Veda yaitu pengetahuan suci yang sangat luar biasa yang menjadi kebanggaan umat
Hindu sendiri. Veda merupakan gudangnya ilmu pengetahuan suci karena di dalamnya memuat berbagai ilmu pengetahuan mulai dari pengetahuan sains yang bersifat duniawi hingga pada
pengetahuan spiritual yang bersifat rohani. Kitab suci Veda ibarat pohon ilmu pengetahuan
yang berakar dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa itu sendiri dalam
manifestasinya sebagai Dewi Saraswati penguasa ilmu pengetahuan. Cabang ilmu pengetahuan
itu sangatlah beragam hingga pada ilmu ketuhanan dan pemahaman akan hakekat alam semesta
beserta isinya. Manusia berusaha memahami alam semesta ini sudah dimulai dari zaman dahulu
hingga sekarang. Ketertarikan akan pemahaman alam semesta ini dikenal dengan istilah
kosmologi/cosmology (Donder, 2007).
Kosmologi merupakan ilmu pengetahuan yang menyangkut penyelidikan, atau teori
tentang asal usul, watak dan perkembangan alam semesta sebagai suatu sistem teratur. Namun,
kosmologi dalam konteks umum itu belum memasukkan secara sengaja peranan Tuhan sebagai
cikal bakal terjadinya dan peleburan alam semesta (Donder, 2007:4). Kosmologi Hindu
mengungkapkan bahwa alam semesta ini merupakan wujud nyata penampakan Tuhan Yang
Maha Kuasa yang memenuhi seluruh ruang dan isi alam semesta ini sebagai bagian dari tubuh
manusia kosmik alam semesta atau tubuh Tuhan itu sendiri yang dapat berpikir, berkata dan
memiliki perasaan layaknya manusia sehingga mengalami kelahiran, dan kematian yang
beruang-ulang (siklik) (Donder, 2007:10). Alam semesta dalam kosmologi Hindu itu sendiri
mencakup macrocosmos dan microcsmos. Macrocosmos atau Bhuwana Agung (alam besar)
dan microcosmos atau Bhuwana Alit (alam kecil) merupakan suatu kesatuan yang sama hanya
berbeda kapasitasnya saja. Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit tidak dapat dipisahkan dari
keberadaan Tuhan atau Brahman itu sendiri. Unsur-unsur penciptaan Bhuwana Agung dan
Bhuwana Alit berasal dari sumber yang sama. Semua unsur dalam macrocosmos ada dalam
alam microcosmos begitu sebaliknya. Microcosmos atau Bhuwana Alit merupakan miniaturnya
dunia dalam kasat mata sebagai isi dari alam semesta.
Kitab suci Hindu dan susastra-susastra Hindu lainnya merupakan sumber dari
penjabaran ilmu kosmologi Hindu. Beberapa kitab suci Hindu yang menjabarkan kosmologi
antara lain: Bhagawad Gita, Manavadharmasastra, Svetata Upanisad, Garbha Upanisad dan
lain-lainnya. Dalam kehidupan masyarakat Hindu Bali penjabaran tentang kosmologi dapat
ditemukan dalam teks karya sastra tradisional Bali. Lontar merupakan karya sastra tradisional
Bali yang cukup populer dalam masyarakat Hindu Bali. Lontar atau rontal merupakan sumber
ajaran agama Hindu yang paling dekat dengan umat Hindu khususnya di Bali. Salah satu lontar
yang menjabarkan tentang kosmologi, khususnya kosmologi tentang kelahiran manusia yaitu
lontar Anggastyaprana. Lontar Anggastyaprana merupakan salah satu lontar tattwa jenis tutur
yang bersifat Sivaistik Sivaistik yang memposisikan Siwa memiliki kedudukan tertinggi dan
menjadi asal mula dari penciptaan manusia (Bhuwana Alit).
Teori yang digunakan mengupas masalah ini yaitu Teori Sruktural. Kutha Ratna
(2021 : 80) menjelaskan secara etimologis struktur berasal bahasa latin structural yang berarti
bentuk atau bangunan. Strukturalisme merupakan cara berpikir dengan dunia yang terutama
berhubungan dengan tanggapan dan deskripsi struktur. Dalam pandangan ini karya sastra
diasumsikan sebagai fenomena yang memiliki struktur yang saling berkaitan satu sama lain.
Selanjutnya Nurgiyantoro (2017 : 37) menjelaskan menganalisis struktur karya sastra dapat
dilakukan dengan mengindetifikasi, menganalisis, dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan
unsur intrinsic ffiksi yang bersangkutan. METODE
Metode yang digunakan dalam tulisan ini yaitu metode studi dokumentasi. Arikunto
(2006 : 158) menjelaskan dokumentasi merupakan kegiatan mencari dan mengumpulkan data
mengenai hal-hal yang berkaitan dengan penelitian berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar,
majalah, dan notulen rapat. Studi dokumentasi merupakan teknik pengumpulan data yang
dilakukan dengan cara meneliti dan menganalisis berbagai dokumen yaitu Transkrip Lontar
Anggastyaprana.
III. PEMBAHASAN
Kosmologi yaitu ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang seluk beluk alam
semesta. Istilah kosmologi dalam agama Hindu dapat disejajarkan dengan istilah Viratvidya,
karena virat sama artinya dengan cosmos atau alam semesta dan vidya artinya pengetahuan.
Dengan demikian Viratvidya dapat diartikan sebagai pengetahuan tentang alam semesta.
Kosmologi Hindu mengajarkan tentang asal usul penciptaan dan perkembangan alam semesta
dengan menempatkan Tuhan yang kerap juga disebut dengan Jiwa Semesta sebagai asal mula
alam semesta ini.
Ilmu pengetahuan yang mengkaji tentang seluk beluk alam semesta dalam ruang lingkup
yang kecil (manusia/Bhuwana Alit) disebut dengan kosmologi manusia. Penciptaan,
pemeliharaan dan peleburan yang terjadi dalam diri manusia itulah yang menjadi kajian dalam
kosmologi manusia ini. Berikut merupakan konsep kosmologi manusia dalam lontar
Anggastyaprana:
A. Konsep Penciptaan Manusia dalam lontar Anggastyaprana
Lahir sebagai manusia merupakan suatu anugrah yang utama, sangat beruntung
sebenarnya telah dilahirkan sebagai manusia. Begitu banyaknya makhluk hidup yang ada di
alam semesta ini hanya manusialah yang memiliki pikiran dan Viveka atau kemampuan
membedakan baik dan buruk, mampu membedakan mana yang patut dan tidak patut untuk
dilaksanakan. Kesempatan terlahir menjadi manusia sangatlah sulit diperoleh. Seseorang harus
melalui berbagai jenis kehidupan sebelum akhirnya terlahir menjadi manusia seperti yang
tertuang dalam kitab Sarasamuscaya sebagai berikut:
Ri sakwehing sarwa bhuta, iking janma wwang juga wenang gumawayaken ikang
çubhāçubhakarma, kuneng panentasakena ring çubhakarma juga ikang açubhakarma
phalaning dadi wwang (Sarasamuscaya, 2).
Terjemahan
Dari sekian banyaknya semua makhluk yang hidup, yang dilahirkan sebagai manusia
itu saja yang dapat berbuat perbuatan baik buruk itu, adapun untuk peleburan perbuatan
buruk ke dalam perbuatan yang baik juga manfaatnya jadi manusia. (Kadjeng, 2003: 7).
Penjelasan tentang proses penciptaan/kelahiran manusia seperti tertuang dalam Lontar
Anggastyaprana jika disepadankan dengan ilmu pengetahuan yang saat ini tengah berkembang
maka penjelasan tentang kelahiran manusia yang diuraikan dalam lontar ini mirip dengan ilmu
embriology pada manusia atau mirip ilmu tentang kehamilan/kebidanan saat ini. Hanya saja
penjelasan dalam lontar ini bersifat penjelasan secara teologi khususnya teologi Hindu.
Kelahiran manusia sebagai bagian dari Bhuana Alit mengalami suatu proses yang cukup
panjang. Proses kelahiran manusia dimulai dari suatu pembuahan antara si Bapak dan si Ibu, yang kemudian menjadi bayi dalam kandungan hingga lahir dan tumbuh menjadi dewasa, tua
dan nantinya meninggal kembali ke asalnya.
Tahap Pembuahan dan Pembentukan Sang Hyang Antigajati
Proses awal kelahiran manusia (seorang bayi) dalam Lontar Anggastyaprana dimulai
dengan penjabaran tentang bagaimana proses pembuahan hingga terbentuknya telur Sang
Hyang Antigajati. Proses ini merupakan tahapan awal sebelum lahirnya seorang manusia/bayi.
Proses pembentukan Sang Hyang Antigajati ini mengalami suatu proses yang cukup panjang.
Proses ini tetuang dalam Lontar Anggasyaprana sebagai berikut:
Sumahur Sang Resi; asapuniki wite sampun, anake sekadi Cening meraga Sang Hyang
Siwaatma, duk Sang Bapa muah Sang Ibu pada bajang, cening ngalih tongos, Sang
Bapa muang Sang Ibu, pada ngelah manah kesemaran. Smaran Sang Bapane ngaran
Smara-jaya, smaran Sang Ibu nga., Semara-Ratih, cening ngaran Semara-Sunia, sami
kasusupin manah Sang Bapa mwah Sang Ibu, dadi matemu karsa pada karsa, ya matmu
demen, mesalin arania, I Bapa nga., Smara lulut manahnia, Sang Ibu sang smara
honeng manahnia, cening Semara-Asih nga.,, nyusup ring Sang Bapa muah Sang Ibune,
krana matemu pada suka, cening dadi Sang Hyang Suniatma. Duk matemu kaman Sang
Ibu miwah Sang Bapa cening Sang Kama Molah arane nyusup ring kaman Sang Ibu
muah ring Kaman Sang Bapa. Anging kamane kasilurang dumun,
Ida Bhagawan Patning-musti,/ ida twah nyilurang, mula kama bang ring Sang Bapa,
kamane putih ring Sang Ibu, keto kawite. Wawu ada jadma dadua, luh ring muani
katurunang, mewasta I Cili-kamo ya suksma jati. Pada tan harep Sang lanang Wadon.
Irika raris kasilurang kamane ring Bhagawan Dwi sareng I Bapatni Musti, kamane
putih ring Sang Lanang, kamane abang ring Sang Wadon, lantas mara pada mekarsa
Sang Lanang ring Sang Wadon, ditu Sang Atma ngalih tongos, wawu karsa pada karsa,
Sang Atma di tengah karsane magenah, wawu liat pada liat Sang Atma di tengah liate
magenah, wawu sabda pada sabda Sang Atma di tengah sabdane magenah, wawu
matemu rasa pada rasa Sang Atma di tengah rasane magenah, matemu bayu pada bayu
Sang Atma di tengah bayune magenah, di ngantiang pesu kamane Sang Atma ika Mola
arane, di pesu Kaman I Bapa ne Sang kama Dresta arane, di pesu Kaman Sang Ibune
Sang Kama Dresti nga.,, di awor Atmane Sang Ajur-mulang nga.,
ampun maduk kama putih ring kama abang, Sang Bubur rumaket nga., rawuh Sang
Hyang Nilakanta mamastu, nulia kentel ikang kama kadi taluh, Sang Hyang Antiga Jati
harania, rawuh watek Dewatane sami, malih rawuh Sang Hyang Seleng, Sang Hyang
Meleng kepastu antuk Sang Hyang Suksmantara wisesa dadi kama makekalih, kama
putih muah kama abang mearan Kama Jaya Kama Ratih, katunggalang dadi abesik,
masuk ring Sang Antiga Jati dadi bayu premana, muah dadi rasa, bayu dadi Atma
panunggun urip. Sang Hyang Seleng maring telenging atin I Bapane, dadi Atma ngaran
I Pita tukuping jiwa, meraga Wong Khara sumungsang. Sang Hyang Meleng metu
saking telenging atin Sang Ibu, dadi Atma mearan I Kirit Marga, meraga Wong Khara
ngadeg. Ika dadi Wong Khara ruwa bineda, ika dadi marga pati, muah marga urip, ika
dadi pretiwi muah akasa, ika ngawe pati muah urip, ngawe tangi muah aturu, Sang
Hyang Atma Ro
ro, I Pitatukuping jiwa muah I Kirit Marga meraga bayu premana, dadi abesik ring
Sang Hyang Antiga Jati.
(Teks Lontar Anggastyaprana 1b-3a) Terjemahan:
Menjawablah Sang Rsi: Begini anakku tentang asal mulanya, orang seperti anakku
berwujud Sang Hyang Siwatma, saat ayah dan ibumu masih muda, anakku mencari
tempat, ayah dan ibumu sama-sama memiliki asmara, asmara sang ayah bernama
Semara jaya, asmara sang ibu bernama semara ratih, anakku bernama semara sunia,
semua merasuk ke dalam pikiran sang ayah dan sang ibu, jadi bertemu gairah sama
gairah, bertemu suka sama suka, bersalin namanya, ayah bernama Semara Lulut, ibu
bernama semara honeng, anakku semara asih namanya, menyusupi sang ayah dan sang
ibu karena bertemu suka sama suka, anakku menjadi Sang Hyang Sunia Atma. saat
bertemunya kama sang ibu dan sang ayah, anakku sang kama-molah namanya,
menyusup ke dalam kama sang ibu dan kama sang ayah, akan tetapi ditukar terlebih
dahulu.
Ida Bhagawan Patning musti, Beliaulah yang menukarnya. Pada awalnya kama bang
pada sang ayah dan kama putih pada sang ibu, itu asal mula adanya manusia dua jenis
laki-laki dan perempuan, diturunkan bernama I Cili kamo ya suksma jati, semua tidak
tertarik laki dan perempuan, saat itu ditukarlah kamanya oleh Bhagawan Dwi bersama
Bapatni Musti, kama putih pada laki-laki, kama bang pada perempuan, maka barulah
bergairah laki-laki dan perempuan, saat itu Sang Atma mencari tempat, barulah gairah
sama gairah, Sang Atma berada di tengah gairah berada, baru lihat sama lihat, Sang
Atma di tengah bayu (tenaga) berada, menunggu keluarnya kama, Sang Atma itu
kamamolah namanya, saat keluarnya kama (sperma) sang ayah Sang Kama Dresta
namanya, saat keluarnya kama (sel ovum) sang ibu sang kama dresti namanya, saat
berbaur kama itu sang ajur mulang namanya.
saat sudah diaduk dan bersatu kama putih dan kama bang itu Sang Bubur Rumaket
namnya, datanglah Sang Hyang Nilakanta mengutuknya, menjadi mengkristal kedua
kama ini , menjadi sebuah telur, Sang Hyang Antiga Jati namanya, datanglah para
Dewa semua, lagi datang Sang Hyang Seleng, Sang Hyang Meleng, dikutuk oleh Sang
Hyang Suksmantara wisesa, menjadi kama dua jenis kama putih dan kama bang
bernama Kama Jaya dan Kama Ratih, disatukan menjadi satu masuk ke dalam Sang
Antiga Jati, menjadi bayu prama, dan menjadi rasanya bayu, menjadi Atma penyebab
hidup. Sang Hyang Seleng dalam tengahnya hati sang ayah menjadi atma namanya, I
Pitha
Tukuping Jiwa berwujud Ong Kara Sungsang , Sang Hyang Meleng
keluar dari tengahnya hati sang ibu menjadi atma bernama I Kirit Marga
berwujud Ongkara Ngadeg þ, itu menjadi Ongkara Rwa Bineda , itu menjadi jalan
hidup dan jalan mati, itu menjadi pertiwi (tanah) dan Akasa (angkasa), itu menjadi hidup
matinya, menjadikan terbangun dan tertidur. Sang Hyang Atma roro laki-laki dan
perempuan
I Pitha Tukuping Jiwa dan I Kirit Marga berwujud bayu pramana, menjadi satu dalam
Sang Antiga Jati.
Berdasarkan kutipan Lontar Anggastyaprana di atas dapat dipahami bahwa proses
kelahiran manusia berawal dari proses pembuahan dan pembentukan telur Sang Antigajati ini.
Kelahiran seorang manusia berasal atau bersumber dari lda Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi beliau sebagai Sang Hyang Siwatma. Pada awal kutipan lontar di atas dijelaskan
bahwa mula-mula wujud dari seorang manusia itu berwujud Sang Hyang Siwatma. Uraian
inilah yang menegaskan bahwa Lontar Anggastyaprana ini merupakan salah satu lontar yang
yang beraliran Siwaistik. Dinyatakan bahwa Sang Hyang Siwa merupakan sumber dan wujud
awal sebelum kelahiran seorang manusia.
Tahap Pembentukan Sang Pratimajati dan Perkembangannya
Terbentuknya telur Sang Hyang Antigajati merupakan akibat dari terjadinya fertilisasi
(sang buburumakel) yakni percampuran kama putih (sperma) dan kama bang (ovum).
Pembentukan Sang Pratimajati merupakan kelanjutan dari suatu proses kelahiran seorang bayi
(manusia), setelah terbentuknya Sang Hyang Antigajati seperti telah dijelaskan sebelumnya.
Terbentuknya Sang Pratimajati dalam Lontar Anggastyaprana dijelaskan merupakan anugrah
dari para dewata. Proses terbentuknya Pratimajati berikut dengan perkembangannya pada
Lontar Anggastyaprana dapat dijabarkan melalui kutipan lontar berikut:
Malih matur Sang Sura Brata muah Sang Satya Kreti, “ inggih pukulun paduka sang
Resi, ri sampune matunggalan Sang Kama Jaya Sang Kama Ratih ring Sang Antiga
Jati, sapunapi malih dados ipun?”
Sumahur Sang Resi Anggastyaprana; “sapuniki cening, di sampune dados abesik Sang
Hyang Seleng Sang Hyang Meleng, dadi Kama Jaya Kama Ratih nyusup ring Sang
Antiga Jati, rawuh Sang Hyang Murcaya, Sang Hyang Taya, Sang Hyang Ngalingis,
Sang Raja Tangi, Sang Hyang Murtining Luwih, watek Nawa Sanga, Sapta Resi, Panca
Resi, Sang Hyang Tiga Wisesa, raris karekayang manusa Sang Antiga Jati, bawu
mareka manusa, mewasta Sang Pretama Jati, irika watek Dewatane asung,
Sang Hyang Akasa aweh sirah, Sang Hyang Hajining Akasa aweh rambut, Sang Hyang
Surya Candra aweh mata kiwa tengen, Sang Hyang Baruna aweh irung, Sang Hyang
Marga Laya aweh song cunguh,Sang Hyang Kuwera aweh kuping kiwa tengen, Sang
Hyang Marga Swara aweh song kuping, Sang Hyang Yama aweh cangkem, Sang Hyang
Marga Maya aweh song cangkem, Hyang Prigi Manik aweh gigi, Sang Hyang Rijasi
aweh isit, Sang Hyang Makep Tanmakep aweh lambe, Sang Hyang Madu Lata aweh
ilat, Sang Hyang Cita Rasa aweh rasaning ilat, Sang Hyang Lape aweh pipi, Sang
Hyang Ngalenging aweh jagut, Sang Hyang Anta Tunggal aweh bawong, Sang Hyang
Watu Gumulung aweh batun selakan, Sang Hyang Taya aweh tangan, Sang Hyang
Khala Rotok aweh jariji, Sang Hyang Panca Naka aweh kuku, Sang Hyang Tyang batis,
Sang Hyang Bunyang aweh usehan muang pungsed, Sang Hyang Angantala aweh hulu
nati. Malih Sang Hyang Panca Resi asung, Sang Korsika aweh kulit, Hyang Garga
aweh daging, Hyang Metri aweh otot, Hyang Kurusya aweh balung, Hyang Pretanjala
aweh sumsum.
(Teks Lontar Anggastyaprana, 3a-4a)
Terjemahan:
Menyembahlah Sang Surabrata dan Sang Satya Kerti “ wahai junjungan hamba Sang
Rsi, saat sudah menyatunya Sang Kama Jaya dan Kama Ratih dalam Sang Antigajati,
bagaimanakah jadinya kelanjutannya?” menjawablah Sang Rsi Bhagawan
Anggastyaprana, begini anakku, saat sudah menjadi satu (menyatu) Sang Hyang Seleng dan Sang Hyang Meleng menjadi kama Jaya dan Kama Ratih menyusup ke
dalam Sang Antiga Jati, datanglah Sang Hyang Murcaya, Sang Hyang Taya, Sang
Hyang Raja Tangi, Sang Hyang Alengis, dan Sang Hyang Murtining Lewih, serta
seluruh Dewata Nawa Sanggha, Sapta resi Panca resi, Sang Hyang Tiga Wisesa,
diciptakanlah manusia, baru direncanakan menjadi manusia bernama Sang Pratima Jati,
disanalah seluruh Dewa memberikan kerta wara nugraha
Sang Hyang Akasa memberi kepala, Sang Hyang Ajining Akasa memberi rambut, Sang
Hyang Surya Chandra memberi mata kiri kanan, Sang Hyang Baruna memberi hidung,
Sang Hyang Marga Laya memberi lubang hidung, Sang Hyang Kwera memberi Telinga
kiri kanan, Sang Hyang Marga swara memberi lubang kedua telinga, Sang Hyang Yama
memberi mulut, Sang Hyang Marga Yama memberi lubang mulut, sang Hyang Parigi
Manik memberi gigi, Sang Hyang Rijasi memberi gusi, Sang Hyang Maneptan memberi
bibir, Sang Hyang Madulate memberi lidah, Sang Hyang Citawasa memberi rasa pada
lidah, Sang Hyang Lape memberi pipi, Sang Hyang Ngalenging memberi dagu, Sang
Hyang Tatunggul memberi leher, Sang Hyang Watugumulung memberi bendolan di
leher (batun salak), Sang Hyang Taya memberi tangan, Sang Hyang Rontek memberi
jeriji, Sang Hyang Pancanaka memberi kuku, Sang Hyang Tiyang memberi kaki, Sang
Hyang Munyang memberi pusar, Sang Hyang Angantala memberi
hulu ati, dan lagi Sang Hyang Panca Rsi, Sang Korsika memberi kulit, Sang Garga
memberi daging, Sang Metri memberi otot, Sang Kurusya memberi tulang, Sang
Pretanjala memberi sumsum.
Lontar Anggastyaprana menjabarkan proses perkembangan Pratimajati (embrio) selalu
terkait dengan Tuhan dalam hal ini sebagai Dewata, setiap proses perkembangan janin
diungkapkan sebagi anugrah atau kehendak Tuhan. Semua organ atau anggota badan dari sang
janin merupakan pemberian dari Dewata. Berikut kutipan lontar yang menyatakan tentang
penganugrahan dari para Dewata Nawa Sanggha ini :
Malih matur Sang Subrata miwah Sang Satya Kreti, “ Singgih paduka Sang Resi,
sampun sapunika,wenten panyrita malih?”
Sumawur Sang Resi; uduh cning nanak ingsun sira kalih, wenten malih panyritan ipun!
Ida Sang Hyang watek Nawa Sanga asung, Hyang Iswara aweh papusuh, Hyang
Mahesora aweh peparu, Hyang Brahma aweh ati, Hyang Ludra aweh usus, Hyang
Maha Dewa aweh ungsilan, Hyang Sengkara aweh limpa, Hyang Wisnu aweh ampru,
Hyang Sambu aweh ineban, Hyang Siwa aweh tumpuking ati, tumpuking ati nga., bayu,
bayu nga., atma, atmane meraga Sang Hyang Urip (Teks Lontar Anggastyaprana,
4a-4b).
Terjemahan:
kembali menyembah Sang Surabrata dan Sang Satyakerti “ wahai sang Resi, jika sudah
demikian adanya, apakah ada kelanjutannya lagi?” Menjawablah Sang Resi, Wahai
anakku berdua, ini ada lagi kelanjutannya. Seluruh Dewata Nawa Sangha juga
memberikan kertha wara nugrahanya. Sang Hyang Iswara memberi jantung, Sang
Hyang Mahesora memberi paru-paru, Sang Hyang Brahma memberi hati, Sang Hyang
Rudra memberi usus, Sang Hyang Sangkara memberi limpa Sang Hyang MahadewaSeleng dan Sang Hyang Meleng menjadi kama Jaya dan Kama Ratih menyusup ke
dalam Sang Antiga Jati, datanglah Sang Hyang Murcaya, Sang Hyang Taya, Sang
Hyang Raja Tangi, Sang Hyang Alengis, dan Sang Hyang Murtining Lewih, serta
seluruh Dewata Nawa Sanggha, Sapta resi Panca resi, Sang Hyang Tiga Wisesa,
diciptakanlah manusia, baru direncanakan menjadi manusia bernama Sang Pratima Jati,
disanalah seluruh Dewa memberikan kerta wara nugraha
Sang Hyang Akasa memberi kepala, Sang Hyang Ajining Akasa memberi rambut, Sang
Hyang Surya Chandra memberi mata kiri kanan, Sang Hyang Baruna memberi hidung,
Sang Hyang Marga Laya memberi lubang hidung, Sang Hyang Kwera memberi Telinga
kiri kanan, Sang Hyang Marga swara memberi lubang kedua telinga, Sang Hyang Yama
memberi mulut, Sang Hyang Marga Yama memberi lubang mulut, sang Hyang Parigi
Manik memberi gigi, Sang Hyang Rijasi memberi gusi, Sang Hyang Maneptan memberi
bibir, Sang Hyang Madulate memberi lidah, Sang Hyang Citawasa memberi rasa pada
lidah, Sang Hyang Lape memberi pipi, Sang Hyang Ngalenging memberi dagu, Sang
Hyang Tatunggul memberi leher, Sang Hyang Watugumulung memberi bendolan di
leher (batun salak), Sang Hyang Taya memberi tangan, Sang Hyang Rontek memberi
jeriji, Sang Hyang Pancanaka memberi kuku, Sang Hyang Tiyang memberi kaki, Sang
Hyang Munyang memberi pusar, Sang Hyang Angantala memberi
hulu ati, dan lagi Sang Hyang Panca Rsi, Sang Korsika memberi kulit, Sang Garga
memberi daging, Sang Metri memberi otot, Sang Kurusya memberi tulang, Sang
Pretanjala memberi sumsum.
Lontar Anggastyaprana menjabarkan proses perkembangan Pratimajati (embrio) selalu
terkait dengan Tuhan dalam hal ini sebagai Dewata, setiap proses perkembangan janin
diungkapkan sebagi anugrah atau kehendak Tuhan. Semua organ atau anggota badan dari sang
janin merupakan pemberian dari Dewata. Berikut kutipan lontar yang menyatakan tentang
penganugrahan dari para Dewata Nawa Sanggha ini :
Malih matur Sang Subrata miwah Sang Satya Kreti, “ Singgih paduka Sang Resi,
sampun sapunika,wenten panyrita malih?”
Sumawur Sang Resi; uduh cning nanak ingsun sira kalih, wenten malih panyritan ipun!
Ida Sang Hyang watek Nawa Sanga asung, Hyang Iswara aweh papusuh, Hyang
Mahesora aweh peparu, Hyang Brahma aweh ati, Hyang Ludra aweh usus, Hyang
Maha Dewa aweh ungsilan, Hyang Sengkara aweh limpa, Hyang Wisnu aweh ampru,
Hyang Sambu aweh ineban, Hyang Siwa aweh tumpuking ati, tumpuking ati nga., bayu,
bayu nga., atma, atmane meraga Sang Hyang Urip (Teks Lontar Anggastyaprana,
4a-4b).
Terjemahan:
kembali menyembah Sang Surabrata dan Sang Satyakerti “ wahai sang Resi, jika sudah
demikian adanya, apakah ada kelanjutannya lagi?” Menjawablah Sang Resi, Wahai
anakku berdua, ini ada lagi kelanjutannya. Seluruh Dewata Nawa Sangha juga
memberikan kertha wara nugrahanya. Sang Hyang Iswara memberi jantung, Sang
Hyang Mahesora memberi paru-paru, Sang Hyang Brahma memberi hati, Sang Hyang
Rudra memberi usus, Sang Hyang Sangkara memberi limpa Sang Hyang Mahadewamemberi ginjal, Sang Hyang Wisnu memberi nyali, Sang Hyang Sambu memberi kulit
kepala, Sang Hyang Siwa memberi tumpuking hati, tumpuking hati bernama bayu,
Bayu bernama atma, atma berwujud Sang Hyang Urip.
Bila disimak dari awal konsep kelahiran manusia menurut Lontar Anggastyaprana ini
memiliki kesamaan dengan konsep kelahiran manusia secara umum. Konsep kelahiran manusia
dalam lontar ini memiliki prinsip-prinsip terjadinya suatu kehamilan yang sama seperti
disebutkan diawal hanya saja berbeda pada penyebutan istilah-istilahnya yang kental dengan
unsur Teologi Hindu. Terjadinya kehamilan menurut Lontar Anggastyaprana disebabkan oleh:
1. Pembuahan/Fertilisasi yang dalam lontar ini disebut Sang Bubur Rumaket bertemunya
Kama Bang (ovum) pada wanita dengan Kama Putih (spermatozoa) pada pria.
2. Pembelahan Sang Bubur Rumaket (zigot) yang nantinya telur menghasilkan Sang
Hyang Antigajati (embrio).
3. Nidasi/implantasi zigot yang telah menjadi Sang Hyang Antigajati (embrio) pada
dinding saluran reproduksi yakni pada lapisan endometrium dalam lontar ini disebut
Gedong Krétti (Rahim/Uterus) yang bertempat di tengah Adhipati.
4. Pertumbuhan dan perkembangan zigot-embrio- janin dalam lontar ini disebut Sang
Bubur Rumaket-Sang Hyang Antigajati-Sang Pratimajati sehingga menjadi bakal
individu baru.
B. Konsep Pemeliharaan Manusia dalam lontar Anggastyaprana
Konsep pemeliharaan yang tertuang dalam Lontar Anggastyaprana dibagi menjadi
beberapa bagian yakni diawali dengan penjelasan tentang pembahasan tentang Atma, Dewa.
Kala yang bersemayam dalam diri manusia. Penjelasan tentang Khanda Pat yang juga sangat
berpengaruh dalam kehidupan manusia itu sendiri, dan yang terakhir yakni pembahasan tentang
upacara-upacara Manusa Yajna yang merupakan salah satu upaya untuk memelihara dan
menjaga manusia agar dapat menjalani kehidupan ini dengan baik, damai dan harmoni dengan
melakukan pembersihan dan penyucian baik secara sakala maupun niskala.
Kanda Pat (Empat Saudara Manusia)
Agama Hindu di Bali khusunya, percaya bahwa saat itu sang bayi sedang dijaga,
dirawat dan dan dipelihara oleh keempat saudaranya yang sering disebut Khanda Pat Catur
Sanak. Setiap diri manusia memiliki saudara empat yang menjaganya saat masih berupa
janin di dalam perut ibunya, keempat saudara ini yang melindunginya
Adapun yang tergolong saudara empat atau Khanda Pat antara lain: Yeh nyom (air ketuban),
Getih atau Rah (darah), Ari-ari (Uri/Placenta), Banah/lamas (bungkus lemak pada kulit).
Kutipan Lontar Anggastyaprana yang menyatakan tentang Khanda Pat ini yaitu sebagai
berikut:
nanging ada nyarengin, Dewa Khala Atma nyarengin, Atmane dadi patunggalan sami,
Dewa Khala tunggal maring Atma, Atmane manyusup ring manusa, tatiga ngawakin
manusane idup, suba ada Dewa Khala Atma ngawakin, ada nyamania patpat
nyarengin, ari – ari, yeh nyom, metu sakig I Bapa, getih luwu, metu saking I Meme,
punika ari – arine, yeh nyome, getihe, luwune, sami kadaden tanah, sarin pangan
kinume, dadi kama, Kaman I Meme Kaman I Bapa, kamane dadi manusa, bayun
kamane dadi Khala, rasan kamane dadi Atma, sarin kamane dadi Dewa, krana hana
Kanda Pat Bhuta muah Kanda Pat Dewa. Bayun kamane dadi Khala, Rasan kamane dadi Atma, sarin kamane dadi Dewa, ika ngempu manusane, duking urip tekaning
pati,...........
Kandan ipun: Ari – arine. Bayune dadi anta preta, rasan ari – arine dadi pirata, sarinia
dadi Dewa,
Ida Dewa Puseh, mulih ring papusuh, dadi Anggapati, suarga nia Sang Hyang Iswara,
magenah ring Idep. Malih getihe dadi Khala, rasania dadi Atma, sarinia dadi Dewa
Dalem, mulih ring ati, dadi Banaspati, suarga nira Bhetara Brahma, genah nia ring
manah. Malih yeh nyome, dadi Dengen, rasania dadi Paraatma, sarinia dadi Dewa
Cungkub, mulih ring ungsilan, dadi I Mrajapati , suarga nira Bhetara Maha Dewa,
dadi sabda. Malih luwune dadi Bhuta, rasania dadi sogaatma, sarinia dadi Dewa
Pasaren, mulih ring ampru, dadi Banaspati Raja, suarga nira Bhetara Wisnu, dadi
ambek.
(Teks Lontar Anggastyaprana 4b-6a)
Terjemahan:
Namun ada yang mengikuti, Dewa Kala Atma yang mengikuti, Atma menjadi penyatuan
semuanya, Dewa Kala menyatu dalam Atma, Atma menyusup dalam raga manusia, tiga
jumlahnya yang menyebabkan manusia itu hidup, sudah ada Dewa Kala Atma yang
luluh dalam tubuh, ada juda saudara empat yang mengikuti, ari-ari, yeh nyom keluar
dari sang ayah, darah (getih) luhu keluar dari sang ibu. Itulah ari-ari, yeh nyom, getih
dan luwu semua menjadi tanah, sari makanan dan minuman menjadi kama, kama sang
ibu dan kama sang ayah. Kamanya menjadi manusia, bayu dari kama ini menjadi
Kala, rasa kama menjadi atma, sari dari kama menjadi Dewa, karenanya ada Kanda
Empat Bhuta, dan Kanda Empat Dewa, itu yang menjaga manusia saat hidup dan
saat mati..... beginilah ajarannya, ari-ari dan bayu menjadi Antapreta, rasa dari ariari menjadi pirata, sarinya menjadi Dewa
Ada I Dewa Puseh, pulang ke jantung menjadi Bhuta Anggapati, sorganya Sang Hyang
Iswara bertempat pada idep (pikiran). Getih menjadi Kala, rasanya menjadi Atma
sarinya menjadi Dewa Dalem, pulang ke hati menjadi Banaspati sorganya Sang Hyang
Brahma, bersemayam pada manah (alam pikiran). Yeh nyom menjadi Dengen, rasanya
menjadi para Atma, sarinya menjadi Dewa Cungkub, pulang ke ginjal menjadi Bhuta
Mrajapati, sorganya Sang Hyang Mahadewa menjadi sabda, luhu menjadi Bhuta
rasanya menjadi soga atma sarinya menjadi Pasaren, pulang ke nyali menjadi Bhuta
Banaspati Raja sorganya Sang Hyang Wisnu menjadi ambek (prilaku).
Berdasarkan kutipan Lontar Anggastyaprana di atas maka dapat dipahami Kandha Pat
ini merupakan empat unsur yang sangat penting dalam upaya tumbuh kembang si bayi dalam
kandungannya. Dijelaskan bahwa Kandha Pat ini berasal dari Dewa, Kala, Atma yang menjadi
Kama dan ada dalam tubuh manusia. Maka tidak salah bila manusia sering dikatakan manusa
ya, kala ya, atma ya (dia manusia, dia juga kala, dia juga atma) karena memang sebenarnya
manusia terdiri dari tiga unsur ini maka dari itu setiap manusia tentu memiliki sifat seperti
dari ketiga unsur itu juga. Istilah Balinya Khanda Empat Rare, terhadap Yeh Nyom. Getih, AriAri dan Lamas, karena merekalah yang selalu menemani dan merawat si bayi. Bahkan menurut
mitologi, si bayi telah berjanji tidak akan melupakan keempat saudaranya itu, kalau sampai
lupa, maka keempat saudaranya itu tidak akan menjaganya lagi. Janji itu diberikan dengan
harapan, pada saat si bayi lahir agar ditolong mencari jalan keluar, yaitu ada yang membuka pintu (Yeh Nyom), ada yang memapah dari kiri dan kanan Getih dan Lamas dan ada pula yang
mengantar dari belakang (Ari-ari) (Yendra, 2010: 3).
C. Konsep Peleburan Manusia menurut Lontar Anggastyaprana
Konsep peleburan dalam Lontar Anggastyaprana dituangkan dalam bentuk ajaran tutur
kelepasan. Ajaran tutur kelepasan ini dituangkan dengan pengenalan aksara-aksara suci
yang terdapat dalam diri manusia. Kemudian dilanjutkan dengan tata cara penunggalan aksaraaksara ini dari Dasaksara hingga menjadi Ekaksara yakni ONG/OM yang merupakan
simbol dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Aksara Suci dalam Tubuh Manusia
Konsep peleburan Bhuana Alit (manusia) dalam Lontar Anggastyaprana dipaparkan
melalui pendekatan aksara-aksara yakni dengan pengenalan aksara-aksara yang terdapat dalam
diri (tubuh manusia) itu sendiri. Dalam bagian-bagian organ tubuh dari setiap manusia memiliki
aksara suci, berserta dewata yang menguasainya. Dengan mengenal aksara-aksara suci ini kita
mampu membangkitkan dan meningkatkan kesucian diri kita secara rohani sehingga mampu
mencapai tujuan hidup dan mencapai kelepasan (moksa). Berikut pengenalan aksara dan dewata
yang menguasainya yang tertuang dalam Lontar Anggastyaprana:
Luir nia Dasaksara ring raga, kadi iki:
SANG, Ring Papusuh. Gunung Maha Meru, nga, Wetu nia Siwa, Hyang
Iswara, Dedari nia Supraba, Dewania Hyang Indra. Buronia lembu senjatania Bajra.
BANG, Ring Ati genah nia, Gunung Samudra, Taman nia Bagendra, buron nia
Wilmana, Dewa nia Sang Hyang Yama, Hyang Brahma, Senjata nia Danda, Dedari
nia Dewi Saraswati.
TANG, Ring Ungsilan, Gunung nia Gunung Lawu, Taman nia Botrawi, Buron
nia Naga, Dedari nia Dewi Talukih, Dewa nia Hyang Maha Dewa, Wetu nia Pandita,
terus ring lelata, Senjata nia Naga Pasah.
ANG, Ring Ampru, Gunung Tebang, nga, Taman nia Winduratna, Buron nia
Garuda, Dedari nia Dewi Rantanaji, Dewa nia Hyang Wisnu, Terus ring tingal, Wetu
nia ring madya.
ING, Ring pegantunganing Ati genah nia. Gunung nia Arga Manik, nga, taman
nia Tlaga Kanta, buronia gajah, Dewa nia Siwa Guru, Dedari nia Sri Wirocana,
NANG, Ring Peparu, Gunung nia gunung Matoya, Taman nia Saksasari, nga,
Sang Hyang Mahesora, Dedari nia Sri Maha Dewi, Terus rig irung, Wetu nia
Brahmana.
MANG, Ring usus agung genah nia, Dewa nia Hyang Ludra, Dedari nia
Paduka Swari, Terus ring Lidah, Wetu nia Prama-siwa
SING, Ring Limpa genah nia, Dewa nia Hyang Sengkara, Dedari nia Sri Maha
Dewi, Terus ring irung.
WANG, Ring Ineban, Linggih Hyang Sambu, Gunung Ambala, nga., Taman
nia .Wendari, Buron nia Warak, Dedari Gagar Mayang, Terus ring Rambut, Wetu nia
Bhujangga.
YANG, Ring Madya, ring pengantunganing papusuh, Gunung Andabhawana,
nga, Taman Pedadaran, nga, Buron nia Winateya, nga, Linggih Bhatara Siwa,
Panunggalan nia Dedari kabeh, ring pengantunganig papusuh, pangantugan ati
genah nia Sang Hyang Urip,Terjemahan:
Adapun Dasaksara dalam diri manusia yaitu sebagai berikut:
SANG di papusuh (jantung), gunungnya Mahameru, Dewanya Hyang Siwa
sebagai Hyang Iswara, saktinya Suprabha, Dewanya Hyang Indra, binatangnya lembu
senjatannya bajra.
BANG, di hati tempatnya, gunungnya gunung Modra. Tamannya Bagenda,
binatangnya Wilmama dewanya Sang Hyang Yama, Hyang Brahma senjatannya
Dandha, saktinya Dewi Saraswati.
TANG, pada ginjal (ungsilan) tempatnya, gunungnya gunung Lawu. Tamannya
Bhotrawi binatangnya naga, Saktinya Dewi Talukih, dewanya Hyang Mahadewa,
keluarnya pandhita, yoganya ditengah-tengah kening, senjatanya Naghapasa.
ANG, di nyali (ampru) tempatnya, gunungnya gunung Abang Tamanya
Windhuratna, binatangnya Garudha, saktinya Dewi Rantanaji. Dewanya Hyang Wisnu,
yoganya di mata, keluanya tengah.
ING, di tengah-tengah, tempatnya di pangantungan hati, gunungnya Argha
Manik, Tamanya Tlaga kanta, binatangnya gajah, dewanya Hyang Siwa Guru saktinya
Sriwirocana.
NANG, di paru-paru tempatnya, gunungnya gunung Matoya. tamanya Saksasari
Dewanya Sang Hyang Mahesora, saktinya Sri Mahadewi, yoganya di hidung, keluarnya
Brahmana.
MANG, di usus besar tempatnya, dewanya Hyang Rudra, saktinya Paduka
Swari, yoganya di lidah, keluarnya Parama Siwa
SING, di limpha tempatnya, dewanya Hyang Sangkara, saktinya Sri Mahadewi,
yoganya di hidung,
WANG di hineban (atap kulit kepala) tempatnya, dewanya Hyang Sambhu,
gunungnya gunung Ambala, tamannya Wendari. binatangnya Warak, saktinya Gagar
Mayang, yoganya di rambut, keluarnya Bhujangga.
YANG, di tengah-tengah tempatnya, di pangantungan papusuh tempatnya,
gunungnya Andabhawana namanya Tamannya Padadaran, binatangnya winateya
namanya. Tempat/stana dari Ida Bhatara Siwa, panungalan dari semua sakti, di
pangantungan papusuh, pangantungan hati tempatnya Sang Hyang Hurip.
Kelepasan yang tertuang dalam Lontar Anggastyaprana maupun lontar-lontar kelepasan
lainnya sama halnya dengan konsep pralaya pada Bhuana Alit (manusia). Hanya saja pada
Bhuana Agung disebut Maha Pralaya dan pada Bhuana Alit disebut dengan Pralaya yang
pengimplementasiannya dalam lontar-lontar di Bali diwujudkan dengan ajaran tutur
kelepasan/kamoksan ini.
Penunggalan Dasaksara menjadi Ekaksara
Penunggalan atau penyatuan aksara ini merupakan salah satu cara langkah untuk
mencapai kelepasan ini . Setelah memahami Dasaksara dalam tubuh manusia maka
tahapan untuk mencapai kelepasan ini dilanjutkan dengan menyatukan aksara ini
menjadi satu sehingga segala kekotoran lahir batin dapat dibersihkan, bila kekotoran sekala dan
niskala telah bersih maka akan mampu mencapai kelapasan dan moksa ini Berikut kutipan
lontar Anggastyaprana tentang proses dan tata cara penunggalan aksara ini ..
Dasa bayu dadi Daseng driya, Panca Bayu dadi Pancendriya, ika tunggal dadi
tatiga, Bayu Sabda Idep. Malih nunggal dados kekalih, ne kekalih nunggal dados
asiki, yan sampun puput punika ilang letuhe, suarga juga kepanggih
Malih matur Sang Putra kalih, “ Singgih Ratu Sang Resi, sapunapi panunggalan
punika?,
sumawur Sang Resi; sapuniki cening: ne mewasta Dasa Bayu matemahan dadi
Dasaksara, iki aksara nia: SANG BANG TANG ANG ING NANG MANG SING WANG
YANG. Malih nemewasta Panca bayu dadi Pancaksara iki sastra nia SANG BANG
TANG ANG ING. Bayu sabda idep dadi Triaksara, iki suarania: ANG UNG MANG.
Malih ne mewasta rwabineda puniki: ANG AH. Malih Eka aksara puniki: ONG. Puput
panunggalan ipun. Malih wenten Tri aksara, nora hana suara nia sakewala rupa
wenten. Puniki rupania: yan nunggal puniki, . amunika pangresep
puput Sang Siwa Resi, anging arang jadmane manggih, yan tan panugrahan Sang
Hyang Suksma, punika hawinan Sang mahyuning tutur dharma kapanditan. Mabresih
sekala, malih mabresih niskala apan Sang manusa meraga sekala, malih meraga
niskala, sekalane bresih, niskalane pang bresih, mapan meaduk niskalane teken
sekalane.
(Teks Lontar Anggastyaprana 6a-6b)
Terjemahan:
Dasa bayu menjadi dasendria, panca bayu menjadi panca indria, semua menyatu
menjadi tiga bayu, sabda, idep. Lagi menyatu menjadi dua, yang berjumlah dua itu
menjadi satu. Jika sudah seperti itu maka hilanglah kekotoranmu, sorga juga akan
ketemu. Menyembah putra Beliau “ Wahai Sang Resi bagaimanakah penyatuannya itu”.
Menjawablah Sang Resi, anakku yang disebut dengan Dasa Bayu yaitu perwujudan
dari dasaksara SA, BA, TA, A, I, NA, MA, SI, WA, YA. Yang disebut dengan Panca Bayu
menjadi Pacaksara SAM, BAM, TAM, AM, IM. Bayu, sabda, idep menjadi tri aksara
AM, UM, MAM. Yang disebut Rwa Bineda AM, AH. Lagi Eka Aksara, demikianlah
penyatuannya. Dan ada Tri aksara tidak ada suaranya, tetapi ada wujud/ bentuknya,
seperti ini bentuknya ( ‚ ), jika menyatu seperti ini ( ž ). Seperti itulah akhir dari
kehebatan Sang Resi. Namun jarang ada manusia yang mengetahui, jika tidak
merupakan anugrah dari Sang Hyang Suksmadi Guru. Itulah sebabnya orang yang
pandai akan ajaran Dharma (kebenaran) dari seorang Pandita. Pembersihan secara
sakala (nyata) dan secara niskala (gaib), karena manusia berbadan sakala (nyata) dan
berbadan niskala (gaib), sakala (nyata) supaya bersih, niskala (gaib) juga supaya bersih,
karena bercampur antara niskala dan sakala menyatu dalam diri manusia.
Berdasarkan petikan lontar di atas maka dapat diketahui bahwa untuk mencapai suatu
kelepasan, kita patut mengetahui dan memahami aksara-aksara dalam diri manusia setelah itu
barulah dilanjutkan dengan penunggalan/penyatuan aksara-aksara ini . Proses penunggalan
ini diawali dari Dasa-bayu menjadi Dasendria yang diwujudkan disimbolkan dengan
Dasaksara, yakni aksara: SA, BA, TA, A, I, NA, MA SI, WA, YA. Kemudian setelah itu
Dasaksara mampu disatukan maka menyatulah menjadi Pancaksara menjadi: SANG, BANG, TANG, ANG, ING. Kelima aksara ini merupakan simbol dari lima dewata yakni SANG simbol
Dewa 1swara, BANG simbol Dewa Brahma, TANG simbol Dewa Mahadewa, ANG simbol dari
Dewa Wisnu dan ING simbol dari Dewa Siwa. Pada Bhuana Alit (manusia) lima aksara ini
merupakan simbol dari Panca-bayu (Pancendriya) serta dapat dikatakan sebagai aksara yang
terdapat pada organ-organ penting dalam diri manusia. Selanjutnya setelah Pancaksara mampu
disatukan maka selanjutnya disatukan kembali menjadi Triaksara, yang disimbolkan dengan
swaranya/aksaranya: ANG UNG MANG. Ketiga aksara ini merupakan simbol dari Dewa Tri
Murti yakni Brahma, Wisnu dan Siwa. Sedangkan dalam diri manusia Triaksara ini merupakan
wujud penyatuan dari Bayu, Sabda. Idhép. Apabila telah mampu menyatukan Bayu, Sabda,
Idhep ini maka manusia telah mampu menyelaraskan antara pikiran, perkataan dan
perbutannya. Setelah mampu menyelarasakan ketiga unsur ini maka dilanjutkan dengan
penyatuan menjadi dua yakni menjadi aksara Rwa-Bhineda, yakni menjadi aksara: ANG AH.
Akasara ini juga discbut dengan Dwiaksara, aksara ANG merupakan simbol Akasha (langit)
dan AH simbol Perhiwi (tanah). Dari aksara Rwa-hhinedaha kemudian menjadi satu ONG/OM.
Aksara suci Ongkara, atau Eka aksara ini di tubuh manusia malinggih (berstana) atau terletak
di ubun-ubun (Siwadwara) bersama letaknya dengan cakra sahasrara (sahasrara: seribu) salah
satu cakra Kundalni. Ongkara ini merupakan perlambang dari Ida Sang Hyang Widhi. Pada
setiap permulaan sebuah mantra selalu diawali dengan pengucapan Ong atau Om sebagai inti
doa yang mampu menggetarkan alam semesta (Bhuana Agung) beserta isinya (Bhuana Alit).
memohon kehadapan Hyang Widhi agar semua aktifitasnya di berikan wara nugraha, dan
mendapat perkenan-Nya (Anadas, 2008 112). Jadi ujung dari proses penunggalan ini
berakhir pada ONG/OM yang tiada lain merupakan simbol dari Tuhan/lda Sang Hyang Widhi
Wasa. Bila telah mampu menyatukan aksara-aksara ini menjadi satuhkaksara maka
kelepasan ini pun akan tercapai.
Lontar Anggastyaprana merupakan salah satu lontar tattwa jenis tutur yang bersifat
Sivaistik dengan memposisikan Siwa memiliki kedudukan tertinggi dan menjadi asal mula dari
penciptaan manusia (Bhuwana Alit). Lontar Anggastyaprana ini menjelaskan mengenai
kosmologi manusia terkait dengan penciptaan, pemeliharaan dan peleburan yang terjadi dalam
diri manusia. Konsep penciptaan manusia dalam lontar Anggastyaprana dijelaskan dalam dua
tahap yaitu tahap pembentukan Sang Hyang Antiga Jati dan tahapan pembentukan Sang
Pratimajati. Proses pemeliharaannya meliputi konsep Kanda Empat (empat saudara manusia),
dan upacara manusa yajna dari dalam kandungan sampai bayi itu lahir. Konsep peleburan
manusia dalam lontar Anggastyaprana meliputi konsep aksara suci dalam tubuh manusia dan
penunggalan Dasaksara menjadi ekaksara.
Karya Kosmis I, terdapat petanda dengan objek yang diacu, yaitu bentuk
gugus bulatan seperti bumi. Di sisi kanan ada garis ekspresif yang saya muati
dengan citra gerak dinamis dan latar biru sebagai ruang angkasa yang maha luas.
Kosmik saya gambarkan seperti yoni merupakan simbol kesuburan bumi.
Titik merah pada kosmik adalah ‘penerangan’ karena dengan nyala api
kosmikmenjadi terang. Konotasi titik nyala api memuat pesan maknawi sebagai
kiasan matahari di satu pihak selaku ’sumber kehidupan’ dan kiasan api suci yang
kudus. Dalam agama Hindu nyala api mempunyai kedudukan sangat sakral; setara
juga dengan api unggun kepanduan serta obor olimpiade. Lebih hakiki maknanya
adalah sebagai ”cahaya abadi” yang dalam hal ini adalah Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam pandangan kosmologi Hindu, mengenal dua dunia yakni, dunia fana
(fisik atau organik) dan dunia gaib (supranatural/inorganik). Dunia fana
merupakan wadah entitas-entitas yang dianggap pula sebagai elemen menyeluruh
alam semesta. Adapun dunia non-fisik merupakan wadah entitas yang bersifat
gaib, roh, dan spritual. Semua yang telah dijelaskan ini terdapat di dalam alam
makrokosmos dan menjadi cermin bagi kehidupan manusia yang mikrokosmos.
Metode penciptaan yang digunakan dalam penciptaan ini mengacu pada
pendapat Hawkins, dalam bukunya yang berjudul Creating Trought Dance,
(dalam Hawkins menandaskan bahwa penciptaan sebuah
karya tari yang baik selalu melewati tiga tahap yakni: pertama, exploration
(eksplorasi); kedua, improvisation (improvisasi); dan ketiga, forming
(pembentukan atau komposisi). Ketiga tahap tersebut ditinjau dari prinsip
kerjanya sebenarnya dapat pula diterapkan dalam proses penciptaan karya seni
lukis.
Karya ini dapat dimaknai sebagai kesadaran kemahakuasaan ruang dan
waktu. Manusia tidak lebih dari butiran debu di dalam bumi yang hanya butiran
pasir pula dibandingkan dengan keagungan kosmos. Bumi bukan lagi pusat
segalanya di tengah semesta yang tidak berpusat dan tidak terbatas.
Untuk menghayati rahasia kosmis kita harus memakai cara mengikuti aliran
air. Kemudian di puncak penghayatan seperti itu kita akan mengalami satu
keadaan di mana kemarin dan esok adalah hari ini, bencana dan kenikmatan sama
saja, titik dan cakrawala itu sama.
Ruang dan waktu bagi saya di dalam realitas memang tidak ada sekaligus
ada. Dengan menyebut apa yang terlihat sebagai ruang, kita yakin sedang
menggambar-kan sesuatu tempat yang nyata dan dapat dikenali. Ketika melihat
ruang, kita terbawa untuk memikirkan teka-teki ruang sebagai suatu tempat
keramat dan suci, khususnya di Bali, berhubungan erat dengan kepercayaan dan
ritus-ritus. Di situ orang mencari dan menyerap ruang dengan menyatu dari ujung
dunia ke ujung yang lainnya.
Biasanya, tempat-tempat suci seperti pura, sanggah, altar dan objek-objek
ritual didefinisikan dengan jelas batas-batas ruangnya, dan dibangun oleh
masyarakat sebagai stana dewa-dewa. Ruang-rung suci ini merupakan ”situs-situs
kosmis”. Di seluruh ruang-ruang tersebut ada tiga level kosmis, yakni langit, bumi
dan alam bawah. Tepi-tepi perbatasannya memisahkan suatu dunia yang tertib
dari suatu dunia yang chos, yang dengan demikian menciptakan ruang-ruang
istimewa untuk meng-uasai kekuatan-kekuatan alam yang tersembunyi.
Ruang ialah kolegialitas substansi-substansi kosmis yang berelasi
dimensional-intensif. Tetapi ruang tidak pernah ditemukan secara umum, atau
seakan dari suatu titik pandangan yang di luar dunia, melainkan senantiasa berada
dalam perspektif salah satu substansi. Hakikat dari tempat dan ruang itu adalah
kenyataan yang satu, yakni semua pengkosmos diambil bersama dalam relasi
kuantitatif-intensif, tetapi selalu menurut perspektif dari pihak substansi
individual.
Tempat menandakan dunia sebagai titik nol bagi perspektif akan seluruh
dunia. Sedangkan ruang ialah keterkaitan keseluruh dunia yang dimensionalintensif, tetapi dipusatkan pada salah satu substansi yang unik dan otonom. Oleh
karena identitas tempat dan ruang sebagai hal yang satu dan sama juga tidak dapat
dikatakan, bahwa mereka saling berhubungan/ mempengaruhi. Tempat dan ruang
menunjukkan sosialitas dan kolegialitas substansi ’di dalam’ dunia, dipandang
dari segi kuantitatif dan kualitatif maka tempat dan ruang sendiri justru
merupakan bentuk realisasi dimensional-intensif bagi relativitas pengkosmos.







.jpeg)





