Tampilkan postingan dengan label Ajaan Lee Dhammadharo 2. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ajaan Lee Dhammadharo 2. Tampilkan semua postingan

Ajaan Lee Dhammadharo 2


 belum fajar menyingsing, seorang penduduk 

desa datang membawa seikat bunga dan dupa, dan berkata bahwa ia 

akan membawa seseorang untuk tinggal dan berguru denganku. Aku 

berpikir, “setidaknya sekarang aku tidak sendirian lagi.” Beberapa 

hari ini aku ketakutan dalam meditasiku dan aku merasa mati rasa.

sesudah  lewat pagi hari dan sesudah menyantap makananku, 

sekelompok besar penduduk desa datang membawa jenazah yang 

tidak ditempatkan di dalam peti mati, tetapi hanya dibungkus dengan 

selembar kain. Sesaat aku melihatnya, aku merenung, “ini dia.” Jika 

aku pergi, aku malu dengan penduduk desa. Tetapi pemikiran untuk 

menetap tidak muncul juga dalam pikiranku. Lalu aku sadar, “Jenazah 

itu kemungkinan yaitu  muridku.” 

~ 52 ~


Penduduk desa memulai kremasi jenazah sekitar pukul empat sore, tidak 

terlalu jauh dari tempatku, memberikan aku pandangan yang sangat 

jelas akan mayat tersebut. Ketika jenazah itu dilalap api, lengan dan 

kaki-kakinya merenggang dan menonjol keluar, terlihat warna kuning 

seperti dilumuri dengan kunyit. Sorenya, mayat itu hancur sampai ke 

pinggang – hangus termakan api. Tepat sebelum malam tiba, penduduk 

desa pulang dan meninggalkan aku sendirian. Aku segera kembali ke 

gubuk daun pisang dan duduk bermeditasi, mengarahkan pikiranku 

agar tidak ke mana-mana – dan pendengaranku juga tidak mendengar 

apa pun. Pikiranku masih cukup terjaga, tetapi tanpa persepsi di mana 

aku sebelumnya berada, dari keberanian, dari ketakutan, atau dari apa 

pun juga. Aku bermeditasi sampai fajar, ketika Phra Choei kembali. 

Sekarang ada yang menemaniku, aku merasa sedikit lebih aman. 

Phra Choei terbiasa duduk di dalam gubuk dan berdiskusi Dhamma 

denganku – Ia yang berbicara sedangkan aku yang mendengar – tetapi 

dapatku katakan dari nada suaranya, ia tidak mengalaminya sendiri 

pengalaman pembicaraan itu. Pada suatu saat seorang penduduk 

desa datang dan bertanya kepadanya, “Apakah bhante takut akan 

kematian?” Phra Choei tidak menjawab ya atau tidak. Yang Ia katakan, 

“apa harus ditakutkan? Ketika seseorang mati, tidak ada apa pun yang 

ditinggalkan. Mengapa, karena Anda sendiri langsung memakan ayam 

mati, itik mati, sapi mati dan kerbau mati tanpa pikir panjang.” Itulah 

yang sering Ia katakan. Aku berpikir, “sombong sekali. Ia tidak ingin 

orang lain mengetahui ia ketakutan. Baiklah, besok kita akan melihat 

keberaniannya.” 

Peristiwa itu terjadi saat seorang penduduk desa datang untuk 

mengundang salah satu dari kami menerima dana di rumahnya. 

Phra Choei dan aku menyetujui aku yang akan menerima undangan, 

ia berdiam di gubuk. Aku pergi bersama penduduk desa, saat aku 

~ 53 ~


kembali keesokan harinya, Phra Choei telah pergi. Aku mengetahui 

bahwa kemarin malam, sesudah  aku pergi, salah satu penduduk desa 

datang membawa jenazah gadis untuk dikuburkan. Melihat hal ini, 

dengan segera Phra Choei mengambil tenda payungnya, mangkuk 

pattanya dan jubahnya pergi di tengah-tengah malam. Sejak saat itu 

dan seterusnya, aku berpisah dengan Phra Choei. 

Aku kembali menuju ke Baan Pong, di mana aku menghabiskan 

beberapa malam dengan Phra Khien, dan lalu meneruskan perjalanan 

ke kotamadya Huei Awm Kaew. Di sana, aku diberitahu adanya 

reruntuhan vihara tua, dengan banyak rupang-rupang Buddha. 

Mendengar hal ini, aku ingin pergi melihatnya. 

Pada saat ini, aku benar-benar sudah jemu berada diantara orang-

orang dan para bhikkhu. Aku tidak lagi ingin tinggal dengan manusia. 

Satu pemikiran muncul dalam diriku, aku hidup sendirian di puncak 

gunung. Maka ketika aku mencapai Huei Awm Kaew, aku berhenti 

menyantap makanan, dan hanya mulai memakan daun-daunan 

sehingga aku tidak terganggu dengan manusia lagi. 

Tempat tersebut cukup baik, terpencil dan sunyi dengan dikelilingi 

oleh arus sungai dangkal yang berliku-liku. Pada suatu malam selagi 

aku sedang duduk bermeditasi dengan mata tertutup, di gubuk gelap 

yang kecil, aku merasakan adanya bola cahaya yang cemerlang, 

dengan garis tengah satu setengah meter, datang memancar dari 

puncak gunung dan menyinari tepat di sebelah gubukku. – lalu aku 

duduk bermeditasi di sana sampai menjelang dinihari. Aku merasakan 

seolah-olah nafasku berhenti. Aku berada dalam kondisi hening, bebas, 

dan damai, dan bahkan tidak mengantuk. 

Beberapa hari kemudian, aku pindah ke suatu pulau yang terbentuk 

oleh arus sungai. Seorang penduduk yang tinggal di desa terdekat, 

~ 54 ~


atas inisiatifnya sendiri, telah membangun satu gubuk kecil untukku 

di sana. Lantainya hanyalah beralaskan tanah dan temboknya dibuat 

dari daun-daun pisang. Ketika aku pindah ke gubuk, aku bertekad 

untuk berusaha maksimal dalam meditasiku. Aku tidak akan tidur, dan 

makan sedikit – hanya empat genggam penuh dedaunan untuk satu 

hari. 

Hari pertama, berjalan dengan baik dan tidak terjadi apa pun. Hari 

ke dua, pada pukul sembilan malam, sesudah  membaca parita dan 

menyelesaikan meditasi jalanku, aku berbaring sejenak, membiarkan 

pikiranku mengembara, dan tertidur. Aku bermimpi, seorang wanita 

datang. Ia bertubuh indah, cantik dan menarik, dia mengenakan blus 

dan rok kuno. Namanya Sida, dia berkata bahwa dia masih sendiri dan 

ingin hidup bersamaku. Aku merasa dia menginginkan seorang suami. 

Maka aku bertanya, “di mana Anda tinggal?” 

“Di puncak gunung,” dia menjawab. “Dengan lingkungan yang 

megah, dan rumah-rumah bertebaran. Kehidupan di sana sangat 

menyenangkan. Jadilah suamiku.” 

Aku menolak. Dia mulai membujukku dengan segala cara, tetapi aku 

tetap teguh. Maka dia mengusulkan untuk hanya menjadi sepasang 

kekasih saja. Tetapi aku tetap tak tergoyahkan juga. Akhirnya, dia 

mengetahui bahwa dia tidak akan berhasil membujukku, kami setuju 

untuk saling menghormati satu sama lain sebagai sahabat baik. Dan 

ketika kita telah sepakat, dia mengucapkan selamat tinggal dan 

lenyap. 

Hari berikutnya, pada pukul dua sore, aku mandi di sungai berarus, 

di mana sebatang kayu tumbang melintasi aliran sungai. Salah 

seorang penduduk desa mengatakan kepadaku bahwa arus sungai ini 

sangat penting karena bersumber dari cetiya kecil. Hal aneh terjadi 

~ 55 ~


pada cetiya itu yang terkadang tampak dan terkadang tidak tampak. 

Mendengarkan kisah itu, aku tidak memerhatikannya. Sebelum mandi, 

aku mengambil batu dan membendung arus sungai agar airnya dapat 

mengalir melewati batang kayu dan dapat aku mandi dengan mudah. 

sesudah  mandi, aku pergi dan meninggalkan batu itu. 

Pada malam itu, sesudah  aku menyelesaikan pembacaan paritta dan 

meditasi berjalan – sesudah  pukul sembilan malam – aku berbaring 

untuk beristirahat sebentar, sesudah  lama bermeditasi, dan terjadilah 

peristiwa lain. Aku merasakan seolah-olah seseorang sedang 

menggaruk kakiku dengan tangannya. Membuatku mati rasa sampai 

ke pinggangku, dan lalu mengarah ke kepalaku. Aku hampir tidak 

merasakan sama sekali, dan mulai kehilangan kesadaran. Karena 

itu aku duduk dan memusatkan pikiran – pikiranku tenang, bersih, 

dan terang. Aku memutuskan jika ini yaitu  kematian, aku siap 

menghadapinya. Satu pemikiran lain muncul dalam diriku yaitu  aku 

akan mati karena aku hidup hanya dengan makan dedaunan saja. 

Segera sesudah  kesadaranku kembali, kesadaranku mulai berkembang 

dengan sendirinya ke seluruh tubuh, dan mati rasa itu perlahan-lahan 

mulai menghilang – seperti awan yang tersapu oleh sinar matahari – 

sampai rasa mati rasa tersebut menghilang total. Pikiranku kembali 

normal, lalu seberkas cahaya memancar dari batang kayu tempat di 

mana aku mandi di sungai, memberitahu agar aku memindahkan batu-

batu itu, karena sungai tersebut merupakan jalan yang dipakai mahluk 

halus. Maka sesudah  aku bangun tidur di pagi berikutnya aku pergi ke 

sungai dan memindahkan batu tersebut, membiarkan air mengalirkan 

seperti biasa. 

Malam itu terjadi suatu peristiwa lain. Sesuatu menabrak dinding 

gubukku, kemudian hilang. Aku berbaring untuk bermeditasi, karena 

~ 56 ~


aku merasa letih, dan sesudah  aku tertidur, aku bermimpi: sekelompok 

hewan aneh, seukuran seekor babi, keluar dari air terjun yang menjadi 

sumber aliran sungai.  Berekor tebal dan berterap seperti ekor tupai 

dan berkepala seperti seekor kambing. Sekawanan besar hewan-hewan 

tersebut berjalan menuju sungai, melewati tempat di mana aku sedang 

tidur. Beberapa saat kemudian aku melihat seorang wanita, berusia 

sekitar tiga puluh tahun, ia memakai blus berwarna nila dan rok 

berwarna nila yang panjangnya sedikit di bawah lutut. Dia membawa 

sesuatu – aku tidak tahu Anda menyebutnya apa – ditangannya, dia 

mengatakan bahwa dia yaitu  mahluk halus yang berdiam di air 

terjun, dan dia sering pergi menuju ke laut dengan cara seperti ini. 

Namanya yaitu  Nang Jan. 

Untuk beberapa malam berikutnya aku sangat tekun dalam bermeditasi, 

tetapi tidak pernah terjadi lagi peristiwa-peristiwa aneh. 

Kemudian aku kembali ke Baan Pong, suatu tempat di mana Ajaan 

Mun pernah tinggal, dan kemudian kembali mencari Phra Khien. Kami 

memutuskan bahwa kami akan bersama-sama mencari Ajaan Mun 

hingga menemukan beliau. Kemudian sesudah  mengucapkan selamat 

tinggal kepada penduduk desa di sana, kami berangkat menuju Gua 

Chieng Dao. Sebelum mencapai Gunung Chieng Dao, kami mendaki 

gunung dan menetap di dalam gua kecil yang pernah didiami Ajaan 

Mun, lalu melanjutkan dan tiba di Gua Chieng Dao pada hari ke dua 

belas bulan sabit,  bulan purnama ke tiga (tanggal 6 Februari). Kami 

berusaha semaksimal mungkin untuk bermeditasi sepanjang siang dan 

malam. 

Pada malam bulan purnama Magha Puja, aku memutuskan untuk 

bermeditasi sebagai suatu persembahan kepada Sang Buddha. sesudah  

pukul sembilan malam, pikiranku menjadi sangat tenang. Kelihatannya 

~ 57 ~


seperti nafas dan cahaya menyebar dari tubuhku ke segala penjuru. 

Saat itu, aku memusatkan perhatian pada nafasku, yang sangat halus 

sampai-sampai aku seperti tidak bernafas. Batinku tenang, pikiranku 

kokoh. Aku seperti berhenti bernafas. Hanya ada ketenangan. 

Pikiranku telah sepenuhnya berhenti menciptakan bentuk-bentuk 

pikiran – bagaimana bisa pikiranku berhenti menciptakan bentuk-

bentuk pikiran, aku tidak mengerti. Tetapi aku sadar – merasakan 

terang, luas dan damai – dengan perasaan bebas yang menghapus 

semua penderitaan. 

Sekitar satu jam sesudah nya, ajaran-ajaran mulai muncul dalam diriku. 

Ajaran itu singkat, “pusatkan dan selidiki kelahiran, kematian, dan 

ketidakwaspadaan untuk melihat awal terbentuknya hal-hal tersebut.” 

Satu pandangan muncul dalam diriku yang seperti terlihat jelas dalam 

pandangan mataku, “kelahiran seperti kilatan cahaya. Kematian seperti 

kilatan cahaya.” Maka aku memusatkan perhatian pada penyebab-

penyebab yang mendorong terjadinya kelahiran dan kematian, sampai 

muncul suatu kata avijja – ketidakwaspadaan. Ketidakwaspadaan akan 

apa? Jenis pengetahuan apakah yang merupakan pengetahuan dari 

ketidakwaspadaan? Aku merenungkan hal-hal tersebut dengan cara 

seperti ini terus menerus dan berulang kali hingga dinihari. Ketika 

semuanya menjadi jelas, aku meninggalkan konsentrasi. pikiran dan 

tubuhku ringan, terbuka dan bebas; sangat puas sekali.

Kami meninggalkan Gua Chieng Dao tiga hari kemudian dan lalu 

berpisah untuk satu malam, salah satu dari kami menetap di Gua Paak 

Phieng dan satunya di Gua Jan. Tempat ini sangat menenangkan untuk 

didiami. Tidak terjadi peristiwa-peristiwa aneh. sesudah  itu kami pergi 

menuju Fang, untuk berdiam di Gua Tab Tao, yang pada waktu itu tidak 

ada desa terdekat. Di sana kami bertemu dengan seorang bhikkhu tua, 

ia bernama Kakek Phaa. Sampai di dasar bukit, kami menemukan kebun 

~ 58 ~


pisang dan pepaya serta aliran sungai yang jernih. Ada dua gua besar 

yang lebar dan satu gua yang sempit memanjang. Di dalam gua yang 

lebar ada  deretan rupang-rupang Buddha, dan rupang Buddha 

dengan ukuran sangat besar yang dibuat sendiri oleh Kakek Phaa. 

Ketika pertama kali kami pergi ke tempat tinggalnya, kami tidak 

menemukan ia, kemudian kami pergi ke arah timur, mengikuti sungai 

menuju ke puncak gunung. Kami bertemu dengan seorang pria tua 

yang mengenakan celana pendek merah tua dan kemeja lengan pendek 

merah tua. Ia memegang sebilah pisau besar, yang ia gunakan untuk 

memotong kayu. Gerakannya enerjik dan bertenaga, seperti seorang 

anak muda. Kami berjalan ke arah kakek Phaa dan bertanya, “Apakah 

Anda mengetahui di mana Kakek Phaa berada?” Ketika ia melihat 

kami, ia datang dengan cepat ke arah kami – dengan pisau masih di 

tangannya. Tetapi ketika ia duduk bersama dengan kami, sikapnya 

berubah menjadi sikap seorang bhikkhu. “Aku yaitu  Kakek Phaa,” ia 

berkata. Kami memberikan penghormatan kepadanya. 

Ia mengajak kami kembali ke tempat tinggalnya, di sana ia mengganti 

bajunya dengan seperangkat jubah berwarna hitam, dengan ikat 

pinggang mengikat di sekitar dadanya dan untaian tasbih di tangannya. 

Ia menceritakan semua kisah yang ada  di gua-gua. “Jika kalian 

ingin menghabiskan masa vassa di sini bersamaku, kalian bisa, karena 

aku melihat kalian sebagai murid dari Ajaan Mun. Tetapi kalian tidak 

bisa menyebutku sebagai Ajaan-mu, karena aku menanam pisang dan 

pepaya untuk dijual dan uangnya digunakan untuk menyelesaikan 

pembuatan rupang Buddha.”6 Meski demikian, ia makan hanya sekali 

sehari. 

Sore itu, ia menunjukkan kepada kami, kebun pisang dan pepaya, 

yang ia tanam sendiri. “Jika kalian merasa lapar,” ia berkata sambil 

~ 59 ~


menunjuk pohon-pohon itu, “kalian boleh mengambil dan makan 

sebanyak yang kalian suka. Biasanya, aku tidak mengijinkan bhikkhu 

lain untuk mengambilnya.” Aku tidak tertarik dengan buah-buahan 

itu, tetapi aku menghargai kebaikannya. Tiap pagi sebelum fajar, ia 

menyuruh salah satu muridnya untuk mengirim pisang dan pepaya ke 

tempat kami berdiam untuk dimakan. 

Aku memerhatikan banyak kejadian aneh di daerah ini. Burung 

merak di sini tidak takut sama sekali kepada Kakek Phaa. Tiap pagi 

burung-burung merpati akan datang ke tempat di mana ia makan, 

dan ia menyebar nasi untuk burung-burung merpati tersebut. 

Kadang-kadang burung-burung tersebut dapat disentuh. Tiap sore, 

sekumpulan monyet-monyet datang untuk makan pepaya yang telah 

ia siapkan untuk mereka. Bila ada penduduk desa yang datang untuk 

menghormati rupang Sang Buddha, maka, hewan-hewan tersebut 

akan berlarian. 

Untuk memasuki gua sempit yang memanjang itu, kami harus 

membawa lentera dan memanjat naik-turun daerah yang sempit, 

mengikuti jalan terusan yang berkelok-kelok. sesudah  sekitar tiga 

puluh menit, kami tiba di suatu cetiya kecil, yang terletak di dalam 

gua. Tidak ada seorang pun tahu siapa yang telah membangun dan 

tahun berapa dibangunnya.

sesudah  cukup menjelajahi gua itu, kami berjalan menyeberangi rimba 

raya dan berhenti di Desa Sungai Kok. Desa yang cukup luas dengan 

bukit yang tinggi pada bagian timur. Pada malam hari udara sangat 

dingin. Yang dapat Anda dengar hanyalah raungan harimau yang 

berjalan mondar-mandir sepanjang sisi bukit. Desa ini tidak ada  

vihara, tetapi ada rupang Buddha, dengan ketinggian kurang lebih 

satu meter dan terlihat sangat indah. Seseorang telah membawanya 

~ 60 ~


dari dalam hutan. 

sesudah  dua malam di Desa Sungai Kok, kami mengucapkan selamat 

tinggal kepada penduduk desa dan berangkat melewati suatu daerah 

hutan yang masih asli. Kami berjalan selama tiga hari sebelum sampai 

ke desa yang lain. Segera sesudah  penduduk Desa Sungai Kok mendengar 

bahwa kami merencanakan untuk pergi, mereka berusaha memohon 

kami untuk menetap, karena di dalam hutan itu tidak ada desa untuk 

berpindapatta. Maka aku berkata, “tidak apa-apa. Hanya dua hari tidak 

makan. Aku sanggup. Aku hanya memerlukan air secukupnya untuk 

diminum.” Pagi harinya saat kami akan berangkat, beberapa saat 

sesudah  kembali dari berpindapatta. Kami bertemu dengan seorang 

pria yang memberitahu bahwa ia akan pergi menuju Chieng Saen hari 

itu, dan ia dapat menemani kami melewati hutan. 

Sebelum kami meninggalkan desa, seorang pria tua memperingatkan 

kami. Ia berkata, “dalam perjalanan kalian melewati hutan, kalian 

akan tiba di suatu tempat yang banyak ada  kuil-kuil pemujaan 

makhluk halus. Jika sampai disana sebelum gelap, jangan berhenti. 

Lanjutkan perjalanan dan bermalam di tempat lain, karena makhluk 

halus yang berada di sana sangat menakutkan. Tidak ada seorang 

pun yang bermalam di  sana dapat tidur. Kadang-kadang burung, 

kadang-kadang harimau, kadang-kadang rusa – selalu ada sesuatu yang 

membuat kalian terjaga semalam suntuk.” 

Kemudian kami bertiga – Phra Khien, seorang umat awam dan, aku – 

berjalan menuju ke hutan. Kami sampai di lokasi yang diceritakan oleh 

orang tua itu, Phra Khien yang telah mendengar peringatan orang tua 

itu, berkata kepadaku, “mari kita lanjutkan perjalanan.” Tetapi aku 

berkata kepadanya, “kita harus berhenti di sini. Apa pun yang terjadi 

di sini, kita akan menemukan jawabannya malam ini.” Maka kami 

~ 61 ~


berhenti dan berkemah di kuil itu. Aku meminta kepada umat awam itu 

untuk merobohkan kuil pemujaan itu dan membakar sisa-sisanya. Aku 

berkata, “aku tidak takut, aku belum pernah melihat makhluk halus 

yang bertarung melawan seorang bhikkhu.” Tetapi melihat sejenak ke 

muka Phra Khien, aku bisa melihatnya pucat pasi. 

Malam tiba. Kami menyalakan api unggun dan membaca parita. Lalu 

aku berkata, “kita semua harus yakin pada Buddha, Dhamma dan 

Sangha.” Aku bertekad untuk tidak mencari tempat perlindungan 

malam itu selain pohon, dan sepotong kayu untuk dijadikan bantalku. 

Aku mengeraskan diriku, dan tidak takut terhadap penderitaan. 

Aku meminta agar kita tidur berjauhan, tetapi cukup dekat untuk 

mendengar jika salah satu dari kita memanggil. Aku berkata, “Jangan 

tidur terlalu lelap malam ini.” 

sesudah  itu, kami masuk ke tenda payung masing-masing, kelelahkan 

karena berjalan sepanjang hari. Aku duduk sebentar, membaca parita 

lagi. Umat awam itu tertidur. Phra Khien mendengkur dan komat-kamit 

sebentar di dalam tenda tidurnya dan lalu sunyi. Aku mulai merasa 

benar-benar lelah, dan akhirnya berbaring juga. sesudah  beberapa saat, 

ada bisikan yang mengatakan, “bangun. Sesuatu akan terjadi.” 

Aku bangun dan mendengar suara desiran kira-kira sepuluh meter dari 

tempat Phra Khien tidur. Sambil menyalakan lilin, aku membangunkan 

yang lain. Kemudian aku menyalakan api unggun dan kami duduk di 

sana – kami bertiga di tengah-tengah hutan lebat dan sunyi – membaca 

parita.  Pada saat kami membaca parita, terdengar suara burung yang 

aneh. Orang tua di desa mengatakan, “jika kalian mendengar suara 

burung semacam ini, jangan tidur atau mahluk itu akan datang dan 

menghisap darahmu hingga kering.” Jadi kita semua tidak tidur, duduk 

sampai fajar. 

~ 62 ~


Pada kegelapan subuh, umat awam itu menyiapkan bubur nasi untuk 

kita, dan sesudah  selesai makan, kami pergi melihat-lihat sekeliling. 

Kami menemukan jejak harimau, tanda-tanda galian, dan gundukan 

kotoran hewan yang masih baru. Tidak terjadi peristiwa apa pun tadi 

malam.

Kami menunggu sampai hari cukup terang, dan lalu berangkat 

melewati hutan. Kami berjalan sepanjang hari, malamnya sampai di 

bukit kecil dengan air terjun yang sangat jernih. Bunyi gemericik air 

bergema ke seluruh daerah. Kami berhenti dan bermalam di sini tanpa 

terjadi peristiwa. 

Besok paginya, sesudah  menyantap bubur nasi, kami berangkat lagi. Pada 

pukul satu siang, kami berhenti untuk istirahat di bawah kerindangan 

pohon. Di sinilah, umat awam itu mengucapkan selamat tinggal dan 

bergegas pergi.Kami tidak pernah melihatnya lagi. Phra Khien dan 

aku berjalan sampai hari gelap, ketika kami tiba di suatu desa. Kami 

bertanya kepada penduduk di sana apakah mereka melihat seseorang 

melewati desa ini sorenya, tetapi tidak satu pun yang melihatnya. 

Hari berikutnya, kami menuju Chieng Saen, di sana kami menetap 

selama beberapa hari di dalam suatu kebun buah sebelum berangkat 

menuju Chieng Rai. Di Chieng Rai, kami menetap di suatu kuburan 

kecil yang terletak di luar kota dan di sana kami bertemu dengan 

seorang bhikkhu tua, ia bernama Kakek Myyn Haan, yang sebelumnya 

merupakan salah seorang pengikutku sebelum penahbisannya. Ia 

memperkenalkan kami dengan kepala polisi propinsi Chieng Rai 

supaya kepala polisi itu dapat membantu kami dalam perjalanan 

kembali menuju Lampang. Dengan gembira kepala polisi membantu 

kami.  Ia mengantar kami ke bus yang menuju Phayao, dari sana kami 

turun dan berjalan kaki menuju gua Phaa Thai – Jalan kecil itu sudah 

~ 63 ~


berkembang – dan kemudian melanjutkan menuju Lampang. Kami 

menetap satu malam di vihara kecil yang terletak di sebelah barat 

daya stasiun kereta api Lampang, dan besok paginya kami jalan kaki 

menyusuri rel kereta api. 

Kami tiba di suatu gua – suatu tempat yang bernama gua Tham Kaeng 

Luang – dan menetap selama tiga malam. Tempat ini nyaman untuk 

didiami, sangat damai dan tenang. Kami berpindapatta di desa terdekat, 

tetapi tidak seorang pun yang memerhatikan kami. Selama dua hari, 

kami hanya makan nasi – tanpa garam.

Pada hari ke tiga, sebelum pergi berpindapatta, aku bertekad, “bila hari 

ini aku tidak mendapatkan lauk pauk untuk dimakan bersama nasi, aku 

tidak akan makan sama sekali.” Benar terjadi, aku hanya mendapat 

segumpal ketan. Saat kembali ke gua, aku duduk dan berpikir tentang 

perjalanan selanjutnya, dan berkata kepada Phra Khien, “hari ini, aku 

akan mendanakan nasi ketanku untuk ikan. Jika seseorang datang 

mendanakan makanan yang banyak, aku tetap tidak akan makan. 

Bagaimana Anda? Anda setuju denganku?” 

“Aku tidak setuju,” ia menjawab. “Aku tidak menyantap nasi selama 

dua hari, dan aku mulai merasa lemah.” 

Aku berkata, “untuk masalah ini, aku akan melanjutkan perjalanan. Jika 

Anda ingin makan, Anda bisa tinggal di sini. Mungkin saja seseorang 

akan datang membawa makanan untukmu.” Maka aku membereskan 

barang-barangku dan meninggalkannya. Aku merenung, “hari ini aku 

tidak akan meminta makanan pada siapa pun, baik berpindapatta 

maupun meminta-minta. Hanya jika seseorang mengundangku makan 

baru aku akan makan.” 

sesudah  berjalan selama satu jam, aku melewati desa kecil yang hanya 

~ 64 ~


terdiri dari tiga rumah tangga. Seorang wanita keluar dari salah satu 

rumah dan dengan bersikap anjali, dia mengundangku makan di 

rumahnya. “Suamiku menembak seekor rusa kemarin dan aku takut 

akan akibatnya di masa akan datang. Maka aku berniat untuk berdana 

kepada seorang bhante. Kebetulan bhante lewat rumahku, silahkan 

masuk dan makan sesuatu.”

Aku merasa sedikit lapar karena tidak makan apa-apa selain nasi 

selama dua hari, ditambah dengan tidak makan apa pun di pagi 

harinya, maka aku berkata kepada diriku, “baiklah. Makanlah daging 

rusa itu.” Aku menerima undangan wanita itu, meninggalkan rel 

kereta api dan duduk di rerumputan yang berada dekat rumahnya. 

Dia mengundangku masuk ke dalam rumah, tetapi aku berkata, “aku 

duduk di sini, jadi aku akan makan di sini.” Dia mengeluarkan dua baki 

makanan ditambah sebakul nasi ketan, dan aku memakannya. sesudah  

selesai, aku membacakan parita untuk memberkatinya dan kemudian 

aku berangkat lagi. 

sesudah  dua hari berjalan menyusuri rel kereta api, aku tiba di kota 

Uttaradit. Meskipun aku memiliki  beberapa pengikut di kota itu, 

aku tidak ingin mengatakan kepada siapa pun bahwa aku telah datang, 

kemudian aku melewati kota itu dan menetap di kuburan dekat Wat 

Thaa Pho. Aku menetap selama dua malam di Wat Thaa Sao, menanti 

Phra Khien menemuiku. Karena ia tidak muncul, aku putuskan kita 

berpisah dan tidak ada diantara kita yang perlu mengkhawatirkan 

satu sama lain.

Dari sana, aku pergi untuk menetap di satu vihara tua di dekat 

persimpangan Baan Dara, selatan Uttaradit. sesudah  beberapa hari 

berada di sana, pada pukul dua siang, aku duduk di dalam sala melewati 

hari, saat itu datang dua orang masuk ke dalam untuk berlindung di 

~ 65 ~


siang hari, mereka bergabung denganku – Mereka yaitu  seorang 

bhikkhu dan seorang umat awam. Kami berbicara tentang apa yang 

kita lakukan dan ke mana kita akan pergi. Mereka berdua memiliki 

peta harta karun dan mereka sedang dalam perjalanan untuk menggali 

harta karun, yang menurut peta itu ada  di Phitsanuloke. Umat 

awam itu berkata bahwa namanya yaitu  Letnan Kolonel Sutjai, dan ia 

yaitu  pensiunan tentara. Ketika sore datang, mereka pergi – ke mana 

mereka menetap, aku tidak tahu.

Keesokan paginya, sebelum fajar, aku mendengar panggilan seseorang 

dari luar kamarku. “Siapakah ia?” Aku berpikir. Kemudian aku bangun 

dan melihatnya. Rupanya Kolonel Sutjai. “Apa yang Anda lakukan di 

sini?” Aku bertanya kepadanya. 

“Aku tidak dapat tidur semalam suntuk,” ia berkata. “Setiap kali 

menutup mataku, aku melihat wajahmu dan aku khawatir bagaimana 

bhante melakukan perjalanan sendirian ke Korat. Aku kasihan pada 

bhante. Karena itu aku berniat berdana sepuluh Baht untuk biaya tiket 

kereta api.” 

Aku berkata kepadanya bahwa aku senang menerima uangnya, 

dan meminta seorang upasaka kecil di vihara untuk datang dan 

menyimpannya di tempat yang aman. Kemudian di malam berikutnya, 

aku berpikir kalau Kolonel Sutjai kemungkinan menipuku. Aku 

berpikir, “itu uang palsu,” kemudian aku meminta upasaka kecil di 

vihara untuk melihat uang itu palsu atau tidak. Ia meyakinkan aku 

kalau uang itu asli. 

Esok harinya sebelum fajar, Kolonel Sutjai datang kepadaku lagi. Ia 

berkata, “aku mengkhawatirkan uang yang aku berikan, aku takut tidak 

cukup.” Lalu ia menanyakan, “kapan bhante berangkat ke Korat?” 

~ 66 ~


“Besok,” aku menjawab

Kemudian ia berjanji, “aku akan mengantarkan ke stasiun dan 

membelikan tiket untuk bhante.” Lalu ia pergi. Esoknya, ia pergi dan 

membeli tiket – seharga sebelas Baht – dan mengantarku naik kereta 

api. 

Kereta api masuk ke dalam stasiun Nakhorn Sawan saat tengah malam. 

Aku tidak tahu di mana aku akan tinggal sampai aku melihat satu 

sala yang kosong. Aku pergi ke sana dan membuka tenda payungku, 

meletakan mangkuk pattaku dan duduk beristirahat beberapa saat. 

Seorang pria berumur datang dan memohon bergabung dengan aku. 

“Aku berpikir, “Jika ia yaitu  seorang pencuri, mungkin mangkuk 

patta dan barang-barang kepunyaanku akan dicurinya malam ini, 

karena aku sudah sangat lelah. Aku mungkin tertidur nyenyak seperti 

batang kayu. Tetapi biarlah. Biarkan ia tinggal.” 

Tidak terjadi peristiwa apa pun malam itu. Kenyataannya, besok 

paginya, orang itu membelikan makanan untuk didanakan kepadaku. 

Pada pukul tujuh pagi, kami naik kereta api bersama-sama ke selatan. 

Ia yaitu  penduduk asli Kabinburi, di propinsi Prajinburi, dan ia ingin 

menjenguk putrinya di Phichit. 

Ketika sampai di persimpangan Baan Phach, aku ganti kereta api dan 

menuju Nakhorn Ratchasima (Korat), tiba di sana pada pukul enam 

sore. Aku tinggal dengan Ajaan Singh yang telah membangun vihara 

dan sudah menetap di sana selama tiga tahun. Aku menanyakan berita 

tentang Ajaan Mun, tetapi Ajaan Singh tidak mengetahui keberadaan 

beliau. 





~ 71 ~

Aku memutuskan untuk menghabiskan masa vassa tahun ini di 

propinsi Nakhorn Ratchasima. Tepat sebelum masa vassa dimulai, 

seorang umat awam dari daerah Krathoag (sekarang Chokchai) datang 

dan memohon Ajaan Singh untuk mengirim seorang bhikkhu tinggal di 

kotanya. Umat awam itu bernama Khun Amnaad Amnueykit, petugas 

daerah di Krathoag. Ajaan Singh meminta aku pergi ke sana, dan aku 

memutuskan untuk menerima undangan itu. Kemudian aku menetap, 

mengajar para bhikkhu, samanera, dan umat awam di Krathoag selama 

dua tahun. 

Pada akhir masa vassa pertamaku di sana, aku mendapatkan berita 

dari rumah bahwa ayahku sakit keras, maka aku merencanakan 

pulang ke rumah untuk menjenguk. Sebelum aku pergi, Khun Amnaad 

Amnueykit mengundangku untuk berkhotbah Dhamma di rumahnya. 

Hari itu yaitu  hari ke delapan sesudah  akhir masa vassa (tanggal 12 

Oktober). Pada sekitar pukul lima sore, sebelum aku berangkat ke 

rumah Khun Amnaad, terjadi peristiwa aneh. Segerombolan besar 

tupai berjumlah lebih dari seratus ekor berlarian menuju vihara dan 

berkumpul di serambi gubuk kediaman salah seorang bhikkkhu, Phra 

Yen. Peristiwa ini belum pernah terjadi sejak kedatanganku di Krathoag, 

maka sebelum aku meninggalkan vihara, aku meminta kepada semua 

bhikkhu dan samanera untuk berkumpul di kediamanku. “Akan terjadi 

Bagian 5

~ 72 ~


sesuatu malam ini, sesudah  selesai pembacaan parita sore, aku meminta 

kalian untuk waspada. 

1) Kalian kembali ke tempat kalian, duduk dengan tenang dan 

bermeditasi. Jangan berbicara. Masing-masing orang mengawasi 

dirinya sendiri. 

2) Jika kalian memiliki  urusan pribadi untuk dijalankan, seperti 

menjahit jubah, lakukan di malam lain.” 

Aku lalu menuju rumah petugas daerah. Pada pukul tujuh malam, 

sesudah  aku duduk berkhotbah Dhamma selama setengah jam kepada 

petugas daerah, petugas sipil dan warga-warga lainnya mengenai 

Buddha, Dhamma, Sangha dan mengenai berdana, dua orang umat 

awam yang tinggal di dekat vihara datang mencari aku, tetapi karena 

aku sedang duduk berkhotbah dengan mata tertutup, mereka tidak 

berani menyela. sesudah  khotbah selesai mereka memberitahu petugas 

wilayah bahwa ada seseorang yang mencoba menikam Phra Yen, tetapi 

ia hanya luka tergores saja. 

Mendengar peristiwa ini, petugas wilayah memanggil asistennya 

serta sejumlah polisi, dan mereka pergi ke Vihara Bong Chii untuk 

menyelidikinya. Aku menemani mereka. Petugas-petugas itu berhasil 

melacak jejak pelaku – lelaki bernama Nai In – ke desa dimana ia 

bersembunyi di rumah sahabatnya. Petugas wilayah meminta polisi 

untuk menangkap kedua-duanya, yakni Nai In dan temannya.

Polisi terus menyelidiki masalah itu selama beberapa hari, sementara 

kami yang berada di vihara juga menjalankan penyelidikan sendiri. 

Kami menyadari bahwa  sejak kedatanganku untuk melewatkan masa 

vassa di Vihara Bong Chii, kehidupanku dan bhikkhu lainnya di vihara 

telah menerima banyak pujian dari petugas wilayah, pegawai sipil, 

warga kota dan banyak penduduk dari desa terdekat. Vihara-vihara 

~ 73 ~


lain yang berada di daerah itu menjadi iri dan tidak menginginkan 

kami menetap, mereka merencanakan menakuti kami dengan melukai 

badan seorang bhikkhu. 

Pihak Kepolisian menginterogasi Nai In, tetapi tidak mendapat 

pengakuan apa pun karena ia tidak mengakuinya. Pada akhirnya 

kepala polisi datang dan memberitahu aku, “mengaku atau tidak, 

aku tetap akan menjebloskannya ke dalam penjara untuk sementara, 

karena ia berada dalam  penahananku. Besok aku akan membawa ia ke 

penjara propinsi.” 

Mendengar hal ini, aku merasa kasihan pada Nai In. Sebenarnya, ia 

yaitu  mantan penjahat yang sudah insaf, tetapi aku memintanya 

untuk membantu vihara, seperti, mencari kayu bakar, jadi dengan 

kata lain, ia yaitu  seorang pengikutku. Oleh sebab itu, aku meminta 

kepala polisi untuk membawa Nai In dan temannya untuk menemuiku 

sore ini. 

Sekitar pukul tiga sore, kepala polisi membawa keduanya ke vihara. 

Aku berkata kepada Nai In, “jika benar kamu terlibat dalam masalah 

ini, aku tidak ingin kamu melakukannya lagi. Baik kepada seorang 

bhikkhu maupun kepada orang biasa, aku ingin kamu berhenti. Tetapi 

jika semua yang dituduhkan itu tidak benar, berarti kamu yaitu  

orang baik. Maka hari ini juga, aku akan meminta kepala polisi itu 

untuk menyerahkan Nai In kepadaku. Mulai sekarang dan seterusnya, 

aku minta Nai In untuk tidak membuat masalah bagi vihara. Semoga 

kepala polisi berkenan melepaskan Nai In, sehingga tidak ada kebencian 

diantara kita.” 

Begitulah permasalahan ini berakhir. Sejak hari itu, Nai In menjadi 

sangat dekat dengan vihara. Jika kami ada pekerjaan yang harus 

diselesaikan, kami memanggilnya untuk mengerjakan pekerjaan itu. 

~ 74 ~


Mengenai orang-orang di Chokchai yang tidak menyukai kehadiran 

kami, mereka mulai menaruh rasa hormat. Satu kalimat tersebar luas, 

“salah satu siswa Ajaan Lee, yaitu Phra Yen, telah ditikam dengan sekuat 

tenaga menggunakan sabit besar, namun mata pisau tidak menembus 

kulitnya – hanya meninggalkan luka gores memanjang. Jika muridnya 

saja sudah kebal, bagaimana dengan gurunya!” 

Sebenarnya, kejadian sebenarnya tidaklah demikian, dan Phra Yen 

tidaklah kebal atau memiliki jimat. Yang terjadi sebenarnya yaitu  sore 

itu Phra Yen mengambil kursi dan mesin jahit, lalu menempatkannya 

di serambi gubuknya, yang tingginya satu meter dari atas tanah. Selagi 

ia duduk di kursi dan menjahit jubahnya, penyerang itu berdiri di 

atas tanah dan mencoba untuk menikam bahu kirinya dengan sebliah 

sabit besar. Tangkainya mengenai kursi sehingga sabit besar hanya 

meninggalkan goresan saja. 

sesudah  itu, aku memanggil para bhikkhu dan samanera, kami bersama-

sama membahas permasalahan ini dan menarik sejumlah pelajaran 

dari peristiwa tersebut. Aku menyelesaikannya dengan berkata, 

“jangan kehilangan kewaspadaan bila terjadi peristiwa-peristiwa yang 

lain. Aku menghendaki kalian semua tinggal di sini dengan damai. Aku 

akan pergi mengunjungi ayahku di Ubon.” 

Kemudian aku berangkat ke Ubon. Sampai di rumah, aku mendapati 

ayahku sedang sakit keras dan mengalami penurunan daya tahan 

tubuh karena usia lanjut – beliau berusia enam puluh sembilan tahun 

saat itu. Aku tinggal bersama beliau, merawat dan mengawasinya 

selama beberapa bulan-bulan hingga masa vassa mendekat, dan 

kembali ke Vihara Bong Chii untuk melewatkan masa vassa ke dua di 

sana. Kemudian aku mendapat berita bahwa ayahku telah meninggal 

dunia di pertengahan masa vassa, pada tanggal 8 September.

~ 75 ~

Di akhir masa vassa, aku mulai semakin sering memikirkan Ajaan Mun. 

Aku memutuskan untuk tidak memberitahu siapa pun kalau aku akan 

meninggalkan vihara di musim panas itu. Aku pergi ke Wat Salawan di 

Nakhorn Ratchasima untuk meminta ijin kepada Ajaan Singh, dan ia 

memberikan ijin, yang membuatku sangat senang sekali. Aku kembali 

ke Chokchai untuk mengucapkan selamat tinggal kepada para bhikkhu, 

samanera, dan umat awam di sana. Salah seorang sahabat terbaikku 

yang telah banyak memberi dukungan penuh dalam pembangungan 

dan pemeliharaan vihara berkata kepadaku, “jika bhante tidak kembali 

ke sini pada masa vassa berikutnya, aku akan mengutukmu.” Orang 

itu yaitu  Dokter Waad, seorang dokter di Chokchai. Kemudian aku 

berkata kepadanya, “apa yang kamu inginkan lagi, sesudah  semua yang 

telah aku ajarkan mengenai ketidakkekalan?” 

Kemudian dengan diikuti oleh beberapa pengikut, aku tiba di pedalaman 

liar wilayah Ijaan, melewati Nang Rong dan mencapai gunung Phnom 

Rung yang berada tepat di perbatasan propinsi Buriram. Kami mendaki 

gunung dan menetap selama beberapa hari di puncak gunung. 

DI puncak itu ada  sejumlah bangunan-bangunan biara yang 

terbuat dari batu yang sudah tua dan ada  kolam batu besar yang 

berisi air. Gunung itu berada jauh dari pemukiman. Suatu hari, aku 

tidak makan, tetapi meditasiku berjalan dengan baik. Beberapa hari 

Bagian 6

~ 76 ~


kemudian, kami turun dan bermalam di kolam yang berada di kaki 

gunung. Besok paginya, kami berpindapatta dan berjalan selama 

beberapa hari hingga mencapai daerah Talung di Buriram. Pada saat 

itu, Khun Amnaad Amnueykit baru saja ditugaskan di sini sebagai 

petugas wilayah. Kami sangat gembira saat bertemu. sesudah  tinggal 

beberapa hari, aku mohon pamit kepada Khun Amnaad untuk pergi ke 

Kamboja. 

Dalam perjalanan ini kami berjumlah lima orang – dua anak lelaki, dua 

orang bhikkhu dan aku. Khun Amnaad mengatur paspor sementara 

untuk kami. Kami berangkat menuju Kamboja, tiba di Ampil, lalu 

melewati hutan rimba ke Svay Chek, dan dari sana berjalan kaki ke 

Sisophon. sesudah  kedatangan kami di Sisophon, sejumlah umat awam 

datang untuk berdiskusi Dhamma denganku. Mereka terkesan dan 

mulai mengikuti aku beramai-ramai. Ketika saatnya tiba untuk pergi,  

beberapa dari mereka – baik pria maupun wanita – mulai menangis. 

Saat aku tinggal di Svay Chek, ada seseorang yang memberikan 

perhatian besar kepadaku dan ia membawa putrinya untuk berbincang-

bincang dengan aku setiap hari.7 Putrinya berkata kepadaku bahwa 

dia belum menikah. Dari nada suaranya, mereka ingin aku menetap 

di sana. Mereka akan membantu apa saja yang diinginkan. Mereka 

mohon kepadaku untuk tinggal di sini. Hari demi hari terus berlalu dan 

sepertinya kami menjadi saling menyukai satu sama lain. Ketika aku 

melihat bahwa hal itu mulai tak dapat dikendalikan, aku menyadari 

bahwa aku harus pergi, Kemudian aku mengucapkan selamat tinggal 

dan berangkat menuju selatan, ke Sisophon. 

Dari Sisophon, kami terus berjalan kaki ke Battambang, di sana kami 

menetap di kuburan yang berada di Wat Ta-aek, berjarak sekitar 

satu kilometer dari kota. Di Battambang, aku berjumpa dengan 

~ 77 ~


seorang umat awam yang kenal dengan Khun Amnaad Amnueykit. 

Ia menyambutku dengan ramah dan memperkenalkan aku kepada 

banyak orang di dalam kota. sesudah  tinggal di sana beberapa saat, 

kami mengucapkan selamat tinggal dan berangkat menuju propinsi 

Siem Reap. Kami menetap sebentar di kuburan di dalam hutan, di sana 

banyak orang datang untuk berdana makanan. Dari sana kami menuju 

Angkor Wat, di sana kami menetap dan berkeliling memerhatikan 

semua peninggalan masa lampau. 

Kami menetap selama dua malam di sana. Pada hari pertama, kami 

mendapatkan makanan, pada hari ke dua, kami memutuskan untuk 

tidak berpindapatta, karena orang-orang sedang dalam kondisi sulit.

sesudah  meninggalkan Angkor Wat, kami menuju Phnom Penh. 

Kami mendaki gunung yang sangat besar dan tinggi, suatu tempat 

yang indah, sunyi dan tenang dengan limpahan air minum. Gunung 

itu bernama Phnom Kulen – Gunung Lengkeng Liar. Di puncaknya 

ada  banyak pohon lengkeng liar, dengan buah yang berwarna 

merah matang. Sekitar dua puluh desa kecil mengelilingi kaki gunung. 

Kami berdiam di sana selama beberapa hari di suatu vihara Vietnam 

yang ada  rupang Buddha yang terukir dalam batu besar. Saat di 

sana, aku menggunakan kesempatan ini untuk menjelajahi gua-gua 

terdekat. 

Di dekat vihara itu ada desa dengan sekitar sepuluh rumah tangga 

dimana kita dapat berpindapatta. Vihara itu ditinggali oleh dua 

orang – seorang bhikkhu Kamboja yang berusia sekitar lima puluh 

tahun dengan hanya sebelah mata yang dapat berfungsi dengan baik, 

serta seorang umat awam. Bila ada waktu luang, aku akan duduk dan 

berdiskusi Dhamma dengan bhikkhu itu. ada  dua gua, satu tempat 

aku berdiam, dan gua yang satunya berjarak sekitar sepuluh meter 

~ 78 ~


dari rupang Buddha, di mana hidup seekor harimau besar. Waktu itu, 

karena, bulan April, harimau itu turun dan tinggal di hutan-hutan 

dataran rendah. Ketika musim hujan tiba, harimau itu akan kembali 

untuk tinggal di dalam gua tersebut. Pada suatu sore, aku meninggalkan 

gua dan kembali berdiam di vihara Vietnam. Kami semua menetap 

selama sekitar satu minggu. Kemudian kami turun melalui sisi barat 

gunung. Membutuhkan waktu perjalanan sekitar sepuluh jam untuk 

menuruni gunung hingga mencapai dasar. 

Kemudian kami menempuh perjalanan di sekitar bagian selatan 

pegunungan dan mampir di hutan dekat suatu desa. Di sana seorang 

umat awam datang kepadaku dengan menceritakan beberapa kisah-

kisah aneh yang membuat aku tercengang. Inilah ringkasan yang 

ia katakan: sekitar tiga puluh kilometer dari desa ada  tiga 

pegunungan dipenuhi oleh sungai dan hutan. Keanehan pegunungan 

itu yaitu  siapa saja yang menebang pohon-pohon di sana, akan mati 

dengan cara yang tidak wajar, diantaranya menderita penyakit serius 

atau mendapat kemalangan. Kadang-kadang pada saat bulan purnama, 

tengah malam, seberkas cahaya terang memancar dari puncak gunung 

yang ke tiga. Sejumlah bhikkhu pernah menjalankan masa vassa 

mereka di puncak gunung yang ke tiga tetapi mereka meninggalkan 

tempat itu sebelum masa vassa berakhir dikarenakan oleh badai besar, 

hujan, atau guntur. 

Karena itu, ia ingin aku mendaki ke puncak gunung itu untuk melihat 

apa yang ada di sana. Kemudian di pagi yang berikutnya, kami 

berangkat ke gunung yang ke tiga. sesudah  mencapai puncak gunung, 

aku melihat-lihat dan menemukan tempat yang menyenangkan dan 

menarik untuk ditinggali. Orang-orang yang mengikutiku mendaki 

mulai ketakutan, dan menangis karena mereka tidak ingin tinggal, 

jadi pada akhirnya kami menuruni gunung kembali. Dalam perjalanan 

~ 79 ~


kembali, kami melewati suatu desa, lalu melanjutkan perjalanan untuk 

bermalam di  hutan terdekat yang sunyi. 

Besok paginya, ketika kami berpindapatta di desa, seorang wanita tua 

membawa semangkuk nasi berlari menghampiri kami, memanggil 

dan melambai tangannya. Kami berhenti dan menunggunya, berlutut 

dan meletakkan makanan ke dalam mangkuk patta kami. sesudah  

menerima dana makanan, kami kembali ke tempat  kami menetap, dan 

dia mengikuti kami. Ketika dia mencapai kediaman kami, dia berkata, 

“kemarin malam, tepat sebelum dinihari, aku bermimpi seseorang 

datang dan berkata kepadaku untuk bangun dan menyiapkan makanan. 

Seorang bhikkhu dhutanga akan lewat berpindapatta.” Kemudian dia 

bangun dan menyiapkan makanan sama seperti yang dimimpikannya 

dan menemui kami yang sedang berpindapatta. Itulah sebabnya dia 

begitu senang. 

Pada sore hari, penduduk desa menyebarkan berita diantara mereka 

untuk datang mendengarkan khotbah Dhamma, dan ketika malam tiba 

banyak dari mereka yang datang. Sampai waktu itu, aku mengembara di 

Kamboja sudah selama satu bulan lebih, oleh karena itu aku berkhotbah 

Dhamma untuk penduduk di Kamboja dengan cukup memuaskan yang 

membuat kami dapat memahami satu sama lain dengan cukup baik. 

Beberapa hari kemudian, aku mendengar dari seorang umat awam 

bahwa seorang bhikkhu Kamboja yang pakar dalam Tipitaka dan ahli 

dalam menerjemahkan bahasa Pali ingin datang dan menguji aku 

dalam hal Dhamma. “Baiklah,” aku mengatakan kepada dia. “Biarkan 

ia datang.” Dengan demikian pada sore hari berikutnya ia benar-

benar datang. Kami membahas dan berdiskusi Dhamma hingga kami 

dapat mengerti dengan baik bagaimana latihan kami masing-masing. 

Seluruh perbincangan dilakukan dengan lembut dan damai, tanpa 

terjadi peristiwa. 

~ 80 ~


Aku menetap selama beberapa hari di daerah ini, sampai-sampai aku 

mulai merasa sungguh dekat dengan para umat awam di sana. Lalu 

aku mengucapkan selamat tinggal dan kembali ke Sisophon. Sejumlah 

umat awam, pria dan wanita mengikuti kami dan membentuk suatu 

rombongan.

Dalam perjalanan menuju Sisophon, kami berdiam selama dua malam 

dan pergi mengunjungi gua dekat gunung – gua yang cukup baik dan 

terpencil. Seorang bhikkhu Cina berdiam di sana sendirian, jadi kami 

duduk dan berbincang Dhamma. Kami saling menyetujui sehingga ia 

mengundangku untuk tinggal dan melewati masa vassa di sana. Tidak 

ada satu pun dari pengikutku yang ingin tinggal. 

Dari sana kami berjalan ke perbatasan Aranyaprathet, lalu kami 

menyeberang kembali ke Thailand. sesudah  berdiam sebentar di 

Aranyaprathet, kami berjalan masuk ke dalam hutan, menyusuri 

pegunungan, lalu pergi ke propinsi Nakhorn Ratchasima lewat 

Buphraam. 

Pada saat itu sudah hampir sampai masa vassa. Hujan turun sepanjang 

hari dan lintah di mana-mana, dan perjalanan menjadi tidak mudah. 

Kami memutuskan untuk pergi ke Gunung Pha-ngawb dan berjalan 

melalui Wang Hawk. Lalu kami mencapai Baan Takhro, daerah 

Prachantakham, di provinsi Prajinburi. Bila kami terus melanjutkan 

perjalanan melalui Wang Hawk, akan sampai pada hutan rimba yang 

mengarah ke seberang perbatasan propinsi Nakhorn Ratchasima di 

daerah Sakae Lang. Tetapi kami memutuskan untuk berhenti karena 

curah hujan yang sangat lebat, dan kami melewati masa vassa di Baan 

Takhro. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1934.

~ 81 ~

Baan Takhro berada pada suatu bagian dekat kaki gunung dengan aliran 

sungai dalam yang mengalir menuju wilayah Prachantakham. Kami 

menghabiskan masa vassa di kaki gunung. Salah seorang pengikutku 

– Bhikkhu Son – tidak berkeinginan tinggal di sana dan pergi ke 

Prajinburi, lalu melewatkan masa vassa di gunung Kawk di propinsi 

Nakhorn Nayok. Jadi yang tertinggal hanya kita berdua – bersama 

dengan dua orang anak lelaki – di dalam sala tua di tepi sungai. Selama 

musim hujan, terjadi tujuh kali banjir besar, kadang-kadang dengan 

tingkat ketinggian air yang sangat tinggi sehingga membuat kami 

harus mendaki dan tidur di rakit kayu. Kami cukup menderita pada 

tahun itu. 

Desa itu penuh dengan penjahat-penjahat yang kejam dan sadis serta 

menggunakan racun yang kuat. Penduduk di sana bermata pencarian 

mencuri kerbau dan sapi-sapi untuk dibunuh dan diambil dagingnya. 

Aku mencoba mengajar mereka untuk meninggalkan perbuatan salah 

mereka dan hanya melakukan perbuatan benar saja, dan beberapa 

diantara mereka tidak lagi membuat racun dan menghentikan 

membunuh binatang-binatang besar seperti kerbau dan sapi. Berita 

ini tersebar luas hingga terdengar oleh kepala vihara di Wat Makawk, 

propinsi Prajinburi. 

Pada akhir masa vassa, kepala vihara itu mencari aku dan meminta 

Bagian 7

~ 82 ~


kembali bersamanya ke kota Prajinburi. Ia berkata bahwa ia memerlukan 

bhikkhu meditasi. Jadi aku pergi berangkat. Ia memperkenalkan aku 

kepada kepala polisi dan gubernur propinsi, yang bernama Luang 

Sinsongkhram. Aku mendengar gubernur itu berkata kepada kepala 

vihara, “bhante, mohon kepadanya untuk tinggal di propinsi ini untuk 

mengajar orang-orang dan mengenyahkan ‘cap’ penjahat dari daerah 

ini.” Mendengar hal ini, aku berkata kepada diriku, “kamu lebih baik 

pergi dari propinsi ini sebelum mereka mengikatmu.”

Kemudian aku memutuskan untuk pergi dari propinsi Prajinburi dan 

membawa kelompokku untuk tinggal di Gua Kakek Khen di Gunung 

Ito. Dari sana, kami menuju ke daerah cabang dari Sra Kaeo di daerah 

Kabinburi, di sana kami masuk ke dalam hutan. Kami pergi untuk 

melihat gua di Gunung SingaBesar, tetapi aku tidak memedulikan 

apa yang aku lihat karena suasana di dalam gua itu gelap dan pengap. 

Jadi kami menelusuri jalan kembali menuruni gunung. Hari itu, kami 

mengambil jalan pintas  menuju ke desa tertentu, tetapi kami tersesat 

karena kami bepergian di tengah-tengah malam. Kami terus berjalan 

sampai sekitar pukul empat pagi, memotong jalan melalui hutan yang 

masih ‘perawan’ agar mencapai desa, tetapi pada akhirnya kembali 

seperti pada awal perjalanan kami, dekat Sra Kaeo. 

Keesokan paginya, sesudah  menyantap makanan, kami memasuki hutan, 

menuju ke Gunung Chakan, yang berjarak sekitar lima belas kilometer 

dari Sra Kaeo. Sesampainya di desa yang terletak di kaki gunung, kami 

berdiam di dalam Gua Chakan. Gua itu tenang, terpencil, dan bebas 

dari gangguan-gangguan manusia, karena gunung ini dipenuhi oleh 

hewan buas seperti harimau, gajah, dan beruang. Dalam ketekunan 

meditasi malam yang mendalam, kamu bisa mendengar suara gajah 

berjalan dan mematahkan cabang pohon dengan gadingnya. ada  

suatu desa berjarak sekitar satu kilometer dari gunung. Kami berdiam 

di gua ini selama beberapa hari.

~ 83 ~


Dari sana, kami mengambil jalan pintas melewati hutan raksasa 

– luasnya tujuh puluh kilometer tanpa ada pemukiman manusia. 

Dibutuhkan dua hari untuk melewatinya, dan kami harus melewatkan 

dua malam dengan tidur di tengah-tengah hutan liar, karena di sana 

tidak ada satu pun pendesaan. Kami terus berjalan menyeberangi 

perbatasan ke propinsi Chanthaburi, melintasi Baan Taa Ryang, Baan 

Taa Muun dan masuk ke daerah Makham. Dari sana, kami masuk ke 

dalam hutan yang berada di belakang Gunung Sra Baab dan mencapai 

daerah Khlung. Di Khlung, aku mendengar bahwa Khun Amnaad 

Amnueykit telah pensiun dari kantor pemerintah dan sekarang tinggal 

di Chanthaburi. Aku gembira mendengar kabar ini. 

~ 84 ~

Aku masuk ke kota Chanthaburi dan beristirahat di lapangan terbuka 

terletak di bagian selatan dari kota, di terusan Baan Praduu, sebelum 

mengunjungi rumah Khun Amnaad. Ia mencarikanku lokasi yang 

tenang untuk menetap: yaitu suatu tanah pekuburan yang berjarak 

sekitar delapan ratus meter dari kota. Lokasi ini dikelilingi dengan 

bambu dan pohon-pohon taew, serta rerumputan yang padat, hanya 

dengan satu lahan terbuka yang cukup untuk menetap: lahan dimana 

mereka melakukan proses kremasi mayat. Lokasi itu disebut Kuburan 

Khlawng Kung. Begitulah bagaimana aku dapat menetap di tempat 

tersebut. Sampai saat itu, hanya tinggal seorang bhikkhu – seorang 

bhikkhu tua yang mengikutiku dari Prajinburi – serta seorang anak 

laki-laki. Yang lainnya, meninggalkan aku untuk kembali ke rumah. 

Karena menjelang masa vassa, sejumlah penduduk Chanthaburi 

memohon aku untuk menetap dan melewatkan masa vassa di sana, 

kemudian aku memberitahukan kepada kepala vihara di propinsi itu, 

tetapi ia tidak mengijinkannya. Kemudian aku meminta Khun Amnaad 

untuk memberitahukan kepada kepala wihara di bagian tenggara, yaitu 

Phra Rajakavi, di Wat Debsirin, di Bangkok. Phra Rajakavi mengirim 

surat kepada kepala vihara propinsi, yang isinya beliau memberikan 

ijin untuk melewatkan masa vassa di daerah kuburan. 

Pertama kali aku datang untuk berdiam di kuburan Khlawng Kung, 

Bagian 8

~ 85 ~


pada tanggal 5 Maret 1935. Di masa vassa pertama itu, pengajaran 

Dhamma mulai mengena pada sejumlah orang di dalam kota 

Chanthaburi. bhikkhu dan samanera melewatkan masa vassa bersama 

denganku. Pada akhir masa vassa, kami berangkat dan mengembara 

dari satu tempat ke tempat yang lain di propinsi itu, dan semakin 

banyak orang yang tertarik untuk belajar Dhamma. Pada saat yang 

sama, beberapa orang – bhikkhu dan umat awam – kecewa dan iri dan 

mulai memrotesku. Poster-poster bermunculan pada setiap tiang-

tiang pengumuman di tengah-tengah kota, mereka membuat tuntutan 

melawan aku. Dan semakin lama menjadi semakin serius.

Pada suatu hari, seorang wanita tua, menyatakan dirinya pengikutku. 

Dia berkeliling kota meminta uang dan beras, dia mengaku bersama-

samaku mengembara. Dia mengumpulkan dana mengelilingi kota 

sampai di rumah Pangeran Anuwat Woraphong. Pangeran memanggil 

wanita tua itu ke dalam rumahnya dan bertanya kepadanya dan sesudah  

itu menyebarkan berita bohong mengenai aku, meskipun demikian 

aku tidak menggubrisnya. Ia berbicara dengan orang-orang di jalan, 

di toko dan di rumah-rumah mereka, ia berkata bahwa aku bukanlah 

bhikkhu yang baik, karena membiarkan murid-muridku keluyuran 

mengganggu orang-orang, meminta sedekah. Peristiwa ini menjadi 

desas desus besar di kota. Aku tidak habis pikir apa penyebab isu ini 

beredar. 

Khun Nai Kimlang, istri dari Khun Amnaad, dan Nang Fyang, keduanya 

mengenalku dengan baik, mendengar desas desus itu pergi menghadap 

Pangeran Anuwat, di sana, mereka juga bertemu gubernur propinsi. 

Mereka mulai membicarakan rumor tersebut, dengan mengatakan, 

“Anda telah menuduh tanpa dasar ajaan kami, dan mulai sekarang 

kami menghendaki Anda untuk menghentikannya!” Kejadian secara 

tiba-tiba ini tepat di hadapan gubernur propinsi. Akhirnya, sesudah  

~ 86 ~


dilakukan penyelidikan, mereka menemukan bahwa wanita tua itu ada 

kaitannya dengan bhikkhu yang berada di Wat Mai, dan dia bukanlah 

pengikutku. Karena aku tidak pernah ditemani wanita selama 

pengembaraanku. Inilah akhir permasalahan. 

Pada masa vassa ke dua di Chanthaburi, terjadi permasalahan lain. 

Kali ini sejumlah umat awam pergi menghadap Sangha Raja di Wat 

Bovornives, di Bangkok dan menuduh aku telah melakukan penipuan. 

Sangha Raja mengirim surat kepada kepala vihara propinsi, yaitu Phra 

Khru Gurunatha dari Wat Chanthanaram, memberitahu kepadanya 

untuk mencari tahu permasalahan yang terjadi. Karena itu dengan 

segera aku membuat duplikat yang berhubungan dengan pencatatan 

viharaku dan mengirimnya ke Sangha Raja, yang lalu berkata kepada 

aku untuk menunggu, ia akan datang dan melihatnya sendiri pada 

akhir masa vassa. 

Dan ketika masa vassa selesai, beliau datang ke Chanthaburi. Kemudian 

aku mendengar perahu yang membawa beliau telah berlabuh di 

Thaa Chalaeb, aku mengajak serombongan umat awam untuk 

menyambutnya. Ia bermalam di Wat Chanthanaram dan kemudian 

besok paginya, sesudah  sarapan, beliau datang melihat kegiatanku di 

vihara yang sekarang merupakan vihara hutan Khlawng Kung. Aku 

mengundang beliau untuk berkhotbah Dhamma kepada umat awam 

yang ada, tetapi beliau menolaknya dengan berkata, “aku tidak pernah 

berlatih meditasi. Bagaimana aku bisa berkhotbah tentang meditasi?” 

Kemudian ia melanjutkan, “aku mendengar bahwa banyak orang-

orang di sini sangat menghormati Anda. Sulit untuk menemukan 

sosok bhikkkhu seperti Anda.” Kemudian beliau kembali ke Wat 

Chanthanaram dan pulang ke Bangkok. 

Selama masa vassa ke tigaku di sana, orang-orang di Chanthaburi 

~ 87 ~


datang dalam jumlah yang lebih banyak lagi untuk mendengarkan 

khotbahku, bahkan, Nai Sawng Kui, pengusaha bus, mengumumkan 

bahwa ia akan memberi potongan harga kepada siapa pun yang 

menaiki busnya untuk mendengar khotbah dari ajaan ini (maksudnya 

aku). Untuk diriku serta para bhikkhu lainnya dan para samanera di 

vihara, dapat menumpang busnya kemana saja di dalam kota dengan 

gratis. Dari hari ke hari, semakin banyak orang – termasuk pejabat 

gubernur dan pegawai pemerintahan di setiap daerah – datang untuk 

menemuiku. 

Ketika masa vassa selesai, aku pergi mengembara ke berbagai 

kotamadya di setiap daerah propinsi Chanthaburi, mengajar dan 

berkhotbah Dhamma kepada orang-orang. Ketika aku kembali ke 

ibu kota propinsi, hampir tiap minggu, aku berkhotbah Dhamma di 

dalam penjara propinsi. Pada waktu itu gubernur propinsi yaitu  Phra 

Nikornbodi dan pejabat daerah di Thaa Mai yaitu  Khun Bhumiprasat. 

Keduanya antusias dalam membantuku untuk menyelenggarakan 

kegiatan khotbah Dhamma. Kadang-kadang mereka memohon 

kepadaku berkhotbah Dhamma kepada para narapidana, baik di vihara 

maupun di kantor-kantor daerah. Di saat yang lain, mereka memohon 

kepadaku untuk berkhotbah Dhamma kepada orang di kotamadya 

berbeda di daerah Thaa Mai, terutama di Naa Yai Aam, suatu daerah 

berhutan lebat dan dihuni oleh banyak penjahat dan pencuri. Aku 

berusaha untuk tetap mengajarkan orang-orang dengan cara ini.

Di ibu kota propinsi terjadi peristiwa dan desas desus yang dihembuskan 

oleh orang-orang yang berpandangan sinis dengan kecemburuan, 

tetapi semuanya itu tidak mengganggu aku sama sekali. Kadang-

Kadang Khun Nai Kimlang, seorang pendukung yang aku hormati 

seolah-olah dia yaitu  ibuku, datang kepadaku dan berkata, “mereka 

akan membuat berbagai hal yang menyulitkan bhante dengan berbagai 

~ 88 ~


cara. Mereka akan mengirimkan wanita-wanita ke sini, dan juga 

penjahat-penjahat lain untuk mencemarkan nama bhante8. Apakah 

bhante siap menghadapinya? Jika tidak, bhante lebih baik berdiam di 

tempat lain.” 

Kemudian aku menjawab, “bawakan aku dua lagi yang seperti itu. Aku 

tidak akan pergi. Tetapi aku dapat mengatakan kepada Anda bahwa 

bila tidak ada lagi terjadi peristiwa-peristiwa seperti itu, maka aku 

mungkin akan pergi.” 

Aku melanjutkan usaha-usahaku untuk berbuat baik. Beberapa desa 

di dalam propinsi menginginkan bhikkhu meditasi berdiam terus dan 

khususnya Khun Bhumiprasat ingin para bhikkhu tinggal di Naa Yai 

Aam. Aku tidak memiliki  bhikkhu untuk diutus, tetapi aku berjanji 

untuk mencarikannya. Aku mengirim surat kepada Ajaan Singh, 

meminta sejumlah bhikkhu, dan ia mengirim lima orang bhikkhu yang 

kemudian pergi untuk mempersiapkan vihara di Naa Yai Aam. 

Desa ini sangat miskin. Mereka kesulitan mencari bahkan sekop yang 

digunakan untuk menggali lubang tiang penyangga kuti para bhikkhu. 

sesudah  aku mengirim bhikkhu untuk tinggal di sana. aku bersama 

dengan serombongan umat awam – dipimpin oleh Khun Nai Hong, istri 

Luang Anuthai, dan Khun Nai Kimlang – pergi mengunjungi mereka. 

Setibanya kami di kediaman para bhikkhu di Naa Yai Aam dan melihat 

kondisi kesulitan yang dihadapi oleh penduduk desa dan para bhikkhu 

di sana, Khun Nai Kimlang marah: “di sini, kita membawa bhikkhu ke 

sini untuk menderita dan kelaparan! Jangan tinggal di sini, kembali 

bersama kami ke Chanthaburi.”

Ketika Ajaan Kongma, pemimpin para bhikkhu mendengarnya, ia 

marah dan kembali ke Chanthaburi. Akhirnya vihara menjadi kosong 

tanpa adanya bhikkhu yang berdiam untuk masa vassa. sesudah  itu, 

~ 89 ~


Ajaan Kongma pergi ke suatu vihara di Baan Nawng Buadan mengajar 

para umat awam di sana, dan dengan cara demikian membantu 

penyebaran Dhamma di propinsi Chanthaburi.

~ 90 ~

Di tahun itu, aku menjadikan Chanthaburi sebagai pangkalan indukku, 

aku mengembara dari satu propinsi ke propinsi yang lainnya juga. 

Suatu hari, aku pergi ke Trat. Aku berdiam di sebelah kuburan, di 

Wat Lamduan bersama dengan sekitar sepuluh orang atau lebih dari 

Chanthaburi. Malam itu, sekitar dua ratus orang umat awam datang 

untuk mendengar khotbah Dhamma. Saat kegelapan malam tiba dan 

aku sedang bersiap untuk berkhotbah, terjadi satu peristiwa: Seseorang 

melemparkan tiga buah batu bata yang sangat besar ke tengah-tengah 

aula pertemuan. Aku sendiri tidak mengerti apa maksudnya. Suara-

suara kemarahan menyebar dalam kelompok. Tahun itu yaitu  tahun 

dimulainya perang dengan Prancis. Aku sering  mendengar suara 

tembakan di tengah lautan, dan ketika peristiwa pelemparan itu terjadi, 

aku pikir itu yaitu  peluru. Beberapa orang bangun dan bersiap untuk 

mengejar penyamun-penyamun itu, lalu aku menghentikan mereka. 

“Jangan ikut campur, jangan kejar mereka. Jika mereka orang-orang 

baik, kalian harus mengikuti mereka, tetapi jika mereka bukan orang-

orang baik, jangan diikuti. Ikuti aku sebagai gantinya. Aku tidak takut 

pada apa pun termasuk peluru-peluru, dengan tidak menyebut batu 

bata. 

Jika kalian ditembak di mulut, maka akan keluar dari bokong kalian, Jadi 

tidak ada satu pun di dunia ini yang perlu kamu takuti.”

Bagian 9

~ 91 ~


sesudah  mereka mendengar perkataan ini, seluruh kelompok menjadi 

sunyi senyap. Aku lalu berkhotbah Dhamma dengan tema, “tanpa 

kekerasan yaitu  kebahagiaan di dunia ini.” 

sesudah  kami berdiam di sana selama beberapa waktu, kami meneruskan 

perjalanan menuju daerah Laem Ngob untuk mengunjungi istri pejabat 

daerah, yang merupakan saudara dari seorang umat awam dalam 

kelompok. Dua hari kemudian, aku membawa kelompok itu menaiki 

perahu untuk menyeberangi selat menuju Ko Chang, di sana kami 

berdiam dalam hutan yang tenang. sesudah  mengajar mereka sebentar, 

aku membawa mereka kembali ke Laem Ngob. 

Kami tinggal di suatu daerah sebelah utara dari kantor-kantor daerah, 

di bawah pohon banyan raksasa. Kami semua berjumlah hampir dua 

puluh orang termasuk aku sendiri. Kami mengatur sendiri tempat 

masing-masing. Ketika kami semua sudah mendapatkan tempat, 

pada sekitar pukul tiga sore, aku mulai merasa lelah, kemudian aku 

memasuki tenda payungku untuk beristirahat sejenak. Aku tidak dapat 

beristirahat karena suara gaduh dari orang-orang itu yang sedang 

memotong kayu bakar, berbicara, dan menyalakan api. Maka aku 

bangun dari meditasiku, dengan kepala yang dikeluarkan dari dalam 

tenda dan bertanya, “ada masalah apa dengan kalian semua?” 

Sebelum aku melanjutkan, aku melihat awan yang sangat besar 

terdiri dari nyamuk-nyamuk laut lepas pantai, menuju ke arah 

naungan pohon banyan. Muncul pikiran dalam diriku, “aku yaitu  

orang yang memiliki cinta kasih. Aku belum pernah membunuh satu 

makhluk hidup pun sejak aku ditahbiskan.” Kemudian aku membuka 

kelambuku, melipatnya dan berkata kepada semua bhikkhu dan umat 

awam di sana, “semua orang menyingkir api itu sekarang. Nyalakan 

dupa, lipat kelambumu dan duduk bermeditasi bersama-sama. Aku 

~ 92 ~


akan bermeditasi dan menyebarkan cinta kasih untuk mencegah 

nyamuk-nyamuk – tanpa memukul mereka.” Setiap orang patuh. Aku 

membacakan paritta cinta kasih selama lima menit, dan awan nyamuk-

nyamuk itu pergi dan berangsur-angsur menghilang. Tidak ada satu 

pun nyamuk menggigit kelompok kami. 

Kami bermalam di sana. Pada malam harinya, sejumlah besar umat 

awam, termasuk pegawai pemerintahan, pegawai sipil dan yang lainnya 

di dalam kota, datang untuk mendengarkan khotbah Dhamma.  

sesudah  tinggal selama beberapa saat, kami pergi menuju kotamadya 

Khlawng Yai dan menyeberangi Gunung Ito. Sesampainya di Laem 

Yang, kami bertemu salah seorang pengikutku yang membawa perahu 

dari Chanthaburi untuk mengangkut mata bajak. Ia mengundang kami 

untuk kembali ke Chanthaburi dengan perahunya, nama perahunya 

Pangeran Emas. Rumahnya di Laem Singh, tidak jauh dari kota 

Chanthaburi. Jadi kami kembali ke vihara hutan Khlawng Kung dan di 

sana aku melewatkan masa vassa seperti biasanya. 

~ 93 ~

Selama masa vassa pada tahun itu, aku jatuh sakit. Aku terserang sakit 

perut yang parah, dan apa pun yang kumakan untuk menyembuhkan, 

penyakit tersebut tidak sembuh. Pada suatu malam, aku duduk 

bermeditasi hingga dinihari. Pada sekitar pukul empat pagi. Aku 

setengah tertidur dan bermimpi, “penyakitku yaitu  karena kammaku. 

Tidak perlu makan obat.” Selagi aku duduk bermeditasi, aku merasakan 

ketenangan yang mendalam, seolah-olah aku tertidur, dan suatu 

gambaran muncul, yaitu kandang burung yang berisi seekor burung 

merpati yang kurus dan kelaparan. Maksudnya yaitu  pada suatu 

ketika, aku memelihara seekor burung merpati dan lupa memberikan 

makanan untuknya selama beberapa hari. Kamma ini sedang berbuah 

dan menyebabkan aku terserang penyakit radang lambung. Oleh karena 

itu, hanya ada satu cara untuk menyembuhkannya –dengan berbuat 

baik melalui pikiran. Aku memutuskan untuk pergi menyendiri. 

sesudah  masa vassa berakhir, aku pergi mengembara, mengajar dan 

berkhotbah Dhamma kepada para umat awam, Dalam perjalanan 

melalui Thaa Mai, menuju Paak Nam Prasae, daerah Klaeng, di 

propinsi Rayong. Di sana aku berdiam di satu bagian kota. Penduduk di 

sana banyak, sebagian besar beretnik China, yang datang melakukan 

kebajikan dan berdana makanan. Ada seorang wanita etnik China yang 

berusia sekitar empat puluh tahun datang dan berkata bahwa dia ingin 

Bagian 10

~ 94 ~


mencukur rambutnya dan menjadi seorang ayya. “Aku ingin pergi 

mengembara dengan bhante,” dia berkata kepadaku. Dia berpakaian 

putih dan siap untuk ditahbiskan. Tetapi satu peristiwa terjadi yaitu, 

dua orang putranya datang dan memohonnya untuk pulang. Sepertinya 

dia memiliki  anak lain yang baru berusia dua bulan, tetapi dia tidak 

berkeinginan untuk kembali. Peristiwa ini menjadi gangguan yang 

besar. 

Umat awam di sana sepertinya tidak membiarkanku untuk tinggal 

dengan tenang. Sepanjang hari aku tidak punya waktu untuk diriku. 

Malam harinya, aku harus berkhotbah Dhamma. 

Pada suatu hari, aku pergi ke sebelah barat kota dengan harapan 

menghindari wanita etnik China itu, yang pulang ke rumah untuk 

mengambil barang-barangnya. Saat aku dalam perjalanan menuju kota, 

aku berpapasan dengan salah seorang putranya yang berjalan dari 

arah berlawanan. sesudah  aku menyelesaikan makananku hari itu, aku 

memutuskan untuk menghindari dari orang-orang dengan masuk ke 

rimbunan semak-semak berduri yang banyak ada  di kuburan. Di 

bawah keteduhan pohon, aku membentang tikar dan berbaring untuk 

beristirahat. Sebelum memejamkan mataku, aku bertekad, “sebelum 

pukul dua sore. Aku tidak akan meninggalkan tempat ini.” 

Selang beberapa saat terdengar desiran bunyi di atas pohon. Aku 

melihat ke atas dan melihat ada  sarang semut merah yang besar 

sekali telah rusak. Ini dikarenakan ada rambatan ranting melilit sarang 

semut itu. Aku duduk di bawah rambatan tersebut, Sekarang semut-

semut itu berada di tikarku, mengerumuniku dan sungguh-sungguh 

ingin menggigitku.

Aku duduk tegak. Mereka merubungi kakiku. Aku mengarahkan 

pikiranku untuk memancarkan cinta kasih, mempersembahkan 

~ 95 ~


jasa kebajikan kepada semua makhluk hidup dan bertekad: “sejak 

ditahbiskan, aku tidak pernah bahkan berpikiran untuk membunuh 

atau menyakiti makhluk hidup. Jika pada masa kehidupan sebelumnya, 

aku pernah memakan atau menyakiti diri kalian semua, silakan gigit 

aku hingga puas. Tetapi jika aku tidak pernah melukai kalian, mari kita 

akhiri peristiwa ini. Jangan gigit aku sama sekali.” 

sesudah  selesai bertekad, aku duduk bermeditasi – pikiranku sangat 

hening dan tenang. Desiran semut-semut itu menghilang. Tidak ada 

satu semut pun menggigitku. Aku sangat kagum akan Dhamma. Kubuka 

mataku, aku melihat semut-semut itu berbaris rapi dalam jumlah yang 

sangat besar di sekitar tikarku. 

Sekitar pukul sebelas siang, aku mendengar suara dari dua orang 

menuju ke arahku. Ketika mereka mendekat, mereka tiba-tiba mulai 

menangis dalam bahasa mandarin, “ai ya! ai ya!” Aku mendengar 

mereka memukul diri mereka dengan ranting kayu. Sambil tertawa 

sendiri, aku bertanya kepada mereka, “apa yang terjadi?” 

“Semut merah,” mereka menjawab. “Semut-semut itu menggigit 

kami.” Oleh sebab itu mereka tidak dapat mendekatiku. Tibalah pukul 

dua sore, aku bangkit dan pergi meninggalkan tempat istirahatku 

menuju tempat aku mendirikan tenda. Di sana aku bertemu dengan 

dua orang etnik china yang merupakan anak dari wanita yang ingin 

pergi mengembara bersama aku, kemudian aku duduk dan berbicara 

kepada mereka. Mereka mohon kepadaku untuk tidak mengijinkan ibu 

mereka ikut bersamaku, karena masih ada bayi kecil dan ayah mereka 

sudah berusia lanjut. 

Ketika malam tiba, wanita etnik China itu muncul, berpakaian 

putih, dengan payung di tangannya dan tas di pundaknya. “Aku ikut 

denganmu,” dia berkata. Aku mencoba untuk menakut-nakutinya 

~ 96 ~


dengan kisah-kisah yang menakutkan, tetapi dia menjawab dengan 

berani, “aku tidak takut apa pun. Yang aku minta yaitu  mengijinkan 

aku pergi bersamamu.” 

Kemudian aku berkata, “jika aku tidak makan, apa yang akan Anda 

lakukan?”

“Aku tidak akan makan juga,” dia menjawab. 

“Dan bagaimana jika aku juga tidak minum air?” 

“Aku juga tidak minum,” dia menjawab. “Jika aku harus mati, aku akan 

melakukannya.” Dia melanjutkan, “Aku menderita karena keluargaku 

selama bertahun-tahun. Tetapi sesudah  aku berjumpa dengan bhante, 

aku merasa damai. Berani. Bahagia dan bebas. Sekarang aku dapat 

belajar Dhamma dengan bhante.”

Sebenarnya, bahasa Thainya tidak begitu jelas. Maka aku mengujinya 

berulang-ulang. Penalaran dan penjelasannya benar-benar sesuai 

dengan Dhamma. Sangat mengagumkan. Ketika dia menyelesaikannya, 

semua umat awam yang hadir – yang telah mendengar banyak 

Dhamma – mengangkat tangannya untuk memberi hormat. Tetapi aku 

keberatan atas keinginannya.

Akhirnya aku harus mengatakan kepadanya bahwa wanita tidak bisa 

ikut bersama para bhikkhu, dan selama beberapa hari berikutnya aku 

mengajar dan menghiburnya. Sejak keluar dari Chanthaburi – tiga 

puluh satu hari – aku sakit perut setiap hari, tetapi karena peristiwa 

ini, sakit itu lenyap.

Aku terus mengajarnya hingga dia mau mengikuti petunjukku. 

Akhirnya, dia setuju untuk pulang ke rumah. Lalu aku berkata 

kepadanya, “jangan khawatir. Bila ada waktu, aku akan kembali 

~ 97 ~


mengunjungi kamu. Aku berdiam dekat sini, di vihara hutan Khlawng 

Kung.” Sampai saat itu, dia tidak mengetahui asalku, tetapi segera 

sesudah  aku mengatakan kepadanya, dia kelihatan gembira dan setuju. 

Maka sesudah  kami saling mengerti. Seperti biasanya, aku kembali ke 

Chanthaburi. Sakit perutku telah hilang.

~ 98 ~

Ketika masa vassa datang lagi, aku berdiam dan mengajar orang-

orang di Chanthaburi seperti dulu. Selagi berada di Chanthaburi 

selama bertahun-tahun, aku mengembara ke propinsi terdekat seperti 

Rayong, Chonburi, Prajinburi, dan Chachoengsao, dan kemudian 

kembali melewatkan masa vassa di Chanthaburi. Pada tahun 1939, 

aku memutuskan untuk berkelana ke India dan Myanmar, oleh karena 

itu aku menyiapkan keperluan untuk pembuatan pasport. Pada bulan 

November, aku meninggalkan Chanthaburi menuju Bangkok, di sana 

aku berdiam di Wat Sra Pathum. Aku menghubungi orang-orang di 

kantor pemerintah dan Kedutaan Besar Inggris dan mereka semua 

sangat membantuku dalam berbagai hal. Luang Prakawb Nitisan 

bertindak sebagai sponsorku, ia menghubungi kedutaan, menjamin 

keuanganku dan kemurnianku terhadap ketentuan-ketentuan Sangha 

dan hukum negara. Ketika segalanya sudah sejalan dengan semua 

prosedur-prosedur hukum dan aku memiliki semua dokumen yang 

diperlukan, aku menuju Phitsanuloke. Dari sana aku menuju ke arah 

Sukhothai dan ke Tak. Di Tak aku berdiam di suatu vihara, sementara 

seorang umat awam yang ikut bersama denganku pergi membeli tiket 

pesawat ke Mae Sod. Ia tidak berhasil mendapatkan tiket, karena 

semua penerbangan sudah penuh. Dalam perjalanan ini, aku ditemani 

oleh seorang umat awam yang bernama Nai Chin, walaupun lelet, ia 

berguna.

Bagian 11

~ 99 ~


Besok paginya sesudah  menyantap makanan, kami berjalan kaki dari Tak 

melewati gunung Phaa Waw. Setibanya di Mae Sod, kami melewatkan 

dua malam dengan tidur di sepanjang jalan kecil. Di Mae Sod, kami 

berdiam di vihara Myanmar, yang bernama Jawng Tua Ya – vihara 

hutan. Tidak ada bhikkhu yang berdiam di sana, hanya  ada seorang 

penduduk yang mengenal Birma. Kami bersamanya sekitar seminggu 

sampai aku memelajari beberapa hal mengenai Myanmar, dan sesudah  

itu kami berangkat.

sesudah  kami menyeberangi Sungai Moei dan tiba di kota seberangnya, 

seorang pria berusia sekitar tiga puluh tahun datang berlari 

menyambut kami. Ia mengajak kami naik truknya dan mengatakan ia 

akan mengantar kami ke tempat yang akan dituju. Ia yaitu  orang Thai, 

penduduk asli dari Kamphaeng Phet, ia telah meninggalkan rumah dan 

hidup di Myanmar selama hampir dua puluh tahun. Kami berdua – aku 

dan Nai Chin – menerima ajakannya dan naik ke truknya. 

Kami berkendara ke dalam hutan dan naik ke puncak gunung yang 

tinggi dengan jalan berkelok-kelok. Saat itu jam dua siang, kami sudah 

meninggalkan gunung dan sampai di kaki gunung. Kami melanjutkan 

perjalanan mencapai Kawkareik, dan hari sudah gelap saat kita sampai 

di rumahnya. Di sana kami bermalam. Sekitar pukul empat pagi, 

seorang wanita etnik Myanmar membawa bubur untuk didanakan 

kepadaku, dan berkata untuk segera menyantap makanan itu di sana. 

Aku menolak karena belum fajar, kemudian dia pergi dan menunggu 

di luar hingga fajar. 

sesudah  fajar, ketika aku telah menghabiskan santapanku, istri dari 

pemilik rumah itu mengantar kami ke bus menuju pelabuhan Kyondo 

(kapal uap). Dari sana kami naik perahu menuju Moulmein. Perjalanan 

memakan waktu sekitar empat jam. Saat kami berada di atas perahu, 

~ 100 ~


orang India dan orang Myanmar datang menemuiku untuk berdiskusi, 

tetapi aku tidak bisa memahami banyak apa yang mereka katakan. 

Sekitar pukul empat sore perahu mencapai Moulmein. Dari sini kami 

harus naik perahu lain untuk menyeberangi sungai menuju Martaban, 

suatu perjalanan yang indah. Tiba di tepi sungai, kami bisa melihat 

stasiun kereta api dari jarak jauh. 

Kereta api tidak akan berangkat sebelum pukul tujuh malam, jadi kami 

menunggu di bawah kerindangan pohon. Seorang anak muda yang 

berusia sekitar tiga puluh tahun dan sangat sopan, datang mendekati 

kami dengan berkata, “kalian mendapatkan ijin khusus untuk duduk 

dan menunggu di dalam kereta sebelum berangkat, karena bhante 

yaitu  orang Thai dan sudah datang dari jauh.” Ia menyebutku, 

“Yodhaya Gong Yi.” 

Maka aku berkata dalam bahasa Inggris, “terima kasih banyak.” 

Ia tersenyum, bersikap anjali, lalu bertanya dalam bahasa Inggris, 

“bhante dari mana?” 

“Aku datang dari Siam.” 

Lalu kami beristirahat di dalam gerbong kereta. Sebagian dari pejabat 

kereta api datang untuk bercakap-cakap dengan aku, dan kami dapat 

memahami satu sama lain dengan cukup baik, berbicara dalam bahasa 

Myanmar yang dicampur dengan bahasa Inggris. Ketika waktunya tiba, 

kereta api berangkat. Kami menempuh perjalanan di malam hari, dan 

udara malam sangat dingin. Aku tidur dengan berselimut. Nai Chin 

duduk dan menjaga barang-barang kami. Ketika kereta tiba di stasiun 

Pegu, seorang wanita yang berusia sekitar tiga puluh tahun atau lebih 

duduk dekat tempat aku tidur dan mulai bertanya dalam bahasa 

Myanmar, beberapa dapatku mengerti dan beberapa aku tidak dapat 

~ 101 ~


mengerti. Aku duduk sambil berbicara dengannya dengan sikap sopan. 

Aku berkata dalam bahasa Myanmar, “aku menuju ke Rangoon.” 

“Di mana bhante akan menetap?” 

“Di Schwe Dagon.” 

Kami berbicara dalam bahasa isyarat. Sepertinya dia paham. Kereta 

menempuh perjalanan hingga pukul lima pagi, kemudian dia turun. 

Nai Chin dan aku meneruskan perjalanan dengan kereta mencapai 

Rangoon waktu fajar menyingsing, waktu yang sama bagi para bhikkhu 

untuk berpindapatta.

Seorang umat awam datang mendekati gerbong kereta api dan 

mengangkat barang-barang kami, seolah-olah ia mengenal kami 

dengan baik. Ia mengundang kami ke naik mobilnya. Kami masuk dan 

duduk tanpa berkata apa pun. Ia membawa kami ke Pagoda Schwe 

Dagon, di mana kami mendapatkan tempat untuk tinggal. Orang itu 

– namanya Mawng Khwaen – menjadi pendukung kami selama kami 

tinggal di Rangoon, menunjang kebutuhan-kebutuhan kami dan 

membantu kami dengan berbagai macam cara.

Kami berdiam selama dua belas hari di Pagoda dan mulai mengenali 

para umat awam beretnik Myanmar. Kami mampu berbicara dan 

memahami satu sama lain dengan cukup baik. 

Kemudian Nai Chin dan aku meninggalkan kota Rangoon, naik perahu 

dari pelabuhan kota menuju India. Perjalanan menggunakan perahu 

memakan waktu dua malam dan tiga hari untuk menyeberangi Teluk 

Bengal, dan sampai di pelabuhan Calcutta waktu gelap. Di atas perahu, 

aku bertemu dengan seorang bhikkhu Bengali dari Kusinara. Kami 

berdiskusi Dhamma, kadang-kadang dalam bahasa Pali, kadang-

~ 102 ~


kadang dalam bahasa Bengali, kadang-kadang dalam bahasa Inggris. 

Kadang-kadang dalam satu kalimat, kami harus menggunakan tiga 

bahasa sebelum kami bisa memahami satu sama lain, dimulai dengan 

bahasa Bengali, diteruskan dengan bahas Pali, dan diakhiri dengan 

bahasa Inggris. Aku tidak malu karena tidak bisa berbicara dengan 

benar, karena aku benar-benar tidak bisa berbicara dengan benar. 

Bahkan apa yang aku katakan, aku tidak bisa melafalkan dengan baik. 

Kami bersahabat selama perjalanan panjang itu di samudra. 

sesudah  kami berlabuh di pelabuhan Calcutta, kami naik becak menuju 

the Maha Bodhi Society Center, di mana kami berdiam di Vihara Nalanda 

Square Buddhist. Di sana, aku bersahabat dengan seorang bhikkhu 

Thailand, seorang siswa Lokanatha yang bernama Phra Baitika Sod 

Singhseni, yang membantu aku mengenali India. 

Perkumpulan memberikan penghormatan khusus selama aku berdiam 

di sana. Kondisi tempat tinggal dan makanan sangat menyenangkan. 

Ada delapan orang bhikkhu yang tinggal di vihara itu. Kami menyantap 

makanan vegetarian. Ketika waktu makan tiba, kami duduk dalam suatu 

lingkaran. Masing-masing dari kami memegang piring sendiri-sendiri 

untuk mengambil nasi dan sayur. sesudah  aku berdiam beberapa lama, 

aku meneruskan perjalanan menuju tempat peninggalan suci Sang 

Buddha di masa yang lampau. 

Yang membuat aku sedih yaitu  saat melihat keadaan Buddhisme di 

India. Telah terjadi pelaksanaan-pelaksanaan yang buruk di sana, tidak 

ada lagi yang baik. Beberapa bhikkhu tidur di dalam ruang yang sama 

dengan para wanita, duduk di becak bersama dengan para wanita. 

Menyantap makanan sesudah  tengah hari. Sepertinya mereka tidak 

mengenal vinaya sama sekali. Berpikir tentang hal ini, aku tidak ingin 

terus tinggal. 

~ 103 ~


Pada waktu Itu, India tidak tertarik lagi dengan ajaran Buddha. 

Menurut catatan-catatan yang dikumpulkan oleh the Maha Bodhi 

Society, ada sekitar tiga ratus orang umat Buddha di dalam negeri, 

dan hanya ada sekitar delapan puluh orang bhikkhu – termasuk para 

bhikkhu dari Inggris, China, Mongolia, Tibet, Jerman, dan lain-lain – 

hidup dalam kondisi yang sangat sulit. Sulit bagi orang-orang untuk 

berdana makanan kepada mereka. 

Kami berangkat menuju Bodhgaya, dengan naik kereta dari stasiun 

Howrah pada pukul tujuh malam dan tiba di Benares pada pukul sebelas 

siang besoknya. Dari sana kami naik kereta kuda menuju Taman Rusa 

di Sarnath – lokasi di mana Sang Buddha membabarkan Dhamma 

untuk pertama kalinya, Pemutaran Roda Dhamma, kepada lima orang 

petapa – berjarak sekitar delapan mil dari Benares. Ketika kami tiba, 

aku merasakan sangat gembira. Tempat ini sangat luas dan terbuka 

dengan peninggalan-peninggalan cetiya dan banyak rupang Buddha 

disimpan dalam musium. 

Kami berdiam selama beberapa hari di sana dan kemudian melanjutkan 

perjalanan untuk memberikan penghormatan di tempat Sang Buddha 

parinibbana di Kusinara, yang sekarang disebut Kasia. Dulunya 

merupakan kota sekarang menjadi lapangan terbuka. Kemudian kami 

menaiki bus, lalu melewati ladang-ladang yang luas, dengan gandum 

yang berwarna hijau terang, mata dan pikiranku menjadi segar. Di 

Kasia, kami menemukan peninggalan-peninggalan jaman dahulu dan 

tempat di mana Sang Buddha parinibbana, Tempat itu telah digali dan 

dirapikan kembali. Di sana ada cetiya tegak berdiri, yang ukurannya 

tidak sebesar cetiya di Sarnath, di sana tersimpan relik Sang Buddha. 

Besok paginya, kami melanjutkan perjalanan ke tempat Sang Buddha 

dikremasikan, yang jaraknya sekitar satu mil dari tempat Sang Buddha 

~ 104 ~


parinibbana. Tempat itu sekarang tak lain yaitu  ladang-ladang. 

ada  peninggalan cetiya tua yang telah rusak – reruntuhannya 

hanya tinggal gundukan batu bata – serta satu pohon banyan besar 

yang tumbuh di reruntuhan itu. Seorang bhikkhu etnik China 

telah mendirikan suatu tempat di bawah pohon dan sedang duduk 

bermeditasi di sana. Kemudian pada sore hari, kami kembali ke Kasia. 

Besok paginya, sesudah  kami menyantap makanan, kami naik bus 

menuju stasiun kereta api dan kemudian naik kereta kembali ke 

Benares. Saat aku berdiam di Sarnath, aku berkesempatan melihat para 

penganut agama Hindu yang percaya akan penghapusan dosa, di tepi 

sungai Gangga, yang mengalir tepat di pusat kota Benares. Bangunan 

kuno kota tersebut terlihat aneh. Pada suatu saat, aku bertanya kepada 

profesor sejarah dan geografi, dan ia berkata kepadaku bahwa kota 

tersebut tidak pernah ditinggalkan selama lima ribu tahun. Hanya 

dipindahkan mengikuti perubahan aliran sungai Gangga. 

Sungai ini diyakini suci karena mengalirkan dari ketinggian 

pegunungan Himalaya. Mereka percaya dengan berendam di dalam 

air sungai tersebut pada saat perayaan keagamaan, dosa-dosanya 

akan terhapus. Di masa lampau, bila seseorang sakit dan hampir 

meninggal, maka mereka akan membawanya ke tepi sungai. Segera 

sesudah  ia menghembuskan nafas terakhir, mereka akan mendorong 

dan menggulingkannya masuk ke dalam air. Siapa pun yang meninggal 

dengan cara seperti ini, mereka meyakini, akan mendapatkan banyak 

kebajikan dan tidak akan jatuh ke alam neraka. Jika seseorang tidak 

meninggal di sana, sanak keluarganya akan membawa debu kremasi 

untuk ditebar ke air sungai. Sekarang, tradisi ini sudah hilang. Yang 

tersisa yaitu  tradisi untuk berendam dan menghanyutkan dosa 

seseorang pada saat perayaan di bulan purnama, pada bulan purnama 

yang ke dua, yang mereka yakini sebagai hari baik. 

~ 105 ~


Jika Anda memerhatikan, Anda akan melihat sejumlah besar orang-

orang berpakaian bagus, dengan kepala terbungkus kain menceburkan 

dirinya ke dalam sungai. Anda tidak dapat keluar dari kerumunan 

mereka. sesudah  mereka sampai di sungai, mereka akan memberikan 

penghormatan kepada para dewa di kuil-kuil Hindu yang berada di 

tepi sungai. 

Sebelum menceburkan diri, mereka harus memuja Siva. Tepat tengah-

tengah kuil-kuil itu ada  lambang dari alat kelamin pria dan wanita 

yang berukuran sama dengan keranjang penampi beras. Orang-orang 

datang dan memerciknya dengan air, bunga-bunga, menghidangkan 

daging yang wangi, mempersembahkan perak dan emas, lalu antri di 

tepi air. Di sana, Anda dapat melihat para yogi berambut panjang dan 

janggut panjang sedang duduk bermeditasi di tepi sungai – beberapa 

di antara mereka tidak memakai pakaian sama sekali. Pria dan wanita 

yang akan menghapus dosa mereka menaiki perahu hingga penuh. 

Perahu tersebut akan menuju ke tengah-tengah sungai dan dibalikkan. 

Setiap orang menceburkan dirinya ke dalam air dan dengan cara ini, 

mereka yakin akan menghapus dosa-dosa mereka. Sebagian orang 

berdiri dengan tangan-tangan yang direntangkan menghadap ke langit, 

sebagian orang berdiri dengan satu kaki, sebagian orang mendongakan 

kepalanya menghadap matahari. Jika aku memberikan uraian penuh 

atas semua kepercayaan dan praktik mereka yang berbeda itu, akan 

sangat banyak sekali untuk diceritakan. 

Hari itu, aku bepergian hingga hari gelap, kemudian aku kembali ke 

tempat aku tinggal di Sarnath. 

Sarnath sangat luas dengan wilayah terbuka lebar dan luasnya paling 

tidak delapan ratus hektar, tempat itu sejuk dengan banyak pohon 

yang tersebar dan peninggalan masa lampau yang terbuat dari batu. 

~ 106 ~


Orang-orang masih pergi untuk memberikan penghormatan pada 

rupang-rupang Buddha di dalam reruntuhan itu. Beberapa tahun yang 

lalu, ada seorang wanita Hawai, separuh kulit putih, sangat terkesan 

dengan Anagarika Dhammapala. Kemudian ia berdana uang untuk 

merapikan dan membangun the Maha Bodhi Society. Di tempat itu 

ada  empat vihara: 

1. Vihara orang Singhala. Vihara ini yaitu  cabang dari the Maha 

Bodhi Society. Sekretaris Jendralnya yaitu  seorang bhikkhu, dan 

bertujuan untuk menyebarkan ajaran Sang Buddha ke seluruh 

dunia. 

2. Vihara orang Myanmar. 

3. Vihara orang China yang didukung oleh Ow Bun Haw, pemilik 

Tiger Balm Drug Company. Para bhikkhu di vihara ini berasal dari 

Peking. 

4. Vihara Jain berada di sisi kanan cetiya itu dibangun oleh Raja 

Asoka. Puncak menara cetiya itu kini telah rusak, dan yang tersisa 

hanyalah sekitar enam belas meter tingginya. Kelihatannya dulunya 

di tempat itu ada  relik Sang Buddha, tetapi kini ditempatkan 

di musium Calcutta. 

Aku berkeliling di sekitar tempat itu dan memeriksa dengan teliti 

seluruh lokasi tersebut dan seratus persen yakin bahwa Sang Buddha 

benar-benar telah memutar Roda Dhamma di sini. Tempat dimana 

Beliau duduk membabarkan Dhamma pertama kali diberikan tanda. Di 

tempat itu telah dibangun peninggalan yang bertuliskan, “Dibangun 

oleh Raja...” Dan di dalam musium di sana ada  potongan dari 

tiang batu dengan ketinggian sekitar tiga hingga empat meter dan 

bentuknya seperti penumbuk beras. Dan ada  juga gambar Sang 

Buddha yang sangat indah terukir di dalam batu, sekitar satu meter 

dari ukiran tersebut, ada  catatan yang bertuliskan, “Dibangun 

oleh Maharaja Asoka.” 

~ 107 ~


sesudah  aku cukup berkeliling, kami pergi naik kereta api menuju 

Bodhgaya. Turun dari kereta api, kami naik kereta kuda menyelusuri 

jalan dari kota menuju tempat peristirahatan milik the Maha Bodhi 

Society. Kota itu luas, terbuka dan sangat menyenangkan, ada  

bukit dan sungai – Sungai Neranjara – yang mengalir dekat pasar. 

Meski sungai itu dangkal, tapi tetap mengalirkan air sepanjang tahun, 

bahkan di musim kemarau. Ada perbukitan di seberang sungai, dan 

di tengah-tengah bukit itu yaitu  lokasi dimana Sang Buddha pernah 

tinggal, tempat itu bernama Nigarodharama. Peninggalan rumah 

Nyonya Sujata ada dekat sini. Tidak jauh dari sana ada  Sungai 

Anoma, yang sangat luas dan dengan dasar berpasir. Pada saat musim 

kemarau, ketika ketinggian air sangat rendah, terlihat seperti padang 

pasir dengan aliran air sungai yang sedikit. 

Kami kembali menyeberangi sungai Neranjara dan melanjutkan 

perjalanan menuju cetiya yang dikelilingi oleh rimbunan pohon 

flamboyan. Tempat itu – disebut Mucalinda – di mana Sang Buddha 

duduk bermeditasi dengan naungan kepala ular. Di area sekitar pohon 

Bodhi di mana Petapa Gotama mencapai Penerangan Sempurna 

ada  sejumlah rupang Buddha dan cetiya kecil tua terbuat dari 

batu, yang masih dihormati oleh orang-orang dari bermacam-macam 

sekte.

sesudah  berdiam untuk beberapa lama di Bodhgaya, kami kembali 

ke Calcutta untuk menetap sementara di Vihara Buddha Nalanda. 

Kemudian aku mengucapkan selamat tinggal kepada semua teman 

baikku di sana dan naik perahu di pelabuhan Calcutta. Pada tahun 1940, 

di bulan Maret, kepulan asap perang dunia begitu tebal dekat dengan 

pusat pertempuran di Jerman. Aku melihat banyak kapal perang di 

samudera Hindia ketika perahu kami melewatinya. 

~ 108 ~


sesudah  melewati tiga hari dan dua malam berada di samudra, kami 

mencapai pelabuhan Rangoon. Kami berdiam di Pagoda Schwe Dagon 

dan mengunjungi penyokong dana kami. Kemudian sesudah  itu kami 

naik kereta api untuk kembali menuju Thailand. Pada waktu itu tidak 

ada penerbangan komersil, jadi kami kembali dengan menggunakan 

rute yang sama pada waktu pergi. Ketika kami tiba di Mae Sod, aku 

merasa lelah sesudah  melewati pegunungan, maka kami membeli 

tiket penerbangan komersil dari Mae Sod ke Phitsanuloke. Dari sana 

kami naik kereta api menuju Uttaradit, dan di sana berdiam di Wat 

Salyaphong. sesudah  mengunjungi para umat awam dan pengikut 

lamaku di sana, aku pergi dan menetap sebentar di Sila Aad, dan 

naik kereta api menuju Bangkok