Tampilkan postingan dengan label Biksu Budha 23. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Biksu Budha 23. Tampilkan semua postingan

Biksu Budha 23

 



rmawanan. Kehendak yang berhubungan dengan 

kedermawanan terdiri dari tiga jenis yaitu, kehendak yang muncul 

sebelum memberi, kehendak yang muncul pada saat memberi, 

dan kehendak yang muncul sesudah   memberi. Kebijaksanaan yang 

berhubungan dengan kehendak-kehendak ini dalam setiap kasus 

disebut dànamaya pa¤¤Ã . Demikian pula dalam hal pelaksanaan 

moralitas, kebijaksanaan yang muncul dengan kehendak, “Aku 

akan melaksanakan sãla,” kebijaksanaan yang muncul sewaktu 

melaksanakan dan kebijaksanaan yang muncul dalam perenungan 

3340


sesudah   melaksanakan sãla, seluruh tiga ini disebut sãlamaya 

pa¤¤Ã .

Jika dànamaya pa¤¤Ã  dan sãlamaya pa¤¤Ã , dipahami melalui proses 

pemikiran dan penelaahan, maka dikelompokkan sebagai cintàmaya 

pa¤¤Ã ; jika dipahami melalui mendengar dari orang lain, maka 

termasuk dalam sutamaya pa¤¤Ã . Jenis-jenis kebijaksanaan lainnya 

dapat dikelompokkan dengan cara yang sama dalam tiga kelompok 

cintàmaya pa¤¤Ã , dan seterusnya.

Dhamma, “paripucchanto buddham jànaÿ pa¤¤Ã  pàramãtaÿ 

gantvà,” “Memenuhi Kesempurnaan Kebijaksanaan dengan 

memelajarinya dari para bijaksana,” dalam Buddhavaÿsa jelas 

dinyatakan bahwa Buddha menganggap sutamaya pa¤¤Ã  sebagai 

kebijaksanaan dasar. Hal ini sebab   di dunia ini seseorang yang 

belum memiliki kebijaksanaan dasar tidak akan dapat mengetahui 

apa pun melalui berpikir sendiri; ia harus memelajarinya terlebih 

dahulu dari para bijaksana dengan mendengarkan mereka. Oleh 

sebab   itu, Buddha membabarkan bahwa seseorang yang ingin 

memenuhi Kesempurnaan Kebijaksanaan terlebih dahulu harus 

mendapatkan pengetahuan dari para bijaksana sebelum ia memiliki 

kebijaksanaan dasar.

Singkatnya, kebijaksanaan melalui mendengar (sutamaya pa¤¤Ã ) 

harus dicapai terlebih dahulu sebelum kebijaksanaan melalui 

berpikir (cintàmaya pa¤¤Ã ).

Komentar-komentar seperti Aññhasàlinã menjelaskan dalam 

kehidupan Bodhisatta yang tidak terhitung banyaknya, misalnya 

sebagai seorang bijaksana Vidhura, Mahà Govinda, Kudàla, Araka, 

Bodhi si petapa yang ingin tahu, Mahosadha, dan sebagainya, saat   

Beliau ingin memenuhi Kesempurnaan Kebijaksanaan. Dalam 

kehidupan-kehidupan ini, Bodhisatta telah memiliki kebijaksanaan 

dasar; Beliau juga memiliki cintàmaya pa¤¤Ã . sebab   kebijaksanaan 

dasar yang Beliau miliki sudah cukup kuat, mencapai sutamaya 

pa¤¤Ã  bukan lagi menjadi tujuan utama dalam kehidupan-

kehidupan ini  .

3341

 1

Empat Jenis Kavi

Catukka Nipàta dari Aïguttara Nikàya menjelaskan empat jenis 

kavi:

(1) cinta kavi, 

(2) suta kavi, 

(3) attha kavi, dan 

(4) pañibhàna kavi

(Istilah kavi diturunkan dari kata ‘kava’ yang artinya yaitu   

‘memuji’; sebab   itu seorang yang memuji hal-hal yang layak dipuji 

disebut kavi yang bermakna ‘seorang yang bijaksana’.)

(1) Seseorang yang mampu mengetahui hal-hal dengan 

memikirkannya disebut cinta kavi, seorang bijaksana yang 

berpikir sendiri. Orang-orang ini menyanyikan syair-syair 

pujian atas hal-hal yang layak dipuji. Dengan demikian 

cinta kavi yaitu   seorang yang menggubah syair dengan 

memikirkannya sendiri.

(2) Seseorang yang menggubah syair tentang apa yang ia ketahui 

melalui mendengar disebut seorang suta kavi.

(3) Seseorang yang tidak mengetahui melalui berpikir sendiri atau 

melalui memelajari dari orang lain tetapi mengartikan makna 

dari hal-hal yang sulit berdasarkan pengetahuan yang telah ia 

miliki mengenai masalah-masalah serupa disebut attha kavi, 

seorang bijaksana yang menjelaskan makna. Ia menulis syair 

berdasarkan topik-topik yang diberikan.

(4) Seseorang yang tanpa berpikir sendiri atau mendengarkan dari 

orang lain atau mengartikan dari apa yang sudah diketahui, 

memiliki kemampuan untuk menembus secara spontan akan 

makna dari topik yang diberikan disebut pañibhàna kavi, 

seorang bijaksana yang memiliki persiapan kata-kata (seperti 

Yang Mulia Vaïgisa Thera pada masa Buddha).

Sifat Kebijaksanaan

Kebijaksanaan yaitu   faktor batin yang terpisah, satu dari 

kebenaran tertinggi. Dalam Dhammasaïgaõã, berbagai nama seperti 

3342


pa¤¤indriya, pa¤¤Ã , pajànana, dan seterusnya diberikan untuk 

kebijaksanaan, sebab   yaitu   karakteristik dari Abhidhammà untuk 

memberi   rincian lengkap dari setiap hal yang harus diajarkan 

mengenai masing-masing topik. Istilah utama bagi kebijaksanaan 

yaitu   pa¤¤indriya terdiri dari pa¤¤Ã  dan indriya.

Disebut pa¤¤Ã , kebijaksanaan, sebab   mendukung pemahaman 

dalam segala aspek Empat Kebenaran atau Tiga Karakteristik, 

ketidakkekalan (anicca), penderitaan (dukkha), dan tanpa-diri 

(anatta).

Disebut indria, indriya, (mengendalikan atau mengatur) sebab   

dapat mengatasi kebodohan (avijjà) dan khayalan (moha) atau 

sebab   mendominasi dalam memahami sifat sebenarnya. Pa¤¤Ã , 

kebijaksanaan, memiliki karakteristik menciptakan cahaya. 

Bagaikan kegelapan yang lenyap segera sesudah   cahaya muncul 

di dalam suatu kamar gelap; demikian pula, di mana kebodohan 

membutakan kita, begitu kebijaksanaan muncul, kebodohan akan 

lenyap dan memungkinkan kita melihat dengan jelas. Oleh sebab   

itu Buddha bersabda, pa¤¤Ã  samà àbhà natthi, ‘Tidak ada cahaya 

yang menyerupai kebijaksanaan.’

Kebijaksanaan memiliki karakteristik melihat segala sesuatu dengan 

membeda-bedakan. Bagaikan seorang dokter ahli yang melihat 

makanan apa yang cocok bagi pasiennya dan makanan apa yang 

tidak cocok, demikian pula, saat kebijaksanaan muncul, ia akan 

memungkinkan seseorang untuk membedakan perbuatan baik dan 

perbuatan tidak baik.

Kebijaksanaan juga memiliki karakteristik menembus sifat sejati 

sebagai mana adanya. Diumpamakan sebagai anak panah, yang 

ditembakkan oleh pemanah ahli, menembus targetnya tanpa 

meleset.

Hal yang penting dipahami sehubungan dengan karakteristik 

kebijaksanaan: kebijaksanaan sejati yaitu   mengetahui segala 

sesuatu sebagaimana adanya dan pengetahuan demikian yaitu   

bebas dari cacat. Itulah sebabnya dalam Abhidhammàttha Saïgaha, 

3343

 1

faktor batin kebijaksanaan (pa¤¤Ã  cetasika) termasuk dalam jenis 

‘indah’ (sobhaõa) dari faktor batin.

Muncul pertanyaan mengenai kebijaksanaan sehubungan dengan 

tindakan Sulasà dalam Sulasà Jàtaka dari Aññhaka Nipàta. Di Vàràõasã, 

seorang pelacur bernama Sulasà menyelamatkan nyawa perampok 

bernama Suttaka yang akan dihukum mati. Ia menikahinya dan 

mereka hidup bersama. sebab   ingin memiliki perhiasannya, si 

perampok membujuknya untuk mengenakan perhiasannya yang 

bernilai satu lakh dan pergi ke gunung bersamanya. Sesampainya 

di puncak, ia menyuruhnya agar melepas semua perhiasannya dan 

bersiap-siap untuk membunuhnya. lalu   Sulasa berpikir, “Ia 

pasti akan membunuhku; aku harus menyerangnya lebih dulu dan 

membunuhnya dengan muslihat.” Maka ia memohon, “Suamiku, 

meskipun engkau mau membunuhku, aku tetap mencintaimu; 

menjelang kematianku, izinkan aku memberi hormat kepadamu 

dari empat penjuru, depan, belakang, kiri, dan kanan.” Tanpa 

mencurigai muslihatnya, si perampok mengizinkannya melakukan 

hal itu. sesudah   memberi hormat kepada si perampok, yang sedang 

berdiri di tepi tebing, dari depan dan samping, saat   ia berada di 

belakangnya, ia mendorongnya jatuh dari tebing dengan segenap 

kekuatannya dan membunuhnya.

Bodhisatta yang yaitu   dewa yang menetap di gunung ini   

berkata, “‘Na hi sabbesu ñhànesu puriso hoti paõóito; itipi paõóito 

hoti tattha tattha vicakkhaõà” ‘Tidak selalu laki-laki lebih bijaksana; 

perempuan juga bisa bijaksana dan berpandangan jauh.’”

Kita akan mempertanyakan apakah tepat bagi Bodhisatta dewa untuk 

memuji Sulasa sebagai seorang bijaksana. Kehendak Sulasa untuk 

membunuh si perampok yaitu   hal melakukan perbuatan buruk 

membunuh dan tidak berhubungan dengan pa¤¤Ã  cetasika.

Dalam menjawab persoalan ini, beberapa berdapat bahwa 

pengetahuan Sulasa bukanlah pa¤¤Ã  sejati. Dari tiga jenis 

pengetahuan, yaitu, pengetahuan melalui persepsi (sa¤¤Ã ), 

pengetahuan melalui kesadaran (vi¤¤Ã Ãµa), dan pengetahuan melalui 

kebijaksanaan (pa¤¤Ã ). Pengetahuan Sulasa yaitu   pengetahuan 

3344


melalui kesadaran saja, dengan kata lain, melalui imajinasi. 

Pengetahuan yang melalui kesadaran itu di sini dianggap sebagai 

pa¤¤Ã .

Beberapa pendapat menegaskan bahwa dari dua pandangan: 

pandangan salah (micchà diññhi) dan pandangan benar (sammà 

diññhi); Sulasà memiliki pandangan salah dan Bodhisatta dewa 

menganggap pandangannya itu sebagai pa¤¤Ã  dan bukan 

memujinya sebab   kualitas kebijaksanaannya, dan sebab   itu tidak 

bertentangan dengan Abhidhammà.

Kedua jawaban ini, menganggap kesadaran (vi¤¤Ã Ãµa) dan 

pandangan (diññhi) sebagai kebijaksanaan (pa¤¤Ã ) bertentangan 

dengan prinsip-prinsip Abhidhammà, yaitu   salah sama sekali.

Pengetahuan Sulasà bahwa ia harus menang melawan si perampok 

jika ia memakai   muslihat yaitu   pengetahuan sejati dan, 

oleh sebab   itu, yaitu   kebijaksanaan. Seseorang tidak perlu 

meragukan apakah kebijaksanaan sejati dapat melibatkan hal-hal 

yang berhubungan dengan perbuatan jahat. Misalnya, tidak ada 

salahnya mengetahui tentang minuman beralkohol yang tidak 

seharusnya didekati dan yang dapat mengarah kepada perbuatan 

tidak bermoral, hanya sekadar untuk mengetahui minuman mana 

yang mengandung alkohol yang lebih banyak dan mana yang 

lebih sedikit, berapa harganya, apa yang terjadi jika seseorang 

meminumnya, dan sebagainya. Hal ini menjadi tidak bermoral hanya 

jika seseorang mulai berpikir untuk meminumnya.

Demikian pula, seseorang boleh memelajari berbagai pandangan dan 

kepercayaan di dunia ini tanpa kecuali, membedakan antara mana 

yang benar dan pantas dan mana yang salah. Dengan demikian, 

memelajari dan mengetahui tentang pandangan dan kepercayaan 

ini   sebagaimana adanya, benar atau salah, sama sekali tidak 

ada salahnya. Hanya jika seseorang secara keliru menganggap 

sebuah pandangan salah sebagai pandangan benar, maka itu yaitu   

kesalahan.

Jadi, dalam kasus Sulasa, mengetahui bahwa “aku akan menang 

3345

 1

jika aku memakai   muslihat” yaitu   mengetahui dengan benar; 

itu yaitu   mengetahui melalui kebijaksanaan dan sebab   itu tidak 

salah. Tetapi sejak ia memutuskan untuk membunuh suaminya 

dengan memakai   muslihat, perbuatannya menjadi suatu 

kejahatan, tidak bermoral. Hanya sehubungan dengan pengetahuan 

benar yang muncul pertama kali dalam dirinya sebelum perbuatan 

membunuh yang oleh Bodhisatta dewa dipuji dengan mengatakan 

ia bijaksana.

Seperti telah dijelaskan di atas, kita harus membedakan dengan 

jelas antara pengetahuan mengenai kejahatan di satu pihak 

dan tindakan kejahatan seperti membunuh di pihak lain. Jika 

seseorang mempertahankan kepercayaan bahwa pengetahuan 

tentang kejahatan yaitu   bukan kebijaksanaan sejati, maka ia akan 

melakukan kesalahan dengan berpikir bahwa Kemahatahuan 

Buddha sendiri tidak bebas dari cacat.

Melalui kebijaksanaan tertinggi, Buddha mengetahui segalanya 

yang perlu diketahui, segala sesuatu yang bermoral maupun tidak 

bermoral; itulah sebabnya disebut mahatahu. Jika Kebijaksanaan 

sejati tidak ada hubungannya dengan hal-hal jahat, maka Buddha 

tidak memiliki pengetahuan apa pun mengenai hal-hal jahat; 

sesungguhnya, Kebijaksanaan Buddha yaitu   sangat luas, tidak 

terbatas dan sebab   itu disebut mahatahu.

Singkatnya, Buddha mengetahui segalanya, baik atau jahat. Tetapi 

Beliau telah mencabut semua kotoran tersembunyi; Beliau tidak 

lagi memiliki keinginan untuk melakukan kejahatan, apalagi 

melakukannya dalam tindakan. sebab   itu, dengan merenungkan 

kualitas-kualitas mengetahui segalanya tentang kejahatan, telah 

meninggalkan semua yang perlu ditinggalkan dan menghindari 

diri dari perbuatan jahat, kita harus mengembangkan keyakinan 

terhadap Buddha.

Sekali lagi, kita harus meninjau kisah Mahosadha Sang Bijaksana 

yang dijelaskan dalam Mahosadha Jàtaka. Dalam kisah ini  , 

Cåëanã Brahmadatta bersama para penguasa sekutunya mengepung 

dan menyerang ibukota Raja Videha yang memiliki Mahosadha 

3346


Sang Bijaksana sebagai wakil sebelah kanannya. Mahosadha 

merencanakan pertahanan kota dengan berbagai muslihat untuk 

menipu pasukan musuh, untuk menghancurkan moral mereka dan 

akhirnya memaksa mereka untuk mundur ke segala arah dalam 

kekacauan. Jika kita berpendapat bahwa tindakan menipu yang 

dilakukan Mahosadha, bukan suatu tindakan yang bermoral dan 

tidak dianggap sebagai Kebijaksanaan, maka tidak ada kesempatan 

bagi Bodhisatta untuk memenuhi Kesempurnaan Kebijaksanaan. 

Sesungguhnya, semua strategi yang dilakukan oleh Mahosadha 

yaitu   hasil dari Kebijaksanaan Bodhisatta. Oleh sebab   itu Buddha 

secara khusus menyebutkan bahwa kisah Mahosadha yaitu   

contoh tentang bagaimana Bodhisatta memenuhi Kesempurnaan 

Kebijaksanaan-Nya.

Sebagai kesimpulan dari apa yang telah dijelaskan, harus 

dimengerti bahwa dalam kisah Sulasa, Sang dewa Gunung memuji 

Sulasa sebagai orang yang bijaksana sebab   ia memang memiliki 

Kebijaksanaan.

(Demikianlah penjelasan dari topik yang meragukan sehubungan 

dengan karakteristik kebijaksanaan.)

Jenis-jenis Kebijaksanaan

Definisi kebijaksanaan yang dijelaskan dalam Komentar seperti 

Aññhasàlinã, dan sebagainya, yaitu   sebagai pengetahuan dari 

atau pengetahuan yang mengarah menuju pemahaman penuh 

atas Empat Kebenaran Mulia dan Tiga Karakteristik yang merujuk 

pada kebijaksanaan jenis yang tertinggi (ukkaññha). Juga jenis-jenis 

tertentu dari kebijaksanaan yang lebih rendah.

Komentar Abhidhammà Vibhaïga dalam menjelaskan cintàmaya 

pa¤¤Ã  dan sutamaya pa¤¤Ã  menjelaskan jenis-jenis kebijaksanaan 

yang terlibat dalam ‘mencari nafkah dengan mengerahkan tenaga’ 

(kammàyatana) dan dalam ‘mencari nafkah dengan keahlian’ 

(sippàyatana). Masing-masing dibagi lagi dalam dua jenis, rendah 

dan tinggi. Tukang kayu yaitu   contoh jenis rendah dari usaha 

yang memerlukan tenaga. Bertani, berdagang yaitu   jenis yang 

3347

 1

lebih tinggi. Membuat kasur, menenun, dan sebagainya yaitu   

jenis yang rendah dari mencari nafkah dengan keahlian; menulis, 

berhitung, dan sebagainya, yaitu   bentuk yang lebih tinggi dari 

mencari nafkah dengan keahlian.

Perbedaan penting dari bentuk-bentuk penghidupan yaitu   bahwa 

mencari nafkah dengan tenaga dapat dilakukan tanpa memerlukan 

pelatihan khusus, disebut kammàyatana; mencari nafkah dengan 

keahlian memerlukan pelatihan khusus, disebut sippayatana. 

Pelatihan khusus untuk keahlian berbicara disebut vijjàthàna.

Oleh sebab   itu, seseorang yang ingin memenuhi Kesempurnaan 

Kebijaksanaan harus melakukannya tanpa memandang apakah 

kebijaksanaan ini   rendah atau tinggi; dan sehubungan dengan 

hal-hal yang tidak diketahui, seseorang harus mendekati para 

bijaksana untuk belajar dari mereka. Oleh sebab   itu disebutkan 

dalam Buddhavaÿsa, “Paripucchanto buddhaÿ pa¤¤Ã pàramitaÿ 

gantvà”, artinya “berulang-ulang bertanya kepada para bijaksana, 

akan mencapai Kesempurnaan Kebijaksanaan”.

Tujuh Cara Mengembangkan Kebijaksanaan

Sammohavinodani, Komentar Abhidhammà Vibhaïga menjelaskan 

tujuh cara dalam mengembangkan kebijaksanaan pada bab tentang 

Empat Perhatian Murni (Satipaññhàna):

(1) Paripuccanakatà―berulang-ulang bertanya kepada para 

bijaksana. (Ini sesuai dengan kalimat Pàëi di atas.)

(2) Vatthuvisadakiriyà―memurnikan objek-objek di dalam dan di 

luar tubuh. (Untuk kebersihan internal, rambut, kuku, janggut tidak 

boleh terlalu panjang. Badan tidak boleh kotor oleh keringat dan 

debu. Untuk kebersihan eksternal, baju tidak boleh usang dan bau; 

tempat tinggal harus dijaga kebersihannya. Jika ada kotoran di dalam 

dan di luar tubuh, kebijaksanaan yang muncul akan seperti api besar 

yang menyala dari sumbu kotor yang telah direndam dalam minyak 

keruh dari lampu yang kotor. Untuk mendapatkan kebijaksanaan 

yang murni dan cerah seperti api dari lampu yang bersih, seseorang 

3348


harus menjaga agar tubuhnya bersih dalam dan luar.)

(3) Indriya samattà pañipadanà―menjaga keseimbangan indria, seperti 

keyakinan, dan seterusnya.

(Ada lima indria* yang mengatur kesadaran dan faktor-faktor batin 

makhluk-makhluk. Jika indria keyakinan terlalu kuat, empat indria 

lainnya akan menjadi lemah; akibatnya, indria usaha tidak dapat 

melakukan fungsinya memberi   dukungan untuk berusaha; 

indria perhatian tidak dapat memenuhi tugasnya mempertahankan 

objek yang diperhatikan; indria konsentrasi tidak dapat mencegah 

kacaunya pikiran; dan indria kebijaksanaan tidak dapat melihat. 

Jika indria keyakinan berlebihan, harus diusahakan untuk dapat 

menormalkannya dan membawanya selaras dengan yang lain dengan 

cara merenungkan Dhamma yang dapat menormalkannya atau 

menghindari perenungan Dhamma yang dapat memperkuatnya.

(*Catatan: Lima indria yaitu   keyakinan, usaha, perhatian, 

konsentrasi, dan kebijaksanaan; masing-masing memiliki fungsinya 

sendiri-sendiri: keyakinan memungkinkan seseorang memberi   

perhatian penuh pada objek yang dihormati; usaha memberi   

dukungan sehingga memungkinkan seseorang untuk berusaha 

dengan keras dan sungguh-sungguh; perhatian mempertahankan 

objek yang diperhatikan; konsentrasi mencegah kekacauan pikiran; 

dan kebijaksanaan memungkinkan seseorang untuk melihat, 

memahami. Indria-indria ini harus dijaga agar senantiasa seimbang, 

jika salah satu berlebihan, maka yang lainnya akan berkurang, dan 

tidak dapat melakukan fungsinya.)

(Jika indria usaha terlalu kuas, indria keyakinan tidak akan dapat 

melakukan fungsinya; indria-indria lainnya juga tidak dapat 

melakukan fungsinya masing-masing. Usaha yang berlebih-lebihan 

harus dikoreksi dengan mengembangkan ketenangan. Hal yang 

sama berlaku untuk tiap-tiap indria lainnya.)

Apa yang dipuji oleh para bijaksana yaitu   menyeimbangkan 

keyakinan dengan kebijaksanaan, dan konsentrasi dengan usaha. 

Jika seseorang memiliki keyakinan yang kuat dan lemah dalam 

3349

 1

kebijaksanaan, ia akan memiliki keyakinan terhadap orang yang 

tidak tepat sehingga tidak ada gunanya. (Dengan lemah dalam 

kebijaksanaan, seseorang tidak akan dapat melihat dengan 

kritis siapa yang layak dihormati dan siapa yang tidak; keliru 

mengganggap ‘Buddha, Dhamma, Saÿgha’ palsu sebagai yang asli, 

pengabdiannya akan menjadi tidak berguna.) Kepercayaan salah 

dari mereka yang secara keliru mengabdi kepada Buddha palsu 

atau Dhamma palsu bukanlah keyakinan melainkan hanya sekadar 

kesimpulan salah dan berbahaya (micchàdhimokkha).

Jika kebijaksanaan kuat dan keyakinan lemah, seseorang akan 

kehilangan jalan yang benar dan mengikuti jalan yang salah yang 

mengarah menuju kelicikan. Membawa orang yang demikian 

kembali ke jalan yang benar yaitu   sama sulitnya dengan 

menyembuhkan pasien yang menderita sakit sebab   salah obat. 

Misalnya, ada dua jenis pemberian, (i) pemberian kehendak (cetanà 

dàna) dan (ii) pemberian objek-objek materi (vatthu dàna). Seseorang 

yang berpikiran licik akan menganggap bahwa hanya kehendak dan 

bukan objek materi yang lebih bermanfaat pada masa depan; sebab   

itu yaitu   tidak perlu memberi   benda-benda materi sebagai 

dàna; pemberian kehendak saja sudah cukup. Orang demikian, yang 

tidak melakukan kebajikan dalam berdana, sebab   kelicikannya, 

akan terlahir kembali di alam kehidupan yang rendah.

Hanya jika keyakinan dan kebijaksanaan seimbang maka seseorang 

dapat memiliki keyakinan yang benar terhadap orang yang tepat 

dan dengan tidak adanya kelicikan, maka akan berkembang 

banyak manfaat. Usaha dan konsentrasi juga harus seimbang; jika 

usaha lemah dan konsentrasi kuat, akan mengakibatkan kemalasan 

(kosajja); tanpa aktivitas dan menganggap atmosfer ketenangan 

seolah-olah berada dalam konsentrasi yang baik, seseorang dikuasai 

oleh kemalasan.

Jika usaha kuat dan konsentrasi lemah, akan timbul pergolakan 

dan kehebohan namun bukan kestabilan. Dikuasai oleh kegelisahan 

(uddhacca) seseorang akan kacau dengan pikiran, “Jika usaha ini 

tidak memberi   hasil baik seperti yang diharapkan, berarti ini 

tidak cocok untukku. Aku akan meninggalkannya dan mencoba 

3350


yang lain.”

Jika usaha dan konsentrasi seimbang, kemalasan (kosajja) dan 

kegelisahan (uddhacca) tidak akan memiliki kesempatan untuk 

muncul. Menyeimbangkan dua ini akan membantu dalam 

pencapaian Jhàna atau konsentrasi tercerap dalam waktu yang 

singkat.

Akan tetapi, indria perhatian tidak dapat berlebihan; hanya mungkin 

terjadi kekurangan. Dalam Kitab, diumpamakan sebagai garam, 

unsur penting dari semua makanan yang dipersiapkan untuk 

seorang perdana menteri yang menghadiri semua urusan kerajaan. 

Oleh sebab   itu, perhatian harus dijaga agar sekuat mungkin, indria 

dalam dua pasang lainnya, keyakinan dan kebijaksanaan, usaha dan 

konsentrasi, harus dijaga agar tetap seimbang satu sama lain. Jika 

salah satu berlebihan yaitu   tidak baik. Sehubungan dengan hal ini, 

Yang Mulia U Budh membuat komentar berikut dalam tulisannya, 

Mahà Satipaññhàna Nissaya.

Keyakinan yang berlebihan akan mengarah pada fanatisme 

berlebihan.

Kebijaksanaan yang berlebihan akan mengarah pada kelicikan.

Usaha yang berlebihan akan mengarah pada kegelisahan.

Konsentrasi yang berlebihan akan mengarah pada kelelahan 

batin,

namun tidak pernah ada perhatian yang berlebihan.

(4) Duppa¤¤Ã puggala parivajjanaÿ―Menghindari orang-orang yang 

tidak memiliki kebijaksanaan.

(Duppa¤¤Ã  artinya individu-individu yang tidak memiliki 

kebijaksanaan dalam melihat tembus kelompok-kelompok Dhamma 

sebagai kelompok-kelompok (Khandha), landasan-landasan 

(àyatana), dan sebagainya. Seseorang harus menjauhi orang-orang 

yang demikian.)

(5) Pa¤¤Ã vanta puggalasevana―bergaul dengan para bijaksana.

3351

 1

(Orang-orang bijaksana yang memiliki lima puluh karakteristik 

pengetahuan timbul dan lenyap (Udayabhaya ¥Ã Ãµa). Penjelasan 

mengenai lima puluh karakteristik Udayabhaya ¥Ã Ãµa ini, dapat 

dibaca dalam Pañisambhidàmagga. (Juga dapat dibaca dalam buku 

“Path of Purification” oleh Bhikkhu ¥Ã Ãµamoli, bab XX, paragraf 

93-104.)

Sehubungan dengan no (4) dan (5), komentator hanya menjelaskan 

pengembangan jenis tertinggi (ukkaññha) dari kebijaksanaan. 

Dalam (4), seorang yang tidak memiliki kebijaksanaan maksudnya 

yaitu   seorang yang tidak dapat melihat menembus kelompok-

kelompok Dhamma seperti kelompok kehidupan dan landasan-

landasan; seseorang yang memiliki pengetahuan menembus 

Dhamma demikian yaitu   seorang yang memiliki kebijaksanaan 

tinggi. Namun, ada juga, mereka yang meskipun tidak memiliki 

kebijaksanaan untuk melihat Dhamma yang halus sebagai kelompok 

kehidupan dan landasan-landasan, mengetahui hal-hal umum 

mengenai praktik Dhamma, “yaitu   baik melakukan persembahan 

demikian; tidak baik melakukan hal itu. Sãla harus dilaksanakan 

dengan cara seperti ini; tidak boleh dilaksanakan dengan cara seperti 

itu.” Mereka juga mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan 

kehidupan duniawi, “Perbuatan ini akan memperpanjang umur; 

perbuatan itu akan memperpendek umur.” Orang-orang demikian 

tidak dapat dikatakan sama sekali tidak memiliki kebijaksanaan. 

Seseorang boleh bergaul dengan mereka juga.

Dalam (5) juga, dengan mendefinisikan seorang bijaksana sebagai 

orang yang memiliki lima puluh karakteristik pengetahuan timbul 

dan tenggelam (Udayabhaya ¥Ã Ãµa) komentator merujuk dari segi 

keunggulan (Ukkaññha naya) yang dimiliki oleh para bijaksana yang 

sangat maju dalam meditasi Vipassanà.

Tetapi sehubungan dengan cara mendapatkan pengetahuan, 

Buddha membabarkan dalam Buddhavaÿsa, “Mengambil contoh 

seorang bhikkhu yang mengumpulkan dàna makanan dengan 

mengunjungi semua rumah secara berurutan tanpa membeda-

bedakan, seorang pelajar harus mendekati siapa pun yang dapat 

menjawab pertanyaannya, tanpa memandang status sosial dan 

3352


pendidikannya. Oleh sebab   itu ia hanya harus menghindari orang-

orang yang benar-benar bodoh dan mendekati semua orang yang 

dapat membantunya dalam berburu pengetahuan.”

Singkatnya, menghindari mereka yang tidak mampu menjawab 

pertanyaan apa pun, dan bergaul dengan mereka yang dapat 

memberi   informasi yang ia cari sesedikit apa pun itu.

Menurut Buddhavaÿsa, dalam mencari kebijaksanaan seseorang 

pertama-tama harus bertanya dan belajar dari para bijaksana 

untuk mengembangkan kebijaksanaan melalui mendengarkan, 

sutamaya pa¤¤Ã . lalu  , jika ia masih belum jelas, ia harus 

merenungkannya dan memikirkannya, dan dengan demikian 

mengembangkan kebijaksanaan melalui berpikir, cintàmaya 

pa¤¤Ã .

Dalam khotbah kepada Kàlàma (Aïguttara Nikàya, Tika Nipàta, 

Dutiya Paõõàsaka, 2-Mahà Vagga, 5-Kàlàma Sutta) Buddha diberitahu 

oleh para Kàlàma bahwa banyak pengkhotbah mengunjungi tempat 

tinggal mereka, bahwa semua pengkhotbah yang datang itu hanya 

memuji ajaran mereka sendiri dan mencela yang lain dan bahwa 

mereka merasa ragu dan bingung mengenai ajaran mana yang harus 

mereka terima dan ikuti. Jawaban Buddha kepada mereka dapat 

disimpulkan sebagai, “Kalian harus menerima ajaran yang sesudah   

kalian pertimbangkan, diketahui bebas dari cacat.”

Khotbah ini menunjukkan bahwa seseorang pertama-tama harus 

memiliki sutamaya pa¤¤Ã  dengan mendengarkan khotbah-khotbah, 

dan lalu   memikirkan ajaran mana yang bebas dari cacat 

melalui cintàmaya pa¤¤Ã .

Lebih jauh lagi, dalam Pàñha Jàtaka, Dasaka Nipàta, 9-Mahà 

Dhammapàla Jàtaka, saat   guru besar dari Takkasãla datang 

secara pribadi ke Desa Dhammapàla untuk melihat mengapa 

anak-anak muda di desa itu tidak ada yang mati sebelum akhir 

umur kehidupan mereka, Mahàdhammapàla (kepala desa) yang 

kelak terlahir kembali sebagai Raja Suddhodana, menjawab, “Kami 

mendengarkan semua dari mereka yang datang untuk memberi   

3353

 1

khotbah; sesudah   mendengarkan kami merenungkan ajaran mereka, 

kami tidak memerhatikan apa yang diajarkan oleh mereka yang 

tidak bermoral, sebaliknya kami mengabaikannya; kami menerima 

hanya ajaran-ajaran dari mereka yang bermoral yang membuat kami 

gembira dan kami ikuti. Oleh sebab   itu, di desa kami, anak-anak 

muda tidak pernah mati sebelum umur kehidupannya berakhir.”

Kisah Jàtaka ini jelas menunjukkan bahwa seseorang pertama-tama 

memperoleh kebijaksanaan melalui Sutamaya ¥Ã Ãµa, dan lalu   

menerima hanya yang dianggap benar oleh Cintàmaya ¥Ã Ãµa.

Bergaul Dengan Para Bijaksana

Ungkapan ‘bergaul dengan para bijaksana’ bukan berarti mendekati 

seorang bijaksana dan berada di dekatnya siang dan malam. 

Maksudnya yaitu   belajar dan mendapatkan pengetahuan dari 

orang yang memiliki kebijaksanaan.

Nasihat “tidak bergaul dengan orang dungu” diberikan sebagai 

salah satu berkah dalam Maïgala Sutta bukan berarti menetap 

bersama orang dungu. Seseorang boleh saja menetap bersama si 

dungu dengan tujuan untuk membujuknya ke jalan yang benar. 

Dalam kasus demikian seseorang tidak menentang nasihat yang 

terdapat dalam Maïgala Sutta. Contohnya yaitu  , sewaktu Buddha 

berada di Hutan Uruvela bersama kelompok petapa berpandangan 

salah (untuk membantu mereka meninggalkan jalan mereka yang 

salah).

Dengan demikian, hanya jika seseorang menerima pandangan dan 

mengikuti praktik si dungu, maka ia dikatakan bergaul dengan 

orang dungu. Demikian pula, nasihat yang diberikan dalam 

Maïgala Sutta yang menasihati agar seseorang harus bergaul dengan 

para bijaksana, bukan berarti sekadar berteman dengannya tetapi 

mendapatkan pengetahuan darinya, meskipun hanya sedikit.

(6) Gambhãrananacariya paccavekkhaõà―merenungkan sifat Dhamma 

yang merupakan sumber dari kebijaksanaan yang dalam. (Di sini, 

kebijaksanaan yaitu   bagai api yang membakar semua benda-benda 

3354


yang dapat terbakar, besar maupun kecil. Dari ukuran dari apa yang 

terbakar, api dikatakan sebagai api kecil atau api besar. Demikian 

pula, kebijaksanaan mengetahui segala yang dapat diketahui; 

disebut kecil, jelas atau dalam. Dhamma yang merupakan sumber 

dari kebijaksanaan yang mendalam terdiri dari kelompok-kelompok 

kehidupan, landasan-landasan, dan sebagainya. Kebijaksanaan 

yang timbul dari pengetahuan atas topik-topik yang mendalam 

inilah yang disebut kebijaksanaan yang mendalam. Kebijaksanaan 

mendalam ini sebanyak Dhamma yang mendalam. Peninjauan 

analitis atas seluruh Dhamma yang mendalam ini mengarah kepada 

pengembangan kebijaksanaan.)

(7) Tadadhimuttatà―memiliki kecenderungan ke arah pengembangan 

kebijaksanaan. (Dalam seluruh empat postur berbaring, 

duduk, berdiri dan berjalan, seseorang hanya mengembangkan 

kebijaksanaan. Memiliki batin demikian yaitu   salah satu pemicu   

berkembangnya kebijaksanaan.)

Syair Kesimpulan Oleh U Budh:

(1) bertanya berulang-ulang,

(2) menjaga kebersihan,

(3) menjaga keseimbangan indria,

(4) menghindari orang-orang dungu,

(5) bergaul dengan para bijaksana,

(6) merenungkan dalam-dalam, dan

(7) memil iki  bat in  yang cender ung mengembangkan 

kebijaksanaan.

Itulah tujuh cara mengembangkan kebijaksanaan.

Kualitas Kebijaksanaan

(1) saat   Kebijaksanaan mengambil tempat utama dalam 

melakukan berbagai fungsi, ia memperoleh nama Vãmaÿsàdhipati, 

satu dari empat kondisi menguasai.

(2) Membentuk unsur-unsur dari dua puluh dua keahlian 

3355

 1

pengendali, yaitu empat keahlian yang berhubungan dengan 

kebijaksanaan, (a) Kebijaksanaan yang termasuk dalam tiga 

puluh sembilan kesadaran duniawi yang berhubungan dengan 

pengetahuan (lokãnaõasampayutta citta) disebut pa¤¤indriya; (b) 

Kebijaksanaan yang menyertai kesadaran yang muncul pada saat 

mencapai tahap pertama Pencerahan (Sotàpatti-Magga Citta) dikenal 

dengan ana¤¤Ã ta¤¤assàmit’indriya; (c) Kebijaksanaan yang muncul 

bersamaan dengan tercapainya Buah Kearahattaan (Arahatta-Phala) 

disebut A¤¤Ã tàvindriya; (d) Kebijaksanaan yang berhubungan 

dengan enam kesadaran di antaranya (yang muncul antara tingkat 

Sotàpanna dan Arahatta) disebut a¤¤indriya.

Kebijaksanaan yang harus dipenuhi sebagai Kesempurnaan 

berhubungan hanya dengan kesadaran duniawi; sebab   itu 

termasuk dalam tiga belas jenis kesadaran moral (Kusala ¥Ã Ãµa 

Sampayutta Citta) dari tiga puluh sembilan Lokã¤Ã Ãµa Sampayutta 

Citta. (Kesadaran yang tidak berfungsi (kriyà citta) hanya milik 

para Arahanta; tidak berhubungan dengan para Bodhisatta yang 

masih merupakan makhluk duniawi; kesadaran hasil (vipàka 

citta) muncul tanpa usaha khusus sebagai akibat dari kamma masa 

lampau seseorang. Oleh sebab   itu kebijaksanaan yang berhubungan 

dengan kedua jenis kesadaran ini tidak dianggap Kesempurnaan.) 

Para Bodhisatta hanya berkonsentrasi pada kebijaksanaan duniawi 

dalam memenuhi Kesempurnaan Kebijaksanaan hingga tingkat 

yang tertinggi.

Dalam 37 Faktor Pencerahan Sempurna (Bodhipakkhiya Dhamma), 

termasuk di dalamnya lima indria pengendali (indriya), salah 

satunya yaitu   indria kebijaksanaan (pa¤¤indriya); indria 

kebijaksanaan ini terdiri dari dua jenis: duniawi dan spiritual. Jenis 

spiritual tidak termasuk dalam Kesempurnaan Kebijaksanaan yang 

dikembangkan oleh seorang Bodhisatta. Hanya Kebijaksanaan yang 

berhubungan dengan kesadaran moral duniawi yang muncul saat 

melaksanakan penyucian moralitas dan penyucian batin sebelum 

pencapaian Magga-Phala yang termasuk dalam Kesempurnaan 

Kebijaksanaan yang dipenuhi oleh para Bodhisatta.

(3) Demikian pula, dalam empat faktor Bodhipakkhiya, terdapat 

3356


faktor-faktor kebijaksanaan (pa¤¤Ã ) dengan nama-nama yang 

berbeda. Demikianlah dalam Lima Kekuatan (bala) dikenal sebagai 

kekuatan kebijaksanaan (pa¤¤Ã  bala); dalam Empat Pencapaian 

(iddhipàda) sebagai pencapaian kebijaksanaan (vimaÿsiddhipàda); 

dalam Tujuh Faktor Pencerahan Sempurna (bojjhaïga) sebagai 

Penyelidikan Terhadap Dhamma (Dhammavicaya sambojjhaïga) 

dan dalam Delapan Faktor Jalan Mulia (Ariya Maggaïga) sebagai 

pandangan benar (sammà diññhi).

Sehubungan dengan indria kebijaksanaan (pa¤¤indriya), berbagai 

faktor kebijaksanaan yang memiliki nama yang berbeda-beda 

ini dikembangkan pada dua tingkat yang berbeda: duniawi dan 

spiritual. Kebijaksanaan yang menyertai kesadaran spiritual tidak 

termasuk dalam Kesempurnaan Kebijaksanaan yang dipenuhi 

oleh para Bodhisatta. Hanya kebijaksanaan yang berhubungan 

dengan kesadaran moral duniawi yang muncul saat melaksanakan 

penyucian moralitas dan penyucian batin sebelum pencapaian 

Magga-Phala yang termasuk dalam Kesempurnaan Kebijaksanaan 

yang dipenuhi oleh para Bodhisatta.

Dengan merenungkan kualitas-kualitas khusus dari kebijaksanaan 

ini, Anda dapat memenuhi Kesempurnaan Kebijaksanaan hingga 

setinggi mungkin.

(E) Kesempurnaan Usaha (Viriya Pàramã)

Pengerahan Usaha Bodhisatta

 

Dalam hal Kesempurnaan Usaha, Kitab memberi   contoh seekor 

singa yang memiliki kebiasaan mengerahkan usaha maksimum 

baik dalam memburu seekor kelinci ataupun seekor gajah. Ia tidak 

mengurangi usahanya dalam memburu kelinci hanya sebab   kelinci 

hanyalah binatang kecil; ia juga tidak menambah usahanya dalam 

memburu gajah sebab   gajah berbadan besar. Dalam kedua kasus, 

ia mengerahkan usaha yang sama.

Mengikuti cara singa ini  , seorang Bodhisatta dalam memenuhi 

Kesempurnaan Usaha, tidak mengerahkan sedikit usaha dalam 

3357

 1

untuk tugas-tugas biasa juga tidak mengerahkan banyak usaha 

untuk tugas-tugas yang sulit. Ia selalu mengerahkan usaha 

maksimal, baik untuk tugas yang ringan maupun berat.

Kesan Mendalam Atas Usaha Masa Lampau Buddha

Sebagai akibat dari kebiasaan mengerahkan usaha yang sama apakah 

dalam melakukan urusan besar ataupun kecil dalam kehidupan-

kehidupan masa lampau sebagai Bodhisatta, saat Beliau akhirnya 

menjadi seorang Buddha, Beliau juga mengerahkan usaha yang sama 

dalam membabarkan khotbah. Beliau tidak mengerahkan sedikit 

usaha saat membabarkan khotbah kepada satu orang; juga tidak 

mengerahkan usaha berlebihan sewaktu membabarkan khotbah 

kepada banyak pendengar agar pendengar di tempat yang paling 

jauh dapat mendengarnya, misalnya, saat membabarkan Khotbah 

Pertama. Beliau menjaga kestabilan suara-Nya dengan mengerahkan 

usaha yang sama pada dua peristiwa ini  .

Kemuliaan Istimewa Buddha

Buddha memiliki kemuliaan yang tidak terbayangkan, suara-Nya 

yang diucapkan dengan usaha yang sama menjangkau semua 

pendengar. Jika hanya satu orang yang mendengarkan, hanya 

orang itu yang mendengar khotbah ini  . Jika ada banyak orang, 

setiap orang baik yang dekat maupun yang jauh dari Buddha akan 

mendengar dengan jelas. (saat   Siswa Utama Yang Mulia Sàriputta 

membabarkan khotbah Samavitta Suttanta, sebab   pendengarnya 

sangat banyak, suara normalnya tidak dapat menjangkau semua 

pendengar; ia terpaksa membuat suaranya terdengar oleh semua 

pendengar dengan bantuan kemampuan batinnya (Iddhividdha 

Abhi¤¤Ã ); dengan kata lain, ia harus memakai   ‘pengeras suara 

Abhi¤¤Ã ’. Akan tetapi, Buddha tidak perlu melakukan hal itu agar 

semua pendengar dapat mendengarkan-Nya. ini yaitu   kemuliaan 

istimewa Buddha.

Semua Buddha mengerahkan usaha untuk memenuhi Kesempurnaan 

Usaha dalam semua kehidupan lampau-Nya sebagai Bodhisatta. 

Sebagai tambahan, dalam kehidupan terakhir-Nya saat Mereka akan 

3358


mencapai Pencerahan Sempurna, Mereka melepaskan keduniawian 

dan mengerahkan usaha untuk mempraktikkan penyiksaan diri 

(dukkaracariyà) paling sedikit selama tujuh hari. sesudah   melakukan 

penyiksaan diri, saat menjelang mencapai Kebuddhaan, Mereka 

duduk di atas alas rumput di bawah pohon Bodhi dan mengerahkan 

usaha dengan tekad, “Biarpun hanya kulit-Ku yang tersisa; biarpun 

hanya urat-Ku yang tersisa; biarpun hanya tulang-belulang-Ku yang 

tersisa; biarpun darah dan daging-Ku mengering, Aku tidak akan 

bangkit dari tempat duduk ini hingga Aku mencapai Kemahatahuan 

(Sabba¤¤uta ¥Ã Ãµa).”

Melalui usaha ini, Mereka mengembangkan Pengetahuan Pandangan 

Cerah Bak Halilintar Dahsyat (Mahà Vajira Vipassanà ¥Ã Ãµa) yang 

memungkinkannya pertama-tama menembus Hukum Musabab 

Yang Saling Bergantung, diikuti dengan pengetahuan atas Tiga 

Karakteristik ketidakkekalan (anicca), ketidakpuasan (dukkha), 

dan tanpa-diri (anatta) dalam semua fenomena batin dan jasmani 

(nàma dan råpa).

Usaha (viriya) seperti juga Kebijaksanaan (pa¤¤Ã ), yaitu   salah 

satu faktor batin, tetapi jika kebijaksanaan, seperti dijelaskan di atas, 

selalu berhubungan dengan kesadaran moral, usaha sebagai jenis 

lain dari faktor batin (pakiõõaka cetasika) berhubungan dengan 

kesadaran baik moral maupun tidak bermoral dan juga jenis yang 

tidak dapat ditentukan (abyàkata) yang bukan moral juga bukan 

tidak bermoral. Akibatnya, usaha dapat berbentuk baik atau tidak 

baik atau tidak dapat ditentukan. Usaha yang baik dikenal sebagai 

usaha benar (sammà vàyàma); usaha yang dilakukan untuk tujuan 

jahat yaitu   tidak baik dan disebut usaha salah (micchà vàyàma). 

Hanya usaha benar yang harus dikembangkan hingga batas 

maksimum sebagai Kesempurnaan Usaha.

Daya Upaya Benar (Sammappadhàna)

Usaha benar (samma vàyàma) juga disebut sebagai daya upaya benar 

(sammappadhàna). Artinya sama. Dalam penjelasan mengenai 

sammappadhàna dari Abhidhammà Vibhaïga, Buddha menjelaskan 

empat jenis daya upaya benar:

3359

 1

(1) Upaya untuk mencegah munculnya kapan pun, di mana pun 

hal-hal buruk yang belum muncul; atau yang tidak dapat diingat 

oleh seseorang pernah muncul pada suatu waktu, suatu tempat, 

suatu hal tertentu.

(2) Upaya untuk menyingkirkan keburukan yang telah muncul. 

(Sesungguhnya, yaitu   mustahil melenyapkan keburukan 

yang telah muncul atau yang pernah muncul dan telah lenyap. 

Keburukan yang pernah muncul pada masa lalu telah lenyap; 

sudah tidak ada lagi. Apa yang tidak ada tidak bisa dilenyapkan. 

Apa yang harus dipahami di sini yaitu   bahwa seseorang harus 

berusaha untuk mencegah munculnya keburukan baru yang 

sama seperti yang pernah muncul sebelumnya.)

(3) Upaya untuk memunculkan kebaikan yang belum muncul atau 

yang tidak dapat diingat pernah muncul pada suatu waktu, 

suatu tempat, suatu hal tertentu.

(4) Usaha untuk mempertahankan dan mengembangkan lebih jauh 

lagi kebaikan yang telah muncul atau yang sedang muncul. (Di 

sini juga apa yang harus dipahami yaitu   bahwa seseorang 

harus berusaha mempertahankan kemunculan yang berulang-

ulang kebaikan yang sama seperti yang pernah muncul.)

Sebelas Faktor Dalam Mengembangkan Usaha

Komentar Satipaññhana Vibhaïga dan Komentar Mahà Satipaññhana 

Sutta menjelaskan sebelas faktor dalam mengembangkan usaha.

(1) Merenungkan bahaya akan kelahiran kembali di alam rendah 

(apàya bhaya paccavekkhaõata).

Usaha akan berkembang dalam diri mereka yang merenungkan, 

“Jika aku kurang berusaha aku akan terlahir kembali di alam 

sengsara (apàya). Dari empat alam sengsara, jika aku terlahir 

kembali di alam penderitaan terus-menerus (Niraya), aku akan 

menderita sakit yang luar biasa sebab   siksaan yang mengerikan; 

3360


atau jika aku terlahir kembali di alam binatang, aku akan mengalami 

penganiayaan yang dilakukan oleh manusia; atau jika aku terlahir 

kembali di alam hantu (Peta Loka) aku akan tersiksa oleh rasa lapar 

yang selama banyak (siklus dunia) antara munculnya satu Buddha 

dan Buddha berikutnya; atau jika aku terlahir kembali di alam 

raksasa (Asura Loka), dengan badan yang besar, enam puluh atau 

delapan puluh lengan tingginya, dengan tubuh yang hanya terdiri 

dari tulang dan kulit, aku akan menderita kepanasan, kedinginan, 

dan serangan angin. Dalam alam-alam kehidupan yang mengerikan 

ini, aku tidak akan memiliki kesempatan untuk mengembangkan 

daya upaya benar. Kehidupan sekarang ini yaitu   satu-satunya 

kesempatan bagiku untuk melakukannya.”

(2) Melihat manfaat yang dihasilkan dari pengembangan usaha 

        (ànisaÿsadassàvità).

Usaha akan berkembang dalam diri mereka yang melihat manfaat 

dari pengembangan usaha, dengan merenungkan, “Seorang yang 

malas tidak akan mampu keluar dari lingkaran kelahiran kembali 

(saÿsàra) dan mencapai Jalan dan Buah Lokuttara. Hanya mereka 

yang rajin yang mampu mencapainya. Akibat bermanfaat dari 

usaha yaitu   mencapai Jalan dan Buah Lokuttara yang sangat sulit 

dicapai.”

(3) Meninjau jalan yang akan dilalui  

       (gamanavãthipaccavekkhanatà).

Usaha akan berkembang dalam diri mereka yang merenungkan, 

“Semua Buddha, Pacceka Buddha dan para Siswa Buddha mencapai 

tujuan mereka dengan berjalan di sepanjang jalan ketekunan. Usaha 

yaitu   jalan lurus yang dilalui oleh para mulia. Tidak ada orang 

malas yang mampu mengikuti jalan ini. Hanya mereka yang rajin 

yang melewati jalan ini.

(4) Menghargai persembahan makanan dari umat awam 

       (piõóapàtàpacàyanatà)

Faktor ini khusus berlaku bagi para bhikkhu. Usaha akan 

3361

 1

berkembang dalam diri mereka yang, menganggap tinggi dan 

menghargai makanan yang dipersembahkan oleh umat, dengan 

merenungkan, “Umat ini bukan sanak saudaraku; mereka 

memberi   persembahan makanan kepadaku bukan sebab   

mereka ingin mengandalkan aku untuk mencari nafkah; mereka 

melakukannya sebab   jasa besar yang dihasilkan dari memberi 

persembahan (kepada Saÿgha). Buddha tidak memperbolehkan 

kami makan dengan cara yang seenaknya dan tidak bertanggung 

jawab, atau untuk menjalani kehidupan yang santai. Beliau 

memperbolehkan makan hanya untuk mempraktikkan Dhamma 

demi mencapai Kebebasan dari saÿsàra. Persembahan makanan 

bukan untuk mereka yang malas dan lamban. Hanya orang-orang 

yang rajin yang berhak menerimanya.”

(5) Merenungkan kemuliaan warisan

       (dàyajjamahatta paccavekkhaõatà)

Usaha akan berkembang dalam diri mereka yang merenungkan, 

“Warisan dari Buddha yang dikenal sebagai ‘pusaka orang-orang 

luhur’ hanya diterima oleh siswa-siswa-Nya, terdiri dari tujuh jenis: 

keyakinan (saddhà), moralitas (sãla), belajar (suta), pengorbanan 

(càga), kebijaksanaan (pa¤¤Ã ), rasa malu (hiri), dan rasa takut 

(ottappa).

Mereka yang malas tidak berhak menerima warisan dari Buddha, 

bagaikan seorang anak nakal yang tidak diakui oleh orangtuanya 

tidak akan mendapatkan warisan apa pun dari orangtuanya, 

demikian pula mereka yang malas tidak akan menerima ‘pusaka 

orang-orang luhur’ sebagai warisan dari Buddha. Hanya orang-

orang yang rajin yang layak menerima warisan ini.

(6) Merenungkan kemuliaan guru, Buddha

        (satthumahatta paccavekkhanatà)

Usaha akan berkembang dalam diri mereka yang merenungkan, 

“Guruku, Buddha, begitu mulia sehingga sepuluh ribu alam semesta 

berguncang saat Beliau memasuki rahim (sebagai seorang Bodhisatta 

dalam kehidupan-Nya yang terakhir), saat Beliau melepaskan 

3362


keduniawian, saat Beliau mencapai Pencerahan Sempurna, saat 

Beliau membabarkan Khotbah Pertama (Dhammacakkappavattana 

Sutta), saat Beliau memperlihatkan Keajaiban Ganda di Sàvatthã 

untuk menaklukkan para penganut pandangan salah (titthiya), 

saat Beliau turun dari Alam Dewa Tàvatiÿsa ke alam manusia di 

Saïkassa Nagara, saat Beliau melepaskan penunjang kehidupan 

penting (àyusaïkhàra) dan saat Beliau meninggal dunia memasuki 

Parinibbàna. Sebagai seorang putra (atau putri) sejati dari Buddha 

mulia, apakah aku boleh bermalas-malasan dan bersikap tidak peduli 

dengan tidak berusaha untuk mempraktikkan ajaran-Nya?”

(7) Merenungkan kemuliaan silsilah diri sendiri (jàti mahatta 

paccavekkhaõatà)

Usaha akan berkembang dalam diri mereka yang merenungkan, 

“Silsilahku bukan silsilah yang rendah; aku yaitu   keturunan dari 

(raja pertama) Mahàsammata yang murni dan berkasta tinggi; aku 

yaitu   saudara Rahula yang yaitu   cucu dari Raja Suddhodana 

dan Ratu Mahàmàyà, yang merupakan anggota keluarga Raja 

Okkàka, salah satu keturunan dari Mahàsammata; Ràhula yaitu   

putra Buddha; sebab   aku juga mendapat sebutan Putra Buddha 

keturunan Sakya, maka kami yaitu   saudara. Sebagai keturunan 

yang mulia aku tidak boleh hidup bermalas-malasan tetapi harus 

berusaha untuk mempraktikkan Dhamma mulia.

(8) Merenungkan kemuliaan teman-teman dalam menjalani hidup 

suci (sabrahmacàrimahatta paccavekkhaõatà)

Usaha akan berkembang dalam diri mereka yang merenungkan, 

“Teman-temanku, dalam menjalani hidup suci, Yang Mulia 

Sàriputta dan Moggallàna serta delapan puluh Siswa Besar yang 

mempraktikkan Dhamma mulia, telah menembus Jalan dan Buah 

Lokuttara. Aku harus mengikuti teladan Yang Mulia teman-temanku 

dalam hidup suci ini.”

(9) Menjauhkan diri dari mereka yang malas (kusãta puggala 

parivajjanata)

3363

 1

Usaha akan berkembang dalam diri mereka yang menjauhkan diri 

dari orang-orang malas, yaitu, mereka yang mengabaikan kegiatan 

fisik, ucapan dan pikiran, dan hanya berbaring tidur bagaikan ular 

piton yang makan kekenyangan.

(10) Bergaul dengan mereka yang rajin dan bersemangat (àraddha 

viriya puggala sevanatà)

Usaha akan berkembang dalam diri mereka yang bergaul dengan 

orang-orang yang rajin dan bersemangat yang melaksanakan tugas-

tugas mereka dengan sepenuh hati.

Orang-orang yang penuh pengabdian (pahitatta) selalu bertekad 

untuk tidak meninggalkan usaha mereka dalam melaksanakan 

tugas-tugas hingga berhasil menyelesaikannya (atau jika tidak 

berhasil, mereka akan berusaha sampai mati). Mereka yang 

kurang memiliki pengabdian akan merasa segan bahkan sebelum 

memulai pekerjaan dengan pikiran, “Apakah aku akan berhasil 

atau tidak?” sewaktu sedang melaksanakan pekerjaannya, jika hasil 

yang diharapkan tidak mudah dicapai, ia akan mengundurkan 

diri dengan pikiran, “Meskipun aku mengerjakan pekerjaan ini, 

aku tetap tidak akan berhasil,” dan dengan demikian, ia berhenti 

berusaha.

(11) Kecenderungan untuk mengembangkan usaha dalam seluruh 

empat postur (tadadhimuttatà)

Usaha akan berkembang dalam diri mereka yang bertujuan dan 

cenderung melatihnya dalam seluruh empat postur berbaring, 

duduk, berdiri, dan berjalan.

Demikianlah sebelas faktor untuk mengembangkan usaha benar.

Landasan Utama Usaha

Landasan utama usaha yaitu   perasan ketakutan (saÿvega). Ada 

tiga jenis:

(1) cittutràsa saÿvega,

3364


(2) ottappa saÿvega, dan

(3) ¤Ã Ãµa saÿvega.

(1) Gangguan pikiran sebab   takut akan bahaya serangan gajah, 

macan, senjata seperti pedang, tombak, dikenal sebagai 

cittutràsa saÿvega. Dalam istilah Abhidhammà, ini yaitu   

faktor batin dari kebencian (dosa). Melalui kebencian yang 

lemah akan muncul rasa takut; melalui kebencian yang kuat 

akan muncul tindakan-tindakan agresif.

(2) Takut untuk melakukan kejahatan yaitu   ottappa saÿvega. 

Ini yaitu   faktor batin dengan jenis yang baik (sobhana 

cetasika).

(3) Rasa takut yang muncul sebagai semangat religius melalui 

perenungan atas sebab dan akibat dikenal sebagai ¥Ã Ãµa 

Saÿvega. Ini yaitu   jenis rasa takut akan saÿsàra yang 

dirasakan oleh orang-orang berbudi. Di dalam Kitab, ¥Ã Ãµa 

Saÿvega dijelaskan juga sebagai pengetahuan yang menyertai 

rasa takut akan kejahatan.

(Dhamma saÿvega yaitu   kebijaksanaan para Arahanta yang 

muncul disertai oleh rasa takut melihat bahaya dari fenomena-

fenomena berkondisi. Jika Dhamma saÿvega ini juga termasuk, 

maka ada empat jenis saÿvega).

Dari jenis-jenis saÿvega ini, hanya ¥Ã Ãµa Saÿvega yang dianggap 

sebagai sumber utama usaha. saat   seseorang melihat bahaya 

saÿsàra melalui kebijaksanaan dan tergerak oleh rasa takut, ia 

pasti akan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk terbebas dari 

bahaya-bahaya ini. Tanpa kebijaksanaan demikian, seseorang tidak 

akan berusaha sama sekali.

Bahkan dalam kehidupan duniawi sehari-hari, seorang pelajar 

yang takut tertimpa kemiskinan, yaitu, seorang yang memiliki 

¥Ã Ãµa Saÿvega akan bekerja keras dengan merenungkan, “Tanpa 

pendidikan, aku akan mengalami kemiskinan saat aku dewasa;” 

orang lain yang tidak memiliki kecemasan seperti itu, yaitu, 

3365

 1

seseorang yang tidak memiliki ¥Ã Ãµa Saÿvega, tidak akan melakukan 

usaha apa pun untuk mendapatkan pengetahuan.

Demikian pula, tergerak oleh rasa takut akan kemiskinan, para 

pekerja akan bekerja dengan sungguh-sungguh agar dapat 

memenuhi kebutuhan hidup mereka; sedangkan mereka yang tidak 

memikirkan masa depan mereka akan tetap bermalas-malasan 

dan tidak peduli. Harus dimengerti bahwa dari apa yang telah 

dijelaskan di atas, hanya ¥Ã Ãµa Saÿvega yang menjadi pemicu   

bagi pengembangan usaha.

Akan tetapi, hal ini hanya berlaku bagi pengembangan usaha 

untuk Kesempurnaan. Seperti telah disebutkan sebelumnya, ada 

dua jenis usaha, yaitu, usaha yang dikembangkan untuk kebaikan 

dan yang dikembangkan untuk kejahatan. Usaha yang diperlukan 

untuk tindakan jahat juga disebabkan sebab   tergerak oleh emosi 

(saÿvega); tetapi yaitu   cittutràsa saÿvega dan bukannya ¥Ã Ãµa 

Saÿvega yang bertindak sebagai landasannya.

Seorang miskin yang sedang memerlukan uang akan berusaha 

untuk mencuri; ia tidak mampu mempertahankan sikap batin yang 

benar (yoniso manasikàra). Ini yaitu   contoh bagaimana usaha salah 

muncul melalui cittutràsa saÿvega yang jahat. Seseorang yang tidak 

memiliki sikap batin yang benar akan melakukan perbuatan salah 

untuk mencegah bahaya yang mungkin dapat menimpanya. Tetapi 

seseorang dengan kerangka batin yang baik tidak akan melakukan 

perbuatan salah; ia selalu mengusahakan perbuatan baik.

Dengan demikian landasan utama usaha yaitu   rasa takut 

(saÿvega), yaitu sikap batin yang menentukan jenis usaha apakah 

baik atau tidak baik yang akan dikembangkan.

Sebagai Kesempurnaan, usaha yang tidak baik tidak perlu 

dipertimbangkan; hanya usaha yang baik dan tanpa cacat yang 

dianggap sebagai Kesempurnaan.

Saat kita membahas empat usaha benar, akan terlihat bahwa 

hanya usaha yang menyebabkan perbuatan baik yang disebut 

3366


Kesempurnaan. Tetapi, meskipun suatu usaha tidak menghasilkan 

kebajikan, jika bukan usaha salah dan juga bukan jenis yang dapat 

mengakibatkan tindakan kejahatan, maka tetap dianggap sebagai 

Kesempurnaan Usaha.

Sebagai contoh Kesempurnaan Usaha, Komentar mencantumkan 

kisah Mahàjanaka. Bodhisatta sebagai Pangeran Janaka mengerahkan 

usaha-Nya berenang selama tujuh hari di lautan (saat   perahu yang 

Ia tumpangi tenggelam). Usaha-Nya yang sungguh keras bukan 

digerakkan oleh keinginan untuk melakukan perbuatan baik atau 

untuk mempraktikkan kedermawanan, menjalani moralitas atau 

melatih meditasi. Usaha-Nya juga tidak mengakibatkan kondisi 

jahat seperti keserakahan, kebencian, kebodohan dan sebab   itu 

usahanya tidak bercacat. Usaha keras Pangeran Janaka, yang tidak 

bercacat dan bebas dari kejahatan dianggap sebagai pemenuhan 

Kesempurnaan Usaha.

Saat perahu itu mulai tenggelam, tujuh ratus orang di atas perahu 

itu menangis dan bersedih putus atas tanpa melakukan usaha untuk 

menyelamatkan diri. Pangeran Janaka, tidak seperti teman-teman 

seperjalanannya berpikir, “Menangis dan berduka dalam ketakutan 

saat menghadapi bahaya bukanlah kebiasaan para bijaksana; seorang 

yang bijaksana seperti diriku, aku harus mengerahkan usaha untuk 

berenang untuk menyelamatkan diriku.” Dengan tekad ini dan 

tanpa rasa gentar, ia berenang di lautan itu. Dengan didorong oleh 

pikiran mulia ini  , tindakannya itu patut dipuji dan usahanya 

dalam melakukan perbuatan ini juga sangat terpuji.

Para Bodhisatta dalam setiap kelahirannya melaksanakan apa yang 

harus mereka lakukan dengan berani dan tanpa ragu; jangankan 

saat terlahir di alam manusia, bahkan saat   terlahir sebagai seekor 

sapi, Bodhisatta juga melakukan tugas yang sulit (Pàñha Jàtaka, 

Ekaka Nipàta, 3-Kuru Vagga). Demikianlah sebagai seekor sapi 

muda bernama Kaõha, Bodhisatta, sebagai ungkapan terima kasih 

kepada si perempuan tua yang telah memeliharanya, menarik lima 

ratus kereta yang penuh dengan barang dagangan menyeberangi 

rawa-rawa luas.

3367

 1

Bahkan sebagai seekor binatang, pengembangan usaha sebagai 

Kesempurnaan oleh Bodhisatta tidak mengendur; saat   terlahir 

sebagai seorang manusia, kecenderungan untuk selalu berusaha 

terus ada dalam dirinya. Berbagai kesukaran Beliau lalui sebagai 

Raja Kusa dalam usahanya merebut kembali Putri Pabhàvatã 

(yang melarikan diri darinya sebab   penampilannya yang buruk) 

yaitu   contoh usahanya yang penuh tekad dalam menghadapi 

berbagai kesulitan sebagai Bodhisatta. Kecenderungan untuk 

mengembangkan usaha itu tetap ada dalam diri Bodhisatta dalam 

seluruh kehidupannya.

Kehidupan Mahosadha

Kitab menceritakan kisah Mahosadha untuk menunjukkan 

pemenuhan Kesempurnaan Kebijaksanaan oleh Bodhisatta. Tetapi 

dalam kehidupan itu juga, Bodhisatta juga memenuhi Kesempurnaan 

Usaha. Secara keseluruhan, Mahosadha memakai   Kebijaksanaan 

sebagai pembimbing dalam melaksanakan berbagai tugasnya; 

namun begitu keputusan yang penuh pertimbangan telah diambil, 

maka keputusan ini   akan dilaksanakan melalui usaha yang 

terus-menerus. Usaha Mahosadha itu yang dilakukan dalam 

bentuk kedermawanan, moralitas atau meditasi, harus dianggap 

sebagai Kesempurnaan Usaha sebab   dilakukan demi kesejahteraan 

makhluk-makhluk lain.

Usaha-usaha Mahosadha

Akan muncul pertanyaan apakah usaha-usaha Mahosadha tidak 

menyebabkan penderitaan bagi orang lain. Misalnya, saat   Raja 

Cåëanã-Brahmadatta mengepung Mithilà dengan delapan belas 

barisan pasukannya yang tidak dapat dihancurkan (akkhobhaõã), 

Mahosadha merencanakan strategi untuk mengusir pasukan besar 

itu, menyebabkan penderitaan bagi Raja Cåëanã-Brahmadatta dan 

para prajuritnya. Apakah kita tidak menyalahkan Mahosadha 

sebab   usahanya itu menyebabkan penderitaan lawannya?

Untuk menjawab pertanyaan ini  : seperti sebuah perumpamaan, 

mengusir seekor ular yang hendak memangsa seekor kodok. 

3368


Beberapa pendapat menganggap bahwa tindakan ini   tidak 

tepat sebab   walaupun si kodok pasti selamat dari bahaya tetapi si 

ular akan kelaparan. Buddha mengajarkan bahwa kehendak yaitu   

faktor penentu dalam situasi ini  . Jika seseorang mengusir 

ular ini   dengan tujuan agar ular itu kelaparan, maka tindakan 

ini   yaitu   salah; sebaliknya, jika seseorang hanya ingin 

membebaskan kodok itu dari bahaya tanpa menyadari kelaparan 

ular, maka tindakan ini   dapat dibenarkan.

Sekali lagi, dalam pertanyaan Raja Milinda (Milinda Pa¤ha, 4-

Meõóaka Vagga, 5- Devadattapabbajja Pa¤ha) raja bertanya kepada 

Yang Mulia Nàgasena, “Yang Mulia, Buddha sudah mengetahui 

bahwa Devadatta akan menyebabkan perpecahan jika ia diterima 

menjadi seorang bhikkhu; dengan mengetahui hal itu mengapa 

Buddha menerimanya menjadi seorang bhikkhu; jika ia tidak 

diterima, maka ia tidak akan dapat menyebabkan perpecahan.”

Yang Mulia Nàgasena menjawab, “O Raja, Buddha memang telah 

meramalkan bahwa Devadatta akan menciptakan perpecahan di 

antara para bhikkhu, namun Buddha juga mengetahui bahwa jika 

Devadatta tidak diterima menjadi bhikkhu, ia akan melakukan 

perbuatan jahat dengan menganut ‘pandangan salah dengan sasaran 

alam kelahiran yang pasti’ (niyata micchà diññhi); sehingga ia akan 

mengalami penderitaan yang lebih hebat daripada yang akan ia 

alami dengan menyebabkan perpecahan. Menyebabkan perpecahan 

tentu saja mengarahkannya ke alam sengsara (apàya), namun masih 

ada batas waktunya. Akan tetapi, dengan tidak menjadi bhikkhu, 

sebab   perbuatan jahat dengan menganut ‘pandangan salah dengan 

sasaran alam kelahiran yang pasti’ ia akan tersiksa dengan siksaan 

yang tidak terhingga di alam penderitaan yang terus-menerus 

(Niraya). Dengan melihat kemungkinan penderitaannya yang 

terbatas, berkat welas asih-Nya Buddha menerimanya menjadi 

seorang bhikkhu dan dengan demikian mengurangi penderitaan 

yang akan ia alami.”

Demikian pula, dengan mengusir mundur pasukan besar Raja 

Cåëanã-Brahmadatta tanpa menyebabkan penderitaan terhadap 

negerinya, Mahosadha menyelamatkan negerinya, Mithildà, dari 

3369

 1

kehancuran. Ia bertindak demikian untuk memberi   yang terbaik 

bagi kedua pihak dan sebab   itu tidak dapat disalahkan.

Kualitas-kualitas Usaha

(1) Jika usaha menempati posisi penting dalam melaksanakan 

berbagai fungsi, ia disebut viriyàdhipati, satu dari empat kondisi 

penting (adhipati).

(2) Usaha membentuk bagian dari dua puluh dua indria pengendali 

dan dikenal sebagai viriyindriya. Tetapi hanya usaha yang 

berhubungan dengan kesadaran moral duniawi yang dianggap 

sebagai Kesempurnaan Usaha. Dalam lima Indria pengendali 

dari Bodhipakkhiya Dhamma, juga disebut viriyindriya, 

sebagaimana Pa¤¤indriya diartikan sebagai Kesempurnaan 

hanya jika termasuk dalam penyucian duniawi (dari moralitas 

dan batin). Hal yang sama berlaku bagi empat jenis daya upaya 

benar (sammappadhàna) hanya jika usaha termasuk dalam 

penyucian duniawi, maka dianggap sebagai Kesempurnaan.

(3) Faktor usaha yang termasuk dalam Lima Kekuatan (bala) 

disebut kekuatan usaha (viriya bala); dalam empat pencapaian 

(iddhipàda) sebagai pencapaian usaha (viriyiddhipàda); dalam 

Tujuh Faktor Pencerahan Sempurna (bojjhaïga) sebagai faktor 

usaha Pencerahan Sempurna (viriyasambojjhaïga) dan dalam 

Delapan Unsur Jalan Mulia (Ariya Maggaïga) sebagai usaha 

benar (sammà vàyàma). Berbagai faktor usaha dengan nama 

yang berbeda-beda ini dianggap sebagai Kesempurnaan Usaha 

hanya dalam hubungannya dengan kesadaran moral duniawi 

yang muncul sewaktu melaksanakan penyucian duniawi.

Dengan merenungkan kualitas-kualitas istimewa usaha ini, semoga 

kita dapat memenuhi Kesempurnaan Usaha hingga setinggi 

mungkin.

(F) Kesempurnaan Kesabaran (Khanti Pàramã)

Kitab menasihatkan ‘untuk menahan pujian dan hinaan dengan 

3370


kesabaran’ (sammànàvamànakkhamo). Seseorang seharusnya tidak 

terlalu gembira saat bertemu dengan objek yang menyenangkan 

juga jangan kecewa saat bertemu dengan objek yang tidak 

menyenangkan. Tidak akan ada kesabaran terhadap kesenangan jika 

kita mengembangkan keserakahan dalam situasi yang mendukung 

atau ketidak-senangan jika kita mengembangkan kebencian dalam 

situasi yang tidak mendukung. Makna penting di sini yaitu  : kita 

disebut benar-benar sabar hanya jika situasi yang menyenangkan 

dihadapi dengan tanpa keserakahan; dan situasi yang tidak 

menyenangkan dengan tanpa kebencian.

Akan tetapi sehubungan dengan Kesempurnaan Kesabaran, 

Komentar biasanya memakai   istilah Kesempurnaan Kesabaran 

(Khanti Pàramã) dalam kisah-kisah ilustrasi hanya digambarkan 

sebagai kesabaran atas tidakan fisik dan ucapan oleh orang lain tanpa 

menunjukkan kemarahan. Komentar Cariyà Piñaka membabarkan 

dalam Bab lain-lain, “Karuõåpàyakosallapariggahitaÿ sattasaïkh

àràparàdhasahanaÿ adosappadhàno tadàkàrappavattacittuppàdo 

khanti-pàramità,” Kelompok kesadaran dan faktor-faktornya yang 

berhubungan dengan kesabaran akan perbuatan jahat orang lain 

oleh faktor batin tidak-membenci (adosa cetasika) dan dikuasai 

oleh welas asih disebut Kesempurnaan Kesabaran; yaitu kelompok 

kesadaran dan faktor-faktornya yang membentuk kesabaran atas 

kesalahan orang lain disebut Kesempurnaan Kesabaran.

MÃ¥la òãkà dalam mengomentari lima pengendalian (moralitas, 

perhatian, kebijaksanaan, kesabaran, usaha) secara singkat 

menjelaskan dalam Aññhasàlinã, mendefinisikan pengendalian 

kesabaran sebagai: ‘Khantiti adhivàsanà; sà ca tathà pavattà khandhà; 

pa¤¤Ã ti eke, adoso eva và.’ Khanti artinya kesabaran; kesabaran 

sebenarnya yaitu   empat kelompok batin yang membentuk suatu 

toleransi; beberapa guru menyebutnya kebijaksanaan (pa¤¤Ã ) atau 

hanya faktor batin tidak-membenci.

Beberapa sarjana terpelajar berpandangan:

“Nasihat dalam Kitab ‘untuk menahan pujian dan hinaan dengan 

kesabaran’ bermakna bahwa seseorang harus mampu bertoleransi 

3371

 1

terhadap pujian dan hinaan. Namun dalam kenyataan sebenarnya 

seseorang akan merasa marah dan tidak senang hanya jika ia dihina 

dan dicela; tidak ada orang yang menunjukkan sikap demikian saat 

ia dipuji dan dihormati. Oleh sebab   itu, istilah kesabaran hanya 

digunakan saat seseorang tidak marah dalam situasi di mana ia 

biasanya menunjukkan kemarahan.”

“Mengartikan nasihat dari Kitab Pàëi secara harfiah yaitu   

menyamakan Kesempurnaan Kesabaran dengan Kesempurnaan 

Keseimbangan, tanpa melihat perbedaan antara keduanya.”

sebab   sumber kutipan para terpelajar ini yaitu   Komentar Cariyà 

Piñaka dan Måla òãkà, pandangan mereka tidak bisa diabaikan.

Akan tetapi harus dimengerti, bahwa kesabaran yaitu   toleransi 

atas perlakuan orang lain sedangkan keseimbangan yaitu   sikap 

tidak membeda-bedakan kepada makhluk-makhluk, tanpa benci 

ataupun cinta.

Yang Mulia Ledi Sayadaw dalam Maïgala Sutta Nissaya 

mendefinisikan Khanti sebagai “Tidak merasa gembira saat 

menemui kesenangan dan tetap sabar tanpa menunjukkan 

kemarahan saat menemui kesulitan.” Definisi ini sesuai dengan 

nasihat ‘sammànàvamànakkhamo’.

Untuk menggabungkan penjelasan Komentar dan Kitab: 

Para Bodhisatta pada dasarnya berwatak serius; pengalaman 

menyenangkan atau situasi menggembirakan tidak membuat 

mereka bergairah dengan keserakahan; mereka biasa tidak tergerak 

oleh kegembiraan tanpa harus berusaha keras untuk mendisiplinkan 

pikiran mereka. Akan tetapi, saat menghadapi peristiwa-peristiwa 

yang tidak menyenangkan, mereka harus berusaha untuk menahan 

sabar untuk memenuhi Kesempurnaan Kesabaran.

Para Bodhisatta, yang memenuhi Kesempurnaan Kesabaran, 

harus mentolerir baik pengalaman yang menyenangkan maupun 

tidak menyenangkan agar tidak mengembangkan keserakahan 

dan kebencian. Demikianlah maksud dari nasihat dari Kitab agar 

3372


menahankan pujian tanpa mengembangkan keserakahan dan 

mentolerir hinaan dan siksaan tanpa mengembangkan kebencian. 

Bukanlah hal yang aneh bagi para Bodhisatta yang berwatak serius 

untuk mengalami kesenangan tanpa tergerak oleh keserakahan. 

Oleh sebab   itu Komentar mengomentari hanya pada toleransi yang 

dilatih sebagai Kesempurnaan Kesabaran dalam situasi yang tidak 

menyenangkan yang tidak tertahankan oleh orang-orang biasa. 

Dengan pandangan seperti ini, tidak ada perselisihan pendapat 

antara Penjelasan Komentar dan Dhamma dalam Kitab.

Sifat Kesabaran

Kesabaran sebagai kelompok kesabaran dan faktor-faktornya 

dipimpin oleh faktor batin ketidakbencian (adosa cetasika) yang 

memiliki karakteristik tidak adanya kebencian atau kemarahan 

bukanlah kenyataan tertinggi yang terpisah seperti halnya 

kebijaksanaan atau usaha. Akan tetapi, jika dipertimbangkan sebagai 

hanya adosa cetasika, ini tentu saja yaitu   kenyataan tertinggi 

seperti halnya kebijaksanaan atau usaha.

Walaupun kesabaran (khantã) yaitu   ketidakbencian (adosa 

cetasãla), namun tidak semua ketidakbencian yaitu   kesabaran. 

Adosa cetasika menyertai setiap munculnya jenis ‘indah’ (sobhaõa) 

dari kesadaran, tetapi hanya disebut kesabaran (khantã) jika ia 

bertindak sebagai penghalang kemarahan saat terpancing oleh orang 

lain. Jika kesadaran ‘indah’ ini muncul sebab   pemicu   lain, maka 

adosa cetasika yang menyertainya tidak disebut kesabaran.

Kesabaran Yang Mulia Puõõa

Sikap batin Yang Mulia Puõõa yaitu   teladan baik kesabaran 

yang seharusnya dikembangkan; sebab   itu akan dijelaskan 

secara singkat di sini. Suatu saat   pada masa Buddha, Yang Mulia 

Puõõa mendekati dan memberi tahu Bhagavà bahwa ia ingin pergi 

ke Negeri Sunàparanta dan menetap di sana. Buddha berkata 

kepadanya, “Puõna, warga   di Sunàparanta kasar dan brutal. 

Bagaimana perasaanmu, jika mereka menghina dan dan mencaci-

maki engkau?”

3373

 1

Sang Thera menjawab, “Yang Mulia, jika mereka menghina dan 

mencaci-makiku, aku akan menganggap mereka sebagai orang-

orang baik, mengendalikan emosiku dan menahan sabar dengan 

pikiran, “Mereka yaitu   orang-orang baik, orang-orang yang 

sangat baik; mereka hanya menghina dan mencaci-makiku, tidak 

menyerangku dengan tinju dan siku mereka.”

Buddha bertanya lebih lanjut lagi, “Puõõa, seandainya orang-

orang Sunàparanta menyerangmu dengan tinju dan siku mereka, 

bagaimana perasaanmu?” “Yang Mulia, aku akan menganggap 

mereka sebagai orang-orang baik, mengendalikan emosiku dan 

menahan sabar dengan pikiran, “Mereka yaitu   orang-orang baik, 

orang-orang yang sangat baik; mereka hanya menyerangku dengan 

tinju dan siku, mereka tidak melempariku dengan batu.”

(Buddha bertanya lebih lanjut bagaimana perasaanya jika orang-

orang itu melemparinya dengan batu, memukulinya dengan kayu, 

melukainya dengan pedang, atau bahkan membunuhnya.)

Sang Thera menjawab, “Yang Mulia, aku akan mengendalikan 

emosiku dan menahan sabar dengan pikiran: ‘Para Siswa Bhagavà 

seperti Yang Mulia Godhika, Yang Mulia Channa, dan sebagainya 

(sebab   merasa letih, malu, dan jijik dengan tubuh dan kehidupan ini) 

telah melakukan tindakan bunuh diri (satthahàraka kamma); betapa 

beruntungnya aku. Aku tidak perlu membunuh diriku sendiri.’” 

Buddha lalu   menyetujui jawabannya dan memberi   

berkah-Nya. (Majjhima Nikàya, Uparipaõõàsa, 5-Saëàyatana Vagga, 

3-Puõõovàda Sutta).

lalu  , dalam Pàtha Jàtaka, Sattàlisa Nipàta, Sarabhaïga Jàtaka, 

Sakka, raja para dewa, bertanya kepada Petapa Sarabhaïga:

“O petapa dari keturunan Koõóa¤¤a, apakah yang boleh dibunuh 

oleh seseorang tanpa merasa menyesal? Apakah yang harus 

dilepaskan seseorang agar mendapat pujian dari orang-orang 

berbudi? Kata-kata kasar dan hinaan siapakah yang harus ditahan 

seseorang dengan kesabaran? Jawablah pertanyaan-pertanyaanku 

3374


ini.”

Bodhisatta, Petapa Sarabhaïga, menjawab:

“Seseorang boleh membunuh kemarahan tanpa merasa menyesal; 

seseorang harus melepaskan rasa tidak berterima kasih untuk 

mendapatkan pujian dari orang-orang berbudi; seseorang harus 

menahan dengan kesabaran kata-kata kasar dan hinaan dari semua 

orang, apakah dari orang yang lebih tinggi statusnya, yang sama 

atau lebih rendah; orang-orang berbudi menyebut ini yaitu   bentuk 

kesabaran yang tertinggi.”

lalu  , Sakka bertanya lagi:

“O petapa, mungkin saja mentolerir kata-kata kasar dan hinaan 

dari mereka yang lebih tinggi atau sama statusnya tetapi mengapa 

seseorang harus mentolerir kata-kata kasar yang datang dari mereka 

yang lebih rendah statusnya?”

Bodhisatta menjawab:

“Seseorang dapat menahan kesabaran atas kekasaran yang datang 

dari mereka yang lebih tinggi statusnya sebab   merasa takut; atau 

kata-kata kasar dari mereka yang sama statusnya untuk menghindari 

bahaya persaingan. (Kedua kasus ini bukanlah jenis kesabaran yang 

tinggi.) Tetapi para bijaksana mengatakan bahwa mentolerir kata-

kata kasar yang datang dari mereka yang lebih rendah statusnya, 

tanpa alasan apa pun untuk melakukan seperti itu, yaitu   bentuk 

kesabaran yang tertinggi.”

Kesabaran Sakka

Suatu saat  , dalam suatu pertempuran antara para Dewa Tàvatiÿsa 

dan para Asura, para dewa menangkap Vepacitti, Raja Asura, 

dan membawanya ke hadapan Sakka. Saat ia memasuki ruang 

pertemuan, ia memaki Sakka dengan kata-kata kasar, namun Sakka 

menerimanya tanpa menunjukkan kemarahan. (Saÿyutta Nikàya, 

Sagatha Vagga, Sakka Saÿyutta, Vepacitti Sutta.)

3375

 1

lalu   Màtali (kusir kereta Sakka) bertanya kepada majikannya, 

mengapa ia diam saja, tanpa menunjukkan kemarahan dalam 

menghadapi hinaan ini  .

 

Syair berikut yaitu   kutipan dari syair jawaban Sakka:

Sadatthaparamà atthà, 

Khantyà bhiyyo na vijjati. Yo have balavà santo, 

Dubbalassa titikkhati, 

Tam àhu paramaÿ khantiÿ.

“Dari semua kepentingan, kepentingan-pribadi yaitu   yang 

tertinggi dan di antara semua tindakan yang mendukung 

kepentingan-pribadi, kesabaran yaitu   yang terbaik. Ia yang kuat 

mentolerir yang lemah; orang-orang berbudi menyebut hal ini 

kesabaran tertinggi.”

Penjelasan kutipan ini dari Kitab.

Walaupun kutipan di atas yang bersumber dari Sakka Saÿyutta dan 

Sarabhaïga Jàtaka merujuk pada kesabaran terhadap hinaan melalui 

ucapan, namun harus dimengerti bahwa menahankan siksaan fisik 

juga termasuk. Kitab menyebutkan hinaan melalui ucapan sebab   

ini lebih sering dijumpai daripada serangan fisik.

Hal ini terlihat pada contoh kisah Yang Mulia Puõõa yang termasuk 

siksaan fisik dalam urutan naik penderitaan.

Dalam Khantivàdã Jàtaka juga ditemukan kisah Petapa Khantivàdã 

yang menjadi teladan dalam hal kesabaran tertinggi saat   Raja 

Kalàbu menyiksanya bukan hanya dalam ucapan tetapi juga secara 

fisik yang menyebabkan kematiannya.

Kebebasan dari Kemarahan (Akkodha) dan Kesabaran (Khantã)

Seperti telah disebutkan di atas, kesabaran yaitu   mengendalikan 

diri sendiri agar tidak marah saat diserang oleh orang lain bukan 

3376


hanya secara verbal tetapi juga secara fisik. Tetapi ada lagi bentuk 

lain kemarahan yang tidak berhubungan dengan kejahatan ucapan 

atau fisik yang dilakukan oleh orang lain. Misalnya seseorang 

mempekerjakan seseorang untuk suatu pekerjaan tertentu dan 

si pekerja melakukan pekerjaan sebaik mungkin. Tetapi majikan 

merasa tidak puas akan pekerjaannya dan mungkin menjadi 

marah. Jika seseorang mengendalikan kemarahannya dalam situasi 

demikian, maka itu bukanlah kesabaran (khantã), itu hanyalah 

sekadar menahan kemarahannya (akkodha).

Akkodha dan Khanti Sebagai Kewajiban Para Raja

Dalam Mahà Haÿsa Jàtaka dari Asãti Nipàta, Pàñha jàtaka, Buddha 

mengajarkan ‘Sepuluh Kewajiban Raja’ (Dasa Ràja Dhamma) yang 

termasuk akkodha dan khanti.

Dalam melaksanakan berbagai perintah raja, para eksekutif akan 

melakukan tugas-tugas mereka sebaik mungkin, namun belum 

tentu memuaskan raja. Akkodha sebagai salah satu dari Sepuluh 

Kewajiban Raja melarang raja menunjukkan kemarahan dalam 

situasi demikian. Sedangkan, khanti yang berarti menahan hinaan 

ucapan dan fisik tanpa menunjukkan kemarahan ditetapkan secara 

terpisah sebagai kewajiban raja lainnya.

Sembilan pemicu   Kemarahan

Ada sembilan pemicu   kemarahan yang muncul sehubungan 

dengan seseorang, teman-teman, kekasih atau musuh. Juga 

dapat muncul sehubungan dengan perbuatan pada masa lalu, 

masa sekarang atau masa depan, dengan demikian ada sembilan 

pemicu   munculnya kemarahan sehubungan dengan individu dan 

sehubungan dengan waktu.

(1) seseorang marah sehubungan dengan orang lain, berpikir, “Ia 

telah menyebabkan rusaknya kepentinganku;”

(2) seseorang marah sehubungan dengan orang lain, berpikir, “Ia 

sedang menyebabkan rusaknya kepentinganku;”

(3) seseorang marah sehubungan dengan orang lain, berpikir, “Ia 

3377

 1

akan menyebabkan rusaknya kepentinganku;”

(4) seseorang marah sehubungan dengan temannya, berpikir, “Ia 

telah menyebabkan rusaknya kepentingan temanku;”

(5) seseorang marah sehubungan dengan temannya, berpikir, “Ia 

sedang menyebabkan rusaknya kepentingan temanku;”

(6) seseorang marah sehubungan dengan temannya, berpikir, “Ia 

akan menyebabkan rusaknya kepentingan temanku;”

(7) seseorang marah sehubungan dengan musuhnya, berpikir, “Ia 

telah mendukung kepentingan musuhku;”

(8) seseorang marah sehubungan dengan musuhnya, berpikir, “Ia 

sedang mendukung kepentingan musuhku;”

(9) seseorang marah sehubungan dengan musuhnya, berpikir, “Ia 

akan mendukung kepentingan musuhku.”

(Aïguttara Pàëi, Navaka Nipàta, 1-Paõõàsaka, 3-Vagga, 9-Sutta)

Kemarahan yang Tidak Rasional (Aññhàna Kopa)

Sebagai tambahan dari sembilan pemicu   kemarahan di atas, 

seseorang juga dapat menjadi marah sebab   hujan yang terlalu 

lebat atau angin terlalu kencang atau terlalu panas, dan sebagainya. 

Marah sebab   hal-hal di mana seharusnya tidak perlu marah 

disebut kemarahan yang tidak rasional (aññthàna kopa). Ini yaitu   

faktor batin kebencian (dosa cetasika) yang sering kali muncul 

tanpa alasan yang jelas. Untuk mengendalikan kemarahan tidak 

rasional ini (aññhàna kopa) yaitu   dengan cara tidak menunjukkan 

kemarahan (akkodha).

Delapan Jenis Kekuatan (Bala)

Dalam daftar delapan jenis kekuatan para mulia terdapat kesabaran. 

(Aïguttara Pàëi, Aññhaka Nipàta, 1-Paõõàsaka, 3-Gahapati Vagga, 

7-Sutta). Delapan jenis kekuatan yaitu  :

(1) Menangis yaitu   kekuatan anak-anak,

(2) Kemarahan yaitu   kekuatan para perempuan,

(3) Senjata yaitu   kekuatan para perampok,

(4) Kedaulatan atas wilayah kekuasaan yaitu   kekuatan para 

3378


raja,

(5) Mencari kesalahan yaitu   kekuatan orang-orang dungu,

(6) Memeriksa dengan saksama yaitu   kekuatan para bijaksana,

(7) Mempertimbangkan berulang-ulang yaitu   kekuatan para 

terpelajar, dan

(8) Toleransi atas kejahatan yaitu   kekuatan para samaõa dan 

bràhmaõa.

Samaõa dan Bràhmaõa

Sehubungan dengan istilah samaõa dan bràhmaõa di no. 8 daftar 

di atas, akan muncul pertanyaan apakah samaõa dan bràhmaõa 

memiliki status yang sama.

Di luar Dhamma, samaõa berarti petapa. Di dalam Dhamma, berarti 

bhikkhu, anggota Saÿgha, putra Buddha. Dengan demikian, istilah 

samaõa sudah jelas, tidak perlu dijelaskan lebih jauh lagi.

Yang memerlukan penjelasan yaitu   kata bràhmaõa. Di awal dunia 

ini, (sesudah   manusia ada di bumi ini selama berkappa-kappa) 

kejahatan muncul di antara mereka dan mereka memilih satu 

individu tertentu untuk memimpin mereka sebagai ‘Yang Terpilih’, 

Raja Mahà Sammata. Pada masa itu beberapa orang berkata, “Dunia 

ini sedang dikuasai oleh kekuatan jahat; kami tidak ingin bergaul 

dengan orang-orang yang begitu tercela sehingga perlu dipimpin 

oleh seorang raja. Kami akan mengundurkan diri ke hutan dan 

menyingkirkan, mencuci kejahatan,” lalu   mereka pergi ke 

hutan dan menetap di sana, bermeditasi dan tercerap dalam Jhàna. 

sebab   mereka hidup dengan cara demikian, mereka disebut 

bràhmaõa.

Bràhmaõa yaitu   kata Pàëi yang artinya seorang yang telah 

melenyapkan kejahatan. Bràhmana tidak memasak makanan 

sendiri; mereka hidup dari buah-buahan yang jatuh dari pohon 

atau makanan yang mereka terima dari warga   kota dan desa. 

Mereka disebut bràhmaõa sebab   mereka menjalani hidup suci 

sesuai dengan arti harfiah kata bràhmaõa dalam bahasa Pàëi. Mereka 

disebut guõa bràhmaõa, yaitu bràhmaõa sebab   praktik suci yang 

3379

 1

mereka jalankan.

sesudah   berlalu banyak kappa, beberapa guõa bràhmaõa ini tidak 

mampu mempraktikkan meditasi dan gagal mencapai Jhàna. Mereka 

menetap di perbatasan kota dan desa; mereka menyusun dan 

mengajarkan Veda kepada mereka yang ingin belajar. Mereka tidak 

lagi melatih meditasi untuk mencapai Jhàna untuk menyingkirkan 

kejahatan. Namun mereka masih memakai   nama bràhmaõa; 

tetapi mereka bukan lagi guõa bràhmaõa sebab   mereka tidak 

lagi memiliki kualitas-kualitas praktik suci. Mereka hanya berhak 

disebut jàti bràhmaõa, yaitu bràhmaõa keturunan guõa bràhmaõa. 

sebab   mereka tidak mempraktikkan meditasi untuk mencapai 

Jhàna, mereka dianggap sebagai kelas yang rendah. Tetapi seiring 

berjalannya waktu, mereka menulis buku-buku Veda dan mengajar, 

mereka tetap dianggap cukup terhormat dan mulia. Walaupun 

bràhamaõa-bràhmaõa sebab   kelahiran ini tidak benar-benar 

menyingkirkan dan mencuci kotoran batin dengan melatih Jhàna, 

mereka merendam diri mereka dalam air sungai untuk menipu 

orang lain, menyebut tindakan tipuan mereka itu sebagai tindakan 

pembersihan untuk mencuci kotoran.

Sebuah referensi atas praktik mencuci kotoran oleh para bràhmaõa 

ini terdapat dalam BhÃ¥ridatta Jàtaka. BhÃ¥ridatta, Raja Nàga, biasanya 

berkunjung ke alam manusia untuk menjalani sãla. Pada suatu 

kunjungan, ia tidak berhasil pulang ke alam nàga pada waktunya. 

Kedua saudaranya pergi mencarinya.

(Mereka berhasil menyelamatkannya tepat pada waktunya dari 

tahanan seorang pawang ular yang menangkapnya. Ia dikhianati 

oleh seorang bràhmana bernama Nesàda yang melihatnya sedang 

menjalani sãla di atas sebuah gundukan sarang semut.)

Adiknya yang bernama Subhoga Nàga, yang mengikuti aliran 

Sungai Yamunà untuk mencarinya, bertemu dengan Brahmana 

Nesàda yang bertanggung jawab atas penangkapan itu. Bràhmana 

itu sedang berendam di Sungai Yamunà untuk mencuci kejahatan 

pengkhianatannya.

3380


Yang dimaksudkan oleh Buddha yaitu   guõa bràhmana saat   

Beliau mengatakan bahwa toleransi yaitu   kekuatan para samaõa 

atau bràhmaõa. Para petapa di Agga¤¤a Sutta, yang mengenakan 

jubah putih berlatih untuk menyingkirkan kotoran batin yaitu   

bràhmaõa biasa atau bràhmana sebab   kelahiran. Tetapi sejak 

munculnya Buddha dan mulai mengajar, Beliau menjelaskan 

kualitas-kualitas kebajikan yang membuat seseorang berhak disebut 

bràhmaõa. Dalam Dhammapada, Buddha memerlukan satu Vagga 

penuh, yaitu Bràhmana Vagga yang terdiri dari delapan puluh dua 

syair untuk menjelaskan secara lengkap kualitas-kualitas mulia 

ini  . Mereka yang memiliki kualitas-kualitas ini   berhak 

disebut seorang bràhmaõa. Bràhmana demikian yaitu   guõa 

bràhmaõa; tidak ada pembagian untuk bràhmana jenis ini. Tetapi, 

bràhmana sebab   kelahiran terbagi dalam banyak kelompok.

(G) Kesempurnaan Kejujuran (Sacca Pàramã)

Seperti yang disebutkan dalam Kitab, bagaikan bintang pagi yang 

selalu bergerak lurus tidak pernah menyimpang dari orbitnya, 

demikian pula seseorang harus berbicara lurus dan jujur, ucapan 

yang demikian berarti kejujuran. Demikianlah penjelasan 

Komentator Buddhaghosa tentang perumpamaan bintang pagi.

Dua Jenis Kebenaran

Kebenaran (Sacca) bukanlah prinsip tertinggi yang terpisah seperti 

halnya kebijaksanaan (pa¤¤Ã ) atau usaha (viriya). Kebenaran 

yaitu   kejujuran yang tidak memiliki jejak kebohongan. Melibatkan 

faktor-faktor batin seperti pengendalian (viratã-cetasika), kehendak 

(cetanà-cetasika), dan sebagainya. sebab   kejujuran berbeda-beda 

dalam situasi yang berbeda, kebenaran pada dasarnya terdiri dari 

dua jenis: (1) kebenaran umum (sammuti sacca) dan (2) kebenaran 

mutlak (paramattha sacca). (Hanya dua jenis kebenaran ini yang 

diajarkan oleh Buddha; tidak ada yang namanya kebenaran ketiga; 

tidak ada kebenaran lain selain dua jenis ini di dunia ini.)

3381

 1

Kebenaran Umum (Sammuti Sacca)

Dari dua jenis ini, kebenaran umum yaitu   kebenaran yang 

sesuai dengan apa yang disebut oleh masyarakat. Orang-orang 

biasanya memberi nama benda-benda sesuai bentuknya. Mereka 

menyebut benda berbentuk seperti ini dengan sebutan ‘manusia’, 

benda berbentuk seperti itu disebut ‘sapi’, benda berbentuk lain 

disebut ‘kuda’. lalu  , di antara manusia, yang berbentuk 

seperti ini disebut ‘laki-laki’ dan yang berbentuk seperti itu disebut 

‘perempuan’. Dengan demikian ada nama sebanyak bendanya.

Jika Anda menyebut suatu benda laki-laki sebagai ‘laki-laki’, itu 

yaitu   kebenaran umum; itu secara umum benar jika dikatakan 

demikian. Jika Anda menyebut sesuatu yang diberi nama ‘laki-

laki’ sebagai ‘sapi’; itu bukanlah kebenaran umum. Secara umum 

tidak benar jika Anda mengatakan demikian. Jika Anda menyebut 

seseorang yang telah diberi nama ‘perempuan’ sebagai ‘laki-laki’, 

maka itu bukanlah kebenaran umum; secara umum tidak benar jika 

Anda menyebutnya demikian. Demikianlah kita harus membedakan 

antara kedua kebenaran ini.

Kebenaran Mutlak (Paramattha Sacca)

Apa yang bukan saja telah diberi nama oleh orang-orang tetapi 

juga benar-benar ada dalam pengertian tertinggi disebut kebenaran 

mutlak. Misalnya, jika dikatakan “yang mengetahui berbagai 

objek-indria yaitu   pikiran (citta)”, kebenaran mengetahui yaitu   

kebenaran mutlak sebab   benar-benar ada dalam pengertian 

tertinggi. Jika dikatakan “yang berubah-ubah sesuai fenomena yang 

berlawanan seperti panas dan dingin, dan sebagainya, yaitu   materi 

(rÃ¥pa)”, kebenaran berubah yaitu   kebenaran mutlak, sebab   benar-

benar ada dalam pengertian tertinggi. Demikianlah, faktor-faktor 

batin (cetasika), dan Nibbàna harus diketahui sebagai kebenaran 

mutlak, sebab   benar-benar ada dalam pengertian tertinggi.

Persepsi (Sa¤¤Ã ) dan Kebijaksanaan (Pa¤¤Ã )

Dari kedua jenis kebenaran, kebenaran umum berhubungan dengan 

3382


persepsi; dengan kata lain, kebenaran umum bergantung pada 

persepsi. Pengenalan benda-benda menurut bentuknya masing-

masing seperti apa yang telah disebutkan sejak kanak-kanak ‘bentuk 

seperti itu yaitu   seorang laki-laki’, ‘bentuk seperti itu yaitu   

seorang perempuan’, ‘bentuk seperti itu yaitu   seekor sapi’, ‘bentuk 

seperti itu yaitu   seekor kuda’, dan seterusnya, yaitu   persepsi. 

Seseorang yang melihat melalui persepsi akan mengatakan: ‘di sana 

ada manusia’, ‘di sana ada seeorang laki-laki