Tampilkan postingan dengan label Biksu Budha 16. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Biksu Budha 16. Tampilkan semua postingan

Biksu Budha 16



 n oleh si penjual bunga dan bergabung dengannya 

dan orang-orang lain dalam melayani Buddha. Ia menghafalkan 

khotbah-khotbah yang disampaikan oleh Buddha kepada orang-

orang yang mendatangi-Nya. Pada akhir khotbah itu ia mencapai 

Buah Pemenang Arus.

3043

Riwayat Para Siswi Awam

Sàmàvatã dan Lima Ratus Pelayannya Mencapai Pengetahuan 

Pemenang Arus

Khujjuttarà dalam tugas hariannya membeli bunga untuk Ratu 

Sàmàvatã biasanya membeli bunga seharga empat keping uang 

dan menyimpan empat keping uang lagi dari delapan keping uang 

yang diberikan oleh ratu untuk membeli bunga. Tetapi sejak ia 

menjadi seorang Ariya (sebagai Pemenang Arus) Khujjuttarà tidak 

berniat untuk mencuri uang yang dipercayakan kepadanya, dan 

membeli bunga seharga delapan keping uang sehingga memenuhi 

keranjangnya. Ratu Sàmàvatã, melihat bunga yang lebih banyak dari 

biasanya, bertanya, “Mengapa Uttarà, engkau membeli sekeranjang 

besar bunga hari ini tidak seperti hari-hari kemarin! Apakah raja 

menambah uang belanja bunga untukku?”

Khujjuttarà sebagai seorang Ariya sekarang tidak dapat berbohong, 

dan ia mengakui perbuatan jahatnya. Saat ratu bertanya, “Mengapa 

engkau membeli sekeranjang besar bunga hari ini?” Khujjuattarà 

menjawab, “sebab   aku tidak mencuri uang hari ini. Aku tidak 

melakukannya sebab   aku telah mencapai Nibbàna, aku telah 

memahami Keabadian, sesudah   mendengarkan khotbah Buddha.”

Selanjutnya Ratu Sàmàvatã dan lima ratus pelayannya menjulurkan 

tangan mereka dan memohon kepada Khujjuttarà, “Uttarà, 

bagikanlah kepada kami Nibbàna yang abadi itu!”

“Teman-teman, Nibbàna bukanlah sesuatu yang dapat dibagi-

bagikan kepada orang lain. Aku akan mengulang kata-kata Buddha. 

Jika kalian memiliki jasa masa lampau yang cukup, kalian akan 

mencapai Nibbàna yang Abadi saat mendengarnya.”

“Uttarà, lanjutkanlah!”

Ratu Sàmàvatã memberi   tempat duduk yang lebih tinggi untuk 

Khujjuttarà dan mendengarkan khotbahnya dengan duduk di 

tempat yang lebih rendah. Khujjuttarà, mengerahkan Pengetahuan 

Analitis yang dikuasai oleh seorang Ariya yang masih berlatih untuk 

mencapai Kearahattaan (sekha), membabarkan khotbah kepada 

3044


Sàmàvatã dan lima ratus pelayannya, dan pada akhir khotbah itu 

mereka semuanya mencapai Buah Pemenang Arus. Sejak saat itu 

Khujjuttarà dibebaskan dari segala tugas-tugasnya dan diberikan 

tugas baru yaitu pergi ke vihàra Buddha untuk mendengarkan 

khotbah dan mengulangi apa yang ia pelajari dari Buddha kepada 

Ratu Sàmàvatã dan para pelayannya. Demikianlah Ratu Sàmàvatã 

dan para pelayannya mendapatkan pelajaran secara rutin dari 

Khujjuttarà.

Kebaikan dan Kejahatan Khujjuttarà Pada Masa Lampau

“Mengapa Khujjuttarà terlahir dalam sebuah keluarga budak?” Hal 

ini disebabkan oleh kejahatan masa lampaunya. Pada masa Buddha 

Kassapa, ia menyuruh seorang sàmaõerã melakukan pekerjaan yang 

tidak biasa (menjadi pesuruhnya). sebab   perbuatannya itu, ia 

terlahir dalam keluarga budak selama lima ratus kelahiran berturut-

turut. Mengapa ia terlahir bongkok? saat   ia menjadi seorang 

pelayan di istana Raja Bàràõasã sebelum munculnya Buddha Gotama, 

ia melihat seorang Pacceka Buddha bongkok yang datang ke istana 

untuk menerima dàna makanan. lalu   ia meniru gaya Pacceka 

Buddha ini   di depan para pelayan istana. Atas perbuatan itu 

ia terlahir bongkok dalam kehidupannya sekarang.

 

Jasa baik apakah yang ia lakukan pada masa lampau sehingga 

ia memiliki kebijaksanaan dalam kehidupan sekarang? saat   ia 

menjadi seorang pelayan di istana Raja Bàràõasã sebelum munculnya 

Buddha Gotama, ia melihat delapan Pacceka Buddha yang membawa 

mangkuk berisi nasi susu yang sangat panas. Untuk mengurangi 

rasa panas di tangan para mulia itu, ia melepas delapan untai kalung 

yang sedang ia kenakan dan mempersembahkannya kepada mereka 

untuk digunakan sebagai alas mangkuk. Perbuatan bijaksana itulah 

jasa yang ia dapatkan.

Ratu Màgaõóã Mengelabui Ratu Sàmàvatã

Meskipun Ratu Sàmàvatã dan lima ratus pelayannya telah menjadi 

para Ariya, mereka belum pernah berkesempatan bertemu dengan 

Buddha sebab   Raja Udena yaitu   seorang penganut kepercayaan 

3045

Riwayat Para Siswi Awam

lain. sebab   mereka yaitu   para Pemenang Arus, mereka sangat 

ingin bertemu dengan Buddha. Dan yang mereka lakukan hanyalah 

melihat sekilas sosok Buddha saat Buddha sedang berjalan di kota. 

sebab   tidak ada jendela yang cukup untuk melihat keluar, para 

perempuan itu membuat lubang di dinding kamar tidur mereka 

sehingga mereka dapat melihat sosok agung Buddha.

Suatu hari Ratu Màgaõóã sedang berjalan-jalan di luar dan melihat 

lubang-lubang kecil di dinding kamar para pelayan Ratu Sàmàvatã 

dan bertanya kepada para pelayannya lubang-lubang apa itu. 

Mereka tidak tahu bahwa Ratu Màgaõóã menyimpan dendam 

terhadap Buddha dan mereka secara jujur mengakui perbuatan 

mereka demi untuk dapat melihat Buddha lewat dan memberi 

hormat dengan cara berdiri di dalam kamar mereka masing-masing 

sambil mengintip melalui lubang di dinding. Ratu Màgaõóã berpikir, 

“Sekarang tiba waktunya untuk membalas dendam kepada Samaõa 

Gotama. Gadis-gadis ini, para pengikut Gotama juga akan mendapat 

bagian mereka!”

lalu  , saat   Màgaõóã sedang berdua dengan Raja Udena, 

ia berkata, “Tuanku, Ratu Sàmàvatã dan para pelayannya telah 

memberi   hati mereka kepada orang lain selain engkau. Mereka 

sedang merencanakan untuk menghancurkan engkau dalam 

beberapa hari. Mereka tidak menyayangimu. Mereka sangat tertarik 

kepada Samaõa Gotama sehingga mereka mengintai-Nya bahkan 

selagi Beliau berjalan di kota. Mereka membuat lubang di dinding 

kamar mereka untuk dapat melihat Samaõa Gotama. Raja tidak 

mempercayainya. Pada kesempatan lain Màgaõóã mengulangi 

ceritanya lagi; raja tetap tidak mempercayainya. Untuk ketiga 

kalinya ia mengulangi ceritanya, dan saat   raja masih tidak 

percaya, ia menyarankan agar raja pergi ke kamar mereka dan 

menyelidikinya. Raja pergi dan melihat lubang-lubang kecil. Ia 

bertanya kepada gadis-gadis itu tentang lubang-lubang itu. Gadis-

gadis itu dengan jujur memberitahukan kepadanya tujuan mereka 

membuat lubang itu. Raja tidak marah, hanya menyuruh mereka 

menutup kembali lubang-lubang itu. Ia menutup jendela di lantai 

atas kamar-kamar gadis itu. (Ini yaitu   strategi licik pertama yang 

dilakukan oleh Ratu Màgaõóã.)

3046


Ratu Màgaõóã lalu   merencanakan strategi lain. Ia berkata 

kepada raja, “Tuanku, mari kita menguji kesetiaan Sàmàvatã dan para 

pelayannya terhadapmu. Berikan mereka delapan ekor ayam hidup 

dan minta mereka untuk memasakkan makanan dari ayam itu untuk 

Tuanku.” Raja melakukan sesuai saran Màgaõóã. Ratu Sàmàvatã, 

sebagai seorang siswa Ariya Buddha, tidak dapat membunuh dan 

sebab   itu ia menjawab kepada raja bahwa tidaklah baik membunuh 

ayam-ayam itu.

Tetapi Màgaõóã sangat licik. Ia berkata kepada raja, “Tuanku, 

suruhlah Sàmàvatã untuk memasak ayam itu untuk dipersembahkan 

kepada Samaõa Gotama.” Raja melakukan sesuai saran itu. Kali ini, 

Màgaõóã membunuh ayam-ayam itu sebelum ia tiba di tempat Ratu 

Sàmàvatã, yang menerima ayam-ayam mati itu dan tidak curiga. 

Ia memasak ayam-ayam itu dan mempersembahkannya kepada 

Buddha. Ratu Màgaõóã lalu   menunjukkan fakta tentang 

sikap Sàmàvatã kepada raja dengan mengatakan, “Sekarang, apakah 

engkau melihat kepada siapa Sàmàvatã tertarik?” Tetapi, raja tidak 

menghukum Sàmàvatã yang dicintainya. (Ini yaitu   startegi licik 

kedua yang dilakukan oleh Ratu Màgaõóã.)

Strategi Licik Ketiga

Raja Udena memiliki tiga ratu: (1) Ratu Sàmàvatã, (2) Ratu Vàsuladattà, 

putri Raja Caõóapajjota dari Ujjenã, dan (3) Ratu Màgaõóã. Masing-

masing ratu memiliki lima ratus pelayan. Raja melewatkan waktu 

satu minggu dengan masing-masing ratu di istana mereka masing-

masing. Ratu Màgaõóã menyimpan seekor ular kobra kecil di dalam 

sebuah kotak bambu yang diam-diam dimasukkan ke dalam kecapi 

milik raja dan menutup lubang kecapi itu. Raja selalu membawa 

kecapinya ke mana pun ia pergi. Ia sangat menyenangi kecapi sebab   

musik yang dihasilkan dapat memancing gajah-gajah sehingga 

tertarik mendatangi pemainnya, yaitu raja.

saat   raja hendak pergi ke istana Ratu Sàmàvatã, Ratu Màgaõóã 

berkata kepadanya (seolah-olah ia sangat mengkhawatirkan 

keselamatan raja), “Tuanku, Sàmàvatã yaitu   seorang pengikut 

3047

Riwayat Para Siswi Awam

Samaõa Gotama. Ia tidak menghargai hidupmu lebih dari nilai 

sehelai rumput. Ia selalu ingin mencelakaimu. Berhati-hatilah.”

sesudah   raja melewatkan tujuh hari bersama Ratu Sàmàvatã, ia 

mendatangi Ratu Màgaõóã yang berkata, “Bagaimana, Tuanku, 

apakah Sàmàvatã berpeluang mencelakaimu?” lalu  , ia 

mengambil kecapi dari tangan raja, dan mengguncangnya, ia 

berseru, “Mengapa ada benda hidup yang bergerak di dalam kecapi 

ini!” Dan sesudah   dengan hati-hati ia membuka lubang kecil di 

kecapi itu, ia berseru, “O! Mati aku! Ada ular di dalam kecapi ini!” 

Ia menjatuhkan kecapi itu dan berlari menjauhinya. Ular itu keluar 

dari kecapi itu dan itu cukup untuk membangkitkan kemarahan 

raja. Bagaikan hutan bambu yang terbakar, raja mendesis marah 

dan berteriak, “Pergi dan bawa Sàmàvatã dan seluruh pelayannya 

ke sini!” Para pengawal segera mematuhinya.

(Sebuah pepatah: jika kita mengendalikan diri, mempertahankan 

kejujuran, dan memelihara hati yang penuh cinta kasih, saat 

seseorang marah kepada kita, bagaimana mungkin kita dapat 

menjadi marah juga?)

Ratu Sàmàvatã mengetahui bahwa raja marah kepada mereka. 

Ia menasihati para pelayannya untuk memancarkan cinta kasih 

kepada raja sepanjang hari. saat   mereka dibawa menghadap 

raja, Sàmàvatã dan para pelayannya berbaris di hadapan raja yang 

siap dengan busur dan panah beracun. Mereka tetap memancarkan 

cinta kasih kepada raja. Raja tidak mampu menembakkan anak 

panah dan juga tidak dapat menurunkan busur dan anak panah 

itu. Keringat mengalir di seluruh tubuhnya yang gemetar. Mulutnya 

meneteskan air liur. Ia menyerupai orang yang tiba-tiba kehilangan 

kesadarannya.

Ratu Sàmàvatã berkata kepadanya, “Tuanku, apakah engkau merasa 

letih?” Raja menjawab, “Ratuku, aku memang merasa letih. Papahlah 

aku.”

“Baiklah, Tuanku,” ia berkata, “arahkan panahmu ke bawah.”

3048


Raja mengarahkan panahnya ke bawah. lalu   Sàmàvatã 

berkehendak, “Semoga anak panah itu terlepas.” Dan sesaat   anak 

panah beracun itu jatuh ke lantai.

Pada saat itu Raja Udena pergi dan merendam tubuhnya dalam 

air dan dengan pakaian dan rambut basah ia menjatuhkan dirinya 

di kaki Sàmàvatã, dan berkata, “Maafkan aku, Ratuku. Aku bodoh 

sekali menuruti anjuran Màgaõóã.”

“Aku memaafkanmu, Tuanku” Sàmàvati berkata.

“Baiklah, O Ratu, engkau sungguh seorang pemaaf. Mulai saat ini 

engkau bebas memberi   persembahan kepada Buddha. Berilah 

persembahan dan pergilah ke vihàra Buddha pada malam hari untuk 

mendengarkan khotbah. Mulai saat ini engkau akan dilindungi.”

Sàmàvatã, menangkap peluang itu dan mengajukan permohonan, 

“Kalau begitu, Tuanku, sudikah engkau memohon agar Buddha 

mengutus seorang bhikkhu untuk datang ke istana dan mengajarkan 

Dhamma yang baik setiap hari?” Raja Udena menghadap Buddha 

dan mengajukan permohonan kepada Buddha. Buddha menugaskan 

Yang Mulia ânanda untuk melakukan tugas ini  . Sejak saat itu 

Sàmàvatã dan para pelayannya mengundang Yang Mulia ânanda ke 

istana dan memberi   persembahan setiap hari yang dilanjutkan 

dengan memelajari Dhamma dari Yang Mulia ânanda.

Ratu Sàmàvatã, sebab   gembira dengan khotbah yang disampaikan 

oleh Yang Mulia ânanda dalam mengungkapkan penghargaan atas 

persembahan makanan itu, mempersembahkan lima ratus bahan 

jubah kepadanya.

(Yang Mulia ânanda dalam salah satu kehidupan lampaunya, pernah 

mempersembahkan sebatang jarum dan sepotong kain sebesar 

telapak tangan kepada seorang Pacceka Buddha. Atas perbuatan baik 

itu, dalam kehidupan sekarang ia memiliki kebijaksanaan, dan juga 

menerima persembahan bahan jubah sebanyak lima ratus kali.)

3049

Riwayat Para Siswi Awam

Sàmàvatã dan Para Pelayannya Dibakar Hidup-Hidup

Màgaõóã tidak berdaya dalam usahanya menjauhkan Raja Udena 

dari Sàmàvatã. Ia menjadi putus asa dan melakukan usaha 

terakhir. Ia membujuk raja untuk pergi berjalan-jalan ke taman. 

Ia memerintahkan pamannya untuk membakar istana selagi raja 

sedang tidak berada di istana. Ratu Sàmàvatã dan para pelayannya 

diperintahkan untuk tetap berada di dalam istana, atas nama 

raja. lalu   istana mereka dibakar. Paman Ratu Màgaõóhã, si 

brahmana dungu, menjalani rencana itu dengan sukses.

sebab   kejahatan masa lampau mereka sekarang berbuah, 

Sàmàvatã dan lima ratus pelayannya tidak dapat berdiam dalam 

Buah Pemenang Arus pada hari naas ini   dan tewas terbakar, 

bagaikan sekam di dalam lumbung. Para penjaga di istana Ratu 

Sàmàvatã melaporkan malapetaka ini   kepada raja.

Raja melakukan penyelidikan menyeluruh atas musibah ini, dan 

mengetahui bahwa itu yaitu   perbuatan Màgaõóã. Tetapi, ia tidak 

menunjukkan kecurigaannya. Ia memanggil Ratu Màgaõóã, dan 

berkata kepadanya, “Màgaõóã, engkau telah melakukan apa yang 

seharusnya demi diriku. Engkau telah menyingkirkan Sàmàvatã yang 

telah berkali-kali mencoba mencelakaiku. Aku sangat menghargai 

perbuatanmu. Aku akan memberi   anugerah kepadamu. 

Sekarang, panggilah sanak saudaramu.”

Ratu Màgaõóã gembira mendengar kata-kata raja. Ia mengumpulkan 

semua sanak saudaranya dan juga teman-teman yang tidak ada 

hubungan keluarga dengannya. saat   semua sanak saudara 

Màgaõóã telah berkumpul, raja memerintahkan penggalian lubang 

yang dalam di halaman istana, dan memasukkan mereka semua ke 

dalam lubang itu dan hanya menyisakan kepala mereka yang berada 

di atas tanah. Kepala mereka lalu   dipukul hingga pecah dan 

lalu   bajak besi ditarik menggilas tengkorak mereka yang 

pecah itu. Sedangkan Ratu Màgaõóã, tubuhnya dipotong-potong 

lalu   dimasak.

3050


Kejahatan Masa Lampau Sàmàvatã dan Para Pelayannya

Kematian Sàmàvatã dan para pelayannya sebab   terbakar hidup-

hidup disebabkan oleh kejahatan masa lampau mereka. Dalam 

salah satu kehidupan lampau mereka sebelum munculnya Buddha 

Gotama, lima ratus pelayan itu berdiri di tepi Sungai Gaïgà sesudah   

mandi dan bermain-main air. Saat mereka masih kedinginan, mereka 

melihat sebuah gubuk jerami di dekat sana yang merupakan tempat 

tinggal seorang Pacceka Buddha. Mereka membakar gubuk itu untuk 

menghangatkan badan mereka tanpa terlebih dahulu memeriksa 

apakah gubuk itu ada penghuninya atau tidak.

Pada saat itu si Pacceka Buddha sedang berdiam dalam pencapaian 

Penghentian. Hanya saat gubuk kecil itu telah berubah menjadi 

abu, mereka terkejut melihat seorang Pacceka Buddha yang sedang 

duduk tidak bergerak. Meskipun sewaktu membakar gubuk itu, 

mereka tidak berniat untuk membunuh Pacceka Buddha itu, 

pikiran membunuh itu lalu   merasuki batin mereka yang 

ketakutan sebab   mereka mengenalinya sebagai Pacceka Buddha 

yang datang ke istana raja untuk menerima dàna makanan. Untuk 

menghindari kemarahan raja, mereka harus membakar Pacceka 

Buddha itu agar tidak ada bukti yang tertinggal. sebab   itu, dengan 

cara mengkremasi, mereka mengumpulkan lebih banyak kayu dan 

membakar Pacceka Buddha yang sedang duduk itu. Perbuatan itu 

dilakukan dengan kehendak untuk membunuh, yang merupakan 

kejahatan berat, dan menghasilkan akibat yang berat pula.

saat   kayu-kayu itu habis terbakar, Pacceka Buddha itu bangun 

dari pencapaian Penghentian, membersihkan jubahnya dari abu, 

dan terbang ke angkasa, pergi dengan disaksikan oleh mereka yang 

melihat dengan penuh keheranan. Mereka menderita di neraka atas 

kejahatan itu, dan sebagai akibat tambahan, mereka terbakar hidup-

hidup pada kehidupan sekarang.)

(c) Menjadi siswi awam terbaik

sesudah   tewasnya Ratu Sàmàvatã dan lima ratus pelayannya, 

terdengarlah kata-kata pujian di antara empat kelompok, yaitu (1) 

3051

Riwayat Para Siswi Awam

Kelompok bhikkhu, (2) Kelompok bhikkhunã, (3) Kelompok siswa 

awam laki-laki, (4) Kelompok siswa awam perempuan, sebagai 

berikut:

“Khujjuttarà yaitu   seorang terpelajar, walaupun perempuan, ia 

mampu membabarkan Dhamma hingga lima ratus pelayan di istana 

berhasil mencapai Pengetahuan Pemenang Arus.

“Sàmàvatã sungguh terampil dalam pencapaian Jhàna cinta kasih 

universal sehingga ia mampu menghentikan panah Raja Udena 

dengan memancarkan cinta kasih kepada raja.”

Pada lalu   hari, saat   Bhagavà sedang berada di Vihàra 

Jetavana dan sedang menganugerahkan gelar terbaik kepada para 

siswi awam, Beliau menyatakan, 

“Para bhikkhu, di antara para siswi awam yang terampil dalam 

belajar, Khujjuttarà yaitu   yang terbaik.”

(Khujjuttarà mendapatkan gelar itu sebab   ia mendapat tugas dari 

Ratu Sàmàvatã dan para pelayannya, sesudah   mereka mencapai 

Pengetahuan Pemenang Arus, tugas untuk memelajari lebih 

jauh lagi tentang ajaran Buddha dengan cara mengunjungi 

Buddha setiap hari. Tugas ini membuatnya banyak memelajari 

Dhamma dan menghafalkan Tiga Piñaka. Itulah sebabnya Buddha 

menganugerahkan gelar “yang terbaik dalam belajar”.

Sebagai seorang sekkha, seorang Ariya yang masih belajar untuk 

mencapai Kearahattaan, Khujjuttarà memiliki Empat Pengetahuan 

Analitis yang dimiliki oleh seorang sekkha, yang membuatnya 

mampu mencerahkan Sàmàvati dan para pelayannya. Sewaktu 

Buddha sedang berada di Kosambã, Khujjuttarà mengunjungi 

Buddha setiap hari dan mendengarkan khotbah. sesudah   kembali ke 

istana, ia mengulangi apa yang telah ia pelajari kepada Sàmàvati dan 

para pelayan. Ia akan memulai khotbahnya kepada mereka dengan 

kata-kata, “Bhagavà berkata sebagai berikut, aku telah mendengar 

Arahanta berkata sebagai berikut.” 112 khotbah yang ia babarkan 

kepada perempuan-perempuan itu dicatat oleh para sesepuh dalam 

3052


sidang sebagai ‘Kata-kata Buddha,” dengan judul Itivuttaka. (Baca 

Komentar Itivuttaka.)

Pada kesempatan itu Buddha juga menyatakan, “Para bhikkhu, di 

antara para siswi yang terampil dalam pencapaian Jhàna cinta kasih 

universal, Sàmàvatã yaitu   yang terbaik.”

Demikianlah kisah Khujjuttarà dan Sàmàvatã.

(5) Uttara Nandamàta

(a) Cita-cita masa lampau 

Bakal Uttarà Nandamàtà terlahir dalam sebuah keluarga kaya 

di Kota Haÿsàvatã pada masa kehidupan Buddha Padumuttara. 

saat   ia mendengarkan khotbah yang disampaikan oleh Buddha, 

ia menyaksikan seorang siswi awam yang dinyatakan sebagai 

yang terbaik di antara mereka yang berdiam di dalam jhànà. Ia 

berkeinginan kuat untuk menjadi seperti siswa ini   pada 

masa depan, dan sesudah   memberi   persembahan besar ia 

mengungkapkan cita-citanya. Buddha meramalkan bahwa cita-

citanya akan tercapai.

 (b) Kehidupan terakhir sebagai Uttarà, Putri Puõõa si perumah 

tangga

Perempuan kaya itu, sesudah   meninggal dunia dari kehidupan itu, 

mengembara di alam dewa dan alam manusia selama seratus ribu 

siklus dunia, dan pada masa Buddha Gotama, ia terlahir sebagai 

putri Puõõasãha, istri Uttarà, yang bergantung pada (menjadi 

pembantu rumah tangga) Sumanà, perumah tangga di Ràjagaha.

Kondisi yang Melatarbelakangi Kekuasaan Puõõasãha

Pada suatu pesta di Ràjagaha untuk merayakan hari gembira sesuai 

posisi planet-planet, Sumanà si perumah tangga dari Ràjagaha 

memanggil Puõõa dan berkata, “O Puõõa, menghadiri pesta 

pada hari besar dan menjalani Sãla Uposatha sesungguhnya tidak 

3053

Riwayat Para Siswi Awam

berlaku bagi orang miskin (sepertimu). Tetapi aku akan memberi   

kelonggaran untukmu pada hari besar ini, dan engkau boleh pergi 

menikmati pesta atau melakukan pembajakan seperti biasa. Katakan 

padaku apa pilihanmu.”

Puõõasãha berkata, “Tuan, aku akan mendiskusikannya dengan 

istriku dahulu.”

Di rumah, Puõõa memberitahu istrinya Uttarà tentang apa yang 

dikatakan oleh majikannya. Istrinya berkata, “Suamiku, perumah 

tangga itu yaitu   majikan kita. Apa yang dikatakan oleh majikan 

kepadamu tentu benar. Tetapi aku pikir sebaiknya engkau tidak 

meninggalkan satu hari kerja.”

Dan Puõõa yang setuju dengan istrinya, memasang gandar pada 

sapinya dan pergi membajak sawah seperti biasa.

Kebetulan pada hari besar bagi Puõõa itu, Yang Mulia Sàriputta, 

sesudah   bangun dari pencerapan pencapaian Penghentian, 

memeriksa dunia ini untuk melihat kepada siapakah ia akan 

memberi   berkahnya. Ia melihat matangnya jasa masa lampau 

Puõõa yang menjadi kondisi yang cukup untuk mencapai 

Pencerahan. Ia membawa mangkuk dan jubahnya saat tiba waktunya 

untuk mengumpulkan dàna makanan, pergi ke tempat di mana 

Puõõa sedang membajak sawah. Ia berdiri dalam jarak yang dapat 

terlihat oleh Puõõa. Saat melihatnya, Puõõa berhenti membajak, 

mendatanginya, dan bersujud dengan lima titik menyentuh 

tanah. Yang Mulia Sàriputta yang menginginkan kesejahteraan 

si orang miskin itu, menatapnya dan bertanya di mana ia dapat 

memperoleh air bersih. Puõna berpikir bahwa Yang Mulia Sàriputta 

ingin mencuci muka, dan sebab   itu ia membuatkan sikat gigi dari 

tanaman merambat yang terdapat di dekat sana dan memberi  nya 

kepada Yang Mulia Sàriputta. Sewaktu Yang Mulia Sàriputta 

sedang menyikat gigi, Puõõa mengambil mangkuk dan saringan 

air dan pergi mengambil semangkuk penuh air bersih yang telah 

disaring.

sesudah   mencuci muka, Yang Mulia Sàriputta pergi untuk 

3054


mengumpulkan dàna makanan, lalu  , Puõõa berpikir, “Yang 

Mulia Sàriputta tidak pernah melewati jalan ini sebelumnya. 

Hari ini ia datang pasti demi kebaikanku. Oh, seandainya istriku 

sudah datang membawa makananku, alangkah baiknya jika aku 

mempersembahkannya kepada Yang Mulia Sàriputta!”

Istri Puõõa ingat bahwa hari itu yaitu   hari besar menurut 

planet-planet. Pagi-pagi ia memasak perbekalan yang ia miliki 

dan membawanya ke tempat suaminya bekerja. Dalam perjalanan 

itu ia melihat Yang Mulia Sàriputta dan berpikir, “Pada hari-hari 

sebelumnya aku tidak memiliki apa pun untuk dipersembahkan 

kepada Yang Mulia Sàriputta meskipun aku bertemu dengannya, 

atau saat aku memiliki sesuatu untuk dipersembahkan, aku 

tidak bertemu dengannya. Hari ini aku memiliki sesuatu untuk 

dipersembahkan dan bertemu dengan penerimanya. Aku akan 

memasak (menurut Subkomentar) makanan lain untuk suamiku 

dan mempersembahkan makanan ini kepada Yang Mulia sekarang.” 

Dengan pikiran demikian ia mengisi mangkuk Yang Mulia 

Sàriputta dan mengucapkan keinginannya, “Semoga aku bebas 

dari kemiskinan.” Yang Mulia berkata, “Semoga keinginanmu 

terpenuhi,” menunjukkan penghargaan, dan kembali ke vihàra 

dari sana.

(Harus dimengerti bahwa dalam melakukan perbuatan baik, muncul 

banyak proses pikiran yang baik yang terdiri dari tujuh ‘impuls’ 

kebajikan atau bagian dari proses pikiran. Jika kondisi mendukung, 

yang pertama dari tujuh impuls ini   akan berbuah langsung 

bahkan dalam kehidupan sekarang.

Empat kondisi harus ada untuk menghasilkan akibat langsung, 

yaitu: (a) Penerima yaitu   seorang Arahanta atau paling sedikit 

seorang Yang Tak Kembali, (b) persembahan itu yaitu   sesuatu 

yang diperoleh dengan cara yang benar, (c) si pemberi memiliki 

keinginan kuat atau kehendak dalam memberi   persembahan, 

yaitu, keinginan kuat sebelum melakukan, pada saat melakukan dan 

ia merasa gembira sesudah   melakukan, (d) si penerima baru bangun 

dari pencapaian Penghentian. Dan yang paling penting, harus ada 

jasa masa lampau yang cukup dari si pemberi. Dalam kasus Puõõa 

3055

Riwayat Para Siswi Awam

dan istrinya, mereka memiliki kondisi sekarang dan kondisi masa 

lampau. Jasa masa lampaunya yang akan membuatnya menjadi orang 

kaya telah matang sehingga pada hari itu ia menemukan sebongkah 

emas padat dari lahan yang sedang ia bajak. Ini meningkatkan 

statusnya menjadi orang kaya yang ditetapkan oleh raja.)

Istri Puõõa pulang ke rumah (tanpa melanjutkan perjalanannya ke 

tempat suaminya), memasak makanan lain untuk suaminya, dan 

mengantarkannya kepada suaminya. Khawatir suaminya marah, 

(dan lebih lagi sebab   kemarahannya dapat meniadakan akibat baik 

dari perbuatan baik yang telah ia lakukan), ia mulai mengucapkan 

kata-kata ramah, “Suamiku, aku mohon agar engkau mengendalikan 

dirimu dari kemarahan hari ini.”

“Mengapa?” tanya suaminya, (heran).

“Suamiku, aku bertemu dengan Yang Mulia Sàriputta dalam 

perjalanan dan mempersembahkan makanan yang kupersiapkan 

untukmu. Aku pulang lagi dan memasak makanan lain untukmu. 

Itulah sebabnya aku agak terlambat hari ini.”

Bongkahan Tanah Berubah Menjadi Bongkahan Emas

Puõõa berkata kepada istrinya, “Istriku, engkau telah melakukan hal 

yang baik. Aku sendiri telah mempersembahkan sikat gigi dan air 

bersih untuknya mencuci muka pagi ini. Hari ini semua kebutuhan 

Yang Mulia telah kita persembahkan!” Pasangan itu gembira atas 

perbuatan baik mereka.

lalu   Puõna memakan makanannya. sesudah   itu ia beristirahat 

sejenak dengan kepala berada di pangkuan istrinya. Saat terbangun, 

ia melihat ke sekeliling dan di tempat yang telah ia bajak terlihat 

lautan benda kekuningan bagaikan bunga-bunga kuning yang 

bertebaran. Terkejut, ia berkata kepada istrinya, “Istriku, apakah itu” 

sambil menunjukkan jarinya ke benda-benda kuning ini   (yang 

yaitu   bongkahan tanah). Semua tanah yang kubajak terlihat seperti 

emas!” Istrinya berkata, “Suamiku, mungkin engkau mengalami 

halusinasi sesudah   bekerja keras.” Tetapi Puõõa bersikeras, “Lihat, 

3056


engkau lihatlah sendiri!” dan istrinya melihat dan berkata, “Suamiku, 

apa yang engkau katakan, benar. Benda-benda itu seperti emas!”

Puõõa bangkit dan mengambil sebongkah tanah kuning itu, 

mengetukkannya ke mata bajaknya. Itu yaitu   sebongkah emas 

dan menempel pada mata bajak bagaikan sebongkah gula merah. 

Ia memanggil istrinya dan berkata sambil menunjukkan emas itu, 

“Istriku, orang lain harus menunggu tiga atau empat bulan untuk 

memanen apa yang mereka tanam. Tetapi kita, kebajikan kita, 

yang ditanam di lahan subur, yaitu Yang Mulia Sàriputta, sekarang 

telah siap dipanen. Seluruh lahan ini yang luasnya satu karisa (1 

¾ are) tidak ada segumpal tanah pun yang tidak berubah menjadi 

emas.”

“Apa yang harus kita lakukan?” tanya istrinya

“Istriku,” Puõõa menjawab, “Kita tidak dapat menyembunyikan 

emas sebanyak ini.” Sambil berkata, ia mengambil sebongkah tanah 

itu, memasukkannya ke dalam panci daging. Ia pergi ke istana dan 

menghadap raja. Terjadi percakapan antara Puõõa dan raja.

Raja: “Di mana engkau menemukan emas ini?”

Puõõa: “Tuanku, lahan yang kubajak hari ini berubah menjadi 

bongkahan emas. Silakan Tuanku mengutus orang untuk 

mengambilnya.”

Raja: “Siapa namamu?”

Puõõa: “Tuanku, namaku Puõõa.”

lalu   raja memerintahkan kepada orang-orangnya untuk 

menyiapkan kereta dan pergi mengumpulkan emas-emas dari 

sawah Puõõa.

Keluarga Puõõa Menjadi Keluarga Kaya dan Juga Mencapai Pengetahuan 

Pemenang Arus

3057

Riwayat Para Siswi Awam

Orang-orang dari istana yang mengumpulkan bongkahan emas itu 

berkata, “Ini yaitu   akibat jasa masa lampau raja.” Emas-emas itu 

berubah kembali menjadi tanah! Tidak ada sebongkah emas pun 

yang mereka dapatkan. Mereka melaporkan hal itu kepada raja. Raja 

Bimbisàra berkata kepada mereka, “Kalau begitu, katakanlah, ‘ini 

yaitu   akibat jasa masa lampau Puõõa’ saat kalian mengumpulkan 

bongkahan itu.” orang-orang itu kembali, mengatakan apa yang 

diinstruksikan oleh raja, dan mereka berhasil mengumpulkan 

emas-emas itu.

Bongkahan-bongkahan itu diangkut dalam banyak kereta dan 

ditumpuk di halaman istana. Tumpukan itu setinggi pohon kelapa. 

Raja memanggil para pedagang dan bertanya, “Di rumah siapakah 

terdapat tumpukan emas sebanyak ini?” Para pedagang menjawab, 

“Tidak ada rumah yang memiliki emas sebanyak ini.” Raja bertanya 

lagi, “Apa yang harus kita lakukan terhadap Puõõa pemilik emas 

ini?” Para pedagang itu sepakat menjawab, “Tuanku, Puõõa harus 

diberi gelar Bendaharawan Kerajaan.” Raja setuju. Dan demikianlah 

Puõõa menjadi Bendaharawan Kerajaan. Semua emas itu diserahkan 

kepadanya. Pada hari yang sama Puõõa diangkat secara resmi 

sebagai Bendaharawan Kerajaan dengan perayaan yang meriah.

Demikianlah kisah Puõõasãha, satu di antara lima orang kaya di 

dalam wilayah kekuasaan Raja Bimbisàra, yang kekayaannya tidak 

pernah habis.

Penyatuan Keluarga Puõõasãha Dengan Keluarga Sumanà yang 

Menganut Kepercayaan Lain

Sumanà, perumah tangga dari Ràjagaha, mengetahui bahwa 

Puõõasãha memiliki seorang putri dewasa, mengutus seseorang 

untuk melamar Putri Puõõa untuk dinikahkan dengan putranya. 

Puõõa menolak. Sumanà menjadi marah. “Orang itu yang telah 

bergantung padaku, sekarang menghinaku sebab   ia sudah menjadi 

orang besar,” ia sombong sebab   ia juga memiliki kekayaan. Ia 

mengatakan pendapatnya ini melalui seorang utusan. Puõõasãha 

tidak mau kalah. Ia menjelaskan kepada utusan Sumanà, “Majikanmu 

sombong. Meskipun apa yang ia katakan yaitu   benar, ia harus ingat 

3058


bahwa seseorang tidak harus selalu miskin sebab   ia terlahir miskin. 

Sekarang aku cukup kaya untuk membeli Sumanà menjadi budakku. 

Aku tidak mengatakan hal ini untuk merendahkan silsilahnya. Aku 

tetap menghormatinya sebagai perumah tangga kaya. Tetapi aku 

ingin mengatakan bahwa: putriku yaitu   seorang Pemenang Arus, 

seorang Ariya dalam ajaran Buddha. Ia membelanjakan satu keping 

uang setiap hari untuk membeli bunga untuk dipersembahkan 

kepada Tiga Permata. Aku tidak dapat menyerahkan putriku kepada 

seorang penganut kepercayaan lain seperti Sumanà.”

saat   Sumanà mengetahui pendirian Puõõasãha, ia mengubah 

nadanya. Ia mengirim pesan kepada Puõõasãha yang mengatakan, 

“Aku tidak ingin memutuskan persahabatan yang sudah terjalin 

sejak lama. Aku akan memastikan bahwa menantuku mendapatkan 

bunga senilai dua keping uang setiap hari.” Puõõa sebagai orang 

yang tahu membalas budi mengabulkan lamaran Sumanà dan 

menyerahkan putrinya untuk menikah dengan putra Sumanà.

Keyakinan Besar Uttarà Dalam Melakukan Praktik Religius

Suatu hari Uttarà berkata kepada suaminya, “Suamiku, di rumah 

orangtuaku dulu, aku menjalani Sãla Uposatha delapan hari setiap 

bulan. Jika engkau setuju, aku ingin melakukannya juga di sini.” 

Walaupun ia mengajukan permohonan itu dengan kata-kata yang 

sopan, suaminya dengan kasar menolaknya. Ia terpaksa menerima 

penolakan itu. Pada permulaan masa vassa, sekali lagi ia memohon 

izin untuk menjalani uposatha selama masa tiga bulan. Sekali lagi 

ia mendapat penolakan kasar.

saat   dua setengah bulan berlalu dan vassa hanya tinggal lima belas 

hari lagi, Uttàra, meminta orangtuanya untuk mengirimkan uang 

sebanyak lima belas ribu keping, memberitahu mereka bahwa dalam 

ikatan perkawinan itu ia tidak berkesempatan menjalani uposatha. 

Ia tidak mengatakan mengapa dan untuk apa ia memerlukan uang 

itu. Orangtuanya juga tidak menanyakan mengapa ia memerlukan 

uang itu, tetapi mereka mengirimkan juga uang yang ia minta itu.

Uttarà memanggil Sirimà, seorang pelacur di Ràjagaha (adik dari 

3059

Riwayat Para Siswi Awam

Dokter Jãvaka) dan berkata kepadanya, “Sahabat Sirimà, sebab   aku 

bermaksud untuk menjalani uposatha selama lima belas hari, aku 

mohon agar engkau sudi melayani suamiku selama lima belas hari 

dengan imbalan lima belas ribu keping uang.” Sirimà menerima 

tawarannya. Suami Uttarà sangat gembira dengan pengaturan ini 

dan mengizinkan ia menjalani uposatha selama setengah bulan.

sesudah   mendapatkan izin dari suaminya, Uttarà bebas untuk 

melakukan perbuatan baik. Pada pagi hari, ia menyiapkan 

persembahan makanan untuk Buddha, dibantu oleh para 

pelayannya. sesudah   memberi   persembahan kepada Buddha, 

dan sesudah   Buddha kembali ke vihàra, ia menjalani uposatha dan 

berdiam sendirian di lantai atas rumahnya, merenungkan peraturan 

moral. Lima belas hari berlalu dalam damai. Pada pagi hari pertama 

sesudah   tiga bulan vassa, hari ia mengakhiri pelaksanaan uposatha, 

ia menyiapkan bubur dan makanan lainnya untuk dipersembahkan 

kepada Buddha. Ia sibuk dengan pekerjaannya itu sejak pagi.

(yaitu   kebiasaan dari objek indria, sebab   terus-menerus 

dinikmati, seseorang menjadi lupa milik siapakah objek ini  , 

dan menganggap bahwa objek ini   yaitu   miliknya.)

Pada saat itu, putra si perumah tangga, sesudah   bersenang-senang 

dengan Sirimà di lantai atas istananya, membuka tirai jendela dan 

melihat ke bawah ke halaman rumah. Uttarà kebetulan sedang 

melihat ke jendela itu dan matanya bertatapan dengan mata 

suaminya. Sang suami tersenyum dan berpikir, “Uttarà ini seperti 

makhluk dari neraka. Aneh sekali, ia menolak kemewahan statusnya 

dan bekerja keras melakukan pekerjaan yang tidak perlu (di dapur) 

bersama para pelayan.”

Uttarà juga tersenyum dan berpikir, “Putra perumah tangga ini 

sungguh lengah, menganggap bahwa kehidupan mewahnya itu 

abadi.”

Sirimà yang melihat pasangan itu tersenyum, menjadi marah dan 

cemburu. “Budak ini, Uttarà, genit sekali menggoda suamiku di 

depanku,” ia berpikir (sebab   sekarang ia menganggap bahwa 

3060


dirinya dan putra si perumah tangga yaitu   suami-istri sejati). 

Ia berlari menuruni tangga sambil menggerutu. Uttarà mengerti 

bahwa Sirimà yang sesudah   setengah bulan berkuasa di rumah itu, 

menganggap suami yaitu   miliknya. Maka ia memasuki Jhàna cinta 

kasih universal dan berdiri tenang. Sirimà, melewati para pelayan, 

dengan sebuah sendok ia mengambil minyak panas dari kuali di atas 

api, dan menuangkannya ke atas kepala Uttarà. Tetapi sebab   Uttarà 

sedang berdiam dalam Jhàna cinta kasih, dan seluruh tubuhnya 

diliputi oleh cinta kasih, ia tidak merasakan panas minyak itu yang 

mengalir di seluruh tubuhnya bagaikan air yang dituangkan di atas 

daun teratai.

Saat itu para pelayan Uttarà mengecam Sirimà dengan kata-kata 

kasar dengan berkata, “Engkau budak perempuan, engkau hanyalah 

sewaan majikan kami. Tetapi sesudah   menetap di rumah ini selama 

lima belas hari engkau mencoba untuk menandingi majikan kami.” 

Kata-kata ini menyadarkan Sirimà akan posisinya. Ia sadar telah 

berbuat keterlaluan. Ia mendatangi Uttarà, berlutut di kakinya, 

dan meminta maaf, “Nyonya, aku telah bersikap kasar. Mohon 

maafkan aku!” Uttarà menjawab, “Sahabat Sirimà, aku tidak dapat 

menerima permohonan maafmu sekarang. Aku memiliki ayah, 

Buddha. Engkau harus terlebih dahulu meminta maaf pada ayahku 

,Buddha, sebelum aku dapat memaafkan engkau.”

Sesaat lalu  , Buddha dan banyak bhikkhu tiba dan duduk di 

tempat yang telah dipersiapkan bagi mereka. Sirimà mendekati 

Bhagavà, dan bersujud di kaki-Nya, berkata, “Yang Mulia, aku 

telah melakukan kejahatan terhadap Uttarà. Aku memohon 

maaf kepadanya dan ia berkata bahwa aku harus terlebih dahulu 

memohon maaf dari Bhagavà sebelum ia memaafkan aku. Sudilah 

Bhagavà memaafkan aku.” Bhagavà berkata, “Sirimà, aku memaafkan 

engkau.” lalu   Sirimà mendatangi Uttarà dan berlutut sebagai 

ungkapan maaf.

Buddha dalam khotbah-Nya mengucapkan syair berikut:

“Taklukkan orang yang marah dengan cinta kasih; taklukkan 

orang yang jahat dengan kebaikan; taklukkan orang kikir dengan 

3061

Riwayat Para Siswi Awam

kedermawanan; taklukkan pembohong dengan berkata jujur.”―

Dhammapada, v.223.

Pada akhir khotbah ini  , Sirimà mencapai Buah Pengetahuan 

Pemenang Arus. sesudah   menjadi seorang Ariya, ia mengundang 

Buddha ke rumahnya keesokan harinya dan memberi   

persembahan besar kepada Buddha dan Saÿgha. Demikianlah kisah 

Uttarà, putri perumah tangga yang juga dikenal sebagai ibu Nanda 

sesudah   ia melahirkan seorang putra bernama Nanda.

(c) Menjadi siswi awam terbaik

Pada lalu   hari, saat   Buddha sedang berada di Vihàra 

Jetavana, menganugerahkan gelar terbaik kepada siswi awam, Beliau 

menyatakan:

“Para bhikkhu, di antara para siswi awam yang mampu berdiam 

dalam Jhàna, Uttarà, ibu Nanda yaitu   yang terbaik.”

Demikianlah kisah Uttarà, ibu Nanda.

(6) Putri Suppavàsà (Koliya) dari Suku Sakya

(a) Cita-cita masa lampau 

Bakal Suppavàsà terlahir dalam sebuah keluarga kaya di Kota 

Haÿsàvatã pada masa kehidupan Buddha Padumuttara. saat   

ia mendengarkan khotbah yang disampaikan oleh Buddha, ia 

menyaksikan seorang siswi awam yang dinyatakan sebagai yang 

terbaik di antara mereka yang memberi   persembahan yang 

berkualitas baik. Ia berkeinginan kuat untuk menjadi seperti 

siswi ini  , dan sesudah   memberi   persembahan besar ia 

mengungkapkan cita-citanya.

 

(b) Sebagai Putri Suppavàsà, orang Koliya dari suku Sakya 

dalam kehidupan terakhir 

Si perempuan kaya, sesudah   mengembara selama seratus ribu siklus 

3062


dunia di alam dewa dan alam manusia, terlahir kembali sebagai 

seorang putri dari suku Sakya di Kota Koliya. Ia bernama Suppavàsà. 

Saat menginjak usia menikah, ia menikah dengan seorang pangeran 

Sakya, dan sebagai istri di rumah seorang pangeran, ia sering 

mendengarkan khotbah Buddha yang mengakibatkan ia mencapai 

Pengetahuan Pemenang Arus. Kelak ia melahirkan seorang putra 

bernama Sãvali.

(c) Menjadi siswi awam terbaik

Pada suatu saat  , Putri Suppavàsà, ibu Yang Mulia Sãvali 

mempersembahkan makanan-makanan pilihan kepada Buddha 

dan Saÿgha. sesudah   selesai makan Buddha membabarkan khotbah 

penghargaan atas persembahan istimewa ini  , Beliau berkata,

“Umat penyokong perempuan, Suppavàsà, dalam memberi   

persembahan makanan ini, berarti telah memberi   lima 

persembahan, yaitu, kehidupan, penampilan baik, kebahagiaan, 

kekuatan, dan kecerdasan. Persembahan kehidupan akan 

mengakibatkan panjang umur baik di alam dewa maupun alam 

manusia … persembahan kecerdasan mengakibatkan berkah 

kecerdasan baik di alam dewa maupun di alam manusia.” Ini yaitu   

peristiwa yang melatarbelakangi gelar siswi awam terbaik yang 

dinyatakan oleh Buddha.

Pada kesempatan lain, saat   Buddha sedang berada di Vihàra 

Jetavana di Sàvatthã, dan menganugerahkan gelar kepada siswi awam 

terbaik, Beliau menyatakan: 

“Para bhikkhu, di antara para siswi awam yang memberi   

persembahan dengan kualitas baik, Suppavàsà Putri Koliya yaitu   

yang terbaik.”

Demikianlah kisah Putri Suppavàsà.

3063

Riwayat Para Siswi Awam

(7) Suppiyà

(a) Cita-cita masa lampau 

Bakal Supiya terlahir dalam sebuah keluarga kaya di Kota Haÿsàvatã 

pada masa kehidupan Buddha Padumuttara. saat   ia mendengarkan 

khotbah yang disampaikan oleh Buddha, ia menyaksikan seorang 

siswi awam yang dinyatakan sebagai yang terbaik di antara mereka 

yang merawat bhikkhu yang sakit dengan cara yang luar biasa. Ia 

berkeinginan kuat untuk menjadi seperti siswa ini  , dan sesudah   

memberi   persembahan besar ia mengungkapkan cita-citanya.

 

(b) Kehidupan terakhir sebagai Suppiyà

sesudah   mengembara selama seratus ribu siklus dunia di alam dewa 

dan alam manusia, ia terlahir kembali di dalam sebuah keluarga 

perumah tangga kaya di Bàràõasã pada masa Buddha Gotama. Ia 

bernama Suppiyà. Saat dewasa ia menikah dan menjadi istri putra 

seorang kaya.

Pada waktu itu Buddha datang ke Bàràõasã disertai oleh banyak 

bhikkhu dan menetap di Vihàra Isipatana di Migadàvana. Suppiyà, 

sang istri, mengunjungi Buddha dan sesudah   mendengarkan khotbah 

Buddha dalam kunjungan pertama itu ia mencapai Buah Pemenang 

Arus.

Semangat Suppiyà Dalam Memberi

Suatu hari, sesudah   mendengarkan khotbah Buddha, Suppiyà berjalan 

berkeliling vihàra di Migadàvana untuk melihat kebutuhan para 

penghuninya. Ia melihat seorang bhikkhu tua yang lemah, lesu yang 

telah meminum obat pencahar. Ia bertanya kepadanya, makanan 

atau obat-obatan apakah yang ia perlukan. Bhikkhu itu menjawab, 

“Umat penyokong perempuan, sup daging baik buatku.” Suppiyà 

berkata, “Baiklah kalau begitu, Yang Mulia, aku akan mengirimkan 

sup daging untukmu,” dan ia pergi sesudah   bersujud kepada bhikkhu 

ini  . Keesokan harinya ia menyuruh pelayannya untuk membeli 

daging ke pasar, berharap dapat membeli daging dengan harga 

3064


murah. Pelayan itu tidak dapat menemukan daging yang dapat 

dibeli dan melaporkan hal itu kepada Suppiyà.

Suppiyà berpikir, “Aku telah berjanji kepada bhikkhu yang sakit 

itu untuk memberinya sup daging. Jika aku tidak menepati janjiku 

ia akan bertambah sakit sebab   ia pasti juga tidak mendapatkan 

sup daging dari orang lain. sebab   itu aku harus memastikan ia 

mendapatkan sup daging itu.” Ia pergi ke kamarnya dan memotong 

daging pahanya, yang ia serahkan kepada pelayannya untuk 

dibuatkan sup, dengan menambahkan bahan-bahan lainnya seperti 

biasa (seperti cabai, bawang dan bumbu lainnya), dan berkata, 

“Antarkan sup ini kepada bhikkhu yang sakit itu dan persembahkan 

kepadanya. Jika ia bertanya tentang aku, katakan bahwa aku sedang 

sakit.” Pelayan itu melakukan sesuai instruksi.

Buddha mengetahui hal itu. Keesokan paginya, saat mengumpulkan 

dàna makanan, Beliau pergi ke rumah Suppiyà (atas undangan 

suaminya) disertai oleh banyak bhikkhu. sesudah   duduk di tempat 

yang khusus disediakan untuk Beliau, Buddha bertanya kepada 

perumah tangga Suppiya, “Di manakah Suppiyà?”

“Ia sedang tidak sehat, Yang Mulia,” jawab Suppiya si perumah 

tangga.

“Panggil ia ke sini, meskipun ia tidak sehat.”

“Dia tidak mampu berjalan, Yang Mulia.”

“Kalau begitu, papahlah ia.”

Suppiya si perumah tangga masuk dan memapah istrinya, Suppiyà, 

dan tiba-tiba saat ia melihat Buddha, luka besar di pahanya mendadak 

lenyap dan dagingnya kembali utuh seperti semula. Pasangan 

Suppiyà berseru, “Sungguh menakjubkan! Sungguh mengherankan! 

Teman, sungguh luar biasa kekuatan Bhagavà. Sesaat   saat melihat 

Bhagavà, luka menganga itu pulih kembali dan dagingnya utuh 

seperti semula!” Dengan gembira, mereka melayani Buddha dan 

Saÿgha dengan mempersembahkan makanan-makanan pilihan 

3065

Riwayat Para Siswi Awam

yang dipersiapkan secara khusus untuk dipersembahkan.

sesudah   selesai makan dan memberi   khotbah kepada penyumbang 

itu, Buddha kembali ke vihàra. lalu  , dalam pertemuan para 

bhikkhu, Buddha bertanya,

“Para bhikkhu, siapakah yang meminta daging dari Suppiyà, istri 

si perumah tangga?”

“Aku, Yang Mulia,” jawab bhikkhu yang sakit itu.

“Apakah ia memberimu daging (sup daging)?”

“Ya, Yang Mulia.”

“Apakah engkau memakannya?”

“Ya, Yang Mulia.”

“Apakah engkau bertanya daging apa itu?”

“Tidak, Yang Mulia.”

Buddha menegur bhikkhu ini   dengan memberi   alasan dan 

menetapkan peraturan berikut bagi para bhikkhu:

“Para bhikkhu, umat penyokong yang memiliki keyakinan di dalam 

Tiga Permata akan memberi   bahkan dagingnya sendiri untuk 

Saÿgha. Para bhikkhu, daging manusia tidak boleh dikonsumsi. 

Bhikkhu yang mengkonsumsi daging manusia telah melanggar 

Peraturan Thullaccayal. Para bhikkhu, tidaklah benar bagi seorang 

bhikkhu yang memakan daging tanpa menanyakannya terlebih 

dahulu. Ia yang memakan daging tanpa bertanya terlebih dahulu 

berarti melakukan pelanggaran Dukkaña.

(Lengkapnya, baca Vinaya Mahà Vagga).

Demikianlah latar belakang gelar terbaik yang diperoleh oleh 

3066


Suppiyà.

(c) Menjadi siswi awam terbaik

Pada lalu   hari, saat   Buddha, sedang berada di Vihàra 

Jetavana, menganugerahkan gelar terbaik kepada siswi awam, Beliau 

menyatakan:

“Para bhikkhu, di antara para siswi awam yang merawat bhikkhu 

sakit, Suppiyà yaitu   yang terbaik.”

Demikianlah kisah Suppiyà.

(8) Kàtiyànã

(a) Cita-cita masa lampau 

Bakal Kàtiyànã terlahir dalam sebuah keluarga kaya di Kota Haÿsàvatã 

pada masa kehidupan Buddha Padumuttara. Ia menyaksikan 

seorang siswi awam yang dinyatakan sebagai yang terbaik dalam hal 

keyakinan yang tidak tergoyahkan dalam Dhamma. Ia ingin menjadi 

seperti perempuan ini   dan sesudah   memberi   persembahan 

besar, ia mengungkapkan cita-citanya itu.

(b) Kehidupan terakhir sebagai Kàtiyànã si perumah tangga

Perempuan kaya itu mengembara selama seratus ribu siklus dunia 

di alam dewa dan alam manusia sebelum terlahir kembali dalam 

sebuah keluarga perumah tangga di Kota Kuraragàhara pada 

masa Buddha Gotama. Ia diberi nama Kàtiyànã oleh orangtuanya. 

Ia menjadi sahabat dekat Kàlã yang menjadi ibu dari Yang Mulia 

Soõa Kuñikaõõa, yang telah kita bahas dalam bab tentang kisah 

para bhikkhu besar.

Keyakinan Tidak Tergoyahkan Kàtiyànã

Pada suatu hari, Yang Mulia Soõa Kuñikaõõa, saat kembali dari 

vihàra Buddha, diminta oleh ibunya untuk mengulangi kata-kata 

3067

Riwayat Para Siswi Awam

Buddha demi kebaikannya, dan untuk menjawab permintaan itu 

ia membabarkan khotbah di aula warga   untuk memberi   

pelajaran Dhamma di pusat kota. Saat ia memulai khotbahnya dari 

atas mimbar, ibunya sebagai pendengar utama, Kàtiyànã si perumah 

tangga didampingi oleh temannya Kàëã dengan penuh hormat 

mendengarkan khotbah itu di antara para hadirin.

Pada saat itu, sekelompok perampok yang terdiri dari lima ratus 

orang telah menggali terowongan dari perbatasan kota hingga ke 

rumah Kàtiyànã, dan mereka telah sampai di rumah itu. Pemimpin 

mereka tidak menyertai mereka melainkan mengawasi kegiatan 

para warga   kota. Ia berdiri di belakang Kàtiyànã di tengah-

tengah kerumunan di mana Yang Mulia Soõa Kuñikaõõa sedang 

membabarkan Dhamma.

Kàtiyànã berkata kepada pelayannya, “Pergilah, ambil minyak dari 

rumah untuk menyalakan pelita-pelita. Kita akan menyalakan 

pelita di aula pertemuan ini” (menurut versi Sinhala, “Kita akan 

melimpahkan jasa teman kita Kàëã dengan cara ini.”) Pelayan itu 

pulang ke rumah tetapi saat ia melihat para perampok yang sedang 

bersembunyi di terowongan ia menjadi takut dan kembali ke aula 

pertemuan tanpa membawa minyak. Ia melaporkan hal itu kepada 

majikannya dengan berkata, “Nyonya, ada terowongan yang digali 

oleh para perampok menuju ke rumah kita!” si pemimpin perampok 

mendengarkan laporan gadis pelayan itu kepada Kàtiyànã dan 

berpikir, “Jika Kàtiyànã pulang sebab   mendengarkan laporan 

pelayannya, aku akan memenggal kepalanya sekarang juga. 

Sebaliknya jika ia tetap mendengarkan khotbah dengan penuh 

perhatian, aku akan mengembalikan semua harta yang dirampok 

oleh teman-temanku dari rumahnya.”

Kàtiyànã berkata kepada pelayannya (dalam bisikan), “Hus! Para 

perampok hanya mengambil apa yang mereka temukan di rumah. 

Aku sedang mendengarkan Dhamma yang sulit dapat didengar. 

Jangan mengganggu dan jangan mengacau!” saat   si pemimpin 

perampok mendengar kata-kata Kàtiyànã, ia berpikir, “Sungguh 

seorang perempuan yang taat! Jika kami merampok harta dari 

rumah seorang perempuan yang begitu mulia, kami akan ditelan 

3068


bumi ini hidup-hidup.” Ia bergegas ke rumah Kàtiyànã, menyuruh 

teman-temannya untuk meninggalkan semua benda rampasan di 

sana, dan kembali lagi ke aula pertemuan untuk mendengarkan 

khotbah, mereka duduk di tempat paling belakang.

Kàtiyànã mencapai Buah Pemenang Arus menjelang akhir dari 

khotbah yang disampaikan oleh Yang Mulia Soõa Kuñikaõõa. 

Menjelang dini hari, si pemimpin perampok mendatangi Kàtiyànã 

dan berlutut di kakinya, berkata, “Nyonya, mohon maafkan kami 

atas kesalahan kami.” Kàtiyànã berkata, “Kesalahan apa yang kalian 

lakukan terhadapku?” Si pemimpin perampok itu mengakui semua 

rencana mereka. “Aku memaafkan kalian semua,” ia berkata.

“Nyonya, pemberian maafmu itu belum membebaskan kami. 

Sesungguhnya, kami ingin memohon agar anakmu, Yang Mulia 

Soõa Kàtikàõõa menahbiskan kami semua menjadi sàmaõera.” 

Kàtiyànã membawa kelompok itu menghadap Yang Mulia Soõa 

Kuñikaõna, dan ia sendiri bertanggung jawab untuk memenuhi 

empat kebutuhan mereka. Mereka semua ditahbiskan menjadi 

sàmaõera oleh Yang Mulia Soõa Kuñikaõõa. Mereka semuanya 

berusaha dengan tekun untuk mencapai Pengetahuan Jalan dan 

akhirnya menjadi para Arahanta.

Demikianlah kisah Kàtiyànã, si perumah tangga, yang memiliki 

keyakinan yang tidak tergoyahkan di dalam Tiga Permata.

(c) Menjadi siswi awam terbaik

Pada lalu   hari, sewaktu Buddha sedang berada di Vihàra 

Jetavana, saat menganugerahkan gelar terbaik kepada siswi awam 

sesuai jasa mereka, Beliau menyatakan:

“Para bhikkhu, di antara para siswi awam yang memiliki keyakinan 

tidak tergoyahkan di dalam Dhamma, Kàtiyànã yaitu   yang 

terbaik.”

Demikianlah kisah Kàtiyànã.

3069

Riwayat Para Siswi Awam

(9) Nakulamàtu

Kisah Nakulàmatu telah dijelaskan pada kisah Nakulapitu pada 

bab sebelumnya. 

Nakulapitu dan Nakulamàtu memiliki cita-cita yang sama pada 

masa kehidupan Buddha Padumuttara. saat   bakal Nakulapitu 

melihat seorang umat awam dinyatakan sebagai yang terbaik di 

antara para siswa awam yang akrab dengan Buddha, ia memberi   

persembahan besar dan bercita-cita untuk mendapatkan posisi yang 

sama. Demikian pula, saat   bakal Nakulamàtu melihat seorang 

siswi awam dinyatakan sebagai yang terbaik di antara para siswi 

awam yang akrab dengan Buddha, ia juga memberi   persembahan 

besar dan bercita-cita untuk mendapatkan posisi ini  . sebab   

kedua kisah mereka mirip, Komentar tidak menjelaskan kisah 

Nakulamàtu secara terpisah.

Nakulamàtu, seperti halnya Nakulapitu, dinyatakan oleh Buddha, 

“Para bhikkhu, di antara para siswi awam yang akrab dengan-Ku, 

Nakulamàtu yaitu   yang terbaik.”

Demikianlah kisah Nakulamàtu.

(10) Kàëã dari Kuraraghara

(a) Cita-cita masa lampau 

Bakal Kàëã terlahir dalam sebuah keluarga kaya di Kota Haÿsàvatã 

pada masa kehidupan Buddha Padumuttara. Sewaktu mendengarkan 

khotbah Buddha, ia menyaksikan seorang siswi awam dinyatakan 

sebagai yang terbaik dalam hal pengabdian kepada Buddha 

bahkan sebelum bertemu dengan Buddha. Ia bercita-cita untuk 

mendapatkan gelar ini  , dan sesudah   memberi   persembahan 

besar, ia mengungkapkan cita-citanya.

(b) Kehidupan terakhir sebagai Kàëã

Perempuan kaya itu, sesudah   mengembara selama seratus ribu siklus 

3070


dunia di alam dewa dan alam manusia, terlahir kembali sebagai putri 

seorang perumah tangga di Ràjagaha pada masa Buddha Gotama. 

Oleh orangtuanya ia diberi nama Kàëã.

Saat menginjak usia menikah, ia menikah dengan putra seorang 

perumah tangga dari Kuraraghara, sebuah kota di Provinsi Avanti 

(India Selatan) dan menetap di rumah suaminya di kota itu. Dari 

perkawinan itu, ia mengandung.

Saat menjelang kelahiran, Kàëã mempertimbangkan bahwa tidaklah 

bijaksana jika ia melahirkan bayinya di tempat yang jauh dari rumah 

orangtuanya, sebab   itu ia kembali ke Ràjagaha. lalu  , pada 

suatu malam (Purnama di bulan Asaëha (Juli), 103 Mahà Era, pada hari 

Dhammacakka dibabarkan), saat tengah malam, ia mendengar Dewa 

Sàtàgira dan Hemavata berdiskusi tentang Tiga Permata di angkasa, 

ia menumbuhkan Pengabdian terhadap Buddha yang begitu kuat 

sehingga bahkan tanpa pernah bertemu dengan Buddha, ia berhasil 

mencapai Buah Pemenang Arus. (Lengkapnya baca bab terdahulu).

Kàëã yaitu   yang pertama di antara para siswi awam yang mencapai 

Sotàpatti-Magga dan menjadi seorang siswa Ariya sehingga ia 

yaitu   yang tertua di antara para siswa perempuan Buddha. Pada 

malam itu, ia melahirkan seorang anak (bakal Thera Soõa Kutikaõõa) 

dan sesudah   menetap di rumah orangtuanya selama yang ia inginkan, 

ia kembali ke Kuraraghara.

(c) Menjadi siswi awam terbaik

Pada lalu   hari, saat   Buddha duduk dengan penuh 

keagungan dalam pertemuan para bhikkhu di Vihàra Jetavana 

dan menganugerahkan gelar terbaik kepada siswi awam, Beliau 

menyatakan:

“Para bhikkhu, di antara para siswi awam yang penuh pengabdian 

terhadap-Ku bahkan sebelum bertemu dengan-Ku, Kàëã dari 

Kuraraghara yaitu   yang terbaik.

Demikianlah Kisah Kàëã.

3071

Riwayat Para Orang Kaya yang Kekayaannya Tidak Dapat Habis

53

Riwayat Para Orang Kaya yang 

Kekayaannya Tidak Dapat Habis

   

(1) Jotika

Kehidupan Lampau Sebagai Petani Tebu

Pada suatu perjalanan pulang, ia bertemu dengan seorang Pacceka 

Buddha yang baru bangun dari pencapaian Penghentian dan 

yang, sesudah   memeriksa dunia ini, melihat seorang adik dari dua 

bersaudara sebagai orang yang layak menerima berkah sebab   

ia berada dalam posisi untuk memberi   persembahan baik. Ia 

berdiri di depan si petani tebu ini  , sesudah   meninggalkan tempat 

tinggalnya di Gandhamàdana melalui angkasa. Membawa mangkuk 

dan jubahnya. Si perumah tangga gembira melihat Pacceka Buddha 

dan muncul pengabdian dalam dirinya. Ia meminta agar Pacceka 

Buddha itu duduk sejenak di atas sehelai sarung yang ia letakkan 

di tempat yang lebih tinggi. lalu   ia memohon agar Pacceka 

Buddha mengulurkan mangkuknya untuk menerima sari tebu yang 

baru ia peras. Sari tebu itu memenuhi mangkuk ini  .

Pacceka Buddha meminum sari tebu ini  . Si perumah tangga 

yang merasa puas sebab   telah mempersembahkan sari tebu ini   

kepada Pacceka Buddha, sekarang berniat untuk memberi   

persembahan kedua berupa tebu yang ia bawa untuk kakaknya. 

3072


“Aku akan membayarkan uang kepadanya, atau jika ia menolak 

pembayaran, aku akan berbagi jasa dengannya” ia berpikir. Ia 

berkata kepada Pacceka Buddha, “Yang Mulia, mohon ulurkan 

lagi mangkukmu untuk menerima sari tebu lainnya.” Ia mengisi 

mangkuk itu lagi dengan sari tebu yang kedua. (Si adik sedang 

membawa tebu untuk kakaknya tanpa sepengetahuan kakaknya. 

Dengan memakai   tebu itu sekehendak hatinya, yaitu, 

mempersembahkan kepada Pacceka Buddha, ia tidak berpikir 

bahwa kakaknya dapat memotong tebu yang lain untuk dirinya 

sendiri. Demikianlah sifatnya yang jujur dan sederhana.)

Pacceka Buddha itu, sesudah   meminum sari tebu yang pertama, 

menyisakan sari tebu kedua untuk teman-temannya, Pacceka 

Buddha yang lain. sebab   ia tetap duduk diam, si perumah tangga 

tahu bahwa Pacceka Buddha itu tidak akan minum lagi. Ia bersujud 

kepadanya dan berkata, “Yang Mulia, atas persembahan sari tebu ini, 

semoga aku menikmati kemewahan di alam dewa dan alam manusia 

dan akhirnya mencapai Dhamma seperti yang telah engkau capai.” 

Pacceka Buddha itu berkata, “Semoga cita-citamu tercapai.” sesudah   

mengucapkan kata-kata penghargaan atas persembahan itu dalam 

dua bait syair, ia terbang ke angkasa disaksikan oleh si perumah 

tangga menuju Gunung Gandhamàdana dan mempersembahkan 

semangkuk penuh sari tebu ini   kepada lima ratus Pacceka 

Buddha. Ia berkehendak agar perbuatannya itu terlihat oleh si 

penyumbang.

sesudah   menyaksikan kesaktian si Pacceka Buddha, si perumah 

tangga itu mendatangi kakaknya yang bertanya apa yang ia lakukan. 

Ia menceritakan bahwa ia sedang memeriksa pertanian. Sang 

kakak berkata, “Apa gunanya memeriksa (sebab   engkau bahkan 

tidak membawa contohnya)?” Si perumah tangga menjawab, “Ya 

kakak, aku membawa sebatang tebu untukmu tetapi aku bertemu 

dengan seorang Pacceka Buddha dalam perjalanan pulang dan 

mempersembahkan satu tebu, yaitu sarinya, kepada Pacceka 

Buddha. sesudah   itu aku mendesak untuk mempersembahkan tebu 

yang lainnya yang merupakan bagianmu. Aku berpikir bahwa aku 

akan membayarnya kepadamu, atau kalau tidak aku akan berbagi 

jasa denganmu, lalu   aku mempersembahkan sari tebu dari 

3073

Riwayat Para Orang Kaya yang Kekayaannya Tidak Dapat Habis

tebu milikmu kepada Pacceka Buddha itu. Sekarang kakak, apa yang 

akan engkau katakan, apakah engkau akan menerima bayaran atas 

tebu itu, atau apakah engkau ingin aku berbagi jasa denganmu?”

“ A p a  ya n g  d i l a k u k a n  Pa c c e k a  B u dd h a  i t u  d e n ga n 

persembahanmu?”

“Ia meminum persembahan pertama di tempat itu juga, dan 

membawa yang kedua untuk dipersembahkan kepada lima ratus 

Pacceka Buddha lainnya di Vihàra Gandhamàdana yang ia kunjungi 

melalui angkasa.”

Sang kakak tergetar mendengar perbuatan baik adiknya. Ia 

berkata, “Semoga perbuatan baikku—yang dilakukan melalui 

adikku menghasilkan pencapaian Dhamma seperti yang dicapai 

oleh Pacceka Buddha itu.” Dan demikianlah, si adik bercita-cita 

untuk mencapai kemewahan di alam dewa dan alam manusia, dan 

pencapaian Nibbàna, sedangkan kakak bercita-cita untuk mencapai 

Arahatta-Phala secara langsung. Demikianlah cita-cita masa lampau 

kedua bersaudara itu.

Kehidupan Sebagai Perumah Tangga Bersaudara

Kedua bersaudara itu hidup hingga umur kehidupan maksimum. 

sesudah   meninggal dunia dari kehidupan itu, mereka mengembara 

di alam dewa selama tahun-tahun yang tidak terhingga selama masa 

antara, yaitu, siklus dunia yang tidak terhingga antara masa Buddha 

Phussa dan masa Buddha Vipassã. Saat mereka masih hidup di alam 

dewa, Buddha Vipassi muncul di dunia ini. Mereka meninggal dunia 

dari alam dewa dan terlahir kembali sebagai dua bersaudara dalam 

keluarga perumah tangga di Bandhumatã. Oleh orangtua mereka 

kakak diberi nama Sena dan adik bernama Aparàjita.

sesudah   dewasa mereka mewarisi kekayaan keluarga. Sewaktu 

mereka menjalani kehidupan rumah tangga dengan baik, muncullah 

gema suara hiruk-pikuk di seluruh Kota Bandhumatã yang 

mengatakan bahwa, “O orang-orang baik, Buddha, Dhamma, dan 

Saÿgha telah muncul di dunia ini bagaikan matahari dan bulan! 

3074


Berdanalah. Lakukan perbuatan baik. Hari ini yaitu   hari kedelapan 

dalam bulan ini, hari uposatha. Hari ini yaitu   hari keempat belas, 

hari uposatha. Hari ini yaitu   hari kelima belas, hari uposatha. 

Jalankanlah peraturan uposatha. Dengarkanlah pembabaran 

Dhamma.” Nasihat-nasihat ini terdengar di seluruh kota pada 

hari-hari ini  , yang diucapkan oleh siswa-siswa Buddha yang 

baik. Dan para warga   akan menanggapi dengan taat. Pada pagi 

hari, mereka akan memberi   persembahan dan pada sore hari 

mereka akan pergi ke vihàra untuk mendengarkan khotbah. Sena, si 

perumah tangga, bergabung dengan para warga   pergi ke vihàra, 

duduk di belakang para hadirin dan mendengarkan khotbah.

Buddha Vipassã mengetahui kecenderungan baik dari Sena si 

perumah tangga dan membabarkan khotbah yang (seperti biasa) 

bertingkat dimulai dari jasa dalam berdana, jasa dalam moralitas, dan 

seterusnya. Pada akhir khotbah ini  , Sena begitu bersemangat 

untuk menjalani kehidupan religius sehingga ia memohon kepada 

Buddha untuk ditahbiskan dalam Saÿgha. Buddha berkata 

kepadanya, ‘Umat penyokong, apakah engkau memiliki sanak 

saudara yang harus engkau minta izinnya?”

“Ada, Yang Mulia,” Sena menjawab. “Kalau begitu, pergilah minta 

izin terlebih dahulu.”

lalu  , Sena mendatangi adiknya Aparàjita dan berkata, “Adik, 

engkau menjadi pewaris tunggal dari pertanian keluarga kita mulai 

saat ini.”

“Tetapi, apa yang akan engkau lakukan?” Aparàjita bertanya.

“Aku akan menjadi seorang bhikkhu.”

“Kakak, sejak kematian ibu, aku menganggapmu sebagai ibuku. 

Sejak kematian ayah, aku menganggapmu sebagai ayahku. Pertanian 

keluarga kita sangat luas. Engkau dapat melakukan kebajikan 

dengan tetap menjalani kehidupan rumah tangga. Jangan pergi 

(menjadi bhikkhu).”

3075

Riwayat Para Orang Kaya yang Kekayaannya Tidak Dapat Habis

“Aku telah mendengarkan khotbah Buddha. Tidaklah mungkin 

mempraktikkan Dhamma sebagai seorang perumah tangga, aku 

harus menjadi seorang bhikkhu.” Sena tidak menerima keberatan 

adiknya, dan meninggalkan Aparàjita. Ia menghadap Buddha 

Vipassã dan ditahbiskan menjadi anggota Saÿgha, pertama menjadi 

seorang sàmaõera, dan lalu   menjadi seorang bhikkhu. Dengan 

tekun menjalani praktik kebhikkhuan, tidak lama lalu   ia 

mencapai Kearahattaan.

Mempersembahkan Kuñã Kepada Buddha Vipassã

Aparàjita si perumah tangga merayakan kepergian kakaknya menjadi 

bhikkhu dengan memberi   persembahan besar kepada Buddha 

dan Saÿgha selama tujuh hari. lalu   ia bersujud kepada 

kakaknya dan berkata, “Yang Mulia, engkau telah melepaskan 

keduniawian demi terbebas dari kelahiran yang berulang-ulang. 

Sedangkan aku, aku belum mampu melepaskan belenggu 

kenikmatan indria. Berilah aku nasihat tentang kebajikan apakah 

yang harus kulakukan yang menghasilkan manfaat besar.”

“Bagus, bagus, engkau orang bijaksana,” kata Yang Mulia itu. 

“Bangunlah sebuah kuñã untuk Buddha.

“Baiklah, Yang Mulia,” jawab Aparàjita.

Ia membeli berbagai jenis kayu pilihan untuk tiang bangunan 

ini  ; tujuh jenis logam mulia digunakan untuk menghias setiap 

tiang dari bangunan ini  . Atapnya juga dihias dengan tujuh 

jenis logam mulia.

Serambi Kuñã Buddha Dipersembahkan Oleh Aparàjita Muda, 

Keponakan Aparàjita

Pada waktu pembangunan kuñã Buddha itu sedang berlangsung. 

Aparàjita muda, keponakan Apàrajita si perumah tangga, 

memohon kepada pamannya agar diperbolehkan turut serta dalam 

pembangunan itu untuk mendapatkan bagian jasa. Pamannya 

Aparàjita menolaknya dengan mengatakan bahwa ia tidak akan 

3076


berbagi jasa dengan siapa pun.

Aparàjita muda, sebab   terus-menerus ditolak oleh pamannya, 

membangun sebuah serambi terpisah di depan bangunan utama. 

Aparàjita muda itu kelak terlahir sebagai Meõóaka pada masa 

kehidupan Buddha Gotama.

Kemegahan Kuñã Buddha dan Halaman Indah di Sekelilingnya

Keistimewaan vihàra bata yang akan digunakan sebagai kuñã Buddha 

termasuk tiga jendela besar yang dihias dengan tujuh batu permata. 

Persis di bawahnya, Aparàjita si perumah tangga mengali tiga kolam 

teratai berbentuk persegi berlantai beton yang diisi dengan air 

harum, dan ditanami dengan lima jenis bunga teratai, gagasan itu 

bertujuan agar keharuman bunga teratai itu terus-menerus tertiup 

angin ke arah Buddha.

Kubahnya dilapisi dengan lembaran-lembaran emas dan puncaknya 

dihias dengan koral. Atapnya yaitu   genteng kaca zamrud. 

Kubahnya terlihat seperti merak yang sedang menari dengan bulu-

bulunya terkembang. Halaman vihàra itu dipenuhi dengan tujuh 

jenis batu berharga setinggi lutut, sebagian merupakan hiasan 

buatan, sebagian lagi dalam bentuk alami.

Mempersembahkan Vihàra Kepada Buddha

saat   vihàra bata itu telah selesai dengan segala kemegahannya, 

Aparàjita si perumah tangga berkata kepada kakaknya, Yang Mulia 

Sena, “Yang Mulia, vihàra bata itu telah selesai. Aku ingin melihat 

Buddha menempati-Nya sebagai kuñã Buddha. Itu akan, memberi   

banyak jasa kepadaku.” Yang Mulia Sena memberitahukan kepada 

Buddha tentang keinginan adiknya.

Buddha Vipassã bangkit dari duduknya, berjalan ke vihàra yang 

baru dibangun itu, dan melihat seluruh halamannya penuh dengan 

batu-batu berharga hingga setinggi lutut, Beliau berdiri di gerbang. 

Aparàjika si perumah tangga mengundang Buddha untuk masuk 

ke vihàra tetapi Buddha tidak bergerak, tetap berdiri di gerbang. 

3077

Riwayat Para Orang Kaya yang Kekayaannya Tidak Dapat Habis

Tiga kali si perumah tangga itu memohon Buddha untuk masuk 

tetapi tidak berhasil. Pada ketiga kalinya, Buddha menatap Yang 

Mulia Sena.

Yang Mulia Sena mengetahui keinginan Buddha dari tatapan Beliau. 

sebab   itu ia berkata kepada adiknya, “Pergi dan katakanlah kepada 

Buddha, ‘Yang Mulia, semua batu-batu berharga ini yaitu   tanggung 

jawabku. Sudilah Bhagavà menetap di sini tanpa memedulikan 

batu-batu ini.’” Aparàjita si perumah tangga mendatangi Buddha, 

bersujud dalam lima titik menyentuh tanah, dan berkata, “Yang 

Mulia, bagaikan seseorang yang meninggalkan keteduhan pohon 

tanpa merasa khawatir, atau penumpang yang menyeberangi sungai 

tanpa memikirkan perahu yang membawa mereka, demikian 

pula, sudilah Bhagavà masuk dan menetap di vihàra ini tanpa 

memedulikan batu-batu berharga ini.”

(Buddha menolak untuk masuk ke vihàra sebab   batu-batu berharga 

itu. Vihàra Buddha terbuka bagi semua pengunjung, yang datang 

dari pagi hingga petang. Buddha tidak dapat menjaga batu-batu 

berharga itu. Buddha mempertimbangkan, “Jika para pengunjung 

mengambilnya, Aparàjita si perumah tangga akan menyalahkan 

Aku atas kehilangan itu dan hal itu akan menghasilkan akibat buruk 

kepadanya yang dapat mengarah ke empat alam sengsara (apàya).” 

sebab   pertimbangan inilah Buddha menolak untuk masuk.)

sesudah   Aparàjita menjelaskan bahwa batu-batu berharga itu tidak 

perlu dikhawatirkan, sebab   semuanya yaitu   tanggung jawab si 

penyumbang (Aparàjita), Buddha setuju dan berjalan masuk ke 

vihàra. Si penyumbang menempatkan beberapa penjaga di sekitar 

vihàra dengan pesan, “O penjaga, jika para pengunjung mengambil 

batu-batu berharga ini dan menyimpannya dalam kantung atau 

keranjang, atau tas, kalian harus mencegah mereka melakukan hal 

itu, tetapi jika mereka hanya menyimpannya dalam genggaman 

mereka, biarkan mereka melakukannya.”

Aparàjita memberitahukan kepada seluruh pnduduk kota bahwa ia 

telah menebarkan permata-permata berharga hingga setinggi lutut di 

halaman kuñã Buddha, dan mengundang semua orang untuk datang 

3078


mendengarkan khotbah Buddha dan mengambil harta itu. Si miskin 

akan mengambil dua genggam sedangkan si kaya akan mengambil 

hanya satu genggam. Gagasan si perumah tangga itu yaitu   untuk 

memberi   perangsang kepada mereka yang tidak berkeinginan 

untuk datang ke vihàra Buddha untuk mendengarkan khotbah yang 

dapat membantu mereka dalam mencapai Pembebasan. Ia juga 

berniat baik untuk memberi   hadiah kepada para umat yang 

ingin datang atas kemauan sendiri.

Para warga   mematuhi peraturan yang ditetapkan oleh si 

penyumbang. Yang miskin mengambil dua genggam sedangkan 

yang kaya mengambil hanya satu genggam. saat   batu-batu 

berharga itu habis, maka untuk kedua kalinya batu-batu berharga 

itu ditebarkan. Dan saat   babak kedua itu juga habis, dilanjutkan 

dengan babak ketiga.

lalu   terjadi peristiwa penting. Aparàjita memiliki gagasan, 

ia ingin para pengunjung gembira melihat cahaya keemasan yang 

terpancar dari tubuh Buddha berdampingan dengan kilauan yang 

terpancar dari batu delima yang berkualitas terbaik, sebesar buah 

mentimun yang diletakkan di kaki Buddha. Para pengunjung 

menikmati pemandangan yang menakjubkan itu yang berasal dari 

dua jenis cahaya sesuai keinginan si perumah tangga.

Batu Delima Itu Dicuri Oleh Seorang Brahmana di Tengah-

tengah Para Pengunjung

Suatu hari seorang Brahmana yang tidak berkeyakinan terhadap 

Buddha datang dengan tujuan untuk mencuri batu delima ini  . 

Sejak saat ia mendekati Buddha melewati para pengunjung, Aparàjita 

sudah mencurigainya, “O, alangkah baiknya, jika brahmana ini tidak 

mencuri batu delimaku!” ia berpikir.

Si brahmana berpura-pura bersujud kepada Buddha, menjulurkan 

tangannya ke arah kaki Buddha dan tiba-tiba menyambar batu 

delima itu, menyembunyikannya dalam lipatan jubahnya, dan pergi 

meninggalkan tempat itu. Aparàjika si penyumbang vihàra, tidak 

dapat mentolerir perbuatan brahmana itu. saat   khotbah Buddha 

3079

Riwayat Para Orang Kaya yang Kekayaannya Tidak Dapat Habis

berakhir, ia mendekati Buddha dan berkata, “Yang Mulia, aku telah 

menebarkan batu-batu berharga di halaman vihàra hingga setinggi 

lutut, dan tidak dendam kepada orang-orang yang mengambilnya. 

Bahkan sesungguhnya, aku gembira dengan pemberian itu. Tetapi 

hari ini, aku telah mencurigai brahmana yang mendatangi Bhagavà 

dan berharap agar ia tidak mencurinya. Kecurigaanku terbukti benar. 

Aku tidak dapat menjaga pikiranku tetap tenang dan jernih.”

Cita-Cita Aparàjita Seperti Dianjurkan Oleh Buddha

Buddha Vipassã berkata kepada Aparajita, “Umat penyokong, 

mungkinkah seseorang mencegah hartanya dari pencurian?” 

Menangkap maksud dari petunjuk Buddha, si perumah tangga 

bersujud kepada Buddha dan mengucapkan keinginannya,

“Yang Mulia, mulai hari ini, semoga tidak seorang pun, bahkan 

seratus raja atau perampok, yang dapat merampokku, atau dengan 

cara apa pun untuk mengambil hartaku, semua hartaku, bahkan 

hanya sekecil sehelai benang. Semoga tidak ada api yang membakar 

hartaku. Semoga tidak ada banjir yang menghanyutkan hartaku.”

Dan Buddha berkata, “Semoga semua keinginanmu tercapai.” 

Aparàjita mengadakan perayaan besar dalam rangka persembahan 

vihàra itu. Selama sembilan bulan ia mempersembahkan makanan 

kepada 6,8 juta bhikkhu di vihàra. Pada hari Ritual   menuang air, 

ia mempersembahkan tiga perangkat jubah kepada masing-masing 

bhikkhu. Pada kesempatan itu bahkan bhikkhu yang paling junior 

menerima bahan jubah seharga seratus ribu.

Kehidupan Terakhirnya Sebagai Jotika Si Perumah Tangga

saat   Aparàjita meninggal dunia sesudah   melakukan banyak 

kebajikan seumur hidupnya, ia terlahir kembali sebagai dewa. Dan 

selama sembilan puluh satu siklus dunia ia tidak pernah jatuh ke 

alam sengsara. Pada masa Buddha Gotama ia terlahir kembali dalam 

sebuah keluarga kaya. sesudah   sembilan setengah bulan ia dikandung 

dalam rahim ibunya, pada hari kelahirannya, semua senjata di 

Kota Ràjagaha menyala bagai terbakar, dan semua perhiasan yang 

3080


dikenakan oleh para warga   Ràjagaha berkilauan seperti cahaya 

matahari, sehingga seluruh kota itu menjadi berkilauan.

Perumah tangga yang menjadi ayah bayi itu menghadap raja.

Raja Bimbisàra bertanya kepadanya,

“Perumah tangga, hari ini semua senjata menyala dan seluruh kota 

berkilauan. Tahukah engkau apa pemicu  nya?”

“Ya, Tuanku.”

“Apakah itu?”

“Seorang pelayan baru Tuanku telah lahir di rumahku. Berkat jasa 

masa lampau bayiku itulah fenomena aneh ini terjadi.”

“Bagaimana ini, perumah tangga, apakah anakmu akan menjadi 

seorang perampok?”

“Tidak, Tuanku, ia tidak akan menjadi seorang perampok. Ia 

memiliki jasa masa lampau yang besar.”

“Kalau begitu, besarkanlah dia dengan penuh perhatian. Ambillah 

uang seribu keping ini sebagai biaya perawatannya.”

Mulai hari ini, raja memberi   seribu keping uang setiap hari 

untuk membiayai anak itu. Pada hari pemberian nama, ia diberi 

nama ‘Jotika’, ‘Anak yang gemerlap’, sesuai peristiwa kemilau yang 

menandai kelahirannya.

Sakka Menciptakan Rumah Jotika

saat   Jotika dewasa, orangtuanya membersihkan lahan untuk 

membangun sebuah rumah untuknya, pada saat itu tempat duduk 

kristal milik Sakka menghangat menandakan terjadinya suatu 

peristiwa yang memerlukan perhatiannya. Ia memeriksa dunia 

ini dan melihat bahwa orang-orang sedang menandai lahan untuk 

3081

Riwayat Para Orang Kaya yang Kekayaannya Tidak Dapat Habis

membangun rumah untuk Jotika. Sakka berpikir, ‘Jotika bukanlah 

orang biasa yang harus tinggal di dalam rumah yang dibangun 

oleh tangan manusia. Aku harus membuatkan rumah yang layak 

untuknya.’ Dan ia turun ke alam manusia dengan menyamar sebagai 

seorang tukang kayu. Ia bertanya kepada orang-orang di sana, “O 

teman, untuk apakah semua ini?”

“Kami sedang memancang batas-batas untuk membangun rumah 

kediaman Jotika.”

“Kalau begitu, beri jalan, O teman. Jotika bukanlah orang yang 

harus tinggal di dalam rumah yang dibangun oleh tangan manusia.” 

sesudah   berkata demikian, ia menatap ke lahan yang luasnya enam 

belas karisa (satu karisa―1 ¾ are) sambil berkehendak.

Lahan itu menjadi datar dan halus bagaikan alas meditasi dengan 

unsur tanah. (1)

lalu  , Sakka, menatap lahan ini  , dan berkehendak, 

“Muncullah, menembus tanah, istana bertingkat tujuh yang 

berhiaskan tujuh jenis batu berharga,” dan sesaat   itu juga sebuah 

istana bertingkat tujuh berhiaskan tujuh jenis batu berharga, muncul 

menembus tanah. (2)

Selanjutnya, Sakka, menatap istana ini  , berkehendak, 

“Muncullah tembok yang berhiaskan tujuh jenis batu berharga di 

sekeliling istana,” dan sesaat   tujuh tembok muncul mengelilingi 

istana. (3)

Selanjutnya, Sakka, menatap istana ini  , berkehendak, 

“Muncullah pohon pengharapan di dalam setiap tembok,” dan 

sesaat   muncullah pohon pengharapan di dalam masing-masing 

dari tujuh tembok ini  . (4)

Selanjutnya, Sakka, menatap istana ini  , berkehendak, 

“Muncullah empat kendi yang penuh dengan batu-batu berharga 

di empat sudut istana,” dan kehendaknya sesaat   terjadi. 

(Sehubungan dengan hal ini, empat kendi harta milik Jotika berbeda 

3082


dengan kendi harta yang muncul untuk para Bodhisatta, kendi 

milik para Bodhisatta, dalam berbagai ukuran mulut, dari yang 

berdiameter satu yojanà, tiga gàvuta (3/4 yojanà), 2 gàvuta (1/2 

yojanà), dan 1 gàvuta (1/4 yojanà); dan dasarnya menembus hingga 

ke dasar bumi ini. Sedangkan kendi milik Jotika, ukuran mulutnya 

tidak disebutkan dalam Komentar-Komentar lama, namun dapat 

menampung perhiasan berukuran sebesar buah kelapa. (5)

Di empat sudut istana besar ini  , muncul empat batang pohon 

tebu yang terbuat dari emas murni, masing-masing berukuran 

sebesar pohon kelapa. Daun-daun pohon itu terbuat dari zamrud. 

Pohon-pohon ini yaitu   bukti dari jasa masa lampau Jotika. (6)

Tujuh pintu gerbang di tujuh tembok ini   dijaga oleh tujuh 

Jenderal Yakkha dengan bala tentaranya, yaitu, (i) di gerbang 

pertama, Yama Koëã dengan seribu prajurit yakkha, (ii) di gerbang 

kedua, Uppala dengan dua ribu prajurit yakkha, (iii) di gerbang 

ketiga, Vajira dengan tiga ribu prajurit yakkha, (iv) di gerbang 

keempat, Vajirabàhu dengan empat ribu pasukan yakkha, (v) di 

gerbang kelima, Kasakanda dengan lima ribu prajurit yakkha, (vi) di 

gerbang keenam, Kañattha dengan enam ribu prajurit yakkha, (vii) di 

gerbang ketujuh, Disàmukha dengan tujuh ribu prajurit yakkha.

Raja Bimbisàra Mengangkat Jotika Sebagai Bendaharawan 

Kerajaan

saat   Raja Bimbisàra mendengar berita tentang fenomena Jotika, 

yaitu, munculnya istana permata tujuh tingkat menembus tanah, 

tujuh tembok dan tujuh gerbangnya, dan munculnya empat kendi 

emas besar, dan sebagainya, Raja Bimbisàra mengangkatnya menjadi 

Bendaharawan Kerajaan, dengan mengirimkan segala perlengkapan 

kantor seperti payung putih, dan sebagainya. Sejak saat itu, Jotika 

dikenal luas sebagai Bendaharawan Kerajaan.

Para Dewa Mengirimkan Seorang warga   Benua Utara 

Bernama Satulakàyã Sebagai Pengantin Perempuan Bagi Jotika

Perempuan yang telah menjadi pendamping Jotika dalam melakukan 

3083

Riwayat Para Orang Kaya yang Kekayaannya Tidak Dapat Habis

kebajikan pada masa lampau kebetulan terlahir di Benua Utara. 

Para dewa membawa perempuan yang bernama Satulakàyã dari 

tempat asalnya di Benua Utara dan menempatkannya di istana 

tujuh tingkat milik Jotika. Ia membawa sedikit beras dan tiga kristal 

yang mengandung panas. Sedikit beras dan tiga batu kristal ini   

menyediakan seluruh makanan mereka seumur hidup. Kendi 

kecil yang menjadi tempat penyimpanan beras pertama itu dapat 

menampung beras sebanyak apa pun. Bahkan jika beras sebanyak 

seratus kereta penuh dituangkan ke dalamnya, ukurannya akan 

tetap sama seperti ukuran semula.

saat   beras ini   akan dimasak, beras itu dimasukkan ke dalam 

panci masak dan diletakkan di atas tiga batu kristal ini   yang 

berfungsi sebagai tungku yang menyala dan saat   beras ini   

telah matang, nyala batu kristal ini   padam. saat   memasak 

kari dan makanan lainnya, tiga batu kristal itu bekerja dengan cara 

yang sama. sebab   itu pasangan Jotika tidak pernah memakai   

api untuk memasak. Sebagai penerangan juga, mereka tidak pernah 

memakai   api sebab   mereka memiliki zamrud dan batu delima 

yang bersinar dan memberi   penerangan yang cukup.

Kemewahan Jotika si bendaharawan terkenal di seluruh Benua Selatan 

dan orang berbondong-bondong datang untuk mengaguminya. 

Beberapa dari mereka bahkan datang dari jauh dengan mengendarai 

kereta atau kendaraan lainnya. Jotika melayani mereka dengan 

menyajikan nasi istimewa yang hanya tumbuh di Benua Utara 

dan dimasak dengan tiga batu kristal. Ia juga mengizinkan para 

pengunjung untuk mengambil apa pun yang mereka inginkan di 

Pohon Pengharapan. Lebih jauh lagi, ia memperbolehkan mereka 

mengambil emas yang berasal dari kendi emas. Semua pengunjung 

dari seluruh Benua Selatan menikmati kedermawanan Jotika. 

Yang menakjubkan yaitu   bahwa kendi emas itu tidak pernah 

berkurang isinya tetapi selalu penuh hingga ke mulutnya. Fenomena 

menakjubkan ini yaitu   akibat dari kedermawanan Jotika dalam 

kehidupan lampaunya sebagai Aparàjita (pada masa Buddha Vipassã) 

sebab   ia memperbolehkan para pengunjung vihàra mengambil 

tujuh logam mulia dan tujuh batu berharga yang ditebarkan hingga 

setinggi lutut sebanyak tiga kali di halaman vihàra.

3084


Raja Bimbisàra mengunjungi istana Jotika

Raja Bimbisàra ingin pergi melihat istana Jotika tetapi pada masa-

masa awal saat   banyak pengunjung yang datang dan menikmati 

kedermawanan Jotika, raja tidak pergi ke sana. Hanya sesudah   

sebagian besar orang telah melakukan kunjungan dan hanya ada 

sedikit pengunjung yang datang ke sana, raja memberi tahu ayah 

Jotika bahwa ia akan berkunjung ke istana Jotika. Si perumah tangga 

itu memberitahukan kepada putranya tentang rencana raja, dan 

Jotika berkata bahwa raja dipersilakan untuk datang. Raja Bimbisàra 

datang bersama banyak pengikut. saat   ia bertemu dengan seorang 

pelayan tukang sapu dan pembuang sampah di gerbang pertama, 

gadis pelayan itu mengulurkan tangannya sebagai sambutan, tetapi 

raja menganggapnya sebagai istri Jotika si bendaharawan dan sebab   

malu, ia tidak menggenggam tangan itu. Di gerbang berikutnya juga, 

walaupun gadis-gadis pelayan itu mengulurkan tangan, raja tidak 

menggenggam tangan itu sebab   alasan yang sama. (Demikianlah, 

bahwa di istana Jotika, bahkan para pelayan berpenampilan seperti 

istri Jotika si bendaharawan.)

Jotika menyambut raja dan sesudah   memberi   hormat, raja 

dipersilakan masuk. Raja tidak berani menginjak lantai zamrud 

yang baginya terlihat seperti jurang yang dalam. Ia meragukan 

kesetiaan Jotika, sebab   ia berpikir bahwa si bendaharawan sedang 

merencanakan pengkhianatan dengan menggali lubang yang 

dalam. Jotika membuktikan ketidakbersalahannya dengan berkata, 

“Tuanku, tidak ada jurang. Aku akan berjalan duluan dan Tuanku 

boleh mengikuti dari belakang.” Baru lalu   raja menyadari 

bahwa semuanya baik-baik saja. Ia mengamati istana itu dari lantai 

zamrud hingga ke atas istana megah itu.

(Pikiran jahat Pangeran Ajàtasattu: pada saat itu Pangeran Ajàtasattu 

berada di sisi ayahnya, memegang tangan ayahnya. Ajàtasattu muda 

berpikir, “Betapa bodohnya ayahku! sebab   ia membiarkan seorang 

rakyat menikmati kemewahan yang lebih besar daripada dirinya. 

Orang yang berada dari kasta yang lebih rendah tinggal di istana 

permata sedangkan raja sendiri tinggal di istana kayu. Jika aku 

menjadi raja, aku tidak akan mengizinkan orang kaya ini tinggal 

3085

Riwayat Para Orang Kaya yang Kekayaannya Tidak Dapat Habis

di istana ini bahkan selama satu hari.”)

Sewaktu raja sedang melihat-lihat tingkat atas, waktu makan 

tiba. Ia berkata kepada Jotika, “Bendaharawan, kami akan makan 

pagi di sini.” Jotika menjawab, “Aku mengerti Tuanku, aku telah 

mengaturnya.”

lalu   Raja Bimbisàra mandi dengan memakai   enam belas 

kendi air harum. Ia duduk di tempat yang biasanya digunakan oleh 

Jotika. Ia diberikan air untuk mencuci tangan. lalu   semangkuk 

nasi susu kental diletakkan di depannya dalam mangkuk emas yang 

bernilai seratus ribu keping uang. Raja berpikir bahwa itu yaitu   

makanannya dan bersiap-siap untuk memakannya. Jotika berkata 

kepadanya, “Tuanku, itu bukan untuk dimakan, itu yaitu   tempat 

untuk menghangatkan nasi yang akan datang sebentar lagi. Para 

pelayan Jotika membawa nasi dari beras istimewa yang berasal dari 

Benua Utara dalam mangkuk emas lainnya yang bernilai seratus 

ribu keping uang. Mereka meletakkan mangkuk nasi ini   di 

atas mangkuk nasi susu sehingga memberi   kehangatan terus-

menerus pada nasi ini  , dan membuatnya terasa lebih lezat.

Sang raja memakan nasi lezat ini   yang dibawa dari Benua 

Utara begitu banyak sehingga ia tidak tahu kapan harus berhenti 

makan. Jotika berkata kepadanya sesudah   memberi hormat, “Tuanku, 

cukuplah. Jika engkau makan lagi, engkau tidak akan dapat 

mencernanya.” Raja berkata, “Apakah engkau khawatir nasimu 

habis?” Jotika menjawab, “Tidak sama sekali, Tuanku. sebab   aku 

juga memberi   nasi yang sama kepada seluruh pengikutmu. Aku 

ha