nanggung jawab tunggal di rumah tersebut, atau ia
memiliki cacat sedang keluarganya khawatir akan
mendapatkan perlakuan di luar kemampuannya,
suaminya pun tidak bosan masih sering berkomunikasi
dengannya, atau karena ia mempunyai anak-anak dan
tidak bisa pindah ke rumah suami barunya, dan masih
banyak lagi sebab-sebab yang lain.
3. Keinginan sebagian laki-laki yang sudah menikah untuk
menjaga kehormatan sebagian wanita lain karena
kebutuhan mereka akan hal itu, atau ia menikah lagi
karena kebutuhannya untuk sebuah kenikmatan yang
dibolehkan, namun tidak merugikan rumah tangga
pertama dan anak-anaknya.
4. Keinginan seorang suami untuk menyembunyikan
pernikahan keduanya dari istri pertamanya; karena
khawatir akan merusak hubungan rumah tangga dengan
istri pertamanya.
5. Banyaknya laki-laki yang bepergian ke luar negeri tertentu
dengan waktu yang cukup lama, dan bisa dipastikan
bepergiannya tersebut jika ditemani istri akan lebih aman
dari pada sendirian. (https://islamqa.info/id/answers/
82390/pernikahan-Misyar-definisi-dan-hukumnya,
diakses 23 November 2021)
Sebab-sebab maraknya nikah Misyar menurut Usamah
Umar Sulaiman al-Asyqar yaitu sebagai berikut :
1. Banyaknya wanita yang terlambat menikah padahal usia
sudah melebihi umumnya wanita menikah, ditambah
banyaknya janda baik karena cerai hidup maupun cerai
mati.
2. Sebagian pria ada yang ingin poligami baik karena godaan
di sekelilingnya, atau istrinya sakit atau problem lain,
namun ia tidak punya harta cukup untuk menikah lagi,
109
sedang dalam nikah Misyar suami dibebaskan dari
kewajiban mahar, nafkah tempat tinggal dan lain-lain. Hal
ini tentu akan disambut oleh lelaki yang dalam posisi
seperti ini. (al-Asyqar, 2000 : 167-170).
E. Pandangan Ulama Fikih
Sebelum membahas hukum nikah Misyar, di masa lalu
para ulama sudah membahas sebuah pernikahan yang mirip
dengan nikah Misyar yakni apa yang disebut dengan nikah
nahariyat dan nikah lailiyat. Nikah ini dihukumi batal oleh
Imam Ahmad dan Malikiyah serta mayoritas Hanafiyah.
Namun sekelompok kecil ulama membolehkan jenis
pernikahan nahariyat ini. (al-Asyqar, 2000 : 171-173)
Terkait dengan hukum nikah Misyar paling tidak ada
tiga pendapat dalam menyikapi nikah Misyar. Menurut
penuturan Muhammad Ibrahim Sa’d an-Nadi dalam bukunya
az-Zawaj al-Mustahdas wa mauqif al-Fqih al-Islami minhu Dirasah
Fiqhiyah Muqaranah, ada tiga pandangan ulama sehubungan
dengan hukum nikah Misyar.
Pendapat pertama, boleh mutlak. Di antara ulama yang
membolehkan nikah Misyar yaitu Syaikh Bin Baz, Syaikh
Abdul Aziz bin Abdullah Alu Syaikh, Syaikh Abdullah bin
Abdurrahman al-Jibrin, Syaikh Yusuf Muhammad al-
Muthlak, Syaikh Ibrahim bin Shalih al-Khudhari, Syaikh al-
Azhar Muhammad Sayyid Tanthawi dan lain-lain. (al-hajilan,
2009: 156 dst., al-Muthlaq, 1423 : 112-116) di antara tokoh
utama yang membolehkan nikah Misyar yaitu Syaikh Yusuf
al-Qardhawi.
Di antara argumen yang dikemukakan oleh ulama yang
membolehkan nikah Misyar yaitu :
Atsar dari Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari jalur
Manshur yang menyatakan :
110 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam
عن الحسن، وعطاء، <ٔنهما كا »لا ®رìن ب·سٔا بتزويج ا'نهارìت»
Dari Hasan al-Bashri dan Atha bin Abi Rabah, bahwa
kedua ulama ini berpendapat bolehnya pernikahan nahariyat.
(Mushannaf Ibn Abi Syaibah, 16559).
Nikah nahariyat artinya pernikahan di mana sang istri
dikunjungi hanya pada waktu-waktu tertentu saja, misalnya
hanya siang hari saja.
Riwayat lain yang digunakan ada riwayat dari Amir as-
Sya’bi,
عن #امر الشعبي <ٔنه سCئل عن الرaل ®كون Þ امر<ٔة فتزوج المر<ٔة، فÏشترط لهذه یوماً
ولهذه یومين؟ قال : لا ب·سٔ به
Dari Amir as-Sya’bi bahwa beliau ditanya tentang
seorang lelaki yang sudah memiliki istri, kemudian dia
berpoligami dengan menikahi wanita lain. Kemudian dibuat
kesepakatan, untuk istri kedua gilir sehari dan istri pertama
dua hari. As-Sya’bi memfatwakan, ”Tidak masalah dengan
nikah seperti ini.” (Mushannaf Ibn Abi Syaibah, 16566).
Dalam sunah telah tetap bahwa Saudah binti Zam’ah
menghadiahkan jatah gilirannya kepada Siti Aisyah dan
Rasulullah SAW menerimanya, hal ini menunjukkan bahwa
istri boleh menggugurkan sebagian haknya kepada siapa yang
dikehendaki, sehingga istri juga bisa menggugurkan haknya
yang lain seperti nafkah, tempat tinggal dan lain-lain. (al-
Asyqar, 2000 : 178)
Pendapat kedua, boleh dengan karahah (makruh). Wahbah
az-Zuhaili, Yusuf al-Qardhawi, Syaikh Abdullah bin Mani`,
Syaikh Su’ud Syuraim, Ahmad Haji al-Kurdi, Mahmud Abu
Lail termasuk di barisan yang membolehkan dengan karahah.
(al-Muthlaq, 1423 : 116-120, al-Asyqar, 2000 : 175) Muhammad
111
Ibrahim Sa’d an-Nadi sendiri menguatkan pendapat yang
membolehkan dengan karahah. (an-Nadi, 2011 : 48)
Pada dasarnya ulama ini memandang dari segi syarat
rukun sudah terpenuhi sehingga hukumnya sah, namun dari
sisi dampak yang ditimbulkan lebih banyak negatifnya
sehingga dihukumi sah dengan makruh.
Pendapat ketiga, tidak boleh melakukan nikah Misyar.
Tokoh utama dalam barisan ini yaitu Syaikh Muhammad
Nashiruddin al-Albani, Syaikh Abdul Aziz Musnid, Ajil Jasim
an-Nasymi. (al-Muthlaq, 1423 : 120, ad-Duraiwisy, 2010 : 139,
142) Sungguhpun melarang, ulama di barisan ini tidak
menegaskan batalnya akad, tapi lebih pertimbangan kerugian
dan kerusakan yang mungkin timbul dari pernikahan jenis ini.
(al-Hajilan, 2009 : 164)
Syeikh al- Albani pernah ditanya tentang hukum nikah
Misyar, namun beliau melarangnya dilihat dari dua sisi:
1. Tujuan menikah yaitu tinggal bersama, sebagaimana
firman Allah:
)وَمِنْ <ٓ َìَتِهِ <uنْ áَلقََ لكمَُْ مِنْ <uنفُْسِكمُْ <uزْوَاaًا لِçسَْكُ°وُا ا
ã
'يهَْاَ وَجَعَلَ بÏَ°ْكمَُْ مَوَدkةً وَرَحمَْةً
ا
ã
نk فيِ ذَ¡َِ ¨َٓ َìَتٍ لِقَوْمٍ یتََفَكkرُونَ ( الروم/21
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah
Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu
sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan
sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-
benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (QS.
Ar Ruum: 21)
Pernikahan model Misyar ini tidak akan mampu
merealisir tujuan mulia tersebut.
2. Nantinya sepasang suami istri tersebut akan dikaruniai
anak-anak, disebabkan jarak yang berjauhan dan
112 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam
jarangnya bertemu, maka akan menyebabkan dampak
negatif kepada anak-anak mereka dalam hal pendidikan
dan akhlak.
Kelompok penentang nikah Misyar mengajukan
beberapa argumen secara lebih lengkap seperti berikut ini:
Dia memperkuat ini dengan enam bukti:
1. Bahwa perkawinan ini yaitu pengabaian terhadap akad
perkawinan, dan bahwa para ahli hukum di masa lalu
tidak membahas jenis ini, dan tidak ada sedikit pun rasa
sahih di dalamnya.
2. Bahwa akad ini dapat menjurus kepada kerusakan, artinya
boleh jadi pelakunya menganggapnya sebagai
pembenaran atas pilihan mereka, maka wanita tersebut
mengatakan bahwa laki-laki yang mengetuk pintu
rumahnya yaitu suami Misyar saya, padahal sebenarnya
bukan. Dan menutup pintu ini yaitu bagian dari dasar
Islam.
3. Akad nikah Misyar melanggar tujuan syariat Islam, yaitu
terbentuknya keluarga yang stabil.
4. Akad nikah Misyar kebanyakan dilakukan secara
sembunyi-sembunyi, dan hal ini cukup membawa kepada
kerugian sehingga cukup alasan buat melarangnya.
5. Bahwa seorang wanita dalam perkawinan ini dapat
diceraikan suaminya jika sampai dia menuntut nafkah dari
suaminya karena sebelumnya ia telah siap digugurkan hak
nafkahnya.
6. Bahwa perkawinan ini membawa dosa bagi suami karena
mengakibatkan kerugian pada istri pertama, karena ia
akan pergi kepada istri kedua tanpa sepengetahuannya
dan akan menghabiskan waktu dan bergaul dengan istri
ini dengan mengorbankan waktu dan hak istri pertama
113
untuk dipergauli. (https://www.fateh-gaza.com/post/
22263, akses 23 November 2021).
F. Kesimpulan
Nikah Misyar jika para pelakunya telah memenuhi
syarat-syarat dan rukun-rukun nikah yang benar, seperti ijab
qabul, walinya setuju, kedua saksi dan diumumkan, maka
tidak diragukan lagi akad tersebut yaitu sah.
Namun hendaknya diingat, nikah ini tidak ideal dan
tidak dianjurkan untuk dipraktikkan untuk masyarakat luas.
Hal ini mengingat nikah jenis ini umumnya tidak dicatatkan,
termasuk poligami liar, serta masih mungkin disalahgunakan
pihak-pihak yang kurang bertanggung-jawab. Sehingga
dikawatirkan timbul ekses-ekses negatif yang merugikan
terutama istri dan anak-anaknya kelak.
Nikah model ini dan sejenisnya terlalu didominasi
keinginan untuk berhubungan seks semata atau untuk
kesenangan syahwat belaka, bukan tujuan luhur lain dari
sebuah pernikahan. Padahal ada tujuan nikah yang lebih
esensial dan luhur dari sekedar pelampiasan syahwat secara
halal, yakni berketurunan dan mengasuh serta mendidik anak
agar tumbuh generasi pilihan di masa depan. Semoga kita
terhindar dari bentuk pernikahan yang kontroversial dan
tidak ideal.
NIKAH ONLINE
A.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah
mempengaruhi kehidupan manusia di berbagai aspek
kehidupan tak terkecuali di lapangan hukum. Di bidang
telekomunikasi manusia telah mampu mendekatkan jarak
seolah-olah jarak menjadi tidak ada lagi karena manusia di
berbagai belahan bumi dengan mudah berkomunikasi satu
sama lain.
Lebih-lebih di era pandemi Covid 19, umat manusia di
berbagai belahan dunia dipaksa lebih intens lagi bergumul
dengan IT guna memudahkan dan melancarkan tugas dan
urusan. Singkat kata teknologi informasi telah semakin
menjadi kebutuhan umat manusia guna menunjang
kelancaran tugas dan urusan hidupnya.
Di bidang hukum keluarga khususnya muncul
permasalahan terkait dengan penggunaan IT untuk
melakukan peristiwa hukum tertentu. Misalnya yang sudah
mulai, ada yang menggunakan sekaligus memunculkan
pertanyaan keabsahannya yakni akad nikah melalui berbagai
sarana online baik lewat email, SMS, Whats App, video call
(skype, Whats App, zoom, duo dan lain-lain).
117
Kisah pernikahan lewat telepon pernah terjadi pada
tanggal 13 Mei 1989 di Jakarta. Akad nikah antara seorang laki-
laki bernama Ario Sutarto bin Soeroso Darmo Atmodjo warga
Jakarta dengan seorang perempuan bernama Nurdiani
Harahap binti H. Baharudin Harahap yang juga warga Jakarta.
Yang unik dan menarik mempelai laki-laki sedang berada di
Amerika Serikat karena masih studi, sementara kedua calon
mempelai sama-sama terbentur persoalan biaya untuk pulang
atau pergi ke Indonesia.
Singkat cerita atas inisiatif dari pihak orang tua
mempelai perempuan, akhirnya diusulkan prosesi akad nikah
dilakukan melalui media telepon saja, kemudian pihak
perempuan menghadap kepada kepala KUA Kebayoran Baru
dan mendapatkan persetujuan maka akad tersebut
dilaksanakan pada tanggal 13 Mei 1989 pukul 10.00 WIB atau
pukul 22.00 waktu Indiana Amerika Serikat. Prosesi nikah
diawasi langsung oleh kepala KUA. Selanjutnya melalui
permohonan yang diajukan di Pengadilan Agama Jakarta
Selatan dari wali perempuan atas isbat nikah tanggal 15
Desember 1989, maka kemudian Pengadilan Agama Jakarta
Selatan dengan pertimbangan-pertimbangan sebelumnya
mengeluarkan Ketetapan Pengadilan Agama Jakarta Selatan
No.1751/P/1089 menyatakan bahwa pernikahan melalui
media telepon tersebut sah. (Arya Wirahadikusuma dkk., 2015
: 2) Ini yaitu salah satu contoh akad nikah melalui telepon
yang diakui oleh hukum di Indonesia.
Sementara lebih canggih dari sekedar nikah lewat
telepon, di Indonesia untuk pertama kalinya dilangsungkan
perkawinan via skype di kota Bandung antara Rita Sri Mutiara
Dewi yang berada di Bandung dengan Wiriadi Sutrisno yang
berada di California, Amerika Serikat. Perkawinan tersebut
dilaksanakan di kantor Telkom Setia Budi Bandung yang
118 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam
dihadiri mempelai wanita, wakil mempelai, penghulu dan
beberapa orang saksi serta sebuah mas kawin berupa emas 20
gram. Teknologi yang digunakan yaitu Virtual Private
Network On Internet, agar suara bisa didengar secara real time
digunakan clear chanel 007. Sehingga mempelai dapat bertatap
muka melalui media layar dan para saksi yang berada di
Bandung maupun California dapat juga melihat langsung
jalannya proses ijab kabul. (Arya Wirahadikusuma dkk., 2015:
3)
Masih kejadian nikah via online, sebagaimana
diberitakan Kompas.com, calon pengantin pria berinisial C
(33) asal Surabaya terpaksa melangsungkan prosesi ijab kabul
bersama wanita pujaannya berinisial F, yang merupakan
warga Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara, melalui video
call, Rabu (25/3/2020) pagi. Akad nikah via video call ini
sendiri dilakukan di rumah pengantin wanita inisial F di
Kelurahan Lamokato. Pak Abdul Wahab yang jadi
penghulunya mengatakan Prosesi ijab kabul via video call ini
mendapat respons yang sangat positif dari masyarakat Kolaka.
(https://regional.kompas.com/read/2020/03/25/15584791/
pasangan-ini-ijab-kabul-lewat-video-call-demi-cegah-
penyebaran-virus-corona, diakses 21 November 2021)
Seiring dengan kebijakan pemerintah dalam mengatasi
penularan pandemi Covid 19 yang membatasi jarak sosial dan
menganjurkan mengurangi tatap muka secara langsung, akad
nikah via online dirasa semakin menemukan momentumnya.
Nikah lewat online atau video call benar-benar telah terjadi dan
dilakukan khususnya di era pandemi covid 19 yang
berlangsung cukup lama.
Bagaimana pemerintah menyikapi hal ini. Pada tanggal
19 Maret 2020, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat
Islam mengeluarkan Surat Edaran Nomor 2 tahun 2020
119
tentang Imbauan & Pelaksanaan Protokol Penanganan Covid
19 Pada Area Publik Di Lingkungan Direktorat Jenderal
Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama. Pada
bagian ketentuan huruf E angka 1 huruf d, disebutkan:
“Menunda kegiatan mengumpulkan massa seperti resepsi
pernikahan dan acara keagamaan untuk menghindari
kerumunan”. Tak lama kemudian, pada tanggal 2 April 2020,
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian
Agama kembali mengeluarkan Surat Edaran nomor 3 tahun
2020 tentang Perubahan Atas Surat Edaran Direktur Jenderal
nomor 2 tahun 2020. Pada bagian ketentuan huruf 1 poin a
angka 7 disebutkan: “Pelaksanaan akad nikah secara online
baik melalui telepon, video call, atau penggunaan aplikasi
berbasis web lainnya tidak diperkenankan. (Mahardika Putera
Emas, 2020:70)
B. Pengertian Nikah Online
Tidak ada yang istimewa apalagi aneh dengan nikah
online kecuali hanya pada media akad nikah yang tidak lazim
yakni kedua pihak yang berakad tidak berada dalam satu
tempat atau ruang fisik yang sama. Kedua pihak yang berakad
meminjam atau menggunakan media online sebagai wasilah
seperti telepon atau video call ketika melangsungkan akad
nikah. Untuk melangsungkan nikah tentunya dengan
memenuhi syarat dan rukun-rukun yang dituntut syariat dan
juga administrasi negara. Nikah online berarti akad nikah yang
dilangsungkan menggunakan wasilah atau perantara seperti
telepon, video call berbasis aplikasi seperti Zoom, Google Meet,
Skype Whats App dan sejenisnya.
C. Pandangan Ulama Fikih
Mengingat topik ini yaitu masalah kontemporer,
tentunya jawaban yang diberikan harus merujuk ke ulama
120 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam
kontemporer maupun lembaga fatwa kontemporer. Dalam hal
ini penyusun ingin menampilkan fatwa yang diberikan
lembaga-lembaga fatwa dunia maupun ulama kontemporer
dalam menyikapi nikah via online.
Dewan Islam Suriah mengeluarkan fatwa tentang
kemungkinan akad nikah melalui media sosial. Dewan
mengatakan dalam sebuah pernyataan, bahwa ahli hukum
kontemporer berbeda mengenai hukum akad nikah melalui
sarana komunikasi antara yang melarang, membolehkan dan
mencegah. Akad nikah dengan cara modern misalnya dengan
menulis dan mengirim pesan, seperti pesan teks, email, atau
pesan suara, atau dengan komunikasi suara melalui telepon
atau program panggilan suara, dan panggilan video (suara
dan gambar). Dewan menganggap bahwa akad nikah dengan
menulis, korespondensi tertulis dan pesan suara tidak
diperbolehkan, karena adanya pemisahan antara ijab dan
qabul oleh kedua belah pihak, dan tidak adanya saksi untuk
ijab dan qabul. (https://www.enabbaladi.net/
archives/281699, diakses 13 November 2021)
Namun fatwa tersebut masih membuka kemungkinan
mengadakan pernikahan nikah melalui kontak telepon dan
program audio dengan syarat adanya wali wanita dan dua
orang saksi. Ditambah harus dipastikan kedua pasangan
memahami dan mendengar akad itu dengan baik, dan saksi
kedua belah pihak mendengar langsung dalam satu majlis
ketika ijab qabul berlangsung tanpa ada pemutusan atau
pemisahan yang lama, dan masing-masing pihak yang
berakad mendengar langsung pada waktu yang sama.
(https://www.enabbaladi.net/archives/281699, diakses 23
November 2021)
Adapun akad nikah melalui panggilan video (video call),
maka hal ini lebih layak untuk dibolehkan dari pada hanya
121
panggilan suara saja, mengingat model panggilan video ini
lebih jelas memudahkan para pihak yang berakad bukan
hanya suara saja sehingga kemungkinan salah orang atau
teripu menjadi tidak nihil. Majlis membolehkan akad nikah
melalui video call dengan tetap memperhatikan syarat dan
rukun nikah pada umumnya dan memastikan tidak ada
penipuan di masa yang akan datang.
(https://www.enabbaladi.net/archives/281699, diakses 23
November 2021).
Selanjutnya penulis kutip inti fatwa dari beberapa
lembaga fatwa kontemporer sebagai berikut :
Pertama, dalam Buhuts li Ba’dh an-Nawazil al-Fiqhiyyah al-
Mu’ashirah disebutkan banyak ulama yang membenarkan
pernikahan online seperti Muhammad Bakhit al-Muti’i,
Musthafa az-Zarqa, Wahbah az-Zuhaily, Abdullah bin Mani’
dan lain-lain, yang intinya, akad dianggap telah sempurna
terjadi dengan perantara online dengan syarat jelas dan
meyakinkan. Sandaran ulama ini yaitu :
1. Banyak ulama masa lalu berpendapat, akad bisa terjadi
dengan jalan korespondensi, dan bahwasanya ijab jika
terjadi setelah sampainya tulisan maka itu sah, demikian
pula melalui telepon.
2. Yang dimaksudnya dengan bersatunya majlis yakni
bersatunya zaman dan waktu di mana dua pihak yang
berakad melangsungkan akadnya, bukan berarti
keduanya berada dalam satu tempat. Jadi akad melalui
telepon maka masih satu waktu selagi masih
membicarakan akad. (Anonim, t.t, II : 12)
Syaikh Bin baz juga membenarkan nikah lewat telepon
setelah tentunya syarat dan rukun nikah terpenuhi. Telepon
pada dasarnya hanya wasilah saja, jadi akad nikah lewat
telepon yaitu sah secara syarak. (al-Qahthani, t.t, : 2289)
122 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam
Abdullah al-Faqih berfatwa bahwa perikahan melalui
telepon asal dapat dipastikan oleh wali dan saksi-saksi bahwa
suara dalam telepon itu yaitu orang yang berhak melakukan
akad maka tidak diragukan lagi bahwa akad pernikahn itu
yaitu sah. (Abdullah al-Faqih, III : 503)
D. Fatwa Mufti Suriah
Fatawa Mufti Suriah Nomor 21 Tanggal 7 Jumadi Tsani
1440 bertepatan 12 Februari 2018 menyatakan hal-hal yang
intinya sebagai berikut :
Akad nikah mesti memenuhi syarat dan rukun yang
utama seperti adanya ijab dari wali pengantin perempuan dan
qabul dari pengantin pria, rukun ini menujukkan bahwa
keduanya setuju dan sepakat dengan akad ini. Selain itu,
pernikahan yang sah juga harus memenuhi syarat syarat yang
terpenting yakni :
1. Persetujuan dan izin wali wanita.
2. Dihadiri dua saksi yang adil pada saat akad nikah
berlangsung.
Terkait akad nikah via medsos, maka ada beberapa hal
yang harus diperhatikan :
Pertama, hukum asal akad nikah yaitu dilakukan
secara langsung dengan hadirnya kedua belah pihak yakni
wali wanita dan pengantin pria disertai saksi-saksi.
Dimungkinkan pelaksanaan nikah di negeri mempelai pria
atau wanita, jika dirasa menyulitkan boleh mewakilkan
seseorang di negeri tempat dilangsungkannya akad nikah.
Mewakilkan akad nikah di mata ulama jelas boleh adanya.
Kedua, ada perbedaan pendapat di kalangan ulama
kontemporer tentang hukum akad nikah melalui sarana
komunikasi modern, sebagian ada yang melarang dan
123
sebagian lagi ada yang membolehkan dan ada yang bersikap
hati-hati.
Ketiga, adapun akad pernikahan melalui telepon dan
audio, maka itu disahkan oleh sekelompok ulama
kontemporer, asalkan semua prosedur yang menjamin
validitas akad nikah terpenuhi, dari kehadiran wali dan dua
saksi, memastikan kedua pasangan dengan pengetahuan atau
pendengaran, dan saksi mendengar untuk kedua pihak dalam
akad di satu majelis di mana tidak ada pemisahan atau
pemutusan, agar masing-masing pihak mendengar kata-kata
yang lain pada saat yang sama, maka ijab dari wali atau
wakilnya, diikuti dengan penerimaan dari suami atau
wakilnya segera, dengan memastikan aman dari penipuan dan
kesalahan, jika saksi terbatas pada mendengar ijab dari wali
saja, atau qabul dari suami, maka akad nikah tidak sah.
Keempat, adapun akad nikah dengan panggilan video,
itu lebih diizinkan daripada melalui panggilan suara; Para
pihak dalam akad dapat dilihat saat dilangsungkan akad
nikah dan pada saat ijab qabul, dan tidak adanya penipuan
dan kesalahan pada umumnya dan sering kali tidak ada
penipuan dan kesalahan. Maka diperbolehkan
melangsungkan akad nikah dengan model ini dengan tetap
menjaga ketentuan yang sudah disebutkan lalu.
Kami menekankan pentingnya mengambil semua
tindakan pencegahan yang diperlukan untuk memastikan
keabsahan pernikahan ini, meniadakan penipuan dan tertipu
darinya, dan mencegah perselisihan tentang hal itu di masa
depan, memastikan bahwa semua pihak mendengar apa yang
terjadi dalam akad, terutama saksi, dan memastikan bahwa
mereka memahami semua yang dikatakan, dengan
mengulangi pengucapan dengannya, dan masing-masing
pihak memelihara bukti terjadinya akad ini, baik melalui
124 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam
rekaman audio atau video, atau akad tertulis, dan sebagainya,
untuk menjadi alat pembuktian saat dibutuhkan nanti.
Ketiga: Jika pengetahuan tentang terpenuhinya syarat dan
rukun tidak terjadi, atau ada keraguan tentang hal itu, atau jika
para pihak dalam pernikahan tidak memverifikasi dan
mendengar satu sama lain, atau ketidakmampuan untuk
melangsungkan akad perkawinan secara bersambung dan
terus-menerus, atau adanya sesuatu yang menimbulkan
kecurigaan, atau kemungkinan kesalahan, atau adanya
penipuan atau manipulasi, walau dari salah satu pihak:
Penting untuk menahan diri dari membuat akad dengan cara-
cara ini, dan hendaknya memilih mendelegasikan pernikahan.
(https://sy-sic.com/?p=7442, diakses 12 November 2021)
E. Pandangan NU
Kemudian, fatwa dari Lembaga Bahtsul Masail Nadlatul
Ulama, yang menyatakan: “Menurut NU akad nikah tersebut
[melalui internet] tidak sah, karena sudah didasarkan atas
berbagai pertimbangan, karena pernikahan melalui alat bantu
elektronik tidak bisa melakukan akad secara langsung.
Langsung dimaksud yaitu keterlibatan wali, dan pengantin
pria. Kedua, keren saksi tidak melihat & mendengar suara
secara langsung pelaksanaan akad dan saksi hadir di majelis
akad. Di dalam akad nikah disyaratkan lafaz yang (jelas).
Pernikahan melalui alat elektronik ini tergolong (samar-
samar)” (Burhanuddin, 2017: 13).
F. Memahami Maksud Satu Majelis Menurut Muhammadiyah
Banyak ulama mensyaratkan ijab qabul harus satu
majelis. Nah, bagaimana maksud satu majelis ini? Dalam hal
ini ulama berbeda pendapat.
Menurut Majelis Tarjih, yang dimaksud dengan ijab
kabul dilakukan dalam satu majelis yaitu ijab dan kabul
125
terjadi dalam satu waktu. Yang lebih dipentingkan yaitu
kesinambungan waktu bukan tempat. Menurut Majelis Tarjih,
para ulama imam mazhab sepakat tentang sahnya akad ijab
dan kabul yang dilakukan oleh dua pihak yang berjauhan
melalui sarana surat atau utusan. Misalnya ijab dan kabul
dilakukan melalui surat atau utusan dari wali yang dikirimkan
kepada calon suami. Jika akad ijab dan kabul melalui surat,
calon suami membaca surat yang berisi ijab dari wali di
hadapan para saksi, lalu segera mengucapkan kabul, maka
akad dipandang dilakukan dalam satu majelis. Jika akad ijab
dan kabul melalui utusan, utusan menyampaikan ijab dari
wali pada calon suami di hadapan para saksi, setelah itu calon
suami segera mengucapkan kabul, maka akad dipandang
telah dilakukan dalam satu majelis. Oleh sebab itu, jika akad
ijab dan qabul melalui surat atau utusan disepakati
kebolehannya oleh ulama mazhab, maka akad ijab dan kabul
menggunakan fasilitas telepon dan video call tentunya lebih
layak lagi untuk diizinkan. Kelebihan video call yang lain, para
pihak yakni wali dan calon suami mengetahui secara pasti
kalau yang melakukan akad ijab dan qabul betul-betul pihak-
pihak terkait, karena gambar dan suara dapat dilihat dan
didengar langsung. Sedangkan jika melalui surat atau utusan,
bisa saja terjadi pemalsuan. (http://tabligh.id/fatwa-tarjih-
muhammadiyah-akad-nikah-via-video-call/, diakses 23
November 2021)
Pendapat ini sesuai dengan pendapat Imam Ahmad bin
Hanbal yang menginterpretasikan satu majelis dalam arti non
fisik bukan masalah tempat. Imam Abu Hanifah serta fukaha
dari Kufah menyetujui pandangan Ahmad bin Hanbal
tersebut. Keharusan bersambungnya ijab dan kabul dalam
satu waktu upacara akad tidak hanya diwujudkan dengan
bersatunya ruangan secara fisik. Jika wali mengucapkan
ijabnya dengan pengeras suara dari satu ruangan dan
126 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam
langsung disambut oleh calon suami dengan ucapan kabul
melalui pengeras suara dari ruangan lain serta masing-masing
mendengar ucapan yang lain dengan jelas, akad nikah itu
dapat dipandang sah. Berkaitan dengan itu, menurut ulama
Mazhab Hanbali, keharusan dua orang saksi yaitu
mendengar dan memahami ucapan ijab dan kabul dari pihak
yang berakad serta mengetahui betul bahwa ucapan itu dari
pihak yang berakad. Menurut mereka, saksi tidak harus
melihat langsung kedua pihak yang berakad ketika akad
berlangsung. Artinya, dengan pendapat ini ijab kabul dengan
telepon atau video call sah hukumnya.
(https://www.republika.co.id/berita/dunia-
islam/fatwa/16/08/03/obavus313-akad-nikah-via-video-
call-sahkah, diakses 15 November 2021)
Kini setelah teknologi informasi sedemikian maju,
ulama berbeda pendapat, apakah persyaratan satu majelis ini
tetap berlaku, atau kah boleh terpisah selama mereka bisa
melakukan komunikasi secara langsung. Menyikapi hal ini
berkembang dua pendapat.
Pendapat pertama, harus satu tempat secara hakiki.
Ini keputusan yang dikeluarkan Majma’ al-Fiqh al-Islami.
Keputusan no. 52 (3/6) tentang hukum melakukan akad
dengan media komunikasi zaman sekarang. Ada beberapa
akad yang berlaku dan sah dilakukan secara jarak jauh, seperti
jual beli. Selama memenuhi konsekuensi transaksi.
Kemudian Majma’ menyebutkan pengecualian,
إن القوا9د السابقة لا شمل النكاح لاشتراط الإشهاد فه
Bahwa kaidah-kaidah tentang akad jarak jauh di atas,
tidak berlaku untuk akad nikah. Karena disyaratkan harus ada
saksi. (Ibnu Utsaimin, t.t : 2)
127
Demikian pula yang difatwakan Lajnah Daimah,
dengan pertimbangan,
1. Mudahnya orang melakukan penipuan, dan meniru suara
orang lain.
2. Perhatian syariat dalam menjaga kehormatan dan
hubungan lawan jenis
3. Kehati-hatian dalam masalah akad nikah yang lebih besar
nilainya dibandingkan kehati-hatian dalam masalah
muamalah terkait harta,
Maka Lajnah Daimah menetapkan bahwa akad nikah
tidak diperkenankan menggunakan alat komunikasi jarak
jauh untuk melangsungkan akad nikah, dalam rangka
mewujudkan maqasid syariah dan menutup celah terjadinya
pelanggaran dari pihak yang tidak bertanggung jawab. (Ibnu
Utsaimin, t.t : 2)
Kedua, boleh tidak satu tempat, selama mereka bisa
komunikasi langsung.
Selama saksi bisa memastikan bahwa orang yang
bersangkutan yaitu wali atau pengantin lelaki, dan dia yakin
tidak ada penipuan dalam komunikasi jarak jauh ini, dan
semua dilakukan dengan lancar tanpa terputus maka sudah
bisa dihukumi satu majelis. Ini merupakan pendapat Dr.
Abdullah al-Jibrin.
Dalam syarh beliau untuk Umdatul Fiqh, beliau
mengatakan,
ويجوز #لى الصحیح إجراء عقد النكاح مع تبا#د اما8ن تواaد الزوج والولي والشهود
، وذ¡ عن طریق الشCبكة العالمیة )الإنترنت( ، فيمكن ¨ٔطراف العقد والشهود
:شتراك جمیعاً في مجلس وا1د حكما ًوإن كانوا م¢با#د®ن في الحققة ، فÏسمعون
128 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam
ال=م في نفس الوقت ، فكون الإيجاب ، ویلیه فوراً القول ، والشهود ®رون الولي
والزوج ، و¿سمعون >*ما في نفس الوقت
Boleh melakukan akad nikah menurut pendapat yang
sahih, sekalipun di posisi berjauhan, yang melibatkan
pengantin pria, wali, dan saksi. Dan itu dilakukan melalui
internet. Sehingga memungkinkan untuk dilakukan akad dan
persaksikan dalam waktu bersamaan, dan dihukumi
(dianggap) satu majelis. Meskipun hakikatnya mereka
berjauhan. Mereka bisa saling mendengar percakapan dalam
satu waktu. Setelah Ijab lalu langsung disusul dengan qabul
segera. Sementara saksi bisa melihat wali dan pengantin
lelaki. Mereka bisa menyaksikan ucapan keduanya dalam
waktu yang sama.
Lalu beliau menegaskan,
فهذا العقد صحیح، لعدم إمكان التزو®ر <ٔو تقلید ا¨ٔصوات
Akad ini sah, karena tidak mungkin ada penipuan atau
tiru-tiru suara…
Menarik juga disinggung sekilas di sini, NU sebagai
ormas Islam terbesar di Indonesia cenderung berpendapat
nikah via video call tidak sah dan semestinya dihindari. Sebagai
solusi dianjurkan untuk menunjuk wakil yang bisa melakukan
akad secara langsung. Sedang Muhammadiyah cenderung
membolehkan dan mengesahkan pernikahan via video call
sebagai salah satu pembaharuan hukum. (Al-Maliki & Jahar,
2020: 136-151).
G. Kesimpulan
Perkembangan teknologi informasi-komunikasi sudah
canggih sedemikian rupa. Jarak dan waktu seakan sudah tidak
ada lagi permasalahan. Komunikasi ratusan bahkan ribuan
kilo meter sudah tidak ada kendala lagi. Maka dari itu,
129
teknologi ini mulai menggoda sebagian orang untuk
melakukan akad nikah dengan wasilah ini.
Pada dasarnya, pernikahan dengan video call tidak ada
lagi yang perlu diragukan dan dikhawatirkan keaslian dan
kebenaran orangnya. Sehingga pernikahan online tidak
sepantasnya ditolak atau tidak dilayani petugas. Apalagi di
musim pandemi ini, di mana orang berkumpul dibatasi
sedemikian rupa.
Pihak yang melarang nikah online biasanya karena
kekhawatiran ini itu yang kurang berdasar. Takut kena tipu,
takut dicurangi dan lain sebagainya. Jika nikah online
diakomodir tentu akan semakin meringankan masyarakat.
Dari pemaparan di atas, dapat penulis simpulkan bahwa
dalam perspektif maqasid al-syariah, akad nikah dengan
media video call pada masa ini dapat dibenarkan, namun
dengan beberapa ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi
seperti alat yang dipakai dan jaringan yang digunakan benar-
benar dapat digunakan untuk berhubungan sehingga tercapai
maqshad realtime. Bahwa salah satu metode maqoshid yaitu
membedakan antara maqshad dan wasilah. Ketentuan Ittihad
al-majlis dari pendapat para ‘ulama madhhab menurut penulis
yaitu wasilah untuk maqshad dari tidak adanya
kemungkinan ghurur dalam akad.
130 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam
Daftar Pustaka
Al-Maliki, Muhammad Alwi, dan Asep Saepudin Jahar. "Dinamika
Hukum Akad Nikah Via Teleconference di Indonesia." Jurnal
Indo-Islamika 10.2 (2020): 136-151.
Amin, M. Misbahul. "Studi Analisis Akad Nikah Menggunakan Video
Call Perspektif Maqoshid Al-Syariah Dan Undang-undang No. 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan." Usratuna: Jurnal Hukum
Keluarga Islam 3.2 (2020): 88-108.
Burhanuddin, M. (2017). Akad Nikah Melalui Video Call dalam
Tinjauan Undang-Undang Perkawinan dan Hukum Islam di
Indonesia. Skripsi: Universitas Alauddin Makassar. Software
al-Maktabah al-Sya>milahVersi 3.62.
Emas, Mahardika Putera. "Problematika Akad Nikah Via Daring dan
Penyelenggaraan Walimah Selama Masa Pandemi Covid-19."
Batulis Civil Law Review 1.1 (2020): 68-78.
Hadikusuma, Arya Wira. "Keabsahan Ijab Kabul Melalui Telepon Dan
Skype (Studi Dalam Perspektif Pasal 27 Sampai Dengan Pasal 29
Kompilasi Hukum Islam)." Kumpulan Jurnal Mahasiswa Fakultas
Hukum (2015).
Hamzah, Abdun Nashir, Aqd az-Zawaj Abra Wasail al-Ittishal al-
Haditsah, Jamiah al-Jazair, Tesis 2014.
https://islamqa.info/ar/answers/105531/ حكم-اجراء-عقد-النكاح-عن-
طریق-الھاتف-والانترنت , diakses 12 November 2021.
https://sy-sic.com/?p=7442, diakses 23 November 2021.
NIKAH POLIGAMI
A.
Kontroversialnya nikah poligami rasanya tidak akan
habis-habis dibahas baik dari kalangan cerdik cendekia hingga
orang awam. Pada masa dulu umumnya poligami bebas
melenggang di tengah masyarakat tanpa ada protes yang
berarti. Laki-laki merasa memiliki hak istimewa untuk
menikahi wanita lebih dari satu apalagi jika ia berasal dari
kaum bangsawan dan hartawan atau tokoh agama.
Namun mulai awal abad XX, gugatan demi gugatan,
keberatan demi keberatan terhadap praktik poligami semakin
deras disuarakan oleh kalangan aktivis perempuan. Di tanah
air keberatan dan kritikan terhadap poligami sudah
disuarakan oleh RA Kartini. Dalam perkembangannya
disuarakan terus oleh organisasi wanita terutama yang
berhaluan ‘nasionalis sekuler’.
Perjuangan panjang kaum hawa ini mencapai titik
puncak sekaligus kompromi dengan dipersulitnya poligami
melalui ketentuan UU Nomor 1 Tahun 1974 sebagai langkah
kompromi dengan kelompok pendukung poligami. UU
perkawinan menganut asas monogami terbuka, artinya
hukum asal perkawinan yaitu monogami, namun poligami
132 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam
masih sedikit terbuka jika memang memenuhi syarat-syarat
untuk itu.
Dulu memang banyak yang meyakini poligami sebagai
sesuatu yang sunah, atau sekurangnya dianggap mubah. Kini
poligami tidak lagi dianggap sunah ataupun mubah, namun ia
hanya sebuah rukhshah yang dibuka sempit bagi pria ‘pilihan’
dan ‘pemberani’ yang tetap ingin menikah lebih dari satu.
Bahkan beberapa aktivis jender mengusulkan bahwa poligami
itu haram lighairih atau haram karena faktor ekses yang
ditimbulkan. Namun demikian, boleh dikata, mainstream
pandangan ulama dan cendekiawan muslim kontemporer
cenderung memandang hukum poligami yaitu sebagai
sebuah rukhshah yang baru dapat ditempuh setelah melalui
persyaratan dan kondisi yang ketat, bukan mubah apalagi
sunah.
B. Pengertian Poligami
Poligami yaitu sebuah pernikahan di mana seorang
suami memiliki pada waktu bersamaan lebih dari seorang
istri. Praktik ini cukup mudah ditemukan di berbagai belahan
dunia. Studi yang dilakukan GP Murdock pada awal tahun
1940 membuktikan bahwa, masyarakat di dunia umumnya
familier dengan poligami. Dari berbagai bangsa lintas suku,
agama, ras didapati bahwa hanya 19 % masyarakat yang
mempraktikkan monogami, sisanya mempraktikkan
poligami. (Jamilah, 2006 : 2).
C. Hukum Poligami dalam Fikih
Di kalangan ulama fikih, hampir sudah menjadi sebuah
konsensus bersama akan kebolehan (kemubahan) poligami
bagi yang mampu bersikap adil dan menyediakan nafkah.
Perbincangan mereka pada umumnya, bukan mempersoalkan
keabsahan poligami, namun lebih terfokus pada berapa
133
jumlah istri yang dapat dinikahi dalam waktu yang
bersamaan.
Zaki ‘Ali al-Sayyid Abu Ghudhdhah dalam buku al-
Zawaj wa al-Talaq wa al-Ta’addud Baina al-Adyan wa al-Qawanin
wa Du’at al-Taharrur, menandaskan kebolehan poligami dalam
Islam didasarkan pada Al-Quran, al-Sunah dan juga praktik
Nabi Muhammad SAW dan para sahabat.(Abu Ghudhdhah,
t.t : 205)
Secara singkat, pandangan para ulama dalam
menyikapi poligami dari dahulu hingga sekarang dapat
dikelompokkan menjadi tiga pandangan besar :
1. Pandangan yang meyakini poligami sebagai sesuatu yang
hukumnya sunah, atau sekurangnya mubah tanpa
persyaratan yang macam-macam dan memberatkan. Pada
umumnya ulama klasik dan tengah serta ulama
tradisionalis-fundamentalis menganut keyakinan ini.
2. Pandangan yang memahami poligami sebagai rukhsah
atau pintu darurat. Pemahaman seperti ini banyak dianut
oleh ulama tafsir kontemporer dan cendekiawan muslim
yang moderat. (Khoiruddin Nasution, 2009 : 131) Dalam
pemahaman Asghar Ali Engineer, Al-Quran sebenarnya
“enggan” menerima institusi poligami, namun karena
kondisi kala itu masih menghendaki kemudian, maka
yang bisa dilakukan hanyalah membatasi sampai jumlah
empat. (Asghar Ali Engineer, 112)
Termasuk berdiri dalam jajaran kelompok ini yaitu
tokoh pembaharu dari Mesir Muhammad Abduh (1849-1905).
Menurutnya, persoalan poligami yang terdapat dalam ayat 3
al-Nisa’ berkaitan erat dengan konteks ayat perihal
memperlakukan anak yatim dan larangan memanfaatkan
harta benda mereka meskipun dengan perantaraan melalui
perkawinan. Tatkala seseorang merasa khawatir akan
134 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam
memakan atau mengonsumsi harta anak (perempuan) yatim
yang bakal dinikahinya maka ia harus tidak menikah
dengannya, sebab Allah telah memberi pilihan untuk
menikahi perempuan-perempuan lain yang disukai hingga
empat orang. Namun apabila ia juga khawatir tidak akan
mampu berlaku adil kepada para istri tersebut maka wajib
baginya untuk menikah dengan hanya satu orang saja.(Ridha,
1999 : IV : 284)
Pendapat dari sudut pandang yang lain namun tetap
seirama dikemukakan oleh Qasim Amin (1865-1908). Ia
membenarkan bahwa ayat 3 surat al-Nisa’ itu sepintas lalu
memang mengisyaratkan kebolehan poligami, namun
sebenarnya jika direnungkan menyiratkan ancaman bagi
pelaku poligami. Pada hakikatnya seorang suami yang akan
berpoligami sudah tahu bahwa dirinya sebenarnya tidak
sanggup berlaku adil. Jadi sebelum melakukannya, ia sudah
diliputi perasaan khawatir (tidak sanggup berlaku adil). Oleh
karena itu kebolehan poligami hanya ditujukan bagi orang-
orang tertentu yang sangat yakin bahwa dirinya tidak akan
terjerumus dalam perilaku aniaya. Untuk itu, yang tahu persis
tentang hal ini hanya Tuhan dan dirinya sendiri.(Qasim Amin,
t.t : 155-156).
Pandangan yang menganggap poligami itu dilarang
atau sekurangnya dianggap haram lighairihi. Pada umumnya
kelompok feminis muslim dan pegiat jender menganut
pendirian ini.
Di antara pegiat jender muslimah di tanah air yang
berpendapat bahwa poligami itu haram lighairih yaitu Siti
Musdah Mulia. Dalam bukunya Islam Menggugat Poligami ia
menulis, “...Mengingat dampak buruk poligami dalam
kehidupan sosial, poligami dapat dinyatakan haram lighairih
(haram karena eksesnya)”. (Mulia, 2004: 194)
135
D. Batas Maksimal Istri yang Dipoligami
1. Menurut jumhur ulama hanya empat orang.
Ulama jumhur dari kalangan Sunni, termasuk imam
mazhab yang empat umumnya berpendapat, bahwa
maksimal seorang pria boleh berpoligami dalam waktu
bersamaan yaitu empat orang istri.
Ibnu Katsir, salah seorang mufassir yang sering
dirujuk dalam tafsirnya mengutip pernyataan Imam al-
Syafi’i sebagai berikut :
قال الشافعي: وقد دَلkت سCنة رسول الله صلى الله #لیه وسلم المبϰة عن الله <ٔنه
لا يجوز ¨ٔ1د Âير رسول الله صلى الله #لیه وسلم <ٔن يجمع بين <ٔكثر من <ٔربع ?سوة.
Berkata asy-Syafi’i: Sunah Rasulullah SAW sebagai
penjelas dari Allah menunjukkan bahwa seseorang selain
Rasulullah SAW tidak diperbolehkan menikahi wanita
lebih dari empat. (Ibnu Katsir, II : 209)
Dijelaskan pula dalam kitab al-‘Inayah Syarh al-
Hidayah sebagai berikut :
)وَِلحُْرِّ <uنْ یتزَََوkجَ <uرْبعًَا مِنْ الحَْرَاÚِرِ وَالاْã
مَاءِ ، وَلÏَسَْ Þَُ <uنْ یتزَََوkجَ <uكْثرََ مِنْ ذَ¡َِ
( لِقَوْÞِِ تعََالىَ } فاَ9ْكِحُوا مَا طَابَ لكمَُْ مِنْ ال¶ّ ِسَاءِ مَ@نىَْ وَثلاَُثَ وَرُ0َعَ { وَالتkنْصِیصُ
#لىََ العَْدَدِ یمَْنعَُ الزِّìَدَةَ #لَیَْهِ
Bagi orang merdeka, boleh menikahi empat wanita
merdeka dan budak, namun ia tidak boleh menikah lebih
banyak dari itu, berdasarkan firman Allah ta’ala, ‘maka
nikahilah wanita yang kamu senangi dua, tiga atau empat,
dan penyebutan bilangan itu menunjukkan tidak boleh
lebih dari jumlah itu. (al-Babarti, IV : 375)
Ibnu Hazm dari mazhab Zahiri lebih jauh
menyatakan dalam Kitab al-Muhalla :
136 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam
ولا يحل لا1د <ٔن یتزوج <ٔكثر من <ٔربع ?سوة اماء <ٔو حراÚر <ٔو بعضهن حراÚر
وبعضهن اماء.
Tidak halal bagi seseorang untuk menikahi wanita
lebih dari empat baik dari kalangan budak atau merdeka,
atau sebagian merdeka dan budak.(Ibnu Hazm, IX : 441)
Ibnu Hazm juga menyatakan dalam kitab Maratib al-
Ijma’ sebagai berikut :
وَاتkفَقُوا #لى <uن 9ِكاَح <ٔكثرمن <uربع زَوْaَات لاَ يحل ¨ٔ1د بعد رَسُول الله صلى الله
#لَیَْهِ وَسلم
Para ulama sepakat bahwasanya tidak halal bagi
seseorang sepeninggal Rasulullah SAW menikahi wanita
lebih dari empat. (Ibnu Hazm, I : 63)
Ulama Fikih kontemporer dari Suriah, Wahbah al-
Zuhaili menjelaskan dalam al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu :
لا يجوز لرaل في مذهب <ٔهل السCنة <ٔن یتزوج <ٔكثر من <ٔربع زوaات في عصمته
في وقت وا1د ولو في #دة مطلقة، فإن <ٔراد <ٔن یتزوج بخامسة، فعلیه <ٔن یطلق
إ1دى زوaاته ا¨ٔربع، وی¶¢ظر حتى تنقضي #دتها، ثم یتزوج بمن <ٔراد؛ ¨ٔن النص
القر<نيٓ لا یGح لرaل <ٔن يجمع بين <ٔكثر من <ٔربع في وقت وا1د
Tidak boleh bagi seorang pria menurut mazhab ahl
sunnah wal jama’ah untuk menikahi wanita lebih dari empat
dalam waktu bersamaan walaupun dalam iddah cerai. Jika
ia ingin menikah yang kelima, ia wajib menceraikan dulu
salah seorang istrinya yang empat itu sembari menunggu
iddahnya telah selesai lantas baru bisa menikah lagi
dengan wanita yang disenangi, karena nash Al-Quran
tidak memperbolehkan seorang pria menikahi wanita
lebih dari empat dalam waktu bersamaan. (Az-Zuhaily, IX:
158)
137
Ibnu Qudamah, salah seorang ulama besar madhhab
Haanbali menjelaskan dalam ash-Sharh al-Kabir :
<ٔجمع <ٔهل العم #لى ان الحر لا يحل Þ ان يجمع بين <ٔكثر من <ٔربع زوaات لا نعلم
<ٔ1دا منهم áالف في ذ¡ : شÏôا يحكي عن القاسم {ن ا{راهيم <ٔنه ا0ح ëسعا
Para ahli ilmu telah ijma’ bahwasanya seorang pria
merdeka tidak halal menikah wanita lebih dari empat istri.
Kami tidak mengetahui seorang pun yang berbeda
pandangan dalam hal ini, kecuali segelintir orang yang
dihikayatkan dari al-Qasim bin Ibrahim bahwasanya ia
membolehkan maksimal sampai sembilan istri. (Ibnu
Qudamah, VII : 497)
Jika kita buka lembaran kitab-kitab tafsir dan fikih
lebih banyak lagi, kiranya tidak berlebihan jika dikatakan,
bahwa mayoritas kitab-kitab tersebut untuk tidak
mengatakan semuanya, membatasi jumlah maksimal
perkawinan poligami yaitu dengan empat orang istri.
Namun dalam tulisan ini, apa yang disebutkan di atas
kiranya sudah mencukupi.
2. Pendapat Kedua, Maksimal 9 Orang Istri
Menurut Qasim bin Ibrahim, sebagaimana
diterangkan oleh Ibnu Qudamah dalam ash-Sharh al-Kabir,
boleh bagi pria menikahi wanita sampai 9 orang wanita.
Sedang menurut penjelasan Ibnu al-Humam dalam Fath al-
Qadir beliau mengatakan, yang berpendapat boleh
menikahi wanita sampai 9 istri yaitu kelompok Rafidah.
(Ibnu al-Humam, VI : 417) Dalam kitab Hashiyah al-
Bujairimi ‘ala al-Khatib diterangkan, bahwa sebagian ulama
Khawarij juga memiliki pandangan boleh berpoligami
sampai sembilan orang istri. Berikut kutipan teks Arabnya:
138 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam
وَقاَلَ بعَْضُ الخَْوَارِج ِ: ا¨ْیٓةَُ تدَُل¬ #لىََ جَوَازِ ëِسْع ٍمَ@نىَْ 0ِثنْينَِْ .وَثلاَُثَ بِثلاََثٍ ،
وَرُ0َعَ بِ·uرْبعَ ٍ، وَمَجْمُوعُ ذَ¡َِ ëِسْعٌ .
Sebagian Khawarij berpendapat : Ayat tersebut
menunjukkan kebolehan memiliki istri sampai sembilan,
karena masna berarti dua, sulasa berarti tiga, dan ruba’a
berarti empat, jika dijumlah berarti sembilan. (al-Bujairimi,
X : 43)
Al-Mawardi dalam al-Hawi al-Kabir menerangkan
yang berpendapat kebolehan bagi pria menikahi sampai
sembilan orang yaitu al-Qasim dan pengikutnya serta
ulama Zaidiyyah.
وَحُكيَِ عَنِ القَْاسمِِ {ْنِ ا
ã
{ْرَاهِيمَ وَمَنْ ?سُِبَ ا
ã
لىَ مَقَالتَِهِ مِنَ القَْاسمِِیkةِ وَطَائِفَةٍ مِنَ الزkیدِْیkةُ
: <uنkهُ يحَِل¬ Þَُ 9ِكاَحُ ëِسْعٍ
Dihikayatkan dari al-Qasim bin Ibrahim dan orang
yang dinisbahkan kepada perkataannya dari kelompok al-
Qasimiyyah dan golongan Zaidiyah bahwasanya
dihalalkan menikahi wanita sampai sembilan orang. (al-
Mawardi, IX : 480)
Demikian penjelasan ringkas golongan dan ulama
yang berpendapat boleh bagi pria menikahi wanita dalam
perkawinan poligami sampai maksimal sembilan orang.
Namun pendapat seperti ini kurang populer di tengah-
tengah masyarakat muslim khususnya di Indonesia.
3. Pendapat Ketiga, Maksimal 18 Istri.
Menurut penuturan Ibnu al-Humam yang menukil
riwayat dari al-Nakha’i dan Ibnu Abi Laila, bahwa
golongan Khawarij memiliki paham seperti ini, yakni
seorang pria dapat menikahi wanita sampai delapan belas
orang dalam waktu bersamaan. (Ibnu al-Humam, VI : 417)
139
Penjelasan dalam Kitab Hashiyah al-Bujairimi ‘ala al-
Khatib kiranya dapat melengkapi penjelasan di atas.
وَبعَْضٌ مِنهْمُْ قاَلَ : تدَُل¬ #لىََ ثمََانِیَةَ عَشرََ مَ@نىَْ اثنْينَِْ اثنْينَِْ ، وَثلاَُثَ ثلاََثةٍَ ثلاََثةٍَ
وَرُ0َعَ <uرْبعََةٍ <uرْبعََةٍ وَمَجْمُوعُ ذَ¡َِ مَا ذُكِرَ .وَهَذَا خَرْقٌ لِلاْ
ã
جمَْاع ِ
Sebagian dari golongan Khawarij berpendapat, ayat
itu menunjukkan kebolehan menikahi wanita sampai 18,
karena masna berarti dua-dua, sulasa berarti tiga-tiga, dan
ruba’a berarti empat-empat yang ketika dijumlah berarti
18. Namun penafsiran seperti ini merobek-robek ijma’. (al-
Bujairimi, X : 43)
4. Pendapat Keempat, Tidak Ada Batas Maksimal, Boleh
Seberapa Saja yang Ia Mau.
Bersumber dari penuturan Ibnu al-Humam, beliau
secara spesifik tidak menyebut dari kelompok mana yang
memiliki pandangan seperti ini. Beliau hanya menulis :
وَحُكيَِ عَنْ بعَْضِ النkاسِ إ0َ1َةُ <uيِّ #دََدٍ شَاءَ بِلاَ حَصرٍْ1
Dihikayatkan dari sebagian manusia akan
kebolehan menikahi wanita sebanyak yang ia mau tanpa
ada batasannya. (Ibnu al-Humam, VI : 614)
Sayangnya, Ibnu al-Humam tidak menyebut siapa
yang berpendapat seperti ini. Dalam praktik, pendapat
seperti ini secara sadar atau tidak, memang masih ada
dijumpai di berbagai suku dan bangsa. Di zaman kerajaan
Islam Jawa pun, seorang raja yang secara formal beragama
Islam dan dikelilingi penasihat dari kalangan ulama, tidak
jarang mempraktikkan poligami tanpa batas. Biasanya
satu dijadikan istri utama (garwo padmi) dan selebihnya
1
140 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam
sebagai selir untuk tidak mengatakan (maaf) sebagai
simpanan (klangenan dalam Bahasa Jawa).
Tak jauh berbeda, raja-raja muslim, termasuk para
sultan penguasa Turki Usmani juga memiliki harem
dengan jumlah selir (gundik) yang nyaris tak terbatas.
Langsung atau tidak, praktik ini sebagai sebuah bentuk
pemahaman bahwa poligami itu boleh tak terbatas.
E. Pengetatan Poligami
Dalam soal poligami, Islam selangkah maju dengan
sejumlah pembatasan. Menurut ‘Abdun Nasir Taufiq al-‘Attar
ada empat batasan atau perbaikan yang diajarkan Islam untuk
poligami. Keempat batasan itu mencakup hal-hal seperti
disebutkan berikut ini :
1. Dibatasi dari segi jumlah istri yang bisa dinikahi maksimal
hanya empat.
2. Dilarang memadu istri dengan saudara perempuannya,
atau bibinya, atau anak perempuannya.
3. Batasan ketiga, diwajibkan suami berlaku adil terhadap
istri-istrinya.al-‘Aththar, t.t : 89)
Batasan-batasan tersebut pada dasarnya sebagai upaya
koreksi dan sekaligus perbaikan Islam terhadap praktik
poligami yang dijumpai saat kedatangan Islam kala itu yakni
poligami yang jumlahnya tak terbatas serta ketiadaan keadilan
yang memadai dalam perkawinan poligami.
Sedang pengetatan dalam legislasi berbentuk keharusan
izin ke pengadilan sebelum melangsungkan pernikahan
poligami. Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang
suami untuk beristri lebih dari seorang (poligami), dengan
ketentuan:
1. Suami wajib mengajukan permohonan ke Pengadilan di
daerah tempat tinggalnya, dengan syarat:
141
a. Ada persetujuan dari istri/istri-istri, dengan catatan
persetujuan ini tidak diperlukan jika:
1) Istri/istri-istrinya tidak mungkin dimintai
persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak
dalam perjanjian;
2) Tidak ada kabar dari istri selama minimal 2 tahun;
atau
3) Sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat
penilaian dari hakim pengadilan.
b. Adanya kepastian suami mampu menjamin
keperluan hidup istri-istri dan anak-anak;
c. Adanya jaminan suami akan berlaku adil terhadap
istri-istri dan anak-anak.
2. Pengadilan hanya memberikan izin poligami jika:
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya;
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak
dapat disembuhkan;
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan. (ahmad rofiq,
2017 : 140-145)
Adapun izin tersebut diberikan pengadilan jika
berpendapat adanya cukup alasan bagi pemohon (suami)
untuk beristri lebih dari seorang. Setelah mengantongi izin
dari pengadilan, izin itu dilampirkan ke petugas KUA jika
akan menikah lagi. Dengan izin ini pasangan suami istri
tersebut dapat dinikahkan dan perkawinannya tercatat
secara sah di mata negara.
Jika perkawinan poligami tidak mengikuti prosedur
ini, dapat dipastikan perkawinan itu ilegal dan biasanya
hanya nikah sirri saja. Jumlah poligami sirri jelas jauh lebih
banyak dari yang mengikuti prosedur poligami. Maka dari
itu hendaknya kita menghindarinya.
142 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam
F. Kesimpulan
Perkawinan poligami termasuk pernikahan yang
kontroversial. Kontroversialnya lebih kepada penolakan
sejumlah kalangan terutama kaum perempuan. Dari sisi fikih
sebenarnya keberadaan poligami dihukumi mubah dengan
syarat-syarat tertentu.
Namun karena tekanan sana-sini cukup kuat, akhirnya
poligami di masa kini diposisikan sebagai sesuatu yang ‘aib’
dan menjadi gunjingan dan cibiran banyak pihak. Sehingga
pelaku poligami baik yang resmi, apalagi yang tidak resmi,
sering diposisikan sebagai pasangan yang tidak percaya diri
dalam penampilan sehari-hari.
Poligami memang tidak mudah dan berat, jadi tidak
sembarang orang layak menempuhnya. Hanya pria yang
memiliki kemampuan lebih, baik harta, ilmu, maupun jiwa
kepemimpinan yang layak untuk menjalani ini. Dan satu lagi
yang wajib dipenuhi yaitu kemampuan bersikap adil
terhadap istri-istri dan anak-anaknya. Tanpa ini semua, besar
kemungkinan poligami hanya akan menambah masalah dan
keruwetan dalam kehidupan.
Sebagai penutup layak kita camkan peringatan dari
Nabi SAW di bawah ini.
Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ كاَنتَْ Þَُ امْرَ<uMَنِ فمََالَ ا
ã
لىَ ا
ã
1ْدَاهمَُا aَاءَ یوَْمَ القَِْامَةِ وَشِق¬هُ مَائِلٌ
“Siapa yang memiliki dua orang istri lalu ia cenderung
kepada salah seorang di antara keduanya, maka ia datang
pada hari kiamat dalam keadaan badannya miring.” (HR. Abu
Daud, Ibnu Majah, An Nasai)
Jadi kalau yakin tidak mampu adil maka, menikahlah
secara monogami saja!
NIKAH DENGAN NIAT TALAK
A.
Menikah dalam Islam pada dasarnya diajarkan untuk
sekali dan buat selamanya. Maka dari itu nikah Mut’ah atau
nikah temporal yang dibatasi waktu sepakat dilarang dalam
fikih Sunni. Mirip-mirip dengan ini yaitu nikah yang sejak
awal sudah diniatkan akan bercerai selama waktu tertentu
yang dalam bahasa fikih dikenal dengan sebutan nikah biniyyat
at-thalaq.
Dalam Alquran sendiri pernikahan disebut mitsaqan
ghalizan artinya perjanjian yang kokoh dan agung. Hal ini
terkandung pesan agar supaya pernikahan itu dijaga baik-
baik dan tidak mudah diputus atau bercerai di tengah jalan.
Sungguhpun demikian, jika ada alasan tertentu yang
kuat maka tali nikah dapat saja diputus melalui talak atau
khuluk. Talak tidak ditutup sama sekali mengingat tidak ada
yang bisa menjamin sebuah pernikahan mesti bahagia atau
cocok sama pasangannya.
Namun bagaimana jika ada orang menikah sejak awal
sudah diniatkan untuk bercerai setelah jangka waktu tertentu.
Apalagi jika hal ini dirahasiakan dan disembunyikan dari
calon istri dan keluarga calon istri. Tentunya hal ini akan
menyakitkan dan merugikan. Masih sedikit lebih baik kalau
145
sejak awal diberitahukan seperti nikah Mut’ah yang akan
bercerai otomatis setelah jangka waktu tertentu.
B. Pengertian Nikah dengan Niat Talak
Nikah dengan niat talak yaitu sebuah pernikahan di
mana calon suami sejak awal sudah memiliki niat untuk
menceraikan istri selama jangka waktu tertentu setelah
urusannya selesai. Jadi niatnya menikah hanya untuk jangka
waktu tertentu. Hanya saja niat ini dirahasiakan dan
disembunyikan dari calon istri dan keluarganya. Misalnya
seseorang bekerja di suatu daerah selama tiga bulan, atau
mengikuti diklat selama enam bulan, kemudian ia menikahi
wanita setempat dengan niat kalau pekerjaan atau diklatnya
sudah selesai, maka ia bermaksud menceraikannya.
Ibnu al-Humam, salah seorang ulama terkemuka
mazhab Hanafi menjelaskan nikah dengan niat talak yaitu
apabila seseorang menikah dengan seorang perempuan
dengan maksud akan menalaknya setelah lewat beberapa
waktu yang telah ia niatkan. (Ibnu al-Humam, 1970, : III : 249).
Sedang al-Baji dari ulama mazhab Maliki
mendefinisikan nikah dengan niat talak sebagai nikah yang
dilakukan oleh seseorang tetapi tidak bermaksud membina
pernikahan untuk seterusnya tetapi hanya bertujuan
memperoleh kesenangan beberapa waktu lamanya lalu
setelah itu ia menalak istrinya tersebut. (al-Baji, 1332 : III : 335)
C. Pandangan Fuqaha’
Mayoritas ulama berpendapat, ketika ada seorang yang
menikah tanpa menentukan atau menyebutkan batas waktu
tertentu dalam akad, tetapi di dalam hatinya ada niat untuk
menalak istrinya setelah beberapa waktu atau setelah ia
menyelesaikan urusannya di tempat ia tinggal maka akad
nikah seperti ini yaitu sah hukumnya. (al-Asyqar, 2000: 218)
146 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam
Dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah
dijelaskan:
Para ulama berbeda pendapat masalah nikah dengan
niat talak. Mazhab Hanafi, Maliki dan Syafi’i serta menurut
satu qaul dalam mazhab Hanbali yang ditegaskan dalam al-
Mughni dan syarh menyatakan bahwa jika seseorang
menikahi wanita dengan niat akan menalaknya setelah satu
bulan atau lebih atau kurang maka nikahnya sah, sama saja
apakah wanita atau walinya itu tahu atau tidak niat ini. Hal
ini karena tidak ada hal yang membatalkan akad, termasuk
adanya niat menalak tidak merusak akad, mengingat
terkadang orang bisa saja meniatkan sesuatu yang tidak
dilakukan atau melakukan sesuatu yang tidak diniatkan.
Selain itu pembatasan waktu hanya dengan ucapan, bukan
hanya sekedar niat. Mazhab Syafi’i menjelaskan, pernikahan
ini dimakruhkan sebagai bentuk jalan keluar dari kelompok
yang membatalkan pernikahan ini. Mengingat setiap hal yang
bisa membatalkan jika diutarakan, maka dibenci jika
disembunyikan. Mazhab Hanbali menurut pendapat yang
sahih serta al-Auza’i berpendapat nikah dengan niat talak
yaitu batal karena ia termasuk bagian dari nikah Mut’ah.
Bahram dari ulama mazhab Maliki berpendapat demikian
juga jika si wanita mengerti niat yang disembunyikan
suaminya itu. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, 41 :
344)
Ibnu al-Humam dari mazhab Hanafi menyatakan,
apabila seseorang menikah dengan niat dalam hati bahwa
akan menceraikan istrinya suatu saat, maka nikahnya sah,
karena yang diperhitungkan dalam menentukan perceraian
yaitu melalui lafaz yang di ucapkan bukan niat yang ada
dalam hati. (Ibnu al-Humam, 1970 : III : 33)
147
Menurut al-Baji salah seorang ulama mazhab Maliki,
siapa yang menikahi seorang wanita tetapi tidak bermaksud
melanggengkan hubungan pernikahannya, melainkan hanya
bermaksud hidup bersama untuk sementara waktu yang tidak
tertentu lamanya, lalu suatu saat ia bermaksud
menceraikannya maka pernikahan seperti ini dibolehkan.
Namun menurut Imam Malik meskipun itu dibolehkan tetapi
bukan suatu perbuatan yang baik dan bukan akhlak yang
terpuji. (al-Baji, 1332, III : 335)
Imam Syafi’i sendiri menyatakan, apabila akad nikah
dilakukan secara mutlak tanpa ada sesuatu yang disyaratkan
(seperti akad hingga batas waktu tertentu) di dalamnya maka
akad nikah tersebut tetap dihukumi sah, dan niat tidak
berpengaruh apa-apa terhadap pernikahan itu dikarenakan
niat merupakan bahasa hati, sedangkan pikiran apa pun yang
tertulis dalam jiwa seseorang tidak berdampak apa-apa
sebelum terwujud dalam bentuk perbuatan. (asy-Syafi’i, V :
86)
Imam Nawawi dalam Syarh Sahih Muslim mengutip
pernyataan al-Qadhi ‘Iyyadh sebagai berikut :
قاَلَ القَْاضيِ : وَ<uجمَْعُوا #لىََ <uنk مَنْ 9كََحَ 9ِكاَ1ًا مُطْلقًَا وَنِÏk¢ه <uلاk یمَْكُث مَعَهَا اã
لاk مُدkة نوََاهَا
ف°َِكاَ1ه صحَِیح 1َلاَل ، وَلÏَسَْ 9ِكاَح مُ¢ْعَة ، وَا
ã
نkمَا 9ِكاَح المُْتْعَة مَا وَقعََ 0ِلشرkْطِ المَْذْكُور
، وَلكَِنْ قاَلَ مَا¡ِ : لÏَسَْ هَذَا مِنْ <uáْلاَق النkاس ، وَشَذk ا¨ْuوْزَاعِي¬ فقََالَ : هُوَ 9ِكاَح
مُ¢ْعَة ، وَلاَ áَيرْ فِهِ . وَاَ²k <u#ْلمَ . شرح النووي #لى مسلم ـ مشكول )5/ 76(
Imam Al-Qadhi (Iyyadh) menyatakan : Para ulama
sepakat, sesungguhnya seorang yang menikah secara mutlak
(lepas tanpa adanya syarat cerai di dalamnya), dan dia niatkan
hanya untuk beberapa waktu sesuai yang dia niatkan bersama
wanita tersebut, maka nikahnya sah dan halal, bukan
termasuk nikah Mut’ah. Adapun nikah Mut’ah (ala Syi’ah)
148 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam
hanya terjadi dengan adanya syarat (cerai dalam waktu
tertentu yang dimasukkan dalam akad) sebagaimana telah
disebutkan. Akan tetapi Imam Malik menyatakan : Ini (nikah
dengan niat cerai) bukan termasuk akhlak manusia (yang
baik). (an-Nawawi, V : 76)
Menarik sekali komentar dari Imam Malik yang
menyatakan, nikah dengan niat talak bukanlah akhlak orang
beragama yang layak dilakukan. Karena secara akal sehat
perbuatan ini jelas merupakan bentuk pengkhianatan dan
pengelabuan terhadap sebuah kesucian pernikahan. Apalagi
jika si istri sudah tulus mencintai dan mempercayai suaminya,
tak tahunya dibalas dengan pengkhianatan yang bisa jadi
sama sekali tidak pernah ia duga.
Ibnu Qudamah dalam al-Mughni menyatakan, apabila
seseorang menikah tanpa ada persyaratan apa pun tetapi
dalam hati seseorang itu terdapat maksud menceraikannya
setelah lewat satu bulan atau setelah keperluannya di suatu
tempat sudah selesai, maka nikahnya sah menurut mayoritas
ulama. (Ibnu Qudamah, XV : 257)
Argumen yang dimajukan ulama yang membolehkan
dengan mengutip hadis berikut ini :
عَنْ <uبىِ هُرَ®ْرَةَ قاَلَ قاَلَ رَسُولُ ا²kِ -صلى الله #لیه وسلم- » ا
ã
نk ا²kَ تجََاوَزَ ³̈مkتىِ مَا
1َدkثتَْ بِهِ <uنفُْسَهَا مَا لمَْ یتََكلَkمُوا <uوْ یعَْمَلوُا بِهِ «. صحیح مسلم ـ مشكول وموافق لمطبوع
)1/ 81(
Dari Abu Hurairah ia berkata, bersabda Rasulullah
SAW, “Sesungguhnya Allah tidak menanggapi apa yang
tersirat dalam hati umatku, selama ia belum mengucapkannya
atau pun melakukannya.(HR Muslim)
Jadi apa yang terbersit yang masih berupa niat tidaklah
teranggap sebagai sebuah kesalahan atau dosa. Namun
argumen ini lemah, karena kalau orang sudah niat, besar
149
kemungkinan akan dilakukan. Niat yang tidak baik juga
mestinya dihindari agar tidak merugikan orang lain.
Selain itu, kelompok yang membolehkan juga
mengajukan dalil aqli, nikah yang dilakukan dengan niat talak
merupakan nikah yang bersifat mutlak yang memenuhi
semua rukun dan syarat nikah sehingga tidak ada celah untuk
mengatakan bahwa nikah ini tidak sah.
Menurut hemat penulis, kelompok yang membolehkan
hanya berdasar pada legal formal akad saja namun
mengabaikan maksud dan tujuan serta moralitas hukum.
Hukum tidak boleh mengabaikan moral dan tujuan
pernikahan, keduanya terkait erat dan harus
dipertimbangkan. Sehingga wajar kalau ada ulama yang
menghukumi pernikahan ini sah namun dosa atau terlarang.
Ahmad Sarwat dalam bukunya menjelaskan dalil yang
dipakai ulama yang membolehkan prinsipnya ada 3 yakni,
niat tidak merusak akad, niat belum sampai pada amal, serta
talak sendiri bukanlah sesuatu yang haram. (Ahmad Sarwat,
2019: 310-311)
Sementara itu, minoritas ulama yang dimotori Imam al-
Auza’i menyatakan nikah dnegan niat talak yaitu nikah yang
batal dan termasuk bagian dari nikah Mut’ah. Beliau
berpendapat bahwa jika seorang suami menikah dengan
meniatkan talak kepada istrinya itu sama halnya dengan ia
mensyaratkannya dan pernikahan semacam ini tidaklah sah,
karena menurutnya pernikahan tersebut semacam dengan
nikat Mut’ah yakni berakhir dalam waktu tertentu.
Dalam kitab al-Istidzkar, diriwayatkan al-Auza’i berkata,
“Jika seorang pria menikahi wanita tanpa syarat, namun
dalam hati ia berniat hanya menikahinya satu bulan atau
seperti itu, kemudian ia menceraikannya, maka ini yaitu
150 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam
nikah Mut’ah dan tidak ada kebaikan di situ.”. Teks Arabnya
berbunyi :
وقال ا¨ٔوزاعي لو >زوÜا بغير شرط ولك°ه نوى <ٔن لا يحGسها إلا شهرا <ٔو نحوه فطلقها
فهUي م¢عة ولا áير فه ):سCتذكار الجامع لمذاهب فقهاء ا¨ٔمصار )5/ 449(
Sementara itu, mufassir kontemporer Muhammad
Rasyid Ridha mengecam keras nikah dengan niat talak
dengan komentarnya :
Bahwa sikap keras para ulama Salaf (terdahulu) dan
khalaf (yang datang belakangan) dalam mengharamkan nikah
Mut’ah menunjukkan atas pengharaman mereka terhadap
nikah dengan niat talak, meskipun para ahli Fiqih menyatakan
bahwa akad nikah dianggap sah jika seseorang berniat
menikah untuk beberapa waktu saja tanpa mensyaratkannya
di dalam shighah akad. Akan tetapi menyembunyikan niat
talak tersebut termasuk tipuan dan kecurangan sehingga hal
itu dinilai lebih dekat dengan kebatilan daripada sebuah akad
yang dengan terang-terangan mensyaratkan adanya jenjang
waktu yang telah diridai antara pihak laki-laki, wanita dan
wali. Tidak ada kerusakan yang disebabkan oleh nikah
semacam ini kecuali berbuat curang terhadap ikatan
kemanusiaan yang sangat agung dan lebih mengutamakan di
ladang syahwat antara para penikmat syahwat laki-laki dan
wanita yang menimbulkan kemungkaran. Jika dalam akad
pernikahan tersebut tidak disyaratkan adanya jenjang waktu,
maka yang demikian itu termasuk penipuan dan kecurangan
yang akan menyebabkan kerusakan dan permasalahan seperti
permusuhan dan kebencian serta hilangnya kepercayaan
sampai pun kepada orang yang benar-benar akan menikah
secara sah dan serius, yaitu untuk saling menjaga antara
suami dan istri, adanya keikhlasan di antara keduanya dan
151
saling tolong-menolong dalam membangun rumah tangga
yang sakinah.” (Rasyid Ridha, 1990 : V : 15)
Seterusnya, termasuk yang melarang nikah dengan niat
talak yaitu Syaikh al-Utsaimin, setelah melihat bahaya yang
mungkin timbul jika pernikahan ini dibolehkan. (al-Asyqar,
2000 : 224)
Alasan yang dikemukakan ulama yang melarang di
antaranya :
1. Penekanan pada persyaratan selamanya dalam
pernikahan seperti syarat sah nikah, hal ini yaitu perkara
yang sudah disepakati para ulama, hal ini menuntut
pencegahan nikah dengan niat talak.
2. Menyembunyikan niat terhadap istri dan keluarganya
yaitu sebuah penipuan yang menuntut lebih pantas
dibatalkan daripada nikah Mut’ah.
3. Banyak kerusakan yang timbul dari pernikahan ini seperti
permusuhan dan kebencian antar keluarga.
4. Membuka jalan bagi orang yang memiliki niat buruk
untuk mempermainkan pernikahan.
5. Bisa menghilangkan kepercayaan masyarakat sampai
orang yang berniat baik pun bisa jadi kena getahnya. (al-
Asyqar, 2000 : 224-225).
Sementara itu Ibnu Taimiyah memandang bahwa nikah
dengan niat talak yaitu makruh, hal ini dapat dilacak dalam
pernyataannya dalam kitabnya al-Fatawa al-Kubra “ Apabila si
suami mempunyai niat menalaknya setelah menyelesaikan
urusan di suatu tempat, maka yang demikian itu
dimakruhkan. (Ibnu Taimiyah, t.t , IV : 72, al-Manshur, 2004:
38)
Selain Ibnu Taimiyah, ulama Syafi’iyyah secara umum
juga menganggap makruh pernikahan model ini, sebagai
152 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam
bentuk kompromi dengan ulama yang menganggap batal
pernikahan jenis ini.
D. Pentarjihan
Dengan memperhatikan maksud dan tujuan luhur
pernikahan yang dimaksudkan berlangsung selamanya, maka
nikah dengan niat talak jelas tidak ideal dan tidak dianjurkan
untuk dipraktikkan. Sehingga wajar banyak ulama
kontemporer yang mengecam pernikahan ini, karena hampir
pasti dampak negatifnya lebih besar dari manfaatnya.
Membolehkan dan mengesahkan pernikahan ini jelas
akan membuka pintu kerusakan yang luas di tengah
masyarakat. Di samping akan memunculkan banyaknya
perceraian yang sudah diniatkan/direncanakan sejak awal,
juga merugikan dan menyakitkan bagi istri dan keluarga istri
karena ternyata suaminya sudah merencanakan perceraian
sejak awal sedang ia sama sekali tidak menduganya.
Pernikahan jenis ini juga terkesan mempermainkan
pernikahan yang sakral dan agung hanya sekedar untuk
dipermainkan dalam tempo minggu, bulan atau tahun.
Sehingga tidak heran kalau al-Asyqar lebih memilih
menguatkan pendapat al-Auza’i yang melarang nikah dengan
niat talak. (al-Asyqar, 2000 : 228) Pendapat yang melarang dan
mengharamkan nikah dengan niat talak juga dikemukakan
oleh Shaleh bin Abdul Aziz al-Manshur. Secara tegas ia
menulis :
“Menurut pendapat saya nikah dengan niat talak tidak
sesuai dengan syariat Islam karena itu hukumnya haram dan
batil”.
Lebih lanjut ia menangkis argumen ulama-ulama yang
membolehkan termasuk secara khusus menyediakan
153
bantahan untuk pendapat Ibnu Taimiyah pada lembaran-
lembaran berikutnya. (al-Manshur, 2004 : 40 dst)
E. Kesimpulan
Nikah dengan niat talak sudah seharusnya dilarang dan
dicegah agar tidak menimbulkan kerusakan dan keguncangan
di tengah-tengah masyarakat. Jika ulama Sunni keras
terhadap nikah Mut’ah, mengapa malah menolerir pernikahan
yang sejak awal sudah direncanakan untuk diakhiri di tengah
jalan.
Jika dibanding nikah Mut’ah, nikah dengan niat talak
jelas lebih buruk dan tidak bertanggungjawab. Karena dalam
nikah Mut’ah sejak awal istri dan keluarganya tahu dan sadar
bahwa ia dinikahi untuk tempo waktu tertentu dan setelah itu
otomatis akan bercerai. Sehingga jika ia mau itu artinya dia
rela dan siap. Sedang nikah dengan niat talak, si istri tidak
tahu kalau dia akan diceraikan di tengah jalan. Jika ia tahu
mau dicerai di tengah jalan, besar kemungkinan ia dan
keluarganya tidak mau dan tidak rela. Jelas ini perbuatan
tidak ksatria dan bertanggungjawab yang bisa memicu
keributan antara suami dengan keluarga istri.
Memang urusan syahwat kelamin butuh penjagaan dan
pengaturan ekstra agar tidak menimbulkan ekses-ekses
negatif di tengah masyarakat. Maka bentuk-bentuk nikah
yang masih kontroversial sudah selayaknya dijauhi dan
ditinggalkan. Jika nekat juga, maka sejumlah masalah sangat
mungkin akan ditemukan kemudian hari.
Sebuah pernikahan dinilai kontroversial jika keabsahannya
diperdebatkan, menimbulkan pro kontra di tengah masyarakat
dan cenderung dianggap lebih besar mudaratnya. Nikah yang
dibahas dalam buku ini memenuhi salah satu atau bahkan ketiga
kriteria tersebut.
Nikah kontroversial juga terasa menonjol dari sisi hanya
untuk pemenuhan kebutuhan biologis suami. Sehingga aroma
‘memanjakan’ syahwat terasa tercium kental dalam pernikahan
ini. Sedang posisi wanita dan anak jika lahir dari perkawinan ini
cukup rawan dan berisiko tinggi jika terjadi apa-apa





.jpeg)
.jpeg)





