Tampilkan postingan dengan label Biksu Budha 7. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Biksu Budha 7. Tampilkan semua postingan

Biksu Budha 7

 



dha bertanya kepada pemuda Vaïgãsa, “Vaïgãsa, apakah engkau 

ahli dalam bidang tertentu?” “Yang Mulia Gotama,” Vaïgãsa berkata, 

“Aku menguasai mantra tertentu yang disebut chavasãsa manta.” 

“Apa gunanya chavasãsa manta itu?” “Yang Mulia Gotama, dengan 

membacakan mantra itu, lalu   dengan kuku jariku aku meraba 

tengkorak orang yang telah meninggal tiga tahun yang lalu dan aku 

dapat menyebutkan di alam apa ia dilahirkan kembali.”

lalu   Buddha dengan kekuatan batin-Nya mengambil empat 

tengkorak manusia: (1) satu milik seseorang di alam neraka; (2) 

satu milik seseorang di alam manusia; (3) satu milik seseorang 

di alam dewa; dan (4) yang terakhir yaitu   milik Arahanta yang 

telah mencapai Nibbàna. Vaïgãsa, meraba tengkorak pertama, 

dan berkata, “Yang Mulia Gotama, pemilik tengkorak ini sekarang 

terlahir kembali di alam neraka” “Bagus, bagus, Vaïgãsa,” Buddha 

berkata, “Engkau melihat dengan benar. Di manakah pemilik 

tengkorak yang ini sekarang?” Buddha bertanya sambil menunjuk 

tengkorak kedua. “Yang Mulia Gotama, orang ini sekarang terlahir 

kembali di alam manusia.” Buddha mengujinya dengan tengkorak 

ketiga, dan Vaïgãsa berkata, “Yang Mulia Gotama, orang ini sekarang 

terlahir kembali di alam dewa.” Dan seluruh tiga pengungkapan 

itu yaitu   benar adanya.

Tetapi, saat   Buddha menunjuk tengkorak keempat dan menguji 

Vaïgãsa, pemuda brahmana itu kebingungan. Walaupun ia berulang-

ulang meraba tengkorak itu dan merenungkannya, ia tidak mampu 

menyebutkan alam kelahiran kembali dari pemilik tengkorak itu.

Buddha bertanya, “Vaïgãsa, apakah keahlianmu telah habis?” 

“Tunggu, Yang Mulia Gotama,” Vaïgãsa berkata, “Aku akan 

mencoba lagi.” Ia mencoba dengan canggung, dengan membaca 

mantranya yang terkenal dan meraba tengkorak itu dengan sia-sia. 

Ia menyimpulkan bahwa masalah itu jelas di luar kemampuannya. 

Butir-butiran keringat mengucur dari keningnya. Dan dengan 

tampang bodoh, Vaïgãsa hanya bisa berdiam diri.

2665

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

“Apakah itu cukup melelahkan, Vaïgãsa?” Buddha bertanya. 

“Sangat, Yang Mulia Gotama, sungguh melelahkan. Aku tidak 

dapat mengetahui alam kelahiran kembali dari si pemilik tengkorak 

ini. Jika Yang Mulia mengetahuinya, sudilah memberitahuku.” 

“Vaïgãsa,” Buddha berkata, “Aku sangat mengenali makhluk ini.” 

lalu   Buddha mengucapkan dua bait syair berikut, (yang 

disajikan dalam bentuk prosa):

Cutiÿ yo vedi sattànaÿ, upapatti¤ ca sabbaso; 

Asattaÿ Sugataÿ Buddhaÿ, tam ahaÿ bråmi Bràhmaõaÿ.

 

“(Vaïgãsa) ia yang mengetahui dengan jelas kematian dan kelahiran 

kembali dari makhluk-makhluk dalam segala hal, yang bebas dari 

kemelekatan, yang berjalan di Jalan Benar dan menembus Nibbàna, 

yang menembus Empat Kebenaran Mulia, Aku menyebutnya 

seorang bràhmaõa.” (Dhammapada, 419)

Yassa gatiÿ na jànanti, Devà gandhabba mànusà; 

Khãõàsavaÿ Arahantaÿ, tam ahaÿ bråmi Bràhmaõaÿ.

“(Vaïgãsa) Para dewa di alam surga atau para musisi surgawi di 

bumi, atau manusia yang mengetahui, yang telah menghancurkan 

empat jenis kotoran moral, dan yaitu   seorang Arahanta, Aku 

menyebutnya seorang Arahanta.” (Dhammapada, 420)

(Catatan: Buddha mengucapkan syair-syair ini kepada para bhikkhu 

seperti yang terdapat dalam Dhammapada untuk memberitahukan 

kepada para bhikkhu bahwa Yang Mulia Vaïgãsa yaitu   seorang 

Arahanta. Tetapi dalam situasi sekarang ini, syair-syair itu 

diucapkan demi kebaikan Vaïgãsa bahwa tengkorak keempat yang 

yaitu   milik seorang Arahanta yang alam kelahiran kembali sesudah   

meninggal dunia tidak akan ditemukan dalam lima jenis alam 

kelahiran kembali.)

lalu   Pemuda Vaïgãsa berkata kepada Buddha, “O Yang 

Mulia Gotama, tidak ada ruginya bagi mereka yang menukar 

manta dengan manta. Aku akan memberi   Chavasãsa manta 

sebagai imbalan atas manta-Buddha yang baru Engkau ucapkan.” 

2666


Buddha menjawab, “Vaïgãsa, kami, para Buddha tidak bertukar 

manta. Kami memberi  nya secara gratis kepada mereka yang 

menginginkannya.” “Baiklah, Yang Mulia Gotama,” Vaïgãsa berkata, 

“Sudilah Yang Mulia Gotama memberi   manta itu kepadaku.” 

Dan ia menyembah Buddha dengan kedua tangan dirangkapkan 

seperti kura-kura.

lalu   Buddha berkata, “Vaïgãsa, bukankah dalam kebiasaan 

brahmanis terdapat masa percobaan yang wajib bagi seseorang yang 

meminta dan menerima sesuatu?” “Ada, Yang Mulia Gotama.” 

“Vaïgãsa, apakah engkau pikir tidak ada masa percobaan bagi ia 

yang ingin memelajari sebuah manta dalam ajaran kami?” Sudah 

menjadi sifat brahmanis, tidak pernah puas dalam memelajari 

manta. Vaïgãsa merasa bahwa ia harus mendapatkan manta Buddha 

dengan cara apa pun. Maka ia berkata, “O Yang Mulia Gotama, 

aku akan mematuhi peraturan-Mu.” “Vaïgãsa, jika kami harus 

mengajarkan manta-Buddha, kami hanya melakukannya kepada 

ia yang berpenampilan seperti kami.”

Vaïgãsa telah memutuskan untuk memelajari manta-Buddha sesudah   

memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Buddha; sebab   itu 

ia berkata kepada pengikutnya, “Sekarang, jangan salah paham 

dengan keputusanku untuk menjadi seorang bhikkhu. Aku harus 

memelajari manta-Buddha. sesudah   memelajarinya, aku akan 

menjadi guru terhebat di JambÃ¥dãpa ini, dan hal itu juga akan 

menguntungkan kalian.” sesudah   menghibur para pengikutnya, 

Vaïgãsa menjadi seorang bhikkhu dengan tujuan untuk memelajari 

manta-Buddha.

(Catatan: Penahbis yang menahbiskan Vaïgãsa dalam Ritual   

penahbisan resmi yaitu   Yang Mulia Nigrodhakappa, seorang 

Arahanta, yang selalu berada di dekat Buddha pada masa 

itu. Buddha berkata kepada Yang Mulia Nigrodhakappa, 

“Nigrodhakappa, Vaïgãsa ingin menjadi seorang bhikkhu, 

tahbiskanlah dia.” Nigrodhakappa mengajarkan praktik meditasi 

dengan merenungkan lima aspek kejijikan terhadap badan jasmani 

kepada Vaïgãsa dan menahbiskannya menjadi seorang sàmaõera). 

(Komentar Sutta Nipàta).

2667

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

lalu   Buddha berkata kepada Yang Mulia Vaïgãsa, “Vaïgãsa, 

sekarang jalankanlah masa percobaan sebagai pelajar manta,” dan 

mengajarkan kepadanya tentang bagaimana merenungkan tiga 

puluh dua bagian tubuh. Vaïgãsa, sebagai seorang yang memiliki 

kecerdasan tinggi, mengucapkan tiga puluh dua bagian tubuh itu 

dan bermeditasi merenungkan muncul dan lenyapnya (fenomena 

jasmani yang terdiri dari) tiga puluh dua bagian tubuh ini  , 

ia mencapai Pandangan Cerah ke dalam fenomena jasmani dan 

mencapai Kearahattaan.

sesudah   Vaïgãsa mencapai Kearahattaan, teman-teman brahmananya 

mendatanginya untuk melihat perkembangannya. Mereka berkata 

kepadanya, “Vaïgãsa, bagaimana sekarang? Sudahkah engkau 

memelajari manta itu dari Samaõa Gotama?” “Ah, ya, sudah,” jawab 

Yang Mulia Vaïgãsa. “Kalau begitu, mari kita pergi,” mereka berkata. 

“Kalian pergilah, aku tidak mempunyai urusan lagi dengan kalian.” 

Mendengar jawaban tegas ini  , para brahmana itu berkata, 

“Kami telah memperingati engkau bahwa Samaõa Gotama selalu 

mempengaruhi para tamu-Nya dengan tipuan. Sekarang engkau 

telah jatuh ke dalam mantra Samaõa Gotama, kami juga tidak 

mempunyai urusan lagi denganmu.” sesudah   mengucapkan kata-

kata kasar itu, mereka pulang ke arah dari mana mereka datang.

(Yang Mulia Vaïgãsa yaitu   seorang bhikkhu siswa Buddha yang 

sangat menonjol. Syair-syairnya yang menakjubkan, dapat dibaca 

dalam Vaïgãsa Saÿyutta, Sagàthàvagga Saÿyutta.)

(c) Gelar Etadagga

Thera Vaïgãsa yaitu   seorang penyair berbakat. Kapan pun ia 

pergi menemui Buddha, ia selalu mengucapkan syair-syair pujian 

kepada Buddha, membandingkan Bhagavà dalam puisinya dengan 

bulan, matahari, langit, samudra, gajah mulia, singa, dan lain-lain. 

Syair-syair ini yang ia nyanyikan secara spontan tanpa dipersiapkan 

sebelumnya pada saat matanya menatap Buddha, berjumlah 

ribuan. sebab   itu, pada lalu   hari, saat Buddha menyebutkan 

nama para bhikkhu yang terbaik dalam suatu pertemuan, Beliau 

2668


menyatakan:

“Etadaggaÿ bhikkhave mama sàvakànaÿ bhikkhÃ¥nam 

pañibhànavantànaÿ yadidaÿ Vaïgãso,” “Para bhikkhu, di antara 

para bhikkhu siswa-Ku yang memiliki kecerdasan matang, Bhikkhu 

Vaïgãsa yaitu   yang terbaik.”

Demikianlah kisah Thera Vaïgãsa

(24) Thera Upasena Vaïgantaputta

(a) Cita-cita masa lampau

Pada masa lampau, Yang Mulia Upasena Vaïgantaputta terlahir 

dalam sebuah keluarga yang berkecukupan di Kota Haÿsàvatã pada 

masa kehidupan Buddha Padumuttara. Ia berkunjung ke vihàra 

seperti para bakal Thera lainnya untuk mendengarkan khotbah 

Buddha. Di sana ia menyaksikan seorang bhikkhu yang dinyatakan 

oleh Buddha sebagai yang terbaik di antara mereka yang dihormati 

tinggi oleh para pengikutnya. Pemuda itu ingin meniru bhikkhu 

ini   dan bercita-cita untuk mencapai kehormatan itu pada 

kehidupan pada masa depan. Buddha melihat bahwa cita-cita orang 

itu akan tercapai dan Beliau mengucapkan ramalan seperti halnya 

para bakal Thera lainnya. lalu   Beliau kembali ke vihàra.

(b) Kehidupan pertapaan dalam kehidupan terakhir

Pemuda itu, sesudah   melakukan banyak kebajikan seumur hidupnya, 

meninggal dunia dan terlahir kembali di alam bahagia. Pada masa 

kehidupan Buddha Gotama, ia terlahir kembali dalam sebuah 

keluarga brahmana di Desa Nàlaka di Negeri Magadha. Ibunya 

yaitu   RÃ¥pasàri, istri seorang brahmana kaya. Anak itu bernama 

Upasena. Ia tumbuh besar dan memelajari tiga Veda; tetapi sesudah   

mendengarkan Dhamma dari Buddha, ia menjadi berkeyakinan 

terhadap Buddha dan menjalani kehidupan kebhikkhuan.

saat   Yang Mulia Upasena telah melewatkan satu vassa dalam 

kebhikkhuan, ia berkeinginan untuk meningkatkan jumlah 

2669

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

bhikkhu, sebab   itu ia menahbiskan seseorang menjadi sàmaõera 

dan lalu   menahbiskannya menjadi seorang bhikkhu. Yang 

Mulia Upasena, di akhir vassa sesudah   menghadiri pertemuan 

para bhikkhu, pergi menghadap Buddha bersama muridnya yang 

saat itu telah melewatkan satu vassa sebagai seorang bhikkhu dan, 

dirinya sendiri, sebagai penahbis, telah melewatkan dua vassa 

sebagai seorang bhikkhu; berpikir bahwa Buddha akan gembira 

dengan perbuatannya (menahbiskan seorang pendatang baru ke 

dalam Saÿgha).

sesudah   Yang Mulia Upasena duduk di tempat yang semestinya 

di depan Buddha, Buddha bertanya kepadanya, “Bhikkhu, sudah 

berapa vassa yang telah engkau jalankan sebagai bhikkhu?” “Dua 

vassa, Yang Mulia,” jawab Upasena. “Berapakah vassa bhikkhu 

yang menyertaimu itu?” “Satu vassa, Yang Mulia.” “Apa hubungan 

kalian?” “Ia yaitu   muridku, Yang Mulia.” “Engkau manusia 

sombong, engkau ingin memperoleh empat kebutuhan dengan 

cepat.” Buddha lalu   mencela Yang Mulia Upasena dalam 

banyak hal. lalu   Buddha menetapkan peraturan sebagai 

berikut:

“Para bhikkhu, seorang bhikkhu yang belum menjalani sepuluh 

vassa dalam Saÿgha tidak boleh menahbiskan seseorang dalam 

kebhikkhuan. Ia yang melanggar peraturan ini berarti melanggar 

peraturan minor dalam Disiplin.

“Para bhikkhu, Aku mengizinkan seorang bhikkhu yang telah 

menjalani sepuluh vassa atau lebih untuk bertindak sebagai 

penahbis bagi seorang bhikkhu baru dalam Ritual   penahbisan 

orang ini   dalam kebhikkhuan.”

Kedua peraturan Vinaya ini ditetapkan sehubungan dengan Yang 

Mulia Upasena (baca Vinaya Mahà Vagga).

Ditegur demikian oleh Buddha, ia berpikir untuk menerima pujian 

dari Buddha dengan pikiran sebagai berikut, “Aku akan menerima 

kata-kata pujian keluar dari mulut yang sama Bhagavà yang megah 

bagaikan bulan purnama,” ia mendorong dirinya sendiri. Pada hari 

2670


itu juga ia pergi ke tempat yang sunyi, bermeditasi dengan tekun, 

melatih Pandangan Cerah dan dalam beberapa hari, ia mencapai 

kesucian Arahatta.

Murid-murid Memaksa

Upasena yaitu   seorang bhikkhu yang berasal dari keluarga 

yang terkenal. Dengan reputasinya di seluruh wilayah itu sebagai 

seorang pengkhotbah ajaran yang ahli; ia mendapat kepercayaan 

dan kebaikan dari banyak anak-anak yang berasal dari keluarga 

kaya yang yaitu   kerabat atau temannya. Anak-anak itu menjadi 

sàmaõera di bawah bimbingannya. Tetapi ia menegaskan kepada 

mereka sejak awal, “Anak-anak, aku telah bersumpah untuk 

menetap di dalam hutan. Jika kalian mampu hidup dalam hutan 

sepertiku, kalian boleh menjadi sàmaõera,” dan memberitahukan 

kepada mereka tentang unsur-unsur dari tiga belas praktik 

keras. Hanya anak yang mampu menjalani praktik keras itu yang 

ditahbiskan sebagai sàmaõera olehnya, tetapi terbatas pada batas 

kemampuan mereka sebagai anak-anak. saat   Yang Mulia Upasena 

telah melewatkan sepuluh vassa sebagai bhikkhu, ia menguasai 

Vinaya dan menahbiskan para sàmaõera itu menjadi para bhikkhu, 

bertindak sebagai penahbis mereka. Jumlah para bhikkhu yang ia 

tahbiskan mencapai lima ratus orang.

Pada masa itu, Buddha sedang menetap di Vihàra Jetavana di 

Sàvatthã. Buddha berkata kepada para bhikkhu, “Para bhikkhu, 

Aku ingin sendirian selama setengah bulan,” lalu   Beliau 

menyendiri. Saÿgha sepakat bahwa bhikkhu yang mendekati 

Buddha sendirian harus melakukan penebusan resmi atas kesalahan 

melakukan hal ini  .

lalu   Yang Mulia Upasena disertai oleh para muridnya pergi ke 

Vihàra Jetavana untuk memberi hormat kepada Buddha, dan sesudah   

bersujud kepada Buddha, mereka duduk di tempat yang semestinya. 

lalu   Buddha memulai percakapan dengan bertanya kepada 

seorang bhikkhu muda yang yaitu   murid Yang Mulia Upasena, 

“Bhikkhu, apakah engkau suka mengenakan jubah usang dan 

kotor?” Bhikkhu muda itu menjawab dengan kalimat pembuka, 

2671

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

“Aku tidak menyukainya, Yang Mulia,” tetapi melanjutkan dengan 

menjelaskan bahwa walaupun ia tidak menyukainya, tetapi untuk 

menghormati penahbisnya, ia menjalani praktik keras mengenakan 

jubah usang dan kotor.

Buddha memuji Upasena untuk hal itu, dan juga mengucapkan 

banyak kata-kata pujian terhadap Upasena sehubungan dengan 

banyak hal. (Ini hanya kisah singkat tentang Upasena mendapatkan 

penilaian baik dari Buddha. Untuk lengkapnya baca Vinaya, 

Pàràjikakaõóa Pàëi; 2 Kosiya Vagga, 5 Nisãdana santata sikkhàpada. 

Dalam naskah itu juga tercatat bahwa Buddha berkata, “Aku ingin 

menyendiri selama tiga bulan” sedangkan Komentar Aïguttara 

Nikàya menyebutkan bahwa Buddha ingin “menyendiri selama 

setengah bulan.” Kami merekomendasikan bahwa versi “tiga bulan” 

dari naskah itu yaitu   yang lebih otentik.)

(c) Gelar Etadagga

 

Pada lalu   hari Buddha, duduk dalan suatu pertemuan, memuji 

para bhikkhu terbaik, Beliau menyatakan, 

“Etadaggaÿ bhikkhave mama sàvakànaÿ bhikkhÃ¥naÿ 

samantapàsàdikànaÿ yadidaÿ Upaseno Vaïgantaputto,” “Para 

bhikkhu, di antara para bhikkhu siswa-Ku yang mendapatkan 

penghormatan tinggi dari pengikutnya, Bhikkhu Upasena 

Vaïgantaputta yaitu   yang terbaik.”

Kematian Tragis Thera

Pada suatu saat   Yang Mulia Sàriputta dan Upasena sedang berdiam 

di dekat Ràjagaha di Gua Sappasoõóika (Gua yang menyerupai 

‘kepala ular’) di dalam hutan kayu hitam. Saat itu seekor ular yang 

sangat berbisa jatuh ke atas tubuh Yang Mulia Upasena.

(Yang Mulia Upasena sedang menjahit jubahnya di dekat pintu 

gua di mana angin lembut bertiup. Pada saat itu satu dari dua ekor 

ular berbisa yang berada di langit-langit gua itu jatuh ke bahu 

Yang Mulia Upasena. Ular itu sangat berbisa yang bisanya begitu 

2672


hebatnya hingga hanya menyentuh ular itu saja sudah cukup 

mematikan. Tubuh Yang Mulia Upasena terbakar bagaikan sumbu 

pelita, menyebarkan panasnya ke sekujur tubuhnya. Yang Mulia 

Upasena tahu bahwa tubuhnya akan terbakar dalam waktu singkat 

tetapi ia berkehendak agar tubuhnya tetap utuh di dalam gua itu, 

dan sebab   itu memperlambat kematiannya.)

lalu   Yang Mulia Upasena memanggil para bhikkhu dengan 

berkata, “Teman-teman, kemarilah. Letakkan tubuhku ini di atas 

selimut dan bawa keluar sebelum tubuh ini hancur bagaikan 

segumpal sekam.”

Selanjutnya Yang Mulia Sàriputta berkata kepada Yang Mulia 

Upasena, “Kami tidak melihat perubahan pada tubuh dan 

perubahan pada indria Yang Mulia Upasena. Tetapi Yang Mulia 

Upasena berkata, ‘Teman-teman, kemarilah. Letakkan tubuhku ini 

di atas selimut dan bawa keluar sebelum tubuh ini hancur bagaikan 

segumpal sekam.’ (Hal ini dikatakan oleh Yang Mulia Sàriputta 

sebab   tidak ada perubahan pada jasmani dan ekspresi wajah Yang 

Mulia Upasena seperti biasa terlihat pada orang yang menjelang 

kematian.)

lalu   Yang Mulia Upasena berkata,

“Sahabat Sàriputta, sesungguhnya, hanya ia yang memiliki 

pandangan salah dan kemelekatan; ‘Aku yaitu   mata, mata ini 

yaitu   milikku’; ‘Aku yaitu   telinga, telinga ini yaitu   milikku’; 

‘Aku yaitu   hidung, hidung ini yaitu   milikku’; ‘Aku yaitu   lidah, 

lidah ini yaitu   milikku’; ‘Aku yaitu   badan, badan ini yaitu   

milikku’; ‘Aku yaitu   pikiran, pikiran ini yaitu   milikku’; maka 

terjadi perubahan pada tubuh dan perubahan pada indria.

“Sahabat Sàriputta, aku tidak memiliki pandangan apa pun apakah 

melalui pandangan salah ataupun melalui kemelekatan; ‘Aku yaitu   

mata, mata ini yaitu   milikku’; … ;’Aku yaitu   pikiran, pikiran 

ini yaitu   milikku’; Sahabat Sàriputta, bagaimana bisa terjadi 

perubahan pada tubuh atau perubahan pada indria dalam diriku 

yang tidak menganut pandangan demikian?”

2673

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

Yang Mulia Sàriputta berkata,

“Demikianlah sesungguhnya, Sahabat Upasena; sebab   engkau, 

Sahabat Upasena, telah lama melenyapkan pandangan salah akan 

‘diriku’, kemelekatan ‘milikku’, dan keangkuhan ‘Aku’, tidaklah 

mungkin pandangan demikian dapat muncul, apakah melalui 

pandangan salah atau melalui kemelekatan, ‘Aku yaitu   mata, 

mata ini yaitu   milikku’;… ;’Aku yaitu   pikiran, pikiran ini yaitu   

milikku.’”

lalu   para bhikkhu meletakkan tubuh Yang Mulia Upasena di 

atas selimut dan membawanya keluar. Di sana tubuh Yang Mulia 

Upasena hancur bagaikan segumpal sekam dan Yang Mulia Upasena 

meninggal dunia menembus padamnya kelahiran kembali.

(Kisah ini juga tercatat dalam Saëàyatana Saÿyutta, Upasena àsãvisa 

Sutta dan Komentarnya.)

Demikianlah kisah Thera Upasena Vaïgantaputta.

(25) Thera Dabba

(a) Cita-cita masa lampau

Bakal Thera Dabba terlahir dalam sebuah keluarga kaya di 

Kota Haÿsàvatã pada masa kehidupan Buddha Padumuttara. Ia 

berkunjung ke vihàra dan saat mendengarkan khotbah Buddha ia 

menyaksikan seorang bhikkhu yang dinyatakan oleh Buddha sebagai 

yang terbaik di antara para bhikkhu yang menyediakan tempat 

tinggal bagi bhikkhu Saÿgha. Ia ingin meniru bhikkhu ini   dan 

sesudah   memberi   persembahan besar kepada Buddha, ia bercita-

cita untuk mendapatkan gelar yang sama pada masa pengajaran 

Buddha pada masa depan. Buddha mengetahui bahwa cita-cita 

penyumbang itu akan tercapai, maka Beliau mengucapkan ramalan 

sebelum kembali ke vihàra.

2674


Bermeditasi di Puncak Gunung

Bakal Thera Dabba, sesudah   menerima ramalan dari Buddha, hidup 

dengan melakukan banyak kebajikan. Saat meninggal dunia, ia 

terlahir kembali di alam dewa dan selanjutnya di alam dewa atau 

manusia bergantian. Pada tahun-tahun terakhir masa pengajaran 

Buddha Kassapa, ia terlahir sebagai seorang kaya dan menjalani 

kehidupan kebhikkhuan. Ia berjumpa dengan enam bhikkhu lainnya 

yang memiliki pandangan yang sama bahwa hidup di tengah-

tengah banyak orang bukanlah jalan yang benar untuk mencapai 

Pencerahan dan bahwa seorang bhikkhu sejati harus hidup dalam 

kesunyian. Dan oleh sebab   itu, mereka pergi ke gunung yang 

tinggi dan curam dengan memakai   tangga. Sampai di atas, 

mereka berdiskusi, “Bagi yang memiliki kepercayaan pada diri 

sendiri, ia harus mendorong tangga itu hingga jatuh.” Seluruh 

tujuh bhikkhu itu memilih untuk menetap di puncak gunung 

hingga mereka mencapai Pencerahan dan mereka bersama-sama 

mendorong tangga ini  . “Sekarang, teman-teman, tekunlah 

menjalani praktik kebhikkhuan,” mereka saling memberi   nasihat 

sebelum memilih tempat tinggal mereka di puncak gunung ini   

untuk berlatih dengan tidak memedulikan kematian demi mencapai 

Pengetahuan Jalan.

Dari ketujuh bhikkhu ini  , yang tertua mencapai Kearahattaan 

pada hari kelima. Ia mengetahui bahwa ia telah menyelesaikan apa 

yang diperlukan dalam praktik mulia dan ia pergi ke Uttarakuru, 

Benua Utara dengan kekuatan batinnya untuk mengumpulkan 

dàna makanan. sesudah   menerima makanan, ia kembali dan 

mempersembahkan kepada enam bhikkhu temannya dengan 

berkata, “Teman-teman, makanlah makanan ini. Biar aku yang 

bertanggung jawab untuk mengumpulkan makanan. Kalian teruslah 

mengabdikan diri pada meditasi.” Enam bhikkhu lainnya menjawab, 

“Teman, kami telah membuat kesepakatan bahwa ia yang pertama 

menembus Dhamma Lokuttara harus bertanggung jawab untuk 

menyediakan makanan bagi mereka yang masih harus mencapai 

tujuan yang sama.” Arahanta itu berkata, “Tidak, teman-teman, tidak 

ada kesepakatan seperti itu.” lalu   bhikkhu lainnya berkata, 

“Yang Mulia, engkau telah mencapai Arahatta-Phala sesuai jasa 

2675

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

masa lampaumu. Kami juga harus mengakhiri lingkaran saÿsàra 

yang penuh penderitaan semampu kami. Yang Mulia boleh pergi 

ke mana pun yang engkau suka.”

Bhikkhu tertua, sebab   tidak dapat membujuk enam bhikkhu 

lainnya untuk menerima makanan, ia memakan makannya di suatu 

tempat dan lalu   pergi dari sana. Pada hari ketujuh, bhikkhu 

tertua kedua mencapai Anàgàmã-Phala. Ia pergi ke benua Utara 

dengan kekuatan batinnya dan lalu   mempersembahkan 

makanan kepada teman-temannya. sebab   ditolak oleh teman-

temannya, ia memakan makanannya dan lalu   pergi dari sana. 

Saat meninggal dunia, ia terlahir kembali di Alam Suci Brahmà 

(Anàgàmã).

(b) Kehidupan pertapaan dalam kehidupan terakhir

Lima bhikkhu itu tidak mencapai Pengetahuan Jalan pada kehidupan 

itu. sesudah   meninggal dunia mereka terlahir kembali di alam 

dewa dan alam manusia selama siklus dunia yang tidak terhitung 

banyaknya antara munculnya Buddha Kassapa dan Buddha Gotama. 

Pada masa kehidupan Buddha Gotama, mereka terlahir kembali 

di berbagai negeri: (1) satu terlahir di Gandhàra, Kota Takkasãlà, 

sebagai keluarga kerajaan (kelak menjadi Raja Pukkusàti); (2) yang 

lain di wilayah Pabbateyya (juga disebut Majjhantika) sebagai putra 

seorang petapa pengembara perempuan (kelak menjadi Sabhiya si 

petapa pengembara); (3) Yang ketiga di Negeri Bàhiya dalam sebuah 

keluarga (dan kelak menjadi Thera Bàhiya); (4) Yang keempat di 

dalam sebuah keluarga di Ràjagaha (kelak dikenal sebagai Kumàra 

Kassapa); dan (5) Yang terakhir (yang kelak menjadi Yang Mulia 

Dabba) di Negeri Malla di Kota Anupiya dalam keluarga seorang 

pangeran Malla.

Ibu bakal Thera Dabba meninggal dunia saat menjelang melahirkan 

anaknya. saat   jasadnya sedang dikremasikan di atas tumpukan 

kayu, rahimnya pecah sebab   panas, tetapi berkat jasa masa 

lampaunya, bayi itu terlempar ke atas dan jatuh di atas tumpukan 

rumput dabba, dan diberi nama (oleh neneknya) Dabba.

2676


Saat Dabba kecil berusia tujuh tahun, Buddha disertai oleh banyak 

bhikkhu tiba di Anupiya dalam perjalanan ke Negeri Malla, di sana 

Beliau menetap di hutan mangga Anupiya. Anak itu terpesona 

melihat Buddha dan meminta izin neneknya untuk menjadi bhikkhu. 

Neneknya mengizinkan dan membawa anak itu kepada Buddha 

dan memohon agar anak itu ditahbiskan.

Buddha menyuruh seorang bhikkhu yang berada di dekat Beliau 

untuk menahbiskan anak itu dengan berkata, “Tahbiskan anak ini 

menjadi seorang sàmaõera.” Bhikkhu itu lalu   mengajarkan 

kepada anak itu tentang bagaimana merenungkan kejijikan terhadap 

badan jasmani melalui lima bagian tubuh (yaitu, rambut, bulu 

badan, kuku, gigi, kulit). (sebab   mencukur rambut yaitu   langkah 

pertama untuk menjadikan anak itu menjadi seorang sàmaõera, 

perenungan ini yaitu   hal yang paling tepat yang diperintahkan 

oleh si penahbis kepada anak itu sebagai penahbisan dengan 

mengucapkan lima kata itu keras-keras dan merenungkannya.) 

Dabba kecil merenungkannya selagi kepalanya sedang dicukur.

Dabba kecil memiliki kondisi yang mendukung untuk mencapai 

Pencerahan; terlebih lagi, ia telah bercita-cita untuk menjadi 

seorang bhikkhu yang terbaik pada seratus ribu siklus dunia yang 

lalu di hadapan Buddha Padumuttara. sebab   itu, sesudah   cukuran 

pertama, ia mencapai Sotàpatti-Phala, pada cukuran kedua ia 

mencapai Sakadàgàmã-Phala; pada cukuran ketiga ia mencapai 

Anàgàmã-Phala; dan saat kepalanya telah tercukur bersih, ia 

mencapai kesucian Arahatta. Selesainya pencukuran dan pencapaian 

Kearahattaan terjadi dalam waktu yang bersamaan.

sesudah   menghabiskan waktu yang diperlukan untuk membantu 

pencapaian Pencerahan oleh mereka yang layak terbebas dari 

saÿsàra, Buddha kembali ke Ràjagaha dan menetap di Vihàra 

Veëuvana. Sàmaõera Dabba, yang sekarang yaitu   seorang Arahanta, 

juga menyertai Buddha. sesudah   sampai di Ràjagaha, Yang Mulia 

Dabba, masuk dalam kesunyian dan berpikir, “Tidak ada lagi 

yang harus kulakukan sehubungan dengan Kearahattaan. Lebih 

baik aku melayani Saÿgha dengan menyediakan tempat tinggal 

bagi mereka dan mengarahkan mereka ke para penyumbang 

2677

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

makanan.” Ia mengungkapkan gagasannya itu kepada Buddha. 

Buddha memujinya dan menugaskannya untuk tugas ganda: (1) 

mempersiapkan tempat tinggal bagi para anggota Saÿgha, dan untuk 

itu Saÿgha mengenalnya sebagai senàsana-pa¤¤Ã paka sammuti dan 

(2) mengarahkan anggota Saÿgha ke para penyumbangnya masing-

masing untuk menerima dàna makanan, dan untuk itu Saÿgha 

mengenalnya sebagai bhatt’uddesaka-sammuti.

Buddha senang melihat Dabba yang berusia tujuh tahun telah 

mencapai keunggulan itu dalam pengajaran-Nya dengan memiliki 

Empat Pengetahuan Analitis, Enam Kekuatan Batin, dan Tiga 

Pengetahuan. Oleh sebab   itu, walaupun masih di bawah umur, 

Buddha menaikkan Sàmaõera Arahanta menjadi seorang bhikkhu. 

(Juga ada para Sàmaõera Arahanta lainnya seperti Sàmaõera Paõóita, 

Sàmaõera Saÿkicca, Sàmaõera Sopàka, Sàmaõera Khadiravaniya 

(adik termuda Yang Mulia Sàriputta) yang ditingkatkan menjadi 

bhikkhu lengkap walaupun masih di bawah umur dua puluh tahun 

sebab   mereka telah mencapai Kesucian Arahatta. Meskipun muda 

dalam usia, para bhikkhu itu telah mencapai puncak kebhikkhuan, 

dan sebab   itu layak dipanggil dengan sebutan Thera.)

Sejak saat menjadi seorang bhikkhu, Yang Mulia Dabba mengatur 

tempat-tempat tinggal dan makanan (dari berbagai penyumbang 

kepada Saÿgha) bagi semua bhikkhu yang menetap di Ràjagaha. 

Tugas ini ia lakukan dengan saksama, tanpa pernah melakukan 

kesalahan dalam pembagian makanan yang seharusnya dilakukan 

oleh bhikkhu yang lebih senior.

Nama baik bhikkhu muda Arahanta itu yang berasal dari keluarga 

kerajaan Malla, yang sangat memerhatikan para bhikkhu, yang sangat 

terampil dalam menyediakan tempat tinggal di mana para bhikkhu 

yang memiliki sifat dan watak yang sejenis dapat tinggal bersama, 

yang mampu menyediakan tempat tinggal di tempat-tempat jauh 

bagi para bhikkhu yang berkunjung sesuai permintaan mereka, yang 

membantu para bhikkhu yang sakit dengan kemampuan batinnya, 

reputasinya itu menyebar ke segala penjuru.

Banyak para bhikkhu yang berkunjung yang meminta tempat tinggal 

2678


yang mustahil dipersiapkan pada waktu-waktu yang tidak lazim 

di tempat-tempat yang jauh seperti vihàra hutan mangga, vihàra 

hutan lindung Maddakucchi, dan lain-lain, dan mereka menjadi 

terheran saat mereka dapat memperolehnya melalui kekuatan batin 

Yang Mulia Dabba. Yang Mulia Dabba, dengan kekuatan batinnya, 

menciptakan banyak tiruan dirinya sesuai tuntutan tugasnya. 

lalu   dengan jarinya, ia memancarkan cahaya dalam kegelapan 

berfungsi sebagai lampu yang terang, ia, atau tiruan dirinya, mampu 

menuntun tamunya ke tempat yang mereka inginkan, menunjukkan 

tempat tinggal dan tempat tidur mereka. (Ini yaitu   penjelasan 

singkat, untuk lengkapnya, baca Vinaya Pàràjika-kaõóa pada bagian 

Duññhadosa Sikkhàpada.)

(c) Gelar Etadagga

Mempertimbangkan pelayanan mulia dari Yang Mulia Dabba 

kepada Saÿgha dengan penuh kompetensi, pada suatu kesempatan 

Buddha menyatakan di depan para bhikkhu,

“Etadaggaÿ bhikkhave mania Sàvakanaÿ bhikkhunaÿ 

senàsanpa¤¤Ã pakanaÿ yadidaÿ Dabbo Mallaputto,” “Para bhikkhu, 

di antara para bhikkhu siswa-Ku yang mampu menyediakan tempat 

tinggal bagi para Bhikkhu Saÿgha, Yang Mulia Dabba dari keluarga 

kerajaan Malla yaitu   yang terbaik.”

(Catatan: Sejak Buddha menugaskan Yang Mulia Dabba untuk 

melakukan tugas menyediakan akomodasi untuk para bhikkhu, 

Yang Mulia Dabba menjaga agar delapan belas vihàra besar 

yang terletak di sekeliling Ràjagaha selalu bersih, baik di dalam 

maupun di sekeliling vihàra-vihàra ini  . Ia tidak pernah lupa 

membersihkan tempat duduk atau tempat tidur atau meletakkan 

air minum dan air untuk mencuci bagi para bhikkhu.)

Dabba Menjadi Korbah Fitnah

Walaupun Yang Mulia Dabba yaitu   seeorang bhikkhu yang 

sungguh baik, ia menjadi korban fitnah yang dilakukan oleh 

sekelompok bhikkhu jahat yang dipimpin oleh Bhikkhu Mettiya dan 

2679

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

Bhikkhu BhÃ¥majaka. (Kisah lengkapnya baca Vinaya Pàràjikakaõóa; 

dalam bab Saÿghàdisesa, dalam bagian Duññhadosa Sikkhàpada; 

dan Cåëavagga; 4-Sathakkhandhaka, 2-Sati Vinaya.) Peristiwa 

tidak menyenangkan ini yaitu   akibat dari perbuatan jahat masa 

lampaunya. Sembilan puluh satu siklus dunia sebelumnya, pada 

masa kehidupan Buddha Vipassã, ia telah memfitnah seorang 

Arahanta.

Sang Thera Mencapai Parinibbàna

Pada hari menjelang Yang Mulia Dabba meninggal dunia, ia kembali 

ke Vihàra Veëuvana sesudah   mengumpulkan dàna makanan, sesudah   

memakan makanannya dan sesudah   bersujud kepada Buddha, ia 

mencuci kakinya untuk menyejukkannya; lalu   ia duduk di 

atas alas duduk kecil di tempat yang sepi, dan masuk ke dalam 

pencapaian Penghentian selama waktu yang telah ditentukan.

sesudah   keluar dari pencerapan Jhàna itu sesuai waktu yang ia 

tentukan, ia meninjau umur kehidupannya dan mengetahui bahwa 

ia hanya memiliki sisa waktu hidup selama dua jam lebih sedikit 

(dua atau tiga muhutta). Ia berpikir bahwa tidaklah tepat jika ia 

meninggal dunia di tempat sepi tanpa mengucapkan selamat tinggal 

kepada Buddha dan para bhikkhu lainnya. Ia merasa wajib untuk 

mengucapkan selamat tinggal dan memperlihatkan kesaktiannya 

sebelum ia meninggal dunia, demi mereka yang salah paham 

terhadapnya (sebab   fitnah yang dilontarkan oleh Bhikkhu Mettiya 

dan Bhikkhu BhÃ¥majaka), sehingga mereka dapat melihat kualitas 

dirinya yang sesungguhnya. Maka ia menghadap Buddha, bersujud, 

dan duduk di tempat yang semestinya dan berkata, “O Sugata, 

waktuku untuk meninggal dunia telah tiba.”

Buddha melihat kelompok kehidupan Yang Mulia Dabba, dan 

mengetahui bahwa ia akan segera meninggal dunia, Beliau berkata, 

“Dabba; engkau tahu waktu kematianmu.” Yang Mulia Dabba 

lalu   bersujud kepada Buddha, berjalan mengelilingi Bhagavà 

tiga kali dengan Bhagavà berada di sisi kanannya, berdiri di tempat 

yang semestinya dan berkata “Yang Mulia, kita telah mengarungi 

dunia bersama-sama dalam berbagai kehidupan selama seratus 

2680


ribu siklus dunia. Semua kebajikan yang kulakukan bertujuan 

untuk mencapai Kearahattaan; tujuan itu sudah tercapai sekarang. 

Ini yaitu   terakhir kalinya aku melihat Bhagavà.” Saat itu yaitu   

saat yang sangat mengharukan. Para bhikkhu yang masih awam, 

Sotàpanna, atau Sakadàgàmã merasa bersedih, sedangkan yang 

lainnya menangis.

Bhagavà mengetahui pikiran Yang Mulia Dabba, berkata, “Dabba, 

kalau begitu, perlihatkanlah kesaktianmu kepada Kami dan 

Saÿgha.” sesudah   Buddha mengucapkan kata-kata itu, sesaat   

semua anggota Saÿgha para bhikkhu muncul di tempat itu. 

lalu   Yang Mulia Dabba memperlihatkan kesaktian khas para 

siswa Buddha seperti, “Dari satu menjadi banyak; dari banyak 

menjadi satu; sekarang terlihat dan lalu   menghilang, dan 

seterusnya.” lalu   ia bersujud kepada Buddha lagi.

lalu   Yang Mulia Dabba terbang ke angkasa dan menciptakan 

tanah di angkasa melalui pikirannya, tempat ia bersila dan 

bermeditasi dengan objek panas (tejo-kasiõa) sebagai langkah 

persiapan. sesudah   keluar dari Jhàna unsur panas ini  , ia 

berkehendak tubuhnya akan terbakar. lalu   ia memasuki Jhàna 

unsur panas (tejo dhàtu) yang merupakan landasan bagi kekuatan 

batin. Keluar dari Jhàna ini  , proses-pikiran berkekuatan batin 

muncul dalam dirinya. Pada momen-pikiran pertama dari proses 

pikiran itu, seluruh tubuhnya terbakar, bagaikan api yang dapat 

menghancurkan dunia, sehingga tidak meninggalkan sisa jasmani, 

fenomena fisik yang berkondisi, dalam bentuk apa pun. Tidak ada 

debu apa pun yang terlihat. lalu   kobaran api itu padam sesuai 

keinginan Yang Mulia Dabba. Di akhir proses pikiran berkekuatan 

batin itu, batinnya kembali ke kelompok kehidupan yang saat itu 

dikenali sebagai kematian. Dengan demikian berakhirlah kehidupan 

Yang Mulia Dabba yang telah meninggal dunia dan mencapan 

Nibbàna, mengakhiri dukkha. (Kisah lengkap dari bagian meninggal 

dunia ini dapat dibaca dalam Komentar Udàna.)

Demikianlah kisah Thera Dabba

2681

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

 (26) Thera Pilindavaccha

(a) Cita-cita masa lampau

Bakal Thera Pilindavaccha terlahir dalam keluarga kaya di Kota 

Haÿsàvatã pada masa kehidupan Buddha Padumuttara, seperti 

halnya para Thera besar lainnya, ia pergi ke vihàra, dalam sebuah 

khotbah ia menyaksikan seorang bhikkhu yang oleh Buddha 

dinyatakan sebagai yang terbaik di antara para bhikkhu yang 

dihormati oleh para dewa. Ia berkeinginan kuat untuk menjadi 

seperti bhikkhu ini   pada masa depan dan mengungkapkan 

cita-citanya di depan Buddha. Buddha melihat bahwa cita-citanya 

akan tercapai dan mengucapkan ramalan akan hal itu.

Penghormatan Kepada Pagoda dan Saÿgha

Orang kaya itu, sesudah   seumur hidup melakukan kebajikan, 

meninggal dunia dan terlahir kembali di alam dewa dan selanjutnya 

di alam dewa atau alam manusia. Pada masa kehidupan Buddha 

Sumedha, ia terlahir kembali sebagai manusia. Ia memberi 

persembahan besar di pagoda yang didirikan sebagai penghormatan 

kepada Buddha yang telah meninggal dunia. Ia juga memberi 

persembahan besar kepada Saÿgha.

Kehidupan Sebagai Raja Dunia

Orang itu, sesudah   meninggal dunia dari alam manusia, ia terlahir 

kembali hanya di alam dewa dan alam manusia. Pada periode 

tertentu sebelum munculnya Buddha kita, ia terlahir sebagai seorang 

raja dunia yang memanfaatkan kekuasaan dan kesempatannya 

untuk menanamkan pelaksanaan Lima Sãla kepada rakyatnya.

(b) Kehidupan pertapaan dalam kehidupan terakhir

Menjelang munculnya Buddha Gotama, bakal Thera Pilindavaccha 

terlahir sebagai seorang brahmana di Sàvatthã, bernama Pilinda; 

nama sukunya yaitu   Vaccha, sebab   itu ia dipanggil Pilindavaccha. 

Sejak muda Pilindavaccha sudah tidak puas terhadap dunia ini, 

2682


lalu   ia menjadi seorang petapa dan memelajari ilmu gaib yang 

dikenal dengan sebutan Cåëagandhàra, yang terdiri dari beberapa 

manta sakti. sesudah   menguasai manta-manta ini, ia menjadi mahir 

dalam membaca pikiran orang lain dan mampu berjalan di angkasa. 

Ia menjadi seorang petapa yang paling berkuasa di Ràjagaha, 

memiliki banyak pengikut dan banyak harta kekayaan.

lalu   Buddha Gotama muncul di dunia ini, dan pada suatu 

saat   Beliau tiba di Ràjagaha. Sejak saat Buddha tiba di Ràjagaha, 

kekuatan Pilindavaccha menjadi lenyap. Betapa pun kerasnya usaha 

dalam membaca manta saktinya itu, ia tetap tidak bisa berjalan di 

angkasa; ia tidak mampu membaca pikiran orang lain. Ia mendengar 

bahwa jika seseorang yang menguasai kesaktian yang lebih tinggi 

darinya mendekatinya, maka ia akan kehilangan kesaktiannya. Ia 

berpikir, “Pernyataan yang kudengar dari para guru pastilah benar. 

sebab   sejak Samaõa Gotama datang ke Ràjagaha, kesaktianku 

menjadi lenyap. Samaõa Gotama pasti menguasai kesaktian yang 

lebih tinggi. Baiklah, aku akan mendatangi Samaõa Gotama dan 

memelajari ilmu kesaktian dari-Nya.” lalu   ia mendatangi 

Buddha dan berkata, “O Yang Mulia Bhikkhu, aku ingin memelajari 

kesaktian dari Yang Mulia. Sudilah Yang Mulia menerimaku.”

Buddha berkata, “Jika engkau ingin memelajari kesaktian, engkau 

harus menjadi seorang bhikkhu.” Pilindavaccha berpikir bahwa 

menjadi seorang bhikkhu yaitu   langkah pertama untuk memelajari 

kesaktian yang ia inginkan, dan ia setuju untuk menjadi seorang 

bhikkhu. Buddha memberi   subjek meditasi yang sesuai dengan 

watak dan kecenderungan Pilindavaccha, dan sebab   bhikkhu itu 

memiliki kondisi yang mendukung untuk mencapai Pencerahan, 

ia berhasil mencapai Pandangan Cerah dan segera mencapai 

Kearahattaan. (Komentar Udàna).

Kebiasaan Pilindavaccha memakai   Kata-kata Kasar

Yang Mulia Pilindavaccha memiliki kebiasaan memanggil orang 

lain dengan menyebut “penjahat” (vasala-samudàcara), seperti 

saat memberi   perintah, “Kemarilah, penjahat,” atau “Pergilah, 

penjahat,” atau “Bawa kemari, penjahat,” atau “Ambillah, penjahat,” 

2683

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

dan sebagainya.

Para bhikkhu melaporkan kebiasaan Yang Mulia Pilindavaccha ini 

kepada Bhagavà. Mereka bertanya, “Yang Mulia, apakah para Ariya 

memakai   kata-kata kasar?” dan Buddha berkata, “Para bhikkhu, 

para Ariya tidak berkata-kata kasar dengan maksud jahat. Namun, 

sebab   kebiasaan yang telah berlangsung sejak kehidupannya 

pada masa lampau, kata-kata kasar dapat muncul secara tidak 

disengaja.” Para bhikkhu berkata, “Buddha Yang Agung, Yang Mulia 

Pilindavaccha dalam berbicara dengan orang lain, apakah kepada 

para bhikkhu ataupun kepada orang awam, selalu memanggil orang 

itu dengan ‘penjahat’. Apakah alasannya?”

“Para bhikkhu, Pilindavaccha selama lima ratus kelahiran berturut-

turut pada masa lampau terlahir dalam kasta brahmana yang 

tinggi yang biasa memanggil orang lain dengan sebutan ‘penjahat’ 

(vasala). Kebiasaan ini menjadi tertanam dalam dirinya. Ia tidak 

bermaksud menyebut orang itu ‘penjahat’. Ia tidak memiliki niat 

jahat. Kata-katanya, meskipun kasar di telinga, sama sekali tidak 

berbahaya. Seorang Ariya, sebab   tidak memiliki kebencian, tidak 

dapat disalahkan sebab   kebiasaannya dalam berbahasa. lalu  , 

pada kesempatan itu Buddha mengucapkan syair berikut:

Akakkasaÿ vi¤¤Ã paniÿ, 

giraÿ saccamudãraye; 

Yàya nàbhisaje ka¤ ci, 

tamaham bråmi Bràhmaõaÿ.

“Ia yang berbicara dengan lemah lembut, memberi   informasi 

dan kata-kata yang benar dan yang tidak menghina orang lain 

melalui kata-katanya, ia Kusebut seorang bràhmaõa (Arahanta)” 

(Dhammapada, 408).

Pada akhir pengucapan syair ini   oleh Buddha, banyak 

pendengar yang mencapai Pencerahan dalam berbagai tingkat 

seperti Sotàpatti-Phala dan sebagainya. (Meskipun kata “penjahat” 

terdengar kasar bagi sebagian orang, tetapi sebab   Arahanta 

Pilindavaccha mengucapkannya tanpa didasari kebencian, hal ini 

2684


tidak disebut sebagai bentuk perkataan salah.)

Biji Lada Berubah Menjadi Kotoran Tikus

Suatu hari, dalam perjalanan mengumpulkan dàna makanan di 

Ràjagaha, Yang Mulia Pilindavaccha bertemu dengan seseorang 

yang memasuki kota dengan membawa semangkuk penuh biji lada, 

dan bertanya, “Apakah itu yang ada dalam mangkukmu, penjahat?” 

Orang itu tersinggung. Ia berpikir, “Betapa buruknya hari ini, sepagi 

ini sudah dipanggil sebagai ‘penjahat’. Bhikkhu berbahasa kasar 

layak dibalas dengan kata-kata kasar juga. Dengan pikiran demikian, 

ia menjawab, “Ini kotoran tikus, Yang Mulia.”

(Yang Mulia Pilindavaccha mengucapkan kata-kata kasar tanpa 

didasari kebencian melainkan dengan sikap bersahabat, yang 

diucapkan sebab   kebiasaannya semata; sebab   itu kata ‘penjahat’ 

bukanlah kata yang kasar. Tetapi, orang itu membalas dengan penuh 

kemarahan dan kata-kata balasannya terhadap seorang Arahanta 

menghasilkan akibat mengerikan yang berbuah sesaat  .)

Yang Mulia Pilindavaccha berkata, “Biarlah demikian, penjahat.” 

saat   orang itu lenyap dari pandangan Yang Mulia Pilindavaccha, 

ia keheranan melihat bahwa mangkuk yang tadi penuh berisi 

biji lada sekarang menjadi penuh kotoran tikus! sebab   biji lada 

sepintas lalu memang terlihat mirip dengan kotoran tikus, untuk 

memastikan ia mengambil beberapa butir dari mangkuk itu dan 

meletakkan ke atas telapak tangannya lalu   ia meremasnya, 

dan ternyata memang kotoran tikus. Ia menjadi sangat tidak senang. 

Ia sedang membawa barang dagangannya berupa biji lada dalam 

sebuah kereta. Ia penasaran apakah semua biji lada dalam kereta juga 

telah berubah menjadi kotoran tikus. Ia menjadi patah semangat. 

Dengan tangannya ia menekan dadanya yang sakit, ia merenungkan, 

“Kecelakaan ini terjadi padaku sesudah   bertemu dengan bhikkhu itu. 

Aku yakin pasti ada cara untuk menebus kemalangan ini. (Menurut 

sumber Sinhala:) ”Bhikkhu itu pasti memiliki kesaktian. Aku akan 

mengikuti bhikkhu itu, mencarinya dan bertanya kepadanya.”

Seseorang memerhatikan si pedagang lada yang sedang dalam 

2685

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

keadaan gelisah dan berkata, “Hei teman, engkau terlihat jengkel. 

Ada apa denganmu?” Si pedagang menceritakan apa yang terjadi 

antara dia dengan Yang Mulia Pilindavaccha. lalu   orang 

itu berkata, “Teman, jangan khawatir. Engkau pasti bertemu 

dengan guru kami Yang Mulia Pilindavaccha. Pergi dan bawalah 

mangkukmu yang berisi kotoran tikus dan temuilah Yang Mulia. Ia 

akan bertanya kepadamu, “Apakah yang ada dalam mangkukmu, 

penjahat?” dan engkau harus menjawab, ‘Ini yaitu   biji lada, Yang 

Mulia.’ Yang Mulia akan berkata, ‘Biarlah demikian, penjahat,’ dan 

engkau akan mendapatkan kembali biji lada dalam mangkukmu dan 

juga di seluruh keretamu.” Si pedagang menuruti nasihat orang itu 

dan seluruh biji lada itu kembali seperti semula.

(c) Gelar Etadagga

Yang Mulia Pilindavaccha, pada masa sebelum munculnya Buddha 

di dunia ini pernah menjadi seorang raja dunia. Ia menanamkan 

Lima Sãla moral kepada rakyatnya, sehingga mengantarkan mereka 

menuju alam dewa. Banyak dewa di enam alam dewa dalam 

kelompok alam indria yang berhutang kepadanya sebagai raja 

dunia yang mengantarkan mereka ke alam yang berbahagia itu. 

Mereka menyembahnya siang dan malam. Itulah sebabnya pada 

suatu kesempatan, Buddha menyatakan:

“Etadaggaÿ bhikkhave mama sàvakànaÿ bhikkhÃ¥nam Devatànaÿ 

piyamanàpànaÿ yadidaÿ Pilinda-vaccho,” “Para bhikkhu, di antara 

para bhikkhu siswa-Ku yang dihormati oleh para dewa, Bhikkhu 

Pilindavaccha yaitu   yang terbaik.”

Demikianlah kisah Thera Pilindavaccha

(27) Thera Bàhiya Dàrucãriya

(Nama asli bhikkhu ini yaitu   Bàhiya yang yaitu   nama negeri 

di mana ia dilahirkan. lalu   ia lebih dikenal sebagai Bàhiya 

Dàrucãriya, ‘Bàhiya-berpakaian-serat’, sebab   ia memakai serat kayu 

sebagai pakaiannya, peristiwa itu akan diceritakan di bawah ini.)

2686


(a) Cita-cita masa lampau

Bakal Bàhiya Dàrucãriya terlahir dalam sebuah keluarga kaya di 

Kota Haÿsàvatã pada masa kehidupan Buddha Padumuttara, seperti 

kebiasaan para bakal Siswa Besar lainnya, ia mengunjungi vihàra 

dan sewaktu mendengarkan khotbah ia menyaksikan seorang 

bhikkhu yang oleh Buddha dinyatakan sebagai yang terbaik di 

antara mereka yang mencapai Pencerahan dalam waktu singkat. 

Ia bercita-cita untuk meniru bhikkhu ini   dan sebab   itu 

sesudah   memberi   persembahan besar ia mengungkapkan cita-

citanya di hadapan Buddha untuk mencapai posisi itu pada masa 

depan. Buddha melihat bahwa cita-citanya itu akan tercapai dan 

mengucapkan ramalan.

Bermeditasi di Puncak Gunung

Orang kaya itu melakukan banyak kebajikan seumur hidupnya dan 

saat meninggal dunia, ia terlahir di alam dewa dan alam manusia 

silih berganti. Pada masa memudarnya ajaran Buddha Kassapa, 

ia dan sekelompok bhikkhu yang berwatak sama pergi ke puncak 

sebuah gunung yang tinggi dan curam dan bermeditasi si puncak 

gunung ini   (seperti pada kisah Yang Mulia Dabba di atas). 

Berkat moralitasnya yang suci, ia terlahir kembali di alam dewa 

saat meninggal dunia.

(b) Kehidupan pertapaan dalam kehidupan terakhir

Pada masa antara dua Buddha (yaitu antara Buddha Kassapa dan 

Buddha Gotama), ia berada di alam dewa. Menjelang kemunculan 

Buddha Gotama, ia terlahir kembali dalam sebuah keluarga kaya 

di Negeri Bàhiya. sesudah   dewasa, ia menikah dan melakukan 

perjalanan laut menuju SuvaõõabhÃ¥mi untuk suatu urusan dagang. 

Kapal yang ia tumpangi hancur oleh badai di laut dan semua orang 

kecuali dia, tewas dan menjadi makanan ikan dan kura-kura.

Sedangkan dirinya, sebab   harus mengarungi saÿsàra dalam 

kehidupan terakhirnya, ia bertahan hidup dengan berpegangan 

pada selembar papan dari kapal yang hancur ini   selama tujuh 

2687

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

hari. Ia dihanyutkan oleh ombak hingga mencapai pantai di Kota 

pelabuhan Suppàraka. Sebelum berjumpa dengan orang-orang 

lain, ia menutupi tubuhnya yang telanjang. Ia mengambil tanaman-

tanaman air dari sebuah waduk dan menyelimuti tubuhnya. 

lalu   ia memakai   sebuah kendi tua yang sudah usang 

sebagai mangkuk untuk menerima makanan.

Penampilannya yang mengenaskan menarik perhatian banyak orang. 

“Jika ada seorang Arahanta di dunia ini, maka dia yaitu   Arahanta 

itu!” Begitulah mereka berbicara mengenainya. Mereka menganggap 

orang itu (orang suci menurut penilaian mereka) sedang menjalani 

praktik yang keras, dan menolak mengenakan pakaian yang pantas. 

Untuk membuktikan penilaian mereka itu, mereka memberi   

pakaian baik kepadanya. Tetapi Bàhiya berpikir, “Orang-orang ini 

menerimaku sebab   pakaianku ini. Lebih baik aku tetap berpakaian 

seperti ini sehingga mereka tetap menghormatiku.” sebab   itu ia 

menolak pakaian baik yang mereka berikan. Para warga   menjadi 

lebih menghormatinya dan memberi   persembahan berlimpah 

kepadanya.

sesudah   memakan makanannya, yang diterimanya dari para 

warga  , Bàhiya masuk ke dalam sebuah cetiya tradisional. 

Para warga   mengikutinya ke sana. Mereka membersihkan 

tempat itu untuk dijadikan tempat tinggalnya. Bàhiya lalu   

berpikir, “sebab   penampilan luarku, orang-orang ini menunjukkan 

penghormatan tinggi kepadaku. Hal ini mengharuskanku untuk 

hidup sesuai penghormatan mereka. Aku harus tetap menjadi 

seorang petapa yang baik dan benar.” Ia mengumpulkan serat dari 

kayu dan, menjahitnya dengan benang ikat, lalu   memakainya 

sebagai pakaian buatan sendiri. (Sejak saat itu, ia mendapat julukan 

‘Bàhiya-Dàrucãriya, Bàhiya-berpakaian-serat-kayu.’)

Teguran Brahmà

Dari tujuh bhikkhu yang bermeditasi Pandangan Cerah di puncak 

gunung yang curam pada akhir masa pengajaran Buddha Kassapa, 

bhikkhu kedua mencapai Anàgàmã-Phala dan terlahir kembali di 

Alam Suddhàvàsa. Segera sesudah   terlahir di alam brahmà itu, ia 

2688


mengingat kehidupan lampaunya dan mengetahui bahwa dia yaitu   

satu di antara tujuh bhikkhu yang bermeditasi di puncak gunung 

yang curam dan yang pertama telah mencapai Kearahattaan dalam 

kehidupan itu, dari lima bhikkhu lainnya, ia melihat bahwa mereka 

semuanya terlahir di alam dewa.

Sekarang, salah satu di antara mereka telah menjadi Arahanta palsu 

di Suppàraka dan hidup mengandalkan kepercayaan para warga   

di sana, ia merasa yaitu   tugasnya untuk menegur temannya itu 

untuk berada di jalan yang benar. Ia merasa kecewa, sebab   Bàhiya 

Dàrucãriya dalam kehidupan lampaunya sebagai bhikkhu yaitu   

seorang yang memegang teguh prinspi-prinsip moralitas, bahkan 

menolak makanan yang dikumpulkan oleh Arahanta temannya. Ia 

juga ingin menarik perhatian Bàhiya kepada kemunculan Buddha 

Gotama di dunia ini. Ia berpikir untuk membangkitkan semangat 

religius pada teman lamanya itu dan sesaat   ia turun dari alam 

brahmà dan muncul di depan Bàhiya Dàrucãriya dengan segala 

kemegahannya.

Bàhiya Dàrucãriya tiba-tiba melihat cahaya gilang-gemilang dan 

segera keluar dari kamarnya. Ia melihat brahmà itu dan sesudah   

merangkapkan kedua tangannya, ia bertanya, “Siapakah engkau, 

Tuan?” “Aku yaitu   teman lamamu. Menjelang akhir masa 

Buddha Kassapa, aku yaitu   satu dari tujuh bhikkhu termasuk 

dirimu, yang pergi ke puncak gunung yang curam dan berlatih 

meditasi Pandangan Cerah. (Aku mencapai Anàgàmã-Phala, dan 

terlahir kembali di alam brahmà. Yang tertua di antara kita menjadi 

seorang Arahanta dan telah meninggal dunia dari kehidupannya 

itu. Lima orang lainnya, sesudah   meninggal dunia, terlahir kembali 

di alam dewa. Aku datang untuk menegurmu agar tidak hidup 

mengandalkan kepercayaan salah para warga  .”

O Bàhiya: (1) Engkau bukan seorang Arahanta; (2) Engkau belum 

mencapai Arahatta-Magga; (3) Engkau bahkan belum memulai 

latihan menuju Kearahattaan. (Engkau belum melakukan sedikit 

pun praktik benar untuk mencapai Kearahattaan.) Buddha sekarang 

telah muncul di dunia ini, dan sedang berdiam di Vihàra Jetavana di 

Sàvatthã. Aku harap engkau pergi dan menjumpai Bhagavà.” sesudah   

2689

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

menegurnya demikian, brahmà itu kembali ke alamnya.

Pencapaian Kearahattaan

Bàhiya Dàrucãriya tertegun mendengar kata-kata brahmà itu dan 

memutuskan untuk mencari Jalan menuju Nibbàna. Ia langsung 

pergi ke Sàvatthã. Menempuh jarak seratus dua puluh yojanà dalam 

satu malam. Keesokan paginya ia tiba di Sàvatthã.

Buddha mengetahui bahwa Bàhiya Dàrucãriya akan menjumpai-

Nya tetapi melihat bahwa indria orang itu seperti keyakinan, 

belum cukup matang untuk menerima (memahami) Kebenaran; 

dan untuk mematangkannya, Buddha menunggu dan pergi ke kota 

untuk menerima dàna makanan, disertai oleh banyak bhikkhu. 

sesudah   Buddha meninggalkan Vihàra Jetavana, Bàhiya Dàrucãriya 

memasuki vihàra dan melihat banyak bhikkhu sedang berjalan-

jalan di ruang terbuka sesudah   sarapan pagi, untuk mencegah 

kantuk. Ia bertanya kepada para bhikkhu di mana Buddha berada, 

dan diberitahu bahwa Bhagavà sedang menerima dàna makanan 

di kota. Para bhikkhu bertanya dari mana ia datang. “Aku datang 

dari pelabuhan Suppàraka, Yang Mulia.” “Engkau datang dari jauh. 

Cucilah kakimu, gosokkan minyak untuk melemaskan kakimu dan 

beristirahatlah sejenak. Bhagavà akan kembali tidak lama lagi dan 

engkau dapat menjumpai-Nya.”

Walaupun para bhikkhu dengan ramah menyambut kedatangannya 

tetapi Bàhiya Dàrucãriya tidak sabar menunggu. Ia berkata, “Yang 

Mulia, aku tidak tahu apakah aku akan bertemu bahaya yang dapat 

mengancam kehidupanku. Aku datang tergesa-gesa, menempuh 

seratus dua puluh yojanà dalam satu malam, tanpa beristirahat. Aku 

harus bertemu dengan Bhagavà sebelum memikirkan soal istirahat.” 

sesudah   berkata demikian, ia berjalan ke kota dan melihat sosok 

Buddha yang tiada bandingnya. Saat ia melihat Buddha berjalan, 

ia merenungkan, “Ah, betapa lamanya waktu berlalu sebelum aku 

berkesempatan melihat Bhagavà!” Ia berdiri terpesona di tempat 

itu menatap Buddha, batinnya dipenuhi oleh kegembiraan dan 

kepuasan, matanya tidak berkedip dan terpaku pada sosok Buddha. 

2690


Dengan membungkukkan badannya ia memberi hormat kepada 

Buddha, dan dirinya tenggelam dalam kemegahan aura Buddha, ia 

mendekati Bhagavà, bersujud dengan lima titik sentuhan ke tanah, 

menyembah dan mengusap kaki Bhagavà dengan penuh hormat, 

menciumnya dengan bersemangat. Ia berkata:

“Yang Mulia, sudilah Bhagavà membabarkan khotbah kepadaku. 

Khotbah yang dibabarkan oleh Yang Selalu Berkata Benar akan 

bermanfaat bagiku untuk waktu yang lama.”

Buddha berkata, “Bàhiya, sekarang bukan waktunya membabarkan 

khotbah. Kami sedang mengumpulkan dàna makanan di kota.”

(“Apakah Buddha mempunyai waktu yang tidak tepat untuk 

menyejahterakan makhluk-makhluk hidup?” Jawabannya: ‘Waktu 

yang tidak tepat’ di sini merujuk bukan pada Buddha tetapi kepada 

si penerima pesan Buddha. yaitu   di luar batas kemampuan orang 

biasa (bahkan bagi seorang Arahanta) untuk dapat mengetahui 

matangnya indria seseorang sehingga mampu menerima pesan 

Buddha. Indria Bàhiya belum cukup matang untuk menerimanya. 

Tetapi yaitu   sia-sia untuk menjelaskan kepadanya, sebab   ia tidak 

akan memahaminya: itulah sebabnya Buddha hanya memberi   

alasan, “Kami sedang mengumpulkan dàna makanan” untuk tidak 

membabarkan khotbah dan tidak menyebutkan tentang indria yang 

belum matang. Intinya yaitu   walaupun Buddha telah siap untuk 

membabarkan khotbah kepada orang yang mampu memahaminya, 

Buddha tahu kapan orang itu siap dan kapan orang itu belum siap. 

Beliau tidak akan membabarkan khotbah hingga indria si pendengar 

cukup matang sebab   hanya dengan cara itu khotbah itu akan dapat 

memberi   Pencerahan kepada si pendengar.)

saat   Buddha mengatakan hal itu, Bàhiya Dàrucãriya berkata untuk 

kedua kalinya, “Yang Mulia, tidak mungkin aku mengetahui apakah 

Bhagavà akan menjumpai bahaya yang mengancam kehidupan-Nya, 

atau aku akan menjumpai bahaya yang mengancam kehidupanku. 

sebab   itu sudilah Bhagavà membabarkan khotbah kepadaku. 

Khotbah yang dibabarkan oleh Yang Selalu Berkata Benar akan 

bermanfaat bagiku untuk waktu yang lama.”

2691

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

Dan untuk kedua kalinya Buddha berkata, “Bàhiya, sekarang bukan 

waktunya membabarkan khotbah. Kami sedang mengumpulkan 

dàna makanan di kota.” (Jawaban ini diberikan sebab   indria Bàhiya 

masih belum matang.)

(Kekhawatiran Bàhiya akan keselamatannya yaitu   sebab   telah 

ditakdirkan bahwa kehidupannya saat itu yaitu   kehidupannya 

yang terakhir dan jasa masa lampaunya mendesaknya untuk 

mengkhawatirkan keselamatannya. Alasannya yaitu   bahwa 

seseorang yang ditakdirkan untuk menjalani kehidupan terakhirnya 

dalam saÿsàra tidak mungkin meninggal dunia sebelum menjadi 

seorang Arahanta. Buddha ingin membabarkan khotbah kepada 

Bàhiya dan terpaksa menolak untuk kedua kalinya sebab   alasan: 

Buddha mengetahui bahwa Bàhiya diliputi oleh kegembiraan dan 

kepuasan sebab   melihat Tathàgata di mana hal ini tidak mendukung 

pencapaian Pandangan Cerah; batinnya harus ditenangkan hingga 

pada tahap seimbang. Di samping itu, perjalanan yang dilakukan 

oleh Bàhiya sejauh seratus dua puluh yojanà dalam satu malam pasti 

membuatnya lelah secara fisik. Ia memerlukan istirahat sebelum 

mampu mendengarkan khotbah itu dengan baik.)

Untuk ketiga kalinya Bàhiya Dàrucãriya mengajukan permohonan 

kepada Buddha. Dan Buddha mengetahui:

(1) bahwa batin Bàhiya telah tenang hingga pada tahap seimbang;

(2) bahwa ia telah beristirahat dan telah mengatasi keletihannya;

(3) bahwa indrianya sudah cukup matang; dan 

(4) bahaya kehidupannya sudah sangat dekat, memutuskan bahwa 

waktunya telah tiba untuk membabarkan khotbah. Demikianlah, 

Buddha membabarkan khotbah secara singkat sebagai berikut:

“(1) Demikianlah, Bàhiya, engkau harus melatih dirimu: dalam 

melihat objek-objek terlihat (semua objek terlihat), menyadari 

bahwa melihat yaitu   hanya melihat; dalam mendengarkan suara, 

2692


menyadari bahwa mendengar yaitu   hanya mendengar; demikian 

pula dalam mencium bau-bauan, mengecap dan menyentuh 

objek-objek sentuhan, menyadari bahwa mencium, mengecap, 

menyentuh yaitu   hanya mencium, mengecap dan menyentuh; dan 

dalam menyadari objek-objek pikiran, yaitu pikiran dan gagasan, 

menyadari bahwa itu hanyalah menyadari.”

“(2) Bàhiya, jika engkau mampu tetap menyadari dalam melihat, 

mendengar, mengalami, dan mengenali (empat kelompok) objek-

indria, engkau akan menjadi seorang yang tidak berhubungan 

dengan keserakahan, kebencian, dan kebodohan sehubungan 

dengan objek-objek terlihat, suara yang terdengar, objek-objek yang 

dialami, atau objek pikiran yang dikenali. Dengan kata lain, engkau 

akan menjadi seorang yang tidak serakah, tidak membenci, dan 

tidak bodoh.”

“(3) Bàhiya, terhadap objek-objek terlihat, suara yang terdengar, 

objek-objek yang dialami, objek-objek pikiran yang dikenali, 

engkau tidak boleh berhubungan dengannya melalui keserakahan, 

kebencian atau kebodohan, yaitu, jika engkau ingin menjadi seorang 

yang tidak memliki keserakahan, kebencian dan kebodohan, 

maka, Bàhiya, engkau harus menjadi seorang yang tidak memiliki 

keserakahan, keangkuhan atau pandangan salah sehubungan 

dengan objek yang dilihat, didengar, dialami atau dikenali. Engkau 

tidak boleh menganggap ‘Ini milikku’ (sebab   keserakahan), tidak 

memiliki konsep ‘aku’ (sebab   keangkuhan), tidak mempertahankan 

gagasan atau konsep ‘diriku’ (sebab   pandangan salah).”

“(4) Bàhiya, jika engkau sungguh ingin menjadi seorang yang 

tidak memiliki keserakahan, keangkuhan atau pandangan salah 

sehubungan dengan objek yang dilihat, suara yang didengar, objek-

objek nyata yang dialami, objek-pikiran yang dikenali, maka Bàhiya, 

(dengan tidak adanya keserakahan, keangkuhan dan pandangan 

salah dalam dirimu) engkau tidak akan terlahir kembali di alam 

manusia, juga tidak akan terlahir kembali di empat alam lainnya 

(yaitu, alam dewa, Niraya, binatang, dan hantu kelaparan atau 

peta). Selain kehidupan yang sekarang (di alam manusia) dan empat 

alam kelahiran kembali lainnya, tidak ada alam lainnya bagimu. 

2693

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

Tidak-munculnya batin-dan-jasmani baru yaitu   akhir dari kotoran 

yang merupakan dukkha dan akhir dari kelahiran kembali yang 

merupakan dukkha.”

Demikianlah Buddha membabarkan Dhamma yang memuncak 

pada Pelenyapan tertinggi atau Nibbàna di mana tidak ada lagi 

unsur-unsur kehidupan (khandha) tersisa.

(Bàhiya Dàrucãriya yaitu   seseorang yang lebih tepat diberikan 

penjelasan singkat (saÿkhittaruci-puggala). sebab   itu Buddha 

menjelaskan enam objek indria tanpa menyebutkan seluruh enam 

itu secara terperinci, tetapi menggabungkan bau, rasa dan objek 

sentuhan sebagai ‘objek-objek nyata.’ Demikianlah objek-objek 

indria itu dikelompokkan dalam empat kelompok: apa yang dilihat 

(diññha), apa yang didengar (suta), apa yang dialami (mutta), dan 

apa yang disadari (vi¤¤Ã ta).

(1) Sehubungan dengan empat langkah penjelasan di atas (1) 

dalam nasihat Buddha agar menyadari melihat sebagai hanya 

melihat, mendengar sebagai hanya mendengar, mengalami sebagai 

hanya mengalami, mengenali sebagai hanya mengenali saat 

berhubungan dengan empat kelompok objek-objek indria masing-

masing yang merupakan fenomena berkondisi, mengandung arti 

bahwa kesadaran-mata muncul dalam melihat objek-objek terlihat, 

kesadaran-telinga muncul dalam mendengar suara, kesadaran-

hidung muncul dalam mencium bau, kesadaran-lidah muncul dalam 

mengecap rasa, dan kesadaran-pikiran muncul dalam mengenali 

objek-pikiran, hanya ada kesadaran dan tidak ada keserakahan, 

kebencian, dan kebodohan di sana. (Pembaca harus memelajari sifat 

dari proses lima pintu-indria dan proses pintu-pikiran.)

(Kesadaran-mata, kesadaran-telinga, kesadaran-hidung, kesadaran-

lidah dan kesadaran-badan, lima jenis kesadaran ini disebut lima 

jenis kesadaran-indria.) Buddha menasihati Bàhiya agar ia berusaha 

dengan tekun untuk tidak membiarkan keserakahan, kebencian, dan 

kebodohan merasuki impuls momen-pikiran yang mengikuti lima-

pintu indria dan proses-pintu-pikiran yang muncul sesaat   saat 

munculnya lima jenis kesadaran-indria itu, dalam setiap tahapnya 

2694


tidak ada keserakahan, kebencian atau kebodohan, namun hanya 

kesadaran-indria saja. sebab   menilai objek-objek indria ini   

secara alami akan menimbulkan keserakahan, kebencian, dan 

kebodohan.

(Buddha menasihati Bàhiya agar ia berusaha dengan tekun untuk 

tidak membiarkan keserakahan, kebencian, dan kebodohan merasuki 

impuls momen-pikiran sebab   Beliau ingin Bàhiya memahami 

konsep keliru seperti, “Ini kekal,” “Ini bahagia,” atau “Ini memiliki 

inti,” yang cenderung merasuki (pikiran yang tidak terjaga) 

sehubungan dengan empat kelompok objek-indria ini  . Hanya 

jika seseorang menganggapnya sebagai tidak kekal, menyedihkan, 

buruk dan tanpa-diri, maka tidak akan muncul anggapan keliru 

sebagai kekal, bahagia, indah dan memiliki inti; hanya akan muncul 

Pandangan Cerah di mana impuls baik mengikuti (proses-pikiran 

netral pada tahap kesadaran-indria). Buddha memperingati Bàhiya 

agar menjaga dari pikiran salah akan fenomena berkondisi yang 

mewakili empat kelompok objek-indria sebagai kekal, bahagia, 

indah dan memiliki inti dan memandangnya sebagaimana adanya, 

yaitu, tidak kekal, menyedihkan, buruk, dan tanpa-diri, dan dengan 

demikian melatih Pandangan Cerah agar impuls baik mengikuti 

(kesadaran indria).

(Dengan menunjukkan pandangan benar dalam memandang empat 

jenis objek indria yang merupakan fenomena berkondisi, sebagai 

tidak kekal, menyedihkan, buruk dan tanpa-diri, Buddha (dalam 1 di 

atas) mengajarkan enam tingkat rendah dari Kesucian dan sepuluh 

tingkat Pandangan Cerah kepada Bàhiya Dàrucãriya.) 

Dalam (2), “Bàhiya, jika engkau dapat tetap waspada dalam melihat, 

mendengar, mengalami dan menyadari empat kelompok objek-

indria yang merupakan fenomena berkondisi melalui sepuluh tahap 

Pandangan Cerah dan mencapai Pengetahuan Jalan, maka engkau 

telah melenyapkan keserakahan, kebencian, dan kebodohan; engkau 

bukanlah seorang yang serakah, yang membenci, atau yang bodoh; 

dengan kata lain, engkau akan bebas dari keserakahan, kebencian, 

dan kebodohan. Ini menunjukkan Empat Magga.)

2695

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

(Dalam (3): para Ariya saat mencapai Ariya-Phala bebas total dari 

pengaruh keserakahan, keangkuhan, dan pandangan salah, sehingga 

mereka tidak pernah menganggap segala fenomena berkondisi yang 

disajikan oleh empat kelompok objek-indria sebagai ‘aku’, ‘milikku’ 

atau ‘diriku’. Ini menunjukkan Ariya-Phala.)

(Dalam (4): Seorang Arahanta sesudah   saat kesadaran-kematian lenyap 

tidak terlahir kembali apakah di alam manusia ini atau di empat 

alam lainnya. Ini yaitu   pelenyapan total dari kelompok-kelompok 

batin dan jasmani, dan disebut Nibbàna tanpa meninggalkan sisa 

dari kelompok-kelompok kehidupan. Langkah ini menunjukkan 

Nibbàna tertinggi, Pelenyapan tanpa sisa.)

Bàhiya Dàrucãriya bahkan selagi mendengarkan khotbah Buddha, 

menyucikan empat jenis moralitas kebhikkhuan, dan menyucikan 

batinnya melalui konsentrasi, dan mengembangkan Pandangan 

Cerah yang dilakukan dalam waktu yang singkat itu hingga ia 

mencapai Arahatta-Phala lengkap dengan empat Pengetahuan 

Analitis (Pañisambhidà ¥Ã Ãµa). Ia mampu menghancurkan semua 

àsava, kotoran moral, sebab   ia yaitu   individu yang berjenis sangat 

langka (sebab   jasa masa lampaunya) yang ditakdirkan untuk 

mencapai Pencerahan dalam waktu singkat, sebab   telah memiliki 

pengetahuan yang dibawa sejak lahir.

sesudah   mencapai Arahatta-Phala, Yang Mulia Bàhiya Dàrucãriya, 

melihat dirinya sendiri dengan Pengetahuan Peninjauan 

(Paccavekkhaõà ¥Ã Ãµa) yang terdiri dari sembilan belas faktor, 

merasa perlu, seperti biasanya seorang Arahanta, untuk menjadi 

bhikkhu dan memohon Buddha untuk menahbiskannya. Buddha 

bertanya, “Apakah engkau memiliki mangkuk dan jubah bhikkhu?” 

“Belum, Yang Mulia,” ia menjawab. “Kalau begitu,” Buddha berkata, 

“Pergilah cari dulu.” sesudah   berkata demikian, Buddha melanjutkan 

menerima dàna makanan di Kota Sàvatthã.

(Bàhiya telah menjadi seorang bhikkhu pada masa ajaran Buddha 

Kassapa. Ia tetap menjadi bhikkhu dan berusaha mencapai 

Pencerahan selama dua puluh ribu tahun. Pada masa itu, jika ia 

menerima kebutuhan bhikkhu, ia berpikir bahwa perolehan itu ia 

2696


dapatkan berkat jasa masa lampaunya sendiri dan tidak membaginya 

dengan bhikkhu lainnya. sebab   kurangnya kedermawanan dalam 

memberi   jubah atau mangkuk kepada bhikkhu lainnya, ia 

kekurangan jasa yang dapat mendukungnya agar dapat dipanggil 

oleh Buddha, “Datanglah, Bhikkhu.” Ada guru-guru lain yang 

dengan berbeda menjelaskan tentang mengapa Buddha tidak 

memanggil Bàhiya dengan kata-kata “Datanglah, Bhikkhu.” Menurut 

mereka Bàhiya terlahir sebagai seorang perampok pada masa tidak 

ada Buddha yang muncul di dunia. Ia merampok seorang Pacceka 

Buddha, mengambil jubah dan mangkuknya dan membunuhnya 

dengan busur dan panahnya. Buddha mengetahui bahwa sebab   

perbuatan jahat itu, Bàhiya Dàrucãriya tidak akan dapat memperoleh 

jubah dan mangkuk yang diciptakan melalui pikiran (Bahkan jika 

Buddha memanggilnya, “Datanglah, Bhikkhu”) (Komentar Udàna). 

Namun, akibat yang ditimbulkan dari perbuatan jahat ini lebih 

sesuai jika dihubungkan dengan kenyataan nasib Bàhiya yang tidak 

memiliki pakaian yang pantas selain serat-serat kayu.)

Kematian Tragis Bàhiya

Bàhiya meninggalkan Buddha dan berkeliling kota mencari 

mangkuk makan dan potongan kain untuk dijadikan jubah, 

sewaktu melakukan hal itu, ia ditanduk oleh seekor sapi yang baru 

melahirkan anak.

(Dalam salah satu kehidupan masa lampaunya, empat putra 

orang kaya menyewa seorang pelacur dan menikmatinya di suatu 

taman. sesudah   selesai salah satu dari mereka mengusulkan untuk 

merampok perhiasan dan seribu keping perak milik pelacur itu. 

Ketiga temannya setuju. Mereka menyerang gadis itu dengan brutal. 

Gadis itu marah dengan pikiran, “Orang-orang jahat dan tidak tahu 

malu ini memanfaatkan diriku dengan penuh nafsu dan sekarang 

berusaha membunuhku sebab   serakah. Aku tidak melakukan 

kesalahan apa pun terhadap mereka. Aku putus asa. Biarkan mereka 

membunuhku kali ini. Semoga aku terlahir menjadi raksasa pada 

masa depan dan mampu membunuh orang-orang ini berkali-kali!” 

Ia meninggal dunia dengan menyimpan dendam itu.

2697

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

(Dalam kehidupan berikutnya pada masa depan salah satu dari 

empat orang jahat terlahir kembali sebagai Pukkusàti; seorang 

lainnya terlahir sebagai Bàhiya Dàrucãriya; seorang terlahir sebagai 

Tambadàñhika, si perampok; dan yang terakhir terlahir sebagai 

seorang penderita kusta bernama Suppabuddha; si pelacur terlahir 

kembali sebagai raksasa dalam berbagai kehidupan dan menjadi 

empat pembunuh dalam wujud seekor sapi yang menanduk mati 

empat korbannya. Orang-orang itu mati sesaat  ; Bàhiya tewas di 

tempat itu juga; Komentar Udàna.)

saat   Buddha selesai mengumpulkan dàna makanan dan 

meninggalkan kota disertai oleh banyak bhikkhu, Beliau menemukan 

jasad Bàhiya di atas tumpukan sampah, dan berkata kepada para 

bhikkhu, “Pergilah, para bhikkhu, cari selembar selimut, dan bawa 

jenazah Bàhiya, lakukan pemakaman yang layak, dan semayamkan 

relik-reliknya.” Para bhikkhu memperlakukan sesuai instruksi 

Buddha.

Kembali ke vihàra, para bhikkhu melaporkan kepada Buddha bahwa 

tugas mereka telah diselesaikan dan bertanya kepada Buddha, “Yang 

Mulia, di manakah Bàhiya terlahir kembali?” Dengan pertanyaan 

ini mereka menanyakan apakah Bàhiya meninggal dunia sebagai 

seorang awam, atau seorang Ariya yang belum melenyapkan 

kelahiran kembali atau seorang Arahanta yang telah mengakhiri 

kelahiran kembali. Buddha menjelaskan, “Para bhikkhu, Bàhiya 

yaitu   seorang bijaksana. Ia melatih dirinya dengan benar dan 

mencapai Lokuttara. Ia tidak menyulitkan Aku sehubungan dengan 

Dhamma, Bàhiya telah mengakhiri dukkha.”

(Instruksi Buddha kepada para bhikkhu untuk menyemayamkan 

relik-relik Bàhiya yaitu   petunjuk jelas bahwa Bàhiya meninggal 

dunia sebagai sorang Arahanta. Tetapi beberapa bhikkhu gagal 

memahami maksud dari instruksi ini   atau mungkin mereka 

bertanya kepada Buddha untuk memastikan kenyataan itu.)

Mendengar bahwa (Yang Mulia) Bàhiya Dàrucãriya meninggal 

dunia sebagai seorang Arahanta, para bhikkhu penasaran. Mereka 

bertanya kepada Buddha, “Kapankah Bàhiya Dàrucãriya mencapai 

2698


Kearahattaan, Yang Mulia?” “Pada saat ia mendengarkan khotbah-

Ku,” Buddha menjawab. “Kapankah Bhagavà membabarkan khotbah 

kepadanya?” “Hari ini, saat menerima dàna makanan.” “Tetapi, 

Yang Mulia, khotbah ini   pasti sangat penting. Bagaimana 

mungkin khotbah singkat itu dapat mencerahkannya?”

“Para bhikkhu, bagaimana mungkin kalian menilai akibat dari 

khotbah-Ku yang panjang atau pendek? Seribu bait syair yang tidak 

bermanfaat tidak sebanding dengan satu bait syair yang memberi   

manfaat kepada pendengarnya.” Dan pada kesempatan itu Buddha 

mengucapkan syair berikut:

”Sahassamapi ce gàthà, anatthapadasa¤hità; ekaÿ gàthtà padaÿ 

seyyo, yaÿ sutvà upasammati.” “(Para bhikkhu) daripada seribu bait 

syair yang tidak mendukung pengetahuan lebih baik satu baris syair 

(seperti ‘perhatian yaitu   jalan menuju keabadian’) yang dengan 

mendengarnya, si pendengar menjadi tenteram.”

Pada akhir khotbah ini  , banyak makhluk yang mencapai 

berbagai tingkat Pengetahuan Jalan seperti Sotàpatti-Phala.

(c) Gelar Etadagga

Pada lalu   hari, saat   Buddha berada di tengah-tengah suatu 

pertemuan, Beliau menyatakan:

“Etadaggaÿ bhikkhave mama sàvakànaÿ bhikkhÃ¥-naÿ 

khippàbhi¤¤anaÿ yadidaÿ Bàhiyo Dàrucãriyo,” “Para bhikkhu, di 

antara para bhikkhu siswa-Ku yang mencapai Pengetahuan Jalan 

dalam waktu singkat, Bàhiya Dàrucãriya (yang telah meninggal 

dunia) yaitu   yang terbaik.”

Demikianlah kisah Thera Bàhiya Dàrucãriya

2699

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

(28) Thera Kumàra Kassapa

(a) Cita-cita masa lampau

Bakal Kumara Kassapa terlahir dalam sebuah keluarga kaya di 

Kota Haÿsàvatã pada masa kehidupan Buddha Padumuttara. 

Seperti halnya para bakal Thera lainnya, ia pergi ke vihàra dan 

mendengarkan khotbah Buddha dan menyaksikan seorang bhikkhu 

yang dinyatakan oleh Buddha sebagai yang terbaik di antara para 

bhikkhu yang memakai   perumpamaan dalam membabarkan 

Dhamma. Ia berkeinginan untuk menjadi seperti bhikkhu 

terbaik ini  , dan sesudah   memberi   persembahan besar, ia 

mengungkapkan cita-citanya kepada Buddha agar ia dianugerahi 

gelar yang sama oleh Buddha mendatang. Buddha mengetahui bahwa 

cita-cita orang itu akan tercapai, dan mengucapkan ramalan.

Bermeditasi di Puncak Gunung

Orang kaya itu melakukan kebajikan seumur hidupnya dan sesudah   

meninggal dunia ia terlahir kembali di alam dewa dan alam manusia 

bergantian. Saat menjelang lenyapnya ajaran Buddha Kassapa, ia 

pergi ke puncak gunung yang curam bersama kelompok yang terdiri 

dari enam bhikkhu lainnya dan berusaha mencapai Pencerahan. 

(Baca kisah Yang Mulia Dabba di atas.) berkat kemurnian dan 

Kesempurnaan moralitasnya, ia terlahir kembali di alam dewa saat 

meninggal dunia.

(b) Kehidupan pertapaan dalam kehidupan terakhir

Orang kaya itu tidak pernah terlahir di alam sengsara selama waktu 

yang tidak terhingga lamanya antara munculnya dua Buddha, hanya 

terlahir di alam dewa dan alam manusia. Menjelang kemunculan 

Buddha Gotama, ia dikandung dalam rahim putri seorang pedagang. 

Perempuan muda itu sangat ingin menjadi seorang petapa tetapi 

orangtuanya menikahkannya (kepada putra seorang kaya) dan 

terpaksa pergi dan menetap di rumah suaminya. Ia hamil tetapi 

tidak mengetahuinya. Ia memohon agar suaminya mengizinkan 

ia menjadi seorang bhikkhunã, dan suaminya menyetujuinya, ia 

2700


pergi ke perkumpulan para bhikkhunã yang yaitu   murid Yang 

Mulia Devadatta.

sebab   kehamilannya semakin membesar dan terlihat jelas, para 

bhikkhunã melaporkan hal itu kepada Yang Mulia Devadatta, 

Devadatta berkata, “Ia bukan seorang bhikkhunã lagi,” dan 

mengusirnya dari komunitas itu. Bhikkhunã muda itu pergi dan 

menetap di tempat para bhikkhunã yang merupakan murid Buddha. 

Di sana para bhikkhunã melaporkan hal itu kepada Buddha yang 

menugaskan Yang Mulia Upàli untuk menyelidiki dan membuat 

keputusan.

Yang Mulia Upàli membentuk kelompok yang terdiri dari 

perempuan-perempuan terhormat di Sàvatthã, termasuk Visàkhà, 

dan meminta mereka menyelidiki kasus ini, untuk menentukan 

apakah kehamilan itu terjadi saat   bhikkhunã ini   masih 

menjadi seorang awam sebelum menjadi seorang bhikkhunã, atau 

sesudah   ia menjadi seorang bhikkhunã. Perempuan-perempuan itu 

memiliki bukti yang cukup untuk memutuskan dan melaporkan 

kepada Yang Mulia Upàli bahwa kehamilan itu terjadi saat ia 

masih menjalani kehidupan awam. Yang Mulia Upàli menetapkan 

peraturan bahwa sebab   kehamilan itu terjadi sebelum bhikkhunã itu 

ditahbiskan, maka ia yaitu   seorang bhikkhunã yang bersih. Bhagavà 

memuji Yang Mulia Upàli atas keputusan dalam kontroversi itu.

Bhikkhunã muda itu melahirkan seorang bayi laki-laki yang 

berpenampilan seperti patung emas. Raja Pasenadi Kosala 

membesarkan anak itu di istananya bagaikan seorang pangeran. 

Anak itu diberi nama Kassapa, dan saat berusia tujuh tahun, ia 

diberi pakaian yang baik dan dikirim ke vihàra Buddha untuk 

ditahbiskan sebagai seorang sàmaõera. (Baca Jàtaka, Ekaka Nipàta, 

Nigrodhamiga Jàtaka).

Nama Kumàra Kassapa

saat   anak itu memasuki Saÿgha pada usia tujuh tahun, ia 

diberi nama Kumàra Kassapa oleh Buddha. ‘Anak Kassapa’ untuk 

membedakannya dengan sàmaõera lainnya yang juga bernama 

2701

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

Kassapa. Dalam arti lain, Kumara juga berarti ‘pangeran.’ sebab   

Kassapa dibesarkan oleh Raja Pasenadi, Kumàra Kassapa juga 

dianggap sebagai ‘Pangeran Kassapa.’

Kisah yang Melatarbelakangi Vammika Sutta

Kumàra Kassapa mulai berlatih meditasi Pandangan Cerah sejak ia 

ditahbiskan menjadi sàmaõera, dan juga memelajari sabda-sabda 

Buddha. Demikianlah ia dengan tekun memelajari Dhamma dan 

Praktik Dhamma.

saat   Buddha sedang berdiam di Vihàra Jetavana di Sàvatthã, 

Kumàra Kassapa menetap di Hutan Andhavana tidak jauh dari 

Vihàra Jetavana. Pada saat itu Mahàbrahmà dari Alam Suddhàvàsa 

yang yaitu   temannya dalam berlatih, yang pergi ke puncak gunung 

yang curam untuk bermeditasi, mengamati temannya itu. Dan 

melihat usaha Kumàra Kassapa untuk mencapai Pencerahan, ia 

memutuskan untuk memberi   petunjuk praktis kepada bhikkhu 

itu dalam melakukan meditasi Pandangan Cerah. Bahkan sebelum 

meninggalkan alam brahmà, ia menyiapkan lima belas teka-teki 

dan di tengah malam itu ia muncul dengan segala kemegahannya 

di depan Kumàra Kassapa di Hutan Andhavana.

Kumàra Kassapa bertanya kepada brahmà itu, “Siapakah yang 

muncul di depanku?” “Yang Mulia, aku yaitu   temanmu dalam 

kehidupan lampau (pada masa Buddha Kassapa) yang pergi 

bermeditasi untuk mencapai pengetahuan, dan telah terlahir kembali 

di Alam Suddhàvàsa, sesudah   mencapai Anàgàmã-Phala.” “Apa 

tujuanmu mendatangiku?” Brahmà itu lalu   menceritakan 

tujuannya dengan mengucapkan kata-kata berikut:

“Bhikkhu, (1) Gundukan rumah semut ini (2) berasap pada malam 

hari; (3) terbakar pada siang hari.”

“(4) Guru brahmana itu berkata (5) kepada muridnya yang bijaksana: 

(6) ‘Peganglah pedang itu dan (7) Gali dengan tekun.’ Si murid 

bijaksana melakukan sesuai perintah gurunya dan (8) menemukan 

sebuah gerendel pintu. Dan ia melaporkan kepada gurunya, ‘Guru, 

2702


ada gerendel pintu.’”

“Guru brahmana lalu   berkata kepada muridnya, ‘Murid 

bijaksana, singkirkan gerendel pintu itu. Pegang pedangmu dan 

teruslah menggali.’ Murid bijaksana itu melakukan perintah gurunya 

dan (9) menemukan seekor kodok. Ia melaporkan kepada gurunya, 

‘Guru, ada kodok yang menggembung (uddhumàyika).’”

“Guru brahmana lalu   berkata kepada muridnya, ‘Murid 

bijaksana, singkirkan kodok menggembung itu. Pegang pedangmu 

dan teruslah menggali.’ Murid bijaksana itu melakukan perintah 

gurunya dan (10) menemukan persimpangan jalan. Ia melaporkan 

kepada gurunya, ‘Guru, ada persimpangan.’”

“Guru brahmana lalu   berkata kepada muridnya, ‘Murid 

bijaksana, tinggalkan persimpangan itu. Pegang pedangmu dan 

teruslah menggali.’ Murid bijaksana itu melakukan perintah 

gurunya dan (11) menemukan saringan air untuk menyaring pasir. 

Ia melaporkan kepada gurunya, ‘Guru, ada saringan air untuk 

menyaring pasir.’”

“Guru brahmana lalu   berkata kepada muridnya, ‘Murid 

bijaksana, singkirkan saringan air itu. Pegang pedangmu dan 

teruslah menggali.’ Murid bijaksana itu melakukan perintah 

gurunya dan (12) menemukan seekor kura-kura. Ia melaporkan 

kepada gurunya, ‘Guru, ada seekor kura-kura.’”

“Guru brahmana lalu   berkata kepada muridnya, ‘Murid 

bijaksana, singkirkan kura-kura itu. Pegang pedangmu dan teruslah 

menggali.’ Murid bijaksana itu melakukan perintah gurunya dan 

(13) menemukan sebilah pisau dan papan pemotong. Ia melaporkan 

kepada gurunya, ‘Guru, ada pisau dan papan pemotong.’”

“Guru brahmana lalu   berkata kepada muridnya, “Murid 

bijaksana, singkirkan pisau dan papan pemotong itu. Pegang 

pedangmu dan teruslah menggali.’ Murid bijaksana itu melakukan 

perintah gurunya dan (14) menemukan segumpal daging. Ia 

melaporkan kepada gurunya, ‘Guru, ada segumpal daging.’”

2703

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

“Guru brahmana lalu   berkata kepada muridnya, ‘Murid 

bijaksana, singkirkan segumpal daging itu. Pegang pedangmu 

dan teruslah menggali.’ Murid bijaksana itu melakukan perintah 

gurunya dan (15) menemukan seekor nàga. Ia melaporkan kepada 

gurunya, ‘Guru, ada seekor nàga.’ Guru brahmana itu lalu   

berkata kepada murid bijaksana itu. ‘Biarkan nàga itu. Jangan 

mengusiknya. Hormati dia.’”

“Bhikkhu, tanyakan kepada Buddha jawaban dari pertanyaan-

pertanyaan ini. Perhatikanlah jawaban yang diberikan oleh Buddha. 

Dengan pengecualian Buddha, para siswa Buddha, dan orang lain 

yang telah mendengarkan jawaban itu dariku, aku tidak melihat ada 

makhluk lain di dunia ini dalam berbagai alam kehidupan yaitu, 

para dewa, Màra, brahmà, dan umat manusia termasuk para petapa, 

brahmana, raja dan manusia lainnya, yang mampu menjawab 

pertanyaan ini dengan benar.”

sesudah   mengatakan hal itu, brahmà itu lenyap dari sana. Keesokan 

paginya, Kumàra Kassapa menghadap Buddha, bersujud kepada 

Buddha, dan menceritakan pertemuannya dengan brahmà malam 

sebelumnya. lalu   ia bertanya:

(1) Yang Mulia, apakah yang dimaksud dengan ‘gundukan rumah 

semut’?

(2) Apakah yang dimaksud dengan ‘berasap pada malam hari’?

(3) Apakah yang dimaksud dengan ‘terbakar pada siang hari’?

(4) Apakah yang dimaksud dengan ‘Guru Brahmana’?

(5) Apakah yang dimaksud dengan ‘murid bijaksana’?

(6) Apakah yang dimaksud dengan ‘pedang’?

(7) Apakah yang dimaksud dengan ‘menggali dengan tekun’?

(8) Apakah yang dimaksud dengan ‘gerendel pintu’?

(9) A p a k a h  ya n g  d i m a k s u d  d e n g a n  ‘ k o d o k  ya n g 

menggembung’?

(10) Apakah yang dimaksud dengan ‘persimpangan jalan’?

(11) Apakah yang dimaksud dengan ‘saringan air untuk menyaring 

pasir’?

(12) Apakah yang dimaksud dengan ‘kura-kura’?

2704


(13) Apakah yang dimaksud dengan ‘pisau’ dan ‘papan 

pemotong’?

(14) Apakah yang dimaksud dengan ‘segumpal daging’?

(15) Apakah yang dimaksud dengan ‘nàga’?

Atas lima belas pertanyaan yang membingungkan Yang Mulia 

Kumàra Kassapa itu, Buddha memberi   jawaban sebagai 

berikut:

(1) Bhikkhu, ‘gundukan rumah semut’ yaitu   tubuh ini.

(2) Bhikkhu, seseorang pada malam hari merenungkan apa yang 

telah dilakukan pada siang hari; ini yaitu   ‘berasap pada 

malam hari’.

(3) Bhikkhu, seseorang melakukan secara fisik, ucapan, dan pikiran 

apa yang telah dipikirkan sepanjang malam; ini yaitu   ‘terbakar 

pada siang hari’.

(4) Bhikkhu, ‘Guru Brahmana’ yaitu   sebutan untuk Tathàgata 

(Buddha).

(5) Bhikkhu, ‘murid bijaksana’ yaitu   seorang bhikkhu yan