ajJhà na, yaitu, Råpà vacara-Jhà na termasuk bentuk-bentuk
yang diciptakan melalui pikiran, ia mampu menciptakan banyak
tubuh dari satu tubuh atau satu tubuh dari banyak tubuh dan juga
memiliki kemampuan sejenis lainnya. Selain itu, ia juga menguasai
Tiga Piñaka dan memiliki enam kekuatan batin. (keterampilan ini
disebut Maggasiddha-pariyatti dan Maggasiddha-Abhi¤¤Ã , tanpa
memelajari dan melatihnya secara khusus, seseorang dapat menjadi
terpelajar dalam hal Piñaka dan memiliki kekuatan batin segera
sesudah ia mencapai Arahatta-Magga. Pengetahuan dan kekuatan
itu terjadi berkat kekuatan Magga.)
Keesokan harinya, terlihat Buddha mengunjungi rumah Dokter
Jãvaka bersama 499 bhikkhu dan duduk untuk menerima
persembahan makanan. Thera Cåëapanthaka tidak turut pergi
sebab kakaknya Thera Mahà panthaka tidak menerima undangan
untuknya. Dokter Jãvaka pertama-tama mempersembahkan bubur.
Buddha tidak menerima bubur itu melainkan menutup mangkuk-
Nya dengan tangan-Nya. Jãvaka bertanya, “Buddha Yang Agung,
mengapa Engkau tidak menerima bubur ini?” “Masih ada seorang
bhikkhu di vihà ra,” jawab Buddha.
Selanjutnya Jãvaka mengutus orangnya, “Pergilah, teman! Jemput
bhikkhu yang masih tertinggal di vihà ra.” Sebelum kedatangan orang
itu, Thera Cåëapanthaka dengan kekuatan batinnya menciptakan
seribu bhikkhu, yang berbeda satu dengan yang lainnya yang
2583
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
masing-masing sedang melakukan aktivitas yang berbeda, seperti
menjahit jubah, dan lain-lain.
sebab orang yang diutus oleh Jãvaka melihat begitu banyak bhikkhu
di vihà ra, (ia tidak berani mengundang mereka semua, sebab ia
diperintahkan oleh Jãvaka untuk menjemput hanya satu orang. Maka
ia kembali dan berkata kepada majikannya, “Tuan Jãvaka, bhikkhu
yang ada di vihà ra jauh lebih banyak daripada semua bhikkhu yang
berada di rumahmu. Aku tidak tahu siapa yang harus kujemput.”
Jãvaka bertanya kepada Buddha, “Siapakah nama Thera yang masih
tertinggal di vihà ra? Buddha Yang Agung” saat Buddha berkata,
“Dia yaitu Cåëapanthaka,” Jãvaka mengutus orangnya lagi dengan
berkata, “Pergilah lagi, teman! Tanyakan ‘Siapakah Thera mulia yang
bernama Cåëapanthaka?’ dan jemputlah dia.”
Orang itu pergi ke vihà ra dan bertanya, “Siapakah Thera mulia yang
bernama Cåëapanthaka?” “Cåëà panthaka yaitu aku! Cåëà panthaka
yaitu aku!” jawab seluruh seribu bhikkhu itu. Orang itu pulang
lagi dan berkata kepada Jãvaka, “Tuan, seluruh seribu bhikkhu itu
menjawab ‘Cåëà panthaka yaitu aku! Cåëà panthaka yaitu aku!’
aku bingung siapakah yang harus kuundang, aku tidak dapat
mengenalinya” sebab Dokter Jãvaka yaitu seorang penyumbang
Ariya yang telah menembus Empat Kebenaran, saat orang itu
memberitahunya, ia mengetahui bahwa orang yang tertinggal
di vihà ra yaitu orang yang memiliki kekuatan batin. “Pergilah,
teman!” Jãvaka berkata, “Katakan kepada yang pertama menjawab,
katakan kepadanya bahwa Buddha memanggilnya dan jemputlah
dia dengan memegang pinggir jubahnya.” Dengan kata-kata itu,
Jãvaka mengutus orangnya sekali lagi. Orang itu pergi lagi dan
melakukan sesuai perintah majikannya. Sesaat seribu bhikkhu itu
lenyap. Baru lalu orang itu dapat menjemput Cåëapanthaka.
sesudah itu Buddha menerima bubur dan memakannya.
sesudah kembali ke vihà ra sesudah makan, terjadi diskusi di antara
para bhikkhu, “Para Buddha sungguh mulia. Beliau dapat membantu
seorang bhikkhu, yang tidak mampu menghafalkan satu syair,
menjadi seorang yang sakti!” Mengetahui pikiran para bhikkhu,
Buddha datang ke pertemuan itu dan duduk di tempat yang telah
2584
disediakan untuk-Nya. lalu Beliau bertanya, “Para bhikkhu,
apakah yang sedang kalian bicarakan?” saat para bhikkhu
menjawab, “Buddha Yang Agung, kami sedang membicarakan
tentang kemuliaan-Mu!” Buddha berkata, “Para bhikkhu, menerima
warisan Lokuttara dari-Ku sekarang ini dengan mengikuti
nasihat-Ku bukanlah suatu hal yang menakjubkan. Sewaktu
kebijaksanaannya masih belum matang jauh pada masa lampau,
Cåëapanthaka juga menerima warisan Lokiya dengan mengikuti
nasihat-Ku.” “Kapankah itu terjadi, Buddha Yang Agung?” tanya
para bhikkhu. Dan atas permohonan mereka, Buddha menceritakan
Cåëaseññhi Jà taka sebagai berikut:
Cåëaseññhi Jà taka
Para bhikkhu, pada masa lampau, pada masa Raja Brahmadatta
memerintah Kota Bà rà õasã. Pada masa itu seorang pedagang
bijaksana yang bernama Cåëaseññhi yaitu seorang yang ahli
dalam membaca pertanda. Suatu hari dalam perjalanannya ke
istana untuk melayani raja, ia melihat seekor tikus mati dan sesudah
mengamati dan merenungkan posisi planet di langit, ia membaca
pertanda bahwa, “Orang bijaksana yang memungut tikus mati ini
akan mampu memelihara keluarganya dan menjalani usahanya.”
Seorang miskin yang tidak terkenal, mendengar kata-kata pedagang
bijaksana itu dan mengetahui bahwa pedagang bijaksana itu tidak
akan mengucapkan kata-kata itu tanpa memahaminya, ia memungut
tikus mati itu, pergi ke pasar dan menjualnya sebagai makanan
kucing dan mendapatkan uang. Dengan uang itu, ia membeli
gula merah dan membawa sekendi air minum. Melihat beberapa
penjual bunga yang pulang dari hutan sesudah memetik bunga, ia
memberi sedikit gula merah dan secangkir air bersih untuk
mereka menyegarkan diri. Sebagai terima kasih, masing-masing
penjual bunga itu memberi segenggam bunga kepada orang
miskin itu.
(Selanjutnya, si orang miskin akan disebut ‘murid berbakat’ sebab
ia memang berbakat dan sebab ia yaitu seorang murid yang
menerima instruksi yang diberikan oleh si pedagang bijaksana,
Cåëaseññhi.) dengan bunga-bunga itu, ia membeli lebih banyak
2585
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
gula merah sebanyak yang dapat ia beli dari uang hasil penjualan
bunga dan pergi ke taman membawa gula merah itu dan sekendi
air minum. Pada hari itu, para penjual bunga membagi rata bunga-
bunga dengannya, lalu mereka pergi. Demikianlah si murid
berbakat itu dengan cepat mendapatkan delapan keping uang
perak.
Pada suatu hari, badai menyerang, si murid berbakat pergi ke
sebuah taman tua dan sewaktu menumpuk dahan dan ranting
yang patah sebab angin kencang, untuk dijadikan kayu bakar,
ia menerima enam belas keping uang dari pengrajin tembikar
kerajaan. Ditambah delapan keping uang yang ia peroleh dari para
penjual bunga, sekarang ia memiliki dua puluh empat keping uang,
ia berpikir, “Aku memiliki pekerjaan untuk mendapatkan uang:
menjadi penyumbang air bagi para pemotong rumput.” Dengan
pikiran demikian, ia meletakkan kendi air di tempat yang tidak
terlalu jauh dan tidak terlalu dekat dari gerbang kota. lalu
ia memberi air minum gratis kepada lima ratus pemotong
rumput yang datang dari luar kota. Para pemotong rumput berkata
kepadanya, “Teman, engkau memberi pelayanan besar kepada
kami. Apa yang dapat kami lakukan untukmu?” Si murid berbakat
menjawab, “Jika waktunya telah tiba, kalian dapat membantuku.”
sesudah mengucapkan kata-kata itu, orang itu mengembara dan
berteman dengan pejabat-pejabat yang bertugas di jalan darat dan
pejabat yang bertugas di jalan air.
Suatu hari pejabat yang bertugas di jalan darat memberitahunya
bahwa seorang pedagang kuda akan berkunjung ke Kota Bà rà õasã,
membawa lima ratus ekor kuda. Mendengar berita itu, si murid
berbakat menyampaikannya kepada para pemotong rumput dan
meminta mereka untuk membawa masing-masing seikat rumput
lebih banyak dari apa yang mereka bawa pada hari-hari sebelumnya.
saat kuda-kuda itu datang, si murid berbakat menumpuk seribu
ikat rumput itu di dekat gerbang kota sehingga rumput-rumput itu
terlihat oleh si pedagang kuda, sesudah itu ia duduk. Si pedagang
kuda itu tidak berhasil mendapatkan makanan kuda walaupun
ia telah mencarinya di seluruh kota. Maka ia memberi seribu
keping uang itu kepada si murid berbakat dan mengambil seribu
2586
ikat rumput itu.
Dua atau tiga hari berikutnya, temannya (yang lain), pejabat
yang bertugas di jalan air, memberinya informasi bahwa sebuah
kapal barang besar sedang berlabuh di pelabuhan. Ia berpikir,
“Kesempatan untuk mendapatkan uang datang lagi!,” maka ia
menyewa sebuah kereta lengkap senilai delapan keping perak dan
pergi ke pelabuhan. Ia memberi sebuah cincin kepada si kapten
kapal sebagai uang muka. Di suatu tempat di dekat pelabuhan, ia
menggantung tirai sehingga menyerupai toko. Duduk di sana, ia
memerintahkan orang-orangnya, “Jika para pedagang lain datang
mencariku, beritahukan kepadaku melalui tiga tahap. (Ada tiga
tempat yang harus dilalui informasi itu.)
Mendengar kedatangan kapal barang itu, para pedagang berjumlah
seratus orang, bergegas dari Kota Bà rà õasã ke pelabuhan dengan
tujuan untuk membeli barang-barang dagangan. Pelayan si murid
berbakat yang telah berada di sana sebelum para pedagang itu
berkata kepada mereka, “Kalian tidak akan mendapat barang apa
pun, sebab pedagang yang duduk di sana telah membayar uang
muka untuk seluruh barang itu.” Mendengar kata-kata itu, seratus
pedagang Bà rà õasã mendatangi si murid berbakat (yang dipanggil
‘pedagang besar’).
Para pelayan si murid berbakat dengan hormat menginformasikan
kepadanya tentang kedatangan para pedagang melalui tiga tahap
seperti yang telah diinstruksikan sebelumnya untuk memperbesar
keuntungannya. Masing-masing dari seratus pedagang itu
memberinya seribu keping uang untuk diizinkan menjadi pemegang
saham dalam perdagangan itu. lalu lagi masing-masing dari
mereka memberi seribu keping uang lagi kepadanya sebagai
keuntungan agar mereka (membuatnya mengundurkan diri dari
perdagangan itu dan) memonopoli seluruh barang dagangan yang
ada di kapal itu. Si murid berbakat mendapatkan dua ratus ribu
keping uang dalam sekali duduk dan membawa uang itu ke Bà rà nasã
dan berpikir “Aku harus melakukan sesuatu sebagai ungkapan
terima kasih,” ia membawa seratus ribu keping uang dan pergi ke
rumah si pedagang bijaksana Cåëaseññhi.
2587
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
lalu si pedagang bijaksana bertanya kepada si murid berbakat,
“Anakku, bagaimana engkau mendapatkan begitu banyak uang?”
si murid berbakat menceritakan seluruh kisahnya, “Menuruti
nasihat yang engkau berikan saat melihat seekor tikus mati, aku
menjadi kaya memiliki dua ratus ribu dua puluh empat keping
uang.” Si pedagang bijaksana mempertimbangkan, “Seorang
pemuda yang sangat berbakat ini tidak boleh menjadi milik orang
lain, ia harus menjadi milikku.” Maka ia menyerahkan putrinya,
yang telah dewasa, kepada si murid berbakat, untuk dinikahi dan
membantunya menjadi kepala keluarga. Saat si pedagang bijaksana
meninggal dunia, ia mewarisi posisi si pedagang itu dan hidup
hingga akhir umur kehidupan saat itu dan terlahir kembali sesuai
perbuatannya.
sesudah menceritakan kisah saat ini dan masa lampau, Buddha
mengucapkan kata-kata sehubungan dengan dua kisah itu dan
mengucapkan syair berikut:
Appakenapi medhà vã pà bhatena vicakkhaõo,
Samuññhà peti attà naÿ, aõuÿ aggiÿ va sandhamaÿ.
O anak-anak-Ku, para bhikkhu! Bagaikan seorang bijaksana yang
menyiramkan minyak ke api yang kecil dan berusaha terus-
menerus meniupnya, akan menghasilkan api yang berkobar
besar, demikian pula seorang bijaksana yang memandang jauh ke
depan dan retrospektif, yang hati-hati dan selalu merenungkan,
dapat memperoleh kekayaan besar dari investasi kecil dan dapat
meningkatkan statusnya dari seorang kaya menjadi seorang
jutawan.
Demikianlah Buddha menceritakan kisah hidup ini kepada para
bhikkhu di Dhammasala.
(c) Gelar Etadagga
Selanjutnya, saat Buddha duduk di atas Singgasana Dhamma
dikelilingi oleh para bhikkhu dalam pertemuan penganugerahan
2588
gelar etadagga, Beliau memuji Thera Cåëapanthaka sebagai
berikut:
“Etadaggaÿ bhikkhave mama sà vakà naÿ bhikkhÃ¥naÿ
manomayaÿ kà yaÿ abhinimminantà naÿ yadidaÿ
Cåëapanthako (1) cetovivañña kusalà naÿ yadidaÿ Cåëapanthako
(2).” “Para bhikkhu, di antara para siswa-Ku yang mampu
menciptakan tubuh melalui kekuatan batin, Cåëapanthaka
yaitu yang terbaik (1); di antara para siswa-Ku yang terampil
dalam pencapaian Råpà vacara-Jhà na, Cåëapanthaka yaitu
yang terbaik (2).”
Demikianlah Buddha menganugerahkan gelar etadagga ganda
kepada Thera Cåëapanthaka.
Sedangkan kepada Thera Mahà panthaka, Buddha memujinya
sebagai berikut:
“Etadaggaÿ bhikkhave mama sà vakà naÿ bhikkhÃ¥naÿ
sa¤¤Ã vivañña-kusalà naÿ yadidaÿ Mahà panthako.” “Para
bhikkhu, di antara para siswa-Ku yang terampil dalam
pencapaian Aråpà vacara-Jhà na, Mahà panthaka yaitu yang
terbaik.”
Dengan kata-kata pujian ini Buddha menganugerahkan gelar
etadagga kepada Thera Mahà panthaka dalam hal sa¤¤Ã vivañña-
kusala “Terampil dalam membebaskan diri dari kesadaran.”
(saat para bhikkhu lain mencipatkan tubuh melalui kekuatan
batin, mereka hanya mampu menciptakan sedikit, tiga atau empat,
dan sebagainya, mereka tidak mampu menciptakan tubuh-tubuh
dalam jumlah besar. Dan saat mereka melakukannya, mereka
hanya mampu menciptakan tubuh yang sama dengan diri mereka
dan dalam hal aktivitas, tubuh ciptaan itu akan melakukan aktivitas
yang sama. Tetapi Cåëapanthaka, mampu menciptakan seribu tubuh
dalam satu proses kesadaran. Tubuh-tubuh ciptaan itu memiliki
bentuk yang berbeda-beda, itulah sebabnya ia mendapatkan gelar
etadagga dalam hal menciptakan tubuh melalui pikiran. Khotbah-
2589
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
khotbah sehubungan dengan dua bhikkhu ini dapat dibaca dalam
Apadà na, Theragà thà , Dhammapada, Udà na, dan Komentarnya
masing-masing.)
Demikianlah kisah dua Panthaka bersaudara
(13) Thera Subhåti
(a) Cita-cita masa lampau
Yang Mulia Thera Subhåti, seorang baik, terlahir dalam keluarga
brahmana perumah tangga sebelum munculnya Buddha
Padumuttara, seratus ribu kappa yang lalu, bernama Nanda.
Pemuda Nanda, memelajari tiga Veda tetapi sebab ia tidak
menemukan manfaat penting dalam Veda, ia menjadi petapa
bersama pemuda lainnya berjumlah empat puluh empat ribu orang
di kaki Gunung Nisabha dan mencapai lima kemampuan bahin dan
mencapai delapan pencapaian Lokiya. Ia juga membantu empat
puluh empat ribu rekan petapanya, mencapai kemampuan batin
dan Jhà na.
Pada saat itu Buddha Padumuttara muncul di dunia ini dan sewaktu
ia berkunjung ke Kota Kerajaan Haÿsà vatã, ia memeriksa dunia
makhluk-makhluk hidup pada suatu pagi dan melihat potensi
murid-murid Nanda, empat puluh empat ribu petapa, yang dapat
mencapai Kearahattaan. Sedangkan Nanda sendiri, Buddha
mengetahui bahwa ia akan bercita-cita untuk menjadi seorang
Siswa Besar yang memiliki dua kehormatan. sebab itu, suatu pagi
Beliau mandi dan pergi menuju pertapaan Nanda, membawa sendiri
mangkuk dan jubah-Nya seperti dalam kisah Thera SÃ riputta.
Persembahan buah-buahan, persembahan tempat duduk bunga, dan
Nirodha Samà patti yang terjadi di pertapaan itu juga sama seperti
yang diceritakan dalam kisah Thera SÃ riputta.
Yang berbeda di sini yaitu saat Buddha bangun dari Nirodha
Samà patti, Beliau berkata kepada seorang siswa Thera, yang
memiliki dua kehormatan: (1) hidup bebas dari kotoran batin
2590
dan penuh kebahagiaan, dan (2) layak menerima persembahan-
persembahan yang baik, “Anak-Ku, babarkanlah khotbah
penghargaan kepada seluruh petapa atas persembahan tempat
duduk bunga ini!” dari tempat duduknya, Thera membabarkan
khotbah, dengan merenungkan Tiga Piñaka. sesudah khotbah itu
berakhir, Buddha Padumuttara sendiri juga membabarkan khotbah.
sesudah Buddha selesai dengan khotbah-Nya, seluruh empat puluh
empat ribu petapa itu mencapai kesucian Arahatta. Sedangkan guru
mereka, Petapa Nanda, ia tidak dapat mengikuti khotbah Buddha,
sebab ia terpesona melihat sosok bhikkhu yang berkhotbah
sebelumnya itu. (sebab ia lebih tertarik pada pengkhotbah itu,
ia tidak memerhatikan khotbah Buddha.) Sambil merentangkan
tangan-Nya ke arah empat puluh empat ribu murid, Beliau berkata,
‘Etha bhikkhavo, Datanglah, Bhikkhu!’ Mereka semua sesaat
kehilangan rambut dan janggut mereka dan memiliki perlengkapan
yang diciptakan dengan kekuatan batin, dan berubah menjadi para
bhikkhu dengan indria yang terkendali bagaikan para Thera yang
telah menjadi bhikkhu selama enam puluh tahun dan berusia
delapan puluh tahun.
sesudah memberi hormat kepada Buddha, Petapa Nanda berdiri
di hadapan Beliau dan bertanya, “Yang Mulia, siapakah bhikkhu
yang membabarkan khotbah penghargaan atas persembahan tempat
duduk bunga ini?” “Bhikkhu itu,” jawab Buddha, “yaitu seorang
yang memiliki gelar etadagga sebab kemuliaan hidup bahagia
bebas dari kotoran moral dan yang layak menerima persembahan
yang baik dalam masa pengajaran-Ku.” “Aku tidak menginginkan
kenikmatan manusiawi atau surgawi sebagai hasil dari adhikà ra
ini yang kulakukan selama tujuh hari. Sesungguhnya, aku bercita-
cita untuk menjadi seorang yang mendapatkan gelar etadagga
lengkap dengan dua kemuliaan itu pada masa pengajaran Buddha
mendatang seperti Thera yang memberi khotbah penghargaan
tadi.” Si Petapa Nanda berkata. Mengetahui bahwa cita-citanya
akan tercapai tanpa rintangan, Buddha mengucapkan ramalan dan
pergi dari tempat itu. sebab Nanda selalu mendengarkan khotbah
Dhamma yang disampaikan oleh Buddha dan selalu menjaga
Jhà na agar tidak merosot, ia terlahir kembali di alam brahmà saat
meninggal dunia. (Ini yaitu tekad Thera Subhåti dan kebajikan
2591
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
yang dilakukan pada masa lampau. Kebajikan-kebajikannya yang
dilakukan selama kurun waktu seratus ribu kappa tidak dijelaskan
dalam Komentar.)
(b) Kehidupan pertapaan dalam kehidupan terakhir
saat seratus ribu kappa berlalu dan saat Buddha kita muncul,
si orang baik yang kelak menjadi Thera Subhåti terlahir kembali
sebagai putra Sumanà , si pedagang kaya (adik Anà thapiõóika)
di Kota Sà vatthã, ia bernama Subhåti. Saat Buddha kita muncul
dan menetap di Rà jagaha, Anà thapiõóika si pedagang tiba di
rumah temannya (yang juga yaitu adik iparnya) si pedagang
Rà jagaha, dengan membawa barang-barang dagangan dari Sà vatthã.
Sesampainya di sana, ia mendengar akan kemunculan Buddha.
sesudah mengunjungi Buddha yang saat itu menetap di Hutan
Sãtavana, ia mencapai Sotà patti-Phala pada pertemuan pertama.
(sesudah menjadi seorang Sotà panna mulia) ia memohon Buddha
untuk berkunjung ke Sà vatthã. Ia membangun tempat-tempat
peristirahatan dalam jarak setiap satu yojanà , sepanjang perjalanan
sejauh empat puluh lima yojanà antara Sà vatthã dan Rà jagaha,
dengan menghabiskan biaya seratus ribu keping uang. Ia juga
membeli taman milik Pangeran Jeta seluas delapan pai, yang dibayar
dengan menutupi seluruh tanah itu dengan keping-keping uang
emas. lalu di taman itu, ia membangun Vihà ra Jetavana dan
mempersembahkannya kepada Buddha.
Pada hari Ritual persembahan vihà ra, Subhåti pergi bersama
kakaknya dan mendengarkan Dhamma. Keyakinannya tumbuh
begitu kuat sehingga ia menjalani kehidupan sebagai bhikkhu.
sesudah menjadi seorang bhikkhu, ia memelajari dan menguasai
Dve Mà tikà , selanjutnya ia memelajari meditasi dan berusaha
mempraktikkan latihan pertapaan. Semua ini mengantarkannya
menuju Kearahattaan melalui pengembangan Vipassanà yang
berlandaskan pada Mettà -Jhà na (Meditasi Cina-Kasih).
(c) Gelar Etadagga
saat membabarkan khotbah, Thera Subhåti melakukannya secara
2592
objektif (dhammà diññhà na) yaitu dengan berkonsentrasi hanya pada
Dhamma (tanpa merujuk individu tertentu, puggalà diññhà na) seperti
yang dilakukan oleh Buddha. (Ini menyebabkan ia mendapatkan
gelar etadagga sebab hidup bahagia, bebas dari kotoran batin,
Araõa-vihà rã).
saat Thera mengumpulkan dà na makanan, ia berpikir bahwa,
“Jika aku menjalani metode ini, penyumbang akan menerima
manfaat besar,” di setiap rumah, ia akan berdiam dalam Mà tta-Jhà na
sebelum menerima persembahan makanan. (Ini menyebabkan ia
mendapatkan gelar etadagga sebab layak menerima persembahan
yang baik (Dakkhiõeyya)).
sebab itu, pada saat Buddha mengadakan pertemuan untuk
menganugerahkan gelar etadagga, Buddha memuji Yang Mulia
Subhåti dan menganugerahkan dua gelar:
“Etadaggaÿ bhikkhave mama sà vakà naÿ bhikkhÃ¥naÿ
araõavihà rãnaÿ yadidaÿ Subhåti (1), dakkhiõeyyà naÿ
yadidaÿ SubhÃ¥ti (2),” “Para bhikkhu, di antara para siswa-Ku
yang hidup bahagia, sebab bebas dari kotoran, Subhåti yaitu
yang terbaik (1), dan ia juga yang terbaik di antara mereka yang
layak menerima persembahan terbaik. (2)”
((1) Sehubungan dengan Araõa-vihà rã etadagga, kotoran moral
seperti rà ga, nafsu, dan lain-lain disebut raõa (sebab mengarah
kepada kesedihan). Para Arahanta yang hidup menikmati
kebahagiaan sebab mereka jauh dari kotoran moral disebut individu
Araõavihà rã. Selain Thera Subhåti, ada para Arahanta lain yang
juga menikmati kehidupan itu. Tetapi saat mereka membabarkan
khotbah, mereka memakai metode dengan merujuk pada orang
tertentu (puggalà diññhà na Dhamma-desanà ); mereka memuji atau
mencela orang itu. Tetapi Thera Subhåti memakai metode
hanya membicarakan Dhamma sebagai objek (Dhammà diññhà na),
Dhamma yang diajarkan oleh Buddha. Itulah sebabnya ia mendapat
gelar etadagga di antara para bhikkhu Araõa-vihà rã.
(Upari-paõõà sa Pà ëi berisi Araõa-vibhaïga Sutta yang menjelaskan
2593
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
enam faktor Araõa-vihà ra, ‘hidup dalam kebahagiaan’, sebagai
berikut: (1) Mengikuti Jalan Tengah (Majjhima Pañipadà ) yang
menghindari dua ekstrem. (2) Menurut dhammà diññhà na, seseorang
mengatakan “Ini yaitu hal yang layak dipuji” “Ini yaitu hal
tercela,” jika menuruti metode puggalà diññhà na, jika seseorang
mengatakan “Ia yaitu orang yang terpuji” akan mengarah pada
sanjungan; dan jika seseorang mengatakan “Ia yaitu orang
yang tercela” akan mengarah pada penghinaan. sebab itu, ia
seharusnya menghindari sanjungan dan hinaan. (3) Pengembangan
kebahagiaan internal (ajjhatta-sukha) sesudah memadamkan dua
jenis kebahagiaan; kebahagiaan internal yang berasal dari Meditasi
Samatha (Ketenangan) dan Vipassanà (Pandangan Cerah) dan
kebahagiaan eksternal (bahiddha-sukha) yang berasal dari lima
indria. (4) membicarakan orang lain baik di depan atau di belakang
orang itu hanya jika pembicaraan itu benar dan bermanfaat. (5)
Berbicara atau berkhotbah tidak terburu-buru tetapi dengan lemah
lembut, dan (6) Berdebat tidak di negeri orang tentang bahasa orang
lain (walaupun bahasa itu berbeda).
(Sehubungan dengan (2) Dakkhiõeyya etadagga, para Arahanta
lain juga layak menerima persembahan yang baik. Tetapi saat
menerima makanan dari rumah-rumah, ia menyadari bahwa ‘jika
aku melakukan hal ini, penyumbang akan menerima manfaat besar’;
ia akan pertama-tama bermeditasi cinta kasih, lalu sesudah
bangun dari meditasi itu ia menerima makanan itu. sebab itu, ia
mendapat gelar etadagga dalam hal Dakkhineyya.)
(Sehubungan dengan hal ini, (harus disebutkan bahwa) Jenderal
Dhamma, Thera SÃ riputta, melakukan pembersihan objek-
objek. “Membersihkan objek artinya membersihkan diri sendiri
sehingga layak menerima persembahan dan penyempurnaan
hasilnya sehubungan dengan hal ini dapat dikatakan bahwa Thera
SÃ riputta, Jenderal Dhamma, selalu membersihkan objek, (dan
yang dimaksud dengan ‘objek’ yaitu diri Thera sehingga menjadi
layak menerima persembahan dan bahwa penyempurnaan hasil
melalui kebiasaan berdiam dalam Nirodha Samà patti.) Tetapi Thera
Subhåti, menyucikan perbuatan memberi (dan yang dimaksud
dengan ‘perbuatan memberi’ yaitu bahwa: saat Thera berdiam
2594
di dalam meditasi Mettà , si penyumbang akan bereaksi terhadap
meditasi yang dilakukan oleh Thera; batinnya menjadi semakin
lembut dan penghormatannya meningkat sebelum memberi
persembahan. sebab itu, penyucian dari perbuatan memberi
dan pengembangan hasilnya terjadi juga melalui si penyumbang
sebab si penyumbang dikendalikan oleh kelembutan batinnya
dan penghormatan yang tinggi.) Penjelasan: saat Thera SÃ riputta
pergi mengumpulkan dà na makanan, ia akan berdiri di depan
pintu dan berdiam dalam meditasi Mettà selama beberapa saat
hingga si penyumbang keluar membawa makanan. Hanya saat
si penyumbang keluar, baru ia bangun dari meditasinya dan
menerima makanan. Thera Subhåti, berdiam dalam meditasi cinta
kasih dan saat si penyumbang menghampirinya, ia akan bangun
dari meditasinya dan menerima persembahan. Para pembaca
dapat membaca Penjelasan Araõavibhaïga Sutta dalam Komentar
Uparipaõõà sa untuk penjelasan lebih lanjut.)
Khotbah sehubungan dengan Yang Mulia Thera Subhåti dapat
dibaca dari Apadà na dan Komentarnya, dan lain-lain.)
Demikianlah kisah Thera Subhåti.
(14) Khadiravaniya Thera Revata
(a) Cita-cita masa lampau
(Nama asli Thera ini yaitu Revata. Ia yaitu adik Thera SÃ riputta.
sebab ia menetap di sebuah Hutan Akasia yang tanahnya tidak
rata dan berbatu-batu, ia dikenal juga sebagai Khadiravaniya Revata,
“Revata penghuni Hutan Akasia.” Dalam kisah ini akan digunakan
nama Revata untuk memudahkan.)
Sang Thera yaitu warga Haÿsà vatã dan merupakan seorang
yang baik pada masa kehidupan Buddha Padumuttara seratus ribu
kappa yang lalu. Ia sedang menjalani sebuah kapal penyeberangan di
pelabuhan Payà ga di Sungai Gaïgà . lalu Buddha Padumuttara
bersama seratus ribu bhikkhu datang ke pelabuhan itu (untuk
menyeberangi sungai).
2595
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
Melihat Buddha, Revata yang baik berpikir, “Tidak mungkin aku
dapat terus-menerus bertemu dengan Buddha. Sekarang Buddha
datang ke sini, ini yaitu kesempatan baik bagiku untuk melakukan
kebajikan.” Maka ia membuat sebuah tongkang besar (yang terdiri
dari susunan perahu) dengan atap putih dan menggantung bunga-
bunga harum. Di lantainya ia menebarkan alas yang terbuat dari
serat berkualitas baik. lalu ia menyeberangkan Buddha dan
seratus ribu bhikkhu dengan tongkang ini .
Pada saat itu, Buddha menganugerahkan gelar etadagga kepada
seorang bhikkhu sebagai seorang âra¤¤aka, “Penghuni hutan.”
Melihat hal itu, si tukang perahu berpikir, “Aku juga harus menjadi
seorang yang mendapatkan gelar itu dalam masa pengajaran Buddha
mendatang.” sebab itu ia mengundang Buddha dan melakukan
DÃ na besar kepada Beliau dan dengan bersujud di kaki Buddha,
ia mengungkapkan cita-citanya, “Buddha Yang Agung, seperti
halnya bhikkhu yang Engkau anugerahi gelar etadagga, aku juga
bercita-cita untuk menjadi yang terbaik di antara mereka yang
menetap di dalam hutan dalam pengajaran Buddha mendatang.”
Melihat bahwa cita-citanya akan tercapai tanpa halangan, Buddha
mengucapkan ramalan, “Pada masa depan, dalam masa pengajaran
Buddha Gotama, engkau akan menjadi yang penghuni hutan yang
terbaik!” lalu Buddha pergi. (Kebajikan-kebajikan Thera
selama selang waktu seratus ribu kappa tidak disebutkan dalam
Mahà -Aññhakathà .)
(b) Kehidupan pertapaan dalam kehidupan terakhir
sesudah melakukan banyak kebajikan, si tukang perahu baik itu
mengembara di alam surga dan alam manusia (tanpa pernah
terlahir di alam sengsara) dan akhirnya dikandung dalam rahim
ibunya, Råpasà ri, seorang brahmana perempuan, di Desa Brahmana
NÃ laka di Magadha. Ia yaitu yang termuda dari anak-anak yang
terdiri dari tiga saudara, Upatissa, Cunda, dan Upasena dan tiga
saudari Cà là , Upacà là , dan Sãsåpacà là selain dirinya, dan ia sendiri
bernama Revata.
2596
Selanjutnya orangtua Revata berdiskusi dan sepakat, “Anak-anak
kita, sesudah dewasa, akan pergi dan ditahbiskan menjadi sà maõera
oleh para bhikkhu, putra Buddha. Mari kita mengikatnya dengan
belenggu kehidupan rumah tangga selagi ia masih muda (sebelum
ia menjadi sà maõera.)”
(sesudah menjadi seorang petapa, Thera SÃ riputta menahbiskan tiga
saudarinya—Cà là , Upacà là , dan SãsÃ¥pacà là —dan dua saudaranya—
Cunda dan Upasena. Hanya Revata yang masih kanak-kanak yang
tidak ditahbiskan. Itulah alasan diskusi kedua orangtua itu.)
sesudah berdiskusi dan sepakat, orangtua itu membawa seorang
pengantin perempuan dari keluarga yang berstatus sama dalam
hal kelahiran, kekayaan, dan kehormatan dan memberi berkah
mereka dengan mengatakan, “Anakku, semoga engkau hidup lebih
lama daripada nenekmu!”
(Orangtua itu memberi berkah itu sebab mereka menginginkan
usia panjang bagi si pengantin. Pada waktu itu si nenek tua itu
berumur 120 tahun dengan rambut memutih, gigi tanggal, kulit
keriput; seluruh tubuhnya ditutupi oleh bintik kehitaman (tahi lalat)
dan punggungnya sangat bongkok bagaikan kasau rumah.)
Batin Revata Tergerak
Mendengar berkah yang diucapkan oleh orangtuanya, Revata
berpikir, “Perempuan ini masih muda, masih berada dalam tahap
pertama umur kehidupannya. Penampilan yang begitu muda,
dikatakan, akan menjadi bongkok dan tua seperti nenekku! Aku
akan menanyakan apa maksud orangtuaku.” lalu ia berkata,
“Apa maksudmu berkata seperti itu?” Orangtuanya menjawab,
“Anakku, kami berharap gadis ini, istrimu, dapat berumur panjang
seperti nenekmu. Itulah maksud berkah yang kami berikan.” “O ibu
dan ayah!” Revata melanjutkan sebab ia masih belum mengerti,
“Apakah penampilan muda gadis ini akan menjadi tua seperti
penampilan nenek?” “Apa yang engkau katakan, Anakku? Hanya
mereka yang memiliki banyak jasa, seperti nenekmu, yang dapat
menikmati umur panjang.” Demikianlah orangtuanya mencoba
2597
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
menjelaskan kepadanya.
Revata lalu merenungkan, “Dikatakan bahwa penampilan
cantik dan muda gadis ini akan memudar seperti nenekku; ia akan
berambut putih, giginya tanggal, dan kulitnya keriput. Apa gunanya
menginginkan kecantikan jasmani yang pasti akan mengalami
ketuaan dan menjadi bongkok. Tentu tidak ada gunanya sama sekali!
Aku akan mengikuti jejak kakak-kakakku.” Maka ia berpura-pura
bermain seperti biasa yang dilakukan anak seusianya, ia memanggil
teman-teman sebayanya dan berkata, “Ayo teman-teman, mari
kita bermain kejar-dan-tangkap.” Orangtuanya melarang dengan
berkata, “Jangan pergi keluar rumah pada hari pernikahanmu!”
Namun demikian, Revata tetap berpura-pura bermain dengan
teman-temannya. saat tiba gilirannya untuk berlari, ia hanya
berlari sebentar dan menunda kembalinya seolah-olah ia harus
menjawab panggilan alam. Saat kedua kali ia mendapat giliran untuk
lari, ia berlari dan kembali lagi lebih cepat. Tetapi, saat ketiga kalinya,
ia mempertimbangkan bahwa itu yaitu kesempatan terbaiknya
untuk melarikan diri demi kebaikannya dan ia berlari sekuat tenaga
hingga akhirnya tiba di tempat tinggal beberapa bhikkhu hutan
yang menjalani bentuk paÿsukålika dari pertapaan (dhutaïga). Ia
memberi hormat dan memohon kepada mereka untuk ditahbiskan
menjadi sà maõera.
Para Thera itu menolak permohonannya dengan berkata, “O anak
baik, kami tidak mengetahui engkau anak siapa. Dan engkau datang
dengan memakai perhiasan lengkap. Siapa yang berani menahbiskan
engkau menjadi sà maõera. Tidak seorang pun yang berani,” Revata
mengangkat kedua tangannya dan berteriak, “Aku dirampok! Aku
dirampok!”
Para bhikkhu lain berdatangan dan berkata, “O anak baik, tidak
seorang pun yang merampok perhiasan atau pakaianmu. Tetapi
engkau berteriak bahwa engkau sedang dirampok! Apa yang
engkau maksudkan?” Revata lalu berkata,
“Yang Mulia, aku tidak bermaksud mengatakan bahwa pakaian
atau perhiasanku dirampok. Sesungguhnya yang dirampok
2598
dariku yaitu tiga kebahagiaan alam manusia, dewa, dan Nibbà na
(sebab permohonanku untuk mendapatkan penahbisan ditolak.)
(Pernyataan tiga kebahagiaan manusia, dewa, dan Nibbà na didengar
dari pernyataan orang lain.) Yang kumaksudkan yaitu perampokan
atas tiga kebahagiaan itu. Biarlah tetap demikian jika kalian tidak
mau menahbiskan aku. Akan tetapi, apakah kalian mengenal kakak
tertuaku?” “Siapakah nama kakak tertuamu?” tanya para bhikkhu
itu, “Kakak tertuaku bernama Upatissa sewaktu masih menjadi
orang awam,” jawab Revata. “Sekarang ia bernama SÃ riputta sebagai
seorang Thera. Demikianlah mereka mengatakan, Yang Mulia.”
lalu para bhikkhu berdiskusi, “Teman-teman, kalau begitu,
anak muda ini ternyata yaitu adik kita! Saudara tua kita SÃ riputta,
Jenderal Dhamma, dulu berpesan kepada kita, ‘Sanak saudaraku
semuanya berpandangan salah. Jika ada orang yang datang dan
mengaku sebagai sanak saudara kita, tahbiskanlah ia.’ Anak
ini yaitu adik dari saudara kita SÃ riputta, Jenderal Dhamma.
sebab itu marilah kita menahbiskannya!” sebab itu mereka
memberi subjek meditasi tacapa¤caka dan menahbiskannya
sebagai sà maõera. Kelak saat ia berusia dua puluh tahun, mereka
menahbiskannya sebagai seorang bhikkhu dan mendesaknya untuk
berusaha keras dalam meditasi.
sesudah mendapatkan subjek meditasi, Thera Revata masuk ke Hutan
Akasia yang bertanah kasar dan berbatu, yang terletak tidak terlalu
jauh dan tidak terlalu dekat dari para penahbisnya. Di sana ia melatih
praktik kebhikkhuan. Dengan tekad, “Aku tidak akan menjumpai
Buddha atau kakakku Thera sebelum aku mencapai Arahatta-
Phala.” Revata berlatih meditasi dengan tekun dan tanpa terasa
tiga bulan telah berlalu. Sebagai seorang yang lemah lembut (cucu
dari orang kaya) makanan yang ia makan terasa kasar pikirannya
bingung bagaikan kulit yang keriput. (Pikirannya tidak dapat
menjadi lunak dan tenang, menurut versi Sinhala.) Meditasi yang
ia latih tidak dapat berakhir. Tetapi Revata tidak patah semangat,
saat tiga bulan berlalu, ia menjalani Pavà raõà ; ia tidak pergi ke
tempat lain sesudah vassa berakhir melainkan tetap di sana, di hutan
yang sama dan melanjutkan latihannya. Semakin ia berlatih keras
dengan usaha dan ketekunan, semakin pikirannya menjadi terpusat.
2599
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
saat Thera melanjutkan dengan Vipassanà , ia berhasil mencapai
kesucian Arahatta.
Kunjungan Buddha Bersama Banyak Bhikkhu
Saat SÃ riputta mendengar berita tentang penahbisan adiknya, Revata,
ia berkata kepada Buddha, “Buddha Yang Agung, dikatakan bahwa
adikku Revata, telah ditahbiskan. Ia mungkin bahagia atau tidak
bahagia dalam pengajaran-Mu. Izinkan aku pergi menjumpainya.”
Saat itu Revata sedang berlatih keras dalam meditasi VipassanÃ
dan mengetahui hal itu, Buddha dua kali melarang kepergiannya.
saat SÃ riputta mengajukan permohonan untuk ketiga kalinya,
mengetahui bahwa Revata telah menjadi Arahanta, Buddha berkata,
“Aku akan pergi bersamamu, anak-Ku, SÃ riputta. Beritahukanlah
kepada para bhikkhu!”
sesudah mengumpulkan para bhikkhu, Thera SÃ riputta mengajak
mereka semua dengan berkata, “Teman-teman, Buddha akan
melakukan perjalanan. Mereka yang ingin pergi bersama Beliau
boleh turut serta!” Dan saat Buddha pergi, para bhikkhu yang
tidak turut serta sangat sedikit. “Kita akan dapat melihat sosok
keemasan Buddha terus-menerus dan juga mendengarkan khotbah-
Nya!” dengan harapan demikian, banyak bhikkhu yang ingin
mengikuti Buddha. Demikianlah Buddha meninggalkan vihà ra
bersama banyak bhikkhu dengan tujuan, “Aku akan menjumpai
Revata.”
Kekuatan Batin Thera Sãvali
Dalam perjalanan mereka, Thera ânanda bertanya saat mereka
tiba di persimpangan jalan, “Buddha Yang Agung, kita berada di
persimpangan jalan. Jalan yang mana yang ingin Engkau tempuh?”
“Anak-Ku ânanda, dari dua jalan ini, yang manakah yang lurus?”
tanya Buddha. “Buddha Yang Agung, yang lurus (jalan pintas)
jauhnya tiga puluh yojanà , yaitu wilayah para siluman, sulit
mendapatkan makanan dan agak berbahaya. Jalan yang berbelok-
belok, jauhnya enam puluh yojanà dan tersedia banyak makanan,”
jawab ânanda. lalu Buddha bertanya apakah Thera Sãvali
2600
turut bersama mereka, Thera ânanda menjawab membenarkan.
“Kalau begitu, ânanda,” Buddha berkata, “Biarlah Saÿgha
mengambil jalan lurus yang penuh bahaya dan sulit makanan. Kita
akan menguji kekuatan batinnya yang dibangun di atas jasa masa
lampaunya.”
sesudah berkata demikian, Buddha menempuh jalan penuh bahaya
dan sedikit makanan di dalam hutan. Sejak mereka memutuskan
untuk mengambil jalan itu, para dewa menciptakan kota-kota besar
pada setiap yojanà sebagai tempat tinggal Saÿgha yang dipimpin
oleh Buddha. Di setiap tempat tinggal yang dihuni oleh para
bhikkhu, para dewa yang menyamar sebagai pekerja yang diutus
oleh raja kota itu, membawakan nasi, yang keras dan lunak, dan
lain-lain, dan bertanya, “Di manakah Yang Mulia Sãvali? Di manakah
Yang Mulia Sãvali?” Thera mengumpulkan semua persembahan
itu dan mengantarkannya kepada Buddha. Bersama para bhikkhu,
Buddha memakan makanan yang terdiri dari berbagai jenis yang
dipersembahkan kepada Thera Sãvali oleh para dewa.
Dengan mendapatkan persembahan demikian, Buddha menempuh
perjalanan satu yojanà setiap hari dan berhasil melewati tiga puluh
yojanà yang penuh kesulitan dalam satu bulan, dan tiba di tempat
tinggal yang dipersiapkan sebelumnya oleh Revata di dalam Hutan
Akasia. sebab sebelumnya ia telah mengetahui akan kunjungan
Buddha, Thera Revata dengan kekuatan batinnya mengubah Hutan
Akasia itu menjadi tempat tinggal yang layak bagi para bhikkhu
yang dipimpin oleh Buddha. Untuk Buddha, ia menciptakan
Kuñã Harum, sebagai tempat tinggal pada siang dan malam hari.
lalu ia menyambut Buddha, yang berjalan menuju tempat
tinggal-Nya melalui jalan yang telah dihias indah. Selanjutnya Beliau
memasuki Kuñã Harum. Dan selanjutnya para bhikkhu lainnya
mengambil tempat-tempat tidur sesuai urutan senioritas mereka
dalam kebhikkhuan. Mengetahui bahwa “Saat ini bukan waktu yang
tepat untuk makan,” para dewa mempersembahkan delapan jenis
sari buah kepada para bhikkhu. Buddha menikmati persembahan
seperti itu dan tanpa terasa setengah bulan telah berlalu.
2601
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
Kesalahpahaman Para Bhikkhu yang Gelisah
Pada saat itu beberapa bhikkhu yang gelisah berkumpul di suatu
tempat, dan bergunjing, “Buddha Yang Agung, guru manusia
dan para dewa, datang untuk menemui seseorang yang mengaku
sebagai adik Siswa Utama, tetapi hanya membuang-buang waktunya
melakukan kegiatan-kegiatan yang tidak biasa. Untuk apakah
Jetavana, Veëuvana, dan vihà ra lainnya yang ada di sekitar tempat
tinggal Revata? Bhikkhu Revata ini hanyalah seorang yang sibuk
dengan hal-hal yang tidak penting. Praktik pertapaan apakah yang
dijalankan oleh orang sibuk ini ? Tentu tidak ada.”
lalu Buddha mempertimbangkan, “Jika Aku menetap di sini
lebih lama, tempat ini akan ramai oleh pengunjung yang terdiri dari
empat kelompok. Para penghuni hutan menyukai kesunyian, jika
Aku menetap lama, Revata akan menjadi tidak tenang.” Maka Beliau
mendatangi gubuk Revata. Yang Mulia Revata melihat kedatangan
Buddha; ia melihat dari jauh di mana ia duduk sendirian di atas batu
datar dan bersandar pada sandaran kayu di ujung jalan setapak.
lalu ia menyambut Buddha dan bersujud dengan penuh
hormat.
Buddha bertanya, “Anak-Ku Revata, tempat ini dihuni oleh binatang-
binatang buas seperti singa dan macan. Apa yang engkau lakukan
saat engkau mendengar suara gajah liar, kuda liar, dan lain-lain?”
“Buddha Yang Agung,” Revata menjawab, “Bagiku suara-suara gajah
liar, kuda liar dan lain-lain, memberi kegembiraan di dalam
hutan ini (ara¤¤a-rati).” Buddha membabarkan khotbah kepada
Revata tentang manfaat bertempat tinggal di hutan dalam lima ratus
bait syair. Keesokan harinya, Beliau mengumpulkan dà na makanan
di sekitar hutan itu dan (tanpa kembali ke tempat tinggal Revata di
dalam Hutan Akasia) Buddha membiarkan Revata pulang; selain
itu, dengan kekuatan batin-Nya, Beliau membuat para bhikkhu yang
gelisah itu, yang berkata-kata buruk terhadap Revata, lupa membawa
tongkat, alas kaki, botol obat, dan payung mereka.
Para bhikkhu gelisah itu kembali ke tempat tinggal Revata untuk
mengambil barang-barang mereka; meskipun mereka mengambil
2602
jalan dari arah mereka datang, mereka tidak dapat mengingat
tempat mereka itu. Sebenarnya, pada hari sebelumnya para bhikkhu
itu berjalan melalui jalan yang dihias (secara gaib) dan pada hari
mereka melakukan perjalanan kembali, mereka melewati jalan
yang (alami) tidak rata dan mereka banyak beristirahat di sana-sini
(sebab mereka sangat letih). Di beberapa tempat mereka terpaksa
merangkak. Dengan kesulitan demikian, mereka sering menginjak
tanaman-tanaman kecil, semak, dan duri. Saat mereka tiba di suatu
tempat yang menyerupai tempat tinggal mereka, mereka melihat
payung-payung mereka, alas kaki, botol obat dan tongkat, beberapa
tergantung dan beberapa terletak di atas tunggul pohon akasia di
sana-sini. Para bhikkhu gelisah itu menyadari bahwa, “Bhikkhu
Revata sungguh yaitu seoang yang memiliki kemampuan batin
tinggi!” sesudah mendapatkan kembali perlengkapan mereka,
mereka berdiskusi dalam keheranan sebelum mereka berangkat ke
Sà vatthã, “Oh, sungguh menakjubkan penghormatan yang diberikan
kepada Buddha.”
Si penyumbang vihà ra, Nyonya Visà khà mengundang para bhikkhu
yang tiba terlebih dahulu di Sà vatthã sebab mereka berangkat lebih
dulu, dan saat mereka duduk, Visà khà bertanya, “Yang Mulia,
apakah tempat tinggal Thera Revata menyenangkan?” Para bhikkhu
menjawab, “Ya, penyumbang, tempat tinggal Thera Revata sungguh
menyenangkan dan indah. Bagaikan taman surgawi Nandavana
dan Cittalatà .” Selanjutnya ia bertanya kepada kelompok para
bhikkhu gelisah yang datang terlambat, “Yang Mulia, apakah tempat
tinggal Thera Revata menyenangkan?” Jawaban yang diberikan oleh
para bhikkhu itu yaitu , “Jangan bertanya kepada kami, nyonya
penyumbang. Tempat tinggal Revata tidak layak dibicarakan. Selain
terletak di dataran tinggi yang gundul, tempatnya yaitu hutan
akasia yang lebat dengan tanah yang tidak rata dan berbatu. Di sana
Revata hidup dengan penuh penderitaan.” Demikianlah mereka
menceritakan pengalaman yang baru mereka alami.
Memerhatikan dua jawaban yang berbeda—yang diberikan para
bhikkhu kelompok pertama dan kelompok kedua—dan ingin
mengetahui jawaban yang benar, ia berkunjung kepada Buddha,
membawa persembahan bunga. sesudah duduk di tempat yang
2603
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
semestinya, ia bertanya kepada Buddha, “Buddha Yang Mulia,
beberapa bhikkhu memuji tempat tinggal Yang Mulia Revata
sedangkan yang lainnya mencelanya. Mengapa dua jawaban itu
bertentangan satu dengan lainnya, Buddha Yang Agung?” lalu
Buddha berkata, “Visà khà , tempat tinggal para mulia yang batinnya
berbahagia yaitu menyenangkan, tidak peduli apakah tempat itu
menyenangkan atau tidak menyenangkan menurut istilah duniawi.”
lalu Buddha mengucapkan syair berikut:
“Gà me và yadi và ra¤¤e,
ninne và yadi và thale;
Yatthà Arahanto vihà ranti
tam bhÃ¥mirà maõeyyakam.”
“Visà khà , penyumbang Pubbà rà ma dan ibu Migà ra (Migà ra-mà tà )!
Apakah tempat itu yaitu sebuah desa yang dikelilingi oleh lima
kenikmatan duniawi, atau hutan yang jauh dari kenikmatan itu, atau
lembah hijau yang dialiri oleh sungai dengan tempat tinggal yang
nyaman yang selaras dengan empat posisi tubuh, tempat tinggal para
Arahanta itu sungguh merupakan tempat yang indah di permukaan
bumi ini.” (Dikutip dari Komentar Aïguttara.)
(c) Gelar Etadagga
Selanjutnya, pada Ritual penganugerahan gelar, Buddha
menganugerahkan gelar etadagga kepada Thera Revata dalam
bidang “penghuni-hutan” dengan memujinya sebagai berikut:
“Etadaggaÿ bhikkhave mama sà vakà naÿ bhikkhÃ¥naÿ à ra¤¤akà naÿ
yadidaÿ Revato Khadiravaniyo,” “Para bhikkhu, di antara para
siswa-Ku yang bertempat tinggal di hutan, Revata, penghuni Hutan
Akasia yaitu yang terbaik!”
(Meskipun para Thera lain juga bertempat tinggal di hutan, mereka
melakukannya hanya sesudah memelajari kelayakan tempat itu,
kelayakan air, dan kelayakan desa sebagai sumber dà na makanan.
Tetapi Thera Revata mengabaikan kondisi ini dan menetap di
Hutan Akasia di daratan tinggi yang gundul dengan tanah yang
2604
tidak rata dan berbatu. sebab itu, ia layak menerima gelar itu sebab
praktik menetap di hutan.)
Khotbah-khotbah yang berhubungan dengan Yang Mulia Revata
Khadiravaniya dapat dibaca dalam Apadà na dan Komentarnya,
Komentar Dhammapada, dan lain-lain.
Demikianlah kisah Thera Revata Khadiravaniya
(15) Thera Kaïkhà Revata
(a) Cita-cita masa lampau
Seratus ribu kappa yang lalu, pada masa kehidupan Buddha
Padumuttara, bakal Thera Kaïkha Revata pergi ke vihà ra bersama
banyak orang lainnya seperti halnya para bakal Thera lainnya
pada masa lampau. Dan saat berdiri di belakang para hadirin
mendengarkan khotbah, ia melihat Buddha menganugerahkan gelar
etadagga kepada bhikkhu tertentu sebagai yang terbaik di antara
mereka yang berdiam dalam meditasi. Ia berpikir, “Aku juga harus
menjadi seperti bhikkhu ini,” ia mengundang Buddha pada akhir
khotbah ini dan memberi DÃ na besar-besaran kepada
Buddha selama tujuh hari dan memohon, “Buddha Yang Mulia, aku
tidak menginginkan kebahagiaan lain sebagai hasil dari perbuatan
baik adhikà ra ini. Sesungguhnya, aku bercita-cita untuk mencapai
gelar etadagga di antara mereka yang berdiam dalam meditasi pada
masa pengajaran Buddha pada masa depan seperti yang dicapai
oleh seorang bhikkhu tujuh hari yang lalu.”
saat Buddha Padumuttara melihat ke masa depan, ia mengetahu
bahwa cita-cita orang itu akan tercapai, maka sebelum pergi Beliau
mengucapkan ramalan, “Di akhir seratus ribu kappa mendatang,
akan muncul Buddha Gotama. Dalam masa pengajaran Buddha
itu, engkau akan mencapai gelar etadagga, di antara mereka yang
berdiam dalam meditasi!”
2605
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
(b) Kehidupan pertapaan dalam kehidupan terakhir
sesudah melakukan banyak kebajikan sepanjang hidupnya, orang itu
mengembara di alam dewa dan manusia dan pada masa kehidupan
Buddha kita, ia terlahir dalam sebuah keluarga kaya di Sà vatthã
dan bernama Revata. Suatu sore, putra si orang kaya, Revata pergi
bersama banyak orang lainnya ke Jetavana. Saat berdiri di belakang
kerumunan itu dan mendengarkan khotbah Buddha, muncullah
keyakinan dalam dirinya sehingga ditahbiskan menjadi seorang
bhikkhu yang memenuhi tugas-tugas kebhikkhuannya. sesudah
menerima subjek meditasi dari Buddha, saat ia mempersiapkan
dirinya untuk mengkonsentrasikan pikirannya, ia berhasil mencapai
Lokiya Jhà na. Dengan memakai Jhà na itu sebagai landasan,
ia melanjutkan dengan meditasi Vipassanà dan berhasil mencapai
kesucian Arahatta.
(c) Gelar Etadagga
Yang Mulia Revata mampu tercerap dalam berbagai bentuk meditasi
seperti yang dilakukan oleh Buddha, kecuali dalam beberapa hal,
siang dan malam. Selanjutnya pada suatu pertemuan di mana
Buddha menganugerahkan gelar kepada para bhikkhu, Thera
Kaïkhà Revata mendapatkan gelar etadagga dalam bidang meditasi,
Buddha memujinya sebagai berikut:
“Etadaggaÿ bhikkhave mama sà vakà naÿ bhikkÃ¥naÿ jhà yãnaÿ
yadidaÿ Kaïkhà -Revato,” “Para bhikkhu, di antara para siswa-Ku
yang memiliki kebiasaan berdiam dalam meditasi, Bhikkhu KaïkhÃ
Revata yaitu yang terbaik.”
Latar Belakang Nama Kaïkhà Revata
Suatu saat saat Buddha melakukan perjalanan dari Sà vatthã ke
RÃ jagaha, dalam perjalanan itu, Revata memasuki sebuah gubuk
tempat pembuatan gula merah. Melihat bahwa gula merah itu
dicampur dengan adonan dan sekam (sebagai bagian dari proses
yang diperlukan untuk mengeraskan gula merah ini ), ia
menjadi ragu terhadap kelayakan gula merah keras ini dengan
2606
dua bahan lainnya, sebab kedua bahan itu kasar (Ã misa). Ia berkata,
“gula merah dengan (bahan) kasar yaitu tidak layak sebab
mengandung adonan dan sekam yang kasar; tidak dibenarkan
mengkonsumsi gula merah pada sore hari.” Ia dan pengikutnya
tidak mengkonsumsi gula merah yang telah dibentuk menjadi
gumpalan-gumpalan.
Tidak ada satu pun bhikkhu yang memercayai dan mempraktikkan
gagasan Thera. Para bhikkhu lain melaporkan hal itu kepada
Buddha. Buddha bertanya, “Para bhikkhu, mengapa orang
mencampur adonan dan sekam ke dalam gula merah?” “Untuk
mengeraskannya, Buddha Yang Agung,” jawab para bhikkhu. “Para
bhikkhu, jika adonan dan sekam dicampur ke dalam gula merah
untuk mengeraskannya, maka adonan dan sekam yang dimasukkan
ke dalam gula merah itu dapat dianggap sebagai gula merah. Para
bhikkhu, Aku mengizinkan kalian untuk mengkonsumsi gula
merah; kapan pun kalian inginkan,” Buddha menetapkan sebuah
peraturan (anu¤¤Ã ta-sikkhà pada).
Dalam sebuah perjalanan, Revata melihat sebutir kacang hijau yang
bertunas terletak dalam kotoran manusia dan berkata, “Kacang hijau
yaitu tidak layak (dikonsumsi), sebab kacang hijau yang telah
dimasak juga dapat bertunas.” Para bhikkhu yang mempercayainya
tidak memakan kacang hijau. Masalah itu dilaporkan kepada Buddha
yang lalu menetapkan peraturan lain yang mengizinkan
konsumsi kacang itu kapan pun diinginkan. (Kisah ini terdapat
dalam Bhesajjakkhandhaka dalam Vinaya Mahà Vagga.)
Demikianlah Revata meragukan segala hal bahkan hal-hal yang
diizinkan; sebab ia selalu memiliki keraguan sehubungan dengan
Vinaya, ia dikenal sebagai Kaïkhà Revata, ‘Revata, si peragu.’
Ajaran-ajaran sehubungan dengan Kaïkhà Revata dapat dibaca dari
Apadà na dan Komentarnya, Komentar Theragà thà , dan lain-lain.
Demikianlah kisah Thera Kaïkhà Revata
2607
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
(16) Thera Soõa Koëivisa
(a) Cita-cita masa lampau
Orang baik yang kelak menjadi Thera Soõa Koëivisa, pada masa
kehidupan Buddha Padumuttara terlahir dalam keluarga pedagang,
ia bernama Sãrivaóóha. saat Sãrivaóóha dewasa, seperti juga para
Thera lainnya, ia pergi ke vihà ra dan mendengarkan ajaran Buddha
di belakang para hadirin. Melihat Buddha menganugerahkan gelar
etadagga kepada seorang bhikkhu, yang terbaik di antara mereka
yang berusaha keras (Ã raddha-viriya), ia bercita-cita, “Aku juga
harus menjadi seperti bhikkhu ini pada masa mendatang!” saat
khotbah ini selesai, ia mengundang Buddha dan melakukan
Mahà dana selama seminggu dan memohon seperti para Thera
terdahulu. Mengetahui bahwa cita-cita putra pedagang ini
akan tercapai, Buddha mengucapkan ramalan seperti sebelumnya
dan lalu kembali ke vihà ra.
Kehidupan Sebagai warga Bà rà õasã
sesudah melakukan banyak kebajikan seumur hidupnya, Sãrivaódha,
putra pedagang mengembara di alam dewa dan manusia. sesudah
seratus ribu kappa berlalu, yaitu, saat Buddha Kassapa mencapai
Parinibbà na dalam Bhadda kappa ini dan sebelum Buddha kita
muncul, Sãrivaóóha terlahir kembali dalam sebuah keluarga baik.
Suatu hari ia sedang menikmati olahraga air bersama teman-
temannya di Sungai Gaïgà .
Seorang Pacceka Buddha berjubah usang, berpikir, “Aku akan
melewatkan vassa dengan Bà rà õasã sebagai sumber dà na makanan
sesudah membangun sebuah tempat tinggal di tepi Sungai Gaïgà ,”
ia mengumpulkan kayu dan ranting yang hanyut di Sungai Gaïgà .
Pemuda itu bersama teman-temannya mendatangi Pacceka Buddha
itu, memberi hormat kepadanya dan sambil berdiri, ia bertanya,
“Apa yang engkau lakukan, Yang Mulia?” “Anak muda,” jawab
Pacceka Buddha itu, “sebab vassa hampir tiba, sebuah tempat
tinggal diperlukan oleh seorang bhikkhu.”
2608
Pemuda itu lalu berkata, “Yang Mulia, mohon tunggu selama
satu hari. Besok kami akan membangun sebuah tempat tinggal
dan mempersembahkannya kepadamu.” Pacceka Buddha berpikir,
“Aku akan menolong pemuda baik ini,” yang memang merupakan
tujuan dari kunjungannya itu, Pacceka Buddha menerima tawaran
pemuda itu. Mengetahui bahwa Pacceka Buddha menerima
tawarannya, pemuda itu pulang ke rumahnya. Keesokan harinya,
ia mempersiapkan segala jenis persembahan dan menunggu
kedatangan Pacceka Buddha sambil berdiri. Pacceka Buddha yang
sedang memikirkan di mana ia dapat mengumpulkan makanan
mengetahui pikiran pemuda itu dan pergi ke rumah pemuda itu.
Melihat kedatangan Pacceka Buddha, pemuda itu sangat gembira dan
mengambil mangkuknya dan mempersembahkan makanan dalam
mangkuk itu. Ia memohon, “Sudilah datang ke rumahku untuk
menerima makanan selama tiga bulan vassa ini.” sesudah berjanji
dan saat Pacceka Buddha itu pergi, bersama teman-temannya ia
menyelesaikan pembangunan tempat tinggal lengkap dengan jalan
setapak, sebagai tempat tinggal untuk siang dan malam bagi Pacceka
Buddha dan mempersembahkannya kepada Pacceka Buddha.
Apa yang khusus dari pemuda ini yaitu : saat Pacceka Buddha
memasuki tempat tinggal itu, si pemuda memiliki gagasan untuk
tidak membiarkan kaki Pacceka Buddha menginjak lumpur di
tanah yang telah ditebari dengan kotoran sapi, menghamparkan
selimut merah yang ia kenakan yang bernilai seratus ribu keping
uang. Melihat warna selimut merah yang menyatu dengan warna
tubuh Pacceka Buddha, ia menjadi sangat gembira; maka ia
berkata, “Seperti selimutku yang menjadi lebih indah saat engkau
menginjaknya, demikian pula semoga warna tangan dan kakiku
menjadi merah dan indah bagaikan warna bunga sepatu! Semoga
sentuhan badanku bagaikan kain wol-katun yang digilling seratus
kali!”
Pemuda itu melayani Pacceka Buddha selama tiga bulan vassa.
saat Pacceka Buddha mengadakan Ritual Pavà raõà di akhir
vassa, pemuda itu mempersembahkan jubah yang terdiri dari tiga
potong kain. Lengkap dengan mangkuknya, lalu Pacceka
2609
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
Buddha kembali ke Gunung Gandhamà dana.
(b) Kehidupan pertapaan dalam kehidupan terakhir
Tanpa pernah terlahir di alam sengsara, si pemuda mengembara di
alam dewa dan manusia, dan akhirnya dikandung dalam keluarga
Usabha di Kota Kà ëacampà pada masa kehidupan Buddha kita. Sejak
saat ia dikandung, ribuan hadiah mendatangi rumah pedagang
itu. Pada hari kelahirannya juga, seluruh Kota Kà ëacampà dibanjiri
oleh hadiah dan persembahan. Pada hari pemberian nama, kedua
orangtuanya berkata, “Putra kita telah memberi nama untuk dirinya
sendiri. Kulitnya bagaikan sesuatu yang bermandikan cairan emas
merah,” dan mereka memanggilnya Anak Soõa atau Soõa putra
pedagang. (Nama yang diberikan yaitu Soõa). Tetapi sebab ia
berasal dari suku Koëivisa, ia lebih dikenal dengan nama Soõa
Koëivisa.) Enam puluh pengasuh ditunjuk untuk mengasuh anak
itu yang dibesarkan penuh kebahagiaan seperti dewa.
Makanan untuk Si Putra Pedagang
Berikut ini yaitu bagaimana mereka mempersiapkan makanan
untuk si anak pedagang itu:
Pertama-tama lahan seluas 60 pai dibajak dan ditanami padi sà li dan
disiram dengan (1) susu sapi, (2) air harum, dan (3) air biasa.
Di dalam aliran air di lahan itu dituangkan susu sapi dan air harum
dari banyak kendi. saat tangkai-tangkai padi itu telah menyerap
susu itu, dan untuk mencegah padi itu dari bahaya dimakan oleh
burung-burung dan serangga dan untuk menghasilkan beras yang
lunak, tiang-tiang didirikan di lahan itu, dan diberi kasau untuk
menopang atap dan di sudut-sudutnya ditempatkan penjaga.
saat padi telah masak, lumbung akan direnovasi dengan
menebarkan empat jenis salep (yaitu, kunyit, cengkeh, sejenis
tumbuhan, dan kakkå atau bubuk kamyin). Udara diharumkan
dengan empat jenis salep di atas. lalu para pekerja akan
pergi ke lahan penanaman dan mengumpulkan panen itu dengan
2610
saksama, mengikatnya dengan kawat dan menjemurnya. Lapisan
salep akan ditebarkan di atas lantai lumbung; lalu ikatan padi
kering ditebarkan di atas lapisan salep itu. Demikianlah lapisan
salep dan lapisan padi silih berganti sampai lumbung itu penuh.
Pintu lumbung lalu ditutup dan padi itu disimpan selama
tiga tahun.
sesudah tiga tahun, pintu lumbung dibuka. Dan keharumannya akan
menyebar ke seluruh kota.
Saat padi sà li itu digiling, para pemabuk akan datang untuk membeli
sekam. Beras-beras yang pecah, akan dibagikan kepada para pekerja
dan pelayan. Hanya beras yang utuh yang disimpan untuk si anak
pedagang.
Cara memasak beras itu yaitu sebagai berikut: seluruh beras itu
diletakkan di dalam sebuah keranjang yang terbuat dari benang
emas untuk dicuci. sesudah disaring seratus kali, beras itu direndam
dalam air panas dan segera dikeluarkan lagi. (sebab beras itu
dimasak segera sesudah dikeluarkan dari air) nasi yang dihasilkan
bagaikan bunga melati.
lalu nasi itu diletakkan di dalam mangkuk emas yang
lalu diletakkan lagi di dalam cangkir perak yang penuh
dengan nasi susu matang yang manis dan bebas dari air dan dimasak
(sehingga nasi itu tetap panas). Nasi itu lalu diletakkan di
depan si anak pedagang.
Si anak pedagang, Soõa-Koëivisa, selanjutnya memakan nasi sà li itu
perlahan-lahan dan mencuci mulut dan tangan dan kakinya dengan
air harum. lalu ia diberi berbagai jenis tembakau dan sirih
dan benda lainnya untuk mengharumkan mulutnya.
Ke mana pun ia pergi, karpet yang indah dan mahal akan
dihamparkan. Telapak tangan dan kakinya merah bagaikan warna
bunga sepatu. Sentuhannya sangat halus bagaikan kain wol-katun
yang digiling seratus kali. Telapak kakinya ditutupi oleh rambut
halus yang berwarna seperti benang teratai berbentuk spiral dan
2611
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
yang seperti terdapat dalam giwang batu delima. Jika ia marah
kepada seseorang, ia akan mengancam, “Engkau pikirkanlah lagi!
Atau aku akan menginjakkan kakiku di atas tanah.” sesudah ia
dewasa, tiga istana dibangun untuknya (seperti pada kisah Yasa,
si putra pedagang), untuk tiap-tiap musim. Ia juga disediakan
(oleh orangtuanya) hiburan penari-penari perempuan. Menikmati
kemewahan luar biasa, putra kaya itu hidup penuh kebahagiaan
bagai dewa.
Pada waktu itu, Buddha kita telah mencapai Pencerahan Sempurna
dan membabarkan Dhammacakka Sutta dan sekarang Beliau
menetap di Rà jagaha. Saat itu, Raja Bimbisà ra memanggil Soõa,
putra pedagang kaya, dan mengutusnya untuk menyambut Buddha
bersama delapan puluh orang lainnya. sesudah mendengarkan
khotbah Buddha, muncul keyakinan mendalam dalam dirinya,
sehingga ia memohon kepada Buddha untuk ditahbiskan.
Buddha lalu bertanya apakah ia telah mendapatkan izin.
sebab ia belum mendapatkan izin, Buddha menolaknya dengan
berkata, “Anak-Ku Soõa, para Buddha tidak menahbiskan ia yang
tidak diizinkan oleh orangtuanya” “Baiklah, Buddha Yang Agung,”
Soõa berkata dan sesudah bersujud, ia menghadap orangtuanya dan
mendapatkan izin untuk ditahbiskan dan lalu ia kembali
menghadap Buddha. Atas perintah Buddha, ia ditahbiskan menjadi
seorang bhikkhu. (Ini yaitu kisah singkatnya. Kisah lengkapnya
dapat dibaca dalam Cammakkhandhaka dari Vinaya MahÃ
Vagga.)
Sewaktu menetap di RÃ jagaha sesudah menjadi bhikkhu, sanak
saudara dan teman-temannya memberi persembahan untuk
menghormatinya. Mereka memuji ketampanannya. Soõa berpikir,
“Banyak orang mendatangiku. Jika mereka terus-menerus
berdatangan, bagaimana aku dapat melatih Meditasi Ketenangan
dan Pandangan Cerah? Aku tidak mungkin dapat melakukannya.
Bagaimana jika sesudah mendengarkan khotbah dari Buddha, aku
pergi ke pekuburan di Sãtavana (Hutan Sãta) dan berusaha menjalani
praktik pertapaan! Orang-orang tidak akan datang ke sana, sebab
mereka tidak menyukai tanah pekuburan. sesudah itu praktik
2612
pertapaanku akan dapat mencapai puncaknya, yaitu Kearahattaan.”
Demikianlah, ia mendengarkan khotbah dari Buddha dan pergi ke
Sãtavana untuk memulai praktik pertapaannya.
Berusaha Keras
“Tubuhku terlalu lembut,” Thera Soõa berpikir, “Sebenarnya, aku
tidak dalam posisi dapat mencapai kebahagiaan Jalan dan Buahnya
dengan mudah. sebab itu, aku harus mengerahkan tenaga dan
membuat diriku lelah.” Dengan pikiran demikian, ia bermeditasi
hanya dalam dua posisi berdiri dan berjalan (menolak melakukannya
dalam posisi berbaring dan duduk). Sehingga muncullah bisul di
telapak kakinya yang halus dan lembut dan seluruh jalan setapak
itu menjadi merah saat bisulnya pecah. saat ia tidak mampu
lagi berjalan kaki, ia melanjutkan latihannya dengan merangkak
memakai siku dan lututnya yang menjadi luka sebab nya dan
seluruh jalan setapak menjadi dua kali lebih merah. Meskipun ia
telah berusaha keras, ia tidak melihat tanda-tanda positif dari latihan
meditasi yang ia lakukan. sebab itu ia berpikir:
“Jika orang lain berusaha keras, ia juga akan sepertiku tetapi tidak
akan melebihi apa yang telah kulakukan. Meskipun telah berusaha
keras, aku tidak dapat mencapai Jalan dan Buahnya. Mungkin aku
bukan seorang individu ugghañita¤¤Ã¥, vipa¤cita¤¤Ã¥ atau neyya.
Mungkin aku hanyalah seorang individu padaparama. Kalau begitu,
untuk apakah aku menjadi bhikkhu. Mungkin tidak ada gunanya.
Aku akan kembali kepada kehidupan awam. Aku akan menikmati
kenikmatan duniawi dan (sambil menikmati) aku akan melakukan
kebajikan.”
Nasihat Buddha: Perumpamaan Sebuah Kecapi
Mengetahui pikiran Thera, Buddha datang pada suatu malam
disertai oleh banyak bhikkhu ke tempat itu, dan melihat jalan setapak
yang merah, Beliau bertanya, “Para bhikkhu, jalan setapak siapakah
itu yang merah bagaikan rumah pemotongan hewan?” (Walaupun
Beliau mengetahui, tetapi Beliau tetap bertanya, dengan tujuan
untuk membabarkan khotbah). Para bhikkhu menjawab, “Buddha
2613
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
Yang Agung, telapak kaki Yang Mulia Soõa, yang berusaha keras
berjalan dalam latihan meditasi, telah terluka. Jalan setapak ini
menjadi merah bagaikan rumah pemotongan hewan yaitu milik
bhikkhu itu, Soõa.” Buddha berjalan menuju tempat meditasi Thera
Soõa dan duduk di tempat yang telah dipersiapkan.
Thera Soõa datang dan bersujud kepada Buddha dan duduk di
tempat yang semestinya. saat Buddha bertanya apakah benar ia
memiliki pikiran seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Thera
Soõa mengakui hal itu. Selanjutnya Buddha membabarkan khotbah,
perumpamaan kecapi (vãõovà da), dawai kecapi tidak boleh terlalu
kencang juga tidak boleh terlalu kendur.
Buddha, “Anak-Ku, bagaimanakah menurutmu mengenai
pertanyaan yang akan Kuajukan ini? Engkau boleh menjawabnya
sesukamu. Engkau terampil dalam bermain kecapi sewaktu masih
menjadi seorang awam, bukan?”
Soõa, “Ya, Buddha Yang Agung.”
(saat Yang Mulia Soõa masih muda, orangtuanya berpikir, “Jika
putra kami memelajari keterampilan lain, ia akan menjadi lelah.
Tetapi bermain kecapi yaitu suatu hal yang dapat dipelajari sambil
duduk dengan nyaman di suatu tempat.” Maka ia memelajari
keterampilan bermain kecapi dan menjadi seorang pemain yang
ahli.
(Buddha mengetahui bahwa “Bentuk meditasi lainnya tidak cocok
untuk Bhikkhu Soõa. saat masih menjadi seorang awam, ia terampil
dalam bermain kecapi. Ia akan cepat mencapai pengetahuan spiritual
jika Aku mengajarkannya dengan memanfaatkan keterampilannya
itu.” Maka, sesudah bertanya kepada Thera Soõa seperti di atas,
Buddha memulai khotbah-Nya.)
Buddha, “Anak-Ku, Soõa, bagaimanakah menurutmu mengenai
pertanyaan yang akan Kuajukan ini? Jika dawai kecapimu terlalu
kencang, apakah kecapimu akan menghasilkan bunyi yang merdu?
Apakah bunyinya akan bertahan lama?”
2614
Soõa, “Buddha Yang Agung, tidak mungkin. Kecapi itu tidak akan
menghasilkan bunyi yang merdu juga tidak akan bertahan lama.”
Buddha, “AnakKu, Soõa, bagaimanakah menurutmu mengenai
pertanyaan yang akan Kuajukan ini? Jika dawai kecapimu terlalu
kendur, apakah kecapimu akan menghasilkan bunyi yang merdu?
Apakah bunyinya akan bertahan lama?”
Soõa, “Buddha Yang Agung, tidak mungkin. Kecapi itu tidak akan
menghasilkan bunyi yang merdu juga tidak akan bertahan lama.”
Buddha, “Anak-Ku, Soõa, bagaimanakah menurutmu mengenai
pertanyaan yang akan Kuajukan ini? Jika dawai kecapimu tidak
terlalu kencang juga tidak terlalu kendur, apakah kecapimu akan
menghasilkan bunyi yang merdu? Apakah bunyinya akan bertahan
lama?”
Soõa, “Ya, itu mungkin, Buddha Yang Agung, kecapi itu akan
menghasilkan bunyi yang merdu dan akan bertahan lama.”
Buddha, “Demikian pula, anak-Ku Soõa, usaha yang berlebihan akan
mengakibatkan kegelisahan (uddhacca). (Usaha yang berlebihan
akan mengakibatkan kegelisahan.) Usaha yang terlalu kendur
akan mengakibatkan kelambanan (kosajja) (Kurangnya usaha
akan mengakibatkan kelambanan.) sebab itu, anak-Ku Soõa,
usaha (Viriya) dan konsentrasi (samà dhi) harus sama jumlahnya.
(Usahakan agar usaha dan konsentrasi tetap seimbang.) Usahakan
agar kemampuanmu seperti keyakinan (saddhà ) juga dalam
tingkat yang sama. (Usahakan agar lima indria seperti keyakinan
(saddhà ), usaha (Viriya), perhatian (sati), konsentrasi (samà dhi),
dan kebijaksanaan (pa¤¤Ã ) juga dalam porsi yang sama.) saat
semuanya seimbang, cobalah untuk mendapatkan ketenangan,
dan lain-lain.”
Soõa, “Baiklah, Buddha Yang Agung.”
sesudah menasihati Thera Soõa dengan memberi perumpamaan
2615
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
bermain kecapi dan sesudah mengajarkan praktik meditasi yang
melibatkan keseimbangan sempurna antara usaha dan konsentrasi,
Buddha kembali ke vihà ra di Bukit Gijjhakåña.
(c) Gelar Etadagga
Mempertimbangkan cara berlatih meditasi yang dilakukan oleh
Yang Mulia Thera Soõa Koëivisa, kenyataan bahwa usaha orang lain
harus ditingkatkan (sebab masih belum mencukupi), bagi Thera
Soõa Koëivisa, usahanya justru harus dikurangi (sebab terlalu
berlebihan). sebab itu, saat diadakan Ritual penganugerahan
gelar etadagga, Buddha memujinya dan menganugerahkan gelar
itu dalam hal usaha yang tinggi (Ã raddha-Viriya), dengan berkata
sebagai berikut:
“Etadaggaÿ bhikkhave mama sà vakà naÿ bhikkhÃ¥naÿ à raddha-
viriyà naÿ yadidaÿ Soõa Koëiviso,” “Para bhikkhu, di antara para
siswa-Ku yang berusaha keras, Soõa dari Suku Koëivisa yaitu
yang terbaik.”
(17) Thera Soõa Kuñikaõõa
(Nama yang diberikan kepadanya oleh orangtuanya yaitu Soõa.
sebab saat masih menjadi seorang awam ia selalu mengenakan
anting yang bernilai satu crore, nama Kuñikaõõa ditambahkan.
sebab itu ia dikenal sebagai Thera Soõa Kuñikaõõa.)
(a) Cita-cita masa lampau
Si orang baik, bakal Thera Soõa Kuñikaõõa, juga, pada masa
kehidupan Buddha Padumuttara, pergi bersama orang lainnya ke
vihà ra seperti yang telah diceritakan sebelumnya. Sewaktu berdiri
di belakang para hadirin dan mendengarkan khotbah Buddha, ia
melihat seorang bhikkhu yang mendapat gelar etadagga sebagai
yang terbaik di antara mereka yang membabarkan ajaran dengan
suara merdu. Orang itu berpikir, “Aku juga harus menerima
anugerah gelar yang sama sebagai yang terbaik di antara mereka
yang membabarkan ajaran dengan suara merdu pada masa
2616
pengajaran Buddha mendatang.” Maka ia mengundang Buddha
dan melakukan dà na besar selama tujuh hari dan berkata, “Buddha
Yang Agung, tujuh hari yang lalu Engkau menganugerahkan gelar
etadagga kepada seorang bhikkhu sebagai yang terbaik di antara
mereka yang mengajar dengan suara merdu (kalyà õavakkaraõa).
Aku juga bercita-cita untuk mendapatkan gelar ini pada masa
pengajaran Buddha mendatang sebagai hasil dari kebajikan yang
kulakukan ini.” Mengetahui bahwa cita-cita orang itu akan tercapai
tanpa rintangan, Buddha mengucapkan ramalan, “Kelak, pada masa
pengajaran Buddha Gotama, engkau akan menerima gelar ini .”
sesudah berkata demikian, Buddha meninggalkan tempat itu.
(b) Kebhikkhuan dalam kehidupan terakhir
sesudah melakukan banyak kebajikan seumur hidupnya, orang itu
mengembara di alam dewa dan manusia (tanpa pernah terlahir
di empat alam sengsara) dan dikandung dalam rahim seorang
umat bernama Kà ëã, istri seorang pedagang di Kota Kuraraghara di
Negeri Avanti sebelum munculnya Buddha kita. saat menjelang
melahirkan, ia pulang ke rumah orangtuanya di RÃ jagaha.
Pada saat itu Buddha kita telah mencapai Pencerahan Sempurna
dan sedang membabarkan Dhammacakka Sutta di Taman Rusa
Isipatana. (hari purnama bulan âsaëha, 103 Mahà Era.) pada saat
pembabaran itu, para dewa dan brahmà dari seratus ribu alam
semesta berkumpul di Taman Rusa itu. Pada kerumunan yang
sedang mendengarkan khotbah Buddha itu, terdapat dua puluh
delapan Jenderal Yakkha, dan satu di antaranya yaitu Sà tà gira.
(Kisah lengkap mengenai dua Jenderal Yakkha ini dapat dibaca
dalam bab terdahulu.)
(Kisah yang diceritakan dalam bab terdahulu yaitu berdasarkan
penjelasan Hemavata Sutta dari Komentar Sutta nipà ta. Menurut
penjelasan itu, sewaktu SÃ tagira sedang mendengarkan khotbah
Dhammacakka, ia teringat temannya Hemavata; sebab itu ia
tidak dapat memusatkan perhatian dan gagal menembus Jalan
dan Buahnya; hanya sesudah ia menjemput temannya dan kembali
2617
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
bersama temannya, mereka berdua menjadi Sotà panna mulia.)
(Apa yang dikutip dari Ekaka-nipà ta atau Komentar Aïguttara
dimulai dari pencapaian Sotà patti sesudah mendengarkan khotbah
Dhammacakka. sesudah itu ia menjemput Hemavata dan bertemu
dengan temannya di angkasa di atas rumah Kà ëã (dari Kuraraghara)
di dekat RÃ jagaha yang yaitu putri seorang pedagang. Saat
bertemu dengan Hemavata, ia ditanya oleh Hemavata mengenai
sikap jasmani (Kà yasamà cà ra), penghidupan (à jiva), dan sikap batin
(manosamà cà ra) dari Buddha, dan ia menjawab semua pertanyaan
itu. Demikianlah saat terjadi tanya-jawab tentang kemuliaan Buddha
seperti yang terdapat dalam Hemavata Sutta berakhir, Hemavata
merenungkan kata-kata luhur temannya selangkah demi selangkah
dan ia mencapai Sotà patti-Phala. Perbedaan dua kisah ini disebabkan
oleh perbedaan orang yang membacakan (bhà õaka).
Tidak melihat temannya Hemavata pada saat pembabaran khotbah
Dhammacakka, SÃ tagira mendatanginya namun berpapasan di
angkasa di atas rumah Kà ëã. Dan terjadilah tanya-jawab tentang
sikap jasmani Buddha, dan seterusnya.
saat SÃ tagira sedang membicarakan Dhamma dalam penjelasannya
tentang sikap jasmani Buddha, Kà ëã mendengarkan semua dan
muncul keyakinan dalam dirinya pada Buddha tanpa pernah
bertemu dengan Buddha sebelumnya dan ia mencapai Sotà patti-
Phala bagaikan seseorang yang memakan makanan yang disediakan
untuk orang lain. Ia yaitu seorang Sotà panna mulia pertama dan
siswa pertama di antara para siswi.
sesudah menjadi seorang Sotà panna, Kà ëã melahirkan seorang putra
pada malam hari itu juga. Putra itu diberi nama Soõa. sesudah
menetap bersama orangtuanya selama yang ia suka, Kà ëi lalu
kembali ke Kuraraghara. sebab putra itu mengenakan satu giwang
yang bernilai satu crore, ia dikenal juga sebagai Soõa Kuñikaõna.
Saÿvega dan Kebhikkhuannya
Pada saat itu Yang Mulia Mahà Kaccà yana sedang menetap di bukit
2618
Papata (atau Pavatta atau Upavatta), bergantung pada Kuraraghara
sebagai sumber dà na makanannya. Si umat awam Kà ëi melayani
Thera yang secara rutin mengunjungi rumahnya. Si anak, Soõa,
juga selalu menyertai Thera dan berteman dengannya.
Kapan saja ia mempunyai waktu luang, Soõa akan mendatangi
Thera untuk melayaninya. Thera juga selalu mengajarkan Dhamma
kepadanya sebagai imbalan. sebab itu si anak merasakan saÿvega
dan menjadi tekun mempraktikkan Dhamma. Pada suatu saat , ia
melakukan perjalanan bersama serombongan pedagang ke Ujjenã
untuk suatu urusan dagang dan sewaktu berkemah pada malam
hari, ia menjadi takut untuk tetap bersama rombongan itu. Maka
ia pindah ke tempat lain dan tidur. Rombongan itu melanjutkan
perjalanan pada keesokan paginya. Tidak seorang pun yang teringat
untuk membangunkannya sebelum mereka berangkat.
Pagi itu Soõa bangun dan tidak melihat siapa pun, ia bergegas
mengejar rombongan itu di sepanjang jalan dan tiba di sebatang
pohon banyan. Di pohon itu ia melihat sesosok peta laki-laki yang
bertampang jelek dan bertubuh besar, memungut dan memakan
serpihan dagingnya sendiri yang jatuh dari tulang-belulangnya.
Soõa bertanya siapa dia dan peta itu menyebutkan identitasnya. Soõa
bertanya lagi mengapa ia melakukan hal itu dan peta itu menjawab
bahwa ia melakukan hal itu sebab kamma masa lampaunya. Soõa
lalu memintanya untuk menjelaskan dan penjelasannya
yaitu sebagai berikut, “O Tuan, pada masa lampau, aku yaitu
seorang pedagang jahat bernama Bhà rukaccha, mencari nafkah
dengan menipu orang lain. Selain itu, aku juga menghina para
bhikkhu yang datang untuk menerima dà na makanan dan berkata
kepada mereka: ‘Makanlah dagingmu sendiri!’ sebagai akibat dari
kejahatan itu, sekarang aku harus menjalani berbagai penderitaan
seperti yang engkau saksikan,” mendengar penjelasan itu, Soõa
terperanjat.
Ia melanjutkan perjalanannya dan bertemu dengan dua anak peta
yang dari mulut mereka menetes darah kehitaman; ia bertanya
seperti sebelumnya. Kepada Soõa, peta muda itu menceritakan
perbuatan jahat yang mereka lakukan pada masa lampau dan
2619
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
berikut ini yaitu kisah mereka, “Sewaktu menjadi manusia, mereka
berdagang wewangian untuk mencari nafkah. Dan pada suatu
saat , ibu mereka mengundang dan mempersembahkan makanan
kepada para Arahanta. Saat pulang ke rumah, mereka mencela
dan mengutuk, “O ibu, mengapa engkau memberi milik kita
kepada para bhikkhu? Semoga tetes-tetes darah kehitaman mengalir
dari mulut mereka yang memakan makanan yang diberikan oleh
ibu kami!” sebab perbuatan jahat mereka, mereka mengalami
penderitaan di neraka dan akibat tambahan dari kejahatan itu,
mereka terlahir kembali di alam peta dan mengalami penderitaan
dalam bentuk seperti yang mereka ceritakan kepada Soõa.
Mendengar kisah mereka, ia menjadi terkejut lagi; sesungguhnya,
efek kejutan ini bahkan lebih besar dari sebelumnya. (kisah saÿvega
ini terdapat dalam Udà na Aññhakathà dan Sà ratthaDãpanã òãkà .)
Soõa tiba di Ujjenã dan kembali ke Kuraraghara sesudah menyelesaikan
urusannya; lalu ia mendatangi Thera Kaccà yana dan
menceritakan kisahnya. Thera memberi khotbah kepada Soõa
tentang kerugian dari mengembara di dalam lingkaran saÿsà ra
dan lingkaran penderitaan serta manfaat dari tidak terlahir dan
terhentinya pengembaraan di lingkaran itu. sesudah memberi
hormat kepada Thera, Soõa pulang ke rumahnya, memakan makan
malamnya, masuk ke kamarnya dan jatuh tertidur. Tiba-tiba ia
terbangun dan mulai merenungkan khotbah yang ia dengar dari
Thera dan sebab teringat kondisi para peta, ia merasa ketakutan
terhadap saÿsà ra dan lingkaran penderitaannya. Ia sangat ingin
menjadi seorang bhikkhu.
Pagi harinya, ia mandi dan mendatangi Thera Mahà Kaccà yana
dan melaporkan apa yang ia pikirkan, “Yang Mulia, saat aku
merenungkan khotbah yang engkau sampaikan. Aku menemukan
bahwa yaitu sulit menjalani (tiga) latihan mulia ini yang bagaikan
kulit kerang yang digosok halus yang sempurna dan murni.” Ia
melanjutkan kata-katanya, “Aku ingin mencukur rambut dan
janggutku, mengenakan jubah, dan meninggalkan kehidupan sosial
untuk menjalani kebhikkhuan.” sesudah mengucapkan keinginannya
untuk menjadi bhikkhu, ia memohon, “sebab itu, Yang Mulia, aku
ingin agar engkau menahbiskan aku.”
2620
Yang Mulia Thera Mahà Kaccà yana lalu menyelidiki apakah
kebijaksanaan Soõa telah matang atau belum, ia mengetahui bahwa
kebijaksanaannya belum matang. Ingin agar Soõa menunggu
hingga kebijaksanaannya cukup matang, Thera berkata, “Sungguh
sulit, Soõa, menjalani kehidupan suci, tidur sendirian dan makan
sendirian. sebab itu, Sona, aku ingin agar engkau melakukan hal
ini: Sekali-sekali selagi masih menjadi orang awam, praktikkanlah
latihan mulia tidur dan makan dalam kesunyian, (seperti pada
hari uposatha, dan lain-lain) yang diajarkan oleh Buddha Yang
Agung.”
lalu keinginan Soõa untuk menjadi seorang bhikkhu lenyap
sebab indrianya masih belum cukup matang dan saÿvega-nya
belum cukup mendalam. Meskipun keinginannya lenyap, ia
tidak lengah tetapi terus mendengarkan ajaran Thera dan selalu
mendatanginya untuk mendengarkan Dhamma. Seiring dengan
berlalunya waktu, untuk kedua kalinya ia berkeinginan untuk
menjadi seorang bhikkhu seperti sebelumnya; maka ia mengulangi
permohonannya. Kali ini juga Thera mengucapkan kata-kata seperti
sebelumnya.
saat Soõa mengajukan permohonan untuk ketiga kalinya,
Thera Mahà Kaccà yana berpikir bahwa saat itu yaitu waktu
yang tepat baginya untuk menahbiskannya sebab kematangan
kebijaksanaannya, maka Thera menahbiskannya sebagai seorang
sà maõera. Meskipun ia ingin menahbiskan Soõa sebagai seorang
bhikkhu, penahbisan itu tidak dapat dilakukan sebab hanya ada
dua atau tiga bhikkhu yang menetap di Kuraraghara dan banyak
yang menetap di Wilayah Tengah. Dan para bhikkhu itu bertempat
tinggal di tempat yang berbeda-beda, satu di desa atau dua di kota.
Dari sana Thera mengajak dua atau tiga bhikkhu untuk penahbisan
Soõa, siswanya. Tetapi saat ia pergi untuk mengumpulkan bhikkhu
lainnya, bhikkhu sebelumnya pergi ke tempat lain untuk urusan
lainnya. sesudah menunggu mereka kembali, ia pergi untuk
mengajak kembali mereka yang telah pergi; dan yang lainnya yang
telah berada di sana, pergi untuk urusan lain lagi.
2621
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
sebab ia harus berulang-ulang mengumpulkan bhikkhu
dengan cara ini, memerlukan waktu tiga tahun lebih untuk dapat
mengumpulkan sepuluh orang bhikkhu. Sebuah penahbisan
Upasampadà pada waktu itu dapat dilakukan hanya jika terdapat
sepuluh orang bhikkhu berkumpul. Thera menetap sendiri. sebab
itu hanya sesudah tiga tahun yang sulit, ia dapat menahbiskan
siswanya Sà maõera Soõa dengan penuh kesulitan. (Dikutip dari
Sà rattha òãkà .)
sesudah menerima penahbisan, Sà maõera Sona Kuñikaõna (sekarang
bhikkhu) memelajari subjek meditasi, dan dengan tekun melatih
meditasi Vipassanà dan berhasil mencapai kesucian Arahatta
pada masa vassa pertamanya dan memelajari Sutta-Nipà ta juga
dari Thera. sesudah melakukan Pavà raõà di akhir vassa, ia sangat
ingin memberi hormat kepada Buddha dan memohon izin dari
penahbisnya. (Permohonannya secara lengkap dapat dibaca dalam
Vinaya Mahà Vagga.)
Sang Thera berkata, “Soõa, saat engkau tiba di sana, Buddha akan
mengizinkan engkau menetap di Kuñã Harum yang sama dan
akan memintamu untuk membabarkan khotbah. Engkau harus
melakukan hal itu. sebab senang dengan khotbahmu, Buddha
akan memberi hadiah. Terimalah hadiah itu. Sembahlah Buddha
Yang Agung atas namaku!” Demikianlah Thera memberi izin
dengan sepenuh hati.
sesudah mendapat izin dari penahbisnya, Thera Soõa Kuñikaõõa
mendatangi tempat tinggal ibunya, Kà ëã, istri pedagang, dan
menceritakan rencananya. Sang ibu, Kà ëã, si umat perempuan,
berkata, “Baiklah, Anakku! Saat engkau menjumpai Buddha,
ambillah selimut ini dan hamparkan di lantai Kuñã Harum sebagai
persembahan!” ibu menyerahkan selimut itu kepadanya.
Dengan membawa selimut itu, Thera Soõa melipat alas tidurnya,
dan melakukan perjalanan dan akhirnya tiba di Jetavana, Sà vatthã.
Buddha saat itu sedang duduk di atas singgasana Dhamma, tempat
duduk yang disediakan bagi seorang Buddha. Thera Soõa berdiri
di tempat yang semestinya dan memberi hormat kepada Buddha.
2622
sesudah saling bertukar sapa de





.jpeg)
.jpeg)





