.
Di sana aku tinggal di Wat Sra
Pathum sebelum kembali melewatkan masa vassa seperti biasanya, di
Chanthaburi.
~ 109 ~
Secara Keseluruhan, aku telah melewatkan empat belas masa vassa di
Chanthaburi sampai pada suatu titik di mana aku menganggap daerah
itu bagaikan rumahku. Ada sebelas vihara yang ada di propinsi
itu, yaitu:
Vihara Wat Paa Khlawng Kung, di daerah Chanthaburi; 1)
Vihara Wat Sai Ngam, Baan Nawng Bua, di daerah Chanthaburi; 2)
Vihara Wat Khao Kaew , di daerah Chanthaburi; 3)
Vihara Wat Khao Noi, Thaa Chalaeb; 4)
Vihara Wat Yang Rahong, di daerah Thaa Mai; 5)
Vihara Wat Khao Noi, di daerah Thaa Mai; 6)
Vihara Wat Khao Jam Han, di daerah Laem Singh; 7)
Vihara Wat Laem Yang , di daerah Laem Singh; 8)
Vihara Wat Mai Damrong Tham, di daerah Khlung; 9)
Vihara Wat Baan Imang, di daerah Khlung; dan 10)
Vihara Samnak Song Saam Yaek di Stasiun Pengembangan Budaya 11)
Tanaman dekat air terjun di Gunung Sra Baab.
Di semua vihara ini ada beberapa bhikkhu yang tinggal dalam
kehidupan vihara seperti biasanya. Beberapa di antaranya vihara yang
digunakan untuk kebaktian, dan sisanya merupakan tempat tinggal
para bhikkhu.
Bagian 12
~ 110 ~
Pada tahun 1941, perang dengan Prancis dan Perang Dunia ke dua
terjadi. Selama peperangan dan sesudah peperangan, aku mengembara
ke berbagai propinsi pada tahun 1949. Karena perang akhirnya usai,
aku berpikir akan pergi lagi ke India. Jadi pada bulan November tahun
itu, aku bersiap untuk mengajukan paspor yang baru.
Pergi ke India saat itu ternyata tidaklah mudah karena perang baru
saja usai. Ketika aku siap berangkat memohon pasporku, aku bertanya
kepada orang yang mengatur keuanganku, yaitu Khun Amnaad,
berapa banyak uang yang ada. Jawabnya, “tujuh puluh Baht.” Tapi
biaya permohonan paspor baru sebesar seratus dua puluh Baht. Hal
ini menyebabkan umat awam yang mengetahui rencana kepergianku
datang dan meminta aku untuk tidak pergi, tetapi aku berkata kepada
mereka, “aku harus pergi.”
“Tetapi tujuh puluh Baht tidak cukup untuk perjalanan!”
“Uang bukan yang terutama,” aku mengatakan kepada mereka. “Aku
yang terutama.”
Akhirnya para pengikutku mengerti bahwa aku benar-benar
harus pergi, dan mereka mulai mengumpulkan dana untuk biaya
perjalananku. Suatu hari Phraya Latphli Thamprakhan, beserta Nai
Chamnaan Lyyprasoed datang untuk menetap di vihara. Ketika mereka
mendengar bahwa aku akan pergi ke India, kami saling bertanya dan
menjawab. Phraya Latphli memberikan dua pertanyaan kepada aku:
“1) Mengapa harus pergi? Masing-masing dari kita telah mengenal
Dhamma dengan baik. 2) Apakah bhante mengerti bahasa mereka?”
Aku menjawab, “orang Myanmar dan India yaitu orang-orang
yang sama seperti aku. Adakah orang-orang di dunia ini yang tidak
mengetahui bahasa dari orang-orang lain?”
~ 111 ~
Phraya Latphli bertanya, “bagaimana bhante akan pergi? Apakah
bhante memiliki cukup uang?”
Aku menjawab, “selalu cukup.”
Phraya Latphli bertanya, “apa yang akan bhante lakukan jika uang itu
habis?”
“Kemungkinan aku akan menjual jubahku. Apakah bhante pikir aku
akan mengetahuinya sebelum uang itu habis?”
Phraya Latphli bertanya, “apakah bhante mengerti bahasa Inggris?”
“Aku sudah berusia empat puluh tahun. Jika aku belajar bahasa Inggris
atau Hindi, aku bertaruh aku dapat berbahasa Inggris atau Hindi lebih
baik dari pada anak-anak.”
Kita hentikan pembicaraan ini. Kemudian Phraya Latphli menambahkan,
“aku hanya menguji bhante.”
Aku berkata kepadanya, “jangan tersinggung, tetapi aku harus
berbicara seperti itu.”
Tidak lama kemudian, sesudah para umat awam, bhikkhu dan samanera
mengumpulkan dana dan terkumpul sebesar sepuluh ribu Baht untuk
membantu biaya perjalananku, aku meninggalkan Chanthaburi menuju
Bangkok, di sana aku berdiam di Wat Boromnivasa. Dengan bantuan
dari beberapa orang pengikutku yang merupakan polisi – dipimpin
oleh Kolonel Polisi Sudsa-nguan Tansathit – aku memohon paspor dan
visa.
Sangat sulit untuk menukar uang di pasaran saat itu, dan hampir tidak
berhasil karena pada waktu itu kurs mata uang Poundsterling telah
~ 112 ~
naik menjadi lima puluh Baht di pasar gelap, saat itu kurs resmi yaitu
tiga puluh lima Baht. Kami di-ping-pong sana sini dan segala sesuatu
menjadi semakin sulit hingga kami mulai menyerah. Kemudian aku
bertekad, “aku akan mengunjungi para sahabat dan lokasi di mana
Sang Buddha pernah berdiam. Pada saat perjalanan terakhirku, segala
sesuatu belum jelas, jadi aku ingin pergi sekali lagi. Jika aku bisa pergi
kali ini, semoga seseorang datang dan membantu dalam hal penukaran
mata uang asing.”
Empat hari sesudah aku bertekad, Nai Bunchuay Suphasi (sekarang
sudah menjadi Letnan Polisi Berkuda) muncul dan bertanya kepadaku,
“bhante, apakah bhante telah menukar uang?”
“Belum.”
“Kalau begitu aku akan mengurusnya untuk bhante.”
sesudah satu minggu, ia menghubungi Departemen Keuangan,
Departemen Pendidikan, dan Departemen Dalam Negeri. Ia menerima
surat rekomendasi dari para sahabatnya dan surat jaminan dari Wakil
Menteri Dalam Negeri, yaitu Lieng Chayakaan, saat itu sebagai seorang
anggota DPRD, mewakili propinsi Ubon Ratchathani. Kemudian ia
pergi ke Bank Nasional, di sana ia diberitahu tentang kasusku “tidak
memenuhi persyaratan untuk menukar dengan kurs mata uang
resmi.” Lalu ia pergi menemui Nai Jarat Taengnoi dan Nai Sompong
Janthrakun yang bekerja di Bank Nasional. Akhirnya aku diberi ijin
untuk menukar dengan kurs resmi atas rekomendasi Nai Jarat, yang
mendukung permohonanku untuk keperluan penyebaran ajaran
Buddha ke luar negeri, yang merupakan kepentingan negara dan ajaran
Buddha sendiri. Kemudian aku menukar semua uangku dan mendapat
uang sejumlah sembilan ratus delapan puluh Poundsterling.
~ 113 ~
Kemudian dengan uang yang telah ditukarkan, aku mengajukan
permohonan paspor dan visa. Di Kantor Departemen Luar Negeri, Nai
Prachaa Osathanon, kepala bagian paspor, mengurus segalanya untuk
aku, termasuk menghubungi temannya di kedutaan Thailand yang
berada di Myanmar dan India. Aku lalu mengajukan permohonan visa
di Kedutaan Inggris. Segala sesuatu telah siap bagiku untuk pergi.
Pada bulan Februari tahun 1950, aku meninggalkan Thailand
menggunakan pesawat. Nang Praphaa, salah satu pengikutku yang
bekerja di Thai Airways membantuku mendapatkan tiket dengan
potongan harga hingga lima puluh persen. Pesawat meninggalkan
Bandara Don Muang pada pukul 8.00 pagi. Dalam perjalanan ini, aku
pergi bersama seorang bhikkhu yang bernama Phra Samut dan seorang
umat awam yang bernama Nai Thammanun. Pada pukul 11.00 pagi,
pesawat tiba di Bandara Rangoon, di sana aku disambut oleh pejabat
kedutaan Thai, diantaranya yaitu ML. Piikthip Malakun, Nai Supan
Sawedmaan, dan Nai Sanan. Mereka mengantar aku tinggal di kuil
yang berdekatan dengan Pagoda Schwe Dagon. Aku tinggal di Myanmar
selama lima belas hari, melihat-lihat kota Rangoon – meskipun di sana
sini masih terlihat beberapa bagian yang habis kena bom. Perang
dengan suku Karen sedang berkobar dekat Mandalay.
Pada suatu hari, kami pergi ke Pegu untuk memberikan penghormatan
kepada rupang Buddha tidur di kotamadya yang berada dekat sana.
Kami bertemu dengan pasukan Myanmar yang sedang menjaga daerah
itu. Mereka sangat membantu kami: ke mana saja kami pergi, satu
pasukan yang terdiri dari dua belas orang prajurit mengawal kami.
Ketika kami berhenti untuk bermalam, mereka menjaga kami. Kami
bermalam di Cetiya Mutao, yang puncak stupanya patah. Semalam
suntuk kami mendengar suara tembakan senapan mesin. Kemudian aku
bertanya kepada salah seorang prajurit, “apa yang mereka tembak?”
~ 114 ~
“Mereka menembak untuk menakut-nakuti kaum komunis,”
jawabnya.
Keesokan paginya, dua orang wanita Myanmar datang berbicara
dengan kami, dan mengundang kami untuk makan di rumah mereka.
sesudah aku berjalan-jalan mengelilingi Rangoon, aku memutuskan
untuk siap berangkat ke India.
Saat aku berada di Rangoon, aku bertemu dengan orang Thailand
yang bernama Saiyut, yang telah ditahbiskan sebagai seorang bhikkhu
di Myanmar. Ia membawaku ke istana tua untuk bertemu dengan
seorang Putri Myanmar yang berusia tujuh puluh tujuh tahun,
putri Raja Thibaw di Mandalay. Kami duduk dan bercakap-cakap
sebentar. Aku menjelaskan kebudayaan Thailand kepadanya dan dia
menjelaskan kebudayaan Myanmar kepadaku. Pada saat perbincangan,
dia memberitahu, “aku yaitu orang Thailand,” dan kemudian dia
bertanya kepadaku dalam Bahasa Thailand, “apakah bhante suka
khanom tom?” tetapi dia tidak ingin berkata lebih lanjut lagi. Dari apa
yang dia katakan, aku menyimpulkan bahwa nenek moyangnya diusir
dari Thailand ketika Myanmar menjatuhkan Kerajaan Ayutthaya.
Namanya Sudanta Chandadevi.
Kemudian dia meminta bantuanku. “Saat ini aku tidak memiliki
pendapatan,” dia berkata. Semuanya ini karena pemerintah baru
memotong gaji para anggota kerajaan. “Kasihani aku. Kita sama-
sama orang Thailand. Akan lebih baik jika bhante menyampaikan
perkataanku ini di Kedutaan Besar Thailand.”
“Jangan khawatir, aku akan membantu Anda.”
Kemudian aku menceritakan masalah ini kepada M.L. Piikthip Malakun.
~ 115 ~
Ia dan istrinya orang baik. M.L. Piikthip mengajakku untuk menemui
Phra Mahiddha, Duta Besar Thailand untuk Myanmar saat itu. Bertemu
dengannya bagaikan berjumpa dengan sahabat lama. Seluruh staf
kedutaan sangat membantu. Sebelum aku berangkat menuju India aku
merekomendasikan agar mereka membantu putri itu, baik sebagai
seorang petugas maupun secara pribadi.
Pada bulan Maret tahun 1950, aku meninggalkan Rangoon dengan
pesawat terbang, tiba di Bandara Calcutta sekitar pukul empat sore.
Kapten penerbangan itu ternyata yaitu salah seorang teman lamaku
– ia telah meninggal karena kecelakaan pesawat di Hong Kong. Ketika
kami terbang, ia menyombongkan dirinya bawah ia bisa menerbangkan
pesawat sesukanya – terbang tinggi, rendah, atau bergoyang-goyang.
Ia berkata bahwa ia akan membawa aku mencapai ketinggian sepuluh
ribu kaki. Kami mengalami turbulensi di dekat pegunungan Himalaya,
dan udara sangat dingin, hingga aku harus meninggalkan kokpit,
kembali ke tempat duduk dan mengenakan selimut.
Ketika kami mendarat, kami berpisah karena bagi awak penerbangan
memiliki hak tersendiri, tidak seperti para penumpang biasa. Bagi
diriku, setiap barangku diperiksa, begitu juga dengan surat keterangan
kesehatan – tetapi saat aku akan masuk ruangan gelap, mereka
memberikan perlakukan khusus kepadaku. Di dalam ruangan gelap,
setiap orang harus melepaskan pakaian hingga telanjang agar para
petugas dapat memeriksanya. Tetapi sungguh beruntung ada seorang
Sikh yang melihat aku masuk ke ruangan itu, tersenyum pada aku
sebagai tanda bahwa ia akan menolongku ke luar. Sebagai hasilnya,
aku tidak perlu diperiksa.
Kami menunggu di bandara sampai matahari terbenam, Ketika
orang barat datang dan dengan sopan berkata kepada kami bahwa
~ 116 ~
mobil perusahaan akan datang dan menjemput kami. Beberapa saat
kemudian, kami menaikan barang-barang kami ke dalam mobil. Kami
menempuh perjalanan jauh ke Calcutta dan menetap di the Maha Bodhi
Society. Setibanya di sana, sekretaris eksekutif, yang merupakan kawan
lamaku, tidak berada di sana. Ia sedang bepergian membawa beberapa
relik Sang Buddha untuk satu perayaan di New Delhi, lalu melanjutkan
lagi Kashmir. Para bhikkhu yang berdiam di sana sangat membantuku,
karena aku pernah bergabung dalam perkumpulan selama bertahun-
tahun. Mereka menyiapkan tempat tinggal untuk kami di lantai tiga.
Di sana, kami melewatkan waktu selama beberapa hari untuk
menghubungi petugas imigrasi sebelum visa kami keluar. Aku berdiam
di the Maha Bodhi Societyhingga mendekati masa vassa. Saat itu aku
berencana untuk pergi ke Srilanka. Aku membawa surat weselku ke
bank, tetapi bank yang mengeluarkan surat wesel itu tidak memiliki
cabang di India. Oleh karena itu pihak bank tidak dapat menerima surat
weselku. Mereka memberitahu bila aku ingin menukar surat wesel itu,
aku harus pergi ke London. Peristiwa ini merupakan permulaan yang
tidak baik bagi diriku. Aku mengecek keuangan kami – Nai Thammanun
memiliki uang seratus Rupee yang tersisa, dengan jumlah sebesar
itu sulit untuk bepergian. Namun pada waktu yang sama, kami masih
memiliki uang lebih dari delapan ratus Poundsterling yang ditolak
oleh Bank India karena terjadi perasaan anti Inggris pada waktu itu.
Mereka tidak ingin menggunakan uang Poundsterling, dan juga tidak
ingin berbicara bahasa Inggris, kecuali jika terpaksa. Karena itu, kami
tidak jadi bepergian dan melewatkan masa vassa di sana.
Akhirnya aku memutuskan untuk membaca parita, bermeditasi dan
bertekad: semoga aku menerima bantuan untuk mengatasi masalah
keuanganku. Dan pada suatu hari, sekitar pukul lima sore, Nai Thanat
Nawanukhraw, seorang atase perdagangan konsulat Thailand, datang
~ 117 ~
mengunjungi aku dan bertanya, “Bhante, apakah bhante memiliki
uang?”
Aku menjawabnya, “masih ada, tetapi tidak banyak.”
Kemudian ia mengeluarkan dompet dan mendanakan uang senilai dua
ribu Rupee. Kemudian pada sore harinya, sahabatku yang menjabat
sebagai sekretaris eksekutif di the Maha Bodhi Society kembali dan
mengundang aku ke kamarnya untuk bercakap-cakap. Ia memberi
sambutan hangat dan berbicara dalam bahasa Pali. “Apakah bhante
punya uang?” ia bertanya. “Jangan malu-malu. bhante dapat meminta
apa yang bhante inginkan setiap saat.”
Aku menjawab dalam bahasa Inggris, “terima kasih banyak,” dan ia
tersenyum menanggapinya. Sejak hari itu semuanya berjalan lancar.
Sesaat masa vassa hampir dimulai, seorang bhikkhu yang juga
merupakan sahabat baikku – ia bertugas di Sarnath dan bernama
Sangharatana – mengundang kami melewatkan masa vassa di sana,
dan aku menerima undangannya. Keesokan paginya, ia berangkat
duluan, dan kemudian dua hari sebelum memasuki masa vassa kami
berangkat menyusul. Pada keesokan sore hari, kami tiba di viharanya.
Para sahabatku telah menyiapkan tempat. Jadi aku melewatkan masa
vassa di Sarnath.
Berbagai peristiwa yang menyenangkan terjadi pada saat masa vassa
ini. Para sahabat yang aku kenal pada saat perjalanan pertamaku masih
ada di sana. Perihal makan juga menyenangkan. Setiap pagi, mereka
membawa Ovaltine dan tiga atau empat roti India ke kamar kami, dan
semuanya itu cukup untuk memenuhi kebutuhan kami. Siangnya,
mereka menyiapkan makanan dengan kacang, wijen dan nasi – tanpa
daging. Kami menyantap makanan vegetarian, terkadang kami juga
makan daging ikan.
~ 118 ~
Pada masa vassa dilakukan pembacaan parita setiap sore. Mereka
membaca parita seperti yang kami baca di Thailand, hanya dengan
tempo yang lebih cepat. Selesai membaca parita, aku pergi untuk
memberikan penghormatan di reruntuhan peninggalan cetiya di
sebelah Utara vihara. Adakalanya aku pergi ke Benares untuk melihat
kuil Hindu, vihara Tibet, vihara Myanmar, vihara Singhala, dan lain-
lain. Saat masa vassa menjelang usai, di malam bulan purnama, aku
duduk sendirian di depan vihara sesudah kami selesai membaca parita.
Aku duduk bermeditasi di tengah-tengah terangnya malam bulan
purnama, memusatkan perhatian pada puncak cetiya dan berpikir
tentang Raja Asoka, yang telah banyak membantu perkembangan
ajaran Buddha. sesudah beberapa saat aku memusatkan perhatian
pada cetiya itu, cahaya terang menyilaukan berkelap-kelip menerangi
sekitar pohon-pohon dan cetiya itu. Aku berpikir, “relik Sang Buddha
mungkin nyata adanya.”
Suatu hari, saat masa vassa hampir usai, pejabat dari the Maha Bodhi
Society mengundang kami pergi ke bandara untuk menjemput pesawat
terbang yang membawa relik Phra Moggallana dan Phra Sariputta yang
dalam perjalanan kembali dari perayaan diorganisir oleh Pemerintah
India di New Delhi. Maka kami semua pergi ke bandara. Ketika pesawat
mendarat sekitar pukul sebelas lewat dikit, mereka meminta kami
untuk naik ke dalam pesawat untuk menerima cetiya perunggu kecil
yang berisi relik. Kemudian kami membawa relik itu ke the Sarnath
Maha Bodhi Society. Aku tidak meminta kesempatan untuk melihat relik
karena aku tidak tertarik. sesudah itu mereka menyimpan relik itu di
kantor Calcutta, dan aku tidak pernah melihatnya.
sesudah masa vassa usai, aku menerima surat-surat – beberapa
diantaranya kilat khusus, yang lainnya biasa – yang berasal dari
Thailand dan Myanmar. Intisari dari semua surat itu yaitu mereka
~ 119 ~
menginginkan aku untuk segera kembali ke Rangoon karena Putri
Sudanta Chandadevi telah menerima gaji dan sangat gembira. Anak-
anaknya beserta kawan-kawannya merencanakan untuk membangun
vihara di Rangoon, karena itu aku dimohon segera datang dan
membantu persiapannya.
Mengetahui kabar ini, aku segera kembali ke Calcutta untuk mengambil
dokumen perjalananku dan terbang ke Rangoon. Di bandara aku
disambut oleh panitia pembangunan vihara. Mereka membawaku
langsung ke istana putri, di sana telah berkumpul tiga puluh orang atau
lebih anggota pantia untuk melakukan suatu pertemuan. Panitia itu –
terdiri dari anggota kerajaan, pejabat, pedagang, dan perumahtangga –
sedang membicarakan rencana pembelian tanah untuk pembangunan
vihara: seluas tujuh hektar terletak di atas bukit. Pemilik tanah tersebut
akan menjual tanah itu dengan uang sejumlah tiga puluh ribu Rupee.
sesudah mempelajari garis besar proposal mereka secara umum, aku
kembali berdiam di Schwe Dagon seperti masa sebelumnya.
Aku meminta nasehat kepada kedutaan besar Thailand mengenai
rencana itu. Pada waktu itu, Phra Mahiddha telah dipindahkan ke
negara lain, meninggalkan M.L. Piikthip Malakun yang menggantikan
kedudukannya. Ia memberitahu bahwa lebih baik bila menangani
masalah itu melalui jalur resmi, sehingga kedutaan dapat membantu
sepenuhnya. Sementara panitia vihara itu, mereka mencari bantuan
dari Thailand karena tujuan mereka yaitu membangun vihara Thai
dengan segala cara. Ketua panitianya yaitu seorang pria tua yang
berusia sekitar tujuh puluh tahun, Ia merupakan seorang politikus
yang dihormati. Ia yaitu penasihat U Nu, perdana menteri Myanmar.
Sepertinya rencana ini berjalan dengan baik. Aku diminta menghubungi
sejumlah orang Thailand di Rangoon dan setiap orang nampak antusias
dengan proyek itu.
~ 120 ~
Tidak beberapa lama kemudian, aku sering menerima surat-surat
dari Bangkok yang isinya bukan berita baik, sebagian dari berita itu
tentang Nai Bunchuay Suphasi, maka aku memutuskan untuk kembali
ke Thailand dan menghubungi pemerintah Thailand dan Sangha serta
memberitahukan mereka tentang proposalku sendiri.
Pada bulan Desember tahun 1950, aku berangkat dengan pesawat
terbang dari Rangoon menuju Bangkok – bhikkhu yang menemani aku
ke India telah lama pulang. Di Bangkok aku berdiam di tempat Somdet
Phra Mahawirawong (Uan), di Wat Boromnivasa. Aku memberitahu
Somdet mengenai rencana untuk membangun vihara di Rangoon.
Ia berpikir tentang rencana itu selama beberapa hari dan sesudah ia
akan memberikan ijin kepadaku untuk terbang kembali ke Myanmar,
aku dihadapkan pada perselisihan. Beberapa orang bhikkhu, sesudah
terdengar berita bahwa ada vihara yang akan dibangun di Rangoon,
mulai bertindak, dengan mengatakan Ajaan Lee tidak akan berhasil
tanpa bantuan mereka. Mereka berkata, telah menerima surat-surat
tersebut dari Rangoon. Aku tidak mengerti bagaimana mereka bisa
mengetahui hal itu. Bhikkhu-bhikkhu tersebut merupakan bhikkhu-
bhikkhu berkedudukan tinggi di Bangkok.
Ketika mendengar hal demikian, aku mengenyampingkan semua
permasalahan dan tidak terlibat lebih jauh. Aku mengirim surat ke
kedutaan besar Thailand di Myanmar, untuk membatalkan proposal
permohonan. Sampai hari ini, aku tidak melihat siapa pun yang
membangun vihara.
Hal ini benar terjadi, aku meninggalkan Wat Boromnivasa dan
kembali mengunjungi para pengikutku di Chanthaburi. Selama masa
itu, ada beberapa orang yang marah dan iri kepadaku, mencoba
untuk menjelekkan namaku dalam setiap kesempatan, tetapi lebih
~ 121 ~
baik aku tidak menyebutkan nama mereka, karena aku yakin mereka
membantuku semakin bertekad lebih kuat.
~ 122 ~
Saat menjelang masa vassa, aku meninggalkan Chanthaburi untuk
kembali ke Wat Boromnivasa, dan kemudian mengajar meditasi
kepada para umat awam di Wat Saneha, propinsi Nakhorn Pathom. Di
sana aku berdiam di Wat Prachumnari, di propinsi Ratchaburi, atas
permohonan Chao Jawm Sapwattana, kepala vihara. Aku berdiam di
sana selama beberapa hari, dan selama di tempat itu banyak terjadi
kejadian aneh.
Suatu pagi, seorang wanita berusia sekitar dua puluh tahun datang
dan duduk di hadapan kursi duduk ceramah. Tidak beberapa lama
kemudian dia sawan. Lalu aku membuat air parita dan memercikinya.
Aku mulai menanyainya dan mendengar bahwa ada makhluk halus –
pria yang meninggal secara menggenaskan di daerah itu, dan merasuki
orang, menyebabkan mereka terkena penyakit gatal berbintik merah
dan bengkak seukuran ibu jari. sesudah mendengarnya, aku tidak
punya obat untuk diberikan kepada dia, tetapi aku sedang mengunyah
kacang-kacangan pohon pinang, kemudian aku mengeluarkan sisa
kunyahan itu dan meletakan disampingnya dan memintanya untuk
makan. Bengkak-bengkak di kulit menghilang. Peristiwa ini terjadi
tiga kali dan disaksikan oleh orang banyak.
Beberapa hari kemudian selagi aku ingin pergi, seorang wanita yang
bernama Nang Samawn kemenakan perempuan dari Nang Ngek di
Bagian 13
~ 123 ~
Bangkok, datang mengunjungiku. Dia pernah ditahbiskan sebagai
ayya, tetapi kemudian lepas jubah dan menjalani kehidupan umat
awam dan menikah dengan mantan hakim daerah di Ratchaburi. Dia
berusia sekitar empat puluh tahun, dan memiliki seorang putra
yang berusia lima belas tahun. Dia sangat menghormatiku: setiap kali
aku datang ke Bangkok, dia akan mengunjungiku. Hari itu sekitar
pukul 5.00 sore, dia datang membawa persembahan bunga, lilin dan
dupa. Kemudian aku bertanya kepadanya, “Apa yang bisa aku lakukan
untuk Anda, Nyonya Samawn?”
Dia menjawab, “aku datang untuk memohon seorang anak.”
Mendengar perkataannya, aku merasa gelisah karena hanya ada sedikit
orang dan ia berbicara kepadaku dengan berbisik. Maka aku berkata
denga suara yang keras, “tunggu sampai lebih banyak orang hadir.”
Aku berpikir ke depan – bila dia benar-benar hamil lagi, aku akan
disorot. Maka aku ingin masalah ini diketahui oleh orang banyak.
Malam itu, sekitar pukul 7.00 malam, sekitar seratus orang datang
dan berkumpul di aula pertemuan. Nang Samawn duduk sangat dekat
dengan tempat duduk ceramah. sesudah aku berkhotbah Dhamma,
mengajar mereka bermeditasi agar dapat mengembangkan kebajikan
dan menyempurnakan karakter mereka, Nyonya Samawn berbicara
lantang dengan suara keras, “aku tidak menginginkan hal-hal itu, aku
hanya menginginkan seorang anak. Tolong beri saya seorang anak,
Luang Phaw.”
Aku berkata kepadanya, “baiklah, aku akan memberi Anda seorang
anak.” Aku menjawab ini karena aku teringat sejumlah kejadian di teks
kuno. Aku lalu berkata dengan bergurau, “pusatkan pkiranmu dalam
meditasi malam ini. Aku akan meminta kepada para dewa dan dewi
untuk memberikanmu seorang anak.”
~ 124 ~
Kemudian sesudah menyelesaikan meditasinya, dia datang dan berkata
kepadaku, “aku merasa benar-benar bahagia dan tenang. Aku sering
bermeditasi sebelumnya, tetapi tidak pernah seperti ini.”
Aku berkata kepadanya, “Benar, Anda akan mendapatkan yang Anda
inginkan.”
Besok paginya, aku meninggalkan Ratchaburi, naik kereta api menuju
Prajuab Khirikhan. Khun Thatsanawiphaag berangkat bersamaku
sebagai pengikutku. Kami bermalam di kuburan dekat stasiun Pranburi.
Keesokan paginya, Khun That pergi membeli tiket kereta api dengan
membawa uang senilai seratus dua puluh Baht di dompetnya. Saat itu
perang baru usai, mereka menggunakan uang kertas yang dicetak di
Amerika. Uang seratus Baht dan uang dua puluh Baht terlihat mirip.
Khun That kembali dengan tiket, tetapi tanpa uang seratus Bath. Ia
salah mengeluarkan uang untuk membeli tiket di agen penjualan. Ia
membayar tiket senilai dua puluh Baht dengan uang seratus Baht. Ia
bersiap untuk kembali ke setasiun untuk meminta uang kembali, tetapi
aku menghentikannya dengan berkata, “akan sangat memalukan jika
kamu pergi.” Ia merasa tidak enak hati sehingga ia memutuskan untuk
kembali pulang ke rumah. Kemudian aku menghiburnya.
Kuburan tempat kami berdiam berada di lereng gunung. Mereka
berkata kepada kami bahwa tidak ada seorang pun yang bisa tidur
di sana karena ada makhluk halus yang menakutkan, tetapi kami
bermalam di sana tanpa mengalami peristiwa apa pun.
Dari sana, kami naik kereta api menuju Surat Thani dan berdiam di
lereng bukit dekat stasiun kereta. Ketika malam tiba, orang-orang
datang untuk berbicara dengan kami. Aku bertemu dengan dua orang
yang bernama Nai Phuang dan Nai Phaad. Mereka datang bersama-
sama dan Nai Phuang menceritakan rahasia mereka kepadaku.
~ 125 ~
Ia berkata, “rumahku di propinsi Nakhorn Pathom. Sebelumnya aku
yaitu seorang penjahat besar dan telah membunuh banyak orang.
Orang yang terakhir aku bunuh yaitu seorang nenek tua. Seseorang
berkata kepadaku bahwa dia memiliki uang tunai sejumlah empat ribu
Baht di bawah bantalnya, lalu aku menyelinap masuk ke dalam kamar
dan menikam lehernya. Tetapi ketika aku hanya menemukan empat
puluh Baht di bawah bantalnya. Sejak itu, aku merasa kacau balau,
aku memutuskan untuk tidak melakukan kejahatan lagi. Meskipun
demikian, aku masih merasa ketakutan setiap kali mendengar suara
tembakan. bisakah Luang Phaw, memberikanku sesuatu yang dapat
melindungi diriku dari peluru?”
Aku berkata kepadanya, “jika Anda benar-benar sudah meninggalkan
kejahatan, aku akan memberi Anda sesuatu yang akan memastikan
dirimu untuk tidak mati oleh peluru.”
Ia bersumpah, “Aku tidak akan berbuat jahat lagi, aku akan melakukan
kebaikan,” maka aku menuliskan satu gatha untuk dia lafalkan.
Keesokan harinya, ia kembali dan berkata kepadaku bahwa adik laki-
lakinya, bersama dengan satu kelompok yang terdiri dari sembilan
orang sedang melarikan diri dari kejaran polisi di suatu daerah terpencil.
Polisi telah menangkap sebagian dari kelompok itu, tetapi adiknya
masih bebas dan belum tertangkap. Ia ketakutan kalau namanya akan
terseret dalam urusan itu, lalu apa yang harus ia lakukan? Aku berkata
kepadanya untuk menghadap polisi dan membawa mereka ke adiknya.
Ia melakukan apa yang aku katakan dan beberapa hari kemudian
seluruh kelompok penjahat itu menyerahkan diri. Nai Phuang
membebaskan adiknya dengan jaminan. Pada akhirnya, keputusan
pengadilan menyatakan mereka bersalah dan menghukum mereka
ke penjara, tetapi karena mereka mengakui kesalahan mereka, maka
masa hukumannya dipotong menjadi setengah.
~ 126 ~
Aku merasa sangat tidak nyaman tinggal di Surat karena banyak
orang yang bersifat tidak baik yang datang mengunjungiku. Aku tidak
melakukan yang buruk, hanya melakukan kebaikan saja, tetapi aku
khawatir kalau orang lain mulai berpikir bahwa aku memberikan
bantuan kepada para penjahat, kemudian aku pergi ke Thung Song dan
memberikan penghormatan terhadap relik Sang Buddha di Nakhorn
Sri Thammarat. Pada saat itu, Khun That pamit untuk pulang ke
rumahnya di Bangkok. Ia membelikanku tiket, mengantarku ke kereta
api, lalu aku menempuh perjalanan sendirian.
Pada sore hari, aku tiba di cetiya yang besar di Nakhorn Sri Thammarat
dan berdiam di vihara yang berdekatan dengan cetiya itu. Beberapa
orang di sana – termasuk seorang bhikkhu yang juga sahabatku tinggal
di vihara – tertarik dengan meditasi, karena itu aku menetap, dan
mengajarkan mereka meditasi. Aku lalu meninggalkan tempat itu
dan pergi menuju ke propinsi Songkhla. Tiba Haad Yai, aku berdiam
di kuburan Pak Kim, tempat itu menjadi lebih baik dan sangat
tenang. Beberapa hari kemudian sahabatku, Phra MahaKaew, datang
mencariku, dan menemukan aku di kuburan. Kami tinggal sebentar,
lalu pergi mengembara dari kotamadya ke kotamadya.
~ 127 ~
Tahun itu aku melewatkan masa vassa di Wat Khuan Miid. Aku
berkhotbah Dhamma dan mengajar meditasi kepada para bhikkhu,
samanera, dan umat awam setiap malam. sesudah masa vassa usai dan
kami menerima dana kathina, aku kembali berdiam di gunung Khuan
Jong, suatu desa kecil dekat Terusan Rien.
Pada suatu hari, aku melihat orang dalam jumlah yang sangat besar
sedang berjalan. Peristiwa ini sudah terjadi beberapa hari yang lalu,
lalu aku bertanya apakah yang terjadi. Mereka berkata kepadaku
bahwa ada ular raksasa yang telah melilit seorang wanita di gunung
Khuan Jong. Rumor berkembang, ada seekor ular raksasa dengan
kepala yang berwarna merah melilit seorang wanita di puncak
gunung, dan apa bila waktunya belum tiba maka wanita itu tidak akan
dilepaskan. Dikarenakan mendengar cerita aneh ini, orang-orang
datang dalam jumlah banyak, berbondong-bondong ke lokasi dekat
kami berdiam. Tetapi di desa Khuan Jong sendiri, tidak ada seorang
pun yang mendengar kisah itu sama sekali. Keseluruhan cerita yang
menggelikan.
sesudah kami tinggal di desa itu sebentar, kami melanjutkan perjalanan
untuk tinggal di Baan Thung Pha, Talaat Khlawng Ngae dan daerah
Sadao. Pada waktu itu, kepala polisi di Sadao telah tertembak dan
dibunuh pada suatu bentrokan dengan teroris komunis China. Saat
Bagian 14
~ 128 ~
kami berada di sana, banyak orang datang mengunjungi kami sepanjang
hari. Tetapi bila sore tiba, mereka pulang secepatnya ke rumah,
mereka takut bila komunis akan menyerang. Lalu aku berkata kepada
mereka, “aku menghendaki kalian semua datang untuk mendengarkan
Dhamma malam ini. Aku berjanji tidak akan ada serangan.” Tepat
malam tiba – sekitar pukul 8.00 – orang-orang datang dan memenuhi
aula penahbisan di mana kami tinggal. Kemudian aku berkhotbah
Dhamma dan mengajarkan meditasi kepada mereka.
Beberapa hari sesudah itu, kami kembali ke kuburan Pak Kim di Haad
Yai. Sekarang banyak penduduk Haad Yai datang tiap malam untuk
menerima sila, mendengarkan Dhamma, dan berlatih meditasi.
Dari sana, kami kembali ke Nakhorn Sri Thammarat, singgah sebentar
di vihara meditasi yang terletak di daerah Rawn Phibun, dan lalu
langsung tinggal di Thung Song. Nai Sangwed, seorang karyawan
di Depertemen Pendidikan, mengikuti aku sebagai muridku. Kami
tinggal sebentar di gua Tham Thalu, lalu meneruskan perjalanan
ke Chumphorn. Dari Chumphorn, kami naik kereta api ke Phetburi.
Di sini, aku mendengar Somdet Mahawirawong telah mengirimkan
surat untukku memohonku untuk kembali ke Bangkok, kemudian aku
melanjutkan ke Ratchaburi dan tinggal di Wat Prachumnari. Luang
Att, gubernur propinsi Ratchaburi, dan pejabat daerah kota Ratchaburi
datang menemuiku, memohon kepadaku untuk kembali ke Bangkok
karena Somdet di Wat Borom ingin menemuiku.
Saat aku menetap di Wat Prachumnari, seorang bhikkhu di Khao
Kaen Jan ditangkap oleh pihak berwajib. Aku mendengar empat atau
lima orang ayya dari Baan Pong yang merupakan para pengikutnya
ingin datang menemuiku, tetapi tidak berani karena ada kegaduhan
atas peristiwa tersebut. Meskipun kejadian itu tidak melibatkan
~ 129 ~
aku, dikatakan bahwa bhikkhu itu mengatakan kepada para ayya
bahwa kakinya sakit karena duduk lama bermeditasi dan berkhotbah
Dhamma, maka ia meminta mereka untuk memijat kakinya – dan
mereka memijitnya. Inilah awal dari kegaduhan itu. Pihak berwajib
memelajari masalah itu dan menemukan bahwa bhikkhu itu tidak
punya dokumen jati diri sehingga mereka memaksa dia untuk lepas
jubah.
Selama berdiam di Ratchaburi, Mae Samawn datang menemuiku. Dia
berkata, “aku sudah hamil dua bulan. Aku berniat menyerahkan anak
ini kepada bhante sekarang, karena anak ini yaitu anakmu, dan bukan
anak suamiku.” Dia nampak serius dengan apa yang dia katakan. Aku
tidak menanggapinya, tetapi aku benar-benar terkejut. Dia sudah tidak
memiliki anak selama lima belas tahun, bagaimana bisa terjadi?
Dari sana, aku kembali ke Bangkok dan tinggal di Wat Boromnivasa.
Aku tiba saat Somdet sedang sakit. Lalu aku merawat beliau.
~ 130 ~
Saat aku berada di Wat Boromnivasa, banyak orang dari Bangkok,
Thonburi, dan Lopburi datang berlatih meditasi. Suatu hari ada
peristiwa aneh. Seorang wanita bernama Mae Khawm, yang berasal
dari Lopburi, datang dan mempersembahkan padaku tiga relik Sang
Buddha.
Aku bertanya kepadanya, “di mana Anda mendapatkannya?”
Dia berkata kepadaku, “aku meminta tiga relik ini dari rupang Buddha
yang berada di atas bantal bhante.” Rupang Buddha itu milik Nai Udom
yang dibawa dari Keng Tung saat Perang Dunia ke 2. Dari apa yang
dia katakan kepadaku, tampaknya telah terjadi banyak kejadian yang
aneh berhubungan dengan rupang ini.
Aku akan menceritakan sejarah rupang tersebut. Sebenarnya Nai
Udom yaitu seseorang yang tidak pernah menghormati para
bhikkhu. Ia yaitu pejabat pemerintah yang bekerja di Departemen
Komunikasi Divisi Radio. Saat Perang Dunia ke 2, ia pergi bersama-
sama dengan angkatan bersenjata Thailand dipimpin oleh Jenderal
Praphan ke Keng Tung. Suatu hari ia bersama dengan sekelompok
calon perwira mendirikan tenda di vihara tua. Sore itu, selagi
berbaring, sebelum tidur, ia melihat suatu cahaya terang memancar
dari rak di atas bantalnya, kemudian ia bangun untuk melihat apakah
Bagian 15
~ 131 ~
itu gerangan. Saat itu, meskipun ia berada di tempat yang ada benda
suci, ia tidak pernah menunjukkan sikap hormat. Tetapi waktu itu, ia
ingin tahu. Ia melongokkan kepalanya untuk melihat ada apa di atas
rak, dan di sana ia menemukan rupang Buddha berlapis emas dengan
tingginya sekitar delapan inci dan lebarnya tiga inci, hitam mengkilap
seolah-olah disemir setiap hari. Melihat benda itu, ia mengambil dan
memasukannya dalam kopornya. Sejak saat itu, keberuntungannya
meningkat pesat. Orang-orang membantunya, dan ia memiliki uang
banyak. Ia mendapat uang dari penduduk di sekitar daerah itu.
Ketika perang usai, ia kembali ke Thailand. Dalam perjalanan kembali,
ia bermalam di tepi sungai Mae Jan. Pada malam itu, ia bermimpi
rupang Buddha tersebut, “wahai orang jahat, kamu akan membawaku
ke seberang sungai, tetapi aku tidak mengijinkannya.”
Nai Udom tidak menggubris mimpi tadi. Ia berpikir, “kekuatan apakah
yang dimiliki rupang Buddha dari logam itu?” Kemudian ia membawa
rupang Buddha itu kembali ke Chanthaburi. Lalu ia pensun dari kantor
pemerintah dan beralih profesi sebagai seorang pedagang. Pada masa
itu, ia terlihat tak sehat dan lesu. Hidupnya semakin menderita.
Kemudian istri dan anak-anaknya mulai jatuh sakit satu demi satu.
Tidak ada yang bisa menyembuhkannya. Ia bermimpi akan “Luang
Phaw” lagi. “Aku ada berada di sini bersamamu bertentangan dengan
keinginanku. Kamu harus mengembalikan aku ke tempat asalku!”
Pada saat peristiwa itu terjadi, aku sedang mengembara di propinsi
Prajinburi dan tinggal di Gunung Pemuda Teguh. Sekitar bulan April,
aku menyeberangi daerah liar dan kembali ke Chanthaburi. Saat berada
di sana, Nai Udom mendengar bahwa aku telah kembali, ia datang
berlari menemuiku. “Aku kacau balau, Bhante. Anak dan isteriku
~ 132 ~
sakit. Aku tidak memiliki uang, dan sekarang rupang Buddha ini
masuk dalam mimpiku dan mengatakan padaku untuk membawanya
kembali ke Keng Tung tempat di mana aku menemukannya. Apa yang
sebaiknya aku lakukan?”
Aku menjawabnya, “Luang Phaw yaitu Buddha hutan. Ia suka di
tempat tenang dan sunyi. Jika boleh, biarlah rupang ini bersamaku.”
Kemudian Nai Udom membawa rupang Buddha itu dan menyerahkannya
kepadaku – apakah ia benar-benar memberikannya kepadaku atau
hanya meninggalkannya, aku tidak mengetahuinya dengan pasti. Aku
menjaga dan menghormatinya. Sejak hari itu, semua penyakit yang
menyerang keluarganya lenyap, dan pada tahun 1952, ia pindah ke
Bangkok. Ada berbagai peristiwa terjadi kaitannya dengan rupang
Buddha ini tetapi hanya inilah yang dapat aku katakan.
sesudah peristiwa dengan Mae Khawm aku menjadi ingin tahu mengenai
relik Sang Buddha dan bagaimana relik itu bisa ada. Selama hidup
sebagai seorang bhikkhu, aku tidak pernah tertarik dengan relik, tetapi
aku menerima relik dari Mae Khawm dan memperlakukannya dengan
rasa hormat. Kemudian aku mendengar bahwa dia telah menerima
banyak relik. Kemudian aku menaruh rupang Buddha tersebut di Raam
Khae, di Wat Boromnivasa. Lalu aku pamit pada Somdet dan pergi ke
propinsi Lopburi.
Pada tahun itu, aku merayakan Visakha Puja di Wat Manichalakhan,
di Lopburi. Pada hari itu aku merenung, “jika aku tidak melihat
relik Sang Buddha muncul di hadapan mataku sendiri, aku tidak
akan memercayainya, karena aku tidak bisa menduga keaslian relik
itu.” Aku bertekad dengan duduk bermeditasi sampai dinihari. Aku
mempersiapkan empat mangkok dan mengundang: “1) Semoga
relik Sang Buddha – dari telinga, mata, hidung dan mulut-Nya, yang
~ 133 ~
merupakan sumber kemuliaan Beliau – jika relik itu benar-benar ada,
datanglah ke altar pada malam ini. 2) Semoga relik Phra Sariputta
yang merupakan salah satu murid utama Sang Buddha, juga datang. 3)
Semoga relik Phra Moggallana yang memiliki kekuatan batin hampir
menyamai Sang Buddha, juga datang. 4) Semoga relik Phra Sivali,
seorang bhikkhu yang selalu beruntung di mana saja ia berada, juga
datang. Jika relik ini benar-benar ada, semoga semuanya datang dan
muncul. Jika aku tidak melihat apa pun muncul pada malam ini, maka
aku akan membagikan semua relik yang telah dipersembahkan umat
kepadaku.”
Malam itu aku tidak tidur dan duduk bermeditasi sampai dinihari.
Pada sekitar pukul 4.00 dinihari. Aku merasa ada suatu cahaya merah
terang memancar dari mangkuk. Paginya, aku menemukan relik di
setiap mangkuk. Ruangan di mana mangkuk itu ditempatkan telah
dikunci sejak semalam –tidak seorang pun yang bisa masuk, dan
aku juga tidak bisa masuk. Aku merasa benar-benar terkejut. Inilah
keajaiban pertama yang terjadi seumur hidupku. Dengan cepat aku
membungkus relik itu dengan kapas, lalu menempatkannya dalam
kantong dan menyimpannya. Seluruhnya aku menerima tiga relik
Phra Sariputta, tiga relik Phra Sivali, dua relik Phra Moggallana, dan
tujuh relik Sang Buddha. Sebagian berwarna kristal susu, sebagian
berwarna hitam, ada beberapa yang berwarna kuning abu-abu gelap.
Relik yang diberikan Mae Khawm kepadaku berwarna mutiara. Aku
membawa semuanya menuju utara. Hari demi hari berlalu, beberapa
hal lain terjadi tetapi lebih baik aku tidak menceritakannya saat ini.
~ 134 ~
Ketika menjelang masa vassa, aku pergi berdiam di daerah Mae
Rim, propinsi Chieng Mai. Aku berencana masuk ke dalam hutan,
aku meninggalkan Mae Rim, lalu aku pergi ke Baan Paa Tyng, yang
menghabiskan satu hari berjalan. Dari sana aku masuk ke dalam alam
liar dan pegunungan yang tinggi, lalu mencapai tujuanku pada pukul
4.00 sore. Salah satu muridku pernah melewatkan masa vassa di sini,
dan di tahun itu aku melewatkan masa vassa di sana.
Tempat itu yaitu desa dari suku Karen dan Yang dengan sekitar
enam atau tujuh rumah tangga. Tidak ada tanah yang rata, yang ada
hanyalah pegunungan dan bukit-bukit. Tempat di mana aku tinggal
yaitu di kaki bukit yang berjarak sekitar satu kilometer dari desa dan
berada dekat dengan aliran sungai. Cuaca di tempat itu sangat dingin
siang dan malam. Aku tiba di sana sebelum perayaan Asalha Puja. Dan
di hari aku bertekad untuk melewatkan masa vassa di tempat ini, aku
terserang penyakit demam.
Tempat ini benar-benar primitif. Penduduk di sana yaitu orang-orang
pegunungan dan makananku pada masa vassa itu, nasi campur garam
dan lada. Tidak ada ikan atau daging. Diakhir pertengahan bulan Juli,
aku mengalami sakit serius. Beberapa hari aku hampir kehilangan
kesadaran.
Bagian 16
~ 135 ~
Suatu Pagi, saat fajar menyingsing, aku mencoba untuk bangun
berpindapatta, tetapi aku tidak bisa. Aku merasa pusing, dan kemudian
pingsan, dan menggigil hingga gubukku bergoncang. Aku sendirian –
para bhikkhu yang ikut bersamaku sudah berangkat berpindapatta.
Kemudian aku menghangatkan diriku dekat perapian dan mulai
merasa sedikit lebih baik.
Aku menderita sakit selama masa vassa itu. Aku dengan susah payah
menyantap makanan. Selama tiga bulan itu, aku makan tidak lebih
dari sepuluh suap makanan dalam satu hari. Beberapa hari bahkan
aku tidak bisa makan apa pun. Tetapi pikiran dan tubuhku merasakan
tenang – tidak terganggu sedikit pun dengan penyakitku.
Gejala penyakitku menjadi lebih serius pada tanggal 29 Juli. Aku
demam tinggi dan hampir jatuh pingsan – sekujur tubuhku mati rasa.
Aku ragu bisa bertahan. Lalu aku bangun dan mengeluarkan kantong
yang berisikan relik, membungkusnya dengan kain pundak dan
menempatkannya di atas rak. Lalu aku bertekad, “jika semua relik ini
benar-benar suci, berikan aku tanda. Jika aku akan mati di sini, aku
menghendaki semua relik ini lenyap.” Aku lalu masuk ke tenda payung
dan bermeditasi.
Pada pagi hari berikutnya, aku menemukan kantong dan kain pundak
pada posisi yang berlawanan dari ruangan kamar, tetapi tidak satu
pun relik itu yang hilang. Semua masih berada di sana, tersebar di rak
yang aku tempatkan. Sepertinya aku tidak akan meninggal tahun ini,
tetapi masih tetap sakit untuk masa yang lebih panjang.
Pada suatu hari aku sedang merenungkan kejadian di masa lalu dan
mulai merasa jijik. Maka aku membuat tekad, “aku ingin memiliki
sesuatu yang dapat menjadi sumber-sumber kebajikan di masa yang
akan datang. Jika aku tidak memperolehnya, maka aku tidak akan
~ 136 ~
meninggalkan hutan. 1) Aku ingin mendapatkan kekuatan abhina.
Jika aku tidak bisa, semoga aku dapat mengetahuinya dalam waktu
tujuh hari. Bahkan jika hidupku berakhir dalam tujuh hari, aku akan
memberinya sebagai persembahan. 2) Di mana pun ada lokasi
yang baik, dan tenang, semoga para dewa membimbingku ke sana.”
sesudah bertekad, aku duduk bermeditasi. Suatu penampakan muncul
berupa cahaya terang dan ada gua yang menembus gunung. Terlintas
dalam pikiranku, “jika aku masuk gua ini, aku mungkin menemukan
jalannya.” Kemudian aku memutuskan untuk pergi ke sana. Tetapi
ketika aku bangun, aku merasa pusing sampai-sampai tubuhku lunglai.
Aku harus berpegangan kuat pada tiang di dalam gubuk.
sesudah kejadian itu, penyakitku mulai sembuh. Suatu hari, aku
mengajak seorang pengikutku mencari kayu untuk membuat api
unggun supaya di malam hari aku dapat menghangatkan tubuhku. Hari
berikutnya, seorang anak laki-laki dari desa berkata kepadaku, “orang
sakit tidak baik pergi mencari kayu bakar. Para sesepuh berkata bila
orang sakit mencari kayu bakar maka ia sedang mencari kayu untuk
tumpukan bahan bakar kremasinya.” Nama anak laki-laki itu bernama
Teng, dan anak itu sedikit gila. Ia melanjutkan, “aku benar-benar sakit.
Tiap malam setan datang, menarik kakiku dan tidak mengijinkan aku
untuk tidur.” Aku tidak memerhatikannya.
Pada suatu malam, saat suasana sunyi, aku sakit, lalu aku menyalakan
api. sesudah aku tertidur sebentar, seorang wanita berpakaian putih,
diikuti oleh dua anak perempuan membawa bendera putih yang
bertuliskan aksara China datang ke arahku dan berkata, “aku yaitu
ratu dari para dewa. Jika Anda tinggal di sini, anda harus membungkuk
kepadaku.” Aku tidak ingin membungkuk, karena aku yaitu seorang
bhikkhu. Meski demikian, dia terus mendesak. Kami saling beradu
pendapat, tetapi aku tetap kukuh. Akhirnya dia meninggalkan gubuk,
~ 137 ~
menaiki bukit dan menghilang. Aku bermeditasi dalam keheningan
malam.
Di hari yang lain – tanggal 16 September –kepalaku pusing luar biasa.
Aku tidak sanggup untuk keluar dari gubuk, dan tidak bisa makan
makanan. Sekitar pukul satu siang, aku bangun dan duduk dekat
jendela. Gubuk ini berada di kaki bukit, dan sungai mengalir tepat di
sebelah jendela. Halaman sekitar gubuk bersih – setiap hari disapu
Banyak sekali kejadian pada hari itu: 1) Ada bau busuk yang belum
pernah aku cium sebelumnya. 2) Lalat hijau besar datang dan hinggap
di mukaku. Lalat itu melihatku seolah-olah aku akan mati. Aku duduk
bermeditasi hingga lalat itu terbang dan bau busuk lenyap. Aku mulai
meragukan kelangsungan hidupku, lalu aku bertekad, “jika aku akan
mati, aku menghendaki isyarat kematianku. Jika aku dapat hidup terus,
aku juga menginginkan isyarat.”
sesudah aku selesai bertekad, aku duduk menghadap barat, melihat
keluar melalui jendela dengan pikiran terkendali. Sesaat kemudian
dua ekor burung merpati hinggap di jendela. Yang pertama, burung
merpati jantan datang dari selatan, bersuara jernih. Tak beberapa
lama kemudian burung merpati betina datang dari utara. Mereka
mengepakan sayapnya dan saling mendekur satu sama lain. Mereka
nampak gembira dan senang. Dan kemudian, awan-awan yang tadinya
menyelubungi langit terbelah dan cahaya matahari terang benderang
bersinar. Sejak awal musim hujan, matahari tidak pernah bersinar
bahkan tiga puluh menit saja dalam sehari. Selama tiga bulan, langit
gelap tertutup oleh awan dan kabut. Namun sekarang matahari
bersinar dengan terang dan indah. Suara kicauan burung-burung
terdengar jelas dari hutan. Pikiranku tenang. Aku berkesimpulan,
“aku tidak akan mati.”
~ 138 ~
Pada suatu malam sesudah peristiwa itu, saat masa vassa hampir
berakhir, aku melakukan meditasi jalan ke arah selatan gubukku dan
penglihatan muncul pada diriku. Aku melihat diriku dan seekor gajah
bergulat di dalam air. Kadang-kadang aku berada di atas gajah, kadang-
kadang gajah itu berada di atasku. Kemudian, sesudah itu, masih pada
penglihatan yang sama, bantalan duduk untuk berkhotbah Dhamma
terbang ke angkasa, kira-kira enam meter di atas tanah. Bantalan itu
berwarna merah gelap dibungkus dengan kain berbahan sutera India
bersulam emas. Penglihatan itu berkata, “naiklah ke bantalan itu.
Semua cita-citamu akan terpenuhi.” Tetapi tidak ada seorang pun
dalam penglihatan tersebut. Aku berpikir, “ini bukan saatnya utk
kebohongan,” Kemudian gambaran itu menghilang.
Tepat di akhir masa vassa, aku berlatih meditasi jalan dengan
mengelilingi kaki bukit, tetapi aku lelah dan lemas. Telingaku
berdengung dan hampir pingsan. Jika begitu, aku tidak akan dapat
meninggalkan pegunungan sesudah masa vassa selesai. Kemudian aku
bertekad: jika aku hidup dan tetap berhubungan dengan manusia,
semoga aku dapat keluar dari gunung ini. Tetapi jika keterlibatanku
sudah selesai, maka aku akan menulis surat wasiat.
Sehari sesudah masa vassa berakhir, penyakitku rupanya sudah sembuh.
Gejala-gejala penyakitku bahkan tidak sampai dua puluh persen dari
sebelumnya. Besoknya, penduduk desa pegunungan mengantar kami
meninggalkan hutan, membantu membawakan perlengkapan kami,
sambil menangis pilu.
Lokasi tersebut merupakan lokasi yang lembab, bersuhu dingin.
Bahkan garam, jika Anda tidak menutup rapat tempat penyimpanannya
akan larut. Kami menyantap makanan pegunungan sepanjang masa
vassa. Mereka makan rebung, daun-daun calledium dan akar umbi,
~ 139 ~
merebusnya hingga lunak, lalu ditambah garam, beras dan ulekan
cabe rawit – daun, batang, dan semuanya – dimasak jadi satu di dalam
bejana. Inilah makanan yang kami makan. Selama bertahun-tahun
sejak penahbisanku, dalam hal makanan, makanan pada masa vassa
kali ini yaitu makanan yang paling primitif. Bahkan lada mereka
terasa aneh, ketika Anda menelannya, pedasnya sampai ke usus.
Namun orang-orang gunung itu berbadan besar dan pendek. Aku pikir
mereka berkulit hitam gelap, tetapi ternyata mereka berkulit cerah
dan bertubuh sintal. Kebudayaan mereka sangan mengagumkan,
tidak ada cekcok, dan tidak ada seorang pun yang berteriak. Mereka
menolak menggunakan barang yang dijual di pasar. Kebanyakan
mereka menggunakan barang yang dibuat sendiri. Hasil panen mereka
yaitu sayur-mayur dan padi-padian liar. Karena di sana tidak ada
lahan untuk menanam beras putih.
sesudah masa vassa, aku kembali ke Mae Rim dan lalu masuk ke kota
Chieng Mai. Satu-satunya gejala penyakitku yang tersisa yaitu denyut
jantung yang tidak beraturan. Umat awam yang paling memerhatikan
kondisiku dan terus mengirim persediaan dari Chieng Mai ke tempat
aku berdiam di dalam hutan – Khun Nai Chusri dan Mae Kaew Run
– mengantarkan obat-obatan alami untuk menghilangkan pusingku.
sesudah menetap di Chieng Mai, di Wat Santidham beberapa lama, aku
pergi ke gua Phra Sabai di Lampang, di mana salah seorang muridku
melewatkan masa vassa di sana.
Saat berada di sana, aku merasa, aku harus kembali ke Bangkok.
Somdet sakit keras dan aku harus tinggal bersamanya. Tetapi sebagian
dari diriku tidak ingin pergi. Pada suatu malam, aku bertekad untuk
mendapatkan jawaban mengenai kepastian aku pergi atau tidak. Aku
duduk bermeditasi sampai dinihari. Pada sekitar pukul 4.00 dinihari.
Aku merasakan seolah-olah kepalaku dipenggal, hatiku tenang dan
tidak ada rasa takut. sesudah itu penyakitku lenyap semuanya. Aku
~ 140 ~
kembali ke Bangkok dan tinggal di Wat Boromnivasa. Pada waktu itu,
Somdet sakit keras dan berpesan kepadaku, “Anda harus tinggal di sini
hingga aku meninggal. Selama aku masih hidup, aku tidak mau Anda
meninggalkanku. Aku tidak peduli Anda datang untuk mengurusku
atau tidak. Aku hanya ingin Anda berada di dekatku.” Lalu aku
berjanji untuk tinggal. Kadang-kadang aku berpikir kamma apa yang
telah aku lakukan hingga aku terkurung seperti ini, akan tetapi aku
teringat burung merpati berada di dalam sangkar saat aku bermimpi
di Chanthaburi. Itulah sebabnya, aku harus tinggal di sini.
~ 141 ~
sesudah aku memastikan untuk tinggal. Somdet meminta aku datang
dan mengajarnya bermeditasi setiap hari. Aku mengajarkannya
meditasi anapanasati – memerhatikan nafas. Kami berdiskusi segala hal
selagi ia duduk bermeditasi.
Suatu hari ia berkata, “aku tidak pernah bermimpi bahwa duduk
bermeditasi akan sangat bermanfaat, tetapi ada satu hal yang
menggangguku. Membuat pikiran kokoh dan membawanya pada
bhavanga. Apakah ini yaitu inti dari pembentukan dan kelahiran?”
“itulah arti Samadhi, ”aku memberitahukannya, “pembentukan dan
kelahiran.”
“Tetapi Dhamma yang diajarkan kepada kita yaitu untuk melatih
melepaskan dari pembentukan dan kelahiran. Lalu apa yang harus
dilakukan sehingga terjadi pembentukan dan kelahiran?”
“Jika pikiran Anda tidak mengerti akan pembentukan, maka tidak
akan timbul pengetahuan, karena pengetahuan itu harus datang dari
pembentukan jika ingin mengerti mengenai pembentukan. Ini yaitu
pembentukan dalam ukuran kecil – uppatika bhava – yang terakhir dari
kondisi batin tunggal. Sama dengan kebenaran mengenai kelahiran.
Untuk mengokohkan pikiran agar Samadhi timbul untuk kondisi batin
Bagian 17
~ 142 ~
berkepanjangan yaitu kelahiran. Katakan kita duduk memusatkan
pikiran dalam jangka waktu yang lama hingga pikiran menghasilkan
lima faktor jhana inilah kelahiran. Jika Anda tidak melakukan hal ini
dengan pikiran Anda, maka pengetahuan tidak akan muncul dalam
diri Anda sendiri. Dan ketika pengetahuan tidak muncul, bagaimana
Anda dapat melepaskan diri dari ketidaksadaran? Sangat sukar untuk
dihadapi.
“Seperti yang aku lihat,” aku melanjutkan, “kebanyakan orang yang
belajar Dhamma salah menanggapi hal itu. Apa pun yang timbul,
mereka mencoba untuk memotong dan menghapuskannya. Bagiku,
hal demikian yaitu salah. Seperti orang yang makan telur. Beberapa
orang tidak tahu bentuk seekor ayam: ini yaitu ketidaksadaran.
sesudah mereka memegang sebutir telur, mereka memecahkannya
dan memakannya. Tetapi katakan mereka tahu bagaimana cara
menginkubasi telur dengan benar. Mereka memiliki sepuluh butir
telur, mereka memakan lima butir telur, lalu sisanya diinkubasi.
Ketika telur-telur itu sedang diinkubasi, itulah “pembentukan.” Ketika
anak ayam menetas, itulah “kelahiran.” Jika semua lima ekor anak
ayam dapat bertahan hidup, maka beberapa tahun kemudian, orang
yang sebelumnya harus membeli telur ayam akan mulai mendapatkan
keuntungan dari ayam miliknya. Ia akan memiliki telur-telur untuk
dimakan tanpa harus membayarnya, dan jika ia memiliki lebih dari
yang ia makan, maka ia dapat menjual telur-telur itu. Pada akhirnya,
ia akan terbebaskan dari kemiskinan.
“Demikian juga dengan melaksanakan Samadhi: jika Anda ingin
melepaskan diri Anda dari pembentukan, Anda harus hidup dalam
pembentukan. Jika Anda ingin melepaskan diri dari kelahiran, Anda
harus mengetahui semuanya mengenai kelahiran Anda.”
~ 143 ~
sesudah aku berkata demikian, ia memahami dan mulai berseri-seri.
Ia nampak senang dan terkesan. Ia berkata, “cara bhante mengatakan
sesuatu, sungguh berbeda dari cara bhikkhu pemeditasi lainnya.
Meskipun aku belum bisa melaksanakan apa yang bhante katakan ke
dalam latihan, aku dapat memahami petunjuk bhante dengan jelas
dan tanpa keraguan-keraguan bahwa apa yang bhante katakan yaitu
benar. Aku terbiasa berada dekat dengan Ajaan Mun dan Ajaan Sao,
tetapi aku tidak mendapatkan manfaat sebagaimana aku mendapatkan
manfaat dari kebersamaan dengan bhante. Banyak terjadi hal-hal
mengejutkan saat aku duduk bermeditasi.”
sesudah itu, ia menjadi tertarik untuk bermeditasi dalam waktu lama
– kadang-kadang selama dua jam. Selagi ia bermeditasi, ia memohon
padaku untuk membicarakan Dhamma. Segera sesudah pikirannya
tenang dan kokoh, aku mulai berbicara – dan pikirannya sejalan
dengan apa yang aku katakan. Suatu hari ia berkata, “aku telah lama
ditahbiskan, tetapi aku belum pernah merasakan seperti ini.”
Sejak saat itu, aku tidak pernah lagi memberikan dia pembicaraan-
pembicaraan panjang. Cukup dengan mengatakan sepatah atau
dua patah kata, ia sudah mengerti maksudku. Aku bahagia. Suatu
hari ia berkata, “mereka yang belajar dan mempraktikkan Dhamma
terperangkap pada pandangan-pandangannya sendiri, itulah sebabnya
mereka tidak berkembang. Jika setiap orang memahaminya dengan
benar, tidak akan ada hal-hal yang mustahil mengenai mempraktikan
Dhamma.”
Saat aku melewatkan masa vassa bersama dengan Somdet di sana,
pikiranku dalam kondisi tenang untuk menjelaskan berbagai hal yang
menarik perhatiannya. Ia berkata kepadaku, “dulu, aku tidak pernah
berpikir bahwa bermeditasi sangat diperlukan.” Lalu ia menambahkan,
~ 144 ~
“para bhikkhu dan samanera – dan juga para umat awam – belum
mendapatkan cukup manfaat selama bhante berada di sini. Jika bhante
setuju, aku ingin bhante dapat meluangkan waktu untuk mengajar
mereka juga.”
Ia lalu memberi tahu bhikhhu sesepuh di vihara mengenai niatnya,
dan sejak saat itu dimulai pelatihan meditasi di Aula Uruphong. Pada
tahun pertama, 1953, sejumlah bhikkhu, samanera, dan umat awam
dari vihara-vihara lain datang dan bergabung dalam sesi latihan
meditasi. Thao Satyanurak datang dan berdiam di Rumah Nekkhamma,
rumah khusus untuk para ayya di vihara, dan bermeditasi dengan hasil
yang baik. Pikirannya menghasilkan pencapaian yang tidak biasa.
Kemudian dia memutuskan untuk terus berdiam di Wat Boromnivasa
sampai akhir hayat.
Pada akhir masa vassa, aku mohon diri kepada Somdet untuk
mengembara dari satu propinsi ke propinsi lainnya. Penyakitnya telah
berkurang banyak. Tahun itu, aku kembali ke Wat Boromnivasa untuk
perayaan Visakha Puja.
Malam itu, aku duduk bermeditasi di dalam aula penahbisan, dan
terjadi satu peristiwa: aku melihat relik Sang Buddha datang dan
muncul. Sebelumnya, muncul pemikiran dalam diriku, “mataku kecil.
Aku menginginkan mata besar hingga mampu melihat jauh sampai
bermil-mil. Telingaku kecil. Aku menginginkan telinga besar hingga
mampu mendengar seluruh dunia. Mulutku kecil. Aku menginginkan
mulut lebar hingga mampu berkhotbah Dhamma yang bergema
selama lima hari siang dan malam.” Dengan berpikir demikian, aku
memutuskan untuk melaksanakan tiga bentuk latihan, yaitu: 1) Untuk
mulut lebar, tidak makan berlebihan atau berbicara berlebihan di
hari-hari penting. 2) Untuk telinga besar, tidak mendengarkan apa
pun yang tidak penting. 3) Untuk mata besar, tidak tidur.
~ 145 ~
Kemudian dengan berpikir demikian, aku memutuskan untuk tidak
tidur selama Visakha Puja. Sekitra pukul 5.00 pagi, relik Sang Buddha
dalam jumlah banyak datang kepadaku di aula penahbisan.
Aku kembali melewatkan masa vassa dengan Somdet. Pada tahun
itu, para umat awam yang ikut dalam sesi latihan meditasi berjumlah
lebih banyak dibanding tahun sebelumnya. Sejumlah kejadian tidak
baik muncul, karena sebagian dari para bhikkhu menjadi iri dan mulai
mencari cara untuk memperburuk keadaan. Aku lebih baik tidak
menyebutkan namanya. Siapa saja yang ingin tahu lebih banyak dapat
menanyai Thao Satyanurak atau Somdet.
Suatu malam sekitar pukul 7.00 malam, seorang bhikkhu bernama
Phra Khru Palat Thien datang ke kamarku dan berkata dengan suara
kecil, “aku harap ajaan tidak marah. Aku mendukung ajaan.”
“Baiklah, aku senang mendengarnya, tetapi aku tidak tahu bagian
mana yang dapat membuat aku marah. Katakan ada apa.”
Kemudian ia menceritakan secara terperinci dan menambahkan,
“desas desus telah sampai ke Somdet. Jika ia ragu-ragu terhadap ajaan,
ia mungkin akan memanggil ajaan ke kamarnya untuk bertanya. Jika
ia benar-benar memanggil ajaan, beritahu aku. Aku akan berpihak
kepada ajaan.” Nyatanya, Somdet tidak pernah berkata apa pun
mengenai hal itu, dan tidak pernah bertanya satu pun kepadaku. Kami
hanya berdiskusi Dhamma sebagaimana biasanya.
Kemudian surat kaleng beredar:
Prilaku sehari-hari Phra Khru Dhammasaan yaitu menulis.
Ajaan Lee sedang melatih teman wanitanya yang berusia muda.
Si tua beruban MahaPrem menginginkan menjadi pemimpin vihara,
~ 146 ~
sementara Luang Ta Paan meracau tiada akhir.
Phra Khru Dhammasaan diperiksa dengan teliti dikarenakan
surat tersebut – orang menduga ia menulis surat tersebut untuk
menyerang aku. Aku tak mengerti apa yang sedang terjadi. Rupanya
ada beberapa bhikkhu yang bertindak tidak patut, tetapi aku tidak
memerhatikannya.
Sehari sesudah masa vassa usai, MahaNarong datang menemui Somdet,
meminta ijin untuk menyalin informasi surat jati diriku. sesudah
selesai, ia kembali ke Somdet dan berkata kepadanya bahwa Dewan
Direksi Universitas Buddha Mahamakut meminta informasi supaya
mereka dapat mengatur pemberian gelar Phra Khru kepadaku.
Somdet mengirimnya untukku. Ia berkata, “mereka telah mengatakan
demikian. Apa yang akan bhante katakan?”
“Aku yaitu seorang bhikkhu biasa, jika tidak diperlukan, tidak
menginginkan apa pun mengenai hal ini. Apa pun yang aku lakukan
yaitu untuk kepentingan bersama.”
Kemudian ia berkata kepadaku, “aku akan menjawab mereka sendiri.”
Kemudian ia menambahkan, “aku akan mengatakan, “Phra Ajaan Lee
datang berdiam di sini atas permintaanku dan ia tinggal karena rasa
hormatnya padaku. Jika Anda ingin memberikan gelar kepadanya,
aku melihatnya yaitu untuk menjauhkan ia dariku.”” Itulah yang
dikatakan oleh Somdet untuk menjawab pertanyaan mereka.
“Bagus,” jawabku. Akhirnya seluruh gagasan itu diabaikan untuk
sementara waktu.
~ 147 ~
Waktu berlalu, kesehatan Somdet membaik. Kemudian aku pamit
untuk menyendiri sesuai dengan kebiasaanku
Tahun itu yaitu tahun yang ke seratus berdirinya Wat Supatwanaram,
vihara Dhammayut pertama di timur laut. Somdet berkata kepadaku,
“Aku menghendaki bhante membantu perayaan terebut. Aku akan
memberi mereka relik yang diberikan bhante kepadaku sebagai
cinderamata dari Wat Boromnivasa.” sesudah berkata demikian, ia
berjalan ke tempat relik diletakan di atas altar, dan menemukan lebih
dari empat puluh relik dalam bejana kaca. Aku berkata, aku akan
memberikan semua kepadanya. Ia berkata “aneh sekali. Peristiwa ini
belum pernah kualami dalam kehidupanku sebagai seorang bhikkhu.”
Ia berkata bahwa ia akan mengirimkan semua relik ke Wat Supat,
dan memintaku memilih mana yang akan diberikan atas namaku,
dan mana yang diberikan atas namanya. Ketika ia berkata hal ini, aku
memutuskan untuk membantu perayaan sebagai bentuk penghargaan
atas kebaikannya.
Perayaan di Wat Supat berubah menjadi peristiwa penting. Pemerintah
mendanakan uang dalam jumlah yang besar untuk membantu,dan
mengumumkan bagi penduduk di Bangkok yang ingin pergi akan
berangkat bersama-sama pada tanggal 18 Maret. Pengumuman ini
ditandatangani oleh Panglima Phin Chunhawan, Menteri Pertanian,
Bagian 18
~ 148 ~
dan Jenderal Luang Sawat, Menteri Kebudayaan.
Pada suatu hari, ketika aku berada di Lopburi, aku mendengar ada
perubahan rencana, oleh karena itu aku segera kembali ke Bangkok.
Setibanya di sana, Somdet memberitahuku, “mereka merubah jadwal.
Aku menghendaki bhante pergi bersama mereka. Aku akan memberi
reliknya. relik-relik terebut menjadi tanggung jawab bhante.”
Aku tidak berkata apa pun, tetapi sesudah aku kembali ke kamarku
dan memikirkannya, aku menyadari bahwa aku tidak bisa mengikuti
perintah Somdet. Aku pergi menemuinya.
Aku berkata kepadanya, “aku tidak bisa pergi. Pengumuman yang
disebarkan pemerintah menyatakan bahwa pada tanggal 17, relik akan
dipamerkan di Wat Boromnivasa. Sekarang, rencananya berubah.
Aku sudah menyebarkan pengumuman, dan pada tanggal 17, orang
berbondong-bondong akan datang. Jika aku pergi lebih dulu, maka
aku akan mendapatkan banyak kritik. Itulah sebabnya aku tidak bisa
pergi.”
Kelihatannya tidak ada satu pun bhikkhu sesepuh yang pergi.
Permasalahan ini disebabkan oleh Nai Chao. Panglima Phin telah
menyebutkan bahwa ia akan berangkat satu hari sebelumnya dan
singgah bermalam di Nakhorn Ratchasima, mengabarkan para prajurit,
polisi, pejabat dan orang-orang untuk memberikan penghormatan
kepada relik. Nai Chao tidak memberitahu kepala vihara, dan karena
alasan inilah telah terjadi kekeliruan dalam jadwal yang telah dicetak.
Karena alasan itulah, aku tidak naik kereta pertama, karena Somdet
telah berkata kepadaku, “tetap di sini. Jika ada yang datang. Ambil
relik dan pajang di Aula Utama.” Aku setuju melaksanakan apa yang ia
katakan. Malam itu, aku menempatkan tiga relik yang berukuran lebih
~ 149 ~
besar dari biji selada dan berwarna mutiara, di dalam gelas kaca, dan
memajangnya di Aula Uruphong. Orang berdatangan ingin melihat
relik karena belum pernah melihat sebelumnya. Ketika aku membuka
kain penutupnya, mereka melihat tiga relik, orang ini mengaduk-aduk
relik, orang itu mengambilnya – dengan demikian dua relik hilang,
tersisa hanya satu relik.
Hari berikutnya, aku naik kereta api cepat menuju Ubon bersama
dengan kelompok lain yang berjumlah empat belas orang. Setibanya
di Ubon, kami membantu perayaan ulang tahun, diantaranya yaitu
membantu peletakan batu fondasi untuk Gedung Mahathera yang
akan dibangun di Wat Supat.
Suatu malam sekitar pukul 10.00 muncul suatu kejadian. Kelompok
kami yang terdiri dari lima puluh orang sedang duduk bermeditasi di
dalam aula penahbisan ketika seberkas cahaya muncul, berpijar kedap-
kedip seperti bohlam. Kami semua membuka mata, dua atau tiga orang
menemukan relik di depan mereka. Tidak beberapa lama kemudian
semakin banyak relik bermunculan. Orang-orang yang berada di luar
dan di dalam aula penahbisan menjadi bingung dan saling curiga
adanya penipuan. Ketika sudah semakin kisruh, kami menghentikan
kegiatan.
Desas-desus menyebar ke seluruh penjuru kota. Seorang lelaki yang
belum pernah menginjakan kaki di vihara datang dan bercerita
bahwa malam sebelumnya, ia bermimpi banyak bintang berjatuhan
di Wat Supat. Aku berpikir, “jika memang ada benda suci yang
berkaitan dengan Buddhisme, aku menghendaki benda-beda suci itu
menunjukkan diri mereka.”
Sore itu, Nai Phit, petugas biro perikanan membawa seorang teman,
seorang guru perempuan untuk datang dan menemuiku. Guru itu mulai
~ 150 ~
bertanya berbagai macam pertanyaan aneh dan akhirnya menyatakan
dia akan meninggalkan suaminya dan mengikutiku, karena Dhamma
yang aku ajarkan sangat mengagumkan. Suaminya, Nai Prasong,
bekerja di Bank Pemerintah kantor cabang Ubon, dan beragama
Kristen. Ia berpikir bahwa istrinya sedang terganggu jiwanya, maka ia
melakukan kebiasaan untuk mengikuti kemana saja dia pergi. Orang-
orang akan bertanya kepadanya, “jika Anda beragama Kristen, apakah
yang Anda lakukan di aula penahbisan buddhis?”
Guru itu menjadi ceroboh dan tidak sopan, dan duduk hanya berjarak
satu meter dari aku. Aku duduk di kursi dan suaminya duduk berjarak
tiga meter dari sisinya. Keseluruhan sekitar lima puluh orang
berkumpul di aula ini. Kemudian aku bertekad, “saat ini, semoga
kekuatan benda-benda suci datang dan menolongku karena beredar
desas-desus yang mengatakan aku menipu orang mengenai relik Sang
Buddha. Dengan berita-berita seperti itu, aku tidak dapat membalikkan
keadaan, kecuali para dewa dan benda suci dapat membantuku. Jika
tidak Buddhisme akan mendapatkan penghinaan dan ejekkan.” Pada
waktu itu, Chao Khun Ariyagunadhara sedang duduk di depan Rupang
Buddha utama. Semua bhikkhu telah pergi karena sudah larut.
Kemudian aku meminta setiap orang duduk bermeditasi dan
menambahkan, “siapa saja yang tidak percaya, dipersilahkan duduk
dan melihat.” sesudah beberapa saat, aku merasakan benda-benda suci
itu telah datang dan sedang berputar-putar, lalu aku meminta setiap
orang untuk membuka mata dan berkata kepada Nai Prasong, “buka
matamu dan lihat aku. Aku akan berdiri.” Kemudian aku berdiri dan
mengibaskan jubahku dan kain duduk agar dapat dilihat olehnya, pada
saat yang sama aku berpikir, “semoga para dewa menolongku sehingga
ia tidak menghina ajaran Buddha.” Lalu aku berkata dengan suara
nyaring, “Relik Sang Buddha telah datang. Orang-orang yang duduk di
~ 151 ~
hadapan aku akan menerimanya. Tetapi ketika Anda membuka mata
Anda, jangan bergerak. Aku sendiri tidak akan bergerak.”
sesudah aku menyelesaikan perkataanku, ada suara benda kecil jatuh di
lantai ruangan. Seorang wanita bergegas mengambilnya, tetapi benda
itu melenting dari genggamannya dan mendekati tempatku duduk.
Orang lain berlarian mengejarnya, tetapi aku memerintahkannya
untuk berhenti. Akhirnya benda itu berhenti di hadapan guru itu lalu
aku berkata kepadanya, “Nai Prasong, relik suci itu milikmu rawatlah
dengan baik.” Guru itu memungutnya. Benda itu berbentuk bulat dan
sangat indah – relik itu merupakan relik yang pernah dipakai dalam
penghormatan relik Sang Buddha.
sesudah waktu berlalu, guru itu masih duduk di sana, kadang-
kadang dengan mata tertutup, kadang-kadang dengan mata terbuka,
kemudian ia berkata, “Luang Phaw, sudah membawa aku duduk di
puncak gunung.” “Semua yang aku lihat yaitu tulang kerangkaku
sendiri, tetapi bagaimana mungkin bisa terjadi? aku masih hidup?”
“Meskipun aku berpenghasilan lima ratur Baht per bulan, aku belum
pernah merasakan kebahagiaan seperti sekarang ini.” Perkataan yang
diucapkan semakin tidak karuan.
Pada akhirnya, kurang dari sepuluh orang menerima relik Sang
Buddha pada malam itu. Semua orang yang berada di sana membuka
mata mereka dan tempat itu terang benderang. Tepat sebelum fajar,
Nai Phae datang menemuiku. Ia menggenggam relik di tangannya, lalu
ia memberikannya kepadaku dengan berkata bahwa ia mendapatkan
relik itu kemarin malam. Aku menyerahkan semua relik itu ke Wat
Supat.
Perayaan berlangsung selama lima hari penuh. Suatu hari, mereka
mengundi pendanaan jubah bagi para bhikkhu yang datang dan
~ 152 ~
bergabung dalam perayaan. Masih banyak orang di Ubon yang
mencurigaiku, tetapi tidak satu pun yang terbuka mengenai hal itu.
Salah seorang yang terbuka yaitu Mae Thawngmuan Siasakun. Dia
bertekad dengan berkata, “jika ajaan ini tulus dan jujur, semoga
beliau mendapatkan undian dana seperangkat jubah yang telah
kupersiapkan.” Ketika undian ditarik, aku mendapatkan seperangkat
jubah persembahannya.
~ 153 ~
sesudah perayaan selesai, aku kembali ke Bangkok dan pergi
mengembara dari satu tempat ke tempat lain. Ketika tiba waktunya
untuk masa vassa, seperti biasa aku kembali bersama Somdet. Pada
masa vassa itu penyakitnya bertambah parah. Ia tidak dapat duduk
bermeditasi. Ia hanya dapat meditasi dengan berbaring. sesudah masa
vassa, ia meninggal dunia.
Selama masa vassa, ia sakit berat. Sakit asmanya kambuh dan ia
tidak dapat tidur. Suatu malam kira-kira pukul 2.00 dinihari, seorang
bhikkhu berlari menghampiriku. Para bhikkhu dan samanera ramai
karena Somdet meminta mereka untuk mencari dokter, tetapi sudah
larut malam – bagaimana mereka mencari dokter? Chao Khun Sumedhi
meminta seorang bhikkhu untuk memanggilku supaya aku dapat
meyakinkan Somdet, karena Somdet tidak akan mendengarkan siapa
pun.
Kemudian aku menemui Somdet dan bertanya, “obat apa yang Somdet
makan hari ini? Berapa banyak tablet? Berapa kali?”
Ia menjawab, “aku tidak bisa bernafas.”
Aku memegang tubuhnya. Suhu badannya tinggi. Aku mengetahui, ia
kelebihan makan obat. Dokter memberitahu untuk makan satu tablet
Bagian 19
~ 154 ~
dua kali sehari, tetapi ia merasa tidak ada perkembangan, maka ia
makan dua tablet sekaligus. Sekarang perutnya terasa panas, dan sulit
bernafas. Aku berkata kepadanya, “aku pernah melihat hal semacam
ini sebelumnya. Tidak apa-apa. Sekitar lima belas menit akan hilang.”
Kemudian ia memejamkan matanya dan memasuki samadhi. Para
bhikkhu dan samanera duduk di sekelilingnya. Sesaat kemudian ia
berkata, “aku sudah membaik sekarang. Kalian tidak perlu memanggil
dokter.”
Saat masa vassa, penyakit asmanya kambuh lagi. Suatu pagi, ia
mengirim seorang samanera untuk memanggilku. Pada saat itu, aku
sedang ada tamu, jadi samanera itu hanya berkata lalu pergi. Somdet
kemudian bertanya kepadanya, “apakah Ajaan Lee masih berada di
vihara ini?”
“Masih.”
“Kalau begitu ia tidak perlu datang. Pikiranku sedang tenang. Jika ia
meninggalkan vihara, cari, dan mohon ia kembali.
Pada pukul 5.00 sore, ia mengirim seorang samanera untuk mencariku.
Samanera itu tidak berkata sedikit pun kepadaku karena aku sedang
duduk bermeditasi. Ia kembali ke Somdet dan berkata, “Ajaan Lee ada
di dalam vihara.” Tak beberapa lama kemudian, sekitar pukul 6.00 sore,
ia datang lagi menemuiku. Kali ini aku bergegas menemui Somdet. Ia
memberikan pengarahan mengenai vihara, dan kembali berbaring.
Aku turun ke lantai bawah sebentar.
Kemudian terjadi kegaduhan di lantai atas, aku bergegas naik. Bersama
Somdet di dalam ruangan itu ada seorang bhikkhu yang merawatnya
dan Chao Khun Dhammapitok. Melihat keadaan Somdet, aku tahu ia
~ 155 ~
tidak akan bertahan. Para bhikkhu dan samanera berjalan kacau balau
di sekitar tempat itu, dan para dokter marah. Salah satu diantara mereka
memasukkan jarinya ke tenggorokan Somdet untuk mengeluarkan
lendir, tetapi tidak berhasil. Ketika aku melihat tidak ada harapan lagi,
aku memerintahkan dokter untuk berhenti, “jangan sentuh beliau.”
Dan tidak beberapa lama kemudian Somdet menghembuskan nafasnya
yang terakhir.
sesudah kami selesai memandikan jenazah, kami mengadakan
pertemuan, dan pada hari berikutnya kami mempersiapkan upacara
pemandian jenazah.
Panitia vihara mulai melakukan upacara pelimpahan jasa. Mereka
memintaku untuk bertugas di bagian dapur, dan aku menyetujuinya.
Khun Nai Tun Kosalyawit sebagai asistenku. Selama tujuh hari pertama
kami sama sekali tidak menggunakan uang vihara karena banyak orang
datang dan berdana sukarela. Upacara pelimpahan jasa berlangsung
selama lima puluh hari. Selama masa itu kami terus mengumpulkan
dana untuk vihara. sesudah selesai lima puluh hari, aku memutuskan
untuk beristirahat.
~ 156 ~
Pada tanggal 10 April, aku pergi ke Lampang untuk membantu Upacara
pembatasan Sima* di Wat Samraan Nivasa yang berlangsung selama
beberapa hari. sesudah upacara selesai aku pergi menetap di Gua Phra
Sabai. Penyakit perut lamaku kambuh lagi: aku terserang diare akut
dan sakit perut luar biasa. Berita keadaanku tersebar sampai kota
Lampang bahwa kondisiku parah.
Pada suatu hari, aku beristirahat di dalam gua. Aku melihat batu yang
melekat di mulut gua, dengan ketinggian 20 meter dari atas tanah.
Muncul pikiran, aku berniat membangun stupa di dalam gua. Aku
memanggil umat awam yang tinggal bersamaku untuk membantu
mendorong batu keluar gua, Kami lalu menggali lubang hingga pukul
1.00 siang sampai mobil tiba. Orang-orang di dalam mobil berkata bahwa
mereka datang untuk membawaku ke rumah sakit, tetapi aku telah
sembuh dari penyakitku tanpa disadari. Aku berkata kepada mereka
bahwa kami akan membangun stupa. Sebelum meninggalkan gua, aku
berdiri di mulut gua dan melihat ke barat daya, ke arah hamparan
pepohonan di pegunungan. Melihat segarnya hijau pepohonan, aku
teringat pada pohon Bodhi, dan akan lebih baik bila menanam tiga
pohon Bodhi di depan mulut gua. Aku mengutarakan hal ini kepada
para bhikkhu dan samanera, dan kemudian kembali ke Lampang.
* Sima: aula penahbisan bhikkhu, dalam membangun sebuah Sima, para bhikkhu melakukan up-
acara untuk menetapkan batas-batas wilayah yang akan dijadikan sima, untuk membatalkan
sima yang lama, kalau mungkin sebelumnya sudah pernah ada sima di lokasi yang sama dan
menetapkan batas wilayah untuk sima baru.
Bagian 20
~ 157 ~
Dari sana aku melanjutkan perjalanan ke Uttaradit, karena seorang
umat awam datang mencariku, dan memohon agar kembali ke Uttaradit
karena ada seorang perempuan tua –salah satu muridku – meracau tidak
karuan belakangan ini. Aku menetap di Uttaradit beberapa saat untuk
menyembuhkan wanita itu, dan kemudian melanjutkan perjalanan ke
Phitsanuloke, di sana aku tinggal di Wat Raadburana, dekat dengan
rumah seorang wanita yang merupakan “anak angkatku”. Kisah
mengenai anak angkat ini baik untuk diceritakan, meskipun terjadi
pada saat aku melewatkan masa vassa bersama dengan masyarakat
pegunungan di Baan Phaa Daen Saen Kandaan, Chieng Mai.
Nama wanita itu Fyyn; suaminya MahaNawm. Suatu hari aku
pergi mengajar meditasi di Wat Aranyik, yang terletak di dalam
hutan berjarak enam kilometer dari Phitsanuloke. Banyak pejabat
pemerintahan, pedagang, dan masyarakat umum datang untuk berlatih
samadhi, termasuk kepala polisi, Luang Samrit; Luang Chyyn, Khun
Kasem, Kapten Phaew – mereka semua bersungguh-sungguh ingin
berlatih meditasi. Kami sedang duduk, berdiskusi Dhamma, ketika
seseorang datang dan berkata kepadaku, “Bhante, mohon datang dan
menjenguk orang sakit di rumahku.” Aku setuju untuk pergi. Kepala
polisi mengantar kami menggunakan mobilnya.
Ketika kami tiba, mereka memberitahu aku bahwa seorang bhikkhu
dhutanga telah datang dari utara, membuat air parita untuk mereka
dan kemudian memberitahu mereka, “aku khawatir, aku tidak bisa
menyembuhkan Anda, tetapi akan segera datang seorang bhikkhu
yang dapat menyembuhkannya.” Kemudian bhikkhu itu pergi dan
melanjutkan perjalanan. Segera sesudah MahaNawm mendengar
keberadaanku di daerah ini, ia langsung datang mencariku. sesudah
berbicara dengannya, aku mengetahui bawah isterinya, Mae Fyyn telah
sakit selama tiga tahun, sejak dia mengalami pendarahan hebat sesudah
~ 158 ~
melahirkan. Mereka telah menghabiskan uang sekitar delapan ribu
Baht untuk biaya pengobatan, tetapi tidak sembuh juga. Yang dapat
dia lakukan selama tiga tahun terakhir ini yaitu hanya berbaring
saja: dia tidak dapat bangun sama sekali. Tahun-tahun belakangan ini,
dia tidak mampu berbicara.bahkan tidak bisa bergerak. Mendengar
ini, aku berkata kepada MahaNawm bahwa aku akan menjenguknya.
sesudah aku sampai di depan pintu, aku melihat wanita itu mengangkat
tangannya dengan lemah dalam posisi anjali. Aku tidak memerhatikan
keadaannya, hanya duduk bersamadhi. Mae Fyyn berkata dua atau tiga
kata, bergerak sedikit, memberi hormat dengan sikap anjali, duduk
dan berlutut di bantalnya. Aku berkata kepadanya, “sembuhlah, semua
penyakit ini karena kamma buruk masa lampaumu.”
Hari itu, aku memintanya untuk mengambil korek api dan menyalakan
sebatang rokok untukku, dan dia mampu melakukannya. Aku
mengatakan kepada orang-orang di rumahnya untuk tidak menyuapi
makanan pada hari berikutnya, hanya meletakan nasi dan kari di
sebelahnya. Dia dapat memakannya sendiri.
Keesokan hari, suaminya datang ke vihara untuk berdana makanan
kepadaku. Ketika ia pulang, ia melihat isterinya telah menyelesaikan
sarapannya, mencuci peralatan makan dan mampu bangun dan
merangkak. Aku menjenguknya sore itu, tetapi menemukan bahwa
tetangga-tetangga di sekitar rumah membawa kendi dan pot untuk
mendapatkan “air parita ajaib.” Melihat hal ini, aku merasa tidak
nyaman dan segera kembali ke Bangkok.
Kami tetap berhubungan dengan surat. Sebulan sesudah itu, Mae Fyyn
sudah mampu bangun dan berjalan. Tahun ke dua, dia sudah mampu
pergi ke vihara terdekat dan berdana makanan kepada para bhikkhu.
Tahun ke tiga, dia datang untuk menetap di Wat Boromnivasa –
~ 159 ~
berjalan dari stasiun kereta api HuaLampong menuju Wat Borom
dan berjalan setiap hari dari tempat menetapnya untuk mendengar
khotbah Dhamma di aula meditasi, sembuh total. Peristiwa ini sangat
mengagumkan.
Dari Phitsanuloke aku melanjutkan perjalanan ke Phetchabun untuk
mengunjungi seorang siswa yang telah membangun sebuah vihara
di daerah Lom Kao dengan bantuan dari Petugas Daerah Pin. sesudah
tinggal menyepi sejenak, aku berangkat bersama yang lain ke dalam
hutan.
Kami melewati pegunungan dan menyeberangi sungai-sungai selama
berhari-hari dan kemudian beristirahat di lereng bukit. Dari sana
kami mengikuti lereng rendah bukit-bukit sampai kami mencapai
gunung tinggi yang tertutup hutan belantara. Dari kejauhan aku bisa
melihat Puncak Gunung Haw Mountain menjulang tinggi. Mereka yang
bersamaku berjalan di depan, aku mengikuti di belakang. Memikirkan
Gunung Haw, pikiranku damai. Aku memikirkan sesuatu berharga yang
berada di luar kemampuanku: “aku ingin melayang ke angkasa menuju
puncak Gunung Haw.” Aku berdiri diam sejenak, mangkuk pattaku
tergantung di dalam kain bahuku, dan membayangkan awan datang
dari angkasa kemudian disaat yang bersamaan terdengar bisikan,
“jangan memikirkan hal itu. Kalau waktunya sudah tepat maka akan
terjadi dengan sendirinya. Kemudian khayalanku lenyap.
Dalam perjalanan ini aku benar-benar kehausan. Di sisi-sisi sepanjang
jalan hanya ada sisa-sisa makanan rubah, karena kami berada jauh
dari perkampungan. Kami terus berjalan dan singgah sebentar di desa
Baan Wang Naam Sai. Kemudian kami berjalan menembus hutan rimba
dan menyeberangi sungai, dan sesudah keluar dari hutan, kami tiba di
wilayah Phaa Bing, tempat yang pernah ditinggali Ajaan Mun. Tempat
~ 160 ~
ini terdiri dari gua-gua dan bukit-bukit kecil. Kami menghabiskan
beberapa hari di sana.
Pada suatu malam, ketika suasana hening, aku duduk bermeditasi
hampir tertidur, dan tiba-tiba terjadi suatu peristiwa. Aku melihat
puncak gunung tertutup dengan pepohonan di bagian barat dari Phuu
Kradyng. Seorang manusia raksasa, memakai kain berwarna kuning
gelap terikat pada pinggangnya, berdiri di atas gunung dan menopang
langit dengan tangannya. Aku berdiri di tangannya. Ia berkata, “di
masa yang akan datang, kehidupan umat manusia akan sulit. Mereka
akan mati karena air beracun. Air tersebut dibagi menjadi dua jenis:
Kabut dan embun akan merusak hasil panen dalam bentuk apa pun.
Orang-orang yang makan hasil panen itu bisa sakit.
Hujan. Jika Anda menjumpai air hujan aneh, seperti: 1)
a. air hujan berwarna kemerahan, atau
b. air hujan berwarna kekuningan dengan rasa aneh.
Jangan meminumnya. Jika Anda minum, Anda akan terkena diare dan
kudis. Jika Anda minum dalam jumlah banyak, Anda akan mati.”
Inilah pokok bahasan pertama yang ia katakan. Pokok bahasan ke dua.
Ia menunjuk ke timur laut. Aku melihat mata air raksasa menyembur
keluar dari tanah. Ke mana saja airnya mengalir, orang-orang jatuh
sakit. Jika mereka menggunakan air ini untuk mengairi pohon buah-
buahan maka pohon-pohon itu akan layu. Umur manusia akan semakin
pendek.
Pokok bahasan ke tiga: terjadi keanehan pada puncak gunung.
Kemanapun ia membentangkan tangannya, pepohonan akan menjadi
sama tinggi. “Apa maksudnya ini?” Aku bertanya.
~ 161 ~
“Orang dewasa yang tidak bermoral akan menderita di masa depan.”
“Apakah semua kejadian ini dapat dicegah?”
“Penyakit yang disebabkan oleh air, jika tidak ditangani dengan serius
akan dapat menyebabkan kematian dalam tiga, lima atau sembilan
hari.”
“Akankah aku menderita?”
“Tidak akan, karena Anda menghormati kualitas-kualitas sesepuhmu.
Aku akan memberikan cara membuat obatnya. Jika Anda mendengar
semua penyakit-penyakit ini terjadi, cepat pergi tolong mereka.”
Aku bertanya kepadanya, “apakah Anda tidak bisa mengatakan cara
penyembuhan itu kepada mereka sendiri?”
Ia berkata, “aku bisa, akan tetapi tidak akan berhasil dengan baik.
Anda harus membuat obat itu sendiri. Ambil buah-buahan asam
jawa, kupas kulitnya dan rendam dalam larutan garam. Kemudian
tuang airnya dan berikan kepada orang-orang yang sakit – atau suruh
mereka minum larutan garam dari bawang putih yang diawetkan.
Penyakit akan sembuh – tetapi Anda harus membuat obatnya sendiri.”
Ia melanjutkan menyebut namanya Sancicco Devaputta.
Peristiwa itu terjadi pada tahun 1956.
sesudah kami meninggalkan Wilayah Phaa Bing dan menetap di kotamadya
terdekat, masyarakat di sana berdatangan untuk menceritakan kisah
aneh. Pada malam sebelumnya, kabut tebal melewati ladang tembakau
dan daun-daun pohon tembakau itu berguguran. Di waktu yang lain,
aku mendengar di daerah Thoen, propinsi Lampang, penduduk desa
meminum air hujan berwarna teh, dan lebih dari sepuluh orang mati.
~ 162 ~
Kedua kisah ini terdengar ajaib karena sesuai dengan mimpiku.
Kemudian kami melanjutkan perjalanan ke daerah Wang Saphung
lalu mendaki Dataran Tinggi Phuu Kradyng, sesudah bermalam di kaki
dataran tinggi. Kami berlima, dua orang anak laki-laki dan tiga orang
bhikkhu. Kami mendaki dataran tinggi dan tiba di puncak sekitar pukul
7.00 malam. Dari sana kami berjalan menuju ke lokasi perkemahan
yang berjarak lebih dari tiga mil. Udara di dataran tinggi dingin, dan
seluruh daerah itu dipenuhi dengan pohon cemara. Setibanya kami di
puncak, hujan turun, jadi kami semua mencari tempat berteduh. Aku
melihat pohon pinus tumbang dan berada di atas rerumputan tinggi
maka aku memanjat dan berbaring di atas batang kayu. Yang lainnya
berlarian mencari tempat perlindungan di tempat lain. Malam itu
angin dan hujan begitu hebat sehingga aku tidak dapat tidur semalam
suntuk.
Saat fajar menyingsing kami saling mencari satu sama lainnya, dan
kemudian mencari tempat untuk menetap. Kami menemukan gua
kecil dengan pinggiran batu-batuan yang indah dan sumur kecil berisi
air hujan semalam. Di sana kami menyepi.
Dataran tinggi tersebut cukup luas, tujuh kilometer persegi. Begitu
Anda berada di atas sana, Anda merasa seolah-olah berada di
permukaan tanah. Dataran tinggi itu dipenuhi dengan pohon cemara
dan rerumputan tinggi – tanpa ada satu pun jenis pohon lain, walaupun
ada banyak jenis pepohonan di lereng yang lebih rendah. Ini, dapat
aku simpulkan, karena puncak dataran tinggi yaitu bebatuan. Anda
dapat melihatnya dari pohon pinus yang tumbang: akarnya menjalar
di celah-celah retakan batu.
Tempat ini nyaman untuk beristirahat, tenang untuk ditinggali. Setiap
hari pukul 5.00 sore, apabila tidak hujan, kami duduk meditasi bersama
~ 163 ~
di tumpukan batu karang. Aku berpikir tentang diriku, “aku tidak ingin
kembali ke dalam kehidupan manusia. Aku ingin tinggal di hutan rimba
seperti ini. Bila memungkinkan, aku ingin memiliki kekuatan abhinna
atau, jika aku tidak mendapatkannya, semoga aku mati dalam tujuh
hari, memasuki nibbana pada hari ke tujuh. Jika tidak, semoga para
dewa membawaku pergi hidup menyendiri, jauh dari kaum manusia
untuk sedikitnya tiga tahun.” Setiap kali aku mulai berpikir seperti ini,
hujan turun, dan kami harus kembali ke dalam gua.
Salah seorang bhikkhu yang ikut bersama kami, bernama Phra Palat
Sri, belum pernah masuk ke dalam hutan sebelumnya. Sepanjang jalan
ia berbicara seperti seorang salesman, yang menggangguku. Dengan
kata lain, ia suka membicarakan hal-hal duniawi. Setiap kali kami tiba
di pedesaan yang tampak miskin, ia selalu menceritakan “Lopburi
menghasilkan banyak ikan” kepada penduduk. Ia memberitahu mereka
bahwa ikan asin dari Lopburi terjual sampai ke provinsi Chaiyaphum.
Hal ini sangat menggangguku. Kami mencari ketenangan, bukan
menjual ikan asin. Aku harus mengingatkannya, tetapi ia menjalankan
kehidupan sebagai bhikkhu lebih lama dibandingkan dengan diriku.
Ketika kami berdiam di puncak gunung, ia suka membuat api unggun
untuk menghangatkan dirinya – ketika aku tidur. Ia tidak berani
melakukannya ketika aku bangun9. Saat ia sedang menghanga





%20(2).jpeg)





