n terhadap ayat 1 pasal
itu dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat
lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun
pihak wanita. (Ahmad Rofiq, 2017 : 59)
Saat ini, UU No. 16/2019 tentang Perubahan atas UU
No. 1/1974 tentang Perkawinan telah menaikkan usia minimal
kawin perempuan dari 16 tahun menjadi 19 tahun. Dengan
demikian, usia nikah perempuan dan laki-laki sama-sama 19
tahun. Di bawah usia ini pasangan yang mau menikah wajib
mengajukan izin dispensasi ke pengadilan agama bagi yang
beragama Islam.
Seterusnya, Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang
disebarluaskan melalui Inpres No. 1 Tahun 1991 menguatkan
ketentuan tersebut. Pada pasal 15, KHI menyebutkan bahwa
batas usia perkawinan sama seperti pasal 7 UU No. 1 Tahun
1974, namun dengan tambahan alasan: untuk kemaslahatan
keluarga dan rumah tangga.
Sungguhpun demikian, perkawinan di bawah umur
dapat dicegah dan dibatalkan oleh para pihak. Pasal 60 KHI
57
menyebutkan pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila
calon suami atau calon istri tidak memenuhi syarat-syarat
untuk melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam dan
peraturan perundang-undangan. Yang dapat mencegah
perkawinan yaitu para keluarga dalam garis keturunan lurus
ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali pengampu
dari salah seorang calon mempelai, suami atau istri yang
masih terikat dalam perkawinan dengan salah seorang calon
istri atau calon suami, serta pejabat yang ditunjuk untuk
mengawasi perkawinan. (vide pasal 62, 63, dan 64 KHI) (Erna
Rustiana, 2020 : 11-15).
KHI juga mengatur, perkawinan dapat dibatalkan
antara lain dengan alasan bila melanggar batas umur
perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 UU No. 1
Tahun 1974 (vide pasal 71). Para pihak yang dapat mengajukan
permohonan pembatalan perkawinan yaitu : (1) para
keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah
dari suami atau istri; (2) suami atau istri; (3) pejabat yang
berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut
Undang-undang; (4) para pihak berkepentingan yang
mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan
menurut hukum Islam/Fiqh dan peraturan perundangan-
undangan (vide pasal 73). (Rahmatillah & Khofify, 2018: 152-
171).
E. Pencegahan Pernikahan Dini
Bisa terjadi pernikahan dini malah didorong oleh orang
tua si gadis. Padahal semestinya orang tua berperan dalam
pencegahan nikah dini. Orang tua jelas memiliki kewajiban
untuk mencegah perkawinan anak. Pasal 26 Undang-undang
Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-
undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
menyatakan sebagai berikut:
58 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam
(1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab
untuk:
a. mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi Anak;
b. menumbuh kembangkan Anak sesuai dengan
kemampuan, bakat, dan minatnya;
c. mencegah terjadinya perkawinan pada usia Anak; dan
d. memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai
budi pekerti pada Anak.
(2) Dalam hal Orang Tua tidak ada, atau tidak diketahui
keberadaannya, atau karena suatu sebab tidak dapat
melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, kewajiban
dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat beralih kepada Keluarga, yang dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan per Undang-undangan.
Dari paparan di atas, secara ringkas dapat disampaikan
bahwa pernikahan dini atau anak-anak di Indonesia, berdasar
UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, KHI melalui
Inpres No. 1 Tahun 1991, UU Nomor 23 Tahun 2003 cenderung
dibatasi dan dilarang (walau tidak tegas ), namun pernikahan
dini di bawah usia yang diizinkan oleh UU Perkawinan masih
dimungkinkan dengan jalan mengajukan izin dispensasi
kawin ke pengadilan agama setempat bagi yang beragama
Islam.
F. Faktor Penyebab Masih Maraknya Nikah Dini
1. Pergaulan bebas di kalangan remaja yang berakibat hamil
sebelum nikah.
2. Faktor ekonomi, di mana orang tua yang mengalami
kesulitan dalam membesarkan dan membiayai anak
memilih menikahkan dengan pria yang dipilihnya,
syukur-syukur dapat orang kaya.
59
3. Faktor budaya setempat, di mana orang tua merasa malu
jika anaknya sedikit terlambat menikah takut dikatakan
perawan tua.
4. Faktor agama atau takut terjatuh dalam zina menjadi
alasan tersendiri yang banyak dilakukan orang tua.
G. Upaya mencegah Pernikahan dini
1. Sosialisasi agar masyarakat menjadi paham UU
Perkawinan, UU perlindungan anak dan lain-lain.
2. Perluasan kesempatan belajar hingga ke pelosok desa.
3. Mengubah mind set masyarakat bahwa menikahkan anak-
anak itu kurang maslahat
4. Pelibatan ormas Islam dan sayap kepemudaan untuk
kampanye anti nikah dini.
H. Menimbang Manfaat-Mudarat Pernikahan Dini
Sehubungan dengan dibolehkannya pernikahan dini,
tak dapat dipungkiri di sana ada beberapa manfaat yang dapat
dipetik, di antaranya dapat dikemukakan hal-hal sebagai
berikut :
1. Mengurangi ekses pergaulan bebas (free sex ).
2. Lebih terjamin kesucian dan kebersihan masing-masing
calon pengantin sebelum menikah.
3. Secara ekonomi, bagi keluarga si perempuan, dapat
mengurangi ‘beban’ ekonomi keluarga, dan jika sang
suami kebetulan dari keluarga mampu, juga dapat
membantu meringankan beban ekonomi keluarga si
perempuan.
4. Menempa jiwa untuk lebih bertanggung-jawab.
Sedang dampak negatif nikah dini, Siti Musdah Mulia
dan kawan-kawan menyampaikan beberapa sisi negatif dari
pernikahan dini sebagai berikut :
60 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam
1. Dari sisi kesehatan, kehamilan atau melahirkan anak di
bawah usia 20 tahun lebih rentan bagi kematian bayi dan
ibunya. Melahirkan yang sehat menurut ilmu kedokteran
yaitu antara usia 20-35 tahun.
2. Dari segi fisik, pasangan usia belia masih belum mampu
dibebani suatu pekerjaan yang memerlukan ketrampilan
fisik untuk mendatangkan pendapatan yang mencukupi
kebutuhan keluarga.
3. Dari segi mental, pasangan yang masih belia masih belum
siap bertanggung jawab secara moral mengenai apa saja
yang menjadi tanggung jawabnya.
4. Dari segi pendidikan, usaha pendewasaan usia
pernikahan dimaksudkan buat mendapatkan pendidikan
yang lebih tinggi yang lebih berguna buat menyiapkan
masa depannya.
5. Dari segi kependudukan, perkawinan usia dini yaitu
masa yang tingkat kesuburannya tinggi sehingga kurang
mendukung pembangunan di bidang kesejahteraan.
6. Dari segi kelangsungan rumah tangga, pernikahan dini
lebih rentan dan rawan perceraian mengingat mereka
belum stabil, tingkat kemandiriannya masih rendah. (Siti
Musdah Mulia, 2003 : 79-80)
Dalam hal ini menarik untuk dikutip pendapat Fatima
Umar Naseef dalam bukunya Women in Islam a Discourse in
Rights and Obligations, ia menjelaskan, sebaiknya pernikahan
dini dan pernikahan paksa dihindari dengan alasan :
1. Tidak ada orang yang mampu menyamai Nabi SAW dan
Aishah dalam hal kesalehan dan keutamaan keduanya.
2. Kerugian pernikahan gadis kecil yang dipaksa kawin dan
tanpa sepengetahuannya lebih besar dari manfaat yang
akan diperolehnya.
61
3. Tidak semua orang tua (wali) berpikir terhadap
kepentingan yang terbaik buat anak gadisnya.
4. Kemaslahatan suatu aturan di suatu masa boleh jadi
berkurang atau tidak tampak di suatu masa yang bereda.
(Fatima Umar naseef, t.t. : 93-96)
I. Menikahlah jika Sudah Mampu, Bukan jika Mau!
Jika kita perhatikan secara saksama nas-nas baik dari Al-
Quran dan al-Hadis yang lain, dapat ditarik pengertian yang
lebih valid bahwa pernikahan itu hendaknya dilakukan setelah
yang bersangkutan mencapai kedewasaan dan kematangan
serta kesiapan lahir dan batin. Hal ini misalnya dapat
diperhatikan dari ketentuan surat an-Nisa` ayat 6 :
6. dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur
untuk kawin. kemudian jika menurut pendapatmu mereka
telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah
kepada mereka harta-hartanya…..
Pada ayat tersebut Allah SWT menyuruh para wali agar
menguji anak yatim sampai cukup umur buat kawin, yakni
ketika mereka sudah mencapai rusyd yakni telah pandai
menjaga dan mengembangkan harta benda mereka. Rusyd
pada masa kini pada umumnya baru dicapai ketika anak
sudah berusia di atas 21 tahun.
Selanjutnya, jika kita perhatikan hadis yang
diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari di bawah ini, nyatalah,
hanya para pemuda yang sudah siap dan ‘matang’ yang
dianjurkan untuk menikah :
ìَ مَعْشرََ الشC kبَابِ مَنْ اسC ْتَطَاعَ مِ°ْكمُْ البَْاءَةَ فلَیَْتزََوkجْ وَمَنْ لمَْ ¿سَC ْتَطِعْ فعََلیَْهِ 0ِلصkوْمِ فاَã
نkهُ
Þَُ وِaَاءٌ
Ibnu Hajar dalam menjelaskan hadis ini dalam kitabnya
Fath al-Bari, mengutip pendapat beberapa ulama ahli bahasa
62 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam
dan Fiqh menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan syabab
dalam hadis tersebut :
Syabab menurut ulama Syafi’iyyah dimulai sejak usia
baligh sampai usia 30, pendapat ini juga dikuatkan oleh Imam
an-Nawawi. Menurut Zamahsyari, penulis kitab tafsir terkenal
al-Kasysyaf, syabab dimulai sejak seseorang menginjak usia
baligh sampai ia berusia 32 tahun. Sedang makna ba’ah dalam
hal ini ada dua pendapat yakni ba`ah dengan arti kemampuan
melakukan jimak (bersetubuh ) dan kemampuan dalam
menyediakan persiapan/kelengkapan nikah.
Selain itu, menikah mengandung konsekuensi adanya
hak dan kewajiban yang harus ditunaikan. Kewajiban ini
hanya mungkin dapat dilaksanakan dengan baik jika suami-
istri masing-masing sudah dewasa dan memiliki
kesanggupan. Sedang anak-anak, bagaimana ia dapat
memikul tanggung-jawab ini, sedang mengurusi diri sendiri
saja ia masih banyak menggantungkan orang tua atau walinya.
Di samping itu, pernikahan memerlukan persetujuan
dan keridaan kedua belah pihak, bagaimana mungkin mereka
yang masih anak-anak dimintai persetujuan dan keridaannya,
kecuali dalam hal ini terjadi ‘pemaksaan’ dari orang tuanya
atau walinya. Sulit dipahami dan dibayangkan sebuah
peristiwa hukum yang amat penting ditentukan secara
sepihak oleh wali atau orang tua, sementara yang mau
menjalani masih anak-anak yang belum tahu apa arti dan
konsekuensi dari sebuah peristiwa hukum bernama
pernikahan.
Pernikahan sendiri dalam Islam disebut dengan sebutan
mitsaqan ghalizhan, yakni sebuah perjanjian yang berat, agung
dan istimewa dibanding dengan perikatan-perikatan yang
lain. Di samping itu, pernikahan dalam Islam bukan hanya
untuk tempo sebulan atau dua bulan, namun diharapkan
63
dapat kekal abadi buat selama hidupnya. Untuk itu, sebelum
seseorang memutuskan untuk mengadakan akad bernama
pernikahan, seyogianya ia terlebih dahulu mempersiapkan
segala sesuatunya agar rumah tangga yang hendak dibinanya
berdiri kokoh di atas landasan fondasi yang tahan guncangan
dan godaan.
Sehubungan dengan itu, kiranya cukup beralasan jika
pemerintah lewat Undang-undang Perkawinan (UUP) Nomor
1 tahun 1974 pasal 7 merasa perlu membatasi usia minimal
kapan seorang dapat melangsungkan pernikahan, yakni
ditetapkan 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-
laki. Namun aturan tersebut tidaklah kaku, bagi pasangan
yang -karena pertimbangan tertentu- hendak menikah sedang
umurnya belum menginjak batas usia minimal tersebut dapat
mengajukan izin dispensasi kawin kepada pengadilan Agama
setempat.
J. Penutup
Sebagai penutup sekaligus saran, kami sampaikan
beberapa hal sehubungan dengan pernikahan dini :
1. Mengingat pernikahan dini (early marriage ) banyak
mengundang risiko dan mudarat, maka sebaiknya
masyarakat menghindari pernikahan dini dengan
menunda dulu usia nikah dengan meningkatkan ilmu
pengetahuan dan ketrampilan serta persiapan mental-
spiritual dan material secara lebih matang.
2. Hendaknya masyarakat dan terutama orang tua lebih
peduli dan mengawasi pergaulan remaja putra-putri agar
tidak terjatuh dalam pergaulan bebas (free sex ) yang sering
berakibat hamil dahulu sebelum menikah.
3. Bagi para remaja agar pandai mengisi waktunya dengan
kegiatan yang manfaat dan positif untuk masa depan
64 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam
seperti aktif berorganisasi, remaja masjid, kursus dan lain-
lain.
NIKAH SIYAHI (NIKAH SHAIFI)
A.
Bepergian untuk beberapa saat merupakan kebutuhan
bagi kebanyakan orang. Apalagi bagi kalangan tertentu,
bepergian dan meninggalkan rumah berhari-hari bahkan
berminggu-minggu bisa jadi pemandangan rutin. Pedagang-
pedagang besar antar kota antar provinsi bahkan antar negara
biasa melakukan perjalanan ini. Selama perjalanan ada yang
membawa istrinya, namun tidak sedikit yang tidak ditemani
istrinya.
Bosan dengan rutinitas pekerjaan mendorong orang
untuk pergi ke tempat wisata guna refreshing. Di tempat
wisata, aneka hiburan dan kesenangan bisa disediakan dan
disuguhkan, termasuk fasilitas seksual walaupun banyak
yang dilakukan sembunyi-sembunyi. Di sinilah godaan bisa
muncul bagi muslim, di mana keyakinan agamanya di satu sisi
mengharamkan zina, sementara di sisi lain ia ingin
mendapatkan kesenangan yang barangkali bisa di’akali’
supaya tidak disebut zina. Dari sinilah muncul ide ‘kreatif’
bernama nikah wisata atau nikah Siyahi.
Nikah Siyahi (wisata) atau kadang disebut juga nikah
shaifi (nikah musim panas) cukup tenar belakangan ini. Kedua
sebutan nikah ini terkait dengan aktifitas wisata yang bagi
68 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam
sebagian orang mungkin terasa belum lengkap kalau tidak
dilengkapi dengan hiburan seksual. Nah, sebagian pelancong
muslim mencari apa yang disebut media dengan sebutan
“wisata seks halal” sebuah aktivitas ‘pelacuran’ yang
dibungkus dengan baju syariat nikah yang agung.
Memang rasa-rasanya sudah menjadi rahasia umum
bahwa tempat-tempat wisata tidak sepi dari fasilitas atau
layanan seksual baik secara sembunyi-sembunyi maupun
terang-terangan. Kadang praktik ini disamarkan dengan
aktivitas lain semacam jasa pijat, layanan plus-plus dan lain-
lain.
Di Indonesia sendiri, wisatawan yang datang dari Timur
Tengah atau bangsa Arab pada umumnya mayoritas yaitu
muslim. Seawam-awamnya mereka tentu tahu bahwa
hubungan seksual di luar nikah yaitu haram dan tentunya
dosa besar. Selain itu, di negeri yang mayoritas penduduknya
muslim perbuatan zina umumnya ditolak dan sebagian lagi
diancam sebagai tindakan pidana yang bisa berakibat
hukuman kurungan sampai hukuman rajam. Berbeda dengan
negara barat yang menganggap hubungan seksual suka sama
suka yaitu sesuatu yang bisa diterima secara sosial dan
bukan tindak pidana karena tidak ada korban yang dirugikan
di sini.
Maka tidak terlalu aneh kalau di negeri-negeri Arab
yang mayoritas muslim terdapat ‘kreativitas’ dalam
pemunculan istilah dan model nikah jenis baru yang
sebenarnya substansi dan esensinya tidak jauh beda dengan
model nikah Mut’ah ataupun nikah dengan niat talak yang
sudah dikenal ulama fikih masa lalu.
B. Pengertian Nikah Siyahi
Nikah Siyahi memiliki beberapa sebutan di negeri Timur
Tengah seperti nikah shaifi, nikah misyaf, nikah misfar dan lain-
69
lain. (http://www.al-jazirah.com/2010/20100701/ar7.htm,
diakses 11 November 2021) Nikah model ini ada kaitannya
cukup erat dengan nikah dengan niat talak atau nikah
mu`aqqat juga nikah Mut’ah. Karena memang sejak awal tidak
diniatkan untuk permanen, alias hanya sementara waktu saja
yang tujuannya jelas hanya sekedar bersenang-senang saja
selama melakukan wisata.
Nikah Siyahi terdiri dari dua kata, yakni nikah dan
Siyahi. Pengertian nikah sendiri yaitu akad yang
menghalalkan hubungan pria dan wanita dengan memakai
kata inkah atau tajwij. Sedang Siyahi berasal dari kata saha-
yasihu-siyahatan yang berarti dzahaba atau pergi. Pergi di sini
dalam konteks untuk refreshing atau mencari hiburan alias
bertamasya.
Adapun pengertian nikah Siyahi menurut Fuad Hamud
asy-Syaibani yaitu pernikahan yang berlangsung antara laki-
laki dan perempuan yang berlandaskan pilar-pilar utama
terlaksananya sebuah pernikahan dari sisi akad yang sah,
mahar, persetujuan keluarga, hanya saja pernikahan ini tidak
bertahan untuk jangka waktu yang lama.(Yusuf ad-Duraiwisy,
2010 : 173)
Pernikahan model ini berlangsung ketika ada seorang
wisatawan dari jauh atau luar negeri yang mengunjungi suatu
negara lalu menikahi gadis atau wanita setempat dengan niat
hanya dinikahi selama ia tinggal atau berwisata di tempat itu.
Di beberapa negara, nikah Siyahi juga disebut dengan nikah
shaifi atau nikah musim panas, karena nikah model ini
dilaksanakan pada musim panas yang umumnya dipakai
masyarakat negara teluk untuk berlibur ke tempat atau negara
lain. (Yusuf ad-Duraiwisy, 2010 : 173)
70 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam
C. Pandangan Ulama Fikih
Seorang peneliti Islam Abdullah Al-Jifin menyebut
pernikahan sementara tak memiliki landasan syariah.
Menurutnya, nikah Siyahi haram hukumnya. Bagaimana
mungkin syariat bisa membenarkan sebuah pernikahan yang
usianya hanya hitungan jam atau hari saja.
(https://www.republika.co.id/berita/126737/para-
cendekiawan-saudi-minta-nikah-wisata-diharamkan, akses 21
November 2021)
Muhammad Shalih al-Munajjid dalam khutbahnya
menyebut nikah ini dengan mengatakan :
“Nikah Siyahi yaitu nikah mu`aqqat atau temporal,
tidak diragukan lagi bahwa nikah ini melanggar prinsip dan
dasar-dasar pernikahan dalam Islam, karena pada dasarnya
pernikahan itu dalam Islam bersifat permanen atau
selamanya, tetap, berkelanjutan, seterusnya dengan tujuan
mencapai ketenangan jiwa, mendidik anak dan lain
sebagainya. Hal ini tidak akan berhasil jika diputus di tengah
jalan. Jelas ini yaitu nikah temporal yang dilakukan semata-
mata hanya untuk kesenangan syahwat semata.
(https://ar.islamway.net/article/33249/ الزواج-السیاحي , diakses
11 November 2021)
Nikah dengan niat talak, yakni seorang menikahi wanita
dalam hatinya sudah ada niat untuk menalaknya dalam masa
tertentu namun hal ini dirahasiakan baik kepada istri maupun
walinya tanpa mengungkapkan niat tersebut saat akad nikah.
Hukum nikah ini diperselisihkan. Golongan ulama dari
kalangan Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyyah, dari kalangan
Hanabilah didukung Ibnu Qudamah dan Ibnu Taimiyah
berpendapat nikah dengan niat talak yaitu sah. Di kalangan
ulama kontemporer yang mengesahkan pernikahan ini yaitu
Ibnu Baz, Ibnu Utsaimin, Ibnu Jibrin, Muhammad al-Amin
71
asy-Syanqithy, Muhammad Mukhtar asy-Syanqithy, dan
Musthafa az-Zarqa. (Sondos Anu Nasser, 2020 : 1200)
Sebagian ulama yang dipelopori mazhab Hanbali dan
al-Auza’i berpendapat, nikah dengan niat talak yaitu batal
alias tidak sah. Ulama kontemporer yang menandaskan hal ini
yaitu Ahmad as-Suhaily, Muhammad Rasyid Ridha, Usamah
al-Asyqar, juga fatwa al-Lajnah ad-Daimah li al-Buhuts al-
‘Ilmiyyah. (Sondos Anu Nasser, 2020 : 1200)
Ulama yang mengesahkan pernikahan dengan niat talak
ini juga ada yang mengharamkan nikah ini untuk dilakukan
seperti yang difatwakan Ibnu Utsaimin, Musthafa az-Zarqa,
Yusuf al-Qardhawi, Majelis al-Arubiy li al-Ifta` wa al-Buhuts,
Majma’ Fiqh al-Islami, dan Shalih Ali Manshur. (Sondos Anu
Nasser, 2020 : 1202) Jadi nikah dengan niat talak itu sah namun
haram dilakukan menurut ulama ini.
Nikah Siyahi jelas kontroversial. Bisa jadi secara formal
memenuhi syarat nikah, namun jika melihat maksud dan
tujuan jelas tidak ideal. Bagaimana mungkin orang menikah
sejak awal sudah diniatkan untuk hanya sementara, walau
dalam akad tidak disebutkan batas waktunya agar supaya
tidak dituding mempraktikkan nikah Mut’ah yang di kalangan
sunni sepakat mengharamkannya. Apalagi jika pihak wanita
dan keluarga si wanita tidak tahu niat ‘jahat’ ini jelas akan
menyakiti dan merugikan si wanita tersebut.
D. Faktor Pendorong Nikah Siyahi
Nikah Siyahi dilatar belakangi keinginan bersenang-
senang dengan lawan jenis dengan dibungkus baju agama
supaya sedikit berbeda dengan zina yang jelas-jelas dilarang
dalam agama Islam. Nafsu syahwat termasuk nafsu dasar
yang setiap pria-wanita normal membutuhkan dan
menginginkannya. Nafsu ini juga menjanjikan kenikmatan
tersendiri bagi yang melakukannya sehingga tidak aneh kalau
72 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam
kesenangan ini selalu dicari baik dengan cara halal maupun
haram atau syubhat.
Turis dari Timur Tengah memang umumnya beragama
Islam sunni. Seawam-awam mereka juga tahu kalau zina itu
dosa bahkan dosa besar. Maka mereka menggunakan term
nikah, bukan zina. Nikah yang dilakukan ini pada dasarnya
ada kemiripan dengan nikah Mut’ah hanya saja tidak secara
tegas disebut dalam akad batasan waktunya. Nikah Siyahi
lebih dekat ke pengertian nikah dengan niat talak, karena
memang setelah acara wisata selesai mereka akan bercerai
dengan cukup diucapkan tanpa harus repot mendaftarkan ke
pengadilan.
Nikah ini bisa eksis karena ada hukum penawaran dan
permintaan. Pria butuh pelampiasan nafsu, si wanita butuh
dicukupi kebutuhan ekonomi di samping juga nafsu. Selain
itu, dengan dibungkus baju nikah, mereka merasa bukan dosa
lagi walau segudang permasalahan bisa muncul akibat
kecerobohan melakukan nikah kontroversial ini.
E. Pencegahan Nikah Siyahi
Mengingat besarnya mudarat yang mungkin timbul
akibat pernikahan model ini, sudah semestinya segenap
elemen masyarakat berusaha mencegah dan menghindarinya.
Masyarakat perlu dipahamkan dan disadarkan akan risiko
dan bahaya nikah Siyahi ini. Nikah Siyahi sendiri hukumnya
masih diperselisihkan antara boleh dan tidak boleh, sah dan
tidak sah. Selain itu, posisi perempuan dalam hal ini jelas lebih
lemah dan rentan dirugikan, belum kalau misalnya sampai
hamil atau melahirkan. Selain itu, penegakan hukum harus
lebih tegas dan jelas dengan melarang pernikahan seperti ini
dan jika perlu disediakan sanksi yang tegas baik berupa denda
maupun kurungan. Tidak kalah penting masyarakat juga
73
perlu disejahterakan supaya tidak menempuh cara-cara
mencari nafkah dengan jalan yang banyak risiko ini.
F. Mudarat Nikah Siyahi
Walau diyakini ada manfaat, tidak pelak bahwa nikah
Siyahi mengundang sejumlah masalah baik masalah hukum
maupun sosial. Secara hukum nikah ini mirip nikah sirri alias
tidak tercatat di catatan resmi. Sehingga kedudukannya sangat
rapuh di mata hukum.
Mudarat bagi kedua belah pihak jelas rawan tertular
penyakit menular seksual karena bukan termasuk perilaku
seksual yang aman. Gonta ganti pasangan jelas sangat berisiko
tinggi tertular penyakit menular seksual.
Bagi istri, akan direpotkan lagi jika ia sampai hamil dan
melahirkan sedang suami sudah pergi pulang ke negara
asalnya. Hal ini jelas menjadi beban tersendiri bagi si wanita
dan keluarganya.
G. Penutup
Nikah Siyahi yaitu salah satu nikah yang kontroversial
dan berisiko cukup tinggi. Keabsahannya masih
dipertanyakan di mata ulama dan ahli hukum. Kedudukannya
sangat lemah karena tidak tercatat di kantor resmi pencatatan
atau KUA. Rawan menularkan dan tertular penyakit menular
seksual. Tujuan pernikahan tidak akan tercapai sebagaimana
kalau pernikahan itu dilakukan secara permanen.
Pernikahan seperti ini jelas tidak direkomendasikan
dilihat dari jurusan mana pun. Sebaiknya kaum muslimin
menjauhi dan tidak melaksanakan praktik nikah seperti ini.
Semoga kita semua terhindar dari perkara syubhat dan
kontroversial ini.
Dalam masalah seksual para ulama sangat berhati-hati
dengan menetapkan kaidah (as-Suyuthi, 1983 : 135)
74 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam
ا¨ٔصل في ا¨ٔبضاع التحريم )ا¨ٔشCباه والنظاÚر - شافعي )ص: 135(
Hukum asal masalah seksual yaitu haram (al-ashlu fi al-
abdha’ at-tahrim) ini berarti untuk mendapatkan seks halal
hanya ada satu jalan yakni menikah yang sah, legal, benar dan
dicatatkan sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
Selain itu, ulama juga menggariskan kaidah, masalah
pernikahan ditegakkan atas prinsip kehati-hatian (wara’),
mengingat hukum asal masalah seks yaitu haram. Dalam
soal nikah ini kita harus lebih berhati-hati melebihi kehati-
hatian kita dalam soal harta.
NIKAH FRIENDLY
(NIKAH ASHDIQA’/NIKAH
MUSYASSAR)
A.
Pergaulan muda-mudi apalagi di dunia barat sangat
mengkhawatirkan jika dilihat drai kacamata hukum Islam.
Pergaulan bebas menjadi pemandangan biasa. Kumpul kebo
menjadi mode dan tren. Bermesraan dan bertindak mesum
bahkan di tempat umum kiranya bukan menjadi hal tabu dan
rahasia lagi di umumnya negara-negara barat.
(https://www.tribunnews.com/internasional/2015/07/11/i
ni-dia-10-negara-dengan-budaya-seks-paling-bebas?, diakses
22 November 2021)
Pemuda-pemudi muslim pun menghadapi godaan yang
berat, bisa-bisa kalau iman tidak kuat ikut-ikutan arus dalam
pergaulan bebas ini. Berangkat dari keprihatinan ini, Syaikh
Abdul Majid Az-Zindani, Rektor Universitas Al-Iman Yaman,
melontarkan ide kontroversial yakni mengenalkan nikah
Ashdiqa’` ( زواج الأصدقاء ) atau nikah friend. Belakangan karena
dikritik sana-sini akhirnya diganti menjadi nikah Muyassar.
77
B. Pernikahan Muyassar
Pernikahan ini disebut juga dengan sebutan nikah
friendly زواج الفرند atau nikah Ashdiqa’` dan sebagian lagi
menyebutnya dengan nikah Muyassar. Nikah Muyassar sendiri
diberi pengertian sebagai pernikahan yang telah memenuhi
semua syarat dan rukun nikah, yaitu adanya mempelai pria,
mempelai wanita, wali mempelai wanita, proses ijab dan
kabul, dua saksi laki-laki, dan adanya mahar. Namun untuk
sementara waktu mempelai pria belum memberikan sebagian
hak mempelai wanita, seperti hak tempat tinggal atau hak
nafkah. Setelah menikah, keduanya biasanya berkomunikasi
melalui telepon/HP. Terkadang mempelai pria memberikan
nafkah batin kepada istrinya.
Pernikahan Muyassar biasanya dilakukan antara
seorang wanita dan pria yang masih sama-sama kuliah, atau
mempelai pria belum memiliki pekerjaan tetap. Meski sudah
menikah, kedua mempelai tidak hidup serumah. Nafkah
sehari-hari dan tempat tinggal bagi mempelai wanita untuk
sementara waktu ditanggung orang tuanya, sampai mempelai
pria lulus kuliah atau memiliki kemandirian ekonomi.
(https://www.hujjah.net/pernikahan-Muyassar-apa-
hukumnya/diakses 5 November 2021)
Istilah nikah Muyassar muncul awal mulanya di media
massa Timur Tengah, setelah Syaikh Abdul Majid Az-Zindani
yang juga Rektor Universitas Al-Iman Yaman, melontarkan
sebuah ide yang cukup berani dan kontroversial yakni nikah
Ashdiqa’’ atau nikah friend.
Kisahnya berawal dari kunjungan-kunjungan dakwah
Syaikh Abdul Majid Az-Zindani di beberapa negara Eropa dan
Amerika. Banyak pemuda muslim di negara-negara Barat
tersebut membawa pulang pacar perempuan (girl-friend)
mereka ke rumah. Tidak jarang pula gadis Muslimah
78 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam
membawa pulang pacar laki-lakinya (boy-friend) ke rumah,
atau bahkan hidup bersama dengan pacar laki-
lakinya alias kumpul kebo. Sebuah kebiasaan yang jamak
ditemukan di negara-negara barat. Selain itu, hubungan
seksual antara sesama pacar sudah menjadi tradisi pergaulan
di Barat. Tentunya, sedikit banyak terdapat pemuda dan
pemudi Islam yang terpengaruh oleh arus maksiat tersebut.
(https://diae.net/46811/, diakses 8 November 2021)
Melihat kondisi ini, maka Syaikh Abdul Majid Az-
Zindani menawarkan idenya, yaitu nikah
Ashdiqa’’ alias nikah friend. Istilah ini digunakan sebagai
antitesis dari istilah boy-friend dan girl-friend yang populer di
barat. Ide tersebut kemudian diseriusi dengan ditulisnya
artikel berjudul Zawaj Friend; Nikah Laa Sifah, dan lantas
dimuat di majalah Al-Mustaqbal Al-Islami, edisi 148, bulan
Sya’ban 1424 H/Oktober 2003 M. (https://diae.net/46811/,
diakses 8 November 2021)
Sementara Yusuf Qardhawi menggambarkan nikah
friend seperti nikah Misyar. Di mana nikah friend digambarkan
sebagai sebuah pernikahan seorang laki-laki dengan seorang
perempuan yang tidak tinggal satu rumah. Selain itu, laki-laki
tersebut tidak dikenai kewajiban untuk membayar nafkah dan
biasanya pihak laki-laki sudah punya istri, sehingga
perkawinannya harus dirahasiakan dari pihak istri yang
pertama. Gambaran di atas hampir mirip dengan gambaran
nikah Misyar. (al-Qardawi, 2001: 289).
Nikah friend oleh Wahbah Musthafa az-Zuhaily
sebagaimana dikutip Sa’d an-Nadi didefinisikan dengan
pernikahan antara pria dan wanita tanpa tinggal satu rumah,
di mana masing-masing tinggal di rumahnya sendiri atau
rumah keluarganya atau tinggal di negara masing-masing.
Hanya saat-saat tertentu saja mereka bertemu setelah itu
79
kembali ke rumah atau keluarga masing-masing. (Sa’d an-
Nadi, 2011 :69)
Dalam praktik, nikah friend bisa mengambil dua bentuk
yakni :
Seorang pemuda muslim belajar ke luar negeri seperti
ke Eropa, di mana ia kenal dengan seorang gadis dan sudah
dekat sedemikian rupa lalau ia menikahinya supaya tidak
terus menerus dalam pelanggaran syariat dengan memenuhi
syarat rukun nikah, hanya saja mereka belum tinggal satu
rumah. Si istri masih bersama keluarganya, jika butuh bertemu
mereka melakukannya. Hanya saja suami belum dituntut
memberi nafkah, tempat tinggal serta kewajiban lainnya. .
(Sa’d an-Nadi, 2011 :69)
Bentuk kedua, ada dua muda mudi masih berstatus
pelajar atau mahasiswa yang saling mencintai dan sudah
akrab, wali si wanita ingin agar anaknya tidak terjadi
pelanggaran syariat, maka ia nikahkan anaknya itu dengan
pria tadi, lantas si gadis masih tinggal bersama orang tuanya,
mereka baru berkumpul setelah suami mampu menafkahi dan
menyediakan tempat tinggal. (Sa’d an-Nadi, 2011 :69-70)
C. Kontroversi Istilah dan Respons Ulama
Gagasan Syaikh Az-Zindani menawarkan zawaj friend
tak pelak mengundang reaksi beragam di kalangan ulama dan
masyarakat Timur Tengah. Sebagian ulama dan tokoh
mendukung ide tersebut, namun tak sedikit pula yang
menentangnya.
Hal pertama yang menjadi titik kontroversi dari ide
Syaikh Az-Zindani yaitu penggunaan istilah nikah friend.
Istilah tersebut dianggap ada kaitannya dengan istilah boy
friend dan girl-friend, yang mencerminkan budaya
pacaran, kumpul kebo, dan free sex di Barat. Mengapa tidak
80 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam
memakai istilah lain yang lebih sesuai dengan syariat Islam?
(https://diae.net/46811/akses 7 November 2021)
D. Konferensi Pers dan Nikah Muyassar
Menanggapi kontroversi tersebut, akhirnya Syaikh Az-
Zindani merespons dengan menggelar konferensi pers.
Konferensi pers tersebut ditayangkan dalam program lin-Nisa’
Faqath oleh stasiun TV Al-Jazeera pada hari Jumat, 24 Jumadi
Tsaniyah 1424 H/22 Agustus 2003 M. Dalam konferensi pers
tersebut, Syaikh Az-Zindani menjelaskan bahwa zina dengan
pacar (boy friend atau girl friend) di Barat sudah menjadi
kelaziman budaya mereka. Dalam syariat Islam sendiri ada
dua bentuk zina yaitu:
Sifah, yaitu zina secara terang-terangan seperti kumpul
kebo.
Ittikhadzu Akhdan, yaitu zina secara sembunyi-
sembunyi, seperti perzinaan dengan pacar secara diam-diam
(gendakan, Jawa). Kedua jenis zina tersebut jelas diharamkan
oleh Allah SWT (QS. Al-Maidah [5]: 5)
Supaya generasi muda selamat dari pacaran, perzinaan,
dan kumpul kebo dengan pacarnya, maka Syaikh Az-Zindani
menawarkan gagasan untuk menjalankan pernikahan yang
dipermudah (nikah Muyassar). Inilah awal mula istilah nikah
friend berubah menjadi nikah Muyassar.
E. Landasan Syariat Nikah Muyassar
Syaikh Az-Zindani membangun ide nikah Muyassar di
atas dua landasan syariat, yakni:
Jika pernikahan telah dilangsungkan dengan memenuhi
semua syarat nikah dan rukunnya, maka mempelai wanita
dan mempelai pria halal melakukan hubungan seksual. Suami
wajib memberikan nafkah dan tempat tinggal kepada istri.
Istri wajib menyerahkan dirinya kepada suami ketika suami
81
menginginkan hubungan seksual dengan istrinya. Hak dan
kewajiban tersebut berlaku saat kedua belah pihak memiliki
kemampuan untuk melakukannya (QS. Ath-Thalaq [65]: 6).
Namun jika istri rela, istri boleh merelakan tidak diberi nafkah
dan tempat tinggal, karena faktor kesulitan ekonomi atau
faktor lainnya yang dialami oleh suaminya. (al-Muthlaq, 2006
: 20-21)
Ide Syaikh az-Zindani merupakan saran solutif untuk
problematik yang dihadapi muda-mudi Islam di Eropa dan
Amerika. Beliau memberikan solusi alternatif bagi mereka,
seperti solusi bagi orang yang kelaparan dan terpaksa
memakan hal yang diharamkan demi mempertahankan
nyawanya.
Ide ini dari satu sisi sebenarnya sangat mulia, yakni
memudahkan orang untuk menikah. Namun di sisi lain
memang ada yang kurang ideal. Karena menikah yang ideal
apalagi ditumpangi adat istiadat yang menuntut mahar dan
biaya tinggi dalam pernikahan akan memberatkan sebagian
pemuda untuk menikahi wanita idamannya. Hal ini cukup
mudah ditemukan dalam budaya masyarakat Timur Tengah.
Sehingga banyak pria yang terpaksa menunda pernikahan
atau kalau tidak mampu menjaga diri malah terjatuh dalam
perzinaan dan pergaulan bebas.
F. Hukum Nikah Muyassar
Ada beragam tanggapan terhadap usulan nikah
Muyassar ini. Sebagian ulama memperbolehkan nikah
Muyassar, sebagian lainnya memakruhkannya, dan sebagian
lainnya malah mengharamkannya.
Sebagian ulama kontemporer berpendapat
nikah Muyassar itu sah dan boleh, dengan syarat mempelai
wanita rida, pada awal akad tidak ditentukan lamanya waktu
“perpisahan” kedua mempelai, dan tidak diniatkan talak sejak
82 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam
semula. Di antara ulama yang membolehkan yaitu Syaikh
Abdul Aziz bin Bazz, Abdul Aziz bin Abdullah Alu Syaikh,
Yusuf Muhammad al-Muthlaq, Abdullah bin Abdurrahman
al-Jibrin, Abdul Muhsin al-Ubaikan, Abdul Hamid Hamdi,
Ibrahim bin Shalih al-Khudhairi, dan Sa’ad al-Unzi. (al-
Muthlaq, 2006 : 22 dst, as-Sabi’i, 2014 : 173)
Argumentasi ulama yang membolehkan yaitu :
a. Pernikahan tersebut telah memenuhi semua syarat dan
rukun nikah, sehingga wajar dihukumi sah.
b. Mempelai wanita boleh melepaskan sebagian haknya
seperti tempat tinggal, nafkah, atau bermalam
bersamanya; dengan syarat atas dasar keridaan dirinya
dan bukan atas permintaan atau paksaan dari mempelai
pria.
c. Pernikahan ini selaras dengan ajaran syariat untuk
mempermudah dan memperlancar pernikahan.
Dalam beberapa hadis Nabi SAW menyatakan :
<uعْظَمُ ال¶ّ ِسَاءِ {رََكَةً <u¿سرَُْهُنk مَôوُنةًَ
“Istri yang paling besar keberkahannya yaitu yang
paling ringan beban nafkahnya.” (HR. Ahmad, Al-Hakim, dan
Al-Baihaqi)
Di lain hadis beliau bersabda :
ا
ã
نk مِنْ یمُْنِ المَْرْ<uةِ تÏَسِْيرَ خِطْبَتهِاَ وَتÏَسِْيرَ صَدَاقِهَا وَتÏَسِْيرَ رَحمِِهَا
“Sesungguhnya di antara keberkahan seorang wanita
yaitu ia mudah dilamar, mudah maharnya, dan mudah
melahirkan bayinya.” (HR. Ahmad, Ibnu Hibban, dan Al-
Hakim)
Pernikahan ini merealisasikan tujuannya, yaitu
ketenangan jiwa, kasih sayang, terjaganya pandangan mata,
telinga, hati, dan kemaluan dari perbuatan haram. Mengingat,
83
dengan pernikahan ini telah halal hubungan suami-istri. (Sa’d
an-Nadi, 2011 :73-77, as-Sabi’i, 2014 : 173 dst)
Sebagian ulama kontemporer berpendapat pada asalnya
hukum nikah Muyassar yaitu sah dan boleh. Namun mereka
menyatakan bisa berubah menjadi makruh. Mereka
memberikan beberapa catatan. Di antara mereka yaitu
Syaikh Muhammad Sayyid at-Thantawi, Abdullah bin Mani’,
Su’ud asy-Syuraim, Muhammad Raf’at Utsman, dan Yusuf al-
Qaradhawi.
Argumentasi yang dikemukakan ulama ini yaitu :
1. Nikah Muyassar telah memenuhi rukun-rukun dan syarat-
syarat nikah, sehingga secara asal hukumnya sah dan
halal.
2. Mempelai wanita boleh merelakan sebagian haknya,
seperti tempat tinggal dan nafkah.
3. Nikah Muyassar bukanlah pernikahan ideal yang bisa
merealisasikan tujuan-tujuan pernikahan sebagaimana
yang ditetapkan oleh Islam. Nikah Muyassar “hanya”
merealisasikan salah satu tujuan nikah saja, yaitu
terjaganya pandangan mata, telinga, hati, dan kemaluan
dari hal yang diharamkan. Padahal tujuan-tujuan
pernikahan dalam Islam lebih luas dari hal itu. Hanya saja
kondisi nikah Muyassar yaitu pernikahan yang
diharuskan oleh paksaan kondisi kehidupan dan
kemampuan ekonomi. (Sa’d an-Nadi, 2011 : 77-81)
Meskipun halal dan sah, mempelai laki-laki tetap wajib
memperhatikan problem-problem rumah tangga setelah
terjadinya pernikahan. Apabila tidak mendapatkan nafkah
yang cukup dari orang tua, mempelai wanita berhak meminta
nafkah kepada suaminya. Selain itu, mempelai pria wajib
memperhatikan pendidikan anak mereka, jika anak mereka
telah lahir.
84 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam
Sebagian ulama kontemporer menyatakan
nikah Muyassar yaitu haram. Di antara mereka yaitu Syaikh
Nashr Farid Washil, Abdul Aziz al-Musnid, Ajil Jasim an-
Nasymi, Muhammad az-Zuhaili, Umar Sulaiman al-Asyqar,
dan Ali Qurrah Daghi. (al-Muthlaq, 2006 : 27 dst, as-Sabi’i,
2014 : 181 dst)
Argumentasi kelompok ulama yang mengharamkan
terangkum dalam penjelasan berikut ini : (as-Sabi’i, 2014 : 182
dst)
1. Nikah Muyassar tidak merealisasikan tujuan utama
pernikahan yaitu membina keluarga yang stabil dan
mendidik anak-anak. Nikah ini hanya menjadi sarana
komunikasi atau melampiaskan kebutuhan seksual
semata.
2. Nikah Muyassar belum atau tidak bisa
merealisasikan keluarga yang sakinah (ketenangan
jiwa), Mawaddah (cinta yang mendalam)
dan Rahmah (kasih sayang) bagi mempelai wanita, karena
suaminya jarang berada di sampingnya.
3. Dalam nikah Muyassar, wanita tidak bisa menunaikan
banyak kewajibannya terhadap suami, demikian pula
sebaliknya.
4. Mempelai wanita dihadapkan pada kemungkinan
dimarahi atau bahkan diceraikan saat ia meminta nafkah,
tempat tinggal, atau hak lainnya kepada suaminya. Sebab,
suaminya bisa jadi menolaknya dengan alasan saat akad
nikah telah ada kerelaan dari pihak mempelai Wanita
untuk melepaskan sebagian hak-haknya.
G. Pentarjihan Pendapat
Dari kajian masing-masing pendapat dan
argumentasinya, Syaikh Fahd bin Abdullah dan Ahmad bin
85
Yusuf ad-Duraiwisy menarik kesimpulan bahwa pendapat
yang membolehkan yaitu pendapat yang lebih kuat. Hal itu
karena beberapa alasan berikut:
1. Nikah Muyassar yaitu pernikahan yang telah memenuhi
rukun-rukun dan syarat-syarat pernikahan yang
ditetapkan oleh syariat. Jika sudah demikian, maka ia
merupakan pernikahan yang sah secara Syari.
2. Nikah Muyassar tidak mengandung unsur penipuan,
pemalsuan, niat untuk menalak, penambahan ataupun
pengurangan terhadap syarat-syarat sah pernikahan. Sejak
awal sudah dilakukan dengan transparan.
3. Mempelai pria dan mempelai wanita tidaklah berdosa jika
mereka rela tidak menerima sebagian hak mereka dari
pasangannya, mengingat hak bisa digugurkan oleh
pemiliknya.
4. Nikah ini merealisasikan salah satu tujuan utama
pernikahan, yaitu menjaga pandangan mata, telinga, dan
hati dari zina dan perbuatan keji lainnya. Tidak diragukan
lagi bahwa bagi para pemuda dan pemudi, dorongan
syahwat yaitu salah satu problem terbesar yang mereka
hadapi dalam kehidupan sehari-hari. Belum lagi kondisi
pergaulan bebas yang sangat kuat mengajak mereka
kepada perbuatan zina dan sejenisnya.
5. Akad nikah tidak mesti merealisasikan semua tujuan
utama pernikahan. Jika sebagian tujuan utama telah
tercapai, maka hal itu sudah mencukupi.
Pada dasarnya, menghukumi sebuah perkara cukup
didasarkan kepada terpenuhinya syarat-syarat dan rukun-
rukun serta tiadanya pembatal-pembatal atau penghalang
pada perkara yang bersangkutan; bukan kepada hikmah-
hikmah dari perkara tersebut. Demikian pula keabsahan akad
86 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam
nikah. https://www.hujjah.net/pernikahan-Muyassar-apa-
hukumnya/, akses 22 November 2021)
H. Kesimpulan
Zawaj Friend, zawaj Ashdiqa’`, zawaj Muyassar yaitu
salah satu bentuk nikah kontemporer yang kontroversial
dilihat dari sisi hukum dan juga sosial. Ulama yang
membolehkan lebih banyak menyoroti dari sisi terpenuhinya
syarat dan rukun dan kurang memperhatikan dampak dan
akibat di masyarakat di kemudian hari. Sementara ulama yang
melarang lebih melihat pada sisi dampak yang mungkin
timbul dari pernikahan model ini yang cenderung tidak
merealisir tujuan sebuah pernikahan.
Sudah semestinya kita menghindari hal-hal yang
kontroversial dan mengandung kesamaran, termasuk dalam
hal ini nikah friend yang pada dasarnya tujuannya hanya
jangka pendek biar bisa ‘halal’ bersenang-senang dengan
lawan jenis, sedang tujuan lain seakan-akan terabaikan.
NIKAH BEDA AGAMA
A.
Cinta memang tidak bermata, demikian kata sebagian
anak muda. Kalau ia datang, seolah dia tidak memandang
agama, ras, suku, status sosial dan lain-lain. Namun tidak
sedikit juga masyarakat yang membatasi cinta dengan
batasan-batasan tertentu tak terkecuali dalam soal agama.
Kebanyakan agama cenderung melarang pernikahan antar
agama dengan sedikit pengecualian.
Sungguhpun dilarang dalam agama, dalam praktik
tidak jarang ada pasangan yang nekat tetap ingin melanjutkan
pernikahan walau ada hambatan dan penentangan sana-sini.
Dari menikah sirri, kawin lari, kawin ke luar negeri hingga
murtad atau hanya pura-pura murtad pun ditempuh guna
mempertahankan supaya bisa tetap menikah dengan pujaan
hati.
Di Indonesia sendiri pasangan beda agama cukup
mudah ditemukan di tengah masyarakat. Tidak hanya
dilakukan artis yang menyedot perhatian publik, namun juga
di kalangan orang awam pun bisa dijumpai. Dalam praktik
sebenarnya secara hukum pernikahan beda agama tidak
dibenarkan oleh hukum positif dan tidak akan dilayani oleh
petugas. Yang terjadi pada saat akad sebenarnya pernikahan
89
satu agama, karena kalau beda agama tidak akan dilayani
petugas baik PPN maupun Kantor Catatan Sipil. Untuk
mengelabuhi hukum, tidak sedikit pasangan ini berpindah
agama ke salah satu pasangan. Perpindahan ini bisa jadi tulus
tapi juga bisa karena modus. Modus dimaksud hanya sekedar
biar bisa dinikahkan dan mendapat akta nikah. Namun setelah
itu ia kembali ke agamanya semula. Bahkan bisa terjadi ada
yang melakukan akad nikah dua kali, menikah pertama sesuai
agama istri dan menikah lagi secara agama suami. Dalam hal
ini tentu saja akta nikah yang berlaku yaitu akta yang
terakhir.
Perkawinan beda agama jelas menimbulkan polemik
dan kontroversi di tengah-tengah masyarakat dan keluarga.
Umumnya pernikahan ini ditentang dan tidak direstui. Ada
yang mau berhenti dan memutus hubungan, namun tidak
sedikit pula yang nekat melawan arus dengan segala risiko
yang akan ditanggung kelak.
B. Pengertian Nikah Beda Agama
Pernikahan beda agama atau pernikahan antar agama
(interfaith marriage) yaitu pernikahan di mana antara suami
dan istri memiliki agama yang berbeda pada saat akad
nikahnya berlangsung, misalnya prianya beragama Islam
sementara istrinya beragama Kristen dan lain sebagainya.
Kalau ketika menikah satu agama, kemudian di tengah
perjalanan salah satu pasangan berpindah agama, maka
penulis menyebutnya pasangan rumah tangga beda agama.
Dalam soal pernikahan beda agama, ajaran Islam tidak
dalam posisi menutup rapat, tapi juga tidak membuka lebar-
lebar. Pernikahan antar agama masih mungkin dilakukan jika
prianya muslim sementara wanitanya ahli kitab (Yahudi dan
Nasrani) menurut jumhur ulama. Di luar itu pernikahan antar
agama tidak diberikan tempat. Terutama jika pengantin
90 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam
perempuannya seorang muslimat sedang mempelai prianya
non muslim, dalam hal ini pernikahan beda agama ditutup
rapat.
Namun dalam perkembangannya, khususnya di
Indonesia, karena satu dan lain hal, pernikahan antar agama
cenderung ditutup rapat sebagaimana terlihat dalam KHI dan
fatwa MUI.
C. Pandangan Ulama Tafsir dan Fikih
Pernikahan antar agama perlu dibedakan dulu dalam
agama Islam sebelum menentukan hukumnya. Paling tidak
ada 3 model pernikahan antar agama ini.
1. Pernikahan antara pria muslim dengan wanita ahli kitab.
2. Pernikahan antara pria muslim dengan wanita non
muslim dan non ahli kitab.
3. Pernikahan wanita muslim dengan pria non muslim.
D. Pernikahan Pria Muslim dengan Wanita Ahli Kitab
1. Pendapat Yang Membolehkan
Adapun pernikahan model pertama, maka jumhur
ulama cenderung membolehkan dengan syarat wanita
kitabiyah itu muhshanat alias wanita baik-baik yang bisa
memelihara kehormatannya.
Al-Qasimi dalam tafsirnya Mahasin at-Ta`wil
menyatakan, zahir ayat membolehkan menikahi wanita
ahli kitab, ini yaitu mazhab mayoritas Fuqaha’ dan ahli
tafsir. Hal ini sebagaimana tampak dalam teks di bawah
ini.
ظاهر ا¨یٓة جواز 9كاح الك¢ابیة . وهذا مذهب <ٔكثر الفقهاء والمفسر®ن .
Akan tetapi pembolehan tersebut bersifat makruh
sebagaimana yang disampaikan oleh Wahbah Az-Zuhaili,
91
bahwa mazhab Hanafi berpendapat, seorang muslim
makruh menikah dengan perempuan Ahli Kitab dan ahli
dzimmah. Karena Umar berkata kepada orang-orang yang
kawin dengan perempuan ahli kitab, “Ceraikanlah
mereka”. Maka para sahabat menceraikan mereka, kecuali
Hudzaifah. Kemudian, Umar berkata kepadanya,
“Ceraikanlah dia.” Maka Hudzaifah bertanya, “Apakah
kamu bersaksi bahwa dia haram?” Umar kembali berkata
kepadanya, “Dia minum minuman keras.” Hudzaifah
kembali berkata “Aku telah mengetahui dia minum
minuman keras, akan tetapi dia halal bagiku.” Setelah
lewat beberapa waktu, dia ceraikan istrinya tersebut. Lalu
ada orang yang berkata kepadanya, “Mengapa kamu tidak
menceraikannya manakala Umar memerintahkan hal itu
kepadamu?” Dia menjawab, “Aku tidak mau manusia
melihat aku melakukan suatu perkara yang tidak
selayaknya aku lakukan”. (az-Zuhaily, 2011 : 272)
Permasalahannya yaitu , siapakah yang dimaksud
ahli kitab itu? Untuk ini para ulama memiliki pendapat
yang berbeda.
Ibnu Katsir mengutip pendapat bahwa yang
dimaksud ahli kitab yaitu Israiliyyat dan ini yaitu
pendapat mazhab asy-Syafi’i. ada yang menyatakan ahli
kitab yaitu kelompok dzimmi (non muslim yang dalam
perlindungan pemerintah Islam) bukan harbiyat (non
muslim yang menyatakan perang dengan pemerintah
Islam).(Ibnu Katsir, III : 42) Jumhur ulama membatasi ahli
kitab hanya kepada Yahudi dan Nasrani yang berpegang
pada Taurat dan Injil bukan yang lain.
Demikian pula, siapakah yang dimaksud al-
muhshanat dalam ayat di atas?
92 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam
Ibnu al-Jauzi dalam Zad al-Masir menyatakan, dalam
menafsirkan al-muhshanat ada dua penafsiran, pendapat
pertama menyatakan wanita merdeka atau bukan budak
sebagaimana pendapat Ibnu Abbas. Pendapat kedua,
wanita yang pandai menjaga kehormatan diri
sebagaimana pendapat al-Hasan, asy-Sya’bi, an-Nakha’i,
adh-Dhahhak, dan as-Suddi. Menurut pendapat ke dua ini
boleh menikahi wanita ahli kitab baik merdeka atau budak
dengan syarat mereka wanita baik-baik yang bisa menjaga
kehormatan diri. (Ibnu al-Jauzi, II : 173)
Alasan yang dipakai kelompok ini yaitu petunjuk
zahir dalam surat al-Maidah ayat 5 yang menyatakan:
الیَْوْمَ <³1ِلk لكمَُُ الطkیِّبَاتُ وَطَعَامُ اkِ®نَ <³وتوُا الْكِ¢اَبَ 1ِلø لكمَُْ وَطَعَامُكمُْ 1ِلø لهَُمْ
وَالمُْحْصَناَتُ مِنَ المُْؤْمِ°اَتِ وَالمُْحْصَناَتُ مِنَ اkِ®نَ <³وتوُا الْكِ¢اَبَ مِنْ قَْلِكمُْ ا
ã
ذَا
<تٓÏَ¢ُْمُوهُنk <³جُورَهُنk مُحْصِنِينَ Âيرََْ مُسَافِÊِينَ وَلاَ مُ¢kùِذِي <uáْدَانٍ وَمَنْ ®كَْفُرْ 0ِلاْã
يماَنِ
فقََدْ حَِطَ عمََüُُ وَهُوَ فيِ ا¨ْخِٓرَةِ مِنَ الùَْاسرِِ®نَ )5(
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan
(sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal
bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka.
(Dan dihalalkan mengawini) wanita yang menjaga
kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan
wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-
orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah
membayar mas kawin mereka dengan maksud
menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak
(pula) menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang
kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum
Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat
termasuk orang-orang merugi.
93
1. Pendapat yang Melarang
Minoritas ulama melarang pernikahan pria muslim
dengan wanita ahli kitab. Tokoh utama kelompok ini
yaitu Ibnu Umar, Ibnu Hazm dan juga kalangan Syiah
Imamiyah.(Ali Bin Nayif asy-Syuhud, t.t, II : 37)
Ibnu Umar salah seorang sahabat Nabi dengan tegas
melarang pria muslim menikahi wanita ahli kitab.
Kecenderungan ini juga semakin didukung oleh ulama
mutaakhirin di mana dampak negatif pernikahan antar
agama semakin nyata, sementara tujuan dan hikmah dari
menikahi wanita ahli kitab semakin sulit tercapai. Ibnu
Katsir menukil sikap Ibnu Umar yang melarang menikahi
ahli kitab khususnya Nasrani dengan mengatakan, “Aku
tidak tahu syirik yang lebih besar daripada perkataan
sesungguhnya Tuhannya yaitu Isa, padahal Allah telah
berfirman, “Dan janganlah kamu menikahi wanita
musyrik sampai ia beriman.(Ibnu Katsir, III : 42)
E. Hikmah Pembolehan Nikah dengan Ahli Kitab
Hikmah pembolehan pernikahan pria muslim dengan
wanita ahli kitab menurut Wahbah Az-Zuhaili yaitu sebagai
berikut;
Hikmah nikahnya seorang laki-laki muslim dengan
seorang perempuan Yahudi dan Nasrani bukan sebaliknya
yaitu , seorang muslim, beriman terhadap semua Rasul dan
dengan semua agama dalam asalnya yang benar, maka tidak
ada bahaya dari suami terhadap Aqidah dan perasaan istrinya.
Sedangkan orang yang non Muslim yang tidak percaya
terhadap Islam, terdapat bahaya yang mengintai yang
membuat istrinya terpengaruh terhadap agamanya,
mengingat perempuan biasanya lebih mudah terpengaruh
dengan suaminya. Dalam hal ini keamanan Aqidah istri jelas
terancam.(az-Zuhaili, 2011 : 150)
94 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam
F. Pernikahan Antara Pria Muslim dengan Non Muslim Non
Ahli Kitab
Pernikahan model ini, sepakat para ulama akan
keharamannya.
Alasan yang dipakai di antaranya ayat berikut ini :
وَلاَ تنَْكِحُوا المُْشرِْكاَتِ حَتىk یؤُْمِنk وَ¨َuمَةٌ مُؤْمِ°ةٌَ áَيرٌْ مِنْ مُشرِْكَةٍ وَلوَْ <uعجَْبَتْكمُْ وَلاَ تنُْكِحُوا
المُْشرِْكِينَ حَتىk یؤُْمِ°وُا وَلعََبْدٌ مُؤْمِنٌ áَيرٌْ مِنْ مُشرِْكٍ وَلوَْ <uعجَْبَكمُْ <³ولئَِكَ یدَْعُونَ ا
ã
لىَ النkارِ
وَا²kُ یدَْعُو اã
لىَ الجَْنkةِ وَالمَْغْفِرَةِ 0ِã
ذْنِهِ وَیبَُينُِّ <ìَٓتِهِ ِلنkاسِ لعََلkهُمْ یتََذَكkرُونَ )221(
''Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik
hingga mereka beriman (masuk Islam). Sesungguhnya wanita
budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik,
walaupun ia menarik hatimu. Dan janganlah kamu
menikahkan wanita orang-orang musyrik (dengan wanita-
wanita mukmin) hingga mereka beriman. Sesungguhnya
budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, meskipun
ia menarik hatimu...'' (QS: al-Baqarah:221).
Wahbah az-Zuhaily dalam Tafsir al-Munir menegaskan :
دلت ا¨یٓة #لى <ٔن زواج المسلم 0لمر<ٔة المشركة كالوث¶ة والبوذیة والملÊدة لا یصح بحال.
<ٔما المر<ٔة الك¢ابیة )ا'يهودیة <ٔو النصرانیة( فقد <ٔ0ح الشرع التزوج بها بقوÞ تعالى:
وَالمُْحْصَناتُ مِنَ اkِ®نَ <³وتوُا الْكِ¢ابَ مِنْ قَْلِكمُْ ا
ã
ذا <تٓÏَ¢ُْمُوهُنk <³جُورَهُنk- *ورهن-
مُحْصِنِينَ Âيرََْ مُسافِÊِينَ ]المائدة 5/ 5[ . والمحصنات: العفائف. التفسير المنير لزحلي
)2/ 292(
Ayat ini menunjukkan bahwa pernikahan pria muslim
dengan wanita musyrikkah seperti penyembah berhala
(pagan), Budha dan Ateis tidak sah. Adapun wanita Kitabiyah
(Yahudi dan Nashrani) maka syarak membolehkan
menikahinya dengan dasar firman Allah, (Dan dihalalkan
mengawini) wanita yang menjaga kehormatan di antara
95
wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga
kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-Kitab
sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka
dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina
dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik (al-Maidah
ayat 5). al-Muhshanat di sini yaitu yang bisa menjaga
kehormatan dirinya.(az-Zuhaili, II : 292)
Adapun dalil Alquran yang menjelaskan larangan
menikahi non muslim atau musyrik terdapat pada ayat berikut
ini:
وَلاَ تنُْكِحُوا المُْشرِْكِينَ حَتىk یؤُْمِ°وُا وَلعََبْدٌ مُؤْمِنٌ áَيرٌْ مِنْ مُشرِْكٍ وَلوَْ <uعجَْبَكمُْ <³ولئَِكَ
یدَْعُونَ ا
ã
لىَ النkارِ
"Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik
(dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang
musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke
neraka,"(QS: Al-Baqarah 221)
G. Pernikahan Pria Non Muslim dengan Muslimah
Pernikahan antara Muslimah dengan pria non muslim
sepakat ulama akan keharamannya alias tidak boleh dan tidak
sah jika dilakukan. (Abu Malik, III : 93) hal ini sebagaimana
dapat dibaca dari kutipan di bawah ini.
<ٔما المسلمة فلا يحل¬ لها الزواج 0'كافر: سواء كان من <ٔهل الك¢اب <ٔو من Âيرهم،
صحیح فقه السCنة و<ٔدلته وتوضیح مذاهب ا¨ٔئمة )3/ 93(
Alasan ulama yang melarang ini sangat kuat yakni
berdasar firman Allah dalam surat al-Mumtahanah ayat 10 :
لاَ هُنk 1ِلø لهَُمْ وَلاَ همُْ يحَِل¬ونَ لهَُنk
96 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam
"Mereka (wanita-wanita Muslimah) tiada halal bagi
orang-orang non-Muslim itu dan orang-orang non Muslim itu
tiada halal pula bagi mereka," (QS: Al-Mumtahanah 10).
Mengomentari potongan ayat tersebut Ibnu Katsir
menyatakan :
وقوÞ: } لا هن 1ل لهم ولا هم يحلون لهن { هذه ا¨یٓة هي التي حرمت المسلمات #لى
المشركين، وقد كان aاÚزا في ابتداء الإسلام <ٔن یتزوج المشرك المؤم°ة؛ تفسير ا{ن كثير
/ دار طیبة )8/ 93(
Firman Allah "Mereka (wanita-wanita Muslimah) tiada
halal bagi orang-orang non-Muslim itu dan orang-orang non
Muslim itu tiada halal pula bagi mereka," ayat ini yang
mengharamkan wanita muslimat dinikahi pria musyrik,
walaupun di awal Islam diperbolehkan seorang musyrik
menikahi wanita Mukminah. (Ibnu Katsir, VIII : 93)
Musthafa al-Khin dan Musthafa al-Bugha serta Ali asy-
Syaranji dalam al-Fiqh al-Manhaji menjelaskan :
“Tidak boleh wanita Muslimah dinikahi pria non
muslim walaupun pria itu beragama, karena suami berkuasa
atas istri, dan tidak ada kekuasaan non muslim bagi muslim.
Selain itu suami berpotensi mengganggu keyakinan agama
istrinya karena ia tidak mempercayai agama istrinya. Jika
suami mau masuk Islam baru halal dinikahkan dengannya,
jika sebelum masuk Islam dinikahkan maka pernikahannya
batal dan wajib diceraikan segera, jika nekat melakukan
persetubuhan maka dihukumi dengan zina. (al-Khin dkk., IV :
18)
H. Hukum Pernikahan Beda Agama Menurut MUI
Perkara tentang pernikahan beda agama sebenarnya
telah dibahas oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) sejak lama.
97
Tepatnya pada Musyawarah Nasional (Munas) II tanggal 11-
17 Rajab 1400 H atau 26 Mei -1 Juni 1980.
MUI mengeluarkan fatwa bahwa pernikahan beda
agama tidak diperbolehkan. Pendapat tersebut didasari oleh:
Surat Al-Baqarah ayat 221
Surat Al-Mumtahanah ayat 10
Surat At-Tahrim ayat 6: “Hai orang-orang yang
beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya yaitu manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak
mendurhakai Allah terhadap apa yang diperlihatkan- Nya
kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan.”
Qa’idah Fiqh: Mencegah kemafsadatan lebih
didahulukan (diutamakan) dari pada menarik kemaslahatan.
Dengan itu, MUI menetapkan fatwa tentang
perkawinan beda agama
1. Perkawinan beda agama yaitu haram dan tidak sah.
2. Perkawinan laki-laki muslim dengan wanita Ahlu Kitab,
menurut qaul mu’tamad, yaitu haram dan tidak sah. (Ali
Mutakin, 2021:18)
Keputusan di atas dipertegas lagi melalui keputusan
Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 4/Munas
VII/MUI/8/2005 Tentang Pernikahan Beda Agama. Majelis
ulama Indonesia (MUI), dalam Musyawarah Nasional MUI
VII pada tanggal 19-22 Jumadil Akhir 1426 H. / 26-29 Juli 2005
M, setelah:
Menimbang:
1. Bahwa belakangan ini disinyalir banyak terjadi
pernikahan beda agama.
98 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam
2. Bahwa pernikahan beda agama ini bukan saja
mengundang perdebatan di antara sesama umat Islam,
akan tetapi juga sering mengudang keresahan di tengah-
tengah masyarakat.
3. Bahwa di tengah-tengah masyarakat telah muncul
pemikiran yang membenarkan pernikahan beda agama
dengan dalih hak asasi manusia dan kemaslahatan.
4. Bahwa untuk mewujudkan dan memelihara ketenteraman
kehidupan berumah tangga, MUI memandang perlu
menetapkan fatwa tentang pernikahan beda agama untuk
dijadikan pedoman.
Memperhatikan:
1. Keputusan Fatwa MUI dalam Munas II tahun 1400/1980
tentang perkawinan campuran.
2. Pendapat sidang komisi C bidang fatwa pada Munas VII
MUI 2005 Dengan tawakal kepada Allah SWT
memutuskan:
Menetapkan: Fatwa Tentang Perkawinan Beda Agama:
1. Perkawinan beda agama yaitu haram dan tidak sah.
2. Perkawinan laki-laki muslim degan wanita ahlul kitab,
meurut qaul mu’tamad yaitu haram dan tidak sah. (Fathul
Mu’in, 2019 : 94).
I. Pernikahan Beda Agama Menurut Muhammadiyah
Dalam sidang Muktamar Tarjih ke-22 pada tahun 1989
di Malang, para ulama Muhammadiyah telah menetapkan
keputusan bahwa pernikahan beda agama hukumnya tidak
sah. Laki-laki muslim tidak boleh menikahi wanita musyrik
(Hindu, Budha, Konghuchu atau agama selain Islam lainnya).
Begitu pun dengan pernikahan laki-laki muslim dengan
wanita ahlul kitab (Yahudi atau Nasrani) hukumnya juga
haram. Menurut ulama Muhammadiyah, wanita ahlul kitab di
99
zaman sekarang berbeda dengan zaman Nabi dahulu. Selain
itu menikahi wanita beda agama juga mempersulit
membentuk keluarga sakinah yang sesuai syariat Islam.
(https://fatwatarjih.or.id/hukum-nikah-beda-agama/,
diakses 23 November 2021)
J. Pendapat Nahdlatul Ulama (NU)
Dalam Muktamar ke-28 di Yogyakarta pada bulan
November 1989, ulama Nahdlatul Ulama (NU) menetapkan
fatwa bahwa pernikahan beda agama di Indonesia hukumnya
haram atau tidak sah. (Ali Mutakin, 2021: 17)
K. Pandangan Legislasi
Larangan pernikahan beda agama pernah digugat di
Mahkamah Konstitusi. Namun Putusan Mahkamah Konstitusi
(MK) menolak pengujian Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan mengenai syarat sahnya perkawinan
terkait kawin beda agama. Mahkamah Konstitusi menilai
Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan sama sekali tidak bertentangan
dengan UUD 1945. “Permohonan pemohon tidak beralasan
menurut hukum, Menyatakan menolak permohonan para
pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua Mahkamah
Konstitusi, Arief Hidayat, saat membacakan putusan
bernomor 68/PUU-XII/2014 di MK.
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt55828be906c
8b/inilah-babak-akhir-judicial-review-kawin-beda-agama,
diakses 23 November 2021)
Sementara itu edaran surat dari Mahkamah Agung per
tanggal 30 Januari 2019 No. 231/PAN/HK.05/1/2019 poin 2
yang menjelaskan soal pencatatan perkawinan beda agama.
“Perkawinan beda agama tidak diakui oleh negara dan
tidak dapat dicatatkan. Akan tetapi jika perkawinan tersebut
dilaksanakan berdasarkan agama salah satu pasangan dan
100 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam
pasangan yang lain menundukkan diri kepada agama
pasangannya, maka perkawinan tersebut dapat dicatatkan.
Misalnya, jika perkawinan dilaksanakan berdasarkan agama
Kristen maka dicatatkan di Kantor Dinas Kependudukan dan
Pencatatan Sipil, begitu pula jika perkawinan dilaksanakan
berdasarkan agama Islam maka perkawinan pasangan
tersebut dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA).”
(https://kumparan.com/millennial/pernikahan-beda-
agama-dalam-hukum-indonesia-1rHQnHmv9IA/full, diakses
23 November 2021)
Perkawinan beda agama di Indonesia memang masih
menjadi isu yang hangat untuk diperbincangkan. Dalam
peraturan Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang
perkawinan dalam pasal 8 huruf (f) menjelaskan: “perkawinan
dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang
oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang
kawin.“
Senada dengan ketentuan di atas, Kompilasi Hukum
Islam (KHI) menyatakan dalam pasal 40 huruf (c), “dilarang
melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan
seorang wanita yang tidak beragama Islam”. Hal ini diperkuat
oleh Undang-undang No.1 tahun 1974 pasal 2 ayat (1)
menyatakan bahwa “Perkawinan yaitu sah, apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu”. (Amir Syarifuddin, 2014:139-140)
L. Kesimpulan
Sah tidaknya pernikahan di Indonesia diatur dalam
Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 pasal 2 ayat 1
yang berbunyi “Perkawinan yaitu sah, apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya”. Hal tersebut berarti bahwa sah dan
tidaknya perkawinan dikembalikan ke ajaran agamanya
101
masing-masing. Bagi orang Islam harus dikembalikan ke fikih
munakahat.
Masalah yang dihadapi oleh pasangan beda agama
yaitu agama apa yang dianut oleh pasangan ini untuk
melangsungkan perkawinannya. Dan apakah agama mereka
memperbolehkan perkawinan beda agama? Dalam hal ini
pandangan ajaran Islam jelas melarang dengan tegas
pernikahan wanita muslimah dengan pria non muslim,
melarang juga pernikahan pria muslim dengan wanita non
ahli kitab, dan masih membuka peluang nikah antara pria
muslim dengan wanita ahli kitab asal mereka dari kalangan
wanita baik-baik.
Namun pandangan hukum positif di Indonesia
sebagaimana tercermin dalam ketentuan UU Perkawinan dan
KHI, ditambah fatwa MUI dan Ormas Islam besar Indonesia
NU dan Muhammadiyah, maka pernikahan antar agama
sepakat dilarang dan tidak diberi tempat sama sekali. Jadi
tidak perlu melanggar kesepakatan ini.
Ingat, menikah bukan semata persoalan perdata belaka,
dalam Islam nikah memiliki dimensi ibadah yang cukup
kental, bahkan ibadah terlama yang umumnya dijalani umat
manusia. Ibadah terlama ini jangan sampai dinodai dengan
hal-hal yang tidak diridai Allah SWT. Menikah sesama Aqidah
jelas lebih selamat dan menenteramkan hati, dan yang pasti
jauh dari kontroversial di tengah keluarga dan masyarakat.
NIKAH MISYAR
A.
Di antara bentuk nikah kontemporer yang menuai
kontroversi di kalangan ulama yaitu nikah Misyar. Sebagian
kalangan mendukung dan membolehkan dan sebagian lagi
menolaknya. Dari pengamatan sekilas, tampaknya ulama
yang melegalkan nikah ini jumlahnya lebih banyak, sedang
yang menolaknya lebih sedikit.
Nikah model ini cukup populer dan banyak diminati
utamanya di Arab Saudi dan di Mesir serta beberapa negeri di
kawasan teluk. Di Uni Emirat Arab, pernikahan Misyar yaitu
pernikahan yang legal dan jumlahnya tidak kurang dari 20.000
pasang. (https://www.emirates247.com/news/emirates/no-
rights-no-obligations-just-companionship-2010-08-23-
1.282481, diakses 22 November 2021)
Pernikahan Misyar dianggap lebih sederhana dan
murah dibanding nikah biasa karena dalam hal ini pernikahan
bisa dilakukan secara sederhana serta suami tidak dibebani
biaya atau tanggungan nafkah yang cukup berat bagi sebagian
kaum pria.
Di Arab Saudi sendiri nikah ini cukup populer, di mana
menurut penuturan Ali al-Bakr dimotivasi adanya sebagian
pria yang ingin tetap menjaga kerahasiaan pernikahannya
105
yang kedua untuk menghindari keberatan istri pertamanya
atau tekanan keluarganya. (https://www.arabnews.com/
saudi-arabia/news/642991, diakses 21 November 2021)
Nikah Misyar mulai muncul di Arab Saudi tahun 1985.
Dari Saudi model nikah ini menyebar mulai tahun 1995 ke
Mesir dan ke bagian lain dari wilayah teluk seperti Kuwait,
Bahrain, Uni Emirat Arab dan Qatar. (Shirine Jurdi, 2001 : 58)
Nikah Misyar walaupun populer di Timur Tengah, tidak
mustahil juga sudah menular ke negeri-negeri muslim lainnya
termasuk Indonesia. Nikah ini mirip-mirip dengan nikah
friend yang sudah dibahas di bab sebelumnya. Nasiri sudah
mengendus telah dipraktikkan di Surabaya dengan informan
beberapa pasangan. (Nasiri, 2018 : 193-210)
Nikah ini dilatarbelakangi mahalnya biaya nikah di
beberapa negara Timur Tengah yang berdampak banyaknya
wanita yang terlambat menikah, padahal banyak wanita
berpendidikan tinggi dengan profesi dan pekerjaan yang
menghasilkan gaji tinggi. Namun di usianya yang semakin tua
jodoh malah terasa semakin menjauh. Di sisi lain, ada lelaki
yang ingin menikah lagi namun tidak ingin terbebani dengan
berbagai kewajiban rutin seperti memberi nafkah, menunggui
setiap hari dan lain-lain. Akhirnya bak gayung bersambut,
muncullah nikah Misyar sebagai solusi jangka pendek bagi
orang yang mengalami hal seperti ini.
B. Pengertian Nikah Misyar
Kata nikah kiranya kita sudah familier mendengarnya.
Sedang Misyar terambil dari kata sara-yasiru-sairan Misyar
berasal dari bahasa Arab yaitu akar kata dari سار sudah
berjalan, یسیر sedang berjalan, سیرا berjalan dan kata مسیار yang
merupakan bentuk isim alat-nya yang artinya perjalanan.
Misyar yaitu singgah atau melewati (suatu wilayah/negeri
106 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam
tertentu) dan tidak menetap dalam waktu yang lama. (an-
Nadi, 2011 : 30)
Syaikh Yusuf al-Qardhawi mendefinisikan nikah Misyar
sebagai “pernikahan di mana seorang laki-laki (suami)
mendatangi kediaman wanita (istri), dan wanita ini tidak
pindah kediaman laki-laki tersebut. Biasanya, hal ini terjadi
pada istri kedua, sedang laki-laki ini memiliki istri lain di
rumah yang dinafkahkannya.” (al-Qardhawi, 1999: 4)
Istilah Misyar yaitu bentuk shighah mubalaghah dari
kata sair yang secara harfiah bermakna berjalan dan tidak
menetap lama di sebuah tempat. Misyar secara harfiah berarti
banyak berjalan. Pernikahan Misyar yaitu pernikahan yang
telah memenuhi semua syarat dan rukun nikah seperti adanya
mempelai laki-laki, mempelai wanita, wali mempelai wanita,
dua saksi, ijab – qabul, dan mahar. Namun dalam hal ini suami
tidak memberikan sebagian hak kepada istrinya atas dasar
persetujuan dan kerelaan istrinya tersebut. Biasanya suami
mendatangi rumah istrinya pada waktu kapan pun yang ia
kehendaki, untuk melakukan hubungan seksual dan
keperluan lainnya. Ia tinggal hanya dalam waktu yang singkat
dengan istrinya tersebut dan tidak bermalam bersamanya. (ad-
Duraiwisy, 2010 : 133 dst)
Jadi inti dari nikah Misyar yaitu pernikahan yang
memenuhi syarat dan rukun nikah sebagaimana diatur dalam
fikih, namun suami tidak menetap bersama istri (barunya), ia
hanya datang sewaktu-waktu, istri membebaskan kewajiban
suami dari memberi nafkah, tempat tinggal dan lain-lain.
Pernikahan ini biasanya terjadi pada pernikahan kedua dan
seterusnya, karena yang dibutuhkan istri yaitu status
bersuami dan bisa mendapatkan kesenangan seksual secara
halal. Sementara soal nafkah dan lain-lain ia sudah
memilikinya bahkan bisa jadi lebih kaya dari suaminya.
107
C. Gambaran Nikah Misyar
Abd Allah al-Faqih dalam Fatawa alShabkah al-Islamiyah
menjelaskan, kawin Misyar itu sama dengan perkawinan pada
umumnya, hanya saja bedanya, pihak istri dengan kerelaan
hati, membebaskan suami dari segala bentuk tanggung jawab
terkait nafkah.
Menurutnya, model kawin Misyar ini ada dua, yaitu:
Pertama, jenis perkawinan yang memenuhi semua syarat
dan rukun perkawinan-seperti halnya perkawinan pada
umumnya- akan tetapi ketika pelaksanaan akad nikah suami
mengajukan syarat agar istri membebaskannya dirinya dari
segala tanggungan nafkah dan tempat tinggal. Kedua, model
perkawinan yang sudah memenuhi syarat rukun perkawinan,
namun suami meminta istrinya agar tidak menuntut jatah
giliran (qasm) dan jatah bermalam atau mabit. Masalah qasm
dan mabit, ditentukan oleh suami, sebab suami statusnya
sudah memiliki istri. Di samping itu, suami mengajukan syarat
agar perkawinan keduanya dirahasiakan dari orang-banyak,
khususnya agar jangan sampai ketahuan istri pertama.(Abd
Allah Faqih, V : 190).
D. Sebab-sebab Maraknya Nikah Misyar
Adapun sebab-sebab munculnya pernikahan jenis ini
yaitu sebagai berikut: (al-Muthlaq, 1423 : 81 dst).
1. Bertambahnya perawan yang sudah mulai lanjut usia,
karena banyak pemuda yang enggan menikah disebabkan
mahalnya mas kawin dan biaya pernikahan, atau
disebabkan maraknya kasus perceraian, karena kondisi
seperti ini sebagian wanita merelakan dirinya menjadi istri
kedua atau ketiga dan menggugurkan sebagian haknya.
2. Kebutuhan sebagian wanita untuk tetap tinggal bersama
di rumah keluarganya, bisa jadi karena ia menjadi
108 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam
pe





.jpeg)
.jpeg)





