Tampilkan postingan dengan label Biksu Budha 9. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Biksu Budha 9. Tampilkan semua postingan

Biksu Budha 9

 



elayan pribadi 

Buddha yang selalu bepergian membawa mangkuk dan jubah 

Buddha, kami mendapatkan penghiburan dari ketiadaan Buddha, 

tetapi sekarang pembawa mangkuk dan jubah itu sendiri sudah mati 

dan tidak ada lagi, kami tidak mempunyai siapa pun lagi yang dapat 

menghibur kami. Kematian Buddha menjadi lengkap bagi kami.”

Saÿvega Gàthà

Hà saÿyogà viyogantà;

Sungguh menakutkan—dilayani oleh kesedihan, ratapan, dan lain-

lain, semua bentuk hubungan antara suami-istri, sanak-saudara, 

teman-teman, guru dan murid, dan lain-lain, sebab   tidak terelakkan 

mereka pasti berpisah apakah melalui kematian atau perpisahan. 

Hà aniccà’va saïkhatà;

Sungguh menakutkan—dilayani oleh kesedihan, ratapan, dan lain-

lain, segala sesuatu yang berkondisi, yang merupakan hasil dari 

kamma, batin, suhu dan nutrisi, sebab   ketidakkekalan.

Hà uppannà ca bhaïgantà;

Sungguh menakutkan—dilayani oleh kesedihan, ratapan, dan lain-

lain, semua fenomena berkondisi yang dilahirkan sebab   mereka 

pasti akan mengalami kerusakan dan kehancuran.

Hà hà saïkhàradhammatà;

Sungguh menakutkan—tenggelam dalam gelombang lautan 

penderitaan—perjalanan yang pasti dialami oleh batin dan jasmani, 

yang merupakan fenomena berkondisi, yang memiliki corak tidak 

2746


kekal, corak penuh penderitaan, dan corak tanpa-diri.

Demikianlah kisah Thera ânanda

(31) Thera Uruvela Kassapa

(a) Cita-cita masa lampau

 

Bakal Uruvela Kassapa terlahir dalam keluarga kaya di Kota 

Haÿsàvatã pada masa kehidupan Buddha Padumuttara. Suatu 

saat   ia mendengarkan khotbah Buddha dan menyaksikan 

seorang bhikkhu yang dinyatakan oleh Buddha sebagai bhikkhu 

terbaik dalam hal banyaknya pengikut. Ia terinspirasi oleh bhikkhu 

ini   dan berkeinginan untuk menjadi bhikkhu seperti dia pada 

masa depan. Ia memberi   persembahan besar kepada Buddha 

dan Saÿgha selama tujuh hari, dan di akhir tujuh hari ini   

ia mempersembahkan tiga perangkat jubah kepada Buddha dan 

seluruh anggota Saÿgha dan mengungkapkan cita-citanya untuk 

menjadi bhikkhu terbaik pada masa depan dalam hal memimpin 

banyak pengikut. Buddha mengetahui bahwa cita-cita itu akan 

tercapai dan mengucapkan ramalan sebagai berikut, “Engkau akan 

dinyatakan oleh Buddha Gotama sebagai bhikkhu terbaik dalam 

Pengajaran-Nya dalam hal memimpin banyak pengikut.” Dan 

sesudah   mengucapkan ramalan itu, Buddha Padumuttara kembali 

ke vihàra.

Kehidupan Sebagai Adik Buddha Phussa

 

Dalam kehidupan saat ia menerima ramalan dari Buddha 

Padumuttara, orang kaya itu melakukan banyak kebajikan hingga 

akhir hidupnya dan terlahir kembali di alam dewa dan alam manusia 

bergantian. lalu   sembilan puluh dua siklus dunia sebelum 

yang sekarang ini, saat   Buddha Phussa muncul di dunia ini, bakal 

Uruvela Kassapa terlahir sebagai adik tiri Buddha. Buddha memiliki 

tiga adik tiri dan pangeran ini yaitu   yang tertua dari tiga orang 

ini  . (Tiga bersaudara itu melayani empat kebutuhan bhikkhu 

bagi Buddha selama satu vassa, baca riwayat Buddha Phussa).

2747

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

(b) Kehidupan pertapaan dalam kehidupan terakhir

Tiga adik ini   memberi   persembahan benda-benda berharga 

kepada Buddha dan Saÿgha pada akhir vassa. Mereka juga 

melakukan banyak kebajikan seumur hidup mereka, dan terlahir 

kembali hanya di alam bahagia. Pada siklus dunia sekarang ini, 

sebelum munculnya Buddha Gotama, mereka terlahir kembali dalam 

keluarga brahmana yang berasal dari suku Kassapa. Saat mereka 

dewasa, mereka menguasai tiga Veda, saudara tertua memiliki lima 

ratus murid; yang lebih muda memiliki tiga ratus murid; dan yang 

termuda memiliki dua ratus murid.

saat   mereka meninjau kembali pelajaran mereka, mereka 

menyadari bahwa Veda memberi   manfaat hanya untuk 

kehidupan saat ini tetapi tidak memberi   manfaat dalam 

kehidupan selanjutnya. Kassapa yang tertua, bersama lima ratus 

muridnya, melepaskan keduniawian dan menjalani kehidupan 

sebagai petapa. Mereka masuk ke Hutan Uruvela dan sang guru 

menjadi terkenal dengan nama Uruvela Kassapa. Kassapa kedua 

dan tiga ratus muridnya juga melakukan hal yang sama, menjadi 

petapa di belokan Sungai Gaïga dan sang guru dikenal dengan 

nama Nadã Kassapa. Saudara termuda juga menjadi petapa bersama 

dua ratus muridnya; mereka menetap di suatu tempat yang disebut 

Gayàsãsa, dan sebab   itu sang guru menjadi terkenal dengan nama 

Gayà Kassapa. Tiga Kassapa bersaudara menjadi terkenal sebagai 

guru bagi aliran mereka. Pada masa saat   tiga Kassapa bersaudara 

memberi   pelajaran kepada kelompoknya masing-masing, 

Buddha (Gotama) muncul di dunia ini. Buddha melewatkan vassa 

pertama di Hutan Migadàya, yang juga dikenal sebagai Isipatana, 

di mana Beliau mencerahkan Kelompok Lima Petapa dan lima 

puluh lima pemuda yang dipimpin oleh Yasa, putra seorang 

pedagang. Seluruh enam puluh siswa ini menjadi para Arahanta 

pertama di dunia ini. Di akhir vassa Buddha menginstruksikan 

enam puluh bhikkhu Arahanta itu untuk menyebarluaskan ajaran 

baik, sedangkan Beliau sendiri pergi menuju Hutan Uruvela. 

Dalam perjalanan itu Beliau bertemu dengan tiga puluh pangeran 

bersaudara, di Hutan Kappàsika, yang lalu   Beliau panggil 

(memakai   kata, “Datanglah, Bhikkhu”) dan membantu mereka 

2748


mencapai berbagai tingkat Pencerahan, dan berlatih untuk mencapai 

Kearahattaan. Buddha pergi sendirian menuju Hutan Uruvela 

sebab   Beliau melihat bahwa tiga Kassapa bersaudara beserta 

para pengikutnya berpotensi untuk dapat mencapai Kearahattaan. 

saat   Buddha bertemu dengan Uruvela Kassapa, Beliau terpaksa 

memperlihatkan tiga ribu lima ratus jenis kesaktian, yang paling 

menakjubkan yaitu   saat menjinakkan nàga yang sakti. Akhirnya 

Uruvela Kassapa dan lima ratus muridnya dipanggil oleh Buddha 

dan menjadi bhikkhu. Mendengar bahwa saudara tertua mereka 

telah menjadi bhikkhu, adik-adik mereka dan para pengikutnya 

masing-masing juga mengikuti jejak kakak. Mereka semuanya 

dipanggil oleh Buddha dan menjadi bhikkhu. 

Buddha membawa seribu bhikkhu baru ini   ke Gayàsãsa. Di sana 

Beliau duduk di atas batu dan mempertimbangkan khotbah yang 

tepat bagi mereka. Beliau teringat bahwa para petapa brahmana itu 

dulunya yaitu   penyembah api, dan sebab   itu Beliau membabarkan 

khotbah dengan memberi   perumpamaan api yang tanpa welas 

asih membakar di tiga alam kehidupan; alam indria, alam materi 

halus, dan alam tanpa materi. Khotbah itu berjudul âdittapariyàya 

menghasilkan akibat yang diinginkan yaitu semua bhikkhu menjadi 

Arahanta.

lalu   Buddha melihat bahwa waktunya tepat bagi-Nya untuk 

berkunjung ke Ràjagaha, sesuai janji-Nya kepada Raja Bimbisàra 

untuk berkunjung ke kotanya sesudah   mencapai Kebuddhaan. Ia 

melakukan perjalanan ke Ràjagaha disertai oleh seribu Arahanta 

dan berdiam di hutan pohon kelapa. Raja Bimbisàra, saat menerima 

laporan kedatangan Buddha, segera pergi menjumpai Buddha disertai 

oleh seratus dua puluh ribu brahmana perumah tangga. sesudah   

bersujud kepada Buddha, ia duduk di tempat yang semestinya. 

Pada masa itu, nama Uruvela Kassapa telah begitu terkenal sehingga 

para brahmana pengikut raja memberi hormat kepada Uruvela 

Kassapa. Buddha mengetahui bahwa para hadirin tidak dapat 

memutuskan Buddha atau Uruvela Kassapa yang lebih mulia. Beliau 

juga menyadari bahwa orang yang ragu-ragu tidak akan dapat 

memahami Dhamma. Maka Beliau berkata kepada Uruvela Kassapa, 

“Kassapa, para pengikutmu sedang kebingungan. Lenyapkanlah 

2749

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

keraguan mereka.” Demikianlah Buddha mengisyaratkan kepada 

Thera untuk memperlihatkan kesaktian.

Yang Mulia Uruvela Kassapa menjawab dengan penuh hormat, 

bangkit dari duduknya, ia bersujud kepada Buddha dalam lima 

titik menyentuh tanah, dan terbang ke angkasa setinggi satu pohon 

kelapa. Sambil tetap berada di angkasa, ia mengubah wujudnya 

menjadi berbagai bentuk dan berkata kepada Buddha, “Yang Mulia 

Bhagavà, Bhagavà yaitu   guruku; aku yaitu   murid-Mu, Siswa-Mu. 

Yang Mulia Bhagavà, Bhagavà yaitu   guruku; aku yaitu   murid-Mu, 

Siswa-Mu.” lalu   ia turun ke atas tanah dan terbang lagi untuk 

kedua kalinya hingga setinggi dua pohon kelapa, menciptakan 

berbagai bentuk dirinya, turun dan bersujud di kaki Buddha. Hingga 

ketujuh kalinya ia mengulangi kesaktian itu, ia terbang hingga 

setinggi tujuh pohon kelapa, dan sesudah   turun, ia bersujud kepada 

Buddha lalu   duduk di tempat yang semestinya.

Para hadirin sekarang tidak lagi meragukan kemuliaan Buddha dan 

menyebut Beliau sebagai Samaõa mulia. Baru lalu   Buddha 

membabarkan khotbah kepada mereka dan pada akhir khotbah 

ini   Raja Bimbisàra dan seratus sepuluh ribu brahmana perumah 

tangga berhasil mencapai Sotàpatti-Phala dan sisanya sepuluh ribu 

brahmana menyatakan berlindung kepada Tiga Permata; fakta 

bahwa mereka mengakui Buddha.

 

(c) Gelar Etadagga

Seribu murid yang melayani Yang Mulia Uruvela Kassapa, sesudah   

mencapai Kearahattaan, berpikir sebab   mereka telah mencapai 

puncak kebhikkhuan, mereka tidak perlu lagi pergi ke mana pun 

demi kemajuan spiritual mereka dan sebab   itu mereka tetap tinggal 

bersama pemimpin lama mereka.

Pada lalu   hari, dalam suatu pertemuan para bhikkhu di Vihàra 

Jetavana, Buddha menyatakan:

“Etadaggaÿ bhikkhave mama sàvakànaÿ bhikkhÃ¥naÿ Mahà-

parisànaÿ yadidaÿ Uruvela Kassapo,” “Para bhikkhu, di antara 

2750


para bhikkhu siswa-Ku yang memiliki banyak pengikut, Uruvela 

Kassapa yaitu   yang terbaik.”

(Dalam hal ini, Yang Mulia Uruvela Kassapa memiliki posisi 

istimewa yaitu memiliki pengikut yang konstan berjumlah seribu, 

dengan memperhitungkan pengikut dari kedua adiknya. Jika 

masing-masing dari seribu bhikkhu itu menahbiskan seorang 

bhikkhu baru, pengikut Uruvela Kassapa akan menjadi dua ribu, 

dan jika masing-masing dari seribu pengikut awal itu menahbiskan 

dua orang bhikkhu baru, maka pengikutnya menjadi tiga ribu. 

sebab   itu, ia memiliki posisi yang tiada bandingnya dalam hal 

pengikut―Komentar Aïguttara.)

Demikianlah kisah Thera Uruvela Kassapa

(32) Thera Kàëudàyã

 

(a) Cita-cita masa lampau

 

Bakal Kàëudàyã terlahir dalam keluarga kaya di Kota Haÿsàvatã pada 

masa kehidupan Buddha Padumuttara; sewaktu ia mendengarkan 

khotbah Buddha, ia menyaksikan seorang bhikkhu yang dinyatakan 

oleh Buddha sebagai ‘Siswa terbaik yang dapat membangkitkan 

keyakinan dalam diri sanak saudara Buddha bahkan sebelum 

mereka bertemu dengan Buddha.’ Orang kaya itu bercita-cita untuk 

mencapai gelar kehormatan yang sama pada masa Pengajaran 

Buddha pada masa depan, dan sesudah   memberi   persembahan 

besar, ia mengungkapkan cita-citanya di hadapan Buddha. lalu   

Buddha meramalkan pencapaian cita-citanya itu.

(b) Kehidupan pertapaan dalam kehidupan terakhir

Orang kaya itu mengabdikan seumur hidupnya untuk melakukan 

kebajikan. Saat meninggal dunia ia terlahir kembali hanya di 

alam bahagia. lalu   ia dikandung dalam rahim ibunya 

yang berasal dari keluarga pejabat kerajaan di Kapilavatthu, 

yang terjadi bersamaan dengan dikandungnya Bakal Buddha 

(Pangeran Siddhattha). Kedua anak itu dilahirkan pada hari 

2751

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

yang sama. Orangtuanya meletakkannya di atas kain putih dan 

mempersembahkannya kepada Raja Suddhodana untuk menjadi 

pelayan Pangeran Siddhattha.

Nama Kàëudàyã

Pada hari pemberian nama, mereka memanggil anak itu Udàyã 

sebab   ia terlahir pada hari yang sama dengan kelahiran Bakal 

Buddha, dan seluruh kota diliputi kegembiraan sebab  nya. sebab   

anak itu berkulit agak hitam, kata ‘kàëa’ (‘gelap’) ditambahkan pada 

nama Udàyã sehingga namanya menjadi Kàëudàyã. Sebagai seorang 

anak, Kàëudàyã menetap di istana kerajaan dan bermain bersama 

Pangeran Siddhattha di Kapilavatthu.

Pada lalu   hari, Pangeran Siddhattha melepaskan keduniawian, 

melewatkan enam tahun sengsara untuk mencari Kebenaran, 

mencapai Pencerahan Sempurna, dan membabarkan Khotbah 

Pertama, Dhammacakka, dan saat itu sedang berada di Ràjagaha. 

(saat itu yaitu   dalam dua minggu gelap di bulan Phussa yang 

dingin tahun 103 Mahà Era.) saat   Raja Suddhodana mendengar 

berita baik bahwa putranya, Buddha sedang menetap di Vihàra 

Veëuvana di Ràjagaha, ia mengirim utusan yang dikawal oleh seribu 

prajurit dengan perintah untuk mengajukan permohonan kepada 

Buddha agar sudi berkunjung ke Kapilavatthu. Utusan kerajaan itu 

menempuh perjalanan sejauh enam puluh yojanà ke Ràjagaha dan 

memasuki Vihàra Veëuvana. Saat itu Buddha sedang membabarkan 

khotbah kepada para hadirin yang terdiri dari empat jenis 

pendengar. Utusan kerajaan itu duduk di belakang para hadirin dan 

memerhatikan khotbah Buddha, ia berpikir untuk menyampaikan 

pesan raja sesudah   Buddha selesai membabarkan khotbah. Tetapi saat 

ia mendengarkan khotbah itu, ia serta seribu orang pengawalnya 

mencapai Kearahattaan. lalu   Buddha, merentangkan tangan-

Nya dan berkata kepada mereka, “Datanglah, Bhikkhu,” dan mereka 

semuanya sesaat   menjadi bhikkhu dengan penampilan seperti 

bhikkhu yang telah enam puluh tahun bergabung dalam Saÿgha 

(berusia delapan puluh tahun) dan lengkap dengan perlengkapan 

yang diciptakan melalui kekuatan batin (iddhimayaparikkhàra).

2752


Sudah menjadi sifat para Ariya bahwa mereka tidak mementingkan 

hal-hal duniawi, seribu bhikkhu itu tidak menyampaikan pesan Raja 

Suddhodana kepada Buddha. Mereka berdiam dalam kebahagiaan 

pencapaian Arahatta-Phala.

Raja Suddhodana merasa gelisah sebab   tidak mendapat berita apa 

pun dari utusannya dan mengirimkan utusan lainya dengan dikawal 

oleh seribu orang untuk menjalani misi yang sama.

Utusan itu juga sampai ke hadapan Buddha, tercerap dalam khotbah 

Buddha, dan mencapai Kearahattaan di sana dan pada saat itu juga, 

bersama dengan seribu orang pengawalnya. Berturut-turut Raja 

Suddhodana mengirimkan sembilan utusan untuk menjalani misi 

ini  , masing-masing dipimpin oleh seorang utusan dengan 

pengawalan seribu orang prajurit, dan semua sembilan utusan itu 

dan sembilan ribu prajurit itu melalaikan tugas mereka sebab   

mereka mencapai Kearahattaan sebelum membicarakan urusan 

mereka dengan Buddha.

Misi Kàëudàyã ke Kapilavatthu

Raja Suddhodana merenungkan situasi ini  . “Sembilan utusan 

itu sama sekali tidak menyayangiku dan sebab   itu mereka tidak 

mengatakan apa pun tentang kunjungan anakku ke Kapilavatthu. 

Orang lain mungkin akan gagal melakukan hal itu, tetapi Kàëudàyã, 

yang terlahir pada hari yang sama dengan Buddha yaitu   teman 

bermain anakku sejak mereka kanak-kanak. Anak muda ini juga 

menyayangiku.” Dan sebab   itu ia memanggil Kàëudàyã, yang 

saat itu merupakan pejabat di kerajaannya dan berkata, “Anakku, 

pergilah menghadap Buddha bersama seribu orang pengawal, dan 

undanglah Beliau ke Kapilavatthu.”

Pejabat Kàëudàyã berkata kepada Raja, “Tuanku, jika engkau 

mengizinkan aku menjadi seorang bhikkhu seperti para utusan 

sebelumnya, aku akan mengundang Buddha untuk berkunjung 

ke Kapilavatthu.” Raja menjawab, “Anakku, lakukanlah apa yang 

engkau inginkan. Hanya, usahakanlah agar anakku, Buddha sudi 

mengunjungiku.”

2753

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

“Baiklah, Tuanku,” Kàëudàyã berkata; “Tetapi aku hanya akan pergi 

dan mengundang Beliau jika aku mendapat izinmu untuk menjadi 

bhikkhu seperti para pejabat sebelumnya.” saat   raja memberi   

izinnya, ia meninggalkan kota itu disertai oleh seribu orang dan tiba 

di Ràjagaha. Duduk di belakang, ia mendengarkan Buddha yang 

sedang menyampaikan khotbah. sesudah   mendengarkan khotbah 

itu, ia bersama seribu orang pengawalnya menjadi Arahanta dan 

dipanggil oleh Buddha untuk menjadi bhikkhu.

Bhikkhu Kàëudàyã tidak melupakan misinya. Ia berpikir bahwa 

musim dingin tidak baik bagi Buddha untuk melakukan perjalanan 

jauh ke Kapilavatthu. saat   musim semi tiba dengan bunga-bunga 

hutan bermekaran dan rumput serta daun-daunan berwarna hijau 

segar, saat itu yaitu   saat yang tepat bagi Buddha untuk melakukan 

perjalanan ke Kapilavatthu. Maka ia menunggu hingga hari 

purnama bulan Phagguna (Februari-Maret), saat itu ia menyanyikan 

enam puluh bait syair yang menggambarkan keindahan musim semi, 

menunjukkan kepada Buddha bahwa saat itu yaitu   saat yang tepat 

bagi Bhagavà untuk berkunjung ke Kapilavatthu.

Buddha mengetahui pikiran Yang Mulia Kàëudàyã dan memutuskan 

bahwa saat itu yaitu   saatnya untuk berkunjung ke Kapilavatthu. 

lalu  , dengan disertai oleh dua puluh ribu Arahanta, Buddha 

melakukan perjalanan (sejauh enam puluh yojanà) dengan langkah 

santai, tidak tergesa-gesa.

Yang Mulia Kàëudàyã, mengetahui keberangkatan Buddha dari 

Ràjagaha, pergi ke istana Raja Suddhodana melalui angkasa. Raja 

gembira melihat Yang Mulia Kàëudàyã berdiri di angkasa di atas 

istananya, dan mempersembahkan singgasananya sebagai tempat 

duduk bhikkhu itu. lalu   ia mengisi mangkuk Yang Mulia 

Kàëudàyã dengan nasi dan makanan yang dipersiapkan untuknya. 

Yang Mulia Kàëudàyã lalu   bangkit untuk meninggalkan tempat 

itu. Raja berkata kepadanya, “Anakku, makanlah di sini.” Yang 

Mulia Kàëudàyã berkata, “Aku akan memakannya saat aku kembali 

ke tempat Bhagavà berada.” “Di manakah Buddha sekarang?” 

tanya Raja. “Buddha sedang dalam perjalanan bersama dua puluh 

2754


ribu Arahanta, untuk mengunjungimu.” “Kalau begitu, Anakku, 

engkau makanlah di sini. lalu   engkau bawalah makanan yang 

dipersiapkan dari istanaku kepada Buddha hingga ia tiba di sini.”

Yang Mulia Kàëudàyã memakan makanannya di istana dan lalu   

ia menerima makanan mewakili Buddha. Sambil melakukan hal itu 

ia membabarkan khotbah kepada raja dan para anggota keluarga 

kerajaan dengan menceritakan kualitas mulia Buddha. Dengan 

demikian, ia memberi   kegembiraan yang tidak terhingga yang 

akan mereka alami saat bertemu dengan Buddha. Selanjutnya, 

sambil dilihat oleh banyak orang, ia melemparkan mangkuk 

yang berisi makanan yang akan diserahkan kepada Buddha ke 

angkasa. Ia juga terbang ke angkasa, mengambil mangkuk itu dan 

mempersembahkannya kepada Buddha. Buddha menerimanya 

dengan tangan-Nya dan memakan makanan itu untuk hari itu. 

Yang Mulia Kàëudàyã melakukan tugas menerima makanan 

untuk Buddha (dan membabarkan khotbah yang sesuai untuk 

menghangatkan perasan Raja Suddhodana dan anggota keluarga 

kerajaan terhadap Buddha) selama perjalanan Buddha ke 

Kapilavatthu sejauh enam puluh yojanà, berjalan santai dengan 

kecepatan satu yojanà perhari. (Rutinitas menakjubkan bahwa 

Yang Mulia Kàëudàyã mewajibkan dirinya mengambilkan makanan 

untuk Buddha yaitu   dasar bagi penganugerahan gelar istimewa 

dari Buddha.)

(c) Gelar Etadagga

Pada lalu   hari saat   Buddha duduk di tengah-tengah 

pertemuan para bhikkhu, ia merenungkan peran Yang Mulia 

Kàëudàyã dalam menghangatkan perasaan Raja Suddhodana dan 

sanak-saudara Buddha. Beliau menyatakan:

“Etadaggaÿ bhikkhave mama sàvakànaÿ bhikkhÃ¥naÿ 

kulappasàdakànaÿ yadidaÿ Kàëudàyã,” “Para bhikkhu, di antara 

para bhikkhu siswa-Ku yang mampu membangkitkan keyakinan 

terhadap-Ku dalam diri para sanak-saudara-Ku, Bhikkhu Kàëudayã 

yaitu   yang terbaik.”

2755

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

Demikianlah kisah Thera Kàëudàyã

(33) Thera Bàkula

(a) Cita-cita masa lampau

Bakal Bàkula terlahir dalam keluarga brahmana menjelang 

kemunculan Buddha Anomadassã, satu asaïkhyeyya dan seratus 

ribu kappa sebelum kappa sekarang ini. Ia memelajari tiga Veda 

dan menguasainya. Tetapi ia menemukan bahwa dalam pelajaran 

itu tidak terdapat inti dari apa yang ia cari. “Aku akan mencari 

kesejahteraan dalam kehidupan sesudah   kematian,” ia memutuskan, 

maka ia melepaskan keduniawian, menjadi petapa dan pergi ke 

gunung yang jauh. sesudah   berlatih dengan penuh ketekunan ia 

mencapai lima kekuatan batin dan delapan pencapaian Jhàna. 

Ia melewatkan waktunya dengan berdiam dalam kebahagiaan 

Jhàna.

lalu   Buddha Anomadassã muncul di dunia ini dan 

mengembara dari satu tempat ke tempat lain disertai oleh banyak 

siswa Ariya. Petapa yang kelak menjadi Yang Mulia Bàkula, 

bergairah mendengar berita kemunculan Buddha, Dhamma, dan 

Saÿgha di dunia ini. Ia mengunjungi Buddha Anomadassã dan 

sesudah   mendengarkan khotbah Buddha, berlindung dalam Tiga 

Perlindungan. Ia tidak ingin meninggalkan gunung itu dan tetap 

menjadi seorang petapa yang sering mengunjungi Buddha untuk 

mendengarkan Dhamma.

Suatu hari Buddha menderita sakit perut. Saat mengunjungi Buddha, 

petapa itu diberitahukan mengenai penyakit Buddha.Petapa itu 

kembali ke gunungnya dan dengan gembira menangkap kesempatan 

untuk mendapatkan jasa, ia mengumpulkan tanaman-tanaman yang 

ia gunakan sebagai obat untuk Buddha. Ia menyerahkan obat itu 

kepada bhikkhu pelayan untuk diberikan kepada Buddha. Hanya 

satu dosis yang diperlukan untuk menyembuhkan sakit perut yang 

diderita Buddha.

2756


sesudah   Buddha sembuh, petapa itu mendekati Buddha dan 

mengucapkan keinginannya:

“Yang Mulia, aku membawa obat untuk menyembuhkan penyakit 

Bhagavà. Atas kebajikan ini, semoga aku, dalam perjalananku 

dalam saÿsàra, terbebas dari segala penyakit, tidak menderita 

penyakit yang teringan sekalipun bahkan selama waktu yang 

diperlukan untuk memerah susu sapi.” Demikianlah kebajikan yang 

menakjubkan yang dilakukan oleh bakal Bàkula dalam kehidupan 

lampau.

Bercita-cita untuk Menjadi yang Terbaik Dalam Hal Kesehatan

sesudah   meninggal dunia dari kehidupan itu, si petapa terlahir 

kembali di alam brahmà, dan sesudah   kehidupan sebagai brahmà, 

ia terlahir kembali hanya di alam dewa dan alam manusia silih 

berganti selama satu asaïkhyeyya kappa. Pada masa kehidupan 

Buddha Padumuttara, ia terlahir kembali dalam keluarga kaya 

di Haÿsàvatã. Pada suatu kesempatan ia menyaksikan Buddha 

menyatakan seorang bhikkhu sebagai yang terbaik dalam hal 

kesehatan dan kebebasan dari penyakit, dan ia bercita-cita untuk 

mendapatkan gelar yang sama pada masa depan. Ia memberi   

persembahan besar kepada Buddha dan Saÿgha (seperti biasa yang 

dilakukan oleh para Thera istimewa lainnya), dan mengungkapkan 

cita-citanya. Buddha mengucapkan ramalan bahwa cita-citanya 

akan tercapai.

Sebagai Seorang Petapa Penyembuh Penyakit

Orang kaya itu seumur hidupnya melakukan banyak kebajikan dan 

saat meninggal dunia, ia terlahir kembali hanya di alam bahagia. 

lalu   sembilan puluh satu siklus dunia sebelum siklus dunia 

sekarang ini, ia terlahir kembali dalam keluarga brahmana di Kota 

Bandhumatã, menjelang kemunculan Buddha Vipassã. Seperti pada 

kehidupan lampaunya pada masa Buddha Anomadassã, ia menjadi 

petapa dan menetap di kaki sebuah gunung, menikmati kebahagiaan 

pencapaian Jhàna.

2757

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

lalu   Buddha Vipassã muncul di dunia ini dan mengembara 

disertai oleh enam juta delapan ratus ribu bhikkhu (Arahanta), 

dengan Bandhumatã sebagai sumber dàna makanan, di mana 

Beliau membabarkan khotbah kepada ayahnya, Raja Bandhuma. 

lalu   Beliau menetap di Taman Rusa yang disebut Khemà, 

‘Hutan Lindung’.

Sang petapa, bakal Bàkula, mendengar berita tentang munculnya 

Buddha di dunia ini. Ia mendatangi Buddha Vipassã, dan sesudah   

mendengar khotbah Buddha, ia menjadi seorang siswa Buddha. 

Meskipun ia berlindung dalam Tiga Perlindungan, ia tidak ingin 

meninggalkan gunung itu dan tetap menjadi seorang petapa, yang 

sering berkunjung ke vihàra dan melayani Buddha.

Suatu hari, Saÿgha, dengan perkecualian dua Siswa Utama dan 

Buddha sendiri, semua yang lainnya, menderita sakit kepala yang 

disebabkan oleh serbuk sari bunga beracun yang tertiup angin 

yang berasal dari tanaman beracun yang tumbuh di Himavanta. 

saat   sang petapa mengunjungi Buddha dan melihat para bhikkhu 

yang sakit dengan kepala tertutup, ia bertanya kepada seorang 

bhikkhu mengenai pemicu   penyakit itu dan sesudah   diberitahukan 

pemicu  nya, ia berpikir bahwa itu yaitu   kesempatan untuk 

melayani para bhikkhu yang sakit dan mendapatkan jasa. Ia 

mengumpulkan tanaman dan menyiapkan obat, dan memberi  nya 

kepada para bhikkhu yang sakit yang segera menjadi sembuh.

Memperbaiki Vihàra Tua

sesudah   hidup hingga umur kehidupan maksimum sebagai seorang 

petapa, ia meninggal dunia dan terlahir kembali di alam brahmà. 

sesudah   kehidupan itu, ia mengembara hanya di alam bahagia 

selama sembilan puluh satu kappa saat tiba masa pengajaran 

Buddha Kassapa. Saat itu, ia terlahir sebagai seorang perumah 

tangga di Bàràõasã. Suatu hari ia pergi ke negeri yang jauh bersama 

sekelompok tukang kayu untuk mengumpulkan kayu untuk 

memperbaiki rumahnya yang memerlukan perbaikan. Dalam 

perjalanan itu, ia menemukan sebuah bangunan vihàra tua dalam 

keadaan yang rusak. Ia mempertimbangkan bahwa memperbaiki 

2758


rumahnya tidak akan menghasilkan jasa yang mendukung 

kehidupan masa depannya dan bahwa memperbaiki vihàra akan 

menghasilkan jasa itu. Ia mengutus kelompoknya untuk mencari 

kayu dari hutan dan memperbaiki vihàra ini  , menambahkan 

dapur baru, ruang makan baru, perapian baru untuk digunakan 

selama musim dingin, jalan setapak, kamar mandi berair panas, 

lemari makanan, toilet, klinik, kotak obat dan obat-obatan, salep, 

pembantu pernapasan, dan lain-lain. Semua ini dipersembahkan 

kepada Saÿgha.

(b) Kehidupan pertapaan dalam kehidupan terakhir

Orang kaya itu mengabdikan dirinya untuk melakukan banyak 

kebajikan hingga akhir hidupnya. Dan selama masa antara yang 

tidak terhingga lamanya antara munculnya Dua Buddha ia hanya 

terlahir di alam dewa dan alam manusia silih berganti. Pada masa 

Buddha Gotama, sebelum Buddha mencapai Pencerahan Sempurna, 

ia dikandung dalam rahim istri seorang pedagang di Kosambã. 

Orangtuanya mencapai puncak keberuntungan dan kemasyhuran 

sejak saat ia di dalam kandungan. Ibunya percaya bahwa anaknya 

memiliki jasa masa lampau yang besar, dan pada hari ia melahirkan 

anaknya, ia memandikan bayinya di Sungai Yamunà demi 

kesehatannya dan panjang umurnya. Hal ini dilakukan dalam suatu 

Ritual  . (Para pembaca Majjhima Nikàya menyebutkan bahwa bayi 

itu dimandikan di sungai pada hari kelima sesudah   ia dilahirkan.)

Pengasuh yang membawa bayi itu ke sungai, bermain-main dengan 

menenggelamkannya ke air dan lalu   mengangkatnya. 

Sewaktu ia melakukan hal itu, seekor ikan besar di dekatnya keliru 

menganggap anak itu sebagai makanan. Pengasuh itu ketakutan 

dan berlari meninggalkan anak itu ditelan oleh ikan itu.

Tetapi sebab   anak itu memiliki jasa masa lampau yang besar, ia 

tidak merasa kesakitan saat ditelan oleh ikan itu. Ia merasa nyaman 

berada di dalam perut ikan itu, seolah-olah berbaring di atas tempat 

tidur. (Jika anak lain, pasti akan mati sesaat  . Tetapi sebab   anak itu 

punya kekuatan kamma untuk menjadi seorang Arahanta, kekuatan 

Arahatta-Magga yang terpendam dalam dirinya menyelamatkannya. 

2759

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

Ini yaitu   sejenis iddhi (kekuatan batin) yang disebut ¥Ã Ãµavipphara 

iddhi). Ikan itu menderita kesakitan luar biasa sebab   kekuatan 

korban di dalam perutnya. Ia merasa seolah-olah telah menelan 

bola besi, ia berenang ke hilir sejauh tiga puluh yojanà hingga tiba 

di Bàràõasã dan lalu   tertangkap dalam jaring nelayan. Ikan 

besar biasanya tidak mati di dalam jaring, ikan itu biasanya harus 

dipukul sampai mati, tetapi dalam kasus ini, sebab   kekuatan anak 

di dalam perutnya, ia mati dengan sendirinya dan tidak diperlukan 

pemukulan. Dan kebiasaan para nelayan yaitu   memotong ikan 

itu menjadi beberapa potong dan lalu   dijual. Tetapi dalam 

kasus ini, anak di dalam perut ikan itu memiliki kekuatan untuk 

mencegah pemotongan itu. Si nelayan memikul ikan itu di bahunya 

dengan memakai   gandar dan pergi untuk mencari pembeli, 

menyebutkan harga seribu keping uang. Harga itu terlalu mahal 

dan melampaui kewajaran sehingga para warga   Bàràõasã tidak 

mau membelinya.

Di Bàràõasã terdapat seorang pedagang yang memiliki harta delapan 

puluh crore yang tidak memiliki anak. Pelayannya membeli ikan 

itu seharga seribu keping uang. Biasanya, kegiatan menyiapkan 

makanan seperti memotong ikan dilakukan oleh istri si pedagang. 

Dalam kasus ini, si istri pergi ke dapur dan memotong ikan itu, bukan 

di bagian perut seperti biasanya, tetapi di bagian punggung. Hal ini 

yaitu   berkat kekuatan anak yang ada di dalam perut ikan ini  . 

Ia terperanjat melihat seorang bayi tampan berada di dalam ikan 

ini  . Ia mengeluarkan bayi keemasan itu, dan menggendongnya 

dan berteriak, “Aku mendapat anak! Aku mendapatkannya dari 

dalam perut ikan!” dengan gembira ia menunjukkannya kepada 

suaminya yang segera mengumumkan penemuan aneh (bayi 

hidup itu) dengan tabuhan genderang di dalam kota. lalu   ia 

melaporkan hal itu kepada raja yang berkata, “Bayi yang bertahan 

hidup di dalam perut ikan pasti yaitu   seorang yang memiliki jasa 

besar. Biarkan ia tetap dalam perawatanmu.”

Nama Bàkula

Orangtua kandung bayi itu di Kosambã mendengar berita tentang 

seorang anak yang ditemukan di dalam perut ikan di Bàràõasã 

2760


dan mereka pegi ke Bàràõasã untuk mencari informasi. Mereka 

melihat anak itu dihias dengan mewah, bermain di rumah seorang 

kaya di Bàràõasã “Betapa tampannya anak ini!” Sang ibu kandung 

mengatakan bahwa anak itu yaitu   anaknya. Si ibu pengasuh 

tidak mau mendengarnya dan mengatakan “Tidak, anak ini yaitu   

anakku.”

Ibu kandung, “Di manakah engkau menemukan anak ini?”

Ibu pengasuh, “Aku menemukannya di perut ikan.”

Ibu kandung, “Kalau begitu, ini bukan anakmu. Ini anakku.”

Ibu pengasuh, “Di manakah engkau menemukannya?”

Ibu kandung, “Aku mengandungnya dan ia keluar dari rahimku 

sesudah   sepuluh bulan dalam kandungan, aku memandikannya di 

Sungai Yamunà dan ia ditelan oleh seekor ikan besar.”

Ibu pengasuh, “Mungkin ikan yang lain yang menelan anakmu. 

Tetapi benar aku menemukan anak ini dari dalam perut seekor 

ikan.”

Demikianlah kedua ibu itu mengakui anak itu sebagai anak mereka. 

Masalah ini dilaporkan kepada raja untuk diputuskan.

Raja Bàràõasã memutuskan sebagai berikut, “Istri dari pedagang 

Kosambã ini yaitu   ibu kandung yang sah, menuntut anak ini 

sebagai anaknya. Di pihak lain, istri pedagang Bàràõasã juga 

memiliki alasan untuk menuntut anak ini. sebab   saat   seseorang 

membeli seekor ikan, bagian dalam dari ikan itu tidak dikeluarkan 

oleh si penjual sehingga si pembeli mendapatkan seluruh ikan 

ini  . Anak yang berada di dalam perut ikan itu juga sah menjadi 

miliknya. Ibu pertama berhak atas anak itu sebagai ibu kandung. 

Ibu kedua juga berhak atas anak itu sebagai pemberian. Masing-

masing berhak atas anak itu, dan anak itu berhak mendapatkan 

warisan dari kedua keluarga. Sejak saat itu, kedua keluarga itu 

mendapatkan keberuntungan dan kemasyhuran yang tidak diduga-

duga. Dan anak itu mendapatkan kemewahan dari kedua keluarga 

itu. Namanya yaitu   Bàkula Kumàra, Bàkula putra pedagang.

2761

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

Kehidupan Mewah Bàkula

Saat Bàkula dewasa, kedua pasang orangtuanya membangun tiga 

istana sebagai tempat tinggal di tiga musim di Kosambã dan Bàràõasã. 

Ia melewatkan empat bulan di masing-masing kota, dilayani oleh 

banyak pelayan dan gadis-gadis penghibur. saat   ia pindah dari 

satu kota ke kota lainnya pada akhir empat bulan itu, ia melakukan 

perjalanan dengan penuh kemegahan dengan menumpang perahu 

besar dihibur oleh gadis-gadis penari. Tempat kediaman antara dua 

kota itu juga ditempati selama empat bulan. Gadis-gadis penghibur 

pada setiap kota dibagi dalam kelompok yang berjumlah sama, 

yaitu, satu kelompok pengantar yang melayani di atas perahu selama 

dua bulan, dan sesudah  nya mereka beristirahat (sesudah   setengah 

perjalanan) dan digantikan oleh kelompok penyambut. Putra 

pedagang itu melewatkan empat bulan dengan penuh kenyamanan 

di tempat baru lalu   ia pindah lagi dengan cara yang sama. 

Ia melewatkan delapan puluh tahun kehidupannya dengan cara 

demikian.

Kebhikkhuan Bàkula dan Kearahattaan

saat   Bàkula berusia delapan puluh tahun, Buddha Gotama 

telah mencapai Pencerahan Sempurna. sesudah   membabarkan 

Khotbah Pertama, Dhammacakka, Buddha mengembara, 

melakukan perjalanan secara bertahap, dan tiba di Kosambã. 

(menurut para pembaca Majjhima Nikàya, ia tiba di Bàràõasã). 

Mengetahui kedatangan Buddha, jasa masa lampaunya yang tidak 

tertandingi mengingatkan Bàkula untuk pergi menjumpai Buddha. 

memberi   persembahan bunga dan wewangian kepada Buddha, 

ia mendengarkan khotbah Buddha yang menambah keyakinannya 

sehingga ia menjalani kehidupan kebhikkhuan. Sebagai seorang 

bhikkhu, ia hanya menjadi bhikkhu awam hanya selama tujuh hari. 

Saat dini hari pada hari kedelapan ia mencapai Kearahattaan lengkap 

dengan empat Pengetahuan Analitis.

Pada waktu itu, gadis-gadis yang dulu melayaninya telah kembali ke 

rumah orangtua mereka masing-masing di Bàràõasã dan Kosambã. 

Mereka setia kepada Bàkula dan membuatkan jubah kepada bhikkhu 

2762


tua itu yang memakai jubah persembahan mereka secara bergiliran, 

setengah bulan mengenakan jubah yang dipersembahkan dari 

Kosambã, dan setengah bulan lagi mengenakan jubah persembahan 

dari Bàrànasã. Selain itu, para warga   kedua kota itu juga 

memberi   persembahan istimewa kepadanya yang terdiri dari 

makanan dan barang-barang baik yang mereka miliki.

(c) Gelar Etadagga

Selama delapan puluh tahun menjalani kehidupan rumah tangga, 

Bàkula tidak pernah menderita penyakit bahkan yang ringan 

sekalipun. sesudah   berusia delapan puluh tahun ia menjadi 

bhikkhu dengan penuh kepuasan dan sebagai seorang bhikkhu 

juga ia menikmati kesehatan yang sempurna. Terlebih lagi, ia tidak 

pernah kekurangan empat kebutuhan bhikkhu. Demikianlah, pada 

lalu   hari, saat   Buddha sedang berdiam di Vihàra Jetavana 

di Sàvatthã, di tengah-tengah pertemuan para bhikkhu, Beliau 

menyatakan:

“Etadaggaÿ bhikkhave mama sàvakànaÿ bhikkhÃ¥naÿ 

appàbàdhànaÿ yadidaÿ Bàkulo,” “Para bhikkhu, di antara para 

bhikkhu siswa-Ku yang memiliki kesehatan yang baik, yang bebas 

dari penyakit, Bhikkhu Bàkula yaitu   yang terbaik.”

Hal Menakjubkan Sehubungan Dengan Bàkula

Sehubungan dengan hal ini, beberapa peristiwa ajaib yang 

berhubungan dengan Yang Mulia Bàkula seperti yang terdapat 

dalam Bàkula Sutta, Uparipaõõàsa, akan dikutipkan di sini.

Suatu saat   Yang Mulia Bàkula sedang berdiam di Ràjagaha di 

Vihàra Veëuvana saat   petapa telanjang Kassapa yang merupakan 

teman Yang Mulia Bàkula sewaktu masih menjadi orang awam 

datang menemuinya. sesudah   saling bertukar sapa, ia duduk di 

tempat yang semestinya dan berkata kepada Yang Mulia Bàkula, 

“Teman Bàkula, sudah berapa lama engkau menjadi seorang 

bhikkhu?” “Teman, aku telah menjadi bhikkhu selama delapan 

puluh tahun.” “Teman Bàkula, selama delapan puluh tahun ini, 

2763

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

berapa kali engkau melakukan hubungan seksual?” ini yaitu   

pertanyaan kasar yang diajukan oleh seorang petapa telanjang. 

lalu   Yang Mulia Bàkula mengungkapkan beberapa hal 

menakjubkan dan luar biasa tentang dirinya sebagai berikut:

(1) “Teman Kassapa, engkau seharusnya tidak mengajukan 

pertanyaan itu kepadaku: ‘Teman Bàkula, selama delapan puluh 

tahun ini, berapa kali engkau melakukan hubungan seksual?’ Teman 

Kassapa, seharusnya engkau mengajukan pertanyaan: ‘Teman 

Bàkula, selama delapan puluh tahun ini, berapa kali persepsi yang 

berhubungan dengan kenikmatan indria (kàma sa¤¤Ã ) muncul 

dalam dirimu?’ Teman Kassapa, aku telah menjadi bhikkhu selama 

delapan puluh tahun (saat itu usia Yang Mulia Bàkula yaitu   160 

tahun.) Selama delapan puluh tahun ini tidak pernah muncul 

dalam diriku persepsi yang berhubungan dengan kenikmatan 

indria.” (Fakta bahwa tidak ada kesadaran yang berhubungan 

dengan kenikmatan indria yaitu   fakta menakjubkan dari Yang 

Mulia Bàkula.)

(2),(3) “Teman Kassapa, aku telah menjadi bhikkhu selama delapan 

puluh tahun. Selama delapan puluh tahun ini tidak pernah muncul 

dalam diriku persepsi yang berhubungan dengan kebencian 

(vyàpàda sa¤¤Ã ) atau persepsi yang berhubungan dengan pikiran 

mencelakai makhluk lain (vihiÿsà sa¤¤Ã ).”

(Fakta bahwa tidak ada persepsi yang berhubungan dengan 

kebencian yang pernah muncul dalam diri Yang Mulia Bàkula 

yaitu   fakta yang menakjubkan; bahwa tidak ada persepsi yang 

berhubungan dengan kekerasan terhadap makhluk lain yang 

pernah muncul dalam diri Yang Mulia Bàkula yaitu   fakta yang 

menakjubkan dari Yang Mulia Bàkula.)

(4) “Teman Kassapa, aku telah menjadi bhikkhu selama delapan 

puluh tahun. Selama delapan puluh tahun ini tidak pernah muncul 

dalam diriku pikiran-pikiran yang berhubungan dengan nafsu 

seksual.” (Fakta bahwa tidak ada pikiran nafsu seksual yang pernah 

muncul dalam diri Yang Mulia Bàkula yaitu   fakta menakjubkan 

dari Yang Mulia Bàkula.)

2764


(5),(6) “Teman Kassapa, aku telah menjadi bhikkhu selama delapan 

puluh tahun. Selama delapan puluh tahun ini tidak pernah muncul 

dalam diriku pikiran-pikiran jahat.” (Fakta bahwa tidak ada pikiran 

jahat yang pernah muncul dalam diri Yang Mulia Bàkula yaitu   

fakta menakjubkan dari Yang Mulia Bàkula.)

(7) “Teman Kassapa, aku telah menjadi bhikkhu selama delapan 

puluh tahun. Selama delapan puluh tahun ini aku tidak pernah 

menerima jubah yang dipersembahkan oleh umat awam yang tidak 

memiliki hubungan keluarga denganku.” (Tidak menerima jubah 

yang dipersembahkan oleh mereka yang bukan sanak-keluarganya 

yaitu   fakta menakjubkan dari Yang Mulia Bàkula.)

(8) “Teman Kassapa, aku telah menjadi bhikkhu selama delapan 

puluh tahun. Selama delapan puluh tahun ini aku tidak pernah 

memotong bahan jubah dengan pisau.” (Tidak pernah memotong 

bahan jubah yaitu   fakta menakjubkan dari Yang Mulia Bàkula.)

(9-33) “Teman Kassapa, aku telah menjadi bhikkhu selama delapan 

puluh tahun. Selama delapan puluh tahun ini aku tidak pernah 

menjahit jubah dengan jarum.

Aku tidak pernah mencelup jubah.

Aku tidak pernah menjahit jubah kathina.

Aku tidak pernah terlibat dalam pembuatan jubah bhikkhu lain.

Aku tidak pernah menerima persembahan makanan di rumah 

umat awam.

Aku tidak pernah berpikir, ‘Baik sekali jika seseorang 

mengundangku.’

Aku tidak pernah duduk di dalam rumah.

Aku tidak pernah makan di sebuah desa atau kota.

Aku t idak per nah melir ik perempuan untuk melihat 

kecantikannya.

Aku tidak pernah membabarkan khotbah kepada perempuan, 

bahkan hanya satu bait syair yang terdiri dari empat baris.

(Seorang bhikkhu sebaiknya membabarkan khotbah kepada 

perempuan dalam lima atau enam kata. Jika seorang perempuan 

2765

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

mengajukan pertanyaan yang berhubungan dengan Dhamma, 

seorang bhikkhu boleh menjawabnya sebanyak ribuan bait syair. 

Tetapi Yang Mulia Bàkula tidak pernah membabarkan khotbah 

kepada perempuan. Membabarkan khotbah kepada umat awam 

yaitu   pekerjaan para bhikkhu yang memiliki kemelekatan terhadap 

mereka. Hal ini harus diingat.)

Aku tidak pernah berada di dekat vihàra bhikkhunã.

(seorang bhikkhu boleh mengunjungi bhikkhunã yang sedang sakit. 

Tetapi Yang Mulia Bàkula tidak pernah melakukannya. Dalam setiap 

peraturan di mana terdapat pengecualian, Yang Mulia Bàkula tidak 

pernah memanfaatkan pengecualian itu.)

Aku tidak pernah membabarkan khotbah kepada bhikkhunã.

Aku tidak pernah membabarkan khotbah kepada bhikkhunã yang 

masih dalam masa percobaan.

Aku tidak pernah membabarkan khotbah kepada sàmaõerã.

Aku tidak pernah menahbiskan seseorang menjadi sàmaõera.

Aku tidak pernah bertindak sebagai penahbis kepada seorang bakal 

bhikkhu.

Aku tidak pernah memberi   instruksi kepada bhikkhu lain.

Aku tidak pernah membiarkan sàmaõera melayaniku.

Aku tidak pernah mandi di kamar mandi.

Aku tidak pernah memakai   bedak-mandi.

Aku tidak pernah membiarkan diriku dipijat oleh bhikkhu lain.

Aku tidak pernah sakit bahkan selama waktu yang diperlukan untuk 

memerah setetes susu.

Aku tidak pernah meminum obat-obatan sedikit pun.

Aku tidak pernah berbaring di atas kasur.”

(Ini yaitu   fakta menakjubkan sehubungan dengan Yang Mulia 

Bàkula.)

(34) “Teman Kassapa, aku telah menjadi bhikkhu selama delapan 

puluh tahun. Selama delapan puluh tahun ini aku tidak pernah 

menjalani vassa di dekat sebuah desa.” (Selalu menetap di dalam 

hutan selama menjadi bhikkhu yaitu   fakta menakjubkan dari 

Yang Mulia Bàkula.)

2766


(35) “Teman Kassapa, aku tetap berada dalam keadaan tidak suci 

(sebagai orang awam) hanya selama tujuh hari sesudah   menjadi 

bhikkhu, memakan makanan yang dipersembahkan oleh para 

warga  . Pada hari kedelapan, Pengetahuan Arahatta-Phala 

muncul dalam diriku.” (Bahwa Yang Mulia Bàkula mencapai 

Kearahattaan pada hari kedelapan sejak menjadi bhikkhu yaitu   

fakta menakjubkan dari Yang Mulia Bàkula.)

(sesudah   mendengarkan fakta menakjubkan dan luar biasa tentang 

Yang Mulia Bàkula, petapa telanjang Kassapa memohon agar Yang 

Mulia Bàkula menahbiskannya menjadi seorang bhikkhu. Yang 

Mulia Bàkula tidak bertindak sebagai penahbis tetapi mencari 

bhikkhu yang tepat untuk bertindak sebagai penahbis. Kassapa 

ditahbiskan menjadi seorang bhikkhu. Dan tidak lama lalu  , 

Yang Mulia Kassapa, yang dengan tekun berlatih praktik mulia, 

akhirnya mencapai Arahatta-Phala dan menjadi Arahanta.)

(36) lalu   suatu hari, Yang Mulia Bàkula, dengan memegang 

kuncinya, pergi dari satu vihàra ke vihàra lainnya dan mengumumkan, 

“Para mulia, datanglah; para mulia, datanglah! Hari ini, aku akan 

mencapai Parinibbàna!” (Fakta bahwa Yang Mulia Bàkula mampu 

melakukan hal itu yaitu   fakta menakjubkan dari Yang Mulia 

Bàkula.)

(37) saat   Saÿgha diberitahukan demikian dan para bhikkhu 

telah berkumpul, Yang Mulia Bàkula, merenungkan bahwa seumur 

hidupnya, ia tidak pernah menyusahkan bhikkhu lain, dan juga 

pada saat kematiannya ia juga tidak ingin menyusahkan bhikkhu 

lain untuk mengurus jenazahnya, berkehendak bahwa tubuhnya 

akan habis terbakar dengan sendirinya. Ia duduk di tengah-tengah 

kerumunan para bhikkhu, memasuki Jhàna dengan berkonsentrasi 

pada unsur panas dan meninggal dunia. Segera sesudah   ia meninggal 

dunia, tubuhnya terbakar dari api yang muncul dari dalam tubuhnya 

dan hanya ada sedikit relik-relik yang menyerupai kuntum melati. 

(Fakta bahwa ia meninggal dunia di tengah-tengah kerumunan 

para bhikkhu juga merupakan fakta menakjubkan dari Yang Mulia 

Bàkula.)

2767

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

Demikianlah kisah Thera Bàkula

(34) Thera Sobhita

(a) Cita-cita masa lampau

Bakal Sobhita terlahir dalam keluarga kaya di Kota Haÿsàvatã pada 

masa kehidupan Buddha Padumuttara. Sewaktu mendengarkan 

khotbah Buddha, ia menyaksikan seorang bhikkhu yang dinyatakan 

sebagai bhikkhu terbaik di antara para siswa bhikkhu yang mampu 

mengingat kehidupan masa lampau mereka. Ia bercita-cita untuk 

mendapat kehormatan itu pada masa depan, dan sesudah   memberi   

persembahan besar kepada Buddha, ia mengungkapkan cita-citanya. 

Buddha pun mengucapkan ramalan-Nya.

(b) Kehidupan pertapaan dalam kehidupan terakhir

Orang kaya itu melakukan banyak kebajikan seumur hidupnya dan 

saat meninggal dunia, ia terlahir kembali hanya di alam bahagia. 

Pada masa Buddha Gotama, ia terlahir dalam keluarga berkasta 

brahmana di Sàvatthã. Ia bernama Sobhita.

Sobhita muda sering mendengarkan khotbah Buddha dan 

saat   keyakinannya tumbuh berkembang, ia menjadi seorang 

bhikkhu, melatih praktik mulia dan mencapai Kearahattaan. Ia 

memiliki kekuatan istimewa dalam mengingat kehidupan lampau 

(Pubbenivàsa ¥Ã Ãµa).

(c) Gelar Etadagga

Lima ratus siklus dunia yang lalu terhitung dari siklus dunia 

sekarang ini, bakal Sobhita, di bawah ajaran kepercayaan lain, telah 

melatih Jhàna Alam Bentuk yang tidak memiliki kesadaran. Sewaktu 

ia berdiam dalam Jhàna Keempat, ia meninggal dunia tanpa terjatuh 

dari Jhàna ini   dan terlahir kembali di alam bentuk di mana 

ia hidup selama lima ratus siklus dunia yang merupakan umur 

kehidupan maksimum di alam itu.

2768


sesudah   meninggal dunia dari alam itu, ia terlahir kembali di alam 

manusia sebagai Sobhita, pemuda brahmana. sebab   ia telah 

matang untuk mencapai Pencerahan, ia menjadi seorang bhikkhu 

dalam Dhamma (dari Buddha Gotama) ini, berusaha dengan tekun 

untuk mencapai Kearahattaan, dan mencapainya, dan memiliki Tiga 

Kekuatan, yaitu, kekuatan mengingat kehidupan lampau, kekuatan 

mata-dewa, dan kekuatan pemadaman àsava.

Suatu hari ia mempraktikkan kekuatan mengingat kehidupan 

lampau, ia melihat kelahirannya pada kehidupan sekarang dan 

mundur lagi, ia dapat melihat kematiannya (yaitu, saat kesadaran-

kematian) pada kehidupan kedua yang terakhir. Tetapi ia tidak 

dapat melihat kehidupan keduanya yang terakhir di alam bentuk 

yang tidak memiliki kesadaran.

(Kekuatan mengingat kehidupan lampau didasarkan pada 

mengingat kembali saat kesadaran-kematian dan saat kesadaran 

kelahiran kembali pada kehidupan lampau. Kekuatan ini hanya 

berhubungan pada fenomena batin seperti memahami hubungan 

sebab dari proses-proses batin yang berdekatan. alam bentuk 

asa¤¤Ã satta yang tidak memiliki kesadaran tidak dapat dilihat 

melalui kekuatan ini―Sàrattha òãkà, Vol. 2)

Demikianlah kehidupannya yang kedua terakhir sebab   tidak 

memiliki fenomena batin sehingga tidak dapat diketahui bahkan 

melalui kekuatan mengingat kehidupan lampau, Yang Mulia Sobhita 

memakai  n intuisinya sebagai berikut, “Semua makhluk yang 

mengembara dalam lingkaran kelahiran kembali tidak ada sesaat 

pun tanpa munculnya kelompok kehidupan (khandha). Makhluk 

yang terlahir di alam bentuk yang hampa dari kesadaran memiliki 

umur kehidupan sepanjang lima ratus siklus dunia. sebab   itu aku 

pasti terlahir di alam itu dan hidup tanpa kesadaran. Itu pastilah 

kehidupan terakhir keduaku.” Demikianlah bagaimana Yang Mulia 

Sobhita mengetahui kehidupan lampaunya.

Mengingat kembali kehidupan lampau seseorang yang terlahir di 

alam bentuk yang tidak memiliki kesadaran hanya dikuasai oleh 

2769

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

para Buddha saja, kesimpulan yang ditarik oleh Yang Mulia Sobhita 

yaitu   keterampilan batin yang luar biasa bagaikan menembak bulu 

yak dengan anak panah bulu yak, atau bagaikan meninggalkan 

jejak di angkasa. sebab   itu dengan merujuk kekuatan yang tanpa 

tandingan yang dimiliki Yang Mulia Sobhita, Buddha, pada suatu 

kesempatan, menyatakan:

“Etadaggaÿ bhikkhave mama sàvakànaÿ bhikkhÃ¥naÿ 

pubbenivàsaÿ anussarantànaÿ yadidaÿ Sobhito,” “Para bhikkhu, 

di antara para bhikkhu siswa-Ku yang memiliki kekuatan mengingat 

kehidupan lampau, Sobhita yaitu   yang terbaik.”

(Untuk penjelasan lengkap mengenai keterampilan luar biasa 

dari Yang Mulia Sobhita, baca Vinaya Pàràjika, Pàràjika keempat, 

yang diakhiri dengan Vinãta vatthu, dan Komentar serta 

Subkomentarnya.)

Demikianlah kisah Thera Sobhita

(35) Thera Upàli

(a) Cita-cita masa lampau

Bakal Upàli terlahir dalam keluarga kaya di Kota Haÿsàvatã pada 

masa kehidupan Buddha Padumuttara. Sewaktu mendengarkan 

khotbah Buddha, ia menyaksikan seorang bhikkhu yang dinyatakan 

sebagai bhikkhu terbaik di antara para siswa bhikkhu yang mematuhi 

Aturan Vinaya. Ia bercita-cita untuk mendapat kehormatan yang 

sama pada masa depan, dan sesudah   memberi   persembahan 

besar kepada Buddha, ia mengungkapkan cita-citanya. Dan Buddha 

mengucapkan ramalan-Nya.

(b) Kehidupan pertapaan dalam kehidupan terakhir

Orang kaya itu melakukan banyak kebajikan seumur hidupnya dan 

saat meninggal dunia ia terlahir kembali hanya di alam bahagia. 

Pada masa Buddha Gotama, ia terlahir dalam keluarga tukang cukur, 

ia bernama Upàli. saat   dewasa ia bekerja sebagai tukang cukur 

2770


bagi enam Pangeran Sakya, yaitu, Bhaddiya, Anuruddhà, Kimbila, 

Bhagu, ânanda, dan Devadatta. Dan saat   enam Pangeran Sakya itu 

melepaskan keduniawian dan bergabung dengan Buddha di Hutan 

Mangga Anupiya, Upàli juga menjadi bhikkhu bersama mereka.

sesudah   menjadi seorang bhikkhu, Yang Mulia Upàli mendengarkan 

khotbah Buddha dan berkata:

“Yang Mulia, sudilah Bhagavà mengizinkan aku untuk menetap di 

dalam hutan.” Buddha menjawab, “Anak-Ku, jika engkau menetap di 

dalam hutan, engkau hanya melatih Pandangan Cerah. Jika engkau 

menetap bersama-Ku, engkau akan dapat melatih Pandangan 

Cerah dan juga dalam belajar.” Yang Mulia Upàli dengan gembira 

menyetujui, dan dengan tekun akhirnya ia berhasil mencapai 

Kearahattaan tidak lama sesudah   itu. lalu   Bhagavà secara 

pribadi mengajarkan Vinaya kepada Yang Mulia Upàli.

(c) Gelar Etadagga

Upàli terbukti menjadi siswa yang terbaik dalam hal peraturan 

Vinaya dengan peraturan-peraturannya dalam tiga kasus, yaitu: (1) 

Bhàrukacchaka vatthu (2) Ajjuka vatthu, dan (3) Kumàra Kassapa 

vatthu.

Kisah Bhikkhu Bhàrukacchà

Seorang bhikkhu dari Bhàrukaccha bermimpi bahwa ia melakukan 

hubungan seksual dengan mantan istrinya. Ia merasa cemas—”Aku 

bukan lagi seorang bhikkhu,” dengan pertimbangan demikian ia 

pulang ke kampung halamannya, dengan niat untuk kembali kepada 

kehidupan awam. Dalam perjalanan itu ia bertemu dengan Yang 

Mulia Upàli dan menceritakan pengalamannya kepada Yang Mulia 

Upàli. Yang Mulia Upàli berkata, “Teman, apa yang engkau lakukan 

dalam mimpi bukan merupakan pelanggaran peraturan Vinaya.” 

(Peristiwa ini tercatat dalam Vinaya Pàràjika.) Bhàrukaccha yaitu   

sebuah kota pelabuhan.

Yang Mulia Upàli memberi   keputusan terhadap hal-hal yang 

2771

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

belum ditetapkan oleh Buddha. Vinaya tidak menganggap mimpi 

sebagai (aktivitas kehendak) yang salah. Tetapi ia mengetahui 

bahwa mimpi basah bukanlah pelanggaran dan dengan demikian 

ia memutuskan dengan benar bahwa bhikkhu dari Bhàrukaccha 

itu tidak bersalah.

saat   Buddha mengetahui keputusan itu, Beliau memuji Yang Mulia 

Upàli dengan berkata, “Para bhikkhu, Upàli telah memutuskan 

masalah itu dengan benar. Ia telah melakukan sesuatu bagaikan 

seseorang yang meninggalkan jejak kakinya di angkasa.”

Kisah Bhikkhu Ajjuka

Suatu saat   di Kota Vesàlã, seorang umat dari Yang Mulia Ajjuka 

yang memiliki seorang putra dan seorang keponakan sebagai calon 

penerusnya mempercayakan kepada Yang Mulia Ajjuka secara 

pribadi. Ia berkata, “Yang Mulia, ini yaitu   putraku dan ini yaitu   

keponakanku. Sudilah Yang Mulia menunjukkan tempat di mana 

hartaku tersimpan kepada salah satu dari mereka yang berkeyakinan 

kepada Tiga Permata.” sesudah   membuat wasiat itu, umat awam 

ini   meninggal dunia.

Yang Mulia Ajjuka melihat bahwa keponakan si almarhum lebih 

berkeyakinan terhadap Tiga Permata dan sebab   itu ia menunjukkan 

di mana harta orang ini   tersimpan. Anak itu memakai   

harta itu dengan bijaksana dalam usahanya, sehingga kekayaan 

pamannya terpelihara dan ia mampu melakukan tindakan-tindakan 

kedermawanan.

Putra si almarhum mengadukan permasalahan itu kepada Yang 

Mulia ânanda dan bertanya, “Yang Mulia, antara seorang putra 

dan seorang keponakan, siapakah yang lebih berhak menerima 

warisan dari almarhum?”

“Umat awam, seorang putra lebih berhak.”

“Yang Mulia, Bhikkhu Ajjuka telah memberi   harta yang 

seharusnya menjadi milikku kepada sepupuku, keponakan 

2772


ayahku.”

Yang Mulia ânanda, tanpa memeriksa masalah ini  , berkata, 

“Kalau begitu, Yang Mulia Ajjuka bukan lagi seorang bhikkhu (ia 

telah jatuh dari kebhikkhuan).”

Yang Mulia Ajjuka lalu   berkata kepada Yang Mulia ânanda, 

“Teman ânanda, apa keputusanmu atas permasalahan itu.” Dalam 

kasus ini Yang Mulia Upàli memihak Yang Mulia Ajjuka. (Yang 

Mulia Upàli bukan memihak tanpa sebab. Ia memihak yang benar 

sebab   menurut peraturan Vinaya Yang Mulia Ajjuka tidak bersalah. 

Dengan kata lain, ia menegakkan Vinaya.)

lalu   Yang Mulia Upàli bertanya kepada Yang Mulia ânanda, 

“Teman ânanda, jika seorang bhikkhu diminta oleh seseorang, 

‘Serahkan hartaku kepada si anu,’ dan bhikkhu ini   melakukan 

sesuai permintaan, pelanggaran apakah yang ia lakukan?”

“Tidak ada pelanggaran apa pun, Yang Mulia, bahkan yang ringan 

sekalipun.”

“Teman ânanda, Bhikkhu Ajjuka diminta oleh pemilik harta untuk 

menyerahkannya kepada orang tertentu, dan ia menyerahkannya 

kepada anak itu (keponakan). sebab   itu, Teman ânanda, Ajjuka 

tidak melakukan pelanggaran Vinaya.”

Berita mengenai keputusan yang tepat itu sampai ke Buddha yang 

berkata, “Para bhikkhu, Upàli telah memberi   keputusan yang 

tepat,” dan memujinya.

(Ada banyak lagi peristiwa menakjubkan yang mengungkapkan 

kemuliaan Yang Mulia Upàli yang terdapat dalam Theràpadàna, 

naskah dan terjemahannya terdapat dalam Chiddapidhànaÿ, oleh 

Almarhum Mahàvisuddhàràma Sayadaw.)

Buddha mensahkan tiga peraturan Vinaya yang ditetapkan oleh 

Yang Mulia Upàli, dan setiap kali memujinya. Dan berdasarkan tiga 

contoh ini  , pada lalu   hari, Buddha, duduk di tengah-

2773

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

tengah pertemuan para bhikkhu, menyatakan:

“Etadaggaÿ bhikkhave mama sàvakànaÿ bhikkhÃ¥naÿ 

vinayadharànaÿ yadidaÿ Upàli,” “Para bhikkhu, di antara para 

bhikkhu siswa-Ku yang hidup ketat dalam peraturan Vinaya, 

Bhikkhu Upàli yaitu   yang terbaik.”

Demikianlah kisah Thera Upàli

(36) Thera Nandaka

(a) Cita-cita masa lampau

Bakal Nandaka terlahir dalam keluarga kaya di Kota Haÿsàvatã pada 

masa kehidupan Buddha Padumuttara. Sewaktu mendengarkan 

khotbah Buddha, ia menyaksikan seorang bhikkhu yang dinyatakan 

oleh Buddha sebagai bhikkhu terbaik di antara para siswa 

bhikkhu dalam hal memberi   nasihat kepada para bhikkhunã. 

Ia berkeinginan kuat untuk mendapat kehormatan yang sama 

pada masa depan. sebab   itu ia memberi   persembahan besar 

kepada Buddha dan mengungkapkan cita-citanya di depan Buddha. 

Buddha melihat bahwa cita-citanya akan tercapai dan mengucapkan 

ramalan-Nya.

(b) Kehidupan pertapaan dalam kehidupan terakhir

Orang kaya itu melakukan banyak kebajikan seumur hidupnya dan 

saat meninggal dunia ia terlahir kembali hanya di alam bahagia. Pada 

masa Buddha Gotama, ia terlahir dalam sebuah keluarga kaya di 

Sàvatthã. sesudah   dewasa, ia mendengarkan khotbah Buddha yang 

membangkitkan keyakinannya sehingga ia meninggalkan kehidupan 

awam dan menjalani kebhikkhuan. Segera sesudah   berusaha keras 

dalam praktik kebhikkhuan, ia mencapai Kearahattaan. Ia memiliki 

kekuatan mengingat kehidupan lampau. Ia juga yaitu   penceramah 

berbakat yang dapat menarik perhatian empat kelompok orang yang 

berkumpul di depan Buddha atau Saÿgha dengan keterampilannya 

dalam memberi   penjelasan. sebab   itu ia terkenal sebagai Yang 

Mulia Nandaka, Penceramah Dhamma.

2774


Pada suatu saat   Buddha terpaksa campur tangan dalam pertikaian 

antara dua kelompok para pangeran Sakya, suku Koliya dan suku 

Kapilavatthu yang tinggal di kedua sisi Sungai Rohiõi, sebab   mereka 

tidak dapat secara damai membagi air yang sedikit itu kepada para 

petani dari masing-masing kelompok. sesudah   mendamaikan kedua 

pihak itu, Buddha meminta dua ratus lima puluh pangeran dari 

masing-masing pihak untuk dijadikan bhikkhu. Lima ratus pangeran 

Sakya itu masih muda. (Mereka terikat pada keluarga mereka), dan 

tidak berbahagia sebagai bhikkhu. Buddha membawa mereka ke 

(hutan yang jauh yang di tengah-tengahnya terletak) Danau Kuõàla. 

Di sana Beliau membabarkan Kuõàla Jàtaka yang membangkitkan 

semangat mereka. Buddha mengetahui hal ini dan membabarkan 

Empat Kebenaran Mulia kepada mereka yang mengakibatkan 

mereka mencapai Sotàpatti-Phala. lalu   Buddha membabarkan 

Mahàsamaya Sutta di Hutan Mahàvana dan pada akhirnya lima 

ratus bhikkhu itu menjadi Arahanta.

Lima ratus mantan istri dari para bhikkhu yang telah meninggalkan 

kehidupan awam itu tidak melihat adanya alasan untuk tetap menetap 

di istana megah mereka. sebab   itu mereka mendatangi Mahàpajàpatã 

Gotamã, ibu pengasuh Buddha, untuk memohon kepada Buddha 

agar mereka diperbolehkan menerima penahbisan.

Mereka pergi ke Hutan Mahàvana. Atas permohonan yang gigih 

dari Mahàpajàpatã Gotamã, Buddha memperkenankan mereka untuk 

menjadi bhikkhu perempuan atau bhikkhunã sesudah   menetapkan 

delapan prinsip pokok yang harus mereka patuhi. sebab   belum 

ada bhikkhunã sebelum mereka, maka penahbisan mereka dilakukan 

oleh para bhikkhu. (Kelak, penahbisan bhikkhunã harus dilakukan 

oleh para bhikkhu dan oleh para bhikkhunã.) Hal penting yang 

berhubungan dengan Yang Mulia Nandaka yaitu   bahwa lima ratus 

bhikkhunã itu dalam salah satu kehidupan lampau mereka pernah 

menjadi permaisuri Yang Mulia Nandaka yang saat itu terlahir 

sebagai seorang raja.

lalu  , Buddha menganjurkan para bhikkhu untuk menasihati 

para bhikkhunã. saat   tiba giliran Yang Mulia Nandaka untuk 

2775

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

memberi   nasihat kepada lima ratus bhikkhunã ini  , ia 

tidak melakukannya sendiri tetapi meminta bhikkhu lain untuk 

melakukan tugas ini  . Hal itu sebab   ia mengetahui melalui 

Pengetahuannya dalam mengingat kehidupan lampau bahwa lima 

ratus bhikkhunã ini   pernah menjadi permaisurinya dalam 

kehidupan lampau. Ia khawatir jika beberapa bhikkhu yang memiliki 

pengetahuan yang sama melihatnya dikelilingi oleh para bhikkhunã 

ini, ia akan keliru menganggap bahwa dirinya masih melekat pada 

mantan-mantan permaisurinya itu.

Lima ratus bhikkhunã itu ingin menerima nasihat dari Yang Mulia 

Nandaka. Buddha berkata kepada Nandaka, “Nandaka, nasihatilah 

sendiri para bhikkhunã, jangan mewakilkannya kepada bhikkhu 

lain saat tiba giliranmu.” Yang Mulia Nandaka dengan hormat 

mematuhi kata-kata Buddha, mendatangi para bhikkhunã pada 

hari yang telah ditentukan, hari ke empat belas penanggalan lunar 

yang merupakan hari uposatha. Ia memperingatkan mereka tentang 

enam landasan indria internal (àyatana). Pada akhir nasihat itu, 

lima ratus bhikkhunã, para mantan putri Sakya, mencapai Buah 

Sotàpatti-Phala.

Para bhikkhunã gembira mendengarkan khotbah Yang Mulia 

Nandaka. Mereka menghadap Buddha dan mengungkapkan 

penghargaan mereka atas Jalan Lokuttara dan Buah yang telah 

mereka alami. Buddha lalu   meninjau kasus itu, dan 

mengetahui bahwa, khotbah yang disampaikan oleh Yang Mulia 

Nandaka, jika diulangi, akan mengarahkan mereka menuju 

Kearahattaan. Maka pada keesokan harinya, Buddha memberi   

instruksi agar mereka mendengarkan khotbah yang sama yang 

disampaikan oleh Yang Mulia Nandaka dan akibatnya lima ratus 

bhikkhunã ini   menjadi para Arahanta.

Pada hari lima ratus bhikkhunã itu mendatangi Buddha, Bhagavà 

mengetahui bahwa khotbah ulangan itu akan bermanfaat bagi para 

bhikkhunã, Beliau berkata kepada para bhikkhu:

“Para bhikkhu, khotbah yang disampaikan oleh Nandaka kemarin 

yaitu   bagaikan bulan purnama yang muncul pada tanggal 

2776


empat belas setiap bulan; khotbah yang ia sampaikan hari ini 

yaitu   bagaikan bulan purnama yng muncul pada tanggal lima 

belas setiap bulan. Demikianlah Bhagavà memuji kemuliaan 

khotbah yang disampaikan oleh Yang Mulia Nandaka. (Penjelasan 

lengkap sehubungan dengan khotbah yang disampaikan oleh 

Yang Mulia Nandaka ini dapat dibaca dalam Nandakovàda Sutta, 

Uparipaõõàsa.)

(c) Gelar Etadagga

Sehubungan dengan peristiwa di atas, pada suatu kesempatan 

saat duduk di tengah-tengah pertemuan para bhikkhu, Buddha 

menyatakan:

“Etadaggaÿ bhikkhave mama sàvakànaÿ bhikkhÃ¥naÿ 

bhikkhunovàdakànaÿ yadidaÿ Nandako,” “Para bhikkhu, di 

antara para bhikkhu siswa-Ku yang memberi   nasihat kepada 

para bhikkhunã, Bhikkhu Nandaka yaitu   yang terbaik.”

Demikianlah kisah Thera Nandaka

(37) Thera Nanda

(a) Cita-cita masa lampau

Bakal Nanda terlahir dalam keluarga kaya di Kota Haÿsàvatã pada 

masa kehidupan Buddha Padumuttara. Sewaktu mendengarkan 

khotbah Buddha, ia menyaksikan penganugerahan gelar etadagga 

oleh Buddha kepada seorang bhikkhu dalam hal pengendalian 

indria. Orang kaya itu bercita-cita untuk mendapat kehormatan 

ini   dalam masa Pengajaran Buddha pada masa depan, dan 

sesudah   memberi   persembahan besar kepada Buddha, ia 

mengungkapkan cita-citanya. Buddha melihat bahwa cita-citanya 

akan tercapai dan mengucapkan ramalan-Nya.

(b) Kehidupan pertapaan dalam kehidupan terakhir

Orang kaya itu terlahir kembali sebagai putra Mahàpajàpatã Gotamã, 

2777

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

ibu pengasuh Buddha, di Kota Kapilavatthu. (ia dilahirkan dua atau 

tiga hari sesudah   Bakal Buddha, Pangeran Siddhattha, dilahirkan oleh 

Ratu Màyà, yang yaitu   kakak Mahàpajàpatã Gotamã. Kisah tentang 

Pangeran Nanda menjadi seorang bhikkhu telah diceritakan dalam 

bab terdahulu.)

Pada hari ketiga kunjungan-Nya ke Kapilavatthu, Buddha 

menahbiskan Pangeran Nanda menjadi bhikkhu.

Walaupun Pangeran Nanda telah menjalani kehidupan kebhikkhuan, 

kata-kata (menyedihkan) yang diucapkan oleh ratunya, 

Janapadakalyàõã selalu terngiang-ngiang di telinganya, “O suamiku, 

kembalilah segera!” Sering ia membayangkan mantan istrinya 

itu berdiri di sisinya. Tidak menemukan kebahagiaan di dalam 

Dhamma, ia mencoba melarikan diri dari Vihàra Nigrodhàràma. 

Tetapi sebelum ia sempat pergi jauh, ia berpikir bahwa Buddha 

berdiri menghalangi jalannya, dan ia terpaksa kembali ke vihàra 

dengan tampang kusut seperti bulu keledai.

Buddha mengetahui perasaan Bhikkhu Nanda, kelalaiannya, dan 

kebosanannya dalam kebhikkhuan. Untuk meredakan kebosanan 

dan keputus-asaannya, Buddha berkata kepadanya, “Marilah, 

Nanda, kita berkunjung ke alam surga.” “Yang Mulia, alam surga 

hanya dapat dikunjungi oleh makhluk sakti. Bagaimana aku dapat 

pergi ke sana?” Bhikkhu Nanda berkata. “Nanda, cukup dengan 

berkehendak untuk pergi ke sana. Engkau akan sampai di sana dan 

melihat alam surga.” (Ini dikutip dari Komentar Aïguttara, Vol. 1. 

Kisah berikut tentang Bhikkhu Nanda bersumber dari Udàna dan 

Komentarnya.)

Tujuan Buddha yaitu   untuk meredakan kesakitan dari kemelekatan 

dalam batin Nanda dengan strategi tertentu. lalu  , seakan-

akan menggendong Nanda, Buddha dengan kekuatan batin-Nya 

membawa Nanda ke Alam Dewa Tàvatiÿsa. Akan tetapi, dalam 

perjalanan itu, Buddha menunjukkan kepadanya pemandangan 

seekor monyet betina tua (sendirian) di atas tunggul pohon yang 

terbakar di ladang padi yang terbakar, dengan hidung, telinga, dan 

ekornya terbakar.

2778


(Sehubungan dengan hal ini, Buddha secara pribadi membawa 

Nanda ke Alam Tàvatiÿsa agar ia melihat perbedaan yang nyata 

antara kehidupan di alam manusia dan kehidupan dewa, betapa 

rendahnya manusia dibandingkan dengan dewa. Jika hanya untuk 

memperlihatkan Alam Dewa Tàvatiÿsa, Buddha mampu membuka 

pemandangan alam dewa itu saat Beliau berada di Vihàra Jetavana, 

atau Beliau mampu mengirim Nanda sendirian ke Alam Tàvatiÿsa 

melalui kekuatan Buddha. Kemegahan alam dewa bertujuan untuk 

mengesankan Nanda agar ia menjadikannya sebagai tujuan dalam 

menjalani Tiga Latihan Bhikkhu sehingga ia akan menganggap tugas 

itu menyenangkan, dan berharga.)

Di Alam Tàvatiÿsa, Buddha menunjukkan para bidadari surgawi 

yang memiliki kaki kemerahan seperti warna kaki burung merpati, 

yang sedang melayani Sakka, raja para dewa. lalu   terjadi 

percakapan antara Buddha dan Bhikkhu Nanda:

Buddha, “Nanda, apakah engkau melihat lima ratus bidadari surga 

yang memiliki kaki kemerahan seperti warna kaki burung merpati 

itu?”

Nanda, “Aku melihatnya, Yang Mulia!”

Buddha, “Sekarang, jawablah pertanyaan-Ku dengan jujur. 

Bagaimana menurutmu: Siapakah yang lebih cantik antara para 

bidadari ini dan (istri)mu Putri Janapadakalyàõã? Siapakah yang 

lebih menarik?”

Nanda, “Yang Mulia, dibandingkan dengan para bidadari ini, 

Janapadakalyàõã terlihat bagaikan monyet betina tua (yang kita 

lihat dalam perjalanan). Ia bahkan tidak terlihat seperti seorang 

perempuan. Ia tidak dapat disamakan dengan para bidadari ini 

yang jauh lebih cantik daripadanya, jauh lebih menarik.”

Buddha, “Nanda, laksanakanlah praktik kebhikkhuan dengan 

baik. Berbahagialah di dalam Dhamma. Aku menjamin bahwa 

jika engkau melakukannya, engkau akan mendapatkan lima ratus 

bidadari surgawi ini.”

Nanda, “Yang Mulia, jika Bhagavà menjamin bahwa aku akan 

mendapatkan gadis-gadis cantik ini yang berkaki kemerahan, 

aku akan berbahagia di dalam Dhamma dan menetap bersama 

2779

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

Bhagavà.”

sesudah   percakapan di Alam Tàvatiÿsa itu Buddha membawa 

Bhikkhu Nanda sesaat   kembali ke Vihàra Jetavana.

(Strategi Buddha harus dipahami. Bagaikan seorang dokter ahli 

yang memberi   obat pencahar untuk membersihkan racun 

dalam diri pasien sebelum memberi   obat untuk memuntahkan 

zat-zat berbahaya yang menyebabkan penyakit itu, demikian pula 

kemelekatan-indria Nanda terhadap mantan istrinya ‘pertama-tama 

harus dibersihkan melalui ketertarikannya terhadap para bidadari 

surgawi. sesudah   itu Buddha akan mengarahkan usaha Nanda ke 

arah Praktik Jalan Ariya yang akan melenyapkan kotoran lainnya.

Alasan memberi   objek seksual (berupa bidadari surga) 

kepada Nanda padahal Buddha menginginkan Nanda melatih 

praktik mulia yang mengharuskan hidup selibat, harus dipahami. 

Buddha memberi   objek visual sementara yang mengakibatkan 

ketertarikan yang lebih kuat sehingga Nanda dapat melupakan 

mantan istrinya. Dengan memberi   jaminan kepada Nanda 

bahwa ia pasti mendapatkan objek itu, Buddha menenteramkan 

batin bhikkhu itu. Demikian pula, khotbah Buddha kepada para 

penyumbang yang biasanya berlanjut dimulai dari pencapaian 

kemuliaan surgawi hingga pencapaian Magga-Phala harus dipahami 

dengan cara yang sama. (Komentar Udàna)

Sejak saat ia kembali ke Vihàra Jetavana, Bhikkhu Nanda dengan tekun 

melatih praktik kebhikkhuan, dengan tujuan untuk mendapatkan 

bidadari surgawi. Sementara itu, Buddha menginstruksikan para 

bhikkhu untuk mendatangi tempat meditasi Bhikkhu Nanda dan 

mengatakan, “Dikatakan bahwa ada seorang bhikkhu yang berlatih 

keras untuk mendapatkan bidadari surgawi dengan jaminan dari 

Bhagavà.” Para bhikkhu berkata, “Baiklah, Yang Mulia.” Dan mereka 

pergi hingga jarak sependengaran telinga dari Bhikkhu Nanda dan 

berkata, “Katanya Bhikkhu Nanda berusaha keras dalam praktik 

kebhikkhuan untuk mendapatkan bidadari surgawi. Dikatakan 

bahwa Bhagavà bahkan telah memberi   jaminan bahwa lima 

ratus bidadari surgawi berkaki kemerahan seperti warna kaki 

2780


burung merpati akan menjadi hadiahnya. ‘O Yang Mulia Nanda 

yaitu   bhikkhu bayaran!’ ‘O Yang Mulia Nanda yaitu   bhikkhu 

bayaran!’”

saat   Yang Mulia Nanda mendengar gelar ‘bayaran’ itu dilekatkan 

pada namanya, ia menjadi sangat kacau, “Ah, betapa salahnya 

aku! Betapa tidak layaknya aku menjadi seorang bhikkhu! sebab   

kurangnya pengendalian indriaku. Aku menjadi tertawaan para 

bhikkhu. Aku harus menjaga indriaku dengan baik.” Sejak saat 

itu Yang Mulia Nanda melatih dirinya agar selalu penuh perhatian 

dengan pemahaman murni dalam segala hal yang ia lihat, apakah 

saat melihat ke timur, atau ke barat, atau selatan, atau utara, atau ke 

atas, atau ke bawah, ke segala penjuru kompas, tidak membiarkan 

segala pikiran keserakahan, kebencian atau kejahatan lainnya 

muncul dalam dirinya sehubungan dengan apa yang ia lihat. 

Dengan mengendalikan dirinya sehubungan dengan indrianya 

hingga tingkat yang tertinggi, ia menjalani praktik kebhikkhuan 

yang memuncak pada Kearahattaan tidak lama lalu  .

lalu  , saat tengah malam, brahmà menghadap Buddha untuk 

memberitahukan kabar baik bahwa Yang Mulia Nanda telah 

mencapai Kearahattaan. Buddha mengarahkan pikiran-Nya kepada 

hal itu dan melihat bahwa apa yang dikatakan brahmà itu ternyata 

benar.

Buddha Bebas dari Kewajiban

Pikiran bahwa ia melatih Jalan Mulia dengan tujuan untuk 

mendapatkan bidadari surgawi, yang diucapkan oleh para bhikkhu 

lainnya, membuat Yang Mulia Nanda menyesal dan kesadarannya 

memperbaiki sikapnya, membuatnya lebih tekun dalam melatih 

praktik benar yang memuncak pada Kearahattaan. lalu   ia 

teringat bahwa ia telah menjadikan Bhagavà sebagai penjamin 

untuk mendapatkan bidadari surgawi. Ia merasa perlu untuk 

membebaskan Bhagavà dari kewajiban itu. Keesokan paginya, 

ia menghadap Buddha, bersujud, dan duduk di tempat yang 

semestinya, ia berkata, “Yang Mulia, Bhagavà telah menjamin bahwa 

aku akan mendapatkan bidadari surgawi yang berkaki kemerahan 

2781

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

seperti warna kaki burung merpati. Yang Mulia, aku tidak ingin 

Bhagavà terikat dengan kewajiban itu lagi.”

Buddha berkata, “Nanda, Aku mengetahui dengan membaca 

batinmu bahwa sekarang engkau telah mencapai Arahatta-Phala. 

Terlebih lagi, brahmà juga memberitahukan hal ini kepada-Ku. 

Nanda, sejak saat engkau bebas dari noda moral (àsava) (sejak 

engkau mencapai Kearahattaan), Aku telah bebas dari kewajiban 

itu. (Ini yaitu   hal yang wajar, engkau tidak perlu memohon pada-

Ku.)” Buddha melihat sifat yang tidak tergoyahkan dari seorang 

Arahanta dalam menghadapi perubahan dalam kehidupan melalui 

pemadaman noda-noda moral, dan merasa gembira dengan status 

Yang Mulia Nanda, Beliau mengucapkan syair kegembiraan:

Yassa nittiõõo païko, 

maddito kàmakaõñako. 

Mohakkhayaÿ anuppatto 

sukhadukkhesu na vedhatã sa bhikkhu.

“Arahanta yang telah menyeberangi lumpur kelahiran kembali 

(melalui Jalan Ariya sebagai jembatan). Ia telah menghancurkan 

secara total (dengan Jalan Ariya sebagai senjata) anak panah nafsu 

indria (yang menyiksa manusia dan dewa). Ia telah mencapai 

(dengan melewati empat tingkat Pengetahuan Jalan) akhir kebodohan 

(yaitu, mencapai Nibbàna). Bhikkhu yang telah tercerahkan ini  , 

(tidak seperti orang awam,) tidak akan goyah saat   menghadapi 

penderitaan atau kebahagiaan (yaitu, perubahan dalam hidup).”

(c) Gelar Etadagga

Pada suatu kesempatan saat   Buddha mengadakan pertemuan para 

bhikkhu di Vihàra Jetavana, Beliau menyatakan:

(Para bhikkhu lain juga mengendalikan indria mereka. Yang Mulia 

Nanda mengungguli semua yang lainnya dalam hal itu, saat   ia 

melihat ke satu dari sepuluh arah, ia melakukannya hanya sesudah   

memastikan bahwa ia telah memiliki empat jenis pemahaman 

murni, yaitu, (1) merenungkan dengan bijaksana baik dan buruk 

2782


dari suatu perbuatan sebelum dilakukan (satthaka sampaja¤¤a); 

(ii) merenungkan dengan bijaksana bahwa suatu perbuatan 

meskipun bermanfaat, yaitu   baik untuk dilakukan (sappàya); (iii) 

merenungkan dengan bijaksana agar tidak melakukan pelanggaran 

saat bepergian ke berbagai tempat (gocara); (iv) merenungkan 

dengan bijaksana untuk menghindari setiap perbuatan yang 

dipengaruhi oleh kebodohan (asammoha). Menjalani disiplin diri 

yang keras itu sebab   ia merasa menyesal terhadap kurangnya 

pengendalian demikian sehingga ia pernah merasa tidak bahagia di 

dalam menjalani kebhikkhuan. Terlebih lagi, ia memiliki rasa malu 

untuk melakukan kejahatan dan rasa takut akan akibat perbuatan 

jahat. Di atas segalanya, juga sebab   cita-cita masa lampaunya 

untuk mencapai gelar itu yang ia ungkapkan (di hadapan Buddha 

Padumuttara) seratus ribu siklus dunia sebelumnya, yang sekarang 

telah tercapai.

 

Demikianlah kisah Thera Nanda

(38) Thera Mahà Kappina

(a) Cita-cita masa lampau

Bakal Mahà Kappina terlahir dalam keluarga kaya di Kota Haÿsàvatã 

pada masa kehidupan Buddha Padumuttara. Sewaktu mendengarkan 

khotbah Buddha, ia menyaksikan penganugerahan gelar etadagga 

oleh Buddha kepada seorang bhikkhu dalam hal menasihati para 

bhikkhu. Ia bercita-cita untuk mendapat kehormatan ini   dalam 

masa Pengajaran Buddha pada masa depan, dan sesudah   memberi   

persembahan besar kepada Buddha, ia mengungkapkan cita-citanya 

di depan Buddha. Buddha melihat bahwa cita-citanya akan tercapai 

dan mengucapkan ramalan-Nya.

(Kisah kebajikan-kebajikan bakal Mahà Kappina berikut ini dikutip 

dari Komentar Dhammapada. Komentar Aïguttara Nikàya hanya 

memberi   penjelasan singkat mengenai perbuatan baiknya pada 

masa Buddha Kassapa, dan lalu   berlanjut pada kelahiran 

terakhirnya.)

2783

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

Kehidupan Sebagai Penenun

Saat meninggal dunia dari kehidupan di mana ia menerima ramalan 

dari Buddha, bakal Mahà Kappina mengembara hanya di alam-

alam bahagia. Dalam salah satu kehidupannya, ia terlahir sebagai 

penenun di sebuah desa besar di Bàràõasã. Pada masa itu terdapat 

seribu Pacceka Buddha yang biasanya menetap di Himalaya selama 

empat bulan musim dingin dan empat bulan musim panas, tetapi 

menetap di dekat kota selama empat bulan musim hujan.

Pada suatu hari seribu Pacceka Buddha itu turun di dekat 

Bàràõasã dan mengutus delapan orang di antara mereka untuk 

pergi menghadap Raja Bàràõasã untuk meminta disediakan para 

pekerja untuk membangun vihàra. Kebetulan pada waktu mereka 

mengajukan permohonan itu, raja sedang mempersiapkan Ritual   

pembajakan sawah tahunan. Segera sesudah   raja mendengar berita 

kedatangan para Pacceka Buddha itu, ia pergi menyambut mereka 

dan menanyakan maksud kunjungan mereka. lalu   mereka 

berkata, “Yang Mulia, tidak ada waktu lagi untuk melakukan 

pekerjaan pembangunan. sebab   mulai besok, aku harus melakukan 

Ritual   pembajakan sawah tahunan. sebab   itu, sudilah Yang Mulia 

memperbolehkan kami memulai pekerjaan itu tiga hari lagi.” sesudah   

berkata demikian, raja kembali ke istananya tanpa mengundang para 

Pacceka Buddha untuk menerima persembahan makanan untuk 

keesokan harinya.

Istri penenun itu lalu   berkeliling desa mengajak para 

warga  , “O saudara-saudara, aku telah bertemu dengan seribu 

Pacceka Buddha dan mengundang mereka untuk menerima dàna 

makanan besok. Persiapkanlah bubur dan nasi untuk mereka.” 

Keesokan paginya ia menghadap para Pacceka Buddha dan 

menuntun mereka ke sebuah paviliun besar di tengah-tengah desa, 

menyiapkan tempat duduk untuk mereka dan mempersembahkan 

makanan-makanan pilihan yang lezat. sesudah   selesai makan, ia dan 

para perempuan lainnya bersujud kepada para Pacceka Buddha 

dan berkata, “Yang Mulia, sudilah para mulia menetap di desa ini 

selama tiga bulan vassa.” Para Pacceka Buddha itu menyanggupi, 

istri si penenun itu berkeliling desa mengatakan, “O saudara-

2784


saudara, marilah kita membangun sebuah vihàra untuk para Pacceka 

Buddha. Mohon semua perumah tangga mengulurkan bantuan 

dalam pekerjaan ini. Mohon setiap laki-laki dari setiap keluarga 

membawa kapak, parang, dan peralatan lainnya. Mohon mereka 

pergi ke hutan dan mengumpulkan kayu. Mohon mereka turut 

serta dalam pembangunan itu.”

Ajakannya itu mendapat sambutan baik dari para warga  . 

Seluruh desa bergabung dalam pekerjaan mulia membangun 

sebuah gubuk sederhana beratap jerami untuk masing-masing dari 

seribu Pacceka Buddha itu, lengkap dengan kuñã untuk malam hari 

dan tempat tinggal untuk siang hari. Setiap keluarga yang ingin 

melayani para Pacceka Buddha, memohon agar pelayanan mereka 

diterima. Demikianlah mereka dengan gembira mengatur jadwal 

untuk periode tiga bulan itu, melayani kebutuhan seribu Pacceka 

Buddha. Menjelang akhir vassa, istri penenun itu mengajak para 

warga  , “O saudara-saudara, siapkanlah kain jubah untuk 

masing-masing Pacceka Buddha yang menetap di tempat tinggal 

yang kalian bangun selama masa vassa.” Demikianlah masing-

masing keluarga yang membangun tempat tinggal bagi seorang 

Pacceka Buddha mempersembahkan jubah senilai seribu keping 

uang kepada Pacceka Buddha yang menetap di tempat yang ia 

bangun. sesudah   persembahan jubah itu, para Pacceka Buddha 

membabarkan khotbah penghargaan atas persembahan itu, dan 

lalu   kembali ke Pegunungan Himalaya.

Kehidupan Sebagai Pemimpin Perumah Tangga

Semua warga   di desa penenun itu, saat meninggal dunia dari 

kehidupan itu, terlahir kembali di Alam Dewa Tàvatiÿsa. sesudah   

menikmati kehidupan hingga umur kehidupan maksimum, mereka 

semuanya terlahir kembali di keluarga-keluarga kaya di Bàràõasã. 

Si pemimpin penenun itu terlahir kembali di keluarga pemimpin 

perumah tangga, dan istrinya pada kehidupan lampau terlahir 

kembali dalam keluarga sesepuh desa. Saat mereka menginjak usia 

menikah, kedua mantan suami istri di desa penenun itu menjadi 

suami istri lagi.

2785

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

Suatu hari komunitas itu berkunjung ke vihàra Buddha Kassapa untuk 

mendengarkan khotbah Buddha. Segera sesudah   mereka memasuki 

kawasan vihàra, turun hujan lebat. lalu  , orang-orang yang 

memiliki hubungan keluarga dengan beberapa anggota Saÿgha 

di sana mendatangi tempat tinggal para bhikkhu atau sàmaõera 

ini   untuk berteduh dari hujan. Ribuan pasangan yang yaitu   

para perumah tangga tidak memiliki tempat berteduh dan mereka 

menjadi basah kuyup dan tetap berada di dalam kawasan vihàra. 

lalu   si pemimpin perumah tangga itu berkata, “Lihatlah, 

teman-teman, betapa malangnya kita. Mempertimbangkan status 

sosial kita, apa yang kita alami sekarang ini sangat memalukan.” 

“Perbuatan baik apakah yang harus kita lakukan?” Pertanyaan ini 

diajukan oleh kelompok itu. “Kita mengalami hal memalukan ini 

sebab   kita yaitu   orang asing bagi Saÿgha di vihàra ini. sebab   

itu marilah kita membangun vihàra oleh kita sendiri.” “Baiklah, 

pemimpin,” mereka sepakat.

lalu   si pemimpin perumah tangga itu memulai pengumpulan 

dàna dengan seribu keping uang miliknya. Para perumah tangga 

lainnya masing-masing memberi   lima ratus. Para istri dari para 

perumah tangga itu masing-masing mendanakan dua ratus lima 

puluh. Dengan dàna awal ini mereka memulai pembangunan sebuah 

vihàra besar berkubah untuk Buddha Kassapa. Itu yaitu   sebuah 

proyek yang besar, dan dàna yang tersedia tidak mencukupi. sebab   

itu mereka mengumpulkan dàna lagi, masing-masing memberi   

setengah dari jumlah yang mereka berikan pertama kali. Dan 

dengan cara demikian mereka dapat menyelesaikan proyek itu. 

lalu   mereka mengadakan Ritual   peresmian selama tujuh 

hari yang merupakan Ritual   persembahan vihàra ini   kepada 

Buddha. Saat memberi   persembahan istimewa kepada Buddha 

dan Saÿgha, mereka juga mempersembahkan masing-masing satu 

jubah kepada dua puluh ribu Arahanta.

Bakti Luar Biasa Si Istri Pemimpin Perumah Tangga

Istri si kepala perumah tangga memiliki sifat bijaksana. Ia 

memperlihatkan bakti yang besar terhadap pekerjaan yang 

dilakukan oleh komunitas seribu perumah tangga kaya itu. Dalam 

2786


Ritual   persembahan jubah kepada Buddha dan Saÿgha, ia juga 

mempersembahkan bunga-bunga anojà yang berwarna keemasan 

selain jubah yang juga berwarna keemasan yang dibuat khusus untuk 

persembahan kepada Buddha Kassapa, yang bernilai seribu keping 

uang. saat   Buddha Kassapa membabarkan khotbah penghargaan 

atas persembahan itu, istri si pemimpin perumah tangga, meletakkan 

jubah istimewa itu di kaki Buddha dan mengungkapkan cita-citanya, 

“Yang Mulia, dalam semua kehidupan-kehidupanku pada masa 

depan, semoga aku memiliki kulit keemasan seperti bunga-bunga 

anojà ini, dan semoga aku juga memiliki nama seperti bunga ini, 

anojà.” Dan Buddha berkata, “Semoga cita-citamu tercapai.”

(b) Kehidupan pertapaan dalam kehidupan terakhir

Komunitas para perumah tangga itu melakukan banyak kebajikan 

seumur hidup mereka. sesudah   meninggal dunia dalam kehidupan 

itu, mereka terlahir kembali di alam dewa. Saat munculnya Buddha 

Gotama, mereka meninggal dunia dari alam ini  , si pemimpin 

terlahir kembali dalam keluarga kerajaan di Kukkuñavatã, dan diberi 

nama Pangeran Mahà Kappina. saat   dewasa, ia mewarisi tahta 

dan menjadi Raja Mahà Kappina. Para perumah tangga lainnya 

terlahir kembali dalam keluarga-keluarga kerajaan dan menjadi 

para pejabat dalam istana Raja Mahà K