yang
sama, Upatissa berkata, “Gagasan kita, Sahabatku Kolita, yaitu
suatu hal yang baik untuk direnungkan. Mereka yang mencari
kebebasan dari saÿsà ra harus menjalani kehidupan pertapaan. Di
bawah bimbingan siapakah kita akan menjadi petapa?”
Pada masa itu, seorang petapa pengembara terkenal, Sa¤jaya,
pemimpin suatu aliran, sedang berdiam di RÃ jagaha bersama
banyak muridnya. Kedua sahabat itu sepakat untuk menjadi petapa
di bawah bimbingan Sa¤jaya, masing-masing bersama lima ratus
pelayan. Sejak hari kedua sahabat itu bergabung dengan Sa¤jaya, ia
mencapai puncaknya dalam perolehan persembahan dan banyaknya
pengikut serta kemasyhuran.
Dalam dua atau tiga hari, kedua petapa pengembara, Upatissa dan
2462
Kolita, berhasil menguasai semua ajaran guru Sa¤jaya dan mereka
bertanya, “Guru, apakah hanya ini yang engkau kuasai? Atau,
apakah masih ada lagi yang harus kami pelajari?” “Itu yaitu semua
yang kukuasai,” jawab Sa¤jaya, “kalian telah memelajari semua
ajaranku.” Kedua sahabat itu berdiskusi:
“Kalau begitu, tidak ada gunanya kita terus berguru pada Sa¤jaya.
Kita meninggalkan kehidupan rumah tangga dalam usaha mencari
Kebebasan dari saÿsà ra. Tidak mungkin kita akan dapat mencapai
Kebebasan di bawah bimbingannya. Jambådãpa ini luas, jika kita
mengembara dari desa ke kota dan ibukota, untuk mencari, kita
tentu akan menemukan guru yang dapat mengajarkan kita cara
untuk mencapai Kebebasan.”
Sejak saat itu, mereka mengunjungi tempat-tempat yang mereka
ketahui sebagai tempat bagi para bhikkhu dan brahmana terpelajar
dan berdialog serta berdiskusi tentang ajaran dengan mereka. Akan
tetapi, tidak ada bhikkhu dan brahmana yang sungguh terpelajar
yang mampu menjawab pertanyaan yang diajukan oleh kedua
sahabat pengembara ini . Sebaliknya, kedua sahabat itu yang
harus menjawab pertanyaan yang diajukan oleh para ‘bijaksana’
ini . sebab gagal menemukan orang yang dapat mereka
anggap sebagai guru walaupun mereka sudah mengembara di
seluruh Jambådãpa, bertanya-tanya, mereka akhirnya pulang ke
tempat pertapaan mereka dan sepakat bahwa siapa pun di antara
mereka yang lebih dulu menerima ajaran yang berhubungan dengan
keabadian harus memberitahukan kepada yang lainnya.
Saat itu yaitu hari pertama di bulan MÃ gha kira-kira setengah
bulan sejak Buddha tiba di Kota RÃ jagaha.
(Para pembaca dapat kembali ke bab-bab sebelumnya, pada halaman
tentang episode (b) percakapan kedua sahabat dan murid-murid
mereka dari status petapa pengembara menjadi para bhikkhu dan,
(c) pencapaian mereka dalam kebijaksanaan tertinggi sebagai siswa.
Episode-episode ini tidak akan diulangi lagi di sini.)
2463
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
(c) Gelar Etadagga
Pada tahun pencapaian Pencerahan Sempurna, Buddha melewatkan
vassa di Taman Rusa; lalu Beliau pergi ke Hutan Uruvela dan
menyelamatkan seribu petapa yang dipimpin oleh tiga Kassapa
bersaudara sehingga mereka mencapai kesucian Arahatta melalui
khotbah âdittapariyà ya Sutta; pada hari purnama di bulan Phussa
Beliau tiba di RÃ jagaha bersama seribu orang bhikkhu. sesudah dua
minggu, pada hari pertama di bulan MÃ gha, Upatissa berjumpa
dengan Arahanta Assaji, seorang anggota dari Kelompok Lima, di
RÃ jagaha. sesudah mendengarkan syair yang dimulai dengan “Ye
dhammà hetuppabhavà ” dari Yang Mulia Assaji, Upatissa menjadi
seorang Sotà panna Ariya. Demikian pula halnya dengan Kolita yang
mendengarkan syair ini melalui Upatissa. Selanjutnya kedua
sahabat yang telah menjadi Sotà panna mulia ini dan para
pengikut mereka menjadi ehi-bhikkhu. Sebelum mereka menjadi
bhikkhu, para pengikut mereka mencapai kesucian Arahatta
pada saat mereka mendengarkan khotbah dari Buddha. sebab
kebijaksanaan sebagai siswa sungguh tinggi untuk dicapai, bakal
Siswa Utama ini masih jauh dari status ini , dan hanya
pada hari ketujuh sejak menjadi bhikkhu, Moggallà na mencapai
kesucian Arahatta dan pada hari kelima belas, yaitu pada hari
purnama di bulan MÃ gha, SÃ riputta menyusul.
Demikianlah kedua Thera ini mencapai puncak kesempurnaan
dan kebijaksanaan mereka sebagai Siswa Utama sewaktu Buddha
sedang berdiam di RÃ jagaha. Pada lalu hari, sewaktu Beliau
berdiam di Vihà ra Jetavana, Sà vatthã, Beliau mengucapkan pujian
terhadap mereka berdua:
“Etadaggaÿ bhikkhave mama sà vakà naÿ bhikkhÃ¥naÿ
Mahà pa¤¥Ã naÿ yadidaÿ Sà riputto.” “Para bhikkhu, di antara
para siswa-Ku yang memiliki kebijaksanaan, SÃ riputta yaitu yang
terunggul.”
“Etadaggaÿ bhikkhave mama sà vakà naÿ bhikkhÃ¥naÿ
iddhimantà naÿ yadidaÿ Mahà Moggallà no.“ “Para bhikkhu, di
antara para siswa-Ku yang memiliki kekuatan batin tinggi, MahÃ
2464
Moggallana yaitu yang terunggul.”
Dengan kata-kata ini Buddha menempatkan Yang Mulia SÃ riputta
sebagai yang paling tinggi dalam hal kebijaksanaan dan Yang Mulia
Mahà Moggallà na paling tinggi dalam hal kekuatan batin.
Kedua Thera ini telah berlatih demi kesejahteraan makhluk-makhluk
hidup selama empat puluh lima tahun sejak mereka menjadi
bhikkhu. Khotbah-khotbah yang mereka babarkan berjumlah
cukup banyak terdapat dalam Lima Nikà ya atau Tiga Piñaka. Begitu
banyaknya sehingga tidak mungkin mencantumkannya dalam
buku ini. Khusunya, Pañisambhidà magga Pà ëi, Mahà niddesa Pà ëi
dan Cåëà niddesa Pà ëi yang berisikan kata-kata Thera Sà riputta.
Theragà thà -nya membentuk bunga rampai ajaran-ajarannya.
Demikian pula halnya dengan gà thà Moggallà na yang membentuk
bunga rampai ajarannya. Para pembaca dianjurkan untuk membaca
naskah-naskah ini .
Thera Sà riputta Mencapai Parinibbà na
sesudah melewatkan vassa keempat puluh lima dan juga yang terakhir
di sebuah Desa Veëuva di dekat Kota Vesà lã, Buddha mengakhiri
vassa ini dan (seperti telah dijelaskan sebelumnya) Beliau
meninggalkan desa itu melalui jalan yang Beliau lalui untuk tiba di
sana. sesudah melihat ke belakang untuk terakhir kalinya, Buddha
selanjutnya tiba di Sà vatthã dan berdiam di Vihà ra Jetavana. Jenderal
Dhamma, Thera SÃ riputta, melayani Buddha lalu masuk ke
gubuknya. Ia menyapu tempat tinggalnya dan menghamparkan
alas duduk kulit, lalu mencuci kakinya, duduk bersila, dan
masuk ke dalam pencerapan Arahatta-Phala.
saat waktu yang ia tentukan telah berlalu, Thera bangun dari
meditasi dan merenungkan apakah seorang Buddha mencapai
Parinibbà na terlebih dahulu atau Siswa Utama. Ia mengetahui bahwa
Siswa Utama biasanya Parinibbà na terlebih dahulu. Dan saat ia
memerika proses-kehidupannya, ia mengetahui bahwa ia hanya
akan hidup selama tujuh hari lagi; ia merenungkan lebih jauh lagi
di mana tempat ia akan mencapai Parinibbà na.
2465
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
“Thera Rà hula mencapai Parinibbà na di Tà vatiÿsa dan Thera
Koõóa¤¤a di danau di Hutan Chaddanta,” “Di manakah aku akan
mencapai Parinibbà na?” Maka ia merenungkan terus-menerus
dan teringat akan ibunya, brahmana perempuan Råpasà rã sebagai
berikut:
“Oh, ibuku tidak memiliki keyakinan di dalam Tiga Permata,
Buddha, Dhamma, dan Saÿgha, meskipun ia yaitu ibu dari
seorang Arahanta. Apakah ibuku memiliki potensi spiritual untuk
mencapai Jalan dan Buahnya?”
saat merenungkan demikian, ia mengetahui bahwa ia
memiliki potensi yang berasal dari jasa masa lampau yang dapat
mengarahkannya mencapai Sotà patti-Magga. Ia merenungkan
lebih jauh mengenai khotbah siapakah yang akan membantunya
menembus Empat Kebenaran, dan ia melihat sebagai berikut:
“Ibuku akan menembus Empat Kebenaran melalui khotbahku
sendiri, bukan oleh orang lain. Jika aku tidak peduli kepadanya,
orang-orang akan mencelaku dengan berkata, ‘Thera SÃ riputta
yaitu orang yang dapat diandalkan oleh banyak orang lain. Memang
demikianlah sesungguhnya. Pada hari Yang Mulia membabarkan
Samacitta Sutta (Aïguttara Nikà ya) seratus ribu crore dewa dan
brahmà berhasil mencapai Arahatta-Phala. Mereka yang berhasil
mencapai Buah yang lebih rendah tidak terhitung banyaknya.
Mereka yang mencapai Pembebasan dengan menembus Empat
Kebenaran di tempat-tempat lain juga telah terbukti. Di samping
itu, keluarga-keluarga yang memiliki keyakinan terhadap Thera
berjumlah delapan puluh ribu. Tetapi, Thera SÃ riputta tidak mampu
melenyapkan pandangan salah dari ibunya sendiri.’ sebab itu,
sesudah melenyapkan pandangan salah ibuku, aku akan mencapai
Parinibbà na di dalam kamar tempat aku dilahirkan.”
sesudah memutuskan demikian, ia mendapat gagasan untuk
memberitahu Buddha dan memohon izin dari Beliau, maka ia
melakukan perjalanan pada hari itu juga. Ia memerintahkan
adiknya Cunda, “Adik Cunda, beritahukan kepada lima ratus
2466
siswa bhikkhu untuk mempersiapkan mangkuk dan jubah mereka.
Jenderal Dhamma, Thera SÃ riputta, ingin pergi ke NÃ laka, kampung
halamannya.” Thera Cunda melakukan sesuai perintah kakaknya,
Thera.
Lima ratus bhikkhu ini melipat alas tidur mereka, mengambil
mangkuk dan jubah mereka dan berkumpul di sekeliling guru
mereka. Thera sendiri melipat alas tidurnya, menyapu gubuknya;
ia berdiri di pintu gubuknya dan menatap tempat itu, ia berpikir,
“Ini yaitu pandanganku yang terakhir. Aku tidak akan kembali
lagi.” Bersama lima ratus siswanya, ia pergi mengunjungi Buddha,
bersujud dan memohon, “Buddha Yang Agung! Sudilah Yang
Agung mengizinkan aku untuk pergi. Semoga Yang Selalu Berkata
Benar memberiku izin. Waktunya telah tiba bagiku untuk mencapai
Parinibbà na. Proses-kehidupanku telah berakhir.”
(Di sini, kata anujà nà tu dari kalimat “anujà nà tu me bhante bhagavà ...”
dari naskah asli diterjemahkan sebagai “memberiku izin” dan itu
yaitu makna yang sebenarnya. Namun makna harfiahnya yaitu ,
“Agar Engkau mengetahui tujuanku untuk mencapai Parinibbà na”,
atau ”Aku menyadari bahwa aku akan segera mencapai Parinibbà na.
Semoga Engkau juga menyadarinya.”)
saat para siswa lainnya, yang juga Arahanta, datang dan memohon
izin untuk meninggal dunia, dan jika Buddha berkata, “Silakan!”
Mereka yang berpandangan salah akan mencelanya, “Buddha
memuji kematian!” Sebaliknya jika Beliau berkata, “Jangan, anak-Ku,
belum saatnya engkau melakukan itu!,” mereka akan mencelanya
dengan berkata, “Beliau memuji penderitaan!” sebab itu, Buddha
tidak memberi jawaban langsung. Buddha bertanya kepada
Thera SÃ riputta, “Anak-Ku SÃ riputta, di manakah engkau akan
mencapai Parinibbà na?” Thera menjawab, “Buddha Yang Agung,
di tempat kelahiranku di Desa Nalaka, di Negeri Magadha. Di
sanalah tempatnya.” “Anak-Ku, sekarang engkau mengetahui waktu
bagimu untuk Parinibbà na. Akan sulit bagi saudara-saudaramu
kehilangan engkau. Lebih baik engkau membabarkan khotbah
kepada mereka.”
2467
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
Mengetahui bahwa Buddha menginginkan agar ia membabarkan
khotbah, yang diawali dengan demonstrasi kesaktian, Thera
mulia bersujud kepada Buddha, lalu melayang ke angkasa
setinggi satu pohon kelapa, lalu turun dan bersujud di kaki
Buddha. Kembali ia melayang ke angkasa setinggi dua pohon
kelapa, lalu turun dan bersujud di kaki Buddha sekali lagi.
Demikianlah ia melayang lagi hingga setinggi tiga, empat, lima,
enam, dan tujuh pohon kelapa dan memperlihatkan berbagai
kesaktian. Sambil melakukan hal itu, ia membabarkan khotbah.
Bagaimanakah ia membabarkan khotbah?
Ia membabarkan sambil memperlihatkan dirinya; ia membabarkan
sambil menyembunyikan dirinya; ia membabarkan sambil
memperlihatkan dan menyembunyikan bagian atas tubuhnya;
ia membabarkan sambil memperlihatkan dan menyembunyikan
bagian bawah tubuhnya; kadang-kadang ia menciptakan dan
memperlihatkan bentuk bulan, kadang-kadang ia menciptakan
dan memperlihatkan bentuk matahari, kadang-kadang ia
menciptakan dan memperlihatkan bentuk gunung, kadang-kadang
ia menciptakan dan memperlihatkan bentuk lautan; kadang-kadang
ia menjadi seorang raja dunia, kadang-kadang ia menjadi Raja
Dewa Vessavaõa, kadang-kadang menjadi Sakka, kadang-kadang
menjadi Mahà brahmà . Demikianlah Thera membabarkan sambil
mendemonstrasikan ratusan kesaktian. Seluruh warga Kota
Sà vatthã berkumpul. sesudah membabarkan dengan cara demikian
hingga puas, ia turun dan bersujud di kaki Buddha dan berdiri tegak
bagaikan tiang emas.
lalu Buddha berkata, “Anak-Ku, SÃ riputta, disebut apakah
jenis pembabaranmu itu?” Thera menjawab, “Buddha Yang Agung,
itu disebut sãhavikãlita, sesuatu yang seperti olahraga seekor
singa.” Buddha dengan gembira menyetujui jawaban Thera dengan
mengatakan, “Anak-Ku, SÃ riputta, pembabaranmu sesungguhnya
memang disebut pembabaran sãhavikãëita! Pembabaranmu
sesungguhnya memang disebut pembabaran sãhavikãëita!
2468
Sang Thera Bersujud Kepada Buddha untuk Terakhir Kalinya
Merangkul erat-erat kaki Buddha yang seperti kura-kura di bagian
mata kaki-Nya dengan tangannya, Thera SÃ riputta yang mulia
mengajukan permohonan.
“Buddha Yang Mulia, aku telah memenuhi Pà ramã selama satu
asaïkhyeyya dan seratus ribu kappa agar dapat memberi hormat
di kaki-Mu. Hasil dari pemenuhan keinginanku sekarang telah
mencapai puncaknya. Tidak mungkin lagi aku dapat bersama
dengan-Mu di mana pun dalam kehidupan mana pun melalui
kelahiran kembali sesudah saat ini. Kekeluargaan atau persahabatan
yang berhubungan dengan kehidupan ini telah terpotong sama
sekali. Sekarang aku akan memasuki Kota Nibbà na, yang bebas
dari usia tua, kematian dan segala bahaya, yang penuh kebahagiaan,
tenang dan aman, yang telah dimasuki oleh ratusan ribu Buddha.
Jika ada perbuatan yang kulakukan secara fisik atau ucapan yang
tidak menyenangkan-Mu, sudilah memaafkan aku. Bagiku, saat-saat
terakhir telah tiba sekarang, Buddha Yang Agung.”
“Anak-Ku, SÃ riputta, Aku memaafkan engkau. Tidak ada kesalahan
apa pun yang engkau lakukan baik secara jasmani maupun ucapan.
Engkau boleh pergi sekarang, anak-Ku, jika engkau menginginkan.”
Demikianlah Buddha memberi izin-Nya.
Segera sesudah Buddha memberi izin, Yang Mulia SÃ riputta
merangkul kaki Buddha dengan lebih erat. saat ia bangkit, bumi
ini berguncang keras seolah-olah berkata, “Walaupun aku sanggup
menahan beban seberat Gunung Meru, seluruh dunia ini, Himavanta
dan tujuh pegunungan yang mengelilinginya, namun aku tidak
mampu menahan kemuliaan ini.” Halilintar menggelegar memecah
di angkasa. Awan tebal muncul dalam sekejab dan menurunkan
hujan pokkharavassa dengan lebatnya.
Buddha berpikir, “SÃ riputta telah memberi hormat kepada-Ku
sewaktu Aku sedang duduk. Sekarang Aku akan memberi
kesempatan kepadanya untuk memberi hormat saat Aku berdiri.”
Maka Beliau bangkit dari Singgasana Dhamma, tempat duduk
2469
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
Buddha, tempat Beliau biasanya membabarkan Dhamma, dan
berjalan ke arah Kuñã Harum dan berdiri di atas papan bertatahkan
permata. Thera SÃ riputta berjalan mengelilingi Buddha yang sedang
berdiri, dengan Buddha selalu berada di sebelah kanannya dan
bersujud dari depan, dari belakang, dari sisi kiri, dan dari sisi kanan
Buddha, lalu ia mengucapkan kata-katanya yang terakhir,
“Buddha Yang Agung, aku mengungkapkan cita-citaku dengan
bersujud di kaki Buddha Anomadassã satu asaïkhyeyya dan seratus
ribu kappa yang lalu untuk dapat bertemu dengan-Mu, cita-citaku
sekarang telah tercapai dan aku berkesempatan bertemu dengan-
Mu. Saat aku mengungkapkan cita-citaku, aku mendengarkan
terus-menerus kata-kata ramalan yang diucapkan oleh Buddha
Anomadassã, dan aku merenungkan Engkau melalui pengetahuanku
dan itu yaitu saat pertama aku melihat-Mu. Sekarang aku melihat-
Mu untuk terakhir kalinya. Tidak ada kesempatan lagi bagiku untuk
dapat melihat-Mu lagi.”
Selanjutnya ia merangkapkan tangannya, sepuluh jarinya yang
indah dan cerah, ke arah Buddha dan berjalan mundur hingga
Buddha hilang dari pandangannya. sesudah memberi hormat dengan
cara demikian, ia pergi bersama dengan lima ratus muridnya.
lalu , sekali lagi bumi ini tidak mampu menahan kemuliaan
Thera dan berguncang hingga ke bawah batas air.
Buddha lalu berkata kepada para bhikkhu yang mengelilingi
Beliau, “Anak-anak-Ku, pergilah antarkan kepergian saudara tua
kalian!” Seluruh empat kelompok kerumunan itu meninggalkan
Buddha sendirian di Vihà ra Jetavana dan pergi bersama-sama
untuk mengantarkan kepergian Thera SÃ riputta. Para warga
Sà vatthã juga mengetahui bahwa Thera pergi meninggalkan
Jetavana untuk mencapai Parinibbà na sesudah memohon izin dari
Buddha, berkeinginan untuk melihat Thera mulia untuk terakhir
kalinya, mereka keluar dari gerbang kota yang telah penuh sesak
oleh kerumunan orang dan dengan rambut kusut, mereka meratap,
“Yang Mulia, kepada Thera manakah lagi kami dapat berjumpa,
untuk menanyakan, ‘Di manakah Thera SÃ riputta yang memiliki
kebijaksanaan tinggi? Di manakah Thera SÃ riputta, Jenderal
2470
Dhamma?’ Siapakah yang akan mewakili Buddha Yang Agung?”
Demikianlah mereka meratap sambil mengikuti Thera langkah
demi langkah.
sebab Thera memiliki kebijaksanaan yang tinggi, ia menasihati
kerumunan itu, “Jalan ini yang mengarah menuju kematian dari
semua makhluk yang dilahirkan, yaitu suatu hal yang tidak dapat
diatasi oleh siapa pun.” Ia juga berkata kepada para bhikkhu “Kalian
juga, para bhikkhu, kembalilah, jangan meninggalkan Buddha.”
Demikianlah ia meminta mereka untuk kembali kepada Buddha dan
ia sendiri melanjutkan perjalanannya menuju Desa NÃ laka bersama
para pengikutnya sendiri. Kepada orang-orang yang meratap,
“Dulu, para mulia biasanya pergi untuk kembali lagi. Tetapi saat ini
perjalanannya tidak akan kembali lagi” Thera memberi nasihat,
“Para penyumbang, yang baik! Jadilah orang yang selalu penuh
perhatian. Segala sesuatu yang berkondisi, apakah jasmani ataupun
batin, selalu seperti ini. sesudah dilahirkan, mereka akan meninggal
dunia!” Dengan nasihat ini yang menekankan pada perhatian, Thera
meminta mereka pulang ke rumah mereka masing-masing.
Selanjutnya, sesudah menggembirakan orang-orang dalam perjalanan
itu selama tujuh hari, hanya bermalam selama satu malam pada
setiap perhentian, ia terus melanjutkan perjalanan dan akhirnya
tiba di NÃ laka pada suatu malam; ia berhenti dan beristirahat di
bawah sebatang pohon banyan di dekat gerbang desa.
lalu keponakan Thera, seorang anak bernama Uparevata,
keluar dari desa. Melihat Thera mulia, ia mendekat dan berdiri sambil
memberi hormat. Thera bertanya kepada anak itu, “Uparevata,
apakah nenekmu ada di rumah?” saat anak itu membenarkan,
Thera berkata, “Pergi dan katakan kepadanya tentang kedatangan
kami di desa ini dan jika ia menanyakan alasan kedatangan kami,
katakan bahwa kami akan menetap di sini sepanjang malam ini dan
mohonkan kepadanya atas namaku untuk membersihkan kamar di
mana aku dilahirkan dan juga persiapkan penginapan untuk lima
ratus bhikkhu.”
Anak itu, Uparevata, mendatangi neneknya Råpasà rã dan berkat,
2471
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
“O Nenek, pamanku (Upatissa) sudah pulang.” “Di manakah ia
sekarang?” tanya nenek. Anak itu menjawab, ”Di gerbang desa.”
“Apakah ia sendirian atau bersama orang lain?” “Ya, ada lima ratus
bhikkhu yang menyertainya.” “Mengapa ia datang?” nenek bertanya
lagi dan anak itu menceritakan semuanya sesuai permintaan Thera
“Oh, mengapakah ia menginginkan aku untuk membersihkan dan
mempersiapkan penginapan untuk begitu banyak bhikkhu?” nenek
bertanya-tanya. “sesudah menjadi bhikkhu di usia muda, mungkin
ia ingin kembali menjalani kehidupan awam sekarang, saat usianya
telah lanjut.” Dengan pikiran ini, ia membersihkan kamar yang
merupakan tempat kelahiran Thera dan mempersiapkan akomodasi
untuk lima ratus bhikkhu. Ia juga menyalakan lampu-lampu dan
menyampaikan pesan kepada Thera.
Sang Thera mulia, sesudah naik ke teras atas bersama lima ratus
bhikkhu dan sesudah masuk ke kamar dan duduk di sana, ia
membubarkan mereka dengan berkata, “Pergilah ke tempat kalian
masing-masing.” Segera sesudah para bhikkhu keluar, penyakit
parah menyerang tubuh Thera. Penyakit mematikan dalam bentuk
darah yang keluar terus-menerus menyerang tanpa henti. Tindakan
pengobatan yang dilakukan terhadapnya yaitu menukar pembuluh
darah masuk dengan pembuluh darah keluar. Berpikir, “Aku tidak
tahan melihat penderitaan putraku,” si perempuan brahmana
berdiri, bersandar di pintu kamarnya.
lalu , empat raja dewa memeriksa di mana Thera mulia,
Jenderal Dhamma, berada pada saat itu dan melihatnya sedang
berbaring di atas ranjang kematian, di kamar kelahirannya, di
Desa NÃ laka. Dan mereka memutuskan untuk memberi
penghormatan terakhir dan memberi pengobatan terakhir.
Sesampainya di sana, mereka berdiri dengan penuh hormat. saat
Thera bertanya siapakah mereka, mereka menjawab bahwa mereka
yaitu empat raja dewa. “Untuk apa kalian datang?” tanya Thera
dan mereka menjawab, “Kami datang untuk merawat engkau, Yang
Mulia.” lalu Thera berkata, “Cukup! Aku memiliki seorang
bhikkhu yang merawatku. Kalian pulanglah!” saat mereka
pulang, Sakka datang untuk tujuan yang sama. Saat Sakka pergi,
Mahà brahmà datang. Baik Sakka maupun Mahà brahmà diminta
2472
pulang oleh Thera dengan kata-kata penolakan yang sama.
Melihat kedatangan dan kepergian para dewa dan brahmà , si
brahmana perempuan Råpasà rã ingin tahu siapakah makhluk-
makhluk yang datang dan memberi hormat kepada putranya. Ia
datang ke pintu kamar dan bertanya (kepada putranya yang lebih
muda, Cunda, yang berada di dalam kamar itu), “Anakku Cunda,
ada apakah?” Sang adik, Cunda, menjelaskan kepada ibunya bahwa
Thera sedang sakit, dan ia memberitahukan kepada Thera SÃ riputta
akan kehadiran ibu mereka. saat Thera bertanya mengapa ia
datang pada waktu yang tidak tepat, ibu menjawab bahwa ia juga
ingin melihat anaknya yang sedang sakit, dan bertanya, “Siapakah
mereka, Anakku, yang pertama kali mengunjungimu?” “Mereka
yang pertama mendatangiku, ibu, yaitu empat raja dewa.”
“Apakah engkau lebih mulia dari para raja dewa itu, Anakku?”
Sang Thera menjawab, “Ibu, empat raja dewa itu bagaikan penjaga
tempat tinggal kami. Bersenjatakan pedang mereka melindungi
guru kami, Buddha Yang Agung, sejak dalam kandungan.” Sang
ibu melanjutkan pertanyaannya, “Siapakah yang datang sesudah para
raja dewa itu?” “Dia yaitu Sakka.” “Apakah engkau lebih mulia
daripada Sakka juga?”
Sang Thera menjawab, “Sakka itu, Ibu, yaitu bagaikan seorang
sà maõera muda yang membawakan mangkuk dan benda-benda
lainnya. saat guru kami, Buddha Yang Agung, turun dari Alam
Tà vatiÿsa ke alam manusia sesudah mengajarkan AbhidhammÃ
di sana, Sakka turun bersama Beliau membawakan mangkuk
dan jubah Guru.” Sang ibu bertanya lagi, “Siapakah yang datang
dengan cahaya yang gilang-gemilang sesudah Sakka?” “Ibu” Thera
menjawab, “Ia yang terakhir datang yaitu Mahà brahmà , Junjungan
dan gurumu.” “Anakku, apakah engkau juga lebih mulia daripada
Mahà brahmà , junjungan kami?”
lalu Thera menjawab, “Oh, ya, Ibu! Pada hari guru kami,
Buddha Yang Agung, dilahirkan, empat Mahà brahmà , bukan hanya
satu, datang dan menerima Bodhisatta, Yang Teragung, dengan
sebuah jaring emas.”
2473
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
Pencapaian Spiritualitas Sang Ibu
lalu sang ibu merenungkan, “Apa yang kusaksikan sekarang
yaitu kebesaran putraku. Aku penasaran seperti apakah kebesaran
guru putraku, Buddha Yang Agung? Pasti tidak terbayangkan!”
Saat ia bertanya-tanya demikian, lima jenis kegembiraan (pãti)
menyelimuti seluruh tubuhnya. Thera mengetahui, “Sekarang
kegembiraan dan kebahagiaan (pãti somanassa) muncul dalam
diri ibuku. Ini yaitu saat yang tepat bagiku untuk membabarkan
Dhamma kepadanya.” Maka ia bertanya, “Ibu, apakah yang sedang
engkau pikirkan?” “Aku bertanya-tanya, Anakku, bahwa apa yang
kusaksikan sekarang yaitu kebesaran putraku dan seperti apakah
kebesaran gurumu, pasti tidak terbayangkan!” lalu Thera
menjelaskan, “Ibu, saat guru kami, Yang Agung, dilahirkan, saat
Beliau melepaskan keduniawian, saat Beliau mencapai Pencerahan
Sempurna, dan saat Beliau membabarkan Khotbah Pertama
Dhammacakka, sepuluh ribu alam semesta berguncang keras.
Tidak ada satu pun di dunia ini yang menyamai guru kami dalam
hal kemuliaan moralitas, konsentrasi, kebijaksanaan, kebebasan
dan Pandangan Cerah melalui Pembebasan. sebab alasan-alasan
ini, Beliau yaitu pemilik dari ciri-ciri mulia seperti, Arahaÿ dan
Sammà sambuddha” dengan kata-kata pembuka ini, Thera Sà riputta
memberi khotbah Dhamma yang menjelaskan tentang ciri-ciri
mulia Buddha.
Pada akhir khotbah yang disampaikan oleh putranya yang tercinta,
sang ibu berhasil mencapai Sotà patti-Phala dan berkata dengan
penuh penyesalan, “Putraku, SÃ riputta, mengapa dulu engkau tidak
memberi kepadaku kebahagiaan yang sangat menakjubkan ini?
Mengapa engkau sampai hati melakukan hal itu?” Berpikir bahwa
“Aku telah membayar hutang budi kepada ibuku sebab telah
melahirkanku. Sotà patti-Phala sudah cukup untuknya,” lalu
Thera memintanya pergi dengan berkata “Pergilah, Ibu!” lalu
ia menanyakan waktu kepada adiknya Cunda. saat dijawab,
“Menjelang fajar,” Thera meminta para bhikkhu untuk berkumpul,
dan saat Cunda memberitahunya bahwa para bhikkhu telah
berkumpul, ia meminta Cunda untuk membantunya duduk.
2474
Sang Thera berkata kepada para bhikkhu, “Teman-teman, jika
ada perbuatan atau ucapanku yang tidak menyenangkan selama
empat puluh lima tahun kita bersama, sudilah memaafkanku.” Para
bhikkhu menjawab, “Yang Mulia, saat kita bersama-sama selama
empat puluh lima tahun, kami tidak pernah melihat perbuatan
atau ucapanmu yang tidak menyenangkan kami. Sesungguhnya,
engkaulah, Yang Mulia, yang harus memaafkan kami.” saat
mereka mengucapkan kata-kata itu, ia mengambil jubahnya dan
menutupi wajahnya dan berbaring di sisi kanan. Seperti halnya
Buddha, ia memasuki sembilan Jhà na secara berurutan; ia tercerap
dalam urutan maju lalu dalam urutan mundur; sekali lagi
ia tercerap di dalam Jhà na Pertama hingga Jhà na Keempat, segera
sesudah keluar dari Jhà na Keempat, Thera mencapai Khandha-
Parinibbà na, pemadaman total dari kelompok-kelompok jasmani
dan batin melalui unsur Anupà disesa, unsur Nibbà na tanpa
meninggalkan sisa. Menyebabkan bumi ini berguncang keras.
Menyadari bahwa putranya tidak mengucapkan sepatah kata
pun dan bertanya-tanya apa yang terjadi pada putranya, sang
ibu, Råpasà ri, si brahmana perempuan memeriksa dengan
meraba kaki dan merasakan, dan ia mengetahui bahwa putranya
telah mencapai Parinibbà na. Ia berteriak, menyentuh kaki Thera
dengan kepalanya dan menangis sambil mengucapkan, “Anakku,
kami tidak mengetahui kemuliaanmu sebelumnya. Sekarang
kami tidak lagi berkesempatan untuk mengundang ratusan ribu
bhikkhu yang engkau pimpin, ke rumah kami agar kami dapat
memberi persembahan makanan! Tidak ada lagi kesempatan
untuk mempersembahkan jubah! Tidak ada lagi kesempatan untuk
membangun ratusan tempat tinggal!” Demikianlah ia meratap
hingga fajar menyingsing. Pagi harinya, sang ibu memanggil pandai
emas, membuka gudang hartanya dan menyerahkan batangan-
batangan emas kepada si pandai emas, dengan perintah, “Sahabat,
bangunlah lima ratus aula bermenara dan lima ratus paviliun dengan
emas-emas ini.”
Sakka juga memanggil Dewa Visukamma dan memerintahkan,
“Sahabat Visukamma, Jenderal Dhamma, Thera SÃ riputta, telah
mencapai Parinibbà na. Ciptakanlah lima ratus aula bermenara dan
2475
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
lima ratus paviliun dari emas.” Visukamma menciptakan seluruhnya
sesuai perintah Sakka. Demikianlah lima ratus bangunan bermenara
dan lima ratus paviliun yang dibangun oleh ibu dan lima ratus aula
bermenara serta lima ratus paviliun lainnya yang diciptakan oleh
Visukamma, seluruhnya berjumlah dua ribu bangunan emas.
Selanjutnya, sebuah aula besar berkubah dari emas dibangun di
tengah-tengah Desa NÃ laka dan kubah-kubah lainnya sebagai aula-
aula yang lebih kecil. lalu dilakukan Ritual pemakaman.
Dalam Ritual ini, para dewa berbaur dengan manusia dan manusia
berbaur dengan para dewa. Demikianlah mereka semua memberi
hormat kepada jenazah Thera, menciptakan suasana Ritual yang
penuh sesak.
Kisah Revatã, Seorang Umat Perempuan
Seorang umat perempuan Thera, bernama Revatã, datang ke
pemakaman itu membawa tiga pot dari emas untuk menghormati
gurunya. Pada saat itu, Sakka juga datang ke alam menusia untuk
memberi hormat kepada Thera disertai oleh para dewi penari
yang berjumlah dua crore lima juta. Mengetahui kunjungan Sakka,
orang-orang itu mundur untuk memberi jalan. Dalam kerumunan
itu, Revatã juga berusaha untuk mundur, tetapi sebab ia terhalang
oleh anak-anak, ia tidak berhasil mencapai tempat aman dan terjatuh
di tengah-tengah kerumunan. Tidak melihatnya, orang-orang
menginjaknya dan pergi. Revatã meninggal dunia di tempat itu juga
dan terlahir kembali di sebuah istana emas di Tà vatiÿsa. Sesaat ia
memiliki tubuh setinggi tiga gà vuta, yang menyerupai sebuah batu
permata yang besar. Perhiasannya kira-kira sebanyak enam puluh
kereta dan pelayannya berjumlah seribu.
lalu para pelayan membawa cermin di depannya. saat ia
melihat kemewahannya, ia merenungkan, “Kekayaan ini sungguh
luar biasa! Kebajikan apakah yang telah kulakukan?” Dan ia
mengetahui bahwa, “Aku memberi hormat kepada Thera SÃ riputta
dengan tiga pot emas. Orang-orang menginjakku dan pergi. Aku
meninggal dunia di tempat itu juga dan sesaat terlahir kembali
di Alam Tà vatiÿsa ini. Aku akan menjelaskan kepada orang-orang
2476
tentang akibat dari kebajikan yang kulakukan terhadap Thera. Maka
ia bersama istana terbangnya turun ke alam manusia.
Melihat istana emas dari kejauhan, orang-orang terpesona, “Ada
apakah? Apakah dua matahari muncul dengan cahaya gilang-
gemilang?” Selagi mereka membicarakannya, istana besar itu
mendekat, dan memperlihatkan bentuknya. lalu mereka
berkata, “Itu bukan matahari. Itu yaitu sebuah istana emas
berukuran raksasa!” saat itu, selagi orang-orang membicarakan
istana itu, istana emas itu bergerak semakin dekat dan berhenti
persis di atas tumpukan kayu harum untuk membakar jenazah
Thera. Dewi Revatã keluar dari istananya dan turun ke bumi.
“Siapakah engkau?” orang-orang bertanya dan Revatã menjawab,
“Tidakkah kalian mengenalku? Aku bernama Revatã. sesudah
memberi hormat kepada Thera dengan tiga pot emas, aku terinjak
oleh orang-orang sampai mati dan terlahir kembali di Tà vatiÿsa.
Lihatlah keberuntungan dan keagunganku. Kalian juga berilah
persembahan sekarang. Lakukanlah kebajikan.” Demikianlah ia
memuji akibat baik dari perbuatan-perbuatan baik, ia memberi
hormat dan mengelilingi tumpukan kayu pemakaman dengan
jenazah Thera tetap berada di sisi kanannya; ia lalu kembali
ke alam Dewa Tà vatiÿsa. (Demikianlah kisah Revatã.)
Cunda Membawa Relik ke Sà vatthã
sesudah melakukan Ritual pemakaman selama tujuh hari,
orang-orang membuat tumpukan kayu harum setinggi sembilan
puluh sembilan lengan, mereka meletakkan jenazah Thera di
atas tumpukan kayu harum ini dan menyalakannya dengan
rumput-rumput harum. Di lokasi kremasi itu, khotbah Dhamma
dibabarkan sepanjang malam. Pagi harinya, Yang Mulia AnuruddhÃ
memadamkan api pembakaran dengan menyiramkan air harum.
Adik Thera SÃ riputta, Thera Cunda, mengumpulkan relik-relik
Thera dalam sebuah saringan air, dan berpikir, “Aku tidak boleh
berdiam di sini sekarang, di Desa NÃ laka ini. Aku harus melaporkan
pencapaian Parinibbà na kakakku Thera Sà riputta, Jenderal
Dhamma, kepada Yang Agung.” Maka ia membawa saringan air
yang berisi relik-relik dan mengumpulkan perlengkapan Thera
2477
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
seperti mangkuk, jubah, dan lain-lain, dan pergi menuju Sà vatthã.
Ia hanya berhenti selama satu malam pada setiap perhentian dan
akhirnya tiba di Sà vatthã.
lalu Thera Cunda mandi di danau di dekat Vihà ra Jetavana,
naik ke tepinya dan mengenakan jubahnya. Ia merenungkan, “Para
Buddha yaitu individu mulia yang harus dihormati bagaikan
sebuah payung batu. Mereka sulit didekati bagaikan ular yang
kepalanya mengembang atau bagaikan singa, macan atau gajah
yang sedang berahi, aku tidak berani langsung menghadap
Yang Agung untuk memberitahu Beliau, siapakah yang harus
kudatangi terlebih dahulu?” Merenungkan demikian, ia teringat
penahbisnya, “Penahbisku, pengawal Dhamma, Yang Mulia
ânanda, yaitu sahabat baik kakakku. Aku akan mendatanginya
dan menceritakan persoalannya, dan lalu mengajaknya untuk
bersamaku menghadap Yang Agung.” Maka ia mendatangi Thera
ânanda, memberi hormat kepadanya dan duduk di tempat yang
semestinya. Ia berkata kepada Thera ânanda, “Yang Mulia, Thera
Sà riputta telah mencapai Parinibbà na. Ini yaitu mangkuk dan
jubahnya, dan saringan air ini berisikan relik-reliknya. Demikianlah
ia menyerahkan benda-benda itu satu demi satu sambil berbicara
kepada Thera ânanda. (Harus dimengerti bahwa Thera Cunda
tidak langsung menghadap Buddha melainkan menghadap Thera
ânanda terlebih dahulu, sebab ia sangat menghormati Buddha
juga penahbisnya.)
lalu Thera ânanda berkata, “Sahabat Cunda, kita memiliki
alasan untuk menghadap Yang Agung. Marilah, sahabat Cunda,
marilah kita pergi. Marilah kita menghadap Yang Agung dan
menceritakan persoalannya.” sesudah berkata demikian, Thera
ânanda mengajak Thera Cunda pergi menghadap Buddha, bersujud
kepada Beliau, dan duduk di tempat yang semestinya. Selanjutnya
Yang Mulia ânanda berkata kepada Buddha:
“Buddha Yang Agung, Thera Cunda yang dikenal sebagai seorang
sà maõera (samaõ’uddesa) memberitahuku bahwa Yang Mulia
Sà riputta telah mencapai Parinibbà na. Ini yaitu mangkuk Thera,
ini yaitu jubahnya dan ini yaitu saringan airnya yang berisi
2478
relik-reliknya.”
sesudah berkata demikian, Thera ânanda menyerahkan saringan air
ini kepada Buddha.
Buddha merentangkan tangan-Nya untuk menerima saringan air
itu dan meletakkannya di telapak tangan-Nya dan berkata kepada
para bhikkhu:
“Para bhikkhu, anak-anak-Ku, lima belas hari yang lalu, SÃ riputta
mendemonstrasikan sejumlah kesaktian dan memohon izin-Ku
untuk memasuki Parinibbà na. Sekarang hanya relik-relik jasmaninya
yang tersisa yang putih bagaikan kulit kerang yang digosok.
Para bhikkhu, Bhikkhu Sà riputta telah memenuhi Pà ramã selama
satu asaïkhyeyya dan seratus ribu kappa. Ia yaitu individu
yang memutar Roda Dhamma yang telah Kuputar sebelumnya
atau seorang yang telah mengajarkan Roda Dhamma yang telah
Kuajarkan. Dengan cara yang menakjubkan ia menempati posisi
di sebelah-Ku.
Bhikkhu SÃ riputta telah mengakibatkan munculnya SÃ vaka
Sannipà ta, perkumpulan para siswa, dengan keberadaannya yang
sungguh baik. (Sà vaka Sannipà ta muncul pada hari ia menjadi
Arahanta.)
Selain Aku, ia yaitu seorang yang tanpa banding dalam hal
kebijaksanaan di seluruh JÃ tikhetta, sepuluh ribu alam semesta.”
“Bhikkhu SÃ riputta memiliki kebijaksanaan tinggi, kebijaksanaan
luas, kebijaksanaan aktif, kebijaksanaan cepat, kebijaksanaan tajam,
dan kebijaksanaan yang menghancurkan kilesa (nafsu), sedikit
keinginannya, mudah puas, bebas dari nãvaraõa (rintangan), tidak
bercampur dengan orang-orang, bersemangat tinggi; ia menasihati
orang lain dengan menunjukkan kesalahan mereka, mengutuk
perbuatan jahat dan pelaku kejahatan tanpa memandang posisi
sosial mereka.”
2479
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
“Para bhikkhu, (a) Bhikkhu SÃ riputta menjalani pertapaan sesudah
meninggalkan harta kekayaannya dalam lima ratus kehidupan; (b)
Bhikkhu SÃ riputta memiliki kesabaran yang sebesar bumi ini; (c)
Bhikkhu SÃ riputta tidak angkuh bagaikan sapi yang tanduknya
patah; dan (d) Bhikkhu SÃ riputta memiliki sifat rendah hati bagaikan
putra seorang pengemis.”
“Para bhikkhu, lihatlah relik-relik SÃ riputta yang memiliki
kebijaksanaan tinggi! lihatlah relik-relik SÃ riputta yang memiliki
kebijaksanaan luas, kebijaksanaan aktif, kebijaksanaan cepat,
kebijaksanaan tajam, dan kebijaksanaan yang menghancurkan
kilesa, sedikit keinginannya, mudah puas, bebas dari nãvaraõa, tidak
bercampur dengan orang-orang, bersemangat tinggi; ia menasihati
orang lain dengan menunjukkan kesalahan mereka, mengutuk
perbuatan jahat dan pelaku kejahatan tanpa memandang posisi
sosial mereka.” (sesudah mengucapakan kata-kata ini dalam bahasa
biasa, Buddha melanjutkan dengan mengucapkan syair berikut.)
Yo pabbaji jà tisatà ni pa¤ca
pahà ya kà mà ni manoramà ni,
Taÿ vãtarà gaÿ susamà hit’indriyaÿ
parinibbutaÿ vandatha Sà riputtaÿ (1)
Anak-anak-Ku, para bhikkhu! Bhikkhu mulia bernama SÃ riputta
itu dengan teguh dan total melenyapkan kenikmatan indria yang
menyenangkan bagi si dungu; ia menjalani kehidupan pertapaan
dengan keyakinan besar selama lima ratus kehidupan. Bhikkhu
mulia bernama SÃ riputta itu yang sekarang telah secara total
memotong kemelekatan dan nafsu, yang indrianya terkendali,
yang telah mencapai Parinibbà na dan melenyapkan penderitaan,
tundukkan kepala kalian sebagai penghormatan dengan penuh
keyakinan dan keangkuhan yang telah dihancurkan.
Khantibalo pathavisamo na kuppati
na cà ’pi cittassa vasena vattati.
Anukampako kà ruõiko ca nibbuto
parinibbutaÿ vandatha Sà riputtaÿ. (2)
2480
Anak-anak-Ku, para bhikkhu! Bhikkhu mulia bernama SÃ riputta
itu memiliki kesabaran sebagai kekuatannya; yang bagaikan bumi
ini, ia tidak pernah memperlihatkan kemarahan kepada orang lain;
juga tidak pernah bertingkah laku seperti orang yang tidak stabil;
ia memerhatikan banyak makhluk dengan penuh cinta kasih; ia
memiliki welas asih yang sangat besar; ia memadamkan panas
kilesa. Kepadanya, yang telah mencapai Parinibbà na dan mengakhiri
penderitaan, tundukkan kepala kalian sebagai penghormatan dengan
penuh keyakinan dan keangkuhan yang telah dihancurkan.
Caõóà laputto yathà nagaraÿ paviññho
nãcamà no carati kaëopihattho
Tathà ayaÿ vicarati Sà riputto
parinibbutaÿ vandatha Sà riputtaÿ. (3)
Anak-anak-Ku, para bhikkhu! Bagaikan putra seorang pengemis
miskin yang memasuki kota dan desa, mencari makanan dengan
cangkir usang yang terbuat dari bambu di tangannya, mengembara
tanpa keangkuhan melainkan dengan rendah hati, demikian pula
bhikkhu mulia ini yang bernama SÃ riputta, mengembara tanpa
keangkuhan melainkan dalam segala kerendahan. Kepadanya,
yang telah mencapai Parinibbà na dan mengakhiri penderitaan,
tundukkan kepala kalian sebagai penghormatan dengan penuh
keyakinan dan keangkuhan yang telah dihancurkan.
Usabho yathà chinnavisà õako
aheñhayanto carati purantare vane.
Tathà ayaÿ vihà rati Sà riputto
parinibbutaÿ vandatha Sà riputtaÿ. (4)
Anak-anak-Ku, para bhikkhu! Bagaikan sapi yang tanduknya patah
mengembara di kota, desa dan hutan, sama sekali tidak berbahaya
bagi makhluk-makhluk lain, demikian pula bhikkhu mulia ini yang
bernama SÃ riputta mengembara tanpa membahayakan makhluk-
makhluk lain dan hidup dalam kerukunan dalam empat postur
berbaring, duduk, berdiri, dan berjalan. Kepadanya, yang telah
mencapai Parinibbà na dan mengakhiri penderitaan, tundukkan
kepala kalian sebagai penghormatan dengan penuh keyakinan dan
2481
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
keangkuhan yang telah dihancurkan.
Demikianlah, dengan diawali dengan syair di atas, Buddha memuji
kemuliaan Yang Mulia Thera SÃ riputta dalam lima ratus bait
syair.
Semakin Buddha memuji kemuliaan Thera dalam segala cara,
semakin besar kesedihan Thera ânanda. Bagaikan seekor anak ayam
di dekat mulut seekor kucing, gemetar ketakutan, demikian pula
Yang Mulia ânanda gemetar tidak berdaya. sebab itu ia bertanya
kepada Buddha:
“Buddha Yang Agung, mendengar bahwa Thera SÃ riputta telah
Parinibbà na, aku merasa seolah-olah tubuhku kaku, pandangan
mataku kabur, Dhamma tidak terlihat olehku. (Aku tidak
berkeinginan memelajari Dhamma yang belum dipelajari, juga aku
tidak tertarik untuk menghafalkan apa yang telah kupelajari.)”
lalu untuk menghiburnya Buddha berkata:
“Anak-Ku, ânanda, apakah Sà riputta mencapai Parinibbà na dengan
membawa serta kelompok kebajikan sãla milikmu atau membawa
serta kelompok kebajikan samà dhi milikmu, kebajikan pa¤¤Ã ,
kebajikan Vimutti, atau kebajikan Vimutti ¥Ã õa Dassana?”
Selanjutnya Thera ânanda menjawab,
“Buddha Yang Agung, Yang Mulia Sà riputta Parinibbà na tidak
membawa serta kelompok kebajikan sãla milikku atau membawa
serta kelompok kebajikan samà dhi milikku, kebajikan pa¤¤Ã ,
kebajikan Vimutti, atau kebajikan Vimutti ¥Ã õa Dassana.
Sesungguhnya, Buddha Yang Agung, Yang Mulia Thera menasihati
aku, membawaku meloncat ke dalam Dhamma, membantuku
memahami Dhamma, membantuku mempraktikkan Dhamma; ia
membuatku rajin dan bahagia dalam mempraktikkan Dhamma,
ia selalu membabarkan khotbah untukku; ia selalu membantu
rekannya, aku selalu mengingat dorongan Dhamma darinya serta
2482
dukungannya.”
Buddha mengetahui bahwa Thera ânanda sedang dalam keadaan
sangat tertekan. Beliau berkata kepadanya sebagai berikut, sebab
Beliau ingin meredam kesedihannya,
“Anak-Ku, ânanda, bukankah Aku telah mengatakan kepadamu
tentang perpisahan dari seorang yang dicintai selagi masih
hidup (¤Ã nà bhà va), perpisahan sebab kematian (vinà bhà va) dan
perpisahan sebab berbeda alam kelahiran (a¤¤athà bhà va)? Anak-
Ku, ânanda, bagaimana mungkin mengharapkan bahwa sesuatu
yang memiliki sifat dilahirkan, hidup dan berkondisi dan pasti
mengalami kehancuran, tidak meninggal dunia? Sesungguhnya,
tidaklah mungkin mengharapkan hal itu!”
“Anak-Ku, ânanda, pada sebatang pohon besar yang tumbuh,
dahannya yang terbesar pasti akan hancur; demikian pula, pada
komunitas para bhikkhu mulia yang ada, SÃ riputta meninggal
dunia. Di sini, bagaimana mungkin mengharapkan bahwa sesuatu
yang memiliki sifat dilahirkan, hidup dan berkondisi dan pasti
mengalami kehancuran, tidak meninggal dunia? Sesungguhnya,
tidaklah mungkin mengharapkan hal itu!”
“Anak-Ku, ânanda, jangan hidup dengan bergantung pada orang
lain tetapi bergantunglah pada dirimu sendiri. Jangan hidup
dengan mengandalkan ajaran lain tetapi andalkanlah Dhamma
Lokuttara!”
“Anak-Ku, ânanda, bagaimanakah seorang bhikkhu hidup dengan
tidak bergantung pada orang lain tetapi bergantung pada diri
sendiri? Bagaimanakah seseorang hidup tanpa mengandalkan ajaran
lain tetapi mengandalkan Dhamma Lokuttara?”
“Anak-Ku, ânanda, dalam pengajaran ini, seorang bhikkhu
hidup, melenyapkan kemelekatan dan kesedihan yang cenderung
muncul di dunia, dengan berusaha keras, dengan merenungkan,
dengan penuh perhatian, dengan terus-menerus melihat badan
jasmani sebagai badan jasmani. Dengan berusaha keras, dengan
2483
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
merenungkan, dengan penuh perhatian, (seseorang hidup,
melenyapkan kemelekatan dan kesedihan yang cenderung muncul
di dunia), dengan terus-menerus melihat perasaan sebagai perasaan,
dengan terus-menerus melihat pikiran sebagai pikiran, … dengan
terus-menerus melihat fenomena sebagai fenomena.”
“Anak-Ku, ânanda, demikianlah seorang bhikkhu hidup dengan
tidak bergantung pada orang lain tetapi bergantung pada diri sendiri.
Ia hidup tanpa mengandalkan ajaran lain tetapi mengandalkan
Dhamma Lokuttara.”
“Anak-Ku, ânanda, jika para bhikkhu sekarang ini atau sesudah
kematian-Ku hidup dengan tidak bergantung pada orang lain
tetapi bergantung pada diri sendiri, hidup tanpa mengandalkan
ajaran lain tetapi mengandalkan Dhamma Lokuttara, mereka semua
akan menjadi makhluk termulia (Arahanta) di antara mereka yang
mempraktikkan Tiga Latihan.”
Dengan mengatakan ini, Buddha memberi kelegaan bagi Yang
Mulia ânanda. Selanjutnya Beliau menyemayamkan relik-relik
dari tulang-belulang Yang Mulia SÃ riputta di dalam sebuah cetiya
di Kota Sà vatthã.
Thera Moggallà na Mencapai Parinibbà na
sesudah menyemayamkan relik-relik Thera SÃ riputta di dalam sebuah
cetiya di Sà vatthã seperti telah diceritakan, Buddha mengisyaratkan
kepada Thera ânanda bahwa Beliau ingin pergi ke Rà jagaha. Thera
ânanda lalu memberitahukan kepada para bhikkhu tentang
rencana Buddha untuk melakukan perjalanan menuju kota itu.
Disertai oleh banyak bhikkhu, Buddha meninggalkan Sà vatthã
menuju Rà jagaha dan menetap di Vihà ra Veëuvana.
(Buddha mencapai Pencerahan Sempurna pada hari purnama bulan
Vesà kha (April-Mei). Pada hari pertama di bulan Mà gha, Thera
Sà riputta dan Moggallà na bergabung dalam Saÿgha dan pada hari
ketujuh Yang Mulia Moggallà na mencapai kesucian Arahatta. Pada
hari ke lima belas, hari purnama bulan MÃ gha, SÃ riputta menjadi
2484
seorang Arahanta.)
(Pada hari purnama di bulan Kattika (Oktober-November) tahun
148 Mahà Era, pada saat Buddha telah melewatkan 45 vassa dan
kedua Siswa Utama telah melewatkan 44 vassa, Yang Mulia SÃ riputta
mencapai Parinibbà na di desa kelahirannya Nà laka. Yang Mulia
Moggallà na melakukan hal yang sama di atas batu datar Kà ëasilà di
Gunung Isigili, RÃ jagaha, pada hari purnama bulan Kattika itu. Kisah
Thera Sà riputta mencapai Parinibbà na telah dijelaskan. Sekarang,
akan dibahas kisah Thera Moggallà na mencapai Parinibbà na sebagai
berikut:)
Sewaktu Buddha sedang berdiam di Vihà ra Veëuvana, Rà jagaha,
Thera Moggallà na singgah di sebuah batu datar bernama Kà ëasilÃ
di Gunung Isigili.
Sang Thera memiliki kekuatan batin yang berada pada tahap puncak,
ia biasanya melakukan perjalanan ke alam dewa juga ke Alam
Neraka Ussada. sesudah menyaksikan kemewahan surgawi yang
dinikmati oleh para pengikut Buddha di alam dewa dan penderitaan
hebat yang di alami oleh para penganut pandangan salah di Ussada,
ia kembali ke alam manusia dan menceritakan kepada orang banyak
bahwa para penyumbang terlahir kembali di alam dewa, menikmati
kemewahan, tetapi para penganut pandangan salah terlahir kembali
di alam neraka. sebab itu, orang-orang menjadi lebih berkeyakinan
pada ajaran Buddha dan menjauhi para penganut pandangan
salah. Kepada Buddha dan para Siswa-Nya, penghormatan dan
persembahan dari banyak orang meningkat sedangkan kepada para
penganut pandangan salah menurun hari demi hari.
Oleh sebab itu, para penganut pandangan salah menjadi
dendam kepada Thera Mahà Moggallà na. Mereka berdiskusi dan
memutuskan, “Jika Bhikkhu Moggallà na ini hidup lebih lama, para
pelayan dan penyumbang kita akan lenyap dan perolehan kita
juga akan lenyap perlahan-lahan. Marilah kita membunuhnya.”
Demikianlah mereka membayar seribu keping uang kepada seorang
kepala perampok bernama Samaõaguttaka untuk membunuh Thera
mulia.
2485
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
Dengan tujuan untuk membunuh Thera, si kepala perampok
Samaõaguttaka pergi dengan disertai oleh serombongan besar
perampok menuju Kà ëasilà . saat Thera melihat mereka, ia
menghindar dengan cara melayang ke angkasa dengan kekuatan
batinnya. Gagal menemukan Thera, si kepala perampok pulang dan
kembali lagi besoknya. Thera menghindar lagi dengan cara yang
sama. Demikianlah hingga enam hari berlalu.
Akan tetapi, pada hari ketujuh, perbuatan jahatnya pada masa
lampau, aparà pariya akusalakamma, mendapat peluang untuk
berbuah. Perbuatan jahat aparà pariya Thera akan dijelaskan sebagai
berikut:
Dalam salah satu kehidupan lampaunya, ia menuruti kata-kata
fitnah yang dilontarkan oleh istrinya sehingga ia ingin membunuh
orangtuanya; maka ia membawa mereka dengan sebuah kereta kecil
ke dalam hutan dan berpura-pura bahwa mereka diserang oleh para
perampok, ia memukul orangtuanya. sebab buta mereka tidak
dapat melihat siapa yang menyerang mereka dan percaya bahwa
yang menyerang mereka yaitu para perampok, mereka berteriak
kepada putra mereka, “Anakku, para perampok ini menyerang
kami. Larilah, Anakku, selamatkan dirimu!”
Dengan menyesal ia berkata kepada dirinya sendiri, “Walaupun aku
memukuli mereka, orangtuaku malah mengkhawatirkan aku. Aku
telah melakukan kesalahan!” Oleh sebab itu, ia berhenti memukuli
mereka dan meyakinkan mereka bahwa para perampok telah
melarikan diri, ia menepuk tangan dan kaki kedua orangtuanya
dan berkata, “O Ibu dan Ayah, jangan takut. Para perampok telah
melarikan diri.” lalu , ia membawa kedua orangtuanya
pulang.
Tidak mendapat kesempatan untuk berbuah dalam waktu yang
lama, kejahatannya tersimpan bagaikan sepotong arang membara
yang tertutup oleh abu dan sekarang, dalam kehidupan terakhirnya,
ia muncul untuk membakar dan melukainya. Seperti sebuah
perumpamaan: saat seorang pemburu melihat seekor rusa, ia
2486
akan melepas anjingnya untuk mengejar rusa ini , dan si anjing
akan mengikuti si rusa, di tempat yang tepat, ia akan menerkam
mangsanya. Demikian pula, kejahatan yang dilakukan oleh Thera
sekarang berkesempatan untuk memperlihatkan akibatnya dan ini
terjadi dalam kehidupan terakhirnya. Tidak seorang pun yang dapat
menghindar dari akibat perbuatan jahat yang mendapat kesempatan
untuk muncul di saat yang tepat.
Mengetahui bahwa ia sedang ditangkap dan dimangsa oleh
perbuatan jahatnya, Thera tidak mampu memakai kekuatan
batinnya dalam usahanya menghindar untuk yang ketujuh
kalinya, kekuatan yang cukup kuat untuk menjinakkan Raja NÃ ga
Nandopananda dan mampu mengguncangkan Istana Vejayanta.
Sebagai akibat dari kejahatan masa lampaunya, ia tidak mampu
terbang ke angkasa. Kekuatannya yang mampu mengalahkan Raja
NÃ ga Nandopananda dan mengguncangkan Istana Vejayanta,
sekarang menjadi lemah sebab perbuatan kejamnya pada masa
lampau.
Si kepala perampok Samaõaguttaka menangkap Thera, memukulinya
sehingga tulang-belulangnya patah hingga berkeping-keping
bagaikan beras pecah, sesudah melakukan perbuatan ini yang dikenal
dengan palà lapãñhika (menumbuk tulang hingga menjadi debu
sehingga menjadi sesuatu yang menyerupai cincin jerami yang
digunakan sebagai alas untuk meletakkan sesuatu; suatu kebrutalan.)
sesudah melakukan hal itu dan berpikir bahwa Thera telah tewas, si
kepala perampok membuang jasadnya di semak-semak lalu
bersama gerombolannya meninggalkan tempat itu.
Saat sadar kembali, Thera berpikir untuk menjumpai Buddha
sebelum meninggal dunia dan sesudah menyatukan tubuhnya yang
tercerai-berai dengan kekuatan batinnya ia terbang ke angkasa, pergi
menjumpai Buddha untuk memberi penghormatan kepada
Guru. Selanjutnya terjadi percakapan berikut antara Thera dengan
Buddha:
Thera, “Buddha Yang Agung, aku telah melepaskan proses
kehidupan (à yusaïkhà ra). Aku akan mencapai Parinibbà na.”
2487
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
Buddha, “Apakah engkau akan melakukan hal itu, anak-Ku
Moggallà na?”
Thera, “Ya, Yang Mulia.”
Buddha, “Di manakah engkau akan melakukan hal itu?”
Thera, “Di tempat batu datar Kà lasilà berada, Buddha Yang
Agung.”
Buddha, “Kalau begitu, anak-Ku Moggallà na, babarkanlah Dhamma
untuk-Ku sebelum engkau pergi. Aku tidak akan berkesempatan
untuk melihat seorang siswa sepertimu.”
Sang Thera menjawab, “Baiklah, Buddha Yang Agung, aku mematuhi
Engkau.” Ia bersujud kepada Buddha dan terbang ke angkasa hingga
setinggi pohon kelapa, lalu setinggi dua pohon kelapa, hingga
akhirnya setinggi tujuh pohon kelapa, dan seperti yang dilakukan
oleh Yang Mulia Sà riputta pada hari ia mencapai Parinibbà na, ia
mendemonstrasikan berbagai kesaktian dan mengucapkan kata-
kata Dhamma kepada Buddha. sesudah bersujud dengan penuh
hormat, ia pergi ke hutan di mana Kà ëasilà berada dan mencapai
Parinibbà na.
Pada saat itu, kegemparan terjadi di seluruh enam alam dewa,
mereka berkata, “Guru kita Thera Moggallà na, dikatakan telah
mencapai Parinibbà na.” Para dewa dan brahmà membawa bunga,
dupa, dan bubuk cendana dari alam dewa serta berbagai kayu
harum dari alam dewa. Tumpukan kayu harum itu tingginya
sembilan puluh sembilan lengan. Buddha sendiri datang bersama
para bhikkhu dan berdiri di dekat jenazah mengawasi Ritual
pemakaman dan melakukan kremasi.
Dalam kawasan seluas satu yojanà di tempat pemakaman turun
hujan bunga. Dalam Ritual pemakaman itu umat manusia berbaur
dengan para dewa dan para dewa berbaur dengan umat manusia, di
antara para dewa itu juga terdapat siluman; di antara para siluman
2488
terdapat gandhabba, di antara para gandhabba terdapat nà ga, di
antara para nà ga terdapat garuda, di antara para garuda terdapat
kinnara, di antara payung-payung kipas yang terdiri dari camar
emas; ekor (yak), di antara umbul-umbul kipas bulat, dan di antara
umbul-umbul bulat terdapat umbul-umbul datar. Para dewa dan
manusia mengadakan Ritual pemakaman itu selama tujuh hari.
Buddha membawa relik-relik Thera dan membangun sebuah cetiya
untuk menyemayamkan relik-relik ini di dekat gerbang Vihà ra
Veëuvana.
Para Pembunuh Dihukum
Berita mengenai pembunuhan Thera Moggallà na menyebar ke
seluruh Jambådãpa. Raja Ajà tasattu mengutus para penyelidik ke
segala penjuru untuk menyelidiki dan menangkap para perampok
pembunuh ini . Sewaktu para pembunuh sedang minum
di sebuah kedai minuman keras, salah seorang dari mereka
menjatuhkan cangkir minuman orang lainnya. lalu orang
itu memulai percekcokan dengan berkata, “Hei, engkau penjahat
celaka! Mengapa engkau menjatuhkan cangkir minumanku?”
lalu orang pertama membalas, “Hei, bangsat! Mengapakah?
Apakah engkau berani menjadi yang pertama melukai Thera?” “Hei,
penjahat! Tidakkah engkau tahu bahwa akulah yang pertama dan
paling banyak memukul bhikkhu itu?” orang lainnya menantang.
Mendengar kata-kata mereka, “Akulah yang melakukan pemukulan.
Akulah yang melakukan pembunuhan!” para penyelidik dan
pasukan raja menangkap seluruh gerombolan pembunuh itu dan
melaporkan hal itu (kepada Raja Ajà tasattu). Raja memanggil
mereka dan bertanya, “Apakah kalian membunuh Yang Mulia MahÃ
Moggallà na?” “Ya, kami membunuhnya, Tuanku,” jawab orang-
orang itu mengakui. “Siapa yang menyuruh kalian melakukan hal
itu?” “Tuanku, para petapa telanjang itu membayar kami untuk
melakukan hal itu,” orang-orang itu mengakui.
Raja menangkap seluruh lima ratus petapa telanjang dan mengubur
mereka bersama para pembunuh di dalam lubang hingga setinggi
2489
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
pinggang di halaman istana. Mereka lalu ditutupi dengan
jerami lalu dibakar sampai mati. sesudah mereka semuanya
terbakar, mereka lalu dipotong-potong dengan memakai
bajak sawah.
(Kisah Mahà Moggallà na mencapai Parinibbà na bersumber dari
penjelasan Sarabhaïga Jà taka, Cattà lãsa Nipà ta; dan hukuman para
pembunuh itu bersumber dari Mahà Moggallà na Vatthu, Komentar
Dhammapada.)
Fakta bahwa Buddha sendiri mengawasi pemakaman Thera
Moggallà na, para bhikkhu berdiskusi di Dhammasala, “Teman-
teman, sebab Thera Sà riputta Parinibbà na tidak di dekat Buddha,
ia tidak menerima penghormatan dari Buddha. Sebaliknya, MahÃ
Moggallà na menerimanya sebab ia mencapai Parinibbà na di
dekat Buddha. saat Buddha datang dan bertanya kepada para
bhikkhu tentang apa yang sedang mereka diskusikan, mereka
menjawab. Buddha berkata, “Para bhikkhu, Moggallà na menerima
penghormatan dari-Ku bukan hanya dalam kehidupan ini tetapi
juga pada masa lampau.” lalu Buddha menceritakan
Sarabhaïga Jà taka seperti yang terdapat pada Cattà lãsa Nipà ta.
(Kisah Sarabhaïga Jà taka dapat dibaca dalam Lima Ratus Lima
Puluh Kisah JÃ taka.)
Segera sesudah kedua Siswa Utama mencapai Parinibbà na, Buddha
melakukan perjalanan memutar (Mahà maõóala) disertai oleh para
bhikkhu dan tiba di Kota Ukkacela, di sana Beliau mengumpulkan
dà na makanan, dan membabarkan Ukkacela Sutta di tepi Sungai
Gaïgà . (Sutta ini terdapat dalam Mahà Vagga Saÿyutta.)
Demikianlah kisah Dua Siswa Utama.
(4) Thera Kassapa
(a) Cita-cita masa lampau
Seratus ribu kappa yang lalu, Buddha Padumuttara muncul dan,
dengan kota Haÿsà vatã sebagai sumber dà na makanan-Nya, Beliau
2490
menetap di Taman Rusa Khemà . Sewaktu Beliau berdiam di sana,
seorang kaya yang memiliki harta sebanyak delapan puluh crore
bernama Vedeha (kelak menjadi Thera Kassapa) memakan sarapan
pagi yang lezat dan menjalani uposatha; dengan membawa salep,
bunga, dan lain-lain, ia pergi ke vihà ra, ia bersujud dan duduk di
tempat yang semestinya.
Pada saat itu Buddha sedang menganugerahkan gelar etadagga
kepada siswa ketiga, bernama Mahà Nisabha, dengan mengatakan,
“Para bhikkhu, di antara para siswa-Ku. Yang melatih dhutaïga
keras dan menasihati bhikkhu lainnya untuk melatih latihan yang
sama, Nisabha yaitu yang terunggul.”
Mendengar kata-kata Buddha itu, Vedeha menjadi sangat gembira
dan keyakinannya bertambah dan saat para hadirin telah
meninggalkan tempat itu di akhir acara, ia dengan hormat bersujud
kepada Buddha dan berkata, “Buddha Yang Agung, sudilah
menerima persembahan makanan dariku besok.” “Penyumbang,”
Buddha menjawab, “Para bhikkhu berjumlah sangat banyak!”
“Berapa banyakkah jumlahnya, Buddha Yang Agung?” saat
Buddha menjawab bahwa ada enam juta delapan ratus ribu, ia
berkata, “Buddha Yang Agung, tanpa meninggalkan seorang
sà maõera pun juga di vihà ra, sudilah menerima persembahan
makanan dariku bersama dengan semua bhikkhu.” Buddha
menerima undangan itu dengan berdiam diri.
Mengetahui bahwa Buddha menerima undangannya, Vedeha pulang
ke rumahnya dan mempersiapkan persembahan besar dan keesokan
paginya, ia menyampaikan pesan kepada Buddha, mengatakan
bahwa telah tiba waktunya untuk makan. Dengan membawa
mangkuk dan jubah-Nya, Buddha pergi ke rumah Vedeha disertai
oleh para bhikkhu dan duduk di tempat yang telah disediakan.
saat Ritual menuang air selesai, Buddha menerima nasi, dan
lain-lain dan membagikan makanan lalu makan. Duduk di
dekat Buddha, Vedeha merasa sangat gembira.
Pada waktu itu, sewaktu mengumpulkan dà na makanan Thera
Nisabha sampai ke depan rumah Vedeha. Melihatnya, Vedeha
2491
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
bangkit dari duduknya dan mendekati Thera, dan dengan hormat
berkata, “Yang Mulia, mohon serahkan mangkukmu kepadaku.”
Thera mulia menyerahkan mangkuknya kepada Vedeha. “Silakan
masuk ke rumahku” Vedeha berkata, “Yang Agung masih duduk
di dalam.” “Tidaklah tepat jika aku masuk ke rumah,” jawab Thera.
sebab itu Vedeha mengisi mangkuk ini dengan makanan dan
menyerahkannya kembali kepada Thera.
sesudah mengantarkan Thera mulia lalu pulang ke rumah,
Vedeha duduk di dekat Buddha dan berkata, “Buddha Yang Agung,
walaupun aku memberitahunya bahwa Buddha Yang Agung masih
berada di dalam rumahku, ia tidak mau masuk. Apakah ia lebih
mulia daripada Engkau?”
Buddha tidak pernah memiliki vaõõamacchariya, keengganan untuk
memuji orang lain. sebab itu, Buddha menjawab sebagai berikut
segera sesudah pertanyaan diajukan:
“Penyumbang, sebab makanan kami datang ke rumahmu. Tetapi
Nisabha tidak pernah duduk untuk menunggu makanan. Kami
menetap di dekat desa. Tetapi Nisabha menetap di dalam hutan.
Kami menetap di bawah atap. Tetapi Nisabha menetap di tempat
terbuka. Ini yaitu kemuliaan Nisabha yang tidak lazim.”
Buddha menjelaskan kemuliaan Thera bagaikan menuang air ke
dalam lautan. Keyakinan Vedeha meningkat dengan kepuasan yang
lebih besar bagaikan menuangkan minyak ke dalam lampu yang
sedang menyala. Ia menyimpulkan, “Apalah gunanya kemewahan
surga dan manusia bagiku? Aku harus bertekad untuk menjadi yang
terunggul di antara para bhikkhu dhutavà da yang mempraktikkan
dhutaïga keras dan menasihati rekan-rekanku untuk melakukan
hal yang sama.”
Sekali lagi, si umat awam Vedeha mengundang Saÿgha yang
dipimpin oleh Buddha untuk makan keesokan harinya. Demikianlah
ia mempersembahkan DÃ na besar dan pada hari ke tujuh, ia
membagikan tiga helai kain jubah kepada masing-masing bhikkhu.
lalu ia menjatuhkan diri di kaki Buddha dan mengucapkan
2492
cita-citanya sebagai berikut:
“Buddha Yang Agung, dengan mengembangkan perbuatan yang
disertai cinta kasih (mettà -kà yakamma), ucapan yang disertai cinta
kasih (mettà -vacãkamma), dan pikiran yang disertai cinta kasih
(mettà -manokamma), aku melakukan kebajikan mahà dà na ini
selama tujuh hari. Aku tidak menginginkan kebahagiaan dewa,
kebahagiaan sakka atau kebahagiaan brahmà sebagai hasil dari
kebajikan ini. Sesungguhnya, semoga jasa ini dapat membantuku
dalam usaha untuk mencapai yang terunggul di antara mereka
yang melatih tiga belas praktik dhutaïga dalam masa Buddha
mendatang—posisi yang dicapai saat ini oleh Thera Nisabha.”
Buddha Padumuttara melihat ke masa depan dengan kekuatan batin-
Nya, “Apakah ia akan mencapainya atau tidak,” dan Beliau melihat
bahwa cita-citanya pasti akan tercapai, maka Buddha mengucapkan
kata-kata ramalan sebagai berikut,
“Penyumbang, engkau telah mengucapkan cita-citamu untuk
mencapai posisi yang engkau inginkan. Pada masa depan, di akhir
dari seratus ribu kappa mendatang, seorang Buddha bernama
Gotama akan muncul. Engkau akan menjadi siswa ketiga, bernama
Mahà Kassapa, dari Buddha Gotama!”
sesudah mendengar ramalan itu, si umat awam Vedeha merasa
bahagia seolah-olah ia akan mencapai posisi itu besok, sebab ia
mengetahui bahwa “Para Buddha mengucapkan kata-kata yang
benar.” Sepanjang hidupnya Vedeha selalu melakukan berbagai
bentuk kedermawanan, menjalani sãla, dan melakukan kebajikan
lainnya, dan saat meninggal dunia, ia terlahir kembali di alam
surga.
Kehidupan Sebagai Brahmana Ekasiñaka
Sejak saat itu si umat awam menikmati kemewahan di alam surga
dan alam manusia. Sembilan puluh satu kappa yang lalu Buddha
Vipassã muncul di dunia dan menetap di Taman Rusa Khemà dengan
Kota Bandhumatã sebagai sumber dà na makanan Beliau. Si umat
2493
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
awam lalu meninggal dunia dari alam surga dan terlahir
kembali dalam sebuah keluarga brahmana miskin.
Buddha Vipassã biasanya mengadakan pertemuan khusus sekali
setiap tujuh tahun dan membabarkan khotbah. Beliau melakukannya
sepanjang hari dan malam agar semua makhluk dapat menghadiri.
Pada siang hari Beliau berbicara sampai petang hari dan pada malam
hari ia berbicara sepanjang malam. Menjelang saat pertemuan
akan muncul keriuhan yang ditimbulkan oleh para dewa yang
mengembara di seluruh Jambådãpa, mengumumkan bahwa Buddha
akan membabarkan khotbah.
Sang brahmana, bakal Mahà Kassapa, mendengar berita itu. Tetapi
ia hanya memiliki satu jubah. Demikian pula istrinya, seorang
brahmana perempuan. Sedangkan untuk jubah luar, pasangan itu
hanya memiliki satu. Itulah sebabnya ia dikenal di kota itu dengan
sebutan Brahmana Ekasà ñaka, “Brahmana yang hanya memiliki
satu jubah”. Pada saat menghadiri pertemuan para brahmana untuk
membicarakan suatu urusan, sang brahmana akan pergi sendirian
meninggalkan istrinya di rumah; pada saat menghadiri pertemuan
para brahmana perempuan, sang brahmana tinggal di rumah; si istri
akan pergi sendirian mengenakan jubah luar satu-satunya itu.
Pada hari Buddha akan mengadakan pertemuan, Ekasà ñaka bertanya
kepada istrinya, “O Istriku, bagaimanakah ini? Apakah engkau akan
mendengarkan khotbah malam atau khotbah siang?” “Kami para
perempuan tidak dapat mendengarkan khotbah pada malam hari.
Aku akan menghadiri khotbah siang.” Dengan berkata demikian
ia (meninggalkan suaminya di rumah) pergi bersama umat-umat
perempuan dan penyumbang lainnya untuk menghadiri khotbah
siang, ia mengenakan jubah luar satu-satunya; sesampai di sana,
ia bersujud kepada Buddha, duduk di tempat yang semestinya
dan mendengarkan khotbah, lalu ia pulang bersama para
perempuan yang menyertainya. lalu , meninggalkan istrinya
di rumah, giliran sang brahmana mengenakan jubah luar dan pergi
ke vihà ra pada malam harinya.
Pada saat itu, Buddha Vipassã duduk dengan agung di atas
2494
Singgasana-Dhamma dan, sambil memegang kipas bundar, Beliau
mengucapkan kata-kata Dhamma bagaikan seorang yang berenang
di sungai di alam surga atau bagaikan seorang yang mengaduk lautan
sekuat tenaga dengan Gunung Meru sebagai tongkat pengaduknya.
Seluruh tubuh si Ekasà ñaka, yang duduk di barisan belakang para
hadirin dan mendengarkan, diliputi oleh lima jenis pãti yang sangat
hebat, yang terjadi pada jaga pertama malam itu. Sang brahmana
melipat jubah luarnya dan hendak mempersembahkannya kepada
Buddha. lalu muncul keengganan untuk melakukannya
sebab kekikiran (macchariya) muncul dalam dirinya dan
meningkat dalam bentuk pertimbangan akan seribu kerugian jika
melepaskan jubah itu. Saat kekikiran muncul dalam dirinya, ia
menjadi kehilangan minat untuk mempersembahkannya sebab
kekhawatiran yang meliputinya sebagai berikut, “Kami hanya
memiliki satu jubah luar untuk istriku dan diriku. Kami tidak
memiliki jubah pengganti. Dan kami tidak dapat pergi keluar tanpa
jubah ini.” Pada jaga kedua malam itu, lima jenis pãti muncul lagi
dalam batinnya, dan ia berkeinginan seperti sebelumnya. Pada
jaga terakhir malam itu, sekali lagi ia mengalami kegembiraan
yang sama. Namun kali ini, sang brahmana tidak membiarkan
kekikiran muncul dalam dirinya dan memutuskan, “Hidup atau
mati, aku akan memikirkan soal jubah nanti.” Dengan keputusan
ini, ia melipat jubahnya, meletakkannya di kaki Buddha dan dengan
sepenuh hati mempersembahkannya kepada Buddha. lalu ia
menepuk lengan kirinya dengan tangan kanannya tiga kali dan tiga
kali menyerukan, “Aku menang! Aku menang!”
Pada saat itu Raja Bandhuma, duduk di balik tirai di belakang
mimbar, sedang mendengarkan Dhamma. Sebagai seorang raja,
dialah yang menginginkan kemenangan; sebab itu, seruan “Aku
menang!” tidak menyenangkannya. Maka ia mengutus seseorang
untuk menyelidiki apa arti seruan itu. saat si penyelidik bertanya
kepada Ekasà ñaka, sang brahmana menjawab:
“Sahabat, semua pangeran dan para prajurit, menunggang gajah,
kuda dan membawa pedang, tombak, perisai dan pelindung,
mengalahkan pasukan lawan. Kemenangan yang mereka peroleh
tidaklah mengherankan. Sedangkan aku, bagaikan seorang yang
2495
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
memakai pentungan memukul kepala seekor kerbau sehingga
binatang itu lari, binatang itu mengikutinya dan menerkam
untuk membunuhnya dari belakang, dan aku telah mengalahkan
kekikiranku dan berhasil mempersembahkan jubah luarku kepada
Buddha. Aku telah mengatasi kekikiran yang tidak terlihat oleh
mata.”
Si penyelidik kembali dan melaporkan hal itu kepada raja.
Sang raja berkata, “Teman, kita tidak tahu apa yang seharusnya
kita lakukan terhadap Buddha. Tetapi brahmana itu tahu.” sesudah
mengatakan hal itu, raja mengirimkan satu perangkat jubah kepada
brahmana itu. Sang brahmana berpikir, “Raja tidak memberi
apa pun kepadaku saat aku tidak mengatakan apa-apa. Hanya
sesudah aku mengucapkan kemuliaan Buddha, ia memberiku ini.
Apa gunanya bagiku jubah ini yang muncul sebab kemuliaan
Buddha?” Dengan pikiran demikian, ia mempersembahkan jubah
ini kepada Buddha.
Sang raja menanyakan kepada pengawalnya apa yang dilakukan
brahmana itu atas jubah yang ia berikan dan mengetahui bahwa
orang miskin itu telah mempersembahkan jubah ini kepada
Buddha. Maka raja memberi dua perangkat jubah kepada
brahmana itu. Sekali lagi brahmana itu mempersembahkannya
kepada Buddha. Raja lalu memberi empat perangkat
jubah kepada brahmana itu, yang mempersembahkannya kepada
Buddha. Demikianlah raja menggandakan pemberiannya setiap kali
dan akhirnya memberi tiga puluh dua perangkat jubah kepada
brahmana itu. Kali ini brahmana itu berpikir, “Mempersembahkan
semuanya tanpa sisa hanya akan meningkatkan perolehanku atas
jubah.” sebab itu, dari tiga puluh dua perangkat jubah itu, ia
mengambil satu untuknya dan satu perangkat untuk istrinya dan
mempersembahkan sisanya kepada Buddha. Sejak saat itu, sang
brahmana bersahabat dengan Guru.
lalu pada suatu hari, pada malam yang sangat dingin, raja
melihat brahmana sedang mendengarkan khotbah Dhamma di depan
Buddha; raja memberi selimut merah yang sedang ia pakai yang
2496
bernilai seratus ribu, untuk menyelimutinya selama mendengarkan
Dhamma. Tetapi sang brahmana merenungkan, “Apa gunanya
menyelimuti tubuh busukku dengan selimut ini?” sebab itu ia
membuat kanopi dengan selimut itu dan mempersembahkannya
kepada Buddha sesudah memasangnya di atas dipan Buddha di dalam
Kuñã Harum. Tersentuh oleh sinar enam warna dari tubuh Buddha,
selimut itu menjadi terlihat lebih indah. Melihat selimut itu, raja
teringat dan berkata kepada Buddha, “Buddha Yang Agung, selimut
itu dulu yaitu milikku. Aku memberi nya kepada Brahmana
Ekasà ñaka untuk dikenakan sewaktu mendengarkan khotbah
Dhamma-Mu.” Buddha menjawab, “Tuanku, engkau menghormati
brahmana itu, dan brahmana itu menghormati-Ku.” Raja berpikir,
“Brahmana itu tahu apa yang harus dilakukan terhadap Buddha
tetapi kami tidak.” Berpikir demikian, ia memberi segala jenis
benda-benda berguna kepada sangbrahmana, berjumlah enam
puluh empat. Demikianlah ia melakukan persembahan yang disebut
aññhaññhaka kepada sang brahmana dan mengangkatnya sebagai
purohita (penasihat).
Memahami bahwa aññhaññhaka, ‘delapan kali delapan’, yang artinya
enam puluh empat, Purohita setiap harinya mempersembahkan
enam puluh empat porsi makanan untuk dibagikan kepada para
bhikkhu. Demikianlah ia melakukan dà na seumur hidupnya, dan
saat meninggal dunia, ia terlahir kembali di alam dewa.
Kehidupan Sebagai Perumah Tangga
Meninggal dunia dari alam dewa, bakal Mahà Kassapa terlahir
kembali dalam sebuah keluarga awam di Kota Bà rà õasã pada periode
Buddhantara antara Dua Buddha, Koõà gamana dan Kassapa, dalam
bhadda kappa ini. sesudah dewasa, ia menikah dan dalam menjalani
kehidupan rumah tangganya, suatu hari ia berjalan-jalan ke hutan.
Pada waktu itu seorang Pacceka Buddha sedang menjahit jubah
di tepi sungai, dan sebab ia tidak mempunyai cukup kain untuk
menyelesaikan jubah itu, ia melipat jubah yang belum selesai itu.
saat si perumah tangga itu melihat Pacceka Buddha, ia bertanya
mengapa ia melipat jubahnya. saat Pacceka Buddha menjawab
2497
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
bahwa ia melipat jubahnya sebab ia tidak memiliki cukup kain
untuk menyelesaikannya, ia mempersembahkan pakaiannya sendiri
dengan harapan, “Dalam kehidupan-kehidupanku berikutnya
dalam saÿsà ra, semoga aku tidak kekurangan harta benda.”
lalu , pada suatu hari di rumah si perumah tangga terjadi
pertengkaran antara istrinya dengan adik di perumah tangga.
Sewaktu mereka bertengkar, seorang Pacceka Buddha datang untuk
menerima dà na makanan. lalu adik si perumah tangga
mempersembahkan makanan kepada Pacceka Buddha itu dan
berkata, “Semoga aku selalu berada jauh darinya dalam jarak lebih
dari seratus yojanà .” Yang ia maksud dengan ‘nya’ yaitu istri si
perumah tangga. Sambil berdiri di pintu, istri mendengar doa itu,
dan berpikir “Semoga Pacceka Buddha itu tidak memakan makanan
yang dipersembahkan oleh perempuan lain,” ia mengambil mangkuk
si Pacceka Buddha dan membuang isinya serta mengisi mangkuk itu
dengan lumpur sebelum memberi nya kepada Pacceka Buddha.
Melihat apa yang dilakukan oleh sang istri, sang adik marah dan
berkata, “Hei, perempuan bodoh, engkau boleh menghinaku, atau
bahkan memukulku jika engkau menginginkannya; tetapi engkau
tidak boleh membuang makanan dan menggantinya dengan lumpur
dan memberi nya kepada Pacceka Buddha, yang telah memenuhi
Pà ramã dalam waktu yang sangat lama.”
Akhirnya istri si perumah tangga kembali pada akal sehatnya
dan berkata, “Mohon tunggu sebentar, Yang Mulia.” lalu ia
memohon maaf dan membuang lumpur dari mangkuk lalu
mencuci mangkuk itu sampai bersih dan menggosoknya dengan
bubuk harum. lalu ia mengisi mangkuk itu dengan
catumadhu, dan menuangkan mentega yang putih bagaikan warna
teratai putih, sehingga makanan itu terlihat cemerlang. Sambil
menyerahkan mangkuk itu kepada Pacceka Buddha, perempuan
itu berkata, “Bagaikan makanan ini yang bersinar, demikian pula,
semoga tubuhku memancarkan cahaya cmerlang.” Pacceka Buddha
mengucapkan kata-kata penghargaan, memberi berkah dan
terbang ke angkasa. Suami-istri itu melakukan kebajikan seumur
hidup mereka dan saat meninggal dunia, mereka terlahir kembali
di alam dewa.
2498
Kehidupan Sebagai Pedagang dari Bà rà õasã
Saat meninggal dunia dari alam dewa, si perumah tangga terlahir
kembali pada masa Buddha Kassapa di Kota Bà rà õasã sebagai putra
seorang pedagang kaya yang memiliki delapan puluh crore harta.
Demikian pula, istrinya terlahir menjadi seorang putri seorang
pedagang kaya lainnya.
saat dewasa, putri dibawa ke rumahnya dan menjadi istrinya.
sebab kejahatan masa lampaunya, akibatnya masih bersembunyi
sampai sekarang, segera sesudah ia melewati ambang pintu rumah,
bau busuk memancar dari tubuhnya. saat si putra pedagang
itu bertanya siapakah yang menyebabkan bau busuk itu dan
mengetahui bahwa bau busuk itu berasal dari pengantin perempuan
yang baru masuk, ia memerintahkan agar pengantin itu diusir
dan dikembalikan ke rumah orangtuanya dalam iring-iringan dan
kemegahan yang sama seperti saat ia datang. Demikianlah ia kembali
ke rumah orangtuanya dari tujuh tempat yang berbeda sebab
bau busuk yang muncul saat ia melewati ambang pintu. Sungguh
mengerikan akibat dari perbuatan jahat.
Pada waktu itu, saat Buddha Kassapa mencapai Parinibbà na,
orang-orang mulai membangun sebuah tempat pemujaan relik-relik
(dhà tu-cetiya) setinggi satu yojanà dengan bata-bata emas yang
bernilai seratus ribu dan terbuat dari emas murni. Sewaktu cetiya
itu sedang dibangun, perempuan itu berpikir, “Aku yaitu seorang
yang terpaksa pulang dari tujuh tempat. Apa gunanya aku hidup
lebih lama?” Maka ia menjual semua perhiasannya dan dengan
uangnya ia membuat sebuah bata emas, sepanjang satu lengan, lebar
setengah lengan dan tebalnya empat jari. Selanjutnya, ia membawa
bata emas itu beserta delapan kuntum bunga teratai menuju ke
tempat pembangunan cetiya.
Tepat pada saat itu, diperlukan sekeping bata untuk menutup celah
yang muncul saat lapisan bata keliling disusun. Maka perempuan
itu berkata kepada si tukang batu, “Mohon, Tuan, pakailah bata ini
untuk menutup celah itu.” “O Perempuan,” jawab si tukang batu,
“Engkau datang di saat yang sangat tepat. Lakukanlah sendiri.”
2499
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
sesudah diizinkan demikian, perempuan itu memanjat, sesudah
mengoleskan bahan-bahan dan cairan perekat, ia menutup celah itu
dengan batanya. lalu ia memberi hormat dengan meletakkan
kuntum-kuntum teratai di bata itu dan mengucapkan doa, “Dalam
kehidupan-kehidupanku di dalam saÿsà ra, semoga keharuman
cendana memancar dari tubuhku dan keharuman teratai memancar
dari mulutku!” sesudah memberi hormat kepada cetiya itu dengan
penuh hormat, ia pulang.
Pada waktu itu, putra si pedagang kaya, yang pertama didatangi
oleh perempuan itu, teringat padanya. Sebuah pesta diadakan
dengan meriah. Sang putra bertanya kepada para pelayannya,
“Dulu ada seorang gadis yang dibawa ke rumahku; di rumah
siapakah ia berada sekarang?” saat para pelayannya menjawab
bahwa gadis masih berada di rumah ayahnya, pemuda itu berkata,
“Teman-teman, pergi dan jemputlah dia. Mari kita menikmati pesta
ini bersamanya.” Demikianlah ia mengutus para pelayannya untuk
menjemputnya.
Saat mereka tiba di rumah si gadis, mereka memberi hormat dan
berdiri di sana. saat si gadis menanyakan maksud kunjungan
mereka, mereka mengatakan maksud kunjungan mereka. “Tuan-
tuan,” si gadis berkata, “Aku telah mempersembahkan semua
perhiasanku untuk menghormati cetiya. Aku tidak memiliki
perhiasan lagi yang dapat dikenakan.” Para pelayan itu melaporkan
hal itu kepada majikan mereka. “Jemput saja gadis itu” kata pemuda
itu, “Ia akan mendapatkan perhiasan.” Maka gadis itu dibawa
kepada pemuda itu. Begitu putri si pedagang itu memasuki rumah,
seluruh rumah itu diliputi oleh keharuman cendana serta teratai.
Putra si pedagang kaya bertanya, “Pertama kali engkau datang
ke sini, tubuhmu memancarkan bau busuk. Tetapi sekarang,
keharuman cendana memancar dari tubuhmu dan keharuman
teratai memancar dari mulutmu. Apakah alasannya?” saat si
gadis menceritakan seluruhnya, keyakinan pemuda itu bertambah
saat ia berpikir, “Ah, ajaran Buddha sungguh dapat membebaskan
dari lingkaran penderitaan!” Ia menyelimuti cetiya emas itu yang
2500
tingginya satu yojanà , dengan selimut beludru. Di sekeliling cetiya
itu, ia menambahkan hiasan-hiasan dalam bentuk bunga teratai
paduma dari emas yang memperindah cetiya ini , hiasan
bunga-bunga itu berukuran sebesar roda kereta. Tangkai-tangkai
dari teratai emas itu panjangnya dua belas lengan.
Kehidupan Sebagai Raja Nanda
sesudah melakukan berbagai kebajikan dalam kehidupan itu, sang
suami kaya dan istrinya hidup hingga umur kehidupan maksimum
dan lalu terlahir kembali di alam dewa saat mereka meninggal
dunia. Saat meninggal dunia dari alam itu, suami terlahir kembali di
tempat yang berjarak satu yojanà jauhnya dari Kota Bà rà õasã dalam
sebuah keluarga mulia sedangkan sang istri menjadi putri tertua
dalam istana di kota itu.
saat mereka berdua menginjak dewasa, diumumkan bahwa akan
diadakan sebuah pesta di desa tempat tinggal putra orang mulia
ini (Nanda). lalu Nanda meminta kepada ibunya sebuah
pakaian yang akan dikenakan pada waktu pesta, dan ia mendapatkan
sebuah pakaian bekas yang telah dicuci bersih. Sang putra meminta
pakaian lainnya dengan alasan bahwa pakaian itu sudah usang.
Sang ibu memberi pakaian lainnya sebagai pengganti, tetapi
ditolak juga sebab kasar. sesudah beberapa kali, sang ibu berkata,
“Kita yaitu keluarga mulia, Anakku. Kita tidak beruntung untuk
memiliki pakaian yang lebih baik dari ini.” “Kalau begitu, Ibu,
aku akan mencari pakaian yang lebih baik.” “Aku mendoakan,
Anakku,” jawab sang ibu, “agar engkau mendapatkan pakaian
Kerajaan Bà rà õasã ini untukmu hari ini juga.” Demikianlah sang ibu
memberi persetujuan dengan kata-kata berkahnya itu.
sesudah bersujud kepada ibunya, pemuda Nanda memohon izin
untuk pergi. Dan ibunya memberi izinnya. Tetapi ia mengizinkan
sebab yakin dengan pikiran, “Di manakah anakku akan pergi? Ia
tidak mempunyai tempat lain; ia akan tetap tinggal di rumahku.”
Nanda meninggalkan desanya dan pergi ke Bà rà õasã dan tertidur
dengan kepala tertutup di atas dipan batu di taman kerajaan. Hari
itu yaitu hari ketujuh sesudah kematian raja.
2501
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
Para menteri melakukan Ritual pemakaman dan mengadakan
rapat di halaman istana, berdiskusi, “Raja hanya memiliki seorang
putri. Siapakah yang akan menjadi raja?” Mereka mengusulkan
satu per satu untuk menjadi raja dengan mengatakan, “Jadilah raja
kami,” “(Jangan) Engkau harus menjadi raja.” lalu Brahmana
Purohita berkata, “Kita tidak melihat banyak orang (yang dapat
dipilih). Marilah kita mengutus kereta istana untuk mencari ia yang
layak!” Keputusan Purohita disepakati, dan mereka melepaskan
kereta istana yang diikuti oleh empat barisan pasukan deng





.jpeg)
.jpeg)





