Tampilkan postingan dengan label Biksu Budha 20. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Biksu Budha 20. Tampilkan semua postingan

Biksu Budha 20

 



Tetapi Uttara, anak muda yang 

mengawasi pemberian itu atas perintahnya, terlahir kembali di 

alam yang lebih tinggi, Tàvatiÿsa, sebab   ia memberi  nya 

dengan tangannya sendiri, dengan pikiran baik, bukan sebagai 

sesuatu yang dibuang. Kisah ini mengajarkan cara yang benar 

dalam memberi.)

(4) Dàna yang diberikan seolah-olah membuang barang sisa; 

dan

(5) Dàna yang diberikan tanpa pengetahuan bahwa perbuatan baik 

yang dilakukan sekarang pasti menghasilkan akibat baik pada 

masa depan (Kammassakatà ¥Ã Ãµa).

Lima Jenis Sappurisa Dàna

Terdapat lima jenis pemberian yang dilakukan oleh orang-orang 

yang memiliki kebajikan:

(1) Dàna yang dilakukan sesudah   memerhatikan bahwa barang-

barang yang akan dipersembahkan telah dipersiapkan dengan 

baik, segar, baik dan bersih;

(2) Dàna yang dilakukan dengan penuh penghormatan dengan 

pikiran terpusat pada benda yang dipersembahkan;

(3) Dàna yang dilakukan dengan memberi   langsung melalui 

tangan sendiri; (Selama dalam lingkaran kelahiran yang tidak 

berawal, awal yang tidak kita ketahui, telah banyak sekali 

kelahiran di mana seseorang terlahir tanpa tangan dan kaki. 

Dalam kehidupan ini saat   seseorang memiliki kesempatan 

3215

 1

yang jarang dengan terlahir memiliki organ tubuh yang lengkap, 

maka seseorang harus memanfaatkan kesempatan yang jarang 

ini dengan memberi   persembahan dengan tangan sendiri 

dan merenungkan bahwa kita harus berusaha untuk mencapai 

kebebasan dengan memakai   tangan yang beruntung sekali 

kita miliki sejak lahir);

(4) Dàna yang diberikan dengan hati-hati dan bukan seolah-olah 

membuang barang sisa; dan

(5) Dàna yang diberikan dengan pengetahuan bahwa perbuatan 

baik yang dilakukan sekarang pasti menghasilkan akibat baik 

pada masa depan.

Kedua kelompok lima jenis pemberian ini dijelaskan dalam Sutta 

ketujuh dari Tikanda Vagga, Pa¤caka Nipàta, Aïguttara Nikàya.

Lima jenis lainnya dari pemberian yang dilakukan oleh orang-orang 

yang memiliki kebajikan (sappurisa dàna)

(1) Dàna yang dilakukan dengan keyakinan terhadap hukum sebab-

akibat (saddhà dàna);

(2) Dàna yang dilakukan sesudah   memerhatikan dengan saksama 

bahwa barang yang hendak dipersembahkan telah dipersiapkan 

dengan baik, segar, dan bersih (sakkacca dàna);

(3) Dàna yang dilakukan pada waktu yang tepat, dan pada 

kesempatan yang tepat (kàla dàna). (Jika saatnya makan, maka 

makanan yang dipersembahkan; jika saat Kathina, maka jubah yang 

dipersembahkan);

(4) Dàna yang dilakukan untuk memberi   bantuan kepada si 

penerima atau untuk menunjukkan kebaikan terhadap si penerima 

(anuggaha dàna); dan

(5) Dàna yang dilakukan tanpa mempengaruhi wibawa seseorang 

dan wibawa orang lain (anupaghàta dàna).

Seluruh lima jenis pemberian ini akan meningkatkan kekayaan 

3216


dan kemakmuran. Sebagai tambahan, saddhà dàna, menghasilkan 

penampilan cantik atau tampan. Sebagai akibat dari sakkacca dàna, 

pengikut dan pelayan akan lebih patuh dan bekerja lebih keras. Hasil 

dari kàla dàna yaitu   manfaat yang timbul pada waktu yang tepat 

dan berlimpah. Sebagai akibat dari anuggaha dàna, seseorang akan 

dapat secara leluasa menikmati buah kebajikan dan dapat melakukan 

hal itu secara maksimum. Sebagai akibat dari anupaghàta dàna, 

kekayaan seseorang akan terlindungi dari lima unsur kehancuran 

(air, api, raja, pencuri, dan musuh). Pengelompokan atas lima jenis 

Dàna ini terdapat dalam Sutta kedelapan dari Kitab di atas.

Kebalikan dari lima jenis dàna ini tidak disebutkan dalam Kitab; 

tetapi dapat diasumsikan bahwa lima dàna yang dilakukan 

oleh orang-orang yang tidak memiliki kebajikan yaitu   sebagai 

berikut:

(1) Dàna yang dilakukan tanpa keyakinan terhadap hukum sebab-

akibat (asaddhiya dàna), hanya untuk meniru orang lain atau untuk 

menghindari celaan dan hinaan. (Dàna ini akan menghasilkan 

kekayaan dan kemakmuran bagi si penyumbang, tetapi tidak akan 

memberi   penampilan yang baik.)

(2) Dàna yang dilakukan tanpa memerhatikan dengan saksama 

bahwa barang yang hendak dipersembahkan telah dipersiapkan 

dengan baik, segar, dan bersih (asakkacca dàna). (Kekayaan 

akan dihasilkan dari dàna ini, tetapi si penyumbang tidak akan 

mendapatkan kepatuhan dan displin dari bawahannya.)

(3) Dàna yang dilakukan pada waktu yang tidak tepat, dan pada 

kesempatan yang tidak tepat (akàla dàna). (Akan menghasilkan 

kekayaan tetapi manfaat ini tidak akan berlimpah dan muncul pada 

waktu tidak diperlukan);

(4) Dàna yang dilakukan secara tidak peduli (ananuggaha dàna) 

tanpa niat untuk membantu atau menghormati si penerima. 

(Seseorang akan memperoleh kekayaan atas perbuatan ini, tetapi 

ia tidak leluasa menikmatinya atau ia bahkan tidak berkesempatan 

untuk menikmatinya);

3217

 1

(5) Dàna yang dilakukan dengan mempengaruhi wibawa seseorang 

dan wibawa orang lain (upaghàta dàna). (Kekayaan akan diperoleh 

dari dàna jenis ini, tetapi kekayaan ini dapat menjadi rusak atau 

hancur oleh lima musuh.)

 

Dalam memandang kàla dàna dan akàla dàna, jenis persembahan 

yang disebutkan di atas, yaitu persembahan pada waktu yang 

tepat dan waktu yang tidak tepat, harus dipahami bahwa yaitu   

tidak tepat memberi  , bahkan dengan kehendak yang terbaik, 

persembahan pelita kepada Buddha pada siang hari saat terang, 

atau makanan saat sore hari.

Lima Jenis Pemberian Tidak Bermoral

Parivàra (Vinaya Piñaka) menyebutkan lima jenis pemberian yang 

secara umum disebut oleh masyarakat sebagai perbuatan baik, tetapi 

membahayakan, bentuk yang tidak baik dari suatu persembahan.

Lima jenis ini yaitu  :

(1) Pemberian barang-barang yang memabukkan, majja dàna;

(2) Mengadakan pesta, samajja dàna;

(3) Menyediakan pelacur untuk kenikmatan seksual bagi mereka 

yang menginginkan, itthi dàna;

(4) Mengirimkan sapi jantan kepada sekelompok sapi betina untuk 

dikawinkan (usabha dàna), dan

(5) Menggambar dan memberi   gambar-gambar porno 

(cittakamma dàna).

Buddha menjelaskan bentuk-bentuk persembahan ini sebagai 

tidak bermoral, pemberian yang buruk sebab   tidak disertai oleh 

kehendak baik. Beberapa orang berpikir bahwa dengan menyediakan 

opium untuk orang-orang yang ketagihan, yang hampir mengalami 

kematian sebab   ketagihan obat, mereka melakukan perbuatan baik 

dengan memperpanjang hidupnya (jãvita dàna). Sesungguhnya, hal 

ini bukan perbuatan baik, sebab   yaitu   kesadaran tidak baik yang 

memotivasi seseorang untuk memberi   opium yang tidak layak 

3218


dikonsumsi. Pertimbangan yang sama berlaku dalam persembahan 

barang-barang memabukkan.

Komentar Jàtaka menyebutkan benda-benda memabukkan termasuk 

dalam barang-barang yang dipajang untuk diberikan oleh Bodhisatta 

Raja Vessantara sebagai persembahan besar, mahàdàna.

Beberapa orang mencoba untuk menjelaskan ketermasukan benda-

benda memabukkan sebagai barang-barang yang dipersembahkan 

oleh Raja Vessantara dengan mengatakan bahwa raja tidak 

bermaksud menyediakan minuman keras kepada para pemabuk; 

bahwa itu hanyalah kehendak yang memutuskan kebajikan dari 

sebuah persembahan; bahwa Raja Vessantara tidak menginginkan 

siapa pun meminum minuman keras; maka tidak ada kehendak 

buruk yang terlibat. Ia hanya menghindari kritikan oleh mereka 

yang akan mengatakan bahwa dalam persembahan besar raja tidak 

terdapat minuman keras.

(Akan tetapi alasan ini   tidak dapat dipertahankan.) 

Manusia-manusia besar seperti Raja Vessantara tidak pernah 

mengkhawatirkan kritik yang dilontarkan kepada mereka dari 

orang-orang lain, khususnya kritik yang tidak benar. Fakta dari 

persoalan ini yaitu   bahwa hanya dengan meminumnya maka 

terdapat pelanggaran; memakai  nya sebagai ramuan obat-obatan 

dengan cara-cara yang benar bukanlah kejahatan. Oleh sebab   itu, 

kita harus menganggap, bahwa untuk tujuan itulah Raja Vessantara 

memasukkan minuman keras sebagai barang persembahan dalam 

Dàna besar yang ia lakukan.

Lima Jenis ”Persembahan Besar”, Mahàdàna

Dalam Sutta kesembilan dari Vagga keempat, Aññhaka Nipàta, 

Aïguttara Nikàya dijelaskan secara lengkap mengenai Lima Sãla 

yang dimulai dengan kata-kata “Pa¤cimàni bhikkhave dànàni 

mahàdànàni,” menjelaskan Lima Sãla sebagai Lima Jenis Persembahan 

Besar, Mahàdàna. Tetapi jangan secara keliru menafsirkan bahwa 

sãla yaitu   dàna hanya sebab   Lima Sãla dijelaskan sebagai Lima 

Persembahan Besar dalam Kitab ini   di atas. Buddha tidak 

3219

 1

bermaksud mengatakan bahwa sãla tidak berbeda dengan dàna atau 

keduanya itu yaitu   sama. Sãla yaitu   pengendalian perbuatan fisik 

dan ucapan sedangkan dàna yaitu   pemberian sesuatu, dan kedua 

hal itu jangan dianggap identik.

Jika seorang yang berbudi melaksanakan sãla tidak membunuh dan 

menghindari diri dari membunuh makhluk lain, orang bermoral 

itu sesungguhnya memberi   persembahan keselamatan (abhaya 

dàna). Pertimbangan yang sama berlaku bagi sãla-sãla lainnya. 

Demikianlah, jika seluruh Lima Sãla dilaksanakan oleh seorang yang 

bermoral, ia, melalui pengendaliannya, mempersembahkan kepada 

semua makhluk, kebebasan dari kecelakaan, dari bahaya, dari 

kekhawatiran, dari kegelisahan, dan seterusnya, dalam makna inilah 

Buddha mengajarkan bahwa pelaksanaan Lima Sãla merupakan 

persembahan Lima Persembahan Besar, mahàdàna.

Jenis Dàna Dalam Kelompok Enam

Kitab yang tidak menyebutkan jenis-jenis pemberian dalam 

kelompok enam. Tetapi Aññhasàlinã, Komentar Dhammasaïganã, 

jilid pertama Abhidhammà, memberi   penjelasan mengenai 

enam jenis pemberian yang terdiri dari enam objek indria sebagai 

barang persembahan, yaitu, pemberian warna, suara, bau-bauan, 

rasa kecapan, objek sentuhan, dan objek pikiran.

Jenis Dàna Dalam Kelompok Tujuh

Demikian pula, tidak disebutkan jenis-jenis dàna dalam kelompok 

tujuh; tetapi tujuh jenis Saÿghika dàna, seperti telah dijelaskan di 

bagian ”jenis dàna dalam kelompok dua” dapat dianggap mewakili 

dàna jenis ini.

Jenis Dàna Dalam Kelompok Delapan

Buddha mengajarkan kelompok delapan jenis dàna dalam Sutta 

pertama dari Vagga keempat, Aññhaka Nipàta, Aïguttara Nikàya.

(1) Delapan dàna yaitu  :

3220


(a) Dàna yang dilakukan tanpa penundaan, tanpa ragu, segera 

sesudah   si penerima datang;

(b) Dàna yang dilakukan sebab   takut akan celaan atau takut terlahir 

kembali di alam menderita;

(c) Dàna yang dilakukan sebab   pada masa lalu si penerima pernah 

memberi   barang kepadanya;

(d) Dàna yang dilakukan dengan niat bahwa si penerima 

persembahan akan memberi   persembahan balasan pada masa 

depan;

(e) Dàna yang dilakukan dengan pikiran bahwa memberi yaitu   

perbuatan baik;

(f) Dàna yang dilakukan dengan pikiran, ”Aku yaitu   seorang 

perumah tangga yang mempersiapkan dan memasak makanan 

untuk dimakan; tidaklah pantas jika aku memakan makanan 

ini tanpa memberi   persembahan kepada mereka yang tidak 

diperbolehkan (oleh peraturan disiplin, misalnya para bhikkhu) 

menyiapkan dan memasak makanan mereka sendiri.”

(g) Dàna yang dilakukan dengan pikiran, ”Persembahan yang 

kulakukan akan memberi   reputasi baik yang menyebar jauh 

dan luas,” dan

(h) Dàna yang dilakukan dengan gagasan bahwa tindakan itu 

akan menjadi alat untuk membantu seseorang dalam mencapai 

konsentrasi saat   ia gagal mencapainya dalam melatih Meditasi 

Konsentrasi dan Pandangan Cerah.

Dari delapan jenis dàna ini, yang terakhir yaitu   yang terbaik, 

termulia. Alasannya yaitu   bahwa dàna jenis terakhir ini yaitu   

unik, yang dapat menimbulkan kegembiraan dan sukacita dalam 

diri seseorang yang sedang melatih Konsentrasi dan Meditasi 

Pandangan Cerah, dan bertindak sebagai pembantu utama dalam 

usaha meditasinya. Tujuh jenis pemberian pertama tidak akan 

meningkatkan dan mendorong batin dalam pekerjaan Konsentrasi 

dan Meditasi Pandangan Cerah, dan dari tujuh ini, yang pertama 

dan kelima yaitu   yang lebih tinggi (panãtata). Jenis ketujuh 

yaitu   yang rendah (hãna), sedangkan yang ke-2, 3, 4, 6 berstatus 

menengah.

Delapan kelompok dàna ini masih dapat dibagi dalam dua kelompok: 

3221

 1

pu¤¤avisaya dàna, dàna yang merupakan jenis memberi yang 

baik, dan lokavisaya dàna, dàna yang merupakan jenis pemberian 

duniawi. Jenis pertama, kelima, dan kedelapan yaitu   pu¤¤avisaya 

dàna sedangkan yang lainnya yaitu   jenis lokavisaya.

(2) Sutta ketiga dari Dàna Vagga, Aññhaka Nipàta, Aïguttara Nikàya, 

menjelaskan delapan kelompok dàna yang lain.

(a) Dàna yang dilakukan sebab   kasih sayang,

(b) Dàna yang dilakukan sebab   situasi yang tidak dapat dihindarkan, 

dilakukan dengan enggan dan dengan menunjukkan kekesalan,

(c) Dàna yang dilakukan sebab   kebingungan dan kebodohan tanpa 

pemahaman akan hukum sebab-akibat,

(d) Dàna yang dilakukan sebab   takut akan celaan, sebab   takut 

akan kelahiran di alam sengsara, sebab   takut dicelakai oleh si 

penerima,

(e) Dàna yang dilakukan dengan pikiran, ”Telah menjadi tradisi 

turun temurun sejak para leluhurku dan aku harus meneruskan 

tradisi ini,”

(f) Dàna yang dilakukan dengan tujuan agar terlahir di alam 

dewa,

(g) Dàna yang dilakukan dengan harapan agar mengalami 

kebahagiaan dan kegembiraan dengan batin yang murni, dan

(h) Dàna yang dilakukan dengan gagasan bahwa tindakan ini   

akan berfungsi sebagai alat untuk membantu seseorang untuk 

mencapai konsentrasi saat   ia gagal mencapainya dalam melatih 

Meditasi Konsentrasi dan Pandangan Cerah.

Dari delapan jenis dàna ini juga, hanya jenis kedelapan yang paling 

mulia; jenis keenam dan ketujuh yaitu   dàna jenis puõõàvisaya 

dan cukup baik. Sedangkan yang lainnya yaitu   jenis rendah yang 

merupakan jenis lokavisaya.

(3) Dalam Sutta kelima dari Dàna Vagga, Aññhaka Nipàta, Aïguttara 

Nikàya, Buddha telah mengajarkan secara jelas tentang topik 

memperoleh kelahiran-kelahiran sebagai akibat dari memberi   

persembahan, Danupapatti. Menurut delapan jenis alam kelahiran 

kembali yang akan diperoleh sebagai kelahiran berikut, dàna dibagi 

3222


dalam delapan kelompok:

(a) Melihat kondisi bahagia dari orang-orang yang kaya dan 

makmur dalam kehidupan ini, seseorang memberi   dàna dengan 

mengharapkan kekayaan seperti itu dan kenyamanan hidup pada 

masa mendatang, pada waktu yang sama juga memakai   waktu 

untuk menjalani kehidupan bermoral. sesudah   meninggal dunia, 

keinginannya terpenuhi; ia terlahir kembali di alam manusia dalam 

kondisi bahagia, nyaman, dan kaya raya.

(b) Mendengar bahwa para dewa Catumahàràjika yaitu   makhluk-

makhluk berkuasa yang menikmati kehidupan yang nyaman 

dan penuh kenikmatan, seseorang memberi   dàna dengan 

mengharapkan kekuasaan, kenyamanan, dan kenikmatan penuh 

di Alam Dewa Catumahàràjika, pada waktu yang sama juga 

memakai   waktu untuk menjalani kehidupan bermoral. sesudah   

meninggal dunia, keinginannya terpenuhi; ia terlahir kembali di 

Alam Dewa Catumahàràjika.

(c) Mendengar bahwa para dewa Tàvatiÿsà... di Alam Dewa 

Tàvatiÿsà

(d) Mendengar bahwa para dewa Yàmà... di Alam Dewa Yàmà.

(e) Mendengar bahwa para dewa Tusità... di Alam Dewa Tusità.

(f) Mendengar bahwa para dewa Nimmànarati... di Alam Dewa 

Nimmànarati.

(g) Mendengar bahwa para Dewa Paranimmitavasavattã.... di Alam 

Dewa Paranimmitavasavattã.

(h) Mendengar bahwa para brahmà berusia panjang, memiliki 

jasmani yang rupawan dan menikmati kehidupan yang penuh 

kebahagiaan, seseorang memberi   dàna dengan mengharapkan 

kelahiran kembali di alam brahmà, pada waktu yang sama juga 

memakai   waktu untuk menjalani kehidupan bermoral. 

sesudah   meninggal dunia, ia terlahir kembali di alam brahmà sesuai 

3223

 1

keinginannya.

Jangan menyimpulkan dari pernyataan di atas bahwa memberi   

persembahan saja dapat menjamin tercapainya kehidupan bahagia 

di alam brahmà. Seperti disebutkan dalam jenis kedelapan, dalam 

dua kelompok di atas, hanya dengan membuat batin menjadi 

lunak dan lembut melalui perbuatan memberi dan melalui 

pengembangan konsentrasi hingga tingkat pencerapan, Jhàna, 

dengan mempraktikkan meditasi atas empat kondisi tidak terukur, 

yaitu, cinta kasih (mettà), welas asih (karuõà), kegembiraan atas 

kebahagiaan orang lain (mudità), dan ketenangseimbangan 

(upekkhà), maka seseorang dapat mencapai kelahiran kembali di 

alam brahmà.

lalu   lagi, dalam Sutta ketujuh dari Dàna Vagga yang sama, 

dijelaskan delapan jenis dàna yang dilakukan oleh orang bermoral 

(sappurisa dàna):

1. memberi   benda-benda yang telah dibersihkan, murni, dan 

menarik;

2. memberi   benda-benda pilihan dan berkualitas baik;

3. memberi   benda-benda yang tepat pada waktu yang tepat;

4. memberi   benda-benda yang layak dan boleh diterima oleh 

si penerima;

5. memberi   benda-benda sesudah   dengan cermat memilih 

si penerima dan dengan cermat memilih objek yang akan 

dipersembahkan (viceyyadàna); tidak memasukkan orang-

orang yang bermoral tidak baik, si penerima terpilih haruslah 

orang yang mengikuti ajaran Buddha; sedangkan untuk 

benda yang akan dipersembahkan, jika memiliki barang 

yang berkualitas baik dan berkualitas buruk, maka barang 

yang berkualitas baik harus dipilih untuk dijadikan objek 

persembahan;

6. memberi   benda-benda sesuai kemampuan seseorang secara 

rutin;

7. memberi   benda-benda dengan batin yang murni dan 

tenang;

8. memberi   benda-benda dan merasa gembira sesudah   

3224


melakukannya.

Pemberian oleh orang yang tidak bermoral (assapurisa dàna) tidak 

dijelaskan dalam Kitab, tetapi dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. memberi   benda-benda yang tidak bersih, tidak murni, dan 

tidak menarik;

2. memberi   benda-benda berkualitas rendah;

3. memberi   benda-benda yang tidak tepat pada waktu yang 

tidak tepat;

4. memberi   benda-benda yang tidak layak dan tidak boleh 

diterima oleh si penerima;

5. memberi   benda-benda tanpa dengan cermat memilih si 

penerima dan tanpa dengan cermat memilih objek yang akan 

dipersembahkan; 

6. memberi   benda-benda hanya sesekali padahal ia mampu 

memberi   secara rutin;

7. memberi   benda-benda dengan batin tidak tenang; dan

8. memberi   benda-benda dan merasa menyesal sesudah   

melakukannya.

Jenis-jenis Dàna Dalam Kelompok Sembilan

Vinaya Parivàra Pàëi menyebutkan sembilan jenis memberi yang 

diajarkan oleh Buddha sebagai tidak sah disebut perbuatan 

mempersembahkan (adhammika dàna). Komentar menjelaskan 

sembilan jenis pemberian ini yaitu   sebagai berikut:

(1) Menyebabkan pemberian yang oleh si penyumbang ditujukan 

kepada kelompok Saÿgha tertentu, diberikan kepada kelompok 

Saÿgha lain,

(2) Atau diberikan kepada altar,

(3) Atau diberikan kepada individu,

(4) Menyebabkan pemberian yang oleh si penyumbang ditujukan 

kepada altar tertentu, diberikan kepada altar lain,

(5) Atau diberikan kepada Saÿgha,

(6) Atau diberikan kepada individu,

(7) Menyebabkan pemberian yang oleh si penyumbang ditujukan 

3225

 1

kepada individu tertentu, diberikan kepada individu lain,

(8) Atau diberikan kepada Saÿgha,

(9) Atau diberikan kepada altar,

Di sini, pemberian yang ditujukan oleh si penyumbang maksudnya 

yaitu   empat kebutuhan, jubah, makanan, tempat tinggal, dan 

obat-obatan, dan kebutuhan-kebutuhan kecil lainnya yang oleh 

si penyumbang telah dijanjikan melalui ucapan untuk diberikan 

kepada Saÿgha, altar, atau individu.

Kisah yang mendasari mengapa Buddha mengajarkan sembilan jenis 

adhammika dàna ini dijelaskan dalam Pàrajika Kaõóa dan Pàcittiya 

Pàëi dari Vinaya Piñaka. Suatu saat   Bhagavà sedang menetap 

di Vihàra Jetavana di Sàvatthã. lalu   sekelompok warga   

memutuskan untuk memberi   persembahan makanan dan jubah 

kepada Saÿgha. Demikianlah mereka melakukan persiapan dan 

menyiapkan jubah dan makanan untuk persembahan ini  . 

Sekelompok bhikkhu yang tidak bermoral mendatangi para 

penyumbang dan memaksa mereka agar memberi   persembahan 

jubah kepada mereka. sebab   dipaksa untuk menyerahkan jubah 

kepada para bhikkhu yang tidak bermoral, para warga   hanya 

memiliki makanan yang dapat dipersembahkan kepada Saÿgha. 

Mendengar hal ini, para bhikkhu yang baik mencela para bhikkhu 

yang tidak bermoral ini   dan melaporkan hal itu kepada 

Bhagavà. lalu   Bhagavà menetapkan peraturan: Bhikkhu yang 

mana pun yang dengan sengaja mengambil untuk diri sendiri, 

pemberian yang telah dinyatakan ditujukan kepada Saÿgha, yaitu   

pelanggaran yang memerlukan penebusan Nissaggiya Pàcittiya 

âpatti.

Dalam penjelasan yang menyertai Sãla itu, Buddha menjelaskan: 

jika pemberian itu yang telah dinyatakan melalui ucapan untuk 

diberikan kepada Saÿgha, ternyata diambil untuk diri sendiri, maka 

itu yaitu   pelanggaran yang memerlukan penebusan (Niddaggiya 

Pàcittiya âpatti); jika diberikan kepada Saÿgha padahal diniatkan 

untuk ditujukan kepada individu atau altar, maka itu yaitu   

pelanggaran Dukkata âpatti. Mengetahui bahwa pemberian itu 

ditujukan untuk altar tertentu, jika diberikan kepada altar lain, atau 

3226


kepada Saÿgha, atau kepada individu, maka itu yaitu   pelanggaran 

Dukkaña âpatti. Mengetahui bahwa pemberian ini   ditujukan 

kepada individu tertentu, jika diberikan kepada individu lain, atau 

kepada Saÿgha, atau kepada altar, maka itu yaitu   pelanggaran 

Dukkata âpatti.

Akan tetapi, harus dimengerti, bahwa tidak semua pemindahan 

pemberian dari satu penerima kepada penerima lain akan 

mengakibatkan adhammika dàna. Si penyumbang sendiri boleh 

mengubah niat awalnya sebab   alasan-alasan tertentu atau boleh 

dibujuk oleh orang lain untuk memindahkan pemberian ini   

agar mendapatkan jasa yang lebih besar.

Sebuah ilustrasi dari pemindahan demikian dapat dibaca dalam 

kisah Mahà Pajàpati yang sesudah   membuat sebuah jubah baru ingin 

mempersembahkannya kepada Buddha. Buddha menasihatinya 

agar memberi   persembahan jubah ini   kepada Saÿgha. 

Jika hal ini yaitu   pelanggaran, Buddha tidak akan memberi   

nasihat demikian. Sesungguhnya, Buddha mengetahui bahwa 

Mahà Pàjapati akan mendapatkan jasa yang lebih besar jika 

mempersembahkan jubah ini   kepada Saÿgha yang dipimpin 

oleh Buddha sendiri.

Contoh lainnya, Buddha membujuk Raja Pasenadã dari Kosala 

untuk mengubah keputusannya mengenai izin mendirikan vihàra 

bagi para petapa penganut kepercayaan lain di dekat Vihàra 

Jetavana. Raja disuap oleh para petapa untuk mengizinkan mereka 

mendirikan vihàra mereka. Meramalkan perselisihan tanpa akhir 

yang dapat muncul, Buddha pertama-tama mengutus Yang Mulia 

ânanda dan para bhikkhu lain dan akhirnya kedua Siswa Utama, 

Yang Mulia Sàriputta dan Yang Mulia Mahà Moggallàna, untuk 

meminta kepada raja agar membatalkan suap dan tidak memberi   

sepetak tanah kepada para petapa. Raja memberi   alasan agar 

tidak menemui para Siswa Utama ini. Sehingga akhirnya Buddha 

sendiri mendatangi raja dan menceritakan kisah Raja Bharu, yang 

terdapat dalam Duka Nipàta, yang memiliki situasi yang mirip 

telah menyebabkan banyak penderitaan sebab   menerima suap. 

Menyadari kesalahannya, Raja Pasenadã mengubah keputusan 

3227

 1

dengan menarik kembali hak atas tanah serta mengambil alih bahan-

bahan bangunan yang telah dikumpulkan oleh para petapa. Raja 

lalu   membangun sebuah vihàra dengan bahan-bahan ini   

di tempat itu juga dan mempersembahkannya kepada Buddha.

Seperti disebutkan di atas, tidak ada pelanggaran jika seorang 

penyumbang mengubah niat awalnya untuk alasan-alasan yang 

tepat dan memberi   persembahan kepada pihak lain. Hal ini 

berhubungan langsung dengan salah satu ciri Ariya Saÿgha. 

Jika seorang penyumbang mempersiapkan persembahan kepada 

seorang bhikkhu yang akan mengunjunginya, dan jika pada saat 

itu, para bhikkhu yang telah mencapai Dhamma yang lebih tinggi 

dan yang merupakan anggota Ariya Saÿgha datang, ia boleh 

mengubah keputusannya dan mempersembahkan kepada si 

pendatang baru untuk mendapatkan jasa yang lebih besar. Dan para 

penerima itu juga berhak menerima pemberian ini  . Mereka 

juga boleh memakai   barang-barang yang diterima. sebab   

layak menerima persembahan yang awalnya ditujukan kepada para 

tamu disebut ciri Pàhuneyyo dari Ariya Saÿgha.

Jenis-Jenis Dàna Dalam Kelompok Sepuluh dan Empat Belas

Seperti halnya dàna dalam kelompok empat, enam atau tujuh. Juga 

tidak disebutkan secara langsung jenis-jenis dàna dalam kelompok 

sepuluh dalam Kitab. Akan tetapi komentar menyajikan daftar 

sepuluh jenis materi yang dapat dipersembahakan sebagai dàna.

Demikian pula, Dakkhina Vibhaïga Sutta memberi   daftar empat 

belas jenis dàna (Lihat nomor 19 dari jenis Dàna dalam kelompok 

dua).

5. Apakah Unsur-unsur yang Memperkuat Manfaat Dàna?

6. Apakah Unsur-unsur yang Memperlemah Manfaat Dàna?

Dàna Sutta, khotbah ketujuh dari Devatà Vagga, dalam Chakka 

Nipàta, Aïguttara Nikàya, menjelaskan unsur-unsur yang 

memperkuat manfaat dari dàna dan unsur-unsur yang memperlemah 

3228


manfaat dàna. Pada suatu saat  , Bhagavà sedang menetap di Vihàra 

Jetavana di Sàvatthã. Pada saat itu, dengan kemampuan batin 

mata-dewa Beliau melihat bahwa seorang umat awam perempuan 

pengikut Dhamma bernama Nandamàtà, sedang memberi   

persembahan kepada Dua Siswa Utama dan Saÿgha di Kota 

Velukandaki yang jauh. Beliau berkata kepada para bhikkhu, 

“Para bhikkhu, Nandamàtà dari Velukandaki sekarang sedang 

memberi   persembahan besar kepada Saÿgha yang dipimpin 

oleh Yang Mulia Sàriputta dan Moggallàna. Persembahannya itu 

memiliki ciri istimewa dari seorang penyumbang yang memiliki tiga 

kualitas istimewa kemurnian kehendak, yaitu, (a) merasa gembira 

sebelum melakukan persembahan; (b) memiliki batin yang bersih 

dan murni, saat memberi   persembahan, dan (c) bergembira 

sesudah   memberi   persembahan, dan para penerima memiliki tiga 

kualitas istimewa kemurnian batin, yaitu, (a) bebas dari kemelekatan 

(ràga) atau berlatih untuk terbebas dari kemelekatan; (b) bebas dari 

kebencian (dosa) atau berlatih untuk terbebas dari kebencian, (c) 

bebas dari kebodohan (moha) atau berlatih untuk terbebas dari 

kebodohan.

“Para bhikkhu, bagaikan jumlah air di lautan yang tidak mungkin 

dihitung, manfaat yang dihasilkan dari sebuah persembahan 

yang memiliki enam ciri istimewa itu juga tidak dapat dihitung. 

Sesungguhnya, kalian mengatakan bagaikan air di lautan yang 

terdiri dari air yang tidak terukur banyaknya; demikian pula kalian 

mengatakan persembahan demikian yang istimewa dengan enam 

ciri ini bagaikan seseorang yang menghasilkan jasa yang tidak 

terukur besarnya.”

Menurut Kitab Pàëi, terlihat bahwa tiga kualitas yang dimiliki si 

penyumbang dan tiga kualitas yang dimiliki si penerima membentuk 

unsur-unsur yang memperkuat manfaat dàna. Sebaliknya, jika si 

penyumbang dan si penerima tidak memiliki kualitas-kualitas ini, 

maka perbuatan dàna juga tidak menghasilkan manfaat penuh.

Dalam kisah kelahiran kesembilan dari Mahàdhammapàla, dalam 

Dasaka Nipàta dari Jàtaka, disebutkan bahwa Raja Suddhodana 

yaitu   seorang brahmana dalam kehidupan lampau. Seorang guru 

3229

 1

besar dari Takkasilà kepada siapa ia mempercayakan putranya 

untuk dididik bertanya kepadanya mengapa anggota sukunya tidak 

ada yang mati muda melainkan hidup hingga usia tua.

Ia menjawab dalam syair:

Pubbeva dànà Sumanà bhavàma 

dadampi ve attamanà bhavàma 

datvàpi ve nànutappàma 

pacchà tasmà hi amham dahara na mãyare.

“Kami merasa bahagia sebelum memberi   persembahan, kami 

gembira dan puas saat memberi   persembahan; dan kami 

bergembira sesudah   memberi   persembahan, tidak pernah kami 

merasa menyesal. sebab   tiga alasan ini, orang-orang di dalam suku 

kami tidak ada yang mati muda.”

Dari kisah ini, seseorang dapat menyimpulkan bahwa jika sebuah 

persembahan diberikan dengan memenuhi tiga kondisi kehendak 

ini, maka manfaat yang dihasilkan darinya yaitu   usia panjang 

dalam kehidupan sekarang.

Dalam Atthasàlinã dan Komentar Dhammapada disebutkan empat 

kondisi yang membawa manfaat dalam kehidupan sekarang dari 

tindakan memberi persembahan:

(a) Barang-barang yang akan dipersembahkan, diperoleh dengan 

cara yang sah dan wajar (paccayànam dhammikata).

(b) Barang-barang itu diberikan dengan keyakinan dan dengan 

memenuhi tiga kondisi kehendak (cetanàmahattà).

(c) Si penerima yaitu   seorang yang memiliki pencapaian tinggi, 

seorang Arahanta atau seorang Anàgàmã (vatthusampatti).

(d) Si penerima baru saja keluar dari keadaan tanpa kondisi, 

Nirodhasamàpatti (gunatirekata).

Persembahan jenis ini yang menghasilkan manfaat dalam kehidupan 

sekarang dilakukan oleh orang-orang seperti Puõõa, Kàkavaliya, 

dan gadis penjual bunga Sumanà yang memetik manfaat dari dàna 

3230


yang mereka lakukan yang memenuhi empat kondisi ini.

Dalam Attahasàlinã, empat kondisi dalam sebuah persembahan 

disebut empat kemurnian persembahan (Dakkhinà Visuddhi); 

dalam Komentar Dhammapada, disebut ‘Empat keterampilan’ 

(sampadà).

Terdapat daftar empat jenis kemurnian (Dakkhina Visuddhi) 

yang berhubungan dengan tindakan dàna yang dijelaskan dalam 

Dakkhinà Vibhaõga Sutta dari Uparipannasa Pàëi, yaitu:

(a) Sebuah persembahan dimurnikan oleh si penyumbang tetapi 

tidak oleh si penerima. (Bahkan jika si penerima yaitu   orang yang 

tidak bermoral (dussãla), jika si penyumbang yaitu   orang yang 

berbudi dan memberi   persembahan dari apa yang ia peroleh 

dengan sah dan wajar, dengan kehendak yang murni dan baik, 

sebelum, selama, dan sesudah   memberi   dàna dan melakukan 

tindakan ini   dengan keyakinan penuh atas hukum sebab-

akibat, maka dàna ini   yaitu   murni sebab   si penyumbang 

dan akan menghasilkan manfaat besar.)

(b) Sebuah persembahan dimurnikan oleh si penerima tetapi tidak 

oleh si penyumbang. (Bahkan jika si penyumbang yaitu   orang yang 

tidak bermoral, memberi   persembahan dari apa yang diperoleh 

dengan tidak sah dan tidak wajar, dan tidak memiliki kehendak baik 

dan murni, sebelum, selama, dan sesudah   memberi   dàna, dan 

tanpa keyakinan di dalam hukum sebab-akibat, jika si penerima 

yaitu   orang yang bermoral, maka dàna ini   yaitu   murni 

sebab   si penerima dan akan menghasilkan manfaat besar.)

(c) Sebuah persembahan tidak dimurnikan oleh si penyumbang 

maupun oleh si penerima. (Jika si penyumbang yang tidak bermoral 

memberi   persembahan barang-barang yang diperoleh dengan 

cara yang tidak benar kepada penerima yang juga tidak bermoral 

dengan kehendak yang tidak baik dan tidak murni, sebelum, selama, 

dan sesudah   memberi   persembahan dan tanpa keyakinan di 

dalam hukum sebab-akibat, dàna ini   tidak akan menghasilkan 

manfaat, bagaikan benih yang buruk ditanam di tanah yang 

3231

 1

gersang tidak akan dapat tumbuh dengan baik hingga tidak akan 

menghasilkan panen yang baik.)

(d) Sebuah persembahan yang dimurnikan oleh si penyumbang dan 

si penerima. (Jika si penyumbang yang bermoral baik memberi   

persembahan barang-barang yang diperoleh dengan cara yang 

benar kepada penerima yang juga bermoral baik dengan kehendak 

yang baik dan murni, sebelum, selama, dan sesudah   memberi   

persembahan dan dengan keyakinan di dalam hukum sebab-akibat, 

dàna ini   akan menghasilkan manfaat besar, bagaikan benih 

yang baik ditanam di tanah yang subur akan menghasilkan panen 

yang baik.)

Jenis ketiga, tentu saja, tidak memiliki kemurnian sama sekali, 

tetapi disebutkan juga untuk memperhitungkan semua kasus yang 

mungkin. Sebagai kesimpulan dari semua yang telah kita bahas, ada 

lima unsur yang memperkuat manfaat dàna:

(1) Si penyumbang melaksanakan sãla dan memiliki moralitas yang 

baik,

(2) Si penerima juga memiliki moralitas yang baik,

(3) Barang-barang yang dipersembahkan diperoleh dengan cara 

yang benar,

(4) Persembahan dilakukan dengan kegembiraan sebelum, dengan 

kepuasan dan kebahagiaan selama, dan sukacita sesudah   

memberi   persembahan.

(5) Si penyumbang memiliki kayakinan penuh terhadap hukum 

sebab-akibat.

Lima unsur ini harus menyertai dàna agar tercapai kemurnian 

dan manfaat tertinggi; jika unsur-unsur ini tidak menyertai suatu 

persembahan, maka dàna ini   juga tidak menghasilkan 

manfaat.

Beberapa Pernyataan Tentang Saddhà

yaitu   penting untuk memahami benar makna dari unsur kelima, 

yaitu, keyakinan terhadap hukum sebab-akibat. Di sini, keyakinan 

3232


diterjemahkan ke dalam bahasa Myanmar dari kata Pàëi ‘saddhà’. 

Secara tata bahasa artinya ‘yang dipegang dan dipelihara dengan 

baik’.

Bagaikan air jernih yang semua kotorannya mengendap ke dasar 

dapat memegang bayangan bulan, matahari, dan memeliharanya 

dengan baik, demikian pula keyakinan yang tidak mengandung 

kotoran batin dapat memegang erat kebajikan dan kemuliaan 

Buddha (sebagai objek perenungan).

Sebagai gambaran lain, jika seseorang tidak memiliki tangan, ia 

tidak akan dapat mengambil permata yang terletak di dekatnya. 

Jika ia tidak memiliki kekayaan ia tidak akan mampu mendapatkan 

berbagai jenis barang.

Tanpa benih, tidak akan ada panen. Demikian pula, tanpa keyakinan 

kita tidak akan mendapatkan permata kedermawanan, moralitas, dan 

pengembangan konsentrasi dan Pandangan Cerah; (dan juga tidak 

akan ada kebahagiaan di alam manusia dan dewa atau kebahagiaan 

Nibbàna). sebab   itu Buddha dalam ajaran-Nya mengumpamakan 

keyakinan sebagai memiliki tangan, kekayaan atau benih.

Dalam Milinda Pa¤ha Pàëi dan Komentar Aññhasàlinã, keyakinan 

diumpamakan sebagai permata mahkota batu delima, dari seorang 

raja dunia, yang mampu dengan sesaat   menjernihkan air di mana 

batu ini   diletakkan, sekotor apa pun air ini  . Dengan cara 

yang sama, keyakinan dengan segera melenyapkan kotoran batin 

dan menjernihkannya sesaat  . Jika batin terisi dengan keyakinan, 

maka tidak ada tempat bagi kotoran seperti kesedihan, kecemasan, 

dan sebagainya.

Seberapa sulit menjaga keteguhan batin dalam merenungkan 

kemuliaan Buddha yaitu   bergantung pada pengalaman masing-

masing orang. Dengan kata lain, bukan hal yang mudah menjaga 

batin tetap terisi oleh hanya keyakinan tanpa adanya kotoran. Tetapi 

melalui latihan, seseorang dapat mempertahankan batin yang murni 

dan jernih melalui keyakinan selama waktu yang singkat, sehingga 

dengan usaha yang teguh, ia mampu melakukannya terus-menerus 

3233

 1

hingga waktu yang lama.

Sehubungan dengan memiliki keyakinan terhadap hukum sebab-

akibat yang disebutkan di atas, kita harus merenungkan sebagai 

berikut, ”Aku akan mengeluarkan sejumlah hartaku untuk 

mempersembahkan dàna ini, tetapi harta ini tidak akan terbuang 

percuma. Melalui tindakan dàna ini, aku akan mengembangkan 

kehendak yang jauh lebih berharga daripada harta yang 

kupersembahkan. Hartaku dapat musnah oleh lima musuh, tetapi 

tindakan batin kehendak ini tidak dapat dihancurkan dan akan terus 

menyertaiku di dalam lingkaran kehidupan hingga aku mencapai 

Nibbàna.” Kemampuan menjaga batin tetap jernih dan murni seperti 

ini yaitu   memiliki keyakinan terhadap hukum sebab, tindakan 

batin kehendak.

Dan mempertimbangkan akibat yang dihasilkan tindakan batin, 

kita akan sampai pada kesimpulan yang jelas dan pasti, ”sebab   

tindakan batin kehendak ini, aku akan memetik manfaat di 

sepanjang lingkaran kehidupan, hal ini tidak diragukan lagi!” 

Dengan merenungkan demikian dan mengalami kemurnian batin 

yang penuh kegembiraan yaitu   memiliki keyakinan terhadap 

hukum akibat.

Demikianlah, yaitu   penting untuk mengembangkan, melalui 

perenungan terhadap hukum sebab atau hukum akibat, keyakinan 

yang mendukung penyucian batin, sebab   unsur kelima ini 

memperkuat manfaat dàna.

(B) Kesempurnaan Moralitas (Sãëa Pàramã)

Binatang Buruan Càmarã

Penulis memberi   penjelasan mengenai binatang càmarã yang 

diterjemahkan sebagai ‘yak’. Ia mengutip berbagai sumber untuk 

membantah gagasan bahwa càmarã yaitu   sejenis binatang 

bersayap. Lebih jauh lagi, penulis mengatakan atas wewenang dari 

Abhayàrama Sayadaw dari Mandalay, dan Taung Pauk Sayadaw dari 

Mawlamyine bahwa binatang ini yaitu   yak—binatang liar berasal 

3234


dari Tibet, yang berguna untuk diambil susu dan dagingnya. Kipas 

yang terbuat dari ekornya yaitu   salah satu lambang kerajaan.

Untuk mencegah kerusakan, seekor yak akan mengorbankan 

hidupnya tanpa berusaha untuk membebaskan ekornya saat   

ekornya terjerat oleh ranting semak belukar. Sumedha mengingatkan 

dirinya sendiri untuk mengambil teladan dari seekor yak dan 

mempertahankan kemurnian moralnya bahkan dengan risiko 

nyawanya sendiri.

Beberapa Catatan Mengenai Moralitas

Seperti halnya dengan Kesempurnaan Kedermawanan, catatan-

catatan ini disajikan dalam bentuk jawaban atas pertanyaan-

pertanyaan berikut dengan mengutip dari Visuddhimagga, Jalan 

Kesucian.

(1) Apakah moralitas itu?

(2) Mengapa disebut moralitas?

(3) Apakah karakteristik, fungsi, manifestasi, dan pemicu   

langsung dari moralitas?

(4) Apakah manfaat dari moralitas?

(5) Ada berapa jenis moralitas?

(6) Apakah faktor-faktor yang mengotori moralitas?

(7) Apakah faktor-faktor yang memurnikan moralitas?

(1) Apakah Moralitas Itu?

Berbagai faktor yang dapat didefinisikan sebagai moralitas yaitu   

kehendak batin (cetanà) yang muncul dalam diri seseorang yang 

menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan jahat seperti membunuh, 

dan lain-lain atau yang muncul saat melakukan tugas-tugas terhadap 

orang-orang yang lebih tua, guru, dan lain-lain; tiga faktor batin 

(viratã) yaitu perkataan benar, perbuatan benar, dan penghidupan 

benar; ketidakserakahan (alobha atau anabhijjhà), ketidakbencian 

(adosa atau avyàpàda), pandangan benar (sammadiññhi atau amoha); 

lima pantangan, dan faktor batin avitikama.

Demikianlah, moralitas dapat dipelajari dengan mudah dalam lima 

3235

 1

bagian:

(a) Kehendak yang menyertai seseorang saat menjauhkan diri dari 

perbuatan jahat atau ucapan tidak benar atau saat melakukan 

tugas-tugas kepada orang yang lebih tua atau guru, dan lain-

lain;

(b) Tiga faktor batin yaitu menjauhkan diri dari perbuatan salah, 

perkataan salah, dan penghidupan salah;

(c) Tiga faktor batin yang baik yaitu anabhijjha, abyapada, dan 

sammà diññhi;

(d) Lima pantangan (saÿvara); dan

(e) Faktor batin yang muncul sewaktu menghindari pelanggaran.

(a) Moralitas Kehendak (Cetanà Sãla) dan

(b) Moralitas Menjauhkan Diri (Viratã Sãla)

Tiga tindakan salah yaitu   membunuh makhluk hidup lain, 

mengambil apa yang tidak diberikan, dan tindakan seksual yang 

salah. Empat perkataan salah yaitu   berbohong, gosip, kata-kata 

kasar, kata-kata menghina dan suka menyombongkan diri, serta 

pembicaraan yang tidak ada gunanya. Dua kelompok perbuatan 

salah ini dapat dilakukan sehubungan dengan mata pencaharian 

(seperti nelayan atau pemburu), atau tidak berhubungan dengan 

mata pencaharian (seperti permainan atau olahraga).

Demikian pula, tidak melakukan dua kelompok perbuatan 

salah ini dapat berhubungan atau tidak berhubungan dengan 

mata pencaharian. Menghindarkan diri dari tiga tindakan salah 

yang tidak berhubungan dengan mata pencaharian disebut 

menghindarkan diri melalui perbuatan benar (samma kammanta 

viratã); menghindarkan diri dari empat perkataan salah yang tidak 

berhubungan dengan mata pencaharian disebut menghindarkan 

diri melalui perkataan benar (samma vaca viratã); menghindarkan 

diri dari dua kelompok perbuatan salah ini yang berhubungan 

dengan mata pencaharian, dan dari berbagai mata pencaharian salah 

(khususnya yang seharusnya tidak dilakukan oleh para bhikkhu) 

disebut menghindarkan diri melalui penghidupan benar (samma 

ajiva viratã).

3236


Tiga faktor batin yang menghindarkan diri seperti yang disebutkan 

di atas disebut moralitas dalam menghindarkan diri (viratã sãla) 

dan faktor batin kehendak yang menyertainya disebut moralitas 

kehendak (cetanà sãla). Kehendak yang muncul sewaktu melakukan 

tindakan kebajikan saat mengunjungi seorang guru juga disebut 

sebagai moralitas kehendak (cetanà sãla).

(c) Moralitas Tidak Iri Hati, Tidak Serakah (Anabhijjhàdi 

Sãla), dan Lain-lain

Keserakahan yang mendorong seseorang menjadi iri hati atas harta 

benda orang lain, menyembunyikan pikiran, “Alangkah baiknya 

jika harta benda ini yaitu   milikku” disebut tindakan pikiran 

salah rasa iri hati (abhijjhà manoduccarita). saat   seseorang 

menghalau pikiran-pikiran ini, muncullah dalam faktor batinnya 

kehendak (cetanà) menghalau dan ketidakserakahan (alobha) atau 

ketidak-irian (anabhijjhà). Kelompok-kelompok batin ini disebut 

moralitas.

Mengharapkan orang lain celaka, memunculkan kebencian 

dalam faktor batin yang disebut tindakan pikiran salah kebencian 

(vyàpàda manoduccarita). saat   seseorang menghalau pikiran 

benci, muncullah dalam faktor batinnya kehendak menghalau 

dan ketidakbencian (adosa atau avyàpàda). Faktor-faktor batin ini 

disebut moralitas.

saat   seseorang berpandangan bahwa tidak ada yang disebut 

kedermawanan dan tidak ada manfaat yang dihasilkan dari 

kedermawanan, ia disebut berpandangan salah yang disebut 

tindakan pikiran salah sebab   berpandangan salah (micchà diññhi 

manoduccarita). saat   ia menghalau pikiran demikian, muncullah 

dalam dirinya kehendak menghalau dan ketidakbodohan (amoha) 

atau pandangan benar (sammà diññhi). Faktor faktor batin ini disebut 

moralitas.

Jika muncul tiga tindakan pikiran salah (abhijjha, vyàpàda, dan 

micchà diññhi), seseorang berpotensi untuk melakukan perbuatan 

3237

 1

jahat seperti membunuh, dan lain-lain, yang akan menghancurkan 

sãla seseorang. Jika kehendak dan tiga tindakan pemikiran benar 

muncul dalam diri seseorang, tidaklah mungkin bagi seseorang 

untuk melakukan perbuatan jahat seperti membunuh, dan lain-lain 

yang menghancurkan sãla seseorang. Oleh sebab   itu tiga tindakan 

pemikiran benar anabhijjha, abyapada, dan samma diññhã disebut 

moralitas.

saat   kesadaran muncul, kemunculannya selalu disertai oleh 

kehendak. Kehendak ini bertanggung jawab untuk mendesak batin 

agar memerhatikan objek; ia bertindak sebagai penghubung antara 

batin dan objek. Tanpa pengaruhnya, tidak akan ada hubungan 

batin-objek; batin tidak akan mengenali objek; batin tidak akan 

memedulikan objek. Hanya dengan adanya kehendak maka 

hubungan batin-objek menjadi mungkin terjadi. Oleh sebab   itu 

semua kehendak yang menyertai kesadaran pada setiap tindakan 

moral disebut moralitas.

(d) Moralitas Pengendalian (Saÿvara Sãla) dan 

(e) Moralitas Menghindari Pelanggaran (Avãtikkama Sãla)

Jenis-jenis moralitas yang dijelaskan di atas berlaku baik bagi umat 

awam maupun bagi para bhikkhu. Akan tetapi terdapat bentuk-

bentuk moralitas yang hanya berlaku bagi para bhikkhu, misalnya: 

moralitas pengendalian (saÿvara sãla) dan moralitas menghindari 

pelanggaran (avãtikkama sãla).

Moralitas Pengendalian

(1) Pàtimokkha saÿvara: pengendalian melalui aturan-aturan dasar 

kebhikkhuan, kepatuhan yang membebaskan si pelaksana 

dari bahaya terlahir di alam sengsara dan penderitaan terus-

menerus.

(2) Sati saÿvara: pengendalian melalui perhatian yang maksudnya 

yaitu   menjaga ketat enam pintu indria: mata, telinga, hidung, 

lidah, badan, dan pikiran sehingga tidak ada ‘pencuri dalam 

bentuk perbuatan buruk’ yang dapat memasuki.

3238


(3) ¥aõa saÿvara: pengendalian melalui kebijaksanaan, yang 

maksudnya yaitu   mengendalikan pikiran melalui Pandangan 

Cerah sehingga arus kotoran batin keserakahan, pandangan 

salah, dan kebodohan yang biasanya mengalir terus-menerus 

menjadi berhenti mengalir. Dalam kelompok ini juga termasuk 

Paccayasanissita Sãla, praktik memanfaatkan benda-benda 

kebutuhan dengan benar.

(4) Khanti saÿvara: pengendalian melalui kesabaran yang 

maksudnya mengendalikan pikiran sehingga tidak ada pikiran 

buruk yang mengganggu saat menahan panas atau dingin.

(5) Viriya saÿvara: pengendalian melalui pengembangan usaha 

yang maksudnya yaitu   usaha batin yang keras untuk 

mencegah munculnya pikiran-pikiran buruk: pikiran sensual 

(kàma vitakka), pikiran benci (vyàpàda vitakka), pikiran kejam 

(vihimsà vitakka). Penyucian penghidupan (àjivapàrisuddhi 

sãla) juga termasuk dalam kelompok ini.

Moralitas Menghindari Pelanggaran

Moralitas ini dilatih melalui penghindaran diri dari pelanggaran sãla 

melalui fisik dan ucapan yang harus dilaksanakan oleh seseorang.

Dari penjelasan di atas mengenai lima jenis saÿvara sãla dan 

avitikkama sãla, dapat disimpulkan bahwa inti dari Pàtimokkha 

Saÿvara Sãla yaitu   sekelompok faktor batin (cetasika) termasuk 

kehendak dan tiga penghindaran ketidakserakahan (alobha), 

ketidakbencian (adosa), dan ketidakbodohan (amoha); sati saÿvara 

maksudnya yaitu   faktor-faktor batin sati, perhatian (yang juga 

disertai oleh kehendak); khantã saÿvara maksudnya yaitu   

sekelompok kesadaran moral dan faktor-faktor batin yang dipimpin 

oleh ketidakbencian yang memiliki karakteristik tidak kehilangan 

kesabaran, dengan kata lain, faktor batin ketidakbencian; viriya 

saÿvara maksudnya yaitu   faktor batin usaha (yang juga disertai 

oleh kehendak).

3239

 1

Sedangkan avitikkama sãla, dalam pengertian tertingginya, 

yaitu   sekelompok kesadaran moral dan faktor-faktor batin yang 

mengarahkan seseorang untuk menghindari pelanggaran sãla yang 

sedang dijalankan. Dalam hal kedermawanan (dàna), kehendak 

yaitu   landasannya. Untuk moralitas, kehendak juga bertindak 

sebagai faktor utama, namun sebagai tambahan, kelompok 

kesadaran moral dan faktor-faktor batin yang dipimpin oleh tiga 

penghindaran, tiga faktor batin: tidak-serakah, tidak-membenci, 

dan tidak-bodoh, serta tiga faktor batin: perhatian, kebijaksanaan, 

usaha juga melakukan tugasnya masing-masing.

(2) Mengapa Disebut Moralitas?

Kata sãla dalam bahasa Pàëi diterjemahkan sebagai ‘moralitas’ atau 

‘kebajikan.’ Sãla memiliki dua makna: pertama, digunakan untuk 

menyatakan makna sifat-sifat alami atau kebiasaan, seperti dalam 

ungkapan pàpakarana sãlo, ‘seseorang yang memiliki kebiasaan 

melakukan kejahatan’; dubbhàsana sãlo, ‘seseorang yang memiliki 

kebiasaan mengucapkan kata-kata jahat’; abhivàdana sãlo, ‘seseorang 

yang memiliki kebiasaan memberi hormat kepada mereka yang 

patut dihormati’; Dhammakathana sãlo, ‘seseorang yang memiliki 

kebiasaan mengajarkan ajaran’. Istilah ini juga digunakan untuk 

menjelaskan fenomena alamiah: vassàna samaye rukkha ruhana 

sãla, ‘pohon-pohon biasanya tumbuh di musim hujan’ gimhasamaye 

patta patasãla, ‘daun-daunan biasanya gugur di musim panas.’ 

Pada makna pertama, sãla digunakan untuk menjelaskan sifat atau 

kebiasaan orang-orang yang bermoral atau tidak bermoral; dan 

juga peristiwa-peristiwa alami yang berada di luar cakupan moral 

baik atau buruk.

Kedua, istilah ini memiliki makna perbuatan baik yang berlaku 

hanya pada praktik yang mulia, bermoral, dan etis. Makna inilah 

yang digunakan dalam bab ini tentang Kesempurnaan Moralitas. 

Dan dalam makna ini juga, terdapat dua arti, yaitu, (a) mengarahkan 

dan (b) menegakkan.

(a) ‘Mengarahkan’ maksudnya yaitu   mengendalikan tindakan 

fisik dan ucapan, dan mengarahkannya ke arah yang benar 

3240


sehingga tidak lepas kendali. Bagi seseorang yang tidak 

menjalani sãla, tindakan fisik dan ucapan terjadi secara sembrono 

bagaikan benang yang tidak tergulung dalam gulungannya, 

tidak terkendali dan tidak terarah. Tetapi bagi seseorang yang 

menjalani sãla, ia mengamati dengan saksama tindakan fisik 

dan ucapannya untuk memastikan agar perbuatan ini   

dilakukan dengan benar dan terkendali. Bahkan seorang yang 

sedang bersedih, mudah tersinggung, dan gampang marah jika 

menerima sedikit provokasi dapat mengendalikan ucapan dan 

tindakan fisik pada saat ia sedang menjalani sãla.

(b) Sãla yaitu   ‘menegakkan’ sebab   tidak ada kebajikan yang dapat 

dilakukan tanpa disertai oleh kebajikan moralitas. Kebajikan 

hanya dapat muncul dalam diri orang-orang yang bermoral; 

dengan demikian sãla bertindak sebagai dasar atau landasan 

bagi semua kebajikan; sãla memudahkan munculnya kebajikan 

melalui tindakan perbuatan baik yang dapat mengarah kepada 

kelahiran kembali di empat alam kehidupan (catubÃ¥maka): 

alam indria, alam bentuk, alam tanpa bentuk, dan kondisi 

Lokuttara.

Dalam bagian tentang Kesempurnaan Moralitas ini, disebutkan 

bahwa Petapa Sumedha, sesudah   menerima ramalan pasti bahwa 

Ia akan menjadi seorang Buddha dan mencapai Pencerahan 

Sempurna, Ia mengingatkan diri-Nya agar pertama-tama harus 

menegakkan Kesempurnaan Kedermawan. Namun ini bukan berarti 

bahwa Ia harus mempraktikkan kedermawanan tanpa menjalani 

sãla. Dalam penyelidikannya atas faktor-faktor untuk mencapai 

Kebuddhaan melalui Kesempurnaan Kebijaksanaan Penyelidikan 

(Pàramã Pavicaya ¥Ã ÃµÃ ), yaitu   Kesempurnaan Kedermawanan 

yang pertama kali muncul dalam mata batin-Nya, diikuti berturut-

turut oleh Kesempurnaan Moralitas, Kesempurnaan Melepaskan 

keduniawian, dan seterusnya. Urutan Kesempurnaan ini yaitu   

urutan yang muncul dalam mata batin Petapa Sumedha. Tidaklah 

mungkin bagi-Nya untuk melihat seluruh Sepuluh Kesempurnaan 

ini   sekaligus; Sepuluh Kesempurnaan ini   diselidiki satu 

per satu dan disebutkan sesuai urutannya. Kesempurnaan pertama 

yang diselidiki yaitu   Kesempurnaan Kedermawanan; sebab   

3241

 1

itu berada dalam urutan pertama dari daftar Pàramã. Namun, ini 

bukan berarti bahwa urutan ini yaitu   urutan Pàramã yang harus 

dipenuhi.

Dalam kenyataannya, tindakan memberi menjadi murni hanya 

jika si pemberi menegakkan moralitas; dàna akan menjadi lebih 

bermanfaat jika didahului oleh pelaksanaan sãla. Itulah sebabnya 

mengapa saat para bhikkhu diundang oleh umat awam untuk 

menerima jubah dan persembahan lainnya, mereka memastikan 

bahwa para umat ini   pertama-tama harus menegakkan sãla 

(meskipun menerima sãla ini tidak disebutkan dalam tindakan 

mengundang ini  ).

Atas pertanyaan “Mengapa disebut sãla?,” jawaban yang sederhana 

dan langsung yaitu  : disebut sãla sebab   (1) Tidak mengizinkan 

tindakan jasmani dan ucapan terjadi secara kasar dan tidak benar; 

menuntun dan mengarahkan tindakan dan ucapan menjadi tenang 

dan lembut, (2) bertindak sebagai landasan bagi munculnya 

kesadaran moral setahap demi setahap, yaitu, kesadaran moral yang 

menyentuh alam indria, kesadaran moral yang menyentuh alam 

bentuk, kesadaran moral yang menyentuh alam tanpa bentuk, dan 

kesadaran Lokuttara.

Dari pembahasan ini akan muncul pertanyaan: (1) Jika moralitas 

(sãla) dan konsentrasi (samàdhi) keduanya ‘mengarahkan’, mengapa 

berbeda dalam hal fungsinya? Sãla memberi   ketenangan dan 

kedamaian dengan mengendalikan tindakan jasmani dan ucapan; 

sedangkan konsentrasi mencegah pikiran dan faktor-faktor batin 

yang berhubungan dari kekacauan dengan mengarahkannya 

kepada satu objek tunggal. Demikianlah perbedaan moralitas dan 

konsentrsai dalam fungsinya mengarahkan. 

(2) Jika moralitas dan unsur-unsur padat (pathavã) keduanya 

‘menegakkan’, apakah perbedaannya dalam fungsinya? Moralitas 

yaitu   pemicu   utama bagi munculnya empat kelompok kesadaran 

moral; sebab   itu disebut bertindak sebagai landasan bagi munculnya 

kesadaran moral yang menyentuh alam indria, kesadaran moral 

yang menyentuh alam bentuk, kesadaran moral yang menyentuh 

3242


alam tanpa bentuk, dan kesadaran Lokuttara.

Bagaikan seorang pengasuh istana menggendong pangeran bayi 

agar ia tidak merangkak ke kamar-kamar di dalam istana, demikian 

pula unsur-unsur padat menggenggam unsur-unsur lainnya yang 

muncul bersamanya dan mencegah unsur-unsur ini   menyebar 

ke segala penjuru. Demikianlah, moralitas dan kepadatan berbeda 

dalam fungsinya menegakkan dan mempermudah. (Subkomentar 

Visuddhimagga, Bab Moralitas).

Visuddhimagga hanya menyebutkan dua makna dari sudut tata 

bahasa seperti dijelaskan di atas. Tetapi ada perbedaan pandangan 

yang diungkapkan oleh para guru lainnya. Menurut mereka kata sãla 

dalam bahasa Pàëi yang berarti moralitas diturunkan dari kata ‘sira’ 

atau ‘sisa’, yang keduanya berarti ‘kepala.’ Jika kepala dipenggal, 

maka seluruh tubuh akan hancur; demikian pula jika moralitas 

hancur, maka semua bentuk kebajikan juga akan menjadi hancur. 

Dengan demikian moralitas yaitu   bagaikan kepala dari tubuh 

kebajikan dan dinamakan ‘siëa’, turunan dari kata ‘sira’ atau ‘sisa’ 

dengan menggantikan huruf ‘ë’ dengan huruf ‘r’ atau ‘s.’

Namun penulis menganggap bahwa pandangan alternatif ini tidak 

tepat, sebab   hanya berdasarkan kemiripan bunyi yang dihasilkan 

dalam pengucapan kata sira, sisa, dan sãëa dan tidak berhubungan 

dengan makna intrinsik dari kata sãëa seperti yang dijelaskan dalam 

Abhidhànappadipikà syair no. 1092.

Penulis menyimpulkan bahwa moralitas disebut sãla sebab  , 

menurut Abhidhànappadipika, mengandung dua makna (1) 

karakteristik alami dan (2) praktik yang baik.

Meskipun karakterisik alami dapat berarti baik dan buruk, sebab   

seperti dijelaskan di atas. sebab   kita sedang membahas kebiasaan 

dan perilaku para bijaksana masa lampau dari para Bakal Buddha, 

Arahanta, dan sebagainya, kita harus menganggap bahwa sãëa hanya 

merujuk pada aspek kebaikan saja. Misalnya, walaupun Dhamma 

dapat berarti kebaikan atau kajahatan saat   kita mengucapkan 

‘Aku berlindung kepada Dhamma’, Dhamma di sini hanya berarti 

3243

 1

Dhamma yang baik. Demikian pula, meskipun, Saÿgha artinya 

‘sekelompok’, ‘perkumpulan’ dalam kata ‘manussa-saÿgha’, 

‘sekelompok orang’, sakuna-saÿgha, ‘sekumpulan burung’, saat kita 

mengucapkan ‘Aku berlindung kepada Saÿgha’, yang dimaksudnya 

hanyalah perkumpulan para bhikkhu.

Mempertimbangkan hal ini, sãla harus diartikan sesuai definisi 

‘karakteristik alami’ sesuai yang terdapat dalam Abhidhànappadipika. 

Dengan demikian disebut moralitas yaitu   sebab   karakteristik 

alami dari para bijaksana masa lampau, para Bakal Buddha, 

Arahanta, dan sebagainya.

(3) Apakah Karakteristik, Fungsi, dan Sebagainya dari 

Moralitas?

Moralitas memiliki karakteristik mengendalikan tindakan jasmani 

dan ucapan seseorang dan mengarahkannya ke arah yang benar; 

juga bertindak sebagai landasan bagi semua kebajikan.

Fungsinya yaitu   untuk mencegah seseorang menjadi tidak 

bermoral sebab   tindakan jasmani dan ucapan yang tidak terkendali. 

Juga membantu agar seseorang tetap tidak ternoda dalam perbuatan, 

bebas dari celaan para bijaksana.

Moralitas terwujud dalam kesucian pikiran, perkataan, dan 

perbuatan. saat   para bijaksana merenungkan sifat moralitas, 

mereka menyadari bahwa itu yaitu   kesucian tindakan fisik, 

kesucian perkataan, dan kesucian pikiran.

pemicu   langsung dari munculnya moralitas yaitu   rasa malu 

dalam melakukan perbuatan tidak bermoral (hiri) dan rasa takut 

dalam melakukan perbuatan tidak bermoral (ottappa). Meskipun 

mendengarkan Dhamma dapat membantu munculnya moralitas, 

namun hanya bertindak sebagai pemicu   tidak langsung. Hanya 

melalui hiri dan ottappa peraturan moralitas dilaksanakan.

3244


(4) Apakah Manfaat Moralitas?

Seorang yang bertingkah laku baik menikmati banyak manfaat 

seperti hati yang gembira yang mengarah kepada kegembiraan 

dan kebahagiaan (pàmojja). Hal ini selanjutnya mengakibatkan 

kegembiraan yang meluap (pãti). Bagi seseorang yang menikmati 

kegembiraan yang meluap, akan muncul ketenangan batin dan 

jasmani (passaddhi) yang diikuti oleh kebahagiaan (sukha). Kondisi 

batin dan jasmani yang tenang akan mengembangkan konsentrasi 

(samadhi) yang memungkinkan seseorang untuk melihat segala 

sesuatu sebagaimana adanya (yathàbhÃ¥ta ¥Ã Ãµa). saat   seseorang 

mendapatkan pengetahuan mengenai segala sesuatu sebagaimana 

adanya, seseorang akan menjadi bosan dan tidak melekat terhadap 

cacat dan penderitaan yang ditimbulkan oleh kelahiran kembali. 

Dalam dirinya muncul Pandangan Cerah yang kuat ke dalam 

kenyataan (Balava Vippassanà ¥Ã Ãµa). Dengan Pandangan Cerah 

ini, ia menjadi tidak melekat pada keserakahan dan mencapai 

Pengetahuan Jalan, yang mengarah menuju Kebebasan (Vimutti) 

penuh melalui Pengetahuan Buah. sesudah   mencapai Pengetahuan 

Jalan dan Buah, ia mengembangkan pengetahuan perenungan 

(Paccavekkhanà ¥Ã Ãµa) yang memungkinkan dirinya melihat 

bahwa lenyapnya fenomena kelompok-kelompok nàma dan rÃ¥pa 

telah terjadi dalam dirinya. Dengan kata lain, ia telah mencapai 

Kedamaian Sempurna, Nibbàna. Demikianlah moralitas memiliki 

banyak manfaat termasuk pencapaian Nibbàna. (AN III, p.615).

Dalam beberapa khotbah, Buddha menyebutkan lima manfaat 

berikut yang dapat dicapai oleh seseorang yang menjalani sãla dan 

yang menegakkan moralitas:

(1) Berdasarkan perhatian melalui sãla, ia akan memperoleh 

kekayaan besar;

(2) Ia memperoleh kemasyhuran dan reputasi baik;

(3) Ia mendekat dan memasuki perkumpulan para mulia, 

brahmana, perumah tangga atau petapa dengan penuh rasa 

percaya diri (yang muncul dari moralitasnya), tanpa adanya 

rasa rendah diri;

(4) Ia hidup selama umur kehidupan maksimum dan meninggal 

3245

 1

dunia dengan tenang. (Seseorang yang tidak bermoral, di 

atas ranjang kematiannya akan merasa menyesal sebab   tidak 

pernah melakukan kebajikan seumur hidupnya; seseorang 

yang bermoral tidak akan menyesali apa pun saat kematian 

mendatanginya; sebaliknya, ingatan akan kebajikan yang 

pernah dilakukannya akan bermunculan dalam mata batinnya 

dan membuatnya tidak merasa takut, batinnya terang, tenang 

dalam menghadapi kematian, bagaikan seseorang yang akan 

mendapatkan sebuah mangkuk emas akan dengan senang hati 

membuang mangkuk tanah.)

(5) Ia akan terlahir kembali di alam bahagia sebagai dewa dan 

manusia.

(DN II, p.73; AN II, p22 I; Vin III, p.322)

(5) Ada Berapa Jenis Moralitas?

Kelompok Dua dari Moralitas

(1) Aturan yang melibatkan tindakan tertentu (càritta); aturan 

menghindari (vàritta).

Dari kedua jenis ini, aturan yang ditetapkan oleh Buddha yang 

menyatakan ‘ini harus dilakukan’ yaitu   càritta sãla. Misalnya, 

perbuatan kewajiban-kewajiban terhadap penahbis (upajjhaya vatta); 

atau tugas-tugas terhadap seorang guru (àcariya vatta), yaitu   

pemenuhan càritta sãla melalui praktik.

Tidak melakukan apa yang dilarang oleh Buddha yang menyatakan, 

“Ini tidak boleh dilakukan” yaitu   pemenuhan varitta sãla. Misalnya, 

pelaksanaan aturan-aturan Pàrajika dari Vinaya (yang melarang para 

bhikkhu melakukan hubungan seksual, mencuri, membunuh, dan 

mengaku telah mencapai Pandangan Cerah Magga dan Phala) 

yaitu   pelaksanaan varitta sãla melalui penghindaran.

Beberapa orang secara sembrono mengartikan aturan-aturan 

disiplin ini dan mengatakan bahwa càritta sãla yaitu   sãla yang 

tidak menimbulkan pelanggaran jika tidak dipenuhi, namun 

pelaksanaannya akan berperan dalam menyucikan moralitas 

3246


seseorang. Dengan mengartikan demikian, mereka tidak 

membedakan antara para bhikkhu dan umat awam.

Sesungguhnya, Buddha menetapkan peraturan-peraturan disiplin 

sehubungan dengan kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan 

oleh seorang murid kepada penahbis atau gurunya. Murid yang 

tidak mematuhi sãla-sãla ini bukan saja tidak memenuhi càritta sãla, 

tetapi juga telah bersalah melakukan pelanggaran atas peraturan 

disiplin sehubungan dengan pemenuhan kewajiban (vatta bhedaka 

dukkata àpatti).

Dengan demikian, bagi para bhikkhu, tidak dapat dikatakan bahwa 

tidak memenuhi càritta sãla tidak akan mengakibatkan pelanggaran; 

bagi mereka, càritta sãla yaitu   sãla yang harus dilaksanakan yang 

telah ditetapkan oleh Buddha.

Sedangkan bagi umat awam, dapat dikatakan bahwa menghindari 

perbuatan salah yang dapat mengakibatkan kelahiran di alam-

alam rendah berada dalam kelompok càritta sãla. Sebaliknya 

tidak melakukan perbuatan salah yang berakibat atau tidak 

berakibat terlahir kembali di alam-alam ini   yaitu   varitta 

dan menunjukkan sikap hormat kepada orang yang lebih tua 

dikelompokkan sebagai càritta sãla.

Misalnya, ada Lima Sãla yang harus dijalankan oleh umat awam: 

tidak membunuh, mencuri, melakukan hubungan seksual yang 

salah, berbohong, dan meminum minuman keras. Melakukan 

perbuatan-perbuatan ini, bukannya menghindarinya, pasti akan 

mengakibatkan kelahiran di alam rendah. Oleh sebab   itu tidak 

melakukan lima perbuatan buruk ini yang dapat mengakibatkan 

kelahiran demikian yaitu   vàritta sãla.

Seorang umat awam juga dapat menjalani Delapan Sãla yaitu, tidak 

membunuh, mencuri, berbohong, dan meminum minuman keras, 

(empat sãla ini termasuk kelompok vàritta sãla dan empat sãla lainnya 

yaitu tidak melakukan hubungan seksual, tidak makan sesudah   

lewat tengah hari, tidak menyanyi, menari, bermain musik dan 

menikmatinya, dan tidak memakai   tempat tidur dan tempat 

3247

 1

duduk yang tinggi dan mewah.

Perbuatan yang termasuk dalam empat sãla terakhir ini tidak harus 

mengakibatkan kelahiran di alam rendah. Umat-umat awam mulia 

seperti para Pemenang Arus (Sotàpanna), Yang Sekali Kembali 

(Sakadàgàmã), melakukan hubungan seksual yang sah dengan 

pasangan mereka, makan sesudah   lewat tengah hari, menari, 

menyanyi, dan sebagainya, dan tidur di tempat tidur yang tinggi 

dan mewah. Tetapi, sebab   mereka melakukannya dengan pikiran 

yang tidak dipengaruhi oleh pandangan salah (diññhi-vippayutta 

citta), maka perbuatan mereka tidak akan berakibat pada kelahiran 

di alam rendah.

Tetapi, umat-umat awam biasa mungkin melakukan perbuatan-

perbuatan ini dengan pikiran yang dipengaruhi oleh pandangan 

salah (diññhi-sampayutta), tidak dipengaruhi oleh pandangan salah 

(diññhi-vippayutta). Perbuatan-perbuatan ini bisa atau tidak berakibat 

pada kelahiran kembali di alam rendah. Oleh sebab   itu, empat sãla 

ini, yaitu, tidak melakukan hubungan seksual, tidak makan sesudah   

lewat tengah hari, tidak menari, menyanyi, bermain musik, dan 

sebagainya, dan tidak memakai   tempat tidur yang tinggi dan 

mewah, dapat disebut càritta sãla.

Jika seseorang yang telah menyatakan berlindung kepada Buddha, 

Dhamma, dan Saÿgha dan menjalani Lima Sãla dengan hati-hati, 

maka ia yaitu   seorang umat awam dari Buddha, seorang upàsaka. 

Jika ia berusaha lebih keras lagi dan menjalani Delapan Sãla, yaitu   

bertujuan untuk menjalani hidup suci dengan tingkat usaha yang 

lebih tinggi. Akan tetapi Buddha tidak mengatakan bahwa menjalani 

Delapan Sãla akan menyelamatkan seseorang dari kelahiran di alam 

rendah dan bahwa menjalani Lima Sãla saja tidaklah cukup untuk 

selamat dari bahaya terjatuh ke alam kehidupan yang rendah.

Oleh sebab   itu, dalam pengertian ini, pelaksanaan empat sãla 

terakhir dalam Delapan Sãla dapat dianggap sebagai càritta sãla. 

Namun, bagi para bhikkhu, Buddha dengan tegas melarang mereka 

melakukan empat perbuatan ini; sebab   itu, bagi para bhikkhu, 

menghindari perbuatan ini yaitu   vàritta Sãla.

3248


Catatan

Sepintas lalu, perbedaan di atas mengenai càritta sãla dan vàritta sãla 

atau pertimbangan yang dangkal terhadap perilaku para siswa mulia 

seperti Visàkha dalam hal melakukan hubungan seksual dengan 

pasangan yang sah, makan pada sore hari, menari, menyanyi, 

bermain musik, dan sebagainya, memakai   tempat tidur yang 

tinggi dan mewah dapat menimbulkan anggapan keliru. Seseorang 

akan dengan mudah berpandangan salah menganggap bahwa 

semua perbuatan ini   yaitu   tidak salah, tanpa cacat; seseorang 

lalu   akan cenderung untuk melakukannya terus menerus 

sebab   pengaruh pandangan salah (micchà diññhi). Penting sekali 

untuk tidak jatuh ke dalam anggapan keliru demikian.

Membunuh, mencuri, melakukan hubungan seksual yang salah, 

berbohong, dan meminum minuman keras, sebab   merupakan 

perbuatan salah, akan mengarah kepada kelahiran kembali di alam 

rendah. Tidak ada tempat untuk bersembunyi dari akibat buruk 

yang dihasilkan dari perbuatan ini  . Itulah sebabnya, orang-

orang mulia, para Ariya, tidak akan pernah melakukan perbuatan 

demikian bahkan dengan ancaman kematian. Mereka akan lebih baik 

memilih mati daripada melakukan perbuatan itu, sebab   mereka 

telah mencabut semua kecenderungan tersembunyi (anusaya) untuk 

melakukan perbuatan buruk melalui Pandangan Cerah Magga. 

Hanya sebab   para Ariya seperti para Pemenang Arus, Yang Sekali 

Kembali, Yang Tak Kembali, melakukan kegiatan makan pada sore 

hari, dan sebagainya, seperti yang dilakukan oleh orang-orang biasa, 

tidaklah tepat jika dikatakan bahwa mereka melakukannya dengan 

sikap batin yang sama dalam berbagai perbuatan mereka.

Para Ariya tidak menilai objek-objek kenikmatan indria dengan 

cara yang sama dengan orang-orang biasa; cara mereka menikmati 

kenikmatan indria juga berbeda dengan orang-orang biasa.

Komentar Aïguttara-Nikàya (AN I, p.350) menyebutkan bahwa sikap 

para Ariya terhadap objek-objek indria yang menyenangkan yaitu   

bagaikan seorang brahmana bersih, yang, dikejar oleh seekor gajah 

yang sedang berahi, mencari perlindungan di dalam kotoran. saat   

3249

 1

didera oleh keserakahan akan kenikmatan indria, kotoran yang 

belum dilenyapkan oleh Pengetahuan Jalan, Pemenang Arus atau 

Yang Sekali Kembali menghadapi objek kenikmatan indria dengan 

batin yang tidak dipengaruhi oleh pandangan salah, hanya sekadar 

untuk menenangkan, menaklukkan panasnya api kotoran.

Penjelasan ini memerlukan pertimbangan yang saksama. Meneladani 

para Ariya seperti Visakha, umat awam akan beranggapan bahwa 

para Ariya menikmati kenikmatan indria dengan cara yang persis 

sama seperti yang ia lakukan. Seperti dijelaskan dalam Komentar 

Aïguttara, para Ariya menikmati kenikmatan indria, dengan batin 

yang tidak terpengaruh oleh pandangan salah, hanya sekadar 

untuk menenangkan nafsu yang membakar, kotoran yang belum 

terhancurkan melalui Pengetahuan Jalan, sedangkan orang biasa 

menikmati kenikmatan indria pada umumnya dengan batin yang 

terpengaruh oleh pandangan salah.

Sebagai kesimpulan, seseorang mungkin saja melakukan hubungan 

seksual dengan pasangannya, makan pada sore hari, menari, 

bernyanyi, bermain musik, dan sebagainya, dan memakai   

tempat tidur yang tinggi dan mewah, dengan batin yang 

terpengaruh oleh pandangan salah yang mengakibatkan kelahiran 

kembali di alam rendah, atau dengan batin yang tidak terpengaruh 

oleh pandangan salah yang tidak mengakibatkan kelahiran kembali 

di alam rendah. Oleh sebab   itu, menghindari empat perbuatan ini 

(yang dapat mengarah kepada kelahiran kembali di alam rendah) 

dapat dikelompokkan sebagai càritta sãla dan bukan vàritta Sãla.

Pengelompokan Delapan Sãla ke dalam empat càritta sãla dan empat 

vàritta sãla hanya dapat dipertahankan jika janji menghindari 

diucapkan, secara terpisah untuk masing-masing sãla. Jika janji 

diucapkan untuk keseluruhan kelompok, dengan mengucapkan, 

“Aku akan menjalani Delapan Sãla,” itu hanyalah pelaksanaan càritta 

sãla, sebab   Delapan Sãla terdiri dari aturan moralitas yang harus 

dan tidak harus dijalankan oleh seseorang.

Sedangkan untuk Lima Sãla, apakah janji diucapkan untuk Lima 

Sãla secara keseluruhan atau satu per satu, pelaksanaannya pasti 

3250


yaitu   praktik dari vàritta sãla.

Dari dua kelompok sãla, pelaksanaan càritta sãla hanya dapat 

dilaksanakan jika seseorang memiliki keyakinan dan usaha. 

Keyakinan yaitu   memercayai bahwa akibat baik akan mengikuti 

perbuatan baik dari praktik moralitas, dan usaha maksudnya yaitu   

usaha terus menerus dalam menjalani sãla dengan keyakinannya.

Tidak ada usaha khusus yang diperlukan untuk dapat melaksanakan 

vàritta sãla. Hanya diperlukan keyakinan. Sekadar menghindari 

perbuatan-perbuatan yang diajarkan Buddha sebagai perbuatan 

buruk melalui keyakinan sudah cukup untuk memenuhi vàritta 

sãla.

(2) Kelompok praktik moral (Abhisamàcàrika Sãla) yang 

menumbuhkan perbuatan baik dan yang termasuk semua bentuk 

tindakan baik selain dari yang ada dalam kelompok Delapan Sãla 

dengan penghidupan benar sebagai yang kedelapan, âjãvaññhamaka 

Sãla. Semua bentuk praktik moral yang diajarkan untuk memenuhi 

Jalan dan Buahnya ada dalam kelompok ini.

sebab   membentuk awal dari kehidupan suci yang terdapat dalam 

Jalan, kelompok Delapan Sãla yang berisikan praktik penghidupan 

benar (âjãvaññhamaka Sãla) juga disebut âdibrahmàcariyaka Sãla.

Sãla dengan penghidupan benar sebagai yang kedelapan, 

àjivaññhamaka sãla termasuk tiga tindakan fisik bermoral: tidak 

membunuh, tidak mencuri, dan tidak melakukan hubungan seksual 

yang salah; empat ucapan bermoral: tidak berbohong, tidak berkata-

kata kasar, tidak mengucapkan kata-kata hinaan, tidak bergosip; dan 

terakhir tidak menjalani penghidupan yang salah.

Visuddhimagga menyebutkan bahwa âjãvaññhamaka Sãla juga 

disebut âdibrahmàcariyaka Sãla sebab   terdiri dari sãla-sãla yang 

harus dipenuhi pada tahap awal mengembangkan Jalan Mulia.

Pernyataan Komentar ini mungkin sekali disalahartikan oleh 

beberapa pihak bahwa hanya âjãvaññhamaka Sãla yang merupakan 

3251

 1

sãla yang harus dilaksanakan pertama kali untuk mencapai Jalan. 

Ada beberapa pihak yang menganggap bahwa Lima Sãla, Delapan 

Sãla, Sepuluh Sãla, yang biasanya dilaksanakan saat ini, bukanlah 

sãla awal yang harus dijalankan untuk mencapai Jalan.

Sebaliknya, ada beberapa orang yang mengatakan bahwa mereka 

belum pernah mendengar aturan-aturan moralitas yang aneh yang 

disebut âjãvaññhamaka Sãla; bukanlah apa yang telah diajarkan oleh 

Buddha; hanya pengembangan yang muncul belakangan yang tidak 

berguna.

Sesungguhnya, âjãvaññhamaka Sãla yaitu   Sãla yang diajarkan 

langsung oleh Buddha sendiri. Visuddhimagga mengutip 

Uparipannasa Pàëi (5 Vagga, 7 Sutta) “Tenàha pubbeva kho 

panassa kàyakammam vacikammam àjivo suparisuddho hotã ti” 

untuk membuktikan bahwa Buddha mengajarkan âjãvaññhamaka 

Sãla, kelompok sãla dengan penghidupan benar sebagai yang 

kedelapan.

Buddha muncul di dunia ini pada masa dunia ini dikuasai oleh 

kegelapan. Umat manusia memiliki moral yang tidak baik, tenggelam 

dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan jahat. saat   Buddha 

berniat menanamkan kebajikan melalui praktik moralitas kepada 

makhluk-makhluk yang tidak bermoral ini  , Ia harus memilih 

sekelompok sãla moral dari berbagai kelompok sãla yang cocok 

bagi batin mereka yang kasar. Beliau pada tahap awal mengajarkan 

âjãvaññhamaka Sãla. saat   bentuk-bentuk kejahatan yang lebih kasar 

telah disingkirkan dari kebiasaan makhluk-makhluk yang belum 

dijinakkan dengan mengajarkan âjãvaññhamaka Sãla, Buddha tidak 

memakai  nya lagi; sebagai gantinya Beliau mengajarkan Lima 

Sãla dan Delapan Sãla dalam usaha-Nya untuk memberadabkan 

lebih jauh lagi.

sesudah   tidak digunakan oleh Buddha sesudah   umat manusia 

mencapai tahapan tertentu dalam penyucian moral, guru-guru 

selanjutnya sejak zaman Buddha hingga sekarang tidak lagi 

menganggap penting âjãvaññhamaka Sãla; umat-umat awam juga 

tidak mengerahkan usaha khusus untuk melaksanakannya (sebab   

3252


âjãvaññhamaka Sãla memang pada awalnya ditujukan bagi orang-

orang yang tidak bermoral saja.)

Pertanyaan akan muncul di sini: sebab   Ã¢jãvaññhamaka Sãla 

membentuk praktik awal menuju Jalan dan sebab   telah digunakan 

sejak pertama Buddha muncul ke dunia ini, apakah bukan malah 

lebih tepat lagi jika dilaksanakan pada masa sekarang?

Istilah ‘Praktik Awal menuju Jalan’ berlaku hanya pada saat 

âjãvaññhamaka Sãla dilaksanakan oleh orang-orang yang tidak 

bermoral pada tahap awal sebagai sãla untuk menempuh Jalan. 

Mereka yang telah meninggalkan pandangan salah dan mulai 

merangkul ajaran Buddha tidak boleh merasa ragu untuk mulai 

menyucikan diri mereka dengan melaksanakan âjãvaññhamaka Sãla, 

tetapi sesudah   mereka sudah mantap dalam ajaran Buddha sesudah   

lebih terlatih dalam sãla, maka tidak lagi disebut sebagai ‘Praktik 

Awal menuju Jalan’.

Bahkan anak-anak dari keluarga Buddhis juga diajarkan untuk 

memahami akibat menakutkan dari perbuatan jahat seperti 

membunuh makhluk hidup dan mereka menghindari perbuatan 

ini  . Dan saat   mereka tumbuh besar dan mulai menjalani Sãla, 

tidak perlu lagi melaksanakan âjãvaññhamaka Sãla. Perlahan-lahan 

mereka meningkatkan latihan dari Lima Sãla menuju Delapan Sãla 

dan Sepuluh Sãla.

Dengan kata lain, pelaksanaan âjãvaññhamaka Sãla yaitu   tahap 

yang mutlak diperlukan bagi mereka yang tidak bermoral untuk 

meninggalkan kebiasaan-kebiasaan buruk mereka; tetapi bagi 

mereka yang tumbuh dalam bimbingan para orangtua Buddhis, 

jelas bahwa mereka telah memiliki sedikit moralitas. Oleh sebab   

itu, mereka tidak perlu melaksanakan âjãvaññhamaka Sãla. Apa yang 

dijelaskan di atas berlaku pada masa sekarang saat   ajaran Buddha 

telah berkembang luas.

Meskipun tumbuh besar dalam lingkungan Buddhis dan diajarkan 

untuk menghindari perbuatan jahat, tetapi jika seseorang 

merasa bahwa dirinya tidak memiliki moralitas yang baik dan 

3253

 1

telah melakukan pelanggaran-pelanggaran besar, maka ia tidak 

mempunyai pilihan selain memulai dengan proses penyucian awal 

melalui pelaksanaan âjãvaññhamaka Sãla sebagai praktik menuju 

Jalan Mulia.

Mereka yang cenderung mengikuti jalan yang terdiri dari sedikit sãla 

menghindari akan melihat bahwa âjãvaññhamaka Sãla ini menarik 

jika seseorang menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan sãla ini, 

seseorang tidak perlu menghindari meminum minuman keras, 

tidak perlu menghindari perbuatan menari, menyanyi, menonton 

pertunjukan, yang mudah dilaksanakan sebab   tidak mengandung 

sãla menghindari yang sulit dan sãla ini bertindak sebagai landasan 

untuk mencapai Jalan dan Buahnya.

yaitu   sifat lemah manusia untuk mencari cara yang mudah untuk 

mendapatkan kekayaan. Mereka lupa atau tidak tahu mengenai 

fakta bahwa bahkan dengan kerja keras, belum tentu mereka dapat 

mencapai kekayaan yang mereka cita-citakan. Banyak dari mereka 

justru menjadi mangsa para penipu curang yang mengaku memiliki 

kesaktian yang dapat menggandakan kekayaan. Dengan mencari 

cara mudah untuk menjadi kaya, mereka telah menjadi korban 

keserakahan mereka sendiri.

Seperti halnya terdapat para penipu dalam urusan duniawi, 

demikian pula, ada penipu dalam urusan spiritual khususnya yang 

berhubungan dengan pencapaian Jalan dan Buahnya, yang, tentu saja 

sama sekali tidak mudah untuk dicapai. Banyak di antara mereka 

yang, cenderung mencari jalan pintas, mengikuti ajaran palsu dari 

guru-guru palsu yang menjanjikan kepada mereka pencapaian 

Pemenang Arus dalam tujuh hari jika melatih ajaran mereka atau 

Yang Sekali Kembali jika ia memiliki tingkat kecerdasan yang cukup. 

sesudah   melewati tujuh hari latihan, sang guru akan mengumumkan 

pencapaian palsu si murid sebagai seorang Pemenang Arus atau 

Yang Sekali Kembali dan si murid akan merasa gembira akan 

pencapaian palsu mereka.

Di sini, kami ingin memberi   peringatan. Sepotong tembaga 

jika dapat diubah menjadi sepotong emas yang berharga, melalui 

3254


proses kima, akan memiliki sifat-sifat emas yang jelas berbeda 

dari sifat logam asalnya, tembaga. Demikian pula, seorang mulia 

sebagai seorang Ariya yang telah mencapai Jalan dan Buah pertama 

sebagai seorang Pemenang Arus akan dengan mudah dibedakan 

dari orang biasa melalui perilaku fisik, ucapan, dan pikirannya. 

Daripada menerima begitu saja pengakuan guru bahwa ia telah 

mencapai tingkat kesucian Pemenang Arus atau Yang Sekali Kembali 

seseorang sebaiknya memeriksa dan mengintrospeksi sifat-sifat 

sejatinya apakah telah berubah lebih baik dan bahwa ia benar-benar 

merasakan manfaat dari tujuh hari latihan ini  . Hanya dengan 

evaluasi diri dengan cara ini, seseorang dapat menyelamatkan 

dirinya dari kesesatan oleh guru-guru spiritual yang meragukan.

Demikianlah dalam hal melaksanakan sãla atau dalam hal menuju 

ke sana, tidak ada jalan pintas atau jalan yang mudah untuk 

mendapatkan objek-objek yang diinginkan. Seseorang yang 

ketagihan minuman keras tidak akan mampu melaksanakan bahkan 

hanya Lima Sãla, apalagi latihan yang lebih tinggi seperti Delapan 

Sãla.

Kelompok peraturan moral selain dari âjãvaññhamaka Sãla yang telah 

dijelaskan dikelompokkan sebagai âbhisamàcàrika Sãla, sãla-sãla 

yang meningkatkan perbuatan baik. Bahkan Lima Sãla dianggap 

lebih tinggi daripada âjãvaññhamaka Sãla.

Akan muncul pertanyaan: bagaimana mungkin Lima Sãla yang hanya 

terdiri dari satu pengendalian (yaitu, tidak berbohong) dari empat 

pengendalian ucapan dianggap lebih tinggi daripada âjãvaññhamaka 

Sãla yang mengharuskan pelaksanaan empat pengendalian ucapan 

(berbohong, bergosip, berkata kasar, dan membicarakan hal-hal yang 

tidak berguna)?

Jawabannya terletak pada fakta bahwa dari empat pengendalian 

ucapan, berbohong merupakan dasar bagi pelanggaran dari semua 

pengendalian ucapan. Buddha mengajarkan bahwa bagi seseorang 

yang melakukan kebohongan, tidak ada perbuatan jahat yang tidak 

mungkin ia lakukan; dan seseorang yang mampu menghindari 

berbohong akan dapat dengan mudah melaksanakan sãla lainnya.

3255

 1

Bagaimana mungkin seseorang yang tidak berbohong dapat 

melibatkan diri dalam memfitnah, dan membicarakan hal-hal yang 

kasar, tidak benar dan tidak berguna? Ini menjelaskan mengapa 

hanya pengendalian diri terhadap kebohongan yang termasuk 

dalam pengendalian ucapan yang penting dalam Lima Sãla. sebab   

itu tidak akan dipertanyakan bahwa âjãvaññhamaka Sãla lebih tinggi 

dari Lima Sãla.

Sekali lagi akan muncul pertanyaan: sebab   sãla untuk menghindari 

penghidupan salah, yang tidak termasuk dalam Lima Sãla, 

merupakan sãla kedelapan dalam âjãvaññhamaka Sãla, maka pasti 

sãla ini lebih tinggi dari Lima Sãla.

Jawabannya secara singkat yaitu  : Bagi seseorang yang melaksanakan 

Lima Sãla, tidak diperlukan usaha khusus untuk menghindari diri 

dari penghidupan salah. Selain itu, penghidupan salah maksudnya 

yaitu   mencari nafkah melalui cara-cara yang salah seperti 

membunuh, mencuri, dan berbohong. Dengan melaksanakan Lima 

Sãla secara sungguh-sungguh, seseorang akan secara otomatis 

menghindari perbuatan jahat membunuh, mencuri, dan berbohong. 

Dengan demikian sãla menghindari penghidupan salah sebagai sãla 

tambahan dalam âjãvaññhamaka Sãla tidak menunjukkan bahwa sãla 

ini lebih tinggi daripada Lima Sãla. Apa yang didiskusikan di atas 

berlaku hanya bagi umat awam.

Bagi anggota Saÿgha, peraturan disiplin yang ditetapkan oleh 

Buddha bagi mereka seperti yang dijelaskan dalam Vinaya Piñaka 

dikenal sebagai sikkhàpada. Pelanggaran-pelanggaran yang 

mengakibatkan hukuman dijatuhkan, dikelompokkan dalam 

tujuh kelompok sesuai sifatnya: (i) Pàràjika, (ii) Saÿghàdisesa, (iii) 

Thullaccaya, (iv) Pàcittiya, (v) Patidesaniya, (vi) Dukkata, dan (vii) 

Dubbhàsita.

Pelanggaran dalam kelompok pelanggaran pertama (pàràjika), dan 

satu dalam kelompok kedua (saÿghàdisesa), yaitu   pelanggaran 

berat (garukàpatti).

3256


Lima kelompok lainnya yang berisikan pelanggaran-pelanggaran 

ringan disebut lahukàpatti.

Kelompok peraturan moral yang dilaksanakan oleh para bhikkhu 

sehingga tidak terjadi pelanggaran kecil dan ringan yang termasuk 

dalam lahukàpatti disebut Abhisamàcàrika Sãla; yang dilaksanakan 

untuk menghindari pelanggaran besar, garukàpatti, disebut 

âdibrahmàcariyaka Sãla.

Dari lima kitab Vinaya Piñaka, Pàràjika Pàëi dan Pàcittiya Pàëi, juga 

dikenal sebagai Ubhato Vibhaïga menjelaskan peraturan-peraturan 

moralitas yang berada dalam kelompok âdibrahmàcariya Sãla; 

Mahà Vagga Pàëi dan Cåëà Vagga Pàëi yang disebut Khandhaka 

Vagga menjelaskan kelompok sãla yang dikelompokkan dalam 

Abhisamàcàrika Sãla. (Kitab terakhir, Parivàra, merupakan 

kesimpulan dan pengelompokan dari sãla-sãla yang terdapat dalam 

empat kitab sebelumnya.)

(Para bhikkhu menjadi sempurna dalam âdibrahmàcariyaka Sãla 

hanya sesudah   berhasil melaksanakan Abhisamacarika Sãla. Jika 

seorang bhikkhu dengan sungguh-sungguh menghindari bahkan 

pelanggaran kecil dan ringan, tidak perlu disebutkan bahwa ia akan 

lebih berhati-hati untuk tidak melakukan pelanggaran berat).

(3) Moralitas terdiri dari dua jenis: viratã sãla dan aviratã sãla.

(a) Viratã sãla maksudnya yaitu   faktor-faktor batin yang terdiri 

dari tiga pengendalian diri, yaitu, perkataan benar, perbuatan benar, 

dan penghidupan benar seperti dijelaskan dalam bagian “Apakah 

Moralitas itu?”.

(b) Aviratã sãla terdiri dari sãla-sãla yang berhubungan dengan 

berbagai faktor batin seperti kehenda