Kitab klasik yang lebih dikenal dengan nama kitab kuning memiliki
peranan yang sangat penting dalam mengembangkan ajaran agama Islam Ini
menunjukkan bahwa kitab kuning penting untuk dipelajari. Ilmuan Islam
menulis karyanya berupa sebuah kitab yang berwarna unik yaitu kekuning-
kuningan yang dipelajari oleh Madrasah dan Pondok Pesantren.
Kitab yang berisi ilmu-ilmu keislaman, khususnya ilmu fikih, yang
ditulis atau dicetak dengan huruf Arab dalam bahasa Arab atau Melayu Jawa,
Sunda dan sebagainya. Kitab itu disebut “kitab kuning” sebab umumnya
dicetak di atas kertas berwarna kuning yang berkualitas rendah. Kadang-
kadang lembar-lembaranya lepas tak terjilid sehingga bagian-bagian yang
perlu mudah diambil. Biasanya, ketika belajar para santri hanya membawa
lembaran-lembaran yang akan dipelajari dan tidak membawa kitab secara
utuh. Ini sudah merupakan ciri khas dari kitab kuning itu sendiri sehingga
kitab ini menjadi kitab yang unik untuk dipelajari sebab dapat membawa
lembaran-lembaran yang akan dipelajari tanpa harus membawa keseluruhan
dari isi kitab ini .
Menurut Azyumardi Azra, “Kitab Kuning memiliki format sendiri
yang khas dan warna kertas “kekuning-kuningan”.1
Melihat dari warna kitab ini yang unik maka kitab ini lebih dikenal
dengan kitab kuning. Akan tetapi akhir-akhir ini ciri-ciri ini telah
mengalami perubahan. Kitab kuning cetakan baru sudah banyak memakai
kertas putih yang umum dipakai di dunia percetakan. Juga sudah banyak yang
tidak ”gundul” lagi sebab telah diberi syakl untuk memudahkan santri
membacanya. Sebagian besar kitab kuning sudah dijilid. Dengan demikian,
1
penampilan fisiknya tidak mudah lagi dibedakan dari kitab-kitab baru yang
biasanya disebut “al-kutub al-asriyyah“ (buku-buku modern). Perbedaannya
terletak pada isi, sistematika, metodologi, bahasa, dan pengarangnya.
Meskipun begitu, julukan “kitab kuning“ tetap melekat padanya.
Kitab kuning dipelajari terutama di pesantren memiliki bermacam-
macam ilmu keagamaan untuk mengembangkan ajaran agama dan
mengembangkan pendidikan agama bagi para siswa, agar mereka memiliki
keyakinan yang kuat dalam melaksanakan ibadah. Kitab kuning ini berasal
dari Timur Tengah.
Di daerah asalnya, yaitu Timur Tengah, kitab kuning disebut “al-kutub
al-qadimah “(buku-buku klasik) sebagai sandingan dari “al-kutub al-
”asriyah“ (buku-buku modern).
Al-kutub al-asriyah yang beredar di negara kita (di kalangan pesantren)
sangat terbatas jenisnya. Dari kelompok ilmu–ilmu syariat, yang sangat
dikenal ialah kitab–kitab ilmu fiqih, tasawuf, tafsir, hadist, tauhid (aqidah),
dan tarekh (terutama sirah nabawiyyah, sejarah hidup Nabi Muhammmad
S.A.W). Dari kelompok ilmu-ilmu nonsyariat, yang banyak dikenal ialah
kitab-kitab nahwu saraf, yang mutlak diperlukan sebagai alat bantu untuk
memperoleh kemampuan membaca kitab gundul. Dapat dikatakan bahwa
kitab kuning yang banyak beredar di kalangan pesantren yaitu kitab yang
berisi ilmu-ilmu syariat, khususnya ilmu fikih.
Kitab syariat seperti fikih2, tasauf3, tafsir4, hadits5, tauhid6, tarih, dan
kitab nonsyariat seperti nahwu7 dan saraf8semuanya ditulis dalam bahasa Arab
2
Fikih yaitu : Ilmu yang mempelajari tentang hukum-hukum syar‟iyah yang
berhubungan dengan perbuatan mukalaf
3
Tasauf yaitu : Salah satu dari jalan yang diletakkan Tuhan di dalam lubuk Islam dalam
rangka menunjukan kemungkinan pelaksanaan kehidupan rohani bagi jutaan manusia\ yang sejati
yang telah berabad-abad mengikut dan terus mengikuti agama yang diajarkan Al- Qur‟an.
4
Tafsir yaitu : Menjelaskan makna ayat ayat al-Qur‟an dari berbagai seginya, baik
konteks historisnya maupun sebab al-nuzulnya, dengan menggunakan ungkapan atau keterangan
yang dapat menunjuk kepada makna yang dikehendaki secara jelas.
5
Hadits yaitu : Perkataan, perbuatan, persetujuan yang datang dari Nabi Muhammad
SAW
13
pada kertas yang kuning dan tidak memakai baris (kitab gundul) sehingga
kitab ini juga disebut dengan kitab kuning.
Ada tiga ciri umum kitab kuning. Pertama, penyajian setiap materi
dalam satu pokok bahasan selalu diawali dengan mengemukakan definisi-
definisi yang tajam, yang memberi batasan pengertian secara jelas untuk
menghindari salah pengertian terhadap masalah yang sedang dibahas. Kedua,
setiap unsur materi bahasan diuraikan dengan segala syarat-syarat yang
berkaitan dengan objek bahasan bersangkutan. Ketiga, pada tingkat syarah
(ulasan atau komentar) dijelaskan pula argumentasi penulisnya, lengkap
dengan penunjukan sumber hukumnya.9
Kitab kuning dilihat dari sudut pandang memiliki berberapa unsur
yang penting untuk diketahui maka dari sudut pandang inilah dapat kita
ketahui dan dapat kita pahami arti dari kitab kuning. Di antara sudut pandang
itu yaitu :
1. Kandungan maknanya.
2. Kadar penyajian.
3. Kreativitas penulisan.
4. Penampilan uraian.
Dilihat dari kandungan maknanya, kitab kuning dapat dikelompokkan
menjadi dua macam, yaitu: 1) Kitab kuning yang berbentuk penawaran atau
penyajian ilmu secara polos (naratif ) seperti sejarah, hadis, dan tafsir; dan 2)
kitab kuning yang menyajikan materi yang berbentuk kaidah-kaidah keilmuan
seperti nahwu, usul fikih, dan mustalah al-hadis (istilah-istilah yang
berkenaan dengan hadis).
6
Tauhid yaitu : Ilmu yang secara khusus membahas masalah ketuhanan serta berbagai
masalah yang berkaitan dengannya berdasarkan dalil-dalil yang meyakinkan.
7
Nahwu yaitu : Kaedah-kaedah untuk mengenal bentuk kata-kata dalam bahasa Arab
serta kaidah-kaidahnya di kala berupa kata lepas dan di kala tersusun dalam kalimat.
8
Saraf yaitu : Kaedah-kaedah untuk mengenal perobahan kata-kata dan kalimat dalam
bahasa Arab
9
Sementara itu, dilihat dari kadar penyajiannya, kitab kuning dapat
dibagi atas tiga macam, yaitu: 1) mukhtasar, yaitu kitab yang tersusun secara
ringkas dan menyajikan pokok-pokok masalah, baik yang muncul dalam
bentuk nazam atau syi’r (puisi) maupun dalam bentuk nasr (prosa), 2) syarah,
yaitu kitap kuning yang memberikan uraian panjang lebar, menyajikan
argumentasi ilmiah secara komparatif, dan banyak mengutip ulasan ulama
dengan argumentasi masing-masing; dan 3) kitab kuning yang penyajian
materinya tidak terlalu ringkas tetapi juga tidak terlalu panjang
(mutawassitah).
Dilihat dari kreativitas penulisannya, kitap kuning dikelompokkan
menjadi tujuh macam. 1) kitap kuning yang menampilkan gagasan-gagasan
baru, seperti Kitab ar-Risalah (kitab usul fikih) karya Imam Syafi’i, al-Arud
wa al-Qawafi (kaidah-kaidah penyusunan syair) karya Imam Khalil bin
Ahmad al–Farahidi, atau teori–teori ilmu kalam yang dimunculkan Wasil bin
Ata, Abu Hasan al Asy’ari dan lain–lain. 2) Kitab kuning yang muncul
sebagai penyempurnaan terhadap karya yang telah ada, sebagai Kitab Nahwu
(tata bahasa Arab) karya as–Sibawaih yang menyempurnakan karya Abul
Aswad ad–Duwali. 3) Kitab kuning yang berisi komentar (syarah) terhadap
kitab yang telah ada, seperti Kitab Hadis karya Ibnu Hajar al-Asqalani yang
memberikan komentar terhadap kitab Sahih al-Bukhari. 4 ) Kitab kuning yang
meringkas karya yang panjang lebar, seperti Alfiah Ibn Malik (buku tentang
nahwu yang disusun dalam bentuk syair sebanyak 1.000 bait) karya Ibnu Aqil
dan Lubb al-Usul (buku tentang usul fikih) karya Zakaria al-Alansari sebagian
ringkasan dari Jam’ al–Jawani’ karangan as-Subki. 5) Kitab kuning yang
berupa kutipan dari berbagi kitab lain, seperti Ulum Al-Qur’an (buku tentang
ilmu-ilmu Al-Qur’an) karya al–Aufi. 6) Kitab kuning yang memperbaharui
sistematika kitab-kitab yang telah ada, seperti Kitab Ihya Ulum ad-Din karya
Imam al-Gazali. 7) Kitab kuning yang berisi kritik dan koreksi terhadap kitab-
kitab yang telah ada, seperti Kitab Mi’yar al-Ilm (sebuah buku yang
meluruskan kaidah–kaidah logika) karya al-Gazali.
15
Adapun dilihat dari penampilan uraiannya, kitab kuning memiliki lima
dasar yaitu: 1) Mengulas pembagian sesuatu yang umum menjadi khusus,
sesuatu yang ringkas menjadi terperinci, dan seterusnya. 2) Menyajikan
redaksi yang teratur dengan menampilkan beberapa pernyataan dan kemudian
menyusun kesimpulan. 3) Membuat ulasan tertentu ketika mengulangi uraian
yang dianggap perlu, sehingga penampilan materinya menarik dan pola
pikirnya dapat lurus. 4) Memberikan batasan-batasan jelas ketika penulisnya
menurunkan sebuah definisi. dan 5) Menampilkan beberapa ulasan dan
argumentasi terhadap pernyataan yang dianggap perlu.10
Maka dapatlah dikelompokan kitab kuning berdasarkan kepada
cirinya, kandungan maknanya, kadar penyajiannya, kreativitas penulisannya,
penampilan uraiannya, dari keseluruhan kitab kuning yang dipelajari ataupun
yang tidak dipelajari oleh madrasah maupun pesantren tapi keseluruhan kitab
kuning yang ada memiliki karakteristik/corak yang berbeda-beda.
Setiap cabang ilmu merupakan sistem tertutup dan di satu ilmu boleh
jadi terdapat dalil-dalil dan pandangan bertentangan dengan yang di cabang
ilmu lain. Para filosof dan mutakallim, sufi dan ahli metafisika, fakih dan ahli
hadis masing-masing punya wacana sendiri, kadang-kadang bertentangan satu
dengan yang lain.
Penulisan kitab kuning oleh ulama zaman dahulu merupakan tradisi
keilmuan Islam sebab , “hampir pada tiap-tiap masalah terdapat lebih dari satu
pendapat atau pendekatan berbeda dalam tradisi keilmuan Islam. Kalaupun
ada perkembangan dalam tradisi keilmuan-yang terkadang terjadi akibat
perkembangan politik-itupun biasanya dalam bentuk pergeseran antar disiplin,
di mana satu disiplin lebih mendapat perhatian daripada sebelumnya,
sedangakn disiplin lain mundur. Banyak gerakan reformis, misalnya, telah
menekankan fikih dari pada tasawuf dan tauhid, sementara gerakan reformis
belakangan malah lebih menekankan kepada hadis dari pada mazhab fikih
yang sudah mapan.
Kita sering merasakan unsur populis atau suasana anti elite di kalangan
pendukungkung hadis. Elit ulama sering mengklaim hak-hak istimewa sebab
mereka memiliki ilmu canggih yang langka. Pokok hadis relative sederhana
dan dapat dipahami tanpa pendidikan khusus; selain itu semua hadis didukung
wewenang Nabi. sebab itu, suatu hadis bisa dianggap sebagai argumen lebih
kuat dari seluruh ilmu intelektual. Secara keseluruhan, ilmu-ilmu intelektual
(al-um al-aqliyah) seperti logika, filsafat, metafisika, kalam, ketabiban (thibb)
semenjak zaman klasik sedikit demi sedikit harus memberi lapangan kepada
ilmu-ilmu agama dalam arti sempit (al-ulum al-naqliyah: studi hadis, tafsir
tradisional dan sebagainya). Proses ini pemiskinan tradisi intelektual Islam.11
Sebagai intelektual muslim penguasaan kitab kuning sangat diperlukan
untuk tempat rujukan. Maka madrasah dan pesantren berperan aktif melatih
dan mendidik siswa untuk mahir dalam penguasaan kitab kuning.
B. Metode Pembelajaran Kitab Kuning
Untuk mengetahui metodologi pengajaran Kitab kuning, terlebih
dahulu diperlukan pengertian metodologi itu sendiri, Menurut Ismail SM,
Kata metodologi berasal dari bahasa Yunani “metha” yang berarti melalui dan
“hudos” yang berarti jalan atau cara, sedangkan “lugos” (yang kemudian logi)
berarti ilmu pengetahuan. Dengan demikian makna kata “methodologi” berarti
ilmu pengetahuan yang membahas tentang jalan atau cara yang harus dilalui.12
Berdasarkan kutipan di atas bahwa kata methodologi berasal dari
bahasa Greek yang berarti: Ilmu pengetahuan yang membahas tentang jalan
atau cara yang harus dilalui. Dalam hubungannya dengan proses belajar
mengajar methode mengajar (teaching method) yaitu suatu alat yang
penerapan diarahkan untuk mencapai tujuan- tujuan yang dikehendaki sesuai
dengan tujuan yang dirumuskan dalam program pengajaran. Di samping itu
pencampaian tujuan ini harus pula sistematis dan terformulasi sehingga
11
Martin Van Belinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat, (Bandung: Mizan,
1995),. h. 17
12
Ismail, Strategi Pembelajaran, (Semarang: Rasail, 2008) h. 7
17
ia dapat membentuk cara kerja ilmu perngetahuan yang dapat memberikan
jawaban atas pertanyaan yang lahir dalam rangka pengembangan metode itu
sendiri. Sehubungan dalam hal ini, dalam buku methodik khusus pelajaran
agama Islam dikatakan pula sebagai berikut: secara bahasa ”methodik” itu
berasal dari kata ”metode” (method), metode berarti suatu cara kerja yang
sistematis dan umum, seperti cara kerja ilmu pengetahuan lain, ia merupakan
jawaban atas pertanyaan ”bagaimana” methodik (methodentic) artinya
(methodologi) methodology yaitu suatu penyelidikan yang sistematis dan
formulasi metode-metode yang akan digunakan dalam penelitian.13
Dari kutipan di atas jelas bahwa metodologi berarti salah satu kerja
yang sistematis sehingga hasilnya dapat diformulasikan dengan menggunakan
metode itu sendiri, oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa metode ini akan
mengurangi kemungkinan berbuat salah, atas pilihan dari bermacam-macam
tindakan, bahkan lebih jauh akan membuat si pelaksana tugas atau guru dapat
mencapai tujuan dengan tepat dan cepat hasilnya dapat diyakini, dan kalau
perlu dapat diperiksa kembali jalan pengajaran itu, dengan menyusun kembali
jalan pengajaran itu dapat menemukan kelemahan-kelemahan yang telah
dilakukan, dan dengan itu bisa diperbaiki.
Hal yang demikian tidak mudah atau sukar dilakukan, jika tidak
mengikuti metode yang tepat, guru dituntut menguasai metode pengajaran,
agar bahan pelajaran yang diajarkan diterima dan dicerna oleh siswa.
Kitab kuning pada umumnya berbahasa Arab dan tidak memiliki
harakat maka dibutuhkan juga suatu metode untuk mengajarkan bagaimana
kitab ini dapat dibaca oleh para siswa, dan sebelum menterjemahkan dan
menguraikan materi pelajaran kitab kuning sudah barang tentu dibahas
matannya atau tata bahasanya.
Penguasaan metode ini dalam mengajarkan kitab kuning harus
mencangkup berbagai unsur penting seperti yang dikemukakan Drs. HD.
Hidayat, MA. Sebagai pengertian metode belajar yang dikutip sebagai berikut:
Pengertian metode mengajar:
a. Memilih materi pelajaran yang hendak diajarkan.
b. Menyusun (mengurutkan) materi yang telah dipilih berdasarkan tingkat
serta jenjang pendidikan.
c. Mengunakan teknik mengajar termasuk media pengajaran
d. Evaluasi.
Dari kutipan di atas diketahui bahwa unsur metode itu meliputi empat
unsur, unsur-unsur ini merupakan yang harus ada dalam metode pengajaran,
apakah ia dalam berbentuk metode mengajar matan dan terjemahan yang
banyak diterapkan di pondok-pondok pesantren maupun metode aural atau
oral aproach (takiyah, sam'iyah, safawiyah) yang diterapkan di madrasah
negeri seperti MTs.
Dalam metode aural, para ahli bahasa Arab lebih banyak berorientasi
kepada sistem bunyi, bentuk kata dan struktur kalimat. Para ahli bahasa dalam
menerapkan metode ini bertumpu kepada hipotesis yang dapat dikutip sebagai
berikut:
1. Bahasa itu yaitu percakapan bukan tulisan.
2. Bahasa yaitu kebiasaan yang teratur.
3. Yang perlu dipelajari pertama yaitu bahasa bukan tentang bahasa (analisa
bahasa yang biasa ditemui dibuku qawaid)
4. Bahasa yaitu apa yang diucapkan oleh (penutur) artinya (abna lughah)
bukan yang seharusnya mereka katakan.
5. Bahasa di dunia berbeda yang satu dengan yang lain.14
Lima hipotesis para ahli bahasa seperti yang diungkapkan di atas,
sangat berpengaruh pada metode sam'iyah, safawiyah dalam pengajaran dan
merupakan ciri-ciri penerapannya sebagai berikut:
1. Kegiatan proses belajar mengajar yang pertama kali dilakukan, bertujuan
agar pengajar menguasai bahan pelajaran secara lisan terlebih dahulu,
sebelum diperlihatkan kepada mereka bagaimana tulisannya (prinsip 1).
Dalam hal ini hendaknya guru betul-betul melatih mereka bagaimana
mengucapkan huruf dan kalimat dengan intonasi yang baik.
Jadi, metode ini mengajarkan empat keterampilan bahasa secara
berimbang dengan urutan sebagai berikut: istima (menyimak), kalam
(berbicara), qiraat (membaca), kitabah (menulis)
2. Langkah pertama dalam mengajar bahasa asing dengan metode ini ialah
mengajarkan dialog-dialog yang mengandung ungkapan sebagai berikut :
- Yang digunakan penutur asli sehari-hari (prinsip 4)
- Meliputi pola kalimat atau susunan kalimat tertentu yang sengaja akan
dilatihkan selanjutnya, bagi pemula tentu saja struktur kalimat dasar
yang tinggi frekwensinya. Sedangkan kosa kata yang arus diberikan
masih terbatas sekali pada tingkat pemula ini, sebab paling penting di
sini dalah pelajar menguasai struktur atau pola kalimat.
3. Susunan atau pola kalimat dengan cara meniru dan menghafal secara
intensif, dengan tujuan agar pelajar menguasi benar susunan atau pola
kalimat itu, sehingga mampu mengucap secara optimis, setiap kali
diperlukan (prinsip 3)
4. Materi dan proses belajar mengajar berjalan dari yang mudah kepada yang
sulit
5. Metode kitab kuning ini memberikan pemahaman kepada siswa tentang
maksud dari satu materi yang dipelajari boleh jadi dalam penyampian
materi guru kitab kuning menggunakan kamus atau buku panduan lainnya
untuk tambahan bagi siswa, dalam menjelaskan makna suatu kata atau
kalimat, guru menggunakan berbagai media pengajaran yang sesuai
(sebagaimana metode langsung seperti gambar, model sampel,
dramatisasi) jadi guru kitab kuning diberi kebebasan dalam memakai
metode untuk pengajaran kitab kuning ini sebab yang dibutuhkan dalam
pengajaran kitab kuning ini yaitu memberi pemahaman dan
pengertian yang cukup kepada para siswa. Proses terjemahan kitab kuning
dilakukan dengan cara menterjemahkan menurut nahwu dan saraf
(Qawaid) sebab makna dan maksud dari suatu kalimat tergantung pada
20
bentuk kalimatnya, oleh sebab ini pelajaran nahwu dan syaraf sangat
penting dipelajari sebagai dasar dari kitab kuning.
6. Qawaid (Tata bahasa dalam bahasa Arab) yaitu salah satu unsur untuk
dapat membaca kitab kuning bagaimana memberi suatu harakat sebuah
kalimat makan. Qawa’id ini sangat dibutuhkan sebab betul dan salahnya
suatu bacaan dalam membaca kitab kuning tergantung kepada qawa’idnya.
Qawaid ini memiliki tiga unsur yaitu:
- Nahwu.
- Saraf.
- Balagah.
Tiga unsur dalam qawaid ini merupakan kunci dari membaca kitab kuning
dan juga disebut sebagai kitab gundul sebab tidak memiliki harakat.
Pengajaran kitab kuning yang merupakan pelajaran pokok pada madrasah
dan pesantren yang diajarkan mayoritas oleh para kyai yang sudah
memiliki kemapuan menguasi kitab kuning. Di dalam memberikan
pengajaran kitab kuning kepada para siswa guru yang mengajar kitab
kuning memiliki gaya seni mengajar yang berebeda-beda baik di madrasah
maupun di pesantren.
Bila dilihat dari sistem pengajaran yang diterapkan di dunia pesantren,
memang terdapat kemiripan dengan tata laksana pengajaran dalam ritual
keagamaan Hindu, dimana terdapatnya penghormatan yang besar oleh murid
(santri) kepada kiainya. Sehubungan dengan hal ini Cak Nur menggambarkan,
kyai duduk diatas kursi yang dilandasi bantal dan para santri duduk
mengelilinginya. Dengan cara begini timbul sikap hormat dan sopan oleh para
santri terhadap kyai seraya dengan tenang mendengarkan uraian-uraian yang
disampaikan kyainya.15 Sehingga peran kyai sangat fenomenal dan signifikan
dalam keberlangsungan atau eksistensi sebuah pesantren, sebab kyai yaitu
sebuah elemen dasar sebuah pesantren.16
Pesantren itu terdiri dari lima elemen pokok ,yaitu kyai, santri, masjid,
pondok, dan pengajaran kitab-kitab klasik. Kelima elemen ini merupakan
ciri khusus yang dimiliki pesantren dan membedakan pendidikan pondok
pesantren dengan lembaga pendidikan dalam bentuk lain. Sekalipun kelima
elemen ini saling menunjang eksistensi sebuah pesantren, tetapi kyai
memainkan peranan yang begitu sentral dalam dunia pesantren.
Unsur-unsur kunci Islam tradisional yaitu lembaga pesantren sendiri,
peranan dan kepribadian kyai (anjengan, tuan guru, dan lain sebagainya
tergantung daerahnya) yang sangat menentukan dan karismatik-karismatik
persis sebagaimana dalam pengertian Weberian. Sikap hormat, takzim dan
kepatuhan mutlak kepada kyai yaitu salah satu nilai pertama yang
ditanamkan kepada setiap santri. Kepatuhan itu diperluas lagi, sehingga
mencakup penghormatan kepada para ulama sebelumnya dan, a fartiori,
ulama yang mengarang kitab-kitab yang dipelajari. Kepatuhan ini, bagi
pengamat luar, tampak lebih penting dari pada usaha menguasia ilmu; tetapi
bagi kyai merupakan bagian integral ilmu yang akan dikuasai. Hasyim
Asy’ari, founding father NU, misalnya dikenal sangat mengagumi tafsir
Muhammad Abduh, namun ia tidak suka santrinya membaca kitab tafsir
ini . Keberatannya bukan terhadap rasionalisme ’Abduh, tetapi ejekan
yang ditunjukkannya terhadap ulama tradisional.
Meskipun materi yang dipelajarinya terdiri dari teks tertulis,namun
penyampaiannya secara lisan oleh para kyai yaitu penting. Kitab dibacakan
keras-keras oleh kyai didepan sekelompok santri, sementara para santri yang
memegang bukunya sendiri memberikan harakat sebagaimana bacaan sang
kyai dan mencatat penjelasannya, baik dari segi lughawi (bahasa) maupun
ma’nawi (makna). Santri boleh jadi mengajukan pertanyaan, tetapi biasanya
terbatas pada konteks sempit kitab itu. Jarang sekali adanya usaha. Kyai jarang
menanyakan apakah santri benar-benar memahami kitab yang dibacakan
untuknya, kecuali pada tingkat pemahaman lughawi. Kitab-kitab yang bersifat
pengantar sering dihapalkan, sementara kitab-kitab advanced hanya dibaca
22
saja dari awal sampai akhir. (Namun, dalam lingkungan kecil tamatan
pesantren, ada diskusi kitab untuk mencari kerelevansi kekiniannya, baik
secara historis maupun kultural). Barangkali, mayoritas pesantren sekarang
menjalankan sistem madrasah-ada kenaikan kelas, kurikulum yang baku dan
ijazah-namun terdapat juga banyak pesantren penting yang masih menerapkan
metode tradisional, di mana beberapa santri kitab tertentu di bawah bimbingan
sang kyai. Setelah santri menamatkan kitab yang dipelajarinya, mereka
mendapat ijazah (biasanya diberikan secara lisan), dan setelah itu mereka
biasa berpindah ke pesantren lain untuk belajar kitab lain. Banyak kyai yang
terkenal sebagai spesialis sejumlah kitab tertentu. Di samping mengajarkan
kitab-kitab khusus kepada para santrinya, juga mengadakan pengajian
mingguan untuk umum di mana dibahas kitab-kitab yang relative sederhana.17
Pelaksanaan pengajaran kitab kuning berbeda dengan pelaksanaan
pelajaran lainnya ini dapat digambarkan pada teori yang dipakai oleh kyai
seperti, seorang kyai berada di hadapan para siswa atau santrinya dan
membacakan sebuah kitab maka, para siswa atau santrinya mendengarkan
dengan seksama agar bacaan kitab itu dapat mereka pahami dengan benar,
setelah kyai membacakan sebuah kitab maka kyai biasa menanyakan kepada
siswanya tentang kalimat Arab yang dibacakan, untuk pertama kali pengajaran
ditujukan kepada kalimat Arabnya sebab untuk memahami makna/maksud
dari sebuah kitab harus terlebih dahulu memahami kalimatnya. Sedangkan
pelajaran selain kitab kuning seorang pendidik cuma memberikan uraian/
penjabaran materi kepada siswanya.
Di dalam menyajikan materi kitab kuning ada pembahasan yang harus
untuk diajarkan yaitu, kalimat Arabnya, makna/artinya, tujuan dan
maksudnya. Penguasan terhadap kalimat (matan) sangat diutamakan karna
maksud dan tujuan dari pengarang berdasarkan kepada bentuk kalimatnya
(tata bahasanya).
Di pesantren umumnya kitab kuning diajarkan dengan dua sistem,
yaitu sistem sorogan dan bandungan. Pada pengajaran dalam sistem soragan,
santri satu per satu secara bergiliran menghadap kyai dengan membawa kitab
tertentu. Kyai membacakan beberapa baris dari kitab itu dan maknanya,
kemudian santri mengulangi bacaan kyainya. Biasanya sistem sorogan
dilakukan oleh santri yang masih yunior dan terbatas pada kitab-kitab yang
kecil saja. Adapun sistem bandungan yaitu pengajaran kitab kuning secara
klasikal. Semua santri menghadap Kyai bersamaan. Kyai membacakan isi
kitab itu dengan makna dan penjelasan secukupnya, sementara para santri
mendengar dan mencatat penjelasan Kyai di pinggir halaman kitabnya. Cara
belajar seperti ini paling banyak dilakukan di pesantren. Dengan sistem
bandungan kitab-kitab yang besar seperti Sahih al-Bukhari dapat selesai
diajarkan dalam waktu yang relatif singkat, seperti sebulan Ramadhan yang
dilakukan KH. Hasyim Asy’ari di Pesantren Tebuireng, Jombang.18
Penggaliaan hasanah budaya Islam melalui kitab-kitab klasik salah
satu unsur terpenting dari keberadaan sebuah pesantren dan yang membedakan
dengan lembaga pendidikan lainnya. Pesantren sebagai lembaga pendidikan
Islam tradisional tidak dapat diragukan lagi berperan sebagai pusat transmisi
dan desiminasi ilmu-ilmu keislaman, terutama yang bersifat kajian-kajian
klasik. Maka pengajaran “kitab-kitab kuning” telah menjadi karateristik yang
merupakan ciri khas dalam proses belajar mengajar di pesantren.19
Untuk mendalami kitab-kitab klasik ini , menurut Nurcholish
Madjid biasanya dipergunakan sistem weton dan sorogan, atau lebih dikenal
dengan sorogan dan bondongan.20 Weton yaitu pengajian yang inisiatifnya
berasal dari kyai sendiri baik dalam menentukan tempat, waktu, maupun
lebih-lebih lagi kitabnya. Sedangkan, sorongan yaitu pengajian yang
merupakan permintaan seseorang atau beberapa orang santri kepada kyainya
untuk diajarkan kitab tertentu. Pengajian dengan sistem sorongan ini biasanya
diberikan kepada santri-santri yang cukup maju khususnya yang berminat
menjadi kyai21.
Santri-santri ini selama di pesantren diajarkan kitab-kitab klasik,
yang lebih di kenal dengan kitab kuning. Kitab kuning sebagai salah satu
unsur mutlak dari proses belajar-mengajar di pesantren sangat penting dalam
membentuk kecerdasan intelektual dan moralitas kesalehan (kualitas
beragama) pada diri santri (thalib)22.
Berdasarkan uraian di atas dapat penulis tarik kesimpulan bahwa
metodologi pengajaran bahasa Arab ialah : suatu ilmu pengetahuan yang
membahas tentang jalan atau cara yang harus dilalui secara sistematis dan
terformulasi, dan menjadi alat bagi guru dalam menyampaikan tujuan
pengajaran kitab kuning, dan memudahkan bagi siswa atau santri mencerna
kitab kuning ini dan menerapkannya.
C. Eksistensi Pembelajaran Kitab Kuning
Jamaluddin Athiyah, seorang ilmuan kontemporer Mesir dan penyusun
buku Turas al–Fiqh al–Islami (Warisan fikih Islam), menyebutkan setidaknya
ada tiga alasan mengapa kitab kuning tetap perlu dikaji, yaitu: pertama,
sebagai pengantar dari langkah ijtihad dan pembinaan hukum Islam
komtemporer; kedua, sebagai materi pokok dalam memahami, menafsirkan,
dan menerapkan bagian-bagian hukum positif yang masih menempatkan
hukum Islam atau mazhab fikih tertentu sebagai sumber hukum, baik secara
histories maupun secara resmi; ketiga, sebagai upaya untuk memenuhi
kebutuhan umat manusia secara universal dengan memberikan sumbangan
bagi kemajuan ilmu hukum sendiri melalui studi perbandingan hukum
(dirasah al–qanun al–muqaran)
2
Terhadap kitab kuning ada tiga sikap yang ditunjukkan para peminat
studi Islam. Pertama, sikap menolak secara apriori terhadap semua kitab
kuning dengan alasan bahwa pemikiran ulama yang tertuang dalam kitab–
kitab ini sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan tuntutan hidup
zaman modern. Kedua, sikap menerima sepenuhnya dengan alasan bahwa
pendapat–pendapat ulama yang terdapat di dalamnya sudah dianggap baku
dan telah disepakati secara ijmak oleh kaum muslimin. Sikap ini tampak pada
diri para pendukung mazhab fikih tertentu; mereka menerima sepenuhnya
kitab kuning dalam bidang fikih mazhabnya. Ketiga, sikap menerima secara
kritis, yaitu menerima pendapat–pendapat ulama yang tertuang di dalam kitab-
kitab kuning terlebih dahulu meneliti kebenarannya.24 Maka dibutuhkan suatu
lembaga formal untuk mengajarkan kitab kuning kepada peserta didik baik itu
pesantren maupun madrasah.
Salah satu tradisi mengembangkan ajaran Islam yaitu dengan cara
memberikan bimbingan kepada para peserta didik untuk mempelajari kitab
kuning. Kitab kuning memberikan arti agama seluas-luasnya ini terbukti
dengan banyaknya pendapat dalam satu masalah agama, dan juga kitab kuning
merupakan tempat merujuk kepada permasalahan agama yang tidak kita
pahami dari al- Qur’an. Kalau dilihat secara teliti peranan kitab kuning dalam
membimbing ilmuan muslim sangat berpengaruh besar ini dapat dibuktikan
bahwa para intelektual muslim merujuk kepada kitab kuning, Walaupun
sekarang suadah banyak kitab kuning diterjemahkan kedalam bahasa
negara kita . Untuk menjadi seorang intelektual muslim sangat dibutuhkan
penguasaan terhadap kitab kuning.
Titik esensi dan sumber pokok dari diskursus kitab kuning sebagai
literatur keagamaan Islam tak bisa tidak yaitu wahyu Allah yang
disampaikan kepada Nabi Muhammad sehingga berwujud Al–Quran. Esensi
dan sumber pokok ini kemudian dilengkapi dengan sumber kedua, yakni
sunnah atau hadits Rasulullah S.A.W. Wahyu yang berasal dari Allah S.W.T
yaitu sumber pengetahuan yang mutlak; dan hanya Nabi Muhammad Saw
yang dilimpahi rahmat untuk menerima wahyu ini dari malaikat. Pada
pihak lain, hadits sebagai sumber diskursus kitab kuning berada pada level
kedua dari segi kemutlakannya, khususnya hadist shahih mutawatir.25 Oleh
sebab itu maka sangat diharapkan kepada para peserta didik pada
madarasah/pesantren yang merupakan suatu lembaga pengajaran agama Islam
yang menitik beratkan kepada penguasaan kitab kuning.
Dilihat dari realita sekarang ini kitab kuning sudah mulai terbelakang
dengan semakin banyaknya bermunculan terjemahan dari kitab kuning maka
kebanyakan dari masalah agama hanya melihat kepada terjemahannya saja. Ini
membuktikan bahwa betapa lemahnya umat Islam. Oleh sebab ini peran
madrasah dan pesantren sangat menentukan nasib kitab kuning untuk masa
yang akan datang.
Tetapi jelas, bahwa wahyu dan hadits bukan satu–satunya sumber
diskursus kitab kuning. Akal kemudian juga memainkan peran penting dalam
diskursus kitab kuning. Akal dalam batas-batas tertentu memainkan peran
yang tidak bisa dikesampingkan dalam menafsirkan, memperjelas,
mengembengkan dan merinci apa yang diperoleh melalui wahyu dan hadits.
Seperti bisa diharapkan, apa yang bisa dihasilkan oleh akal bukanlah sesuatu
yang mutlak; ia tak lebih dari pada sekedar hasil ijtihad, yang bisa benar dan
bisa salah – terlepas dari tingkatannya, bisa berbeda dari satu individu atau
kelompok kepada individu atau kelompok lainnya.
Secara esensial seluruh kitab kuning mendasarkan diskursusnya pada
epistimologi ini. Namun, pada tingkat yang lebih praktis, hampir seluruh kitab
kuning yang ditulis para ulama atau pemikir asli negara kita , selain
mendasarkan diri pada ketiga sumber ini , juga berpijak pada hasil-hasil
pemikiran ulama yang diakui otoritasnya. Pengakuan dan kredit otoritas
tempat bersandar itu biasanya disebutkan secara eksplisit. Ini secara implisit
menunjukkan metode ilmiah yang menjadi salah satu aspek penting dari
pembahasan epistemologi itu sendiri, sebagaimana dikemukakan diatas. Inilah
salah satu cara untuk menunjukkan validitas atau kesahihan dari diskursus
yang dikemukakan dalam kitab kuning26.
Selain itu, kesahihan itu juga diungkapkan melalui penggunaan isnad
atau silsilah keilmuan. Dalam silsilah ini diungkapkan mata rantai yang
berkesinambungan antara murid dan guru dalam transmissi keilmuan.
Semakin terkenal otoritas figure–figure yang ini kan dalam silsilah
keilmuan itu, maka semakin otoritiflah silsilah atau isnad ini dan, sebagai
konsekuensinya, semakin shahih pulalah diskursus yang disampaikan melalui
karya bersangkutan. Isnad semacam itu biasanya disebut sebagai al–isnad al-
ali (superior isnad). Terdapat beberapa ulama asal negara kita yang juga
menggunakan metode ini, termasuk al–Sinkili, Mahfuzh al-Termasi, dan
terakhir sekali Muhammad Isa ibn Yasin al–Padangi (w 1990).
Tetapi dengan penggunaan otoritas dalam diskursus kitab kuning karya
ulama asal negara kita –melalui dua metode tadi–bisa muncul persoalan tentang
“keaslian“ (orisinalitas) diskursus yang mereka kemukakan. Lagi–lagi
persoalan orisinalitas dalam suatu karya keilmuan bukanlah perkara yang
mudah, apalagi di lapangan keilmuan agama, yang dibatasi oleh pola dan
batas–batas yang relative baku, seperti terlihatnya misalnya dalam setiap
diskursus dalam fiqh, atau bahkan kalam. Sehingga karya–karya keilmuan
yang datang belakangan terlihat seolah–olah hanya “mengulang“ apa yang
pernah ditulis dan disampaikan para ulama penulis terdahulu.
Hampir tidak dirgukan lagi kitab kuning memiliki peran besar tidak
hanya dalam transmissi ilmu pengetahuan Islam, bukan hanya di kalangan
komunitas santri, tetapi juga di tengah masyarakat muslim negara kita secara
keseluruhan. Lebih jauh lagi, kitab kuning–khususnya yang ditulis oleh para
ulama dan pemikir Islam di kawasan ini merupakan refleksi perkembangan
intelektualisme dan tradisi keilmuan Islam negara kita . Bahkan, dalam batas
tertentu, kitab kuning juga merefleksikan perkembangan sosial Islam.
D. Faktor yang Mempengaruhi Pelaksanaan Pembelajaran Kitab Kuning
Dalam proses belajar mengajar kitab kuning atau dalam melaksanakan
pembelajaran kitab kuning, perlu diperhatikan beberapa faktor yang
mempengaruhi pelaksanaannya. Sedangkan faktor-faktor ini ikut
menentukan berhasilnya pelaksanaan pembelajaran kitab kuning. Faktor-
faktor yang mempengaruhi pelaksanaan pembelajaran agama ada enam, yang
antara satu faktor dengan faktor lainnya memiliki hubungan yang erat
sekali.
Adapun faktor-faktor ini yaitu :
1. Faktor peserta didik (siswa)
2. Faktor pendidik (guru)
3. Faktor tujuan pembelajaran
4. Faktor bahan pelajaran
5. Faktor alat-alat pembelajaran
6. Faktor lingkungan dan situasi kelas
Dalam melaksanakan metodologi pembelajaran kitab kuning keenam
macam faktor ini di atas harus diperhatikan sebab faktor-faktor itu dapat
menentukan berhasil atau tidaknya pelaksanaan pembelajaran kitab kuning.
Berikut ini akan penulis uraikan tentang faktor-faktor di atas.
1. Faktor Peserta Didik (Siswa)
Faktor peserta didik merupakan faktor yang sangat mempengaruhi
pelaksanaan metodologi pembelajaran kitab kuning, sebab adanya faktor
ini , maka pembelajaran tidak akan terlaksana.
Peserta didik merupakan ”raw material” (bahan mentah) di dalam
proses pembelajaran. Oleh sebab itu faktor peserta didik tidak dapat
diganti oleh faktor yang lain.
Pada dasarnya anak dilahirkan dalam keadan fitrah (suci) dan
kemudian tergantung pendidikan dan pengajaran selanjutnya yang
membentuk perkembangan mereka bila anak didik ini mendapat
pengajaran yang baik tentu mereka akan menjadi anak yang baik, namun
29
jika anak ini tidak dibina dengan arahan yang baik tentu
perkembangannya kurang baik.27
Di samping itu inteligensi juga mempengaruhi keberhasilan
pembelajaran. Mengenai batasan inteligensi para pakar pendidikan
mengemukakan pendapat yang berbeda.
Menurut L.M. Tarmin, inteligence : ”the obility to think in terms of
abstracked ideas” (inteligensi: kemampuan berpikir dalam arti
memikirkan hal hal yang abstrak).
Menurut Boring, inteligence is what the test. This is narrow
definition. (inteligensi ialah apa yang dites oleh tes. Inteligensi ini yaitu
definisi ringkas).
Menurut Alfred Binet, Inteligensi: comprehension, invention,
direction and criticis. Inteligence is conditioned in thase four word.
(Inteligensi: memahami, berpendpat, mengontrol dan mengkritik.
Inteligensi memuat empat perkataan inti).
Secara global, haikat inteligensi bisa diilustrasikan sebagai berikut:
Kemampuan memahami sesuatu yang dihadapi, problem dirinya
sendiri dan lingkungan
Kemampuan berpendapat, makin cerdas seseorang makin cepat pula
mengambil ide, langkah penyelesaian masalah.
Kemampuan kontrol dan kritik, makin cerdas seseorang makin tinggi
kontrol dan kritiknya terhadap apa yang diperbuat.28
Dalam pelaksanaan metodologi pembelajaran kitab kuning yang
dimaksud kondisi murid atau keadaan murid, apakah murid memiliki
tingkat kemampuan dalam memberikan respon (tanggapan) terhadap
metode yang diterapkan terhadap mereka, misalnya dalam menggunakan
metode guru membaca kitab kuning di depan siswa, siswa dituntut
2
memperhatikan dan mendengarkan dengan baik. Di samping itu siswa juga
diberi kesempatan untuk menanggapi bacaan guru ini . Maka
penerapan suatu metode perlu disesuaikan dengan tingkat kemampuan dan
kematangan pribadi siswa.
2. Faktor Pendidik /Guru
Pendidik/guru yaitu salah satu faktor yang sangat mempengaruhi
pelaksanaan pembelajaran, khususnya pembelajaran kitab kuning. Maka
peserta didik atau santri berhak memilih seorang guru atau kyai.
Disebutkan oleh syaikh Al Zarnuji dalam Kitab Ta’limul
Muta’alim
عرواو ا ر
(Adapun memilih guru maka seyogyanya memilih guru yang alim, waro’
dan lebih tua, sebagaimana Abu Hanifah memilih Syaik Hammad bin Abi
Sulaiman setelah ia berangan-angan dan berpikir).29
Pada prinsipnya guru harus memiliki tiga kompetensi yaitu
kompetensi kepribadian, kompetensi penguasaan atas bahan dan
kompetensi dalam cara belajar mengajar.
Faktor penting bagi guru yaitu kepribadiannya. Kepribadiannya
itu yang akan menentukan apakah ia akan menjadi pembimbing dan
pembina yang baik bagi anak didiknya ataukah ia akan menjadi perusak
atau penghancur bagi hari esok anak didiknya, terutama bagi siswa yang
masih sangat muda (madrasah diniyyah awwaliyah, MI dan SD).
Fank Hart pernah meneliti 3.725 siswa SLTA kelas akhir pada
tahun 1934 hasilnya menunjukkan bahwa guru yang menurut urutan paling
disukai oleh murid-muridnya sebagai berikut:
a. Suka membantu pekerjaan sekolah
b. Gembira, riang memiliki rasa humor, dapat menghargai lelucon
c. Manusia biasa, suka berteman dengan murid
d. memiliki minat terhadap murid dan memahami murid-muridnya
e. Membangkitkan terhadap minat belajar
f. Dapat mengendalikan kelas
g. Adil, tidak memiliki anak mas
h. Tidak marah-marah, kasar dan suka mencela
i. memiliki pribadi yang menarik dan menyenangkan.
Prof. Dr. Moh. Athiyah Al Ibrosyi mengutarakan sifat-sifat yang
harus dimiliki oleh guru, yaitu zuhud (tidak mengutamakan materi),
bersih, ikhlas dalam pekerjaan, menjadi seorang bapaka, suka pemaaf,
mengetahui tabiat murid dan mengetahui mata pemlajaran.
Seorang guru harus mengetahui dengan baik materi yang akan
diajarkan, baik pemahaman detailnya maupun aplikasinya. Hal ini sangat
diperlukan dalam menguraikan ilmu pengetahuan, pemahaman,
keterampilan dan apa saja yang harus disampaikan kepada peserta didik.
Di samping itu guru juga sangat dituntut terampil dalam mengajar yang
secara global meliputi perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Ia harus
mampu menyusun setiap program mulai dari memilih alat perlengkapan
yang cocok, pembagian waktu yang tepat, metode yang sesuai hingga
keeluruhan kegiatan tersusun dengan baik.30
Pendidik atau guru yang mengajar kitab kuning yaitu salah satu
faktor yang sangat penting, sebab ia bertanggung jawab dalam
pembentukan pribadi peserta didik. Keberhasilan tinggi yang dicapai
seorang guru, apabila ia telah berhasil membuat murid memahami dan
menguasia materi pelajaran yang diajarkan.
3. Faktor Tujuan Pembelajaran
Faktor tujuan sangat penting dalam pendidikan dan pengajaran,
sebab tujuan merupakjan arah yang hendak dicapai atau yang hendak
dituju dalam pembelajaran. Demikian juga halnya dengan pembelajaran
kitab kuning, tujuan pembelajaran yaitu tujuan yang hendak dicapai oleh
guru dalam pelaksanaan pembelajaran.
Dalam pembelajaran kitab kuning yang perlu ditanamkan terlebih
dahulu pada siswa yaitu keimanan yang teguh, sebab dengan adanya
keimanan yang teguh akan menghasilkan ketaatan menjalankan kewajiban
agama.
Tujuan khusus dari pembelajaran kitab kuning yaitu bagaimana
siswa mampu membaca dan memahami kitab kuning untuk diamalkan dan
dikembangkan.
Untuk sekolah menengah tingkat pertama, seperti madrasah
tsanawiyah tujuan pendidikan dan pengajaran yang hendak dicapai yaitu :
a. Memberikan ilmu pengetahuan dari kitab kuning
b. Memberikan pengertian tentang agama islam yang sesuai dengan
tingkat kecerdasan
c. Memupuk jiwa agama
d. Membimbing anak agar beramal sholih dan berakhlak mulia.31
Tujuan khusus ini yang hendak dicapai oleh pembelajaran di
sekolah pada hakikatnya menjadi pedoman dalam menggunakan metode
pembelajaran. Semua metode pembelajaran yang digunakan harus sesuai
dengan tujuan yang hendak dicapai.
Guru yang bertujuan mendidik anak untuk menjadi manusia
beragama, berakhlak dan bertaqwa, perlu menyesuaikan metode
pembelajaran dengan tujuan ini .
4. Faktor Bahan Pembelajaran
Bahan pembelajaran merupakan faktor yang sangat penting dalam
pelaksanakan metodologi pembelajaran. Materi pelajaran yang akan
diberikan kepada siswa hendaknya diperhatikan isi dan mutu bahan
pelajaran ini , apakah sudah sesuai dengan kematangan serta kesiapan
mental anak yang menerimanya. Di samping itu perlu diperhatikan sifat
bahan ajar yang akan disajikan ini harus disesuaikan dengan metode
pembelajaran, misalnya bahan pelajaran yang mengandung permasalahan,
digunakan metode diskusi.
Kriteria pemilihan materi pembelajaran yang akan dikembangkan
dalam sistem instruksional dan yang melandasi penetapan penentuan
strategi belajar mengajar yaitu:
a. Kriteria tujuan instruksional, artinya materi ini supaya sejalan
dengan tujuan yang telah dirumuskan.
b. Materi pelajaran supaya terjabar, perincian materi pelajaran
berdasarkan pada tuntutan tujuan instruksional khusus (TIK)
c. Relevan dengan kebutuhan siswa, kebutuhan siswa yang pokok yaitu
bahwa mereka ingin berkembang berdasarkan potensi yang
dimilikinya.
d. Kesesuaian dengan kondisi masyarakat, siswa dipersiapkan untuk
menjadi warga masyarakat yang berguna dan hidup mandiri.
e. Materi pelajaran mengandung segi-segi etik.
f. Materi pelajaran tersusun dalam ruang lingkup dan urutan yang
sistematis dan logis.
g. Materi pelajaran bersumber dari buku sumber yang baku, pribadi yang
ahli dan masyarakat.32
Kriteria pemilihan materi pelajaran ini sangat mempengaruhi
pelaksanaan pembelajaran, khususnya pembelajaran kitab kuning.
5. Faktor Alat Pelajaran
Alat pendidikan Islam yaitu segala sesuatu yang dapat digunakan
untuk mencapai tujuan pendidikan Islam. Dengan demikian, maka alat ini
mencakup apa saja yang dapat digunakan termasuk di dalamnya metode
pendidikan Islam.
Metode dan alat pendidikan Islam memiliki peranan penting
sebab merupakan jembatan yang menghubungkan pendidik dan anak didik
menuju ke tujuan pendidikan Islam yaitu terbentuknya kepribadian
muslim. Berhasil atau tidaknya pendidikan Islam dipengaruhi oleh seluruh
faktor yang mendukung pelaksanaan pendidikan Islam.33
Alat bantu yang dapat digunakan untuk membantu pelaksanaan
pembelajaran kitab kuning yaitu:
a. Bahan yang mengutamaka kegiatan membaca atau menggunakan
simbol kata dan visual (bahan cetakan atau bacaan) seperti kitab
pegangan guru dan kitab pegangan murid.
b. Media proyeksi (OHP, slide, LCD).
c. Media non proyeksi (papan tulis, kapur tulis, papan temple, papan
planel).
Pada dasarnya media pembelajaran dilihat dari aspek panca indera
dibagi menjadi tiga macam yaitu: 1) media audio (dengar), 2) media visual
(melihat), 3) media audio visual (dengar-lihat).34
a. Visual yaitu media pembelajaran yang dapat diserap melalui
penglihatan, seperti gambar, media grafis.
b. Audio yaitu media pembelajaran yang dapat diserap melalui indera
pendengaran, seperti radio dan tape recorder.
c. Audio visual yaitu media pembelajaran yang dapat diserap dengan
penglihatan dan pendengaran, seperti televisi, video dan VCD.
Media pembelajaran sangat banyak macan dan jenisnya. Maka
untuk menggunakan suatu media pembelajaran diperlukan kemampuan,
pengetahuan dalam memilih, menggunakan dan kemampuan untuk
mendesain serta membuat suatu media pembelajaran ini .35
6. Faktor Lingkungan / Situasi Kelas
Islam menyatakan bahwa manusia lahir di dunia membawa
”pembawaan” yang disebut ”fitrah”. Fitrah ini berisi ”potensi untuk
berkembang”. Potensi ini dapat berupa keyakinan beragama, perilaku
untuk menjadi baik ataupun menjadi buruk dan lain sebagainya yang
kesemuanya harus dikembangkan agar ia tumbuh secara wajar sebagai
hamba Allah SWT.36
Islam menekankan kepada pendidikan dan usaha diri manusia
untuk berusaha agar mencapai pertumbuhan yang optimal. Firman Allah
SWT:
ًر
-َ
َ...
”Wahai orang-orang yang beriman jagalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka ...” (QS. At Tahrim : 6)37
Allah berfirman pula
%ََ
َ ِØ¥ ِÙ†
3َ-ْ;(ِ <َْ(َ ْÙ†َØ£َÙˆ
”Dan bahwa semua manusia tiada memperoleh selain apa yang
telah diusahakan”. (QS. Al Najm : 39)38
Dengan demikian menurut Islam, perkembangan kehidupan
manusia bahkan bahagia atau celaka hal ini ditentukan oleh pembawaan,
lingkungan dan usaha (aktifitas) manusia itu sendiri dalam mengusahakan
perkembangannya.
Menurut Ismail SM, M.Ag dalam bukunya Strategi Pembelajaran
mengatakan seorang guru sebelum memutuskan untuk memilih suatu
3
metode agar lebih efektif maka ia harus juga mempertimbangkan tujuan,
karakteristik siswa, kemampuan guru, sifat bahan ajar, kelengkapan
fasilitas, kelebihan dan kelemahan metode dan situasi kelas atau
lingkungan di mana terjadinya kegiatan belajar mengajar.
Situasi kelas yaitu sisi lain yang patut diperhatikan dan
dipertimbangkan. Guru yang berpengalaman tahu betul bahwa kelas dari
hari ke hari dan dari waktu ke waktu selalu mengalami perubahan sesuai
kondisi psikologis anak didik. Di sinilah maka guru harus dapat
memperhitungkan dinamikan kelas dari sudut manapun.39
Pengaruh lingkungan yang positif pada anak didik, apabila
lingungan dapat memberi dorongan atau motivasi dan rangsangan yang
baik pada anak sehingga anak berbuat baik. Lingkungan yang dimaksud
yaitu situasi di mana anak didik dan pendidik melangsungkan kegiatan
belajar mengajar.
Dalam menerapkan suatu metode pembelajaran, misalnya udara
sangat panas, apabila guru menggunakan metode ceramah, tentu respon
yang diharapkan dari siswa kurang baik, sebaiknya digunakan metode
demonstrasi agar siswa dapat kembali belajar dengan semangat.
Demikian faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan
pembelajaran. Dengan adanya faktor-faktor itu diharapkan para guru
memperhatikannya, sebab antara faktor satu dengan faktor lainnya saling
mendukung, sehingga pembelajaran dapat berjalan dengan baik.
E. Pembelajaran Kitab Kuning dengan Metode Amtsilati
Dalam perkembangan pendidikan di pondok pesantren / madrasah
tidaklah semata-mata tumbuh atas pola lama yang bersifat tradisional,
melainkan dilakukan suatu inovasi dalam pengembangan suatu sistem. Dalam
pembelajaran membaca kitab kuning dengan metode amtsilati di Madrasah
Diniyah Awaliyyah Tarbiyatus Syibyan Walbanat Kesambi Mejobo Kudus,
dalam praktiknya guru menggunakan strategi pembelajaran sebagai berikut:
A. Sorogan
Sorogan berasal dari kata sorog (bahasa Jawa) yang berarti
maju,40 sebab setiap santri menyodorkan kitabnya di hadapan kyai atau
pembantunya (badal, asisten kyai). Sistem sorogan ini termasuk belajar
secara individual, dimana seorang santri berhadapan dengan seorang
guru, dan terjadi interaksi saling mengenal di antara keduanya.
Sistem sorogan ini terbukti sangat efektif sebagai taraf pertama
bagi seorang murid yang bercita-cita menjadi alim. Sistem ini
memungkinkan seorang guru mengawasi, menilai dan membimbing
secara maksimal kemampuan seorang santri dalam menguasai materi
pembelajaran.
Sorogan merupakan kegiatan pembelajaran bagi para santri yang
lebih menitik beratkan pada pengembangan kemampuan perorangan
(individual), di bawah bimbingan seorang kyai atau ustadz.
Adapun metode yang dipakai yaitu strategi bacaan terbimbing,
pelaksanaannya siswa datang bersama-sama, kemudian antri menunggu
gilirannya, membaca materi yang diajarkan, guru menyimak dan
membimbing bacaannya dan menjelaskan seperlunya. Dengan sistem
sorogan ini hubungan guru dengan siswa sangat dekat, sehingga guru
lebih mudah mengenal kepribadian siswa dan mudah mengevaluasi.
B. Wetonan/Bandongan
Wetonan, istilah weton ini berasal dari kata wektu (bahasa jawa)
yang berarti waktu,41 sebab pengajian ini diberikan pada waktu-
waktu tertentu, yaitu sebelum dan atau sesudah melakukan shalat fardu.
Sistem weton ini merupakan sistem kuliah, di mana para santri
mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling guru yang menerangkan
pelajaran kuliah, santri menyimak kitab masing-masing dan membuat
cacatan padanya.
Secara sederhana metode bandongan dapat diartikan sistem
belajar di pondok / madrasah yang bersifat klasikal atau orang banyak,
seperti pada zaman para wali, dengan satu orang guru menjelaskan isi
dari tema / bab yang sedang dibahas di dalam sebuah kitab.42
Adapun strategi pembelajaran yang dipakai yaitu sistem klasikal
dengan metode ceramah dan tanya jawab. Guru menjelaskan materi yang
diajarkan siswa aktif memperhatikan dan guru memberi kesempatan
seluas-luasnya kepada peserta didik (siswa) untuk bertanya, menanyakan
pokok bahasan yang belum jelas, guru melemparkan pertanyaan ini
kepada rombongan belajar untuk dipecahkan bersama-sama. Jika cara itu
belum bisa dipecahkan guru memecahkannya bersama siswa-siswa
(rombongan belajar).
Setelah selesai proses pembelajaran guru mengadakan evaluasi
dengan test lisan atau test tertulis untuk mengetahui kompetensi peserta
didik (siswa).











