Tampilkan postingan dengan label Agama dan negara. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Agama dan negara. Tampilkan semua postingan

Agama dan negara

 


Artikel ini membahas hubungan antara agama dan negara di negara kita  

dalam kaitannya dengan pembentukan dan perubahan Konstitusi. 

Pertanyaan yang ingin didiskusikan yaitu   bagaimanakah polemik 

hubungan agama dan negara berlangsung dalam pembentukan dan 

perubahan Konstitusi, serta apa pula implikasinya dalam pemben￾tukan dan perubahan Konstitusi. Di negara kita  sendiri, Konstitusi yang 

pernah dan yang disebut terakhir merupakan yang berlaku saat ini, 

yaitu   Undang-Undang Dasar Republik negara kita  1945, Konstitusi 

Republik negara kita  Serikat (RIS), Undang-Undang Dasar Sementara 1950, dan Undang-Undang Dasar Negara Republik negara kita  Tahun 

1945. 

Pembahasan persoalan hubungan agama dan negara ini, sekali￾pun merupakan tema klasik untuk konteks negara kita , tetap penting 

dan relevan setidaknya karena tiga alasan. Pertama, secara historis, 

warga   yang mendiami wilayah yang pasca kolonial disebut 

negara kita  sesungguhnya sangat lekat dengan agama, keagamaan 

atau sistem kepercayaan tertentu. Sebelum masuk agama Hindu 

maupun Buddha

 warga   Nusantara menganut kepercayaan 

tertentu.

 Setelah Islam datang, semakin memperkuat rasa kebatinan 

warga   negara kita  terhadap ajaran ketuhanan.

 Sehingga menjadi 

tidak berlebihan jika dikatakan salah satu karakter warga   negara kita  yaitu   warga   yang religius.

Kedua, secara filosofis dan dasar kenegaraan, negara kita  meng￾akui dan menjadikan agama sebagai bagian dari prinsip-prinsip dalam 

berbangsa dan bernegara. Dalam dasar negara Pancasila, sila pertama 

“Ketuhanan yang Maha Esa” menunjukkan negara kita  mengakui 

tentang kehidupan berbangsa dan bernegara yang didasarkan pada 

Ketuhanan, atau dalam konteks artikel ini disebut agama. Pada 

umumnya, dalam soal hubungan agama dan negara, negara akan 

bersikap tegas dengan mendasarkan pada agama tertentu (biasa dise￾but negara agama) atau malah sebaliknya tidak dikait-kaitkan dengan 

agama (disebut negara sekuler). Sementara negara kita  tidak mengakui 

agama tertentu sebagai agama resmi negara, secara bersamaan 

mengakui adanya keberadaan sekaligus mendukung berkembangnya 

sejumlah agama, yaitu Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan 

Kongkhucu. Dengan demikian negara kita  bukanlah negara agama dan 

sekaligus juga bukan negara sekuler. Tipologi bernegara semacam ini 

oleh Jeremy Menchik disebut negara dengan nasionalisme bertuhan 

(godly nationalism),

 atau dalam uraian nanti disebut dengan konsep 

negara tamyiz.

5

Ketiga, pasca kolonialisme, persoalan agama dan negara 

masih kerap mewarnai dan bahkan menjadi persolan serius dalam 

kehidupan sosial politik di negara kita . Polemik agama dan negara 

kerap kali muncul dalam kontestasi politik, yang memperlihatkan 

upaya politisasi. Jika polemik ini terus dipelihara hanya untuk 

kepentingan politik praktis sektoral, tidak menutup kemungkinan 

akan terjadi polarisasi berkepanjangan di tengah warga  , yang 

berujung pada disintegrasi bangsa. Terlebih kelompok ekstrem kiri 

dan ekstrem kanan dapat dirasakan kehadiran ancamannya yang 

mencoba mengulang kembali polemik ini .

 Bahkan tidak hanya dalam ranah politik, persoalan relasi agama dan negara juga berlanjut 

pada medan lain seperti ekonomi, pendidikan, hukum, kebudayaan 

dan lainnya. 

Oleh karena itu, sekalipun klasik, persoalan hubungan antara 

agama dan negara di negara kita  yang begitu dinamis menjadi tetap 

relevan untuk dikaji. Idealnya, polemik relasional ini  sudah 

selesai ketika ditetapkannya Undang-Undang Dasar Tahun 1945. 

Kesepakatan dasar negara dalam Konstitusi semestinya dihormati 

dan dijalankan oleh semua elemen bangsa. 

Dalam artikel ini, pembahasan relasi agama dan negara dibatasi 

dalam kaitannya dengan pembentukan dan perubahan Konstitusi. 

Dalam membahasnya, artikel ini setelah ini menguraikan terlebih 

dahulu diskursus relasi agama dan negara, dengan tujuan untuk 

menunjukkan bagaimana polemik agama dan negara ini secara 

teoretis muncul. Bagian berikutnya memaparkan hubungan agama 

dan negara pada masa kolonialisme, dan dilanjutkan dengan polemik￾nya dalam perumusan Konstitusi UUD 1945. Bagian sesudahnya 

membahas polemik relasional ini  dalam perubahan Konstitusi: 

Konstitusi RIS, UUDS 1950, dan UUD NRI Tahun 1945. Setelahnya, 

bahasan dilanjutkan dengan identifikasi implikasi polemik ini  

pada pembentukan dan perubahan Konstitusi. Artikel diakhiri 

dengan penyampaian kesimpulan.

B. Diskursus Relasi Agama dan Negara

Secara teoritis, banyak usulan tipologi mengenai relasi agama dan 

negara yang muncul dan berkembang. Tipologi yang paling klasik 

tentu yaitu   negara teokrasi, yaitu menyatunya agama dan negara, 

dan negara sekuler, yaitu terpisahnya agama dan negara. lalu  

berkembang pada tipologi yang lebih moderat, yang oleh beberapa pemikir Muslim disebut dengan negara tamyiz. Konsep negara tamyiz

ini disebut pula sesuai dengan Islam. Muhammad Ali Jum'ah, mantan 

Mufti Mesir, berpendapat bahwa di dalam Islam tidak dikenal konsep 

sekuler maupun teokrasi. Negara sekuler tidak diakui Islam, sebab 

mendekonstruksi peranan agama. Sementara negara teokrasi juga 

tidak dibenarkan, sebab pemimpin dianggap sebagai wakil Tuhan, 

yang tentu saja tidak dibenarkan di dalam Islam.

Senada dengan pendapat itu, Muhammad Imarah berpendapat 

bahwa Islam tidak menganut dan mengakui negara sekuler maupun 

teorkrasi, melainkan menganut konsep negara tamyiz (baca: pemi￾lahan). Maksudnya yaitu   negara yang memilah dan memilih soal 

hubungan antara agama dan negara, sehingga tidak sepenuhnya 

terpisah seperti halnya sekuler, dan juga tidak sepenuhnya menyatu 

seperti teokrasi. Saadeddine Othmani juga berpendapat sama 

mengenai pemilahan (tamyiz) antara urusan agama dan negara.

Akan tetapi tipologi relasi agama dan negara ternyata mengalami 

perkembangan yang sangat pesat. Ran Hirschl, sebagaimana dikutip 

Ratno Lukito, mengemukakan sedikitnya ada delapan teori relasi 

agama dan negara, yaitu: the atheist state; assertive secularis; separation 

as state neutrality toward religio; weak religious establishment; formal 

separation with de facto pre-eminence of one denomination; separation 

alongside multicultural accommodation; religious jurisdictional enclaves; 

dan strong establishment.9 Perkembangan tipologi ini tentu saja menun￾jukkan diskursus yang masih tidak berkesudahan soal relasi agama 

dan negara.

Secara historis, kemunculan dan perkembangan paham sekuler 

merupakan bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dari diskursus mengenai relasi agama dan negara. Terjadinya sekularisasi, dalam kaca 

mata Donald Eugene Smith, ditandai dengan adanya dikotomi antara 

negara dan agama. Dalam sejarah Eropa, dikotomi yang dimaksud 

yaitu   pemisahan negara dari gereja. Sekularisasi juga ditandai 

dengan pengambilalihan pelaksanaan mengatur warga   pada 

ranah sosioal dan ekonomi oleh negara, yang sebelumnya dilakukan 

oleh institusi keagamaan. Sekularisasi lalu  juga ditandai adanya 

pengembangan budaya politik fokusnya kepada tujuan-tujuan yang 

sifatnya keduniaan (non-transendental), dengan cara membangun 

argumentasi rasional dan pragmatis. Tanda-tanda terjadinya proses 

sekularisasi berimplikasi pada pembentukan konsep negara modern, 

sekalipun juga sangat mungkin tetap ada pemeliharaan atas eksistensi 

tradisi yang sudah berjalan.

Masih menurut Eugene Smith, sekularisasi betapapun meng￾ingin kan lepasnya pemerintahan dari institusi keagamaan, akan 

tetapi masih ada aspek-aspek ajaran agama yang masih terus hidup 

dan dilaksanakan, seperti contohnya hukum keluarga. Hukum 

keluarga bahkan dinilai sebagai tempat pertahanan terakhir bagi 

eksistensi ajaran agama di dalam sistem kenegaraan. Sementara di 

sisi lainnya, gejala menonjol yang terjadi yaitu   adanya delegitimasi 

agama terhadap pemerintah, baik itu dibarengi atau tidak dibarengi 

dengan perubahan konstitusi secara resmi.

Objek sekularisasi menyasar kepada berbagai aspek kehidupan 

manusia. Sekularisasi juga terjadi dengan cukup masif kepada ranah 

pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, pembangunan ekonomi 

serta juga berdampak pada budaya politik. Dalam bentuknya yang 

radikal, seperti yang diterapkan di Turki dan Meksiko, sekularisasi 

berujung pada dominasi pemerintahan.

Dalam dunia Islam sendiri, Turki yaitu   sebuah contoh nyata 

terjadinya sekularisasi di sebuah negara “agama”. Pilihan untuk 

mengubah sistem pemerintahan monarki-religius menjadi sekuler yaitu   sebuah eksperimentasi yang mengagetkan banyak negara 

ketika itu. Tak dapat dibantah, kehadiran sekularasiasi di Turki 

bahkan merupakan “keberhasilan” yang membanggakan, walau 

banyak kecaman dari negara Muslim lainnya, seperti Iran, Mesir, dan 

Arab Saudi. Turki secara optimis dan konsisten tetap berjalan pada 

rel pemerintahan non religius, sekalipun warga  nya merupakan 

warga   religius. Apa yang dilakukan pemerintah Turki dengan 

slogan sekularisasi sistem pemerintahan yaitu   sebuah ajakan 

bagi keseluruhan negara yang warga  nya beragama untuk 

“membuka mata” bahwa apapun yang dikatakan sebagai proses 

perubahan dalam warga   yaitu   sebuah keniscayaan, sehingga 

tidak mungkin ditolak kehadirannya.

Di Asia dan Afrika, sekularisasi disebabkan salah satunya oleh 

imperialisme Barat. Para penguasa Barat menurunkan raja-raja suci 

dari tahta mereka (seperti di Birma), mengganti hukum pidana Islam 

dengan hukum pidana sekuler (seperti di Nigeria bagian utara), 

menolak untuk memperlakukan warga negara atas dasar tingkatan 

sosial keagamaan (kasta) dan bahkan menetapkan aturan hukum 

yang bertentangan dengannya (seperti di India), menghapuskan 

lembaga-lembaga ekonomi suci dari sistem tuan tanah di kalangan 

para biksu (seperti di Sri Langka), menganaktirikan sistem pendidikan 

agama dengan menganakemaskan sekolah-sekolah pemerintah yang 

bersifat sekuler dan sekolah-sekolah misi Kristen (seperti di Mesir), 

dan pada umumnya secara drastis memperkecil arti dan pengaruh 

agama-agama dalam kehidupan sosial maupun politik.

Dalam pandangan Islam, menurut mayoritas pemikir dan ulama 

Muslim, sekularisme yang bermakna pemisahan agama dari negara 

itu tidak dapat diterima. Paham sekularisme bertolak belakang 

dengan ajaran Islam, dimana melingkupi seluruh sendi kehidupan 

manusia, termasuk dalam hal bernegara. Secara filosofis pun, paham 

sekularisme ini tidak sejalan dengan pandangan hidup Islam.

Menurut Muhammad Natsir, masing-masing orang memiliki ideologinya sendiri-sendiri yang menjadi falsafah hidup. Orang Islam, 

seperti halnya juga orang Kristen dan orang beragama lain, ataupun 

juga orang fasis dan komunis, memiliki pandangan hidupnya sendiri￾sendiri. Dalam menjalani kehidupan di dunia, orang Islam bercita-cita 

menjadi hamba yang sesungguhnya, guna menggapai kebahagiaan di 

dunia dan kemenangan di akhirat. Seorang Muslim tidak akan dapat 

memisahkan antara kehidupan dunia dan akhirat. Ini yaitu   ideologi 

orang Islam.

Dalam pandangan Natsir, dalam pembicaraan relasi agama dan 

negara, orang kerap lupa bahwa Islam sebagai agama tidak hanya 

behubungan dengan peribadatan kepada Tuhan saja. Agama Islam 

mencakup seluruh aspek dan sendi kehidupan manusia. Ajaran 

Islam juga meliputi kaidah-kaidah yang mengatur relasi manusia 

dengan manusia yang lainnya yang disebut dengan muamalah, juga 

mencakup hudud. Islam sudah meletakkan haluan dasar dalam 

persoalan ini  yang dapat dirujuk kepada Al-Quran dan Sunnah. 

Ketentuan-ketentuan di dalam Al-Quran dan Sunnah ini  harus 

dapat diterapkan dan dijalankan oleh manusia. Oleh karenanya Al￾Quran dan Sunnah tidak berdiri sendiri. Agar ketentuan-ketentuan 

di dalam Al-Quran dan Sunnah itu dapat dijalankan secara maksimal, 

dibutuhkan suatu kekuatan dan kekuasaan, yang itu disebut sebagai 

negara.

Dalam pemaknaan Natsir atas demokrasi dari perspektif Islam, 

hak rakyat untuk mengkritik pemerintah atau negara merupakan 

hak yang dijamin. Bahkan menurut Natsir, terhadap pemerintah 

yang zalim, jika tidak cukup dengan kritik, nasihat dan teguran, 

diperbolehkan juga untuk menggunakan kekuatan dan kekerasan 

jika diperlukan. Sehingga kekuasaan benar-benar berada di tangan 

rakyat. Rakyat tidak boleh mendapatkan perlakuan zalim dari 

pemerintahnya, karena sejatinya tugas utama pemerintah yaitu   

untuk melayani kepentingan rakyat.Penyatuan agama dan negara ini juga dapat dilihat dari pandangan 

Ibnu Taimiyah. Menurutnya, bahkan kebutuhan manusia akan 

negara didasarkan pada hadis, di samping juga berdasarkan rasio.

Misalnya, Ibnu Taimiyah mengemukakan hadis Rasulullah SAW 

yang menyatakan: “jika  ada tiga orang keluar untuk bepergian, 

hendaklah mereka menjadikan salah satu sebagai pemimpin (amir)” 

(HR. Abu Dawud). Ibnu Taimiyah, yang mengutip pendapat pada 

ulama sebelumnya seperti Fudhail bin ‘Iyadh dan Ahmad bin Hanbal, 

juga mengatakan, “Seandainya kami memiliki dakwah yang dituruti 

dan diikuti, niscaya kami akan menyuruh untuk sebuah kekuasaan”. 

Ibnu Taimiyah bahkan juga meriwayatkan beberapa riwayat—tanpa 

menyebutkan sumber perawinya—untuk menambah argumentasi￾nya soal urgensi pemerintahan dan kekuasaan, seperti “Kekuasaan 

yaitu   naungan Allah yang ada di bumi” serta riwayat “Enam puluh 

tahun dari kehidupan seorang pemimpin yang zalim lebih baik 

daripada satu malam tanpa adanya kepemimpinan.” Dengan begitu 

Islam tidak dapat dipisahkan dari sebuah negara.

Selanjutnya, Ibnu Taimiyah juga menguatkan argumentasinya 

itu dengan menyatakan bahwa terdapat sekian banyak tugas 

keagamaan sesuai ketentuan yang termaktub di dalam al-Quran dan 

Sunnah tidak dapat dilakukan kecuali oleh negara atau pemerintah. 

Tugas ini  seperti menarik zakat, menegakkan hukum pidana 

bagi pelau kriminal, melakukan jihad, dan lain sebagainya. Semua 

itu memerlukan  adanya campur tangan dari pemerintah atau 

negara. Menurutnya, tanpa kekuasaan negara yang memiliki otoritas 

memaksa, posisi agama dapat berada dalam bahaya, karena sekian 

banyak ketentuan agama tidak dapat dijalankan. Namun sebaliknya, 

negara tanpa bimbingan wahyu dan agama, juga dapat menjadi 

negara yang sangat berbahaya dan berpotensi menjadi tirani. Jadi 

antara agama dan negara itu sesungguhnya saling melengkapi.Maka di sinilah, menurut Ibnu Taimiyah, letak pentingnya penyatuan 

antara negara atau kekuasaan dengan agama.

Penyatuan agama dan negara ini bahkan juga telah diakui oleh 

sarjana-sarjana Barat dan orientalis. Firt Gerald, misalnya, berpenda￾pat bahwa Islam bukan hanya sekadar, melainkan di dalam ajarannya 

juga mengandung kaidah umum tentang politik. Menurutnya, 

meskipun terdapat oknum umat Islam yang tak hentinya mencoba 

memisahkan antara negara dan politik/pemerintahan, akan tetapi 

konsep Islam sesungguhnya tetap tidak dapat dipisahkan dari 

negara/politik/pemerintahan. Pakar lainnya seperti Schatt juga 

berpendapat bahwa Islam tidak hanya sebatas agama yang mengatur 

antara manusia dengan Tuhan. Islam juga mengatur soal politik serta 

hukum. Intinya Islam merupakan sistem paripurna, yang mencakup 

agama serta negara sekaligus. Senada dengan sebelumnya, Stuatman 

juga berpendapat bahwa Islam merupakan wujud konkrit keserasian 

dari agama dan negara/politik.

C. Polemik Relasi Agama dan Negara sebelum 

Kemerdekaan

Polemik relasi agama dengan negara dalam perumusan UUD 1945 ini 

sebenarnya memiliki akar historis yang cukup lama. Ia tidak hanya 

bermula ketika badan perumus UUD 1945 dibentuk saja. Polemik ini 

sudah mengemuka sejak lama sebelum kemerdekaan negara kita .

Diskursus dan perdebatan terbuka mengenai dasar negara yang 

berkaitan dengan relasi agama dan negara sudah dimulai setidaknya 

sejak tahun 1940. Diskursus dan perdebatan ini  terjadi antara 

Soekarno dan Muhammad Natsir. Kedua tokoh ini memiliki posisi 

yang berbeda soal bagaimana sebagainya negara menempatkan 

agama. Soekarno berpendapat bahwa antara negara dan agama 

harus dipisah; agama bukanlah urusan negara. Sementara Natsir 

berpendapat, agama harus ditempatkan menjadi satu dengan negara; negara harus mengurus agama dan berjalan sesuai dengan ketentuan 

agama. Pendukung cara pandang Soekarno ini selanjutnya sering 

disebut sebagai golongan nasionalis, sedangkan pendukung ide Natsir 

kerap disebut sebagai golongan modernis Islam, yang berpendirian 

agama Islam juga mengatur negara.

Namun menurut penelusuran Mahfud MD, perdebatan mengenai 

agama dan negara itu yaitu   kelanjutan dari polemik di tahun 1918. 

Ketika itu terjadi polemik antara Komite untuk Kebangsaan Jawa 

(Comite Voor het Javanche Nasionalisme) dengan Sarekat Islam. Komite 

untuk Kebangsaan Jawa berpendirian bahwa politik dan agama 

haruslah dipisah. Komite ini lahir karena adanya peristiwa Jawi 

Hisworo pada 1916. Jawi Hisworo yang merupakan koran berbahasa 

Jawa, melakukan penghinaan terhadap Nabi, dengan menyebut Nabi 

sebagai pemadat dan pemabuk. Hal ini memicu kebangkitan umat 

Islam untuk melakukan pembelaan dan perlawanan atas hinaan 

ini . Pembelaan dan perlawanan dari umat Islam itu disambut 

oleh Jawi Hisworo dengan membentuk Comite voor het Javasche 

Nationalisme (Panitia Kebangsaan Jawa). Panitia Kebangsaan Jawa ini 

menuduh orang-orang yang membela umat Islam yaitu   gerakan 

asing yang bertujuan untuk menekan kepercayaan yang hidup di 

Jawa.Polemik yang terjadi pada medio tahun 1916/1918 ini dapat 

dikatakan sebagai polemik di internal bangsa negara kita .

Tentu saja jauh sebelum itu dapat ditelusuri juga bagaimana 

polemik yang terjadi antara penjajah yang dalam hal ini yaitu   

Belanda, dengan umat Islam dan pribumi soal agama dan negara. 

Bahkan hubungan negara dan agama ketika itu tidak lagi sekadar 

polemik, melainkan sudah berada dalam tataran praktik, ketika 

Belanda memaksakan hukum Barat juga berlaku bagi orang Islam, 

dan mencoba untuk menghapuskan hukum-hukum agama Islam 

yang sebelumnya menjadi hukum yang hidup (living law) di tengah 

warga  .

Lima tahun sebelum kemerdekaan, polemik soal relasi agama dan negara mencuat di media massa. Sebagai respons tulisan KH. 

M. Mansur “Memperhatikan Gerakan Pemuda” pada majalah Pandji 

Islam dan Adil, Soekarno mengetengahkan “Memudakan Pengertian 

Islam” pada majalah Pandji Islam. Dalam tulisannya, Soekarno meng￾kritik kekolotan pemahaman keislaman. Ia menggugah warga   

Muslim untuk merenungkan ulang pemahaman keislaman umat Islam 

di negara kita  ketika itu. Ia mengajak umat Islam25 untuk menengok 

sejenak kepada beberapa pemikiran Islam yang berkembang di 

beberapa negara Muslim lainnya, seperti Mesir, Turki, Palestina, 

dan India. Saat merujuk Turki, Soekarno tidak menyembunyikan 

kekaguman dan dukungannya kepada Kemal Attaturk pada 1928 

yang melakukan sekularisasi. Namun menurut Soekarno, dengan 

diletakkannya pada urusan personal, bukan berarti Islam telah 

dihapuskan. Jadi tidak tepat jika menyebut Turki sebagai negara yang 

anti-agama atau anti-Islam.

Tulisan Soekarno itu disambung lagi dengan tulisannya lain￾nya dalam Pandji Islam, “Apa Sebab Turki Memisahkan Agama 

dari Negara?”. Ia memperkuat argumentasi yang menyatakan 

dukungannya terhadap sekularisasi di Turki. Dengan mencoba 

menunjukkan sikap yang cukup adil, Soekarno mengemukakan 

bahwa tidak berhak menilai apa yang dilakukan oleh Attaturk di 

Turki ini . Ia menyerahkannya kepada sejarah untuk menilai 

benar-salahnya. lalu  di dalam artikel berikutnya “Saya Kurang 

Dinamis”, Soekarno memberi bantahan atas pendapat-pendapat 

yang menganjurkan agar agama dan negara harus menyatu. Sepintas Soekarno menilai bahwa upaya untuk membentuk negara Islam 

itu terlalu memaksakan kehendak atas kaum minoritas beragama, 

bahkan menuduh sebagai upaya membentuk negara yang diktator.

Tulisan-tulisan Soekarno yang kontroversial itu mendapat 

tanggapan dan perlawanan dari umat Islam. Salah satu yang mengo￾mentari secara khusus yaitu   Muhammad Natsir28 melalui majalah 

Pandji Islam dan Al Manar. Dalam artikelnya “Porsekot”, Natsir 

mencurigai pembelaan luar biasa dari Soekarno terhadap Attaturk 

di Turki. Umat Islam di negara kita  disebutnya tidak ada yang 

mempersoalkan sekularisasi yang digencarkan oleh Attaturk ini ; 

tidak ada yang mengkafirkan Attaturk. Ia justru mempertanyakan 

mengapa Soekarno begitu membabi-buta membela Attaturk, semen￾tara di negara kita  ketika itu masih belum pernah terdengar kritikan 

terhadapnya.

Menurut Natsir, kebanyakan orang mungkin lupa bahwa ajaran 

Islam itu sempurna dan dengan demikian juga meliputi persoalan 

tentang kenegaraan. Ia menyayangkan pandangan yang cenderung 

menganggap agama hanyalah soal relasi antara manusia dan Tuhan 

saja (ibadah). Dalam pemahamannya, Islam sudah mencakup semua 

aspek kehidupan manusia, mulai dari perihal keyakinan atau akidah, 

hingga hubungan antar sesama manusia, termasuk dalam hal ini 

hudud-hudud. Dengan begitu, kedudukan negara sangat penting bagi 

agama, sepenting kedudukan agama bagi negara. Lebih lanjut ia juga 

mengomentari soal deskripsi Islam yang cenderung distortif yang 

muncul di kalangan bangsa Barat, di mana negara Islam digambarkan 

dengan begitu naif.

D. Polemik Relasi Agama dan Negara dalam Pembentukan 

dan Perubahan Konstitusi

Polemik terbuka di media massa tentang hubungan antara agama dan negara ini sempat mereda dan sepi. Pasalnya, suasana politik 

dan hiruk-pikuk Perang Dunia II tidak memberikan peluang atas 

debat politik seperti itu. Terlebih pemerintah Jepang yang masuk ke 

negara kita  pada akhir 1941 begitu membatasi gerak politik.

Sebagaimana dikutip Mahfud MD dari Harry J. Benda, menje￾lang saat-saat rezim Hindia Belanda berakhir, ada tiga golongan 

utama di negara kita , yaitu: kaum bangsawan (seperti priyayi Jawa 

atau hulubalang di Aceh); kaum nasionalis sekuler, yang bergerak 

melalui organisasi-organisasi yang tidak berdasar agama; dan 

kaum nasionalis muslim, yang dipimpin dari baik kaum intelektual 

berpendidikan Barat maupun ulama-ulama tradisional.31 Dengan 

kemenangan Jepang pada Maret 1942, maka peranan golongan 

bangsawan berakhir. Dengan demikian hanya ada dua golongan 

saja lagi yang memainkan peran penting dalam menentukan masa 

depan negara kita , yaitu kaum nasionalis sekuler dan kaum nasionalis 

Muslim. Hal ini berarti pandangan yang diwakili oleh Soekarno dan 

Natsir terus melanjutkan perjuangannya, hanya saja pada masa-masa 

pemerintahan Jepang itu debat politik tentang visi masing-masing 

tidak terungkap lagi sampai akhirnya Jepang membentuk Badan 

Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) pada April 

1945.

Babak baru polemik mengenai relasi negara dan agama muncul 

kembali saat BPUPK dibentuk. Namun pembentukan BPUPK ini 

tidak dapat dilepaskan dari janji Jepang yang akan memberikan 

kemerdekaan kepada bangsa negara kita , yaitu janji dari Perdana 

Menteri Jepang, Kuniaki Kaiso, pada 7 September 1944. Sebagaimana 

dikutip Jimly Asshiddiqie dari Pringgodigdo, Jepang dengan janji ini  sebenarnya ingin agar bangsa negara kita  dapat membantu 

tentara Jepang menghadapi tentara Sekutu, yang ketika itu kekuataan 

tentara Sekutu dinilai semakin kuat, sehingga tentara Jepang semakin 

terdesak.

Berdasarkan janji yang disampaikan di hadapan resepsi istimewa 

The Imperial Dies ke 85 itu, maka dibentuklah satu kepanitiaan 

“Dokuritzu Zyumbi Tyosokai”, atau yang dikenal dengan BPUPK, 

pada 29 April 1945. Panitia ini beranggotakan 62 orang, dan mulai 

bersidang pada 29 Mei 1945, sehari setelah pelantikan secara resmi. 

Sidang paripurna diselenggarakan sebanyak dua kali, yakni 29 Mei-1 

Juni 1945 untuk sidang pertama, dan 10-16 Juli 1945 untuk sidang 

kedua.

Pada sidang pertama sudah mulai ditarik picu perdebatan 

yang menimbulkan kembali perdebatan mengenai hubungan 

agama dengan negara. Adapun pemicu perdebatan ini  yaitu   

satu pertanyaan yang sangat mendasar dan penting ketua BPUPK 

Radjiman Wedyodiningrat, “Atas weltanschauung yang manakah 

negara baru ini didasarkan?” Pertanyaan itu mengenai dasar negara 

negara kita  yang nantinya dibentuk. Tiga anggota BPUPK yang 

mengemukakan pendapatnya, yaitu Mr. Muhammad Yamin pada 29 

dan 31 Mei 1945, Prof. Soepomo pada 31 Mei 1945, dan Ir. Soekarno 

pada 1 Juni 1945.

Dalam menanggapi pertanyaan Radjiman ini , anggota 

BPUPKI terpecah menjadi dua kelompok besar. Ada yang 

mengusulkan agar negara kita  yang akan berdiri dan merdeka nanti 

dibentuk berdasarkan kebangsaan dan tanpa ikatan tertentu dengan 

ideologi keagamaan, termasuk dalam hal ini Islam. Kelompok lainnya mengusulkan agar Islam menjadi dasar negara. Sebelumnya, pihak 

Jepang sendiri, sebagai pelopor dibentuknya BPUPK, menyatakan 

diri netral soal Islam dan dasar negara. Sikap Jepang ini disampaikan 

oleh Jenderal Nishimura, Kepala Departemen Umum Pemerintahan 

Pendudukan Jepang, kepada para anggota BPUPKI pada 13 Mei 1945. 

Nishimura menyatakan: 

“Kami mengetahui benar-benar betapa berhubungan di antara bangsa 

negara kita  dan Islam, tetapi tentang bagaimanakah mestinya kedudukan 

agama Islam di dalam negara baru serta perhubungan di antara agama 

Islam dengan agama lain, pihak Nippon tidaklah sekali-kali mempunyai 

suatu gambaran atau rencana … Tentang soal ini, saya berpendapat 

bahwa bangsa negara kita  sendiri tentu telah insaf dan paham benar-benar, 

apakah yang terlebih cocok dan sesuai dengan keadaan di Jawa khususnya 

dan keadaan di negara kita  umumnya pada saat ini.”

Pada 29 Mei, Yamin hanya menyampaikan bahwa negara kita  yang 

merdeka nanti harus berbudi luhur dan peradabannya mempunyai 

Tuhan Yang Maha Esa. Yamin mengatakan:

“… maka lebih dahulu kita sekali lagi jakinkan, bahwa bangsa negara kita  

jang akan bernegara merdeka itu ialah bangsa jang beradab luhur, 

dan peradabannya itu mempunyai Tuhan Jang Maha Esa. Oleh sebab 

itu, maka dengan sendirinja kita insjaf, bahwa Negara Kesedjahteraan 

negara kita  Merdeka itu akan ber-Ketuhanan. Tuhan akan melindungi 

Negara negara kita  Merdeka itu.”

Pada 31 Mei, Soepomo berpidato dan menyampaikan pendapat￾nya agar negara kita  yang akan merdeka nanti menjadi negara nasional 

yang bersatu, dengan adanya pemisahan antara agama dan negara. 

Berikut penggalan dari pidato Soepomo yang dikutip Yamin dan juga 

dinukil dalam Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945 terbitan 

Mahkamah Konstitusi RI:

“Oleh karena itu saja mengandjurkan dan saja mupakat dengan pendirian 

jang hendak mendirikan negara nasional jang bersatu dalam arti, totaliter 

seperti jang saja uraikan tadi, jaitu negara jang tidak akan mempersatukan diri dengan golongan jang terbesar, akan tetapi jang akan mengatasi segala 

golongan dan akan mengindahkan dan menghormati keistimewaan 

dari segala golongan, baik golongan jang besar maupun golongan jang 

ketjil. Dengan sendirinya dalam negeri nasional jang bersatu itu, urusan 

agama akan terpisah dari urusan negara dan dengan sendirinya dalam 

negara nasional jang bersatu itu urusan agama akan diserahkan kepada 

golongan-golongan agama jang bersangkutan. Dan dengan sendirinja 

dalam negara sedemikian seseorang akan merdeka memeluk aama jang 

disukainja.”

Pada 1 Juni, Soekarno menyampaikan pidatonya yang meng￾usulkan prinsip ketuhanan untuk negara negara kita . Sebagai mana 

dikutip oleh Yamin, beginilah penggalan dari pidato Soekarno:

“Prinsip Ketuhanan! Bukan sadja bangsa negara kita  ber-Tuhan, tetapi 

masing-masing orang negara kita  hendaknja ber-Tuhan. Tuhannja sendiri. 

Jang Kristen menjembah Tuhan menurut petundjuk Isa al Masih, jang 

belum ber-Tuhan menurut petundjuk Nabi Muhammad s.a.w., orang 

Buddha mendjalankan ibadatnja menurut kitab-kitab yang ada padanja. 

Tetapi marilah kita semuanja ber-Tuhan. Hendaklah Negara negara kita  

ialah negara jang tiap-tiap orangnja dapat menjembah Tuhannja dengan 

tjara jang leluasa. … Marilah kita di dalam negara kita  Merdeka jang kita 

susu ini, sesuai dengan itu, menjatakan: bahwa prinsip kelima daripada 

Negara kita ialah ke-Tuhanan jang berkebudajaan, ke-Tuhanan jang 

berbudi pekerti jang luhur, ke-Tuhanan jang hormat-menghotmati 

satu sama lain. Hatiku akan berpesta raja, djikalau saudara-saudara 

menjetudjui bahwa Negara negara kita  Merdeka berazaskan ke-Tuhanan 

Jang Maha Esa!”

Menurut Mahfud MD, kemungkinan wakil-wakil Islam 

mengemukakan usulannya tentang dasar negara Islam itu pada hari 

kedua (30 Mei 1945), sebab pidato Soepomo dan Soekarno yang 

bernada jawaban dan sekaligus penolakan yang dimuai dalam buku 

Yamin itu disampaikan pada 31 Mei dan 1 Juni 1945; sementara di 

dalam buku Yamin tidak ditemukan catatan tentang pembicaraan 

yang terjadi pada 30 Mei 1945 itu. Bagaimana golongan Islam berjuang 

dan berusaha meyakinkan dalam BPUPKI tentang kemungkinan 

Islam mejadi dasar negara sulit diketahui dengan pasti karena pidato-pidato golongan Islam dalam Badan ini  tidak ditemukan lagi 

naskahnya. Tetapi tulisan Ki Bagoes Hadikoesoemo yang terbit tahun 

1945 kiranya bisa mewakili pandangan itu. 

Menurut Soepomo, sebagaimana dikutip Mahfud MD, kelompok 

yang menolak menjadikan Islam sebagai dasar negara negara kita  

yang akan merdeka disebabkan beberapa alasan. Pertama, adanya 

kekhasan yang dimiliki negara kita  dan itu membedakannya dengan 

negara-negara mayoritas Muslim lainnya seperti Mesir, Arab Saudi, 

Irak dan sebagainya. Padahal dasar negara itu haruslah sesuai dengan 

kekhasan warga  nya. Kedua, belum adanya kesepakatan di 

berbagai negara Islam mengenai bagaimana seharusnya bentuk 

negara hukum yang sesuai dengan zaman modern. Apakah hukum 

syariat boleh diubah dan disesuaikan dengan kebutuhan zaman 

misalhnya, masih terdapat pertentangan: ada yang mengatakan boleh 

dan ada yang mengatakan tidak boleh. Maka jika kita akan mendirikan 

negara Islam akan timbullah pertentangan dalam warga   dan 

panitia penyelidikan akan sulit memperbincangkan secara baik. 

Ketiga, adanya anggapan bahwa dengan menjadikan Islam sebagai 

dasar negara berarti tidak menjadikan negara negara kita  sebagai 

negara persatuan, akan tetapi hal itu berarti mendirikan negara 

yang mempersatukan diri dengan golongan terbesar yaitu golongan 

Islam. Hal ini akan memberatkan kelompok minoritas beragama 

karena akan timbul perasaan minder. Meskipun adanya jaminan 

dan perlindungan kebebasan beragama, tapi hal ini  tidak akan 

menjadikan kelompok minoritas beragama itu akan menyerahkan 

diri secara total kepada negara negara kita . Dengan alasan-alasan 

itulah Soepomo mengatakan bahwa gagasan yang ingin menjadikan 

Islam sebagai dasar negara itu bertentangan dengan gagasan negara 

persatuan yang sudah lama dicita-citakan oleh bangsa negara kita .

Namun sayangnya, sidang pertama BPUPK masih belum 

menghasilkan kesepakatan bulat mengenai dasar negara. Antara 

pandangan yang menginginkan Islam dijadikan sebagai dasar negara 

dan pandangan yang menginginkan agar negara tidak didasarkan pada ideologi agama tertentu masih tidak dapat dipertemukan titik 

kesepakatannya.42 Tawar menawar masih terjadi hingga dibentuknya 

panitia kecil beranggotakan 38 orang, dan lalu  dibentuk lagi 

Panitia Sembilan yang anggotanya terdiri dari: Soekarno, Hatta, 

Wachid Hasyim, A. Maramis, Abikusno Tjokosujoso, AK. Mudzakir, 

H. Agus Salim, Achmad Subardjo, dan Moh. Yamin. Secara komposisi 

keterwakilan kelompok dan pandangan, Panitia Sembilan telah 

mengakomodir kelompok yang berpandangan sebaiknya Islam 

dijadikan dasar negara dan kelompok yang tidak menginginkannya. 

Bahkan juga terdapat perwakilan dari kelompok non-Muslim.43

Setelah melewati pembahasan yang mendalam dan kritis, maka 

lalu  pada 20 Juni 194544 Panitia Sembilan akhirnya berhasil 

menyepakati Mukaddimah UUD yang dikenal dengan Piagam Jakarta. 

Kesepakatan ini disebut kesepakatan luhur (modus vivendi), karena 

merupakan kesepakatan bersama semua kelompok yang tadinya 

memiliki pandangan berbeda, serta sebagai bentuk kompromi.45

Terang saja, dalam forum sidang lengkap kedua BPUPK (10-16 

Juni 1945) Soekarno sebagai ketua Panitia Kecil mempertahankan 

mati-matian hasil keputusan yang berupa Piagam Jakarta itu, sebab 

menurutnya Piagam Jakarta itu merupakan hasil modus, kesepakatan 

antara pihak nasionalis Islam dan pihak nasionalis sekuler yang dicapai dengan susah payah.

Sampai di sini, pekerjaan dan tugas BPUPK dianggap selesai 

oleh Pemerintah Balatentara Pendudukan Jepang. Untuk lebih meng￾konkretkan persiapan segala sesuatu tentang kemerdekaan yang akan 

“dihadiahkan” oleh Jepang, maka dibentuklah Dokuritau Zyundi Iinkai 

(Panitia Persiapan Kemerdekaan negara kita , PPKI). Pembentukan 

PPKI ini disetujui oleh Panglima Tertinggi Balatentara Dai Nippon 

di Asia Selatan, Jenderal Besar Terauchi, pada 7 Agustus 1945, yang 

awalnya direncanakan pada pertengahan Agustus. Pada 9 Agustus 

1945, Soekarno, Moh. Hatta dan K.R.T Radjiman Wediodiningrat 

menghadap Jenderal Besar Terauchi di Saigon untuk menerima 

secara langsung keputusan pembentukan PPKI. Soekarno diangkat 

sebagai ketua dan Moh. Hatta sebagai wakilnya. Namun akhirnya 

peta berubah setelah Jepang menyerah kepada Sekutu pada 15 

Agustus 1945 akibat luluh lantahnya kota Hiroshima dan Nagasaki. 

Dengan demikian janji Jepang untuk “memberikan kemerdekaan” 

kepada negara kita  itu terang saja tidak dapat terwujud. Dengan 

segala keberaniannya, akhirnya bangsa negara kita  memproklamirkan 

kemerdekaannya secara independen pada 17 Agustus 1945.

Keesokan harinya setelah Proklamasi, 18 Agustus 1945, semua 

anggota PPKI bersidang untuk membahas UUD serta melakukan 

pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Penetapan UUD, Presiden 

dan Wakil Presiden itu memang harus diadakan secepatnya karena 

setelah diproklamasikan negara negara kita  harus mempunyai UUD 

dan Presiden/Wakil Presiden yang disahkan oleh PPKI. Oleh Yamin 

disebutkan, rapat 18 Agustus 1945 itu direncanakan dimulai pukul 

09.30, tetapi terlambat sekitar 2 jam. Ada dugaan kuat, keterlambatan 

itu disebabkan terjadinya lobbying antara Hatta dan sejumlah 

perwakilan kelompok Islam untuk mengubah beberapa ketentuan 

rancangan Mukaddimah dan UUD yang telah disetujui oleh BPUPK. 

Dugaan ini diperkuat oleh kenyataan bahwa ketika rapat dibuka, Hatta langsung dipersilakan mengusulkan perubahan-perubahan setelah 

terlebih dahulu Soekarno meminta sidang untuk tidak bertele-tele 

dan berbicara garis besar saja. Hatta langsung mengusulkan empat 

perubahan terhadap naskah Mukaddimah (Piagam Jakarta) terhadap 

naskah UUD yang telah disetujui pada 16 Juni 1945,48 yaitu49 pertama, 

istilah ‘Mukaddimah’ diganti dengan istilah ‘Pembukaan’; kedua, Sila 

Pertama kandungan Pancasila yang semula dalam Piagam Jakarta 

berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam 

bagi pemeluk-pemeluknya” diganti menjadi “Ketuhanan Yang Maha 

Esa”; ketiga, Pasal 6 Di Batang Tubuh UUD yang awalnya berbunyi 

“Presiden ialah orang negara kita  asli yang beragama Islam” diubah 

menjadi “Presiden ialah orang negara kita  asli”; dan keempat, Pasal 

28 Batang Tubuh UUD yang awalnya berbunyi “Negara berdasarkan 

atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam 

bagi pemeluk-pemeluknya” diubah menjadi “Negara berdasarkan 

Ketuhanan Yang Maha Esa.” Perubahan yang keempat, menyangkut 

Pasal 28, lalu  digeser menjadi Pasal 29.

Selain ulusan perubahan ini , masih ada usul-usul perubahan 

lain dari Ki Bagoes Hadikoesoemo yang meminta penggunaan diksi 

“menurut dasar” sesudah kata-kata “Ketuhanan Yang Maha Esa” 

dihilangkan saja. lalu  I Gusti Ketut Pudja mengusulkan agar 

kalimat “Atas berkat rahmat Allah” pada alenia III Mukadimah UUD 

diganti dengan kalimat “Atas berkat rahmat Tuhan”. Usulan I Gusti 

Ketut Pudjo ini diterima dan disepakati agar diganti menjadi “Atas 

berkat rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa”. Usul-usul perubahan itu akhirnya diterima oleh para anggota sidang PPKI. Soekarno sebagai 

ketua membacakan perubahan ini . Tetapi mungkin karena 

kekhilafan atau karena sebab lain yang belum diketahui, ternyata 

naskah resmi yang telah diundangkan atau dimuat dalam Berita 

Republik negara kita  Nomor 7 Tahun 1946 tetap tertulis kalimat “Atas 

berkat rahmat Allah” pada alinea III dan tidak tertulis “Atas berkat 

rahmat Tuhan” seperti yang telah disetujui pada 18 Agustus 1945.50

Begitulah akhir dari polemik soal relasi agama dan negara pada 

pembentukan UUD 1945 di awal kemerdekaan. Rumusan akhir 

ketentuan yang di dalam UUD 1945 yang berkaitan dengan relasi 

agama dan negara yaitu  :

1. Sila Pertama Pancasila yang terkandung di dalam Pembukaan 

UUD 1945 yaitu  : “Ketuhanan Jang Maha Esa.”

2. Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 berbunyi: “Negara berdasarkan atas 

Ke-Tuhanan Jang Maha Esa.

3. Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 berbunyi: “Negara mendjamin 

kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanja 

masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanja dan 

kepertjajaanja itu.”

UUD 1945 yang disahkan oleh PPKI ini  sifatnya sementara. 

Hal ini dapat dilihat di dalam Aturan Tambahan yang menyatakan 

bahwa dalam enam bulan sesudah dibentuk, Majelis Permusyawaratan 

Rakyat bersidang untuk menetapkan UUD. Selain itu Soekarno juga 

menyatakan di dalam sidang PPKI pada 18 Agustus 1945, UUD 1945 

yang disahkan ini  hanya sekadar UUD sementara dan UUD 

kilat.51 Dengan begitu masih terdapat upaya-upaya pembentukan 

konstitusi yang lain, dan seperti yang diketahui bersama, konstitusi 

lain yang pernah menjadi dasar negara selain UUD 1945 yaitu   

Konstitusi RIS dan UUDS 1950. 

Jika melihat pada pengaturan mengenai agama di dalam dua 

Konstitusi ini , maka secara umum tidak ada perubahan berarti 

dari konsep relasi agama dan negara yang sudah disepakati di dalam 

UUD 1945. Di dalam Konstitusi RIS, mengenai agama diatur dalam Pasal 18, yang bunyinya sebagai berikut:

“Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran keinsyafan batin dan agama, 

hak ini meliputi kebebasan bertukar agama atau keyakinan begitu pula 

kebebasan menganut agama atau keyakinannya, baik sendiri maupun 

bersama-sama dengan orang lain, baik di muda umum maupun dalam 

lingkungannya sendiri dengan jalan mengajarkan, mengamalkan 

beribadat mentaati perintah dan aturan-aturan agama, serta dengan jalan 

mendidik anak-anak dalam iman dan keyakinan orang tua mereka.”52

Begitu juga dalam UUDS 1950, tidak terjadi pergeseran konsep 

relasi agama dan negara. Negara memberikan jaminan kebebasan 

beragama, tanpa menetapkan agama tertentu sebagai dasar negara. 

Mengenai agama diatur dalam Pasal 18 yang berbunyi “Setiap 

orang berhak atas kebebasan agama, keinsyafan batin dan pikiran.” 

Pada Mukaddimah UUDS 1950 juga dinyatakan bahwa negara 

“berdasarkan pengakuan ke-Tuhanan Yang Maha Esa.”

Akan tetapi sebenarnya perdebatan mengenai konsep negara 

terulang kembali di dalam Konstituante. Dengan bermodal 230 

kursi di Konstituante hasil Pemilu 1955,53 dalam upaya pembentukan 

UUD baru, kelompok Islam kembali memperjuangkan syariat 

Islam. Perdebatan soal dasar negara kembali pecah. Kelompok Islam 

di Konstituante berpendirian dengan Pancasila yang dirumuskan 

di dalam Piagam Jakarta, sedangkan kelompok lainnya menolak. 

Menurut Adnan Buyung Nasution, perdebatan mengenai dasar 

negara di Konstituante menunjukkan sikap yang konfrontatif di 

antara pendukung ideologi-ideologi yang berbeda. Masing-masing 

kelompok merasa pendapatnya yang paling benar dan unggul.54

Hingga pada akhirnya, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit 

Presiden pada 5 Juli 1959 yang mengembalikan konstitusi kepada 

UUD 1945 serta membubarkan Konstituante.

lalu  ketika UUD 1945 berlaku kembali dan mengalami 

amandemen setelah reformasi 1998, pembahasan mengenai agama sebenarnya sempat muncul kembali. Pada awalnya dalam rangkaian 

persidangan dan pembahasan, secara umum pembahasan mengenai 

agama lebih kepada pemaknaan atas Pasal 29 UUD 1945. Akan 

tetapi lalu  dalam agenda Rapat PAH I BP MPR-RI ke-44 yang 

dilaksanakan pada 14 Juni 2000, muncul usulan agar menghidupkan 

kembali kata ‘syariat Islam’. Usulan ini datang dari F-PBB yang 

mengusulkan agar Pasal 29 UUD 1945 ayat (1) diubah dan ditambah￾kan kata ‘syariat Islam’, sehingga berbunyi: “Negara berdasarkan atas 

Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat 

Islam bagi para penganutnya.” Usulan ini lalu  didukung dan 

dikuatkan oleh F-PPP yang juga mengusulkan agar Pasal 29 ayat (1) 

menjadi: “Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa dengan 

kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”55

Sebagian besar fraksi lainnya menolak usulan ini . Sempat terjadi 

perdebatan alot dan beradu argumentasi dan belum menemukan kata 

sepakat pada rapat ini . Setelah melalui pembahasan mendalam 

antarfraksi selama berhari-hari, PAH I BP MPR berhasil menyepakati 

rumusan alternatif Pasal 29 ayat (1) UUD 1945, sebagaimana Tabel 

1.56

Munculnya rumusan alternatif mengenai Pasal 29 ayat (1) ini 

menandakan bahwa polemik relasi agama dan negara belum usai. 

Meski juga perlu digarisbawahi bahwa perdebatan pada amandemen 

UUD 1945 ini tidak lagi soal dasar negara. Semua fraksi sepakat 

bahwa dasar negara negara kita  yaitu   Pancasila. Adapun perdebatan 

yang terjadi lebih pada diskursus pemaknaan dari Pancasila dan 

implementasinya dalam Pasal 29. Terdapat perbedaan kondisi 

komposisi golongan-ideologis antara BPUPK dan PPKI dengan 

komposisi saat pembahasan amandemen UUD 1945 di MPR RI. 

Pada BPUPK dan PPKI, golongan nasionalis Islam berhadapan 

dengan golongan nasionalis sekuler, sedangkan pada pembahasaan amandemen UUD 1945 di MPR RI, umat Islam tidak satu suara 

dalam memperjuangkan frasa ‘syariat Islam’ dalam Pasal 29.

Perdebatan mengenai empat usulan rumusan alternatif 

itu ternyata tidak menemukan kesepakatan dan tidak bisa 

dikompromikan, sehingga direkomendasikan untuk dibahas lebih 

lanjut dalam ST MPR RI Tahun 2001 dan ST MPR Tahun 2002. 

Merujuk pada Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar 

Negara Republik negara kita  Tahun 1945 dan Risalah Perubahan Undang￾Undang Dasar Negara Republik negara kita  Tahun 1945 (1999-2002), 

perdebatan mengenai empat usulan rumusan alternatif Pasal 29 tetap berlangsung dengan sengit, tidak menemukan kata sepakat dan 

kompromi, hingga pada akhirnya Rapat Paripurna ST MPR Tahun 

2002 pada 1 Agustus 2002 memutuskan bahwa Pasal 29 UUD 1945 

tidak mengalami perubahan. Ketua Sidang M. Amien Rais menutup 

rapat dengan mengatakan:

“Perkumpulan bangsa kita dalam ikhtiar meletakkan hubungan ahama 

dan negara pada momentum Sidang Tahunan Majelis sekarang ini dapat 

disepakati dengan tetap pada rumusan Negara berdasarkan Ketuhanan 

Yang Maha Esa Pasal 29 Ayat (1) dan negara menjamin kemerdekaan 

tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk 

beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya, hanya itu pada Pasal 

29 Ayat (2). Rumusan yang merupakan kesepakatan luhur para pendiri 

negara pada tahun 1945 ini dipandang paling tepat untuk mengayomi 

semua aspirasi dan pemahaman keagamaan menurut warga   

negara kita , kami sangat menghargai seluruh fraksi MPR terutama fraksi 

pengusul tujuh kata Piagam Jakarta yang telah menunjukkan jiwa 

besar dalam memperjuangkan aspirasi konstituennya sehingga tercapai 

kesepahaman untuk tidak melakukan voting terhadap Pasal 29 Ayat (1) 

dan Ayat (2) ini.”57

E. Implikasi Polemik Relasi Agama dan Negara dalam 

Pembentukan dan Perubahan Konstitusi

Dengan memperhatikan perdebatan mengenai dasar negara dan 

pengaturan agama dalam perjalananan pembentukan dan perubahan 

UUD 1945, terlihat jelas efek dari polemik dan diskursus mengenai 

relasi agama dan negara. Polemik ini setidaknya dipengaruhi oleh 

cara pandang masing-masing kelompok soal posisi agama terhadap 

negara dan sebaliknya. Dalam bahasa lain, polemik ini muncul sebagai 

manifestasi dari ideologi atau cara pandang yang dianut mengenai 

relasi agama dan negara. Perbedaan ideologi mengenai cara pandang 

relasi agama dan negara sudah dipaparkan pada bagian awal artikel 

ini. 

Cara pandang ideologis mengenai relasi agama dan negara 

ternyata sangat berpengaruh dan sangat menentukan dalam peru￾musan suatu konstitusi, khususnya dalam konteks kajian ini yaitu   konstitusi negara kita  UUD 1945. Perbedaan ideologis ini sangat 

tampak tulus dan murni ketika perumusan UUD 1945 menjelang 

kemerdekaan. Pilihan politik soal dasar negara dan relasinya dengan 

agama murni berlatar belakang ideologi. Sehingga sangat tidak 

mudah untuk menyatukan ideologi yang berbeda ke dalam sebuah 

kesepakatan bersama, terlebih menyangkut dasar negara yang akan 

mempengaruhi jalannya negara dan masa depan negara.

Perbedaan ideologi mengenai relasi agama dan negara ini  

telah berimplikasi pada polemik dan diskursus yang sudah muncul 

jauh sebelum kemerdekaan. Menjelang kemerdekaan, polemik ini 

semakin tajam dan nyata di ambang penentuan bentuk dan dasar 

negara yang akan dibentuk. Namun akhirnya, para pendiri bangsa 

berhasil mencapai suatu kesepakatan luhur yang mendamaikan 

pertentangan antar ideologi. Kesepakatan luhur itu disebut dengan 

Pancasila, sebuah sintesis dari ideologi-ideologi yang muncul dalam 

perdebatan perumusan UUD 1945.

Polemik relasi agama dan negara ternyata tidak sepenuhnya 

selesai dengan disepakatinya Pancasila sebagai dasar negara. Pasca 

kemerdekaan, polemik ini kembali muncul dalam beberapa kali 

pembahasan perumusan konstitusi. Namun pada akhirnya, polemik 

ini harus tunduk kembali pada kesepakatan mulia, Pancasila. Dengan 

begitu, implikasi dari polemik relasi agama dan negara sejauh ini 

berakhir pada kesepakatan mulia berupa Pancasila. Konsep negara 

berdasarkan Pancasila inilah yang sampai saat ini masih dianggap 

ampuh untuk mempersatukan bangsa negara kita  di dalam Negara 

Kesatuan Republik negara kita . 

Dalam hal ini, artikel ini ingin mengatakan bahwa implikasi58

paling mendasar—yang lalu  disebut implikasi pokok—dari polemik relasi agama dan negara dalam pembentukan dan perubahan 

Konstitusi UUD 1945 yaitu   tercapainya sebuah kesepakatan mulia 

yang dapat diterima semua kalangan, yaitu Pancasila. Sebagai 

sebuah kesepakatan, Pancasila dapat dikatakan merupakan kontrak 

sosial.59 Perlu pula dicatat, kesepakatan ini  tidak hanya terjadi 

sekali melainkan berulang kali, sehingga menjadi kokoh dan dapat 

dikatakan telah teruji oleh zaman dan generasi hingga sejauh ini. 

Polemik yang terjadi telah mampu menurunkan tensi kepentingan 

dari semua pihak, dan menerima Pancasila sebagai landasan negara, 

sekaligus menjadikan negara kita  memiliki konsep negara yang khas 

dari negara-negara lainnya di dunia. Proses, dinamika, serta diskursus 

dalam polemik relasi agama dan negara telah berimplikasi pada 

lahirnya suatu sintesis konsep negara dari tawaran konsep-konsep 

negara yang ada menjelang kemerdekaan. 

Selain dari implikasi pokok ini , masih ada sejumlah impli￾kasi turunan—yang dapat disebut dengan implikasi cabang atau 

turunannya. Setidaknya ada lima implikasi cabang yang diidentifikasi 

dalam artikel ini, yaitu, pertama, negara kita  yaitu   negara yang 

berketuhanan dan mengakui eksistensi agama. Hal ini tercermin dari 

sila pertama Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun begitu, 

negara kita  tidak menyatakan suatu agama tertentu sebagai agama 

resmi atau agama yang menjadi landasan negara. Hal ini berdampak 

pada konsep negara negara kita  yang tidak dapat disebut sebagai negara 

sekuler sekaligus secara bersamaan juga bukan negara teokrasi 

(negara agama). Indikator mengenai hal ini paling terlihat pada Sila Pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa. Selain itu dalam isi 

Konstitusi, hal ini terlihat pada penegasan bahwa “Negara berdasar 

atas Ketuhanan Yang Maha Esa, yang dalam Konstitusi UUD 1945 

terdapat pada pasal 29 ayat (1) dan Pasal 43 ayat (1) dalam UUDS 

1950.60

Kedua, semua agama memiliki kedudukan yang sama di dalam 

negara negara kita , baik dengan pemeluk yang mayoritas maupun 

minoritas, serta tidak mengenal adanya keistimewaan berdasarkan 

agama. Hal ini dibuktikan dengan setiap warga negara, apapun 

agamanya, secara konstitusional memiliki hak yang sama di dalam 

politik, bahkan hingga hak untuk mencalonkan diri sebagai presiden. 

Pada mulanya, dalam kesepakatan persiapan kemerdekaan, “Presiden 

ialah orang negara kita  asli yang beragama Islam”, lalu dalam Konsti￾tusi yang dibentuk dan berlaku menjadi “Presiden ialah orang Indo￾nesia asli”, dan yang sekarang menjadi “warga negara negara kita  

sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan 

lain karena kehendaknya sendiri”. Indikator tentang ini bisa dilihat 

pada Pasal 6 ayat (1) UUD 1945, Pasal 69 ayat (3) Konstitusi RIS, dan 

Pasal 45 ayat (5) UUDS 1950.61

Ketiga, negara memberikan jaminan perlindungan hak warga 

negara untuk memeluk agama dan menjalankan ajaran agamanya 

ini . Negara bahkan hadir untuk memfasilitasi umat beragama 

untuk dapat menunaikan ajaran agamanya secara aman, damai dan 

tenang, juga dalam pendirian rumah ibadah. Indikatornya dapat 

dilihat pada Pasal 29 ayat (2) dan Pasal 28E ayat (1) UUD 1945; Pasal 

18, Pasal 39 ayat (2), dan Pasal 41 Konstitusi RIS; serta Pasal 18 dan 

Pasal 43 ayat (2), (3) dan (4) UUDS 1950.Keempat, nilai-nilai agama menjadi salah satu pertimbangan 

yang dipakai untuk membatasi kebebasan dalam menjalankan hak 

asasi. Dengan begitu tidak ada kebebasan mutlak dalam menjalankan 

hak asasi. Indikator tentang ini terutama pada Konstitusi UUD 1945 

setelah mengalami serangkaian amandemen pada 1999-2002, yang 

memang memberi perhatian yang lebih pada persoalan hak asasi 

manusia. Pada Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, nilai-nilai agama disebut 

sebagai bagian dari yang dipertimbangkan dalam pembatasan hak 

asasi.

Kelima, peningkatan aspek spiritual keagamaan menjadi basis 

serta tujuan dalam pengembangan pendidikan di negara kita . Sesuai 

dengan amanat konstitusi, penyelenggaraan sistem pendidikan 

nasional agar mencapai pada peningkatan keimanan dan ketakwaan 

serta akhlak mulia. Indikatornya dapat dilihat dalam rumusan Pasal 

31 ayat (3) UUD 1945, Pasal 18 Konstitusi RIS, dan Pasal 41 UUDS 

1950.

Itulah implikasi pokok beserta implikasi cabang atau turunan 

dari adanya polemik relasi agama dan negara dalam pembentukan 

dan perubahan Konstitusi UUD 1945. Kelima implikasi cabang yang 

disebutkan di atas berkorelasi langsung dan eksplisit di dalam batang 

tubuh UUD 1945. Sedangkan implikasi lain yang tidak disebutkan 

secara eksplisit di dalam UUD 1945 bisa menjadi bahan kajian 

selanjutnya. 

Akan tetapi perlu juga menjadi catatan, bahwa melihat perja￾lanan polemik relasi agama dan negara dalam setiap perumusan 

konstitusi negara kita , maka tidak menutup kemungkinan polemik 

yang sama akan muncul kembali di lalu  hari.62 Terlebih ketika 

amandemen UUD 1945 di era reformasi, keputusan akhir dalam 

Sidang Tahunan MPR-RI mengenai perdebatan soal Pasal 29 hanya 

menyimpulkan bahwa permasalahan ini  belum sempat dibahas 

dalam Rapat Pleno Komisi A Majelis. Diskursus yang demikian itu, jika pun berulang, akan menguji tentang keampuhan dan kesaktian 

kesepakatan luhur bernama Pancasila. Namun demikian, juga 

diharapkan, agar polemik yang demikian itu tidak melupakan latar 

belakang historis sejauh ini. 

F

Artikel ini menyimpulkan, pertama, polemik yang terjadi di negara kita  

mengenai relasi antara agama dan negara sudah lama terjadi bahkan 

jauh sebelum kemerdekaan. Polemik ini terjadi antara golongan 

islamis dan golongan nasionalis. Golongan islamis menginginkan 

agar negara dan agama dapat melebur menjadi satu nafas, sehingga 

negara dapat berjalan sesuai agama dan ajaran agama dapat dilakukan 

oleh negara. Sedangkan golongan nasionalis menginginkan agar 

agama terpisah dari negara. Polemik ini terjadi sebelum, menjelang, 

dan setelah kemerdekaan negara kita . Sebelum kemerdekaan, sudah 

terjadi polemik terbuka di media massa antara Soekarno dan Natsir. 

Menjelang kemerdekaan, golongan islamis dan nasionalis terlibat 

perdebatan sengit terkait dengan penentuan bentuk negara yang 

akan dirumuskan di dalam Undang-Undang Dasar 1945. Perdebatan 

sengit terulang kembali di dalam Konstituante, dan yang terakhir 

pada amandemen UUD 1945 di era reformasi.

Kedua, polemik agama dan negara ini berimplikasi pada lahir￾nya sebuah kesepakatan mulia berupa Pancasila sebagai dasar 

negara. Konsep Pancasila menjadi sintesis dari ideologi yang 

berseberangan mengenai relasi agama dan negara. Selain itu, dalam 

isi atau batang tubuh Konstitusi, polemik ini berimplikasi lebih 

lanjut pada pengakuan negara terhadap eksistensi agama-agama 

tertentu; perlakuan secara sama terhadap semua agama yang diakui; 

pemberian jaminan kebebasan penduduk untuk memeluk dan 

menjalankan ajaran agama; pengakuan dan penghormatan hak-hak 

asasi yang mempertimbangkan nilai-nilai agama; dan pengembangan 

pendidikan nasional yang berbasis dan berorientasi pada peningkatan 

aspek spiritual keagamaan.








Polemik tentang hubungan antara agama dan negara di negara kita  

sesungguhnya telah berlangsung lama, dan semakin meningkat tensinya 

pada saat kemerdekaan negara kita  sedang dipersiapkan. Artikel ini 

membahas bagaimana polemik itu berlangsung dalam kaitannya dengan 

pembentukan dan perubahan Konstitusi, dan bagaimana pula implikasinya 

pada Konstitusi yang dibentuk, diganti, dan diamandemen. Dalam artikel 

ini ditunjukkan, polemik hubungan agama dan negara berlangsung sengit 

pada masa persiapan kemerdekaan, atau jika dikaitkan dengan Konstitusi 

berarti pada saat Konstitusi pertama sedang dirumuskan. Polemik itu 

berkutat pada perdebatan apakah negara kita  menjadi negara agama (Islam) 

ataukah negara yang tidak didasarkan pada agama tertentu. Polemik 

semacam ini ternyata kembali berulang pada saat Konstitusi diganti dan 

diamandemen. Pada perkembangannya, polemik ini berimplikasi pada 

lahirnya kesepakatan mulia berupa Pancasila, di mana negara didasarkan 

salah satunya pada “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dalam isi atau batang 

tubuh Konstitusi, kesepakatan semacam ini menimbulkan implikasi 

turunannya berupa pengakuan negara terhadap eksistensi agama tertentu; 

perlakuan secara sama terhadap semua agama yang diakui; pemberian 

jaminan kebebasan penduduk untuk memeluk dan menjalankan ajaran 

agama; pengakuan dan penghormatan hak asasi yang mempertimbangkan 

nilai-nilai agama; dan pengembangan pendidikan nasional yang berbasis 

dan berorientasi pada peningkatan aspek spiritual keagamaan.