Tampilkan postingan dengan label Nikah kontroversi 2. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Nikah kontroversi 2. Tampilkan semua postingan

Nikah kontroversi 2

 



n terhadap ayat 1 pasal 

itu dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat 

lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun 

pihak wanita. (Ahmad Rofiq, 2017 : 59) 

Saat ini, UU No. 16/2019 tentang Perubahan atas UU 

No. 1/1974 tentang Perkawinan telah menaikkan usia minimal 

kawin perempuan dari 16 tahun menjadi 19 tahun. Dengan 

demikian, usia nikah perempuan dan laki-laki sama-sama 19 

tahun. Di bawah usia ini pasangan yang mau menikah wajib 

mengajukan izin dispensasi ke pengadilan agama bagi yang 

beragama Islam. 

Seterusnya, Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang 

disebarluaskan melalui Inpres No. 1 Tahun 1991 menguatkan 

ketentuan tersebut. Pada pasal 15, KHI menyebutkan bahwa 

batas usia perkawinan sama seperti pasal 7 UU No. 1 Tahun 

1974, namun dengan tambahan alasan: untuk kemaslahatan 

keluarga dan rumah tangga.  

 Sungguhpun demikian, perkawinan di bawah umur 

dapat dicegah dan dibatalkan oleh para pihak. Pasal 60 KHI 

57 

menyebutkan pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila 

calon suami atau calon istri tidak memenuhi syarat-syarat 

untuk melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam dan 

peraturan perundang-undangan. Yang dapat mencegah 

perkawinan yaitu   para keluarga dalam garis keturunan lurus 

ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali pengampu 

dari salah seorang calon mempelai, suami atau istri yang 

masih terikat dalam perkawinan dengan salah seorang calon 

istri atau calon suami, serta pejabat yang ditunjuk untuk 

mengawasi perkawinan. (vide pasal 62, 63, dan 64 KHI) (Erna 

Rustiana, 2020 : 11-15).  

KHI juga mengatur, perkawinan dapat dibatalkan 

antara lain dengan alasan bila melanggar batas umur 

perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 UU No. 1 

Tahun 1974 (vide pasal 71). Para pihak yang dapat mengajukan 

permohonan pembatalan perkawinan yaitu  : (1) para 

keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah 

dari suami atau istri; (2) suami atau istri; (3) pejabat yang 

berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut 

Undang-undang; (4) para pihak berkepentingan yang 

mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan 

menurut hukum Islam/Fiqh dan peraturan perundangan-

undangan (vide pasal 73). (Rahmatillah & Khofify, 2018: 152-

171). 

E. Pencegahan Pernikahan Dini 

Bisa terjadi pernikahan dini malah didorong oleh orang 

tua si gadis. Padahal semestinya orang tua berperan dalam 

pencegahan nikah dini. Orang tua jelas memiliki kewajiban 

untuk mencegah perkawinan anak. Pasal 26 Undang-undang 

Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-

undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak 

menyatakan sebagai berikut:  

58 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam 

(1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab 

untuk:  

a. mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi Anak;  

b. menumbuh kembangkan Anak sesuai dengan 

kemampuan, bakat, dan minatnya; 

c. mencegah terjadinya perkawinan pada usia Anak; dan  

d. memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai 

budi pekerti pada Anak. 

(2) Dalam hal Orang Tua tidak ada, atau tidak diketahui 

keberadaannya, atau karena suatu sebab tidak dapat 

melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, kewajiban 

dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 

dapat beralih kepada Keluarga, yang dilaksanakan sesuai 

dengan ketentuan peraturan per Undang-undangan.  

Dari paparan di atas, secara ringkas dapat disampaikan 

bahwa pernikahan dini atau anak-anak di Indonesia, berdasar 

UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, KHI melalui 

Inpres No. 1 Tahun 1991, UU Nomor 23 Tahun 2003 cenderung 

dibatasi dan dilarang (walau tidak tegas ), namun pernikahan 

dini di bawah usia yang diizinkan oleh UU Perkawinan masih 

dimungkinkan  dengan jalan mengajukan izin dispensasi 

kawin ke pengadilan agama setempat bagi yang beragama 

Islam.   

F. Faktor Penyebab Masih Maraknya Nikah Dini 

1. Pergaulan bebas di kalangan remaja yang berakibat hamil 

sebelum nikah. 

2. Faktor ekonomi, di mana orang tua yang mengalami 

kesulitan dalam membesarkan dan membiayai anak 

memilih menikahkan dengan pria yang dipilihnya, 

syukur-syukur dapat orang kaya. 

59 

3. Faktor budaya setempat, di mana orang tua merasa malu 

jika anaknya sedikit terlambat menikah takut dikatakan 

perawan tua. 

4. Faktor agama atau takut terjatuh dalam zina menjadi 

alasan tersendiri yang banyak dilakukan orang tua. 

G. Upaya mencegah Pernikahan dini 

1. Sosialisasi agar masyarakat menjadi paham UU 

Perkawinan, UU perlindungan anak dan lain-lain. 

2. Perluasan kesempatan belajar hingga ke pelosok desa. 

3. Mengubah mind set masyarakat bahwa menikahkan anak-

anak itu kurang maslahat 

4. Pelibatan ormas Islam dan sayap kepemudaan untuk 

kampanye anti nikah dini. 

H. Menimbang Manfaat-Mudarat Pernikahan Dini 

Sehubungan dengan dibolehkannya pernikahan dini, 

tak dapat dipungkiri di sana ada beberapa manfaat yang dapat 

dipetik, di antaranya dapat dikemukakan hal-hal sebagai 

berikut : 

1. Mengurangi ekses pergaulan bebas (free sex ). 

2. Lebih terjamin kesucian dan kebersihan masing-masing 

calon pengantin sebelum menikah. 

3. Secara ekonomi, bagi keluarga si perempuan, dapat 

mengurangi ‘beban’ ekonomi keluarga, dan jika sang 

suami kebetulan dari keluarga mampu, juga dapat 

membantu meringankan beban ekonomi keluarga si 

perempuan. 

4. Menempa jiwa untuk lebih bertanggung-jawab. 

Sedang dampak negatif nikah dini, Siti Musdah Mulia 

dan kawan-kawan  menyampaikan beberapa sisi negatif  dari 

pernikahan dini sebagai berikut : 

60 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam 

1. Dari sisi kesehatan, kehamilan atau melahirkan anak di 

bawah usia 20 tahun lebih rentan bagi kematian bayi dan 

ibunya. Melahirkan yang sehat menurut ilmu kedokteran 

yaitu   antara usia 20-35 tahun. 

2. Dari segi fisik, pasangan usia belia masih belum mampu 

dibebani suatu pekerjaan yang memerlukan ketrampilan 

fisik untuk mendatangkan pendapatan yang mencukupi 

kebutuhan keluarga. 

3. Dari segi mental, pasangan yang masih belia masih belum 

siap bertanggung jawab secara moral mengenai apa saja 

yang menjadi tanggung jawabnya. 

4. Dari segi pendidikan, usaha pendewasaan usia 

pernikahan dimaksudkan buat mendapatkan pendidikan 

yang lebih tinggi yang lebih berguna buat menyiapkan 

masa depannya. 

5. Dari segi kependudukan, perkawinan usia dini yaitu   

masa yang tingkat kesuburannya tinggi sehingga kurang 

mendukung pembangunan di bidang kesejahteraan. 

6. Dari segi kelangsungan rumah tangga,  pernikahan dini 

lebih rentan dan rawan perceraian mengingat mereka 

belum stabil, tingkat kemandiriannya masih rendah. (Siti 

Musdah Mulia, 2003 : 79-80) 

Dalam hal ini menarik untuk dikutip pendapat Fatima 

Umar Naseef dalam bukunya Women in Islam a Discourse in 

Rights and Obligations, ia menjelaskan, sebaiknya pernikahan 

dini dan pernikahan paksa dihindari dengan alasan : 

1. Tidak ada orang yang mampu menyamai Nabi SAW dan 

Aishah dalam hal kesalehan dan keutamaan keduanya. 

2. Kerugian pernikahan gadis kecil yang dipaksa kawin dan 

tanpa sepengetahuannya lebih besar dari manfaat yang 

akan diperolehnya. 

61 

3. Tidak semua orang tua (wali) berpikir terhadap 

kepentingan yang terbaik buat anak gadisnya. 

4. Kemaslahatan suatu aturan di suatu masa boleh jadi 

berkurang atau tidak tampak di suatu masa yang bereda. 

(Fatima Umar naseef, t.t. : 93-96) 

I. Menikahlah jika Sudah Mampu, Bukan jika Mau! 

Jika kita perhatikan secara saksama nas-nas baik dari Al-

Quran dan al-Hadis yang lain, dapat ditarik pengertian yang 

lebih valid bahwa pernikahan itu hendaknya dilakukan setelah 

yang bersangkutan mencapai kedewasaan dan kematangan 

serta kesiapan lahir dan batin. Hal ini misalnya dapat 

diperhatikan dari ketentuan surat an-Nisa` ayat 6 : 

6. dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur 

untuk kawin. kemudian jika menurut pendapatmu mereka 

telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah 

kepada mereka harta-hartanya….. 

Pada ayat tersebut Allah SWT menyuruh para wali agar 

menguji anak yatim sampai cukup umur buat kawin, yakni 

ketika mereka sudah mencapai rusyd yakni telah pandai 

menjaga dan mengembangkan harta benda mereka. Rusyd 

pada masa kini pada umumnya baru dicapai ketika anak 

sudah berusia di atas 21 tahun. 

Selanjutnya, jika kita perhatikan hadis yang 

diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari di bawah ini, nyatalah, 

hanya para pemuda yang sudah siap dan ‘matang’ yang 

dianjurkan untuk menikah : 

ìَ مَعْشرََ الشC kبَابِ مَنْ اسC ْتَطَاعَ مِ°ْكمُْ البَْاءَةَ فلَیَْتزََوkجْ وَمَنْ لمَْ ¿سَC ْتَطِعْ فعََلیَْهِ 0ِلصkوْمِ فاَã

نkهُ 

Þَُ وِaَاءٌ   

Ibnu Hajar dalam menjelaskan hadis ini dalam kitabnya 

Fath al-Bari, mengutip pendapat beberapa ulama ahli bahasa 

62 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam 

dan Fiqh menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan syabab 

dalam hadis tersebut : 

Syabab menurut ulama Syafi’iyyah dimulai sejak usia 

baligh sampai usia 30, pendapat  ini juga dikuatkan oleh Imam 

an-Nawawi. Menurut Zamahsyari, penulis kitab tafsir terkenal 

al-Kasysyaf, syabab dimulai  sejak seseorang menginjak usia 

baligh sampai ia berusia 32 tahun. Sedang makna ba’ah dalam 

hal ini ada dua pendapat yakni ba`ah dengan arti kemampuan 

melakukan jimak (bersetubuh ) dan kemampuan dalam 

menyediakan persiapan/kelengkapan nikah. 

Selain itu, menikah mengandung konsekuensi adanya 

hak dan kewajiban yang harus ditunaikan. Kewajiban ini 

hanya mungkin dapat dilaksanakan dengan baik jika suami-

istri masing-masing sudah dewasa dan memiliki 

kesanggupan. Sedang anak-anak, bagaimana ia dapat 

memikul tanggung-jawab ini, sedang mengurusi diri sendiri 

saja ia masih banyak menggantungkan orang tua atau walinya. 

Di samping itu, pernikahan memerlukan persetujuan 

dan keridaan kedua belah pihak, bagaimana mungkin mereka 

yang masih anak-anak dimintai persetujuan dan keridaannya, 

kecuali dalam hal ini terjadi ‘pemaksaan’ dari orang tuanya 

atau walinya. Sulit dipahami dan dibayangkan sebuah 

peristiwa hukum yang amat penting ditentukan secara 

sepihak oleh wali atau orang tua,  sementara yang mau 

menjalani masih anak-anak yang belum tahu apa arti dan 

konsekuensi dari sebuah peristiwa hukum bernama 

pernikahan. 

Pernikahan sendiri dalam Islam disebut dengan sebutan 

mitsaqan ghalizhan, yakni sebuah perjanjian yang berat, agung 

dan istimewa dibanding dengan perikatan-perikatan yang 

lain. Di samping itu, pernikahan dalam Islam bukan hanya 

untuk tempo sebulan atau dua bulan, namun diharapkan 

63 

dapat kekal abadi buat selama hidupnya. Untuk itu, sebelum 

seseorang memutuskan untuk mengadakan akad bernama 

pernikahan, seyogianya ia terlebih dahulu mempersiapkan 

segala sesuatunya agar rumah tangga yang hendak dibinanya 

berdiri kokoh di atas landasan fondasi yang tahan guncangan 

dan godaan.  

Sehubungan dengan itu, kiranya cukup beralasan jika 

pemerintah lewat Undang-undang Perkawinan (UUP) Nomor 

1 tahun 1974 pasal 7 merasa perlu membatasi usia minimal 

kapan seorang dapat melangsungkan pernikahan, yakni 

ditetapkan 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-

laki. Namun aturan tersebut tidaklah kaku, bagi pasangan 

yang -karena pertimbangan tertentu- hendak menikah sedang 

umurnya belum menginjak batas usia minimal tersebut dapat 

mengajukan izin dispensasi kawin kepada pengadilan Agama 

setempat. 

J. Penutup 

Sebagai penutup sekaligus saran, kami sampaikan 

beberapa hal sehubungan dengan pernikahan dini : 

1. Mengingat pernikahan dini (early marriage ) banyak 

mengundang risiko dan mudarat, maka sebaiknya 

masyarakat menghindari pernikahan dini dengan 

menunda dulu usia nikah dengan meningkatkan ilmu 

pengetahuan dan ketrampilan serta persiapan mental-

spiritual dan material secara lebih matang. 

2. Hendaknya masyarakat dan terutama orang tua lebih 

peduli dan mengawasi pergaulan remaja putra-putri agar 

tidak terjatuh dalam pergaulan bebas (free sex ) yang sering 

berakibat hamil dahulu sebelum menikah. 

3. Bagi para remaja agar pandai mengisi waktunya dengan 

kegiatan yang manfaat dan positif untuk masa depan 

64 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam 

seperti aktif berorganisasi, remaja masjid, kursus dan lain-

lain. 

  

 

NIKAH SIYAHI (NIKAH SHAIFI) 

 

 

 

A.  

Bepergian untuk beberapa saat merupakan kebutuhan 

bagi kebanyakan orang. Apalagi bagi kalangan tertentu, 

bepergian dan meninggalkan rumah berhari-hari bahkan 

berminggu-minggu bisa jadi pemandangan rutin. Pedagang-

pedagang besar antar kota antar provinsi bahkan antar negara 

biasa melakukan perjalanan ini. Selama perjalanan ada yang 

membawa istrinya, namun tidak sedikit yang tidak ditemani 

istrinya. 

Bosan dengan rutinitas pekerjaan mendorong orang 

untuk pergi ke tempat wisata guna refreshing. Di tempat 

wisata, aneka hiburan dan kesenangan bisa disediakan dan 

disuguhkan, termasuk fasilitas seksual walaupun banyak 

yang dilakukan sembunyi-sembunyi. Di sinilah godaan bisa 

muncul bagi muslim, di mana keyakinan agamanya di satu sisi 

mengharamkan zina, sementara di sisi lain ia ingin 

mendapatkan kesenangan yang barangkali bisa di’akali’ 

supaya tidak disebut zina. Dari sinilah muncul ide ‘kreatif’ 

bernama nikah wisata atau nikah Siyahi. 

Nikah Siyahi (wisata) atau kadang disebut juga nikah 

shaifi (nikah musim panas) cukup tenar belakangan ini. Kedua 

sebutan nikah ini terkait dengan aktifitas wisata yang bagi 

68 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam 

sebagian orang mungkin terasa belum lengkap kalau tidak 

dilengkapi dengan hiburan seksual. Nah, sebagian pelancong 

muslim mencari apa yang disebut media dengan sebutan 

“wisata seks halal” sebuah aktivitas ‘pelacuran’ yang 

dibungkus dengan baju syariat nikah yang agung. 

Memang rasa-rasanya sudah menjadi rahasia umum 

bahwa tempat-tempat wisata tidak sepi dari fasilitas  atau 

layanan seksual baik secara sembunyi-sembunyi maupun 

terang-terangan. Kadang praktik ini disamarkan dengan 

aktivitas lain semacam jasa pijat, layanan plus-plus dan lain-

lain. 

Di Indonesia sendiri, wisatawan yang datang dari Timur 

Tengah atau bangsa Arab pada umumnya mayoritas yaitu   

muslim. Seawam-awamnya mereka tentu tahu bahwa 

hubungan seksual di luar nikah yaitu   haram dan tentunya 

dosa besar. Selain itu, di negeri yang mayoritas penduduknya 

muslim perbuatan zina umumnya ditolak dan sebagian lagi 

diancam sebagai tindakan pidana yang bisa berakibat 

hukuman kurungan sampai hukuman rajam. Berbeda dengan 

negara barat yang menganggap hubungan seksual suka sama 

suka yaitu   sesuatu yang bisa diterima secara sosial dan 

bukan tindak pidana karena tidak ada korban yang dirugikan 

di sini. 

Maka tidak terlalu aneh kalau di negeri-negeri  Arab 

yang mayoritas muslim terdapat ‘kreativitas’ dalam 

pemunculan istilah dan model nikah jenis baru yang 

sebenarnya substansi dan esensinya tidak jauh beda dengan 

model nikah Mut’ah ataupun nikah dengan niat talak yang 

sudah dikenal ulama fikih masa lalu. 

B. Pengertian Nikah Siyahi 

Nikah Siyahi memiliki beberapa sebutan di negeri Timur 

Tengah seperti nikah shaifi, nikah  misyaf, nikah misfar dan lain-

69 

lain. (http://www.al-jazirah.com/2010/20100701/ar7.htm, 

diakses 11 November 2021) Nikah model ini ada kaitannya 

cukup erat dengan nikah dengan niat talak atau nikah 

mu`aqqat juga nikah Mut’ah. Karena memang sejak awal tidak 

diniatkan untuk permanen, alias hanya sementara waktu saja 

yang tujuannya jelas hanya sekedar bersenang-senang saja 

selama melakukan wisata. 

Nikah Siyahi terdiri dari dua kata, yakni nikah dan 

Siyahi. Pengertian nikah sendiri yaitu   akad yang 

menghalalkan hubungan pria dan wanita dengan memakai 

kata inkah atau tajwij. Sedang Siyahi berasal dari kata saha-

yasihu-siyahatan yang berarti dzahaba atau pergi. Pergi di sini 

dalam konteks untuk refreshing atau mencari hiburan alias 

bertamasya. 

Adapun pengertian nikah Siyahi menurut Fuad Hamud 

asy-Syaibani yaitu   pernikahan yang berlangsung antara laki-

laki dan perempuan yang berlandaskan pilar-pilar utama 

terlaksananya  sebuah pernikahan dari sisi akad yang sah, 

mahar, persetujuan keluarga, hanya saja pernikahan ini tidak 

bertahan untuk jangka waktu yang lama.(Yusuf ad-Duraiwisy, 

2010 : 173) 

Pernikahan model ini berlangsung ketika ada seorang 

wisatawan dari jauh atau luar negeri yang mengunjungi suatu 

negara lalu menikahi gadis atau wanita setempat dengan niat 

hanya dinikahi selama ia tinggal atau berwisata di tempat itu. 

Di beberapa negara, nikah Siyahi juga disebut dengan nikah 

shaifi atau nikah musim panas, karena nikah model ini 

dilaksanakan pada musim panas  yang umumnya dipakai 

masyarakat negara teluk untuk berlibur ke tempat atau negara 

lain. (Yusuf ad-Duraiwisy, 2010 : 173) 

70 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam 

C. Pandangan Ulama Fikih 

Seorang peneliti Islam Abdullah Al-Jifin menyebut 

pernikahan sementara tak memiliki landasan syariah. 

Menurutnya, nikah Siyahi haram hukumnya. Bagaimana 

mungkin syariat bisa membenarkan sebuah pernikahan yang 

usianya hanya hitungan jam atau hari saja. 

(https://www.republika.co.id/berita/126737/para-

cendekiawan-saudi-minta-nikah-wisata-diharamkan, akses 21 

November 2021) 

Muhammad Shalih al-Munajjid dalam khutbahnya 

menyebut nikah ini dengan mengatakan : 

“Nikah Siyahi yaitu   nikah mu`aqqat atau temporal, 

tidak diragukan lagi bahwa nikah ini melanggar prinsip dan 

dasar-dasar pernikahan dalam Islam, karena pada dasarnya 

pernikahan itu dalam Islam bersifat permanen atau 

selamanya, tetap, berkelanjutan, seterusnya dengan tujuan 

mencapai ketenangan jiwa, mendidik anak dan lain 

sebagainya. Hal ini tidak akan berhasil jika diputus di tengah 

jalan. Jelas ini yaitu   nikah temporal yang dilakukan semata-

mata hanya untuk kesenangan syahwat semata. 

(https://ar.islamway.net/article/33249/ الزواج-السیاحي , diakses 

11 November 2021) 

Nikah dengan niat talak, yakni seorang menikahi wanita 

dalam hatinya sudah ada niat untuk menalaknya dalam masa 

tertentu namun hal ini dirahasiakan baik kepada istri maupun 

walinya tanpa mengungkapkan niat tersebut saat akad nikah. 

Hukum nikah ini diperselisihkan. Golongan ulama dari 

kalangan Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyyah, dari kalangan 

Hanabilah didukung Ibnu Qudamah dan Ibnu Taimiyah 

berpendapat nikah dengan niat talak yaitu   sah. Di kalangan 

ulama kontemporer yang mengesahkan pernikahan ini yaitu   

Ibnu Baz, Ibnu Utsaimin, Ibnu Jibrin, Muhammad al-Amin 

71 

asy-Syanqithy, Muhammad Mukhtar asy-Syanqithy, dan 

Musthafa az-Zarqa. (Sondos Anu Nasser, 2020 : 1200) 

Sebagian ulama yang dipelopori mazhab Hanbali dan 

al-Auza’i berpendapat, nikah dengan niat talak yaitu   batal 

alias tidak sah. Ulama kontemporer yang menandaskan hal ini 

yaitu   Ahmad as-Suhaily, Muhammad Rasyid Ridha, Usamah 

al-Asyqar, juga fatwa al-Lajnah ad-Daimah li al-Buhuts al-

‘Ilmiyyah. (Sondos Anu Nasser, 2020 : 1200) 

Ulama yang mengesahkan pernikahan dengan niat talak 

ini juga ada yang mengharamkan nikah ini untuk dilakukan 

seperti yang difatwakan Ibnu Utsaimin, Musthafa az-Zarqa, 

Yusuf al-Qardhawi, Majelis al-Arubiy li al-Ifta` wa al-Buhuts, 

Majma’ Fiqh al-Islami, dan Shalih Ali Manshur. (Sondos Anu 

Nasser, 2020 : 1202) Jadi nikah dengan niat talak itu sah namun 

haram dilakukan menurut ulama ini. 

Nikah Siyahi jelas kontroversial. Bisa jadi secara formal 

memenuhi syarat nikah, namun jika melihat maksud dan 

tujuan jelas tidak ideal. Bagaimana mungkin orang menikah 

sejak awal sudah diniatkan untuk hanya sementara, walau 

dalam akad tidak disebutkan batas waktunya agar supaya 

tidak dituding mempraktikkan nikah Mut’ah yang di kalangan 

sunni sepakat mengharamkannya. Apalagi jika pihak wanita 

dan keluarga si wanita tidak tahu niat ‘jahat’ ini jelas akan 

menyakiti dan merugikan si wanita tersebut. 

D. Faktor Pendorong Nikah Siyahi 

Nikah Siyahi dilatar belakangi keinginan bersenang-

senang dengan lawan jenis dengan dibungkus baju agama 

supaya sedikit berbeda dengan zina yang jelas-jelas dilarang 

dalam agama Islam. Nafsu syahwat termasuk nafsu dasar 

yang setiap pria-wanita normal membutuhkan dan 

menginginkannya. Nafsu ini juga menjanjikan kenikmatan 

tersendiri bagi yang melakukannya sehingga tidak aneh kalau 

72 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam 

kesenangan ini selalu dicari baik dengan cara halal maupun 

haram atau syubhat. 

Turis dari Timur Tengah memang umumnya beragama 

Islam sunni. Seawam-awam mereka juga tahu kalau zina itu 

dosa bahkan dosa besar. Maka mereka menggunakan term 

nikah, bukan zina. Nikah yang dilakukan ini pada dasarnya 

ada kemiripan dengan nikah Mut’ah hanya saja tidak secara 

tegas disebut dalam akad batasan waktunya. Nikah Siyahi 

lebih dekat ke pengertian nikah dengan niat talak, karena 

memang setelah acara wisata selesai mereka akan bercerai 

dengan cukup diucapkan tanpa harus repot mendaftarkan ke 

pengadilan. 

Nikah ini bisa eksis karena ada hukum penawaran dan 

permintaan. Pria butuh pelampiasan nafsu, si wanita butuh 

dicukupi kebutuhan ekonomi di samping juga nafsu. Selain 

itu, dengan dibungkus baju nikah, mereka merasa bukan dosa 

lagi walau segudang permasalahan bisa muncul akibat 

kecerobohan melakukan nikah kontroversial ini. 

E. Pencegahan Nikah Siyahi 

Mengingat besarnya mudarat yang mungkin timbul 

akibat pernikahan model ini, sudah semestinya segenap 

elemen masyarakat berusaha mencegah dan menghindarinya. 

Masyarakat perlu dipahamkan dan disadarkan akan risiko 

dan bahaya nikah Siyahi ini. Nikah Siyahi sendiri hukumnya 

masih diperselisihkan antara boleh dan tidak boleh, sah dan 

tidak sah. Selain itu, posisi perempuan dalam hal ini jelas lebih 

lemah dan rentan dirugikan, belum kalau misalnya sampai 

hamil atau melahirkan. Selain itu, penegakan hukum harus 

lebih tegas dan jelas dengan melarang pernikahan seperti ini 

dan jika perlu disediakan sanksi yang tegas baik berupa denda 

maupun kurungan. Tidak kalah penting masyarakat juga 

73 

perlu disejahterakan supaya tidak menempuh cara-cara 

mencari nafkah dengan jalan yang banyak risiko ini. 

F. Mudarat Nikah Siyahi 

Walau diyakini ada manfaat, tidak pelak bahwa nikah 

Siyahi mengundang sejumlah masalah baik masalah hukum 

maupun sosial. Secara hukum nikah ini mirip nikah sirri alias 

tidak tercatat di catatan resmi. Sehingga kedudukannya sangat 

rapuh di mata hukum. 

Mudarat bagi kedua belah pihak jelas rawan tertular 

penyakit menular seksual karena bukan termasuk perilaku 

seksual yang aman. Gonta ganti pasangan jelas sangat berisiko 

tinggi tertular penyakit menular seksual. 

Bagi istri, akan direpotkan lagi jika ia sampai hamil dan 

melahirkan sedang suami  sudah pergi pulang ke negara 

asalnya. Hal ini jelas menjadi beban tersendiri bagi si wanita 

dan keluarganya.  

G. Penutup 

Nikah Siyahi yaitu   salah satu nikah yang kontroversial 

dan berisiko cukup tinggi. Keabsahannya masih 

dipertanyakan di mata ulama dan ahli hukum. Kedudukannya 

sangat lemah karena tidak tercatat di kantor resmi pencatatan 

atau KUA. Rawan menularkan dan tertular penyakit menular 

seksual. Tujuan pernikahan tidak akan tercapai sebagaimana 

kalau pernikahan itu dilakukan secara permanen. 

Pernikahan seperti ini jelas tidak direkomendasikan 

dilihat dari jurusan mana pun. Sebaiknya kaum muslimin 

menjauhi dan tidak melaksanakan praktik nikah seperti ini. 

Semoga kita semua terhindar dari perkara syubhat dan 

kontroversial ini. 

Dalam masalah seksual para ulama sangat berhati-hati 

dengan menetapkan kaidah (as-Suyuthi, 1983 : 135) 

74 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam 

ا¨ٔصل في ا¨ٔبضاع التحريم )ا¨ٔشCباه والنظاÚر - شافعي )ص: 135( 

Hukum asal masalah seksual yaitu   haram (al-ashlu fi al-

abdha’ at-tahrim) ini berarti untuk mendapatkan seks halal 

hanya ada satu jalan yakni menikah yang sah, legal, benar dan 

dicatatkan sesuai peraturan perundangan yang berlaku. 

Selain itu, ulama juga menggariskan kaidah, masalah 

pernikahan ditegakkan atas prinsip kehati-hatian (wara’), 

mengingat hukum asal masalah seks yaitu   haram. Dalam 

soal nikah ini kita harus lebih berhati-hati melebihi kehati-

hatian kita dalam soal harta. 

 

  

NIKAH FRIENDLY 

(NIKAH ASHDIQA’/NIKAH 

MUSYASSAR) 

 

 

 

A.  

Pergaulan muda-mudi apalagi di dunia barat sangat 

mengkhawatirkan jika dilihat drai kacamata hukum Islam. 

Pergaulan bebas menjadi pemandangan biasa. Kumpul kebo 

menjadi mode dan tren. Bermesraan dan bertindak mesum 

bahkan di tempat umum kiranya bukan menjadi hal tabu dan 

rahasia lagi di umumnya negara-negara barat. 

(https://www.tribunnews.com/internasional/2015/07/11/i

ni-dia-10-negara-dengan-budaya-seks-paling-bebas?, diakses 

22 November 2021) 

Pemuda-pemudi muslim pun menghadapi godaan yang 

berat, bisa-bisa kalau iman tidak kuat ikut-ikutan arus dalam 

pergaulan bebas ini. Berangkat dari keprihatinan ini, Syaikh 

Abdul Majid Az-Zindani, Rektor Universitas Al-Iman Yaman, 

melontarkan ide kontroversial yakni mengenalkan nikah 

Ashdiqa’` ( زواج الأصدقاء  ) atau nikah friend. Belakangan karena 

dikritik sana-sini akhirnya diganti menjadi nikah Muyassar. 

77 

B. Pernikahan Muyassar 

Pernikahan ini disebut juga dengan sebutan nikah 

friendly زواج الفرند  atau nikah Ashdiqa’` dan sebagian lagi 

menyebutnya dengan nikah Muyassar. Nikah Muyassar sendiri 

diberi pengertian sebagai pernikahan yang telah memenuhi 

semua syarat dan rukun nikah, yaitu adanya mempelai pria, 

mempelai wanita, wali mempelai wanita, proses ijab dan 

kabul, dua saksi laki-laki, dan adanya mahar. Namun untuk 

sementara waktu mempelai pria belum memberikan sebagian 

hak mempelai wanita, seperti hak tempat tinggal atau hak 

nafkah. Setelah menikah, keduanya biasanya berkomunikasi 

melalui telepon/HP. Terkadang mempelai pria memberikan 

nafkah batin kepada istrinya. 

Pernikahan Muyassar biasanya dilakukan antara 

seorang wanita dan pria yang masih sama-sama kuliah, atau 

mempelai pria belum memiliki pekerjaan tetap. Meski sudah 

menikah, kedua mempelai tidak hidup serumah. Nafkah 

sehari-hari dan tempat tinggal bagi mempelai wanita untuk 

sementara waktu ditanggung orang tuanya, sampai mempelai 

pria lulus kuliah atau memiliki kemandirian ekonomi. 

(https://www.hujjah.net/pernikahan-Muyassar-apa-

hukumnya/diakses 5 November 2021) 

Istilah nikah Muyassar muncul awal mulanya di media 

massa Timur Tengah, setelah Syaikh Abdul Majid Az-Zindani 

yang juga Rektor Universitas Al-Iman Yaman, melontarkan 

sebuah ide yang cukup berani dan kontroversial yakni nikah 

Ashdiqa’’ atau nikah friend. 

Kisahnya berawal dari kunjungan-kunjungan dakwah 

Syaikh Abdul Majid Az-Zindani di beberapa negara Eropa dan 

Amerika. Banyak pemuda muslim di negara-negara Barat 

tersebut membawa pulang pacar perempuan (girl-friend) 

mereka ke rumah. Tidak jarang pula gadis Muslimah 

78 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam 

membawa pulang pacar laki-lakinya (boy-friend) ke rumah, 

atau bahkan hidup bersama dengan pacar laki-

lakinya alias kumpul kebo. Sebuah kebiasaan yang jamak 

ditemukan di negara-negara barat. Selain itu, hubungan 

seksual antara sesama pacar sudah menjadi tradisi pergaulan 

di Barat. Tentunya, sedikit banyak terdapat pemuda dan 

pemudi Islam yang terpengaruh oleh arus maksiat tersebut. 

(https://diae.net/46811/, diakses 8 November 2021) 

Melihat kondisi ini, maka Syaikh Abdul Majid Az-

Zindani menawarkan idenya, yaitu nikah 

Ashdiqa’’ alias nikah friend. Istilah ini digunakan sebagai 

antitesis dari istilah boy-friend dan girl-friend yang populer di 

barat. Ide tersebut kemudian diseriusi dengan ditulisnya 

artikel berjudul Zawaj Friend; Nikah Laa Sifah, dan lantas 

dimuat di majalah Al-Mustaqbal Al-Islami, edisi 148, bulan 

Sya’ban  1424 H/Oktober 2003 M. (https://diae.net/46811/, 

diakses 8 November 2021) 

Sementara Yusuf Qardhawi menggambarkan nikah 

friend seperti nikah Misyar. Di mana nikah  friend digambarkan 

sebagai sebuah pernikahan seorang laki-laki dengan seorang 

perempuan yang tidak tinggal satu rumah. Selain itu, laki-laki 

tersebut tidak dikenai kewajiban untuk membayar nafkah dan 

biasanya pihak laki-laki sudah punya istri, sehingga 

perkawinannya harus dirahasiakan dari pihak istri yang 

pertama. Gambaran di atas hampir mirip dengan gambaran 

nikah Misyar. (al-Qardawi, 2001: 289). 

Nikah friend oleh Wahbah Musthafa az-Zuhaily 

sebagaimana dikutip Sa’d an-Nadi didefinisikan dengan 

pernikahan antara pria dan wanita tanpa tinggal satu rumah, 

di mana masing-masing tinggal di rumahnya sendiri atau 

rumah keluarganya atau tinggal di negara masing-masing. 

Hanya saat-saat tertentu saja mereka bertemu setelah itu 

79 

kembali ke rumah atau keluarga masing-masing. (Sa’d an-

Nadi, 2011 :69) 

Dalam praktik, nikah friend bisa mengambil dua bentuk 

yakni : 

Seorang pemuda muslim belajar ke luar negeri seperti 

ke Eropa, di mana ia kenal dengan seorang gadis dan sudah 

dekat sedemikian rupa lalau ia menikahinya supaya tidak 

terus menerus dalam pelanggaran syariat dengan memenuhi 

syarat rukun nikah, hanya saja mereka belum tinggal satu 

rumah. Si istri masih bersama keluarganya, jika butuh bertemu 

mereka melakukannya. Hanya saja suami belum dituntut 

memberi nafkah, tempat tinggal serta kewajiban lainnya. . 

(Sa’d an-Nadi, 2011 :69) 

Bentuk kedua, ada dua muda mudi masih berstatus 

pelajar atau mahasiswa yang saling mencintai dan sudah 

akrab, wali si wanita ingin agar anaknya tidak terjadi 

pelanggaran syariat, maka ia nikahkan anaknya itu dengan 

pria tadi, lantas si gadis masih tinggal bersama orang tuanya, 

mereka baru berkumpul setelah suami mampu menafkahi dan 

menyediakan tempat tinggal.  (Sa’d an-Nadi, 2011 :69-70) 

C. Kontroversi Istilah dan Respons Ulama 

Gagasan Syaikh Az-Zindani menawarkan zawaj friend 

tak pelak mengundang reaksi beragam di kalangan ulama dan 

masyarakat Timur Tengah. Sebagian ulama dan tokoh 

mendukung ide tersebut, namun tak sedikit pula yang 

menentangnya. 

Hal pertama yang menjadi titik kontroversi dari ide 

Syaikh Az-Zindani yaitu   penggunaan istilah nikah friend. 

Istilah tersebut dianggap ada kaitannya dengan istilah boy 

friend dan girl-friend, yang mencerminkan budaya 

pacaran, kumpul kebo, dan free sex di Barat. Mengapa tidak 

80 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam 

memakai istilah lain yang lebih sesuai dengan syariat Islam? 

(https://diae.net/46811/akses 7 November 2021) 

D. Konferensi Pers dan Nikah Muyassar 

Menanggapi kontroversi tersebut, akhirnya Syaikh Az-

Zindani merespons dengan menggelar konferensi pers. 

Konferensi pers tersebut ditayangkan dalam program lin-Nisa’ 

Faqath oleh stasiun TV Al-Jazeera pada hari Jumat, 24 Jumadi 

Tsaniyah 1424 H/22 Agustus 2003 M. Dalam konferensi pers 

tersebut, Syaikh Az-Zindani menjelaskan bahwa zina dengan 

pacar (boy friend atau girl friend) di Barat sudah menjadi 

kelaziman budaya mereka. Dalam syariat Islam sendiri ada 

dua bentuk zina yaitu: 

Sifah, yaitu zina secara terang-terangan seperti kumpul 

kebo. 

Ittikhadzu Akhdan, yaitu zina secara sembunyi-

sembunyi, seperti perzinaan dengan pacar secara diam-diam 

(gendakan, Jawa). Kedua jenis zina tersebut jelas diharamkan 

oleh Allah SWT (QS. Al-Maidah [5]: 5) 

Supaya generasi muda selamat dari pacaran, perzinaan, 

dan kumpul kebo dengan pacarnya, maka Syaikh Az-Zindani 

menawarkan gagasan untuk menjalankan  pernikahan yang 

dipermudah (nikah Muyassar). Inilah awal mula istilah nikah 

friend berubah menjadi nikah Muyassar. 

E. Landasan Syariat Nikah Muyassar 

Syaikh Az-Zindani membangun ide nikah Muyassar di 

atas dua landasan syariat, yakni: 

Jika pernikahan telah dilangsungkan dengan memenuhi 

semua syarat nikah dan rukunnya,  maka mempelai wanita 

dan mempelai pria halal melakukan hubungan seksual. Suami 

wajib memberikan nafkah dan tempat tinggal kepada istri. 

Istri wajib menyerahkan dirinya kepada suami ketika suami 

81 

menginginkan hubungan seksual dengan istrinya. Hak dan 

kewajiban tersebut berlaku saat kedua belah pihak memiliki 

kemampuan untuk melakukannya (QS. Ath-Thalaq [65]: 6). 

Namun jika istri rela, istri boleh merelakan tidak diberi nafkah 

dan tempat tinggal, karena faktor kesulitan ekonomi atau 

faktor lainnya yang dialami oleh suaminya. (al-Muthlaq, 2006 

: 20-21) 

Ide Syaikh az-Zindani merupakan saran solutif untuk 

problematik yang dihadapi muda-mudi Islam di Eropa dan 

Amerika. Beliau memberikan solusi alternatif bagi mereka, 

seperti solusi bagi orang yang kelaparan dan terpaksa 

memakan hal yang diharamkan demi mempertahankan 

nyawanya. 

Ide ini dari satu sisi sebenarnya sangat mulia, yakni 

memudahkan orang untuk menikah. Namun di sisi lain 

memang ada yang kurang ideal. Karena menikah yang ideal 

apalagi ditumpangi adat istiadat yang menuntut mahar dan 

biaya tinggi dalam pernikahan akan memberatkan sebagian 

pemuda untuk menikahi wanita idamannya. Hal ini cukup 

mudah ditemukan dalam budaya masyarakat Timur Tengah. 

Sehingga banyak pria yang terpaksa menunda pernikahan 

atau kalau tidak mampu menjaga diri malah terjatuh dalam 

perzinaan dan pergaulan bebas. 

F. Hukum Nikah Muyassar  

Ada beragam tanggapan terhadap usulan nikah 

Muyassar ini. Sebagian ulama memperbolehkan nikah 

Muyassar, sebagian lainnya memakruhkannya, dan sebagian 

lainnya malah mengharamkannya. 

Sebagian ulama kontemporer berpendapat 

nikah Muyassar itu sah dan boleh, dengan syarat mempelai 

wanita rida, pada awal akad tidak ditentukan lamanya waktu 

“perpisahan” kedua mempelai, dan tidak diniatkan talak sejak 

82 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam 

semula. Di antara ulama yang membolehkan yaitu   Syaikh 

Abdul Aziz bin Bazz, Abdul Aziz bin Abdullah Alu Syaikh, 

Yusuf Muhammad al-Muthlaq, Abdullah bin Abdurrahman 

al-Jibrin, Abdul Muhsin al-Ubaikan, Abdul Hamid Hamdi, 

Ibrahim bin Shalih al-Khudhairi, dan Sa’ad al-Unzi. (al-

Muthlaq, 2006 : 22 dst, as-Sabi’i, 2014 : 173) 

Argumentasi ulama yang membolehkan yaitu  : 

a. Pernikahan tersebut telah memenuhi semua syarat dan 

rukun nikah, sehingga wajar dihukumi sah. 

b. Mempelai wanita boleh melepaskan sebagian haknya 

seperti tempat tinggal, nafkah, atau bermalam 

bersamanya; dengan syarat atas dasar keridaan dirinya 

dan bukan atas permintaan atau paksaan dari mempelai 

pria. 

c. Pernikahan ini selaras dengan ajaran syariat untuk 

mempermudah dan memperlancar pernikahan. 

Dalam beberapa hadis Nabi SAW menyatakan : 

<uعْظَمُ ال¶ّ ِسَاءِ {رََكَةً <u¿سرَُْهُنk مَôوُنةًَ 

“Istri yang paling besar keberkahannya yaitu   yang 

paling ringan beban nafkahnya.” (HR. Ahmad, Al-Hakim, dan 

Al-Baihaqi) 

Di lain hadis beliau bersabda : 

ا

ã

نk مِنْ یمُْنِ المَْرْ<uةِ تÏَسِْيرَ خِطْبَتهِاَ وَتÏَسِْيرَ صَدَاقِهَا وَتÏَسِْيرَ رَحمِِهَا 

“Sesungguhnya di antara keberkahan seorang wanita 

yaitu   ia mudah dilamar, mudah maharnya, dan mudah 

melahirkan bayinya.” (HR. Ahmad, Ibnu Hibban, dan Al-

Hakim) 

Pernikahan ini merealisasikan tujuannya, yaitu 

ketenangan jiwa, kasih sayang, terjaganya pandangan mata, 

telinga, hati, dan kemaluan dari perbuatan haram. Mengingat, 

83 

dengan pernikahan ini telah halal hubungan suami-istri.  (Sa’d 

an-Nadi, 2011 :73-77, as-Sabi’i, 2014 : 173 dst) 

Sebagian ulama kontemporer berpendapat pada asalnya 

hukum nikah Muyassar yaitu   sah dan boleh. Namun mereka 

menyatakan bisa berubah menjadi makruh. Mereka 

memberikan beberapa catatan. Di antara mereka yaitu   

Syaikh Muhammad Sayyid at-Thantawi,  Abdullah bin Mani’, 

Su’ud asy-Syuraim, Muhammad Raf’at Utsman, dan Yusuf al-

Qaradhawi. 

Argumentasi yang dikemukakan ulama ini yaitu  : 

1. Nikah Muyassar telah memenuhi rukun-rukun dan syarat-

syarat nikah, sehingga secara asal hukumnya sah dan 

halal. 

2. Mempelai wanita boleh merelakan sebagian haknya, 

seperti tempat tinggal dan nafkah. 

3. Nikah Muyassar bukanlah pernikahan ideal yang bisa 

merealisasikan tujuan-tujuan pernikahan sebagaimana 

yang ditetapkan oleh Islam. Nikah Muyassar “hanya” 

merealisasikan salah satu tujuan nikah saja, yaitu 

terjaganya pandangan mata, telinga, hati, dan kemaluan 

dari hal yang diharamkan. Padahal tujuan-tujuan 

pernikahan dalam Islam lebih luas dari hal itu. Hanya saja 

kondisi nikah Muyassar yaitu   pernikahan yang 

diharuskan oleh paksaan kondisi kehidupan dan 

kemampuan ekonomi. (Sa’d an-Nadi, 2011 : 77-81) 

Meskipun halal dan sah, mempelai laki-laki tetap wajib 

memperhatikan problem-problem rumah tangga setelah 

terjadinya pernikahan. Apabila tidak mendapatkan nafkah 

yang cukup dari orang tua, mempelai wanita berhak meminta 

nafkah kepada suaminya. Selain itu, mempelai pria wajib 

memperhatikan pendidikan anak mereka, jika anak mereka 

telah lahir. 

84 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam 

Sebagian ulama kontemporer menyatakan 

nikah Muyassar yaitu   haram. Di antara mereka yaitu   Syaikh 

Nashr Farid Washil, Abdul Aziz al-Musnid, Ajil Jasim an-

Nasymi, Muhammad az-Zuhaili, Umar Sulaiman al-Asyqar, 

dan Ali Qurrah Daghi. (al-Muthlaq, 2006 : 27 dst, as-Sabi’i, 

2014 : 181 dst) 

Argumentasi kelompok ulama yang mengharamkan 

terangkum dalam penjelasan berikut ini : (as-Sabi’i, 2014 : 182 

dst) 

1. Nikah Muyassar tidak merealisasikan tujuan utama 

pernikahan yaitu membina keluarga yang stabil dan 

mendidik anak-anak. Nikah ini hanya menjadi sarana 

komunikasi atau melampiaskan kebutuhan seksual 

semata.  

2. Nikah Muyassar belum atau tidak bisa 

merealisasikan keluarga yang sakinah (ketenangan 

jiwa), Mawaddah (cinta yang mendalam) 

dan Rahmah (kasih sayang) bagi mempelai wanita, karena 

suaminya jarang berada di sampingnya. 

3. Dalam nikah Muyassar, wanita tidak bisa menunaikan 

banyak kewajibannya terhadap suami, demikian pula 

sebaliknya. 

4. Mempelai wanita dihadapkan pada kemungkinan 

dimarahi atau bahkan diceraikan saat ia meminta nafkah, 

tempat tinggal, atau hak lainnya kepada suaminya. Sebab, 

suaminya bisa jadi menolaknya dengan alasan saat akad 

nikah telah ada kerelaan dari pihak mempelai Wanita 

untuk melepaskan sebagian hak-haknya. 

G. Pentarjihan Pendapat 

Dari kajian masing-masing pendapat dan 

argumentasinya, Syaikh Fahd bin Abdullah dan Ahmad bin 

85 

Yusuf ad-Duraiwisy menarik kesimpulan bahwa pendapat 

yang membolehkan yaitu   pendapat yang lebih kuat. Hal itu 

karena beberapa alasan berikut: 

1. Nikah Muyassar yaitu   pernikahan yang telah memenuhi 

rukun-rukun dan syarat-syarat pernikahan yang 

ditetapkan oleh syariat. Jika sudah demikian, maka ia 

merupakan pernikahan yang sah secara Syari. 

2. Nikah Muyassar tidak mengandung unsur penipuan, 

pemalsuan, niat untuk menalak, penambahan ataupun 

pengurangan terhadap syarat-syarat sah pernikahan. Sejak 

awal sudah dilakukan dengan transparan. 

3. Mempelai pria dan mempelai wanita tidaklah berdosa jika 

mereka rela tidak menerima sebagian hak mereka dari 

pasangannya, mengingat hak bisa digugurkan oleh 

pemiliknya. 

4. Nikah ini merealisasikan salah satu tujuan utama 

pernikahan, yaitu menjaga pandangan mata, telinga, dan 

hati dari zina dan perbuatan keji lainnya. Tidak diragukan 

lagi bahwa bagi para pemuda dan pemudi, dorongan 

syahwat yaitu   salah satu problem terbesar yang mereka 

hadapi dalam kehidupan sehari-hari. Belum lagi kondisi 

pergaulan bebas yang sangat kuat mengajak mereka 

kepada perbuatan zina dan sejenisnya. 

5. Akad nikah tidak mesti merealisasikan semua tujuan 

utama pernikahan. Jika sebagian tujuan utama telah 

tercapai, maka hal itu sudah mencukupi. 

Pada dasarnya, menghukumi sebuah perkara cukup 

didasarkan kepada terpenuhinya syarat-syarat dan rukun-

rukun serta tiadanya pembatal-pembatal atau penghalang 

pada perkara yang bersangkutan; bukan kepada hikmah-

hikmah dari perkara tersebut. Demikian pula keabsahan akad 

86 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam 

nikah. https://www.hujjah.net/pernikahan-Muyassar-apa-

hukumnya/, akses 22 November 2021) 

H. Kesimpulan 

Zawaj Friend, zawaj Ashdiqa’`, zawaj Muyassar yaitu   

salah satu bentuk nikah kontemporer yang kontroversial 

dilihat dari sisi hukum dan juga sosial. Ulama yang 

membolehkan lebih banyak menyoroti dari sisi terpenuhinya 

syarat dan rukun dan kurang memperhatikan dampak dan 

akibat di masyarakat di kemudian hari. Sementara ulama yang 

melarang lebih melihat pada sisi dampak yang mungkin 

timbul dari pernikahan model ini yang cenderung tidak 

merealisir tujuan sebuah pernikahan. 

Sudah semestinya kita menghindari hal-hal yang 

kontroversial dan mengandung kesamaran, termasuk dalam 

hal ini nikah friend yang pada dasarnya tujuannya hanya 

jangka pendek biar bisa ‘halal’ bersenang-senang dengan 

lawan jenis, sedang tujuan lain seakan-akan terabaikan. 

  

 

NIKAH BEDA AGAMA 

 

 

 

A.  

Cinta memang tidak bermata, demikian kata sebagian 

anak muda. Kalau ia datang, seolah dia tidak memandang 

agama, ras, suku, status sosial dan lain-lain. Namun tidak 

sedikit juga masyarakat yang membatasi cinta dengan 

batasan-batasan tertentu tak terkecuali dalam soal agama. 

Kebanyakan agama cenderung melarang pernikahan antar 

agama dengan sedikit pengecualian. 

Sungguhpun dilarang dalam agama, dalam praktik 

tidak jarang ada pasangan yang nekat tetap ingin melanjutkan 

pernikahan walau ada hambatan dan penentangan sana-sini. 

Dari menikah sirri, kawin lari, kawin ke luar negeri hingga 

murtad atau hanya pura-pura murtad pun ditempuh guna 

mempertahankan supaya bisa tetap menikah dengan pujaan 

hati. 

Di Indonesia sendiri pasangan beda agama cukup 

mudah ditemukan di tengah masyarakat. Tidak hanya 

dilakukan artis yang menyedot perhatian publik, namun juga 

di kalangan orang awam pun bisa dijumpai. Dalam praktik 

sebenarnya secara hukum pernikahan beda agama tidak 

dibenarkan oleh hukum positif dan tidak akan dilayani oleh 

petugas. Yang terjadi pada saat akad sebenarnya pernikahan 

89 

satu agama, karena kalau beda agama tidak akan dilayani 

petugas baik PPN maupun Kantor Catatan Sipil. Untuk 

mengelabuhi hukum, tidak sedikit pasangan ini berpindah 

agama ke salah satu pasangan. Perpindahan ini bisa jadi tulus 

tapi juga bisa karena modus. Modus dimaksud hanya sekedar 

biar bisa dinikahkan dan mendapat akta nikah. Namun setelah 

itu ia kembali ke agamanya semula. Bahkan bisa terjadi ada 

yang melakukan akad nikah dua kali, menikah pertama sesuai 

agama istri dan menikah lagi secara agama suami. Dalam hal 

ini tentu saja akta nikah yang berlaku yaitu   akta yang 

terakhir. 

Perkawinan beda agama jelas menimbulkan polemik 

dan kontroversi di tengah-tengah masyarakat dan keluarga. 

Umumnya pernikahan ini ditentang dan tidak direstui. Ada 

yang mau berhenti dan memutus hubungan, namun tidak 

sedikit pula yang nekat melawan arus dengan segala risiko 

yang akan ditanggung kelak. 

B. Pengertian Nikah Beda Agama 

Pernikahan beda agama atau pernikahan antar agama 

(interfaith marriage) yaitu   pernikahan di mana antara suami 

dan istri memiliki agama yang berbeda pada saat akad 

nikahnya berlangsung, misalnya prianya beragama Islam 

sementara istrinya beragama Kristen dan lain sebagainya. 

Kalau ketika menikah satu agama, kemudian di tengah 

perjalanan salah satu pasangan berpindah agama, maka 

penulis menyebutnya pasangan rumah tangga beda agama. 

Dalam soal pernikahan beda agama, ajaran Islam tidak 

dalam posisi menutup rapat, tapi juga tidak membuka lebar-

lebar. Pernikahan antar agama masih mungkin dilakukan jika 

prianya muslim sementara wanitanya ahli kitab (Yahudi dan 

Nasrani) menurut jumhur ulama. Di luar itu pernikahan antar 

agama tidak diberikan tempat. Terutama jika pengantin 

90 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam 

perempuannya seorang muslimat sedang mempelai prianya 

non muslim, dalam hal ini pernikahan beda agama ditutup 

rapat. 

Namun dalam perkembangannya, khususnya di 

Indonesia, karena satu dan lain hal, pernikahan antar agama 

cenderung ditutup rapat sebagaimana terlihat dalam KHI dan 

fatwa MUI. 

C. Pandangan Ulama Tafsir dan Fikih 

Pernikahan antar agama perlu dibedakan dulu dalam 

agama Islam sebelum menentukan hukumnya. Paling tidak 

ada 3 model pernikahan antar agama ini. 

1. Pernikahan antara pria muslim dengan wanita ahli kitab. 

2. Pernikahan antara pria muslim dengan wanita non 

muslim dan non ahli kitab. 

3. Pernikahan wanita muslim dengan pria non muslim. 

D. Pernikahan Pria Muslim dengan Wanita Ahli Kitab 

1. Pendapat Yang Membolehkan 

Adapun pernikahan model pertama, maka jumhur 

ulama cenderung membolehkan dengan syarat wanita 

kitabiyah itu muhshanat alias wanita baik-baik yang bisa 

memelihara kehormatannya.  

Al-Qasimi dalam tafsirnya Mahasin at-Ta`wil 

menyatakan, zahir ayat membolehkan menikahi wanita 

ahli kitab, ini yaitu   mazhab mayoritas Fuqaha’ dan ahli 

tafsir. Hal ini sebagaimana tampak dalam teks di bawah 

ini. 

ظاهر ا¨یٓة جواز 9كاح الك¢ابیة . وهذا مذهب <ٔكثر الفقهاء والمفسر®ن .  

Akan tetapi pembolehan tersebut bersifat makruh 

sebagaimana yang disampaikan oleh Wahbah Az-Zuhaili, 

91 

bahwa mazhab Hanafi berpendapat, seorang muslim 

makruh menikah dengan perempuan Ahli Kitab dan ahli 

dzimmah. Karena Umar berkata kepada orang-orang yang 

kawin dengan perempuan ahli kitab, “Ceraikanlah 

mereka”. Maka para sahabat menceraikan mereka, kecuali 

Hudzaifah.  Kemudian, Umar berkata kepadanya, 

“Ceraikanlah dia.” Maka Hudzaifah bertanya, “Apakah 

kamu bersaksi bahwa dia haram?” Umar kembali berkata 

kepadanya, “Dia minum minuman keras.” Hudzaifah 

kembali berkata “Aku telah mengetahui dia minum 

minuman keras, akan tetapi dia halal bagiku.” Setelah 

lewat beberapa waktu, dia ceraikan istrinya tersebut. Lalu 

ada orang yang berkata kepadanya, “Mengapa kamu tidak 

menceraikannya manakala Umar memerintahkan hal itu 

kepadamu?” Dia menjawab, “Aku tidak mau manusia 

melihat aku melakukan suatu perkara yang tidak 

selayaknya aku lakukan”. (az-Zuhaily, 2011 : 272) 

Permasalahannya yaitu  , siapakah yang dimaksud 

ahli kitab itu? Untuk ini para ulama memiliki pendapat 

yang berbeda. 

Ibnu Katsir mengutip pendapat bahwa yang 

dimaksud ahli kitab yaitu   Israiliyyat dan ini yaitu   

pendapat mazhab asy-Syafi’i. ada yang menyatakan ahli 

kitab yaitu   kelompok dzimmi (non muslim yang dalam 

perlindungan pemerintah Islam)  bukan harbiyat (non 

muslim yang menyatakan perang dengan pemerintah 

Islam).(Ibnu Katsir, III : 42)  Jumhur ulama membatasi ahli 

kitab hanya kepada Yahudi dan Nasrani yang berpegang 

pada Taurat dan Injil bukan yang lain. 

Demikian pula, siapakah yang dimaksud al-

muhshanat dalam ayat di atas? 

92 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam 

Ibnu al-Jauzi dalam Zad al-Masir menyatakan, dalam 

menafsirkan al-muhshanat ada dua penafsiran, pendapat 

pertama menyatakan wanita merdeka atau bukan budak 

sebagaimana pendapat Ibnu Abbas. Pendapat kedua, 

wanita yang pandai menjaga kehormatan diri 

sebagaimana pendapat al-Hasan, asy-Sya’bi, an-Nakha’i, 

adh-Dhahhak, dan as-Suddi. Menurut pendapat ke dua ini 

boleh menikahi wanita ahli kitab baik merdeka atau budak 

dengan syarat mereka wanita baik-baik yang bisa menjaga 

kehormatan diri. (Ibnu al-Jauzi, II : 173) 

Alasan yang dipakai kelompok ini yaitu   petunjuk 

zahir dalam surat al-Maidah ayat 5 yang menyatakan: 

الیَْوْمَ <³1ِلk لكمَُُ الطkیِّبَاتُ وَطَعَامُ ا­kِ®نَ <³وتوُا الْكِ¢اَبَ 1ِلø لكمَُْ وَطَعَامُكمُْ 1ِلø لهَُمْ 

وَالمُْحْصَناَتُ مِنَ المُْؤْمِ°اَتِ وَالمُْحْصَناَتُ مِنَ ا­kِ®نَ <³وتوُا الْكِ¢اَبَ مِنْ قَْلِكمُْ ا

ã

ذَا 

<تٓÏَ¢ُْمُوهُنk <³جُورَهُنk مُحْصِنِينَ Âيرََْ مُسَافِÊِينَ وَلاَ مُ¢kùِذِي <uáْدَانٍ وَمَنْ ®كَْفُرْ 0ِلاْã

يماَنِ 

فقََدْ حَِطَ عمََüُُ وَهُوَ فيِ ا¨ْخِٓرَةِ مِنَ الùَْاسرِِ®نَ )5(  

Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan 

(sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal 

bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. 

(Dan dihalalkan mengawini) wanita yang menjaga 

kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan 

wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-

orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah 

membayar mas kawin mereka dengan maksud 

menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak 

(pula) menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang 

kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum 

Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat 

termasuk orang-orang merugi. 

 

93 

1. Pendapat yang Melarang 

Minoritas ulama melarang pernikahan pria muslim 

dengan wanita ahli kitab. Tokoh utama kelompok ini 

yaitu   Ibnu Umar, Ibnu Hazm dan juga kalangan Syiah 

Imamiyah.(Ali Bin Nayif asy-Syuhud, t.t, II : 37) 

Ibnu Umar salah seorang sahabat Nabi dengan tegas 

melarang pria muslim menikahi wanita ahli kitab. 

Kecenderungan ini juga semakin didukung oleh ulama 

mutaakhirin di mana dampak negatif pernikahan antar 

agama semakin nyata, sementara tujuan dan hikmah dari 

menikahi wanita ahli kitab semakin sulit tercapai. Ibnu 

Katsir menukil sikap Ibnu Umar yang melarang menikahi 

ahli kitab khususnya Nasrani dengan mengatakan,  “Aku 

tidak tahu syirik yang lebih besar daripada perkataan 

sesungguhnya Tuhannya yaitu   Isa, padahal Allah telah 

berfirman,  “Dan janganlah kamu menikahi  wanita 

musyrik sampai ia beriman.(Ibnu Katsir, III : 42)  

E. Hikmah Pembolehan Nikah dengan Ahli Kitab 

Hikmah pembolehan pernikahan pria muslim dengan 

wanita ahli kitab menurut Wahbah Az-Zuhaili yaitu   sebagai 

berikut; 

Hikmah nikahnya seorang laki-laki muslim dengan 

seorang perempuan Yahudi dan Nasrani bukan sebaliknya 

yaitu  , seorang muslim, beriman terhadap semua Rasul dan 

dengan semua agama dalam asalnya yang benar, maka tidak 

ada bahaya dari suami terhadap Aqidah dan perasaan istrinya. 

Sedangkan orang yang non Muslim yang tidak percaya 

terhadap Islam, terdapat bahaya yang mengintai yang 

membuat istrinya terpengaruh terhadap agamanya, 

mengingat perempuan biasanya lebih mudah terpengaruh 

dengan suaminya. Dalam hal ini keamanan Aqidah istri jelas 

terancam.(az-Zuhaili, 2011 : 150) 

94 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam 

F. Pernikahan Antara Pria Muslim dengan Non Muslim Non 

Ahli Kitab 

Pernikahan model ini, sepakat para ulama akan 

keharamannya.  

Alasan yang dipakai di antaranya ayat berikut ini : 

وَلاَ تنَْكِحُوا المُْشرِْكاَتِ حَتىk یؤُْمِنk وَ¨َuمَةٌ مُؤْمِ°ةٌَ áَيرٌْ مِنْ مُشرِْكَةٍ وَلوَْ <uعجَْبَتْكمُْ وَلاَ تنُْكِحُوا 

المُْشرِْكِينَ حَتىk یؤُْمِ°وُا وَلعََبْدٌ مُؤْمِنٌ áَيرٌْ مِنْ مُشرِْكٍ وَلوَْ <uعجَْبَكمُْ <³ولئَِكَ یدَْعُونَ ا

ã

لىَ النkارِ 

وَا²kُ یدَْعُو اã

لىَ الجَْنkةِ وَالمَْغْفِرَةِ 0ِã

ذْنِهِ وَیبَُينُِّ <ìَٓتِهِ ˜ِلنkاسِ لعََلkهُمْ یتََذَكkرُونَ )221(  

''Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik 

hingga mereka beriman (masuk Islam). Sesungguhnya wanita 

budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, 

walaupun ia menarik hatimu. Dan janganlah kamu 

menikahkan wanita orang-orang musyrik (dengan wanita-

wanita mukmin) hingga mereka beriman. Sesungguhnya 

budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, meskipun 

ia menarik hatimu...'' (QS: al-Baqarah:221). 

Wahbah az-Zuhaily dalam Tafsir al-Munir menegaskan : 

دلت ا¨یٓة #لى <ٔن زواج المسلم 0لمر<ٔة المشركة كالوث¶‘ة والبوذیة والملÊدة لا یصح بحال. 

<ٔما المر<ٔة الك¢ابیة )ا'يهودیة <ٔو النصرانیة( فقد <ٔ0ح الشرع التزوج بها بقوÞ تعالى: 

وَالمُْحْصَناتُ مِنَ ا­kِ®نَ <³وتوُا الْكِ¢ابَ مِنْ قَْلِكمُْ ا

ã

ذا <تٓÏَ¢ُْمُوهُنk <³جُورَهُنk- *ورهن- 

مُحْصِنِينَ Âيرََْ مُسافِÊِينَ ]المائدة 5/ 5[ . والمحصنات: العفائف. التفسير المنير ˜لزح‘لي 

)2/ 292( 

Ayat ini menunjukkan bahwa pernikahan pria muslim 

dengan wanita musyrikkah seperti penyembah berhala 

(pagan), Budha dan Ateis tidak sah. Adapun wanita Kitabiyah 

(Yahudi dan Nashrani) maka syarak membolehkan 

menikahinya dengan dasar firman Allah, (Dan dihalalkan 

mengawini) wanita yang menjaga kehormatan di antara 

95 

wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga 

kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-Kitab 

sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka 

dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina 

dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik (al-Maidah 

ayat 5). al-Muhshanat di sini yaitu   yang bisa menjaga 

kehormatan dirinya.(az-Zuhaili, II : 292)  

Adapun dalil Alquran yang menjelaskan larangan 

menikahi non muslim atau musyrik terdapat pada ayat berikut 

ini: 

وَلاَ تنُْكِحُوا المُْشرِْكِينَ حَتىk یؤُْمِ°وُا وَلعََبْدٌ مُؤْمِنٌ áَيرٌْ مِنْ مُشرِْكٍ وَلوَْ <uعجَْبَكمُْ <³ولئَِكَ 

یدَْعُونَ ا

ã

لىَ النkارِ 

"Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik 

(dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. 

Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang 

musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke 

neraka,"(QS: Al-Baqarah 221) 

G. Pernikahan Pria Non Muslim dengan Muslimah 

Pernikahan antara Muslimah dengan pria non muslim 

sepakat ulama akan keharamannya alias tidak boleh dan tidak 

sah jika dilakukan. (Abu Malik, III : 93) hal ini sebagaimana 

dapat dibaca dari kutipan di bawah ini. 

<ٔما المسلمة فلا يحل¬ لها الزواج 0'كافر: سواء كان من <ٔهل الك¢اب <ٔو من Âيرهم، 

صحیح فقه السCنة و<ٔدلته وتوضیح مذاهب ا¨ٔئمة )3/ 93( 

Alasan ulama yang melarang ini sangat kuat yakni 

berdasar firman Allah dalam surat al-Mumtahanah ayat 10 :  

لاَ هُنk 1ِلø لهَُمْ وَلاَ همُْ يحَِل¬ونَ لهَُنk 

96 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam 

"Mereka (wanita-wanita Muslimah) tiada halal bagi 

orang-orang non-Muslim itu dan orang-orang non Muslim itu 

tiada halal pula bagi mereka," (QS: Al-Mumtahanah 10). 

Mengomentari potongan ayat tersebut Ibnu Katsir 

menyatakan : 

وقوÞ: } لا هن 1ل لهم ولا هم يحلون لهن { هذه ا¨یٓة هي التي حرمت المسلمات #لى 

المشركين، وقد كان aاÚزا في ابتداء الإسلام <ٔن یتزوج المشرك المؤم°ة؛ تفسير ا{ن كثير 

/ دار طیبة )8/ 93( 

Firman Allah "Mereka (wanita-wanita Muslimah) tiada 

halal bagi orang-orang non-Muslim itu dan orang-orang non 

Muslim itu tiada halal pula bagi mereka," ayat ini yang 

mengharamkan wanita muslimat dinikahi pria musyrik, 

walaupun di awal Islam diperbolehkan seorang musyrik 

menikahi wanita Mukminah. (Ibnu Katsir, VIII : 93) 

Musthafa al-Khin dan Musthafa al-Bugha serta Ali asy-

Syaranji dalam al-Fiqh al-Manhaji menjelaskan : 

“Tidak boleh wanita Muslimah dinikahi pria non 

muslim walaupun pria itu beragama, karena suami berkuasa 

atas istri, dan tidak ada kekuasaan non muslim bagi muslim. 

Selain itu suami berpotensi mengganggu keyakinan agama 

istrinya karena ia tidak mempercayai agama istrinya. Jika 

suami mau masuk Islam baru halal dinikahkan dengannya, 

jika sebelum masuk Islam dinikahkan maka pernikahannya 

batal dan wajib diceraikan segera, jika nekat melakukan 

persetubuhan maka dihukumi dengan zina. (al-Khin dkk., IV : 

18) 

H. Hukum Pernikahan Beda Agama Menurut MUI 

Perkara tentang pernikahan beda agama sebenarnya 

telah dibahas oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) sejak lama. 

97 

Tepatnya pada Musyawarah Nasional (Munas) II tanggal 11-

17 Rajab 1400 H atau 26 Mei -1 Juni 1980. 

MUI mengeluarkan fatwa bahwa pernikahan beda 

agama tidak diperbolehkan. Pendapat tersebut didasari oleh: 

Surat Al-Baqarah ayat 221 

Surat Al-Mumtahanah ayat 10 

Surat At-Tahrim ayat 6: “Hai orang-orang yang 

beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka 

yang bahan bakarnya yaitu   manusia dan batu; penjaganya 

malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak 

mendurhakai Allah terhadap apa yang diperlihatkan- Nya 

kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang 

diperintahkan.” 

Qa’idah Fiqh: Mencegah kemafsadatan lebih 

didahulukan (diutamakan) dari pada menarik kemaslahatan. 

Dengan itu, MUI menetapkan  fatwa tentang 

perkawinan beda agama 

1. Perkawinan beda agama yaitu   haram dan tidak sah. 

2. Perkawinan laki-laki muslim dengan wanita Ahlu Kitab, 

menurut qaul mu’tamad, yaitu   haram dan tidak sah. (Ali 

Mutakin, 2021:18) 

Keputusan di atas dipertegas lagi melalui keputusan 

Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 4/Munas 

VII/MUI/8/2005 Tentang Pernikahan Beda Agama. Majelis 

ulama Indonesia (MUI), dalam Musyawarah Nasional MUI 

VII pada tanggal 19-22 Jumadil Akhir 1426 H. / 26-29 Juli 2005 

M, setelah:  

Menimbang: 

1. Bahwa belakangan ini disinyalir banyak terjadi 

pernikahan beda agama.  

98 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam 

2. Bahwa pernikahan beda agama ini bukan saja 

mengundang perdebatan di antara sesama umat Islam, 

akan tetapi juga sering mengudang keresahan di tengah-

tengah masyarakat. 

3. Bahwa di tengah-tengah masyarakat telah muncul 

pemikiran yang membenarkan pernikahan beda agama 

dengan dalih hak asasi manusia dan kemaslahatan.  

4. Bahwa untuk mewujudkan dan memelihara ketenteraman 

kehidupan berumah tangga, MUI memandang perlu 

menetapkan fatwa tentang pernikahan beda agama untuk 

dijadikan pedoman. 

Memperhatikan:  

1. Keputusan Fatwa MUI dalam Munas II tahun 1400/1980 

tentang perkawinan campuran. 

2. Pendapat sidang komisi C bidang fatwa pada Munas VII 

MUI 2005 Dengan tawakal kepada Allah SWT 

memutuskan:  

Menetapkan: Fatwa Tentang Perkawinan Beda Agama:  

1. Perkawinan beda agama yaitu   haram dan tidak sah.  

2. Perkawinan laki-laki muslim degan wanita ahlul kitab, 

meurut qaul mu’tamad yaitu   haram dan tidak sah. (Fathul 

Mu’in, 2019 : 94). 

I. Pernikahan Beda Agama Menurut Muhammadiyah 

Dalam sidang Muktamar Tarjih ke-22 pada tahun 1989 

di Malang, para ulama Muhammadiyah telah menetapkan 

keputusan bahwa pernikahan beda agama hukumnya tidak 

sah. Laki-laki muslim tidak boleh menikahi wanita musyrik 

(Hindu, Budha, Konghuchu atau agama selain Islam lainnya). 

Begitu pun dengan pernikahan laki-laki muslim dengan 

wanita ahlul kitab (Yahudi atau Nasrani) hukumnya juga 

haram. Menurut ulama Muhammadiyah, wanita ahlul kitab di 

99 

zaman sekarang berbeda dengan zaman Nabi dahulu. Selain 

itu menikahi wanita beda agama juga mempersulit 

membentuk keluarga sakinah yang sesuai syariat Islam. 

(https://fatwatarjih.or.id/hukum-nikah-beda-agama/, 

diakses 23 November 2021) 

J. Pendapat Nahdlatul Ulama (NU) 

Dalam Muktamar ke-28 di Yogyakarta pada bulan 

November 1989, ulama Nahdlatul Ulama (NU) menetapkan 

fatwa bahwa pernikahan beda agama di Indonesia hukumnya 

haram atau tidak sah. (Ali Mutakin, 2021: 17) 

K. Pandangan Legislasi  

Larangan pernikahan beda agama pernah digugat di 

Mahkamah Konstitusi. Namun Putusan Mahkamah Konstitusi 

(MK) menolak pengujian Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 

tentang Perkawinan mengenai syarat sahnya perkawinan 

terkait kawin beda agama. Mahkamah Konstitusi menilai 

Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan sama sekali tidak bertentangan 

dengan UUD 1945. “Permohonan pemohon tidak beralasan 

menurut hukum, Menyatakan menolak permohonan para 

pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua Mahkamah 

Konstitusi, Arief Hidayat, saat membacakan putusan 

bernomor 68/PUU-XII/2014 di MK. 

https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt55828be906c

8b/inilah-babak-akhir-judicial-review-kawin-beda-agama, 

diakses 23 November 2021) 

Sementara itu edaran surat dari Mahkamah Agung per 

tanggal 30 Januari 2019 No. 231/PAN/HK.05/1/2019 poin 2 

yang menjelaskan soal pencatatan perkawinan beda agama. 

“Perkawinan beda agama tidak diakui oleh negara dan 

tidak dapat dicatatkan. Akan tetapi jika perkawinan tersebut 

dilaksanakan berdasarkan agama salah satu pasangan dan 

100 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam 

pasangan yang lain menundukkan diri kepada agama 

pasangannya, maka perkawinan tersebut dapat dicatatkan. 

Misalnya, jika perkawinan dilaksanakan berdasarkan agama 

Kristen maka dicatatkan di Kantor Dinas Kependudukan dan 

Pencatatan Sipil, begitu pula jika perkawinan dilaksanakan 

berdasarkan agama Islam maka perkawinan pasangan 

tersebut dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA).” 

(https://kumparan.com/millennial/pernikahan-beda-

agama-dalam-hukum-indonesia-1rHQnHmv9IA/full, diakses 

23 November 2021) 

Perkawinan beda agama di Indonesia memang masih 

menjadi isu yang hangat untuk diperbincangkan. Dalam 

peraturan Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang 

perkawinan dalam pasal 8 huruf (f) menjelaskan: “perkawinan 

dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang 

oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang 

kawin.“  

Senada dengan ketentuan di atas, Kompilasi Hukum 

Islam (KHI)  menyatakan dalam pasal 40 huruf (c), “dilarang 

melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan 

seorang wanita yang tidak beragama Islam”. Hal ini diperkuat 

oleh Undang-undang No.1 tahun 1974 pasal 2 ayat (1) 

menyatakan bahwa “Perkawinan yaitu   sah, apabila 

dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan 

kepercayaannya itu”. (Amir Syarifuddin, 2014:139-140) 

L. Kesimpulan 

Sah tidaknya pernikahan di Indonesia diatur dalam 

Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 pasal 2 ayat 1 

yang berbunyi “Perkawinan yaitu   sah, apabila dilakukan 

menurut hukum masing-masing agamanya dan 

kepercayaannya”. Hal tersebut berarti bahwa sah dan 

tidaknya perkawinan dikembalikan ke ajaran agamanya 

101 

masing-masing. Bagi orang Islam harus dikembalikan ke fikih 

munakahat.  

Masalah yang dihadapi oleh pasangan beda agama 

yaitu   agama apa yang dianut oleh pasangan ini untuk 

melangsungkan perkawinannya. Dan apakah agama mereka 

memperbolehkan perkawinan beda agama? Dalam hal ini 

pandangan ajaran Islam jelas melarang dengan tegas 

pernikahan wanita muslimah dengan pria non muslim, 

melarang juga pernikahan pria muslim dengan wanita non 

ahli kitab, dan masih membuka peluang nikah antara pria 

muslim dengan wanita ahli kitab asal mereka dari kalangan 

wanita baik-baik. 

Namun pandangan hukum positif di Indonesia 

sebagaimana tercermin dalam ketentuan UU Perkawinan dan 

KHI, ditambah fatwa MUI dan Ormas Islam besar Indonesia 

NU dan Muhammadiyah, maka pernikahan antar agama 

sepakat dilarang dan tidak diberi tempat sama sekali. Jadi 

tidak perlu melanggar kesepakatan ini. 

Ingat, menikah bukan semata persoalan perdata belaka, 

dalam Islam nikah memiliki dimensi ibadah yang cukup 

kental, bahkan ibadah terlama yang umumnya dijalani umat 

manusia. Ibadah terlama ini jangan sampai dinodai dengan 

hal-hal yang tidak diridai Allah SWT. Menikah sesama Aqidah 

jelas lebih selamat dan menenteramkan hati, dan yang pasti 

jauh dari kontroversial di tengah keluarga dan masyarakat. 

 

  

NIKAH MISYAR 

 

 

 

A.  

Di antara bentuk nikah kontemporer yang menuai 

kontroversi di kalangan ulama yaitu   nikah Misyar. Sebagian 

kalangan mendukung dan membolehkan dan sebagian lagi 

menolaknya. Dari pengamatan sekilas, tampaknya ulama 

yang melegalkan nikah ini jumlahnya lebih banyak, sedang 

yang menolaknya lebih sedikit. 

Nikah model ini cukup populer dan banyak diminati 

utamanya di Arab Saudi dan di Mesir serta beberapa negeri di 

kawasan teluk. Di Uni Emirat Arab, pernikahan Misyar yaitu   

pernikahan yang legal dan jumlahnya tidak kurang dari 20.000 

pasang. (https://www.emirates247.com/news/emirates/no-

rights-no-obligations-just-companionship-2010-08-23-

1.282481, diakses 22 November 2021) 

  Pernikahan Misyar dianggap lebih sederhana dan 

murah dibanding nikah biasa karena dalam hal ini pernikahan 

bisa dilakukan secara sederhana serta suami tidak dibebani 

biaya atau tanggungan nafkah yang cukup berat bagi sebagian 

kaum pria.  

Di Arab Saudi sendiri nikah ini cukup populer, di mana 

menurut penuturan Ali al-Bakr dimotivasi adanya sebagian 

pria yang ingin tetap menjaga kerahasiaan pernikahannya 

105 

yang kedua untuk menghindari keberatan istri pertamanya 

atau tekanan keluarganya. (https://www.arabnews.com/ 

saudi-arabia/news/642991, diakses 21 November 2021) 

  Nikah Misyar mulai  muncul di Arab Saudi tahun 1985. 

Dari Saudi model nikah ini menyebar mulai tahun 1995 ke 

Mesir dan ke bagian lain dari wilayah teluk seperti Kuwait, 

Bahrain, Uni Emirat Arab dan Qatar. (Shirine Jurdi, 2001 : 58)  

Nikah Misyar walaupun populer di Timur Tengah, tidak 

mustahil juga sudah menular ke negeri-negeri muslim lainnya 

termasuk Indonesia. Nikah ini mirip-mirip dengan nikah 

friend yang sudah dibahas di bab sebelumnya. Nasiri sudah 

mengendus telah dipraktikkan di Surabaya dengan informan 

beberapa pasangan. (Nasiri,  2018 : 193-210) 

Nikah ini dilatarbelakangi mahalnya biaya nikah di 

beberapa negara Timur Tengah yang berdampak banyaknya 

wanita yang terlambat menikah, padahal banyak wanita 

berpendidikan tinggi dengan profesi dan pekerjaan yang 

menghasilkan gaji tinggi. Namun di usianya yang  semakin tua 

jodoh malah terasa semakin menjauh. Di sisi lain, ada lelaki 

yang ingin menikah lagi namun tidak ingin terbebani dengan 

berbagai kewajiban rutin seperti memberi nafkah, menunggui 

setiap hari dan lain-lain. Akhirnya bak gayung bersambut, 

muncullah nikah Misyar sebagai solusi jangka pendek bagi 

orang yang mengalami hal seperti ini.  

B. Pengertian Nikah Misyar 

Kata nikah kiranya kita sudah familier mendengarnya. 

Sedang Misyar terambil dari kata sara-yasiru-sairan Misyar 

berasal dari bahasa Arab yaitu akar kata dari سار  sudah 

berjalan, یسیر  sedang berjalan, سیرا  berjalan dan kata مسیار  yang 

merupakan bentuk isim alat-nya yang artinya perjalanan. 

Misyar yaitu singgah atau melewati (suatu wilayah/negeri 

106 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam 

tertentu) dan tidak menetap dalam waktu yang lama. (an-

Nadi, 2011 : 30) 

Syaikh Yusuf al-Qardhawi mendefinisikan nikah Misyar 

sebagai “pernikahan di mana seorang laki-laki (suami) 

mendatangi kediaman wanita (istri), dan wanita ini tidak 

pindah kediaman laki-laki tersebut. Biasanya, hal ini terjadi 

pada istri kedua, sedang laki-laki ini memiliki istri lain di 

rumah yang dinafkahkannya.” (al-Qardhawi, 1999: 4) 

Istilah Misyar yaitu   bentuk shighah mubalaghah dari 

kata sair yang secara harfiah bermakna berjalan dan tidak 

menetap lama di sebuah tempat. Misyar secara harfiah berarti 

banyak berjalan. Pernikahan Misyar yaitu   pernikahan yang 

telah memenuhi semua syarat dan rukun nikah seperti adanya 

mempelai laki-laki, mempelai wanita, wali mempelai wanita, 

dua saksi, ijab – qabul, dan mahar. Namun dalam hal ini suami 

tidak memberikan sebagian hak kepada istrinya atas dasar 

persetujuan dan kerelaan istrinya tersebut. Biasanya suami 

mendatangi rumah istrinya pada waktu kapan pun yang ia 

kehendaki, untuk melakukan hubungan seksual dan 

keperluan lainnya. Ia tinggal hanya dalam waktu yang singkat 

dengan istrinya tersebut dan tidak bermalam bersamanya. (ad-

Duraiwisy, 2010 : 133 dst)  

Jadi inti dari nikah Misyar yaitu   pernikahan yang 

memenuhi syarat dan rukun nikah sebagaimana diatur dalam 

fikih, namun suami tidak menetap bersama istri (barunya), ia 

hanya datang sewaktu-waktu, istri membebaskan kewajiban 

suami dari memberi nafkah, tempat tinggal dan lain-lain. 

Pernikahan ini biasanya terjadi pada pernikahan kedua dan 

seterusnya, karena yang dibutuhkan istri yaitu   status 

bersuami dan bisa mendapatkan kesenangan seksual secara 

halal. Sementara soal nafkah dan lain-lain ia sudah 

memilikinya bahkan bisa jadi lebih kaya dari suaminya. 

107 

C. Gambaran Nikah Misyar 

Abd Allah al-Faqih dalam Fatawa alShabkah al-Islamiyah  

menjelaskan, kawin Misyar itu sama dengan perkawinan pada 

umumnya, hanya saja bedanya, pihak istri dengan kerelaan 

hati, membebaskan suami dari segala bentuk tanggung jawab 

terkait nafkah.  

Menurutnya, model kawin Misyar ini ada dua, yaitu:  

Pertama, jenis perkawinan yang memenuhi semua syarat 

dan rukun perkawinan-seperti halnya perkawinan pada 

umumnya- akan tetapi ketika pelaksanaan akad nikah suami 

mengajukan syarat agar istri membebaskannya dirinya dari 

segala tanggungan nafkah dan tempat tinggal. Kedua, model 

perkawinan yang sudah memenuhi syarat rukun perkawinan, 

namun suami meminta istrinya agar  tidak menuntut  jatah 

giliran (qasm) dan jatah bermalam atau mabit. Masalah qasm 

dan mabit, ditentukan oleh suami, sebab suami statusnya 

sudah memiliki istri. Di samping itu, suami mengajukan syarat 

agar perkawinan keduanya dirahasiakan dari orang-banyak, 

khususnya agar jangan sampai ketahuan istri pertama.(Abd 

Allah Faqih, V :  190). 

D. Sebab-sebab Maraknya Nikah Misyar 

Adapun sebab-sebab munculnya pernikahan jenis ini 

yaitu   sebagai berikut: (al-Muthlaq, 1423 : 81 dst). 

1. Bertambahnya perawan yang sudah mulai lanjut usia, 

karena banyak pemuda yang enggan menikah disebabkan 

mahalnya mas kawin dan biaya pernikahan, atau 

disebabkan maraknya kasus perceraian, karena kondisi 

seperti ini sebagian wanita merelakan dirinya menjadi istri 

kedua atau ketiga dan menggugurkan sebagian haknya. 

2. Kebutuhan sebagian wanita untuk tetap tinggal bersama 

di rumah keluarganya, bisa jadi karena ia menjadi 

108 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam 

pe