NIKAH BEDA AGAMA
Pernikahan beda agama itu tidaklah
dapat membawa manfaat. Justru bisa
jadi sebaliknya akan menjadikan
kemudharatan bagi generasi mendatang.
Sebab menyatukan dua pemikiran yang
seakidah saja belum tentu bisa semudah yang dibayangkan apa lagi jika
menyatukan dua pemikiran yang
berbeda keyakinannya. Hal ini akan
berdampak negatif baik bagi keutuhan
rumah tangga, keyakinan maupun
pendidikan anak, kecuali jika tujuannya
adalah untuk menyelamatkan wanita
ahlul kitab agar mereka mendapat
hidayah dari Allah S.W.T.
Allah dan Rasul-Nya sangat
menekankan untuk berhati-hati dalam
hal memilih pasangan hidup, sebab
memilih pasangan yang salah dapat
mendatangkan bencana bagi keluarga
itu sendiri lantaran pasangan hidup yang
dipilihnya tidak faham permasalahan
agama atau bahkan tidak seakidah yang
kemudian akan melahirkan generasigenerasi yang tidak mendapatkan
pendidikan Islam dengan baik, Allah
S.W.T. melarang laki-laki mukmin
menikah dengan wanita musyrik
meskipun mereka (wanita-wanita) itu
sangat menarik, cantik ataupun kaya,
kecuali jika mereka telah beriman.
Islam mengatur sedemikian rupa
tentang semua permasalahan manusia di
antaranya adalah tentang pernikahan,
pernikahan merupakan salah satu hal
terpenting dalam keberlangsungan
populasi manusia, tidak kalah
pentingnya adalah bagaimana caranya
agar kita dapat andil dalam mencetak
dan menjadikan bibit-bibit generasi
yang baik di masa depan yaitu dengan
cara menjadi pribadi yang baik dan
faham terhadap permasalahan agama
kemudian mencari dan memilih wanitawanita yang sekufu, yaitu yang baik,
yang seakidah dan faham pula terhadap
permasalahan agama sebagai ibu dan
pendidik bagi anak-anak kita nantinya.
Lalu bagaimana jika pernikahan itu
berbeda keyakinan yaitu berbeda agama
dan bagaimana Islam memandang hal
tersebut, serta bagaimana pendapat
Imam Madzhab dan hukum positif di
Indonesia?
Imam Abu Hanifah berpendapat
bahwa bila wali dan perempuan yang
akan dinikahkan dengan seorang lakilaki yang tidak sekufu, maka akad
nikahnya tidak sah. Imam Malik
berpendapat bahwa kekufuan yang
dimaksud adalah dalam hal agama.1
Imam madzhab lain yaitu Imam
Maliki, Imam Syafi‟i, dan Imam
Hambali berpendapat bahwa bila lakilaki muslim menikah dengan
perempuan dzimmi (non muslim/kafir
yang mendapat jaminan perlindungan),
maka pernikahan tersebut tidak sah,
kecuali disaksikan oleh dua orang
muslim, sementara Hanafi berpendapat
bahwa; sah dengan disaksikan dua
orang dzimi saja.
Wahbah Az-Zuhaili mengatakan;
„seorang muslim tidak boleh kawin
(menikah) dengan seorang perempuan
musyrik. Yaitu perempuan yang
menyembah Allah bersama tuhan yang
lain, seperti berhala, bintang-bintang,
atau api, binatang.”3 Allah dan RasulNya sangat menekankan untuk berhatihati dalam hal memilih pasangan hidup,
sebab memilih pasangan yang salah
dapat mendatangkan bencana bagi
keluarga itu sendiri lantaran pasangan
hidup yang dipilihnya tidak faham permasalahan agama atau bahkan tidak
seakidah yang kemudian akan
melahirkan generasi-generasi yang tidak
mendapatkan pendidikan Islam dengan
baik, Allah S.W.T. melarang laki-laki
mukmin menikah dengan wanita
musyrik meskipun mereka (wanitawanita) itu sangat menarik, cantik
ataupun kaya, kecuali jika mereka telah
beriman.
Allah S.W.T. berfirman:
“Dan janganlah kamu
menikahi wanita-wanita
musyrik, sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya
wanita budak yang mukmin
lebih baik dari wanita
musyrik, walaupun Dia
menarik hatimu. dan
janganlah kamu menikahkan
orang-orang musyrik (dengan
wanita-wanita mukmin)
sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya budak yang
mukmin lebih baik dari orang
musyrik, walaupun Dia
menarik hatimu. mereka
mengajak ke neraka, sedang
Allah mengajak ke surga dan
ampunan dengan izin-Nya.
dan Allah menerangkan ayatayat-Nya (perintah-perintahNya) kepada manusia supaya
mereka mengambil pelajaran.”
(Q.S. Al-Baqarah: 221)
Rasulullah S.A.W. bersabda:
“Wanita dinikahi karena
empat alasan; karena harta,
keturunan, kecantikannya, dan
agamanya. Carilah yang taat
beragama, niscaya kalian
beruntung.” (H.R. AlBukhari dan Muslim)4
Pada ayat dan hadits di atas
disebutkan bahwa menikahi wanita
yang beragama (Islam) sangat
dianjurkan. Seorang muslim/muslimah
yang cerdas sudah pasti tidak akan
gegabah dalam menentukan pasangan
hidupnya dia akan senantiasa berupaya
dan berjuang untuk mencari pasangan
suami/istri yang baik agama dan
akhlaknya yang kelak menjadi pendidik
sekaligus figur bagi anak-anaknya.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh
seorang penulis buku, bahwa seorang
anak akan menurut tarbiyah dan
pendidikan yang diberikan kepadanya,
sifat-sifat orang tua akan menurun
kepada anak-anak mereka, ibarat kata
pepatah “buah jatuh tidak akan jauh dari
pohonnya”. Betapa banyak ketakwaan
pada diri anak disebabkan dia mengikuti
ketakwaan kedua orang tuanya atau
salah seorang dari mereka.
Pernikahan beda agama adalah
salah satu sumber problematika dalam
rumah tangga bagi seorang muslim atau mungkin bahkan di kalangan non
muslim itu sendiri dan jika hal ini telah
benar-benar dilakukan maka yang
menjadi korbannya adalah sang anak
yang kemungkinan besar kebingungan
dalam menentukan agamanya. Kaum
liberalis dan pluralis di berbagai
belahan dunia terutama di Indonesia
sangat gencar dalam mengkampanyekan
pernikahan beda agama ini dengan
mengatasnamakan HAM (Hak Asasi
Manusia) meskipun telah jelas bahwa
hal tersebut di larang di Indonesia
berdasarkan undang-undang. Dalam
undang-undang Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan terdapat pasal yang
menyebutkan tentang larangan
pernikahan beda agama di antaranya
adalah Pasal 1, perkawinan ialah ikatan
lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami isteri
dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa.
Kemudian Pasal 2 Ayat 1
perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agama dan kepercayaannya itu.
Abd. Shomad dalam hal ini
menjelaskan, bahwa; Pasal 2 UU No. 1
Tahun 1974 meletakan fundamentum
yuridis perkawinan nasional, yakni;
dilakukan menurut hukum agama, dan
di catat menurut perundang-undangan
yang berlaku, pasal ini secara tegas
menyatakan bahwa; perkawinan itu sah,
apabila dilakukan menurut hukum
agama, maka bagi WNI (Warga Negara
Indonesia) yang beragama Islam yang
hendak melakukan perkawinan supaya
sah harus dilaksanakan menurut
ketentuan Hukum Perkawinan Islam.
Fiqih Munakahat atau Hukum
Perkawinan Islam di Indonesia adalah
peraturan khusus di samping peraturan
umum yang telah diatur dalam UUP
(Undang-Undang Perkawinan).
Abdullah Siddik juga memberikan
komentarnya bahwa Pasal 2 UUP ini
sejiwa dengan Pasal 29 UUD 1945 yang
memuat kewajiban bagi Negara RI
untuk menjalankan hukum setiap agama
yang ber-ketuhanan Yang Maha Esa,
kecuali unsur-unsur agama yang
bertentangan dengan Pancasila. Jadi
bagi orang-orang Islam tegas berlaku
Hukum Islam. Anggapan yang
menyatakan dengan berlakunya UUP ini
Hukum Perkawinan Islam tidak berlaku
lagi adalah tidak tepat, karena menurut
ketentuan dalam Pasal 66 UUP Yang
dianggap tidak berlaku lagi bukanlah
peraturan sebelumnya mengenai
perkawinan secara keseluruhan
melainkan hanyalah hal-hal yang
mengatur tentang perkawinan sejauh
telah diatur dalm UUP, dalam hal yang
belum atau tidak diatur dalam UUP ini,
maka masih berlaku.
Di dalam Al-Qur‟an dikatakan
bahwa seorang laki-laki muslim
diperbolehkan untuk menikahi
perempuan ahlul kitab. Perempuan ahlul
kitab adalah perempuan yang percaya
terhadap agama samawi, seperti orang
Yahudi dan Nashrani yang mengimani
Taurat dan Injil.10 Allah S.W.T.
berfirman dalam Surat Al-Ma‟idah Ayat
5:
“Pada hari ini dihalalkan
bagimu yang baik-baik.
Makanan (sembelihan) orangorang yang diberi Al-Kitab itu
halal bagimu, dan makanan
kamu halal (pula) bagi
mereka. (Dan dihalalkan
mangawini) wanita yang
menjaga kehormatan diantara
wanita-wanita yang beriman
dan wanita-wanita yang
menjaga kehormatan di antara
orang-orang yang diberi alkitab sebelum kamu, bila
kamu telah membayar mas
kawin mereka dengan maksud
menikahinya, tidak dengan
maksud berzina dan tidak
(pula) menjadikannya gundikgundik. Barangsiapa yang
kafir sesudah beriman (tidak
menerima hukum-hukum
Islam), maka hapuslah
amalannya dan ia di hari
kiamat termasuk orang-orang
merugi.”
Imam Syafi‟i dan beberapa orang
ulama berpendapat, siapa di antara bani
Israil yang beragama Yahudi dan
Nashrani, maka wanita-wanita mereka
halal dinikahi dan hewan sembelihan
mereka boleh dimakan. Sedang orang
yang beragama dan Nashrani selain
mereka (bani Israil), baik orang Arab
maupun non Arab, maka wanita-wanita
mereka tidak boleh dinikahi dan hewan
sembelihan mereka tidak halal
dimakan!.
Meskipun demikian ada sebagian
ulama berpendapat bahwa menikah
dengan perempuan ahlul kitab terlarang
karena perempuan ahlul kitab mereka
memang benar mengimani tentang keTuhanan kepada Allah S.W.T. akan
tetapi mereka juga menyembah
sembahan-sembahan yang lain yang
dianggap sebagai Tuhan mereka. Di
dalam Fiqih Sunnah karya Sayyid Sabiq
dikatakan bahwa Ibnu „Umar pernah
ditanya orang tentang laki-laki muslim
nikah dengan perempuan Nashrani atau
Yahudi. Jawabnya: Allah
mengharamkan orang-orang mukmin
nikah dengan perempuan musyrik.
Sedangkan menurut saya tidak ada
perbuatan musyrik yang lebih besar
daripada perempuan yang mengatakan,
Isa sebagai Tuhannya atau salah
seorang oknum Tuhan.
Sebagian ulama juga berpendapat
bahwa menikahi perempuan ahlul kitab
adalah makruh. Sulaiman Ahmad
Yahya Al-Faifi mengatakan bahwa
menikah dengan wanita ahlul kitab
meskipun boleh, tetapi hukumnya
makruh; karena tidak ada jaminan
dirinya akan condong kepadanya
(suami); malah hal itu bisa beresiko
memfitnah di dalam hal agamanya, atau anggota keluarganya akan menguasai
dia. Dan jika wanita Harbiyah, lebih
makruh lagi, karena lebih besar lagi
pengaruh Ahlul Harbi itu.
13
Sebagian ulama lain mengambil
hikmah dari sebab dibolehkannya lakilaki muslim menikahi wanita ahlul
kitab, dikarenakan mereka masih
mengimani beberapa prinsip yang ada
di dalam Islam, berbeda halnya dengan
wanita musyrik. Seorang pakar fikih
kontemporer dari Mesir berkata; „sebab
dalam pembolehan kawin dengan
perempuan ahli kitab berbeda halnya
dengan perempuan musyrik adalah dia
memiliki kesamaan keimanan pada
beberapa prinsip yang asasi. Yang
dimulai dengan pengakuan terhadap
Tuhan, keimanan kepada para rasul dan
hari kiamat, dengan segenap hisab dan
siksaan yang ada di dalamnya. Adanya
titik temu ini menyebabkan adanya
komunikasi berdasarkan landasan ini,
yang menjamin terciptanya kehidupan
perkawinan yang biasanya lurus dengan
mengharap keislaman perempuan
tersebut karena secara general dia beriman dengan kitab-kitab para nabi
dan rasul.”
Adapun wanita muslimah dalam hal
ini dilarang oleh syari‟at untuk menikah
dengan laki-laki non muslim (kafir)
baik laki-laki itu orang musyrik, mulhid
(atheis) maupun ahlul kitab, hal ini
mengacu kepada firman Allah S.W.T.
dalam Surat Al-Mumtahanah Ayat 10.
Salah satu keterangan yang dapat
diambil dalam ayat Al-Mumtahanah
Ayat 10 tesebut yaitu larangan Allah
agar perempuan muslimah tidak
dikawini oleh ahlul kitab (orang-orang
kafir), karena dikhawatirkan akan
dipengaruhi meninggalkan agamanya.
Islam meninjau kemungkinan terjadinya
hal tersebut, karena suamilah yang
menjadi pemimpin dalam rumah
tangganya, tentu saja ia dapat
menggunakan hak otoritasnya untuk
mmengajak keluarganya untuk
menganut keyakinannya. Yang paling
dominan melakukan pernikahan beda
agama di Indonesia kebanyakan adalah
mereka yang awam terhadap agama dan
cenderung terhadap sifat keduniawian
semata, sehingga mereka tidak menyadari akibat dari pernikahannya
tersebut. Sebagian orang muslim
mungkin faham tentang akibat
pernikahan beda agama tersebut akan
tetapi kebanyakan mereka tidak tahu
bagaimana pendapat ulama madzhab
dan hukum positif yang di sahkan di
Indonesia.
Berdasarkan uraian di atas perlu
diketahui bahwa imam madzhab
bersepakat melarang laki-laki muslim
untuk menikah dengan non muslimah
(wanita kafir) kecuali non muslimah itu
adalah ahlul kitab yang beragama
samawi yaitu Nasrani atau Yahudi yang
paham Taurat dan Injil. Sedangkan
wanita muslimah dilarang menikah
dengan laki-laki non muslim baik lakilaki itu ahlul kitab beragama samawi,
Yahudi dan Nasrani atau laki-laki
musyrik.
Telah dijelaskan bahwa hukum
positif di Indonesai melarang adanya
pernikahan beda agama sebagaimana
yang tersebut di dalam undang-undang
yang telah dipaparkan di atas.
Ada beberapa permasalahan yang
terkait dengan masalah pernikahan beda
agama menurut imam empat madzhab
dan hukum positif di Indonesia, masalah yang dapat diidentifikasi antara lain
adalah:
1. Bagaimana hukum pernikahan
beda agama menurut imam
madzhab?
2. Bagaimana hukum positif di
Indonesia mengenai pernikahan
beda agama menurut hukum
Islam?
3. Apa saja dampak dari pernikahan
beda agama?
Secara bahasa perkawinan atau
pernikahan dalam literatur fikih
berbahasa Arab disebut dengan dua
kata, yaitu nikah (نكØ) , dan zawaj
(زواج) kedua kata ini yang terpakai
dalam kehidupan sehari-hari orang Arab
dan banyak terdapat dalam Al-Qur‟an
dan Hadits Nabi. Kata na-ka-ha banyak
terdapat dalam Al-Qur‟an dengan arti
kawin,
16
seperti dalam Surat An-Nisa‟
Ayat 3:
“Dan jika kamu takut tidak
akan dapat berlaku adil
terhadap (hak-hak) perempuan
yang yatim (bila kamu
mengawininya), maka
kawinilah wanita-wanita (lain)
yang kamu senangi: dua, tiga
atau empat. Kemudian jika
kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil, maka (kawinilah)
seorang saja, atau budakbudak yang kamu miliki.
Yang demikian itu adalah
lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya.”
Demikian pula banyak terdapat kata
za-wa-ja dalam Al-Qur‟an dalam arti
kawin, seperti pada surat Al-Ahzab
Ayat 37,
Sedangkan secara istilah kata nikah
berarti “bergabung” (ضم), “Hubungan kelamin” (وطء), dan juga berarti “akad”
(عقد), adanya tiga kemungkinan arti ini
karena kata nikah yang terdapat dalam
Al-Qur‟an memang mengandung tiga
arti kata tersebut. Kata nikah yang
terdapat dalam Surat Al-Baqarah Ayat
230.
Menurut Abdul Shomad, kata
perkawinan menurut istilah hukum
Islam sama dengan kata “nikah” dan
kata “zawaj”. Nikah menurut bahasa
mempunyai arti sebenarnya (hakikat)
yakni, “dham” yang berarti menghimpit,
atau berkumpul.
Nikah mempunyai arti kiasan
yakni, “wathaa” yang berarti “setubuh”
atau “akad” yang berarti mengadakan
perjanjian pernikahan sehari-hari, nikah
dalam arti kiasan lebih banyak dipakai
dalam arti sebenarnya jarang sekali
dipakai saat ini.
Menurut ahli ushul, arti nikah
terdapat tiga macam pendapat, yakni 1)
Imam Hanafi nikah arti aslinya adalah
setubuh dan menurut arti majazi
(metaporik) adalah dengannya menjadi
halal hubungan kelamin antara pria dan
wanita; 2) Imam Syafi‟i nikah arti
aslinya adalah akad yang dengannya
menjadi halal hubungan kelamin antara
pria dan wanita, sedangkan menurut arti majazi adalah setubuh; dan 3) Menurut
Abdul Qosim Azzajjad, Imam Yahya,
Ibnu Hazm, dan sebagian ahli ushul dari
sahabat Abu Hanifah mengartikan nikah
bersyarikat antara akad dan setubuh.17
Sementara menurut undang-undang
Republik Indonesia Nomor. 1 Tahun
1974 Pasal 1 dalam Kompilasi Hukum
Islam (KHI) menyebutkan, bahwa
“Perkawinan ialah ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”18
Agama secara etimologi dalam
bahasa Indonesia sama artinya dengan
peraturan. Kata agama berasal dari bahasa
Sansekerta „a‟ berarti tidak dan „gamma‟
berarti kacau, agama berarti tidak kacau.
Agama semakna dengan kata “religion”
(bahasa Inggris), “religie” (Belanda),
“religio” (Latin), yang berarti mengamati,
berkumpul/bersama, mengambil, dan
menghitung.
Agama semakna juga degan kata
“Ad-Dien” (Bahasa Arab) yang berarti
cara, adat kebiasaan, peraturan, undangundang, perhitungan, hari kiamat, dan nasihat.19 Sedangkan secara
termonologis menurut Harun Nasution,
agama adalah suatu sistem kepercayaan
dan tingkah laku yang berasal dari suatu
kekuatan yang ghaib.
Menurut Al-Syahrastani, agama
adalah kekuatan dan kepatuhan yang
terkadang biasa diartikan sebagai
pembalasan dan perhitungan (amal
perbuatan di akhirat).20 Menurut Prof.
Dr. Bouquet, agama adalah hubungan
yang tetap antara diri manusia dengan
yang bukan manusia yang bersifat suci
dan supernatur, dan yang bersifat berada
dengan sendirinya dan yang mempunyai
kekuasaan absolut yang disebut
Tuhan.21
Pengertian agama menurut berbagai
agama:
Agama menurut agama Islam ialah,
kata Islam berasal dari kata: salam yang
artinya selamat, aman yang dimaksud
sentosa, sejahtera: yaitu aturan hidup
yang dapat menyelamatkan manusia di
dunia dan di akhiratDari pemaparan di atas dapat penulis
simpulkan bahwa yang dimaksud dengan
agama baik secara etimologi maupun
terminologi adalah; suatu keyakinan yang
baik yang tidak kacau atau berantakan
(buruk) yang menjadi pedoman dan dapat
menjadikan ummat manusia selamat, aman
sentausa, sejahtera serta penuh ketenangan.
Menurut Huzaimah Tahido Yanggo
yang dimaksud pernikahan beda agama
adalah pernikahan antara laki-laki muslim
dengan perempuan bukan muslimah atau
sebaliknya.23 Dalam buku Hukum
Perkawinan di Indonesia yang ditulis oleh
Amir Syarifuddin juga menjelaskan bahwa
yang dimaksud dengan beda agama ialah
perempuan muslimah dengan laki-laki
nonmuslim dan sebaliknya laki-laki
muslim dengan perempuan nonmuslim.
Dalam istilah fikih disebut nikah dengan
orang kafir.24
Mazhab atau dalam bahasa Arab
disebut al-mazahib, secara etimologi
ذهبا - مرهبا – يرهب –ذهب :berasal dari kata
dengan bentuk jamaknya مراهب yang
berarti المعتقد,االطريقة artinya aliran atau
paham yang diikuti/dianut.Sedangkan dalam Ensiklopedia
Islam madzhab diartikan sebagai
pendapat, kelompok atau aliran yang
bermula dari pemikiran atau ijtihad
seorang imam dalam memahami sesuatu
baik filsafat, hukum fikih, teologi, dan
sebagainya. Pemikiran ini kemudian
diikuti oleh kelompok atau pengikutnya
dan dikembangkan menjadi suatu aliran
sekte atau ajaran.26
Adapula yang mengartikan mazhab
sebagai tempat berjalan, aliran. Dalam
istilah Islam berarti pendapat, faham
atau aliran seorang alim besar dalam
Islam yang disebut imam seperti
mazhab Syafi‟i, mazhab Maliki, dan
lain sebagainya.27
Pendapat lain yang hampir serupa
juga mengatakan bahwa madzhab: مرهب
(ma-dza-ha-ba) adalah istilah dari
bahasa Arab, yang berarti jalan yang
dilalui dan dilewati, sesuatu yang
menjadi tujuan seseorang baik konkrit
maupun abstrak. Sesuatu dikatakan
madzhab bagi seseorang jika cara atau
jalan tersebut menjadi ciri khasnya.
Menurut para ulama dan ahli fiqih, yang dinamakan mazhab adalah metode
(manhaj) yang dibentuk setelah melalui
pemikiran dan penelitian, kemudian
orang yang menjalaninya
menjadikannya sebagai pedoman yang
jelas batasan-batasannya, bagianbagiannya, dibangun di atas prinsipprinsip dan kaidah-kaidah.28
Dari pengertian diatas mengenai
arti madzhab baik secara etimologi
maupun secara terminologi, tentunya
kita bisa memahami bahwa yang
dimaksud dengan madzhab atau almazahib adalah suatu jalan, metode
(manhaj) atau pendapat serta pandangan
ulama yang dibentuk dan dijalani
melalui pemikiran serta penelitian
kemudian diikuti oleh suatu kelompok
atau pengikutnya hingga menjadi suatu
golongan atau aliran dengan batasanbatasan tertentu yang dibangun di atas
prinsip dan kaidah-kaidahnya.
Hukum positif adalah kumpulan
asas dan kaidah hukum tertulis yang
pada saat ini sedang berlaku dan
mengikat secara umum atau khusus dan
ditegakkan oleh atau melalui
pemerintah atau pengadilan dalam
negara Indonesia. Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem
hukum Eropa, hukum agama dan
hukum adat. Sebagian besar sistem yang
dianut, baik perdata maupun pidana,
berbasis pada hukum Eropa kontinental,
khususnya dari Belanda karena aspek
sejarah masa lalu Indonesia yang
merupakan wilayah jajahan dengan
sebutan Hindia Belanda (NederlandschIndie). Hukum agama, karena sebagian
besar masyarakat Indonesia menganut
Islam, maka dominasi hukum atau
Syari'at Islam lebih banyak terutama di
bidang perkawinan, kekeluargaan, dan
warisan. Selain itu, di Indonesia juga
berlaku sistem hukum Adat yang
diserap dalam perundang-undangan atau
yurisprudensi, yang merupakan
penerusan dari aturan-aturan setempat
dari masyarakat dan budaya-budaya
yang ada di wilayah Nusantara.29
Tiap-tiap bangsa memiliki
hukumnya sendiri, seperti terhadap
bahasa dikenal tata bahasa, demikian
juga terhadap hukum dikenal juga tata
hukum. Tiap-tiap bangsa mempunyai
tata hukumnya sendiri.
Hukum merupakan positivasi nilai
moral yang berkaitan dengan kebenaran, keadilan, kesamaan derajat,
kebebasan, tanggung jawab, dan hati
nurani manusia. Hukum sebagai
positivasi nilai moral adalah legitimasi
karena adil bagi semua orang. Salah
satu kesimpulan dari studi yang
dilakukan oleh lembaga-lembaga dunia,
seperti Booz-Allen & Hamilton,
McKinsey, dan Bank Dunia terhadap
kinerja perekonomian Indonesia adalah
rendahnya praktik Good Corporate
Governance (GCG). Secara umum,
GCG sendiri berarti suatu proses dan
struktur yang digunakan untuk
mengarahkan dan mengelola bisnis dan
akuntabilitas perusahaan dengan tujuan
utama mempertinggi nilai saham dalam
jangka panjang dengan tetap
memperhatikan kepentingan
stakeholders lain. Dari pengertian
tersebut, selanjutnya dapat dijelaskan
bahwa GCG tidak lain adalah
permasalahan mengenai proses
pengelolaan perusahaan, yang secara
konseptual mencakup diaplikasikannya
prinsip-prinsip transparancy,
accountability, fairness, dan
responsibilityPada saat baru lahir di tahun 1945,
negara „bayi‟ bernama Indonesia
mengunifikasi serta mengkodifikasi
hukum positif buatan Belanda yang
diberlakukan bagi masyarakat di Hindia
Belanda yang terdiri dari berbagai etnik
saat itu – bangsa Eropa, bangsa Cina,
dan bangsa Timur Jauh bukan Cina
yaitu bangsa Arab dan India serta
masyarakat pribumi/inlander bangsa
Nusantara. Dasar dari peraturan
Belanda tersebut sebenarnya adalah
hukum buatan VOC (Verenige Oost
Indische Companie), yang merupakan
multinational company pertama di
Nusantara. Perusahaan dagang
multinasional milik kolonial Belanda
yang dibentuk oleh 14 warga Belanda
bagi manajemen penjajahan di negara
jajahan di Asia Tenggara ditengah
kemelut ekonomi dalam negeri
Kerajaan Belanda yang terjerat hutang
yang besar pasca perang dengan negaranegara tetangganya dan menuju
kebangkrutan. Hukum khusus yang
mereka buat tersebut memang khusus
untuk diberlakukan bagi para
inlander/masyarakat jajahan Belanda di
Hindia Belanda. Artinya kita sekarang
sedang terjajah oleh bangsanya sendiri.
Sehingga tidak mengherankan sikap krusial pilihan hukum para penegak
hukum Indonesia sampai hari ini masih
memprihatinkan. Hukum harus
ditegakkan dan keadilan harus
dijujurkan – vivat justitia vereat mudus
(walaupun langit akan runtuh hukum
harus tetap ditegakkan).31
1. Pernikahan Beda Agama
Menurut Al-Qur’an dan AsSunnah
Al-Qur‟an menyatakan pelarangan
tentang pernikahan beda agama
terhadap laki-laki muslim dengan
wanita kafir yang musyrik dan juga
melarang wanita-wanita muslimah
menikah dengan laki-laki kafir, Allah
S.W.T. berfirman dalam Surat AlBaqarah Ayat 221:
“Dan janganlah kamu menikahi
wanita-wanita musyrik,
sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak
yang mukmin lebih baik dari
wanita musyrik, walaupun dia
menarik hatimu. Dan janganlah
kamu menikahkan orang-orang
musyrik (dengan wanita-wanita
mukmin) sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya budak
yang mukmin lebih baik dari
orang musyrik, walaupun dia
menarik hatimu. Mereka
mengajak ke neraka, sedang
Allah mengajak ke surga dan
ampunan dengan izin-Nya.
Dan Allah menerangkan ayat-
ayat-Nya (perintah-perintahNya) kepada manusia supaya
mereka mengambil pelajaran.”
(Q.S. Al-Baqarah: 221)
Di sisi lain Al-Qur‟an
membolehkan laki-laki yang muslim
menikah dengan wanita kafir (non
Islam) akan tetapi yang diperbolehkan
dinikahi hanya wanita kafir (non Islam)
yang beragama samawi atau wanita
ahlul kitab seperti Yahudi dan Nasrani
sebagaimana yang telah Allah
firmankan dalam Surat Al-Ma‟idah
Ayat 5:
“Pada hari ini dihalalkan
bagimu yang baik-baik.
Makanan (sembelihan) orangorang yang diberi Al Kitab itu
halal bagimu, dan makanan
kamu halal (pula) bagi mereka.
(Dan dihalalkan mangawini)
wanita yang menjaga
kehormatan diantara wanitawanita yang beriman dan
wanita-wanita yang menjaga
kehormatan di antara orangorang yang diberi Al Kitab
sebelum kamu, bila kamu telah
membayar mas kawin mereka
dengan maksud menikahinya,
tidak dengan maksud berzina
dan tidak (pula) menjadikannya
gundik-gundik. Barangsiapa
yang kafir sesudah beriman
(tidak menerima hukumhukum Islam) maka hapuslah
amalannya dan ia di hari
kiamat termasuk orang-orang
merugi.” Adapun As-Sunnah mengenai hal
ini tetap menganjurkan agar kaum
muslimin dan muslimah agar tetap
beruapaya mencari dan memilih
pasangan suami atau istri yang seakidah
tentunya yang agamanya baik,
sebagaimana hadits bahwa Rasulullah
S.A.W. bersabda: “Wanita dinikahi
karena empat alasan; karena harta,
keturunan, kecantikan, dan agamanya.
Carilah yang taat beragama, niscaya
kalian beruntung.” (H.R. Al-Bukhari
dan Muslim).
32
Pertanyaannya; bukankah Allah
S.W.T. menjelaskan bahwa boleh lakilaki muslim menikahi wanita kafir (non
muslimah) ahlul kitab yang beragama
samawi yaitu wanita dari kaum Yahudi
dan Nasrani?. Jawabannya adalah; iya
memang benar itu dibolehkan akan
tetapi perlu diketahui bahwa
pembolehan menikahi mereka wanitawanita ahlul kitab itu tidak bersifat
anjuran dan hal ini juga telah dijelaskan
oleh seorang sahabat Ibnu „Umar
radhiyallahu‘anhum, bahwa Ibnu
„Umar pernah ditanya tentang laki-laki
muslim nikah dengan perempuan
Nashrani atau Yahudi. Jawabnya: Allah mengharamkan orang-orang mukmin
nikah dengan perempuan musyrik.
Sedangkan menurut saya tidak ada
perbuatan musyrik yang lebih besar
daripada perempuan yang mengatakan,
Isa sebagai Tuhannya atau salah
seorang oknum Tuhan,33 itu artinya
menikah dengan wanita kafir (non
muslimah) meskipun ahlul kitab yang
beragama samawi baik itu dari kalangan
kaum Yahudi maupun Nasrani tidaklah
tepat.
2. Pernikahan Beda Agama
Menurut Imam Madzhab
a. Pernikahan Beda Agama
Menurut Madzhab Imam Abu
Hanifah
Imam Abu Hanifah berpendapat
bahwa perkawinan antara pria muslim
dengan wanita musyrik hukumnya
adalah mutlak haram, tetapi
membolehkan mengawini wanita ahlul
kitab (Yahudi dan Nasrani), sekalipun
ahlul kitab tersebut meyakini trinitas,
karena menurut mereka yang terpenting
adalah ahlul kitab tersebut memiliki
kitab samawi. Menurut mazhab ini yang
dimaksud dengan ahlul kitab adalah
siapa saja yang mempercayai seorang
nabi dan kitab yang pernah diturunkan Allah S.W.T., termasuk juga orang yang
percaya kepada Nabi Ibrahim
alaihissalam dan Suhufnya dan orang
yang percaya kepada nabi Musa AS dan
kitab Zaburnya, maka wanitanya boleh
dikawini. Bahkan menurut mazhab ini
mengawini wanita ahlul kitab zimmi
atau wanita kitabiyah yang ada di Darul
Harbi adalah boleh, hanya saja menurut
mazhab ini, perkawinan dengan wanita
kitabiyah yang ada di darul harbi
hukumnya makruh tahrim, karena akan
membuka pintu fitnah, dan mengandung
mafasid yang besar, sedangkan
perkawinan dengan wanita ahlul kitab
zimmi hukumnya makruh tanzih, alasan
mereka adalah karena wanita ahlul kitab
zimmi ini menghalalkan minuman arak
dan menghalalkan daging babi.
Penulis menyimpulkan bahwa
pendapat Imam Abu Hanifah tentang
keharaman menikahi wanita musyrik
karena mengacu kepada firman Allah
S.W.T. dalam Surat Al-Baqarah Ayat
221:
“Dan janganlah kamu menikahi
wanita-wanita musyrik,
sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak
yang mukmin lebih baik dari
wanita musyrik, walaupun dia
menarik hatimu. Dan janganlah
kamu menikahkan orang-orang
musyrik (dengan wanita-wanita
mukmin) sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya budak
yang mukmin lebih baik dari
orang musyrik, walaupun dia
menarik hatimu. Mereka
mengajak ke neraka, sedang
Allah mengajak ke surga dan
ampunan dengan izin-Nya.
Dan Allah menerangkan ayatayat-Nya (perintah-perintahNya) kepada manusia supaya
mereka mengambil pelajaran”.
(Q.S. Al-Baqarah: 221)
Akan tetapi pendapat madzhab
Imam Hanafi membolehkan mengawini
wanita ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani)
hal ini juga karena merujuk kepada
firman Allah S.W.T. dalam Surat AlMa‟idah Ayat 5 yang telah disebutkan
sebelumnya.
Akan tetapi pembolehan tersebut
bersifat makruh sebagaimana yang
disampaikan oleh Wahbah Az-Zuhaili,
bahwa mazhab Hanafi berpendapat,
seorang muslim makruh menikah
dengan perempuan Ahli Kitab dan ahli
dzimmah. Karena Umar radhiyallahu
„anhu berkata kepada orang-orang yang
kawin dengan perempuan ahli kitab,
“Ceraikanlah mereka”. Maka para
sahabat radhiyallahu „anhum
menceraikan mereka, kecuali Hudzaifah
radhiyallahu „anhu. Kemudian, Umar
radhiyallahu „anhu berkata kepadanya,
“Ceraikanlah dia.” Maka Hudzaifah bertanya, “Apakah kamu bersaksi
bahwa dia haram?” Umar kembali
berkata kepadanya, “Dia minum
minuman keras.” Hudzaifah kembali
berkata “Aku telah mengetahui dia
minum minuman keras, akan tetapi dia
halal bagiku.” Setelah lewat beberapa
waktu, dia ceraikan istrinya tersebut.
Lalu ada orang yang berkata kepadanya,
“Mengapa kamu tidak menceraikannya
manakala Umar memerintahkan hal itu
kepadamu?” Dia menjawab, “Aku tidak
mau manusia melihat aku melakukan
suatu perkara yang tidak selayaknya aku
lakukan”.34 Bisa jadi, hatinya
menyayanginya, karena dia memesona.
Bisa juga karena mereka berdua telah
mempunyai anak, dan dia
menyayanginya. Sedangkan perempuan
ahli harb (kafir yang memerangi umat
Islam), menurut mazhab Hanafi haram
untuk dikawini, jika dia berada di darul
harb (wilayah konflik); karena
mengawininya akan membuka pintu
fitnah.35
b. Pernikahan Beda Agama
Menurut Madzhab Imam Malik
Madzhab Maliki tentang
perkawinan lintas agama ini mempunyai
dua pendapat, yaitu 1) menikah dengan wanita kitabiyah hukumnya makruh
mutlak, baik dzimmiyah (wanita-wanita
non-muslim yang berada diwilayah atau
negeri yang tunduk pada hukum Islam)
maupun wanita harbiyah, namun
makruhnya menikahi wanita harbiyah
lebih besar. Akan tetapi jika
dikhawatirkan bahwa si isteri yang
kitabiyah ini akan mempengaruhi anakanaknya dan meninggalkan agama
ayahnya, maka hukumnya haram; dan
2) Tidak makruh mutlak karena ayat
tersebut tidak melarangsecara mutlaq.
Metodologi berfikir madzhab maliki ini
menggunakan pendekatan sad alzariyan (menutup jalan yang mengarah
kepada kaemafsadatan), jika
dikhawatirkan kemafsadatan yang akan
muncul dalam perkawinan beda agama
ini, maka diharamkan.36
c. Pernikahan Beda Agama
Menurut Madzhab Imam Syafi‟i
Imam Syafi‟i berkata; Allah
tabarokawataala berfirman dalam AlMumtahanah Ayat 10, setelah itu
turunlah rukhsah (keringanan) yang
menghalalkan wanita-wanita merdeka
dari kalangan ahli kitab hal ini
sebagaimana yang dijelaskan Allah
S.W.T. dalam Surat Al-Ma‟idah Ayat 5
sebelumnya.
Ketetapan Allah Subhanahu
wataala yang membolehkan menikahi
wanita-wanita merdeka di kalangan ahli
kitab merupakan dalil yang
mengharamkan menikahi wanita-wanita
budak mereka, karena telah dikenal
dalam bahasa; apabila suatu sifat
disebutkan dalam kalimat yang
berkonotasi penghalalan atau
pengharaman, maka hal ini menjadi
dalil bahwa yang berada di luar sifat
tersebut, tidak masuk dari kalimat
tadi.37
Beliau (Imam Syafi‟i) juga berpendapat
bahwa apabila seorang wanita masuk
Islam atau dilahirkan dalam keadaan
Islam, atau salah seorang dari kedua
orang tuanya masuk Islam, sementara
da masih anak-anak dan belum
mencapai usia balig. Maka haram atas
setiap lelaki musyrik, ahli kitab, atau
penyembah berhala untuk menikahinya
dalam segala keadaan. Apabila kedua
orang tuanya musyrik, lalu disebutkan
kepadanya sifat-sifat Islam, dan ia
memahaminya, maka saya melarang
wanita di nikahi oleh laki-laki musyrik.
Namun bila disebutkan kepadanya sifatsifat Islam namun ia tidak
memahaminya, maka saya lebih
menyukai untuk laki-laki musyrik
dilarang untuk menikahinya.
Imam Syafi‟i juga berpendapat
bahwa dihalalkan menikahi wanitawanita merdeka Ahli kitab bagi setiap
muslim, karena Allah S.W.T.
menghalalkan mereka tanpa
pengecualian. Wanita-wanita Ahli kitab
yang merdeka dan boleh dinikahi adalah
pengikut dua kitab yang masyhur yakni;
Taurat dan Injil dan mereka adalah
Yahudi dan Nasrani.
Adapun Majusi, tidak masuk dalam
golongan itu. Dihalalkan pula menikahi
wanita-wanita dari golongan Syabiun
dan Samirah dari kalangan yahudi dan
Nasrani yang dihalalkan mengawini
wanita mereka dan memakan hewan
sembelihan mereka. Namun bila
diketahui bahwa mereka menyelisihi
orang-orang yang menghalalkan apa
yang dihalalkan dalam al kitab dan
mengharamkan apa yang
diharamkannya, maka pada kondisi
demikian diharamkan menikahi wanitawanita mereka sebagaimana diharamkannya menikahi wanita-wanita
Majusi.38
d. Pernikahan Beda Agama
Menurut Madzhab Imam
Hambali
Mazhab Hambali mengemukakan
bahwa haram menikahi wanita-wanita
musyrik, dan boleh menikahi wanita
Yahudi dan Narani. Mazhab ini lebih
kebanyakan pengikutnya cenderung
mendukung pendapat guru Ahmad bin
Hambal, yaitu Imam Syafi‟i. Tetapi
tidak membatasi, bahwa yang termasuk
ahlu al-kitab adalah Yahudi dan Nasrani
dari Bangsa Israel saja, tetapi
menyatakan bahwa wanita-wanita yang
menganut agama Yahudi dan Nasrani
sejak saat Nabi Muhammad belum
diutus menjadi Rasul.39
Berdasarkan uraian di atas, telah
dijelaskan bahwa ulama Imam Madzhab
sepakat untuk mengharamkan
pernikahan antara laki-laki muslim
dengan wanita musyrik dan
membolehkan pernikahan antara lakilaki muslim dengan wanita ahlul kitab
yakni Yahudi dan Nasrani. Akan tetapi,
yang dimaksud oleh Imam Madzhab
tentang wanita ahlul kitab (Yahudi dan
Nasrani) di sini adalah karena wanita ahlul kitab pada zaman dahulu berbeda
dengan wanita ahlul kitab pada zaman
sekarang.
Pada zaman dahulu wanita ahlul
kitab mengimani kitab-kitab mereka
yang belum banyak adanya perubahan
dan wanita ahlul kitab pada zaman
dahulu tidak berpengaruh terhadap
pemikiran dan keyakinan laki-laki
muslim (suami). Adapun pada saat ini,
mereka wanita ahlul kitab mayoritas tidak
memahami isi dan kandungan kitab-kitab
mereka yang sesungguhnya, karena sudah
banyaknya perubahan. Dengan demikian,
penulis menyimpulkan bahwa pendapat
Imam Madzhab tentang pembolehan
pernikahan antara laki-laki muslim
dengan wanita ahlul kitab hanya sebatas
pada zaman mereka. Jika dianalisis
berdasarkan apa yang telah disebutkan di
atas sesuai dengan realita sekarang, maka
sudah barang tentu Imam Madzhab akan
mengharamkan pernikahan beda agama
tanpa terkecuali.
3. Perkawinan Beda Agama dalam
Hukum Indonesia
a. Pengertian Perkawinan Menurut
UUP
Menurut Pasal 1 UU No. 1 Tahun
1974: Perkawinan adalah ikatan lahir
batin antara seorang pria dan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah
tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa. Kata “ikatan lahir batin” dalam
pengertian tersebut dimaksudkan bahwa
perkawinan itu tidak hanya cukup
dengan adanya ikatan lahir saja, atau
hanya dengan ikatan batin saja, namun
harus keduanya ada dalam perkawinan.
Ikatan lahir dapat dimaknai bahwa
perkawinan adalah ikatan yang dapat
dilihat, artinya: adanya suatu hubungan
hukum antara seorang pria dengan
seorang wanita untuk hidup bersama,
sebagai suami isteri. Ikatan ini dapat
juga disebut sebagai “ikatan formal”
yakni hubungan formal yang mengikat
dirinya, orang lain dan masyarakat.
Sedangkan “ikatan batin” dapat
dimaknai sebagai hubungan yang tidak
formil, artinya suatu ikatan yang tidak
dapat dilihat, namun harus ada karena
tanpa adanya ikatan batin dalam
perkawinan maka ikatan lahir akan
rapuh.40
Pengertian di atas dapat
mengandung beberapa aspek: pertama:
aspek yuridis, karena di dalamnya
terdapat ikatan lahir atau formal yang melahirkan hubungan hukum antara
suami istri; kedua: aspek social, dimana
perkawinan merupakan hubungan yang
mengikat dirinya, orang lain dan
masyarakat; ketiga: aspek religius, yaitu
dengan adanya term berdasarkan
Ketuhanan Yang maha Esa sebagai
dasar dalam pembentukan keluarga
yang kekal dan bahagia.41
Perkawinan sebagai salah satu
perjanjian yang merupakan perbuatan
hukum, mempunayi akibat hukum.
Adanya akibat hukum penting sekali
hubungannya dengan sah tidaknya
perbuatan hukum itu. Dalam Pasal 2
UUP disebutkan syarat sahnya
perkawinan, yaitu: (1) Perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu; (2) Tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Dalam Pasal ini terdapat penegasan
bahwa perkawinan, baru dapat
dikategorikan sebagai perbuatan hukum
yang sah apabila dilakukan menurut
ketentuan agama dan kepercayaan
masing-masing, sebagaimana dalam
penjelasan Pasal 2 UUP bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masingmasing agama dan kepercayan itu. Hal
ini sesuai dengan Pasal 29 UUD 1945:
(1) Negara berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa; (2) Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan
untuk beribadah menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.42
b. Pengertian Perkawinan Beda
Agama dalam Hukum Indonesia
Di Indonesia, perkawinan beda
agama, sebelum lahirnya UUP No. 1
Tahun 1974 dikenal dengan sebutan
“Perkawinan Campur”, sebagaimana
diatur pertama kali dalam Regeling op
de gemengde Huwelijken, Staatblad
1898 No. 158, yang merupakan
Peraturan Perkawinan Campur/PPC).
Dalam PPC tersebut terdapat beberapa
ketentuan tentang perkawinan campur
(perkawinan beda agama):
Pasal 1: Pelangsungan perkawinan
antara orang-orang yang di Hindia
Belanda tunduk kepada hukum yang
berbeda, disebut Perkawinan Campur.
Pasal 6 Ayat (1): Perkawinan campur
dilangsungkan menurut hukum yang
berlaku atas suaminya, kecuali izin paracalon mitra kawin yang selalu
disyaratkan.
Pasal 7 Ayat (2): Perbedaan agama,
golongan, penduduk atau asal usul tidak
dapat merupakan halangan
pelangsungan perkawinan.
Pasal-pasal tersebut di atas
menegaskan tentang pengaturan
perkawinan beda agama, bahkan
disebutkan perbedaan agama tidak dapat
dijadikan alasan utnuk mencegah
terjadinya perkawinan.
PPC tersebut dikeluarkan secara
khusus oleh Pemerintah Kolonial
Belanda guna mengantisipasi perbedaan
golongan yang tertuang dalam Indische
Staats Religing (ISR) yang merupakan
Peraturan Ketatanegaran Hindia. Pada
Pasal 163 golongan penduduk
dibedakan menjadi tiga golongan yaitu:
golongan Eropa (termasuk di dalamnya
Jepang); golongan pribumi (Indonesia)
dan golongan Timur Asing kecuali yang
beragama Kristen.43
Perkawinan Campur sebagaimana
dimaksud pada PPC S. 1898 No. 158 di
atas, tidak dikenal dalam UU No. 1
Tahun 1974. Pasal yang dijadikan landasan perkawinan beda agama pada
UUP adalah Pasal 2 Ayat (1):
Perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya
itu; dan Pasal 8 huruf (f): perkawinan
dilarang (f): mempunyai hubungan yang
oleh agamanya atau peraturan lain yang
berlaku dilarang kawin; serta Pasal 57:
yang dimaksud dengan perkawinan
campur dalam Undang-undang ini ialah
perkawinan antara dua orang yang di
Indonesia tunduk pada hukum yang
berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak
berkewarganegaraan Indonesia.
c. Status Hukum Perkawinan Beda
Agama dalam UUP
Perkawinan beda agama menurut
pemahaman para ahli dan praktisi
hukum dalam Undang-undang No. 1
Tahun 1974 secara garis besar dapat
dijumpai tiga pandangan:
Pertama, perkawinan beda agama
tidak dapat dibenarkan dan merupakan
pelanggaran terhadap UUP Pasal 2 Ayat
(1): Perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya
itu; dan Pasal 8 hurup (f): bahwa
perkawinan dilarang antara dua orang
yang mempunyai hubungan yang oleh
agamanya atau peraturan lain yan
berlaku, dilarang kawin. Maka dengan
pasal ini, perkawinan beda agama
dianggap tidak sah dan batal demi
hukum.
Kedua, perkawinan beda agama
adalah diperbolehkan, sah dan dapat
dilangsunkan karena telah tercakup
dalam perkawinan campuran,
sebagaiman termaktub dalam Pasal 57
UUP, yaitu dua orang yang di Indonesia
tunduk pada hukum yang berlainan.
Menurut pandangan kedua ini, pasal
tersebut tidak saja mengatur perkawinan
antara dua orang yang memiliki
kewarganegaran yang berbeda, akan
tetapi juga mengatur perkawinan antara
dua orang yang berbeda agama.
Menurutnya, pelaksanaannya dilakukan
menurut tata cara yang diatur oleh Pasal
6 PPC: (1) Perkawinan campur
dilangsungkan menurut hukum yang
berlaku untuk suami, kecuali izin dari
kedua belah pihak bakal mempelai,
yang seharusnya ada, dengan merujuk
pada Pasal 66 UUP.
Ketiga. UUP tidak mengatur
masalah perkawinan antaragama. Oleh
karena itu, apabila merujuk Pasal 66
UUP yang menekankan bahwa peraturan-peraturan lain yang mengatur
tentang perkawinan, sejauh telah diatur
dalam unadang-undang ini, maka
dinyatakan tidak berlaku lagi. Namun
karena UUP belum mengaturnya, maka
peraturan-peraturan lama dapat
diberlakukan kembali, sehingga
masalah perkawinan beda agama harus
berpedoman kepada peraturan
pekawinan campur (PPC)44 Perkawinan
tidak dapat dibiarkan begitu saja, sebab
akan mendorong terjadinya perzinahan
terselubung melalui pintu kumpul kebo.
Di sisi lain, mayoritas masyarakat
Muslim di Indonesia berpandangan
bahwa UUP tidak perlu disempurkan
dengan mencantumkan hukum
perkawinan beda agama dalam undangundang tersebut, sebab menurut mereka,
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 telah
mengatur hukum perkawinan beda
agama secara jelas dan tegas. Ungkapan
ini ada benarnya, karena umat Islam
sebagai penduduk mayoritas di
Indonesia merasa diuntungkan oleh
Pasal 2 Ayat (1) UUP tersebut, karena
dengan pasal tersebut tertutuplah kemungkinan untuk melakukan
perkawinan secara “sekuler”, dan
tertutup pula kemungkinan seorang
wanita muslimah untuk menikah dengan
laki-laki non muslim, demikian halnya
perkawinan seorang laki-laki muslim
dengan perempuan musyrik, karena
pernikahan tersebut dilarang (dianggap
tidak sah) menurut hukum Islam.
Sebenarnya, dengan adanya larangan
untuk melangsungkan pernikahan beda
agama tersebut, merupakan masalah
penting bagi umat Islam karena
peraturan perkawinan peninggalan
Belanda (PPC) mengizinkan penduduk
Indonesia
ntuk melakuan perkawinan beda
agama.
45
4. Perkawinan Beda Agama dalam
Hukum Positif di Indonesia
Perkawinan beda agama dalam
hukum positif di Indonesia diatur secara
eksplisit dalam Pasal 40 huruf (c) yang
menyatakan bahwa dilarang
melangsungkan perkawinan antara
seorang pria dengan seorang wanita
karena keadaan tertentu; diantaranya,
karena seorang wanita yang tidak
beragama Islam. Dalam Pasal 44
disebutkan bahwa seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan
dengan seorang pria yang tidak
beragama Islam.
Berdasarkan dua pasal di atas,
dapat dikatakan bahwa menurut KHI,
seorang wanita non muslim apa pun
agama yang dianutnya tidak boleh
dinikahi oleh seorang pria yang
beragama Islam, dan seorang wanita
muslim tidak boleh dinikahi oleh
seorang pria non muslim, baik dari
kategori ahli kitab atau pun bukan ahli
kitab.
Secara struktur pembahasan KHI
yang menempatkan status hukum
perkawinan beda agama dalam bab
yang membahas tentang “larangan
perkawinan”, jika dicermati, dapat
dikategorikan sebagai pembaharuan
yang cukup berani. Pembaharuan
tersebut tentu ditetapkan setelah melalui
penyatuan pendapat melalui beberapa
jalur, yaitu: a) Jalur penelaahan kitabkitab fikih, yang dilakukan dengan
melibatkan tujuh IAIN yang tersebar di
seluruh Indonesia, khususnya Fakultas
Syariah. Dalam penelaahan kitab-kitab
fikih tersebut, para pihak telah
melakukannya dengan melakukan
penelitian terhadap sejumlah kitab-kitab
induk fikih dari berbagai kecenderungan
mazhab yang ada; b) Jalur wawancara
dengan ulama-ulama yang mempunyai
keahlian di bidang hukum Islam (fikih)
yang tersebar di sepuluh lokasi wilayah
PTA, yaitu: Banda Aceh, Medan,
Padang, Palembang, Bandung,
Surakarta, Surabaya, Banjarmasin,
Ujung Pandang (Makassar), dan
Mataram; c) Jalur Yuriprudensi
Peradilan Agama, dilakukan di
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan
Agama Islam terhadap sepuluh
Himpunan Putusan PA; dan d) Jalur
studi banding ke Marokko, Turki dan
Mesir oleh tim dari Kemenag RI (H.
Marani Basran dan Mukhtar
Zarkasyi).46
5. Hikmah Pernikahan Beda
Agama
Hikmah dari sebab dibolehkannya
laki-laki muslim menikahi wanita ahlul
kitab, dikarenakan mereka masih
mengimani beberapa prinsip yang ada
di dalam Islam, berbeda halnya dengan
wanita musyrik. Seorang pakar fiqih
kontemporer dari mesir berkata; „sebab
dalam pembolehan kawin dengan perempuan ahli kitab berbeda halnya
dengan perempuan musyrik adalah, dia
memiliki kesamaan keimanan pada
beberapa prinsip yang asasi. Yang
dimulai dengan pengakuan terhadap
Tuhan, keimanan kepada para rasul dan
hari kiamat, dengan segenap hisab dan
siksaan yang ada di dalamnya. Adanya
titik temu ini menyebabkan adanya
komunikasi berdasarkan landasan ini,
yang menjamin terciptanya kehidupan
perkawinan yang biasanya lurus dengan
mengharap keislaman perempuan
tersebut karena secara general dia
beriman dengan kitab-kitab para nabi
dan rasul.”47
Menurut Wahbah Az-Zuhaili;
hikmah nikahnya seorang laki-laki
muslim dengan seorang perempuan
yahudi dan Nasrani bukan sebaliknya
adalah, orang Muslim, beriman terhadap
semua rosul dan dengan semua agama
dalam asalnnya yang benar yang
pertama, maka tidak ada bahaya dari
suami terhadap aqidah dan perasaan
istri. Sedangkan orang yang non
Muslim yang tidak percaya terhadap
Islam, terdapat bahaya yang mengintai
yang membuat istrinya terpengaruh
terhadap agamanya, perempuan biasanya mudah terpengaruh dan
menurut. Dalam pernikahannya terdapat
pengorbanan bagi perasaan dan
akidahnya.48
6. Dampak Pernikahan Beda Agama
Terhadap Keyakinan Anak
Perbedaan agama dalam
perkawinan dapat menimbulkan tekanan
psikologis, berupa konflik kejiwaan,
yang pada gilirannya mengakibatkan
disfungsi perkawinan itu sendiri. Jika
terjadi konflik perbedaan agama yang
tidak dapat diselesaikan, suami atau istri
kemungkinan tidak akan mengamalkan
ajaran agama yang dianutnya, tetapi
memilih pola hidup sekuler. Pola hidup
sekuler akan menimbulkan konflik baru
yang sulit diatasi, dan dapat menjurus
kepada konflik keluarga.
Perkawinan bukan hanya ikatan
antara individu, tetapi juga ikatan antara
dua keluarga. Artinya, perkawinan itu
melibatkan keluarga masing-masing
pihak berada pada posisi yang sulit.
Sebab, jika salah satu pihak (suami dan
istri) pindah agama dan memakai tata
cara salah satu agama maka akibat yang
timbul adalah reaksi pihak keluarga.
Konsekuensinya adalah pihak yang
berpindah agama akan terkucil dari keluarga dan masyarakat dan secara
tidak langsung juga agama. Jika terjadi
krisis perkawinan, dia sulit diterima
dalam lingkungan keluarganya karena
dianggap telah murtad.
Keimanan suami atau istri
terhadapnya bukan semakin bertambah
melainkan semakin melemah. Demi
“toleransi” dan “kerukunan”, masingmasing mereka melepaskan prinsipprinsip aqidah agamanya sendiri
sehingga terjadi pendangkalan iman,
atau mungkin “konflik keimanan”,
dapat menimbulkan depresi akibat
perasaan bersalah dan berdosa.49
Dampak psikologis lainnya dari
perkawinan antar agama adalah
perkembangan pertumbuhan anak.
Perbedaan agama antara ayah dan ibu
dapat membingungkan anak dalam hal
memilih agama, apakah ia memilih
agama ayahnya atau agama ibunya.
Pengertian “toleransi dan kerukunan
beragama” tidak berarti bagi
pertumbuhan keagamaan dalam diri
anak, bahkan besar kemungkinan anak
memilih tidak beragama sama sekali
(ateis). Di sinilah letak peran komitmen keagamaan ayah dan ibu dalam
menentukan agama anak-anak,
sebagaimana disabdakan Rasulullah
S.A.W.: “Setiap anak dilahirkan dalam
keadaan suci (fitrah), kedua orang
tuanyalah yang menjadikannya sebagai
Yahudi, Nasrani, atau Majusi”.50
Dari tataran pemikiarn di atas, ada
satu hal yang perlu digarisbawahi, bahwa
perkawinan antar agama menimbulkan
dampak negatif psikologis terhadap kedua
belah pihak (suami-istri) serta
perkembangan pertumbuhan keagamaan
dalam diri anak. Itulah sebabnya, Islam
menganjurkan perkawinan harus seagama
(Islam), sebagaimana disabdakan
Rasulullah saw: “Wanita itu dinikahi
karena empat perkara; karena hartanya,
karena keturunannya, karena
kecantikannya, dan karena agamanya.
Akan tetapi utamakanlah yang beragama
agar engkau memperoleh kebahagiaan.”51
7. Dampak Pernikahan Beda
Agama Terhadap Pendidikan
Anak
Seorang muslim/muslimah yang
cerdas sudah pasti tidak akan gegabah
dalam menentukan pasangan hidupnya
dia akan senantiasa berupaya dan
berjuang untuk mencari pasangan
suami/istri yang baik agama dan
akhlaknya yang kelak menjadi pendidik
sekaligus figur bagi anak-anaknya.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh
seorang penulis buku, bahwa Seorang
anak akan menurut tarbiyah dan
pendidikan yang diberikan kepadanya,
sifat-sifat orang tua akan menurun
kepada anak-anak mereka, ibarat kata
pepatah “buah jatuh tidak akan jauh dari
pohonnya.” Betapa banyak ketakwaan
pada diri anak disebabkan dia mengikuti
ketakwaan kedua orang tuanya atau
salah seorang dari mereka.52
Allah S.W.T. berfirman dalam
Surat At-Tahrim Ayat 6:
“Hai orang-orang yang beriman,
peliharalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka yang bahan
bakarnya adalah manusia dan batu;
penjaganya malaikat-malaikat yang
kasar, keras, dan tidak mendurhakai
Allah terhadap apa yang
diperintahkan-Nya kepada mereka
dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan.”
Kedua orang tua dan guru
bertanggung jawab terhadap pendidikan
generasi muda. Jika pendidikan mereka
baik, maka berbahagialah generasi
tersebut di dunia dan akhirat, tapi jika
mereka mengabaikan pendidikannya
maka sengsaralah generasi tersebut dan
beban dosanya berada pada leher
mereka.53
Rosulullah S.A.W. bersabda:
“Setiap orang dari kalian
adalah pemimpin, dan setiap
kalian bertanggung jawab atas
siapa yang dipimpinnya” (H.R.
Al-Bukhari dan Muslim)
54
Dan juga merupakan kabar gembira
bagi kedua orang tua manakala dia
mendidik anaknya hingga menjadi anak
yang sholih karena ia akan menjadi aset
bagi kedua orang tuanya di akhirat
kelak.
ۡ
“Apabila Manusia meninggal
Dunia maka terputuslah
amalnya kecuali karena tiga
hal, 1. Shadaqah jariyah, 2.
Ilmu yang bermanfaat, atau 3.
Anak shaleh yang mendoakannya”. (H.R.
Muslim).
Maka setiap pendidik hendaknya
melakukan perbaikan dirinya terlebih
dahulu, karenaperbuatan baik bagi
anak-anak adalah yang dikerjakan oleh
pendidik. Dan perbuatan jelek bagi
anak-anak adalah yang ditinggalkan
oleh pendidik. Karenanya sikap baik
guru dan orang tua di depan anak-anak
merupakan pendidikan anak yang paling
utama.55
Pernikahan beda agama akan
berdampak negatif bagi pendidikan
anak-anak dan generasi selanjutnya.
Sebab, orang tua adalah figur utama
dari anak-anaknya. Jika orang tuanya
bukan seorang muslim, bagaimana
mungkin bisa menjadikan anak-anaknya
menjadi anak-anak yang sholih sebagai
penerus generasi yang baik dan
berprestasi di masa mendatang.
Pernikahan beda agama adalah salah satu sumber problematika dalam rumah tangga
bagi seorang muslim atau mungkin bahkan di kalangan non muslim itu sendiri dan
jika hal ini telah benar-benar dilakukan maka yang menjadi korbannya adalah sang
anak yang kemungkinan besar kebingungan dalam menentukan agamanya. Penelitian
ini membahas tentang pernikahan beda agama menurut imam madzhab dan hukum
positif di Indonesia. Kajian ini dilatarbelakangi oleh kontrofersi mengenai nikah beda
agama menurut pendapat para imam madzhab serta hukum positif yang berlaku di
indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah: 1) Mengetahui permasalahan tentang
pernikahan beda agama; 2) Mengetahi pernikahan beda agama menurut hukum positif
di Indonesia; 3) Mengetahui dampak dari pernikahan beda agama; dan 4) Mengetahui
alasan syari‟at membolehkan nikah beda agama. Jenis metode penelitian ini adalah
metode library research (studi pustaka), observasi, dan studi dokumen. Penelitian ini
bersifat deskriptif analisis, yaitu memaparkan konsep pendapat imam empat madzhab
dan hukum positif di Indonesia





.jpeg)
.jpeg)





