Tulisan ini mencoba menguraikan beberapa pandangan Imam al-Tirmi}dzi yang berhubungan
dengan teori kualitas hadis yang terdapat dalam kitab al-Jâmi al-Şahîh al-Sunan al-Tirmîdzī,
tulisan ini merupakan penelitian kepustakaan dengan pendekatan deskriptif yang menghasilkan
kesimpulan bahwa Imam al-Tirmidizi mempunyai konsep yang berbeda dengan pakar ilmu hadis
dalam mendeskripsikan hadis sahih, hasan dan daif. Dalam persoalan hadis sahih, teori yang
digunakan imam al-Tirmdizi hampir sama dengan pakar hadis lainnya yaitu hadis s}ahih adalah
hadis yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dhabit, sedangkan
dalam teori hadis hasan, Tirmidzi punya konsep yang unik, dia membagi hasan menjadi tiga yaitu
hasan sahih (hadis hasan yang mendekati sahih), hasan (hadis yang ada diantara hasan sahih
dan gharib) dan hasan gharib adalah hadis yang mendekati hadis daif. Kemudian, teori dhaifnya
Imam al-Tirmidzi sama dengan ulama hadis yang lain yaitu hadis yang tidak memenuhi syarah
sahih dan hasan serta ketersambungan sanadnya dipertanyakan.
Salah satu kitab hadis yang mempunyai
dua penamaan adalah kitab karya alTirmîdzi , Al-Khatib al-Baghdadî (w. 483 H)
menyebutnya dengan al-Jâmi al-Sâhîh al-Sunan
al-Tirmîdzi,
1 sedangkan Al-Ĥakim (w. 408
H) menyebutnya dengan sunan al-Tirmîdzi .Penyebutan nama-nama tersebut menimbul
kontroversi di kalangan ulama hadis, sebagian
mengatakan bahwa penamaan al-Jâmi al-Şâhîh
al-Sunan al-Tirmîdzi berlebihan. Adapun
alasan mereka sebagaimana disebutkan Ibn
Katsir (w. 774 H) yang dikutip oleh Hasan
Su’aidi, karena kandungan hadis yang terdapat
dalam kitab hadis karya al-Tirmîdzi setelah
dilakukan seleksi oleh ulama terdapat hadis
mauqûf, maqtû’, dha’īf, mu’alal serta munkar.3
Sedangkan penyebutan sunan para ulama tidak
banyak mempermasalahkan, bahkan sebagian
menyetujui karena hadis-hadis yang terdapat
di dalam kitab tersebut disusun berdasarkan
skema fiqih. 4
Ajaj al-Khatib mengkategorikan kitab
hadis karya al-Tirmîdzi termasuk kitab yang
memenuhi standart ilmiah, karena tema-tema
hadis yang terdapat dalam kitab tersebut dibahas
dengan tuntas. Selain itu, al-Tirmîdzi juga
menyertakan penjelasan tentang kualitas hadishadisnya. 5
Pujian yang sama pernah diberikan
oleh Ibnu Rusyaid sebagaimana dikutip oleh
Nuruddin ‘Itr yang mengatakan, kitab alTirmîdzi disusun berdasarkan bab-bab yang
runtut disertai dengan penjelasan yang rinci,
memuat illat-illat hadis yang mencakup hadis
s{ahih dan dhaif, memuat penjelasan orangorang yang pernah bertemu langsung dengan
Nabi Muhammad SAW dan orang yang tidak
pernah bertemu dan memuat penjelasan tentang
sanad.6
Penjelasan yang terdapat dalam karya
al-Tirmîdzi ini, dianggap baru dibandingkan
dengan para pendahuluanya, salah satunya alTirmîdzi membagi hadis menjadi tiga kategori
yaitu sahih, hasan dan dhaif padahal sebelumnya
hanya dikenal dengan istilah hasan dan dhaif
saja. Menurut Nurudin Itr pada dasarnya istilah
penyebutan hadis hasan sudah ada sebelum
dipopulerkan oleh Imam al-Tirmîdzi bahkan
pada masa Imam al-Syafi’i istilah hasan juga
pernah disebutkan, tetapi tidak sepopuler pada masa al-Tirmîdzi .7
Pandangan ini tidak
sejalan dengan pendapatnya Abu Ghuddah
yang menjelaskan bahwa al-Tirmîdzi -lah yang
pertama kali menyebutkan istilah hadis hasan.8
Sejalan dengan pendapat ini, Imam al-Nawawî
dan Ibnu Taimiyah sebagaimana dikutip oleh
Ahmad Sutarmadi mengatakan orang yang
memashurkan tiga istilah dalam penilaian hadis
adalah al-Tirmîdzi .9
Hadis hasan merupakan istilah untuk
menyebutkan hadis yang kualitas berada
diantara dhaif dan sahih. Dalam kitabnya alTirmîdzi terkadang menyebutkan dengan
beberapa istilah ada hasan, hasan sahih dan
hasan gharib. Penyebutan istilah-istilah ini
tentunya mempunyai alasan tertentu, meskipun
sebagian ulama ahli hadis tidak memberikan
komentar yang mendalam tentang istilah
tersebut. Walaupun demikian, para ulama
menilai bahwa hadis-hadis yang dimasukan
oleh at-Tirmidzi ke dalam kitabnya dari 3. 956
hadis yang sahih hanya 158 sedangkan sisanya
kualitasnya hasan dan dhaif. 10 Penilaian ini
menunjukkan bahwa mayoritas hadis yang
ada di dalam kitab al-Jâmi al-Şâhîh al-Sunan
al-Tirmîdzi kualitasnya tidak sahih. Namun,
pastinya Imam al-Tirmîdzi mempunyai cara
tersendiri untuk mengukur tingkat keakuratan
hadis yang dimasukan ke dalam karyanya. Dari
disinilah kemudian lahirlah rumusan masalah
terkait dengan penelitian ini yaitu bagaimana
teori kualitas hadis Imam at-Tirmidzi?.
Penelitian merupakan penelitian kepustakaan
dengan pendekatan deskriptif. Ada beberapa
penelitian yang mengakaji tentang teori
kesahihan hadis seperti yang ditulis oleh Eko
Zulfikar dengan judul “metode menentukan
kesahihan hadis: teori dan aplikasi Al-Hakim
dalam kitab al-Mustadrak ala shahihain” artikel
ini menghasilkan kesimpulan bahwa al-Hakim
mengklasifikasikan kualitas hadis menjadi
dua bagian yaitu sahih dan dhaif, kemudian
menerapkan dua standart dalam menentukan
kesahihan hadis yaitu tasyaddud (ketat) dalam hadis yang berubungan dengan akidah
dan syariah dan tasyahhul (longgar) dalam
hadis yang berhubungan dengan keutamaan
ibadah sehari-hari.11 Selanjutnya, artikel
karya Siti Mujibatun dengan judul “pradigma
ulama dalam menetukan kualitas hadis dan
implikasinya dalam kehidupan umat Islam”
tulisan ini menyimpulkan bahwa terdapat empat
madhab dalam menentukan kualitas hadis yaitu
mutasyaddid (ketat), muta’ānut (berlebihan),
mutawāsiṭ ( moderat) dan mutasaḥḥil, madhab
pertama dan kedua dalam menghukumi hadis
yang berhubungan dengan keutamaan amalan
ibadah sehari-hadis dan akhlak condong
menggunakan hadis dengan kualitas dhaif.12
Dua artikel sebagai sampel pembanding
dengan kajian teori kualitas hadis yang ingin
penulis uraikan dalam tulisan ini. artikel
tersebut menunjukan bahwa ada perbedaan
dan persamaan dalam kajian teori kualitas
hadis, persamaannya adalah mengkaji teori
kualitas hadis dan perbedaanya terletak pada
fokus penelitiannya. Adapun fokus penelitian
ini ingin mengungkapkan teori kualitas hadis
Imam al-Tirmîdi yang terdapat dalam al-Jâmi
al-Şahîh al-Sunan al-Tirmîdzi.
Sketsa Biografi Imam al-Tirmîdzi
Penyusun kitab sunan al-Tirmîdzi
mempunyai nama lengkap Abu Isâ Muhammad
bin Isâ bin Tsaurah bin as-Sakan al-Salimy
al-Bugiy al-Tirmîdzi atau populer dengan
sebutan Tirmîdzi karena dinisbatkan pada kota
kelahirannya. Al-Tirmîdzi dilahirkan di kota
Turmuzi pada tahun 209 H/824 M. 13 dan wafat
pada Ahad Malam tanggal 13 Rajab 279 H di
sebuah kampung yang bernama Bug dekat
kota Turmuz dalam keadaan tidak bisa melihat
(buta) sehingga Ahmad Muhammad Syakir
sebagaimana dikutip oleh Ahmad Umar Hasyim
menambahkan pada nama al-Tirmîdzi dengan
al-Darîr. Sejak beranjak remaja, Abu Isâ alTirmîdzi mempunyai hasrat untuk rihlah ilmiah
menuntut ilmu ke berbagai tempat di wilayah
Jazirah Arab antara lain: Hijaz, Khurusan, Irak
dan lain-lain. Perjalanannnya menuntut ilmu ke
berbagai Negara mempertemukannya dengan
beberapa gururnya antara lain: Quthaibah
bin Said al-Madanî, Ishaq bin Rahawaih
(Khurusan), Muhammad bin ‘Amru as-Sawwaq
al-Balkî (Naysabur), Muhammad Ibn Gîlan,
Ismâil bin Mûsa al-Farazî, Abû Hâmid Ahmad
Ibn Abdullah Ibn Dâud al-Marwazî al-Tajir,
Hamad bin Syâkir dan lain-lain. Dari beberapa
guru inilah kecintaan Imam al-Tirmîdzi untuk
mengkaji dan meneliti kualitas dan kuatitas
hadis semakin meningkat, sehingga pada
akhirnya beliau dikenal sebagai ahli dalam
bidang hadis.15
Keahlian yang dimiliki oleh Imam alTirmîdzi membuat banyak orang ingin belajar
kepadanya, diantara murid-muridnya antara
lain: Abû Hâmid Ahmad bin Abd Allah bin Daw
al-Mahruz dan lain-lain.16 Kealiman dalam
bidang hadis tidak diragukan lagi, sehingga
para ulama menilainya tsiqah, ada beberapa
penilaian ulama terhadap Imam al-Tirmîdzi
sebagai berikut:
1. Al-Khalili menyebutnya dengan
penilaian bahwa al-Tirmîdzi adalah
orang yang tsiqah muttafaq ‘alaih
(kesepakatan Bukhari dan Muslim). 17
2. Al-Ĥakim mempunyai penilaian
bahwa ulama hadis pasca wafat Imam
al-Bukharî dan Muslim, tidak ada
ulama yang mempunyai keahlian
dalam bidang hadis dan orangnya
wara’ kecuali Abû Isâ al-Tirmîdzi. 18
3. Ibn Hibban menilai bahwa al-Tirmîdzi
adalah seorang penghimpung dan
pengarang kitab hadis.
4. Al-Idri mengatakan Imam Tirmîdzi
adalah ulama yang meneruskan jejaknya ulama sebelumnya dalam
pengembangan ulum al-hadis.
5. Ibn Hazm menilai bahwa al-Tirmîdzi
termasuk periwayat yang majhul. 19
Dari beberapa penilaian ulama penulis
dapat mengambil benang merahnya bahwa
dari lima ulama yang menilai, empat diantara
memberikan nilai bahwa al-Tirmîdzi termasuk
periwayat hadis yang tsiqah, namun satu
pendapat mengatakan majhūl. Pendapat yang
kelima ini dibantah oleh beberapa ulama seperti
Ibnu Hajar yang mengatakan “suatu kebodohan
apabila Ibn Hazm menilai al-Tirmîdzi majhūl,
padahal beberapa ulama memberikan penilaian
yang positif terhadap kealimannya dan
krebibilitasnya dalam meriwayatkan hadis,
sehingga layak apabila Ibn Hajar menilai dengan
tsiqah hafidh. Sejalan dengan pendapat Ibn
Hajar, al-Dzahabi berpendapat penilaian yang
diberikan oleh Ibn Hazm terhadap al-Tirmîdzi
tidak objektif karena dia tidak mempelajari
tentang biografi dan tidak membaca dengan
detail karya al-Tirmîdzi . Diakui pada masa
hidupnya Ibn Hazm karya Imam al-Tirmîdzi
belum populer di Negeri Andulus, tempat
tinggalnya Ibn Hazm. 20
Karya-Karya Imam al-Tirmîdzi banyak
dalam bidang hadis dan ilmu pengetahuan
antara lain:
1. Kitab al-Jâmi al-Şahih yang populer
dengan sebutan al-Jâmi Şahih Sunan
al-Tirmîdzi.
2. Kitab al-‘Ilal al-Şaghīr.
3. Kitab al-Tarīkh.
4. Kitab Asmâ wa al-Kunya.
5. Kitab al-‘ Asmâ wa al-Şahabah.
6. Kitab al-Atsâr al-Muwâqufah
7. Kitab al-Zuhud.
8. Kitab al-‘Ilal al-Mufrâd atau al-Ilal
Kabîr.
9. Kitab al-Syamāil al-Muhammadiyah.Gambaran Umum Tentang Kitab Jâmi’
Sunan al-Tirmîdzi
Sub bab ini akan mendeskripsikan
tentang gambaran umum kitab al-jaâmi al-
şahih al-sunan al-Tirmîdzi yang menguraikan
tentang beberapa penilaian ulama terhadap
kitab tersebut, kemudian isi yang berhubungan
dengan kitab tersebut. hal ini yang penulis
jadikan sebagai landasan teori untuk melangkah
ke pembahsan tentang teori kualitas yang
terdapat dalam kitab suan al-Tirmîdzi .
Kitab sunan al-Tirmîdzi merupakan
alah satu kitab hadis yang memuat berbagai
persoalan agama, seperti : al- aqâid (tauhid),
al-ahkām (hukum), al-riqaq (budi luhur), adab
(etika), al-tafsīr (tafsir al-Qur’an), al-tārikh
wa al-siyar (sejarah), al-syamā’il, al-fitan
(peristiwa fitnah), serta al-manāqib wa almasālib (biografi sahabat dan tabi’in) adalah
kitab karya al-Tirmîdzi sehingga dikenal
dengan sebutan al-Jâmi’.21
Al-Imam Majdu al-Din Ibn al-Atsir
menilai dengan memuji isi yang terkandung
dalam kitab hadis karya al-Tirmîdzi dengan
mengatakan bahwa, kitab sahih karya alTirmîdzi merupakan karya yang didalamnya
berisi tentang kandungan-kandungan ajaran
Islam yang sangat bermutu, mengandung
banyak faedah-faedah yang bisa dimabil
pelajaran, kitab tersebut disusun dengan
mengunakan sistematika yang baik dan sedikit
pengulangan isinya. Selain itu, kitab ini menjadi
bagus karena di dalamnya disertakan dengan
pandangan-pandangan ulama fiqih lintas
madhab yang menjelaskan tentang hukum
fiqih masing-masing madhab, cara istidlal serta
penjelasan tentang kualitas hadis yaitu saḥiḥ,
hasan dan gharīb yang dilengkapi dengan jarh
dan ta’dīl-nya. 22
Pujian yang sama disampaikan oleh
Abu Suhbah dalam kitab fi rihab al-sunnah
menyebutkan bahwa sunan al-Tirmîdzi
merupakan eksiklopedi hadis yang isinya
tidak di muat dalam kitab jami’ kecuali sudah
diamalkan oleh para ahli fikih dan telah dipakai sebagai dalil dalam berfatwa atau menjadi
hujjah serta telah diamalkan oleh orang-orang
yang mengamalkan.23
Penilaian lain, disampaikan oleh Subhi
Saleh dengan menyatakan bahwa siapa saja yang
ingin mendalami dan memperluas cakrawala
dalam bidang hadis, hendaknya membaca dan
menelaah kitab jâmi’ sunan al-Tirmîdzi . 24
Ajaj al-Khatib menilai sama dengan
yang disampaikan oleh Subhî Saleh sesuai
dengan pernyataannya bahwa kitab hadis
yang banyak mamfaat dan memilki kekhasan
yang tidak dimiliki oleh kitab-kitab lainnya
serta bermanfaat bagi ulama hadis yang
mendalami kualitas kesahihan hadis dalam
rangka mengungkapkan illat hadis, sandaran
hukumnya (istibath hukum) dan mengetahui
ketsiqahan rawi yang tertinggal, kemudian
kekhasan lainnya terdapat dalam sistematika
serta penerapan istilah-istilah ilmu hadis. 25
Sedangkan, Muhammad Asyakir
memperinci kekhasan sunan al-Tirmîdzi
sebagai berikut:
1. Menyebutkan pendapat para ahli fiqih
dalam persoalan yang terkait dengan
kajian fiqih dan menjelaskan argumentasi
mereka serta menyertakan hadis-hadis
yang kontradiktif dalam masalah yang
dibahas. Metode ini menjadi penting
karena ingin mengungkapkan apa yang
diinginkan oleh ulum al-hadis yaitu
memilih hadis yang sahih dalam rangka
kepentingan menjadi sandaran hukum
dan mengamalkannya.
2. Menjadikn ta’lîl hadis sebagai fokos
kajiannya dalam rangka ingin menilai
tingkatan kesahihan dan kedaifan serta
menjelaskan pendapat ulama tentang
ta’lîl dan rijâl hadis dengan jelas.26
Adapun Moh Zuhri dalam bukunya
menjelaskan tentang kandungan yang terdapat
dalam kitab sunan al-Tirmîdzi bahwa kitab
tersebut dikenal dengan Sunan al-Tirmîdzi
karena di dalamnya terdapat beragam tema
seperti ibadah, adab, muamalah, tafsir, ‘aqidah,
biografi Nabi dan para sahabat-sahabatnya.
Kitab tersebut memuat sekitar 3.956 hadis
yang terdiri dari hadis yang kualitasnya sahih,
hasan dan dhaif sehingga kitab tersebut disebut
dengan al-Jami’. 27
Hasan Suaidi menilai bahwa “alTirmîdzi merupakan salah satu penulis kitab
hadis yang mengikuti metode pendahulunya
khusunya Imam Mûslim” seperti diketahui
bahwa metode penulisan kitab dari awal abad
satu Hijriah mengalami perubahan.awal mula
penulisan kitab hadis berdasarkan susunan
nama para perawi ditingkat sahabat disusun
berdasarkan abjad atau yang dikenal dengan
musnad. Sitematika yang seperti ini penulisan
hadis didasarkan kepada pengelompokan yang
disesuaikan dengan rangkaian nama isnād atau
rangkian perawi hadisnya tanpa dibatasi dengan
materi hadis yang ada, sehingga yang terjadi
ada beberapa hadis salat berdampingan dengan
hadis zakat. 28
Seiring dengan berkembangnya ilmu
pengetahuan metode penulisan kitab hadis
mengalami perubahan dengan tujuan agar
pembaca tidak bigung dalam mencari hadis
sehingga para ulama mengumpulkan sesuai
dengan tema (tematik). Generasi ini lahir sekitar
abad ketiga hijriah diantaranya: Muhammad
Ismāil al-Bukharî, Abū Dawud, al-Nasa’i,
Ibn Mājah, Mslim dan Abû ‘Isa Al-Tirmîdzi.
Mereka berusaha menghadirkan penyajian hadis
yang simpel dan baru. Metode yang digunakan
mereka adalah dengan menurutkan berdasarkan
bab. Rifat Fauzy Abd Muthalib membagi
metode penulisan kitab hadis pada beberapa
metode antara lain: al-Muwatta’, al-Masānid,
al-Jamī’, al-Sunan, al-Abwāb wal ajza’, alMustadrāk. Berikut ini akan ditampilkan kitab
(bagian pembahasannya) yang terdapat dalam
sunan al-Tirmidîzi, sehingga akan ditemukan
kategorisasi dari kitab tersebut.Dengan berdasarkan penejelasan diatas
penulis dapat menyimpulkan tentang tujuan alTirmîdzi mengumpulkan hadis :
1. Mengumpulkan hadis secara
sistematis.
2. Mendiskusikan beberapa hadis
disesuaikan dengan pendapat
para imam madzhab yang empat.
Sehingga Imam al-Tirmdzi hanya
mengumpulkan hadis-hadis yang
menjadi landasan hukum.
3. Mendiskusikan tingkat kualitas hadishadis yang dicamtumkan dalam
kitabnya, kemudian menjelaskan
tentang illat (cacat), kelemahan,
kekurangan dari hadis tersebut. Penulis dalam sub bab ini akan
menjelaskan tentang kriteria hadis yang masuk
hadis dalam kategori sahih, hasan dan dhaif
menurut Imam al-Tirmîdzi dalam kitab hadis
yang berjudul “ al-Jâmi al-Şahih al-Sunan alTirmîdzi”. Imam al-Tirmîdzi tidak memberikan
kriteria penilaian yang spesifik, dia hanya
menyebutkan bahwa hadis ini adalah hadis
sahih atau hasan tanpa memberikan komentar
apapun yang berhubungan dengan definisi hadis
sahih, hasan dan dhaif. Oleh karena itu, penulis
akan menguraikan lebih detail bagaimana
konsep atau teori tentang hadis sahih, hasan dan
daif menurut Imam al-Tirmîdzi. Penulis akan
memulai penjelasan ini dengan menguraikan
definisi dan kriteria sahih dalam kitab al-Jâmi
al-Şahih al-Sunan al-Tirmîdzi kemudian
dilanjutkan dengan hadis hasan dan dhaif.
Para ulama hadis memberikan definisi
tentang apa yang disebut dengan hadis sahih,
Imam as-Sayuthî menyebutkan bahwa hadis
sahih adalah hadis yang transmisi hadisnya
berasambung sampai Rasulullah SAW,
disampaikan oleh perawi yang dinilai adil
dan dhabit serta tidak didapatkan adanya
kejanggalan dan ‘illāt.
29 Senada dengan asSayuthiî, Ibn Salah dalam kitab muqadimahnya
menyebutkan bahwa hadis yang sanadnya
bersambung dengan periwayat yang adil dan
kuat hafalannya (dhabīt) yang berasal dari orang
adil dan dhabit sampai pada akhir sanadnyaserta tidak ditemukan kejanggalan dan cacat
disebut dengan hadis sahih.30
Dalam kitab ushul al-hadis, Ajaj alKhātib juga menjelaskan tentang hadis sahih
yaitu hadis yang sanadnya bersambung dengan
seorang perawi yang tsiqah dan mendapatkan
hadis tersebut dari orang yang tsiqah (pula),
mulai dari awal sanadnya sampai pada akhir
sanad dengan tidak diesertai kejanggalan dan
kecacatan di dalam hadis tersebut. 31
Kemudian, definisi yang diungkapkan
oleh beberapa ulama di atas yang berhubungan
dengan hadis sahih penjelasannya ditambahkan
oleh Nuruddin Itr yaitu dengan membagi pada
lima kadungan yang berhubungan dengan hadis
sahih : 1). Bersambung tranmisi hadis yaitu
perawi dari awal sampai akhir menerima secara
langsung dan bersambung secara berurutan.
Apabila salah seorang rawi dari rangkaian
sanad hadis terputus baik disebabkan karena
rawinya lemah (dha’īf) atau karena faktor
lain, maka hadis tersebut tidak sahih. 2).
Keadilan para rawi dalam sanad hadis yaitu
keadilan periwayat hadis merupakan faktor
penentu bagi diterimanya atau ditolaknya suatu
riwayat, karena sifat adil merupakan sifat yang
menyebabkan seseorang untuk bertakwa dan
tidak melakukan perbuatan maksiat, dusta dan
hal-hal lain yang menyebabkan kerusakan
pada harga dirinya. Hal ini berarti bahwa hadis
maudu’ dan hadis daif tidak termasuk bagian
dari perawi yang adil, karena hakikatnya dua
hadis tersebut disebabkan karena dusta muru’ah
dan maksiat. 3). Kedabitan rawi hadis adalah
kekuatan hafalan yang dimilikinya sehingga
mereka bisa menguasai hafalannya dan mampu
mengungkapkan kembali dengan redaksi yang
persis dengan yang dihafal. 4). Tidak rancu
artinya kerancuan merupakan keadaan yang
mana seorang perawi dalam meriwayakan
hadis berbeda dengan perawi yang lebih kuat
hafalannya, sifat adilnya dan lebih banyak
perawi yang bertentangan dengannya. Apabila
yang terjadi seperti ini, maka perawi yang
lain itu diunggulkan dan dia sendiri disebut
syādz atau rancu, karena kerancuan maka
timbullah penilaian negatif terhadap periwayat
hadis. 5). Tidak ada cacat adalah bahwa hadis tersebut terbebas dari cacat yang menyebabkan
hadis tersebut menjadi tidak sahih.walaupun
terkadang hadis tersebut tidak menunjukan
adanya cacat. Kriteria ini tidak mencakup hadis
mu’allal. 32
Uraian di atas ini merupakan hasil
pemikiran ulumul hadis yang lahir dari para
intelektual pasca Imam al-Tirmîdzi , sedangkan
dia tidak memberikan penjelasan yang utuh
tentang kriteria hadis sahih. Namun, ketika
melihat beberapa hadis yang diberi penilaian
sahih oleh Tirmîdzi, maka akan ditemukan
seperti apa konsep atau teori sahih menurut
Imam al-Tirmîdzi sebagai berikut:33
Menceritakan kepada kami Ahmad bin
Manîin telah menceritakan kepada kami
‘Abîdah bin Humaid dari Yāzid bin
Abu Ziyād dari Abd Allah bin al-Harîts
dari Al-Abbās bin Abd al-Muthalib, dia
berkata; wahai Rasulullah, ajarkan
kepadaku sesuatu yang aku minta kepada
Allah SWT, beliau bersabda “mintalah
keselamatan kepada Allah” kemudian
aku diam beberapa hari, kemudian aku
datang mengatakan wahai Rasulullah
ajarkan kepadaku sesuatu yang aku minta
kepada Allah kemudian beliau berkata
kepadaku “ Wahai Abbas, wahai paman
Rasulullah, mintalah keselamatan kepada
Allah di dunia dan akhirat”.
Penulis akan menampil beberapa
pendapat tentang perawi yang terdapat dalam
hadis di atas ini :
Penilaian ini diambil dari kitab
tahdzîb al-kamāl fî asmāi al-rijāl karya
al-Mizzî dan al-tahdîb wa tahdîb karya
Ibn Hājar. Dari beberpa periwayat di
atas menunjukan bahwasanya semua
perawi hadis dinilai sahih sedangkan
ketersabungan sanadnya sangat kuat.
Sehingga dapat disimpulkan hadis ini
sahih menurut kriteria yang ditetapkan
oleh Imam Bukhari dan Muslîm, hal ini
menunjukan bahwa tidak ada perbedaan
antara teori sahih Imam Bukharî, Muslim
dan Tirmîdzi.
Kemudian ada hadis sahih dalam
sunan al Tirmîdzi tidak disahihkan oleh
Imam Bukhāri
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah
telah menceritakan kepada kami Syārik bin
Abd Allah al-Nakhā’i dari Abû Ishaq dari
Atha’ dari Rāfi bin Khādij bahwa Nabi SAW
bersabda: “Barangsiapa yang bercocol
tanam di ladang suatu kaum tanpa izin
mereka maka ia tidak berhak atas tanaman itu
sedikit pun namun ia berhak atas hasilnya.»
Abû Isa berkata; Hadis ini hasan gharib
tidak kami ketahui dari hadits Abu Ishaq
kecuali dari jalur ini dari hadits Syarik bin
Abd Allah. Hadis ini menjadi pedoman amal
menurut sebagian ulama dan ini adalah
pendapat Ahmad dan Ishāq. Aku bertanya
kepada Muhammad bin Isma›il tentang
hadits ini, maka ia menjawab; Itu adalah
hadits hasan. Dan ia juga berkata; Aku tidak
mengetahui dari hadits Abû Ishāq kecuali
dari riwayat Syarik. Muhammad berkata;
Telah menceritakan kepada kami Ma›qil bin
Malik Al Bashri} telah menceritakan kepada
kami Uqbah bin Al Asham dari ‹Atha` dari
Rāfi› bin Khādij dari Nabi صلى الله عليه وسلم seperti itu.
Penilaian ini diambil dari kitab tahdzîb
al-kamāl fî asmāi al-rijāl karya al-Mizzî dan
al-tahdîb wa tahdîb karya Ibn Hājar, kemudian
hadis ini dinilai hasan oleh Imam Bûkharî
karena salah satu perawinya tidak mendengar
lansung dari rawi sebelumnya yaitu Atha’bin
Abû Rabah tidak mendengar langsung dari
Rafi’i bin Khudaij, namun masih ada beberapa
riwayat lain yang menjadi penguat terhadap
hadis ini, selain itu, jarak masa hidup Syarîk
bin Abd Allah al-Nakha’i dan Abû Ishaq
cukup jauh sehingga wajar apabila Imam
Bûkhari menghukumi hadis ini adalah hasan,
penghukuman ini terletak dalam pernyataan
Imam Al-Tirmîdzi yang mengutip pendapat
Imam Bûkhari.
Dari dua hadis ini dapat disimpulkan
tentang kriteria hadis sahih menurut Imam
Tirmidzi yaitu: (1) teori hadis sahih yang
digunakan oleh Imam al-Tirmîdzi tidak
selamanya sejalan dengan Imam Bukhāri dan
Muslim (2) al-Tirmîdzi menjadikan Imam
Bukhāri dan Muslîm sebagai rujukan dalam
menilai kesahihan hadis.
Pembahsan berikutnya adalah hadis
hasan, para ulama berbeda pendapat dalam
menentukan definisi hadis hasan dengan
beberapa pendapat sebagai berikut:
Ibn Hājar al-Asqalânî mendefinisikan
hadis hasan adalah “hadis ahad yang diambil
dan diakses melalui perawi yang adil, sempurna
ingatannya, bersambung sanadnya, tanpa ada
cacat dan kejanggalan. Pengertian seperti ini,
disebut dengan hadis sahih lidzātihi, akan tetapi
jika kekuatan ingatannya kurang sempurna,
maka disebut dengan hasan lidzātihi”.
Al-Khattabî dalam kitab ma’limu sunan
menyebutkan:
Artinya: Hadis hasan lidzātihi adalah
hadis yang perawinya dapat diketahui dan
populer di kalarangan perawi hadis.36
Sedangkan, Nuruddin Itr menjelaskan
definisi hadis hasan sebagai berikut:
Artinya: hadis hasan adalah hadis yang
bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh rawi
yang adil, yang rendah tingkat kekuatan daya
hafalannya, tidak rancu dan tidak bercacat.
Al-Tirmîdzi sebagaimana dikutip
Mahmud Thahan, “hadis hasan adalah hadist
yang periwayatnya tidak ditemukan perawi
yang diduga kuat berlaku bohong, tidak ada
kejanggalan dalam riwayatnya, tetapi dari
jalur lain ditemukan perawi lain yang dalam
pernyataanya seimbang”38
Ibn Hajar al-Asqalanî juga memberikan
definisi kembali bahwa hadis hasan adalah
seakan-akan hadis sahih tetapi derakat perawinya
lebih rendah dan lebih ringan, 39kemudian
Mahmud Thahahn menjelaskan definisi yang
diungkapkan oleh Ibn Hajar dengan mengatakan
bahwa hadis hasan adalah hadis yang sanadnya
bersambung yang diriwayatkan oleh rawi yang
adil, yang derajat dhabitnya lebih ringan dari
orang yang serupa hingga akhir sanad, tidak ada
syuduz dan illat. 40
Beberapa definisi yang diungkap ulama
termasuk Imam al-Tirmîdzi semuanya hampir
sama walaupun dalam penggunaan bahasa
berbeda tetapi esensinya sama yaitu hadis
yang diriwayatkan oleh orang yang adil dan
sanadnya tersambung, tetapi kekuatan hafalan
perawinya lebih rendah dibandingkan denga
hadis sahih. Walaupun, Imam al-Tirmîdzi
memberikan definisi yang cukup jelas, namun
dalam prakteknya Imam al-Tirmîdzi membagi
hadis hasan menjadi tiga bagian sebagaimana
akan diuraikan dalam pembahasan berikut ini:41
Artinya :menceritakan kepada kami Yûsuf Ibn
Dinar dan Muhammad bin Aban, keduanya
berkata menceritakan kepada kami Waki’ dari
Isrāil dari Ibrahim bin Muhājir dari Yûsuf
bin Mahak dari ibunya Musaikah dari ‘Aisyāh
berkata; kami bertanya wahai Rasulullah
tidak kah sebaiknya kami bangunkan rumah
untukmu di Mîna (sebagai tempat berteduh)?
Beliau menjadwab “ Tidak perlu karena mina
adalah tempat singgah siapa yang lebih dahulu
datang” Abû Isa berkata ini merupakan hadis
hasan sahih.
Setelah melihatnya hadis, kemudian
penulis akan menguraikan komentar ulama
terkait dengan perawi hadis ini dan ditamba
tahun lahir dan kota tempat tinggal untuk
mengetahui ketersambungan sanadnya. Penilaian ini diambil dari kitab tahdzîb
al-kamāl fî asmāi al-rijāl karya al-Mizzî dan altahdîb wa tahdîb karya Ibn Hājar. Dari hadis ini
dapat penulis simpulkan bahwa kalau melihat
komentar para ulama terkait dengan kualitas
perawi hadis ada dua perawi yang tidak dikenal
ketsiqahannya yaitu Ibrahim bin Muhājir bin
Jābir dan Musaikah walaupun demikian ada
ulama yang menilai ini tsiqah tapi hafalannya
kurang sempurna. Penilaian ini menunjukan
sama antara definisi hadis hasan yang
diungkapkan oleh al-Tirmîdzi dengan praktek
yang dia sampaikan dalam kitabnya.
Artinya: Telah menceritkan kepada kami
Mahmûd bin Ghailan, menceritakan kepada
kami Abû Dâud, mengabarkan kepada kami
Syu’bah dari Simak berkata saya mendengar
Alqâmah bin Wâil menceritakan dari ayahnya
bahwa Nabi SAW menetapkan kepemilikan
sebidang tanah di Hadramaut. Mahmûd berkata
telah mengabarkan kepada kami an-Nadir dari
Syu’bah dan dia menambhakan di dalamnya dan
Nabi mengutus Muawiyah untuk menetapkan
kepemilikannya. Abû Isa berkata hadis ini
adalah hasan.
Setelah melihatnya hadis, kemudian
penulis akan menguraikan komentar ulama
terkait dengan perawi hadis ini dan ditamba
tahun lahir dan kota tempat tinggal untuk
mengetahui ketersambungan sanadnya.
Dari hadis ini dapat penulis simpulkan
bahwa kalau melihat komentar para ulama
terkait dengan kualitas perawi hadis ada dua
perwai yang dinilai jelek hafalannya dan shaduq
yaitu Simak bin Harb dan Alqâmah bin Wâil,
dari dua orang ini menujukan bahwa antara
hadis yang pertama dan hadis kedua ini ada
perbedaan kalau yang hadis pertama menujukan
adanya hafalan yang kurang kuat, namun di
hadis yang kedua menujukan bahwa salah satu
ada yang shaduq. Ini menujukan kualitas antara
hadis yang pertama dan kedua lebih unggul
yang pertama.
Kemudian setelah mengetahui dua
hadis yang berhubungan dengan hasan sahiih
dan hasan berikut akan diuraikan hadis hasan
Artinya: telah menceritakan kepada kami
Sufyan bin Waki’ telah menceritakan kepada
kami ayahku dari al-Hasan bin Şalih dari Abû
Rabi’ah al-Iyadî dari al-Hāsan dari Anas bin
Mâlik, Rasulullah SAW bersabda sesungguhnya
surga merindukan kepad tiga orang yait Ali,
Amar dan Salmân, berkata Abû Isa hadis ini
adalah hasan gharîb, kami tidak mengertahui
kecuali dari al-Hasan bin Şalih.
Setelah melihatnya hadis, kemudian
penulis akan menguraikan komentar ulama
terkait dengan perawi hadis ini dan ditambah
tahun lahir dan kota tempat tinggal untuk
mengetahui ketersambungan sanadnya. Penilaian ini diambil dari kitab tahdzîb
al-kamāl fî asmāi al-rijāl karya al-Mizzî dan altahdîb wa tahdîb karya Ibn Hājar. Dari hadis ini
dapat penulis simpulkan bahwa kalau melihat
komentar para ulama terkait dengan kualitas perawi hadis salah satunya adalah dhaif yaitu
Sufyān bin Waki’Al-Jarrah, hal ini menujukab
bahwa hadis yang ketiga ini kualitasnya lebih
rendah dibanding dua hadis sebelumnya.
Penulis dapat memberikan gambaran
tentang beberapa istilah hadis hasan yang
disampaikan oleh Imam al-Tirmîdzi yaitu
hasan sahih, hasan dan hasan gharib. Istilah ini
walaupun sebagian ulama menyatakan bahwa
tidak ada perbedaan diantara ketiganya karena
posisinya sama-sama berada diantara sahih dan
dhaif, namun bagi penulis ketiganya mempunyai
ciri khas masing-masing yang mengambarkan
poisisi hadis tersebut. hasan sahih kalau dilihat
dari beberapa perawinya hampir mendekati
pada sahih, hasan kalau dilihat posisi perawinya
di atas hasan gharib dan hasan gharib ada satu
atau dua perawinya yang dinilai dhaif oleh para
pakar hadis.
Uraian selanjutnya, adalah hadis dhaif,
penulis akan menguraikan definisi yang
berhubungan dengan hadis dhaif, namun perlu
dijelaskan bahwa penulis akan mnejelaskannya
hanya yang terkait dengan hadis dhaif secara
umum artinya tidak menjelaskan macammacma hadis yang termasuk bagian dari hadis
dhaif.
Para ulama mendefinisikan hadis dhaif,
tetapi mereka berbeda dalam pengungkapan
bahasanya dan hakikatnya esensinya sama ingin
mengatakan bahwa hadis dhaif adalah hadis
yang lemah. Untuk mengetahui definisi yang
diungkapakan ulama, penulis akan menguraikan
pengertian dhaif sebagai berikut:
Ajaj al-Khâtib mendefinisikan hadis dhaif
adalah hadis yang didalamnya tidak terkumpul
syarat hadis maqabul. Definisi ini esensinya
sama dengan yang diungkapkan pendahulunya
yaitu An-Nawawi yang memberikan pengertian
bahwa hadis dhaif adalah hadis yang di dalamnya
tidak ditemukan syarat yang wajid ada dalam
hadis sahih dan hasan. Senada dengan Ajaj,
Nuruddin Itr menyatakan bahwa hadis dhaif
adalah hadis yang tidak ditemukan satu syarat
yang terdapat dalam hadis maqbul. Dari definisi
para ulama, penulis dapat menyimpulkan
bahwa hadis dhaif adalah hadis yang satu syarat
pun yang terdapata dalam hadis hasan tidak bisa
terpenuhi.
Definis di atas menjadi rujukan penulis
dalam menilai konsep dhaif yang ada dalam
kitab sunan al-Tirmîdzi yang akan dijelaskan
melalui satu hadis yang dinyatakan dhaif oleh
Imam al-Tirmidîzi sebagaimana pembahasan
berikut ini.44
Artinya: Telah menceritakan kepada kamu
Humāid bin Masadah menceritakan kepada
kami Muhammad bin Humrân dari Abî Said
ia adalah Abd Allah bin Busr, ia berkata saya
mendengar Abâ Kabsyah al-Ambarî berkata
Kopiyah para sahabat Rasulullah adalah luas,
Abû Isa berkata; ini adalah hadis munkar. Abd
Allah bin Busr adalah dhaif menurut ahli hadis.
Setelah melihatnya hadis, kemudian
penulis akan menguraikan komentar ulama
terkait dengan perawi hadis ini dan ditambah
tahun lahir dan kota tempat tinggal untuk
mengetahui ketersambungan sanadnya
Penilaian ini diambil dari kitab tahdzîb
al-kamāl fî asmāi al-rijāl karya al-Mizzî dan altahdîb wa tahdîb karya Ibn Hājar.. Dari hadis
ini penulis dapat menyimpulkan bahwa hampir
semua perawi dalam hadis ini tidak memenuhi
syarat untuk menjadi hadis hasan ataupun sahih
karena perawi ada yang dhaif dan kekuatan
hafalannya rendah sehingga hadis ini dihukumi
dhaif. Kesimpulan yang diungkapan oleh Imam
al-Tirmîdzi hampir sama dengan definisi yang
diungkan oleh ulama hadis yaitu hadis dhaif
adalah hadis yang tidak memenuhi syarat hadis
maqbul.
Penulis dapat menyimpulkan bahwa teori
kualitas hadis menurut Imam al-Tirmîdzi sangat
bervariasi, teori hadis sahih ada dua yaitu: (1)
teori hadis sahih yang digunakan oleh Imam
al-Tirmîdzi tidak selamanya sejalan dengan
Imam Bukhārî dan Muslîm (2) Imam Tirmîdzi
menjadikan Imam Bukhārî dan Muslîm sebagai
rujukan dalam menilai keshahihan hadis,
kemudian hadis hasan yang disampaikan oleh
Imam al-Tirmîdzi yaitu hasan ṣahīh, hasan dan
hasan ghārib. Istilah ini walaupun sebagian
ulama menyatakan bahwa tidak ada perbedaan
diantara ketiganya karena posisinya sama-sama
berada diantara sahih dan dha’īf, namun dalam
kitab sunan al-Tirmîdzi ketiganya mempunyai
ciri khas masing-masing yang mengambarkan
poisisi hadis tersebut.
hasan sahih kalau dilihat dari beberapa
perawinya hampir mendekati pada sahih, hasan
kalau dilihat posisi perawinya di atas hasan
gharib dan hasan gharib ada satu atau dua
perawinya yang dinilai dhaif oleh para pakar
hadis. Kemudian, terakhir adalah hadis dhaif
dimana antara teori yang diungkap oleh Imam
al-Tirmîdzi sama dengan pakar ilmu hadis yaitu
hadis yang tidak memenuhi syarat maqbul





.jpeg)





