الل لُوسُرَ لَاَقَلاَق َةرَيْرَهُ يِبَأ نْعَ
11مَْعطَْيلَْف ارًطِفْمُ نَاكَ نِْإوَ ِلّصَُيلَْف امًِئاصَ
“Apabila salah seorang kalian diundang untuk memenuhi
sebuah walimah, maka datanglah. Jika pada saat itu
berpuasa, maka hendaknya ia mendoakan. Jika pada saat
itu sedang tidak berpuasa, maka makanlah (dari hidangan
yang telah disediakan). (HR. Muslim).
اهََل ىعَدُْي ةِمَيلِوَلْا مُاَعطَ مِاَعَّطلا ُّرشَُلوُقَي نَاكَ ُهَّنَأ ُهنْعَ ُ َّالل يَضِرَ َةرَيْرَهُ يِبَأ نْعَ
هِيَْلعَ ُ َّالل ىَّلصَ ُهَلوسُرَوَ َ َّالل ىصَعَ دَْقَف َةوَعَّْدلا كَرََت نْمَوَ ءُارََقُفلْا كُرَْتُيوَ ءُاَيِنغَْلْا
12)يراخبلا هاور(مََّلسَوَ
“Dari Abu hurairah r.a. bahwa Rasulullah Saw. Telah
bersabda, makanan yang paling buruk adalah makanan
walimah, yang hanya mengundang orang-orang kaya dan
meninggalkan orang-orang miskin. Barang siapa tidak
mengahadiri undangan, sesungguhnya ia telah durhaka
kepada Allah dan Rasul-Nya”.
Kalimat ُهَلوسُرَوَ َ َّالل ىصَعَ دَْقَف menunjukkan kewajiban
untuk menghadiri setiap undangan. Orang yang tidak
menghadirinya dianggap telah memaksiati Allah dan Rasul,
karena meninggalkan suatu kewajiban yang diperintahkan
oleh Rasul, sementara meninggalkan atau tidak
melaksanakan yang diperintah oleh rasul adalah maksiat.
Al-Hafizh berkat dalam kitab Fathul Bari bahwa syarat
undangan yang wajib didatangi ialah:
1. Pengundang sudah mukhallaf, merdeka, dan sehat
akal.
2. Undangan tidak hanya dikhususkan kepada orang
kaya tanpa melibatkan orang miskin.
13)ءُارََقُفلْا كُرَْتُيوَ ءُاَيِنغَْلْا اهََل ىعَدُْي ةِمَيلِوَلْا مُاَعطَ مِاَعَّطلا ُّرشَ
“…Makanan yang paling buruk adalah makanan
walimah, yang hanya mengundang orang-oang kaya
dan meninggalkan orang-orang miskin...”
3. Tidak tampak adanya tujuan untuk mengambil hati
seseorang, baik karena berharap kepadanya maupun
karena takut kepadanya.
4. Orang yang mengundang adalah orang muslim,
menurut pendapat yang paling benar.
5. Undangan dikhususkan hari pertama walimah.
Demikian pendapat yang masyhur.
6. Belum didahului oleh undangan lain. Jika ada
undangan lain sebelumnya, yang pertama wajib
didahulukan.
7. Tidak ada kemungkaran dan perkara-perkara lain
yang menghalangi kehadirannya.
8. Orang yang diundang tidak memiliki uzur. Baghawi
berkata, jika orang yang diundang berhalangan atau
tempatnya jauh sehingga menyusahkan, boleh tidak
hadir .14
Adapun macam-macam uzhur yang menyebabkan
gugurnya kewajiban menghadiri undangan walimah adalah:
1. Makanan dan minuman yang disediakan
mengandung syubhat.
2. Undangan tersebut khusus bagi orang kaya saja.
3. Ada yang akan terzholimi dengan sebab
kehadirannya.
4. Apabila kedatangannya itu semata-mata karena
menginginkan sesuatu dari si pengundang atau
karena takut kepadanya.
5. Apabila di dalam acara tersebut terdapat perkara-
perkara mungkar seperti jamuan khamar atau alat-
alat lahwi, dan lain sebagainya.
يِف ىَأرََف ءَاجََف مََّلسَوَ هِيَْلعَ ُ َّالل ىَّلصَ ِ َّالل لَوسُرَ تُوْعَدََف امًاَعطَ تُعَْنصََلاَق ٍيّلِعَ نْعَ
15عَجَرََف رَيوِاصََت تِيَْبلْا
“Aku membuat makanan dan mengundang Rasul
Saw, maka beliaupun mendatangi undangan yang
aku haturkan. Tatkala beliau melihat gambar yang
menempel di dinding rumahku, maka beliaupun
kembali pulang.”(HR. Ibnu Majah).
6. Apabila jarak menuju ke tempat undangan terlalu
jauh dan tidak ada kendaraan yang memadai, atau
biaya yang harus dikeluarkan cukup memberatkan,
atau perjalanan kesana amat melelahkan atau
kurang aman
7. Apabila ada halangan lain, misalnya sedang
menderita sakit, atau menjaga keluarga yang
sedang sakit, dan sebagainya.
D. Adab dalam Menghadiri Walimah
Ada beberapa adab yang harus diperhatikan dalam
memenuhi undangan. Yaitu:
1. Tidak sekadar untuk memuaskan nafsu perut, tetapi
harus diniati untuk mengikuti perintah syari’at,
menghormati saudaranya, menyenangkan hatinya,
mengunjunginya dan menjaga dirinya dari timbulnya
buruk sangka jika dia tidak memenuhi undangan
tersebut.
2. Memberikan ucapan selamat kepada kedua
mempelai dalam undangan walimah.
16مْهِيَْلعَ كْرِاَبوَ مْهَُل كْرِاَب َّمهَُّللا
“Ya Allah, limpahkanlah keberkahan untuk mereka
dan atas mereka.”
كََل ُ َّالل كَرَاَب لَاَق اًناسَنِْإ َأَّفرَ اَذِإ مََّلسَوَ هِيَْلعَ ُ َّالل ىَّلصَ ِ َّالل لُوسُرَ نَاكََلاَق َةرَيْرَهُ يِبَأ نْعَ
17رٍيْخَ ىَلعَ امَكَُنيَْب عَمَجَوَ كَيَْلعَ كَرَاَبوَ
“Bahwasanya Rasulullah saw. jika memberikan
ucapan doa kepada seseorang yang menikah, belia
berkata, “Semoga Allah memberkati kalian berdua,
semoga Allah memberkati atas kalian berdua, dan
menyatukan kalian berdua di dalam kebaikan.”
(HR. Ahmad).
3. Membantu dengan harta bagi kerabat yang kaya
dalam penyelenggaraan walimah.
4. Mengundang orang yang salih.
َّلِإ بْحِاصَُت لَ لُوُقَي مََّلسَوَ هِيَْلعَ ُ َّالل ىَّلصَ ِ َّالل لَوسُرَ عَمِسَ ُهَّنَأدٍيعِسَ يِبَأ نْعَ
ٌّيقَِت َّلِإ كَمَاَعطَ لْكُْأَي لَوَ اًنمِؤْمُ
“Janganlah kalian berteman kecuali orang mukmin dan
janganlah memakan makanan yang kalian hidangkan
(di dalam walimah) kecuali orang-orang bertakwa
(shalih).(HR. Tirmidzy dan Abu Daud).
5. Mengundang orang-orang fakir dan kaya secara
bersamaan.
6. Menghindari syirik dan khurafat.
7. Menghindari hiburan yang merusak.
8. Memenuhi undangan sekalipun sedang puasa.
18مَْعطَْيلَْف ارًطِفْمُ نَاكَ نِْإوَ ِلّصَُيلَْف امًِئاصَ نَاكَ نْإَِف بْجُِيلَْف مْكُدُحََأ يَعِدُ اَذِإ…
“Apabila salah seorang kalian diundang untuk
memenuhi sebuah walimah, maka datanglah.
Jika pada saat itu berpuasa, maka hendaknya
ia mendoakan. Jika pada saat itu sedang tidak
berpuasa, maka makanlah (dari hidangan yang
telah disediakan). (HR. Muslim).
9. Tidak berbaur antara tamu pria dan tamu wanita.
10. Hindari berjabat tangan dengan bukan mahrom.
E. Hikmah Penyelenggaraan Walimah
Ada beberapa hikmah dalam pelaksanaan walimah,
diantaranya:
1. Merupakan rasa syukur kepada Allah Swt.
2. Tanda penyerahan anak gadis kepada suami dari
kedua orang tuanya.
3. Sebagai tanda resmi akad nikah.
4. Sebagai tanda memulai hidup baru bagi suami-istri.
5. Sebagai realisasi arti sosiologi dari akad nikah.
Sebagai pengumuman bagi masyarakat, bahwa
antara mempelai telah resmi menjadi suami istri, sehingga
masyarakat tidak curiga terhadap perilaku yang dilakukan
oleh kedua mempelai.
F. Hal-Hal yang Dilarang Sekitar Walimah
1. Bagi pengantin (wanita) dan tamu undangannya
tidak diperkenankan untuk tabarruj. Memamerkan
perhiasan dan berdandan berlebihan, cukup
sekadarnya saja yang penting rapi dan bersih dan
harus tetap menutup aurat.
2. Tidak adanya ikhtilat (campur baur) antara laki-laki
dan perempuan. Hendaknya tempat untuk tamu
undangan dipisah antara laki–laki dan perempuan.
Hal ini dimaksudkan agar pandangan terpelihara,
mengingat ketika menghadiri pesta semacam ini
biasanya tamu undangan berdandannya berbeda
dan tidak jarang pula yang melebihi pengantinnya.
3. Tidak berlebih-lebihan dalam mengeluarkan harta
juga makanan, sehingga terhindar dari mubazir.
4. Boleh mengadakan hiburan berupa nasyid dari
rebana dan tidak merusak akidah umat Islam.
Hiburan dengan menggunakan alat-alat musik yang
melantunkan lagu-lagu cabul yang menebarkan
kekejian dan kehinaan di antara para pemuda dan
pemudi, menghancurkan harga diri dan merusak
akhlak adalah diharamkan dalam Islam.19
لِلَحَلْا نَيَْب امَ لُصَْف مََّلسَوَ هِيَْلعَ ُ َّالل ىَّلصَ ِ َّالل لُوسُرَ لَاَقَلاَق بٍطِاحَ نِبْ دِ َّمحَمُ نْعَ
20ِحاكَِّنلا يِف تُوْ َّصلاوَ ُّفُّدلا مِارَحَلْاوَ
“Pemisah antara yang halal dan haram adalah
memukul rabana dan suara nyanyian”.(HR. Ibnu
Majah).
5. Menghindari berjabat tangan yang bukan mahramnya,
telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat kita
bahwa tamu menjabat tangan mempelai wanita,
begitu pula sebaliknya.
6. Menghindari syirik dan khurafat.
7. Standing party.
8. Hanya mengundang orang-orang kaya saja.21
Oleh karena itu walimah merupakan ibadah, maka
seharusnya dihindari perbuatan-perbuatan yang mengarah
pada kemungkaran, syirik dan khurafat. Demi berkahnya
pernikahan.
HAK DAN KEWAJIBAN
SUAMI ISTRI
A. Pengertian Hak dan Kewajiban
Akad nikah yang telah berlangsung dan memenuhi
syarat dan rukunnya, akan menimbulkan akibat hukum
hubungan suami istri antar keduanya. Dengan demikian,
akad tersebut menimbulkan hak serta kewajiban di antara
keduanya. Yang dimaksud dengan hak adalah sesuatu
yang seharusnya diterima seseorang setelah ia memenuhi
kewajibannya. Sedangkan kewajiban adalah sesuatu yang
seharusnya dilaksanakan oleh seseorang untuk mendapatkan
hak.
Pasangan suami istri dalam bingkai rumah tangga,
masing-masing memiliki hak dan kewajiban. Suami istri
sebagai tokoh utama dalam sebuah rumahtangga, bila
mengalami kerusakan maka bangunan rumah tanggapun
akan runtuh. Disebabkan hubungan ini seharusnya
sangat dijaga dengan memperhatikan hak dan kewajiban
masing-masing. Bagi suami istri harus saling menunaikan
kewajibannya setelah itu baru boleh mendapatkan apa yang
menjadi haknya.1
Jika suami istri sama-sama menjalankan tanggung
jawabnya, maka akan mewujudkan ketentraman dan
ketenangan hati sehingga sempurnalah kebahagian
hidup berumah tangga. Dengan demikian, tujuan hidup
berkeluarga akan terwujud sesuai tuntunan agama, yaitu
suami istri mendapatkan kebahagiaan berupa ketentraman,
rasa nyaman dan saling mendapatkan kasih sayang (Q.S. a
l-Rum/30: 21). Namun seringkali tujuan itu tidak tercapai
sehingga akhirnya keharmonisan rumahtangga terganggu,
bahkan tidak sedikit yang bercerai. Di antara faktor dominan
yang menyebabkan hal itu adalah masing-masing suami
istri tidak memahami dengan baik hak dan kewajibannya,
padahal tuntunan ajaran Islam mengenai hal ini lebih dari
cukup.
Menurut salah seorang informan Hak dan kewajiban
suami istri dibagi menjadi tiga kategori:
“Pertama; hak bersama suami istri, seperti: saling
menghormati, memuliakan, mengasuh dan mendidik
anak, saling mewarisi, hak menikmati hubungan
biologis. Oleh karena itu, komitmen harus diperkuat
GBHP (Garis-garis Besar Haluan Pernikahan), seperti:
pengaturan keungan, tugas-tugas kerumahtanggaan,
pengasuhan anak dan lain sabagainya). Kedua; Hak
suami terhadap Isteri (kewajiban isteri):Pelihara
pandangan, istri harus berdandan (mempercantik
diri) untuk suami. Pelihara pendengaran, istri
jangan jadi tukang ngomel, sehingga menyebabkan
suami tidak betah di rumah. Pelihara penciuman,
pelihara kesehatan tubuh dan lingkungan terutama
kebersihan rumah dan tempat tidur. Ketiga; Hak istri
(kewajiban suami): Memberikan perlindungan dan
kasih sayang, nafkah lahir bathin (sandang, papan
dan pangan)”.2
2
Hak-hak dalam perkawinan dibagi menjadi tiga, yaitu
hak bersama, hak istri yang menjadi kewajiban suami, dan
hak suami yang menjadi kewajiban istri.
B. Hak bersama Suami Istri
Hak-hak bersama antara suami dan istri adalah
sebagai berikut :
1. Hak bersama dalam pemenuhan hubungan biologis/
seksual suami istri.
Termasuk hak dan kewajiban bersama suami
isteri adalah keduanya berhak menikmati hubungan
biologis, halal bergaul antara suami-istri dan masing-
masing dapat bersenang-senang satu sama lain.
Salah satu kewajiban isteri adalah mematuhi
suami terutama ajakan seksnya. Sebagaimana sabda
Rasulullah Saw
لُجُ َّرلا اعَدَ اَذِإ مََّلسَوَ هِيَْلعَ ُ َّالل ىَّلصَ ِ َّالل لُوسُرَ لَاَقَلاَق ُهنْعَ ُ َّالل يَضِرَ َةرَيْرَهُ يِبَأ نْعَ
3حَِبصُْت ىَّتحَ ُةكَِئلَمَلْا اهَْتَنَعَل اهَيَْلعَ نَاَبضْغَ تَاَبَف تَْبَأَف هِشِارَِف ىَلِإ ُهَتَأرَمْا
“Bila seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidur,
kemudian istrinya enggan memenuhi ajakannya, sehingga
marah kepadanya, maka sepanjang malam istri akan
dilaknat oleh malaikat sampai subuh.” (HR. Bukhari).
3 Imam Bukhari, Shahih Bukhari, babZakara al-Malaaikah, Juz.
Menurut informan yang diwawancarai bahwa hadis
di atas adalah dalil haramnya wanita enggan mendatangi
ranjang jika tidak ada uzur, Namun jika istri ada halangan,
seperti sakit atau kecapean, maka itu termasuk uzur dan
suami harus memaklumi hal ini. Semua ini bisa didiskusikan
dengan pasangan secara baik-baik, sehingga terwujud
keharmonisan dalam hubungan suami isteri.
Begitupula hadis yang menyatakan larangan istri
puasa sunah tanpa rida/ izin suaminya,
ةَِأرْمَلْلِ ُّلحَِي لَ لَاَق مََّلسَوَ هِيَْلعَ ُ َّالل ىَّلصَ ِ َّالل لَوسُرَ َّنَأهُنْعَ ُ َّالل يَضِرَ َةرَيْرَهُ يِبَأ نْعَ
4هِِنذْإِِب َّلِإ دٌهِاشَ اهَجُوْزَوَ مَوصَُت نَْأ
“Tidaklah halal bagi seorang wanita untuk berpuasa
sedangkan suaminya ada (tidak bepergian) kecuali
dengan izin suaminya.”(HR. Bukhari dan Muslim)”.
“AM” sebagai muballigh kondang sekaligus dosen
di STAIN Parepere, salah seorang muballigh yang sering
diundang untuk menyampaikan nasihat pernikahan
menyatakan bahwa:
“Arti literal dari hadis tersebut adalah didahulukan yang
wajib yaitu melayani kebutuhan suami ketimbang yang
sunah. Pesan moralnya dari hadis tersebut adalah apapun
yang akan dilakukan pasangan suami isteri, minta izinlah/
pemberitahuan kepada pasangan. Saling pengertian
bahwa tidak satupun yang dilakukan oleh suami istri,
jangankan persoalan lain persoalan ibadah pun harus
ditahu oleh pasangannya, apapun itu disiskusikan sama
suami isteri”.5
Hal serupa dikemukakan oleh “MH” dan “MN” bahwa:
“Dalam hubungan seksual harus pandai melihat
situasi dan kondisi dalam artian bahwa keadaan
istri betul-betul dalam keadaan siap, tapi ketika istri
dalam keadaan sakit, sibuk, lagi tidak mood, suami
juga harus mengerti keadaan istrinya. Oleh karena
itu, sangat egois suami yang memaksa istrinya
melakukan hubungan seksual dalam keadaan istri
tidak siap, apalagi melegitimasi perbuatannya itu
dengan berdalil dengan hadis ini. Begitu juga si istri
tidak boleh menganut pasrahisme, dalam artian dia
pasrah saja, bagaimanapun keadannya .Oleh karena
itu, dalam hubungan ini, perlu betul-betul dibicarakan
dengan pasangan. Begitu pula halnya dengan istri
yang punya kebiasaan puasa Senin Kamis, semuanya
bisa dibicarakan dengan baik”.6
Dalam memaknai hadis di atas baik “AM”, “MH” dan
“MN” memahami hadis tersebut secara kontekstual bahwa
perempuan akan mendapat laknat dari malaikat manakala
menolak ajakan suami untuk berhubungan badan tanpa
alasan atupun halangan yang dapat dimaklumi oleh agama.
Akan tetapi, bila perempuan dalam kondisi yang tidak
memungkinkan untuk berhubungan badan dengan suami,
karena ada halangan, seperti sakit, lelah, dan sebagainya,
maka perempuan/ istri bebas dari hukuman laknat tersebut.
Dampak dari pemahaman teks hadis yang tekstual
adalah isteri yang menjadi korban, yaitu harus melayani
ajakan suami untuk berhubungan badan, meski dalam
kondisi yang tidak dinginkan oleh istri, karena salah satu hak
suami yang harus dipenuhi isteri adalah melayani kebutuhan
seks suami dalam keadaan apapun.7
Berbeda dengan pandangan ulama konservatif yang
pemikirannya cenderung tekstual, terdapat sejumlah ulama
yang memahami hadis tersebut secara kontekstual, yaitu
mereka memaknai akad nikah sebagai ‘aqd ibahah (kontrak
untuk membeolehkan sesuatu), bukan tamlik.Dalam konteks
pemahaman ini, ‘aqd ibahah, mempunyai arti kontrak yang
menghalalkan persetubuhan yang semula haram. Dengan
definisi akad nikah sebagai ‘aqd ibahah, maka hubungan
seks bukan hanya kewajiban istri, melinkan juga suami,
begitu juga sebaliknya suami istri mempunyai hak yang
sama dalam melakukan dan menentukan hubungan seks.8
Menurut Masdar F Mas’udi, dalam perspektif
pemaknaan akad nikah sebagai ‘aqd ibahah, bila suami
memaksa isteri untuk melakukan hubungan badan,
sedangkan istri merasa terbebani karena suatu hal, maka
pemaksaan tersebut tidak diperkenangkan oleh agama.
Hal ini berdasarkan beberapa pertimbangan, pertama;
membolehkan hubungan badan suami istri secara paksa,
sama saja dengan mengizinkan suami mendapatkan
kenikmatan di atas penderitaan oranglain. Tentu saja hal
ini sangat tidak bermoral. Kedua; hubungan badan antara
suami istri yang dipaksakan, merupakan pengingkaran nyata
terhadap perinsip dalam QS. Al- Nisa/4: 19.9
Shalahuddin ibn Ahmad al-Adlabi mengatakan
bahwa mempelajari dan memahami makna hadis Nabi Saw
haruslah melihat al-Qur’an sebagai rujukan, dan melihat
hadis-hadis Nabi Saw yang lain. Memahami hadis tersebut
secara tekstual, jelas mengabaikan perinsip kesetaraan dan
mu’asyarah bil ma’ruf. 10Agar makna hadis tersebut tidak
benturan dengan ayat al-Qur’an, maka pemaknaan hadis
tersebut haruslah dipahami secara kontekstual.
Muhammad Imarah mengatakan bahwa laknat
malaikat atas istri yang menolak ajakan suami untuk
berhubunga badan, akan terjadi bila penolakan istri dilakukan
tanpa alasan. Wahbah al-Zuhaili juga berpendapat bahwa
laknat dalam hadis itu akan terjadi kepada isteri bila penolakn
isteri tersebut tanpa ada alasan yang membenarkan.
Bila istri sakit, dan dalam keadaan takut disakiti oleh
suami, maka istri diperbolehkan secara hukum Islam untuk
menolak ajakan suaminya berhubungan badan.11
Al-Shirazy (W 467 H) sebagaimana dikutip Masdar F
Mas’udi mengatakan bahwa meskipun pada dasarnya istri
wajib melayani suami, jika memang istri tidak terangsang
untuk melakukan hubungan badan dengan suami, maka
istri berhak untuk menawarnya atau menangguhkannya
sampai batas waktu tiga hari. Bagi istri yang sakit, maka
tidak wajib baginya untuk melayani ajakan suami sampai
hilang sakitnya. Bila suami tetap memaksa istri, maka
ia telah melanggar perinsip mu’asyarah bi al-ma’ruf dan
berbuat aniyah terhadap pihak yang mestinya ia lindungi.12
Berdasarkan bebarapa pandangan diatas dapat
disimpulkan bahwa pemahaman ideal tentang masalah
seksualitas dalam Islam adalah adanya hadis tentang laknat
malaikat terhadap istri yang menolak ajakan suami untuk
berhubungan seksual, merupakan salah satu anjuran Nabi
agar tercipta hubungan yang harmonis antara suami istri.
Istri yang terlalu sering menolak ajakan suami tanpa alasan
yang dapat dibenarkan oleh hukum Islam, sedangkan suami
sudah sangat menginginkannya, tidak dapat dibenarkan
karena suami akan dengan mudah menemukan alasan
untuk menceraikan istri, atau yang dikhawatirkan ketika
suami sudah tidak tahan/ tidak kuat iman bisa menimbulkan
masalah yang fatal seperti mencari kepuasan diluar rumah
tangganya.
Sebaliknya, pemaksaan terhadap istri untuk
melayani ajakan suami, dalam kondosi istri yang sakit, tidak
ada hasrat untuk melakukan hubungan badan, sama sekali
juga tidak dibenarkan. Karena suami diperintahkan untuk
memperlakukan dan menggauli istrinya dengan baik, sesuai
dalam QS. Al-Nisa/4: 19. Dengan begitu hadis tersebut
tidak dapat dijadikan legitimasi bagi kaum laki-laki untuk
memaksakan kehendaknya untuk melakukan hubungan
seksual dengan istrinya.
Hubungan seksualitas antara suami istri adalah hak
bersama suami istri. Keduanya berhak untuk merasakan
kenikmatan yang sama. Jadi, masing-masing suami atau
isteri harus saling mengerti dan memahami kebutuhan
masing-masing pasangan, demi terciptanya rumah tangga
yang harmonis.
2. Terjadi hubungan mahram semenda; istri menjadi
mahram ayah suami, kakeknya, dan seterusnya ke
atas, demikian pula suami menjadi mahram ibu istri,
neneknya, dan seterusnya ke atas.
3. Terjadi hubungan waris-mewaris antara suami dan isteri
sejak akad nikah dilaksanakan. Istri berhak menerima
waris atas peninggalan suami. Demikian pula, suami
berhak waris atas peninggalan istri, meskipun mereka
belum pernah melakukan pergaualan suami-istri.
Sebagaimana tergambar dalam Firman Allah swt QS.
An-Nisa/4: 12.
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta
yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak
mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai
anak, maka kau mendapat seperempat dari harta
yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang
mereka buat atau (dan) dibayar utangnya. Pasti istri
memperoleh seperempat harta yang kau tinggalkan
jika kamu tidak mempunyai anak jika kamu mempunyai
anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari
harta yang yang kau tinggalkan sesudah dipenuhi
wasiat yang kau buat atau (dan) setelah dibayar
utang-utangmu.” (QS.A-Nisa’(4):12)
4. Anak yang lahir dari istri bernasab pada suaminya
(apabila pembuahan terjadi sebagai hasil hubungan
setelah nikah).
5. Bergaul dengan baik antara suami dan isteri sehingga
tercipta kehidupan yang harmonis dan damai. Dalam
hubungan ini Q.S. An-Nisa:19 memerintahkan,
... فِوْرُعْمَلْاِب َّنهُ رُشِاعَوَ ...
“Dan gaulilah isteri-isteri itu dengan baik”.
Mengenai hak dan kewajiban bersama suami
istri, Undang-Undang Perkawinan menyabutkan
dalam Pasal 33 sebagai berikut, “Suami istri wajib
cinta-mencintai, hormat-menghormati, setia dan
memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang
lain.”
C. Hak-hak Istri
Hak-hak istri yang menjadi kewajiban suami dapat
dibagi dua hak-hak kebendaan, yaitu mahar (maskawin) dan
nafkah, dan hak-hak bukan kebendaan, misalnya berbuat
adil di antara para istri (dalam perkawinan poligami), tidak
berbuat yang merugikan istri dan sebagainya.
1. Hak-hak berupa materi
a. Mahar (Maskawin)
Mahar (dari kata bahasa arab mahr) atau
mas kawin adalah sejumlah uang atau barang
yang diberikan (atau dijanjikan secara tegas)
oleh seorang suami kepada istrinya pada saat
mengucapkan akad nikah. Agama mewajibkan
pemberian mahar ini sebagai simbol bahwa si
suami memberikan penghargaan kepada istrinya
yang telah bersedia menjadi pendampingnya atau
mitranya dalam kehidupan mereka selanjutnya,
dan bahwa ia sejak kini memikul tanggung jawab
penuh terhadap kesejahteraan dan keselamatan
lahir batin si istri serta anak-anak yang akan lahir
dari mereka berdua.
Oleh sebab itu, mahar adalah hak mutlak si
istri sendiri, tak seorang pun selain dirinya baik
suaminya sendiri atau kedua orang tuanya ataupun
anggota keluarga yang lain memiliki hak untuk
menggunakannya dalam keperluan apapun, kecuali
dengan izinnya dan atas kerelaan sepenuhnya,
bukan karena rasa malu, takut ataupun sebagai
hasil tipuan.13
b. Nafkah
Secara umum, nafkah adalah sejumlah
uang atau barang yang diberikan seseorang untuk
keperluan hidup orang lain, seperti istri, anak,
orang tua, keluarga, dan sebagainya. Adapun yang
dimaksud dengan di sini adalah pemberian nafkah
untuk istri demi memenuhi keperluaannya, meliputi
makanan, pakaian, tempat tinggal, pembantu rumah
tangga, dan sebagainya, sesuai dengan kebutuhan
dan kebiasaan yang berlaku pada masyarakat pada
umumnya.
Nafkah adalah kewajiban suami berdasarkan al
Qur’an(QS. Ath Tholaq: 7).
ُ َّالل ُهاَتَآ ا َّممِ قْفِنُْيلَْف ُهُقزْرِ هِيَْلعَ رَدُِق نْمَوَ هِِتَعسَ نْمِ ةٍَعسَ وُذ قْفِنُْيلِ…
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut
kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya
hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah
kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang
melainkan sekadar apa yang Allah berikan kepadanya”
فِورُعْمَلْاِب َّنهُُتوَسْكِوَ َّنهُُقزْرِ ُهَل دِوُلوْمَلْا ىَلعَوَ
Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada”
.(istrinya dengan cara ma’ruf” (QS. Al Baqarah: 233
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, Bapak dari
si anak punya kewajiban dengan cara yang ma’ruf
(baik) memberi nafkah pada ibu si anak, termasuk
pula dalam hal pakaian. Yang dimaksud dengan cara
yang ma’ruf adalah dengan memperhatikan kebiasaan
masyarakatnya tanpa bersikap berlebih-lebihan dan
tidak pula pelit. Hendaklah ia memberi nafkah sesuai
kemampuannya dan yang mudah untuknya, serta
bersikap pertengahan dan hemat.14
Begitupula riwayat dari Mu’awiyah al- Qusyairi
ra., ia bertanya pada Rasulullah Saw mengenai
kewajiban suami pada istri, Rasulullah saw. bersabda:
لَوَ َهجْوَلْا بْرِضَْت لَوَ تَبْسََتكْا وَْأ تَيْسََتكْا اَذِإ اهَوَسُكَْتوَ تَمْعِطَ اَذِإ اهَمَعِطُْت نَْأ لَاَق…
15تِيَْبلْا يِف َّلِإ رْجُهَْت لَوَ حِّْبَقُت
“Engkau memberinya makan sebagaimana engkau
makan. Engkau memberinya pakaian sebagaimana
engkau berpakaian atau engkau usahakan-dan engkau
tidak memukul istrimu di wajahnya, dan engkau tidak
menjelek-jelekkannya serta tidak memboikotnya
(dalam rangka nasehat) selain di rumah” (HR. Abu
Daud).”
Berdasarkan ayat-ayat dan hadis di atas, bahwa
kewajiban nafkah adalah ditangan suami. Namun
yang perlu ditekankan adalah bahwa ajaran mengenai
nafkah bukanlah suatu “izin” untuk mendominasi
atau menindas perempuan. Sebagaimana anggapan
sebagian orang bahwa bila perempuan telah
menjadi istri, maka ia menjadi milik suami karena
suami telah membiayai kehidupannya sehari-hari.
Dengan demikian sah bagi dia untuk memperlakukan
perempuan sekehendak hatinya.16
Kewajiban nafkah hanya dibebankan kepada
suami, tidak dibebankan kepada isteri.Berdasarkan
logika keadilan “dimana ada kewajiban, di situ ada hak”
maka secara otomatis suami memiliki satu kelebihan
hak yang tidak dimiliki oleh istri, yaitu hak menjadi
pemimpin dalam keluarga sebagaimana disebutkan
dalam QS. Al-Nisa/4: 34.
اوُقَفنَْأ امَِبوَ ضٍعَْب ىَٰلعَ مْهُضَعَْب ُ َّالل لَ َّضَف امَِب ءِاسَِّنلا ىَلعَ نَومُا َّوَق لُاجَ ِرّلا
مْهِلِاوَمَْأ نْمِ ۚ
”Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita,
oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian
mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita),
dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan
sebagian dari harta mereka…”
Menurut Quraish Shihab ada dua alasan
yang dikemukakan ayat di atas berkaitan dengan
kepemimpinan laki-lakai dalam rumah tangga.
Pertama, karena Allah melebihkan sebagian mereka
atas sebagian yang lain. Kedua, karena mereka (para
suami diwajibkan) untuk menafkahkan sebagian dari
harta mereka (untuk istri/ keluarganya).
Menurutnya, alasan kedua cukup logis.
Bukankah dibalik setiap kewajiban ada hak? Bukankah
yang membayar, memperoleh fasilitas? Adapun alasan
pertama, berkaitan dengan faktor fisik dan psikis
pada pria yang lebih dapat menunjang suksesnya
kepemimpinan rumah tangga dibanding dengan
isteri. Akan tetapi, kepemimpinan tersebut adalah
di samping keistimewaan sekaligus tanggung jawab
yang tidak kecil,
Qurais Shihab lebih lanjut mengatakan
bahwa dibalik kewajiban suami tersebut mereka
juga mempunyai hak-hak yang harus dipenuhi
oleh isterinya. Ia wajib ditaati dalam hal-hal yang
tidak bertentangan dengan ajaran agama, serta
tidak bertentangan dengan hak pribadi sang isteri.
pencari nafkah atau mereka yang menyediakan sarana
pendukung kehidupan. Riffat berpendapat bahwa pada
saat perempuan melaksanakan tugas kodratinya untuk
mengandung dan melahirkan, adalah tidak adil bila
menambahi bebannya dengan mencari nafkah. Oleh
karena itu, suamilah yang seharusnya menyediakan
sarana pendukungnya. Menurutnya, kebutuhan akan
generasi penerus adalah kebutuhan seluruh umat
manusia, tapi hanya perempuan yang secara kodrati
diberi beban untuk mengandung dan melahirkan.
Supaya kebutuhan seluruh ummat ini bisa terpenuhi
dengan baik, perempuan yang sedang menjelankan
tugas kodratinya harus didukung. Dengan demikian,
bisa kita katakan bahwa adanya kata qawwam dalam
ayat itu adalah untuk menjamin keadilan di masyarakat
dan bukan untuk meneguhkan superioritas laki-laki.20
Fazlur Rahman berpendapat bahwa, tidak
semua laki-laki secara otomatis superior dibanding
perempuan, hanya laki-laki yang memberi nafkahlah
yang superior. Bila seorang istri mandiri secara
ekonomi maka posisi qawwam akan berubah.21Hal
senada diungkapkan oleh Shafiq Hasyim bahwa
makna qawwam dalam ayat tersebut tidak tunggal.
Pertama, qawwam bisa berarti kepemimpinan. Akan
tetapi kepemimpinan ini tidak permenen dan tidak
disebbakan oleh kriteria biologis sebab dibelakangnya
dikaitkan dengan pemberian nafkah dan kelebihan
lelaki. Ketika kemampuan ini tidak ada, maka menurut
imam Malik kepemimpinan ini bisa gugur. Kedua,
qawwam orang yang punya tanggung jawab atas
keluarganya. Ketiga, qawwam disini diartikan sebagai
kepemimpinan dalam keluarga.
Dengan demikian, maka jelaslah bahwa suami
sebagai kepala keluarga berkawajiban memberikan
nafkah kepada istri, sebagai imbalan dari kewajiban
tersebut dia berhak mendapatkan ketaatan
sepenuhnya dari istrinya, dan ketaatan di sini dalam
bingkai koridor syariat dan tidak bertentangan dengan
hak pribadi sang istri. Demikian pula istri mendapatkan
hak berupa pemenuhan nafkah setelah menjelangkan
ketaatannya kepada suaminya serta tugas kodratinya
sebagai reproduksi, yaitu hamil, melahirkan dan
menyusui.
Tugas reproduksi ini hanya bisa ditangani oleh
istri tidak oleh suami. Karena dalam logika keadilan
“di mana ada kewajiban di situ ada hak”, maka istri
yang diberi kewajiban melakukan reproduksi, berhak
memperoleh jaminan keselamatan, kesehatan, dan
kesejatraan sehingga tugas hamil, melahirkan dan
menyusui itu dapat berjalan lancar. Oleh karena
itu, suami berkawajiban memberikan jaminan
perlindungan kepada istri. Tidak hanya perlindungan
pisik, suami juga wajib memberikan perlindungan
ekonomi yang dinamakan nafkah.
Diwajibkannya suami memberi nafkah kepada
istrinya mengingat bahwa si istri, berdasarkan akad
nikah yang telah berlangsung, kini terikat oleh
kepentingan suaminya dengan kewajiban melayani
kebutuhannya, bertanggung jawab atas pengelolaan
rumah tangganya dan tidak lagi bebas bepergian
atau bekerja di luar rumah untuk kepentingan dirinya
sendiri, kecuali dengan persetujuan suaminya.
Karenanya, kewajiban memberikan nafkah seperti itu,
bergantung pada terpenuhinya tiga hal. Diantaranya:23
1) Akad nikah antara suami dan istri telah
berlangsung secara sah.
2) Si istri dalam keadaan siap untuk melangsungkan
kehidupan suami istri.
3) Tidak adanya hambatan dari pihak istri yang
dapat menghilangkan atau mengurangi hak si
suami untuk memperoleh layanan sewajarnya.
Dalam keadaan persyaratan-persyaratan
tersebut tidak terpenuhi, misalnya jika si istri belum
siap atau tidak bersedia memenuhi keinginan
suaminya untuk melakukan hubungan seksual,
atau menolak keinginan suaminya untuk pindah ke
rumah kediaman yang telah disediakan,maka tidak
ada kewajiban si suami untuk memberikan nafkah
kepada istrinya tersebut. Sama seperti tidak wajibnya
membayar harga suatu barang yang dibeli, sepanjang
si penjual menolak menyerahkan barang yang telah di
beli itu. Atau tidak besedia menyerahkannya kecuali
di suatu tempat tertentu yang diingini oleh sipenjual,
berlawanan dengan keinginan sipembeli.
2. Hak-hak Bukan Kebendaan
Hak-hak bukan kebendaan yang wajib di-
tunaikan suami terhadap isterinya, disimpulkan dalam
perintah Q.S. An-Nisa: 19
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal
bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa
dan janganlah kamu menyusahkan mereka Karena
hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang
telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka
melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah
dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu
tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) Karena
mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah
menjadikan padanya kebaikan yang banyak”.
Agar para suami menggauli istri-istrinya den-
gan ma’ruf dan bersabar terhadap hal-hal yang tidak
disenangi, yang terdapat pada istri. Menggauli istri
dengan ma’ruf dapat mencakup:
a. Sikap menghargai, menghormati, dan perlakuan-
perlakuan yang baik, serta meningkatkan taraf
hidupnya dalam bidang-bidang agama, akhlak,
dan ilmu pengetahuan yang diperlukan.
Termasuk perlakuan baik yang menjadi
hak istri ialah, hendaknya suami selalu berusaha
agar istri mengalami peningkatan hidup
keagamaannya, budi pekertinya, dan bertambah
pula ilmu pengtahuannya. Banyak jalan yang dapat
ditempuh untuk memenuhi hak isteri, misalnya
melaui pengajian-pengajian, kursus-kursus,
kegiatan kemasyarakatan, bacaan buku, majalah,
dan sebagainya.
b. Melindungi dan menjaga nama baik istri
Suami berkewajiban melindungi istri serta
menjaga nama baiknya. Hal ini tidak berarti
bahwa suami harus menutupi-nutupi kesalahan
yang memang terdapat pada istri. Namun, adalah
menjadi kewajiban suami untuk tidak membeberkan
kesalahan-kesalahan isteri kepada orang lain.
Apabila kepada istri hal-hal yang tidak benar, suami
setelah melakukan penelitian seperlunya, tidak
apriori, berkewajiban memberikan keterangan-
keterangan kepada pihak-pihak yang melontarkan
tuduhan agar nama baik isteri jangan menjadi
cemar.
c. Memenuhi kebutuhan kodrat (hajat) biologis istri
Hajat biologis adalah kodrat pembawaan
hidup. Oleh karena itu, suami wajib memperhatikan
hak isteri dalam hal ini. Ketentraman dan keserasian
hidup perkawinan anatara lain ditentukan oleh
faktor hajat biologis ini. Kekecewaan yang dialami
dalam masalah ini dapat menimbulkan keretakan
dalam hidup perkawinan, bahkan tidak jarang
terjadi penyelewengan istri disebabkan adanya
perasaan kecewa dalam hal ini.
Salah seorang sahabat Nabi bernama Ab-
dullah bin Amr yang terlalu banyak menggunakan
waktunya untuk menunaikan ibadah; siang un-
tuk melakukan puasa dan malam harinya untuk
melakukan salat, diperingatkan oleh Nabi yang an-
tara lain. “Istrimu mempunyai hak yang wajib kau
penuhi.
Demikian pentingnya kedudukan kebutu-
han biologis itu dalam hidup manusia sehingga Is-
lam menilai hubungan suami istri yang antara lain
untuk menjaga kesucian diri dari perbuatan zina itu
sebagai salah satu macam ibadah yang berpahala.
Dalam hal ini hadits Nabi riwayat Muslim menga-
jarkan, “Dan dalam hubungan kelaminmu bernilai
shadaqah.” Mendengar kata Nabi itu para sahabat
bertanya, “ Ya Rasulullah, apakah salah seorang di
antara kita memenuhi syahwatnya itu memperoleh
pahala?” Nabi menjawab, “Bukankah apabila ia
melakukannya dengan yang haram akan berdosa?
Demikian sebaliknya, apabila ia memenuhinya den-
gan cara yang halal akan mendapat pahala.”
D. Hak-Hak Suami
Hak-hak suami yang wajib dipenuhi istri hanya
merupakan hak-hak bukan kebendaan sebab menurut
hukum Islam istri tidak dibebani kewajiban kebendaan
yang diperlukan untuk mencukupkan kebutuhan hidup
keluarga. Bahkan, lebih diutamakan istri tidak usah ikut
bekerja mencari nafkah jika suami memang mampu
memenuhi kewajiban nafkah keluarga dengan baik. Hal ini
dimaksudkan agar istri dapat mencurahkan perhatiannya
untuk melaksanakan kewajiban membina keluarga yang
sehat dan mempersiapkan generasi yang saleh.
Kewajiban ini cukup berat bagi istri yang memang
benar-benar akan melaksanakan dengan baik. Namun,
tidak dapat dipahamkan bahwa Islam dengan demikian
menghendaki agar istri tidak pernah melihat dunia luar,
agar istri selalu berada di rumah saja. Yang dimaksud ialah
agar istri jangan sampai ditambah beban kewajibannya
yang telah berat itu dengan ikut mencari nafkah keluarga.
Berbeda halnya apabila keadaan memang mendesak,
usaha suami tidak dapat menghasilkan kecukupan nafkah
keluarga. Dalam batas-batas yang tidak memberatkan, istri
dapat diajak ikut berusaha mencari nafkah yang diperlukan
itu.
Hak-hak suami dapat disebutkan pada pokoknya
ialah hak ditaati mengenai hal-hal yang menyangkut hidup
perkawinan dan hak memberi pelajaran kepada isteri dengan
cara yang baik dan layak dengan kedudukan suami isteri.
1. Hak Ditaati
Kaum laki-laki (suami) berkewajiban memimpin
kaum perempuan (istri) karena laki-laki mempunyai
kelebihan atas kaum perempuan (dari segi kodrat
kejadiannya), dan adanya kewajiban laki-laki memberi
nafkah untuk keperluan keluarganya. Istri-istri yang
saleh adalah yang patuh kepada Allah dan kepada
suami-suami mereka serta memelihara harta benda
dan hak-hak suami, meskipun suami-suami mereka
dalam keadaan tidak hadir, sebagai hasil pemeliharaan
Allah serta taufik-Nya kepada istri-istri itu. Hakim
meriwayatkan dari ‘Aisyah r.a. :
ىَلعَ اَّقحَ مُظَعَْأ سِاَّنلا ُّىَا : مّلسو هيلع الله ىّلص الله لوسر تُلْأسَ : تَْلاَق َةشَِئاعَ نْعَ
ُ24ه ُّمُا : لَاَق ؟ لِجُ َّرلا ىَلعَ اَّقحَ مُظَعَْا سِاَّنلا ُّى َأَف : تَْلاَق .اهَجُوْزَ : لَاَق ؟ ةَِأرْمَلْا
“Dari Aisyah, ia berkata : Saya bertanya kepada
Rasulullah SAW : Siapakah orang yang paling besar
haknya terhadap perempuan? Jawabnya Suaminya.
Lalu saya bertanya lagi: Siapakah orang yang paling
besar haknya terhadap laki-laki? Jawabannya:
Ibunya.”(HR. al-Nasaai).
Kewajiban suami memimpin istri itu tidak akan
terselenggara dengan baik apabila istri tidak taat kepada
pimpinan suami. Isi dari pengertian taat adalah:
a. Istri supaya bertempat tinggal bersama suami di
rumah yang telah disediakan. Istri berkewajiban
memenuhi hak suami bertempat tinggal di rumah
yang telah disediakan apabila memenuhi syarat-
syarat sebagai berikut :
2) Rumah yang disediakan pantas menjadi tempat
tinggal istri serta dilengkapi dengan perabot
dan alat yang diperlukan untuk hidup berumah
tangga secara wajar, sederhana, tidak melebihi
kekuatan suami.
3) Rumah yang disediakan cukup menjamin
keamanan jiwa dan harta bendanya, tidak terlalu
jauh dengan tetangga dan penjaga-penjaga
keamanan.
4) Suami dapat menjamin keselamatan isteri di
tempat yang disediakan.
b. Taat kepada perintah-perintah suami, kecuali apabila
melanggar larangan Allah. Istri wajib memenuhi
hak suami, taat kepada perintah-perintahnya
apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1) Perintah yang dikeluarkan suami termasuk
hal-hal yang ada hubungannya dengan
kehidupan rumah tangga. Dengan demikian,
apabila misalnya suami memerintahkan istri
untuk membelanjakan harta milik pribadinya
sesuai keinginan suami, istri tidak wajib taat
sebab pembelanjaan harta milik pribadi istri
sepenuhnya menjadi hak isteri yang tidak dapat
dicampuri oleh suami.
2) Perintah yang dikeluarkan harus sejalan
dengan ketentuan syari’ah. Apabila suami
memerintahkan istri untuk menjalankan hal-hal
yang bertentangan dengan ketentuan syari’ah,
perintah itu tidak boleh ditaati. Hadits Nabi
riwayat Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Nasai
dari Ali mengajarkan, “Tidak dibolehkan taat
kepada seorang pun Dalam bermaksiat kepada
Allah; taat hanyalah dalam hal-hal yang makruf.”
3) Suami memenuhi kewajiban-kewajibannya yang
memberi hak istri, baik yang bersifat kebendaan
maupun yang bersifat bukan kebendaan.
c. Berdiam di rumah, tidak keluar kecuali dengan izin
suami.
Istri wajib berdiam di rumah dan tidak keluar
kecuali dengan izin suami apabila terpenuhi syarat-
syarat sebagai berikut:
1) Suami telah memenuhi kewajiban membayar
mahar untuk istri.
2) Larangan keluar rumah tidak berakibat
memutuskan hubungan keluarga-keluarganya,
istri tidak wajib taat. Ia boleh keluar untuk
berkunjung, tetapi tidak boleh bermalam tanpa
izin suami.
d. Tidak menerima masuknya seseorang tanpa izin
suami.
ُّلحَِي لَا لَاَق مََّلسَوَ هِيَْلعَ ُ َّالل ىَّلصَ ِ َّالل لَوسُرَ َّنَأهُنْعَ ُ َّالل يَضِرَ َةرَيْرَهُ يِبَأ نْعَ
25هِِنذِْإِب َّلاِإ هِِتيَْب يِف نََذْأَت لَاوَ هِِنذِْإِب َّلاِإ ٌدهِاشَ اهَجُوْزَوَ مَوصَُت نَْأ ِةَأرْمَلْلِ
“…Tidaklah halal bagi seorang wanita untuk
berpuasa sedangkan suaminya ada (tidak
bepergian) kecuali dengan izin suaminya dan tidak
mengizinkan seseorang masuk rumahnya kecuali
ats izin suaminya.” (HR. Bukhari dan Muslim)”. (HR.
Bukhari).
Hak suami agar istri tidak menerima masuknya
seseorang tanpa izinnya, dimaksudkan agar
ketentraman hidup rumah tangga tetap terpelihara.
Ketentuan tersebut berlaku apabila orang yang
datang itu bukan mahram isteri. Apabila orang yang
datang adalah mahramnya, seperti ayah, saudara,
paman, dan sebagainya, dibenarkan menerima
kedatangan mereka tanpa izin suami. Kewajiban taat
yang meliputi empat hak tersebut disertai dengan
syarat-syarat yang tidak memberatkan istri.
e. Hak Memberi Pelajaran
Bagian kedua dari ayat 34 Q.S. An-Nisa
mengajarkan, apabila terjadi kekhwatiran suami
bahwa istrinya bersikap membangkang (nusyus),
hendaklah nasihat secara baik-baik. Apabila dengan
nasihat, pihak istri belum juga mau taat, hendaklah
suami berpisah tidur dengan istri. Apabila masih
belum juga kembali taat, suami dibenarkan memberi
pelajaran dengan jalan memukul (yang tidak melukai
dan tidak pada bagian muka).
E. Pekerjaan yang Terkait dengan Urusan Domestik
Salah satu persoalan yang sering dipermasalahkan
adalah masalah urusan domestic (domestic worker)
pekerjaan rumah tangga yang tidak ada hentinya.tugas-
tugas kerumahtanggaan atau yang sering diistilahkan
dengan persoalan 3R (kasur, dapur dan sumur), adalah
sering diidentikkan dengan tugas dan kewajiban
kaum perempuan/Istri. Bagaimana sebenarnya Islam
memandangtugas-tugas domestik (domestic worker)
apakah semua itu adalah tugas dan kewajiban seorang
istri? Apakah ada pembagian tugas dalam rumah tangga?
Dalam literature fiqh, semua mazhab, sama sekali
tidak memberi beban kepada isteri, baik beban pekerjaan
domestik, reproduksi non kodrati, seperti merawat anak,
dari memandikan, menyuapi, mengasuh anak, bahkan
menurut iman Malik, menyusui juga merupakan tanggung
jawab suami, apalagi beban ekonomi, adalah merupakan
tanggung jawab penuh suami.26Fiqh juga mengharuskan
suami bersikap baik secara psikologi kepada istri, tugas
istri menurut fiqh adalah taat kepada suami.
Pakar hukum Islam Ibn Hazm, sebagaimana
dikutip Qurais Shihab, berpendapat bahwa perempuan
pada dasarnya tidak berkewajiban melayani suaminya
dalam hal menyediakan makanan, menjahit dan
sebagainya. Justru sang suamilah yang berkawajiban
menyiapkan untuk istri dan anaknya pakaian jadi, dan
makanan yang siap dimakan.27
Menurut Al-Nawawi, sebgaimana dikutip Istiadah,
kewajiban istri dalam rumah adalah sesuatu yang
berkaitan dengan seksualitas. Sedangkan pekerjaan
rumah, termasuk menjaga anak-anak, diklasifikasikan
sebagai sedekah. Al-Nawawi mendasarkan pendapatnya
pada kisah Umar bin Khattab tatkala ia dimarahi istrinya
dan dia harus menahan diri. “Saya harus membiarkannya,”
ungkapnya. “Mengapa?” Tanya kaum muslimin. Umar
menjawab , “Istriku itulah yang memasakkan makananku,
menyediakan rotiku, membasuh bajuku, menyusui anak-
anakku, dan memberikan kepuasan yang membuat aku
tidak jatuh pada perbuatan haram. Padahal itu bukan
kewajibannya.28
Apa sebenarnya kewajiban isteri dalam rumh
tangga? Kewajiban istri adalah mengandung dan
melahirkan (tugas reproduksi). Banyak ayat-ayat Al-
Qur’an dan hadis Nabi yang membahas peran ibu dan
menjunjung peran keibuan. Apakah menyusui anak
merupakan kewajiban ibu? Imam Malik mengemukakan
bahwa menyusui anak bagi ibu lebih merupakan
kewajiban
moral (diyanatan) ketimbang legal. Artinya, bila ibu tidak
mau melakukannya, suami atau pengadilan sekalipun
tidak berhak memaksanya.
Sementara ulama dari kalangan mazhab
Hanafi, Syafi’I, Hambali dan sebagian pengikut Maliki
berpendapat bahwa menyusui anak oleh seorang ibu
hanya bersifat mandub (sebaikanya). Kecuali kalau si
anak menolak susuan selain susu ibu, atau si ayah tidak
sanggup membayar upah ibu susuan, maka menjadi
wajib bagi ibu untuk menyusuinya.29Tidak diwajibkannya
ibu menyusui anaknya itu didasarkan pada firman Allah
QS. Al-Talak/65: 6).
نِْإوَ ۖ فٍورُعْمَِب مْكَُنيَْب اورُمَِتْأوَ ۖ َّنهُرَوجُُأ َّنهُوُتآَف مْكَُل نَعْضَرَْأ نْإَِف
ٰىرَخُْأ ُهَل عُضِرُْتسََف مُْترْسَاَعَت
“…Kemudian jika mereka menyusukan (anak-
anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka
upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala
sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan
Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu)
untuknya.
Al-Qur’an maupun hadis tidak membedakan
pekerjaan kemasyarakatan (publik) dan rumah tangga
(domestik) hal ini diisyaratkan oleh:
1. Rasulullah mengerjakan pekerjaan kerumah
tanggaan.
Rasulullah sebagai pembawa ajaran Islam yang
berjenis kelamin laki-laki tidak anti kepada pekerjaan
rumah tangga, sperti: menyapu, menjahit dan
sebagainya. Dalam sebuah hadis dikisahkan bahwa
Rasulullah sering membantu keluarganya, menjahit
bajunya yang robek, alas kakinya yang putus,
memeras susu kambingnya dan melayani dirinya
sendiri. Beliau bahkan membantu keluarganya dalam
tugas-tugas mereka.
مََّلسَوَ هِيَْلعَ ُ َّالل ىَّلصَ ُّيِبَّنلا نَاكَ امََةشَِئاعَ تُلَْأسَ لَاَق دِوَسَْلْأا نْعَ مَيهِارَبِْإ نْعَ
تْرَضَحَ اَذِإَف هِلِهَْأ َةمَدْخِ يِنعَْت هِلِهَْأ ةَِنهْمِ يِف نُوكَُي نَاكَ تَْلاَق هِِتيَْب يِف عَُنصَْي
30ِةلَ َّصلا ىَلِإ جَرَخَ ُةلَ َّصلا
“Rasulullah saw. Senantiasa membantu pekerjaan
keluarganya dan apabila datang waktu shalat, maka
beliau pergi ke masjid untuk menunaikan salat
berjamaah.” (HR. Bukhari).
2. Al-Qur’an maupun hadis mengakui adanya
perempuan yang aktif di berbagai bidang kehidupan
seperti:
a. Perempuan sebagai penenun, berdasarkan
sebuah hadis:
Dari Sahal Ibn Sa’ad, bahwa ada seorang
perempuan datang kepada Rasulullah saw.
dengan membawa sepotong selimut lalu
mengatakan: “Ini sya menenunnya sendiri
dengan tangan saya, aku berikan kepadamu
agar engkau memakainya”. Rasulullah Saw
mengambilnya karena beliau membutuhkannya
dan selimut tersebut sekaligus menjadi kain
sarung beliau. (HR. Bukhari).
b. Perempuan sebagai penyamak kulit. Dalam hadis
berikut dikisahkan pekerjaan istri Rasul yang
bernama Zainab binti Jahsy:
“Aisyah ra berkata. Bahwa Rasul saw bersabda,
“Yang paling cepat menyusun saya (meninggal)
adalah siapa saja diantara kalian yang paling
panjang tangannya.” Lalu kami mengukur
mana dia ntara yang paling panjang tangannya.
Ternyata yang paling panjang adalah Zainab,
karena dahulu dia bekerja dengan tangannya
sendiri dan membuatnya untuk sedekah lantaran
bapaknya sudah tiada. (HR. Bukhari dan Muslim)
c. Perempuan sebagai pemelihara hewan dan
bercocok tanam
Asma binti Abu Bakar ra berkata: ”Saya menikah
dengan Zubair. Dia tidak mempunyai harta,
budak, dai tidak mempunyai apa-apa selain
kudanya.” Katanya lagi: “Sayalah yang memberi
makan kudanya, yang menanggung biayanya,
yang merawatnya dan menumbuhkan biji-bijian,
yang memberi makan, yang memberi minum, dan
membawa biji-bijian itu ke atas…(HR. Muslim).
Jabir berkata, bahwa Rasul Saw pernah masuk
ke kebun kurma milik seorang ibu perempuan
Ansar, lalu bertanya kepadanya: “siapa yang
menanam kurma ini? Muslim kah dia atau kafir?
Perempuan Ansar tersebut menjawab: “tentu
dia muslim.” Rasulullah lalu bersabda: “Orang
muslim yang menanam tanaman lalu dimakan
oleh manusia, binatang atau siapapun, maka
akan menjadi sedekah baginya. (HR. Muslim)
3. Perempuan dalam kancah peperangan.
Ummi Athiyah berkata, “Saya ikut berperang
bersama Rasulullah tujuh kali. Dalam kendaraan
saya berada di belakang mereka (kaum laki-laki),
membuatkan makanan untuk mereka, mengobati
mereka yang terluka serta merawat mereka yang
sakit.” (HR. Muslim).
Dari kehidupan sahabat ini kita ketahui pula
bahwa pekerjaan yang dilakukan perempuan dan
laki-laki dalam keluarga bersifat fleksibel sesuai
dengan kondisi masing-masing keluarga. Tidak
terlihat dalam sejarah ini adanya pembagian
kerja yang harus seragam antara satu kelurga
dengan kelurga yang lain.
4. Nabi tidak memisahkan perempuan dari urusan
kemasyarakatan (publik), bahkan beliau mendukung
perempuan untuk faham dan kritis tentang urusan
kemasyarakatan serta memberikan sumbangsihnya
kepada kemajuan peradaban umat manusia. Sejarah
telah menujukkan sumbangsih perempuan, sahabat
dan para isteri Nabi dalam kehidupan ekonomi,
sosial, dan politik. Seperti Khadijah yang aktif di
bidang ekonomi, sebagai eksportir dan importir, yang
kontribusi finansialnya sangat diakui oleh Nabi demi
tegaknya dakwah Islam; Umi Hani berperan dalam
menjamin keamanan orang musyrik, Aisyah sebagai
isteri Nabi juga berperan sebagai ahli ilmu agama,
guru kaum muslimin, perawi hadis dan pemimpin
perang jamal.
Perilaku Nabi terhadap perempuan yang cerdas
dan ikut serta dalam membangun perdaban sangat
positif. Sebagai suami dari perempuan cerdas, Nabi
sama sekali tidak mengerem atau mengebiri bakat
intelektualnya, namun sebaliknya, beliau mendorong
perkembngannya. Untuk mendorong perkembangan
keilmuan isterinya, Nabi bertukarpikiran tentang
perkembangan yang terjadi di masyarakat, bahkan
menempatkan istrinya sebagai penasehat. Hal ini
terjadi pada Ummu Salamah setelah adanya perjanjian
Hudaibiyah.31
Dari kisah sejarah ini terbukti bahwa Nabi mengakui
dan menjunjung tinggi pemikiran kaum perempuan yang
berkaitan dengan masalah kemanusiaan yang luas, bukan
hanya sekedar berkutat pada urusan rumah tangga. Hal
ini menunjukkan bahwa Nabi tidak ingin membuat garis
pemisah antara kehidupan publik dan domestik. Islam tidak
menetukan pembagian kerja dalam rumah tangga secara
kaku dan rinci. Pembagian kerja dalam rumah tangga seperti
yang dijalani oleh sebahagian masyakat kita, adatlah yang
sebenarnya memberikan beban berlipat ganda kepada istri,
beban pekerjaan dan beban psikologis, karena menurut
budaya kita, istri yang baik adalah isteri yang
tidak mengeluh atas penderitaannya, karena urusan rumah
tangga adalah rahasia yang harus disimpan rapat-rapat.
Budaya kita telah melatih perempuan dapat mengerjakan
banyak hal, tugas reproduksi, tugas domestik dan mencari
nafkah. Dengan demikian, pembagian kerja dalam rumah
tangga tergantung dengan kondisi keluarga masing-masing
yang telah disepekati oleh pasangan suami istri dengan
mengedepankan msyawarah dan mufakat bersama dalam
rangka mencapai rumah tangga yang sakinah mawaddah
wa rahmah.
Undang-undang R.I Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan mengatur hak dan kewajiban sumi isteri dalam
Pasal 30-34, sebagai berikut.
Pasal 30
Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk
menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari
susunan masyarakat.
Pasal 31
(1) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak
dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga
dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
(2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan
hukum.
(3) Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga.
Pasal 32
(1) Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang
tetap.
(2) Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1)
pasal ini ditentukan oleh suami istri bersama.
Pasal 33
Suami istri wajib saling cinta-mencintai hormat-menghormati,
setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada
yang lain.
Pasal 34
(1) Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala
sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan
kemampuannya.
(2) Istri wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaik-
baiknya.
(3) Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-
masing dapat mengajukan gugutan kepada Pengadilan.
POLIGAMI
Asas perkawinan dalam Islam pada dasarnya
adalah monogami. Monos berarti satu dan gamos berarti
perkawinan. Monogami adalah suatu sistem perkawinan
dimana hanya mengawini satu istri saja. Asas monogami
telah diletakkan oleh Islam sejak 15 abad yang lalu sebagai
salah satu asas perkawinan dalam Islam yang bertujuan
untuk landasan dan modal utama guna membina kehidupan
rumah tangga yang harmonis, sejahtera dan bahagia.
Kata “poligami” terdiri dari kata “poli” dan “gami”.
Secara etimologi, poli artinya “banyak”, gami artinya “istri”.
Jadi, poligami artinya beristri banyak. Secara etimologi,
poligami yaitu “seorang laki-laki mempunyai lebih dari satu
istri”. Atau seorang laki-laki beristri lebih dari seorang, tetapi
dibatasi paling banyak empat orang.
B. Sejarah Poligami.
Poligami adalah masalah-masalah kemanusian yang
tertua, sistem poligami telah ada dan berlaku pada bangsa-
bangsa terdahulu, jauh sebelum Islam datang. Di antara
bangsa-bangsa yang melakukan praktik poligami antara
lain adalah bangsa Ibrani, Arab jahiliyah dan Sicilia. Mereka
disebut juga sebagai bangsa silafi, yaitu nenek moyang
mayoritas bangsa-bangsa yang ada di pelosok negeri dan
sekarang lebih dikenal dengan bangsa Rusia, Lithuania,
Estonia, Polonia, Cekoslovakia serta Yugoslavia.
Sistem poligami berlaku juga pada bangsa Jerman
dan Saxon yang merupakan nenek moyang penduduk
Negara Jerman, Austria, Swiss, Belgia, Belanda, Denmark,
Swedia, Norwegia dan Inggris. 1Dengan demikian, adalah
sebuah kesalahan besar ketika ada yang mengatakan bahwa
Islam adalah pencetus ide poligami.
Poligami masih hangat dibicarakan di zaman yang
serba modern ini. Agama Kristen tidak melarang adanya
praktik poligami, sebab tidak ada satu keterangan yang jelas
dalam Injil tentang landasan perkawinan monogami atau
poligami. Namun dalam injil Matius pasal 10 ayat 10-12 dan
juga Injil Lukas pasal 16 ayat 18, diterangkan bahwa Isa Al-
masih pernah berkata :
“Barang siapa menceraikan istrinya dan lalu menikah
dengan wanita lain, maka hukumnya dia berzina
dengan wanita itu. Demikian juga kalau seorang
wanita menceraikan suaminya dan menikah dengan
laki-laki itu (Matius, 10:10-12; Lukas, 16:18).2
Salah satu persoalan penting yang sering dijadikan
tuduhan bahwa Islam menganiaya perempuan dan berpihak
pada lelaki secara mutlak ialah masalah poligami. Dalam
banyak kesempatan hujatan yang diarahkan pada syari’at
Islam melalui isu poligami dilakukan secara intensif dan
terarah, sehingga memberi kesan bagi pendengar dan
pembacanya seakan-akan lelaki muslim tidak berkepentingan
dengan kehidupannya ini kecuali hanya mengoleksi dan
bersenang-senang dengan wanita-wanita cantik.
1
Data-data historis secara jelas menginformasikan
bahwa ribuan tahun sebelum Islam turun di Jazirah Arab,
masyarakat di berbagai belahan dunia telah mengenal dan
bahkan secara luas mempraktekkan poligami sehingga
ketika itu sulit sekali menemukan bentuk perkawinan
monogami, termasuk pada masyarakat Arab yang terkenal
jahiliyah. Poligami yang berlangsung saat itu tidak mengenal
batas, baik dalam hal jumlah istri maupun syarat moralitas
keadilan. Lalu Islam datang melakukan koreksi total secara
radikal terhadap perilaku poligami yang tidak manusiawi itu.
Koreksi Islam menyangkut dua hal: Pertama, membatasi
jumlah istri hanya empat, dan kedua, ini yang paling radikal
bahwa poligami hanya dibolehkan bagi suami yang menjamin
keadilan untuk para istri.
C. Peranan Islam dalam poligami
Islam bukanlah perancang poligami, karena telah ada
sebelum datangnya Islam, tidak pula Islam menghapusnya,
karena dalam pandangan Islam ada problema-problema
masyarakat yang penyelesaiannya bergantung pada
poligami, walaupun demikian, Islam membawa beberapa
perbaikan pada adat kebiasaan ini diantaranya adalah:
1. Membatasi jumlah bilangan istri hanya sampai empat.
Praktik poligami di masa Islam sangat berbeda
dengan praktik poligami sebelumnya. Perbedaan
itu menonjol pada bilangan istri dari tidak terbatas
jumlahnya menjadi dibatasi hanya empat. Beberapa
riwayat memaparkan pembatasan poligami tersebut
diantaranya adalah riwayat dari Qais bin al-Harits
berkata, “Aku masuk Islam, ketika aku memiliki
delapan orang istri, kemudian aku memberitahukan
hal itu kepada Rasulullah Saw. Beliau bersabda:
3(هجام نبا هاور) اًعَبرَْأ َّنهُنْمِ رَْتخْا
“Pilihlah empat di antara mereka”. (HR. Ibnu Majah).
Riwayat yang lain meyebutkan bahwa
Rasulullah Saw bersabda kepada Ghailan bin Salamh
tatkala masuk Islam dan ia memiliki sepuluh istri.
4(يقهيبلا هاور) نهرئاس قرافو اعبرأ نهنم رتخا
“Pilihlah empat di antara istri-istrimu (yang ingin
kamu pertahankan) dan cereikanlah yang lainnya”.
Berdasarkan hadis di atas, memberikan informasi
bahwa Islam datang dengan memberikan revisi atau
perbaikan pada aturan poligami yang sudah ada, yaitu
memberikan pembatasan pada batas poligami dengan
batas maksimal empat orang istri. Pembatasan ini dirasakan
sangat berat, sebab laki-laki di masa itu sudah terbiasa
dengan banyak istri, lalu mereka disuruh memilih empat
saja dan menceraikan selebihnya.
Hikmah dilarang poligami lebih dari empat
a. Batas maksimal beristri bagi manusia biasa adalah
empat istri. Jika lebih dari empat istri berarti
melampaui batas kemampuan, baik dari segi
kemampuan fisik, mental maupun tanggung jawab,
sehingga nantinya akan repot sendiri, bingung
sendiri, dan akhirnya akan menimbulkan gangguan
kejiwaan (stres).
b. Karena melampaui batas kemampuan, maka ia
akan terseret melakukan kezaliman (aniaya), baik
terhadap diri sendiri maupun terhadap istri-istrinya.
c. Manusia biasa pada umumnya didominasi oleh
nafsu syahwatnya, yang cenderung melakukan
penyimpangan-penyimpangan, sehingga ia tidak
mempunyai kekuatan untuk memberikan hak-haknya
kepada istri-istrinya.5
2. Menetapkan syarat yang ketat bagi poligami, yaitu
harus mampu berlaku adil.
Syarat poligami yang kedua menurut Islam
adalah,harus mampu berlaku adil. Sebelumnya,
poligami itu tidak mengenal syarat apa pun, termasuk
syarat keadilan.6 Bagi orang yang ingin berpoligami
tidak ada larangan dari nabi secara tegas, bahkan
beliau menganjurkan sepanjang mampu berlaku adil
terhadap para istrinya demi terciptanya tujuan dari
sebuah pernikahan yakni keluarga sakinah, mawaddah
warahmah.
Syari’at Islam memperbolehkan berpoligami
dengan batasan sampai empat orang istri dan
mewajibkan berlaku adil kepada mereka, baik dalam
urusan pangan, pakaian, tempat tinggal, serta lainnya
yang bersifat kebendaan tanpa membedakan antara
istri yang kaya dengan istri yang miskin, yang berasal
dari keturunan tinggi dengan yang rendah.
Bila suami khawatir berbuat zalim dan tidak
mampu memenuhi semua hak-hak mereka, maka
ia diharamkan berpoligami. Bila yang sanggup
dipenuhinya hanya tiga, maka baginya haram menikah
dengan empat orang. Jika ia hanya sanggup memenuhi
hak dua orang istri, maka haram baginya menikah tiga
orang. Begitu juga kalau ia khawatir berbuat zalim
dengan mengawini dua orang perempuan, maka
haram baginya melakukannya. Sebagaimana firman
Allah Swt. Dalam QS.al-Nisa/4: 3:
اوُلوُعَت َّلَأ ىَٰندَْأ كَلِ َٰذ ۚ مْكُُنامَيَْأ تْكََلمَ امَ وَْأ ًةدَحِاوََف اوُلدِعَْت َّلَأ مُْتفْخِ نْإَِف
“… Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil,
maka (kawinilah) seorang saja.
Hadis Nabi Saw., yang diriwayatkan oleh Abu
Daud dari Abu Hurairah ra., sesungguhnya Nabi saw,
bersabda:
ىَلِإ لَامََف نِاَتَأرَمْا ُهَل تَْناكَ نْمَ لَاَق مََّلسَوَ هِيَْلعَ ُ َّالل ىَّلصَ ِيِّبَّنلا نْعََةرَيْرَهُ يِبَأ نْعَ
7(دواد وبأ هاور) لٌِئامَ ُهُّقشِوَ ةِمَاَيقِلْا مَوَْي ءَاجَ امَهُاَدحِْإ
“Barang siapa yang mempunyai dua orang istri Ddan ia
lebih condong kepada salah satu di abtara keduanya,
maka ia akan datang pada hari kiamat kelak dengan
bahu yang miring”. (HR. Abu Daud).
D. Landasan Teologis Poligami.
1. Dasar hukum poligami terdapat dalam QS. Al-Nisa/3:
3 dan 129.
ثَلَُثوَ ىَٰنْثمَ ءِاسَِّنلا نَمِ مْكَُل بَاطَ امَ اوحُكِنْاَف ىٰمَاَتَيلْا يِف اوطُسِقُْت َّلَاأ مُْتفْخِ نِْإوَ
أ ًةَدحِاوََف اوُلدِعَْت َّلَاأ مُْتفْخِ نِْإَف ۖ عَاَبرُوَ
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil
terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana
kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita
(lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.
Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku
adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak
yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat
kepada tidak berbuat aniaya”.
7
اهَورَُذَتَف لِيْمَلْا َّلكُ اوُليمَِت لَف مُْتصْرَحَ وَْلوَ ءِاسَِّنلا نَيَْب اوُلدِعَْت نَْأ اوُعيطَِتسَْت نَْلوَ
امًيحِرَ ارًوُفغَ نَاكَ َ َّالل َّنِإَف اوُقَّ تَتوَ اوحُلِصُْت نِْإوَ ةَِقَّلَعمُلْاكَ
“dan kamu sekali-kali tidak akan dapat Berlaku adil
di antara isteri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin
berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu
cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga
kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika
kamu Mengadakan perbaikan dan memelihara diri
(dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Pendapat para Mufassir tentang ayat poligami
di atas adalah:
Quraish Shihab, dalam tafsir al-Misbah
menyatakan bahwa ayat ini tidak membuat peraturan
tentang poligami karena poligami telah dikenal
dan di praktekkan oleh penganut berbagai agama
dan adat istiadat masyarakat sebelum turun ayat
ini. Ayat ini juga tidak mewajibkan poligami atau
menganjurkannya, ayat ini hanya berbicara tentang
bolehnya poligami dan itupun merupakan pintu kecil
(darurat) yang hanya dapat dilalui oleh yang amat
membutuhkannya dan dengan syarat yang tidak
ringan. (an-Nisaa 3)
(kemurahan) yang diikat dengan syarat
tertentu(batasan 4 dan syarat adil). Menurutya,
Islam datang bukan untuk memberikan kebebasan,
melainkan untuk membatasi, bukan untuk
membiarkan kaum lelaki memperturutkan hawa
nafsunya, kalau tidak dapat berlaku adil maka tidak
diberikan rukhsah itu kepada yang bersangkutan.9
Wahbah Zuhaily, dalam tafsir al-Munir
menegaskan bahwa monogami (satu istri) adalah
wajib manakala khawatir akan berbuat dzalim
jika berpoligami. Bentuk perkawinan paling afdal
dan mulia menurutnya adalah monogamy. Islam
membolehkan poligami karena darurat (kebutuhan
yang mendesak dengan persyaratan suami mampu
memberikan nafkah, adil antara istri-istrinya dan al-
mu’asyarah bil ma’ruf.10
Berdasarkan pendapat mufassir di atas,
pada dasarnya asas pernikahan dalam Islam adalah
monogami. Poligami dibolehkan jika dalam keadan
terpaksa, atau suatu rukhsah yang diberikan kepada
laki-laki yang menginginkannya dengan syarat dan
ketentuan yaitu harus mampu berbuat adil bagi istri-
istrinya dan tidak seorangpun di antara istrinya yang
terzalimi.
Kondisi-kondisi yang memungkinkan untuk
poligami adalah: Potensi membuahi laki-laki lebih
lama dari wanita (haid dan menapouse, lebih
banyak perempuan daripada lelaki, kemandulan
atau penyakit parah. Dalam kondisi seperti ini, ayat
ini memberi solusi atau wadah bagi mereka yang
mengingin-kannya, dengan syarat yang adil.
Keadilan yang dimaksud dalam an-Nisaa
ayat 3 fainhiftum an al ta’dilu fa wahidah adalah
hal-hal yang bersifat material : pembagian giliran,
keadilan dalam nafkah hidup (pangan, sandang dan
papan) dan seluruh urusan lahiriyah. Tidak seorang
isteri pun dari mereka yang lebih diutamakan dari
pada yang lain. Sebagaimana yang dilakukan oleh
Nabi Muhammad Saw.Adapun keadilah dari segi
maknawi (hati)–cinta, bukan dibawah kekuasaan
pemiliknya tetapi berada di antara jari jemari Allah
yang membolak-baliknya sesuai kehendaknya.
Berkenaan ketidakmampuan manusia
berlaku adil sebagaimana yang ditunjukkan
dalam ayat di atas, banyak para muffasirin dalam
menafsirkan ayat di atas sama halnya dengan Ibn
‘Abbas menjelaskan bahwa ketidak mampuan yang
dimaksud adalah dalam perkara kasih sayang dan
syahwat suami terhadap istri-istrinya. Sebaliknya,
selain dalam dua perkara ini, seorang suami akan
mampu berlaku adil kepada istri-istrinya. Keadilan
selain dalam kasih sayang dan syahwatnya inilah
yang sebetulnya dituntut dan diwajibkan atas para
suami yang berpoligami. Sebaliknya, keadilan dalam
hal kasih sayang dan kecenderungan syahwatnya
bukanlah sesuatu yang diwajibkan atas mereka. Hal
ini dikuatkan oleh Hadis Nabi saw., sebagaimana
dituturkan ‘Aisyah r.a:
لُوُقَيوَ لُدِعَْيَف مُسِقَْي مََّلسَوَ هِيَْلعَ ُ َّالل ىَّلصَ ِ َّالل لُوسُرَ نَاكَْتَلاَق َةشَِئاعَ نْعَ
11)دود وبا هاور(كُلِمَْأ لَوَ كُلِمَْت امَيِف يِنمُْلَت لََف كُلِمَْأ امَيِف يمِسَْق اَذهَ َّمهَُّللا
“Rasullullah saw. pernah bersumpah dan berlaku adil
seraya berdoa, “Ya Allah, seperti inilah pembagian
yang aku mampu (melakukannya), maka janganlah
engkau mencelahku atas apa yang Engkau miliki
sedang aku tidak memilikinya.
2. Hadis-hadis Rasul saw. Tentang pembatasan poligami
Aturan tentang poligami sudah dikenal dan
belaku dalam kabilah-kabilah Arab zaman jahiliah
tanpa batasan tertentu. Terdapat beberapa riwayat
yang mengabarkan terdapatnya poligami dikalangan
orang-orang Arab ketika memeluk agama Islam
dan tanpa pembatasan jumlah. Beberapa riwayat
memaparkan pembatasan poligami tersebut
diantaranya adalah riwayat dari Qais bin al-Harits
berkata, “Aku masuk Islam, ketika aku memiliki
delapan orang isteri, kemudian aku memberitahukan
hal itu kepada Rasulullah Saw. Beliau bersabda:
12)هجام نبا هاور( اًعَبرَْأ َّنهُنْمِ رَْتخْا
“Pilihlah empat di antara mereka”.(HR. Ibnu Majah).
Riwayat yang lain meyebutkan bahwa
Rasulullah Saw. bersabda kepada Ghailan bin
Salamah tatkala masuk Islam dan ia memiliki
sepuluh istri.
13(يقهيبلا نهرئاس قرافو اعبرأ نهنم رتخا
“Pilihlah empat di antara istri-istrimu (yang ingin
kamu pertahankan)dan ceraikanlah yang lainnya”.
Sejumlah riwayat menjelaskan bahwa
setelah turun ayat yang membatasi jumlah istri
hanya empat orang, yakni QS Al-Nisa’/4:3. Nabi
segera memerintahkan semua laki-laki yang memiliki
istri lebih dari empat agar menceraikan istri-istrinya
sehingga setiap suami maksimal hanya boleh punya
istri empat.
Setelah Islam lahir, dasar-dasar dan syarat
berpoligami diatur sedemikian rupa sehingga jelaslah
bahwa jumlah yang diperbolehkan adalah empat orang
dan ditekankan prinsip keadilan diantara para istri dalam
masalah fisik material atau nafkah bagi istri dan anak-
anaknya. Pada dasarnya, poligami dibolehkan dalam
Islamdan bukan dengan syarat karena istri pertama sakit
atau mandul. Selama suami masih mampu memenuhi
beban nafkah kepada istri dan anak-anaknya.
E. Hak Istri untuk Meminta Tidak di Madu
Islam telah mensyaratkan poligami dengan
kewajiban berbuat adil dan membatasi jumlah istri sampai
empat. Islam juga memberikan hak kepada perempuan
atau walinya untuk mensyaratkan pernikahannya bahwa
ia tidak akan dimadu.
Imam Ahmad bin Hanbal sebagaimana yang
dikutip Sayyid Sabiq, berpendapat bahwa apabila
dalam akad nikah seorang istri menyebutkan syarat
bahwa suaminya tidak boleh dan tidak akan pernah
memadunya, maka akad tersebut syah dan berlaku.
Istri berhak membatalkan pernikahannya jika
dikemudian hari suaminya berpoligami. Kecuali jika
sang istri mengurungkan niatnya untuk membatalkan
pernikahan tersebut, rela, atau memaafkan suaminya
atas pelanggaran yang ia lakukan.14 Pendapat ini didasari
dengan dalil-dalil sebagai berikut:
1. Abu Daud meriwayatkan dari ‘Uqbah bin ‘Amir
dariRasul saw. bersabda:
15)دواد وبا هاور(جَورُُفلْا هِِب مُْتلَْلحَْتسْا امَ هِِب اوُفوُت نَْأ طِورُُّشلا َّقحََأ َّنِإ
“Sesungguhnya syarat yang paling utama untuk
dipenuhi adalah syarat yang berkaitan dengan
pernikahan”.(HR. Abu Daud).
2. Musawir bin Makhramah mendengar Rasulullah Saw.
bersabda di atas mimbar
بٍلِاطَ يِبَأ نِبْ ِيّلِعَ نْمِ مْهَُتَنبْا اوحُكِنُْي نَْأ يِنوُنَذْأَتسْا ِةرَيغِمُلْا نِبْ مِاشَهِ يِنَب َّنِإ
حَكِنَْيوَ يِتَنبْا قَِّلطَُي نَْأ بٍلِاطَ يِبَأ نُبْا َديرُِي نَْأ َّلاِإ نَُذآ لَا َّمُث نَُذآ لَا َّمُث نَُذآ لََف
16اهَاَذآ امَ يِنيذِؤُْيوَ اهََبارََأ امَ يِنُبيرُِي يِّنمِ ٌةَعضَْب يِتَنبْا امََّنِإَف مْهَُتَنبْا
“Sungguh bani Hasyim bin Mughirah meminta
izin kepadaku untuk meikahkan anak perempuan
mereka dengan Ali bin Abu Thalib akan tetapi aku
tidak mengizinkan, dan aku tidak mengizinkan dan
tidak akan pernah kuizinkan. Kecuali Ali bin Abu
Thalib bersedia menceraikan putriku terlebih dahulu
lalu menikah dengan putri mereka. (Aku bersikap
demikian) karena putriku adalah darah dagingkun,
di mana aku akan merasa gelisah bila ada yang
membuatnya gelisah, dan aku akan tersakiti bila ada
hal yang menyakitinya.” (HR. Abu Daud).
Riwayat lain disebutkan bahwa Rasul Saw. bersabda:
اهَِنيدِ يِف نََتفُْت نَْأ فُ َّوخََتَأ اَنَأوَ يِّنمِ َةمَطِاَف َّنِإ
“…Sesungguhnya Fathimah adalah darah dagingku
dan aku khawatir agamanya akan terganggu (jika
ia dimadu)”…. (HR. Bukhari).
F. Hikmah Poligami Rasul Saw
Nabi Muhammad Saw adalah pembawa risalah Islam
hidup dan tumbuh di lingkungan tradisi poligami, tetapi justru
memilih monogami. Rasul menikahi Siti Khadijah ketika
berusia 25 tahun dan umat Islam perlu menyadari bahwa
perkawinan Rasul yang monogami dan penuh kebahagiaan
itu berlangsung selama 28 tahun. 17 tahun dijalani sebelum
kerasulan (qabla bi`tsah) dan 11 tahun sesudahnya (ba’da
bi`tsah). Kebahagiaan pasangan ini menjadi inspirasi dalam
banyak doa pengantin yang dilantunkan pada jutaan prosesi
perkawinan umat Islam.
Kalau poligami adalah mulia, mengapa Rasul tidak
melakukannya sejak awal? Di mata masyarakat Arab ketika
itu, Rasul sangat pantas berpoligami. Semua persyaratan
poligami dimilikinya: mampu berbuat adil, keturunan tokoh
Quraisy terkemuka, simpatik dan berwajah rupawan,
tokoh masyarakat yang disegani, pemimpin agama yang
kharismatik, dan terlebih lagi karena Khadijah tidak
memberikan anak laki-laki yang hidup sampai dewasa.
Namun, Rasul tidak bergeming, tetap pada pilihannya untuk
monogami. Bagi Rasul, Khadijah bukan semata istri teman
tidur, melainkan lebih sebagai mitra kerja, teman dialog,
tempat curhat, sahabat sejati dan yang pasti adalah belahan
jiwa.
Khadijah wafat, Rasul mengalami guncangan hebat,
dan begitu dalamnya kepedihan Rasul sehingga tahun
kematian Khadijah diabadikan dalam sejarah Islam sebagai
“amulhuzn” (tahun kepedihan). Sepanjang hayatnya Rasul
Saw selalu membicarakan kebaikan dan keluhuran budi
perempuan yang amat dicintainya itu. Tiga tahun berlalu
dari wafatnya Khadijah, Rasul dihadapkan pada tanggung
jawab besar mengembangkan syiar Islam ke Yastrib dan
juga ke luar Jazirah Arab. Kondisi masyarakat yang bersuku-
suku di kala itu memaksa Rasul harus menjalin komunikasi
yang luas dengan berbagai suku agar dapat mendukung
perjuangannya, dan perkawinan menjadi alat komunikasi
yang strategis. Demikianlah Rasul kemudian menikahi
beberapa perempuan demi terlaksananya syiar Islam.
Tentang hikmah diizinkannya Nabi Muhammad beristri
lebih dari seorang, bahkan melebihi jumlah maksimal yang
diizinkan bagi ummatnya (yang merupakan khushushiyat
bagi nabi) adalah sebagai berikut :
1. Untuk kepentingan pendidikan dan pengajaran agama.
Istri Nabi sebanyak Sembilan orang itu bisa menjadi
sumber imformasi bagi ummat Islam yang ingin
mengetahui ajaran-ajaran nabi dalam berkeluarga dan
bermasyarakat, terutama mengenai masalah-masalah
kewanitaan/ kerumahtanggaan.
2. Untuk kepentingan politik mempersatukan suku-suku
bangsa Arab dan untuk menarik mereka masuk agama
Islam. Misalnya perkawinan nabi dengan Juwairiyah,
putri Al-Harits (Kepala Suku Bani Musthalik). Demikian
pula perkawinan Nabi dengan Syafiyah (seorang tokoh
dari Bani Quraizhah dan Bani Nadhir).
3. Untuk kepentingan sosial dan kemanusiaan. Misalnya
perkawinan Nabi dengan beberapa janda pahlawan
Islam yang telah lanjut usianya, seperti Saudah binti
Zum’ah (suami meninggal setelah kembali dari hijrah
Abessenia), Hafshah binti Umar (suami gugur di Badar)
mereka memerlukan pelindung untuk melindungi jiwa
dan agamanya, serta penanggung untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya.17
Berikut ini, dipaparkan para Istri Rasul Saw. Beserta
hikmah poligami Rasul Saw.
1. Pernikahan Rasulullah dengan Sayyidah Saudah r.a
Rasulullah menikah dengan Saudah binti
Zam’ah r.a., yang sebelumnya adalah istri Sukran bin
‘Amru. Setelah masuk islam, Sukran bin ‘Amru ikut
hijrah kedua ke negeri Habsyi dan meninggal ketika
kembali ke Mekkah. Sayyidah Saudah tidak mungkin
kembali pada keluarganya setelah kematian suaminy





.jpeg)





