nya mengkhawatirkan reputasi buruk.”
“Reputasi buruk apa?”
“Jika sebab terlalu banyak makan nasi ini yang mengandung nutrisi
istimewa, Tuanku menjadi malas dan mengantuk keesokan hari,
orang-orang akan menuduhku meracuni engkau dengan makanan
ini.”
“Kalau begitu, bersihkan meja ini. Berikan aku air minum.”
3086
sesudah raja selesai makan semua pengikutnya diberi makan dengan
nasi yang sama.
Satulakà yã Melayani Raja
lalu sesudah berbincang-bincang, raja bertanya kepada tuan
rumah.
“Apakah engkau tidak memiliki istri di rumah ini?”
“Ya, Tuanku, istriku ada.”
“Di manakah ia sekarang?”
“Ia sedang duduk di kamar. Ia tidak keluar sebab tidak mengetahui
bahwa Tuanku telah tiba.”
Jotika berpikir bahwa sebaiknya istrinya datang dan bertemu
dengan raja, maka ia mendatangi istrinya dan berkata, “Raja sedang
mengunjungi kita. Apakah engkau tidak menemuinya?”
Satulakà yã yang sedang berbaring di kamar mereka, menjawab,
“Suamiku, orang seperti apakah raja itu?”
“Raja yaitu orang yang memerintah kita.” Satulakà yã tidak senang
mendengar hal itu dan tidak menyembunyikan perasaannya. Ia
berkata, “Kita melakukan kebajikan pada masa lampau dengan cara
yang salah. Itulah sebabnya mengapa kita diperintah oleh orang
lain. Kehendak kita pada masa lampau dalam melakukan kebajikan
tidak murni sehingga meskipun kita kaya tetapi kita terlahir sebagai
rakyat seseorang. Persembahan yang kita lakukan pasti dilakukan
tanpa keyakinan akan hukum sebab-akibat. Kondisi kita sekarang ini
yang menjadi rakyat dari para penguasa yaitu akibat dari praktik
kedermawanan kita dengan keyakinan tidak murni. Tetapi sekarang,
apa yang diharapkan dariku?”
Jotika berkata, “Ambillah kipas daun kelapa dan kipasilah raja.”
3087
Riwayat Para Orang Kaya yang Kekayaannya Tidak Dapat Habis
Satulakà yã mematuhi suaminya. Saat ia duduk mengipasi raja,
wewangian yang berasal dari penutup kepala raja menyakiti
matanya menyebabkan air matanya mengalir. Melihat air matanya,
raja berkata, “Bendaharawan, perempuan kurang memiliki
kebijaksanaan. Ia menangis mungkin sebab ia berpikir bahwa raja
akan mengambil alih harta kekayaanmu. Katakan kepada istrimu
bahwa aku tidak tertarik pada harta kekayaanmu, agar pikirannya
tenang.”
Jotika memberi Hadiah Batu Delima Besar Kepada Raja
Jotika berkata kepada raja, “Tuanku, istriku tidak menangis.”
“Tetapi, mengapa air matanya mengalir?”
“Tuanku, wewangian yang berasal dari penutup kepala Tuanku
menyakiti matanya, dan sebab itu air matanya keluar. Ia memiliki
tubuh yang sangat lemah. Ia tidak pernah memakai api seumur
hidupnya. Ia mendapatkan panas dan cahaya dari batu kristal dan
permata. Sedangkan Tuanku, engkau tentu terbiasa dengan cahaya
pelita.”
“Itu benar, Bendaharawan.”
“Kalau begitu, Tuanku, mulai sekarang, sudilah Tuanku hidup
dengan cahaya batu delima.” Dan ia menghadiahkan kepada raja
sebuah permata yang sangat berharga yang berukuran sebesar
sebuah mentimun. Raja Bimbisà ra mengamati istana Jotika dari
dekat dan mengucapkan komentar tulus, “Sungguh besar kekayaan
Jotika,” lalu ia meninggalkan tempat itu.
Kejahatan Raja Ajà tasattu Membangkitkan Semangat Religius
Jotika dan Kearahattaan
Kelak, Pangeran Ajà tasattu, di bawah pengaruh jahat Devadatta
memenjara ayah kandungnya Raja Bimbisà ra, membuatnya tidak
bisa berjalan di dalam selnya, dengan cara menyayat telapak
kakinya dan membakar lukanya dengan arang yang menyala,
3088
dan membiarkannya kelaparan hingga akhirnya Raja Bimbisà ra
meninggal dunia. Demikianlah ia merampas tahta. Tidak lama
sesudah ia naik tahta, ia membawa pasukannya untuk mengambil
alih istana Jotika secara paksa. Tetapi saat para pasukannya tiba di
depan tembok permata, bayangan para pasukan itu yang terpantul
dari tembok terlihat seolah-olah para pasukan Jotika yang hendak
menyerangnya, dan ia tidak berani mendekati tembok itu.
Jotika sedang menjalani uposatha pada hari itu. sesudah selesai
makan pagi, ia pergi ke vihà ra untuk mendengarkan khotbah yang
disampaikan oleh Buddha. Demikianlah, selagi Ajà tasattu sedang
terbakar oleh keserakahan, Jotika menikmati kedamaian bersama
Buddha.
“Bagaikan si dungu, si jahat yang dibutakan oleh keserakahan, akan
memakan, membakar, dan menyiksa dirinya sendiri. Sang bijaksana,
yang menghargai Dhamma, akan menemukan kebahagiaan batin
dan jasmani.”
saat bala tentara Raja Ajà tasattu mendekati tembok pertama istana
Jotika, Yamakoëã, dewa penjaga gerbang menyuarakan peringatan
menakutkan, “Sekarang, mau lari ke mana engkau?” dan mengusir
para pasukan raja yang melarikan diri pontang-panting ke segala
arah. Ajà tasattu melarikan diri ke arah vihà ra Buddha dengan cara
yang tidak sopan.
saat Jotika melihat raja, ia bangkit dan bertanya, “Tuanku, apa
yang terjadi?” Raja berkata dengan marah, “Engkau memerintahkan
pasukanmu untuk menyerangku sedangkan engkau berada di sini
berpura-pura mendengarkan khotbah Buddha.”
“Tuanku, apakah engkau datang ke rumahku untuk mengambil
alihnya dengan paksa?” tanya Jotika.
“Ya,” jawab raja dengan marah.
Jotika dengan santai berkata kepadanya, “Tuanku, (jangankan hanya
engkau sendiri) bahkan seribu raja tidak mungkin dapat mengambil
3089
Riwayat Para Orang Kaya yang Kekayaannya Tidak Dapat Habis
alih istanaku tanpa seizinku.”
“Apakah engkau hendak menjadi raja?” ia merasa sangat terhina
dengan kata-kata Jotika.
Tetapi Jotika menjawab dengan santai, “Tidak, tidak, Tuanku. Tidak
seorang pun yang dapat mengambil hartaku, bahkan tidak sehelai
benang pun, tanpa seizinku. Dan itu termasuk raja-raja.”
“Aku yaitu raja. Aku dapat mengambil apa pun yang engkau miliki
dengan atau tanpa izinmu.”
“Kalau begitu, Tuanku. Ini ada dua puluh cincin di jari-jari tanganku.
Aku tidak memberi nya kepadamu. Sekarang, cobalah ambil.”
Ajà tasattu yaitu seorang yang bertenaga kuat. Sambil duduk
ia dapat melompat hingga setinggi delapan belas lengan, dan
sambil berdiri, hingga setinggi delapan puluh lengan. Ia mencoba
untuk melepas cincin-cincin dari jari-jari tangan Jotika tetapi tidak
mampu mendapatkan satu pun. Martabatnya sebagai seorang raja
menjadi rusak. Jotika berkata kepadanya, “Tuanku, jika engkau sudi
menghamparkan jubahmu, aku akan menunjukkan kepadamu.”
Dan ia meluruskan jari-jemari tangannya ke arah jubah raja yang
dihamparkan di depannya, dan seluruh dua puluh cincin itu jatuh
di atas jubah itu. Ia berkata, “Tuanku, engkau lihat sendiri bahwa
Tuanku tidak dapat mengambil alih hartaku tanpa seizinku.” Ia
sangat terinspirasi dengan pertemuannya dengan raja itu. Suatu
semangat religius muncul dalam dirinya dan ia berkata kepada
raja, “Sudilah Tuanku mengizinkan aku untuk menjadi seorang
bhikkhu.”
Raja berpikir bahwa jika ia meninggalkan kehidupan rumah tangga
dan menjadi seorang bhikkhu, istana megahnya akan dengan mudah
ia rebut, sebab itu ia segera mengabulkan permohonannya. Jotika
ditahbiskan menjadi bhikkhu di kaki Buddha. Tidak lama lalu ,
sesudah berlatih dengan tekun, ia menjadi seorang Arahanta dan
dikenal dengan Thera Jotika. Begitu ia mencapai Kearahattaan,
seluruh istana dan harta kekayaannya sesaat lenyap. Istrinya
3090
Satulakà yã dikirim kembali oleh para dewa ke tempat asalnya, di
Benua Utara.
Suatu hari, beberapa bhikkhu bertanya kepada Yang Mulia Jotika,
“Teman, apakah engkau memiliki kemelekatan terhadap istana
megahmu dan Satulakà yã?” Yang Mulia Jotika menjawab, “Tidak,
Teman, aku tidak memiliki kemelekatan terhadap apa pun.”
Para bhikkhu menghadap Buddha dan berkata, “Yang Mulia,
Bhikkhu Jotika berbohong dengan mengaku telah mencapai
Kearahattaan.”
lalu Buddha berkata, “Para bhikkhu, benar bahwa tidak
ada kemelekatan terhadap istana megah dan istrinya dalam
batin Bhikkhu Jotika, seorang Arahanta.” Lebih jauh lagi Buddha
mengucapkan syair berikut:
“Ia yang di dunia ini telah melepaskan keserakahan (yang muncul
di enam pintu-indria) dan telah meninggalkan kehidupan rumah
tangga untuk menjadi seorang bhikkhu, ia yang telah memadamkan
keterikatan terhadap kelahiran kembali, dan telah mengakhiri
segala bentuk kehidupan, ia Kusebut brà hmana. (Ia yang telah
membebaskan diri dari segala kejahatan.)”
Pada akhir khotbah ini banyak orang yang mencapai
Pengetahuan Jalan dalam berbagai tingkat.
Demikianlah kisah Jotika.
(2) Meõóaka
Cita-cita Masa Lampau
Bakal Meõóaka yaitu seorang keponakan dari Aparà jita si
perumah tangga yang hidup pada masa Buddha Vipassã, sembilan
puluh satu siklus dunia sebelumnya. Ia juga bernama Aparà jita.
Pamannya, Aparà jita membangun sebuah vihà ra dari bata sebagai
kuñã Buddha. lalu , Aparà jita muda, mendatangi pamannya,
Aparà jita dan memohon agar ia diizinkan untuk turut membangun
3091
Riwayat Para Orang Kaya yang Kekayaannya Tidak Dapat Habis
vihà ra ini . Sang paman menolaknya, sebab ia tidak ingin
berbagi jasa dengan siapa pun. Aparà jita muda berpikir untuk
membangun serambi di depan bangunan utama yang dibangun
oleh pamannya. Ia mendirikan serambi dari kayu. Tiang bangunan
itu masing-masing dihias dengan emas, perak, batu delima, dan
tujuh jenis permata. Demikian pula, balok-balok dan kasau, teralis
jendela, daun pintu dan genteng juga dihias dengan emas, perak
dan batu-batu mulia. Ia merencanakan serambi itu untuk digunakan
oleh Buddha.
Di puncak serambi itu, terpasang lembaran emas membentuk
kubah. Di tengah-tengah serambi itu yaitu aula pertemuan dengan
sebuah singgasana untuk Buddha yang lantai dan kakinya terbuat
dari emas. (1) bagian bawah kaki singgasana ini berbentuk
kambing emas. (2) sandaran kaki berbentuk sepasang kambing
emas. (3) dan juga terdapat enam kambing emas di sekeliling aula
pertemuan itu. (4) alas duduk bagi penceramah dijahit dengan
benang katun di bagian bawah, benang emas di bagian tengah dan
dihiasi butir-butiran mutiara. (5) sandaran punggung si penceramah
terbuat dari kayu cendana.
saat pembangunan serambi itu selesai dengan memuaskan,
Ritual persembahan diadakan yang berlangsung selama empat
bulan. Buddha dan 6,8 juta bhikkhu diberi persembahan makanan.
Pada hari terakhir, tiga perangkat jubah dipersembahkan kepada
Saÿgha. Bahkan bhikkhu yang paling junior menerima jubah yang
bernilai seratus ribu keping uang. (Versi Sinhala menyebutkan seribu
keping uang.)
Kehidupan Lampau Sebagai Orang Kaya dari Bà rà õasã
sesudah melakukan banyak kebajikan selama masa Buddha Vipassã,
bakal Meõóaka terlahir kembali dalam siklus dunia sekarang ini
sebagai putra Orang Kaya di Bà rà õasã. Ia mewarisi status ayahnya
sebagai orang kaya yang kekayaannya tidak bisa habis. Suatu hari
sewaktu ia menghadap raja, ia mendiskusikan pembacaan astronomi
kepada penasihat aja. Ia bertanya kepada Purohita.
3092
“Bagaimana Guru, apakah engkau telah memelajari planet-planet
(baru-baru ini)?”
“Tentu saja. Apa lagi hal yang lain yang kupelajari selain planet-
planet?”
“Kalau begitu, apakah yang diisyaratkan oleh planet-planet tentang
negeri ini?”
“Beberapa bencana akan terjadi.”
“Bencana apa?”
“Akan terjadi kelaparan.”
“Kapan akan terjadi?”
“Tiga tahun lagi.”
Orang Kaya yang kekayaannya tidak bisa habis itu lalu
memperluas pertaniannya. Ia menanamkan seluruh kekayaannya
pada beras-beras yang ia simpan dalam 1.250 lumbung. Kelebihan
beras itu lalu disimpan dalam kendi besar, dan lalu
lagi kelebihan itu dikuburkan di dalam tanah. Bagian terakhir dari
kelebihan itu lalu dicampur dengan lumpur dan digunakan
untuk melapisi dinding rumahnya. (Cara yang sangat bijaksana
untuk mengantisipasi bencana kelaparan.)
saat bencana kelaparan melanda (sesuai ramalam Purohita),
keluarga orang kaya itu hidup selama beberapa waktu dari timbunan
beras simpanan. saat lumbung-lumbung dan kendi-kendi besar
telah kosong, orang kaya itu terpaksa membebaskan para pelayan
mereka untuk pergi ke hutan atau ke balik gunung untuk mencari
makanan hingga situasi kembali normal dan saat itu mereka boleh
memilih apakah akan kembali atau tidak. Mereka menangis dan
sesudah tujuh hari bergantung pada majikan mereka, akhirnya
mereka harus pergi.
3093
Riwayat Para Orang Kaya yang Kekayaannya Tidak Dapat Habis
Hanya ada satu pelayan yang bernama Puõõa yang secara pribadi
melayani anggota keluarga orang kaya itu. Keluarga itu terdiri
dari si orang kaya, istrinya, putra dan menantunya. Lima orang
itu selanjutnya bertahan hidup dari beras yang terkubur di tanah.
saat simpanan itu habis, mereka membongkar dinding rumah,
mendapatkan sedikit padi lagi untuk bertahan hidup. Bencana
kelaparan semakin hebat. Akhirnya, tempat penyimpanan terakhir
diambil dari bawah dinding yang berlapis lumpur yang menyimpan
banyak padi. Mereka mendapatkan seperempat takaran besar dari
sana. Khawatir para perampok akan menjarah makanan apa pun
yang tersedia di rumah mereka, keluarga itu dengan bijaksana
menyimpan beras itu di dalam tanah, di dalam sebuah kendi
kecil.
Suatu hari orang kaya itu yang baru pulang dari istana raja berkata
kepada istrinya, “Istriku, aku lapar. Apakah ada makanan?”
istrinya tidak berkata “Tidak,” melainkan menjawab, “Suamiku,
kita memiliki seperempat takaran beras.”
“Di mana?”
“Aku menyembunyikannya di dalam tanah sebab takut dicuri.”
“Kalau begitu, masaklah sedikit nasi.”
“Suamiku, jika aku memasak nasi, hanya akan cukup untuk satu
kali makan. Jika aku akan memasak bubur, beras itu cukup untuk
dua kali makan. Apa yang harus kulakukan?”
“Istriku, itu yaitu sumber makanan terakhir kita. Mari kita makan
sekenyangnya dan menghadapi kematian. Masaklah nasi.”
Istri orang kaya itu patuh dan memasakkan nasi, dan membuat lima
porsi nasi, meletakkannya di depan suaminya. Pada saat itu, seorang
Pacceka Buddha yang baru bangun dari pencapaian Penghentian
di Gunung Gandhamà dana, memeriksa dunia ini dengan mata-
batinnya dan melihat bahwa Benua Selatan sedang dilanda bencana
kelaparan yang berkepanjangan.
3094
(Seorang Arahanta, atau Pacceka Buddha, tidak merasa lapar selama
(tujuh hari) dalam pencapaian Penghentian. Saat bangun dari
pencapaian itu, rasa lapar akan muncul dalam perutnya. Jadi, saat
si Pacceka Buddha memeriksa dunia, yaitu suatu hal yang wajar,
jika ia juga mencari sumber dà na makanan. Seorang penyumbang
kepada Pacceka Buddha pada hari itu biasanya akan mendapat
balasan sesuai jasanya. Jika ia ingin menjabat sebagai jenderal, ia
akan mencapainya.)
Pacceka Buddha itu tahu bahwa orang kaya di Bà rà õasã memiliki
seperempat takaran beras yang telah dimasak untuk memberi
makanan kepada lima orang. Ia juga mengetahui bahwa lima
orang anggota keluarga itu memiliki keyakinan di dalam hukum
Kamma yang mendorong mereka untuk mempersembahkan nasi
itu kepadanya. Ia membawa mangkuk dan jubahnya dan berdiri di
depan pintu si orang kaya.
Orang kaya itu sangat gembira melihat Pacceka Buddha yang
datang ke depan pintu rumahnya untuk menerima dà na makanan.
Ia berpikir, “Pada masa lampau aku telah gagal memberi
persembahan kepada para penerima dà na, akibatnya aku harus
mengalami bencana ini. Jika aku memakan seporsi nasiku ini,
aku akan hidup selama satu hari. Jika aku mempersembahkannya
kepada Yang Mulia, hal itu akan memberi kesejahteraan
kepadaku selama jutaan siklus dunia.” Dengan pikiran demikian,
ia mengambil piring nasinya dan mendatangi Pacceka Buddha, dan
sesudah bersujud dengan lima titik sentuhan, ia mengundangnya
untuk masuk ke rumah. sesudah mempersilakan duduk, ia mencuci
kaki si Pacceka Buddha, dan mengeringkannya. lalu , sesudah
memberi tempat duduk yang tinggi berkaki emas, ia mengisi
mangkuk Pacceka Buddha dengan nasi.
Pacceka Buddha menutup mengkuknya saat piring si penyumbang
masih menyisakan setengah dari isinya semula. Tetapi penyumbang
itu berkata, “Yang Mulia, nasi ini hanya seperlima dari seperempat
takaran beras dan hanya cukup untuk satu orang untuk satu kali
makan. Tidak dapat dibagi untuk dua orang. Jangan memikirkan
3095
Riwayat Para Orang Kaya yang Kekayaannya Tidak Dapat Habis
kesejahteraanku dalam kehidupan ini, tetapi pikirkanlah
kesejahteraanku dalam kehidupanku berikutnya. Aku ingin
mempersembahkan seluruhnya kepada Yang Mulia.” lalu
ia bercita-cita, “Yang Mulia, dalam pengembaraanku di dalam
saÿsà ra semoga aku tidak pernah mengalami bencana kelaparan
seperti ini. Mulai saat ini, semoga aku menjadi sumber makanan
bagi seluruh warga Benua Selatan. Semoga aku tidak perlu
mengerahkan tenaga untuk mendapatkan makanan. Semoga 1.250
lumbung tempat penyimpanan padi milikku penuh dengan beras
merah berkualitas baik yang turun dari langit saat aku menatap ke
langit sewaktu duduk sesudah mencuci rambutku.
Dalam seluruh kehidupanku pada masa depan, semoga istriku
sekarang selalu menjadi istriku, putraku yang sekarang selalu
menjadi putraku, menantuku yang sekarang selalu menjadi
menantuku, dan pelayanku yang sekarang selalu menjadi
pelayanku.”
Keyakinan Anggota Keluarga Lainnya
Istri orang kaya itu berpikir, “Aku tidak dapat makan saat suamiku
kelaparan,” dan ia juga mempersembahkan bagiannya kepada
Pacceka Buddha. Ia mengucapkan keinginannya, “Yang Mulia,
semoga di dalam pengembaraanku di dalam saÿsà ra, aku tidak
pernah kelaparan. Semoga mangkuk nasiku tidak pernah berkurang
sebanyak apa pun diambil darinya oleh warga Benua Selatan,
sewaktu aku duduk membagikan nasi. Dalam seluruh kehidupanku
pada masa depan, semoga suamiku sekarang selalu menjadi suamiku,
putraku yang sekarang selalu menjadi putraku, menantuku yang
sekarang selalu menjadi menantuku, dan pelayanku yang sekarang
selalu menjadi pelayanku.”
Putra si orang kaya juga mempersembahkan bagiannya kepada
Pacceka Buddha, dan mengucapkan keinginannya, “Semoga di
dalam pengembaraanku di dalam saÿsà ra, aku tidak pernah
kelaparan. Semoga aku memiliki sekantung uang perak yang berisi
seribu keping yang dapat dibagikan kepada seluruh warga
Benua Selatan, dan semoga kantung itu selalu penuh. Dalam seluruh
3096
kehidupanku pada masa depan, semoga orangtuaku sekarang selalu
menjadi orang tuaku, istriku yang sekarang selalu menjadi istriku,
dan pelayan kami yang sekarang selalu menjadi pelayan kami.”
Menantu si orang kaya juga mempersembahkan bagiannya kepada
Pacceka Buddha, dan mengucapkan keinginannya, “Semoga di
dalam pengembaraanku di dalam saÿsà ra, aku tidak pernah
kelaparan. Semoga aku memiliki sekeranjang beras yang dapat
dibagikan kepada seluruh warga Benua Selatan, dan semoga
keranjang itu tidak pernah berkurang isinya. Dalam seluruh
kehidupanku pada masa depan, semoga mertuaku sekarang selalu
menjadi mertuaku, suamiku yang sekarang selalu menjadi suamiku,
dan pelayan kami yang sekarang selalu menjadi pelayan kami.”
Si pelayan Puõõa juga mempersembahkan bagiannya kepada
Pacceka Buddha dan mengucapkan keinginannya,
‘Semoga di dalam pengembaraanku di dalam saÿsà ra, aku tidak
pernah kelaparan. Dalam seluruh kehidupanku pada masa depan,
semoga seluruh anggota keluarga majikanku selalu menjadi
majikanku. saat aku membajak sawah, semoga muncul tiga
alur tambahan di sebelah kiri dan tiga alur tambahan di sebelah
kanan dari alur bajakan utama di tengah, dengan demikian aku
menyelesaikan pekerjaanku tujuh kali lebih cepat dalam menyiapkan
pembibitan untuk menanam empat keranjang benih.”
(Puõõa bisa saja berkeinginan untuk menjadi jenderal jika ia mau.
Namun ikatan pribadinya dengan keluarga si orang kaya begitu
kuat sehingga ia berkeinginan agar dalam seluruh kehidupannya
pada masa depan, majikannya sekarang tetap menjadi majikannya
pada masa depan.)
saat lima penyumbang itu telah mengucapkan keinginan mereka
masing-masing, Pacceka Buddha itu berkata,
“Semoga keinginan kalian cepat terkabul. Semoga semua cita-cita
kalian tercapai bagaikan bulan purnama.”
3097
Riwayat Para Orang Kaya yang Kekayaannya Tidak Dapat Habis
“Semoga keinginan kalian terkabul dalam segala aspek. Semoga
semua cita-cita kalian tercapai bagaikan permata pengabul
keinginan.”
sesudah mengungkapkan penghargaannya atas persembahan
itu, ia berkehendak agar para penyumbangnya melihat dirinya
dan tindakannya nanti, lalu ia terbang dan pergi menuju
Gunung Gandhamà dana, lalu membagikan dà na makanan
yang ia terima kepada lima ratus Pacceka Buddha. Nasi yang
semula disiapkan untuk dimakan oleh lima orang dibagikan dan
mengenyangkan lima ratus Pacceka Buddha itu, berkat kekuatan
batin si penerima pertama. Semua ini disaksikan oleh lima
penyumbang yang keyakinan dan pengabdian mereka semakin
bertambah.
Akibat yang Dialami Pada Hari yang Sama
Hal yang menakjubkan sekarang terjadi. Pada siang hari, istri si
orang kaya mencuci bersih panci masaknya dan menutupnya.
Si orang kaya yang sedang kelaparan jatuh tertidur. saat ia
terbangun pada malam hari, ia berkata kepada istrinya, “Istriku,
aku kelaparan. Coba lihat apakah engkau bisa mengorek sedikit
nasi dari panci itu.” Istrinya yakin bahwa tidak ada sebutir kecil
pun yang tersisa di pancinya sebab ia telah mencucinya. Tetapi
ia tidak mengatakannya. Ia berpikir bahwa ia akan membukanya
untuk memeriksanya terlebih dahulu sebelum melaporkan kepada
suaminya.
Saat ia membuka panci nasi itu, ia melihat nasi yang telah matang
bagaikan kuntum-kuntum melati memenuhi pancinya. Dengan
heran dan gembira ia tergopoh-gopoh melaporkan kejadian aneh itu
kepada suaminya, “Lihat, suamiku, aku telah mencuci bersih-bersih
panci ini dan menutupnya. Tetapi sekarang, panci ini penuh dengan
nasi yang seperti kuntum-kuntum melati. Kebajikan memang suatu
hal yang layak dilakukan! Memberi persembahan memang suatu hal
yang layak dilakukan! Sekarang, suamiku, bangun dan makanlah
sepuasnya.”
3098
Istri orang kaya itu pertama-tama melayani suami dan putranya.
lalu sesudah mereka selesai makan, ia dan menantunya makan.
lalu ia memberi kepada pelayan mereka Puõõa. Panci nasi
itu tidak pernah berkurang lebih dari satu sendok. Pada hari itu,
semua lumbung dan kendi-kendi terisi penuh oleh beras kembali.
Orang kaya itu mengumumkan kepada seluruh warga Bà rà õasã
bahwa rumahnya memiliki beras dan nasi yang cukup untuk semua
orang yang datang. Dan para warga datang dan memakannya
dengan gembira. warga Benua Selatan selamat dari bencana
kelaparan berkat si orang kaya.
Kehidupan Terakhirnya Sebagai Meõóaka Si Orang Kaya
sesudah meninggal dunia dari kehidupan itu, ia terlahir kembali di
alam dewa. Dan sejak saat itu ia mengembara hanya di alam dewa
dan alam manusia. Pada masa Buddha Gotama, ia terlahir kembali
dalam sebuah keluarga kaya di Bhaddiya. Ia menikah dengan putri
orang kaya lainnya.
Bagaimana Asal Mula Nama Meõóaka
Sebagai akibat dari perbuatan menyumbangkan patung-patung
kambing emas kepada Buddha Vipassã, di halaman belakang rumah
orang kaya itu yang luasnya kira-kira delapan karisa dipenuhi
dengan patung-patung emas berbentuk kambing yang muncul
dari dalam tanah. Mulut-mulut patung kambing itu dihiasi dengan
bola katun kecil berukuran sebesar kelereng dalam lima warna.
Dengan menyingkirkan hiasan ini dari mulut patung ini ,
seseorang dapat mengambil benda apa pun yang ia inginkan―kain
atau emas atau perak, dan sebagainya. Satu patung emas itu dapat
menghasilkan semua kebutuhan seluruh warga di Benua Selatan
seperti mentega, minyak, madu, gula merah, pakaian, emas, perak,
dan lain-lain. Sebagai pemilik dari patung kambing ajaib ini, orang
kaya itu dipanggil Meõóaka, “Pemilik Kambing Emas.”
Putra mereka yaitu putra dari kehidupan mereka sebelumnya.
(Putra itu yaitu Dhana¤jaya yang menjadi ayah Visà khà ). Menantu
mereka juga menantu dari kehidupan sebelumnya. (Istri Meõóaka
3099
Riwayat Para Orang Kaya yang Kekayaannya Tidak Dapat Habis
bernama Candapadumà , menantu, istri Dhana¤jaya, bernama
Sumanà devã, pelayan mereka bernama Puõna.)
(Sehubungan dengan Meõóaka, dari kehidupan rumah tangga
hingga pencapaian Pengetahuan Pemenang Arus, dapat dipelajari
dari kisah Siswi awam, Visà khà .)
Yang penting dicatat di sini yaitu bahwa Meõóaka, si Orang
Kaya, sesudah mencapai Pengetahuan Pemenang Arus sesudah
mendengarkan khotbah Buddha, memberitahukan kepada Buddha
tentang bagaimana ia dibujuk oleh para petapa yang menganut
kepercayaan lain, dan bagaimana mereka mencemooh Buddha.
Buddha berkata, “Orang Kaya, yaitu sifat manusia tidak dapat
melihat kesalahan sendiri namun menyebarkan kesalahan orang lain
bagaikan seorang yang menampi dedak.” Lebih jauh lagi, Buddha
mengucapkan syair berikut:
“Perumah tangga, yaitu mudah melihat kesalahan orang lain,
namun sulit melihat kesalahan sendiri. Bagaikan menampi dedak
dalam tiupan angin kencang, seseorang menyebarkan kesalahan
orang lain tetapi menyembunyikan kesalahan sendiri bagaikan
seekor burung yang bersembunyi.”
(Dhammapada, v.252)
Pada akhir khotbah ini banyak orang yang mencapai
Pencerahan dalam berbagai tingkat.
Demikianlah kisah Meõóaka.
(3) Jañila
Cita-cita Masa Lampau
Bakal Jañila yaitu seorang pandai emas pada masa kehidupan
Buddha Kassapa. sesudah Buddha meninggal dunia, sewaktu pagoda
tempat persemayaman relik Buddha sedang dibangun, seorang
Arahanta yang mengawasi pembangunan itu bertanya kepada para
3100
pekerja, “O sahabat, mengapa gerbang sebelah utara belum selesai?”
dan para pekerja menjawab, “Yang Mulia, kami kekurangan emas
untuk menyelesaikannya.”
“Aku akan pergi ke kota untuk mencari sumbangan. Sementara
itu kalian kerjakanlah semampu kalian.” Arahanta itu pergi ke
kota dan mencari para penyumbang emas dan menjelaskan bahwa
sumbangan mereka sangat diperlukan untuk menyelesaikan gerbang
utara pagoda besar yang sedang mereka bangun.
saat ia tiba di rumah pandai emas itu, kebetulan orang itu sedang
bertengkar dengan istrinya. Arahanta itu berkata kepada si pandai
emas,” Umat penyokong, pagoda besar yang sedang dibangun tidak
dapat selesai sebab kekurangan emas untuk pembangunan gerbang
utara. Baik sekali jika engkau menyumbangkan sedikit emas.” Orang
yang marah kepada istrinya itu berkata kepada Arahanta, “Pergilah
dan buang saja (patung) Buddhamu itu ke air!” Istrinya berkata
kepadanya, “Engkau melakukan kesalahan besar. Jika engkau
marah, engkau boleh memarahiku, atau memukulku jika engkau
suka. Mengapa engkau mencerca para Buddha pada masa lampau,
masa depan, dan masa sekarang?”
Si pandai emas itu segera menyadari kesalahannya dan semangat
religius muncul dalam dirinya, ia meminta maaf kepada Arahanta,
“Yang Mulia, maafkan kesalahanku.” Arahanta berkata, “Engkau
tidak melakukan kesalahan terhadapku. Engkau melakukan
kesalahan terhadap Buddha. Maka engkau harus menebusnya di
depan Buddha.”
“Bagaimana aku harus melakukannya, Yang Mulia?”
“Sediakan tiga ikat bunga emas, persembahkan di ruang relik di
pagoda besar, basahi pakaian dan rambutmu, dan mohon maaf atas
kesalahanmu.”
“Baiklah, Yang Mulia,” si pandai emas berkata dan mulai membuat
bunga-bunga emas. Ia memanggil putra tertuanya dan berkata
kepadanya, “Marilah, Anakku, aku telah mencerca Buddha dan
3101
Riwayat Para Orang Kaya yang Kekayaannya Tidak Dapat Habis
sebab nya aku harus menebusnya dengan tiga ikat bunga emas yang
akan dipersembahkan di ruang relik di pagoda besar. Aku ingin
engkau membantuku dalam perbuatan baik ini.” Putra tertuanya
menjawab, “Aku tidak menyuruhmu untuk mencerca Buddha.
Engkau melakukannya atas kemauanmu sendiri. Jadi engkau,
kerjakanlah sendiri.” Si pandai emas lalu memanggil anak
keduanya dan memohon bantuan. Anak keduanya juga memberi
jawaban yang sama seperti kakaknya. Si pandai emas lalu
memanggil putra bungsunya dan meminta bantuan. Si bungsu
menjawab, “Pekerjaan apa pun yang harus engkau kerjakan, yaitu
kewajibanku untuk membantu.” Dan demikianlah ia membantu
ayahnya dalam membuat bunga-bunga emas itu.
Si pandai emas membuat tiga pot bunga emas setinggi setengah lengan,
memasukkan bunga-bunga emas itu, dan mempersembahkannya
di ruang relik di dalam pagoda besar. lalu (seperti yang
dinasihatkan oleh Arahanta,) ia membasahi pakaian dan rambutnya,
dan meminta maaf atas kesalahannya. (Demikianlah bagaimana
bakal Jañila melakukan kebajikan.)
Kehidupan Terakhir Sebagai Jañila, Si Orang Kaya
sebab ucapan kasarnya mengenai Buddha, si pandai emas itu
hanyut di sungai sebanyak tujuh kali kelahiran. Dalam kehidupan
terakhirnya, pada masa kehidupan Buddha Gotama, ia dilahirkan
oleh putri seorang kaya di Bà rà õasã dalam kondisi yang tidak biasa.
Putri orang kaya itu sangat cantik. saat berusia lima belas atau
enam belas tahun, orangtuanya menempatkannya di lantai tujuh
rumah mereka bersama seorang pelayan. Mereka hidup terasing
dalam sebuah kamar sendiri. Suatu hari gadis itu melihat melalui
jendela, seseorang yang memiliki kesaktian, Vijjà dhara, berjalan
melalui angkasa dan kebetulan melihatnya. Orang itu jatuh cinta
kepadanya dan masuk melalui jendela. Keduanya saling jatuh
cinta.
Gadis itu hamil sebab orang itu. Pelayannya bertanya bagaimana ia
bisa hamil. Ia mengakui hubungan rahasianya tetapi melarangnya
untuk memberitahukan kepada orang lain. Pelayan itu tidak
3102
berani mengungkapkan rahasia itu kepada orang lain. Pada bulan
kesepuluh kehamilannya, ia melahirkan seorang bayi laki-laki. Ibu
muda itu memasukkan bayinya ke dalam sebuah kendi yang terbuat
dari tanah, menutupnya dan meletakkan bunga-bunga di atasnya.
Ia lalu meminta pelayannya membawanya di atas kepalanya
dan menghanyutkannya di Sungai Gaïgà . Jika ada orang yang
menanyakan apa yang ia lakukan, pelayan itu harus menjawab
bahwa ia memberi persembahan atas nama majikannya. Rencana
itu dilakukan dengan sukses.
Pada waktu itu, dua perempuan sedang mandi di hilir dan melihat
sebuah kendi yang hanyut. Salah satu dari mereka berkata, “Kendi
itu milikku!” yang lainnya berkata, “Isi kendi itu milikku!” mereka
mengambil kendi itu dari dalam air, meletakkannya di tanah yang
kering dan membukanya. Melihat bayi itu, perempuan pertama
yang berkata bahwa kendi itu yaitu miliknya menuntut anak
itu sebagai anaknya. Perempuan kedua yang berkata bahwa isi
kendi itu yaitu miliknya juga menuntut itu sebagai anaknya.
Mereka membawa perselisihan itu ke pengadilan kerajaan yang
tidak mampu memberi keputusan. Mereka membawa kasus
itu kepada raja yang memutuskan bahwa anak itu yaitu milik
perempuan kedua.
Perempuan yang memenangkan kasus itu atas bayi itu yaitu seorang
umat penyokong Yang Mulia Mahà kaccà yana. Ia membesarkan anak
itu dengan rencana untuk menyerahkannya kepada Yang Mulia
Mahà kaccà yana untuk ditahbiskan sebagai sà maõera. sebab bayi
itu sejak lahir tidak pernah dimandikan, rambutnya kusut dan
bercampur dengan benda-benda kotor dari rahim ibunya dan sebab
itu ia diberi nama Jañila, ‘Rambut kusut’.
saat Jañila sudah dalam usia kanak-kanak, Yang Mulia
Mahà kaccà ya datang ke rumah perempuan itu untuk menerima
dà na makanan. Perempuan itu mempersembahkan makanan kepada
Yang Mulia Mahà kaccà yana yang melihat anak itu dan bertanya,
“Umat penyokong, apakah anak ini anakmu?” dan perempuan itu
menjawab, “Ya, Yang Mulia, aku berniat untuk menyerahkannya
kepadamu untuk ditahbiskan dalam Saÿgha. Sudilah Yang Mulia
3103
Riwayat Para Orang Kaya yang Kekayaannya Tidak Dapat Habis
menahbiskannya menjadi seorang sà maõera.”
Yang Mulia Mahà Kaccà yana berkata, “Baiklah,” dan membawa
anak itu bersamanya. Ia memeriksa jalan hidup anak itu dan
melihat melalui mata-batinnya bahwa anak itu memiliki jasa masa
lampau yang besar dan mampu untuk menikmati status yang
tinggi dalam kehidupannya sekarang. Mempertimbangkan usianya
yang masih sangat muda, ia berpikir bahwa anak itu masih terlalu
muda untuk ditahbiskan dan indrianya juga belum cukup matang.
Maka ia membawa anak itu ke rumah seorang umat penyokong di
Takkasilà .
Umat penyokong itu sesudah bersujud kepada Yang Mulia Kaccà yana,
bertanya, “Yang Mulia, apakah anak ini anakmu?” dan Yang
Mulia menjawab, “Ya, umat penyokong. Ia akan menjadi seorang
bhikkhu. Tetapi ia masih terlalu muda. Izinkan ia tinggal di bawah
asuhanmu.” Umat penyokong itu menjawab, “Baiklah, Yang Mulia,”
dan ia mengangkat anak itu menjadi anaknya.
Orang itu yaitu seorang pedagang. Kebetulan ia memiliki banyak
barang dagangan yang tidak laku dijual selama dua belas tahun.
Suatu hari saat ia akan melakukan perjalanan, ia mempercayakan
barang-barang dagangan yang tidak laku itu kepada anak itu dengan
pesan agar menjualnya dengan harga tertentu.
Jañila Dapat Menjual Barang-barang yang Tidak Laku Selama
Dua Belas Tahun Dalam Satu Hari
Pada hari itu Jañila bertanggung jawab atas toko itu, para dewa
penjaga kota itu mengerahkan kesaktian mereka mempengaruhi
para warga kota agar mendatangi toko Jañila untuk membeli
apa yang mereka butuhkan. Bahkan untuk barang-barang sepele
seperti bumbu masak. Ia berhasil menjual semua barang-barang
yang tidak laku selama dua belas tahun itu dalam satu hari. saat
si pedagang pulang dan melihat barang-barang yang tidak laku itu
sudah tidak ada, ia bertanya kepada anak itu, “Anakku, apakah
engkau membuang barang-barang itu?” Jañila menjawab, “Tdak,
aku tidak membuangnya. Aku telah menjualnya dengan harga yang
3104
telah engkau tentukan. Ini catatannya dan ini uangnya.” Ayah angkat
itu sangat gembira. “Anak ini akan menjadi orang yang sukses.”
Demikianlah pedagang itu merenungkan. lalu , ia menikahkan
putrinya yang telah dewasa dengan Jañila. lalu , ia membangun
sebuah rumah besar untuk pasangan itu. saat pembangunan
rumah itu selesai, ia menyerahkannya kepada pasangan itu sebagai
tempat tinggal.
Jañila, Pemilik Bukit Emas
saat Jañila menempati rumah itu, segera sesudah ia menginjakkan
kakinya di ambang pintu, sebuah bukit emas setinggi delapan puluh
lengan muncul dari dalam tanah di belakang rumahnya. Mengetahui
berita keberuntungan Jañila, raja menganugerahkan gelar ”Orang
Kaya” kepada Jañila, mengirimkan kepadanya payung putih dan
perlengkapan kantor bendaharawan. Sejak saat itu, Jañila dikenal
sebagai Jañila, Si Orang Kaya.
JÃ tila Mencari Penggantinya di Seluruh Benua Selatan
Jañila memiliki tiga anak. saat mereka telah dewasa, ia sangat
berkeinginan untuk menjadi seorang bhikkhu. Tetapi ia memiliki
tanggung jawab sebagai orang kaya kerajaan. Jika di Benua Selatan
ini terdapat orang kaya lain yang memiliki kekayaan yang sama
dengannya, maka ia akan dibebaskan oleh raja sehingga ia dapat
bergabung dalam Saÿgha. Tetapi kalau tidak, ia tidak mungkin
diizinkan untuk menjadi bhikkhu. Ia membuat bata emas, tongkat
emas, dan sepasang sandal emas yang ia percayakan kepada orang-
orangnya dengan pesan, “Orang-orangku, pergilah ke seluruh Benua
Selatan dengan membawa benda-benda ini dan carilah informasi
tentang ada atau tidak ada orang kaya yang memiliki kekayaan
setara denganku.”
Orang-orang Jañila berkeliling ke seluruh negeri dan tiba di Kota
Bhaddiya dan bertemu dengan Meõóaka si orang kaya yang bertanya
kepada mereka, “O sahabat, apakah urusan kalian datang ke tempat
ini?”
3105
Riwayat Para Orang Kaya yang Kekayaannya Tidak Dapat Habis
“Kami datang untuk mencari sesuatu,” kata orang-orang Jañila.
Meõóaka, melihat bata emas, tongkat emas, dan sepasang sandal
emas yang dibawa oleh orang-orang itu, menebak dengan benar
bahwa orang-orang itu sedang menyelidiki kekayaan negeri itu.
Maka ia berkata kepada mereka, “O sahabat, datanglah ke belakang
rumahku.”
Di belakang rumah Meõóaka, orang-orang itu melihat tanah seluas
kira-kira empat belas are (8 karisa) yang penuh dengan patung-
patung kambing emas berukuran sebesar sapi atau kuda atau gajah.
sesudah memeriksa semua patung-patung emas ini , mereka
keluar dari halaman belakang Meõóaka. “Apakah kalian telah
menemukan apa yang kalian cari?” tanya Meõóaka, dan mereka
menjawab, “Ya, orang kaya, kami sudah menemukannya.” “Kalau
begitu, silakan kalian pergi.” Meõóaka berkata.
Orang-orang Jañila kembali ke kota mereka dan melaporkan kepada
majikan mereka tentang kekayaan Meõóaka dari Bhaddiya. “Orang
kaya, apa artinya kekayaanmu dibandingkan dengan kekayaan
Meõóaka?” Mereka berkata kepada Jañila dan menggambarkan
dengan jelas apa yang telah mereka lihat di halaman belakang
rumah Meõóaka. Jañila gembira mendengar temuan itu. “Kami telah
menemukan satu orang kaya lain. Mungkin masih ada orang kaya
lain lagi,” ia berpikir. Kali ini ia menyerahkan sehelai kain beludru
senilai seratus ribu keping uang dan mengutus orang-orangnya
pergi mencari orang kaya lainnya.
Orang-orang itu pergi ke RÃ jagaha dan menetap di suatu
tempat yang terletak tidak jauh dari istana besar Jotika. Mereka
mengumpulkan kayu bakar dan hendak menyalakan api saat
mereka ditanya oleh warga apa yang akan mereka lakukan
dengan api. Mereka menjawab, “Kami memiliki sehelai kain beludru
yang mahal untuk dijual. Kami tidak dapat menemukan pembeli
yang mampu membelinya. Kami akan kembali ke kota kami. Kain
ini akan mengundang perampok dalam perjalanan kami. Kami
akan membakarnya.” Tentu saja kata-kata ini diucapkan untuk
mengetahui kemampuan para warga itu.
3106
Jotika memerhatikan orang-orang itu dan sesudah mengetahui cerita
mereka, ia memanggil mereka dan bertanya, “Berapa harga kain
kalian?” Mereka menjawab, “Orang kaya, harganya seratus ribu.”
Jotika memerintahkan orangnya untuk membayarkan harga seratus
ribu itu kepada penjual dan berkata kepada mereka, “O sahabat,
berikan ini kepada pelayanku yang berada di pintu gerbang,” dan
mempercayakan selimut itu kepada mereka.
Si pelayan mendatangi Jotika sambil mengomel (di depan orang-
orang Jañila), “O orang kaya, bagaimana ini? Jika aku bersalah engkau
boleh menghukumku dengan memukulku. Tetapi memberi
sehelai kain kasar ini kepadaku sungguh keterlaluan. Bagaimana aku
dapat memakai nya?” Jotika berkata kepadanya, “Anakku, aku
tidak memberi nya kepadamu untuk dikenakan. Aku bermaksud
memberi nya sebagai keset kaki. Engkau dapat melipatnya di
bawah tempat tidur dan saat engkau hendak tidur, engkau dapat
memakai nya untuk mengeringkan kaki sesudah mencucinya
di air harum.”
“Kalau begitu, aku menerimanya,” kata si pelayan.
Orang-orang Joñila melaporkan apa yang mereka alami di
RÃ jagaha kepada majikan mereka, “O orang kaya, apa artinya
kekayaanmu dibandingkan dengan kekayaan Jotika?” dan mereka
menggambarkan kemegahan istana Jotika, kekayaannya dan kata-
kata pelayannya tentang kain beludru itu.
Jañila Menguji Jasa Masa Lampau Ketiga Anaknya
Jañila gembira mengetahui adanya dua orang kaya lain di negeri itu.
“Sekarang aku akan mendapatkan izin dari raja untuk bergabung
dalam Saÿgha,” ia berpikir dan pergi menghadap raja.
(Komentar tidak menyebutkan nama raja. Tetapi, dalam Komentar
Dhammapada, dalam kisah Visà kha, disebutkan bahwa, “Penting
untuk diketahui bahwa dalam wilayah kekuasaan Raja Bimbisà ra,
terdapat lima orang kaya yang memiliki kekayaan yang tidak bisa
habis, yaitu, Jotika, Jañila, Meõóaka, Puõõaka dan Kà ëavaëiya,” sebab
3107
Riwayat Para Orang Kaya yang Kekayaannya Tidak Dapat Habis
itu raja di sini yaitu Raja Bimbisà ra.)
Raja berkata kepada Jañila, “Baiklah, orang kaya, engkau boleh
pergi menjalani kebhikkhuan.” Jañila pulang, memanggil ketiga
putranya, dan menyerahkan kapak yang terbuat dari berlian dengan
gagang emas, berkata kepada anak sulung, “Anakku, pergi dan
ambilkan sebongkah emas dari bukit emas di belakang rumah kita.”
Putra sulung itu mengambil kapak itu dan menggali bukit emas
itu. Ia merasa seperti memukul batu yang keras. Jañila lalu
mengambil kapak itu dan menyerahkannya kepada anak kedua
untuk mencobanya, dan ia mengalami hal yang sama.
saat si putra bungsu menerima kapak itu, ia merasa seolah-
olah bukit emas itu yaitu gundukan tanah liat yang lunak. Emas
bertebaran berlapis-lapis saat ia mengayunkan kapaknya dengan
mudah. Jañila berkata kepada putra bungsunya, “Cukup, Anakku.”
lalu ia berkata kepada dua putranya yang lebih tua, “Putraku,
bukit emas ini tidak muncul sebab jasa masa lampau kalian, tetapi
akibat dari jasa masa lampauku dan adik bungsu kalian. Oleh sebab
itu, bersatulah dengan adik bungsu kalian dan nikmati kekayaan
dengan damai bersama-sama.”
(Harus diingat bahwa pada kehidupan lampau Jañila sebagai
seorang pandai emas. Pada kehidupan itu ia marah kepada seorang
Arahanta, “Pergi dan buang saja (patung) Buddhamu itu ke air!”
atas ucapan jahat itu, ia hanyut sebanyak tujuh kali dalam tujuh
kehidupan berturut-turut. Dalam kehidupan terakhirnya ini juga
ia menemui nasib yang sama.
saat si pandai emas sedang membuat tiga bunga emas untuk
dipersembahkan di altar pagoda Buddha Kassapa sebagai penebusan
atas ucapan jahatnya itu, hanya putra bungsunya yang membantunya
dalam pekerjaan itu. Sebagai akibat dari perbuatan baik itu, hanya
ayah Jañila dan putra bungsunya yang mendapatkan manfaat dari
kemunculan Bukit Emas itu.)
sesudah menasihati putra-putranya, Jañila si orang kaya menghadap
Buddha dan menjadi seorang bhikkhu. Dengan penuh ketekunan
3108
menjalani praktik kebhikkhuan, ia akhirnya mencapai Kearahattaan
dalam dua atau tiga hari.
Pada lalu hari, Buddha pergi mengumpulkan dà na makanan
bersama lima ratus bhikkhu dan tiba di rumah tiga putra Jañila.
Putra-putra Jañila itu memberi persembahan kepada Buddha
dan Saÿgha selama lima belas hari.
Pada suatu pertemuan para bhikkhu di Dhammasala, para bhikkhu
bertanya kepada Bhikkhu Jañila, “Teman Jañila, apakah engkau
sekarang masih memiliki kemelekatan terhadap bukit emas setinggi
delapan puluh lengan dan tiga putramu?”
Bhikkhu Jañila, Arahanta, menjawab, “Teman, aku tidak memiliki
kemelekatan terhadap bukit emas dan tiga putraku.”
Para bhikkhu berkata, “Bhikkhu Jañila ini berbohong mengaku telah
mencapai kesucian Arahatta.” saat Buddha mendengar tuduhan
para bhikkhu ini , Beliau berkata, “Para bhikkhu, tidak ada
kemelekatan apa pun dalam batin Bhikkhu Jañila terhadap Bukit
Emas dan putra-putranya.” lalu Buddha mengucapkan syair
berikut:
“Ia yang di dunia ini telah melepaskan kemelekatan (yang muncul
di enam pintu indria) dan telah meninggalkan kehidupan rumah
tangga menjadi seorang bhikkhu, yang telah memadamkan
kemelekatan terhadap kelahiran, dan telah mengakhiri segala
bentuk kelahiran, ia Kusebut seorang brà hmana (seorang yang telah
menjauhkan diri dari segala kejahatan.)”
(Dhammapada, v.416)
Pada akhir khotbah ini banyak orang yang mencapai
Pengetahuan Jalan seperti Sotà patti-Phala.
(Kisah ini dikutip dari Komentar Dhammapada, Vol. 2)
Demikianlah kisah Jañila
3109
Riwayat Para Orang Kaya yang Kekayaannya Tidak Dapat Habis
(4) Kà ëavaëiya
Kisah singkat Kà ëavaëiya si orang kaya terdapat dalam Komentar
Uparipaõõà sa yang dikutipkan sebagai berikut.
Pada masa Buddha Gotama hiduplah di RÃ jagaha seorang miskin
bernama Kà ëavaëiya. Suatu hari istrinya memasak bubur asam
yang dicampur dengan sayur-sayuran, (sebab nasi yaitu di luar
kemampuan mereka). Pada hari itu, Yang Mulia Mahà Kassapa,
sesudah bangun dari pencapaian Penghentian, memeriksa dunia
ini dengan merenungkan siapa yang akan ia beri berkah. Ia melihat
Kà ëavaëiya dalam pandangan batinnya dan pergi ke rumahnya untuk
menerima dà na makanan.
Istri Kà ëavaëiya mengambil mangkuk Yang Mulia Mahà Kassapa
dan menuangkan semua masakannya ke dalam mangkuk itu. Ia
mempersembahkan makanan sederhana itu yang berupa bubur
asam dicampur sayur-sayuran kepada Yang Mulia Mahà Kassapa
tanpa menyisakan sedikit pun untuk mereka―sebuah persembahan
dengan mengorbankan diri sendiri, niravasesa dà na. Yang Mulia
Mahà Kassapa kembali ke vihà ra dan mempersembahkan bubur
itu kepada Buddha. Buddha mengambil sedikit yang mencukupi
kebutuhan-Nya dan memberi sisanya, yang masih cukup
banyak, kepada lima ratus bhikkhu. Kà lavaëiya kebetulan sedang
berada di vihà ra Buddha untuk mengemis makanan sisa.
Yang Mulia Mahà Kassapa bertanya kepada Buddha manfaat
apakah yang akan diperoleh keluarga Kà ëavaëiya sehubungan
dengan keberaniannya mempersembahkan semua makanan mereka.
Dan Buddha berkata, “Tujuh hari dari sekarang, Kà ëavaëiya akan
menerima payung putih orang kaya, ia akan dianugerahi gelar orang
kaya oleh raja.” Kà ëavaëiya mendengar kata-kata Buddha itu dan
bergegas pulang untuk memberitahukan hal itu kepada istrinya.
Pada saat itu Raja Bimbisà ra sedang melakukan patroli, dan
melihat seorang penjahat yang berada di tiang pancungan di luar
kota. Orang itu tidak takut dan berkata kepada raja dengan suara
lantang, “Tuanku, aku mohon agar makanan yang dipersiapkan
3110
untuk Tuanku diberikan kepadaku.” Raja menjawab, “Ah, ya, akan
kulakukan.” Saat makan malam, ia teringat janjinya kepada penjahat
itu dan memerintahkan pejabatnya yang sedang bertugas untuk
mengutus seseorang mengirim makanan untuk penjahat yang akan
dihukum pancung itu di luar kota.
Daerah luar Kota RÃ jagaha dikuasai oleh para siluman sehingga
sangat sedikit orang yang berani pergi ke luar kota pada malam
hari. Pejabat itu pergi berkeliling kota menawarkan seribu keping
uang kepada siapa yang berani mengantarkan makan malam raja
kepada seorang penjahat yang sedang berada di tiang gantungan
di luar kota. Tidak seorang pun yang berani menerima tawaran
itu pada pengumuman pertama (dengan tabuhan genderang);
dan pengumuman kedua juga tidak membawa hasil. Tetapi pada
pengumuman ketiga, istri Kà ëavaëiya menerima tawaran seribu
keping uang ini .
Ia dibawa menghadap raja sebagai orang yang akan melakukan tugas
ini . Ia menyamar menjadi seorang laki-laki dan membawa
lima jenis senjata. Sewaktu ia dengan berani berjalan keluar kota
membawa makanan raja, ia ditegur oleh Dãghatà la, siluman penjaga
sebatang pohon kelapa yang berkata, “Berhenti di situ! Berhenti,
engkau sekarang yaitu makananku.” Tetapi istri Kà ëavaëiya tidak
takut dan berkata, “Aku bukan makananmu. Aku yaitu utusan
raja.”
“Ke mana engkau hendak pergi?”
“Aku pergi ke tempat penjahat yang segera akan dihukum
pancung.”
“Dapatkan engkau menyampaikan pesanku?”
“Ya, bisa.”
“Kalau begitu, teriakkanlah sepanjang perjalananmu, ‘Kà ëã, putri
Sumana, pemimpin para dewa, istri Dãghatà la, telah melahirkan
putranya!’ ada tujuh kendi emas di akar pohon kelapa ini. Ambillah
3111
Riwayat Para Orang Kaya yang Kekayaannya Tidak Dapat Habis
untukmu.”
Perempuan berani itu melanjutkan perjalanannya sambil
meneriakkan pesan, “Kà ëã, putri Sumana, pemimpin para dewa,
istri Dãghatà la, telah melahirkan putranya!” Sumana, pemimpin
para dewa mendengar teriakannya sewaktu sedang mengadakan
rapat dengan para dewa dan berkata kepada pembantunya, “Ada
manusia yang membawa berita gembira. Bawa dia ke sini.” Dan ia
dibawa ke hadapan Sumana yang berterima kasih kepadanya dan
berkata, “Ada banyak kendi emas di sekeliling pohon besar itu, aku
memberi semuanya untukmu.”
Ia pergi ke tempat penjahat itu yang harus ia suapi. sesudah makan
dan saat mulutnya dibersihkan oleh si perempuan, ia merasakan
sentuhan halus seorang perempuan dan mengigit rambutnya tidak
membiarkannya pergi. Perempuan berani itu, mempunyai akal.
Ia memotong rambutnya dengan pedangnya dan membebaskan
dirinya.
Ia melaporkan kepada raja bahwa ia telah melakukan tugasnya.
”Apakah buktinya bahwa engkau sungguh telah memberi makan
orang itu?” Raja bertanya. “Rambutku di mulut penjahat itu
yaitu buktinya. Tetapi aku masih mempunyai bukti yang lain”
jawab istri Kà ëavaëiya dan menceritakan tentang pertemuannya
dengan Dãghatà la dan Sumana. Raja memerintahkan penggalian
emas-emas ini . Semuanya ditemukan. Pasangan Kà ëavaëiya
mendadak menjadi sangat kaya. “Apakah ada orang lain yang
sekaya Kà ëavaëiya?” tanya raja. Para menteri menjawab, “Tidak ada,
Tuanku.” Maka raja mengangkatnya sebagai Bendaharawan Sà vatthã
dan memberi semua perlengkapannya, dan kantor.
Demikianlah kisah Kà ëavaëiya.
3112
3113
1
54
1
Definisi Pà ramã
Sepuluh kebajikan yaitu, Dà na (kedermawanan), Sãla (moralitas),
dan seterusnya disebut Pà ramã, Kesempurnaan.
Seorang Bodhisatta (Bakal Buddha), yang memiliki sepuluh
kebajikan ini yaitu, Dà na, Sãla, dan seterusnya dikenal sebagai
Parama atau seseorang yang luar biasa. Oleh sebab itu, etimologi
dari Pà ramã yaitu Paramà naÿ Bhà vo (sifat dari seseorang yang
luar biasa), yang diturunkan dari dua hal: pengetahuan dari mereka
melihat dan mengetahui hal-hal sebagaimana adanya dan kata-kata
dari mereka yang melihat dan mengetahui hal-hal sebagaimana
adanya. Etimologi lainnya yaitu Paramà naÿ kammaÿ (perbuatan-
perbuatan dari seseorang yang luar biasa); dengan demikian
perbuatan mereka dalam bentuk Dà na, Sãla, dan seterusnya disebut
Pà ramã.
Urutan dari Sepuluh Kesempurnaan yaitu seperti yang terdapat
dalam syair berikut:
Dà naÿ Sãla¤ ca Nekkhammaÿ
Pa¤¤Ã Viriyena pa¤camaÿ
Khanti Saccaÿ Adhiññhà naÿ
Mett’ Upekkhà ti te dasa
3114
Kedermawanan, Moralitas, Melepaskan keduniawian,
Kebijaksanaan, Usaha sebagai yang kelima,
Kesabaran, Kejujuran, Tekad,
Cinta Kasih, dan Ketenangseimbangan;
Seluruhnya menjadi sepuluh (Kesempurnaan).
(Tiap-tiap Kesempurnaan terdiri dari tiga kelompok, yaitu, Pà ramã
(Kesempurnaan biasa), Upa-Pà ramã (Kesempurnaan lebih tinggi)
dan Paramattha-Pà ramã (Kesempurnaan tertinggi), (misalnya, Dà na
terdiri dari tiga kelompok: (1) Dà na-Pà ramã (Kesempurnaan biasa
dari berdana), (2) Dà na-Upa-Pà ramã (Kesempurnaan lebih tinggi
dari berdana) dan (3) Dà na-Paramattha Pà ramã (Kesempurnaan
tertinggi dari berdana). Demikian pula dengan Sãla dan semua
Kesempurnaan lainnya.) Dengan demikian, seluruhnya terdapat
Tiga Puluh Kesempurnaan.
Perbedaan antara Pà ramã, Upa-Pà ramã, dan Paramattha-Pà ramã
Sehubungan dengan tiga kelompok ini, (1) harta benda seperti
emas, perak dan lain-lain, anggota keluarga seperti anak dan istri,
(2) bagian-bagian tubuh besar maupun kecil seperti tangan dan
kaki, dan lain-lain dan (3) kehidupan, haruslah dimengerti terlebih
dahulu. Dalam hal DÃ na, (1) memberi harta benda yaitu DÃ na-
Pà ramã, (2) memberi bagian-bagian tubuh besar maupun kecil
yaitu Dà na-Upa-Pà ramã dan (3) memberi kehidupan yaitu
Dà na-Paramattha-Pà ramã.
Demikian pula (1) mematuhi moralitas dengan mengorbankan
harta benda, (2) mematuhi moralitas dengan mengorbankan bagian-
bagian tubuh besar maupun kecil dan (3) mematuhi moralitas
dengan mengorbankan kehidupan, harus dipahami sebagai Sãla-
Pà ramã, Sãla-Upa-Pà ramã dan Sãla-Paramattha-Pà ramã. Demikian
pula delapan Kesempurnaan lainnya, berlaku cara pengelompokan
yang sama.
Pandangan yang berbeda oleh beberapa komentator dapat dilihat
dalam penjelasan dari kata ‘ko vibhago’ dalam Pakiõõaka KathÃ
3115
1
dari Komentar Cariyà Piñaka.
Adhimuttimaraõa
Meninggal dunia secara sukarela sebab kehendak sendiri disebut
Adhimuttimaraõa. Yaitu, kematian yang terjadi segera sesudah
seseorang berkehendak, “Semoga aku mati.” Kematian seperti ini
hanya terjadi pada para Bakal Buddha, tidak terjadi pada makhluk
lain.
saat seorang Bakal Buddha terlahir kembali, di alam dewa
atau di alam brahmà di mana umur kehidupan di sana sangatlah
panjang, ia menyadari fakta bahwa, dengan hidup di alam surga,
ia tidak memiliki kesempatan untuk memenuhi Kesempurnaan,
melakukan pengorbanan dan melatih diri, dan merasakan bahwa
kehidupan yang panjang di alam surga sangatlah membosankan.
lalu sesudah memasuki istananya, ia menutup matanya dan
segera bertekad, “Semoga kehidupanku berakhir,” lalu ia
akan segera meninggal dunia dari alam surga. Sebenarnya tekadnya
itu terwujud sebagian sebab ia memiliki kemelekatan yang sangat
kecil terhadap tubuhnya, sebab ia mengkondisikan kelanjutan
dari tubuhnya dengan mencapai pengetahuan yang lebih tinggi
dan sebagian lagi sebab tekadnya didasarkan atas welas asihnya
kepada makhluk-makhluk sangatlah besar dan murni.
sebab ia mengendalikan pikiran, perbuatannya juga terkendali; oleh
sebab itu, saat ia mati dengan sukarela, ia akan terlahir kembali
di alam manusia sebagai seorang pangeran, seorang brahmana,
dan lain-lain, sehingga ia dapat memenuhi Kesempurnaan yang
ia inginkan. Itulah sebabnya mengapa Bakal Buddha Gotama kita
dalam banyak kehidupannya di alam brahmà tanpa jatuh dari Jhà na,
ia hidup hanya dalam waktu yang singkat di alam brahmà ini
dan lalu mati dengan sukarela lalu terlahir kembali di
alam manusia dan membangun dasar bagi Kesempurnaan.
Kappa
Lamanya satu kappa tidak dapat dihitung dalam satuan tahun.
3116
Misalnya ada sebuah lumbung yang panjang, lebar dan tingginya
masing-masing satu yojanà , dan berisi penuh dengan biji mostar
yang kecil-kecil. Anda membuang sebutir biji ini satu kali
dalam satu abad; semua biji itu akhirnya akan habis dibuang, namun
periode yang disebut kappa itu mungkin masih belum berakhir.
(Dari sini, disimpulkan bahwa kappa yaitu suatu masa yang yang
sangat lama sekali.)
Pembagian Kappa
Kappa terdiri dari enam bagian: (1) mahà kappa, (2) asaïkhyeyya
kappa, (3) antara kappa, (4) à yu kappa, (5) hà yana kappa, dan (6)
vaddhana kappa.
Satu mahà kappa terdiri dari empat asaïkhyeyya kappa, yaitu (1)
kappa dalam proses penghancuran, (saÿvañña kappa), (2) kappa
dalam saat proses penghancuran berlangsung (saÿvaññaññhà yã
kappa), (3) kappa dalam proses pembentukan (vivañña kappa),
dan (4) kappa saat proses pembentukan berlangsung (vivaññaññhà yã
kappa). (Dengan kata lain, empat asaïkhyeyya kappa ini disebut,
saÿvuñña asaïkhyeyya kappa, saÿvaññaññhà yã asaïkhyeyya kappa,
vivañña asaïkhyeyya kappa, dan vivaññaññhà yã asaïkhyeyya kappa
membentuk satu mahà kappa).
Dari empat asaïkhyeyya kappa ini, saÿvañña kappa yaitu periode
yang dimulai sejak turunnya hujan yang luar biasa deras yang
menandai hancurnya kappa hingga padamnya api jika kappa itu
hancur oleh unsur api; atau hingga surutnya banjir jika kappa itu
hancur oleh unsur air; atau hingga redanya angin badai jika kappa
itu hancur oleh unsur angin.
Saÿvaññaññhà yã kappa yaitu periode yang dimulai sejak saat:
hancurnya alam semesta oleh unsur api, air atau angin hingga
turunnya hujan deras yang menandai terbentuknya alam semesta.
Vivañña kappa yaitu periode yang dimulai sejak turunnya hujan
yang luar biasa deras yang menandai pembentukan semesta baru
hingga terbentuknya matahari, bulan, bintang-bintang, dan planet-
3117
1
planet.
Vivaññà ññhà yã kappa yaitu periode yang dimulai sejak munculnya
matahari, bulan, bintang-bintang, dan planet-planet hingga
turunnya hujan deras yang menandai dimulainya penghancuran
alam semesta.
Jadi, ada dua jenis kappa di mana hujan turun dengan luar biasa
deras: Pertama, hujan deras di seluruh alam semesta yang akan
hancur. lalu dengan memanfaatkan hujan ini, umat manusia
mulai bekerja. saat tanaman-tanaman tumbuh cukup besar
sebagai makanan bagi anak-anak sapi, hujan mulai berhenti. Ini
yaitu hujan yang menandai dimulainya penghancuran kappa.
Jenis lainnya yaitu , hujan deras yang turun jika kappa itu akan
hancur oleh unsur air. Ini bukanlah hujan biasa, tetapi jenis hujan
yang luar biasa, sebab memiliki kekuatan yang bahkan dapat
menghancurkan gunung karang menjadi debu.
(Penjelasan terperinci mengenai penghancuran suatu kappa oleh
unsur api, air, dan udara terdapat dalam bab Pubbenivà sà nussati
Abhi¤¤Ã dari Visuddhimagga.) Empat asaïkhyeyya kappa di atas
memiliki rentang waktu yang sama lamanya. Yang tidak dapat
dihitung dalam satuan tahun. Itulah sebabnya disebut asaïkhyeyya
kappa (kappa yang tidak terhitung lamanya).
Empat asaïkhyeyya kappa ini membentuk satu mahà kappa.
Antara Kappa
Pada awal dari vivaññaññhà yã asaïkhyeyya kappa (awal dari
terbentuknya alam semesta) umat manusia hidup selama waktu yang
tidak terhitung lamanya (asaïkhyeyya). Seiring berjalannya waktu,
mereka dikuasai oleh kotoran batin seperti lobha (keserakahan), dosa
(kebencian), dan lain-lain dan sebagai akibatnya umur kehidupan
mereka perlahan-lahan menurun hingga mencapai hanya sepuluh
tahun. Periode penurunan umur kehidupan ini disebut hà yana
kappa.
3118
Sebaliknya, sebab meningkatnya kondisi-kondisi yang luhur dari
batin seperti mettà (cinta kasih), dan lain-lain, umur kehidupan
manusia generasi berikutnya setahap demi setahap meningkat
hingga waktu yang tidak terhitung lamanya. Periode peningkatan
umur kehidupan sampai tidak terhingga ini disebut vaddhana
kappa.
Demikianlah umur kehidupan manusia naik dan turun antara
sepuluh tahun hingga tidak terhingga banyaknya tahun saat
mereka mengembangkan kebajikan atau saat mereka dikuasai oleh
kejahatan. Sepasang umur kehidupan ini, yang meningkat lalu
menurun, disebut antara kappa.
Tiga Jenis Antara Kappa
Pada awal dunia, saat umur kehidupan manusia menurun dari tidak
terhingga menjadi sepuluh tahun, terjadi perubahan kappa. Jika
penurunan ini disebabkan oleh meningkatnya keserakahan, akan
terjadi kekurangan makanan dan semua orang jahat binasa dalam
tujuh hari terakhir sebelum berakhirnya kappa. Masa ini disebut
dubbhikkhantara kappa atau kappa kelaparan.
Jika penurunan ini disebabkan oleh meningkatnya kebodohan, akan
terjadi wabah penyakit dan semua orang jahat akan binasa dalam
tujuh hari terakhir sebelum berakhirnya kappa. Masa ini disebut
rogantara kappa atau kappa penyakit.
Jika penurunan ini disebabkan oleh meningkatnya kebencian, akan
terjadi saling bunuh di antara sesama manusia dengan memakai
senjata dan semua orang jahat akan binasa dalam tujuh hari terakhir
sebelum berakhirnya kappa. Masa ini disebut satthantara kappa
atau kappa senjata.
(Menurut Visuddhimagga Mahà ñãkà , rogantara kappa disebabkan
oleh meningkatnya keserakahan, satthantara kappa oleh
meningkatnya kebencian dan dubbhikkhantara kappa oleh
meningkatnya kebodohan; yang lalu diikuti oleh binasanya
3119
1
orang-orang jahat.)
Penamaan dari setiap pasang umur kehidupan ini—satu meningkat
dan satu menurun—sebagai antara kappa dapat dijelaskan sebagai
berikut: sebelum segalanya musnah, apakah oleh unsur api, air
atau angin di akhir vivaññaññà yã asaïkhyeyya kappa dan saat umur
kehidupan manusia menjadi hanya sepuluh tahun, semua orang
jahat binasa sebab kelaparan, penyakit atau senjata. Sehubungan
dengan pernyataan ini, di sini yang dimaksudkan yaitu periode
lanjut dari satu periode penghancuran total dengan periode
penghancuran berikutnya.
sesudah bencana yang menimpa selama tujuh hari terakhir dari
setiap antara kappa, sebutan rogantara kappa, satthantara kappa
atau dubbhikkhantara kappa diberikan kepada periode bencana
yang terjadi sebelum umur kehidupan sepuluh tahun (tidak berlaku
di seluruh dunia, namun) hanya terbatas dalam wilayah tertentu
seperti sebuah kota atau desa; jika terjadi wabah penyakit, disebut
terjadi rogantara kappa di wilayah ini ; jika terjadi peperangan,
disebut terjadi satthantara kappa di wilayah ini ; jika terjadi
bencana kelaparan, disebut terjadi dubbhikkhantara kappa di
wilayah ini . Pernyataan demikian hanyalah perumpamaan
sebab peristiwa yang terjadi dalam suatu wilayah mirip dengan
yang terjadi di alam semesta. Jika dalam doa, seseorang menyebutkan
ingin bebas dari “tiga kappa,” biasanya yang ia maksudkan yaitu
tiga bencana ini.
Pada akhir 64 antara kappa (masing-masing antara kappa terdiri dari
sepasang kappa—menaik dan menurun), vivaññaññhà yã asaïkhyeyya
kappa pun berakhir. sebab tidak ada lagi makhluk hidup (di alam
manusia dan alam surga) selama saÿvañña asaïkhyeyya kappa,
saÿvaññaññhà yã asaïkhyeyya kappa, dan vivaññaññhà yã asaïkhyeyya
kappa, kappa-kappa ini tidak termasuk dalam antara kappa yang
terdiri dari sepasang kappa, menaik dan menurun. Tetapi harus
dipahami bahwa masing-masing asaïkhyeyya kappa ini, memiliki
masa yang sama dengan vivaññaññhà yã asaïkhyeyya kappa yaitu
selama 64 antara kappa.
3120
âyu Kappa
âyu kappa artinya yaitu suatu masa yang dihitung berdasarkan
umur kehidupan (Ã yu) dalam masa itu. Jika umur kehidupan yaitu
seratus tahun, maka satu abad yaitu satu à yu kappa. Jika umur
kehidupan yaitu seribu tahun, satu millenium yaitu satu à yu
kappa.
saat Buddha berkata, “ânanda, Aku telah mengembangkan
empat Iddhipada (yang mendasari kekuatan batin). Jika Aku
menginginkan, Aku dapat hidup selama satu kappa atau kurang
sedikit,” kappa yang dimaksud di sini harus dianggap à yu kappa,
yang merupakan lamanya umur kehidupan manusia pada masa itu.
Dijelaskan dalam Aññhaka Nipà ta dari Komentar Aïguttara bahwa
Buddha mengucapkan pernyataan ini untuk mengatakan
bahwa Ia dapat hidup selama seratus tahun atau kurang sedikit jika
Ia menginginkannya.
Namun Thera Mahà sãva, mengatakan bahwa, “âyu kappa di sini
harus dianggap mahà kappa yang disebut bhaddaka,” (Ia berkata
demikian sebab ia berpendapat bahwa kamma yang menyebabkan
kelahiran kembali dalam kehidupan terakhir Buddha memiliki
kekuatan untuk memperpanjang umur kehidupannya selama tidak
terhingga dan sebab disebutkan dalam Tipiñaka bahwa âyupà laka-
Phala Samà patti, buah pencapaian yang mengkondisikan dan
mengendalikan proses batin pendukung kehidupan yang disebut
à yusaïkhara, dapat menghalau semua bahaya.) Namun pendapat
Thera ini tidak diterima oleh para komentator.
Saÿghabhedakakkhandhaka dari Vinaya Cåëavagga menyebutkan,
“Ia yang menyebabkan perpecahan dalam Saÿgha akan terlahir
kembali di Alam Niraya, alam penderitaan yang terus-menerus,
dan menderita selama satu kappa penuh.” Kappa ini yaitu
umur kehidupan di alam Avãci, alam terendah dari alam penderitaan
terus-menerus, komentar ini menjelaskan. Umur kehidupan
penghuni Avãci sama dengan seperdelapan puluh mahà kappa
menurut Terasakaõóa òãkà , Subkomentar dari Vinaya. Dari sumber
yang sama, disebutkan bahwa seperdelapan puluh dari masa
3121
1
itu yaitu antara kappa (dari penghuni Avãci). Sehingga dapat
disimpulkan bahwa satu mahà kappa terdiri dari 80 antara kappa
menurut perhitungan Avãci.
Dari penjelasan di atas bahwa satu mahà kappa terdiri dari empat
asaïkhyeyya kappa, dan satu asaïkhyeyya kappa terdiri dari 84
antara kappa. Sehingga satu mahà kappa sama dengan 256 antara
kappa menurut perhitungan manusia.
Jika 256 dibagi 80, sisanya yaitu 3 1/5. Oleh sebab itu 3 1/5 antara
kappa di alam manusia sama dengan satu antara kappa di Alam
Avãci. (Di Alam Avãci tidak ada kappa pembentukan dan kappa
penghancuran seperti di alam manusia. sebab alam ini yaitu
tempat di mana penderitaan terjadi terus-menerus, akhir dari kappa
penghancuran tidak ditandai oleh tiga bencana. Seperdelapan puluh
mahà kappa yang merupakan umur kehidupan para penghuni Avãci
yaitu antara kappa mereka. Jadi, satu antara kappa di Alam Avãci
sama dengan 3 1/5 antara kappa di alam manusia.)
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa satu asaïkhyeya kappa
yaitu sama dengan 64 antara kappa di alam manusia atau 20 antara
kappa di Alam Avãci. Oleh sebab itu, jika beberapa sumber Pà ëi
(seperti Visuddhimagga Mahà -òãkà , Abhidhammà ttha-vibhà vanã
Tãka, dan lain-lain) yang menyebutkan bahwa satu asaïkhyeya
kappa terdiri dari 64 atau 20 antara kappa, hal ini tidak saling
bertentangan. Perbedaan antara dua angka ini (64 dan 20) terletak
hanya pada cara penghitungan. Harus dimengerti bahwa dua-
duanya memiliki panjang waktu yang sama.
Yang penting untuk dicatat secara khusus yaitu pernyataan yang
terdapat dalam Sammohavinodanã, Komentar dari AbhidhammÃ
Vibhaïga, dalam penjelasan dari ¥Ã õaa-vibhaïga, disebutkan,
“Hanya Saÿghabhedaka-kamma (perbuatan yang menyebabkan
perpecahan dalam Saÿgha) yang akan mengakibatkan penderitaan
hingga akhir kappa. Jika seseorang terlahir di Alam Avãci pada awal
atau pada pertengahan kappa, ia akan terbebas pada saat kappa
ini berakhir. Jika ia terlahir di alam ini hari ini, dan
besoknya kappa berakhir, maka ia hanya akan menderita selama satu
3122
hari dan akan terbebas keesokan harinya. (Namun) hal demikian
hampir tidak mungkin terjadi.”
Sehubungan dengan pernyataan ini , ada beberapa yang
berpendapat bahwa “Saÿghabhedaka-kamma yang membawa
ke Alam Niraya hingga akhir kappa (dalam arti mahà kappa);
mereka yang melakukan kamma ini akan memperoleh kebebasan
hanya saat kappa ini berakhir. Sebenarnya, ungkapan
kappaññhitiyo (berlangsung hingga akhir kappa) yang dijelaskan
dalam Komentar Vibhaïga hanya penjelasan secara umum; tidak
secara tegas menyebutkan kata mahà kappaññhitiyo (berlangsung
hingga akhir mahà kappa). Ungkapan kappaññhitiyo yaitu
berdasarkan syair dalam Vinaya Cåëavagga yang dibaca sebagai,
“sesudah menghancurkan persatuan Saÿgha, ia menderita di Alam
Niraya hingga akhir kappa.” Oleh sebab itu, kappa di sini yang
dimaksudkan yaitu à yu kappa bukan mahà kappa. Pada bab 13
dari Komentar Kathavatthu, disebutkan mengenai kappa itu bahwa
syair ini merujuk pada à yu kappa (dari penghuni Avãci) yang
hanya seperdelapan puluh mahà kappa.
Pembagian Mahà kappa
Mahà kappa dibagi menjadi dua kelompok: (1) su¤¤a kappa atau
kappa kosong dan (2) asu¤¤a kappa atau kappa tidak kosong.
Dari kedua kelompok ini, kappa di mana tidak ada Buddha yang
muncul yaitu su¤¤a kappa atau kappa kosong; artinya kappa yang
tidak ada Buddha.
Kappa di mana ada Buddha yang muncul yaitu asu¤¤a kappa;
artinya kappa di mana terdapat Buddha.
Meskipun Buddha tidak muncul dalam kappa kosong, namun
Pacceka Buddha dan raja dunia dapat muncul, yang dapat
disimpulkan berdasarkan Upà li Thera Sutta dalam Vagga Pertama
dari Apà dà na.
Dalam Upà li Thera Sutta dan Komentarnya, disebutkan bahwa
3123
1
dua kappa sebelum kappa sekarang, Pangeran Khattiya, putra
dari Raja A¤jasa, saat pergi dari suatu taman menghina Pacceka
Buddha Devãëa, tidak disebutkan adanya kemunculan Buddha pada
kappa ini . Juga dalam Komentar Bhaddaji Thera Sutta dari
Apadà na ini , disebutkan bahwa Thera ini memberi
dà na makanan kepada lima ratus Pacceka Buddha dalam suatu
su¤¤a kappa. Dari Sutta-Sutta ini, jelas bahwa Pacceka Buddha
muncul dalam su¤¤a kappa. lalu lagi, Kusumà saniya Thera
Sutta dari Apadà na, menyebutkan bahwa “Pada masa depan,
Kusumà saniya akan terlahir sebagai Raja Dunia Varadassã dalam
kappa berikutnya,” Tiõasanthara Thera Sutta juga menyebutkan
bahwa bakal Thera Tiõasanthara terlahir sebagai Raja Dunia
Migasammata dua kappa sebelum kappa sekarang. Semua ini
menyiratkan adanya kemungkinan munculnya raja dunia dalam
kappa kosong.
Kappa yang tidak kosong di mana Buddha muncul dibagi menjadi
lima kelompok: (a) sara kappa, (b) manda kappa, (c) vara kappa,
(d) saramanda kappa, dan (e) bhadda kappa.
(a) Kappa di mana hanya muncul satu Buddha disebut sà ra
kappa,
(b) Kappa di mana muncul dua Buddha disebut maõóa kappa,
(c) Kappa di mana muncul tiga Buddha disebut vara kappa,
(d) Kappa di mana muncul empat Buddha disebut sà ramaõóa
kappa,
(e) Kappa di mana muncul lima Buddha disebut bhadda kappa.
Kappa saat munculnya Sumedha yaitu sà ramaõóa kappa
sebab muncul empat Buddha dalam kappa ini . Kota
Amaravati terbentuk sesudah kemunculan tiga Buddha, yaitu:
Taõhaïkara, Medhaïkara, dan Saranaïkara dan sebelum munculnya
Dãpaïkara.
Nama Amaravatã
Amara artinya “Dewa” (makhluk abadi) dan vatã artinya “milik;”
dengan demikian artinya kota milik para dewa.
3124
Disebutkan dalam Bhesajjakkhandhaka dari Vinaya MahÃ
Vagga dan sumber-sumber lain bahwa segera sesudah Brahmani
Sunidha dan Vassakà ra merencanakan untuk membangun sebuah
Kota Pà ñaliputta, para dewa datang dan saling membagi petak-
petak tanah. Petak-petak yang ditempati oleh para dewa yang
berkemampuan batin tinggi menjadi tempat tinggal putri, para
menteri dan orang-orang kaya yang berstatus tinggi; petak-petak
tanah yang ditempati oleh para dewa yang berkemampuan batin
menengah menjadi tempat tinggal orang-orang yang berstatus
menengah; dan petak-petak tanah yang ditempati oleh para dewa
yang berkemampuan batin rendah menjadi tempat tinggal orang-
orang yang berstatus rendah.
Dari pernyataan ini, dapat dianggap bahwa para dewa datang
dan menempati tempat di mana kota agung akan dibangun.
Dinamakan Amaravati untuk menunjukkan kehadiran para dewa
yang menandai lokasi mereka dalam kota ini dan melindungi
para penghuninya.
Kata Pà ëi vatã berarti kepemilikan yang berlimpah-limpah. Di
dunia ini, mereka yang memiliki sedikit harta tidak disebut orang
kaya, namun hanya mereka yang memiliki harta yang berlimpah-
limpah yang disebut orang kaya. Oleh sebab itu nama Amaravati
menunjukkan bahwa, kota itu yaitu kota kerajaan dan tempat
tinggal yang agung, ditempati dan dilindungi oleh sejumlah besar
dewa-dewa yang berkemampuan batin tinggi.
Cacat Jalan Setapak
Lima cacat dari jalan setapak yaitu sebagai berikut:
(1) Jalan setapak yang kasar dan tidak datar akan melukai kaki
yang berjalan di atasnya; telapak kaki dapat melepuh. Sebagai
akibatnya, meditasi tidak dapat dipraktikkan dengan penuh
konsentrasi. Sebaliknya, kenyamanan yang diberikan oleh
jalan setapak yang datar dan lembut sangat membantu dalam
melatih meditasi. Kasar dan tidak rata yaitu cacat pertama
3125
1
dari sebuah jalan setapak.
(2) Jika terdapat pohon-pohon di tengah-tengah jalan setapak
ini , ia yang berjalan dengan tidak hati-hati dapat terluka
kepalanya sebab menabrak pohon ini . Adanya pohon
yaitu cacat kedua dari sebuah jalan setapak.
(3) Jika jalan setapak tertutupi oleh semak belukar, ia yang berjalan
dalam gelap dapat menginjak binatang-binatang melata dan
lain-lain dan membunuh mereka (meskipun dengan tidak
sengaja). Adanya semak belukar yaitu cacat ketiga dari sebuah
jalan setapak.
(4) Dalam membuat jalan setapak, yaitu penting untuk membuat
tiga lajur. Lajur tengah yaitu yang utama, harus lurus,
panjangnya 60 lengan dan satu setengah lengan lebarnya.
Di kedua sisinya terdapat dua lajur yang lebih kecil, masing-
masing lebarnya satu lengan. Jika lajur tengah terlalu sempit,
misalnya satu lengan atau setengah lengan, ada kemungkinan
kaki atau tangan terluka sebab suatu kecelakaan. Terlalu
sempit yaitu cacat keempat dari sebuah jalan setapak.
(5) Berjalan di jalan setapak yang terlalu lebar, perhatian seseorang
dapat terganggu: sehingga pikirannya sulit tenang. Terlalu lebar
yaitu cacat kelima dari sebuah jalan setapak.
Delapan Kebahagiaan Seorang Petapa
Delapan kebahagiaan seorang petapa (samaõasukha), yang
disebutkan di sini dijelaskan sebagai delapan berkah bagi seorang
petapa (samaõabhadra) dalam Soõaka Jà taka dari Satthi Nipà ta.
Berikut ini yaitu kisah dari JÃ taka ini secara ringkas:
Pada suatu saat , Bodhisatta terlahir sebagai Arindama, putra raja
Magadha dari Rà jagaha. Pada hari yang sama juga lahir Soõaka,
putra dari penasihat raja.
Kedua anak ini tumbuh bersama-sama dan saat usia mereka
mencukupi, mereka pergi ke Takkasilà untuk sekolah. sesudah
menyelesaikan pendidikan, mereka meninggalkan TakkasilÃ
bersama-sama dan pergi bersama-sama merantau untuk
memperluas pengetahuan dan pengalaman mengenai berbagai
3126
keahlian dan kebiasaan setempat. Mereka tiba di taman kerajaan
dari Raja Bà rà õasã dan memasuki kota keesokan harinya.
Pada hari itu, sedang berlangsung festival pembacaan Veda yang
dikenal dengan Brà hmaõavà caka. Nasi susu dihidangkan dan
tempat-tempat duduk dipersiapkan untuk acara ini . Saat
memasuki kota, Pangeran Arindama dan sahabatnya diundang
masuk ke dalam sebuah rumah dan dipersilakan duduk. Melihat
bahwa tempat duduk sang pangeran ditutupi oleh kain putih dan
tempat duduknya ditutupi oleh kain merah, Soõaka memahami
pertanda ini bahwa “Hari ini sahabatku Arindama akan
menjadi Raja Bà rà õasã dan aku akan ditunjuk menjadi jenderal.”
sesudah makan, kedua sahabat ini kembali ke taman kerajaan. Hari
itu yaitu hari ketujuh sejak wafatnya sang raja, dan para menteri
sedang mencari orang yang layak untuk memimpin kerajaan dengan
mengirimkan kereta-kereta kerajaan untuk mencari orang ini .
Kereta ini meninggalkan kota, menuju taman dan berhenti di
pintu gerbang. Pada saat itu Pangeran Arindama sedang berbaring
di atas sebuah batu besar dengan kepala tertutup dan sahabatnya
Soõaka duduk di dekatnya. Segera saat Soõaka mendengar suara
musik, ia berpikir, “Kereta kerajaan datang untuk menjemput
Arindama. Hari ini ia akan menjadi raja dan memberi jabatan
panglima kerajaan kepadaku. Aku tidak menginginkan jabatan
ini . Saat Arindama meninggalkan taman, aku akan melepaskan
keduniawian dan menjadi petapa,” lalu ia pergi ke salah satu
sudut dan bersembunyi.
Kepala penasihat dan para menteri dari Bà rà nasã melakukan Ritual
pengangkatan Pangeran Arindama di atas batu dan dengan Ritual
yang megah membawanya memasuki kota. Pangeran Arindama
menjadi Raja Bà rà nasã. sebab peristiwa yang tiba-tiba ini dan
sebab dilayani oleh banyak pelayan dan pengikut, ia lupa kepada
sahabatnya Soõaka.
saat Raja Arindama telah meninggalkan taman menuju kota,
Soõaka keluar dari tempat persembunyiannya dan duduk di atas
batu. Saat itu ia melihat daun sà la (Shorea robusta) kering jatuh
3127
1
tepat di depannya dan ia merenungkan, “Bagaikan daun sà la ini,
tubuhku juga pasti akan rusak oleh usia tua, aku pasti akan mati
dan jatuh ke tanah.” Dengan perasaan religius ia bangkit, ia sesaat
masuk dalam meditasi Vipassanà , dan pada saat duduk itu juga,
ia mencapai Pencerahan seorang Pacceka Buddha. Penampilan
awamnya lenyap, dan ia menjadi berpenampilan sebagai seorang
petapa. Mengucapkan kegembiraan, “Sekarang aku tidak akan
terlahir kembali!” ia pergi menuju Gua NandamÃ¥laka.
Sebaliknya, Pangeran Arindama terjebak dalam kemewahan istana.
Hanya sesudah empat puluh tahun, ia teringat akan sahabatnya. Dan
ia merasa rindu dan ingin bertemu dengan sahabatnya, bertanya-
tanya di manakah ia sekarang, namun ia tidak menerima berita
apa pun mengenai keberadaan sahabatnya, ia berulang-ulang
mengucapkan syair berikut:
“Aku akan memberi seratus keping uang kepada siapa pun
yang mendengar dan membawa berita mengenai Soõaka. Aku
akan memberi seribu keping uang kepada siapa pun yang
pernah bertemu dengan Soõaka dan memberitahukan kepadaku
bagaimana bertemu dengannya. Siapakah? Tua atau muda, yang
dapat memberitahukan kepadaku mengenai sahabatku Soõaka,
teman bermainku sejak kecil?”
Orang-orang mendengarkan syair ini dan semua orang
menyanyikan sebab menganggap itu yaitu kesukaannya.
sesudah lima puluh tahun, sejumlah anaknya telah lahir, yang tertua
yaitu Dãghà vu. Pada saat itu, Pacceka Buddha Soõaka berpikir,
“Raja Arindama ingin bertemu denganku. Aku akan datang dan
memberi ceramah mengenai kerugian dari kenikmatan indria
dan manfaat melepaskan keduniawian sehingga ia akan tergerak
untuk menjalani kehidupan bertapa.” Demikianlah, ia melakukan
perjalanan melalui angkasa menuju taman kerajaan. Mendengar
seorang anak terus-menerus menyanyikan syair tadi sambil
memotong kayu, Pacceka Buddha mengajarkan kepadanya sebuah
syair untuk menjawab syair raja ini .
3128
Anak itu segera pergi menjumpai raja dan menyanyikan syair
jawaban ini yang menyebutkan keberadaan sahabatnya itu.
lalu raja dengan diiringi oleh pasukannya pergi menuju
taman kerajaan dan memberi hormat kepada Pacceka Buddha.
Namun sebagai seorang yang memiliki kenikmatan duniawi, raja
memandang rendah sahabatnya dan berkata, “Betapa miskinnya
engkau, hidup sebatang kara seperti ini.” Pacceka Buddha menolak
celaan raja dengan menjawab, “Tidak ada istilah miskin bagi mereka
yang menikmati berkah Dhamma dalam Jalan Mulia baik secara
jasmani maupun batin! Hanya mereka yang jauh dari Dhamma
dan mempraktikkan apa yang tidak baik yang disebut miskin! Di
samping itu, ia yaitu orang jahat dan menjadi tempat berlindung
bagi orang jahat lainnya.”
lalu ia memberitahukan kepada Pacceka Buddha bahwa
namanya yaitu Arindama dan bahwa ia dikenal sebagai Raja KÃ si,
dan bertanya apakah orang suci itu hidup bahagia.
lalu Pacceka Buddha mengucapkan delapan syair yang
memuji delapan berkah bagi seorang petapa (samaõabhadra):
1. “Raja besar, seorang petapa yang telah pergi meninggalkan
kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa
rumah dan yang bebas dari kekhawatiran akan harta benda
merasa bahagia di mana pun ia berada dan di setiap waktu
(Bukan hanya di tamanmu ini pada saat ini). Raja besar, petapa
demikian tidak perlu menyimpan padi di dalam lumbung
atau kendi (tidak seperti orang-orang awam yang menimbun
dan keserakahannya berkembang dalam waktu yang lama).
Seorang petapa hanya hidup dari makanan yang diberikan dari
rumah-rumah para dermawan dan memperolehnya dengan
cara mengumpulkan dà na makanan ini ; ia memakan
makanan ini dengan perenungan.” (Demikianlah ia
menjelaskan kebahagiaan dari tidak menimbun harta kekayaan
dan makanan.)
2. Ada dua jenis makanan yang mengandung cacat (sà vajjapiõóa).
Seperti yang disebutkan dalam Vinaya, yang pertama yaitu
3129
1
makanan yang diperoleh dengan cara yang salah seperti
makanan yang disediakan untuk orang sakit dan lain-lain, atau
makanan yang disiapkan dengan satu dari lima penghidupan
yang salah. Cacat yang lain yaitu jenis makanan yang dimakan
tanpa perenungan meskipun makanan ini diperoleh
dengan cara yang benar.)
“Raja besar, seorang petapa mulia seharusnya melakukan
perenungan pada saat memakan makanan yang diperoleh
dengan tanpa cacat. Ia yang memakan dengan benar makanan
yang tanpa cacat tidak akan tertekan oleh segala bentuk
kenikmatan indria. Bebas dari tekanan kenikmatan indria
yaitu berkah kedua bagi seorang petapa yang tidak pernah
menginginkan atau mengkhawatirkan.” (Demikianlah ia
menjelaskan kebahagiaan yang diperoleh dari mencari dan
memakan makanan yang tanpa cacat.)
3. (Makanan yang diperoleh dengan cara yang benar dan
dimakan dengan penuh perenungan disebut “makanan
penuh kedamaian” (nibbutapiõóa), yaitu, makanan yang tidak
melibatkan keserakahan. Dalam kenyataannya, bagaimanapun
juga, hanya makanan seorang Arahanta yang “penuh
kedamaian” yaitu yang tidak melibatkan keserakahan.)
“Raja besar, seorang petapa mulia hanya memakan makanan
yang penuh kedamaian. Ia tidak tertekan oleh segala bentuk
kenikmatan indria. Bebas dari tekanan segala bentuk
kenikmatan indria yaitu berkah ketiga bagi seorang petapa
yang tidak pernah menginginkan atau mengkhawatirkan.”
(Demikianlah ia menjelaskan kebahagiaan yang diperoleh dari
hanya memakan makanan yang penuh kedamaian.)
4. “Raja besar, seorang petapa mulia yang mengumpulkan dà na
makanan di dalam kota-kota dan desa tanpa kemelekatan
terhadap para dermawan yang menyediakan kebutuhannya
tidak memiliki keserakahan dan kebencian.” (Melekat dengan
cara yang salah terhadap objek indria bagaikan duri disebut
dosasaïga, cacat kemelekatan.) Bebas dari kemelekatan
3130
demikian yaitu berkah keempat bagi seorang petapa yang
tidak menginginkan atau mengkhawatirkan. (Demik





.jpeg)
.jpeg)





