Tampilkan postingan dengan label Kitab kuning 4. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kitab kuning 4. Tampilkan semua postingan

Kitab kuning 4

 


Salah satu lembaga pendidikan Islam yang hadir dan 

kemudian berkembang di negara kita  yaitu   madrasah. Di awal-

awal kehadirannya, madrasah sangat identik dengan kajian 

ilmu-ilmu agama yang menjadikan kitab kuning sebagai bahan 

kajaian dan rujukan pembelajaran. sebab nya, dalam dinamika 

pendidikan Islam di negara kita , kitab kuning bukan hanya milik 

pesantren akan tetapi sudah berkembang di lembaga-lembaga 

pendidikan lainnya, khususnya di madrasah. Namun, yang 

sering menjadi masalah yaitu   bahwa hingga saat ini tradisi 

kitab kuning seolah dipersepsi masih melulu sebagai bagian 

dari pesantren sematas, sehingga perhatian untuk meneliti 

dan mengkaji bagaimana eksistensi tradisi kitab kuning di 

madrasah masih sangat minim, padahal sesungguhnya baik 

secara historis maupun dalam perkembangannya sekarang 

madrasah juga sangat berperan dalam pengembangan ilmu 

agama dengan menjadikan kitab kuning sebagai bahan kajian 

dan refrensi pembelajaran. sebab nya, yang menjadi pokok 

pembahasan dalam tulisan ini yaitu   untuk mengetahui 

bagaimana eksistensi tradisi kitab kuning pada madrasah-

madrasah yang ada di negara kita . Pada madrasah-madrasah 

yang ada di negara kita , selain mengajarkan ilmu-ilmu ‘aqliyah, 

lisâniyah, juga memberikan perhatian yang besar terhadap 

pengajaran ilmu-ilmu naqliyah, yakni ilmu-ilmu yang 

bersumber dari Alquran dan al-Hadis seperti; Tafsîr, Hadîṡ, 

Fiqih, Tauhîd, taṣawuf dan sebagainya, yang dikenal sebagai 

ilmu yang tertuang dalam kitab-kitab kuning. Sampai pada tahun 

1930, mata pelajaran yang diajarkan di madrasah-madrasah 

yaitu   semata-mata pelajaran agama, kemudian sebagian 

madrasah mulai 1930-an memasukkan mata pelajaran umum. 

Kendatipun mata pelajaran umum telah dimasukkan, namun 

tekanan madrasah yaitu   tetap mata pelajaran agama dengan 

tujuan untuk menciptakan manusia-manusia yang ahli dalam 

ilmu agama. Tradisi pembelajaran kitab kuning belakangan 

semakin berkembang di madrasah dengan adanya pengakuan 

Pemerintah tentang eksistensi Madrasah Aliyah Keagamaan 

(MAK) sebagai suatu lembaga pendidikan menengah yang 

mengutamakan penguasaan pengetahuan khusus siswa tentang 

ajaran agama. 


ةصلاخ

 ةسردملا  ةيمالسإلا  يه  ىدحإ  تاسسؤملا  ةيميلعتلا  ةيمالسإلا  ةدوجوملا  يف

 ايسينودنإ  يتلاو  روطتت  دعب  .كلذ  يف  مايألا  ىلوألا  ،اهدوجول  تناك  سرادملا

 ةدام رفصألا باتكلا نم تلعج يتلا ةينيدلا مولعلا ةساردل ًادج ةفدارم ةينيدلا

 ال ،ايسينودنإ يف يمالسإلا ميلعتلا تايمانيد يف ،كلذل .ملعتلل ًاعجرمو ةيسارد

 ،ىرخأ ةيميلعت تاسسؤم يف روطت لب ،بسحف دهعم ىلإ رفصألا باتكلا يمتني

 ةصاخ  يف  سرادملا  .ةينيدلا  عمو  ،كلذ  نإف  ام  حبصي  ةلكشم  يف  ريثك  نم

 هيلإ رظُني لازي ال جنينوك باتك ديلقت نأ ول امك ودبي نآلا ىتح هنأ وه نايحألا

 دوجو نأ فيك ةساردو ثحبلاب مامتهالا متي كلذل ،طقف دهعم نم ءزج هنأ ىلع

 نم مغرلا ىلع ،ةياغلل ليئض .ًامئاق لازي ال ةينيدلا سرادملا يف »باتكلا« ديلقت

 لالخ نم ةينيدلا ةفرعملا ريوطت يف ًامهم ًارود اًضيأ بعلت ةينيدلا سرادملا نأ

 ةيحانلا نم ءاوس ،عقاولا يف ًايميلعت ًاعجرمو ةيسارد ةدام رفصألا باتكلا لعج

 يف وأ ةيخيراتلا  عوضوم نإف ،كلذل .ةيلاحلا تاروطتلا  هذه يف ةشقانملا  ةقرولا

 .ايسينودنإ يف ةينيدلا سرادملا يف رفصألا باتكلا ديلقت دوجو ةيفيك ةفرعم وه

 يف  سرادملا  ،ةيسينودنإلا  ةفاضإلاب  ىلإ  سيردت  مولع يلقعلا  ة�  ،ةيناسيلاو  نولوي

يلقنلا مولع سيردتل ًاريبك ًامامتها  ثيدحلاو نآرقلا نم تأشن يتلا مولعلا يأ ،ة�

 ةدراولا ةفرعملا يهو ،كلذ وحنو قيفوتلاو ديحوتلاو هقفلاو داهلاو ريسفتلا ؛لثم

 سرادملا يف اهسيردت متي يتلا داوملا تناك ،١٩٣٠ ماع ىتح .ءارفصلا بتكـلا يف

 ضحم ةينيدلا  ،ةينيد داوم  ضعب تنمضت مث  سرادملا  ًءادتبا  نم  تاينيثالثلا

 سرادملا طغض لازي ال ،ةماعلا تاعوضوملا جاردإ نم مغرلا ىلع .ةماع داوم

 ديلقت ىمانت .ةينيدلا ةفرعملا يف ءاربخ رشب قلخ فدهب ةينيد تاعوضوم ةينيدلا

 ملعت  باتكلا  رفصألا  ًارخؤم  يف  سرادملا  ةينيدلا  عم  فارتعا  ةموكحلا  دوجوب

 ةسردملا  ةينيدلا  ايلعلا  )ك.أ.م(  ةسسؤمك  ةيميلعت وناث  ةي  يطعت ولوألا  ةي  ناقتإل

.ةينيدلا ميلاعتلاب ةصاخلا ةفرعملل بالطلا

A. 

Di kalangan umat Islam negara kita , sejak awal, semangat 

mempelajari ilmu-ilmu agama berjalan dengan sangat kuat, ditandai 

dengan menjamurnya lembaga-lembaga pendidikan Islam baik 

formal seperti madrasah maupun non formal seperti majelis-majelis 

taklim. Pengkajian ilmu-ilmu agama di berbagai lembaga ini  

biasanya berjalan dengan menggunakan kitab-kitab karya ulama 

klasik sebagai sumber dan bahan kajian, yang kemudian lebih dikenal 

dengan istilah kitab kuning. Kaitan erat antara pengkajian ilmu-ilmu 

Tradisi Kitab Kuning Pada Madrasah...  

agama dengan kitab kuning telah membuat tradisi kitab kuning 

sedemikian familiar bagi umat Islam negara kita . Bahkan, salah satu 

tolok ukur ulama bagi umat yaitu   berkaitaan dengan kemampuan 

mengakses kitab-kitab kuning. Kaitan erat itu juga terlihat pada 

kondisi dimana selain menjadi pusat orientasi studi, kitab kuning 

telah menjadi sistem nilai yang membentuk dan mewarnai paham 

dan praktik keagamaan komunitas pesantren dan masyarakat muslim 

sekitarnya 

Sedemikian familiarnya, sehingga tradisi pembelajaran 

kitab kuning ini  tidak terbatas hanya pada lembaga-lembaga 

pendidikan formal seperti pesantren dan madrasah, tetapi tradisi itu 

juga hidup dan berkembang di lembaga-lembaga non formal, seperti 

pada majelis-majelis taklim atau kelompok-kelompok pengajian, 

baik yang dikelola oleh perseorangan maupun organisasi masyarakat. 

Untuk daerah-daerah pulau Jawa, tradisi pembelajaran kitab 

kuning itu identik dengan pesantren. Sebagai lembaga pendidikan 

tertua yang telah diakui kesuksesannya dalam penguasaan ilmu-

ilmu keagamaan ini , membuat pesantren tidak jarang diartikan 

sebagai lembaga tafaqquh fî al-dîn. Ciri khasnya sebagai tempat 

pendalaman pengetahuan agama Islam yaitu   sistem pengajaran 

tradisionalnya yang menggunakan tradisi pengajaran kitab kuning 

(kitab salaf). Dalam tradisi pembelajaran kitab kuning di pesantren, 

para santri biasanya diharuskan membaca kitab-kitab gundul yang 

ditulis tanpa huruf hidup. Itu sebabnya untuk dapat membacanya 

seorang murid harus dapat mengenali kata demi kata dan tata bahasa 

Arab (Dhofier, 1982). 

Selain di pesantren, tradisi pembelajaran kitab kuning itu 

juga hidup dan mentradisi di lingkungan madrasah, sebagaimana 

misalnya pada madrasah-madrasah milik Al Jam’iyatul Washliyah 

di Sumatera Utara. Pada madrasah-madrasah yang ada, khususnya 

di tingkat Aliyah diajarkan kitab-kitab klasik (kitab kuning) dalam 

bidang Tafsir, Fiqih, Uṣûl Fiqh, Qawâ’id Fiqh, Tasawuf, Tārikh 

dan lainnya, yang level kitabnya sejajar dengan kitab-kitab yang 

digunakan dalam kurikulum Universitas al Azhar-Mesir. sebab  

tingginya penguasaan kitab-kitab ini , bahkan hingga tahun 

1960-an, tamatan madrasah Ali Al-Jam’iyatul Washliyah sudah 

AL

layak untuk melanjutkan pendidikan pada tingkat Dirâsyah Ulyâ 

(Magister) di beberapa perguruan tinggi di Timur Tengah seperti 

Universitas al-Azhar di Mesir dan Universitas Islam Negeri (Jâmi`ah 

Islâmiyah al-Hukûmiyah) di Libya 

Demikianlah dalam dinamika umat Islam di negara kita , 

betapa tradisi pembelajaran kitab kuning yang sangat berperan 

melahirkan ulama-ulama menjadi sebuah tradisi yang melekat 

selain di pesantren juga di madrasah-madrasah. Meskipun tradisi 

pembelajaran kitab kuning pada madrasah masih kurang mendapat 

perhatian dari para peneliti dan pengkaji di negara kita . sebab nya 

tulisan ini mencoba melihat dan menganalisis bagaimana tradisi 

pembelajaran kitab kuning berjalan di madrasah-madrasah, sebagai 

sebuah Lembaga Pendidikan Islam yang juga sangat berperan beesar 

dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. 

B. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu   metode 

penelitian deskriptif-analisis dengan pendekatan kualitatif, dimana 

peneliti akan mendeskripsikan secara terang bagaimana tradisi 

pembelajaran kitab kuning di madrasah. Dalam penelitian ini, 

peneliti merupakan instrumen kunci, sebab penelitian kualitatif 

merupakan pendekatan yang menekankan pada hasil pengamatan 

peneliti, sehingga manusia sebagai instrumen penelitian menjadi 

suatu keharusan (Muhajir, 2003). Bahkan dalam penelitian 

kualitatif, posisi peneliti menjadi instrumen kunci/the key instrument 

C. Pengertian Kitab Kuning

Di lingkungan pesantren, kitab kuning merupakan istilah 

populer bagi kitab-kitab klasik (al-qutûb al-qadîmah) yang ditulis 

oleh ulama-ulama Islam pada zaman pertengahan. Bahkan, sebab  

tidak dilengkapi dengan sandangan (syakal), kitab kuning juga sering 

disebut oleh kalangan pesantren sebagi “kitab gundul”, dan sebab  

rentang waktu sejarah yang sangat jauh dari kemunculannya sekarang, 

tidak sedikit yang menjuluki kitab kuning ini sebagai “kitab kuno”. 

Tradisi Kitab Kuning Pada Madrasah...  

Masdar F. Mas’udi mengemukakan bahwa kitab kuning lazim 

dipakai untuk menunjuk karya-karya tulis (Arab) yang disusun para 

sarjana Islam abad pertengahan, dan sebab  itu sering disebut pula 

dengan kitab kuno. Menurutnya, pemberian sebutan kuning pada 

kitab kuning itu yaitu   sebab  memang kertas yang dipakai umumnya 

yaitu   kertas berwarna kuning atau putih, namun sebab  disebabkan 

dimakan usia sehingga warna itu pun berubah menjadi kuning 

(Rahardjo, 1985). Namun satu hal yang pasti bahwa kitab kuning 

mestilah buku-buku yang ditulis dalam berbahasa Arab, sebab dalam 

tradisi pesantren, yang disebut sebagai kitab itu hanyalah buku-buku 

yang berbahasa Arab saja, sedangkan yang berbahasa selain Arab 

disebut sebagai buku (Madjid, 1997). 

Namun demikian, Azyumardi Azra mengemukakan bahwa 

definisi kitab kuning yaitu   kitab-kitab keagamaan berbahasa Arab, 

Melayu atau Jawa atau bahasa-bahasa lokal lain di negara kita  dengan 

menggunakan aksara Arab yang selain ditulis oleh ulama di Timur 

Tengah juga ditulis oleh ulama negara kita  sendiri (Azra, 2001). 

Dengan demikian dapat dipahami bahwa kitab-kitab berbahasa Arab 

yang ditulis oleh ulama-ulama di organisasi Al Washliyah dapat 

dikategorikan sebagai kitab kuning. 

Secara umum kitab kuning dipahami oleh beberapa kalangan 

sebagai kitab refrensi keagamaan yang merupakan produk pemikiran 

para ulama pada masa lampau (as-salaf) yang ditulis dalam format 

yang khas. Sejalan dengan Azyumardi Azra di atas, dijelaskan 

bahwa sebelum abad ke-17-an M, secara lebih rinci kitab kuning 

didefenisikan dalam tiga pengertian. Pertama, kitab yang ditulis 

oleh ulama asing, tetapi secara turun temurun menjadi referensi yang 

dipedomani oleh para ulama negara kita . Kedua, ditulis oleh ulama 

negara kita  sebagai karya tulis yang independen. Ketiga, kitab yang 

ditulis oleh ulama negara kita  sebagai komentar atau terjemahan atas 

kitab karya ulama asing 

Menurut Nasuha, batasan penyebutan term kitab kuning 

mungkin mengacu kepada tahun karangan, ada yang membatasi 

dengan madzhab teologi, dan ada juga yang membatasi dengan 

istilah mu´tabarah dan sebagainya. Sebagian yang lain beranggapan 

bahwa pengistilahan itu disebabkan oleh warna kertas dari kitab-

A

kitab ini  berwarna kuning, meskipun argumen ini kurang tepat 

sebab pada saat ini kitab-kitab Islam klasik sudah banyak yang 

dicetak dengan mengguakan kertas putih yang umum dipakai di 

dunia percetakan 

Kitab-kitab kuning yang diajarkan di lembaga-lembaga 

pendidikan Islam khususnya pesantren dapat digolongkan ke dalam 

8 kelompok mata pelajaran, yaitu: 1. Naḥwu dan Ṣaraf; 2. Fiqh; 3. 

Uṣûl Fiqh; 4. Hadîs; 5. Tafsîr; 6. Tauhîd; 7. Taṣawuf dan Etika; 8. 

Cabang-cabang ilmu lain seperti Târikh dan Balâgah (Dhofier, 1982). 

Semua mata pelajaran ini  merujuk kepada kitab-kitab berbahasa 

Arab yang lazim disebut dengan kitab kuning (Nizar, 2013). Dari 

segi tingkatannya, pada umumnya, kitab-kitab kuning ini  

digolongkan menjadi tiga golongan yaitu kitab-kitab tingkatan dasar, 

tingkat menengah dan kitab-kitab besar (Daulay, 2007). 

Kitab kuning dan pesantren merupakan dua sisi (aspek) yang 

tidak bisa dipisahkan, dan tidak bisa saling meniadakan. Ibarat mata 

uang, antar satu sisi dengan sisi lainnya yang saling terkait erat 

(Maunah, 2009). Kitab kuning sebagai salah satu unsur mutlak dari 

pengajaran di pondok pesantren sedemikian penting dalam proses 

terbentuknya kecerdasan intelektual dan moralitas kesalehan pada 

diri santri. Oleh sebab  itu eksistensi kitab kuning dalam sebuah 

pondok pesantren menempati posisi yang urgen, sehingga dipandang 

sebagai salah satu unsur yang membentuk wujud pondok pesantren 

itu sendiri, di samping kyai, santri, masjid dan pondok. 

Pengertian yang umum beredar di kalangan pemerhati masalah 

pesantern yaitu   bahwa kitab kuning selalu dipandang sebagi kitab-

kitab keagamaan berbahasa Arab, atau berhuruf Arab, sebagai produk 

pemikiran ulama-ulama masa lampau (as-salaf) yang ditulis dengan 

format khas pra modern, sebelum abad ke-17-an M. Dalam rumusan 

yang lebih rinci, definisi kitab kuning yaitu   kitab-kitab yang ditulis 

oleh ulama-ulama asing, tetapi secara turun-temurun menjadi refrence 

yang dipedomani oleh para ulama negara kita  sebagi karya tulis yang 

independen, dan ditulis oleh ulama negara kita  sebagai komentar atau 

terjemahan atas kitab karya ulama asing (Wahid, 1999). 

Azyumardi Azra mengemukakan bahwa kitab kuning yaitu   

kitab-kitab keagamaan berbahasa Arab, Melayu atau Jawa atau 

Tradisi Kitab Kuning Pada Madrasah...  

bahasa-bahasa lokal lain di negara kita  dengan menggunakan aksara 

Arab yang selain ditulis oleh ulama di Timur Tengah juga ditulis 

oleh ulama negara kita  sendiri (Azra, 2001). 

Dari beberapa pendapat di atas, dapat ditarik suatu benang 

merah tentang definisi kitab kuning, yakni sebagai kitab-kitab 

yang mengandung nilai-nilai dan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan 

keagamaan Islam, ditulis dalam bahasa Arab atau Melayu, Jawa atau 

bahasa lainnya, dengan menggunakan aksara Arab baik itu ditulis 

oleh ulama Timur Tengah maupun ulama-ulama negara kita . Defenisi 

yang dikemukakan oleh Azyumardi Ara itu tampaknya mengandung 

cakupan makna yang lebih luas, sehingga definisi itu juga lah 

yang digunakan sebagai landasan berpikir dalam menggali dan 

menganalisis data dalam penelitian tentang resistansi tradisi kitab 

kuning pada madrasah Al Washliyah di Sumatera Utara ini. 

D. Sejarah Kitab Kuning

Tradisi kitab kuning di negara kita  berhubungan erat dengan 

upaya transmisi ilmu-ilmu agama kepada masyarakat muslim sejak 

awal abad ke-19. Proses transmisi pengetahuan agama kepada 

masyarakat pada saat itu dilakukan melalui sekolah-sekolah agama 

Islam dengan berbagai bentuknya (masjid, langgar, surau, pesantren) 

dengan menggunakan kitab kuning sebagai bahan pembelajaran 

(Huda, 2015). Pada awalnya transmisi pengetahuan agama di 

lembaga-lembaga pendidikan Islam ini  masih terbatas 

pada pengajian umum tentang tulis baca Alquran dan wawasan 

keagamaan. Bahkan sejak abad ke-16, pesantren telah memainkan 

peran pentingnya sebagai pusat pengkajian dan penyebaran ilmu-

ilmu keislaman selain masjid (Huda, 2015). 

Menurut Afandi Mochtar, bahwa sejauh bukti-bukti historis 

yang tersedia, sangatlah mungkin untuk mengatakan bahwa kitab 

kuning telah menjadi teks book, reference, dan kurikulum dalam 

pendidikan pesantren, seperti yang dikenal sekarang, baru dimulai 

pada abad ke-18 M. Bahkan, cukup realitas juga memperkirakan 

bahwa pengajaran kitab kuning secara misal dan permanen itu mulai 

terjadi pada pertengahan abab ke-19 M, ketika sejumlah ulama 

Nusantara, khususnya Jawa, kembali dari program belajarnya di 

Mekkah (Mochtar, 2008). 

Dalam tradisi pesantren, kepintaran dan kemahiran 

seorang santri diukur dari kemampuannya dalam membaca serta 

mensyarahkan (menjelaskan) isi kitab-kitab kuning, sementara 

untuk tahu membaca dan mensyarahkan kitab-kitab ini  

dengan benar, maka seorang santri juga diharuskan terlebih dahulu 

menguasai ilmu-ilmu bantu, seperti naḥwu, ṣaraf, balâghah, ma’âni, 

dan bayân. Sementara untuk lingkup yang lebih luas di masyarakat, 

bahwa kemampuan membaca dan mensyarahkan kitab-kitab kuning 

menjadi kriteria utama diterima atau tidaknya seseorang sebagai 

ulama atau kyai. sebab  sedemikian tingginya posisi kitab-kitab 

kuning ini , maka setiap pesantren selalu mengadakan pengajian 

kitab-kitab kuning 

Perkiraan di atas, tidak berarti bahwa kitab kuning sebagai 

produk intelektual, belum ada masa-masa awal perkembangan 

keilmuan di Nusantara. Sebab, sejarah mencatat bahwa sekurang-

kurangnya sejak abad ke-16 M, sejumlah kitab kuning, baik dengan 

menggunakan bahasa Arab, bahasa Melayu, maupun bahasa Jawi, 

sudah beredar dan dijadikan sebagai bahan informasi dan kajian 

mengenai Islam. Kenyataan ini menunjukan bahwa karakter dan 

corak keilmuan yang dicerminkan kitab kuning, betapapun juga, 

tidak bisa dilepaskan dari tradisi intelektual Islam Nusantara yang 

panjang, kira-kira sejak abad sebelum pembukuan kitab kuning di 

pesantren-pesantren 

Pembukuan kitab kuning di pesantren sangat berkaitan dengan 

tradisi intelektual Islam Nusantara kurun awal. Asal-usul dan 

perkembangan tradisi intelektual dan keilmuan Islam Nusantara 

sejauh ini telah mengandung perhatian sejumlah sarjana dan pengamat 

yang menekuninya, diantara mereka yaitu   Taufik Abdullah, 

Kuntowijoyo, Martin van Bruinessen, Abdurrahman Wahid, dan 

Azumardi Azra. Dalam berbagai karyanya, masing-masing intelektual 

itu memberikan analisis dan penilaian atas masalah ini. Walaupun 

berbeda rumusan sebab  perbedaan pendekatan yang digunakan, 

namun hasil kajian mereka memperlihatkan kecenderungan yang 

sama dalam mepertimbangkan dua faktor penting, yaitu: kontak 


114

ulama Nusantara dengan ulama Timur Tengah sebagai bagian dari 

proses internasionalisasi Islam, integrasi ketegangan budaya Islam 

dengan budaya lokal sebagi konsekuensi logis dari proses Islamisasi 

Nusantara. Kedua faktor ini berperan dalam membentuk dan 

mewarnai corak keilmuan Islam Nusantara seperti tercermin dalam 

tradisi pendidikan pesantren, khususnya di Jawa (Mochtar, 2008). 

Sejarah mencatat bahwa para pembuat kitab kuning atau turast 

dalam memainkan perannya di panggung pergulatan pemikiran 

Islam tidak pernah sepi dari polemik dan hal-hal berbau kontradiktif. 

Sengitnya perdebatan antara Mu’tazilah, Murji’ah, Rafiḍah dan Ahlu 

al Sunnah yang direkam secara rinci oleh Abdul Qâdir Ibn Thârir 

Ibn Muḥammad Al-Baghdâdi dalam karyanya al-farqu baina al-

firâq. Dalam buku ini  tergambar dengan jelas kemajemukan 

pemahaman agama terlebih lagi masalah akidah. Setelah melakukan 

pencarian dan kajian yang mendalam para tokoh aliran masing-

masing menemukan konklusi yang berbeda-beda. Dalam jangkauan 

yang lebih luas, Martin van Bruinessen berpendapat bahwa kitab 

kuning yang berkembang di negara kita  pada dasarnya merupakan 

hasil pemikiran ulama abad pertengahan (Bruinessen, 1999). 

Pembelajaran kitab kuning di pesantren digolongkan pada 

beberapa tingkatan berdasarkan pada kategori kitabnya. Santri tingkat 

awal mempelajari kitab-kitab sederhana baik bahasa maupun isinya. 

Tingkat lanjutan mempelajari ilmu-ilmu alat, naḥwu, ṣaraf, balâghah, 

ma’âni, dan bayân, dan ilmu-ilmu bahasa Arab lainnya yang merupakan 

prasyarat untuk memasuki pesntren tingkat tinggi. Sedangkan dalam 

tingkat tinggi, para santri diajarkan kitab-kitab yang berkaitan dengan 

ilmu-ilmu fiqih, ushul fiqih, tafsir, hadis, ilmu kalam, dan tasawuf 

sehingga mereka mempunyai keahlian dalam bidang-bidang keilmuan 

ini . sebab nya, di dalam sitem pendidikan pesantren tidak 

dikenal kelas-kelas, melainkan hanya berupa tingkatan berdasarkan 

kategori kitab kuning yang diajarkan (Huda, 2015). 

E. Ciri, Jenis dan Karakter Kitab Kuning

Dalam tradisi intelektual Islam, khususnya di Timur Tengah, 

dikenal dua istilah untuk menyebut kategori karya-karya ilmiah 

berdasarkan kurun atau format penulisannya. Kategori pertama

disebut kitab-kitab klasik (al-Kutûb al-Qadîmah), sedangkan kategori 

kedua disebut kitab-kitab kontemporer (al-Kutûb as-‘Ashriyyah). 

Perbedaan yang pertama dari yang kedua dicirikan, antara lain: oleh 

cara penulisannya yang tidak mengenal pemberhentian, tanda baca, 

dan kesan bahasanya yang berat, klasik, dan tanpa syakal (sandangan: 

fatḥah, ḍommah, kasrah). Kitab kuning dikenal dengan sistimatika 

penulisan dan penyajiannya yang sangat sederhana. Misalnya, di 

dalam penulisan kitab kuning tidak dikenal tanda-tanda bacaan seperti 

titik, koma, tanda Tanya, dan sebagainya. Di samping itu, pergeseran 

dari satu sub topik ke sub topik yang lain, tidak dengan menggunakan 

alinea baru, tapi dengan pasal-pasal atau kode sejenis seperti; tatimmah, 

muhimmah, tanbîh, far’ dan sebagainya (Rahardjo, 1985). 

Apa yang disebut kitab kuning pada dasarnya mengacu 

pada kategori yang pertama, yakni kitab-kitab klasik (al-Kutûb al-

Qadîmah). Spesifikasi kitab kuning secara umum terletak dalam 

formatnya, yang terdiri dari dua bagian: matan, teks asal (inti) dan 

syarah. Dalam pembagian semacam ini, matan selalu diletakkan 

di bagian pinggir (margin) sebelah kanan maupun kiri, sementara 

syarah, sebab  penuturannya jauh lebih banyak dan panjang 

dibandingkan matan diletakkan di bagian tengah setiap halaman 

kitab kuning pada umumnya kira-kira 26 cm (quarto). Matan yaitu   

isi inti yang akan dikupas oleh syarah yang diletakkan di luar garis 

segi empat yang mengelilingi syarah (Rahardjo, 1985). 

Ciri khas lainnya terletak pada penjilidannya yang tidak total, 

yakni tidak dijilid seperti buku. Ia hanya dilipat berdasarkan kelompok 

halaman (misalnya, setiap 20 halaman) yang secara teknis dikenal 

dengan istilah korasan (lembaran). Jadi, dalam kitab kunig terdiri 

dari beberapa korasan yang memungkinkan salah satu atau beberapa 

korasan itu dibawa secara terpisah. Biasanya, ketika berangkat ke 

masjid pengkajian (pengajian), santri hanya membawa korasan tertentu 

yang akan dipelajarinya bersama sang kyai-ulama (Wahid, 1999). 

Dari ciri-ciri yang telah disebutkan di atas, dapat disimpulkan 

sebagai berikut:

1. Tidak ada  tanda baca, seperti: titik, koma dan tanda-tanda 

baca lainnya. 

2. Tidak ada  tahun penerbitan kitab. 


116

3. Terdiri dari matan (inti permasalahan) dan syarah (penjelasan dari 

matan). 

4. Sistem penulisan:

a.  Matan ditulis di kiri dan kanan, bahkan ada yang sampai di atas 

dan bawah syarah. 

b.  Syarah ditulis didalam kolom berbentuk empat persegi panjang 

dengan ukuran rata-rata 13X23 cm. 

c.  Digunakan kurung buka dan kurung tutup untuk matan yang 

sedang disyarah. 

d.  Keterangan dari syarah ditulis sejajar dengan matan dengan garis, 

sebagai pemisah antara keterangan dan matan. 

5.  Matan dan syarah tidak ditulis oleh penulis yang sama. 

6.  Tulisan tidak berharakat, kecuali matan yang disusun secara 

terpisah untuk para pemula. 

7.  Tiap-tiap kitab terdiri dari kelompok-kelompok halaman yang 

dapat dipisah antara kelompok halaman yang satu dengan yang 

lain. Tiap-tiap kelompok masing-masing terdiri 16 halaman. 

Jika ditinjau dari jenisnya, kitab kuning terdiri dari kitab-kitab 

naḥwu, ṣaraf, fiqh, uṣûl fiqh, musṭalaḥ al-hadîṡ, tauḥîd, taṣawuf, tafsîr 

dan kitab-kitab balâghah. Kitab naḥwu berisi tentang ilmu-ilmu yang 

berkaitan dengan seluk beluk kalimat. Kitab ṣaraf berisikan tentang: 

ilmu-ilmu yang berkaitan dengan asal-usul kata. Kitab fiqih berisikan 

tentang: tata cara beribadah, dan bermu’amalah. Kitab uṣûl fiqh berisi 

tentang: kaidah-kaidah dan tata cara menetapan suatu hukum syariat. 

Kitab hadiṡ berisikan tentang: kumpulan hadits-hadits Rasullulah 

SAW, baik yang berkaitan dengan perkataan, perebuatan, maupun 

hal-hal yang berkaitan dengan perizinannya. Kitab musṭalaḥul ḥadîṡ 

berisikan tentang: ilmu-ilmu untuk mengetahui keotentikan suatu 

hadits. Kitab tauḥîd dan kitab taṣawuf berisikan tentang: ketuhanan. 

Kitab tafsîr berisikan tentang: penjelasan-penjelasan tentang ayat-

ayat suci Alquran. Sementara kitab balâghah berisikan tentang: 

ilmu-ilmu yang berkaitan dengan retorika bahasa Arab. 

Sedangkan kitab kuning dilihat dari penampilan lahiriahnya, 

kitab kuning memiliki 5 karakter: Pertama: mengulas pembagian 

suatu yang umum menjadi suatu yang khusus, yang global menjadi 

terinci dan begitulah seterusnya. Kedua, menyajikan redaksi yang 

teratur dengan menampilkan beberapa pernyataan untuk menuju 

suatu kesimpulan yang benar-benar dituju. Ketiga, membuat ulasan-

ulasan tertentu dalam mengulangi uraian-uraian yang dianggap perlu. 

Penampilannya tidak semraut dan pola pikirnya dapat dinilai lurus. 

Keempat, memberikan batasan-batasan yang jelas tentang sebuah 

definisi. Kelima, menampilkan beberapa alasan terhadap pernyataan 

yang dianggap perlu 

Chozin Nasuha dalam penelitiannya menegaskan bahwa jika 

dilihat dari kandungan maknanya, kitab kuning itu dapat dibagi 

kepada dua; (1) kitab kuning yang berbentuk penawaran atau 

penyajian ilmu secara polos (naratif) seperti sejarah Islam, tafsir, dll, 

(2). Kitab kuning yang menyajikan materi berbentuk kaidah-kaidah 

keilmuan seperti, naḥwu, ṣaraf, fiqh, uṣûl fiqh, musṭalaḥul hadîṡ 

(Siradj, 1999). Dengan demikian, pengajaran ilmu-ilmu kaidah 

bahasa Arab juga merupakan bagian dari kitab kuning dimana 

fungsinya sangat signifikan sebagai prasyarat kemampuan membaca 

kitab-kitab kuning. 

F.  Macam-macam Kitab Kuning

Dalam kajian ajaran agama Islam atau ilmu-ilmu agama yang 

ada  pada kitab kuning ini memiliki macam-macam bidang. 

Di bawah ini akan disebutkan macam-macam kitab kuning yang 

terkenal antara lain sebagai berikut:

1. Dalam bidang Tafsir

a. Tafsîr Alqurân al-Adzîm karya Ibnu Kaṡîr (w. 447 H. )

b. Tafsîr Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl Alqurân karya Ath-Ṭabari

c. Tafsîr Jalâlain karya Jalâluddîn al-Mahallî dan Jalâluddîn As-

Suyûṭî

2. Dalam bidang Ulûm Alqurân

a. Kitab I’râb Alqurân karya Abu Ja’far an-Nahhâs

b. Kitab Ashbâbun Nuzûl Alqurân karya Al Wahidi

c. Kitab Faḍâil Alqurân karya Ibnu Kaṡîr (w. 447 H. )


118

d. Kitab Mazâj Alqurân

e. Kitab At-Tibyân fî Ulûm Alqurân karya Muhammad Ali Ash 

Ṣâbûni

f. Kitab Fath Ar-Rahmân karya Fuâd Abdul Bâqi

3. Dalam bidang Fiqih

a. Kitab I’ânah At-Ṭâlibîn karya Sayyid Bakri Satha

b. Kitab Fathul Mu’în karya Zainuddîn al-Malaibary

c. Kitab Rauḍah At-Ṭâlibîn wa ‘Umdatul Muftîn karya Imam 

An-Nawâwi

4.  Kitab Bidâyah Al-Mujtahîd wa Nihâyah al-Muqtaṣid karya Ibn Rusyd

5. Dalam bidang tasawuf atau Akhlak

a. Kitab Ihyâ Ulûmuddîn karya Abu Hamid al-Ghazâli

b. Kitab Riyaḍu As-Ṣâlihîn karya imam An Nawâwi (Anotasi 

Kitab Kuning). 

Namun demikian, jika mengikut pada definisi kitab kuning 

yang dikemukakan oleh Ayumardi Azra, maka berbagai kitab yang 

ditulis oleh ulama-ulama negara kita  dapat dimasukkan sebagai contoh 

macam-macam kitab kuning itu sendiri, seperti kitab Isṭilâhâh al-

Muḥadiṡîn karya Arsyad Thalib Lubis dalam bidang Hadis, kitab 

Al-Uṣûl min ‘Ilmi al-Uṣûl karya Arsyad Thalib Lubis dalam bidang 

Uṣûl Fiqh, kitab Qawâ’id al-Fiqhiyah karya Arsyad Thalib Lubis 

dalam bidang Qawâ’id Fiqh. Atau misalnya kitab Adabul ‘Âlim wa 

al-Muta’allim karya KH. Hasyim Asy’ary dalam bidang Pendidikan 

Islam, dan kitab-kitab lainnya daam berbagai bidang. 

G. Tradisi Pembelajaran Kitab Kuning

Salah satu ciri khas kitab kuning yang membedakannya 

dari yang lainnya yaitu   dari segi tradisi metode mempelajarinya. 

Metode-metode yang biasanya digunakan dalam mempelajari atau 

mengajarkan kitab kuning terdiri atas: metode sorogan, metode 

wetonan atau bandongan, metode muhâwarah, metode muzâkarah, 

dan metode majlis ta’lîm (Qomar, 2005). 

Pertama, Metode sorogan. Menurut Arifin, metode sorogan 

secara umum dipahami sebagai metode pengajaran yang bersifat 

individual, dimana santri satu persatu datang menghadap kyai dengan 

membawa kitab tertentu. Kyai membacakan kitab itu beberapa 

baris dengan makna yang lazim dipakai di pesantren. Seusai kyai 

membaca, santri mengulangi ajaran kyai itu. Setelah ia dianggap 

cukup, maju santri yang lain, demikian seterusnya (Arifin, 1993). 

Melalui metode sorogan, perkembangan intelektual santri 

dapat dirangkap kyai secara utuh. Kyai dapat memberikan bimbingan 

penuh kejiwaan sehingga dapat memberikan tekanan pengajaran 

kepada santri-santri atas dasar observasi langsung terhadap tingkat 

kemampuan dasar dan kapasitas mereka (Qomar, 2005). Akan tetapi 

metode sorogan merupakan metode yang paling sulit dari sistem 

pendidikan Islam tradisional, sebab metode ini menuntut kesabaran, 

kerajinan, ketaatan dan disiplin pribadi dari murid (Dhofier, 1982). 

Penerapan metode sorogan juga menuntut kesabaran dan keuletan 

pengajar. Di samping itu aplikasi metode ini membutuhkan waktu 

yang lama, yang brarti pemborosan, kurang efektif dan efisien 

(Qomar, 2005). 

Kedua, Metode wetonan atau bandongan. Metode wetonan 

atau sering juga disebut bandongan merupakan metode yang paling 

utama dalam sistem pengajaran di lingkungan pondok pesantren. 

Metode wetonan (bandongan) yaitu   metode pengajaran dengan 

cara seorang guru membaca, menerjemahkan, menerangkan dan 

seringkali mengulas buku-buku Islam dalam bahasa Arab, sedangkan 

murid (santri) memperhatikan bukunya sendiri dan membuat catatan-

catatan (baik arti maupun keterangan) tentang kata-kata atau buah 

pikiran yang sulit (Dhofier, 1982). 

Ketiga, Metode muhâwarah. Metode muhâwarah atau 

metode yang dalam bahasa Inggris disebut dengan conversation 

ini merupakan latihan bercakap-cakap dalam bahasa Arab yang 

diwajibkan bagi semua santri selama mereka tinggal di pondok 

pesantren (Arifin, 1993). 

Keempat, Metode muzâkarah. Berbeda dengan metode 

muhâwarah, metode muzâkarah merupakan suatu pertemuan ilmiah 

yang secara spesifik membahas masalah diniyah seperti ibadah 

(ritual) dan aqidah (theologi) serta masalah agama pada umumnya 

(Arifin, 1993). 


120

Kelima, Metode majelis ta’lîm. Metode majelis ta’lîm 

merupakan suatu metode penyampaian ajaran Islam yang bersifat 

umum dan terbuka, yang dihadiri jama’ah yang memiliki berbagai 

latar belakang pengetahuan, jenis usia dan jenis kelamin (Qomar, 

2005). Pengajian melalui majelis ta’îim hanya dilakukan pada 

waktu tertentu, tidak setiap hari sebagaimana pengajian melalui 

wetonan maupun bandongan, selain itu pengajian ini tidak hanya 

diikuti oleh santri mukim dan santri kalong tetapi juga masyarakat 

sekitar pondok pesantren yang tidak memiliki kesempatan untuk 

mengikuti pengajian setiap hari, sehingga dengan adanya pengajian 

ini dapat menjalin hubungan yang akrab antara pondok pesantren 

dan masyarakat sekitar (Qomar, 2005). 

Seperti telah dijelaskan di atas bahwa di antara metode yang 

paling umum digunakan dalam belajar kitab kuning yaitu   bandongan 

dan sistem sorogan. Metode bandongan merupakan sistem belajar 

satu arah yang dilakukan oleh kyai kepada santri di mana cara 

pelaksanaannya sebagai berikut: 1. Kyai membaca kata demi kata; 2. 

Kyai megartikan; dan 3. Kyai menjelaskan maksudnya (Yunus, 1979). 

Dalam sistem ini, keaktifan santri hanya menyimak, menulis 

arti kata-kata yang belum dimengerti, dan mendengarkan penjelasan 

kyai. Sementara metode sorogan merupakan sistem belajar secara 

langsung antara kyai dan santri di mana cara pelaksanaannya yaitu   

sebagai berikut: 1. Santri menghadap kyai satu persatu secara 

bergantian; 2. Santri membaca secara utuh; dan 3. Santri mengartikan 

secara harfiyah.

Dalam sistem ini, keaktifan kyai hanya menyimak dan 

memperbaiki kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh santri. Bagi 

santri yang belum memiliki dasar kitab yang dikaji dengan sistem 

sorogan yaitu: kitab yang telah dikaji dengan sistem bandongan. 

Sedangkan bagi santri yang telah memiliki kemampuan dasar, kitab 

yang dikaji yaitu   kitab-kitab yang belum pernah dikaji sebelumnya. 

Dengan demikian sistem sorogan merupakan sistem pengulangan 

bagi sntri pemula dan merupakan penggayaan bagi santri yang telah 

memiliki kemampuan dasar. 

Selain kedua metode di atas, sejalan dengan usaha 

kontekstualisasi kajian kitab kuning, di lingkungan pesantren

dewasa ini telah berkembang metode jalsah (diskusi/kelompok) 

dan ḥalaqah (seminar). Kedua metode ini lebih sering digunakan di 

tingkat kyai-ulama atau pengasuh pesantren, antara lain, membahas 

isu-isu kontemporer dengan bahan-bahan pemikiran yang bersumber 

dari kitab kuning 

H. Tradisi Kitab Kuning pada Madrasah

Madrasah yang tumbuh dan berkembang di negara kita  tidak 

terlepas dari madrasah-madrasah yang tumbuh di berbagai wilayah 

Islam lainnya. Dalam dinamika sejarah peradaban Islam, madrasah 

dikenal sebagai hasil evolusi dari masjid sebagai lembaga pendidikan 

dan khan sebagai tempat tinggal mahasiswa (Asari, 2007). Di antara 

madrasah-madrasah paling terkenal di awal-awal keberadaannya 

dalam peradaban Islam yaitu   madrasah Nizamiyah yang didirikan 

pada tahun 457 H/1065 M, madrasah Nuruddin Zinki, madrasah 

al-Mustansiriyah didirikan di Bagdad pada tahun 631 H/1234 M, 

madrasah Nuriyah yang didirikan di Damaskus tahun 563 H/1167 M 

dan sejumlah madrasah lainnya 

Sejarah juga mencatat bahwa para ulama Persia mempunyai 

peran penting dalam memperkenalkan madrasah di negara kita . 

Dalam pada itu disebutkan bahwa ada dua ulama yang mendampingi 

al-Mâlik al-Zahir (1326-1348), Sultan Pasai yakni Qâdhi Âmîr 

Said al-Syîrâzi dan Tâj al-Dîn al-Isfahâni. Keduanya berasal dari 

Persia, ketika singgah di Pasai, Ibnu Bathuthah (1303-779), seorang 

pengembara asal Marokko pernah bertemu dengan kedua ulama 

ini . Hal ini menunjukkan bahwa adanya pengaruh yang kuat 

dari Persia pada pemerintahan Sultan al-Mâlik al-Zahir, terutama 

dalam bidang pendidikan. Qâdhi Âmîr Said al-Syîrâzi memegang 

jabatan sebagai Qâdhi al-Qudhât (Hakim Tinggi) merangkap guru 

agama (mudarris), dan Tâj al-Dîn al-Isfahâni memegang jabatan 

sebagai guru agama. Berdasarkan itu, maka menurut Abd. Mukti, 

tentu saja kedua guru agama ini menggunakan sistem pendidikan 

madrasah yang sudah dikenal di negeri asalnya, Persia. Di samping 

itu, masyarakat di Kesultanan Pasai menyebut perkataan madrasah 

dengan sebutan meunasah (Mukti, 2016). Menurutnya, tampaknya 

meunasah sebagai sebuah lembaga pendidikan ketika itu dengan 


122

cepat menyebar ke seluruh wilayah kesultanan Pasai (abad ke-13-

1514) dan kesultanan Aceh Darussalam (1514-1912), dan dari Pasai 

dan Aceh, madrasah menyebar ke daerah-daerah negara kita  lainnya 

melalui jaringan ulama Pasai dan alumni Aceh. Sebagai contoh, 

salah seorang ulama Pasai yang pindah ke kesultanan Demak (1518-

1546) yaitu   Syarif Hidayatullah (w. 1570) yang memegang jabatan 

sebagai guru agama pada masa Sultan Trenggono (1521-1546). 

Tentu saja Syarif Hidayatullah menggunakan sistem pendidikan 

yang pernah dikenal di daerah kelahirannya yakni madrasah dalam 

mengajarkan murid-muridnya. Demikian selanjutnya dari Demak, 

madrasah menyebar ke Banten (1552-1682) dan Cirebon (Mukti, 

2016). 

Untuk konteks negara kita , berdasarkan peraturan Menteri 

Agama Nomor 2 tahun 1960 dirumuskan pengertian madrasah 

sebagai tempat pendidikan yang memberi pendidikan, pengajaran 

dan ilmu agama Islam menjadi pokok pengajarannya. Sementara 

menurut SKB 3 Menteri tahun 1975 mendefinisikan madrasah 

sebagai lembaga pendidikan yang menjadikan mata pelajaran agama 

Islam sebagai mata pelajaran dasar yang diberikan minimal 30 % di 

samping mata pelajaran umum sebesar 70 % (Mukti, 2016). 

Tumbuh kembangnya madrasah di negara kita  tidak dapat 

dipisahkan dengan tumbuh kembangnya ide-ide pembaruan 

di kalangan umat Islam. Di antara ulama yang berjasa dalam 

menggagas tumbuhnya madrasah di negara kita  antara lain yaitu   

Haji Abdullah Ahmad-pendiri madrasah Adabiyah di Padang pada 

tahun 1909 (Daulay, 2007). Ditegaskan oleh Mahmud Yunus bahwa 

Adabiyah School yang didirikan oleh Haji Abdullah Ahmad ini  

merupakan madrasah pertama di Minangkabau bahkan di seluruh 

negara kita  (Yunus, 1979). Setahun setelah Adabiyah School tepat pada 

tahun 1910, Syekh M. Umar Thaib mendirikan madrasah lain yang 

bernama ‘Madras School’ di daerah Batusangkar. Sejak kemunculan 

Adabiyah School dan Madras School ini lah, maka istilah madrasah 

sebagai lembaga pendidikan Islam modern kemudian menjadi 

populer dan mulai banyak digunakan di negara kita  (Yunus, 1979). 

Dalam perkembangannya, madrasah muncul sebagai 

nomenklatur pendidikan Islam modern di negara kita . Dalam 

pengertian ini, maka madrasah diartikan sebagai lembaga pendidikan 

Islam yang mengkombinasikan ilmu-ilmu keislaman dan ilmu-ilmu 

umum (Subhan, 2012). 

Keberadaan madrasah sebagai salah satu jenis lembaga 

pendidikan Islam pun semakin kukuh terutama setelah diakui secara 

formal. Di dalam UU No. 20 Tahun 2003, kedudukan lembaga-

lembaga keagamaan, termasuk madrasah dan pesantren semakin 

kukuh dengan dicantumkan pada pasal 17 ayat 2 dan pasal 18 tentang 

pengakuan terhadap kelembagaan pendidikan Islam yang bernama 

madrasah. Pada UU ini  dijelaskan bahwa madrasah itu terdiri 

dari Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), dan 

Madrasah Aliyah (MA) (Dirjen Pendis). 

Selanjutnya, sesuai dengan PP No. 29 Madrasah Aliyah 

kemudian dibagi lagi menjadi dua, yaitu Madrasah Aliyah yang sama 

dengan SMU (Sekolah Menengah Umum) yang berciri khas Islam, 

dan Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK). Madrasah jenis kedua ini 

diperuntukkan sesuai dengan maksud yang tertera pada PP No. 29 

Tahun 1990 Bab I, Pasal 1, ayat 4 yang menegaskan MAK sebagai 

pendidikan menengah yang mengutamakan penguasaan pengetahuan 

khusus siswa tentang ajaran agama yang bersangkutan (Daulay, 2007). 

Hal ini  dimaksudkan bahwa pendidikan yang mem-

persiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang 

menuntut penguasaan pengetahuan khusus tentang ajaran agama 

yang bersangkutan. Sebagaimana diketahui bahwa setiap orang Islam 

berkepentingan dengan pengetahuan tentang ajaran-ajaran Islam, 

terutama yang berhubungan dengan nilai-nilai keagamaan, moral dan 

sosial budayanya. Oleh sebab  itu, pendidikan Islam dengan lembaga-

lembaganya tidak bisa dipisahkan dari sistem pendidikan Nasional. 

Sejalan dengan pasal ini , dipertegas lagi di dalam 

pasal 30 ayat 2, yang menyatakan bahwa pendidikan keagamaan 

termasuk madrasah di dalamnya berfungsi untuk mempersiapkan 

peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami 

dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan menjadi ahli 

ilmu agama (Hasbullah, 2010). sebab nya, pada pasal 30 ayat 3 

dikemukakan bahwa pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan 

pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal; di mana ayat 


124

4 berbunyi bahwa “pendidikan keagamaan itu berbentuk pendidikan 

diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain 

yang sejenis” (Arifin, 1993). Inilah kemudian yang membuka 

peluang hidup dan dikembangkannya tradisi pembelajaran kitab 

kuning di madrasah. 

Dalam hal ini, pendidikan agama merupakan tanggung jawab 

bersama antara pemerintah dan masyarakat. Di samping sekolah/

madrasah formal yang didirikan oleh pemerintah seperti MIN, 

MTsN, maupun MAN, masyarakat dapat juga menyelenggarakan 

pendidikan agama, baik formal (pesantren, madrasah), nonformal 

(taman pendidikan Alquran (TPA), majlis taklim) maupun informal 

(madrasah diniyah). 

Secara kelembagaan, pendidikan keagamaan termasuk di 

dalamnya madrasah, telah mendapat pengakuan dan jaminan oleh 

Pemerintah, sebagaimana ditegaskan di dalam PP. No. 55 Tahun 2007, 

pasal 12 ayat 3 yang berbunyi bahwa Pemerintah dan/atau lembaga 

mandiri yang berwenang, melakukan akreditasi atas pendidikan 

keagamaan untuk penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan 

sesuai Standar Nasional Pendidikan; dan ayat 4 menyebutkan 

akreditasi atas pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud 

pada ayat (3) dilaksanakan setelah memperoleh pertimbangan dari 

Menteri Agama. 

Sementara itu, pada pasal 55 ayat 1 dikemukakan bahwa 

masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis 

masyarakat pada pendidikan formal dan non-formal sesuai dengan 

kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan 

masyarakat. Dengan pasal ini, satuan-satuan pendidikan Islam baik 

formal maupun non-formal seperti madrasah, pesantren, madrasah 

diniyah, majlis ta’lim, dan sebagainya akan tetap tumbuh dan 

berkembang secarah terarah dan terpadu dalam sistem pendidikan 

Nasional (Hasbullah, 2010). 

Selanjutnya, pada UU. No. 20 Tahun 2003 pasal 54 sampai 

pasal 56 dijelaskan bahwa hubungan sekolah dan masyarakat 

dalam hal ini salah satunya berupa peran serta masyarakat dalam 

pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, 

organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan 

dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan 

pendidikan. Melihat ada nya hubungan sekolah dan masyarakat 

memberikan peluang yang sebesar-besarnya bagi masyarakat 

untuk menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat dengan 

mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi 

pendidikan, serta manajemen dan pendanaannya sesuai dengan 

standar Nasional pendidikan. 

Dalam hal ini, masyarakat diperbolehkan mendirikan lembaga 

pendidikan berbasis masyarakat sesuai dengan kekhasan agama 

masing-masing, sehingga muncullah madrasah-madrasah yang 

didirikan oleh perorangan maupun oleh organisasi-organisasi 

masyarakat Islam seperti NU, Muhammadiyah, dan Al Washliyah, 

meskipun secara tegas dinyatakan bahwa negara kita  bukan Negara 

agama dan bukan juga Negara sekuler tetapi Negara Pancasila 

(Asegaf, 20017). Dengan status Negara yang demikian, maka wajar 

jika kemudian Pemerintah negara kita  tetap memandang bahwa 

agama menduduki posisi penting di Negeri ini sebagai sumber nilai 

yang berlaku (Jabali & Jamhari, 2002). Hal itu dapat juga dilihat 

bagaimana posisi lembaga-lembaga pendidikan Islam khususnya 

madrasah, yang secara eksplisit ditegaskan kedudukannya di dalam 

UU Sisdiknas Tahun 2003. 

Dari berbagai pasal dan peraturan Pemerintah di atas, 

menunjukkan bahwa lembaga pendidikan Islam, khususnya madrasah 

telah dijadikan sebagai sumber nilai dan bagian yang inheren dalam 

sistem pendidikan Nasional. Madrasah sebagai lembaga pendidikan 

Islam mempunyai peran penting dalam mengembangkan potensi 

peserta didik untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, akhlak 

mulia dan kepribadian muslim (khusus agama Islam). 

Di awal-awal keberadaannya, sesungguhnya madrasah dalam 

peradaban Islam dikenal sebagai tempat mempelajari berbagai ilmu 

secara integratif, termasuk dengan menjadikan karya-karya ulama 

klasik sebagai bahan kajian. Dalam konteks ini, madrasah pada 

awalnya yaitu   jenis lembaga pendidikan yang sangat dominan 

mengajarkan ilmu-ilmu agama. Seperti telah dikemukakan di atas 

bahwa di antara madrasah-madrasah paling terkenal di awal-awal 

keberadaannya dalam peradaban Islam yaitu   madrasah Nizamiyah 


126

yang didirikan pada tahun 457 H/1065 M, Madrasah Nuruddin 

Zinki, Madrasah al-Mustansiriyah didirikan di Bagdad pada tahun 

631 H/1234 M, Madrasah Nuriyah yang didirikan di Damaskus 

tahun 563 H/1167 M dan sejumlah madrasah lainnya. 

Pada madrsah-madrasah ini  di atas diajarkan ilmu-ilmu 

‘aqliyah, lisâniyah termasuk yang paling utama yaitu   ilmu-ilmu 

naqliyah. Ilmu-ilmu naqliyah yang diajarkan di madrasah-madrasah 

ini  dipahami sebagai ilmu-ilmu yang bersumber dari Alquran 

dan al-Hadis seperti; Tafsîr, Hadîṡ, Fiqih, Tauhîd, taṣawuf dan 

sebagainya (Daulay, 2007), yang dalam tradisi pendidikan Islam 

negara kita  dikenal dengan ilmu-ilmu yang tertuang dalam kitab-kitab 

kuning. 

Di awal-awal kehadirannya, madrasah sangat identik dengan 

kajian ilmu-ilmu agama. sebab nya, dalam dinamika pendidikan 

Islam di negara kita , bahwa kitab kuning bukan hanya milik pesantren 

akan tetapi sudah berkembang di lembaga-lembaga pendidikan 

lainnya seperti madrasah, bahkan di tengah-tengah masyarakat 

dalam bentuk pengajian-pengajian yang bersifat nonformal. 

Lahirnya madrasah di Sumatera Barat turut merubah pendidikan 

Isam di negara kita  yang mencoba memadukan ilmu-ilmu agama 

dengan tradisi kitab kuning dengan sistem modern. Kitab kuning 

yang sebelumnya dikenal masyarakat sebagai suatu kesatuan dengan 

pendidikan pesantren saja, kini telah dipelajari pada sekolah-sekolah 

modern di Sumatera Barat, seperti Adabiyah School dan Sumatera 

Thawalib yang berdiri pada Tahun 1910 (Hasbullah, 2010). 

Demikian juga dengan madrasah-madrasah yang ada di negara kita  

bahwa semangat utama yang terkandung pada madrasah ini  di 

awal-awal keberadannya yaitu   sebagai tempat pembelajaran ilmu-

ilmu agama, meskipun telah memasukkan ilmu-ilmu umum sebagai 

pembedanya dengan pesantren. Menurut peraturan Menteri Agama 

Nomor 1 Tahun 1946 dan Peraturan Menteri Agama Nomor 7 Tahun 

1950, bahwa madrasah dimaksudkan sebagai tempat pendidikan 

yang diatur sebagai sekolah dan membuat pendidikan dan ilmu 

pengetahuan agama Islam menjadi pokok pengajarannya. sebab nya 

sistem pendidikan di madrasah diupayakan adanya penggabungan 

antara sistem pesantren dan sekolah umum (Daulay, 2007). 

Sampai pada tahun 1930, mata pelajaran yang diajarkan di 

madrasah-madrasah yaitu   semata-mata pelajaran agama, kemudian 

sebagian madrasah mulai 1930-an memasukkan mata pelajaran 

umum. Kendatipun mata pelajaran umum telah dimasukkan, namun 

tekanan madrasah yaitu   tetap mata pelajaran agama dengan tujuan 

untuk menciptakan manusia-manusia yang ahli dalam ilmu agama 

(Daulay, 2007). Berdasarkan fakta sejarah ini, maka dapat dipahami 

bahwa sesungguhnya sebelum diberlakukannya SKB 3 Menteri, 

semangat kajian yang hidup di lingkungan madrasah yaitu   sama 

dengan pesantren, yakni sama-sama fokus pada pendalaman ilmu-

ilmu agama. 

Madrasah juga dipandang sebagai “jalan tengah alternatif” 

yang menjembatani kesenjangan antara sekolah-sekolah umum dan 

pendidikan tradisional pesantren. Pada madrasah-madrasah modern 

seperti ini, tertanam semangat yang kuat untuk melakukan reformasi 

masyarakat dengan jalan kembali kepada sumber-sumber asli 

Islam yang menjadikannya sebagai suatu perwujudan reformisme 

Islam (Subhan, 2012). Ditegaskan oleh Yudi Latif bahwa sebab  

kemampuan madrasah dalam memadukan antara kurikulum agama 

dan umum ini , maka madrasah dikenal berfungsi sebagai tempat 

reproduksi ulama-intelek, sebuah istilah yang muncul belakangan 

(Latif, 2005). 

Meskiupun berbeda dengan pesantren, namun di awal-

awal pertumbuhannya, madrasah masih memegang teguh tradisi 

pembelajaran kitab kuning walaupun tidak sekuat di pesantren. 

Sebelum diberlakukannya berbagai peraturan oleh Pemerintah, 

terutama SKB Tiga Menteri, madrasah-madrasah yang didirkikan oleh 

organisasi-organisasi masyarakat seperti Al-Irsyad, Perhimpunan 

Umat Islam (PUI), Al Washliyah, Muhammadiyah, NU dan lain-

lain masih mengajarkan kitab-kitab kuning di dalam kurikulumnya. 

Kurikulum di madrasah-madrasah ini , baik yang didirikan 

oleh organisasi maupun pribadi belum ada keseragaman. Dalam 

perbandingan antara bobot mata pelajaran agama dan umum juga 

masih berbeda antara satu madrasah dengan madrasah lainnya, ada 

yang mencantumkan perbandingan 30:70, 40:60, 50:50, 60:40, dan 

70:30 

Di awal-awal kehadirannya, madrasah di negara kita  sangat 

identik dengan kajian ilmu-ilmu agama. sebab nya, dalam dinamika 

pendidikan Islam di negara kita , kitab kuning bukan hanya milik 

pesantren akan tetapi sudah berkembang di lembaga-lembaga 

pendidikan lainnya, khususnya di madrasah. 

Pada madrasah-madrasah yang ada di negara kita , selain 

mengajarkan ilmu-ilmu ‘aqliyah, lisâniyah, juga memberikan 

perhatian yang besar terhadap pengajaran ilmu-ilmu naqliyah, yakni 

ilmu-ilmu yang bersumber dari Alquran dan al-Hadis seperti; Tafsîr, 

Hadîṡ, Fiqih, Tauhîd, taṣawuf dan sebagainya, yang dikenal sebagai 

ilmu yang tertuang dalam kitab-kitab kuning. 

Sampai pada tahun 1930, mata pelajaran yang diajarkan di 

madrasah-madrasah yaitu   semata-mata pelajaran agama, kemudian 

sebagian madrasah mulai 1930-an memasukkan mata pelajaran 

umum. Kendatipun mata pelajaran umum telah dimasukkan, namun 

tekanan madrasah yaitu   tetap mata pelajaran agama dengan tujuan 

untuk menciptakan manusia-manusia yang ahli dalam ilmu agama

Tradisi pembelajaran kitab kuning belakangan semakin 

berkembang di madrasah dengan adanya pengakuan Pemerintah 

tentang eksistensi Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK) sebagai 

suatu lembaga pendidikan menengah yang mengutamakan 

penguasaan pengetahuan khusus siswa tentang ajaran agama sesuai 

dengan PP No. 29 Tahun 1990.