a,
karena mereka pasti akan menyiksa dan memfinahnya.
Oleh sebab itu Rasulullah melindunginya.
2. Pernikahan Rasulullah dengan Sayyidah ‘Aisyah r.a
Rasulullah menikahi Sayyidah ‘Aisyah r.a., Ia
adalah putri Abu Bakar Shiddiq yang telah diketahui
siapa beliau dan bagaimana kedudukannya di sisi Nabi.
Dan Sayyidah ‘Aisyah adalah satu-satunya perawan
yang dinikahi oleh Rasulullah Saw.
3. Pernikahan Rasulullah dengan Sayyidah Hafshah r.a.
Rasul menikah dengan Sayyidah Hafshah
binti Umar bin Khaththab yang sebelumnya adalah
istri Khanis bin Hudzaifah. Khanis wafat karena luka-
luka yang dideritanya pada waktu perang badar.
Rasul menikahinya karena rasa tanggung jawab dan
kecintaan beliau dengan ‘Umar, ayah Hafshah yang
teramat gembira dengan keturunan yang mulia ini.
4. Pernikahan Rasulullah dengan Zainab binti Jahsyi r.a
Rasul menikah dengan Zainab, anak perempuan
pamannya. Pernikahan ini merupakan pembebasan
bagi Zainab dari ketidakpedulian yang dialaminya
setelah perceraian yang merendahkannya.
5. Pernikahan Rasulullah dengan Zainab binti Khuzaimah
r.a
Rasul menikah dengan Sayyidah Zainab binti
Khuzimah, yang sebelumnya adalah istri Abdullah
binti Jahsyi r.a yang terbunuh pada perang Uhud.
Rasul menikah Zainab untuk menghormatinya, agar ia
bersabar terhadap musibah yang menimpanya karena
kepergian suaminya dan untuk menjaga agamanya.
6. Pernikahan Rasulullah dengan Sayyidah Ummu
Salamah r.a
Rasulullah menikah dengan Sayyidah Ummu
Salamah atau hindun bin Umayyah yang sebelumnya
adalahistri anak pamannya ‘Abdullah bin ‘Abdul Asad.
Ummu Salamah dan suaminya, Abu Salamah, masuk
Islam kemudian Hijrah ke Habasyah, setelah itu
Hijrah kembali ke Madinah, namun sebelum tinggal di
Makkah Abu Salamah wafat karena luka dalam perang
Uhud, maka kemudian Rasul menikah janadnya.
7. Pernihakahan Rasulullah dengan Sayyidah Ummu
Habibah r.a
Rasul menikah dengan Ummu Habibah
(Ramlah binti Abu Sufyan), yang sebelumnya adalah
istri Ubaidillah binti Jahsyi, yang hijrah ke Habasyah
pada waktu hijrah kedua lalu wafat di sana. Ummu
Habibah tetap dalam ke Islamannya, maka Allah
menyempurnakan Hijrah, pergaulan, dan kemuliannya
melalui pernikahan dengan Rasulullah.
8. Pernikahan Rasulullah dengan dengan Sayyidah
Maimunah r.a
Rasulullah menikah dengan Maimunah binti Al-
Harits Al-Hilaliyah r.a. Setelah dia menjadi janda dan
Umurnya sekitar 50 tahun. Rasul menikahinya untuk
melindunginya dan melunakkan kabilahnya.
9. Pernikahan Rasulullah dengan Sayyidah Juwaitiyah r.a
Rasul menikah dengan Juwairiyah binti Al-Harits
bin Dhirar, yang sebelumnya adalah istri Musafi ‘bin
shafwan Al-Mushthalaqi. Suami Juwairiyah terbunuh
dalam keadaan Kafir di hari Nuryasi’, kemudian ia
dijadikan tawanan.
10. Rasulullah menikah dengan Sayyidah Shafiyah binti
Hay bin Akhtab, seorang pemuka bani Nadhir yang
ayahnya terbunuh oleh Bani Quraidsah.18
Mengenai hikmah diizinkan berpoligami (dalam
keadaan darurat dengan syarat berlaku adil) antara lain
adalah sebagai berikut :
• Untuk mendapatkan keturunan bagi suami yang
subur dan istri mandul.
• Untuk menjaga keutuhan keluarga tanpa
menceraikan istri, sekalipun istri tidak dapat
menjalankan fungsinya sebagai istri, atau ia
mendapat cacat badan atau penyakit yang tak
dapat disembuhkan.
• Untuk menyelamatkan suami dari yang hypersex
dari perbuatan zina dan krisis akhlak lainnya.
• Untuk menyelamatkan kaum wanita dari krisis
akhlak yang tinggal dinegara/masyarakat yang
jumlah wanitanya jauh lebih banyak dari kaum
prianya, misalnya akibat peperangan yang cukup
lama.
G. Prosedur Poligami.
Undang- undang perkawinan (UU. No. 1 tahun 1974)
menganut asas monogami. Tetapi jika dikehendaki oleh yang
bersangkutan dan hukum dan Agamanya membenarkan
seorang suami dapat beristri lebih dari seorang (poligami).
Namun hal itu hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi syarat
tertentu dan memperoleh izin dari pengadilan.
Mengenai prosedur poligami atau tata cara poligami
yang resmi di atur oleh Islam memang tidak ada ketentuan
secara pasti. Namun, di Indonesia dengan Kompilasi Hukum
Islamnya telah mengatur hal tersebut sebagai berikut:
Pasal 56
a. Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang
harus mendapat izin dari Peradilan Agama.
b. Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat
(1) dilakukan menurut tata cara sebagaiman di atur
dalam Bab VIII Peraturan Pemerintah No.9 Tahun
1975.
c. Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua,
ketiga atau keempat tanpa izin dari Pengadilan
Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pasal 57
Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada
seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang
apabila:
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai
istri.
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak
dapat disembuhkan.
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 58
1. Selain syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat
(2) maka untuk memperoleh izin pengadilan agama,
harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan
pada pasal 5 UU No.1 Tahun 1974, yaitu:
a. Adanya persetujuan istri.
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu
menjamin keperluan hidup istri-istri dan
anak-anak mereka.
2. Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41
huruf b Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975,
persetujuan istri atau istri-istri dapat diberikan secara
tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah
ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas
dengan persetujuan lisan istri pada sidang Pengadilan
Agama.
3. Persetujuan di maksudkan pada ayat (1) huruf a
tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri atau
istri-istrinya tidak mungkin diminta persetujuannya
dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau
apabila tidak ada kabar dari istri atau istri-istrinya
sekurang-kurangnya 2 tahun atau karena sebab lain
yang perlu mendapat penilaian Hakim.
Pasal 59
Dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan,
dan permohonan izin untuk beristri lebih dari satu orang
berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur dalam
pasal 55 ayat (2) dan 57, Pengadilan Agama dapat
menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa
dan mendengar istri yang bersangkutan di persidangan
Pengadilan Agama dan terhadap penetapan ini istri atau
suami dapat mengajukan banding atau kasasi.
NIKAH MUT’AH DAN
NIKAH WISATA
Kata “mut’ah” secara harfiyah berarti kesenangan,
kenikmatan, kelezatan atau kesedapan. Kata ini juga berarti
sesuatu yang dengannya dapat diperoleh suatu manfaat
atau kesenangan, tetapi kesenangan atau manfaat tersebut
akan cepat hilang sebab habis atau berakhirnya sesuatu
tadi dan merasakan kelezatan tersebut akan segera berlalu
dalam waktu yang relatif singkat.
1Relatif singkat, nikah mut’ah berarti perkawinan
yang diadakan hanya untuk beberapa waktu tertentu,
seperti minggu atau beberapa bulan saja. 2Menurut istilah,
nikah mut’ah adalah seseorang laki-laki menikahi seorang
wanita dengan sesuatu dari harta untuk jangka waktu
tertentu, pernikahan ini berakhir dengan berakhirnya waktu
tersebut tanpa adanya perceraian, juga tidak ada kewajiban
nafkah dan tempat tinggal serta tidak ada waris-mewarisi
diantara keduanya apabila salah satunya meninggal sebelum
berakhirnya masa pernikahan. Pernikahan ini juga tidak
mensyaratkan adanya saksi, tidak disyaratkan adanya ijin
dari bapak atau wali, dan status wanitanya sama dengan
wanita sewaan atau budak.
Nikah Mut’ah biasa juga disebut dengan zawaj
al-muaqqat yang berarti kawin untuk sementara waktu
atau zawaj al-munqati’ yang berarti perkawinan yang
terputus setelah waktu yang ditentukan habis.3Sayyid
Sabiq merumuskan bahwa yang dimaksud dengan nikah
mut’ah adalah seorang laki-laki mengucapkan akad (nikah)
pada seorang perempuan untuk jangka waktu sehari,
seminggu, atau sebulan dan disebut dengan mut’ah
karena laki-laki mengambil manfaat dan bersenang-senang
dengan perempuan itu sampai jangka waktu yang telah
ditentukannya.4Ja’far Murtadha al-‘Amili menyatakan bahwa
nikah mut’ah adalah ikatan perkawinan antara seorang
laki-laki dengan perempuan dengan mahar yang disepakati
sebagaimana yang disebutkan dalam akad sampai pada
batas waktu yang telah ditentukan.5 Dengan berlalunya
waktu yang telah disepakati atau dengan pengurangan batas
waktu yang diberikan oleh laki-laki, maka berakhirlah ikatan
perkawinan tersebut tanpa memerlukan proses perceraian.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas pada
dasarnya tidak ada perbedaan pendapat yang mendasar
di antara para ulama tentang pengertian dari nikah mut’ah
3
yang kesemuanya bermuara pada perkawinan dengan
pembatasan waktu atau perkawinan yang bersifat temporal.
Masa tertentu itu adalah: sehari, tiga hari, satu minggu,
sebulan, setahun, atau lebih, tergantung kesepakatan
bersama dengan imbalan uang atau harta lainnya yang
diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak wanita. Nikah
mut’ah disebut juga zawaj muaqqat (kawin sementara)
dan zawaj munqaihl (kawin kontrak), karena mempunyai
batasan tertentu. Jika masanya telah selesai, maka dengan
sendirinya mereka berpisah tanpa kata thalaq dan tanpa
warisan.
B. Sejarah Nikah Mut’ah
Nikah Muth’ah pernah diperbolehkan oleh Rasulullah
sebelum stabilitasnya syari’at Islam, yaitu diperbolehkannya
pada waktu berpergian dan peperangan, akan tetapi
kemudian diharamkan.
Hikmah diperbolehkan nikah muth’ah ketika itu
adalah karena masyarakat Islam pada waktu itu masih dalam
transisi (masa peralihan dari jahiliyah kepada Islam). Sedang
perzinaan pada masa jahiliyah suatu hal yang biasa. Maka
setelah Islam datang dan menyeru pada pengikutnya untuk
pergi berperang, karena jauhnya mereka dari istri mereka
adalah suatu penderitaan yang berat. Sebagian mereka ada
yang kuat imannya dan sebagian tidak kuat imannya.
Bagi yang lemah imannya aka nmudah untuk
berbuat zina yang merupakan sebagai berbuatan yang keji
dan terlarang. Dan bagi yang kuat imannya berkeinginan
untuk mengkebiri dan mengipotenkan kemaluannya. 6Hal ini
sebagaimana yang dikatakatan oleh Abdullah :
اَنَل سَيَْل مََّلسَوَ هِيَْلعَ ُ َّالل ىَّلصَ ِ َّالل لِوسُرَ عَمَ وزُغَْن اَّنكُلُاوُقَي ِ َّالل َدبْعَ تُعْمِسَ لَاَق سٍيَْق نْعَ
لٍجََأ ىَلِإ بِوَّْثلاِب َةَأرْمَلْا حَكِنَْن نَْأ اَنَل صَ َّخرَ َّمُث كَلَِذ نْعَ اَناهََنَف يصِخَْتسَْن لََاأ اَنلُْقَف ءٌاسَِن
7( ملسم هاور)
“Dari Qais berkata saya mendengar Abdullah
mengatakan: waktu itu kami sedang perang bersama
Rasulullah Saw dan tidak ada bersama kami wanita,
maka kami berkata: bolehkah kami mengkebiri
(kemaluan kami). Maka Raulullah Saw. melarang
kami melakukan itu. Dan Rasulullah memberikan
keringanan kepada kami untuk menikahi perempuan
dengan mahar baju sampai satu waktu.”( HR. Muslim).
Tetapi rukhshah yang diberikan nabi kepada
para sahabat hanya selama tiga hari setelah itu Beliau
melarangnya, seperti sabdanya :
يِف سٍاطَوَْأ مَاعَ مََّلسَوَ هِيَْلعَ ُ َّالل ىَّلصَ ِ َّالل لُوسُرَ صَ َّخرََلاَق هِيِبَأ نْعَ َةمََلسَ نِبْ سِاَيِإ نْعَ
8(ملسم هاور) اهَنْعَ ىهََن َّمُث اًثلََث ةَِعْتمُلْا
6
“Dari Iyas bin Salamah dari bapaknya berkata :
Rasulullah Saw. memberikan keringanan nikah muth’ah
pada tahun authas (penaklukan kota Makah) selama
3 hari kemudian beliau melarangnya” (HR Muslim).”
Berdasarkan hadits Salamah di atas memberikan
keterangan bahwasanya Rasulullah Saw pernah
memperbolehkan nikah muth’ah kemudian melarangnya
dan menasah rukhshah tersebut. Menurut Nawawi dalam
perkataannya bahwasanya pelarangannya dan kebolehannya
terjadi dua kali, kebolehannya itu sebelum perang khaibar
kemudian diharamkannya dalam perang khaibar kemudian
dibolehkan lagi pada tahun penaklukan Makah (tahun
Authas), setelah itu nikah muth’ah diharamkan selama-
lamanya, sehingga terhapuslah rukhshah itu selama-lamnya.
Seperti dalam hadis Rasulullah Saw.
مَوَْي ءِاسَِّنلا ةَِعْتمُ نْعَ ىهََن مََّلسَوَ هِيَْلعَ ُ َّالل ىَّلصَ ِ َّالل لَوسُرَ َّنَأٍبلِاطَ يِبَأ نِبْ ِيّلِعَ نْعَ
(ملسم هاور)...رََبيْخَ
Dari Ali ra.berkata: Rasulullah melarang nikah muth’ah”
“...pada tahun Khaybar
مََّلسَوَ هِيَْلعَ ُ َّالل ىَّلصَ ِ َّالل لِوسُرَ عَمَ نَاكَ ُهَّنَأهَُثَّدحَ ُهاَبَأ َّنَأ ُّيِنهَجُلْا َةرَبْسَ نُبْ عُيِب َّرلا يِنَثَّدحَ
كَلَِذ مَ َّرحَ دَْق َ َّالل َّنِإوَ ءِاسَِّنلا نْمِ ِعاَتمِْتسْلِاا يِف مْكَُل تُنْذَِأ تُنْكُ دَْق يِّنِإ سُاَّنلا اهَُّيَأ اَي لَاَقَف
(ملسم هاور)... ةِمَاَيقِلْا مِوَْي ىَلِإ
“Dari Rabi’ bin Saburah, dari ayahnya ra. Sesungguhnya
Rasulullah Saw bersabda: wahai manusia sesungguhnya
aku telah memberikan izin kepadamu untuk meminta
muth’ah dari wanita, dan sesungguhnya Allah Swt telah
mengharamkan itu sampai hari kiamat”. (HR Muslim…).
C. Hukum Nikah Mut’ah
Nikah mut’ah merupakan salah satu kontroversial dan
polemik yang terjadi antara Sunni-Syiah sampai saat ini.
Yang satu mengharamkan secara mutlak dan yang lainnya
menghalalkan secara mutlak. Hal ini dikarenakan adanya
dalil nas yang menunjukkan kebolehannya, di sisi lain
terdapat nash-nash yang melarangnya. Di antara nasah-
nash itu adalah:
1. Nash-nasah yang membolehkan nikah mut’ah
(landasan normatif bagi yang membolehkan nikah
mut’ah):
a. Q.S. al-Nisa/4 : 24
امََف ۚ نَيحِِفاسَمُ رَيْغَ نَيِنصِحْمُ مْكُلِاوَمَْأِب اوُغَتبَْت نَْأ مْكُلِ َٰذ ءَارَوَ امَ مْكَُل َّلحُِأوَ
ۚ ًةضَيرَِف َّنهُرَوجُُأ َّنهُوُتآَف َّنهُنْمِ هِِب مُْتعَْتمَْتسْا
“Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yai-
tu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini
bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kamu
nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah ke-
pada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai
suatu kewajiban”.
b. Hadis Rasul yang membolehkan nikah mut’ah
ىَلعَ مَاَّيَلْا قِيِق َّدلاوَ رِمَّْتلا نْمِ ةِضَبَْقلْاِب عُِتمَْتسَْن اَّنكُلوُقَي ِ َّالل دِبْعَ نَبْ رَِباجَ تُعْمِسَ
ورِمْعَ نِْأشَ يِف رُمَعُ ُهنْعَ ىهََن ىَّتحَ رٍكَْب يِبَأوَ مََّلسَوَ هِيَْلعَ ُ َّالل ىَّلصَ ِ َّالل لِوسُرَ دِهْعَ
9)يراخبلا هاور(ثٍيْرَحُنبْ
9
“Saya mendengar Jabir bin Abdillah berkata: “Kami
dahulu nikah mut’ah dengan mahar segenggam
kurma atau tepung pada masa Rasulullah saw juga
Abu Bakar, sampai Umar melarangnya pada perkara
‘Amr bin Huraits.”
سَيَْلوَ مََّلسَوَ هِيَْلعَ ُ َّالل ىَّلصَ ِيِّبَّنلا عَمَ وزُغَْن اَّنكَُلاَق ُهنْعَ ُ َّالل يَضِرَ ِ َّالل دِبْعَ نْعَ
جَ َّوزََتَن نَْأ كَلَِذ َدعَْب اَنَل صَ َّخرََف كَلَِذ نْعَ اَناهََنَف يصَِتخَْن لََاأ اَنلُْقَف ءٌاسَِن اَنَعمَ
10{ مْكَُل ُ َّالل َّلحََأ امَ تِاَبِّيطَ اومُ ِرّحَُت لَا اوُنمَآ نَيذَِّلا اهَُّيَأ ا }َأرََق َّمُث بِوَّْثلاِب َةَأرْمَلْا
“Abdullah bin Mas’ud berkata,”kami berperang
bersama Nabi dan saat itu kami tidak membawa
istri. Maka kami berkata, Apakah kami boleh
mengebiri diri-diri kami? Maka Rasul melarang kami
untuk melakukan hal itu. Lalu beliau memberikan
keringanan kepada kami setelah itu untuk menikahi
perempuan dengan memberikan pakaian (sampai
batas waktu tertentu). Kemudian Nabi membaca ayat
(wahai orang orang yang beriman janganlah kalian
mengharamkan hal hal baik yang Allah halalkan bagi
kalian).
ِ َّالل لِوسُرَ لُوسُرَ اَناَتَأَف شٍيْجَ يِف اَّنكُلَااَق ِعوَكَْلْأا نِبْ َةمََلسَوَ ِ َّالل دِبْعَ نِبْ رِِباجَ نْعَ
11اوُعِتمَْتسْاَف اوُعِتمَْتسَْت نَْأ مْكَُل نَذُِأ دَْق ُهَّنِإ لَاَقَف مََّلسَوَ هِيَْلعَ ُ َّالل ىَّلصَ
“Jabir bin Abdullah dan Salamah bin Akwa’, berkata,
“Kami berada dalam pasukan perang.Lalu Rasulullah
datang kepada kami dan berkata, “Sesungguhnya telah
diizinkan kepada kalian untuk menikah mut’ah, maka
lakukanlah.”
2. Nash-nasah yang melarang nikah mut’ah (landasan
normatif bagi yang tidak membolehkan nikah
mut’ah):
a. Pelarangan itu ditegaskan di dalam (QS. Al-
Mukmin (23): 5-7) sebagai berikut:
مْهَُّنإَِف مْهُُنامَيَْأ تْكََلمَ امَ وَْأ مْهِجِاوَزَْأ ىَٰلعَ َّلِإ نَوظُِفاحَ مْهِجِورُُفلِ مْهُ نَيذَِّلاوَ
نَودُاَعلْا مُهُ كَِئ َٰلوُأَف كَلِ َٰذ ءَارَوَ ىَٰغَتبْا نِمََف نَيمِوُلمَ رُيْغَ
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya,Ke-
cuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang
mereka miliki, Maka Sesungguhnya mereka dalam
hal Ini tiada terceIa. Barangsiapa mencari yang
di balik itu Maka mereka Itulah orang-orang yang
melampaui batas”.
b. Hadis Rasul yang melarang nikah mut’ah
ىهََن مََّلسَوَ هِيَْلعَ ُ َّالل ىَّلصَ ِ َّالل لَوسُرَ َّنَأهُنْعَ ُ َّالل يَضِرَ بٍلِاطَ يِبَأ نِبْ ِيّلِعَ نْعَ
1٢(يراخبلا هاور)ةَِّيسِنْ ِلْا رِمُحُلْا مِوحُُل لِكَْأ نْعَوَ رََبيْخَ مَوَْي ءِاسَِّنلا ةَِعْتمُ نْعَ
“Dari Ali bin Abi Talib sesungguhnya Rasulullah saw
melarang nikah mut’ahpada perang khaibar dan
makan daging himar orang ahliyah”.
ِحْتَفلْا مَوَْي ىهََن مََّلسَوَ هِيَْلعَ ُ َّالل ىَّلصَ ِ َّالل لَوسُرَ َّنَأهِيِبَأ نْعَ َةرَبْسَ نِبْ ِعيِب َّرلا نْعَ
13(ملسملا هاور)ءِاسَِّنلا ةَِعْتمُ نْعَ
“Nabi saw. melarang nikah mut‘ah pada fathu makkah”
ىَّلصَ ِ َّالل لُوسُرَ اَنرَمََلَأاَق هِ ِّدجَ نْعَ هِيِبَأ نْعَ ِيِّنهَجُلْا َةرَبْسَ نِبْ ِعيِب َّرلا نِبْ كِلِمَلْا دِبْعَ نْعَ
14اهَنْعَ اَناهََن ىَّتحَ اهَنْمِ جْرُخَْن مَْل َّمُث َةَّكمَ اَنلْخََد نَيحِ ِحْتَفلْا مَاعَ ةَِعْتمُلْاِب مََّلسَوَ هِيَْلعَ ُ َّالل
“Rasulullah Saw pernah memerintahkan kami
untuk melakukan nikah mut’ah pada saat Fathul
Makkah ketika memasuki kota Makkah. Kemudian
sebelum kami meninggalkan Makkah, beliau pun
telah melarang kami dari bentuk nikah tersebut.”
ُ َّالل ىَّلصَ ِ َّالل لِوسُرَ عَمَ نَاكَ ُهَّنَأهَُثَّدحَ ُهاَبَأ َّنَأ ُّيِنهَجُلْا َةرَبْسَ نُبْ عُيِب َّرلا يِنَثَّدحَ
ءِاسَِّنلا نْمِ ِعاَتمِْتسْلِاا يِف مْكَُل تُنْذَِأ تُنْكُ دَْق يِّنِإ سُاَّنلا اهَُّيَأ اَي لَاَقَف مََّلسَوَ هِيَْلعَ
لَاوَ ُهَليِبسَ ِلّخَُيلَْف ءٌيْشَ َّنهُنْمِ ُهَدنْعِ نَاكَ نْمََف ةِمَاَيقِلْا مِوَْي ىَلِإ كَلَِذ مَ َّرحَ دَْق َ َّالل َّنِإوَ
15اًئيْشَ َّنهُومُُتيَْتآ ا َّممِ اوُذخُْأَت
“Wahai sekalian manusia. Awalnya aku mengizinkan
kalian untuk melakukan nikah mut’ah dengan para
wanita. Sekarang, Allah telah mengharamkan (untuk
melakukan mut’ah) hingga hari kiamat.”
Berdasarkan ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis Rasul
diatas, ulama sepakat bahwa memang telah dibolekan oleh
nabi dan telah terjadi secara kenyataan perkawinan mut’ah
tersebut pada waktu tertentu. Namun dalam kebolehannya
waktu itu terdapat perbedaan antara ulama Ahlu Sunnah
dengan ulama Syi’ah.
1. Pendapat pertama (jumhur ulma)16: Menurut jumur
ulama Ahlu Sunnah kebolehan nikah mut’ah sudah
dicabut dengan arti sekarang hukumnya telah
haram. Ibnu al-Hajar al-Asqallaniy menurut yang
dinukilkan oleh Muhammad Jawad secara tegas
melarang perkawinan mut’ah walaupun pernah
diizinkan.17Sebagaimana hadis-hadis Nabi di atas
yang menjelaskan tentang larangan nikah mut’ah.
Menurut ibnu Rusyd pelarangan tentang nikah
mut’ah masih diperselisihkan waktu terjadinya. Ada riwayat
yang mengatakan bahwa pelarangan tersebut terjadi pada:
a. perang khaibar (7 H.), b.Fathu Makkah (8 H), c. perang
tabuk (9 H.), d. haji wada’(10 H.), e. pada waktu umrah
qada’ dan f. perang Anthas. Dari beberapa riwayat yang
telah ditelusuri menunjukkan bahwa larangan tersebut
terjadi pada perang Khaibar yang berarti bahwa itu terjadi
pada tahun 7 H /628 M (3 tahun sebelum Nabi wafat yaitu
tahun 11 H.).18
Quraish Shihab mengatakan bahwa nikah mut’ah
benar pernah dibenarkan oleh Rasulullah saw serta
dipraktekkan oleh sementara sahabat dan itu juga tidak
ditolak oleh ulama bermazhab Sunnah karena ada sekian
riwayat yang menginformasikan adanya praktek mut’ah,
tetapi terdapat pula sekian riwayat yang menyatakan bahwa
nikah mut’ah telah dibatalkan walau riwayat itu berbeda-
beda tentang kapan terjadinya dan oleh siapa.19
Muhammad Ali al-Shabuni berpendapat mengenai
nikah mut’ah, berdasarkan substansinya menyatakan bahwa
nikah mut’ah itu batal dan haram berdasarkan al-Quran,
al-Sunnah dan Ijma para ulama. Pernikahan ini dianggap
tidak berbeda dengan zina. Nikah mut’ah itu diperbolehkan
18 Khaibar adalah sebuah pemukiman yang terletak kurang lebih
150 km sebelah utara Madinah. Pada perang ini pasukan Nabi
saw berhadapan dengan kelompok Yahudi yang ada di Khaibar.
Lihat: Sami bin Abdullah al-Magluts, Atlas Agama Islam
(
pada awal-awal Islam karena darurat. Sama halnya dengan
khamar pada permulaan penyebaran Islam. Setelah
Islam menjadi kuat dan sendi-sendinya telah tegak,
maka diharamkan untuk selama-lamanya berdasarkan dalil-
dalil qat’i, sehingga menjadikan khamar haram dan termasuk
perbuatan setan.20
Di Indonesia sendiri para ulama yang tergabung
dalam Dewan Pimpinan Pusat Ittihadul Muballigin
menghasilkan kesepakatan tentang nikah mut’ah. Bahtsul
Masail DPP Ittihadul Muballighin menghasilkan kesimpulan
yang menjelaskan tentang: definisi nikah mut’ah, perbedaan
antara nikah mut’ah dan nikah sunni, hukum haramnya nikah
mut’ah disertai dalil-dalilnya, madharat (dampak negatif)
nikah mut’ah, dan rekomendasi agar nikah mut’ah dilarang.21
Adapun pengharaman nikah mut’ah pada dasarnya
telah terjadi berulang kali, yakni pada masa perang Khaibar
dan pada tahun penaklukkan kota Makkah. Terjadinya
pengharaman dan pelarangan pada masa penaklukkan
kota Makkah bertujuan untuk supaya disaksikan oleh
orang banyak dari kalangan sahabat dan sebagai bukti
nyata tentang keharaman nikah mut’ah. Nikah mut’ah
adalah pelanggaran syariat. Mengenai masalah banyaknya
kejahatan seputar pergaulan laki-laki dan perempuan, tidak
dapat dijadikan alasan pembenaran nikah mut’ah.22
Berdasarkan beberapa hadis di atas maka dapat
disimpulkan bahwa hukum nikah mut’ah adalah pernah
dibolehkan ketika zaman Rasulullah Saw masih hidup, tapi
kemudian diharamkan oleh Rasul saw sampai hari kiamat.
Jika ada yang melaksanakan nikah mut’ah pada masa
sekarang, maka nikah mut’ah tersebut hukumnya batal/
haram.
2. Pendapat kedua (ulama Syiah):
Pandangan Syiah Imamiyah bahwa kehalalan
nikah mut’ah itu tetap berlaku dan tidak ada hadis yang
menghapuskannya. Pendapat ini berbeda dengan pendapat
mazhab-mazhab yang empat (mazhab-mazhab Ahlus
Sunah) yang mengharamkannya karena ketentuan itu
sudah dihapus dengan adanya hadis tentang larangan nikah
mut’ah yang datang kemudian. Kaum Syiah menghalalkan
nikah mut’ah dengan berdasar pada Q. S. al-Nisa/4 : 24.
Ulama Syiah berpendapat bahwa kata (istamta’um)
menunjuk kepada nikah mut’ah yaitu akad untuk masa
tertentu dan dengan syarat-syarat tertentu. Pendapat
ini mereka kuatkan karena adanya bacaan dari Ubay bin
Ka’b dan Ibnu ‘Abbas yang menmbahkan kata (ila ajalin
musamma) setelah kalimat (istamta’tum ). Bacaan ini
dikenal sebagai bacaan mudraj, dalam arti bahwa itu bukan
merupakan lafaz-lafaz asli ayat, tetapi ditambahkan oleh
para sahabat sebagai penjelasan makna.23
Murthadha Muthahhari menganggap bahwa nikah
mut’ah hukumnya halal. Dalam menanggapi tindakan Umar,
beliau berpendapat bahwa pengaruh kepribadian khalifah
Umar membuat rakyat dalam mengikuti cara hidupnya
serta sikap politik pemerintahnya merupakan penyebab
hukum perkawinan mut’ah yang bersifat pendamping
bagi perkawinan permanen dan merupakan sarana untuk
menyingkirkan kesusahan dan kepedihan telah ditinggalkan
selama-lamanya.
Itulah sebabnya para Imam Syi’ah selalu mendorong,
meyakinkan, dan mengingatkan umat supaya sunnah
Islam ini jangan terlupakan dan ditinggalkan. Imam Ja’far
Shadiq mengatakan salah satu urusan yang saya tidak mau
mendiamkannya adalah soal mut’ah.24 Dengan pernyataan
tersebut Murthadha Muthahhari menyesalkan tindakan
Khalifah Umar karena pengaruhnya, kepribadian dan sikap
politiknya menyebabkan umat meninggalkan nikah mut’ah
yang merupakan pendamping dari nikah permanen dan
merupakan sarana untuk menghindari kesulitan.25
D. Perbedaan Nikah Mut’ah dan Nikah Sunni
Ada enam perbedaan prinsip antara nikah mut’ah
dan nikah sunni (konvensional), yaitu :26
1. Nikah mut’ah dibatasi oleh waktu, nikah sunni tidak
dibatasi oleh waktu.
2. Nikah mut’ah berakhir dengan habisnya waktu yang
ditentukan dalam aqad atau fasakh, sedangkan nikah
sunni berakhir dengan talaq atau meninggal dunia.
3. Nikah mut’ah tidak berakibat saling mewarisi antara
suami istri, nikah sunni menimbulkan pewarisan
antara keduanya.
4. Nikah mut’ah tidak membatasi jumlah istri, nikah
sunni dibatasi dengan jumlah istri hingga maksimal
empat orang.
5. Nikah mut’ah dapat dilaksanakan tanpa wali dan
saksi, nikah sunni harus dilaksanakan dengan wali
dan saksi.
6. Nikah mut’ah tidak mewajibkan suami memberikan
nafkah kepada istri, nikah sunni mewajibkan suami
memberikan nafkah kepada istri.
E. Pengertian Nikah wisata.
M.Nabil Kadhim mendefinisikan pernikahan
misyar adalah pernikahan yg dimana pihak perempuan
mendapatkan sebagian haknya saja yg diatur pada saat akad
nikah, seperti tidak mendapatkan tempat tinggal, nafkah
dan kelangsungan untuk tinggal bersamanya. Biasanya
pernikahan ini sudah memenuhi rukun nikah yaitu akad,
kerida’an wali, dua orang saksi dan mahar. Yusuf Qardhawi
mendefinisikan nikah mizyar adalah pernikahan dimana
suami mendatangi kediaman istri dan istri tidak ikut pindah
di rumah suami.27
Nikah wisata adalah salah satu bentuk perkawinan
baru di era modern ini. Pernikahan ini tidak didapatkan dalam
kitab-kitab fiqh klasik. Meskipun demikian perkawinan ini
memiliki kemiripan secara substansial dengan bentuk kawin
mut’ah disebabkan jenis perkawinan ini bersifat temporal.
Bedanya, dalam akad perkawinan mut’ah disebut batasan
waktu berlakunya pernikahan sehingga apabila waktu
yang ditentukan sudah berakhir maka berakhir pula ikatan
perkawinan tersebut. Sedangkan dalam nikah wisata, dalam
akadnya tidak disebutkan jangka waktu perkawinannya
tetapi diniatkan perkawinan ini berakhir ketika masa
wisatanya sudah selesai.
Nikah wisata ini disebut juga nikah yang diniatkan
untuk talak.28 Disebut demikian, karena biasanya pria yang
melakukan praktik nikah ini tidak ada tujuan pernikahan
yang lestari dan untuk waktu selamanya, tetapi hanya untuk
tempo tertentu saja seperti satu malam, seminggu dan
sebagainya, tetapi keinginan mentalaq dalam tempo tertentu
tersebut tidak diucapkan secara verbal dalam akad nikah.
Biasanya mereka melakukan kesepakatan dulu sebelum
akad, tetapi kesepakatan yang telah dibuat tersebut tidak
disebut dalam akad nikah
Praktik nikah wisata dilakukan sebagai mana layaknya
sebuah pernikahan, yaitu pernikahan yang memenuhi segala
rukun dan syaratnya, dilakukan karena suka sama suka,
adanya wali, saksi dan ada mahar. Hanya saja, sang istri
merelakan beberapa haknya tidak dipenuhi oleh suaminya,
misalnya hak nafkah, tempat tinggal atau hak gilir. Model
pernikahan ini kemudian dipersoalkan keabsahannya.30
Pernikahan model seperti ini biasanya dilakukan oleh
para pedagang, tentara, penuntut ilmu yang berada di negeri
asing untuk menjaga dirinya dari kerusakan. Namun, saja
perlu diwaspadai bahwa dalam bentuk pernikahan ini kurang
penunaian hak disebabkan karena adanya kelemahan dalam
menunaikan hak dan kewajiban.
Sebagian pelancong muslim mancanegara punya trik
menyiasati larangan berzina. Sebelum menyalurkan hasrat
seksual, mereka menikahi pasangannya, dengan memenuhi
syarat-rukun nikah. Perempuannya lajang tak bersuami.
Bisa janda, tapi kebanyakan pelancong memesan perawan.
Bunyi ijab kabul mirip nikah biasa. Tanpa penyebutan batas
waktu seperti nikah mut’ah.
Pasangan pun merasa aman dan nyaman berasyik
masyuk, karena berkeyakinan sebagai suami-istri sah.
Bedanya dengan nikah biasa, perkawinan ini tidak berumur
panjang. Bisa sebulan, sepekan, kadang cuma dua hari.
Begitu jadwal liburan berakhir, pasangan pun bercerai.
Agendanya memang sekadar pemuasan birahi. Bila si
wanita melahirkan anak, tak ada lagi urusan dengan sang
pria. Akad nikah dilakukan secara lisan, tanpa dicatat Kantor
Urusan Agama. Perceraian pun diselesaikan secara lisan,
tanpa pernyataan di depan Pengadilan Agama.31
Investigasi Gatra tahun 2006 di Puncak
mengungkapkan, kesediaan pihak perempuan dinikahi
model ini cenderung didorong motivasi finansial. Mahar
yang diberikan berkisar Rp 2 juta sampai Rp 10 juta. Ada
yang kawin hanya dua hari, dengan “tarif” Rp 2 juta. Bila
beruntung, selain terima mahar, si wanita juga diberi nafkah
harian Rp 500.000 sehari. Tapi, mas kawin itu bukan milik
penuh si istri, sebagaimana ketentuan lazim tentang mahar.
Pihak perempuan hanya memperoleh separuh. Sisanya
dibagi pada calo, saksi, dan wali nikah.32
F. Hukum Nikah Nikah wisata.
Abunuralif menyatakan setidaknya ada tiga arus
pendapat di kalangan ahli fiqh kontemporer mengenai
keabsahan perkawinan ini,33 yaitu: Pertama, boleh namun
mengandung kemakruhan. Alasan dari pendapat kelompok
ini didasarkan pada adanya perkawinan ini yang memenuhi
syarat dan rukun perkawinan yang di tetapkan syara’ dan
tidak mengarah pada keharaman sebagaimana nikah tahlil
dan mut’ah. Hal ini disebabkan karena kedua pasangan sama-
sama sepakat dan menerima jika istri tidak memperoleh
hak tinggal secara menetap atau tidak menikmati bagian
yang di peroleh istri-istri madu, atau tidak menerima
nafkah, dan sejenisnya.Dalil yang dijadikan dasar hukum
adalah HR. Ummul Mu’minin Saudah binti Zam’ah.34Dalam
hadits tersebut menunjukkan bahwa istri berhak untuk
menggugurkan hak yang telah diberikan syariat kepadanya,
misalnya tinggal bersama suami dan nafkah.
Selain itu, perkawinan merupakan pemenuhan naluri
fitrah pada perempuan dan penjagaan diri dari kubang
kenistaan (pezinaan), dan dengan model perkawinan ini ia
pun tetap bisa memperoleh anak yang di dambakannya.
Sedangkan hukum perkawinan ini sebagai sesuatu
yang mubah namun makruh mengacu pada fakta keminiman
kesempatan dalam perkawinan model ini untuk mewujudkan
tujuan-tujuan yang di kehendaki syariat (maqasid syari’ah)
dalam membina rumah tangga, misalnya ketenangan jiwa,
pengasuhan istri dan anak-anak, perlindungan keluarga
secara maksimal, dan pendidikan yang solid. Meskipun
ada sebagian kalangan pendukung pendapat ini yang
menyatakan bahwa persyaratan nafkah dan tinggal serumah
adalah sesuatu yang signifikan akan tetapi menurut mereka,
istri memiliki hak untuk melepaskan secara sukarela.
Kedua, perkawinan misyar atau wisata adalah haram
dengan beberapa alasan sebagai berikut;
a. Perkawinan model ini bertentangan dengan tujuan-
tujuan perkawinan yang bersifat sosial, psikologis,
dan syariat, seperti pemenuhan rasa kasih sayang
ketentraman, menjaga keturuan dan perawatannya
semaksimal mungkin, pemenuhan hak-hak dan
kewajiban yang menjadi konsekuensi akad nikah
yang sah (normal). Sementara yang menjadi
pertimbangan dalam akad nikah adalah tujuan
dan subtansinya, bukan redaksi semata dan kulit
luarnya.
b. Bertentangan dengan sistem perkawinan yang telah
berjalan. Model perkawinan ini tidak pernah dikenal
oleh syariat dan kaum muslimin sebelumnya.
c. Adanya persyaratan yang dibuat bertentangan
dengan subtansi akad.
d. Perkawinan ini sangat rentan menjadi pintu gerbang
kebobrokan dan kerusakan karena menganggap
remeh nilai mahar, suami tidak mengemban
tanggung jawab keluarga. Selain itu, perkawinan
ini seringkali dilakukan secara siri (rahasia), atau
tanpa kehadiran wali (keluarga).
Ketiga, abstain (tidak memberikan keputusan hukum
atas masalah ini) keputusan ini dinukil dari Allamah Ibnu
Utsaimin Rahimahullah.35
Berdasarkan ketiga pandangan tersebut,
tampaknya MUI cenderung mengikuti pendapat kedua
yang mengharamkan perkawinan ini.Meskipun demikian,
pengharaman yang ditetapkan oleh MUI tidak sepenuhnya
didasarkan pada alasan-alasan sebagaimana yang
dikemukakan oleh kelompok kedua.Dalam hal ini, MUI lebih
berpandangan bahwa keharaman ini didasarkan pada alasan
bahwa perkawinan ini dipersamakan dengan nikah muaqqat
(nikah sementara) yang merupakan salah satu bentuk nikah
mut’ah.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengharamkan
nikah wisata atau pernikahan yang dilakukan oleh
wisatawan Muslim untuk jangka waktu selamaia dalam
perjalanan wisata. “Nikah wisata atau biasa dikenal dengan
nikah misyar hukumnya haram,” demikian dibacakan oleh
Sekretaris Komisi C yang membahas fatwa Asrorun Ni`am
Sholeh, dalam Musyawarah Nasional (Munas) MUI.
Fatwa ini tidak memasuki pembahasan absah-
tidaknya akad nikah.Sah atau batal, dalam ushul fiqih, masuk
wilayah “hukum wadh’i”.Fatwa ini melampaui isu sah-batal,
melainkan masuk isu halal-haram, yang dalam ushul fiqih
menjadi bagian “hukum taklifiy”.
Nikah wisata dikatakan haram bukan karena akadnya
sah atau batal, kata Ni’am, melainkan karena implikasi
dharar (mudarat). Mirip fatwa nikah usia dini dan nikah siri,
yang dari segi hukum wadh’i, akadnya sah, tapi dari segi
hukum taklify nikah tersebut bisa haram jika menimbulkan
dharar.
G. Analisis Tentang Nikah Misyar /Wisata
Fenomena nikah kontrak sangat menjamur dan
semarak dilakukan orang Arab Wahabis yang suka melancong
ke manca negara, semisal Indonesia. Mereka merasa tidak
terbebani oleh rasa bersalah dan dosa, karena sudah
mendapatkan legitimasi fatwa dari ulamanya sendiri sebagai
tindakan yang dibenarkan. Inilah konsekuensi dari paham
literalis yang lebih mementingkan persoalan mekanisme
saja semisal prosedur sebelum atau pada saat akad nikah
syarat pembatasan masa pernikahan itu diucapkan yang
lebih banyak bertentangan dengan tujuan mulia sebuah
pernikahan.
Pernikahan ini mencukupi rukun akad yang
disyari’atkan, seperti: Ijab,Qabul, Saksi dan Wali. Pernikahan
ini adalah pernikahan yang sah, hanya saja dalam
pernikahan ini, laki-laki mensyaratkan bahwa dia tidak akan
menuntut hak-haknya yang berhubungan dengan tanggung
jawab sebagai suami, karena mereka yang melakukan dan
menerima perjanjian tersebut sudah mendapatkan uang
yang diterima oleh pihak perempuan seperti mahar yang
sudah ditentukan dari awal.
Maka seharusnya suatu pernikahan alangkah
baiknya kembali kepada hakikat dan tujuan pernikahan itu
sendri yaitu gerbang untuk membentuk keluarga bahagia.
Hal ini ditegaskan dalam Undang Undang Nomor 1 tahun
1974 tentang Perkawinan, Dalam pasal 1 disebutkan:
“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Menurut pandangan pandangan Imam Al-Syatibi,
ahli ushul fikih, yang luas mengupas konsep maqashid
al-syariah. Dikatakan Syatibi, maqashid syariah ada dua,
yaitu maqashid ashliyah (tujuan pokok) dan maqashid
tabi’iyah (tujuan ikutan). Tujuan pokok pernikahan untuk
menghalalkan persetubuhan. Sedangkan tujuan ikutannya
membentuk keluarga sakinah.
Nikah wisata, dikatakan, hanya memenuhi tujuan
pokok, dan tidak mencapai tujuan ikutan. “Kata Syatibi,
segala hal yang tidak sesuai maqashid syariah, baik ashliyah
maupun tabi’iyah, jadi haram,” kata peserta itu. Peserta
lain memperkuat dengan pertimbangan akhlak. Dikatakan,
nikah seperti ini tidak sepantasnya dibolehkan.
“Nikah bukan hanya untuk bersenang-senang, tapi
untuk membina keluarga. Nikah wisata bisa berdampak
penelantaran, “kaedah” mencegah kerusakan harus
didahulukan ketimbang melaksanakan kebaikan”.
H. Dampak yang Ditimbulkan Nikah Mut’ah dan
Nikah Wisata.
Dampak negatif yang ditimbulkan nikah mut’ah dan
nikah wisata adalah bertentangan dengan tujuan pernikahan
dalam Islam;
• Nikah mut’ah merupakan bentuk pelecehan terhadap
martabat kaum wanita;
• Nikah mut’ah mengganggu keharmonisan keluarga
dan meresahkan masyarakat;
• Nikah mut’ah berakibat menelantarkan generasi
yang dihasilkan oleh pernikahan itu;
• Nikah mut’ah bertentangan dengan Undang Undang
Perkawinan No.1/1974 pasal 1 dan 2;
• Nikah mut’ah dicurigai dapat menimbulkan dan
menyebarkan penyakit kelamin;
• Nikah mut’ah sangat potensial untuk merusak
kepribadian dan budaya luhur bangsa Indonesia.
PERKAWINAN BEDA
AGAMA
A. Pengertian Nikah Beda Agama.
Pernikahan beda agama dalam perspektif Islam
adalah pernikahan laki-laki Muslim dengan perempuan
non-Muslimah, atau sebaliknya, pernikahan perempuan
Muslimah dengan laki-laki non-Muslim.
B. Pendapat Ulama tentang Hukum PernikahanBeda
Agama.
Pembahasan tentang pernikahan beda agama akan
dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu:
1. Pernikahan laki-laki muslim dengan perempuan musyrik.
Non Muslim/kafir adalah orang-orang yang
mengingkari Tuhan. Larangan pernikahan beda agama
dengan non muslim/ kafir secara global telah disepakati oleh
para ulama. Dasar pelarangannya adalah QS. Al-Baqarah/2:
221 Allah Swt. melarang keras pernikahan laki-laki Muslim
dengan perempuan musyrik:
وَْلوَ ةٍكَرِشْمُ نْمِ رٌيْخَ ٌةَنمِؤْمُ ٌةمََلَوَ ۚ َّنمِؤُْي ىَّٰتحَ تِاكَرِشْمُلْا اوحُكِنَْت لَوَ
نْمِ رٌيْخَ نٌمِؤْمُ دٌبَْعَلوَ ۚ اوُنمِؤُْي ىَّٰتحَ نَيكِرِشْمُلْا اوحُكِنُْت لَوَ ۗ مْكُْتَبجَعَْأ
مْكَُبجَعَْأ وَْلوَ كٍرِشْمُ ۗ
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik,
sebelum mereka beriman.Sesungguhnya wanita budak
yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun
dia menarik hatimu.dan janganlah kamu menikahkan
orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin)
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang
mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia
251
menarik hatimu.mereka mengajak ke neraka, sedang
Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-
Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-
perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka
mengambil pelajaran”.
Di samping itu larangan pernikahan dengan non muslim
atau kafir didasarkan pada QS. Al-Mumtahanah :10.
مَُلعَْأ ُ َّالل ۖ َّنهُوُنحَِتمْاَف تٍارَجِاهَمُ تُاَنمِؤْمُلْا مُكُءَاجَ اَذِإ اوُنمَآ نَيذَِّلا اهَُّيَأ اَي
ٌّلحِ َّنهُ لَ ۖ رِاَّفكُلْا ىَلِإ َّنهُوُعجِرَْت لََف تٍاَنمِؤْمُ َّنهُومُُتمْلِعَ نْإَِف ۖ َّنهِِنامَيإِِب
َّنهَُل نَوُّلحَِي مْهُ لَوَ مْهَُل ۖ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang
berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang
beriman, Maka hendaklah kamu uji (keimanan)
mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan
mereka;maka jika kamu telah mengetahui bahwa
mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu
kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka)
orang-orang kafir. mereka tiada halal bagi orang-
orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal
pula bagi mereka. dan berikanlah kepada (suami
suami) mereka, mahar yang Telah mereka bayar.
dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila
kamu bayar kepada mereka maharnya. dan janganlah
kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan
perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu
minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah
mereka meminta mahar yang telah mereka bayar.
Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di
antara kamu.dan Allah Maha mengetahui lagi Maha
Bijaksana”.
Kedua ayat ini tegas sekali melarang pernikahan
Muslim dengan perempuan musyrik.
2. Pernikahan laki-laki muslimdengan perempuan ahli kitab.
Ahli kitab adalah orang yang menganut salah
satu agama samawi yang mempunyai kitab suci seperti
Taurat, Injil dan Zabur.1Para ulama berbeda pendapat
mengenai hukum perkawinan pria muslim dengan wanita
ahli kitab.
a. Jumhur Ulama (Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hambali)
berpendapat bahwa seorang pria muslim dibolehkan
kawin dengan ahli kitab yang berada dalam lindungan
(kekuasaan) Negara Islam (ahli Dzhimmah).
b. ‘Abdullah ibn Umar dari kalangan sahabat, yang
mengharamkan perempuan kitabiyah Yahudi dan
Nasrani dengan alasan bahwa doktrin teologis kedua
agama tersebut mengandung unsur-unsur syirik
(politeisme).2 Hal ini karena Nabi Uzair As.dalam
teologi Yahudi dan Nabi Isa As. dalam teologi
Nasrani masing-masing diposisikan sebagai anak
Tuhan. Ketika ditanya tentang masalah ini Ibn Umar
berkata:
1
“Allah telah mengharamkan pernikahan Muslim
dengan perempuan musyrik. Dan aku tidak mengenal
kemusyrikan yang lebih besardaripada pernyataan
seorang perempuan bahwa tuhannya adalah Isaatau
apa pun di antara hamba-hamba Allah.3
Umar ibn Khattab radhiyallahu anhu bahwa Hudzaifah
ibn al-Yaman ra.pernah menikah dengan seorang perempuan
Yahudi, lalu Umar memintanya melalui sepucuk surat agar
menceraikan perempuan itu. Hudzaifah membalasnya:
“Apakah engkau menganggap dia haram?” Umar menjawab:
“Aku tidak mengatakan haram, tetapi aku khawatir kaum
Muslim lantas menyukai pelacur di antara perempuan Ahl al-
Kitab4 Perintah yang sama diberikan Umarkepada Thalhah
ketika menikahi seorang perempuan Nasrani.Menjelaskan
tentang sikap Umar ini Al-Thabari menulis:
“Umar tidak menyukai pernikahan Thalhah dan
Hudzaifah dengan perempuan Yahudi dan Nasrani
karena khawatir diikuti orang banyak, lalu mereka
enggan menikahi perempuan Muslimah, atau karena
alasan lain. karena itu dia memerintahkan keduanya
agar menceraikan istri-istri mereka”.
Mengomentari kebijakan Umar ini Syaikh Muhammad
Ali al-Shabuni menulis: “Semoga Allah merahmati Umar.
Begitu bijaksananya dia mengatur kepentingan kaum Muslim
3
dengan pertimbangan maslahat dan betapa butuhnya kita
pada sikap bijak seperti ini.”
Kenyataan memang membuktikan bahwa tidak
sedikit anak-anak yang lahir dari pernikahan beda agama
mentalitasnya tumbuh tidak sejalan dengan cita keagamaan
Islam. Hal ini karena pendidikan anak di dalam rumah
tangga hampir sepenuhnya di tangan ibu.
Syi’ah Imamiyah dan Syi’ah Zaidiyah berpendapat,
bahwa pria muslim tidak boleh kawin dengan wanita ahli
kitab.
Golongan pertama (Jumhur Ulama) mendasarkan
pendapat mereka kepada beberapa dalil;
1) Firman Allah yang berbunyi: (al-Maidah:5)
مْكُمُاَعطَوَ مْكَُل ٌّلحِ بَاَتكِلْا اوُتوُأ نَيذَِّلا مُاَعطَوَ ۖ تُاَبِّيَّطلا مُكَُل َّلحُِأ مَوَْيلْا
اوُتوُأ نَيذَِّلا نَمِ تُاَنصَحْمُلْاوَ تِاَنمِؤْمُلْا نَمِ تُاَنصَحْمُلْاوَ ۖ مْهَُل ٌّلحِ
…مْكُلِبَْق نْمِ بَاَتكِلْا
Artinya:
“Pada hari Ini dihalalkan bagimu yang baik-baik.
Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al
Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal
(pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mangawini)
wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-
wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga
kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab
sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin
255
mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan
maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya
gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah
beriman (Tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka
hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk
orang-orang merugi”.
Ayat ini tegas sekali menghalalkan pernikahan
Muslim dengan perempuan Ahl al-Kitab. Menyikapi kesan
kontradiksi (ta’arudh) antara QS. Al-Baqarah:221 dengan
QS. al-Maidah:5, para ulama dari kelompok ini mengatakan
bahwa topik yang dibicarakan oleh ayat yang disebut pertama
itu bersifat umum tentang hukum menikahi perempuan
musyrik pada umumnya. Sedang ayat yang kedua khusus
tentang perempuan Ahl al-Kitab.5
Dengan ungkapan lain, kedua ayat tersebut berada
dalam ranah yang berbeda. Yang pertama berlaku dalam
keumumannya menyangkut semua perempuan musyrik,
baik yang agamanya tergolong agama langit (samawi)
atau bukan. Sedang ayat yang kedua berlaku khusus bagi
perempuan Ahl al-Kitab saja, meskipun di dalam teologinya
terdapat unsur syirik.
Dengan demikian pertentangan antara kedua ayat
tersebut redaksional saja sifatnya. Seakan-akan Allah hendak
mengatakan bahwa meskipun dalam teologi Ahl al-Kitab
ada unsur syiriknya, namun perempuan mereka merupakan
5
perkecualian dari perempuan musyrik pada umumnya
karena antara Ahl al-Kitab dan Islam ada pertalian nasab
yang erat, yakni sama-sama agama samawi.6
2) Di antara sahabat ada juga yang kawin dengan ahli
kitab, seperti Usman bin Affan mengawini Na’ilah
binti al-Gharamidah seorang wanita yang beragama
Nasrani, yang kemudian masuk Islam. Demikian juga
Hudzaifah mengawini wanita Yahudi dari penduduk
Madain.
3) Jabir ra. Pernah ditanya tentang perkawinan pria
Muslim dengan wanita Yahudi atau Nasrani: Beliau
menjawab :” kami pun pernah menikah dengan
mereka pada waktu penaklukan Kufah bersama-
sama dengan Sa’ad bin Abi Waqqash.
Kemudian di kalangan Jumhur Ulama yang
membolehkan kawin dengan ahli kitab, juga berbeda
pendapat.
pernikahan itu disunatkan, apabila wanita ahli
kitab itu diharapkan dapat masuk Islam. Sebagai
contohnya adalah perkawinan Usman bi Affan
dengan Nailah, sebagaimana telah dikemukakan
sebelum ini, sebagai mazhab Syafi’I pun ada yang
berpendapat demikian.
Golongan kedua, (Syi’ah), melandaskan pendapat
pada beberapa dalil:
1) Firman Allah (al-Baqarah:221)
Golongan ini berpendapat, bahwa wanita-wanita
ahli kitab termasuk kafir, karena wanita-wanita ahli kitab itu
telah Musyrik (menyekutukan Allah) berdasarkan riwayat
Ibnu Umar, bahwa beliau pernah ditanya tentang hukum
mengawini wanita Yahudi dan Nasrani. Beliau menjawab,
”Sesunggunya Allah mengharamkan wanita-wanita
Musyrik bagi orang-orang mukmin, saya tidak mengatahui
kemusyrikkan yang lebih besar dari pada anggapan seorang
wanita(Nasrani), bahwa Tuhannya adalah Isa. Padahal Isa
adalah seoranng manusia dan hamba Allah”.
2) Firman Allah (al-Mumtahanah:10)
مَُلعَْأ ُ َّالل ۖ َّنهُوُنحَِتمْاَف تٍارَجِاهَمُ تُاَنمِؤْمُلْا مُكُءَاجَ اَذِإ اوُنمَآ نَيذَِّلا اهَُّيَأ اَي
ٌّلحِ َّنهُ لَ ۖ رِاَّفكُلْا ىَلِإ َّنهُوُعجِرَْت لََف تٍاَنمِؤْمُ َّنهُومُُتمْلِعَ نْإَِف ۖ َّنهِِنامَيإِِب
ۖ َّنهَُل نَوُّلحَِي مْهُ لَوَ مْهَُل
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah
kepadamu perempuan-perempuan yang beriman,
Maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah
lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka
jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-
benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan
mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang
kafir. mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan
orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.
dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar
yang Telah mereka bayar. dan tiada dosa atasmu
mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka
maharnya. dan janganlah kamu tetap berpegang pada
tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan
kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah
kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar
yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah
yang ditetapkanNya di antara kamu dan Allah Maha
mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, mereka
berpendapat, ahli kitab itu termasuk orang-orang kafir.
Dengan demikian, hukumnya tetap diharamkan, dan tidak
boleh menikah dengan mereka.
3. Pernikahan perempuan Muslimah dengan laki-laki
non-Muslim, baik musyrik atau pun Ahl al-Kitab.
Ijma’ di kalangan para ulama fiqh
bahwapernikahan dengan kategori ini hukumnya
haram, baik pria non-Muslimitu tergolong kitabi
atau tidak7. Dalailnya adalah QS. Al-Mumtahanah:10
sebagaimana terseut di atas.
7
Ungkapan Mereka tidak halal bagi orang-orang
kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal bagi
mereka tegas sekali bahwa perempuan Muslimah tidak
halal bagi laki-laki non-Muslim. Hal ini, sebagaimana
dikemukakan oleh Sayyid Sabiq, karena suami
mempunyai hak kepemimpinan (qawamah) atas
istrinya dan si istri wajib mematuhinya, jika ini terjadi
maka berarti kita telah memberikan semacam peluang
bagi non-Muslim untuk menguasai Muslimah, danitu
tidak boleh terjadi berdasarkan firman Allah dalam QS.
Al-Nisa: 141. Yang artinya:
“Dan Allah tidak akan menjadikan bagi orang-orang
kafir jalan (untukmenguasai) kaum Mukmin”.
Kendati Jumhur Ulama membolehkan kawin
dengan wanita-wanita ahli kitab, akan tetapi perlu
direnungkan lebih mendalam dari dampak negatif dari
perkawinan itu. Menurut M. Ali Hasan jalan yang lebih
aman adalah menghindari dari persoalan-persoalan
yang banyak mengandung teka-teki dan memilih jalan
yang sudah jelas arahnya, yaitu kawin dengan sesama
muslim. Dengan demikian, resiko yang dihadapi lebih
kecil, dalam membina rumah tangga. Kemudian
perlu diingat, bahwa dalam agama Islam ada satu
prinsip yaitu suatu tindakan preventif (pencegahan).
Ibaratnya, menjaga kesehatan lebih utama atau lebih
baik dari pada mengobati setelah di biarkan sakit lebih
dahulu.
Membenarkan kawin dengan wanita non
muslim, bererti mengundang penyakit, yaitu
penyakit kufur atau murtad. Menghindari kawin
dengan mereka, bererti telah mengadakan tindakan
preventif. Dalam istilah agama di kenal saddu al-
Dzara’i a dengan (menutup jalan)yaitu menjaga
sebelum terjadi hal-hal yang tidak baik. Di samping
itu adalagi kaidah fiqih yang mengatakan dar‘u
al-mafaasid muqaddamu a’la jalbi al-masaalih
menghindari dari kemudharatan harus di dahulukan
atas mencari/menarik maslahat (kebaikan). Setelah
ditimbang-timbang, maka lebih banyak mudharatnya
dari pada manfaatnya umpamanya dengan alasan
dakwa, supaya wanita non-Muslim itu dapat memeluk
Islam. Kita khawatir ibarat pepatah “ tukang pancing
dilarikan ikan”.
Pendapat M. Ali Hasan sejalan dengan
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam
Komlikasi Hukum Islam, pasal 40 ayat c, dilarang
melangsungkan perkawinan antara seorang pria
yang beragama Islam dengan seorang pria tidak
beragama Islam.Menurut M. Ali Hasan apa yang
telah ditetapkan dalam Komplikasi Hukum Islam
itu tepat dan keputusan yang amat bijaksana bagi
bangsa kita, yang mayoritas memeluk agama Islam.8
Yusuf al Qardhawi dalam bukunya halal
dan haram dalam Islam menyatakan “Kalau jumlah
8
muslimin di suatu negeri termasuk minoritas, maka
menurut pendapat yang lebih kuat laki-laki muslim
di negeri tersebut haram menikahi perempuan
non muslimah, juga karena akan merusak kondisi
perempuan-perempuan muslimah itu sendiri.
Hal yang sama juga dikemukakan oleh
Huzaemah T. Yanggo. Menurutnya, menikah dengan
ahli kitab hukumnya adalah haram sadd az-zari’ah.
Karena terjadi mafsadah dan madharat, baik lelaki
muslim dengan wanita ahli kitab, dan dengan wanita
ahli kitab yang sudah menyimpang dari ajaran Taurat
dan Injil yang asli maupun yang belum menyimpang,
karena dalam QS Al-Maidah/5: 5 tersebut tidak
membedakan antara wanita ahli kitab yang masih
murni dengan wanita ahli kitab yang sudah melencang
dari ajaran agamanya. Oleh karena keduanya dapat
menimbulkan mafsadah dan madharat, maka untuk
menghindarinya, pernikahan dengan wanita ahli
kitab diharamkan sadd li az-zari’ah.
Meskipun Yusuf al-Qardhawi mengharamkan
pernikahan beda agama antara lelaki muslim dengan wanita
ahli kitab, akan tetapi beliau juga membolehkan pernikahan
ini jika dalam keadaan tertentu dengan syarat yang sangat
ketat, yaitu:
a. Kitabiah itu benar -benar berpegang pada ajaran
samawi, tidak atheis.
b. Kitabiah yang muhsanah (memelihara kehormatan
diri dari perbuatan zina).
c. Wanita itu bukanlah kitabiah yang kaumnya berada
pada status permusuhan dan peperangan dengan
kaum muslmin.
d. Dibalik pernikahan dengan kitabiah itu tidak terjadi
fitnah, yaitu mafsadah ataupun kemudhartan. Makin
besar kemungkinan terjadinya kemudharatan maka
makin besar tingkat larangan keharamannya karena
nabi bersabda: “tidak bahaya dan tidak membaha-
yakan.”
Selanjutnya Yusuf al Qardhawi mengingatkan bahwa
terdapat banyak kemudharatan yang mungkin terjadi karena
pernikahan dengan wanita non muslim, diantaranya adalah:
a. Suami bisa saja terpengaruh dengan agama si istri.
b. Akan menimbulkan kesulitan dalam hal suami istri
dan juga berpengaruh pada anak mereka.
Syeikh Yusuf al Qardhawi juga menjelaskan adanya
rukhsah nikah dengan non muslim atau kitabiah. Ada dua
keharusan yang harus dipenuhi, yaitu:
a. Wanita kitabiah itu benar-benar beragama samawi.
b. Yang mengontrol atau yang memberi pengaruh
dalam keluarga haruslah dari seorang suami muslim
yang teguh berpegang pada ajaran Islam.
Adapun ayat ”Dan wanita-wanita yang menjaga
kehormatan diantara orang-orang yang diberi alkitab
sebelum kamu”9 menurut mereka hendaklah diihtimalkan
kepada perempuan ahlul kitab yang telah masuk Islam atau
diihtimalkan kepada pengertian, bahwa kebolehan menikahi
ahli kitab adalah pada masa (keadaan) perempuan-
perempuan Islam sedikit jumlahnya.
C. Pengaturan Perkawinan Beda Agama dalam
Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia
UU perkawinan no.1 Tahun 1974 Pasal 2 disebutkan
bahwa perkawinan adalahsah apabila dilaksanakan menurut
agama dan kepercayaan masing-masing.10Berdasarkan
pasal ini dapat dinyatakan bahwa perkawinan di Indonesia
adalah perkawinan berdasarkan hukum agama. Sehingga,
perkawinan yang dilaksanakan tidak berdasarkan atau
menyalahi hukum agama dianggap tidak sah. Dengan
demikian berdasarkan pasal tersebut ditarik pengertian
bahwa perkawinan beda agama yang tidak diperbolehkan
oleh suatu hukum agama, menjadi tidak sah pula.
Menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 bahwa
perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu
akad yang sangat kuat atau miitsaaqan gholiidhzan untuk
mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
ibadah. Kompilasi Hukum Islam Pasal 40 huruf c dan Pasal
44 secara eksplisit mengatur tentang larangan perkawinan
antara laki-laki muslim dengan wanita non-muslim dan
wanita muslim dengan laki-laki non-muslim. Pasal 40 huruf
c Kompilasi Hukum Islam menyatakan sebagai berikut:
9 QS al-Ma>idah /5: 6
1
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang
pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu;
a. Karena wanita yang bersangkutan masih terikat
satu perkawinan dengan pria lain;
b. Seorang wanita yang masih berada dalam masa
iddah dengan pria lain;
c. Seorang wanita yang tidak beragama Islam.
Pasal 40 huruf c di atas secara eksplisit melarang
terjadinya perkawinan antara laki-laki (muslim) dengan
wanita non-muslim (baik Ahl al-Kitab maupun non Ahl
Kitab). Jadi pasal ini memberikan penjelasan bahwa wanita
non-muslim apapun agama yang dianutnya tidak boleh
dinikahi oleh laki-laki yang beragama Islam. Sedangkan
Pasal 44 menyatakan bahwa seorang wanita Islam dilarang
melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak
beragama Islam. Pasal ini secara tegas melarang terjadinya
perkawinan antara wanita muslim dengan pria non-muslim
baik termasuk kategori Ahl al-Kitab maupun tidak termasuk
kategori Ahl al-Kitab.
Kemudian Pasal 60 Kompilasi Hukum Islam
menyatakan sebagai berikut:
1) Pencegahan perkawinan bertujuan untuk
menghindari suatu perkawinan yang dilarang hukum
Islam dan Peraturan Perundang-Undangan.
2) Pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon
suami atau calon isteri yang akan melangsungkan
perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam
dan Peraturan Perundang undangan.
Pasal ini secara tegas memberikan penjelasan
tentang pencegahan perkawinan terhadap calon mempelai
yang tidak memenuhi syarat yang ditetapkan oleh hukum
Islam maupun peraturan perundang-undangan. Pasal ini
menguatkan pelarangan perkawinan beda agama. Dapat
disimpulkan bahwa menurut Hukum Islam, UU Perkawinan
dan Kompilasi Hukum Islam, pernikahan beda agama tidak
diperbolehkan. Peraturan dalam UU Perkawinan sudah sesuai
dengan peraturan setiap agama di Indonesia. Keberadaan
UU Perkawinan tidak hanya berlaku bagi masyarakat yang
beragama Islam saja, namun berlaku bagi semua agama.
PERNIKAHAN USIA DINI
Pembentukan sebuah keluarga diawali dengan
menyatukan seorang laki-laki dan seorang perempuan
dengan sebuah ikatan yang suci, yaitu ikatan perkawinan.
Ikatan ini mensyaratkan komitmen dari masing-masing pihak
serta perwujudan hak-hak dan kewajiban bersama. Hal
ini berdasarkan pada pasal 1 Undang-undang Perkawinan
Tahun 1974 yang berbunyi:
“Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.”1
Perkawinan di Indonesia telah diatur dalam undang-
undang, salah satunya aturan mengenai batasan usia atau
umur bagi seseorang yang diizinkan menikah. Namun, ketika
dalam kondisi darurat, pernikahan dapat diizinkan dengan
berbagai persyaratan dan tata cara khusus. Ketentuan
mengenai batas umur minimal dalam Pasal 7 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
yang mengatakan bahwa, “Perkawinan hanya diizinkan jika
pihak pria sudah mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun
dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas)
tahun.”
Pembatasan umur minimal untuk kawin bagi warga
negara pada prinsipnya dimaksudkan agar orang yang
akan menikah diharapkan sudah memiliki kematangan
berpikir, kematangan jiwa dan kekuatan fisik yang memadai.
Kemungkinan keretakan rumah tangga yang berakhir
dengan perceraian dapat dihindari, karena pasangan
tersebut memiliki kesadaran dan pengertian yang lebih
matang mengenai tujuan perkawinan yang menekankan
pada aspek kebahagiaan lahir dan batin.2
Undang-Undang Perkawinan tidak menghendaki
pelaksanaan perkawinan di bawah umur, agar suami istri
yang dalam masa perkawinan dapat menjaga kesehatannya
dan keterunannya, untuk itu perlu ditetapkan batas-batas
umur bagi calon suami dan istri yang akan melansungkan
perkawinan. Akan tetapi, perkawinan di bawah umur dapat
dengan terpaksa dilakukan karena UU No. 1 Tahun 1974
masih memberikan kemungkinan penyimpangannya. Seperti
yang terdapat dalam Pasal 7 ayat (2) menyebutkan:
“Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal
ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan
atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua
pihak pria maupun pihak wanita.”3
Adapun dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam
pasal 15 ayat (1) dan (2) yang berbunyi:
2
“Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga,
perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai
yang telah mencapai umur yang telah ditetapkan
dalam pasal 7 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19
tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur
16tahun”. “Bagi calon mempelai yang belum berumur
21 tahun harus mendapat izin sebagaimana diatur
dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4), dan (5) UU No. 1
Tahun 1974”.4
Peraturan yang selanjutnya mengatur perihal usia
perkawinan adalah Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak dalam pasal 1 ayat (1) yang
berbunyi: “Anak adalah seorang yang belum berusia 18
(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan.” Pasal 13 ayat (1) UU tersebut menyebutkan
bahwa “Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua,
wali, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas
pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan
eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual…,” dan menurut
Pasal 26 ayat (1) butir “c” menjelaskan bahwa “Orang
tua berkewajiban dan bertanggungjawab untuk mencegah
terjadinya perkawinan pada usia anak-anak”.5
Dengan demikian pernikahan dibawah umur
(pernikahan dini) dalam perspektif hukum negara adalah
pernikahan antara pria dan wanita dibawah umur minimal
4 Mahkamah Agung RI Direktorat Jenderal Badan Peradilan
Agama, Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Kompilasi
Hukum Islam, 2015, h. 19-20.
5 Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak.
yang telah ditentukan Undang-undang No:1 tahun 1974
bab II pasal 7 ayat (1) yaitu pihak pria mencapai umur 19
(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai
umur 16 (enam belas) tahun.
Secara eksplisit dalam Undang-undang tersebut,
tidak tercantum jelas larangan untuk menikah di bawah
umur. Penyimpangan terhadapnya dapat dimungkinkan
dengan adanya izin dari pengadilan atau pejabat yang
berkompeten. Namun demikian perkawinan di bawah
umur dapat dicegah dan dibatalkan. Pasal 60 KHI ayat (2)
menyebutkan ”Pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila
calon suami atau calon isteri yang akan melangsungkan
perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam dan
peraturan perundang-undangan”.
KHI juga menyebutkan perkawinan dapat dibatalkan
antara lain bila melanggar batas umur perkawinan
sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 UU No. 1 Tahun
1974 (vide pasal 71). Para pihak yang dapat mengajukan
permohonan pembatalan perkawinan adalah: (1) para
keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah
dari suami atau isteri; (2) suami atau istri; (3) pejabat
yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan
menurut Undang-Undang; (4) para pihak berkepentingan
yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat
perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan
perundangan-undangan (vide pasal 73).
Pihak-pihak berkepentingan dilarang keras
membantu melaksanakan perkawinan di bawah umur.
Pelanggaran terhadap ketentuan yang telah ditetapkan itu
dapat dikenakan sanksi dengan peraturan yang berlaku.
Pasal 20 dan 21 UU No. 1 tahun 1974 cukup tegas dalam
masalah ini. Disebutkan bahwa pegawai pencatat pernikahan
tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu
melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui antara lain
adanya pelanggaran dari ketentuan batas umur minimum
pernikahan.
Peraturan batas usia perkawinan ini memiliki kaitan
yang cukup erat dengan masalah kependudukan. Dengan
batasan umur ada kesan, UUP bermaksud untuk merakayasa
untuk tidak mengatakan menahan laju perkawinan yang
membawa akibat pada laju pertambahan penduduk.6 Tidak
dapat dipungkiri, ternyata batas umur yang rendah bagi
seorang wanita untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran
lebih tinggi dan berakibat pula pada Kematian ibu hamil yang
juga cukup tinggi. Pengaruh buruk lainnya adalah kesehatan
reproduksi wanita menjadi terganggu.7
Namun demikian, ketentuan yang ada dalam
Undang-Undang Perkawinan Pasal 7 Ayat 1 mengenai
syarat umur 16 tahun bagi wanita sebenarnya tidak sesuai
dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. “Anak adalah seseorang yang belum
berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang
masih dalam kandungan”.8Dalam undang-undang tersebut,
perumusan seseorang yang dikategorikan sebagai anak
adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, sehingga
ketentuan dewasa menurut undang-undang ini adalah 18
tahun.
Prinsip yang dianut dalam Undang-Undang
Perkawinan maupun Undang-Undang Perlindungan Anak,
walaupun kedua undang-undang tersebut menentukan
umur yang berbeda dalam penentuan kedewasaan, tidak
menginginkan terjadinya perkawinan di bawah umur. Hanya
saja Undang-undang tidak mencantumkan sanksi yang tegas
dalam hal apabila terjadi pelanggaran. Karena perkawinan
adalah masalah perdata, sehingga apabila terjadi perkawinan
dibawah umur maka perkawinan tersebut dinyatakan tidak
memenuhi syarat dan dapat dibatalkan.
Tujuan perkawinan adalah untuk mewujudkan
rumah tangga bahagia dan sejahtera dengan mewujudkan
suasana rukun dan damai dalam rumah tangga yang
selalu mendapat taufik dan hidayah dari Tuhan yang Maha
Kuasa. Agar hal ini dapat terlaksana, maka kematangan
calon mempelai sangat diharapkan, kematangan dimaksud
disini adalah kematangan umur perkawinan, kematangan
dalam berpikir dan bertindak sehingga tujuan perkawinan
sebagaimana tersebut diatas dapat terlaksana dengan baik.
B. Pernikahan di Bawah Umur dalam Perspektif
Hukum Islam
Secara etimologis, lafaz nikah berasal dari
bahasa Arab حاكنلا bentuk masdar dari katakerja حكن
احاكن – حكني –yang berarti عمجلا و مضلا (bergabung dan
berkumpul). 9Kata nikah juga sering dipergunakan
untuk arti ءطولا (bersetubuh) dan دقعلا (akad yang
menghalalkan persetubuhan).10
Sedangkan pengertian nikah menurut
as-Syafiiyah adalah akad yang mengandung
kebolehan bersetubuh antara pria dan wanita
dengan memakai lafas nikah, tazwij atau yang
semacamnya.11 Pengertian lain dari nikah adalah
akad yang menimbulkan akibat hukum berupa
halalnya pergaulan antara seorang laki-laki dengan
seorang perempuan, saling tolong menolong, serta
menimbulkan hak dan kewajiban diantara keduanya.12
Perkawinan dalam islam merupakan suatu
akad atau transaksi. Hal itu terlihat dari adanya unsur
ijab (tawaran) dan qabul (penerimaan). Berbeda
dengan transaksi biasa, perkawinan adalah amanah
sesuai dengan sabda Nabi: akhaztumuhunnah
bi amanatillh (kalian menerima istri berdasarkan
amanah Allah)13. Sebagai suatu akad atau transaksi,
perkawinan semestinya melibatkan dua pihak yang
setara sehingga mencapai suatu kata sepakat atau
konsensus.
Rumusan definisi di atas menjelaskan bahwa
pernikahan dipandang sebagai sebuah aqad, yaitu
transaksi atau perjanjian yang dibuat oleh laki-laki
dan perempuan untuk mencapai tujuan bersama
di dalam sebuah pernikahan. Akad adalah sebuah
peristiwa hukum. Jadi laki-laki dan perempuan yang
akan hidup sebagai suami isteri itu adalah sebagai
dua subjek hukum. Oleh karena itu ditemukan
dalam kitab-kitab fikhi klasik bahwa dua orang yang
berakad itu dipersyaratkan harus balig.14 Bahkan
dalam mazhab as-Syafi’i dikatakan bahwa jika pihak
perempuannya masih kecil tidak boleh dinikahkan
sampai dia balig.15 Batasan balig lebih rinci dijelaskan
dalam mazhab Hanabilah bahwa balig untuk ukuran
anak laki-laki sampai dia mimpi basah, oleh karena
itu anak laki-laki baru boleh dinikahkan setelah dia
balig, dalam artian setelah dia mengalami mimpi
basah.16 Sedangakan balig bagi perempuan ditandai
dengan Haid (menstruasi).
Haid pertama kali disebut menarche, dan
ini merupakan suatu pertanda bahwa keremajaan
bagi seorang wanita sudah mulai berkembang, yang
identik pula dengan usia akal balig. Bilakah seorang
gadis mulai menstruasi, yang berarti ia sudah
menginjak usia akil balig? Jawabnya cukup variatif,
sebab masalah menarche ini sangat relatif diantara
para wanita satu sama lain. Dan proses terjadinya
menstruasi itu sendiri adalah karena pengaruh
mekanisme hormon-hormon yang penting bagi
prtumbuhan, termasuk didalamnya hormon
estrogen.17
Hormon estrogen mempunyai sensitivitas
tinggi terhadap lingkungan dan kodisi geografis di
mana seorang gadis dibesarkan. Misalnya gadis
yang dalam kehidupan kesehariannya sering bergaul
dengan lawan jenisnya, maka usia menarchenya akan
lebih awal atau lebih cepat daripada gadis yang setiap
harinya hanya bergaul dengan sesama jenisnya.
Atau misalanya, wanita yang bertempat tinggaldi
daerah tropis akan lebih cepat daripada wanita yang
bertempat tinggal di wilayah beriklim dingin. Faktor
jenis (rumpum) bangsa juga ikut menentukan cepat
lambatnya seorang gadis mengalami menarche.
Suatu misal di Serbia, menarche terjadi pada usia
17 sampai19 tahun (agak lambat), di Perancis dan di
Indonesia berkisar antara usia 13 sampai 14 tahun.
Peristiwa menarche dapat terjadi dua tahun sebelum
seorang gadis mencapai puncak pertumbuhan
fisiknya.18
Masa remaja yang berlansung dari saat
individu menjadi matang secara seksual sampai
usia 18 tahun- usia kematangan yang resmi dibagi
ke dalam awal masa remaja, yang berlangsung
sampai usia 17 tahun, dan akhir masa remaja
yang berlangsung sampai usia kematangan yang
resmi.19Masa dewasa dini adalah masa pencaharian
kemantapan dan masa reproduktif, yaitu suatu masa
yang penuh masalah dan ketegangan emosional,
periode isolasi sosial, periode komitmen dan masa
ketergantungan, perobahan nilai-nilai, kreativitas
dan penyusuain diri pada pola hidup yang baru.
Masa dewasa dini dari umur 18 hingga lebih kurang
40 tahun.20
Meskipun dalam fikhi klasik tidak ditemukan
istilah pernikahan dini atau pernikahan di bawah
umur, namun uraian di atas bisa disimpulkan bahwa
pernikahan di bawah umur dalam fikhi kelasik
adalah pernikahan anak yang belum balig. Bagi anak
perempuan balig ditandai dengan darah menstruasi
sedangkan anak laki-laki ditandai dengan mimpi
basah. Kalau dibatasi dari segi umur anak perempuan
sekitar usia 13 sampai 14 tahun, sedangkan anak
laki-laki sekitar usia 15-16 tahun. Ini berarti bahwa
sekitar usia 16 tahun gadis Indonesia sudah mencapai
puncak pertumbuhan fisiknya. Dengan asumsi bahwa
haid pertama usia 14 tahun sedangkan Peristiwa
menarche dapat terjadi dua tahun sebelum seorang
C. Analisis Perbandingan antara Hukum Negara dan
Hukum Islam
Apabila dikomparasikan hukum negara dan hukum
Islam maka ada beberapa hal yang memiliki titik persamaan
dan perbedaan dalam memahami pernikahan di bawah
umur. Pertama, hukum negara dan hukum islam sama-sama
memahami bahwa pernikahan adalah suatu akad/ transaksi
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami
istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Mahaesa, saling tolong menolong, serta menimbulkan hak
dan kewajiban diantara keduanya. Kedua, tujuan pernikahan
adalah mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah warahmah (tenteram, cinta dan kasih sayang).
Perbedaannya, terjadi perselisihan antara hukum
Islam dan hukum negara dalam memaknai pernikahan di
bawah umur (pernikahan dini). Dalam perspektif hukum
negara pernikahan dini adalah Pernikahan yang dilakukan
kurang dari batas minimnal Undang-undang Perkawinan.
Secara hukum kenegaraan, pernikahan ini tidak memenuhi
syarat dan dapat dibatalkan jika tidak ada izin (dispensasi)
yang diberikan oleh pengadilan ataupun pejabat yang
berkompeten. Istilah pernikahan dini menurut negara
dibatasi dengan umur. Sementara dalam kaca mata agama,
pernikahan dini ialah pernikahan yang dilakukan oleh orang
yang belum baligh. Maksud nikah muda menurut pendapat
ini, yaitu orang yang belum mencapai usia baligh bagi pria
dan belum mencapai menstruasi (haid) bagi perempuan.
Hukum Islam, dalam hal ini Al Qur`an dan hadits
tidak menyebutkan secara spesifik tentang usia minimum
untuk menikah. Persyaratan umum yang lazim dikenal dalam
fikhi klasik adalah harus mampu memberi nafkah (sandang,
pangan, dan papan) dan berakal sehat, juga harus balig.
Yang dimaksud berusia dewasa, dalam pengertian fikhi
tradisional adalah, jika laki-laki sudah berusia minimal 15
tahun, atau sudah keluar sperma, atau mimpi bersetubuh.
Sedangkan untuk perempuan, ukurannya adalah sudah haid
(mensturasi). Berbeda dengan perspektif hukum negara,
batasan umur dicantumkan secara eksplisit yaitu calon
suami sekurang-kurangnyaberumur 19 tahun dan calon
isteri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun.
Berapa batas usia minimal manarche (menstruasi
pertama) bagi seorang anak perempuan? Untuk konteks
Indonesia batas usia minimal adalah antara 13 tahun
sampai 14 tahun. Ini berarti bahwa sekitar usia 16 tahun
gadis Indonesia sudah mencapai puncak pertumbuhan
fisiknya. Dengan asumsi bahwa haid pertama usia 14 tahun
sedangkan Peristiwa menarche dapat terjadi dua tahun
sebelum seorang gadis mencapai puncak pertumbuhan
fisiknya. Dalam hal ini, nampaknya ada keserasian antara
batas usia minimal calon istri dalam perspektif UU Negara
dan perspektif hukum islam.
Namun, berdasarkan kategorisasi psikologi
perkembangan modern, usia tersebut adalah usia dini untuk
pernikahan. Bahkan, untuk batasan usia bagi perempuan
dalam syari’ah tersebut merupakan usia anak-anak. Dalam
psikologi perkembangan, usia antara 13-16 adalah usia
remaja, dan dibawahnya adalah usia anak-anak. Sementara
usia dewasa, paling awal dimuali sejak usia 18 tahun. Secara
psikologis, usia remaja adalah usia labil. Karena itu, terlalu
berat bagi seorang remaja untuk menghadapi persoalan-
persoalan yang ditimbulkan oleh perkawinan, semisa





.jpeg)





