elayan pribadi
Buddha yang selalu bepergian membawa mangkuk dan jubah
Buddha, kami mendapatkan penghiburan dari ketiadaan Buddha,
tetapi sekarang pembawa mangkuk dan jubah itu sendiri sudah mati
dan tidak ada lagi, kami tidak mempunyai siapa pun lagi yang dapat
menghibur kami. Kematian Buddha menjadi lengkap bagi kami.”
Saÿvega Gà thÃ
Hà saÿyogà viyogantà ;
Sungguh menakutkan—dilayani oleh kesedihan, ratapan, dan lain-
lain, semua bentuk hubungan antara suami-istri, sanak-saudara,
teman-teman, guru dan murid, dan lain-lain, sebab tidak terelakkan
mereka pasti berpisah apakah melalui kematian atau perpisahan.
Hà aniccà ’va saïkhatà ;
Sungguh menakutkan—dilayani oleh kesedihan, ratapan, dan lain-
lain, segala sesuatu yang berkondisi, yang merupakan hasil dari
kamma, batin, suhu dan nutrisi, sebab ketidakkekalan.
Hà uppannà ca bhaïgantà ;
Sungguh menakutkan—dilayani oleh kesedihan, ratapan, dan lain-
lain, semua fenomena berkondisi yang dilahirkan sebab mereka
pasti akan mengalami kerusakan dan kehancuran.
Hà hà saïkhà radhammatà ;
Sungguh menakutkan—tenggelam dalam gelombang lautan
penderitaan—perjalanan yang pasti dialami oleh batin dan jasmani,
yang merupakan fenomena berkondisi, yang memiliki corak tidak
2746
kekal, corak penuh penderitaan, dan corak tanpa-diri.
Demikianlah kisah Thera ânanda
(31) Thera Uruvela Kassapa
(a) Cita-cita masa lampau
Bakal Uruvela Kassapa terlahir dalam keluarga kaya di Kota
Haÿsà vatã pada masa kehidupan Buddha Padumuttara. Suatu
saat ia mendengarkan khotbah Buddha dan menyaksikan
seorang bhikkhu yang dinyatakan oleh Buddha sebagai bhikkhu
terbaik dalam hal banyaknya pengikut. Ia terinspirasi oleh bhikkhu
ini dan berkeinginan untuk menjadi bhikkhu seperti dia pada
masa depan. Ia memberi persembahan besar kepada Buddha
dan Saÿgha selama tujuh hari, dan di akhir tujuh hari ini
ia mempersembahkan tiga perangkat jubah kepada Buddha dan
seluruh anggota Saÿgha dan mengungkapkan cita-citanya untuk
menjadi bhikkhu terbaik pada masa depan dalam hal memimpin
banyak pengikut. Buddha mengetahui bahwa cita-cita itu akan
tercapai dan mengucapkan ramalan sebagai berikut, “Engkau akan
dinyatakan oleh Buddha Gotama sebagai bhikkhu terbaik dalam
Pengajaran-Nya dalam hal memimpin banyak pengikut.” Dan
sesudah mengucapkan ramalan itu, Buddha Padumuttara kembali
ke vihà ra.
Kehidupan Sebagai Adik Buddha Phussa
Dalam kehidupan saat ia menerima ramalan dari Buddha
Padumuttara, orang kaya itu melakukan banyak kebajikan hingga
akhir hidupnya dan terlahir kembali di alam dewa dan alam manusia
bergantian. lalu sembilan puluh dua siklus dunia sebelum
yang sekarang ini, saat Buddha Phussa muncul di dunia ini, bakal
Uruvela Kassapa terlahir sebagai adik tiri Buddha. Buddha memiliki
tiga adik tiri dan pangeran ini yaitu yang tertua dari tiga orang
ini . (Tiga bersaudara itu melayani empat kebutuhan bhikkhu
bagi Buddha selama satu vassa, baca riwayat Buddha Phussa).
2747
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
(b) Kehidupan pertapaan dalam kehidupan terakhir
Tiga adik ini memberi persembahan benda-benda berharga
kepada Buddha dan Saÿgha pada akhir vassa. Mereka juga
melakukan banyak kebajikan seumur hidup mereka, dan terlahir
kembali hanya di alam bahagia. Pada siklus dunia sekarang ini,
sebelum munculnya Buddha Gotama, mereka terlahir kembali dalam
keluarga brahmana yang berasal dari suku Kassapa. Saat mereka
dewasa, mereka menguasai tiga Veda, saudara tertua memiliki lima
ratus murid; yang lebih muda memiliki tiga ratus murid; dan yang
termuda memiliki dua ratus murid.
saat mereka meninjau kembali pelajaran mereka, mereka
menyadari bahwa Veda memberi manfaat hanya untuk
kehidupan saat ini tetapi tidak memberi manfaat dalam
kehidupan selanjutnya. Kassapa yang tertua, bersama lima ratus
muridnya, melepaskan keduniawian dan menjalani kehidupan
sebagai petapa. Mereka masuk ke Hutan Uruvela dan sang guru
menjadi terkenal dengan nama Uruvela Kassapa. Kassapa kedua
dan tiga ratus muridnya juga melakukan hal yang sama, menjadi
petapa di belokan Sungai Gaïga dan sang guru dikenal dengan
nama Nadã Kassapa. Saudara termuda juga menjadi petapa bersama
dua ratus muridnya; mereka menetap di suatu tempat yang disebut
Gayà sãsa, dan sebab itu sang guru menjadi terkenal dengan nama
Gayà Kassapa. Tiga Kassapa bersaudara menjadi terkenal sebagai
guru bagi aliran mereka. Pada masa saat tiga Kassapa bersaudara
memberi pelajaran kepada kelompoknya masing-masing,
Buddha (Gotama) muncul di dunia ini. Buddha melewatkan vassa
pertama di Hutan Migadà ya, yang juga dikenal sebagai Isipatana,
di mana Beliau mencerahkan Kelompok Lima Petapa dan lima
puluh lima pemuda yang dipimpin oleh Yasa, putra seorang
pedagang. Seluruh enam puluh siswa ini menjadi para Arahanta
pertama di dunia ini. Di akhir vassa Buddha menginstruksikan
enam puluh bhikkhu Arahanta itu untuk menyebarluaskan ajaran
baik, sedangkan Beliau sendiri pergi menuju Hutan Uruvela.
Dalam perjalanan itu Beliau bertemu dengan tiga puluh pangeran
bersaudara, di Hutan Kappà sika, yang lalu Beliau panggil
(memakai kata, “Datanglah, Bhikkhu”) dan membantu mereka
2748
mencapai berbagai tingkat Pencerahan, dan berlatih untuk mencapai
Kearahattaan. Buddha pergi sendirian menuju Hutan Uruvela
sebab Beliau melihat bahwa tiga Kassapa bersaudara beserta
para pengikutnya berpotensi untuk dapat mencapai Kearahattaan.
saat Buddha bertemu dengan Uruvela Kassapa, Beliau terpaksa
memperlihatkan tiga ribu lima ratus jenis kesaktian, yang paling
menakjubkan yaitu saat menjinakkan nà ga yang sakti. Akhirnya
Uruvela Kassapa dan lima ratus muridnya dipanggil oleh Buddha
dan menjadi bhikkhu. Mendengar bahwa saudara tertua mereka
telah menjadi bhikkhu, adik-adik mereka dan para pengikutnya
masing-masing juga mengikuti jejak kakak. Mereka semuanya
dipanggil oleh Buddha dan menjadi bhikkhu.
Buddha membawa seribu bhikkhu baru ini ke Gayà sãsa. Di sana
Beliau duduk di atas batu dan mempertimbangkan khotbah yang
tepat bagi mereka. Beliau teringat bahwa para petapa brahmana itu
dulunya yaitu penyembah api, dan sebab itu Beliau membabarkan
khotbah dengan memberi perumpamaan api yang tanpa welas
asih membakar di tiga alam kehidupan; alam indria, alam materi
halus, dan alam tanpa materi. Khotbah itu berjudul âdittapariyà ya
menghasilkan akibat yang diinginkan yaitu semua bhikkhu menjadi
Arahanta.
lalu Buddha melihat bahwa waktunya tepat bagi-Nya untuk
berkunjung ke Rà jagaha, sesuai janji-Nya kepada Raja Bimbisà ra
untuk berkunjung ke kotanya sesudah mencapai Kebuddhaan. Ia
melakukan perjalanan ke RÃ jagaha disertai oleh seribu Arahanta
dan berdiam di hutan pohon kelapa. Raja Bimbisà ra, saat menerima
laporan kedatangan Buddha, segera pergi menjumpai Buddha disertai
oleh seratus dua puluh ribu brahmana perumah tangga. sesudah
bersujud kepada Buddha, ia duduk di tempat yang semestinya.
Pada masa itu, nama Uruvela Kassapa telah begitu terkenal sehingga
para brahmana pengikut raja memberi hormat kepada Uruvela
Kassapa. Buddha mengetahui bahwa para hadirin tidak dapat
memutuskan Buddha atau Uruvela Kassapa yang lebih mulia. Beliau
juga menyadari bahwa orang yang ragu-ragu tidak akan dapat
memahami Dhamma. Maka Beliau berkata kepada Uruvela Kassapa,
“Kassapa, para pengikutmu sedang kebingungan. Lenyapkanlah
2749
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
keraguan mereka.” Demikianlah Buddha mengisyaratkan kepada
Thera untuk memperlihatkan kesaktian.
Yang Mulia Uruvela Kassapa menjawab dengan penuh hormat,
bangkit dari duduknya, ia bersujud kepada Buddha dalam lima
titik menyentuh tanah, dan terbang ke angkasa setinggi satu pohon
kelapa. Sambil tetap berada di angkasa, ia mengubah wujudnya
menjadi berbagai bentuk dan berkata kepada Buddha, “Yang Mulia
Bhagavà , Bhagavà yaitu guruku; aku yaitu murid-Mu, Siswa-Mu.
Yang Mulia Bhagavà , Bhagavà yaitu guruku; aku yaitu murid-Mu,
Siswa-Mu.” lalu ia turun ke atas tanah dan terbang lagi untuk
kedua kalinya hingga setinggi dua pohon kelapa, menciptakan
berbagai bentuk dirinya, turun dan bersujud di kaki Buddha. Hingga
ketujuh kalinya ia mengulangi kesaktian itu, ia terbang hingga
setinggi tujuh pohon kelapa, dan sesudah turun, ia bersujud kepada
Buddha lalu duduk di tempat yang semestinya.
Para hadirin sekarang tidak lagi meragukan kemuliaan Buddha dan
menyebut Beliau sebagai Samaõa mulia. Baru lalu Buddha
membabarkan khotbah kepada mereka dan pada akhir khotbah
ini Raja Bimbisà ra dan seratus sepuluh ribu brahmana perumah
tangga berhasil mencapai Sotà patti-Phala dan sisanya sepuluh ribu
brahmana menyatakan berlindung kepada Tiga Permata; fakta
bahwa mereka mengakui Buddha.
(c) Gelar Etadagga
Seribu murid yang melayani Yang Mulia Uruvela Kassapa, sesudah
mencapai Kearahattaan, berpikir sebab mereka telah mencapai
puncak kebhikkhuan, mereka tidak perlu lagi pergi ke mana pun
demi kemajuan spiritual mereka dan sebab itu mereka tetap tinggal
bersama pemimpin lama mereka.
Pada lalu hari, dalam suatu pertemuan para bhikkhu di Vihà ra
Jetavana, Buddha menyatakan:
“Etadaggaÿ bhikkhave mama sà vakà naÿ bhikkhÃ¥naÿ Mahà -
parisà naÿ yadidaÿ Uruvela Kassapo,” “Para bhikkhu, di antara
2750
para bhikkhu siswa-Ku yang memiliki banyak pengikut, Uruvela
Kassapa yaitu yang terbaik.”
(Dalam hal ini, Yang Mulia Uruvela Kassapa memiliki posisi
istimewa yaitu memiliki pengikut yang konstan berjumlah seribu,
dengan memperhitungkan pengikut dari kedua adiknya. Jika
masing-masing dari seribu bhikkhu itu menahbiskan seorang
bhikkhu baru, pengikut Uruvela Kassapa akan menjadi dua ribu,
dan jika masing-masing dari seribu pengikut awal itu menahbiskan
dua orang bhikkhu baru, maka pengikutnya menjadi tiga ribu.
sebab itu, ia memiliki posisi yang tiada bandingnya dalam hal
pengikut―Komentar Aïguttara.)
Demikianlah kisah Thera Uruvela Kassapa
(32) Thera Kà ëudà yã
(a) Cita-cita masa lampau
Bakal Kà ëudà yã terlahir dalam keluarga kaya di Kota Haÿsà vatã pada
masa kehidupan Buddha Padumuttara; sewaktu ia mendengarkan
khotbah Buddha, ia menyaksikan seorang bhikkhu yang dinyatakan
oleh Buddha sebagai ‘Siswa terbaik yang dapat membangkitkan
keyakinan dalam diri sanak saudara Buddha bahkan sebelum
mereka bertemu dengan Buddha.’ Orang kaya itu bercita-cita untuk
mencapai gelar kehormatan yang sama pada masa Pengajaran
Buddha pada masa depan, dan sesudah memberi persembahan
besar, ia mengungkapkan cita-citanya di hadapan Buddha. lalu
Buddha meramalkan pencapaian cita-citanya itu.
(b) Kehidupan pertapaan dalam kehidupan terakhir
Orang kaya itu mengabdikan seumur hidupnya untuk melakukan
kebajikan. Saat meninggal dunia ia terlahir kembali hanya di
alam bahagia. lalu ia dikandung dalam rahim ibunya
yang berasal dari keluarga pejabat kerajaan di Kapilavatthu,
yang terjadi bersamaan dengan dikandungnya Bakal Buddha
(Pangeran Siddhattha). Kedua anak itu dilahirkan pada hari
2751
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
yang sama. Orangtuanya meletakkannya di atas kain putih dan
mempersembahkannya kepada Raja Suddhodana untuk menjadi
pelayan Pangeran Siddhattha.
Nama Kà ëudà yã
Pada hari pemberian nama, mereka memanggil anak itu Udà yã
sebab ia terlahir pada hari yang sama dengan kelahiran Bakal
Buddha, dan seluruh kota diliputi kegembiraan sebab nya. sebab
anak itu berkulit agak hitam, kata ‘kà ëa’ (‘gelap’) ditambahkan pada
nama Udà yã sehingga namanya menjadi Kà ëudà yã. Sebagai seorang
anak, Kà ëudà yã menetap di istana kerajaan dan bermain bersama
Pangeran Siddhattha di Kapilavatthu.
Pada lalu hari, Pangeran Siddhattha melepaskan keduniawian,
melewatkan enam tahun sengsara untuk mencari Kebenaran,
mencapai Pencerahan Sempurna, dan membabarkan Khotbah
Pertama, Dhammacakka, dan saat itu sedang berada di RÃ jagaha.
(saat itu yaitu dalam dua minggu gelap di bulan Phussa yang
dingin tahun 103 Mahà Era.) saat Raja Suddhodana mendengar
berita baik bahwa putranya, Buddha sedang menetap di Vihà ra
Veëuvana di Rà jagaha, ia mengirim utusan yang dikawal oleh seribu
prajurit dengan perintah untuk mengajukan permohonan kepada
Buddha agar sudi berkunjung ke Kapilavatthu. Utusan kerajaan itu
menempuh perjalanan sejauh enam puluh yojanà ke Rà jagaha dan
memasuki Vihà ra Veëuvana. Saat itu Buddha sedang membabarkan
khotbah kepada para hadirin yang terdiri dari empat jenis
pendengar. Utusan kerajaan itu duduk di belakang para hadirin dan
memerhatikan khotbah Buddha, ia berpikir untuk menyampaikan
pesan raja sesudah Buddha selesai membabarkan khotbah. Tetapi saat
ia mendengarkan khotbah itu, ia serta seribu orang pengawalnya
mencapai Kearahattaan. lalu Buddha, merentangkan tangan-
Nya dan berkata kepada mereka, “Datanglah, Bhikkhu,” dan mereka
semuanya sesaat menjadi bhikkhu dengan penampilan seperti
bhikkhu yang telah enam puluh tahun bergabung dalam Saÿgha
(berusia delapan puluh tahun) dan lengkap dengan perlengkapan
yang diciptakan melalui kekuatan batin (iddhimayaparikkhà ra).
2752
Sudah menjadi sifat para Ariya bahwa mereka tidak mementingkan
hal-hal duniawi, seribu bhikkhu itu tidak menyampaikan pesan Raja
Suddhodana kepada Buddha. Mereka berdiam dalam kebahagiaan
pencapaian Arahatta-Phala.
Raja Suddhodana merasa gelisah sebab tidak mendapat berita apa
pun dari utusannya dan mengirimkan utusan lainya dengan dikawal
oleh seribu orang untuk menjalani misi yang sama.
Utusan itu juga sampai ke hadapan Buddha, tercerap dalam khotbah
Buddha, dan mencapai Kearahattaan di sana dan pada saat itu juga,
bersama dengan seribu orang pengawalnya. Berturut-turut Raja
Suddhodana mengirimkan sembilan utusan untuk menjalani misi
ini , masing-masing dipimpin oleh seorang utusan dengan
pengawalan seribu orang prajurit, dan semua sembilan utusan itu
dan sembilan ribu prajurit itu melalaikan tugas mereka sebab
mereka mencapai Kearahattaan sebelum membicarakan urusan
mereka dengan Buddha.
Misi Kà ëudà yã ke Kapilavatthu
Raja Suddhodana merenungkan situasi ini . “Sembilan utusan
itu sama sekali tidak menyayangiku dan sebab itu mereka tidak
mengatakan apa pun tentang kunjungan anakku ke Kapilavatthu.
Orang lain mungkin akan gagal melakukan hal itu, tetapi Kà ëudà yã,
yang terlahir pada hari yang sama dengan Buddha yaitu teman
bermain anakku sejak mereka kanak-kanak. Anak muda ini juga
menyayangiku.” Dan sebab itu ia memanggil Kà ëudà yã, yang
saat itu merupakan pejabat di kerajaannya dan berkata, “Anakku,
pergilah menghadap Buddha bersama seribu orang pengawal, dan
undanglah Beliau ke Kapilavatthu.”
Pejabat Kà ëudà yã berkata kepada Raja, “Tuanku, jika engkau
mengizinkan aku menjadi seorang bhikkhu seperti para utusan
sebelumnya, aku akan mengundang Buddha untuk berkunjung
ke Kapilavatthu.” Raja menjawab, “Anakku, lakukanlah apa yang
engkau inginkan. Hanya, usahakanlah agar anakku, Buddha sudi
mengunjungiku.”
2753
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
“Baiklah, Tuanku,” Kà ëudà yã berkata; “Tetapi aku hanya akan pergi
dan mengundang Beliau jika aku mendapat izinmu untuk menjadi
bhikkhu seperti para pejabat sebelumnya.” saat raja memberi
izinnya, ia meninggalkan kota itu disertai oleh seribu orang dan tiba
di RÃ jagaha. Duduk di belakang, ia mendengarkan Buddha yang
sedang menyampaikan khotbah. sesudah mendengarkan khotbah
itu, ia bersama seribu orang pengawalnya menjadi Arahanta dan
dipanggil oleh Buddha untuk menjadi bhikkhu.
Bhikkhu Kà ëudà yã tidak melupakan misinya. Ia berpikir bahwa
musim dingin tidak baik bagi Buddha untuk melakukan perjalanan
jauh ke Kapilavatthu. saat musim semi tiba dengan bunga-bunga
hutan bermekaran dan rumput serta daun-daunan berwarna hijau
segar, saat itu yaitu saat yang tepat bagi Buddha untuk melakukan
perjalanan ke Kapilavatthu. Maka ia menunggu hingga hari
purnama bulan Phagguna (Februari-Maret), saat itu ia menyanyikan
enam puluh bait syair yang menggambarkan keindahan musim semi,
menunjukkan kepada Buddha bahwa saat itu yaitu saat yang tepat
bagi Bhagavà untuk berkunjung ke Kapilavatthu.
Buddha mengetahui pikiran Yang Mulia Kà ëudà yã dan memutuskan
bahwa saat itu yaitu saatnya untuk berkunjung ke Kapilavatthu.
lalu , dengan disertai oleh dua puluh ribu Arahanta, Buddha
melakukan perjalanan (sejauh enam puluh yojanà ) dengan langkah
santai, tidak tergesa-gesa.
Yang Mulia Kà ëudà yã, mengetahui keberangkatan Buddha dari
RÃ jagaha, pergi ke istana Raja Suddhodana melalui angkasa. Raja
gembira melihat Yang Mulia Kà ëudà yã berdiri di angkasa di atas
istananya, dan mempersembahkan singgasananya sebagai tempat
duduk bhikkhu itu. lalu ia mengisi mangkuk Yang Mulia
Kà ëudà yã dengan nasi dan makanan yang dipersiapkan untuknya.
Yang Mulia Kà ëudà yã lalu bangkit untuk meninggalkan tempat
itu. Raja berkata kepadanya, “Anakku, makanlah di sini.” Yang
Mulia Kà ëudà yã berkata, “Aku akan memakannya saat aku kembali
ke tempat Bhagavà berada.” “Di manakah Buddha sekarang?”
tanya Raja. “Buddha sedang dalam perjalanan bersama dua puluh
2754
ribu Arahanta, untuk mengunjungimu.” “Kalau begitu, Anakku,
engkau makanlah di sini. lalu engkau bawalah makanan yang
dipersiapkan dari istanaku kepada Buddha hingga ia tiba di sini.”
Yang Mulia Kà ëudà yã memakan makanannya di istana dan lalu
ia menerima makanan mewakili Buddha. Sambil melakukan hal itu
ia membabarkan khotbah kepada raja dan para anggota keluarga
kerajaan dengan menceritakan kualitas mulia Buddha. Dengan
demikian, ia memberi kegembiraan yang tidak terhingga yang
akan mereka alami saat bertemu dengan Buddha. Selanjutnya,
sambil dilihat oleh banyak orang, ia melemparkan mangkuk
yang berisi makanan yang akan diserahkan kepada Buddha ke
angkasa. Ia juga terbang ke angkasa, mengambil mangkuk itu dan
mempersembahkannya kepada Buddha. Buddha menerimanya
dengan tangan-Nya dan memakan makanan itu untuk hari itu.
Yang Mulia Kà ëudà yã melakukan tugas menerima makanan
untuk Buddha (dan membabarkan khotbah yang sesuai untuk
menghangatkan perasan Raja Suddhodana dan anggota keluarga
kerajaan terhadap Buddha) selama perjalanan Buddha ke
Kapilavatthu sejauh enam puluh yojanà , berjalan santai dengan
kecepatan satu yojanà perhari. (Rutinitas menakjubkan bahwa
Yang Mulia Kà ëudà yã mewajibkan dirinya mengambilkan makanan
untuk Buddha yaitu dasar bagi penganugerahan gelar istimewa
dari Buddha.)
(c) Gelar Etadagga
Pada lalu hari saat Buddha duduk di tengah-tengah
pertemuan para bhikkhu, ia merenungkan peran Yang Mulia
Kà ëudà yã dalam menghangatkan perasaan Raja Suddhodana dan
sanak-saudara Buddha. Beliau menyatakan:
“Etadaggaÿ bhikkhave mama sà vakà naÿ bhikkhÃ¥naÿ
kulappasà dakà naÿ yadidaÿ Kà ëudà yã,” “Para bhikkhu, di antara
para bhikkhu siswa-Ku yang mampu membangkitkan keyakinan
terhadap-Ku dalam diri para sanak-saudara-Ku, Bhikkhu Kà ëudayã
yaitu yang terbaik.”
2755
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
Demikianlah kisah Thera Kà ëudà yã
(33) Thera BÃ kula
(a) Cita-cita masa lampau
Bakal BÃ kula terlahir dalam keluarga brahmana menjelang
kemunculan Buddha Anomadassã, satu asaïkhyeyya dan seratus
ribu kappa sebelum kappa sekarang ini. Ia memelajari tiga Veda
dan menguasainya. Tetapi ia menemukan bahwa dalam pelajaran
itu tidak terdapat inti dari apa yang ia cari. “Aku akan mencari
kesejahteraan dalam kehidupan sesudah kematian,” ia memutuskan,
maka ia melepaskan keduniawian, menjadi petapa dan pergi ke
gunung yang jauh. sesudah berlatih dengan penuh ketekunan ia
mencapai lima kekuatan batin dan delapan pencapaian Jhà na.
Ia melewatkan waktunya dengan berdiam dalam kebahagiaan
Jhà na.
lalu Buddha Anomadassã muncul di dunia ini dan
mengembara dari satu tempat ke tempat lain disertai oleh banyak
siswa Ariya. Petapa yang kelak menjadi Yang Mulia BÃ kula,
bergairah mendengar berita kemunculan Buddha, Dhamma, dan
Saÿgha di dunia ini. Ia mengunjungi Buddha Anomadassã dan
sesudah mendengarkan khotbah Buddha, berlindung dalam Tiga
Perlindungan. Ia tidak ingin meninggalkan gunung itu dan tetap
menjadi seorang petapa yang sering mengunjungi Buddha untuk
mendengarkan Dhamma.
Suatu hari Buddha menderita sakit perut. Saat mengunjungi Buddha,
petapa itu diberitahukan mengenai penyakit Buddha.Petapa itu
kembali ke gunungnya dan dengan gembira menangkap kesempatan
untuk mendapatkan jasa, ia mengumpulkan tanaman-tanaman yang
ia gunakan sebagai obat untuk Buddha. Ia menyerahkan obat itu
kepada bhikkhu pelayan untuk diberikan kepada Buddha. Hanya
satu dosis yang diperlukan untuk menyembuhkan sakit perut yang
diderita Buddha.
2756
sesudah Buddha sembuh, petapa itu mendekati Buddha dan
mengucapkan keinginannya:
“Yang Mulia, aku membawa obat untuk menyembuhkan penyakit
Bhagavà . Atas kebajikan ini, semoga aku, dalam perjalananku
dalam saÿsà ra, terbebas dari segala penyakit, tidak menderita
penyakit yang teringan sekalipun bahkan selama waktu yang
diperlukan untuk memerah susu sapi.” Demikianlah kebajikan yang
menakjubkan yang dilakukan oleh bakal BÃ kula dalam kehidupan
lampau.
Bercita-cita untuk Menjadi yang Terbaik Dalam Hal Kesehatan
sesudah meninggal dunia dari kehidupan itu, si petapa terlahir
kembali di alam brahmà , dan sesudah kehidupan sebagai brahmà ,
ia terlahir kembali hanya di alam dewa dan alam manusia silih
berganti selama satu asaïkhyeyya kappa. Pada masa kehidupan
Buddha Padumuttara, ia terlahir kembali dalam keluarga kaya
di Haÿsà vatã. Pada suatu kesempatan ia menyaksikan Buddha
menyatakan seorang bhikkhu sebagai yang terbaik dalam hal
kesehatan dan kebebasan dari penyakit, dan ia bercita-cita untuk
mendapatkan gelar yang sama pada masa depan. Ia memberi
persembahan besar kepada Buddha dan Saÿgha (seperti biasa yang
dilakukan oleh para Thera istimewa lainnya), dan mengungkapkan
cita-citanya. Buddha mengucapkan ramalan bahwa cita-citanya
akan tercapai.
Sebagai Seorang Petapa Penyembuh Penyakit
Orang kaya itu seumur hidupnya melakukan banyak kebajikan dan
saat meninggal dunia, ia terlahir kembali hanya di alam bahagia.
lalu sembilan puluh satu siklus dunia sebelum siklus dunia
sekarang ini, ia terlahir kembali dalam keluarga brahmana di Kota
Bandhumatã, menjelang kemunculan Buddha Vipassã. Seperti pada
kehidupan lampaunya pada masa Buddha Anomadassã, ia menjadi
petapa dan menetap di kaki sebuah gunung, menikmati kebahagiaan
pencapaian Jhà na.
2757
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
lalu Buddha Vipassã muncul di dunia ini dan mengembara
disertai oleh enam juta delapan ratus ribu bhikkhu (Arahanta),
dengan Bandhumatã sebagai sumber dà na makanan, di mana
Beliau membabarkan khotbah kepada ayahnya, Raja Bandhuma.
lalu Beliau menetap di Taman Rusa yang disebut Khemà ,
‘Hutan Lindung’.
Sang petapa, bakal BÃ kula, mendengar berita tentang munculnya
Buddha di dunia ini. Ia mendatangi Buddha Vipassã, dan sesudah
mendengar khotbah Buddha, ia menjadi seorang siswa Buddha.
Meskipun ia berlindung dalam Tiga Perlindungan, ia tidak ingin
meninggalkan gunung itu dan tetap menjadi seorang petapa, yang
sering berkunjung ke vihà ra dan melayani Buddha.
Suatu hari, Saÿgha, dengan perkecualian dua Siswa Utama dan
Buddha sendiri, semua yang lainnya, menderita sakit kepala yang
disebabkan oleh serbuk sari bunga beracun yang tertiup angin
yang berasal dari tanaman beracun yang tumbuh di Himavanta.
saat sang petapa mengunjungi Buddha dan melihat para bhikkhu
yang sakit dengan kepala tertutup, ia bertanya kepada seorang
bhikkhu mengenai pemicu penyakit itu dan sesudah diberitahukan
pemicu nya, ia berpikir bahwa itu yaitu kesempatan untuk
melayani para bhikkhu yang sakit dan mendapatkan jasa. Ia
mengumpulkan tanaman dan menyiapkan obat, dan memberi nya
kepada para bhikkhu yang sakit yang segera menjadi sembuh.
Memperbaiki Vihà ra Tua
sesudah hidup hingga umur kehidupan maksimum sebagai seorang
petapa, ia meninggal dunia dan terlahir kembali di alam brahmà .
sesudah kehidupan itu, ia mengembara hanya di alam bahagia
selama sembilan puluh satu kappa saat tiba masa pengajaran
Buddha Kassapa. Saat itu, ia terlahir sebagai seorang perumah
tangga di Bà rà õasã. Suatu hari ia pergi ke negeri yang jauh bersama
sekelompok tukang kayu untuk mengumpulkan kayu untuk
memperbaiki rumahnya yang memerlukan perbaikan. Dalam
perjalanan itu, ia menemukan sebuah bangunan vihà ra tua dalam
keadaan yang rusak. Ia mempertimbangkan bahwa memperbaiki
2758
rumahnya tidak akan menghasilkan jasa yang mendukung
kehidupan masa depannya dan bahwa memperbaiki vihà ra akan
menghasilkan jasa itu. Ia mengutus kelompoknya untuk mencari
kayu dari hutan dan memperbaiki vihà ra ini , menambahkan
dapur baru, ruang makan baru, perapian baru untuk digunakan
selama musim dingin, jalan setapak, kamar mandi berair panas,
lemari makanan, toilet, klinik, kotak obat dan obat-obatan, salep,
pembantu pernapasan, dan lain-lain. Semua ini dipersembahkan
kepada Saÿgha.
(b) Kehidupan pertapaan dalam kehidupan terakhir
Orang kaya itu mengabdikan dirinya untuk melakukan banyak
kebajikan hingga akhir hidupnya. Dan selama masa antara yang
tidak terhingga lamanya antara munculnya Dua Buddha ia hanya
terlahir di alam dewa dan alam manusia silih berganti. Pada masa
Buddha Gotama, sebelum Buddha mencapai Pencerahan Sempurna,
ia dikandung dalam rahim istri seorang pedagang di Kosambã.
Orangtuanya mencapai puncak keberuntungan dan kemasyhuran
sejak saat ia di dalam kandungan. Ibunya percaya bahwa anaknya
memiliki jasa masa lampau yang besar, dan pada hari ia melahirkan
anaknya, ia memandikan bayinya di Sungai Yamunà demi
kesehatannya dan panjang umurnya. Hal ini dilakukan dalam suatu
Ritual . (Para pembaca Majjhima Nikà ya menyebutkan bahwa bayi
itu dimandikan di sungai pada hari kelima sesudah ia dilahirkan.)
Pengasuh yang membawa bayi itu ke sungai, bermain-main dengan
menenggelamkannya ke air dan lalu mengangkatnya.
Sewaktu ia melakukan hal itu, seekor ikan besar di dekatnya keliru
menganggap anak itu sebagai makanan. Pengasuh itu ketakutan
dan berlari meninggalkan anak itu ditelan oleh ikan itu.
Tetapi sebab anak itu memiliki jasa masa lampau yang besar, ia
tidak merasa kesakitan saat ditelan oleh ikan itu. Ia merasa nyaman
berada di dalam perut ikan itu, seolah-olah berbaring di atas tempat
tidur. (Jika anak lain, pasti akan mati sesaat . Tetapi sebab anak itu
punya kekuatan kamma untuk menjadi seorang Arahanta, kekuatan
Arahatta-Magga yang terpendam dalam dirinya menyelamatkannya.
2759
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
Ini yaitu sejenis iddhi (kekuatan batin) yang disebut ¥Ã õavipphara
iddhi). Ikan itu menderita kesakitan luar biasa sebab kekuatan
korban di dalam perutnya. Ia merasa seolah-olah telah menelan
bola besi, ia berenang ke hilir sejauh tiga puluh yojanà hingga tiba
di Bà rà õasã dan lalu tertangkap dalam jaring nelayan. Ikan
besar biasanya tidak mati di dalam jaring, ikan itu biasanya harus
dipukul sampai mati, tetapi dalam kasus ini, sebab kekuatan anak
di dalam perutnya, ia mati dengan sendirinya dan tidak diperlukan
pemukulan. Dan kebiasaan para nelayan yaitu memotong ikan
itu menjadi beberapa potong dan lalu dijual. Tetapi dalam
kasus ini, anak di dalam perut ikan itu memiliki kekuatan untuk
mencegah pemotongan itu. Si nelayan memikul ikan itu di bahunya
dengan memakai gandar dan pergi untuk mencari pembeli,
menyebutkan harga seribu keping uang. Harga itu terlalu mahal
dan melampaui kewajaran sehingga para warga Bà rà õasã tidak
mau membelinya.
Di Bà rà õasã terdapat seorang pedagang yang memiliki harta delapan
puluh crore yang tidak memiliki anak. Pelayannya membeli ikan
itu seharga seribu keping uang. Biasanya, kegiatan menyiapkan
makanan seperti memotong ikan dilakukan oleh istri si pedagang.
Dalam kasus ini, si istri pergi ke dapur dan memotong ikan itu, bukan
di bagian perut seperti biasanya, tetapi di bagian punggung. Hal ini
yaitu berkat kekuatan anak yang ada di dalam perut ikan ini .
Ia terperanjat melihat seorang bayi tampan berada di dalam ikan
ini . Ia mengeluarkan bayi keemasan itu, dan menggendongnya
dan berteriak, “Aku mendapat anak! Aku mendapatkannya dari
dalam perut ikan!” dengan gembira ia menunjukkannya kepada
suaminya yang segera mengumumkan penemuan aneh (bayi
hidup itu) dengan tabuhan genderang di dalam kota. lalu ia
melaporkan hal itu kepada raja yang berkata, “Bayi yang bertahan
hidup di dalam perut ikan pasti yaitu seorang yang memiliki jasa
besar. Biarkan ia tetap dalam perawatanmu.”
Nama BÃ kula
Orangtua kandung bayi itu di Kosambã mendengar berita tentang
seorang anak yang ditemukan di dalam perut ikan di Bà rà õasã
2760
dan mereka pegi ke Bà rà õasã untuk mencari informasi. Mereka
melihat anak itu dihias dengan mewah, bermain di rumah seorang
kaya di Bà rà õasã “Betapa tampannya anak ini!” Sang ibu kandung
mengatakan bahwa anak itu yaitu anaknya. Si ibu pengasuh
tidak mau mendengarnya dan mengatakan “Tidak, anak ini yaitu
anakku.”
Ibu kandung, “Di manakah engkau menemukan anak ini?”
Ibu pengasuh, “Aku menemukannya di perut ikan.”
Ibu kandung, “Kalau begitu, ini bukan anakmu. Ini anakku.”
Ibu pengasuh, “Di manakah engkau menemukannya?”
Ibu kandung, “Aku mengandungnya dan ia keluar dari rahimku
sesudah sepuluh bulan dalam kandungan, aku memandikannya di
Sungai Yamunà dan ia ditelan oleh seekor ikan besar.”
Ibu pengasuh, “Mungkin ikan yang lain yang menelan anakmu.
Tetapi benar aku menemukan anak ini dari dalam perut seekor
ikan.”
Demikianlah kedua ibu itu mengakui anak itu sebagai anak mereka.
Masalah ini dilaporkan kepada raja untuk diputuskan.
Raja Bà rà õasã memutuskan sebagai berikut, “Istri dari pedagang
Kosambã ini yaitu ibu kandung yang sah, menuntut anak ini
sebagai anaknya. Di pihak lain, istri pedagang Bà rà õasã juga
memiliki alasan untuk menuntut anak ini. sebab saat seseorang
membeli seekor ikan, bagian dalam dari ikan itu tidak dikeluarkan
oleh si penjual sehingga si pembeli mendapatkan seluruh ikan
ini . Anak yang berada di dalam perut ikan itu juga sah menjadi
miliknya. Ibu pertama berhak atas anak itu sebagai ibu kandung.
Ibu kedua juga berhak atas anak itu sebagai pemberian. Masing-
masing berhak atas anak itu, dan anak itu berhak mendapatkan
warisan dari kedua keluarga. Sejak saat itu, kedua keluarga itu
mendapatkan keberuntungan dan kemasyhuran yang tidak diduga-
duga. Dan anak itu mendapatkan kemewahan dari kedua keluarga
itu. Namanya yaitu Bà kula Kumà ra, Bà kula putra pedagang.
2761
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
Kehidupan Mewah BÃ kula
Saat BÃ kula dewasa, kedua pasang orangtuanya membangun tiga
istana sebagai tempat tinggal di tiga musim di Kosambã dan Bà rà õasã.
Ia melewatkan empat bulan di masing-masing kota, dilayani oleh
banyak pelayan dan gadis-gadis penghibur. saat ia pindah dari
satu kota ke kota lainnya pada akhir empat bulan itu, ia melakukan
perjalanan dengan penuh kemegahan dengan menumpang perahu
besar dihibur oleh gadis-gadis penari. Tempat kediaman antara dua
kota itu juga ditempati selama empat bulan. Gadis-gadis penghibur
pada setiap kota dibagi dalam kelompok yang berjumlah sama,
yaitu, satu kelompok pengantar yang melayani di atas perahu selama
dua bulan, dan sesudah nya mereka beristirahat (sesudah setengah
perjalanan) dan digantikan oleh kelompok penyambut. Putra
pedagang itu melewatkan empat bulan dengan penuh kenyamanan
di tempat baru lalu ia pindah lagi dengan cara yang sama.
Ia melewatkan delapan puluh tahun kehidupannya dengan cara
demikian.
Kebhikkhuan BÃ kula dan Kearahattaan
saat BÃ kula berusia delapan puluh tahun, Buddha Gotama
telah mencapai Pencerahan Sempurna. sesudah membabarkan
Khotbah Pertama, Dhammacakka, Buddha mengembara,
melakukan perjalanan secara bertahap, dan tiba di Kosambã.
(menurut para pembaca Majjhima Nikà ya, ia tiba di Bà rà õasã).
Mengetahui kedatangan Buddha, jasa masa lampaunya yang tidak
tertandingi mengingatkan BÃ kula untuk pergi menjumpai Buddha.
memberi persembahan bunga dan wewangian kepada Buddha,
ia mendengarkan khotbah Buddha yang menambah keyakinannya
sehingga ia menjalani kehidupan kebhikkhuan. Sebagai seorang
bhikkhu, ia hanya menjadi bhikkhu awam hanya selama tujuh hari.
Saat dini hari pada hari kedelapan ia mencapai Kearahattaan lengkap
dengan empat Pengetahuan Analitis.
Pada waktu itu, gadis-gadis yang dulu melayaninya telah kembali ke
rumah orangtua mereka masing-masing di Bà rà õasã dan Kosambã.
Mereka setia kepada BÃ kula dan membuatkan jubah kepada bhikkhu
2762
tua itu yang memakai jubah persembahan mereka secara bergiliran,
setengah bulan mengenakan jubah yang dipersembahkan dari
Kosambã, dan setengah bulan lagi mengenakan jubah persembahan
dari Bà rà nasã. Selain itu, para warga kedua kota itu juga
memberi persembahan istimewa kepadanya yang terdiri dari
makanan dan barang-barang baik yang mereka miliki.
(c) Gelar Etadagga
Selama delapan puluh tahun menjalani kehidupan rumah tangga,
BÃ kula tidak pernah menderita penyakit bahkan yang ringan
sekalipun. sesudah berusia delapan puluh tahun ia menjadi
bhikkhu dengan penuh kepuasan dan sebagai seorang bhikkhu
juga ia menikmati kesehatan yang sempurna. Terlebih lagi, ia tidak
pernah kekurangan empat kebutuhan bhikkhu. Demikianlah, pada
lalu hari, saat Buddha sedang berdiam di Vihà ra Jetavana
di Sà vatthã, di tengah-tengah pertemuan para bhikkhu, Beliau
menyatakan:
“Etadaggaÿ bhikkhave mama sà vakà naÿ bhikkhÃ¥naÿ
appà bà dhà naÿ yadidaÿ Bà kulo,” “Para bhikkhu, di antara para
bhikkhu siswa-Ku yang memiliki kesehatan yang baik, yang bebas
dari penyakit, Bhikkhu BÃ kula yaitu yang terbaik.”
Hal Menakjubkan Sehubungan Dengan BÃ kula
Sehubungan dengan hal ini, beberapa peristiwa ajaib yang
berhubungan dengan Yang Mulia BÃ kula seperti yang terdapat
dalam Bà kula Sutta, Uparipaõõà sa, akan dikutipkan di sini.
Suatu saat Yang Mulia BÃ kula sedang berdiam di RÃ jagaha di
Vihà ra Veëuvana saat petapa telanjang Kassapa yang merupakan
teman Yang Mulia BÃ kula sewaktu masih menjadi orang awam
datang menemuinya. sesudah saling bertukar sapa, ia duduk di
tempat yang semestinya dan berkata kepada Yang Mulia BÃ kula,
“Teman BÃ kula, sudah berapa lama engkau menjadi seorang
bhikkhu?” “Teman, aku telah menjadi bhikkhu selama delapan
puluh tahun.” “Teman BÃ kula, selama delapan puluh tahun ini,
2763
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
berapa kali engkau melakukan hubungan seksual?” ini yaitu
pertanyaan kasar yang diajukan oleh seorang petapa telanjang.
lalu Yang Mulia BÃ kula mengungkapkan beberapa hal
menakjubkan dan luar biasa tentang dirinya sebagai berikut:
(1) “Teman Kassapa, engkau seharusnya tidak mengajukan
pertanyaan itu kepadaku: ‘Teman BÃ kula, selama delapan puluh
tahun ini, berapa kali engkau melakukan hubungan seksual?’ Teman
Kassapa, seharusnya engkau mengajukan pertanyaan: ‘Teman
BÃ kula, selama delapan puluh tahun ini, berapa kali persepsi yang
berhubungan dengan kenikmatan indria (kà ma sa¤¤Ã ) muncul
dalam dirimu?’ Teman Kassapa, aku telah menjadi bhikkhu selama
delapan puluh tahun (saat itu usia Yang Mulia BÃ kula yaitu 160
tahun.) Selama delapan puluh tahun ini tidak pernah muncul
dalam diriku persepsi yang berhubungan dengan kenikmatan
indria.” (Fakta bahwa tidak ada kesadaran yang berhubungan
dengan kenikmatan indria yaitu fakta menakjubkan dari Yang
Mulia BÃ kula.)
(2),(3) “Teman Kassapa, aku telah menjadi bhikkhu selama delapan
puluh tahun. Selama delapan puluh tahun ini tidak pernah muncul
dalam diriku persepsi yang berhubungan dengan kebencian
(vyà pà da sa¤¤Ã ) atau persepsi yang berhubungan dengan pikiran
mencelakai makhluk lain (vihiÿsà sa¤¤Ã ).”
(Fakta bahwa tidak ada persepsi yang berhubungan dengan
kebencian yang pernah muncul dalam diri Yang Mulia BÃ kula
yaitu fakta yang menakjubkan; bahwa tidak ada persepsi yang
berhubungan dengan kekerasan terhadap makhluk lain yang
pernah muncul dalam diri Yang Mulia BÃ kula yaitu fakta yang
menakjubkan dari Yang Mulia BÃ kula.)
(4) “Teman Kassapa, aku telah menjadi bhikkhu selama delapan
puluh tahun. Selama delapan puluh tahun ini tidak pernah muncul
dalam diriku pikiran-pikiran yang berhubungan dengan nafsu
seksual.” (Fakta bahwa tidak ada pikiran nafsu seksual yang pernah
muncul dalam diri Yang Mulia BÃ kula yaitu fakta menakjubkan
dari Yang Mulia BÃ kula.)
2764
(5),(6) “Teman Kassapa, aku telah menjadi bhikkhu selama delapan
puluh tahun. Selama delapan puluh tahun ini tidak pernah muncul
dalam diriku pikiran-pikiran jahat.” (Fakta bahwa tidak ada pikiran
jahat yang pernah muncul dalam diri Yang Mulia BÃ kula yaitu
fakta menakjubkan dari Yang Mulia BÃ kula.)
(7) “Teman Kassapa, aku telah menjadi bhikkhu selama delapan
puluh tahun. Selama delapan puluh tahun ini aku tidak pernah
menerima jubah yang dipersembahkan oleh umat awam yang tidak
memiliki hubungan keluarga denganku.” (Tidak menerima jubah
yang dipersembahkan oleh mereka yang bukan sanak-keluarganya
yaitu fakta menakjubkan dari Yang Mulia BÃ kula.)
(8) “Teman Kassapa, aku telah menjadi bhikkhu selama delapan
puluh tahun. Selama delapan puluh tahun ini aku tidak pernah
memotong bahan jubah dengan pisau.” (Tidak pernah memotong
bahan jubah yaitu fakta menakjubkan dari Yang Mulia BÃ kula.)
(9-33) “Teman Kassapa, aku telah menjadi bhikkhu selama delapan
puluh tahun. Selama delapan puluh tahun ini aku tidak pernah
menjahit jubah dengan jarum.
Aku tidak pernah mencelup jubah.
Aku tidak pernah menjahit jubah kathina.
Aku tidak pernah terlibat dalam pembuatan jubah bhikkhu lain.
Aku tidak pernah menerima persembahan makanan di rumah
umat awam.
Aku tidak pernah berpikir, ‘Baik sekali jika seseorang
mengundangku.’
Aku tidak pernah duduk di dalam rumah.
Aku tidak pernah makan di sebuah desa atau kota.
Aku t idak per nah melir ik perempuan untuk melihat
kecantikannya.
Aku tidak pernah membabarkan khotbah kepada perempuan,
bahkan hanya satu bait syair yang terdiri dari empat baris.
(Seorang bhikkhu sebaiknya membabarkan khotbah kepada
perempuan dalam lima atau enam kata. Jika seorang perempuan
2765
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
mengajukan pertanyaan yang berhubungan dengan Dhamma,
seorang bhikkhu boleh menjawabnya sebanyak ribuan bait syair.
Tetapi Yang Mulia BÃ kula tidak pernah membabarkan khotbah
kepada perempuan. Membabarkan khotbah kepada umat awam
yaitu pekerjaan para bhikkhu yang memiliki kemelekatan terhadap
mereka. Hal ini harus diingat.)
Aku tidak pernah berada di dekat vihà ra bhikkhunã.
(seorang bhikkhu boleh mengunjungi bhikkhunã yang sedang sakit.
Tetapi Yang Mulia BÃ kula tidak pernah melakukannya. Dalam setiap
peraturan di mana terdapat pengecualian, Yang Mulia BÃ kula tidak
pernah memanfaatkan pengecualian itu.)
Aku tidak pernah membabarkan khotbah kepada bhikkhunã.
Aku tidak pernah membabarkan khotbah kepada bhikkhunã yang
masih dalam masa percobaan.
Aku tidak pernah membabarkan khotbah kepada sà maõerã.
Aku tidak pernah menahbiskan seseorang menjadi sà maõera.
Aku tidak pernah bertindak sebagai penahbis kepada seorang bakal
bhikkhu.
Aku tidak pernah memberi instruksi kepada bhikkhu lain.
Aku tidak pernah membiarkan sà maõera melayaniku.
Aku tidak pernah mandi di kamar mandi.
Aku tidak pernah memakai bedak-mandi.
Aku tidak pernah membiarkan diriku dipijat oleh bhikkhu lain.
Aku tidak pernah sakit bahkan selama waktu yang diperlukan untuk
memerah setetes susu.
Aku tidak pernah meminum obat-obatan sedikit pun.
Aku tidak pernah berbaring di atas kasur.”
(Ini yaitu fakta menakjubkan sehubungan dengan Yang Mulia
BÃ kula.)
(34) “Teman Kassapa, aku telah menjadi bhikkhu selama delapan
puluh tahun. Selama delapan puluh tahun ini aku tidak pernah
menjalani vassa di dekat sebuah desa.” (Selalu menetap di dalam
hutan selama menjadi bhikkhu yaitu fakta menakjubkan dari
Yang Mulia BÃ kula.)
2766
(35) “Teman Kassapa, aku tetap berada dalam keadaan tidak suci
(sebagai orang awam) hanya selama tujuh hari sesudah menjadi
bhikkhu, memakan makanan yang dipersembahkan oleh para
warga . Pada hari kedelapan, Pengetahuan Arahatta-Phala
muncul dalam diriku.” (Bahwa Yang Mulia BÃ kula mencapai
Kearahattaan pada hari kedelapan sejak menjadi bhikkhu yaitu
fakta menakjubkan dari Yang Mulia BÃ kula.)
(sesudah mendengarkan fakta menakjubkan dan luar biasa tentang
Yang Mulia BÃ kula, petapa telanjang Kassapa memohon agar Yang
Mulia BÃ kula menahbiskannya menjadi seorang bhikkhu. Yang
Mulia BÃ kula tidak bertindak sebagai penahbis tetapi mencari
bhikkhu yang tepat untuk bertindak sebagai penahbis. Kassapa
ditahbiskan menjadi seorang bhikkhu. Dan tidak lama lalu ,
Yang Mulia Kassapa, yang dengan tekun berlatih praktik mulia,
akhirnya mencapai Arahatta-Phala dan menjadi Arahanta.)
(36) lalu suatu hari, Yang Mulia BÃ kula, dengan memegang
kuncinya, pergi dari satu vihà ra ke vihà ra lainnya dan mengumumkan,
“Para mulia, datanglah; para mulia, datanglah! Hari ini, aku akan
mencapai Parinibbà na!” (Fakta bahwa Yang Mulia Bà kula mampu
melakukan hal itu yaitu fakta menakjubkan dari Yang Mulia
BÃ kula.)
(37) saat Saÿgha diberitahukan demikian dan para bhikkhu
telah berkumpul, Yang Mulia BÃ kula, merenungkan bahwa seumur
hidupnya, ia tidak pernah menyusahkan bhikkhu lain, dan juga
pada saat kematiannya ia juga tidak ingin menyusahkan bhikkhu
lain untuk mengurus jenazahnya, berkehendak bahwa tubuhnya
akan habis terbakar dengan sendirinya. Ia duduk di tengah-tengah
kerumunan para bhikkhu, memasuki Jhà na dengan berkonsentrasi
pada unsur panas dan meninggal dunia. Segera sesudah ia meninggal
dunia, tubuhnya terbakar dari api yang muncul dari dalam tubuhnya
dan hanya ada sedikit relik-relik yang menyerupai kuntum melati.
(Fakta bahwa ia meninggal dunia di tengah-tengah kerumunan
para bhikkhu juga merupakan fakta menakjubkan dari Yang Mulia
BÃ kula.)
2767
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
Demikianlah kisah Thera BÃ kula
(34) Thera Sobhita
(a) Cita-cita masa lampau
Bakal Sobhita terlahir dalam keluarga kaya di Kota Haÿsà vatã pada
masa kehidupan Buddha Padumuttara. Sewaktu mendengarkan
khotbah Buddha, ia menyaksikan seorang bhikkhu yang dinyatakan
sebagai bhikkhu terbaik di antara para siswa bhikkhu yang mampu
mengingat kehidupan masa lampau mereka. Ia bercita-cita untuk
mendapat kehormatan itu pada masa depan, dan sesudah memberi
persembahan besar kepada Buddha, ia mengungkapkan cita-citanya.
Buddha pun mengucapkan ramalan-Nya.
(b) Kehidupan pertapaan dalam kehidupan terakhir
Orang kaya itu melakukan banyak kebajikan seumur hidupnya dan
saat meninggal dunia, ia terlahir kembali hanya di alam bahagia.
Pada masa Buddha Gotama, ia terlahir dalam keluarga berkasta
brahmana di Sà vatthã. Ia bernama Sobhita.
Sobhita muda sering mendengarkan khotbah Buddha dan
saat keyakinannya tumbuh berkembang, ia menjadi seorang
bhikkhu, melatih praktik mulia dan mencapai Kearahattaan. Ia
memiliki kekuatan istimewa dalam mengingat kehidupan lampau
(Pubbenivà sa ¥Ã õa).
(c) Gelar Etadagga
Lima ratus siklus dunia yang lalu terhitung dari siklus dunia
sekarang ini, bakal Sobhita, di bawah ajaran kepercayaan lain, telah
melatih Jhà na Alam Bentuk yang tidak memiliki kesadaran. Sewaktu
ia berdiam dalam Jhà na Keempat, ia meninggal dunia tanpa terjatuh
dari Jhà na ini dan terlahir kembali di alam bentuk di mana
ia hidup selama lima ratus siklus dunia yang merupakan umur
kehidupan maksimum di alam itu.
2768
sesudah meninggal dunia dari alam itu, ia terlahir kembali di alam
manusia sebagai Sobhita, pemuda brahmana. sebab ia telah
matang untuk mencapai Pencerahan, ia menjadi seorang bhikkhu
dalam Dhamma (dari Buddha Gotama) ini, berusaha dengan tekun
untuk mencapai Kearahattaan, dan mencapainya, dan memiliki Tiga
Kekuatan, yaitu, kekuatan mengingat kehidupan lampau, kekuatan
mata-dewa, dan kekuatan pemadaman à sava.
Suatu hari ia mempraktikkan kekuatan mengingat kehidupan
lampau, ia melihat kelahirannya pada kehidupan sekarang dan
mundur lagi, ia dapat melihat kematiannya (yaitu, saat kesadaran-
kematian) pada kehidupan kedua yang terakhir. Tetapi ia tidak
dapat melihat kehidupan keduanya yang terakhir di alam bentuk
yang tidak memiliki kesadaran.
(Kekuatan mengingat kehidupan lampau didasarkan pada
mengingat kembali saat kesadaran-kematian dan saat kesadaran
kelahiran kembali pada kehidupan lampau. Kekuatan ini hanya
berhubungan pada fenomena batin seperti memahami hubungan
sebab dari proses-proses batin yang berdekatan. alam bentuk
asa¤¤Ã satta yang tidak memiliki kesadaran tidak dapat dilihat
melalui kekuatan ini―Sà rattha òãkà , Vol. 2)
Demikianlah kehidupannya yang kedua terakhir sebab tidak
memiliki fenomena batin sehingga tidak dapat diketahui bahkan
melalui kekuatan mengingat kehidupan lampau, Yang Mulia Sobhita
memakai n intuisinya sebagai berikut, “Semua makhluk yang
mengembara dalam lingkaran kelahiran kembali tidak ada sesaat
pun tanpa munculnya kelompok kehidupan (khandha). Makhluk
yang terlahir di alam bentuk yang hampa dari kesadaran memiliki
umur kehidupan sepanjang lima ratus siklus dunia. sebab itu aku
pasti terlahir di alam itu dan hidup tanpa kesadaran. Itu pastilah
kehidupan terakhir keduaku.” Demikianlah bagaimana Yang Mulia
Sobhita mengetahui kehidupan lampaunya.
Mengingat kembali kehidupan lampau seseorang yang terlahir di
alam bentuk yang tidak memiliki kesadaran hanya dikuasai oleh
2769
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
para Buddha saja, kesimpulan yang ditarik oleh Yang Mulia Sobhita
yaitu keterampilan batin yang luar biasa bagaikan menembak bulu
yak dengan anak panah bulu yak, atau bagaikan meninggalkan
jejak di angkasa. sebab itu dengan merujuk kekuatan yang tanpa
tandingan yang dimiliki Yang Mulia Sobhita, Buddha, pada suatu
kesempatan, menyatakan:
“Etadaggaÿ bhikkhave mama sà vakà naÿ bhikkhÃ¥naÿ
pubbenivà saÿ anussarantà naÿ yadidaÿ Sobhito,” “Para bhikkhu,
di antara para bhikkhu siswa-Ku yang memiliki kekuatan mengingat
kehidupan lampau, Sobhita yaitu yang terbaik.”
(Untuk penjelasan lengkap mengenai keterampilan luar biasa
dari Yang Mulia Sobhita, baca Vinaya Pà rà jika, Pà rà jika keempat,
yang diakhiri dengan Vinãta vatthu, dan Komentar serta
Subkomentarnya.)
Demikianlah kisah Thera Sobhita
(35) Thera Upà li
(a) Cita-cita masa lampau
Bakal Upà li terlahir dalam keluarga kaya di Kota Haÿsà vatã pada
masa kehidupan Buddha Padumuttara. Sewaktu mendengarkan
khotbah Buddha, ia menyaksikan seorang bhikkhu yang dinyatakan
sebagai bhikkhu terbaik di antara para siswa bhikkhu yang mematuhi
Aturan Vinaya. Ia bercita-cita untuk mendapat kehormatan yang
sama pada masa depan, dan sesudah memberi persembahan
besar kepada Buddha, ia mengungkapkan cita-citanya. Dan Buddha
mengucapkan ramalan-Nya.
(b) Kehidupan pertapaan dalam kehidupan terakhir
Orang kaya itu melakukan banyak kebajikan seumur hidupnya dan
saat meninggal dunia ia terlahir kembali hanya di alam bahagia.
Pada masa Buddha Gotama, ia terlahir dalam keluarga tukang cukur,
ia bernama Upà li. saat dewasa ia bekerja sebagai tukang cukur
2770
bagi enam Pangeran Sakya, yaitu, Bhaddiya, Anuruddhà , Kimbila,
Bhagu, ânanda, dan Devadatta. Dan saat enam Pangeran Sakya itu
melepaskan keduniawian dan bergabung dengan Buddha di Hutan
Mangga Anupiya, Upà li juga menjadi bhikkhu bersama mereka.
sesudah menjadi seorang bhikkhu, Yang Mulia Upà li mendengarkan
khotbah Buddha dan berkata:
“Yang Mulia, sudilah Bhagavà mengizinkan aku untuk menetap di
dalam hutan.” Buddha menjawab, “Anak-Ku, jika engkau menetap di
dalam hutan, engkau hanya melatih Pandangan Cerah. Jika engkau
menetap bersama-Ku, engkau akan dapat melatih Pandangan
Cerah dan juga dalam belajar.” Yang Mulia Upà li dengan gembira
menyetujui, dan dengan tekun akhirnya ia berhasil mencapai
Kearahattaan tidak lama sesudah itu. lalu Bhagavà secara
pribadi mengajarkan Vinaya kepada Yang Mulia Upà li.
(c) Gelar Etadagga
Upà li terbukti menjadi siswa yang terbaik dalam hal peraturan
Vinaya dengan peraturan-peraturannya dalam tiga kasus, yaitu: (1)
Bhà rukacchaka vatthu (2) Ajjuka vatthu, dan (3) Kumà ra Kassapa
vatthu.
Kisah Bhikkhu Bhà rukacchÃ
Seorang bhikkhu dari Bhà rukaccha bermimpi bahwa ia melakukan
hubungan seksual dengan mantan istrinya. Ia merasa cemas—”Aku
bukan lagi seorang bhikkhu,” dengan pertimbangan demikian ia
pulang ke kampung halamannya, dengan niat untuk kembali kepada
kehidupan awam. Dalam perjalanan itu ia bertemu dengan Yang
Mulia Upà li dan menceritakan pengalamannya kepada Yang Mulia
Upà li. Yang Mulia Upà li berkata, “Teman, apa yang engkau lakukan
dalam mimpi bukan merupakan pelanggaran peraturan Vinaya.”
(Peristiwa ini tercatat dalam Vinaya Pà rà jika.) Bhà rukaccha yaitu
sebuah kota pelabuhan.
Yang Mulia Upà li memberi keputusan terhadap hal-hal yang
2771
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
belum ditetapkan oleh Buddha. Vinaya tidak menganggap mimpi
sebagai (aktivitas kehendak) yang salah. Tetapi ia mengetahui
bahwa mimpi basah bukanlah pelanggaran dan dengan demikian
ia memutuskan dengan benar bahwa bhikkhu dari Bhà rukaccha
itu tidak bersalah.
saat Buddha mengetahui keputusan itu, Beliau memuji Yang Mulia
Upà li dengan berkata, “Para bhikkhu, Upà li telah memutuskan
masalah itu dengan benar. Ia telah melakukan sesuatu bagaikan
seseorang yang meninggalkan jejak kakinya di angkasa.”
Kisah Bhikkhu Ajjuka
Suatu saat di Kota Vesà lã, seorang umat dari Yang Mulia Ajjuka
yang memiliki seorang putra dan seorang keponakan sebagai calon
penerusnya mempercayakan kepada Yang Mulia Ajjuka secara
pribadi. Ia berkata, “Yang Mulia, ini yaitu putraku dan ini yaitu
keponakanku. Sudilah Yang Mulia menunjukkan tempat di mana
hartaku tersimpan kepada salah satu dari mereka yang berkeyakinan
kepada Tiga Permata.” sesudah membuat wasiat itu, umat awam
ini meninggal dunia.
Yang Mulia Ajjuka melihat bahwa keponakan si almarhum lebih
berkeyakinan terhadap Tiga Permata dan sebab itu ia menunjukkan
di mana harta orang ini tersimpan. Anak itu memakai
harta itu dengan bijaksana dalam usahanya, sehingga kekayaan
pamannya terpelihara dan ia mampu melakukan tindakan-tindakan
kedermawanan.
Putra si almarhum mengadukan permasalahan itu kepada Yang
Mulia ânanda dan bertanya, “Yang Mulia, antara seorang putra
dan seorang keponakan, siapakah yang lebih berhak menerima
warisan dari almarhum?”
“Umat awam, seorang putra lebih berhak.”
“Yang Mulia, Bhikkhu Ajjuka telah memberi harta yang
seharusnya menjadi milikku kepada sepupuku, keponakan
2772
ayahku.”
Yang Mulia ânanda, tanpa memeriksa masalah ini , berkata,
“Kalau begitu, Yang Mulia Ajjuka bukan lagi seorang bhikkhu (ia
telah jatuh dari kebhikkhuan).”
Yang Mulia Ajjuka lalu berkata kepada Yang Mulia ânanda,
“Teman ânanda, apa keputusanmu atas permasalahan itu.” Dalam
kasus ini Yang Mulia Upà li memihak Yang Mulia Ajjuka. (Yang
Mulia Upà li bukan memihak tanpa sebab. Ia memihak yang benar
sebab menurut peraturan Vinaya Yang Mulia Ajjuka tidak bersalah.
Dengan kata lain, ia menegakkan Vinaya.)
lalu Yang Mulia Upà li bertanya kepada Yang Mulia ânanda,
“Teman ânanda, jika seorang bhikkhu diminta oleh seseorang,
‘Serahkan hartaku kepada si anu,’ dan bhikkhu ini melakukan
sesuai permintaan, pelanggaran apakah yang ia lakukan?”
“Tidak ada pelanggaran apa pun, Yang Mulia, bahkan yang ringan
sekalipun.”
“Teman ânanda, Bhikkhu Ajjuka diminta oleh pemilik harta untuk
menyerahkannya kepada orang tertentu, dan ia menyerahkannya
kepada anak itu (keponakan). sebab itu, Teman ânanda, Ajjuka
tidak melakukan pelanggaran Vinaya.”
Berita mengenai keputusan yang tepat itu sampai ke Buddha yang
berkata, “Para bhikkhu, Upà li telah memberi keputusan yang
tepat,” dan memujinya.
(Ada banyak lagi peristiwa menakjubkan yang mengungkapkan
kemuliaan Yang Mulia Upà li yang terdapat dalam Therà padà na,
naskah dan terjemahannya terdapat dalam Chiddapidhà naÿ, oleh
Almarhum Mahà visuddhà rà ma Sayadaw.)
Buddha mensahkan tiga peraturan Vinaya yang ditetapkan oleh
Yang Mulia Upà li, dan setiap kali memujinya. Dan berdasarkan tiga
contoh ini , pada lalu hari, Buddha, duduk di tengah-
2773
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
tengah pertemuan para bhikkhu, menyatakan:
“Etadaggaÿ bhikkhave mama sà vakà naÿ bhikkhÃ¥naÿ
vinayadharà naÿ yadidaÿ Upà li,” “Para bhikkhu, di antara para
bhikkhu siswa-Ku yang hidup ketat dalam peraturan Vinaya,
Bhikkhu Upà li yaitu yang terbaik.”
Demikianlah kisah Thera Upà li
(36) Thera Nandaka
(a) Cita-cita masa lampau
Bakal Nandaka terlahir dalam keluarga kaya di Kota Haÿsà vatã pada
masa kehidupan Buddha Padumuttara. Sewaktu mendengarkan
khotbah Buddha, ia menyaksikan seorang bhikkhu yang dinyatakan
oleh Buddha sebagai bhikkhu terbaik di antara para siswa
bhikkhu dalam hal memberi nasihat kepada para bhikkhunã.
Ia berkeinginan kuat untuk mendapat kehormatan yang sama
pada masa depan. sebab itu ia memberi persembahan besar
kepada Buddha dan mengungkapkan cita-citanya di depan Buddha.
Buddha melihat bahwa cita-citanya akan tercapai dan mengucapkan
ramalan-Nya.
(b) Kehidupan pertapaan dalam kehidupan terakhir
Orang kaya itu melakukan banyak kebajikan seumur hidupnya dan
saat meninggal dunia ia terlahir kembali hanya di alam bahagia. Pada
masa Buddha Gotama, ia terlahir dalam sebuah keluarga kaya di
Sà vatthã. sesudah dewasa, ia mendengarkan khotbah Buddha yang
membangkitkan keyakinannya sehingga ia meninggalkan kehidupan
awam dan menjalani kebhikkhuan. Segera sesudah berusaha keras
dalam praktik kebhikkhuan, ia mencapai Kearahattaan. Ia memiliki
kekuatan mengingat kehidupan lampau. Ia juga yaitu penceramah
berbakat yang dapat menarik perhatian empat kelompok orang yang
berkumpul di depan Buddha atau Saÿgha dengan keterampilannya
dalam memberi penjelasan. sebab itu ia terkenal sebagai Yang
Mulia Nandaka, Penceramah Dhamma.
2774
Pada suatu saat Buddha terpaksa campur tangan dalam pertikaian
antara dua kelompok para pangeran Sakya, suku Koliya dan suku
Kapilavatthu yang tinggal di kedua sisi Sungai Rohiõi, sebab mereka
tidak dapat secara damai membagi air yang sedikit itu kepada para
petani dari masing-masing kelompok. sesudah mendamaikan kedua
pihak itu, Buddha meminta dua ratus lima puluh pangeran dari
masing-masing pihak untuk dijadikan bhikkhu. Lima ratus pangeran
Sakya itu masih muda. (Mereka terikat pada keluarga mereka), dan
tidak berbahagia sebagai bhikkhu. Buddha membawa mereka ke
(hutan yang jauh yang di tengah-tengahnya terletak) Danau Kuõà la.
Di sana Beliau membabarkan Kuõà la Jà taka yang membangkitkan
semangat mereka. Buddha mengetahui hal ini dan membabarkan
Empat Kebenaran Mulia kepada mereka yang mengakibatkan
mereka mencapai Sotà patti-Phala. lalu Buddha membabarkan
Mahà samaya Sutta di Hutan Mahà vana dan pada akhirnya lima
ratus bhikkhu itu menjadi Arahanta.
Lima ratus mantan istri dari para bhikkhu yang telah meninggalkan
kehidupan awam itu tidak melihat adanya alasan untuk tetap menetap
di istana megah mereka. sebab itu mereka mendatangi Mahà pajà patã
Gotamã, ibu pengasuh Buddha, untuk memohon kepada Buddha
agar mereka diperbolehkan menerima penahbisan.
Mereka pergi ke Hutan Mahà vana. Atas permohonan yang gigih
dari Mahà pajà patã Gotamã, Buddha memperkenankan mereka untuk
menjadi bhikkhu perempuan atau bhikkhunã sesudah menetapkan
delapan prinsip pokok yang harus mereka patuhi. sebab belum
ada bhikkhunã sebelum mereka, maka penahbisan mereka dilakukan
oleh para bhikkhu. (Kelak, penahbisan bhikkhunã harus dilakukan
oleh para bhikkhu dan oleh para bhikkhunã.) Hal penting yang
berhubungan dengan Yang Mulia Nandaka yaitu bahwa lima ratus
bhikkhunã itu dalam salah satu kehidupan lampau mereka pernah
menjadi permaisuri Yang Mulia Nandaka yang saat itu terlahir
sebagai seorang raja.
lalu , Buddha menganjurkan para bhikkhu untuk menasihati
para bhikkhunã. saat tiba giliran Yang Mulia Nandaka untuk
2775
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
memberi nasihat kepada lima ratus bhikkhunã ini , ia
tidak melakukannya sendiri tetapi meminta bhikkhu lain untuk
melakukan tugas ini . Hal itu sebab ia mengetahui melalui
Pengetahuannya dalam mengingat kehidupan lampau bahwa lima
ratus bhikkhunã ini pernah menjadi permaisurinya dalam
kehidupan lampau. Ia khawatir jika beberapa bhikkhu yang memiliki
pengetahuan yang sama melihatnya dikelilingi oleh para bhikkhunã
ini, ia akan keliru menganggap bahwa dirinya masih melekat pada
mantan-mantan permaisurinya itu.
Lima ratus bhikkhunã itu ingin menerima nasihat dari Yang Mulia
Nandaka. Buddha berkata kepada Nandaka, “Nandaka, nasihatilah
sendiri para bhikkhunã, jangan mewakilkannya kepada bhikkhu
lain saat tiba giliranmu.” Yang Mulia Nandaka dengan hormat
mematuhi kata-kata Buddha, mendatangi para bhikkhunã pada
hari yang telah ditentukan, hari ke empat belas penanggalan lunar
yang merupakan hari uposatha. Ia memperingatkan mereka tentang
enam landasan indria internal (Ã yatana). Pada akhir nasihat itu,
lima ratus bhikkhunã, para mantan putri Sakya, mencapai Buah
Sotà patti-Phala.
Para bhikkhunã gembira mendengarkan khotbah Yang Mulia
Nandaka. Mereka menghadap Buddha dan mengungkapkan
penghargaan mereka atas Jalan Lokuttara dan Buah yang telah
mereka alami. Buddha lalu meninjau kasus itu, dan
mengetahui bahwa, khotbah yang disampaikan oleh Yang Mulia
Nandaka, jika diulangi, akan mengarahkan mereka menuju
Kearahattaan. Maka pada keesokan harinya, Buddha memberi
instruksi agar mereka mendengarkan khotbah yang sama yang
disampaikan oleh Yang Mulia Nandaka dan akibatnya lima ratus
bhikkhunã ini menjadi para Arahanta.
Pada hari lima ratus bhikkhunã itu mendatangi Buddha, BhagavÃ
mengetahui bahwa khotbah ulangan itu akan bermanfaat bagi para
bhikkhunã, Beliau berkata kepada para bhikkhu:
“Para bhikkhu, khotbah yang disampaikan oleh Nandaka kemarin
yaitu bagaikan bulan purnama yang muncul pada tanggal
2776
empat belas setiap bulan; khotbah yang ia sampaikan hari ini
yaitu bagaikan bulan purnama yng muncul pada tanggal lima
belas setiap bulan. Demikianlah Bhagavà memuji kemuliaan
khotbah yang disampaikan oleh Yang Mulia Nandaka. (Penjelasan
lengkap sehubungan dengan khotbah yang disampaikan oleh
Yang Mulia Nandaka ini dapat dibaca dalam Nandakovà da Sutta,
Uparipaõõà sa.)
(c) Gelar Etadagga
Sehubungan dengan peristiwa di atas, pada suatu kesempatan
saat duduk di tengah-tengah pertemuan para bhikkhu, Buddha
menyatakan:
“Etadaggaÿ bhikkhave mama sà vakà naÿ bhikkhÃ¥naÿ
bhikkhunovà dakà naÿ yadidaÿ Nandako,” “Para bhikkhu, di
antara para bhikkhu siswa-Ku yang memberi nasihat kepada
para bhikkhunã, Bhikkhu Nandaka yaitu yang terbaik.”
Demikianlah kisah Thera Nandaka
(37) Thera Nanda
(a) Cita-cita masa lampau
Bakal Nanda terlahir dalam keluarga kaya di Kota Haÿsà vatã pada
masa kehidupan Buddha Padumuttara. Sewaktu mendengarkan
khotbah Buddha, ia menyaksikan penganugerahan gelar etadagga
oleh Buddha kepada seorang bhikkhu dalam hal pengendalian
indria. Orang kaya itu bercita-cita untuk mendapat kehormatan
ini dalam masa Pengajaran Buddha pada masa depan, dan
sesudah memberi persembahan besar kepada Buddha, ia
mengungkapkan cita-citanya. Buddha melihat bahwa cita-citanya
akan tercapai dan mengucapkan ramalan-Nya.
(b) Kehidupan pertapaan dalam kehidupan terakhir
Orang kaya itu terlahir kembali sebagai putra Mahà pajà patã Gotamã,
2777
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
ibu pengasuh Buddha, di Kota Kapilavatthu. (ia dilahirkan dua atau
tiga hari sesudah Bakal Buddha, Pangeran Siddhattha, dilahirkan oleh
Ratu Mà yà , yang yaitu kakak Mahà pajà patã Gotamã. Kisah tentang
Pangeran Nanda menjadi seorang bhikkhu telah diceritakan dalam
bab terdahulu.)
Pada hari ketiga kunjungan-Nya ke Kapilavatthu, Buddha
menahbiskan Pangeran Nanda menjadi bhikkhu.
Walaupun Pangeran Nanda telah menjalani kehidupan kebhikkhuan,
kata-kata (menyedihkan) yang diucapkan oleh ratunya,
Janapadakalyà õã selalu terngiang-ngiang di telinganya, “O suamiku,
kembalilah segera!” Sering ia membayangkan mantan istrinya
itu berdiri di sisinya. Tidak menemukan kebahagiaan di dalam
Dhamma, ia mencoba melarikan diri dari Vihà ra Nigrodhà rà ma.
Tetapi sebelum ia sempat pergi jauh, ia berpikir bahwa Buddha
berdiri menghalangi jalannya, dan ia terpaksa kembali ke vihà ra
dengan tampang kusut seperti bulu keledai.
Buddha mengetahui perasaan Bhikkhu Nanda, kelalaiannya, dan
kebosanannya dalam kebhikkhuan. Untuk meredakan kebosanan
dan keputus-asaannya, Buddha berkata kepadanya, “Marilah,
Nanda, kita berkunjung ke alam surga.” “Yang Mulia, alam surga
hanya dapat dikunjungi oleh makhluk sakti. Bagaimana aku dapat
pergi ke sana?” Bhikkhu Nanda berkata. “Nanda, cukup dengan
berkehendak untuk pergi ke sana. Engkau akan sampai di sana dan
melihat alam surga.” (Ini dikutip dari Komentar Aïguttara, Vol. 1.
Kisah berikut tentang Bhikkhu Nanda bersumber dari Udà na dan
Komentarnya.)
Tujuan Buddha yaitu untuk meredakan kesakitan dari kemelekatan
dalam batin Nanda dengan strategi tertentu. lalu , seakan-
akan menggendong Nanda, Buddha dengan kekuatan batin-Nya
membawa Nanda ke Alam Dewa Tà vatiÿsa. Akan tetapi, dalam
perjalanan itu, Buddha menunjukkan kepadanya pemandangan
seekor monyet betina tua (sendirian) di atas tunggul pohon yang
terbakar di ladang padi yang terbakar, dengan hidung, telinga, dan
ekornya terbakar.
2778
(Sehubungan dengan hal ini, Buddha secara pribadi membawa
Nanda ke Alam Tà vatiÿsa agar ia melihat perbedaan yang nyata
antara kehidupan di alam manusia dan kehidupan dewa, betapa
rendahnya manusia dibandingkan dengan dewa. Jika hanya untuk
memperlihatkan Alam Dewa Tà vatiÿsa, Buddha mampu membuka
pemandangan alam dewa itu saat Beliau berada di Vihà ra Jetavana,
atau Beliau mampu mengirim Nanda sendirian ke Alam Tà vatiÿsa
melalui kekuatan Buddha. Kemegahan alam dewa bertujuan untuk
mengesankan Nanda agar ia menjadikannya sebagai tujuan dalam
menjalani Tiga Latihan Bhikkhu sehingga ia akan menganggap tugas
itu menyenangkan, dan berharga.)
Di Alam Tà vatiÿsa, Buddha menunjukkan para bidadari surgawi
yang memiliki kaki kemerahan seperti warna kaki burung merpati,
yang sedang melayani Sakka, raja para dewa. lalu terjadi
percakapan antara Buddha dan Bhikkhu Nanda:
Buddha, “Nanda, apakah engkau melihat lima ratus bidadari surga
yang memiliki kaki kemerahan seperti warna kaki burung merpati
itu?”
Nanda, “Aku melihatnya, Yang Mulia!”
Buddha, “Sekarang, jawablah pertanyaan-Ku dengan jujur.
Bagaimana menurutmu: Siapakah yang lebih cantik antara para
bidadari ini dan (istri)mu Putri Janapadakalyà õã? Siapakah yang
lebih menarik?”
Nanda, “Yang Mulia, dibandingkan dengan para bidadari ini,
Janapadakalyà õã terlihat bagaikan monyet betina tua (yang kita
lihat dalam perjalanan). Ia bahkan tidak terlihat seperti seorang
perempuan. Ia tidak dapat disamakan dengan para bidadari ini
yang jauh lebih cantik daripadanya, jauh lebih menarik.”
Buddha, “Nanda, laksanakanlah praktik kebhikkhuan dengan
baik. Berbahagialah di dalam Dhamma. Aku menjamin bahwa
jika engkau melakukannya, engkau akan mendapatkan lima ratus
bidadari surgawi ini.”
Nanda, “Yang Mulia, jika Bhagavà menjamin bahwa aku akan
mendapatkan gadis-gadis cantik ini yang berkaki kemerahan,
aku akan berbahagia di dalam Dhamma dan menetap bersama
2779
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
Bhagavà .”
sesudah percakapan di Alam Tà vatiÿsa itu Buddha membawa
Bhikkhu Nanda sesaat kembali ke Vihà ra Jetavana.
(Strategi Buddha harus dipahami. Bagaikan seorang dokter ahli
yang memberi obat pencahar untuk membersihkan racun
dalam diri pasien sebelum memberi obat untuk memuntahkan
zat-zat berbahaya yang menyebabkan penyakit itu, demikian pula
kemelekatan-indria Nanda terhadap mantan istrinya ‘pertama-tama
harus dibersihkan melalui ketertarikannya terhadap para bidadari
surgawi. sesudah itu Buddha akan mengarahkan usaha Nanda ke
arah Praktik Jalan Ariya yang akan melenyapkan kotoran lainnya.
Alasan memberi objek seksual (berupa bidadari surga)
kepada Nanda padahal Buddha menginginkan Nanda melatih
praktik mulia yang mengharuskan hidup selibat, harus dipahami.
Buddha memberi objek visual sementara yang mengakibatkan
ketertarikan yang lebih kuat sehingga Nanda dapat melupakan
mantan istrinya. Dengan memberi jaminan kepada Nanda
bahwa ia pasti mendapatkan objek itu, Buddha menenteramkan
batin bhikkhu itu. Demikian pula, khotbah Buddha kepada para
penyumbang yang biasanya berlanjut dimulai dari pencapaian
kemuliaan surgawi hingga pencapaian Magga-Phala harus dipahami
dengan cara yang sama. (Komentar Udà na)
Sejak saat ia kembali ke Vihà ra Jetavana, Bhikkhu Nanda dengan tekun
melatih praktik kebhikkhuan, dengan tujuan untuk mendapatkan
bidadari surgawi. Sementara itu, Buddha menginstruksikan para
bhikkhu untuk mendatangi tempat meditasi Bhikkhu Nanda dan
mengatakan, “Dikatakan bahwa ada seorang bhikkhu yang berlatih
keras untuk mendapatkan bidadari surgawi dengan jaminan dari
Bhagavà .” Para bhikkhu berkata, “Baiklah, Yang Mulia.” Dan mereka
pergi hingga jarak sependengaran telinga dari Bhikkhu Nanda dan
berkata, “Katanya Bhikkhu Nanda berusaha keras dalam praktik
kebhikkhuan untuk mendapatkan bidadari surgawi. Dikatakan
bahwa Bhagavà bahkan telah memberi jaminan bahwa lima
ratus bidadari surgawi berkaki kemerahan seperti warna kaki
2780
burung merpati akan menjadi hadiahnya. ‘O Yang Mulia Nanda
yaitu bhikkhu bayaran!’ ‘O Yang Mulia Nanda yaitu bhikkhu
bayaran!’”
saat Yang Mulia Nanda mendengar gelar ‘bayaran’ itu dilekatkan
pada namanya, ia menjadi sangat kacau, “Ah, betapa salahnya
aku! Betapa tidak layaknya aku menjadi seorang bhikkhu! sebab
kurangnya pengendalian indriaku. Aku menjadi tertawaan para
bhikkhu. Aku harus menjaga indriaku dengan baik.” Sejak saat
itu Yang Mulia Nanda melatih dirinya agar selalu penuh perhatian
dengan pemahaman murni dalam segala hal yang ia lihat, apakah
saat melihat ke timur, atau ke barat, atau selatan, atau utara, atau ke
atas, atau ke bawah, ke segala penjuru kompas, tidak membiarkan
segala pikiran keserakahan, kebencian atau kejahatan lainnya
muncul dalam dirinya sehubungan dengan apa yang ia lihat.
Dengan mengendalikan dirinya sehubungan dengan indrianya
hingga tingkat yang tertinggi, ia menjalani praktik kebhikkhuan
yang memuncak pada Kearahattaan tidak lama lalu .
lalu , saat tengah malam, brahmà menghadap Buddha untuk
memberitahukan kabar baik bahwa Yang Mulia Nanda telah
mencapai Kearahattaan. Buddha mengarahkan pikiran-Nya kepada
hal itu dan melihat bahwa apa yang dikatakan brahmà itu ternyata
benar.
Buddha Bebas dari Kewajiban
Pikiran bahwa ia melatih Jalan Mulia dengan tujuan untuk
mendapatkan bidadari surgawi, yang diucapkan oleh para bhikkhu
lainnya, membuat Yang Mulia Nanda menyesal dan kesadarannya
memperbaiki sikapnya, membuatnya lebih tekun dalam melatih
praktik benar yang memuncak pada Kearahattaan. lalu ia
teringat bahwa ia telah menjadikan Bhagavà sebagai penjamin
untuk mendapatkan bidadari surgawi. Ia merasa perlu untuk
membebaskan Bhagavà dari kewajiban itu. Keesokan paginya,
ia menghadap Buddha, bersujud, dan duduk di tempat yang
semestinya, ia berkata, “Yang Mulia, Bhagavà telah menjamin bahwa
aku akan mendapatkan bidadari surgawi yang berkaki kemerahan
2781
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
seperti warna kaki burung merpati. Yang Mulia, aku tidak ingin
Bhagavà terikat dengan kewajiban itu lagi.”
Buddha berkata, “Nanda, Aku mengetahui dengan membaca
batinmu bahwa sekarang engkau telah mencapai Arahatta-Phala.
Terlebih lagi, brahmà juga memberitahukan hal ini kepada-Ku.
Nanda, sejak saat engkau bebas dari noda moral (Ã sava) (sejak
engkau mencapai Kearahattaan), Aku telah bebas dari kewajiban
itu. (Ini yaitu hal yang wajar, engkau tidak perlu memohon pada-
Ku.)” Buddha melihat sifat yang tidak tergoyahkan dari seorang
Arahanta dalam menghadapi perubahan dalam kehidupan melalui
pemadaman noda-noda moral, dan merasa gembira dengan status
Yang Mulia Nanda, Beliau mengucapkan syair kegembiraan:
Yassa nittiõõo païko,
maddito kà makaõñako.
Mohakkhayaÿ anuppatto
sukhadukkhesu na vedhatã sa bhikkhu.
“Arahanta yang telah menyeberangi lumpur kelahiran kembali
(melalui Jalan Ariya sebagai jembatan). Ia telah menghancurkan
secara total (dengan Jalan Ariya sebagai senjata) anak panah nafsu
indria (yang menyiksa manusia dan dewa). Ia telah mencapai
(dengan melewati empat tingkat Pengetahuan Jalan) akhir kebodohan
(yaitu, mencapai Nibbà na). Bhikkhu yang telah tercerahkan ini ,
(tidak seperti orang awam,) tidak akan goyah saat menghadapi
penderitaan atau kebahagiaan (yaitu, perubahan dalam hidup).”
(c) Gelar Etadagga
Pada suatu kesempatan saat Buddha mengadakan pertemuan para
bhikkhu di Vihà ra Jetavana, Beliau menyatakan:
(Para bhikkhu lain juga mengendalikan indria mereka. Yang Mulia
Nanda mengungguli semua yang lainnya dalam hal itu, saat ia
melihat ke satu dari sepuluh arah, ia melakukannya hanya sesudah
memastikan bahwa ia telah memiliki empat jenis pemahaman
murni, yaitu, (1) merenungkan dengan bijaksana baik dan buruk
2782
dari suatu perbuatan sebelum dilakukan (satthaka sampaja¤¤a);
(ii) merenungkan dengan bijaksana bahwa suatu perbuatan
meskipun bermanfaat, yaitu baik untuk dilakukan (sappà ya); (iii)
merenungkan dengan bijaksana agar tidak melakukan pelanggaran
saat bepergian ke berbagai tempat (gocara); (iv) merenungkan
dengan bijaksana untuk menghindari setiap perbuatan yang
dipengaruhi oleh kebodohan (asammoha). Menjalani disiplin diri
yang keras itu sebab ia merasa menyesal terhadap kurangnya
pengendalian demikian sehingga ia pernah merasa tidak bahagia di
dalam menjalani kebhikkhuan. Terlebih lagi, ia memiliki rasa malu
untuk melakukan kejahatan dan rasa takut akan akibat perbuatan
jahat. Di atas segalanya, juga sebab cita-cita masa lampaunya
untuk mencapai gelar itu yang ia ungkapkan (di hadapan Buddha
Padumuttara) seratus ribu siklus dunia sebelumnya, yang sekarang
telah tercapai.
Demikianlah kisah Thera Nanda
(38) Thera Mahà Kappina
(a) Cita-cita masa lampau
Bakal Mahà Kappina terlahir dalam keluarga kaya di Kota Haÿsà vatã
pada masa kehidupan Buddha Padumuttara. Sewaktu mendengarkan
khotbah Buddha, ia menyaksikan penganugerahan gelar etadagga
oleh Buddha kepada seorang bhikkhu dalam hal menasihati para
bhikkhu. Ia bercita-cita untuk mendapat kehormatan ini dalam
masa Pengajaran Buddha pada masa depan, dan sesudah memberi
persembahan besar kepada Buddha, ia mengungkapkan cita-citanya
di depan Buddha. Buddha melihat bahwa cita-citanya akan tercapai
dan mengucapkan ramalan-Nya.
(Kisah kebajikan-kebajikan bakal Mahà Kappina berikut ini dikutip
dari Komentar Dhammapada. Komentar Aïguttara Nikà ya hanya
memberi penjelasan singkat mengenai perbuatan baiknya pada
masa Buddha Kassapa, dan lalu berlanjut pada kelahiran
terakhirnya.)
2783
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
Kehidupan Sebagai Penenun
Saat meninggal dunia dari kehidupan di mana ia menerima ramalan
dari Buddha, bakal Mahà Kappina mengembara hanya di alam-
alam bahagia. Dalam salah satu kehidupannya, ia terlahir sebagai
penenun di sebuah desa besar di Bà rà õasã. Pada masa itu terdapat
seribu Pacceka Buddha yang biasanya menetap di Himalaya selama
empat bulan musim dingin dan empat bulan musim panas, tetapi
menetap di dekat kota selama empat bulan musim hujan.
Pada suatu hari seribu Pacceka Buddha itu turun di dekat
Bà rà õasã dan mengutus delapan orang di antara mereka untuk
pergi menghadap Raja Bà rà õasã untuk meminta disediakan para
pekerja untuk membangun vihà ra. Kebetulan pada waktu mereka
mengajukan permohonan itu, raja sedang mempersiapkan Ritual
pembajakan sawah tahunan. Segera sesudah raja mendengar berita
kedatangan para Pacceka Buddha itu, ia pergi menyambut mereka
dan menanyakan maksud kunjungan mereka. lalu mereka
berkata, “Yang Mulia, tidak ada waktu lagi untuk melakukan
pekerjaan pembangunan. sebab mulai besok, aku harus melakukan
Ritual pembajakan sawah tahunan. sebab itu, sudilah Yang Mulia
memperbolehkan kami memulai pekerjaan itu tiga hari lagi.” sesudah
berkata demikian, raja kembali ke istananya tanpa mengundang para
Pacceka Buddha untuk menerima persembahan makanan untuk
keesokan harinya.
Istri penenun itu lalu berkeliling desa mengajak para
warga , “O saudara-saudara, aku telah bertemu dengan seribu
Pacceka Buddha dan mengundang mereka untuk menerima dà na
makanan besok. Persiapkanlah bubur dan nasi untuk mereka.”
Keesokan paginya ia menghadap para Pacceka Buddha dan
menuntun mereka ke sebuah paviliun besar di tengah-tengah desa,
menyiapkan tempat duduk untuk mereka dan mempersembahkan
makanan-makanan pilihan yang lezat. sesudah selesai makan, ia dan
para perempuan lainnya bersujud kepada para Pacceka Buddha
dan berkata, “Yang Mulia, sudilah para mulia menetap di desa ini
selama tiga bulan vassa.” Para Pacceka Buddha itu menyanggupi,
istri si penenun itu berkeliling desa mengatakan, “O saudara-
2784
saudara, marilah kita membangun sebuah vihà ra untuk para Pacceka
Buddha. Mohon semua perumah tangga mengulurkan bantuan
dalam pekerjaan ini. Mohon setiap laki-laki dari setiap keluarga
membawa kapak, parang, dan peralatan lainnya. Mohon mereka
pergi ke hutan dan mengumpulkan kayu. Mohon mereka turut
serta dalam pembangunan itu.”
Ajakannya itu mendapat sambutan baik dari para warga .
Seluruh desa bergabung dalam pekerjaan mulia membangun
sebuah gubuk sederhana beratap jerami untuk masing-masing dari
seribu Pacceka Buddha itu, lengkap dengan kuñã untuk malam hari
dan tempat tinggal untuk siang hari. Setiap keluarga yang ingin
melayani para Pacceka Buddha, memohon agar pelayanan mereka
diterima. Demikianlah mereka dengan gembira mengatur jadwal
untuk periode tiga bulan itu, melayani kebutuhan seribu Pacceka
Buddha. Menjelang akhir vassa, istri penenun itu mengajak para
warga , “O saudara-saudara, siapkanlah kain jubah untuk
masing-masing Pacceka Buddha yang menetap di tempat tinggal
yang kalian bangun selama masa vassa.” Demikianlah masing-
masing keluarga yang membangun tempat tinggal bagi seorang
Pacceka Buddha mempersembahkan jubah senilai seribu keping
uang kepada Pacceka Buddha yang menetap di tempat yang ia
bangun. sesudah persembahan jubah itu, para Pacceka Buddha
membabarkan khotbah penghargaan atas persembahan itu, dan
lalu kembali ke Pegunungan Himalaya.
Kehidupan Sebagai Pemimpin Perumah Tangga
Semua warga di desa penenun itu, saat meninggal dunia dari
kehidupan itu, terlahir kembali di Alam Dewa Tà vatiÿsa. sesudah
menikmati kehidupan hingga umur kehidupan maksimum, mereka
semuanya terlahir kembali di keluarga-keluarga kaya di Bà rà õasã.
Si pemimpin penenun itu terlahir kembali di keluarga pemimpin
perumah tangga, dan istrinya pada kehidupan lampau terlahir
kembali dalam keluarga sesepuh desa. Saat mereka menginjak usia
menikah, kedua mantan suami istri di desa penenun itu menjadi
suami istri lagi.
2785
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
Suatu hari komunitas itu berkunjung ke vihà ra Buddha Kassapa untuk
mendengarkan khotbah Buddha. Segera sesudah mereka memasuki
kawasan vihà ra, turun hujan lebat. lalu , orang-orang yang
memiliki hubungan keluarga dengan beberapa anggota Saÿgha
di sana mendatangi tempat tinggal para bhikkhu atau sà maõera
ini untuk berteduh dari hujan. Ribuan pasangan yang yaitu
para perumah tangga tidak memiliki tempat berteduh dan mereka
menjadi basah kuyup dan tetap berada di dalam kawasan vihà ra.
lalu si pemimpin perumah tangga itu berkata, “Lihatlah,
teman-teman, betapa malangnya kita. Mempertimbangkan status
sosial kita, apa yang kita alami sekarang ini sangat memalukan.”
“Perbuatan baik apakah yang harus kita lakukan?” Pertanyaan ini
diajukan oleh kelompok itu. “Kita mengalami hal memalukan ini
sebab kita yaitu orang asing bagi Saÿgha di vihà ra ini. sebab
itu marilah kita membangun vihà ra oleh kita sendiri.” “Baiklah,
pemimpin,” mereka sepakat.
lalu si pemimpin perumah tangga itu memulai pengumpulan
dà na dengan seribu keping uang miliknya. Para perumah tangga
lainnya masing-masing memberi lima ratus. Para istri dari para
perumah tangga itu masing-masing mendanakan dua ratus lima
puluh. Dengan dà na awal ini mereka memulai pembangunan sebuah
vihà ra besar berkubah untuk Buddha Kassapa. Itu yaitu sebuah
proyek yang besar, dan dà na yang tersedia tidak mencukupi. sebab
itu mereka mengumpulkan dà na lagi, masing-masing memberi
setengah dari jumlah yang mereka berikan pertama kali. Dan
dengan cara demikian mereka dapat menyelesaikan proyek itu.
lalu mereka mengadakan Ritual peresmian selama tujuh
hari yang merupakan Ritual persembahan vihà ra ini kepada
Buddha. Saat memberi persembahan istimewa kepada Buddha
dan Saÿgha, mereka juga mempersembahkan masing-masing satu
jubah kepada dua puluh ribu Arahanta.
Bakti Luar Biasa Si Istri Pemimpin Perumah Tangga
Istri si kepala perumah tangga memiliki sifat bijaksana. Ia
memperlihatkan bakti yang besar terhadap pekerjaan yang
dilakukan oleh komunitas seribu perumah tangga kaya itu. Dalam
2786
Ritual persembahan jubah kepada Buddha dan Saÿgha, ia juga
mempersembahkan bunga-bunga anojà yang berwarna keemasan
selain jubah yang juga berwarna keemasan yang dibuat khusus untuk
persembahan kepada Buddha Kassapa, yang bernilai seribu keping
uang. saat Buddha Kassapa membabarkan khotbah penghargaan
atas persembahan itu, istri si pemimpin perumah tangga, meletakkan
jubah istimewa itu di kaki Buddha dan mengungkapkan cita-citanya,
“Yang Mulia, dalam semua kehidupan-kehidupanku pada masa
depan, semoga aku memiliki kulit keemasan seperti bunga-bunga
anojà ini, dan semoga aku juga memiliki nama seperti bunga ini,
anojà .” Dan Buddha berkata, “Semoga cita-citamu tercapai.”
(b) Kehidupan pertapaan dalam kehidupan terakhir
Komunitas para perumah tangga itu melakukan banyak kebajikan
seumur hidup mereka. sesudah meninggal dunia dalam kehidupan
itu, mereka terlahir kembali di alam dewa. Saat munculnya Buddha
Gotama, mereka meninggal dunia dari alam ini , si pemimpin
terlahir kembali dalam keluarga kerajaan di Kukkuñavatã, dan diberi
nama Pangeran Mahà Kappina. saat dewasa, ia mewarisi tahta
dan menjadi Raja Mahà Kappina. Para perumah tangga lainnya
terlahir kembali dalam keluarga-keluarga kerajaan dan menjadi
para pejabat dalam istana Raja Mahà K





.jpeg)






