Polemik Al-Qur’an Hadist
Studi al-Qur’an dan Hadis yang dilakukan sarjana Barat atau orientalis
sering dikaitkan dengan pelacakan kembali terhadap kitab suci dua agama yakni
Taurat/Yahudi dan Bibel/Kristen. Meskipun awal kemunculan orientalis didasari
paham liberalisme dan misionarisme di bawah kekuasaan kolonialisme, namun
jika direnungkan bahwa usaha yang diklaim melemahkan al-Qur’an dan Hadis
justru mendatangkan pembuktian ilmiah tentang kemukjizatan dua sumber
hukum Islam ini . Dalam mengembangkan pemikirannya, tak jarang sesama
orientalis pun saling berseberangan atau tidak selalu sempurna mendukung teori
skeptisisme mereka terhadap al-Qur’an dan Hadis. Banyak dinamika dan polemik
yang terjadi bahkan dari satu pribadi orientalis yang cenderung tidak konsisten
menjalankan misinya apabila diprioritaskan untuk menjebak Islam. Cook hadir
sebagai orientalis fase keempat dalam perkembangan kajian hadis di Barat dengan
karakter neo-skeptisisme yaitu upaya meragukan hadis Nabi dengan
mengembangkan metode para revisionis Barat maupun melalui metodenya
sendiri. Berangkat dari keahliannya dalam bidang sejarah sehingga pemikiran Cook
terhadap Hadis tidak lepas dari riset terhadap sejarah perkembangan hadis di
masa awal hingga kejayaan Islam. Cook juga mencoba mengembangkan ide teori
pendahulunya seperti Schacht.
Mengenai polemik penulisan hadis, maka penulis berkeyakinan bahwa
polemik ini muncul akibat perkembangan dinamis dan perhatian ulama
terhadap hadis sehingga perbedaan pendapat tidak akan dapat dihindari. Adapun
sumber polemik ini tidak berasal dari Nabi namun dari argumen pribadi
masing-masing tokoh yang mengabdikan diri pada pemeliharaan hadis.
Lahirnya tokoh orientalis dengan misi kolonialisme dan misionarisme yang
menyebarkan pemikiran melemahkan Islam diduga sebagai pengukuhan atas
otoritas kekuasaan Eropa setelah memenangkan Perang Salib. Orientalis pun
terlebih dahulu mengenal Bahasa Arab untuk mempersenjatai diri mengenal alQur’an dan Hadis sehingga secara sporadik menunjukkan kemajuan terlihat sejak abad 19 Masehi. Pandangan sesama mereka pun bervariasi berdasarkan sikap
mental masing-masing kepribadian saat melakukan kajian al-Qur’an dan Hadis.
Menjelang pertengahan abad ke XIX, kegiatan misionaris Kristen identik
bercorak imperialisme Inggris dan Perancis, hingga menyinggung persoalan
keagamaan ke persoalan keduniaan. Abad XX, agama Kristen dan peradaban Barat
sulit dibedakan sebab nilai teologi agama Kristen itu pun semakin mendukung
materialisme murni sehingga Islam tidak lagi dikutuk lantaran penolakannya
terhadap Trinitas. Konsep terkait Tuhan Yang Maha Esa, yang secara aktif ikut
campur dalam urusan-urusan kemanusiaan, ditolak secara prinsipil. Islam
dijadikan sasaran primadona propaganda anti agama, sebab menolak relativitas
moral transedental.1
. Dengan demikian, perlu dilakukan penulisan yang meneliti
tentang polemik perbedaan cara pandangan para orientalis tentang kajiannya
terhadap al-Qur’an dan Hadis berdasarkan analisis konflik sejarah antara
hubungan Islam-Kristen dan perihal terkait. Salah satu titik perbedaan pandangan
antara sejarawan Barat (orientalis) dan sejarawan Muslim terhadap studi kenabian
Muhammad dan perluasan kekuasaan Islam yaitu ketika kaum Muslim
beranggapan bahwa kemunculan dan penyebarluasan Islam itu tidak akan
terlepas dari muatan teologis sehingga mengidentifikasikan antara karier
kenabian Muhammad dengan adanya campur tangan Tuhan yang menggerakkan
jalannya sejarah lantas kemudian saat Nabi Muhammad telah wafat, maka tidak
akan ada lagi penambahan dan pengurangan dalam al-Qur’an maupun Hadis.
Ada empat fase perkembangan perihal kajian hadis di dunia Barat, yaitu
fase skeptisisme dengan meragukan autentisitas hadis melalui argumentasi bahwa
pemalsuan besar-besaran telah terjadi dalam sejarah periwayatan Hadis.
Kemudian, timbul fase reaksi akan skeptisisme orientalis dengan jawaban akan
kritikan dan tuduhan para revisionis mengenai hadis Nabi Muhammad. Fase
pencarian jalan tengah dengan menemukan persamaan dengan para pemikir
revisionis namun sebagai penengah dua paradigma yakni revisionis dan
tradisional. Adapun saat ini yaitu fase yang keempat berifat neo-skeptisisme
yaitu upaya meragukan hadis Nabi dengan mengembangkan metode para
revisionis Barat maupun melalui metodenya sendiri, diantaranya tercatat nama
Michael A. Cook.2
Tujuan penelitian ini bermuara pada kajian pemikiran M. Cook terhadap
keraguannya pada proses penulisan al-Qur’an dan Hadis.
Kerangka Kerja Orientalis
Kata orientalis ialah serapan bahasa Perancis yang dimaknai Timur atau
bangsa-bangsa di bagian Timur secara etnologis, hingga berkembang pada hal
yang bersifat pada ketimuran sehingga disematkan kepada mereka yang
mendedikasikan diri pada pengkajian hal berkaitan tentang ketimuran.4
Penyebaran Islam dianggap ancaman bagi Kristen secara politis maupun
teologis sehingga lebih dari empat belas abad lamanya terjadi dinamika
kebudayaan dan peradaban serta teritorial yang dipengaruhi oleh keduanya.
Stereotipe citra Islam dalam Pandangan Kristen Barat hingga saat ini kerap
disimbolkan sebagai agama irasional, mistik, sektarian dan dogmatik sehingga
banyak yang mengecam Islam sebagai agama intoleran akibat fanatisme
penganutnya.5 Perang Salib yang terjadi atas faktor agama dan politik antara
Kristen-Islam atau Barat-Timur diakui oleh para orientalis. sebagai jembatan emas
tumbuhnya kebudayaan Barat di Eropa.6 Kehadiran Islam menjadi faktor
terkikisnya wilayah kekuasan Dunia Kristen di banga Eropa sehingga menganggap
Islam yaitu predator sekaligus musuh primordial. Perebutan Konstantinopel
yang dimenangkan oleh Islam menjadi musibah besar bagi Kristen Greek-Ortodoks
sehingga Tsar Rusia dari Dinasti Rumanov menuntut balas hingga runtuhnya Turki
Utsmani di Eropa Timur. Atas keberhasilan Eropa di Timur pada awal abad 15 maka
menghidupkan kembali minat Eropa untuk mengetahui Islam hingga muncul beberapa perguruan tinggi Eropa membuka bidang kajian bahasa Arab (Chair of
Arabic Studies) seperti Cambridge University di Inggris membuka studi bahasa
Arab mulai tahun 1632 dan Oxford University tahun 1636. Kajian Islam dan bahasa
Arab menjadi bahasan primadona para misionaris yang melakukan kegiatan
misinya di negara-negara Muslim saat itu.7
Menurut Gerhard Endress, predikat “orientalis” untuk pertama kalinya
dikenal di Inggris di tahun 1779, hingga akhirnya muncul istilah orientalisme
sebagai tolak ukur paradigma kajian keislaman dimulai dengan metode filologi
yang kemudian berkembang di abad ke-18 menjadi pendekatan oriental-filologi,
lalu pada abang ke-19 menjadi kritik historis (historical-criticism) yang cenderung
meninggalkan karakter apologetik.8
Orientalisme akhirnya diakui sebagai disiplin ilmu yang mendiskusikan
entitas kebudayaan, keyakinan danagama masyarakat Timur dengan identik
pandangan dan pengalaman orang Barat. Ada dua model pendekatan cara
pandang orientalis, khususnya ketika mengkaji Islam yaitu pendekatan normatif
yang dibagi kepada corak irenik, apologetik dan misionaris tradisional; dan
pendekatan deskriptif dengan corak fenomenologi agama, ilmu sosial dan
filologis-historis 9
Secara garis besar, berikut yaitu daftar yang tercatat sebagai identitas
orientalis populer dengan spesialisasinya seperti dalam penelitian al-Qur’an
terkenal nama Theodore Noldeke, Friedrich Schwally, Gotthelf Bergtrasser, Otto
Pretzl, Arthur Jeffery, John Wansbrough, John Burton, Richard Bell, Andrew Rippin
dan Chrostoph Luxemburg. Bidang kajian Hadis dikenal didalami oleh Josep
Schacht, Ignaz Golziher, G.H.A.Juyuboll, Eerik Dickson, Aarent J Wensinck,
Nicholson, WD. Van Wijagaarden. Orientalis khusus kajian Teologi dan Filsafat
terdapat karakter bernama Montgomery Watt, O Learry, DB Mc Donald, Alfred
Gullimaune, Majid Fakhry, Henry Corbin, Michael Frank, Richard J McCarthy, Harry
A. Wolfson, Shlomo Pines, Oliver Leaman. Adapun pada kajian Fikih terdapat Waell
Hallaq, Harold Motzki, N.Calder, N.J. Coulson, J.Fuck dan John Burton. Begitu pula
di bidang Politik ini nama Snouck Hurgronje, Bernard Lewis, Samuel
Huntington, Bob Hefner, William Liddle dan Greg Burton.Umumnya, orientalis fokus dalam bidang intelektual dengan mengedit
buku karya cendekia muslim dengan mempelajari bahasa Timur dan menganalisa
aspek keyakinan, sekte, ekonomi, sosial serta psikolog pengaruh karakter
masyarakat Timur.11
Karakteristik orientalis saat mendeskripsikan kajiannya terhadap al-Qur’an
dan Hadis didominasi menggunakan dua bentuk metode yakni kritis-historis dan
kritik sastra.12 Historigrafi orientalis klasik dan era pertengahan dominan
berkarakter deskriptif dengan metode wawancara atau bahkan mengetahui dan
mengalami peristiwa secara langsung, sedangkan era setelahnya terkesan analisis
kritis dengan tafsiran logika-rasional.13 Pada akhirnya kesimpulan negatif yang
terkonsep mengatakan bahwa Islam bukan agama wahyu sebab al-Qur’an dan
Hadis yang diakui sebagai sumber hukum tidak lain hanya gubahan dari buah
pemikiran Muhammad yang disadur dari Taurat, Injil dan sejenisnya. Begitu pun
dengan Hadis yang merupakan produk dari tradisi peradaban yang berkembang di
abad pertama dan kedua Hijriah.
Dalam penyebaran ideologi mereka, maka secara konseptual mengadakan
kongres yang pertama kali diadakan di Paris tahun 1873 dengan tema Orientalits
Congres. Pendirian lembaga kajian ketimuran pun menjadi akses penyebaran
orientalisme seperti di antaranya terdapat lembaga bernama Ecole des Langues
Orientalis Vivantes tahun 1975 bertempat Perancis, hingga mendirikan organisasi
bertemakan ketimuran, seperti Societe Asiatique tahun 1822 berpusat di Paris.
Layanan akademik seperti penyebaran menerbitkan majalah pun giat dilakukan
seperti Jurnal Asiatique yang juga berpusat di Paris sejak 1822.15
1. Al-Qur’an Perspektif Orientalis
Argumen mayoritas orientalis terhadap Alquran yaitu fiksi dari karya
Muhammad, seperti yang digaungkan oleh G.Sale dalam bukunya The
Qur’an:Commonly called al-Qur’an:Preliminary Discoursei tahun1734); Sir William
Muir di Life of Mahomet tahun1860; A.N. Wollaston pada The Religion of The
Koran tahun 1905; H. Lammens di karyanya Islam Belief and Institution, 1926;
Champion & Short dalam bukunya tahun 1959 berjudul Reading from World Religious Fawcett; JB. Glubb tahun 1970 pada bukunya The Life and Time of
Muhammad; dan di tahun 1977 ada M. Rodinson dalam bukunya Islam and
Capitalism.16
Melalui pendekatan filologi, Noldeke menafikan pendapat yang memaknai
ummiy sebagai orang yang tidak bisa membaca dan menulis, justru predikat
ummiy pada kepribadian Muhammad mendelegasikannya sebagai orang yang
paling memahami kitab suci. Menurutnya, Muhammad hanya memahami bahasa
Arab sehingga ia tidak dapat membaca kitab-kitab terdahulu dan sengaja
mencitrakan diri sebagai orang yang tidak mampu membaca dan menulis.
Pandangan Noldeke ini pun berseberangan dengan Sprenger yang berargumen
bahwa Muhammad berpengalaman dalam membaca kitab bergenre asatir dan
‘aqaid.17
Arhtur Jeffery, orientalis asal Australia ini sangat berambisi membuat
tandingan al-Qur’an untuk mengubah Mushaf Utsmani dengan mencoba
merestorasi teks al-Qur’an berdasarkan al-Mashahif karya Imam Abu Daud asSijistani untuk meneruskan usaha orientalis sebelumnya bernama Gotthelf
Bergstrasser dan Otto Pretzl asal Jerman yang dahulu telah mengumpulkan
manuskrip asli al-Qur’an dengan tujuan mengkritisi al-Qur’an namun tidak berhasil
akibat hancurnya seluruh arsip di Munich saat terjadinya bom di Perang Dunia
Kedua.
William Montgomery yang hidup 1909 hingga 2006 dikenal berdedikasi
mengkaji dialog Kristen dan Islam. Ketertarikannya diawali saat berdiskusi dengan
Khwaja Abdul Mannan penganut Ahmadiyah. Ia terkenal sebagai orientalis yang
mengakui kedudukan Islam dan peran pentingnya di dunia ini hingga masa
mendatang. Ia mengakui bahwa Al-Qur’an dalah wahyu Allah kepada Muhammad
sehingga pandangannya dinilai berbeda dengan pendahulunya yang secara umum
mempercayai bahwa Al-Qur’an tidak sekedar hanyalah kitab yang mencampurkan
isi Perjanjian Lama dan Baru dengan sumber lain. Namun, polemik pun terjadi
pada pemikiran Watt terhadap kajian Islam ketika ia mendeskripsikan sosok Nabi
Muhamma sebagai orang yang haus kekuasaan dan berdarah dingin hingga pada
predikat hyper sexs dan pengidap epilepsi. Pendapat ini dituangkannya
dalam karyanya, Muhammad Prophet and Statesman.Mayoritas, pemikiran orientalis terhadap al-Qur’an bermuara pada adanya
persamaan kisah di Bible dan al-Qur’an sehingga muncul tuduhan bahwa
Rasulullah berguru atau mendapatkan informan beragama kristen. Persamaan
yang mencolok yaitu seputar kisah para Nabi. Namun, hal ini jelas dibantah
oleh pihak Islam sebab banyak perbedaan fakta kisah para Nabi di kedua kitab
yang dinilai suci bagi penganutnya. Contoh perbedaannya tampak ketika Bible
menyebutkan bahwa Ishaq yang menjadi pengorbanan Ibrahim, sedangkan fakta
al-Qur’an menyebutkan bahwa Ismail ibn Ibrahim yang terpilih menjadi korban.
Abraham Geiger, berdarah Yahudi pun ikut meneliti Islam dan
membandingkannya dengan agama Yahudi. Baginya, ajaran Islam mengikuti
Yahudi dengan formulasi sekte baru sebab Yahudi lah sesungguhnya berada di
otoritas paling tinggi dan berhak menilai agama lain seperti Kristen dan Islam. Hasil
kajiannya menyatakan bahwa setidaknya ada 14 kosakata Al-Quran yang meniru
bangsa Yahudi seperti furqan, rabbani, sakinah, taaghut, masani, malakut, darasa,
ma’un, jannatu adn, jahannam, sabt, taurat, tabut, dan ahbar. Begitu pula dengan
ragam doktrin seperti perihal penciptaan bumi dan langit selama 6 masa meniru
doktrin Torah dalam Syefer Beresyith atau kitab Kejadian yang memuat kisah 6
hari perihal penciptaan bumi dan langit. Akan tetapi untuk menutupi duplikasi
maka Muhammad tidak mencantumkan hari ketujuh atau sabt sebagai hari
penting atau sakral di agama Islam seperti yang diyakini penganut Torah (Tanakh)
sehingga digantikan menjadi hari Jumat sebagai hari ibadah agar terlihat sedikit
berbeda. Hal tentang doktrin tujuh tingkatan Surga dalam Al-Quran surah Albaqarah ayat 29 juga jiplakan dari ajaran Yahudi.
Orientalis seperti Noldeke mengatakan juga bahwa sebenarnya kalimat la
ilaha illallah disadur menjiplak dari kitab Samoel II 32: 22 dan Mazmur 18: 32
begitu pula dengan kebiasaan mengucapkan basmalah telah dikenal dalam tradisi
ritual Yahudi dan Kristen. Bingkai pemikiran orientalis khusus dalam kajian alQur’an yaitu dengan mencari relevansi teks terdahulu seperti membandingan alQur’an dengan Bible dan Taurat, memprioritaskan tulisan daripada riwayat
sehingga meragukan bentuk fisik al-Qur’an yang mengalami perubahan bentuk
tulisan, mempertanyakan kumpulan teks al-Qur’an yang sudah terkumpula dalam bentuk mushaf dan menyoal tentang kandungan ayat atau tafsirannya dengan
metodologi bibel.
2. Hadis Perspektif Orientalis
Tidak bisa dipastikan mengenai siapa orientalis pertama yang spesifik
mengkaji Hadis. Menurut Joynboll, ia mengatakan bahwa Alois Sprenger yaitu
sarjana Barat pertama kali mengkaji Islam secara skeptik. Adapun Mustafa Azami,
menyatakan Ignaz Goldziher yang menjadi orientalis pertama kali. Ada pula
pandangan Arent Jan Wensick menyatakan bahwa orientalis pertama yang
mengkaji spesialisasi hadis yaitu orientalis bernama Snouck Hourgronje. Namun,
kesepekatan berpihak pada pendapat yang menegaskan bahwa Ignaz Goldziher
yang berhasil mewujudkan keraguan akan autentisitas al-Qur’an dan Hadis
berdasarkan pandangan ilmiah menjadikannya panutan orientalis Barat.24 Murid
Ignaz yang terkenal mengembangkan teorinya dengan memformulasikan kriteria
evaluasi hadis secara rinci yaitu Joseph Schacht.25
Mayoritas orientalis menggugat keaslian tradisi periwayatan Hadis
sehingga penilaian orientalis menyimpulkan bahwa Hadis yaitu rekayasa masa
kejayaan umat Islam masa abad kedua dan ketiga Hijriah. Tuduhan ini
sampai pada menafikan kaidah studi Hadis hingga muncul teori skeptisisme dari
kalangan orientalis dengan membenarkan teori yang mereka bangun dalam kajian
sejarah atau autentisitas Hadis. Usaha meragukan Hadis yang dilakukan orientalis
diketahui berawal era pertengahan abad ke-19 M., saat kejayaan kolonialisme
Eropa. Alois Sprenger dicap sebagai orientalis pertama yang mempersoalkan
status Hadis denganya menyatakan bahwa Hadis tidaklah hanya sekedar
kumpulan cerita bohong namun menarik atau yang dikenal sebagai anekdot.
Orientalis selanjutnya pun muncul dengan nama Ignaz Goldziher yang menyatakan
bahwa Hadis tidak lebih yaitu produk atas refleksi interaksi dan konflik pelbagai
aliran sehingga bukan dikategorikan sebagai dokumen awal dalam sejarah
perkembangan Islam. Joseph Schacht asal Jerman pun kemudian hadir dengan
menyatakan bahwa tidak ada Hadis yang benar-benar murni berasal dari Nabi, dan
jika dipaksakan ada dengan bukti yang ada maka jumlahnya pun hanya sangat
sedikit. Sikap mereka dengan status orientalis ini hanyalah mewujudkan misi melemahkan dan menyebarkan sikap keraguan terhadap sumber ajaran Islam
setelah al-Quran, yakni Hadis.
Setidaknya ada tiga teori skeptisisme yang dicanangkan oleh orientalis
terkait kajiannya terhadap Hadis yaitu projecting back, common link dan
argumentum e silentio yang sering disandarkan kepada orientalis Joseph
Schacht. Schacht menyimpulkan bahwa hukum Islam yaitu produk atas
fenomena sejarah yang erat hubungannya dengan fakta sosial sehingga Al-Qur’an
dan Hadis bukan seperangkat norma yang diwahyukan.28 Pendapat Schacht
kemudian dikembangkan oleh golongan orientalias revisionis dengan keteguhan
keyakinan bahwa umat Islam tidak memiliki formulasi hukum yang memiliki
standar seperti yang diklaim terdapat dalam al-Qur’an dan Hadis. Selain ketiga
teori skeptis di atas, ada istilah redaction theory yang makin menguatkan
kecurigaan orientalis atas validitas al-Qur’an dan Hadis dengan mengatakan
bahwa ulama Muslim bersekongkol dengan saling memberikan pengaruh antara
karyanya didukung oleh kondisi sekitar sehingga di zamannya, Islam dikuatkan
dengan munculnya reformis hukum yang disebut mujtahid.29
Bantahan terhadap skeptisisme yang dimunculkan oleh orientalis pun
muncul dari kalangan sesama orientalis dan umat Muslim seperti Fuat Sezgin
berargumen bahwa Ignaz tidak memahami kaidah transmisi riwayat hadis secara
menyeluruh. Nabia Abbot menguatkan juga dengan mengatakan bahwa Sahabat
Nabi telah menyimpan teks hadis yang terjaga dari masa Muhammad. Mushtafa
Azami menjelaskan bahwa tradisi meriwayatkan hadis turun-temurun secara
verbal telah menjadi budaya di kalangan bangsa Arab sehingga mata rantai
periwayatan terjaga.30
D. Profil dan Pemikiran Michael CooK
1. Alur Kehidupannya
Michael Allan Cook lahir tahun 1940 M di Inggris dengan kebangsaan
Inggris-Scotlandia. Ia merupakan tokoh sejarawan dengan pendidikannya di
Cambridge tahun 1959 hingga 1963. 31 Sebagai lulusan Universitas Cambridge dengan keahliannya di bidang bahasa Persia dan Turki serta kerap fokus dalam
kajian sejarah Eropa dan Inggris maka Cook masyhur dengan kegemarannya
mengadakan penelitian ilmiah. Diketahui bahwa kajian ilmiahnya yang pertama
yaitu perihal sejarah populasi kerajaan Utsmani di abad XV-XVI M ketika aktif
mengajar di Universitas London hingga tahun 1986.
Studi Pascasarjana Cook lanjut di School of Oriental and African Studies
(SOAS), Universitas London pada tahun 1963-1966 di bawah bimbingan Prof.
Bernard Lewis, di mana ia memulai penelitian tentang sejarah populasi kerajaan
Utsmani di abad lima belas dan enam belas. Kemudian, ia menggunakan waktu
beberapa tahun untuk menjadi dosen dan peneliti di bidang sejarah Islam di
School of Oriental and African Studies, pada tahun 1966-1984 dan seorang
pengkaji sejarah Timur Dekat dan Timur Tengah pada tahun 1984-1986, hingga di
tahun 1986, ia dipilih oleh Cleveland E Dodge, seorang Profesor studi-studi Timur
Dekat untuk menerima jabatan di Universitas Pricenton. 33
Secara umum, fokus penelitiannya bermuara pada kajian sejarah dan
Bahasa Arab. Ia juga tercatat sebagai dosen Pascasarjana di Universitas Princeton
dengan mata kuliah yang diampu perihal studi sejarah dengan materi populernya
terkait sejarah dunia hingga ekspansi Eropa dan sejarah Islam di abad-abad awal.34
Cook senang mengajar teks-teks berbahasa Arab dan memberikan
penjelasan kepada mahasiswa tentang metode mencari dan menemukan sumbersumber primer. Cook mengajar sejarah Islam di abad-abad awal. Itu sebabnya,
dalam bukunya “Muhammad”, ia memaparkan metodologi serta kritik-kritiknya
kepada sarjana-sarjana yang meneliti tentang Muhammad. Selama di Universitas
Princeton ia membimbing banyak mahasiswa. Salah satu bimbingannya yaitu
Michael Bonner, penulis disertasi tentang Garis Perbatasan Bizantium-Arab di
zaman Abbasiyah awal. Keith Lewinstein menulis disertasi tentang analisa
terhadap pembentukan dan transmisi literatur hiresiografi Islam di masa awal.
Selain itu ada Jon Katz yang mengkaji buku harian berisi mimpi-mimpi seorang sufi
Afrika Utara yang eksentrik di akhir abad pertengahan. Yitzhak Nakash meneliti
interaksi Syi’isme dan identitas nasional di Irak modern. Nurit Tsafrir menulis
tentang penyebaran awal aliran fikih Hanafi.Terbitan karyanya diketahui sebagai berikut36:
Tahun 1972: Population Pressure in Rural Anatolia 1450-1600;
Tahun 1980: The Origins of Kalam yang dimuat dalam Bulletin of School of
Oriental and African Studies;
Tahun 1981: Early Muslim Dogma: A Source Criticak Study;
Tahun 1983: Pharaonic History in Medieval Egypt dimuat dalam Studia
Islamica;
Tahun 1984: Magian Cheese: An Archaic Problem in Islamic Law dalam
Bulletin of The School of Oriental and African Studies;
Tahun 1989: The Expansion of the First Saudi State: The Case of Wahm
dalam CE Bosworth and Others (eds.), The Islamic World from Classical to The
Modern Times: Essays in Honor of Bernard Lewis, Princeton;
Tahun 1992: Eschatology and the Dating of Traditions;
Tahun 1999: Ibn Qutayba and the Monkeys dalam Studia Islamica; dan
Tahun 2000: Commanding Right and Forbidding Wrong in Islamic Thought
dan The Koran.
Penghargaan yang pernah diraih Cook antara lain: 37
Tahun 2001: Cook terpilih sebagai anggota dari American Philosophical
Society;
Tahun 2002, Cook mendapatkan Distinguished Achievement Award
bernilai 1,5 juta dollar dari Mellon Foundation atas kontribusi penelitiannya dalam
bidang kemanusiaan;
Tahun 2004, Cook terpilih sebagai anggota dari American Academy of Arts
and Sciences;
Tahun 2006, Cook memenangkan Howard T.Behrman Award untuk
penghargaan dalam bidang kemanusiaan di Princenton;
Tahun 2008, Cook mendapatkan Farabi Award dalam bidang Studi Islam
dan Kemanusiaan.
Tahun 2013, Cook mendapatkan gelar doktor kehormatan dari Universitas
Leiden.
2. Awal Debut Kajian Hadis oleh Michael Cook
Kajiannya terhadap Hadis bermula saat Cook menuliskan sebuah artikel
berjudul The Opponents of the Writing of Tradition in Early Islam di Jurnal Arabica
XLIV tahun 1997. Artikel yang mendeskripsikan perihal polemik yang terjadi akibat pergeseran tradisi oral menjadi tertulis dalam periwayatan hadis ini
dituliskan berdasarkan atas penelitiannya selama lima belas tahun belakangan
atau sejak tahun 1980. Setidaknya, artikelnya bersumber dari 13 referensi kitab
ulama Islam klasik seperti (a) Thabaqat Ibn Sa’d- w. 230-, (b) Kitab al-‘Ilm karya
Abu Khaitsamah -w. 234-; (c) al-‘Ilal Ibn Hanbal -w. 241-, (d) Sunan ad-Darimi -w.
255-, (e) Ma’rifah wa Tarikh karya al-Fasawi -w. 277-, (f) Tarikh Abu Zur’ah adDimasyqi -w. 281-, (g) Muhaddits al-Fashil ar-Ramahurmuzi -w. 360-, (h) Taqyid alIlm karya alKhathib al-Baghdadi -w. 463-, (h) Jami’ Bayan al-‘Ilm karya Ibn ‘Abd
alBarr -w. 463-, (i) Mushannaf karya Ibn Abi Syaibah, (j) Tarikh Baghdad karya alKhathib al-Baghdadi, (k) Tarikh Madinat Dimasyq Ibn Asakir, (l) Siyar A’lam anNubala, dan (m) Tarikh al-Islam karya adz-Dzahabi.
38
Michael Cook mengatakan dalam Early Muslim Dogma, munculnya
fenomena common link yaitu akibat dari proses penyebaran isnād dalam skala
besar. Fenomena common link tidak menunjukkan bahwa sebuah hadis benarbenar bersumber dari seorang periwayat kunci. Oleh sebab itu, metode common
link yang dikembangkan oleh Juynboll tidak dapat dipakai untuk menelusuri asalusul, sumber, dan kepengarangan hadis pada masa awal Islam.39
Akan tetapi, Cook bukanlah orientalis pertama yang mengurai hal akan
resistensi terhadap penulisan hadis sebab pendahulunya bernama Arnold
Sprenger pun telah menerbitkan dua kajian di dua kanal jurnal yang berbeda, yakni
artikel berjudul On the Origin and Progress of Writing Down Historical Facts among
the Musulmans pada Journal of the Asiatic Society of Bengal tahun 1856; dan di
tahun yang sama pula terbit artikel kedua berjudul Ueber das Traditionswessen bei
den Arabern dalam Zaitschrift der Deutschen Morgerlandischen Gesellschaft.
40
Cook hanya menguraikan sejarah atau asal-usul terjadinya konflik polemik
terhadap penulisan hadis tanpa memaparkan kronologi penulisan hadis. Hal
demikian dilakukannya sebab ia termasuk sejarawan sehingga hanya
mendeskripisikan individu maupun kelompok yang terlibat dalam polemik
penulisan hadis dari berbagai sumber. Akan tetapi, ia berani menukil hadis-hadis
yang menurutnya mengandung unsur kontroversi atau terkait hadis yang
diasumsikannya sebagai pendukung ketika mematahkan pendapat bagi kelompok
yang mengakui adanya awal penulis hadis.Pemikirannya
a. Pemetaan Kerancuan Penulisan Hadis dan Al-Qur’an
Cook merupakan sejarahwan yang memetakan polemik terkait penulisan
Hadis dan al-Qur’an kepada dua fase. Fase pertama yakni Basrah; sedangkan
kedua yaitu fase Kufah, Madinah, Makkah, Yaman dan Syria.
Fase Basrah
Di awal tulisannya, ia menguraikan perihal tokoh yang tidak menuliskan
hadis di Basrah pada Abad II Hijriah. Selanjutnya mendeskripsikan tokoh Ibn Sirin
–w. 110 H, Ibn ‘Aun -w. 151- dan Ayyub as-Sakhtiyani -w. 132-. Kemudian ia
menukil dua hadis atau asar yang kita dapatkan di kitab Taqyid al-‘Ilm karya alBagdadi sebagai berikut:
.
Abu al-Hasan ‘Ali ibn ‘Abd al-Wahhab ibn Ahmad as-Sakari mengabarkan kepada kami
bahwa Abu ‘Amr Muhammad ibn al-‘Abbas al-Khazzaz mengatakan kepada kami bahwa Ja‘far ibn
Ahmad al-Maruzi mengabarkan kepada kami bahwa Isma‘il ibn Muhammad ibn Isma‘il ibn Yahya
ibn Hammad maula al-Fadl ibn al-‘Abbas ibn ‘Abd al-Muttalib yang ada di Kufah mengatakan
kepada kami bahwa Ibn Fudail mengatakan kepada kami dari Husain ibn ‘Abd ar-Rahman, dari
Murrah, ia berkata: “Ketika kami sedang bersama ‘Abdullah (ibn Mas‘ud) maka Ibn Qurrah datang
membawa sebuah buku sembari mengatakan: ‘aku menemukannya di Syam dan ia membuatku
terpukau, oleh sebab aku membawakannya kepadamu.’ Murrah berkata: ‘Abdullah pun
memeriksanya dan berkata –Sungguh celaka lah bagi sebelummu –yang memberikan buku inisebab mengikuti kitab ini bahkan mewariskannya kepada yang lain’. Murrah pun berkata:
‘Abdullah menyiram buku itu sehingga tulisan yang didalamnya terhapus.
Abu al-Fadl al-Fizari mengabarkan kepadaku bahwa ‘Abd ar-Rahman ibn ‘Umar
mengabarkan kepada kami bahwa Muhammad ibn Ahmad ibn Ya‘qub bercerita kepada kami
bahwa kakekku bercerita kepada kami bahwa Yazid ibn Harun mengabarkan kepada kami bahwa
al-‘Awwam ibn Hausyab mengabarkan kepada kami dari Ibrahim at-Taimi, ia berkata: Bahwa telah
sampai kabar kepada Ibn Mas‘ud tentang sebuah buku yang dipedomi sekelompok orang,
kemudian mereka menunjukkan kepadanya dan ia pun menghapusnya ketika mereka
membawakan buku itu kepada nya sembari berkata: ‘ Celaka la bagi yang memiliki kitab ini
sebelum kalian sebab mereka mendapatkan itu dari cendikiawan dan uskup mereka dengan
meninggalkan kitab Tuhan mereka; redaksi lain mengatakan: ‘Mereka meninggalkan Taurah dan
Injil -yang asli- kemudian mempelajarinya dan menghapuskan kebenaran hukum yang ada di
keduanya.”.
Cook berpendapat bahwa masyarakat Basrah mayoritas menolak
penulisan terhadap hadis. Pendapatnya ia kaitkan dengan sabda Rasul yang
beredaksi: “Janganlah kalian menulis dariku selain al-Qur’an…”. Akan tetapi, Cook
juga berpendapat bahwa justru orang Basrah-lah yang dominan melakukan
propoganda penulisan hadis sehingga awalnya hadis diciptakan di Basrah. Cook
menciderai profil Abu Sa‘id al-Khudri dengan menyatakan bahwa al-Khudri banyak
berperan dalam “penciptaan” hadis sebab banyak memilki otoritas
periwayatannya sendiri dengan berkampanye kepada murid-muridnya tidak boleh
menuliskan hadis. Profil Ibn ‘Umar, Zaid bin S|abit, Ibn ‘Abbas dan Abu Hurairah
pun tidak lepas dari tuduhan Cook sebagai pelopor pencipta Hadis.45
Polemik perbedaan pandangan tentang redaksi hadis yang mengklaim
pelarangan menulis hadis pun terjadi di kalangan cendikia muslim. Tidak sedikit
yang berasumsi bahwa redaksi hadis ini bukan berasal dari Nabi Muhammad
melainkan hanya pendapat dari al-Khudri seperti yang disampaikan oleh
Mushthafa al-Azami dengan menyandarkan argumennya kepada Imam al-Bukhari
bahwa beliau juga mengemukakan statement larangan menulis hadis sejatinya
berasal dari Abu Sa’id sendiri, yang lantas disandarkan secara salah kepada Nabi
Saw. Namun, pendapat yang menengahi polemik ini yaitu argumen yang
menyatakan bahwa hakikat dari redaksi hadis tentang larangan penulisan hadis
yaitu larangan menuliskan hadis secara bersamaan dengan al-Qur’an pada
lembaran yang sama untuk menghindari kekeliruan kata yang ditulis di pinggir
ataupun baris al-Qur’an.Abu Hurairah menjelaskan bahwa bedanya dirinya dengan ‘Abdullah ibn
‘Amr ibn al-‘ As yaitu profil Abdullah sebagai ahli menulis sedangkan ia (Abu
Hurairah) tidak pandai menulis. Tidak ada pernyataan bahwa Abu Hurairah
membenci atau melarang penulisan hadis, begitupun dari Ibn ‘Abbas sebab ada
riwayat menyatakan bahwa tulisan dapat mengikat ilmu pengetahuan.
Riwayat ini dapat kita temukan sekitar 6 riwayat dalam kitab Taqyid
al-‘Ilm karya al-Bagdadi pada judul zikr ar-riwayah ‘an Abi Hurairah anna ‘Abdallah
ibn ‘Amr kana yaktub al-Hadis ‘an Rasulillah (Penyebutan riwayat dari Abu
Hurairah bahwa ‘Abdullah ibn ‘Amr menuliskan hadis dari Rasulullah), salah
satunya yaitu sebagaimana berikut:
“Abu al-Hasan Muhammad ibn Ahmad ibn Razqawih mengabarkan kepada kami bahwa ‘Usman ibn
Ahmad ibn ‘Abdillah ad-Daqqaq mengabarkan bahwa Hanbal ibn Ishaq berkata kepada kami bahwa
Ahmad ibn ‘Abd al-Malik ibn Waqid al-Hirrani berkata kepada kami bahwa Abu ‘Abdillah bertanya
kepadanya dan ia pun menceritakannya dengan berkata bahwa Muhammad ibn Salmah bercerita
kepada kami tentang Muhammad ibn Ishaq dari ‘Amr ibn Syu‘aib dari Mujahid dan al-Mugirah ibn
Hakim, keduanya berkata: kami mendengar Abu Hurairah berkata bahwa tidak ada seorangpun
yang lebih mengetahui akan hadis Rasulullah selain aku kecuali yang berasal dari ‘Abdullah ibn
‘Amr sebab ia ahli dalam menulis dengan tangannya sendiri lalu memahaminya dengan hatinya.
Sedangkan aku memahami dengan hatiku namun aku tidak pandai menulis. ‘Abdullah telah
meminta izin kepada Rasulullah untuk mendokumentasikan segala ilmu dalam bentuk tulisan di
buku maka Rasul pun mengizinkannya.”
Fase Kufah, Madinah, Makkah, Yaman dan Syria
Cook mengatakan dalam fase ini yang menjadi pelopor utama pencipta
Hadis yaitu ‘Abdullah ibn Mas‘ud di Kufah. Sedangkan periwayat yang
menentang penulisan hadis dari Kufah antara lain: (a) Jarir ibn Abd al-Hamid (w.
188), yang ditanya apakah Manshur ibn al-Mu’tamir tidak setuju dengan penulisan
hadis? Maka ia menjawab bahwa ia tidak setuju; (b) Laits ibn Abi Sulaim (w. 143)
yang disebutkan bahwa ia tidak menyukai penulisan hadis di kertas-kertas; (c) Ibn
Sa’d mengatakan bahwa Fithr ibn Khalifah (w. 153) tidak mengijinkan seorang pun
untuk menulis dalam kelas-kelasnya; dan (d) riwayat tentang Ubaidah (riwayat lain
menyebut Abidah) yang tidak mengijikan menulis hadis.
Apabila kita analisis kitab al-Bagdadi berjudul Tqayid al-‘ilm maka akan
didapatkan sub judul man nadima ‘ala mahw al-hadis (mereka yang menyesal
menghapus hadis). Hal ini mengemukakan kepada kita bahwa kemudian
larangan penulisan hadis telah dicabut alias membuktikan pada hadis pada masa
Rasulullah telah dituliskan oleh beberapa ahli. Dalam kitab al-Bagdadi dituliskan
bahwa Mansur ibn al-Mu‘tamar dahulunya menentang/membenci menuliskan hal
kebenaran akan ilmu namun kemudian ia menyesalinya. Redaksi akan hal ini
yaitu berikut: untuk mendukung argumennya, sebagaimana berikut:
5
.
Dalam wilayah Madinah, maka Cook menciderai profil Muhammad ibn
Syihab az-Zuhri -w. 124- sebagai pelopor pembukuan hadis dengan menyatakan
bahwa ia bukan penulis Hadis. Mengutip pendapay Fasawi dalam kitab Ma‘rifah
wa Tarikh, Cook mengatakan andai pun Zuhri tetap diakui sebagai penulis hadis
maka Zuhri sebenarnya hanya menuliskan beberapa hadis tertentu berkaitan
dengan genealogi sukunya sahaja. Akan tetapi, data lain mengakui bahwa Zuhri
yaitu pelopor pertama dalam pembukuan Hadis dengan seleksi yang ketat dan
penuh kehati-hatian sehingga ketika wafat pun ia diketahui berada dekat
disamping sejumlah bahan tertulis.
Perlu kita ketahui bahwa Zuhri sebenarnya bukan orang pertama yang
menuliskan hadis sebagaimana opini dan asumsi yang mayoriyas diakui orientalis.
Hakikat dari pernyataan Imam Malik (93-179 H): awwalu man dawwana al-‘ilm Ibn
Syihab az-Zuhri yaitu Zuhri yaitu pelopor pertama yang membukukan hadis
bukan menuliskan. Hal demikian disampaikan oleh Mushtafa ‘Azami. Polemik
perbedaan pemahaman ini terkait mis-interpretasi akan diksi kitabah, tadwin dan
tashif.52
Cook berpendapat ulama abad ketiga Hijriah yaitu penengah konflik
polemik penulisan hadis yang terjadi antara ulama abad sebelumnya. Sebagai
bentuk toleransi atau sikap moderat menengahi pendapat terdahulu maka
mereka meyatakan bahwa penulisan hadis terdahulu tidak diizinkan untuk
disebarluaskan sebagaimana al-Quran sehingga hanya bersifat koleksi pribadi bagi
sebagian ahli tulis.
Sejatinya, ada larangan untuk menuliskan hadis pada fase awal turunnya
al-Qur’an yang berasal sandarannya dari Nabi Muhammad akibat kekhawatiran
beliau akan bercampurnya ayat al-Qur’an dengan tulisan lainnya. Namun, ketika
sebagian Sahabat dinilai mampu membedakan gaya bahasa al-Qur’an disertai
berkurangnya kebutahurufan di kalangan mereka maka Rasulullah berpendapat
bahwa perlu dilakukannya penulisan pengetahuan lainnya di luar al-Qur’an.
Ahli Hadis secara mayoritas tidak mengacuhkan pada keberatan
pandangan sebagian orang tentang larangan penulisan hadis yang berpedoman
bahwa argumen bahwa periwayatan dengan lisan lebih unggul dibandingkan
dengan tulisan karana Sahabat banyak menolak menuliskan selain al-Qur’an dan
penulisan hadis yaitu buah paksaan dari penguasa Umayyah. Selain itu, mereka
mengatakan bahwa penulisan hadis yaitu dispensasi atau pengecualian bagi
mereka tidak memiliki daya ingat hafalan yang kuat.
2. Teori The Spread of Isnad
Teori ini merupakan tanggapan Cook terhadap teori Common Link. Namun
teori the Spread of Isnad tidak didefinisikan secara jelas atau eskplisit oleh Cook
sehingga banyak artikel mendeskripsikan arti teori ini secara implisit yaitu sebuah
teori yang menyatakan bahwa sistem periwayatan hadis setidaknya terjadi dalam
tiga skenario dan seluruh jalur dengan skenario ini diduga palsu. Termasuk
di dalamnya fenomena Common Link.
Teori The Spread of Isnad yaitu upaya Cook mengkritik bahkan
mengembangkan teori Common Link karya Joseph Schacht dan pengukuhan yang
dilakukan oleh Josef van Ess. Teori Cook menyatakan bahwa para periwayat hadis
terbiasa menciptakan ragam isnad tambahan sebagai penguat bagi matan hadis
yang sama. Fenomena Common Link diakui oleh Cook tidak dapat memperlihatkan
bahwa hadis ini berasal dari seorang periwayat kunci. Oleh sebab itu, teori
Common Link yang telah dikembangkan baik oleh Schacht maupun oleh Juynboll
dianggap tidak mampu menelurusuri asal-usul, sumber, dan kepengarangan
(authorship) dari sebuah hadis.
Cook kemudian mengembangkan formula penyebaran isnad. Hasil dari
pengembangan Cook ini menghasilkan Teori The Spread of Isnad atau Teori
Penyebaran Isnad. Bagi Cook, proses penyebaran isnad minimal terjadi dalam tiga
skenario: Pertama, melompati periwayat yang sezaman. Pada proses ini, Cook
memberikan analogi sebagai berikut: “Misalnya saya dan kamu yaitu orang yang
baru muncul belakangan. Lalu saya belajar sesuatu hal dari kamu. Lalu kamu
sendiri mendapatkan hal ini dari gurumu. Jika saya berusaha untuk jujur,
maka saya akan mengatakan: ‘saya mendapatkan ilmu ini dari kamu, dan kamu
dari gurumu.’. “Akan tetapi terkadang meskipun saya tidak mendapatkan langsung
dari gurumu, saya malah mengatakan bahwa saya mendapatkan dari gurumu. Hal
ini sebab saya meyakini bahwa dalam sistem isnad, jalur isnad yang terpendeklah
yang lebih bagus daripada yang panjang.
Sehingga diagram the spread of Isnad tergambarkan seolah ada dua jalur
seperti ini:
Kedua, menyandarkan hadis pada seorang guru yang berbeda. Pada
skenario kedua ini, Cook meyakini penyebaran isnad mulai terjadi. Cook kembali
mengilustrasikan dengan redaksi sebagai berikut: “Kamu meriwayatkan hadis dari
gurumu. Lalu saya tertarik dengan hadis ini dan ingin meriwayatkannya
tanpa terkait dengan keberadaan kamu. Namun bukannya meriwayatkan dengan
mengaku telah menerima dari gurumu, saya malah mengaku mendapat hadis dari
guru saya. Hal ini bisa saja sebab saya belum pernah bertemu dengan guru kamu
(makanya saya lebih memilih menyebut guru saya sebab jelas saya bertemu
dengan guru saya), atau sebab bagi saya gurumu tidak layak masuk dalam jalur
isnad, atau sebab ada pertimbangan politik.” .
Hasil dari tindakan ini berakibat pada bercabangnya jalur isnad
sebagai berikut:
Ketiga, mengatasi persoalan hadis-hadis yang “terisolasi”. Skenario yang
ketiga ini diakui oleh Cook merupakan fenomena yang ditemukan dan dianggap
oleh Schacht sebagai penyebab berkembangnya isnad. Cook meyakini bahwa
penyebaran isnad ini dilakukan untuk mengatasi keberatan-keberatan yang
diajukan ahli hadis pada masa periwayat ini atas hadis-hadis yang
menyendiri (infirad). Hadis-hadis yang menyendiri ini (khabar al-wahid, khabar alinfirad) tidak dapat diterima sebagai hadis otentik sebab sebuah hadis dapat
diterima jika diriwayatkan sekurangkurangnya oleh dua orang saksi yang
terpercaya. Dari penelitian ini ditemukan bahwa yang dimaksud dengan hadis
yang “terisolasi” yaitu hadis-hadis yang infirad atau single strand. Bagi Cook,
awalnya hadis-hadis ini berjalur tunggal, namun sebab ahli-ahli hadis atau si
terduga pemalsu membutuhkan legalitas yang kuat atas hadisnya lalu si terduga
pemalsu ini menambahkan jalur-jalur yang lain sehingga menambah jalur yang
sudah ada. 60
Cook membawa cara pandang yang berbeda terhadap fenomena Common
Link yang dituangkan dalam kritik-kritik Cook terhadap teori Schachtian. Bagi Cook
ada dua poin penting mengenai Common Link. Pertama, Common Link tidak bisa
selalu dijustifikasi sebagai pemalsu hadits. sebab terkadang Common Link sendiri
yaitu hasil rekayasa dari periwayat yang lain. Kedua, Common Link tidak bisa
dijadikan sebagai dasar penanggalan hadits. Oleh sebab itu, pandangan Cook
meruntuhkan teori Common Link. Cook memahami fenomena Common Link
dengan Teori Spread of Isnad. Meskipun Cook sangat skeptis dengan otentisitas
sistem periwayatan, namun lewat penelitian ini menunjukan bahwa Cook masih
membuka peluang terhadap adanya periwayatan yang genuine. Bagi Cook proses
“penyebaran isnad” lah yang bertanggung jawab atas pemalsuan. Sedangkan
proses “berkembang”nya isnad secara natural (the raising of isnad) masih
menyimpan kemungkinan periwayatan yang otentik asalkan didukung dengan
data historis yang valid. Solusi yang ditawarkan oleh Cook dalam memahami
fenomena Common Link dan mencari penanggalan hadits yaitu dengan mencari
“data eksternal” (external criteria) berupa data historis “makro”. Untuk bisa
menemukan data eksternal ini, seorang observer harus membuka cara pandang
makro dan cakupan yang luas atas konteks hadits yang diteliti.
Penelitian bersifat kualitatif dengan metode kajian pustaka ini mengkaji tentang profil
orientalis bernama Michael Cook sebagai pengembang metode para revisionis Barat
dengan ciptaan metodenya sendiri yang masyhur dikenal dengan istilah The Spread of
Isnad. Misi awal orientalis berfokus pada penyebaran misionaris liberalisme di bawah
kolonialisme dengan metode akademik intelektual seperti kajian filologi, manuskrip dan
bahasa ketika mengkaji al-Qur’an dan Hadis. Hasil kajian orientalis tentunya mayoritas
berkarakter skeptis bahkan melemahkan ajaran Islam. Orientalis sebagian besar
menyatakan bahwa Muhammad yaitu pengadopsi setidaknya dua ajaran terdahulu
yakni Yahudi dan Nasrani sehingga banyak kemiripan yang tercantum pada dua
produknya. Polemik perbedaan antara sesama orientalis juga tidak dapat dihindari.
Kenyataannya, tidak semua orientalis bermuara pada kesepakatan menyimpulkan alQur’an dan Hadis sebagai produk palsu yang menjadi pendukung ajaran Islam. M. Cook
hadir dengan karakter neo-skeptisisme yaitu upaya meragukan hadis Nabi melalaui
percobaan mengembangkan ide teori pendahulunya seperti Schacht.












