rmawanan. Kehendak yang berhubungan dengan
kedermawanan terdiri dari tiga jenis yaitu, kehendak yang muncul
sebelum memberi, kehendak yang muncul pada saat memberi,
dan kehendak yang muncul sesudah memberi. Kebijaksanaan yang
berhubungan dengan kehendak-kehendak ini dalam setiap kasus
disebut dà namaya pa¤¤Ã . Demikian pula dalam hal pelaksanaan
moralitas, kebijaksanaan yang muncul dengan kehendak, “Aku
akan melaksanakan sãla,” kebijaksanaan yang muncul sewaktu
melaksanakan dan kebijaksanaan yang muncul dalam perenungan
3340
sesudah melaksanakan sãla, seluruh tiga ini disebut sãlamaya
pa¤¤Ã .
Jika dà namaya pa¤¤Ã dan sãlamaya pa¤¤Ã , dipahami melalui proses
pemikiran dan penelaahan, maka dikelompokkan sebagai cintà maya
pa¤¤Ã ; jika dipahami melalui mendengar dari orang lain, maka
termasuk dalam sutamaya pa¤¤Ã . Jenis-jenis kebijaksanaan lainnya
dapat dikelompokkan dengan cara yang sama dalam tiga kelompok
cintà maya pa¤¤Ã , dan seterusnya.
Dhamma, “paripucchanto buddham jà naÿ pa¤¤Ã pà ramãtaÿ
gantvà ,” “Memenuhi Kesempurnaan Kebijaksanaan dengan
memelajarinya dari para bijaksana,” dalam Buddhavaÿsa jelas
dinyatakan bahwa Buddha menganggap sutamaya pa¤¤Ã sebagai
kebijaksanaan dasar. Hal ini sebab di dunia ini seseorang yang
belum memiliki kebijaksanaan dasar tidak akan dapat mengetahui
apa pun melalui berpikir sendiri; ia harus memelajarinya terlebih
dahulu dari para bijaksana dengan mendengarkan mereka. Oleh
sebab itu, Buddha membabarkan bahwa seseorang yang ingin
memenuhi Kesempurnaan Kebijaksanaan terlebih dahulu harus
mendapatkan pengetahuan dari para bijaksana sebelum ia memiliki
kebijaksanaan dasar.
Singkatnya, kebijaksanaan melalui mendengar (sutamaya pa¤¤Ã )
harus dicapai terlebih dahulu sebelum kebijaksanaan melalui
berpikir (cintà maya pa¤¤Ã ).
Komentar-komentar seperti Aññhasà linã menjelaskan dalam
kehidupan Bodhisatta yang tidak terhitung banyaknya, misalnya
sebagai seorang bijaksana Vidhura, Mahà Govinda, Kudà la, Araka,
Bodhi si petapa yang ingin tahu, Mahosadha, dan sebagainya, saat
Beliau ingin memenuhi Kesempurnaan Kebijaksanaan. Dalam
kehidupan-kehidupan ini, Bodhisatta telah memiliki kebijaksanaan
dasar; Beliau juga memiliki cintà maya pa¤¤Ã . sebab kebijaksanaan
dasar yang Beliau miliki sudah cukup kuat, mencapai sutamaya
pa¤¤Ã bukan lagi menjadi tujuan utama dalam kehidupan-
kehidupan ini .
3341
1
Empat Jenis Kavi
Catukka Nipà ta dari Aïguttara Nikà ya menjelaskan empat jenis
kavi:
(1) cinta kavi,
(2) suta kavi,
(3) attha kavi, dan
(4) pañibhà na kavi
(Istilah kavi diturunkan dari kata ‘kava’ yang artinya yaitu
‘memuji’; sebab itu seorang yang memuji hal-hal yang layak dipuji
disebut kavi yang bermakna ‘seorang yang bijaksana’.)
(1) Seseorang yang mampu mengetahui hal-hal dengan
memikirkannya disebut cinta kavi, seorang bijaksana yang
berpikir sendiri. Orang-orang ini menyanyikan syair-syair
pujian atas hal-hal yang layak dipuji. Dengan demikian
cinta kavi yaitu seorang yang menggubah syair dengan
memikirkannya sendiri.
(2) Seseorang yang menggubah syair tentang apa yang ia ketahui
melalui mendengar disebut seorang suta kavi.
(3) Seseorang yang tidak mengetahui melalui berpikir sendiri atau
melalui memelajari dari orang lain tetapi mengartikan makna
dari hal-hal yang sulit berdasarkan pengetahuan yang telah ia
miliki mengenai masalah-masalah serupa disebut attha kavi,
seorang bijaksana yang menjelaskan makna. Ia menulis syair
berdasarkan topik-topik yang diberikan.
(4) Seseorang yang tanpa berpikir sendiri atau mendengarkan dari
orang lain atau mengartikan dari apa yang sudah diketahui,
memiliki kemampuan untuk menembus secara spontan akan
makna dari topik yang diberikan disebut pañibhà na kavi,
seorang bijaksana yang memiliki persiapan kata-kata (seperti
Yang Mulia Vaïgisa Thera pada masa Buddha).
Sifat Kebijaksanaan
Kebijaksanaan yaitu faktor batin yang terpisah, satu dari
kebenaran tertinggi. Dalam Dhammasaïgaõã, berbagai nama seperti
3342
pa¤¤indriya, pa¤¤Ã , pajà nana, dan seterusnya diberikan untuk
kebijaksanaan, sebab yaitu karakteristik dari Abhidhammà untuk
memberi rincian lengkap dari setiap hal yang harus diajarkan
mengenai masing-masing topik. Istilah utama bagi kebijaksanaan
yaitu pa¤¤indriya terdiri dari pa¤¤Ã dan indriya.
Disebut pa¤¤Ã , kebijaksanaan, sebab mendukung pemahaman
dalam segala aspek Empat Kebenaran atau Tiga Karakteristik,
ketidakkekalan (anicca), penderitaan (dukkha), dan tanpa-diri
(anatta).
Disebut indria, indriya, (mengendalikan atau mengatur) sebab
dapat mengatasi kebodohan (avijjà ) dan khayalan (moha) atau
sebab mendominasi dalam memahami sifat sebenarnya. Pa¤¤Ã ,
kebijaksanaan, memiliki karakteristik menciptakan cahaya.
Bagaikan kegelapan yang lenyap segera sesudah cahaya muncul
di dalam suatu kamar gelap; demikian pula, di mana kebodohan
membutakan kita, begitu kebijaksanaan muncul, kebodohan akan
lenyap dan memungkinkan kita melihat dengan jelas. Oleh sebab
itu Buddha bersabda, pa¤¤Ã samà à bhà natthi, ‘Tidak ada cahaya
yang menyerupai kebijaksanaan.’
Kebijaksanaan memiliki karakteristik melihat segala sesuatu dengan
membeda-bedakan. Bagaikan seorang dokter ahli yang melihat
makanan apa yang cocok bagi pasiennya dan makanan apa yang
tidak cocok, demikian pula, saat kebijaksanaan muncul, ia akan
memungkinkan seseorang untuk membedakan perbuatan baik dan
perbuatan tidak baik.
Kebijaksanaan juga memiliki karakteristik menembus sifat sejati
sebagai mana adanya. Diumpamakan sebagai anak panah, yang
ditembakkan oleh pemanah ahli, menembus targetnya tanpa
meleset.
Hal yang penting dipahami sehubungan dengan karakteristik
kebijaksanaan: kebijaksanaan sejati yaitu mengetahui segala
sesuatu sebagaimana adanya dan pengetahuan demikian yaitu
bebas dari cacat. Itulah sebabnya dalam Abhidhammà ttha Saïgaha,
3343
1
faktor batin kebijaksanaan (pa¤¤Ã cetasika) termasuk dalam jenis
‘indah’ (sobhaõa) dari faktor batin.
Muncul pertanyaan mengenai kebijaksanaan sehubungan dengan
tindakan Sulasà dalam Sulasà Jà taka dari Aññhaka Nipà ta. Di Và rà õasã,
seorang pelacur bernama Sulasà menyelamatkan nyawa perampok
bernama Suttaka yang akan dihukum mati. Ia menikahinya dan
mereka hidup bersama. sebab ingin memiliki perhiasannya, si
perampok membujuknya untuk mengenakan perhiasannya yang
bernilai satu lakh dan pergi ke gunung bersamanya. Sesampainya
di puncak, ia menyuruhnya agar melepas semua perhiasannya dan
bersiap-siap untuk membunuhnya. lalu Sulasa berpikir, “Ia
pasti akan membunuhku; aku harus menyerangnya lebih dulu dan
membunuhnya dengan muslihat.” Maka ia memohon, “Suamiku,
meskipun engkau mau membunuhku, aku tetap mencintaimu;
menjelang kematianku, izinkan aku memberi hormat kepadamu
dari empat penjuru, depan, belakang, kiri, dan kanan.” Tanpa
mencurigai muslihatnya, si perampok mengizinkannya melakukan
hal itu. sesudah memberi hormat kepada si perampok, yang sedang
berdiri di tepi tebing, dari depan dan samping, saat ia berada di
belakangnya, ia mendorongnya jatuh dari tebing dengan segenap
kekuatannya dan membunuhnya.
Bodhisatta yang yaitu dewa yang menetap di gunung ini
berkata, “‘Na hi sabbesu ñhà nesu puriso hoti paõóito; itipi paõóito
hoti tattha tattha vicakkhaõà ” ‘Tidak selalu laki-laki lebih bijaksana;
perempuan juga bisa bijaksana dan berpandangan jauh.’”
Kita akan mempertanyakan apakah tepat bagi Bodhisatta dewa untuk
memuji Sulasa sebagai seorang bijaksana. Kehendak Sulasa untuk
membunuh si perampok yaitu hal melakukan perbuatan buruk
membunuh dan tidak berhubungan dengan pa¤¤Ã cetasika.
Dalam menjawab persoalan ini, beberapa berdapat bahwa
pengetahuan Sulasa bukanlah pa¤¤Ã sejati. Dari tiga jenis
pengetahuan, yaitu, pengetahuan melalui persepsi (sa¤¤Ã ),
pengetahuan melalui kesadaran (vi¤¤Ã õa), dan pengetahuan melalui
kebijaksanaan (pa¤¤Ã ). Pengetahuan Sulasa yaitu pengetahuan
3344
melalui kesadaran saja, dengan kata lain, melalui imajinasi.
Pengetahuan yang melalui kesadaran itu di sini dianggap sebagai
pa¤¤Ã .
Beberapa pendapat menegaskan bahwa dari dua pandangan:
pandangan salah (micchà diññhi) dan pandangan benar (sammÃ
diññhi); Sulasà memiliki pandangan salah dan Bodhisatta dewa
menganggap pandangannya itu sebagai pa¤¤Ã dan bukan
memujinya sebab kualitas kebijaksanaannya, dan sebab itu tidak
bertentangan dengan Abhidhammà .
Kedua jawaban ini, menganggap kesadaran (vi¤¤Ã õa) dan
pandangan (diññhi) sebagai kebijaksanaan (pa¤¤Ã ) bertentangan
dengan prinsip-prinsip Abhidhammà , yaitu salah sama sekali.
Pengetahuan Sulasà bahwa ia harus menang melawan si perampok
jika ia memakai muslihat yaitu pengetahuan sejati dan,
oleh sebab itu, yaitu kebijaksanaan. Seseorang tidak perlu
meragukan apakah kebijaksanaan sejati dapat melibatkan hal-hal
yang berhubungan dengan perbuatan jahat. Misalnya, tidak ada
salahnya mengetahui tentang minuman beralkohol yang tidak
seharusnya didekati dan yang dapat mengarah kepada perbuatan
tidak bermoral, hanya sekadar untuk mengetahui minuman mana
yang mengandung alkohol yang lebih banyak dan mana yang
lebih sedikit, berapa harganya, apa yang terjadi jika seseorang
meminumnya, dan sebagainya. Hal ini menjadi tidak bermoral hanya
jika seseorang mulai berpikir untuk meminumnya.
Demikian pula, seseorang boleh memelajari berbagai pandangan dan
kepercayaan di dunia ini tanpa kecuali, membedakan antara mana
yang benar dan pantas dan mana yang salah. Dengan demikian,
memelajari dan mengetahui tentang pandangan dan kepercayaan
ini sebagaimana adanya, benar atau salah, sama sekali tidak
ada salahnya. Hanya jika seseorang secara keliru menganggap
sebuah pandangan salah sebagai pandangan benar, maka itu yaitu
kesalahan.
Jadi, dalam kasus Sulasa, mengetahui bahwa “aku akan menang
3345
1
jika aku memakai muslihat” yaitu mengetahui dengan benar;
itu yaitu mengetahui melalui kebijaksanaan dan sebab itu tidak
salah. Tetapi sejak ia memutuskan untuk membunuh suaminya
dengan memakai muslihat, perbuatannya menjadi suatu
kejahatan, tidak bermoral. Hanya sehubungan dengan pengetahuan
benar yang muncul pertama kali dalam dirinya sebelum perbuatan
membunuh yang oleh Bodhisatta dewa dipuji dengan mengatakan
ia bijaksana.
Seperti telah dijelaskan di atas, kita harus membedakan dengan
jelas antara pengetahuan mengenai kejahatan di satu pihak
dan tindakan kejahatan seperti membunuh di pihak lain. Jika
seseorang mempertahankan kepercayaan bahwa pengetahuan
tentang kejahatan yaitu bukan kebijaksanaan sejati, maka ia akan
melakukan kesalahan dengan berpikir bahwa Kemahatahuan
Buddha sendiri tidak bebas dari cacat.
Melalui kebijaksanaan tertinggi, Buddha mengetahui segalanya
yang perlu diketahui, segala sesuatu yang bermoral maupun tidak
bermoral; itulah sebabnya disebut mahatahu. Jika Kebijaksanaan
sejati tidak ada hubungannya dengan hal-hal jahat, maka Buddha
tidak memiliki pengetahuan apa pun mengenai hal-hal jahat;
sesungguhnya, Kebijaksanaan Buddha yaitu sangat luas, tidak
terbatas dan sebab itu disebut mahatahu.
Singkatnya, Buddha mengetahui segalanya, baik atau jahat. Tetapi
Beliau telah mencabut semua kotoran tersembunyi; Beliau tidak
lagi memiliki keinginan untuk melakukan kejahatan, apalagi
melakukannya dalam tindakan. sebab itu, dengan merenungkan
kualitas-kualitas mengetahui segalanya tentang kejahatan, telah
meninggalkan semua yang perlu ditinggalkan dan menghindari
diri dari perbuatan jahat, kita harus mengembangkan keyakinan
terhadap Buddha.
Sekali lagi, kita harus meninjau kisah Mahosadha Sang Bijaksana
yang dijelaskan dalam Mahosadha JÃ taka. Dalam kisah ini ,
Cåëanã Brahmadatta bersama para penguasa sekutunya mengepung
dan menyerang ibukota Raja Videha yang memiliki Mahosadha
3346
Sang Bijaksana sebagai wakil sebelah kanannya. Mahosadha
merencanakan pertahanan kota dengan berbagai muslihat untuk
menipu pasukan musuh, untuk menghancurkan moral mereka dan
akhirnya memaksa mereka untuk mundur ke segala arah dalam
kekacauan. Jika kita berpendapat bahwa tindakan menipu yang
dilakukan Mahosadha, bukan suatu tindakan yang bermoral dan
tidak dianggap sebagai Kebijaksanaan, maka tidak ada kesempatan
bagi Bodhisatta untuk memenuhi Kesempurnaan Kebijaksanaan.
Sesungguhnya, semua strategi yang dilakukan oleh Mahosadha
yaitu hasil dari Kebijaksanaan Bodhisatta. Oleh sebab itu Buddha
secara khusus menyebutkan bahwa kisah Mahosadha yaitu
contoh tentang bagaimana Bodhisatta memenuhi Kesempurnaan
Kebijaksanaan-Nya.
Sebagai kesimpulan dari apa yang telah dijelaskan, harus
dimengerti bahwa dalam kisah Sulasa, Sang dewa Gunung memuji
Sulasa sebagai orang yang bijaksana sebab ia memang memiliki
Kebijaksanaan.
(Demikianlah penjelasan dari topik yang meragukan sehubungan
dengan karakteristik kebijaksanaan.)
Jenis-jenis Kebijaksanaan
Definisi kebijaksanaan yang dijelaskan dalam Komentar seperti
Aññhasà linã, dan sebagainya, yaitu sebagai pengetahuan dari
atau pengetahuan yang mengarah menuju pemahaman penuh
atas Empat Kebenaran Mulia dan Tiga Karakteristik yang merujuk
pada kebijaksanaan jenis yang tertinggi (ukkaññha). Juga jenis-jenis
tertentu dari kebijaksanaan yang lebih rendah.
Komentar Abhidhammà Vibhaïga dalam menjelaskan cintà maya
pa¤¤Ã dan sutamaya pa¤¤Ã menjelaskan jenis-jenis kebijaksanaan
yang terlibat dalam ‘mencari nafkah dengan mengerahkan tenaga’
(kammà yatana) dan dalam ‘mencari nafkah dengan keahlian’
(sippà yatana). Masing-masing dibagi lagi dalam dua jenis, rendah
dan tinggi. Tukang kayu yaitu contoh jenis rendah dari usaha
yang memerlukan tenaga. Bertani, berdagang yaitu jenis yang
3347
1
lebih tinggi. Membuat kasur, menenun, dan sebagainya yaitu
jenis yang rendah dari mencari nafkah dengan keahlian; menulis,
berhitung, dan sebagainya, yaitu bentuk yang lebih tinggi dari
mencari nafkah dengan keahlian.
Perbedaan penting dari bentuk-bentuk penghidupan yaitu bahwa
mencari nafkah dengan tenaga dapat dilakukan tanpa memerlukan
pelatihan khusus, disebut kammà yatana; mencari nafkah dengan
keahlian memerlukan pelatihan khusus, disebut sippayatana.
Pelatihan khusus untuk keahlian berbicara disebut vijjà thà na.
Oleh sebab itu, seseorang yang ingin memenuhi Kesempurnaan
Kebijaksanaan harus melakukannya tanpa memandang apakah
kebijaksanaan ini rendah atau tinggi; dan sehubungan dengan
hal-hal yang tidak diketahui, seseorang harus mendekati para
bijaksana untuk belajar dari mereka. Oleh sebab itu disebutkan
dalam Buddhavaÿsa, “Paripucchanto buddhaÿ pa¤¤Ã pà ramitaÿ
gantvà ”, artinya “berulang-ulang bertanya kepada para bijaksana,
akan mencapai Kesempurnaan Kebijaksanaan”.
Tujuh Cara Mengembangkan Kebijaksanaan
Sammohavinodani, Komentar Abhidhammà Vibhaïga menjelaskan
tujuh cara dalam mengembangkan kebijaksanaan pada bab tentang
Empat Perhatian Murni (Satipaññhà na):
(1) Paripuccanakatà ―berulang-ulang bertanya kepada para
bijaksana. (Ini sesuai dengan kalimat Pà ëi di atas.)
(2) Vatthuvisadakiriyà ―memurnikan objek-objek di dalam dan di
luar tubuh. (Untuk kebersihan internal, rambut, kuku, janggut tidak
boleh terlalu panjang. Badan tidak boleh kotor oleh keringat dan
debu. Untuk kebersihan eksternal, baju tidak boleh usang dan bau;
tempat tinggal harus dijaga kebersihannya. Jika ada kotoran di dalam
dan di luar tubuh, kebijaksanaan yang muncul akan seperti api besar
yang menyala dari sumbu kotor yang telah direndam dalam minyak
keruh dari lampu yang kotor. Untuk mendapatkan kebijaksanaan
yang murni dan cerah seperti api dari lampu yang bersih, seseorang
3348
harus menjaga agar tubuhnya bersih dalam dan luar.)
(3) Indriya samattà pañipadanà ―menjaga keseimbangan indria, seperti
keyakinan, dan seterusnya.
(Ada lima indria* yang mengatur kesadaran dan faktor-faktor batin
makhluk-makhluk. Jika indria keyakinan terlalu kuat, empat indria
lainnya akan menjadi lemah; akibatnya, indria usaha tidak dapat
melakukan fungsinya memberi dukungan untuk berusaha;
indria perhatian tidak dapat memenuhi tugasnya mempertahankan
objek yang diperhatikan; indria konsentrasi tidak dapat mencegah
kacaunya pikiran; dan indria kebijaksanaan tidak dapat melihat.
Jika indria keyakinan berlebihan, harus diusahakan untuk dapat
menormalkannya dan membawanya selaras dengan yang lain dengan
cara merenungkan Dhamma yang dapat menormalkannya atau
menghindari perenungan Dhamma yang dapat memperkuatnya.
(*Catatan: Lima indria yaitu keyakinan, usaha, perhatian,
konsentrasi, dan kebijaksanaan; masing-masing memiliki fungsinya
sendiri-sendiri: keyakinan memungkinkan seseorang memberi
perhatian penuh pada objek yang dihormati; usaha memberi
dukungan sehingga memungkinkan seseorang untuk berusaha
dengan keras dan sungguh-sungguh; perhatian mempertahankan
objek yang diperhatikan; konsentrasi mencegah kekacauan pikiran;
dan kebijaksanaan memungkinkan seseorang untuk melihat,
memahami. Indria-indria ini harus dijaga agar senantiasa seimbang,
jika salah satu berlebihan, maka yang lainnya akan berkurang, dan
tidak dapat melakukan fungsinya.)
(Jika indria usaha terlalu kuas, indria keyakinan tidak akan dapat
melakukan fungsinya; indria-indria lainnya juga tidak dapat
melakukan fungsinya masing-masing. Usaha yang berlebih-lebihan
harus dikoreksi dengan mengembangkan ketenangan. Hal yang
sama berlaku untuk tiap-tiap indria lainnya.)
Apa yang dipuji oleh para bijaksana yaitu menyeimbangkan
keyakinan dengan kebijaksanaan, dan konsentrasi dengan usaha.
Jika seseorang memiliki keyakinan yang kuat dan lemah dalam
3349
1
kebijaksanaan, ia akan memiliki keyakinan terhadap orang yang
tidak tepat sehingga tidak ada gunanya. (Dengan lemah dalam
kebijaksanaan, seseorang tidak akan dapat melihat dengan
kritis siapa yang layak dihormati dan siapa yang tidak; keliru
mengganggap ‘Buddha, Dhamma, Saÿgha’ palsu sebagai yang asli,
pengabdiannya akan menjadi tidak berguna.) Kepercayaan salah
dari mereka yang secara keliru mengabdi kepada Buddha palsu
atau Dhamma palsu bukanlah keyakinan melainkan hanya sekadar
kesimpulan salah dan berbahaya (micchà dhimokkha).
Jika kebijaksanaan kuat dan keyakinan lemah, seseorang akan
kehilangan jalan yang benar dan mengikuti jalan yang salah yang
mengarah menuju kelicikan. Membawa orang yang demikian
kembali ke jalan yang benar yaitu sama sulitnya dengan
menyembuhkan pasien yang menderita sakit sebab salah obat.
Misalnya, ada dua jenis pemberian, (i) pemberian kehendak (cetanÃ
dà na) dan (ii) pemberian objek-objek materi (vatthu dà na). Seseorang
yang berpikiran licik akan menganggap bahwa hanya kehendak dan
bukan objek materi yang lebih bermanfaat pada masa depan; sebab
itu yaitu tidak perlu memberi benda-benda materi sebagai
dà na; pemberian kehendak saja sudah cukup. Orang demikian, yang
tidak melakukan kebajikan dalam berdana, sebab kelicikannya,
akan terlahir kembali di alam kehidupan yang rendah.
Hanya jika keyakinan dan kebijaksanaan seimbang maka seseorang
dapat memiliki keyakinan yang benar terhadap orang yang tepat
dan dengan tidak adanya kelicikan, maka akan berkembang
banyak manfaat. Usaha dan konsentrasi juga harus seimbang; jika
usaha lemah dan konsentrasi kuat, akan mengakibatkan kemalasan
(kosajja); tanpa aktivitas dan menganggap atmosfer ketenangan
seolah-olah berada dalam konsentrasi yang baik, seseorang dikuasai
oleh kemalasan.
Jika usaha kuat dan konsentrasi lemah, akan timbul pergolakan
dan kehebohan namun bukan kestabilan. Dikuasai oleh kegelisahan
(uddhacca) seseorang akan kacau dengan pikiran, “Jika usaha ini
tidak memberi hasil baik seperti yang diharapkan, berarti ini
tidak cocok untukku. Aku akan meninggalkannya dan mencoba
3350
yang lain.”
Jika usaha dan konsentrasi seimbang, kemalasan (kosajja) dan
kegelisahan (uddhacca) tidak akan memiliki kesempatan untuk
muncul. Menyeimbangkan dua ini akan membantu dalam
pencapaian Jhà na atau konsentrasi tercerap dalam waktu yang
singkat.
Akan tetapi, indria perhatian tidak dapat berlebihan; hanya mungkin
terjadi kekurangan. Dalam Kitab, diumpamakan sebagai garam,
unsur penting dari semua makanan yang dipersiapkan untuk
seorang perdana menteri yang menghadiri semua urusan kerajaan.
Oleh sebab itu, perhatian harus dijaga agar sekuat mungkin, indria
dalam dua pasang lainnya, keyakinan dan kebijaksanaan, usaha dan
konsentrasi, harus dijaga agar tetap seimbang satu sama lain. Jika
salah satu berlebihan yaitu tidak baik. Sehubungan dengan hal ini,
Yang Mulia U Budh membuat komentar berikut dalam tulisannya,
Mahà Satipaññhà na Nissaya.
Keyakinan yang berlebihan akan mengarah pada fanatisme
berlebihan.
Kebijaksanaan yang berlebihan akan mengarah pada kelicikan.
Usaha yang berlebihan akan mengarah pada kegelisahan.
Konsentrasi yang berlebihan akan mengarah pada kelelahan
batin,
namun tidak pernah ada perhatian yang berlebihan.
(4) Duppa¤¤Ã puggala parivajjanaÿ―Menghindari orang-orang yang
tidak memiliki kebijaksanaan.
(Duppa¤¤Ã artinya individu-individu yang tidak memiliki
kebijaksanaan dalam melihat tembus kelompok-kelompok Dhamma
sebagai kelompok-kelompok (Khandha), landasan-landasan
(Ã yatana), dan sebagainya. Seseorang harus menjauhi orang-orang
yang demikian.)
(5) Pa¤¤Ã vanta puggalasevana―bergaul dengan para bijaksana.
3351
1
(Orang-orang bijaksana yang memiliki lima puluh karakteristik
pengetahuan timbul dan lenyap (Udayabhaya ¥Ã õa). Penjelasan
mengenai lima puluh karakteristik Udayabhaya ¥Ã õa ini, dapat
dibaca dalam Pañisambhidà magga. (Juga dapat dibaca dalam buku
“Path of Purification” oleh Bhikkhu ¥Ã õamoli, bab XX, paragraf
93-104.)
Sehubungan dengan no (4) dan (5), komentator hanya menjelaskan
pengembangan jenis tertinggi (ukkaññha) dari kebijaksanaan.
Dalam (4), seorang yang tidak memiliki kebijaksanaan maksudnya
yaitu seorang yang tidak dapat melihat menembus kelompok-
kelompok Dhamma seperti kelompok kehidupan dan landasan-
landasan; seseorang yang memiliki pengetahuan menembus
Dhamma demikian yaitu seorang yang memiliki kebijaksanaan
tinggi. Namun, ada juga, mereka yang meskipun tidak memiliki
kebijaksanaan untuk melihat Dhamma yang halus sebagai kelompok
kehidupan dan landasan-landasan, mengetahui hal-hal umum
mengenai praktik Dhamma, “yaitu baik melakukan persembahan
demikian; tidak baik melakukan hal itu. Sãla harus dilaksanakan
dengan cara seperti ini; tidak boleh dilaksanakan dengan cara seperti
itu.” Mereka juga mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan
kehidupan duniawi, “Perbuatan ini akan memperpanjang umur;
perbuatan itu akan memperpendek umur.” Orang-orang demikian
tidak dapat dikatakan sama sekali tidak memiliki kebijaksanaan.
Seseorang boleh bergaul dengan mereka juga.
Dalam (5) juga, dengan mendefinisikan seorang bijaksana sebagai
orang yang memiliki lima puluh karakteristik pengetahuan timbul
dan tenggelam (Udayabhaya ¥Ã õa) komentator merujuk dari segi
keunggulan (Ukkaññha naya) yang dimiliki oleh para bijaksana yang
sangat maju dalam meditasi Vipassanà .
Tetapi sehubungan dengan cara mendapatkan pengetahuan,
Buddha membabarkan dalam Buddhavaÿsa, “Mengambil contoh
seorang bhikkhu yang mengumpulkan dà na makanan dengan
mengunjungi semua rumah secara berurutan tanpa membeda-
bedakan, seorang pelajar harus mendekati siapa pun yang dapat
menjawab pertanyaannya, tanpa memandang status sosial dan
3352
pendidikannya. Oleh sebab itu ia hanya harus menghindari orang-
orang yang benar-benar bodoh dan mendekati semua orang yang
dapat membantunya dalam berburu pengetahuan.”
Singkatnya, menghindari mereka yang tidak mampu menjawab
pertanyaan apa pun, dan bergaul dengan mereka yang dapat
memberi informasi yang ia cari sesedikit apa pun itu.
Menurut Buddhavaÿsa, dalam mencari kebijaksanaan seseorang
pertama-tama harus bertanya dan belajar dari para bijaksana
untuk mengembangkan kebijaksanaan melalui mendengarkan,
sutamaya pa¤¤Ã . lalu , jika ia masih belum jelas, ia harus
merenungkannya dan memikirkannya, dan dengan demikian
mengembangkan kebijaksanaan melalui berpikir, cintà maya
pa¤¤Ã .
Dalam khotbah kepada Kà là ma (Aïguttara Nikà ya, Tika Nipà ta,
Dutiya Paõõà saka, 2-Mahà Vagga, 5-Kà là ma Sutta) Buddha diberitahu
oleh para Kà là ma bahwa banyak pengkhotbah mengunjungi tempat
tinggal mereka, bahwa semua pengkhotbah yang datang itu hanya
memuji ajaran mereka sendiri dan mencela yang lain dan bahwa
mereka merasa ragu dan bingung mengenai ajaran mana yang harus
mereka terima dan ikuti. Jawaban Buddha kepada mereka dapat
disimpulkan sebagai, “Kalian harus menerima ajaran yang sesudah
kalian pertimbangkan, diketahui bebas dari cacat.”
Khotbah ini menunjukkan bahwa seseorang pertama-tama harus
memiliki sutamaya pa¤¤Ã dengan mendengarkan khotbah-khotbah,
dan lalu memikirkan ajaran mana yang bebas dari cacat
melalui cintà maya pa¤¤Ã .
Lebih jauh lagi, dalam Pà ñha Jà taka, Dasaka Nipà ta, 9-MahÃ
Dhammapà la Jà taka, saat guru besar dari Takkasãla datang
secara pribadi ke Desa Dhammapà la untuk melihat mengapa
anak-anak muda di desa itu tidak ada yang mati sebelum akhir
umur kehidupan mereka, Mahà dhammapà la (kepala desa) yang
kelak terlahir kembali sebagai Raja Suddhodana, menjawab, “Kami
mendengarkan semua dari mereka yang datang untuk memberi
3353
1
khotbah; sesudah mendengarkan kami merenungkan ajaran mereka,
kami tidak memerhatikan apa yang diajarkan oleh mereka yang
tidak bermoral, sebaliknya kami mengabaikannya; kami menerima
hanya ajaran-ajaran dari mereka yang bermoral yang membuat kami
gembira dan kami ikuti. Oleh sebab itu, di desa kami, anak-anak
muda tidak pernah mati sebelum umur kehidupannya berakhir.”
Kisah JÃ taka ini jelas menunjukkan bahwa seseorang pertama-tama
memperoleh kebijaksanaan melalui Sutamaya ¥Ã õa, dan lalu
menerima hanya yang dianggap benar oleh Cintà maya ¥Ã õa.
Bergaul Dengan Para Bijaksana
Ungkapan ‘bergaul dengan para bijaksana’ bukan berarti mendekati
seorang bijaksana dan berada di dekatnya siang dan malam.
Maksudnya yaitu belajar dan mendapatkan pengetahuan dari
orang yang memiliki kebijaksanaan.
Nasihat “tidak bergaul dengan orang dungu” diberikan sebagai
salah satu berkah dalam Maïgala Sutta bukan berarti menetap
bersama orang dungu. Seseorang boleh saja menetap bersama si
dungu dengan tujuan untuk membujuknya ke jalan yang benar.
Dalam kasus demikian seseorang tidak menentang nasihat yang
terdapat dalam Maïgala Sutta. Contohnya yaitu , sewaktu Buddha
berada di Hutan Uruvela bersama kelompok petapa berpandangan
salah (untuk membantu mereka meninggalkan jalan mereka yang
salah).
Dengan demikian, hanya jika seseorang menerima pandangan dan
mengikuti praktik si dungu, maka ia dikatakan bergaul dengan
orang dungu. Demikian pula, nasihat yang diberikan dalam
Maïgala Sutta yang menasihati agar seseorang harus bergaul dengan
para bijaksana, bukan berarti sekadar berteman dengannya tetapi
mendapatkan pengetahuan darinya, meskipun hanya sedikit.
(6) Gambhãrananacariya paccavekkhaõà ―merenungkan sifat Dhamma
yang merupakan sumber dari kebijaksanaan yang dalam. (Di sini,
kebijaksanaan yaitu bagai api yang membakar semua benda-benda
3354
yang dapat terbakar, besar maupun kecil. Dari ukuran dari apa yang
terbakar, api dikatakan sebagai api kecil atau api besar. Demikian
pula, kebijaksanaan mengetahui segala yang dapat diketahui;
disebut kecil, jelas atau dalam. Dhamma yang merupakan sumber
dari kebijaksanaan yang mendalam terdiri dari kelompok-kelompok
kehidupan, landasan-landasan, dan sebagainya. Kebijaksanaan
yang timbul dari pengetahuan atas topik-topik yang mendalam
inilah yang disebut kebijaksanaan yang mendalam. Kebijaksanaan
mendalam ini sebanyak Dhamma yang mendalam. Peninjauan
analitis atas seluruh Dhamma yang mendalam ini mengarah kepada
pengembangan kebijaksanaan.)
(7) Tadadhimuttatà ―memiliki kecenderungan ke arah pengembangan
kebijaksanaan. (Dalam seluruh empat postur berbaring,
duduk, berdiri dan berjalan, seseorang hanya mengembangkan
kebijaksanaan. Memiliki batin demikian yaitu salah satu pemicu
berkembangnya kebijaksanaan.)
Syair Kesimpulan Oleh U Budh:
(1) bertanya berulang-ulang,
(2) menjaga kebersihan,
(3) menjaga keseimbangan indria,
(4) menghindari orang-orang dungu,
(5) bergaul dengan para bijaksana,
(6) merenungkan dalam-dalam, dan
(7) memil iki bat in yang cender ung mengembangkan
kebijaksanaan.
Itulah tujuh cara mengembangkan kebijaksanaan.
Kualitas Kebijaksanaan
(1) saat Kebijaksanaan mengambil tempat utama dalam
melakukan berbagai fungsi, ia memperoleh nama Vãmaÿsà dhipati,
satu dari empat kondisi menguasai.
(2) Membentuk unsur-unsur dari dua puluh dua keahlian
3355
1
pengendali, yaitu empat keahlian yang berhubungan dengan
kebijaksanaan, (a) Kebijaksanaan yang termasuk dalam tiga
puluh sembilan kesadaran duniawi yang berhubungan dengan
pengetahuan (lokãnaõasampayutta citta) disebut pa¤¤indriya; (b)
Kebijaksanaan yang menyertai kesadaran yang muncul pada saat
mencapai tahap pertama Pencerahan (Sotà patti-Magga Citta) dikenal
dengan ana¤¤Ã ta¤¤assà mit’indriya; (c) Kebijaksanaan yang muncul
bersamaan dengan tercapainya Buah Kearahattaan (Arahatta-Phala)
disebut A¤¤Ã tà vindriya; (d) Kebijaksanaan yang berhubungan
dengan enam kesadaran di antaranya (yang muncul antara tingkat
Sotà panna dan Arahatta) disebut a¤¤indriya.
Kebijaksanaan yang harus dipenuhi sebagai Kesempurnaan
berhubungan hanya dengan kesadaran duniawi; sebab itu
termasuk dalam tiga belas jenis kesadaran moral (Kusala ¥Ã õa
Sampayutta Citta) dari tiga puluh sembilan Lokã¤Ã õa Sampayutta
Citta. (Kesadaran yang tidak berfungsi (kriyà citta) hanya milik
para Arahanta; tidak berhubungan dengan para Bodhisatta yang
masih merupakan makhluk duniawi; kesadaran hasil (vipà ka
citta) muncul tanpa usaha khusus sebagai akibat dari kamma masa
lampau seseorang. Oleh sebab itu kebijaksanaan yang berhubungan
dengan kedua jenis kesadaran ini tidak dianggap Kesempurnaan.)
Para Bodhisatta hanya berkonsentrasi pada kebijaksanaan duniawi
dalam memenuhi Kesempurnaan Kebijaksanaan hingga tingkat
yang tertinggi.
Dalam 37 Faktor Pencerahan Sempurna (Bodhipakkhiya Dhamma),
termasuk di dalamnya lima indria pengendali (indriya), salah
satunya yaitu indria kebijaksanaan (pa¤¤indriya); indria
kebijaksanaan ini terdiri dari dua jenis: duniawi dan spiritual. Jenis
spiritual tidak termasuk dalam Kesempurnaan Kebijaksanaan yang
dikembangkan oleh seorang Bodhisatta. Hanya Kebijaksanaan yang
berhubungan dengan kesadaran moral duniawi yang muncul saat
melaksanakan penyucian moralitas dan penyucian batin sebelum
pencapaian Magga-Phala yang termasuk dalam Kesempurnaan
Kebijaksanaan yang dipenuhi oleh para Bodhisatta.
(3) Demikian pula, dalam empat faktor Bodhipakkhiya, terdapat
3356
faktor-faktor kebijaksanaan (pa¤¤Ã ) dengan nama-nama yang
berbeda. Demikianlah dalam Lima Kekuatan (bala) dikenal sebagai
kekuatan kebijaksanaan (pa¤¤Ã bala); dalam Empat Pencapaian
(iddhipà da) sebagai pencapaian kebijaksanaan (vimaÿsiddhipà da);
dalam Tujuh Faktor Pencerahan Sempurna (bojjhaïga) sebagai
Penyelidikan Terhadap Dhamma (Dhammavicaya sambojjhaïga)
dan dalam Delapan Faktor Jalan Mulia (Ariya Maggaïga) sebagai
pandangan benar (sammà diññhi).
Sehubungan dengan indria kebijaksanaan (pa¤¤indriya), berbagai
faktor kebijaksanaan yang memiliki nama yang berbeda-beda
ini dikembangkan pada dua tingkat yang berbeda: duniawi dan
spiritual. Kebijaksanaan yang menyertai kesadaran spiritual tidak
termasuk dalam Kesempurnaan Kebijaksanaan yang dipenuhi
oleh para Bodhisatta. Hanya kebijaksanaan yang berhubungan
dengan kesadaran moral duniawi yang muncul saat melaksanakan
penyucian moralitas dan penyucian batin sebelum pencapaian
Magga-Phala yang termasuk dalam Kesempurnaan Kebijaksanaan
yang dipenuhi oleh para Bodhisatta.
Dengan merenungkan kualitas-kualitas khusus dari kebijaksanaan
ini, Anda dapat memenuhi Kesempurnaan Kebijaksanaan hingga
setinggi mungkin.
(E) Kesempurnaan Usaha (Viriya Pà ramã)
Pengerahan Usaha Bodhisatta
Dalam hal Kesempurnaan Usaha, Kitab memberi contoh seekor
singa yang memiliki kebiasaan mengerahkan usaha maksimum
baik dalam memburu seekor kelinci ataupun seekor gajah. Ia tidak
mengurangi usahanya dalam memburu kelinci hanya sebab kelinci
hanyalah binatang kecil; ia juga tidak menambah usahanya dalam
memburu gajah sebab gajah berbadan besar. Dalam kedua kasus,
ia mengerahkan usaha yang sama.
Mengikuti cara singa ini , seorang Bodhisatta dalam memenuhi
Kesempurnaan Usaha, tidak mengerahkan sedikit usaha dalam
3357
1
untuk tugas-tugas biasa juga tidak mengerahkan banyak usaha
untuk tugas-tugas yang sulit. Ia selalu mengerahkan usaha
maksimal, baik untuk tugas yang ringan maupun berat.
Kesan Mendalam Atas Usaha Masa Lampau Buddha
Sebagai akibat dari kebiasaan mengerahkan usaha yang sama apakah
dalam melakukan urusan besar ataupun kecil dalam kehidupan-
kehidupan masa lampau sebagai Bodhisatta, saat Beliau akhirnya
menjadi seorang Buddha, Beliau juga mengerahkan usaha yang sama
dalam membabarkan khotbah. Beliau tidak mengerahkan sedikit
usaha saat membabarkan khotbah kepada satu orang; juga tidak
mengerahkan usaha berlebihan sewaktu membabarkan khotbah
kepada banyak pendengar agar pendengar di tempat yang paling
jauh dapat mendengarnya, misalnya, saat membabarkan Khotbah
Pertama. Beliau menjaga kestabilan suara-Nya dengan mengerahkan
usaha yang sama pada dua peristiwa ini .
Kemuliaan Istimewa Buddha
Buddha memiliki kemuliaan yang tidak terbayangkan, suara-Nya
yang diucapkan dengan usaha yang sama menjangkau semua
pendengar. Jika hanya satu orang yang mendengarkan, hanya
orang itu yang mendengar khotbah ini . Jika ada banyak orang,
setiap orang baik yang dekat maupun yang jauh dari Buddha akan
mendengar dengan jelas. (saat Siswa Utama Yang Mulia SÃ riputta
membabarkan khotbah Samavitta Suttanta, sebab pendengarnya
sangat banyak, suara normalnya tidak dapat menjangkau semua
pendengar; ia terpaksa membuat suaranya terdengar oleh semua
pendengar dengan bantuan kemampuan batinnya (Iddhividdha
Abhi¤¤Ã ); dengan kata lain, ia harus memakai ‘pengeras suara
Abhi¤¤Ã ’. Akan tetapi, Buddha tidak perlu melakukan hal itu agar
semua pendengar dapat mendengarkan-Nya. ini yaitu kemuliaan
istimewa Buddha.
Semua Buddha mengerahkan usaha untuk memenuhi Kesempurnaan
Usaha dalam semua kehidupan lampau-Nya sebagai Bodhisatta.
Sebagai tambahan, dalam kehidupan terakhir-Nya saat Mereka akan
3358
mencapai Pencerahan Sempurna, Mereka melepaskan keduniawian
dan mengerahkan usaha untuk mempraktikkan penyiksaan diri
(dukkaracariyà ) paling sedikit selama tujuh hari. sesudah melakukan
penyiksaan diri, saat menjelang mencapai Kebuddhaan, Mereka
duduk di atas alas rumput di bawah pohon Bodhi dan mengerahkan
usaha dengan tekad, “Biarpun hanya kulit-Ku yang tersisa; biarpun
hanya urat-Ku yang tersisa; biarpun hanya tulang-belulang-Ku yang
tersisa; biarpun darah dan daging-Ku mengering, Aku tidak akan
bangkit dari tempat duduk ini hingga Aku mencapai Kemahatahuan
(Sabba¤¤uta ¥Ã õa).”
Melalui usaha ini, Mereka mengembangkan Pengetahuan Pandangan
Cerah Bak Halilintar Dahsyat (Mahà Vajira Vipassanà ¥Ã õa) yang
memungkinkannya pertama-tama menembus Hukum Musabab
Yang Saling Bergantung, diikuti dengan pengetahuan atas Tiga
Karakteristik ketidakkekalan (anicca), ketidakpuasan (dukkha),
dan tanpa-diri (anatta) dalam semua fenomena batin dan jasmani
(nà ma dan råpa).
Usaha (viriya) seperti juga Kebijaksanaan (pa¤¤Ã ), yaitu salah
satu faktor batin, tetapi jika kebijaksanaan, seperti dijelaskan di atas,
selalu berhubungan dengan kesadaran moral, usaha sebagai jenis
lain dari faktor batin (pakiõõaka cetasika) berhubungan dengan
kesadaran baik moral maupun tidak bermoral dan juga jenis yang
tidak dapat ditentukan (abyà kata) yang bukan moral juga bukan
tidak bermoral. Akibatnya, usaha dapat berbentuk baik atau tidak
baik atau tidak dapat ditentukan. Usaha yang baik dikenal sebagai
usaha benar (sammà và yà ma); usaha yang dilakukan untuk tujuan
jahat yaitu tidak baik dan disebut usaha salah (micchà và yà ma).
Hanya usaha benar yang harus dikembangkan hingga batas
maksimum sebagai Kesempurnaan Usaha.
Daya Upaya Benar (Sammappadhà na)
Usaha benar (samma và yà ma) juga disebut sebagai daya upaya benar
(sammappadhà na). Artinya sama. Dalam penjelasan mengenai
sammappadhà na dari Abhidhammà Vibhaïga, Buddha menjelaskan
empat jenis daya upaya benar:
3359
1
(1) Upaya untuk mencegah munculnya kapan pun, di mana pun
hal-hal buruk yang belum muncul; atau yang tidak dapat diingat
oleh seseorang pernah muncul pada suatu waktu, suatu tempat,
suatu hal tertentu.
(2) Upaya untuk menyingkirkan keburukan yang telah muncul.
(Sesungguhnya, yaitu mustahil melenyapkan keburukan
yang telah muncul atau yang pernah muncul dan telah lenyap.
Keburukan yang pernah muncul pada masa lalu telah lenyap;
sudah tidak ada lagi. Apa yang tidak ada tidak bisa dilenyapkan.
Apa yang harus dipahami di sini yaitu bahwa seseorang harus
berusaha untuk mencegah munculnya keburukan baru yang
sama seperti yang pernah muncul sebelumnya.)
(3) Upaya untuk memunculkan kebaikan yang belum muncul atau
yang tidak dapat diingat pernah muncul pada suatu waktu,
suatu tempat, suatu hal tertentu.
(4) Usaha untuk mempertahankan dan mengembangkan lebih jauh
lagi kebaikan yang telah muncul atau yang sedang muncul. (Di
sini juga apa yang harus dipahami yaitu bahwa seseorang
harus berusaha mempertahankan kemunculan yang berulang-
ulang kebaikan yang sama seperti yang pernah muncul.)
Sebelas Faktor Dalam Mengembangkan Usaha
Komentar Satipaññhana Vibhaïga dan Komentar Mahà Satipaññhana
Sutta menjelaskan sebelas faktor dalam mengembangkan usaha.
(1) Merenungkan bahaya akan kelahiran kembali di alam rendah
(apà ya bhaya paccavekkhaõata).
Usaha akan berkembang dalam diri mereka yang merenungkan,
“Jika aku kurang berusaha aku akan terlahir kembali di alam
sengsara (apà ya). Dari empat alam sengsara, jika aku terlahir
kembali di alam penderitaan terus-menerus (Niraya), aku akan
menderita sakit yang luar biasa sebab siksaan yang mengerikan;
3360
atau jika aku terlahir kembali di alam binatang, aku akan mengalami
penganiayaan yang dilakukan oleh manusia; atau jika aku terlahir
kembali di alam hantu (Peta Loka) aku akan tersiksa oleh rasa lapar
yang selama banyak (siklus dunia) antara munculnya satu Buddha
dan Buddha berikutnya; atau jika aku terlahir kembali di alam
raksasa (Asura Loka), dengan badan yang besar, enam puluh atau
delapan puluh lengan tingginya, dengan tubuh yang hanya terdiri
dari tulang dan kulit, aku akan menderita kepanasan, kedinginan,
dan serangan angin. Dalam alam-alam kehidupan yang mengerikan
ini, aku tidak akan memiliki kesempatan untuk mengembangkan
daya upaya benar. Kehidupan sekarang ini yaitu satu-satunya
kesempatan bagiku untuk melakukannya.”
(2) Melihat manfaat yang dihasilkan dari pengembangan usaha
(à nisaÿsadassà vità ).
Usaha akan berkembang dalam diri mereka yang melihat manfaat
dari pengembangan usaha, dengan merenungkan, “Seorang yang
malas tidak akan mampu keluar dari lingkaran kelahiran kembali
(saÿsà ra) dan mencapai Jalan dan Buah Lokuttara. Hanya mereka
yang rajin yang mampu mencapainya. Akibat bermanfaat dari
usaha yaitu mencapai Jalan dan Buah Lokuttara yang sangat sulit
dicapai.”
(3) Meninjau jalan yang akan dilalui
(gamanavãthipaccavekkhanatà ).
Usaha akan berkembang dalam diri mereka yang merenungkan,
“Semua Buddha, Pacceka Buddha dan para Siswa Buddha mencapai
tujuan mereka dengan berjalan di sepanjang jalan ketekunan. Usaha
yaitu jalan lurus yang dilalui oleh para mulia. Tidak ada orang
malas yang mampu mengikuti jalan ini. Hanya mereka yang rajin
yang melewati jalan ini.
(4) Menghargai persembahan makanan dari umat awam
(piõóapà tà pacà yanatà )
Faktor ini khusus berlaku bagi para bhikkhu. Usaha akan
3361
1
berkembang dalam diri mereka yang, menganggap tinggi dan
menghargai makanan yang dipersembahkan oleh umat, dengan
merenungkan, “Umat ini bukan sanak saudaraku; mereka
memberi persembahan makanan kepadaku bukan sebab
mereka ingin mengandalkan aku untuk mencari nafkah; mereka
melakukannya sebab jasa besar yang dihasilkan dari memberi
persembahan (kepada Saÿgha). Buddha tidak memperbolehkan
kami makan dengan cara yang seenaknya dan tidak bertanggung
jawab, atau untuk menjalani kehidupan yang santai. Beliau
memperbolehkan makan hanya untuk mempraktikkan Dhamma
demi mencapai Kebebasan dari saÿsà ra. Persembahan makanan
bukan untuk mereka yang malas dan lamban. Hanya orang-orang
yang rajin yang berhak menerimanya.”
(5) Merenungkan kemuliaan warisan
(dà yajjamahatta paccavekkhaõatà )
Usaha akan berkembang dalam diri mereka yang merenungkan,
“Warisan dari Buddha yang dikenal sebagai ‘pusaka orang-orang
luhur’ hanya diterima oleh siswa-siswa-Nya, terdiri dari tujuh jenis:
keyakinan (saddhà ), moralitas (sãla), belajar (suta), pengorbanan
(cà ga), kebijaksanaan (pa¤¤Ã ), rasa malu (hiri), dan rasa takut
(ottappa).
Mereka yang malas tidak berhak menerima warisan dari Buddha,
bagaikan seorang anak nakal yang tidak diakui oleh orangtuanya
tidak akan mendapatkan warisan apa pun dari orangtuanya,
demikian pula mereka yang malas tidak akan menerima ‘pusaka
orang-orang luhur’ sebagai warisan dari Buddha. Hanya orang-
orang yang rajin yang layak menerima warisan ini.
(6) Merenungkan kemuliaan guru, Buddha
(satthumahatta paccavekkhanatà )
Usaha akan berkembang dalam diri mereka yang merenungkan,
“Guruku, Buddha, begitu mulia sehingga sepuluh ribu alam semesta
berguncang saat Beliau memasuki rahim (sebagai seorang Bodhisatta
dalam kehidupan-Nya yang terakhir), saat Beliau melepaskan
3362
keduniawian, saat Beliau mencapai Pencerahan Sempurna, saat
Beliau membabarkan Khotbah Pertama (Dhammacakkappavattana
Sutta), saat Beliau memperlihatkan Keajaiban Ganda di Sà vatthã
untuk menaklukkan para penganut pandangan salah (titthiya),
saat Beliau turun dari Alam Dewa Tà vatiÿsa ke alam manusia di
Saïkassa Nagara, saat Beliau melepaskan penunjang kehidupan
penting (à yusaïkhà ra) dan saat Beliau meninggal dunia memasuki
Parinibbà na. Sebagai seorang putra (atau putri) sejati dari Buddha
mulia, apakah aku boleh bermalas-malasan dan bersikap tidak peduli
dengan tidak berusaha untuk mempraktikkan ajaran-Nya?”
(7) Merenungkan kemuliaan silsilah diri sendiri (jà ti mahatta
paccavekkhaõatà )
Usaha akan berkembang dalam diri mereka yang merenungkan,
“Silsilahku bukan silsilah yang rendah; aku yaitu keturunan dari
(raja pertama) Mahà sammata yang murni dan berkasta tinggi; aku
yaitu saudara Rahula yang yaitu cucu dari Raja Suddhodana
dan Ratu Mahà mà yà , yang merupakan anggota keluarga Raja
Okkà ka, salah satu keturunan dari Mahà sammata; Rà hula yaitu
putra Buddha; sebab aku juga mendapat sebutan Putra Buddha
keturunan Sakya, maka kami yaitu saudara. Sebagai keturunan
yang mulia aku tidak boleh hidup bermalas-malasan tetapi harus
berusaha untuk mempraktikkan Dhamma mulia.
(8) Merenungkan kemuliaan teman-teman dalam menjalani hidup
suci (sabrahmacà rimahatta paccavekkhaõatà )
Usaha akan berkembang dalam diri mereka yang merenungkan,
“Teman-temanku, dalam menjalani hidup suci, Yang Mulia
Sà riputta dan Moggallà na serta delapan puluh Siswa Besar yang
mempraktikkan Dhamma mulia, telah menembus Jalan dan Buah
Lokuttara. Aku harus mengikuti teladan Yang Mulia teman-temanku
dalam hidup suci ini.”
(9) Menjauhkan diri dari mereka yang malas (kusãta puggala
parivajjanata)
3363
1
Usaha akan berkembang dalam diri mereka yang menjauhkan diri
dari orang-orang malas, yaitu, mereka yang mengabaikan kegiatan
fisik, ucapan dan pikiran, dan hanya berbaring tidur bagaikan ular
piton yang makan kekenyangan.
(10) Bergaul dengan mereka yang rajin dan bersemangat (Ã raddha
viriya puggala sevanatà )
Usaha akan berkembang dalam diri mereka yang bergaul dengan
orang-orang yang rajin dan bersemangat yang melaksanakan tugas-
tugas mereka dengan sepenuh hati.
Orang-orang yang penuh pengabdian (pahitatta) selalu bertekad
untuk tidak meninggalkan usaha mereka dalam melaksanakan
tugas-tugas hingga berhasil menyelesaikannya (atau jika tidak
berhasil, mereka akan berusaha sampai mati). Mereka yang
kurang memiliki pengabdian akan merasa segan bahkan sebelum
memulai pekerjaan dengan pikiran, “Apakah aku akan berhasil
atau tidak?” sewaktu sedang melaksanakan pekerjaannya, jika hasil
yang diharapkan tidak mudah dicapai, ia akan mengundurkan
diri dengan pikiran, “Meskipun aku mengerjakan pekerjaan ini,
aku tetap tidak akan berhasil,” dan dengan demikian, ia berhenti
berusaha.
(11) Kecenderungan untuk mengembangkan usaha dalam seluruh
empat postur (tadadhimuttatà )
Usaha akan berkembang dalam diri mereka yang bertujuan dan
cenderung melatihnya dalam seluruh empat postur berbaring,
duduk, berdiri, dan berjalan.
Demikianlah sebelas faktor untuk mengembangkan usaha benar.
Landasan Utama Usaha
Landasan utama usaha yaitu perasan ketakutan (saÿvega). Ada
tiga jenis:
(1) cittutrà sa saÿvega,
3364
(2) ottappa saÿvega, dan
(3) ¤Ã õa saÿvega.
(1) Gangguan pikiran sebab takut akan bahaya serangan gajah,
macan, senjata seperti pedang, tombak, dikenal sebagai
cittutrà sa saÿvega. Dalam istilah Abhidhammà , ini yaitu
faktor batin dari kebencian (dosa). Melalui kebencian yang
lemah akan muncul rasa takut; melalui kebencian yang kuat
akan muncul tindakan-tindakan agresif.
(2) Takut untuk melakukan kejahatan yaitu ottappa saÿvega.
Ini yaitu faktor batin dengan jenis yang baik (sobhana
cetasika).
(3) Rasa takut yang muncul sebagai semangat religius melalui
perenungan atas sebab dan akibat dikenal sebagai ¥Ã õa
Saÿvega. Ini yaitu jenis rasa takut akan saÿsà ra yang
dirasakan oleh orang-orang berbudi. Di dalam Kitab, ¥Ã õa
Saÿvega dijelaskan juga sebagai pengetahuan yang menyertai
rasa takut akan kejahatan.
(Dhamma saÿvega yaitu kebijaksanaan para Arahanta yang
muncul disertai oleh rasa takut melihat bahaya dari fenomena-
fenomena berkondisi. Jika Dhamma saÿvega ini juga termasuk,
maka ada empat jenis saÿvega).
Dari jenis-jenis saÿvega ini, hanya ¥Ã õa Saÿvega yang dianggap
sebagai sumber utama usaha. saat seseorang melihat bahaya
saÿsà ra melalui kebijaksanaan dan tergerak oleh rasa takut, ia
pasti akan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk terbebas dari
bahaya-bahaya ini. Tanpa kebijaksanaan demikian, seseorang tidak
akan berusaha sama sekali.
Bahkan dalam kehidupan duniawi sehari-hari, seorang pelajar
yang takut tertimpa kemiskinan, yaitu, seorang yang memiliki
¥Ã õa Saÿvega akan bekerja keras dengan merenungkan, “Tanpa
pendidikan, aku akan mengalami kemiskinan saat aku dewasa;”
orang lain yang tidak memiliki kecemasan seperti itu, yaitu,
3365
1
seseorang yang tidak memiliki ¥Ã õa Saÿvega, tidak akan melakukan
usaha apa pun untuk mendapatkan pengetahuan.
Demikian pula, tergerak oleh rasa takut akan kemiskinan, para
pekerja akan bekerja dengan sungguh-sungguh agar dapat
memenuhi kebutuhan hidup mereka; sedangkan mereka yang tidak
memikirkan masa depan mereka akan tetap bermalas-malasan
dan tidak peduli. Harus dimengerti bahwa dari apa yang telah
dijelaskan di atas, hanya ¥Ã õa Saÿvega yang menjadi pemicu
bagi pengembangan usaha.
Akan tetapi, hal ini hanya berlaku bagi pengembangan usaha
untuk Kesempurnaan. Seperti telah disebutkan sebelumnya, ada
dua jenis usaha, yaitu, usaha yang dikembangkan untuk kebaikan
dan yang dikembangkan untuk kejahatan. Usaha yang diperlukan
untuk tindakan jahat juga disebabkan sebab tergerak oleh emosi
(saÿvega); tetapi yaitu cittutrà sa saÿvega dan bukannya ¥Ã õa
Saÿvega yang bertindak sebagai landasannya.
Seorang miskin yang sedang memerlukan uang akan berusaha
untuk mencuri; ia tidak mampu mempertahankan sikap batin yang
benar (yoniso manasikà ra). Ini yaitu contoh bagaimana usaha salah
muncul melalui cittutrà sa saÿvega yang jahat. Seseorang yang tidak
memiliki sikap batin yang benar akan melakukan perbuatan salah
untuk mencegah bahaya yang mungkin dapat menimpanya. Tetapi
seseorang dengan kerangka batin yang baik tidak akan melakukan
perbuatan salah; ia selalu mengusahakan perbuatan baik.
Dengan demikian landasan utama usaha yaitu rasa takut
(saÿvega), yaitu sikap batin yang menentukan jenis usaha apakah
baik atau tidak baik yang akan dikembangkan.
Sebagai Kesempurnaan, usaha yang tidak baik tidak perlu
dipertimbangkan; hanya usaha yang baik dan tanpa cacat yang
dianggap sebagai Kesempurnaan.
Saat kita membahas empat usaha benar, akan terlihat bahwa
hanya usaha yang menyebabkan perbuatan baik yang disebut
3366
Kesempurnaan. Tetapi, meskipun suatu usaha tidak menghasilkan
kebajikan, jika bukan usaha salah dan juga bukan jenis yang dapat
mengakibatkan tindakan kejahatan, maka tetap dianggap sebagai
Kesempurnaan Usaha.
Sebagai contoh Kesempurnaan Usaha, Komentar mencantumkan
kisah Mahà janaka. Bodhisatta sebagai Pangeran Janaka mengerahkan
usaha-Nya berenang selama tujuh hari di lautan (saat perahu yang
Ia tumpangi tenggelam). Usaha-Nya yang sungguh keras bukan
digerakkan oleh keinginan untuk melakukan perbuatan baik atau
untuk mempraktikkan kedermawanan, menjalani moralitas atau
melatih meditasi. Usaha-Nya juga tidak mengakibatkan kondisi
jahat seperti keserakahan, kebencian, kebodohan dan sebab itu
usahanya tidak bercacat. Usaha keras Pangeran Janaka, yang tidak
bercacat dan bebas dari kejahatan dianggap sebagai pemenuhan
Kesempurnaan Usaha.
Saat perahu itu mulai tenggelam, tujuh ratus orang di atas perahu
itu menangis dan bersedih putus atas tanpa melakukan usaha untuk
menyelamatkan diri. Pangeran Janaka, tidak seperti teman-teman
seperjalanannya berpikir, “Menangis dan berduka dalam ketakutan
saat menghadapi bahaya bukanlah kebiasaan para bijaksana; seorang
yang bijaksana seperti diriku, aku harus mengerahkan usaha untuk
berenang untuk menyelamatkan diriku.” Dengan tekad ini dan
tanpa rasa gentar, ia berenang di lautan itu. Dengan didorong oleh
pikiran mulia ini , tindakannya itu patut dipuji dan usahanya
dalam melakukan perbuatan ini juga sangat terpuji.
Para Bodhisatta dalam setiap kelahirannya melaksanakan apa yang
harus mereka lakukan dengan berani dan tanpa ragu; jangankan
saat terlahir di alam manusia, bahkan saat terlahir sebagai seekor
sapi, Bodhisatta juga melakukan tugas yang sulit (Pà ñha Jà taka,
Ekaka Nipà ta, 3-Kuru Vagga). Demikianlah sebagai seekor sapi
muda bernama Kaõha, Bodhisatta, sebagai ungkapan terima kasih
kepada si perempuan tua yang telah memeliharanya, menarik lima
ratus kereta yang penuh dengan barang dagangan menyeberangi
rawa-rawa luas.
3367
1
Bahkan sebagai seekor binatang, pengembangan usaha sebagai
Kesempurnaan oleh Bodhisatta tidak mengendur; saat terlahir
sebagai seorang manusia, kecenderungan untuk selalu berusaha
terus ada dalam dirinya. Berbagai kesukaran Beliau lalui sebagai
Raja Kusa dalam usahanya merebut kembali Putri Pabhà vatã
(yang melarikan diri darinya sebab penampilannya yang buruk)
yaitu contoh usahanya yang penuh tekad dalam menghadapi
berbagai kesulitan sebagai Bodhisatta. Kecenderungan untuk
mengembangkan usaha itu tetap ada dalam diri Bodhisatta dalam
seluruh kehidupannya.
Kehidupan Mahosadha
Kitab menceritakan kisah Mahosadha untuk menunjukkan
pemenuhan Kesempurnaan Kebijaksanaan oleh Bodhisatta. Tetapi
dalam kehidupan itu juga, Bodhisatta juga memenuhi Kesempurnaan
Usaha. Secara keseluruhan, Mahosadha memakai Kebijaksanaan
sebagai pembimbing dalam melaksanakan berbagai tugasnya;
namun begitu keputusan yang penuh pertimbangan telah diambil,
maka keputusan ini akan dilaksanakan melalui usaha yang
terus-menerus. Usaha Mahosadha itu yang dilakukan dalam
bentuk kedermawanan, moralitas atau meditasi, harus dianggap
sebagai Kesempurnaan Usaha sebab dilakukan demi kesejahteraan
makhluk-makhluk lain.
Usaha-usaha Mahosadha
Akan muncul pertanyaan apakah usaha-usaha Mahosadha tidak
menyebabkan penderitaan bagi orang lain. Misalnya, saat Raja
Cåëanã-Brahmadatta mengepung Mithilà dengan delapan belas
barisan pasukannya yang tidak dapat dihancurkan (akkhobhaõã),
Mahosadha merencanakan strategi untuk mengusir pasukan besar
itu, menyebabkan penderitaan bagi Raja Cåëanã-Brahmadatta dan
para prajuritnya. Apakah kita tidak menyalahkan Mahosadha
sebab usahanya itu menyebabkan penderitaan lawannya?
Untuk menjawab pertanyaan ini : seperti sebuah perumpamaan,
mengusir seekor ular yang hendak memangsa seekor kodok.
3368
Beberapa pendapat menganggap bahwa tindakan ini tidak
tepat sebab walaupun si kodok pasti selamat dari bahaya tetapi si
ular akan kelaparan. Buddha mengajarkan bahwa kehendak yaitu
faktor penentu dalam situasi ini . Jika seseorang mengusir
ular ini dengan tujuan agar ular itu kelaparan, maka tindakan
ini yaitu salah; sebaliknya, jika seseorang hanya ingin
membebaskan kodok itu dari bahaya tanpa menyadari kelaparan
ular, maka tindakan ini dapat dibenarkan.
Sekali lagi, dalam pertanyaan Raja Milinda (Milinda Pa¤ha, 4-
Meõóaka Vagga, 5- Devadattapabbajja Pa¤ha) raja bertanya kepada
Yang Mulia NÃ gasena, “Yang Mulia, Buddha sudah mengetahui
bahwa Devadatta akan menyebabkan perpecahan jika ia diterima
menjadi seorang bhikkhu; dengan mengetahui hal itu mengapa
Buddha menerimanya menjadi seorang bhikkhu; jika ia tidak
diterima, maka ia tidak akan dapat menyebabkan perpecahan.”
Yang Mulia NÃ gasena menjawab, “O Raja, Buddha memang telah
meramalkan bahwa Devadatta akan menciptakan perpecahan di
antara para bhikkhu, namun Buddha juga mengetahui bahwa jika
Devadatta tidak diterima menjadi bhikkhu, ia akan melakukan
perbuatan jahat dengan menganut ‘pandangan salah dengan sasaran
alam kelahiran yang pasti’ (niyata micchà diññhi); sehingga ia akan
mengalami penderitaan yang lebih hebat daripada yang akan ia
alami dengan menyebabkan perpecahan. Menyebabkan perpecahan
tentu saja mengarahkannya ke alam sengsara (apà ya), namun masih
ada batas waktunya. Akan tetapi, dengan tidak menjadi bhikkhu,
sebab perbuatan jahat dengan menganut ‘pandangan salah dengan
sasaran alam kelahiran yang pasti’ ia akan tersiksa dengan siksaan
yang tidak terhingga di alam penderitaan yang terus-menerus
(Niraya). Dengan melihat kemungkinan penderitaannya yang
terbatas, berkat welas asih-Nya Buddha menerimanya menjadi
seorang bhikkhu dan dengan demikian mengurangi penderitaan
yang akan ia alami.”
Demikian pula, dengan mengusir mundur pasukan besar Raja
Cåëanã-Brahmadatta tanpa menyebabkan penderitaan terhadap
negerinya, Mahosadha menyelamatkan negerinya, Mithildà , dari
3369
1
kehancuran. Ia bertindak demikian untuk memberi yang terbaik
bagi kedua pihak dan sebab itu tidak dapat disalahkan.
Kualitas-kualitas Usaha
(1) Jika usaha menempati posisi penting dalam melaksanakan
berbagai fungsi, ia disebut viriyà dhipati, satu dari empat kondisi
penting (adhipati).
(2) Usaha membentuk bagian dari dua puluh dua indria pengendali
dan dikenal sebagai viriyindriya. Tetapi hanya usaha yang
berhubungan dengan kesadaran moral duniawi yang dianggap
sebagai Kesempurnaan Usaha. Dalam lima Indria pengendali
dari Bodhipakkhiya Dhamma, juga disebut viriyindriya,
sebagaimana Pa¤¤indriya diartikan sebagai Kesempurnaan
hanya jika termasuk dalam penyucian duniawi (dari moralitas
dan batin). Hal yang sama berlaku bagi empat jenis daya upaya
benar (sammappadhà na) hanya jika usaha termasuk dalam
penyucian duniawi, maka dianggap sebagai Kesempurnaan.
(3) Faktor usaha yang termasuk dalam Lima Kekuatan (bala)
disebut kekuatan usaha (viriya bala); dalam empat pencapaian
(iddhipà da) sebagai pencapaian usaha (viriyiddhipà da); dalam
Tujuh Faktor Pencerahan Sempurna (bojjhaïga) sebagai faktor
usaha Pencerahan Sempurna (viriyasambojjhaïga) dan dalam
Delapan Unsur Jalan Mulia (Ariya Maggaïga) sebagai usaha
benar (sammà và yà ma). Berbagai faktor usaha dengan nama
yang berbeda-beda ini dianggap sebagai Kesempurnaan Usaha
hanya dalam hubungannya dengan kesadaran moral duniawi
yang muncul sewaktu melaksanakan penyucian duniawi.
Dengan merenungkan kualitas-kualitas istimewa usaha ini, semoga
kita dapat memenuhi Kesempurnaan Usaha hingga setinggi
mungkin.
(F) Kesempurnaan Kesabaran (Khanti Pà ramã)
Kitab menasihatkan ‘untuk menahan pujian dan hinaan dengan
3370
kesabaran’ (sammà nà vamà nakkhamo). Seseorang seharusnya tidak
terlalu gembira saat bertemu dengan objek yang menyenangkan
juga jangan kecewa saat bertemu dengan objek yang tidak
menyenangkan. Tidak akan ada kesabaran terhadap kesenangan jika
kita mengembangkan keserakahan dalam situasi yang mendukung
atau ketidak-senangan jika kita mengembangkan kebencian dalam
situasi yang tidak mendukung. Makna penting di sini yaitu : kita
disebut benar-benar sabar hanya jika situasi yang menyenangkan
dihadapi dengan tanpa keserakahan; dan situasi yang tidak
menyenangkan dengan tanpa kebencian.
Akan tetapi sehubungan dengan Kesempurnaan Kesabaran,
Komentar biasanya memakai istilah Kesempurnaan Kesabaran
(Khanti Pà ramã) dalam kisah-kisah ilustrasi hanya digambarkan
sebagai kesabaran atas tidakan fisik dan ucapan oleh orang lain tanpa
menunjukkan kemarahan. Komentar Cariyà Piñaka membabarkan
dalam Bab lain-lain, “Karuõåpà yakosallapariggahitaÿ sattasaïkh
à rà parà dhasahanaÿ adosappadhà no tadà kà rappavattacittuppà do
khanti-pà ramità ,” Kelompok kesadaran dan faktor-faktornya yang
berhubungan dengan kesabaran akan perbuatan jahat orang lain
oleh faktor batin tidak-membenci (adosa cetasika) dan dikuasai
oleh welas asih disebut Kesempurnaan Kesabaran; yaitu kelompok
kesadaran dan faktor-faktornya yang membentuk kesabaran atas
kesalahan orang lain disebut Kesempurnaan Kesabaran.
Måla òãkà dalam mengomentari lima pengendalian (moralitas,
perhatian, kebijaksanaan, kesabaran, usaha) secara singkat
menjelaskan dalam Aññhasà linã, mendefinisikan pengendalian
kesabaran sebagai: ‘Khantiti adhivà sanà ; sà ca tathà pavattà khandhà ;
pa¤¤Ã ti eke, adoso eva và .’ Khanti artinya kesabaran; kesabaran
sebenarnya yaitu empat kelompok batin yang membentuk suatu
toleransi; beberapa guru menyebutnya kebijaksanaan (pa¤¤Ã ) atau
hanya faktor batin tidak-membenci.
Beberapa sarjana terpelajar berpandangan:
“Nasihat dalam Kitab ‘untuk menahan pujian dan hinaan dengan
kesabaran’ bermakna bahwa seseorang harus mampu bertoleransi
3371
1
terhadap pujian dan hinaan. Namun dalam kenyataan sebenarnya
seseorang akan merasa marah dan tidak senang hanya jika ia dihina
dan dicela; tidak ada orang yang menunjukkan sikap demikian saat
ia dipuji dan dihormati. Oleh sebab itu, istilah kesabaran hanya
digunakan saat seseorang tidak marah dalam situasi di mana ia
biasanya menunjukkan kemarahan.”
“Mengartikan nasihat dari Kitab Pà ëi secara harfiah yaitu
menyamakan Kesempurnaan Kesabaran dengan Kesempurnaan
Keseimbangan, tanpa melihat perbedaan antara keduanya.”
sebab sumber kutipan para terpelajar ini yaitu Komentar CariyÃ
Piñaka dan Måla òãkà , pandangan mereka tidak bisa diabaikan.
Akan tetapi harus dimengerti, bahwa kesabaran yaitu toleransi
atas perlakuan orang lain sedangkan keseimbangan yaitu sikap
tidak membeda-bedakan kepada makhluk-makhluk, tanpa benci
ataupun cinta.
Yang Mulia Ledi Sayadaw dalam Maïgala Sutta Nissaya
mendefinisikan Khanti sebagai “Tidak merasa gembira saat
menemui kesenangan dan tetap sabar tanpa menunjukkan
kemarahan saat menemui kesulitan.” Definisi ini sesuai dengan
nasihat ‘sammà nà vamà nakkhamo’.
Untuk menggabungkan penjelasan Komentar dan Kitab:
Para Bodhisatta pada dasarnya berwatak serius; pengalaman
menyenangkan atau situasi menggembirakan tidak membuat
mereka bergairah dengan keserakahan; mereka biasa tidak tergerak
oleh kegembiraan tanpa harus berusaha keras untuk mendisiplinkan
pikiran mereka. Akan tetapi, saat menghadapi peristiwa-peristiwa
yang tidak menyenangkan, mereka harus berusaha untuk menahan
sabar untuk memenuhi Kesempurnaan Kesabaran.
Para Bodhisatta, yang memenuhi Kesempurnaan Kesabaran,
harus mentolerir baik pengalaman yang menyenangkan maupun
tidak menyenangkan agar tidak mengembangkan keserakahan
dan kebencian. Demikianlah maksud dari nasihat dari Kitab agar
3372
menahankan pujian tanpa mengembangkan keserakahan dan
mentolerir hinaan dan siksaan tanpa mengembangkan kebencian.
Bukanlah hal yang aneh bagi para Bodhisatta yang berwatak serius
untuk mengalami kesenangan tanpa tergerak oleh keserakahan.
Oleh sebab itu Komentar mengomentari hanya pada toleransi yang
dilatih sebagai Kesempurnaan Kesabaran dalam situasi yang tidak
menyenangkan yang tidak tertahankan oleh orang-orang biasa.
Dengan pandangan seperti ini, tidak ada perselisihan pendapat
antara Penjelasan Komentar dan Dhamma dalam Kitab.
Sifat Kesabaran
Kesabaran sebagai kelompok kesabaran dan faktor-faktornya
dipimpin oleh faktor batin ketidakbencian (adosa cetasika) yang
memiliki karakteristik tidak adanya kebencian atau kemarahan
bukanlah kenyataan tertinggi yang terpisah seperti halnya
kebijaksanaan atau usaha. Akan tetapi, jika dipertimbangkan sebagai
hanya adosa cetasika, ini tentu saja yaitu kenyataan tertinggi
seperti halnya kebijaksanaan atau usaha.
Walaupun kesabaran (khantã) yaitu ketidakbencian (adosa
cetasãla), namun tidak semua ketidakbencian yaitu kesabaran.
Adosa cetasika menyertai setiap munculnya jenis ‘indah’ (sobhaõa)
dari kesadaran, tetapi hanya disebut kesabaran (khantã) jika ia
bertindak sebagai penghalang kemarahan saat terpancing oleh orang
lain. Jika kesadaran ‘indah’ ini muncul sebab pemicu lain, maka
adosa cetasika yang menyertainya tidak disebut kesabaran.
Kesabaran Yang Mulia Puõõa
Sikap batin Yang Mulia Puõõa yaitu teladan baik kesabaran
yang seharusnya dikembangkan; sebab itu akan dijelaskan
secara singkat di sini. Suatu saat pada masa Buddha, Yang Mulia
Puõõa mendekati dan memberi tahu Bhagavà bahwa ia ingin pergi
ke Negeri Sunà paranta dan menetap di sana. Buddha berkata
kepadanya, “Puõna, warga di Sunà paranta kasar dan brutal.
Bagaimana perasaanmu, jika mereka menghina dan dan mencaci-
maki engkau?”
3373
1
Sang Thera menjawab, “Yang Mulia, jika mereka menghina dan
mencaci-makiku, aku akan menganggap mereka sebagai orang-
orang baik, mengendalikan emosiku dan menahan sabar dengan
pikiran, “Mereka yaitu orang-orang baik, orang-orang yang
sangat baik; mereka hanya menghina dan mencaci-makiku, tidak
menyerangku dengan tinju dan siku mereka.”
Buddha bertanya lebih lanjut lagi, “Puõõa, seandainya orang-
orang Sunà paranta menyerangmu dengan tinju dan siku mereka,
bagaimana perasaanmu?” “Yang Mulia, aku akan menganggap
mereka sebagai orang-orang baik, mengendalikan emosiku dan
menahan sabar dengan pikiran, “Mereka yaitu orang-orang baik,
orang-orang yang sangat baik; mereka hanya menyerangku dengan
tinju dan siku, mereka tidak melempariku dengan batu.”
(Buddha bertanya lebih lanjut bagaimana perasaanya jika orang-
orang itu melemparinya dengan batu, memukulinya dengan kayu,
melukainya dengan pedang, atau bahkan membunuhnya.)
Sang Thera menjawab, “Yang Mulia, aku akan mengendalikan
emosiku dan menahan sabar dengan pikiran: ‘Para Siswa BhagavÃ
seperti Yang Mulia Godhika, Yang Mulia Channa, dan sebagainya
(sebab merasa letih, malu, dan jijik dengan tubuh dan kehidupan ini)
telah melakukan tindakan bunuh diri (satthahà raka kamma); betapa
beruntungnya aku. Aku tidak perlu membunuh diriku sendiri.’”
Buddha lalu menyetujui jawabannya dan memberi
berkah-Nya. (Majjhima Nikà ya, Uparipaõõà sa, 5-Saëà yatana Vagga,
3-Puõõovà da Sutta).
lalu , dalam Pà tha Jà taka, Sattà lisa Nipà ta, Sarabhaïga Jà taka,
Sakka, raja para dewa, bertanya kepada Petapa Sarabhaïga:
“O petapa dari keturunan Koõóa¤¤a, apakah yang boleh dibunuh
oleh seseorang tanpa merasa menyesal? Apakah yang harus
dilepaskan seseorang agar mendapat pujian dari orang-orang
berbudi? Kata-kata kasar dan hinaan siapakah yang harus ditahan
seseorang dengan kesabaran? Jawablah pertanyaan-pertanyaanku
3374
ini.”
Bodhisatta, Petapa Sarabhaïga, menjawab:
“Seseorang boleh membunuh kemarahan tanpa merasa menyesal;
seseorang harus melepaskan rasa tidak berterima kasih untuk
mendapatkan pujian dari orang-orang berbudi; seseorang harus
menahan dengan kesabaran kata-kata kasar dan hinaan dari semua
orang, apakah dari orang yang lebih tinggi statusnya, yang sama
atau lebih rendah; orang-orang berbudi menyebut ini yaitu bentuk
kesabaran yang tertinggi.”
lalu , Sakka bertanya lagi:
“O petapa, mungkin saja mentolerir kata-kata kasar dan hinaan
dari mereka yang lebih tinggi atau sama statusnya tetapi mengapa
seseorang harus mentolerir kata-kata kasar yang datang dari mereka
yang lebih rendah statusnya?”
Bodhisatta menjawab:
“Seseorang dapat menahan kesabaran atas kekasaran yang datang
dari mereka yang lebih tinggi statusnya sebab merasa takut; atau
kata-kata kasar dari mereka yang sama statusnya untuk menghindari
bahaya persaingan. (Kedua kasus ini bukanlah jenis kesabaran yang
tinggi.) Tetapi para bijaksana mengatakan bahwa mentolerir kata-
kata kasar yang datang dari mereka yang lebih rendah statusnya,
tanpa alasan apa pun untuk melakukan seperti itu, yaitu bentuk
kesabaran yang tertinggi.”
Kesabaran Sakka
Suatu saat , dalam suatu pertempuran antara para Dewa Tà vatiÿsa
dan para Asura, para dewa menangkap Vepacitti, Raja Asura,
dan membawanya ke hadapan Sakka. Saat ia memasuki ruang
pertemuan, ia memaki Sakka dengan kata-kata kasar, namun Sakka
menerimanya tanpa menunjukkan kemarahan. (Saÿyutta Nikà ya,
Sagatha Vagga, Sakka Saÿyutta, Vepacitti Sutta.)
3375
1
lalu MÃ tali (kusir kereta Sakka) bertanya kepada majikannya,
mengapa ia diam saja, tanpa menunjukkan kemarahan dalam
menghadapi hinaan ini .
Syair berikut yaitu kutipan dari syair jawaban Sakka:
Sadatthaparamà atthà ,
Khantyà bhiyyo na vijjati. Yo have balavà santo,
Dubbalassa titikkhati,
Tam à hu paramaÿ khantiÿ.
“Dari semua kepentingan, kepentingan-pribadi yaitu yang
tertinggi dan di antara semua tindakan yang mendukung
kepentingan-pribadi, kesabaran yaitu yang terbaik. Ia yang kuat
mentolerir yang lemah; orang-orang berbudi menyebut hal ini
kesabaran tertinggi.”
Penjelasan kutipan ini dari Kitab.
Walaupun kutipan di atas yang bersumber dari Sakka Saÿyutta dan
Sarabhaïga Jà taka merujuk pada kesabaran terhadap hinaan melalui
ucapan, namun harus dimengerti bahwa menahankan siksaan fisik
juga termasuk. Kitab menyebutkan hinaan melalui ucapan sebab
ini lebih sering dijumpai daripada serangan fisik.
Hal ini terlihat pada contoh kisah Yang Mulia Puõõa yang termasuk
siksaan fisik dalam urutan naik penderitaan.
Dalam Khantivà dã Jà taka juga ditemukan kisah Petapa Khantivà dã
yang menjadi teladan dalam hal kesabaran tertinggi saat Raja
Kalà bu menyiksanya bukan hanya dalam ucapan tetapi juga secara
fisik yang menyebabkan kematiannya.
Kebebasan dari Kemarahan (Akkodha) dan Kesabaran (Khantã)
Seperti telah disebutkan di atas, kesabaran yaitu mengendalikan
diri sendiri agar tidak marah saat diserang oleh orang lain bukan
3376
hanya secara verbal tetapi juga secara fisik. Tetapi ada lagi bentuk
lain kemarahan yang tidak berhubungan dengan kejahatan ucapan
atau fisik yang dilakukan oleh orang lain. Misalnya seseorang
mempekerjakan seseorang untuk suatu pekerjaan tertentu dan
si pekerja melakukan pekerjaan sebaik mungkin. Tetapi majikan
merasa tidak puas akan pekerjaannya dan mungkin menjadi
marah. Jika seseorang mengendalikan kemarahannya dalam situasi
demikian, maka itu bukanlah kesabaran (khantã), itu hanyalah
sekadar menahan kemarahannya (akkodha).
Akkodha dan Khanti Sebagai Kewajiban Para Raja
Dalam Mahà Haÿsa Jà taka dari Asãti Nipà ta, Pà ñha jà taka, Buddha
mengajarkan ‘Sepuluh Kewajiban Raja’ (Dasa RÃ ja Dhamma) yang
termasuk akkodha dan khanti.
Dalam melaksanakan berbagai perintah raja, para eksekutif akan
melakukan tugas-tugas mereka sebaik mungkin, namun belum
tentu memuaskan raja. Akkodha sebagai salah satu dari Sepuluh
Kewajiban Raja melarang raja menunjukkan kemarahan dalam
situasi demikian. Sedangkan, khanti yang berarti menahan hinaan
ucapan dan fisik tanpa menunjukkan kemarahan ditetapkan secara
terpisah sebagai kewajiban raja lainnya.
Sembilan pemicu Kemarahan
Ada sembilan pemicu kemarahan yang muncul sehubungan
dengan seseorang, teman-teman, kekasih atau musuh. Juga
dapat muncul sehubungan dengan perbuatan pada masa lalu,
masa sekarang atau masa depan, dengan demikian ada sembilan
pemicu munculnya kemarahan sehubungan dengan individu dan
sehubungan dengan waktu.
(1) seseorang marah sehubungan dengan orang lain, berpikir, “Ia
telah menyebabkan rusaknya kepentinganku;”
(2) seseorang marah sehubungan dengan orang lain, berpikir, “Ia
sedang menyebabkan rusaknya kepentinganku;”
(3) seseorang marah sehubungan dengan orang lain, berpikir, “Ia
3377
1
akan menyebabkan rusaknya kepentinganku;”
(4) seseorang marah sehubungan dengan temannya, berpikir, “Ia
telah menyebabkan rusaknya kepentingan temanku;”
(5) seseorang marah sehubungan dengan temannya, berpikir, “Ia
sedang menyebabkan rusaknya kepentingan temanku;”
(6) seseorang marah sehubungan dengan temannya, berpikir, “Ia
akan menyebabkan rusaknya kepentingan temanku;”
(7) seseorang marah sehubungan dengan musuhnya, berpikir, “Ia
telah mendukung kepentingan musuhku;”
(8) seseorang marah sehubungan dengan musuhnya, berpikir, “Ia
sedang mendukung kepentingan musuhku;”
(9) seseorang marah sehubungan dengan musuhnya, berpikir, “Ia
akan mendukung kepentingan musuhku.”
(Aïguttara Pà ëi, Navaka Nipà ta, 1-Paõõà saka, 3-Vagga, 9-Sutta)
Kemarahan yang Tidak Rasional (Aññhà na Kopa)
Sebagai tambahan dari sembilan pemicu kemarahan di atas,
seseorang juga dapat menjadi marah sebab hujan yang terlalu
lebat atau angin terlalu kencang atau terlalu panas, dan sebagainya.
Marah sebab hal-hal di mana seharusnya tidak perlu marah
disebut kemarahan yang tidak rasional (aññthà na kopa). Ini yaitu
faktor batin kebencian (dosa cetasika) yang sering kali muncul
tanpa alasan yang jelas. Untuk mengendalikan kemarahan tidak
rasional ini (aññhà na kopa) yaitu dengan cara tidak menunjukkan
kemarahan (akkodha).
Delapan Jenis Kekuatan (Bala)
Dalam daftar delapan jenis kekuatan para mulia terdapat kesabaran.
(Aïguttara Pà ëi, Aññhaka Nipà ta, 1-Paõõà saka, 3-Gahapati Vagga,
7-Sutta). Delapan jenis kekuatan yaitu :
(1) Menangis yaitu kekuatan anak-anak,
(2) Kemarahan yaitu kekuatan para perempuan,
(3) Senjata yaitu kekuatan para perampok,
(4) Kedaulatan atas wilayah kekuasaan yaitu kekuatan para
3378
raja,
(5) Mencari kesalahan yaitu kekuatan orang-orang dungu,
(6) Memeriksa dengan saksama yaitu kekuatan para bijaksana,
(7) Mempertimbangkan berulang-ulang yaitu kekuatan para
terpelajar, dan
(8) Toleransi atas kejahatan yaitu kekuatan para samaõa dan
brà hmaõa.
Samaõa dan Brà hmaõa
Sehubungan dengan istilah samaõa dan brà hmaõa di no. 8 daftar
di atas, akan muncul pertanyaan apakah samaõa dan brà hmaõa
memiliki status yang sama.
Di luar Dhamma, samaõa berarti petapa. Di dalam Dhamma, berarti
bhikkhu, anggota Saÿgha, putra Buddha. Dengan demikian, istilah
samaõa sudah jelas, tidak perlu dijelaskan lebih jauh lagi.
Yang memerlukan penjelasan yaitu kata brà hmaõa. Di awal dunia
ini, (sesudah manusia ada di bumi ini selama berkappa-kappa)
kejahatan muncul di antara mereka dan mereka memilih satu
individu tertentu untuk memimpin mereka sebagai ‘Yang Terpilih’,
Raja Mahà Sammata. Pada masa itu beberapa orang berkata, “Dunia
ini sedang dikuasai oleh kekuatan jahat; kami tidak ingin bergaul
dengan orang-orang yang begitu tercela sehingga perlu dipimpin
oleh seorang raja. Kami akan mengundurkan diri ke hutan dan
menyingkirkan, mencuci kejahatan,” lalu mereka pergi ke
hutan dan menetap di sana, bermeditasi dan tercerap dalam Jhà na.
sebab mereka hidup dengan cara demikian, mereka disebut
brà hmaõa.
Brà hmaõa yaitu kata Pà ëi yang artinya seorang yang telah
melenyapkan kejahatan. Brà hmana tidak memasak makanan
sendiri; mereka hidup dari buah-buahan yang jatuh dari pohon
atau makanan yang mereka terima dari warga kota dan desa.
Mereka disebut brà hmaõa sebab mereka menjalani hidup suci
sesuai dengan arti harfiah kata brà hmaõa dalam bahasa Pà ëi. Mereka
disebut guõa brà hmaõa, yaitu brà hmaõa sebab praktik suci yang
3379
1
mereka jalankan.
sesudah berlalu banyak kappa, beberapa guõa brà hmaõa ini tidak
mampu mempraktikkan meditasi dan gagal mencapai Jhà na. Mereka
menetap di perbatasan kota dan desa; mereka menyusun dan
mengajarkan Veda kepada mereka yang ingin belajar. Mereka tidak
lagi melatih meditasi untuk mencapai Jhà na untuk menyingkirkan
kejahatan. Namun mereka masih memakai nama brà hmaõa;
tetapi mereka bukan lagi guõa brà hmaõa sebab mereka tidak
lagi memiliki kualitas-kualitas praktik suci. Mereka hanya berhak
disebut jà ti brà hmaõa, yaitu brà hmaõa keturunan guõa brà hmaõa.
sebab mereka tidak mempraktikkan meditasi untuk mencapai
Jhà na, mereka dianggap sebagai kelas yang rendah. Tetapi seiring
berjalannya waktu, mereka menulis buku-buku Veda dan mengajar,
mereka tetap dianggap cukup terhormat dan mulia. Walaupun
brà hamaõa-brà hmaõa sebab kelahiran ini tidak benar-benar
menyingkirkan dan mencuci kotoran batin dengan melatih Jhà na,
mereka merendam diri mereka dalam air sungai untuk menipu
orang lain, menyebut tindakan tipuan mereka itu sebagai tindakan
pembersihan untuk mencuci kotoran.
Sebuah referensi atas praktik mencuci kotoran oleh para brà hmaõa
ini terdapat dalam Bhåridatta Jà taka. Bhåridatta, Raja Nà ga, biasanya
berkunjung ke alam manusia untuk menjalani sãla. Pada suatu
kunjungan, ia tidak berhasil pulang ke alam nà ga pada waktunya.
Kedua saudaranya pergi mencarinya.
(Mereka berhasil menyelamatkannya tepat pada waktunya dari
tahanan seorang pawang ular yang menangkapnya. Ia dikhianati
oleh seorang brà hmana bernama Nesà da yang melihatnya sedang
menjalani sãla di atas sebuah gundukan sarang semut.)
Adiknya yang bernama Subhoga NÃ ga, yang mengikuti aliran
Sungai Yamunà untuk mencarinya, bertemu dengan Brahmana
Nesà da yang bertanggung jawab atas penangkapan itu. Brà hmana
itu sedang berendam di Sungai Yamunà untuk mencuci kejahatan
pengkhianatannya.
3380
Yang dimaksudkan oleh Buddha yaitu guõa brà hmana saat
Beliau mengatakan bahwa toleransi yaitu kekuatan para samaõa
atau brà hmaõa. Para petapa di Agga¤¤a Sutta, yang mengenakan
jubah putih berlatih untuk menyingkirkan kotoran batin yaitu
brà hmaõa biasa atau brà hmana sebab kelahiran. Tetapi sejak
munculnya Buddha dan mulai mengajar, Beliau menjelaskan
kualitas-kualitas kebajikan yang membuat seseorang berhak disebut
brà hmaõa. Dalam Dhammapada, Buddha memerlukan satu Vagga
penuh, yaitu Brà hmana Vagga yang terdiri dari delapan puluh dua
syair untuk menjelaskan secara lengkap kualitas-kualitas mulia
ini . Mereka yang memiliki kualitas-kualitas ini berhak
disebut seorang brà hmaõa. Brà hmana demikian yaitu guõa
brà hmaõa; tidak ada pembagian untuk brà hmana jenis ini. Tetapi,
brà hmana sebab kelahiran terbagi dalam banyak kelompok.
(G) Kesempurnaan Kejujuran (Sacca Pà ramã)
Seperti yang disebutkan dalam Kitab, bagaikan bintang pagi yang
selalu bergerak lurus tidak pernah menyimpang dari orbitnya,
demikian pula seseorang harus berbicara lurus dan jujur, ucapan
yang demikian berarti kejujuran. Demikianlah penjelasan
Komentator Buddhaghosa tentang perumpamaan bintang pagi.
Dua Jenis Kebenaran
Kebenaran (Sacca) bukanlah prinsip tertinggi yang terpisah seperti
halnya kebijaksanaan (pa¤¤Ã ) atau usaha (viriya). Kebenaran
yaitu kejujuran yang tidak memiliki jejak kebohongan. Melibatkan
faktor-faktor batin seperti pengendalian (viratã-cetasika), kehendak
(cetanà -cetasika), dan sebagainya. sebab kejujuran berbeda-beda
dalam situasi yang berbeda, kebenaran pada dasarnya terdiri dari
dua jenis: (1) kebenaran umum (sammuti sacca) dan (2) kebenaran
mutlak (paramattha sacca). (Hanya dua jenis kebenaran ini yang
diajarkan oleh Buddha; tidak ada yang namanya kebenaran ketiga;
tidak ada kebenaran lain selain dua jenis ini di dunia ini.)
3381
1
Kebenaran Umum (Sammuti Sacca)
Dari dua jenis ini, kebenaran umum yaitu kebenaran yang
sesuai dengan apa yang disebut oleh masyarakat. Orang-orang
biasanya memberi nama benda-benda sesuai bentuknya. Mereka
menyebut benda berbentuk seperti ini dengan sebutan ‘manusia’,
benda berbentuk seperti itu disebut ‘sapi’, benda berbentuk lain
disebut ‘kuda’. lalu , di antara manusia, yang berbentuk
seperti ini disebut ‘laki-laki’ dan yang berbentuk seperti itu disebut
‘perempuan’. Dengan demikian ada nama sebanyak bendanya.
Jika Anda menyebut suatu benda laki-laki sebagai ‘laki-laki’, itu
yaitu kebenaran umum; itu secara umum benar jika dikatakan
demikian. Jika Anda menyebut sesuatu yang diberi nama ‘laki-
laki’ sebagai ‘sapi’; itu bukanlah kebenaran umum. Secara umum
tidak benar jika Anda mengatakan demikian. Jika Anda menyebut
seseorang yang telah diberi nama ‘perempuan’ sebagai ‘laki-laki’,
maka itu bukanlah kebenaran umum; secara umum tidak benar jika
Anda menyebutnya demikian. Demikianlah kita harus membedakan
antara kedua kebenaran ini.
Kebenaran Mutlak (Paramattha Sacca)
Apa yang bukan saja telah diberi nama oleh orang-orang tetapi
juga benar-benar ada dalam pengertian tertinggi disebut kebenaran
mutlak. Misalnya, jika dikatakan “yang mengetahui berbagai
objek-indria yaitu pikiran (citta)”, kebenaran mengetahui yaitu
kebenaran mutlak sebab benar-benar ada dalam pengertian
tertinggi. Jika dikatakan “yang berubah-ubah sesuai fenomena yang
berlawanan seperti panas dan dingin, dan sebagainya, yaitu materi
(rÃ¥pa)”, kebenaran berubah yaitu kebenaran mutlak, sebab benar-
benar ada dalam pengertian tertinggi. Demikianlah, faktor-faktor
batin (cetasika), dan Nibbà na harus diketahui sebagai kebenaran
mutlak, sebab benar-benar ada dalam pengertian tertinggi.
Persepsi (Sa¤¤Ã ) dan Kebijaksanaan (Pa¤¤Ã )
Dari kedua jenis kebenaran, kebenaran umum berhubungan dengan
3382
persepsi; dengan kata lain, kebenaran umum bergantung pada
persepsi. Pengenalan benda-benda menurut bentuknya masing-
masing seperti apa yang telah disebutkan sejak kanak-kanak ‘bentuk
seperti itu yaitu seorang laki-laki’, ‘bentuk seperti itu yaitu
seorang perempuan’, ‘bentuk seperti itu yaitu seekor sapi’, ‘bentuk
seperti itu yaitu seekor kuda’, dan seterusnya, yaitu persepsi.
Seseorang yang melihat melalui persepsi akan mengatakan: ‘di sana
ada manusia’, ‘di sana ada seeorang laki-laki





.jpeg)
.jpeg)





