Tampilkan postingan dengan label Polemik Al-Qur’an Hadist. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Polemik Al-Qur’an Hadist. Tampilkan semua postingan

Polemik Al-Qur’an Hadist

 



Polemik Al-Qur’an Hadist



Studi al-Qur’an dan Hadis yang dilakukan sarjana Barat atau orientalis 

sering dikaitkan dengan pelacakan kembali terhadap kitab suci dua agama yakni 

Taurat/Yahudi dan Bibel/Kristen. Meskipun awal kemunculan orientalis didasari 

paham liberalisme dan misionarisme di bawah kekuasaan kolonialisme, namun 

jika direnungkan bahwa usaha yang diklaim melemahkan al-Qur’an dan Hadis 

justru mendatangkan pembuktian ilmiah tentang kemukjizatan dua sumber 

hukum Islam ini . Dalam mengembangkan pemikirannya, tak jarang sesama 

orientalis pun saling berseberangan atau tidak selalu sempurna mendukung teori 

skeptisisme mereka terhadap al-Qur’an dan Hadis. Banyak dinamika dan polemik 

yang terjadi bahkan dari satu pribadi orientalis yang cenderung tidak konsisten 

menjalankan misinya apabila diprioritaskan untuk menjebak Islam. Cook hadir 

sebagai orientalis fase keempat dalam perkembangan kajian hadis di Barat dengan 

karakter neo-skeptisisme yaitu upaya meragukan hadis Nabi dengan 

mengembangkan metode para revisionis Barat maupun melalui metodenya 

sendiri. Berangkat dari keahliannya dalam bidang sejarah sehingga pemikiran Cook 

terhadap Hadis tidak lepas dari riset terhadap sejarah perkembangan hadis di 

masa awal hingga kejayaan Islam. Cook juga mencoba mengembangkan ide teori 

pendahulunya seperti Schacht.

Mengenai polemik penulisan hadis, maka penulis berkeyakinan bahwa 

polemik ini  muncul akibat perkembangan dinamis dan perhatian ulama 

terhadap hadis sehingga perbedaan pendapat tidak akan dapat dihindari. Adapun 

sumber polemik ini  tidak berasal dari Nabi namun dari argumen pribadi 

masing-masing tokoh yang mengabdikan diri pada pemeliharaan hadis.


Lahirnya tokoh orientalis dengan misi kolonialisme dan misionarisme yang 

menyebarkan pemikiran melemahkan Islam diduga sebagai pengukuhan atas 

otoritas kekuasaan Eropa setelah memenangkan Perang Salib. Orientalis pun 

terlebih dahulu mengenal Bahasa Arab untuk mempersenjatai diri mengenal al￾Qur’an dan Hadis sehingga secara sporadik menunjukkan kemajuan terlihat sejak abad 19 Masehi. Pandangan sesama mereka pun bervariasi berdasarkan sikap 

mental masing-masing kepribadian saat melakukan kajian al-Qur’an dan Hadis.

Menjelang pertengahan abad ke XIX, kegiatan misionaris Kristen identik 

bercorak imperialisme Inggris dan Perancis, hingga menyinggung persoalan 

keagamaan ke persoalan keduniaan. Abad XX, agama Kristen dan peradaban Barat 

sulit dibedakan sebab  nilai teologi agama Kristen itu pun semakin mendukung 

materialisme murni sehingga Islam tidak lagi dikutuk lantaran penolakannya 

terhadap Trinitas. Konsep terkait Tuhan Yang Maha Esa, yang secara aktif ikut 

campur dalam urusan-urusan kemanusiaan, ditolak secara prinsipil. Islam 

dijadikan sasaran primadona propaganda anti agama, sebab  menolak relativitas 

moral transedental.1

. Dengan demikian, perlu dilakukan penulisan yang meneliti 

tentang polemik perbedaan cara pandangan para orientalis tentang kajiannya 

terhadap al-Qur’an dan Hadis berdasarkan analisis konflik sejarah antara 

hubungan Islam-Kristen dan perihal terkait. Salah satu titik perbedaan pandangan 

antara sejarawan Barat (orientalis) dan sejarawan Muslim terhadap studi kenabian 

Muhammad dan perluasan kekuasaan Islam yaitu  ketika kaum Muslim 

beranggapan bahwa kemunculan dan penyebarluasan Islam itu tidak akan 

terlepas dari muatan teologis sehingga mengidentifikasikan antara karier 

kenabian Muhammad dengan adanya campur tangan Tuhan yang menggerakkan 

jalannya sejarah lantas kemudian saat Nabi Muhammad telah wafat, maka tidak 

akan ada lagi penambahan dan pengurangan dalam al-Qur’an maupun Hadis.

Ada empat fase perkembangan perihal kajian hadis di dunia Barat, yaitu 

fase skeptisisme dengan meragukan autentisitas hadis melalui argumentasi bahwa 

pemalsuan besar-besaran telah terjadi dalam sejarah periwayatan Hadis. 

Kemudian, timbul fase reaksi akan skeptisisme orientalis dengan jawaban akan 

kritikan dan tuduhan para revisionis mengenai hadis Nabi Muhammad. Fase 

pencarian jalan tengah dengan menemukan persamaan dengan para pemikir 

revisionis namun sebagai penengah dua paradigma yakni revisionis dan 

tradisional. Adapun saat ini yaitu  fase yang keempat berifat neo-skeptisisme 

yaitu upaya meragukan hadis Nabi dengan mengembangkan metode para 

revisionis Barat maupun melalui metodenya sendiri, diantaranya tercatat nama 

Michael A. Cook.2

Tujuan penelitian ini bermuara pada kajian pemikiran M. Cook terhadap 

keraguannya pada proses penulisan al-Qur’an dan Hadis.

Kerangka Kerja Orientalis

Kata orientalis ialah serapan bahasa Perancis yang dimaknai Timur atau 

bangsa-bangsa di bagian Timur secara etnologis, hingga berkembang pada hal 

yang bersifat pada ketimuran sehingga disematkan kepada mereka yang 

mendedikasikan diri pada pengkajian hal berkaitan tentang ketimuran.4

Penyebaran Islam dianggap ancaman bagi Kristen secara politis maupun 

teologis sehingga lebih dari empat belas abad lamanya terjadi dinamika 

kebudayaan dan peradaban serta teritorial yang dipengaruhi oleh keduanya. 

Stereotipe citra Islam dalam Pandangan Kristen Barat hingga saat ini kerap 

disimbolkan sebagai agama irasional, mistik, sektarian dan dogmatik sehingga 

banyak yang mengecam Islam sebagai agama intoleran akibat fanatisme 

penganutnya.5 Perang Salib yang terjadi atas faktor agama dan politik antara 

Kristen-Islam atau Barat-Timur diakui oleh para orientalis. sebagai jembatan emas 

tumbuhnya kebudayaan Barat di Eropa.6 Kehadiran Islam menjadi faktor 

terkikisnya wilayah kekuasan Dunia Kristen di banga Eropa sehingga menganggap 

Islam yaitu  predator sekaligus musuh primordial. Perebutan Konstantinopel 

yang dimenangkan oleh Islam menjadi musibah besar bagi Kristen Greek-Ortodoks 

sehingga Tsar Rusia dari Dinasti Rumanov menuntut balas hingga runtuhnya Turki 

Utsmani di Eropa Timur. Atas keberhasilan Eropa di Timur pada awal abad 15 maka 

menghidupkan kembali minat Eropa untuk mengetahui Islam hingga muncul beberapa perguruan tinggi Eropa membuka bidang kajian bahasa Arab (Chair of 

Arabic Studies) seperti Cambridge University di Inggris membuka studi bahasa 

Arab mulai tahun 1632 dan Oxford University tahun 1636. Kajian Islam dan bahasa 

Arab menjadi bahasan primadona para misionaris yang melakukan kegiatan 

misinya di negara-negara Muslim saat itu.7

Menurut Gerhard Endress, predikat “orientalis” untuk pertama kalinya 

dikenal di Inggris di tahun 1779, hingga akhirnya muncul istilah orientalisme 

sebagai tolak ukur paradigma kajian keislaman dimulai dengan metode filologi 

yang kemudian berkembang di abad ke-18 menjadi pendekatan oriental-filologi, 

lalu pada abang ke-19 menjadi kritik historis (historical-criticism) yang cenderung 

meninggalkan karakter apologetik.8

Orientalisme akhirnya diakui sebagai disiplin ilmu yang mendiskusikan 

entitas kebudayaan, keyakinan danagama masyarakat Timur dengan identik 

pandangan dan pengalaman orang Barat. Ada dua model pendekatan cara 

pandang orientalis, khususnya ketika mengkaji Islam yaitu pendekatan normatif 

yang dibagi kepada corak irenik, apologetik dan misionaris tradisional; dan 

pendekatan deskriptif dengan corak fenomenologi agama, ilmu sosial dan 

filologis-historis 9

Secara garis besar, berikut yaitu  daftar yang tercatat sebagai identitas 

orientalis populer dengan spesialisasinya seperti dalam penelitian al-Qur’an 

terkenal nama Theodore Noldeke, Friedrich Schwally, Gotthelf Bergtrasser, Otto 

Pretzl, Arthur Jeffery, John Wansbrough, John Burton, Richard Bell, Andrew Rippin 

dan Chrostoph Luxemburg. Bidang kajian Hadis dikenal didalami oleh Josep 

Schacht, Ignaz Golziher, G.H.A.Juyuboll, Eerik Dickson, Aarent J Wensinck, 

Nicholson, WD. Van Wijagaarden. Orientalis khusus kajian Teologi dan Filsafat 

terdapat karakter bernama Montgomery Watt, O Learry, DB Mc Donald, Alfred 

Gullimaune, Majid Fakhry, Henry Corbin, Michael Frank, Richard J McCarthy, Harry 

A. Wolfson, Shlomo Pines, Oliver Leaman. Adapun pada kajian Fikih terdapat Waell 

Hallaq, Harold Motzki, N.Calder, N.J. Coulson, J.Fuck dan John Burton. Begitu pula 

di bidang Politik ini  nama Snouck Hurgronje, Bernard Lewis, Samuel 

Huntington, Bob Hefner, William Liddle dan Greg Burton.Umumnya, orientalis fokus dalam bidang intelektual dengan mengedit 

buku karya cendekia muslim dengan mempelajari bahasa Timur dan menganalisa 

aspek keyakinan, sekte, ekonomi, sosial serta psikolog pengaruh karakter 

masyarakat Timur.11

Karakteristik orientalis saat mendeskripsikan kajiannya terhadap al-Qur’an 

dan Hadis didominasi menggunakan dua bentuk metode yakni kritis-historis dan 

kritik sastra.12 Historigrafi orientalis klasik dan era pertengahan dominan 

berkarakter deskriptif dengan metode wawancara atau bahkan mengetahui dan 

mengalami peristiwa secara langsung, sedangkan era setelahnya terkesan analisis 

kritis dengan tafsiran logika-rasional.13 Pada akhirnya kesimpulan negatif yang 

terkonsep mengatakan bahwa Islam bukan agama wahyu sebab  al-Qur’an dan 

Hadis yang diakui sebagai sumber hukum tidak lain hanya gubahan dari buah 

pemikiran Muhammad yang disadur dari Taurat, Injil dan sejenisnya. Begitu pun 

dengan Hadis yang merupakan produk dari tradisi peradaban yang berkembang di 

abad pertama dan kedua Hijriah.

Dalam penyebaran ideologi mereka, maka secara konseptual mengadakan 

kongres yang pertama kali diadakan di Paris tahun 1873 dengan tema Orientalits 

Congres. Pendirian lembaga kajian ketimuran pun menjadi akses penyebaran 

orientalisme seperti di antaranya terdapat lembaga bernama Ecole des Langues 

Orientalis Vivantes tahun 1975 bertempat Perancis, hingga mendirikan organisasi 

bertemakan ketimuran, seperti Societe Asiatique tahun 1822 berpusat di Paris. 

Layanan akademik seperti penyebaran menerbitkan majalah pun giat dilakukan 

seperti Jurnal Asiatique yang juga berpusat di Paris sejak 1822.15

1. Al-Qur’an Perspektif Orientalis

Argumen mayoritas orientalis terhadap Alquran yaitu  fiksi dari karya 

Muhammad, seperti yang digaungkan oleh G.Sale dalam bukunya The 

Qur’an:Commonly called al-Qur’an:Preliminary Discoursei tahun1734); Sir William 

Muir di Life of Mahomet tahun1860; A.N. Wollaston pada The Religion of The 

Koran tahun 1905; H. Lammens di karyanya Islam Belief and Institution, 1926; 

Champion & Short dalam bukunya tahun 1959 berjudul Reading from World Religious Fawcett; JB. Glubb tahun 1970 pada bukunya The Life and Time of 

Muhammad; dan di tahun 1977 ada M. Rodinson dalam bukunya Islam and 

Capitalism.16

Melalui pendekatan filologi, Noldeke menafikan pendapat yang memaknai 

ummiy sebagai orang yang tidak bisa membaca dan menulis, justru predikat 

ummiy pada kepribadian Muhammad mendelegasikannya sebagai orang yang 

paling memahami kitab suci. Menurutnya, Muhammad hanya memahami bahasa 

Arab sehingga ia tidak dapat membaca kitab-kitab terdahulu dan sengaja 

mencitrakan diri sebagai orang yang tidak mampu membaca dan menulis. 

Pandangan Noldeke ini pun berseberangan dengan Sprenger yang berargumen 

bahwa Muhammad berpengalaman dalam membaca kitab bergenre asatir dan 

‘aqaid.17

Arhtur Jeffery, orientalis asal Australia ini sangat berambisi membuat 

tandingan al-Qur’an untuk mengubah Mushaf Utsmani dengan mencoba 

merestorasi teks al-Qur’an berdasarkan al-Mashahif karya Imam Abu Daud as￾Sijistani untuk meneruskan usaha orientalis sebelumnya bernama Gotthelf 

Bergstrasser dan Otto Pretzl asal Jerman yang dahulu telah mengumpulkan 

manuskrip asli al-Qur’an dengan tujuan mengkritisi al-Qur’an namun tidak berhasil 

akibat hancurnya seluruh arsip di Munich saat terjadinya bom di Perang Dunia 

Kedua.

William Montgomery yang hidup 1909 hingga 2006 dikenal berdedikasi 

mengkaji dialog Kristen dan Islam. Ketertarikannya diawali saat berdiskusi dengan 

Khwaja Abdul Mannan penganut Ahmadiyah. Ia terkenal sebagai orientalis yang 

mengakui kedudukan Islam dan peran pentingnya di dunia ini hingga masa 

mendatang. Ia mengakui bahwa Al-Qur’an dalah wahyu Allah kepada Muhammad 

sehingga pandangannya dinilai berbeda dengan pendahulunya yang secara umum 

mempercayai bahwa Al-Qur’an tidak sekedar hanyalah kitab yang mencampurkan 

isi Perjanjian Lama dan Baru dengan sumber lain. Namun, polemik pun terjadi 

pada pemikiran Watt terhadap kajian Islam ketika ia mendeskripsikan sosok Nabi 

Muhamma sebagai orang yang haus kekuasaan dan berdarah dingin hingga pada 

predikat hyper sexs dan pengidap epilepsi. Pendapat ini  dituangkannya 

dalam karyanya, Muhammad Prophet and Statesman.Mayoritas, pemikiran orientalis terhadap al-Qur’an bermuara pada adanya 

persamaan kisah di Bible dan al-Qur’an sehingga muncul tuduhan bahwa 

Rasulullah berguru atau mendapatkan informan beragama kristen. Persamaan 

yang mencolok yaitu  seputar kisah para Nabi. Namun, hal ini  jelas dibantah 

oleh pihak Islam sebab  banyak perbedaan fakta kisah para Nabi di kedua kitab 

yang dinilai suci bagi penganutnya. Contoh perbedaannya tampak ketika Bible 

menyebutkan bahwa Ishaq yang menjadi pengorbanan Ibrahim, sedangkan fakta 

al-Qur’an menyebutkan bahwa Ismail ibn Ibrahim yang terpilih menjadi korban.

Abraham Geiger, berdarah Yahudi pun ikut meneliti Islam dan 

membandingkannya dengan agama Yahudi. Baginya, ajaran Islam mengikuti 

Yahudi dengan formulasi sekte baru sebab  Yahudi lah sesungguhnya berada di 

otoritas paling tinggi dan berhak menilai agama lain seperti Kristen dan Islam. Hasil 

kajiannya menyatakan bahwa setidaknya ada 14 kosakata Al-Quran yang meniru 

bangsa Yahudi seperti furqan, rabbani, sakinah, taaghut, masani, malakut, darasa, 

ma’un, jannatu adn, jahannam, sabt, taurat, tabut, dan ahbar. Begitu pula dengan 

ragam doktrin seperti perihal penciptaan bumi dan langit selama 6 masa meniru 

doktrin Torah dalam Syefer Beresyith atau kitab Kejadian yang memuat kisah 6 

hari perihal penciptaan bumi dan langit. Akan tetapi untuk menutupi duplikasi 

maka Muhammad tidak mencantumkan hari ketujuh atau sabt sebagai hari 

penting atau sakral di agama Islam seperti yang diyakini penganut Torah (Tanakh) 

sehingga digantikan menjadi hari Jumat sebagai hari ibadah agar terlihat sedikit 

berbeda. Hal tentang doktrin tujuh tingkatan Surga dalam Al-Quran surah Al￾baqarah ayat 29 juga jiplakan dari ajaran Yahudi.

Orientalis seperti Noldeke mengatakan juga bahwa sebenarnya kalimat la 

ilaha illallah disadur menjiplak dari kitab Samoel II 32: 22 dan Mazmur 18: 32 

begitu pula dengan kebiasaan mengucapkan basmalah telah dikenal dalam tradisi 

ritual Yahudi dan Kristen. Bingkai pemikiran orientalis khusus dalam kajian al￾Qur’an yaitu  dengan mencari relevansi teks terdahulu seperti membandingan al￾Qur’an dengan Bible dan Taurat, memprioritaskan tulisan daripada riwayat 

sehingga meragukan bentuk fisik al-Qur’an yang mengalami perubahan bentuk 

tulisan, mempertanyakan kumpulan teks al-Qur’an yang sudah terkumpula dalam bentuk mushaf dan menyoal tentang kandungan ayat atau tafsirannya dengan 

metodologi bibel.

2. Hadis Perspektif Orientalis

Tidak bisa dipastikan mengenai siapa orientalis pertama yang spesifik 

mengkaji Hadis. Menurut Joynboll, ia mengatakan bahwa Alois Sprenger yaitu  

sarjana Barat pertama kali mengkaji Islam secara skeptik. Adapun Mustafa Azami, 

menyatakan Ignaz Goldziher yang menjadi orientalis pertama kali. Ada pula 

pandangan Arent Jan Wensick menyatakan bahwa orientalis pertama yang 

mengkaji spesialisasi hadis yaitu  orientalis bernama Snouck Hourgronje. Namun, 

kesepekatan berpihak pada pendapat yang menegaskan bahwa Ignaz Goldziher 

yang berhasil mewujudkan keraguan akan autentisitas al-Qur’an dan Hadis 

berdasarkan pandangan ilmiah menjadikannya panutan orientalis Barat.24 Murid 

Ignaz yang terkenal mengembangkan teorinya dengan memformulasikan kriteria 

evaluasi hadis secara rinci yaitu  Joseph Schacht.25

Mayoritas orientalis menggugat keaslian tradisi periwayatan Hadis 

sehingga penilaian orientalis menyimpulkan bahwa Hadis yaitu  rekayasa masa 

kejayaan umat Islam masa abad kedua dan ketiga Hijriah. Tuduhan ini  

sampai pada menafikan kaidah studi Hadis hingga muncul teori skeptisisme dari 

kalangan orientalis dengan membenarkan teori yang mereka bangun dalam kajian 

sejarah atau autentisitas Hadis. Usaha meragukan Hadis yang dilakukan orientalis 

diketahui berawal era pertengahan abad ke-19 M., saat kejayaan kolonialisme 

Eropa. Alois Sprenger dicap sebagai orientalis pertama yang mempersoalkan 

status Hadis denganya menyatakan bahwa Hadis tidaklah hanya sekedar 

kumpulan cerita bohong namun menarik atau yang dikenal sebagai anekdot. 

Orientalis selanjutnya pun muncul dengan nama Ignaz Goldziher yang menyatakan 

bahwa Hadis tidak lebih yaitu  produk atas refleksi interaksi dan konflik pelbagai 

aliran sehingga bukan dikategorikan sebagai dokumen awal dalam sejarah 

perkembangan Islam. Joseph Schacht asal Jerman pun kemudian hadir dengan 

menyatakan bahwa tidak ada Hadis yang benar-benar murni berasal dari Nabi, dan 

jika dipaksakan ada dengan bukti yang ada maka jumlahnya pun hanya sangat 

sedikit. Sikap mereka dengan status orientalis ini  hanyalah mewujudkan misi melemahkan dan menyebarkan sikap keraguan terhadap sumber ajaran Islam 

setelah al-Quran, yakni Hadis.

Setidaknya ada tiga teori skeptisisme yang dicanangkan oleh orientalis 

terkait kajiannya terhadap Hadis yaitu projecting back, common link dan 

argumentum e silentio yang sering disandarkan kepada orientalis Joseph 

Schacht. Schacht menyimpulkan bahwa hukum Islam yaitu  produk atas 

fenomena sejarah yang erat hubungannya dengan fakta sosial sehingga Al-Qur’an 

dan Hadis bukan seperangkat norma yang diwahyukan.28 Pendapat Schacht 

kemudian dikembangkan oleh golongan orientalias revisionis dengan keteguhan 

keyakinan bahwa umat Islam tidak memiliki formulasi hukum yang memiliki 

standar seperti yang diklaim terdapat dalam al-Qur’an dan Hadis. Selain ketiga 

teori skeptis di atas, ada istilah redaction theory yang makin menguatkan 

kecurigaan orientalis atas validitas al-Qur’an dan Hadis dengan mengatakan 

bahwa ulama Muslim bersekongkol dengan saling memberikan pengaruh antara 

karyanya didukung oleh kondisi sekitar sehingga di zamannya, Islam dikuatkan 

dengan munculnya reformis hukum yang disebut mujtahid.29

Bantahan terhadap skeptisisme yang dimunculkan oleh orientalis pun 

muncul dari kalangan sesama orientalis dan umat Muslim seperti Fuat Sezgin 

berargumen bahwa Ignaz tidak memahami kaidah transmisi riwayat hadis secara 

menyeluruh. Nabia Abbot menguatkan juga dengan mengatakan bahwa Sahabat 

Nabi telah menyimpan teks hadis yang terjaga dari masa Muhammad. Mushtafa 

Azami menjelaskan bahwa tradisi meriwayatkan hadis turun-temurun secara 

verbal telah menjadi budaya di kalangan bangsa Arab sehingga mata rantai 

periwayatan terjaga.30

D. Profil dan Pemikiran Michael CooK

1. Alur Kehidupannya

Michael Allan Cook lahir tahun 1940 M di Inggris dengan kebangsaan 

Inggris-Scotlandia. Ia merupakan tokoh sejarawan dengan pendidikannya di 

Cambridge tahun 1959 hingga 1963. 31 Sebagai lulusan Universitas Cambridge dengan keahliannya di bidang bahasa Persia dan Turki serta kerap fokus dalam 

kajian sejarah Eropa dan Inggris maka Cook masyhur dengan kegemarannya 

mengadakan penelitian ilmiah. Diketahui bahwa kajian ilmiahnya yang pertama 

yaitu  perihal sejarah populasi kerajaan Utsmani di abad XV-XVI M ketika aktif 

mengajar di Universitas London hingga tahun 1986.

Studi Pascasarjana Cook lanjut di School of Oriental and African Studies 

(SOAS), Universitas London pada tahun 1963-1966 di bawah bimbingan Prof. 

Bernard Lewis, di mana ia memulai penelitian tentang sejarah populasi kerajaan 

Utsmani di abad lima belas dan enam belas. Kemudian, ia menggunakan waktu 

beberapa tahun untuk menjadi dosen dan peneliti di bidang sejarah Islam di 

School of Oriental and African Studies, pada tahun 1966-1984 dan seorang 

pengkaji sejarah Timur Dekat dan Timur Tengah pada tahun 1984-1986, hingga di 

tahun 1986, ia dipilih oleh Cleveland E Dodge, seorang Profesor studi-studi Timur 

Dekat untuk menerima jabatan di Universitas Pricenton. 33

Secara umum, fokus penelitiannya bermuara pada kajian sejarah dan 

Bahasa Arab. Ia juga tercatat sebagai dosen Pascasarjana di Universitas Princeton 

dengan mata kuliah yang diampu perihal studi sejarah dengan materi populernya 

terkait sejarah dunia hingga ekspansi Eropa dan sejarah Islam di abad-abad awal.34

Cook senang mengajar teks-teks berbahasa Arab dan memberikan 

penjelasan kepada mahasiswa tentang metode mencari dan menemukan sumber￾sumber primer. Cook mengajar sejarah Islam di abad-abad awal. Itu sebabnya, 

dalam bukunya “Muhammad”, ia memaparkan metodologi serta kritik-kritiknya 

kepada sarjana-sarjana yang meneliti tentang Muhammad. Selama di Universitas 

Princeton ia membimbing banyak mahasiswa. Salah satu bimbingannya yaitu  

Michael Bonner, penulis disertasi tentang Garis Perbatasan Bizantium-Arab di 

zaman Abbasiyah awal. Keith Lewinstein menulis disertasi tentang analisa 

terhadap pembentukan dan transmisi literatur hiresiografi Islam di masa awal. 

Selain itu ada Jon Katz yang mengkaji buku harian berisi mimpi-mimpi seorang sufi 

Afrika Utara yang eksentrik di akhir abad pertengahan. Yitzhak Nakash meneliti 

interaksi Syi’isme dan identitas nasional di Irak modern. Nurit Tsafrir menulis 

tentang penyebaran awal aliran fikih Hanafi.Terbitan karyanya diketahui sebagai berikut36:

Tahun 1972: Population Pressure in Rural Anatolia 1450-1600;

Tahun 1980: The Origins of Kalam yang dimuat dalam Bulletin of School of 

Oriental and African Studies;

Tahun 1981: Early Muslim Dogma: A Source Criticak Study;

Tahun 1983: Pharaonic History in Medieval Egypt dimuat dalam Studia 

Islamica;

Tahun 1984: Magian Cheese: An Archaic Problem in Islamic Law dalam 

Bulletin of The School of Oriental and African Studies;

Tahun 1989: The Expansion of the First Saudi State: The Case of Wahm 

dalam CE Bosworth and Others (eds.), The Islamic World from Classical to The 

Modern Times: Essays in Honor of Bernard Lewis, Princeton;

Tahun 1992: Eschatology and the Dating of Traditions;

Tahun 1999: Ibn Qutayba and the Monkeys dalam Studia Islamica; dan

Tahun 2000: Commanding Right and Forbidding Wrong in Islamic Thought 

dan The Koran.

Penghargaan yang pernah diraih Cook antara lain: 37

Tahun 2001: Cook terpilih sebagai anggota dari American Philosophical 

Society;

Tahun 2002, Cook mendapatkan Distinguished Achievement Award 

bernilai 1,5 juta dollar dari Mellon Foundation atas kontribusi penelitiannya dalam 

bidang kemanusiaan;

Tahun 2004, Cook terpilih sebagai anggota dari American Academy of Arts 

and Sciences;

Tahun 2006, Cook memenangkan Howard T.Behrman Award untuk 

penghargaan dalam bidang kemanusiaan di Princenton;

Tahun 2008, Cook mendapatkan Farabi Award dalam bidang Studi Islam 

dan Kemanusiaan.

Tahun 2013, Cook mendapatkan gelar doktor kehormatan dari Universitas 

Leiden. 

2. Awal Debut Kajian Hadis oleh Michael Cook

Kajiannya terhadap Hadis bermula saat Cook menuliskan sebuah artikel 

berjudul The Opponents of the Writing of Tradition in Early Islam di Jurnal Arabica 

XLIV tahun 1997. Artikel yang mendeskripsikan perihal polemik yang terjadi akibat pergeseran tradisi oral menjadi tertulis dalam periwayatan hadis ini  

dituliskan berdasarkan atas penelitiannya selama lima belas tahun belakangan 

atau sejak tahun 1980. Setidaknya, artikelnya bersumber dari 13 referensi kitab 

ulama Islam klasik seperti (a) Thabaqat Ibn Sa’d- w. 230-, (b) Kitab al-‘Ilm karya 

Abu Khaitsamah -w. 234-; (c) al-‘Ilal Ibn Hanbal -w. 241-, (d) Sunan ad-Darimi -w. 

255-, (e) Ma’rifah wa Tarikh karya al-Fasawi -w. 277-, (f) Tarikh Abu Zur’ah ad￾Dimasyqi -w. 281-, (g) Muhaddits al-Fashil ar-Ramahurmuzi -w. 360-, (h) Taqyid al￾Ilm karya alKhathib al-Baghdadi -w. 463-, (h) Jami’ Bayan al-‘Ilm karya Ibn ‘Abd 

alBarr -w. 463-, (i) Mushannaf karya Ibn Abi Syaibah, (j) Tarikh Baghdad karya al￾Khathib al-Baghdadi, (k) Tarikh Madinat Dimasyq Ibn Asakir, (l) Siyar A’lam an￾Nubala, dan (m) Tarikh al-Islam karya adz-Dzahabi.

38

Michael Cook mengatakan dalam Early Muslim Dogma, munculnya 

fenomena common link yaitu  akibat dari proses penyebaran isnād dalam skala 

besar. Fenomena common link tidak menunjukkan bahwa sebuah hadis benar￾benar bersumber dari seorang periwayat kunci. Oleh sebab  itu, metode common 

link yang dikembangkan oleh Juynboll tidak dapat dipakai untuk menelusuri asal￾usul, sumber, dan kepengarangan hadis pada masa awal Islam.39

Akan tetapi, Cook bukanlah orientalis pertama yang mengurai hal akan 

resistensi terhadap penulisan hadis sebab  pendahulunya bernama Arnold 

Sprenger pun telah menerbitkan dua kajian di dua kanal jurnal yang berbeda, yakni 

artikel berjudul On the Origin and Progress of Writing Down Historical Facts among 

the Musulmans pada Journal of the Asiatic Society of Bengal tahun 1856; dan di 

tahun yang sama pula terbit artikel kedua berjudul Ueber das Traditionswessen bei 

den Arabern dalam Zaitschrift der Deutschen Morgerlandischen Gesellschaft.

40

Cook hanya menguraikan sejarah atau asal-usul terjadinya konflik polemik 

terhadap penulisan hadis tanpa memaparkan kronologi penulisan hadis. Hal 

demikian dilakukannya sebab  ia termasuk sejarawan sehingga hanya 

mendeskripisikan individu maupun kelompok yang terlibat dalam polemik 

penulisan hadis dari berbagai sumber. Akan tetapi, ia berani menukil hadis-hadis 

yang menurutnya mengandung unsur kontroversi atau terkait hadis yang 

diasumsikannya sebagai pendukung ketika mematahkan pendapat bagi kelompok 

yang mengakui adanya awal penulis hadis.Pemikirannya

a. Pemetaan Kerancuan Penulisan Hadis dan Al-Qur’an

Cook merupakan sejarahwan yang memetakan polemik terkait penulisan 

Hadis dan al-Qur’an kepada dua fase. Fase pertama yakni Basrah; sedangkan 

kedua yaitu  fase Kufah, Madinah, Makkah, Yaman dan Syria. 

Fase Basrah

Di awal tulisannya, ia menguraikan perihal tokoh yang tidak menuliskan 

hadis di Basrah pada Abad II Hijriah. Selanjutnya mendeskripsikan tokoh Ibn Sirin 

–w. 110 H, Ibn ‘Aun -w. 151- dan Ayyub as-Sakhtiyani -w. 132-. Kemudian ia 

menukil dua hadis atau asar yang kita dapatkan di kitab Taqyid al-‘Ilm karya al￾Bagdadi sebagai berikut:

.

Abu al-Hasan ‘Ali ibn ‘Abd al-Wahhab ibn Ahmad as-Sakari mengabarkan kepada kami 

bahwa Abu ‘Amr Muhammad ibn al-‘Abbas al-Khazzaz mengatakan kepada kami bahwa Ja‘far ibn 

Ahmad al-Maruzi mengabarkan kepada kami bahwa Isma‘il ibn Muhammad ibn Isma‘il ibn Yahya 

ibn Hammad maula al-Fadl ibn al-‘Abbas ibn ‘Abd al-Muttalib yang ada di Kufah mengatakan 

kepada kami bahwa Ibn Fudail mengatakan kepada kami dari Husain ibn ‘Abd ar-Rahman, dari 

Murrah, ia berkata: “Ketika kami sedang bersama ‘Abdullah (ibn Mas‘ud) maka Ibn Qurrah datang 

membawa sebuah buku sembari mengatakan: ‘aku menemukannya di Syam dan ia membuatku 

terpukau, oleh sebab  aku membawakannya kepadamu.’ Murrah berkata: ‘Abdullah pun 

memeriksanya dan berkata –Sungguh celaka lah bagi sebelummu –yang memberikan buku ini￾sebab  mengikuti kitab ini bahkan mewariskannya kepada yang lain’. Murrah pun berkata: 

‘Abdullah menyiram buku itu sehingga tulisan yang didalamnya terhapus.

Abu al-Fadl al-Fizari mengabarkan kepadaku bahwa ‘Abd ar-Rahman ibn ‘Umar 

mengabarkan kepada kami bahwa Muhammad ibn Ahmad ibn Ya‘qub bercerita kepada kami 

bahwa kakekku bercerita kepada kami bahwa Yazid ibn Harun mengabarkan kepada kami bahwa 

al-‘Awwam ibn Hausyab mengabarkan kepada kami dari Ibrahim at-Taimi, ia berkata: Bahwa telah 

sampai kabar kepada Ibn Mas‘ud tentang sebuah buku yang dipedomi sekelompok orang, 

kemudian mereka menunjukkan kepadanya dan ia pun menghapusnya ketika mereka 

membawakan buku itu kepada nya sembari berkata: ‘ Celaka la bagi yang memiliki kitab ini 

sebelum kalian sebab  mereka mendapatkan itu dari cendikiawan dan uskup mereka dengan 

meninggalkan kitab Tuhan mereka; redaksi lain mengatakan: ‘Mereka meninggalkan Taurah dan 

Injil -yang asli- kemudian mempelajarinya dan menghapuskan kebenaran hukum yang ada di 

keduanya.”.

Cook berpendapat bahwa masyarakat Basrah mayoritas menolak 

penulisan terhadap hadis. Pendapatnya ia kaitkan dengan sabda Rasul yang 

beredaksi: “Janganlah kalian menulis dariku selain al-Qur’an…”. Akan tetapi, Cook 

juga berpendapat bahwa justru orang Basrah-lah yang dominan melakukan 

propoganda penulisan hadis sehingga awalnya hadis diciptakan di Basrah. Cook 

menciderai profil Abu Sa‘id al-Khudri dengan menyatakan bahwa al-Khudri banyak 

berperan dalam “penciptaan” hadis sebab  banyak memilki otoritas 

periwayatannya sendiri dengan berkampanye kepada murid-muridnya tidak boleh 

menuliskan hadis. Profil Ibn ‘Umar, Zaid bin S|abit, Ibn ‘Abbas dan Abu Hurairah 

pun tidak lepas dari tuduhan Cook sebagai pelopor pencipta Hadis.45

Polemik perbedaan pandangan tentang redaksi hadis yang mengklaim 

pelarangan menulis hadis pun terjadi di kalangan cendikia muslim. Tidak sedikit 

yang berasumsi bahwa redaksi hadis ini  bukan berasal dari Nabi Muhammad 

melainkan hanya pendapat dari al-Khudri seperti yang disampaikan oleh 

Mushthafa al-Azami dengan menyandarkan argumennya kepada Imam al-Bukhari 

bahwa beliau juga mengemukakan statement larangan menulis hadis sejatinya 

berasal dari Abu Sa’id sendiri, yang lantas disandarkan secara salah kepada Nabi 

Saw. Namun, pendapat yang menengahi polemik ini  yaitu  argumen yang 

menyatakan bahwa hakikat dari redaksi hadis tentang larangan penulisan hadis 

yaitu  larangan menuliskan hadis secara bersamaan dengan al-Qur’an pada 

lembaran yang sama untuk menghindari kekeliruan kata yang ditulis di pinggir 

ataupun baris al-Qur’an.Abu Hurairah menjelaskan bahwa bedanya dirinya dengan ‘Abdullah ibn 

‘Amr ibn al-‘ As yaitu  profil Abdullah sebagai ahli menulis sedangkan ia (Abu 

Hurairah) tidak pandai menulis. Tidak ada pernyataan bahwa Abu Hurairah 

membenci atau melarang penulisan hadis, begitupun dari Ibn ‘Abbas sebab  ada 

riwayat menyatakan bahwa tulisan dapat mengikat ilmu pengetahuan. 

Riwayat ini  dapat kita temukan sekitar 6 riwayat dalam kitab Taqyid 

al-‘Ilm karya al-Bagdadi pada judul zikr ar-riwayah ‘an Abi Hurairah anna ‘Abdallah 

ibn ‘Amr kana yaktub al-Hadis ‘an Rasulillah (Penyebutan riwayat dari Abu 

Hurairah bahwa ‘Abdullah ibn ‘Amr menuliskan hadis dari Rasulullah), salah 

satunya yaitu  sebagaimana berikut:


“Abu al-Hasan Muhammad ibn Ahmad ibn Razqawih mengabarkan kepada kami bahwa ‘Usman ibn 

Ahmad ibn ‘Abdillah ad-Daqqaq mengabarkan bahwa Hanbal ibn Ishaq berkata kepada kami bahwa 

Ahmad ibn ‘Abd al-Malik ibn Waqid al-Hirrani berkata kepada kami bahwa Abu ‘Abdillah bertanya 

kepadanya dan ia pun menceritakannya dengan berkata bahwa Muhammad ibn Salmah bercerita 

kepada kami tentang Muhammad ibn Ishaq dari ‘Amr ibn Syu‘aib dari Mujahid dan al-Mugirah ibn 

Hakim, keduanya berkata: kami mendengar Abu Hurairah berkata bahwa tidak ada seorangpun 

yang lebih mengetahui akan hadis Rasulullah selain aku kecuali yang berasal dari ‘Abdullah ibn 

‘Amr sebab  ia ahli dalam menulis dengan tangannya sendiri lalu memahaminya dengan hatinya. 

Sedangkan aku memahami dengan hatiku namun aku tidak pandai menulis. ‘Abdullah telah 

meminta izin kepada Rasulullah untuk mendokumentasikan segala ilmu dalam bentuk tulisan di 

buku maka Rasul pun mengizinkannya.”

Fase Kufah, Madinah, Makkah, Yaman dan Syria

Cook mengatakan dalam fase ini yang menjadi pelopor utama pencipta 

Hadis yaitu  ‘Abdullah ibn Mas‘ud di Kufah. Sedangkan periwayat yang 

menentang penulisan hadis dari Kufah antara lain: (a) Jarir ibn Abd al-Hamid (w.

188), yang ditanya apakah Manshur ibn al-Mu’tamir tidak setuju dengan penulisan 

hadis? Maka ia menjawab bahwa ia tidak setuju; (b) Laits ibn Abi Sulaim (w. 143) 

yang disebutkan bahwa ia tidak menyukai penulisan hadis di kertas-kertas; (c) Ibn 

Sa’d mengatakan bahwa Fithr ibn Khalifah (w. 153) tidak mengijinkan seorang pun

untuk menulis dalam kelas-kelasnya; dan (d) riwayat tentang Ubaidah (riwayat lain 

menyebut Abidah) yang tidak mengijikan menulis hadis. 

Apabila kita analisis kitab al-Bagdadi berjudul Tqayid al-‘ilm maka akan 

didapatkan sub judul man nadima ‘ala mahw al-hadis (mereka yang menyesal 

menghapus hadis). Hal ini  mengemukakan kepada kita bahwa kemudian 

larangan penulisan hadis telah dicabut alias membuktikan pada hadis pada masa 

Rasulullah telah dituliskan oleh beberapa ahli. Dalam kitab al-Bagdadi dituliskan 

bahwa Mansur ibn al-Mu‘tamar dahulunya menentang/membenci menuliskan hal 

kebenaran akan ilmu namun kemudian ia menyesalinya. Redaksi akan hal ini  

yaitu  berikut: untuk mendukung argumennya, sebagaimana berikut:

5

 .

Dalam wilayah Madinah, maka Cook menciderai profil Muhammad ibn 

Syihab az-Zuhri -w. 124- sebagai pelopor pembukuan hadis dengan menyatakan 

bahwa ia bukan penulis Hadis. Mengutip pendapay Fasawi dalam kitab Ma‘rifah 

wa Tarikh, Cook mengatakan andai pun Zuhri tetap diakui sebagai penulis hadis 

maka Zuhri sebenarnya hanya menuliskan beberapa hadis tertentu berkaitan 

dengan genealogi sukunya sahaja. Akan tetapi, data lain mengakui bahwa Zuhri 

yaitu  pelopor pertama dalam pembukuan Hadis dengan seleksi yang ketat dan 

penuh kehati-hatian sehingga ketika wafat pun ia diketahui berada dekat 

disamping sejumlah bahan tertulis. 

Perlu kita ketahui bahwa Zuhri sebenarnya bukan orang pertama yang 

menuliskan hadis sebagaimana opini dan asumsi yang mayoriyas diakui orientalis. 

Hakikat dari pernyataan Imam Malik (93-179 H): awwalu man dawwana al-‘ilm Ibn 

Syihab az-Zuhri yaitu  Zuhri yaitu  pelopor pertama yang membukukan hadis 

bukan menuliskan. Hal demikian disampaikan oleh Mushtafa ‘Azami. Polemik 

perbedaan pemahaman ini terkait mis-interpretasi akan diksi kitabah, tadwin dan 

tashif.52

Cook berpendapat ulama abad ketiga Hijriah yaitu  penengah konflik 

polemik penulisan hadis yang terjadi antara ulama abad sebelumnya. Sebagai 

bentuk toleransi atau sikap moderat menengahi pendapat terdahulu maka 

mereka meyatakan bahwa penulisan hadis terdahulu tidak diizinkan untuk

disebarluaskan sebagaimana al-Quran sehingga hanya bersifat koleksi pribadi bagi 

sebagian ahli tulis. 

Sejatinya, ada larangan untuk menuliskan hadis pada fase awal turunnya 

al-Qur’an yang berasal sandarannya dari Nabi Muhammad akibat kekhawatiran 

beliau akan bercampurnya ayat al-Qur’an dengan tulisan lainnya. Namun, ketika 

sebagian Sahabat dinilai mampu membedakan gaya bahasa al-Qur’an disertai 

berkurangnya kebutahurufan di kalangan mereka maka Rasulullah berpendapat 

bahwa perlu dilakukannya penulisan pengetahuan lainnya di luar al-Qur’an. 

Ahli Hadis secara mayoritas tidak mengacuhkan pada keberatan 

pandangan sebagian orang tentang larangan penulisan hadis yang berpedoman 

bahwa argumen bahwa periwayatan dengan lisan lebih unggul dibandingkan 

dengan tulisan karana Sahabat banyak menolak menuliskan selain al-Qur’an dan 

penulisan hadis yaitu  buah paksaan dari penguasa Umayyah. Selain itu, mereka 

mengatakan bahwa penulisan hadis yaitu  dispensasi atau pengecualian bagi 

mereka tidak memiliki daya ingat hafalan yang kuat. 

2. Teori The Spread of Isnad

Teori ini merupakan tanggapan Cook terhadap teori Common Link. Namun 

teori the Spread of Isnad tidak didefinisikan secara jelas atau eskplisit oleh Cook 

sehingga banyak artikel mendeskripsikan arti teori ini secara implisit yaitu sebuah 

teori yang menyatakan bahwa sistem periwayatan hadis setidaknya terjadi dalam 

tiga skenario dan seluruh jalur dengan skenario ini  diduga palsu. Termasuk 

di dalamnya fenomena Common Link.

Teori The Spread of Isnad yaitu  upaya Cook mengkritik bahkan 

mengembangkan teori Common Link karya Joseph Schacht dan pengukuhan yang 

dilakukan oleh Josef van Ess. Teori Cook menyatakan bahwa para periwayat hadis 

terbiasa menciptakan ragam isnad tambahan sebagai penguat bagi matan hadis 

yang sama. Fenomena Common Link diakui oleh Cook tidak dapat memperlihatkan 

bahwa hadis ini  berasal dari seorang periwayat kunci. Oleh sebab  itu, teori 

Common Link yang telah dikembangkan baik oleh Schacht maupun oleh Juynboll 

dianggap tidak mampu menelurusuri asal-usul, sumber, dan kepengarangan 

(authorship) dari sebuah hadis.

Cook kemudian mengembangkan formula penyebaran isnad. Hasil dari 

pengembangan Cook ini menghasilkan Teori The Spread of Isnad atau Teori 

Penyebaran Isnad. Bagi Cook, proses penyebaran isnad minimal terjadi dalam tiga 

skenario: Pertama, melompati periwayat yang sezaman. Pada proses ini, Cook 

memberikan analogi sebagai berikut: “Misalnya saya dan kamu yaitu  orang yang 

baru muncul belakangan. Lalu saya belajar sesuatu hal dari kamu. Lalu kamu 

sendiri mendapatkan hal ini  dari gurumu. Jika saya berusaha untuk jujur, 

maka saya akan mengatakan: ‘saya mendapatkan ilmu ini dari kamu, dan kamu 

dari gurumu.’. “Akan tetapi terkadang meskipun saya tidak mendapatkan langsung 

dari gurumu, saya malah mengatakan bahwa saya mendapatkan dari gurumu. Hal 

ini sebab  saya meyakini bahwa dalam sistem isnad, jalur isnad yang terpendeklah 

yang lebih bagus daripada yang panjang.

Sehingga diagram the spread of Isnad tergambarkan seolah ada dua jalur 

seperti ini:


Kedua, menyandarkan hadis pada seorang guru yang berbeda. Pada 

skenario kedua ini, Cook meyakini penyebaran isnad mulai terjadi. Cook kembali 

mengilustrasikan dengan redaksi sebagai berikut: “Kamu meriwayatkan hadis dari 

gurumu. Lalu saya tertarik dengan hadis ini  dan ingin meriwayatkannya 

tanpa terkait dengan keberadaan kamu. Namun bukannya meriwayatkan dengan 

mengaku telah menerima dari gurumu, saya malah mengaku mendapat hadis dari 

guru saya. Hal ini bisa saja sebab  saya belum pernah bertemu dengan guru kamu 

(makanya saya lebih memilih menyebut guru saya sebab  jelas saya bertemu 

dengan guru saya), atau sebab  bagi saya gurumu tidak layak masuk dalam jalur 

isnad, atau sebab  ada pertimbangan politik.” . 

Hasil dari tindakan ini  berakibat pada bercabangnya jalur isnad 

sebagai berikut:

Ketiga, mengatasi persoalan hadis-hadis yang “terisolasi”. Skenario yang 

ketiga ini diakui oleh Cook merupakan fenomena yang ditemukan dan dianggap

oleh Schacht sebagai penyebab berkembangnya isnad. Cook meyakini bahwa 

penyebaran isnad ini dilakukan untuk mengatasi keberatan-keberatan yang 

diajukan ahli hadis pada masa periwayat ini  atas hadis-hadis yang 

menyendiri (infirad). Hadis-hadis yang menyendiri ini (khabar al-wahid, khabar al￾infirad) tidak dapat diterima sebagai hadis otentik sebab  sebuah hadis dapat 

diterima jika diriwayatkan sekurangkurangnya oleh dua orang saksi yang 

terpercaya. Dari penelitian ini ditemukan bahwa yang dimaksud dengan hadis 

yang “terisolasi” yaitu  hadis-hadis yang infirad atau single strand. Bagi Cook, 

awalnya hadis-hadis ini berjalur tunggal, namun sebab  ahli-ahli hadis atau si 

terduga pemalsu membutuhkan legalitas yang kuat atas hadisnya lalu si terduga 

pemalsu ini menambahkan jalur-jalur yang lain sehingga menambah jalur yang 

sudah ada. 60

Cook membawa cara pandang yang berbeda terhadap fenomena Common 

Link yang dituangkan dalam kritik-kritik Cook terhadap teori Schachtian. Bagi Cook 

ada dua poin penting mengenai Common Link. Pertama, Common Link tidak bisa 

selalu dijustifikasi sebagai pemalsu hadits. sebab  terkadang Common Link sendiri 

yaitu  hasil rekayasa dari periwayat yang lain. Kedua, Common Link tidak bisa 

dijadikan sebagai dasar penanggalan hadits. Oleh sebab  itu, pandangan Cook 

meruntuhkan teori Common Link. Cook memahami fenomena Common Link 

dengan Teori Spread of Isnad. Meskipun Cook sangat skeptis dengan otentisitas 

sistem periwayatan, namun lewat penelitian ini menunjukan bahwa Cook masih 

membuka peluang terhadap adanya periwayatan yang genuine. Bagi Cook proses 

“penyebaran isnad” lah yang bertanggung jawab atas pemalsuan. Sedangkan 

proses “berkembang”nya isnad secara natural (the raising of isnad) masih 

menyimpan kemungkinan periwayatan yang otentik asalkan didukung dengan 

data historis yang valid. Solusi yang ditawarkan oleh Cook dalam memahami 

fenomena Common Link dan mencari penanggalan hadits yaitu  dengan mencari 

“data eksternal” (external criteria) berupa data historis “makro”. Untuk bisa 

menemukan data eksternal ini, seorang observer harus membuka cara pandang 

makro dan cakupan yang luas atas konteks hadits yang diteliti.



Penelitian bersifat kualitatif dengan metode kajian pustaka ini mengkaji tentang profil 

orientalis bernama Michael Cook sebagai pengembang metode para revisionis Barat 

dengan ciptaan metodenya sendiri yang masyhur dikenal dengan istilah The Spread of 

Isnad. Misi awal orientalis berfokus pada penyebaran misionaris liberalisme di bawah 

kolonialisme dengan metode akademik intelektual seperti kajian filologi, manuskrip dan 

bahasa ketika mengkaji al-Qur’an dan Hadis. Hasil kajian orientalis tentunya mayoritas 

berkarakter skeptis bahkan melemahkan ajaran Islam. Orientalis sebagian besar 

menyatakan bahwa Muhammad yaitu  pengadopsi setidaknya dua ajaran terdahulu 

yakni Yahudi dan Nasrani sehingga banyak kemiripan yang tercantum pada dua 

produknya. Polemik perbedaan antara sesama orientalis juga tidak dapat dihindari. 

Kenyataannya, tidak semua orientalis bermuara pada kesepakatan menyimpulkan al￾Qur’an dan Hadis sebagai produk palsu yang menjadi pendukung ajaran Islam. M. Cook 

hadir dengan karakter neo-skeptisisme yaitu upaya meragukan hadis Nabi melalaui 

percobaan mengembangkan ide teori pendahulunya seperti Schacht.