Tampilkan postingan dengan label Pernikahan muslim 3. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pernikahan muslim 3. Tampilkan semua postingan

Pernikahan muslim 3

 


الل لُوسُرَ لَاَقَلاَق َةرَيْرَهُ يِبَأ نْعَ

11مَْعطَْيلَْف ارًطِفْمُ نَاكَ نِْإوَ ِلّصَُيلَْف امًِئاصَ

“Apabila salah seorang kalian diundang untuk memenuhi 

sebuah walimah, maka datanglah. Jika pada saat itu 

berpuasa, maka hendaknya ia mendoakan. Jika pada saat 

itu sedang tidak berpuasa, maka makanlah (dari hidangan 

yang telah disediakan). (HR. Muslim).

 اهََل ىعَدُْي ةِمَيلِوَلْا مُاَعطَ مِاَعَّطلا ُّرشَُلوُقَي نَاكَ ُهَّنَأ ُهنْعَ ُ َّالل يَضِرَ َةرَيْرَهُ يِبَأ نْعَ

 هِيَْلعَ ُ َّالل ىَّلصَ ُهَلوسُرَوَ َ َّالل ىصَعَ دَْقَف َةوَعَّْدلا كَرََت نْمَوَ ءُارََقُفلْا كُرَْتُيوَ ءُاَيِنغَْلْا

12)يراخبلا هاور(مََّلسَوَ

“Dari Abu hurairah r.a. bahwa Rasulullah Saw. Telah 

bersabda, makanan yang paling buruk adalah makanan 

walimah, yang hanya mengundang orang-orang kaya dan 

meninggalkan orang-orang miskin. Barang siapa tidak 

mengahadiri undangan, sesungguhnya ia telah durhaka 

kepada Allah dan Rasul-Nya”.

 Kalimat ُهَلوسُرَوَ  َ َّالل  ىصَعَ  دَْقَف menunjukkan kewajiban 

untuk menghadiri setiap undangan. Orang yang tidak 

menghadirinya dianggap telah memaksiati Allah dan Rasul, 

karena meninggalkan suatu kewajiban yang diperintahkan 

oleh Rasul, sementara meninggalkan atau tidak 

melaksanakan yang diperintah oleh rasul adalah maksiat.

 Al-Hafizh berkat dalam kitab Fathul Bari bahwa syarat 

undangan yang wajib didatangi ialah:

1. Pengundang sudah mukhallaf, merdeka, dan sehat 

akal.

2. Undangan tidak hanya dikhususkan kepada orang 

kaya tanpa melibatkan orang miskin.

13)ءُارََقُفلْا كُرَْتُيوَ ءُاَيِنغَْلْا اهََل ىعَدُْي ةِمَيلِوَلْا مُاَعطَ مِاَعَّطلا ُّرشَ

“…Makanan yang paling buruk adalah makanan 

walimah, yang hanya mengundang orang-oang kaya 

dan meninggalkan orang-orang miskin...”

3. Tidak tampak adanya tujuan untuk mengambil hati 

seseorang, baik karena berharap kepadanya maupun 

karena takut kepadanya.

4. Orang yang mengundang adalah orang muslim, 

menurut pendapat yang paling benar.

5. Undangan dikhususkan hari pertama walimah. 

Demikian pendapat yang masyhur.


6. Belum didahului oleh undangan lain. Jika ada 

undangan lain sebelumnya, yang pertama wajib 

didahulukan.

7. Tidak ada kemungkaran dan perkara-perkara lain 

yang menghalangi kehadirannya. 

8. Orang yang diundang tidak memiliki uzur. Baghawi 

berkata, jika orang yang diundang berhalangan atau 

tempatnya jauh sehingga menyusahkan, boleh tidak 

hadir .14

Adapun macam-macam uzhur yang menyebabkan 

gugurnya kewajiban menghadiri undangan walimah adalah:

1. Makanan dan minuman yang disediakan 

mengandung syubhat.

2. Undangan tersebut khusus bagi orang kaya saja.

3. Ada yang akan terzholimi dengan sebab 

kehadirannya.

4. Apabila kedatangannya itu semata-mata karena 

menginginkan sesuatu dari si pengundang atau 

karena takut kepadanya.

5. Apabila di dalam acara tersebut terdapat perkara-

perkara mungkar seperti jamuan  khamar atau alat-

alat lahwi, dan lain sebagainya.


 يِف ىَأرََف ءَاجََف مََّلسَوَ هِيَْلعَ ُ َّالل ىَّلصَ ِ َّالل لَوسُرَ تُوْعَدََف امًاَعطَ تُعَْنصََلاَق ٍيّلِعَ نْعَ

15عَجَرََف رَيوِاصََت تِيَْبلْا

“Aku membuat makanan dan mengundang Rasul 

Saw, maka beliaupun mendatangi undangan yang 

aku haturkan. Tatkala beliau melihat gambar yang 

menempel di dinding rumahku, maka beliaupun 

kembali pulang.”(HR. Ibnu Majah).

6. Apabila jarak menuju ke tempat undangan terlalu 

jauh dan tidak ada kendaraan yang memadai, atau 

biaya yang harus dikeluarkan cukup memberatkan, 

atau perjalanan kesana amat melelahkan atau 

kurang aman

7. Apabila ada halangan lain, misalnya sedang 

menderita sakit, atau menjaga keluarga yang 

sedang sakit, dan sebagainya.

D. Adab dalam Menghadiri Walimah

Ada beberapa adab yang harus diperhatikan dalam 

memenuhi undangan. Yaitu:

1. Tidak sekadar untuk memuaskan nafsu perut, tetapi 

harus diniati untuk mengikuti perintah syari’at, 

menghormati saudaranya, menyenangkan hatinya, 


mengunjunginya dan menjaga dirinya dari timbulnya 

buruk sangka jika dia tidak memenuhi undangan 

tersebut.

2. Memberikan ucapan selamat kepada kedua 

mempelai dalam undangan walimah.

16مْهِيَْلعَ كْرِاَبوَ مْهَُل كْرِاَب َّمهَُّللا

 “Ya Allah, limpahkanlah keberkahan untuk mereka 

dan atas mereka.”

 كََل ُ َّالل كَرَاَب لَاَق اًناسَنِْإ َأَّفرَ اَذِإ مََّلسَوَ هِيَْلعَ ُ َّالل ىَّلصَ ِ َّالل لُوسُرَ نَاكََلاَق َةرَيْرَهُ يِبَأ نْعَ

17رٍيْخَ ىَلعَ امَكَُنيَْب عَمَجَوَ كَيَْلعَ كَرَاَبوَ

“Bahwasanya Rasulullah saw. jika memberikan 

ucapan doa kepada seseorang yang menikah, belia 

berkata, “Semoga Allah memberkati kalian berdua, 

semoga Allah memberkati atas kalian berdua, dan 

menyatukan kalian berdua di dalam kebaikan.” 

(HR. Ahmad).

3. Membantu dengan harta bagi kerabat yang kaya 

dalam penyelenggaraan walimah.

4. Mengundang orang yang salih.


 َّلِإ بْحِاصَُت لَ لُوُقَي مََّلسَوَ هِيَْلعَ ُ َّالل ىَّلصَ ِ َّالل لَوسُرَ عَمِسَ ُهَّنَأدٍيعِسَ يِبَأ نْعَ

ٌّيقَِت َّلِإ كَمَاَعطَ لْكُْأَي لَوَ اًنمِؤْمُ

“Janganlah kalian berteman kecuali orang mukmin dan 

janganlah memakan makanan yang kalian hidangkan 

(di dalam walimah) kecuali orang-orang bertakwa 

(shalih).(HR. Tirmidzy dan Abu Daud).

5. Mengundang orang-orang fakir dan kaya secara 

bersamaan.

6. Menghindari syirik dan khurafat.

7. Menghindari hiburan yang merusak.

8. Memenuhi undangan sekalipun sedang  puasa.

18مَْعطَْيلَْف ارًطِفْمُ نَاكَ نِْإوَ ِلّصَُيلَْف امًِئاصَ نَاكَ نْإَِف بْجُِيلَْف مْكُدُحََأ يَعِدُ اَذِإ…

“Apabila salah seorang kalian diundang untuk 

memenuhi  sebuah walimah, maka datanglah. 

Jika pada saat itu berpuasa, maka hendaknya 

ia mendoakan. Jika pada saat itu sedang tidak 

berpuasa, maka makanlah (dari hidangan yang 

telah disediakan). (HR. Muslim).

9. Tidak berbaur antara tamu pria dan tamu wanita. 

10. Hindari berjabat tangan dengan bukan mahrom.


E. Hikmah Penyelenggaraan Walimah

Ada beberapa hikmah dalam pelaksanaan walimah, 

diantaranya: 

1. Merupakan rasa syukur kepada Allah Swt.

2. Tanda penyerahan anak gadis kepada suami dari 

kedua orang tuanya.

3. Sebagai tanda resmi akad nikah.

4. Sebagai tanda memulai hidup baru bagi suami-istri.

5. Sebagai realisasi arti sosiologi dari akad nikah.

Sebagai pengumuman bagi masyarakat, bahwa 

antara mempelai telah resmi menjadi suami istri, sehingga 

masyarakat tidak curiga terhadap perilaku yang dilakukan 

oleh kedua mempelai.

F. Hal-Hal yang Dilarang Sekitar Walimah 

1. Bagi pengantin (wanita) dan tamu undangannya 

tidak diperkenankan untuk tabarruj. Memamerkan 

perhiasan dan berdandan berlebihan, cukup 

sekadarnya saja yang penting rapi dan bersih dan 

harus tetap menutup aurat.

2. Tidak adanya ikhtilat (campur baur) antara laki-laki 

dan perempuan. Hendaknya tempat untuk tamu 

undangan dipisah antara laki–laki dan perempuan. 

Hal ini dimaksudkan agar pandangan terpelihara, 

mengingat ketika menghadiri pesta semacam ini 

biasanya tamu undangan berdandannya berbeda 

dan tidak jarang pula yang melebihi pengantinnya.

3. Tidak berlebih-lebihan dalam mengeluarkan harta 

juga makanan, sehingga terhindar dari mubazir.

4. Boleh mengadakan hiburan berupa nasyid dari 

rebana dan tidak merusak akidah umat Islam. 

Hiburan dengan menggunakan alat-alat musik yang 

melantunkan lagu-lagu cabul yang menebarkan 

kekejian dan kehinaan di antara para pemuda dan 

pemudi, menghancurkan harga diri dan merusak 

akhlak adalah diharamkan dalam Islam.19

 لِلَحَلْا نَيَْب امَ لُصَْف مََّلسَوَ هِيَْلعَ ُ َّالل ىَّلصَ ِ َّالل لُوسُرَ لَاَقَلاَق بٍطِاحَ نِبْ دِ َّمحَمُ نْعَ

20ِحاكَِّنلا يِف تُوْ َّصلاوَ ُّفُّدلا مِارَحَلْاوَ

“Pemisah antara yang halal dan haram adalah 

memukul rabana dan suara nyanyian”.(HR. Ibnu 

Majah).

5. Menghindari berjabat tangan yang bukan mahramnya, 

telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat kita 

bahwa tamu menjabat tangan mempelai wanita, 


begitu pula sebaliknya.

6. Menghindari syirik dan khurafat.

7. Standing party.

8. Hanya mengundang orang-orang kaya saja.21

Oleh karena itu walimah merupakan ibadah, maka 

seharusnya dihindari perbuatan-perbuatan yang mengarah 

pada kemungkaran, syirik dan khurafat. Demi berkahnya 

pernikahan.


HAK DAN KEWAJIBAN 

SUAMI ISTRI


A. Pengertian Hak dan Kewajiban

Akad nikah yang telah berlangsung dan memenuhi 

syarat dan rukunnya, akan menimbulkan akibat hukum 

hubungan suami istri antar keduanya. Dengan demikian, 

akad tersebut menimbulkan hak serta kewajiban di antara 

keduanya. Yang dimaksud dengan hak adalah sesuatu 

yang seharusnya diterima seseorang setelah ia memenuhi 

kewajibannya. Sedangkan kewajiban adalah sesuatu yang 

seharusnya dilaksanakan oleh seseorang untuk mendapatkan 

hak.

Pasangan suami istri dalam bingkai rumah tangga, 

masing-masing memiliki hak dan kewajiban. Suami istri 

sebagai tokoh utama dalam sebuah rumahtangga, bila 

mengalami kerusakan maka bangunan rumah tanggapun 

akan runtuh. Disebabkan hubungan ini seharusnya 

sangat dijaga dengan memperhatikan hak dan kewajiban 

masing-masing. Bagi suami istri harus saling menunaikan 

kewajibannya setelah itu baru boleh mendapatkan apa yang 

menjadi haknya.1

Jika suami istri sama-sama menjalankan tanggung 

jawabnya, maka akan mewujudkan ketentraman dan 

ketenangan hati sehingga sempurnalah kebahagian 

hidup berumah tangga. Dengan demikian, tujuan hidup 

berkeluarga akan terwujud sesuai tuntunan agama, yaitu 

suami istri mendapatkan kebahagiaan berupa ketentraman, 


rasa nyaman dan saling mendapatkan kasih sayang (Q.S. a 

l-Rum/30: 21). Namun seringkali tujuan itu tidak tercapai 

sehingga akhirnya keharmonisan rumahtangga terganggu, 

bahkan tidak sedikit yang bercerai. Di antara faktor dominan 

yang menyebabkan hal itu adalah masing-masing suami 

istri tidak memahami dengan baik hak dan kewajibannya, 

padahal tuntunan ajaran Islam mengenai hal ini lebih dari 

cukup.

Menurut salah seorang informan Hak dan kewajiban 

suami istri dibagi menjadi tiga kategori:

“Pertama; hak bersama suami istri, seperti: saling 

menghormati, memuliakan, mengasuh dan mendidik 

anak, saling mewarisi, hak menikmati hubungan 

biologis. Oleh karena itu, komitmen harus diperkuat 

GBHP (Garis-garis Besar Haluan Pernikahan), seperti: 

pengaturan keungan, tugas-tugas kerumahtanggaan, 

pengasuhan anak dan lain sabagainya). Kedua; Hak 

suami terhadap Isteri (kewajiban isteri):Pelihara 

pandangan, istri harus berdandan (mempercantik 

diri) untuk suami. Pelihara pendengaran, istri 

jangan jadi tukang ngomel, sehingga menyebabkan 

suami tidak betah di rumah. Pelihara penciuman, 

pelihara kesehatan tubuh dan lingkungan terutama 

kebersihan rumah dan tempat tidur. Ketiga; Hak istri 

(kewajiban suami): Memberikan perlindungan dan 

kasih sayang, nafkah lahir bathin (sandang, papan 

dan pangan)”.2

Hak-hak dalam perkawinan dibagi menjadi tiga, yaitu 

hak bersama, hak istri yang menjadi kewajiban suami, dan 

hak suami yang menjadi kewajiban istri.

B. Hak bersama Suami Istri

Hak-hak bersama antara suami dan istri adalah 

sebagai berikut :

1. Hak bersama dalam pemenuhan hubungan biologis/ 

seksual suami istri.

Termasuk hak dan kewajiban bersama suami 

isteri adalah keduanya berhak menikmati hubungan 

biologis, halal bergaul antara suami-istri dan masing-

masing dapat bersenang-senang satu sama lain.

Salah satu kewajiban isteri adalah mematuhi 

suami terutama ajakan seksnya. Sebagaimana sabda 

Rasulullah Saw

 لُجُ َّرلا اعَدَ اَذِإ مََّلسَوَ هِيَْلعَ ُ َّالل ىَّلصَ ِ َّالل لُوسُرَ لَاَقَلاَق ُهنْعَ ُ َّالل يَضِرَ َةرَيْرَهُ يِبَأ نْعَ

3حَِبصُْت ىَّتحَ ُةكَِئلَمَلْا اهَْتَنَعَل اهَيَْلعَ نَاَبضْغَ تَاَبَف تَْبَأَف هِشِارَِف ىَلِإ ُهَتَأرَمْا

“Bila seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidur, 

kemudian istrinya enggan memenuhi ajakannya, sehingga 

marah kepadanya, maka sepanjang malam istri akan 

dilaknat oleh malaikat sampai subuh.” (HR. Bukhari).

3 Imam Bukhari, Shahih Bukhari, babZakara al-Malaaikah, Juz. 

Menurut informan yang diwawancarai bahwa hadis 

di atas adalah dalil haramnya wanita enggan mendatangi 

ranjang jika tidak ada uzur, Namun jika istri ada halangan, 

seperti sakit atau kecapean, maka itu termasuk uzur dan 

suami harus memaklumi hal ini. Semua ini bisa didiskusikan 

dengan pasangan secara baik-baik, sehingga terwujud 

keharmonisan dalam hubungan suami isteri.

Begitupula hadis yang menyatakan larangan istri 

puasa sunah tanpa rida/ izin suaminya,   

 ةَِأرْمَلْلِ ُّلحَِي لَ لَاَق مََّلسَوَ هِيَْلعَ ُ َّالل ىَّلصَ ِ َّالل لَوسُرَ َّنَأهُنْعَ ُ َّالل يَضِرَ َةرَيْرَهُ يِبَأ نْعَ

4هِِنذْإِِب َّلِإ دٌهِاشَ اهَجُوْزَوَ مَوصَُت نَْأ

“Tidaklah halal bagi seorang wanita untuk berpuasa 

sedangkan suaminya ada (tidak bepergian) kecuali 

dengan izin suaminya.”(HR. Bukhari dan Muslim)”.

“AM” sebagai muballigh kondang sekaligus dosen 

di STAIN Parepere, salah seorang muballigh yang sering 

diundang untuk menyampaikan nasihat pernikahan 

menyatakan bahwa:

“Arti literal dari hadis tersebut adalah didahulukan yang 

wajib yaitu melayani kebutuhan suami ketimbang yang 

sunah.  Pesan moralnya dari hadis tersebut adalah apapun 

yang akan dilakukan pasangan suami isteri, minta izinlah/ 

pemberitahuan  kepada pasangan. Saling pengertian 

bahwa tidak satupun  yang dilakukan oleh suami istri, 

jangankan  persoalan lain persoalan ibadah pun harus 

ditahu oleh pasangannya, apapun itu disiskusikan sama 

suami isteri”.5

Hal serupa dikemukakan oleh “MH” dan “MN” bahwa:

“Dalam hubungan seksual harus pandai melihat 

situasi dan kondisi dalam artian bahwa keadaan 

istri betul-betul dalam keadaan siap, tapi ketika istri 

dalam keadaan  sakit, sibuk, lagi tidak mood, suami 

juga harus mengerti keadaan istrinya. Oleh karena 

itu, sangat egois suami yang memaksa istrinya 

melakukan hubungan seksual dalam keadaan istri 

tidak siap, apalagi melegitimasi perbuatannya itu 

dengan berdalil dengan hadis ini. Begitu juga si istri 

tidak boleh menganut pasrahisme, dalam artian dia 

pasrah saja, bagaimanapun keadannya .Oleh karena 

itu, dalam hubungan ini, perlu betul-betul dibicarakan 

dengan pasangan. Begitu pula halnya dengan istri 

yang punya kebiasaan puasa Senin Kamis, semuanya 

bisa dibicarakan dengan baik”.6

Dalam memaknai hadis di atas  baik “AM”, “MH” dan 

“MN”  memahami hadis tersebut secara kontekstual bahwa 

perempuan akan mendapat laknat dari malaikat manakala 

menolak ajakan suami untuk berhubungan badan tanpa 

alasan atupun halangan yang dapat dimaklumi oleh agama. 

Akan tetapi, bila perempuan dalam kondisi yang tidak 

memungkinkan untuk berhubungan badan dengan suami, 

karena ada halangan, seperti sakit, lelah, dan sebagainya, 

maka perempuan/ istri bebas dari hukuman laknat tersebut.

Dampak dari pemahaman teks hadis yang tekstual 

adalah isteri yang menjadi korban, yaitu harus melayani 

ajakan suami untuk berhubungan badan, meski dalam 

kondisi yang tidak dinginkan oleh istri, karena salah satu hak 

suami yang harus dipenuhi isteri adalah melayani kebutuhan 

seks suami dalam keadaan apapun.7

Berbeda dengan pandangan ulama konservatif yang 

pemikirannya cenderung tekstual, terdapat sejumlah ulama 

yang memahami hadis tersebut secara kontekstual, yaitu 

mereka memaknai akad nikah sebagai ‘aqd ibahah (kontrak 

untuk membeolehkan sesuatu), bukan tamlik.Dalam konteks 

pemahaman ini, ‘aqd ibahah, mempunyai arti kontrak yang 

menghalalkan persetubuhan yang semula haram. Dengan 

definisi akad nikah sebagai ‘aqd ibahah, maka hubungan 

seks bukan hanya kewajiban istri, melinkan juga suami, 

begitu juga sebaliknya suami istri mempunyai hak yang 

sama dalam melakukan dan menentukan hubungan seks.8

Menurut Masdar F Mas’udi, dalam perspektif 

pemaknaan akad nikah sebagai ‘aqd ibahah, bila suami 

memaksa isteri untuk melakukan hubungan badan, 

sedangkan  istri merasa terbebani karena suatu hal, maka 

pemaksaan tersebut tidak diperkenangkan oleh agama. 

Hal ini berdasarkan beberapa pertimbangan, pertama; 

membolehkan hubungan badan suami istri secara paksa, 

sama saja dengan mengizinkan suami mendapatkan 

kenikmatan di atas penderitaan oranglain. Tentu saja hal 

ini sangat tidak bermoral. Kedua; hubungan badan antara 

suami istri yang dipaksakan, merupakan pengingkaran nyata 

terhadap perinsip dalam QS. Al- Nisa/4: 19.9

Shalahuddin ibn Ahmad al-Adlabi mengatakan 

bahwa mempelajari dan memahami makna hadis Nabi Saw 

haruslah melihat al-Qur’an sebagai rujukan, dan melihat 

hadis-hadis Nabi Saw yang lain. Memahami hadis tersebut 

secara tekstual, jelas mengabaikan perinsip kesetaraan dan 

mu’asyarah bil ma’ruf. 10Agar makna hadis tersebut tidak 

benturan dengan ayat al-Qur’an, maka pemaknaan hadis 

tersebut haruslah dipahami secara kontekstual.

Muhammad Imarah mengatakan bahwa laknat 

malaikat atas istri yang menolak ajakan suami untuk 

berhubunga badan, akan terjadi bila penolakan istri dilakukan 

tanpa alasan. Wahbah al-Zuhaili juga berpendapat bahwa 

laknat dalam hadis itu akan terjadi kepada isteri bila penolakn 

isteri tersebut tanpa ada alasan yang membenarkan. 

 Bila istri sakit, dan dalam keadaan takut disakiti oleh 

suami, maka istri diperbolehkan secara hukum Islam untuk 

menolak ajakan suaminya berhubungan badan.11

Al-Shirazy (W 467 H) sebagaimana dikutip Masdar F 

Mas’udi mengatakan bahwa meskipun pada dasarnya istri 

wajib melayani suami, jika memang istri tidak terangsang 

untuk melakukan hubungan badan dengan suami, maka 

istri berhak untuk menawarnya atau menangguhkannya 

sampai batas waktu tiga hari. Bagi istri yang sakit, maka 

tidak wajib baginya untuk melayani ajakan suami sampai 

hilang sakitnya. Bila suami tetap memaksa istri, maka 

ia telah melanggar perinsip mu’asyarah bi al-ma’ruf  dan 

berbuat aniyah terhadap pihak yang mestinya ia lindungi.12

Berdasarkan bebarapa pandangan diatas dapat 

disimpulkan bahwa pemahaman ideal tentang masalah 

seksualitas dalam Islam adalah adanya hadis tentang laknat 

malaikat terhadap istri yang menolak ajakan suami untuk 

berhubungan seksual, merupakan salah satu anjuran Nabi 

agar tercipta hubungan yang harmonis antara suami istri. 

Istri yang terlalu sering menolak ajakan suami tanpa alasan 

yang dapat dibenarkan oleh hukum Islam, sedangkan suami 

sudah sangat menginginkannya, tidak dapat dibenarkan 

karena suami akan dengan mudah menemukan alasan 

untuk menceraikan istri, atau yang dikhawatirkan ketika 

suami sudah tidak tahan/ tidak kuat iman bisa menimbulkan 

masalah yang fatal seperti mencari kepuasan diluar rumah 

tangganya. 

Sebaliknya, pemaksaan terhadap istri untuk 

melayani ajakan suami, dalam kondosi istri yang sakit, tidak 

ada hasrat untuk melakukan hubungan badan, sama sekali 

juga tidak dibenarkan. Karena suami diperintahkan untuk 

memperlakukan dan menggauli istrinya dengan baik, sesuai 

dalam QS. Al-Nisa/4: 19. Dengan begitu hadis tersebut 

tidak dapat dijadikan legitimasi bagi kaum laki-laki untuk 

memaksakan kehendaknya untuk melakukan hubungan 

seksual dengan istrinya.

Hubungan seksualitas antara suami istri adalah hak 

bersama suami istri. Keduanya berhak untuk merasakan 

kenikmatan yang sama. Jadi, masing-masing suami atau 

isteri harus saling mengerti dan memahami kebutuhan 

masing-masing pasangan, demi terciptanya rumah tangga 

yang harmonis.

2. Terjadi hubungan mahram semenda; istri menjadi 

mahram ayah suami, kakeknya, dan seterusnya ke 

atas, demikian pula suami menjadi mahram ibu istri, 

neneknya, dan seterusnya ke atas.

3. Terjadi hubungan waris-mewaris antara suami dan isteri 

sejak akad nikah dilaksanakan. Istri berhak menerima 

waris atas peninggalan suami. Demikian pula, suami 

berhak waris atas peninggalan istri, meskipun mereka 

belum pernah melakukan pergaualan suami-istri. 

Sebagaimana tergambar dalam Firman Allah swt QS. 

An-Nisa/4: 12.

“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta 

yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak 

mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai 

anak, maka kau mendapat seperempat dari harta 

yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang 

mereka buat atau (dan) dibayar utangnya. Pasti istri 

memperoleh seperempat harta yang kau tinggalkan 

jika kamu tidak mempunyai anak jika kamu mempunyai 

anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari 

harta yang yang kau tinggalkan sesudah dipenuhi 

wasiat yang kau buat atau (dan) setelah dibayar 

utang-utangmu.” (QS.A-Nisa’(4):12)

4. Anak yang lahir dari istri bernasab pada suaminya 

(apabila pembuahan terjadi sebagai hasil hubungan 

setelah nikah).

5. Bergaul dengan baik antara suami dan isteri sehingga 

tercipta kehidupan yang harmonis dan damai. Dalam 

hubungan ini Q.S. An-Nisa:19 memerintahkan, 

... فِوْرُعْمَلْاِب َّنهُ رُشِاعَوَ ... 

“Dan gaulilah isteri-isteri itu dengan baik”.

Mengenai hak dan kewajiban bersama suami 

istri, Undang-Undang Perkawinan menyabutkan 

dalam Pasal 33 sebagai berikut, “Suami istri wajib 

cinta-mencintai, hormat-menghormati, setia dan 

memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang 

lain.”

C. Hak-hak Istri

Hak-hak istri yang menjadi kewajiban suami dapat 

dibagi dua hak-hak kebendaan, yaitu mahar (maskawin) dan 

nafkah, dan hak-hak bukan kebendaan, misalnya berbuat 

adil di antara para istri (dalam perkawinan poligami), tidak 

berbuat yang merugikan istri dan sebagainya.

1. Hak-hak berupa materi

a. Mahar (Maskawin)

Mahar (dari kata bahasa arab mahr) atau 

mas kawin adalah sejumlah uang atau barang 

yang diberikan (atau dijanjikan secara tegas) 

oleh seorang suami kepada istrinya pada saat 

mengucapkan akad nikah. Agama mewajibkan 

pemberian mahar ini sebagai simbol bahwa si 

suami memberikan penghargaan kepada istrinya 

yang telah bersedia menjadi pendampingnya atau 

mitranya dalam kehidupan mereka selanjutnya, 

dan bahwa ia sejak kini memikul tanggung jawab 

penuh terhadap kesejahteraan dan keselamatan 

lahir batin si istri serta anak-anak yang akan lahir 

dari mereka berdua.

Oleh sebab itu, mahar adalah hak mutlak si 

istri sendiri, tak seorang pun selain dirinya baik 

suaminya sendiri atau kedua orang tuanya ataupun 

anggota keluarga yang lain memiliki hak untuk 

menggunakannya dalam keperluan apapun, kecuali 

dengan izinnya dan atas kerelaan sepenuhnya, 

bukan karena rasa malu, takut ataupun sebagai 

hasil tipuan.13

b. Nafkah

Secara umum, nafkah adalah sejumlah 

uang atau barang yang diberikan seseorang untuk 

keperluan hidup orang lain, seperti istri, anak, 

orang tua, keluarga, dan sebagainya. Adapun yang 

dimaksud dengan di sini adalah pemberian nafkah 

untuk istri demi memenuhi keperluaannya, meliputi 

makanan, pakaian, tempat tinggal, pembantu rumah 

tangga, dan sebagainya, sesuai dengan kebutuhan 

dan kebiasaan yang berlaku pada masyarakat pada 

umumnya.

Nafkah adalah kewajiban suami berdasarkan al 

Qur’an(QS. Ath Tholaq: 7).

 ُ َّالل ُهاَتَآ ا َّممِ قْفِنُْيلَْف ُهُقزْرِ هِيَْلعَ رَدُِق نْمَوَ هِِتَعسَ نْمِ ةٍَعسَ وُذ قْفِنُْيلِ…

“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut 

kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya 

hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah 

kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang 

melainkan sekadar apa yang Allah berikan kepadanya” 

فِورُعْمَلْاِب َّنهُُتوَسْكِوَ َّنهُُقزْرِ ُهَل دِوُلوْمَلْا ىَلعَوَ

 Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada”

.(istrinya dengan cara ma’ruf” (QS. Al Baqarah: 233

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, Bapak dari 

si anak punya kewajiban dengan cara yang ma’ruf 

(baik) memberi nafkah pada ibu si anak, termasuk 

pula dalam hal pakaian. Yang dimaksud dengan cara 

yang ma’ruf adalah dengan memperhatikan kebiasaan 

masyarakatnya tanpa bersikap berlebih-lebihan dan 

tidak pula pelit. Hendaklah ia memberi nafkah sesuai 

kemampuannya dan yang mudah untuknya, serta 

bersikap pertengahan dan hemat.14

Begitupula riwayat dari Mu’awiyah al- Qusyairi 

ra., ia bertanya pada Rasulullah Saw mengenai 

kewajiban suami pada istri, Rasulullah saw. bersabda:

 لَوَ َهجْوَلْا بْرِضَْت لَوَ تَبْسََتكْا وَْأ تَيْسََتكْا اَذِإ اهَوَسُكَْتوَ تَمْعِطَ اَذِإ اهَمَعِطُْت نَْأ لَاَق…

15تِيَْبلْا يِف َّلِإ رْجُهَْت لَوَ حِّْبَقُت

“Engkau memberinya makan sebagaimana engkau 

makan. Engkau memberinya pakaian sebagaimana 

engkau berpakaian atau engkau usahakan-dan engkau 

tidak memukul istrimu di wajahnya, dan engkau tidak 

menjelek-jelekkannya serta tidak memboikotnya 

(dalam rangka nasehat) selain di rumah” (HR. Abu 

Daud).”

Berdasarkan ayat-ayat dan hadis di atas, bahwa 

kewajiban nafkah adalah ditangan suami. Namun 

yang perlu ditekankan adalah bahwa ajaran mengenai 

nafkah bukanlah suatu “izin” untuk mendominasi 

atau menindas perempuan. Sebagaimana anggapan 

sebagian orang bahwa bila perempuan telah 

menjadi istri, maka ia menjadi milik suami karena 

suami telah membiayai kehidupannya sehari-hari. 

Dengan demikian sah bagi dia untuk memperlakukan 

perempuan sekehendak hatinya.16

Kewajiban nafkah hanya dibebankan kepada 

suami, tidak dibebankan kepada isteri.Berdasarkan 

logika keadilan “dimana ada kewajiban, di situ ada hak” 

maka secara otomatis suami memiliki satu kelebihan 

hak yang tidak dimiliki oleh istri, yaitu hak menjadi 

pemimpin dalam keluarga sebagaimana disebutkan 

dalam QS. Al-Nisa/4: 34.

 اوُقَفنَْأ امَِبوَ ضٍعَْب ىَٰلعَ مْهُضَعَْب ُ َّالل لَ َّضَف امَِب ءِاسَِّنلا ىَلعَ نَومُا َّوَق لُاجَ ِرّلا 

مْهِلِاوَمَْأ نْمِ ۚ

”Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, 

oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian 

mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), 

dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan 

sebagian dari harta mereka…” 

Menurut Quraish Shihab ada dua alasan 

yang dikemukakan ayat di atas berkaitan dengan 

kepemimpinan laki-lakai dalam rumah tangga. 

Pertama, karena Allah melebihkan sebagian mereka 

atas sebagian yang lain. Kedua, karena mereka (para 

suami diwajibkan) untuk menafkahkan sebagian dari 

harta mereka (untuk istri/ keluarganya).

Menurutnya, alasan kedua cukup logis. 

Bukankah dibalik setiap kewajiban ada hak? Bukankah 

yang membayar, memperoleh fasilitas? Adapun alasan 

pertama, berkaitan dengan faktor fisik dan psikis 

pada pria yang lebih dapat menunjang suksesnya 

kepemimpinan rumah tangga dibanding dengan 

isteri. Akan tetapi, kepemimpinan tersebut adalah 

di samping keistimewaan sekaligus tanggung jawab 

yang tidak kecil,

Qurais Shihab lebih lanjut mengatakan 

bahwa dibalik kewajiban suami tersebut mereka 

juga mempunyai hak-hak yang harus dipenuhi 

oleh isterinya. Ia wajib  ditaati dalam hal-hal yang 

tidak bertentangan dengan ajaran agama, serta 

tidak bertentangan dengan hak pribadi sang isteri. 

pencari nafkah atau mereka yang menyediakan sarana 

pendukung kehidupan. Riffat berpendapat bahwa pada 

saat perempuan melaksanakan tugas kodratinya untuk 

mengandung dan melahirkan, adalah tidak adil bila 

menambahi bebannya dengan mencari nafkah. Oleh 

karena itu, suamilah yang seharusnya menyediakan 

sarana pendukungnya. Menurutnya, kebutuhan akan 

generasi penerus adalah kebutuhan seluruh umat 

manusia, tapi hanya perempuan yang secara kodrati 

diberi beban untuk mengandung dan melahirkan. 

Supaya kebutuhan seluruh ummat ini bisa terpenuhi 

dengan baik, perempuan yang sedang menjelankan 

tugas kodratinya harus didukung. Dengan demikian, 

bisa kita katakan bahwa adanya kata qawwam dalam 

ayat itu adalah untuk menjamin keadilan di masyarakat 

dan bukan untuk meneguhkan superioritas laki-laki.20

Fazlur Rahman berpendapat bahwa, tidak 

semua laki-laki secara otomatis superior dibanding 

perempuan, hanya laki-laki yang memberi nafkahlah 

yang superior. Bila seorang istri mandiri secara 

ekonomi maka posisi qawwam akan berubah.21Hal 

senada diungkapkan oleh Shafiq Hasyim bahwa 

makna qawwam dalam ayat tersebut tidak tunggal. 

Pertama, qawwam bisa berarti kepemimpinan. Akan 

tetapi kepemimpinan ini tidak permenen dan tidak 

disebbakan oleh kriteria biologis sebab dibelakangnya 

dikaitkan dengan pemberian nafkah dan kelebihan 

lelaki. Ketika kemampuan ini tidak ada, maka menurut 

imam Malik kepemimpinan ini bisa gugur. Kedua, 

qawwam orang yang punya tanggung jawab atas 

keluarganya. Ketiga, qawwam disini diartikan sebagai 

kepemimpinan dalam keluarga.

Dengan demikian, maka jelaslah bahwa suami 

sebagai kepala keluarga berkawajiban memberikan 

nafkah kepada istri, sebagai imbalan dari kewajiban 

tersebut dia berhak mendapatkan ketaatan 

sepenuhnya dari istrinya, dan ketaatan di sini dalam 

bingkai koridor syariat dan tidak bertentangan dengan 

hak pribadi sang istri. Demikian pula istri mendapatkan 

hak berupa pemenuhan nafkah setelah menjelangkan 

ketaatannya kepada suaminya serta tugas kodratinya 

sebagai reproduksi, yaitu hamil, melahirkan dan 

menyusui.

Tugas reproduksi ini hanya bisa ditangani oleh 

istri tidak oleh suami. Karena dalam logika keadilan 

“di mana ada kewajiban di situ ada hak”, maka istri 

yang diberi kewajiban melakukan reproduksi, berhak 

memperoleh jaminan keselamatan, kesehatan, dan 

kesejatraan sehingga tugas hamil, melahirkan dan 

menyusui itu dapat berjalan lancar. Oleh karena 

itu, suami berkawajiban memberikan jaminan 

perlindungan kepada istri. Tidak hanya perlindungan 

pisik, suami juga wajib memberikan perlindungan 

ekonomi yang dinamakan nafkah.

Diwajibkannya suami memberi nafkah kepada 

istrinya mengingat bahwa si istri, berdasarkan akad 

nikah yang telah berlangsung, kini terikat oleh 

kepentingan suaminya dengan kewajiban melayani 

kebutuhannya, bertanggung jawab atas pengelolaan 

rumah tangganya dan tidak lagi bebas bepergian 

atau bekerja di luar rumah untuk kepentingan dirinya 

sendiri, kecuali dengan persetujuan suaminya. 

Karenanya, kewajiban memberikan nafkah seperti itu, 

bergantung pada terpenuhinya tiga hal. Diantaranya:23

1) Akad nikah antara suami dan istri telah 

berlangsung secara sah.

2) Si istri dalam keadaan siap untuk melangsungkan 

kehidupan suami istri.

3) Tidak adanya hambatan dari pihak istri yang 

dapat menghilangkan atau mengurangi hak si 

suami untuk memperoleh layanan sewajarnya.

Dalam keadaan persyaratan-persyaratan 

tersebut tidak terpenuhi, misalnya jika si istri belum 

siap atau tidak bersedia memenuhi keinginan 

suaminya untuk melakukan hubungan seksual, 

atau menolak keinginan suaminya untuk pindah ke 

rumah kediaman yang telah disediakan,maka tidak 

ada kewajiban si suami untuk memberikan nafkah 

kepada istrinya tersebut. Sama seperti tidak wajibnya 

membayar harga suatu barang yang dibeli, sepanjang 

si penjual menolak menyerahkan barang yang telah di 

beli itu. Atau tidak besedia menyerahkannya kecuali 

di suatu tempat tertentu yang diingini oleh sipenjual, 

berlawanan dengan keinginan sipembeli.

2. Hak-hak Bukan Kebendaan 

Hak-hak  bukan kebendaan yang wajib di-

tunaikan suami terhadap isterinya, disimpulkan dalam 

perintah Q.S. An-Nisa: 19

“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal 

bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa 

dan janganlah kamu menyusahkan mereka Karena 

hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang 

telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka 

melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah 

dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu 

tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) Karena 

mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah 

menjadikan padanya kebaikan yang banyak”.

Agar para suami menggauli istri-istrinya den-

gan ma’ruf dan bersabar terhadap hal-hal yang tidak 

disenangi, yang terdapat pada istri. Menggauli istri 

dengan ma’ruf dapat mencakup:

a. Sikap menghargai, menghormati, dan perlakuan-

perlakuan yang baik, serta meningkatkan taraf 

hidupnya dalam bidang-bidang agama, akhlak, 

dan ilmu pengetahuan yang diperlukan.

Termasuk perlakuan baik yang menjadi 

hak istri ialah, hendaknya suami selalu berusaha 

agar istri mengalami peningkatan hidup 

keagamaannya, budi pekertinya, dan bertambah 

pula ilmu pengtahuannya. Banyak jalan yang dapat 

ditempuh untuk memenuhi hak isteri, misalnya 

melaui pengajian-pengajian, kursus-kursus, 

kegiatan kemasyarakatan, bacaan buku, majalah, 

dan sebagainya.

b. Melindungi  dan menjaga nama baik istri

Suami berkewajiban melindungi istri serta 

menjaga nama baiknya. Hal ini tidak berarti 

bahwa suami harus menutupi-nutupi kesalahan 

yang memang terdapat pada istri. Namun, adalah 

menjadi kewajiban suami untuk tidak membeberkan 

kesalahan-kesalahan isteri kepada orang lain. 

Apabila kepada istri hal-hal yang tidak benar, suami 

setelah melakukan penelitian seperlunya, tidak 

apriori, berkewajiban memberikan keterangan-

keterangan kepada pihak-pihak yang melontarkan 

tuduhan agar nama baik isteri jangan menjadi 

cemar.

c. Memenuhi kebutuhan kodrat (hajat) biologis istri

Hajat biologis adalah kodrat pembawaan 

hidup. Oleh karena itu, suami wajib memperhatikan 

hak isteri dalam hal ini. Ketentraman dan keserasian 

hidup perkawinan anatara lain ditentukan oleh 

faktor hajat biologis ini. Kekecewaan yang dialami 

dalam masalah ini dapat menimbulkan keretakan 

dalam hidup perkawinan, bahkan tidak jarang 

terjadi penyelewengan istri disebabkan adanya 

perasaan kecewa dalam hal ini.

Salah seorang sahabat Nabi bernama Ab-

dullah bin Amr yang terlalu banyak menggunakan 

waktunya untuk menunaikan ibadah; siang un-

tuk melakukan puasa dan malam harinya untuk 

melakukan salat, diperingatkan oleh Nabi yang an-

tara lain. “Istrimu mempunyai hak yang wajib kau 

penuhi.

Demikian pentingnya kedudukan kebutu-

han biologis itu dalam hidup manusia sehingga Is-

lam  menilai hubungan suami istri yang antara lain 

untuk menjaga kesucian diri dari perbuatan zina itu 

sebagai salah satu macam ibadah yang berpahala. 

Dalam hal ini hadits Nabi riwayat Muslim menga-

jarkan, “Dan dalam hubungan kelaminmu bernilai 

shadaqah.” Mendengar kata Nabi itu para sahabat 

bertanya, “ Ya Rasulullah, apakah salah seorang di 

antara kita memenuhi syahwatnya itu memperoleh 

pahala?” Nabi menjawab, “Bukankah apabila ia 

melakukannya dengan yang haram akan berdosa? 

Demikian sebaliknya, apabila ia memenuhinya den-

gan cara yang halal akan mendapat pahala.”  

D. Hak-Hak Suami

Hak-hak suami yang wajib dipenuhi istri hanya 

merupakan hak-hak bukan kebendaan sebab menurut 

hukum Islam istri tidak dibebani kewajiban kebendaan 

yang diperlukan untuk mencukupkan kebutuhan hidup 

keluarga. Bahkan, lebih diutamakan istri tidak usah ikut 

bekerja mencari nafkah jika suami memang mampu 

memenuhi kewajiban nafkah keluarga dengan baik. Hal ini 

dimaksudkan agar istri dapat mencurahkan perhatiannya 

untuk melaksanakan kewajiban membina keluarga yang 

sehat dan mempersiapkan generasi yang saleh. 

Kewajiban ini cukup berat bagi istri yang memang 

benar-benar akan melaksanakan dengan baik. Namun, 

tidak dapat dipahamkan bahwa Islam dengan demikian 

menghendaki agar istri tidak pernah melihat dunia luar, 

agar istri selalu berada di rumah saja. Yang dimaksud ialah 

agar istri jangan sampai ditambah beban kewajibannya 

yang telah berat itu dengan ikut mencari nafkah keluarga. 

Berbeda halnya apabila keadaan memang mendesak, 

usaha suami tidak dapat menghasilkan kecukupan nafkah 

keluarga. Dalam batas-batas yang tidak memberatkan, istri 

dapat diajak ikut berusaha mencari nafkah yang diperlukan 

itu.

Hak-hak suami dapat disebutkan pada pokoknya 

ialah hak ditaati mengenai hal-hal yang menyangkut hidup 

perkawinan dan hak memberi pelajaran kepada isteri dengan 

cara yang baik dan layak dengan kedudukan suami isteri.

1. Hak Ditaati

Kaum laki-laki (suami) berkewajiban memimpin 

kaum perempuan  (istri) karena laki-laki mempunyai 

kelebihan atas kaum perempuan (dari segi kodrat 

kejadiannya), dan adanya kewajiban laki-laki memberi 

nafkah untuk keperluan keluarganya. Istri-istri yang 

saleh adalah yang patuh kepada Allah dan kepada 

suami-suami mereka serta memelihara harta benda 

dan hak-hak suami, meskipun suami-suami mereka 

dalam keadaan tidak hadir, sebagai hasil pemeliharaan 

Allah serta taufik-Nya kepada istri-istri itu. Hakim 

meriwayatkan dari ‘Aisyah r.a. :

ىَلعَ اَّقحَ مُظَعَْأ سِاَّنلا ُّىَا : مّلسو هيلع الله ىّلص الله لوسر تُلْأسَ : تَْلاَق َةشَِئاعَ نْعَ 

ُ24ه ُّمُا : لَاَق ؟ لِجُ َّرلا ىَلعَ اَّقحَ مُظَعَْا سِاَّنلا ُّى َأَف : تَْلاَق .اهَجُوْزَ : لَاَق ؟ ةَِأرْمَلْا

“Dari Aisyah, ia berkata : Saya bertanya kepada 

Rasulullah SAW : Siapakah orang yang paling besar 

haknya terhadap perempuan? Jawabnya Suaminya. 

Lalu saya bertanya lagi: Siapakah orang yang paling 

besar haknya terhadap laki-laki? Jawabannya: 

Ibunya.”(HR. al-Nasaai).

Kewajiban suami memimpin istri itu tidak akan 

terselenggara dengan baik apabila istri tidak taat kepada 

pimpinan suami. Isi dari pengertian taat adalah:

a. Istri supaya bertempat tinggal bersama suami di 

rumah yang telah disediakan. Istri berkewajiban 

memenuhi hak suami bertempat tinggal di rumah 

yang telah disediakan apabila memenuhi syarat-

syarat sebagai berikut :

2) Rumah yang disediakan pantas menjadi tempat 

tinggal istri serta dilengkapi dengan perabot 

dan alat yang diperlukan untuk hidup berumah 

tangga secara wajar, sederhana, tidak melebihi 

kekuatan suami.

3) Rumah yang disediakan cukup menjamin  

keamanan jiwa dan harta bendanya, tidak terlalu 

jauh dengan tetangga dan penjaga-penjaga 

keamanan.

4) Suami dapat menjamin keselamatan isteri di 

tempat yang disediakan.

b. Taat kepada perintah-perintah suami, kecuali apabila 

melanggar larangan Allah. Istri wajib memenuhi 

hak suami, taat kepada perintah-perintahnya 

apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

1) Perintah yang dikeluarkan suami termasuk 

hal-hal yang ada hubungannya dengan 

kehidupan rumah tangga. Dengan demikian, 

apabila misalnya suami memerintahkan istri 

untuk membelanjakan harta milik pribadinya 

sesuai keinginan suami, istri tidak wajib taat 

sebab pembelanjaan harta milik pribadi istri 

sepenuhnya menjadi hak isteri yang tidak dapat 

dicampuri oleh suami.

2) Perintah yang dikeluarkan harus sejalan 

dengan ketentuan syari’ah. Apabila suami 

memerintahkan istri untuk menjalankan hal-hal 

yang bertentangan dengan ketentuan syari’ah, 

perintah itu tidak boleh ditaati. Hadits Nabi 

riwayat Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Nasai 

dari Ali mengajarkan, “Tidak dibolehkan taat 

kepada seorang pun Dalam bermaksiat kepada 

Allah; taat hanyalah dalam hal-hal yang makruf.”

3) Suami memenuhi kewajiban-kewajibannya yang 

memberi hak istri, baik yang bersifat kebendaan 

maupun yang bersifat bukan kebendaan.

c. Berdiam di rumah, tidak keluar kecuali dengan izin 

suami.

Istri wajib berdiam di rumah dan tidak keluar 

kecuali dengan izin suami apabila terpenuhi syarat-

syarat sebagai berikut:

1) Suami telah memenuhi kewajiban membayar 

mahar untuk istri.

2) Larangan keluar rumah tidak berakibat 

memutuskan hubungan keluarga-keluarganya, 

istri tidak wajib taat. Ia boleh keluar untuk 

berkunjung, tetapi tidak boleh bermalam tanpa 

izin suami.

d. Tidak menerima masuknya seseorang tanpa izin 

suami.

 ُّلحَِي لَا لَاَق مََّلسَوَ هِيَْلعَ ُ َّالل ىَّلصَ ِ َّالل لَوسُرَ َّنَأهُنْعَ ُ َّالل يَضِرَ َةرَيْرَهُ يِبَأ نْعَ

25هِِنذِْإِب َّلاِإ هِِتيَْب يِف نََذْأَت لَاوَ هِِنذِْإِب َّلاِإ ٌدهِاشَ اهَجُوْزَوَ مَوصَُت نَْأ ِةَأرْمَلْلِ

“…Tidaklah halal bagi seorang wanita untuk 

berpuasa sedangkan suaminya ada (tidak 

bepergian) kecuali dengan izin suaminya dan tidak 

mengizinkan seseorang masuk rumahnya kecuali 

ats izin suaminya.” (HR. Bukhari dan Muslim)”. (HR. 

Bukhari).

Hak suami agar istri tidak menerima masuknya 

seseorang tanpa izinnya, dimaksudkan agar 

ketentraman hidup rumah tangga tetap terpelihara. 

Ketentuan tersebut berlaku apabila orang yang 

datang itu bukan mahram isteri. Apabila orang yang 

datang adalah mahramnya, seperti ayah, saudara, 

paman, dan sebagainya, dibenarkan menerima 

kedatangan mereka tanpa izin suami. Kewajiban taat 

yang meliputi empat hak tersebut disertai dengan 

syarat-syarat yang tidak memberatkan istri.

e. Hak Memberi  Pelajaran

Bagian kedua dari ayat 34 Q.S. An-Nisa 

mengajarkan, apabila terjadi kekhwatiran suami 

bahwa istrinya bersikap membangkang (nusyus), 

hendaklah nasihat secara baik-baik. Apabila dengan 

nasihat, pihak istri belum juga mau taat, hendaklah 

suami berpisah tidur dengan istri. Apabila masih 

belum juga kembali taat, suami dibenarkan memberi 

pelajaran dengan jalan memukul (yang tidak melukai 

dan tidak pada bagian muka).

E. Pekerjaan yang Terkait dengan Urusan Domestik

Salah satu persoalan yang sering dipermasalahkan 

adalah masalah urusan domestic (domestic worker) 

pekerjaan rumah tangga yang tidak ada hentinya.tugas-

tugas kerumahtanggaan atau yang sering diistilahkan 

dengan persoalan 3R (kasur, dapur dan sumur), adalah 

sering diidentikkan dengan tugas dan kewajiban 

kaum perempuan/Istri. Bagaimana sebenarnya Islam 

memandangtugas-tugas domestik (domestic worker) 

apakah semua itu adalah tugas dan kewajiban seorang 

istri? Apakah ada pembagian tugas dalam rumah tangga?

Dalam literature fiqh, semua mazhab, sama sekali 

tidak memberi beban kepada isteri, baik beban pekerjaan 

domestik, reproduksi non kodrati, seperti merawat anak, 

dari memandikan, menyuapi, mengasuh anak, bahkan 

menurut iman Malik, menyusui juga merupakan tanggung 

jawab suami, apalagi beban ekonomi, adalah merupakan 

tanggung jawab penuh suami.26Fiqh juga mengharuskan 

suami bersikap baik secara psikologi kepada istri, tugas 

istri menurut fiqh adalah taat kepada suami.

Pakar hukum Islam Ibn Hazm, sebagaimana 

dikutip Qurais Shihab, berpendapat bahwa perempuan 

pada dasarnya tidak berkewajiban melayani suaminya 

dalam hal menyediakan makanan, menjahit dan 

sebagainya. Justru sang suamilah yang berkawajiban 

menyiapkan untuk istri dan anaknya pakaian jadi, dan 

makanan yang siap dimakan.27

Menurut Al-Nawawi, sebgaimana dikutip Istiadah, 

kewajiban istri dalam rumah adalah sesuatu yang 

berkaitan dengan seksualitas. Sedangkan pekerjaan 

rumah, termasuk menjaga anak-anak, diklasifikasikan 

sebagai sedekah. Al-Nawawi mendasarkan pendapatnya 

pada kisah Umar bin Khattab tatkala ia dimarahi istrinya 

dan dia harus menahan diri. “Saya harus membiarkannya,” 

ungkapnya. “Mengapa?” Tanya kaum muslimin. Umar 

menjawab , “Istriku itulah yang memasakkan makananku, 

menyediakan rotiku, membasuh bajuku, menyusui anak-

anakku, dan memberikan kepuasan yang membuat aku 

tidak jatuh pada perbuatan haram. Padahal itu bukan 

kewajibannya.28

Apa sebenarnya kewajiban isteri dalam rumh 

tangga? Kewajiban istri adalah mengandung dan 

melahirkan (tugas reproduksi). Banyak ayat-ayat Al-

Qur’an dan hadis Nabi yang membahas peran ibu dan 

menjunjung peran keibuan. Apakah menyusui anak 

merupakan kewajiban ibu? Imam Malik mengemukakan 

bahwa menyusui anak bagi ibu lebih merupakan 

kewajiban 

moral (diyanatan) ketimbang legal. Artinya, bila ibu tidak 

mau melakukannya, suami atau pengadilan sekalipun 

tidak berhak memaksanya. 

Sementara ulama dari kalangan mazhab 

Hanafi, Syafi’I, Hambali dan sebagian pengikut Maliki 

berpendapat bahwa menyusui anak oleh seorang ibu 

hanya bersifat mandub (sebaikanya). Kecuali kalau si 

anak menolak susuan selain susu ibu, atau si ayah tidak 

sanggup membayar upah ibu susuan, maka menjadi 

wajib bagi ibu untuk menyusuinya.29Tidak diwajibkannya 

ibu menyusui anaknya itu didasarkan pada firman Allah 

QS. Al-Talak/65: 6).

نِْإوَ ۖ فٍورُعْمَِب مْكَُنيَْب اورُمَِتْأوَ ۖ َّنهُرَوجُُأ َّنهُوُتآَف مْكَُل نَعْضَرَْأ نْإَِف 

ٰىرَخُْأ ُهَل عُضِرُْتسََف مُْترْسَاَعَت

“…Kemudian jika mereka menyusukan (anak-

anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka 

upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala 

sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan 

Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) 

untuknya.

Al-Qur’an maupun hadis tidak membedakan 

pekerjaan kemasyarakatan (publik) dan rumah tangga 

(domestik) hal ini diisyaratkan oleh: 

1. Rasulullah  mengerjakan  pekerjaan kerumah 

tanggaan.

Rasulullah sebagai pembawa ajaran Islam yang 

berjenis kelamin laki-laki tidak anti kepada pekerjaan 

rumah tangga, sperti: menyapu, menjahit dan 

sebagainya. Dalam sebuah hadis dikisahkan bahwa 

Rasulullah sering membantu keluarganya, menjahit 

bajunya yang robek, alas kakinya yang putus, 

memeras susu kambingnya dan melayani dirinya 

sendiri. Beliau bahkan membantu keluarganya dalam 

tugas-tugas mereka.

 مََّلسَوَ هِيَْلعَ ُ َّالل ىَّلصَ ُّيِبَّنلا نَاكَ امََةشَِئاعَ تُلَْأسَ لَاَق دِوَسَْلْأا نْعَ مَيهِارَبِْإ نْعَ

 تْرَضَحَ اَذِإَف هِلِهَْأ َةمَدْخِ يِنعَْت هِلِهَْأ ةَِنهْمِ يِف نُوكَُي نَاكَ تَْلاَق هِِتيَْب يِف عَُنصَْي

30ِةلَ َّصلا ىَلِإ جَرَخَ ُةلَ َّصلا

“Rasulullah saw. Senantiasa membantu pekerjaan 

keluarganya dan apabila datang waktu shalat, maka 

beliau pergi ke masjid untuk menunaikan salat 

berjamaah.” (HR. Bukhari).

2. Al-Qur’an maupun hadis mengakui adanya 

perempuan yang aktif di berbagai bidang kehidupan 

seperti:

a. Perempuan sebagai penenun, berdasarkan 

sebuah hadis:

Dari Sahal Ibn Sa’ad, bahwa ada seorang 

perempuan datang kepada Rasulullah saw. 

dengan membawa sepotong selimut lalu 

mengatakan: “Ini sya menenunnya sendiri 

dengan tangan saya, aku berikan kepadamu 

agar engkau memakainya”. Rasulullah Saw 

mengambilnya karena beliau membutuhkannya 

dan selimut tersebut sekaligus menjadi kain 

sarung beliau. (HR. Bukhari).

b. Perempuan sebagai penyamak kulit. Dalam hadis 

berikut dikisahkan pekerjaan istri Rasul yang 

bernama Zainab binti Jahsy:

“Aisyah ra berkata. Bahwa Rasul saw bersabda, 

“Yang paling cepat menyusun saya (meninggal) 

adalah siapa saja diantara kalian yang paling 

panjang tangannya.” Lalu kami mengukur 

mana dia ntara yang paling panjang tangannya.

Ternyata yang paling panjang adalah Zainab, 

karena dahulu dia bekerja dengan tangannya 

sendiri dan membuatnya untuk sedekah lantaran 

bapaknya sudah tiada. (HR. Bukhari dan Muslim)

c. Perempuan sebagai pemelihara hewan dan 

bercocok tanam

Asma binti Abu Bakar ra berkata: ”Saya menikah 

dengan Zubair. Dia tidak mempunyai harta, 

budak, dai tidak mempunyai apa-apa selain 

kudanya.” Katanya lagi: “Sayalah yang memberi 

makan kudanya, yang menanggung biayanya, 

yang merawatnya dan menumbuhkan biji-bijian, 

yang memberi makan, yang memberi minum, dan 

membawa biji-bijian itu ke atas…(HR. Muslim).

Jabir berkata, bahwa Rasul Saw pernah masuk 

ke kebun kurma milik seorang ibu perempuan 

Ansar, lalu bertanya kepadanya: “siapa yang 

menanam kurma ini? Muslim kah dia atau kafir? 

Perempuan Ansar tersebut menjawab: “tentu 

dia muslim.” Rasulullah lalu bersabda: “Orang 

muslim yang menanam tanaman lalu dimakan 

oleh manusia, binatang atau siapapun, maka 

akan menjadi sedekah baginya. (HR. Muslim)

3. Perempuan dalam kancah peperangan.

Ummi Athiyah berkata, “Saya ikut berperang 

bersama Rasulullah tujuh kali. Dalam kendaraan 

saya berada di belakang mereka (kaum laki-laki), 

membuatkan makanan untuk mereka, mengobati 

mereka yang terluka serta merawat mereka yang 

sakit.” (HR. Muslim). 

Dari kehidupan sahabat ini kita ketahui pula 

bahwa pekerjaan yang dilakukan perempuan dan 

laki-laki dalam keluarga bersifat fleksibel sesuai 

dengan kondisi masing-masing keluarga. Tidak 

terlihat dalam sejarah ini adanya pembagian 

kerja yang harus seragam antara satu kelurga 

dengan kelurga yang lain.

4. Nabi tidak memisahkan perempuan dari urusan 

kemasyarakatan (publik), bahkan beliau mendukung 

perempuan untuk faham dan kritis tentang urusan 

kemasyarakatan serta memberikan sumbangsihnya 

kepada kemajuan peradaban umat manusia. Sejarah 

telah menujukkan sumbangsih perempuan, sahabat 

dan para isteri Nabi dalam kehidupan ekonomi, 

sosial, dan politik. Seperti Khadijah yang aktif di 

bidang ekonomi, sebagai eksportir dan importir, yang 

kontribusi finansialnya sangat diakui oleh Nabi demi 

tegaknya dakwah Islam; Umi Hani berperan dalam 

menjamin keamanan orang musyrik, Aisyah sebagai 

isteri Nabi juga berperan sebagai ahli ilmu agama, 

guru kaum muslimin, perawi hadis dan pemimpin 

perang jamal. 

Perilaku Nabi terhadap perempuan yang cerdas 

dan ikut serta dalam membangun perdaban sangat 

positif. Sebagai suami dari perempuan cerdas, Nabi 

sama sekali tidak mengerem atau mengebiri bakat 

intelektualnya, namun sebaliknya, beliau mendorong 

perkembngannya. Untuk mendorong perkembangan 

keilmuan isterinya, Nabi bertukarpikiran tentang 

perkembangan yang terjadi di masyarakat, bahkan 

menempatkan istrinya sebagai penasehat. Hal ini 

terjadi pada Ummu Salamah setelah adanya perjanjian 

Hudaibiyah.31

Dari kisah sejarah ini terbukti bahwa Nabi mengakui 

dan menjunjung tinggi pemikiran kaum perempuan yang 

berkaitan dengan masalah kemanusiaan yang luas, bukan 

hanya sekedar berkutat pada urusan rumah tangga. Hal 

ini menunjukkan bahwa Nabi tidak ingin membuat garis 

pemisah antara kehidupan publik dan domestik. Islam tidak 

menetukan pembagian kerja dalam rumah tangga secara 

kaku dan rinci. Pembagian kerja dalam rumah tangga seperti 

yang dijalani oleh sebahagian masyakat kita, adatlah yang 

sebenarnya memberikan beban berlipat ganda kepada istri, 

beban pekerjaan dan beban psikologis, karena menurut 

budaya kita, istri yang baik adalah isteri yang 

tidak mengeluh atas penderitaannya, karena urusan rumah 

tangga adalah rahasia yang harus disimpan rapat-rapat. 

Budaya kita telah melatih perempuan dapat mengerjakan 

banyak hal, tugas reproduksi, tugas domestik dan mencari 

nafkah. Dengan demikian, pembagian kerja dalam rumah 

tangga tergantung dengan kondisi keluarga masing-masing 

yang telah disepekati oleh pasangan suami istri dengan 

mengedepankan msyawarah dan mufakat bersama dalam 

rangka mencapai rumah tangga yang sakinah mawaddah 

wa rahmah.

Undang-undang R.I Nomor 1 Tahun 1974 Tentang 

Perkawinan mengatur hak dan kewajiban sumi isteri  dalam 

Pasal 30-34, sebagai berikut. 

Pasal 30

Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk 

menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari 

susunan masyarakat.

Pasal 31

(1) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak 

dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga 

dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.

(2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan 

hukum.

(3) Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga.


Pasal 32

(1) Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang 

tetap.

(2) Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) 

pasal ini ditentukan oleh suami istri bersama.

Pasal 33

Suami istri wajib saling cinta-mencintai hormat-menghormati, 

setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada 

yang lain.

Pasal 34

(1) Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala 

sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan 

kemampuannya.

(2) Istri wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaik-

baiknya.

(3) Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-

masing dapat mengajukan gugutan kepada Pengadilan.




POLIGAMI


Asas perkawinan dalam Islam pada dasarnya 

adalah monogami. Monos berarti satu dan gamos berarti 

perkawinan. Monogami adalah suatu sistem perkawinan 

dimana hanya mengawini satu istri saja. Asas monogami 

telah diletakkan oleh Islam sejak 15 abad yang lalu sebagai 

salah satu asas perkawinan dalam Islam yang bertujuan 

untuk landasan dan modal utama guna membina kehidupan 

rumah tangga yang harmonis, sejahtera dan bahagia.

Kata “poligami” terdiri dari kata “poli” dan “gami”. 

Secara etimologi, poli artinya “banyak”, gami artinya “istri”. 

Jadi, poligami artinya beristri banyak. Secara etimologi, 

poligami yaitu “seorang laki-laki mempunyai lebih dari satu 

istri”. Atau seorang laki-laki beristri lebih dari seorang, tetapi 

dibatasi paling banyak empat orang.

B.  Sejarah Poligami.

Poligami adalah masalah-masalah kemanusian yang 

tertua, sistem poligami telah ada dan berlaku pada bangsa-

bangsa terdahulu, jauh sebelum Islam datang. Di antara 

bangsa-bangsa yang melakukan praktik poligami antara 

lain adalah bangsa Ibrani, Arab jahiliyah dan Sicilia. Mereka 

disebut juga sebagai bangsa silafi, yaitu nenek moyang 

mayoritas bangsa-bangsa yang ada di pelosok negeri dan 

sekarang lebih dikenal dengan bangsa Rusia, Lithuania, 

Estonia, Polonia, Cekoslovakia serta Yugoslavia.

Sistem poligami berlaku juga pada bangsa Jerman 

dan Saxon yang merupakan nenek moyang penduduk 

Negara Jerman, Austria, Swiss, Belgia, Belanda, Denmark, 

Swedia, Norwegia dan Inggris. 1Dengan demikian, adalah 

sebuah kesalahan besar ketika ada yang mengatakan bahwa 

Islam adalah pencetus ide poligami.

Poligami masih hangat dibicarakan di zaman yang 

serba modern ini. Agama Kristen tidak melarang adanya 

praktik poligami, sebab tidak ada satu keterangan yang jelas 

dalam Injil tentang landasan perkawinan monogami atau 

poligami. Namun dalam injil Matius pasal 10 ayat 10-12 dan 

juga Injil Lukas pasal 16 ayat 18, diterangkan bahwa Isa Al- 

masih pernah berkata :

“Barang siapa menceraikan istrinya dan lalu menikah 

dengan wanita lain, maka hukumnya dia berzina 

dengan wanita itu. Demikian juga kalau seorang 

wanita menceraikan suaminya dan menikah dengan 

laki-laki itu (Matius, 10:10-12; Lukas, 16:18).2

Salah satu persoalan penting yang sering dijadikan 

tuduhan bahwa Islam menganiaya perempuan dan berpihak 

pada lelaki secara mutlak ialah masalah poligami. Dalam 

banyak kesempatan hujatan yang diarahkan pada syari’at 

Islam melalui isu poligami dilakukan secara intensif dan 

terarah, sehingga memberi kesan bagi pendengar dan 

pembacanya seakan-akan lelaki muslim tidak berkepentingan 

dengan kehidupannya ini kecuali hanya mengoleksi dan 

bersenang-senang dengan wanita-wanita cantik.

Data-data historis secara jelas menginformasikan 

bahwa ribuan tahun sebelum Islam turun di Jazirah Arab, 

masyarakat di berbagai belahan dunia telah mengenal dan 

bahkan secara luas mempraktekkan poligami sehingga 

ketika itu sulit sekali menemukan bentuk perkawinan 

monogami, termasuk pada masyarakat Arab yang terkenal 

jahiliyah. Poligami yang berlangsung saat itu tidak mengenal 

batas, baik dalam hal jumlah istri maupun syarat moralitas 

keadilan. Lalu Islam datang melakukan koreksi total secara 

radikal terhadap perilaku poligami yang tidak manusiawi itu. 

Koreksi Islam menyangkut dua hal: Pertama, membatasi 

jumlah istri hanya empat, dan kedua, ini yang paling radikal 

bahwa poligami hanya dibolehkan bagi suami yang menjamin 

keadilan untuk para istri.

C.  Peranan Islam dalam poligami

Islam bukanlah perancang poligami, karena telah ada 

sebelum datangnya Islam, tidak pula Islam menghapusnya, 

karena dalam pandangan Islam ada problema-problema 

masyarakat yang penyelesaiannya bergantung pada 

poligami, walaupun demikian, Islam membawa beberapa 

perbaikan pada adat kebiasaan ini diantaranya adalah:

1. Membatasi jumlah bilangan istri hanya sampai empat. 

Praktik poligami di masa Islam sangat berbeda 

dengan praktik poligami sebelumnya. Perbedaan 

itu menonjol pada bilangan istri dari tidak terbatas 

jumlahnya menjadi dibatasi hanya empat. Beberapa 

riwayat  memaparkan pembatasan poligami tersebut 

diantaranya adalah riwayat dari  Qais bin al-Harits 

berkata, “Aku masuk Islam, ketika aku memiliki 

delapan orang istri, kemudian aku memberitahukan 

hal itu kepada Rasulullah Saw. Beliau bersabda:

3(هجام نبا هاور) اًعَبرَْأ َّنهُنْمِ رَْتخْا

 “Pilihlah empat di antara mereka”. (HR. Ibnu Majah).

Riwayat yang lain meyebutkan bahwa 

Rasulullah Saw bersabda kepada Ghailan bin Salamh 

tatkala masuk Islam dan ia memiliki sepuluh istri.

4(يقهيبلا هاور) نهرئاس قرافو اعبرأ نهنم رتخا

“Pilihlah empat di antara istri-istrimu (yang ingin 

kamu pertahankan) dan cereikanlah yang lainnya”.

 Berdasarkan hadis di atas, memberikan informasi 

bahwa Islam datang dengan memberikan revisi atau 

perbaikan pada aturan poligami yang sudah ada, yaitu 

memberikan pembatasan pada batas poligami dengan 

batas maksimal empat orang istri. Pembatasan ini dirasakan 

sangat berat, sebab laki-laki di masa itu sudah terbiasa 

dengan banyak istri, lalu mereka disuruh memilih empat 

saja dan menceraikan selebihnya.

Hikmah dilarang poligami lebih dari empat

a. Batas maksimal beristri bagi manusia biasa adalah 

empat istri. Jika lebih dari empat istri berarti 

melampaui batas kemampuan, baik dari segi 

kemampuan fisik, mental maupun tanggung jawab, 

sehingga nantinya akan repot sendiri, bingung 

sendiri, dan akhirnya akan menimbulkan gangguan 

kejiwaan (stres).

b. Karena melampaui batas kemampuan, maka ia 

akan terseret melakukan kezaliman (aniaya), baik 

terhadap diri sendiri maupun terhadap istri-istrinya.

c. Manusia biasa pada umumnya didominasi oleh 

nafsu syahwatnya, yang cenderung melakukan 

penyimpangan-penyimpangan, sehingga ia tidak 

mempunyai kekuatan untuk memberikan hak-haknya 

kepada istri-istrinya.5

2. Menetapkan syarat yang ketat bagi poligami, yaitu 

harus mampu berlaku adil.

Syarat poligami yang kedua menurut Islam 

adalah,harus mampu berlaku adil. Sebelumnya, 

poligami itu tidak mengenal syarat apa pun, termasuk 

syarat keadilan.6 Bagi orang yang ingin berpoligami 

tidak ada larangan dari nabi secara tegas, bahkan 

beliau menganjurkan sepanjang mampu berlaku adil 

terhadap para istrinya demi terciptanya tujuan dari 

sebuah pernikahan yakni keluarga sakinah, mawaddah 

warahmah. 

Syari’at Islam memperbolehkan berpoligami 

dengan batasan sampai empat orang istri dan 

mewajibkan berlaku adil kepada mereka, baik dalam 

urusan pangan, pakaian, tempat tinggal, serta lainnya 

yang bersifat kebendaan tanpa membedakan antara 

istri yang kaya dengan istri yang miskin, yang berasal 

dari keturunan tinggi dengan yang rendah. 

Bila suami khawatir berbuat zalim dan tidak 

mampu memenuhi semua hak-hak mereka, maka 

ia diharamkan berpoligami. Bila yang sanggup 

dipenuhinya hanya tiga, maka baginya haram menikah 

dengan empat orang. Jika ia hanya sanggup memenuhi 

hak dua orang istri, maka haram baginya menikah tiga 

orang. Begitu juga kalau ia khawatir berbuat zalim 

dengan mengawini dua orang perempuan, maka 

haram baginya melakukannya. Sebagaimana firman 

Allah Swt. Dalam QS.al-Nisa/4: 3:

اوُلوُعَت َّلَأ ىَٰندَْأ كَلِ َٰذ ۚ مْكُُنامَيَْأ تْكََلمَ امَ وَْأ ًةدَحِاوََف اوُلدِعَْت َّلَأ مُْتفْخِ نْإَِف

“… Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, 

maka (kawinilah) seorang saja.

Hadis Nabi Saw., yang diriwayatkan oleh Abu 

Daud dari Abu Hurairah ra., sesungguhnya Nabi saw, 

bersabda:


ىَلِإ لَامََف نِاَتَأرَمْا ُهَل تَْناكَ نْمَ لَاَق مََّلسَوَ هِيَْلعَ ُ َّالل ىَّلصَ ِيِّبَّنلا نْعََةرَيْرَهُ يِبَأ نْعَ

7(دواد وبأ هاور) لٌِئامَ ُهُّقشِوَ ةِمَاَيقِلْا مَوَْي ءَاجَ امَهُاَدحِْإ 

“Barang siapa yang mempunyai dua orang istri Ddan ia 

lebih condong kepada salah satu di abtara keduanya, 

maka ia akan datang pada hari kiamat kelak dengan 

bahu yang miring”. (HR. Abu Daud).

D. Landasan Teologis Poligami.

1. Dasar hukum poligami terdapat dalam QS. Al-Nisa/3: 

3 dan 129.

ثَلَُثوَ ىَٰنْثمَ ءِاسَِّنلا نَمِ مْكَُل بَاطَ امَ اوحُكِنْاَف ىٰمَاَتَيلْا يِف اوطُسِقُْت َّلَاأ مُْتفْخِ نِْإوَ 

أ ًةَدحِاوََف اوُلدِعَْت َّلَاأ مُْتفْخِ نِْإَف ۖ عَاَبرُوَ

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil 

terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana 

kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita 

(lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. 

Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku 

adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak 

yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat 

kepada tidak berbuat aniaya”.

7

 اهَورَُذَتَف لِيْمَلْا َّلكُ اوُليمَِت لَف مُْتصْرَحَ وَْلوَ ءِاسَِّنلا نَيَْب اوُلدِعَْت نَْأ اوُعيطَِتسَْت نَْلوَ

امًيحِرَ ارًوُفغَ نَاكَ َ َّالل َّنِإَف اوُقَّ تَتوَ اوحُلِصُْت نِْإوَ ةَِقَّلَعمُلْاكَ

“dan kamu sekali-kali tidak akan dapat Berlaku adil 

di antara isteri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin 

berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu 

cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga 

kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika 

kamu Mengadakan perbaikan dan memelihara diri 

(dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha 

Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Pendapat para Mufassir  tentang ayat poligami 

di atas adalah: 

Quraish Shihab, dalam tafsir al-Misbah 

menyatakan bahwa ayat ini tidak membuat peraturan 

tentang poligami karena poligami telah dikenal 

dan di praktekkan oleh penganut berbagai agama 

dan adat istiadat masyarakat sebelum turun ayat 

ini. Ayat ini juga tidak mewajibkan poligami atau 

menganjurkannya, ayat ini hanya berbicara tentang 

bolehnya poligami dan itupun merupakan pintu kecil 

(darurat) yang hanya dapat dilalui oleh yang amat 

membutuhkannya dan dengan syarat yang tidak 

ringan. (an-Nisaa 3)

(kemurahan) yang diikat dengan syarat 

tertentu(batasan 4 dan syarat adil). Menurutya, 

Islam datang bukan untuk memberikan kebebasan, 

melainkan untuk membatasi, bukan untuk 

membiarkan kaum lelaki memperturutkan hawa 

nafsunya, kalau tidak dapat berlaku adil maka tidak 

diberikan rukhsah itu kepada yang bersangkutan.9

Wahbah Zuhaily, dalam tafsir al-Munir 

menegaskan bahwa monogami (satu istri) adalah 

wajib manakala khawatir akan berbuat dzalim 

jika berpoligami. Bentuk perkawinan paling afdal 

dan mulia menurutnya adalah monogamy. Islam 

membolehkan poligami karena darurat (kebutuhan 

yang mendesak dengan persyaratan suami mampu 

memberikan nafkah, adil antara istri-istrinya dan al-

mu’asyarah bil ma’ruf.10

Berdasarkan pendapat mufassir di atas, 

pada dasarnya asas pernikahan dalam Islam adalah 

monogami. Poligami dibolehkan jika dalam keadan 

terpaksa, atau suatu rukhsah yang diberikan kepada 

laki-laki yang menginginkannya dengan syarat dan 

ketentuan yaitu harus mampu berbuat adil bagi istri-

istrinya dan tidak seorangpun di antara istrinya yang 

terzalimi.

Kondisi-kondisi yang memungkinkan untuk 

poligami adalah: Potensi membuahi laki-laki lebih 

lama dari wanita (haid dan menapouse, lebih 

banyak perempuan daripada lelaki, kemandulan 

atau penyakit parah. Dalam kondisi seperti ini, ayat 

ini memberi solusi atau wadah bagi mereka yang 

mengingin-kannya, dengan syarat yang adil.

Keadilan yang dimaksud dalam an-Nisaa 

ayat 3 fainhiftum an al ta’dilu fa wahidah adalah 

hal-hal yang bersifat material : pembagian giliran, 

keadilan dalam nafkah hidup (pangan, sandang dan 

papan) dan seluruh urusan lahiriyah. Tidak seorang 

isteri pun dari mereka yang lebih diutamakan dari 

pada yang lain. Sebagaimana yang dilakukan oleh 

Nabi Muhammad Saw.Adapun keadilah dari segi 

maknawi (hati)–cinta, bukan dibawah kekuasaan 

pemiliknya tetapi berada di antara jari jemari Allah 

yang membolak-baliknya sesuai kehendaknya.

Berkenaan ketidakmampuan manusia 

berlaku adil sebagaimana yang ditunjukkan 

dalam ayat di atas, banyak para muffasirin dalam 

menafsirkan ayat di atas sama halnya dengan Ibn 

‘Abbas menjelaskan bahwa ketidak mampuan yang 

dimaksud adalah dalam perkara kasih sayang dan 

syahwat suami terhadap istri-istrinya. Sebaliknya, 

selain dalam dua perkara ini, seorang suami akan 

mampu berlaku adil kepada istri-istrinya. Keadilan 

selain dalam kasih sayang dan syahwatnya inilah 

yang sebetulnya dituntut dan diwajibkan atas para 

suami yang berpoligami. Sebaliknya, keadilan dalam 

hal kasih sayang dan kecenderungan syahwatnya 

bukanlah sesuatu yang diwajibkan atas mereka. Hal 

ini dikuatkan oleh Hadis Nabi saw., sebagaimana 

dituturkan ‘Aisyah r.a: 

لُوُقَيوَ لُدِعَْيَف مُسِقَْي مََّلسَوَ هِيَْلعَ ُ َّالل ىَّلصَ ِ َّالل لُوسُرَ نَاكَْتَلاَق َةشَِئاعَ نْعَ

11)دود وبا هاور(كُلِمَْأ لَوَ كُلِمَْت امَيِف يِنمُْلَت لََف كُلِمَْأ امَيِف يمِسَْق اَذهَ َّمهَُّللا 

“Rasullullah saw. pernah bersumpah dan berlaku adil 

seraya berdoa, “Ya Allah, seperti inilah pembagian 

yang aku mampu (melakukannya), maka janganlah 

engkau mencelahku atas apa yang Engkau miliki 

sedang aku tidak memilikinya. 

2. Hadis-hadis Rasul saw. Tentang pembatasan poligami 

Aturan tentang poligami sudah dikenal dan 

belaku dalam kabilah-kabilah Arab zaman jahiliah 

tanpa batasan tertentu. Terdapat beberapa riwayat 

yang mengabarkan terdapatnya poligami dikalangan 

orang-orang Arab ketika memeluk agama Islam 

dan tanpa pembatasan jumlah. Beberapa riwayat 

memaparkan pembatasan poligami tersebut 

diantaranya adalah riwayat dari  Qais bin al-Harits 

berkata, “Aku masuk Islam, ketika aku memiliki 

delapan orang isteri, kemudian aku memberitahukan 

hal itu kepada Rasulullah Saw. Beliau bersabda:

12)هجام نبا هاور( اًعَبرَْأ َّنهُنْمِ رَْتخْا

 “Pilihlah empat di antara mereka”.(HR. Ibnu Majah).

Riwayat yang lain meyebutkan bahwa 

Rasulullah Saw. bersabda kepada Ghailan bin 

Salamah  tatkala masuk Islam dan ia memiliki 

sepuluh istri.

13(يقهيبلا نهرئاس قرافو اعبرأ نهنم رتخا

“Pilihlah empat di antara istri-istrimu (yang ingin 

kamu pertahankan)dan ceraikanlah yang lainnya”.

Sejumlah riwayat menjelaskan bahwa 

setelah turun ayat yang membatasi jumlah istri 

hanya empat orang, yakni QS Al-Nisa’/4:3. Nabi 

segera memerintahkan semua laki-laki yang memiliki 

istri lebih dari empat agar menceraikan istri-istrinya 

sehingga setiap suami maksimal hanya boleh punya 

istri empat.

Setelah Islam lahir, dasar-dasar dan syarat 

berpoligami diatur sedemikian rupa sehingga jelaslah 

bahwa jumlah yang diperbolehkan adalah empat orang 

dan ditekankan prinsip keadilan diantara para istri dalam 

masalah fisik material atau nafkah bagi istri dan anak-

anaknya. Pada dasarnya, poligami dibolehkan dalam 

Islamdan bukan dengan syarat karena istri pertama sakit 

atau mandul. Selama suami masih mampu memenuhi 

beban nafkah kepada istri dan anak-anaknya.


E. Hak Istri untuk Meminta Tidak di Madu

Islam telah mensyaratkan poligami dengan 

kewajiban berbuat adil dan membatasi jumlah istri sampai 

empat. Islam juga memberikan hak kepada perempuan 

atau walinya untuk mensyaratkan pernikahannya bahwa 

ia tidak akan dimadu. 

Imam Ahmad bin Hanbal sebagaimana yang 

dikutip Sayyid Sabiq, berpendapat bahwa apabila 

dalam akad nikah seorang istri menyebutkan syarat 

bahwa suaminya tidak boleh dan tidak akan pernah 

memadunya, maka akad tersebut syah dan berlaku. 

Istri  berhak membatalkan pernikahannya jika 

dikemudian hari suaminya berpoligami. Kecuali jika 

sang istri mengurungkan niatnya untuk membatalkan 

pernikahan tersebut, rela, atau memaafkan suaminya 

atas pelanggaran yang ia lakukan.14 Pendapat ini didasari 

dengan dalil-dalil sebagai berikut:

1. Abu Daud meriwayatkan dari ‘Uqbah bin ‘Amir 

dariRasul saw. bersabda:

15)دواد وبا هاور(جَورُُفلْا هِِب مُْتلَْلحَْتسْا امَ هِِب اوُفوُت نَْأ طِورُُّشلا َّقحََأ َّنِإ

“Sesungguhnya syarat yang paling utama untuk 

dipenuhi adalah syarat yang berkaitan dengan 

pernikahan”.(HR. Abu Daud).

2. Musawir bin Makhramah mendengar Rasulullah Saw. 

bersabda di atas mimbar

بٍلِاطَ يِبَأ نِبْ ِيّلِعَ نْمِ مْهَُتَنبْا اوحُكِنُْي نَْأ يِنوُنَذْأَتسْا ِةرَيغِمُلْا نِبْ مِاشَهِ يِنَب َّنِإ 

حَكِنَْيوَ يِتَنبْا قَِّلطَُي نَْأ بٍلِاطَ يِبَأ نُبْا َديرُِي نَْأ َّلاِإ نَُذآ لَا َّمُث نَُذآ لَا َّمُث نَُذآ لََف 

16اهَاَذآ امَ يِنيذِؤُْيوَ اهََبارََأ امَ يِنُبيرُِي يِّنمِ ٌةَعضَْب يِتَنبْا امََّنِإَف مْهَُتَنبْا

“Sungguh bani Hasyim bin Mughirah meminta 

izin kepadaku untuk meikahkan anak perempuan 

mereka dengan Ali bin Abu Thalib akan tetapi aku 

tidak mengizinkan, dan aku tidak mengizinkan dan 

tidak akan pernah kuizinkan. Kecuali Ali bin Abu 

Thalib bersedia menceraikan putriku terlebih dahulu 

lalu menikah dengan putri mereka. (Aku bersikap 

demikian) karena putriku adalah darah dagingkun, 

di mana aku akan merasa gelisah bila ada yang 

membuatnya gelisah, dan aku akan tersakiti bila ada 

hal yang menyakitinya.” (HR. Abu Daud).

 Riwayat lain disebutkan bahwa Rasul Saw. bersabda: 

اهَِنيدِ يِف نََتفُْت نَْأ فُ َّوخََتَأ اَنَأوَ يِّنمِ َةمَطِاَف َّنِإ

“…Sesungguhnya Fathimah adalah darah dagingku 

dan aku khawatir agamanya akan terganggu (jika 

ia dimadu)”…. (HR. Bukhari).


F. Hikmah Poligami Rasul Saw

Nabi Muhammad Saw adalah pembawa risalah Islam 

hidup dan tumbuh di lingkungan tradisi poligami, tetapi justru 

memilih monogami. Rasul menikahi Siti Khadijah ketika 

berusia 25 tahun dan umat Islam perlu menyadari bahwa 

perkawinan Rasul yang monogami dan penuh kebahagiaan 

itu berlangsung selama 28 tahun. 17 tahun dijalani sebelum 

kerasulan (qabla bi`tsah) dan 11 tahun sesudahnya (ba’da 

bi`tsah). Kebahagiaan pasangan ini menjadi inspirasi dalam 

banyak doa pengantin yang dilantunkan pada jutaan prosesi 

perkawinan umat Islam. 

 Kalau poligami adalah mulia, mengapa Rasul tidak 

melakukannya sejak awal? Di mata masyarakat Arab ketika 

itu, Rasul sangat pantas berpoligami. Semua persyaratan 

poligami dimilikinya: mampu berbuat adil, keturunan tokoh 

Quraisy terkemuka, simpatik dan berwajah rupawan, 

tokoh masyarakat yang disegani, pemimpin agama yang 

kharismatik, dan terlebih lagi karena Khadijah tidak 

memberikan anak laki-laki yang hidup sampai dewasa. 

Namun, Rasul tidak bergeming, tetap pada pilihannya untuk 

monogami. Bagi Rasul, Khadijah bukan semata istri teman 

tidur, melainkan lebih sebagai mitra kerja, teman dialog, 

tempat curhat, sahabat sejati dan yang pasti adalah belahan 

jiwa. 

Khadijah wafat, Rasul mengalami guncangan hebat, 

dan begitu dalamnya kepedihan Rasul sehingga tahun 

kematian Khadijah diabadikan dalam sejarah Islam sebagai 

“amulhuzn” (tahun kepedihan). Sepanjang hayatnya Rasul 

Saw selalu membicarakan kebaikan dan keluhuran budi 

perempuan yang amat dicintainya itu. Tiga tahun berlalu 

dari wafatnya Khadijah, Rasul dihadapkan pada tanggung 

jawab besar mengembangkan syiar Islam ke Yastrib dan 

juga ke luar Jazirah Arab. Kondisi masyarakat yang bersuku-

suku di kala itu memaksa Rasul harus menjalin komunikasi 

yang luas dengan berbagai suku agar dapat mendukung 

perjuangannya, dan perkawinan menjadi alat komunikasi 

yang strategis. Demikianlah Rasul kemudian menikahi 

beberapa perempuan demi terlaksananya syiar Islam.

Tentang hikmah diizinkannya Nabi Muhammad beristri 

lebih dari seorang, bahkan melebihi jumlah maksimal yang 

diizinkan bagi ummatnya (yang merupakan khushushiyat 

bagi nabi) adalah sebagai berikut :

1. Untuk kepentingan pendidikan dan pengajaran agama. 

Istri Nabi sebanyak Sembilan orang itu bisa menjadi 

sumber imformasi bagi ummat Islam yang ingin 

mengetahui ajaran-ajaran nabi dalam berkeluarga dan 

bermasyarakat, terutama mengenai masalah-masalah 

kewanitaan/ kerumahtanggaan.

2. Untuk kepentingan politik mempersatukan suku-suku 

bangsa Arab dan untuk menarik mereka masuk agama 

Islam. Misalnya perkawinan nabi dengan Juwairiyah, 

putri Al-Harits (Kepala Suku Bani Musthalik). Demikian 

pula perkawinan Nabi dengan Syafiyah (seorang tokoh 

dari Bani Quraizhah dan Bani Nadhir).

3. Untuk kepentingan sosial dan kemanusiaan. Misalnya 

perkawinan Nabi dengan beberapa janda pahlawan 

Islam yang telah lanjut usianya, seperti Saudah binti 

Zum’ah (suami meninggal setelah kembali dari hijrah 

Abessenia), Hafshah binti Umar (suami gugur di Badar) 

mereka memerlukan pelindung untuk melindungi jiwa 

dan agamanya, serta penanggung untuk memenuhi 

kebutuhan hidupnya.17

Berikut ini, dipaparkan para Istri Rasul Saw. Beserta 

hikmah poligami Rasul Saw. 

1. Pernikahan Rasulullah dengan Sayyidah Saudah r.a

Rasulullah menikah dengan Saudah binti 

Zam’ah r.a., yang sebelumnya adalah istri Sukran bin 

‘Amru. Setelah masuk islam, Sukran bin ‘Amru ikut 

hijrah kedua ke negeri Habsyi dan meninggal ketika 

kembali ke Mekkah. Sayyidah Saudah tidak mungkin 

kembali pada keluarganya setelah kematian suaminy