à påraõa sacca;
sehubungan dengan jenis ketiga, musà viramaõa sacca, mereka selalu
memakai nya dalam semua kesempatan. Mengikuti teladan itu,
mereka yang berbudi harus mengucapkan musà viramana sacca dan
berusaha melatihnya.
Dua Jenis Kebenaran
Kebenaran yang dijelaskan di atas dapat dibagi dalam dua
kelompok, yaitu:
(1) vacãbhedasiddhi sacca (kebenaran yang menyelesaikan sesuatu
saat seseorang mengucapkannya) dan
(2) pacchà nurakkhaõa sacca (kebenaran yang memerlukan susulan
sesudah seseorang berbicara).
Seperti telah disebutkan sebelumnya, saddahà pana sacca dari Bhisa
Jà taka, icchà påraõa vacãsacca dari Suvaõõa Sà ma, Suppà raka, Sivi,
Maccha, Vaññaka, Kaõha Dãpà yana, Naëapà na, Sambulà , Temiya,
Janaka, Kaññhavà hana dan Mahà mora Jà taka, dan Musà viramaõa
Sacca dari Vidhura, Suvaõõa Sà ma dan Bhåridatta Jà taka
membuahkan hasil segera sesudah diucapkan. Tidak ada lagi yang
harus dilakukan untuk mencapai hasil yang diinginkan. Oleh sebab
itu, kebenaran demikian disebut vacãbhedasiddhi sacca.
Kejujuran yang ditunjukkan oleh Raja Sutasoma kepada Porisà da
dalam kisah Mahà Sutasoma Jà taka seperti yang telah dikisahkan di
atas berbeda. Itu yaitu saddahapana sacca yang diucapkan untuk
meyakinkan Porisà da bahwa ia pasti kembali kepadanya. Janji ini
akan dipenuhi saat sang raja kembali kepada si kanibal dan sesudah
itu baru kejujurannya berlaku. Untuk ini, ia harus melakukan
perjanjian untuk menjamin kembalinya Bodhisatta. Oleh sebab itu
kejujuran Raja Sutasoma ini disebut pacchà nurakkhaõa sacca.
Dengan cara yang sama, kejujuran dipraktikkan oleh Raja Jayadisa
3423
1
dalam Jayadisa Jà taka, Tiÿsa Nipà ta, dan yang dipraktikkan
oleh Pangeran RÃ ma dalam Dasaratha, keduanya yaitu
pacchà nurakkhaõa sacca.
Sehubungan dengan kejujuran Raja Jayadisa, berikut ini yaitu
kisahnya secara singkat. Sewaktu Raja Jayadisa dari Kota Uttara
Pa¤cà la, Kerajaan Kapila sedang pergi ke taman berburu, dalam
perjalanan itu ia bertemu dengan Brahmana Nanda yang baru
pulang dari Takkasãla dan ingin membabarkan khotbah. Raja berjanji
kepadanya untuk mendengarkan khotbahnya dalam perjalanan
kembalinya dan lalu ia masuk ke hutan.
Sesampainya di dalam hutan, raja dan para menterinya membagi
kelompok-kelompok berburu di antara mereka, masing-masing
mendapatkan wilayah berburu untuk menangkap rusa. Tetapi
seekor rusa lolos dari wilayah raja dan raja harus memburunya
dengan sekuat tenaganya. sesudah beberapa lama mengejar, ia
berhasil menangkap rusa itu; ia memotongnya menjadi dua dan
memikulnya di bahunya memakai pikulan. sesudah beristirahat
sejenak di bawah pohon banyan, ia bangkit untuk melanjutkan
perjalanannya. Pada saat itu seorang raksasa manusia yang sedang
berada di pohon banyan itu mencegahnya pergi, ia berkata,
“Sekarang engkau yaitu mangsaku. Engkau tidak boleh pergi.”
(Raksasa manusia bukanlah raksasa sesungguhnya. Sebenarnya,
ia yaitu kakak sang raja. Sewaktu masih bayi ia ditangkap oleh
raksasa perempuan, tetapi raksasa itu tidak sampai hati untuk
memakan bayi itu dan membesarkannya seperti anaknya sendiri.
sebab itu ia memiliki tingkah laku batin dan jasmani bagaikan
raksasa. saat ibu raksasanya meninggal, ia tinggal sendirian dan
hidup seperti raksasa.)
lalu Raja Jayadisa berkata, “Aku berjanji kepada seorang
brahmana yang baru pulang dari Takkasãla. Aku berjanji
untuk mendengarkan khotbahnya, izinkan aku pergi dan
mendengarkannya sesudah itu aku akan kembali dan menepati
janjiku.” Raksasa manusia itu membebaskannya sesudah menerima
jaminan dari sang raja. (Raksasa manusia dan raja yaitu
bersaudara. sebab hubungan darah mereka, yang tidak mereka
3424
sadari, si raksasa memiliki rasa welas asih terhadap sang raja dan
mengizinkannya pergi.) Raja pulang dan mendengarkan khotbah
si brahmana dan akan kembali ke si raksasa manusia. Pada saat itu,
putranya, Pangeran Alinasattu (Bodhisatta) memohon kepada raja
agar ia diperbolehkan pergi mewakili ayahnya. sebab anaknya
memaksa, ayahnya mengizinkannya pergi. Kata-kata raja, “Aku
akan kembali,” harus ditepati sesudah diucapkan; sebab itu disebut
pacchà nurakkaõa sacca.
Berikut kisah Pangeran RÃ ma secara singkat. sesudah melahirkan
putra tertua, Rà ma, putra kedua, Lakkhaõa, dan putri, Sità Devã,
Permaisuri Raja Dasaratha meninggal dunia. Raja mengangkat
seorang ratu baru yang melahirkan Pangeran Bharata. Ratu baru
ini berulang kali mendesak raja agar menyerahkan mahkota kepada
putranya, Bharata. Raja memanggil dua orang putranya yang lebih
tua dan berkata, “Aku mencemaskan kalian, sebab kalian berada
dalam bahaya sebab ratu baru dan putranya, Bharata. Para ahli
nujum memberitahuku bahwa aku hanya akan hidup selama dua
belas tahun lagi. Jadi, kalian harus menetap di dalam hutan selama
dua belas tahun dan sesudah itu, kalian harus kembali untuk merebut
tahta kerajaan.”
lalu Pangeran RÃ ma berjanji untuk mematuhi ayahnya dan
kedua bersaudara itu meninggalkan kota. Mereka diikuti oleh
adiknya yang menolak berpisah dengan mereka. Walaupun para
ahli nujum telah meramalkan, kenyataannya raja meninggal dunia
sesudah sembilan tahun sebab mengkhawatirkan anak-anaknya.
lalu para menteri yang tidak mendukung Bharata menjadi raja
pergi mencari putra-putri istana ini . Mereka memberitahukan
tentang kematian raja dan memohon agar mereka kembali ke kota
dan memerintah rakyat. Tetapi Pangeran RÃ ma berkata, “Aku telah
berjanji kepada ayahku untuk kembali hanya sesudah dua belas
tahun sesuai perintah ayahku. Jika aku kembali sekarang, aku
tidak menepati janjiku kepada ayahku. Aku tidak akan melanggar
janjiku. Oleh sebab itu, ajaklah adikku, Pangeran Lakkhaõa dan
Sità Devã, dan jadikan mereka pangeran dan putri mahkota dan
kalian para menteri yang menjalani pemerintahan.” Di sini Pangeran
RÃ ma harus menunggu hingga akhir batas waktu agar apa yang
3425
1
telah ia janjikan kepada ayahnya dapat ditepati. Ini juga yaitu
pacchà nurakkhaõa sacca.
Kebenaran Sehubungan Dengan Waktu
Untuk membedakan antara vacãbhedasiddhi sacca dan
pacchà nurakkhaõa sacca, ada empat jenis kebenaran menurut
pengelompokan singkat:
(1) Kebenaran sehubungan dengan masa lalu saja.
(2) Kebenaran sehubungan dengan masa lalu dan masa
sekarang.
(3) Kebenaran sehubungan dengan masa depan saja.
(4) Kebenaran yang tidak berhubungan dengan waktu tertentu.
Dari keempat ini, yang berhubungan dengan masa depan
yaitu pacchà nurakkhaõa sacca sedangkan tiga lainnya yaitu
vacãbhedasiddha sacca.
Dari kebenaran dalam Suvaõõasà ma Jà taka, kebenaran-kebenaran
yang diucapkan oleh orangtua Bodhisatta berhubungan dengan
masa lalu, sebab mereka mengatakan, “SÃ ma dulu selalu
mempraktikkan Dhamma, ia biasanya melatih praktik mulia; ia
biasanya mengucapkan kebenaran; ia telah merawat orangtuanya, ia
telah menunjukkan sikap hormat kepada orang yang lebih tua.”
Kebenaran yang diucapkan oleh orangtuanya, yaitu, “Kami
mencintai SÃ ma lebih dari hidup kami sendiri,” dan kebenaran yang
diucapkan oleh Dewi Bahunsundarã, yaitu, “Tidak ada yang lebih
kucintai daripada SÃ ma” yaitu kebenaran yang tidak berhubungan
dengan waktu tertentu.
Kumpulan icchà påraõa sacca dalam Suppà raka dan Sivi Jà taka
berhubungan dengan masa lalu. Demikian pula yang terdapat
dalam Dãpà yana dan Naëapà na Jà taka juga berhubungan dengan
masa lalu.
Dalam Vaññaka Jà taka, ucapan, “Aku memiliki sayap, tetapi tidak bisa
3426
terbang; aku memiliki kaki, tetapi tidak bisa berjalan,” berhubungan
dengan masa lalu dan masa sekarang.
Kebenaran yang menyatakan, “Tidak ada yang kucintai lebih dari
engkau,” dalam Sambulà Jà taka dan yang diucapkan oleh Ratu
Candà Devã dalam Temiya Jà taka, tidak berhubungan dengan waktu
tertentu.
Demikianlah, hubungan antara kebenaran dan waktunya masing-
masing.
Kesempurnaan Kejujuran Tertinggi
Sehubungan dengan Kesempurnaan Kejujuran, Komentar Aññhasà linã
dan Komentar Buddhavaÿsa menjelaskan bahwa Kesempurnaan
Kejujuran Raja Mahà sutasoma yaitu Kesempurnaan tertinggi
sebab , untuk menepati janjinya, raja kembali menemui Porisà da
sesuai yang dijanjikan dengan risiko kehilangan nyawanya. Dalam
kasus ini, janji ini dilakukan di hadapan Porisà da tetapi sebab hanya
sekadar ucapan, tujuannya belum dipenuhi, untuk memenuhinya,
janjinya itu masih harus ditepati. sebab ia menjanjikan, “Aku
akan kembali,” maka ia kembali bahkan sesudah ia pulang ke Kota
Indapattha. Pada mulanya, saat ia berjanji, “Aku akan kembali”
pengorbanannya masih belum tentu terjadi. Kepastian diperoleh
saat ia kembali menemui Porisà da dari Indapattha. Oleh sebab
itu, dalam Komentar-Komentar, Beliau disebut sebagai “raja yang
menjaga kejujurannya dengan mengorbankan nyawanya” (jãvitaÿ
cajitvà saccam anurakkhantassa) tetapi bukan sebagai “raja yang
membuat janji dengan taruhan nyawanya” (jãvitaÿ cajitvà saccaÿ
bhaõantassa).
Pikiran Atas Dua Jenis Kebenaran
Sehubungan dengan hal ini, kejujuran Raja Mahà sutasoma dan
Menteri Vidhura layak dijadikan sebagai perbandingan. Kejujuran
menteri yaitu kejujurannya saat mengatakan bahwa “Aku
yaitu seorang pelayan” seperti yang disebutkan dalam bait
ke-102 dari Vidhura JÃ taka. Segera sesudah ia mengucapkannya,
3427
1
kejujurannya selesai. Tetapi saat ia mengucapkannya, ia tidak perlu
mengkhawatirkan nyawanya. Ia tidak akan mati sebab menjadi
seorang pelayan. Oleh sebab itu, kita boleh berpendapat bahwa
kejujuran Vidhura yaitu lebih rendah dari kejujuran Sutasoma.
Akan tetapi, harus dipertimbangkan bahwa Vidhura telah siap untuk
mengorbankan nyawanya dengan pikiran, “Anak muda ini mungkin
membunuhku sesudah membawaku pergi. Jika ia melakukan hal
itu, aku akan menerima kematian.” sebab ia bijaksana, ia pasti
merenungkan sebagai berikut, “Anak muda ini memintaku bukan
untuk menghormatiku. Jika ia bermaksud menghormatiku, ia pasti
memberitahukan hal itu kepadaku dan mengundangku. Sekarang
ia tidak mengundangku. Ia memenangkan kepemilikan atas
diriku melalui judi dan ia tidak akan membebaskan aku.” sebab ,
meskipun ia seorang anak muda, ia yaitu raksasa (dari kelahiran).
Melihat perilakunya, sang menteri pasti telah memerhatikan bahwa
ia yaitu orang yang liar dan kuat. Hal yang harus dipertimbangkan
yaitu : saat Vidhura (sebagai perpisahan) menasihati raja dan
keluarganya, berkata, “Aku telah menyelesaikan pekerjaanku,” si
raksasa muda, Puõõaka, menjawab, “Jangan takut. Pegang erat-erat
ekor kudaku. Ini yaitu terakhir kalinya bagimu untuk melihat
dunia dalam keadaan hidup.” (Bait 196). Vidhura dengan tegas
menjawab, “Aku tidak pernah melakukan kejahatan yang dapat
membawaku ke alam sengsara. Mengapa aku harus takut?” Dari
kata-kata sang menteri ini, jelas bahwa menteri telah memutuskan
untuk mengorbankan nyawanya.
Semua ini menunjukkan fakta bahwa kejujuran Vidhura mengandung
unsur-unsur pengorbanan nyawa dan sebab itu tidak lebih rendah
dari kejujuran Sutasoma. Dapat disimpulkan bahwa, jika tidak
lebih tinggi, kejujurannya berada pada tingkat yang sama dengan
kejujuran Sutasoma.
Pesan Moral
Ciri istimewa dari Kesempurnaan Kejujuran ini yang berlawanan
dengan yang sebelumnya yaitu bahwa kejujuran ini memiliki
kekuatan untuk memenuhi keinginan seseorang dengan kebenaran
3428
yang diucapkan. Dalam Sutasoma JÃ taka (bait 62) juga dikatakan,
“Dari semua rasa yang terdapat di bumi ini, rasa kebenaran yaitu
yang paling manis.” Oleh sebab itu, kita harus berusaha sekeras
mungkin untuk menikmati rasa kebenaran yang lezat ini.
(H) Kesempurnaan Tekad (Adhiññhà na Pà ramã)
Jika seseorang memenuhi adhiññhà na sebagai sebuah Kesempurnaan,
maka ia harus memantapkannya dengan kokoh dan teguh dalam
batinnya. Itulah sebabnya mengapa saat Bodhisatta Sumedha
merenungkan Adhiññhà na Pà ramã, ia mengumpamakannya sebagai
gunung karang yang tidak tergoyahkan oleh angin kencang dan
tetap kokoh berdiri di tempatnya.
Dari perumpamaan ini, jelas bahwa adhiññhà na berarti selalu
mengingat segala sesuatu yang telah diputuskan untuk dilakukan.
Oleh sebab itu, jika seseorang berniat untuk mencapai Pengetahuan
dan Buah atau Kemahatahuan (yaitu, jika seseorang bertekad untuk
menjadi seorang Buddha), maka tekadnya dalam berlatih untuk
mencapainya harus selalu mantap dalam pikirannya sekokoh
gunung karang.
Berbagai Jenis Tekad
Demikianlah tekad diumpamakan sebagai gunung yang tidak
tergoyahkan dan terdapat berbagai jenis tekad seperti yang
dijelaskan dalam Kitab.
Tekad Sehubungan Dengan Uposatha
Uposathakkhandhaka dari Vinaya Mahà Vagga menyebutkan tiga
jenis uposatha: Saÿgha uposatha, gaõa uposatha, dan puggala
uposatha. Saÿgha uposatha yaitu yang dilaksanakan pada
pertemuan minimal empat orang bhikkhu dalam sebuah sãmÃ
pada hari purnama dan hari bulan baru. PÃ timokha dibacakan
oleh seorang bhikkhu dan bhikkhu lainnya mendengarkan
dengan penuh hormat. Pelaksanaan demikian disebut sutt’uddesa
uposatha (pelaksanaan uposatha dengan pembacaan singkat naskah
3429
1
peraturan-peraturan disiplin).
Jika hanya ada dua atau tiga orang bhikkhu, mereka melaksanakan
gaõa uposatha sebab kata Saÿgha digunakan pada perkumpulan
minimal empat orang bhikkhu; jika hanya ada dua atau tiga orang
bhikkhu maka yang digunakan yaitu kata gaõa. Jika bhikkhu
berjumlah tiga dalam sebuah gaõa uposatha, maka sebuah usul
akan diajukan dan jika hanya dua, tidak diperlukan usul. lalu
masing-masing bhikkhu menyatakan dalam bahasa Pà ëi bahwa ia
bebas dari pelanggaran. Oleh sebab itu, uposatha ini juga disebut
sebagai pà risuddhi uposatha (pertemuan uposatha di mana para
bhikkhu menyatakan kemurnian mereka masing-masing).
Jika hanya ada seorang bhikkhu, ia melaksanakan puggala uposatha.
Tetapi sebelum melakukan hal itu, ia harus menunggu kedatangan
para bhikkhu lain jika masih ada waktu. Jika sampai waktunya dan
para bhikkhu lain belum datang, ia harus melaksanakan uposatha
sendirian. Buddha menginstruksikan agar ia bertekad, “Hari ini
yaitu hari uposatha-ku.” Ini berarti bahwa ia selalu mengingat
hari ini. Uposatha ini disebut Adhiññhà na uposatha (uposatha yang
diingat dalam pikiran seseorang.) Ini yaitu tekad sehubungan
dengan uposatha.
Tekad Sehubungan Dengan Jubah
Para bhikkhu harus melakukan adhiññhà na atau vikappanÃ
sehubungan dengan jubah dalam sepuluh hari sejak ia
mendapatkannya. Jika jubah itu disimpan selama lebih dari
sepuluh hari tanpa melakukan satu dari dua hal ini , maka
menurut Vinaya harus dibuang. Bhikkhu itu juga dengan demikian
melakukan pelanggaran pà cittiya; oleh sebab itu, dalam sepuluh
hari sejak diperoleh, seseorang harus bertekad dengan mengatakan,
“Aku akan mengenakan jubah ini.” Maka jubah itu tidak perlu
dibuang dan ia tidak melakukan pelanggaran. Tekad sehubungan
dengan jubah berarti mengingat untuk memakai jubah itu
sebagai jubah bawah, atau jubah atas atau jubah luar atau untuk
penggunaan umum. (Pañhama Sikkhà pada, Nissaggiya Cãvara Vagga,
Vinaya PÃ rajika.)
3430
Tekad Sehubungan Dengan Mangkuk
Demikian pula, jika seorang bhikkhu mendapatkan sebuah mangkuk,
ia harus bertekad dalam waktu sepuluh hari sejak mendapatkannya,
dengan mengatakan, “Aku akan memakai mangkuk ini.” Jika
ia tidak melakukannya dalam waktu sepuluh hari maka ia harus
membuangnya sesuai Vinaya. Ia juga melakukan pelanggaran
PÃ cittiya. Tekad sehubungan dengan mangkuk berarti dengan teguh
memutuskan bahwa “wadah ini yaitu mangkukku”.
Adhiññhà na dalam tiga kasus ini digunakan sebagai istilah teknis
dalam Vinaya. Tidak berhubungan dengan tiga kasus berikut ini.
Tekad Sehubungan Dengan Jhà na
Dalam hal Jhà na, jika misalnya, Jhà na pertama telah dicapai,
seseorang harus melatih dan mengembangkannya dalam lima
cara vasãbhà va; disebutkan dalam Pathavãkasiõa Niddesa dan
sumber lainnya dalam Visuddhimagga. Kata Pà ëi ‘vasibhà va’,
artinya ‘penguasaan’. Jadi, lima cara vasãbhà va yaitu lima jenis
penguasaan. sesudah Jhà na pertama dicapai, seseorang harus
melanjutkan latihannya hingga ia mencapai penguasaan penuh dari
Jhà na dalam lima jenis.
Jenis pertama yaitu à vajjana, ‘perenungan’, yaitu, perenungan atas
faktor-faktor apakah yang terdapat dalam Jhà na itu dan karakter
dari faktor ini . Pada awalnya, ia tidak akan dapat melihatnya
dengan mudah. Mungkin terdapat penundaan, sebab ia belum
ahli dalam merenungkan. Begitu ia mendapatkan pengalaman, ia
akan dapat melihatnya dengan lebih mudah. sesudah itu ia disebut
memiliki penguasaan atas perenungan.
Jenis kedua yaitu samà pajjana, ‘penyerapan’, kesadaran Jhà na yang
terserap dalam arus kesadaran seseorang (yaitu, kesadaran Jhà na yang
terus-menerus muncul dalam arus kesadaran seseorang). sesudah
menguasai perenungan ia harus menguasai penyerapan. Ia dapat
melakukan hal ini dengan berulang-ulang mengembangkan Jhà na
yang telah ia capai (seperti halnya dengan membaca berulang-ulang,
3431
1
seseorang akan menguasai tulisan-tulisan yang telah dipelajari). Jika
ia mencoba untuk masuk ke dalam penyerapan sebelum pencapaian
demikian, kesadaran Jhà na tidak akan dapat muncul dengan mudah
dalam arus kesadaran seseorang. Hal ini akan menjadi lebih mudah
hanya sesudah menguasai pengembangan Jhà na. sesudah itu ia disebut
memiliki penguasaan atas penyerapan.
Jenis ketiga yaitu adhiññhà na, ‘tekad’, yaitu, memutuskan
berapa lama ia akan berdiam dalam Jhà na. Jika ia mencoba untuk
menentukan lamanya penyerapan sebelum menguasai tekad,
kesadaran Jhà na akan berlangsung lebih lama atau lebih singkat
dari apa yang telah ia tentukan. Misalnya ia memutuskan, “Agar
kesadaran Jhà na terdapat dalam arus kesadaranku selama satu jam,”
pencapaian Jhà na mungkin akan terputus sebelum atau sesudah satu
jam. Hal ini sebab ia belum terampil dalam bertekad. Begitu ia
cukup terampil, ia dapat berdiam dalam Jhà na selama waktu yang
tepat sesuai dengan yang telah ia tentukan. sesudah itu, ia disebut
memiliki penguasaan atas tekad.
Jenis keempat yaitu vutthà na, ‘keluar dari Jhà na’, (keluar dari
Jhà na artinya mengubah kesadaran Jhà na menjadi rangkaian
kesatuan kehidupan, bhavaïga-citta.) Penguasaan atas keluar dari
Jhà na pada waktu yang persis sesuai dengan tekadnya disebut
vutthà navasãbhà va.
Jenis kelima yaitu paccavekkhaõa, ‘peninjauan’, yaitu, merenungkan
semua faktor yang terdapat dalam Jhà na. Dalam merenungkan,
seperti halnya dalam à vajjana, faktor-faktor ini tidak terlihat dengan
mudah sebab kurangnya penguasaan. Hanya sesudah ia menguasai,
faktor-faktor ini akan terlihat dengan mudah. (Perenungan, Ã vajjana,
yaitu suatu tahap dalam proses peninjauan, paccavekkhaõa-
vãthi, dan peninjauan, paccavekkhaõa, yaitu tahap yang segera
mengikuti tahap perenungan. Jika ia telah menguasai à vajjana,
maka ia juga telah menguasai paccavekkhaõa. Oleh sebab itu
mereka yang menguasai perenungan juga menguasai peninjauan;
demikianlah disebutkan dalam Kitab.)
Dari lima jenis penguasaan ini, apa yang kita bahas di sini yaitu
3432
adhiññhà na-vasãbhà va, ‘penguasaan tekad’.
Tekad Sehubungan Dengan Iddhi
Iddhividha Niddesa dari Visuddhimagga menyebutkan sepuluh
jenis iddhi—kekuatan batin:
(1) adhiññhà na iddhi, (6) ariya iddhi,
(2) vikubbana iddhi, (7) kammavipà kaja iddhi,
(3) manomaya iddhi, (8) pu¤¤avanta iddhi,
(4) ¤Ã õavipphà ra iddhi, (9) vijjà maya iddhi,
(5) samà dhivipphà ra iddhi, (10) sammà payoga iddhi.
(Kata Pà ëi ‘iddhi’ artinya ‘mencapai keinginan’. Dalam bahasa
Myanmar, artinya yaitu ‘kekuatan adialami’.)
(1) Adhiññhà na iddhi: kekuatan sehubungan dengan tekad; jika,
misalnya, seseorang bertekad, “Terciptalah seratus atau seribu
duplikat diriku,” maka akan muncul duplikat secara gaib dan
jumlahnya persis sama dengan yang telah ditentukan. (Ini yaitu
kekuatan untuk memproyeksikan citra seseorang tanpa dirinya
menghilang. Citra ini mungkin dalam postur aslinya atau
tidak.)
(2) Vikubbana iddhi: kekuatan sehubungan dengan mengubah diri
menjadi bentuk nà ga atau garuda. (vi artinya ‘berbagai’ dan kubbana
‘membuat’. Ini yaitu kekuatan untuk mengubah diri menjadi
berbagai bentuk yang diinginkan.)
(3) Manomaya iddhi: kekuatan sehubungan dengan penciptaan citra
melalui pikiran, yaitu, menciptakan citra miniatur dari diri sendiri di
dalam tubuh sendiri. Manomaya artinya ‘ciptaan pikiran’. (Ini bukan
proyeksi citra seperti pada adhiññhà na iddhi juga bukan perubahan
bentuk seperti pada vikubbana iddhi. Ini yaitu kekuatan untuk
menciptakan citra miniatur di dalam tubuh sendiri.)
(4) ¥Ã õavipphà ra iddhi: kekuatan sehubungan dengan fenomena
gaib sebab pengaruh kebijaksanaan spiritual yang segera terjadi.
3433
1
Kekuatan ini dapat dipahami dari kisah Yang Mulia BÃ kula dan
lainnya.
Thera BÃ kula
Kisah Thera BÃ kula terdapat dalam Komentar Etadagga Vagga,
Ekaka Nipà ta, Aïguttara Nikà ya. Berikut ini yaitu ringkasan dari
kisah ini .
Bà kula yaitu putra seorang kaya di Kosambã. Hari kelahirannya
dirayakan dan si bayi dibawa ke Sungai Yamunà untuk sebuah
Ritual pemandian dan ia ditelan oleh seekor ikan. Ikan itu yang
merasa perutnya panas, segera berenang pergi. Sesampainya di
Bà rà õasã, seorang nelayan menangkapnya dan menjajakannya di
dalam kota. Istri seorang kaya di Bà rà õasã membeli ikan ini
dan saat membelah perutnya, ia menemukan seorang bayi rupawan
di dalam ikan ini . sebab ia tidak memiliki anak kandung dan
sangat mendambakan anak, ia merasa sangat gembira dan berpikir,
“Ini yaitu anakku.”
saat berita aneh itu sampai ke telinga orangtua kandungnya di
Kosambã, mereka bergeas pergi ke Bà rà õasã untuk menuntut anak
mereka. Tetapi nyonya dari Bà rà õasã menolak mengembalikan,
dengan mengatakan, “Bayi ini datang kepada kami, sebab kami
pantas memilikinya. Kami tidak dapat mengembalikannya kepada
kalian.” saat mereka pergi ke pengadilan untuk menyelesaikan
perselisihan itu, hakim memutuskan bahwa bayi itu yaitu milik
kedua pasang orang tua itu. Demikianlah, bayi itu memiliki dua
ibu dan dua ayah, sehingga ia diberi nama BÃ kula. (BÃ = dua, kula
= keluarga; anak dari dua keluarga.)
Merupakan suatu keajaiban bahwa anak itu tidak terluka meskipun
ditelan oleh seekor ikan. Keajaiban ini yaitu berkat kekuatan
Arahatta-Magga ¥Ã õa yang pasti dicapai oleh Bà kula dalam
kehidupan itu. (Atau mungkin sebab berkat pengaruh Pà ramã
¥Ã õa yang agung yang melekat dalam diri anak itu dan bahwa hal
itu pasti mengantarkannya menuju tercapainya Arahatta-Magga
¥Ã õa dalam kehidupan itu juga.) Kekuatan demikian disebut
3434
¤Ã õaviphà ra iddhi.
Sà maõera Saÿkicca
Sà maõera Saÿkicca dikandung oleh putri seorang perumah
tangga di Sà vatthã. Sang ibu meninggal dunia saat akan melahirkan
bayinya. Sewaktu jasadnya sedang dikremasikan, jasadnya ditusuk
dengan paku-paku besi agar pembakarannya lebih sempurna. Paku
ini melukai mata sang bayi dan bayi itu menangis. Mengetahui
bahwa bayi itu masih hidup, orang-orang menurunkan jasad
itu dari tumpukan kayu pembakaran, membelah perutnya dan
mengeluarkan bayi itu. Bayi itu tumbuh dan seiring berjalannya
waktu, ia menjadi seorang Arahanta dalam usia tujuh tahun.
Selamatnya anak ini secara ajaib dari kematian juga berkat
Arahatta-Magga ¥Ã õa. (Atau sebab pengaruh kekuatan Pà ramã
¥Ã õa yang melekat dalam diri si bayi yang membantunya mencapai
Arahatta-Magga ¥Ã õa.)
(5) Samà dhivipphà ra iddhi: kekuatan sebab pengaruh konsentrasi.
Fenomena ajaib yang muncul saat menjelang, atau saat memasuki,
atau sesaat sesudah memasuki Jhà na, yaitu berkat pengaruh
samà dhi. Kekuatan yang menyebabkan keajaiban demikian
disebut samà dhivipphà ra iddhi. Sehubungan dengan kekuatan ini,
Visuddhimagga menceritakan sejumlah kisah yang dimulai dari
kisah SÃ riputta, yang akan disampaikan berikut ini.
Thera SÃ riputta
Suatu hari Yang Mulia SÃ riputta sedang menetap bersama Yang
Mulia Moggallà na di sebuah jurang yang bernama Kapota, ia
baru saja mencukur rambutnya dan sedang berdiam di dalam
Jhà na di ruang terbuka saat malam purnama. Satu raksasa nakal
datang bersama temannya dan melihat Thera yang tercukur bersih,
kepalanya bersinar, ia ingin mengetuk kepalanya. Temannya
menasihati agar tidak melakukannya; namun ia tetap memukul
kepala Thera dengan sekuat tenaga. Pukulan itu begitu kuat
sehingga suara yang ditimbulkan menggelegar bagaikan guruh.
3435
1
Tetapi Thera tidak merasa sakit sebab kekuatan samà dhi yang
meliputi seluruh tubuhnya.
(6) Ariya iddhi: saat para Ariya (para mulia) ingin merenungkan
objek-objek yang menjijikkan seolah-olah tidak menjijikkan
atau merenungkan objek-objek tidak menjijikkan seolah-olah
menjijikkan, mereka dapat melakukannya. Kekuatan para Ariya
itu untuk merenungkan objek apa pun sesuai keinginan mereka
disebut Ariya iddhi (kekuatan para mulia.)
(7) Kammavipà kaja iddhi: makhluk-makhluk seperti burung
dapat terbang di angkasa. Untuk memiliki kemampuan terbang
mereka tidak perlu melakukan usaha khusus dalam kehidupan
sekarang. Hal itu yaitu akibat dari apa yang mereka lakukan dalam
kehidupan lampau. Para dewa, brahmà , para penghuni pertama
dunia ini dan para vinipà tika asura juga memiliki kemampuan
terbang di angkasa. Kekuatan untuk melakukan kesaktian demikian
disebut kammavipà kaja iddhi.
(8) Pu¤avanta iddhi: para cakkavatti (raja dunia) dan sejenisnya dapat
melakukan perjalanan di angkasa. Mereka dapat melakukannya
sebab mereka memiliki jasa yang cukup banyak yang telah
mereka kumpulkan. Mereka yang menyertai raja dunia dalam
perjalanan angkasanya juga dapat melakukan hal itu sebab mereka
berhubungan dengan sang raja yang merupakan pemilik jasa yang
sesungguhnya. Kekayaan dan kemewahan yang dimiliki oleh para
orang kaya seperti Jotika, Jañila, Ghosaka, Meõóaka, dan lainnya
juga disebut pu¤¤avanta iddhi.
(Perbedaan antara kammavipà kaja iddhi dan pu¤avanta iddhi yaitu :
kammavipà kaja iddhi yaitu kekuatan yang bukan disebabkan
sebab perbuatan yang dilakukan seseorang dalam kehidupan
sekarang tetapi dari perbuatan yang dilakukan pada masa lampau;
kekuatan ini menyertai seseorang sejak ia dilahirkan. Pu¤¤avanta
iddhi disebabkan bukan hanya dari perbuatan masa lampau tetapi
juga usaha masa sekarang yang mendukung perbuatan-perbuatan
masa lampau ini . Kekuatan ini tidak menyertai sejak saat
kelahiran; kekuatan ini menjadi efektif hanya jika didukung oleh
3436
perbuatan seseorang dalam kehidupan sekarang. Sebagai gambaran:
Cakkavatti, pusaka roda tidak muncul saat kelahiran. Roda ini
muncul hanya jika ia melaksanakan sãla tertentu dan memenuhi
kewajiban-kewajiban khusus sebagai seorang raja dunia. sebab itu
kekuatan istimewa ini tidak hanya bergantung pada perbuatan masa
lampau seseorang tetapi juga bergantung pada usaha pendukung
pada masa sekarang.)
(9) Vijjà maya iddhi: perjalanan angkasa dan kesaktian lain yang
dimiliki oleh para vijjà dhara (pemilik kekuatan gaib). (Kekuatan
yang diperoleh melalui keterampilan menggubah mantra, obat-
obatan, dan sebagainya.)
(10) Sammà payoga iddhi: kekuatan yang muncul dari berbagai
pencapaian. (Cakupan iddhi ini sangatlah luas. Jalan dan Buah yang
dicapai sebagai hasil dari usaha benar yaitu bentuk tertinggi dari
sammà payoga iddhi. Singkatnya, semua pencapaian yang dihasilkan
dari memelajari ilmu dan keterampilan, Tiga Veda, atau Tiga
Piñaka atau (hanya sekadar) kegiatan pertanian seperti membajak,
menanam, dan sebagainya, semuanya yaitu sammà payoga
iddhi.)
Dari sepuluh iddhi ini, yang pertama, adhiññhà na iddhi, yaitu
kekuatan tekad untuk memproyeksikan citra diri sendiri menjadi
seratus atau seribu—kekuatan yang dimiliki oleh Yang Mulia CåëÃ
Panthaka dan lain-lainnya. Orang-orang biasa yang tidak memiliki
kekuatan demikian membuat tekad yang sama; tetapi sebab mereka
tidak memiliki faktor dasar Jhà na atau samà dhi, mereka tidak
menyadari apa yang mereka tekadkan; sebaliknya, mereka yang
memiliki kekuatan demikian, tekad mereka terpenuhi sebab Jhà na
atau samà dhi mereka cukup kuat untuk membantu mereka.
Adhiññhà na Sebelum Nirodhasamà patti
saat seorang Anà gà mã atau seorang Arahanta yang memiliki
seluruh delapan samà patti hendak memasuki nirodhasamà patti,
ia bertekad, “Selama aku berada dalam samà patti, semoga semua
milikku yang disimpan jauh dariku tidak rusak atau hilang. Jika
3437
1
Saÿgha menginginkan kehadiranku, semoga aku dapat bangun
dari samà patti sebelum si utusan datang. Semoga aku dengan segera
dapat melakukan hal yang sama jika Buddha memanggilku.” Hanya
sesudah bertekad demikian, ia masuk ke dalam samà patti.
Sesuai dengan tekadnya, selama ia berada di dalam samà patti,
milik-milik pribadinya yang disimpan jauh darinya tidak akan
dapat dihancurkan oleh lima musuh. Jika Saÿgha menginginkan
kehadirannya, ia telah bangun dari samà patti sebelum si utusan
tiba. Segera sesudah Buddha memanggilnya, ia bangun dari
samà patti. Tidak ada kerusakan yang dapat dilakukan oleh lima
musuh terhadap miliknya, seperti jubah, dan lain-lain yang melekat
pada tubuhnya sebab kekuatan samà patti bahkan meskipun ia
sebelumnya tidak bertekad untuk menjaga keselamatan dirinya.
Tiga Jenis Adhiññhà na
Tekad ada tiga jenis menurut konteksnya:
(1) pubbanimitta adhiññhà na (tekad yang dilakukan sehingga
dapat meramalkan dalam bentuk pertanda sebelum kejadian
sebenarnya terjadi);
(2) à sãsa adhiññhà na (tekad yang dilakukan sehingga mimpi dapat
menjadi kenyataan); dan
(3) vata adhiññhà na (Tekad yang dilakukan sehingga kewajiban-
kewajiban terpenuhi).
(1) Pubbanimitta Adhiññhà na
Adhiññhà na jenis ini dapat dipahami dari kisah Campeyya Jà taka dari
Vãsati Nipà ta dan kisah lainnya. Ringkasan dari Campeyya Jà taka
yaitu sebagai berikut: saat Raja NÃ ga Campeyya memberitahu
ratunya, Sumanà , bahwa ia akan turun ke alam manusia untuk
melaksanakan sãla, ratu berkata, “Alam manusia sangat berbahaya.
Jika terjadi sesuatu pada dirimu, melalui pertanda apakah aku dapat
mengetahuinya?” Sang raja nà ga mengajaknya ke kolam istana dan
berkata, “Lihatlah kolam ini, jika aku ditangkap musuh, airnya akan
berubah menjadi gelap. Jika aku ditangkap oleh garuda, air ini akan
3438
mendidih. Jika aku ditangkap oleh pawang ular, air ini akan berubah
menjadi merah seperti darah.” sesudah itu raja nà ga pergi ke alam
manusia untuk melaksanakan sãla selama empat belas hari.
Tetapi sang raja tidak pulang bahkan sesudah satu bulan, sebab ia
ditangkap oleh pawang ular. Khawatir akan keselamatannya, sang
ratu pergi ke kolam dan melihat permukaan air yang berwarna
merah seperti darah.
Tekad Raja Nà ga Campeyya ini yaitu pubbanimitta adhiññhà na
sebab ia bertekad teguh sebelumnya untuk memunculkan tanda-
tanda ramalan.
Demikian pula, menurut pendahuluan dari Komentar JÃ taka, saat
Pangeran Siddhattha melepaskan keduniawian, ia memotong
rambut-Nya dan melemparnya ke angkasa sambil bertekad,
“Semoga rambut ini tetap berada di angkasa jika Aku dapat
mencapai Pencerahan Sempurna; jika tidak, biarlah rambut ini
jatuh ke tanah.” Rambut itu tergantung di angkasa bagaikan
karangan bunga. Tekad ini juga, yang dilakukan untuk mengetahui
sebelumnya apakah Ia dapat menjadi seorang Buddha atau tidak,
yaitu pubbanimitta adhiññhà na.
lalu , sesudah enam tahun bertapa menyiksa diri, sesudah
Ia memakan nasi susu yang dipersembahkan oleh Sujà ta di tepi
Nera¤jarà , ia mengapungkan mangkuk emas-Nya di sungai dengan
tekad, “Jika Aku dapat menjadi seorang Buddha, semoga mangkuk
ini bergerak ke hulu; jika tidak biarlah mangkuk ini hanyut ke hilir,”
dan mangkuk itu hanyut ke hulu hingga diambil oleh Raja NÃ ga
Kà la. Tekad ini juga yaitu pubbanimitta adhiññhà na.
Demikian pula, tekad apa pun yang dilakukan di dunia ini yang
bertujuan untuk mengetahui sebelumnya melalui pertanda apakah
keinginan seseorang dapat tercapai atau tidak yaitu pubbanimitta
adhiññhà na. Adhiññhà na jenis ini masih sering dilakukan sekarang
ini dan cukup terkenal. Beberapa orang biasanya mengangkat batu
yang terdapat di sebuah pagoda yang terkenal atau di sebuah altar
nat (arwah) sesudah bertekad, “Jika rencanaku dapat terwujud,
3439
1
semoga batu ini menjadi berat; jika tidak maka semoga batu ini
menjadi ringan,” atau sebaliknya. sesudah mengangkat batu itu
mereka membaca pertanda apakah mereka akan berhasil atau tidak
berdasarkan berat batu ini .
(2) âsãsa Adhiññhà na
âsãsa adhiññhà na yaitu tekad yang dilakukan agar keinginan
seseorang terpenuhi. Jenis tekad ini dapat dipahami dari kisah
Vidhura JÃ taka.
(saat Vidhura sang menteri hendak dibawa dari Raja Korabya
oleh Puõõaka si raksasa sebab ia memenangkan permainan dadu)
disebutkan dalam Komentar pada syair 197 dari JÃ taka ini: sesudah
berseru dengan berani, “Oh kematian, aku tidak takut kepadamu,”
Vidhura bertekad, “Semoga jubah bawahku tidak terlepas dan
melawan keinginanku.” Dengan merenungkan Kesempurnaannya,
ia mengencangkan pakaiannya dan mengikuti Puõõaka dengan
memegang erat ekor kudanya tanpa takut dengan keanggunan
seekor raja singa. Tekad yang dilakukan oleh Vidhura ini yaitu
à sãsa adhiññhà na.
Dalam Naëapà na Jà taka dari Sãla Vagga, Ekaka Nipà ta, delapan puluh
monyet yang dipimpin oleh raja mereka, Bakal Buddha, mengalami
kesulitan untuk meminum air dari sebuah kolam yang dijaga oleh
siluman air yang buas. Raja monyet ini lalu mengambil
tanaman yang tumbuh di sekitar kolam, bertekad agar buku-buku
yang terdapat pada tanaman itu lenyap dan meniupkan angin ke
dalamnya. Tanaman itu menjadi berlubang dan tidak berbuku-buku.
Dengan demikian ia memungkinkan para pengikutnya meminum
air melalui tanaman itu. Tetapi ada begitu banyak monyet dan
raja tidak mampu membantu semua monyet dengan hanya satu
tanaman. Maka ia bertekad, “Semoga semua tanaman di sekitar
kolam ini menjadi berlubang.” Tekad yang dilakukan oleh raja
monyet ini yang bertujuan untuk memenuhi keinginannya agar
para monyet masing-masing dapat meminum air disebut à sãsa
adhiññhà na.
3440
Dalam Kukkura Jà taka dari Kuruïga Vagga, Ekaka Nipà ta,
disebutkan bahwa tali pengikat dari kulit yang mengikat kereta
Raja Brahmadatta dari Bà rà õasã digerogoti oleh anjing-anjing di
dalam kota. sebab menganggap bahwa anjing-anjing pemakan
kulit itu yaitu milik para warga di luar kota, para pelayan
istana mengejar dan membunuh mereka. sebab itu anjing-anjing
itu tidak berani tinggal di dalam kota dan berkumpul di sebuah
tanah pekuburan. Mengetahui alasan sebenarnya dari kesulitan
itu dan menyadari bahwa tali-tali kulit pengikat kereta itu hanya
mungkin dimakan oleh anjing-anjing yang berada di dalam kota,
pemimpin kelompok itu, Bodhisatta, meminta mereka untuk
menunggu sementara ia pergi ke istana. Sewaktu memasuki kota,
ia memusatkan pikirannya pada Kesempurnaan, dan memancarkan
mettà , ia bertekad, “Semua tidak seorang pun yang dapat
melemparkan batu dan tongkat kepadaku.” Tekad ini juga, yang
dilakukan untuk memenuhi keinginannya agar anjing-anjing yang
berada di luar kota selamat dari bahaya yaitu à sãsa adhiññhà na.
Dalam Mà taïga Jà taka dari Vãsati Nipà ta: pada masa kekuasaan
Raja Brahmadatta dari Bà rà õasã, Bodhisatta terlahir dalam sebuah
keluarga berkasta rendah caõóala bernama Mà taïga. Putri seorang
kaya dari Bà rà õasã diberi nama Diññha Maïgalika sebab ia percaya
akan keberuntungan dari pemandangan indah. Suatu hari ia pergi
ke taman untuk bersenang-senang bersama para pelayannya. Dalam
perjalanan itu ia melihat Mà taïga yang sedang memasuki kota.
Meskipun ia telah berusaha menyingkir sebab ia berkasta rendah,
pemandangan dirinya memunculkan perasaan tidak senang dalam
diri Diññha Maïgalika, yang sebab hal itu, segera pulang dengan
pikiran bahwa hari itu bukanlah hari keberuntungan baginya. Para
pengikutnya juga terganggu, mereka berkata, “sebab engkau,
kami tidak jadi bersenang-senang hari ini,” mereka memukulnya
hingga ia tidak sadarkan diri; sesudah itu mereka pergi. saat
Mà taõga siuman sesudah beberapa saat, ia berpikir, “Orang-orang
Diñtha Maïgalika telah menyiksa orang tidak bersalah sepertiku.”
lalu ia mendatangi rumah ayah Diññha Maïgalika dan
berbaring di pintu masuk dengan tekad, “Aku tidak akan bangkit
hingga aku dapat menikahi Diññha Maïgalikà .” Tekad Mà taïga ini
yang bertujuan untuk menaklukkan keangkuhan Diññha Maïgalika
3441
1
juga yaitu à sãsa adhiññhà na.
Dalam Komentar Mahà Vagga dari Vinaya juga, disebutkan bahwa:
segera sesudah mencapai Pencerahan Sempurna, Buddha berdiam
selama tujuh minggu di tujuh tempat berbeda di sekitar pohon Bodhi
selama satu minggu di masing-masing tempat. Di akhir tujuh hari
terakhir saat berdiam di bawah pohon rajayatana, dua bersaudara
Tapussa dan Bhallika datang dan mempersembahkan makanan.
Buddha mempertimbangkan bagaimana menerima persembahan
ini . (Mangkuk yang dipersembahkan oleh Brahmà Ghatikà ra
lenyap pada hari Beliau menerima nasi susu yang dipersembahkan
oleh Sujatà .) lalu empat raja dewa mempersembahkan
empat mangkuk zamrud kepada Buddha. Tetapi Buddha menolak
menerimanya. lalu raja dewa itu mempersembahkan empat
mangkuk batu berwarna kehijauan. Demi memperkuat keyakinan
mereka, Buddha menerima mangkuk-mangkuk itu dan bertekad,
“Semoga mangkuk-mangkuk ini menjadi satu.” lalu
mangkuk-mangkuk itu menjadi satu mangkuk bersisi empat. Tekad
Buddha ini juga yaitu à sãsa adhiññhà na.
Perbedaan Adhiññhà na dan Sacca
Terlihat bahwa pubbanimitta adhiññhà na dan à sãsa adhiññhà na dalam
bagian à dhiññhà na dan icchà påraõa sacca pada bagian sacca yaitu
sama sebab keduanya berhubungan dengan pemenuhan keinginan
seseorang.
Sehubungan dengan icchà påraõa sacca, saat ibu dan ayah Suvaõõa
Sà ma dan Dewi Bahusundarã masing-masing mengucapkan tekad,
mereka semua berkeinginan agar racun yang berasal dari anak
panah yang melukai Suvaõõa Sà ma lenyap; sehubungan dengan
pubbanimitta adhitthà na, juga, saat Bodhisatta melemparkan
rambut-Nya ke angkasa, Ia bertekad agar rambut-Nya tergantung di
angkasa jika Ia dapat menjadi seorang Buddha; sehubungan dengan
à sãsa adhiññhà na juga, saat Vidhura bertekad, keinginannya
yaitu agar pakaiannya tidak terlepas. Hubungan antara tekad dan
keinginan masing-masing menyebabkan kita beranggapan bahwa
semua itu yaitu sama. Itulah sebabnya, banyak orang sekarang
3442
ini menggabungkan dua kata, sacca dan adhiññhà na, menjadi satu,
dengan mengatakan, “Kami melaksanakan sacca-adhiññhà na.”
Akan tetapi, dalam kenyataannya, sacca yaitu satu hal dan
adhiññhà na yaitu hal lain lagi dari Sepuluh Kesempurnaan. Oleh
sebab itu, keduanya yaitu hal yang berbeda dan perbedaannya
yaitu , seperti telah disebutkan sebelumnya, sacca yaitu kebenaran,
entah baik ataupun buruk. Sebuah keinginan yang berdasarkan atas
kebenaran yaitu icchà påraõa. Tetapi jika keinginan seseorang tidak
berdasarkan kebenaran, tekad yang dilakukan oleh diri sendiri agar
keinginan tercapai disebut adhiññhà na.
Penjelasan lebih lanjut, dalam Suvaõna Sà ma Jà taka saat
orangtuanya bertekad, mereka mengatakan, “SÃ ma dulunya
mempraktikkan kejujuran” (yang merupakan kebenaran dasar). Dan
mereka menambahkan, “Berkat kebenaran ini, semoga racun lenyap”
(yang merupakan keinginan mereka). Dengan demikian, keinginan
yang berdasarkan atas apa yang benar yaitu icchà påraõa sacca.
saat Bodhisatta melemparkan rambut-Nya ke angkasa dengan
tekad, “Jika Aku akan menjadi seorang Buddha, semoga rambut-Ku
tetap berada di angkasa,” Beliau melakukannya tanpa berdasarkan
kebenaran. Tekadnya dilakukan untuk memberi pertanda agar Ia
mengetahui sebelumnya apakah Ia dapat mencapai Kebuddhaan.
Tekad yang dilakukan oleh Vidhura saat ia mengikuti Puõõaka
dengan memegang ekor kuda, “Semoga pakaianku tidak terlepas,”
juga yaitu à sãsa adhiññhà na sebab tidak ada kebenaran sebagai
landasan dan oleh sebab itu hanya tekad dari keinginannya, à sãsa
adhiññhà na.
Demikianlah perbedaan antara sacca dan adhiññhà na terletak pada
ada atau tidaknya landasan kebenaran.
Kebiasaan-kebiasaan dan praktik seperti meniru sapi (gosãla dan
govata): sapi makan dan mengeluarkan kotoran sambil berdiri;
dalam meniru sapi, beberapa petapa (dalam masa kehidupan
Buddha) melakukan hal yang sama, secara keliru meyakini bahwa
3443
1
dengan melakukan hal itu mereka akan menjadi suci dan terbebas
dari saÿsà ra. (Bukan berarti sapi-sapi itu memiliki pandangan salah,
tetapi para petapa yang meniru sapi itu yang berpandangan salah).
Praktik (vata) ini berhubungan dengan keburukan.
Tetapi adhiññhà na tidak berhubungan dengan praktik-praktik
salah ini , sebab ini merupakan praktik Kesempurnaan yang
mulia. Di sini vata merujuk pada pelaksanaan praktik-praktik
mulia seperti kedermawanan, moralitas, dan seterusnya. saat
seseorang bertekad untuk melaksanakan praktik-praktik ini,
tindakan demikian disebut vata adhiññhà na, tetapi hanya sekadar
tekad saja tidak berarti telah memenuhi Kesempurnaan Tekad.
Alasannya yaitu bahwa adhiññhà na bukanlah masa lalu atau masa
sekarang. Seseorang memenuhi Kesempurnaan Tekad jika pada
masa depan ia melaksanakan apa yang ia tekadkan sekarang. Akan
tetapi, jika secara sungguh-sungguh bertekad sekarang, jika ia gagal
melaksanakannya kelak, maka tekadnya menjadi tidak berguna
dan tidak berarti.
Gagasan ini diungkapkan dalam Kavilakkhaõa Thatpon. Bahwa
tekad harus diumpamakan sebagai cula seekor badak, binatang
buas yang hanya memiliki satu cula, bukan dua. Bagaikan seekor
badak yang hanya memiliki satu cula demikian pula seseorang
harus menepati tekadnya dengan teguh, tidak goyah. Kalimat
Kavilakkhaõà ini sesuai dengan kalimat “yathà pi pabbato selo”
seperti yang disebutkan dalam Buddhavaÿsa. Artinya telah
dijelaskan di atas.
Perbedaan tekad yang dikelompokkan sebelumnya, sebagai
adhiññhà na sehubungan dengan uposatha, adhiññhà na sehubungan
dengan jubah dan adhiññhà na sehubungan dengan mangkuk,
tidak dapat dikelompokkan dalam pubbanimitta adhiññhà na, à sãsa
addhiññhà na dan vata adhiññhà na, sebab tekad-tekad ini
dituntut dalam peraturan Vinaya. Sebaliknya, adhiññhà na dari
satu di antara lima vasãbhà va dan adhiññhà na sebelum memasuki
Nirodhasamà patti dan yang merupakan milik sepuluh iddhi yaitu
à sãsa adhiññhà na.
3444
Para Bakal Buddha dan Tiga Jenis Adhiññhà na
Dari tiga jenis adhiññhà na, para Bakal Buddha mempraktikkan
pubbanimitta adhiññhà na bukan untuk memenuhi Kesempurnaan
Tekad, tetapi untuk memenuhi beberapa persyaratan dalam
situasi tertentu. Sebaliknya, vata adhiññhà na mereka praktikkan
untuk memenuhi Kesempurnaan Tekad yang membawa menuju
pencapaian Arahatta-Magga ¥Ã õa dan Sabba¤¤uta ¥Ã õa.
Untuk menjelaskan sedikit mengenai cara mereka mempraktikkan
(adhiññhà na ini), berikut ini yaitu kutipan dari Cariyà Piñaka:
Nisajja pà sà davare evaÿ cintes’ ahem tadÃ
Yaÿ ki¤ ci mà nusaÿ dà naÿ adinnaÿ me na vijjati
Yo pi yà ceyya maÿ cakkhuÿ dadeyyaÿ avikampito
SÃ riputta, saat aku menjadi Raja Sivi, di istana aku berpikir,
“Dari jenis-jenis dà na yang diberikan orang, “Tidak ada yang
belum kuberikan. Jika orang meminta mataku, tanpa ragu aku akan
memberi kepadanya.”
Dengan kata-kata ini, Raja Sivi bermaksud mengatakan bahwa ia
bertekad teguh, “Jika seseorang datang kepadaku hari ini untuk
meminta mataku, tanpa keraguan aku akan memberi mataku
kepadanya.”
saat Sakka dalam samaran seorang brahmana datang untuk
meminta satu matanya, menepati tekadnya, ia menyerahkan kedua
matanya tanpa ragu. Tekad Raja Sivi ini berhubungan dengan
dà na.
Dalam Bab tentang praktik Bhuridatta, dikatakan:
Caturo aïge adhiññhà ya semi vammikamuddhani
chaviyà cammena maÿsena nahà ru aññhikehi vÃ
yassa etena karaõiyaÿ dinnaÿ yeva harà tu so
ini menjelaskan bagaimana Raja NÃ ga Bhuridatta bertekad
3445
1
saat melaksanakan sãla. Maksudnya, “sesudah bertekad
sehubungan dengan empat kelompok tubuhku, yaitu, (1) kulit
yang tebal dan tipis, (2) daging dan darah, (3) otot, dan (4) tulang,
aku berbaring di atas gundukan sarang semut. Ia yang ingin
memanfaatkan empat kelompok ini, boleh mengambilnya, sebab
aku telah mempersembahkannya.” sebab ingin mengembangkan
pelaksanaan sãla, Raja Bhuridatta bertekad, “Aku akan menjaga
moralitasku dengan mengorbankan nyawaku.” Tekad Raja
Bhuridatta ini yaitu berhubungan dengan sãla.
Juga dalam Campeyya Jà taka dari Vãsati Nipà ta, Raja Nà ga
Campeyya pergi menjalani sãla sesudah memberi tahu ratunya
tentang pertanda yang menandakan bahwa ia sedang berada dalam
bahaya dengan cara yang telah disebutkan di atas; disebutkan dalam
Komentar, “Nimittà ni à cikkhitvà cà tuddasã uposathaÿ adhiññhà ya
nà gabhavanà nikkhamitvà tattha gantvà vammikamatthake nipajji”,
“sesudah memberitahukan pertanda dan sesudah bertekad untuk
melaksanakan sãla pada hari keempat belas bulan baru, Campeyya
meninggalkan alam nà ga menuju ke alam manusia dan berbaring
di atas gundukan sarang semut.” Tekad Campeyya ini yaitu murni
pelaksanaan sãla.
Dalam semua kisah ini, dà na atau sãla yaitu satu hal dan adhiññhà na
yaitu hal lain lagi. DÃ na yang dilakukan oleh Raja Sivi terjadi
saat ia menyerahkan matanya, tetapi tekadnya terjadi saat ia
mulai bertekad untuk melakukannya sebelum pemberian yang
sebenarnya. Oleh sebab itu, tekad terjadi lebih dulu dan diikuti
oleh tindakan memberi. Dalam hal sãla yang dilaksanakan oleh
raja nà ga, juga, tekad terjadi lebih dulu dan lalu diikuti oleh
tindakan melaksanakan sãla. Dalam urusan duniawi juga, yaitu
wajar jika melakukan suatu hal sesudah memutuskan “Aku akan
melakukan hal ini.”
Adhiññhà na Pangeran Temiya
Bakal Buddha saat itu yaitu putra raja dari KÃ si bernama
Temiya. (Ia diberi nama demikian oleh ayahnya sebab pada hari
ia dilahirkan terjadi hujan lebat di seluruh Negeri KÃ si dan para
3446
warga menjadi basah dan gembira.) saat sang pangeran
berusia satu bulan, sewaktu ia berada di pangkuan ayahnya, empat
pencuri dihadapkan kepada raja, yang memerintahkan agar mereka
dihukum. Pangeran terkejut dan merasa sedih, berpikir, “Apa yang
dapat kulakukan untuk melarikan diri dari istana ini.”
Keesokan harinya sewaktu ia sedang sendirian di bawah payung
putih, ia merenungkan tindakan ayahnya dan menjadi takut untuk
menjadi raja. Kepadanya yang pucat bagaikan bunga teratai yang
diremas, dewi penjaga payung putih, ibunya dalam kehidupan
lampau, berkata, “Jangan takut Anakku. Jika engkau ingin melarikan
diri dari istana, bertekadlah untuk berpura-pura bodoh, bisu, dan
tuli. Maka keinginanmu akan terpenuhi.” lalu sang pangeran
bertekad dan berbuat sesuai nasihat itu.
Selama enam belas tahun sang pangeran diuji dalam berbagai cara,
tetapi ia tetap teguh tanpa menyimpang dari tekadnya. lalu
sang ayah memerintahkan, “Putraku benar-benar bodoh, bisu, dan
tuli. Bawa dia ke tanah pekuburan dan kubur ia di sana.”
Walaupun ia diuji dalam berbagai cara dan menghadapi banyak
kesulitan selama enam belas tahun, ia tetap bertekad bagaikan
perumpamaan gunung karang yang disebutkan dalam Buddhavaÿsa.
Tekadnya yang teguh, tidak tergoyahkan yaitu tindakan keteguhan
hati yang luar biasa. Hanya jika seseorang memenuhi tekad vata
dengan jenis seperti yang dilakukan oleh Pangeran Temiya dengan
segala kekuatan dan keberanian dan tanpa tergoyahkan maka ia
dapat melaksanakan pemenuhan Kesempurnaan Tekad seperti yang
dilaksanakan oleh para Bodhisatta.
(I) Kesempurnaan Cinta Kasih (Mettà Pà ramã)
Tiga Jenis Pema
Guru-guru zaman dulu menerjemahkan kata mettà dari MettÃ
Pà ramã sebagai cinta. Demikian pula, mereka juga menerjemahkan
pema sebagai cinta. ‘Cinta’ yang dimaksudkan dalam mettà memiliki
makna khusus sedangkan ‘cinta’ yang dimaksudkan dalam pema
3447
1
bersifat umum. Pema dibagi menjadi tiga, yaitu:
(1) taõhà pema,
(2) gehasita pema, dan
(3) mettà pema.
(1) Taõhà pema yaitu cinta antara laki-laki dan perempuan dan
muncul sebab kemelekatan, keserakahan; cinta ini disebut siïgà ra
dalam buku-buku bahasa.
(2) Gehasita pema yaitu keterikatan antara orangtua dan anak-
anak, antara kakak dan adik, dan didasarkan sebab menetap
bersama dalam rumah yang sama. Cinta jenis ini disebut vacchala
dalam buku-buku bahasa.
Baik taõhà pema maupun gehasita pema tidak bersifat mulia, yang
pertama yaitu nafsu (taõhà rà ga) sedangkan yang kedua yaitu
keserakahan (lobha).
(3) Mettà pema yaitu cinta kasih atau kebaikan yang tidak terbatas
yang ditujukan kepada makhluk-makhluk lain demi kesejahteraan
mereka. Cinta ini yaitu bebas dari kemelekatan atau keinginan
untuk tetap hidup bersama dengan orang lain. Orang lain boleh
saja tinggal di kutub lain dan ia tetap merasa bahagia mendengar
bahwa orang lain itu yang berada di tempat jauh dalam keadaan
makmur. Perpisahan tidak mencegah seseorang dari merasa puas
atas kesejahteraan mereka. Oleh sebab itu mettà yaitu murni
dan mulia dan disebut Brahmà vihà ra (Kediaman Luhur). Artinya,
dengan mengembangkan cinta seperti itu berarti berdiam dalam
kondisi batin yang luhur. Tidak hanya mettà , tetapi karuõà (welas
asih), mudità (kegembiraan atas kesejahteraan orang lain), dan
upekkhà (ketenangseimbangan) yaitu juga Brahmà vihà ra.
Jadi Brahmà vihà ra terdiri dari empat keluhuran ini. Empat ini
juga disebut sebagai Empat Brahmacariya (praktik mulia). (Nama
lain untuk Brahmà vihà ra yaitu Appama¤¤Ã , tak terukur, sebab
merupakan kualitas batin yang harus dikembangkan dan diarahkan
kepada semua makhluk yang jumlahnya tak terbatas.)
3448
Harus dimengerti secara saksama bahwa pengembangan cinta kasih
bukanlah pengembangan taõhà pema dan gehasita pema yang tidak
murni, melainkan mettà pema yang murni dan mulia. Bagaimana
mengembangkan mettà akan dijelaskan lalu .
Mettà dan Adosa
Mettà yaitu realitas yang terdapat dalam pengertian mutlak
(Paramattha). Tetapi jika realitas mutlak diuraikan, mettà tidak
disebutkan sebagai bagian tersendiri, sebab tercakup dalam bagian
adosa cetasika (faktor batin ketidakbencian) yang memiliki makna
konotasi yang luas. Mettà membentuk sebagian dari faktor batin
adosa.
Penjelasan lebih lanjut: menurut Abhidhamattha Saïgaha, adosa
cetasika berhubungan dengan lima puluh sembilan sobhaõa citta.
Jika lima puluh sembilan citta ini muncul, maka muncul pula
adosa cetasika. Adosa dapat merenungkan berbagai objek, tetapi
mettà hanya memiliki satu, makhluk hidup, sebagai objeknya.
Dalam melaksanakan berbagai tindakan dà na atau melaksanakan
berbagai jenis sãla, akan muncul berbagai jenis adosa. Tetapi setiap
kali adosa muncul, tidak selalu berarti mettà . Hanya jika seseorang
merenungkan makhluk-makhluk hidup dengan pikiran, “Semoga
mereka sejahtera dan bahagia,” mengharapkan kemakmuran
mereka, maka adosa cetasika disebut mettà .
Sehubungan dengan Khantã Pà ramã (Kesempurnaan Kesabaran)
yang telah dijelaskan di atas, juga, khantã dapat berarti adosa
cetasika, tetapi tidak semua adosa cetasika yaitu khantã; saat
seseorang disakiti oleh orang lain, ia mengendalikan diri dengan
tidak menunjukkan dosa (kebencian atau kemarahan) kepada
mereka, dan telah dibahas bahwa hanya adosa demikian yang
dianggap khantã. Demikian pula, tidak semua adosa yaitu mettà ,
tetapi hanya adosa yang muncul dalam bentuk cinta kasih terhadap
makhluk-makhluk lain yang dianggap mettà .
3449
1
528 Jenis MettÃ
Sehubungan dengan mettà , orang-orang mengatakan bahwa mettÃ
terdiri dari 528 jenis. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Harus
dipahami bahwa orang mengatakan demikian yaitu sebab
menurut Pañisambhidà magga terdapat 528 cara mengembangkan
mettà .
Dari 528 cara, lima di antaranya yaitu anodhisa, tanpa menentukan
makhluk-makhluk, yaitu:
(1) sabbe sattà (semua makhluk),
(2) sabbe pà õà (semua benda hidup),
(3) sabbe bhåtà (semua makhluk yang ada),
(4) sabbe puggalà (semua orang atau individu), dan
(5) sabbe attabhà vapariyà pannà (semua yang akan menjadi
individu hidup).
saat seseorang mengarahkan pikirannya kepada semua makhluk
yang ada di tiga puluh satu alam kehidupan dalam satu dari lima
cara ini, maka mereka semua termasuk tanpa ada satu pun yang
tertinggal. sebab tidak ada yang tidak termasuk dalam lima cara
ini, maka lima ini disebut lima anodhisa (atau juga disebut lima
individu anodhisa). Odhi dari anodhisa berarti ‘batas’. Dengan
demikian anodhisa yaitu ‘tidak terbatas.’
Jika mettà diarahkan kepada makhluk-makhluk yang ditentukan,
pengelompokannya yaitu sebagai berikut:
(1) sabbà itthiyo (semua perempuan),
(2) sabbe purisà (semua laki-laki),
(3) sabbe ariyà (semua makhluk mulia, para Ariya),
(4) sabbe anariyà (semua makhluk tidak mulia, mereka yang belum
mencapai status Ariya),
(5) sabbe devà (semua dewa),
(6) sabbe manussà (semua manusia), dan
(7) sabbe vinipà tikà (para peta yang berada di alam sengsara).
3450
Masing-masing dari tujuh ini terdiri dari kelompok makhluk yang
berbeda dan disebut odhisa (atau tujuh makhluk odhisa).
Demikianlah ada dua belas jenis makhluk, lima anodhisa (tidak
ditentukan) dan tujuh odhisa (ditentukan), ke mana mettà harus
diarahkan.
Bagaimana mettà diarahkan kepada dua belas kelompok makhluk
diajarkan sebagai berikut:
(1) averà hontu (semoga mereka bebas dari permusuhan),
(2) abyà pajjà hontu (semoga mereka bebas dari kebencian),
(3) anighà hontu (semoga mereka bebas dari ketidakbahagiaan),
dan
(4) sukhi attà naÿ pariharantu (semoga mereka mampu
mempertahankan kebahagiaan mereka).
Jika mettà dipancarkan dalam empat cara ini ke arah dua belas
kelompok makhluk di atas, maka cara pemancaran mettà seluruhnya
menjadi berjumlah empat puluh delapan. Tidak ada rujukan
langsung mengenai arah dalam empat puluh delapan cara ini.
Jika empat penjuru utama, empat penjuru di antaranya, dan ke
atas dan ke bawah disebutkan dalam masing-masing empat puluh
delapan cara ini, maka seluruhnya menjadi empat ratus delapan
puluh cara: (“Semoga makhluk-makhluk di penjuru timur bebas
dari permusuhan, bebas dari kebencian, bebas dari penderitaan
dan semoga mereka dapat mempertahankan kebahagiaan mereka.”
Dengan cara yang sama makhluk-makhluk di penjuru lain juga
harus dipancarkan mettà , dengan demikian cara memancarkan
mettà menjadi empat ratus delapan puluh.)
Jika empat puluh delapan cara memancarkan tanpa menyebutkan
arah ditambahkan dengan empat ratus delapan puluh cara ini, maka
totalnya menjadi lima ratus dua puluh delapan.
Lima ratus dua puluh delapan cara memancarkan mettà ini secara
singkat disebut “pemancaran mettà ” oleh para guru zaman dulu
3451
1
dan digubah menjadi sebuah doa tradisional. Jika seseorang ingin
memancarkan mettà dengan cara pertama dalam bahasa Pà ëi,
ia dapat melakukannya dengan membacakan “sabbe sattà averÃ
hontu” (semoga semua makhluk bebas dari permusuhan). Jika
ia ingin melakukannya dengan cara kedua dalam bahasa Pà ëi, ia
dapat melakukannya dengan membacakan “sabbe sattà abyà pajjÃ
hontu” (semoga semua makhluk bebas dari kebencian). Mengulangi
terus-menerus dengan cara ini juga berarti mengembangkan mettà .
(Demikianlah lima ratus dua puluh delapan cara memancarkan
mettà ini harus dipahami.)
Pengembangan mettà dalam lima ratus dua puluh delapan cara
yang disebutkan di atas diajarkan dalam Pañisambhidà magga dan
cukup terkenal. Dalam kitab ini tidak disebutkan mengenai
pengembangan karuõà , mudità , dan upekkhà pada di akhir
pengembangan mettà .) Tetapi sekarang ini pemancaran mettà yang
tertulis dalam beberapa buku pada bagian akhir pengembangan
ini terdapat: (a) dukkhà pamuccantu, ‘semoga mereka bebas
dari penderitaan’, yang merupakan pengembangan karuõà , (b) yathÃ
laddha sampattito mà vigacchantu, ‘semoga mereka tidak kehilangan
apa yang telah mereka peroleh’, yang merupakan pengembangan
mudità , (c) kammassakà , ‘mereka memiliki perbuatan mereka
sendiri, kamma, sebagai harta mereka; tiap-tiap makhluk yaitu
apa yang diperbuat melalui kamma-nya’, yang merupakan
pengembangan upekkhà . Penambahan ini dimasukkan oleh para
guru zaman dulu agar mereka yang ingin mengembangkan karuõà ,
mudità , dan upekkhà dapat melakukannya dengan pengembangan
mettà sebagai tuntunan.
Oleh sebab itu, jika seseorang ingin mengembangkan karuõà , ia
harus mengarahkan pikirannya ke arah makhluk-makhluk hidup
seperti ini: sabbe sattà dukkhà pamuccantu, ‘semoga semua makhluk
bebas dari penderitaan’; jika ia ingin mengembangkan mudità :
sabbe sattà yathà laddha sampattito mà vigacchantu, ‘semoga semua
makhluk tidak kehilangan apa yang telah mereka peroleh’; jika ia
ingin mengembangkan upekkhà : sabbe sattà kammassakà , ‘semua
makhluk memiliki perbuatan mereka sendiri, kamma, sebagai harta
mereka’.
3452
Tetapi hal ini bukan berarti bahwa hanya cara-cara yang telah
disebutkan dalam Kitab yang dapat dilakukan dan tidak ada cara
lain. sebab untuk mencakup semua makhluk tanpa membeda-
bedakan, tidak hanya dengan memakai kata satta, pà õa, bhåta,
puggala, dan attabhà vapariyà pannà , tetapi terdapat kata-kata lain
seperti sarãrã, dehã, jãva, pajà , jantu, hindagu, dan sebagainya. Untuk
memancarkan kepada makhluk-makhluk dengan pikiran ‘sabbe
sarãrã averà hontu’, ‘semoga semua makhluk yang memiliki tubuh
bebas dari permusuhan’, dan seterusnya, yaitu juga mengarahkan
mettà kepada mereka.
Cara-cara mengarahkan mettà juga dijelaskan sebagai empat
dalam Pañisambhidà magga. Tetapi terdapat cara-cara lain juga,
misalnya, sabbe sattà sukhino hontu, ‘semoga semua makhluk
berbahagia’; sabbe sattà khemino hontu, ‘semoga semua makhluk
aman’, dan pikiran-pikiran demikian juga yaitu mettà . Fakta
bahwa memancarkan mettà kepada makhluk-makhluk lain dengan
memakai kata-kata Pà ëi yang lain dan dengan memakai
cara lain juga merupakan pengembangan mettà yang sesungguhnya,
terbukti dalam Mettà Sutta.
Pengembangan Mettà Menurut Mettà Sutta
Mettà Sutta dibabarkan oleh Buddha sehubungan dengan para
bhikkhu yang menetap di hutan dan dibacakan dalam sidang dan
dicatat dalam Sutta Nipà ta dan Khuddaka Pà ñha. Sutta ini pertama-
tama menjelaskan mengenai lima belas kualitas yang harus dimiliki
oleh mereka yang ingin mengembangkan mettà . Lima belas ini
dikenal dalam bahasa Pà ëi sebagai Mettà pubbabhà ga, yaitu, kualitas
yang harus dimiliki sebelum mengembangkan mettà .
Sutta ini mengatakan:
Ia yang cerdas dalam apa yang mulia dan bermanfaat dan yang ingin
merenungkan Nibbà na melalui kebijaksanaannya—Nibbà na yang
merupakan kedamaian dan kebahagiaan—harus berusaha untuk
memiliki kualitas berikut:
3453
1
(1) kemampuan melakukan apa yang baik,
(2) bertingkah laku lurus,
(3) jujur,
(4) menerima nasihat dari para bijaksana,
(5) lemah lembut,
(6) tidak angkuh,
(7) mudah merasa puas dengan apa yang telah dimiliki,
(8) mudah dilayani,
(9) tidak terbebani oleh tugas-tugas dan kewajiban yang tidak
perlu,
(10) hidup sederhana (yaitu, tidak dibebani dengan terlalu banyak
harta jika melakukan perjalanan; seorang bhikkhu harus
melakukan perjalanan dengan ringan hanya dengan delapan
kebutuhan bagaikan seekor burung yang terbang hanya
membawa sayapnya),
(11) memiliki indria yang tenang dan damai,
(12) memiliki kebijaksanaan yang matang sehubungan dengan hal-
hal yang tidak ternoda,
(13) rendah hati dalam perbuatan, perkataan, dan pikiran,
(14) tidak melekat pada penyokong laki-laki dan perempuan
(khususnya bagi para bhikkhu, sebab Sutta ini memang pada
awalnya ditujukan untuk para bhikkhu. Umat awam juga tidak
boleh melekat pada teman-temannya), dan
(15) tidak melakukan kesalahan sekecil apa pun yang dapat dicela
oleh para bijaksana.
Sutta ini menjelaskan mengenai bagaimana mengembangkan
mettà sesudah memiliki lima belas kualitas ini dengan mengatakan,
“Sukhino và khemino hontu, sabbasattà bhavantu sukhitattà ” dan
seterusnya.
Bagaimana mengembangkan mettà seperti yang diajarkan dalam
Mettà Sutta dapat dipahami secara singkat sebagai berikut:
(a) sabbasaïgà hika mettà , mettà yang dikembangkan dalam segala
cara mencakup semua makhluk,
(b) dukabhà vanà mettà , mettà yang dikembangkan dengan
3454
membagi makhluk-makhluk menjadi dua kelompok, dan
(c) tikabhà vanà mettà , mettà yang dikembangkan dengan membagi
makhluk-makhluk menjadi tiga kelompok.
(a) Sabbasaïgahika MettÃ
Dari ketiga cara pengembangan mettà ini, sabbasaïgà hika mettÃ
dijelaskan dalam bahasa Pà ëi sebagai memancarkan sebagai berikut,
“Sukhino và khemino hontu, sabbesattà bhavantu sukhitattà “, jika
seseorang ingin mengembangkan mettà menurut penjelasan ini,
ia harus terus-menerus membacakan dan merenungkan sebagai
berikut:
(1) sabbe sattà sukhino hontu, semoga semua makhluk berbahagia
secara jasmani,
(2) sabbe sattà khemino hontu, semoga semua makhluk bebas dari
bahaya,
(3) sabbe sattà sukhitattà hontu, semoga semua makhluk berbahagia
secara batin.
Ini yaitu pengembangan sabbasaïgà hika mettà seperti yang
diajarkan dalam Mettà Sutta.
(b) Dukabhà vanà MettÃ
Dukabhà vanà mettà dan tikabhà vanà mettà dapat membingungkan
mereka yang tidak mampu mengartikan Kitab Pà ëi. (Bagaimana
kedua hal ini dapat membingungkan tidak akan dijelaskan agar
tidak menambah kebingungan.)
Dukabhà vanà mettà dikembangkan dengan cara sebagai berikut:
Terdapat empat pasang makhluk, yaitu:
(1) tasa thà vara duka―pasangan makhluk-makhluk yang takut dan
tidak takut,
(2) diññhà diññha duka―pasangan makhluk-makhluk yang terlihat
dan tidak terlihat,
3455
1
(3) dÃ¥ra santika duka―pasangan makhluk-makhluk yang jauh dan
yang dekat, dan
(4) bhÃ¥ta sambhavesi duka―pasangan makhluk-makhluk Arahanta
dan umat biasa bersama-sama dengan yang masih belajar.
(1) Tasà và thà varà và anavasesà sabbe sattà bhavantu sukhitattÃ
Semoga semua makhluk duniawi dan para pelajar mulia yang masih
takut dan para Arahanta yang tidak takut, tanpa kecuali, berbahagia
jasmani dan batin. Merenungkan demikian yaitu pengembangan
tasa thà vara duka bhà vanà mettà .
(2) Diññhà và adiññhà và anavasesà sabbasattà bhavantu sukhitattÃ
Semoga semua makhluk yang terlihat dan yang tidak terlihat, tanpa
kecuali, berbahagia jasmani dan batin. Merenungkan demikian
yaitu pengembangan diññhà diññha duka mettà .
(3) Dårà và avidårà và anavasesà sabbasattà bhavantu sukhitattà ,
Semoga semua makhluk yang jauh dan yang dekat, tanpa kecuali,
berbahagia jasmani dan batin. Merenungkan demikian yaitu
pengembangan dura santika dukabhà vanà mettà .
(4) Bhutà và sambhavesã và anavasesà sabbasattà bhavantu
sukhitattÃ
Semoga semua makhluk, mereka yang telah mencapai kesucian
Arahatta, dan mereka yang masih umat biasa dan yang masih
belajar, tanpa kecuali, berbahagia jasmani dan batin. Merenungkan
demikian yaitu pengembangan bhÃ¥ta sambhavesi dukabhà vanÃ
mettÃ
Empat cara yang disebutkan di atas mengenai pengembangan mettÃ
disebut dukabhà vanà mettà , yaitu, mettà yang dikembangkan
sesudah membagi makhluk-makhluk menjadi dua kelompok.
(c) Tikabhà vanà MettÃ
Tikabhà vanà mettà ini terdiri dari tiga jenis:
(1) dighà rassa majjhima tika―kelompok tiga makhluk-makhluk yang
3456
tinggi, pendek, dan sedang
(2) mahantà õuka majjhima tika―kelompok tiga makhluk-makhluk
yang besar, kecil, dan sedang
(3) thÃ¥là õuka majjhima tika―kelompok tiga makhluk-makhluk yang
gemuk, kurus, dan sedang.
(1) Dighà và rassà và majjhimà và annavasesà sabbasattà bhavantu
sukhitattÃ
Semoga semua makhluk yang memiliki tubuh yang tinggi, makhluk-
makhluk yang memiliki tubuh yang pendek dan makhluk-makhluk
yang memiliki tubuh sedang, tanpa kecuali, berbahagia jasmani dan
batin. Merenungkan demikian yaitu pengembangan dãgha rassa
majjhima tikabhà vanà mettà .
(2) Mahantà và aõukà và majjhimà và anavasesà sabbasattà bhavantu
sukhitattÃ
Semoga semua makhluk yang memiliki tubuh yang besar,
makhluk-makhluk yang memiliki tubuh yang kecil dan makhluk-
makhluk yang memiliki tubuh sedang, tanpa kecuali, berbahagia
jasmani dan batin. Merenungkan demikian yaitu pengembangan
mahantà õukavmajjhima tikabhà vanà mettà .
(3) Thålà và aõukà và majjhimà và anavasesà sabbasattà bhavantu
sukhitattÃ
Semoga semua makhluk yang memiliki tubuh yang gemuk,
makhluk-makhluk yang memiliki tubuh yang kurus dan makhluk-
makhluk yang memiliki tubuh sedang, tanpa kecuali, berbahagia
jasmani dan batin. Merenungkan demikian yaitu pengembangan
thålà õuka majjhima tikabhà vanà mettà .
Tiga cara yang disebutkan di atas mengenai pengembangan mettÃ
disebut tikabhà vanà mettà , yaitu, mettà yang dikembangkan sesudah
membagi makhluk-makhluk menjadi tiga kelompok.
sebab tiga cara pengembangan mettà ini, yaitu, (a) sabbasaïgà hika
mettà , (b) dukabhà vanà mettà , dan (c) tikabhà vanà mettà yaitu
pikiran penuh cinta kasih, yang dikembangkan dengan keinginan
untuk melihat makhluk lain mencapai kemakmuran dan
3457
1
kebahagiaan, maka disebut hitasukhà gamapatthanà mettà .
Demikian pula, pikiran cinta kasih yang dikembangkan dengan
keinginan untuk melihat makhluk lain bebas dari kemalangan dan
tidak menderita disebut ahitadukkhà nà gamapatthanà mettà .
Jenis mettà ini dijelaskan dalam Pà ëi:
Na paro param nikubbetha,
nà ’ tima¤¤etha katthaci naÿ ka¤ci.
Vyà rosanà pañighasa¤¤Ã ,
nà ¤¤ama¤¤assa dukkham iccheyya.
Artinya, ‘semoga seseorang tidak menipu orang lain; semoga
seseorang tidak menghina orang lain; semoga tidak mengharapkan
penderitaan orang lain dengan menyerang dan menyakiti secara
fisik, ucapan, dan pikiran.’ Merenungkan demikian yaitu
pengembangan ahitadukkhà gamapatthanà mettà .
Akan muncul pertanyaan, mengapa pengembangan mettà dijelaskan
tidak hanya dalam satu cara tetapi dalam banyak cara yang berbeda-
beda menurut Pañisambhidà magga dan Mettà Sutta?
Jawabannya yaitu : pikiran orang-orang biasa terus-menerus
mengembara dari satu objek indria ke objek indria yang lain.
Pikiran dalam kondisi demikian tidak dapat dijaga agar tetap
terpusat pada objek mettà dengan memakai satu cara saja.
Pikiran yang terkonsentrasi hanya dapat dicapai dengan terus-
menerus mengubah cara perenungan. Oleh sebab itu Buddha
mengajarkan berbagai cara mengembangkan mettà . Para bijaksana
zaman dulu, juga menjelaskan hal ini dalam berbagai cara. (Atau,
penjelasan lainnya:) Mereka yang mengembangkan mettà memiliki
kecenderungan yang berbeda-beda; bagi beberapa orang, anodhisa
mettà lebih mudah dipahami; bagi beberapa orang odhisa mettÃ
lebih mudah dimengerti; bagi beberapa orang, memancarkan mettÃ
ke berbagai penjuru yaitu lebih jelas; bagi beberapa orang, cara
sabbasaïgahika dari Mettà Sutta lebih jelas; bagi beberapa orang,
dukabhà vanà lebih sesuai; dan bagi beberapa orang tikabhà vanÃ
3458
lebih cocok. sebab kecenderungan yang berbeda-beda dari mereka
yang mengembangkan mettà memerlukan penggunaan cara yang
berbeda-beda pula sesuai masing-masing individu, maka Buddha
mengajarkan cara yang berbeda-beda ini dan guru-guru selanjutnya
mengajarkannya secara lengkap.
Mettà Bodhisatta
Bagaimana Bodhisatta mengembangkan mettà (bagaimana Beliau
memenuhi Kesempurnaan Cinta Kasih) telah dijelaskan dalam
Suvaõõasà ma Jà taka dalam Cariyà Piñaka dan Mahà Nipà ta (dari
Jà taka). Kisah yang terdapat dalam Cariyà Piñaka secara singkat
yaitu , “Sà riputta, saat Aku yaitu Suvaõõasà ma, menetap di
tempat yang telah dipersiapkan oleh Sakka, Aku memancarkan cinta
kasih ke arah singa-singa dan macan-macan di hutan. Aku menetap
di sana dikelilingi oleh singa dan macan, serigala, kerbau, rusa, dan
beruang. Tidak ada satu binatang pun yang takut kepada-Ku; juga
Aku tidak takut kepada mereka. Aku hidup bahagia di dalam hutan
sebab Aku dibentengi oleh kekuatan mettà .”
Dari kutipan ini kita tidak mengetahui tentang keluarga
Suvaõõasà ma, kelahirannya, dan sebagainya; kita hanya mengetahui
kehidupannya yang bahagia dan mulia tanpa rasa takut terhadap
binatang-binatang buas di hutan, ditopang oleh kebajikan cinta
kasih-Nya.
Akan tetapi, dalam Mahà Nipà ta, dikatakan bahwa saat Bodhisatta
Suvaõõasà ma tertembak oleh sebatang anak panah, ia bertanya,
“Mengapa engkau menembak-Ku dengan anak panah?” dan Raja
Pãëiyakkha menjawab, “Sewaktu aku sedang membidik seekor
rusa, rusa itu yang telah berada dalam arah tembak anak panahku
melarikan diri, sebab takut pada-Mu. sebab aku jengkel maka aku
menembak-Mu,” lalu Suavaõõasà ma menjawab, ”Na maÿ
migà uttasanti, ara¤¤e sà padà nipi” “Melihatku, rusa tidak takut;
juga binatang-binatang lainnya di hutan ini.” Ia juga mengatakan:
“O Raja, bahkan kinnara yang pemalu yang hidup di Gunung
Gandhamà dana, akan dengan gembira mendatangi-Ku sewaktu
3459
1
mereka berjalan-jalan di gunung dan hutan.”
Dari syair Pà ëi ini, diketahui bahwa Bodhisatta Suvaõõasà ma,
menetap di hutan, memancarkan mettà ke arah semua binatang
penghuni hutan termasuk kinnara dan sebab itulah Ia dicintai oleh
semua binatang di hutan itu.
Dalam daftar sebelas manfaat yang dihasilkan dari mengembangkan
mettà , salah satunya yaitu : dicintai oleh manusia, dewa, siluman,
dan hantu. Tetapi dari kisah Suvaõõasà ma kita mengetahui bahwa
binatang juga mencintai mereka yang mengembangkan mettà .
(Sebelas manfaat pengembangan mettà telah dibahas sehubungan
dengan Navaïga Uposatha pada bagian Kesempurnaan Moralitas).
Dari sebelas manfaat ini, sehubungan dengan amanussà naÿ
piyo, ‘cinta dewa, siluman, dan hantu’, dapat dipahami dari kisah
Thera Visà kha yang terdapat dalam Brahmà vihà ra Niddesa dari
Visuddhimagga.
Kisah Thera Visà kha
Visà kha, seorang perumah tangga dari Pà ñaliputta, sesudah
mendengar tentang Sri Lanka, ingin pergi ke negeri ini
untuk mempraktikkan Dhamma. sesudah menyerahkan seluruh
kekayaannya kepada keluarganya, ia menyeberang ke Sri Lanka
dan menjadi seorang bhikkhu di Mahà vihà ra. Selama lima bulan
ia memelajari Dve Mà tikà (Dua Kitab Vinaya) dan lalu
meninggalkan Mahà vihà ra menuju sejumlah vihà ra yang sesuai
untuk bermeditasi. Ia menetap selama empat bulan di masing-
masing vihà ra.
Dalam perjalanannya menuju vihà ra bukit bernama Cittala, Visà kha
sampai di persimpangan jalan dan saat ia mempertimbangkan jalan
mana yang akan ia ambil, dewa bukit itu menuntunnya ke arah yang
benar. Demikianlah ia tiba di vihà ra dan menetap selama empat
bulan di sana. sesudah merencanakan untuk pergi ke vihà ra lain
keesokan harinya, ia pergi tidur. Selagi ia tidur, hantu penghuni
pohon hijau duduk di atas pegangan tangga dan menangis.
“Siapakah yang menangis di sini?” tanya bhikkhu itu. “Aku yaitu
3460
hantu penghuni pohon hijau, Tuan,” jawabnya. “Mengapa engkau
menangis?” “sebab engkau hendak pergi.” “Apakah manfaatnya
bagimu jika aku tetap tinggal di sini?” “Keberadaanmu di sini,
menyebabkan para dewa, siluman, dan makhluk-makhluk lain di
sini saling menunjukkan cinta kasih. (Cinta melingkupi mereka
semua.) sesudah engkau pergi, mereka akan bertengkar bahkan
berkata-kata kasar.”
“Jika keberadaanku di sini benar-benar memberi kebahagiaan
buatmu seperti yang engkau katakan,” bhikkhu itu berkata, “baiklah,
aku akan tinggal selama empat bulan lagi.” saat empat bulan lagi
telah berlalu, si bhikkhu itu hendak pergi dan si hantu menangis
lagi. Demikianlah, bhikkhu itu tidak dapat meninggalkan tempat itu
dan meninggal dunia mencapai Nibbà na di vihà ra itu di Cittala.
Kisah ini menunjukkan bahwa mereka yang menerima mettà tidak
hanya mencintai ia yang memancarkan mettà kepada mereka, tetapi
juga menunjukkan cinta kasih kepada satu sama lain di bawah
pengaruh mettà -nya.
Cinta Kasih Seorang Pemburu
Dalam Mahà Haÿsa Jà taka dari Asãti Nipà ta, saat Bodhisatta,
raja para Haÿsa, terjebak dalam sebuah perangkap, ia menderita
luka-luka, atas anjuran Jenderal Haÿsa, si pemburu yang menyesal
itu mengangkat si Raja Haÿsa dengan lembut dan merawatnya
dengan cinta kasih untuk mengobati lukanya. Bahkan luka goresan
dari perangkap itu tidak berbekas di kakinya, yang menjadi normal
dengan urat, daging, dan kulit utuh berkat kekuatan mettà si
pemburu.
Ini hanyalah kutipan yang berhubungan dari Mahà Haÿsa Jà taka.
Kisah lengkapnya dapat dibaca dari JÃ taka yang sama. Kisah-kisah
yang mirip terdapat pada Pañhama Cåëà Haÿsa Jà taka dari Asãti
Nipà ta, Rohaõa Miga Jètaka, dan Cåëà Haÿsa Jà taka dari Vãsati
Nipà ta. Kekuatan mettà dapat dipahami dari kisah-kisah ini.
3461
1
Nafsu Dalam Samaran Cinta Kasih
Ia yang ingin memancarkan mettà kepada makhluk-makhluk
lain harus berhati-hati terhadap satu hal yaitu jangan sampai
mengembangkan nafsu (rà ga) dalam samaran sebagai mettÃ
seperti yang diperingatkan dalam Komentar Netti, “RÃ go
mettà yanà mukhena va¤ceti.” “Nafsu dalam samaran cinta kasih
yaitu menipu.” Dalam Brahmà vihà ra Niddesa dari Visuddhimagga,
juga disebutkan, “Memadamkan kemarahan berarti memenuhi
mettà , tetapi munculnya nafsu berarti hancurnya mettà .”
Artinya yaitu : jika seseorang memancarkan mettà kepada orang lain
yang kepadanya ia merasa marah, kemarahan itu lenyap dan muncul
dalam dirinya mettà yang merupakan cinta kasih. Jika kemelekatan
nafsu muncul dalam dirinya sewaktu ia mengembangkan mettÃ
sejati, maka mettà sejatinya itu gagal. Ia ditipu oleh nafsu yang
berwujud menyerupai cinta kasih.
sebab mettà yaitu satu dari Sepuluh Kesempurnaan, maka
harus dipancarkan kepada makhluk-makhluk lain hingga mereka
membalas cinta kasih mereka kepada kita seperti halnya yang
terjadi pada Bodhisatta Suvaõõasà ma dan yang lainnya. MettÃ
tidak hanya termasuk dalam Sepuluh Kesempurnaan, tetapi
juga termasuk dalam empat puluh cara meditasi Samatha, yang
mengarah kepada pencapaian Jhà na dan Abhi¤¤Ã . Oleh sebab
itu para Bodhisatta dan orang-orang berbudi pada masa lampau
mengembangkan mettà dan dengan konsentrasi yang tajam dan
dalam mereka mencapai Jhà na-Jhà na dan Abhi¤¤Ã (yang disebut
appanà dalam bahasa Pà ëi). Sebagai gambaran mengenai pencapaian
demikian sewaktu memenuhi Kesempurnaan dapat dibaca dalam
Seyya Jà taka, Abbhantara Vagga dari Tika Nipà ta dan Ekarà ja Jà taka,
Kà liïga Vagga dari Catukka Nipà ta.
Seyya JÃ taka
Sebuah sinopsis dari Seyya Jà taka: Raja Brahmadatta dari Bà rà õasã
memerintah dengan jujur memenuhi sepuluh kewajiban raja.
Ia memberi dà na, melaksanakan Lima Sãla, melaksanakan
3462
moralitas uposatha. lalu seorang menteri yang melakukan
kejahatan di istana diusir oleh raja dari kerajaan itu. Ia pergi ke negeri
tetangga Kosala dan sewaktu melayani raja di sana, ia mendesak
raja agar menyerang dan menaklukkan Bà rà õasã yang, menurutnya,
dapat dilakukan dengan mudah. Raja Kosala menuruti nasihatnya,
menangkap dan mengurung Raja Brahmadatta, yang tidak melawan
sama sekali, bersama para menterinya.
Di dalam penjara, Brahmadatta memancarkan mettà ke arah Kosala,
yang telah merampas kerajaannya, dan akhirnya mencapai mettÃ
Jhà na. Berkat kekuatan mettà ini , si perampok, Raja Kosala
merasa terbakar di sekujur tubuhnya seolah-olah dibakar dengan
obor. sebab menderita kesakitan luar biasa, ia bertanya kepada
para menterinya, “Mengapa ini terjadi padaku?” Mereka menjawab,
“O Raja, engkau menderita sebab engkau telah memenjarakan
Raja Brahmadatta yang memiliki moralitas.” Selanjutnya Kosala
segera mendatangi Bodhisatta Brahmadatta, memohon maaf
dan mengembalikan kerajaannya kepada Brahmadatta dengan
mengatakan, “Ambillah kembali kerajaanmu.” Dari kisah ini, jelas
bahwa mettà mendukung pencapaian Jhà na.
Ekarà ja Jà taka
Kisah Ekarà ja: suatu saat , seorang menteri yang membantu
Raja Brahmadatta di Barà nasã melakukan pelanggaran. Kisah ini
dimulai dengan kejadian yang sama seperti dalam kisah Seyya
Jà taka sebelumnya. Seyya Jà taka dan Ekarà ja Jà taka mirip dengan
kisah Mahà Sãlava Jà taka dari Ekaka Nipà ta. Kisah lengkapnya baca
Mahà Sãlava Jà taka.
Yang khusus dari Ekarà ja Jà taka yaitu : sewaktu Raja Bà rà nasã
sedang duduk di singgasana bersama para menterinya di halaman
istana, Raja Dubbhisena dari Kosala mengikat dan mengurungnya
dan lalu menggantungnya secara terbalik di atas pintu di
dalam istananya. Dengan mengembangkan mettà dengan si raja
perampok sebagai objek perenungannya, Brahmadatta mencapai
Jhà na dan Abhi¤¤Ã . Ia mampu membebaskan dirinya sendiri dari
belenggu dan duduk bersila di angkasa. Tubuh Dubbhisena menjadi
3463
1
panas dan begitu panas hingga ia bergulingan di atas tanah sambil
mengeluh, “Panas sekali; panas sekali.” lalu ia bertanya
kepada menterinya, “Mengapa ini terjadi padaku?” Para menteri
menjawab, “O Raja, engkau menderita seperti ini sebab engkau
telah melakukan kesalahan dengan menangkap dan menggantung
terbalik raja yang baik dan tidak bersalah.” “Kalau begitu, segera
bebaskan dia.” Para pelayannya segera mendatangi raja dan
melihatnya sedang duduk bersila di angkasa. Mereka kembali dan
melaporkan hal itu kepada Raja Dubbhisena.
Mettà Buddha
Suatu saat sewaktu para anggota Saÿgha yang dipimpin oleh
Buddha melakukan perjalanan ke Kusinà ra, para pangeran Malla
sepakat bahwa siapa pun yang tidak menyambut rombongan itu
akan dihukum. Demikianlah, seorang pangeran Malla, bernama
Roja, yang yaitu teman ânanda sewaktu ia masih menjadi seorang
awam, menyambut rombongan itu bersama para pangeran lainnya.
ânanda berkata memuji Roja bahwa itu yaitu kesempatan baik
untuk melakukan hal itu sebab rombongan itu di bawah pimpinan
Buddha. Roja menjawab bahwa ia melakukan hal itu bukan
sebab ia memiliki keyakinan terhadap Tiga Permata, melainkan
sebab kesepakatan di antara mereka. Mendengar jawaban yang
tidak menyenangkan dari Roja, ânanda menemui Buddha dan
memberitahukan kepada-Nya. Ia juga memohon kepada Buddha
agar melunakkan batin Roja. Buddha memancarkan pikiran mettÃ
khusus kepada Roja yang menjadi tidak tenang di rumahnya dan
bagaikan seekor anak sapi yang dipisahkan dari induknya, ia datang
ke vihà ra tempat Buddha menetap. Dengan keyakinan sejati terhadap
Buddha yang muncul dalam dirinya, ia bersujud kepada Buddha
dan mendengarkan khotbah-Nya, hasilnya ia menjadi seorang
Sotà panna.
Pada kesempatan lain juga, saat para anggota Saÿgha yang
dipimpin oleh Buddha memasuki Kota RÃ jagaha dan pergi menerima
dà na makanan, Devadatta, sesudah berunding dengan Raja Ajà tasattu,
mengirim Gajah Nà ëà gãri, yang sedang mabuk, untuk menyerang
Buddha. Buddha menaklukkannya dengan memancarkan mettà .
3464
lalu para warga RÃ jagaha menyanyikan syair berikut
dengan penuh kegembiraan:
Daõóen’eke damayanti aïkusehi kasà hi ca
adaõóena asatthena nà go danto mahesinà .
Para pelatih sapi, pelatih gajah, pelatih kuda menjinakkan
(binatangnya masing-masing) dengan memukul atau menyakiti
binatang itu dengan tongkat atau cambu











