dha bertanya kepada pemuda Vaïgãsa, “Vaïgãsa, apakah engkau
ahli dalam bidang tertentu?” “Yang Mulia Gotama,” Vaïgãsa berkata,
“Aku menguasai mantra tertentu yang disebut chavasãsa manta.”
“Apa gunanya chavasãsa manta itu?” “Yang Mulia Gotama, dengan
membacakan mantra itu, lalu dengan kuku jariku aku meraba
tengkorak orang yang telah meninggal tiga tahun yang lalu dan aku
dapat menyebutkan di alam apa ia dilahirkan kembali.”
lalu Buddha dengan kekuatan batin-Nya mengambil empat
tengkorak manusia: (1) satu milik seseorang di alam neraka; (2)
satu milik seseorang di alam manusia; (3) satu milik seseorang
di alam dewa; dan (4) yang terakhir yaitu milik Arahanta yang
telah mencapai Nibbà na. Vaïgãsa, meraba tengkorak pertama,
dan berkata, “Yang Mulia Gotama, pemilik tengkorak ini sekarang
terlahir kembali di alam neraka” “Bagus, bagus, Vaïgãsa,” Buddha
berkata, “Engkau melihat dengan benar. Di manakah pemilik
tengkorak yang ini sekarang?” Buddha bertanya sambil menunjuk
tengkorak kedua. “Yang Mulia Gotama, orang ini sekarang terlahir
kembali di alam manusia.” Buddha mengujinya dengan tengkorak
ketiga, dan Vaïgãsa berkata, “Yang Mulia Gotama, orang ini sekarang
terlahir kembali di alam dewa.” Dan seluruh tiga pengungkapan
itu yaitu benar adanya.
Tetapi, saat Buddha menunjuk tengkorak keempat dan menguji
Vaïgãsa, pemuda brahmana itu kebingungan. Walaupun ia berulang-
ulang meraba tengkorak itu dan merenungkannya, ia tidak mampu
menyebutkan alam kelahiran kembali dari pemilik tengkorak itu.
Buddha bertanya, “Vaïgãsa, apakah keahlianmu telah habis?”
“Tunggu, Yang Mulia Gotama,” Vaïgãsa berkata, “Aku akan
mencoba lagi.” Ia mencoba dengan canggung, dengan membaca
mantranya yang terkenal dan meraba tengkorak itu dengan sia-sia.
Ia menyimpulkan bahwa masalah itu jelas di luar kemampuannya.
Butir-butiran keringat mengucur dari keningnya. Dan dengan
tampang bodoh, Vaïgãsa hanya bisa berdiam diri.
2665
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
“Apakah itu cukup melelahkan, Vaïgãsa?” Buddha bertanya.
“Sangat, Yang Mulia Gotama, sungguh melelahkan. Aku tidak
dapat mengetahui alam kelahiran kembali dari si pemilik tengkorak
ini. Jika Yang Mulia mengetahuinya, sudilah memberitahuku.”
“Vaïgãsa,” Buddha berkata, “Aku sangat mengenali makhluk ini.”
lalu Buddha mengucapkan dua bait syair berikut, (yang
disajikan dalam bentuk prosa):
Cutiÿ yo vedi sattà naÿ, upapatti¤ ca sabbaso;
Asattaÿ Sugataÿ Buddhaÿ, tam ahaÿ bråmi Brà hmaõaÿ.
“(Vaïgãsa) ia yang mengetahui dengan jelas kematian dan kelahiran
kembali dari makhluk-makhluk dalam segala hal, yang bebas dari
kemelekatan, yang berjalan di Jalan Benar dan menembus Nibbà na,
yang menembus Empat Kebenaran Mulia, Aku menyebutnya
seorang brà hmaõa.” (Dhammapada, 419)
Yassa gatiÿ na jà nanti, Devà gandhabba mà nusà ;
Khãõà savaÿ Arahantaÿ, tam ahaÿ bråmi Brà hmaõaÿ.
“(Vaïgãsa) Para dewa di alam surga atau para musisi surgawi di
bumi, atau manusia yang mengetahui, yang telah menghancurkan
empat jenis kotoran moral, dan yaitu seorang Arahanta, Aku
menyebutnya seorang Arahanta.” (Dhammapada, 420)
(Catatan: Buddha mengucapkan syair-syair ini kepada para bhikkhu
seperti yang terdapat dalam Dhammapada untuk memberitahukan
kepada para bhikkhu bahwa Yang Mulia Vaïgãsa yaitu seorang
Arahanta. Tetapi dalam situasi sekarang ini, syair-syair itu
diucapkan demi kebaikan Vaïgãsa bahwa tengkorak keempat yang
yaitu milik seorang Arahanta yang alam kelahiran kembali sesudah
meninggal dunia tidak akan ditemukan dalam lima jenis alam
kelahiran kembali.)
lalu Pemuda Vaïgãsa berkata kepada Buddha, “O Yang
Mulia Gotama, tidak ada ruginya bagi mereka yang menukar
manta dengan manta. Aku akan memberi Chavasãsa manta
sebagai imbalan atas manta-Buddha yang baru Engkau ucapkan.”
2666
Buddha menjawab, “Vaïgãsa, kami, para Buddha tidak bertukar
manta. Kami memberi nya secara gratis kepada mereka yang
menginginkannya.” “Baiklah, Yang Mulia Gotama,” Vaïgãsa berkata,
“Sudilah Yang Mulia Gotama memberi manta itu kepadaku.”
Dan ia menyembah Buddha dengan kedua tangan dirangkapkan
seperti kura-kura.
lalu Buddha berkata, “Vaïgãsa, bukankah dalam kebiasaan
brahmanis terdapat masa percobaan yang wajib bagi seseorang yang
meminta dan menerima sesuatu?” “Ada, Yang Mulia Gotama.”
“Vaïgãsa, apakah engkau pikir tidak ada masa percobaan bagi ia
yang ingin memelajari sebuah manta dalam ajaran kami?” Sudah
menjadi sifat brahmanis, tidak pernah puas dalam memelajari
manta. Vaïgãsa merasa bahwa ia harus mendapatkan manta Buddha
dengan cara apa pun. Maka ia berkata, “O Yang Mulia Gotama,
aku akan mematuhi peraturan-Mu.” “Vaïgãsa, jika kami harus
mengajarkan manta-Buddha, kami hanya melakukannya kepada
ia yang berpenampilan seperti kami.”
Vaïgãsa telah memutuskan untuk memelajari manta-Buddha sesudah
memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Buddha; sebab itu
ia berkata kepada pengikutnya, “Sekarang, jangan salah paham
dengan keputusanku untuk menjadi seorang bhikkhu. Aku harus
memelajari manta-Buddha. sesudah memelajarinya, aku akan
menjadi guru terhebat di Jambådãpa ini, dan hal itu juga akan
menguntungkan kalian.” sesudah menghibur para pengikutnya,
Vaïgãsa menjadi seorang bhikkhu dengan tujuan untuk memelajari
manta-Buddha.
(Catatan: Penahbis yang menahbiskan Vaïgãsa dalam Ritual
penahbisan resmi yaitu Yang Mulia Nigrodhakappa, seorang
Arahanta, yang selalu berada di dekat Buddha pada masa
itu. Buddha berkata kepada Yang Mulia Nigrodhakappa,
“Nigrodhakappa, Vaïgãsa ingin menjadi seorang bhikkhu,
tahbiskanlah dia.” Nigrodhakappa mengajarkan praktik meditasi
dengan merenungkan lima aspek kejijikan terhadap badan jasmani
kepada Vaïgãsa dan menahbiskannya menjadi seorang sà maõera).
(Komentar Sutta Nipà ta).
2667
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
lalu Buddha berkata kepada Yang Mulia Vaïgãsa, “Vaïgãsa,
sekarang jalankanlah masa percobaan sebagai pelajar manta,” dan
mengajarkan kepadanya tentang bagaimana merenungkan tiga
puluh dua bagian tubuh. Vaïgãsa, sebagai seorang yang memiliki
kecerdasan tinggi, mengucapkan tiga puluh dua bagian tubuh itu
dan bermeditasi merenungkan muncul dan lenyapnya (fenomena
jasmani yang terdiri dari) tiga puluh dua bagian tubuh ini ,
ia mencapai Pandangan Cerah ke dalam fenomena jasmani dan
mencapai Kearahattaan.
sesudah Vaïgãsa mencapai Kearahattaan, teman-teman brahmananya
mendatanginya untuk melihat perkembangannya. Mereka berkata
kepadanya, “Vaïgãsa, bagaimana sekarang? Sudahkah engkau
memelajari manta itu dari Samaõa Gotama?” “Ah, ya, sudah,” jawab
Yang Mulia Vaïgãsa. “Kalau begitu, mari kita pergi,” mereka berkata.
“Kalian pergilah, aku tidak mempunyai urusan lagi dengan kalian.”
Mendengar jawaban tegas ini , para brahmana itu berkata,
“Kami telah memperingati engkau bahwa Samaõa Gotama selalu
mempengaruhi para tamu-Nya dengan tipuan. Sekarang engkau
telah jatuh ke dalam mantra Samaõa Gotama, kami juga tidak
mempunyai urusan lagi denganmu.” sesudah mengucapkan kata-
kata kasar itu, mereka pulang ke arah dari mana mereka datang.
(Yang Mulia Vaïgãsa yaitu seorang bhikkhu siswa Buddha yang
sangat menonjol. Syair-syairnya yang menakjubkan, dapat dibaca
dalam Vaïgãsa Saÿyutta, Sagà thà vagga Saÿyutta.)
(c) Gelar Etadagga
Thera Vaïgãsa yaitu seorang penyair berbakat. Kapan pun ia
pergi menemui Buddha, ia selalu mengucapkan syair-syair pujian
kepada Buddha, membandingkan Bhagavà dalam puisinya dengan
bulan, matahari, langit, samudra, gajah mulia, singa, dan lain-lain.
Syair-syair ini yang ia nyanyikan secara spontan tanpa dipersiapkan
sebelumnya pada saat matanya menatap Buddha, berjumlah
ribuan. sebab itu, pada lalu hari, saat Buddha menyebutkan
nama para bhikkhu yang terbaik dalam suatu pertemuan, Beliau
2668
menyatakan:
“Etadaggaÿ bhikkhave mama sà vakà naÿ bhikkhÃ¥nam
pañibhà navantà naÿ yadidaÿ Vaïgãso,” “Para bhikkhu, di antara
para bhikkhu siswa-Ku yang memiliki kecerdasan matang, Bhikkhu
Vaïgãsa yaitu yang terbaik.”
Demikianlah kisah Thera Vaïgãsa
(24) Thera Upasena Vaïgantaputta
(a) Cita-cita masa lampau
Pada masa lampau, Yang Mulia Upasena Vaïgantaputta terlahir
dalam sebuah keluarga yang berkecukupan di Kota Haÿsà vatã pada
masa kehidupan Buddha Padumuttara. Ia berkunjung ke vihà ra
seperti para bakal Thera lainnya untuk mendengarkan khotbah
Buddha. Di sana ia menyaksikan seorang bhikkhu yang dinyatakan
oleh Buddha sebagai yang terbaik di antara mereka yang dihormati
tinggi oleh para pengikutnya. Pemuda itu ingin meniru bhikkhu
ini dan bercita-cita untuk mencapai kehormatan itu pada
kehidupan pada masa depan. Buddha melihat bahwa cita-cita orang
itu akan tercapai dan Beliau mengucapkan ramalan seperti halnya
para bakal Thera lainnya. lalu Beliau kembali ke vihà ra.
(b) Kehidupan pertapaan dalam kehidupan terakhir
Pemuda itu, sesudah melakukan banyak kebajikan seumur hidupnya,
meninggal dunia dan terlahir kembali di alam bahagia. Pada masa
kehidupan Buddha Gotama, ia terlahir kembali dalam sebuah
keluarga brahmana di Desa NÃ laka di Negeri Magadha. Ibunya
yaitu Råpasà ri, istri seorang brahmana kaya. Anak itu bernama
Upasena. Ia tumbuh besar dan memelajari tiga Veda; tetapi sesudah
mendengarkan Dhamma dari Buddha, ia menjadi berkeyakinan
terhadap Buddha dan menjalani kehidupan kebhikkhuan.
saat Yang Mulia Upasena telah melewatkan satu vassa dalam
kebhikkhuan, ia berkeinginan untuk meningkatkan jumlah
2669
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
bhikkhu, sebab itu ia menahbiskan seseorang menjadi sà maõera
dan lalu menahbiskannya menjadi seorang bhikkhu. Yang
Mulia Upasena, di akhir vassa sesudah menghadiri pertemuan
para bhikkhu, pergi menghadap Buddha bersama muridnya yang
saat itu telah melewatkan satu vassa sebagai seorang bhikkhu dan,
dirinya sendiri, sebagai penahbis, telah melewatkan dua vassa
sebagai seorang bhikkhu; berpikir bahwa Buddha akan gembira
dengan perbuatannya (menahbiskan seorang pendatang baru ke
dalam Saÿgha).
sesudah Yang Mulia Upasena duduk di tempat yang semestinya
di depan Buddha, Buddha bertanya kepadanya, “Bhikkhu, sudah
berapa vassa yang telah engkau jalankan sebagai bhikkhu?” “Dua
vassa, Yang Mulia,” jawab Upasena. “Berapakah vassa bhikkhu
yang menyertaimu itu?” “Satu vassa, Yang Mulia.” “Apa hubungan
kalian?” “Ia yaitu muridku, Yang Mulia.” “Engkau manusia
sombong, engkau ingin memperoleh empat kebutuhan dengan
cepat.” Buddha lalu mencela Yang Mulia Upasena dalam
banyak hal. lalu Buddha menetapkan peraturan sebagai
berikut:
“Para bhikkhu, seorang bhikkhu yang belum menjalani sepuluh
vassa dalam Saÿgha tidak boleh menahbiskan seseorang dalam
kebhikkhuan. Ia yang melanggar peraturan ini berarti melanggar
peraturan minor dalam Disiplin.
“Para bhikkhu, Aku mengizinkan seorang bhikkhu yang telah
menjalani sepuluh vassa atau lebih untuk bertindak sebagai
penahbis bagi seorang bhikkhu baru dalam Ritual penahbisan
orang ini dalam kebhikkhuan.”
Kedua peraturan Vinaya ini ditetapkan sehubungan dengan Yang
Mulia Upasena (baca Vinaya Mahà Vagga).
Ditegur demikian oleh Buddha, ia berpikir untuk menerima pujian
dari Buddha dengan pikiran sebagai berikut, “Aku akan menerima
kata-kata pujian keluar dari mulut yang sama Bhagavà yang megah
bagaikan bulan purnama,” ia mendorong dirinya sendiri. Pada hari
2670
itu juga ia pergi ke tempat yang sunyi, bermeditasi dengan tekun,
melatih Pandangan Cerah dan dalam beberapa hari, ia mencapai
kesucian Arahatta.
Murid-murid Memaksa
Upasena yaitu seorang bhikkhu yang berasal dari keluarga
yang terkenal. Dengan reputasinya di seluruh wilayah itu sebagai
seorang pengkhotbah ajaran yang ahli; ia mendapat kepercayaan
dan kebaikan dari banyak anak-anak yang berasal dari keluarga
kaya yang yaitu kerabat atau temannya. Anak-anak itu menjadi
sà maõera di bawah bimbingannya. Tetapi ia menegaskan kepada
mereka sejak awal, “Anak-anak, aku telah bersumpah untuk
menetap di dalam hutan. Jika kalian mampu hidup dalam hutan
sepertiku, kalian boleh menjadi sà maõera,” dan memberitahukan
kepada mereka tentang unsur-unsur dari tiga belas praktik
keras. Hanya anak yang mampu menjalani praktik keras itu yang
ditahbiskan sebagai sà maõera olehnya, tetapi terbatas pada batas
kemampuan mereka sebagai anak-anak. saat Yang Mulia Upasena
telah melewatkan sepuluh vassa sebagai bhikkhu, ia menguasai
Vinaya dan menahbiskan para sà maõera itu menjadi para bhikkhu,
bertindak sebagai penahbis mereka. Jumlah para bhikkhu yang ia
tahbiskan mencapai lima ratus orang.
Pada masa itu, Buddha sedang menetap di Vihà ra Jetavana di
Sà vatthã. Buddha berkata kepada para bhikkhu, “Para bhikkhu,
Aku ingin sendirian selama setengah bulan,” lalu Beliau
menyendiri. Saÿgha sepakat bahwa bhikkhu yang mendekati
Buddha sendirian harus melakukan penebusan resmi atas kesalahan
melakukan hal ini .
lalu Yang Mulia Upasena disertai oleh para muridnya pergi ke
Vihà ra Jetavana untuk memberi hormat kepada Buddha, dan sesudah
bersujud kepada Buddha, mereka duduk di tempat yang semestinya.
lalu Buddha memulai percakapan dengan bertanya kepada
seorang bhikkhu muda yang yaitu murid Yang Mulia Upasena,
“Bhikkhu, apakah engkau suka mengenakan jubah usang dan
kotor?” Bhikkhu muda itu menjawab dengan kalimat pembuka,
2671
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
“Aku tidak menyukainya, Yang Mulia,” tetapi melanjutkan dengan
menjelaskan bahwa walaupun ia tidak menyukainya, tetapi untuk
menghormati penahbisnya, ia menjalani praktik keras mengenakan
jubah usang dan kotor.
Buddha memuji Upasena untuk hal itu, dan juga mengucapkan
banyak kata-kata pujian terhadap Upasena sehubungan dengan
banyak hal. (Ini hanya kisah singkat tentang Upasena mendapatkan
penilaian baik dari Buddha. Untuk lengkapnya baca Vinaya,
Pà rà jikakaõóa Pà ëi; 2 Kosiya Vagga, 5 Nisãdana santata sikkhà pada.
Dalam naskah itu juga tercatat bahwa Buddha berkata, “Aku ingin
menyendiri selama tiga bulan” sedangkan Komentar Aïguttara
Nikà ya menyebutkan bahwa Buddha ingin “menyendiri selama
setengah bulan.” Kami merekomendasikan bahwa versi “tiga bulan”
dari naskah itu yaitu yang lebih otentik.)
(c) Gelar Etadagga
Pada lalu hari Buddha, duduk dalan suatu pertemuan, memuji
para bhikkhu terbaik, Beliau menyatakan,
“Etadaggaÿ bhikkhave mama sà vakà naÿ bhikkhÃ¥naÿ
samantapà sà dikà naÿ yadidaÿ Upaseno Vaïgantaputto,” “Para
bhikkhu, di antara para bhikkhu siswa-Ku yang mendapatkan
penghormatan tinggi dari pengikutnya, Bhikkhu Upasena
Vaïgantaputta yaitu yang terbaik.”
Kematian Tragis Thera
Pada suatu saat Yang Mulia SÃ riputta dan Upasena sedang berdiam
di dekat Rà jagaha di Gua Sappasoõóika (Gua yang menyerupai
‘kepala ular’) di dalam hutan kayu hitam. Saat itu seekor ular yang
sangat berbisa jatuh ke atas tubuh Yang Mulia Upasena.
(Yang Mulia Upasena sedang menjahit jubahnya di dekat pintu
gua di mana angin lembut bertiup. Pada saat itu satu dari dua ekor
ular berbisa yang berada di langit-langit gua itu jatuh ke bahu
Yang Mulia Upasena. Ular itu sangat berbisa yang bisanya begitu
2672
hebatnya hingga hanya menyentuh ular itu saja sudah cukup
mematikan. Tubuh Yang Mulia Upasena terbakar bagaikan sumbu
pelita, menyebarkan panasnya ke sekujur tubuhnya. Yang Mulia
Upasena tahu bahwa tubuhnya akan terbakar dalam waktu singkat
tetapi ia berkehendak agar tubuhnya tetap utuh di dalam gua itu,
dan sebab itu memperlambat kematiannya.)
lalu Yang Mulia Upasena memanggil para bhikkhu dengan
berkata, “Teman-teman, kemarilah. Letakkan tubuhku ini di atas
selimut dan bawa keluar sebelum tubuh ini hancur bagaikan
segumpal sekam.”
Selanjutnya Yang Mulia SÃ riputta berkata kepada Yang Mulia
Upasena, “Kami tidak melihat perubahan pada tubuh dan
perubahan pada indria Yang Mulia Upasena. Tetapi Yang Mulia
Upasena berkata, ‘Teman-teman, kemarilah. Letakkan tubuhku ini
di atas selimut dan bawa keluar sebelum tubuh ini hancur bagaikan
segumpal sekam.’ (Hal ini dikatakan oleh Yang Mulia SÃ riputta
sebab tidak ada perubahan pada jasmani dan ekspresi wajah Yang
Mulia Upasena seperti biasa terlihat pada orang yang menjelang
kematian.)
lalu Yang Mulia Upasena berkata,
“Sahabat SÃ riputta, sesungguhnya, hanya ia yang memiliki
pandangan salah dan kemelekatan; ‘Aku yaitu mata, mata ini
yaitu milikku’; ‘Aku yaitu telinga, telinga ini yaitu milikku’;
‘Aku yaitu hidung, hidung ini yaitu milikku’; ‘Aku yaitu lidah,
lidah ini yaitu milikku’; ‘Aku yaitu badan, badan ini yaitu
milikku’; ‘Aku yaitu pikiran, pikiran ini yaitu milikku’; maka
terjadi perubahan pada tubuh dan perubahan pada indria.
“Sahabat SÃ riputta, aku tidak memiliki pandangan apa pun apakah
melalui pandangan salah ataupun melalui kemelekatan; ‘Aku yaitu
mata, mata ini yaitu milikku’; … ;’Aku yaitu pikiran, pikiran
ini yaitu milikku’; Sahabat SÃ riputta, bagaimana bisa terjadi
perubahan pada tubuh atau perubahan pada indria dalam diriku
yang tidak menganut pandangan demikian?”
2673
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
Yang Mulia SÃ riputta berkata,
“Demikianlah sesungguhnya, Sahabat Upasena; sebab engkau,
Sahabat Upasena, telah lama melenyapkan pandangan salah akan
‘diriku’, kemelekatan ‘milikku’, dan keangkuhan ‘Aku’, tidaklah
mungkin pandangan demikian dapat muncul, apakah melalui
pandangan salah atau melalui kemelekatan, ‘Aku yaitu mata,
mata ini yaitu milikku’;… ;’Aku yaitu pikiran, pikiran ini yaitu
milikku.’”
lalu para bhikkhu meletakkan tubuh Yang Mulia Upasena di
atas selimut dan membawanya keluar. Di sana tubuh Yang Mulia
Upasena hancur bagaikan segumpal sekam dan Yang Mulia Upasena
meninggal dunia menembus padamnya kelahiran kembali.
(Kisah ini juga tercatat dalam Saëà yatana Saÿyutta, Upasena à sãvisa
Sutta dan Komentarnya.)
Demikianlah kisah Thera Upasena Vaïgantaputta.
(25) Thera Dabba
(a) Cita-cita masa lampau
Bakal Thera Dabba terlahir dalam sebuah keluarga kaya di
Kota Haÿsà vatã pada masa kehidupan Buddha Padumuttara. Ia
berkunjung ke vihà ra dan saat mendengarkan khotbah Buddha ia
menyaksikan seorang bhikkhu yang dinyatakan oleh Buddha sebagai
yang terbaik di antara para bhikkhu yang menyediakan tempat
tinggal bagi bhikkhu Saÿgha. Ia ingin meniru bhikkhu ini dan
sesudah memberi persembahan besar kepada Buddha, ia bercita-
cita untuk mendapatkan gelar yang sama pada masa pengajaran
Buddha pada masa depan. Buddha mengetahui bahwa cita-cita
penyumbang itu akan tercapai, maka Beliau mengucapkan ramalan
sebelum kembali ke vihà ra.
2674
Bermeditasi di Puncak Gunung
Bakal Thera Dabba, sesudah menerima ramalan dari Buddha, hidup
dengan melakukan banyak kebajikan. Saat meninggal dunia, ia
terlahir kembali di alam dewa dan selanjutnya di alam dewa atau
manusia bergantian. Pada tahun-tahun terakhir masa pengajaran
Buddha Kassapa, ia terlahir sebagai seorang kaya dan menjalani
kehidupan kebhikkhuan. Ia berjumpa dengan enam bhikkhu lainnya
yang memiliki pandangan yang sama bahwa hidup di tengah-
tengah banyak orang bukanlah jalan yang benar untuk mencapai
Pencerahan dan bahwa seorang bhikkhu sejati harus hidup dalam
kesunyian. Dan oleh sebab itu, mereka pergi ke gunung yang
tinggi dan curam dengan memakai tangga. Sampai di atas,
mereka berdiskusi, “Bagi yang memiliki kepercayaan pada diri
sendiri, ia harus mendorong tangga itu hingga jatuh.” Seluruh
tujuh bhikkhu itu memilih untuk menetap di puncak gunung
hingga mereka mencapai Pencerahan dan mereka bersama-sama
mendorong tangga ini . “Sekarang, teman-teman, tekunlah
menjalani praktik kebhikkhuan,” mereka saling memberi nasihat
sebelum memilih tempat tinggal mereka di puncak gunung ini
untuk berlatih dengan tidak memedulikan kematian demi mencapai
Pengetahuan Jalan.
Dari ketujuh bhikkhu ini , yang tertua mencapai Kearahattaan
pada hari kelima. Ia mengetahui bahwa ia telah menyelesaikan apa
yang diperlukan dalam praktik mulia dan ia pergi ke Uttarakuru,
Benua Utara dengan kekuatan batinnya untuk mengumpulkan
dà na makanan. sesudah menerima makanan, ia kembali dan
mempersembahkan kepada enam bhikkhu temannya dengan
berkata, “Teman-teman, makanlah makanan ini. Biar aku yang
bertanggung jawab untuk mengumpulkan makanan. Kalian teruslah
mengabdikan diri pada meditasi.” Enam bhikkhu lainnya menjawab,
“Teman, kami telah membuat kesepakatan bahwa ia yang pertama
menembus Dhamma Lokuttara harus bertanggung jawab untuk
menyediakan makanan bagi mereka yang masih harus mencapai
tujuan yang sama.” Arahanta itu berkata, “Tidak, teman-teman, tidak
ada kesepakatan seperti itu.” lalu bhikkhu lainnya berkata,
“Yang Mulia, engkau telah mencapai Arahatta-Phala sesuai jasa
2675
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
masa lampaumu. Kami juga harus mengakhiri lingkaran saÿsà ra
yang penuh penderitaan semampu kami. Yang Mulia boleh pergi
ke mana pun yang engkau suka.”
Bhikkhu tertua, sebab tidak dapat membujuk enam bhikkhu
lainnya untuk menerima makanan, ia memakan makannya di suatu
tempat dan lalu pergi dari sana. Pada hari ketujuh, bhikkhu
tertua kedua mencapai Anà gà mã-Phala. Ia pergi ke benua Utara
dengan kekuatan batinnya dan lalu mempersembahkan
makanan kepada teman-temannya. sebab ditolak oleh teman-
temannya, ia memakan makanannya dan lalu pergi dari sana.
Saat meninggal dunia, ia terlahir kembali di Alam Suci BrahmÃ
(Anà gà mã).
(b) Kehidupan pertapaan dalam kehidupan terakhir
Lima bhikkhu itu tidak mencapai Pengetahuan Jalan pada kehidupan
itu. sesudah meninggal dunia mereka terlahir kembali di alam
dewa dan alam manusia selama siklus dunia yang tidak terhitung
banyaknya antara munculnya Buddha Kassapa dan Buddha Gotama.
Pada masa kehidupan Buddha Gotama, mereka terlahir kembali
di berbagai negeri: (1) satu terlahir di Gandhà ra, Kota Takkasãlà ,
sebagai keluarga kerajaan (kelak menjadi Raja Pukkusà ti); (2) yang
lain di wilayah Pabbateyya (juga disebut Majjhantika) sebagai putra
seorang petapa pengembara perempuan (kelak menjadi Sabhiya si
petapa pengembara); (3) Yang ketiga di Negeri BÃ hiya dalam sebuah
keluarga (dan kelak menjadi Thera BÃ hiya); (4) Yang keempat di
dalam sebuah keluarga di Rà jagaha (kelak dikenal sebagai Kumà ra
Kassapa); dan (5) Yang terakhir (yang kelak menjadi Yang Mulia
Dabba) di Negeri Malla di Kota Anupiya dalam keluarga seorang
pangeran Malla.
Ibu bakal Thera Dabba meninggal dunia saat menjelang melahirkan
anaknya. saat jasadnya sedang dikremasikan di atas tumpukan
kayu, rahimnya pecah sebab panas, tetapi berkat jasa masa
lampaunya, bayi itu terlempar ke atas dan jatuh di atas tumpukan
rumput dabba, dan diberi nama (oleh neneknya) Dabba.
2676
Saat Dabba kecil berusia tujuh tahun, Buddha disertai oleh banyak
bhikkhu tiba di Anupiya dalam perjalanan ke Negeri Malla, di sana
Beliau menetap di hutan mangga Anupiya. Anak itu terpesona
melihat Buddha dan meminta izin neneknya untuk menjadi bhikkhu.
Neneknya mengizinkan dan membawa anak itu kepada Buddha
dan memohon agar anak itu ditahbiskan.
Buddha menyuruh seorang bhikkhu yang berada di dekat Beliau
untuk menahbiskan anak itu dengan berkata, “Tahbiskan anak ini
menjadi seorang sà maõera.” Bhikkhu itu lalu mengajarkan
kepada anak itu tentang bagaimana merenungkan kejijikan terhadap
badan jasmani melalui lima bagian tubuh (yaitu, rambut, bulu
badan, kuku, gigi, kulit). (sebab mencukur rambut yaitu langkah
pertama untuk menjadikan anak itu menjadi seorang sà maõera,
perenungan ini yaitu hal yang paling tepat yang diperintahkan
oleh si penahbis kepada anak itu sebagai penahbisan dengan
mengucapkan lima kata itu keras-keras dan merenungkannya.)
Dabba kecil merenungkannya selagi kepalanya sedang dicukur.
Dabba kecil memiliki kondisi yang mendukung untuk mencapai
Pencerahan; terlebih lagi, ia telah bercita-cita untuk menjadi
seorang bhikkhu yang terbaik pada seratus ribu siklus dunia yang
lalu di hadapan Buddha Padumuttara. sebab itu, sesudah cukuran
pertama, ia mencapai Sotà patti-Phala, pada cukuran kedua ia
mencapai Sakadà gà mã-Phala; pada cukuran ketiga ia mencapai
Anà gà mã-Phala; dan saat kepalanya telah tercukur bersih, ia
mencapai kesucian Arahatta. Selesainya pencukuran dan pencapaian
Kearahattaan terjadi dalam waktu yang bersamaan.
sesudah menghabiskan waktu yang diperlukan untuk membantu
pencapaian Pencerahan oleh mereka yang layak terbebas dari
saÿsà ra, Buddha kembali ke Rà jagaha dan menetap di Vihà ra
Veëuvana. Sà maõera Dabba, yang sekarang yaitu seorang Arahanta,
juga menyertai Buddha. sesudah sampai di RÃ jagaha, Yang Mulia
Dabba, masuk dalam kesunyian dan berpikir, “Tidak ada lagi
yang harus kulakukan sehubungan dengan Kearahattaan. Lebih
baik aku melayani Saÿgha dengan menyediakan tempat tinggal
bagi mereka dan mengarahkan mereka ke para penyumbang
2677
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
makanan.” Ia mengungkapkan gagasannya itu kepada Buddha.
Buddha memujinya dan menugaskannya untuk tugas ganda: (1)
mempersiapkan tempat tinggal bagi para anggota Saÿgha, dan untuk
itu Saÿgha mengenalnya sebagai senà sana-pa¤¤Ã paka sammuti dan
(2) mengarahkan anggota Saÿgha ke para penyumbangnya masing-
masing untuk menerima dà na makanan, dan untuk itu Saÿgha
mengenalnya sebagai bhatt’uddesaka-sammuti.
Buddha senang melihat Dabba yang berusia tujuh tahun telah
mencapai keunggulan itu dalam pengajaran-Nya dengan memiliki
Empat Pengetahuan Analitis, Enam Kekuatan Batin, dan Tiga
Pengetahuan. Oleh sebab itu, walaupun masih di bawah umur,
Buddha menaikkan Sà maõera Arahanta menjadi seorang bhikkhu.
(Juga ada para Sà maõera Arahanta lainnya seperti Sà maõera Paõóita,
Sà maõera Saÿkicca, Sà maõera Sopà ka, Sà maõera Khadiravaniya
(adik termuda Yang Mulia SÃ riputta) yang ditingkatkan menjadi
bhikkhu lengkap walaupun masih di bawah umur dua puluh tahun
sebab mereka telah mencapai Kesucian Arahatta. Meskipun muda
dalam usia, para bhikkhu itu telah mencapai puncak kebhikkhuan,
dan sebab itu layak dipanggil dengan sebutan Thera.)
Sejak saat menjadi seorang bhikkhu, Yang Mulia Dabba mengatur
tempat-tempat tinggal dan makanan (dari berbagai penyumbang
kepada Saÿgha) bagi semua bhikkhu yang menetap di Rà jagaha.
Tugas ini ia lakukan dengan saksama, tanpa pernah melakukan
kesalahan dalam pembagian makanan yang seharusnya dilakukan
oleh bhikkhu yang lebih senior.
Nama baik bhikkhu muda Arahanta itu yang berasal dari keluarga
kerajaan Malla, yang sangat memerhatikan para bhikkhu, yang sangat
terampil dalam menyediakan tempat tinggal di mana para bhikkhu
yang memiliki sifat dan watak yang sejenis dapat tinggal bersama,
yang mampu menyediakan tempat tinggal di tempat-tempat jauh
bagi para bhikkhu yang berkunjung sesuai permintaan mereka, yang
membantu para bhikkhu yang sakit dengan kemampuan batinnya,
reputasinya itu menyebar ke segala penjuru.
Banyak para bhikkhu yang berkunjung yang meminta tempat tinggal
2678
yang mustahil dipersiapkan pada waktu-waktu yang tidak lazim
di tempat-tempat yang jauh seperti vihà ra hutan mangga, vihà ra
hutan lindung Maddakucchi, dan lain-lain, dan mereka menjadi
terheran saat mereka dapat memperolehnya melalui kekuatan batin
Yang Mulia Dabba. Yang Mulia Dabba, dengan kekuatan batinnya,
menciptakan banyak tiruan dirinya sesuai tuntutan tugasnya.
lalu dengan jarinya, ia memancarkan cahaya dalam kegelapan
berfungsi sebagai lampu yang terang, ia, atau tiruan dirinya, mampu
menuntun tamunya ke tempat yang mereka inginkan, menunjukkan
tempat tinggal dan tempat tidur mereka. (Ini yaitu penjelasan
singkat, untuk lengkapnya, baca Vinaya Pà rà jika-kaõóa pada bagian
Duññhadosa Sikkhà pada.)
(c) Gelar Etadagga
Mempertimbangkan pelayanan mulia dari Yang Mulia Dabba
kepada Saÿgha dengan penuh kompetensi, pada suatu kesempatan
Buddha menyatakan di depan para bhikkhu,
“Etadaggaÿ bhikkhave mania Sà vakanaÿ bhikkhunaÿ
senà sanpa¤¤Ã pakanaÿ yadidaÿ Dabbo Mallaputto,” “Para bhikkhu,
di antara para bhikkhu siswa-Ku yang mampu menyediakan tempat
tinggal bagi para Bhikkhu Saÿgha, Yang Mulia Dabba dari keluarga
kerajaan Malla yaitu yang terbaik.”
(Catatan: Sejak Buddha menugaskan Yang Mulia Dabba untuk
melakukan tugas menyediakan akomodasi untuk para bhikkhu,
Yang Mulia Dabba menjaga agar delapan belas vihà ra besar
yang terletak di sekeliling RÃ jagaha selalu bersih, baik di dalam
maupun di sekeliling vihà ra-vihà ra ini . Ia tidak pernah lupa
membersihkan tempat duduk atau tempat tidur atau meletakkan
air minum dan air untuk mencuci bagi para bhikkhu.)
Dabba Menjadi Korbah Fitnah
Walaupun Yang Mulia Dabba yaitu seeorang bhikkhu yang
sungguh baik, ia menjadi korban fitnah yang dilakukan oleh
sekelompok bhikkhu jahat yang dipimpin oleh Bhikkhu Mettiya dan
2679
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
Bhikkhu Bhåmajaka. (Kisah lengkapnya baca Vinaya Pà rà jikakaõóa;
dalam bab Saÿghà disesa, dalam bagian Duññhadosa Sikkhà pada;
dan Cåëavagga; 4-Sathakkhandhaka, 2-Sati Vinaya.) Peristiwa
tidak menyenangkan ini yaitu akibat dari perbuatan jahat masa
lampaunya. Sembilan puluh satu siklus dunia sebelumnya, pada
masa kehidupan Buddha Vipassã, ia telah memfitnah seorang
Arahanta.
Sang Thera Mencapai Parinibbà na
Pada hari menjelang Yang Mulia Dabba meninggal dunia, ia kembali
ke Vihà ra Veëuvana sesudah mengumpulkan dà na makanan, sesudah
memakan makanannya dan sesudah bersujud kepada Buddha, ia
mencuci kakinya untuk menyejukkannya; lalu ia duduk di
atas alas duduk kecil di tempat yang sepi, dan masuk ke dalam
pencapaian Penghentian selama waktu yang telah ditentukan.
sesudah keluar dari pencerapan Jhà na itu sesuai waktu yang ia
tentukan, ia meninjau umur kehidupannya dan mengetahui bahwa
ia hanya memiliki sisa waktu hidup selama dua jam lebih sedikit
(dua atau tiga muhutta). Ia berpikir bahwa tidaklah tepat jika ia
meninggal dunia di tempat sepi tanpa mengucapkan selamat tinggal
kepada Buddha dan para bhikkhu lainnya. Ia merasa wajib untuk
mengucapkan selamat tinggal dan memperlihatkan kesaktiannya
sebelum ia meninggal dunia, demi mereka yang salah paham
terhadapnya (sebab fitnah yang dilontarkan oleh Bhikkhu Mettiya
dan Bhikkhu Bhåmajaka), sehingga mereka dapat melihat kualitas
dirinya yang sesungguhnya. Maka ia menghadap Buddha, bersujud,
dan duduk di tempat yang semestinya dan berkata, “O Sugata,
waktuku untuk meninggal dunia telah tiba.”
Buddha melihat kelompok kehidupan Yang Mulia Dabba, dan
mengetahui bahwa ia akan segera meninggal dunia, Beliau berkata,
“Dabba; engkau tahu waktu kematianmu.” Yang Mulia Dabba
lalu bersujud kepada Buddha, berjalan mengelilingi BhagavÃ
tiga kali dengan Bhagavà berada di sisi kanannya, berdiri di tempat
yang semestinya dan berkata “Yang Mulia, kita telah mengarungi
dunia bersama-sama dalam berbagai kehidupan selama seratus
2680
ribu siklus dunia. Semua kebajikan yang kulakukan bertujuan
untuk mencapai Kearahattaan; tujuan itu sudah tercapai sekarang.
Ini yaitu terakhir kalinya aku melihat Bhagavà .” Saat itu yaitu
saat yang sangat mengharukan. Para bhikkhu yang masih awam,
Sotà panna, atau Sakadà gà mã merasa bersedih, sedangkan yang
lainnya menangis.
Bhagavà mengetahui pikiran Yang Mulia Dabba, berkata, “Dabba,
kalau begitu, perlihatkanlah kesaktianmu kepada Kami dan
Saÿgha.” sesudah Buddha mengucapkan kata-kata itu, sesaat
semua anggota Saÿgha para bhikkhu muncul di tempat itu.
lalu Yang Mulia Dabba memperlihatkan kesaktian khas para
siswa Buddha seperti, “Dari satu menjadi banyak; dari banyak
menjadi satu; sekarang terlihat dan lalu menghilang, dan
seterusnya.” lalu ia bersujud kepada Buddha lagi.
lalu Yang Mulia Dabba terbang ke angkasa dan menciptakan
tanah di angkasa melalui pikirannya, tempat ia bersila dan
bermeditasi dengan objek panas (tejo-kasiõa) sebagai langkah
persiapan. sesudah keluar dari Jhà na unsur panas ini , ia
berkehendak tubuhnya akan terbakar. lalu ia memasuki Jhà na
unsur panas (tejo dhà tu) yang merupakan landasan bagi kekuatan
batin. Keluar dari Jhà na ini , proses-pikiran berkekuatan batin
muncul dalam dirinya. Pada momen-pikiran pertama dari proses
pikiran itu, seluruh tubuhnya terbakar, bagaikan api yang dapat
menghancurkan dunia, sehingga tidak meninggalkan sisa jasmani,
fenomena fisik yang berkondisi, dalam bentuk apa pun. Tidak ada
debu apa pun yang terlihat. lalu kobaran api itu padam sesuai
keinginan Yang Mulia Dabba. Di akhir proses pikiran berkekuatan
batin itu, batinnya kembali ke kelompok kehidupan yang saat itu
dikenali sebagai kematian. Dengan demikian berakhirlah kehidupan
Yang Mulia Dabba yang telah meninggal dunia dan mencapan
Nibbà na, mengakhiri dukkha. (Kisah lengkap dari bagian meninggal
dunia ini dapat dibaca dalam Komentar Udà na.)
Demikianlah kisah Thera Dabba
2681
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
(26) Thera Pilindavaccha
(a) Cita-cita masa lampau
Bakal Thera Pilindavaccha terlahir dalam keluarga kaya di Kota
Haÿsà vatã pada masa kehidupan Buddha Padumuttara, seperti
halnya para Thera besar lainnya, ia pergi ke vihà ra, dalam sebuah
khotbah ia menyaksikan seorang bhikkhu yang oleh Buddha
dinyatakan sebagai yang terbaik di antara para bhikkhu yang
dihormati oleh para dewa. Ia berkeinginan kuat untuk menjadi
seperti bhikkhu ini pada masa depan dan mengungkapkan
cita-citanya di depan Buddha. Buddha melihat bahwa cita-citanya
akan tercapai dan mengucapkan ramalan akan hal itu.
Penghormatan Kepada Pagoda dan Saÿgha
Orang kaya itu, sesudah seumur hidup melakukan kebajikan,
meninggal dunia dan terlahir kembali di alam dewa dan selanjutnya
di alam dewa atau alam manusia. Pada masa kehidupan Buddha
Sumedha, ia terlahir kembali sebagai manusia. Ia memberi
persembahan besar di pagoda yang didirikan sebagai penghormatan
kepada Buddha yang telah meninggal dunia. Ia juga memberi
persembahan besar kepada Saÿgha.
Kehidupan Sebagai Raja Dunia
Orang itu, sesudah meninggal dunia dari alam manusia, ia terlahir
kembali hanya di alam dewa dan alam manusia. Pada periode
tertentu sebelum munculnya Buddha kita, ia terlahir sebagai seorang
raja dunia yang memanfaatkan kekuasaan dan kesempatannya
untuk menanamkan pelaksanaan Lima Sãla kepada rakyatnya.
(b) Kehidupan pertapaan dalam kehidupan terakhir
Menjelang munculnya Buddha Gotama, bakal Thera Pilindavaccha
terlahir sebagai seorang brahmana di Sà vatthã, bernama Pilinda;
nama sukunya yaitu Vaccha, sebab itu ia dipanggil Pilindavaccha.
Sejak muda Pilindavaccha sudah tidak puas terhadap dunia ini,
2682
lalu ia menjadi seorang petapa dan memelajari ilmu gaib yang
dikenal dengan sebutan Cåëagandhà ra, yang terdiri dari beberapa
manta sakti. sesudah menguasai manta-manta ini, ia menjadi mahir
dalam membaca pikiran orang lain dan mampu berjalan di angkasa.
Ia menjadi seorang petapa yang paling berkuasa di RÃ jagaha,
memiliki banyak pengikut dan banyak harta kekayaan.
lalu Buddha Gotama muncul di dunia ini, dan pada suatu
saat Beliau tiba di RÃ jagaha. Sejak saat Buddha tiba di RÃ jagaha,
kekuatan Pilindavaccha menjadi lenyap. Betapa pun kerasnya usaha
dalam membaca manta saktinya itu, ia tetap tidak bisa berjalan di
angkasa; ia tidak mampu membaca pikiran orang lain. Ia mendengar
bahwa jika seseorang yang menguasai kesaktian yang lebih tinggi
darinya mendekatinya, maka ia akan kehilangan kesaktiannya. Ia
berpikir, “Pernyataan yang kudengar dari para guru pastilah benar.
sebab sejak Samaõa Gotama datang ke Rà jagaha, kesaktianku
menjadi lenyap. Samaõa Gotama pasti menguasai kesaktian yang
lebih tinggi. Baiklah, aku akan mendatangi Samaõa Gotama dan
memelajari ilmu kesaktian dari-Nya.” lalu ia mendatangi
Buddha dan berkata, “O Yang Mulia Bhikkhu, aku ingin memelajari
kesaktian dari Yang Mulia. Sudilah Yang Mulia menerimaku.”
Buddha berkata, “Jika engkau ingin memelajari kesaktian, engkau
harus menjadi seorang bhikkhu.” Pilindavaccha berpikir bahwa
menjadi seorang bhikkhu yaitu langkah pertama untuk memelajari
kesaktian yang ia inginkan, dan ia setuju untuk menjadi seorang
bhikkhu. Buddha memberi subjek meditasi yang sesuai dengan
watak dan kecenderungan Pilindavaccha, dan sebab bhikkhu itu
memiliki kondisi yang mendukung untuk mencapai Pencerahan,
ia berhasil mencapai Pandangan Cerah dan segera mencapai
Kearahattaan. (Komentar Udà na).
Kebiasaan Pilindavaccha memakai Kata-kata Kasar
Yang Mulia Pilindavaccha memiliki kebiasaan memanggil orang
lain dengan menyebut “penjahat” (vasala-samudà cara), seperti
saat memberi perintah, “Kemarilah, penjahat,” atau “Pergilah,
penjahat,” atau “Bawa kemari, penjahat,” atau “Ambillah, penjahat,”
2683
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
dan sebagainya.
Para bhikkhu melaporkan kebiasaan Yang Mulia Pilindavaccha ini
kepada Bhagavà . Mereka bertanya, “Yang Mulia, apakah para Ariya
memakai kata-kata kasar?” dan Buddha berkata, “Para bhikkhu,
para Ariya tidak berkata-kata kasar dengan maksud jahat. Namun,
sebab kebiasaan yang telah berlangsung sejak kehidupannya
pada masa lampau, kata-kata kasar dapat muncul secara tidak
disengaja.” Para bhikkhu berkata, “Buddha Yang Agung, Yang Mulia
Pilindavaccha dalam berbicara dengan orang lain, apakah kepada
para bhikkhu ataupun kepada orang awam, selalu memanggil orang
itu dengan ‘penjahat’. Apakah alasannya?”
“Para bhikkhu, Pilindavaccha selama lima ratus kelahiran berturut-
turut pada masa lampau terlahir dalam kasta brahmana yang
tinggi yang biasa memanggil orang lain dengan sebutan ‘penjahat’
(vasala). Kebiasaan ini menjadi tertanam dalam dirinya. Ia tidak
bermaksud menyebut orang itu ‘penjahat’. Ia tidak memiliki niat
jahat. Kata-katanya, meskipun kasar di telinga, sama sekali tidak
berbahaya. Seorang Ariya, sebab tidak memiliki kebencian, tidak
dapat disalahkan sebab kebiasaannya dalam berbahasa. lalu ,
pada kesempatan itu Buddha mengucapkan syair berikut:
Akakkasaÿ vi¤¤Ã paniÿ,
giraÿ saccamudãraye;
Yà ya nà bhisaje ka¤ ci,
tamaham bråmi Brà hmaõaÿ.
“Ia yang berbicara dengan lemah lembut, memberi informasi
dan kata-kata yang benar dan yang tidak menghina orang lain
melalui kata-katanya, ia Kusebut seorang brà hmaõa (Arahanta)”
(Dhammapada, 408).
Pada akhir pengucapan syair ini oleh Buddha, banyak
pendengar yang mencapai Pencerahan dalam berbagai tingkat
seperti Sotà patti-Phala dan sebagainya. (Meskipun kata “penjahat”
terdengar kasar bagi sebagian orang, tetapi sebab Arahanta
Pilindavaccha mengucapkannya tanpa didasari kebencian, hal ini
2684
tidak disebut sebagai bentuk perkataan salah.)
Biji Lada Berubah Menjadi Kotoran Tikus
Suatu hari, dalam perjalanan mengumpulkan dà na makanan di
RÃ jagaha, Yang Mulia Pilindavaccha bertemu dengan seseorang
yang memasuki kota dengan membawa semangkuk penuh biji lada,
dan bertanya, “Apakah itu yang ada dalam mangkukmu, penjahat?”
Orang itu tersinggung. Ia berpikir, “Betapa buruknya hari ini, sepagi
ini sudah dipanggil sebagai ‘penjahat’. Bhikkhu berbahasa kasar
layak dibalas dengan kata-kata kasar juga. Dengan pikiran demikian,
ia menjawab, “Ini kotoran tikus, Yang Mulia.”
(Yang Mulia Pilindavaccha mengucapkan kata-kata kasar tanpa
didasari kebencian melainkan dengan sikap bersahabat, yang
diucapkan sebab kebiasaannya semata; sebab itu kata ‘penjahat’
bukanlah kata yang kasar. Tetapi, orang itu membalas dengan penuh
kemarahan dan kata-kata balasannya terhadap seorang Arahanta
menghasilkan akibat mengerikan yang berbuah sesaat .)
Yang Mulia Pilindavaccha berkata, “Biarlah demikian, penjahat.”
saat orang itu lenyap dari pandangan Yang Mulia Pilindavaccha,
ia keheranan melihat bahwa mangkuk yang tadi penuh berisi
biji lada sekarang menjadi penuh kotoran tikus! sebab biji lada
sepintas lalu memang terlihat mirip dengan kotoran tikus, untuk
memastikan ia mengambil beberapa butir dari mangkuk itu dan
meletakkan ke atas telapak tangannya lalu ia meremasnya,
dan ternyata memang kotoran tikus. Ia menjadi sangat tidak senang.
Ia sedang membawa barang dagangannya berupa biji lada dalam
sebuah kereta. Ia penasaran apakah semua biji lada dalam kereta juga
telah berubah menjadi kotoran tikus. Ia menjadi patah semangat.
Dengan tangannya ia menekan dadanya yang sakit, ia merenungkan,
“Kecelakaan ini terjadi padaku sesudah bertemu dengan bhikkhu itu.
Aku yakin pasti ada cara untuk menebus kemalangan ini. (Menurut
sumber Sinhala:) ”Bhikkhu itu pasti memiliki kesaktian. Aku akan
mengikuti bhikkhu itu, mencarinya dan bertanya kepadanya.”
Seseorang memerhatikan si pedagang lada yang sedang dalam
2685
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
keadaan gelisah dan berkata, “Hei teman, engkau terlihat jengkel.
Ada apa denganmu?” Si pedagang menceritakan apa yang terjadi
antara dia dengan Yang Mulia Pilindavaccha. lalu orang
itu berkata, “Teman, jangan khawatir. Engkau pasti bertemu
dengan guru kami Yang Mulia Pilindavaccha. Pergi dan bawalah
mangkukmu yang berisi kotoran tikus dan temuilah Yang Mulia. Ia
akan bertanya kepadamu, “Apakah yang ada dalam mangkukmu,
penjahat?” dan engkau harus menjawab, ‘Ini yaitu biji lada, Yang
Mulia.’ Yang Mulia akan berkata, ‘Biarlah demikian, penjahat,’ dan
engkau akan mendapatkan kembali biji lada dalam mangkukmu dan
juga di seluruh keretamu.” Si pedagang menuruti nasihat orang itu
dan seluruh biji lada itu kembali seperti semula.
(c) Gelar Etadagga
Yang Mulia Pilindavaccha, pada masa sebelum munculnya Buddha
di dunia ini pernah menjadi seorang raja dunia. Ia menanamkan
Lima Sãla moral kepada rakyatnya, sehingga mengantarkan mereka
menuju alam dewa. Banyak dewa di enam alam dewa dalam
kelompok alam indria yang berhutang kepadanya sebagai raja
dunia yang mengantarkan mereka ke alam yang berbahagia itu.
Mereka menyembahnya siang dan malam. Itulah sebabnya pada
suatu kesempatan, Buddha menyatakan:
“Etadaggaÿ bhikkhave mama sà vakà naÿ bhikkhÃ¥nam Devatà naÿ
piyamanà pà naÿ yadidaÿ Pilinda-vaccho,” “Para bhikkhu, di antara
para bhikkhu siswa-Ku yang dihormati oleh para dewa, Bhikkhu
Pilindavaccha yaitu yang terbaik.”
Demikianlah kisah Thera Pilindavaccha
(27) Thera Bà hiya Dà rucãriya
(Nama asli bhikkhu ini yaitu BÃ hiya yang yaitu nama negeri
di mana ia dilahirkan. lalu ia lebih dikenal sebagai BÃ hiya
Dà rucãriya, ‘Bà hiya-berpakaian-serat’, sebab ia memakai serat kayu
sebagai pakaiannya, peristiwa itu akan diceritakan di bawah ini.)
2686
(a) Cita-cita masa lampau
Bakal Bà hiya Dà rucãriya terlahir dalam sebuah keluarga kaya di
Kota Haÿsà vatã pada masa kehidupan Buddha Padumuttara, seperti
kebiasaan para bakal Siswa Besar lainnya, ia mengunjungi vihà ra
dan sewaktu mendengarkan khotbah ia menyaksikan seorang
bhikkhu yang oleh Buddha dinyatakan sebagai yang terbaik di
antara mereka yang mencapai Pencerahan dalam waktu singkat.
Ia bercita-cita untuk meniru bhikkhu ini dan sebab itu
sesudah memberi persembahan besar ia mengungkapkan cita-
citanya di hadapan Buddha untuk mencapai posisi itu pada masa
depan. Buddha melihat bahwa cita-citanya itu akan tercapai dan
mengucapkan ramalan.
Bermeditasi di Puncak Gunung
Orang kaya itu melakukan banyak kebajikan seumur hidupnya dan
saat meninggal dunia, ia terlahir di alam dewa dan alam manusia
silih berganti. Pada masa memudarnya ajaran Buddha Kassapa,
ia dan sekelompok bhikkhu yang berwatak sama pergi ke puncak
sebuah gunung yang tinggi dan curam dan bermeditasi si puncak
gunung ini (seperti pada kisah Yang Mulia Dabba di atas).
Berkat moralitasnya yang suci, ia terlahir kembali di alam dewa
saat meninggal dunia.
(b) Kehidupan pertapaan dalam kehidupan terakhir
Pada masa antara dua Buddha (yaitu antara Buddha Kassapa dan
Buddha Gotama), ia berada di alam dewa. Menjelang kemunculan
Buddha Gotama, ia terlahir kembali dalam sebuah keluarga kaya
di Negeri BÃ hiya. sesudah dewasa, ia menikah dan melakukan
perjalanan laut menuju Suvaõõabhåmi untuk suatu urusan dagang.
Kapal yang ia tumpangi hancur oleh badai di laut dan semua orang
kecuali dia, tewas dan menjadi makanan ikan dan kura-kura.
Sedangkan dirinya, sebab harus mengarungi saÿsà ra dalam
kehidupan terakhirnya, ia bertahan hidup dengan berpegangan
pada selembar papan dari kapal yang hancur ini selama tujuh
2687
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
hari. Ia dihanyutkan oleh ombak hingga mencapai pantai di Kota
pelabuhan Suppà raka. Sebelum berjumpa dengan orang-orang
lain, ia menutupi tubuhnya yang telanjang. Ia mengambil tanaman-
tanaman air dari sebuah waduk dan menyelimuti tubuhnya.
lalu ia memakai sebuah kendi tua yang sudah usang
sebagai mangkuk untuk menerima makanan.
Penampilannya yang mengenaskan menarik perhatian banyak orang.
“Jika ada seorang Arahanta di dunia ini, maka dia yaitu Arahanta
itu!” Begitulah mereka berbicara mengenainya. Mereka menganggap
orang itu (orang suci menurut penilaian mereka) sedang menjalani
praktik yang keras, dan menolak mengenakan pakaian yang pantas.
Untuk membuktikan penilaian mereka itu, mereka memberi
pakaian baik kepadanya. Tetapi BÃ hiya berpikir, “Orang-orang ini
menerimaku sebab pakaianku ini. Lebih baik aku tetap berpakaian
seperti ini sehingga mereka tetap menghormatiku.” sebab itu ia
menolak pakaian baik yang mereka berikan. Para warga menjadi
lebih menghormatinya dan memberi persembahan berlimpah
kepadanya.
sesudah memakan makanannya, yang diterimanya dari para
warga , BÃ hiya masuk ke dalam sebuah cetiya tradisional.
Para warga mengikutinya ke sana. Mereka membersihkan
tempat itu untuk dijadikan tempat tinggalnya. BÃ hiya lalu
berpikir, “sebab penampilan luarku, orang-orang ini menunjukkan
penghormatan tinggi kepadaku. Hal ini mengharuskanku untuk
hidup sesuai penghormatan mereka. Aku harus tetap menjadi
seorang petapa yang baik dan benar.” Ia mengumpulkan serat dari
kayu dan, menjahitnya dengan benang ikat, lalu memakainya
sebagai pakaian buatan sendiri. (Sejak saat itu, ia mendapat julukan
‘Bà hiya-Dà rucãriya, Bà hiya-berpakaian-serat-kayu.’)
Teguran BrahmÃ
Dari tujuh bhikkhu yang bermeditasi Pandangan Cerah di puncak
gunung yang curam pada akhir masa pengajaran Buddha Kassapa,
bhikkhu kedua mencapai Anà gà mã-Phala dan terlahir kembali di
Alam Suddhà và sa. Segera sesudah terlahir di alam brahmà itu, ia
2688
mengingat kehidupan lampaunya dan mengetahui bahwa dia yaitu
satu di antara tujuh bhikkhu yang bermeditasi di puncak gunung
yang curam dan yang pertama telah mencapai Kearahattaan dalam
kehidupan itu, dari lima bhikkhu lainnya, ia melihat bahwa mereka
semuanya terlahir di alam dewa.
Sekarang, salah satu di antara mereka telah menjadi Arahanta palsu
di Suppà raka dan hidup mengandalkan kepercayaan para warga
di sana, ia merasa yaitu tugasnya untuk menegur temannya itu
untuk berada di jalan yang benar. Ia merasa kecewa, sebab BÃ hiya
Dà rucãriya dalam kehidupan lampaunya sebagai bhikkhu yaitu
seorang yang memegang teguh prinspi-prinsip moralitas, bahkan
menolak makanan yang dikumpulkan oleh Arahanta temannya. Ia
juga ingin menarik perhatian BÃ hiya kepada kemunculan Buddha
Gotama di dunia ini. Ia berpikir untuk membangkitkan semangat
religius pada teman lamanya itu dan sesaat ia turun dari alam
brahmà dan muncul di depan Bà hiya Dà rucãriya dengan segala
kemegahannya.
Bà hiya Dà rucãriya tiba-tiba melihat cahaya gilang-gemilang dan
segera keluar dari kamarnya. Ia melihat brahmà itu dan sesudah
merangkapkan kedua tangannya, ia bertanya, “Siapakah engkau,
Tuan?” “Aku yaitu teman lamamu. Menjelang akhir masa
Buddha Kassapa, aku yaitu satu dari tujuh bhikkhu termasuk
dirimu, yang pergi ke puncak gunung yang curam dan berlatih
meditasi Pandangan Cerah. (Aku mencapai Anà gà mã-Phala, dan
terlahir kembali di alam brahmà . Yang tertua di antara kita menjadi
seorang Arahanta dan telah meninggal dunia dari kehidupannya
itu. Lima orang lainnya, sesudah meninggal dunia, terlahir kembali
di alam dewa. Aku datang untuk menegurmu agar tidak hidup
mengandalkan kepercayaan salah para warga .”
O BÃ hiya: (1) Engkau bukan seorang Arahanta; (2) Engkau belum
mencapai Arahatta-Magga; (3) Engkau bahkan belum memulai
latihan menuju Kearahattaan. (Engkau belum melakukan sedikit
pun praktik benar untuk mencapai Kearahattaan.) Buddha sekarang
telah muncul di dunia ini, dan sedang berdiam di Vihà ra Jetavana di
Sà vatthã. Aku harap engkau pergi dan menjumpai Bhagavà .” sesudah
2689
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
menegurnya demikian, brahmà itu kembali ke alamnya.
Pencapaian Kearahattaan
Bà hiya Dà rucãriya tertegun mendengar kata-kata brahmà itu dan
memutuskan untuk mencari Jalan menuju Nibbà na. Ia langsung
pergi ke Sà vatthã. Menempuh jarak seratus dua puluh yojanà dalam
satu malam. Keesokan paginya ia tiba di Sà vatthã.
Buddha mengetahui bahwa Bà hiya Dà rucãriya akan menjumpai-
Nya tetapi melihat bahwa indria orang itu seperti keyakinan,
belum cukup matang untuk menerima (memahami) Kebenaran;
dan untuk mematangkannya, Buddha menunggu dan pergi ke kota
untuk menerima dà na makanan, disertai oleh banyak bhikkhu.
sesudah Buddha meninggalkan Vihà ra Jetavana, Bà hiya Dà rucãriya
memasuki vihà ra dan melihat banyak bhikkhu sedang berjalan-
jalan di ruang terbuka sesudah sarapan pagi, untuk mencegah
kantuk. Ia bertanya kepada para bhikkhu di mana Buddha berada,
dan diberitahu bahwa Bhagavà sedang menerima dà na makanan
di kota. Para bhikkhu bertanya dari mana ia datang. “Aku datang
dari pelabuhan Suppà raka, Yang Mulia.” “Engkau datang dari jauh.
Cucilah kakimu, gosokkan minyak untuk melemaskan kakimu dan
beristirahatlah sejenak. Bhagavà akan kembali tidak lama lagi dan
engkau dapat menjumpai-Nya.”
Walaupun para bhikkhu dengan ramah menyambut kedatangannya
tetapi Bà hiya Dà rucãriya tidak sabar menunggu. Ia berkata, “Yang
Mulia, aku tidak tahu apakah aku akan bertemu bahaya yang dapat
mengancam kehidupanku. Aku datang tergesa-gesa, menempuh
seratus dua puluh yojanà dalam satu malam, tanpa beristirahat. Aku
harus bertemu dengan Bhagavà sebelum memikirkan soal istirahat.”
sesudah berkata demikian, ia berjalan ke kota dan melihat sosok
Buddha yang tiada bandingnya. Saat ia melihat Buddha berjalan,
ia merenungkan, “Ah, betapa lamanya waktu berlalu sebelum aku
berkesempatan melihat Bhagavà !” Ia berdiri terpesona di tempat
itu menatap Buddha, batinnya dipenuhi oleh kegembiraan dan
kepuasan, matanya tidak berkedip dan terpaku pada sosok Buddha.
2690
Dengan membungkukkan badannya ia memberi hormat kepada
Buddha, dan dirinya tenggelam dalam kemegahan aura Buddha, ia
mendekati Bhagavà , bersujud dengan lima titik sentuhan ke tanah,
menyembah dan mengusap kaki Bhagavà dengan penuh hormat,
menciumnya dengan bersemangat. Ia berkata:
“Yang Mulia, sudilah Bhagavà membabarkan khotbah kepadaku.
Khotbah yang dibabarkan oleh Yang Selalu Berkata Benar akan
bermanfaat bagiku untuk waktu yang lama.”
Buddha berkata, “BÃ hiya, sekarang bukan waktunya membabarkan
khotbah. Kami sedang mengumpulkan dà na makanan di kota.”
(“Apakah Buddha mempunyai waktu yang tidak tepat untuk
menyejahterakan makhluk-makhluk hidup?” Jawabannya: ‘Waktu
yang tidak tepat’ di sini merujuk bukan pada Buddha tetapi kepada
si penerima pesan Buddha. yaitu di luar batas kemampuan orang
biasa (bahkan bagi seorang Arahanta) untuk dapat mengetahui
matangnya indria seseorang sehingga mampu menerima pesan
Buddha. Indria BÃ hiya belum cukup matang untuk menerimanya.
Tetapi yaitu sia-sia untuk menjelaskan kepadanya, sebab ia tidak
akan memahaminya: itulah sebabnya Buddha hanya memberi
alasan, “Kami sedang mengumpulkan dà na makanan” untuk tidak
membabarkan khotbah dan tidak menyebutkan tentang indria yang
belum matang. Intinya yaitu walaupun Buddha telah siap untuk
membabarkan khotbah kepada orang yang mampu memahaminya,
Buddha tahu kapan orang itu siap dan kapan orang itu belum siap.
Beliau tidak akan membabarkan khotbah hingga indria si pendengar
cukup matang sebab hanya dengan cara itu khotbah itu akan dapat
memberi Pencerahan kepada si pendengar.)
saat Buddha mengatakan hal itu, Bà hiya Dà rucãriya berkata untuk
kedua kalinya, “Yang Mulia, tidak mungkin aku mengetahui apakah
Bhagavà akan menjumpai bahaya yang mengancam kehidupan-Nya,
atau aku akan menjumpai bahaya yang mengancam kehidupanku.
sebab itu sudilah Bhagavà membabarkan khotbah kepadaku.
Khotbah yang dibabarkan oleh Yang Selalu Berkata Benar akan
bermanfaat bagiku untuk waktu yang lama.”
2691
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
Dan untuk kedua kalinya Buddha berkata, “BÃ hiya, sekarang bukan
waktunya membabarkan khotbah. Kami sedang mengumpulkan
dà na makanan di kota.” (Jawaban ini diberikan sebab indria Bà hiya
masih belum matang.)
(Kekhawatiran BÃ hiya akan keselamatannya yaitu sebab telah
ditakdirkan bahwa kehidupannya saat itu yaitu kehidupannya
yang terakhir dan jasa masa lampaunya mendesaknya untuk
mengkhawatirkan keselamatannya. Alasannya yaitu bahwa
seseorang yang ditakdirkan untuk menjalani kehidupan terakhirnya
dalam saÿsà ra tidak mungkin meninggal dunia sebelum menjadi
seorang Arahanta. Buddha ingin membabarkan khotbah kepada
BÃ hiya dan terpaksa menolak untuk kedua kalinya sebab alasan:
Buddha mengetahui bahwa BÃ hiya diliputi oleh kegembiraan dan
kepuasan sebab melihat Tathà gata di mana hal ini tidak mendukung
pencapaian Pandangan Cerah; batinnya harus ditenangkan hingga
pada tahap seimbang. Di samping itu, perjalanan yang dilakukan
oleh Bà hiya sejauh seratus dua puluh yojanà dalam satu malam pasti
membuatnya lelah secara fisik. Ia memerlukan istirahat sebelum
mampu mendengarkan khotbah itu dengan baik.)
Untuk ketiga kalinya Bà hiya Dà rucãriya mengajukan permohonan
kepada Buddha. Dan Buddha mengetahui:
(1) bahwa batin BÃ hiya telah tenang hingga pada tahap seimbang;
(2) bahwa ia telah beristirahat dan telah mengatasi keletihannya;
(3) bahwa indrianya sudah cukup matang; dan
(4) bahaya kehidupannya sudah sangat dekat, memutuskan bahwa
waktunya telah tiba untuk membabarkan khotbah. Demikianlah,
Buddha membabarkan khotbah secara singkat sebagai berikut:
“(1) Demikianlah, BÃ hiya, engkau harus melatih dirimu: dalam
melihat objek-objek terlihat (semua objek terlihat), menyadari
bahwa melihat yaitu hanya melihat; dalam mendengarkan suara,
2692
menyadari bahwa mendengar yaitu hanya mendengar; demikian
pula dalam mencium bau-bauan, mengecap dan menyentuh
objek-objek sentuhan, menyadari bahwa mencium, mengecap,
menyentuh yaitu hanya mencium, mengecap dan menyentuh; dan
dalam menyadari objek-objek pikiran, yaitu pikiran dan gagasan,
menyadari bahwa itu hanyalah menyadari.”
“(2) BÃ hiya, jika engkau mampu tetap menyadari dalam melihat,
mendengar, mengalami, dan mengenali (empat kelompok) objek-
indria, engkau akan menjadi seorang yang tidak berhubungan
dengan keserakahan, kebencian, dan kebodohan sehubungan
dengan objek-objek terlihat, suara yang terdengar, objek-objek yang
dialami, atau objek pikiran yang dikenali. Dengan kata lain, engkau
akan menjadi seorang yang tidak serakah, tidak membenci, dan
tidak bodoh.”
“(3) BÃ hiya, terhadap objek-objek terlihat, suara yang terdengar,
objek-objek yang dialami, objek-objek pikiran yang dikenali,
engkau tidak boleh berhubungan dengannya melalui keserakahan,
kebencian atau kebodohan, yaitu, jika engkau ingin menjadi seorang
yang tidak memliki keserakahan, kebencian dan kebodohan,
maka, BÃ hiya, engkau harus menjadi seorang yang tidak memiliki
keserakahan, keangkuhan atau pandangan salah sehubungan
dengan objek yang dilihat, didengar, dialami atau dikenali. Engkau
tidak boleh menganggap ‘Ini milikku’ (sebab keserakahan), tidak
memiliki konsep ‘aku’ (sebab keangkuhan), tidak mempertahankan
gagasan atau konsep ‘diriku’ (sebab pandangan salah).”
“(4) BÃ hiya, jika engkau sungguh ingin menjadi seorang yang
tidak memiliki keserakahan, keangkuhan atau pandangan salah
sehubungan dengan objek yang dilihat, suara yang didengar, objek-
objek nyata yang dialami, objek-pikiran yang dikenali, maka BÃ hiya,
(dengan tidak adanya keserakahan, keangkuhan dan pandangan
salah dalam dirimu) engkau tidak akan terlahir kembali di alam
manusia, juga tidak akan terlahir kembali di empat alam lainnya
(yaitu, alam dewa, Niraya, binatang, dan hantu kelaparan atau
peta). Selain kehidupan yang sekarang (di alam manusia) dan empat
alam kelahiran kembali lainnya, tidak ada alam lainnya bagimu.
2693
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
Tidak-munculnya batin-dan-jasmani baru yaitu akhir dari kotoran
yang merupakan dukkha dan akhir dari kelahiran kembali yang
merupakan dukkha.”
Demikianlah Buddha membabarkan Dhamma yang memuncak
pada Pelenyapan tertinggi atau Nibbà na di mana tidak ada lagi
unsur-unsur kehidupan (khandha) tersisa.
(Bà hiya Dà rucãriya yaitu seseorang yang lebih tepat diberikan
penjelasan singkat (saÿkhittaruci-puggala). sebab itu Buddha
menjelaskan enam objek indria tanpa menyebutkan seluruh enam
itu secara terperinci, tetapi menggabungkan bau, rasa dan objek
sentuhan sebagai ‘objek-objek nyata.’ Demikianlah objek-objek
indria itu dikelompokkan dalam empat kelompok: apa yang dilihat
(diññha), apa yang didengar (suta), apa yang dialami (mutta), dan
apa yang disadari (vi¤¤Ã ta).
(1) Sehubungan dengan empat langkah penjelasan di atas (1)
dalam nasihat Buddha agar menyadari melihat sebagai hanya
melihat, mendengar sebagai hanya mendengar, mengalami sebagai
hanya mengalami, mengenali sebagai hanya mengenali saat
berhubungan dengan empat kelompok objek-objek indria masing-
masing yang merupakan fenomena berkondisi, mengandung arti
bahwa kesadaran-mata muncul dalam melihat objek-objek terlihat,
kesadaran-telinga muncul dalam mendengar suara, kesadaran-
hidung muncul dalam mencium bau, kesadaran-lidah muncul dalam
mengecap rasa, dan kesadaran-pikiran muncul dalam mengenali
objek-pikiran, hanya ada kesadaran dan tidak ada keserakahan,
kebencian, dan kebodohan di sana. (Pembaca harus memelajari sifat
dari proses lima pintu-indria dan proses pintu-pikiran.)
(Kesadaran-mata, kesadaran-telinga, kesadaran-hidung, kesadaran-
lidah dan kesadaran-badan, lima jenis kesadaran ini disebut lima
jenis kesadaran-indria.) Buddha menasihati BÃ hiya agar ia berusaha
dengan tekun untuk tidak membiarkan keserakahan, kebencian, dan
kebodohan merasuki impuls momen-pikiran yang mengikuti lima-
pintu indria dan proses-pintu-pikiran yang muncul sesaat saat
munculnya lima jenis kesadaran-indria itu, dalam setiap tahapnya
2694
tidak ada keserakahan, kebencian atau kebodohan, namun hanya
kesadaran-indria saja. sebab menilai objek-objek indria ini
secara alami akan menimbulkan keserakahan, kebencian, dan
kebodohan.
(Buddha menasihati BÃ hiya agar ia berusaha dengan tekun untuk
tidak membiarkan keserakahan, kebencian, dan kebodohan merasuki
impuls momen-pikiran sebab Beliau ingin BÃ hiya memahami
konsep keliru seperti, “Ini kekal,” “Ini bahagia,” atau “Ini memiliki
inti,” yang cenderung merasuki (pikiran yang tidak terjaga)
sehubungan dengan empat kelompok objek-indria ini . Hanya
jika seseorang menganggapnya sebagai tidak kekal, menyedihkan,
buruk dan tanpa-diri, maka tidak akan muncul anggapan keliru
sebagai kekal, bahagia, indah dan memiliki inti; hanya akan muncul
Pandangan Cerah di mana impuls baik mengikuti (proses-pikiran
netral pada tahap kesadaran-indria). Buddha memperingati BÃ hiya
agar menjaga dari pikiran salah akan fenomena berkondisi yang
mewakili empat kelompok objek-indria sebagai kekal, bahagia,
indah dan memiliki inti dan memandangnya sebagaimana adanya,
yaitu, tidak kekal, menyedihkan, buruk, dan tanpa-diri, dan dengan
demikian melatih Pandangan Cerah agar impuls baik mengikuti
(kesadaran indria).
(Dengan menunjukkan pandangan benar dalam memandang empat
jenis objek indria yang merupakan fenomena berkondisi, sebagai
tidak kekal, menyedihkan, buruk dan tanpa-diri, Buddha (dalam 1 di
atas) mengajarkan enam tingkat rendah dari Kesucian dan sepuluh
tingkat Pandangan Cerah kepada Bà hiya Dà rucãriya.)
Dalam (2), “BÃ hiya, jika engkau dapat tetap waspada dalam melihat,
mendengar, mengalami dan menyadari empat kelompok objek-
indria yang merupakan fenomena berkondisi melalui sepuluh tahap
Pandangan Cerah dan mencapai Pengetahuan Jalan, maka engkau
telah melenyapkan keserakahan, kebencian, dan kebodohan; engkau
bukanlah seorang yang serakah, yang membenci, atau yang bodoh;
dengan kata lain, engkau akan bebas dari keserakahan, kebencian,
dan kebodohan. Ini menunjukkan Empat Magga.)
2695
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
(Dalam (3): para Ariya saat mencapai Ariya-Phala bebas total dari
pengaruh keserakahan, keangkuhan, dan pandangan salah, sehingga
mereka tidak pernah menganggap segala fenomena berkondisi yang
disajikan oleh empat kelompok objek-indria sebagai ‘aku’, ‘milikku’
atau ‘diriku’. Ini menunjukkan Ariya-Phala.)
(Dalam (4): Seorang Arahanta sesudah saat kesadaran-kematian lenyap
tidak terlahir kembali apakah di alam manusia ini atau di empat
alam lainnya. Ini yaitu pelenyapan total dari kelompok-kelompok
batin dan jasmani, dan disebut Nibbà na tanpa meninggalkan sisa
dari kelompok-kelompok kehidupan. Langkah ini menunjukkan
Nibbà na tertinggi, Pelenyapan tanpa sisa.)
Bà hiya Dà rucãriya bahkan selagi mendengarkan khotbah Buddha,
menyucikan empat jenis moralitas kebhikkhuan, dan menyucikan
batinnya melalui konsentrasi, dan mengembangkan Pandangan
Cerah yang dilakukan dalam waktu yang singkat itu hingga ia
mencapai Arahatta-Phala lengkap dengan empat Pengetahuan
Analitis (Pañisambhidà ¥Ã õa). Ia mampu menghancurkan semua
à sava, kotoran moral, sebab ia yaitu individu yang berjenis sangat
langka (sebab jasa masa lampaunya) yang ditakdirkan untuk
mencapai Pencerahan dalam waktu singkat, sebab telah memiliki
pengetahuan yang dibawa sejak lahir.
sesudah mencapai Arahatta-Phala, Yang Mulia Bà hiya Dà rucãriya,
melihat dirinya sendiri dengan Pengetahuan Peninjauan
(Paccavekkhaõà ¥Ã õa) yang terdiri dari sembilan belas faktor,
merasa perlu, seperti biasanya seorang Arahanta, untuk menjadi
bhikkhu dan memohon Buddha untuk menahbiskannya. Buddha
bertanya, “Apakah engkau memiliki mangkuk dan jubah bhikkhu?”
“Belum, Yang Mulia,” ia menjawab. “Kalau begitu,” Buddha berkata,
“Pergilah cari dulu.” sesudah berkata demikian, Buddha melanjutkan
menerima dà na makanan di Kota Sà vatthã.
(BÃ hiya telah menjadi seorang bhikkhu pada masa ajaran Buddha
Kassapa. Ia tetap menjadi bhikkhu dan berusaha mencapai
Pencerahan selama dua puluh ribu tahun. Pada masa itu, jika ia
menerima kebutuhan bhikkhu, ia berpikir bahwa perolehan itu ia
2696
dapatkan berkat jasa masa lampaunya sendiri dan tidak membaginya
dengan bhikkhu lainnya. sebab kurangnya kedermawanan dalam
memberi jubah atau mangkuk kepada bhikkhu lainnya, ia
kekurangan jasa yang dapat mendukungnya agar dapat dipanggil
oleh Buddha, “Datanglah, Bhikkhu.” Ada guru-guru lain yang
dengan berbeda menjelaskan tentang mengapa Buddha tidak
memanggil BÃ hiya dengan kata-kata “Datanglah, Bhikkhu.” Menurut
mereka BÃ hiya terlahir sebagai seorang perampok pada masa tidak
ada Buddha yang muncul di dunia. Ia merampok seorang Pacceka
Buddha, mengambil jubah dan mangkuknya dan membunuhnya
dengan busur dan panahnya. Buddha mengetahui bahwa sebab
perbuatan jahat itu, Bà hiya Dà rucãriya tidak akan dapat memperoleh
jubah dan mangkuk yang diciptakan melalui pikiran (Bahkan jika
Buddha memanggilnya, “Datanglah, Bhikkhu”) (Komentar Udà na).
Namun, akibat yang ditimbulkan dari perbuatan jahat ini lebih
sesuai jika dihubungkan dengan kenyataan nasib BÃ hiya yang tidak
memiliki pakaian yang pantas selain serat-serat kayu.)
Kematian Tragis BÃ hiya
BÃ hiya meninggalkan Buddha dan berkeliling kota mencari
mangkuk makan dan potongan kain untuk dijadikan jubah,
sewaktu melakukan hal itu, ia ditanduk oleh seekor sapi yang baru
melahirkan anak.
(Dalam salah satu kehidupan masa lampaunya, empat putra
orang kaya menyewa seorang pelacur dan menikmatinya di suatu
taman. sesudah selesai salah satu dari mereka mengusulkan untuk
merampok perhiasan dan seribu keping perak milik pelacur itu.
Ketiga temannya setuju. Mereka menyerang gadis itu dengan brutal.
Gadis itu marah dengan pikiran, “Orang-orang jahat dan tidak tahu
malu ini memanfaatkan diriku dengan penuh nafsu dan sekarang
berusaha membunuhku sebab serakah. Aku tidak melakukan
kesalahan apa pun terhadap mereka. Aku putus asa. Biarkan mereka
membunuhku kali ini. Semoga aku terlahir menjadi raksasa pada
masa depan dan mampu membunuh orang-orang ini berkali-kali!”
Ia meninggal dunia dengan menyimpan dendam itu.
2697
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
(Dalam kehidupan berikutnya pada masa depan salah satu dari
empat orang jahat terlahir kembali sebagai Pukkusà ti; seorang
lainnya terlahir sebagai Bà hiya Dà rucãriya; seorang terlahir sebagai
Tambadà ñhika, si perampok; dan yang terakhir terlahir sebagai
seorang penderita kusta bernama Suppabuddha; si pelacur terlahir
kembali sebagai raksasa dalam berbagai kehidupan dan menjadi
empat pembunuh dalam wujud seekor sapi yang menanduk mati
empat korbannya. Orang-orang itu mati sesaat ; BÃ hiya tewas di
tempat itu juga; Komentar Udà na.)
saat Buddha selesai mengumpulkan dà na makanan dan
meninggalkan kota disertai oleh banyak bhikkhu, Beliau menemukan
jasad BÃ hiya di atas tumpukan sampah, dan berkata kepada para
bhikkhu, “Pergilah, para bhikkhu, cari selembar selimut, dan bawa
jenazah BÃ hiya, lakukan pemakaman yang layak, dan semayamkan
relik-reliknya.” Para bhikkhu memperlakukan sesuai instruksi
Buddha.
Kembali ke vihà ra, para bhikkhu melaporkan kepada Buddha bahwa
tugas mereka telah diselesaikan dan bertanya kepada Buddha, “Yang
Mulia, di manakah BÃ hiya terlahir kembali?” Dengan pertanyaan
ini mereka menanyakan apakah BÃ hiya meninggal dunia sebagai
seorang awam, atau seorang Ariya yang belum melenyapkan
kelahiran kembali atau seorang Arahanta yang telah mengakhiri
kelahiran kembali. Buddha menjelaskan, “Para bhikkhu, BÃ hiya
yaitu seorang bijaksana. Ia melatih dirinya dengan benar dan
mencapai Lokuttara. Ia tidak menyulitkan Aku sehubungan dengan
Dhamma, BÃ hiya telah mengakhiri dukkha.”
(Instruksi Buddha kepada para bhikkhu untuk menyemayamkan
relik-relik BÃ hiya yaitu petunjuk jelas bahwa BÃ hiya meninggal
dunia sebagai sorang Arahanta. Tetapi beberapa bhikkhu gagal
memahami maksud dari instruksi ini atau mungkin mereka
bertanya kepada Buddha untuk memastikan kenyataan itu.)
Mendengar bahwa (Yang Mulia) Bà hiya Dà rucãriya meninggal
dunia sebagai seorang Arahanta, para bhikkhu penasaran. Mereka
bertanya kepada Buddha, “Kapankah Bà hiya Dà rucãriya mencapai
2698
Kearahattaan, Yang Mulia?” “Pada saat ia mendengarkan khotbah-
Ku,” Buddha menjawab. “Kapankah Bhagavà membabarkan khotbah
kepadanya?” “Hari ini, saat menerima dà na makanan.” “Tetapi,
Yang Mulia, khotbah ini pasti sangat penting. Bagaimana
mungkin khotbah singkat itu dapat mencerahkannya?”
“Para bhikkhu, bagaimana mungkin kalian menilai akibat dari
khotbah-Ku yang panjang atau pendek? Seribu bait syair yang tidak
bermanfaat tidak sebanding dengan satu bait syair yang memberi
manfaat kepada pendengarnya.” Dan pada kesempatan itu Buddha
mengucapkan syair berikut:
”Sahassamapi ce gà thà , anatthapadasa¤hità ; ekaÿ gà thtà padaÿ
seyyo, yaÿ sutvà upasammati.” “(Para bhikkhu) daripada seribu bait
syair yang tidak mendukung pengetahuan lebih baik satu baris syair
(seperti ‘perhatian yaitu jalan menuju keabadian’) yang dengan
mendengarnya, si pendengar menjadi tenteram.”
Pada akhir khotbah ini , banyak makhluk yang mencapai
berbagai tingkat Pengetahuan Jalan seperti Sotà patti-Phala.
(c) Gelar Etadagga
Pada lalu hari, saat Buddha berada di tengah-tengah suatu
pertemuan, Beliau menyatakan:
“Etadaggaÿ bhikkhave mama sà vakà naÿ bhikkhÃ¥-naÿ
khippà bhi¤¤anaÿ yadidaÿ Bà hiyo Dà rucãriyo,” “Para bhikkhu, di
antara para bhikkhu siswa-Ku yang mencapai Pengetahuan Jalan
dalam waktu singkat, Bà hiya Dà rucãriya (yang telah meninggal
dunia) yaitu yang terbaik.”
Demikianlah kisah Thera Bà hiya Dà rucãriya
2699
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
(28) Thera Kumà ra Kassapa
(a) Cita-cita masa lampau
Bakal Kumara Kassapa terlahir dalam sebuah keluarga kaya di
Kota Haÿsà vatã pada masa kehidupan Buddha Padumuttara.
Seperti halnya para bakal Thera lainnya, ia pergi ke vihà ra dan
mendengarkan khotbah Buddha dan menyaksikan seorang bhikkhu
yang dinyatakan oleh Buddha sebagai yang terbaik di antara para
bhikkhu yang memakai perumpamaan dalam membabarkan
Dhamma. Ia berkeinginan untuk menjadi seperti bhikkhu
terbaik ini , dan sesudah memberi persembahan besar, ia
mengungkapkan cita-citanya kepada Buddha agar ia dianugerahi
gelar yang sama oleh Buddha mendatang. Buddha mengetahui bahwa
cita-cita orang itu akan tercapai, dan mengucapkan ramalan.
Bermeditasi di Puncak Gunung
Orang kaya itu melakukan kebajikan seumur hidupnya dan sesudah
meninggal dunia ia terlahir kembali di alam dewa dan alam manusia
bergantian. Saat menjelang lenyapnya ajaran Buddha Kassapa, ia
pergi ke puncak gunung yang curam bersama kelompok yang terdiri
dari enam bhikkhu lainnya dan berusaha mencapai Pencerahan.
(Baca kisah Yang Mulia Dabba di atas.) berkat kemurnian dan
Kesempurnaan moralitasnya, ia terlahir kembali di alam dewa saat
meninggal dunia.
(b) Kehidupan pertapaan dalam kehidupan terakhir
Orang kaya itu tidak pernah terlahir di alam sengsara selama waktu
yang tidak terhingga lamanya antara munculnya dua Buddha, hanya
terlahir di alam dewa dan alam manusia. Menjelang kemunculan
Buddha Gotama, ia dikandung dalam rahim putri seorang pedagang.
Perempuan muda itu sangat ingin menjadi seorang petapa tetapi
orangtuanya menikahkannya (kepada putra seorang kaya) dan
terpaksa pergi dan menetap di rumah suaminya. Ia hamil tetapi
tidak mengetahuinya. Ia memohon agar suaminya mengizinkan
ia menjadi seorang bhikkhunã, dan suaminya menyetujuinya, ia
2700
pergi ke perkumpulan para bhikkhunã yang yaitu murid Yang
Mulia Devadatta.
sebab kehamilannya semakin membesar dan terlihat jelas, para
bhikkhunã melaporkan hal itu kepada Yang Mulia Devadatta,
Devadatta berkata, “Ia bukan seorang bhikkhunã lagi,” dan
mengusirnya dari komunitas itu. Bhikkhunã muda itu pergi dan
menetap di tempat para bhikkhunã yang merupakan murid Buddha.
Di sana para bhikkhunã melaporkan hal itu kepada Buddha yang
menugaskan Yang Mulia Upà li untuk menyelidiki dan membuat
keputusan.
Yang Mulia Upà li membentuk kelompok yang terdiri dari
perempuan-perempuan terhormat di Sà vatthã, termasuk Visà khà ,
dan meminta mereka menyelidiki kasus ini, untuk menentukan
apakah kehamilan itu terjadi saat bhikkhunã ini masih
menjadi seorang awam sebelum menjadi seorang bhikkhunã, atau
sesudah ia menjadi seorang bhikkhunã. Perempuan-perempuan itu
memiliki bukti yang cukup untuk memutuskan dan melaporkan
kepada Yang Mulia Upà li bahwa kehamilan itu terjadi saat ia
masih menjalani kehidupan awam. Yang Mulia Upà li menetapkan
peraturan bahwa sebab kehamilan itu terjadi sebelum bhikkhunã itu
ditahbiskan, maka ia yaitu seorang bhikkhunã yang bersih. BhagavÃ
memuji Yang Mulia Upà li atas keputusan dalam kontroversi itu.
Bhikkhunã muda itu melahirkan seorang bayi laki-laki yang
berpenampilan seperti patung emas. Raja Pasenadi Kosala
membesarkan anak itu di istananya bagaikan seorang pangeran.
Anak itu diberi nama Kassapa, dan saat berusia tujuh tahun, ia
diberi pakaian yang baik dan dikirim ke vihà ra Buddha untuk
ditahbiskan sebagai seorang sà maõera. (Baca Jà taka, Ekaka Nipà ta,
Nigrodhamiga JÃ taka).
Nama Kumà ra Kassapa
saat anak itu memasuki Saÿgha pada usia tujuh tahun, ia
diberi nama Kumà ra Kassapa oleh Buddha. ‘Anak Kassapa’ untuk
membedakannya dengan sà maõera lainnya yang juga bernama
2701
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
Kassapa. Dalam arti lain, Kumara juga berarti ‘pangeran.’ sebab
Kassapa dibesarkan oleh Raja Pasenadi, Kumà ra Kassapa juga
dianggap sebagai ‘Pangeran Kassapa.’
Kisah yang Melatarbelakangi Vammika Sutta
Kumà ra Kassapa mulai berlatih meditasi Pandangan Cerah sejak ia
ditahbiskan menjadi sà maõera, dan juga memelajari sabda-sabda
Buddha. Demikianlah ia dengan tekun memelajari Dhamma dan
Praktik Dhamma.
saat Buddha sedang berdiam di Vihà ra Jetavana di Sà vatthã,
Kumà ra Kassapa menetap di Hutan Andhavana tidak jauh dari
Vihà ra Jetavana. Pada saat itu Mahà brahmà dari Alam Suddhà và sa
yang yaitu temannya dalam berlatih, yang pergi ke puncak gunung
yang curam untuk bermeditasi, mengamati temannya itu. Dan
melihat usaha Kumà ra Kassapa untuk mencapai Pencerahan, ia
memutuskan untuk memberi petunjuk praktis kepada bhikkhu
itu dalam melakukan meditasi Pandangan Cerah. Bahkan sebelum
meninggalkan alam brahmà , ia menyiapkan lima belas teka-teki
dan di tengah malam itu ia muncul dengan segala kemegahannya
di depan Kumà ra Kassapa di Hutan Andhavana.
Kumà ra Kassapa bertanya kepada brahmà itu, “Siapakah yang
muncul di depanku?” “Yang Mulia, aku yaitu temanmu dalam
kehidupan lampau (pada masa Buddha Kassapa) yang pergi
bermeditasi untuk mencapai pengetahuan, dan telah terlahir kembali
di Alam Suddhà và sa, sesudah mencapai Anà gà mã-Phala.” “Apa
tujuanmu mendatangiku?” Brahmà itu lalu menceritakan
tujuannya dengan mengucapkan kata-kata berikut:
“Bhikkhu, (1) Gundukan rumah semut ini (2) berasap pada malam
hari; (3) terbakar pada siang hari.”
“(4) Guru brahmana itu berkata (5) kepada muridnya yang bijaksana:
(6) ‘Peganglah pedang itu dan (7) Gali dengan tekun.’ Si murid
bijaksana melakukan sesuai perintah gurunya dan (8) menemukan
sebuah gerendel pintu. Dan ia melaporkan kepada gurunya, ‘Guru,
2702
ada gerendel pintu.’”
“Guru brahmana lalu berkata kepada muridnya, ‘Murid
bijaksana, singkirkan gerendel pintu itu. Pegang pedangmu dan
teruslah menggali.’ Murid bijaksana itu melakukan perintah gurunya
dan (9) menemukan seekor kodok. Ia melaporkan kepada gurunya,
‘Guru, ada kodok yang menggembung (uddhumà yika).’”
“Guru brahmana lalu berkata kepada muridnya, ‘Murid
bijaksana, singkirkan kodok menggembung itu. Pegang pedangmu
dan teruslah menggali.’ Murid bijaksana itu melakukan perintah
gurunya dan (10) menemukan persimpangan jalan. Ia melaporkan
kepada gurunya, ‘Guru, ada persimpangan.’”
“Guru brahmana lalu berkata kepada muridnya, ‘Murid
bijaksana, tinggalkan persimpangan itu. Pegang pedangmu dan
teruslah menggali.’ Murid bijaksana itu melakukan perintah
gurunya dan (11) menemukan saringan air untuk menyaring pasir.
Ia melaporkan kepada gurunya, ‘Guru, ada saringan air untuk
menyaring pasir.’”
“Guru brahmana lalu berkata kepada muridnya, ‘Murid
bijaksana, singkirkan saringan air itu. Pegang pedangmu dan
teruslah menggali.’ Murid bijaksana itu melakukan perintah
gurunya dan (12) menemukan seekor kura-kura. Ia melaporkan
kepada gurunya, ‘Guru, ada seekor kura-kura.’”
“Guru brahmana lalu berkata kepada muridnya, ‘Murid
bijaksana, singkirkan kura-kura itu. Pegang pedangmu dan teruslah
menggali.’ Murid bijaksana itu melakukan perintah gurunya dan
(13) menemukan sebilah pisau dan papan pemotong. Ia melaporkan
kepada gurunya, ‘Guru, ada pisau dan papan pemotong.’”
“Guru brahmana lalu berkata kepada muridnya, “Murid
bijaksana, singkirkan pisau dan papan pemotong itu. Pegang
pedangmu dan teruslah menggali.’ Murid bijaksana itu melakukan
perintah gurunya dan (14) menemukan segumpal daging. Ia
melaporkan kepada gurunya, ‘Guru, ada segumpal daging.’”
2703
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
“Guru brahmana lalu berkata kepada muridnya, ‘Murid
bijaksana, singkirkan segumpal daging itu. Pegang pedangmu
dan teruslah menggali.’ Murid bijaksana itu melakukan perintah
gurunya dan (15) menemukan seekor nà ga. Ia melaporkan kepada
gurunya, ‘Guru, ada seekor nà ga.’ Guru brahmana itu lalu
berkata kepada murid bijaksana itu. ‘Biarkan nà ga itu. Jangan
mengusiknya. Hormati dia.’”
“Bhikkhu, tanyakan kepada Buddha jawaban dari pertanyaan-
pertanyaan ini. Perhatikanlah jawaban yang diberikan oleh Buddha.
Dengan pengecualian Buddha, para siswa Buddha, dan orang lain
yang telah mendengarkan jawaban itu dariku, aku tidak melihat ada
makhluk lain di dunia ini dalam berbagai alam kehidupan yaitu,
para dewa, Mà ra, brahmà , dan umat manusia termasuk para petapa,
brahmana, raja dan manusia lainnya, yang mampu menjawab
pertanyaan ini dengan benar.”
sesudah mengatakan hal itu, brahmà itu lenyap dari sana. Keesokan
paginya, Kumà ra Kassapa menghadap Buddha, bersujud kepada
Buddha, dan menceritakan pertemuannya dengan brahmà malam
sebelumnya. lalu ia bertanya:
(1) Yang Mulia, apakah yang dimaksud dengan ‘gundukan rumah
semut’?
(2) Apakah yang dimaksud dengan ‘berasap pada malam hari’?
(3) Apakah yang dimaksud dengan ‘terbakar pada siang hari’?
(4) Apakah yang dimaksud dengan ‘Guru Brahmana’?
(5) Apakah yang dimaksud dengan ‘murid bijaksana’?
(6) Apakah yang dimaksud dengan ‘pedang’?
(7) Apakah yang dimaksud dengan ‘menggali dengan tekun’?
(8) Apakah yang dimaksud dengan ‘gerendel pintu’?
(9) A p a k a h ya n g d i m a k s u d d e n g a n ‘ k o d o k ya n g
menggembung’?
(10) Apakah yang dimaksud dengan ‘persimpangan jalan’?
(11) Apakah yang dimaksud dengan ‘saringan air untuk menyaring
pasir’?
(12) Apakah yang dimaksud dengan ‘kura-kura’?
2704
(13) Apakah yang dimaksud dengan ‘pisau’ dan ‘papan
pemotong’?
(14) Apakah yang dimaksud dengan ‘segumpal daging’?
(15) Apakah yang dimaksud dengan ‘nà ga’?
Atas lima belas pertanyaan yang membingungkan Yang Mulia
Kumà ra Kassapa itu, Buddha memberi jawaban sebagai
berikut:
(1) Bhikkhu, ‘gundukan rumah semut’ yaitu tubuh ini.
(2) Bhikkhu, seseorang pada malam hari merenungkan apa yang
telah dilakukan pada siang hari; ini yaitu ‘berasap pada
malam hari’.
(3) Bhikkhu, seseorang melakukan secara fisik, ucapan, dan pikiran
apa yang telah dipikirkan sepanjang malam; ini yaitu ‘terbakar
pada siang hari’.
(4) Bhikkhu, ‘Guru Brahmana’ yaitu sebutan untuk Tathà gata
(Buddha).
(5) Bhikkhu, ‘murid bijaksana’ yaitu seorang bhikkhu yan





.jpeg)
.jpeg)





