Tampilkan postingan dengan label Biksu Budha 3. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Biksu Budha 3. Tampilkan semua postingan

Biksu Budha 3

 



an 

iringan lima jenis alat musik.

Kereta itu pergi melalui gerbang timur kota dan berlari ke arah 

taman kerajaan. Beberapa orang mengira bahwa kereta itu akan 

kembali sebab   ia berlari ke arah taman yaitu   akibat dari kebiasaan. 

Tetapi, anggapan itu, ditolak oleh Purohita. Kereta itu memasuki 

taman, mengelilingi Nanda tiga kali dan berhenti, siap untuk 

dinaiki oleh Nanda. sesudah   menyingkirkan kain yang menutupi 

Nanda, Purohita memelajari telapak kakinya dan menyatakan, 

“Jangankan di JambÃ¥dãpa, orang ini pantas memerintah seluruh 

empat benua dengan dua ribu pulau kecil yang mengelilinginya.” Ia 

juga memerintahkan para musisi untuk memainkan musik mereka 

tiga kali.

lalu   Nanda menyingkirkan kain yang menutupi wajahnya 

dan melihat para menteri, dan terjadi percakapan:

Nanda, “Untuk apakah kalian datang ke sini?”

Menteri, “Tuanku, Kerajaan Bàràõasã telah datang kepadamu.”

Nanda, “Di manakah sang raja?”

Menteri, “Ia telah meninggal dunia, Tuan.”

Nanda, “Sudah berapa hari berlalukah sejak ia meninggal 

dunia?”

2502


Menteri, “Hari ini yaitu   hari ketujuh.”

Nanda, “Apakah raja tidak memiliki putra atau putri?”

Menteri, “Ia hanya memiliki seorang putri, tidak memiliki putra, 

Tuanku.”

sesudah   para menteri berkata demikian, ia menerima kekuasaan 

itu, dengan berkata, “Kalau begitu, aku bersedia menjadi raja.” 

lalu   para menteri membangun sebuah paviliun untuk 

Ritual   pelantikan dan membawa sang putri yang penuh riasan 

dan menjadikan Nanda sebagai Raja Bàràõasã sesudah   menjalani 

Ritual   pelantikan.

Selanjutnya, para menteri menyerahkan pakaian yang bernilai seribu 

keping uang kepada Nanda yang telah dilantik. “Teman, pakaian 

apakah ini?” tanya Raja Nanda. “Tuanku, ini yaitu   pakaian yang 

harus engkau pakai.” “Teman,” tanya raja, “Ini pakaian yang kasar. 

Apakah kalian tidak mempunyai yang lebih halus?” “Tuanku, 

tidak ada pakaian yag lebih halus di antara pakaian-pakaian yang 

dipakai oleh manusia,” jawab para menteri. “Apakah raja kalian 

sebelumnya juga mengenakan pakaian ini?” tanya Nanda. saat   

para menteri membenarkan, Raja Nanda berkata, “Almarhum raja 

kalian sepertinya kurang beruntung. Bawakan kendi emas (berisi 

air). Kita akan mendapatkan pakaian yang lebih baik.” Para menteri 

membawakan dan menyerahkannya kepada raja.

Bangkit dari duduknya, raja mencuci tangan dan mulutnya, dan 

membawa air dengan tangannya, ia memercikkannya ke arah 

timur. lalu   delapan pohon-pengharapan muncul memecah 

tanah. lalu   ia melakukan hal yang sama ke arah selatan, 

barat dan utara, dan di masing-masing tempat muncul delapan 

pohon-pengharapan. Demikianlah seluruhnya tiga puluh dua 

pohon pengharapan muncul di empat penjuru. Raja Nanda 

mengenakan sehelai jubah dewa menutupi bagian bawah tubuhnya 

dan sehelai lainnya menutupi bagian atas tubuhnya. lalu   ia 

mengumumkan diiringi tabuhan genderang, “Dalam kerajaan Raja 

Nanda ini, tidak boleh ada perempuan yang memintal benang!” 

2503

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

Ia juga mengangkat payung putih, dan menghias dirinya dengan 

perhiasan, memasuki kota di atas punggung seekor gajah, naik ke 

teras atas istananya dan menikmati kehidupannya sebagai raja.

sesudah   beberapa tahun menikmati kemewahan sebagai raja, sang 

ratu melihat kehidupannya, menunjukkan kekecewaan dengan 

pikiran, “Sungguh jarang sekali kebajikan yang dilakukan!” 

saat   sang raja bertanya mengapa ia kelihatan kecewa, ia berkata 

mengingatkan, “Kehidupanmu sungguh mewah. Ini sebab   engkau 

telah melakukan kebajikan dengan penuh keyakinan pada masa 

lampau. Tetapi sekarang engkau tidak melakukan apa pun demi 

kebahagiaan pada masa depan.” “Kepada siapakah kita harus 

memberi   persembahan?”Sang raja membantah, “Tidak ada 

penerima mulia!” “Tuanku, JambÃ¥dãpa ini tidak kosong dari para 

Arahanta. Engkau sebaiknya menyiapkan persembahan. Aku akan 

membawakan individu-individu yang akan menerimanya” jawab 

sang ratu dengan tegas.

Keesokan harinya, raja mempersiapkan persembahan di gerbang 

timur kota. Sang ratu bertekad untuk menjalani sila pada pagi hari 

itu lalu   menghadap ke arah timur dan bersujud, mengundang 

dengan kata-kata. “Jika ada Arahanta di arah timur, sudilah datang 

dan menerima persembahan makanan dari kami!” sebab   tidak 

ada Arahanta di arah itu, tidak ada seorang pun yang datang. 

Persembahan itu akhirnya diberikan kepada kaum miskin dan para 

pengemis. Hari berikutnya pengaturan yang sama dilakukan di 

gerbang selatan. Hari ketiga mereka melakukannya di gerbang barat. 

Tetapi tidak ada satu pun Arahanta yang datang dari arah-arah itu, 

sebab   memang tidak ada Arahanta dari arah-arah itu.

Pada hari keempat, persembahan dipersiapkan di gerbang utara, dan 

saat   ratu menyampaikan undangan seperti sebelumnya, Pacceka 

Buddha bernama Mahàpaduma, yang tertua dari lima ratus Pacceka 

Buddha, yang semuanya yaitu   putra-putra Ratu Padumavatã, 

berkata kepada adik-adiknya. “Adik-adikku Pacceka Buddha, Raja 

Nanda telah mengundang kalian. Terimalah undangannya dengan 

kegembiraan!” Para mulia menerima undangan itu dengan gembira, 

mereka mencuci muka di Danau Anotatta, lalu   datang melalui 

2504


angkasa dan turun di gerbang utara kota itu.

Para warga   mendatangi raja dan memberitahukan, “Tuanku, 

lima ratus Pacceka Buddha telah datang.” Bersama sang ratu, raja 

menyambut para Pacceka Buddha itu dengan tangan terbuka. 

Dengan memegang mangkuk, mereka menuntun lima ratus 

Pacceka Buddha ke teras atas istana dan melakukan persembahan 

besar-besaran. sesudah   persembahan itu selesai, raja duduk di kaki 

seorang Pacceka Buddha yang tertua dan ratu duduk di kaki Pacceka 

Buddha termuda, mereka memohon, “Yang Mulia, jika kalian 

menetap di taman kami, kalian akan bahagia dengan tersedianya 

segala kebutuhan. Juga akan memberi   jasa bagi kami. sebab   

itu mohon kalian berjanji untuk menetap di Taman Kota Bàràõasã.” 

Mereka berjanji kepada raja yang segera mempersiapkan akomodasi 

lengkap seperti lima ratus tempat tinggal, lima ratus jalan setapak, 

dan lain-lain di dalam taman kerajaan. Empat kebutuhan juga 

disediakan agar mereka tidak merasa kesulitan.

sesudah   situasi itu berlangsung selama beberapa waktu, terjadi 

pemberontakan di perbatasan. Raja meminta sang ratu untuk 

memerhatikan para Pacceka Buddha selama ia pergi untuk 

memadamkan pemberontakan. lalu   ia meninggalkan kota.

Sesuai perintah raja, ratu menyokong para Pacceka Buddha dengan 

menyediakan empat kebutuhan dengan saksama. sesudah   beberapa 

hari, persis sebelum raja pulang, proses-kehidupan para Pacceka 

Buddha ini   berakhir. Maka, yang tertua, Mahàpaduma, 

melewatkan tiga jaga malam itu dengan berdiam dalam Jhàna, dan 

sambil berdiri dan bersandar pada sandaran kayu, ia mencapai 

Anupàdisesa Parinibbàna. Demikian pula dengan para Pacceka 

Buddha lainnya yang juga mencapai Parinibbàna satu demi satu.

Pada hari berikutnya, sang ratu mempersiapkan tempat duduk 

untuk para Pacceka Buddha, menebarkan kotoran sapi dan bunga-

bungaan dan mengharumkan udara dengan wewangian, lalu   

ia menunggu kedatangan mereka. sebab   ia tidak melihat tanda-

tanda kedatangan mereka, ia mengutus seorang pelayan laki-laki 

untuk memeriksa, “Pergilah, Anakku, dan cari tahu alasannya. 

2505

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

Apakah ada masalah fisik atau batin yang terjadi pada para mulia 

itu.”

saat   pelayan istana itu pergi ke taman dan mencari Pacceka 

Buddha Mahàpaduma sesudah   membuka pintu gubuknya, ia 

tidak melihatnya di sana; ia pergi ke jalan setapak dan melihatnya 

sedang berdiri bersandar pada sandaran kayu. sesudah   memberi 

hormat kepadanya, orang itu mengundang Pacceka Buddha dengan 

berkata, “Sudah waktunya untuk makan Yang Mulia!” Bagaimana 

mungkin seorang yang tidak hidup dan telah mencapai Parinibbàna 

dapat menjawab? Tidak ada jawaban sama sekali. Berpikir bahwa 

Pacceka Buddha sedang tidur, orang itu mendekat dan meraba 

kaki Pacceka Buddha dengan tangannya. sesudah   melakukan 

beberapa pemeriksaan, ia mengetahui bahwa Pacceka Buddha telah 

mencapai Parinibbàna, sebab   kakinya sudah dingin dan kaku. 

sebab   itu ia mendatangi Pacceka Buddha kedua dan lalu   

ke Pacceka Buddha ketiga. Akhirnya ia menyadari bahwa semua 

Pacceka Buddha telah mencapai pemadaman total. Sepulangnya 

ke istana, sang ratu bertanya, “Di manakah para Pacceka Buddha, 

Anakku?” “Mereka semua telah mencapai Parinibbàna, Nyonya,” 

jawab orang itu. Ratu menangis sedih dan segera berlari menuju 

taman kerajaan dengan disertai oleh para warga   dan melakukan 

Ritual   pemakaman dan kremasi; ia juga mengumpulkan relik-relik 

mereka dan membangun sebuah cetiya (sebagai tempat pemujaan 

relik-relik).

sesudah   memulihkan daerah perbatasan, raja pulang ke kota dan 

saat melihat ratu yang keluar menyambutnya, ia bertanya, “Ratuku, 

apakah engkau melayani para Pacceka Buddha tanpa lalai? Apakah 

para mulia selalu sehat?” saat   ratu menjawab bahwa mereka 

semua telah mencapai Parinibbàna, raja terkejut dan merenungkan, 

“Bahkan para mulia ini masih bisa mati! Bagaimanakah kami dapat 

membebaskan diri dari kematian!”

Sang raja tidak melanjutkan perjalanannya memasuki kota tetapi 

langsung memasuki taman kerajaan. Ia memanggil putra tertuanya 

dan menyerahkan kerajaan kepadanya dan ia sendiri menjalani 

kehidupan sebagai seorang petapa (bagaikan seorang bhikkhu 

2506


dalam masa pengajaran seorang Buddha). Ratu juga berpikir, “Jika 

raja menjadi seorang petapa, apa lagi yang harus kulakukan? Tentu 

tidak ada lagi!” dan ia juga menjalani kehidupan sebagai seorang 

petapa perempuan di taman kerajaan. sesudah   mengembangkan 

Jhàna-Jhàna, mereka berdua terlahir kembali di alam brahmà.

(b) Kehidupan pertapaan dalam kehidupan terakhir

Sewaktu mereka masih berada di alam brahmà, waktunya tiba 

bagi Buddha kita untuk muncul di dunia. Pada waktu itu, Pemuda 

Pippali, bakal Mahà Kassapa, dikandung dalam rahim istri seorang 

brahmana kaya bernama Kapila di Desa Brahmana Mahàtittha di 

Magadha, sedangkan istrinya, bakal Bhaddàkàpilànã, dikandung 

di dalam rahim istri seorang brahmana kaya lainnya, keturunan 

Kosiya, di Kota Sàgala juga di Kerajaan Magadha.

saat   mereka telah dewasa, Pemuda Pippali berusia dua puluh 

tahun dan Bhaddàkàpilànã berusia enam belas tahun, orang tua 

Pippali memaksanya untuk menikah, dengan berkata, “Anakku, 

engkau telah cukup dewasa untuk berumah tangga. Silsilah 

kita harus berumur panjang!” sebab   Pippali datang dari alam 

brahmà, ia menolak mendengarkan, dengan menjawab, “Jangan 

mengucapkan kata-kata itu di telingaku. Aku akan merawat kalian 

sepanjang hidup kalian, dan sesudah   kalian meninggal dunia, aku 

akan menjalani kehidupan sebagai seorang petapa.” sesudah   dua 

atau tiga hari, orangtuanya membujuknya lagi. Si anak tetap tegas 

menolak. Mereka membujuk lagi tetapi hanya masuk ke telinga yang 

tuli. Sejak saat itu, sang ibu terus-menerus mendesaknya.

Saat desakan itu menjadi tidak tertahankan, Pippali berpikir, 

“Aku akan memberitahu ibu tentang keinginanku untuk menjadi 

seorang bhikkhu!” sebab   itu, ia memberi   seribu batang emas 

kepada seorang pandai emas, dengan perintah agar dibuatkan 

patung seorang gadis dari emas itu. saat   patung itu selesai, ia 

memakaikan pakaian merah dan menghiasinya dengan bunga 

berwarna-warni dan perhiasan lainnya. lalu   ia berkata kepada 

ibunya, “O Ibu, aku akan tetap di rumah jika aku mendapatkan gadis 

secantik patung ini! Jika tidak, aku tidak akan menikah.”

2507

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

Sang ibu yaitu   seorang brahmana yang bijaksana, ia 

mempertimbangkan, “Putraku yaitu   seorang yang telah melakukan 

banyak kebajikan, yang telah memberi   dàna, yang memiliki 

cita-cita mulia. Sewaktu ia melakukan kebajikan dalam kehidupan 

lampaunya, ia pasti tidak melakukannya sendirian. Putraku pasti 

memiliki seorang istri yang baik, sangat cantik seperti patung emas 

ini, dan bersamanya ia melakukan kebajikan-kebajikan.” Dengan 

pertimbangan itu, ia memanggil delapan brahmana, memberi   

penghormatan kepada mereka dan meletakkan patung emas itu ke 

dalam sebuah kereta dan berkata, “Pergilah, saudaraku! Jika kalian 

melihat seorang gadis yang mirip dengan patung emas ini dalam 

sebuah keluarga yang berasal dari kasta, silsilah dan kekayaan yang 

sama dengan kita, berikan patung ini kepadanya sebagai hadiah 

atau sebagai janji perkawinan.” Dengan kata-kata ini ia mengutus 

para brahmana itu.

Delapan brahmana itu berkata, “Ini memang tugas yang hanya dapat 

dilakukan oleh para bijaksana seperti kita.” Mereka meninggalkan 

desa dan mendiskusikan tujuan perjalanan mereka. lalu   

mereka sepakat, “Di dunia ini, Negeri Magadha yaitu   tempat 

tinggal para perempuan cantik. Marilah kita pergi ke Tanah Madda.” 

Maka mereka pergi ke Kota Sàgala yang terletak di negeri itu. sesudah   

meletakkan patung itu di dekat pemandian kota itu, mereka melihat 

dari tempat yang agak jauh.

Pada saat itu, seorang pelayan perempuan Bhaddàkàpilànã, 

putri si brahmana kaya, sedang memandikannya dan meriasnya 

dengan perhiasan, lalu   meninggalkannya di dalam kamar 

mewahnya sebelum pergi ke tempat pemandian. Melihat patung 

itu, ia berpikir, “Majikanku telah datang mendahuluiku!” lalu   

ia memarahinya dan menggerutu, “Hei! Gadis nakal! Mengapa 

engkau di sini sendirian?” Sewaktu ia berkata “Cepat pulang!” 

ia mengangkat tangannya untuk memukul nonanya. saat   ia 

memukul punggung patung itu, seluruh telapak tangannya sakit 

seolah-olah memukul sebuah batu. Si pelayan perempuan itu 

melangkah mundur dan berkata dengan kasar, “Oh! Perempuan 

ini begitu jelek dan berleher tebal, bagaimana mungkin aku keliru 

2508


menganggapnya sebagai nonaku! Ia bahkan tidak layak untuk 

memegang baju nonaku!”

lalu   delapan brahmana itu mengelilingi pelayan itu, 

bertanya, “Apakah nonamu secantik ini?” “Apakah yang cantik 

dari perempuan ini? Nona kami seratus kali atau seribu kali lebih 

cantik daripada perempuan ini,” jawab pelayan itu, “Jika ia duduk 

dalam ruangan seluas dua belas lengan, tidak perlu menyalakan 

lampu, kegelapan akan sirna oleh kulitnya yang cemerlang secara 

alami.” “Kalau begitu,” kata para brahmana itu, “Mari kita pergi!” 

Mereka membawa pelayan dan patung itu, mereka pergi ke rumah 

si brahmana kaya dari suku Kosiya dan berhenti di depan pintu 

untuk memberitahukan kedatangan mereka.

Sang brahmana, sebagai tuan rumah, menyambut mereka 

dengan ramah dan bertanya dari mana mereka datang. Mereka 

menjawab bahwa mereka datang dari rumah seorang brahmana 

kaya bernama Kapila dari Desa Mahàtittha di Kerajaan Magadha. 

saat   tuan rumah menanyakan tujuan kedatangan mereka, mereka 

menceritakan tujuan kunjungan mereka. “Teman-teman,” Brahmana 

Kosiya berkata, “Brahmana Kapila sederajat denganku dalam hal 

kelahiran, keturunan dan kekayaan. Aku akan menyerahkan putri 

kami sebagai pengantin.” sesudah   menjanjikan hal itu, Brahmana 

Kosiya mengambil patung ini  . Para brahmana itu lalu   

mengirim pesan kepada Brahmana Kapila, “Pengantin perempuan 

telah ditemukan. Lakukanlah apa yang harus dilakukan.”

Mendapat pesat itu, para pelayan Pippali menyampaikan pesan 

itu dengan gembira, “Tuanku, pengantin perempuan untukmu 

yang mirip patung emasmu telah ditemukan!” Tetapi Pippali 

merenungkan, “Aku pikir tidak mungkin dapat menemukannya. 

Sekarang mereka mengatakan bahwa ‘pengantin perempuan telah 

didapat!’ sebab   aku tidak menginginkannya, aku akan menulis 

surat dan mengirimkan kepadanya.” Maka ia pergi ke tempat sepi 

dan menulis sebagai berikut:

“Aku ingin agar adik perempuanku menikah dengan laki-laki yang 

tepat yang sederajat dalam hal kelahiran, keturunan, dan kekayaan. 

2509

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

Aku yaitu   seorang yang akan menjalani kehidupan sebagai petapa 

di dalam hutan. Aku tidak ingin engkau menderita nantinya.”

lalu   ia mengirimkan surat itu diam-diam kepada Bhaddà.

saat   putri si brahmana kaya, Gadis Bhaddà mengetahui berita 

bahwa orangtuanya ingin menikahkannya dengan Pemuda Pippali, 

putra seorang brahmana kaya Kapila dari Desa Mahàtittha, Negeri 

Magadha, ia juga pergi ke tempat sepi dan menulis surat sebagai 

berikut:

“Aku ingin agar kakak laki-lakiku menikah dengan perempuan yang 

tepat yang sederajat dalam hal kelahiran, keturunan, dan kekayaan. 

Aku yaitu   seorang yang akan menjalani kehidupan sebagai petapa 

perempuan. Aku tidak ingin engkau menderita nantinya.”

Ia mengirimkan surat itu diam-diam kepada Pippali.

saat   kedua utusan itu bertemu di tengah perjalanan mereka, 

utusan Bhaddà bertanya, “Dari siapakah surat yang engkau bawa, 

teman, dan kepada siapakah ditujukan?” Utusan Pippali menjawab 

dengan jujur, “Surat ini dikirim oleh majikan kami Pippali ditujukan 

kepada Bhaddà.” Ia juga balik bertanya, “Dari siapakah surat yang 

engkau bawa dan kepada siapakah ditujukan?” Utusan Bhaddà 

memberi   jawaban langsung, “Dari nona kami untuk Pippali.”

Kedua utusan itu sepakat untuk membuka dan membaca surat itu, 

mereka heran mengetahui besarnya makna spiritual dari kedua 

surat itu dan berkata, “Lihatlah apa yang dilakukan oleh pengantin 

laki-laki dan pengantin perempuan!” lalu   mereka sepakat 

merobek kedua surat itu dan membuangnya di hutan. Mereka juga 

menulis dua surat baru yang mengungkapkan tentang kesepakatan 

dan kegembiraan bersama dan mengirimkannya ke alamat masing-

masing. Demikianlah, akhirnya tiba hari pernikahan antara Pippali, 

putra seorang pedagang kaya, dan Bhaddà, putri seorang pedagang 

kaya lainnya, meskipun mereka tidak menyukai kehidupan rumah 

tangga.

2510


Karangan Bunga yang Tidak Layu

Pada hari pernikahan mereka, masing-masing dari mereka 

membawa karangan bunga; mereka meletakkannya di tengah-

tengah ranjang mereka. sesudah   makan malam, mereka berdua 

bersama-sama masuk ke kamar dan naik ke atas ranjang, Pippali 

di sebelah kanan dan Bhaddà di sebelah kiri. Mereka sepakat, 

“Pihak, yang karangan bunganya layu, dianggap mempunyai 

pikiran bernafsu. Dan karangan bunga itu harus dibiarkan begitu, 

tidak boleh diusik.” Mereka berdua tidak dapat tidur sepanjang 

tiga jaga malam itu khawatir salah satu akan secara tidak sengaja 

menyentuh yang lainnya. Karangan bunga itu tetap tidak menjadi 

layu. Pada siang hari mereka bersikap bagaikan kakak-adik tanpa 

memperlihatkan senyum kegembiraan.

Kehidupan yang Kaya Raya

Kedua pasangan kaya itu menjaga diri mereka menjauhi kenikmatan 

indria (lokàmisa) dan keduanya tidak memedulikan urusan rumah 

tangga mereka; hanya sesudah   orangtua mereka meninggal dunia, 

baru mereka melakukan urusan-urusan rumah tangga. Kekayaan 

Pippali sangat besar; emas dan peraknya bernilai delapan puluh 

tujuh crore. Bahkan debu-debu emas yang ia buang setiap hari 

sesudah   memakai  nya untuk menggosok tubuhnya banyaknya 

dua belas cangkir Magadha (sama dengan enam pattha) jika 

dikumpulkan. Ia memiliki enam puluh bendungan mekanis. Luas 

pertaniannya yaitu   dua belas yojanà. Ia memiliki empat belas desa 

besar sebagai tempat tinggal para pekerja dan pelayannya, empat 

belas divisi pasukan gajah, empat belas divisi pasukan berjalan kaki, 

dan empat belas divisi pasukan kereta.

Perasaan Spiritual Pippali dan Istrinya

Suatu hari si orang kaya Pippali pergi ke pertaniannya dengan 

menunggangi kuda dan saat berhenti di batas pertaniannya, ia 

melihat burung-burung gagak dan burung lainnya sedang mematuk 

cacing tanah dan serangga dan memakannya. Ia bertanya kepada 

pelayannya apa yang dimakan oleh burung-burung itu dan 

2511

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

pelayannya menjawab bahwa burung-burung itu memakan cacing 

tanah dan serangga. Ia bertanya lagi, “Siapakah yang bertanggung 

jawab atas kejahatan burung-burung itu?” “sebab   tanah ini 

diolah untukmu, Tuanku, engkaulah yang bertanggung jawab 

atas perbuatan-perbuatan jahat itu,” jawab pelayan itu. Jawaban 

itu membangkitkan perasaan spiritual Pippali, membuatnya 

merenungkan dalam-dalam, “Jika aku yang bertanggung jawab 

atas perbuatan jahat yang dilakukan oleh burung-burung itu, 

apalah gunanya emas dan perak milikku yang bernilai delapan 

puluh tujuh crore. Sesungguhnya tidak berguna sama sekali! Juga 

tidak ada gunanya kekayaanku seperti pertanian seluas dua belas 

yojanà, enam puluh bendungan mekanis dan empat belas desa besar 

tempat tinggal para pekerjaku. Sesungguhnya tidak ada gunanya 

sama sekali! sebab   itu aku akan menyerahkan semua kekayaan 

ini kepada istriku Bhaddàkàpilànã dan melepaskan keduniawian 

menjadi seorang bhikkhu!”

Pada waktu itu, istrinya Bhaddàkàpilànã menjemur tiga kendi biji 

wijen yang ditebarkan di atas alas dan dijemur di sinar matahari. Saat 

duduk dikelilingi oleh para pelayannya, ia melihat burung-burung 

sedang mematuk dan memakan ulat wijen. saat   ia bertanya kepada 

para pelayannya ia mengetahui apa yang sedang dimakan oleh 

burung-burung itu. Pertanyaan selanjutnya memberitahunya bahwa 

ialah yang bertanggung jawab atas perbuatan jahat yang dilakukan 

oleh burung-burung itu sebab   pekerjaan itu dilakukan untuknya. 

Ia juga merenungkan dalam-dalam, “Oh, sudah cukup bagiku 

jika aku hanya memiliki kain selebar empat lengan untuk dipakai 

dan secangkir nasi untuk dimakan. (Aku tidak akan mengenakan 

pakaian yang lebarnya lebih dari empat lengan; juga tidak akan 

memakan nasi lebih dari secangkir.) Jika aku bertanggung jawab 

atas kejahatan yang dilakukan oleh makhluk lain, aku tentu tidak 

akan dapat mengangkat diriku dari saÿsàra, lingkaran penderitaan, 

bahkan sesudah   seribu kelahiran. Saat suamiku pulang, aku akan 

menyerahkan semua kekayaanku kepadanya dan meninggalkan 

kehidupan rumah tangga untuk menjadi petapa.”

2512


Pasangan Itu Melepaskan Keduniawian

Si orang kaya Pippali pulang ke rumah dan mandi, lalu   ia 

naik ke teras atas dan duduk di tempat duduk yang tinggi yang 

layak diduduki oleh pribadi mulia. lalu   sebuah pesta yang 

layak bagi seorang raja dunia diadakan untuk sang pedagang. Si 

orang kaya Pippali dan istrinya Bhaddàkàpilànã makan, dan saat   

para pelayan sudah pergi, mereka masuk ke kamar dan berbaring 

dengan nyaman.

Selanjutnya terjadi diskusi antara mereka berdua sebagai berikut:

Pippali, “Bhaddà, saat engkau datang ke rumah ini, berapa banyak 

kekayaan yang engkau bawa?”

Bhaddà, “Aku membawa kekayaanku dengan lima puluh lima ribu 

kereta.”

Pippali, “Kekayaan yang engkau bawa dan kekayaan yang ada 

di rumah ini, harta bernilai delapan puluh tujuh crore, enam 

puluh bendungan mekanis, dan lain-lain, semuanya kuserahkan 

kepadamu.”

Bhaddà, “Oh, tetapi, ke manakah engkau akan pergi?”

Pippali, “Aku akan pergi menjadi petapa.”

Bhaddà, “Oh, Tuan, aku menunggu kepulanganmu untuk 

mengatakan bahwa aku juga akan menjadi petapa perempuan.”

Kepada kedua individu ini yang memiliki Pàramã, tiga alam 

kehidupan seperti alam kenikmatan indria (kàma), alam bentuk 

(rÃ¥pa), dan alam tanpa bentuk (arÃ¥pa) bagaikan tiga gubuk daun 

yang terbakar oleh api. Kedua individu Pàramã ini, lalu   

membeli mangkuk dan jubah dari pasar dan saling mencukur 

rambut pasangannya. Berkata, “Kami mempersembahkan perbuatan 

melepaskan keduniawian yang kami lakukan kepada para Arahanta 

mulia.” Mereka turun dari teras atas dengan membawa tas mereka 

2513

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

yang berisi mangkuk, menggantung di bahu kiri mereka. Tidak 

seorang pun dari para pelayan dan pekerja yang ada di rumah, 

laki-laki atau perempuan, yang mengenali kedua pencari Pàramã 

ini  .

lalu   pasangan ini meninggalkan Desa Brahmana Mahàtittha 

dan keluar melalui gerbang desa yang biasa dilalui oleh para 

pelayan. Mereka terlihat dan dikenali dari tingkah laku mereka, 

bahwa mereka yaitu   majikan mereka. Dengan menangis sedih 

mereka menjatuhkan diri mereka di kaki dan bertanya dengan 

sedih, “Tuan dan Nyonya, mengapa kalian membuat kami tidak 

berdaya?” Pasangan itu menjawab, “Kami menjadi petapa sebab   

kami takut akan tiga alam kehidupan yang seperti tiga gubuk yang 

terbakar. Jika kami menunggu untuk membebaskan kalian satu per 

satu, tidak akan berakhir bahkan selama seratus tahun. Cucilah 

rambut kalian dan bebaslah dari perbudakan dan hiduplah dengan 

bebas.” sesudah   mengucapkan kata-kata itu, mereka meninggalkan 

para pelayan yang masih meratap.

Saling Berpisah

Selagi ia berjalan di depan, Pippali, sang Thera mulia berpikir:

“Si cantik Therã Bhaddàkàpilànã ini, yang berharga di seluruh 

JambÃ¥dãpa, selalu mengikutiku. Akan ada alasan bagi orang 

lain untuk salah paham menganggap ‘kedua orang ini tidak 

dapat berpisah meskipun mereka telah menjadi petapa; mereka 

melakukan hal yang tidak sesuai dengan kehidupan pertapaan.’ 

Dan jika seseorang salah paham demikian, ia dapat terlahir kembali 

di alam sengsara. sebab   itu aku harus meninggalkan perempuan 

cantik Bhaddàkàpilànã Theri ini.”

Sambil berjalan terus, Thera mulia sampai pada persimpangan 

dua jalan dan berhenti di sana. Mengikutinya dari belakang, Therã 

Bhaddà berhenti juga dan berdiri dengan tangan dirangkapkan 

memberi hormat. lalu   Thera mulia itu berkata kepada Therã, 

“Therã Bhaddà, orang-orang yang melihat seorang perempuan cantik 

sepertimu mengikutiku akan mencela kita dengan anggapan keliru: 

2514


‘Kedua orang ini tidak dapat berpisah meskipun mereka menjalani 

kehidupan pertapaan’ dan sebab   itu mereka dapat terlahir kembali 

di alam sengsara. sebab   itu pilihlah jalanmu dari dua jalan ini. Aku 

akan mengambil jalan yang tidak engkau pilih.”

Therã Bhaddà menjawab, “Oh, ya, Tuan! Perempuan yaitu   noda 

bagi seorang bhikkhu. Orang-orang akan mencela kita, mengatakan 

bahwa kita tidak mampu berpisah bahkan sesudah   menjadi petapa. 

Engkau, Tuan, ikutilah satu jalan. Aku akan mengikuti jalan lainnya. 

Kita berpisah.” lalu   ia mengelilingi tiga kali, dan memberi 

hormat dengan lima jenis penghormatan di empat tempat berbeda, 

depan, belakang, kiri, dan kanan Thera. Dengan kedua tangan 

dirangkapkan, ia berkata, “Cinta dan keakraban kita yang telah 

dimulai sejak seratus kappa berakhir hari ini.” Ia menambahkan, 

“Engkau terlahir lebih mulia, maka jalan sebelah kanan baik bagimu. 

Kami para perempuan yaitu   lebih rendah, maka jalan sebelah 

kiri cocok untukku.” sesudah   berkata demikian, ia berjalan di jalan 

sebelah kiri.

Saat kedua orang mulia ini   mengambil jalan yang berbeda, 

bumi berguncang, menggelegar seolah mengatakan “Meskipun aku 

dapat menahan beban pegunungan dan Gunung Meru, aku tidak 

mampu menahan beban kemuliaan dua individu yang menakjubkan 

ini!” Di angkasa juga terdengar gemuruh halilintar. Pegunungan 

dan Gunung Meru tumbuh menjadi lebih tinggi (sebab   gempa 

bumi itu).

Berjumpa Buddha

Pada saat itu Buddha tiba di Ràjagaha sesudah   melewatkan vassa 

pertama dan (dalam tahun Beliau mencapai Pencerahan Sempurna) 

sedang berdiam di Vihàra Veëuvana. (Sebelum Beliau melakukan 

perjalanan ke Kapilavatthu.) Saat ia berada di dalam Kuñã Harum, 

Beliau mendengar gemuruh gempa bumi. Saat Beliau merenungkan 

untuk siapakah gempa bumi ini  , Beliau mengetahui, “sebab   

kekuatan kebajikan, pemuda Pippali dan gadis Bhaddàkàpilànã 

menjadi petapa sesudah   tanpa ragu meninggalkan kekayaan mereka, 

mengabdikan kehidupan mereka untuk-Ku. Gempa terjadi di 

2515

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

persimpangan jalan di mana mereka berpisah. Aku akan membantu 

mereka.” Maka Beliau keluar dari Kuñã Harum, membawa sendiri 

mangkuk dan jubah-Nya. Dan tanpa meminta satu pun dari delapan 

puluh siswa untuk menyertai-Nya, Beliau melakukan perjalanan 

sejauh tiga gàvuta untuk menyambut mereka. Beliau duduk bersila 

di bawah pohon banyan yang dikenal dengan nama Bahuputtaka 

antara Ràjagaha dan Nàlanda.

Yang aneh yaitu   bahwa Beliau tidak duduk di sana seperti 

seorang bhikkhu tidak dikenal yang sedang berlatih dhutaïga 

keras; untuk meningkatkan keyakinan Yang Mulia Mahà Kassapa 

yang belum pernah berjumpa dengannya sebelumnya, Buddha 

tidak menyembunyikan kemegahan alami yang cemerlang dengan 

tanda-tanda besar dan kecil; sebaliknya Beliau duduk di sana, 

memancarkan sinar Buddha yang gilang-gemilang dan menyinari 

hingga jarak delapan puluh lengan. Sinar yang bergulung-gulung 

yang berukuran sebesar kerimbunan daun-daunan pohon yang 

rindang, atau sebesar roda kereta atau sebesar kubah istana, 

menyerbu dari satu tempat ke tempat lain, menerangi seluruh hutan 

seolah-olah terbit seribu bulan atau seribu matahari. sebab   itu, 

seluruh hutan menjadi sangat indah dengan kemegahan tiga puluh 

dua tanda-tanda manusia luar biasa bagaikan langit yang diterangi 

oleh bintang-bintang, atau bagaikan permukaan air dengan lima 

jenis bunga teratai yang mekar berkelompok. Walaupun warna alami 

batang pohon banyan itu yaitu   putih, daunnya hijau dan daun-

daunnya yang mulai layu berwarna merah, dengan kemegahan 

tubuh Buddha, seluruh pohon banyan Bahuputtaka dengan banyak 

dahannya berwarna kuning emas pada hari itu sebab   bermandikan 

cahaya tubuh Buddha.

Thera Kassapa berpikir, “Orang Mulia ini pasti yaitu   guruku, 

Buddha. Sesungguhnya aku menjadi bhikkhu, mengabdikan 

kebhikkhuanku kepada guru ini.” Dari tempat ia berdiri dan melihat 

Buddha, Thera berjalan, membungkukkan badannya; mendekat. 

Pada seluruh tiga jarak, jauh, sedang dan dekat, ia memberi hormat 

kepada Buddha dan menerima status siswa dengan menyatakan 

tiga kali, “Satthà me Bhante Bhagavà, sàvako’hamasmi, ‘Buddha 

Yang Agung, Engkau yaitu   guruku! Aku yaitu   siswa-Mu, Yang 

2516


Mulia!”

lalu   Buddha menjawab, “Anak-Ku Kassapa, jika engkau 

memberi   penghormatan yang begitu tinggi kepada bumi ini, 

bumi ini tidak akan mampu menahannya. Bagi-Ku, yang seperti 

juga para Buddha terdahulu, telah meninggalkan penghormatan 

tinggi seperti yang engkau perlihatkan, yang mengetahui kebesaran 

kualitas-kualitas-Ku, tidak akan mampu mengguncangkan bahkan 

sehelai bulu badan-Ku. Anak-Ku Kassapa, duduklah. Aku akan 

memberi   engkau warisan.” (Ini yaitu   penjelasan dari Etadagga 

Vagga, Ekaka Nipàta dari Komentar Aïguttara dan Penjelasan Thera 

Kassapagàthà, Cattàlãsa Nipàta dari Komentar Theragàthà.)

Tetapi dalam Cãvara Sutta dari Kassapa Saÿyutta, Nidàna Vagga, 

disebutkan sebagai berikut: saat   Thera Kassapa dengan khidmat 

mengucapkan status siswanya tiga kali, Buddha berkata:

“Kassapa, jika seorang yang tidak mengenal dengan baik muridnya, 

mengucapkan ‘Aku tahu’, atau tanpa melihatnya mengatakan 

‘Aku melihatnya’, kepalanya akan jatuh, sedangkan bagi-Ku, Aku 

mengatakan ‘Aku tahu’, sebab   Aku memang mengetahuinya, 

atau Aku mengatakan ‘Aku melihatnya’ sebab   Aku memang 

melihatnya.”

(Di sini, arti dari: jika seorang guru di luar pengajaran para Buddha 

mengakui bahwa ia mengetahui atau melihat tanpa benar-benar 

mengetahui atau melihat seorang siswa yang penuh pengabdian 

dan keyakinan seperti penghormatan tinggi yang diperlihatkan oleh 

Thera Kassapa, kepala guru itu akan jatuh dari lehernya bagaikan 

buah kelapa masak yang jatuh dari tandannya. Atau kepalanya akan 

pecah menjadi tujuh keping.)

(Penjelasan lebih jauh: Jika Thera Kassapa memberi   

penghormatan, yang didorong oleh keyakinan, kepada lautan luas, 

airnya akan lenyap bagaikan tetes air yang jatuh di atas panci panas. 

Jika ia memberi   penghormatan kepada gunung di alam semesta, 

gunung itu akan pecah berkeping-keping bagaikan gumpalan 

sekam. Jika ia mengarahkannya ke Gunung Meru, gunung itu akan 

2517

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

hancur dan menjadi berantakan bagaikan segumpal adonan yang 

dipatuk oleh burung gagak. Jika ia mengarahkannya ke bumi ini, 

tanahnya akan berhamburan menjadi tumpukan debu yang tertiup 

angin. Penghormatan Thera yang begitu dahsyat tidak mampu 

mengguncang bahkan sehelai bulu halus di kaki Buddha, atau 

bahkan sehelai benang jubah yang terbuat dari kain-kain usang 

yang dikenakan oleh Yang Agung. Sungguh luar biasa kekuatan 

Buddha.)

Penahbisan Menjadi Bhikkhu Melalui Penerimaan Atas 

Nasihat Buddha

sesudah   berkata, “Anak-Ku Kassapa, duduklah. Aku akan 

memberi   warisan kepadamu,” Buddha memberi   tiga nasihat 

kepada Thera (seperti yang tertulis dalam Civara Sutta dari Kassapa 

Saÿyutta):

“Kassapa, engkau harus berlatih dengan pikiran: ‘Aku akan selalu 

berdiam dalam hirã dan ottappa dalam berhubungan dengan para 

bhikkhu yang lebih senior, atau lebih junior, atau yang memiliki 

umur yang sama.’”

“Kassapa, engkau harus berlatih dengan pikiran: ‘Aku akan 

mendengarkan semua ajaran kebaikan. Aku akan mendengarkan 

dengan penuh perhatian semua ajaran itu, dengan penuh hormat 

merenungkannya dan mengingatnya.’”

“Kassapa, engkau harus berlatih dengan pikiran: ‘Perhatian atas 

badan jasmani (kàyagatà-sati) yang disertai dengan kebahagiaan 

(sukha) tidak akan meninggalkan aku!’”

Buddha memberi   tiga nasihat ini. Thera Kassapa juga 

menerimanya dengan penuh hormat. Tiga nasihat ini merupakan 

penahbisan bagi Thera. Penahbisan dengan cara ini hanya diterima 

olah Yang Mulia Mahà Kassapa sendiri dalam masa pengajaran 

Buddha, yang dikenal sebagai ovàda-pañiggahaõa upasampadà, 

”penahbisan melalui penerimaan atas nasihat Buddha”.

2518


(Buddha menahbiskan Thera Kassapa menjadi bhikkhu dengan 

tiga nasihat ini. Nasihat pertama, “Anak-Ku Kassapa, engkau harus 

mengembangkan dua kebajikan utama hirã dan ottappa saat engkau 

bertemu dengan tiga kelompok bhikkhu, yang lebih senior dalam 

hal usia maupun penahbisan, yang lebih junior, dan yang sama 

denganmu.” Dengan nasihat pertama ini, Thera Kassapa diajarkan 

untuk melenyapkan kesombongan dalam hal kelahiran, sebab   ia 

berasal dari kasta brahmana.)

(Nasihat kedua, “Anak-Ku, sewaktu engkau mendengarkan ajaran 

suci engkau harus penuh hormat dan penuh perhatian dengan 

menjulurkan kedua telingamu, telinga kebijaksanaan dan telinga 

jasmani, dalam tiga tahap pengajaran, pada awal, pada pertengahan, 

dan pada akhir.” Dengan nasihat ini, Thera Kassapa diajarkan untuk 

melenyapkan keangkuhan yang muncul sebab   pengetahuannya 

yang luas, sebab   ia yaitu   orang yang sangat cerdas.)

(Nasihat ketiga, “Anak-Ku Kassapa, engkau harus berusaha untuk 

tidak melepaskan Jhàna Pertama dari proses batinmu, Jhàna yang 

disertai oleh perasaan bahagia (sukha vedanà) yang berasal dari 

perhatian terhadap badan jasmani (kàyagatà-sati) dan objek-

indria napas masuk dan keluar (ànàpàna àrammaõa).” Dengan 

nasihat ketiga ini, Thera diajarkan untuk melepaskan cinta diri 

dan kemelekatan atas diri sendiri (taõhà-lobha) yang berasal dari 

kepribadian yang kuat (upadhi), sebab   ia sangat tampan.)

sesudah   menahbiskan Thera Kassapa menjadi bhikkhu dengan 

memberi   nasihat di bawah pohon banyan Bahuputtaka, Buddha 

pergi dan melakukan perjalanan bersama Thera mulia sebagai 

pengikut-Nya. Buddha memiliki tiga puluh dua tanda-tanda 

makhluk luar biasa di tubuh-Nya dan terlihat megah dan agung, 

Thera Kassapa terlihat agung dengan tujuh tanda. Thera Kassapa 

mengikuti persis di belakang Buddha bagaikan sebuah perahu 

kecil yang mengikuti perahu emas besar. sesudah   menempuh jarak 

tertentu, Buddha berbelok dari jalan utama dan memberi   isyarat 

bahwa Beliau ingin duduk di bawah pohon. Mengetahui bahwa 

Guru ingin duduk, Thera melipat empat jubah luarnya (yang halus) 

dan menghamparkannya dan berkata, “Buddha Yang Agung, silakan 

2519

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

Buddha Yang Agung duduk di sini. Perbuatan Buddha duduk di 

sini akan memberi   kesejahteraan dan kebahagiaan kepadaku 

dalam waktu yang lama.”

Bertukar Jubah

sesudah   duduk beralaskan jubah luar yang dilipat empat, Buddha 

meraba tepi jubah itu dengan tangannya yang berwarna seperti 

teratai mekar dan berkata, “Anak-Ku Kassapa, jubah luarmu ini 

terbuat dari sehelai kain tua yang sangat halus!”

(‘Mengapa Buddha mengucapkan kata-kata pujian?’ Jawabannya: 

sebab   Beliau ingin bertukar jubah dengannya.

‘Mengapa Buddha ingin bertukar jubah?’ Jawabannya: sebab   Beliau 

ingin menetapkan posisi Thera sebagai pengganti Beliau.

‘Bukankah penetapan posisi itu juga diberikan kepada Sàriputta 

dan Thera Moggallàna?’ Jawabannya: Ya, mereka juga, tapi Buddha 

berpikir: ‘Mereka berdua tidak berumur panjang. Mereka akan 

mencapai Parinibbàna sebelum diri-Ku. Akan tetapi, Kassapa, akan 

hidup hingga usia seratus dua puluh tahun. Empat bulan sesudah   

Aku Parinibbàna, di dalam gua di mana tumbuh pohon sattapanni, 

ia akan mengadakan sidang (saïgàyanà) untuk membacakan dan 

menyepakati Dhamma dan Vinaya; ia akan melakukan sesuatu 

untuk Pengajaran-Ku sehingga dapat bertahan selama lima ribu 

tahun.’ Buddha juga berpendapat bahwa ‘Jika Aku menempatkannya 

di posisi-Ku, para bhikkhu akan mematuhinya.’ Demikianlah 

keinginan Buddha untuk menetapkan posisi Thera dalam posisi 

Beliau. sebab   alasan itulah Buddha ingin bertukar jubah dan sebab   

keinginan itulah Buddha memuji Mahà Kassapa.)

Jika seseorang dengan penuh kekaguman menyatakan kualitas baik 

dari mangkuk atau jubah, sudah menjadi kebiasaan bagi Thera mulia 

untuk menjawab, “Silakan terima mangkuk ini, Yang Mulia,” atau 

“Silakan terima jubah ini, Yang Mulia,” Oleh sebab   itu, mengetahui 

isyarat bahwa ‘Buddha Yang Agung ingin mengenakan jubah luarku, 

sebab   ia memuji kehalusannya,’ Thera berkata, “Buddha Yang 

2520


Agung, sudilah Yang Mulia mengenakan jubah luar ini.” “Anak-

Ku Kassapa, jubah apa yang akan engkau pakai kalau begitu?” 

Buddha bertanya. “Jika aku boleh memiliki jubah yang Engkau 

pakai, aku akan memakainya,” jawab Thera. lalu   Buddha 

berkata, “Anak-Ku Kassapa, dapatkah engkau melakukan hal itu? 

Jubah ini yang terbuat dari potongan kain usang yang sudah sangat 

tua sebab   telah lama Kupakai. Sesungguhnya, saat Aku memungut 

kain itu, pada hari itu terjadi gempa bumi yang berguncang hingga 

ke bawah batas air. Mereka yang kurang mulia tidak akan mampu 

mengenakan jubah usang ini. Hanya mereka yang selalu berdiam 

di dalam praktik Dhamma dan mereka yang secara alami memiliki 

kemuliaan itu yang layak memakainya.” sesudah   berkata demikian 

Buddha menyerahkan jubah-Nya kepada Thera Kassapa. sesudah   

bertukar jubah, Buddha memakai jubah Thera dan Thera memakai 

jubah Buddha. Pada waktu itu terjadi gempa bumi dahsyat yang 

berguncang hingga ke bawah batas air seolah-olah mengatakan, 

“Buddha Yang Agung, Engkau telah melakukan suatu hal yang 

sangat sulit dilakukan. Tidak pernah ada sebelumnya seorang 

Buddha menyerahkan jubah-Nya kepada siswa-Nya. Aku tidak 

dapat menahan kemuliaan-Mu.”

(c) Pencapaian spiritualitas dan gelar Etadagga

Pada Yang Mulia Thera Kassapa, tidak pernah ada keangkuhan 

muncul dalam dirinya sebab   mendapatkan jubah Buddha; ia 

tidak pernah berpikir, “Sekarang aku mendapatkan jubah yang 

sebelumnya digunakan oleh Buddha; aku tidak perlu lagi berusaha 

untuk mencapai Jalan dan Buah yang lebih tinggi.” Sebaliknya, ia 

bertekad untuk melatih tiga belas praktik keras (dhutaïga) dengan 

gembira seperti yang diajarkan oleh Buddha. sebab   ia berusaha 

keras dalam mengembangkan praktik Dhamma pertapaan, hanya 

tujuh hari ia menjadi seorang awam dan pada hari kedelapan, 

saat dini hari, ia mencapai Kearahattaan lengkap dengan empat 

Pengetahuan Analitis (Pañisambhidà-Magga ¥Ã Ãµa).

Dengan Thera ini sebagai teladan, Buddha membabarkan banyak 

khotbah seperti yang terdapat dalam Nidànavagga Kassapa 

Saÿyutta.

2521

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

Buddha memuji Thera dalam banyak sutta seperti Cand’Ã¥pama-

Sutta, di mana Buddha mengatakan, “Kassapo bhikkhave 

candÃ¥pamo kulàni upasaïkamati” “Para bhikkhu, Thera Kassapa 

mendekati penyumbangnya yang terdiri dari empat golongan 

dengan mengendalikan perbuatan, perkataan, dan pikirannya 

bagaikan bulan, yaitu, dengan terbebas dari perbuatan, ucapan, dan 

pikiran yang kasar, ia mendekati penyumbangnya.” Selanjutnya 

Buddha menganugerahkan gelar Etadagga dengan memuji praktik 

dhutaïga Thera mulia seperti tertulis dalam Kassapa Saÿyutta 

dengan ucapan:

“Etadaggaÿ bhikkhave mama sàvakànaÿ bhikkhÃ¥naÿ 

dhutavàdànaÿ yadidam Mahàkassapo.”

“Para bhikkhu, di antara para bhikkhu siswa-Ku, yang mempraktikkan 

dan menasihati yang lainnya untuk mempraktikkan dhutaïga yang 

mulia yang meruntuhkan kotoran moral (kilesa), Thera Kassapa 

yaitu   yang terbaik.”

Demikianlah kisah Thera Kassapa

(5) Thera Anuruddhà

(a) Cita-cita masa lampau

Seratus ribu kappa yang lalu, pada masa kehidupan Buddha 

Padumuttara, bakal Thera Anuruddhà hanyalah seorang perumah 

tangga yang tidak terkenal. Suatu sore, ia bersama-sama dengan 

banyak orang pergi ke vihàra untuk mendengarkan Dhamma. 

sesudah   dengan hormat bersujud kepada Buddha, ia berdiri 

di belakang para pendengar lainnya, memerhatikan khotbah 

Buddha. sesudah   membabarkan khotbah secara berurutan, Buddha 

mengumumkan seorang bhikkhu yang terunggul dalam mencapai 

kekuatan batin mata-dewa (Dibbacakkhu-Abhi¤¤Ã ).

lalu   si perumah tangga itu berpikir, “Bhikkhu ini dikatakan 

oleh Buddha sendiri sebagai yang terunggul dalam pencapaian 

2522


kekuatan batin mata-dewa. sebab   itu ia pasti sungguh sakti. 

Baik sekali jika aku bisa menjadi yang terbaik dalam mencapai 

mata-dewa dalam masa pengajaran Buddha mendatang.” Dengan 

pikiran demikian, ia berjalan melewati para pendengar lainnya 

dan mengundang Buddha serta Saÿgha. Keesokan harinya, ia 

mengadakan Ritual   persembahan besar kepada Saÿgha yang 

dipimpin oleh Buddha.

Berpikir bahwa, “Aku telah bercita-cita untuk mencapai posisi 

yang tinggi,” maka ia mengundang Buddha seperti sebelumnya 

selama beberapa hari berikutnya, dengan berkata, “Sudilah 

datang hari ini untuk menerima persembahan dariku,” “Sudilah 

datang besok untuk menerima persembahan dariku.” sesudah   

mengundang, ia mengadakan Ritual   dàna besar selama tujuh hari. 

Saat mempersembahkan jubah yang baik kepada Buddha dan para 

bhikkhu, ia mengungkapkan cita-citanya sebagai berikut:

“Buddha Yang Agung, aku memberi   persembahan ini tidak 

untuk mendapatkan kemewahan surgawi. Juga bukan untuk 

menikmati kenikmatan di alam manusia. Tujuh hari yang lalu 

Engkau menetapkan seorang bhikkhu sebagai yang terbaik dalam 

hal pencapaian mata-dewa. Aku bercita-cita untuk menjadi yang 

terbaik dalam hal kekuatan yang sama dalam masa pengajaran 

Buddha pada masa depan.”

sesudah   mengungkapkan cita-citanya, si perumah tangga 

menjatuhkan diri di kaki Buddha. saat   Buddha melihat ke masa 

depan, ia mengetahui bahwa cita-cita si perumah tangga akan 

tercapai, maka Beliau mengucapkan ramalan, “Penyumbang, 

pada akhir seratus ribu kappa mendatang, Buddha Gotama akan 

muncul. Dalam masa pengajaran Buddha itu, engkau yang saat itu 

bernama Anuruddhà, akan menjadi yang terbaik dalam mencapai 

kekuatan batin mata-dewa.” sesudah   mengucapkan ramalan, Buddha 

membabarkan khotbah penghargaan atas persembahan makanan 

lalu   pulang ke vihàra.

Si perumah tangga melakukan banyak kebajikan pada masa Buddha 

Padumuttara masih hidup dan sesudah   Beliau mencapai Parinibbàna, 

2523

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

ia membangun sebuah pagoda yang tingginya tujuh yojanà dan 

bertanya kepada Saÿgha, “Yang Mulia, kebajikan apakah yang dapat 

menunjang pencapaian kekuatan batin mata-dewa?” “Penyumbang,” 

jawab para bhikkhu, “Persembahan pelita harus dilakukan.” 

lalu   ia membuat seribu pohon-pohon besar, masing-masing 

terdiri dari seribu obor; di luar barisan seribu pohon itu, terdapat 

lagi barisan seribu pohon-pohon kecil. Demikianlah ribuan pohon 

obor dipersembahkan. Persembahan pelita dalam bentuk lainnya 

tidak terhitung banyaknya.

Persembahan Pelita di Cetiya Buddha Kassapa

sesudah   melakukan banyak kebajikan seumur hidupnya, si perumah 

tangga, bakal Anuruddhà, mengembara di alam dewa dan manusia 

silih berganti. saat   seratus ribu kappa berlalu dan masa itu 

yaitu   masa kehidupan Buddha Kassapa dalam bhadda kappa 

ini, ia terlahir kembali sebagai seorang perumah tangga di Kota 

Bàràõasã dan sesudah   Buddha Parinibbàna, ia membangun sebuah 

cetiya setinggi satu yojanà; dan membuat cangkir-cangkir emas yang 

tidak terhitung banyaknya, masing-masing cangkir diisi dengan 

minyak mentega dan di tengah-tengah cangkir ia meletakkan 

segumpal gula merah dan menyalakannya. Ia juga menyalakan 

cangkir-cangkir emas di sekeliling cetiya, dengan cangkir-cangkir 

yang tersusun saling bersentuhan, untuk dirinya ia membuat 

sebuah kendi besar dari emas dan mengisinya dengan mentega. 

Seribu sumbu diletakkan di sekeliling mulut kendi besar itu. Untuk 

sumbu bagian tengah, ia memakai   sepotong kain yang dipilin 

dan lalu   menyalakannya. Sambil memegang kendi seribu 

pelita itu di atas kepalanya, ia mengelilingi cetiya itu selama tiga 

jaga malam itu. Dalam kehidupan itu juga ia melakukan kebajikan 

seumur hidupnya, dan saat meninggal dunia, ia terlahir kembali 

di alam dewa.

Kehidupan Sebagai Annabhàra

Sebelum munculnya Buddha kita, ia terlahir kembali dalam sebuah 

keluarga miskin di Bàràõasã dan hidup bergantung pada seorang 

pedagang kaya bernama Sumanà. Nama si orang miskin ini   

2524


yaitu   Annabhàra. Si pedagang Sumanà memberi   persembahan 

berlimpah di gerbang rumahnya kepada kaum miskin, para 

pengembara, dan pengemis.

Suatu hari, seorang Pacceka Buddha bernama Upariññha berdiam 

dalam Nirodha- Samàpatti di Gunung Gandhamàdana, dan saat 

bangun dari Jhàna itu, ia merenungkan, “Siapakah yang akan 

kubantu hari ini?” Para Pacceka Buddha memiliki sifat baik secara 

alami kepada kaum miskin. sebab   itu Pacceka Buddha Upariññha 

memutuskan untuk membantu si miskin Annabhàra pada hari 

itu. Mengetahui bahwa orang itu segera akan kembali dari hutan, 

Pacceka Buddha melayang ke angkasa membawa mangkuk dan 

jubahnya, terbang dari Gunung Gandhamàdana dan berdiri tepat 

di depan Annabhàra di gerbang desa.

Melihat Pacceka Buddha membawa sebuah mangkuk kosong, 

ia memberi hormat dan bertanya, “Yang Mulia, apakah engkau 

mencari makanan?” saat   Pacceka Buddha memberi   jawaban 

positif, Annabhàra berkata, “Mohon tunggu sebentar,” dan bergegas 

pulang ke rumahnya dan bertanya kepada istrinya, “O istriku, 

apakah masih ada makanan yang engkau persiapkan untukku? 

Ataukah tidak ada?” saat   istri memberi   jawaban ya, ia kembali 

ke Pacceka Buddha dan mengambil mangkuknya. Sesampainya 

di rumah, ia berkata kepada istrinya, “Istriku, sebab   kita tidak 

melakukan kebajikan pada masa lampau, sekarang kita harus selalu 

kekurangan makanan. Meskipun kita ingin memberi, namun tidak 

ada apa pun yang dapat kita berikan. Dan saat   kita memiliki 

sesuatu yang dapat diberikan, tidak ada yang layak menerimanya. 

Hari ini aku bertemu dengan Pacceka Buddha Upariññha. Dan juga 

ada bagian makanan untukku. Masukkan makanan itu ke dalam 

mangkuk ini.”

Sang istri yang cerdas itu berpikir, “Suamiku memberi   makanan 

kepada Pacceka Buddha, aku juga harus melakukan hal yang 

sama untuk menanam jasa.” Maka ia juga memasukkan bagian 

makanan miliknya ke dalam mangkuk dan menyerahkannya kepada 

Pacceka Buddha. Sang suami mengungkapkan keinginannya, 

“Yang Mulia, semoga kami terbebas dari kesusahan dalam hidup,” 

2525

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

Pacceka Buddha menjawab, “Engkau, penyumbang, yang telah 

berjasa besar! Semoga keinginanmu terpenuhi!” Annabhàra 

menghamparkan jubah luarnya dan berkata, “Silakan duduk di 

sini, Yang Mulia, dan makanlah makananmu.” sesudah   duduk di 

alas yang dihamparkan oleh Annabhàra, Pacceka Buddha memakan 

makanannya, merenungkan sembilan hal yang menjijikkan, yaitu, 

1. gamana, mengumpulkan dàna makanan; 2. pariyesana, mencari 

persembahan; 3. paribhoga, memakan; 4. àsaya, kotoran yang keluar 

dari tubuh seperti dahak, empedu, darah, dan nanah; 5. nidhàta, 

lambung yang berisi makanan yang baru dimakan; 6. aparipakka, 

makanan yang tidak tercerna; 7. paripakka, makanan yang telah 

dicerna; 8. phala dan nissanda, hasil dan aliran yang mengalir dari 

berbagai bagian (tubuh), dan 9. makkhana, kotoran.

(Jika phala dan nissanda dianggap terpisah, maka jumlahnya menjadi 

sepuluh. Merenungkan sembilan atau sepuluh hal menjijikkan 

ini, juga disebutkan dalam penjelasan âhàrepañikÃ¥la sa¤¤Ã  dari 

Visuddhimagga secara umum, dan pada bagian yang sama dalam 

Paramattha-sarÃ¥pabhedanã, yang ditulis oleh Mahàvisuddhàràma 

Sayadaw, secara khusus.) sesudah   Pacceka Buddha selesai makan, 

Annabhàra mempersembahkan air untuk mencuci mangkuk. 

sesudah   menyelesaikan urusan makan, Pacceka Buddha Upariññha 

memberi   berkah sebagai penghargaan atas makanan itu:

Icchitaÿ patthitaÿ tuyhaÿ, sabbameva samijjhatu. 

Sabbe pårentu saïkappà, cando pannaraso yathà.

 

“Semoga semua keinginanmu terpenuhi. Bagaikan bulan purnama 

yang terang benderang dan bundar, demikian pula semoga semua 

rencanamu berhasil!”

sesudah   mengucapkan hal itu, Pacceka Buddha melanjutkan 

perjalanannya.

Sorakan Seorang Dewi

Pada saat itu, dewi penjaga payung (Ritual  ) milik pedagang 

Sumanà bersorak tiga kali dengan mengucapkan kata-kata 

2526


kegembiraan, “Ahodànaÿ paramadànaÿ, Upariññhe supatiññhitaÿ”, 

“Oh, sebuah pemberian istimewa telah diberikan kepada Pacceka 

Buddha Upariññha!,” si pedagang bertanya, “Hei, Dewi!, tidakkah 

engkau melihat aku memberi   persembahan sejak lama?” “O 

pedagang,” jawab dewi ini  , “Aku tidak menyoraki persembahan 

yang engkau lakukan, aku bersorak untuk Annabhàra si miskin 

sebab   aku sangat gembira dengan perbuatannya.” lalu   si 

pedagang berpikir, “Ini sungguh menakjubkan! Meskipun aku 

telah memberi   persembahan sejak lama, aku tidak mampu 

menyebabkan para dewi bersorak. Tetapi si miskin Annabhàra 

mampu, meskipun ia bergantung padaku, dengan memberi   

persembahan hanya sekali saat ia berjumpa dengan penerima yang 

tepat. Aku harus mendapatkan makanan persembahannya dengan 

memberi   sesuatu yang layak.” Maka, ia memanggil Annabhàra 

dan bertanya, “Apakah engkau memberi   sesuatu kepada 

seseorang hari ini?” “Ya,” jawab orang itu, “Aku memberi   

makananku kepada Pacceka Buddha Upariññha.” “Ambillah ini, 

Annabhàra, ambilah yang ini dan berikan makanan itu kepadaku,” 

si pedagang memohon.

saat   orang itu menolak, dengan berkata, “Saya tidak dapat 

melakukannya, Tuan,” Sumanà si pedagang meningkatkan 

penawarannya hingga seribu keping uang. Annabhàra tetap 

tegas menolak, berkata, “Bahkan untuk seribu keping uang, aku 

tidak akan menyerahkannya.” lalu   Sumanà menghentikan 

usahanya untuk membeli tetapi ia memohon, “Sahabat Annabhàra, 

jika engkau tidak dapat menyerahkannya kepadaku, baiklah. 

Terimalah seribu keping uang ini dan limpahkan jasamu kepadaku!” 

“Aku tidak tahu apakah aku akan melimpahkan jasa kepadamu. 

Aku akan menanyakannya kepada Pacceka Buddha Upariññha dan 

aku akan melimpahkan jasa jika dinasihatkan demikian.” sesudah   

berkata demikian, ia bergegas mengejar si Pacceka Buddha dan 

bertanya, “Yang Mulia, si pedagang Sumanà memberi   seribu 

keping uang untukku dan mengharapkan limpahan jasa dariku 

yang kuperolah dengan mempersembahkan makanan kepadamu. 

Apakah aku harus melimpahkan ataukah tidak?” lalu   

Paccekat Buddha berkata:

2527

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

“Orang bijaksana, aku akan memberi   sebuah perumpamaan: 

Misalkan hanya ada rumahmu yang memiliki lampu yang menyala 

dalam sebuah desa yang berisi seratus rumah tangga. Jika sembilan 

puluh sembilan perumah tangga datang dengan lampu mereka yang 

padam dan menyalakan lampu mereka dengan api yang berasal 

dari lampu di rumahmu itu, apakah lampu di rumahmu itu tetap 

seperti semula ataukah menjadi lebih redup?”

“Lampu itu tidak akan redup, Yang Mulia. Bahkan cahaya akan 

lebih terang dari sebelumnya,” jawab orang itu. lalu   Pacceka 

Buddha menjelaskan:

“Demikian pula, orang bijaksana, jika seseorang melimpahkan jasa 

yang ia kumpulkan dari persembahan makanan, apakah sesendok 

kecil atau sesendok besar, apakah ia melimpahkannya kepada 

seratus orang atau seribu orang, jasanya akan semakin bertambah 

dan menjadi lebih besar sesuai jumlah orang yang menerima jasa 

ini  . Sekarang engkau telah mempersembahkan satu kali 

makan. Jika engkau melimpahkan jasa kepadanya, maka yang 

terjadi yaitu   dua perbuatan mempersembahkan makanan.” Satu 

yaitu   milikmu (yang asli), dan satu lagi yaitu   milik Sumanà (yang 

merupakan tambahan).

Terbebas dari keraguan dan terinspirasi oleh nasihat ini  , 

Annabhàra bersujud dengan hormat dan kembali ke majikannya. 

Ia dengan gembira melimpahkan jasanya dengan berkata, “Tuan, 

terimalah jasa dari jasa yang kuhasilkan dengan mempersembahkan 

makanan.” lalu   terjadi percakapan antara si pedagang kaya 

Sumanà dan si miskin Annabhàra:

Pedagang, “Baiklah, sahabat, ambillah seribu keping uang ini.”

Anna, “Tuan, aku tidak menjual persembahan makanan. 

Sesungguhnya, aku dengan gembira melimpahkan jasaku 

kepadamu.”

Pedagang, “Sahabat, engkau dengan gembira melimpahkan jasamu 

kepadaku. Dan di pihakku, aku memberi   seribu keping uang 

2528


sebagai penghormatan atas kebajikanmu. Terimalah sahabat.”

Didesak demikian, Annabhàra menerima uang itu, dengan berkata, 

“Baiklah, tuan.” Selanjutnya Sumanà berkata, “Sahabat, sejak saat 

engkau menerima uang itu, engkau tidak perlu lagi bekerja dengan 

kedua tanganmu. (Engkau bukan lagi seorang pekerja kasar.) 

bangunlah sebuah rumah untukmu di jalan utama. Aku akan 

menyediakan semua bahan yang engkau perlukan. Ambillah dari 

rumahku.” Demikianlah si pedagang menjanjikan.

Annabhàra Menjadi Orang Kaya

Persembahan makanan kepada seorang Pacceka Buddha yang baru 

bangun dari Nirodhasamàpatti yaitu   diññhadhamma-vedanãya, 

yaitu, pemberian yang berakibat pada hari persembahan itu. sebab   

itu, pada hari itu juga, dengan kemuliaan diññhadhamma-vedanãya 

(persembahan makanan), si pedagang membawa Annabhàra 

ke istana raja yang tidak pernah ia lakukan pada hari-hari 

sebelumnya.

Setibanya di istana, berkat perbuatan baik yang dilakukan 

Annabhàra, sang raja memandang rendah si pedagang dan menatap 

Annabhàra. lalu   terjadi percakapan antara si pedagang dan 

raja sebagai berikut:

Pedagang, “Tuanku, mengapa engkau menatap orang ini?”

Raja, “sebab   aku tidak pernah melihatnya sebelumnya, 

pedagang.”

Pedagang, “Tuanku, orang ini memang layak ditatap.”

Raja, “Apakah kemuliaan yang membuatnya layak ditatap, 

pedagang?”

Pedagang, “Tuanku, ia telah mendapatkan seribu keping uang dariku 

sebab   ia tidak memakan makanannya namun memberi  nya 

kepada Pacceka Buddha Upariññha hari ini.”

2529

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

Raja, “Siapakah namanya?”

Pedagang, “Annabhàra, tuanku.”

Raja, “sebab   ia telah memiliki seribu keping uang, ia akan 

mendapatkan seribu keping uang lagi dariku. Aku juga ingin 

menghormatinya.”

Dengan berkata demikian, raja juga menghadiahkan seribu keping 

uang.

Selanjutnya raja memerintahkan orang-orangnya agar membangun 

sebuah rumah sebagai tempat tinggal Annabhàra. Saat melaksanakan 

perintah raja, orang-orang itu membersihkan lahan pembangunan, 

di setiap tempat yang mereka gali dengan cangkul, mereka 

menemukan kendi-kendi berisi emas yang bersentuhan satu dengan 

yang lainnya, kejadian itu sangat mengherankan mereka. Maka 

mereka melaporkan hal itu kepada raja. Raja memerintahkan agar 

mereka terus menggali, dan saat   mereka menggali, kendi-kendi 

itu turun semakin dalam. Orang-orang itu melaporkan hal itu 

kepada raja dan raja memerintahkan mereka untuk terus menggali 

dengan berkata, “Lakukan jangan untukku, tetapi lakukan ini atas 

perintah Annabhàra.” Orang-orang itu kembali menggali sambil 

mengucapkan “Kami melakukan ini atas perintah Annabhàra.” Di 

setiap tempat yang digali dengan cangkul, dan, kendi-kendi emas 

itu keluar dari tanah bagaikan jamur besar.

Orang-orang raja itu mengumpulkan harta emas dan perak ini   

dan menumpuknya di dekat raja. Raja mengadakan rapat dengan 

para menterinya dan bertanya, “Selain Annabhàra, siapa lagi yang 

memiliki harta yang begitu banyak di Kota Bàràõasã?” saat   para 

menteri menjawab tidak ada, raja mengeluarkan perintah, “Para 

menteri, kalau begitu, angkatlah Annabhàra menjadi pedagang 

kerajaan bergelar “Dhanaseññhi” di Kota Bàràõasã ini.” Pada hari itu 

juga, Annabhàra menjadi pedagang kerajaan yang dikenal sebagai 

Mahàdhanaseññhi, mendapatkan payung putih, lambang kekayaan, 

dari raja.

2530


(b) Kehidupan pertapaan dalam kehidupan terakhir

 

Sejak ia menjadi pedagang kerajaan, bernama Dhanaseññhi, ia banyak 

melakukan perbuatan-perbuatan baik hingga akhir hidupnya, dan 

saat meninggal dunia, ia terlahir kembali di alam dewa. Orang baik 

yang merupakan bakal Anuruddhà mengembara di alam dewa 

dan alam manusia selama kurun waktu yang sangat lama, dan 

menjelang munculnya Buddha kita, ia terlahir di dalam kerabat 

kerajaan bernama Sukkodana, seorang Pangeran Sakya. Pada hari 

pemberian nama, ia diberi nama Anuruddhà. Pangeran Anuruddhà 

yaitu   putra dari paman Buddha bernama Sukkodana dan adik 

dari Pangeran Mahànàma. Ia sangat lembut juga sangat berkuasa 

pada saat yang sama.

Buddha mengunjungi Kota Kapilavatthu untuk pertama kalinya 

dan dalam perjalanan Beliau kembali dari Kapilavatthu, Beliau 

singgah di Hutan Anupiya, Pangeran Anuruddhà datang bersama 

para pangeran, Bhaddiya, ânanda, Bhagu, Kimbila, Devadatta, dan 

si tukang cukur Upàli menghadap Buddha, dan mereka menjadi 

bhikkhu. (Kejadian ini telah diceritakan pada bab terdahulu.)

Mencapai Kesucian Arahatta

Enam pangeran Sakya bersama dengan si tukang cukur Upàli pergi 

ke hutan Anupiya dan menjadi bhikkhu di hadapan Buddha. Dari 

ketujuh bhikkhu ini, Bhaddiya mencapai kesucian Arahatta dalam 

masa vassa itu juga. Anuruddhà mencapai kekuatan batin mata-dewa 

(dibbacakkhu); Devadatta mencapai delapan pencapaian Lokiya; 

ânanda mencapai Sotàpatti-Phala; sesudah   itu Yang Mulia Bhagu 

dan Kimbila mencapai kesucian Arahatta. Kisah dari masing-masing 

bhikkhu ini akan dijelaskan pada bagiannya masing-masing.

Yang Mulia Anuruddhà, dalam masa vassa pertamanya, ia berhasil 

mencapai delapan pencapaian sesudah   menjadi bhikkhu dan 

mengembangkan kekuatan batin dan pengetahuan yang lebih tinggi 

mata-dewa yang memungkinkannya melihat seribu alam semesta. 

Suatu hari ia mendatangi Thera Sàriputta dan berkata:

2531

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

“Sahabat Sàriputta, aku dapat melihat seribu alam semesta dengan 

mata-dewa yang sangat jernih yang mengungguli pandangan 

mata manusia biasa (1). Aku berusaha tanpa lengah; selalu penuh 

perhatian; tidak ada kegelisahan dalam diriku dan aku selalu 

tenang; pikiranku terpusat dan terkonsentrasi dengan baik (2). 

Tetapi batinku tidak mampu melepaskan kemelekatan (taõhà) dan 

pandangan salah (diññhi), dan belum terbebas dari àsava (3).”

lalu   Thera Sàriputta membabarkan khotbah kepada Thera 

Anuruddhà mengenai meditasi:

“Sahabat Anuruddhà, fakta bahwa engkau secara sadar berpikir ‘Aku 

dapat melihat seribu alam semesta dengan mata-dewa yang jernih 

yang mengungguli pandangan mata manusia biasa’ membuktikan 

bahwa engkau memiliki keangkuhan (màna) (1).”

“Sahabat Anuruddhà, fakta bahwa engkau secara sadar berpikir 

‘Aku berusaha tanpa lengah; selalu penuh perhatian; tidak ada 

kegelisahan dalam diriku dan aku selalu tenang; pikiranku terpusat 

dan terkonsentrasi dengan baik,’ membuktikan bahwa engkau 

memiliki kegelisahan (uddhacca) (2).”

“Sahabat Anuruddhà, fakta bahwa engkau secara sadar berpikir 

‘Tetapi batinku tidak mampu melepaskan kemelekatan dan 

pandangan salah dan belum terbebas dari àsava’ membuktikan 

bahwa engkau memiliki keraguan dan kekhawatiran’ (saÿsaya-

kukkucca) (3).”

“Oleh sebab   itu aku ingin menasihati engkau sebagai berikut: 

‘Lepaskanlah tiga hal ini (keangkuhan, kegelisahan, dan keraguan) 

yang sedang berkembang dalam batinmu. Tanpa memedulikan hal-

hal ini, arahkanlah batinmu ke arah keabadian (Nibbàna)!”

sesudah   memelajari meditasi, Thera Anuruddhà pergi ke Negeri Ceti 

sesudah   meminta izin dari Buddha. Menetap di hutan bambu sebelah 

timur di negeri itu, ia mempraktikkan pertapaan: selama lima belas 

hari atau setengah bulan, ia tidak tidur melainkan hanya melatih 

meditasi dalam postur berjalan mondar-mandir. Ia menjadi sangat 

2532


lelah sebab   meditasi sehingga ia beristirahat dengan duduk di 

bawah rumpun bambu. Sewaktu duduk, pikiran besar dari seorang 

manusia besar (Mahàpurisa vitakka) muncul dalam pikirannya 

sebagai berikut:

(1) Sembilan Dhamma Lokuttara hanya dapat dicapai oleh ia 

yang memiliki sedikit keinginan (yaitu, ia yang tidak memiliki 

keinginan (icchà) dan kemelekatan (taõhà), bukan seorang yang 

serakah.)

(2) Sembilan Dhamma Lokuttara hanya dapat dicapai oleh ia yang 

mudah puas, bukan oleh ia yang sulit dipuaskan.

(3) Sembilan Dhamma Lokuttara hanya dapat dicapai oleh ia yang 

tenang, bukan oleh ia yang bergembira dalam hubungan dengan 

teman-teman.

(4) Sembilan Dhamma Lokuttara hanya dapat dicapai oleh ia yang 

berusaha, bukan oleh ia yang malas.

(5) Sembilan Dhamma Lokuttara hanya dapat dicapai oleh ia 

yang penuh perhatian, bukan oleh ia yang tidak memiliki 

perhatian.

(6) Sembilan Dhamma Lokuttara hanya dapat dicapai oleh ia yang 

pikirannya terkonsentrasi, bukan oleh ia yang pikirannya tidak 

terkonsentrasi.

(7) Sembilan Dhamma Lokuttara hanya dapat dicapai oleh ia yang 

bijaksana, bukan oleh ia yang dungu.

(Catatan: Sehubungan dengan (1) Individu yang memiliki sedikit 

keinginan; ada empat jenis: (a) paccaya-appiccha, seseorang yang 

memiliki sedikit keinginan sehubungan dengan empat kebutuhan; 

(b) adhigama-appiccha, seseorang yang tidak memberitahukan 

kepada orang lain tentang pencapaiannya atas Magga dan Phala 

melainkan merahasiakannya, (c) pariyatti-appiccha, seseorang 

yang tidak memberitahukan kepada orang lain tentang apa yang 

2533

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

ia pelajari melainkan merahasiakannya, (d) dhutaïga-appiccha, 

seseorang yang tidak memberitahukan kepada orang lain tentang 

praktik keras yang ia lakukan, melainkan merahasiakannya.

Dari empat ini (a) paccaya-appiccha menerima hanya dalam jumlah 

sedikit meskipun dipersembahkan dalam jumlah banyak; jika 

dipersembahkan sedikit, ia akan menerima lebih sedikit dari apa 

yang dipersembahkan; ia tidak pernah menerima semuanya.

(b) adhigama-appiccha seperti pada kisah Thera Majjhantika. Ia 

tidak memberitahukan pencapaian spiritualnya atas Magga dan 

Phala melainkan tetap diam. (Kisah Thera Majjhantika secara 

singkat yaitu   sebagai berikut: Ia yaitu   seorang Arahanta. 

Tetapi mangkuk dan jubahnya hanya bernilai seperempat keping 

uang. Pada hari Raja Asoka mempersembahkan sebuah vihàra, ia 

memimpin sekelompok bhikkhu. Melihat mangkuk dan jubahnya 

yang tua dan usang, orang-orang beranggapan bahwa ia hanyalah 

seorang bhikkhu tua yang belum mencapai apa-apa, maka mereka 

menyuruhnya untuk menunggu di luar. lalu   ia berpikir, 

“Jika seorang Arahanta sepertiku tidak memberi   sesuatu demi 

kesejahteraan raja, siapa lagi yang akan melakukannya?” Dengan 

pikiran demikian ia sesaat   masuk ke dalam tanah dan menerima 

bagian pertama dàna makanan yang dipersiapkan untuk pemimpin 

para bhikkhu. Makanan itu dipersembahkan dengan hormat 

kepadanya. lalu   ia muncul kembali ke tempat semula selagi 

yang lain tidak memerhatikan. Demikianlah, Thera tidak ingin orang 

lain mengetahui bahwa ia yaitu   seorang Arahanta.) 

(c) Individu pariyatti-appiccha tidak ingin mengungkapkan kepada 

orang lain tentang pengetahuannya akan kitab-kitab suci meskipun 

ia menguasai Tiga Piñaka. Individu ini seperti Thera Tissa, seorang 

warga Sàketa. Kisah Thera Tissa secara singkat yaitu   sebagai 

berikut:

Sang Thera diminta oleh para bhikkhu lain untuk mengajarkan 

kitab suci dan komentarnya kepada mereka. Tetapi ia menolak 

permohonan mereka, dengan alasan bahwa ia tidak mempunyai 

waktu untuk melakukannya. lalu   para bhikkhu berkata 

2534


kepadanya dengan nada mencela, “Apakah engkau juga 

tidak mempunyai waktu untuk mati?” Maka ia meninggalkan 

para pengikutnya dan tempat tinggalnya, ia pergi ke Vihàra 

Kaõikàravàlika Samudda; ia menetap di sana selama masa vassa 

tiga bulan (seperti seorang bhikkhu yang tidak dikenal dan tidak 

terpelajar). Ia memenuhi tugas-tugasnya terhadap para bhikkhu 

lainnya baik senior, junior ataupun sama dengannya. Pada hari 

purnama di bulan Assayuja (September-Oktober), saat pertemuan 

Mahàpavàraõà Uposatha, ia membabarkan Dhamma, yang membuat 

para pendengarnya bersorak dan melemparkan penutup kepala 

mereka ke atas. Demikianlah ia menciptakan kegemparan pada para 

pendengar. Agar orang-orang tidak mengetahui (“Inilah dia yang 

membabarkan Dhamma kemarin malam.” Ia diam-diam kembali 

ke tempat tinggalnya semula, sebab   ia yaitu   individu berjenis 

pariyatti-appiccha.

(d) dhutaïga-appiccha tidak ingin memberitahukan orang lain 

tentang praktik kerasnya. Ia seperti seorang kakak dari dua 

bersaudara.

(Kisah singkat dua bersaudara itu yaitu   sebagai berikut: Dua 

bhikkhu bersaudara menetap di sebuah Bukit Cetiya. Si adik 

mendatangi kakaknya dengan membawa sebatang tebu yang 

dipersembahkan oleh seorang penyumbang untuk kakak. “Silakan 

makan ini, Yang Mulia,” kata si adik. sebab   ia telah selesai makan 

dan mencuci mulutnya, ia berkata, “Cukup, Dik.” “Mengapa?,” tanya 

si adik, “Apakah engkau menjalani ekasanika dhutaõga (latihan 

keras makan satu kali sehari)?” lalu   kakak meminta adiknya 

untuk mengambilkan tebu itu. Walaupun ia telah menjalani praktik 

itu selama lima puluh tahun, ia tetap memakan tebu itu sebab   tidak 

ingin adiknya mengetahui praktik yang ia jalankan. sesudah   itu ia 

mencuci mulutnya dan mengulangi sumpahnya.

(Penjelasan ini tentang empat jenis individu appiccha dikutip dari 

Komentar Aïguttara Nikàya Vol. 3 dan kisah-kisahnya bersumber 

dari Komentar Majjhima Nikàya Vol. 2. Penjelasan lebih lanjut dapat 

dibaca dalam komentar-komentar ini, jika diperlukan.)

2535

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

Pada waktu itu Yang Mulia Anuruddhà sedang berkutat dengan 

tujuh pikiran dari seorang manusia luar biasa (Mahàpurãsa vitakka), 

Buddha masih berada di hutan lindung Bhesakaëà, di dekat Kota 

Susumàragira di Negeri Bhagga. Hutan itu terletak di sebelah barat 

Hutan Bambu di mana Thera Anuruddhà berada. sebab   itu tempat 

itu disebut Sebelah Timur Hutan Bambu.

sesudah   bergulat dengan tujuh pikiran itu, Anuruddhà menjadi 

terlalu letih untuk melanjutkan dengan yang kedelapan. yaitu   

benar bahwa para siswa yang merenungkan tujuh yang pertama 

yaitu, sedikit keinginan, mudah puas, tenang, berusaha, penuh 

perhatian, konsentrasi pikiran, dan kebijaksanaan menjadi enggan 

untuk melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi merenungkan 

Dhamma lainnya. Bagi mereka, sudah menjadi peraturan untuk 

berakhir dengan kebijaksanaan. Itulah sebabnya Yang Mulia 

Anuruddhà, sesudah   merenungkan tujuh bentuk kebijaksanaan 

yang merupakan Mahàpurisa vitakka, ia menjadi terlalu letih untuk 

merenungkan vitakka kedelapan.

lalu   Buddha yang masih berada di Hutan Bhesakaëà, 

mengetahui bahwa “Anuruddhà sudah terlalu letih untuk 

merenungkan vitakka kedelapan,” dan berpikir bahwa, “Aku 

akan memuaskan keinginan Anuruddhà.” Buddha sesaat   datang 

ke hadapan Thera dan duduk di atas tempat duduk yang telah 

dipersiapkan. lalu   Buddha memunculkan vitakka kedelapan, 

dengan berkata:

“Anuruddhà, Bagus!, Bagus! (1) Sembilan Dhamma Lokuttara 

hanya dapat dipenuhi oleh ia yang memiliki sedikit keinginan, 

bukan oleh ia yang memiliki banyak keinginan; …; (7) Sembilan 

Dhamma Lokuttara hanya dapat dipenuhi oleh ia yang bijaksana, 

bukan oleh ia yang dungu. Anuruddhà! Perenungan yang engkau 

lakukan yaitu   milik para mulia.”

“Anuruddhà, bagimu, (8) lanjutkanlah dengan perenungan 

kedelapan, yang yaitu  , “Sembilan Dhamma Lokuttara hanya dapat 

dipenuhi oleh ia yang bergembira di dalam Nibbàna yang bebas dari 

faktor-faktor saÿsàra yang meluas (papa¤ca), (yaitu, kemelekatan, 

2536


keangkuhan, dan pandangan salah atau taõhà, màna, dan diññhi) 

bukan oleh ia yang bergembira dalam faktor-faktor papa¤ca.”

Demikianlah Buddha memberi   renungan Mahàpurisa kedelapan. 

lalu   Buddha melanjutkan dengan membabarkan secara 

terperinci kepada Yang Mulia Anuruddhà bahwa, sewaktu berdiam 

di dalam delapan renungan ini, akan dengan mudah tercerap dalam 

Lokiya Jhàna Pertama, Kedua, Ketiga dan Keempat, dan bahwa 

sewaktu tercerap dalam empat jhàïa Lokiya, ia akan dengan mudah 

menguasai empat Ariyavaÿsa-pañipadà (Praktik yang dijalankan 

oleh para mulia), yaitu, (1) kepuasan dalam jubah (cãvara-santosa), 

(2) kepuasan dalam makanan (piõóapàta-santosa), termasuk obat-

obatan, (3) kepuasan dalam tempat tinggal, dan (4) kegembiraan 

dalam meditasi (bhàvanà-ràmatà). (Khotbah terperinci dapat dibaca 

dalam terjemahan Aïguttara Nikàya, Vol. 3)

sesudah   membabarkan demikian, Buddha memikirkan tentang 

tempat tinggal yang tepat agar Thera Anuruddhà dapat bermeditasi 

dengan baik dan mengetahui bahwa hutan bambu itu yaitu   tempat 

yang tepat. sebab   itu Beliau menasihati Thera dengan berkata:

“Anuruddhà (sebab   hutan bambu ini sangat tepat sebagai tempat 

tinggal), jalankanlah vassa berikut di hutan bambu ini di Negeri 

Ceti.”

sesudah   memberi   nasihat, Buddha melayang ke angkasa 

dan melakukan perjalanan ke Hutan Bhesakaëà di mana Beliau 

menjelaskan delapan renungan Mahàpurisa secara terperinci kepada 

para bhikkhu di sana.

sesudah   Buddha pergi, Yang Mulia Anuruddhà berusaha keras 

dalam latihannya dan segera (dalam vassa berikutnya) mencapai 

kesucian Arahatta, padamnya àsava, memiliki tiga pengetahuan 

Pubbenivàsa ¥Ã Ãµa, Dibbacakkhu ¥Ã Ãµa, dan àsavakkhaya ¥Ã Ãµa. 

Thera menjadi sangat gembira dan berpikir, “Oh, melihat kondisi-

kondisi batinku, Buddha Yang Mulia datang dan membangkitkan 

Mahàpurisa vitakka kedelapan. Keinginanku sekarang juga telah 

terpenuhi dengan tingkat yang tertinggi!” dengan perhatian pada 

2537

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

khotbah Buddha dan Dhamma Lokuttara, Thera mengucapkan 

syair berikut:

(a) Mama saïkappama¤¤Ã ya, 

 Satthà loke anuttaro. 

 Manomayena kàyena, 

 iddhiyà upasaïkami

Yang Agung, guru para dewa dan manusia, yang tidak ada 

bandingnya di tiga alam, mengetahui pikiranku, dan tubuh-Nya 

yang diciptakan melalui pikiran dan melalui kekuatan batin-Nya 

datang kehadapanku.

(b) Yathà me ahu saïkappo 

 tato uttari desayi 

 Nippapa¤ca-rato Buddho 

 nippapa¤camadesayi.

Padaku telah muncul tujuh renungan para mulia tertinggi. Buddha 

Yang Agung sebab   welas asih-Nya mengajarkan kepadaku 

renungan kedelapan yang lebih tinggi dari tujuh renungan yang 

telah kulakukan. (Bagaimana?) Buddha yang juga memiliki gelar 

Mahatahu, yang terbaik di dunia ini, yang bergembira di dalam 

Nibbàna yang tidak berkondisi yang sungguh bebas dari tiga 

faktor saÿsàra yang meluas (papa¤ca) mengajarkan kepadaku 

sebab   welas asih-Nya tentang Nibbàna yang tidak berkondisi yang 

sungguh bebas dari tiga faktor saÿsàra yang meluas (papa¤ca).

(c) Tassàhaÿ dhammama¤¤Ã ya 

 vihàsiÿ sàsane rato. 

 Tisso vijjà anuppattà 

 kataÿ Bhuddhassa Sàsanaÿ.

Aku, Anuruddhà, sesudah   memahami Dhamma yang diajarkan 

oleh Buddha Mahatahu, yang terbaik di dunia, yang hidup dalam 

kebahagiaan dalam kehidupan ini yang selalu bergembira di dalam 

pencapaian Buah dalam masa pengajaran ini. Tiga pengetahuan 

Pubbenivàsa ¥Ã Ãµa olehku, Anuruddhà, aku telah melatih dan 

2538


mempraktikkan, mencapai tujuan Kearahattaan, ajaran Tiga Latihan 

yang diajarkan oleh Buddha Mahatahu, pemimpin dunia.

(c) Gelar Etadagga

 

Selanjutnya saat   Buddha sedang menetap di Vihàra Jetavana, ia 

mengadakan pertemuan untuk menganugerahkan gelar Etadagga 

kepada sejumlah bhikkhu, dan memuji Thera Anuruddhà dengan 

mengatakan:

“Etadaggaÿ bhikkhave mama sàvakànaÿ bhikkhÃ¥naÿ 

dibbacakkhukànaÿ yadidaÿ Auuruddho” “Para bhikkhu di 

antara para siswa-Ku yang memiliki mata-dewa (Dibbacakkhu), 

Anuruddhà yaitu   yang terbaik.”

Dengan kalimat itu, Buddha menunjuk Thera Anuruddhà sebagai 

yang terunggul dalam penguasaan Mata-Dewa.

(Akan muncul pertanyaan: Mengapa Buddha menunjuk Anuruddhà 

seorang meskipun terdapat para Tevijja Arahanta dan Chaëabhi¤¤Ã  

Arahanta yang juga menguasai Mata-Dewa? Jawabannya yaitu  : 

yaitu   benar bahwa para Tevijja dan Chaëabhi¤¤Ã  Arahanta lainnya 

juga menguasai Mata-Dewa, tetapi mereka tidak memanfaatkannya 

seperti yang dilakukan oleh Thera. saat   Thera Anuruddhà sedang 

mengumpulkan dàna makanan, kecuali saat makan, ia selalu 

mengembangkan Kasiõa-Cahaya (âloka-Kasiõa) dan mengamati 

makhluk-makhluk melalui kekuatan batin Mata-Dewa yang ia 

miliki. Demikianlah, Thera menguasai lima tingkat penguasaan 

Mata-Dewa dan menjadi lebih berpengalaman (daripada Thera 

lainnya). Inilah sebabnya Buddha menganugerahkan gelar Etadagga 

dalam bidang ini.

(Jawaban lainnya yaitu  : Thera Anuruddhà telah melakukan 

kebajikan selama seratus ribu kappa dengan cita-cita untuk menjadi 

yang terunggul dalam penguasaan Mata-Dewa. sebab   itu, dalam 

kehidupan ini, yang merupakan kehidupannya yang terakhir, di 

mana Kesempurnaan dan cita-citanya tercapai, ia memanfaatkan 

Mata-Dewa lebih banyak daripada para Arahanta lainnya, sebab   ia 

2539

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

memiliki kecenderungan untuk melakukan hal itu yang diakibatkan 

oleh tekad masa lampaunya. sebab   itulah gelar itu diberikan oleh 

Buddha.

Memungut Jubah Kain Usang yang Dipersembahkan Oleh Para 

Dewa

(Dikutip dari Komentar Dhammapada)

Sewaktu Buddha sedang berada di Vihàra Jetavana, Ràjagaha, Yang 

Mulia Anuruddhà sedang mencari potongan kain-kain usang untuk 

membuat jubah, di tumpukan-tumpukan sampah dan tempat-

tempat lainnya. Dewi bernama Jàlinã yang yaitu   istrinya dalam 

tiga kehidupan sebelumnya hidup di Alam Tàvatiÿsa. Melihat 

Thera sedang mencari kain-kain usang, ia mengambil tiga potong 

kain dewa, masing-masing panjangnya tiga belas lengan dan 

lebarnya empat lengan. Tetapi ia berpikir, “Jika aku memberi   

tiga potong kain dewa dalam bentuk seperti ini, Thera tidak akan 

menerimanya.” Maka ia meletakkannya di atas tumpukan sampah 

di depan Thera yang sedang mencari kain usang; ia meletakkannya 

sedemikian sehingga hanya tepi kain itu saja yang terlihat.

saat   Thera datang ke tempat itu dalam mencari kain, ia melihat tepi 

dari kain dewa ini  , ia memungutnya dan pergi meninggalkan 

tempat itu, dengan pikiran bahwa ia telah mendapatkan potongan 

kain yang baik.

Pada hari Thera membuat jubah, Buddha disertai oleh lima ratus 

bhikkhu datang ke tempat tinggal Thera dan duduk. Para Thera 

senior dari kelompok Delapan Puluh Siswa juga duduk di tempat 

yang sama di tempat jubah itu sedang dikerjakan. Yang Mulia Mahà 

Kassapa, Sàriputta, dan ânanda membantunya dalam membuat 

jubah itu. Berturut-turut mereka mengerjakan bagian awal, bagian 

pertengahan, dan bagian akhir. Para bhikkhu lainnya juga membantu 

dalam penjahitan. Buddha sendiri membantu dengan memasukkan 

benang ke lubang jarum. Yang Mulia Moggallàna berkeliling untuk 

mengumpulkan benda-benda yang dibutuhkan untuk penjahitan.

2540


Dewi Jalinã memasuki kota dan mengumumkan, “Para warga  , 

Buddha Yang Agung disertai oleh Delapan Puluh Siswa Arahanta 

dan lima ratus bhikkhu sedang berdiam di vihàra untuk menjahit 

jubah guru kita Yang Mulia Anuruddhà. Pergilah ke vihàra dengan 

membawa nasi dan makanan lainnya untuk dimakan.” Demikianlah 

dewi ini   mendesak para perempuan untuk menyiapkan 

makanan. Yang Mulia Moggallàna membawa serumpun buah jambu 

saat istirahat sebelum waktu makan. Lima ratus bhikkhu itu tidak 

mampu menghabiskan buah-buah ini  . Sakka, raja para dewa 

meratakan tanah di tempat penjahitan. Sisa-sisa makanan seperti 

bubur, makanan-makanan padat lainnya dan nasi masih sangat 

banyak.

lalu   para bhikkhu menyalahkan Thera Anuruddhà dengan 

mengatakan, “Untuk apa membawa makanan-makanan ini dalam 

jumlah yang begitu banyak. Ia seharusnya mengetahui jumlah 

makanan yang diperlukan dan meminta pada sanak saudara, 

pelayan, dan penyumbangnya, dengan berkata, ‘Bawakan hanya 

sebanyak ini. Mungkin Thera ingin kita mengetahui bahwa ia 

memiliki banyak saudara, pelayan, dan penyumbang.” lalu   

Buddha bertanya kepada mereka apa yang sedang mereka bicarakan 

dan saat   mereka menjawab, Buddha bertanya, “Para bhikkhu, 

apakah kalian berpikir bahwa semua makanan ini dibawa oleh 

Anuruddhà?” saat   para bhikkhu mengiyakan, Buddha berkata:

“Para bhikkhu, putra-Ku Anuruddhà tidak pernah meminta empat 

kebutuhan sebanyak ini. Sesungguhnya, para Arahanta tidak pernah 

meminta benda-benda kebutuhan. Makanan ini ada berkat kekuatan 

dewi!”

lalu   Buddha melanjutkan dengan mengucapkan syair berikut 

untuk membabarkan khotbah:

Yassàsavà parikkhãõà; 

àhàre ca anissito 

su¤¤ato animitto ca 

vimokkho yassa gocaro; 

àkàse va sakuntànaÿ 

2541

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

padaÿ tassa durannayaÿ.

(O para bhikkhu, anak-anak-Ku!) seorang Arahanta yang empat 

àsava, yaitu, nafsu keinginan (kàma), kelahiran (bhava), pandangan 

salah (diññhi), dan kebodohan (avijjà), telah dihancurkan tanpa 

meninggalkan bekas sedikit pun, tidak melekat pada makanan 

melalui keserakahan (taõha), dan pandangan salah (diññhi). Dalam 

pencapaian Buahnya, ia selalu mendekati Nibbàna yang dikenal 

sebagai Kebebasan-Kekosongan (Su¤¤ata-Vimokkha) sebab   

tidak ada nafsu (ràga), kebencian (dosa), dan kebodohan (moha) 

di dalamnya, Nibbàna juga dikenal sebagai Kebebasan Tanpa 

pemicu   (Animitta-Vimokkha) sebab   bebas dari pemicu   seperti 

nafsu, kebencian dan kebodohan, dan dengan kemuliaan partikel 

ca, Nibbàna juga dikenal sebagai Kebebasan Tanpa Keinginan, 

(Appaõihita-Vimokkha) sebab   bebas dari keinginan seperti nafsu, 

kebencian, dan kebodohan. Bagaikan apa yang ada di angkasa 

yang diinjak oleh kaki, tersentuh oleh kepala dan sayap burung 

yang terbang di angkasa yaitu   mustahil diketahui, demikian 

pula, pencapaiannya akan unsur Nibbàna sesudah   kematian yaitu   

mustahil diketahui oleh individu-individu biasa.

Pada akhir khotbah itu, banyak orang yang mencapai Sotàpatti-Phala 

dan sebagainya.

Demikianlah kisah Thera Anuruddhà.

(6) Thera Bhaddiya

Pada bab tentang Permata Saÿgha ini terdapat dua Thera Bhaddiya, 

pertama yaitu   (6) Bhaddiya ini, dan yang kedua yaitu   (7) 

Lakuõóaka Bhaddiya. Bhaddiya yang pertama yaitu   salah satu 

dari enam pangeran Sakya yang menjadi bhikkhu seperti yang 

diceritakan dalam kisah Thera Anuruddhà. Ibu dari Thera Bhaddiya 

yaitu   Kàëigodha, seorang putri Sakya. sebab   itu Thera juga 

dikenal sebagai Kàëigodhàputta Bhaddiya, “Bhaddiya putra dari 

putri Sakya Kàëigodhà.”

2542


(a) Cita-cita masa lampau

Thera Bhaddiya ini juga yaitu   putra keluarga kaya pada masa 

kehidupan Buddha Padumuttara, seratus ribu kappa yang lalu. Ia 

pergi ke vihàra (seperti telah diceritakan dalam kisah Anuruddhà) 

untuk mendengarkan Dhamma.

Pada