an
iringan lima jenis alat musik.
Kereta itu pergi melalui gerbang timur kota dan berlari ke arah
taman kerajaan. Beberapa orang mengira bahwa kereta itu akan
kembali sebab ia berlari ke arah taman yaitu akibat dari kebiasaan.
Tetapi, anggapan itu, ditolak oleh Purohita. Kereta itu memasuki
taman, mengelilingi Nanda tiga kali dan berhenti, siap untuk
dinaiki oleh Nanda. sesudah menyingkirkan kain yang menutupi
Nanda, Purohita memelajari telapak kakinya dan menyatakan,
“Jangankan di JambÃ¥dãpa, orang ini pantas memerintah seluruh
empat benua dengan dua ribu pulau kecil yang mengelilinginya.” Ia
juga memerintahkan para musisi untuk memainkan musik mereka
tiga kali.
lalu Nanda menyingkirkan kain yang menutupi wajahnya
dan melihat para menteri, dan terjadi percakapan:
Nanda, “Untuk apakah kalian datang ke sini?”
Menteri, “Tuanku, Kerajaan Bà rà õasã telah datang kepadamu.”
Nanda, “Di manakah sang raja?”
Menteri, “Ia telah meninggal dunia, Tuan.”
Nanda, “Sudah berapa hari berlalukah sejak ia meninggal
dunia?”
2502
Menteri, “Hari ini yaitu hari ketujuh.”
Nanda, “Apakah raja tidak memiliki putra atau putri?”
Menteri, “Ia hanya memiliki seorang putri, tidak memiliki putra,
Tuanku.”
sesudah para menteri berkata demikian, ia menerima kekuasaan
itu, dengan berkata, “Kalau begitu, aku bersedia menjadi raja.”
lalu para menteri membangun sebuah paviliun untuk
Ritual pelantikan dan membawa sang putri yang penuh riasan
dan menjadikan Nanda sebagai Raja Bà rà õasã sesudah menjalani
Ritual pelantikan.
Selanjutnya, para menteri menyerahkan pakaian yang bernilai seribu
keping uang kepada Nanda yang telah dilantik. “Teman, pakaian
apakah ini?” tanya Raja Nanda. “Tuanku, ini yaitu pakaian yang
harus engkau pakai.” “Teman,” tanya raja, “Ini pakaian yang kasar.
Apakah kalian tidak mempunyai yang lebih halus?” “Tuanku,
tidak ada pakaian yag lebih halus di antara pakaian-pakaian yang
dipakai oleh manusia,” jawab para menteri. “Apakah raja kalian
sebelumnya juga mengenakan pakaian ini?” tanya Nanda. saat
para menteri membenarkan, Raja Nanda berkata, “Almarhum raja
kalian sepertinya kurang beruntung. Bawakan kendi emas (berisi
air). Kita akan mendapatkan pakaian yang lebih baik.” Para menteri
membawakan dan menyerahkannya kepada raja.
Bangkit dari duduknya, raja mencuci tangan dan mulutnya, dan
membawa air dengan tangannya, ia memercikkannya ke arah
timur. lalu delapan pohon-pengharapan muncul memecah
tanah. lalu ia melakukan hal yang sama ke arah selatan,
barat dan utara, dan di masing-masing tempat muncul delapan
pohon-pengharapan. Demikianlah seluruhnya tiga puluh dua
pohon pengharapan muncul di empat penjuru. Raja Nanda
mengenakan sehelai jubah dewa menutupi bagian bawah tubuhnya
dan sehelai lainnya menutupi bagian atas tubuhnya. lalu ia
mengumumkan diiringi tabuhan genderang, “Dalam kerajaan Raja
Nanda ini, tidak boleh ada perempuan yang memintal benang!”
2503
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
Ia juga mengangkat payung putih, dan menghias dirinya dengan
perhiasan, memasuki kota di atas punggung seekor gajah, naik ke
teras atas istananya dan menikmati kehidupannya sebagai raja.
sesudah beberapa tahun menikmati kemewahan sebagai raja, sang
ratu melihat kehidupannya, menunjukkan kekecewaan dengan
pikiran, “Sungguh jarang sekali kebajikan yang dilakukan!”
saat sang raja bertanya mengapa ia kelihatan kecewa, ia berkata
mengingatkan, “Kehidupanmu sungguh mewah. Ini sebab engkau
telah melakukan kebajikan dengan penuh keyakinan pada masa
lampau. Tetapi sekarang engkau tidak melakukan apa pun demi
kebahagiaan pada masa depan.” “Kepada siapakah kita harus
memberi persembahan?”Sang raja membantah, “Tidak ada
penerima mulia!” “Tuanku, JambÃ¥dãpa ini tidak kosong dari para
Arahanta. Engkau sebaiknya menyiapkan persembahan. Aku akan
membawakan individu-individu yang akan menerimanya” jawab
sang ratu dengan tegas.
Keesokan harinya, raja mempersiapkan persembahan di gerbang
timur kota. Sang ratu bertekad untuk menjalani sila pada pagi hari
itu lalu menghadap ke arah timur dan bersujud, mengundang
dengan kata-kata. “Jika ada Arahanta di arah timur, sudilah datang
dan menerima persembahan makanan dari kami!” sebab tidak
ada Arahanta di arah itu, tidak ada seorang pun yang datang.
Persembahan itu akhirnya diberikan kepada kaum miskin dan para
pengemis. Hari berikutnya pengaturan yang sama dilakukan di
gerbang selatan. Hari ketiga mereka melakukannya di gerbang barat.
Tetapi tidak ada satu pun Arahanta yang datang dari arah-arah itu,
sebab memang tidak ada Arahanta dari arah-arah itu.
Pada hari keempat, persembahan dipersiapkan di gerbang utara, dan
saat ratu menyampaikan undangan seperti sebelumnya, Pacceka
Buddha bernama Mahà paduma, yang tertua dari lima ratus Pacceka
Buddha, yang semuanya yaitu putra-putra Ratu Padumavatã,
berkata kepada adik-adiknya. “Adik-adikku Pacceka Buddha, Raja
Nanda telah mengundang kalian. Terimalah undangannya dengan
kegembiraan!” Para mulia menerima undangan itu dengan gembira,
mereka mencuci muka di Danau Anotatta, lalu datang melalui
2504
angkasa dan turun di gerbang utara kota itu.
Para warga mendatangi raja dan memberitahukan, “Tuanku,
lima ratus Pacceka Buddha telah datang.” Bersama sang ratu, raja
menyambut para Pacceka Buddha itu dengan tangan terbuka.
Dengan memegang mangkuk, mereka menuntun lima ratus
Pacceka Buddha ke teras atas istana dan melakukan persembahan
besar-besaran. sesudah persembahan itu selesai, raja duduk di kaki
seorang Pacceka Buddha yang tertua dan ratu duduk di kaki Pacceka
Buddha termuda, mereka memohon, “Yang Mulia, jika kalian
menetap di taman kami, kalian akan bahagia dengan tersedianya
segala kebutuhan. Juga akan memberi jasa bagi kami. sebab
itu mohon kalian berjanji untuk menetap di Taman Kota Bà rà õasã.”
Mereka berjanji kepada raja yang segera mempersiapkan akomodasi
lengkap seperti lima ratus tempat tinggal, lima ratus jalan setapak,
dan lain-lain di dalam taman kerajaan. Empat kebutuhan juga
disediakan agar mereka tidak merasa kesulitan.
sesudah situasi itu berlangsung selama beberapa waktu, terjadi
pemberontakan di perbatasan. Raja meminta sang ratu untuk
memerhatikan para Pacceka Buddha selama ia pergi untuk
memadamkan pemberontakan. lalu ia meninggalkan kota.
Sesuai perintah raja, ratu menyokong para Pacceka Buddha dengan
menyediakan empat kebutuhan dengan saksama. sesudah beberapa
hari, persis sebelum raja pulang, proses-kehidupan para Pacceka
Buddha ini berakhir. Maka, yang tertua, Mahà paduma,
melewatkan tiga jaga malam itu dengan berdiam dalam Jhà na, dan
sambil berdiri dan bersandar pada sandaran kayu, ia mencapai
Anupà disesa Parinibbà na. Demikian pula dengan para Pacceka
Buddha lainnya yang juga mencapai Parinibbà na satu demi satu.
Pada hari berikutnya, sang ratu mempersiapkan tempat duduk
untuk para Pacceka Buddha, menebarkan kotoran sapi dan bunga-
bungaan dan mengharumkan udara dengan wewangian, lalu
ia menunggu kedatangan mereka. sebab ia tidak melihat tanda-
tanda kedatangan mereka, ia mengutus seorang pelayan laki-laki
untuk memeriksa, “Pergilah, Anakku, dan cari tahu alasannya.
2505
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
Apakah ada masalah fisik atau batin yang terjadi pada para mulia
itu.”
saat pelayan istana itu pergi ke taman dan mencari Pacceka
Buddha Mahà paduma sesudah membuka pintu gubuknya, ia
tidak melihatnya di sana; ia pergi ke jalan setapak dan melihatnya
sedang berdiri bersandar pada sandaran kayu. sesudah memberi
hormat kepadanya, orang itu mengundang Pacceka Buddha dengan
berkata, “Sudah waktunya untuk makan Yang Mulia!” Bagaimana
mungkin seorang yang tidak hidup dan telah mencapai Parinibbà na
dapat menjawab? Tidak ada jawaban sama sekali. Berpikir bahwa
Pacceka Buddha sedang tidur, orang itu mendekat dan meraba
kaki Pacceka Buddha dengan tangannya. sesudah melakukan
beberapa pemeriksaan, ia mengetahui bahwa Pacceka Buddha telah
mencapai Parinibbà na, sebab kakinya sudah dingin dan kaku.
sebab itu ia mendatangi Pacceka Buddha kedua dan lalu
ke Pacceka Buddha ketiga. Akhirnya ia menyadari bahwa semua
Pacceka Buddha telah mencapai pemadaman total. Sepulangnya
ke istana, sang ratu bertanya, “Di manakah para Pacceka Buddha,
Anakku?” “Mereka semua telah mencapai Parinibbà na, Nyonya,”
jawab orang itu. Ratu menangis sedih dan segera berlari menuju
taman kerajaan dengan disertai oleh para warga dan melakukan
Ritual pemakaman dan kremasi; ia juga mengumpulkan relik-relik
mereka dan membangun sebuah cetiya (sebagai tempat pemujaan
relik-relik).
sesudah memulihkan daerah perbatasan, raja pulang ke kota dan
saat melihat ratu yang keluar menyambutnya, ia bertanya, “Ratuku,
apakah engkau melayani para Pacceka Buddha tanpa lalai? Apakah
para mulia selalu sehat?” saat ratu menjawab bahwa mereka
semua telah mencapai Parinibbà na, raja terkejut dan merenungkan,
“Bahkan para mulia ini masih bisa mati! Bagaimanakah kami dapat
membebaskan diri dari kematian!”
Sang raja tidak melanjutkan perjalanannya memasuki kota tetapi
langsung memasuki taman kerajaan. Ia memanggil putra tertuanya
dan menyerahkan kerajaan kepadanya dan ia sendiri menjalani
kehidupan sebagai seorang petapa (bagaikan seorang bhikkhu
2506
dalam masa pengajaran seorang Buddha). Ratu juga berpikir, “Jika
raja menjadi seorang petapa, apa lagi yang harus kulakukan? Tentu
tidak ada lagi!” dan ia juga menjalani kehidupan sebagai seorang
petapa perempuan di taman kerajaan. sesudah mengembangkan
Jhà na-Jhà na, mereka berdua terlahir kembali di alam brahmà .
(b) Kehidupan pertapaan dalam kehidupan terakhir
Sewaktu mereka masih berada di alam brahmà , waktunya tiba
bagi Buddha kita untuk muncul di dunia. Pada waktu itu, Pemuda
Pippali, bakal Mahà Kassapa, dikandung dalam rahim istri seorang
brahmana kaya bernama Kapila di Desa Brahmana Mahà tittha di
Magadha, sedangkan istrinya, bakal Bhaddà kà pilà nã, dikandung
di dalam rahim istri seorang brahmana kaya lainnya, keturunan
Kosiya, di Kota SÃ gala juga di Kerajaan Magadha.
saat mereka telah dewasa, Pemuda Pippali berusia dua puluh
tahun dan Bhaddà kà pilà nã berusia enam belas tahun, orang tua
Pippali memaksanya untuk menikah, dengan berkata, “Anakku,
engkau telah cukup dewasa untuk berumah tangga. Silsilah
kita harus berumur panjang!” sebab Pippali datang dari alam
brahmà , ia menolak mendengarkan, dengan menjawab, “Jangan
mengucapkan kata-kata itu di telingaku. Aku akan merawat kalian
sepanjang hidup kalian, dan sesudah kalian meninggal dunia, aku
akan menjalani kehidupan sebagai seorang petapa.” sesudah dua
atau tiga hari, orangtuanya membujuknya lagi. Si anak tetap tegas
menolak. Mereka membujuk lagi tetapi hanya masuk ke telinga yang
tuli. Sejak saat itu, sang ibu terus-menerus mendesaknya.
Saat desakan itu menjadi tidak tertahankan, Pippali berpikir,
“Aku akan memberitahu ibu tentang keinginanku untuk menjadi
seorang bhikkhu!” sebab itu, ia memberi seribu batang emas
kepada seorang pandai emas, dengan perintah agar dibuatkan
patung seorang gadis dari emas itu. saat patung itu selesai, ia
memakaikan pakaian merah dan menghiasinya dengan bunga
berwarna-warni dan perhiasan lainnya. lalu ia berkata kepada
ibunya, “O Ibu, aku akan tetap di rumah jika aku mendapatkan gadis
secantik patung ini! Jika tidak, aku tidak akan menikah.”
2507
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
Sang ibu yaitu seorang brahmana yang bijaksana, ia
mempertimbangkan, “Putraku yaitu seorang yang telah melakukan
banyak kebajikan, yang telah memberi dà na, yang memiliki
cita-cita mulia. Sewaktu ia melakukan kebajikan dalam kehidupan
lampaunya, ia pasti tidak melakukannya sendirian. Putraku pasti
memiliki seorang istri yang baik, sangat cantik seperti patung emas
ini, dan bersamanya ia melakukan kebajikan-kebajikan.” Dengan
pertimbangan itu, ia memanggil delapan brahmana, memberi
penghormatan kepada mereka dan meletakkan patung emas itu ke
dalam sebuah kereta dan berkata, “Pergilah, saudaraku! Jika kalian
melihat seorang gadis yang mirip dengan patung emas ini dalam
sebuah keluarga yang berasal dari kasta, silsilah dan kekayaan yang
sama dengan kita, berikan patung ini kepadanya sebagai hadiah
atau sebagai janji perkawinan.” Dengan kata-kata ini ia mengutus
para brahmana itu.
Delapan brahmana itu berkata, “Ini memang tugas yang hanya dapat
dilakukan oleh para bijaksana seperti kita.” Mereka meninggalkan
desa dan mendiskusikan tujuan perjalanan mereka. lalu
mereka sepakat, “Di dunia ini, Negeri Magadha yaitu tempat
tinggal para perempuan cantik. Marilah kita pergi ke Tanah Madda.”
Maka mereka pergi ke Kota SÃ gala yang terletak di negeri itu. sesudah
meletakkan patung itu di dekat pemandian kota itu, mereka melihat
dari tempat yang agak jauh.
Pada saat itu, seorang pelayan perempuan Bhaddà kà pilà nã,
putri si brahmana kaya, sedang memandikannya dan meriasnya
dengan perhiasan, lalu meninggalkannya di dalam kamar
mewahnya sebelum pergi ke tempat pemandian. Melihat patung
itu, ia berpikir, “Majikanku telah datang mendahuluiku!” lalu
ia memarahinya dan menggerutu, “Hei! Gadis nakal! Mengapa
engkau di sini sendirian?” Sewaktu ia berkata “Cepat pulang!”
ia mengangkat tangannya untuk memukul nonanya. saat ia
memukul punggung patung itu, seluruh telapak tangannya sakit
seolah-olah memukul sebuah batu. Si pelayan perempuan itu
melangkah mundur dan berkata dengan kasar, “Oh! Perempuan
ini begitu jelek dan berleher tebal, bagaimana mungkin aku keliru
2508
menganggapnya sebagai nonaku! Ia bahkan tidak layak untuk
memegang baju nonaku!”
lalu delapan brahmana itu mengelilingi pelayan itu,
bertanya, “Apakah nonamu secantik ini?” “Apakah yang cantik
dari perempuan ini? Nona kami seratus kali atau seribu kali lebih
cantik daripada perempuan ini,” jawab pelayan itu, “Jika ia duduk
dalam ruangan seluas dua belas lengan, tidak perlu menyalakan
lampu, kegelapan akan sirna oleh kulitnya yang cemerlang secara
alami.” “Kalau begitu,” kata para brahmana itu, “Mari kita pergi!”
Mereka membawa pelayan dan patung itu, mereka pergi ke rumah
si brahmana kaya dari suku Kosiya dan berhenti di depan pintu
untuk memberitahukan kedatangan mereka.
Sang brahmana, sebagai tuan rumah, menyambut mereka
dengan ramah dan bertanya dari mana mereka datang. Mereka
menjawab bahwa mereka datang dari rumah seorang brahmana
kaya bernama Kapila dari Desa Mahà tittha di Kerajaan Magadha.
saat tuan rumah menanyakan tujuan kedatangan mereka, mereka
menceritakan tujuan kunjungan mereka. “Teman-teman,” Brahmana
Kosiya berkata, “Brahmana Kapila sederajat denganku dalam hal
kelahiran, keturunan dan kekayaan. Aku akan menyerahkan putri
kami sebagai pengantin.” sesudah menjanjikan hal itu, Brahmana
Kosiya mengambil patung ini . Para brahmana itu lalu
mengirim pesan kepada Brahmana Kapila, “Pengantin perempuan
telah ditemukan. Lakukanlah apa yang harus dilakukan.”
Mendapat pesat itu, para pelayan Pippali menyampaikan pesan
itu dengan gembira, “Tuanku, pengantin perempuan untukmu
yang mirip patung emasmu telah ditemukan!” Tetapi Pippali
merenungkan, “Aku pikir tidak mungkin dapat menemukannya.
Sekarang mereka mengatakan bahwa ‘pengantin perempuan telah
didapat!’ sebab aku tidak menginginkannya, aku akan menulis
surat dan mengirimkan kepadanya.” Maka ia pergi ke tempat sepi
dan menulis sebagai berikut:
“Aku ingin agar adik perempuanku menikah dengan laki-laki yang
tepat yang sederajat dalam hal kelahiran, keturunan, dan kekayaan.
2509
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
Aku yaitu seorang yang akan menjalani kehidupan sebagai petapa
di dalam hutan. Aku tidak ingin engkau menderita nantinya.”
lalu ia mengirimkan surat itu diam-diam kepada Bhaddà .
saat putri si brahmana kaya, Gadis Bhaddà mengetahui berita
bahwa orangtuanya ingin menikahkannya dengan Pemuda Pippali,
putra seorang brahmana kaya Kapila dari Desa Mahà tittha, Negeri
Magadha, ia juga pergi ke tempat sepi dan menulis surat sebagai
berikut:
“Aku ingin agar kakak laki-lakiku menikah dengan perempuan yang
tepat yang sederajat dalam hal kelahiran, keturunan, dan kekayaan.
Aku yaitu seorang yang akan menjalani kehidupan sebagai petapa
perempuan. Aku tidak ingin engkau menderita nantinya.”
Ia mengirimkan surat itu diam-diam kepada Pippali.
saat kedua utusan itu bertemu di tengah perjalanan mereka,
utusan Bhaddà bertanya, “Dari siapakah surat yang engkau bawa,
teman, dan kepada siapakah ditujukan?” Utusan Pippali menjawab
dengan jujur, “Surat ini dikirim oleh majikan kami Pippali ditujukan
kepada Bhaddà .” Ia juga balik bertanya, “Dari siapakah surat yang
engkau bawa dan kepada siapakah ditujukan?” Utusan BhaddÃ
memberi jawaban langsung, “Dari nona kami untuk Pippali.”
Kedua utusan itu sepakat untuk membuka dan membaca surat itu,
mereka heran mengetahui besarnya makna spiritual dari kedua
surat itu dan berkata, “Lihatlah apa yang dilakukan oleh pengantin
laki-laki dan pengantin perempuan!” lalu mereka sepakat
merobek kedua surat itu dan membuangnya di hutan. Mereka juga
menulis dua surat baru yang mengungkapkan tentang kesepakatan
dan kegembiraan bersama dan mengirimkannya ke alamat masing-
masing. Demikianlah, akhirnya tiba hari pernikahan antara Pippali,
putra seorang pedagang kaya, dan Bhaddà , putri seorang pedagang
kaya lainnya, meskipun mereka tidak menyukai kehidupan rumah
tangga.
2510
Karangan Bunga yang Tidak Layu
Pada hari pernikahan mereka, masing-masing dari mereka
membawa karangan bunga; mereka meletakkannya di tengah-
tengah ranjang mereka. sesudah makan malam, mereka berdua
bersama-sama masuk ke kamar dan naik ke atas ranjang, Pippali
di sebelah kanan dan Bhaddà di sebelah kiri. Mereka sepakat,
“Pihak, yang karangan bunganya layu, dianggap mempunyai
pikiran bernafsu. Dan karangan bunga itu harus dibiarkan begitu,
tidak boleh diusik.” Mereka berdua tidak dapat tidur sepanjang
tiga jaga malam itu khawatir salah satu akan secara tidak sengaja
menyentuh yang lainnya. Karangan bunga itu tetap tidak menjadi
layu. Pada siang hari mereka bersikap bagaikan kakak-adik tanpa
memperlihatkan senyum kegembiraan.
Kehidupan yang Kaya Raya
Kedua pasangan kaya itu menjaga diri mereka menjauhi kenikmatan
indria (lokà misa) dan keduanya tidak memedulikan urusan rumah
tangga mereka; hanya sesudah orangtua mereka meninggal dunia,
baru mereka melakukan urusan-urusan rumah tangga. Kekayaan
Pippali sangat besar; emas dan peraknya bernilai delapan puluh
tujuh crore. Bahkan debu-debu emas yang ia buang setiap hari
sesudah memakai nya untuk menggosok tubuhnya banyaknya
dua belas cangkir Magadha (sama dengan enam pattha) jika
dikumpulkan. Ia memiliki enam puluh bendungan mekanis. Luas
pertaniannya yaitu dua belas yojanà . Ia memiliki empat belas desa
besar sebagai tempat tinggal para pekerja dan pelayannya, empat
belas divisi pasukan gajah, empat belas divisi pasukan berjalan kaki,
dan empat belas divisi pasukan kereta.
Perasaan Spiritual Pippali dan Istrinya
Suatu hari si orang kaya Pippali pergi ke pertaniannya dengan
menunggangi kuda dan saat berhenti di batas pertaniannya, ia
melihat burung-burung gagak dan burung lainnya sedang mematuk
cacing tanah dan serangga dan memakannya. Ia bertanya kepada
pelayannya apa yang dimakan oleh burung-burung itu dan
2511
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
pelayannya menjawab bahwa burung-burung itu memakan cacing
tanah dan serangga. Ia bertanya lagi, “Siapakah yang bertanggung
jawab atas kejahatan burung-burung itu?” “sebab tanah ini
diolah untukmu, Tuanku, engkaulah yang bertanggung jawab
atas perbuatan-perbuatan jahat itu,” jawab pelayan itu. Jawaban
itu membangkitkan perasaan spiritual Pippali, membuatnya
merenungkan dalam-dalam, “Jika aku yang bertanggung jawab
atas perbuatan jahat yang dilakukan oleh burung-burung itu,
apalah gunanya emas dan perak milikku yang bernilai delapan
puluh tujuh crore. Sesungguhnya tidak berguna sama sekali! Juga
tidak ada gunanya kekayaanku seperti pertanian seluas dua belas
yojanà , enam puluh bendungan mekanis dan empat belas desa besar
tempat tinggal para pekerjaku. Sesungguhnya tidak ada gunanya
sama sekali! sebab itu aku akan menyerahkan semua kekayaan
ini kepada istriku Bhaddà kà pilà nã dan melepaskan keduniawian
menjadi seorang bhikkhu!”
Pada waktu itu, istrinya Bhaddà kà pilà nã menjemur tiga kendi biji
wijen yang ditebarkan di atas alas dan dijemur di sinar matahari. Saat
duduk dikelilingi oleh para pelayannya, ia melihat burung-burung
sedang mematuk dan memakan ulat wijen. saat ia bertanya kepada
para pelayannya ia mengetahui apa yang sedang dimakan oleh
burung-burung itu. Pertanyaan selanjutnya memberitahunya bahwa
ialah yang bertanggung jawab atas perbuatan jahat yang dilakukan
oleh burung-burung itu sebab pekerjaan itu dilakukan untuknya.
Ia juga merenungkan dalam-dalam, “Oh, sudah cukup bagiku
jika aku hanya memiliki kain selebar empat lengan untuk dipakai
dan secangkir nasi untuk dimakan. (Aku tidak akan mengenakan
pakaian yang lebarnya lebih dari empat lengan; juga tidak akan
memakan nasi lebih dari secangkir.) Jika aku bertanggung jawab
atas kejahatan yang dilakukan oleh makhluk lain, aku tentu tidak
akan dapat mengangkat diriku dari saÿsà ra, lingkaran penderitaan,
bahkan sesudah seribu kelahiran. Saat suamiku pulang, aku akan
menyerahkan semua kekayaanku kepadanya dan meninggalkan
kehidupan rumah tangga untuk menjadi petapa.”
2512
Pasangan Itu Melepaskan Keduniawian
Si orang kaya Pippali pulang ke rumah dan mandi, lalu ia
naik ke teras atas dan duduk di tempat duduk yang tinggi yang
layak diduduki oleh pribadi mulia. lalu sebuah pesta yang
layak bagi seorang raja dunia diadakan untuk sang pedagang. Si
orang kaya Pippali dan istrinya Bhaddà kà pilà nã makan, dan saat
para pelayan sudah pergi, mereka masuk ke kamar dan berbaring
dengan nyaman.
Selanjutnya terjadi diskusi antara mereka berdua sebagai berikut:
Pippali, “Bhaddà , saat engkau datang ke rumah ini, berapa banyak
kekayaan yang engkau bawa?”
Bhaddà , “Aku membawa kekayaanku dengan lima puluh lima ribu
kereta.”
Pippali, “Kekayaan yang engkau bawa dan kekayaan yang ada
di rumah ini, harta bernilai delapan puluh tujuh crore, enam
puluh bendungan mekanis, dan lain-lain, semuanya kuserahkan
kepadamu.”
Bhaddà , “Oh, tetapi, ke manakah engkau akan pergi?”
Pippali, “Aku akan pergi menjadi petapa.”
Bhaddà , “Oh, Tuan, aku menunggu kepulanganmu untuk
mengatakan bahwa aku juga akan menjadi petapa perempuan.”
Kepada kedua individu ini yang memiliki Pà ramã, tiga alam
kehidupan seperti alam kenikmatan indria (kà ma), alam bentuk
(råpa), dan alam tanpa bentuk (aråpa) bagaikan tiga gubuk daun
yang terbakar oleh api. Kedua individu Pà ramã ini, lalu
membeli mangkuk dan jubah dari pasar dan saling mencukur
rambut pasangannya. Berkata, “Kami mempersembahkan perbuatan
melepaskan keduniawian yang kami lakukan kepada para Arahanta
mulia.” Mereka turun dari teras atas dengan membawa tas mereka
2513
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
yang berisi mangkuk, menggantung di bahu kiri mereka. Tidak
seorang pun dari para pelayan dan pekerja yang ada di rumah,
laki-laki atau perempuan, yang mengenali kedua pencari Pà ramã
ini .
lalu pasangan ini meninggalkan Desa Brahmana Mahà tittha
dan keluar melalui gerbang desa yang biasa dilalui oleh para
pelayan. Mereka terlihat dan dikenali dari tingkah laku mereka,
bahwa mereka yaitu majikan mereka. Dengan menangis sedih
mereka menjatuhkan diri mereka di kaki dan bertanya dengan
sedih, “Tuan dan Nyonya, mengapa kalian membuat kami tidak
berdaya?” Pasangan itu menjawab, “Kami menjadi petapa sebab
kami takut akan tiga alam kehidupan yang seperti tiga gubuk yang
terbakar. Jika kami menunggu untuk membebaskan kalian satu per
satu, tidak akan berakhir bahkan selama seratus tahun. Cucilah
rambut kalian dan bebaslah dari perbudakan dan hiduplah dengan
bebas.” sesudah mengucapkan kata-kata itu, mereka meninggalkan
para pelayan yang masih meratap.
Saling Berpisah
Selagi ia berjalan di depan, Pippali, sang Thera mulia berpikir:
“Si cantik Therã Bhaddà kà pilà nã ini, yang berharga di seluruh
Jambådãpa, selalu mengikutiku. Akan ada alasan bagi orang
lain untuk salah paham menganggap ‘kedua orang ini tidak
dapat berpisah meskipun mereka telah menjadi petapa; mereka
melakukan hal yang tidak sesuai dengan kehidupan pertapaan.’
Dan jika seseorang salah paham demikian, ia dapat terlahir kembali
di alam sengsara. sebab itu aku harus meninggalkan perempuan
cantik Bhaddà kà pilà nã Theri ini.”
Sambil berjalan terus, Thera mulia sampai pada persimpangan
dua jalan dan berhenti di sana. Mengikutinya dari belakang, Therã
Bhaddà berhenti juga dan berdiri dengan tangan dirangkapkan
memberi hormat. lalu Thera mulia itu berkata kepada Therã,
“Therã Bhaddà , orang-orang yang melihat seorang perempuan cantik
sepertimu mengikutiku akan mencela kita dengan anggapan keliru:
2514
‘Kedua orang ini tidak dapat berpisah meskipun mereka menjalani
kehidupan pertapaan’ dan sebab itu mereka dapat terlahir kembali
di alam sengsara. sebab itu pilihlah jalanmu dari dua jalan ini. Aku
akan mengambil jalan yang tidak engkau pilih.”
Therã Bhaddà menjawab, “Oh, ya, Tuan! Perempuan yaitu noda
bagi seorang bhikkhu. Orang-orang akan mencela kita, mengatakan
bahwa kita tidak mampu berpisah bahkan sesudah menjadi petapa.
Engkau, Tuan, ikutilah satu jalan. Aku akan mengikuti jalan lainnya.
Kita berpisah.” lalu ia mengelilingi tiga kali, dan memberi
hormat dengan lima jenis penghormatan di empat tempat berbeda,
depan, belakang, kiri, dan kanan Thera. Dengan kedua tangan
dirangkapkan, ia berkata, “Cinta dan keakraban kita yang telah
dimulai sejak seratus kappa berakhir hari ini.” Ia menambahkan,
“Engkau terlahir lebih mulia, maka jalan sebelah kanan baik bagimu.
Kami para perempuan yaitu lebih rendah, maka jalan sebelah
kiri cocok untukku.” sesudah berkata demikian, ia berjalan di jalan
sebelah kiri.
Saat kedua orang mulia ini mengambil jalan yang berbeda,
bumi berguncang, menggelegar seolah mengatakan “Meskipun aku
dapat menahan beban pegunungan dan Gunung Meru, aku tidak
mampu menahan beban kemuliaan dua individu yang menakjubkan
ini!” Di angkasa juga terdengar gemuruh halilintar. Pegunungan
dan Gunung Meru tumbuh menjadi lebih tinggi (sebab gempa
bumi itu).
Berjumpa Buddha
Pada saat itu Buddha tiba di RÃ jagaha sesudah melewatkan vassa
pertama dan (dalam tahun Beliau mencapai Pencerahan Sempurna)
sedang berdiam di Vihà ra Veëuvana. (Sebelum Beliau melakukan
perjalanan ke Kapilavatthu.) Saat ia berada di dalam Kuñã Harum,
Beliau mendengar gemuruh gempa bumi. Saat Beliau merenungkan
untuk siapakah gempa bumi ini , Beliau mengetahui, “sebab
kekuatan kebajikan, pemuda Pippali dan gadis Bhaddà kà pilà nã
menjadi petapa sesudah tanpa ragu meninggalkan kekayaan mereka,
mengabdikan kehidupan mereka untuk-Ku. Gempa terjadi di
2515
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
persimpangan jalan di mana mereka berpisah. Aku akan membantu
mereka.” Maka Beliau keluar dari Kuñã Harum, membawa sendiri
mangkuk dan jubah-Nya. Dan tanpa meminta satu pun dari delapan
puluh siswa untuk menyertai-Nya, Beliau melakukan perjalanan
sejauh tiga gà vuta untuk menyambut mereka. Beliau duduk bersila
di bawah pohon banyan yang dikenal dengan nama Bahuputtaka
antara RÃ jagaha dan NÃ landa.
Yang aneh yaitu bahwa Beliau tidak duduk di sana seperti
seorang bhikkhu tidak dikenal yang sedang berlatih dhutaïga
keras; untuk meningkatkan keyakinan Yang Mulia Mahà Kassapa
yang belum pernah berjumpa dengannya sebelumnya, Buddha
tidak menyembunyikan kemegahan alami yang cemerlang dengan
tanda-tanda besar dan kecil; sebaliknya Beliau duduk di sana,
memancarkan sinar Buddha yang gilang-gemilang dan menyinari
hingga jarak delapan puluh lengan. Sinar yang bergulung-gulung
yang berukuran sebesar kerimbunan daun-daunan pohon yang
rindang, atau sebesar roda kereta atau sebesar kubah istana,
menyerbu dari satu tempat ke tempat lain, menerangi seluruh hutan
seolah-olah terbit seribu bulan atau seribu matahari. sebab itu,
seluruh hutan menjadi sangat indah dengan kemegahan tiga puluh
dua tanda-tanda manusia luar biasa bagaikan langit yang diterangi
oleh bintang-bintang, atau bagaikan permukaan air dengan lima
jenis bunga teratai yang mekar berkelompok. Walaupun warna alami
batang pohon banyan itu yaitu putih, daunnya hijau dan daun-
daunnya yang mulai layu berwarna merah, dengan kemegahan
tubuh Buddha, seluruh pohon banyan Bahuputtaka dengan banyak
dahannya berwarna kuning emas pada hari itu sebab bermandikan
cahaya tubuh Buddha.
Thera Kassapa berpikir, “Orang Mulia ini pasti yaitu guruku,
Buddha. Sesungguhnya aku menjadi bhikkhu, mengabdikan
kebhikkhuanku kepada guru ini.” Dari tempat ia berdiri dan melihat
Buddha, Thera berjalan, membungkukkan badannya; mendekat.
Pada seluruh tiga jarak, jauh, sedang dan dekat, ia memberi hormat
kepada Buddha dan menerima status siswa dengan menyatakan
tiga kali, “Satthà me Bhante Bhagavà , sà vako’hamasmi, ‘Buddha
Yang Agung, Engkau yaitu guruku! Aku yaitu siswa-Mu, Yang
2516
Mulia!”
lalu Buddha menjawab, “Anak-Ku Kassapa, jika engkau
memberi penghormatan yang begitu tinggi kepada bumi ini,
bumi ini tidak akan mampu menahannya. Bagi-Ku, yang seperti
juga para Buddha terdahulu, telah meninggalkan penghormatan
tinggi seperti yang engkau perlihatkan, yang mengetahui kebesaran
kualitas-kualitas-Ku, tidak akan mampu mengguncangkan bahkan
sehelai bulu badan-Ku. Anak-Ku Kassapa, duduklah. Aku akan
memberi engkau warisan.” (Ini yaitu penjelasan dari Etadagga
Vagga, Ekaka Nipà ta dari Komentar Aïguttara dan Penjelasan Thera
Kassapagà thà , Cattà lãsa Nipà ta dari Komentar Theragà thà .)
Tetapi dalam Cãvara Sutta dari Kassapa Saÿyutta, Nidà na Vagga,
disebutkan sebagai berikut: saat Thera Kassapa dengan khidmat
mengucapkan status siswanya tiga kali, Buddha berkata:
“Kassapa, jika seorang yang tidak mengenal dengan baik muridnya,
mengucapkan ‘Aku tahu’, atau tanpa melihatnya mengatakan
‘Aku melihatnya’, kepalanya akan jatuh, sedangkan bagi-Ku, Aku
mengatakan ‘Aku tahu’, sebab Aku memang mengetahuinya,
atau Aku mengatakan ‘Aku melihatnya’ sebab Aku memang
melihatnya.”
(Di sini, arti dari: jika seorang guru di luar pengajaran para Buddha
mengakui bahwa ia mengetahui atau melihat tanpa benar-benar
mengetahui atau melihat seorang siswa yang penuh pengabdian
dan keyakinan seperti penghormatan tinggi yang diperlihatkan oleh
Thera Kassapa, kepala guru itu akan jatuh dari lehernya bagaikan
buah kelapa masak yang jatuh dari tandannya. Atau kepalanya akan
pecah menjadi tujuh keping.)
(Penjelasan lebih jauh: Jika Thera Kassapa memberi
penghormatan, yang didorong oleh keyakinan, kepada lautan luas,
airnya akan lenyap bagaikan tetes air yang jatuh di atas panci panas.
Jika ia memberi penghormatan kepada gunung di alam semesta,
gunung itu akan pecah berkeping-keping bagaikan gumpalan
sekam. Jika ia mengarahkannya ke Gunung Meru, gunung itu akan
2517
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
hancur dan menjadi berantakan bagaikan segumpal adonan yang
dipatuk oleh burung gagak. Jika ia mengarahkannya ke bumi ini,
tanahnya akan berhamburan menjadi tumpukan debu yang tertiup
angin. Penghormatan Thera yang begitu dahsyat tidak mampu
mengguncang bahkan sehelai bulu halus di kaki Buddha, atau
bahkan sehelai benang jubah yang terbuat dari kain-kain usang
yang dikenakan oleh Yang Agung. Sungguh luar biasa kekuatan
Buddha.)
Penahbisan Menjadi Bhikkhu Melalui Penerimaan Atas
Nasihat Buddha
sesudah berkata, “Anak-Ku Kassapa, duduklah. Aku akan
memberi warisan kepadamu,” Buddha memberi tiga nasihat
kepada Thera (seperti yang tertulis dalam Civara Sutta dari Kassapa
Saÿyutta):
“Kassapa, engkau harus berlatih dengan pikiran: ‘Aku akan selalu
berdiam dalam hirã dan ottappa dalam berhubungan dengan para
bhikkhu yang lebih senior, atau lebih junior, atau yang memiliki
umur yang sama.’”
“Kassapa, engkau harus berlatih dengan pikiran: ‘Aku akan
mendengarkan semua ajaran kebaikan. Aku akan mendengarkan
dengan penuh perhatian semua ajaran itu, dengan penuh hormat
merenungkannya dan mengingatnya.’”
“Kassapa, engkau harus berlatih dengan pikiran: ‘Perhatian atas
badan jasmani (kà yagatà -sati) yang disertai dengan kebahagiaan
(sukha) tidak akan meninggalkan aku!’”
Buddha memberi tiga nasihat ini. Thera Kassapa juga
menerimanya dengan penuh hormat. Tiga nasihat ini merupakan
penahbisan bagi Thera. Penahbisan dengan cara ini hanya diterima
olah Yang Mulia Mahà Kassapa sendiri dalam masa pengajaran
Buddha, yang dikenal sebagai ovà da-pañiggahaõa upasampadà ,
”penahbisan melalui penerimaan atas nasihat Buddha”.
2518
(Buddha menahbiskan Thera Kassapa menjadi bhikkhu dengan
tiga nasihat ini. Nasihat pertama, “Anak-Ku Kassapa, engkau harus
mengembangkan dua kebajikan utama hirã dan ottappa saat engkau
bertemu dengan tiga kelompok bhikkhu, yang lebih senior dalam
hal usia maupun penahbisan, yang lebih junior, dan yang sama
denganmu.” Dengan nasihat pertama ini, Thera Kassapa diajarkan
untuk melenyapkan kesombongan dalam hal kelahiran, sebab ia
berasal dari kasta brahmana.)
(Nasihat kedua, “Anak-Ku, sewaktu engkau mendengarkan ajaran
suci engkau harus penuh hormat dan penuh perhatian dengan
menjulurkan kedua telingamu, telinga kebijaksanaan dan telinga
jasmani, dalam tiga tahap pengajaran, pada awal, pada pertengahan,
dan pada akhir.” Dengan nasihat ini, Thera Kassapa diajarkan untuk
melenyapkan keangkuhan yang muncul sebab pengetahuannya
yang luas, sebab ia yaitu orang yang sangat cerdas.)
(Nasihat ketiga, “Anak-Ku Kassapa, engkau harus berusaha untuk
tidak melepaskan Jhà na Pertama dari proses batinmu, Jhà na yang
disertai oleh perasaan bahagia (sukha vedanà ) yang berasal dari
perhatian terhadap badan jasmani (kà yagatà -sati) dan objek-
indria napas masuk dan keluar (à nà pà na à rammaõa).” Dengan
nasihat ketiga ini, Thera diajarkan untuk melepaskan cinta diri
dan kemelekatan atas diri sendiri (taõhà -lobha) yang berasal dari
kepribadian yang kuat (upadhi), sebab ia sangat tampan.)
sesudah menahbiskan Thera Kassapa menjadi bhikkhu dengan
memberi nasihat di bawah pohon banyan Bahuputtaka, Buddha
pergi dan melakukan perjalanan bersama Thera mulia sebagai
pengikut-Nya. Buddha memiliki tiga puluh dua tanda-tanda
makhluk luar biasa di tubuh-Nya dan terlihat megah dan agung,
Thera Kassapa terlihat agung dengan tujuh tanda. Thera Kassapa
mengikuti persis di belakang Buddha bagaikan sebuah perahu
kecil yang mengikuti perahu emas besar. sesudah menempuh jarak
tertentu, Buddha berbelok dari jalan utama dan memberi isyarat
bahwa Beliau ingin duduk di bawah pohon. Mengetahui bahwa
Guru ingin duduk, Thera melipat empat jubah luarnya (yang halus)
dan menghamparkannya dan berkata, “Buddha Yang Agung, silakan
2519
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
Buddha Yang Agung duduk di sini. Perbuatan Buddha duduk di
sini akan memberi kesejahteraan dan kebahagiaan kepadaku
dalam waktu yang lama.”
Bertukar Jubah
sesudah duduk beralaskan jubah luar yang dilipat empat, Buddha
meraba tepi jubah itu dengan tangannya yang berwarna seperti
teratai mekar dan berkata, “Anak-Ku Kassapa, jubah luarmu ini
terbuat dari sehelai kain tua yang sangat halus!”
(‘Mengapa Buddha mengucapkan kata-kata pujian?’ Jawabannya:
sebab Beliau ingin bertukar jubah dengannya.
‘Mengapa Buddha ingin bertukar jubah?’ Jawabannya: sebab Beliau
ingin menetapkan posisi Thera sebagai pengganti Beliau.
‘Bukankah penetapan posisi itu juga diberikan kepada SÃ riputta
dan Thera Moggallà na?’ Jawabannya: Ya, mereka juga, tapi Buddha
berpikir: ‘Mereka berdua tidak berumur panjang. Mereka akan
mencapai Parinibbà na sebelum diri-Ku. Akan tetapi, Kassapa, akan
hidup hingga usia seratus dua puluh tahun. Empat bulan sesudah
Aku Parinibbà na, di dalam gua di mana tumbuh pohon sattapanni,
ia akan mengadakan sidang (saïgà yanà ) untuk membacakan dan
menyepakati Dhamma dan Vinaya; ia akan melakukan sesuatu
untuk Pengajaran-Ku sehingga dapat bertahan selama lima ribu
tahun.’ Buddha juga berpendapat bahwa ‘Jika Aku menempatkannya
di posisi-Ku, para bhikkhu akan mematuhinya.’ Demikianlah
keinginan Buddha untuk menetapkan posisi Thera dalam posisi
Beliau. sebab alasan itulah Buddha ingin bertukar jubah dan sebab
keinginan itulah Buddha memuji Mahà Kassapa.)
Jika seseorang dengan penuh kekaguman menyatakan kualitas baik
dari mangkuk atau jubah, sudah menjadi kebiasaan bagi Thera mulia
untuk menjawab, “Silakan terima mangkuk ini, Yang Mulia,” atau
“Silakan terima jubah ini, Yang Mulia,” Oleh sebab itu, mengetahui
isyarat bahwa ‘Buddha Yang Agung ingin mengenakan jubah luarku,
sebab ia memuji kehalusannya,’ Thera berkata, “Buddha Yang
2520
Agung, sudilah Yang Mulia mengenakan jubah luar ini.” “Anak-
Ku Kassapa, jubah apa yang akan engkau pakai kalau begitu?”
Buddha bertanya. “Jika aku boleh memiliki jubah yang Engkau
pakai, aku akan memakainya,” jawab Thera. lalu Buddha
berkata, “Anak-Ku Kassapa, dapatkah engkau melakukan hal itu?
Jubah ini yang terbuat dari potongan kain usang yang sudah sangat
tua sebab telah lama Kupakai. Sesungguhnya, saat Aku memungut
kain itu, pada hari itu terjadi gempa bumi yang berguncang hingga
ke bawah batas air. Mereka yang kurang mulia tidak akan mampu
mengenakan jubah usang ini. Hanya mereka yang selalu berdiam
di dalam praktik Dhamma dan mereka yang secara alami memiliki
kemuliaan itu yang layak memakainya.” sesudah berkata demikian
Buddha menyerahkan jubah-Nya kepada Thera Kassapa. sesudah
bertukar jubah, Buddha memakai jubah Thera dan Thera memakai
jubah Buddha. Pada waktu itu terjadi gempa bumi dahsyat yang
berguncang hingga ke bawah batas air seolah-olah mengatakan,
“Buddha Yang Agung, Engkau telah melakukan suatu hal yang
sangat sulit dilakukan. Tidak pernah ada sebelumnya seorang
Buddha menyerahkan jubah-Nya kepada siswa-Nya. Aku tidak
dapat menahan kemuliaan-Mu.”
(c) Pencapaian spiritualitas dan gelar Etadagga
Pada Yang Mulia Thera Kassapa, tidak pernah ada keangkuhan
muncul dalam dirinya sebab mendapatkan jubah Buddha; ia
tidak pernah berpikir, “Sekarang aku mendapatkan jubah yang
sebelumnya digunakan oleh Buddha; aku tidak perlu lagi berusaha
untuk mencapai Jalan dan Buah yang lebih tinggi.” Sebaliknya, ia
bertekad untuk melatih tiga belas praktik keras (dhutaïga) dengan
gembira seperti yang diajarkan oleh Buddha. sebab ia berusaha
keras dalam mengembangkan praktik Dhamma pertapaan, hanya
tujuh hari ia menjadi seorang awam dan pada hari kedelapan,
saat dini hari, ia mencapai Kearahattaan lengkap dengan empat
Pengetahuan Analitis (Pañisambhidà -Magga ¥Ã õa).
Dengan Thera ini sebagai teladan, Buddha membabarkan banyak
khotbah seperti yang terdapat dalam Nidà navagga Kassapa
Saÿyutta.
2521
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
Buddha memuji Thera dalam banyak sutta seperti Cand’Ã¥pama-
Sutta, di mana Buddha mengatakan, “Kassapo bhikkhave
candÃ¥pamo kulà ni upasaïkamati” “Para bhikkhu, Thera Kassapa
mendekati penyumbangnya yang terdiri dari empat golongan
dengan mengendalikan perbuatan, perkataan, dan pikirannya
bagaikan bulan, yaitu, dengan terbebas dari perbuatan, ucapan, dan
pikiran yang kasar, ia mendekati penyumbangnya.” Selanjutnya
Buddha menganugerahkan gelar Etadagga dengan memuji praktik
dhutaïga Thera mulia seperti tertulis dalam Kassapa Saÿyutta
dengan ucapan:
“Etadaggaÿ bhikkhave mama sà vakà naÿ bhikkhÃ¥naÿ
dhutavà dà naÿ yadidam Mahà kassapo.”
“Para bhikkhu, di antara para bhikkhu siswa-Ku, yang mempraktikkan
dan menasihati yang lainnya untuk mempraktikkan dhutaïga yang
mulia yang meruntuhkan kotoran moral (kilesa), Thera Kassapa
yaitu yang terbaik.”
Demikianlah kisah Thera Kassapa
(5) Thera AnuruddhÃ
(a) Cita-cita masa lampau
Seratus ribu kappa yang lalu, pada masa kehidupan Buddha
Padumuttara, bakal Thera Anuruddhà hanyalah seorang perumah
tangga yang tidak terkenal. Suatu sore, ia bersama-sama dengan
banyak orang pergi ke vihà ra untuk mendengarkan Dhamma.
sesudah dengan hormat bersujud kepada Buddha, ia berdiri
di belakang para pendengar lainnya, memerhatikan khotbah
Buddha. sesudah membabarkan khotbah secara berurutan, Buddha
mengumumkan seorang bhikkhu yang terunggul dalam mencapai
kekuatan batin mata-dewa (Dibbacakkhu-Abhi¤¤Ã ).
lalu si perumah tangga itu berpikir, “Bhikkhu ini dikatakan
oleh Buddha sendiri sebagai yang terunggul dalam pencapaian
2522
kekuatan batin mata-dewa. sebab itu ia pasti sungguh sakti.
Baik sekali jika aku bisa menjadi yang terbaik dalam mencapai
mata-dewa dalam masa pengajaran Buddha mendatang.” Dengan
pikiran demikian, ia berjalan melewati para pendengar lainnya
dan mengundang Buddha serta Saÿgha. Keesokan harinya, ia
mengadakan Ritual persembahan besar kepada Saÿgha yang
dipimpin oleh Buddha.
Berpikir bahwa, “Aku telah bercita-cita untuk mencapai posisi
yang tinggi,” maka ia mengundang Buddha seperti sebelumnya
selama beberapa hari berikutnya, dengan berkata, “Sudilah
datang hari ini untuk menerima persembahan dariku,” “Sudilah
datang besok untuk menerima persembahan dariku.” sesudah
mengundang, ia mengadakan Ritual dà na besar selama tujuh hari.
Saat mempersembahkan jubah yang baik kepada Buddha dan para
bhikkhu, ia mengungkapkan cita-citanya sebagai berikut:
“Buddha Yang Agung, aku memberi persembahan ini tidak
untuk mendapatkan kemewahan surgawi. Juga bukan untuk
menikmati kenikmatan di alam manusia. Tujuh hari yang lalu
Engkau menetapkan seorang bhikkhu sebagai yang terbaik dalam
hal pencapaian mata-dewa. Aku bercita-cita untuk menjadi yang
terbaik dalam hal kekuatan yang sama dalam masa pengajaran
Buddha pada masa depan.”
sesudah mengungkapkan cita-citanya, si perumah tangga
menjatuhkan diri di kaki Buddha. saat Buddha melihat ke masa
depan, ia mengetahui bahwa cita-cita si perumah tangga akan
tercapai, maka Beliau mengucapkan ramalan, “Penyumbang,
pada akhir seratus ribu kappa mendatang, Buddha Gotama akan
muncul. Dalam masa pengajaran Buddha itu, engkau yang saat itu
bernama Anuruddhà , akan menjadi yang terbaik dalam mencapai
kekuatan batin mata-dewa.” sesudah mengucapkan ramalan, Buddha
membabarkan khotbah penghargaan atas persembahan makanan
lalu pulang ke vihà ra.
Si perumah tangga melakukan banyak kebajikan pada masa Buddha
Padumuttara masih hidup dan sesudah Beliau mencapai Parinibbà na,
2523
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
ia membangun sebuah pagoda yang tingginya tujuh yojanà dan
bertanya kepada Saÿgha, “Yang Mulia, kebajikan apakah yang dapat
menunjang pencapaian kekuatan batin mata-dewa?” “Penyumbang,”
jawab para bhikkhu, “Persembahan pelita harus dilakukan.”
lalu ia membuat seribu pohon-pohon besar, masing-masing
terdiri dari seribu obor; di luar barisan seribu pohon itu, terdapat
lagi barisan seribu pohon-pohon kecil. Demikianlah ribuan pohon
obor dipersembahkan. Persembahan pelita dalam bentuk lainnya
tidak terhitung banyaknya.
Persembahan Pelita di Cetiya Buddha Kassapa
sesudah melakukan banyak kebajikan seumur hidupnya, si perumah
tangga, bakal Anuruddhà , mengembara di alam dewa dan manusia
silih berganti. saat seratus ribu kappa berlalu dan masa itu
yaitu masa kehidupan Buddha Kassapa dalam bhadda kappa
ini, ia terlahir kembali sebagai seorang perumah tangga di Kota
Bà rà õasã dan sesudah Buddha Parinibbà na, ia membangun sebuah
cetiya setinggi satu yojanà ; dan membuat cangkir-cangkir emas yang
tidak terhitung banyaknya, masing-masing cangkir diisi dengan
minyak mentega dan di tengah-tengah cangkir ia meletakkan
segumpal gula merah dan menyalakannya. Ia juga menyalakan
cangkir-cangkir emas di sekeliling cetiya, dengan cangkir-cangkir
yang tersusun saling bersentuhan, untuk dirinya ia membuat
sebuah kendi besar dari emas dan mengisinya dengan mentega.
Seribu sumbu diletakkan di sekeliling mulut kendi besar itu. Untuk
sumbu bagian tengah, ia memakai sepotong kain yang dipilin
dan lalu menyalakannya. Sambil memegang kendi seribu
pelita itu di atas kepalanya, ia mengelilingi cetiya itu selama tiga
jaga malam itu. Dalam kehidupan itu juga ia melakukan kebajikan
seumur hidupnya, dan saat meninggal dunia, ia terlahir kembali
di alam dewa.
Kehidupan Sebagai Annabhà ra
Sebelum munculnya Buddha kita, ia terlahir kembali dalam sebuah
keluarga miskin di Bà rà õasã dan hidup bergantung pada seorang
pedagang kaya bernama Sumanà . Nama si orang miskin ini
2524
yaitu Annabhà ra. Si pedagang Sumanà memberi persembahan
berlimpah di gerbang rumahnya kepada kaum miskin, para
pengembara, dan pengemis.
Suatu hari, seorang Pacceka Buddha bernama Upariññha berdiam
dalam Nirodha- Samà patti di Gunung Gandhamà dana, dan saat
bangun dari Jhà na itu, ia merenungkan, “Siapakah yang akan
kubantu hari ini?” Para Pacceka Buddha memiliki sifat baik secara
alami kepada kaum miskin. sebab itu Pacceka Buddha Upariññha
memutuskan untuk membantu si miskin Annabhà ra pada hari
itu. Mengetahui bahwa orang itu segera akan kembali dari hutan,
Pacceka Buddha melayang ke angkasa membawa mangkuk dan
jubahnya, terbang dari Gunung Gandhamà dana dan berdiri tepat
di depan Annabhà ra di gerbang desa.
Melihat Pacceka Buddha membawa sebuah mangkuk kosong,
ia memberi hormat dan bertanya, “Yang Mulia, apakah engkau
mencari makanan?” saat Pacceka Buddha memberi jawaban
positif, Annabhà ra berkata, “Mohon tunggu sebentar,” dan bergegas
pulang ke rumahnya dan bertanya kepada istrinya, “O istriku,
apakah masih ada makanan yang engkau persiapkan untukku?
Ataukah tidak ada?” saat istri memberi jawaban ya, ia kembali
ke Pacceka Buddha dan mengambil mangkuknya. Sesampainya
di rumah, ia berkata kepada istrinya, “Istriku, sebab kita tidak
melakukan kebajikan pada masa lampau, sekarang kita harus selalu
kekurangan makanan. Meskipun kita ingin memberi, namun tidak
ada apa pun yang dapat kita berikan. Dan saat kita memiliki
sesuatu yang dapat diberikan, tidak ada yang layak menerimanya.
Hari ini aku bertemu dengan Pacceka Buddha Upariññha. Dan juga
ada bagian makanan untukku. Masukkan makanan itu ke dalam
mangkuk ini.”
Sang istri yang cerdas itu berpikir, “Suamiku memberi makanan
kepada Pacceka Buddha, aku juga harus melakukan hal yang
sama untuk menanam jasa.” Maka ia juga memasukkan bagian
makanan miliknya ke dalam mangkuk dan menyerahkannya kepada
Pacceka Buddha. Sang suami mengungkapkan keinginannya,
“Yang Mulia, semoga kami terbebas dari kesusahan dalam hidup,”
2525
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
Pacceka Buddha menjawab, “Engkau, penyumbang, yang telah
berjasa besar! Semoga keinginanmu terpenuhi!” Annabhà ra
menghamparkan jubah luarnya dan berkata, “Silakan duduk di
sini, Yang Mulia, dan makanlah makananmu.” sesudah duduk di
alas yang dihamparkan oleh Annabhà ra, Pacceka Buddha memakan
makanannya, merenungkan sembilan hal yang menjijikkan, yaitu,
1. gamana, mengumpulkan dà na makanan; 2. pariyesana, mencari
persembahan; 3. paribhoga, memakan; 4. Ã saya, kotoran yang keluar
dari tubuh seperti dahak, empedu, darah, dan nanah; 5. nidhà ta,
lambung yang berisi makanan yang baru dimakan; 6. aparipakka,
makanan yang tidak tercerna; 7. paripakka, makanan yang telah
dicerna; 8. phala dan nissanda, hasil dan aliran yang mengalir dari
berbagai bagian (tubuh), dan 9. makkhana, kotoran.
(Jika phala dan nissanda dianggap terpisah, maka jumlahnya menjadi
sepuluh. Merenungkan sembilan atau sepuluh hal menjijikkan
ini, juga disebutkan dalam penjelasan âhà repañikÃ¥la sa¤¤Ã dari
Visuddhimagga secara umum, dan pada bagian yang sama dalam
Paramattha-saråpabhedanã, yang ditulis oleh Mahà visuddhà rà ma
Sayadaw, secara khusus.) sesudah Pacceka Buddha selesai makan,
Annabhà ra mempersembahkan air untuk mencuci mangkuk.
sesudah menyelesaikan urusan makan, Pacceka Buddha Upariññha
memberi berkah sebagai penghargaan atas makanan itu:
Icchitaÿ patthitaÿ tuyhaÿ, sabbameva samijjhatu.
Sabbe pårentu saïkappà , cando pannaraso yathà .
“Semoga semua keinginanmu terpenuhi. Bagaikan bulan purnama
yang terang benderang dan bundar, demikian pula semoga semua
rencanamu berhasil!”
sesudah mengucapkan hal itu, Pacceka Buddha melanjutkan
perjalanannya.
Sorakan Seorang Dewi
Pada saat itu, dewi penjaga payung (Ritual ) milik pedagang
Sumanà bersorak tiga kali dengan mengucapkan kata-kata
2526
kegembiraan, “Ahodà naÿ paramadà naÿ, Upariññhe supatiññhitaÿ”,
“Oh, sebuah pemberian istimewa telah diberikan kepada Pacceka
Buddha Upariññha!,” si pedagang bertanya, “Hei, Dewi!, tidakkah
engkau melihat aku memberi persembahan sejak lama?” “O
pedagang,” jawab dewi ini , “Aku tidak menyoraki persembahan
yang engkau lakukan, aku bersorak untuk Annabhà ra si miskin
sebab aku sangat gembira dengan perbuatannya.” lalu si
pedagang berpikir, “Ini sungguh menakjubkan! Meskipun aku
telah memberi persembahan sejak lama, aku tidak mampu
menyebabkan para dewi bersorak. Tetapi si miskin Annabhà ra
mampu, meskipun ia bergantung padaku, dengan memberi
persembahan hanya sekali saat ia berjumpa dengan penerima yang
tepat. Aku harus mendapatkan makanan persembahannya dengan
memberi sesuatu yang layak.” Maka, ia memanggil Annabhà ra
dan bertanya, “Apakah engkau memberi sesuatu kepada
seseorang hari ini?” “Ya,” jawab orang itu, “Aku memberi
makananku kepada Pacceka Buddha Upariññha.” “Ambillah ini,
Annabhà ra, ambilah yang ini dan berikan makanan itu kepadaku,”
si pedagang memohon.
saat orang itu menolak, dengan berkata, “Saya tidak dapat
melakukannya, Tuan,” Sumanà si pedagang meningkatkan
penawarannya hingga seribu keping uang. Annabhà ra tetap
tegas menolak, berkata, “Bahkan untuk seribu keping uang, aku
tidak akan menyerahkannya.” lalu Sumanà menghentikan
usahanya untuk membeli tetapi ia memohon, “Sahabat Annabhà ra,
jika engkau tidak dapat menyerahkannya kepadaku, baiklah.
Terimalah seribu keping uang ini dan limpahkan jasamu kepadaku!”
“Aku tidak tahu apakah aku akan melimpahkan jasa kepadamu.
Aku akan menanyakannya kepada Pacceka Buddha Upariññha dan
aku akan melimpahkan jasa jika dinasihatkan demikian.” sesudah
berkata demikian, ia bergegas mengejar si Pacceka Buddha dan
bertanya, “Yang Mulia, si pedagang Sumanà memberi seribu
keping uang untukku dan mengharapkan limpahan jasa dariku
yang kuperolah dengan mempersembahkan makanan kepadamu.
Apakah aku harus melimpahkan ataukah tidak?” lalu
Paccekat Buddha berkata:
2527
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
“Orang bijaksana, aku akan memberi sebuah perumpamaan:
Misalkan hanya ada rumahmu yang memiliki lampu yang menyala
dalam sebuah desa yang berisi seratus rumah tangga. Jika sembilan
puluh sembilan perumah tangga datang dengan lampu mereka yang
padam dan menyalakan lampu mereka dengan api yang berasal
dari lampu di rumahmu itu, apakah lampu di rumahmu itu tetap
seperti semula ataukah menjadi lebih redup?”
“Lampu itu tidak akan redup, Yang Mulia. Bahkan cahaya akan
lebih terang dari sebelumnya,” jawab orang itu. lalu Pacceka
Buddha menjelaskan:
“Demikian pula, orang bijaksana, jika seseorang melimpahkan jasa
yang ia kumpulkan dari persembahan makanan, apakah sesendok
kecil atau sesendok besar, apakah ia melimpahkannya kepada
seratus orang atau seribu orang, jasanya akan semakin bertambah
dan menjadi lebih besar sesuai jumlah orang yang menerima jasa
ini . Sekarang engkau telah mempersembahkan satu kali
makan. Jika engkau melimpahkan jasa kepadanya, maka yang
terjadi yaitu dua perbuatan mempersembahkan makanan.” Satu
yaitu milikmu (yang asli), dan satu lagi yaitu milik Sumanà (yang
merupakan tambahan).
Terbebas dari keraguan dan terinspirasi oleh nasihat ini ,
Annabhà ra bersujud dengan hormat dan kembali ke majikannya.
Ia dengan gembira melimpahkan jasanya dengan berkata, “Tuan,
terimalah jasa dari jasa yang kuhasilkan dengan mempersembahkan
makanan.” lalu terjadi percakapan antara si pedagang kaya
Sumanà dan si miskin Annabhà ra:
Pedagang, “Baiklah, sahabat, ambillah seribu keping uang ini.”
Anna, “Tuan, aku tidak menjual persembahan makanan.
Sesungguhnya, aku dengan gembira melimpahkan jasaku
kepadamu.”
Pedagang, “Sahabat, engkau dengan gembira melimpahkan jasamu
kepadaku. Dan di pihakku, aku memberi seribu keping uang
2528
sebagai penghormatan atas kebajikanmu. Terimalah sahabat.”
Didesak demikian, Annabhà ra menerima uang itu, dengan berkata,
“Baiklah, tuan.” Selanjutnya Sumanà berkata, “Sahabat, sejak saat
engkau menerima uang itu, engkau tidak perlu lagi bekerja dengan
kedua tanganmu. (Engkau bukan lagi seorang pekerja kasar.)
bangunlah sebuah rumah untukmu di jalan utama. Aku akan
menyediakan semua bahan yang engkau perlukan. Ambillah dari
rumahku.” Demikianlah si pedagang menjanjikan.
Annabhà ra Menjadi Orang Kaya
Persembahan makanan kepada seorang Pacceka Buddha yang baru
bangun dari Nirodhasamà patti yaitu diññhadhamma-vedanãya,
yaitu, pemberian yang berakibat pada hari persembahan itu. sebab
itu, pada hari itu juga, dengan kemuliaan diññhadhamma-vedanãya
(persembahan makanan), si pedagang membawa Annabhà ra
ke istana raja yang tidak pernah ia lakukan pada hari-hari
sebelumnya.
Setibanya di istana, berkat perbuatan baik yang dilakukan
Annabhà ra, sang raja memandang rendah si pedagang dan menatap
Annabhà ra. lalu terjadi percakapan antara si pedagang dan
raja sebagai berikut:
Pedagang, “Tuanku, mengapa engkau menatap orang ini?”
Raja, “sebab aku tidak pernah melihatnya sebelumnya,
pedagang.”
Pedagang, “Tuanku, orang ini memang layak ditatap.”
Raja, “Apakah kemuliaan yang membuatnya layak ditatap,
pedagang?”
Pedagang, “Tuanku, ia telah mendapatkan seribu keping uang dariku
sebab ia tidak memakan makanannya namun memberi nya
kepada Pacceka Buddha Upariññha hari ini.”
2529
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
Raja, “Siapakah namanya?”
Pedagang, “Annabhà ra, tuanku.”
Raja, “sebab ia telah memiliki seribu keping uang, ia akan
mendapatkan seribu keping uang lagi dariku. Aku juga ingin
menghormatinya.”
Dengan berkata demikian, raja juga menghadiahkan seribu keping
uang.
Selanjutnya raja memerintahkan orang-orangnya agar membangun
sebuah rumah sebagai tempat tinggal Annabhà ra. Saat melaksanakan
perintah raja, orang-orang itu membersihkan lahan pembangunan,
di setiap tempat yang mereka gali dengan cangkul, mereka
menemukan kendi-kendi berisi emas yang bersentuhan satu dengan
yang lainnya, kejadian itu sangat mengherankan mereka. Maka
mereka melaporkan hal itu kepada raja. Raja memerintahkan agar
mereka terus menggali, dan saat mereka menggali, kendi-kendi
itu turun semakin dalam. Orang-orang itu melaporkan hal itu
kepada raja dan raja memerintahkan mereka untuk terus menggali
dengan berkata, “Lakukan jangan untukku, tetapi lakukan ini atas
perintah Annabhà ra.” Orang-orang itu kembali menggali sambil
mengucapkan “Kami melakukan ini atas perintah Annabhà ra.” Di
setiap tempat yang digali dengan cangkul, dan, kendi-kendi emas
itu keluar dari tanah bagaikan jamur besar.
Orang-orang raja itu mengumpulkan harta emas dan perak ini
dan menumpuknya di dekat raja. Raja mengadakan rapat dengan
para menterinya dan bertanya, “Selain Annabhà ra, siapa lagi yang
memiliki harta yang begitu banyak di Kota Bà rà õasã?” saat para
menteri menjawab tidak ada, raja mengeluarkan perintah, “Para
menteri, kalau begitu, angkatlah Annabhà ra menjadi pedagang
kerajaan bergelar “Dhanaseññhi” di Kota Bà rà õasã ini.” Pada hari itu
juga, Annabhà ra menjadi pedagang kerajaan yang dikenal sebagai
Mahà dhanaseññhi, mendapatkan payung putih, lambang kekayaan,
dari raja.
2530
(b) Kehidupan pertapaan dalam kehidupan terakhir
Sejak ia menjadi pedagang kerajaan, bernama Dhanaseññhi, ia banyak
melakukan perbuatan-perbuatan baik hingga akhir hidupnya, dan
saat meninggal dunia, ia terlahir kembali di alam dewa. Orang baik
yang merupakan bakal Anuruddhà mengembara di alam dewa
dan alam manusia selama kurun waktu yang sangat lama, dan
menjelang munculnya Buddha kita, ia terlahir di dalam kerabat
kerajaan bernama Sukkodana, seorang Pangeran Sakya. Pada hari
pemberian nama, ia diberi nama Anuruddhà . Pangeran AnuruddhÃ
yaitu putra dari paman Buddha bernama Sukkodana dan adik
dari Pangeran Mahà nà ma. Ia sangat lembut juga sangat berkuasa
pada saat yang sama.
Buddha mengunjungi Kota Kapilavatthu untuk pertama kalinya
dan dalam perjalanan Beliau kembali dari Kapilavatthu, Beliau
singgah di Hutan Anupiya, Pangeran Anuruddhà datang bersama
para pangeran, Bhaddiya, ânanda, Bhagu, Kimbila, Devadatta, dan
si tukang cukur Upà li menghadap Buddha, dan mereka menjadi
bhikkhu. (Kejadian ini telah diceritakan pada bab terdahulu.)
Mencapai Kesucian Arahatta
Enam pangeran Sakya bersama dengan si tukang cukur Upà li pergi
ke hutan Anupiya dan menjadi bhikkhu di hadapan Buddha. Dari
ketujuh bhikkhu ini, Bhaddiya mencapai kesucian Arahatta dalam
masa vassa itu juga. Anuruddhà mencapai kekuatan batin mata-dewa
(dibbacakkhu); Devadatta mencapai delapan pencapaian Lokiya;
ânanda mencapai Sotà patti-Phala; sesudah itu Yang Mulia Bhagu
dan Kimbila mencapai kesucian Arahatta. Kisah dari masing-masing
bhikkhu ini akan dijelaskan pada bagiannya masing-masing.
Yang Mulia Anuruddhà , dalam masa vassa pertamanya, ia berhasil
mencapai delapan pencapaian sesudah menjadi bhikkhu dan
mengembangkan kekuatan batin dan pengetahuan yang lebih tinggi
mata-dewa yang memungkinkannya melihat seribu alam semesta.
Suatu hari ia mendatangi Thera SÃ riputta dan berkata:
2531
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
“Sahabat SÃ riputta, aku dapat melihat seribu alam semesta dengan
mata-dewa yang sangat jernih yang mengungguli pandangan
mata manusia biasa (1). Aku berusaha tanpa lengah; selalu penuh
perhatian; tidak ada kegelisahan dalam diriku dan aku selalu
tenang; pikiranku terpusat dan terkonsentrasi dengan baik (2).
Tetapi batinku tidak mampu melepaskan kemelekatan (taõhà ) dan
pandangan salah (diññhi), dan belum terbebas dari à sava (3).”
lalu Thera SÃ riputta membabarkan khotbah kepada Thera
Anuruddhà mengenai meditasi:
“Sahabat Anuruddhà , fakta bahwa engkau secara sadar berpikir ‘Aku
dapat melihat seribu alam semesta dengan mata-dewa yang jernih
yang mengungguli pandangan mata manusia biasa’ membuktikan
bahwa engkau memiliki keangkuhan (mà na) (1).”
“Sahabat Anuruddhà , fakta bahwa engkau secara sadar berpikir
‘Aku berusaha tanpa lengah; selalu penuh perhatian; tidak ada
kegelisahan dalam diriku dan aku selalu tenang; pikiranku terpusat
dan terkonsentrasi dengan baik,’ membuktikan bahwa engkau
memiliki kegelisahan (uddhacca) (2).”
“Sahabat Anuruddhà , fakta bahwa engkau secara sadar berpikir
‘Tetapi batinku tidak mampu melepaskan kemelekatan dan
pandangan salah dan belum terbebas dari à sava’ membuktikan
bahwa engkau memiliki keraguan dan kekhawatiran’ (saÿsaya-
kukkucca) (3).”
“Oleh sebab itu aku ingin menasihati engkau sebagai berikut:
‘Lepaskanlah tiga hal ini (keangkuhan, kegelisahan, dan keraguan)
yang sedang berkembang dalam batinmu. Tanpa memedulikan hal-
hal ini, arahkanlah batinmu ke arah keabadian (Nibbà na)!”
sesudah memelajari meditasi, Thera Anuruddhà pergi ke Negeri Ceti
sesudah meminta izin dari Buddha. Menetap di hutan bambu sebelah
timur di negeri itu, ia mempraktikkan pertapaan: selama lima belas
hari atau setengah bulan, ia tidak tidur melainkan hanya melatih
meditasi dalam postur berjalan mondar-mandir. Ia menjadi sangat
2532
lelah sebab meditasi sehingga ia beristirahat dengan duduk di
bawah rumpun bambu. Sewaktu duduk, pikiran besar dari seorang
manusia besar (Mahà purisa vitakka) muncul dalam pikirannya
sebagai berikut:
(1) Sembilan Dhamma Lokuttara hanya dapat dicapai oleh ia
yang memiliki sedikit keinginan (yaitu, ia yang tidak memiliki
keinginan (icchà ) dan kemelekatan (taõhà ), bukan seorang yang
serakah.)
(2) Sembilan Dhamma Lokuttara hanya dapat dicapai oleh ia yang
mudah puas, bukan oleh ia yang sulit dipuaskan.
(3) Sembilan Dhamma Lokuttara hanya dapat dicapai oleh ia yang
tenang, bukan oleh ia yang bergembira dalam hubungan dengan
teman-teman.
(4) Sembilan Dhamma Lokuttara hanya dapat dicapai oleh ia yang
berusaha, bukan oleh ia yang malas.
(5) Sembilan Dhamma Lokuttara hanya dapat dicapai oleh ia
yang penuh perhatian, bukan oleh ia yang tidak memiliki
perhatian.
(6) Sembilan Dhamma Lokuttara hanya dapat dicapai oleh ia yang
pikirannya terkonsentrasi, bukan oleh ia yang pikirannya tidak
terkonsentrasi.
(7) Sembilan Dhamma Lokuttara hanya dapat dicapai oleh ia yang
bijaksana, bukan oleh ia yang dungu.
(Catatan: Sehubungan dengan (1) Individu yang memiliki sedikit
keinginan; ada empat jenis: (a) paccaya-appiccha, seseorang yang
memiliki sedikit keinginan sehubungan dengan empat kebutuhan;
(b) adhigama-appiccha, seseorang yang tidak memberitahukan
kepada orang lain tentang pencapaiannya atas Magga dan Phala
melainkan merahasiakannya, (c) pariyatti-appiccha, seseorang
yang tidak memberitahukan kepada orang lain tentang apa yang
2533
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
ia pelajari melainkan merahasiakannya, (d) dhutaïga-appiccha,
seseorang yang tidak memberitahukan kepada orang lain tentang
praktik keras yang ia lakukan, melainkan merahasiakannya.
Dari empat ini (a) paccaya-appiccha menerima hanya dalam jumlah
sedikit meskipun dipersembahkan dalam jumlah banyak; jika
dipersembahkan sedikit, ia akan menerima lebih sedikit dari apa
yang dipersembahkan; ia tidak pernah menerima semuanya.
(b) adhigama-appiccha seperti pada kisah Thera Majjhantika. Ia
tidak memberitahukan pencapaian spiritualnya atas Magga dan
Phala melainkan tetap diam. (Kisah Thera Majjhantika secara
singkat yaitu sebagai berikut: Ia yaitu seorang Arahanta.
Tetapi mangkuk dan jubahnya hanya bernilai seperempat keping
uang. Pada hari Raja Asoka mempersembahkan sebuah vihà ra, ia
memimpin sekelompok bhikkhu. Melihat mangkuk dan jubahnya
yang tua dan usang, orang-orang beranggapan bahwa ia hanyalah
seorang bhikkhu tua yang belum mencapai apa-apa, maka mereka
menyuruhnya untuk menunggu di luar. lalu ia berpikir,
“Jika seorang Arahanta sepertiku tidak memberi sesuatu demi
kesejahteraan raja, siapa lagi yang akan melakukannya?” Dengan
pikiran demikian ia sesaat masuk ke dalam tanah dan menerima
bagian pertama dà na makanan yang dipersiapkan untuk pemimpin
para bhikkhu. Makanan itu dipersembahkan dengan hormat
kepadanya. lalu ia muncul kembali ke tempat semula selagi
yang lain tidak memerhatikan. Demikianlah, Thera tidak ingin orang
lain mengetahui bahwa ia yaitu seorang Arahanta.)
(c) Individu pariyatti-appiccha tidak ingin mengungkapkan kepada
orang lain tentang pengetahuannya akan kitab-kitab suci meskipun
ia menguasai Tiga Piñaka. Individu ini seperti Thera Tissa, seorang
warga SÃ keta. Kisah Thera Tissa secara singkat yaitu sebagai
berikut:
Sang Thera diminta oleh para bhikkhu lain untuk mengajarkan
kitab suci dan komentarnya kepada mereka. Tetapi ia menolak
permohonan mereka, dengan alasan bahwa ia tidak mempunyai
waktu untuk melakukannya. lalu para bhikkhu berkata
2534
kepadanya dengan nada mencela, “Apakah engkau juga
tidak mempunyai waktu untuk mati?” Maka ia meninggalkan
para pengikutnya dan tempat tinggalnya, ia pergi ke Vihà ra
Kaõikà ravà lika Samudda; ia menetap di sana selama masa vassa
tiga bulan (seperti seorang bhikkhu yang tidak dikenal dan tidak
terpelajar). Ia memenuhi tugas-tugasnya terhadap para bhikkhu
lainnya baik senior, junior ataupun sama dengannya. Pada hari
purnama di bulan Assayuja (September-Oktober), saat pertemuan
Mahà pavà raõà Uposatha, ia membabarkan Dhamma, yang membuat
para pendengarnya bersorak dan melemparkan penutup kepala
mereka ke atas. Demikianlah ia menciptakan kegemparan pada para
pendengar. Agar orang-orang tidak mengetahui (“Inilah dia yang
membabarkan Dhamma kemarin malam.” Ia diam-diam kembali
ke tempat tinggalnya semula, sebab ia yaitu individu berjenis
pariyatti-appiccha.
(d) dhutaïga-appiccha tidak ingin memberitahukan orang lain
tentang praktik kerasnya. Ia seperti seorang kakak dari dua
bersaudara.
(Kisah singkat dua bersaudara itu yaitu sebagai berikut: Dua
bhikkhu bersaudara menetap di sebuah Bukit Cetiya. Si adik
mendatangi kakaknya dengan membawa sebatang tebu yang
dipersembahkan oleh seorang penyumbang untuk kakak. “Silakan
makan ini, Yang Mulia,” kata si adik. sebab ia telah selesai makan
dan mencuci mulutnya, ia berkata, “Cukup, Dik.” “Mengapa?,” tanya
si adik, “Apakah engkau menjalani ekasanika dhutaõga (latihan
keras makan satu kali sehari)?” lalu kakak meminta adiknya
untuk mengambilkan tebu itu. Walaupun ia telah menjalani praktik
itu selama lima puluh tahun, ia tetap memakan tebu itu sebab tidak
ingin adiknya mengetahui praktik yang ia jalankan. sesudah itu ia
mencuci mulutnya dan mengulangi sumpahnya.
(Penjelasan ini tentang empat jenis individu appiccha dikutip dari
Komentar Aïguttara Nikà ya Vol. 3 dan kisah-kisahnya bersumber
dari Komentar Majjhima Nikà ya Vol. 2. Penjelasan lebih lanjut dapat
dibaca dalam komentar-komentar ini, jika diperlukan.)
2535
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
Pada waktu itu Yang Mulia Anuruddhà sedang berkutat dengan
tujuh pikiran dari seorang manusia luar biasa (Mahà purãsa vitakka),
Buddha masih berada di hutan lindung Bhesakaëà , di dekat Kota
Susumà ragira di Negeri Bhagga. Hutan itu terletak di sebelah barat
Hutan Bambu di mana Thera Anuruddhà berada. sebab itu tempat
itu disebut Sebelah Timur Hutan Bambu.
sesudah bergulat dengan tujuh pikiran itu, Anuruddhà menjadi
terlalu letih untuk melanjutkan dengan yang kedelapan. yaitu
benar bahwa para siswa yang merenungkan tujuh yang pertama
yaitu, sedikit keinginan, mudah puas, tenang, berusaha, penuh
perhatian, konsentrasi pikiran, dan kebijaksanaan menjadi enggan
untuk melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi merenungkan
Dhamma lainnya. Bagi mereka, sudah menjadi peraturan untuk
berakhir dengan kebijaksanaan. Itulah sebabnya Yang Mulia
Anuruddhà , sesudah merenungkan tujuh bentuk kebijaksanaan
yang merupakan Mahà purisa vitakka, ia menjadi terlalu letih untuk
merenungkan vitakka kedelapan.
lalu Buddha yang masih berada di Hutan Bhesakaëà ,
mengetahui bahwa “Anuruddhà sudah terlalu letih untuk
merenungkan vitakka kedelapan,” dan berpikir bahwa, “Aku
akan memuaskan keinginan Anuruddhà .” Buddha sesaat datang
ke hadapan Thera dan duduk di atas tempat duduk yang telah
dipersiapkan. lalu Buddha memunculkan vitakka kedelapan,
dengan berkata:
“Anuruddhà , Bagus!, Bagus! (1) Sembilan Dhamma Lokuttara
hanya dapat dipenuhi oleh ia yang memiliki sedikit keinginan,
bukan oleh ia yang memiliki banyak keinginan; …; (7) Sembilan
Dhamma Lokuttara hanya dapat dipenuhi oleh ia yang bijaksana,
bukan oleh ia yang dungu. Anuruddhà ! Perenungan yang engkau
lakukan yaitu milik para mulia.”
“Anuruddhà , bagimu, (8) lanjutkanlah dengan perenungan
kedelapan, yang yaitu , “Sembilan Dhamma Lokuttara hanya dapat
dipenuhi oleh ia yang bergembira di dalam Nibbà na yang bebas dari
faktor-faktor saÿsà ra yang meluas (papa¤ca), (yaitu, kemelekatan,
2536
keangkuhan, dan pandangan salah atau taõhà , mà na, dan diññhi)
bukan oleh ia yang bergembira dalam faktor-faktor papa¤ca.”
Demikianlah Buddha memberi renungan Mahà purisa kedelapan.
lalu Buddha melanjutkan dengan membabarkan secara
terperinci kepada Yang Mulia Anuruddhà bahwa, sewaktu berdiam
di dalam delapan renungan ini, akan dengan mudah tercerap dalam
Lokiya Jhà na Pertama, Kedua, Ketiga dan Keempat, dan bahwa
sewaktu tercerap dalam empat jhà ïa Lokiya, ia akan dengan mudah
menguasai empat Ariyavaÿsa-pañipadà (Praktik yang dijalankan
oleh para mulia), yaitu, (1) kepuasan dalam jubah (cãvara-santosa),
(2) kepuasan dalam makanan (piõóapà ta-santosa), termasuk obat-
obatan, (3) kepuasan dalam tempat tinggal, dan (4) kegembiraan
dalam meditasi (bhà vanà -rà matà ). (Khotbah terperinci dapat dibaca
dalam terjemahan Aïguttara Nikà ya, Vol. 3)
sesudah membabarkan demikian, Buddha memikirkan tentang
tempat tinggal yang tepat agar Thera Anuruddhà dapat bermeditasi
dengan baik dan mengetahui bahwa hutan bambu itu yaitu tempat
yang tepat. sebab itu Beliau menasihati Thera dengan berkata:
“Anuruddhà (sebab hutan bambu ini sangat tepat sebagai tempat
tinggal), jalankanlah vassa berikut di hutan bambu ini di Negeri
Ceti.”
sesudah memberi nasihat, Buddha melayang ke angkasa
dan melakukan perjalanan ke Hutan Bhesakaëà di mana Beliau
menjelaskan delapan renungan Mahà purisa secara terperinci kepada
para bhikkhu di sana.
sesudah Buddha pergi, Yang Mulia Anuruddhà berusaha keras
dalam latihannya dan segera (dalam vassa berikutnya) mencapai
kesucian Arahatta, padamnya à sava, memiliki tiga pengetahuan
Pubbenivà sa ¥Ã õa, Dibbacakkhu ¥Ã õa, dan à savakkhaya ¥Ã õa.
Thera menjadi sangat gembira dan berpikir, “Oh, melihat kondisi-
kondisi batinku, Buddha Yang Mulia datang dan membangkitkan
Mahà purisa vitakka kedelapan. Keinginanku sekarang juga telah
terpenuhi dengan tingkat yang tertinggi!” dengan perhatian pada
2537
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
khotbah Buddha dan Dhamma Lokuttara, Thera mengucapkan
syair berikut:
(a) Mama saïkappama¤¤Ã ya,
Satthà loke anuttaro.
Manomayena kà yena,
iddhiyà upasaïkami
Yang Agung, guru para dewa dan manusia, yang tidak ada
bandingnya di tiga alam, mengetahui pikiranku, dan tubuh-Nya
yang diciptakan melalui pikiran dan melalui kekuatan batin-Nya
datang kehadapanku.
(b) Yathà me ahu saïkappo
tato uttari desayi
Nippapa¤ca-rato Buddho
nippapa¤camadesayi.
Padaku telah muncul tujuh renungan para mulia tertinggi. Buddha
Yang Agung sebab welas asih-Nya mengajarkan kepadaku
renungan kedelapan yang lebih tinggi dari tujuh renungan yang
telah kulakukan. (Bagaimana?) Buddha yang juga memiliki gelar
Mahatahu, yang terbaik di dunia ini, yang bergembira di dalam
Nibbà na yang tidak berkondisi yang sungguh bebas dari tiga
faktor saÿsà ra yang meluas (papa¤ca) mengajarkan kepadaku
sebab welas asih-Nya tentang Nibbà na yang tidak berkondisi yang
sungguh bebas dari tiga faktor saÿsà ra yang meluas (papa¤ca).
(c) Tassà haÿ dhammama¤¤Ã ya
vihà siÿ sà sane rato.
Tisso vijjà anuppattÃ
kataÿ Bhuddhassa Sà sanaÿ.
Aku, Anuruddhà , sesudah memahami Dhamma yang diajarkan
oleh Buddha Mahatahu, yang terbaik di dunia, yang hidup dalam
kebahagiaan dalam kehidupan ini yang selalu bergembira di dalam
pencapaian Buah dalam masa pengajaran ini. Tiga pengetahuan
Pubbenivà sa ¥Ã õa olehku, Anuruddhà , aku telah melatih dan
2538
mempraktikkan, mencapai tujuan Kearahattaan, ajaran Tiga Latihan
yang diajarkan oleh Buddha Mahatahu, pemimpin dunia.
(c) Gelar Etadagga
Selanjutnya saat Buddha sedang menetap di Vihà ra Jetavana, ia
mengadakan pertemuan untuk menganugerahkan gelar Etadagga
kepada sejumlah bhikkhu, dan memuji Thera Anuruddhà dengan
mengatakan:
“Etadaggaÿ bhikkhave mama sà vakà naÿ bhikkhÃ¥naÿ
dibbacakkhukà naÿ yadidaÿ Auuruddho” “Para bhikkhu di
antara para siswa-Ku yang memiliki mata-dewa (Dibbacakkhu),
Anuruddhà yaitu yang terbaik.”
Dengan kalimat itu, Buddha menunjuk Thera Anuruddhà sebagai
yang terunggul dalam penguasaan Mata-Dewa.
(Akan muncul pertanyaan: Mengapa Buddha menunjuk AnuruddhÃ
seorang meskipun terdapat para Tevijja Arahanta dan Chaëabhi¤¤Ã
Arahanta yang juga menguasai Mata-Dewa? Jawabannya yaitu :
yaitu benar bahwa para Tevijja dan Chaëabhi¤¤Ã Arahanta lainnya
juga menguasai Mata-Dewa, tetapi mereka tidak memanfaatkannya
seperti yang dilakukan oleh Thera. saat Thera Anuruddhà sedang
mengumpulkan dà na makanan, kecuali saat makan, ia selalu
mengembangkan Kasiõa-Cahaya (âloka-Kasiõa) dan mengamati
makhluk-makhluk melalui kekuatan batin Mata-Dewa yang ia
miliki. Demikianlah, Thera menguasai lima tingkat penguasaan
Mata-Dewa dan menjadi lebih berpengalaman (daripada Thera
lainnya). Inilah sebabnya Buddha menganugerahkan gelar Etadagga
dalam bidang ini.
(Jawaban lainnya yaitu : Thera Anuruddhà telah melakukan
kebajikan selama seratus ribu kappa dengan cita-cita untuk menjadi
yang terunggul dalam penguasaan Mata-Dewa. sebab itu, dalam
kehidupan ini, yang merupakan kehidupannya yang terakhir, di
mana Kesempurnaan dan cita-citanya tercapai, ia memanfaatkan
Mata-Dewa lebih banyak daripada para Arahanta lainnya, sebab ia
2539
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
memiliki kecenderungan untuk melakukan hal itu yang diakibatkan
oleh tekad masa lampaunya. sebab itulah gelar itu diberikan oleh
Buddha.
Memungut Jubah Kain Usang yang Dipersembahkan Oleh Para
Dewa
(Dikutip dari Komentar Dhammapada)
Sewaktu Buddha sedang berada di Vihà ra Jetavana, Rà jagaha, Yang
Mulia Anuruddhà sedang mencari potongan kain-kain usang untuk
membuat jubah, di tumpukan-tumpukan sampah dan tempat-
tempat lainnya. Dewi bernama Jà linã yang yaitu istrinya dalam
tiga kehidupan sebelumnya hidup di Alam Tà vatiÿsa. Melihat
Thera sedang mencari kain-kain usang, ia mengambil tiga potong
kain dewa, masing-masing panjangnya tiga belas lengan dan
lebarnya empat lengan. Tetapi ia berpikir, “Jika aku memberi
tiga potong kain dewa dalam bentuk seperti ini, Thera tidak akan
menerimanya.” Maka ia meletakkannya di atas tumpukan sampah
di depan Thera yang sedang mencari kain usang; ia meletakkannya
sedemikian sehingga hanya tepi kain itu saja yang terlihat.
saat Thera datang ke tempat itu dalam mencari kain, ia melihat tepi
dari kain dewa ini , ia memungutnya dan pergi meninggalkan
tempat itu, dengan pikiran bahwa ia telah mendapatkan potongan
kain yang baik.
Pada hari Thera membuat jubah, Buddha disertai oleh lima ratus
bhikkhu datang ke tempat tinggal Thera dan duduk. Para Thera
senior dari kelompok Delapan Puluh Siswa juga duduk di tempat
yang sama di tempat jubah itu sedang dikerjakan. Yang Mulia MahÃ
Kassapa, Sà riputta, dan ânanda membantunya dalam membuat
jubah itu. Berturut-turut mereka mengerjakan bagian awal, bagian
pertengahan, dan bagian akhir. Para bhikkhu lainnya juga membantu
dalam penjahitan. Buddha sendiri membantu dengan memasukkan
benang ke lubang jarum. Yang Mulia Moggallà na berkeliling untuk
mengumpulkan benda-benda yang dibutuhkan untuk penjahitan.
2540
Dewi Jalinã memasuki kota dan mengumumkan, “Para warga ,
Buddha Yang Agung disertai oleh Delapan Puluh Siswa Arahanta
dan lima ratus bhikkhu sedang berdiam di vihà ra untuk menjahit
jubah guru kita Yang Mulia Anuruddhà . Pergilah ke vihà ra dengan
membawa nasi dan makanan lainnya untuk dimakan.” Demikianlah
dewi ini mendesak para perempuan untuk menyiapkan
makanan. Yang Mulia Moggallà na membawa serumpun buah jambu
saat istirahat sebelum waktu makan. Lima ratus bhikkhu itu tidak
mampu menghabiskan buah-buah ini . Sakka, raja para dewa
meratakan tanah di tempat penjahitan. Sisa-sisa makanan seperti
bubur, makanan-makanan padat lainnya dan nasi masih sangat
banyak.
lalu para bhikkhu menyalahkan Thera Anuruddhà dengan
mengatakan, “Untuk apa membawa makanan-makanan ini dalam
jumlah yang begitu banyak. Ia seharusnya mengetahui jumlah
makanan yang diperlukan dan meminta pada sanak saudara,
pelayan, dan penyumbangnya, dengan berkata, ‘Bawakan hanya
sebanyak ini. Mungkin Thera ingin kita mengetahui bahwa ia
memiliki banyak saudara, pelayan, dan penyumbang.” lalu
Buddha bertanya kepada mereka apa yang sedang mereka bicarakan
dan saat mereka menjawab, Buddha bertanya, “Para bhikkhu,
apakah kalian berpikir bahwa semua makanan ini dibawa oleh
Anuruddhà ?” saat para bhikkhu mengiyakan, Buddha berkata:
“Para bhikkhu, putra-Ku Anuruddhà tidak pernah meminta empat
kebutuhan sebanyak ini. Sesungguhnya, para Arahanta tidak pernah
meminta benda-benda kebutuhan. Makanan ini ada berkat kekuatan
dewi!”
lalu Buddha melanjutkan dengan mengucapkan syair berikut
untuk membabarkan khotbah:
Yassà savà parikkhãõà ;
à hà re ca anissito
su¤¤ato animitto ca
vimokkho yassa gocaro;
à kà se va sakuntà naÿ
2541
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
padaÿ tassa durannayaÿ.
(O para bhikkhu, anak-anak-Ku!) seorang Arahanta yang empat
à sava, yaitu, nafsu keinginan (kà ma), kelahiran (bhava), pandangan
salah (diññhi), dan kebodohan (avijjà ), telah dihancurkan tanpa
meninggalkan bekas sedikit pun, tidak melekat pada makanan
melalui keserakahan (taõha), dan pandangan salah (diññhi). Dalam
pencapaian Buahnya, ia selalu mendekati Nibbà na yang dikenal
sebagai Kebebasan-Kekosongan (Su¤¤ata-Vimokkha) sebab
tidak ada nafsu (rà ga), kebencian (dosa), dan kebodohan (moha)
di dalamnya, Nibbà na juga dikenal sebagai Kebebasan Tanpa
pemicu (Animitta-Vimokkha) sebab bebas dari pemicu seperti
nafsu, kebencian dan kebodohan, dan dengan kemuliaan partikel
ca, Nibbà na juga dikenal sebagai Kebebasan Tanpa Keinginan,
(Appaõihita-Vimokkha) sebab bebas dari keinginan seperti nafsu,
kebencian, dan kebodohan. Bagaikan apa yang ada di angkasa
yang diinjak oleh kaki, tersentuh oleh kepala dan sayap burung
yang terbang di angkasa yaitu mustahil diketahui, demikian
pula, pencapaiannya akan unsur Nibbà na sesudah kematian yaitu
mustahil diketahui oleh individu-individu biasa.
Pada akhir khotbah itu, banyak orang yang mencapai Sotà patti-Phala
dan sebagainya.
Demikianlah kisah Thera Anuruddhà .
(6) Thera Bhaddiya
Pada bab tentang Permata Saÿgha ini terdapat dua Thera Bhaddiya,
pertama yaitu (6) Bhaddiya ini, dan yang kedua yaitu (7)
Lakuõóaka Bhaddiya. Bhaddiya yang pertama yaitu salah satu
dari enam pangeran Sakya yang menjadi bhikkhu seperti yang
diceritakan dalam kisah Thera Anuruddhà . Ibu dari Thera Bhaddiya
yaitu Kà ëigodha, seorang putri Sakya. sebab itu Thera juga
dikenal sebagai Kà ëigodhà putta Bhaddiya, “Bhaddiya putra dari
putri Sakya Kà ëigodhà .”
2542
(a) Cita-cita masa lampau
Thera Bhaddiya ini juga yaitu putra keluarga kaya pada masa
kehidupan Buddha Padumuttara, seratus ribu kappa yang lalu. Ia
pergi ke vihà ra (seperti telah diceritakan dalam kisah Anuruddhà )
untuk mendengarkan Dhamma.
Pada





.jpeg)
.jpeg)





