Tampilkan postingan dengan label Biksu Budha 25. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Biksu Budha 25. Tampilkan semua postingan

Biksu Budha 25

 


àpÃ¥raõa sacca; 

sehubungan dengan jenis ketiga, musàviramaõa sacca, mereka selalu 

memakai  nya dalam semua kesempatan. Mengikuti teladan itu, 

mereka yang berbudi harus mengucapkan musàviramana sacca dan 

berusaha melatihnya.

Dua Jenis Kebenaran

Kebenaran yang dijelaskan di atas dapat dibagi dalam dua 

kelompok, yaitu:

(1) vacãbhedasiddhi sacca (kebenaran yang menyelesaikan sesuatu 

saat seseorang mengucapkannya) dan

(2) pacchànurakkhaõa sacca (kebenaran yang memerlukan susulan 

sesudah   seseorang berbicara).

Seperti telah disebutkan sebelumnya, saddahàpana sacca dari Bhisa 

Jàtaka, icchàpÃ¥raõa vacãsacca dari Suvaõõa Sàma, Suppàraka, Sivi, 

Maccha, Vaññaka, Kaõha Dãpàyana, Naëapàna, Sambulà, Temiya, 

Janaka, Kaññhavàhana dan Mahàmora Jàtaka, dan Musàviramaõa 

Sacca dari Vidhura, Suvaõõa Sàma dan BhÃ¥ridatta Jàtaka 

membuahkan hasil segera sesudah   diucapkan. Tidak ada lagi yang 

harus dilakukan untuk mencapai hasil yang diinginkan. Oleh sebab   

itu, kebenaran demikian disebut vacãbhedasiddhi sacca.

Kejujuran yang ditunjukkan oleh Raja Sutasoma kepada Porisàda 

dalam kisah Mahà Sutasoma Jàtaka seperti yang telah dikisahkan di 

atas berbeda. Itu yaitu   saddahapana sacca yang diucapkan untuk 

meyakinkan Porisàda bahwa ia pasti kembali kepadanya. Janji ini 

akan dipenuhi saat sang raja kembali kepada si kanibal dan sesudah   

itu baru kejujurannya berlaku. Untuk ini, ia harus melakukan 

perjanjian untuk menjamin kembalinya Bodhisatta. Oleh sebab   itu 

kejujuran Raja Sutasoma ini disebut pacchànurakkhaõa sacca.

Dengan cara yang sama, kejujuran dipraktikkan oleh Raja Jayadisa 

3423

 1

dalam Jayadisa Jàtaka, Tiÿsa Nipàta, dan yang dipraktikkan 

oleh Pangeran Ràma dalam Dasaratha, keduanya yaitu   

pacchànurakkhaõa sacca.

Sehubungan dengan kejujuran Raja Jayadisa, berikut ini yaitu   

kisahnya secara singkat. Sewaktu Raja Jayadisa dari Kota Uttara 

Pa¤càla, Kerajaan Kapila sedang pergi ke taman berburu, dalam 

perjalanan itu ia bertemu dengan Brahmana Nanda yang baru 

pulang dari Takkasãla dan ingin membabarkan khotbah. Raja berjanji 

kepadanya untuk mendengarkan khotbahnya dalam perjalanan 

kembalinya dan lalu   ia masuk ke hutan.

Sesampainya di dalam hutan, raja dan para menterinya membagi 

kelompok-kelompok berburu di antara mereka, masing-masing 

mendapatkan wilayah berburu untuk menangkap rusa. Tetapi 

seekor rusa lolos dari wilayah raja dan raja harus memburunya 

dengan sekuat tenaganya. sesudah   beberapa lama mengejar, ia 

berhasil menangkap rusa itu; ia memotongnya menjadi dua dan 

memikulnya di bahunya memakai   pikulan. sesudah   beristirahat 

sejenak di bawah pohon banyan, ia bangkit untuk melanjutkan 

perjalanannya. Pada saat itu seorang raksasa manusia yang sedang 

berada di pohon banyan itu mencegahnya pergi, ia berkata, 

“Sekarang engkau yaitu   mangsaku. Engkau tidak boleh pergi.” 

(Raksasa manusia bukanlah raksasa sesungguhnya. Sebenarnya, 

ia yaitu   kakak sang raja. Sewaktu masih bayi ia ditangkap oleh 

raksasa perempuan, tetapi raksasa itu tidak sampai hati untuk 

memakan bayi itu dan membesarkannya seperti anaknya sendiri. 

sebab   itu ia memiliki tingkah laku batin dan jasmani bagaikan 

raksasa. saat   ibu raksasanya meninggal, ia tinggal sendirian dan 

hidup seperti raksasa.)

lalu   Raja Jayadisa berkata, “Aku berjanji kepada seorang 

brahmana yang baru pulang dari Takkasãla. Aku berjanji 

untuk mendengarkan khotbahnya, izinkan aku pergi dan 

mendengarkannya sesudah   itu aku akan kembali dan menepati 

janjiku.” Raksasa manusia itu membebaskannya sesudah   menerima 

jaminan dari sang raja. (Raksasa manusia dan raja yaitu   

bersaudara. sebab   hubungan darah mereka, yang tidak mereka 

3424


sadari, si raksasa memiliki rasa welas asih terhadap sang raja dan 

mengizinkannya pergi.) Raja pulang dan mendengarkan khotbah 

si brahmana dan akan kembali ke si raksasa manusia. Pada saat itu, 

putranya, Pangeran Alinasattu (Bodhisatta) memohon kepada raja 

agar ia diperbolehkan pergi mewakili ayahnya. sebab   anaknya 

memaksa, ayahnya mengizinkannya pergi. Kata-kata raja, “Aku 

akan kembali,” harus ditepati sesudah   diucapkan; sebab   itu disebut 

pacchànurakkaõa sacca.

Berikut kisah Pangeran Ràma secara singkat. sesudah   melahirkan 

putra tertua, Ràma, putra kedua, Lakkhaõa, dan putri, Sità Devã, 

Permaisuri Raja Dasaratha meninggal dunia. Raja mengangkat 

seorang ratu baru yang melahirkan Pangeran Bharata. Ratu baru 

ini berulang kali mendesak raja agar menyerahkan mahkota kepada 

putranya, Bharata. Raja memanggil dua orang putranya yang lebih 

tua dan berkata, “Aku mencemaskan kalian, sebab   kalian berada 

dalam bahaya sebab   ratu baru dan putranya, Bharata. Para ahli 

nujum memberitahuku bahwa aku hanya akan hidup selama dua 

belas tahun lagi. Jadi, kalian harus menetap di dalam hutan selama 

dua belas tahun dan sesudah   itu, kalian harus kembali untuk merebut 

tahta kerajaan.”

lalu   Pangeran Ràma berjanji untuk mematuhi ayahnya dan 

kedua bersaudara itu meninggalkan kota. Mereka diikuti oleh 

adiknya yang menolak berpisah dengan mereka. Walaupun para 

ahli nujum telah meramalkan, kenyataannya raja meninggal dunia 

sesudah   sembilan tahun sebab   mengkhawatirkan anak-anaknya. 

lalu   para menteri yang tidak mendukung Bharata menjadi raja 

pergi mencari putra-putri istana ini  . Mereka memberitahukan 

tentang kematian raja dan memohon agar mereka kembali ke kota 

dan memerintah rakyat. Tetapi Pangeran Ràma berkata, “Aku telah 

berjanji kepada ayahku untuk kembali hanya sesudah   dua belas 

tahun sesuai perintah ayahku. Jika aku kembali sekarang, aku 

tidak menepati janjiku kepada ayahku. Aku tidak akan melanggar 

janjiku. Oleh sebab   itu, ajaklah adikku, Pangeran Lakkhaõa dan 

Sità Devã, dan jadikan mereka pangeran dan putri mahkota dan 

kalian para menteri yang menjalani pemerintahan.” Di sini Pangeran 

Ràma harus menunggu hingga akhir batas waktu agar apa yang 

3425

 1

telah ia janjikan kepada ayahnya dapat ditepati. Ini juga yaitu   

pacchànurakkhaõa sacca.

Kebenaran Sehubungan Dengan Waktu

Untuk membedakan antara vacãbhedasiddhi sacca dan 

pacchànurakkhaõa sacca, ada empat jenis kebenaran menurut 

pengelompokan singkat:

(1) Kebenaran sehubungan dengan masa lalu saja.

(2) Kebenaran sehubungan dengan masa lalu dan masa 

sekarang.

(3) Kebenaran sehubungan dengan masa depan saja.

(4) Kebenaran yang tidak berhubungan dengan waktu tertentu.

Dari keempat ini, yang berhubungan dengan masa depan 

yaitu   pacchànurakkhaõa sacca sedangkan tiga lainnya yaitu   

vacãbhedasiddha sacca.

Dari kebenaran dalam Suvaõõasàma Jàtaka, kebenaran-kebenaran 

yang diucapkan oleh orangtua Bodhisatta berhubungan dengan 

masa lalu, sebab   mereka mengatakan, “Sàma dulu selalu 

mempraktikkan Dhamma, ia biasanya melatih praktik mulia; ia 

biasanya mengucapkan kebenaran; ia telah merawat orangtuanya, ia 

telah menunjukkan sikap hormat kepada orang yang lebih tua.”

Kebenaran yang diucapkan oleh orangtuanya, yaitu, “Kami 

mencintai Sàma lebih dari hidup kami sendiri,” dan kebenaran yang 

diucapkan oleh Dewi Bahunsundarã, yaitu, “Tidak ada yang lebih 

kucintai daripada Sàma” yaitu   kebenaran yang tidak berhubungan 

dengan waktu tertentu.

Kumpulan icchàpÃ¥raõa sacca dalam Suppàraka dan Sivi Jàtaka 

berhubungan dengan masa lalu. Demikian pula yang terdapat 

dalam Dãpàyana dan Naëapàna Jàtaka juga berhubungan dengan 

masa lalu.

Dalam Vaññaka Jàtaka, ucapan, “Aku memiliki sayap, tetapi tidak bisa 

3426


terbang; aku memiliki kaki, tetapi tidak bisa berjalan,” berhubungan 

dengan masa lalu dan masa sekarang.

Kebenaran yang menyatakan, “Tidak ada yang kucintai lebih dari 

engkau,” dalam Sambulà Jàtaka dan yang diucapkan oleh Ratu 

Candà Devã dalam Temiya Jàtaka, tidak berhubungan dengan waktu 

tertentu.

Demikianlah, hubungan antara kebenaran dan waktunya masing-

masing.

Kesempurnaan Kejujuran Tertinggi

 

Sehubungan dengan Kesempurnaan Kejujuran, Komentar Aññhasàlinã 

dan Komentar Buddhavaÿsa menjelaskan bahwa Kesempurnaan 

Kejujuran Raja Mahàsutasoma yaitu   Kesempurnaan tertinggi 

sebab  , untuk menepati janjinya, raja kembali menemui Porisàda 

sesuai yang dijanjikan dengan risiko kehilangan nyawanya. Dalam 

kasus ini, janji ini dilakukan di hadapan Porisàda tetapi sebab   hanya 

sekadar ucapan, tujuannya belum dipenuhi, untuk memenuhinya, 

janjinya itu masih harus ditepati. sebab   ia menjanjikan, “Aku 

akan kembali,” maka ia kembali bahkan sesudah   ia pulang ke Kota 

Indapattha. Pada mulanya, saat ia berjanji, “Aku akan kembali” 

pengorbanannya masih belum tentu terjadi. Kepastian diperoleh 

saat ia kembali menemui Porisàda dari Indapattha. Oleh sebab   

itu, dalam Komentar-Komentar, Beliau disebut sebagai “raja yang 

menjaga kejujurannya dengan mengorbankan nyawanya” (jãvitaÿ 

cajitvà saccam anurakkhantassa) tetapi bukan sebagai “raja yang 

membuat janji dengan taruhan nyawanya” (jãvitaÿ cajitvà saccaÿ 

bhaõantassa).

Pikiran Atas Dua Jenis Kebenaran

Sehubungan dengan hal ini, kejujuran Raja Mahàsutasoma dan 

Menteri Vidhura layak dijadikan sebagai perbandingan. Kejujuran 

menteri yaitu   kejujurannya saat mengatakan bahwa “Aku 

yaitu   seorang pelayan” seperti yang disebutkan dalam bait 

ke-102 dari Vidhura Jàtaka. Segera sesudah   ia mengucapkannya, 

3427

 1

kejujurannya selesai. Tetapi saat ia mengucapkannya, ia tidak perlu 

mengkhawatirkan nyawanya. Ia tidak akan mati sebab   menjadi 

seorang pelayan. Oleh sebab   itu, kita boleh berpendapat bahwa 

kejujuran Vidhura yaitu   lebih rendah dari kejujuran Sutasoma.

Akan tetapi, harus dipertimbangkan bahwa Vidhura telah siap untuk 

mengorbankan nyawanya dengan pikiran, “Anak muda ini mungkin 

membunuhku sesudah   membawaku pergi. Jika ia melakukan hal 

itu, aku akan menerima kematian.” sebab   ia bijaksana, ia pasti 

merenungkan sebagai berikut, “Anak muda ini memintaku bukan 

untuk menghormatiku. Jika ia bermaksud menghormatiku, ia pasti 

memberitahukan hal itu kepadaku dan mengundangku. Sekarang 

ia tidak mengundangku. Ia memenangkan kepemilikan atas 

diriku melalui judi dan ia tidak akan membebaskan aku.” sebab  , 

meskipun ia seorang anak muda, ia yaitu   raksasa (dari kelahiran). 

Melihat perilakunya, sang menteri pasti telah memerhatikan bahwa 

ia yaitu   orang yang liar dan kuat. Hal yang harus dipertimbangkan 

yaitu  : saat   Vidhura (sebagai perpisahan) menasihati raja dan 

keluarganya, berkata, “Aku telah menyelesaikan pekerjaanku,” si 

raksasa muda, Puõõaka, menjawab, “Jangan takut. Pegang erat-erat 

ekor kudaku. Ini yaitu   terakhir kalinya bagimu untuk melihat 

dunia dalam keadaan hidup.” (Bait 196). Vidhura dengan tegas 

menjawab, “Aku tidak pernah melakukan kejahatan yang dapat 

membawaku ke alam sengsara. Mengapa aku harus takut?” Dari 

kata-kata sang menteri ini, jelas bahwa menteri telah memutuskan 

untuk mengorbankan nyawanya.

Semua ini menunjukkan fakta bahwa kejujuran Vidhura mengandung 

unsur-unsur pengorbanan nyawa dan sebab   itu tidak lebih rendah 

dari kejujuran Sutasoma. Dapat disimpulkan bahwa, jika tidak 

lebih tinggi, kejujurannya berada pada tingkat yang sama dengan 

kejujuran Sutasoma.

Pesan Moral

Ciri istimewa dari Kesempurnaan Kejujuran ini yang berlawanan 

dengan yang sebelumnya yaitu   bahwa kejujuran ini memiliki 

kekuatan untuk memenuhi keinginan seseorang dengan kebenaran 

3428


yang diucapkan. Dalam Sutasoma Jàtaka (bait 62) juga dikatakan, 

“Dari semua rasa yang terdapat di bumi ini, rasa kebenaran yaitu   

yang paling manis.” Oleh sebab   itu, kita harus berusaha sekeras 

mungkin untuk menikmati rasa kebenaran yang lezat ini.

(H) Kesempurnaan Tekad (Adhiññhàna Pàramã)

Jika seseorang memenuhi adhiññhàna sebagai sebuah Kesempurnaan, 

maka ia harus memantapkannya dengan kokoh dan teguh dalam 

batinnya. Itulah sebabnya mengapa saat   Bodhisatta Sumedha 

merenungkan Adhiññhàna Pàramã, ia mengumpamakannya sebagai 

gunung karang yang tidak tergoyahkan oleh angin kencang dan 

tetap kokoh berdiri di tempatnya.

Dari perumpamaan ini, jelas bahwa adhiññhàna berarti selalu 

mengingat segala sesuatu yang telah diputuskan untuk dilakukan. 

Oleh sebab   itu, jika seseorang berniat untuk mencapai Pengetahuan 

dan Buah atau Kemahatahuan (yaitu, jika seseorang bertekad untuk 

menjadi seorang Buddha), maka tekadnya dalam berlatih untuk 

mencapainya harus selalu mantap dalam pikirannya sekokoh 

gunung karang.

Berbagai Jenis Tekad

Demikianlah tekad diumpamakan sebagai gunung yang tidak 

tergoyahkan dan terdapat berbagai jenis tekad seperti yang 

dijelaskan dalam Kitab.

Tekad Sehubungan Dengan Uposatha

Uposathakkhandhaka dari Vinaya Mahà Vagga menyebutkan tiga 

jenis uposatha: Saÿgha uposatha, gaõa uposatha, dan puggala 

uposatha. Saÿgha uposatha yaitu   yang dilaksanakan pada 

pertemuan minimal empat orang bhikkhu dalam sebuah sãmà 

pada hari purnama dan hari bulan baru. Pàtimokha dibacakan 

oleh seorang bhikkhu dan bhikkhu lainnya mendengarkan 

dengan penuh hormat. Pelaksanaan demikian disebut sutt’uddesa 

uposatha (pelaksanaan uposatha dengan pembacaan singkat naskah 

3429

 1

peraturan-peraturan disiplin).

Jika hanya ada dua atau tiga orang bhikkhu, mereka melaksanakan 

gaõa uposatha sebab   kata Saÿgha digunakan pada perkumpulan 

minimal empat orang bhikkhu; jika hanya ada dua atau tiga orang 

bhikkhu maka yang digunakan yaitu   kata gaõa. Jika bhikkhu 

berjumlah tiga dalam sebuah gaõa uposatha, maka sebuah usul 

akan diajukan dan jika hanya dua, tidak diperlukan usul. lalu   

masing-masing bhikkhu menyatakan dalam bahasa Pàëi bahwa ia 

bebas dari pelanggaran. Oleh sebab   itu, uposatha ini juga disebut 

sebagai pàrisuddhi uposatha (pertemuan uposatha di mana para 

bhikkhu menyatakan kemurnian mereka masing-masing).

Jika hanya ada seorang bhikkhu, ia melaksanakan puggala uposatha. 

Tetapi sebelum melakukan hal itu, ia harus menunggu kedatangan 

para bhikkhu lain jika masih ada waktu. Jika sampai waktunya dan 

para bhikkhu lain belum datang, ia harus melaksanakan uposatha 

sendirian. Buddha menginstruksikan agar ia bertekad, “Hari ini 

yaitu   hari uposatha-ku.” Ini berarti bahwa ia selalu mengingat 

hari ini. Uposatha ini disebut Adhiññhàna uposatha (uposatha yang 

diingat dalam pikiran seseorang.) Ini yaitu   tekad sehubungan 

dengan uposatha.

Tekad Sehubungan Dengan Jubah

Para bhikkhu harus melakukan adhiññhàna atau vikappanà 

sehubungan dengan jubah dalam sepuluh hari sejak ia 

mendapatkannya. Jika jubah itu disimpan selama lebih dari 

sepuluh hari tanpa melakukan satu dari dua hal ini  , maka 

menurut Vinaya harus dibuang. Bhikkhu itu juga dengan demikian 

melakukan pelanggaran pàcittiya; oleh sebab   itu, dalam sepuluh 

hari sejak diperoleh, seseorang harus bertekad dengan mengatakan, 

“Aku akan mengenakan jubah ini.” Maka jubah itu tidak perlu 

dibuang dan ia tidak melakukan pelanggaran. Tekad sehubungan 

dengan jubah berarti mengingat untuk memakai   jubah itu 

sebagai jubah bawah, atau jubah atas atau jubah luar atau untuk 

penggunaan umum. (Pañhama Sikkhàpada, Nissaggiya Cãvara Vagga, 

Vinaya Pàrajika.)

3430


Tekad Sehubungan Dengan Mangkuk

Demikian pula, jika seorang bhikkhu mendapatkan sebuah mangkuk, 

ia harus bertekad dalam waktu sepuluh hari sejak mendapatkannya, 

dengan mengatakan, “Aku akan memakai   mangkuk ini.” Jika 

ia tidak melakukannya dalam waktu sepuluh hari maka ia harus 

membuangnya sesuai Vinaya. Ia juga melakukan pelanggaran 

Pàcittiya. Tekad sehubungan dengan mangkuk berarti dengan teguh 

memutuskan bahwa “wadah ini yaitu   mangkukku”.

Adhiññhàna dalam tiga kasus ini digunakan sebagai istilah teknis 

dalam Vinaya. Tidak berhubungan dengan tiga kasus berikut ini.

Tekad Sehubungan Dengan Jhàna

Dalam hal Jhàna, jika misalnya, Jhàna pertama telah dicapai, 

seseorang harus melatih dan mengembangkannya dalam lima 

cara vasãbhàva; disebutkan dalam Pathavãkasiõa Niddesa dan 

sumber lainnya dalam Visuddhimagga. Kata Pàëi ‘vasibhàva’, 

artinya ‘penguasaan’. Jadi, lima cara vasãbhàva yaitu   lima jenis 

penguasaan. sesudah   Jhàna pertama dicapai, seseorang harus 

melanjutkan latihannya hingga ia mencapai penguasaan penuh dari 

Jhàna dalam lima jenis.

Jenis pertama yaitu   Ã vajjana, ‘perenungan’, yaitu, perenungan atas 

faktor-faktor apakah yang terdapat dalam Jhàna itu dan karakter 

dari faktor ini  . Pada awalnya, ia tidak akan dapat melihatnya 

dengan mudah. Mungkin terdapat penundaan, sebab   ia belum 

ahli dalam merenungkan. Begitu ia mendapatkan pengalaman, ia 

akan dapat melihatnya dengan lebih mudah. sesudah   itu ia disebut 

memiliki penguasaan atas perenungan.

Jenis kedua yaitu   samàpajjana, ‘penyerapan’, kesadaran Jhàna yang 

terserap dalam arus kesadaran seseorang (yaitu, kesadaran Jhàna yang 

terus-menerus muncul dalam arus kesadaran seseorang). sesudah   

menguasai perenungan ia harus menguasai penyerapan. Ia dapat 

melakukan hal ini dengan berulang-ulang mengembangkan Jhàna 

yang telah ia capai (seperti halnya dengan membaca berulang-ulang, 

3431

 1

seseorang akan menguasai tulisan-tulisan yang telah dipelajari). Jika 

ia mencoba untuk masuk ke dalam penyerapan sebelum pencapaian 

demikian, kesadaran Jhàna tidak akan dapat muncul dengan mudah 

dalam arus kesadaran seseorang. Hal ini akan menjadi lebih mudah 

hanya sesudah   menguasai pengembangan Jhàna. sesudah   itu ia disebut 

memiliki penguasaan atas penyerapan.

Jenis ketiga yaitu   adhiññhàna, ‘tekad’, yaitu, memutuskan 

berapa lama ia akan berdiam dalam Jhàna. Jika ia mencoba untuk 

menentukan lamanya penyerapan sebelum menguasai tekad, 

kesadaran Jhàna akan berlangsung lebih lama atau lebih singkat 

dari apa yang telah ia tentukan. Misalnya ia memutuskan, “Agar 

kesadaran Jhàna terdapat dalam arus kesadaranku selama satu jam,” 

pencapaian Jhàna mungkin akan terputus sebelum atau sesudah   satu 

jam. Hal ini sebab   ia belum terampil dalam bertekad. Begitu ia 

cukup terampil, ia dapat berdiam dalam Jhàna selama waktu yang 

tepat sesuai dengan yang telah ia tentukan. sesudah   itu, ia disebut 

memiliki penguasaan atas tekad.

Jenis keempat yaitu   vutthàna, ‘keluar dari Jhàna’, (keluar dari 

Jhàna artinya mengubah kesadaran Jhàna menjadi rangkaian 

kesatuan kehidupan, bhavaïga-citta.) Penguasaan atas keluar dari 

Jhàna pada waktu yang persis sesuai dengan tekadnya disebut 

vutthànavasãbhàva.

Jenis kelima yaitu   paccavekkhaõa, ‘peninjauan’, yaitu, merenungkan 

semua faktor yang terdapat dalam Jhàna. Dalam merenungkan, 

seperti halnya dalam àvajjana, faktor-faktor ini tidak terlihat dengan 

mudah sebab   kurangnya penguasaan. Hanya sesudah   ia menguasai, 

faktor-faktor ini akan terlihat dengan mudah. (Perenungan, àvajjana, 

yaitu   suatu tahap dalam proses peninjauan, paccavekkhaõa-

vãthi, dan peninjauan, paccavekkhaõa, yaitu   tahap yang segera 

mengikuti tahap perenungan. Jika ia telah menguasai àvajjana, 

maka ia juga telah menguasai paccavekkhaõa. Oleh sebab   itu 

mereka yang menguasai perenungan juga menguasai peninjauan; 

demikianlah disebutkan dalam Kitab.)

Dari lima jenis penguasaan ini, apa yang kita bahas di sini yaitu   

3432


adhiññhàna-vasãbhàva, ‘penguasaan tekad’.

Tekad Sehubungan Dengan Iddhi

Iddhividha Niddesa dari Visuddhimagga menyebutkan sepuluh 

jenis iddhi—kekuatan batin:

(1) adhiññhàna iddhi,   (6)   ariya iddhi, 

(2) vikubbana iddhi,   (7)   kammavipàkaja iddhi, 

(3) manomaya iddhi,   (8)   pu¤¤avanta iddhi, 

(4) ¤Ã Ãµavipphàra iddhi,  (9)   vijjàmaya iddhi,

(5) samàdhivipphàra iddhi,  (10) sammàpayoga iddhi.

 

(Kata Pàëi ‘iddhi’ artinya ‘mencapai keinginan’. Dalam bahasa 

Myanmar, artinya yaitu   ‘kekuatan adialami’.)

(1) Adhiññhàna iddhi: kekuatan sehubungan dengan tekad; jika, 

misalnya, seseorang bertekad, “Terciptalah seratus atau seribu 

duplikat diriku,” maka akan muncul duplikat secara gaib dan 

jumlahnya persis sama dengan yang telah ditentukan. (Ini yaitu   

kekuatan untuk memproyeksikan citra seseorang tanpa dirinya 

menghilang. Citra ini   mungkin dalam postur aslinya atau 

tidak.)

(2) Vikubbana iddhi: kekuatan sehubungan dengan mengubah diri 

menjadi bentuk nàga atau garuda. (vi artinya ‘berbagai’ dan kubbana 

‘membuat’. Ini yaitu   kekuatan untuk mengubah diri menjadi 

berbagai bentuk yang diinginkan.)

(3) Manomaya iddhi: kekuatan sehubungan dengan penciptaan citra 

melalui pikiran, yaitu, menciptakan citra miniatur dari diri sendiri di 

dalam tubuh sendiri. Manomaya artinya ‘ciptaan pikiran’. (Ini bukan 

proyeksi citra seperti pada adhiññhàna iddhi juga bukan perubahan 

bentuk seperti pada vikubbana iddhi. Ini yaitu   kekuatan untuk 

menciptakan citra miniatur di dalam tubuh sendiri.)

(4) ¥Ã Ãµavipphàra iddhi: kekuatan sehubungan dengan fenomena 

gaib sebab   pengaruh kebijaksanaan spiritual yang segera terjadi. 

3433

 1

Kekuatan ini dapat dipahami dari kisah Yang Mulia Bàkula dan 

lainnya.

Thera Bàkula

Kisah Thera Bàkula terdapat dalam Komentar Etadagga Vagga, 

Ekaka Nipàta, Aïguttara Nikàya. Berikut ini yaitu   ringkasan dari 

kisah ini  .

Bàkula yaitu   putra seorang kaya di Kosambã. Hari kelahirannya 

dirayakan dan si bayi dibawa ke Sungai Yamunà untuk sebuah 

Ritual   pemandian dan ia ditelan oleh seekor ikan. Ikan itu yang 

merasa perutnya panas, segera berenang pergi. Sesampainya di 

Bàràõasã, seorang nelayan menangkapnya dan menjajakannya di 

dalam kota. Istri seorang kaya di Bàràõasã membeli ikan ini   

dan saat membelah perutnya, ia menemukan seorang bayi rupawan 

di dalam ikan ini  . sebab   ia tidak memiliki anak kandung dan 

sangat mendambakan anak, ia merasa sangat gembira dan berpikir, 

“Ini yaitu   anakku.”

saat   berita aneh itu sampai ke telinga orangtua kandungnya di 

Kosambã, mereka bergeas pergi ke Bàràõasã untuk menuntut anak 

mereka. Tetapi nyonya dari Bàràõasã menolak mengembalikan, 

dengan mengatakan, “Bayi ini datang kepada kami, sebab   kami 

pantas memilikinya. Kami tidak dapat mengembalikannya kepada 

kalian.” saat   mereka pergi ke pengadilan untuk menyelesaikan 

perselisihan itu, hakim memutuskan bahwa bayi itu yaitu   milik 

kedua pasang orang tua itu. Demikianlah, bayi itu memiliki dua 

ibu dan dua ayah, sehingga ia diberi nama Bàkula. (Bà = dua, kula 

= keluarga; anak dari dua keluarga.)

Merupakan suatu keajaiban bahwa anak itu tidak terluka meskipun 

ditelan oleh seekor ikan. Keajaiban ini yaitu   berkat kekuatan 

Arahatta-Magga ¥Ã Ãµa yang pasti dicapai oleh Bàkula dalam 

kehidupan itu. (Atau mungkin sebab   berkat pengaruh Pàramã 

¥Ã Ãµa yang agung yang melekat dalam diri anak itu dan bahwa hal 

itu pasti mengantarkannya menuju tercapainya Arahatta-Magga 

¥Ã Ãµa dalam kehidupan itu juga.) Kekuatan demikian disebut 

3434


¤Ã Ãµaviphàra iddhi.

Sàmaõera Saÿkicca

Sàmaõera Saÿkicca dikandung oleh putri seorang perumah 

tangga di Sàvatthã. Sang ibu meninggal dunia saat akan melahirkan 

bayinya. Sewaktu jasadnya sedang dikremasikan, jasadnya ditusuk 

dengan paku-paku besi agar pembakarannya lebih sempurna. Paku 

ini   melukai mata sang bayi dan bayi itu menangis. Mengetahui 

bahwa bayi itu masih hidup, orang-orang menurunkan jasad 

itu dari tumpukan kayu pembakaran, membelah perutnya dan 

mengeluarkan bayi itu. Bayi itu tumbuh dan seiring berjalannya 

waktu, ia menjadi seorang Arahanta dalam usia tujuh tahun.

Selamatnya anak ini   secara ajaib dari kematian juga berkat 

Arahatta-Magga ¥Ã Ãµa. (Atau sebab   pengaruh kekuatan Pàramã 

¥Ã Ãµa yang melekat dalam diri si bayi yang membantunya mencapai 

Arahatta-Magga ¥Ã Ãµa.)

(5) Samàdhivipphàra iddhi: kekuatan sebab   pengaruh konsentrasi. 

Fenomena ajaib yang muncul saat menjelang, atau saat memasuki, 

atau sesaat sesudah   memasuki Jhàna, yaitu   berkat pengaruh 

samàdhi. Kekuatan yang menyebabkan keajaiban demikian 

disebut samàdhivipphàra iddhi. Sehubungan dengan kekuatan ini, 

Visuddhimagga menceritakan sejumlah kisah yang dimulai dari 

kisah Sàriputta, yang akan disampaikan berikut ini.

Thera Sàriputta

Suatu hari Yang Mulia Sàriputta sedang menetap bersama Yang 

Mulia Moggallàna di sebuah jurang yang bernama Kapota, ia 

baru saja mencukur rambutnya dan sedang berdiam di dalam 

Jhàna di ruang terbuka saat malam purnama. Satu raksasa nakal 

datang bersama temannya dan melihat Thera yang tercukur bersih, 

kepalanya bersinar, ia ingin mengetuk kepalanya. Temannya 

menasihati agar tidak melakukannya; namun ia tetap memukul 

kepala Thera dengan sekuat tenaga. Pukulan itu begitu kuat 

sehingga suara yang ditimbulkan menggelegar bagaikan guruh. 

3435

 1

Tetapi Thera tidak merasa sakit sebab   kekuatan samàdhi yang 

meliputi seluruh tubuhnya.

(6) Ariya iddhi: saat   para Ariya (para mulia) ingin merenungkan 

objek-objek yang menjijikkan seolah-olah tidak menjijikkan 

atau merenungkan objek-objek tidak menjijikkan seolah-olah 

menjijikkan, mereka dapat melakukannya. Kekuatan para Ariya 

itu untuk merenungkan objek apa pun sesuai keinginan mereka 

disebut Ariya iddhi (kekuatan para mulia.)

(7) Kammavipàkaja iddhi: makhluk-makhluk seperti burung 

dapat terbang di angkasa. Untuk memiliki kemampuan terbang 

mereka tidak perlu melakukan usaha khusus dalam kehidupan 

sekarang. Hal itu yaitu   akibat dari apa yang mereka lakukan dalam 

kehidupan lampau. Para dewa, brahmà, para penghuni pertama 

dunia ini dan para vinipàtika asura juga memiliki kemampuan 

terbang di angkasa. Kekuatan untuk melakukan kesaktian demikian 

disebut kammavipàkaja iddhi.

(8) Pu¤avanta iddhi: para cakkavatti (raja dunia) dan sejenisnya dapat 

melakukan perjalanan di angkasa. Mereka dapat melakukannya 

sebab   mereka memiliki jasa yang cukup banyak yang telah 

mereka kumpulkan. Mereka yang menyertai raja dunia dalam 

perjalanan angkasanya juga dapat melakukan hal itu sebab   mereka 

berhubungan dengan sang raja yang merupakan pemilik jasa yang 

sesungguhnya. Kekayaan dan kemewahan yang dimiliki oleh para 

orang kaya seperti Jotika, Jañila, Ghosaka, Meõóaka, dan lainnya 

juga disebut pu¤¤avanta iddhi.

(Perbedaan antara kammavipàkaja iddhi dan pu¤avanta iddhi yaitu  : 

kammavipàkaja iddhi yaitu   kekuatan yang bukan disebabkan 

sebab   perbuatan yang dilakukan seseorang dalam kehidupan 

sekarang tetapi dari perbuatan yang dilakukan pada masa lampau; 

kekuatan ini menyertai seseorang sejak ia dilahirkan. Pu¤¤avanta 

iddhi disebabkan bukan hanya dari perbuatan masa lampau tetapi 

juga usaha masa sekarang yang mendukung perbuatan-perbuatan 

masa lampau ini  . Kekuatan ini tidak menyertai sejak saat 

kelahiran; kekuatan ini menjadi efektif hanya jika didukung oleh 

3436


perbuatan seseorang dalam kehidupan sekarang. Sebagai gambaran: 

Cakkavatti, pusaka roda tidak muncul saat kelahiran. Roda ini   

muncul hanya jika ia melaksanakan sãla tertentu dan memenuhi 

kewajiban-kewajiban khusus sebagai seorang raja dunia. sebab   itu 

kekuatan istimewa ini tidak hanya bergantung pada perbuatan masa 

lampau seseorang tetapi juga bergantung pada usaha pendukung 

pada masa sekarang.)

(9) Vijjàmaya iddhi: perjalanan angkasa dan kesaktian lain yang 

dimiliki oleh para vijjàdhara (pemilik kekuatan gaib). (Kekuatan 

yang diperoleh melalui keterampilan menggubah mantra, obat-

obatan, dan sebagainya.)

(10) Sammàpayoga iddhi: kekuatan yang muncul dari berbagai 

pencapaian. (Cakupan iddhi ini sangatlah luas. Jalan dan Buah yang 

dicapai sebagai hasil dari usaha benar yaitu   bentuk tertinggi dari 

sammàpayoga iddhi. Singkatnya, semua pencapaian yang dihasilkan 

dari memelajari ilmu dan keterampilan, Tiga Veda, atau Tiga 

Piñaka atau (hanya sekadar) kegiatan pertanian seperti membajak, 

menanam, dan sebagainya, semuanya yaitu   sammàpayoga 

iddhi.)

Dari sepuluh iddhi ini, yang pertama, adhiññhàna iddhi, yaitu   

kekuatan tekad untuk memproyeksikan citra diri sendiri menjadi 

seratus atau seribu—kekuatan yang dimiliki oleh Yang Mulia Cåëà 

Panthaka dan lain-lainnya. Orang-orang biasa yang tidak memiliki 

kekuatan demikian membuat tekad yang sama; tetapi sebab   mereka 

tidak memiliki faktor dasar Jhàna atau samàdhi, mereka tidak 

menyadari apa yang mereka tekadkan; sebaliknya, mereka yang 

memiliki kekuatan demikian, tekad mereka terpenuhi sebab   Jhàna 

atau samàdhi mereka cukup kuat untuk membantu mereka.

Adhiññhàna Sebelum Nirodhasamàpatti

saat   seorang Anàgàmã atau seorang Arahanta yang memiliki 

seluruh delapan samàpatti hendak memasuki nirodhasamàpatti, 

ia bertekad, “Selama aku berada dalam samàpatti, semoga semua 

milikku yang disimpan jauh dariku tidak rusak atau hilang. Jika 

3437

 1

Saÿgha menginginkan kehadiranku, semoga aku dapat bangun 

dari samàpatti sebelum si utusan datang. Semoga aku dengan segera 

dapat melakukan hal yang sama jika Buddha memanggilku.” Hanya 

sesudah   bertekad demikian, ia masuk ke dalam samàpatti.

Sesuai dengan tekadnya, selama ia berada di dalam samàpatti, 

milik-milik pribadinya yang disimpan jauh darinya tidak akan 

dapat dihancurkan oleh lima musuh. Jika Saÿgha menginginkan 

kehadirannya, ia telah bangun dari samàpatti sebelum si utusan 

tiba. Segera sesudah   Buddha memanggilnya, ia bangun dari 

samàpatti. Tidak ada kerusakan yang dapat dilakukan oleh lima 

musuh terhadap miliknya, seperti jubah, dan lain-lain yang melekat 

pada tubuhnya sebab   kekuatan samàpatti bahkan meskipun ia 

sebelumnya tidak bertekad untuk menjaga keselamatan dirinya.

Tiga Jenis Adhiññhàna

Tekad ada tiga jenis menurut konteksnya:

(1) pubbanimitta adhiññhàna (tekad yang dilakukan sehingga 

dapat meramalkan dalam bentuk pertanda sebelum kejadian 

sebenarnya terjadi);

(2) àsãsa adhiññhàna (tekad yang dilakukan sehingga mimpi dapat 

menjadi kenyataan); dan

(3) vata adhiññhàna (Tekad yang dilakukan sehingga kewajiban-

kewajiban terpenuhi).

(1) Pubbanimitta Adhiññhàna

Adhiññhàna jenis ini dapat dipahami dari kisah Campeyya Jàtaka dari 

Vãsati Nipàta dan kisah lainnya. Ringkasan dari Campeyya Jàtaka 

yaitu   sebagai berikut: saat   Raja Nàga Campeyya memberitahu 

ratunya, Sumanà, bahwa ia akan turun ke alam manusia untuk 

melaksanakan sãla, ratu berkata, “Alam manusia sangat berbahaya. 

Jika terjadi sesuatu pada dirimu, melalui pertanda apakah aku dapat 

mengetahuinya?” Sang raja nàga mengajaknya ke kolam istana dan 

berkata, “Lihatlah kolam ini, jika aku ditangkap musuh, airnya akan 

berubah menjadi gelap. Jika aku ditangkap oleh garuda, air ini akan 

3438


mendidih. Jika aku ditangkap oleh pawang ular, air ini akan berubah 

menjadi merah seperti darah.” sesudah   itu raja nàga pergi ke alam 

manusia untuk melaksanakan sãla selama empat belas hari.

Tetapi sang raja tidak pulang bahkan sesudah   satu bulan, sebab   ia 

ditangkap oleh pawang ular. Khawatir akan keselamatannya, sang 

ratu pergi ke kolam dan melihat permukaan air yang berwarna 

merah seperti darah.

Tekad Raja Nàga Campeyya ini yaitu   pubbanimitta adhiññhàna 

sebab   ia bertekad teguh sebelumnya untuk memunculkan tanda-

tanda ramalan.

Demikian pula, menurut pendahuluan dari Komentar Jàtaka, saat   

Pangeran Siddhattha melepaskan keduniawian, ia memotong 

rambut-Nya dan melemparnya ke angkasa sambil bertekad, 

“Semoga rambut ini tetap berada di angkasa jika Aku dapat 

mencapai Pencerahan Sempurna; jika tidak, biarlah rambut ini 

jatuh ke tanah.” Rambut itu tergantung di angkasa bagaikan 

karangan bunga. Tekad ini juga, yang dilakukan untuk mengetahui 

sebelumnya apakah Ia dapat menjadi seorang Buddha atau tidak, 

yaitu   pubbanimitta adhiññhàna.

lalu  , sesudah   enam tahun bertapa menyiksa diri, sesudah   

Ia memakan nasi susu yang dipersembahkan oleh Sujàta di tepi 

Nera¤jarà, ia mengapungkan mangkuk emas-Nya di sungai dengan 

tekad, “Jika Aku dapat menjadi seorang Buddha, semoga mangkuk 

ini bergerak ke hulu; jika tidak biarlah mangkuk ini hanyut ke hilir,” 

dan mangkuk itu hanyut ke hulu hingga diambil oleh Raja Nàga 

Kàla. Tekad ini juga yaitu   pubbanimitta adhiññhàna.

Demikian pula, tekad apa pun yang dilakukan di dunia ini yang 

bertujuan untuk mengetahui sebelumnya melalui pertanda apakah 

keinginan seseorang dapat tercapai atau tidak yaitu   pubbanimitta 

adhiññhàna. Adhiññhàna jenis ini masih sering dilakukan sekarang 

ini dan cukup terkenal. Beberapa orang biasanya mengangkat batu 

yang terdapat di sebuah pagoda yang terkenal atau di sebuah altar 

nat (arwah) sesudah   bertekad, “Jika rencanaku dapat terwujud, 

3439

 1

semoga batu ini menjadi berat; jika tidak maka semoga batu ini 

menjadi ringan,” atau sebaliknya. sesudah   mengangkat batu itu 

mereka membaca pertanda apakah mereka akan berhasil atau tidak 

berdasarkan berat batu ini  .

(2) âsãsa Adhiññhàna

âsãsa adhiññhàna yaitu   tekad yang dilakukan agar keinginan 

seseorang terpenuhi. Jenis tekad ini dapat dipahami dari kisah 

Vidhura Jàtaka.

(saat   Vidhura sang menteri hendak dibawa dari Raja Korabya 

oleh Puõõaka si raksasa sebab   ia memenangkan permainan dadu) 

disebutkan dalam Komentar pada syair 197 dari Jàtaka ini: sesudah   

berseru dengan berani, “Oh kematian, aku tidak takut kepadamu,” 

Vidhura bertekad, “Semoga jubah bawahku tidak terlepas dan 

melawan keinginanku.” Dengan merenungkan Kesempurnaannya, 

ia mengencangkan pakaiannya dan mengikuti Puõõaka dengan 

memegang erat ekor kudanya tanpa takut dengan keanggunan 

seekor raja singa. Tekad yang dilakukan oleh Vidhura ini yaitu   

àsãsa adhiññhàna.

Dalam Naëapàna Jàtaka dari Sãla Vagga, Ekaka Nipàta, delapan puluh 

monyet yang dipimpin oleh raja mereka, Bakal Buddha, mengalami 

kesulitan untuk meminum air dari sebuah kolam yang dijaga oleh 

siluman air yang buas. Raja monyet ini   lalu   mengambil 

tanaman yang tumbuh di sekitar kolam, bertekad agar buku-buku 

yang terdapat pada tanaman itu lenyap dan meniupkan angin ke 

dalamnya. Tanaman itu menjadi berlubang dan tidak berbuku-buku. 

Dengan demikian ia memungkinkan para pengikutnya meminum 

air melalui tanaman itu. Tetapi ada begitu banyak monyet dan 

raja tidak mampu membantu semua monyet dengan hanya satu 

tanaman. Maka ia bertekad, “Semoga semua tanaman di sekitar 

kolam ini menjadi berlubang.” Tekad yang dilakukan oleh raja 

monyet ini yang bertujuan untuk memenuhi keinginannya agar 

para monyet masing-masing dapat meminum air disebut àsãsa 

adhiññhàna.

3440


Dalam Kukkura Jàtaka dari Kuruïga Vagga, Ekaka Nipàta, 

disebutkan bahwa tali pengikat dari kulit yang mengikat kereta 

Raja Brahmadatta dari Bàràõasã digerogoti oleh anjing-anjing di 

dalam kota. sebab   menganggap bahwa anjing-anjing pemakan 

kulit itu yaitu   milik para warga   di luar kota, para pelayan 

istana mengejar dan membunuh mereka. sebab   itu anjing-anjing 

itu tidak berani tinggal di dalam kota dan berkumpul di sebuah 

tanah pekuburan. Mengetahui alasan sebenarnya dari kesulitan 

itu dan menyadari bahwa tali-tali kulit pengikat kereta itu hanya 

mungkin dimakan oleh anjing-anjing yang berada di dalam kota, 

pemimpin kelompok itu, Bodhisatta, meminta mereka untuk 

menunggu sementara ia pergi ke istana. Sewaktu memasuki kota, 

ia memusatkan pikirannya pada Kesempurnaan, dan memancarkan 

mettà, ia bertekad, “Semua tidak seorang pun yang dapat 

melemparkan batu dan tongkat kepadaku.” Tekad ini juga, yang 

dilakukan untuk memenuhi keinginannya agar anjing-anjing yang 

berada di luar kota selamat dari bahaya yaitu   Ã sãsa adhiññhàna.

Dalam Màtaïga Jàtaka dari Vãsati Nipàta: pada masa kekuasaan 

Raja Brahmadatta dari Bàràõasã, Bodhisatta terlahir dalam sebuah 

keluarga berkasta rendah caõóala bernama Màtaïga. Putri seorang 

kaya dari Bàràõasã diberi nama Diññha Maïgalika sebab   ia percaya 

akan keberuntungan dari pemandangan indah. Suatu hari ia pergi 

ke taman untuk bersenang-senang bersama para pelayannya. Dalam 

perjalanan itu ia melihat Màtaïga yang sedang memasuki kota. 

Meskipun ia telah berusaha menyingkir sebab   ia berkasta rendah, 

pemandangan dirinya memunculkan perasaan tidak senang dalam 

diri Diññha Maïgalika, yang sebab   hal itu, segera pulang dengan 

pikiran bahwa hari itu bukanlah hari keberuntungan baginya. Para 

pengikutnya juga terganggu, mereka berkata, “sebab   engkau, 

kami tidak jadi bersenang-senang hari ini,” mereka memukulnya 

hingga ia tidak sadarkan diri; sesudah   itu mereka pergi. saat   

Màtaõga siuman sesudah   beberapa saat, ia berpikir, “Orang-orang 

Diñtha Maïgalika telah menyiksa orang tidak bersalah sepertiku.” 

lalu   ia mendatangi rumah ayah Diññha Maïgalika dan 

berbaring di pintu masuk dengan tekad, “Aku tidak akan bangkit 

hingga aku dapat menikahi Diññha Maïgalikà.” Tekad Màtaïga ini 

yang bertujuan untuk menaklukkan keangkuhan Diññha Maïgalika 

3441

 1

juga yaitu   Ã sãsa adhiññhàna.

Dalam Komentar Mahà Vagga dari Vinaya juga, disebutkan bahwa: 

segera sesudah   mencapai Pencerahan Sempurna, Buddha berdiam 

selama tujuh minggu di tujuh tempat berbeda di sekitar pohon Bodhi 

selama satu minggu di masing-masing tempat. Di akhir tujuh hari 

terakhir saat berdiam di bawah pohon rajayatana, dua bersaudara 

Tapussa dan Bhallika datang dan mempersembahkan makanan. 

Buddha mempertimbangkan bagaimana menerima persembahan 

ini  . (Mangkuk yang dipersembahkan oleh Brahmà Ghatikàra 

lenyap pada hari Beliau menerima nasi susu yang dipersembahkan 

oleh Sujatà.) lalu   empat raja dewa mempersembahkan 

empat mangkuk zamrud kepada Buddha. Tetapi Buddha menolak 

menerimanya. lalu   raja dewa itu mempersembahkan empat 

mangkuk batu berwarna kehijauan. Demi memperkuat keyakinan 

mereka, Buddha menerima mangkuk-mangkuk itu dan bertekad, 

“Semoga mangkuk-mangkuk ini menjadi satu.” lalu   

mangkuk-mangkuk itu menjadi satu mangkuk bersisi empat. Tekad 

Buddha ini juga yaitu   Ã sãsa adhiññhàna.

Perbedaan Adhiññhàna dan Sacca

Terlihat bahwa pubbanimitta adhiññhàna dan àsãsa adhiññhàna dalam 

bagian àdhiññhàna dan icchàpÃ¥raõa sacca pada bagian sacca yaitu   

sama sebab   keduanya berhubungan dengan pemenuhan keinginan 

seseorang.

Sehubungan dengan icchàpÃ¥raõa sacca, saat   ibu dan ayah Suvaõõa 

Sàma dan Dewi Bahusundarã masing-masing mengucapkan tekad, 

mereka semua berkeinginan agar racun yang berasal dari anak 

panah yang melukai Suvaõõa Sàma lenyap; sehubungan dengan 

pubbanimitta adhitthàna, juga, saat   Bodhisatta melemparkan 

rambut-Nya ke angkasa, Ia bertekad agar rambut-Nya tergantung di 

angkasa jika Ia dapat menjadi seorang Buddha; sehubungan dengan 

àsãsa adhiññhàna juga, saat   Vidhura bertekad, keinginannya 

yaitu   agar pakaiannya tidak terlepas. Hubungan antara tekad dan 

keinginan masing-masing menyebabkan kita beranggapan bahwa 

semua itu yaitu   sama. Itulah sebabnya, banyak orang sekarang 

3442


ini menggabungkan dua kata, sacca dan adhiññhàna, menjadi satu, 

dengan mengatakan, “Kami melaksanakan sacca-adhiññhàna.”

Akan tetapi, dalam kenyataannya, sacca yaitu   satu hal dan 

adhiññhàna yaitu   hal lain lagi dari Sepuluh Kesempurnaan. Oleh 

sebab   itu, keduanya yaitu   hal yang berbeda dan perbedaannya 

yaitu  , seperti telah disebutkan sebelumnya, sacca yaitu   kebenaran, 

entah baik ataupun buruk. Sebuah keinginan yang berdasarkan atas 

kebenaran yaitu   icchàpÃ¥raõa. Tetapi jika keinginan seseorang tidak 

berdasarkan kebenaran, tekad yang dilakukan oleh diri sendiri agar 

keinginan tercapai disebut adhiññhàna.

Penjelasan lebih lanjut, dalam Suvaõna Sàma Jàtaka saat   

orangtuanya bertekad, mereka mengatakan, “Sàma dulunya 

mempraktikkan kejujuran” (yang merupakan kebenaran dasar). Dan 

mereka menambahkan, “Berkat kebenaran ini, semoga racun lenyap” 

(yang merupakan keinginan mereka). Dengan demikian, keinginan 

yang berdasarkan atas apa yang benar yaitu   icchàpÃ¥raõa sacca.

saat   Bodhisatta melemparkan rambut-Nya ke angkasa dengan 

tekad, “Jika Aku akan menjadi seorang Buddha, semoga rambut-Ku 

tetap berada di angkasa,” Beliau melakukannya tanpa berdasarkan 

kebenaran. Tekadnya dilakukan untuk memberi   pertanda agar Ia 

mengetahui sebelumnya apakah Ia dapat mencapai Kebuddhaan.

Tekad yang dilakukan oleh Vidhura saat   ia mengikuti Puõõaka 

dengan memegang ekor kuda, “Semoga pakaianku tidak terlepas,” 

juga yaitu   Ã sãsa adhiññhàna sebab   tidak ada kebenaran sebagai 

landasan dan oleh sebab   itu hanya tekad dari keinginannya, àsãsa 

adhiññhàna.

Demikianlah perbedaan antara sacca dan adhiññhàna terletak pada 

ada atau tidaknya landasan kebenaran.

Kebiasaan-kebiasaan dan praktik seperti meniru sapi (gosãla dan 

govata): sapi makan dan mengeluarkan kotoran sambil berdiri; 

dalam meniru sapi, beberapa petapa (dalam masa kehidupan 

Buddha) melakukan hal yang sama, secara keliru meyakini bahwa 

3443

 1

dengan melakukan hal itu mereka akan menjadi suci dan terbebas 

dari saÿsàra. (Bukan berarti sapi-sapi itu memiliki pandangan salah, 

tetapi para petapa yang meniru sapi itu yang berpandangan salah). 

Praktik (vata) ini berhubungan dengan keburukan.

Tetapi adhiññhàna tidak berhubungan dengan praktik-praktik 

salah ini  , sebab   ini merupakan praktik Kesempurnaan yang 

mulia. Di sini vata merujuk pada pelaksanaan praktik-praktik 

mulia seperti kedermawanan, moralitas, dan seterusnya. saat   

seseorang bertekad untuk melaksanakan praktik-praktik ini, 

tindakan demikian disebut vata adhiññhàna, tetapi hanya sekadar 

tekad saja tidak berarti telah memenuhi Kesempurnaan Tekad. 

Alasannya yaitu   bahwa adhiññhàna bukanlah masa lalu atau masa 

sekarang. Seseorang memenuhi Kesempurnaan Tekad jika pada 

masa depan ia melaksanakan apa yang ia tekadkan sekarang. Akan 

tetapi, jika secara sungguh-sungguh bertekad sekarang, jika ia gagal 

melaksanakannya kelak, maka tekadnya menjadi tidak berguna 

dan tidak berarti.

Gagasan ini diungkapkan dalam Kavilakkhaõa Thatpon. Bahwa 

tekad harus diumpamakan sebagai cula seekor badak, binatang 

buas yang hanya memiliki satu cula, bukan dua. Bagaikan seekor 

badak yang hanya memiliki satu cula demikian pula seseorang 

harus menepati tekadnya dengan teguh, tidak goyah. Kalimat 

Kavilakkhaõà ini sesuai dengan kalimat “yathà pi pabbato selo” 

seperti yang disebutkan dalam Buddhavaÿsa. Artinya telah 

dijelaskan di atas.

Perbedaan tekad yang dikelompokkan sebelumnya, sebagai 

adhiññhàna sehubungan dengan uposatha, adhiññhàna sehubungan 

dengan jubah dan adhiññhàna sehubungan dengan mangkuk, 

tidak dapat dikelompokkan dalam pubbanimitta adhiññhàna, àsãsa 

addhiññhàna dan vata adhiññhàna, sebab   tekad-tekad ini   

dituntut dalam peraturan Vinaya. Sebaliknya, adhiññhàna dari 

satu di antara lima vasãbhàva dan adhiññhàna sebelum memasuki 

Nirodhasamàpatti dan yang merupakan milik sepuluh iddhi yaitu   

àsãsa adhiññhàna.

3444


Para Bakal Buddha dan Tiga Jenis Adhiññhàna

Dari tiga jenis adhiññhàna, para Bakal Buddha mempraktikkan 

pubbanimitta adhiññhàna bukan untuk memenuhi Kesempurnaan 

Tekad, tetapi untuk memenuhi beberapa persyaratan dalam 

situasi tertentu. Sebaliknya, vata adhiññhàna mereka praktikkan 

untuk memenuhi Kesempurnaan Tekad yang membawa menuju 

pencapaian Arahatta-Magga ¥Ã Ãµa dan Sabba¤¤uta ¥Ã Ãµa.

Untuk menjelaskan sedikit mengenai cara mereka mempraktikkan 

(adhiññhàna ini), berikut ini yaitu   kutipan dari Cariyà Piñaka:

Nisajja pàsàdavare evaÿ cintes’ ahem tadà 

Yaÿ ki¤ ci mànusaÿ dànaÿ adinnaÿ me na vijjati 

Yo pi yàceyya maÿ cakkhuÿ dadeyyaÿ avikampito

Sàriputta, saat   aku menjadi Raja Sivi, di istana aku berpikir, 

“Dari jenis-jenis dàna yang diberikan orang, “Tidak ada yang 

belum kuberikan. Jika orang meminta mataku, tanpa ragu aku akan 

memberi   kepadanya.”

Dengan kata-kata ini, Raja Sivi bermaksud mengatakan bahwa ia 

bertekad teguh, “Jika seseorang datang kepadaku hari ini untuk 

meminta mataku, tanpa keraguan aku akan memberi   mataku 

kepadanya.”

saat   Sakka dalam samaran seorang brahmana datang untuk 

meminta satu matanya, menepati tekadnya, ia menyerahkan kedua 

matanya tanpa ragu. Tekad Raja Sivi ini berhubungan dengan 

dàna.

Dalam Bab tentang praktik Bhuridatta, dikatakan:

Caturo aïge adhiññhàya semi vammikamuddhani 

chaviyà cammena maÿsena nahàru aññhikehi và 

yassa etena karaõiyaÿ dinnaÿ yeva haràtu so

ini menjelaskan bagaimana Raja Nàga Bhuridatta bertekad 

3445

 1

saat   melaksanakan sãla. Maksudnya, “sesudah   bertekad 

sehubungan dengan empat kelompok tubuhku, yaitu, (1) kulit 

yang tebal dan tipis, (2) daging dan darah, (3) otot, dan (4) tulang, 

aku berbaring di atas gundukan sarang semut. Ia yang ingin 

memanfaatkan empat kelompok ini, boleh mengambilnya, sebab   

aku telah mempersembahkannya.” sebab   ingin mengembangkan 

pelaksanaan sãla, Raja Bhuridatta bertekad, “Aku akan menjaga 

moralitasku dengan mengorbankan nyawaku.” Tekad Raja 

Bhuridatta ini yaitu   berhubungan dengan sãla.

Juga dalam Campeyya Jàtaka dari Vãsati Nipàta, Raja Nàga 

Campeyya pergi menjalani sãla sesudah   memberi tahu ratunya 

tentang pertanda yang menandakan bahwa ia sedang berada dalam 

bahaya dengan cara yang telah disebutkan di atas; disebutkan dalam 

Komentar, “Nimittàni àcikkhitvà càtuddasã uposathaÿ adhiññhàya 

nàgabhavanà nikkhamitvà tattha gantvà vammikamatthake nipajji”, 

“sesudah   memberitahukan pertanda dan sesudah   bertekad untuk 

melaksanakan sãla pada hari keempat belas bulan baru, Campeyya 

meninggalkan alam nàga menuju ke alam manusia dan berbaring 

di atas gundukan sarang semut.” Tekad Campeyya ini yaitu   murni 

pelaksanaan sãla.

Dalam semua kisah ini, dàna atau sãla yaitu   satu hal dan adhiññhàna 

yaitu   hal lain lagi. Dàna yang dilakukan oleh Raja Sivi terjadi 

saat ia menyerahkan matanya, tetapi tekadnya terjadi saat ia 

mulai bertekad untuk melakukannya sebelum pemberian yang 

sebenarnya. Oleh sebab   itu, tekad terjadi lebih dulu dan diikuti 

oleh tindakan memberi. Dalam hal sãla yang dilaksanakan oleh 

raja nàga, juga, tekad terjadi lebih dulu dan lalu   diikuti oleh 

tindakan melaksanakan sãla. Dalam urusan duniawi juga, yaitu   

wajar jika melakukan suatu hal sesudah   memutuskan “Aku akan 

melakukan hal ini.”

Adhiññhàna Pangeran Temiya

Bakal Buddha saat itu yaitu   putra raja dari Kàsi bernama 

Temiya. (Ia diberi nama demikian oleh ayahnya sebab   pada hari 

ia dilahirkan terjadi hujan lebat di seluruh Negeri Kàsi dan para 

3446


warga   menjadi basah dan gembira.) saat   sang pangeran 

berusia satu bulan, sewaktu ia berada di pangkuan ayahnya, empat 

pencuri dihadapkan kepada raja, yang memerintahkan agar mereka 

dihukum. Pangeran terkejut dan merasa sedih, berpikir, “Apa yang 

dapat kulakukan untuk melarikan diri dari istana ini.”

Keesokan harinya sewaktu ia sedang sendirian di bawah payung 

putih, ia merenungkan tindakan ayahnya dan menjadi takut untuk 

menjadi raja. Kepadanya yang pucat bagaikan bunga teratai yang 

diremas, dewi penjaga payung putih, ibunya dalam kehidupan 

lampau, berkata, “Jangan takut Anakku. Jika engkau ingin melarikan 

diri dari istana, bertekadlah untuk berpura-pura bodoh, bisu, dan 

tuli. Maka keinginanmu akan terpenuhi.” lalu   sang pangeran 

bertekad dan berbuat sesuai nasihat itu.

Selama enam belas tahun sang pangeran diuji dalam berbagai cara, 

tetapi ia tetap teguh tanpa menyimpang dari tekadnya. lalu   

sang ayah memerintahkan, “Putraku benar-benar bodoh, bisu, dan 

tuli. Bawa dia ke tanah pekuburan dan kubur ia di sana.”

Walaupun ia diuji dalam berbagai cara dan menghadapi banyak 

kesulitan selama enam belas tahun, ia tetap bertekad bagaikan 

perumpamaan gunung karang yang disebutkan dalam Buddhavaÿsa. 

Tekadnya yang teguh, tidak tergoyahkan yaitu   tindakan keteguhan 

hati yang luar biasa. Hanya jika seseorang memenuhi tekad vata 

dengan jenis seperti yang dilakukan oleh Pangeran Temiya dengan 

segala kekuatan dan keberanian dan tanpa tergoyahkan maka ia 

dapat melaksanakan pemenuhan Kesempurnaan Tekad seperti yang 

dilaksanakan oleh para Bodhisatta.

(I) Kesempurnaan Cinta Kasih (Mettà Pàramã)

Tiga Jenis Pema

Guru-guru zaman dulu menerjemahkan kata mettà dari Mettà 

Pàramã sebagai cinta. Demikian pula, mereka juga menerjemahkan 

pema sebagai cinta. ‘Cinta’ yang dimaksudkan dalam mettà memiliki 

makna khusus sedangkan ‘cinta’ yang dimaksudkan dalam pema 

3447

 1

bersifat umum. Pema dibagi menjadi tiga, yaitu:

(1) taõhà pema,

(2) gehasita pema, dan

(3) mettà pema.

(1) Taõhà pema yaitu   cinta antara laki-laki dan perempuan dan 

muncul sebab   kemelekatan, keserakahan; cinta ini disebut siïgàra 

dalam buku-buku bahasa.

(2) Gehasita pema yaitu   keterikatan antara orangtua dan anak-

anak, antara kakak dan adik, dan didasarkan sebab   menetap 

bersama dalam rumah yang sama. Cinta jenis ini disebut vacchala 

dalam buku-buku bahasa.

Baik taõhà pema maupun gehasita pema tidak bersifat mulia, yang 

pertama yaitu   nafsu (taõhà ràga) sedangkan yang kedua yaitu   

keserakahan (lobha).

(3) Mettà pema yaitu   cinta kasih atau kebaikan yang tidak terbatas 

yang ditujukan kepada makhluk-makhluk lain demi kesejahteraan 

mereka. Cinta ini yaitu   bebas dari kemelekatan atau keinginan 

untuk tetap hidup bersama dengan orang lain. Orang lain boleh 

saja tinggal di kutub lain dan ia tetap merasa bahagia mendengar 

bahwa orang lain itu yang berada di tempat jauh dalam keadaan 

makmur. Perpisahan tidak mencegah seseorang dari merasa puas 

atas kesejahteraan mereka. Oleh sebab   itu mettà yaitu   murni 

dan mulia dan disebut Brahmàvihàra (Kediaman Luhur). Artinya, 

dengan mengembangkan cinta seperti itu berarti berdiam dalam 

kondisi batin yang luhur. Tidak hanya mettà, tetapi karuõà (welas 

asih), mudità (kegembiraan atas kesejahteraan orang lain), dan 

upekkhà (ketenangseimbangan) yaitu   juga Brahmàvihàra.

Jadi Brahmàvihàra terdiri dari empat keluhuran ini. Empat ini 

juga disebut sebagai Empat Brahmacariya (praktik mulia). (Nama 

lain untuk Brahmàvihàra yaitu   Appama¤¤Ã , tak terukur, sebab   

merupakan kualitas batin yang harus dikembangkan dan diarahkan 

kepada semua makhluk yang jumlahnya tak terbatas.)

3448


Harus dimengerti secara saksama bahwa pengembangan cinta kasih 

bukanlah pengembangan taõhà pema dan gehasita pema yang tidak 

murni, melainkan mettà pema yang murni dan mulia. Bagaimana 

mengembangkan mettà akan dijelaskan lalu  .

Mettà dan Adosa

Mettà yaitu   realitas yang terdapat dalam pengertian mutlak 

(Paramattha). Tetapi jika realitas mutlak diuraikan, mettà tidak 

disebutkan sebagai bagian tersendiri, sebab   tercakup dalam bagian 

adosa cetasika (faktor batin ketidakbencian) yang memiliki makna 

konotasi yang luas. Mettà membentuk sebagian dari faktor batin 

adosa.

Penjelasan lebih lanjut: menurut Abhidhamattha Saïgaha, adosa 

cetasika berhubungan dengan lima puluh sembilan sobhaõa citta. 

Jika lima puluh sembilan citta ini muncul, maka muncul pula 

adosa cetasika. Adosa dapat merenungkan berbagai objek, tetapi 

mettà hanya memiliki satu, makhluk hidup, sebagai objeknya. 

Dalam melaksanakan berbagai tindakan dàna atau melaksanakan 

berbagai jenis sãla, akan muncul berbagai jenis adosa. Tetapi setiap 

kali adosa muncul, tidak selalu berarti mettà. Hanya jika seseorang 

merenungkan makhluk-makhluk hidup dengan pikiran, “Semoga 

mereka sejahtera dan bahagia,” mengharapkan kemakmuran 

mereka, maka adosa cetasika disebut mettà.

Sehubungan dengan Khantã Pàramã (Kesempurnaan Kesabaran) 

yang telah dijelaskan di atas, juga, khantã dapat berarti adosa 

cetasika, tetapi tidak semua adosa cetasika yaitu   khantã; saat   

seseorang disakiti oleh orang lain, ia mengendalikan diri dengan 

tidak menunjukkan dosa (kebencian atau kemarahan) kepada 

mereka, dan telah dibahas bahwa hanya adosa demikian yang 

dianggap khantã. Demikian pula, tidak semua adosa yaitu   mettà, 

tetapi hanya adosa yang muncul dalam bentuk cinta kasih terhadap 

makhluk-makhluk lain yang dianggap mettà.

3449

 1

528 Jenis Mettà

Sehubungan dengan mettà, orang-orang mengatakan bahwa mettà 

terdiri dari 528 jenis. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Harus 

dipahami bahwa orang mengatakan demikian yaitu   sebab   

menurut Pañisambhidàmagga terdapat 528 cara mengembangkan 

mettà.

Dari 528 cara, lima di antaranya yaitu   anodhisa, tanpa menentukan 

makhluk-makhluk, yaitu:

(1) sabbe sattà (semua makhluk),

(2) sabbe pàõà (semua benda hidup),

(3) sabbe bhåtà (semua makhluk yang ada),

(4) sabbe puggalà (semua orang atau individu), dan 

(5) sabbe attabhàvapariyàpannà (semua yang akan menjadi 

individu hidup).

saat   seseorang mengarahkan pikirannya kepada semua makhluk 

yang ada di tiga puluh satu alam kehidupan dalam satu dari lima 

cara ini, maka mereka semua termasuk tanpa ada satu pun yang 

tertinggal. sebab   tidak ada yang tidak termasuk dalam lima cara 

ini, maka lima ini disebut lima anodhisa (atau juga disebut lima 

individu anodhisa). Odhi dari anodhisa berarti ‘batas’. Dengan 

demikian anodhisa yaitu   ‘tidak terbatas.’

Jika mettà diarahkan kepada makhluk-makhluk yang ditentukan, 

pengelompokannya yaitu   sebagai berikut:

(1) sabbà itthiyo (semua perempuan),

(2) sabbe purisà (semua laki-laki),

(3) sabbe ariyà (semua makhluk mulia, para Ariya),

(4) sabbe anariyà (semua makhluk tidak mulia, mereka yang belum 

mencapai status Ariya),

(5) sabbe devà (semua dewa),

(6) sabbe manussà (semua manusia), dan

(7) sabbe vinipàtikà (para peta yang berada di alam sengsara).

3450


Masing-masing dari tujuh ini terdiri dari kelompok makhluk yang 

berbeda dan disebut odhisa (atau tujuh makhluk odhisa).

Demikianlah ada dua belas jenis makhluk, lima anodhisa (tidak 

ditentukan) dan tujuh odhisa (ditentukan), ke mana mettà harus 

diarahkan.

Bagaimana mettà diarahkan kepada dua belas kelompok makhluk 

diajarkan sebagai berikut:

(1) averà hontu (semoga mereka bebas dari permusuhan),

(2) abyàpajjà hontu (semoga mereka bebas dari kebencian),

(3) anighà hontu (semoga mereka bebas dari ketidakbahagiaan), 

dan

(4) sukhi attànaÿ pariharantu (semoga mereka mampu 

mempertahankan kebahagiaan mereka).

Jika mettà dipancarkan dalam empat cara ini ke arah dua belas 

kelompok makhluk di atas, maka cara pemancaran mettà seluruhnya 

menjadi berjumlah empat puluh delapan. Tidak ada rujukan 

langsung mengenai arah dalam empat puluh delapan cara ini.

Jika empat penjuru utama, empat penjuru di antaranya, dan ke 

atas dan ke bawah disebutkan dalam masing-masing empat puluh 

delapan cara ini, maka seluruhnya menjadi empat ratus delapan 

puluh cara: (“Semoga makhluk-makhluk di penjuru timur bebas 

dari permusuhan, bebas dari kebencian, bebas dari penderitaan 

dan semoga mereka dapat mempertahankan kebahagiaan mereka.” 

Dengan cara yang sama makhluk-makhluk di penjuru lain juga 

harus dipancarkan mettà, dengan demikian cara memancarkan 

mettà menjadi empat ratus delapan puluh.)

Jika empat puluh delapan cara memancarkan tanpa menyebutkan 

arah ditambahkan dengan empat ratus delapan puluh cara ini, maka 

totalnya menjadi lima ratus dua puluh delapan.

Lima ratus dua puluh delapan cara memancarkan mettà ini secara 

singkat disebut “pemancaran mettà” oleh para guru zaman dulu 

3451

 1

dan digubah menjadi sebuah doa tradisional. Jika seseorang ingin 

memancarkan mettà dengan cara pertama dalam bahasa Pàëi, 

ia dapat melakukannya dengan membacakan “sabbe sattà averà 

hontu” (semoga semua makhluk bebas dari permusuhan). Jika 

ia ingin melakukannya dengan cara kedua dalam bahasa Pàëi, ia 

dapat melakukannya dengan membacakan “sabbe sattà abyàpajjà 

hontu” (semoga semua makhluk bebas dari kebencian). Mengulangi 

terus-menerus dengan cara ini juga berarti mengembangkan mettà. 

(Demikianlah lima ratus dua puluh delapan cara memancarkan 

mettà ini harus dipahami.)

Pengembangan mettà dalam lima ratus dua puluh delapan cara 

yang disebutkan di atas diajarkan dalam Pañisambhidàmagga dan 

cukup terkenal. Dalam kitab ini   tidak disebutkan mengenai 

pengembangan karuõà, mudità, dan upekkhà pada di akhir 

pengembangan mettà.) Tetapi sekarang ini pemancaran mettà yang 

tertulis dalam beberapa buku pada bagian akhir pengembangan 

ini   terdapat: (a) dukkhà pamuccantu, ‘semoga mereka bebas 

dari penderitaan’, yang merupakan pengembangan karuõà, (b) yathà 

laddha sampattito màvigacchantu, ‘semoga mereka tidak kehilangan 

apa yang telah mereka peroleh’, yang merupakan pengembangan 

mudità, (c) kammassakà, ‘mereka memiliki perbuatan mereka 

sendiri, kamma, sebagai harta mereka; tiap-tiap makhluk yaitu   

apa yang diperbuat melalui kamma-nya’, yang merupakan 

pengembangan upekkhà. Penambahan ini dimasukkan oleh para 

guru zaman dulu agar mereka yang ingin mengembangkan karuõà, 

mudità, dan upekkhà dapat melakukannya dengan pengembangan 

mettà sebagai tuntunan.

Oleh sebab   itu, jika seseorang ingin mengembangkan karuõà, ia 

harus mengarahkan pikirannya ke arah makhluk-makhluk hidup 

seperti ini: sabbe sattà dukkhà pamuccantu, ‘semoga semua makhluk 

bebas dari penderitaan’; jika ia ingin mengembangkan mudità: 

sabbe sattà yathà laddha sampattito màvigacchantu, ‘semoga semua 

makhluk tidak kehilangan apa yang telah mereka peroleh’; jika ia 

ingin mengembangkan upekkhà: sabbe sattà kammassakà, ‘semua 

makhluk memiliki perbuatan mereka sendiri, kamma, sebagai harta 

mereka’.

3452


Tetapi hal ini bukan berarti bahwa hanya cara-cara yang telah 

disebutkan dalam Kitab yang dapat dilakukan dan tidak ada cara 

lain. sebab   untuk mencakup semua makhluk tanpa membeda-

bedakan, tidak hanya dengan memakai   kata satta, pàõa, bhÃ¥ta, 

puggala, dan attabhàvapariyàpannà, tetapi terdapat kata-kata lain 

seperti sarãrã, dehã, jãva, pajà, jantu, hindagu, dan sebagainya. Untuk 

memancarkan kepada makhluk-makhluk dengan pikiran ‘sabbe 

sarãrã averà hontu’, ‘semoga semua makhluk yang memiliki tubuh 

bebas dari permusuhan’, dan seterusnya, yaitu   juga mengarahkan 

mettà kepada mereka.

Cara-cara mengarahkan mettà juga dijelaskan sebagai empat 

dalam Pañisambhidàmagga. Tetapi terdapat cara-cara lain juga, 

misalnya, sabbe sattà sukhino hontu, ‘semoga semua makhluk 

berbahagia’; sabbe sattà khemino hontu, ‘semoga semua makhluk 

aman’, dan pikiran-pikiran demikian juga yaitu   mettà. Fakta 

bahwa memancarkan mettà kepada makhluk-makhluk lain dengan 

memakai   kata-kata Pàëi yang lain dan dengan memakai   

cara lain juga merupakan pengembangan mettà yang sesungguhnya, 

terbukti dalam Mettà Sutta.

Pengembangan Mettà Menurut Mettà Sutta

Mettà Sutta dibabarkan oleh Buddha sehubungan dengan para 

bhikkhu yang menetap di hutan dan dibacakan dalam sidang dan 

dicatat dalam Sutta Nipàta dan Khuddaka Pàñha. Sutta ini pertama-

tama menjelaskan mengenai lima belas kualitas yang harus dimiliki 

oleh mereka yang ingin mengembangkan mettà. Lima belas ini 

dikenal dalam bahasa Pàëi sebagai Mettàpubbabhàga, yaitu, kualitas 

yang harus dimiliki sebelum mengembangkan mettà.

Sutta ini mengatakan: 

Ia yang cerdas dalam apa yang mulia dan bermanfaat dan yang ingin 

merenungkan Nibbàna melalui kebijaksanaannya—Nibbàna yang 

merupakan kedamaian dan kebahagiaan—harus berusaha untuk 

memiliki kualitas berikut:

3453

 1

(1) kemampuan melakukan apa yang baik,

(2) bertingkah laku lurus,

(3) jujur,

(4) menerima nasihat dari para bijaksana,

(5) lemah lembut,

(6) tidak angkuh,

(7) mudah merasa puas dengan apa yang telah dimiliki,

(8) mudah dilayani,

(9) tidak terbebani oleh tugas-tugas dan kewajiban yang tidak 

perlu,

(10) hidup sederhana (yaitu, tidak dibebani dengan terlalu banyak 

harta jika melakukan perjalanan; seorang bhikkhu harus 

melakukan perjalanan dengan ringan hanya dengan delapan 

kebutuhan bagaikan seekor burung yang terbang hanya 

membawa sayapnya),

(11) memiliki indria yang tenang dan damai,

(12) memiliki kebijaksanaan yang matang sehubungan dengan hal-

hal yang tidak ternoda,

(13) rendah hati dalam perbuatan, perkataan, dan pikiran,

(14) tidak melekat pada penyokong laki-laki dan perempuan 

(khususnya bagi para bhikkhu, sebab   Sutta ini memang pada 

awalnya ditujukan untuk para bhikkhu. Umat awam juga tidak 

boleh melekat pada teman-temannya), dan

(15) tidak melakukan kesalahan sekecil apa pun yang dapat dicela 

oleh para bijaksana.

Sutta ini menjelaskan mengenai bagaimana mengembangkan 

mettà sesudah   memiliki lima belas kualitas ini dengan mengatakan, 

“Sukhino và khemino hontu, sabbasattà bhavantu sukhitattà” dan 

seterusnya.

Bagaimana mengembangkan mettà seperti yang diajarkan dalam 

Mettà Sutta dapat dipahami secara singkat sebagai berikut:

(a) sabbasaïgàhika mettà, mettà yang dikembangkan dalam segala 

cara mencakup semua makhluk,

(b) dukabhàvanà mettà, mettà yang dikembangkan dengan 

3454


membagi makhluk-makhluk menjadi dua kelompok, dan

(c) tikabhàvanà mettà, mettà yang dikembangkan dengan membagi 

makhluk-makhluk menjadi tiga kelompok.

(a) Sabbasaïgahika Mettà

Dari ketiga cara pengembangan mettà ini, sabbasaïgàhika mettà 

dijelaskan dalam bahasa Pàëi sebagai memancarkan sebagai berikut, 

“Sukhino và khemino hontu, sabbesattà bhavantu sukhitattà “, jika 

seseorang ingin mengembangkan mettà menurut penjelasan ini, 

ia harus terus-menerus membacakan dan merenungkan sebagai 

berikut:

(1) sabbe sattà sukhino hontu, semoga semua makhluk berbahagia 

secara jasmani,

(2) sabbe sattà khemino hontu, semoga semua makhluk bebas dari 

bahaya,

(3) sabbe sattà sukhitattà hontu, semoga semua makhluk berbahagia 

secara batin.

Ini yaitu   pengembangan sabbasaïgàhika mettà seperti yang 

diajarkan dalam Mettà Sutta.

(b) Dukabhàvanà Mettà

Dukabhàvanà mettà dan tikabhàvanà mettà dapat membingungkan 

mereka yang tidak mampu mengartikan Kitab Pàëi. (Bagaimana 

kedua hal ini dapat membingungkan tidak akan dijelaskan agar 

tidak menambah kebingungan.) 

Dukabhàvanà mettà dikembangkan dengan cara sebagai berikut:

Terdapat empat pasang makhluk, yaitu:

(1) tasa thàvara duka―pasangan makhluk-makhluk yang takut dan 

tidak takut,

(2) diññhàdiññha duka―pasangan makhluk-makhluk yang terlihat 

dan tidak terlihat,

3455

 1

(3) dÃ¥ra santika duka―pasangan makhluk-makhluk yang jauh dan 

yang dekat, dan

(4) bhÃ¥ta sambhavesi duka―pasangan makhluk-makhluk Arahanta 

dan umat biasa bersama-sama dengan yang masih belajar.

(1) Tasà và thàvarà và anavasesà sabbe sattà bhavantu sukhitattà

Semoga semua makhluk duniawi dan para pelajar mulia yang masih 

takut dan para Arahanta yang tidak takut, tanpa kecuali, berbahagia 

jasmani dan batin. Merenungkan demikian yaitu   pengembangan 

tasa thàvara duka bhàvanà mettà.

(2) Diññhà và adiññhà và anavasesà sabbasattà bhavantu sukhitattà

Semoga semua makhluk yang terlihat dan yang tidak terlihat, tanpa 

kecuali, berbahagia jasmani dan batin. Merenungkan demikian 

yaitu   pengembangan diññhàdiññha duka mettà.

(3) Dårà và avidårà và anavasesà sabbasattà bhavantu sukhitattà,

Semoga semua makhluk yang jauh dan yang dekat, tanpa kecuali, 

berbahagia jasmani dan batin. Merenungkan demikian yaitu   

pengembangan dura santika dukabhàvanà mettà.

(4) Bhutà và sambhavesã và anavasesà sabbasattà bhavantu 

sukhitattà

Semoga semua makhluk, mereka yang telah mencapai kesucian 

Arahatta, dan mereka yang masih umat biasa dan yang masih 

belajar, tanpa kecuali, berbahagia jasmani dan batin. Merenungkan 

demikian yaitu   pengembangan bhÃ¥ta sambhavesi dukabhàvanà 

mettà

Empat cara yang disebutkan di atas mengenai pengembangan mettà 

disebut dukabhàvanà mettà, yaitu, mettà yang dikembangkan 

sesudah   membagi makhluk-makhluk menjadi dua kelompok.

(c) Tikabhàvanà Mettà

Tikabhàvanà mettà ini terdiri dari tiga jenis:

(1) dighà rassa majjhima tika―kelompok tiga makhluk-makhluk yang 

3456


tinggi, pendek, dan sedang

(2) mahantàõuka majjhima tika―kelompok tiga makhluk-makhluk 

yang besar, kecil, dan sedang

(3) thÃ¥làõuka majjhima tika―kelompok tiga makhluk-makhluk yang 

gemuk, kurus, dan sedang.

(1) Dighà và rassà và majjhimà và annavasesà sabbasattà bhavantu 

sukhitattà

Semoga semua makhluk yang memiliki tubuh yang tinggi, makhluk-

makhluk yang memiliki tubuh yang pendek dan makhluk-makhluk 

yang memiliki tubuh sedang, tanpa kecuali, berbahagia jasmani dan 

batin. Merenungkan demikian yaitu   pengembangan dãgha rassa 

majjhima tikabhàvanà mettà.

(2) Mahantà và aõukà và majjhimà và anavasesà sabbasattà bhavantu 

sukhitattà

Semoga semua makhluk yang memiliki tubuh yang besar, 

makhluk-makhluk yang memiliki tubuh yang kecil dan makhluk-

makhluk yang memiliki tubuh sedang, tanpa kecuali, berbahagia 

jasmani dan batin. Merenungkan demikian yaitu   pengembangan 

mahantàõukavmajjhima tikabhàvanà mettà.

(3) ThÃ¥là và aõukà và majjhimà và anavasesà sabbasattà bhavantu 

sukhitattà

Semoga semua makhluk yang memiliki tubuh yang gemuk, 

makhluk-makhluk yang memiliki tubuh yang kurus dan makhluk-

makhluk yang memiliki tubuh sedang, tanpa kecuali, berbahagia 

jasmani dan batin. Merenungkan demikian yaitu   pengembangan 

thålàõuka majjhima tikabhàvanà mettà.

Tiga cara yang disebutkan di atas mengenai pengembangan mettà 

disebut tikabhàvanà mettà, yaitu, mettà yang dikembangkan sesudah   

membagi makhluk-makhluk menjadi tiga kelompok.

sebab   tiga cara pengembangan mettà ini, yaitu, (a) sabbasaïgàhika 

mettà, (b) dukabhàvanà mettà, dan (c) tikabhàvanà mettà yaitu   

pikiran penuh cinta kasih, yang dikembangkan dengan keinginan 

untuk melihat makhluk lain mencapai kemakmuran dan 

3457

 1

kebahagiaan, maka disebut hitasukhàgamapatthanà mettà.

Demikian pula, pikiran cinta kasih yang dikembangkan dengan 

keinginan untuk melihat makhluk lain bebas dari kemalangan dan 

tidak menderita disebut ahitadukkhànàgamapatthanà mettà.

Jenis mettà ini dijelaskan dalam Pàëi:

Na paro param nikubbetha, 

nà’ tima¤¤etha katthaci naÿ ka¤ci. 

Vyàrosanà pañighasa¤¤Ã , 

nतama¤¤assa dukkham iccheyya.

Artinya, ‘semoga seseorang tidak menipu orang lain; semoga 

seseorang tidak menghina orang lain; semoga tidak mengharapkan 

penderitaan orang lain dengan menyerang dan menyakiti secara 

fisik, ucapan, dan pikiran.’ Merenungkan demikian yaitu   

pengembangan ahitadukkhàgamapatthanà mettà.

Akan muncul pertanyaan, mengapa pengembangan mettà dijelaskan 

tidak hanya dalam satu cara tetapi dalam banyak cara yang berbeda-

beda menurut Pañisambhidàmagga dan Mettà Sutta?

Jawabannya yaitu  : pikiran orang-orang biasa terus-menerus 

mengembara dari satu objek indria ke objek indria yang lain. 

Pikiran dalam kondisi demikian tidak dapat dijaga agar tetap 

terpusat pada objek mettà dengan memakai satu cara saja. 

Pikiran yang terkonsentrasi hanya dapat dicapai dengan terus-

menerus mengubah cara perenungan. Oleh sebab   itu Buddha 

mengajarkan berbagai cara mengembangkan mettà. Para bijaksana 

zaman dulu, juga menjelaskan hal ini dalam berbagai cara. (Atau, 

penjelasan lainnya:) Mereka yang mengembangkan mettà memiliki 

kecenderungan yang berbeda-beda; bagi beberapa orang, anodhisa 

mettà lebih mudah dipahami; bagi beberapa orang odhisa mettà 

lebih mudah dimengerti; bagi beberapa orang, memancarkan mettà 

ke berbagai penjuru yaitu   lebih jelas; bagi beberapa orang, cara 

sabbasaïgahika dari Mettà Sutta lebih jelas; bagi beberapa orang, 

dukabhàvanà lebih sesuai; dan bagi beberapa orang tikabhàvanà 

3458


lebih cocok. sebab   kecenderungan yang berbeda-beda dari mereka 

yang mengembangkan mettà memerlukan penggunaan cara yang 

berbeda-beda pula sesuai masing-masing individu, maka Buddha 

mengajarkan cara yang berbeda-beda ini dan guru-guru selanjutnya 

mengajarkannya secara lengkap.

Mettà Bodhisatta

Bagaimana Bodhisatta mengembangkan mettà (bagaimana Beliau 

memenuhi Kesempurnaan Cinta Kasih) telah dijelaskan dalam 

Suvaõõasàma Jàtaka dalam Cariyà Piñaka dan Mahà Nipàta (dari 

Jàtaka). Kisah yang terdapat dalam Cariyà Piñaka secara singkat 

yaitu  , “Sàriputta, saat   Aku yaitu   Suvaõõasàma, menetap di 

tempat yang telah dipersiapkan oleh Sakka, Aku memancarkan cinta 

kasih ke arah singa-singa dan macan-macan di hutan. Aku menetap 

di sana dikelilingi oleh singa dan macan, serigala, kerbau, rusa, dan 

beruang. Tidak ada satu binatang pun yang takut kepada-Ku; juga 

Aku tidak takut kepada mereka. Aku hidup bahagia di dalam hutan 

sebab   Aku dibentengi oleh kekuatan mettà.”

Dari kutipan ini kita tidak mengetahui tentang keluarga 

Suvaõõasàma, kelahirannya, dan sebagainya; kita hanya mengetahui 

kehidupannya yang bahagia dan mulia tanpa rasa takut terhadap 

binatang-binatang buas di hutan, ditopang oleh kebajikan cinta 

kasih-Nya.

Akan tetapi, dalam Mahà Nipàta, dikatakan bahwa saat   Bodhisatta 

Suvaõõasàma tertembak oleh sebatang anak panah, ia bertanya, 

“Mengapa engkau menembak-Ku dengan anak panah?” dan Raja 

Pãëiyakkha menjawab, “Sewaktu aku sedang membidik seekor 

rusa, rusa itu yang telah berada dalam arah tembak anak panahku 

melarikan diri, sebab   takut pada-Mu. sebab   aku jengkel maka aku 

menembak-Mu,” lalu   Suavaõõasàma menjawab, ”Na maÿ 

migà uttasanti, ara¤¤e sàpadànipi” “Melihatku, rusa tidak takut; 

juga binatang-binatang lainnya di hutan ini.” Ia juga mengatakan:

“O Raja, bahkan kinnara yang pemalu yang hidup di Gunung 

Gandhamàdana, akan dengan gembira mendatangi-Ku sewaktu 

3459

 1

mereka berjalan-jalan di gunung dan hutan.”

Dari syair Pàëi ini, diketahui bahwa Bodhisatta Suvaõõasàma, 

menetap di hutan, memancarkan mettà ke arah semua binatang 

penghuni hutan termasuk kinnara dan sebab   itulah Ia dicintai oleh 

semua binatang di hutan itu.

Dalam daftar sebelas manfaat yang dihasilkan dari mengembangkan 

mettà, salah satunya yaitu  : dicintai oleh manusia, dewa, siluman, 

dan hantu. Tetapi dari kisah Suvaõõasàma kita mengetahui bahwa 

binatang juga mencintai mereka yang mengembangkan mettà. 

(Sebelas manfaat pengembangan mettà telah dibahas sehubungan 

dengan Navaïga Uposatha pada bagian Kesempurnaan Moralitas). 

Dari sebelas manfaat ini, sehubungan dengan amanussànaÿ 

piyo, ‘cinta dewa, siluman, dan hantu’, dapat dipahami dari kisah 

Thera Visàkha yang terdapat dalam Brahmàvihàra Niddesa dari 

Visuddhimagga.

Kisah Thera Visàkha

Visàkha, seorang perumah tangga dari Pàñaliputta, sesudah   

mendengar tentang Sri Lanka, ingin pergi ke negeri ini   

untuk mempraktikkan Dhamma. sesudah   menyerahkan seluruh 

kekayaannya kepada keluarganya, ia menyeberang ke Sri Lanka 

dan menjadi seorang bhikkhu di Mahàvihàra. Selama lima bulan 

ia memelajari Dve Màtikà (Dua Kitab Vinaya) dan lalu   

meninggalkan Mahàvihàra menuju sejumlah vihàra yang sesuai 

untuk bermeditasi. Ia menetap selama empat bulan di masing-

masing vihàra.

Dalam perjalanannya menuju vihàra bukit bernama Cittala, Visàkha 

sampai di persimpangan jalan dan saat ia mempertimbangkan jalan 

mana yang akan ia ambil, dewa bukit itu menuntunnya ke arah yang 

benar. Demikianlah ia tiba di vihàra dan menetap selama empat 

bulan di sana. sesudah   merencanakan untuk pergi ke vihàra lain 

keesokan harinya, ia pergi tidur. Selagi ia tidur, hantu penghuni 

pohon hijau duduk di atas pegangan tangga dan menangis. 

“Siapakah yang menangis di sini?” tanya bhikkhu itu. “Aku yaitu   

3460


hantu penghuni pohon hijau, Tuan,” jawabnya. “Mengapa engkau 

menangis?” “sebab   engkau hendak pergi.” “Apakah manfaatnya 

bagimu jika aku tetap tinggal di sini?” “Keberadaanmu di sini, 

menyebabkan para dewa, siluman, dan makhluk-makhluk lain di 

sini saling menunjukkan cinta kasih. (Cinta melingkupi mereka 

semua.) sesudah   engkau pergi, mereka akan bertengkar bahkan 

berkata-kata kasar.”

“Jika keberadaanku di sini benar-benar memberi   kebahagiaan 

buatmu seperti yang engkau katakan,” bhikkhu itu berkata, “baiklah, 

aku akan tinggal selama empat bulan lagi.” saat   empat bulan lagi 

telah berlalu, si bhikkhu itu hendak pergi dan si hantu menangis 

lagi. Demikianlah, bhikkhu itu tidak dapat meninggalkan tempat itu 

dan meninggal dunia mencapai Nibbàna di vihàra itu di Cittala.

Kisah ini menunjukkan bahwa mereka yang menerima mettà tidak 

hanya mencintai ia yang memancarkan mettà kepada mereka, tetapi 

juga menunjukkan cinta kasih kepada satu sama lain di bawah 

pengaruh mettà-nya.

Cinta Kasih Seorang Pemburu

Dalam Mahà Haÿsa Jàtaka dari Asãti Nipàta, saat   Bodhisatta, 

raja para Haÿsa, terjebak dalam sebuah perangkap, ia menderita 

luka-luka, atas anjuran Jenderal Haÿsa, si pemburu yang menyesal 

itu mengangkat si Raja Haÿsa dengan lembut dan merawatnya 

dengan cinta kasih untuk mengobati lukanya. Bahkan luka goresan 

dari perangkap itu tidak berbekas di kakinya, yang menjadi normal 

dengan urat, daging, dan kulit utuh berkat kekuatan mettà si 

pemburu.

Ini hanyalah kutipan yang berhubungan dari Mahà Haÿsa Jàtaka. 

Kisah lengkapnya dapat dibaca dari Jàtaka yang sama. Kisah-kisah 

yang mirip terdapat pada Pañhama Cåëà Haÿsa Jàtaka dari Asãti 

Nipàta, Rohaõa Miga Jètaka, dan Cåëà Haÿsa Jàtaka dari Vãsati 

Nipàta. Kekuatan mettà dapat dipahami dari kisah-kisah ini.

3461

 1

Nafsu Dalam Samaran Cinta Kasih

 

Ia yang ingin memancarkan mettà kepada makhluk-makhluk 

lain harus berhati-hati terhadap satu hal yaitu jangan sampai 

mengembangkan nafsu (ràga) dalam samaran sebagai mettà 

seperti yang diperingatkan dalam Komentar Netti, “Ràgo 

mettàyanàmukhena va¤ceti.” “Nafsu dalam samaran cinta kasih 

yaitu   menipu.” Dalam Brahmàvihàra Niddesa dari Visuddhimagga, 

juga disebutkan, “Memadamkan kemarahan berarti memenuhi 

mettà, tetapi munculnya nafsu berarti hancurnya mettà.”

Artinya yaitu  : jika seseorang memancarkan mettà kepada orang lain 

yang kepadanya ia merasa marah, kemarahan itu lenyap dan muncul 

dalam dirinya mettà yang merupakan cinta kasih. Jika kemelekatan 

nafsu muncul dalam dirinya sewaktu ia mengembangkan mettà 

sejati, maka mettà sejatinya itu gagal. Ia ditipu oleh nafsu yang 

berwujud menyerupai cinta kasih.

sebab   mettà yaitu   satu dari Sepuluh Kesempurnaan, maka 

harus dipancarkan kepada makhluk-makhluk lain hingga mereka 

membalas cinta kasih mereka kepada kita seperti halnya yang 

terjadi pada Bodhisatta Suvaõõasàma dan yang lainnya. Mettà 

tidak hanya termasuk dalam Sepuluh Kesempurnaan, tetapi 

juga termasuk dalam empat puluh cara meditasi Samatha, yang 

mengarah kepada pencapaian Jhàna dan Abhi¤¤Ã . Oleh sebab   

itu para Bodhisatta dan orang-orang berbudi pada masa lampau 

mengembangkan mettà dan dengan konsentrasi yang tajam dan 

dalam mereka mencapai Jhàna-Jhàna dan Abhi¤¤Ã  (yang disebut 

appanà dalam bahasa Pàëi). Sebagai gambaran mengenai pencapaian 

demikian sewaktu memenuhi Kesempurnaan dapat dibaca dalam 

Seyya Jàtaka, Abbhantara Vagga dari Tika Nipàta dan Ekaràja Jàtaka, 

Kàliïga Vagga dari Catukka Nipàta.

Seyya Jàtaka

Sebuah sinopsis dari Seyya Jàtaka: Raja Brahmadatta dari Bàràõasã 

memerintah dengan jujur memenuhi sepuluh kewajiban raja. 

Ia memberi   dàna, melaksanakan Lima Sãla, melaksanakan 

3462


moralitas uposatha. lalu   seorang menteri yang melakukan 

kejahatan di istana diusir oleh raja dari kerajaan itu. Ia pergi ke negeri 

tetangga Kosala dan sewaktu melayani raja di sana, ia mendesak 

raja agar menyerang dan menaklukkan Bàràõasã yang, menurutnya, 

dapat dilakukan dengan mudah. Raja Kosala menuruti nasihatnya, 

menangkap dan mengurung Raja Brahmadatta, yang tidak melawan 

sama sekali, bersama para menterinya.

Di dalam penjara, Brahmadatta memancarkan mettà ke arah Kosala, 

yang telah merampas kerajaannya, dan akhirnya mencapai mettà 

Jhàna. Berkat kekuatan mettà ini  , si perampok, Raja Kosala 

merasa terbakar di sekujur tubuhnya seolah-olah dibakar dengan 

obor. sebab   menderita kesakitan luar biasa, ia bertanya kepada 

para menterinya, “Mengapa ini terjadi padaku?” Mereka menjawab, 

“O Raja, engkau menderita sebab   engkau telah memenjarakan 

Raja Brahmadatta yang memiliki moralitas.” Selanjutnya Kosala 

segera mendatangi Bodhisatta Brahmadatta, memohon maaf 

dan mengembalikan kerajaannya kepada Brahmadatta dengan 

mengatakan, “Ambillah kembali kerajaanmu.” Dari kisah ini, jelas 

bahwa mettà mendukung pencapaian Jhàna.

Ekaràja Jàtaka

Kisah Ekaràja: suatu saat  , seorang menteri yang membantu 

Raja Brahmadatta di Barànasã melakukan pelanggaran. Kisah ini 

dimulai dengan kejadian yang sama seperti dalam kisah Seyya 

Jàtaka sebelumnya. Seyya Jàtaka dan Ekaràja Jàtaka mirip dengan 

kisah Mahà Sãlava Jàtaka dari Ekaka Nipàta. Kisah lengkapnya baca 

Mahà Sãlava Jàtaka.

Yang khusus dari Ekaràja Jàtaka yaitu  : sewaktu Raja Bàrànasã 

sedang duduk di singgasana bersama para menterinya di halaman 

istana, Raja Dubbhisena dari Kosala mengikat dan mengurungnya 

dan lalu   menggantungnya secara terbalik di atas pintu di 

dalam istananya. Dengan mengembangkan mettà dengan si raja 

perampok sebagai objek perenungannya, Brahmadatta mencapai 

Jhàna dan Abhi¤¤Ã . Ia mampu membebaskan dirinya sendiri dari 

belenggu dan duduk bersila di angkasa. Tubuh Dubbhisena menjadi 

3463

 1

panas dan begitu panas hingga ia bergulingan di atas tanah sambil 

mengeluh, “Panas sekali; panas sekali.” lalu   ia bertanya 

kepada menterinya, “Mengapa ini terjadi padaku?” Para menteri 

menjawab, “O Raja, engkau menderita seperti ini sebab   engkau 

telah melakukan kesalahan dengan menangkap dan menggantung 

terbalik raja yang baik dan tidak bersalah.” “Kalau begitu, segera 

bebaskan dia.” Para pelayannya segera mendatangi raja dan 

melihatnya sedang duduk bersila di angkasa. Mereka kembali dan 

melaporkan hal itu kepada Raja Dubbhisena.

Mettà Buddha

Suatu saat   sewaktu para anggota Saÿgha yang dipimpin oleh 

Buddha melakukan perjalanan ke Kusinàra, para pangeran Malla 

sepakat bahwa siapa pun yang tidak menyambut rombongan itu 

akan dihukum. Demikianlah, seorang pangeran Malla, bernama 

Roja, yang yaitu   teman ânanda sewaktu ia masih menjadi seorang 

awam, menyambut rombongan itu bersama para pangeran lainnya. 

ânanda berkata memuji Roja bahwa itu yaitu   kesempatan baik 

untuk melakukan hal itu sebab   rombongan itu di bawah pimpinan 

Buddha. Roja menjawab bahwa ia melakukan hal itu bukan 

sebab   ia memiliki keyakinan terhadap Tiga Permata, melainkan 

sebab   kesepakatan di antara mereka. Mendengar jawaban yang 

tidak menyenangkan dari Roja, ânanda menemui Buddha dan 

memberitahukan kepada-Nya. Ia juga memohon kepada Buddha 

agar melunakkan batin Roja. Buddha memancarkan pikiran mettà 

khusus kepada Roja yang menjadi tidak tenang di rumahnya dan 

bagaikan seekor anak sapi yang dipisahkan dari induknya, ia datang 

ke vihàra tempat Buddha menetap. Dengan keyakinan sejati terhadap 

Buddha yang muncul dalam dirinya, ia bersujud kepada Buddha 

dan mendengarkan khotbah-Nya, hasilnya ia menjadi seorang 

Sotàpanna.

Pada kesempatan lain juga, saat   para anggota Saÿgha yang 

dipimpin oleh Buddha memasuki Kota Ràjagaha dan pergi menerima 

dàna makanan, Devadatta, sesudah   berunding dengan Raja Ajàtasattu, 

mengirim Gajah Nàëàgãri, yang sedang mabuk, untuk menyerang 

Buddha. Buddha menaklukkannya dengan memancarkan mettà. 

3464


lalu   para warga   Ràjagaha menyanyikan syair berikut 

dengan penuh kegembiraan:

Daõóen’eke damayanti aïkusehi kasàhi ca 

adaõóena asatthena nàgo danto mahesinà.

Para pelatih sapi, pelatih gajah, pelatih kuda menjinakkan 

(binatangnya masing-masing) dengan memukul atau menyakiti 

binatang itu dengan tongkat atau cambu