Tampilkan postingan dengan label Kitab kuning 1. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kitab kuning 1. Tampilkan semua postingan

Kitab kuning 1

 


Kitab klasik yang lebih dikenal dengan nama kitab kuning memiliki  

peranan yang sangat penting dalam mengembangkan ajaran agama Islam Ini 

menunjukkan bahwa kitab kuning penting untuk dipelajari. Ilmuan Islam 

menulis karyanya berupa sebuah kitab yang berwarna unik yaitu kekuning-

kuningan yang  dipelajari oleh Madrasah dan Pondok Pesantren.  

Kitab yang berisi ilmu-ilmu keislaman, khususnya ilmu fikih, yang 

ditulis atau dicetak dengan huruf Arab dalam bahasa Arab atau Melayu Jawa, 

Sunda dan sebagainya. Kitab itu disebut “kitab kuning” sebab  umumnya 

dicetak di atas kertas berwarna kuning yang berkualitas rendah. Kadang-

kadang lembar-lembaranya lepas tak terjilid sehingga bagian-bagian yang 

perlu mudah diambil. Biasanya, ketika belajar para santri hanya membawa 

lembaran-lembaran yang akan dipelajari dan tidak membawa kitab secara 

utuh. Ini sudah merupakan ciri khas dari kitab kuning itu sendiri sehingga 

kitab ini menjadi kitab yang unik untuk dipelajari sebab  dapat membawa 

lembaran-lembaran yang akan dipelajari tanpa harus membawa keseluruhan 

dari isi kitab ini .  

Menurut Azyumardi Azra, “Kitab Kuning memiliki  format sendiri 

yang khas dan warna kertas “kekuning-kuningan”.1  

Melihat dari warna kitab ini yang unik maka kitab ini lebih dikenal 

dengan kitab kuning. Akan tetapi akhir-akhir ini ciri-ciri ini  telah 

mengalami perubahan. Kitab kuning cetakan baru sudah banyak memakai 

kertas putih yang umum dipakai di dunia percetakan. Juga sudah banyak yang 

tidak ”gundul” lagi sebab  telah diberi syakl untuk memudahkan santri 

membacanya. Sebagian besar kitab kuning sudah dijilid. Dengan demikian, 

                                                 

1

penampilan fisiknya tidak mudah lagi dibedakan dari kitab-kitab baru yang 

biasanya disebut “al-kutub al-asriyyah“ (buku-buku modern). Perbedaannya 

terletak pada isi, sistematika, metodologi, bahasa, dan pengarangnya. 

Meskipun begitu, julukan “kitab kuning“ tetap melekat padanya. 

Kitab kuning dipelajari terutama di pesantren memiliki bermacam-

macam ilmu keagamaan untuk mengembangkan ajaran agama dan 

mengembangkan pendidikan agama bagi para siswa, agar mereka memiliki  

keyakinan yang kuat dalam melaksanakan ibadah. Kitab kuning ini berasal 

dari Timur Tengah.  

Di daerah asalnya, yaitu Timur Tengah, kitab kuning disebut “al-kutub 

al-qadimah “(buku-buku klasik) sebagai sandingan dari “al-kutub al-

”asriyah“ (buku-buku modern).  

Al-kutub al-asriyah yang beredar di negara kita  (di kalangan pesantren) 

sangat terbatas jenisnya. Dari kelompok ilmu–ilmu syariat, yang sangat 

dikenal ialah kitab–kitab ilmu fiqih, tasawuf, tafsir, hadist, tauhid (aqidah), 

dan tarekh (terutama sirah nabawiyyah, sejarah hidup Nabi Muhammmad 

S.A.W). Dari kelompok ilmu-ilmu nonsyariat, yang banyak dikenal ialah 

kitab-kitab nahwu saraf, yang mutlak diperlukan sebagai alat bantu untuk 

memperoleh kemampuan membaca kitab gundul. Dapat dikatakan bahwa 

kitab kuning yang banyak beredar di kalangan pesantren yaitu   kitab yang 

berisi ilmu-ilmu syariat, khususnya ilmu fikih. 

Kitab syariat seperti fikih2, tasauf3, tafsir4, hadits5, tauhid6, tarih, dan 

kitab nonsyariat seperti nahwu7 dan saraf8semuanya ditulis dalam bahasa Arab  

                                                 

2

 Fikih yaitu  : Ilmu yang mempelajari tentang hukum-hukum syar‟iyah yang 

berhubungan dengan perbuatan mukalaf 

3

 Tasauf yaitu  : Salah satu dari jalan yang diletakkan Tuhan di dalam lubuk Islam dalam 

rangka menunjukan kemungkinan pelaksanaan kehidupan rohani bagi jutaan manusia\ yang sejati 

yang telah berabad-abad mengikut dan terus mengikuti agama yang diajarkan Al- Qur‟an. 

4

 Tafsir yaitu  : Menjelaskan makna ayat ayat al-Qur‟an dari berbagai seginya, baik 

konteks historisnya maupun sebab al-nuzulnya, dengan menggunakan ungkapan atau keterangan 

yang dapat menunjuk kepada makna yang dikehendaki secara jelas. 

5

 Hadits yaitu  : Perkataan, perbuatan, persetujuan yang datang dari Nabi Muhammad 

SAW 

 13 

pada kertas yang kuning dan tidak memakai baris (kitab gundul) sehingga 

kitab ini juga disebut dengan kitab kuning.  

Ada tiga ciri umum kitab kuning. Pertama, penyajian setiap materi 

dalam satu pokok bahasan selalu diawali dengan mengemukakan definisi-

definisi yang tajam, yang memberi batasan pengertian secara jelas untuk 

menghindari salah pengertian terhadap masalah yang sedang dibahas. Kedua, 

setiap unsur materi bahasan diuraikan dengan segala syarat-syarat yang 

berkaitan dengan objek bahasan bersangkutan. Ketiga, pada tingkat syarah 

(ulasan atau komentar) dijelaskan pula argumentasi penulisnya, lengkap 

dengan penunjukan sumber hukumnya.9 

Kitab kuning dilihat dari sudut pandang memiliki berberapa unsur 

yang penting untuk diketahui maka dari sudut pandang inilah dapat kita 

ketahui dan dapat kita pahami arti dari kitab kuning. Di antara sudut pandang 

itu yaitu  : 

1. Kandungan maknanya. 

2. Kadar penyajian. 

3. Kreativitas penulisan. 

4. Penampilan uraian. 

Dilihat dari kandungan maknanya, kitab kuning dapat dikelompokkan 

menjadi dua macam, yaitu: 1) Kitab kuning yang berbentuk penawaran atau 

penyajian ilmu secara polos (naratif ) seperti sejarah, hadis, dan tafsir; dan 2) 

kitab kuning yang menyajikan materi yang berbentuk kaidah-kaidah keilmuan 

seperti nahwu, usul fikih, dan mustalah al-hadis (istilah-istilah yang 

berkenaan dengan hadis).  

                                                                                                                                      

6

 Tauhid yaitu  : Ilmu yang secara khusus membahas masalah ketuhanan serta berbagai 

masalah yang berkaitan dengannya berdasarkan dalil-dalil yang meyakinkan. 

7

 Nahwu yaitu  : Kaedah-kaedah untuk mengenal bentuk kata-kata dalam bahasa Arab 

serta kaidah-kaidahnya di kala berupa kata lepas dan di kala tersusun dalam kalimat. 

8

 Saraf yaitu  : Kaedah-kaedah untuk mengenal perobahan kata-kata dan kalimat dalam 

bahasa Arab 

9

Sementara itu, dilihat dari kadar penyajiannya, kitab kuning dapat 

dibagi atas tiga macam, yaitu: 1) mukhtasar, yaitu kitab yang tersusun secara 

ringkas dan menyajikan pokok-pokok masalah, baik yang muncul dalam 

bentuk nazam atau syi’r (puisi) maupun dalam bentuk nasr (prosa), 2) syarah, 

yaitu kitap kuning yang memberikan uraian panjang lebar, menyajikan 

argumentasi ilmiah secara komparatif, dan banyak mengutip ulasan ulama 

dengan argumentasi masing-masing; dan 3) kitab kuning yang penyajian 

materinya tidak terlalu ringkas tetapi juga tidak terlalu panjang 

(mutawassitah). 

Dilihat dari kreativitas penulisannya, kitap kuning dikelompokkan 

menjadi tujuh macam. 1) kitap kuning yang menampilkan gagasan-gagasan 

baru, seperti Kitab ar-Risalah (kitab usul fikih) karya Imam Syafi’i, al-Arud 

wa al-Qawafi (kaidah-kaidah penyusunan syair) karya Imam Khalil bin 

Ahmad al–Farahidi, atau teori–teori ilmu kalam yang dimunculkan Wasil bin 

Ata, Abu Hasan al Asy’ari dan lain–lain. 2) Kitab kuning yang muncul 

sebagai penyempurnaan terhadap karya yang telah ada, sebagai Kitab Nahwu 

(tata bahasa Arab) karya as–Sibawaih yang menyempurnakan karya Abul 

Aswad ad–Duwali. 3) Kitab kuning yang berisi komentar (syarah) terhadap 

kitab yang telah ada, seperti Kitab Hadis karya Ibnu Hajar al-Asqalani yang 

memberikan komentar terhadap kitab Sahih al-Bukhari. 4 ) Kitab kuning yang 

meringkas karya yang panjang lebar, seperti Alfiah Ibn Malik (buku tentang 

nahwu yang disusun dalam bentuk syair sebanyak 1.000 bait) karya Ibnu Aqil 

dan Lubb al-Usul (buku tentang usul fikih) karya Zakaria al-Alansari sebagian 

ringkasan dari Jam’ al–Jawani’ karangan as-Subki. 5) Kitab kuning yang 

berupa kutipan dari berbagi kitab lain, seperti Ulum Al-Qur’an (buku tentang 

ilmu-ilmu Al-Qur’an) karya al–Aufi. 6) Kitab kuning yang memperbaharui 

sistematika kitab-kitab yang telah ada, seperti Kitab Ihya Ulum ad-Din karya 

Imam al-Gazali. 7) Kitab kuning yang berisi kritik dan koreksi terhadap kitab-

kitab yang telah ada, seperti Kitab Mi’yar al-Ilm (sebuah buku yang 

meluruskan kaidah–kaidah logika) karya al-Gazali.  

 15 

Adapun dilihat dari penampilan uraiannya, kitab kuning memiliki lima 

dasar yaitu: 1) Mengulas pembagian sesuatu yang umum menjadi khusus, 

sesuatu yang ringkas menjadi terperinci, dan seterusnya. 2) Menyajikan 

redaksi yang teratur dengan menampilkan beberapa pernyataan dan kemudian 

menyusun kesimpulan. 3) Membuat ulasan tertentu ketika mengulangi uraian 

yang dianggap perlu, sehingga penampilan materinya menarik dan pola 

pikirnya dapat lurus. 4) Memberikan batasan-batasan jelas ketika penulisnya 

menurunkan sebuah definisi. dan 5) Menampilkan beberapa ulasan dan 

argumentasi terhadap pernyataan yang dianggap perlu.10 

Maka dapatlah dikelompokan kitab kuning berdasarkan kepada 

cirinya, kandungan maknanya, kadar penyajiannya, kreativitas penulisannya, 

penampilan uraiannya, dari keseluruhan kitab kuning yang dipelajari ataupun 

yang tidak dipelajari oleh madrasah maupun pesantren tapi keseluruhan kitab 

kuning yang ada memiliki  karakteristik/corak yang berbeda-beda. 

Setiap cabang ilmu merupakan sistem tertutup dan di satu ilmu boleh 

jadi terdapat dalil-dalil dan pandangan bertentangan dengan yang di cabang 

ilmu lain. Para filosof dan mutakallim, sufi dan ahli metafisika, fakih dan ahli 

hadis masing-masing punya wacana sendiri, kadang-kadang bertentangan satu 

dengan yang lain. 

Penulisan kitab kuning oleh ulama zaman dahulu merupakan tradisi 

keilmuan Islam sebab , “hampir pada tiap-tiap masalah terdapat lebih dari satu 

pendapat atau pendekatan berbeda dalam tradisi keilmuan Islam. Kalaupun 

ada perkembangan dalam tradisi keilmuan-yang terkadang terjadi akibat 

perkembangan politik-itupun biasanya dalam bentuk pergeseran antar disiplin, 

di mana satu disiplin lebih mendapat perhatian daripada sebelumnya, 

sedangakn disiplin lain mundur. Banyak gerakan reformis, misalnya, telah 

menekankan fikih dari pada tasawuf dan tauhid, sementara gerakan reformis 

belakangan malah lebih menekankan kepada hadis dari pada mazhab fikih 

yang sudah mapan.  

                                                 


Kita sering merasakan unsur populis atau suasana anti elite di kalangan 

pendukungkung hadis. Elit ulama sering mengklaim hak-hak istimewa sebab  

mereka memiliki ilmu canggih yang langka. Pokok hadis relative sederhana 

dan dapat dipahami tanpa pendidikan khusus; selain itu semua hadis didukung 

wewenang Nabi. sebab  itu, suatu hadis bisa dianggap sebagai argumen lebih 

kuat dari seluruh ilmu intelektual. Secara keseluruhan, ilmu-ilmu intelektual 

(al-um al-aqliyah) seperti logika, filsafat, metafisika, kalam, ketabiban (thibb) 

semenjak zaman klasik sedikit demi sedikit harus memberi lapangan kepada 

ilmu-ilmu agama dalam arti sempit (al-ulum al-naqliyah: studi hadis, tafsir 

tradisional dan sebagainya). Proses ini pemiskinan tradisi intelektual Islam.11 

Sebagai intelektual muslim penguasaan kitab kuning sangat diperlukan 

untuk tempat rujukan. Maka madrasah dan pesantren berperan aktif melatih 

dan mendidik siswa untuk mahir dalam penguasaan kitab kuning. 

 

B. Metode Pembelajaran Kitab Kuning 

Untuk mengetahui metodologi pengajaran Kitab kuning, terlebih 

dahulu diperlukan pengertian metodologi itu sendiri, Menurut Ismail SM,  

Kata metodologi berasal dari bahasa Yunani “metha” yang berarti melalui  dan 

“hudos” yang berarti jalan atau cara, sedangkan “lugos” (yang kemudian logi) 

berarti ilmu pengetahuan. Dengan demikian makna kata “methodologi” berarti 

ilmu pengetahuan yang membahas tentang jalan atau cara yang harus dilalui.12 

Berdasarkan kutipan di atas bahwa kata methodologi berasal dari 

bahasa Greek yang berarti: Ilmu pengetahuan yang membahas tentang jalan 

atau cara yang harus dilalui. Dalam hubungannya dengan proses belajar 

mengajar methode mengajar (teaching method) yaitu   suatu alat yang 

penerapan diarahkan untuk mencapai tujuan- tujuan yang dikehendaki sesuai 

dengan tujuan yang dirumuskan dalam program pengajaran. Di samping itu 

pencampaian tujuan ini  harus pula sistematis dan terformulasi sehingga 

                                                 

11

 Martin Van Belinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat, (Bandung: Mizan, 

1995),. h. 17  

12

 Ismail, Strategi Pembelajaran, (Semarang: Rasail, 2008) h. 7 

 17 

ia dapat membentuk cara kerja ilmu perngetahuan yang dapat memberikan 

jawaban atas pertanyaan yang lahir dalam rangka pengembangan metode itu 

sendiri. Sehubungan dalam hal ini, dalam buku methodik khusus pelajaran 

agama Islam dikatakan pula sebagai berikut: secara bahasa ”methodik” itu 

berasal dari kata ”metode” (method), metode berarti suatu cara kerja yang 

sistematis dan umum, seperti cara kerja ilmu pengetahuan lain, ia merupakan 

jawaban atas pertanyaan ”bagaimana” methodik (methodentic) artinya 

(methodologi) methodology yaitu suatu penyelidikan yang sistematis dan 

formulasi metode-metode yang akan digunakan dalam penelitian.13 

Dari kutipan di atas jelas bahwa metodologi berarti salah satu kerja 

yang sistematis sehingga hasilnya dapat diformulasikan dengan menggunakan 

metode itu sendiri, oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa metode ini akan 

mengurangi kemungkinan berbuat salah, atas pilihan dari bermacam-macam 

tindakan, bahkan lebih jauh akan membuat si pelaksana tugas atau guru dapat 

mencapai tujuan dengan tepat dan cepat hasilnya dapat diyakini, dan kalau 

perlu dapat diperiksa kembali jalan pengajaran itu, dengan menyusun kembali 

jalan pengajaran itu dapat menemukan kelemahan-kelemahan yang telah 

dilakukan, dan dengan itu bisa diperbaiki.  

Hal yang demikian tidak mudah atau sukar dilakukan, jika tidak 

mengikuti metode yang tepat, guru dituntut menguasai metode pengajaran, 

agar bahan pelajaran yang diajarkan diterima dan dicerna oleh siswa.  

Kitab kuning pada umumnya berbahasa Arab dan tidak memiliki  

harakat maka dibutuhkan juga suatu metode untuk mengajarkan bagaimana 

kitab ini  dapat dibaca oleh para siswa, dan sebelum menterjemahkan dan 

menguraikan materi pelajaran kitab kuning sudah barang tentu dibahas 

matannya atau tata bahasanya.  

Penguasaan metode ini  dalam mengajarkan kitab kuning harus 

mencangkup berbagai unsur penting seperti yang dikemukakan Drs. HD. 

Hidayat, MA. Sebagai pengertian metode belajar yang dikutip sebagai berikut:  

                                                 

Pengertian metode mengajar: 

a. Memilih materi pelajaran yang hendak diajarkan. 

b. Menyusun (mengurutkan) materi yang telah dipilih berdasarkan tingkat 

serta jenjang pendidikan. 

c. Mengunakan teknik mengajar termasuk media pengajaran 

d. Evaluasi. 

Dari kutipan di atas diketahui bahwa unsur metode itu meliputi empat 

unsur, unsur-unsur ini merupakan yang harus ada dalam metode pengajaran, 

apakah ia dalam berbentuk metode mengajar matan dan terjemahan yang 

banyak diterapkan di pondok-pondok pesantren maupun metode aural atau 

oral aproach (takiyah, sam'iyah, safawiyah) yang diterapkan di madrasah 

negeri seperti MTs.  

Dalam metode aural, para ahli bahasa Arab lebih banyak berorientasi 

kepada sistem bunyi, bentuk kata dan struktur kalimat. Para ahli bahasa dalam 

menerapkan metode ini bertumpu kepada hipotesis yang dapat dikutip sebagai 

berikut: 

1. Bahasa itu yaitu   percakapan bukan tulisan. 

2. Bahasa yaitu   kebiasaan yang teratur. 

3. Yang perlu dipelajari pertama yaitu   bahasa bukan tentang bahasa (analisa 

bahasa yang biasa ditemui dibuku qawaid) 

4. Bahasa yaitu   apa yang diucapkan oleh (penutur) artinya (abna lughah) 

bukan yang seharusnya mereka katakan. 

5. Bahasa di dunia berbeda yang satu dengan yang lain.14 

Lima hipotesis para ahli bahasa seperti yang diungkapkan di atas, 

sangat berpengaruh pada metode sam'iyah, safawiyah dalam pengajaran dan 

merupakan ciri-ciri penerapannya sebagai berikut: 

1. Kegiatan proses belajar mengajar yang pertama kali dilakukan, bertujuan 

agar pengajar menguasai bahan pelajaran secara lisan terlebih dahulu, 

sebelum diperlihatkan kepada mereka bagaimana tulisannya (prinsip 1). 

                                                 


Dalam hal ini hendaknya guru betul-betul melatih mereka bagaimana 

mengucapkan huruf dan kalimat dengan intonasi yang baik.  

Jadi, metode ini mengajarkan empat keterampilan bahasa secara 

berimbang dengan urutan sebagai berikut: istima (menyimak), kalam 

(berbicara), qiraat (membaca), kitabah (menulis)  

2. Langkah pertama dalam mengajar bahasa asing dengan metode ini ialah 

mengajarkan dialog-dialog yang mengandung ungkapan sebagai berikut : 

- Yang digunakan penutur asli sehari-hari (prinsip 4) 

- Meliputi pola kalimat atau susunan kalimat tertentu yang sengaja akan 

dilatihkan selanjutnya, bagi pemula tentu saja struktur kalimat dasar 

yang tinggi frekwensinya. Sedangkan kosa kata yang arus diberikan 

masih terbatas sekali pada tingkat pemula ini, sebab paling penting di 

sini dalah pelajar menguasai struktur atau pola kalimat. 

3. Susunan atau pola kalimat dengan cara meniru dan menghafal secara 

intensif, dengan tujuan agar pelajar menguasi benar susunan atau pola 

kalimat itu, sehingga mampu mengucap secara optimis, setiap kali 

diperlukan (prinsip 3) 

4. Materi dan proses belajar mengajar berjalan dari yang mudah kepada yang 

sulit 

5. Metode kitab kuning ini memberikan pemahaman kepada siswa tentang 

maksud dari satu materi yang dipelajari boleh jadi dalam penyampian 

materi guru kitab kuning menggunakan kamus atau buku panduan lainnya 

untuk tambahan bagi siswa, dalam menjelaskan makna suatu kata atau 

kalimat, guru menggunakan berbagai media pengajaran yang sesuai 

(sebagaimana metode langsung seperti gambar, model sampel, 

dramatisasi) jadi guru kitab kuning diberi kebebasan dalam memakai 

metode untuk pengajaran kitab kuning ini sebab  yang dibutuhkan dalam 

pengajaran kitab kuning ini  yaitu   memberi pemahaman dan 

pengertian yang cukup kepada para siswa. Proses terjemahan kitab kuning 

dilakukan dengan cara menterjemahkan menurut nahwu dan saraf 

(Qawaid) sebab  makna dan maksud dari suatu kalimat tergantung pada 

 20 

bentuk kalimatnya, oleh sebab  ini pelajaran nahwu dan syaraf sangat 

penting dipelajari sebagai dasar dari kitab kuning. 

6. Qawaid (Tata bahasa dalam bahasa Arab) yaitu   salah satu unsur untuk 

dapat membaca kitab kuning bagaimana memberi suatu harakat sebuah 

kalimat makan. Qawa’id ini sangat dibutuhkan sebab betul dan salahnya 

suatu bacaan dalam membaca kitab kuning tergantung kepada qawa’idnya. 

Qawaid ini memiliki tiga unsur yaitu:  

- Nahwu. 

- Saraf. 

- Balagah. 

Tiga unsur dalam qawaid ini merupakan kunci dari membaca kitab kuning 

dan juga disebut sebagai kitab gundul sebab tidak memiliki harakat. 

Pengajaran kitab kuning yang merupakan pelajaran pokok pada madrasah 

dan pesantren yang diajarkan mayoritas oleh para kyai yang sudah 

memiliki  kemapuan menguasi kitab kuning. Di dalam memberikan 

pengajaran kitab kuning kepada para siswa guru yang mengajar kitab 

kuning memiliki gaya seni mengajar yang berebeda-beda baik di madrasah 

maupun di pesantren.  

Bila dilihat dari sistem pengajaran yang diterapkan di dunia pesantren, 

memang terdapat kemiripan dengan tata laksana pengajaran dalam ritual 

keagamaan Hindu, dimana terdapatnya penghormatan yang besar oleh murid 

(santri) kepada kiainya. Sehubungan dengan hal ini Cak Nur menggambarkan, 

kyai duduk diatas kursi yang dilandasi bantal dan para santri duduk 

mengelilinginya. Dengan cara begini timbul sikap hormat dan sopan oleh para 

santri terhadap kyai seraya dengan tenang mendengarkan uraian-uraian yang 

disampaikan kyainya.15 Sehingga peran kyai sangat fenomenal dan signifikan 

dalam keberlangsungan atau eksistensi sebuah pesantren, sebab kyai yaitu   

sebuah elemen dasar sebuah pesantren.16 

                                                 

Pesantren itu terdiri dari lima elemen pokok ,yaitu kyai, santri, masjid, 

pondok, dan pengajaran kitab-kitab klasik. Kelima elemen ini  merupakan 

ciri khusus yang dimiliki pesantren dan membedakan pendidikan pondok 

pesantren dengan lembaga pendidikan dalam bentuk lain. Sekalipun kelima 

elemen ini saling menunjang eksistensi sebuah pesantren, tetapi kyai 

memainkan peranan yang begitu sentral dalam dunia pesantren.  

Unsur-unsur kunci Islam tradisional yaitu   lembaga pesantren sendiri, 

peranan dan kepribadian kyai (anjengan, tuan guru, dan lain sebagainya 

tergantung daerahnya) yang sangat menentukan dan karismatik-karismatik 

persis sebagaimana dalam pengertian Weberian. Sikap hormat, takzim dan 

kepatuhan mutlak kepada kyai yaitu   salah satu nilai pertama yang 

ditanamkan kepada setiap santri. Kepatuhan itu diperluas lagi, sehingga 

mencakup penghormatan kepada para ulama sebelumnya dan, a fartiori, 

ulama yang mengarang kitab-kitab yang dipelajari. Kepatuhan ini, bagi 

pengamat luar, tampak lebih penting dari pada usaha menguasia ilmu; tetapi 

bagi kyai merupakan bagian integral ilmu yang akan dikuasai. Hasyim 

Asy’ari, founding father NU, misalnya dikenal sangat mengagumi tafsir 

Muhammad Abduh, namun ia tidak suka santrinya membaca kitab tafsir 

ini . Keberatannya bukan terhadap rasionalisme ’Abduh, tetapi ejekan 

yang ditunjukkannya terhadap ulama tradisional.  

Meskipun materi yang dipelajarinya terdiri dari teks tertulis,namun 

penyampaiannya secara lisan oleh para kyai yaitu   penting. Kitab dibacakan 

keras-keras oleh kyai didepan sekelompok santri, sementara para santri yang 

memegang bukunya sendiri memberikan harakat sebagaimana bacaan sang 

kyai dan mencatat penjelasannya, baik dari segi lughawi (bahasa) maupun 

ma’nawi (makna). Santri boleh jadi mengajukan pertanyaan, tetapi biasanya 

terbatas pada konteks sempit kitab itu. Jarang sekali adanya usaha. Kyai jarang 

menanyakan apakah santri benar-benar memahami kitab yang dibacakan 

untuknya, kecuali pada tingkat pemahaman lughawi. Kitab-kitab yang bersifat 

pengantar sering dihapalkan, sementara kitab-kitab advanced hanya dibaca 

 22 

saja dari awal sampai akhir. (Namun, dalam lingkungan kecil tamatan 

pesantren, ada diskusi kitab untuk mencari kerelevansi kekiniannya, baik 

secara historis maupun kultural). Barangkali, mayoritas pesantren sekarang 

menjalankan sistem madrasah-ada kenaikan kelas, kurikulum yang baku dan 

ijazah-namun terdapat juga banyak pesantren penting yang masih menerapkan 

metode tradisional, di mana beberapa santri kitab tertentu di bawah bimbingan 

sang kyai. Setelah santri menamatkan kitab yang dipelajarinya, mereka 

mendapat ijazah (biasanya diberikan secara lisan), dan setelah itu mereka 

biasa berpindah ke pesantren lain untuk belajar kitab lain. Banyak kyai yang 

terkenal sebagai spesialis sejumlah kitab tertentu. Di samping mengajarkan 

kitab-kitab khusus kepada para santrinya, juga mengadakan pengajian 

mingguan untuk umum di mana dibahas kitab-kitab yang relative sederhana.17 

Pelaksanaan pengajaran kitab kuning berbeda dengan pelaksanaan 

pelajaran lainnya ini dapat digambarkan pada teori yang dipakai oleh kyai 

seperti, seorang kyai berada di hadapan para siswa atau santrinya dan 

membacakan sebuah kitab maka, para siswa atau santrinya mendengarkan 

dengan seksama agar bacaan kitab itu dapat mereka pahami dengan benar, 

setelah kyai membacakan sebuah kitab maka kyai biasa menanyakan kepada 

siswanya tentang kalimat Arab yang dibacakan, untuk pertama kali pengajaran 

ditujukan kepada kalimat Arabnya sebab  untuk memahami makna/maksud 

dari sebuah kitab harus terlebih dahulu memahami kalimatnya. Sedangkan 

pelajaran selain kitab kuning seorang pendidik cuma memberikan uraian/ 

penjabaran materi kepada siswanya.  

Di dalam menyajikan materi kitab kuning ada pembahasan yang harus 

untuk diajarkan yaitu, kalimat Arabnya, makna/artinya, tujuan dan 

maksudnya. Penguasan terhadap kalimat (matan) sangat diutamakan karna 

maksud dan tujuan dari pengarang berdasarkan kepada bentuk kalimatnya 

(tata bahasanya).  

                                                 

Di pesantren umumnya kitab kuning diajarkan dengan dua sistem, 

yaitu sistem sorogan dan bandungan. Pada pengajaran dalam sistem soragan, 

santri satu per satu secara bergiliran menghadap kyai dengan membawa kitab 

tertentu. Kyai membacakan beberapa baris dari kitab itu dan maknanya, 

kemudian santri mengulangi bacaan kyainya. Biasanya sistem sorogan 

dilakukan oleh santri yang masih yunior dan terbatas pada kitab-kitab yang 

kecil saja. Adapun sistem bandungan yaitu   pengajaran kitab kuning secara 

klasikal. Semua santri menghadap Kyai bersamaan. Kyai membacakan isi 

kitab itu dengan makna dan penjelasan secukupnya, sementara para santri 

mendengar dan mencatat penjelasan Kyai di pinggir halaman kitabnya. Cara 

belajar seperti ini paling banyak dilakukan di pesantren. Dengan sistem 

bandungan kitab-kitab yang besar seperti Sahih al-Bukhari dapat selesai 

diajarkan dalam waktu yang relatif singkat, seperti sebulan Ramadhan yang 

dilakukan KH. Hasyim Asy’ari di Pesantren Tebuireng, Jombang.18 

Penggaliaan hasanah budaya Islam melalui kitab-kitab klasik salah 

satu unsur terpenting dari keberadaan sebuah pesantren dan yang membedakan 

dengan lembaga pendidikan lainnya. Pesantren sebagai lembaga pendidikan 

Islam tradisional tidak dapat diragukan lagi berperan sebagai pusat transmisi 

dan desiminasi ilmu-ilmu keislaman, terutama yang bersifat kajian-kajian 

klasik. Maka pengajaran “kitab-kitab kuning” telah menjadi karateristik yang 

merupakan ciri khas dalam proses belajar mengajar di pesantren.19 

Untuk mendalami kitab-kitab klasik ini , menurut Nurcholish 

Madjid biasanya dipergunakan sistem weton dan sorogan, atau lebih dikenal 

dengan sorogan dan bondongan.20 Weton yaitu   pengajian yang inisiatifnya 

berasal dari kyai sendiri baik dalam menentukan tempat, waktu, maupun 

lebih-lebih lagi kitabnya. Sedangkan, sorongan yaitu   pengajian yang 

merupakan permintaan seseorang atau beberapa orang santri kepada kyainya 

untuk diajarkan kitab tertentu. Pengajian dengan sistem sorongan ini biasanya 

                                                 

diberikan kepada santri-santri yang cukup maju khususnya yang berminat 

menjadi kyai21.  

Santri-santri ini  selama di pesantren diajarkan kitab-kitab klasik, 

yang lebih di kenal dengan kitab kuning. Kitab kuning sebagai salah satu 

unsur mutlak dari proses belajar-mengajar di pesantren sangat penting dalam 

membentuk kecerdasan intelektual dan moralitas kesalehan (kualitas 

beragama) pada diri santri (thalib)22.  

Berdasarkan uraian di atas dapat penulis tarik kesimpulan bahwa 

metodologi pengajaran bahasa Arab ialah : suatu ilmu pengetahuan yang 

membahas tentang jalan atau cara yang harus dilalui secara sistematis dan 

terformulasi, dan menjadi alat bagi guru dalam menyampaikan tujuan 

pengajaran kitab kuning, dan memudahkan bagi siswa atau santri mencerna 

kitab kuning ini  dan menerapkannya. 

 

C. Eksistensi Pembelajaran Kitab Kuning 

Jamaluddin Athiyah, seorang ilmuan kontemporer Mesir dan penyusun 

buku Turas al–Fiqh al–Islami (Warisan fikih Islam), menyebutkan setidaknya 

ada tiga alasan mengapa kitab kuning tetap perlu dikaji, yaitu: pertama, 

sebagai pengantar dari langkah ijtihad dan pembinaan hukum Islam 

komtemporer; kedua, sebagai materi pokok dalam memahami, menafsirkan, 

dan menerapkan bagian-bagian hukum positif yang masih menempatkan 

hukum Islam atau mazhab fikih tertentu sebagai sumber hukum, baik secara 

histories maupun secara resmi; ketiga, sebagai upaya untuk memenuhi 

kebutuhan umat manusia secara universal dengan memberikan sumbangan 

bagi kemajuan ilmu hukum sendiri melalui studi perbandingan hukum 

(dirasah al–qanun al–muqaran)

                                                 

2

Terhadap kitab kuning ada tiga sikap yang ditunjukkan para peminat 

studi Islam. Pertama, sikap menolak secara apriori terhadap semua kitab 

kuning dengan alasan bahwa pemikiran ulama yang tertuang dalam kitab–

kitab ini  sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan tuntutan hidup 

zaman modern. Kedua, sikap menerima sepenuhnya dengan alasan bahwa 

pendapat–pendapat ulama yang terdapat di dalamnya sudah dianggap baku 

dan telah disepakati secara ijmak oleh kaum muslimin. Sikap ini tampak pada 

diri para pendukung mazhab fikih tertentu; mereka menerima sepenuhnya 

kitab kuning dalam bidang fikih mazhabnya. Ketiga, sikap menerima secara 

kritis, yaitu menerima pendapat–pendapat ulama yang tertuang di dalam kitab-

kitab kuning terlebih dahulu meneliti kebenarannya.24 Maka dibutuhkan suatu 

lembaga formal untuk mengajarkan kitab kuning kepada peserta didik baik itu 

pesantren maupun madrasah. 

Salah satu tradisi mengembangkan ajaran Islam yaitu   dengan cara 

memberikan bimbingan kepada para peserta didik untuk mempelajari kitab 

kuning. Kitab kuning memberikan arti agama seluas-luasnya ini terbukti 

dengan banyaknya pendapat dalam satu masalah agama, dan juga kitab kuning 

merupakan tempat merujuk kepada permasalahan agama yang tidak kita 

pahami dari al- Qur’an. Kalau dilihat secara teliti peranan kitab kuning dalam 

membimbing ilmuan muslim sangat berpengaruh besar ini dapat dibuktikan 

bahwa para intelektual muslim merujuk kepada kitab kuning, Walaupun 

sekarang suadah banyak kitab kuning diterjemahkan kedalam bahasa 

negara kita . Untuk menjadi seorang intelektual muslim sangat dibutuhkan 

penguasaan terhadap kitab kuning.  

Titik esensi dan sumber pokok dari diskursus kitab kuning sebagai 

literatur keagamaan Islam tak bisa tidak yaitu   wahyu Allah yang 

disampaikan kepada Nabi Muhammad sehingga berwujud Al–Quran. Esensi 

dan sumber pokok ini kemudian dilengkapi dengan sumber kedua, yakni 

sunnah atau hadits Rasulullah S.A.W. Wahyu yang berasal dari Allah S.W.T 

                  

yaitu   sumber pengetahuan yang mutlak; dan hanya Nabi Muhammad Saw 

yang dilimpahi rahmat untuk menerima wahyu ini  dari malaikat. Pada 

pihak lain, hadits sebagai sumber diskursus kitab kuning berada pada level 

kedua dari segi kemutlakannya, khususnya hadist shahih mutawatir.25 Oleh 

sebab  itu maka sangat diharapkan kepada para peserta didik pada 

madarasah/pesantren yang merupakan suatu lembaga pengajaran agama Islam 

yang menitik beratkan kepada penguasaan kitab kuning.  

Dilihat dari realita sekarang ini kitab kuning sudah mulai terbelakang 

dengan semakin banyaknya bermunculan terjemahan dari kitab kuning maka 

kebanyakan dari masalah agama hanya melihat kepada terjemahannya saja. Ini 

membuktikan bahwa betapa lemahnya umat Islam. Oleh sebab  ini peran 

madrasah dan pesantren sangat menentukan nasib kitab kuning untuk masa 

yang akan datang.  

Tetapi jelas, bahwa wahyu dan hadits bukan satu–satunya sumber 

diskursus kitab kuning. Akal kemudian juga memainkan peran penting dalam 

diskursus kitab kuning. Akal dalam batas-batas tertentu memainkan peran 

yang tidak bisa dikesampingkan dalam menafsirkan, memperjelas, 

mengembengkan dan merinci apa yang diperoleh melalui wahyu dan hadits. 

Seperti bisa diharapkan, apa yang bisa dihasilkan oleh akal bukanlah sesuatu 

yang mutlak; ia tak lebih dari pada sekedar hasil ijtihad, yang bisa benar dan 

bisa salah – terlepas dari tingkatannya, bisa berbeda dari satu individu atau 

kelompok kepada individu atau kelompok lainnya.  

Secara esensial seluruh kitab kuning mendasarkan diskursusnya pada 

epistimologi ini. Namun, pada tingkat yang lebih praktis, hampir seluruh kitab 

kuning yang ditulis para ulama atau pemikir asli negara kita , selain 

mendasarkan diri pada ketiga sumber ini , juga berpijak pada hasil-hasil 

pemikiran ulama yang diakui otoritasnya. Pengakuan dan kredit otoritas 

tempat bersandar itu biasanya disebutkan secara eksplisit. Ini secara implisit 

menunjukkan metode ilmiah yang menjadi salah satu aspek penting dari 

                                                 

pembahasan epistemologi itu sendiri, sebagaimana dikemukakan diatas. Inilah 

salah satu cara untuk menunjukkan validitas atau kesahihan dari diskursus 

yang dikemukakan dalam kitab kuning26. 

Selain itu, kesahihan itu juga diungkapkan melalui penggunaan isnad 

atau silsilah keilmuan. Dalam silsilah ini diungkapkan mata rantai yang 

berkesinambungan antara murid dan guru dalam transmissi keilmuan. 

Semakin terkenal otoritas figure–figure yang ini kan dalam silsilah 

keilmuan itu, maka semakin otoritiflah silsilah atau isnad ini  dan, sebagai 

konsekuensinya, semakin shahih pulalah diskursus yang disampaikan melalui 

karya bersangkutan. Isnad semacam itu biasanya disebut sebagai al–isnad al-

ali (superior isnad). Terdapat beberapa ulama asal negara kita  yang juga 

menggunakan metode ini, termasuk al–Sinkili, Mahfuzh al-Termasi, dan 

terakhir sekali Muhammad Isa ibn Yasin al–Padangi (w 1990).  

Tetapi dengan penggunaan otoritas dalam diskursus kitab kuning karya 

ulama asal negara kita –melalui dua metode tadi–bisa muncul persoalan tentang 

“keaslian“ (orisinalitas) diskursus yang mereka kemukakan. Lagi–lagi 

persoalan orisinalitas dalam suatu karya keilmuan bukanlah perkara yang 

mudah, apalagi di lapangan keilmuan agama, yang dibatasi oleh pola dan 

batas–batas yang relative baku, seperti terlihatnya misalnya dalam setiap 

diskursus dalam fiqh, atau bahkan kalam. Sehingga karya–karya keilmuan 

yang datang belakangan terlihat seolah–olah hanya “mengulang“ apa yang 

pernah ditulis dan disampaikan para ulama penulis terdahulu.  

Hampir tidak dirgukan lagi kitab kuning memiliki  peran besar tidak 

hanya dalam transmissi ilmu pengetahuan Islam, bukan hanya di kalangan 

komunitas santri, tetapi juga di tengah masyarakat muslim negara kita  secara 

keseluruhan. Lebih jauh lagi, kitab kuning–khususnya yang ditulis oleh para 

ulama dan pemikir Islam di kawasan ini merupakan refleksi perkembangan 

intelektualisme dan tradisi keilmuan Islam negara kita . Bahkan, dalam batas 

tertentu, kitab kuning juga merefleksikan perkembangan sosial Islam. 

                                                 


D. Faktor yang Mempengaruhi Pelaksanaan Pembelajaran Kitab Kuning  

Dalam proses belajar mengajar kitab kuning atau dalam melaksanakan 

pembelajaran kitab kuning, perlu diperhatikan beberapa faktor yang 

mempengaruhi pelaksanaannya. Sedangkan faktor-faktor ini  ikut 

menentukan berhasilnya pelaksanaan pembelajaran kitab kuning. Faktor-

faktor yang mempengaruhi pelaksanaan pembelajaran agama ada enam, yang 

antara satu faktor dengan faktor lainnya memiliki  hubungan yang erat 

sekali.  

Adapun faktor-faktor ini  yaitu  :  

1. Faktor peserta didik (siswa)  

2. Faktor pendidik (guru)  

3. Faktor tujuan pembelajaran 

4. Faktor bahan pelajaran  

5. Faktor alat-alat pembelajaran  

6. Faktor lingkungan dan situasi kelas  

Dalam melaksanakan metodologi pembelajaran kitab kuning keenam 

macam faktor ini  di atas harus diperhatikan sebab  faktor-faktor itu dapat 

menentukan berhasil atau tidaknya pelaksanaan pembelajaran kitab kuning.  

Berikut ini akan penulis uraikan tentang faktor-faktor di atas.  

 

1. Faktor Peserta Didik (Siswa)  

Faktor peserta didik merupakan faktor yang sangat mempengaruhi 

pelaksanaan metodologi pembelajaran kitab kuning, sebab  adanya faktor 

ini , maka pembelajaran tidak akan terlaksana.  

Peserta didik merupakan ”raw material” (bahan mentah) di dalam 

proses pembelajaran. Oleh sebab  itu faktor peserta didik tidak dapat 

diganti oleh faktor yang lain. 

 Pada dasarnya anak dilahirkan dalam keadan fitrah (suci) dan 

kemudian tergantung pendidikan dan pengajaran selanjutnya yang 

membentuk perkembangan mereka bila anak didik ini  mendapat 

pengajaran yang baik tentu mereka akan menjadi anak yang baik, namun 

 29 

jika anak ini  tidak dibina dengan arahan yang baik tentu 

perkembangannya kurang baik.27  

Di samping itu inteligensi juga mempengaruhi keberhasilan 

pembelajaran. Mengenai batasan inteligensi para pakar pendidikan 

mengemukakan pendapat yang berbeda.  

Menurut L.M. Tarmin, inteligence : ”the obility to think in terms of 

abstracked ideas” (inteligensi: kemampuan berpikir dalam arti 

memikirkan hal hal yang abstrak).  

Menurut Boring, inteligence is what the test. This is narrow 

definition. (inteligensi ialah apa yang dites oleh tes. Inteligensi ini yaitu   

definisi ringkas).  

Menurut Alfred Binet, Inteligensi: comprehension, invention, 

direction and criticis. Inteligence is conditioned in thase four word. 

(Inteligensi: memahami, berpendpat, mengontrol dan mengkritik. 

Inteligensi memuat empat perkataan inti).  

Secara global, haikat inteligensi bisa diilustrasikan sebagai berikut:  

 Kemampuan memahami sesuatu yang dihadapi, problem dirinya 

sendiri dan lingkungan 

 Kemampuan berpendapat, makin cerdas seseorang makin cepat pula 

mengambil ide, langkah penyelesaian masalah.  

 Kemampuan kontrol dan kritik, makin cerdas seseorang makin tinggi 

kontrol dan kritiknya terhadap apa yang diperbuat.28 

Dalam pelaksanaan metodologi pembelajaran kitab kuning yang 

dimaksud kondisi murid atau keadaan murid, apakah murid memiliki 

tingkat kemampuan dalam memberikan respon (tanggapan) terhadap 

metode yang diterapkan terhadap mereka, misalnya dalam menggunakan 

metode guru membaca kitab kuning di depan siswa, siswa dituntut 

                                                 

2

memperhatikan dan mendengarkan dengan baik. Di samping itu siswa juga 

diberi kesempatan untuk menanggapi bacaan guru ini . Maka 

penerapan suatu metode perlu disesuaikan dengan tingkat kemampuan dan 

kematangan pribadi siswa.  

 

2. Faktor Pendidik /Guru 

Pendidik/guru yaitu   salah satu faktor yang sangat mempengaruhi 

pelaksanaan pembelajaran, khususnya pembelajaran kitab kuning. Maka 

peserta didik atau santri berhak memilih seorang guru atau kyai.  

Disebutkan oleh syaikh Al Zarnuji dalam Kitab Ta’limul 

Muta’alim  

 Ø¹Ø±Ùˆاو  ا ر

(Adapun memilih guru maka seyogyanya memilih guru yang alim, waro’ 

dan lebih tua, sebagaimana Abu Hanifah memilih Syaik Hammad bin Abi 

Sulaiman setelah ia berangan-angan dan berpikir).29 

Pada prinsipnya guru harus memiliki tiga kompetensi yaitu 

kompetensi kepribadian, kompetensi penguasaan atas bahan dan 

kompetensi dalam cara belajar mengajar.  

Faktor penting bagi guru yaitu   kepribadiannya. Kepribadiannya 

itu yang akan menentukan apakah ia akan menjadi pembimbing dan 

pembina yang baik bagi anak didiknya ataukah ia akan menjadi perusak 

atau penghancur bagi hari esok anak didiknya, terutama bagi siswa yang 

masih sangat muda (madrasah diniyyah awwaliyah, MI dan SD).  

Fank Hart pernah meneliti 3.725 siswa SLTA kelas akhir pada 

tahun 1934 hasilnya menunjukkan bahwa guru yang menurut urutan paling 

disukai oleh murid-muridnya sebagai berikut:  

                                                 


a. Suka membantu pekerjaan sekolah  

b. Gembira, riang memiliki  rasa humor, dapat menghargai lelucon  

c. Manusia biasa, suka berteman dengan murid 

d. memiliki  minat terhadap murid dan memahami murid-muridnya  

e. Membangkitkan terhadap minat belajar  

f. Dapat mengendalikan kelas  

g. Adil, tidak memiliki  anak mas  

h. Tidak marah-marah, kasar dan suka mencela  

i. memiliki  pribadi yang menarik dan menyenangkan.  

Prof. Dr. Moh. Athiyah Al Ibrosyi mengutarakan sifat-sifat yang 

harus dimiliki oleh guru, yaitu zuhud (tidak mengutamakan materi), 

bersih, ikhlas dalam pekerjaan, menjadi seorang bapaka, suka pemaaf, 

mengetahui tabiat murid dan mengetahui mata pemlajaran.  

Seorang guru harus mengetahui dengan baik materi yang akan 

diajarkan, baik pemahaman detailnya maupun aplikasinya. Hal ini sangat 

diperlukan dalam menguraikan ilmu pengetahuan, pemahaman, 

keterampilan dan apa saja yang harus disampaikan kepada peserta didik. 

Di samping itu guru juga sangat dituntut terampil dalam mengajar yang 

secara global meliputi perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Ia harus 

mampu menyusun setiap program mulai dari memilih alat perlengkapan 

yang cocok, pembagian waktu yang tepat, metode yang sesuai hingga 

keeluruhan kegiatan tersusun dengan baik.30 

Pendidik atau guru yang mengajar kitab kuning yaitu   salah satu 

faktor yang sangat penting, sebab  ia bertanggung jawab dalam 

pembentukan pribadi peserta didik. Keberhasilan tinggi yang dicapai 

seorang guru, apabila ia telah berhasil membuat murid memahami dan 

menguasia materi pelajaran yang diajarkan.  

 

 

 

3. Faktor Tujuan Pembelajaran  

Faktor tujuan sangat penting dalam pendidikan dan pengajaran, 

sebab  tujuan merupakjan arah yang hendak dicapai atau yang hendak 

dituju dalam pembelajaran. Demikian juga halnya dengan pembelajaran 

kitab kuning, tujuan pembelajaran yaitu   tujuan yang hendak dicapai oleh 

guru dalam pelaksanaan pembelajaran.  

Dalam pembelajaran kitab kuning yang perlu ditanamkan terlebih 

dahulu pada siswa yaitu   keimanan yang teguh, sebab dengan adanya 

keimanan yang teguh akan menghasilkan ketaatan menjalankan kewajiban 

agama.  

Tujuan khusus dari pembelajaran kitab kuning yaitu   bagaimana 

siswa mampu membaca dan memahami kitab kuning untuk diamalkan dan 

dikembangkan.  

Untuk sekolah menengah tingkat pertama, seperti madrasah 

tsanawiyah tujuan pendidikan dan pengajaran yang hendak dicapai yaitu  :  

a. Memberikan ilmu pengetahuan dari kitab kuning  

b. Memberikan pengertian tentang agama islam yang sesuai dengan 

tingkat kecerdasan  

c. Memupuk jiwa agama  

d. Membimbing anak agar beramal sholih dan berakhlak mulia.31 

Tujuan khusus ini yang hendak dicapai oleh pembelajaran di 

sekolah pada hakikatnya menjadi pedoman dalam menggunakan metode 

pembelajaran. Semua metode pembelajaran yang digunakan harus sesuai 

dengan tujuan yang hendak dicapai.  

Guru yang bertujuan mendidik anak untuk menjadi manusia 

beragama, berakhlak dan bertaqwa, perlu menyesuaikan metode 

pembelajaran dengan tujuan ini .  

 

4. Faktor Bahan Pembelajaran  

Bahan pembelajaran merupakan faktor yang sangat penting dalam 

pelaksanakan metodologi pembelajaran. Materi pelajaran yang akan 

diberikan kepada siswa hendaknya diperhatikan isi dan mutu bahan 

pelajaran ini , apakah sudah sesuai dengan kematangan serta kesiapan 

mental anak yang menerimanya. Di samping itu perlu diperhatikan sifat 

bahan ajar yang akan disajikan ini  harus disesuaikan dengan metode 

pembelajaran, misalnya bahan pelajaran yang mengandung permasalahan, 

digunakan metode diskusi. 

Kriteria pemilihan materi pembelajaran yang akan dikembangkan 

dalam sistem instruksional dan yang melandasi penetapan penentuan 

strategi belajar mengajar yaitu:  

a. Kriteria tujuan instruksional, artinya materi ini  supaya sejalan 

dengan tujuan yang telah dirumuskan.  

b. Materi pelajaran supaya terjabar, perincian materi pelajaran 

berdasarkan pada tuntutan tujuan instruksional khusus (TIK) 

c. Relevan dengan kebutuhan siswa, kebutuhan siswa yang pokok yaitu   

bahwa mereka ingin berkembang berdasarkan potensi yang 

dimilikinya.  

d. Kesesuaian dengan kondisi masyarakat, siswa dipersiapkan untuk 

menjadi warga masyarakat yang berguna dan hidup mandiri.  

e. Materi pelajaran mengandung segi-segi etik.  

f. Materi pelajaran tersusun dalam ruang lingkup dan urutan yang 

sistematis dan logis.  

g. Materi pelajaran bersumber dari buku sumber yang baku, pribadi yang 

ahli dan masyarakat.32 

Kriteria pemilihan materi pelajaran ini  sangat mempengaruhi 

pelaksanaan pembelajaran, khususnya pembelajaran kitab kuning.  

 

 

5. Faktor Alat Pelajaran  

Alat pendidikan Islam yaitu segala sesuatu yang dapat digunakan 

untuk mencapai tujuan pendidikan Islam. Dengan demikian, maka alat ini 

mencakup apa saja yang dapat digunakan termasuk di dalamnya metode 

pendidikan Islam.  

Metode dan alat pendidikan Islam memiliki  peranan penting 

sebab merupakan jembatan yang menghubungkan pendidik dan anak didik 

menuju ke tujuan pendidikan Islam yaitu terbentuknya kepribadian 

muslim. Berhasil atau tidaknya pendidikan Islam dipengaruhi oleh seluruh 

faktor yang mendukung pelaksanaan pendidikan Islam.33 

Alat bantu yang dapat digunakan untuk membantu pelaksanaan 

pembelajaran kitab kuning yaitu:  

a. Bahan yang mengutamaka kegiatan membaca atau menggunakan 

simbol kata dan visual (bahan cetakan atau bacaan) seperti kitab 

pegangan guru dan kitab pegangan murid.  

b. Media proyeksi (OHP, slide, LCD).  

c. Media non proyeksi (papan tulis, kapur tulis, papan temple, papan 

planel).  

Pada dasarnya media pembelajaran dilihat dari aspek panca indera 

dibagi menjadi tiga macam yaitu: 1) media audio (dengar), 2) media visual 

(melihat), 3) media audio visual (dengar-lihat).34 

a. Visual yaitu media pembelajaran yang dapat diserap melalui 

penglihatan, seperti gambar, media grafis.  

b. Audio yaitu media pembelajaran yang dapat diserap melalui indera 

pendengaran, seperti radio dan tape recorder.  

c. Audio visual yaitu media pembelajaran yang dapat diserap dengan 

penglihatan dan pendengaran, seperti televisi, video dan VCD.  

                                                 


Media pembelajaran sangat banyak macan dan jenisnya. Maka 

untuk menggunakan suatu media pembelajaran diperlukan kemampuan, 

pengetahuan dalam memilih, menggunakan dan kemampuan untuk 

mendesain serta membuat suatu media pembelajaran ini .35 

 

6. Faktor Lingkungan / Situasi Kelas  

Islam menyatakan bahwa manusia lahir di dunia membawa 

”pembawaan” yang disebut ”fitrah”. Fitrah ini berisi ”potensi untuk 

berkembang”. Potensi ini dapat berupa keyakinan beragama, perilaku 

untuk menjadi baik ataupun menjadi buruk dan lain sebagainya yang 

kesemuanya harus dikembangkan agar ia tumbuh secara wajar sebagai 

hamba Allah SWT.36 

Islam menekankan kepada pendidikan dan usaha diri manusia 

untuk berusaha agar mencapai pertumbuhan yang optimal. Firman Allah 

SWT:  

 ًر

َ... 

”Wahai orang-orang yang beriman jagalah dirimu dan keluargamu 

dari api neraka ...” (QS. At Tahrim : 6)37 

 

Allah berfirman pula  

 %ََ 

َ ِØ¥ ِÙ†

3َ-ْ;(ِ <َْ(َ ْÙ†َØ£َÙˆ 

”Dan bahwa semua manusia tiada memperoleh selain apa yang 

telah diusahakan”. (QS. Al Najm : 39)38 

 

Dengan demikian menurut Islam, perkembangan kehidupan 

manusia bahkan bahagia atau celaka hal ini ditentukan oleh pembawaan, 

lingkungan dan usaha (aktifitas) manusia itu sendiri dalam mengusahakan 

perkembangannya.  

Menurut Ismail SM, M.Ag dalam bukunya Strategi Pembelajaran 

mengatakan seorang guru sebelum memutuskan untuk memilih suatu 

                                                 

3

metode agar lebih efektif maka ia harus juga mempertimbangkan tujuan, 

karakteristik siswa, kemampuan guru, sifat bahan ajar, kelengkapan 

fasilitas, kelebihan dan kelemahan metode dan situasi kelas atau 

lingkungan di mana terjadinya kegiatan belajar mengajar.  

Situasi kelas yaitu   sisi lain yang patut diperhatikan dan 

dipertimbangkan. Guru yang berpengalaman tahu betul bahwa kelas dari 

hari ke hari dan dari waktu ke waktu selalu mengalami perubahan sesuai 

kondisi psikologis anak didik. Di sinilah maka guru harus dapat 

memperhitungkan dinamikan kelas dari sudut manapun.39 

Pengaruh lingkungan yang positif pada anak didik, apabila 

lingungan dapat memberi dorongan atau motivasi dan rangsangan yang 

baik pada anak sehingga anak berbuat baik. Lingkungan yang dimaksud 

yaitu   situasi di mana anak didik dan pendidik melangsungkan kegiatan 

belajar mengajar.  

Dalam menerapkan suatu metode pembelajaran, misalnya udara 

sangat panas, apabila guru menggunakan metode ceramah, tentu respon 

yang diharapkan dari siswa kurang baik, sebaiknya digunakan metode 

demonstrasi agar siswa dapat kembali belajar dengan semangat.  

Demikian faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan 

pembelajaran. Dengan adanya faktor-faktor itu diharapkan para guru 

memperhatikannya, sebab antara faktor satu dengan faktor lainnya saling 

mendukung, sehingga pembelajaran dapat berjalan dengan baik.  

 

E. Pembelajaran Kitab Kuning dengan Metode Amtsilati  

Dalam perkembangan pendidikan di pondok pesantren / madrasah 

tidaklah semata-mata tumbuh atas pola lama yang bersifat tradisional, 

melainkan dilakukan suatu inovasi dalam pengembangan suatu sistem. Dalam 

pembelajaran membaca kitab kuning dengan metode amtsilati di Madrasah 

Diniyah Awaliyyah Tarbiyatus Syibyan Walbanat Kesambi Mejobo Kudus, 

dalam praktiknya  guru menggunakan strategi pembelajaran sebagai berikut: 

                                      

A. Sorogan 

Sorogan berasal dari kata sorog (bahasa Jawa) yang berarti 

maju,40 sebab setiap santri menyodorkan kitabnya di hadapan kyai atau 

pembantunya (badal, asisten kyai). Sistem sorogan ini termasuk belajar 

secara individual, dimana seorang santri berhadapan dengan seorang 

guru, dan terjadi interaksi saling mengenal di antara keduanya.  

Sistem sorogan ini terbukti sangat efektif sebagai taraf pertama 

bagi seorang murid yang bercita-cita menjadi alim. Sistem ini 

memungkinkan seorang guru mengawasi, menilai dan membimbing 

secara maksimal kemampuan seorang santri dalam menguasai materi 

pembelajaran.  

Sorogan merupakan kegiatan pembelajaran bagi para santri yang 

lebih menitik beratkan pada pengembangan kemampuan perorangan 

(individual), di bawah bimbingan seorang kyai atau ustadz. 

Adapun metode yang dipakai yaitu   strategi bacaan terbimbing,   

pelaksanaannya siswa datang bersama-sama, kemudian antri menunggu 

gilirannya, membaca materi yang diajarkan, guru menyimak dan 

membimbing bacaannya dan menjelaskan seperlunya. Dengan sistem 

sorogan ini hubungan guru dengan siswa sangat dekat, sehingga guru 

lebih mudah mengenal kepribadian siswa dan mudah mengevaluasi. 

 

B. Wetonan/Bandongan 

Wetonan, istilah weton ini berasal dari kata wektu (bahasa jawa) 

yang berarti waktu,41 sebab pengajian ini  diberikan pada waktu-

waktu tertentu, yaitu sebelum dan atau sesudah melakukan shalat fardu. 

Sistem weton ini merupakan sistem kuliah, di mana para santri 

mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling guru yang menerangkan 

pelajaran kuliah, santri menyimak kitab masing-masing dan membuat 

cacatan padanya.  

                                                 

Secara sederhana metode bandongan dapat diartikan sistem 

belajar di pondok / madrasah yang bersifat klasikal atau orang banyak, 

seperti pada zaman para wali, dengan satu orang guru menjelaskan isi 

dari tema / bab yang sedang dibahas di dalam sebuah kitab.42 

Adapun strategi pembelajaran yang dipakai yaitu   sistem klasikal 

dengan metode ceramah dan tanya jawab. Guru menjelaskan materi yang 

diajarkan siswa aktif memperhatikan dan guru memberi kesempatan 

seluas-luasnya kepada peserta didik (siswa) untuk bertanya, menanyakan 

pokok bahasan yang belum jelas, guru melemparkan pertanyaan ini  

kepada rombongan belajar untuk dipecahkan bersama-sama. Jika cara itu 

belum bisa dipecahkan guru memecahkannya bersama siswa-siswa 

(rombongan belajar). 

Setelah selesai proses pembelajaran guru mengadakan evaluasi 

dengan test lisan atau test tertulis untuk mengetahui kompetensi peserta 

didik (siswa).