Di kalangan ulama dan cendikiawan Indonesia, terdapat perbedaan
pandangan tentang nikah sirri, ada yang melarang, membolehkan dan
ada pula yang berada pada posisi tengah. Perbedaan pandangan tersebut
sangat lumrah terjadi karena masing-masing pihak berargumen dengan
interpretasinya sendiri. Menurut Undang-undang Perkawinan pasal
2 ayat (1) dan ayat (2) maka dapat dipahami bahwa suatu akad nikah
harus memenuhi ketentuan Undang-undang Perkawinan pasal 2 ayat (1)
mengenai tata cara agama dan ayat (2) mengenai pencatatan nikahnya
oleh PPN secara simultan.
Pada prinsipnya KHI melarang perkawinan secara sirri. Meskipun
istilah nikah sirri tidak disebut sama sekali dalam KHI, berdasarkan
ketentuan-ketentuan yang diatur di dalamnya, sangat jelas menunjukkan
ketidakbolehan nikah sirri. Nikah sirri di satu sisi mempunyai aspek
positif sehingga banyak dilakukan oleh sejumlah kalangan namun
juga menimbulkan berbagai dampak negatif yang jauh lebih besar
yang akan merugikan pasangan nikah sirri, khususnya pihak istri dan
anaknya kelak. Untuk menghapus dikotomi antara agama dan negara maka perlu mempertemukan antara syarat sah perkawinan menurut
agama dan syarat sah perkawinan menurut undang-undang. Untuk
mencapainya langkah yang paling ampuh adalah merekonstruksi syarat
sah perkawinan dengan menambah pencatatan perkawinan sebagai
rukun perkawinan, untuk menekan terjadinya perkawinan di bawah
tangan sebab sesungguhnya peraturan pencatatan perkawinan tidak
bertentangan dengan syariat islam.
Pernikahan atau perkawinan marupakan hal yang sakral dalam
kehidupan kita sebagai manusia yang memang diciptakan untuk
mendapatkan pasangan hidup saat kita siap dan menginginkannya.
Sebagaimana telah di jelaskan dalam pasal 1 UU No.1/1974 tentang
perkawinan, bahwa ‘perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa’. Dan diatur pula mengenai sahnya perkawinan dalam
pasal 2 ayat 1 UU No.1/1974 perkawinan adalah sah, apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Serta ketentuan dalam suatu perkawinan untuk pentingnya dilakukan
pencatatan sebagaimana bunyi ayat 2 bahwa Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pencatatan perkawinan memang sangat perlu dilakukan dengan
tujuan sebagaimana tertera pada nomor 4 huruf b Penjelasan Umum
UU Perkawinan, bahwa “Dalam undang-undang ini dinyatakan bahwa
suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dan di samping
itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama
halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan
seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam suratsurat keterangan, suatu akta resmi yang juga dimuat dalam daftar
pencatatan”.
Pada penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa pentingnya
pencatatan tersebut bertujuan untuk terlaksananya tertib administrasi
supaya tidak terjadi ketidakjelasan status dalam suatu perkawinan dan
perkawinan tersebut memiliki perlindungan hukum bila suatu waktu
terjadi sengketa.
Namun fakta yang sedang terjadi saat ini adalah ketidakpatuhan
yang dilakukan sebagian masyarakat dalam melakukan pernikahan atau
perkawinan dengan tidak melakukan pencatatan sebagaimana telah
ditentukan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, yakni disebut
nikah siri. Sehingga hal itu menimbulkan berbagai akibat pada kehidupan
perkawinan seseorang yang tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan
yang berlaku atau dapat disebut pula perkawinan yang tidak taat hukum.
Nikah sirri menjadi perdebatan hangat karena sangat berbeda dengan
nikah resmi pada umumnya. Apabila ditinjau dari sudut hukum Islam
dan hukum positif nasional, pernikahan model ini menjadi perdebatan
yang kompleks, dilematis, dan juga bersifat problematik.
Nikah Sirri Menurut Perspektif Hukum Positif Indonesia
Undang-undang Perkawinan
Ketika syariat Islam tentang perkawinan sudah menjadi bagian dari
hukum positif Indonesia dalam bentuk Undang-undang Perkawinan
No. I Tahun 1974, maka umat Islam di Indonesia mempunyai kewajiban untuk menaatinya. Undang-undang itu merupakan hasil ijtihad para
tokoh serta para ulama untuk mengakomodir syariat Islam dalam
perundang-undangan di Indonesia.
Menurut Undang-undang Perkawinan pasal 2 ayat (I) menegaskan,
“perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agama dan kepercayaannya itu.” Dalam penjelasan pasal 2 ayat
(I) ini disebutkan bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan UUD 1945
dan bahwa yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang
berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak
bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini.1
Kemudian pasal 2 ayat (2) menegaskan, “Tiap-tiap perkawinan
dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. PP No.
9/1975 pasal 2 ayat (1) menerangkan “Pencatatan perkawinan dari meraka
yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan
oleh pegawai pencatat nikah sebagaimana dimaksud dalam Undangundang No. 32 Tahun 1954 tentang pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk.
Selanjutnya pasal 2 ayat (2) menerangkan “Pencatatan perkawinan dari
mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamnya dan
kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat
Nikah (PPN) pada kantor catatan sipil sebagaimana dimaksud dalam
berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan.2
Sehubungan dengan pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) beserta PP No.
9/1975 tentang pelaksanaan undang-undang tersebut maka dapat
dipahami bahwa suatu akad nikah harus memenuhi ketentuan Undangundang Perkawinan pasal 2 ayat (1) mengenai tata cara agama dan ayat
(2) mengenai pencatatan nikahnya oleh PPN secara simultan. Ketentuan
ayat (1) dan ayat (2) tersebut merupakan syarat komulatif, bukan
alternatif. Perkawinan yang dilakukan menurut ketentuan syariat Islam
tanpa pencatatan oleh PPN belumlah dianggap sebagai perkawinan yang sah. Itulah sebabnya perkawinan yang tidak tercatat setelah
berlakunya Undang-undang Perkawinan tahun 1974 dikenal dengan
istilah perkawinan di bawah tangan.
Kompilasi Hukum Islam
Berdasarkan status, posisi KHI dalam tata hukum nasional maka
dapat dipergunakan sebagai pegangan atau pedoman dalam membahas
perkawinan dalam sudut pandang hukum positif nasional.
Pasal 4 menyebutkan bahwa “perkawinan adalah sah, apabila dilakukan
menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-udang No. 1
Tahun 1974 tentang perkawinan”. Berdasarkan pasal tersebut jelas terlihat
bagaimana posisi KHI yang mendukung ketentuan perkawinan yang
diatur dalam Undang-undang Perkawinan.
KHI menyebutkan bahwa pentingnya pencatatan perkawinan
adalah untuk menjamin ketertiban perkawinan, yaitu dalam pasal 5
ayat (1) “Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap
perkawinan harus dicatat”. Penegasan KHI bisa menjadi pedoman bahwa
nikah sirri yang tidak dicatatkan, disamping tidak sesuai dengan aturan
hukum formal yang berlaku di negara ini juga dianggap tidak memenuhi
ketertiban perkawinan. Penertiban pencatatan perkawinan dimaksudkan
agar perkawinan tersebut memiliki kekuatan hukum.
Berdasarkan pasal 5 ayat (2) dijelaskan bahwa pencatatan perkawinan
bagi yang beragama Islam dlakukan oleh pegawai pencatat nikah, talak
dan rujuk. Tentang tatacara pencatatan yang dimaksud tersebut, pasal
6 ayat (1) mengatur “Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap
perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan pegawai
pencatat nikah”. Tatacara pencatatan ini penting agar nantinya mempunyai
kekuatan hukum, sebab sebagaimana dinyatakan dalam pasal 6 ayat (2):
“Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan pegawai pencatat nikah tidak
mempunyai kekuatan hukum”.
Pada prinsipnya KHI melarang perkawinan secara sirri. Meskipun
istilah nikah sirri tidak disebut sama sekali dalam KHI, berdasarkan
ketentuan-ketentuan yang diatur di dalamnya, sangat jelas menunjukkan
ketidakbolehan nikah sirri.Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Sebagian masyarakat berpendapat nikah sirri atau nikah di bawah
tangan tidak sah. Sebagian lain mengatakan sah. Untuk itu, Majelis
Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa yang ditetapkan di Jakarta
pada pada tanggal 17 September 2008 M/17 Ramadhan 1429 H:
Pertama: Ketentuan Umum
Nikah Di Bawah Tangan yang dimaksud dalam fatwa ini adalah
“Pernikahan yang terpenuhi semua rukun dan syarat yang
ditetapkan dalam fikih (hukum Islam) namun tanpa pencatatan
resmi di instansi berwenang sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan”.
Kedua: Ketentuan Hukum
1. Pernikahan Di Bawah Tangan hukumnya sah karena telah
terpenuhi syarat dan rukun nikah, tetapi haram jika terdapat
madharrah.
2. Pernikahan harus dicatatkan secara resmi pada instansi
berwenang, sebagai langkah preventif untuk menolak dampak
negatif/madharrah (saddan lidz-dzari’ah).3
Faktor Penyebab Terjadinya Nikah Sirri
Berbicara tentang nikah sirri, ada banyak faktor yang melatar
belakanginya, di antaranya faktor pengetahuan masyarakat yang
belum bulat, pengetahuan masyarakat dalam hal ini terpecah-pecah,
sehingga ada yang menyatakan “perkawinan sah menurut agama” dan
“perkawinan sah menurut hukum negara”.
Faktor lain yang banyak menyebabkan seseorang melakukan nikah
sirri adalah untuk beristri lebih dari satu (poligami). Kasus ini sering
terjadi karena untuk menghindari kontroversi di masyarakat. Memang
harus diakui bahwa poligami masih dianggap tindakan yang tidak lazim
di Indonesia walaupun diperbolehkan dalam agama, sehingga kalau seseorang menyatakan secara lisan untuk melakukan poligami dianggap
sebagai sesuatu yang salah dan aneh.
Kasus ini juga biasa terjadi pada lingkungan pegawai negeri atau
pejabat negara untuk melakukan poligami berkedok demi menghindari
zina, karena ketatnya PP No. 10 Tahun 1983 tentang larangan poligami bagi
PNS dan pejabat negara, akan memilih melakukan nikah sirri demi karir
dan keluarga. Selanjutnya dari berbagai kasus yang terjadi di masyarakat,
adanya nikah sirri atau perkawinan di bawah tangan, selain faktor budaya
dan alasan poligami, juga dilatarbelakangi permasalahan di antaranya:
1. Faktor ekonomi, merasa belum mampu untuk melaksanakan resepsi
perkawinan. Alasan ini biasanya dikemukakan oleh mereka yang
menikah tetapi merasa belum mampu secara ekonomi, sehingga
berpikir bahwa menikah itu berat karena harus mengeluarkan
biaya yang besar. Alasan ini sebenarnya kurang pas karena untuk
mendaftarkan perkawinan ke KUA tidak harus disertai dengan
resepsi perkawinan apalagi yang menghabiskan biaya besar.
2. Tidak mendapat restu dari orang tua. Misalnya pihak orang tua dari
salah satu pasangan tidak merestui pernikahan mereka, sedangkan
mereka sudah terlanjur saling mencintai, sehingga mereka sepakat
menikah sirri sampai orang tua mereka merestui pernikahan mereka.
3. Perbedaan agama, sebab untuk mengurus administrasi perkawinan
beda agama tidak mudah, maka mengambil jalan pintas dengan
menikah sirri.
4. Faktor kesegeraan dalam melangsungkan perkawinan agar tidak
terjerumus dalam perbuatan dosa, seperti hamil di luar nikah, aborsi
dan pergaulan bebas.
5. Masih terikat kontrak dengan pekerjaan yang mengharuskan status
lajang.4
Dampak Nikah Sirri
Nikah sirri di satu sisi mempunyai aspek positif sehingga banyak
dilakukan oleh sejumlah kalangan namun juga menimbulkan berbagai
dampak negatif yang jauh lebih besar yang akan merugikan pasangan nikah sirri, khususnya pihak istri dan anaknya kelak.
Aspek positif nikah sirri di antaranya dimaksudkan sebagai
upaya untuk mencegah timbulnya pelanggaran hubungan antara
laki-laki dan perempuan atau biasa dibahasakan untuk menghindari
zina. Selanjutnya nikah sirri dilakukan karena urusannya mudah,
dengan mempertimbangkan alasan bahwa Islam mengajarkan agar
mempermudah perkawinan dan jangan menunda meskipun terdesak
beban ekonomi.5
Dampak yang paling merugikan pihak istri adalah aspek yuridis,
disamping juga akan merasakan dampak dari aspek sosial, psikologis
ekonomi dan sebagainya.
Akibat yuridis yang akan dialami sang istri cukup banyak, di
antaranya:
a. Nikah sirri tidak memiliki kekuatan hukum dan dianggap tidak sah
di mata hukum sehingga istri yang telah dinikahi tidak dianggap
sebagai istri yang sah.
b. Istri dari hasil nikah sirri tidak berhak atas nafkah dan warisan dari
suami jika ia meninggal dunia.
c. Istri dari hasil nikah sirri tidak memiliki hak atas harta gono-gini jika
terjadi perceraian karena secara hukum nikah sirri dianggap tidak
sah dan tidak pernah terjadi.6
Di samping dampak dari aspek yuridis tersebut, pihak istri juga
akan mengalami dampak negatif dari aspek sosial. Pada umumnya istri
dalam nikah sirri sulit bersosialisasi dengan masyarakat sekitar. Wanita
yang tinggal serumah dengan suami yang merupakan hasil nikah sirri
akan menjadi buah bibir di lingkungan tempat tinggalnya.
Nikah sirri juga berdampak negatif terhadap kehidupan anak dan
masa depannya, di antaranya:
a. Kerugian yang harus ditanggung oleh anak dari hasil nikah sirri
adalah akan dianggap sebagai anak yang tidak sah dan pada
akhirnya anak tersebut hanya akan memiliki hubungan perdata
dengan ibu dan keluarga ibunya saja. Secara hukum anak tersebut tidak memiliki hubungan dengan sang ayah.
b. Status anak yang tidak jelas di mata hukum akan menimbulkan
lemahnya hubungan antara anak dengan ayah, dan seandainya
suatu saat ayah tidak mengakui bahwa anak tersebut bukanlah anak
kandungnya, maka sang anak tidak akan memiliki bukti yang dapat
ia gunakan untuk melakukan pembelaan atau melakukan gugatan.
c. Yang paling merugikan bagi anak adalah bahwa anak tersebut tidak
memiliki hak atas nafkah, biaya pendidikan, biaya kehidupan dan
warisan dari sang ayah jika ayahnya meninggal.7
Rekonstruksi Syarat Perkawinan di Indonesia Untuk Mempertemukan
Perspektif Fikih Dan Hukum Nasional
Kehadiran Undang-undang perkawinan seyogyanya ditaati oleh
semua warga sebagai kewajiban agama dan negara karena bertujuan demi
kemaslahatan masyarakat Indonesia. Dibahasakan oleh M. Hasbi Umar
bahwa Undang-undang perkawinan tersebut dianggap sebagai fikif
muna>kaha>t bagi masyarakat Indonesia. Pernyataan tersebut berdasarkan
kenyataan bahwa kitab-kitab fikih klasik sesuai dan relevan pada
masanya, sedangkan untuk masa sekarang harus dilakukan pengkajian
ulang terhadap materi hukumnya dalam rangka usaha pembaharuan
hukum Islam, terutama dalam mengantisipasi era modern.8
Di dalam kitab-kitab fikih, pencatatan perkawinan memang
tidak termasuk dalam rukun dan syarat sahnya perkawinan. Namun
berdasarkan analisis hukum Islam, pencatatan merupakan syarat
sahnya suatu akad muamalah. Proses ini sangat penting sebagai bukti
autentikyang dapat memperkuat komitmen pasangan suami istri agar
tidak terjadi hal-hal yang merugikan salah satu dari keduanya, termasuk
anak.
Untuk menghapus dikotomi antara agama dan negara maka perlu
mempertemukan antara syarat sah perkawinan menurut agama dan
syarat sah perkawinan menurut undang-undang. Untuk mencapainya
langkah yang paling ampuh adalah merekonstruksi syarat sah perkawinan dengan menambah pencatatan perkawinan sebagai
rukun perkawinan, untuk menekan terjadinya perkawinan di bawah
tangan sebab sesungguhnya peraturan pencatatan perkawinan tidak
bertentangan dengan syariat islam.
Menurut Imam syaukani ada tiga pendekatan untuk membuktikan
bahwa pencatatan perkawinan tidak bertentangan dengan syariat Islam.9
Pertama, pendekatan hisotris. Dalam kitab-kitab fikih tidak
menyebutkan tentang pencatatan perkawinan, bisa karena kitab-kitab
fikih tersebut ditulis, tingkat amanah kaum muslimin relatif tinggi.
Sehingga kemungkinan penyalahgunaan lembaga perkawinan yang
tidak sejalan dengan tujuan ideal perkawinan dan merugikan pihak lain
relatif kecil.
Kedua, pendekatan qa>idah al-fiqhiyah
(tiada sempurna suatu kewajiban kecuali dengan sesuatu, maka adanya
sesuatu itu menjadi wajib hukumnya). Berkaitan dengan penggunaan
kaidah ini pada kasus pencatatan perkawinan, Imam Syaukani berangkat
dari anggapan bahwa pencatatan suatu perkawinan adalah satu
peraturan yang sengaja dibuat dalam rangka menyempurnakan kualitas
sebuah perkawinan. Dengan demikian, berlakulah ketentuan kaidah
tersebut, yaitu tiada sempurna sebuah perkawinan kecuali dengan
adanya pencatatan, maka adanya pencatatan menjadi wajib hukumnya.
Ketiga, pendekatan maslahat. Pendekatan ini muncul sebagai
jawaban terhadap pandangan sebagian orang yang menyatakan bahwa
nikah sirri atau tanpa pencatatan PPN adalah sah menurut agama.
Imam Syaukani bahkan berani mengatakan bahwa nikah sirri hanya sah
menurut fikih, tidak atau belum sah menurut agama. Menurutnya pesan
yang dibawa oleh agama adalah universal. Artinya, segala tindakan
manusia hanya dapat dibenarkan menggunakan justifikasi agama sejauh
ia mendatangkan manfaat bagi kepentingan umun.
Di samping itu, untuk menganggap bahwa sahnya suatu akad nikah
yaitu apabila telah dilakukan menurut ketentuan syariat Islam dan dicatat
oleh PPN adalah dengan menggunakan dalil syariah yang menyatakan
bahwa menaati perintah agama dan pemerintah adalah wajib.Oleh sebab itu, ketentuan tentang pencatatan perkawinan yang
telah ditetapkan oleh pemerintah wajib ditaati oleh warga negara
yang mengaku dirinya taat kepada agamanya. Sebab aturan tersebut
dibuat dengan pertimbangan kemaslahatan. Sementara agama sangat
mengutamakan kemaslahatan yang merupakan tujuan utama syariat
Islam.
Berdasarkan pendekatan atau metode yang dikemukakan tersebut,
seiring dengan perkembangan dan kebutuhan yang ada dalam konteks
keindonesiaan, tidak terlepas pula dari dampak nikah sirri, maka sudah
sangat beralasan dan urgen untuk menjadikan rukun perkawinan yang
menjadi syarat sahnya perkawinan di Indonesia tidak hanya lima syarat,
tetapi jumlahnya bisa menjadi enam, yaitu ditambah dengan ketentuan
pencatatan perkawinan yang dilakukan oleh petugas yang berwenang
menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal ini,
PPN dari Kantor Urusan Agama bagi umat Islam dan Kantor Catatan
Sipil bagi warga negara non muslim.





.jpeg)
.jpeg)





