n oleh si penjual bunga dan bergabung dengannya
dan orang-orang lain dalam melayani Buddha. Ia menghafalkan
khotbah-khotbah yang disampaikan oleh Buddha kepada orang-
orang yang mendatangi-Nya. Pada akhir khotbah itu ia mencapai
Buah Pemenang Arus.
3043
Riwayat Para Siswi Awam
Sà mà vatã dan Lima Ratus Pelayannya Mencapai Pengetahuan
Pemenang Arus
Khujjuttarà dalam tugas hariannya membeli bunga untuk Ratu
Sà mà vatã biasanya membeli bunga seharga empat keping uang
dan menyimpan empat keping uang lagi dari delapan keping uang
yang diberikan oleh ratu untuk membeli bunga. Tetapi sejak ia
menjadi seorang Ariya (sebagai Pemenang Arus) Khujjuttarà tidak
berniat untuk mencuri uang yang dipercayakan kepadanya, dan
membeli bunga seharga delapan keping uang sehingga memenuhi
keranjangnya. Ratu Sà mà vatã, melihat bunga yang lebih banyak dari
biasanya, bertanya, “Mengapa Uttarà , engkau membeli sekeranjang
besar bunga hari ini tidak seperti hari-hari kemarin! Apakah raja
menambah uang belanja bunga untukku?”
Khujjuttarà sebagai seorang Ariya sekarang tidak dapat berbohong,
dan ia mengakui perbuatan jahatnya. Saat ratu bertanya, “Mengapa
engkau membeli sekeranjang besar bunga hari ini?” KhujjuattarÃ
menjawab, “sebab aku tidak mencuri uang hari ini. Aku tidak
melakukannya sebab aku telah mencapai Nibbà na, aku telah
memahami Keabadian, sesudah mendengarkan khotbah Buddha.”
Selanjutnya Ratu Sà mà vatã dan lima ratus pelayannya menjulurkan
tangan mereka dan memohon kepada Khujjuttarà , “Uttarà ,
bagikanlah kepada kami Nibbà na yang abadi itu!”
“Teman-teman, Nibbà na bukanlah sesuatu yang dapat dibagi-
bagikan kepada orang lain. Aku akan mengulang kata-kata Buddha.
Jika kalian memiliki jasa masa lampau yang cukup, kalian akan
mencapai Nibbà na yang Abadi saat mendengarnya.”
“Uttarà , lanjutkanlah!”
Ratu Sà mà vatã memberi tempat duduk yang lebih tinggi untuk
Khujjuttarà dan mendengarkan khotbahnya dengan duduk di
tempat yang lebih rendah. Khujjuttarà , mengerahkan Pengetahuan
Analitis yang dikuasai oleh seorang Ariya yang masih berlatih untuk
mencapai Kearahattaan (sekha), membabarkan khotbah kepada
3044
Sà mà vatã dan lima ratus pelayannya, dan pada akhir khotbah itu
mereka semuanya mencapai Buah Pemenang Arus. Sejak saat itu
Khujjuttarà dibebaskan dari segala tugas-tugasnya dan diberikan
tugas baru yaitu pergi ke vihà ra Buddha untuk mendengarkan
khotbah dan mengulangi apa yang ia pelajari dari Buddha kepada
Ratu Sà mà vatã dan para pelayannya. Demikianlah Ratu Sà mà vatã
dan para pelayannya mendapatkan pelajaran secara rutin dari
Khujjuttarà .
Kebaikan dan Kejahatan Khujjuttarà Pada Masa Lampau
“Mengapa Khujjuttarà terlahir dalam sebuah keluarga budak?” Hal
ini disebabkan oleh kejahatan masa lampaunya. Pada masa Buddha
Kassapa, ia menyuruh seorang sà maõerã melakukan pekerjaan yang
tidak biasa (menjadi pesuruhnya). sebab perbuatannya itu, ia
terlahir dalam keluarga budak selama lima ratus kelahiran berturut-
turut. Mengapa ia terlahir bongkok? saat ia menjadi seorang
pelayan di istana Raja Bà rà õasã sebelum munculnya Buddha Gotama,
ia melihat seorang Pacceka Buddha bongkok yang datang ke istana
untuk menerima dà na makanan. lalu ia meniru gaya Pacceka
Buddha ini di depan para pelayan istana. Atas perbuatan itu
ia terlahir bongkok dalam kehidupannya sekarang.
Jasa baik apakah yang ia lakukan pada masa lampau sehingga
ia memiliki kebijaksanaan dalam kehidupan sekarang? saat ia
menjadi seorang pelayan di istana Raja Bà rà õasã sebelum munculnya
Buddha Gotama, ia melihat delapan Pacceka Buddha yang membawa
mangkuk berisi nasi susu yang sangat panas. Untuk mengurangi
rasa panas di tangan para mulia itu, ia melepas delapan untai kalung
yang sedang ia kenakan dan mempersembahkannya kepada mereka
untuk digunakan sebagai alas mangkuk. Perbuatan bijaksana itulah
jasa yang ia dapatkan.
Ratu Mà gaõóã Mengelabui Ratu Sà mà vatã
Meskipun Ratu Sà mà vatã dan lima ratus pelayannya telah menjadi
para Ariya, mereka belum pernah berkesempatan bertemu dengan
Buddha sebab Raja Udena yaitu seorang penganut kepercayaan
3045
Riwayat Para Siswi Awam
lain. sebab mereka yaitu para Pemenang Arus, mereka sangat
ingin bertemu dengan Buddha. Dan yang mereka lakukan hanyalah
melihat sekilas sosok Buddha saat Buddha sedang berjalan di kota.
sebab tidak ada jendela yang cukup untuk melihat keluar, para
perempuan itu membuat lubang di dinding kamar tidur mereka
sehingga mereka dapat melihat sosok agung Buddha.
Suatu hari Ratu Mà gaõóã sedang berjalan-jalan di luar dan melihat
lubang-lubang kecil di dinding kamar para pelayan Ratu Sà mà vatã
dan bertanya kepada para pelayannya lubang-lubang apa itu.
Mereka tidak tahu bahwa Ratu Mà gaõóã menyimpan dendam
terhadap Buddha dan mereka secara jujur mengakui perbuatan
mereka demi untuk dapat melihat Buddha lewat dan memberi
hormat dengan cara berdiri di dalam kamar mereka masing-masing
sambil mengintip melalui lubang di dinding. Ratu Mà gaõóã berpikir,
“Sekarang tiba waktunya untuk membalas dendam kepada Samaõa
Gotama. Gadis-gadis ini, para pengikut Gotama juga akan mendapat
bagian mereka!”
lalu , saat Mà gaõóã sedang berdua dengan Raja Udena,
ia berkata, “Tuanku, Ratu Sà mà vatã dan para pelayannya telah
memberi hati mereka kepada orang lain selain engkau. Mereka
sedang merencanakan untuk menghancurkan engkau dalam
beberapa hari. Mereka tidak menyayangimu. Mereka sangat tertarik
kepada Samaõa Gotama sehingga mereka mengintai-Nya bahkan
selagi Beliau berjalan di kota. Mereka membuat lubang di dinding
kamar mereka untuk dapat melihat Samaõa Gotama. Raja tidak
mempercayainya. Pada kesempatan lain Mà gaõóã mengulangi
ceritanya lagi; raja tetap tidak mempercayainya. Untuk ketiga
kalinya ia mengulangi ceritanya, dan saat raja masih tidak
percaya, ia menyarankan agar raja pergi ke kamar mereka dan
menyelidikinya. Raja pergi dan melihat lubang-lubang kecil. Ia
bertanya kepada gadis-gadis itu tentang lubang-lubang itu. Gadis-
gadis itu dengan jujur memberitahukan kepadanya tujuan mereka
membuat lubang itu. Raja tidak marah, hanya menyuruh mereka
menutup kembali lubang-lubang itu. Ia menutup jendela di lantai
atas kamar-kamar gadis itu. (Ini yaitu strategi licik pertama yang
dilakukan oleh Ratu Mà gaõóã.)
3046
Ratu Mà gaõóã lalu merencanakan strategi lain. Ia berkata
kepada raja, “Tuanku, mari kita menguji kesetiaan Sà mà vatã dan para
pelayannya terhadapmu. Berikan mereka delapan ekor ayam hidup
dan minta mereka untuk memasakkan makanan dari ayam itu untuk
Tuanku.” Raja melakukan sesuai saran Mà gaõóã. Ratu Sà mà vatã,
sebagai seorang siswa Ariya Buddha, tidak dapat membunuh dan
sebab itu ia menjawab kepada raja bahwa tidaklah baik membunuh
ayam-ayam itu.
Tetapi Mà gaõóã sangat licik. Ia berkata kepada raja, “Tuanku,
suruhlah Sà mà vatã untuk memasak ayam itu untuk dipersembahkan
kepada Samaõa Gotama.” Raja melakukan sesuai saran itu. Kali ini,
Mà gaõóã membunuh ayam-ayam itu sebelum ia tiba di tempat Ratu
Sà mà vatã, yang menerima ayam-ayam mati itu dan tidak curiga.
Ia memasak ayam-ayam itu dan mempersembahkannya kepada
Buddha. Ratu Mà gaõóã lalu menunjukkan fakta tentang
sikap Sà mà vatã kepada raja dengan mengatakan, “Sekarang, apakah
engkau melihat kepada siapa Sà mà vatã tertarik?” Tetapi, raja tidak
menghukum Sà mà vatã yang dicintainya. (Ini yaitu startegi licik
kedua yang dilakukan oleh Ratu Mà gaõóã.)
Strategi Licik Ketiga
Raja Udena memiliki tiga ratu: (1) Ratu Sà mà vatã, (2) Ratu Và suladattà ,
putri Raja Caõóapajjota dari Ujjenã, dan (3) Ratu Mà gaõóã. Masing-
masing ratu memiliki lima ratus pelayan. Raja melewatkan waktu
satu minggu dengan masing-masing ratu di istana mereka masing-
masing. Ratu Mà gaõóã menyimpan seekor ular kobra kecil di dalam
sebuah kotak bambu yang diam-diam dimasukkan ke dalam kecapi
milik raja dan menutup lubang kecapi itu. Raja selalu membawa
kecapinya ke mana pun ia pergi. Ia sangat menyenangi kecapi sebab
musik yang dihasilkan dapat memancing gajah-gajah sehingga
tertarik mendatangi pemainnya, yaitu raja.
saat raja hendak pergi ke istana Ratu Sà mà vatã, Ratu Mà gaõóã
berkata kepadanya (seolah-olah ia sangat mengkhawatirkan
keselamatan raja), “Tuanku, Sà mà vatã yaitu seorang pengikut
3047
Riwayat Para Siswi Awam
Samaõa Gotama. Ia tidak menghargai hidupmu lebih dari nilai
sehelai rumput. Ia selalu ingin mencelakaimu. Berhati-hatilah.”
sesudah raja melewatkan tujuh hari bersama Ratu Sà mà vatã, ia
mendatangi Ratu Mà gaõóã yang berkata, “Bagaimana, Tuanku,
apakah Sà mà vatã berpeluang mencelakaimu?” lalu , ia
mengambil kecapi dari tangan raja, dan mengguncangnya, ia
berseru, “Mengapa ada benda hidup yang bergerak di dalam kecapi
ini!” Dan sesudah dengan hati-hati ia membuka lubang kecil di
kecapi itu, ia berseru, “O! Mati aku! Ada ular di dalam kecapi ini!”
Ia menjatuhkan kecapi itu dan berlari menjauhinya. Ular itu keluar
dari kecapi itu dan itu cukup untuk membangkitkan kemarahan
raja. Bagaikan hutan bambu yang terbakar, raja mendesis marah
dan berteriak, “Pergi dan bawa Sà mà vatã dan seluruh pelayannya
ke sini!” Para pengawal segera mematuhinya.
(Sebuah pepatah: jika kita mengendalikan diri, mempertahankan
kejujuran, dan memelihara hati yang penuh cinta kasih, saat
seseorang marah kepada kita, bagaimana mungkin kita dapat
menjadi marah juga?)
Ratu Sà mà vatã mengetahui bahwa raja marah kepada mereka.
Ia menasihati para pelayannya untuk memancarkan cinta kasih
kepada raja sepanjang hari. saat mereka dibawa menghadap
raja, Sà mà vatã dan para pelayannya berbaris di hadapan raja yang
siap dengan busur dan panah beracun. Mereka tetap memancarkan
cinta kasih kepada raja. Raja tidak mampu menembakkan anak
panah dan juga tidak dapat menurunkan busur dan anak panah
itu. Keringat mengalir di seluruh tubuhnya yang gemetar. Mulutnya
meneteskan air liur. Ia menyerupai orang yang tiba-tiba kehilangan
kesadarannya.
Ratu Sà mà vatã berkata kepadanya, “Tuanku, apakah engkau merasa
letih?” Raja menjawab, “Ratuku, aku memang merasa letih. Papahlah
aku.”
“Baiklah, Tuanku,” ia berkata, “arahkan panahmu ke bawah.”
3048
Raja mengarahkan panahnya ke bawah. lalu Sà mà vatã
berkehendak, “Semoga anak panah itu terlepas.” Dan sesaat anak
panah beracun itu jatuh ke lantai.
Pada saat itu Raja Udena pergi dan merendam tubuhnya dalam
air dan dengan pakaian dan rambut basah ia menjatuhkan dirinya
di kaki Sà mà vatã, dan berkata, “Maafkan aku, Ratuku. Aku bodoh
sekali menuruti anjuran Mà gaõóã.”
“Aku memaafkanmu, Tuanku” Sà mà vati berkata.
“Baiklah, O Ratu, engkau sungguh seorang pemaaf. Mulai saat ini
engkau bebas memberi persembahan kepada Buddha. Berilah
persembahan dan pergilah ke vihà ra Buddha pada malam hari untuk
mendengarkan khotbah. Mulai saat ini engkau akan dilindungi.”
Sà mà vatã, menangkap peluang itu dan mengajukan permohonan,
“Kalau begitu, Tuanku, sudikah engkau memohon agar Buddha
mengutus seorang bhikkhu untuk datang ke istana dan mengajarkan
Dhamma yang baik setiap hari?” Raja Udena menghadap Buddha
dan mengajukan permohonan kepada Buddha. Buddha menugaskan
Yang Mulia ânanda untuk melakukan tugas ini . Sejak saat itu
Sà mà vatã dan para pelayannya mengundang Yang Mulia ânanda ke
istana dan memberi persembahan setiap hari yang dilanjutkan
dengan memelajari Dhamma dari Yang Mulia ânanda.
Ratu Sà mà vatã, sebab gembira dengan khotbah yang disampaikan
oleh Yang Mulia ânanda dalam mengungkapkan penghargaan atas
persembahan makanan itu, mempersembahkan lima ratus bahan
jubah kepadanya.
(Yang Mulia ânanda dalam salah satu kehidupan lampaunya, pernah
mempersembahkan sebatang jarum dan sepotong kain sebesar
telapak tangan kepada seorang Pacceka Buddha. Atas perbuatan baik
itu, dalam kehidupan sekarang ia memiliki kebijaksanaan, dan juga
menerima persembahan bahan jubah sebanyak lima ratus kali.)
3049
Riwayat Para Siswi Awam
Sà mà vatã dan Para Pelayannya Dibakar Hidup-Hidup
Mà gaõóã tidak berdaya dalam usahanya menjauhkan Raja Udena
dari Sà mà vatã. Ia menjadi putus asa dan melakukan usaha
terakhir. Ia membujuk raja untuk pergi berjalan-jalan ke taman.
Ia memerintahkan pamannya untuk membakar istana selagi raja
sedang tidak berada di istana. Ratu Sà mà vatã dan para pelayannya
diperintahkan untuk tetap berada di dalam istana, atas nama
raja. lalu istana mereka dibakar. Paman Ratu Mà gaõóhã, si
brahmana dungu, menjalani rencana itu dengan sukses.
sebab kejahatan masa lampau mereka sekarang berbuah,
Sà mà vatã dan lima ratus pelayannya tidak dapat berdiam dalam
Buah Pemenang Arus pada hari naas ini dan tewas terbakar,
bagaikan sekam di dalam lumbung. Para penjaga di istana Ratu
Sà mà vatã melaporkan malapetaka ini kepada raja.
Raja melakukan penyelidikan menyeluruh atas musibah ini, dan
mengetahui bahwa itu yaitu perbuatan Mà gaõóã. Tetapi, ia tidak
menunjukkan kecurigaannya. Ia memanggil Ratu Mà gaõóã, dan
berkata kepadanya, “Mà gaõóã, engkau telah melakukan apa yang
seharusnya demi diriku. Engkau telah menyingkirkan Sà mà vatã yang
telah berkali-kali mencoba mencelakaiku. Aku sangat menghargai
perbuatanmu. Aku akan memberi anugerah kepadamu.
Sekarang, panggilah sanak saudaramu.”
Ratu Mà gaõóã gembira mendengar kata-kata raja. Ia mengumpulkan
semua sanak saudaranya dan juga teman-teman yang tidak ada
hubungan keluarga dengannya. saat semua sanak saudara
Mà gaõóã telah berkumpul, raja memerintahkan penggalian lubang
yang dalam di halaman istana, dan memasukkan mereka semua ke
dalam lubang itu dan hanya menyisakan kepala mereka yang berada
di atas tanah. Kepala mereka lalu dipukul hingga pecah dan
lalu bajak besi ditarik menggilas tengkorak mereka yang
pecah itu. Sedangkan Ratu Mà gaõóã, tubuhnya dipotong-potong
lalu dimasak.
3050
Kejahatan Masa Lampau Sà mà vatã dan Para Pelayannya
Kematian Sà mà vatã dan para pelayannya sebab terbakar hidup-
hidup disebabkan oleh kejahatan masa lampau mereka. Dalam
salah satu kehidupan lampau mereka sebelum munculnya Buddha
Gotama, lima ratus pelayan itu berdiri di tepi Sungai Gaïgà sesudah
mandi dan bermain-main air. Saat mereka masih kedinginan, mereka
melihat sebuah gubuk jerami di dekat sana yang merupakan tempat
tinggal seorang Pacceka Buddha. Mereka membakar gubuk itu untuk
menghangatkan badan mereka tanpa terlebih dahulu memeriksa
apakah gubuk itu ada penghuninya atau tidak.
Pada saat itu si Pacceka Buddha sedang berdiam dalam pencapaian
Penghentian. Hanya saat gubuk kecil itu telah berubah menjadi
abu, mereka terkejut melihat seorang Pacceka Buddha yang sedang
duduk tidak bergerak. Meskipun sewaktu membakar gubuk itu,
mereka tidak berniat untuk membunuh Pacceka Buddha itu,
pikiran membunuh itu lalu merasuki batin mereka yang
ketakutan sebab mereka mengenalinya sebagai Pacceka Buddha
yang datang ke istana raja untuk menerima dà na makanan. Untuk
menghindari kemarahan raja, mereka harus membakar Pacceka
Buddha itu agar tidak ada bukti yang tertinggal. sebab itu, dengan
cara mengkremasi, mereka mengumpulkan lebih banyak kayu dan
membakar Pacceka Buddha yang sedang duduk itu. Perbuatan itu
dilakukan dengan kehendak untuk membunuh, yang merupakan
kejahatan berat, dan menghasilkan akibat yang berat pula.
saat kayu-kayu itu habis terbakar, Pacceka Buddha itu bangun
dari pencapaian Penghentian, membersihkan jubahnya dari abu,
dan terbang ke angkasa, pergi dengan disaksikan oleh mereka yang
melihat dengan penuh keheranan. Mereka menderita di neraka atas
kejahatan itu, dan sebagai akibat tambahan, mereka terbakar hidup-
hidup pada kehidupan sekarang.)
(c) Menjadi siswi awam terbaik
sesudah tewasnya Ratu Sà mà vatã dan lima ratus pelayannya,
terdengarlah kata-kata pujian di antara empat kelompok, yaitu (1)
3051
Riwayat Para Siswi Awam
Kelompok bhikkhu, (2) Kelompok bhikkhunã, (3) Kelompok siswa
awam laki-laki, (4) Kelompok siswa awam perempuan, sebagai
berikut:
“Khujjuttarà yaitu seorang terpelajar, walaupun perempuan, ia
mampu membabarkan Dhamma hingga lima ratus pelayan di istana
berhasil mencapai Pengetahuan Pemenang Arus.
“Sà mà vatã sungguh terampil dalam pencapaian Jhà na cinta kasih
universal sehingga ia mampu menghentikan panah Raja Udena
dengan memancarkan cinta kasih kepada raja.”
Pada lalu hari, saat Bhagavà sedang berada di Vihà ra
Jetavana dan sedang menganugerahkan gelar terbaik kepada para
siswi awam, Beliau menyatakan,
“Para bhikkhu, di antara para siswi awam yang terampil dalam
belajar, Khujjuttarà yaitu yang terbaik.”
(Khujjuttarà mendapatkan gelar itu sebab ia mendapat tugas dari
Ratu Sà mà vatã dan para pelayannya, sesudah mereka mencapai
Pengetahuan Pemenang Arus, tugas untuk memelajari lebih
jauh lagi tentang ajaran Buddha dengan cara mengunjungi
Buddha setiap hari. Tugas ini membuatnya banyak memelajari
Dhamma dan menghafalkan Tiga Piñaka. Itulah sebabnya Buddha
menganugerahkan gelar “yang terbaik dalam belajar”.
Sebagai seorang sekkha, seorang Ariya yang masih belajar untuk
mencapai Kearahattaan, Khujjuttarà memiliki Empat Pengetahuan
Analitis yang dimiliki oleh seorang sekkha, yang membuatnya
mampu mencerahkan Sà mà vati dan para pelayannya. Sewaktu
Buddha sedang berada di Kosambã, Khujjuttarà mengunjungi
Buddha setiap hari dan mendengarkan khotbah. sesudah kembali ke
istana, ia mengulangi apa yang telah ia pelajari kepada Sà mà vati dan
para pelayan. Ia akan memulai khotbahnya kepada mereka dengan
kata-kata, “Bhagavà berkata sebagai berikut, aku telah mendengar
Arahanta berkata sebagai berikut.” 112 khotbah yang ia babarkan
kepada perempuan-perempuan itu dicatat oleh para sesepuh dalam
3052
sidang sebagai ‘Kata-kata Buddha,” dengan judul Itivuttaka. (Baca
Komentar Itivuttaka.)
Pada kesempatan itu Buddha juga menyatakan, “Para bhikkhu, di
antara para siswi yang terampil dalam pencapaian Jhà na cinta kasih
universal, Sà mà vatã yaitu yang terbaik.”
Demikianlah kisah Khujjuttarà dan Sà mà vatã.
(5) Uttara Nandamà ta
(a) Cita-cita masa lampau
Bakal Uttarà Nandamà tà terlahir dalam sebuah keluarga kaya
di Kota Haÿsà vatã pada masa kehidupan Buddha Padumuttara.
saat ia mendengarkan khotbah yang disampaikan oleh Buddha,
ia menyaksikan seorang siswi awam yang dinyatakan sebagai
yang terbaik di antara mereka yang berdiam di dalam jhà nà . Ia
berkeinginan kuat untuk menjadi seperti siswa ini pada
masa depan, dan sesudah memberi persembahan besar ia
mengungkapkan cita-citanya. Buddha meramalkan bahwa cita-
citanya akan tercapai.
(b) Kehidupan terakhir sebagai Uttarà , Putri Puõõa si perumah
tangga
Perempuan kaya itu, sesudah meninggal dunia dari kehidupan itu,
mengembara di alam dewa dan alam manusia selama seratus ribu
siklus dunia, dan pada masa Buddha Gotama, ia terlahir sebagai
putri Puõõasãha, istri Uttarà , yang bergantung pada (menjadi
pembantu rumah tangga) Sumanà , perumah tangga di Rà jagaha.
Kondisi yang Melatarbelakangi Kekuasaan Puõõasãha
Pada suatu pesta di RÃ jagaha untuk merayakan hari gembira sesuai
posisi planet-planet, Sumanà si perumah tangga dari Rà jagaha
memanggil Puõõa dan berkata, “O Puõõa, menghadiri pesta
pada hari besar dan menjalani Sãla Uposatha sesungguhnya tidak
3053
Riwayat Para Siswi Awam
berlaku bagi orang miskin (sepertimu). Tetapi aku akan memberi
kelonggaran untukmu pada hari besar ini, dan engkau boleh pergi
menikmati pesta atau melakukan pembajakan seperti biasa. Katakan
padaku apa pilihanmu.”
Puõõasãha berkata, “Tuan, aku akan mendiskusikannya dengan
istriku dahulu.”
Di rumah, Puõõa memberitahu istrinya Uttarà tentang apa yang
dikatakan oleh majikannya. Istrinya berkata, “Suamiku, perumah
tangga itu yaitu majikan kita. Apa yang dikatakan oleh majikan
kepadamu tentu benar. Tetapi aku pikir sebaiknya engkau tidak
meninggalkan satu hari kerja.”
Dan Puõõa yang setuju dengan istrinya, memasang gandar pada
sapinya dan pergi membajak sawah seperti biasa.
Kebetulan pada hari besar bagi Puõõa itu, Yang Mulia Sà riputta,
sesudah bangun dari pencerapan pencapaian Penghentian,
memeriksa dunia ini untuk melihat kepada siapakah ia akan
memberi berkahnya. Ia melihat matangnya jasa masa lampau
Puõõa yang menjadi kondisi yang cukup untuk mencapai
Pencerahan. Ia membawa mangkuk dan jubahnya saat tiba waktunya
untuk mengumpulkan dà na makanan, pergi ke tempat di mana
Puõõa sedang membajak sawah. Ia berdiri dalam jarak yang dapat
terlihat oleh Puõõa. Saat melihatnya, Puõõa berhenti membajak,
mendatanginya, dan bersujud dengan lima titik menyentuh
tanah. Yang Mulia SÃ riputta yang menginginkan kesejahteraan
si orang miskin itu, menatapnya dan bertanya di mana ia dapat
memperoleh air bersih. Puõna berpikir bahwa Yang Mulia Sà riputta
ingin mencuci muka, dan sebab itu ia membuatkan sikat gigi dari
tanaman merambat yang terdapat di dekat sana dan memberi nya
kepada Yang Mulia SÃ riputta. Sewaktu Yang Mulia SÃ riputta
sedang menyikat gigi, Puõõa mengambil mangkuk dan saringan
air dan pergi mengambil semangkuk penuh air bersih yang telah
disaring.
sesudah mencuci muka, Yang Mulia SÃ riputta pergi untuk
3054
mengumpulkan dà na makanan, lalu , Puõõa berpikir, “Yang
Mulia SÃ riputta tidak pernah melewati jalan ini sebelumnya.
Hari ini ia datang pasti demi kebaikanku. Oh, seandainya istriku
sudah datang membawa makananku, alangkah baiknya jika aku
mempersembahkannya kepada Yang Mulia SÃ riputta!”
Istri Puõõa ingat bahwa hari itu yaitu hari besar menurut
planet-planet. Pagi-pagi ia memasak perbekalan yang ia miliki
dan membawanya ke tempat suaminya bekerja. Dalam perjalanan
itu ia melihat Yang Mulia SÃ riputta dan berpikir, “Pada hari-hari
sebelumnya aku tidak memiliki apa pun untuk dipersembahkan
kepada Yang Mulia SÃ riputta meskipun aku bertemu dengannya,
atau saat aku memiliki sesuatu untuk dipersembahkan, aku
tidak bertemu dengannya. Hari ini aku memiliki sesuatu untuk
dipersembahkan dan bertemu dengan penerimanya. Aku akan
memasak (menurut Subkomentar) makanan lain untuk suamiku
dan mempersembahkan makanan ini kepada Yang Mulia sekarang.”
Dengan pikiran demikian ia mengisi mangkuk Yang Mulia
SÃ riputta dan mengucapkan keinginannya, “Semoga aku bebas
dari kemiskinan.” Yang Mulia berkata, “Semoga keinginanmu
terpenuhi,” menunjukkan penghargaan, dan kembali ke vihà ra
dari sana.
(Harus dimengerti bahwa dalam melakukan perbuatan baik, muncul
banyak proses pikiran yang baik yang terdiri dari tujuh ‘impuls’
kebajikan atau bagian dari proses pikiran. Jika kondisi mendukung,
yang pertama dari tujuh impuls ini akan berbuah langsung
bahkan dalam kehidupan sekarang.
Empat kondisi harus ada untuk menghasilkan akibat langsung,
yaitu: (a) Penerima yaitu seorang Arahanta atau paling sedikit
seorang Yang Tak Kembali, (b) persembahan itu yaitu sesuatu
yang diperoleh dengan cara yang benar, (c) si pemberi memiliki
keinginan kuat atau kehendak dalam memberi persembahan,
yaitu, keinginan kuat sebelum melakukan, pada saat melakukan dan
ia merasa gembira sesudah melakukan, (d) si penerima baru bangun
dari pencapaian Penghentian. Dan yang paling penting, harus ada
jasa masa lampau yang cukup dari si pemberi. Dalam kasus Puõõa
3055
Riwayat Para Siswi Awam
dan istrinya, mereka memiliki kondisi sekarang dan kondisi masa
lampau. Jasa masa lampaunya yang akan membuatnya menjadi orang
kaya telah matang sehingga pada hari itu ia menemukan sebongkah
emas padat dari lahan yang sedang ia bajak. Ini meningkatkan
statusnya menjadi orang kaya yang ditetapkan oleh raja.)
Istri Puõõa pulang ke rumah (tanpa melanjutkan perjalanannya ke
tempat suaminya), memasak makanan lain untuk suaminya, dan
mengantarkannya kepada suaminya. Khawatir suaminya marah,
(dan lebih lagi sebab kemarahannya dapat meniadakan akibat baik
dari perbuatan baik yang telah ia lakukan), ia mulai mengucapkan
kata-kata ramah, “Suamiku, aku mohon agar engkau mengendalikan
dirimu dari kemarahan hari ini.”
“Mengapa?” tanya suaminya, (heran).
“Suamiku, aku bertemu dengan Yang Mulia SÃ riputta dalam
perjalanan dan mempersembahkan makanan yang kupersiapkan
untukmu. Aku pulang lagi dan memasak makanan lain untukmu.
Itulah sebabnya aku agak terlambat hari ini.”
Bongkahan Tanah Berubah Menjadi Bongkahan Emas
Puõõa berkata kepada istrinya, “Istriku, engkau telah melakukan hal
yang baik. Aku sendiri telah mempersembahkan sikat gigi dan air
bersih untuknya mencuci muka pagi ini. Hari ini semua kebutuhan
Yang Mulia telah kita persembahkan!” Pasangan itu gembira atas
perbuatan baik mereka.
lalu Puõna memakan makanannya. sesudah itu ia beristirahat
sejenak dengan kepala berada di pangkuan istrinya. Saat terbangun,
ia melihat ke sekeliling dan di tempat yang telah ia bajak terlihat
lautan benda kekuningan bagaikan bunga-bunga kuning yang
bertebaran. Terkejut, ia berkata kepada istrinya, “Istriku, apakah itu”
sambil menunjukkan jarinya ke benda-benda kuning ini (yang
yaitu bongkahan tanah). Semua tanah yang kubajak terlihat seperti
emas!” Istrinya berkata, “Suamiku, mungkin engkau mengalami
halusinasi sesudah bekerja keras.” Tetapi Puõõa bersikeras, “Lihat,
3056
engkau lihatlah sendiri!” dan istrinya melihat dan berkata, “Suamiku,
apa yang engkau katakan, benar. Benda-benda itu seperti emas!”
Puõõa bangkit dan mengambil sebongkah tanah kuning itu,
mengetukkannya ke mata bajaknya. Itu yaitu sebongkah emas
dan menempel pada mata bajak bagaikan sebongkah gula merah.
Ia memanggil istrinya dan berkata sambil menunjukkan emas itu,
“Istriku, orang lain harus menunggu tiga atau empat bulan untuk
memanen apa yang mereka tanam. Tetapi kita, kebajikan kita,
yang ditanam di lahan subur, yaitu Yang Mulia SÃ riputta, sekarang
telah siap dipanen. Seluruh lahan ini yang luasnya satu karisa (1
¾ are) tidak ada segumpal tanah pun yang tidak berubah menjadi
emas.”
“Apa yang harus kita lakukan?” tanya istrinya
“Istriku,” Puõõa menjawab, “Kita tidak dapat menyembunyikan
emas sebanyak ini.” Sambil berkata, ia mengambil sebongkah tanah
itu, memasukkannya ke dalam panci daging. Ia pergi ke istana dan
menghadap raja. Terjadi percakapan antara Puõõa dan raja.
Raja: “Di mana engkau menemukan emas ini?”
Puõõa: “Tuanku, lahan yang kubajak hari ini berubah menjadi
bongkahan emas. Silakan Tuanku mengutus orang untuk
mengambilnya.”
Raja: “Siapa namamu?”
Puõõa: “Tuanku, namaku Puõõa.”
lalu raja memerintahkan kepada orang-orangnya untuk
menyiapkan kereta dan pergi mengumpulkan emas-emas dari
sawah Puõõa.
Keluarga Puõõa Menjadi Keluarga Kaya dan Juga Mencapai Pengetahuan
Pemenang Arus
3057
Riwayat Para Siswi Awam
Orang-orang dari istana yang mengumpulkan bongkahan emas itu
berkata, “Ini yaitu akibat jasa masa lampau raja.” Emas-emas itu
berubah kembali menjadi tanah! Tidak ada sebongkah emas pun
yang mereka dapatkan. Mereka melaporkan hal itu kepada raja. Raja
Bimbisà ra berkata kepada mereka, “Kalau begitu, katakanlah, ‘ini
yaitu akibat jasa masa lampau Puõõa’ saat kalian mengumpulkan
bongkahan itu.” orang-orang itu kembali, mengatakan apa yang
diinstruksikan oleh raja, dan mereka berhasil mengumpulkan
emas-emas itu.
Bongkahan-bongkahan itu diangkut dalam banyak kereta dan
ditumpuk di halaman istana. Tumpukan itu setinggi pohon kelapa.
Raja memanggil para pedagang dan bertanya, “Di rumah siapakah
terdapat tumpukan emas sebanyak ini?” Para pedagang menjawab,
“Tidak ada rumah yang memiliki emas sebanyak ini.” Raja bertanya
lagi, “Apa yang harus kita lakukan terhadap Puõõa pemilik emas
ini?” Para pedagang itu sepakat menjawab, “Tuanku, Puõõa harus
diberi gelar Bendaharawan Kerajaan.” Raja setuju. Dan demikianlah
Puõõa menjadi Bendaharawan Kerajaan. Semua emas itu diserahkan
kepadanya. Pada hari yang sama Puõõa diangkat secara resmi
sebagai Bendaharawan Kerajaan dengan perayaan yang meriah.
Demikianlah kisah Puõõasãha, satu di antara lima orang kaya di
dalam wilayah kekuasaan Raja Bimbisà ra, yang kekayaannya tidak
pernah habis.
Penyatuan Keluarga Puõõasãha Dengan Keluarga Sumanà yang
Menganut Kepercayaan Lain
Sumanà , perumah tangga dari Rà jagaha, mengetahui bahwa
Puõõasãha memiliki seorang putri dewasa, mengutus seseorang
untuk melamar Putri Puõõa untuk dinikahkan dengan putranya.
Puõõa menolak. Sumanà menjadi marah. “Orang itu yang telah
bergantung padaku, sekarang menghinaku sebab ia sudah menjadi
orang besar,” ia sombong sebab ia juga memiliki kekayaan. Ia
mengatakan pendapatnya ini melalui seorang utusan. Puõõasãha
tidak mau kalah. Ia menjelaskan kepada utusan Sumanà , “Majikanmu
sombong. Meskipun apa yang ia katakan yaitu benar, ia harus ingat
3058
bahwa seseorang tidak harus selalu miskin sebab ia terlahir miskin.
Sekarang aku cukup kaya untuk membeli Sumanà menjadi budakku.
Aku tidak mengatakan hal ini untuk merendahkan silsilahnya. Aku
tetap menghormatinya sebagai perumah tangga kaya. Tetapi aku
ingin mengatakan bahwa: putriku yaitu seorang Pemenang Arus,
seorang Ariya dalam ajaran Buddha. Ia membelanjakan satu keping
uang setiap hari untuk membeli bunga untuk dipersembahkan
kepada Tiga Permata. Aku tidak dapat menyerahkan putriku kepada
seorang penganut kepercayaan lain seperti Sumanà .”
saat Sumanà mengetahui pendirian Puõõasãha, ia mengubah
nadanya. Ia mengirim pesan kepada Puõõasãha yang mengatakan,
“Aku tidak ingin memutuskan persahabatan yang sudah terjalin
sejak lama. Aku akan memastikan bahwa menantuku mendapatkan
bunga senilai dua keping uang setiap hari.” Puõõa sebagai orang
yang tahu membalas budi mengabulkan lamaran Sumanà dan
menyerahkan putrinya untuk menikah dengan putra Sumanà .
Keyakinan Besar Uttarà Dalam Melakukan Praktik Religius
Suatu hari Uttarà berkata kepada suaminya, “Suamiku, di rumah
orangtuaku dulu, aku menjalani Sãla Uposatha delapan hari setiap
bulan. Jika engkau setuju, aku ingin melakukannya juga di sini.”
Walaupun ia mengajukan permohonan itu dengan kata-kata yang
sopan, suaminya dengan kasar menolaknya. Ia terpaksa menerima
penolakan itu. Pada permulaan masa vassa, sekali lagi ia memohon
izin untuk menjalani uposatha selama masa tiga bulan. Sekali lagi
ia mendapat penolakan kasar.
saat dua setengah bulan berlalu dan vassa hanya tinggal lima belas
hari lagi, Uttà ra, meminta orangtuanya untuk mengirimkan uang
sebanyak lima belas ribu keping, memberitahu mereka bahwa dalam
ikatan perkawinan itu ia tidak berkesempatan menjalani uposatha.
Ia tidak mengatakan mengapa dan untuk apa ia memerlukan uang
itu. Orangtuanya juga tidak menanyakan mengapa ia memerlukan
uang itu, tetapi mereka mengirimkan juga uang yang ia minta itu.
Uttarà memanggil Sirimà , seorang pelacur di Rà jagaha (adik dari
3059
Riwayat Para Siswi Awam
Dokter Jãvaka) dan berkata kepadanya, “Sahabat Sirimà , sebab aku
bermaksud untuk menjalani uposatha selama lima belas hari, aku
mohon agar engkau sudi melayani suamiku selama lima belas hari
dengan imbalan lima belas ribu keping uang.” Sirimà menerima
tawarannya. Suami Uttarà sangat gembira dengan pengaturan ini
dan mengizinkan ia menjalani uposatha selama setengah bulan.
sesudah mendapatkan izin dari suaminya, Uttarà bebas untuk
melakukan perbuatan baik. Pada pagi hari, ia menyiapkan
persembahan makanan untuk Buddha, dibantu oleh para
pelayannya. sesudah memberi persembahan kepada Buddha,
dan sesudah Buddha kembali ke vihà ra, ia menjalani uposatha dan
berdiam sendirian di lantai atas rumahnya, merenungkan peraturan
moral. Lima belas hari berlalu dalam damai. Pada pagi hari pertama
sesudah tiga bulan vassa, hari ia mengakhiri pelaksanaan uposatha,
ia menyiapkan bubur dan makanan lainnya untuk dipersembahkan
kepada Buddha. Ia sibuk dengan pekerjaannya itu sejak pagi.
(yaitu kebiasaan dari objek indria, sebab terus-menerus
dinikmati, seseorang menjadi lupa milik siapakah objek ini ,
dan menganggap bahwa objek ini yaitu miliknya.)
Pada saat itu, putra si perumah tangga, sesudah bersenang-senang
dengan Sirimà di lantai atas istananya, membuka tirai jendela dan
melihat ke bawah ke halaman rumah. Uttarà kebetulan sedang
melihat ke jendela itu dan matanya bertatapan dengan mata
suaminya. Sang suami tersenyum dan berpikir, “Uttarà ini seperti
makhluk dari neraka. Aneh sekali, ia menolak kemewahan statusnya
dan bekerja keras melakukan pekerjaan yang tidak perlu (di dapur)
bersama para pelayan.”
Uttarà juga tersenyum dan berpikir, “Putra perumah tangga ini
sungguh lengah, menganggap bahwa kehidupan mewahnya itu
abadi.”
Sirimà yang melihat pasangan itu tersenyum, menjadi marah dan
cemburu. “Budak ini, Uttarà , genit sekali menggoda suamiku di
depanku,” ia berpikir (sebab sekarang ia menganggap bahwa
3060
dirinya dan putra si perumah tangga yaitu suami-istri sejati).
Ia berlari menuruni tangga sambil menggerutu. Uttarà mengerti
bahwa Sirimà yang sesudah setengah bulan berkuasa di rumah itu,
menganggap suami yaitu miliknya. Maka ia memasuki Jhà na cinta
kasih universal dan berdiri tenang. Sirimà , melewati para pelayan,
dengan sebuah sendok ia mengambil minyak panas dari kuali di atas
api, dan menuangkannya ke atas kepala Uttarà . Tetapi sebab UttarÃ
sedang berdiam dalam Jhà na cinta kasih, dan seluruh tubuhnya
diliputi oleh cinta kasih, ia tidak merasakan panas minyak itu yang
mengalir di seluruh tubuhnya bagaikan air yang dituangkan di atas
daun teratai.
Saat itu para pelayan Uttarà mengecam Sirimà dengan kata-kata
kasar dengan berkata, “Engkau budak perempuan, engkau hanyalah
sewaan majikan kami. Tetapi sesudah menetap di rumah ini selama
lima belas hari engkau mencoba untuk menandingi majikan kami.”
Kata-kata ini menyadarkan Sirimà akan posisinya. Ia sadar telah
berbuat keterlaluan. Ia mendatangi Uttarà , berlutut di kakinya,
dan meminta maaf, “Nyonya, aku telah bersikap kasar. Mohon
maafkan aku!” Uttarà menjawab, “Sahabat Sirimà , aku tidak dapat
menerima permohonan maafmu sekarang. Aku memiliki ayah,
Buddha. Engkau harus terlebih dahulu meminta maaf pada ayahku
,Buddha, sebelum aku dapat memaafkan engkau.”
Sesaat lalu , Buddha dan banyak bhikkhu tiba dan duduk di
tempat yang telah dipersiapkan bagi mereka. Sirimà mendekati
Bhagavà , dan bersujud di kaki-Nya, berkata, “Yang Mulia, aku
telah melakukan kejahatan terhadap Uttarà . Aku memohon
maaf kepadanya dan ia berkata bahwa aku harus terlebih dahulu
memohon maaf dari Bhagavà sebelum ia memaafkan aku. Sudilah
Bhagavà memaafkan aku.” Bhagavà berkata, “Sirimà , aku memaafkan
engkau.” lalu Sirimà mendatangi Uttarà dan berlutut sebagai
ungkapan maaf.
Buddha dalam khotbah-Nya mengucapkan syair berikut:
“Taklukkan orang yang marah dengan cinta kasih; taklukkan
orang yang jahat dengan kebaikan; taklukkan orang kikir dengan
3061
Riwayat Para Siswi Awam
kedermawanan; taklukkan pembohong dengan berkata jujur.”―
Dhammapada, v.223.
Pada akhir khotbah ini , Sirimà mencapai Buah Pengetahuan
Pemenang Arus. sesudah menjadi seorang Ariya, ia mengundang
Buddha ke rumahnya keesokan harinya dan memberi
persembahan besar kepada Buddha dan Saÿgha. Demikianlah kisah
Uttarà , putri perumah tangga yang juga dikenal sebagai ibu Nanda
sesudah ia melahirkan seorang putra bernama Nanda.
(c) Menjadi siswi awam terbaik
Pada lalu hari, saat Buddha sedang berada di Vihà ra
Jetavana, menganugerahkan gelar terbaik kepada siswi awam, Beliau
menyatakan:
“Para bhikkhu, di antara para siswi awam yang mampu berdiam
dalam Jhà na, Uttarà , ibu Nanda yaitu yang terbaik.”
Demikianlah kisah Uttarà , ibu Nanda.
(6) Putri Suppavà sà (Koliya) dari Suku Sakya
(a) Cita-cita masa lampau
Bakal Suppavà sà terlahir dalam sebuah keluarga kaya di Kota
Haÿsà vatã pada masa kehidupan Buddha Padumuttara. saat
ia mendengarkan khotbah yang disampaikan oleh Buddha, ia
menyaksikan seorang siswi awam yang dinyatakan sebagai yang
terbaik di antara mereka yang memberi persembahan yang
berkualitas baik. Ia berkeinginan kuat untuk menjadi seperti
siswi ini , dan sesudah memberi persembahan besar ia
mengungkapkan cita-citanya.
(b) Sebagai Putri Suppavà sà , orang Koliya dari suku Sakya
dalam kehidupan terakhir
Si perempuan kaya, sesudah mengembara selama seratus ribu siklus
3062
dunia di alam dewa dan alam manusia, terlahir kembali sebagai
seorang putri dari suku Sakya di Kota Koliya. Ia bernama Suppavà sà .
Saat menginjak usia menikah, ia menikah dengan seorang pangeran
Sakya, dan sebagai istri di rumah seorang pangeran, ia sering
mendengarkan khotbah Buddha yang mengakibatkan ia mencapai
Pengetahuan Pemenang Arus. Kelak ia melahirkan seorang putra
bernama Sãvali.
(c) Menjadi siswi awam terbaik
Pada suatu saat , Putri Suppavà sà , ibu Yang Mulia Sãvali
mempersembahkan makanan-makanan pilihan kepada Buddha
dan Saÿgha. sesudah selesai makan Buddha membabarkan khotbah
penghargaan atas persembahan istimewa ini , Beliau berkata,
“Umat penyokong perempuan, Suppavà sà , dalam memberi
persembahan makanan ini, berarti telah memberi lima
persembahan, yaitu, kehidupan, penampilan baik, kebahagiaan,
kekuatan, dan kecerdasan. Persembahan kehidupan akan
mengakibatkan panjang umur baik di alam dewa maupun alam
manusia … persembahan kecerdasan mengakibatkan berkah
kecerdasan baik di alam dewa maupun di alam manusia.” Ini yaitu
peristiwa yang melatarbelakangi gelar siswi awam terbaik yang
dinyatakan oleh Buddha.
Pada kesempatan lain, saat Buddha sedang berada di Vihà ra
Jetavana di Sà vatthã, dan menganugerahkan gelar kepada siswi awam
terbaik, Beliau menyatakan:
“Para bhikkhu, di antara para siswi awam yang memberi
persembahan dengan kualitas baik, Suppavà sà Putri Koliya yaitu
yang terbaik.”
Demikianlah kisah Putri Suppavà sà .
3063
Riwayat Para Siswi Awam
(7) SuppiyÃ
(a) Cita-cita masa lampau
Bakal Supiya terlahir dalam sebuah keluarga kaya di Kota Haÿsà vatã
pada masa kehidupan Buddha Padumuttara. saat ia mendengarkan
khotbah yang disampaikan oleh Buddha, ia menyaksikan seorang
siswi awam yang dinyatakan sebagai yang terbaik di antara mereka
yang merawat bhikkhu yang sakit dengan cara yang luar biasa. Ia
berkeinginan kuat untuk menjadi seperti siswa ini , dan sesudah
memberi persembahan besar ia mengungkapkan cita-citanya.
(b) Kehidupan terakhir sebagai SuppiyÃ
sesudah mengembara selama seratus ribu siklus dunia di alam dewa
dan alam manusia, ia terlahir kembali di dalam sebuah keluarga
perumah tangga kaya di Bà rà õasã pada masa Buddha Gotama. Ia
bernama Suppiyà . Saat dewasa ia menikah dan menjadi istri putra
seorang kaya.
Pada waktu itu Buddha datang ke Bà rà õasã disertai oleh banyak
bhikkhu dan menetap di Vihà ra Isipatana di Migadà vana. Suppiyà ,
sang istri, mengunjungi Buddha dan sesudah mendengarkan khotbah
Buddha dalam kunjungan pertama itu ia mencapai Buah Pemenang
Arus.
Semangat Suppiyà Dalam Memberi
Suatu hari, sesudah mendengarkan khotbah Buddha, Suppiyà berjalan
berkeliling vihà ra di Migadà vana untuk melihat kebutuhan para
penghuninya. Ia melihat seorang bhikkhu tua yang lemah, lesu yang
telah meminum obat pencahar. Ia bertanya kepadanya, makanan
atau obat-obatan apakah yang ia perlukan. Bhikkhu itu menjawab,
“Umat penyokong perempuan, sup daging baik buatku.” SuppiyÃ
berkata, “Baiklah kalau begitu, Yang Mulia, aku akan mengirimkan
sup daging untukmu,” dan ia pergi sesudah bersujud kepada bhikkhu
ini . Keesokan harinya ia menyuruh pelayannya untuk membeli
daging ke pasar, berharap dapat membeli daging dengan harga
3064
murah. Pelayan itu tidak dapat menemukan daging yang dapat
dibeli dan melaporkan hal itu kepada Suppiyà .
Suppiyà berpikir, “Aku telah berjanji kepada bhikkhu yang sakit
itu untuk memberinya sup daging. Jika aku tidak menepati janjiku
ia akan bertambah sakit sebab ia pasti juga tidak mendapatkan
sup daging dari orang lain. sebab itu aku harus memastikan ia
mendapatkan sup daging itu.” Ia pergi ke kamarnya dan memotong
daging pahanya, yang ia serahkan kepada pelayannya untuk
dibuatkan sup, dengan menambahkan bahan-bahan lainnya seperti
biasa (seperti cabai, bawang dan bumbu lainnya), dan berkata,
“Antarkan sup ini kepada bhikkhu yang sakit itu dan persembahkan
kepadanya. Jika ia bertanya tentang aku, katakan bahwa aku sedang
sakit.” Pelayan itu melakukan sesuai instruksi.
Buddha mengetahui hal itu. Keesokan paginya, saat mengumpulkan
dà na makanan, Beliau pergi ke rumah Suppiyà (atas undangan
suaminya) disertai oleh banyak bhikkhu. sesudah duduk di tempat
yang khusus disediakan untuk Beliau, Buddha bertanya kepada
perumah tangga Suppiya, “Di manakah Suppiyà ?”
“Ia sedang tidak sehat, Yang Mulia,” jawab Suppiya si perumah
tangga.
“Panggil ia ke sini, meskipun ia tidak sehat.”
“Dia tidak mampu berjalan, Yang Mulia.”
“Kalau begitu, papahlah ia.”
Suppiya si perumah tangga masuk dan memapah istrinya, Suppiyà ,
dan tiba-tiba saat ia melihat Buddha, luka besar di pahanya mendadak
lenyap dan dagingnya kembali utuh seperti semula. Pasangan
Suppiyà berseru, “Sungguh menakjubkan! Sungguh mengherankan!
Teman, sungguh luar biasa kekuatan Bhagavà . Sesaat saat melihat
Bhagavà , luka menganga itu pulih kembali dan dagingnya utuh
seperti semula!” Dengan gembira, mereka melayani Buddha dan
Saÿgha dengan mempersembahkan makanan-makanan pilihan
3065
Riwayat Para Siswi Awam
yang dipersiapkan secara khusus untuk dipersembahkan.
sesudah selesai makan dan memberi khotbah kepada penyumbang
itu, Buddha kembali ke vihà ra. lalu , dalam pertemuan para
bhikkhu, Buddha bertanya,
“Para bhikkhu, siapakah yang meminta daging dari Suppiyà , istri
si perumah tangga?”
“Aku, Yang Mulia,” jawab bhikkhu yang sakit itu.
“Apakah ia memberimu daging (sup daging)?”
“Ya, Yang Mulia.”
“Apakah engkau memakannya?”
“Ya, Yang Mulia.”
“Apakah engkau bertanya daging apa itu?”
“Tidak, Yang Mulia.”
Buddha menegur bhikkhu ini dengan memberi alasan dan
menetapkan peraturan berikut bagi para bhikkhu:
“Para bhikkhu, umat penyokong yang memiliki keyakinan di dalam
Tiga Permata akan memberi bahkan dagingnya sendiri untuk
Saÿgha. Para bhikkhu, daging manusia tidak boleh dikonsumsi.
Bhikkhu yang mengkonsumsi daging manusia telah melanggar
Peraturan Thullaccayal. Para bhikkhu, tidaklah benar bagi seorang
bhikkhu yang memakan daging tanpa menanyakannya terlebih
dahulu. Ia yang memakan daging tanpa bertanya terlebih dahulu
berarti melakukan pelanggaran Dukkaña.
(Lengkapnya, baca Vinaya Mahà Vagga).
Demikianlah latar belakang gelar terbaik yang diperoleh oleh
3066
Suppiyà .
(c) Menjadi siswi awam terbaik
Pada lalu hari, saat Buddha, sedang berada di Vihà ra
Jetavana, menganugerahkan gelar terbaik kepada siswi awam, Beliau
menyatakan:
“Para bhikkhu, di antara para siswi awam yang merawat bhikkhu
sakit, Suppiyà yaitu yang terbaik.”
Demikianlah kisah Suppiyà .
(8) Kà tiyà nã
(a) Cita-cita masa lampau
Bakal Kà tiyà nã terlahir dalam sebuah keluarga kaya di Kota Haÿsà vatã
pada masa kehidupan Buddha Padumuttara. Ia menyaksikan
seorang siswi awam yang dinyatakan sebagai yang terbaik dalam hal
keyakinan yang tidak tergoyahkan dalam Dhamma. Ia ingin menjadi
seperti perempuan ini dan sesudah memberi persembahan
besar, ia mengungkapkan cita-citanya itu.
(b) Kehidupan terakhir sebagai Kà tiyà nã si perumah tangga
Perempuan kaya itu mengembara selama seratus ribu siklus dunia
di alam dewa dan alam manusia sebelum terlahir kembali dalam
sebuah keluarga perumah tangga di Kota Kuraragà hara pada
masa Buddha Gotama. Ia diberi nama Kà tiyà nã oleh orangtuanya.
Ia menjadi sahabat dekat Kà lã yang menjadi ibu dari Yang Mulia
Soõa Kuñikaõõa, yang telah kita bahas dalam bab tentang kisah
para bhikkhu besar.
Keyakinan Tidak Tergoyahkan Kà tiyà nã
Pada suatu hari, Yang Mulia Soõa Kuñikaõõa, saat kembali dari
vihà ra Buddha, diminta oleh ibunya untuk mengulangi kata-kata
3067
Riwayat Para Siswi Awam
Buddha demi kebaikannya, dan untuk menjawab permintaan itu
ia membabarkan khotbah di aula warga untuk memberi
pelajaran Dhamma di pusat kota. Saat ia memulai khotbahnya dari
atas mimbar, ibunya sebagai pendengar utama, Kà tiyà nã si perumah
tangga didampingi oleh temannya Kà ëã dengan penuh hormat
mendengarkan khotbah itu di antara para hadirin.
Pada saat itu, sekelompok perampok yang terdiri dari lima ratus
orang telah menggali terowongan dari perbatasan kota hingga ke
rumah Kà tiyà nã, dan mereka telah sampai di rumah itu. Pemimpin
mereka tidak menyertai mereka melainkan mengawasi kegiatan
para warga kota. Ia berdiri di belakang Kà tiyà nã di tengah-
tengah kerumunan di mana Yang Mulia Soõa Kuñikaõõa sedang
membabarkan Dhamma.
Kà tiyà nã berkata kepada pelayannya, “Pergilah, ambil minyak dari
rumah untuk menyalakan pelita-pelita. Kita akan menyalakan
pelita di aula pertemuan ini” (menurut versi Sinhala, “Kita akan
melimpahkan jasa teman kita Kà ëã dengan cara ini.”) Pelayan itu
pulang ke rumah tetapi saat ia melihat para perampok yang sedang
bersembunyi di terowongan ia menjadi takut dan kembali ke aula
pertemuan tanpa membawa minyak. Ia melaporkan hal itu kepada
majikannya dengan berkata, “Nyonya, ada terowongan yang digali
oleh para perampok menuju ke rumah kita!” si pemimpin perampok
mendengarkan laporan gadis pelayan itu kepada Kà tiyà nã dan
berpikir, “Jika Kà tiyà nã pulang sebab mendengarkan laporan
pelayannya, aku akan memenggal kepalanya sekarang juga.
Sebaliknya jika ia tetap mendengarkan khotbah dengan penuh
perhatian, aku akan mengembalikan semua harta yang dirampok
oleh teman-temanku dari rumahnya.”
Kà tiyà nã berkata kepada pelayannya (dalam bisikan), “Hus! Para
perampok hanya mengambil apa yang mereka temukan di rumah.
Aku sedang mendengarkan Dhamma yang sulit dapat didengar.
Jangan mengganggu dan jangan mengacau!” saat si pemimpin
perampok mendengar kata-kata Kà tiyà nã, ia berpikir, “Sungguh
seorang perempuan yang taat! Jika kami merampok harta dari
rumah seorang perempuan yang begitu mulia, kami akan ditelan
3068
bumi ini hidup-hidup.” Ia bergegas ke rumah Kà tiyà nã, menyuruh
teman-temannya untuk meninggalkan semua benda rampasan di
sana, dan kembali lagi ke aula pertemuan untuk mendengarkan
khotbah, mereka duduk di tempat paling belakang.
Kà tiyà nã mencapai Buah Pemenang Arus menjelang akhir dari
khotbah yang disampaikan oleh Yang Mulia Soõa Kuñikaõõa.
Menjelang dini hari, si pemimpin perampok mendatangi Kà tiyà nã
dan berlutut di kakinya, berkata, “Nyonya, mohon maafkan kami
atas kesalahan kami.” Kà tiyà nã berkata, “Kesalahan apa yang kalian
lakukan terhadapku?” Si pemimpin perampok itu mengakui semua
rencana mereka. “Aku memaafkan kalian semua,” ia berkata.
“Nyonya, pemberian maafmu itu belum membebaskan kami.
Sesungguhnya, kami ingin memohon agar anakmu, Yang Mulia
Soõa Kà tikà õõa menahbiskan kami semua menjadi sà maõera.”
Kà tiyà nã membawa kelompok itu menghadap Yang Mulia Soõa
Kuñikaõna, dan ia sendiri bertanggung jawab untuk memenuhi
empat kebutuhan mereka. Mereka semua ditahbiskan menjadi
sà maõera oleh Yang Mulia Soõa Kuñikaõõa. Mereka semuanya
berusaha dengan tekun untuk mencapai Pengetahuan Jalan dan
akhirnya menjadi para Arahanta.
Demikianlah kisah Kà tiyà nã, si perumah tangga, yang memiliki
keyakinan yang tidak tergoyahkan di dalam Tiga Permata.
(c) Menjadi siswi awam terbaik
Pada lalu hari, sewaktu Buddha sedang berada di Vihà ra
Jetavana, saat menganugerahkan gelar terbaik kepada siswi awam
sesuai jasa mereka, Beliau menyatakan:
“Para bhikkhu, di antara para siswi awam yang memiliki keyakinan
tidak tergoyahkan di dalam Dhamma, Kà tiyà nã yaitu yang
terbaik.”
Demikianlah kisah Kà tiyà nã.
3069
Riwayat Para Siswi Awam
(9) Nakulamà tu
Kisah Nakulà matu telah dijelaskan pada kisah Nakulapitu pada
bab sebelumnya.
Nakulapitu dan Nakulamà tu memiliki cita-cita yang sama pada
masa kehidupan Buddha Padumuttara. saat bakal Nakulapitu
melihat seorang umat awam dinyatakan sebagai yang terbaik di
antara para siswa awam yang akrab dengan Buddha, ia memberi
persembahan besar dan bercita-cita untuk mendapatkan posisi yang
sama. Demikian pula, saat bakal Nakulamà tu melihat seorang
siswi awam dinyatakan sebagai yang terbaik di antara para siswi
awam yang akrab dengan Buddha, ia juga memberi persembahan
besar dan bercita-cita untuk mendapatkan posisi ini . sebab
kedua kisah mereka mirip, Komentar tidak menjelaskan kisah
Nakulamà tu secara terpisah.
Nakulamà tu, seperti halnya Nakulapitu, dinyatakan oleh Buddha,
“Para bhikkhu, di antara para siswi awam yang akrab dengan-Ku,
Nakulamà tu yaitu yang terbaik.”
Demikianlah kisah Nakulamà tu.
(10) Kà ëã dari Kuraraghara
(a) Cita-cita masa lampau
Bakal Kà ëã terlahir dalam sebuah keluarga kaya di Kota Haÿsà vatã
pada masa kehidupan Buddha Padumuttara. Sewaktu mendengarkan
khotbah Buddha, ia menyaksikan seorang siswi awam dinyatakan
sebagai yang terbaik dalam hal pengabdian kepada Buddha
bahkan sebelum bertemu dengan Buddha. Ia bercita-cita untuk
mendapatkan gelar ini , dan sesudah memberi persembahan
besar, ia mengungkapkan cita-citanya.
(b) Kehidupan terakhir sebagai Kà ëã
Perempuan kaya itu, sesudah mengembara selama seratus ribu siklus
3070
dunia di alam dewa dan alam manusia, terlahir kembali sebagai putri
seorang perumah tangga di RÃ jagaha pada masa Buddha Gotama.
Oleh orangtuanya ia diberi nama Kà ëã.
Saat menginjak usia menikah, ia menikah dengan putra seorang
perumah tangga dari Kuraraghara, sebuah kota di Provinsi Avanti
(India Selatan) dan menetap di rumah suaminya di kota itu. Dari
perkawinan itu, ia mengandung.
Saat menjelang kelahiran, Kà ëã mempertimbangkan bahwa tidaklah
bijaksana jika ia melahirkan bayinya di tempat yang jauh dari rumah
orangtuanya, sebab itu ia kembali ke RÃ jagaha. lalu , pada
suatu malam (Purnama di bulan Asaëha (Juli), 103 Mahà Era, pada hari
Dhammacakka dibabarkan), saat tengah malam, ia mendengar Dewa
Sà tà gira dan Hemavata berdiskusi tentang Tiga Permata di angkasa,
ia menumbuhkan Pengabdian terhadap Buddha yang begitu kuat
sehingga bahkan tanpa pernah bertemu dengan Buddha, ia berhasil
mencapai Buah Pemenang Arus. (Lengkapnya baca bab terdahulu).
Kà ëã yaitu yang pertama di antara para siswi awam yang mencapai
Sotà patti-Magga dan menjadi seorang siswa Ariya sehingga ia
yaitu yang tertua di antara para siswa perempuan Buddha. Pada
malam itu, ia melahirkan seorang anak (bakal Thera Soõa Kutikaõõa)
dan sesudah menetap di rumah orangtuanya selama yang ia inginkan,
ia kembali ke Kuraraghara.
(c) Menjadi siswi awam terbaik
Pada lalu hari, saat Buddha duduk dengan penuh
keagungan dalam pertemuan para bhikkhu di Vihà ra Jetavana
dan menganugerahkan gelar terbaik kepada siswi awam, Beliau
menyatakan:
“Para bhikkhu, di antara para siswi awam yang penuh pengabdian
terhadap-Ku bahkan sebelum bertemu dengan-Ku, Kà ëã dari
Kuraraghara yaitu yang terbaik.
Demikianlah Kisah Kà ëã.
3071
Riwayat Para Orang Kaya yang Kekayaannya Tidak Dapat Habis
53
Riwayat Para Orang Kaya yang
Kekayaannya Tidak Dapat Habis
(1) Jotika
Kehidupan Lampau Sebagai Petani Tebu
Pada suatu perjalanan pulang, ia bertemu dengan seorang Pacceka
Buddha yang baru bangun dari pencapaian Penghentian dan
yang, sesudah memeriksa dunia ini, melihat seorang adik dari dua
bersaudara sebagai orang yang layak menerima berkah sebab
ia berada dalam posisi untuk memberi persembahan baik. Ia
berdiri di depan si petani tebu ini , sesudah meninggalkan tempat
tinggalnya di Gandhamà dana melalui angkasa. Membawa mangkuk
dan jubahnya. Si perumah tangga gembira melihat Pacceka Buddha
dan muncul pengabdian dalam dirinya. Ia meminta agar Pacceka
Buddha itu duduk sejenak di atas sehelai sarung yang ia letakkan
di tempat yang lebih tinggi. lalu ia memohon agar Pacceka
Buddha mengulurkan mangkuknya untuk menerima sari tebu yang
baru ia peras. Sari tebu itu memenuhi mangkuk ini .
Pacceka Buddha meminum sari tebu ini . Si perumah tangga
yang merasa puas sebab telah mempersembahkan sari tebu ini
kepada Pacceka Buddha, sekarang berniat untuk memberi
persembahan kedua berupa tebu yang ia bawa untuk kakaknya.
3072
“Aku akan membayarkan uang kepadanya, atau jika ia menolak
pembayaran, aku akan berbagi jasa dengannya” ia berpikir. Ia
berkata kepada Pacceka Buddha, “Yang Mulia, mohon ulurkan
lagi mangkukmu untuk menerima sari tebu lainnya.” Ia mengisi
mangkuk itu lagi dengan sari tebu yang kedua. (Si adik sedang
membawa tebu untuk kakaknya tanpa sepengetahuan kakaknya.
Dengan memakai tebu itu sekehendak hatinya, yaitu,
mempersembahkan kepada Pacceka Buddha, ia tidak berpikir
bahwa kakaknya dapat memotong tebu yang lain untuk dirinya
sendiri. Demikianlah sifatnya yang jujur dan sederhana.)
Pacceka Buddha itu, sesudah meminum sari tebu yang pertama,
menyisakan sari tebu kedua untuk teman-temannya, Pacceka
Buddha yang lain. sebab ia tetap duduk diam, si perumah tangga
tahu bahwa Pacceka Buddha itu tidak akan minum lagi. Ia bersujud
kepadanya dan berkata, “Yang Mulia, atas persembahan sari tebu ini,
semoga aku menikmati kemewahan di alam dewa dan alam manusia
dan akhirnya mencapai Dhamma seperti yang telah engkau capai.”
Pacceka Buddha itu berkata, “Semoga cita-citamu tercapai.” sesudah
mengucapkan kata-kata penghargaan atas persembahan itu dalam
dua bait syair, ia terbang ke angkasa disaksikan oleh si perumah
tangga menuju Gunung Gandhamà dana dan mempersembahkan
semangkuk penuh sari tebu ini kepada lima ratus Pacceka
Buddha. Ia berkehendak agar perbuatannya itu terlihat oleh si
penyumbang.
sesudah menyaksikan kesaktian si Pacceka Buddha, si perumah
tangga itu mendatangi kakaknya yang bertanya apa yang ia lakukan.
Ia menceritakan bahwa ia sedang memeriksa pertanian. Sang
kakak berkata, “Apa gunanya memeriksa (sebab engkau bahkan
tidak membawa contohnya)?” Si perumah tangga menjawab, “Ya
kakak, aku membawa sebatang tebu untukmu tetapi aku bertemu
dengan seorang Pacceka Buddha dalam perjalanan pulang dan
mempersembahkan satu tebu, yaitu sarinya, kepada Pacceka
Buddha. sesudah itu aku mendesak untuk mempersembahkan tebu
yang lainnya yang merupakan bagianmu. Aku berpikir bahwa aku
akan membayarnya kepadamu, atau kalau tidak aku akan berbagi
jasa denganmu, lalu aku mempersembahkan sari tebu dari
3073
Riwayat Para Orang Kaya yang Kekayaannya Tidak Dapat Habis
tebu milikmu kepada Pacceka Buddha itu. Sekarang kakak, apa yang
akan engkau katakan, apakah engkau akan menerima bayaran atas
tebu itu, atau apakah engkau ingin aku berbagi jasa denganmu?”
“ A p a ya n g d i l a k u k a n Pa c c e k a B u dd h a i t u d e n ga n
persembahanmu?”
“Ia meminum persembahan pertama di tempat itu juga, dan
membawa yang kedua untuk dipersembahkan kepada lima ratus
Pacceka Buddha lainnya di Vihà ra Gandhamà dana yang ia kunjungi
melalui angkasa.”
Sang kakak tergetar mendengar perbuatan baik adiknya. Ia
berkata, “Semoga perbuatan baikku—yang dilakukan melalui
adikku menghasilkan pencapaian Dhamma seperti yang dicapai
oleh Pacceka Buddha itu.” Dan demikianlah, si adik bercita-cita
untuk mencapai kemewahan di alam dewa dan alam manusia, dan
pencapaian Nibbà na, sedangkan kakak bercita-cita untuk mencapai
Arahatta-Phala secara langsung. Demikianlah cita-cita masa lampau
kedua bersaudara itu.
Kehidupan Sebagai Perumah Tangga Bersaudara
Kedua bersaudara itu hidup hingga umur kehidupan maksimum.
sesudah meninggal dunia dari kehidupan itu, mereka mengembara
di alam dewa selama tahun-tahun yang tidak terhingga selama masa
antara, yaitu, siklus dunia yang tidak terhingga antara masa Buddha
Phussa dan masa Buddha Vipassã. Saat mereka masih hidup di alam
dewa, Buddha Vipassi muncul di dunia ini. Mereka meninggal dunia
dari alam dewa dan terlahir kembali sebagai dua bersaudara dalam
keluarga perumah tangga di Bandhumatã. Oleh orangtua mereka
kakak diberi nama Sena dan adik bernama Aparà jita.
sesudah dewasa mereka mewarisi kekayaan keluarga. Sewaktu
mereka menjalani kehidupan rumah tangga dengan baik, muncullah
gema suara hiruk-pikuk di seluruh Kota Bandhumatã yang
mengatakan bahwa, “O orang-orang baik, Buddha, Dhamma, dan
Saÿgha telah muncul di dunia ini bagaikan matahari dan bulan!
3074
Berdanalah. Lakukan perbuatan baik. Hari ini yaitu hari kedelapan
dalam bulan ini, hari uposatha. Hari ini yaitu hari keempat belas,
hari uposatha. Hari ini yaitu hari kelima belas, hari uposatha.
Jalankanlah peraturan uposatha. Dengarkanlah pembabaran
Dhamma.” Nasihat-nasihat ini terdengar di seluruh kota pada
hari-hari ini , yang diucapkan oleh siswa-siswa Buddha yang
baik. Dan para warga akan menanggapi dengan taat. Pada pagi
hari, mereka akan memberi persembahan dan pada sore hari
mereka akan pergi ke vihà ra untuk mendengarkan khotbah. Sena, si
perumah tangga, bergabung dengan para warga pergi ke vihà ra,
duduk di belakang para hadirin dan mendengarkan khotbah.
Buddha Vipassã mengetahui kecenderungan baik dari Sena si
perumah tangga dan membabarkan khotbah yang (seperti biasa)
bertingkat dimulai dari jasa dalam berdana, jasa dalam moralitas, dan
seterusnya. Pada akhir khotbah ini , Sena begitu bersemangat
untuk menjalani kehidupan religius sehingga ia memohon kepada
Buddha untuk ditahbiskan dalam Saÿgha. Buddha berkata
kepadanya, ‘Umat penyokong, apakah engkau memiliki sanak
saudara yang harus engkau minta izinnya?”
“Ada, Yang Mulia,” Sena menjawab. “Kalau begitu, pergilah minta
izin terlebih dahulu.”
lalu , Sena mendatangi adiknya Aparà jita dan berkata, “Adik,
engkau menjadi pewaris tunggal dari pertanian keluarga kita mulai
saat ini.”
“Tetapi, apa yang akan engkau lakukan?” Aparà jita bertanya.
“Aku akan menjadi seorang bhikkhu.”
“Kakak, sejak kematian ibu, aku menganggapmu sebagai ibuku.
Sejak kematian ayah, aku menganggapmu sebagai ayahku. Pertanian
keluarga kita sangat luas. Engkau dapat melakukan kebajikan
dengan tetap menjalani kehidupan rumah tangga. Jangan pergi
(menjadi bhikkhu).”
3075
Riwayat Para Orang Kaya yang Kekayaannya Tidak Dapat Habis
“Aku telah mendengarkan khotbah Buddha. Tidaklah mungkin
mempraktikkan Dhamma sebagai seorang perumah tangga, aku
harus menjadi seorang bhikkhu.” Sena tidak menerima keberatan
adiknya, dan meninggalkan Aparà jita. Ia menghadap Buddha
Vipassã dan ditahbiskan menjadi anggota Saÿgha, pertama menjadi
seorang sà maõera, dan lalu menjadi seorang bhikkhu. Dengan
tekun menjalani praktik kebhikkhuan, tidak lama lalu ia
mencapai Kearahattaan.
Mempersembahkan Kuñã Kepada Buddha Vipassã
Aparà jita si perumah tangga merayakan kepergian kakaknya menjadi
bhikkhu dengan memberi persembahan besar kepada Buddha
dan Saÿgha selama tujuh hari. lalu ia bersujud kepada
kakaknya dan berkata, “Yang Mulia, engkau telah melepaskan
keduniawian demi terbebas dari kelahiran yang berulang-ulang.
Sedangkan aku, aku belum mampu melepaskan belenggu
kenikmatan indria. Berilah aku nasihat tentang kebajikan apakah
yang harus kulakukan yang menghasilkan manfaat besar.”
“Bagus, bagus, engkau orang bijaksana,” kata Yang Mulia itu.
“Bangunlah sebuah kuñã untuk Buddha.
“Baiklah, Yang Mulia,” jawab Aparà jita.
Ia membeli berbagai jenis kayu pilihan untuk tiang bangunan
ini ; tujuh jenis logam mulia digunakan untuk menghias setiap
tiang dari bangunan ini . Atapnya juga dihias dengan tujuh
jenis logam mulia.
Serambi Kuñã Buddha Dipersembahkan Oleh Aparà jita Muda,
Keponakan Aparà jita
Pada waktu pembangunan kuñã Buddha itu sedang berlangsung.
Aparà jita muda, keponakan Apà rajita si perumah tangga,
memohon kepada pamannya agar diperbolehkan turut serta dalam
pembangunan itu untuk mendapatkan bagian jasa. Pamannya
Aparà jita menolaknya dengan mengatakan bahwa ia tidak akan
3076
berbagi jasa dengan siapa pun.
Aparà jita muda, sebab terus-menerus ditolak oleh pamannya,
membangun sebuah serambi terpisah di depan bangunan utama.
Aparà jita muda itu kelak terlahir sebagai Meõóaka pada masa
kehidupan Buddha Gotama.
Kemegahan Kuñã Buddha dan Halaman Indah di Sekelilingnya
Keistimewaan vihà ra bata yang akan digunakan sebagai kuñã Buddha
termasuk tiga jendela besar yang dihias dengan tujuh batu permata.
Persis di bawahnya, Aparà jita si perumah tangga mengali tiga kolam
teratai berbentuk persegi berlantai beton yang diisi dengan air
harum, dan ditanami dengan lima jenis bunga teratai, gagasan itu
bertujuan agar keharuman bunga teratai itu terus-menerus tertiup
angin ke arah Buddha.
Kubahnya dilapisi dengan lembaran-lembaran emas dan puncaknya
dihias dengan koral. Atapnya yaitu genteng kaca zamrud.
Kubahnya terlihat seperti merak yang sedang menari dengan bulu-
bulunya terkembang. Halaman vihà ra itu dipenuhi dengan tujuh
jenis batu berharga setinggi lutut, sebagian merupakan hiasan
buatan, sebagian lagi dalam bentuk alami.
Mempersembahkan Vihà ra Kepada Buddha
saat vihà ra bata itu telah selesai dengan segala kemegahannya,
Aparà jita si perumah tangga berkata kepada kakaknya, Yang Mulia
Sena, “Yang Mulia, vihà ra bata itu telah selesai. Aku ingin melihat
Buddha menempati-Nya sebagai kuñã Buddha. Itu akan, memberi
banyak jasa kepadaku.” Yang Mulia Sena memberitahukan kepada
Buddha tentang keinginan adiknya.
Buddha Vipassã bangkit dari duduknya, berjalan ke vihà ra yang
baru dibangun itu, dan melihat seluruh halamannya penuh dengan
batu-batu berharga hingga setinggi lutut, Beliau berdiri di gerbang.
Aparà jika si perumah tangga mengundang Buddha untuk masuk
ke vihà ra tetapi Buddha tidak bergerak, tetap berdiri di gerbang.
3077
Riwayat Para Orang Kaya yang Kekayaannya Tidak Dapat Habis
Tiga kali si perumah tangga itu memohon Buddha untuk masuk
tetapi tidak berhasil. Pada ketiga kalinya, Buddha menatap Yang
Mulia Sena.
Yang Mulia Sena mengetahui keinginan Buddha dari tatapan Beliau.
sebab itu ia berkata kepada adiknya, “Pergi dan katakanlah kepada
Buddha, ‘Yang Mulia, semua batu-batu berharga ini yaitu tanggung
jawabku. Sudilah Bhagavà menetap di sini tanpa memedulikan
batu-batu ini.’” Aparà jita si perumah tangga mendatangi Buddha,
bersujud dalam lima titik menyentuh tanah, dan berkata, “Yang
Mulia, bagaikan seseorang yang meninggalkan keteduhan pohon
tanpa merasa khawatir, atau penumpang yang menyeberangi sungai
tanpa memikirkan perahu yang membawa mereka, demikian
pula, sudilah Bhagavà masuk dan menetap di vihà ra ini tanpa
memedulikan batu-batu berharga ini.”
(Buddha menolak untuk masuk ke vihà ra sebab batu-batu berharga
itu. Vihà ra Buddha terbuka bagi semua pengunjung, yang datang
dari pagi hingga petang. Buddha tidak dapat menjaga batu-batu
berharga itu. Buddha mempertimbangkan, “Jika para pengunjung
mengambilnya, Aparà jita si perumah tangga akan menyalahkan
Aku atas kehilangan itu dan hal itu akan menghasilkan akibat buruk
kepadanya yang dapat mengarah ke empat alam sengsara (apà ya).”
sebab pertimbangan inilah Buddha menolak untuk masuk.)
sesudah Aparà jita menjelaskan bahwa batu-batu berharga itu tidak
perlu dikhawatirkan, sebab semuanya yaitu tanggung jawab si
penyumbang (Aparà jita), Buddha setuju dan berjalan masuk ke
vihà ra. Si penyumbang menempatkan beberapa penjaga di sekitar
vihà ra dengan pesan, “O penjaga, jika para pengunjung mengambil
batu-batu berharga ini dan menyimpannya dalam kantung atau
keranjang, atau tas, kalian harus mencegah mereka melakukan hal
itu, tetapi jika mereka hanya menyimpannya dalam genggaman
mereka, biarkan mereka melakukannya.”
Aparà jita memberitahukan kepada seluruh pnduduk kota bahwa ia
telah menebarkan permata-permata berharga hingga setinggi lutut di
halaman kuñã Buddha, dan mengundang semua orang untuk datang
3078
mendengarkan khotbah Buddha dan mengambil harta itu. Si miskin
akan mengambil dua genggam sedangkan si kaya akan mengambil
hanya satu genggam. Gagasan si perumah tangga itu yaitu untuk
memberi perangsang kepada mereka yang tidak berkeinginan
untuk datang ke vihà ra Buddha untuk mendengarkan khotbah yang
dapat membantu mereka dalam mencapai Pembebasan. Ia juga
berniat baik untuk memberi hadiah kepada para umat yang
ingin datang atas kemauan sendiri.
Para warga mematuhi peraturan yang ditetapkan oleh si
penyumbang. Yang miskin mengambil dua genggam sedangkan
yang kaya mengambil hanya satu genggam. saat batu-batu
berharga itu habis, maka untuk kedua kalinya batu-batu berharga
itu ditebarkan. Dan saat babak kedua itu juga habis, dilanjutkan
dengan babak ketiga.
lalu terjadi peristiwa penting. Aparà jita memiliki gagasan,
ia ingin para pengunjung gembira melihat cahaya keemasan yang
terpancar dari tubuh Buddha berdampingan dengan kilauan yang
terpancar dari batu delima yang berkualitas terbaik, sebesar buah
mentimun yang diletakkan di kaki Buddha. Para pengunjung
menikmati pemandangan yang menakjubkan itu yang berasal dari
dua jenis cahaya sesuai keinginan si perumah tangga.
Batu Delima Itu Dicuri Oleh Seorang Brahmana di Tengah-
tengah Para Pengunjung
Suatu hari seorang Brahmana yang tidak berkeyakinan terhadap
Buddha datang dengan tujuan untuk mencuri batu delima ini .
Sejak saat ia mendekati Buddha melewati para pengunjung, Aparà jita
sudah mencurigainya, “O, alangkah baiknya, jika brahmana ini tidak
mencuri batu delimaku!” ia berpikir.
Si brahmana berpura-pura bersujud kepada Buddha, menjulurkan
tangannya ke arah kaki Buddha dan tiba-tiba menyambar batu
delima itu, menyembunyikannya dalam lipatan jubahnya, dan pergi
meninggalkan tempat itu. Aparà jika si penyumbang vihà ra, tidak
dapat mentolerir perbuatan brahmana itu. saat khotbah Buddha
3079
Riwayat Para Orang Kaya yang Kekayaannya Tidak Dapat Habis
berakhir, ia mendekati Buddha dan berkata, “Yang Mulia, aku telah
menebarkan batu-batu berharga di halaman vihà ra hingga setinggi
lutut, dan tidak dendam kepada orang-orang yang mengambilnya.
Bahkan sesungguhnya, aku gembira dengan pemberian itu. Tetapi
hari ini, aku telah mencurigai brahmana yang mendatangi BhagavÃ
dan berharap agar ia tidak mencurinya. Kecurigaanku terbukti benar.
Aku tidak dapat menjaga pikiranku tetap tenang dan jernih.”
Cita-Cita Aparà jita Seperti Dianjurkan Oleh Buddha
Buddha Vipassã berkata kepada Aparajita, “Umat penyokong,
mungkinkah seseorang mencegah hartanya dari pencurian?”
Menangkap maksud dari petunjuk Buddha, si perumah tangga
bersujud kepada Buddha dan mengucapkan keinginannya,
“Yang Mulia, mulai hari ini, semoga tidak seorang pun, bahkan
seratus raja atau perampok, yang dapat merampokku, atau dengan
cara apa pun untuk mengambil hartaku, semua hartaku, bahkan
hanya sekecil sehelai benang. Semoga tidak ada api yang membakar
hartaku. Semoga tidak ada banjir yang menghanyutkan hartaku.”
Dan Buddha berkata, “Semoga semua keinginanmu tercapai.”
Aparà jita mengadakan perayaan besar dalam rangka persembahan
vihà ra itu. Selama sembilan bulan ia mempersembahkan makanan
kepada 6,8 juta bhikkhu di vihà ra. Pada hari Ritual menuang air,
ia mempersembahkan tiga perangkat jubah kepada masing-masing
bhikkhu. Pada kesempatan itu bahkan bhikkhu yang paling junior
menerima bahan jubah seharga seratus ribu.
Kehidupan Terakhirnya Sebagai Jotika Si Perumah Tangga
saat Aparà jita meninggal dunia sesudah melakukan banyak
kebajikan seumur hidupnya, ia terlahir kembali sebagai dewa. Dan
selama sembilan puluh satu siklus dunia ia tidak pernah jatuh ke
alam sengsara. Pada masa Buddha Gotama ia terlahir kembali dalam
sebuah keluarga kaya. sesudah sembilan setengah bulan ia dikandung
dalam rahim ibunya, pada hari kelahirannya, semua senjata di
Kota RÃ jagaha menyala bagai terbakar, dan semua perhiasan yang
3080
dikenakan oleh para warga RÃ jagaha berkilauan seperti cahaya
matahari, sehingga seluruh kota itu menjadi berkilauan.
Perumah tangga yang menjadi ayah bayi itu menghadap raja.
Raja Bimbisà ra bertanya kepadanya,
“Perumah tangga, hari ini semua senjata menyala dan seluruh kota
berkilauan. Tahukah engkau apa pemicu nya?”
“Ya, Tuanku.”
“Apakah itu?”
“Seorang pelayan baru Tuanku telah lahir di rumahku. Berkat jasa
masa lampau bayiku itulah fenomena aneh ini terjadi.”
“Bagaimana ini, perumah tangga, apakah anakmu akan menjadi
seorang perampok?”
“Tidak, Tuanku, ia tidak akan menjadi seorang perampok. Ia
memiliki jasa masa lampau yang besar.”
“Kalau begitu, besarkanlah dia dengan penuh perhatian. Ambillah
uang seribu keping ini sebagai biaya perawatannya.”
Mulai hari ini, raja memberi seribu keping uang setiap hari
untuk membiayai anak itu. Pada hari pemberian nama, ia diberi
nama ‘Jotika’, ‘Anak yang gemerlap’, sesuai peristiwa kemilau yang
menandai kelahirannya.
Sakka Menciptakan Rumah Jotika
saat Jotika dewasa, orangtuanya membersihkan lahan untuk
membangun sebuah rumah untuknya, pada saat itu tempat duduk
kristal milik Sakka menghangat menandakan terjadinya suatu
peristiwa yang memerlukan perhatiannya. Ia memeriksa dunia
ini dan melihat bahwa orang-orang sedang menandai lahan untuk
3081
Riwayat Para Orang Kaya yang Kekayaannya Tidak Dapat Habis
membangun rumah untuk Jotika. Sakka berpikir, ‘Jotika bukanlah
orang biasa yang harus tinggal di dalam rumah yang dibangun
oleh tangan manusia. Aku harus membuatkan rumah yang layak
untuknya.’ Dan ia turun ke alam manusia dengan menyamar sebagai
seorang tukang kayu. Ia bertanya kepada orang-orang di sana, “O
teman, untuk apakah semua ini?”
“Kami sedang memancang batas-batas untuk membangun rumah
kediaman Jotika.”
“Kalau begitu, beri jalan, O teman. Jotika bukanlah orang yang
harus tinggal di dalam rumah yang dibangun oleh tangan manusia.”
sesudah berkata demikian, ia menatap ke lahan yang luasnya enam
belas karisa (satu karisa―1 ¾ are) sambil berkehendak.
Lahan itu menjadi datar dan halus bagaikan alas meditasi dengan
unsur tanah. (1)
lalu , Sakka, menatap lahan ini , dan berkehendak,
“Muncullah, menembus tanah, istana bertingkat tujuh yang
berhiaskan tujuh jenis batu berharga,” dan sesaat itu juga sebuah
istana bertingkat tujuh berhiaskan tujuh jenis batu berharga, muncul
menembus tanah. (2)
Selanjutnya, Sakka, menatap istana ini , berkehendak,
“Muncullah tembok yang berhiaskan tujuh jenis batu berharga di
sekeliling istana,” dan sesaat tujuh tembok muncul mengelilingi
istana. (3)
Selanjutnya, Sakka, menatap istana ini , berkehendak,
“Muncullah pohon pengharapan di dalam setiap tembok,” dan
sesaat muncullah pohon pengharapan di dalam masing-masing
dari tujuh tembok ini . (4)
Selanjutnya, Sakka, menatap istana ini , berkehendak,
“Muncullah empat kendi yang penuh dengan batu-batu berharga
di empat sudut istana,” dan kehendaknya sesaat terjadi.
(Sehubungan dengan hal ini, empat kendi harta milik Jotika berbeda
3082
dengan kendi harta yang muncul untuk para Bodhisatta, kendi
milik para Bodhisatta, dalam berbagai ukuran mulut, dari yang
berdiameter satu yojanà , tiga gà vuta (3/4 yojanà ), 2 gà vuta (1/2
yojanà ), dan 1 gà vuta (1/4 yojanà ); dan dasarnya menembus hingga
ke dasar bumi ini. Sedangkan kendi milik Jotika, ukuran mulutnya
tidak disebutkan dalam Komentar-Komentar lama, namun dapat
menampung perhiasan berukuran sebesar buah kelapa. (5)
Di empat sudut istana besar ini , muncul empat batang pohon
tebu yang terbuat dari emas murni, masing-masing berukuran
sebesar pohon kelapa. Daun-daun pohon itu terbuat dari zamrud.
Pohon-pohon ini yaitu bukti dari jasa masa lampau Jotika. (6)
Tujuh pintu gerbang di tujuh tembok ini dijaga oleh tujuh
Jenderal Yakkha dengan bala tentaranya, yaitu, (i) di gerbang
pertama, Yama Koëã dengan seribu prajurit yakkha, (ii) di gerbang
kedua, Uppala dengan dua ribu prajurit yakkha, (iii) di gerbang
ketiga, Vajira dengan tiga ribu prajurit yakkha, (iv) di gerbang
keempat, Vajirabà hu dengan empat ribu pasukan yakkha, (v) di
gerbang kelima, Kasakanda dengan lima ribu prajurit yakkha, (vi) di
gerbang keenam, Kañattha dengan enam ribu prajurit yakkha, (vii) di
gerbang ketujuh, Disà mukha dengan tujuh ribu prajurit yakkha.
Raja Bimbisà ra Mengangkat Jotika Sebagai Bendaharawan
Kerajaan
saat Raja Bimbisà ra mendengar berita tentang fenomena Jotika,
yaitu, munculnya istana permata tujuh tingkat menembus tanah,
tujuh tembok dan tujuh gerbangnya, dan munculnya empat kendi
emas besar, dan sebagainya, Raja Bimbisà ra mengangkatnya menjadi
Bendaharawan Kerajaan, dengan mengirimkan segala perlengkapan
kantor seperti payung putih, dan sebagainya. Sejak saat itu, Jotika
dikenal luas sebagai Bendaharawan Kerajaan.
Para Dewa Mengirimkan Seorang warga Benua Utara
Bernama Satulakà yã Sebagai Pengantin Perempuan Bagi Jotika
Perempuan yang telah menjadi pendamping Jotika dalam melakukan
3083
Riwayat Para Orang Kaya yang Kekayaannya Tidak Dapat Habis
kebajikan pada masa lampau kebetulan terlahir di Benua Utara.
Para dewa membawa perempuan yang bernama Satulakà yã dari
tempat asalnya di Benua Utara dan menempatkannya di istana
tujuh tingkat milik Jotika. Ia membawa sedikit beras dan tiga kristal
yang mengandung panas. Sedikit beras dan tiga batu kristal ini
menyediakan seluruh makanan mereka seumur hidup. Kendi
kecil yang menjadi tempat penyimpanan beras pertama itu dapat
menampung beras sebanyak apa pun. Bahkan jika beras sebanyak
seratus kereta penuh dituangkan ke dalamnya, ukurannya akan
tetap sama seperti ukuran semula.
saat beras ini akan dimasak, beras itu dimasukkan ke dalam
panci masak dan diletakkan di atas tiga batu kristal ini yang
berfungsi sebagai tungku yang menyala dan saat beras ini
telah matang, nyala batu kristal ini padam. saat memasak
kari dan makanan lainnya, tiga batu kristal itu bekerja dengan cara
yang sama. sebab itu pasangan Jotika tidak pernah memakai
api untuk memasak. Sebagai penerangan juga, mereka tidak pernah
memakai api sebab mereka memiliki zamrud dan batu delima
yang bersinar dan memberi penerangan yang cukup.
Kemewahan Jotika si bendaharawan terkenal di seluruh Benua Selatan
dan orang berbondong-bondong datang untuk mengaguminya.
Beberapa dari mereka bahkan datang dari jauh dengan mengendarai
kereta atau kendaraan lainnya. Jotika melayani mereka dengan
menyajikan nasi istimewa yang hanya tumbuh di Benua Utara
dan dimasak dengan tiga batu kristal. Ia juga mengizinkan para
pengunjung untuk mengambil apa pun yang mereka inginkan di
Pohon Pengharapan. Lebih jauh lagi, ia memperbolehkan mereka
mengambil emas yang berasal dari kendi emas. Semua pengunjung
dari seluruh Benua Selatan menikmati kedermawanan Jotika.
Yang menakjubkan yaitu bahwa kendi emas itu tidak pernah
berkurang isinya tetapi selalu penuh hingga ke mulutnya. Fenomena
menakjubkan ini yaitu akibat dari kedermawanan Jotika dalam
kehidupan lampaunya sebagai Aparà jita (pada masa Buddha Vipassã)
sebab ia memperbolehkan para pengunjung vihà ra mengambil
tujuh logam mulia dan tujuh batu berharga yang ditebarkan hingga
setinggi lutut sebanyak tiga kali di halaman vihà ra.
3084
Raja Bimbisà ra mengunjungi istana Jotika
Raja Bimbisà ra ingin pergi melihat istana Jotika tetapi pada masa-
masa awal saat banyak pengunjung yang datang dan menikmati
kedermawanan Jotika, raja tidak pergi ke sana. Hanya sesudah
sebagian besar orang telah melakukan kunjungan dan hanya ada
sedikit pengunjung yang datang ke sana, raja memberi tahu ayah
Jotika bahwa ia akan berkunjung ke istana Jotika. Si perumah tangga
itu memberitahukan kepada putranya tentang rencana raja, dan
Jotika berkata bahwa raja dipersilakan untuk datang. Raja Bimbisà ra
datang bersama banyak pengikut. saat ia bertemu dengan seorang
pelayan tukang sapu dan pembuang sampah di gerbang pertama,
gadis pelayan itu mengulurkan tangannya sebagai sambutan, tetapi
raja menganggapnya sebagai istri Jotika si bendaharawan dan sebab
malu, ia tidak menggenggam tangan itu. Di gerbang berikutnya juga,
walaupun gadis-gadis pelayan itu mengulurkan tangan, raja tidak
menggenggam tangan itu sebab alasan yang sama. (Demikianlah,
bahwa di istana Jotika, bahkan para pelayan berpenampilan seperti
istri Jotika si bendaharawan.)
Jotika menyambut raja dan sesudah memberi hormat, raja
dipersilakan masuk. Raja tidak berani menginjak lantai zamrud
yang baginya terlihat seperti jurang yang dalam. Ia meragukan
kesetiaan Jotika, sebab ia berpikir bahwa si bendaharawan sedang
merencanakan pengkhianatan dengan menggali lubang yang
dalam. Jotika membuktikan ketidakbersalahannya dengan berkata,
“Tuanku, tidak ada jurang. Aku akan berjalan duluan dan Tuanku
boleh mengikuti dari belakang.” Baru lalu raja menyadari
bahwa semuanya baik-baik saja. Ia mengamati istana itu dari lantai
zamrud hingga ke atas istana megah itu.
(Pikiran jahat Pangeran Ajà tasattu: pada saat itu Pangeran Ajà tasattu
berada di sisi ayahnya, memegang tangan ayahnya. Ajà tasattu muda
berpikir, “Betapa bodohnya ayahku! sebab ia membiarkan seorang
rakyat menikmati kemewahan yang lebih besar daripada dirinya.
Orang yang berada dari kasta yang lebih rendah tinggal di istana
permata sedangkan raja sendiri tinggal di istana kayu. Jika aku
menjadi raja, aku tidak akan mengizinkan orang kaya ini tinggal
3085
Riwayat Para Orang Kaya yang Kekayaannya Tidak Dapat Habis
di istana ini bahkan selama satu hari.”)
Sewaktu raja sedang melihat-lihat tingkat atas, waktu makan
tiba. Ia berkata kepada Jotika, “Bendaharawan, kami akan makan
pagi di sini.” Jotika menjawab, “Aku mengerti Tuanku, aku telah
mengaturnya.”
lalu Raja Bimbisà ra mandi dengan memakai enam belas
kendi air harum. Ia duduk di tempat yang biasanya digunakan oleh
Jotika. Ia diberikan air untuk mencuci tangan. lalu semangkuk
nasi susu kental diletakkan di depannya dalam mangkuk emas yang
bernilai seratus ribu keping uang. Raja berpikir bahwa itu yaitu
makanannya dan bersiap-siap untuk memakannya. Jotika berkata
kepadanya, “Tuanku, itu bukan untuk dimakan, itu yaitu tempat
untuk menghangatkan nasi yang akan datang sebentar lagi. Para
pelayan Jotika membawa nasi dari beras istimewa yang berasal dari
Benua Utara dalam mangkuk emas lainnya yang bernilai seratus
ribu keping uang. Mereka meletakkan mangkuk nasi ini di
atas mangkuk nasi susu sehingga memberi kehangatan terus-
menerus pada nasi ini , dan membuatnya terasa lebih lezat.
Sang raja memakan nasi lezat ini yang dibawa dari Benua
Utara begitu banyak sehingga ia tidak tahu kapan harus berhenti
makan. Jotika berkata kepadanya sesudah memberi hormat, “Tuanku,
cukuplah. Jika engkau makan lagi, engkau tidak akan dapat
mencernanya.” Raja berkata, “Apakah engkau khawatir nasimu
habis?” Jotika menjawab, “Tidak sama sekali, Tuanku. sebab aku
juga memberi nasi yang sama kepada seluruh pengikutmu. Aku
ha





.jpeg)
.jpeg)





