Tampilkan postingan dengan label Nikah kontroversi 3. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Nikah kontroversi 3. Tampilkan semua postingan

Nikah kontroversi 3

 



nanggung jawab tunggal di rumah tersebut, atau ia 

memiliki cacat sedang keluarganya khawatir akan 

mendapatkan perlakuan di luar kemampuannya, 

suaminya pun tidak bosan masih sering berkomunikasi 

dengannya, atau karena ia mempunyai anak-anak dan 

tidak bisa pindah ke rumah suami barunya, dan masih 

banyak lagi sebab-sebab yang lain. 

3. Keinginan sebagian laki-laki yang sudah menikah untuk 

menjaga kehormatan sebagian wanita lain karena 

kebutuhan mereka akan hal itu, atau ia menikah lagi 

karena kebutuhannya untuk sebuah kenikmatan yang 

dibolehkan, namun tidak merugikan rumah tangga 

pertama dan anak-anaknya. 

4. Keinginan seorang suami untuk menyembunyikan 

pernikahan keduanya dari istri pertamanya; karena 

khawatir akan merusak hubungan rumah tangga dengan 

istri pertamanya. 

5. Banyaknya laki-laki yang bepergian ke luar negeri tertentu 

dengan waktu yang cukup lama, dan bisa dipastikan 

bepergiannya tersebut jika ditemani istri akan lebih aman 

dari pada sendirian. (https://islamqa.info/id/answers/ 

82390/pernikahan-Misyar-definisi-dan-hukumnya, 

diakses 23 November 2021) 

Sebab-sebab maraknya nikah Misyar menurut Usamah 

Umar Sulaiman al-Asyqar yaitu   sebagai berikut : 

1. Banyaknya wanita yang terlambat menikah padahal usia 

sudah  melebihi umumnya wanita menikah, ditambah 

banyaknya janda baik karena cerai hidup maupun cerai 

mati. 

2. Sebagian pria ada yang ingin poligami baik karena godaan 

di sekelilingnya, atau istrinya sakit atau problem lain, 

namun ia tidak punya harta cukup untuk menikah lagi, 

109 

sedang dalam nikah Misyar suami dibebaskan dari 

kewajiban mahar, nafkah tempat tinggal dan lain-lain. Hal 

ini tentu akan disambut oleh lelaki yang dalam posisi 

seperti ini. (al-Asyqar, 2000 : 167-170). 

E. Pandangan Ulama Fikih 

Sebelum membahas hukum nikah Misyar, di masa lalu 

para ulama sudah membahas sebuah pernikahan yang mirip 

dengan nikah Misyar yakni apa yang disebut dengan nikah 

nahariyat dan nikah lailiyat. Nikah ini dihukumi batal oleh 

Imam Ahmad dan Malikiyah serta mayoritas Hanafiyah. 

Namun sekelompok kecil ulama membolehkan jenis 

pernikahan nahariyat ini. (al-Asyqar, 2000 : 171-173) 

Terkait dengan hukum nikah Misyar paling tidak ada 

tiga pendapat dalam menyikapi nikah Misyar. Menurut 

penuturan Muhammad Ibrahim Sa’d an-Nadi dalam bukunya 

az-Zawaj al-Mustahdas wa mauqif al-Fqih al-Islami minhu Dirasah 

Fiqhiyah Muqaranah, ada tiga pandangan ulama sehubungan 

dengan hukum nikah Misyar. 

Pendapat pertama, boleh mutlak. Di antara ulama yang 

membolehkan nikah Misyar yaitu   Syaikh Bin Baz, Syaikh 

Abdul Aziz bin Abdullah Alu Syaikh, Syaikh Abdullah bin 

Abdurrahman al-Jibrin, Syaikh Yusuf Muhammad al-

Muthlak, Syaikh Ibrahim bin Shalih al-Khudhari, Syaikh al-

Azhar Muhammad Sayyid Tanthawi dan lain-lain. (al-hajilan, 

2009: 156 dst., al-Muthlaq, 1423 : 112-116) di antara tokoh 

utama yang membolehkan nikah Misyar yaitu   Syaikh Yusuf 

al-Qardhawi. 

Di antara argumen yang dikemukakan oleh ulama yang 

membolehkan nikah Misyar yaitu  : 

Atsar dari Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari jalur 

Manshur yang menyatakan : 

110 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam 

عن الحسن، وعطاء، <ٔنهما كا– »لا ®رìن ب·سٔا بتزويج ا'نهارìت» 

Dari Hasan al-Bashri dan Atha bin Abi Rabah, bahwa 

kedua ulama ini berpendapat bolehnya pernikahan  nahariyat. 

(Mushannaf Ibn Abi Syaibah, 16559). 

Nikah nahariyat artinya pernikahan di mana sang istri 

dikunjungi hanya pada waktu-waktu tertentu saja, misalnya 

hanya siang hari saja. 

Riwayat lain yang digunakan  ada riwayat dari Amir as-

Sya’bi, 

عن #امر الشعبي <ٔنه سCئل عن الرaل ®كون Þ امر<ٔة ف‘تزوج المر<ٔة، فÏشترط لهذه یوماً 

ولهذه یومين؟ قال : لا ب·سٔ به 

Dari Amir as-Sya’bi bahwa beliau ditanya tentang 

seorang lelaki yang sudah memiliki istri, kemudian dia 

berpoligami dengan menikahi wanita lain. Kemudian dibuat 

kesepakatan, untuk istri kedua gilir sehari dan istri pertama 

dua hari. As-Sya’bi memfatwakan, ”Tidak masalah dengan 

nikah seperti ini.” (Mushannaf Ibn Abi Syaibah, 16566). 

Dalam sunah telah tetap bahwa Saudah binti Zam’ah 

menghadiahkan jatah gilirannya kepada Siti Aisyah dan 

Rasulullah SAW menerimanya, hal ini menunjukkan bahwa 

istri boleh menggugurkan sebagian haknya kepada siapa yang 

dikehendaki, sehingga istri juga bisa menggugurkan haknya 

yang lain seperti nafkah, tempat tinggal dan lain-lain. (al-

Asyqar, 2000 : 178) 

Pendapat kedua, boleh dengan karahah (makruh). Wahbah 

az-Zuhaili, Yusuf al-Qardhawi, Syaikh Abdullah bin Mani`, 

Syaikh Su’ud Syuraim, Ahmad Haji al-Kurdi, Mahmud Abu 

Lail termasuk di barisan yang membolehkan dengan karahah. 

(al-Muthlaq, 1423 : 116-120, al-Asyqar, 2000 : 175) Muhammad 

111 

Ibrahim Sa’d an-Nadi sendiri menguatkan pendapat yang 

membolehkan dengan karahah. (an-Nadi, 2011 : 48) 

Pada dasarnya ulama ini memandang dari segi syarat 

rukun sudah terpenuhi sehingga hukumnya sah, namun dari 

sisi dampak yang ditimbulkan lebih banyak negatifnya 

sehingga dihukumi sah dengan makruh. 

Pendapat ketiga, tidak boleh melakukan nikah Misyar. 

Tokoh utama dalam barisan ini yaitu   Syaikh Muhammad 

Nashiruddin al-Albani, Syaikh Abdul Aziz Musnid, Ajil Jasim 

an-Nasymi. (al-Muthlaq, 1423 : 120, ad-Duraiwisy, 2010 : 139, 

142) Sungguhpun melarang, ulama di barisan ini tidak 

menegaskan batalnya akad, tapi lebih pertimbangan kerugian 

dan kerusakan yang mungkin timbul dari pernikahan jenis ini. 

(al-Hajilan, 2009 : 164) 

Syeikh al- Albani pernah ditanya tentang hukum nikah 

Misyar, namun beliau melarangnya dilihat dari dua sisi: 

1. Tujuan menikah yaitu   tinggal bersama, sebagaimana 

firman Allah: 

)وَمِنْ <ٓ َìَتِهِ <uنْ áَلقََ لكمَُْ مِنْ <uنفُْسِكمُْ <uزْوَاaًا لِçسَْكُ°وُا ا

ã

'يهَْاَ وَجَعَلَ بÏَ°ْكمَُْ مَوَدkةً وَرَحمَْةً 

ا

ã

نk فيِ ذَ¡َِ ¨َٓ َìَتٍ لِقَوْمٍ یتََفَكkرُونَ ( الروم/21 

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah 

Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu 

sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram 

kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan 

sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-

benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (QS. 

Ar Ruum: 21) 

Pernikahan model Misyar ini tidak akan mampu 

merealisir tujuan mulia tersebut. 

2. Nantinya sepasang suami istri tersebut akan dikaruniai 

anak-anak, disebabkan jarak yang berjauhan dan 

112 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam 

jarangnya bertemu, maka akan menyebabkan dampak 

negatif kepada anak-anak mereka dalam hal pendidikan 

dan akhlak.  

Kelompok penentang nikah Misyar mengajukan 

beberapa argumen secara lebih lengkap seperti berikut ini: 

Dia memperkuat ini dengan enam bukti: 

1. Bahwa perkawinan ini yaitu   pengabaian terhadap akad 

perkawinan, dan bahwa para ahli hukum di masa lalu 

tidak membahas jenis ini, dan tidak ada sedikit pun rasa 

sahih di dalamnya. 

2. Bahwa akad ini dapat menjurus kepada kerusakan, artinya 

boleh jadi pelakunya menganggapnya sebagai 

pembenaran atas pilihan mereka, maka wanita tersebut 

mengatakan bahwa laki-laki yang mengetuk pintu 

rumahnya yaitu   suami Misyar saya, padahal sebenarnya 

bukan. Dan menutup pintu ini yaitu   bagian dari dasar 

Islam. 

3. Akad nikah Misyar melanggar tujuan syariat Islam, yaitu 

terbentuknya keluarga yang stabil. 

4. Akad nikah Misyar kebanyakan dilakukan secara 

sembunyi-sembunyi, dan hal ini cukup membawa kepada 

kerugian sehingga cukup alasan buat melarangnya. 

5. Bahwa seorang wanita dalam perkawinan ini dapat 

diceraikan suaminya jika sampai dia menuntut nafkah dari 

suaminya karena sebelumnya ia telah siap digugurkan hak 

nafkahnya. 

6. Bahwa perkawinan ini membawa dosa bagi suami karena 

mengakibatkan kerugian pada istri pertama, karena ia 

akan pergi kepada istri kedua tanpa sepengetahuannya 

dan akan menghabiskan waktu dan bergaul dengan istri 

ini dengan mengorbankan waktu dan hak istri pertama 

113 

untuk dipergauli. (https://www.fateh-gaza.com/post/ 

22263, akses 23 November 2021). 

F. Kesimpulan 

Nikah Misyar jika para pelakunya telah memenuhi 

syarat-syarat dan rukun-rukun nikah yang benar, seperti ijab 

qabul, walinya setuju, kedua saksi dan diumumkan, maka 

tidak diragukan lagi akad tersebut yaitu   sah.  

Namun hendaknya diingat, nikah ini tidak ideal dan 

tidak dianjurkan untuk dipraktikkan untuk masyarakat luas. 

Hal ini mengingat nikah jenis ini umumnya tidak dicatatkan, 

termasuk poligami liar, serta masih mungkin disalahgunakan 

pihak-pihak yang kurang bertanggung-jawab. Sehingga 

dikawatirkan timbul ekses-ekses negatif yang merugikan 

terutama istri dan anak-anaknya kelak. 

Nikah model ini dan sejenisnya terlalu didominasi 

keinginan untuk berhubungan seks semata atau untuk 

kesenangan syahwat belaka, bukan tujuan luhur lain dari 

sebuah pernikahan. Padahal ada tujuan nikah yang lebih 

esensial dan luhur dari sekedar pelampiasan syahwat secara 

halal, yakni berketurunan dan mengasuh serta mendidik anak 

agar tumbuh generasi pilihan di masa depan. Semoga kita 

terhindar dari bentuk pernikahan yang kontroversial dan 

tidak ideal. 

  

 

NIKAH ONLINE 

 

 

 

A.  

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah 

mempengaruhi kehidupan manusia di berbagai aspek 

kehidupan tak terkecuali di lapangan hukum. Di bidang 

telekomunikasi manusia telah mampu mendekatkan jarak 

seolah-olah jarak menjadi tidak ada lagi karena manusia di 

berbagai belahan bumi dengan mudah berkomunikasi satu 

sama lain. 

Lebih-lebih di era pandemi Covid 19, umat manusia di 

berbagai belahan dunia dipaksa lebih intens lagi bergumul 

dengan IT guna memudahkan dan melancarkan tugas dan 

urusan. Singkat kata teknologi informasi telah semakin 

menjadi kebutuhan umat manusia guna menunjang 

kelancaran tugas dan urusan hidupnya. 

Di bidang hukum keluarga khususnya muncul 

permasalahan terkait dengan penggunaan IT untuk 

melakukan peristiwa hukum tertentu. Misalnya yang sudah 

mulai, ada yang menggunakan sekaligus memunculkan 

pertanyaan keabsahannya yakni akad nikah melalui berbagai 

sarana online  baik lewat email, SMS, Whats App, video call 

(skype, Whats App, zoom, duo dan lain-lain). 

117 

Kisah pernikahan lewat telepon pernah terjadi pada 

tanggal 13 Mei 1989 di Jakarta. Akad nikah antara seorang laki-

laki bernama Ario Sutarto bin Soeroso Darmo Atmodjo warga 

Jakarta dengan seorang perempuan bernama Nurdiani 

Harahap binti H. Baharudin Harahap yang juga warga Jakarta. 

Yang unik dan menarik mempelai laki-laki sedang berada di 

Amerika Serikat karena masih studi, sementara kedua calon 

mempelai sama-sama terbentur persoalan biaya untuk pulang 

atau pergi ke Indonesia. 

Singkat cerita atas inisiatif dari pihak orang tua 

mempelai perempuan, akhirnya diusulkan prosesi akad nikah 

dilakukan melalui media telepon saja, kemudian pihak 

perempuan menghadap kepada kepala KUA Kebayoran Baru 

dan mendapatkan persetujuan maka akad tersebut 

dilaksanakan pada tanggal 13 Mei 1989 pukul 10.00 WIB atau 

pukul 22.00 waktu Indiana Amerika Serikat. Prosesi nikah 

diawasi langsung oleh kepala KUA. Selanjutnya melalui 

permohonan yang diajukan di Pengadilan Agama Jakarta 

Selatan dari wali perempuan atas isbat nikah tanggal 15 

Desember 1989, maka kemudian Pengadilan Agama Jakarta 

Selatan dengan pertimbangan-pertimbangan sebelumnya 

mengeluarkan Ketetapan Pengadilan Agama Jakarta Selatan 

No.1751/P/1089 menyatakan bahwa pernikahan melalui 

media telepon tersebut sah. (Arya Wirahadikusuma dkk., 2015 

: 2) Ini yaitu   salah satu contoh akad nikah melalui telepon 

yang diakui oleh hukum di Indonesia. 

Sementara lebih canggih dari sekedar nikah lewat 

telepon, di Indonesia untuk pertama kalinya dilangsungkan 

perkawinan via skype di kota Bandung antara Rita Sri Mutiara 

Dewi yang berada di Bandung dengan Wiriadi Sutrisno yang 

berada di California, Amerika Serikat. Perkawinan tersebut 

dilaksanakan di kantor Telkom Setia Budi Bandung yang 

118 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam 

dihadiri mempelai wanita, wakil mempelai, penghulu dan 

beberapa orang saksi serta sebuah mas kawin berupa emas 20 

gram. Teknologi yang digunakan yaitu   Virtual Private 

Network On Internet, agar suara bisa didengar secara real time 

digunakan clear chanel 007. Sehingga mempelai dapat bertatap 

muka melalui media layar dan para saksi yang berada di 

Bandung maupun California dapat juga melihat langsung 

jalannya proses ijab kabul. (Arya Wirahadikusuma dkk., 2015: 

3)  

Masih kejadian nikah via online, sebagaimana 

diberitakan Kompas.com, calon pengantin pria berinisial C 

(33) asal Surabaya terpaksa melangsungkan prosesi ijab kabul 

bersama wanita pujaannya berinisial F, yang merupakan 

warga Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara, melalui video 

call, Rabu (25/3/2020) pagi. Akad nikah via video call ini 

sendiri dilakukan di rumah pengantin wanita inisial F di 

Kelurahan Lamokato. Pak Abdul Wahab yang jadi 

penghulunya mengatakan  Prosesi ijab kabul via video call ini 

mendapat respons yang sangat positif dari masyarakat Kolaka. 

(https://regional.kompas.com/read/2020/03/25/15584791/

pasangan-ini-ijab-kabul-lewat-video-call-demi-cegah-

penyebaran-virus-corona, diakses 21 November  2021) 

Seiring dengan kebijakan pemerintah dalam mengatasi 

penularan pandemi Covid 19 yang membatasi jarak sosial dan 

menganjurkan mengurangi tatap muka secara langsung, akad 

nikah via online dirasa semakin menemukan momentumnya. 

Nikah lewat online atau video call benar-benar telah terjadi dan 

dilakukan khususnya di era pandemi covid 19 yang 

berlangsung cukup lama. 

Bagaimana pemerintah menyikapi hal ini. Pada tanggal 

19 Maret 2020, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat 

Islam mengeluarkan Surat Edaran Nomor 2 tahun 2020 

119 

tentang Imbauan & Pelaksanaan Protokol Penanganan Covid 

19 Pada Area Publik Di Lingkungan Direktorat Jenderal 

Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama. Pada 

bagian ketentuan huruf E angka 1 huruf d, disebutkan: 

“Menunda kegiatan mengumpulkan massa seperti resepsi 

pernikahan dan acara keagamaan untuk menghindari 

kerumunan”. Tak lama kemudian, pada tanggal 2 April 2020, 

Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian 

Agama kembali mengeluarkan Surat Edaran nomor 3 tahun 

2020 tentang Perubahan Atas Surat Edaran Direktur Jenderal 

nomor 2 tahun 2020. Pada bagian ketentuan huruf 1 poin a 

angka 7 disebutkan: “Pelaksanaan akad nikah secara online 

baik melalui telepon, video call, atau penggunaan aplikasi 

berbasis web lainnya tidak diperkenankan. (Mahardika Putera 

Emas, 2020:70) 

B. Pengertian Nikah Online 

Tidak ada yang istimewa apalagi aneh dengan nikah 

online kecuali hanya pada media akad nikah yang tidak lazim 

yakni kedua pihak yang berakad tidak berada dalam satu 

tempat atau ruang fisik yang sama. Kedua pihak yang berakad 

meminjam atau menggunakan media online sebagai wasilah 

seperti telepon atau video call ketika melangsungkan akad 

nikah. Untuk melangsungkan nikah tentunya dengan 

memenuhi syarat dan rukun-rukun yang dituntut  syariat dan 

juga administrasi negara. Nikah online berarti akad nikah yang 

dilangsungkan menggunakan wasilah atau perantara seperti 

telepon, video call berbasis aplikasi seperti Zoom, Google Meet, 

Skype Whats App dan sejenisnya. 

C. Pandangan Ulama Fikih 

Mengingat topik ini yaitu   masalah kontemporer, 

tentunya jawaban yang diberikan harus merujuk ke ulama 

120 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam 

kontemporer maupun lembaga fatwa kontemporer. Dalam hal 

ini penyusun ingin menampilkan fatwa yang diberikan 

lembaga-lembaga fatwa dunia maupun ulama kontemporer 

dalam menyikapi nikah via online.  

Dewan Islam Suriah mengeluarkan fatwa tentang 

kemungkinan akad nikah melalui media sosial. Dewan 

mengatakan dalam sebuah pernyataan, bahwa ahli hukum 

kontemporer berbeda mengenai hukum akad nikah melalui 

sarana komunikasi antara yang melarang, membolehkan dan 

mencegah. Akad nikah dengan cara modern misalnya dengan 

menulis dan mengirim pesan, seperti pesan teks, email, atau 

pesan suara, atau dengan komunikasi suara melalui telepon 

atau program panggilan suara, dan panggilan video (suara 

dan gambar). Dewan menganggap bahwa akad nikah dengan 

menulis, korespondensi tertulis dan pesan suara tidak 

diperbolehkan, karena adanya pemisahan antara ijab dan 

qabul oleh kedua belah pihak, dan tidak adanya saksi untuk 

ijab dan qabul. (https://www.enabbaladi.net/ 

archives/281699, diakses 13 November 2021) 

Namun fatwa tersebut masih membuka kemungkinan 

mengadakan pernikahan nikah melalui kontak telepon dan 

program audio dengan syarat adanya wali wanita dan dua 

orang saksi.  Ditambah harus dipastikan kedua pasangan 

memahami dan mendengar akad itu dengan baik, dan saksi 

kedua belah pihak mendengar langsung dalam satu majlis 

ketika ijab qabul berlangsung tanpa ada pemutusan atau 

pemisahan yang lama, dan masing-masing pihak yang 

berakad mendengar langsung pada waktu yang sama. 

(https://www.enabbaladi.net/archives/281699, diakses 23 

November 2021) 

Adapun akad nikah melalui panggilan video (video call), 

maka hal ini lebih layak untuk dibolehkan  dari pada hanya 

121 

panggilan suara saja, mengingat model  panggilan video ini 

lebih jelas memudahkan para pihak yang berakad bukan 

hanya suara saja sehingga kemungkinan salah orang atau 

teripu menjadi tidak nihil. Majlis membolehkan akad nikah 

melalui video call dengan tetap memperhatikan syarat dan 

rukun nikah pada umumnya dan memastikan tidak ada 

penipuan di masa yang akan datang. 

(https://www.enabbaladi.net/archives/281699, diakses 23 

November 2021). 

Selanjutnya penulis kutip inti fatwa dari beberapa 

lembaga fatwa kontemporer sebagai berikut : 

Pertama, dalam Buhuts li Ba’dh an-Nawazil al-Fiqhiyyah al-

Mu’ashirah disebutkan banyak ulama yang membenarkan 

pernikahan online seperti Muhammad Bakhit al-Muti’i, 

Musthafa az-Zarqa, Wahbah az-Zuhaily, Abdullah bin Mani’ 

dan lain-lain, yang intinya, akad dianggap telah sempurna 

terjadi dengan perantara online dengan syarat jelas dan 

meyakinkan. Sandaran ulama ini yaitu   : 

1. Banyak ulama masa lalu berpendapat, akad bisa terjadi 

dengan jalan korespondensi, dan bahwasanya ijab jika 

terjadi setelah sampainya tulisan maka itu sah, demikian 

pula melalui telepon. 

2. Yang dimaksudnya dengan bersatunya majlis yakni 

bersatunya zaman dan waktu di mana dua pihak yang 

berakad melangsungkan akadnya, bukan berarti 

keduanya berada dalam satu tempat. Jadi akad melalui 

telepon maka masih satu waktu selagi masih 

membicarakan akad. (Anonim, t.t, II : 12) 

Syaikh Bin baz juga membenarkan nikah lewat telepon 

setelah tentunya syarat dan rukun nikah terpenuhi. Telepon 

pada dasarnya hanya wasilah saja, jadi akad nikah lewat 

telepon yaitu   sah secara syarak. (al-Qahthani, t.t, : 2289) 

122 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam 

Abdullah al-Faqih berfatwa bahwa perikahan melalui 

telepon asal dapat dipastikan oleh wali dan saksi-saksi bahwa 

suara dalam telepon itu yaitu   orang yang berhak melakukan 

akad maka tidak diragukan lagi bahwa akad pernikahn itu 

yaitu   sah. (Abdullah al-Faqih, III : 503) 

D. Fatwa Mufti Suriah 

Fatawa Mufti Suriah Nomor 21 Tanggal 7 Jumadi Tsani 

1440 bertepatan 12 Februari 2018 menyatakan hal-hal yang 

intinya sebagai berikut : 

Akad nikah mesti memenuhi syarat dan rukun yang 

utama seperti adanya ijab dari wali pengantin perempuan dan  

qabul dari pengantin pria, rukun ini menujukkan bahwa 

keduanya setuju dan sepakat dengan akad ini. Selain itu, 

pernikahan yang sah juga harus memenuhi syarat syarat yang 

terpenting yakni : 

1. Persetujuan dan izin wali wanita. 

2. Dihadiri dua saksi yang adil pada saat akad nikah 

berlangsung. 

Terkait akad nikah via medsos, maka ada beberapa hal 

yang harus diperhatikan : 

Pertama, hukum asal akad nikah yaitu   dilakukan 

secara langsung dengan hadirnya kedua belah pihak yakni 

wali wanita dan pengantin pria disertai saksi-saksi. 

Dimungkinkan pelaksanaan nikah di negeri mempelai pria 

atau wanita, jika dirasa menyulitkan boleh mewakilkan 

seseorang di negeri tempat dilangsungkannya akad nikah. 

Mewakilkan akad nikah di mata ulama jelas boleh adanya. 

Kedua, ada perbedaan pendapat di kalangan ulama 

kontemporer tentang hukum akad nikah melalui sarana 

komunikasi modern, sebagian ada yang melarang dan 

123 

sebagian lagi ada yang membolehkan dan ada yang bersikap 

hati-hati.  

Ketiga, adapun akad pernikahan melalui telepon dan 

audio, maka itu disahkan oleh sekelompok ulama 

kontemporer, asalkan semua prosedur yang menjamin 

validitas akad nikah terpenuhi, dari kehadiran wali dan dua 

saksi, memastikan kedua pasangan dengan pengetahuan atau 

pendengaran, dan saksi mendengar untuk kedua pihak dalam 

akad di satu majelis di mana tidak ada pemisahan atau 

pemutusan, agar masing-masing pihak mendengar kata-kata 

yang lain pada saat yang sama, maka ijab dari wali atau 

wakilnya, diikuti dengan penerimaan dari suami atau 

wakilnya segera, dengan memastikan aman dari penipuan dan 

kesalahan, jika saksi terbatas pada mendengar ijab dari wali 

saja, atau qabul dari suami, maka akad nikah tidak sah. 

Keempat, adapun akad nikah dengan panggilan video, 

itu lebih diizinkan daripada melalui panggilan suara; Para 

pihak dalam akad dapat dilihat saat dilangsungkan akad 

nikah dan pada saat ijab qabul, dan tidak adanya penipuan 

dan kesalahan pada umumnya dan sering kali tidak ada 

penipuan dan kesalahan. Maka diperbolehkan 

melangsungkan akad nikah dengan model ini dengan tetap 

menjaga ketentuan yang sudah disebutkan lalu. 

Kami menekankan pentingnya mengambil semua 

tindakan pencegahan yang diperlukan untuk memastikan 

keabsahan pernikahan ini, meniadakan penipuan dan tertipu 

darinya, dan mencegah perselisihan tentang hal itu di masa 

depan, memastikan bahwa semua pihak mendengar apa yang 

terjadi dalam akad, terutama saksi, dan memastikan bahwa 

mereka memahami semua yang dikatakan, dengan 

mengulangi pengucapan dengannya, dan masing-masing 

pihak memelihara bukti terjadinya akad ini, baik melalui 

124 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam 

rekaman audio atau video, atau akad tertulis, dan sebagainya, 

untuk menjadi alat pembuktian saat dibutuhkan nanti. 

Ketiga: Jika pengetahuan tentang terpenuhinya syarat dan 

rukun tidak terjadi, atau ada keraguan tentang hal itu, atau jika 

para pihak dalam pernikahan tidak memverifikasi dan 

mendengar satu sama lain, atau ketidakmampuan untuk 

melangsungkan akad perkawinan secara bersambung dan 

terus-menerus, atau adanya sesuatu yang menimbulkan 

kecurigaan, atau kemungkinan kesalahan, atau adanya 

penipuan atau manipulasi, walau dari salah satu pihak: 

Penting untuk menahan diri dari membuat akad dengan cara-

cara ini, dan hendaknya memilih mendelegasikan pernikahan. 

(https://sy-sic.com/?p=7442, diakses 12 November 2021) 

E. Pandangan NU 

Kemudian, fatwa dari Lembaga Bahtsul Masail Nadlatul 

Ulama, yang menyatakan: “Menurut NU akad nikah tersebut 

[melalui internet] tidak sah, karena sudah didasarkan atas 

berbagai pertimbangan, karena pernikahan melalui alat bantu 

elektronik tidak bisa melakukan akad secara langsung. 

Langsung dimaksud yaitu   keterlibatan wali, dan pengantin 

pria. Kedua, keren saksi tidak melihat & mendengar suara 

secara langsung pelaksanaan akad dan saksi hadir di majelis 

akad. Di dalam akad nikah disyaratkan lafaz yang (jelas). 

Pernikahan melalui alat elektronik ini tergolong (samar-

samar)” (Burhanuddin, 2017: 13). 

F. Memahami Maksud Satu Majelis Menurut Muhammadiyah 

Banyak ulama mensyaratkan ijab qabul harus satu 

majelis. Nah, bagaimana maksud satu majelis ini? Dalam hal 

ini ulama berbeda pendapat. 

Menurut Majelis Tarjih, yang dimaksud dengan ijab 

kabul dilakukan dalam satu majelis yaitu   ijab dan kabul 

125 

terjadi dalam satu waktu. Yang lebih dipentingkan yaitu   

kesinambungan waktu bukan tempat. Menurut Majelis Tarjih, 

para ulama imam mazhab sepakat tentang sahnya akad ijab 

dan kabul yang dilakukan oleh dua pihak yang berjauhan 

melalui sarana surat atau utusan. Misalnya ijab dan kabul 

dilakukan melalui surat atau utusan dari wali yang dikirimkan 

kepada calon suami. Jika akad ijab dan kabul melalui surat, 

calon suami membaca surat yang berisi ijab dari wali di 

hadapan para saksi, lalu segera mengucapkan kabul, maka 

akad dipandang dilakukan dalam satu majelis. Jika akad ijab 

dan kabul melalui utusan, utusan menyampaikan ijab dari 

wali pada calon suami di hadapan para saksi, setelah itu calon 

suami segera mengucapkan kabul, maka akad dipandang 

telah dilakukan dalam satu majelis. Oleh sebab itu, jika akad 

ijab dan qabul melalui surat atau utusan disepakati 

kebolehannya oleh ulama mazhab, maka akad ijab dan kabul 

menggunakan fasilitas telepon dan video call tentunya lebih 

layak lagi untuk diizinkan. Kelebihan video call yang lain, para 

pihak yakni wali dan calon suami mengetahui secara pasti 

kalau yang melakukan akad ijab dan qabul betul-betul pihak-

pihak terkait, karena gambar dan suara dapat dilihat dan 

didengar langsung. Sedangkan jika melalui surat atau utusan, 

bisa saja terjadi pemalsuan. (http://tabligh.id/fatwa-tarjih-

muhammadiyah-akad-nikah-via-video-call/, diakses 23 

November 2021) 

Pendapat ini sesuai dengan pendapat Imam Ahmad bin 

Hanbal yang menginterpretasikan satu majelis dalam arti non 

fisik bukan masalah tempat. Imam Abu Hanifah serta fukaha 

dari Kufah menyetujui pandangan Ahmad bin Hanbal 

tersebut. Keharusan bersambungnya ijab dan kabul dalam 

satu waktu upacara akad tidak hanya diwujudkan dengan 

bersatunya ruangan secara fisik. Jika wali mengucapkan 

ijabnya dengan pengeras suara dari satu ruangan dan 

126 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam 

langsung disambut oleh calon suami dengan ucapan kabul 

melalui pengeras suara dari ruangan lain serta masing-masing 

mendengar ucapan yang lain dengan jelas, akad nikah itu 

dapat dipandang sah. Berkaitan dengan itu, menurut ulama 

Mazhab Hanbali, keharusan dua orang saksi yaitu   

mendengar dan memahami ucapan ijab dan kabul dari pihak 

yang berakad serta mengetahui betul bahwa ucapan itu dari 

pihak yang berakad. Menurut mereka, saksi tidak harus 

melihat langsung kedua pihak yang berakad ketika akad 

berlangsung. Artinya, dengan pendapat ini ijab kabul dengan 

telepon atau video call sah hukumnya. 

(https://www.republika.co.id/berita/dunia-

islam/fatwa/16/08/03/obavus313-akad-nikah-via-video-

call-sahkah, diakses 15 November 2021) 

Kini setelah teknologi informasi sedemikian maju, 

ulama berbeda pendapat, apakah persyaratan satu majelis ini 

tetap berlaku, atau kah boleh terpisah selama mereka bisa 

melakukan komunikasi secara langsung. Menyikapi hal ini 

berkembang dua pendapat. 

Pendapat pertama, harus satu tempat secara hakiki. 

Ini keputusan yang dikeluarkan Majma’ al-Fiqh al-Islami. 

Keputusan no. 52 (3/6) tentang hukum melakukan akad 

dengan media komunikasi zaman sekarang. Ada beberapa 

akad yang berlaku dan sah dilakukan secara jarak jauh, seperti 

jual beli. Selama memenuhi konsekuensi transaksi. 

Kemudian Majma’ menyebutkan pengecualian, 

إن القوا9د السابقة لا ’شمل النكاح لاشتراط الإشهاد ف—ه 

Bahwa kaidah-kaidah tentang akad jarak jauh di atas, 

tidak berlaku untuk akad nikah. Karena disyaratkan harus ada 

saksi. (Ibnu Utsaimin, t.t : 2) 

127 

Demikian pula yang difatwakan Lajnah Daimah, 

dengan pertimbangan, 

1. Mudahnya orang melakukan penipuan, dan meniru suara 

orang lain. 

2. Perhatian syariat dalam menjaga kehormatan dan 

hubungan lawan jenis 

3. Kehati-hatian dalam masalah akad nikah yang lebih besar 

nilainya dibandingkan kehati-hatian dalam masalah 

muamalah terkait harta, 

Maka Lajnah Daimah menetapkan bahwa akad nikah 

tidak diperkenankan menggunakan alat komunikasi jarak 

jauh untuk melangsungkan akad nikah, dalam rangka 

mewujudkan maqasid syariah dan menutup celah terjadinya 

pelanggaran dari pihak  yang tidak bertanggung jawab. (Ibnu 

Utsaimin, t.t : 2) 

 Kedua, boleh tidak satu tempat, selama mereka bisa 

komunikasi langsung. 

Selama saksi bisa memastikan bahwa orang yang 

bersangkutan yaitu   wali atau pengantin lelaki, dan dia yakin 

tidak ada penipuan dalam komunikasi jarak jauh ini, dan 

semua dilakukan dengan lancar tanpa terputus maka sudah 

bisa dihukumi satu majelis. Ini merupakan pendapat Dr. 

Abdullah al-Jibrin. 

Dalam syarh beliau untuk Umdatul Fiqh, beliau 

mengatakan, 

ويجوز #لى الصحیح إجراء عقد النكاح مع تبا#د اما8ن تواaد الزوج والولي والشهود 

، وذ¡ عن طریق الشCبكة العالمیة )الإنترنت( ، فيمكن ¨ٔطراف العقد والشهود 

:شتراك جمیعاً في مجلس وا1د حكما ًوإن كانوا م¢با#د®ن في الحق‘قة ، فÏسمعون 

128 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam 

ال=م في نفس الوقت ، ف‘كون الإيجاب ، ویلیه فوراً القول ، والشهود ®رون الولي 

والزوج ، و¿سمعون >*ما في نفس الوقت 

Boleh melakukan akad nikah menurut pendapat yang 

sahih, sekalipun di posisi berjauhan, yang melibatkan 

pengantin pria, wali, dan saksi. Dan itu dilakukan melalui 

internet. Sehingga memungkinkan untuk dilakukan akad dan 

persaksikan dalam waktu bersamaan, dan dihukumi 

(dianggap) satu majelis. Meskipun hakikatnya mereka 

berjauhan. Mereka bisa saling mendengar percakapan dalam 

satu waktu. Setelah Ijab lalu langsung disusul dengan qabul 

segera. Sementara saksi bisa melihat wali dan pengantin 

lelaki. Mereka bisa menyaksikan ucapan keduanya dalam 

waktu yang sama.  

Lalu beliau menegaskan, 

فهذا العقد صحیح، لعدم إمكان التزو®ر <ٔو تقلید ا¨ٔصوات 

Akad ini sah, karena tidak mungkin ada penipuan atau 

tiru-tiru suara… 

Menarik juga disinggung sekilas di sini, NU sebagai 

ormas Islam terbesar di Indonesia cenderung berpendapat 

nikah via video call tidak sah dan semestinya dihindari. Sebagai 

solusi dianjurkan untuk menunjuk wakil yang bisa melakukan 

akad secara langsung. Sedang Muhammadiyah cenderung 

membolehkan dan mengesahkan pernikahan via video call 

sebagai salah satu pembaharuan hukum. (Al-Maliki & Jahar, 

2020: 136-151). 

G. Kesimpulan 

Perkembangan teknologi informasi-komunikasi sudah 

canggih sedemikian rupa. Jarak dan waktu seakan sudah tidak 

ada lagi permasalahan. Komunikasi ratusan bahkan ribuan 

kilo meter sudah tidak ada kendala lagi. Maka dari itu, 

129 

teknologi ini mulai menggoda sebagian orang untuk 

melakukan akad nikah dengan wasilah ini. 

Pada dasarnya, pernikahan dengan video call tidak ada 

lagi yang perlu diragukan dan dikhawatirkan keaslian dan 

kebenaran orangnya. Sehingga pernikahan online tidak 

sepantasnya ditolak atau tidak dilayani petugas. Apalagi di 

musim pandemi ini, di mana orang berkumpul dibatasi 

sedemikian rupa. 

Pihak yang melarang nikah online biasanya karena 

kekhawatiran ini itu yang kurang berdasar. Takut kena tipu, 

takut dicurangi dan lain sebagainya. Jika nikah online 

diakomodir tentu akan semakin meringankan masyarakat. 

Dari pemaparan di atas, dapat penulis simpulkan bahwa 

dalam perspektif maqasid al-syariah, akad nikah dengan 

media video call pada masa ini dapat dibenarkan, namun 

dengan beberapa ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi 

seperti alat yang dipakai dan jaringan yang digunakan benar-

benar dapat digunakan untuk berhubungan sehingga tercapai 

maqshad realtime. Bahwa salah satu metode maqoshid yaitu   

membedakan antara maqshad dan wasilah. Ketentuan Ittihad 

al-majlis dari pendapat para ‘ulama madhhab menurut penulis 

yaitu   wasilah untuk maqshad dari tidak adanya 

kemungkinan ghurur dalam akad. 

  

130 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam 

Daftar Pustaka 

Al-Maliki, Muhammad Alwi, dan Asep Saepudin Jahar. "Dinamika 

Hukum Akad Nikah Via Teleconference di Indonesia." Jurnal 

Indo-Islamika 10.2 (2020): 136-151. 

Amin, M. Misbahul. "Studi Analisis Akad Nikah Menggunakan Video 

Call Perspektif Maqoshid Al-Syariah Dan Undang-undang No. 1 

Tahun 1974 Tentang Perkawinan." Usratuna: Jurnal Hukum 

Keluarga Islam 3.2 (2020): 88-108. 

Burhanuddin, M. (2017). Akad Nikah Melalui Video Call dalam 

Tinjauan Undang-Undang Perkawinan dan Hukum Islam di 

Indonesia. Skripsi: Universitas Alauddin Makassar. Software 

al-Maktabah al-Sya>milahVersi 3.62. 

Emas, Mahardika Putera. "Problematika Akad Nikah Via Daring dan 

Penyelenggaraan Walimah Selama Masa Pandemi Covid-19." 

Batulis Civil Law Review 1.1 (2020): 68-78. 

Hadikusuma, Arya Wira. "Keabsahan Ijab Kabul Melalui Telepon Dan 

Skype (Studi Dalam Perspektif Pasal 27 Sampai Dengan Pasal 29 

Kompilasi Hukum Islam)." Kumpulan Jurnal Mahasiswa Fakultas 

Hukum (2015). 

Hamzah, Abdun Nashir, Aqd az-Zawaj Abra Wasail al-Ittishal al-

Haditsah, Jamiah al-Jazair, Tesis 2014. 

https://islamqa.info/ar/answers/105531/ حكم-اجراء-عقد-النكاح-عن-

طریق-الھاتف-والانترنت , diakses 12 November 2021. 

https://sy-sic.com/?p=7442, diakses 23 November 2021. 

 

 

 

 

 

NIKAH POLIGAMI 

 

 

 

A.  

Kontroversialnya nikah poligami rasanya tidak akan 

habis-habis dibahas baik dari kalangan cerdik cendekia hingga 

orang awam. Pada masa dulu umumnya poligami bebas 

melenggang di tengah masyarakat tanpa ada protes yang 

berarti. Laki-laki merasa memiliki hak istimewa untuk 

menikahi wanita lebih dari satu apalagi jika ia berasal dari 

kaum bangsawan dan hartawan atau tokoh agama. 

Namun mulai awal abad XX, gugatan demi gugatan, 

keberatan demi keberatan terhadap praktik poligami semakin 

deras disuarakan oleh kalangan aktivis perempuan. Di tanah 

air keberatan dan kritikan terhadap poligami sudah 

disuarakan oleh RA Kartini. Dalam perkembangannya 

disuarakan terus oleh organisasi wanita terutama yang 

berhaluan ‘nasionalis sekuler’.  

Perjuangan panjang kaum hawa ini mencapai titik 

puncak sekaligus kompromi dengan dipersulitnya poligami 

melalui ketentuan UU Nomor 1 Tahun 1974 sebagai langkah 

kompromi dengan kelompok pendukung poligami. UU 

perkawinan menganut asas monogami terbuka, artinya 

hukum asal perkawinan yaitu   monogami, namun poligami 

132 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam 

masih sedikit terbuka jika memang memenuhi syarat-syarat 

untuk itu. 

Dulu memang banyak yang meyakini poligami sebagai 

sesuatu yang sunah, atau sekurangnya dianggap mubah. Kini 

poligami tidak lagi dianggap sunah ataupun mubah, namun ia 

hanya sebuah rukhshah yang dibuka sempit bagi pria ‘pilihan’ 

dan ‘pemberani’ yang tetap ingin menikah lebih dari satu. 

Bahkan beberapa aktivis jender mengusulkan bahwa poligami 

itu haram lighairih atau haram karena faktor ekses yang 

ditimbulkan. Namun demikian, boleh dikata, mainstream 

pandangan ulama dan cendekiawan muslim kontemporer 

cenderung memandang hukum poligami yaitu   sebagai 

sebuah rukhshah yang baru dapat ditempuh setelah melalui 

persyaratan dan kondisi yang ketat, bukan mubah apalagi 

sunah. 

B. Pengertian Poligami 

Poligami yaitu   sebuah pernikahan di mana seorang 

suami memiliki pada waktu bersamaan lebih dari seorang 

istri. Praktik ini cukup mudah ditemukan di berbagai belahan 

dunia. Studi yang dilakukan GP Murdock pada awal tahun 

1940 membuktikan bahwa, masyarakat di dunia umumnya 

familier dengan poligami. Dari berbagai bangsa lintas suku, 

agama, ras didapati bahwa hanya 19 % masyarakat yang 

mempraktikkan monogami, sisanya mempraktikkan 

poligami. (Jamilah, 2006 : 2). 

C. Hukum Poligami dalam Fikih 

Di kalangan ulama fikih, hampir sudah menjadi sebuah 

konsensus bersama akan kebolehan (kemubahan) poligami 

bagi yang mampu bersikap adil dan menyediakan nafkah. 

Perbincangan mereka pada umumnya, bukan mempersoalkan 

keabsahan poligami, namun lebih terfokus pada berapa 

133 

jumlah istri yang dapat dinikahi dalam waktu yang 

bersamaan.  

Zaki ‘Ali al-Sayyid Abu Ghudhdhah dalam buku  al-

Zawaj wa al-Talaq wa al-Ta’addud Baina al-Adyan wa al-Qawanin 

wa Du’at al-Taharrur, menandaskan kebolehan poligami dalam 

Islam didasarkan pada Al-Quran, al-Sunah dan juga praktik 

Nabi Muhammad SAW dan para sahabat.(Abu Ghudhdhah, 

t.t : 205) 

Secara singkat, pandangan para ulama dalam 

menyikapi poligami dari dahulu hingga sekarang dapat 

dikelompokkan menjadi tiga pandangan besar : 

1. Pandangan yang meyakini poligami sebagai sesuatu yang 

hukumnya sunah, atau sekurangnya mubah tanpa 

persyaratan yang macam-macam dan memberatkan. Pada 

umumnya ulama klasik dan tengah serta ulama 

tradisionalis-fundamentalis menganut keyakinan ini. 

2. Pandangan yang memahami poligami sebagai rukhsah 

atau pintu darurat. Pemahaman seperti ini banyak dianut 

oleh ulama tafsir kontemporer dan cendekiawan muslim 

yang moderat. (Khoiruddin Nasution, 2009 : 131) Dalam 

pemahaman Asghar Ali Engineer, Al-Quran sebenarnya 

“enggan” menerima institusi poligami, namun karena 

kondisi kala itu masih menghendaki kemudian, maka 

yang bisa dilakukan hanyalah membatasi sampai jumlah 

empat. (Asghar Ali Engineer, 112) 

Termasuk berdiri dalam jajaran kelompok ini yaitu   

tokoh pembaharu dari Mesir Muhammad Abduh (1849-1905). 

Menurutnya, persoalan poligami yang terdapat dalam ayat 3 

al-Nisa’ berkaitan erat dengan konteks ayat perihal 

memperlakukan  anak yatim dan larangan memanfaatkan 

harta benda mereka meskipun dengan perantaraan melalui 

perkawinan. Tatkala  seseorang merasa khawatir akan 

134 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam 

memakan atau mengonsumsi harta anak (perempuan) yatim 

yang bakal dinikahinya maka ia harus tidak menikah 

dengannya, sebab Allah telah memberi pilihan untuk 

menikahi perempuan-perempuan lain yang disukai hingga 

empat orang. Namun apabila ia juga khawatir tidak akan 

mampu berlaku adil kepada para istri tersebut maka wajib 

baginya untuk menikah dengan hanya satu orang  saja.(Ridha, 

1999 : IV : 284)   

Pendapat dari sudut pandang yang lain namun tetap 

seirama dikemukakan oleh Qasim Amin (1865-1908). Ia 

membenarkan bahwa ayat 3 surat al-Nisa’ itu sepintas lalu 

memang mengisyaratkan kebolehan poligami, namun 

sebenarnya jika direnungkan menyiratkan ancaman bagi 

pelaku poligami. Pada hakikatnya seorang suami yang akan 

berpoligami sudah tahu bahwa dirinya sebenarnya tidak 

sanggup berlaku adil. Jadi sebelum melakukannya, ia sudah 

diliputi perasaan khawatir (tidak sanggup berlaku adil). Oleh 

karena itu kebolehan poligami hanya ditujukan bagi orang-

orang tertentu yang sangat yakin bahwa dirinya tidak akan 

terjerumus dalam perilaku aniaya.  Untuk itu, yang tahu persis 

tentang hal ini hanya Tuhan dan dirinya sendiri.(Qasim Amin, 

t.t : 155-156). 

Pandangan yang menganggap poligami itu dilarang 

atau sekurangnya dianggap haram lighairihi. Pada umumnya 

kelompok feminis muslim dan pegiat jender menganut 

pendirian ini. 

Di antara pegiat jender muslimah di tanah air yang 

berpendapat bahwa poligami itu haram lighairih yaitu   Siti 

Musdah Mulia. Dalam bukunya Islam Menggugat Poligami ia 

menulis, “...Mengingat dampak buruk poligami dalam 

kehidupan sosial, poligami dapat dinyatakan haram lighairih   

(haram karena eksesnya)”. (Mulia, 2004: 194)   

135 

D. Batas Maksimal Istri yang Dipoligami 

1. Menurut jumhur ulama hanya empat orang. 

Ulama jumhur dari kalangan Sunni, termasuk imam 

mazhab yang empat umumnya berpendapat, bahwa 

maksimal seorang pria boleh berpoligami dalam waktu 

bersamaan yaitu   empat orang istri.   

Ibnu Katsir, salah seorang mufassir yang sering 

dirujuk dalam tafsirnya mengutip pernyataan Imam al-

Syafi’i sebagai berikut : 

قال الشافعي: وقد دَلkت سCنة رسول الله صلى الله #لیه وسلم المبϰة عن الله <ٔنه 

لا يجوز ¨ٔ1د Âير رسول الله صلى الله #لیه وسلم <ٔن يجمع بين <ٔكثر من <ٔربع ?سوة. 

Berkata asy-Syafi’i: Sunah Rasulullah SAW sebagai 

penjelas dari Allah menunjukkan bahwa seseorang selain 

Rasulullah SAW  tidak diperbolehkan menikahi wanita 

lebih dari empat. (Ibnu Katsir, II : 209) 

Dijelaskan pula dalam kitab al-‘Inayah Syarh  al-

Hidayah  sebagai berikut : 

 )وَ˜ِلحُْرِّ <uنْ یتزَََوkجَ <uرْبعًَا مِنْ الحَْرَاÚِرِ وَالاْã

مَاءِ ، وَلÏَسَْ Þَُ <uنْ یتزَََوkجَ <uكْثرََ مِنْ ذَ¡َِ 

( لِقَوْÞِِ تعََالىَ } فاَ9ْكِحُوا مَا طَابَ لكمَُْ مِنْ ال¶ّ ِسَاءِ مَ@نىَْ وَثلاَُثَ وَرُ0َعَ { وَالتkنْصِیصُ 

#لىََ العَْدَدِ یمَْنعَُ الزِّìَدَةَ #لَیَْهِ 

Bagi orang merdeka, boleh menikahi empat wanita 

merdeka dan budak, namun ia tidak boleh menikah lebih 

banyak dari itu, berdasarkan firman Allah ta’ala, ‘maka 

nikahilah wanita yang kamu senangi dua, tiga atau empat, 

dan penyebutan bilangan itu menunjukkan tidak boleh 

lebih dari jumlah itu. (al-Babarti, IV : 375) 

Ibnu Hazm dari mazhab Zahiri lebih jauh 

menyatakan  dalam Kitab  al-Muhalla : 

136 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam 

ولا يحل لا1د <ٔن یتزوج <ٔكثر من <ٔربع ?سوة اماء <ٔو حراÚر <ٔو بعضهن حراÚر 

وبعضهن اماء. 

Tidak halal bagi seseorang untuk menikahi wanita 

lebih dari empat baik dari kalangan budak atau merdeka, 

atau sebagian merdeka dan budak.(Ibnu Hazm, IX : 441)  

Ibnu Hazm juga menyatakan dalam kitab Maratib al-

Ijma’ sebagai berikut : 

وَاتkفَقُوا #لى <uن 9ِكاَح <ٔكثرمن <uربع زَوْaَات لاَ يحل ¨ٔ1د بعد رَسُول الله صلى الله 

#لَیَْهِ وَسلم 

Para ulama sepakat bahwasanya tidak halal bagi 

seseorang sepeninggal Rasulullah SAW menikahi wanita 

lebih dari empat. (Ibnu Hazm, I : 63) 

Ulama Fikih  kontemporer dari Suriah, Wahbah al-

Zuhaili menjelaskan dalam al-Fiqh  al-Islami wa Adillatuhu : 

لا يجوز ˜لرaل في مذهب <ٔهل السCنة <ٔن یتزوج <ٔكثر من <ٔربع زوaات في عصمته 

في وقت وا1د ولو في #دة مطلقة، فإن <ٔراد <ٔن یتزوج بخامسة، فعلیه <ٔن یطلق 

إ1دى زوaاته ا¨ٔربع، وی¶¢ظر حتى تنقضي #دتها، ثم یتزوج بمن <ٔراد؛ ¨ٔن النص 

القر<نيٓ لا یG‘ح ˜لرaل <ٔن يجمع بين <ٔكثر من <ٔربع في وقت وا1د  

Tidak boleh bagi seorang pria menurut mazhab ahl 

sunnah wal jama’ah untuk menikahi wanita lebih dari empat 

dalam waktu bersamaan walaupun dalam iddah cerai. Jika 

ia ingin menikah yang kelima, ia wajib menceraikan dulu 

salah seorang istrinya yang empat itu sembari menunggu 

iddahnya telah selesai lantas baru bisa menikah lagi 

dengan wanita yang disenangi, karena nash Al-Quran 

tidak memperbolehkan seorang pria menikahi wanita 

lebih dari empat dalam waktu bersamaan. (Az-Zuhaily, IX: 

158) 

137 

Ibnu Qudamah, salah seorang ulama besar madhhab 

Haanbali menjelaskan dalam ash-Sharh al-Kabir : 

<ٔجمع <ٔهل العم #لى ان الحر لا يحل Þ ان يجمع بين <ٔكثر من <ٔربع زوaات لا نعلم 

<ٔ1دا منهم áالف في ذ¡ : شÏôا يحكي عن القاسم {ن ا{راهيم <ٔنه ا0ح ëسعا  

Para ahli ilmu telah ijma’ bahwasanya seorang pria 

merdeka tidak halal menikah wanita lebih dari empat istri. 

Kami tidak mengetahui seorang pun yang berbeda 

pandangan dalam hal ini, kecuali segelintir orang yang 

dihikayatkan dari al-Qasim bin Ibrahim bahwasanya ia 

membolehkan maksimal sampai sembilan istri. (Ibnu 

Qudamah, VII : 497) 

Jika kita buka lembaran kitab-kitab tafsir dan fikih 

lebih banyak lagi, kiranya tidak berlebihan jika dikatakan, 

bahwa mayoritas kitab-kitab tersebut untuk tidak 

mengatakan semuanya, membatasi jumlah maksimal 

perkawinan poligami yaitu   dengan empat orang istri. 

Namun dalam tulisan ini, apa yang disebutkan di atas 

kiranya sudah mencukupi. 

2. Pendapat Kedua, Maksimal  9 Orang Istri  

Menurut Qasim bin Ibrahim, sebagaimana 

diterangkan oleh Ibnu Qudamah dalam ash-Sharh al-Kabir, 

boleh bagi pria menikahi wanita sampai 9 orang wanita. 

Sedang menurut penjelasan Ibnu al-Humam dalam Fath al-

Qadir beliau mengatakan, yang berpendapat boleh 

menikahi wanita sampai 9 istri yaitu   kelompok Rafidah. 

(Ibnu al-Humam, VI : 417) Dalam kitab Hashiyah al-

Bujairimi ‘ala al-Khatib diterangkan, bahwa sebagian ulama 

Khawarij juga memiliki pandangan boleh berpoligami 

sampai sembilan orang istri. Berikut kutipan teks Arabnya: 

138 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam 

وَقاَلَ بعَْضُ الخَْوَارِج ِ: ا¨ْیٓةَُ تدَُل¬ #لىََ جَوَازِ ëِسْع ٍمَ@نىَْ 0ِثنْينَِْ .وَثلاَُثَ بِثلاََثٍ ، 

وَرُ0َعَ بِ·uرْبعَ ٍ، وَمَجْمُوعُ ذَ¡َِ ëِسْعٌ .  

Sebagian Khawarij berpendapat : Ayat tersebut 

menunjukkan kebolehan memiliki istri sampai sembilan, 

karena masna  berarti dua, sulasa  berarti tiga, dan ruba’a 

berarti empat, jika dijumlah berarti sembilan. (al-Bujairimi, 

X : 43) 

Al-Mawardi dalam al-Hawi al-Kabir menerangkan 

yang berpendapat kebolehan bagi pria menikahi sampai 

sembilan orang yaitu   al-Qasim dan pengikutnya serta 

ulama Zaidiyyah. 

وَحُكيَِ عَنِ القَْاسمِِ {ْنِ ا

ã

{ْرَاهِيمَ وَمَنْ ?سُِبَ ا

ã

لىَ مَقَالتَِهِ مِنَ القَْاسمِِیkةِ وَطَائِفَةٍ مِنَ الزkیدِْیkةُ 

: <uنkهُ يحَِل¬ Þَُ 9ِكاَحُ ëِسْعٍ 

Dihikayatkan dari al-Qasim bin Ibrahim dan orang 

yang dinisbahkan kepada perkataannya dari kelompok al-

Qasimiyyah dan golongan Zaidiyah bahwasanya 

dihalalkan menikahi wanita sampai sembilan orang. (al-

Mawardi, IX : 480) 

Demikian penjelasan ringkas golongan dan ulama 

yang berpendapat boleh bagi pria menikahi wanita dalam 

perkawinan poligami sampai maksimal sembilan orang. 

Namun pendapat seperti ini kurang populer di tengah-

tengah masyarakat muslim khususnya di Indonesia. 

3. Pendapat Ketiga, Maksimal 18 Istri. 

Menurut penuturan Ibnu al-Humam yang menukil 

riwayat dari al-Nakha’i dan Ibnu Abi Laila, bahwa 

golongan Khawarij memiliki paham seperti ini, yakni 

seorang pria dapat menikahi wanita sampai delapan belas 

orang dalam waktu bersamaan. (Ibnu al-Humam, VI : 417) 

139 

Penjelasan dalam Kitab Hashiyah al-Bujairimi ‘ala al-

Khatib  kiranya dapat melengkapi penjelasan di atas. 

وَبعَْضٌ مِنهْمُْ قاَلَ : تدَُل¬ #لىََ ثمََانِیَةَ عَشرََ مَ@نىَْ اثنْينَِْ اثنْينَِْ ، وَثلاَُثَ ثلاََثةٍَ ثلاََثةٍَ 

وَرُ0َعَ <uرْبعََةٍ <uرْبعََةٍ وَمَجْمُوعُ ذَ¡َِ مَا ذُكِرَ .وَهَذَا خَرْقٌ لِلاْ

ã

جمَْاع ِ 

Sebagian dari golongan Khawarij berpendapat, ayat 

itu menunjukkan  kebolehan menikahi wanita sampai 18, 

karena masna  berarti dua-dua, sulasa berarti tiga-tiga, dan 

ruba’a  berarti empat-empat yang ketika dijumlah berarti 

18. Namun penafsiran seperti ini merobek-robek ijma’. (al-

Bujairimi, X : 43) 

4. Pendapat Keempat, Tidak Ada Batas Maksimal, Boleh 

Seberapa Saja yang Ia Mau. 

Bersumber dari penuturan Ibnu al-Humam, beliau 

secara spesifik tidak menyebut dari kelompok mana yang 

memiliki pandangan seperti ini. Beliau hanya menulis : 

وَحُكيَِ عَنْ بعَْضِ النkاسِ إ0َ1َةُ <uيِّ #دََدٍ شَاءَ بِلاَ حَصرٍْ1  

Dihikayatkan dari sebagian manusia akan 

kebolehan menikahi wanita sebanyak yang ia mau tanpa 

ada batasannya. (Ibnu al-Humam, VI : 614) 

Sayangnya, Ibnu al-Humam tidak menyebut siapa 

yang berpendapat seperti ini. Dalam praktik, pendapat 

seperti ini secara sadar atau tidak, memang masih ada 

dijumpai di berbagai suku dan bangsa. Di zaman kerajaan 

Islam  Jawa pun, seorang raja yang secara formal beragama 

Islam  dan dikelilingi penasihat dari kalangan ulama, tidak 

jarang mempraktikkan poligami tanpa batas. Biasanya 

satu dijadikan istri utama (garwo padmi) dan selebihnya 

 

1  

140 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam 

sebagai selir untuk tidak mengatakan (maaf) sebagai 

simpanan  (klangenan  dalam Bahasa Jawa). 

Tak jauh berbeda, raja-raja muslim, termasuk para 

sultan penguasa Turki Usmani juga memiliki harem 

dengan jumlah selir (gundik) yang nyaris tak terbatas. 

Langsung atau tidak, praktik ini sebagai sebuah bentuk 

pemahaman bahwa poligami itu boleh tak terbatas. 

E. Pengetatan Poligami 

Dalam soal poligami, Islam selangkah maju dengan 

sejumlah pembatasan. Menurut ‘Abdun Nasir Taufiq al-‘Attar 

ada empat batasan atau perbaikan yang diajarkan Islam  untuk 

poligami. Keempat batasan itu mencakup hal-hal seperti 

disebutkan berikut ini : 

1. Dibatasi dari segi jumlah istri yang bisa dinikahi maksimal 

hanya empat. 

2. Dilarang memadu istri dengan saudara perempuannya, 

atau bibinya, atau anak perempuannya. 

3. Batasan ketiga, diwajibkan suami berlaku adil terhadap 

istri-istrinya.al-‘Aththar, t.t : 89) 

Batasan-batasan tersebut pada dasarnya sebagai upaya 

koreksi dan sekaligus perbaikan Islam terhadap praktik 

poligami yang dijumpai saat kedatangan Islam kala itu yakni 

poligami yang jumlahnya tak terbatas serta ketiadaan keadilan 

yang memadai dalam perkawinan poligami.  

Sedang pengetatan dalam legislasi berbentuk keharusan 

izin ke pengadilan sebelum melangsungkan pernikahan 

poligami. Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang 

suami untuk beristri lebih dari seorang (poligami), dengan 

ketentuan: 

1. Suami wajib mengajukan permohonan ke Pengadilan di 

daerah tempat tinggalnya, dengan syarat: 

141 

a. Ada persetujuan dari istri/istri-istri, dengan catatan 

persetujuan ini tidak diperlukan jika: 

1) Istri/istri-istrinya tidak mungkin dimintai 

persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak 

dalam perjanjian; 

2) Tidak ada kabar dari istri selama minimal 2 tahun; 

atau 

3) Sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat 

penilaian dari hakim pengadilan. 

b. Adanya kepastian suami mampu menjamin 

keperluan hidup istri-istri dan anak-anak; 

c. Adanya jaminan suami akan berlaku adil terhadap 

istri-istri dan anak-anak. 

2. Pengadilan hanya memberikan izin poligami jika: 

a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya; 

b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak 

dapat disembuhkan; 

c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan. (ahmad rofiq, 

2017 : 140-145) 

Adapun izin tersebut diberikan pengadilan jika 

berpendapat adanya cukup alasan bagi pemohon (suami) 

untuk beristri lebih dari seorang. Setelah mengantongi izin 

dari pengadilan, izin itu dilampirkan ke petugas KUA jika 

akan menikah lagi. Dengan izin ini pasangan suami istri 

tersebut dapat dinikahkan dan perkawinannya tercatat 

secara sah di mata negara. 

Jika perkawinan poligami tidak mengikuti prosedur 

ini, dapat dipastikan perkawinan itu ilegal dan biasanya 

hanya nikah sirri saja. Jumlah poligami sirri jelas jauh lebih 

banyak dari yang mengikuti prosedur poligami. Maka dari 

itu hendaknya kita menghindarinya. 

142 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam 

F. Kesimpulan 

Perkawinan poligami termasuk pernikahan yang 

kontroversial. Kontroversialnya lebih kepada penolakan 

sejumlah kalangan terutama kaum perempuan. Dari sisi fikih 

sebenarnya keberadaan poligami dihukumi mubah dengan 

syarat-syarat tertentu. 

Namun karena tekanan sana-sini cukup kuat, akhirnya 

poligami di masa kini diposisikan sebagai sesuatu yang ‘aib’ 

dan menjadi gunjingan dan cibiran banyak pihak. Sehingga 

pelaku poligami baik yang resmi, apalagi yang tidak resmi, 

sering diposisikan sebagai pasangan yang tidak percaya diri 

dalam penampilan sehari-hari. 

Poligami memang tidak mudah dan berat, jadi tidak 

sembarang orang layak menempuhnya. Hanya pria yang 

memiliki kemampuan lebih, baik harta, ilmu, maupun jiwa 

kepemimpinan yang layak untuk menjalani ini. Dan satu lagi 

yang wajib dipenuhi yaitu   kemampuan bersikap adil 

terhadap istri-istri dan anak-anaknya. Tanpa ini semua, besar 

kemungkinan poligami hanya akan menambah masalah dan 

keruwetan dalam kehidupan. 

Sebagai penutup layak kita camkan peringatan dari 

Nabi SAW di bawah ini. 

Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah  SAW bersabda: 

مَنْ كاَنتَْ Þَُ امْرَ<uMَنِ فمََالَ ا

ã

لىَ ا

ã

1ْدَاهمَُا aَاءَ یوَْمَ القِْ‘َامَةِ وَشِق¬هُ مَائِلٌ 

“Siapa yang memiliki dua orang istri lalu ia cenderung 

kepada salah seorang di antara keduanya, maka ia datang 

pada hari kiamat dalam keadaan badannya miring.” (HR. Abu 

Daud, Ibnu Majah, An Nasai) 

Jadi kalau yakin tidak mampu adil maka, menikahlah 

secara monogami saja! 

  

 

NIKAH DENGAN NIAT TALAK 

 

 

 

A.  

Menikah dalam Islam pada dasarnya diajarkan untuk 

sekali dan buat selamanya. Maka dari itu nikah Mut’ah atau 

nikah temporal yang dibatasi waktu sepakat dilarang dalam 

fikih Sunni. Mirip-mirip dengan ini yaitu   nikah yang sejak 

awal sudah diniatkan akan bercerai selama waktu tertentu 

yang dalam bahasa fikih dikenal dengan sebutan nikah biniyyat 

at-thalaq. 

Dalam Alquran sendiri pernikahan disebut mitsaqan 

ghalizan artinya perjanjian yang kokoh dan agung. Hal ini 

terkandung pesan agar supaya pernikahan itu dijaga baik-

baik dan tidak mudah diputus atau bercerai di tengah jalan.  

Sungguhpun demikian, jika ada alasan tertentu yang 

kuat maka tali nikah dapat saja diputus melalui talak atau 

khuluk. Talak tidak ditutup sama sekali mengingat tidak ada 

yang bisa menjamin sebuah pernikahan mesti bahagia atau 

cocok sama pasangannya. 

Namun bagaimana jika ada orang menikah sejak awal 

sudah diniatkan untuk bercerai setelah jangka waktu tertentu. 

Apalagi jika hal ini dirahasiakan dan disembunyikan dari 

calon istri dan keluarga calon istri. Tentunya hal ini akan 

menyakitkan dan merugikan. Masih sedikit lebih baik kalau 

145 

sejak awal diberitahukan seperti nikah Mut’ah yang akan 

bercerai otomatis setelah jangka waktu tertentu. 

B. Pengertian Nikah dengan Niat Talak 

Nikah dengan niat talak yaitu   sebuah pernikahan di 

mana calon suami sejak awal sudah memiliki niat untuk 

menceraikan istri selama jangka waktu tertentu setelah 

urusannya selesai. Jadi niatnya menikah hanya untuk jangka 

waktu tertentu. Hanya saja niat ini dirahasiakan dan 

disembunyikan dari calon istri dan keluarganya. Misalnya 

seseorang bekerja di suatu daerah selama tiga bulan, atau 

mengikuti diklat selama enam bulan, kemudian ia menikahi 

wanita setempat dengan niat kalau pekerjaan atau diklatnya 

sudah selesai, maka ia bermaksud menceraikannya. 

Ibnu al-Humam, salah seorang ulama terkemuka 

mazhab Hanafi menjelaskan nikah dengan niat talak yaitu   

apabila seseorang menikah dengan seorang perempuan 

dengan maksud akan menalaknya setelah lewat beberapa 

waktu yang telah ia niatkan. (Ibnu al-Humam, 1970, : III : 249). 

Sedang al-Baji dari ulama mazhab Maliki 

mendefinisikan nikah dengan niat talak sebagai nikah yang 

dilakukan oleh seseorang tetapi tidak bermaksud membina 

pernikahan untuk seterusnya tetapi hanya bertujuan 

memperoleh kesenangan beberapa waktu lamanya lalu 

setelah itu ia menalak istrinya tersebut. (al-Baji, 1332 : III : 335) 

C. Pandangan Fuqaha’ 

Mayoritas ulama berpendapat, ketika ada seorang yang 

menikah tanpa menentukan atau menyebutkan batas waktu 

tertentu dalam akad, tetapi di dalam hatinya ada niat untuk 

menalak istrinya setelah beberapa waktu atau setelah ia 

menyelesaikan urusannya di tempat ia tinggal maka akad 

nikah seperti ini yaitu   sah hukumnya. (al-Asyqar, 2000: 218) 

146 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam 

Dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah 

dijelaskan: 

Para ulama berbeda pendapat masalah nikah dengan 

niat talak. Mazhab Hanafi, Maliki dan Syafi’i serta menurut 

satu qaul dalam mazhab Hanbali yang ditegaskan dalam al-

Mughni dan syarh menyatakan bahwa jika seseorang 

menikahi wanita dengan niat akan menalaknya setelah satu 

bulan atau lebih atau kurang maka nikahnya sah, sama saja 

apakah wanita atau walinya itu tahu atau tidak niat ini. Hal 

ini karena tidak ada hal yang membatalkan akad, termasuk 

adanya niat menalak tidak merusak akad, mengingat 

terkadang orang bisa saja meniatkan sesuatu yang tidak 

dilakukan atau melakukan sesuatu yang tidak diniatkan. 

Selain itu pembatasan waktu hanya dengan ucapan, bukan 

hanya sekedar niat. Mazhab Syafi’i menjelaskan, pernikahan 

ini dimakruhkan sebagai bentuk jalan keluar dari kelompok 

yang membatalkan pernikahan ini. Mengingat setiap hal yang 

bisa membatalkan jika diutarakan, maka dibenci jika 

disembunyikan. Mazhab Hanbali menurut pendapat yang 

sahih serta al-Auza’i berpendapat nikah dengan niat talak 

yaitu   batal karena ia termasuk bagian dari nikah Mut’ah. 

Bahram dari ulama mazhab Maliki berpendapat demikian 

juga jika si wanita mengerti niat yang disembunyikan 

suaminya itu. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, 41 : 

344) 

Ibnu al-Humam dari mazhab Hanafi menyatakan, 

apabila seseorang menikah dengan niat dalam hati bahwa 

akan menceraikan istrinya suatu saat, maka nikahnya sah, 

karena yang diperhitungkan dalam menentukan perceraian 

yaitu   melalui lafaz yang di ucapkan bukan niat yang ada 

dalam hati. (Ibnu al-Humam, 1970 : III : 33) 

147 

Menurut al-Baji salah seorang ulama mazhab Maliki, 

siapa yang menikahi seorang wanita tetapi tidak bermaksud 

melanggengkan hubungan pernikahannya, melainkan hanya 

bermaksud hidup bersama untuk sementara waktu yang tidak 

tertentu lamanya, lalu suatu saat ia bermaksud 

menceraikannya maka pernikahan seperti ini dibolehkan. 

Namun menurut Imam Malik meskipun itu dibolehkan tetapi 

bukan suatu perbuatan yang baik dan bukan akhlak yang 

terpuji. (al-Baji, 1332, III : 335) 

Imam Syafi’i sendiri menyatakan, apabila akad nikah 

dilakukan secara mutlak tanpa ada sesuatu yang disyaratkan 

(seperti akad hingga batas waktu tertentu) di dalamnya maka 

akad nikah tersebut tetap dihukumi sah, dan niat tidak 

berpengaruh apa-apa terhadap pernikahan itu dikarenakan 

niat merupakan bahasa hati, sedangkan pikiran apa pun yang 

tertulis dalam jiwa seseorang tidak berdampak apa-apa 

sebelum terwujud dalam bentuk perbuatan. (asy-Syafi’i, V : 

86) 

Imam Nawawi dalam Syarh Sahih Muslim mengutip 

pernyataan al-Qadhi ‘Iyyadh sebagai berikut : 

قاَلَ القَْاضيِ : وَ<uجمَْعُوا #لىََ <uنk مَنْ 9كََحَ 9ِكاَ1ًا مُطْلقًَا وَنِÏk¢ه <uلاk یمَْكُث مَعَهَا اã

لاk مُدkة نوََاهَا 

ف°َِكاَ1ه صحَِیح 1َلاَل ، وَلÏَسَْ 9ِكاَح مُ¢ْعَة ، وَا

ã

نkمَا 9ِكاَح المُْتْعَة مَا وَقعََ 0ِلشرkْطِ المَْذْكُور 

، وَلكَِنْ قاَلَ مَا¡ِ : لÏَسَْ هَذَا مِنْ <uáْلاَق النkاس ، وَشَذk ا¨ْuوْزَاعِي¬ فقََالَ : هُوَ 9ِكاَح 

مُ¢ْعَة ، وَلاَ áَيرْ فِ‘هِ . وَاَ²k <u#ْلمَ . شرح النووي #لى مسلم ـ مشكول )5/ 76( 

Imam Al-Qadhi (Iyyadh) menyatakan : Para ulama 

sepakat, sesungguhnya seorang yang menikah secara mutlak 

(lepas tanpa adanya syarat cerai di dalamnya), dan dia niatkan 

hanya untuk beberapa waktu sesuai yang dia niatkan bersama 

wanita tersebut, maka nikahnya sah dan halal, bukan 

termasuk nikah Mut’ah. Adapun nikah Mut’ah (ala Syi’ah) 

148 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam 

hanya terjadi dengan adanya syarat (cerai dalam waktu 

tertentu yang dimasukkan dalam akad) sebagaimana telah 

disebutkan. Akan tetapi Imam Malik menyatakan : Ini (nikah 

dengan niat cerai) bukan termasuk akhlak manusia (yang 

baik). (an-Nawawi, V : 76) 

Menarik sekali komentar dari Imam Malik yang 

menyatakan, nikah dengan niat talak bukanlah akhlak orang 

beragama yang layak dilakukan. Karena secara akal sehat 

perbuatan ini jelas merupakan bentuk pengkhianatan dan 

pengelabuan terhadap sebuah kesucian pernikahan. Apalagi 

jika si istri sudah tulus mencintai dan mempercayai suaminya, 

tak tahunya dibalas dengan pengkhianatan yang bisa jadi 

sama sekali tidak pernah ia duga. 

Ibnu Qudamah dalam al-Mughni menyatakan, apabila 

seseorang menikah tanpa ada persyaratan apa pun tetapi 

dalam hati seseorang itu terdapat maksud menceraikannya 

setelah lewat satu bulan atau setelah keperluannya di suatu 

tempat sudah selesai, maka nikahnya sah menurut mayoritas 

ulama. (Ibnu Qudamah, XV : 257) 

Argumen yang dimajukan ulama yang membolehkan 

dengan mengutip hadis berikut ini : 

عَنْ <uبىِ هُرَ®ْرَةَ قاَلَ قاَلَ رَسُولُ ا²kِ -صلى الله #لیه وسلم- » ا

ã

نk ا²kَ تجََاوَزَ ³̈مkتىِ مَا 

1َدkثتَْ بِهِ <uنفُْسَهَا مَا لمَْ یتََكلَkمُوا <uوْ یعَْمَلوُا بِهِ «. صحیح مسلم ـ مشكول وموافق ˜لمطبوع 

)1/ 81( 

Dari Abu Hurairah ia berkata, bersabda Rasulullah 

SAW, “Sesungguhnya Allah tidak menanggapi apa yang 

tersirat dalam hati umatku, selama ia belum mengucapkannya 

atau pun melakukannya.(HR Muslim) 

Jadi apa yang terbersit yang masih berupa niat tidaklah 

teranggap sebagai sebuah kesalahan atau dosa. Namun 

argumen ini lemah, karena kalau orang sudah niat, besar 

149 

kemungkinan akan dilakukan. Niat yang tidak baik juga 

mestinya dihindari agar tidak merugikan orang lain. 

Selain itu, kelompok yang membolehkan juga 

mengajukan dalil aqli, nikah yang dilakukan dengan niat talak 

merupakan nikah yang  bersifat mutlak yang memenuhi 

semua rukun dan syarat nikah sehingga tidak ada celah untuk 

mengatakan bahwa nikah ini tidak sah. 

Menurut hemat penulis, kelompok yang membolehkan 

hanya berdasar pada legal formal akad saja namun 

mengabaikan maksud dan tujuan serta moralitas hukum. 

Hukum tidak boleh mengabaikan moral dan tujuan 

pernikahan, keduanya terkait erat dan harus 

dipertimbangkan. Sehingga wajar kalau ada ulama yang 

menghukumi pernikahan ini sah namun dosa atau terlarang. 

Ahmad Sarwat dalam bukunya menjelaskan dalil yang 

dipakai ulama yang membolehkan prinsipnya ada 3 yakni, 

niat tidak merusak akad, niat belum sampai pada amal, serta 

talak sendiri bukanlah sesuatu yang haram. (Ahmad Sarwat, 

2019: 310-311) 

Sementara itu, minoritas ulama yang dimotori Imam al-

Auza’i menyatakan nikah dnegan niat talak yaitu   nikah yang 

batal dan termasuk bagian dari nikah Mut’ah. Beliau 

berpendapat bahwa jika seorang suami menikah dengan 

meniatkan talak kepada istrinya itu sama halnya dengan ia 

mensyaratkannya dan pernikahan semacam ini tidaklah sah, 

karena menurutnya pernikahan tersebut semacam dengan 

nikat Mut’ah yakni berakhir dalam waktu tertentu. 

Dalam kitab al-Istidzkar, diriwayatkan al-Auza’i berkata, 

“Jika seorang pria menikahi wanita tanpa syarat, namun 

dalam hati ia berniat hanya menikahinya satu bulan atau 

seperti itu, kemudian ia menceraikannya, maka ini yaitu   

150 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam 

nikah Mut’ah dan tidak ada kebaikan di situ.”. Teks Arabnya 

berbunyi : 

وقال ا¨ٔوزاعي لو >زوÜا بغير شرط ولك°ه نوى <ٔن لا يحGسها إلا شهرا <ٔو نحوه ف‘طلقها 

فهUي م¢عة ولا áير ف‘ه ):سCتذكار الجامع لمذاهب فقهاء ا¨ٔمصار )5/ 449( 

Sementara itu, mufassir kontemporer Muhammad 

Rasyid Ridha mengecam keras nikah dengan niat talak 

dengan komentarnya : 

Bahwa sikap keras para ulama Salaf (terdahulu) dan 

khalaf (yang datang belakangan) dalam mengharamkan nikah 

Mut’ah menunjukkan atas pengharaman mereka terhadap 

nikah dengan niat talak, meskipun para ahli Fiqih menyatakan 

bahwa akad nikah dianggap sah jika seseorang berniat 

menikah untuk beberapa waktu saja tanpa mensyaratkannya 

di dalam shighah akad. Akan tetapi menyembunyikan niat 

talak tersebut termasuk tipuan dan kecurangan sehingga hal 

itu dinilai lebih dekat dengan kebatilan daripada sebuah akad 

yang dengan terang-terangan mensyaratkan adanya jenjang 

waktu yang telah diridai antara pihak laki-laki, wanita dan 

wali. Tidak ada kerusakan yang disebabkan oleh nikah 

semacam ini kecuali berbuat curang terhadap ikatan 

kemanusiaan yang sangat agung dan lebih mengutamakan di 

ladang syahwat antara para penikmat syahwat laki-laki dan 

wanita yang menimbulkan kemungkaran. Jika dalam akad 

pernikahan tersebut tidak disyaratkan adanya jenjang waktu, 

maka yang demikian itu termasuk penipuan dan kecurangan 

yang akan menyebabkan kerusakan dan permasalahan seperti 

permusuhan dan kebencian serta hilangnya kepercayaan 

sampai pun kepada orang yang benar-benar akan menikah 

secara sah dan serius, yaitu untuk saling menjaga antara 

suami dan istri, adanya keikhlasan di antara keduanya dan 

151 

saling tolong-menolong dalam membangun rumah tangga 

yang sakinah.” (Rasyid Ridha, 1990 : V : 15) 

Seterusnya, termasuk yang melarang nikah dengan niat 

talak yaitu   Syaikh al-Utsaimin, setelah melihat bahaya yang 

mungkin timbul jika pernikahan ini dibolehkan. (al-Asyqar, 

2000 : 224) 

Alasan yang dikemukakan ulama yang melarang di 

antaranya : 

1. Penekanan pada persyaratan selamanya dalam 

pernikahan seperti syarat sah nikah, hal ini yaitu   perkara 

yang sudah disepakati para ulama, hal ini menuntut 

pencegahan nikah dengan niat talak. 

2. Menyembunyikan niat terhadap istri dan keluarganya 

yaitu   sebuah penipuan yang menuntut lebih pantas 

dibatalkan daripada nikah Mut’ah. 

3. Banyak kerusakan yang timbul dari pernikahan ini seperti 

permusuhan dan kebencian antar keluarga. 

4. Membuka jalan bagi orang yang memiliki niat buruk 

untuk mempermainkan pernikahan. 

5. Bisa menghilangkan kepercayaan masyarakat sampai 

orang yang berniat baik pun bisa jadi kena getahnya. (al-

Asyqar, 2000 : 224-225). 

Sementara itu Ibnu Taimiyah memandang bahwa nikah 

dengan niat talak yaitu   makruh, hal ini dapat dilacak dalam 

pernyataannya dalam kitabnya al-Fatawa al-Kubra “ Apabila si 

suami mempunyai niat menalaknya setelah menyelesaikan 

urusan di suatu tempat, maka yang demikian itu 

dimakruhkan. (Ibnu Taimiyah, t.t , IV : 72, al-Manshur, 2004: 

38) 

Selain Ibnu Taimiyah, ulama Syafi’iyyah secara umum 

juga menganggap makruh pernikahan model ini, sebagai 

152 Bincang Sebelas Nikah Kontroversial dalam Islam 

bentuk kompromi dengan ulama yang menganggap batal 

pernikahan jenis ini. 

D. Pentarjihan 

Dengan memperhatikan maksud dan tujuan luhur 

pernikahan yang dimaksudkan berlangsung selamanya, maka 

nikah dengan niat talak jelas tidak ideal dan tidak dianjurkan 

untuk dipraktikkan. Sehingga wajar banyak ulama 

kontemporer yang mengecam pernikahan ini, karena hampir 

pasti dampak negatifnya lebih besar dari manfaatnya. 

Membolehkan dan mengesahkan pernikahan ini jelas 

akan membuka pintu kerusakan yang luas di tengah 

masyarakat. Di samping akan memunculkan banyaknya 

perceraian yang sudah diniatkan/direncanakan sejak awal, 

juga merugikan dan menyakitkan bagi istri dan keluarga istri 

karena ternyata suaminya sudah merencanakan perceraian 

sejak awal sedang ia sama sekali tidak menduganya. 

Pernikahan jenis ini juga terkesan mempermainkan 

pernikahan yang sakral dan agung hanya sekedar untuk 

dipermainkan dalam tempo minggu, bulan atau tahun.  

Sehingga tidak heran kalau al-Asyqar lebih memilih 

menguatkan pendapat al-Auza’i yang melarang nikah dengan 

niat talak. (al-Asyqar, 2000 : 228) Pendapat yang melarang dan 

mengharamkan nikah dengan niat talak juga dikemukakan 

oleh Shaleh bin Abdul Aziz al-Manshur. Secara tegas ia 

menulis : 

“Menurut pendapat saya nikah dengan niat talak tidak 

sesuai dengan syariat Islam karena itu hukumnya haram dan 

batil”.  

Lebih lanjut ia menangkis argumen ulama-ulama yang 

membolehkan termasuk secara khusus menyediakan 

153 

bantahan untuk pendapat Ibnu Taimiyah pada lembaran-

lembaran berikutnya. (al-Manshur, 2004 : 40 dst) 

E. Kesimpulan 

Nikah dengan niat talak sudah seharusnya dilarang dan 

dicegah agar tidak menimbulkan kerusakan dan keguncangan 

di tengah-tengah masyarakat. Jika ulama Sunni keras 

terhadap nikah Mut’ah, mengapa malah menolerir pernikahan 

yang sejak awal sudah direncanakan untuk diakhiri di tengah 

jalan. 

Jika dibanding nikah Mut’ah, nikah dengan niat talak 

jelas lebih buruk dan tidak bertanggungjawab. Karena dalam 

nikah Mut’ah sejak awal istri dan keluarganya tahu dan sadar 

bahwa ia dinikahi untuk tempo waktu tertentu dan setelah itu 

otomatis akan bercerai. Sehingga jika ia mau itu artinya dia 

rela dan siap. Sedang nikah dengan niat talak, si istri tidak 

tahu kalau dia akan diceraikan di tengah jalan. Jika ia tahu 

mau dicerai di tengah jalan, besar kemungkinan ia dan 

keluarganya tidak mau dan tidak rela. Jelas ini perbuatan 

tidak ksatria dan bertanggungjawab yang bisa memicu 

keributan antara suami dengan keluarga istri. 

Memang urusan syahwat kelamin butuh penjagaan dan 

pengaturan ekstra agar tidak menimbulkan ekses-ekses 

negatif di tengah masyarakat. Maka bentuk-bentuk nikah 

yang masih kontroversial sudah selayaknya dijauhi dan 

ditinggalkan. Jika nekat juga, maka sejumlah masalah sangat 

mungkin akan ditemukan kemudian hari. 

 

  

 

 

Sebuah pernikahan dinilai kontroversial jika keabsahannya 

diperdebatkan, menimbulkan pro kontra di tengah masyarakat 

dan cenderung dianggap lebih besar mudaratnya. Nikah yang 

dibahas dalam buku ini memenuhi salah satu atau bahkan ketiga 

kriteria tersebut. 

Nikah kontroversial juga terasa menonjol dari sisi hanya 

untuk pemenuhan kebutuhan biologis suami. Sehingga aroma 

‘memanjakan’ syahwat terasa tercium kental dalam pernikahan 

ini. Sedang posisi wanita dan anak jika lahir dari perkawinan ini 

cukup rawan dan berisiko tinggi jika terjadi apa-apa

Nikah kontroversial jelas sulit merealisir tujuan pernikahan 
bahkan mungkin sebagian besar tujuan pernikahan tidak akan 
tercapai dengan melakukan nikah kontroversial ini, selain hanya 
tujuan syahwat saja yang ditonjolkan. Selain itu kedamaian dan 
ketenangan juga akan sulit diraih mengingat bayang-bayang 
masalah siap mengintai setiap saat. 
Dengan demikian, sudah semestinya nikah kontroversial ini 
dijauhi dan dihindari, mengingat hukumnya masih 
diperselisihkan dan dampaknya kurang baik atau 
menguntungkan terutama bagi anak-anak dan istri. Masyarakat 
juga cenderung menyoal dan bahkan sering menolaknya. 
Menjalani nikah kontroversial dalam hal ini jelas mengundang 
157 
banyak masalah seperti masalah legalitas pernikahan, ketenangan 
dan kedamaian dalam menjalani rumah tangga. 
Menikahlah dengan mengikuti aturan yang ada, baik yang 
digariskan fikih munakahat dan peraturan perundangan yang 
berlaku serta tradisi dan adat istiadat yang makruf dan sahih. Jika 
ini tidak dipenuhi bersiaplah menerima masalah cepat atau 
lambat. 
Memang dalam urusan menikah atau kelamin hendaknya 
ekstra hati-hati. Pastikan pernikahan kita sah dan legal baik 
menurut agama maupun hukum positif yang berlaku. Dengan 
demikian tujuan nikah insya Allah akan lebih mudah terwujud. 
Akhirnya, dengan mengucap alhamdulillahirabbil ‘alamin, 
buku ini penulis persembahkan kepada pembaca dengan segala 
kelebihan dan kekurangannya. Semoga ada manfaatnya dan bisa 
menjadi pahala Jariyah hingga hari akhir nanti. Semoga!