Tampilkan postingan dengan label Ajaan Lee Dhammadharo 4. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ajaan Lee Dhammadharo 4. Tampilkan semua postingan

Ajaan Lee Dhammadharo 4

 


tkan 

dirinya, ia mengajak kedua anak-anak lelaki, Man dan Manu, untuk 

bergabung dan ngobrol dengannya. 

sesudah  kami berdiam selama beberapa hari, kelompok ini mulai tidak 

bisa tenang. Pada hari pertama tenang-tenang saja: tidak seorang pun 

yang berani berbicara, karena mereka takut harimau dan gajah yang 

banyak berkeliaran di dataran tinggi itu. Pada hari ke lima, persediaan 

beras kami habis dan kami segera turun dari dataran tinggi. 

~ 164 ~


sesudah  kami sampai di dasar, kami berhenti sejenak untuk beristirahat. 

Seseorang yang bekerja untuk orang barat melihat kedatangan kami 

dan ia membentang tikar untuk aku duduk. Aku tidak menerima 

tawarannya, kemudian ia mengundang Phra Palat Sri untuk duduk di 

tikar, dan ia menerimanya. Tak beberapa lama kemudian terdengar 

suara guntur, padahal langit cerah, kemudian sesudah  itu ranting pohon 

terdekat jatuh hampir menimpa kepala Phra Palat Sri. Phra Palat Sri 

mukanya pucat, ia meloncat dari tempat duduknya. Aku berkata 

kepadanya, “Itulah yang terjadi pada orang-orang tidak melakukan 

pengendalian diri.” Sejak saat itu Phra Palat Sri menjadi orang yang 

pendiam. 

Kemudian kami melanjutkan perjalanan dan bermalam di sekolah 

dekat Phaa Nok Khao. Para pengikutku sudah kelelahan. Saat malam 

telah larut, dalam keheningan, aku mendengar bunyi orang menyelinap 

masuk ke dalam hutan, maka keesokan paginya, aku bertanya 

kepada para bhikkhu apa yang mereka lakukan kemarin malam, dan 

diberitahu, “kami mengambil gula aren bhante. Kami telah membawa 

sepanjang hari, tetapi belum pernah meminumnya, maka semalam 

kami merebusnya dengan air dan minum sampai habis.” 

Selesai menyantap makanan, kami berangkat menembus hutan rimba. 

Sebelum berangkat, aku bertekad, “aku akan mengendarai kendaraanku 

sendiri menuju daerah Chumphae,” yang berjarak delapan puluh 

kilometer. “Aku tidak akan menerima ajakan naik mobil atau truk. Aku 

akan mencari kesunyian di dalam hutan.” Beberapa menit kemudian, 

sesudah  kami berjalan sejauh beberapa kilometer, deruman suara 

mobil mendekat dan berhenti sekitar dua ratus meter di depan kami. 

Seorang wanita datang ke arah kami dan berkata, “bhante, mohon ikut 

menumpang mobil. Kami baru saja membelinya.” 

~ 165 ~


Aku melihat muka para pengikutku. Mereka semua ingin menumpang 

mobil, tetapi aku tidak setuju. Wanita itu terus memohon, tetapi aku 

tetap tidak menerimanya. 

Kami berjalan terus – mangkuk patta dan payung tergantung di pundak 

kami – menembus panas dan matahari. sesudah  berjalan sekitar empat 

kilometer, aku melihat kuil pemujaan di depan, dan memutuskan 

untuk beristirahat dan menjelajahi gua-gua di sana. Seorang wanita 

datang dengan seorang anak kecil dalam pelukannya dan tiga ekor 

kadal tergantung di pundaknya, yang dia letakan dekat tempat aku 

beristirahat. Aku berniat untuk meminta seekor kadal, tetapi tidak 

berani untuk mengatakannya.

sesudah  aku beristirahat sebentar, truk pengirim barang dari Loei 

melewati, dengan Nai Man dan Phra Palat Sri duduk di dalamnya. 

Supirnya berhenti, loncat turun dari truk dan lari menuju aku. “Aku 

melihat bhante jalan kaki sepanjang jalan ini selama beberapa hari,” 

ia berkata. “Mohon ikut denganku.” Ia membujukku selama beberapa 

menit, dengan berkata, “aku tidak akan meminta ongkos, begitu juga 

dengan anak-anak itu.” Salah satu pengikutku telah menaiki; yang 

satunya siap-siap naik. “Terima kasih,” jawabku “tetapi kami tidak 

bisa menerima ajakan Anda.”  Maka pengikutku yang sudah berada di 

dalam truk harus turun. 

Kami berjalan memasuki hutan Laan, area yang merupakan hutan 

perawan. Sekitar pukul 5.00 sore, Phra Palat Sri terserang sakit disentri, 

maka aku mengijinkan ia untuk naik mobil dan menunggu kami di 

Chumphae. Nai Man tidak bisa berjalan lagi – ia berjalan terseok-

seok – maka aku mengijinkannya untuk menumpang kendaraan ke 

Chumphae dan menunggu kami di sana juga. Jadi hanya tinggal kami 

bertiga, yaitu aku, Phra Juum dan Nai Manu, seorang anak lelaki dari 

Uttaradit. 

~ 166 ~


Kami mencapai lokasi peristirahatan– desa yang bernama Baan Krathum 

– malam, sekitar pukul 8.00. Kami kesulitan mencari tempat tinggal, 

dan akhirnya kami berkemah di dalam hutan kecil dekat dengan air. 

Besok paginya, kami berpindapatta di desa tersebut, Selesai makan, 

kami melanjutkan perjalanan.

sesudah  kami berjalan sekitar satu kilometer, matahari bersinar sangat 

terik sehingga kami berhenti sebentar untuk beristirahat di keteduhan. 

Pada sekitar pukul 5.00 sore langit menjadi gelap dan membahayakan. 

Sepertinya akan hujan. Nai Manu tidak ingin bermalam di dalam hutan, 

Maka ia minta naik mobil ke Khon Kaen, tetapi saat ia melambaikan 

tangan untuk menghentikan kendaraan, tidak ada seorang pun yang 

menghentikan kendaraan. Tidak lama kemudian badai menerjang, 

dengan angin kencang dan hujan. Anak laki-laki itu mencari rumah 

terdekat untuk berlindung. Kemudian malamnya atap rumah itu 

terbang oleh hembusan angin kencang.

Sementara itu, Phra Juum dan aku berjalan terus, mencari tempat 

berlindung di sepanjang jalan. Aku melihat pondok dengan luas satu 

kali dua setengah meter, dan tertutup rerumputan. Hujan sangat deras 

dan angin bertiup kencang mematahkan ranting-ranting pohon, maka 

aku memanggil Phra Juum dan kami berlindung di dalam pondok. Phra 

Juum membuka tenda payungnya dan beristirahat separuh bagian 

atap. Aku juga beristirahat separuhnya. Hembusan angin kencang 

menerjang atap di mana Phra Juum beristirahat, terbang ke tengah-

tengah sawah. Tidak lama kemudian sebatang pohon tumbang. Phra 

Juum berlari menuju separuh pondokku. Melihat kami tidak bisa tinggal 

lebih lama lagi, kami berlari menuju rimbunan semak-semak yang 

memberikan kami cukup tempat untuk menundukan badan, menggigil 

dan kedinginan, selama sekitar satu jam sampai hujan berhenti dan 

angin berhenti berhembus. Jubah dan barang-barang kami basah 

~ 167 ~


kuyub. Kami berjalan dan menemukan pondok lain, menyalakan api 

dan bermalam di sana. Malamnya hujan turun lagi. 

Keesokan harinya, anak laki-laki itu tidak mampu berjalan lagi, jadi 

kami menyuruhnya menumpang kendaraan  dan menunggu kami di 

Chumphae, meninggalkan kami berdua, Phra Juum dan aku melanjutkan 

berjalan kaki. Sekitar pukul 5.00 sore, kami tiba Chumphae. Penyakit 

disentri Phra Palat Sri belum sembuh – mukanya pucat pasi – karena 

itu kami menetap di Chumphae hingga ia sembuh. 

Aku menerima kabar bahwa tanggal upacara kremasi jenazah Somdet 

telah ditetapkan dan akan segera dilangsungkan, maka aku naik kereta 

api cepat dari Khon Kaen ke Bangkok. Waktu itu bulan Juni tahun 

1956.

~ 168 ~

Setibanya di Wat Boromnivasa, aku mendengar bahwa pihak vihara 

telah berkonsultasi mengenai upacara kremasi jenazah Somdet. Pada 

hari itu, dilangsungkan pertemuan sebelas orang bhikkhu senior untuk 

menunjuk panitia upacara kremasi, sesudah  itu mereka melanjutkan 

pertemuan dengan Perkumpulan Isaan di Green Hall. Sekitar seratus 

orang anggota perkumpulan hadir, dipimpin oleh Nai Lyan Buasuwan. 

Ketika aku sampai di Green Hall, aku melihat Chao Khun Dhammapitok 

dan Chao Khun Dhammatilok turut ambil bagian dalam pertemuan 

itu, tetapi mereka diam seribu bahasa. Yang aku dengar hanya suara 

Dokter Fon Saengsingkaew. Aku berdiri dan mendengarkan dari luar, 

tetapi tidak suka dengan yang apa aku dengar. Mereka merencanakan 

penggalangan dana atas nama Somdet untuk membangun rumah sakit 

jiwa bagi Dokter Fon di Ubon. 

Kemudian aku masuk ke dalam ruang pertemuan, duduk dan memohon 

diri untuk berpendapat, “permasalahan yang sedang kalian diskusikan 

sungguh menyedihkan aku. Aku merawat Somdet selama tiga tahun, 

dan sekarang sudah lebih dari seratus hari sejak beliau meninggal, 

namun dengan semua ajaan dan anggota perkumpulan yang berada 

di sini, aku belum mendengar ada yang menyebutkan rencana 

upacara kremasi. Aku paham kalian menganggarkan tujuh ratus ribu 

Baht untuk rumah sakit, tetapi aku belum mendengar juga ada yang 

Bagian 21

~ 169 ~


mengatur anggaran untuk Somdet. Hal ini membuat aku benar-benar 

sedih, inilah penyebab aku mohon ijin untuk berbicara.” 

sesudah  aku selesai, Dokter Fon langsung berkata, “aku telah menemui 

Panglima Tertinggi Phin untuk memberitahukan bahwa kita tidak 

punya cukup uang untuk membangun rumah sakit, dan oleh karena 

itu aku berniat menggalang dana sehubungan dengan upacara 

kremasi tersebut, sehingga dana yang diterima akan meningkat. Ia 

menyetujuinya, dan berdana sebesar sepuluh ribu Baht sendiri. Itulah 

alasan aku membawa permasalahan ini ke dalam pertemuan.” 

Kemudian aku menjawab, “aku tidak tahu urusan itu. Yang aku tahu 

kita ada di sini bukan untuk membahas rumah sakit. Kita bertemu 

untuk membahas masalah jenazah.” 

Mendengar ini, Dokter Fon bangun dan ke luar dari ruang pertemuan. 

Nai Lyan duduk diam sejenak, kemudian berkata, “mengenai masalah 

ini. Apa yang ajaan-ajaan sarankan?” Chao Khun Dhammatilok, Chao 

Khun Nyanarakkhit dan yang lainnya semua duduk terdiam. Nai Lyan 

bertanya sekali lagi, “Apa yang ajaan-ajaan sarankan agar dapat kami 

lakukan?”

Kemudian aku menjawab, “sesungguhnya aku tidak menentang 

pembangunan rumah sakit, tetapi aku merasa pembahasan mengenai 

rumah sakit dibahas sesudah  kremasi, karena jasad Somdet masih 

terbaring dan mengeluarkan aroma tidak sedap ke seluruh ruangan, 

dan karena itu harus diperhatikan terlebih dahulu.” 

sesudah  aku menyelesaikan kata-kataku, Khun Nai Tun mengangkat 

tangan tanda persetujuan dari belakang. 

Akhirnya kami meminta sekretaris untuk mencatat tiga point hasil 

~ 170 ~


pertemuan:

Penggalangan dana digunakan untuk upacara kremasi, sampai 1) 

panitia yang bertanggung jawab merasa cukup.

Jika ada kelebihan uang, panitia akan mempertimbangkan untuk 2) 

memberikan kelebihan tersebut untuk rumah sakit. 

Jika panitia melihatnya tidak pantas, maka uang itu tidak perlu 3) 

diberikan pada rumah sakit. 

Ketika ketiga point tersebut dicatat, seseorang bertanya, “siapa yang 

akan melaksanakan upacara kremasi?” 

Tidak ada satu pun dari para bhikkhu yang menjawab, kemudian aku 

menjawab mewakili mereka, “para bbhikkhu dari Wat Borom.” 

MahaWichien, yang bekerja di Departemen Kebudayaan, berkata. 

“bhante-bhante sekalian. Jika bhante melaksanakan upacara kremasi, 

bagaimana nanti bhante mengurus keuangan?” 

Aku menjawab, “aku memiliki  banyak tangan. Aku hanya khawatir 

dana yang terkumpul tidak mencukupi. Aku tidak mengerti bagaimana 

cara mengurus keuangan, tetapi aku memiliki pengikut yang dapat 

melakukannya.”

Jawaban tersebut membuat MahaWichien terdiam. 

Pada akhirnya kami memutuskan untuk membubarkan panitia 

sebelumnya dan membentuk panitia baru dipimpin oleh Chao Khun 

Dhammapitok. Pertemuan kemudian ditangguhkan. 

Keesokan paginya aku melewati kamar Chao Khun Dhammapitok 

dan ia memanggilku masuk ke kamarnya. “Ada beberapa hal yang 

ingin aku katakan kepada bhante perihal Somdet.” Ia berkata. “Aku 

~ 171 ~


merahasiakannya dan tidak memberitahukan orang lain.” Lalu 

ia melanjutkan, “sebelum meninggal Somdet berpesan: aku yang 

bertanggung jawab pada upacara kremasi sesudah  beliau meninggal; 

menyerahkan semua barang kepunyaannya kepadaku; dan 

memberitahu kepadaku untuk membantu mengurus para bhikkhu dan 

samanera di Wat Borom.” 

Aku berkata kepadanya, “senang mendengarnya.” sesudah  itu kami 

mengadakan pertemuan diantara para bhikkhu di Wat Borom, dimana 

pesan Somdet diumumkan. Kemudian Chao Khun Dhammapitok 

menerima tanggung jawab menjalankan upacara kremasi dan 

mengurus vihara secara keseluruhan. 

Sebelum meninggalkan pertemuan, aku bicara terus terang. “Aku 

mohon maaf, tetapi kemarin aku sangat kecewa sehingga aku tidak 

dapat menahannya. Ketika Somdet masih hidup tidak seorang pun yang 

membicarakan soal rumah sakit beliau; sesudah  beliau meninggal tidak 

seorang pun membicarakan soal kremasi beliau – malah berbicara soal 

rumah sakit. Jika apa yang aku katakan tidak pantas atau salah atau 

menyebabkan sakit hati, aku mohon pamit dari vihara ini dan tidak 

terlibat dalam upacara kremasi.” 

Chao Khun Dhammapitok memohon kepadaku untuk tidak pergi dan 

berkata kepadaku, “tidak ada yang salah dengan apa yang bhante 

kemukakan.” Kemudian aku ikut serta dan membantu upacara kremasi 

sampai selesai.

Tidak lama kemudian, upacara kremasi dilaksanakan di Wat Phra Sri 

Mahadhatu, daerah Bang Khen, Bangkok. Somdet yaitu  kepala vihara 

pertama sejak vihara tersebut dibangun oleh pemerintah. sesudah  

upacara kremasi, aku melewatkan masa vassa di Naa Mae Khao, yang 

sekarang disebut Wat Asokaram. 

~ 172 ~

Tempat di mana Wat Asokaram dibangun dulunya merupakan sawah 

bernama WhiteMother. Pemiliknya, Sumet dan Kimhong Kraikaan, 

mendonasikan sekitar dua puluh dua hektar selama periode dua tahun 

– 1954 dan 1955 – dengan tujuan pembangungan vihara. Kemudian 

kami membangun kamar dan dan meminta salah satu pengikutku, 

Phra Khru Baitika That, untuk merawat tempat tersebut selama 

ketidakhadiranku bersama dengan lima orang bhikkhu lainnya. 

Demikianlah ketika vihara itu diresmikan pertama kali, sudah ada 

enam orang bhikkhu yang tinggal di sana.

Pada tahun 1956, sesudah  kremasi Somdet, aku pergi ke sana untuk 

melewatkan masa vassa. Selama masa ini, aku mulai merencanakan 

peringatan dua puluh lima abad Buddhisme pada tahun 1957 (2500 

BE.). Sebenarnya aku telah merencanakannya sejak lama, sejak aku 

meninggalkan hutan di Baan Phaa Daen Saen Kandaan, Chieng Mai. 

Selama tahun itu, aku memikirkan peringatan dua puluh lima abad 

Buddhisme, aku mengembara ke beberapa tempat. Suatu malam, 

saat menetap di Gua Phra Sabai, di daerah Mae Tha, Lampang, aku 

masuk ke dalam gua di belakang gua Phra Sabai dan menyalakan 

serangkaian lentera minyak tanah yang aku letakan berbaris di 

depan rupang Buddha. Tepat di depan rupang ada  papan kayu. 

Sedangkan aku, duduk di atas batu besar dan menghadap dinding 

Bagian 22

~ 173 ~


gua. Aku membiarkan lentera-lentera itu menyala sepanjang malam. 

Aku bertekad, “peringatan ini harus menjadi peringatan besar, tetapi 

aku tidak memiliki sumber daya. Haruskah aku melanjutkannya atau 

tidak? Semoga Dhamma mengilhami jawaban yang muncul dari dalam 

pikiranku. Atau semoga para dewa yang menjaga negara, ajaran, dan 

raja, dan para dewa yang menjaga Vihara Emerald Buddha – yang 

terletak di jantung negara ini – membantu menunjukan jalan.” 

Malam itu sekitar pukul 2.00 pagi, selagi pikiranku sedang beristirahat 

dan tenang, terjadi peristiwa: terdengar suara gemerincing di depan 

rupang Buddha. Bukan suara, suara jatuhan batu, tetapi suara pecahan 

gelas. Aku diam sejenak, lalu bangun untuk melihatnya. Aku berjalan 

mengelilingi sekitar tiga sampai empat meter dari tempat aku duduk. 

Seluruh gua diterangi oleh cahaya – gua kecil, dengan lebar tidak 

lebih dari delapan sampai sembilan meter, tingginya sepuluh sampai 

lima belas meter, dan dengan lubang di atas gua mengarah ke udara 

terbuka. sesudah  jalan berkeliling memeriksa seluruh bagian dan tidak 

melihat apa-apa, aku kembali ke tempatku semula dan melanjutkan 

duduk bermeditasi. 

Saat duduk, aku tertidur dan bermimpi. Sesosok dewa datang 

menemuiku dan berkata, “anda tidak perlu khawatir akan perayaan 

tersebut, tetapi anda harus menundanya sementara waktu. Kapan pun 

anda akan melaksanakannya, perayaan tersebut akan berhasil.” sesudah  

itu aku tidak terlalu memikirkan hal tersebut. Aku terus menetap 

di sana mengasingkan diri beberapa waktu. Kemudian sebelum aku 

meninggalkan tempat itu, aku memberitahu bhikkhu-bhikkhu yang 

ada di sana bahwa aku ingin mencari tiga pohon Bodhi untuk ditanam 

di depan gua. 

sesudah  itu aku kembali ke Lopburi dan menetap di Wat Khao 

~ 174 ~


Phra Ngaam. Aku tiba di sana tepat perayaan Magha Puja, dan aku 

memimpin sekelompok umat awam dari Bangkok dan Lopburi untuk 

upacara selama tiga hari. Aku mengajar Dhamma kepada sekelompok 

prajurit berjumlah tiga ratus orang, memimpin prosesi membawa 

lilin mengelilingi rupang Buddha besar, dan kemudian kami duduk 

bermeditasi. Aku bertekad, “mengenai perayaan dua puluh lima abad 

Buddhisme, aku tidak tahu mengapa pikiranku tetap memikirkan 

perayaan tersebut.” Kemudian aku bertekad untuk memberikan seluruh 

hidupku pada saat bulan purnama – tidak makan; dan memberikan 

mataku; – dengan tidak tidur. Tetapi kendati aku telah berusaha, tidak 

ada apa pun yang terjadi hingga langit terang.

Sekitar pukul 5.00 pagi, aku tertidur sebentar dan bermimpi: bumi 

terbelah di bawah kakiku, dan memperlihatkan pecahan batu bata 

bertebaran di bawah tanah. Muncul perkataan dalam diriku, “disini 

lokasi relik Sang Buddha pernah disimpan, tetapi kuil tersebut hanya 

tinggal pecahan batu bata. Oleh karena itu, kamu harus membantu 

membangun stupa untuk menyimpan relik Sang Buddha sesudah  

perayaan dua puluh lima abad Buddhisme. Jika tidak kamma lampaumu 

tidak akan selesai.” 

Mimpi tersebut juga diikuti dengan mimpi yang lain. Di masa lalu, 

Sangha merencanakan suatu pesamuan penting di India, tetapi sesudah  

kami semua setuju dengan tanggal pesamuan, aku tidak bergabung 

dalam pesamuan itu. Pesamuan itu berkaitan dengan upacara perayaan 

relik Sang Buddha. Perayaan ini sangatlah penting, tetapi aku tidak 

bergabung di dalamnya. Jadi teman-temanku memberikan hukuman 

kepadaku: “di masa depan Anda harus mengumpulkan relik-relik Sang 

Buddha dan menempatkannya di stupa pada satu tempat atau tempat 

yang lain, untuk kepentingan perkembangan umat Buddha di masa 

yang akan datang.” Dengan mimpi itu, pemikiranku untuk merayakan 

~ 175 ~


dua puluh lima abad Buddhisme semakin menguat. 

Pada hari berikutnya, saat keremangan cahaya sebelum fajar, aku 

bertekad, “bila upacara perayaan dua puluh lima abad Buddhisme 

yang akan dilaksanakan oleh aku berhasil, semoga jumlah relik yang 

ada bersamaku bertambah menjadi delapan puluh relik, sama dengan 

umur Sang Buddha.” (Saat aku bertekad, relik yang ada hanya enam 

puluh.) Ketika aku selesai bertekad, saat dinihari. sesudah  menyantap 

makananku, aku mengambil kantongku, mengeluarkan isinya dan 

menghitung: Jumlahnya tepat delapan puluh relik. 

Pada malam berikutnya, aku mendaki lereng gunung untuk duduk 

bermeditasi di bawah rupang Buddha besar. Aku tetap terjaga 

sepanjang malam, duduk bersamadhi dan melakukan meditasi jalan 

mengelilingi rupang. Aku menyiapkan baki beserta bunga, lilin, dan 

dupa, dan bertekad, “jika perayaan dua puluh lima abad Buddhisme 

akan berlangsung sukses, semoga relik Sang Buddha datang– dari 

mana saja.” Saat dinihari sekitar sepuluh relik muncul dan bercampur 

dengan batu permata merah. Dengan segera aku menaruhnya dalam 

kotak. Aku tidak memberitahu siapa pun, dan berpikir perayaan itu 

mungkin akan berhasil. 

Tahun itu – 1956 – aku kembali melewatkan masa vassa di Wat Asokaram. 

sesudah  masa vassa selesai, aku menerima berita bahwa tiga pohon 

Bodhi sudah tumbuh di depan Gua Phra Sabai, di Lampang. Saat itu 

pohon-pohon tersebut sudah setinggi empat meter dan menakjubkan 

– tumbuh di atas batu.  



~ 178 ~

Perencanaan perayaan dua puluh lima abad Buddhisme menjadi 

semakin digiatkan selama masa vassa di Wat Asokaram pada tahun 

1956. Sampai saat itu, aku belum memutuskan lokasi perayaan, karena 

peristiwa ini yaitu  perayaan besar, tetapi sesudah  melihat-lihat aku 

memutuskan, “kita harus merayakannya di sini, Wat Asokaram.” 

Ada dua perayaan yang akan dijalankan, yang pertama, aku bersama 

dengan umat Buddha dan yang ke dua, aku melakukannya untuk 

diriku sendiri. Perayaan yang dilakukan bersama dengan umat Buddha 

akan berhasil pada salah satu dari tiga tingkatan, yaitu tingkatan 

rendah, menengah, atau tinggi. Pemikiran ini tidak aku beritahu siapa 

pun, hanya pengamatan yang aku lakukan sendiri. sesudah  perayaan 

selesai, kesuksesan yang dicapai hanya pada tingkat menengah. Untuk 

tingkatan tinggi, aku akan membuat perayaan payung untuk rupang 

Buddha di Khao Phra Ngaam. 

Perayaan yang aku laksanakan sendiri. Merayakan untuk diri sendiri 

yaitu  sangat baik, tetapi tidak memberikan manfaat bagi orang 

banyak. Perayaan ini dapat dilakukan salah satu dari tiga cara:Tingkatan 

yang paling rendah: dengan melepaskan diri dari hal-hal duniawi dan 

mengasingkan diri di dalam hutan rimba selama tiga tahun sebelum 

kembali ke masyarakat. 

Tingkat menengah: pergi ke dalam hutan sendirian dan bermeditasi a) 

Bagian 23

~ 179 ~


dengan tekun selama tiga bulan tanpa adanya kekhawatiran atau 

tanggung jawab. 

Tingkatan yang paling tinggi yaitu  mengikat kain merah di b) 

leherku selama tujuh hari. Dengan kata lain, dalam tujuh hari aku 

akan mencoba untuk berbuat baik melalui salah satu jalan dari 

dua jalan: (1) mencapai semua delapan ketrampilan teori (vijja) 

untuk digunakan sebagai alat penyebaran Dhamma Sang Buddha. 

(2) Jika aku tidak berhasil pada bagian (1), semoga pada hari ke 

tujuh aku dapat melepaskan keduniawian dan tidak akan kembali 

lagi. Hanya dengan cara ini aku dapat menyelesaikan kammaku 

yang aku impikan dulu bersama teman-temanku. 

Pada akhir tahun 1956, saat perayaan sudah mendekat, tetapi aku 

telah melakukan persiapan lebih lanjut, seperti membuat amulet daun 

Bodhi Sang Buddha, ditiru dari rupang yang aku lihat di Benares saat 

aku melakukan perjalanan ke India. Aku mengumpulkan bahan-bahan 

dasarnya dari beberapa tempat, tanah dari tempat-tempat suci Sang 

Buddha di India, serpihan-serpihan relik yang didapatkan dari stupa 

tua, didanakan oleh para pengikut dari berbagai propinsi – Lopburi, 

Phitsanuloke, Phijit, Sukhothai, Suphanburi, Ayutthaya, Phetchabun, 

Songkhla, Ubon Ratchathani, daerah Thaad Phanom, dan Bangkok. Aku 

memiliki serpihan-serpihan rupang Buddha tua dari Prajinburi dan 

air parita kuno yang dibuat oleh para bijaksanawan di masa lampau. 

Aku mencampur semuanya menjadi satu dalam bentuk pasta bersama 

dengan bubuk bunga-bunga kering dan abu kertas yang dibakar di 

mana sutta-sutta Dhamma ditulis.

Menggunakan pasta ini, kami mencetak dengan dua cara (1) 

memasukan pasta ke dalam cetakan, lalu membiarkannya kering; (2) 

mencampur pasta dengan tanah liat, memasukannya ke dalam cetakan 

dan membakarnya di dalam oven pengering. Aku berpikir, “kita harus 

~ 180 ~


membuat minimal satu juta amulet.” sesudah  kami menyelesaikannya 

pada akhir masa vassa, tahun 1956, kami menghitung berapa banyak 

yang telah dibuat. Semuanya berjumlah lebih dari satu juta seratus 

amulet. 

Dikeheningan larut malam, suatu gambaran aneh nampak di 

hadapanku. Aku sedang duduk memasukan amulet Buddha ke dalam 

cetakan ketika relik Sang Buddha datang dan memberikan petunjuk 

di atas tempat tidurku. Bentuknya sama dengan amulet daun Bodhi 

yang aku buat, tetapi amulet yang aku buat menggambarkan Sang 

Buddha sedang membabarkan khotbah Dhammacakka – dengan kedua 

tangan terangkat. Tetapi dalam gambaran, Sang Buddha meletakkan 

kedua tangan di pangkuan-Nya. Aku membuat cetakan baru berpola 

mengikuti gambaran dan menamakannya “Bodhicakka.” Aku masih 

memiliki relik ini, dan belum disimpan untuk puja. Kemudian relik 

lain berbentuk Sang Buddha sedang duduk bermeditasi juga datang. 

Relik ini juga masih ada padaku.

Pada saat yang lain, ketika aku duduk bermeditasi di Lopburi saat 

dikeheningan sebelum dinihari, relik Sang Buddha lain muncul; dan 

pada pukul 5.00 pagi sebuah patung kecil Raja Asoka yang terbuat 

dari kaca merah muda pucat gelap jatuh di hadapanku, kemudian aku 

mensketsa bentuknya. Patung ini masih ada padaku. 

sesudah  beberapa peristiwa aneh ini terjadi, aku mengumpulkan para 

bhikkhu yang merupakan murid terdekatku dan mengumumkan, “kita 

akan melaksanakan upacara perayaan dua puluh lima abad Buddhisme 

di sini, Wat Asokaram.” Aku mengambil keputusan terakhir ini pada 

pertengahan masa vassa tahun 1956. 

sesudah  mengambil keputusan, aku memeriksa keuangan yang tersedia. 

Jumlahnya sangat sedikit tidak lebih dari dua ratus Baht. Namun, 

~ 181 ~


aku memerintahkan untuk memulai pembangunan: membangun 

tenda sementara, pembuatan payung-payung upacara, dan lain-

lain. Segera sesudah  kami mulai bekerja, dana mulai masuk. Ketika 

kami telah menyelesaikan dua tenda, uang kami habis. Saat itu, aku 

pergi ke Chanthaburi. Ketika aku kembali ke Wat Asokaram, Kolonel 

Polisi Luang Wiraded Kamhaeng datang memberitahu aku, “Ajaan, 

kita hampir kehabisan uang. Dari mana kita mendapatkan tambahan 

lagi?” 

Aku memaparkan rencana-rencana berikut untuk perayaan: 

I. Tujuan-tujuan perayaan: 

 A. 

Membuat sembilan ratus dua belas ribu lima ratus amulet Buddha •

(sesuai dengan jumlah hari dalam dua ribu lima ratus tahun) dan 

meningkatkan jumlahnya hingga mencapai sejuta amulet, setiap 

amulet tingginya satu inci dan terbuat dari plesteran semen atau 

tanah liat bakar, akan dibagi-bagikan secara gratis kepada semua 

orang yang datang dan bergabung dalam perayaan. Amulet apa 

saja yang tersisa akan ditanam sebagai pondasi pembangunan 

stupa. 

Membuat lima rupang besar yang menggambarkan saat Sang •

Buddha mencapai pencerahan, membabarkan Dhamma pertama 

(Dhammacakka), membabarkan Dhamma terakhir sebelum 

parinibbana, dan saat duduk bermeditasi. (Rupang terakhir ini 

akan menjadi rupang utama di aula penahbisan.)

Membuat lima ratus rupang kecil yang masing-masing terbuat •

dari perak, emas, dan kuningan, beratnya masing-masing sekitar 

empat gram, yang akan ditempatkan di dalam stupa sebagai 

persembahan untuk anak cucu kita.

~ 182 ~


Membiayai pengerjaan lengkap Buddhis kanon – Sutta-sutta, B. 

Vinaya dan Abhidhamma –diterjemahkan ke dalam bahasa Thai

Menahbiskan delapan puluh orang bhikkhu, delapan puluh orang C. 

samanera, delapan puluh orang upasaka (umat awam laki-laki 

yang memakai pakaian putih dan menjalankan delapan sila), 

dan delapan puluh orang anagarini (umat awam wanita yang 

memakai pakaian putih dan menjalankan delapan sila). Jika 

jumlah orang yang ditahbiskan melebihi jumlah tersebut, akan 

lebih baik. Masing-masing orang ditahbiskan paling sedikit tujuh 

hari. Upacara penahbisan akan diselenggarakan dari tanggal 12 

Mei sampai dengan 20 Mei tahun 1957. Siapa saja yang berminat 

untuk ditahbiskan harus memberikan informasi berikut kepada 

panitia penahbisan: nama, alamat, usia, tanggal lahir, dan 

kesanggupan pendaftar menyediakan keperluan-keperluan untuk 

dirinya sendiri. Panitia akan membantu mencari keperluan-

keperluan tersebut bagi mereka yang tidak sanggup memenuhi 

kebutuhannya sendiri. Siapa saja yang berniat untuk membantu 

penahbisandipersilahkan memberitahu panitia. Biaya keperluan-

keperluan tersebut sebagai berikut: untuk upasaka dan anagarini 

sebesar seratus Baht; untuk samanera sebesar seratus lima puluh 

Baht; untuk bhikkhu sebesar tiga ratus Baht. Bagi mereka yang 

ingin ditahbiskan dapat mendaftar di Wat sampai dengan tanggal 

15 April 1957. 

Ketika perayaan selesai, ada satu tujuan lagi: membangun stupa D. 

sebagai peringatan keikutsertaan kita dalam perayaan penting 

ini, dan untuk menempatkan relik Sang Buddha, rupang-rupang 

Buddha, salinan Tipitaka dan obyek-obyek lain berhubungan 

dengan Buddhisme. Stupa ini bergugus tiga belas menara yang 

dibangun terdiri dari tiga tingkat, empat menara pada masing-

masing tingkat, dengan satu menara utama di tingkat paling 

~ 183 ~


atas. Menara utama akan menjadi yang terbesar – lebar enam 

meter persegi dan tinggi dua puluh enam meter. Menara-menara 

disekeliling akan lebih kecil. Peletakan pondasi pembangunan 

stupa akan dimulai sebelum perayaan dimulai. Lokasi stupa berada 

di Wat Asokaram, Samut Prakaan, yang direncanakan menjadi 

pusat pelatihan meditasi untuk para bhikkhu, samanera, upasaka 

dan anagarini pada tahun-tahun mendatang. 

II. Upacara pelimpahan jasa dilangsungkan selama perayaan. 

Para bhikkhu akan membaca parita, delapan bhikkhu setiap hari A. 

selama tujuh hari. Para bhikkhu duduk bersamadhi memimpin 

upacara pemujaan benda-benda suci, delapan bhikkhu setiap hari 

selama tujuh hari. 

Lima khotbah mengenai sejarah Sangha akan dibabarkan, satu B. 

khotbah per hari. Kotbah ini akan dibacakan oleh empat puluh 

orang bhikkhu. Upacara ini merupakan pelimpahan jasa kepada 

sanak saudara dan nenek moyang yang sudah meninggal dunia.

Makanan akan didanakan kepada lima ratus bhikkhu dan C. 

samanera yang diundang untuk ikut serta dalam tujuh hari 

pertama perayaan. sesudah  itu, makanan akan didanakan kepada 

para bhikkhu dan samanera sampai dua minggu hingga perayaan 

selesai. Minggu ke dua kira-kira tiga ratus bhikkhu dan samanera 

akan menerima dana makanan setiap hari. 

Selama tujuh hari pertama akan diadakan prosesi lilin setiap D. 

malam. 

Saat Visakha Puja – 13 Mei 1957 – perayaaan akan dilaksanakan E. 

untuk menempatkan objek-objek suci di pondasi stupa.

Upacara Mahayana juga akan diselenggarakan, yaitu tiga hari F. 

kong tek (pelimpahan jasa kepada orang meninggal) dan khotbah-

khotbah yang searah dengan keyakinan umat Mahayana.

~ 184 ~


Akan diadakan juga upacara pelimpahan jasa sebagai tambahan kepada 

mereka yang tercatat di sini.

Sebagai tambahan, tempat tinggal sementara untuk para bhikkhu dan 

samanera, juga untuk para upasaka dan anagarini akan dibangun, 

bersama dapur yang digunakan selama perayaan berlangsung.” 

sesudah  aku menulis program tersebut, kami mulai menerapkan 

perencanaan setahap demi setahap. Aku menunjukkan rencana itu 

kepada beberapa pengikutku. Mereka semua menggeleng-gelengkan 

kepala dan berkata, “ajaan, bagaimana ajaan mendapat uang untuk 

perayaan besar seperti ini?” Tetapi aku berpikir, “kita melakukan hal 

baik. Orang-orang yang berhati baik pasti datang dan memberikan 

bantuan. Kita tidak perlu berkeliling meminta dukungan dana.” 

Ketika aku kembali dari Chanthaburi dan tanggal perayaan semakin 

mendekat, rombongan orang datang untuk berdana uang. Keseluruhan 

kami menerima dana mencapai seratus ribu Baht. Seseorang yang 

bernama Dr. Yut Saeng-uthai, khawatir kami tidak akan mampu 

menjalankan rencana-rencana itu dan atas inisiatif sendiri meminta 

bantuan kepada pemerintah. Ia berbicara dengan Menteri Kebudayaan, 

Jenderal Luang Sawat, yang pada saat itu tidak mengenal aku, tetapi 

cukup baik hati dengan berkata, “jika bhante memerlukan uang, aku 

akan mengaturnya.” Khun Ying Waad Lekhawanit-Dhammawithak 

datang menceritakan hal ini. Aku menanggapinya dengan berkata, 

“kami tidak memerlukan uang tersebut.” 

Pekerjaan pembangunan terus berjalan dan bantuan dana terus 

mengalir tanpa harus mengeluarkan permohonan dana. Yang kami 

lakukan yaitu  mencetak selebaran agar para pengikutku mengetahui 

rencana-rencana tersebut dan jadwal perayaan. 

~ 185 ~


Persiapan-persiapan di dalam vihara hampir selesai. Suni 

Changkhamanon, Sawn Achakun, Thawngsuk, dan Mae Kimhong 

Kraikaan bertanggung jawab dalam pembangunan sala yang akan 

digunakan untuk perayaan. Melihat tempat ini kurang luas, kami 

menambahkan atap jerami di empat sisi bangunan, Kolonel Luang 

Wiraded bersama-sama dengan para bhikkhu dan samanera turut 

membantu pembangunan. Sebagai tambahan, kami membangun 

dapur sementara dan beberapa tenda sementara. Dapur berukuran 

panjang tiga puluh meter dan lebar enam meter, serta beratap jerami. 

ada  lima tenda untuk para bhikkhu dan samanera, masing-

masing lima tenda untuk para upasaka dan anagarini. Tiap tenda 

panjangnya delapan puluh meter dan lebarnya sepuluh meter dengan 

beratap dan berdinding jerami. Biaya pembangunan tenda lebih dari 

seratus ribu Baht; pembangunan sala, seratus enam puluh lima ribu 

Baht; perbaikan jalan di sekitar vihara – dibiayai oleh Khun Ying Waad 

– enam puluh ribu Baht. Total biaya pembangunan lebih dari tiga ratus 

ribu Baht, dan masih banyak lagi keperluan yang harus dibeli. Uang 

kami hampir habis, tetapi pada saat yang bersamaan bantuan dana 

terus mengalir.10 

~ 186 ~

Di bulan April, persiapan-persiapan dilakukan dengan cepat. Bhikkkhu, 

samanera, dan umat awam dalam jumlah besar mulai berdatangan dari 

berbagai propinsi. Jumlah orang yang mendaftar untuk penahbisan – 

pria dan wanita – meningkat melebihi target yang kami tetapkan. 

Pada tanggal 11 Mei 1957, kami memulai upacara penahbisan. Untuk 

menahbiskan para bhikkhu, kami mengundang sejumlah penahbis: 

Somdet Mahawirawong (Juan), dari Wat Makut Kasatriyaram; 

Phra Phrommuni, dari Wat Bovornives; Phra Sasanasophon, dari 

Wat Rajadhivasa; Phra Dhammatilok, dari  Wat Boromnivasa; Phra 

Dhammapitok, dari Wat Phra Sri Mahadhatu; dan Phra Nyanarakkhit, 

dari Wat Boromnivasa. Sebagai tambahan, kami juga mengundang 

penahbis yang merupakan sahabat lamaku atau para murid seniorku. 

Upacara penahbisan ternyata menjadi acara yang sangat besar, maka 

aku memberikan seluruh program itu kepada Ajaan Daeng, yang akan 

membimbing bhikkhu baru sepanjang perayaan dan juga bertindak 

sebagai penahbis. Sebagai tambahan, Phra Khru Wiriyang dari 

Chanthaburi dan Ajaan Sila dari Sakon Nakhorn membantu menjadi 

penahbis yang mempersiapkan bhikkhu baru dan mengatur keperluan-

keperluan mereka sampai akhir perayaan. 

Secara keseluruhan, begitu banyak orang datang membantu keuangan 

untuk upacara penahbisan, sehingga kami tidak perlu menggunakan 

Bagian 24

~ 187 ~


dana vihara yang diperuntukan pada upacara penahbisan – kami 

kehabisan para bhikkhu baru yang akan disokong oleh donator. Kami 

harus mengumumkan lewat pengeras suara bahwa kami tidak bisa 

lagi menerima dana dari para donatur untuk menyokong upacara 

penahbisan. 

Dana yang terkumpul dari para donatur untuk upacara penahbisan 

sebesar seratus tiga puluh delapan ribu Baht. Penahbisan berlangsung 

dari tanggal 11 sampai dengan tanggal 29 di bulan Mei, dan mereka yang 

ditahbiskan pada tiap kategori sebagai berikut enam ratus tiga puluh 

tujuh orang bhikkkhu, seratus empat puluh empat orang samanera, 

seribu dua ratus empat puluh orang bhikkhuni, tiga ratus empat puluh 

orang anagarini (wanita yang memakai pakaian putih, menjalankan 

delapan sila, tetapi tidak mencukur rambut mereka), tiga puluh empat 

orang upasaka (pria yang memakai pakaian putih, mencukur rambut 

mereka dan menjalankan delapan sila), dan dua belas orang anagarika 

(pria yang memakai pakaian putih, menjalankan delapan sila, tetapi 

tidak mencukur rambut mereka). Seluruhnya dua ribu empat ratus 

tujuh orang ditahbiskan. 

Jadwal harian sepanjang perayaan berlangsung sebagai berikut: “pagi 

hari: sesudah  makan, 1) membaca parita penghormatan kepada relik 

Sang Buddha; 2) membaca parita pemberkahan; 3) meditasi duduk. 

Sore hari: 1) membaca parita penghormatan kepada relik Sang Buddha 

2) membaca parita perayaan; 3) meditasi duduk atau khotbah Dhamma. 

Pukul 4:00 sore istirahat. Pukul 5:00 sore berkumpul di sala; membaca 

parita penghormatan kepada relik Sang Buddha; prosesi lilin; parita 

penahbisan; parita untuk perayaan; meditasi duduk sampai tengah 

malam. Inilah jadwal yang diikuti sampai akhir perayaan.” 

~ 188 ~

Bagian 25

Selama berlangsungnya perayaan, timbul pikiran, kita harus berdana 

phaa paa ke Vihara Emerald Buddha, sebagai pengganti salah satu 

rencanaku yang tidak terlaksana: diawal aku mendapatkan ide untuk 

pengadaan dana terpusat pada Sangha Thai, dan menyiapkan proposal 

yang aku serahkan kepada Somdet Phra Mahawirawong (Juan) dari Wat 

Makut. Inti proposal yaitu  kami meminta setiap bhikkhu senior di 

Thailand agar sukarela menyalurkan pendapatan dananya selama satu 

bulan untuk membentuk pusat dana bagi Sangha Thai, sebagai tanda 

mata bahwa kita telah merayakan dua puluh lima abad Buddhisme. Aku 

sendiri yang akan mengumpulkan bantuan-bantuan dana tambahan 

tersebut. Aku memohon kepada Somdet untuk membahasnya di Dewan 

Eksekutif Sangha untuk melihat apakah mereka setuju atau tidak. 

Aku sangat gembira dengan tanggapan cepat Somdet: “dengan senang 

hati aku mendanakan pendapatan danaku selama sebulan. Jika ada 

hal lain yang bhante perlukan untuk kepentingan perayaan, dengan 

senang hati aku akan membantu.” 

Aku berpikir, “inilah semangat.”

Somdet sangat menyetujui proposal tersebut dan membahasnya di 

dewan eksekutif. Kemudian, aku mendengar ada sejumlah anggota 

keberatan, dan akhirnya proposal ini gagal.

~ 189 ~


Oleh karena itu, aku memutuskan, lebih baik kita mendonasikan 

phaa paa kepada Vihara Emerald Buddha. Aku menghubungi Puteri 

Pradisathasari, dan memohon kepadanya untuk menjadi sponsor 

enam belas phaa paas, salah satunya akan dipersembahkan kepada 

Vihara Emerald Buddha. Dia berkata, dengan senang hati dia akan 

membantu. Dia membantu kami dalam hal apa pun, bukan hanya 

anggota keluarganya tetapi juga kaum bangsawan lain – termasuk 

anggota Dewan Penasehat Kerajaan – juga ikut memberikan bantuan 

penuh proyek phaa paas. 

Maka kami bersama-sama mengumpulkan dana lebih dari tiga puluh 

ribu Baht, dengan menggunakan dana tiga ratus Baht untuk setiap 

phaa paas dari lima belas seluruhnya. Sisa – dua puluh empat ribu 

seratus dua puluh dua koma tiga puluh Baht – kami danakan kepada 

Vihara Emerald Buddha atas nama, Dana untuk perayaan dua ribu lima 

ratus tahun, didanakan oleh pengikut Ajaan Lee, Wat Asokaram. Bunga dari 

dana itu dapat membantu perawatan Vihara Emerald Buddha. sesudah  

itu kami menerima bantuan tambahan yang kami tambahkan ke dalam 

dana, total dana yang kami berikan mencapai lebih dari lima puluh 

ribu Baht. 

Pada tanggal 20 Mei, kami memulai prosesi perayaan, membawa 

rupang Buddha, relik Sang Buddha, dan enam belas phaa paas dari 

Wat Asokaram ke Vihara Emerald Buddha. Puteri Pradisathasari telah 

menitahkan pejabat Rumah Tangga Kerajaan untuk menyambut kami. 

sesudah  prosesi mengelilingi aula penahbisan sebanyak tiga kali, Puteri 

dan anggota Dewan Penasehat Kerajaan tiba untuk menerima phaa 

paas. Dia memerintahkan dapur istana untuk menyiapkan makanan 

bagi lima belas orang bhikkhu senior yang diundang menerima phaa 

paas. Kebanyakan para bhikkhu itu berasal dari vihara-vihara yang 

pernah disokong oleh Rama IV. sesudah  mempersembahkan makan 

~ 190 ~


siang kepada para bhikkhu, Puteri mempersembahkan lima belas phaa 

paas kepada mereka. 

sesudah  upacara selesai, kami memulai arak-arakkan dari Vihara 

Emerald Buddha ke Wat Phra Sri Mahadhatu di daerah Bang Khen 

untuk menerima tunas pohon MahaBodhi di India, yang telah kami 

mohon dan disetujui oleh pemerintah. Setibanya di Wat Phra Sri 

Mahadhatu, kami menyelenggarakan upacara penerimaan dua tunas 

pohon dan membawanya mengelilingi aula penahbisan sebanyak tiga 

putaran. Lalu kami mengarahkan arak-arakkan ke Taman Buddharaksa 

di Bang Bua Thawng, Nonthaburi, di sana kami melakukan upacara 

penghormatan relik Sang Buddha dan pohon Bodhi. 

Saat pagi hari berikutnya, tanggal 21 Mei, sesudah  makan, kami 

membawa rupang-rupang Buddha, relik-relik Sang Buddha, dan pohon 

Bodhi dalam arak-arakan perahu dari kota GoldLotus melewati Sungai 

Chao Phraya menuju dermaga dekat Kantor Propinsi di Samut Prakaan. 

Di sana kami mendapatkan sambutan selamat datang yang meriah oleh 

rombongan dari Wat Asokaram, beserta gubernur propinsi, karyawan 

sipil dan umat Buddha lainnya.

Arak-arakkan kami berangkat dari Kantor Propinsi kembali menuju 

ke Wat Asokaram, tiba di sore hari, kami diterima oleh rombongan 

yang dipimpin oleh Chao Khun Amornmuni, kepala  vihara propinsi 

Chanthaburi. Kami memutari sala sebanyak tiga kali lalu masuk ke 

tempat upacara pentahbisan dilaksanakan. sesudah  bernamaskhara 

kepada rupang Sang Buddha, relik Sang Buddha, pohon Bodhi dan 

stupa, kami beristirahat sejenak. Pada pukul 6 sore, kami membunyikan 

gong dan berkumpul di dalam sala untuk membaca parita perayaan, 

parita penahbisan, dan prosesi lilin. Orang dalam jumlah yang luar 

biasa banyak ikut serta pada perayaan ini. 

~ 191 ~


Pagi berikutnya, tanggal 22 Mei, kami melakukan upacara penanaman 

empat pohon Bodhi di Wat Asokaram – dua pohon yang kami terima dari 

Wat Phra Sri Mahadhatu dan dua pohon berasal dari India. Kemudian, 

pengikutku kembali dari India dengan membawa tambahan dua pohon 

Bodhi yang didanakan oleh mereka kepada Wat. Seluruhnya ada enam 

pohon MahaBodhi yang tumbuh di Wat Asokaram. 

~ 192 ~

Perayaan terus berjalan. Pada suatu hari dana hampir habis, karena 

itu panitia perayaan mengadakan pertemuan. Nang Kimrien Kingthien 

dan Khun Nai Tun Kosalyawit menyiapkan surat permohonan bantuan 

kepada pemerintah. Mereka membawa suratnya dan membaca dengan 

suara keras. Intisarinya mereka akan meminta kepada Perdana 

Menteri, Panglima Tertinggi Phibunsongkhram untuk membantu dana 

lima puluh ribu Baht. Sebelum mereka selesai membaca surat, aku 

menyuruh mereka melemparkan surat itu ke dalam api segera. “Jika 

terjadi kekurangan makan dalam perayaan ini,” aku memberitahu 

mereka, “aku bersedia kelaparan.” Kenyataannya, dana terus mengalir 

dan keuangan kami tidak pernah habis. 

Masyarakat berdatangan untuk menyediakan makanan bagi para 

bhikkhu selama perayaan – kadang tiga hari sekali, kadang tujuh hari. 

Beberapa orang membawa makanan Thai; yang lainnya membawa 

makanan China. Upacara penahbisan berlangsung selama lima belas 

hari, dengan Mayor Jenderal Phong Punnakan, Kepalah Bidang 

Transportasi Angkatan Darat, bertindak sebagai donatur sepanjang 

perayaan. Khun Ying Waad Lekhawanit-Dhammawithak mengatur 

transportasi dan bingkisan untuk sepuluh orang bhikkhu China 

yang datang membacakan parita selama tiga hari, dan menyediakan 

makanan untuk tiga ratus lima puluh lima orang bhikkhu selama tujuh 

Bagian 26

~ 193 ~


hari. Ada dua khotbah Mahayana, dan pelayanan kong tek untuk tiga 

malam. Juga ada upacara loi krathong dan undian. Khun Nai Thawngsuk 

Chumpairoad menyediakan makanan untuk tiga ratus orang bhikkhu 

selama tujuh hari. Sebagai tambahan, beberapa orang China datang 

dan membantu menyediakan makanan vegetarian untuk beberapa 

hari. Masyarakat berbondong-bondong datang untuk berdana, 

keseluruhannya, sebelas kali pengundangan kembali Sangha dan 

donasi yang dihasilkan sebesar lima ribu Baht tiap kali pengundangan

For the most part, the kitchen didn’t have to buy much. Most things 

were provided by donors. As a result, the kitchen spent no more than 

5,000 baht for food each day. My followers all helped to the full extent 

of their abilities.

Diatas semuanya, orang-orang berdatangan mendanakan gelas, 

piring dan cawan, beras, kayu bakar, arang kayu – semuanya – ke 

dapur perayaan. Keseluruhan, dapur tidak perlu membeli macam-

macam. Kebanyakan telah disediakan oleh donatur. Hasilnya, dapur 

menghabiskan tidak lebih dari lima ribu Baht untuk makanan setiap 

hari. Semua pengikutku membantu dengan segala kemampuan yang 

mereka miliki.

Di bagian kesehatan, kami menerima bantuan dari Jenderal Thanawm 

Upathamphanon, Kepala dokter Angkatan Darat, dan istrinya, Khun 

Ying Sutjai, yang mengirimkan para dokter dan perawat selama 

perayaan dengan menyediakan perawatan medis bagi mereka yang 

memerlukannya. Dan untuk bagian keamanan, Kolonel Polisi Sudsa-

nguan Tansathit, Kepala Departeman Kepolisian, mengirim polisi 

lalu lintas dan satu unit mobil pemadam kebakaran untuk membantu 

selama perayaan. 

Waktu terus berlalu dan segala sesuatu berjalan dengan baik. 

~ 194 ~


Keuangan tidak menjadi masalah, jadwal harian berlangsung sesuai 

dengan rencana, upacara penahbisan berlangsung setiap hari, dan 

cuaca juga mendukung. Tidak terjadi peristiwa-peristiwa yang tidak 

menguntungkan, kecuali beberapa kejadian-kejadian kecil yang tidak 

perlu disebutkan.

Pada tanggal 13 Mei, saat Visakha Puja, beberapa donaturdonatur 

mencetak empat rupang Buddha, masing-masing lebarnya delapan 

puluh cm. Khun Ying Waad mencetak dua rupang; Phraya Lekhawanit-

Dhammawithak, satu rupang; dan Colonel Luang Wiraded Kamhaeng 

beserta istrinya, Khun Nai Noi, satu rupang – dengan biaya per rupang 

enam ribu tujuh ratus Sembilan puluh Baht. Nai Kuanghang Sae Hia, 

beserta istri dan anak-anaknya, berdana rupang ke lima yang mereka 

cetak pada saat Magha Puja dengan biaya tiga puluh empat ribu Baht, 

termasuk biaya perayaan. Wat tidak perlu mengeluarkan uang untuk 

mencetak rupang-rupang ini. Para donaturdonatur menutup semua 

biaya-biayanya, dengan total lima rupang sebesar enam puluh satu 

ribu seratus enam puluh Baht. 

Untuk acara hiburan selama perayaan, tidak ada satu pun yang 

memerhatikannya karena kebanyakan orang-orang datang untuk 

ambil bagian dalam kegiatan keagamaan. Sekelompok pengikutku yang 

beretnik China membawa kelompok opera China untuk melakukan 

pertunjukan selama tiga malam. Wari Chayakun dari Haad Yai 

membawa kelompok drama tarian Manora dan pertunjukan boneka 

sepanjang perayaan, Dua layar tancap telah disiapkan, dan kelompok 

penyanyi maw lam dari timur laut datang melakukan pertunjukan 

semalam dan kemudian harus menghentikan pertunjukannya karena 

tidak ada yang tertarik. Tidak satu pun pertunjukan tersebut dibayar 

oleh kami, karena sekelompok pengikutku telah menyokong atas 

inisiatif mereka sendiri.

~ 195 ~


Kami melanjutkan merayakan upacara dengan membaca parita, prosesi 

lilin, latihan meditasi dan khotbah. Kami mengundang sejumlah 

pemimpin vihara senior, seperti Somdet Mahawirawong dari Wat 

Makut dan Phra Sasanasophon, untuk berkhotbah Dhamma. Sebagai 

tambahan, kami juga menyiapkan khotbah Dhamma, sebagian olehku, 

dan beberapa oleh Ajaan Tyy. Kegiatan ini berlanjut sampai tanggal 29 

Mei 1957. 

Pada akhir perayaan, pembukuan yang tertera sebagai berikut:

Total pendapatan :  840.340.49 Baht 

Total biaya  :  533.326.75 Baht 

Sisa pendapatan :  307.013.74 Baht 

Semua uang ini berasal dari mereka yang berdana atas inisiatif 

mereka sendiri. Sebagai tambahan, kami juga menerima dana tidak 

langsung – seperti donatur penahbisan yang menyediakan keperluan 

pribadi mereka sendiri – yang ditangani oleh panitia bagian keuangan. 

Pemanggilan kembali Sangha, dana makanan kepada para bhikkhu, 

bingkisan untuk para bhikkhu yang membacakan parita, pencetakan 

rupang Buddha, pembangunan sala, perbaikan jalan menuju Wat, 

pelayanan Sangha Mahayana: semuanya ini yaitu  dana tidak 

langsung, secara keseluruhan, perkiraan kasar kami sejumlah lebih 

dari tiga ratus ribu Baht. 

Semua bhikkhu dan umat awam yang bergabung dalam perayaan 

berasal dari empat puluh lima propinsi. 

Dengan demikian, perayaan dua puluh lima abad Buddhisme selesai. 

sesudah  itu, sebelum masa vassa, donatur lain – Nai Thanabuun 

Kimanon, beserta istri dan anak-anaknya – mencetak rupang Buddha 

~ 196 ~


dan didonasikan kepada Wat untuk merayakan dua ribu lima ratus 

tahun B.E, dengan biaya tujuh puluh lima ribu Baht. Rupang itu setinggi 

dua meter. Mereka juga membangun podium untuk menyelenggarakan 

upacara-upacara perayaan, ditambah biaya pembuatan rupang, total 

semuanya lebih dari seratus lima puluh ribu Baht. 

Beberapa bhikkhu, samanera, dan ayya yang ditahbiskan selama 

perayaan menetap untuk menjalankan masa vassa, melanjutkan 

memelajari Dhamma bersama-sama. diakhir masa vassa banyak di 

antara mereka pulang ke rumah, walaupun  ada beberapa dari mereka 

yang masih ditahbiskan. Sedangkan aku, sesudah  masa vassa usai, 

aku mengunjungi tempat-tempat sahabat dan pengikutku yang ikut 

berpartisipasi dalam perayaan. 

Kemudian aku pergi ke Lampang, dengan harapan membangun 

stupa di gua Phra Sabai. (harapan ini timbul ketika aku melihat tiga 

pohon Bodhi yang tumbuh di sana, dan membuat aku sangat gembira. 

Sekarang pohon-pohon tersebut sudah tinggi.) Chao Mae Suk dari 

Kerajaan Lampang, beserta Khun Nai Kimrien Kingthien, Mae Liengtao 

Janwiroad dan rombongan umat awam pria dan wanita bahu membahu 

bersama dengan sekelompok pengikutku – umat awam dan para 

bhikkhu – membangun stupa. Kemudian kami menempatkan relik 

sang Buddha yang ada di dalam gua ke dalam stupa, dan membawa 

satu pohon Bodhi India untuk ditanam di depan pintu masuk gua. 

Dari sana aku melanjutkan perjalanan ke Chieng Mai, Uttaradit, 

Phitsanuloke, Nakhorn Sawan, dan Lopburi. 

~ 197 ~

Bagian 27

Aku mengembara selama musim kemarau setiap tahun. Aku melakukan 

ini karena aku merasa jika seorang bhikkhu menetap di sebuah vihara 

seperti kereta api yang tidak bergerak di stasiun HuaLampong – 

dan semua orang tahu nilai kereta api yang tidak bergerak. Jadi aku 

tidak mungkin menetap di satu tempat. Aku harus selalu bepergian 

sepanjang hidupku, sejak aku ditahbis. 

Beberapa rekanku mengkritik aku karena melakukan hal ini, sedangkan 

yang lain memuji aku, tetapi aku sendiri merasa apa yang aku lakukan 

baik. Aku memelajari negeri, peristiwa, adat istiadat, dan praktik 

keagamaan dari berbagai tempat yang berbeda. Di beberapa tempat 

mungkin aku lebih tidak mengetahui dibanding orang-orang yang 

berada di sana; tetapi di beberapa tempat lain dan dengan kelompok-

kelompok lain, mungkin saja aku lebih mengetahui dibanding mereka, 

oleh sebab itu tidak ada yang salah dengan berkelana. Meskipun aku 

duduk sendirian di dalam hutan, aku memperoleh manfaat. Di mana 

saja aku bertemu dengan orang-orang yang kurang tahu dibanding aku, 

aku dapat menjadi guru mereka. Tetapi bila aku menemukan kelompok 

lain yang lebih mengetahui dibanding aku, aku bersedia menjadi murid 

mereka. Dengan cara ini aku akan mendapatkan keuntungan. 

Pada saat yang sama, tinggal di dalam hutan seperti yang aku sukai 1) 

memberikan aku banyak waktu berpikir.Merupakan kebiasaan 

~ 198 ~


Sang Buddha. Beliau dilahirkan di dalam hutan, mencapai 

Penerangan Sempurna di dalam hutan, dan mencapai Nibbana 

sempurna di dalam hutan – dan juga di waktu yang sama, Beliau 

dapat memberikan kualitas-kualitas baik, seperti ketika Beliau 

menyebarkan Dhamma, termasuk kepada Raja Bimbisara dari 

Rajagaha. 

Seperti yang aku lihat, lebih baik mengelak daripada bertarung. 2) 

Karena aku bukanlah manusia super, kulitku tidak bisa 

menghindari pisau, peluru, dan tombak. Aku akan lebih baik tidak 

tinggal di tengah-tengah kehidupan manusia. Inilah alasannya 

kenapa aku merasa lebih baik mengelak daripada bertarung. 

Orang yang tahu bagaimana caranya untuk menghindar berkata: “untuk 

mengelak yaitu  sayap-sayap dan untuk menghindar yaitu  ekor.” 

Maksudnya yaitu  seekor anak ayam kecil, baru menetas, jika tahu 

bagaimana caranya mengelak, tidak akan mati. Anak ayam tersebut 

akan memiliki kesempatan untuk tumbuh buluh dan sayap dan dapat 

mempertahankan diri di masa akan datang. “Untuk menghindari 

yaitu  ekor” ini mengacu pada buntut (kemudi) perahu. Jika seseorang 

memegang kemudi perahu tahu cara mengendalikan perahu, ia akan 

mampu menghindari batang kayu dan gundukan pasir. Sebuah perahu 

untuk dapat menghindari supaya tidak terdampar bergantung pada 

kemudi. Karena aku memandangnya seperti itu, maka aku lebih 

menyukai tinggal di hutan. 

Aku mengetahui sifat-sifat dasar alam: suatu tempat yang tenang, 3) 

di mana Anda dapat meneliti pengaruh-pengaruh lingkungan. 

Hewan liar, contohnya, cara tidurnya berbeda dengan hewan 

jinak. Hal ini bisa menjadi sebuah pelajaran yang baik. atau 

ambil contoh ayam hutan. Matanya bergerak cepat, bulu ekornya 

jarang, sayap-sayapnya kuat dan kokoknya pendek. Ia dapat 

~ 199 ~


berlari cepat dan terbang jauh. Dari mana karakteristik ini 

muncul? Aku memelajarinya sendiri. Ayam jago dan ayam-ayam 

hutan berasal dari jenis yang sama, tetapi sayap-sayap ayam 

jago lemah, kokoknya panjang dan buluh ekornya lebat, tindak 

tanduknya berbeda dengan ayam hutan. Ayam hutan, tidak dapat 

bergantung pada penjagaan. Ayam hutan harus selalu siap siaga, 

karena bahaya selalu mengancam dalam hutan. Jika ayam hutan 

berkeliaran seperti ayam jago, maka ular cobra dan luwak akan 

segera menerkamnya tanpa buang waktu. Maka ketika makan, 

tidur, membuka, dan menutup matanya, ayam hutan harus gesit 

dan kuat agar dapat bertahan hidup. 

Begitu pula dengan kita. Jika kita menghabiskan waktu dengan 

berkubang di tengah-tengah kumpulan masyarakat, kita seperti pisau 

atau cangkul yang terbenam di dalam tanah, mudah berkarat. Tetapi 

jika terus menerus diasah dengan batu atau kikir, karat tidak akan 

terjadi. Oleh sebab itu, kita harus selalu siap siaga. Inilah alasan kenapa 

aku suka tinggal di dalam hutan. Aku mendapatkan manfaat dengan 

cara itu dan belajar banyak pelajaran. 

Aku memelajari untuk merefleksikan apa yang diajarkan Sang 4) 

Buddha pertama kali kepada para bhikkhu yang baru ditahbiskan. 

Mereka dibangkitkan pikirannya. Beliau mengajar Dhamma 

terlebih dulu, kemudian Vinaya. Beliau memulainya dengan 

kualitas-kualitas Buddha, Dhamma dan Sangha, diikuti oleh lima 

dasar obyek meditasi: rambut kepala, rambut tubuh, kuku, gigi, 

dan kulit. Lalu Beliau membabarkan khotbah dengan empat poin-

poin utama:

Melaksanakan pindapatta. Menjadi peminta, tetapi bukan • 

pengemis. Puaslah dengan apa yang sudah diberikan.

~ 200 ~


Menetap di tempat tenang, seperti rumah yang telah • 

ditinggalkan, di bawah karang yang menonjol, dan di dalam 

gua. Orang-orang bertanya apakah Sang Buddha memiliki  

pertimbangan atas ajaran-ajaran ini, tetapi aku selalu yakin 

bahwa bila tidak ada manfaat-manfaat yang diperoleh dari 

tempat-tempat ini, Beliau tidak akan merekomendasikannya. 

Tetap saja, aku bertanya-tanya apa saja manfaat tersebut, 

itulah sebabnya aku tertarik pada urusan ini.

Sang Buddha mengajar para bhikkhu untuk membuat jubah • 

dari kain bekas – bahkan membuatnya dari kain bekas 

pembungkus jenazah. Ajaran ini membuat aku merenungkan 

tentang kematian. Apa manfaat yang didapat dengan memakai 

kain bekas pembungkus jenazah? Jawabannya sederhana yaitu 

pikir sesaat mengenai jenazah: Mereka tidak menarik bagi 

siapa pun. Tidak ada seorang pun yang menginginkan mereka 

– karena itu mereka tidak berbahaya. Dalam hal ini sangat 

mudah untuk melihat bahwa Sang Buddha mengajar kita untuk 

tidak sombong akan kepemilikan kita. 

Sang Buddha mengajarkan kita untuk menggunakan obat-• 

obatan yang ada di sekitar kita, seperti tumbuhan obat yang 

diawetkan dalam air seni. 

Ajaran-ajaran Sang Buddha, saat aku mendengar pertama kali, 

memicu  rasa ingin tahuku. Apakah Bermanfaat atau tidak bagiku 

mengikuti ajaran-ajaran tersebut, ada satu hal yang aku yakini: bahwa 

Sang Buddha bukanlah orang yang memegang sesuatu secara membuta, 

dan Beliau tidak akan mengajarkan sesuatu tanpa alasan yang benar. 

Jadi walaupun aku tidak secara total yakin akan ajaran Beliau, paling 

tidak aku menghormati ajaran-ajaran beliau. Atau jika aku tidak yakin 

dengan kemampuan guruku, aku berhutang budi padanya dan kepada 

tradisi Sangha untuk memberikan ajaran-ajaran Beliau untuk dicoba.

~ 201 ~


Aku teringat dengan ucapan MahaKassapa, yang meminta ijin untuk 

menjalankan kehidupan petapa dengan tinggal di dalam hutan, makan 

satu kali satu hari (berpindapatta) dan memakai jubah yang terbuat 

dari serpihan kain bekas selama masa kehidupan beliau. Sang Buddha 

menanyainya, “kamu telah melenyapkan kemelekatan. Apa lagi yang 

kamu kejar?” 

MahaKassapa menjawab, “aku ingin memelajari latihan-latihan ini, 

bukan untuk kepentingan diri sendiri, tetapi untuk kepentingan mereka 

yang akan datang. Jika aku tidak mengikuti latihan-latihan ini, siapa 

yang akan mereka jadikan panutan? Jika seseorang mengajar dengan 

contoh, para siswa akan belajar lebih mudah, seperti ketika seseorang 

mengajar para siswa bagaimana cara membaca: jika ia memiliki gambar 

dengan tulisan, para siswa akan belajar lebih cepat. Pengamatanku 

akan ajaran-ajaran ini sama dengan pelatihan tersebut.”

Saat aku memikirkan kata-kata ini, aku bersimpati kepada MahaKassapa, 

membuat dirinya menghadapi berbagai macam penderitaan. Jika Anda 

mengaitkannya pada pola-pola keduniawian, Anda dapat katakan 

bahwa beliau yaitu  seorang jutawan besar yang patut mendapatkan 

tempat tidur yang lembut dan makanan enak, tetapi sebaliknya beliau 

tidur dan makan di tanah, dan hanya menyantap makanan tidak 

enak. Memikirkan kisahnya, aku menjadi malu karena hanya mencari 

enaknya saja.  Bagi MahaKassapa, beliau dapat saja makan makanan 

enak dan tinggal di rumah yang indah tanpa adanya bahaya pikiran 

melekat. Tetapi – dan tidak mengejutkan – beliau lebih memerhatikan 

memberikan manfaat kepada mereka yang akan datang.

Semua hal ini memberikan aku makanan pikiran sejak pertama kali 

aku ditahbiskan. 

Berbicara mengenai tinggal di hutan, aku sudah memelajari banyak 

~ 202 ~


pelajaran yang tidak biasa di sana. Kadang-kadang aku melihat 

kematian dari dekat dan belajar banyak pelajaran – kadang-kadang 

dengan melihat tindak tandu hewan-hewan, kadang-kadang dari 

berbicara dengan penduduk yang hidup di sana. 

Pada suatu saat ada orang tua yang memberitahu aku, suatu waktu 

ia pergi bersama istrinya untuk menyadap getah pohon di dalam 

hutan lebat. Mereka bertemu seekor beruang dan terjadi kegaduhan. 

Istrinya mampu memanjat pohon dengan segera dan berteriak kepada 

suaminya, “jika kamu tidak bisa melawannya, berbaring dan pura-pura 

mati. Jangan bergerak.” 

Ketika suaminya mendengar ini, timbul kesadaran dan menjatuhkan 

diri ke tanah, berbaring dengan tenang. Melihat hal ini, beruang 

mengangkanginya, tetapi kemudian melepaskannya dan hanya 

melihat orang tua itu saja. Pria tua tersebut berbaring, bermeditasi 

dengan kata, “buddho, buddho,” dan berpikir, “aku tidak akan mati. Aku 

tidak akan mati.” Beruang itu mendorong kakinya, kepalanya, dan 

menggunakan moncongnya mendorong ke kiri dan ke kanan. Orang tua 

itu tetap berdiam diri dan tidak bereaksi sedikit pun. sesudah  beruang 

memutuskan bahwa lelaki itu sudah mati, kemudian pergi. Beberapa 

saat kemudian lelaki itu bangun dan berjalan pulang ke rumah bersama 

istrinya. Kepalanya memar dan berdarah, tetapi ia tidak mati. 

sesudah  ia selesai menceritakan kisahnya, ia menambahkan lagi, 

“begitulah cara yang harus dilakukan bila bertemu hewan hutan. Jika 

Anda tidak bisa melawannya, maka Anda harus berpura-pura mati.” 

Mendengar ini, muncul pemikiran, “tidak seorang pun yang tertarik 

dengan orang mati. Karena aku hidup dalam hutan, maka aku harus 

berpura-pura mati. Siapa pun yang memuja atau menyerang aku, aku 

harus diam – tenang dalam pikiran, ucapan dan perbuatan – bila aku 

~ 203 ~


ingin bertahan hidup.” Hal ini dapat juga menjadi pengingat baik di 

dalam Dhamma: untuk membebaskan diri Anda dari kematian, Anda 

harus berpura-pura mati. Inilah pelajaran yang baik dalam maranassati, 

menjaga kematian dalam pikiran. 

Di waktu yang lain, saat pagi, ketika aku sedang menetap di 

tengah-tengah hutan rimba, aku mengajak para pengikutku untuk 

berpindapatta. Saat itu kami sedang melewati hutan, aku mendengar 

suara seekor induk ayam berseru, “Kataak! Kataak!” Karena ayam tidak 

bisa terbang, aku mengira induk ayam itu bersama beberapa ekor anak 

ayam, lalu aku menyuruh anak-anak lelaki untuk berlari dan melihat. 

Tindakan ini menakutkan induk ayam dan terbang naik ke atas pohon. 

Mereka melihat anak-anak ayam berlarian, tetapi sebelum mereka 

bisa menangkap anak-anak ayam tersebut, anak-anak ayam dengan 

tunggang langgang berlari cepat masuk ke dalam gundukan besar 

rontokan dedaunan. Di sana, anak-anak ayam tersebut bersembunyi 

dan diam. Anak-anak lelaki itu mengambil tongkat dan mengubek-ubek 

dedaunan, tetapi anak-anak ayam itu tidak bergerak. Bahkan mereka 

tidak bersuara. Walaupun mereka terus mencari, mereka tidak dapat 

menemukan seekor pun anak ayam. Aku tahu bahwa anak-anak ayam 

itu tidak pergi ke mana-mana. Mereka hanya berpura-pura menjadi 

rontokan dedaunan. Kenyataannya, seluruh anak-anak ayam itu, tidak 

satu pun yang dapat ditangkap oleh kami.

Memikirkan hal ini, aku tercengang dengan insting mereka untuk 

mempertahankan diri, dan betapa pandainya mereka: mereka hanya 

berdiam tenang di gundukan rontokan dedaunan. Dan kemudian aku 

membandingkannya dengan diriku: “ketika Anda berada di hutan, dan 

jika Anda dapat mempertahankan pikiran Anda dengan tenang seperti 

anak-anak ayam tersebut, dipastikan Anda akan aman dan bebas dari 

kematian.” Ini merupakan sebuah pelajaran baik lagi.

~ 204 ~


Sebagai tambahan selain hewan-hewan. ada  aspek alami lainnya 

– seperti pepohonan dan tanaman merambat – yang dapat dijadikan 

bahan pertimbangan. Contohnya, tanaman merambat. Ada beberapa 

dahannya yang tidak bengkok, tetapi hanya lurus. Mengamati hal ini, 

aku menjadikannya sebagai pelajaran untuk diriku. “Jika Anda ingin 

membawa pikiran Anda kepada kebenaran sempurna, Anda harus 

bertindak seperti tanaman merambat: contohnya, selalu mengacu 

kepada kebenaran kata-kata Sang Buddha, “Kaya-kammam, vaca-

kammam, mano-kammam padakkhinam” – selalu berpikiran benar, 

perkataan benar dan perbuatan benar. Anda harus selalu benar – 

dengan mempertahankan diri Anda sendiri di atas kemelekatan yang 

membakar dan merusak pikiran Anda. Kalau tidak Anda tidak akan 

sebanding dengan tanaman merambat.” 

Beberapa jenis pohon tertentu membuatnya tenang dengan cara 

yang dapat kita lihat: kita dapat katakan bahwa mereka “tidur.” Pada 

malam hari, pohon-pohon itu melipat daun-daun mereka. Jika Anda 

merebahkan diri Anda di bawah pohon-pohon itu, Anda akan dapat 

melihat jelas bintang-bintang di angkasa pada malam hari. Tetapi saat 

pagi hari, pohon-pohon itu akan membentangkan daun-daun mereka 

dan memberikan naungan yang rindang. Hal ini memberikan pelajaran 

yang baik bagi pikiran: ketika Anda duduk bermeditasi, tutup hanya 

mata Anda. Tetap pertahankan pikiran Anda waspada dan terang, 

seperti sebatang pohon yang melipat dedaunannya dan oleh karena 

itu tidak mengganggu pandangan kita melihat bintang-bintang.

Ketika Anda dapat berpikir dengan cara ini, Anda melihat nilai dari 

kehidupan dalam hutan. Pikiran menjadi yakin. Dhamma yang sudah 

Anda pelajari – atau bahkan yang belum dipelajari – akan menjadi 

jelas dengan sendirinya, karena alam yang menjadi guru. Seperti ilmu 

pengetahuan-ilmu pengetahuan di dunia, yang digunakan oleh setiap 

~ 205 ~


negara untuk mengembangkan tenaga dahsyat. Tidak satu pun hasil 

ciptaan atau penemuan-penemuan yang datang dari buku. Pengetahun 

itu datang karena para ilmuwan belajar prinsip-prinsip alam, 

semuanya muncul di sini, di bumi. Begitu juga Dhamma, sama halnya 

dengan ilmu pengetahuan: berada di alam. Ketika aku menyadari hal 

ini, aku tidak lagi dikhawatirkan dengan memelajari kitab suci, dan 

aku teringat tentang Sang Buddha dan siswanya: mereka belajar dari 

prinsip-prinsip alam. Tak satu pun dari mereka yang mengikuti buku. 

Karena pertimbangan ini, aku bersedia menjadi bodoh jika berkaitan 

dengan teks dan kitab suci. Beberapa jenis pohon tidur di malam hari 

dan bangun di siang hari. Yang lainnya, tidur siang hari dan bangun di 

malam hari. Hal yang sama berlaku pada hewan-hewan hutan. 

Tinggal di dalam hutan, Anda juga dapat belajar dari uap air yang 

menetes dari tumbuh-tumbuhan. Beberapa jenis tumbuhan baik untuk 

kesehatan Anda, beberapa yang lain tidak baik. Terkadang, sebagai 

contoh, ketika aku demam, aku duduk di bawah pohon-pohon tertentu 

dan demamku sembuh. Terkadang saat aku sedang merasa baik-baik 

saja, kemudian aku duduk di bawah pohon-pohon tertentu, bagian-

bagian dalam tubuhku menjadi terganggu. Terkadang aku merasa haus 

dan lapar, tetapi seketika aku duduk di bawah pohon-pohon tertentu, 

lapar dan hausku menghilang. Belajar dari pohon-pohon dengan cara 

ini menyebabkan aku berpikir tentang tabib yang meletakan patung 

petapa di altar-altar mereka. Petapa-petapa itu tidak pernah belajar 

buku teks medis, tetapi mereka mampu mengajar obat-obatan yang 

dapat menyembuhkan penyakit, karena mereka memelajari alam 

dengan melatih pikiran mereka dengan cara yang sama seperti yang 

kami lakukan. 

Pelajaran-pelajaran yang serupa dapat dipelajari dari air, bumi, dan 

~ 206 ~


udara. Menyadari hal ini, aku tidak berbahagia dengan obat-obatan 

yang dapat menyembuhkan penyakit, karena aku merasa obat-

obatan baik ada di mana-mana. Yang terpenting yaitu  apakah kita 

mengetahui obat-obatan tersebut, dan hal ini bergantung pada kita. 

Sebagai tambahan, ada kualitas lain yang kita perlukan untuk merawat 

diri kita: kekuatan pikiran. Jika kita mampu menjaga ketenangan 

pikiran, maka kemampuan untuk menyembuhkan penyakit sepuluh 

kali lipat lebih kuat daripada obat mana pun juga. Ini disebut dhamma-

osatha: obat Dhamma. 

Secara keseluruhan, terlihat dengan jelas olehku bahwa aku 

memperoleh manfaat tinggal di dalam hutan dan tempat sunyi lainnya 

untuk melatih pikiran. Satu demi satu aku mampu memotong keraguan-

keraguanku terhadap ajaran Sang Buddha. Dengan demikian, untuk 

alasan ini, aku bersedia mempersembahkan diriku untuk mengajarkan 

meditasi sampai saat akhir hayatku. 

Manfaat yang dihasilkan dari pelatihan pikiran, jika aku menguraikannya 

secara terperinci, maka tiada habisnya, tetapi aku menyudahi uraian 

pendek ini sampai di sini. 

~ 207 ~

Bagian 28

Saat ini, aku menjadikan Wat Asokaram sebagai vihara tetap untuk 

orang-orang yang akan datang. Pada tanggal 5 Desember 1956, saat 

menetap di Wat Asokaram, aku diberi peringkat dan gelar – Phra Khru 

untuk pertama kali, dengan gelar “Phra Khru Suddhidhammacariya” 

– tanpa sepengetahuanku atau terpikirkan sebelumnya. Pada bulan 

Desember tahun 1957, sekali lagi, tanpa pemberitahuan, aku diberi 

peringkat Chao Khun, dengan gelar, “Phra Suddhidhammaransi 

Gambhiramedhacariya.” Kemudian aku memutuskan untuk 

melewatkan masa vassa di Wat Asokaram sejak saat itu. 

Pada tahun 1959, aku mulai merasa sakit di pertengahan masa vassa. 

Memikirkan penyakitku, aku mulai khawatir dapat bertahan hidup. 

Pernah beberapa kali, aku berpikir untuk memisahkan diri dari para 

pengikutku dan hanya ingin sendirian saja: aku ingin mencari tempat 

tenang, di mana aku dapat menemukan ketenangan dan kesunyian 

yang merupakan wujud tertinggi kebahagiaan. Kadang-kadang rasa 

sakitku mereda, kadang-kadang aku sakit semalam suntuk, tetapi aku 

sanggup bertahan. Aku merasakan nyeri luar biasa dalam  perutku, 

dan, pernah suatu hari aku terkena demam tinggi selama beberapa 

jam. Maka ketika masa vassa selesai, aku harus beristirahat di Rumah 

Sakit Somdet Phra Pin Klao. 

Aku menjalani rawat inap pertama kali selama tiga hari – tanggal 

2-5 November 1959 – tetapi sesudah  kembali ke Wat, penyakitku 

~ 208 ~


kambuh kembali, karena itu aku masuk rumah sakit kembali pada hari 

Selasa, tanggal 10 November. Sejak itu penyakitku berangsur-angsur 

sembuh. 

Pada suatu hari, selagi berbaring di tempat tidur, aku berpikir, “aku 

ingin kelahiranku dapat bermanfaat baik bagi diriku sendiri dan 

juga yang lain. Bahkan jika aku terlahir ke dunia di mana tidak ada 

penderitaan, aku ingin berguna bagi dunia dan bagi ajaran Sang 

Buddha seumur hidupku. Tetapi sekarang aku sakit, aku ingin sakitku 

dapat bermanfaat bagi diriku dan yang lainnya.” Dengan pemikiran 

ini, aku menulis surat berikut: 

Mengenai makananku, aku tidak menghendaki siapa pun untuk khawatir. 

Rumah sakit memiliki segala hal yang aku inginkan. Jika ada yang ingin 

membawa makanan, aku meminta kepada mereka untuk membawa uang 

senilai makanan tersebut ke sini, dan menggunakan uang itu untuk melakukan 

kebaikan dengan cara lain, seperti mengganti biaya pengobatan rumah 

sakitku atau, jika ada uang tersisa, digunakan untuk membantu membayar 

kaum miskin yang memerlukan pengobatan di rumah sakit. Bukankah 

pemikiran tersebut lebih baik? 

Bangunan tempat aku menginap yaitu  bangunan khusus. Belum dibuka 

untuk pasien lain. Para dokter memberikan aku perawatan dan perhatian 

terbaik, tanpa meminta sedikit pun uang. Oleh karena itu, siapa pun yang 

berniat baik perlu memikirkan hal ini. 

Kesimpulannya, aku berniat berdana beberapa tempat tidur untuk rumah 

sakit sebagai cindera mata. Siapa pun yang berniat membantu dapat 

menghubungi aku atau Direktur dan Asisten Direktur Rumah Sakit Somdet 

Phra Pin Klao.

Phra Ajaan Lee 

~ 209 ~


Ruangan Khusus 

Rumah Sakit Somdet Phra Pin Klao 

(Rumah sakit angkatan laut di Puggalo) 

(Pada tanggal 11 Nopember 1959, Rumah Sakit Angkatan Laut di 

Puggalo menerima permohonan ijin dari Departemen Pertahanan 

untuk mengubah namanya menjadi Rumah Sakit Somdet Phra Pin 

Klao, satu hari sesudah  aku diijinkan kembali.)

Ketika aku menyelesaikan surat ini, aku berpikir, “paling sedikit kami 

memerlukan tiga puluh ribu Baht untuk membantu rumah sakit.” 

Maka aku berniat untuk mengumumkan kepada para pengikutku, dan 

mulai hari itu juga orang-orang mulai berdana uang. 

Pada tanggal 16 November, sekelompok orang dari Samut Prakaan 

datang mengunjungiku di rumah sakit untuk memberitahu: (a) telah 

terjadi lagi tabrakan mobil di “Tikungan Maut” di Jalan Sukhumvit, 

Bang Ping dan (b) beberapa orang telah melihat hantu-hantu 

menakutkan gentayangan di tikungan tersebut. Aku memutuskan 

merupakan gagasan baik untuk berbuat baik dan melimpahkannya 

kepada orang-orang yang mati kecelakaan di sepanjang jalan itu. 

Aku pergi menemui wakil gubernur Samut Prakaan dan sekelompok 

pengikutku, dan kami sepakat untuk melakukan pelimpahan jasa. 

Prosesi dimulai pada tanggal 18 Desember malam. Sekelompok bhikkhu 

membacakan parita di anjungan sementara yang dibangun di pinggir 

Jalan Sukhumvit, dekat Kantor Pekerjaan Umum Samut Prakaan. Lima 

puluh phaa paas dipersembahkan dan nama-nama tikungan tersebut 

diubah sebagai berikut: 

Tikungan Pohon Bodhi dinamai kembali Tikungan Bodhisattva. 

Tikungan maut dinamai kembali Tikungan Kehidupan. 

~ 210 ~


Tikungan Mido dinamai kembali Tikungan Kemenangan. 

Selesai kegiatan ini, aku kembali ke rumah sakit pada sore harinya, dan 

sejak saat itu aku tinggal hampir satu bulan. Para dokter dan perawat 

banyak membantu dan penuh perhatian. Sebagai contoh, Laksamana 

Sanit Posakritsana, direktur rumah sakit, sangat penuh perhatian, 

ia membawa makanan untuk dana makanan pagi dan merawat aku 

seolah-olah ia yaitu  salah satu pengikutku. 

Selama periode ini, aku menulis sebuah buku, Penuntun Pembebasan 

Penderitaan, untuk dibagi-bagikan gratis. Aku tidak kesulitan dalam 

hal penerbitan. Dua orang pengikutku membantu mencetak sebanyak 

dua ribu buku: Khun Nai Lamai Amnueysongkram sebanyak seribu 

buku; dan Letnan Angkatan Laut Ayut Bunyaritraksa sebanyak seribu 

buku. Tampaknya tujuan-tujuanku telah terlaksana dengan cukup 

baik. Sebagai contoh, aku ingin mengumpulkan dana untuk membantu 

rumah sakit, dan hari ini – 10 Januari 1960 – saat aku meninggalkan 

rumah sakit sesudah  menginap selama empat puluh lima hari, kami 

sudah mengumpulkan tiga puluh satu ribu lima ratus tiga puluh lima 

Baht, yang menunjukan bahkan saat sedang sakit pun, aku dapat 

berguna. 

Bahkan ketika aku meninggal, aku ingin tetap berguna bagi mereka 

yang masih hidup. Aku pernah melihat satu contoh, Khru Baa Sri 

Wichai, yang dikagumi oleh masyarakat di utara. Ia merencanakan 

untuk membangun jembatan yang menyeberangi Sungai Mae Ping, 

tetapi beliau meninggal sebelum jembatan itu selesai. Maka sebagian 

pengikutnya membawa dan meletakkan jenazah beliau di dalam peti 

jenazah dekat jembatan yang belum selesai, dengan pemberitahuan 

bahwa siapa pun yang ingin membantu pemakaman, dimohon 

bantuannya untuk menyelesaikan jembatan terlebih dulu. Pada 

~ 211 ~


akhirnya, meskipun ia membusuk, Khru Baa Sri Wichai bisa berguna 

bagi orang-orang. 

Dengan demikian di dalam hidupku, aku mengarahkan diriku untuk 

berguna sepanjang hidupku, sejak aku pertama melakukan latihan 

meditasi pada tahun 1926 sampai saat ini. Aku mengajar para siswa 

di beberapa propinsi dan membantu menyiapkan vihara-vihara untuk 

kepentingan umat Buddha secara umum. Dalam mempersiapkan 

vihara-vihara seperti ini, aku membantu dengan dua cara: 

Ketika para pengikutku menyiapkan vihara-vihara di tempat 1) 

mereka sendiri, tetapi masih kekurangan di beberapa bagian, aku 

menawarkan bantuan dan menyemangati. 

Ketika sahabat-sahabatku membangun vihara tetapi belum 2) 

menyelesaikannya, jika mereka memerlukan bhikkhu, aku 

akan mengutus beberapa pengikutku untuk menetap di sana. 

Mengenai vihara yang dibangun oleh guru-guruku saat aku dalam 

pengembaraan, aku selalu mengunjungi dan membantu melatih 

orang-orang yang berada di sana. 

Di Chanthaburi, ada  sebelas vihara yang aku bantu 

mempersiapkannya. Di Nakhorn Ratchasima ada  dua atau tiga 

vihara. satu vihara di Srisaket, dan lebih dari satu vihara di Surin. Di 

Ubon Ratchathani ada  beberapa tempat. Di Nakhorn Phanom, Khon 

Kaen, Loei, Chaiyaphum, Phetchabun, Prajinburi, Rayong, Trat, Lopburi, 

Chainat, Tak, Nakhorn Sawan, Phitsanuloke merupakan vihara-vihara 

di mana aku pernah mengajar sementara, yang bukan dipersiapkan 

oleh diriku sendiri. Di Saraburia aku membantu mempersiapkan satu 

vihara. Uttaradit yaitu  tempat di mana aku melatih orang-orang 

di sana saat berkunjung. Lampang, Chieng Rai, Chieng Mai, Nakhorn 

Nayok, Nakhorn Pathom, dan Ratchaburi yaitu  tempat-tempat yang 

~ 212 ~


aku kunjungi dan mengajarkan orang-orang di sana, tetapi aku tidak 

mempersiapkan vihara-vihara di sana. Di Prajuab, beberapa sahabatku 

sudah mulai mempersiapkan sebuah vihara di daerah Hua Hin. Di 

Chumporn, aku membantu mempersiapkan dua atau tiga vihara. 

Aku melewati Surat Thani, tetapi tidak membangun vihara di sana. 

Di Nakhorn Sri Thammarat, aku menetap sementara dan membantu 

pembangunan sebuah vihara sesudah  sebelumnya kosong melompong. 

Di Phattalung, pernah dikunjungi oleh pengikutku, tetapi tidak ada 

vihara di sana. Di Songkhla ada  banyak vihara-vihara hutan. Di 

Yala, beberapa pengikutku memulai pembangunan vihara, dan aku 

sendiri pernah ke sana dua kali. 

Selama musim kemarau, aku selalu pergi mengunjungi para siswa tua 

dari para guruku. Kadang-kadang aku pergi bermeditasi sendirian. 

sesudah  aku ditahbiskan kembali dalam Sekte Dhammayut pada 

tahun 1927, aku melewatkan masa vassa pertamaku di propinsi Ubon 

Ratchathani. Kemudian aku melewatkan tiga masa vassa di Wat Sra 

Pathum, Bangkok , lalu satu masa vassa di Chieng Mai, dua masa vassa 

di Nakhorn Ratchasima dan satu masa vassa di Prajinburi. sesudah  itu, 

aku membangun vihara di Chanthaburi dan melewatkan empat belas 

masa vassa di sana. Dari sana aku pergi ke India, dan melewatkan satu 

masa vassa di sana. Kembali dari India, aku melewati Myanmar dan 

melewatkan masa vassa di Wat Khuan Miid, propinsi Songkhla. sesudah  

itu aku kembali ke Chieng Mai untuk melewatkan satu masa vassa di 

sana, dan kemudian melewatkan tiga masa vassa di Wat Boromnivasa. 

Karena Somdet Mahawirawong (Uan) meninggal, aku melewatkan 

empat masa vassa di Wat Asokaram, masa vassa yang ke empat pada 

tahun 1959. 

Saat aku mendiktekan ini, aku sedang berbaring di atas tempat tidur 

Rumah Sakit Somdet Phra Pin Klao, Thonburi. 

~ SELESAI ~

~ 214 ~

Epilogue

Tiga puluh tiga stupa yang disebutkan oleh Ajaan Lee dalam perencanaan 

beliau untuk perayaan peringatan dua puluh lima abad Buddhisme tidak 

dibangun pada masa kehidupan beliau. Tidak lama sesudah  perayaan, 

para pengikutnya – khawatir beliau akan meninggalkan Bangkok dan 

kembali ke hutan sesudah  pembangunan stupa selesai – mendesak 

kalau Wat Asokaram perlu aula penahbisan sebelum membangun 

stupa, dan kemudian mengatur untuk membangun aula penahbisan 

terlebih dahulu. sesudah  aula penahbisan selesai dibangun pada bulan 

Mei tahun 1960, Ajaan Lee mengadakan pertemuan dengan sebagian 

pendukung utamanya untuk membahas rencana pembangunan stupa, 

Lagi mereka memberikan alasan untuk tidak melanjutkan proyek 

pembangunan tersebut. 

Sementara itu, kesehatan Ajaan Lee memburuk. sesudah  akhir masa 

vassa, beliau kembali masuk Rumah Sakit Somdet Phra Pin Klao, 

tetapi menyadari bahwa para dokter tidak dapat menyembuhkan 

penyakitnya, beliau keluar dari rumah sakit di awal bulan April tahun 

1961. Tidak lama kemudian, pada tanggal 25-26 April malam, beliau 

meninggal di dalam gubuknya di Wat Asokaram. Dianogsa para dokter 

menyatakan beliau terkena serangan jantung. 

sesudah  upacara pemakaman selesai, para pengikutnya memutuskan 

untuk menunda upacara kremasi sampai mereka selesai membangun 

~ 215 ~


stupa sebagai persembahan terakhir kepada beliau – sama seperti 

kisah Khru Ba Sri Wichai, yang disebutkan Ajaan Lee pada bagian akhir 

otobiografi. Tetapi, sesudah  stupa selesai dibangun pada tahun 1965, 

mayoritas suara para pengikut Ajaan Lee tidak menginginkan beliau 

dikremasikan, kemudian tubuhnya disimpan di Wat Asokaram, saat 

ini diabadikan di altar megah dengan rancangan indah yang selesai 

dibangun pada tahun 1987. Sampai saat ini, banyak orang yang datang 

berkunjung dan memberikan penghormatan secara teratur pada 

beliau. 

Saat terakhir di rumah sakit, Ajaan Lee mendiktekan sepenggal tema 

Dhamma – dan diri seseorang – perlindungan seseorang dengan 

mempraktikkan Empat Landasan Perhatian: sama dengan khotbah 

Sang Buddha di tahun terakhir kehidupan Beliau. Karena ini merupakan 

rekaman khotbah terakhir Ajaan Lee, tepat rasanya untuk dijadikan 

sebagai kesimpulan terakhir kisah hidup beliau.





~ 220 ~

Suatu Perlindungan 

dalam Pencerahan

Ye keci buddham saranam gatase 

Na te gamissanti apaya-bhumim 

Pahaya manusam deham

Deva-kayam paripuressantiti 

“Mereka yang berlindung kepada Sang Buddha 

tidak akan jatuh ke alam rendah. 

Saat lepas jasmani,  

Mereka akan masuk dalam jajaran para dewa.” 

Sekarang aku akan menjelaskan syair ini, sehingga Anda dapat 

berlatih ke arah pencapaian tertinggi, mampu menghapuskan 

semua penderitaan dan ketakutan-ketakutan Anda, serta mencapai 

perlindungan dalam kedamaian. 

Kita terlahir ke dalam dunia ini tanpa suatu perlindungan mendasar. 

Tidak ada – disamping Buddha, Dhamma, dan Sangha – yang akan 

menjadi perlindungan kita pada kehidupan selanjutnya. Ketiga inilah 

satu-satunya yang dapat kita jadikan perlindungan baik di kehidupan 

saat ini maupun kehidupan yang akan datang. 

Ada dua tingkatan bagi orang-orang yang berlindung pada tiga 

permata. Sebagian orang berlindung secara kias, hanya pada tingkat 

Suatu Perlindungan dalam Pencerahan

~ 221 ~

individu, sedangkan yang lainnya berlindung pada level kualitas batin, 

dengan mengembangkan latihan ke arah dalam diri sendiri. 

I. Pada tingkat Individu. 

BuddhaA. . Para Buddha yaitu  manusia yang sudah mencapai 

kemurnian pikiran. Ada empat jenis:

Sammasambuddha:1)  mereka yang mencapai Pencerahan atas usaha 

sendiri, tanpa bantuan dari siapa pun, dan mendirikan suatu 

kelompok keagamaan. 

Pacceka Buddha:2)  mereka yang sudah mencapai Pencerahan 

tanpa mendirikan suatu kelompok keagamaan. Dalam mencapai 

pencerahan, mereka berusaha sendiri.

Arahat:3)  mereka yang berlatih sejalan dengan ajaran-ajaran Sang 

Buddha hingga mencapai Pencerahan. 

Siswa-siswi Buddha:4)  mereka yang berlatih secara terperinci dan 

mengikuti ajaran-ajaran hingga mencapai tujuan.

Keempat jenis ini yaitu  manusia individu, maka berlindung kepada 

mereka merupakan berlindung pada level individu. Mereka hanya 

memberikan perlindungan sedikit dan tidak secara mendasar. 

Meskipun berlindung pada tingkatan ini dapat menguntungkan bagi 

kita, perlindungan tersebut hanya dapat membantu kita pada level 

dunia dan hanya dapat memberikan perlindungan sementara dari 

jatuh ke alam rendah. Jika kita kehilangan keyakinan pada individu-

individu ini, pikiran kita akan berubah ke tingkat yang lebih rendah 

– seluruh individu tersebut tidak lepas dari hukum perubahan: mereka 

tidak tetap dan berubah, menjadi pokok penekanan, dan bukan diri – 

contoh mereka tidak lepas dari kematian. 

Maka jika Anda berlindung kepada Sang Buddha pada level individu, 


~ 222 ~

maka hanya ada dua macam hasil yang akan Anda dapatkan: Pertama, 

kegembiraan, kemudian kesedihan bila saat berpisah tiba – merupakan 

sifat alami dari semua makhluk di dunia ini, mereka lahir, tua, sakit, 

dan mati. Para petapa yang paling bijaksana dan orang-orang biasa 

yaitu  sama dalam hal ini. Dhamma. Kebanyakan dari kita, ajaran 

yang oleh kita dijadikan perlindungan juga berada pada level individu. 

Mengapa? Karena kita melihatnya sebagai perkataan dari orang-orang 

tertentu. 

Para bijaksana di masa lampau telah membagi ajaran yang ada dalam 

canon Buddhist ke dalam empat bagian: 

Perkataan-perkataan dari Sang Buddha. 1) 

Perkataan-perkataan dari para siswa Beliau.2)  

Perkataan-perkataan dari makhluk surgawi3) . ada  beberapa 

kesempatan ketika makhluk surgawi, datang untuk menghormati 

Sang Buddha, menyatakan kebenaran.

Perkataan-perkataan dari para petapa.4)  Beberapa petapa dan yogi-

yogi menyatakan kebenaran-kebenaran yang bermanfaat bagi 

umat Buddha. 

Semua perkataan ini diatur ke dalam tiga bagian Buddhis Canon: 

sutta-sutta, vinaya, dan Abhidhamma. Jika kita berlindung pada 

Dhamma dalam tingkatan ini, perlindungan ini menjadi objek: sesuatu 

yang dapat kita ingat. Tetapi ingatan tidak tetap dan tidak dapat 

menyediakan perlindungan yang memadai, dan dapat diandalkan. 

Yang terbaik, hanya dapat membantu kita pada level keduniawian 

karena kita bergantung secara kias pada individu, pada objek, sebagai 

perlindungan kita.

SanghaB. . Ada dua macam Sangha. 

Suatu Perlindungan dalam Pencerahan

~ 223 ~

Sangha pada umumnya1) : orang-orang biasa yang ditahbiskan dan 

menjalankan kehidupan tanpa rumah. Sangha semacam ini terdiri 

atas empat jenis: 

Upajivikaa)  yaitu  mereka yang ditahbiskan hanya untuk kepuasan 

hidup. Mereka dapat bergantung pada orang lain untuk memenuhi 

kebutuhan-kebutuhan mereka dan dengan demikian mereka 

mendapat kepuasan diri, puas dengan status penahbisan mereka, 

tanpa mencari bentuk kebaikan lain yang lebih baik. 

Upadusikab)  yaitu  mereka yang ditahbiskan menghancurkan 

ajaran Sang Buddha melalui perilaku mereka – tidak melepaskan 

hal-hal yang seharusnya dilepaskan, tidak melakukan hal-hal 

yang seharusnya mereka lakukan, menghancurkan kapasitas 

kebaikan diri mereka sendiri dan orang lain, menjadi perusak, 

meninggalkan ajaran-ajaran Sang Buddha.

Upamuyhikac)  yaitu  mereka yang ditahbiskan, membutakan diri 

sendiri dan bodoh, mereka tidak mencari jalan yang membawa 

perilaku mereka sesuai dengan ajaran Sang Buddha. Mereka tidak 

menarik diri mereka ke luar dari jalan yang tidak berguna dan 

tetap teperdaya

Upanisaranikad)  yaitu  mereka yang ditahbiskan, bersungguh-

sungguh belajar dan mempraktikkan sejalan dengan apa yang 

mereka pelajari, mereka berusaha mencari perlindungan aman, 

dan tidak membiarkan diri mereka lalai atau puas. Apa pun yang 

dikatakan Sang Buddha yaitu  baik, mereka bertindak sesuai 

ajaran. Mencapai atau tidak kebaikan tersebut, mereka terus 

berusaha. 

Keempat jenis Sangha tersebut termasuk di level individu. 

Sangha Mulia.2)  Sangha ini memiliki  empat tingkatan: mereka 


~ 224 ~

yang melaksanakan ajaran-ajaran Sang Buddha hingga mencapai 

tingkatan Sotapana, Sakadagami, Anagami, atau Arahat. Keempat 

tingkat ini masih berada pada level individu, karena mereka orang 

yang telah mencapai tingkatan tertentu. Misalnya, kita katakan 

bahwa Aññakondañña seorang Sotapanna, Sariputta seorang 

Sakadagami, Moggallana seorang Anagami, dan Ananda seorang 

Arahat. Keempatnya merupakan individu dalam nama dan rupa. 

Berlindung pada mereka berarti berlindung pada tingkat individu 

– dan sebagai individu mereka tidak stabil dan berubah-ubah. 

Tubuh, panca indria dan batin mereka secara alami mengalami 

penuaan, sakit, dan mati. Dengan kata lain, mereka mengalami 

anicca, yaitu tidak kekal dan dapat berubah; dukkha yaitu mereka 

mengalami pada perubahan dan penderitaan; dan anatta, yaitu 

mereka sendiri tidak bisa mencegah sifat alami perubahan dalam 

diri mereka sendiri. 

Dalam kasus ini, siapa pun yang mencoba untuk berlindung kepada 

mereka akan mengalami perubahan juga. Kita dapat bergantung pada 

mereka hanya sesaat saja, tetapi mereka tidak dapat menyediakan 

perlindungan yang benar bagi kita. Mereka tidak dapat menjaga kita 

terperosok ke alam rendah. Yang terbaik, berlindung pada mereka 

dapat memberikan hasil bagi kita pada tingkatan duniawi – dan 

tingkatan duniawi terus berubah sepanjang waktu. 

Inilah akhir dari pembahasan tiga perlindungan pada tingkat 

individu. 

II. Pada tingkatan kualitas batin 

Berlindung dalam Buddha, Dhamma, dan Sangha pada tingkat kualitas 

batin berarti mencapai tiga permata dalam pikiran melalui latihan. 

Suatu Perlindungan dalam Pencerahan

~ 225 ~

Untuk mencapai Kebuddhaan pada kualitas batin, pertama kali Anda 

harus mengetahui kualitas-kualitas Sang Buddha, yang terbagi atas dua 

bagian: sebab dan akibat. Sebab Pencerahan Beliau yaitu  kesadaran 

penuh dan kewaspadaan. AKibat Pencerahan Beliau yaitu  terlepas 

dari kemelekatan dan bentukan-bentukan batin. 

Jadi kita harus mengembangkan kualitas-kualitas tersebut di dalam 

diri kita sendiri. Buddha-sati – kesadaran penuh seperti Sang Buddha 

– merupakan apa yang membangunkan kita. Kewaspadaan penuh 

merupakan apa yang membuat kita menyadari sebab dan akibat 

secara benar. Cara untuk mengembangkan kualitas ini yaitu  berlatih 

sesuai dengan empat landasan perhatian. Cara ini akan membuat kita 

mencapai KeBuddhaan pada tingkat kualitas batin. 

Perenungan pada tubuh sebagai salah satu landasan perhatian.a)  

Maksudnya yaitu  perhatian penuh pada tubuh, menggunakan 

perhatian penuh untuk membangun tubuh dan pikiran, siang dan 

malam – duduk, berdiri, berjalan, atau berbaring. Kita menggunakan 

kesadaran penuh dan kewaspadaan untuk menyadari sepenuhnya 

tubuh ini. Inilah sebab pencapaian  Kebuddhaan pada tingkat 

kualitas batin – mencapai Kebuddhaan oleh diri sendiri, tanpa 

harus bergantung pada siapa pun. Saat Anda bergantung pada diri 

sendiri, saat itulah Anda berada pada jalur yang benar. 

Sebelum memusatkan kesadaran penuh pada tubuh untuk membangun 

diri, pertama kali Anda harus mengetahui dua cara memerhatikan 

tubuh: 

Tubuh, terdiri dari empat unsur dasar yang tersusun menjadi satu 1) 

satu objek fisik: unsur tanah, atau aspek padat, unsur air, atau 

aspek cair, unsur api, atau aspek hangat, dan unsur angin; seperti 


~ 226 ~

napas keluar-masuk. Ketika semua unsur ini selaras, mereka akan 

menyatu dan membentuk satu kumpulan atau objek yang kita 

sebut tubuh. 

Bagian tubuh itu sendiri – yaitu salah satu dari empat unsur. 2) 

Sebagai contoh, kita dapat menggunakan unsur angin. Pusatkan 

kesadaran penuh dan kewaspadaan hanya pada unsur angin dan 

pertahankan perhatian tersebut. Anda tidak perlu memusingkan 

unsur lain. Inilah yang disebut dengan  bagian tubuh itu sendiri. 

Dari sana Anda dapat merasakan angin pada tubuh itu sendiri. Ada 

enam aspek unsur angin: energy napas yang mengalir dari kepala 

menuju ke bagian antara jari kaki dan jempol kaki; energy napas yang 

mengalir dari bagian antara jari kaki dan jempol kaki mengalir ke 

atas menuju kepala; energy napas di dalam perut; energy napas dalam 

usus besar; dan napas keluar-masuk. Enam aspek ini yang membentuk 

unsur angin di dalam tubuh. 

Ketika Anda memusatkan perhatian pada angin itu sendiri, pusatkan 

perhatian hanya pada salah satu aspek – seperti napas keluar-masuk – 

tanpa mengkhawatirkan aspek-aspek napas lainnya. Ini dapat disebut 

pemusatan perhatian pada unsur angin itu sendiri. Prinsip yang sama 

juga diterapkan pada unsur tanah, air, dan api. 

Ketika Anda mengembangkan kesadaran dan kewaspadaan terus 

menerus di dalam tubuh itu sendiri, angin, api, tanah, atau – yang 

terlihat paling mudah dan nyaman – Pertahankan sedapat mungkin. 

Ketika Anda melakukan ini tubuh akan bangun, karena Anda tidak 

membiarkan hanya mengikuti jalan alami. Dengan mengembangkan 

kesadaran ke dalam tubuh akan membantu kewaspadaan. Tubuh 

akan terasa semakin ringan saat kita mempertahankan pikiran. 

Kewaspadaan merupakan hal yang membuat kita menyadari tubuh 

Suatu Perlindungan dalam Pencerahan

~ 227 ~

secara keseluruhan. Ketika dua kualitas pikiran ini masuk ke dalam 

tubuh, maka tubuh akan tangkas, ulet, dan ringan. Dalam bahasa pali 

disebut kaya-lahuta. Pikiran akan selalu terjaga dan menghasilkan 

pengetahuan di dalam diri sendiri melalui latihan “sanditthiko” – orang 

yang berlatih akan melihat hasil untuk dirinya saat ini juga. 

Orang yang bangun tidur dapat melihat dan mengetahui berbagai hal. 

Hal serupa terjadi pada orang yang mempraktikkan perhatian penuh 

pada tubuh sebagai salah satu landasan perhatian: mereka pasti melihat 

kebenaran alami tubuh mereka sendiri. Untuk menembus, mengetahui, 

dan melihat jalan ini, yaitu  untuk mencapai KeBuddhaan, Dhamma, 

dan Sangha – yang berbeda hanya pada sebutan, tetapi yaitu  satu dan 

pada hakekatnya sama.

Siapa pun yang tidak berlatih dengan cara ini, ia tertidur, pada tubuh 

dan pikiran. Seorang yang tidur tidak dapat melihat atau mengetahui 

apa pun, karena itulah mengapa kita dapat mengatakan orang-orang 

seperti ini belum mencapai Kebuddhaan pada level kualitas batin. 

Perenungan pada perasaan sebagai salah satu landasan perhatian.b)  

Perhatian penuh pada perasaan saat timbul dari dalam diri Anda. 

Perasaan merupakan hasil yang timbul dari pengalaman masa 

lampau dan saat ini. ada  tiga jenis perasaan: 

Perasaan senang 1) 

Perasaan menderita2) 

Perasaan seimbang3) 

Untuk berlatih perenungan pada perasaan, perhatikan segala 

macam jenis perasaan yang timbul dari tubuh dan pikiran. Contoh, 

kadang menyenangkan secara fisik tetapi menderita secara batin; 

kadang menderita secara fisik tetapi menyenangkan secara batin; 


~ 228 ~

kadang menyenangkan pada fisik dan batin; kadang menderita 

secara fisik dan batin.  Pemusatan perhatian pada perasaan yang 

timbul. Menyelidikinya dengan seksama. Inilah yang disebut dengan 

perenungan pada perasaan. 

Pada perasaan itu sendiri, berarti pemusatan perhatian pada salah satu 

jenis perasaan. Contohnya, ketika timbul perasaan menyenangkan, 

pusatkan pada perasaan menyenangkan tersebut. Pusatkan perhatian 

hanya pada satu titik. Anda tidak perlu terlibat pada perasaan sakit 

atau seimbang. Jika Anda ingin memusatkan perhatian pada perasaan 

menyenangkan, perhatikan saja pada perasaan tersebut. Atau, jika 

Anda menginginkan, Anda dapat memusatkan perhatian pada perasaan 

seimbang tanpa harus terlibat pada perasaan menyenangkan atau 

kesakitan. Jangan biarkan pikiran lari kepada keasyikan yang timbul 

dan mengganggu. Pertahankan perhatian pada perasaan yang Anda 

pilih sampai Anda mengetahui sifat alaminya melalui kesadaran Anda 

sendiri.

Apa pun jenis perasaan yang mudah Anda perhatikan, pertahankan 

perhatian penuh dan kewaspadaan di sana sedapat mungkin. Hal ini 

akan membuat Anda bangun dari perasaan di dalam Anda. Siapa saja 

yang menjalankan kualitas ini berarti sedang mengembangkan kualitas 

batin “Sang Buddha” yang merupakan sebab timbulnya pencerahan.

Perenungan pada pikiran sebagai salah satu landasan perhatian.c)  

Pemusatan pada kondisi pikiran sehingga Anda sadar dari 

khayalan. Ketika pikiran Anda sadar, pikiran akan dapat melihat 

dan mengetahui berbagai hal yang timbul pada saat ini. Hal 

ini dapat fokus pada faktor-faktor konsentrasi dan jhana, atau 

pencerapan batin, yang membawa pada ketajaman, kesadaran 

terlatih, dan pelepasan. 

Suatu Perlindungan dalam Pencerahan

~ 229 ~

ada  tiga kondisi dasar pikiran yang dapat Anda jadikan 

perhatian: 

Hasrat:1)  pikiran mengejar objek menyenangkan, membuat pikiran 

terbuai akan objek tersebut. Hal ini mencegah pengalaman kondisi 

pikiran cerah dan bersih.

Kebencian:2)  pikiran pada suatu waktu jengkel dan marah, 

menyebabkan kebaikan apa pun menjadi merosot. Kebencian 

merupakan cara untuk menghancurkan pikiran itu sendiri.

Khayalan:3)  kebodohan, kelupaan, kegelapan batin, 

kesalahpengertian.

Ketiga kondisi pikiran ini timbul dari hal-hal yang kita sukai dan tidak 

kita sukai. Jika Anda memiliki perhatian penuh yang memerhatikan 

pikiran Anda setiap saat, akan membuat pikiran sadar dan berkembang, 

untuk mengetahui kebenaran itu sendiri. 

Kapan pun hasrat timbul di dalam pikiran, pusatkan perhatian pada 

pikiran itu sendiri. Jangan memusatkan perhatian pada objek hasrat. 

Perhatikan pada kondisi saat ini, dan hasrat akan lenyap. Atau, jika 

Anda menginginkan, Anda dapat menggunakan metode lain, dengan 

merenungkan objek hasrat melalui cara tertentu. Contohnya, Anda 

dapat merenungkan ketidaktertarikan pada tubuh, pertama pusatkan 

perhatian pada bagian-bagian tubuh Anda, melihat bagian-bagian 

tersebut sebagai kotor dan menjijikan. Pikiran Anda, yang telah melekat, 

akan dapat melepaskan sendiri dari hasrat yang membenamkannya 

kemudian menjadi berkembang dan terang.

Kapan pun kebencian timbul di dalam pikiran, pusatkan perhatian 

hanya pada kondisi pikiran pada saat itu. Jangan memusatkan 

perhatian pada objek luar atau orang yang memicu  kemarahan 

dan kebencian. Kemarahan dalam pikiran seperti api yang membakar. 


~ 230 ~

Jika Anda tidak penuh perhatian dan waspada pada kondisi pikiran 

Anda sendiri, malahan hanya memikirkan pada objek atau orang yang 

memicu kemarahan, seperti menyiapkan api untuk Anda sendiri, dan 

Anda akan terbakar. Oleh sebab itu, seharusnya Anda tidak terlena 

pada objek luar. Sebaliknya, pusatkan perhatian dan sadar pada kondisi 

kebencian di dalam pikiran. Ketika kesadaran mencapai kekuatan 

penuh, kondisi kebencian akan segera lenyap. 

Kebencian dan kemarahan seperti penutup yang menutupi api 

membara, menyediakan panas tetapi tanpa cahaya. Jika kita membuka 

penutupnya sama seperti melenyapkan kebencian, cahaya yang keluar 

dari api dapat mencerahkan pikiran. “Cahaya” ini yaitu  ketajaman 

dan kesadaran terlatih.

Sebenarnya, tidak ada dimanapun juga kita mencari kebaikan selain 

pada pikiran kita sendiri. Itulah bagaimana kita dapat mendapatkan 

kebebasan dari penderitaan dan tekanan yang terpola dalam citta-

vimutti, pelepasan batin, pikiran diluar ketertarikan. Ini yaitu  salah 

satu cara kita mencapai Kebuddhaan, Dhamma, dan Sangha pada level 

kualitas batin.

Pada kondisi khayalan, dimana pikian kita cenderung bodoh dan 

lupa: hal ini datang dari banyaknya objek yang memenuhi pikiran. 

Ketika ini terjadi, kita memusatkan pikiran pada satu titik dimana kita 

dapat meningkatkan perhatian penuh dan kewaspadaan, sama halnya 

dengan ketika kita mengambil lampu berpijar dan memusatkan pada 

satu titik: kekuatan cahaya akan menjadi lebih terang. Sama seperti, 

ketika kita secara terus menerus penuh perhatian pada pikiran dan 

tidak membiarkannya terlibat dalam bermacam-macam persepsi luar 

dan ketertarikan, perhatian penuh akan berkembang menjadi cahaya 

kuat: kesadaran terlatih. Ketika kesadaran terlatih timbul dari dalam 

Suatu Perlindungan dalam Pencerahan

~ 231 ~

diri kita, pikiran kita akan bersinar terang, dan kita akan bangun 

dari ketidaksadaran. Kita akan mencapai kualitas yang aman untuk 

berlindung pada batin kita sendiri. Kita akan mengetahuinya sendiri 

dan melihatnya sendiri, dan inilah yang akan membuat kita mencapai 

kualitas mulia.

Kualitas batin sebagai salah satu landasan perhatian.C.  Perhatian penuh 

pada kualitas mental yang timbul dari pikiran setiap saat. Kualitas 

dasar batin terbagi menjadi dua, baik dan buruk.

Kualitas batin buruk, yang mengganggu pikiran untuk mencapai 1. 

kebaikan tingkat atas, disebut Rintangan (nivarana), dan terbagi 

menjadi lima.

Hasrat sensuala) : melekat pada objek-objek sensual – pandangan, 

suara, aroma, rasa, sentuhan, dan ide yang Anda suka dan cari; 

dan mengejar kesukaan sensual, seperti nafsu birahi, kemarahan, 

kebencian, dan khayalan – mengasumsikan baik menjadi buruk 

dan buruk menjadi baik, benar menjadi salah dan salah menjadi 

benar. Melekat pada setiap hal-hal tersebut ada pada tingkatan 

hasrat sensual.

Kedengkianb) : keinginan buruk pada orang atau objek, mengharapkan 

mereka hancur atau berakhir buruk.

Kelambanan & kelesuanc) : kantuk, kelambanan, kejenuhan, dan 

kemuraman.

Kekhawatiran & kekacauand) : menjadi marah karena kegagalan 

mencapai tujuan, ketiadaan perhatian penuh untuk menghentikan 

kekhawatiran dan kegelisahan Anda.

Ketidakpastian: kebimbangan; ragu-ragu mengenai bermacam-e) 

macam hal atau kualitas yang Anda kerjakan untuk mengembangkan 

latihan Anda.


~ 232 ~

Kelima rintangan ini yaitu  kualitas batin buruk. Jika Anda jatuh ke 

dalam salah satunya, Anda berada dalam kegelapan – seperti seseorang 

berada di dasar sumur yang tidak dapat melihat permukaan tanah, 

tidak dapat bergerak seperti yang ia inginkan, tidak dapat mendengar 

perkataan orang yang berada di atas sumur, tidak dapat melihat cahaya 

matahari dan bulan yang menyinari bumi. Hal yang sama, Rintangan 

menghalangi kita untuk mengembangkan kebaikan dengan cara apa 

pun. Rintangan-rintangan tersebut menutup telinga kita dan mata 

kita, membuat kita berada dalam kegelapan, membuat kita tertidur.

Inilah mengapa kita harus berusaha untuk mengembangkan 2. 

kualitas batin baik yang akan mencerahkan kita dari ketidaksadaran 

kita. Contohnya, kita harus mengembangkan empat tingkat jhana 

atau pencerapan batin, yang merupakan alat untuk menekan atau 

menghapus semua rintangan-rintangan.

a) Tingkat jhana pertama memiliki lima faktor. Pikiran terarah: pilih 

salah satu objek meditasi yang ada  di dalam Anda, seperti 

napas keluar-masuk. Pemusatan pada satu titik: pusatkan pikiran, 

pertahankan pada objek, dan jangan biarkan pikiran lari ke yang 

lain.Hal ini disebut kemanunggalan. Evaluasi: amati dengan 

hati-hati objek meditasi sampai Anda melihat kebenaran. Ketika 

Anda dengan cermat sadar pada objek – ini disebut kewaspadaan 

– hasil yang timbul yaitu : kesukaan atau kesenangan; kegiuran – 

kesempurnaan tubuh dan pikiran.

Ketika perhatian penuh memenuhi tubuh seperti ini, tubuh serasa 

basah, seperti tanah dibasahi oleh air: apa pun yang Anda tanam akan 

tetap hijau dan segar. Tanaman tumbuh subur. Burung-burung dan 

hewan hutan lainnya dapat berteduh di bawah kerindangan. Ketika 

hujan, tanah dapat menahan air bukannya mengalirkan. Seseorang yang 

Suatu Perlindungan dalam Pencerahan

~ 233 ~

ahli di jhana pertama seperti tempat bernaungnya kebaikan bagi manusia 

lain dan makhluk surgawi karena jhana dan konsentrasi dapat memiliki 

pengaruh kesejukan tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk 

orang lain. 

Ketika perhatian penuh dan kewaspadaan tetap pada pikiran Anda, 

pikiran serasa basah dan penuh oleh kemurnian dari kegiuran dan 

kegembiraan setiap saat. Untuk kesukaan dan kesenangan yang datang 

dari jhana tingkat pertama, keduanya memberikan rasa kebebasan 

tanpa kekhawatiran atau keprihatinan terhadap orang lain atau apa 

pun – seperti seseorang yang telah mencapai cukup kekayaan yang 

membuat ia tidak lagi memiliki kekhawatiran atau prihatin akan 

kehidupannya, dan dapat istirahat dengan damai.

Ketika Anda mencapai kesukaan dan kesenangan yang datang 

dari jhana tingkat pertama, Anda terbebas dari rintangan keragu-

raguan dan kekhawatiran serta ganguan. Maka Anda harus 

berusaha mengembangkan faktor-faktor ini di dalam pikiran Anda 

sampai dapat bertahan dengan mantap dalam jhana. Pikiran Anda 

kemudian akan berkembang dan terang, memicu  cahaya yang 

tajam, atau pandangan terang yang membebaskan. Dan, jika Anda 

mengembangkan cukup kemampuan, kemudian pada saat mencapai 

jhana tingkat pertama, anda dapat masuk lebih dalam. Beberapa orang, 

dapat melanjutkan ke jhana tingkat ke dua.

b) Jhana tingkat ke dua memiliki tiga faktor: kegiuran, kesenangan, 

dan kemanunggalan. Kekuatan pikiran bertambah kuat setahap 

demi setahap, maka coba untuk mempertahankan pikiran Anda 

pada kondisi tersebut, dengan hanya konsentrasi penuh dan 

mempertahankan perhatian penuh dengan mantap mapan di sana. 

Pikiran akan berkembang bahkan semakin kuat dan ini membawa 


~ 234 ~

Anda pada jhana tingkat ke tiga.

c) Jhana tingkat ke tiga memiliki dua faktor: kesenangan dan 

kemanunggalan. Terus pertahankan konsentrasi melalui 

kekuatan perhatian penuh dan kewaspadaan, maka Anda akan 

dapat melepaskan faktor kesenangan dan memasuki jhana tingkat 

ke empat.

d) Jhana tingkat ke empat memiliki dua faktor: keseimbangan dan 

kemanunggalan. Pada jhana tingkat ini, pikiran sangat kuat, 

berdasarkan pada kekuatan konsentrasi bersamaan dengan 

perhatian penuh dan kewaspadaan. Pikiran mantap dan tidak 

bergerak – sangat sempurna tidak bergerak ke masa lampau 

dan masa akan datang yang melepaskan keduanya pergi. 

Mempertahankan hanya pada kondisi saat ini, mantap dan tidak 

bergoyang seperti lentera yang tidak terkena angin. Ketika pikiran 

mencapai jhana tingkat ke empat, akan memberikan kecemerlangan: 

ketajaman dan kemampuan pembebasan pandangan terang. 

Inilah yang dapat mengembangkan pengertian terhadap Empat 

Kebenaran Mulia, dan kemudian dilanjutkan lebih dalam lagi – 

perlindungan yang benar-benar aman.

Mereka yang telah mengalami pengalaman ini tidak ada yang lain 

hanya batin terang dan kebahagiaan di dalam pikiran mereka, karena 

mereka berdiam di dalam kualitas yang dikembangkan oleh diri mereka 

sendiri. Mereka mencapai Kebuddhaan, Dhamma, dan Sangha pada 

tingkat tertinggi, tingkat pelepasan atau pencapaian puncak, kualitas 

yang bebas dari kemelekatan dan kekotoran batin.

Mereka yang melatih pikiran mereka dengan cara ini telah mencapai 

Kebuddhaan, Dhamma, dan Sangha pada tingkat kualitas batin. 

Dengan kata lain, mereka telah mencapai perlindungan di dalam 

pikiran mereka sendiri. Mereka telah menutup total jalan menuju 

Suatu Perlindungan dalam Pencerahan

~ 235 ~

ke alam rendah. Pada akhirnya, mereka sesudah  kematian menuju ke 

alam kebahagiaan yang lebih tinggi. Yang terbaik, mereka mencapai 

nibbana. Keseluruhan pasti akan mencapai nibbana paling tidak tujuh 

kehidupan, karena mereka telah mencapai kualitas batin yang mantap 

dan pasti. Mereka tidak akan jatuh ke alam yang lebih rendah. Siapa 

saja yang belum mencapai kualitas ini, masa depannya tidak dapat 

dipastikan.

Maka jika kita menginginkan kedamaian dan keamanan yang telah 

ditawarkan ajaran Sang Buddha, kita semua harus mencoba mencari 

sendiri perlindungan yang dapat diandalkan. Jika Anda berlindung 

pada tingkat kias, tingkatan individu, carilah seseorang yang bernilai 

supaya keyakinan Anda di dalam mereka akan membawa Anda ke alam 

bahagia. Sedangkan untuk berlindung pada tingkatan kualitas batin, 

yang akan benar-benar bernilai untuk Anda, berlatihlah agar timbul 

kualitas-kualitas tersebut di dalam diri Anda.

Untuk menyimpulkan: pada tingkatan kualitas batin, Buddha, Dhamma, 

dan Sangha seluruhnya yaitu  sama. Yang membedakan hanya pada 

sebutannya saja.

Anda harus “opanayiko” – kembangkan kualitas-kualitas ini dalam 

pikiran Anda. “Sanditthiko” – ketika Anda melaksanakan latihan, Anda 

akan melihat kualitas-kualitas tersebut sendiri. “Paccattam” – Anda 

mengenal mereka hanya dalam diri Anda. Hal-hal yang diketahui oleh 

orang lain tidak aman.

Jika Anda menginginkan kedamaian dan perlindungan kokoh dan 

pasti, Anda harus mengembangkannya di dalam pikiran Anda sendiri. 

Hasilnya yaitu  nibbana, kebebasan dari kekotoran batin, dari lahir, tua, 

sakit, dan mati di dunia ini dan dunia mana pun yang akan datang.


~ 236 ~

nibbanam paramam sukham 

“Nibbana yaitu  kebahagiaan tertinggi. 

Tidak ada kebahagiaan yang lebih tinggi lagi.”

Inilah “Buddha” pada tingkatan hasil: bebas dari tidur, pencerahan 

sempurna. 

Dan inilah akhir dari diskusi kita mengenai syair perlindungan.

~ 237 ~

Daftar Kata

Bagian 1: Gelar Pribadi

Masyarakat di Thailand jarang menyebut panggilan dengan nama. 

Biasanya nama didahului oleh satu pola yang mengindikasikan 

tingkatan seseorang, hubungannya dengan pembicara, atau perasaan 

pembicara pada saat itu. Beberapa pola dibawah ini, banyak digunakan 

di dalam buku ini. 

Pada zaman kerajaan, pelayan tingkat tinggi dianugerahi gelar 

bangsawan. Gelar yang diberikan kepada orang pada umumnya, dari 

atas yaitu  Khun, Luang, Phra, Phraya, dan Chao Phraya. Istri seorang 

Khun, seorang Luang, atau seorang Phra disebut Khun Nai. Sedangkan 

istri dari seorang Phraya atau seorang Chao Phraya disebut Khun Ying. 

Ranking dan gelar lain yang dianugerahkan kepada anggota kerajaan 

yang bekerja dalam pemerintahan, tetapi tidak satu pun disebutkan di 

dalam buku.

Sistem penganugerahan rangking dan gelar yang sama dan masih 

berlaku, dianugerahkan kepada para bhikkhu. Ranking yang paling 

mendasar, dari atas yaitu  Phra Khru dan Chao Khun, walaupun 

tiap rangking tersebut memiliki beberapa tingkatan. Tingkatan 

yang tertinggi dari Chao Khun yaitu  Somdet. Penerima gelar ini 

juga diberikan nama baru yang akan dipakai menunjukan status dan 


~ 238 ~

posisinya. Hal ini sangat penting karena mungkin saja seseorang 

memiliki nama lahir “Dog”, “Grub” or “Pig”. Penganugerahan nama 

dapat dipergunakan kembali. Contohnya, Somdet Wat Boromnivasa 

yang disebutkan dalam buku ini memiliki nama lahir Uan (Fatty). Ketika 

ia dianugerahi gelar Somdet, nama resminya yaitu  Mahawirawong 

(Mahaviravamsa – Pali: keturunan pahlawan besar). sesudah  ia mangkat, 

jabatan dan gelar Somdet Mahawirawong jatuh kepada kepala vihara 

Wat Makut Kasatriyaram, yang nama lahirnya Juan (Almost). Secara 

resmi, keduanya dibedakan dengan Somdet Phra Mahawirawong (Uan) 

dan Somdet Phra Mahawirawong (Juan).

Gelar lain yang digunakan di dalam buku ini:

Chao Jawm: 

Selir raja

Khun: 

pola nama sopan yang terletak sebelum nama pria atau wanita 

tanpa tingkatan tertentu. “Khun” ini dan “Khun” yang merupakan 

tingkatan terendah dari gelar kebangsawanan (biasanya diberikan 

kepada petugas daerah dan petugas militer berpangkat rendah) 

dieja berbeda dalam bahasa Thailand dan diucapkan dengan 

intonasi yang berbeda pula. Sayangnya, dalam bahasa Inggris tidak 

ada  cara untuk menandai perbedaan keduanya dengan tanda 

intonasi khusus, tetapi pembaca tidak akan kesulitan membedakan 

dari konteksnya.

Luang Phaw: 

Bapak Yang Mulia. 1) prefix untuk nama seorang bhikkhu senior, 

menunjukan rasa hormat dan cinta kasih. 2) prefix untuk rupang 

Daftar Kata

~ 239 ~

buddha.

Luang Ta: 

Kakek yang mulia bersifat keibuan. Prefix untuk nama seorang 

bhikkhu yang sudah tua, menunjukan sedikit rasa hormat dan lebih 

cinta kasih dibanding Luang Phaw, tetapi tidak secara istimewa, 

diberikan kepada bhikkhu yang ditahbiskan pada usia tua. 

Mae: 

Ibu. Juga prefix untuk nama seorang wanita atau gadis, menunjukan 

persahabatan dan rasa hormat.

Maha: 

Prefix untuk nama seorang bhikkhu yang lulus ujian bahasa Pali 

tingkat ke tiga. Prefix ini tetap ada walaupun bhikkhu tersebut lepas 

jubah, tetapi jika ia tetap sebagai seorang bhikkhu dan dianugerahi 

gelar kebhikkhuan, prefix tersebut hilang. 

Nai: 

Tuan. Digunakan sebelum nama seorang anak lelaki atau seorang 

pria tanpa tingkatan tertentu. 

Nang: 

Nyonya.

Phra: 

Yang Mulia. Digunakan sebagai prefix nama seorang bhikkhu, 

seorang Chao Khun atau seorang bangsawan (lihat catatan pada gelar 

kebangsawanan, di atas). Lagi, tidak ada kesulitan membedakan 


~ 240 ~

dari konteksnya.

Thao: 

Gelar untuk pelayan wanita dalam lingkungan kerajaan.

Than: 

Yang Terhormat, Yang Mulia.

Than Phaw: 

Ayah Yang Terhormat. Chanthaburi setara dengan Luang Phaw 

(lihat di atas).

Bagian II: pola-pola

Abhidhamma: 

Bagian dari kanon buddhis, tujuh kitab membahas tentang analisa 

kategori-kategori, pola dan kaitannya dengan batin.

Ajaan: 

Guru; mentor.

Asalha Puja: 

Hari suci Buddhis, pada bulan purnama penuh di bulan Juli, 

memperingati pembabaran Dhamma pertama Sang Buddha dan 

peristiwa-peristiwa disekelilingnya.

Bhikkhu: 

Bhikkhu buddhis.  

Daftar Kata

~ 241 ~

Chedi: 

Stupa, berisi relik Sang Buddha, objek yang berhubungan dengan 

Sang Buddha, atau salinan kitab suci buddhis.

Dhamma: 

Ajaran Sang Buddha; latihan dari ajaran-ajaran tersebut; kebenaran 

apa adanya.

Dhutanga: 

1) Praktek pertapaan, seperti berpindapatta, makan satu kali sehari, 

dll. 2) Bhikkhu pengembara.

Gatha: 

Syair atau bagian pendek dalam bahasa Pali.

Jhana: 

Pencerapan meditatif dalam sensasi atau pikiran

Karma (kamma): 

Tindakan disengaja, dalam pikiran, perkataan atau perbuatan, 

berpengaruh kepada pelaku tindakan tersebut

Kathina: 

Persembahan jubah kepada kelompok bhikkhu yang melewatkan 

masa vassa bersama-sama dalam satu lokasi.

Khanom tom: 

Manisan Thailand dibuat dari tepung yang dibentuk menjadi bola-


~ 242 ~

bola berisi kelapa dan digulingkan dalam parutan kelapa.

Magha Puja: 

Hari suci buddhis, pada bulan purnama penuh di bulan Februari 

atau awal bulan Maret, memperingati pembabaran Dhamma Sang 

Buddha “Ovada Patimokkha”, ringkasan dari ajaran Sang Buddha, 

dibabarkan pada sore hari dengan dihadiri oleh 1.250 arahanta.

Naga: 

Dewa berbentuk ular/naga besar, memiliki ilmu gaib dan kekuatan 

besar.

Nibbana: 

Kebebasan. Padamnya hasrat, kebencian, dan khayalan di dalam 

pikiran, menghasilkan kebebasan sempurna dari penderitaan.

Parinibbana: 

Pembebasan sempurna; mangkatnya Sang Buddha dan arahanta. 

Phaa paa: 

Persembahan kain dan keperluan lainnya diletakan di atas pohon 

kecil dan dipersembahkan kepada seorang bhikkhu. Ini yaitu  

peninggalan tradisi lama – saat itu ketika para bhikkhu tidak 

diperbolehkan untuk menerima persembahan kain, dan hanya 

dapat membuat jubah mereka dari kain yang sudah dibuang – 

dimana donatur yang ingin mempersembahkan kain kepada para 

bhikkhu akan “membuangnya” dengan meletakan di dahan pohon 

dekat jalur yang biasa dilewati oleh para bhikkhu.

Daftar Kata

~ 243 ~

Sala: 

1) aula pertemuan umum. 2) anjungan terbuka yang digunakan 

untuk beristirahat oleh para pengembara. 

Samadhi:

Konsentrasi. Pemusatan pikiran pada satu objek. 

Tripitaka:

Kanon buddhis, berisi tiga “keranjang”: Vinaya (aturan disiplin), 

Sutta-Sutta (sutta), dan Abhiddhamma (analisa batin dan pola-

polanya)

Vinaya: 

Aturan disiplin para bhikkhu. 

Visakha Puja:

Hari suci buddhis, pada bulan purnama di bulan Mei atau awal bulan 

Juni, memperingati kelahiran Sang Buddha, Pencerahan Sempurna, 

dan Parinibbana (lihat di atas).

Wai: 

Posisi menghormati dimana kedua tangan dalam posisi anjali di 

dada, di depan wajah seseorang atau, dalam kasus ekstrim, di atas 

kepala seseorang.

Wat: 

Vihara.

~ 244 ~

Catatan Kaki

Kebudayaan tradisional di Thailand untuk wanita yang baru 1. 

melahirkan berbaring di sebelah perapian, untuk beberapa 

hari sampai sebulan kemudian. Bagi rumah tangga yang lebih 

sederhana: berbaring di sebelah perapian yang tetap menyala 

siang dan malam. Bagi rumah tangga yang lebih rumit, perawatan 

ditambah berendam dalam ramuan alami dan pijatan sebagai cara 

untuk mengembalikan kesehatan wanita tersebut. 

Para bhikkhu tidak diperbolehkan untuk makan dari siang sampai 2. 

dengan dinihari keesokan harinya. Ada beberapa alasan berkaitan 

dengan aturan ini, salah satunya agar para bhikkhu tidak menjadi 

beban tambahan bagi pendukungnya.

Peristiwa utama di desa pedalaman Thailand pada akhir masa vassa 3. 

yaitu  memohon para bhikkhu untuk membacakan Mahachaad, 

atau sutta “Kelahiran Besar”, kisah Sang Buddha pada kehidupan 

terakhir Beliau sebagai Pangeran Vessantara, menceritakan 

kesulitan yang dialami Beliau untuk hidup dalam prinsip-prinsip 

kedermawanan dan buah keberhasilan yang diraih Beliau dengan 

menjalankan prinsip-prinsip dengan benar. Pembacaan sutta ini 

berlangsung sehari, dan dilaksanakan dalam tiga belas prosesi. 

Masih ada  beberapa pedesaan yang masih menjalankan 

tradisi ini, tetapi dengan cepat ditinggalkan. 

Chao Khun Upali Gunupamacariya (Jan Siricando), sahabat masa 4. 

~ 245 ~

Catatan Kaki

kecil Ajaan Mun, merupakan salah satu bhikkhu senior di Thailand 

pada masa-masa awal abad ini, meskipun beliau dicopot sementara 

dari jabatannya dan ditahan dalam “penahanan vihara” karena 

mengkritik secara terbuka permintaan Raja Rama VI agar para 

bhikkhu menganjurkan umatnya untuk mendonasikan uangnya 

dalam membantu pembuatan kapal perang the Royal Thai Navy. 

Beliau juga merupakan guru dan penahbis Somdet Mahawirawong 

(Tisso Uan) yang disebutkan pada bagian akhir buku ini.

Pelayanan kremasi di Thailand dapat memakan waktu berhari-5. 

hari – bahkan bulan atau tahun – sebelum upacara kremasi 

dilaksanakan. 

Banyak kegiatan yang dilakukan kakek Phaa – memakai pakaian 6. 

umat awam, menanam dan memetik buah, membeli dan menjual 

barang – dilarang oleh vinaya. 

Ada beberapa masyarakat di Asia Tenggara, seperti ayah dan gadis 7. 

dalam peristiwa ini, menghormati bhikkhu-terpuji sebagai pemuda 

ideal. Oleh sebab itu, keputusan berada pada bhikkhu tersebut 

apakah ia ingin mencurahkan sepenuhnya untuk bermeditasi, dan 

tetap hidup selibat, atau membantu orang seperti di atas dengan 

menjadi pemuda ideal.

ada  beberapa kasus dimana masyarakat yang dendam 8. 

kepada seorang bhikkhu bersekongkol dengan seorang wanita 

untuk mengunjunginya terus menerus, mengikuti kegiatan 

sehari-harinya, dan menuduhnya melakukan pelecehan seksual. 

Karena umat Buddha sangat memerhatikan hubungan antara 

seorang bhikkhu dengan seorang wanita harus murni, dan 

karena tuduhan demikian sulit untuk dibuktikan, tuduhan-

tuduhan tersebut sering dituding oleh masyarakat didasarkan 

~ 246 ~


pada prasangka-prasangka daripada kenyataan sebenarnya yang 

terjadi: wanita yang dilecehkan akan diasingkan, dan bhikkhu 

yang tidak bersalah tersebut akan diusir dari kota. Inilah dasar 

ketakutan Khun Nai Kimlang. 

Menyalakan api unggun untuk menghangatkan tubuh seseorang 9. 

– kecuali dengan alasan kesehatan – dilarang oleh vinaya, karena 

api unggun sering diartikan sebagai undangan duduk-duduk 

ngobrol daripada bermeditasi. 

Masyarkat bertanya mengapa Ajaan Lee menceritakan banyak 10. 

sekali tentang Festival perayaan dua puluh lima abad Buddhisme, 

dan khususnya pada jumlah uang yang didonasikan dan dihabiskan. 

Tiga alasan ini sepertinya sesuai:   1) Banyak orang yang terlibat 

dalam perayaan ini masih hidup pada saat Ajaan Lee menulis buku 

ini, perayaan ini masih hangat di dalam ingatan mereka. Mereka 

senang melihat usaha mereka tidak dilupakan, dan saat yang 

sama Ajaan Lee ingin mengingatkan mereka akan satu tujuan 

perayaan yang belum sempat terpenuhi: membangun stupa di Wat 

Asokaram. 2) keseluruhan pertanyaan mengenai penggalangan 

dana – atau kekurangannya – untuk perayaan tersebut dapat 

menjadi bacaan yang baik. Banyak pengikut beliau yang merasa 

hanya dengan mengajukan permohonan dana kepada umum 

dan kepada pemerintah, mereka dapat melaksanakan program 

tersebut. Ajaan lee mendesak – dan pada akhirnya terbukti 

benar – bahwa mereka dapat mengandalkan kemurnian niat 

mereka sendiri. 3) beberapa kelompok lain, termasuk pemerintah 

Thailand, mengadakan perayaan dua ribus lima ratus tahun B.E 

pada waktu yang sama dengan perayaan yang diadakan Ajaan lee, 

dan pada beberapa kasus – khususnya pemerintah – mereka tidak 

dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan penggunaan aliran dana. 

~ 247 ~

Catatan Kaki

Ajaan Lee ingin menunjukan dalam kasus beliau, paling tidak, 

seluruh aliran dana tercatat dengan baik.

Jika dalam terjemahan ini ada  kekeliruan atau menyesatkan, saya 

memohon maaf kepada penulis dan pembaca atas ketidaksengajaan 

tersebut. Dan apabila terjemahan ini tepat, aku harap pembaca dapat 

menggunakan sebaik-baiknya, terjemahkanlah ke dalam pikiran, agar 

dapat mencapai kebenaran sesungguhnya.

— Penerjemah

Gatha Pelimpahan Jasa Kebaikan

Sabbe satta sada hontu 

avera sukha-jivino 

katam puñña-phalam mayham 

sabbe bhagi bhavantu te 

Semoga semua mahluk selalu hidup berbahagia,

Bebas dari kebencian.

Semoga semua makhluk turut menikmati jasa yang berasal dari kebaikan 

yang telah kuperbuat

~ 248 ~

Data dari Perpustakaan Nasional (Thailand)

(Penulis) Phramaha Dhiranat Aggadhiro

Judul buku: Yang Mulia Li Dhammadharo

Bhikkhu Ariya yang memiliki Kekuatan Batin

Bangkok: B Press 2550

496 halaman

Phra Suddhidhammarangsi Gambhiramedhacarya (Li Dhammadharo) 

2449 – 2504 (1906 – 1961)

ISBN 978-974-7216-68-4

Sekilas Otobiografi Ajaan 

Lee Dhammadharo

oleh

Bhante Sukhemo

~ 249 ~

Cetakan pertama: Desember 2550 (Desember  2007)

Jumlah: 10.000 jilid

(catatan:  tahun kalender Masehi = tahun kalender Thailand – 543

Contoh: tahun kalender Thailand = 2550

Maka tahun kalender Masehi = 2550 – 543 = 2007)

Pada waktu Achan Li jalan dhutanga bersama Phra Cheuy, mereka 

tinggal di daerah pekuburan yang luas. Di daerah itu banyak ada  

bekas-bekas api kremasi; tulang belulang banyak berserakan. Phra 

Cheuy bermalam di tempat lain sedangkan Achan Li bermalam di 

tempat yang berjarak kira-kira 6 meter dari bekas api kremasi. Keesokan 

harinya ada sejumlah penduduk desa datang membawa jasad untuk 

dikremasi. Jasad itu tidak ditaruh dalam peti jenazah tetapi hanya 

dibungkus dengan kain. Melihat jasad itu, achan Li berkata dalam hati; 

“Wah, kali ini saya benar-benar susah.” Mau pergi menyingkir rasanya 

malu, kalau tetap tinggal di sana rasanya takut. Wah, apa yang akan 

dilakukan nih.

Penduduk desa memulai kremasi pukul 4 sore tidak jauh dari tempat 

achan Li menetap sehingga ia dapat melihat jasad itu dengan jelas. 

Tangan dan kakinya terangkat ke atas pada waktu jasad itu terbakar. 

Tubuhnya sudah terpisah sebatas pinggang, warnanya masih hitam 

terbakar. Penduduk kembali ke desa dan achan Li tinggal sendirian. 

Achan Li cepat kembali ke kutinya yang terbuat dari daun pisang dan 

bermeditasi, tidak membiarkan pikiran keluar mengembara, dengan 

jasad sebagai obyek meditasi mengingatkan diri sendiri apabila batin 

tidak terikat maka tubuh jasmani ini bagaikan bara api yang berwarna 

hitam, apabila batin terikat dengan tanha (nafsu keinginan), upadana 

~ 250 ~

(kemelekatan), ia bagaikan bara api yang berwarna merah. Kematian 

bagaikan melepaskan pakaian dari tubuh dan membuangnya. Batin 

bagaikan diri sendiri, badan jasmani bagaikan pakaian.   

Achan Li menderita sakit jantung dan dirawat dengan sebaik-baiknya 

lebih dari lima bulan oleh para dokter di rumah sakit Somdet Phra 

Pinklao. sesudah  para dokter memeriksa kesehatan beliau sudah baik, 

maka mereka mengizinkan beliau kembali ke Wat Asokaram.

Hari Sabtu tanggal 15 April 2504 (1961) beliau menghadiri hari uposatha 

bagi para bhikkhu dan kemudian memberikan pemberkahan kepada 

umat pada hari Songkran (tahun baru rakyat Thailand). Umat merasa 

gembira dan mengharapkan beliau dapat mengabdi pada Buddha 

Sasana lebih lama lagi. Beliau mengatakan akan istirahat 10 hari di 

wat, sesudah  itu akan pergi retret.

Tanggal 22 April 2504 (1961), tiga hari sebelum beliau pergi retret 

(yaitu tanggal 25 April dimana pada malam harinya beliau meninggal 

dunia), beliau berjalan berkeliling wat menanyakan keadaan umat-

umat dan para bhikkhu murid-murid beliau, juga mengunjungi daerah 

maechi (upasika yang melaksanakan 8 sila) yang sebelumnya tidak 

pernah dikunjungi. Mereka gembira melihat beliau sehat, sepertinya 

tidak menderita sakit apa-apa.  

Pagi hari tanggal 26 April 2504 (1961) terjadilah peristiwa yang tidak 

terduga. Sudah pukul 11 siang, tidak ada seorang pun yang melihat 

achan Li keluar membuka pintu. sesudah  menunggu lama akhirnya 

para murid bhikkhu dan samanera membuka jendela untuk melihat 

ke dalam kuti. Mereka melihat tubuh achan Li berbaring miring ke 

kanan sudah tidak bernapas; beliau tidak mengenakan jubah, hanya 

mengenakan sarung dan angsa (kaus). Beberapa penduduk murid 

beliau berkata agar tidak menyentuh tubuh beliau, ada kemungkinan 

~ 251 ~

beliau sedang meditasi mendalam yang disebut jhana dan akan sadar 

serta bangun kembali. sesudah  ditunggu berjam-jam beliau tidak 

bangkit kembali, mereka yakin beliau sudah meninggal dunia.

Yang Mulia Somdet Phra mahawirawong (Chuan Utthayi, kemudian 

hari menjadi Somdet Phrasangharaja) membuat keputusan agar jasad 

Yang Mulia Bhikkhu Li tidak dikremasikan seperti yang terjadi pada 

Yang Ariya Phra Mahakassapa Thera yang pada suatu hari di waktu 

mendatang akan ada Phra Sri Ariya Maitreya melakukan kremasi jasad 

Phra Mahakassapa Thera dengan terhormat.

Tentang jasad Yang Mulia Bhikkhu Li juga diperlakukan seperti ini 

dengan harapan bahwa kelak di kemudian hari ada penduduk yang 

memiliki  hubungan karma dengan Yang Mulia Bhikkhu Li akan 

melakukan upacara kremasi tubuh beliau dengan terhormat sesuai 

pahlawan kammatthana dhamma yang memiliki kekuatan batin dari 

tradisi Achan Man Bhuridatto.

Murid-murid achan Li sepakat jasad beliau tidak dikremasikan 

sebelum chedi 7 stupa selesai dibangun di Wat Asokaram. Tetapi, 

sesudah  chedi selesai dibangun pada tahun 1965, sebagian besar murid-

murid beliau tetap menginginkan agar jasad beliau tidak dikremasikan 

dan disemayamkan di dalam ruangan khusus yang selesai dibuat pada 

tahun 1987. Sampai sekarang banyak penduduk berkunjung untuk 

memberikan penghormatan kepada beliau.  

Riwayat hidup Achan Li Dhammadharo

(catatan: Achan yaitu  huruf Thai yang berasal dari huruf Sansekerta 

Acharya, artinya: Guru atau Bapak dosen, panggilan kepada penduduk 

yang dihormati) 

~ 252 ~

Lahir di desa Bahn Nong Song Hong propinsi Ubon Ratchathani pada 

tanggal 31 Januari 2449/1906

Diberi nama Chali

Ayah dan ibu bernama Pao dan Phuay Nariwong

6 Mei 1925  Ditahbiskan menjadi bhikkhu di Wat Bahn Nong Song  

  Hong, propinsi Ubon.

                   Upajjhaya: Lungpu Om 

27 Mei 1927  Ditahbiskan ulang menjadi bhikkhu di Wat Burapha,  

  Ubon

                  Upajjhaya: Phra Pannyabhisara (nu), acariya: Achan  

  Pheng dan Achan Man 

Vassa 1 – Di propinsi Ubon Ratchatani

Vassa 2, 3, 4 (3) – Di Wat Sra Pathum, Bangkok

Vassa 5 – Di Chieng Mai

Vassa 6, 7 (2) – Di Nakon Ratchasima

Vassa 8 – Di Prachinburi

Vassa 9 s/d 22 (14) – Di Chantaburi

Vassa 23 – Di India

Vassa 24 – Di propinsi Sangkhla

Vassa 25 – Di Chieng Mai

~ 253 ~

Vassa 26, 27, 28 (3) – Di Wat Boromnivasa, Bangkok

Vassa 29 sd 33 (5) – Di Wat Asokaram 

26 April 1961/2504 – meninggal dunia Di Wat Asokaram  

Usia 55 tahun 2 bulan 25 hari