tidak ada apa pun dalam makna tertinggi suatu benda
yang disebut makhluk hidup. sebab itu apakah ‘makhluk hidup’
ada atau tidak bukanlah suatu hal yang akan disabdakan oleh
Buddha. (Abyà kata Saÿyutta, Sutta ketiga).
2. Hanya mereka yang tidak memahami sifat dari lima kelompok
kehidupan sesuai Empat Kebenaran Mulia yang mempermasalahkan
apakah makhluk hidup itu ada atau tidak ada, dalam empat
pertanyaan itu, yang muncul akibat Pandangan Salah. Bagi mereka
yang memahami Empat Kebenaran Mulia, tidak ada Pandangan
Salah yang mempermasalahkan empat pertanyaan itu. sebab
Buddha memiliki pemahaman lengkap atas Empat Kebenaran,
maka Beliau tidak mempermasalahkan empat pertanyaan itu. Itulah
sebabnya Beliau tidak mengatakan apa pun sehubungan dengan
pertanyaan-pertanyaan itu. (Abyà kata Saÿyutta, Sutta keempat.)
3. Pertanyaan-pertanyaan demikian, yang berdasarkan pandangan
salah muncul hanya pada mereka yang belum meninggalkan
kemelekatan atau keterikatan terhadap lima kelompok kehidupan.
Bagi mereka yang tidak memiliki keterikatan terhadap lima
kelompok kehidupan, pertanyaan-pertanyaan itu tidak muncul.
Buddha yang telah meninggalkan keterikatan terhadap lima
kelompok kehidupan beserta semua jejak kebiasaan tidak memiliki
konsep salah ini . Oleh sebab itu, Beliau akan tetap diam
jika pertanyaan-pertanyaan itu diajukan kepada Beliau. (Abyà kata
Saÿyutta, Sutta kelima). (Sutta keenam dari Saÿyutta yang sama,
empat pertanyaan ini dibahas dengan cukup terperinci.)
2875
Riwayat Para Bhikkhunã Arahanta
Dalam Khemà Sutta, jawaban Therã Khemà agak berbeda; jawaban
itu menyinggung-nyinggung Buddha. Hal ini sebab ia mengetahui
bahwa si penanya (Raja Kosala) juga menyiratkan Buddha dalam
empat pertanyaan yang ia ajukan. sebab itu Therã KhemÃ
memberi jawaban yang intinya yaitu sebagai berikut:
Buddha telah, (sesudah meninggalkan pemicu dari lima kelompok
kehidupan) meninggalkan lima kelompok kehidupan sehingga apa
yang biasanya disebut ‘makhluk hidup’ tidak lagi muncul sesudah
kematian. Beliau telah bebas dari lima kelompok kehidupan pada
masa depan, sebab itu tidak ada apa pun yang disebut makhluk
atau diri. sebab Buddha mengetahui hal ini, ‘makhluk hidup’
sesudah ‘kematian’ tidaklah relevan untuk dibicarakan. sebab itu
Beliau akan tetap diam menjawab empat pertanyaan ini .
Seseorang mungkin akan memperdebatkan: sebab Buddha
tidak akan mendapatkan lima kelompok kehidupan yang baru,
dapat dipahami mengapa Beliau menolak menjawab pertanyaan
pertama (‘Apakah makhluk hidup ada sesudah kematian?’). Tetapi
mengapa Buddha menolak menjawab pertanyaan kedua: ‘Apakah
makhluk hidup tidak ada sesudah kematian?’ Mengapa Buddha
tidak menjawab, ‘Tidak’? Buddha menolak menjawab pertanyaan ini
sebab ‘makhluk hidup’ bukanlah hal yang nyata dalam pengertian
tertinggi. (Ini yaitu penjelasan yang terdapat dalam Komentar.)
Therã Khemà Sutta yaitu Dhamma yang mendalam. Yang akan
dipelajari lebih lanjut oleh mereka yang bajik.)
(c) Therã Khemà sebagai bhikkhunã terbaik
Khotbah kepada Raja Kosala di Toraõa yaitu pemicu langsung
atas penunjukan Therã Khemà oleh Buddha sebagai bhikkhunã
terbaik dalam hal memiliki Pengetahuan yang luas. Pada suatu
kesempatan, saat Buddha sedang menetap di Vihà ra Jetavana,
dalam pertemuan penganugerahan gelar bhikkhunã terbaik dalam
bidangnya, Buddha menyatakan:
“Para bhikkhu, di antara para bhikkhunã siswa-Ku yang memiliki
2876
pengetahuan yang dalam, Therã Khemà yaitu yang terbaik.”
Penunjukan ini yang dilakukan oleh Buddha juga diterima dan
diakui oleh Therã Khemà dalam syair berikut yang terdapat dalam
riwayat hidupnya:
1. “sesudah aku menjadi seorang bhikkhunã, aku telah menjelaskan
kepada Raja Pasenadi dari Kosala sesuai Dhamma dalam menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang mendalam yang ia ajukan kepadaku
di suatu tempat yang disebut Toraõa (yang terletak antara Sà vatthã
dan SÃ keta.)”
2. “lalu raja datang dan mengajukan pertanyaan itu kepada
Buddha, dan Buddha menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
mendalam itu persis seperti apa yang telah kujawab.”
3. “Penakluk lima MÃ ra, yang teragung di antara semua manusia,
sebab puas dengan kemampuanku dalam menjelaskan Dhamma,
telah menunjukku sebagai bhikkhunã terbaik di antara para
bijaksana.”
Demikianlah kisah Therã Khemà .
(3) Kisah Therã Uppalavaõõa
(a) Cita-cita masa lampau
Bakal Therã Uppalavaõõa terlahir dalam sebuah keluarga kaya
di Kota Haÿsà vatã pada masa kehidupan Buddha Padumuttara.
Pada suatu kesempatan saat ia mendengarkan khotbah Buddha, ia
melihat Buddha menyatakan seorang bhikkhunã sebagai bhikkhunã
terbaik di antara mereka yang memiliki kekuatan batin. Ia bercita-
cita untuk dapat menjadi seperti bhikkhunã ini pada masa
depan. Ia memberi persembahan besar kepada Buddha dan
Saÿgha selama tujuh hari. Di akhir tujuh hari itu ia meletakkan
tujuh ikat bunga teratai di kaki Buddha sebagai penghormatan dan
mengungkapkan cita-citanya untuk mencapai gelar bhikkhunã
2877
Riwayat Para Bhikkhunã Arahanta
terbaik di antara mereka yang memiliki kekuatan batin. Buddha
Padumuttara meramalkan bahwa cita-citanya akan tercapai.
Mempersembahkan Bunga Teratai Kepada Seorang Pacceka
Buddha
sesudah meninggal dunia dari kehidupan itu yang ia tandai dengan
pengabdian kepada Buddha dan Saÿgha seumur hidupnya, ia
terlahir kembali di Alam Dewa Tà vatiÿsa. Selanjutnya ia terlahir
kembali di alam manusia dan mempersembahkan bunga teratai
kepada seorang Pacceka Buddha.
Kehidupan Sebagai Putri Seorang Kaya
sesudah meninggal dunia dari kehidupan itu yang juga ia penuhi
dengan banyak melakukan kebajikan, si putri orang kaya itu
terlahir kembali sebagai dewa, dan selanjutnya ia terlahir kembali
hanya di alam dewa dan alam manusia silih berganti. Pada masa
Buddha Kassapa, pada siklus dunia sekarang ini, ia terlahir
sebagai putri kedua dari tujuh putri Raja Kikã di Bà rà õasã bernama
Putri Samaõaguttà . Dalam kehidupannya itu, ia, seperti halnya
kakak tertuanya, bakal Therã Khemà , tetap menjadi seorang
perawan seumur hidupnya selama dua puluh ribu tahun. Mereka
mempersembahkan sebuah kompleks vihà ra kepada Saÿgha. Saat
meninggal dunia ia terlahir di alam dewa lagi.
Kehidupannya Sebagai Ummà dantã
sesudah meninggal dunia dari alam dewa itu, ia terlahir kembali
dalam sebuah keluarga kaya di alam manusia. Dalam kehidupannya
itu, ia mempersembahkan sehelai kain berwarna keemasan kepada
seorang Arahanta, siswa bhikkhu Buddha Kassapa. (penjelasan
tentang peristiwa ini, baca Ummadantã Jà taka.)
sesudah meninggal dunia dari kehidupan itu, ia terlahir kembali
sebagai Ummà dantã, putri yang sangat cantik dari seorang brahmana
kaya bernama Tiriñivaccha di Ariññhapura, Provinsi Sivi. (Baca
Ummà dantã Jà taka, Paõõà sa Nipà ta.)
2878
Kehidupannya Sebagai Perempuan Penjaga Sawah
Kehidupannya selanjutnya yaitu sebagai putri seorang petani
di sebuah desa kecil. Suatu pagi, sewaktu ia pergi ke rumah
pertanian, ia menemukan sebuah kolam dengan bunga teratai
yang sedang mekar. Ia mendatangi kolam itu dan memetiknya. Di
rumah pertanian, ia mengumpulkan beberapa tangkai padi dan
memanggangnya sehingga menjadi beras bakar yang ia hitung
berjumlah lima ratus. Ia meletakkan beras bakar itu di atas daun
teratai yang ia ambil dari kolam.
Pada saat itu, seorang Pacceka Buddha, sesudah bangun dari
pencerapan penghentian di dalam tempat tinggalnya, datang
melalui angkasa dan berdiri tidak jauh dari si putri petani. Gadis itu
melihatnya, pergi ke rumah pertaniannya untuk mengambil beras
bakar dan daun teratai, dan lalu ia meletakkan beras bakar
itu ke dalam mangkuk Pacceka Buddha, menutupinya dengan daun
teratai, dan mempersembahkannya kepada Pacceka Buddha.
Tidak lama sesudah si Pacceka Buddha pergi, ia berpikir,
“Seorang Pacceka Buddha tidak memerlukan bunga; lebih baik
aku mengambilnya kembali dan memakainya sebagai hiasan.”
Ia mendatangi Pacceka Buddha dan meminta kembali bunga
teratai itu. Tetapi lalu merenungkan. “Jika Pacceka Buddha
tidak menginginkan persembahan bunga ini, ia pasti tidak akan
menerimanya. Sekarang ia mengizinkan aku meletakkannya ke
dalam mangkuknya, ia pasti menyukai persembahan itu.” Dengan
pikiran demikian, ia meletakkan kembali bunga itu ke dalam
mangkuk itu. (sebab tindakan ragu-ragu itu, dalam kehidupan
selanjutnya, seperti yang akan kita bahas, ditandai dengan jalan
hidup yang campur aduk.)
sesudah memberi persembahan bunga teratai itu sekali lagi,
dan mengakui kesalahannya sebab mengambil kembali, ia
mengungkapkan cita-citanya, “Yang Mulia, dengan persembahan
beras bakar ini, semoga aku terberkahi dengan lima ratus putra
dalam kehidupanku pada masa depan, sesuai jumlah beras bakar
yang kupersembahkan.
2879
Riwayat Para Bhikkhunã Arahanta
Lebih jauh lagi, dengan persembahan bunga teratai ini, semoga
bunga-bunga teratai tumbuh dari tanah untuk menerima setiap
langkahku pada masa depan!”
(Menurut riwayat hidup Uppalavaõõà , sewaktu putri petani itu
memberi persembahan kepada Pacceka Buddha, lima ratus
pekerja di sawah itu mempersembahkan madu kepada Pacceka
Buddha dan bercita-cita untuk terlahir kembali sebagai putra
(seluruhnya lima ratus orang) gadis itu pada masa depan.)
Pacceka Buddha lalu terbang ke angkasa dengan disaksikan
oleh gadis itu dan kembali ke Gunung Gandamà dana. Di sana ia
meletakkan bunga-bunga teratai itu di pintu masuk Gua Nandamåla
untuk digunakan sebagai keset kaki bagi para Pacceka Buddha.
Kehidupannya Sebagai Ratu Padumadevã
Sebagai akibat dari perbuatan baiknya, saat meninggal dunia gadis
itu terlahir kembali, melalui kelahiran yang langsung dewasa,
sebagai dewa. Dalam kehidupannya itu, muncul bunga teratai
dari tanah pada setiap langkah kakinya ke mana pun ia berjalan.
saat meninggal dunia dari alam dewa, ia terlahir kembali di
alam manusia dari sekuntum bunga teratai di sebuah danau besar
di kaki sebuah gunung. Seorang petapa bertempat tinggal di dekat
danau itu. Suatu pagi ia pergi ke danau untuk mencuci muka dan
melihat bunga teratai yang masih kuncup yang berukuran lebih
besar daripada kuncup lainnya, tetapi kuncup lainnya sudah mekar,
kuncup yang satu ini tidak mekar. Ia berpikir hal itu aneh maka ia
masuk ke air dan memetiknya.
Di tangannya kuncup itu membuka dan di dalamnya ia melihat
seorang bayi perempuan berbaring. Ia merasakan timbulnya kasih
sayang sebagai orangtua terhadap anaknya. Ia membawanya ke
pertapaannya bersama bunga teratai itu, dan meletakkannya di atas
selimut kecil. Berkat jasa masa lampau gadis kecil itu, susu menetes
dari ibu jari petapa itu yang digunakan untuk menyusui bayi itu.
saat bunga teratai pertama di mana ia berbaring telah menjadi
2880
layu, bunga teratai baru muncul di bawahnya.
saat gadis kecil itu sudah dapat berjalan dan berlompatan,
muncullah dari dalam tanah bunga-bunga teratai di bawah kakinya
ke mana pun ia berjalan. Ia memiliki kulit berwarna jingga.
Penampilan fisiknya tidak seperti manusia biasa dan hampir
menyerupai bidadari surga. sebab ia muncul dari bunga teratai,
ayah pengasuhnya, si petapa, menamainya Padumavatã (Nona
Teratai). saat petapa itu pergi mencari buah-buahan, ia ditinggal
sendirian di pertapaan itu.
Padumavatã Menjadi Seorang Ratu
saat Padumavatã telah dewasa, suatu hari saat si petapa sedang
pergi mengumpulkan buah-buahan, seorang pemburu yang
kebetulan datang ke pertapaan itu melihatnya dan berpikir, “Tidak
ada manusia di dunia ini yang secantik gadis ini. Aku harus mencari
tahu siapakah dia itu.” Maka ia menunggu kembalinya petapa
itu. saat petapa kembali, gadis itu menyambutnya, mengambil
gandar (yang penuh dengan buah-buahan) dan kendi air dari petapa
itu, menyediakan tempat duduk untuk ayah pengasuhnya, dan
melayaninya dengan penuh kasih sayang.
Pemburu itu yakin bahwa gadis itu yaitu seorang manusia, dan
sesudah memberi hormat kepada petapa itu ia duduk di sana. Petapa
itu memberinya buah-buahan dan air, lalu bertanya, “Apakah
engkau akan tinggal di hutan atau pulang ke rumahmu?”
Pemburu itu berkata, “Aku tidak mempunyai urusan lagi di hutan,
aku akan kembali ke rumahku.”
“Dapatkan engkau merahasiakan pertemuanmu dengan gadis itu
dan tidak memberitahukan kepada orang lain?”
“Jika engkau tidak ingin orang lain tahu, mengapa aku harus
memberitahukan kepada orang lain?” Tetapi ia berkata begitu
hanya untuk menyenangkan tuan rumahnya yang baik itu. Dalam
perjalanannya kembali sesudah memberi hormat kepada petapa itu,
2881
Riwayat Para Bhikkhunã Arahanta
ia dengan saksama menandai pohon-pohon dan menata dahan-
dahan pohon sepanjang jalan menuju pertapaan itu agar ia dapat
mengenali jalan itu.
Dan sesampainya di kota, ia pergi menghadap raja yang menanyakan
maksud kunjungannya. Ia berkata, “Tuanku, aku hanyalah
pelayanmu yang rendah, seorang pemburu. Aku datang untuk
melaporkan adanya seorang yang perempuan yang sangat cantik di
dalam hutan di kaki gunung yang tentu akan menjadi aset berharga
bagi Tuanku.” Ia menjelaskan pertemuannya itu kepada raja. Raja
menjadi sangat tertarik. Ia segera pergi ke kaki gunung itu. sesudah
mendirikan kemah tidak jauh dari pertapaan itu, ia menunggu
hingga si petapa telah selesai makan dan menghadap petapa itu
dengan disertai beberapa menterinya. Petapa itu sedang duduk di
pertapaannya saat raja menyapanya, sesudah saling bertukar sapa,
raja duduk di tempat yang semestinya.
Raja memberi persembahan benda-benda kebutuhan kepada
petapa itu. Dan lalu ia berkata, “Yang Mulia, apa gunanya
hidup di sini? Marilah kita pergi ke kota.” “Aku tidak akan pergi,
Tuanku,” jawab petapa itu, “Engkau boleh pergi,” selanjutnya raja
berkata, “Baiklah, Yang Mulia, tetapi aku mengetahui bahwa ada
seorang perempuan yang tinggal bersamamu. Tidaklah baik bagi
seorang perempuan tinggal bersama seorang petapa. Aku memohon
agar perempuan itu diizinkan pergi bersamaku.”
Atas permohonan langsung yang diajukan oleh raja itu, si petapa
menjawab, “Tidaklah mudah untuk menyenangkan banyak orang.
Bagaimana mungkin putriku dapat menjalani kehidupan istana
dengan banyak ratu dan perempuan yang melayani?”
Raja menenangkan petapa itu dengan berkata, “Yang Mulia, jika
aku (diizinkan untuk menikahinya) telah memberi cintaku
kepadanya aku akan mengangkatnya menjadi permaisuriku.”
Selanjutnya si petapa memanggil anaknya, dengan panggilan
seperti yang biasa ia gunakan sejak saat ia masih kecil, “Padumavatã,
Anakku!” Padumavatã segera menjawab, ia keluar dari pertapaan
2882
dan, memberi hormat kepada ayahnya dan berdiri di depan ayahnya.
Sang ayah berkata, “Anakku, engkau telah dewasa. Sejak pertama
raja melihatmu, engkau tidak dapat lagi menetap di sini. Pergilah
bersama raja, Anakku.”
“Baiklah, ayah,” ia berkata, menangis sambil masih tetap berdiri.
Raja Bà rà õasã, ingin membuktikan ketulusannya, memberi emas,
perak, dan perhiasan lainnya kepada Padumavatã dan sejak saat itu
mengangkatnya menjadi permaisuri.
Ratu Padumavatã Menguasai Hati Raja dan Menjadi Korban
Muslihat Istana
Di istana Bà rà õasã, hati raja begitu terpikat oleh permaisuri
sehingga sejak kedatangannya, semua ratu lainnya dan para
pelayannya diabaikan oleh raja. Para perempuan itu menjadi gundah
dan mencoba untuk meruntuhkan kasih sayang raja terhadap
permaisuri. Mereka berkata, “Tuanku, Padumavatã bukan manusia.
Di manakah engkau pernah melihat seorang manusia yang dalam
setiap langkahnya muncul bunga teratai dari dalam tanah? Ia yaitu
siluman, pasti begitu. Ia berbahaya. Ia harus dilenyapkan segera!”
Raja tidak mengatakan apa-apa.
Pada saat lainnya, saat raja pergi dalam tugasnya memadamkan
pemberontakan di wilayah yang jauh, ia terpaksa meninggalkan
Padumavatã di istana, sebab tahu ia sedang hamil. Para perempuan
di istana itu mendapat kesempatan untuk membalas. Mereka
menyuap pelayan Padumavatã untuk turut dalam rencana jahat
mereka. Ia diperintahkan untuk menyingkirkan bayi yang akan
dilahirkan oleh permaisuri dan menggantinya dengan sepotong
kayu yang dilumuri darah.
saat Padumavatã melahirkan anaknya, Pangeran Mahà paduma
yaitu anak sebenarnya yang ia lahirkan sebab ia yaitu satu-
satunya yang dikandung dalam rahimnya. Anak-anak lainnya,
empat ratus sembilan puluh sembilan bayi lainnya, muncul dari
tetesan darah yang memercik saat kelahiran anaknya itu. Pelayan itu
2883
Riwayat Para Bhikkhunã Arahanta
menjalani apa yang diperintahkan kepadanya dan memberitahukan
berita kelahiran itu kepada ratu lainnya. Lima ratus perempuan di
istana itu masing-masing mencuri satu anak sewaktu ibu masih
tertidur. lalu mereka memerintahkan pembuatan lima
ratus peti kayu untuk meletakkan masing-masing bayi. Mereka
memasukkan bayi-bayi itu ke dalam peti itu dan menyegelnya.
saat Ratu Padumavatã bangun dan bertanya kepada pelayannya
tentang anaknya, si pelayan menjawab, “Di mana engkau
melahirkan bayi? Inilah yang engkau lahirkan,” dan menunjukkan
sepotong kayu yang berlumuran darah. Ratu menjadi tidak
senang dan menyuruhnya segera membuangnya. Pelayan itu
segera melakukannya seolah-olah melindungi kehormatan ratu, ia
menghancurkan kayu itu dan melemparkannya ke dalam tungku
api di dapur.
Raja kembali dari ekspedisinya dan berkemah di luar kota menunggu
waktu yang baik menurut perhitungan peramal. Para perempuan
pergi menyambut raja di sana dan mengajukan kasus untuk mengusir
Ratu Padumavatã. “Tuanku, engkau tidak akan memercayai kata-kata
kami tentang sang permaisuri. Tetapi tanyakanlah kepada pelayan
Permaisuri Padumavatã, ia telah melahirkan sepotong kayu!” Raja,
tanpa melakukan penyelidikan, memercayai bahwa Padumavatã
yaitu siluman dan mengusirnya.
Bintang Padumavatã sekarang mulai meredup. Sejak ia diusir dari
istana, tidak ada bunga teratai yang muncul dari bawah kakinya.
Penampilannya yang rupawan meninggalkannya. Ia berjalan di jalan
raya, merasa sedih. saat seorang perempuan tua melihatnya, ia
merasa kasihan terhadapnya dan berkata, “Ke manakah engkau akan
pergi, Anakku?” Padumavatã menjawab. “O Ibu, aku sedang mencari
tempat berteduh.” Perempuan tua itu berkata, “Kalau begitu,
Anakku, ikutlah aku ke rumahku,” dan ia membawa Padumavatã
pulang ke rumahnya dan memberinya makan.
Muslihat Istana Mulai Terungkap
Saat Padumavatã berada di rumah perempuan tua itu, para
2884
perempuan istana sepakat berkata kepada raja, “O Tuanku, saat
engkau sedang dalam ekspedisi militer, kami memanggil para dewa
penjaga Sungai Gaïgà demi keberhasilanmu dan berjanji untuk
memberi persembahan saat engkau kembali dengan selamat.
sebab itu marilah kita pergi ke Sungai Gaïgà untuk memberi
persembahan kepada dewa sungai dan bersenang-senang mandi
di sungai,” raja dengan gembira menyetujui dan mereka semua
pergi ke sungai.
Lima ratus perempuan istana itu diam-diam membawa peti-peti
berisi bayi dan masuk ke air dengan pakaian lengkap untuk
menyembunyikan peti-peti itu. sesudah berada di air, mereka
menghanyutkan peti-peti itu ke dalam air. Lima ratus peti itu
berkumpul bersama dalam aliran air, mengapung bersama, dan
tertangkap oleh jala nelayan di hilir. sesudah raja selesai mandi di
sungai, si nelayan mengangkat jalanya dari air dan terkejut melihat
lima ratus peti itu, yang diserahkan kepada raja. Raja bertanya,
“Apakah isi peti itu?” dan mereka menjawab, “Kami tidak tahu
apa isinya, Tuanku, kami hanya yakin bahwa isinya pasti sesuatu
yang aneh.” saat lima ratus peti itu dibuka atas perintah raja, peti
pertama yang dibuka kebetulan berisi Pangeran Mahà paduma.
Jasa masa lampau lima ratus pangeran itu mengakibatkan sejak
mereka berada di dalam peti itu, susu mengalir dari ibu jari mereka
untuk memberi makan mereka. Sakka juga turut melenyapkan
keraguan raja dengan menuliskan pesan dalam peti yang
bertuliskan:
“Bayi-bayi ini dilahirkan oleh Ratu Padumavatã dan yaitu putra-
putra Raja Bà rà õasã. Mereka dimasukkan ke dalam peti oleh lima
ratus ratu dan komplotannya yang dendam terhadap permaisuri dan
dibuang ke sungai. Semoga Raja Bà rà õasã mengetahui fakta ini.”
Sang raja, yang telah menjadi jelas, membawa Pangeran Mahà paduma,
dan memerintahkan, “O pengawal, siapkan kereta dan cepat hias
kuda! Aku akan pergi ke kota dan menunjukkan cintaku kepada
seorang perempuan.” sesudah berkata demikian, ia bergegas masuk
ke kota, masuk ke istananya, dan memerintahkan agar disiapkan
2885
Riwayat Para Bhikkhunã Arahanta
gajah istana untuk melakukan perjalanan dengan (sebuah tas
beludru berisi) seribu keping uang yang diikatkan di leher gajah
itu, dan memerintahkan agar mengumumkan kepada seluruh
warga bahwa siapa pun yang melihat Ratu Padumavatã boleh
mengambil hadiah dari raja berupa seribu keping uang.
Padumavatã, mendengar pengumuman itu, berkata kepada si
perempuan tua, “Ibu, ambillah seribu keping uang itu dari leher
gajah istana itu!” perempuan itu berkata, “O Anakku, aku tidak
berani melakukannya.” Padumavatã mendesaknya dua kali, tiga
kali untuk melakukannya. Akhirnya perempuan tua itu berkata,
“O Anakku, apa yang harus kukatakan untuk mengambil hadiah
itu?” “Katakan saja, ibu, ‘Aku telah melihat Ratu Padumavatã.’”
Perempuan tua itu memberanikan dirinya menuntut hadiah itu.
Pengawal raja bertanya kepadanya, “Apakah engkau sungguh
melihat Ratu Padumavatã?” “Aku tidak melihatnya sendiri,” ia
berkata, “tetapi anakku yang melihatnya.”
“Di manakah anakmu sekarang?” para pengawal bertanya. Dan
mereka diajak ke rumah perempuan tua itu. Mereka mengenali
ratu mereka dan berlutut di hadapannya, si perempuan tua,
mengetahui identitas sebenarnya dari si perempuan muda itu,
menegurnya, “Perempuan mulia ini sungguh sembrono. Bukannya
mempertahankan posisinya sebagai permaisuri, ia malah memilih
hidup tanpa dilayani di tempat kumuh ini.”
Para pengawal raja memagari rumah sederhana itu dengan kain
putih, menempatkan penjaga dan melaporkan penemuan mereka
kepada raja. Raja mengirimkan tandu emas untuk menjemputnya.
Tetapi Padumavatã memaksa bahwa ia layak mendapatkan Ritual
yang lebih megah untuk kembali ke istana. Ia mendesak agar
dibuatkan jalan setapak yang beratap dan berhiaskan bintang-
bintang emas menuju istana dan beralaskan karpet yang indah.
Ia juga menuntut agar perhiasan istana dikirim kepadanya. “Aku
akan berjalan kaki ke sana,” ia berkata, “agar kemuliaanku terlihat
oleh seluruh warga .” Raja memenuhi semua keinginan
permaisurinya. lalu Ratu Padumavatã, berhiaskan perhiasan
2886
lengkap, mengumumkan, “Sekarang aku akan pergi ke istana.”
Dan selanjutnya, dalam setiap langkahnya, muncul bunga teratai
dari dalam tanah menembus karpet indah itu. Para warga
menyaksikan kemuliaannya, ia memasuki istana. sesudah itu, ia
memberi karpet indah itu kepada si perempuan tua sebagai
tanda terima kasih.
Kedermawanan Ratu Padumavatã
Raja memanggil lima ratus perempuan istana dan berkata kepada
Ratu Padumavatã, “Ratuku, aku menyerahkan lima ratus perempuan
ini sebagai budakmu.” Ratu berkata, “O Tuanku, umumkanlah
ke seluruh kota mengenai pemberian lima ratus perempuan ini
kepadaku.” Raja mengumumkan fakta penyerahan lima ratus
perempuan itu kepada Ratu Padumavatã ke seluruh kota diiringi
dengan tabuhan genderang. sesudah puas dengan pengumuman itu,
Ratu Padumavatã berkata kepada raja, “Tuanku, apakah aku berhak
membebaskan budak-budakku?” Raja menjawab, “O Ratu, engkau
berhak melakukan apa pun terhadap mereka.” “Kalau begitu,
Tuanku,” ia berkata, “Umumkanlah sekali lagi bahwa seluruh lima
ratus budak yang diserahkan kepada Ratu Padumavatã diberikan
kebebasan oleh ratu.” lalu ratu mempercayakan 499 pangeran
untuk diasuh oleh masing-masing budak yang telah bebas itu, ia
sendiri mengasuh Pangeran Mahà paduma.
Lima Ratus Pangeran Menjadi Pacceka Buddha
saat lima ratus pangeran itu sudah memasuki usia bermain-main,
raja menyediakan segala benda di taman kerajaan sebagai tempat
bermain bagi anak-anak itu. saat mereka berusia enam belas
tahun, suatu hari mereka bermain di danau istana, di mana tumbuh
banyak bunga teratai paduma, mereka mengamati mekarnya bunga-
bunga teratai itu, menjadi layu dan berguguran. Berkat jasa mereka,
pemandangan itu mengetuk hati mereka sebagai fenomena yang
layak direnungkan. Dan beginilah mereka merenungkannya:
“Bahkan bunga-bunga teratai ini yang hanya bergantung pada suhu
dan nutrisi juga akan mengalami usia tua, bagaimana mungkin
2887
Riwayat Para Bhikkhunã Arahanta
jasmani kita, yang bergantung pada empat faktor (kamma, batin,
suhu, dan nutrisi) dapat menghindar dari takdir ini. (kami juga akan
mengalami hal yang sama, usia tua dan kematian.)”
Mereka merenungkan dalam-dalam fenomena ini
(ketidakkekalan dari kehidupan yang berkondisi), mencapai
Pandangan Cerah terhadap sifat batin dan jasmani, dan mencapai
Pencerahan oleh diri mereka sendiri, tanpa diajari oleh siapa
pun. Ini disebut Paccekabodhi ¥Ã õa yang mengarah pada empat
Pengetahuan Jalan Ariya. Dengan kata lain, mereka menjadi Pacceka
Buddha. lalu mereka bangkit dari tempat duduk mereka,
masing-masing duduk bersila di atas bunga teratai dengan kekuatan
batin mereka.
Saat malam telah larut, para pelayan dari pangeran-pangeran itu
mengingatkan mereka, “O tuanku, sudah waktunya pulang.” Lima
ratus Pacceka Buddha itu tidak mengatakan apa-apa. sebab itu
mereka pergi ke istana dan melaporkan hal itu kepada raja—bahwa
para pangeran tetap diam, semuanya duduk di atas bunga teratai.
Raja hanya mengucapkan, “Biarkan putra-putraku melakukan apa
yang mereka suka.”
Lima ratus Pacceka Buddha itu dijaga sepanjang malam, saat
mereka duduk di atas bunga teratai. Hari telah subuh. Dan para
pelayan mendatangi mereka dan berkata, “O Pangeran, sudah
waktunya untuk pulang.” lalu para pangeran yang sekarang
telah menjadi para Pacceka Buddha itu berkata, “Kami bukan lagi
pangeran, kami disebut Pacceka Buddha.” Para pelayan itu tidak
percaya dan berkata, “Kata-kata kalian tidak beralasan. Para Pacceka
Buddha tidak seperti kalian, mereka hanya memiliki rambut dan
kumis atau janggut sepanjang lebar dua jari, mereka memiliki
perlengkapan petapa. Tetapi kalian mengenakan pakaian seperti
pangeran, berambut dan kumis panjang, dan memakai perhiasan
istana. Bagaimana mungkin kalian mengatakan bahwa kalian yaitu
para Pacceka Buddha?” (Para pelayan itu menjelaskan ciri-ciri
Pacceka Buddha sesuai apa yang mereka ketahui.) selanjutnya para
pangeran itu mengusap kepala mereka, dan sesaat penampilan
mereka berubah menjadi para Pacceka Buddha lengkap dengan
2888
delapan perlengkapan seorang bhikkhu (Pacceka Buddha). Dan
dengan disaksikan oleh para pelayan, mereka terbang ke angkasa
menuju arah Gunung Gandamà dana.
Bakal Therã Uppalavaõõà Dalam Kehidupan Terakhirnya
Sebagai Buruh Tani
Ratu Padumavatã, sesudah menikmati kepuasan mendapatkan
kembali lima ratus putranya, tiba-tiba terkejut sebab mendadak
kehilangan anak-anak muda yang ia sayangi. Ia meninggal dunia
sebab terkejut. sesudah meninggal dunia dari kehidupannya
itu, ia terlahir kembali dalam sebuah keluarga pekerja di sebuah
desa di dekat gerbang Kota RÃ jagaha. Ia menikah dan menetap
di rumah keluarga suaminya. Suatu hari sewaktu ia membawa
bubur untuk suaminya yang sedang bekerja di sawah, ia melihat
delapan dari lima ratus Pacceka Buddha terbang di angkasa. Ia
segera mendatangi suaminya dan berkata, “O suamiku, lihatlah
para Pacceka Buddha itu! marilah kita mengundang mereka untuk
menerima persembahan makanan.” Tetapi suaminya yaitu seorang
yang bodoh yang tidak mengetahui apa itu Pacceka Buddha. Ia
berkata kepada istrinya, “Istriku, mereka disebut bhikkhu terbang
(bhikkhu-burung). Mereka juga ada beterbangan di tempat-tempat
lain (pada masa yang lain juga. Versi Srã Laïka). Mereka bukan
Pacceka Buddha, mereka hanya burung (aneh).”
Selagi pasangan itu sedang mendiskusikan hal itu, delapan
Pacceka Buddha itu turun tidak jauh dari mereka. Sang istri
mempersembahkan jatah makanannya kepada delapan Pacceka
Buddha itu dan mengundang mereka untuk menerima persembahan
keesokan harinya. Para Pacceka Buddha itu berkata, “Baiklah, umat
perempuan, siapkanlah persembahan untuk delapan penerima saja.
Dan juga siapkan akomodasi untuk delapan undangan saja. Saat
engkau melihat lebih banyak Pacceka Buddha selain kami, baktimu
akan tumbuh semakin besar.” Dan perempuan itu (yang yaitu ibu
para Pacceka Buddha itu pada kehidupannya yang sebelumnya,)
mempersiapkan delapan tempat duduk dan mempersiapkan
persembahan untuk delapan Pacceka Buddha.
2889
Riwayat Para Bhikkhunã Arahanta
Delapan undangan itu berkata kepada para Pacceka Buddha
lainnya, “Jangan pergi ke tempat lain untuk mengumpulkan dà na
makanan, tetapi limpahkanlah berkah demi kesejahteraan ibu kita
dalam kehidupannya sebelumnya. Para Pacceka Buddha itu setuju,
dan seluruh lima ratus Pacceka Buddha itu pergi melalui angkasa
ke rumah mantan ibu mereka. Sang ibu yang telah berfirasat akan
menjumpai seluruh lima ratus putranya yang sekarang menjadi
Pacceka Buddha, tidak mengkhawatirkan kurangnya persembahan
itu. Ia mengundang seluruh lima ratus Pacceka Buddha itu ke
rumahnya dan menyediakan delapan tempat duduk. saat Pacceka
Buddha kedelapan telah duduk, Pacceka Buddha kesembilan dengan
kekuatan batinnya menciptakan delapan tempat duduk lagi dan
duduk di sana; demikianlah seterusnya hingga Pacceka Buddha
terakhir duduk, rumah itu juga diperluas dengan kekuatan batin
mereka.
Si buruh tani, sang ibu dalam kehidupan sebelumnya, yang telah
mempersiapkan makanan untuk delapan penerima terus melayani
seluruh lima ratus Pacceka Buddha itu sebanyak yang mereka
butuhkan. lalu ia membawa delapan tangkai bunga teratai,
dan meletakkannya di depan delapan undangan yang pertama,
mempersembahkannya kepada mereka, dan berkata, “Yang Mulia,
dengan jasa kebajikan ini, semoga aku terlahir dengan kulit yang
berwarna seperti warna bagian dalam bunga teratai cokelat ini.”
Lima ratus Pacceka Buddha itu mengucapkan kata-kata pujian
atas kebajikannya, dan kembali ke Gunung Gandamà dana melalui
angkasa.
(b) Menjadi seorang bhikkhunã dalam kehidupan terakhir
Si buruh tani melakukan banyak kebajikan seumur hidupnya dan
di akhir hidupnya ia terlahir kembali di alam dewa. Pada masa
Buddha Gotama, ia terlahir dalam sebuah keluarga kaya di Sà vatthã.
Ia terlahir dengan kulit bagaikan bagian dalam bunga teratai
cokelat dan sebab itu dinamai Uppalavaõõà . saat ia dewasa,
semua keluarga kaya—orang-orang kaya dan para pangeran dari
seluruh Benua Selatan meminta pada ayahnya agar memberi
Uppalavaõõà untuk dinikahkan dengan putra mereka.
2890
Orang kaya itu menjadi kebingungan, ia tidak tahu bagaimana harus
memberi jawaban atas banyaknya lamaran dari orang-orang kaya
itu. Ia tidak ingin mengecewakan mereka. sebab itu, sebagai jalan
keluar dari masalah itu, ia bertanya kepada putrinya, “Anakku,
apakah engkau ingin menjadi seorang bhikkhunã?” Sekarang,
Uppalavaõõà , yang memikul beban kehidupan terakhirnya, sangat
gembira mendengar kata-kata ayahnya, bagaikan minyak harum
yang dimurnikan seratus kali disiramkan ke atas kepalanya, “Ya,
ayah, aku ingin menjadi seorang bhikkhunã,” ia menjawab dengan
gembira.
Orang kaya itu mengirim putrinya Uppalavaõõa ke vihà ra bhikkhunã
sesudah memberi penghormatan kepadanya. UppalavaõõÃ
menjadi seorang bhikkhunã. Tidak lama sesudah ia mendapat
giliran untuk merapikan vihà ra dan menyalakan pelita di luar
simà , aula pertemuan. Di sana ia mengamati api yang menyala di
pelita sebagai subjek meditasi. Ia berkonsentrasi pada unsur panas
dalam api ini , dan mencapai konsentrasi (Jhà na). Berdasarkan
pada konsentrasi ini sebagai objek Meditasi Pandangan Cerah,
(melalui perenungan terhadap tiga corak fenomena jasmani dan
batin, ia mencapai Pandangan Cerah ke dalam fenomena berkondisi)
dan segera mencapai Kearahattaan. Sebagai akibat dari cita-cita
masa lampaunya untuk menjadi yang terbaik dalam hal kekuatan
batin, ia menjadi memiliki kemampuan dalam praktik Jhà na yang
merupakan aset penting dalam kekuatan batin.
(c) Therã Uppalavaõõà sebagai bhikkhunã terbaik
Suatu hari saat Therã Uppalavaõõà memperlihatkan kekuatan
gaibnya pada tahun ketujuh sesudah Buddha mencapai Pencerahan
Sempurna. Sebelum melakukannya, ia terlebih dahulu berkata
kepada Buddha, “Yang Mulia, sudilah Bhagavà memperbolehkan
aku mendemonstrasikan kesaktianku.” Sehubungan dengan hal ini,
Buddha, pada kesempatan lainnya saat menganugerahkan gelar
bhikkhunã terbaik, menyatakan:
“Para bhikkhu, di antara para bhikkhunã siswa-Ku yang memiliki
2891
Riwayat Para Bhikkhunã Arahanta
kekuatan batin, Bhikkhunã Uppalavaõõà yaitu yang terbaik.”
Demikianlah kisah Therã UppalavaõõÃ
(4) Therã Pañà cà rÃ
(a) Cita-cita masa lampau
Bakal Therã Pañà cà rà terlahir dalam sebuah keluarga kaya di Kota
Haÿsà vatã pada masa kehidupan Buddha Padumuttara. Suatu hari
ia mendengarkan khotbah yang disampaikan oleh Buddha dan
menyaksikan seorang bhikkhunã yang dinyatakan oleh Buddha
sebagai bhikkhunã terbaik di antara mereka yang menguasai
peraturan Vinaya. Ia bercita-cita untuk mencapai posisi yang
sama pada masa depan dan sesudah memberi persembahan
besar kepada Buddha, ia mengungkapkan cita-citanya untuk
menjadi bhikkhunã terbaik dalam hal Vinaya. Buddha Padumuttara
meramalkan bahwa cita-citanya akan tercapai.
Kehidupannya Sebagai Satu dari Tujuh Putri Raja Kikã
Putri orang kaya itu melakukan banyak kebajikan seumur
hidupnya. Saat meninggal dunia ia terlahir kembali di alam dewa
dan di alam manusia silih berganti. Pada masa Buddha Kassapa, ia
terlahir kembali sebagai putri ketiga dari tujuh putri terkenal Raja
Kikã (dari Bà rà õasã) seperti yang telah disebutkan sebelumnya; ia
bernama Bhikkhunã, ia dan enam saudarinya tetap menjadi perawan,
menjalani hidup suci seumur hidup mereka selama dua puluh
ribu tahun, dan mereka bersama-sama mempersembahkan sebuah
kompleks vihà ra yang besar.
(b) Menjadi bhikkhunã dalam kehidupan terakhir
Putri raja itu, sesudah meninggal dunia dari kehidupannya itu,
terlahir kembali di alam dewa. Selama tahun-tahun yang tidak
terhingga lamanya antara munculnya dua Buddha, ia hanya
menikmati kenikmatan surgawi. Pada masa Buddha Gotama, ia
terlahir kembali sebagai putri seorang kaya dari Sà vatthã.
2892
sesudah dewasa ia jatuh cinta dengan seorang pelayan ayahnya.
saat orangtuanya mempersiapkan pernikahannya dengan putra
seorang kaya yang lain, ia memperingatkan kekasihnya sehari
sebelum hari pernikahan bahwa jika ia tidak segera menikahinya,
hubungan cinta mereka akan berakhir. Pelayan itu juga sungguh
mencintainya. Ia menikahinya, dengan membawa sedikit tabungan
yang ia miliki, kedua kekasih itu diam-diam melarikan diri dan tiba
di sebuah desa kecil, tiga atau empat yojanà jauhnya dari Sà vatthã.
Seiring berjalannya waktu, putri orang kaya itu hamil dan berkata
kepada suaminya, “Suamiku, tempat ini terlalu terpencil bagi
kita untuk melahirkan anak. Marilah kita kembali ke rumah
ayahku.” Sang suami yaitu orang yang penakut. Ia tidak berani
menghadapi konsekuensi jika kembali ke rumah majikannya
sehingga ia menunda-nunda. Sang istri lalu memutuskan
bahwa suaminya tidak akan mengantarkannya pulang ke rumah
ayahnya dan memilih hari di mana suaminya tidak berada di rumah,
ia berjalan sendirian ke rumah ayahnya.
saat suami pulang dan mengetahui bahwa istrinya telah pulang
ke rumah orangtuanya, ia merasa kasihan, “Ia harus menderita
sebab aku,” ia menyesal dan segera menyusul istrinya. Ia berhasil
menyusulnya dalam perjalanan tetapi sang istri telah melahirkan
anaknya. lalu mereka sepakat bahwa berhubung tujuannya
pulang ke rumah orangtuanya yaitu agar dapat melahirkan anak
dengan selamat, dan bahwa sekarang anak itu telah dilahirkan
dengan selamat, tidak ada gunanya lagi mereka pulang ke rumah
orangtuanya. Maka mereka pulang ke rumah mereka di desa
kecil.
Menjelang kelahiran anak berikutnya, sang istri meminta agar
suaminya membawanya ke rumah orangtuanya. Sang suami
menunda-nunda seperti sebelumnya, dan sebab tidak sabar, sang
istri pergi sendirian. Dalam perjalanan itu ia melahirkan anak
keduanya dengan selamat saat suaminya berhasil menyusulnya.
Pada waktu itu turun hujan lebat di empat penjuru. Sang istri
meminta suaminya untuk mendirikan tempat berteduh dari hujan.
2893
Riwayat Para Bhikkhunã Arahanta
Ia membangun sebuah gubuk darurat dari kayu yang ia temukan.
lalu ia pergi mencari rumput untuk membangun tanggul di
sekeliling gubuk kecil itu. Ia mencabut rumput dari tanah tanpa
memerhatikan keadaan sekelilingnya.
Seekor ular kobra yang sedang berbaring di dalam tanah merasa
terganggu dan mematuk orang itu yang mati sesaat itu juga. Sang
istri yang menunggu di dalam gubuk darurat itu, sesudah menunggu
semalam suntuk, berpikir bahwa suaminya telah meninggalkannya.
Ia pergi mencarinya dan menemukan suaminya telah berbaring mati
di tanah. “Oh, suamiku mati sebab aku!” ia menangis. Dan sambil
memegang tangan anak pertamanya dan menggendong bayinya, ia
berjalan menuju Sà vatthã. Di depan, ia harus menyeberangi sungai
yang dangkal (yang terlihat dalam). Ia berpikir bahwa ia tidak akan
dapat menyeberanginya dengan membawa kedua anak sekaligus.
Maka ia meninggalkan anak pertamanya di tepi sungai dan sesudah
menyeberanginya sambil menggendong bayinya, ia meletakkan
bayinya di tepi seberang, membungkusnya agar tetap hangat.
Ia menyeberang kembali untuk menjemput anak pertamanya.
Tetapi saat ia masih berada di tengah, seekor burung elang besar
menyambar bayinya sebab menganggapnya sebagai mangsanya.
Sang ibu terkejut dan mencoba untuk mengusir burung itu tetapi
isyarat tangannya disalahartikan oleh anak pertamanya sebagai
panggilan untuk memasuki air. Ia terpeleset dan hanyut terbawa
arus. Sebelum sang ibu berhasil mendatangi bayinya, burung itu
telah menangkap bayi itu dan terbang menghilang. Ia meratapi
nasibnya dalam setengah bait syair berikut:
“Kedua anakku telah mati!
Dan suamiku juga telah mati dalam perjalanan!”
Sambil meratap, ia melanjutkan perjalanannya menuju Sà vatthã.
Setibanya di Sà vatthã, ia tidak dapat menemukan rumah orangtuanya.
Hal itu mungkin sebab kesedihannya, tetapi juga ada alasan lain
yang menyebabkan kegagalannya menemukan rumah orangtua itu.
sebab sewaktu ia bertanya kepada para warga di mana rumah
orangtua itu yang dulunya terletak di sana, mereka menjawab, “Apa
gunanya engkau mencari rumah itu? Rumah itu telah dihancurkan
2894
oleh badai tadi malam. Semua penghuni rumah itu mati di dalam
rumah yang runtuh. Mereka semua dikremasikan dalam satu
tumpukan. Dan itu yaitu tempat pemakaman mereka,” para
warga menunjukan asap tipis sisa pembakaran itu.
“Apa? Apa yang kalian katakan?” Hanya itulah yang mampu
ia ucapkan dan jatuh pingsan. saat sadar, ia kehilangan akal
sehatnya. Ia tidak memedulikan kesopanan, tanpa mengenakan
pakaian, dengan tangan terangkat liar, ia mendatangi tumpukan
kayu sisa pembakaran itu dan meratap:
“Kedua anakku telah mati!
Dan suamiku juga telah mati dalam perjalanan!
Ibuku, ayahku, dan saudaraku, (telah tewas bersama,)
Telah dikremasi dalam satu tumpukan.”
Arti Kata ‘Pañà cà rà ’
Putri orang kaya itu berkeliaran di kota dengan telanjang. saat para
warga mencoba menutupi tubuhnya, ia merobek pakaian itu.
Demikianlah ke mana pun ia pergi, ia dikelilingi oleh kerumunan
orang yang keheranan. Ia lalu dijuluki sebagai ‘Perempuan
telanjang’ Pañà cà rà . (Atau dalam pengertian lain dari kata Pà ëi
artinya ‘perempuan tidak tahu malu’). Saat ia yang kehilangan akal
sehatnya, meratapi peristiwa tragis itu, para warga akan berkata,
“Hei pergilah perempuan gila!” Beberapa orang akan melemparkan
kotoran dan sampah ke atas kepalanya, beberapa orang bahkan
melempar batu.
Pañà cà rà Menemukan Kedamaian
Buddha melihat Pañà cà rà berjalan tanpa arah sewaktu Beliau sedang
membabarkan khotbah kepada para hadirin di Vihà ra Jetavana.
Melihat bahwa indrianya telah matang, Buddha berkehendak agar
Pañà cà rà mendatangi-Nya di vihà ra. Para warga mencoba untuk
mencegahnya datang ke vihà ra tetapi Buddha berkata, “Jangan
mencegahnya.” saat ia medekat, Buddha berkata kepadanya,
“Pañà cà rà , sadarlah!”
2895
Riwayat Para Bhikkhunã Arahanta
Segera sesudah mendengar kata-kata Buddha, berkat kekuatan Buddha,
akal sehat Pañà cà ra pulih kembali. Mengetahui ketelanjangnnya, ia
duduk memeluk lutut sambil membungkuk, dan berusaha menutupi
ketelanjangannya dengan kedua tangannya. lalu seseorang
melemparkan pakaian kepadanya yang segera ia pakai dengan cara
menyelimuti dirinya. Ia mendekati Buddha. Dalam posisi bersujud,
ia menceritakan kisah tragisnya sebagai berikut:
“Yang Mulia, sudilah Engkau menjadi pelindungku! Anak keduaku
diterkam burung elang besar. Anak pertamaku hanyut di sungai.
Suamiku mati dalam perjalanan. Orangtuaku dan saudara-saudaraku
tewas dalam rumah yang runtuh dan mereka dikremasikan dalam
satu tumpukan.”
Buddha berkata kepadanya, “Pañà cà rà jangan ragu. Engkau telah
datang kepada siapa engkau dapat berlindung. Seperti engkau telah
meneteskan air mata sebab kehilangan anak-anakmu, suamimu,
ayah dan ibumu, demikian pula engkau telah meneteskan banyak
air mata, yang bahkan lebih banyak daripada air di empat samudra,
selama berada dalam lingkaran kehidupan yang tidak berawal.”
Bhagavà juga mengucapkan syair berikut:
“Pañà cà rà , air di empat samudra masih lebih sedikit jika dibandingkan
dengan jumlah air mata yang telah diteteskan seseorang sebab
kesedihan yang ditimbulkan oleh kehilangan orang yang ia sayangi.
Sekarang, anak-Ku, mengapa engkau begitu lalai? Waspyaitu .”
Mendengar khotbah Buddha yang berisikan perspektif saÿsà ra,
kesedihan dalam batin Pañà cà ra berkurang. Bhagavà , mengetahui
bahwa Pañà cà rà telah dapat menguasai kesedihannya, membabarkan
lebih lanjut sebagai berikut, “Pà ñà cà rà , anak atau suami tidak dapat
melindungi seseorang dalam perjalanan sesudah kematian, mereka
bukanlah perlindungan bagi seseorang. Oleh sebab itu, walaupun
anak atau suami masih hidup, mereka sama seperti tidak ada bagi
seorang pengembara di dalam saÿsà ra. Seorang bijaksana harus
menyucikan moralitasnya dan menjalani praktik mulia yang
mengarah menuju Nibbà na.”
2896
lalu Buddha mengucapkan syair berikut:
“Pañà cà rà , saat seseorang jatuh menjadi korban kematian, anak
atau orang tua atau saudara tidak dapat melindunginya; sanak
saudara seseorang tidak mampu memberi perlindungan.”―
Dhammapada, v.288.
“Mengetahui tidak adanya perlindungan terhadap kematian,
orang bijaksana yang terkendali moralitasnya harus bergegas
membersihkan Jalan Ariya yang mengarah menuju Nibbà na.”
Pada akhir khotbah itu Pañà cà rà membakar kotorannya yang tidak
terhingga melalui Pengetahuan Pemenang Arus dan mencapai
Sotà patti-Magga.
sesudah menjadi seorang Pemenang Arus, Pañà cà rà memohon
agar Buddha menahbiskannya menjadi bhikkhunã. Buddha
menyerahkannya kepada para bhikkhunã dan ia ditahbiskan menjadi
seorang bhikkhunã.
Bagaimana Pañà cà rà Mencapai Kearahattaan
Suatu hari Bhikkhunã Pañà cà rà sedang mencuci kakinya. Sewaktu
ia menyiramkan air ke kakinya, air mengalir sebentar lalu
berhenti. saat gayung kedua disiramkan, air itu mengalir sedikit
lebih jauh dari air pertama lalu berhenti. saat gayung ketiga
disiramkan, air itu mengalir sedikit lebih jauh dari gayung kedua.
Pañà cà rà yang telah menjadi seorang Pemenang Arus, bermeditasi
pada fenomena tiga aliran air ini , dan menerapkannya dalam
tiga periode kehidupan sebagai berikut:
“Seperti halnya aliran pertama akan berhenti di tempat yang dekat,
makhluk-makhluk hidup dapat mengalami kematian dalam periode
pertama kehidupan mereka. Seperti halnya aliran kedua yang
mengalir lebih jauh daripada aliran pertama dan berhenti, demikian
pula makhluk-makhluk hidup dapat mengalami kematian dalam
periode menengah kehidupan mereka.
2897
Riwayat Para Bhikkhunã Arahanta
Dan seperti halnya aliran ketiga yang mengalir lebih jauh daripada
aliran kedua dan berhenti, demikian pula makhluk-makhluk hidup
dapat mengalami kematian dalam periode terakhir kehidupan
mereka.”
Lebih jauh lagi ia merenungkan bahwa seperti halnya tiga aliran air
yang harus berhenti dan lenyap, demikian pula makhluk-makhluk
hidup harus menghentikan kehidupannya dan binasa. Demikianlah
ketidakkekalan dari segala sesuatu membangkitkan Pandangan
Cerah ke dalam semua fenomena berkondisi. Dari Pandangan Cerah
atas ketidakkekalan itu, corak penderitaan (dukkha) dari semua
fenomena berkondisi terbit dalam batinnya yang berkondisi; dan
selanjutnya tanpa-diri, kekosongan dari segela fenomena berkondisi
juga terlihat.
Merenungkan dalam-dalam tiga corak ini, ia masuk ke dalam kutinya
untuk mendapatkan kenyamanan suhu. Di sana ia meletakkan
lampu minyak di tempat biasanya dan untuk memadamkannya, ia
menarik turun sumbunya dengan memakai jarum.
Tepat pada saat itu, Buddha yang sedang duduk di dalam kuñã-Nya
mengirimkan Cahaya-Buddha kepada Pañà cà rà , memperlihatkan
diri-Nya dan berkata:
“Pañà cà rà , engkau berpikir benar; semua makhluk hidup pasti
mengalami kematian. Oleh sebab itu, sia-sialah hidup selama
seratus tahun tanpa persepsi benar tentang lima kelompok
kehidupan, tentang muncul dan lenyapnya; lebih baik hidup selama
satu hari dengan penuh pemahaman terhadap lima kelompok
kehidupan.”
Buddha menegaskan hal ini melalui syair sebagai berikut:
“Pañà cà rà , bahkan jika seseorang hidup selama seratus tahun
tanpa melihat (melalui Pandangan Cerah) muncul dan lenyapnya
fenomena berkondisi (yaitu, batin-dan-jasmani), yaitu lebih baik
hidup selama satu hari bagi seseorang yang melihat muncul dan
2898
lenyapnya batin-dan-jasmani.” (Dhammapada, v.13)
Pada akhir khotbah itu, Pañà cà rà mencapai Kearahattaan lengkap
dengan Empat Pengetahuan Diskriminatif.
(c) Pañà cà rà sebagai bhikkhunã terbaik
sesudah mencapai Kearahattaan, Pañà cà rà memelajari Vinaya dari
Buddha secara mendalam dan memberi penilaian bijaksana
atas segala permasalahan yang berhubungan dengan Vinaya. Oleh
sebab itu, pada suatu kesempatan saat Buddha berada dalam
suatu pertemuan di Vihà ra Jetavana untuk menganugerahkan gelar
bhikkhunã terbaik, Beliau menyatakan:
“Para bhikkhu, di antara para bhikkhunã siswa-Ku yang bijaksana
(terampil) dalam Vinaya, Bhikkhunã Pañà cà rà yaitu yang
terbaik.”
Demikianlah kisah Therã Pañà cà rà .
(5) Therã DhammadinnÃ
(a) Cita-cita masa lampau
Bakal Therã Dhammadinnà terlahir dalam sebuah keluarga miskin
berkasta rendah di Kota Haÿsà vatã pada masa kehidupan Buddha
Padumuttara. Ia yaitu orang yang bijaksana dan bajik. Suatu hari
Yang Mulia Sujà ta, Siswa Utama Buddha Padumuttara, datang untuk
mengumpulkan dà na makanan. Ia bertemu Yang Mulia Sujà ta saat ia
sedang membawa air dan mempersembahkan kue yang merupakan
bekalnya. Yang Mulia Sujà ta, sebagai penghargaan atas baktinya, dan
ingin melimpahkan berkah atas kebajikannya, duduk dan memakan
kue itu saat itu juga.
Yang Mulia Sujà ta yang baru bangun dari pencapaian Penghentian,
kondisi yang mendukung akibat yang langsung berbuah dari suatu
kebajikan.
2899
Riwayat Para Bhikkhunã Arahanta
Rasa bakti perempuan pekerja itu tumbuh begitu cepat sehingga ia
memotong rambutnya (yang indah) dan menjualnya dengan harga
murah. Dengan uang yang sedikit namun diperoleh dengan cara
yang benar, ia membeli makanan untuk dipersembahkan kepada
Yang Mulia Sujà ta di rumahnya. saat majikannya mengetahui
perbuatan mulia itu, ia begitu gembira sehingga ia menikahkannya
dengan putranya dan ia menjadi menantu si orang kaya.
Suatu hari, menantu orang kaya itu berkunjung ke vihà ra Buddha
bersama ibu mertuanya. saat ia sedang mendengarkan khotbah
Buddha, ia melihat Buddha menunjuk seorang bhikkhunã
sebagai yang terbaik dalam hal menjelaskan Dhamma. Ia sangat
berkeinginan untuk mencapai gelar yang sama pada masa depan. Ia
memberi persembahan besar kepada Buddha dan Saÿgha dan
bercita-cita untuk mencapai posisi ini . Buddha Padumuttara
meramalkan bahwa cita-citanya akan tercapai dalam masa ajaran
Buddha Gotama.
Kehidupannya Sebagai Penjaga Harta Istana
Menantu orang kaya itu melakukan banyak kebajikan seumur
hidupnya dan sesudah umur kehidupannya berakhir, ia meninggal
dunia dan terlahir kembali di alam dewa. Selanjutnya ia mengembara
hanya di alam manusia dan alam dewa. Sembilan puluh dua siklus
dunia sebelum siklus dunia sekarang, ia terlahir kembali sebagai istri
seorang kaya yang menjadi pejabat penjaga harta istana bagi tiga
pangeran yang merupakan adik tiri Buddha. Ia sangat dermawan
sehingga jika seseorang meminta satu, ia akan memberi dua.
(Sehubungan dengan kisah si petugas penjaga harta dan istrinya,
baca bab terdahulu.)
Kehidupannya Sebagai Salah Satu dari Tujuh Putri Raja Kikã
Istri orang kaya itu melakukan banyak kebajikan seumur hidupnya,
sesudah umur kehidupannya berakhir, ia meninggal dunia dan
terlahir kembali di alam dewa. Pada masa Buddha Kassapa, ia
terlahir kembali sebagai Putri Sudhammà , putri keenam dari
tujuh putri Raja Kikã dari Bà rà õasã, seperti yang telah disebutkan
2900
sebelumnya. Bersama saudari-saudarinya ia tetap menjadi perawan,
menjalani kehidupan suci seumur hidupnya selama dua puluh
ribu tahun, dan menjadi salah satu penyumbang bersama saudari-
saudarinya yang mempersembahkan sebuah kompleks vihà ra besar
kepada Saÿgha.
(b) Menjadi bhikkhunã dalam kehidupan terakhirnya
Putri Sudhammà melakukan banyak kebajikan seumur hidupnya
dan saat meninggal dunia, ia terlahir kembali di alam dewa. Dari
sana, ia mengembara hanya di alam dewa dan alam manusia
selama tahun-tahun yang tidak terhingga lamanya. Pada masa
Buddha Gotama, ia terlahir kembali dalam sebuah keluarga kaya
di RÃ jagaha. Saat ia menginjak usia menikah, ia menikah dengan
seorang kaya bernama Visà kha dan dikenal oleh orang-orang sebagai
Dhammadinnà , istri si orang kaya.
Visà kha dan Dhammadinnà , sembilan puluh dua siklus dunia
sebelumnya, juga merupakan pasangan kaya sebagai Penjaga
Harta istana dan istrinya pada masa Buddha Phussa yang layak
dicatat dalam perjalanan kebebasan mereka. Visà kha si orang kaya
yaitu salah satu dari seratus satu siswa Buddha yang mencapai
Pengetahuan Pemenang Arus pada hari Buddha tiba di RÃ jagaha
(pada hari purnama di bulan Pyatho (Januari) tahun 103 Mahà Era).
Ia yaitu sahabat Raja Bimbisà ra.
sesudah menjadi seorang Ariya sebagai Pemenang Arus, Visà kha
pada lalu hari mendengarkan khotbah Buddha dan mencapai
Sakadà gà mã-Phala (Yang Sekali Kembali) dan lalu ia mencapai
Anà gà mã-Phala, (Yang Tak Kembali). Begitu ia menjadi seorang
Yang Tak Kembali, penampilan dan sikapnya berubah secara drastis.
Jika ia pulang ke rumah berharap untuk melihat istrinya, wajahnya
penuh dengan senyuman, penampilannya tenang, air mukanya
cerah dan pikirannya damai.
Istrinya, Dhammadinnà , seperti biasanya, melihat melalui jendela
yang berhiaskan ukiran menunggu kepulangan suaminya. saat
ia melihat penampilan tenang suaminya berjalan pulang, ia
2901
Riwayat Para Bhikkhunã Arahanta
merasa aneh, “Apa yang terjadi?” ia berpikir. Ia menuruni tangga
dan merentangkan tangannya menyambut suaminya. Walaupun
sudah menjadi kebiasaan untuk menggenggam tangan istrinya
dan berjalan menaiki tangga (sambil berbincang-bincang), pada
hari itu, ia menarik tangannya dan tidak merangkul istrinya.
“Mungkin aku akan mengetahuinya nanti di meja makan,” pikir
sang istri. Tetapi saat makan pagi, sang suami tidak makan bersama
istrinya, melainkan makan sendirian dan berdiam diri bagaikan
seorang bhikkhu yang sedang bermeditasi. “Mungkin aku akan
mengetahuinya nanti malam,” ia berpikir.
Tetapi malam harinya, Visà kha tidak memasuki kamar mereka.
Melainkan menyiapkan sebuah kamar terpisah sebagai kamar
tidurnya dan tidur sendirian. Sang istri mulai cemas, “Apakah
suamiku berselingkuh? Atau apakah orang lain telah menyebabkan
kesalahpahaman antara kami? Atau apakah ia melihat cacat dalam
diriku?” Spekulasi-spekulasi yang tidak berdasar ini menggerogoti
batinnya. sesudah dua atau tiga hari ia tidak tahan lagi melihat
sikap sang suami. Ia berdiri, dan dengan merangkapkan tangannya
menghormati suaminya, ia menunggu reaksinya. lalu sang
suami berkata:
“Mengapa engkau mendatangiku pada saat yang tidak tepat ini?”
“Saat yang tidak tepat, ya, suamiku. Tetapi engkau sudah berubah
sekarang. Ada apa denganmu? Apakah ada perempuan lain selain
diriku?”
“Tidak, Dhammadinnà , tidak ada perempuan lain.”
“Kalau begitu, apakah seseorang telah mengadu-domba kita?”
“Tidak, tidak ada hal seperti itu.”
“Kalau begitu, apakah engkau melihat cacat dalam diriku?”
“Tidak, Dhammadinnà , engkau tidak memiliki cacat apa pun.”
2902
“Kalau begitu, mengapa engkau menjauhiku seolah-olah kita yaitu
orang asing satu sama lain dan bukannya suami istri? Engkau tidak
banyak berbicara denganku beberapa hari terakhir ini.”
Ditanya demikian oleh istrinya, Visà kha merenungkan, “Dhamma
spiritual yaitu hal yang sangat mendalam, tidak mudah
menjelaskannya seperti hal-hal duniawi. Kalau memungkinkan,
lebih baik aku menyimpannya sendiri. Tetapi sekarang, jika aku
tidak menjelaskan, Dhammadinnà pasti akan beranggapan keliru
dan menjadi patah hati.”
Dengan pikiran demikian, Visà kha berkata:
“Dhammadinnà , sesudah aku mendengarkan khotbah Buddha,
aku telah memahami Dhamma spiritual. Seseorang yang telah
memahami spiritualitas akan melihat urusan duniawi menjadi
tidak cocok baginya. Jika engkau mau, ada empat puluh crore
harta yang diberikan oleh orangtuamu kepada kita, dan ada empat
puluh crore lagi yang diberikan oleh orangtuaku kepada kita, harta
kekayaan bernilai delapan puluh crore ini kuserahkan kepadamu,
dan perlakukanlah aku seperti ibu atau kakakmu. Aku akan puas
dengan cara apa pun engkau merawatku. Atau, engkau juga boleh,
mengambil seluruh harta kekayaan itu dan pulang ke rumah
orangtuamu. Jika engkau tidak dapat memberi hatimu kepada
laki-laki lain, aku akan merawatmu seperti adik atau anakku.”
Mendengar kata-kata jujur suaminya itu, Dhammadinnà merasa
puas. Ia berpikir, “Tidak ada orang yang dapat mengatakan hal
itu. Suamiku pasti sungguh telah memahami Dhamma spiritual.
Tetapi, apakah spiritualitas hanya dapat dimiliki oleh para laki-laki?
Mungkinkah seorang perempuan dapat memahaminya?” Dengan
merenungkan demikian, ia bertanya kepada suaminya, “Suamiku,
apakah Dhamma spiritual hanya milik kaum laki-laki? Apakah
perempuan juga dapat memahaminya?”
“Mengapa, Dhammadinnà , siapa pun, laki-laki atau perempuan,
yang mempraktikkan Dhamma sesuai dengan ajaran dengan tekun
dapat menjadi pewaris Buddha dalam hal Dhamma. Jika seseorang
2903
Riwayat Para Bhikkhunã Arahanta
memiliki kondisi yang cukup, yaitu, jasa masa lampau, untuk
mencapai Pengetahuan Jalan, Spiritualitas dapat dicapai.”
“Kalau beg itu, izinkahlah aku untuk menjadi seorang
bhikkhunã.”
“Baiklah, istriku, aku senang engkau bercita-cita untuk mencapai
spiritualitas. Aku tidak menyarankannya kepadamu sebab aku
tidak mengetahui tanggapanmu.”
Visà kha lalu bergegas menghadap Raja Bimbisà ra yang
bertanya, “O orang kaya, apakah tujuanmu datang pada saat yang
tidak tepat ini?”
“Tuanku,” Visà kha berkata, “Dhammadinnà ingin menjadi seorang
bhikkhunã.”
“Apa yang harus kusediakan untuk Dhammadinnà ?”
“Tuanku, aku hanya ingin memohon dua hal, tandu emas dan
merapikan kota.”
Raja menyanggupi dua permohonan itu.
Perayaan Besar Saat Dhammadinnà Menjadi Seorang
Bhikkhunã
Visà kha memandikan Dhammadinnà dengan air harum,
memakaikan pakaian indah dan menuntunnya naik ke dalam
tandu. lalu , dengan dikelilingi oleh sanak saudaranya (dan
sanak saudara suaminya), ia dibawa ke vihà ra bhikkhunã melalui
kota yang dihias dengan keharuman dupa dan bunga-bungaan.
Di vihà ra bhikkhunã, Visà kha diminta oleh para bhikkhunã untuk
mengizinkan istrinya Dhammadinnà untuk menjadi seorang
bhikkhunã. “O orang kaya,” mereka berkata, “maafkanlah jika ia
pernah berbuat kesalahan sekali atau dua kali.” (Mereka berpikir
si orang kaya itu mengabaikan istrinya.)
2904
“Yang Mulia,” orang kaya itu menjawab, “Istriku tidak melakukan
kesalahan apa pun, ia menjalani kehidupan suci atas kemauannya
sendiri.”
Selanjutnya, seorang bhikkhunã yang menguasai Vinaya memberi
instruksi kepada Dhammadinnà untuk merenungkan kejijikan dari
badan jasmani yang dimulai dari kelompok lima unsur, yaitu,
rambut, bulu badan, kuku, gigi, dan kulit. lalu ia mencukur
rambut Dhammadinnà , memakaikan jubah. Visà kha lalu
bersujud kepada Bhikkhunã Dhammadinnà dan berkata, “Yang
Mulia, berbahagialah dalam kehidupan suci di dalam Dhamma.
Buddha telah mengajarkan kepada kita Dhamma yang agung pada
awal, pada pertengahan, dan pada akhir.” lalu ia pulang ke
rumahnya.
Sejak hari Dhammadinnà menjadi seorang bhikkhunã, ia menerima
banyak penghormatan dan persembahan dari para warga .
Melihat banyaknya pengunjung, ia hanya memiliki sedikit waktu
untuk bermeditasi. (Hanya sampai di sini kisah DhammadinnÃ
yang dikutip dari Komentar Majjhima Nikà ya, Måla Paõnà sa,
Cåëavedalla Sutta.)
Therã Dhammadinnà mempertimbangkan, “Visà kha telah
mengakhiri dukkha bahkan selagi masih sebagai perumah tangga.
Aku sebagai seorang bhikkhunã juga harus dapat mengakhiri
dukkha.” Ia mendatangi penahbisnya dan berkata, “Yang Mulia,
aku lelah hidup di tempat seperti ini yang penuh dengan lima
kenikmatan indria, aku ingin pergi dan menetap di vihà ra di sebuah
desa kecil.” Si penahbis memahami bahwa keinginan DhammadinnÃ
tidak boleh diabaikan sebab ia berasal dari keluarga mulia, dan
sebab itu ia membawanya ke sebuah vihà ra di sebuah desa kecil.
Berkat latihan meditasi yang pernah ia lakukan dalam banyak
kehidupan lampau dengan melihat menembus sifat dari fenomena
berkondisi, Dhammadinnà tidak memerlukan waktu yang lama
untuk mencapai Pandangan Cerah dan mencapai Kearahattaan
lengkap dengan Empat Pengetahuan Diskriminatif. lalu
sesudah mengetahui pencapaiannya, ia mempertimbangkan di
2905
Riwayat Para Bhikkhunã Arahanta
manakah tempat yang cocok baginya untuk menolong orang lain
untuk mencapai Pencerahan. Di sana tidak ada banyak kesempatan
sebab desa itu hanyalah sebuah desa kecil sedangkan di RÃ jagaha
ia akan dapat membantu sanak saudaranya. Maka ia memutuskan
untuk kembali ke RÃ jagaha dan, sesudah memohon penahbisnya agar
menyertainya, ia kembali ke RÃ jagaha.
Pertanyaan-pertanyaan Visà kha Sehubungan Dengan Dhamma
saat Visà kha mengetahui bahwa Therã Dhammadinnà telah
kembali ke RÃ jagaha, ia ingin mengetahui mengapa, sesudah pergi
menetap di sebuah desa kecil, bhikkhunã ini kembali lagi
begitu cepat. Ia pergi menemuinya tetapi ia tidak ingin mengajukan
pertanyaan langsung apakah dalam menjalani kehidupan suci
ia merasa betah seperti di rumah sendiri. Sebaliknya, ia akan
mengajukan pertanyaan yang mendalam sehubungan dengan lima
kelompok kehidupan yang menjadi objek kemelekatan (tentang
sakkà yadiññhi), dan akan menilai batinnya dari jawaban-jawabannya.
Maka sesudah bersujud, ia duduk di tempat yang semestinya dan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan ajaran sehubungan dengan lima
kelompok kehidupan yang menjadi objek kemelekatan. (pertanyaan-
pertanyaan dan jawaban ini dapat dibaca dari Målapaõõà sa, 5-
Cåëayamaka Vagga, 4-Cåëavedalla Sutta.)
Dhammadinnà menjawab semua pertanyaan yang diajukan oleh
Visà kha dengan cepat bagaikan derap kaki kuda yang berlari dan
dengan tepat bagaikan tangkai teratai yang dipotong dengan belati
yang tajam. Visà kha mengetahui intelektualitas DhammadinnÃ
dan melanjutkan dari hal-hal yang berhubungan dengan (tiga)
Pengetahuan Magga yang lebih rendah yang telah ia pahami.
lalu ia melanjutkan dengan hal-hal yang berhubungan dengan
Arahatta-Magga yang ia sendiri belum mencapainya tetapi hanya
berdasarkan pengetahuan yang berasal dari apa yang ia dengar.
Dhammadinnà mengetahui bahwa Visà kha mampu mengajukan
pertanyaan yang berhubungan dengan Anà gà mã-Phala, dan bahwa
ia telah melampaui pengetahuannya saat ia menanyakan:
“Yang Mulia, apakah pendamping Nibbà na?” DhammadinnÃ
2906
berkata, “Teman Visà kha, pertanyaanmu telah berlebihan; tidaklah
mungkin bagimu untuk mencapai batas pertanyaan itu. (Tidaklah
mungkin baginya untuk mencapai batas pertanyaan itu sebab ia
menanyakan pendamping Nibbà na, sedangkan Nibbà na itu unik
dan tidak memiliki pendamping.) Sesungguhnya, teman Visà kaha,
praktik mulia kesucian terdiri dari Tiga Latihan yang mengarah
menuju Nibbà na, memiliki tujuan tertinggi Nibbà na, dan berakhir
pada Nibbà na. Teman Visà kha, engkau boleh menghadap BhagavÃ
dan meminta Beliau untuk menjelaskan hal ini. Dan ingatlah
penjelasan Bhagavà itu.”
lalu Visà kha menghadap Buddha dan menceritakan kepada
Beliau semua yang telah dikatakan antara dirinya dengan Therã
Dhammadinnà . saat Buddha mendengar seluruh pertanyaan
dan jawaban yang terjadi antara Visà kha dan Dhammadinnà , Beliau
berkata, “Bhikkhunã Dhammadinnà telah bebas dari segala bentuk
kemelekatan baik terhadap kelompok-kelompok khandhà masa
lampau, masa depan, atau masa sekarang.” lalu Buddha
mengucapkan syair berikut:
“(Visà kha,) ia yang tidak melekat pada kelompok-kelompok
kehidupan pada masa lampau, masa depan atau masa sekarang,
telah bebas dari noda-noda moral dan dari kemelekatan, ia Kusebut
brà hmaõa (yaitu, Arahanta).” (Dhammapada, v.421)
Pada akhir khotbah ini banyak pendengar yang mencapai
Pencerahan dan Buahnya dalam berbagai tingkat.
lalu Buddha memuji Dhammadinnà dan berkata, “Visà kha,
umat awam, Bhikkhunã Dhammadinnà seorang bijaksana,
Bhikkhunã Dhammadinnà memiliki pengetahuan luas. Visà kha,
engkau meminta jawaban dari-Ku atas pertanyaan-pertanyaan
itu, Aku juga akan menjawabnya dengan cara yang sama seperti
jawaban Bhikkhunã Dhammadinnà . Inilah jawaban-jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan itu. Ingatlah jawaban yang diberikan oleh
Dhammadinnà .” (Peristiwa ini melatarbelakangi DhammadinnÃ
dinyatakan sebagai bhikkhunã terbaik dalam menjelaskan
Dhamma.)
2907
Riwayat Para Bhikkhunã Arahanta
(Harus dimengerti bahwa khotbah yang dibabarkan oleh
Dhammadinnà , saat ditegaskan kembali oleh Buddha dalam
kata-kata yang lebih jelas, menjadi khotbah Buddha sendiri. Seperti
halnya pesan (yang ditulis oleh juru tulis) yang disahkan dan disegel
dengan cap kerajaan, menjadi pesan raja. Khotbah-khotbah lainnya
yang dibabarkan oleh para siswa lainnya yang telah disahkan oleh
Buddha juga dianggap sebagai khotbah Buddha.)
(c) Menjadi bhikkhunã terbaik
Pada lalu hari saat Buddha berada di Vihà ra Jetavana di
Sà vatthã, dan menganugerahkan gelar bhikkhunã terbaik, Beliau
menyatakan:
“Para bhikkhu, di antara para bhikkhunã siswa-Ku yang terampil
dalam membabarkan Dhamma, Bhikkhunã Dhammadinnà yaitu
yang terbaik.”
Demikianlah kisah Therã Dhammadinnà .
(6) Therã NandÃ
(Nama lengkap Therã Nandà yaitu Therã Janapadakalyà õã
Råpanandà . Kisahnya telah diceritakan sebelumnya pada bab
yang menjelaskan tentang Vijaya Sutta. Dalam bab ini hanya kisah
singkatnya yang akan dijelaskan seperti yang terdapat dalam
Komentar Aïguttara Nikà ya.)
(a) Cita-cita masa lampau
Bakal Therã Nandà terlahir dalam sebuah keluarga kaya di Kota
Haÿsà vatã pada masa Buddha Padumuttara. saat ia sedang
mendengarkan khotbah Buddha, ia menyaksikan Buddha
menganugerahkan gelar bhikkhunã terbaik di antara para
bhikkhunã yang menikmati kebahagiaan Jhà na. Ia bercita-cita
untuk mendapatkan gelar yang sama dan sesudah memberi
persembahan besar, ia mengungkapkan cita-citanya untuk menjadi
2908
bhikkhunã terbaik pada masa depan dalam hal kebahagiaan Jhà na.
Buddha meramalkan bahwa cita-citanya akan tercapai.
(b) Menjadi bhikkhunã dalam kehidupan terakhir
sesudah meninggal dunia, ia mengembara hanya di alam bahagia
selama seratus ribu siklus dunia. Dalam kehidupan terakhirnya,
ia terlahir sebagai seorang Putri Sakya yang kelak dinikahkan
dengan Pangeran Nanda. Ia juga dipanggil dengan nama Putri
Abhiråpanandà , dan sebab kecantikannya, ia juga dipanggil
dengan nama Putri Janapadakalyà nã.
Terlahir dari Ratu Mahà pajà patã Gotamã, Putri AbhirÃ¥panandÃ
(Janapadakalyà õã) yaitu calon pengantin yang telah dipersiapkan
untuk Pangeran Nanda. Tetapi saat Pangeran Nanda, Pangeran
RÃ hula, dan beberapa kerabat dekat Buddha telah ditahbiskan
menjadi bhikkhu pada saat Buddha berkunjung ke Kapilavatthu, dan
lalu sesudah Raja Suddhodana meninggal dunia, ibu-Nya Ratu
Mahà pajà patã Gotamã dan Ratu Yasodharà , ibu Pangeran Rà hula,
juga bergabung dalam Saÿgha Bhikkhunã, Putri Janapadakalyà õã
melihat bahwa tidak ada gunanya lagi ia tetap tinggal di istana. Ia
bergabung dengan ibunya, Bhikkhunã Mahà pajapatã Gotamã, sebagai
seorang bhikkhunã.
Sejak menjadi bhikkhunã, ia tidak pergi menghadap Buddha pada hari
yang telah ditetapkan baginya untuk menerima nasihat dari Buddha
seperti halnya para bhikkhunã lainnya, sebab Buddha dikenal suka
mencela kecantikan fisik seseorang. Ia mengirim bhikkhunã lain
untuk menerima nasihat dari Buddha mewakilinya. Buddha tahu
bahwa ia bangga akan kecantikan fisiknya dan memerintahkan
agar bhikkhunã ini harus datang sendiri menghadap Buddha
untuk menrima nasihat dan bukannya mewakilkan kepada orang
lain. Bhikkhunã Abhiråpanandà harus mematuhi perintah ini
dan terpaksa datang menghadap Buddha.
Buddha dengan kekuatan batin-Nya menciptakan seorang gadis
yang sangat cantik berdiri di samping Beliau sedang mengipasi
Beliau dengan kipas daun kelapa. saat Råpanandà melihat gadis
2909
Riwayat Para Bhikkhunã Arahanta
itu, kebanggaannya terhadap kecantikannya lenyap. “Mengapa,”
ia berpikir. “Aku begitu menyombongkan kecantikanku! Sungguh
memalukan! Di sini ada seorang gadis yang kecantikannya tidak
dapat kutandingi, aku bahkan tidak menyamai 1/256 kecantikannya.
Betapa bodohnya aku menjauhi Bhagavà .” Ia berdiri di sana
terpesona melihat kecantikan gadis ciptaan yang berdiri di dekat
Buddha.
Therã Råpanandà memiliki kondisi yang cukup (dari jasa kebajikan
yang terkumpul dalam kehidupan lamnpaunya) sehingga sesudah
mendengarkan satu syair yang dimulai dengan:
“Aññhãnaÿ nagaraÿ kataÿ...” (Kejijikan badan jasmani; Dhammapada
v.150) dan satu Sutta yang berjudul Vijaya Sutta yang dimulai
dengan
“Caraÿ và yadi và tiññham nisinno uda và sayaÿ... “ (“Selagi berjalan,
atau berdiri, atau duduk, atau berbaring... menjelaskan unsur-unsur
badan jasmani yang pada dasarnya tidak berbeda dengan mayat;
Sutta Nipà ta, Vijaya Sutta)―ia bermeditasi dengan tekun dengan
merenungkan kekosongan dari makhluk-makhluk hidup dan dalam
dua atau tiga hari, ia mencapai Kearahattaan.
(c) Menjadi bhikkhunã terbaik
Sejak saat ia mencapai Kearahattaan, Therã Råpanandà tidak ada
tandingannya di antara para bhikkhunã dalam hal kebahagiaan
Jhà na. sebab itu, pada kesempatan penganugerahan gelar
bhikkhunã terbaik saat Buddha berada di Vihà ra Jetavana, Buddha
menyatakan,
“Para bhikkhu, di antara para bhikkhunã siswa-Ku yang mendapatkan
kebahagiaan Jhà na, Bhikkhunã Nandà yaitu yang terbaik.”
Demikianlah kisah Therã Nandà .
2910
(7) Therã (Bahuputtika) SoõÃ
(a) Cita-cita masa lampau
Bakal Therã Bahuputtika Soõà terlahir dalam sebuah keluarga
kaya di Kota Haÿsà vatã pada masa Buddha Padumuttara. saat ia
sedang mendengarkan khotbah Buddha, ia menyaksikan seorang
bhikkhunã yang dinyatakan sebagai bhikkhunã terbaik dalam hal
usaha yang tekun. Ia bercita-cita untuk mendapatkan gelar yang
sama pada masa depan. Ia memberi persembahan besar dan
mengungkapkan cita-citanya untuk mencapai gelar ini pada
masa depan. Buddha Padumuttara meramalkan bahwa cita-citanya
akan tercapai.
(b) Menjadi bhikkhunã dalam kehidupan terakhir
Putri orang kaya itu mengembara hanya di alam bahagia selama
seratus ribu siklus dunia dan pada masa Buddha Gotama ia terlahir
dalam sebuah keluarga kaya di Sà vatthã. Ia menikah dengan putra
orang kaya lainnya dan menetap di rumah suaminya. Ia melahirkan
sepuluh anak dan dikenal dengan nama Soõa, si banyak anak.
saat suaminya menjadi bhikkhu, ia mengatur pernikahan sepuluh
anaknya dan mewariskan semua harta kekayaannya kepada mereka,
tanpa menyisakan sedikit pun untuk dirinya sendiri. Anak-anak
itu yaitu anak yang tidak berbakti terhadap ibu mereka. Tidak
satu pun dari mereka yang menerima ia untuk menetap di rumah
mereka selama lebih dari dua atau tiga hari, sesudah itu mereka akan
memperlakukannya dengan tidak ramah.
Perempuan tua itu menjadi orang yang tidak diharapkan, ibu
putus asa yang diabaikan oleh anak-anaknya sendiri. Memahami
posisinya, ia memutuskan bahwa ia harus melepaskan keduniawian
dan menjadi seorang bhikkhunã. sesudah ia menjadi bhikkhunã,
para bhikkhunã senior akan memarahinya atas kesalahan kecil
yang ia lakukan. Sering kali ia harus menerima hukuman dari
para seniornya. Jika anak-anaknya yang tidak berbakti melihatnya
menjalani hukuman, bukannya merasa kasihan terhadap perempuan
2911
Riwayat Para Bhikkhunã Arahanta
tua itu, mereka akan menertawakannya dan berkata, “Perempuan
tua ini masih belum memelajari disiplin.”
Kata-kata kasar yang dilontarkan oleh anak-anaknya itu
membangkitkan semangat religius dalam dirinya. “Aku tidak
hidup lama. Aku harus melindungi diriku dari alam-alam
sengsara.” Dengan merenungkan demikian, ia tidak membuang-
buang waktu, apakah dalam keadaan duduk, atau berjalan, atau
berdiri, atau berbaring, ia selalu merenungkan tiga puluh dua aspek
(unsur-unsur) badan jasmani. Setiap ada waktu kosong sesudah
menyelesaikan tugas-tugas Saÿgha, ia akan bermeditasi sepanjang
malam. sebab ia melihat bahwa pada usianya yang telah lanjut
sebagai bhikkhunã, ia tidak boleh membuang waktu dengan lalai.
Saat duduk bermeditasi pada malam hari ia akan berpegangan
pada sebuah tiang di lantai dasar vihà ra, dan tidak melepaskannya.
Saat bermeditasi jalan pada malam hari, ia memegang tongkat
di tangannya, sebab khawatir ia dapat menabrak sesuatu dalam
kegelapan. (Sesuai Komentar Therãgà thà .)
Nama Therã Soõà Selalu Dihubungkan Dengan Usaha
Sungguh-sungguh
Saat pertama menjadi seorang bhikkhunã, ia dipanggil dengan
nama Therã Bahuputtika Soõà . Tetapi lalu , usahanya yang
sungguh-sungguh dalam menjalani Tiga Latihan, mengakibatkan
ia mendapat gelar ‘usaha sungguh-sungguh’ sehingga ia dikenal
dengan nama Therã Soõà âraddha Viriya, Therã Soõà yang Berusaha
Sungguh-sungguh.
Pencapaian Kearahattaan
Suatu hari saat para bhikkhunã pergi ke Vihà ra Jetavana untuk
menerima nasihat dari Buddha, mereka menyuruh Therã SoõÃ
âraddha Viriya memasak air untuk para bhikkhunã. Tetapi sebelum
ia melakukan tugas itu, bhikkhunã tua itu berjalan mondar-mandir
di dapur merenungkan tiga puluh dua aspek badan jasmani, dan
menyuarakan masing-masing aspek. Buddha yang sedang duduk
di kuñã-Nya di Vihà ra Jetavana melihatnya dan mengirimkan Sinar
2912
Buddha kepadanya, memperlihatkan diri-Nya kepada bhikkhunã
itu, dan mengucapkan syair berikut:
“Daripada seseorang hidup selama seratus tahun tanpa melihat
Dhamma tertinggi (yaitu, Dhamma Lokuttara yang terdiri dari
sembilan faktor), lebih baik seseorang hidup satu hari dan melihat
Dhamma tertinggi.”
sesudah mendengarkan khotbah Buddha yang disampaikan melalui
Sinar Buddha (yang membuatnya melihat Buddha secara langsung),
Therã Soõà âraddha Viriya mencapai Kearahattaan. Ia berpikir, “Aku
telah mencapai Arahatta-Phala. Mereka yang tidak mengetahui hal
ini, saat kembali dari Vihà ra Jetavana, akan memperlakukan aku
secara tidak hormat (seperti biasa) dan dengan demikian mereka
akan melakukan kejahatan. Aku harus memberitahu mereka tentang
pencapaianku ini untuk mengingatkan mereka. Ia meletakkan
kendi air untuk memasak di atas tungku tetapi tidak menyalakan
apinya.
saat para bhikkhunã kembali dari vihà ra Buddha dan melihat
tidak ada api di tungku, mereka mengeluh, “Kita menyuruh
perempuan tua itu memasak air tetapi ia bahkan belum menyalakan
api.” lalu Therã Soõà berkata kepada mereka, “Teman-
teman, apa gunanya api? Siapa saja yang menginginkan air panas
boleh mengambilnya dari kendi itu (di atas tungku yang tidak
dinyalakan).” Para bhikkhunã itu terkejut mendengarkan kata-
kata aneh ini tetapi mereka memahami bahwa pasti ada
alasannya si bhikkhunã tua itu mengucapkan kata-kata itu. Mereka
mendatangi kendi itu dan meraba air di dalamnya. Cukup panas.
Mereka mengambil sebuah kendi kosong dan menuangkan air panas
ini . saat mereka menuang air panas itu dari k





.jpeg)
.jpeg)





