Tampilkan postingan dengan label Biksu Budha 10. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Biksu Budha 10. Tampilkan semua postingan

Biksu Budha 10

 



appina. Istri si pemimpin 

perumah tangga terlahir dalam keluarga kerajaan di Sàgala, Negeri 

Madda. Putri Madda memiliki kulit keemasan dan ia bernama Putri 

Anojà (“Berkulit keemasan”) sesuai cita-citanya.

Saat Putri Anojà dewasa, ia menjadi Permaisuri Raja Mahà Kappina. 

Istri-istri para perumah tangga itu bersatu kembali dengan suami-

suami mereka pada kehidupan lampau. Seribu menteri dan istri 

mereka menikmati kemuliaan yang sama seperti raja dan ratu. Saat 

raja dan ratu menunggang gajah, seribu menteri dan istri mereka 

juga menunggang gajah. Saat raja menunggang kuda, mereka juga 

menunggang kuda, dan saat   raja mengendarai kereta, mereka juga 

mengendarai kereta. Hal ini sebab   mereka semua telah melakukan 

kebajikan bersama-sama dalam kehidupan lampau mereka.

2787

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

Utusan Kerajaan Dikirim untuk Mencari Berita Baik

Raja Mahà Kappina memiliki lima ekor kuda berdarah murni, 

yaitu, Bala, Balavàhana, Puppha, Puppha-vàhana, dan Supatta. Raja 

hanya memakai   Supatta dan memberi   empat kuda lainnya 

untuk digunakan oleh para penunggang kerajaan. yaitu   tugas 

penunggang kerajaan itu untuk mengumpulkan informasi setiap 

hari untuknya. Mereka akan diberi makan yang baik pada pagi hari 

dan sesudah  nya, raja akan mengutus mereka untuk melakukan tugas 

harian dengan perintah, “Pergilah, anak-anakku, hingga jarak dua 

atau tiga yojanà di sekeliling Kota Kukkuñavatã, masing-masing ke 

arahnya sendiri-sendiri ke empat penjuru, dan kumpulkan berita 

tentang munculnya Buddha, Dhamma, dan Saÿgha di dunia ini. 

Segera sesudah   kalian mendengar berita gembira itu, bergegaslah 

beritahukan kepadaku.” Empat penunggang itu akan menderapkan 

kuda mereka ke empat penjuru melalui empat gerbang kota, pergi 

hingga jarak tiga yojanà setiap hari, dan lalu   kembali ke istana, 

tanpa membawa berita yang ditunggu-tunggu oleh raja.

Berita Gembira Tentang Tiga Permata

lalu   suatu hari Raja Mahà Kappina berkunjung ke taman istana 

menunggangi Supatta, disertai oleh seribu menterinya, ia melihat 

rombongan lima ratus pedagang yang terlihat letih, memasuki kota. 

Raja berpikir, “Para pedagang ini telah melakukan perjalanan yang 

melelahkan. Mungkin mereka membawa berita baru untukku.” Ia 

memanggil mereka dan berkata, “O sahabat, dari manakah kalian 

datang?” “Tuanku, terdapat Kota Sàvatthã yang jauhnya seratus dua 

puluh yojanà dari Kota Kukkuñavatã. Kami datang dari Sàvatthã.” 

“Baiklah Sahabat, beritahukan kepadaku, berita aneh yang sedang 

terjadi di Sàvatthã.” “Tuanku, kami tidak membawa berita aneh 

untuk disampaikan. Tetapi, telah muncul Buddha di Sàvatthã.”

Mendengar kata “Buddha,” raja diliputi oleh lima jenis kegembiraan 

dan kepuasan sehingga ia sesaat seolah-olah kehilangan 

kesadarannya. “Apa? Apa yang engkau katakan?” “Tuanku, Buddha 

telah muncul di dunia ini.” Berita itu memberi   efek kejutan 

yang sama pada raja yang diliputi kegembiraan sebanyak tiga kali. 

2788


Untuk keempat kalinya, raja bertanya, “Apa yang engkau katakan?” 

“Tuanku, Buddha telah muncul di dunia ini.” “O sahabat, engkau 

telah membawakan berita baik kepadaku bahwa Buddha telah 

muncul di dunia ini. sebab   telah membawa berita berharga ini, aku 

menghadiahkan seratus ribu keping uang perak kepadamu.”

lalu   Raja Mahà Kappina bertanya, “Adakah berita lainnya?” 

“Ya, Tuanku, Dhamma telah muncul di dunia ini.” Mendengar kata 

“Dhamma,” raja diliputi oleh kegembiraan dan kepuasan sehingga 

ia sesaat seolah-olah kehilangan kesadarannya. Tiga kali mengulangi 

pertanyaan dan tiga kali ia terlihat seperti kehilangan kesadarannya 

untuk sesaat. Keempat kalinya, ia diberitahu, “Tuanku, Dhamma 

telah muncul di dunia ini.” Raja berkata, “sebab   membawa berita 

berharga ini kepadaku, aku menghadiahkan seratus ribu keping 

uang kepadamu.”

lalu   Raja Mahà Kappina bertanya, “Adakah berita lainnya?” 

“Ya, Tuanku” mereka berkata, “Saÿgha telah muncul di dunia ini.” 

Mendengar kata “Saÿgha,” raja diliputi oleh kegembiraan dan 

kepuasan dan menjadi kehilangan kesadarannya seperti sebelumnya. 

Ini juga terjadi tiga kali setiap kali ia menanyakan berita gembira 

itu. Keempat kalinya ia berkata kepada para pedagang, “Sahabat, 

sebab   membawa berita berharga ini kepadaku, aku menghadiahkan 

seratus ribu keping uang kepadamu.”

Raja Mahà Kappina Melepaskan Keduniawian

lalu   raja menatap seribu menterinya dan berkata, “O sahabat, 

sekarang apa yang akan kalian lakukan?” Para menteri mengajukan 

pertanyaan yang sama kepada raja, “Tuanku, apa yang akan engkau 

lakukan sekarang?” “Sahabat, sekarang dikatakan bahwa Buddha 

telah muncul, Dhamma telah muncul, Saÿgha telah muncul, kita 

tidak akan kembali ke istana. Kita akan pergi dari sini ke tempat 

di mana Buddha berada, dan aku akan menjadi seorang bhikkhu 

sebagai siswa-Nya.” Para menteri berkata, “Tuanku, kami juga akan 

menjadi bhikkhu bersama denganmu.”

Raja Mahà Kappina mengambil piring emas dan menggoreskan 

2789

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

kata-kata perintah untuk membayarkan tiga ratus ribu keping 

uang kepada para pedagang itu. “Pergilah sahabat,” ia berkata 

kepada mereka, “sampaikan pesan ini kepada ratu di istana, dan 

ia akan membayarkan tiga ratus ribu keping yang kepada kalian 

mewakiliku. Juga katakan kepada Ratu Anojà, bahwa raja telah 

menyerahkan tahta dan negeri ini kepadanya dan bahwa ia boleh 

menjadi penguasa di negeri ini. Jika ia bertanya, ‘Di manakah raja?’ 

kalian harus mengatakan bahwa raja telah pergi menjumpai Buddha 

dan menjadi bhikkhu.” Seribu menteri itu juga melakukan hal 

yang sama, mengirim pesan mengenai kepergian mereka kepada 

istri-istri mereka. saat   para pedagang itu pergi menuju istana, 

raja menunggangi Supatta, disertai seribu menterinya, pergi untuk 

menjadi bhikkhu.

Mahà Kappina Disambut Oleh Buddha

Saat Buddha melakukan rutinitas-Nya mengamati dunia makhluk-

makhluk hidup, Beliau melihat bahwa Raja Mahà Kappina telah 

mengetahui kemunculan Buddha, Dhamma, dan Saÿgha dari para 

pedagang, bahwa ia telah memberi   penghormatan kepada Tiga 

Permata dengan memberi   hadiah tiga ratus ribu keping uang, 

dan bahwa ia sedang pergi melepaskan keduniawian dan akan tiba 

pada keesokan harinya. Buddha juga melihat bahwa Raja Mahà 

Kappina dan seribu menterinya dapat mencapai Kearahattaan 

lengkap dengan Empat Pengetahuan Analitis. “Baiklah, Aku akan 

menyambut Raja Mahà Kappina,” Buddha merenungkan. Dan 

bagaikan seorang raja dunia menyambut raja pengikutnya, Buddha, 

membawa mangkuk dan jubah-Nya, meninggalkan vihàra sendirian 

untuk menyambut Raja Mahà Kappina dalam perjalanan itu, dari 

jarak seratus dua puluh yojanà dari Sàvatthã, di mana Beliau duduk 

di bawah pohon besar di tepi Sungai Candabhàgà, memancarkan 

enam sinar Buddha.

Mahà Kappina Menyeberangi Tiga Sungai

Raja Mahà Kappina dan seribu menterinya menunggangi kuda 

dalam perjalanan mereka melepaskan keduniawian, mereka tiba 

di sebuah sungai. “Sungai apa ini?” ia bertanya kepada para 

2790


menterinya. “Ini yaitu   Sungai Aparacchà, Tuanku.” Mereka 

berkata. “Berapa lebarnya?” “Tuanku, lebarnya dua gàvuta dan 

dalamnya satu gàvuta.” “Apakah ada rakit untuk menyeberang?” 

“Tidak ada, Tuanku.” Raja merenungkan, “Selagi kami mencari rakit 

untuk menyeberangi sungai ini, kelahiran mengarah kepada usia 

tua, dan usia tua mengarah kepada kematian. Aku berkeyakinan 

terhadap Tiga Permata dan telah pergi melepaskan keduniawian. 

Dengan kekuatan Tiga Permata, semoga air yang dalam ini tidak 

menghalangiku.” lalu   ia merenungkan kemuliaan Buddha, 

seperti ‘Buddha, yang layak dihormati, yang telah mencapai 

Pencerahan Sempurna, Yang Agung’, ia mengucapkan syair 

berikut:

Bhavasotaÿ have Buddho, tiõõo lokantagÃ¥ vidÃ¥; 

Etena saccavajjena, gamanaÿ me samijjhatu.

“Buddha Yang Maha Mengetahui sesungguhnya telah menyeberangi 

banjir kelahiran kembali di tiga alam. sesudah   menyeberangi banjir 

itu, Buddha tiba di ujung dunia dan mengetahui segala hal secara 

analitis. Berkat kebenaran pernyataan ini, semoga perjalananku 

(menuju Buddha, dalam melepaskan keduniawian) terlaksana tanpa 

rintangan.”

Raja Mahà Kappina, sesudah   mengucapkan syair ini, menyeberangi 

sungai itu bersama seribu menterinya dengan menunggangi kuda. 

Air sungai itu yang dalamnya dua gàvuta bahkan tidak membasahi 

ujung telapak kaki kuda mereka. Saat melanjutkan perjalanannya ia 

tiba di sungai lainnya. “Sungai apakah ini?” ia bertanya kepada para 

menterinya. “Ini yaitu   Sungai Nãlavàhinã, Tuanku,” jawab mereka. 

“Berapa kedalamannya?” “Tuanku, dalamnya setengah yojanà 

dan lebarnya setengah yojanà.” (Pertanyaan raja tentang rakit dan 

perenungan akan pentingnya perjalanannya harus dipahami dengan 

cara yang sama seperti situasi di atas.) lalu  , ia merenungkan 

kemuliaan Dhamma seperti, “Dhamma telah dibabarkan dengan 

sempurna, dan seterusnya,” dan mengucapkan syair berikut dan 

menyeberangi sungai itu bersama seribu menterinya:

Yadi santigamo maggo, mokkho caccantikaÿ sukhaÿ; 

2791

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

Etena saccavajjena, gamanaÿ me samijjhatu.

“Ariya Magga, Jalan Lokuttara, sesungguhnya mengarah menuju 

Kedamaian Nibbàna. Pembebasan (Nibbàna) yang dicapai melalui 

Ariya Magga yaitu   kebahagiaan mutlak. Berkat kebenaran 

pernyataan ini, semoga perjalananku (menuju Buddha, dalam 

melepaskan keduniawian) terlaksana tanpa rintangan.”

sesudah   mengucapkan syair ini, Raja Mahà Kappina menyeberangi 

sungai itu bersama seribu menterinya dengan menunggangi 

kuda. Air sungai itu yang dalamnya setengah yojanà bahkan tidak 

membasahi ujung telapak kaki kuda mereka.

sesudah   Sungai Nãlavàhinã itu, mereka tiba di sebuah sungai lagi yang 

harus diseberangi. Ia bertanya kepada para menterinya, “Sungai 

apakah ini?”

“Ini yaitu   Sungai Candabhàgà, Tuanku,” mereka berkata. “Berapa 

kedalamannya?”

“Tuanku, dalamnya satu yojanà dan lebarnya satu yojanà.”

(Seperti sebelumnya, raja merenungkan pentingnya perjalanannya.) 

lalu   ia merenungkan kemuliaan Saÿgha seperti, “Para siswa 

Ariya Bhagavà memiliki praktik benar,” lalu   ia mengucapkan 

syair berikut dan menyeberangi sungai ini   bersama seribu 

menterinya.

Saÿgho ve tiõõakantàro, 

pu¤¤akkhetto anuttaro; 

Etena saccavajjena, 

gamanaÿ me samijjhatu.

“Ariya Saÿgha sesungguhnya telah menyeberangi belantara 

saÿsàra, dan merupakan lahan yang tidak ada bandingannya untuk 

menanam benih jasa. Berkat kebenaran pernyataan ini, semoga 

perjalananku (menuju Buddha, dalam melepaskan keduniawian) 

terlaksana tanpa rintangan.”

2792


sesudah   mengucapkan syair ini, Raja Mahà Kappina menyeberangi 

sungai itu bersama seribu menterinya dengan menunggang kuda. 

Air sungai itu yang dalamnya satu yojanà bahkan tidak membasahi 

ujung telapak kaki kuda mereka.

(Tiga syair ini yang diucapkan oleh Raja Mahà Kappina dikutip dari 

Mahà Kappina Theràpadàna.)

Mahà Kappina Bertemu Dengan Buddha dan Menjalani 

Pertapaan

Saat raja telah menyeberangi Sungai Candabhàgà, ia melihat dengan 

takjub enam sinar Buddha yang memancar dari Buddha, yang 

sedang duduk di bawah pohon besar. Seluruh pohon ini  , 

batang, dahan, ranting, dan daunnya bermandikan kilau keemasan. 

Raja mengetahui persis bahwa ‘kemilau keemasan ini bukan sinar 

matahari atau bulan, juga bukan dewa atau Màra atau nàga atau 

garuda, tetapi pasti Buddha Gotama sendiri, sebab   Bhagavà telah 

melihat kedatanganku dan menyambutku!’

Segera Raja Mahà Kappina turun dari kudanya dan membungkuk 

mendekati Buddha, tertarik ke arah sinar Buddha. Ia merasa seolah-

olah tenggelam ke dalam cairan keemasan yang sejuk saat ia berjalan 

menembus Sinar Buddha ini  . Ia dan seribu menterinya bersujud 

kepada Buddha dan duduk di tempat yang semestinya. lalu   

Buddha membabarkan khotbah dengan penjelasan setahap demi 

setahap, (1) jasa dalam berdana, (2) jasa dalam moralitas, (3) jasa 

yang mengarah ke alam dewa, dan (4) pencapaian Pengetahuan 

Jalan. Pada akhir khotbah ini   Raja Mahà Kappina dan seribu 

menterinya mencapai Sotàpatti-Phala.

lalu   mereka bangkit dari duduk, memohon agar Buddha 

menahbiskan mereka menjadi bhikkhu. Buddha melihat ke masa 

lampau mereka apakah mereka dapat menerima jubah dan mangkuk 

yang diciptakan melalui kekuatan batin Buddha dan melihat bahwa 

jasa masa lampau mereka bahwa mereka pernah mempersembahkan 

jubah kepada seribu Pacceka Buddha dan pada masa Buddha Kassapa 

2793

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

mereka mempersembahkan jubah kepada dua puluh ribu Arahanta, 

yang merupakan gudang jasa mereka yang memungkinkan mereka 

menerima jubah dan mangkuk yang diciptakan melalui kekuatan 

batin Buddha. lalu   Buddha merentangkan lengan kanan-

Nya dan berkata, “Datanglah, Bhikkhu! Terimalah kebhikkhuan 

yang kalian minta. Kalian telah mendengarkan Dhamma. Sekarang 

berlatihlah dengan tekun di dalam Tiga Latihan untuk mencapai 

Pembebasan kalian.” Sesaat   itu juga Raja Mahà Kappina dan 

seribu menterinya berubah dari orang-orang awam menjadi para 

bhikkhu yang telah bergabung dalam Saÿgha selama enam puluh 

tahun, lengkap dengan perlengkapan bhikkhu seperti mangkuk, 

dan lain-lain, yang diciptakan melalui kehendak Buddha. Mereka 

semua terbang ke angkasa, lalu   turun ke tanah dan, bersujud 

kepada Buddha, lalu   duduk (di tempat yang semestinya.)

Ratu Anojà Bertemu Dengan Para Pedagang

Para pedagang dari Sàvatthã pergi ke istana Kukkuñavatã dan 

meminta izin untuk menghadap Ratu Anojà, memberitahukan 

bahwa mereka diutus oleh raja. sesudah   mendapatkan izin dari ratu, 

mereka memasuki istana, memberi hormat dan duduk di tempat 

yang semestinya. lalu   terjadi percakapan berikut antara ratu 

dengan para pedagang:

Ratu, “O Sahabat, apa yang membawamu ke istana kami?”

Pedagang, “O Ratu, kami diutus oleh raja untuk menghadapmu dan 

menebus tiga ratus ribu keping uang sebagai hadiah kami.”

Ratu, “O Sahabat, kalian meminta tebusan yang tinggi. Apa yang 

telah kalian lakukan terhadap raja sehingga ia memberi   kalian 

hadiah besar ini  ?”

Pedagang, “O Ratu, sebenarnya kami tidak melakukan apa-apa 

terhadap raja, tetapi kami hanya menyampaikan beberapa berita 

yang menggembirakannya.”

Ratu, “Dapatkan kalian memberitahukan kepadaku berita itu?”

Pedagang, “Ya, O Ratu.”

Ratu, “Katakanlah.”

Pedadang, “O Ratu, Buddha telah muncul di dunia ini.”

2794


Mendengar berita itu, ratu, seperti halnya raja, diliputi oleh 

kegembiraan dan menjadi seolah-olah kehilangan kesadaran 

untuk sesaat. Hal ini terjadi tiga kali. Dan pada keempat kalinya 

ia mendengar berita itu, ia bertanya kepada para pedagang, “O 

Sahabat, berapa yang diberikan raja sebagai hadiah atas berita 

tentang Buddha itu?” “Raja memberi   hadiah seratus ribu keping 

uang untuk itu.”

“Hadiah dari raja seratus ribu keping uang untuk berita yang luar 

biasa dan menakjubkan itu tidak tepat, tidak mencukupi. Aku 

akan memberi   hadiah tiga ratus ribu keping uang lagi kepada 

kalian. Tetapi berita apa lagikah yang kalian sampaikan kepada 

raja?” Para pedagang memberitahukan kepadanya bahwa mereka 

juga memberitakan kepada raja tentang munculnya Dhamma dan 

munculnya Saÿgha satu demi satu. Ratu, diliputi oleh kegembiraan, 

kehilangan kesadarannya untuk sesaat sebanyak tiga kali saat 

mendengarkan masing-masing berita menakjubkan itu. Keempat 

kalinya mendengarkan berita itu, satu berita tentang Dhamma, dan 

satu berita tentang Saÿgha, ratu memberi   hadiah tiga ratus ribu 

keping uang untuk masing-masing berita menakjubkan ini  . 

Dengan demikian para pedagang itu menerima sembilan ratus ribu 

keping yang sebagai hadiah dari ratu, sebagai tambahan dari hadiah 

raja sejumlah tiga ratus ribu keping yang, sehingga seluruhnya 

menjadi satu juta dua ratus ribu keping uang.

lalu   ratu bertanya kepada para pedagang, di mana raja 

berada, dan mereka memberitahunya bahwa raja telah melepaskan 

keduniawian untuk menjadi bhikkhu sebagai siswa Buddha. Ratu 

menambahkan, “Pesan apakah yang diberikan kepada kalian untuk 

disampaikan kepadaku?” Para pedagang itu memberitahukan 

kepadanya bahwa raja menyerahkan tahta dan negeri itu kepada 

ratu untuk menggantikannya sebagai penguasa. lalu   ratu 

bertanya tentang seribu menteri. Para pedagang memberitahukan 

kepadanya bahwa para menteri juga melepaskan keduniawian 

untuk menjadi bhikkhu.

2795

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

Ratu Anojà Melepaskan Keduniawian

Ratu memanggil para istri dari seribu menteri dan terjadi diskusi 

sebagai berikut:

Ratu, “Saudariku, suami kalian telah melepaskan keduniawian 

dan menjadi bhikkhu bersama raja. Apa yang akan kita lakukan 

sekarang?”

Istri, “Ratu, apa pesan suami kami kepada kami?”

Ratu, “Suami kalian mewariskan semua harta kepada kalian. Kalian 

yaitu   kepala keluarga sekarang.”

Istri, “Ratu, apa yang akan engkau lakukan?”

Ratu, “Saudariku, suamiku Raja Mahà Kappina sangat gembira 

mendengar berita munculnya Tiga Permata dan memberi   

hadiah tiga ratus ribu keping uang kepada pembawa berita 

sebagai penghormatan kepada Tiga Permata, sewaktu ia sedang 

berada dalam perjalanannya. Sekarang ia telah melepaskan 

keduniawian menganggap kemuliaan kerajaan seperti membuang 

ludah. Sedangkan bagiku, berita munculnya Tiga Permata itu juga 

menggembirakan. Aku memberi   hadiah sembilan ratus ribu 

keping uang kepada para pedagang yang membawa berita itu 

sebagai penghormatan terhadap Tiga Permata. Kemuliaan kekuasaan 

yaitu   sumber penderitaan bagiku seperti juga halnya bagi raja. 

Sekarang, raja telah menyerahkan kekuasaan itu kepadaku, jika aku 

menerimanya, itu berarti aku menerima air ludah dengan nikmat. 

Aku tidak sebodoh itu. Aku juga akan melepaskan keduniawian 

dan menjadi seorang petapa sebagai siswa Buddha.”

Istri, “Ratu, kami juga akan turut bersamamu pergi melepaskan 

keduniawian dan menjadi petapa.”

Ratu, “Baik sekali jika kalian mampu melakukannya.”

Istri, “Ratu, kami mampu melakukannya.”

Ratu, “Kalau begitu mari kita pergi.”

Ratu mengendarai kereta, masing-masing istri para menteri itu 

juga melakukan hal yang sama dan segera pergi menuju Sàvatthã. 

Dalam perjalanan itu, mereka tiba di sungai pertama. Ia bertanya, 

seperti yang dilakukan raja sebelumnya, tentang kemungkinan 

2796


menyeberangi sungai itu. Ia memerintahkan kusirnya untuk mencari 

jejak kuda raja tetapi tidak menemukannya. Ia menebak dengan 

benar bahwa sebab   suaminya sangat berkeyakinan terhadap Tiga 

Permata dan demi Tiga Permata ia melepaskan keduniawian, ia pasti 

bertekad untuk menyeberangi sungai itu. Aku juga telah melepaskan 

keduniawian demi Tiga Permata. Semoga kekuatan Tiga Permata 

mengatasi halangan air ini dan semoga air ini kehilangan sifat airnya. 

Dan sesudah   merenungkan kemuliaan Tiga Permata ia menjalani 

keretanya bersama seribu kereta lainnya menyeberangi sungai itu. 

Dan, air itu tidak lagi menjadi air tetapi mengeras bagaikan batu 

sehingga bahkan roda kereta itu tidak menjadi basah. Di dua sungai 

lainnya yang mereka jumpai, ia menyeberanginya tanpa kesulitan 

dengan cara yang sama seperti yang dilakukan oleh raja. (Penjelasan 

di atas dirangkum dari Komentar Dhammapada. Berikutnya, kita 

akan merujuk pada Komentar Aïguttara Nikàya, Vol. 1)

sesudah   ia menyeberangi Sungai Candabhàga, rintangan ketiga, 

Ratu Anojà melihat Buddha duduk di bawah pohon besar. Buddha 

mengetahui bahwa jika perempuan-perempuan ini melihat suami-

suami mereka, maka mereka akan merasa sedih sebab   kemelekatan 

mereka kepada suami mereka yang menyebabkan mereka tidak 

mampu mendengarkan khotbah yang disampaikan oleh Buddha, 

dan dengan demikian mereka akan gagal mencapai Pengetahuan 

Jalan. Maka Buddha memakai   kekuatan batin-Nya membuat 

para perempuan itu tidak melihat suami mereka yang saat itu duduk 

bersama Buddha. lalu   Buddha membabarkan khotbah kepada 

mereka yang akhirnya mereka semuanya mencapai Sotàpatti-Phala. 

Dan pada saat itu mereka dapat melihat suami mereka. Buddha 

lalu   berkehendak agar Therã Uppalavaõõà datang ke tempat 

para perempuan itu duduk. Therã Uppalavaõõà menahbiskan Ratu 

Anojà dan pengikutnya menjadi bhikkhunã lalu   mengajak 

mereka ke vihàra para bhikkhunã. Buddha membawa seribu bhikkhu 

ini   ke Vihàra Jetavana melalui angkasa.

Syair yang Diucapkan Oleh Buddha Sehubungan Dengan Mahà 

Kappina

lalu   Yang Mulia Mahà Kappina melatih Jalan Mulia dan 

2797

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

mencapai Kearahattaan. Mengetahui bahwa ia telah menyelesaikan 

tugasnya sebagai seorang bhikkhu, Yang Mulia Mahà Kappina 

melewatkan sebagian besar waktunya dengan berdiam di dalam 

Buah Kearahattaan, dan tidak membabarkan khotbah kepada 

seribu pengikutnya, mantan menterinya. Berdiam di dalam 

kesunyian, apakah di bawah pohon atau di tempat lainnya, ia akan 

mengucapkan kata-kata gembira, “Ah, betapa bahagianya! Betapa 

bahagianya!” saat   para bhikkhu lain mendengarkan kata-kata 

itu, mereka berpikir bahwa Yang Mulia Mahà Kappina sedang 

mengingat kenikmatan istana kerajaan dan melaporkan apa yang 

mereka dengar kepada Bhagavà. Buddha berkata kepada para 

bhikkhu, “Bhikkhu Mahà Kappina sedang memuji kebahagiaan 

Magga dan Phala.” Dan pada kesempatan itu Beliau mengucapkan 

syair berikut:

Dhammapãti sukhaÿ seti, vippasannena cetasà; 

Ariyappavedite dhamme, sadà ramati paõóito.

“(Para bhikkhu,) ia yang meminum Dhamma Lokuttara hidup penuh 

kebahagiaan dengan batin tenang. Orang bijaksana selalu berbahagia 

dalam Dhamma (yaitu, Tiga Puluh Tujuh Faktor Pencerahan 

Sempurna) yang dibabarkan oleh para Ariya seperti Buddha.”

(Pada akhir khotbah itu banyak pendengar yang mencapai 

Pengetahuan Jalan dalam berbagai tingkat. Dhammapada 79 dan 

Komentarnya.)

Instruksi Yang Mulia Mahà Kappina Kepada Siswa-siswanya

lalu   suatu hari Buddha memanggil seribu bhikkhu (yang 

yaitu   mantan menteri) dan bertanya kepada mereka, apakah Yang 

Mulia Mahà Kappina memberi   instruksi kepada mereka. Para 

bhikkhu berkata bahwa guru mereka Yang Mulia Mahà Kappina 

tidak pernah memberi   instruksi kepada mereka, melainkan 

hanya berdiam dalam pencapaian Arahatta-Phala setiap waktu dan 

bahwa ia juga tidak memberi   nasihat atau teguran kepada siswa-

siswanya. Buddha bertanya kepada Yang Mulia Mahà Kappina, 

“Kappina, benarkah engkau tidak pernah memberi   nasihat 

2798


kepada siswa-siswamu?” Yang Mulia Mahà Kappina menjawab, 

“Benar, Yang Mulia.”

“Kappina, jangan bersikap begitu. Mulai saat ini babarkanlah 

khotbah kepada siswa-siswamu.”

“Baiklah, Yang Mulia,” jawab Yang Mulia Mahà Kappina. Dan 

hanya dengan membabarkan satu khotbah, seribu bhikkhu ini   

mencapai Kearahattaan. (Keberhasilan ini menyebabkan Yang Mulia 

Mahà Kappina mendapat gelar bhikkhu terbaik.)

(c) Gelar Etadagga

Pada lalu   hari, saat   Buddha mengadakan pertemuan para 

bhikkhu, Beliau menyatakan:

“Etadaggaÿ bhikkhave mama sàvakànam bhikkhÃ¥naÿ 

bhikkhuovàdakànaÿ yadidaÿ Mahà Kappino,” “Para bhikkhu, di 

antara para bhikkhu siswa-Ku yang memberi   instruksi kepada 

para bhikkhu, Bhikkhu Mahà Kappina yaitu   yang terbaik.”

Demikianlah kisah Thera Kappina

(39) Thera Sàgata

(a) Cita-cita masa lampau

Bakal Sàgata terlahir dalam keluarga kaya di Kota Haÿsàvatã pada 

masa kehidupan Buddha Padumuttara. Sewaktu mendengarkan 

khotbah Buddha, ia menyaksikan penganugerahan gelar etadagga 

oleh Buddha kepada seorang bhikkhu yang terbaik dalam hal 

pencapaian konsentrasi tejokasiõadhàtu, unsur panas. Ia bercita-

cita untuk mendapat kehormatan ini   untuk menjadi yang 

bhikkhu terbaik dalam menguasai konsentrasi ini   dalam 

masa Pengajaran Buddha pada masa depan. Ia mengungkapkan 

cita-citanya di depan Buddha. Buddha melihat bahwa cita-citanya 

akan tercapai dan mengucapkan ramalan-Nya.

2799

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

(b) Kehidupan pertapaan dalam kehidupan terakhir

Orang kaya itu melakukan banyak kebajikan seumur hidupnya. 

sesudah   meninggal dunia, ia terlahir kembali hanya di alam dewa 

dan alam manusia, dan pada masa Buddha Gotama ia terlahir 

dalam sebuah keluarga brahmana di Sàvatthã. Brahmana muda 

itu bernama Sàgata dan sering mendengarkan khotbah Buddha 

yang membangkitkan keyakinannya terhadap Buddha sehingga ia 

menjadi seorang bhikkhu. Ia mengusai delapan Lokiya Jhàna dan 

menguasai lima kekuatan batin lokiya.

Menjinakkan Nàga

(Dikutip dari Vinaya Piñaka, Bagian pàcitiya, Suràpàna 

Sikhàpada)

Dalam salah satu perjalanannya ke Provinsi Cetiya, Buddha tiba 

di Desa Bhaddavatika. (diberi nama demikian sebab   memiliki 

pagar yang kokoh). Para penggembala sapi, penggembala kambing, 

petani, dan pejalan kaki melihat kedatangan Buddha dari jauh dan 

memperingatkan Beliau bahwa di sana terdapat seekor nàga berbisa 

yang gesit dan mematikan di perahu penyeberangan di dekat pohon 

mangga, dan bahwa mereka khawatir Buddha akan menghadapi 

bahaya jika Beliau melalui jalan itu. Buddha tidak berkata apa-apa 

kepada mereka.

(Nàga berbisa di perahu pohon mangga itu dalam kehidupan 

lampaunya yaitu   tukang perahu yang bertugas di sana. Ia berkelahi 

dengan beberapa pengembara dan terbunuh. Ia bersumpah untuk 

membalas dendam kepada pembunuhnya sebelum kematiannya 

dan akibatnya ia terlahir kembali sebagai seekor nàga sakti berbisa 

di sana.)

(sebab   orang itu menyimpan dendam kepada warga   di sana, 

saat   ia terlahir sebagai nàga sakti, ia mengerahkan kesaktiannya 

sehingga ia mampu menyebabkan kekeringan di musim hujan 

dan menyebabkan hujan turun di musim yang salah. Panen gagal 

dan para warga   menyembahnya setiap tahun. Mereka juga 

2800


mendirikan sebuah cetiya untuknya di tempat perahu itu berada.―

Komentar Aïguttara.)

Buddha menyeberangi sungai di tempat perahu pohon mangga 

itu bersama para bhikkhu, bermaksud untuk bermalam di tempat 

itu.

Para penggembala sapi, penggembala kambing, petani, dan pejalan 

kaki memperingatkan Buddha tiga kali agar tidak melewati tempat 

itu tetapi Buddha, mengetahui bagaimana mengatasi situasi ini  , 

tidak mengatakan apa-apa.

Akhirnya Buddha, tiba di Desa Bhaddavatika. Yang Mulia Sàgata 

berdiam di cetiya yang dipersembahkan kepada nàga itu di tempat 

perahu pohon mangga. Ia masuk ke gua tempat tinggal nàga itu, 

meletakkan alas duduk rumput di lantai gua, duduk bersila, dan 

dengan badan tegak, ia masuk ke dalam Jhàna.

Nàga itu sangat marah kepada penyusup itu dan meniupkan asap 

panas. Yang Mulia Sàgata membalas dengan asap yang lebih dahsyat. 

Nàga itu terluka dan meniupkan api. Tetapi Yang Mulia Sàgata yang 

memasuki pencapaian Jhàna dengan berkonsentrasi pada unsur 

panas menghasilkan api yang lebih dahsyat.

lalu   nàga itu menyadari bahwa ia berhadapan dengan 

sesorang yang lebih sakti daripadanya. Ia berkata, “Yang Mulia, 

aku berlindung kepadamu.” Yang Mulia Sàgata berkata, “Engkau 

tidak perlu berlindung kepadaku, berlindunglah kepada Buddha.” 

“Baiklah, Yang Mulia,” nàga itu berkata. Ia menjadi siswa Buddha, 

berlindung dalam Tiga Perlindungan, dan menjadi sahabat para 

warga  . Hujan turun sesuai musimnya dan panen berlimpah. 

(Komentar Aïguttara). sesudah   Yang Mulia Sàgata menjinakkan nàga 

itu, ia bergabung dengan Buddha di Desa Bhaddhivatika.

Kunjungan Buddha ke Kosambã

sesudah   memberi   Pencerahan kepada banyak orang yang 

layak memperolehnya, Buddha pergi ke Kosambã. Para warga   

2801

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

Kosambã telah mendengar berita bahwa Yang Mulia Sàgata telah 

bertempur melawan nàga dan menaklukkannya. saat   Buddha 

tiba di Kosambã, Beliau disambut oleh para warga  . Mereka 

datang untuk menemui Yang Mulia Sàgata, bersujud kepadanya, 

dan duduk di tempat yang semestinya, mereka berkata, “Yang 

Mulia, benda langka apakah yang dapat kami persembahkan untuk 

menghormatimu? Benda apakah yang engkau sukai? Benda apakah 

yang harus kami persiapkan untuk menghormatimu?” Walaupun 

Yang Mulia Sàgata tidak berkata apa-apa, bhikkhu dari Kelompok 

Enam mencampuri dan berkata, “Umat penyumbang, ada minuman 

merah seperti warna kaki burung merpati dan jernih. Minuman 

beralkohol itu yaitu   benda langka bagi para bhikkhu, benda itu 

juga menyenangkan. Maka persiapkanlah minuman itu.”

Tentang Kelompok Enam, Chabbaggã

Di Sàvatthã, terdapat enam sahabat yang menganggap mencari 

nafkah yaitu   kehidupan yang menyusahkan dan menyukai hidup 

nyaman sebagai bhikkhu. Mereka yaitu   (1 & 2) Paõóuka dan 

Lohitaka, si kembar; (3 & 4) Mettiya dan BhÃ¥majaka, si kembar; dan 

(5 & 6) Assaji dan Punabbasuka, si kembar. Mereka mencari bhikkhu 

senior yang berpengaruh, yaitu, dua Siswa Utama, sebagai penahbis 

mereka, yang dapat mereka andalkan jika terjadi masalah.

(sesudah   lima tahun menjadi bhikkhu dan telah menguasai peraturan-

peraturan dasar bhikkhu, (Màtikà), mereka sepakat untuk berpisah 

dalam tiga kelompok dan menetap di tempat-tempat yang makmur. 

Hal ini bertujuan untuk memastikan penghidupan mereka.)

(Kelompok pertama dengan (1) Paõóuka dan (2) Lohitaka sebagai 

pemimpin, berdasarkan kesepakatan Kelompok Enam, pergi ke 

Sàvatthã dengan pertimbangan: Sàvatthã yaitu   kota dengan 5,7 

juta rumah yang dihuni oleh keluarga-keluarga kaya. Menguasai 

provinsi Kàsi dan Kosala yang memiliki delapan puluh ribu desa, 

Paõóuka dan Lohitaka mendirikan vihàra di lokasi strategis di 

Sàvatthã, dengan pohon buah-buahan dan taman untuk menarik 

perhatian para umat penyokong. Buah-buahan dan bunga-bungaan 

ini akan diberikan kepada para umat penyumbang, yang sesudah   

2802


menjadi bersahabat, akan menyerahkan putra mereka ke vihàra 

untuk ditahbiskan menjadi sàmaõera. Dengan demikian banyak 

siswa bhikkhu yang menjadi pengikut dua pemimpin itu.

(Kelompok kedua (3) Mettiya dan (4) BhÃ¥majaka, berdasarkan 

kesepakatan, pergi ke Ràjagaha dengan pertimbangan: Ràjagaha 

yaitu   kota dengan 130 juta warga  . Menguasai Provinsi Aïga 

dan Magadha yang luasnya tiga ratus yojanà dan memiliki delapan 

puluh ribu desa. Mettiya dan BhÃ¥majaka mendirikan vihàra di 

lokasi strategis di Ràjagaha, dengan pohon buah-buahan dan taman 

untuk menarik perhatian para umat penyokong. Buah-buahan dan 

bunga-bungaan ini akan diberikan kepada para umat penyumbang, 

yang sesudah   menjadi bersahabat, akan menyerahkan putra mereka 

ke vihàra untuk ditahbiskan menjadi sàmaõera. Dengan demikian 

banyak siswa bhikkhu yang menjadi pengikut dua pemimpin itu.

(Kãñàgiri yaitu   sebuah kota perdagangan yang dikelilingi oleh 

wilayah yang luas. sebab   hujan turun di musim hujan dan juga 

di musim dingin, kota itu menghasilkan panen padi tiga kali 

dalam setahun. Kelompok ketiga dipimpin oleh (5) Assaji dan (6) 

Punabbasuka harus menetap di kota ini. Mereka mendirikan vihàra 

di lokasi strategis di dekat kota ini, dengan pohon buah-buahan 

dan taman untuk menarik perhatian para umat penyokong. Buah-

buahan dan bunga-bungaan ini akan diberikan kepada para umat 

penyumbang, yang sesudah   menjadi bersahabat, akan menyerahkan 

putra mereka ke vihàra untuk ditahbiskan menjadi sàmaõera. 

Dengan demikian banyak siswa bhikkhu yang menjadi pengikut 

dua pemimpin itu.

(Enam pemimpin kelompok itu melaksanakan rencana di atas 

dengan sukses. Masing-masing kelompok mampu memimpin lima 

ratus (atau lebih) siswa bhikkhu sehingga seluruhnya terdapat lebih 

dari lima belas ribu siswa bhikkhu yang menjadi pengikut mereka, 

yang dikenal sebagai aliran ‘Kelompok Enam Bhikkhu.’)

(Dari enam pemimpin ini  , kelompok Paõóuka dan Lohitaka 

bersama lima ratus siswa mereka memiliki moralitas yang baik. 

Mereka biasanya menyertai Buddha dalam melakukan perjalanan. 

2803

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

Walaupun mereka mungkin melakukan pelanggaran baru dari 

peraturan kebhikkhuan, mereka melakukannya sebab   belum ada 

peraturan mengenai perbuatan ini  . Empat pemimpin lainnya 

dan para pengikutnya tidak memedulikan peraturan―Komentar 

Nikàya Vol. 2)

Para warga   Kosambã yaitu   orang-orang yang sederhana. 

Mereka menuruti nasihat bhikkhu dari ‘Kelompok Enam’ itu dengan 

tulus. Mereka membuat minuman merah jernih bagaikan kaki 

burung merpati, yang disebut Kàpotika. Sewaktu Yang Mulia Sàgata 

melewati pintu rumah mereka, setiap rumah mempersembahkan 

minuman langka itu kepada Yang Mulia Sàgata. Pada waktu itu 

belum ada peraturan Vinaya yang melarang bhikkhu meminum 

minuman keras. Yang Mulia Sàgata tidak menganggapnya tidak 

boleh meminumnya. Ia didesak oleh penyumbangnya untuk minum 

sedikit di setiap rumah. saat   ia meninggalkan kota, ia jatuh di 

gerbang kota.

saat   Buddha meninggalkan kota disertai oleh para bhikkhu, Beliau 

melihat Yang Mulia Sàgata berbaring di tanah. Beliau meminta 

para bhikkhu membawa Yang Mulia Sàgata pulang ke vihàra. 

Tiba di vihàra, para bhikkhu membaringkan Yang Mulia Sàgata 

dengan kepala menghadap Buddha, tetapi Yang Mulia Sàgata yang 

dalam keadaan mabuk sebab   alkohol memutar dirinya dengan 

kaki menghadap Buddha. lalu   Buddha berkata kepada para 

bhikkhu:

Buddha, “Para bhikkhu, bukankah Sàgata biasanya memiliki rasa 

hormat terhadap-Ku?”

Para bhikkhu, “Ya, Yang Mulia.”

Buddha, “Sekarang, apakah Sàgata menghormati-Ku?”

Para bhikkhu, “Tidak, Yang Mulia.”

Buddha, “Para bhikkhu, bukankah Sàgata telah menaklukkan nàga 

di perahu pohon mangga?”

Para bhikkhu, “Ya, Yang Mulia.”

Buddha, “Dalam keadaan sekarang ini, apakah Sàgata mampu 

menaklukkan nàga?”

Para bhikkhu, “Tidak, Yang Mulia.”

2804


Buddha, “Para bhikkhu, dengan meminum minuman keras, 

seseorang akan kehilangan kesadaran sebab   mabuk. Apakah baik 

bagi seseorang meminum minuman keras?”

Para bhikkhu, “Tidak, Yang Mulia.”

Buddha melanjutkan, “Para bhikkhu, meminum minuman 

beralkohol yaitu   tidak baik, salah, tidak dibenarkan, tidak pantas 

bagi seorang bhikkhu, tetapi Bhikkhu Sàgata, yang telah mencapai 

lima kekuatan batin, meminumnya. Mengapa ia melakukannya? 

para bhikkhu, ini yaitu   perbuatan yang tidak menghasilkan 

penghormatan dari mereka yang tidak memiliki rasa hormat 

kepada seorang bhikkhu….” sesudah   mencela perbuatan itu, Buddha 

menyatakan bahwa bhikkhu yang meminum minuman beralkohol 

telah melakukan pelanggaran Pàcittiya. (Dikutip dari Vinaya Piñaka, 

bagian Pàcittiya, Suràpàna Sikkhàpada.)

Pencapaian Kearahattaan

Keesokan harinya, kesadaran Yang Mulia Sàgata pulih kembali 

dan menyesali kesalahannya. Rasa malu dan takut menyerangnya. 

sesudah   mengakui kesalahannya kepada Buddha dan bersujud, emosi 

religiusnya bangkit, dan dengan tekun dalam mengembangkan 

Pandangan Cerah, segera ia mencapai Kearahattaan.

(c) Gelar Etadagga

Pada lalu   hari, saat   Buddha mengadakan pertemuan para 

bhikkhu di Vihàra Jetavana, Beliau menyatakan:

“Etadaggaÿ bhikkhave mama sàvakànaÿ bhikkhÃ¥naÿ tejo dhàtu-

kusalànaÿ yadidaÿ Sàgato,” “Para bhikkhu, di antara para bhikkhu 

siswa-Ku yang mahir berdiam dalam Jhàna dengan berkonsentrasi 

pada unsur panas, Bhikkhu Sàgata yaitu   yang terbaik.”

Demikianlah kisah Thera Sàgata

2805

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

(40) Thera Ràdha

(a) Cita-cita masa lampau

(Dalam menjelaskan cita-cita masa lampau Yang Mulia Ràdha, 

kita mengutip dari Komentar Theragàthà, sebab   lebih informatif 

daripada Komentar Aïguttara.)

Bakal Ràdha terlahir dalam keluarga kaya di Kota Haÿsàvatã 

pada masa kehidupan Buddha Padumuttara. sesudah   dewasa, ia 

berkunjung ke vihàra, dan sesudah   bersujud kepada Buddha, ia 

duduk di tempat yang semestinya. lalu   ia menyaksikan 

Buddha menganugerahkan gelar terbaik dalam hal menerangi 

Dhamma kepada para pendengarnya. Orang kaya itu berkeinginan 

kuat untuk mendapatkan gelar yang sama dalam masa Pengajaran 

Buddha pada masa depan. Ia memberi   persembahan istimewa 

kepada Buddha dan mengungkapkan cita-citanya ini  .

Kehidupan Sebagai Orang Kaya Pada Masa Buddha Vipassã

Orang kaya itu sesudah   bercita-cita untuk menjadi Siswa Besar 

pada masa Buddha Padumuttara, dan sesudah   banyak kehidupan 

yang diisi dengan banyak kebajikan, ia terlahir kembali sebagai 

orang kaya pada masa Buddha Vipassã. Ia bertemu dengan Buddha 

Vipassã yang sedang mengumpulkan dàna makanan dan muncul 

keyakinan mendalam terhadap Buddha dan mempersembahkan 

sebutir mangga yang lezat kepada Buddha.

(b) Kehidupan pertapaan dalam kehidupan terakhir

Berkat kebajikan itu, orang kaya itu terlahir kembali di alam dewa. 

sesudah   kehidupannya di alam dewa itu ia terlahir kembali hanya 

di alam dewa dan di alam manusia dan melakukan lebih banyak 

kebajikan lagi. Pada masa Buddha Gotama ia terlahir kembali 

sebagai pemuda brahmana bernama Ràdha di Kota Ràjagaha. Ia 

menikah dan saat   berusia lanjut ia tidak menikmati kehidupan 

bersama istrinya. Ia pergi ke vihàra tetapi permohonannya untuk 

menjadi bhikkhu ditolak oleh semua bhikkhu, sebab   mereka tidak 

2806


tertarik dengan murid yang sudah tua yang tidak mampu melayani 

mereka.

Brahmana Ràdha, telah menjadi lemah sebab   usia tua, terlihat 

bahkan lebih tua lagi sebab   berulang-ulang ditolak untuk bergabung 

dalam Saÿgha dan penampilannya menjadi menyedihkan dengan 

sosok kurus bagaikan tengkorak, lemah, pucat bagaikan daun 

kering dengan urat yang menjalar di seluruh tubuhnya bagaikan 

jaring. Suatu hari ia menghadap Buddha dan sesudah   saling bertukar 

sapa, ia duduk di tempat yang semestinya. Buddha melihat bahwa 

brahmana tua itu memiliki jasa yang cukup untuk mencapai 

Pengetahuan Jalan. sebab   itu Beliau memulai percakapan dengan 

bertanya, “Brahmana, apakah engkau diperhatikan oleh istri dan 

anak-anakmu?” Brahmana tua itu menjawab, “O Gotama, aku 

tidak diperhatikan oleh istri dan anak-anakku. Bahkan mereka 

memperlakukan aku seperti seorang asing sebab   aku sudah tua 

dan tidak berguna bagi mereka.” “Brahmana, kalau begitu, Ràdha, 

tidakkah lebih baik engkau menjalani kehidupan kebhikkhuan?”

Rasa Terima Kasih Thera Sàriputta

“O Gotama, siapakah yang sudi menahbiskan aku menjadi 

seorang bhikkhu? Tidak ada bhikkhu yang sudi bertindak sebagai 

penahbisku sebab   usiaku yang telah lanjut.” Buddha lalu   

bertanya kepada para bhikkhu mengapa brahmana tua itu terlihat 

begitu kurus dan lemah. Para bhikkhu menjawab bahwa ia terlihat 

begitu sedih dan putus asa sebab   ia tidak dapat menemukan 

seorang penahbis. “Para bhikkhu, adakah seorang bhikkhu yang 

merasa berkewajiban untuk menahbiskan brahmana ini?”

lalu   Yang Mulia Sàriputta berkata, “Yang Mulia, aku ingat jasa 

baik yang pernah dilakukan oleh brahmana ini kepadaku.” “Apakah 

itu?” tanya Buddha. “Yang Mulia, saat   aku mengumpulkan 

dàna makanan di Ràjagaha, ia mempersembahkan sesendok nasi. 

Aku ingat perbuatan baiknya itu terhadapku.” “Bagus, Sàriputta, 

bagus sekali. Seorang mulia tidak melupakan perbuatan baik yang 

dilakukan terhadapnya, dan ia merasa wajib untuk membalas hutang 

kebajikan itu. Kalau begitu, Sàriputta, tahbiskanlah brahmana ini 

2807

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

menjadi sàmaõera lalu   menjadi bhikkhu.”

“Yang Mulia, dengan cara penahbisan apakah aku harus 

menahbiskannya?” Buddha membabarkan khotbah sehubungan 

dengan pertanyaan Yang Mulia Sàriputta dan menyatakan, “Para 

bhikkhu, mulai saat ini, cara penahbisan seseorang menjadi bhikkhu 

dengan memberi   tuntunan Tiga Perlindungan dinyatakan tidak 

berlaku lagi. Selanjutnya seorang sàmaõera harus ditahbiskan oleh 

sekelompok bhikkhu sesudah   pengajuan resmi sebanyak tiga kali, 

jika tidak ada keberatan, maka sàmaõera ini   boleh ditahbiskan. 

Ini yaitu   cara pertama penahbisan yang disebut prosedur ¤atti 

catuttha.

(Catatan: Buddha mencapai Pencerahan Sempurna pada hari 

purnama bulan Vesàkha, 103 Mahà Era. Ia melewatkan vassa 

pertama-Nya di Taman Rusa. Di akhir vassa pertama itu, Beliau 

menginstruksikan enam puluh siswa bhikkhu pertama, semuanya 

Arahanta, ke empat penjuru untuk menyebarkan Dhamma. Beliau 

pertama-tama menahbiskan bakal bhikkhu baru menjadi sàmaõera, 

dan lalu   menjadi bhikkhu, yang diajukan oleh enam puluh 

Arahanta yang telah memberi   tuntunan Tiga Perlindungan 

kepada mereka. Buddha sendiri juga memakai   cara yang 

sama. lalu  , mempertimbangkan jauhnya jarak yang harus 

ditempuh bakal bhikkhu baru menuju vihàra Buddha, penahbisan 

dengan cara ini diizinkan oleh Buddha di tempat-tempat mereka 

bergabung dengan Saÿgha.

(Pada hari purnama di bulan Phussa di tahun yang sama Buddha 

menetap di Ràjagaha. Dua minggu lalu  , dua Siswa Utama 

beserta pengikut mereka menjadi bhikkhu, pada hari ketujuh 

sesudah   menjadi bhikkhu, Yang Mulia Mahà Moggallàna menjadi 

seorang Arahanta. Pada hari kelima belas (bulan Màgha), Yang 

Mulia Sàriputta menjadi seorang Arahanta. Penahbisan Brahmana 

Ràdha terjadi antara hari purnama bulan Màgha dan hari purnama 

bulan Phagguna.

Yang Mulia Sàriputta telah mengetahui bahwa saat   Buddha 

menetap di Taman Rusa di Hutan Migadàya, penahbisan dari 

2808


sàmaõera menjadi bhikkhu dilakukan dengan memberi   

tuntunan Tiga Perlindungan. Tetapi mengapakah ia menanyakan 

tentang cara penahbisan dalam kasus ini?

Jawabannya yaitu  : Yang Mulia Sàriputta yang selalu mendampingi 

Buddha mengetahui kehendak Buddha. Sesungguhnya, ia yaitu   

yang terbaik di antara para pendamping Buddha. Ia telah menebak 

bahwa Buddha sedang berpikir untuk mengajarkan cara penahbisan 

baru yang lebih ketat daripada cara sederhana memberi   

tuntunan Tiga Perlindungan. Sejak Buddha menetap di Ràjagaha, 

jumlah para Arahanta juga telah berkembang hingga lebih dari 

dua puluh ribu. Ketepatan Yang Mulia Sàriputta dalam memahami 

pikiran Buddha juga terungkap dalam kesempatan lain. Sehubungan 

dengan Ràhula, putra Buddha. Pada tahun 103 Mahà Era, menjelang 

kunjungan Buddha ke kota asal-Nya, Kota Kapilavatthu. Perjalanan 

itu memakan waktu dua bulan. Pada hari ketujuh sejak Beliau tiba, 

putra-Nya, Ràhula, (saat itu berusia tujuh tahun), meminta warisan. 

Buddha memberi   warisan (yang paling berharga) dengan berkata 

kepada Yang Mulia Sàriputta untuk menahbiskan Ràhula sebagai 

sàmaõera. Pada kesempatan itu, Yang Mulia Sàriputta, mengetahui 

bahwa penahbisan menjadi sàmaõera dilakukan dengan cara 

memberi   tuntunan Tiga Perlindungan, bertanya kepada Buddha, 

“Yang Mulia, dengan cara apakah aku menahbiskan Pangeran 

Ràhula menjadi seorang sàmaõera?”

(Praktik terdahulu yang dilakukan di Taman Rusa, yaitu memberi   

penahbisan menjadi sàmaõera dan menjadi bhikkhu dengan 

memberi   tuntunan Tiga Perlindungan. Tetapi dalam kasus Ràdha, 

penahbisan menjadi bhikkhu dilakukan oleh sekelompok Saÿgha 

yang mengajukan usulan sebanyak tiga kali untuk penahbisan 

oleh penahbis dan jika Saÿgha setuju (dengan berdiam diri), maka 

penahbisan itu terjadi. Tetapi dalam hal penahbisan sàmaõera, Yang 

Mulia Sàriputta memahami kehendak Buddha bahwa penahbisan 

sàmaõera dapat dilakukan dengan cara memberi   tuntunan 

Tiga Perlindungan atau melalui kelompok resmi. sebab   itu 

untuk mendapatkan persetujuan dari Buddha untuk melakukan 

penahbisan dengan cara memberi   tuntunan Tiga Perlindungan 

kepada Ràhula, Yang Mulia Sàriputta mengajukan pertanyaan itu 

2809

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

kepada Buddha. Komentar Vinaya Mahà Vagga.)

Kehidupan Pertapaan Ràdha dan Pencapaian Kearahattaan

Yang Mulia Sàriputta, dengan penuh hormat mematuhi perintah 

Buddha, bertindak sebagai penahbis dalam kelompok resmi 

dan menahbiskan Brahmana Ràdha ke dalam Saÿgha. Ia tahu 

bahwa Buddha menghormati brahmana itu dan sebab   itu sesudah   

penahbisan ia secara pribadi memerhatikan kesejahteraan bhikkhu 

tua ini  .

Ia membawa Yang Mulia Ràdha ke tempat tinggalnya di dalam 

hutan. Seorang bhikkhu yang junior dalam kebhikkhuan memiliki 

sedikit hak dalam hal empat kebutuhan. Yang Mulia Sàriputta 

yang yaitu   seorang bhikkhu senior menikmati prioritas dalam 

menerima empat kebutuhan ini. Ia membaginya dengan Yang Mulia 

Ràdha, sedangkan ia sendiri hidup dari dàna makanan yang ia 

kumpulkan setiap hari. Demikianlah, sebab   berbagi tempat tinggal 

dan makanan dengan penahbisnya, Yang Mulia Sàriputta, maka 

Yang Mulia Ràdha menjadi sehat secara fisik. lalu  , dengan 

menjalani instruksi dalam melatih Jalan Mulia dari penahbisnya, 

Yang Mulia Ràdha berlatih dengan tekun dan segera mencapai 

Kearahattaan.

Alãnacitta Jàtaka

lalu   Yang Mulia Sàriputta mengajak Yang Mulia Ràdha untuk 

memberi hormat kepada Buddha. Walaupun Buddha mengetahui 

kemajuan Yang Mulia Ràdha, Beliau tetap bertanya kepada Yang 

Mulia Sàriputta, “Sàriputta, Aku telah menyerahkan Bhikkhu Ràdha 

di bawah bimbinganmu. Bagaimanakah Ràdha? Apakah ia bahagia 

di dalam kebhikkhuan?” Yang Mulia Sàriputta menjawab, “Yang 

Mulia, jika ada seorang bhikkhu yang mendapatkan kepuasan penuh 

di dalam Dhamma, maka ia yaitu   Bhikkhu Ràdha.”

lalu   terjadi diskusi di antara para bhikkhu yang memuji Yang 

Mulia Sàriputta. Mereka berkata, “Teman-teman Sàriputta memiliki 

rasa terima kasih yang kuat dan ia juga cenderung membalas hutang 

2810


budi itu.” saat   Buddha mendengar kata-kata itu, Beliau berkata 

kepada para bhikkhu, “Para bhikkhu, tidaklah mengherankan 

bahwa Yang Mulia Sàriputta dalam kehidupan terakhirnya dapat 

mengingat hutang budi dan membalasnya. Bahkan pada masa 

lampau saat   ia terlahir sebagai binatang ia juga memiliki rasa 

terima kasih ini.” Para bhikkhu lalu   memohon agar Buddha 

menceritakan kepada mereka kisah yang berhubungan dengan 

Yang Mulia Sàriputta itu. Buddha menceritakan Alãnacitta Jàtaka 

(Duka Nipàta).

Para bhikkhu, pada masa lampau hiduplah di kaki sebuah bukit 

lima ratus tukang kayu yang biasanya menebang pohon di hutan, 

memotong-motongnya dan mengapungkan kayu itu memakai   

rakit. Pada suatu saat   seekor gajah terluka di hutan sebab   tertusuk 

ranting pohon. Potongan kayu itu menusuk kakinya begitu parah 

sehingga ia tidak dapat bergerak dengan leluasa.

sesudah   dua atau tiga hari, gajah luka itu melihat sekelompok 

manusia melewati jalannya setiap hari, dan berharap mereka akan 

dapat menolongnya. Ia mengikuti orang-orang itu. saat   orang-

orang itu melihat gajah itu mengikuti mereka, mereka menjadi 

ketakutan dan melarikan diri. Gajah itu tidak mengejar mereka, 

tetapi berhenti di tempatnya. saat   para tukang kayu itu berhenti 

berlari, gajah itu mendekati mereka lagi.

Si pemimpin tukang kayu yang bijaksana, merenungkan perilaku 

gajah itu. “Gajah ini mendatangi kami saat kami berhenti, tetapi ia 

berhenti saat kami melarikan diri darinya. Pasti ada alasannya.” 

lalu   orang itu memanjat pohon dan mengamati gerakan gajah 

itu. Gajah itu mendekati mereka dan, sesudah   menunjukkan luka di 

kakinya, ia berbaring. Para tukang kayu itu memahami perbuatan 

gajah itu sekarang. Ia terluka parah dan mencari bantuan. Mereka 

mendatangi gajah itu dan memeriksa lukanya. lalu   mereka 

memotong ujung kayu yang menembus kaki gajah itu sehingga 

menimbulkan lekukan di kayu ini  , lalu   mengikatkan 

tali ke lekukan kayu ini   lalu   menarik kayu itu. Mereka 

membalut luka itu, mencucinya dengan tanaman-tanaman obat, 

mengoleskan obat semampu mereka. Tidak lama lalu   luka 

2811

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

ini   sembuh dan gajah ini   baik kembali.

Dengan rasa terima kasih, gajah itu berpikir untuk membalas budi. 

Ia kembali ke sarangnya dan kembali lagi membawa seekor anak 

gajah putih. Anak gajah itu itu berasal dari jenis gajah putih yang 

terbaik yang disebut Gandha. Para tukang kayu itu gembira melihat 

gajah itu kembali dengan seekor anak gajah. Gajah itu bukan hanya 

memperlihatkan anak gajah mulia ini  , ia bermaksud untuk 

memberi  nya sebagai hadiah kepada penolongnya. Untuk 

menegaskan kehendaknya, ia pergi sendirian dari tempat itu.

Anak gajah itu mengikutinya, tetapi gajah ayah itu memberi   

isyarat agar anak gajah itu kembali kepada orang-orang itu. Anak 

gajah itu menurut. Orang-orang itu lalu   berkata kepada 

anak gajah itu, “O anak baik, engkau tidak berguna bagi kami. 

Kembalilah kepada ayahmu.” Anak gajah itu pulang tetapi ayahnya 

tidak menerimanya. Tiga kali para tukang kayu itu mengusirnya, 

tetapi selalu ditolak oleh ayahnya. sebab   itu mereka terpaksa 

menerimanya. Lima ratus tukang kayu itu masing-masing 

memberi   segenggam nasi kepada anak gajah itu yang cukup 

untuk makanannya. Ia membantu mereka mengumpulkan kayu-

kayu yang telah dipotong, siap untuk diangkut.

(Komentar Aïguttara menceritakan kisah ini sampai batas ini untuk 

menunjukkan rasa terima kasih yang dimiliki oleh Yang Mulia 

Sàriputta sewaktu ia menjadi seekor gajah. Sekarang kita akan 

melanjutkan kisah ini yang dikutip dari Jàtaka.)

(Lanjutan Alãnacitta Jàtaka,) sejak saat itu, anak gajah putih itu 

menjadi bagian dari kelompok tukang kayu. Mematuhi perintah 

mereka, ia membantu dalam semua pekerjaan mereka. Para tukang 

kayu itu memberinya sebagian dari nasi mereka. Pada akhir hari, 

orang-orang itu dan si anak gajah pergi ke sungai untuk mandi dan 

bermain bersama.

Hal yang patut diperhatikan mengenai gajah mulia atau kuda 

mulia atau orang mulia: mereka tidak pernah membuang air kecil 

atau besar di dalam air, tetapi naik ke tanah yang kering untuk 

2812


melakukannya.

Suatu hari banjir besar datang dari hulu dari Bàràõasã. Dalam 

arus itu terdapat segumpal kotoran kering dari si gajah putih, dan 

terdampar di tempat cuci umum di Bàràõasã. lalu   penunggang-

penunggang gajah dari kerajaan membawa lima ratus ekor gajah ke 

sungai untuk dimandikan. Gajah-gajah itu mengendus-ngendus 

sekitar tempat itu, dan tercium bau kotoran gajah putih dan menjadi 

panik. Mereka tidak berani masuk ke air tetapi mencoba melarikan 

diri dengan ekor terangkat. Para penunggang gajah itu melaporkan 

keanehan itu kepada dokter gajah yang bertanggung jawab atas 

gajah-gajah itu. Dokter itu mengetahui bahwa pasti ada sesuatu 

dalam air yang menyebabkan kepanikan gajah-gajah itu. saat   

dilakukan pencarian, mereka menemukan kotoran gajah putih di 

semak-semak. Sekarang pemicu   ketakutan lima ratus gajah itu 

telah diketahui. lalu   kotoran gajah itu disiram hingga lenyap 

dari tempat itu. Lima ratus gajah itu lalu   dimandikan dengan 

air harum. Baru lalu   gajah-gajah itu mau masuk ke air.

Dokter gajah itu melaporkan hal itu kepada raja dan menyarankan 

agar raja mencari gajah mulia ini  . Raja memimpin sebuah 

ekspedisi yang terdiri dari satu armada besar pergi ke hulu hingga 

mereka tiba di tempat kerja para tukang kayu itu di kaki bukit. 

Anak gajah putih itu sedang mandi di sungai. Ia mendengar suara 

genderang kerajaan itu dan berlari ke arah majikannya, para tukang 

kayu, yang sedang menyambut raja. “Tuanku,” mereka berkata, 

“Engkau tidak perlu datang sendiri untuk mencari kayu. Engkau 

dapat mengutus seseorang untuk melakukan hal itu.” Raja berkata, 

“Teman-teman, kami bukan sedang mencari kayu. Kami harus 

mengambil anak gajah putih milikmu ini.” “Kalau begitu, O Raja, 

silakan ambil.”

Gajah muda itu tidak mau meninggalkan majikannya, dan tidak 

bergerak dari tempatnya berdiri. Dokter gajah itu ditanya dan dokter 

itu menjelaskan bahwa gajah muda itu ingin agar para majikannya 

dibayar sebab   telah merawatnya. Raja lalu   memerintahkan 

agar seratus ribu keping perak diletakkan di enam bagian tubuh 

gajah itu, empat kaki, belalai, dan ekornya. Gajah itu tetap tidak 

2813

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

bergerak. Ia ingin raja memberi   hadiah secara pribadi (juga). 

saat   semua tukang kayu, dan para istri mereka masing-masing 

telah menerima pakaian dan benda-benda mainan untuk anak-

anak mereka yang merupakan teman main anak gajah itu, maka 

anak gajah itu setuju untuk pergi dengan raja. Ia menatap sebagai 

ungkapan selamat berpisah kepada para tukang kayu itu, istri-istri 

dan anak-anak mereka sewaktu ia berjalan bersama raja.

Anak gajah itu dikawal masuk ke dalam kota dan mengelilingi kota 

itu tiga kali dalam suatu Ritual   yang megah, seluruh kota dan 

kandang gajah dihias dengan indah. lalu   ia dimasukkan ke 

dalam kandang gajah, dilengkapi dengan perlengkapan sebagai 

tunggangan raja. lalu   ia dilantik menjadi sahabat pribadi 

raja serta sebagai tunggangan raja. Ia mendapat setengah dari luas 

tanah kerajaan, dengan segala aspek keagungannya. Sejak hari 

kedatangannya, Bàràõasã menguasai seluruh Jambådãpa.

sesudah   beberapa waktu, Bakal Buddha dikandung dalam rahim 

Ratu Bàràõasã. Menjelang melahirkan, raja meninggal dunia. Berita 

kematian raja tidak diberitahukan kepada gajah itu sebab   khawatir 

gajah itu akan menjadi sedih.

Tetapi, berita itu tidak dapat dirahasiakan dalam waktu yang lama. 

sebab   berita kematian raja telah diketahui oleh provinsi tetangga 

yang dikuasai oleh Kosala, Raja Kosala menyerang Bàrànasã. Para 

warga   Bàràõasã mengirim utusan untuk menghadap Raja Kosala 

dengan pesan, “Ratu kami akan melahirkan anak dalam tujuh hari. 

Jika ratu melahirkan seorang putra, kami akan berperang. Sementara 

itu, sudilah Raja Kosala mempertahankan keadaan damai selama 

tujuh hari.” Raja Kosala menyetujui.

Ratu melahirkan seorang putra pada hari ketujuh. Kelahiran anak 

itu menggembirakan para warga   Bàràõasã, sebab   itu anak itu 

diberi nama Pangeran Alãnacitta, (artinya ‘pangeran yang membawa 

kegembiraan’).

Perang dimulai pada hari kelahiran pangeran, sesuai kesepakatan 

bersama, para pasukan dari kota yang terkepung itu, meskipun 

2814


tidak memiliki panglima perang, bertempur dengan berani namun 

semangat mereka telah menurun. Para menteri memberitahu 

ratu bahwa untuk menghindari kekalahan, gajah putih itu harus 

diberitahu tentang kematian raja, dan situasi kota tanpa raja yang 

dikepung oleh Raja Kosala. Ratu setuju. lalu   sesudah   menghias 

bayi pangeran itu dengan perlengkapan kerajaan, meletakkannya di 

atas sehelai kain putih, ia membawanya ke kandang gajah disertai 

oleh para menterinya dan menurunkan bayi itu di dekat kaki 

gajah putih ini  . Ia berkata, “O Gajah Putih Mulia, kami telah 

merahasiakan berita kematian raja darimu sebab   khawatir engkau 

akan menjadi sedih sebab  nya. Ini yaitu   pangeran, putra dari 

sahabatmu yang telah meninggal dunia, Raja. Sekarang kota kita 

sedang dikepung oleh Raja Kosala, ananda, sang pangeran, sedang 

berada dalam bahaya. Para prajurit yang mempertahankan kota itu 

sudah tidak bersemangat. Sekarang engkau boleh membunuh anak 

ini, atau menyelamatkannya dan tahtanya dari para musuh.”

lalu   gajah putih itu memeluk bayi itu dengan belalainya, 

mengangkatnya, dan meletakkan ke atas kepalanya, menangis 

sedih. memberi   isyarat bahwa ia siap bertindak, maksudnya, 

“Aku akan menangkap Raja Kosala hidup-hidup,” ia keluar dari 

kandang gajah. Para menteri lalu   memasangkan senjata rantai 

ke tubuh gajah itu dan, membuka gerbang kota, dan membiarkan 

ia keluar, dikelilingi oleh mereka. sesudah   keluar dari kota, gajah 

putih itu mengeluarkan suara lengkingan bagaikan suara burung 

bangau, berlari menembus para pengepungnya dan, mencengkeram 

gelungan rambut Raja Kosala, lalu   meletakkannya di kaki 

Pangeran Alãnacitta. sesudah   menakuti prajurit musuh yang 

mengancam sang pangeran, ia berkata kepada Raja Kosala, “Mulai 

saat ini, Raja Kosala, waspyaitu  . Jangan engkau meremehkan sang 

pangeran.” Dengan demikian Raja Kosala ditaklukkan.

Sejak saat itu, kekuasaan seluruh JambÃ¥dãpa berada di tangan 

Pangeran Alãnacitta. Tidak ada raja lain yang berani menantang 

kekuasaan sang pangeran. saat   sang pangeran, Bodhisatta, berusia 

tujuh tahun, ia dilantik menjadi Raja Alãnacitta. Ia memerintah 

dengan adil dan bijaksana dan saat meninggal dunia, ia terlahir 

kembali di alam dewa.

2815

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

(Alãnacitta Jàtaka pertama kali diceritakan oleh Buddha sehubungan 

dengan seorang bhikkhu tertentu yang meragukan praktik mulia. 

Pada kesempatan lain diceritakan sehubungan dengan rasa 

terima kasih yang diperlihatkan oleh Yang Mulia Sàriputta dalam 

kasus Yang Mulia Ràdha, hanya sebagian dari episode ini hanya 

berhubungan—hingga pada saat gajah mulia itu menyerahkan anak 

gajah putih itu kepada para penolongnya.)

sesudah   membabarkan kisah masa lampau ini  , Buddha 

mengucapkan dua syair berikut:

(1) Alãnacittaÿ nissàya, pahaññhà mahatã camÃ¥; 

 Kosalaÿ senàsantuññhaÿ, jãvaggàhaÿ agàhayi.

(1) “(Para bhikkhu,) dengan mengandalkan Pangeran Alãnacitta, 

Bodhisatta, pasukan besar Bàràõasã menangkap hidup-hidup, 

(melalui kekuatan gajah putih kerajaan), Raja Kosala yang masih 

belum puas dengan menguasai wilayahnya sendiri.

(2) Evaÿ nissaya sampanno, bhikkhu àraddhaviriyo; 

 Bhàvayam kusalaÿ dhammaÿ; yogakkhemassa pattiyà; 

 Pàpuõe anupubbena, sabbasaÿyojanàkkhayaÿ.

(2) “Demikian pula, dengan keberuntungan baik dapat memiliki 

Buddha dan para Ariya sebagai teman, seorang bhikkhu yang 

berusaha dengan tekun dapat mencapai Dhamma yang Baik (yaitu, 

Tiga Puluh Tujuh Faktor Pencerahan Sempurna dan mencapai 

Kearahattaan yang ditandai dengan padamnya semua belenggu, 

dan secara bertahap mencapai akhir dari empat perangkap 

(Nibbàna).”

sesudah   mengakhiri khotbah dengan pencapaian Keabadian sebagai 

tujuan tertinggi, Buddha melanjutkan dengan menjelaskan Empat 

Kebenaran Mulia, dan pada akhirnya bhikkhu yang ragu ini   

mencapai Pengetahuan Jalan. Kisah Jàtaka itu seperti biasa diakhiri 

dengan mengidentifikasikan individu-individu yang terlibat, yaitu: 

ratu, ibu Bodhisatta yaitu   Ratu Màyà dalam kehidupan sekarang; 

2816


Raja Bàràõasã yaitu   Raja Suddhodana; gajah putih kerajaan, yaitu   

si bhikkhu ragu; gajah dewasa, ayah si anak gajah putih yaitu   

Yang Mulia Sàriputta; Raja Kosala yaitu   Yang Mulia Moggallàna, 

Pangeran Alãnacitta yaitu   Buddha. Demikianlah kisah Alãnacitta 

Jàtaka yang terdapat dalam Duka Nipàta.

Buddha menceritakan kisah Jàtaka sehubungan dengan rasa terima 

kasih Yang Mulia Sàriputta, bagaimana dalam kehidupan lampau 

ia membalas budi. Sehubungan dengan Yang Mulia Ràdha, Buddha 

membabarkan empat puluh enam khotbah dalam empat Vagga. Baca 

2-Ràdha Saÿyutta, Khandha Vagga Saÿyutta, Saÿyutta Nikàya.

Lebih jauh lagi, saat   Yang Mulia Sàriputta membawa Yang Mulia 

Ràdha menghadap Buddha sesudah   Ràdha mencapai Kearahattaan, 

kedua siswa itu bersujud di hadapan Buddha, Buddha bertanya 

kepada Sàriputta, “Sàriputta, apakah siswamu Ràdha menerima 

nasihatmu dengan baik?” Yang Mulia Sàriputta menjawab, “saat   

kesalahannya ditunjukkan, ia tidak menunjukkan kebencian sedikit 

pun.” “Sàriputta, berapa banyak siswa yang mau menerima nasihat 

yang akan engkau terima?” “Yang Mulia, jika aku harus menerima 

siswa yang mau menerima nasihat seperti Bhikkhu Ràdha, aku akan 

menerima sebanyak yang datang kepadaku.”

lalu  , sesudah   menceritakan kisah masa lampau Yang Mulia 

Sàriputta seperti yang terdapat dalam Alãnacitta Jàtaka, betapa, 

bahkan sebagai seekor binatang, Sàriputta telah memperlihatkan 

rasa terima kasih, yang menjadi topik diskusi para bhikkhu, 

Buddha memuji kemuliaan Yang Mulia Ràdha sebagai berikut, “Para 

bhikkhu, seorang bhikkhu harus menerima nasihat seperti Bhikkhu 

Ràdha. saat   seorang guru menunjukkan kesalahan muridnya, si 

murid tidak boleh mendendam tetapi harus menerimanya seolah-

olah menerima harta yang ditunjukkan kepadanya.” Sehubungan 

dengan hal ini Buddha mengucapkan syair berikut:

Nidhãnaÿ va pavattàraÿ, 

yaÿ passe vajjadassinaÿ. 

Niggayhavàdiÿ medhàviÿ, tàdisaÿ paõóitaÿ bhaje. 

Tàdisaÿ bhajamànassa, 

2817

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

seyyo hoti na pàpiyo.

“(Para bhikkhu,) jika kalian bertemu dengan seseorang yang 

bijaksana yang menunjukkan kesalahan kalian dan memarahi 

kalian, kalian harus berteman dengan orang bijaksana itu sebab   

ia mengungkapkan harta tersembunyi kepadamu. Akan menjadi 

keuntungan dan bukan kerugian bagi seseorang yang mendapatkan 

teman yang bijaksana itu.”

Pada akhir khotbah itu, banyak pendengar yang mencapai 

Pengetahuan Jalan dalam berbagai tingkat. (Dhammapada, v.76).

(c) Gelar Etadagga

Sewaktu Buddha menganugerahkan kehormatan sebagai 

bhikkhu terbaik kepada siswa yang layak menerimanya, Beliau 

menyatakan:

“Etadaggaÿ bhikkhave mama sàvakànaÿ bhikkhÃ¥naÿ 

pañibhàneyyakànaÿ yadidaÿ Ràdho,” “Para bhikkhu, di antara para 

bhikkhu yang memberi   inspirasi kepada-Ku untuk mempertegas 

khotbah-khotbah-Ku, Bhikkhu Ràdha yaitu   yang terbaik.”

(Kecerdasan Yang Mulia Ràdha dan keyakinannya yang mendalam 

terhadap Dhamma merupakan sumber inspirasi bagi Buddha untuk 

mempertegas khotbah-khotbah-Nya. (Fakta ini dapat dibaca dari 

Ràdha Saÿyutta, khususnya enam Sutta terakhir dalam Vagga 

pertama, dan seluruh Vagga keempat). Istilah Pañibhàneyyaka 

diartikan sebagai: Pañibhànaÿ janentãti pañibhàneyyakà, ‘para siswa 

yang meningkatkan keterampilan Buddha dalam membabarkan 

khotbah.’)

Demikianlah kisah Thera Ràdha.

(41) Thera Mogharàja

(Kisah Yang Mulia Mogharàja dirangkum dari Komentar Aïguttara 

Nikàya dan Komentar Pàrayana Vagga dari Sutta Nipàta.)

2818


(a) Cita-cita masa lampau

Bakal Mogharàja terlahir dalam keluarga kaya di Kota Haÿsàvatã 

pada masa kehidupan Buddha Padumuttara. Suatu saat   ia 

mendengarkan khotbah Buddha dan menyaksikan seorang bhikkhu 

yang dinyatakan oleh Buddha sebagai yang terbaik di antara para 

siswa-Nya yang mengenakan jubah yang rendah dalam tiga hal, 

yaitu, rendah dalam bahan kainnya, rendah dalam benangnya, dan 

rendah dalam celupannya. Orang kaya itu berkeinginan kuat untuk 

mendapatkan gelar yang sama dalam masa Pengajaran Buddha pada 

masa depan. Ia memberi   persembahan luar biasa kepada Buddha 

dan mengungkapkan cita-citanya ini  . Buddha meramalkan 

bahwa cita-citanya akan tercapai.

Kehidupan Sebagai Menteri Raja Kaññhavàhana

Orang kaya itu melakukan banyak kebajikan seumur hidupnya 

dan saat meninggal dunia ia terlahir kembali di alam manusia dan 

alam dewa silih berganti. Sebelum munculnya Buddha Kassapa, ia 

terlahir kembali di Kota Kaññhavàhana dalam sebuah keluarga mulia. 

sesudah   dewasa ia menjadi seorang pejabat dari Raja Kaññhavàna dan 

lalu   diangkat sebagai menteri.

Sekarang kita akan membahas kisah Raja Kaññhavàhana secara 

terperinci seperti yang terdapat dalam Komentar Sutta Nipàta, 

Vol. 2. Sebelum munculnya Buddha Kassapa, hiduplah seorang 

tukang kayu yang terampil, seorang warga   Bàràõasã, yang 

keahliannya tidak tertandingi. Ia memiliki enam belas murid senior 

yang masing-masing memiliki seribu pekerja. Dengan demikian, 

terdapat 16.017 tukang kayu termasuk guru yang mencari nafkah 

di Bàràõasã. Mereka pergi ke hutan dan mengumpulkan berbagai 

jenis kayu, membuat berbagai benda dan perabot berkualitas tinggi 

yang dipakai oleh raja dan kaum mulia di kota, dan membawa 

barang-barang seni mereka ke Bàràõasã memakai   rakit. Katika 

raja ingin membangun beberapa istana, dari istana bertingkat satu 

hingga istana bertingkat tujuh, mereka mengerjakannya hingga raja 

puas dan gembira. Mereka juga membangun berbagai bangunan 

untuk para warga  .

2819

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

Membangun Mesin Terbang

Si tukang kayu ahli suatu hari memiliki gagasan, “Terlalu sulit 

bagiku untuk mencari nafkah sebagai tukang kayu di usia lanjut; 

(aku harus melakukan sesuatu).” Ia memerintahkan murid-

muridnya untuk mengumpulkan kayu-kayu ringan untuk membuat 

mesin terbang berbentuk burung garuda. sesudah   memasang mesin 

ke dalamnya, ia menyalakan mesin itu yang menyebabkan benda 

itu terbang ke angkasa bagaikan burung. Ia terbang ke hutan tempat 

murid-muridnya sedang bekerja dan mendarat di sana.

Ia berkata kepada murid-muridnya, “Anak-anak, marilah kita 

membuat mesin-mesin terbang seperti ini dan dengan kekuatan 

kita, kita akan dapat menguasai JambÃ¥dãpa. Sekarang, tirulah mesin 

terbang ini. Kita harus keluar dari pekerjaan membosankan sebagai 

tukang kayu.” Murid-muridnya berhasil membuat mesin terbang 

yang sama dan melaporkan kepada guru. “Sekarang, kota manakah 

yang akan kita taklukkan?” tanya sang guru. “Mari kita taklukkan 

Bàràõasã, Guru,” mereka menyarankan. “Tidak bisa, anak-anak. Kita 

dikenal sebagai tukang kayu di Bàràõasã. Bahkan jika kita berhasil 

menaklukkan dan menguasainya, semua orang tahu bahwa kita 

hanyalah tukang kayu. JambÃ¥dãpa yaitu   tempat yang luas. Mari 

kita mencoba keberuntungan kita di tempat lain.” Demikianlah 

nasihat sang guru. Murid-murid itu setuju.

Naik Tahta Sebagai Raja Kaññhavàhana

Kelompok tukang kayu yang beranggotakan 16.017 orang itu 

memasukkan masing-masing anggota keluarga mereka ke dalam 

mesin terbang, dan membawa senjata, terbang ke arah Pegunungan 

Himalaya. Mereka memasuki kota, berkumpul di istana kerajaan, 

dan menurunkan raja dari tahta, dan selanjutnya mengangkat si guru 

tukang kayu sebagai raja. sebab   ia yaitu   penemu mesin terbang 

dari kayu, ia dinamai Raja Kaññhavàhana (‘ia yang mengendarai 

kendaraan terbuat dari kayu’); berdasarkan nama raja itu, kota dan 

negeri itu juga dikenal dengan nama yang sama. Seorang putra 

mahkota ditunjuk dan dewan yang beranggotakan enam belas 

menteri dibentuk. Raja dan semua pejabat tinggi negeri itu menjalani 

2820


pemerintahan dengan jujur. Raja mengulurkan bantuan yang 

diperlukan kepada para warga   sesuai prinsip empat bantuan 

mengakibatkan para warga   hidup dengan penuh kebahagiaan 

dan kemakmuran, hanya sedikit sekali terjadi bahaya. Semua orang 

memuji raja dan para pejabatnya. Mereka mencintai, menghormati, 

dan mengandalkan raja dan para pejabatnya itu.

Bersahabat Dengan Raja Bàràõasã

Suatu hari sekelompok pedagang dari Bàràõasã datang ke 

Kaññhavàhana membawa barang-barang dagangan mereka. Mereka 

diterima oleh Raja Kaññhavàhana, raja bertanya kepada mereka dari 

mana asal mereka. sesudah   diberitahu bahwa mereka menetap di 

Bàràõasã, raja berkata kepada mereka:

“O Sahabat, aku ingin bersahabat dengan Raja Bàràõasã. Dapatkah 

kalian membantuku?” Para pedagang itu dengan gembira 

memberi   bantuan. Selama mereka berdiam di Kaññhavàhana, raja 

menyediakan segala kebutuhan mereka dan saat mereka pulang, 

mereka diingatkan kembali tentang bantuan untuk membina 

persahabatan antara kedua kota itu.

Saat para pedagang itu tiba kembali di Bàràõasã, mereka melaporkan 

kepada raja mereka tentang pesan yang disampaikan oleh Raja 

Kaññhavàhana melalui mereka. Raja gembira. Dengan diiringi tabuhan 

genderang ia mengumumkan bahwa para pedagang Kaññhavàhana 

yang menjual barang-barang dagangan mereka di Bàràõasã akan 

dibebaskan dari kewajiban membayar pajak. Demikianlah kedua 

raja yang tidak pernah bertemu itu menjalin persahabatan. Raja 

Kaññhavàhana juga membalas dengan mengumumkan bahwa 

pedagang Bàràõasã yang berdagang di kotanya juga dibebaskan 

dari kewajiban membayar pajak. Ia juga memerintahkan agar para 

pedagang Bàràõasã disediakan semua kebutuhan mereka dari 

gudang istana.

Raja Bàràõasã mengirim pesan kepada Raja Kaññhavàhana yang 

mengatakan bahwa jika terdapat sesuatu yang berharga di 

wilayah Kaññhavàhana, yang terlihat atau terdengar, agar Raja 

2821

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

Kaññhavàhana sudi memberitahukan hal itu kepada Raja Bàràõasã. 

Raja Kaññhavàhana juga mengirimkan pesan yang sama kepada 

Raja Bàràõasã.

Saling Bertukar Hadiah

Suatu hari Raja Kaññhavàhana mendapatkan kain yang sangat 

langka yang bukan saja berkualitas sangat baik tetapi juga 

berkilauan bagaikan matahari terbit. Ia teringat pesan yang ia terima 

sebelumnya dari Raja Bàràõasi dan berpikir bahwa kain luar biasa 

ini sangat tepat jika dikirimkan ke Bàràõasi. Ia meletakkan delapan 

helai kain itu ke dalam delapan peti gading berukir. Di luar peti-

peti gading itu ia membungkusnya dengan bola dari getah pohon 

karet. Delapan bola karet ini diletakkan di dalam kotak kayu yang 

dibungkus lagi dengan kain yang sangat halus. Di atasnya tertulis 

“Dipersembahkan kepada Raja Bàràõasã.” Sebuah pesan terlampir 

menyebutkan bahwa Raja Bàràõasi harus membuka hadiah itu di 

halaman istana dan semua menteri harus hadir.

Utusan kerajaan Kaññhavàna mengirimkan kotak hadiah dan pesan 

itu kepada Raja Bàràõasi yang segera mengumpulkan semua 

menterinya di halaman istana. Ia membuka kotak itu. Melihat 

delapan bola karet itu, ia kecewa, berpikir bahwa Raja Kaññhavàhana 

sedang bergurau. Ia mengetukkan salah satu bola itu ke singgasana 

yang sedang ia duduki dan tiba-tiba! Bola itu pecah dan peti gading 

itu terlihat. Di dalamnya, raja melihat kain yang sangat indah. Tujuh 

bola karet lainnya juga berisi peti gading yang sama dengan kain 

indah di dalamnya. Masing-masing kain berukuran 16 lengan kali 

8 lengan. Saat kain-kain ini dibuka, seluruh halaman itu berkilauan 

memberi   pemandangan yang sangat indah.

Para pengunjung menjentikkan jarinya dengan takjub dan 

beberapa orang melemparkan penutup kepala mereka ke angkasa 

dengan gembira dan berkata, “Raja Kaññhavàhana, sahabat raja kita 

yang belum pernah bertemu mengirimkan hadiah yang sangat 

menakjubkan! Sungguh raja itu yaitu   teman yang baik bagi raja 

kita.”

2822


Hadiah Balasan dari Bàràõasã

Raja Bàràõasã memanggil juru taksir harga untuk menentukan 

nilai dari kain-kain ini  . Para juru taksir itu tidak mampu 

menyebutkan harga kain-kain ini  . lalu   raja berpikir, 

“Sahabatku Raja Kaññhavàhana telah memberi   hadiah yang tidak 

ternilai kepadaku. Sebuah hadiah balasan harus lebih berharga dari 

hadiah yang diterima. Apakah hadiah itu?”

Saat itu yaitu   saat munculnya Buddha Kassapa. Saat itu Beliau 

sedang menetap di Bàràõasã. Raja menganggap bahwa tidak 

ada yang lebih berharga daripada Tiga Permata. “Aku akan 

mengirimkan berita munculnya Buddha kepada Raja Kaññhavàhana. 

Itu akan menjadi hadiah balasan yang sangat tepat.”

lalu   ia menuliskan syair berikut yang terdiri dari enam baris 

dengan tinta merah terang di atas lempengan emas:

Buddho loke samuppanno, 

hitàya sabbapàõinaÿ. 

Dhammo loke samuppanno, 

sukhàya sabbapàõinaÿ. 

Saÿgho loke samuppanno, 

pu¤¤akkhettaÿ anuttaraÿ.

“(O Sahabat Kaññhavàhana,) demi kesejahteraan semua makhluk 

hidup, Buddha Yang Maha Mengetahui telah muncul di dunia 

bagaikan matahari yang terbit di Gunung Udaya di timur.

“Demi kebahagiaan semua makhluk hidup, Dhamma (yang terdiri 

dari Empat Magga, Empat Phala, Nibbàna, dan Dhamma) telah 

muncul di dunia bagaikan matahari yang terbit di Gunung Udaya 

di timur.

“Saÿgha, lahan yang subuh tanpa tandingan bagi semua makhluk 

untuk menanam jasa, telah muncul di dunia bagaikan matahari yang 

terbit di Gunung Udaya di timur.”

2823

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

Selain kalimat-kalimat itu, raja juga menuliskan tentang praktik 

Dhamma yang dimulai dari moralitas seorang bhikkhu secara 

bertahap hingga pencapaian Arahatta-Phala. Lempengan emas itu 

(1) diletakkan di dalam peti yang terbuat dari tujuh jenis permata; 

(2) lalu   peti permata itu diletakkan di dalam peti zamrud; (3) 

lalu   peti zamrud itu diletakkan di dalam peti mata-kucing; 

(4) lalu   peti mata-kucing itu diletakkan di dalam peti delima 

merah; (5) lalu   peti delima itu diletakkan di dalam peti emas; 

(6) lalu   peti emas itu diletakkan di dalam peti perak; (7) 

lalu   peti perak itu diletakkan di dalam peti gading; dan (8) 

lalu   peti gading itu diletakkan di dalam peti kayu harum. Peti 

ini lalu   diletakkan di dalam sebuah kotak yang dibungkus 

dengan kain halus dan lalu   disegel dengan cap kerajaan.

Hadiah balasan itu dikirim ke Kaññhavàhana dalam sebuah 

Ritual   kenegaraan. Seekor gajah yang sedang berahi dihiasi 

dengan perhiasan, renda emas, dan sebuah bendera emas berkibar 

di tubuhnya yang megah. Di punggungnya diletakkan sebuah 

panggung untuk meletakkan kotak hadiah ini  . Sebuah payung 

putih dipasang menaungi kotak ini  . Hadiah itu dikirim 

sesudah   melakukan penghormatan dengan bunga dan dupa, tarian 

dan musik. Raja sendiri yang memimpin perjalanan itu hingga ke 

perbatasan Negeri Kasi, wilayah kekuasaan raja. Lebih jauh lagi, 

Raja Bàràõasã juga mengirimkan hadiah dan pesan kepada para 

penguasa di negeri tetangga di sepanjang perjalanan itu meminta 

mereka agar memberi   penghormatan kepada hadiah istimewa 

itu. Semua penguasa menyanggupi dengan senang hati hingga gajah 

itu tiba di perbatasan Kaññhavàhana.

Raja Kaññhavàhana pergi hingga jarak tertentu untuk menyambut 

kedatangan hadiah balasan itu; memberi hormat kepada hadiah 

itu. Hadiah itu dibuka di halaman istana di depan para warga  . 

sesudah   membuka kain tipis pembungkus dan membuka kotak, 

ditemukan di dalamnya peti kayu harum. Di dalamnya delapan 

peti dibuka satu per satu hingga terlihat lempengan emas yang 

memberitahukan kemunculan Tiga Permata. “Ini yaitu   hadiah 

yang paling langka yang diterima seseorang dalam waktu yang 

sangat lama. Sahabat baikku Raja Bàràõasã sangat bijaksana 

2824


mengirimkan berita ini kepadaku beserta cara menjalani Dhamma.” 

Demikianlah Raja Kaññhavàhana merenungkan dengan gembira. 

“Kemunculan Buddha, yang tidak pernah terdengar sebelumnya, 

telah terjadi. Baik sekali jika aku pergi menjumpai Buddha dan 

memelajari ajaran-Nya,” ia memutuskan. Ia mengkonsultasikan 

gagasan itu kepada para menterinya yang menyarankan agar ia 

tetap berada di kota sementara mereka pergi untuk memeriksa 

kebenaran berita ini  .

Misi Para Menteri

Enam belas menteri itu bersama masing-masing seribu pengikutnya 

berkata kepada raja, “Tuanku, jika Buddha sungguh telah muncul 

di dunia ini, kami mungkin tidak dapat bertemu denganmu lagi (di 

istanamu), sebab   kami akan menjadi bhikkhu. Jika Buddha tidak 

benar-benar muncul kami akan kembali.”

Di antara para menteri, terdapat keponakan raja (putra dari kakak 

perempuannya) yang berkata, “Aku juga akan pergi.” Raja berkata 

kepadanya, “Anakku, jika engkau bertemu dengan Buddha, 

kembalilah dan beritahukan kepadaku.” Sang keponakan setuju, 

“Baiklah, Tuanku.”

Enam belas menteri itu bersama enam belas ribu pengikutnya 

pergi dengan tergesa-gesa, hanya beristirahat satu malam setiap 

harinya dalam perjalanan itu dan tiba di Bàràõasã. Tetapi, sebelum 

mereka tiba di sana, Buddha Kassapa telah meninggal dunia. Para 

menteri masuk ke vihàra dan bertanya, “Di manakah Buddha?” 

Tetapi mereka hanya bertemu dengan para bhikkhu yang menetap 

bersama Buddha.

Para bhikkhu memberitahu mereka, “Buddha telah meninggal 

dunia.” Para menteri menangis dan berkata, “Kami datang dari 

jauh dan kami kehilangan kesempatan untuk bertemu dengan 

Buddha!” Mereka berkata kepada para bhikkhu, “Yang Mulia, 

apakah ada kata-kata nasihat dari Buddha kepada dunia ini?” “Ya, 

umat awam, yaitu: berlindunglah di dalam Tiga Perlindungan; jalani 

Lima Sãla setiap waktu; juga laksanakanlah peraturan uposatha yang 

2825

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

terdiri dari Delapan Sãla; memberi   dàna. Jika mampu, jalanilah 

kehidupan kebhikkhuan.” Selanjutnya, semua menteri bersama 

para pengikutnya kecuali keponakan raja, menjalani kehidupan 

kebhikkhuan.

Raja Kaññhavàhana Meninggal Dunia

Keponakan Raja Kaññhavàhana kembali ke Kaññhavàhana sesudah   

mendapatkan sebuah benda yang pernah digunakan oleh Buddha, 

sebagai objek penghormatan. Benda itu yaitu   saringan air. 

Sehubungan dengan hal ini, benda-benda yang pernah digunakan 

oleh Buddha termasuk pohon Bodhi, mangkuk, jubah, saringan 

air, dan lain-lain. Sang keponakan juga mengajak seorang bhikkhu 

yang telah menghafalkan Suttanta, Vinaya, dan Abhidhammà untuk 

menyertainya ke Kaññhavàhana.

Melakukan perjalanan secara bertahap, menteri itu akhirnya tiba 

di Kaññhavàhana dan melaporkan kepada raja, “Paman, Buddha 

sungguh telah muncul di dunia ini, dan juga benar bahwa Beliau telah 

meninggal dunia.” Ia memberitahukan nasihat Buddha seperti yang 

ia dengar dari para siswa Buddha. Sang raja mendatangi bhikkhu 

yang menguasai Tipiñaka itu dan mendengarkan khotbahnya. Ia 

membangun sebuah vihàra untuk guru, membangun stupa untuk 

menyemayamkan saringan air Buddha dan menanam pohon Bodhi. 

Ia menjalani Lima Sãla dan menjalani Sãla Uposatha pada hari-hari 

uposatha. Ia banyak memberi   dàna; dan sesudah   hidup hingga 

umur kehidupan maksimum, ia meninggal dunia dan terlahir 

kembali di alam dewa. Enam belas menteri yang menjadi bhikkhu 

serta enam belas ribu pengikutnya juga menjalani praktik mulia, 

meninggal sebagai orang awam, dan terlahir kembali di alam dewa 

sebagai pengikut dewa yang dulunya yaitu   Raja Kaññhavàhana. 

(di antara enam belas dewa pengikut dewa raja itu terdapat bakal 

Mogharàja.)

(b) Kehidupan pertapaan dalam kehidupan terakhir

Selama periode antara munculnya dua Buddha, si tukang kayu ahli 

dan semua pengikutnya terlahir di alam dewa. lalu   menjelang 

2826


munculnya Buddha Gotama, mereka terlahir kembali sebagai putra 

penasihat raja di istana Raja Mahà Kosala, ayah Pasenadi Kosala. 

Ia bernama Bàvarã, memiliki tiga tanda-tanda manusia luar biasa. 

sebab   menguasai tiga Veda, ia berhasil menjabat sebagai purohita 

(penasihat) sesudah   kematian ayahnya. Enam belas ribu pengikutnya 

terlahir kembali di Sàvatthã dalam Kasta brahmana. Di antara mereka 

yaitu  :

Ajito Tissa Metteyyo, 

Puõõako atha MettagÃ¥, 

Dhotako Upasãvo ca, 

Nando ca atha Hemako.

Todeyya Kappà dubhayo, 

jatukkaõõã ca paõóito, 

Bhadràvudho Udayo ca, 

Posàlo càpi Bràhmaõo. 

Mogharàjà ca medhàvã, 

Piïgiyo ca Mahà isi.

(1) Ajita (2) Tissa Metteyya, (3) Puõõaka (4) MettagÃ¥ (5) Dhotaka 

(6) Upasãva (7) Nanda (8) Hemaka (9) Todeyya (10) Kappa (11) 

Jatukaõõã (12) Bhadràvudha (13) Udaya (14) Posàla (15) Mogharàja 

(16) Piïgiya.

Keenam belas brahmana ini memelajari tiga Veda dari Guru 

Bàvarã. Masing-masing seribu orang pengikut mereka selanjutnya 

memelajarinya dari mereka. Demikianlah, Bàvarã dan para 

pengikutnya yang seluruhnya berjumlah 16.017 brahmana 

berkumpul kembali dalam kehidupan terakhir mereka. (Brahmana 

kelima belas Mogharàja kelak menjadi Yang Mulia Mogharàja.)

Bàvarã dan Para Pengikutnya Melepaskan Keduniawian

sesudah   kematian Raja Mahà Kosala, putranya, Pasenadi Kosala 

diangkat menjadi raja. Penasihat Raja Bàvarã tetap pada posisinya 

di bawah raja baru, yang memberi   hak-hak baru kepadanya 

sebagai tambahan dari apa yang telah diberikan oleh ayahnya. (Hal 

ini sebab   raja baru saat masih menjadi pangeran yaitu   murid 

2827

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

Bàvarã sehingga hubungannya dengan penasihat tua itu bukan hanya 

hubungan dinas tetapi juga hubungan pribadi.)

Suatu hari Bàvarã, yang sedang menjalani penyepian, menilai 

pengetahuan yang ia miliki. Ia melihat bahwa Veda tidak 

berguna baginya sesudah   kematian. sebab   itu ia memutuskan 

untuk melepaskan keduniawian dan menjadi petapa. saat   ia 

mengungkapkan rencana ini kepada Raja Pasenadi Kosala, raja 

berkata, “Guru, kehadiranmu di istana memberi   jaminan 

akan adanya nasihat dari orang tua yang membuatku seolah-olah 

diawasi oleh ayahku. Mohon jangan meninggalkan aku.” Tetapi 

sebab   jasa masa lampaunya telah mulai matang dan berbuah, 

Bàvarã tua tidak dapat dibujuk untuk membatalkan rencananya, 

dan ia tetap memaksa akan pergi. lalu   raja berkata, “Guru, 

kalau