Tampilkan postingan dengan label Biksu Budha 8. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Biksu Budha 8. Tampilkan semua postingan

Biksu Budha 8



 g masih 

berlatih untuk mencapai Kearahattaan sesuai Tiga Latihan.

(6) Bhikkhu, ‘pedang’ yaitu   sebutan untuk pengetahuan, baik 

lokiya maupun Lokuttara.

(7) Bhikkhu, ‘menggali dengan tekun’ artinya yaitu   usaha terus-

menerus.

(8) Bhikkhu, ‘gerendel pintu’ yaitu   sebutan untuk kebodohan. 

‘Singkirkan gerendel pintu itu’ maksudnya yaitu   singkirkan 

kebodohan. ‘Murid bijaksana, peganglah pedang itu dan galilah 

terus’ artinya ‘berusahalah dengan tekun dengan pengetahuan 

untuk menyingkirkan kebodohan’.

(9) Bhikkhu ‘kodok menggembung’ yaitu   sebutan untuk 

2705

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

kemarahan. ‘Singkirkan kodok menggembung itu’ artinya 

‘singkirkan kemarahan’. Murid bijaksana, ‘peganglah pedang 

itu dan galilah terus’ artinya ‘berusahalah dengan tekun dengan 

pengetahuan untuk mengatasi kemarahan’.

(10) Bhikkhu, ‘persimpangan jalan’ yaitu   sebutan untuk keraguan 

(vicikiccha). ‘Tinggalkan persimpangan itu’ artinya berusahalah 

dengan tekun dengan pengetahuan untuk mengatasi 

keraguan.

(11) Bhikkhu, ‘saringan air’ untuk menyaring pasir yaitu   sebutan 

untuk lima rintangan (nãvarana) yang menghalangi jalan 

menuju Jhàna dan Pengetahuan Jalan, yaitu: (i) nafsu indria 

(kàmacchanda), (ii) niat buruk (vyàpàda), (iii) kemalasan dan 

kelembaman (thina-middha), (iv) kegelisahan dan penyesalan 

(uddhacca-kukkucca), (v) keraguan (vicikicchà). ‘Singkirkan 

saringan air’ artinya, ‘berusahalah dengan tekun dengan 

pengetahuan untuk mengatasi lima rintangan.’

(12) Bhikkhu, ‘kura-kura’ yaitu   sebutan untuk lima objek 

kemelekatan (upàdàna), yaitu: (i) kelompok jasmani 

(rÃ¥pakkhandha) yang pasti mengalami perubahan, (ii) 

kelompok perasaan (vedanàkkhandha) yang mampu 

merasakan, (iii) kelompok pencerapan (sa¤¤Ã kkhandha) yang 

memiliki sifat mengenali, (iv) kelompok aktivitas kehendak 

(saïkhàrakkhandha) yang membantu dalam membentuk 

semua perbuatan, (v) kelompok kesadaran (vi¤¤Ã Ãµakkhandha) 

yang memiliki sifat mengetahui. ‘Singkirkan kura-kura itu’ 

artinya ‘berusahalah dengan tekun dengan pengetahuan 

untuk menyingkirkan lima kelompok yang merupakan objek 

kemelekatan.’

(13) Bhikkhu, ‘pisau’ dan ‘papan pemotong’ yaitu   sebutan 

untuk lima jenis kenikmatan indria yang muncul dengan 

indah, menyenangkan dan menarik dan yang menyebabkan 

munculnya kemelekatan indria terhadapnya, yaitu: (i) objek 

terlihat (rÃ¥parammaõa) yang dikenali oleh kesadaran-mata 

(cakkhu-vi¤¤Ã Ãµa), (ii) suara (saddà-rammaõa) yang dikenali 

2706


oleh kesadaran-telinga (sota-vi¤¤Ã Ãµa), (iii) bau-bauan 

(gandhà-rammaõa) yang dikenali oleh kesadaran-hidung 

(ghàna-vi¤¤Ã Ãµa), (iv) rasa (rasà-rammaõa) yang dikenali 

oleh kesadaran lidah (jivhà-vi¤¤Ã Ãµa), (v) objek-objek kasar 

(phoññhabbà-rammaõa) yang dikenali oleh kesadaran-badan 

(kàya-vi¤¤Ã Ãµa). ‘Singkirkan pisau dan papan pemotong itu’ 

artinya, ‘berusahalah dengan tekun dengan pengetahuan untuk 

menyingkirkan lima jenis kenikmatan indria.’

(14) Bhikkhu, ‘segumpal daging’ yaitu   sebutan untuk kemelekatan 

atau keserakahan (nandãràgataõhà) ‘Singkirkan segumpal daging 

itu’ artinya ‘berusahalah dengan tekun dengan pengetahuan 

untuk menyingkirkan kemelekatan atau keserakahan indria.’

(15) Bhikkhu, ‘nàga’ yaitu   sebutan untuk Arahanta. Engkau 

dianjurkan untuk membiarkan Arahanta itu tanpa mengusiknya. 

Engkau juga dianjurkan untuk menghormati Arahanta.”

Beberapa penjelasan:

1. Tubuh ini diumpamakan sebagai ‘gundukan rumah semut’ 

sebab   dari gundukan rumah semut keluar ular, tikus, kadal, dan 

semut, demikian pula tubuh ini mengeluarkan segala jenis kotoran 

melalui sembilan lubang. (Juga ada alasan lainnya yang menjelaskan 

perumpamaan ini. Baca Komentar Mahà Vagga.)

2. ‘Berasap pada malam hari’ menunjukkan hal-hal yang dipikirkan 

pada malam hari untuk dilakukan pada keesokan harinya.

3. ‘Terbakar pada siang hari’ menunjukkan perbuatan fisik, ucapan, 

dan pikiran yang dilakukan pada siang hari seperti yang dipikirkan 

pada malam sebelumnya.

4, 5, 6, 7. Perumpamaan ini tidak memerlukan penjelasan.

8. ‘Gerendel pintu’ di gerbang kota menutup jalan bagi para 

warga  . Demikian pula kebodohan menutup munculnya 

Pengetahuan menuju Nibbàna.

2707

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

1. ‘Kodok yang menggembung’ menunjukkan kemarahan yang 

menggembungkan dirinya saat diserang. Ia dapat meledak 

sebab   kemarahan dan jatuh terjengkang, tidak mampu 

bergerak, dan jatuh menjadi mangsa burung gagak atau 

musuh lainnya. Demikian pula, saat kemarahan mulai muncul, 

seseorang menjadi kacau. Jika seseorang cukup waspada, ia 

dapat mengekangnya dengan perenungan bijaksana. Jika tidak 

dilawan, kemarahan akan terlihat pada ekspresinya, dan jika 

masih tidak dilawan, hal itu akan menimbulkan kata-kata jahat, 

yaitu, kutukan atau kata-kata kasar. Jika kemarahan dibiarkan 

berkembang, seseorang akan mulai memikirkan perbuatan 

yang mengerikan. Pada titik itu, ia akan melihat sekeliling 

apakah ada orang yang memihak kepadanya atau memihak 

lawan. lalu  , ia akan berkelahi, dan jika ia tidak menahan 

diri, ia akan mulai mencari senjata untuk menyerang pihak 

lawan. Jika tidak ada pengendalian diri yang efektif, ia akan 

cenderung melakukan penyerangan. Dalam kasus terburuk, 

dapat menyebabkan pembunuhan, apakah di pihak lawan, atau 

diri sendiri, atau keduanya.

 Bagaikan kodok menggembung yang tidak mampu bergerak, 

terbaring, dan menjadi santapan burung gagak dan musuh 

lainnya, demikian pula seseorang yang dipengaruhi oleh 

kemarahan tidak dapat berkonsentrasi dalam meditasi dan 

pengetahuannya menjadi terhalang. Tanpa pengetahuan, ia 

akan menjadi korban segala jenis Màra (kejahatan) dan menjadi 

budak dari nalurinya.

2. saat   seorang pengembara yang membawa barang berharga 

tiba di persimpangan jalan dan menghabiskan banyak waktu di 

sana, tanpa mampu memilih jalan mana yang harus diambil, ia 

mengundang banyak perampok yang akan menghancurkannya. 

Demikian pula, jika seorang bhikkhu, yang telah mendapatkan 

instruksi dari gurunya mengenai metode dasar dalam meditasi 

dan telah memulai latihan, meragukan kebenaran akan Tiga 

Permata, ia tidak akan mampu bermeditasi. sebab   ia duduk 

dengan pikiran yang diganggu oleh keraguan, ia kalah oleh 

2708


kotoran dan Màra dan kekuatan jahat lainnya.

3. saat   seseorang menuangkan air ke dalam saringan air untuk 

menyaring pasir, air akan mengalir ke dalam saringan dengan 

bebas. Jangankan secangkir air yang dituangkan, bahkan seratus 

kendi pun, air itu akan tetap utuh; demikian pula, dalam batin 

seorang meditator yang memiliki lima rintangan, tidak ada jasa 

kebajikan tertinggal.

4. Bagaikan seekor kura-kura yang memiliki lima tonjolan—kepala 

dan empat kakinya—demikian pula semua fenomena berkondisi 

di bawah mata pengetahuan terbagi dalam lima kelompok yang 

merupakan objek keserakahan.

5. Daging dicincang dengan memakai   pisau di atas papan 

pemotong. Kenikmatan indria, kotoran, mencari objek-objek 

indria. Kotoran diumpamakan sebagai ‘pisau’, objek-objek 

indria diumpamakan sebagai ‘papan pemotong’.

6. Segumpal daging dicari oleh setiap orang, tinggi atau rendah, 

raja atau rakyat jelata, mereka menyukainya, demikian pula 

burung-burung dan binatang buas. Semua kesulitan berasal 

dari mengejar segumpal daging. Demikian pula, kemelekatan 

indria atau keserakahan yaitu   sumber semua penderitaan. 

Tetapi kebenaran ini terselubung oleh kebodohan. Keserakahan 

atau kemelekatan indria memikat semua makhluk ke dalam 

lingkaran kelahiran kembali yang berputar tanpa welas asih. 

Penjelasan lain, segumpal daging melekat pada tempat di 

mana ia berada. Demikian pula kemelekatan indria cenderung 

mengikat makhluk-makhluk pada lingkaran kelahiran kembali 

yang mereka puja, tanpa menyadari sifat bahayanya.

7. Seorang Arahanta disebut ‘nàga’ sebab   seorang Arahanta 

tidak disesatkan oleh empat faktor yang menyesatkan, 

yaitu, kegemaran atau kesukaan, kebencian, ketakutan, dan 

kebodohan. (Chandàdãhi na gacchantãti nàgà, Komentar Mahà 

Vagga). Penjelasan lain, seorang Arahanta tidak pernah kembali 

kepada kotoran yang telah disingkirkan dalam (empat) tingkat 

2709

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

penyucian. (Tena tena maggena pahãne kilese na àgacchantã ti 

nàgà.) Pengertian lainnya, Arahanta tidak mampu melakukan 

kejahatan apa pun (¥Ã Ãµappakàrakaÿ àguÿ na karontã nàgà.)

Dalam memberi hormat kepada Buddha, Nàga, Arahanta, yang 

bebas dari racun moral, Komentar memberi   cara penghormatan 

berikut:

Buddho bodhàya deset, danto yo damathàya ca; 

samathàya santo dhammaÿ, tiõõova taraõàya ca, 

nibbuto Nibbànatthàya, taÿ lokasaraõaÿ name.

 

“Buddha, Yang mencapai Pencerahan Sempurna, pelindung di tiga 

alam, Arahanta (Nàga), sesudah   menembus Empat Kebenaran Mulia 

oleh diri-Nya sendiri dan berkeinginan untuk mencerahkan orang 

lain yang layak dicerahkan seperti diri-Nya; sesudah   menjinakkan 

diri-Nya dalam hal enam indria dan berkeinginan untuk 

menjinakkan orang lain yang layak juga dijinakkan seperti diri-Nya, 

sesudah   mencapai kedamaian oleh diri-Nya sendiri dan berkeinginan 

agar orang lain yang layak juga mencapai kedamaian seperti diri-

Nya, sesudah   menyeberang ke pantai seberang dari lautan saÿsàra 

dan berkeinginan agar orang lain yang layak juga menyeberang 

ke pantai seberang seperti diri-Nya; sesudah   memadamkan api 

kotoran pada empat tahap dan berkeinginan agar orang lain yang 

layak juga memadamkan api kotoran seperti diri-Nya; demi welas 

asih-Nya menjelaskan Dhamma Agung kepada para dewa dan 

manusia selama empat puluh lima tahun. Kepada-Nya, Buddha, 

Nàga, pelindung di tiga alam, aku bersujud secara fisik, ucapan, 

dan pikiran dengan segala kerendahan hati dengan kedua tangan 

dirangkapkan.”

Pencapaian Kearahattaan

Khotbah Gundukan Rumah Semut atau Vammika Sutta, menurut 

catatan Komentar, yaitu   pelajaran meditasi bagi Yang Mulia Kumàra 

Kassapa. (Iti idaÿ suttaÿ therassa kammaññhànaÿ ahosi.)

Yang Mulia Kumàra Kassapa memelajari jawaban Buddha atas lima 

2710


belas teka-teki ini  , lalu   memasuki kesunyian Hutan 

Andhavana, bermeditasi dengan tekun dan tidak lama lalu   

ia mencapai Kearahattaan.

(c) Gelar Etadagga

Sejak saat ia menjadi seorang bhikkhu, Yang Mulia Kumàra 

Kassapa dalam khotbah-khotbahnya kepada empat kelompok 

siswa—para bhikkhu, bhikkhunã, umat awam laki-laki, dan umat 

awam perempuan—selalu memakai   berbagai perumpamaan 

dan kiasan.

saat   Yang Mulia Kumàra Kassapa membabarkan khotbah kepada 

Pàyasi (penganut pandangan salah) dengan membabarkan lima 

belas perumpamaan, Buddha, dengan merujuk pada khotbah 

ini   yang dikenal sebagai Pàyàsiràja¤¤a Sutta, menyatakan:

“Etadaggaÿ bhikkhave mama sàvakànaÿ bhikkhÃ¥naÿ 

cittakathikànaÿ yadidaÿ Kumàra Kassapo,” “Para bhikkhu, di 

antara para bhikkhu siswa-Ku yang memakai   perumpamaan 

dalam khotbahnya, Bhikkhu Kumàra Kassapa yaitu   yang 

terbaik.”

(Baca Sutta ini dalam Dãgha Nikàya Mahà Vagga, Sutta 

kesepuluh.)

Demikianlah kisah Thera Kumàra Kassapa

(29) Thera Mahà Koññhita

(a) Cita-cita masa lampau

Bakal Thera Koññhita terlahir dalam sebuah keluarga kaya di Kota 

Haÿsàvatã pada masa kehidupan Buddha Padumuttara. Sewaktu ia 

mendengarkan khotbah Buddha, ia menyaksikan seorang bhikkhu 

yang dinyatakan oleh Buddha sebagai yang terbaik di antara mereka 

yang mencapai empat Pengetahuan Analitis. Putra orang kaya itu 

berkeinginan untuk menjadi seperti bhikkhu mulia ini   pada 

2711

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

masa depan. Seperti halnya para bakal Thera lainnya, ia memberi   

persembahan dan mengungkapkan cita-citanya di hadapan Buddha. 

Dan Buddha mengucapkan ramalan sebelum kembali ke vihàra.

(b) Kehidupan pertapaan dalam kehidupan terakhir

Bakal Thera Koññhita, sesudah   melakukan banyak kebajikan seumur 

hidupnya, meninggal dunia dan terlahir kembali di alam dewa 

dan alam manusia silih berganti. Pada masa kehidupan Buddha 

Gotama, ia terlahir dalam sebuah keluarga brahmana kaya di 

Sàvatthã, bernama Koññhita. Ia menguasai tiga Veda. Suatu hari, saat 

mendengar khotbah Buddha, ia menjadi berkeyakinan terhadap 

Buddha sehingga ia bergabung dalam Saÿgha. Sejak itu, ia melatih 

Meditasi Pandangan Cerah dan mencapai Kearahattaan, lengkap 

dengan empat Pengetahuan Analitis.

(c) Gelar Etadagga

sesudah   mecapai kesucian Arahatta, Yang Mulia Koññhita sebagai 

seorang yang ahli dalam empat Pengetahuan Analitis biasanya 

mengajukan pertanyaan tentang bentuk-bentuk Pengetahuan ini. 

Demikianlah, dengan merujuk pada Mahàvedalla Sutta (Majjhima 

Nikàya, Målapaõõàsa) Buddha menyatakan:

“Etadaggaÿ bhikkhave mama sàvakànaÿ bhikkhÃ¥haÿ 

Pañisambhidàpattànaÿ yadidaÿ Mahà Koññhito,” “Para bhikkhu, 

di antara para bhikkhu siswa-Ku yang mencapai empat Pengetahuan 

Analitis, Bhikkhu Koññhita yaitu   yang terbaik.”

Demikianlah kisah Thera Koññhita

(30) Thera ânanda

(a) Cita-cita masa lampau

Balik ke seratus ribu siklus dunia sebelum siklus dunia sekarang 

ini, muncullah di dunia ini, Buddha Padumuttara yang terlahir di 

Kota Haÿsàvatã sebagai putra Raja ânanda dan Ratu Sujàtà. Dua 

2712


Siswa Utama Buddha yaitu   Thera Devala dan Thera Sujàta. Dua 

Siswi yaitu   Therã Amità dan Therã Asamà. Pelayan pribadi Buddha 

yaitu   Thera Sumanà. Buddha memiliki seratus ribu siswa bhikkhu. 

Buddha memberi   hak untuk melayani kebutuhan-Nya kepada 

ayah-Nya dan Beliau beserta Saÿgha menetap di dekat kota tempat 

mereka mengumpulkan dàna makanan setiap hari.

Sebelum melepaskan keduniawian, Buddha Padumuttara memiliki 

seorang adik tiri bernama Pangeran Sumanà (yang kelak menjadi 

Thera ânanda). Raja ânanda mengangkat Pangeran Sumanà sebagai 

gubernur di sebuah wilayah yang jauhnya seratus dua puluh yojanà 

dari ibukota. Pangeran kadang-kadang mengunjungi ayah dan 

kakaknya, Buddha Padumuttara.

Suatu saat   terjadi pemberontakan di wilayah perbatasan. Sang 

pangeran melaporkan masalah itu kepada raja yang menjawab, 

“Bukankah engkau ditempatkan di sana untuk menegakkan 

hukum?” Menerima jawaban itu, sang pangeran memadamkan 

pemberontakan itu dan melaporkan kepada raja bahwa wilayah 

ini   telah dipulihkan. Raja gembira dan memanggil putranya 

ke hadapannya.

Pangeran Sumanà berangkat menuju ibukota disertai seribu 

pejabatnya. Dalam perjalanan itu, ia berdiskusi dengan para 

pejabatnya mengenai hadiah apa yang akan ia minta dari ayahnya 

yang pasti akan memberi   anugerah kepadanya. Beberapa pejabat 

menyarankan gajah, kuda, permata, dan lain-lain, tetapi beberapa 

pejabat yang bijaksana berkata,

“O Pangeran, engkau yaitu   putra raja. Hadiah materi tidak 

berguna bagimu. Engkau dapat memperolehnya tetapi engkau akan 

meninggalkannya saat meninggal dunia. Engkau harus meminta 

anugerah yang mulia. Hanya jasa kebajikanmu yang akan menjadi 

milikmu saat engkau meninggalkan kehidupan ini. Maka, jika 

raja memberimu anugerah, mintalah hak untuk melayani Buddha 

(kakakmu) selama satu vassa.”

Sang pangeran senang dengan gagasan itu. “Engkau yaitu   teman 

2713

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

baikku. Aku tidak pernah berpikir tentang gagasan mulia itu. 

Aku menerima nasihatmu.” Sesampainya di ibukota, ia diterima 

dengan penuh cinta oleh ayahnya yang memeluk dan mencium 

keningnya, raja berkata, “Anakku, mintalah anugerah dan aku 

akan mengabulkannya.” Sang anak menjawab, “Tuanku, aku 

ingin menjadikan kehidupanku saat ini cukup produktif untuk 

mendukung masa depan daripada hidup gersang pada masa 

depan. sebab   itu aku ingin melayani kakakku, Buddha, selama 

satu vassa. Sudilah ayah memberi   hak itu kepadaku!” Raja 

menjawab, “Anakku, aku tidak dapat mengabulkan permintaan 

ini  , mintalah yang lain.” “Ayah,” Pangeran Sumanà berkata, 

“Kata-kata seorang penguasa teguh bagaikan batu karang. Aku tidak 

menginginkan hal lain. Aku tetap pada permohonanku.”

lalu   Raja berkata, “Anakku, tidak ada yang mengetahui pikiran 

Buddha. Jika Buddha tidak menerima undanganmu apa gunanya 

persetujuanku kepadamu?” “Kalau begitu, ayah, aku akan pergi 

dan bertanya sendiri kepada Buddha dan memastikan apa jawaban 

Beliau mengenai permohonanku,” Pangeran Sumanà menjawab. 

sesudah   mendesak raja untuk mengabulkan permohonannya, 

Pangeran Sumanà pergi ke vihàra.

Sesampainya di sana, Buddha baru memasuki Kuñã-Harum sesudah   

makan. Pangeran Sumanà masuk ke aula pertemuan dan bertemu 

dengan para bhikkhu yang menanyakan tujuan kunjungannya. 

“Yang Mulia, aku datang untuk menjumpai Bhagavà. Dapatkan 

kalian mengantarkan aku ke tempat Buddha berada?” “Pangeran,” 

Para bhikkhu berkata, “Kami tidak berhak menjumpai Buddha.” 

“Siapa yang berhak kalau begitu?” Pangeran bertanya. “Bhikkhu 

Sumanà, Pangeran” mereka berkata, “Di manakah Yang Mulia 

Sumanà sekarang?” dan sesudah   menunjukkan di mana bhikkhu 

itu berada, pangeran mendatanginya, bersujud dan berkata, “Yang 

Mulia, aku ingin bertemu dengan Bhagavà. Dapatkan engkau 

mengantarkan aku menghadap Bhagavà?”

Bhikkhu Sumanà lalu   memasuki Jhàna àpo-kasiõa di hadapan 

sang pangeran, dan berkehendak agar tanah di sana berubah menjadi 

air, lalu   ia menyelam ke dalam air (ciptaan) dan muncul di 

2714


dalam Kuñã-Harum Buddha. Buddha bertanya kepada bhikkhu itu 

untuk apa ia datang. Bhikkhu Sumanà menjawab, “Yang Mulia, 

Pangeran Sumanà datang untuk bertemu dengan Bhagavà.” “Kalau 

begitu, siapkan tempat duduk untuk-Ku,” Buddha berkata. Bhikkhu 

Sumanà menyelam kembali ke dalam air dalam kuñã Buddha dan 

muncul dari air di depan sang pangeran di dalam kawasan vihàra, 

dan mempersiapkan tempat duduk untuk Buddha. Pangeran 

Sumanà sangat terkesan dengan kekuatan batin bhikkhu ini  .

Buddha Padumuttara keluar dari Kuñã Harum dan duduk di tempat 

yang telah dipersiapkan. Pangeran Sumanà bersujud kepada 

Buddha dan saling bertukar sapa dengan Buddha. “Kapan engkau 

datang, Pangeran?” Buddha bertanya. “Yang Mulia, aku tiba di 

sini saat Bhagavà baru masuk ke Kuñã Harum,” jawab pangeran. 

“Para bhikkhu memberitahuku bahwa mereka tidak berhak untuk 

menjumpai Bhagavà, dan mengantarkan aku menghadap Yang 

Mulia Sumanà, dan Yang Mulia Sumanà, hanya dengan satu 

kata, ia memberitahukan kunjunganku kepada Bhagavà dan juga 

mempersiapkan pertemuanku dengan Bhagavà. Aku menganggap, 

Yang Mulia, bahwa Yang Mulia Sumanà akrab dengan Bhagavà 

dalam pengajaran ini.”

“Pangeran, apa yang engkau katakan yaitu   benar. Bhikkhu Sumanà 

ini akrab dengan Tathàgata dalam Pengajaran ini.” “Yang Mulia, 

kebajikan apakah yang dapat mengarahkan seseorang menjadi 

seorang bhikkhu yang akrab dengan Buddha?” “Pangeran, dengan 

memberi   dàna, dengan menjaga moralitas, dengan menjalani 

sãla, seseorang dapat bercita-cita untuk menjadi bhikkhu yang 

akrab dengan Buddha.” Pangeran Sumanà sekarang memiliki 

kesempatan yang baik untuk mengundang Buddha ke tempatnya 

untuk menerima persembahan. Ia berkata, “Yang Mulia, aku ingin 

menjadi seorang bhikkhu yang akrab dengan Buddha pada masa 

mendatang seperti Yang Mulia Sumanà. Sudilah Bhagavà menerima 

persembahan makanan dariku besok.” Buddha menerima undangan 

itu dengan berdiam diri. Pangeran kembali ke tempat tinggal 

sementaranya di dalam kota dan mempersiapkan persembahan 

besar yang berlangsung selama tujuh hari di tempat kediaman 

sementaranya.

2715

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

Pada hari ketujuh, Pangeran Sumanà bersujud dan berkata kepada 

Buddha, “Yang Mulia, aku telah mendapatkan persetujuan dari 

ayah, sang raja, untuk mendapatkan hak melayani Buddha selama 

tiga bulan vassa. Sudilah Bhagavà menerima pelayananku kepada 

Bhagavà selama masa vassa itu.” Buddha memeriksa manfaat apa 

yang akan diperoleh pangeran jika permohonannya dikabulkan, 

dan melihat bahwa hal itu akan sangat bermanfaat baginya, Beliau 

berkata, “Pangeran, para Buddha menyukai tempat sepi.”

“Buddha Yang Agung, aku mengerti! Yang Selalu Berkata Benar, 

aku mengerti!” Sang pangeran berkata. “Aku akan membangun 

vihàra untuk Bhagavà. sesudah   selesai aku akan mengirim utusan 

kepada Bhagavà. sesudah   itu, silakan Bhagavà bersama seratus ribu 

bhikkhu datang ke vihàra kami.” lalu   ia menghadap ayahnya 

dan berkata, “Ayah, Buddha telah setuju untuk datang ke tempatku. 

Saat aku mengirim utusan untuk memberitahukan kapan Buddha 

dapat datang, engkau aturlah pengawalan untuk Buddha dalam 

perjalanan itu.” Ia bersujud kepada ayahnya dan meninggalkan 

kota. lalu   ia membangun tempat-tempat peristirahatan dalam 

setiap jarak satu yojanà di sepanjang jalan yang jauhnya seratus 

dua puluh yojanà dari ibukota sampai ke tempatnya. Kembali di 

kotanya, ia memilih lahan yang cocok untuk membangun vihàra 

untuk Buddha. Ia membeli lahan itu, sebuah taman milik seorang 

perumah tangga kaya bernama Sobhaõa, seharga seratus ribu keping 

uang. Dan ia menghabiskan seratus ribu keping lagi sebagai biaya 

pembangunan.

Ia membangun Kuñã Harum untuk Buddha, kuñã-kuñã lainnya untuk 

(seratus ribu) bhikkhu, kamar mandi, pondok-pondok, gua-gua 

kecil, dan lumbung yang digunakan untuk siang dan untuk malam, 

mengelilingi kompleks vihàra yang dikelilingi oleh pagar. sesudah   

semuanya selesai, ia mengirim utusan kepada raja untuk mengawal 

Buddha dan memulai perjalanan itu.

Raja ânanda memberi   persembahan kepada Buddha dan seratus 

ribu bhikkhu. lalu   ia berkata kepada Buddha, “Buddha, 

putraku, adik Yang Mulia telah melakukan segala persiapan yang 

2716


diperlukan untuk menyambut Bhagavà, dan ia sangat mengharapkan 

kedatangan-Mu.” Bhagavà melakukan perjalanan disertai oleh 

seratus ribu bhikkhu, dan beristirahat satu malam di tempat 

peristirahatan yang tersedia di setiap jarak satu yojanà. Seratus dua 

puluh yojanà itu ditempuh tanpa kesulitan.

Pangeran Sumanà menyambut Buddha dari jarak satu yojanà dari 

tempat kediamannya. Menyambut dengan Ritual   persembahan 

bunga dan dupa, ia mengawal Buddha dan para bhikkhu ke vihàra. 

lalu   ia mempersembahkan vihàra itu kepada Buddha, dengan 

mengucapkan syair berikut:

“Satasahassena me kãtaÿ, satasahassena màpitaÿ Sobhaõam nàma 

uyyànaÿ, pañiggaõha Mahàmuni.”

“O Yang Paling Bijaksana di antara para bijaksana, aku, Sumanà, 

telah membeli Taman Sobhaõa senilai seratus ribu keping uang, 

dan membangun vihàra ini dengan biaya seratus ribu keping uang. 

Sudilah Yang Bijaksana menerima persembahan vihàra ini.”

Pangeran Sumanà mempersembahkan vihàra itu pada hari 

pertama dimulainya vassa. sesudah   Ritual   persembahan selesai, 

ia memanggil keluarga dan pengikutnya dan berkata, “ Bhagavà 

telah datang dari tempat yang berjarak seratus dua puluh yojanà. 

Para Buddha lebih mementingkan Dhamma daripada persembahan 

materi. sebab   itu, aku akan menetap di vihàra ini selama tiga bulan, 

hanya berbekal dua perangkat jubah ini dan menjalani Sepuluh Sãla. 

Kalian akan melayani Buddha dan seratus ribu bhikkhu selama tiga 

bulan seperti yang kalian lakukan hari ini.” Dan demikianlah ia 

mengasingkan diri di vihàra.

Pangeran Sumanà melihat bahwa Buddha tidak pernah jauh dari 

pelayan pribadi-Nya, Yang Mulia Sumanà, yang melayani semua 

kebutuhan Buddha. Ia ingin meniru bhikkhu ini   dan bertekad 

untuk menjadi bhikkhu yang akrab dengan Buddha pada masa 

depan. sebab   itu, kira-kira seminggu sebelum vassa berakhir, ia 

memberi   persembahan besar kepada Buddha dan Saÿgha. Pada 

hari ketujuh Ritual   persembahan itu, ia meletakkan tiga perangkat 

2717

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

jubah di kaki setiap bhikkhu dari seratus ribu bhikkhu ini   

dan bersujud kepada Buddha, “Semua kebajikan yang kulakukan 

dimulai dari Kota Haÿsàvatã di tempat kediaman sementaraku 

bukan bertujuan untuk mendapatkan kemuliaan duniawi pada masa 

depan, juga bukan untuk terlahir sebagai Sakka atau dewa atau Màra. 

Cita-citaku untuk melakukan kebajikan ini yaitu   untuk menjadi 

pelayan pribadi seorang Buddha pada masa depan.”

Buddha mengetahui bahwa cita-cita sang pangeran akan tercapai, 

Beliau mengucapkan ramalan dan meninggalkan tempat itu. 

Mendengar ramalan Buddha Padumuttara, pangeran yakin akan 

kepastian ramalan Buddha seolah-olah ia akan menjadi pelayan 

pribadi Buddha Gotama pada keesokan harinya (seperti ramalan 

Buddha Padumuttara), membawakan mangkuk dan jubah 

Buddha.

Kebajikan Lainnya Dalam Masa Antara

Pangeran Sumanà melewatkan seratus ribu tahun kehidupannya 

pada masa Buddha Padumuttara dengan melakukan banyak 

kebajikan. Saat meninggal dunia, ia terlahir kembali di alam dewa. 

Pada masa Buddha Kassapa, ia memberi   jubahnya kepada 

seorang bhikkhu yang sedang mengumpulkan dàna makanan untuk 

digunakan sebagai alas mangkuknya.

Saat meninggal dunia dari kehidupan itu, ia terlahir kembali 

di alam dewa. sesudah   kehidupannya sebagai dewa, ia terlahir 

kembali di alam manusia di Bàràõasã sebagai raja. Dari teras atas 

istananya, ia melihat delapan Pacceka Buddha berjalan di angkasa 

dari arah Gunung Gandhamàdana. Ia mengundang para Pacceka 

Buddha itu ke istananya dan mempersembahkan makanan. Ia juga 

membangun delapan tempat tinggal di taman istananya, sebagai 

tempat tinggal delapan Pacceka Buddha itu. Lebih jauh lagi, ia 

membuat delapan tempat duduk permata sebagai tempat duduk 

mereka saat berkunjung ke istana juga tempat mangkuk batu delima 

berjumlah sama untuk meletakkan mangkuk mereka. Ia melayani 

delapan Pacceka Buddha itu selama sepuluh ribu tahun. Banyak 

sekali kebajikan yang ia lakukan selama masa antara seratus ribu 

2718


siklus dunia.

(b) Kehidupan pertapaan dalam kehidupan terakhir

sesudah   melakukan berbagai kebajikan dan dengan demikian 

menanam benih jasa selama masa antara seratus ribu siklus dunia, 

bakal Thera ânanda terlahir di Alam Dewa Tusita bersama Bakal 

Buddha Gotama. sesudah   meninggal dunia dari alam itu, ia terlahir 

kembali sebagai putra Pangeran Amitodana di Kapilavatthu. Ia 

diberi nama ânanda, menggambarkan kegembiraan keluarganya 

saat kelahirannya. Pada kunjungan pertama Buddha Gotama 

ke Kapilavatthu, sejumlah pangeran Sakya yang dipimpin oleh 

Pangeran Bhaddiya meninggalkan kehidupan duniawi dan menjadi 

bhikkhu sebagai siswa Buddha saat   Buddha berada di Hutan 

Anupiya di dekat Kota Anupiya. 

ânanda Mencapai Sotàpatti-Phala

Tidak lama sesudah   menjadi bhikkhu, Yang Mulia ânanda 

mendengarkan khotbah yang disampaikan oleh Yang Mulia 

Mantàõiputta Puõõa dan mencapai Sotàpatti-Phala. Peristiwa ini 

tercatat dalam Saÿyutta Nikàya, Khandhavagga Saÿyutta, 4 Thera 

Vagga, 1 ânanda Sutta. Inti dari Sutta ini   yaitu   sebagai 

berikut:

saat   Buddha sedang berada di Vihàra Jetavana di Sàvatthã, Yang 

Mulia ânanda berkata kepada para bhikkhu, “Teman-teman 

bhikkhu,” dan para bhikkhu menjawab, “Teman.”

lalu   Yang Mulia ânanda berkata:

“Teman-teman, Yang Mulia Mantàõiputta Puõõa sangat membantu 

saat   kita masih menjadi bhikkhu baru. Ia menasihati kita 

dengan instruksi, “Teman ânanda, melalui suatu pemicu   maka 

keangkuhan ‘Aku’ muncul melalui keserakahan dan pandangan 

salah (demikianlah trio papa¤ca keserakahan, keangkuhan, dan 

pandangan salah berlangsung dalam lingkaran kelahiran). Ia tidak 

muncul tanpa pemicu  . Melalui pemicu   apakah keangkuhan 

2719

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

‘Aku’ muncul? sebab   badan jasmani (rÃ¥pa), keangkuhan ‘Aku’, 

beserta keserakahan dan pandangan salah yang menyertainya 

muncul; tanpa pemicu   demikian, keangkuhan ‘Aku’ tidak 

muncul. sebab   perasaan (vedana)… pencerapan (sa¤¤Ã )… aktivitas 

kehendak (saõkhàra)… sebab   kesadaran (vi¤¤Ã Ãµa), keangkuhan 

‘aku’ beserta keserakahan dan pandangan salah yang menyertainya 

muncul; tanpa pemicu   demikian, keangkuhan ‘aku’ tidak 

muncul.

“Teman ânanda, aku akan memberi   contoh. Jika seorang 

perempuan atau laki-laki muda yang senang menghias dirinya 

melihat bayangannya di dalam cermin yang bersih atau semangkuk 

air jernih, ia akan melihatnya bergantung pada suatu pemicu   

(yaitu, bayangannya dan merenungkan permukaan cermin atau air), 

dan bukan sebaliknya. Teman ânanda, demikian pula, sebab   badan 

jasmani, keangkuhan (mana) ‘aku’, beserta keserakahan (taõhà) dan 

pandangan salah (micchàdiññhi) muncul; tanpa pemicu   itu, maka 

ia juga tidak muncul. sebab   perasaan… pencerapan… aktivitas 

kehendak… sebab   kesadaran; keangkuhan (mana) ‘aku’, beserta 

keserakahan (taõhà) dan pandangan salah (micchàdiññhi) muncul; 

tanpa pemicu   itu, maka ia juga tidak muncul.

“Teman ânanda, bagaimana menurutmu atas pertanyaan yang 

akan kuajukan ini: ‘Apakah badan jasmani kekal atau tidak kekal?’” 

“Tidak kekal, teman.”

(Percakapan berlanjut seperti terdapat dalam Anattalakkhaõa 

Sutta)… Tidak ada lagi yang harus dilakukan untuk menembus 

Magga.

“Teman, Yang Mulia Mantàõiputta Puõõa sangat membantu kita 

saat kita masih menjadi bhikkhu baru. Ia menasihati kita dengan 

instruksi di atas. Dengan mendengar penjelasan Yang Mulia 

Mantàõiputta Puõõa, aku mencapai pengetahuan Empat Kebenaran 

Mulia (yaitu, mencapai Sotàpatti-Phala.)

Sehubungan dengan khotbah di atas, jelas bahwa Yang Mulia 

ânanda menjadi Sotàpanna sesudah   mendengarkan khotbah 

2720


yang disampaikan oleh Yang Mulia Mantàõiputta Puõõa dengan 

perumpamaan cermin.

Penunjukan ânanda Sebagai Pelayan Pribadi Buddha

Buddha tidak memiliki pelayan pribadi tetap selama dua puluh 

tahun pertama sesudah   mencapai Kebuddhaan, yang disebut 

periode Bodhi Pertama. Pada masa itu, sejumlah bhikkhu bertindak 

sebagai pelayan pribadi Buddha, membawakan mangkuk dan jubah 

Buddha; mereka yaitu  : Yang Mulia Nàgasamàla, Nàgita, Upavàna, 

Sunakkhatta, mantan Pangeran Licchaci; Cunda, adik Yang Mulia 

Sàriputta, Sàgata, Ràdha, dan Meghiya.

Pada suatu saat  , Buddha dilayani oleh Yang Mulia Nàgasamàla, 

sewaktu melakukan perjalanan, mereka tiba dipersimpangan 

jalan. Yang Mulia Nàgasamàla, meninggalkan jalan utama, berkata 

kepada Buddha, “Yang Mulia, aku akan mengambil jalan ini (dari 

persimpangan jalan itu).” Buddha berkata, “Bhikkhu, marilah kita 

mengambil jalan yang lain.” Yang Mulia Nàgasamàla lalu   

berkata dengan tidak sabar, “Yang Mulia, aku akan mengambil jalan 

ini,” dan meletakkan mangkuk dan jubah Buddha di atas tanah. 

Selanjutnya Buddha berkata kepadanya, “Bhikkhu, berikan kepada-

Ku,” dan Beliau terpaksa membawanya sendiri, dan berjalan ke arah 

yang Beliau pilih sedangkan Yang Mulia Nàgasamàla mengambil 

jalan lainnya, meninggalkan Buddha. Tidak lama sesudah   ia berjalan, 

Yang Mulia Nàgasamàla dirampok oleh sekelompok perampok yang 

mengambil mangkuk dan jubahnya dan juga memukul kepalanya. 

Dengan darah mengalir dari kepalanya, ia teringat kepada Buddha 

sebagai pelindung satu-satunya dan kembali ke Buddha. Buddha 

berkata kepadanya, “Bhikkhu, apa yang terjadi padamu?” Yang Mulia 

Nàgasamàla menceritakan kejadiannya kepada Buddha dan Buddha 

berkata kepadanya, “Bhikkhu, tenanglah. Mengetahui bahaya itu, 

Aku telah mengatakan kepadamu untuk tidak mengambil jalan 

itu.” (Ini yaitu   satu peristiwa yang melatarbelakangi penunjukan 

pelayan pribadi tetap.)

Pada kesempatan lain (pada vassa ke-13 saat   Buddha sedang 

menetap di Bukit Càlika) sesudah   mengumpulkan dàna makanan 

2721

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

di Desa Jantu. Buddha, bersama pelayan pribadi, Thera Meghiya, 

berjalan di tepi Sungai Timikàëà, saat melihat hutan mangga, Yang 

Mulia Meghiya berkata kepada Buddha, “Yang Mulia, bawalah 

sendiri mangkuk dan jubah-Mu. Aku ingin bermeditasi di hutan 

mangga itu.” Buddha tiga kali meminta agar ia tidak melakukannya, 

tetapi ia tidak mendengarkan. lalu  , tidak lama lalu   

Yang Mulia Thera Meghiya duduk di atas batu untuk bermeditasi. 

Tiga pikiran buruk menyerangnya saat ia bermeditasi. Ia kembali 

kepada Buddha dan menceritakan apa yang dialaminya sewaktu 

ia bermeditasi di sana. Buddha menghiburnya dengan berkata, 

“Mengetahui apa yang akan terjadi padamu, Aku telah memintamu 

untuk tidak pergi ke tempat itu.” (Ini yaitu   peristiwa lain yang 

melatarbelakangi penunjukan pelayan pribadi tetap.)

sebab   peristiwa-peristiwa itu, Buddha, pada kesempatan lain, saat 

duduk dalam aula pertemuan di Vihàra Jetavana, Beliau berkata 

kepada para bhikkhu:

“Para bhikkhu, Aku telah tua (Beliau telah berumur lebih dari 

lima puluh lima tahun). Beberapa bhikkhu yang melayani-Ku 

mengambil jalan yang lain dari yang Kupilih (merujuk pada Yang 

Mulia Meghiya); beberapa bhikkhu bahkan meletakkan mangkuk 

dan jubah-Ku di atas tanah (merujuk pada Yang Mulia Nàgasamàla). 

Sekarang tentukanlah seorang bhikkhu yang akan melayani-Ku 

secara tetap.”

Mendengar kata-kata itu, emosi para bhikkhu tersentuh.

lalu   Yang Mulia Sàriputta bangkit dari duduknya, bersujud 

kepada Bdudha dan berkata, “Yang Mulia, selama satu asaïkhyeyya 

dan seratus ribu kappa, aku telah memenuhi Kesempurnaan hanya 

untuk siswa Bhagavà. Seorang yang berpengetahuan luas sepertiku 

harus dipertimbangkan untuk menjadi pelayan pribadi Bhagavà. 

Mohon aku diperbolehkan untuk melayani Bhagavà.” Bhagavà 

berkata, “Tidak begitu, Sàriputta, ke mana pun engkau pergi, di 

sanalah Dhamma. sebab   engkau membabarkan Dhamma sama 

seperti yang dilakukan oleh Tathàgata. sebab   itu engkau tidak 

dapat melayani Tathàgata.” sesudah   Buddha memuji kemuliaan Yang 

2722


Mulia Sàriputta, dan mengulangi tawaran untuk melayani Beliau, 

Yang Mulia Moggallàna menawarkan dirinya untuk posisi ini   

tetapi ditolak dengan cara yang sama. lalu   delapan puluh 

Siswa Besar menawarkan diri mereka, semuanya ditolak.

Delapan Anugerah untuk ânanda

Yang Mulia ânanda tetap diam dan tidak menawarkan dirinya 

untuk posisi itu. Para bhikkhu mendesaknya, “Teman ânanda, 

semua anggota Saÿgha menawarkan dirinya untuk melayani 

Bhagavà. Engkau harus menawarkan dirimu.” Yang Mulia ânanda 

berkata kepada mereka, “Teman-teman, posisi (yang berhubungan 

dengan Bhagavà) bukanlah suatu hal yang dapat diminta. Apakah 

Bhagavà tidak melihatku? Jika Bhagavà menginginkan aku, Beliau 

akan berkata, “ânanda, jadilah pelayan pribadi-Ku.”

lalu   Buddha berkata kepada para bhikkhu, “Para bhikkhu, 

ânanda tidak memerlukan nasihat untuk melayani Tathàgata. Ia 

akan melakukannya atas keinginannya sendiri.” Selanjutnya para 

bhikkhu memohon kepada Yang Mulia ânanda dengan berkata, 

“Teman ânanda, sekarang berdirilah, dan tawarkan dirimu untuk 

menjadi pelayan pribadi.” lalu   Yang Mulia ânanda berdiri 

dari duduknya dan memohon agar Buddha memberi   delapan 

anugerah kepadanya, “Yang Mulia, jika Bhagavà menyetujui empat 

‘tidak’ berikut, aku akan menjadi pelayan pribadi Bhagavà:

1. Bahwa Bhagavà tidak memberi   kepadaku jubah baik yang 

Beliau terima.

2. Bahwa Bhagavà tidak memberi   makanan yang baik 

kepadaku.

3. Bahwa Bhagavà tidak mengizinkan aku menetap di tempat yang 

sama dengan Beliau.

4. Bahwa Bhagavà tidak mengajakku ke rumah umat awam yang 

mengundang Beliau.”

Buddha berkata kepada Yang Mulia ânanda, “ânanda, apa kerugian 

yang engkau lihat dari empat hal itu?” dan Yang Mulia ânanda 

menjelaskan sebagai berikut, “Yang Mulia, jika aku diberikan empat 

2723

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

kebutuhan yang seharusnya digunakan oleh Buddha, hal itu akan 

menimbulkan kritik bahwa ânanda berhak (1) menerima jubah 

baik yang diterima oleh Bhagavà, (2) menerima makanan baik yang 

diterima oleh Bhagavà, (3) berdiam bersama Buddha di Kuñã Harum, 

dan (4) berhak menyertai Buddha mengunjungi rumah umat awam. 

Aku melihat kritik itu sebagai kerugian.”

Lebih jauh lagi, Yang Mulia ânanda memohon empat hak berikut 

kepada Buddha:

“Yang Mulia, jika Bhagavà sudi memberi   empat hak istimewa 

berikut kepadaku, aku akan menjadi pelayan pribadi Bhagavà, 

(1) Bahwa Bhagavà sudi pergi ke tempat akudiundang; (2) Bahwa 

Bhagavà sudi memberi   audisi kepada pengunjung asing segera 

sesudah   mereka tiba; (3) Bahwa Bhagavà sudi menjelaskan segala 

hal yang berhubungan dengan Dhamma kepadaku saat aku 

memerlukan penjelasan; (4) Bahwa Bhagavà sudi mengulangi semua 

khotbah yang telah dibabarkan tanpa kehadiranku.”

Buddha berkata kepada Yang Mulia ânanda, “ânanda, manfaat 

apakah yang engkau lihat dari empat hak itu?” Yang Mulia ânanda 

menjelaskan sebagai berikut, “Yang Mulia, dalam Dhamma ini 

yang memiliki delapan kualitas, (1) umat penyokong tertentu 

yang berkeyakinan terhadap Buddha tidak memiliki hak untuk 

secara langsung mengundang Buddha ke rumah mereka. Mereka 

akan memohon kepadaku sebagai pelayan pribadi Buddha untuk 

mewakili mereka mengundang Buddha dan jika Engkau menerima 

undangan mereka; (2) para umat yang datang dari jauh untuk 

memberi hormat kepada Bhagavà harus diperbolehkan untuk 

bertemu dengan Bhagavà tanpa harus menunggu lama; (3) jika aku 

tidak puas dengan kata-kata Bhagavà, aku sebagai pelayan pribadi 

harus diperbolehkan untuk memohon Bhagavà agar menjelaskan 

hal yang berhubungan dengan Dhamma. Yang Mulia, jika Bhagavà 

(1) tidak menyanggupi permohonanku untuk menerima undangan 

yang disampaikan oleh para umat awam melalui aku; atau (2) 

tidak menyanggupi permohonanku atas nama pengembara asing 

untuk memberi   audisi lebih dulu; (3) tidak menyanggupi 

permohonanku untuk mendapatkan hak meminta penjelasan 

2724


sehubungan dengan Dhamma, maka orang-orang akan berkata, 

‘Apa gunanya ânanda menjadi perlayan pribadi Bhagavà jika ia 

tidak memperoleh hak-hak ini?’

Itulah alasan aku memohon tiga anugerah pertama. (4) sehubungan 

dengan yang keempat: Jika para bhikkhu lain bertanya kepadaku, 

‘Teman ânanda, di manakah syair ini, atau khotbah atau kisah-

kelahiran yang disampaikan oleh Bhagavà?’ Dan jika aku tidak 

mampu menjawab pertanyaan mereka, mereka akan berkata, 

‘Teman, engkau begitu akrab dengan Bhagavà bagaikan bayangan-

Nya, tetapi engkau tidak mengetahui apa-apa.’ Yang Mulia, untuk 

menghindari kritik demikian, aku memohon kepada Bhagavà 

untuk memberi   anugerah keempat ini, yaitu, mengulangi 

kepadaku khotbah-khotbah yang dibabarkan oleh Bhagavà tanpa 

kehadiranku.”

“Yang Mulia, demikianlah manfaat yang kulihat dari empat anugerah 

yang kumohon ini  .” Buddha menyetujui seluruh delapan hal 

itu, empat tidak dan empat hak.

Pelayanan ânanda kepada Buddha

Demikianlah ânanda, sesudah   diberikan delapan anugerah oleh 

Buddha, menjadi pelayan pribadi tetap Buddha, pencapaian cita-

citanya yang telah ia kejar dengan memenuhi Kesempurnaan selama 

lebih dari seratus ribu siklus dunia.

Rutinitas hariannya yaitu   mengambilkan air dingin dan panas 

untuk Buddha, menyiapkan tiga jenis ranting pohon sebagai sikat 

gigi dalam tiga ukuran yang disesuaikan dengan situasi, memijat 

lengan dan kaki Buddha, menggosok punggung Buddha saat Buddha 

mandi, membersihkan halaman Kuñã Harum Buddha, dan lain-lain, 

lebih jauh lagi, ia selalu berada di dekat Buddha, memerhatikan 

kebutuhan Buddha setiap waktu dan mencatat kegiatan yang harus 

dilakukan oleh Buddha.

Bukan hanya pada siang hari ia melakukan pelayanan terhadap 

aktivitas Buddha; pada malam hari juga ia menjaga agar dirinya 

2725

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

selalu terjaga dengan memegang lampu dan berjalan mengelilingi 

Kuñã Buddha. Setiap malam ia berkeliling sembilan kali dengan 

memegang lampu di tangan, tujuannya yaitu   agar selalu siap jika 

sewaktu-waktu dipanggil oleh Buddha. Demikianlah alasan di balik 

penunjukannya sebagai bhikkhu terbaik.

(c) Gelar Etadagga

Pada lalu   hari, saat   Buddha sedang menetap di Vihàra 

Jetavana, Ia memuji kemuliaan ânanda, penjaga Dhamma, dalam 

banyak hal dan menyatakan:

“Etadaggaÿ bhikkhave mama sàvakànaÿ bhikkhÃ¥naÿ 

bahusutànaÿ,” “Para bhikkhu, di antara para bhikkhu siswa-Ku 

yang banyak belajar,” (1)

“Etadaggaÿ bhikkhave mama sàvakànam bhikkhÃ¥naÿ 

satimantànaÿ,” “Para bhikkhu, di antara para bhikkhu siswa-Ku 

yang penuh perhatian dalam menghafalkan khotbah-khotbah-Ku, 

(2)

“Etadaggaÿ bhikkhave mama sàvakànaÿ bhikkhÃ¥naÿ 

gatimantànaÿ,” “Para bhikkhu, di antara para bhikkhu siswa-Ku 

yang memahami ajaran-Ku, (3)

“Etadaggaÿ bhikkhave mama sàvakànaÿ bhikkhÃ¥naÿ 

dhitimantànaÿ,” “Para bhikkhu, di antara para bhikkhu siswa-Ku 

yang tekun (dalam belajar, mengingat dan membaca ajaran-ajaran-

Ku serta dalam memerhatikan-Ku), (4)

“Etadaggaÿ bhikkhave mama sàvakànaÿ bhikkhÃ¥naÿ upaññhàkànaÿ 

yadidaÿ Anando,” “Para bhikkhu, di antara para bhikkhu siswa-Ku 

yang memberi   pelayanan pribadi kepada-Ku, ânanda yaitu   

yang terbaik.” (5)

Demikianlah dalam ajaran Buddha Gotama, Yang Mulia ânanda 

disebutkan oleh Buddha sebagai yang terbaik dalam lima hal, yaitu, 

banyak belajar, penuh perhatian dalam menghafalkan Dhamma, 

2726


memahami Dhamma, tekun dalam melestarikan Dhamma, dan 

memerhatikan Guru dengan memberi   pelayanan pribadi kepada 

Buddha.

Mencapai Kesucian Arahatta

sebab   pencapaian Kearahattaan Yang Mulia ânanda berhubungan 

dengan sidang Pertama, kita akan membahas peristiwa ini   

merujuk pada Komentar Sãlakkhandha Vagga (Dãgha Nikàya) 

tentang topik ini.

sesudah   menjalani misi-Nya tanpa mengenal lelah dalam 

memberi   Pembebasan kepada mereka yang layak, dimulai dari 

Khotbah Pertama, Dhammacakka, hingga khotbah terakhir kepada 

Petapa Subhadda, Buddha meninggal dunia di bawah pohon sàla 

kembar di taman para pangeran Malla di dekat Kusinàrà di tahun 148 

Mahà Era. Pelenyapan total Buddha, tanpa menyisakan kelompok-

kelompok kehidupan, terjadi pada hari purnama bulan Mei, dini 

hari. Para Pangeran Malla melakukan Ritual   pemakaman selama 

tujuh hari dengan meletakkan bunga dan wewangian di sekitar 

jenazah Buddha untuk menghormati Beliau. Seminggu ini disebut 

‘Minggu Perayaan Pemakaman’.

sesudah   perayaan ini  , jenazah Buddha diletakkan di atas 

tumpukan kayu pemakaman tetapi tidak dapat terbakar meskipun 

para Pangeran Malla telah berusaha keras. Hanya pada hari ketujuh, 

sesudah   Yang Mulia Mahà Kassapa tiba dan memberi hormat, jenazah 

Buddha terbakar dengan sendirinya, sesuai kehendak Buddha 

sebelumnya. Minggu kedua itu disebut ‘Minggu Pembakaran’.

sesudah   relik-relik Buddha dihormati oleh para Pangeran Malla selama 

tujuh hari dengan mengadakan perayaan, mereka menempatkan 

pengawal bertombak berlapis-lapis untuk mengamankan perayaan 

ini  . Minggu ketiga itu disebut ‘Minggu Penghormatan 

Relik’.

sesudah   tiga minggu berlalu, pada tanggal lima bulan deññha (Mei-

Juni) dilakukan pembagian relik-relik Buddha (yang dipimpin oleh 

2727

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

Brahmana Doõa, seorang guru brahmana). Pada hari itu terdapat 

kumpulan yang terdiri dari tujuh ratus ribu bhikkhu (di Kusinàrà). 

Pada pertemuan itu, Yang Mulia Mahà Kassapa teringat kata-kata 

tidak sopan yang dilontarkan oleh Subhadda, seorang bhikkhu tua 

yang melakukan perjalanan bersama Yang Mulia Mahà Kassapa 

dari Pàvà menuju Kusinàrà, pada hari ketujuh sesudah   Buddha 

meninggal dunia. Bhikkhu tua itu berkata kepada para bhikkhu 

yang meratapi kematian Buddha, “Teman-teman, jangan bersedih, 

jangan meneteskan air mata sia-sia. sebab   mulai sekarang kita telah 

bebas dari kezaliman Bhikkhu Gotama yang selalu memerintah kita, 

‘Ya, ini baik bagi seorang bhikkhu’, atau ‘Tidak, ini tidak baik bagi 

seorang bhikkhu.’ Sekarang kita bebas melakukan apa yang kita 

inginkan, dan tidak melakukan apa yang tidak kita inginkan.”

Lebih jauh lagi, Yang Mulia Mahà Kassapa melihat bahwa ajaran 

Buddha yang terdiri dari Tiga Ajaran Baik akan lenyap dengan 

mudah sesudah   kematian sumbernya, sebab   bhikkhu-bhikkhu 

jahat tidak menghormati sabda-sabda Buddha saat Buddha tidak 

ada lagi, dan jumlah mereka akan terus bertambah. Baik sekali jika 

para bhikkhu dikumpulkan dan membacakan semua Dhamma dan 

Vinaya yang diwariskan oleh Buddha.

Dengan demikian, Tiga Ajaran Baik akan bertahan lama. 

Demikianlah Yang Mulia Mahà Kassapa merenungkan.

lalu   ia juga teringat akan pengakuan istimewa Buddha 

terhadapnya. “Buddha telah bertukar jubah luar-Nya denganku. Ia 

telah menyatakannya kepada para bhikkhu, ‘Para bhikkhu, dalam 

hal berdiam dalam Jhàna Pertama, Kassapa sebanding dengan-

Ku; dan seterusnya,’ demikianlah ia memuji kekuatanku dalam 

pencapaian Jhàna dan juga Jhàna-Jhàna yang lebih tinggi, merangkul 

sembilan pencapaian Jhàna dengan berdiam dalam masing-masing 

tingkatannya, serta lima kekuatan batin. Juga, Bhagavà sambil berdiri 

di angkasa, dan melambaikan tangan-Nya, menyatakan, bahwa 

dalam hal Pembebasan diri dari empat jenis pengikut, Kassapa 

tidak ada tandingannya,’ dan ‘bahwa dalam hal sikap seimbang, 

Kassapa berperilaku bagaikan bulan.’ Kata-kata pujian ini sungguh 

tidak ada bandingnya. Aku harus bertindak sesuai kemuliaan itu 

2728


dengan mengadakan sidang Saÿgha untuk membacakan Dhamma 

dan Vinaya untuk melestarikannya.”

“Bagaikan seorang raja yang mengangkat putra tertuanya 

sebagai pewaris tahta, menganugerahkan perlengkapan kerajaan 

dan kekuasaannya kepada putranya dengan pandangan untuk 

melestarikan kedaulatannya, demikian pula, Bhagavà telah 

memujiku secara berlebihan sebab   melihat bahwa, aku, Kassapa, 

akan mampu melestarikan ajaran-Nya.”

sesudah   merenungkan demikian, Yang Mulia Mahà Kassapa 

menceritakan kepada perkumpulan bhikkhu ini   tentang kata-

kata tidak sopan yang dilontarkan oleh Subhadda, si bhikkhu tua 

(seperti telah disebutkan di atas) dan mengajukan usul:

“Sekarang, teman-teman, sebelum noda-noda moral mendapatkan 

landasan dan menjadi gangguan bagi Dhamma, sebelum kejahatan 

mendapatkan landasan dan menjadi gangguan bagi Disiplin, 

sebelum para penganut noda-noda moral mendapatkan kekuatan, 

sebelum penganut Dhamma baik menjadi lemah, sebelum para 

penganut kejahatan mendapatkan kekuatan, sebelum penganut 

Disiplin menjadi lemah, marilah kita membacakan Dhamma dan 

Vinaya dengan suara bulat dan melestarikan-Nya.”

Mendengar usulannya itu, kumpulan bhikkhu itu berkata 

kepadanya, “Yang Mulia Kassapa, silakan Yang Mulia memilih 

para bhikkhu untuk membacakan Dhamma dan Vinaya.” Yang 

Mulia Mahà Kassapa lalu   memilih empat ratus sembilan 

puluh sembilan Arahanta yang telah menghafal Tiga Piñaka, dan 

kebanyakan mereka juga memiliki empat Pengetahuan Analitis, 

Tiga Vijjà dan Enam Kekuatan Batin, dan dinyatakan oleh Bhagavà 

sebagai bhikkhu terbaik.

(Pemilihan empat ratus sembilan puluh sembilan bhikkhu 

menunjukkan bahwa satu telah disediakan untuk Yang Mulia 

ânanda. Alasannya yaitu   bahwa pada saat itu Yang Mulia ânanda 

belum mencapai kesucian Arahatta, dan masih melatih diri untuk 

menjadi seorang Arahanta. Tanpa ânanda tidaklah mungkin 

2729

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

mengadakan sidang sebab   ia telah mendengarkan semua sabda 

Buddha yang terdiri dari Lima Nikàya atau kumpulan, Sembilan 

Aïga atau bagian, dan istilah-istilah dalam Dhamma yang berjumlah 

delapan puluh empat ribu.

Mengapa ânanda tidak dimasukkan dalam daftar pembaca oleh 

Yang Mulia Mahà Kassapa? Alasannya yaitu   bahwa Yang Mulia 

Mahà Kassapa ingin menghindari kritik bahwa ia pilih kasih 

terhadap ânanda sebab   masih ada Arahanta lain yang memiliki 

Empat Pengetahuan Analitis seperti ânanda sedangkan ânanda 

masih seorang sekkha, seorang yang masih melatih diri untuk 

mencapai Kearahattaan.

Kritik itu mungkin terjadi, mempertimbangkan fakta bahwa Yang 

Mulia Mahà Kassapa dan ânanda sangat akrab. Yang Mulia Mahà 

Kassapa memanggil ânanda dengan sebutan ‘anak muda ini’ 

padahal Yang Mulia ânanda berumur hampir delapan puluh tahun 

dengan rambut yang sudah memutih. (Baca Kassapa Saÿyutta, 

Cãvara Sutta, Nidàna Vagga). Lebih jauh lagi, Yang Mulia ânanda 

yaitu   seorang pangeran Sakya dan sepupu pertama Buddha. 

sebab   alasan itu, walaupun Yang Mulia Mahà Kassapa mengetahui 

bahwa ânanda pasti terlibat dalam proyek pembacaan itu, ia 

menunggu persetujuan umum dari kumpulan itu untuk memilih 

ânanda.)

saat   Yang Mulia Mahà Kassapa memberitahu kumpulan itu 

bahwa ia telah memilih empat ratus sembilan puluh sembilan 

Arahanta untuk tujuan itu, kumpulan itu sepakat mengusulkan 

Yang Mulia ânanda meskipun ia masih seorang sekkha. Mereka 

berkata, “Yang Mulia Mahà Kassapa, walaupun Yang Mulia ânanda 

masih seorang sekkha, ia bukanlah seorang yang dapat salah 

menilai. Terlebih lagi, ia yaitu   bhikkhu yang paling banyak belajar 

dari Buddha baik dalam hal Dhamma dan Vinaya.” lalu   

Yang Mulia Mahà Kassapa memasukkan ânanda dalam daftar 

pembaca. Demikianlah ada lima ratus pembaca yang dipilih dengan 

persetujuan kumpulan itu.

lalu   mereka mempertimbangkan lokasi pembacaan itu. 

2730


Mereka memilih Ràjagaha sebab   merupakan kota besar, cukup 

besar untuk menyediakan makanan setiap hari kepada sidang para 

bhikkhu ini  , dan sebab   memiliki banyak vihàra besar di mana 

para bhikkhu dapat menetap. Mereka juga berpikir tentang melarang 

para bhikkhu lain di luar daftar sidang itu untuk menjalani vassa 

di Ràjagaha, tempat sidang itu diadakan, selama masa itu. (Alasan 

melarang bhikkhu di luar sidang yaitu   sebab   sidang itu dilakukan 

setiap hari selama beberapa hari, jika pihak luar tidak secara resmi 

dilarang untuk menetap di sana selama masa vassa, orang-orang 

yang tidak menyetujui akan mengganggu jalannya sidang.)

lalu   Yang Mulia Mahà Kassapa, dengan mengajukan 

usulan resmi ini   bertindak sebagai pemimpin sidang, 

dan mendapatkan persetujuan resmi dari kumpulan itu untuk 

mengumumkan keputusan Saÿgha sebagai berikut:

Suõàtu me àvuso Sangho yadi Saÿghassa pattakallaÿ Saÿgho imàni 

pa¤cabhikkhusatàni sammanneyya ràja gahe vassaÿ vasantàni 

Dhamma¤ ca vinaya¤ ca sangà yituÿ na a¤¤ehi bhikkhÃ¥hi ràjagahe 

vassaÿ vasitabbanti, esà ¤atti.

Intinya yaitu  : (1) hanya lima ratus bhikkhu yang akan membacakan 

Dhamma dan Vinaya yang menetap di Ràjagaha selama masa vassa 

dan (2) bahwa para bhikkhu lain tidak diperbolehkan menetap di 

Ràjagaha selama masa yang sama.

Kammavàca di atas atau keputusan Saÿgha mengenai sidang terjadi 

dua puluh satu hari sesudah   Buddha meninggal dunia. sesudah   

keputusan itu ditetapkan, Yang Mulia Mahà Kassapa mengumumkan 

kepada semua anggota kumpulan sebagai berikut:

“Teman-teman, aku mengizinkan kalian untuk melakukan urusan 

pribadi kalian masing-masing selama empat puluh hari. sesudah   

empat puluh hari, tidak ada alasan untuk tidak menghadiri tugas 

pembacaan, apakah sebab   sakit, urusan yang berhubungan dengan 

penahbis, atau orangtua atau kebutuhan bhikkhu seperti mangkuk 

dan jubah. Kalian diharapkan untuk siap memulai tugas ini sesudah   

empat puluh hari.”

2731

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

sesudah   memberi   instruksi keras itu kepada Saÿgha, Yang 

Mulia Mahà Kassapa, disertai oleh lima ratus siswa bhikkhu, 

pergi ke Ràjagaha. Anggota sidang lainnya juga pergi ke berbagai 

tempat, disertai oleh para siswa bhikkhu mereka, untuk meredakan 

kesedihan banyak orang dengan membabarkan Dhamma yang baik. 

Yang Mulia Puõõa dan tujuh ratus siswa bhikkhu tetap di Kusinàrà 

memberi   penghiburan dengan khotbah mereka kepada para 

umat yang berdukacita atas kematian Buddha.

Yang Mulia ânanda seperti biasa membawa mangkuk dan jubah 

Buddha, dan pergi ke Sàvatthã disertai oleh lima ratus siswa bhikkhu. 

Pengikutnya terus bertambah setiap hari. Ke mana pun ia pergi, 

para umat meratap dan menangis.

Dengan melakukan perjalanan bertahap, akhirnya Yang Mulia 

ânanda tiba di Sàvatthã, berita kedatangannya menyebar ke seluruh 

kota dan para warga   keluar dengan membawa bunga dan 

wewangian untuk menyambutnya. Mereka meratap dengan berkata, 

“O Yang Mulia ânanda, engkau biasanya datang menyertai Buddha, 

tetapi di manakah engkau meninggalkan Buddha sekarang dan 

datang sendirian?” Kesedihan orang-orang saat melihat Yang Mulia 

ânanda sendirian sama seperti kesedihan yang terjadi saat Buddha 

meninggal dunia.

Yang Mulia ânanda menghibur mereka dengan membabarkan 

khotbah ketidakkekalan, penderitaan, dan tanpa-diri dari 

kelahiran yang berkondisi. lalu   ia memasuki Vihàra Jetavana, 

memberi hormat ke arah Kuñã Harum Buddha, membuka pintunya, 

mengeluarkan selimut dan alas duduk, membersihkannya, menyapu 

bagian dalam dan luar kamar, membuang bunga-bunga yang telah 

layu. lalu   ia mengembalikan selimut dan alas duduk dan 

melakukan tugas rutin di tempat kediaman Buddha seperti pada 

waktu Buddha masih hidup.

Sewaktu ia melakukan tugas-tugas rutin itu, ia akan berkata sambil 

menangis, “O Bhagavà, bukankah sekarang saatnya Engkau mandi?” 

“Bukankah sekarang saatnya Engkau membabarkan khotbah?” 

2732


“Bukankah sekarang saatnya Engkau memberi   nasihat kepada 

para bhikkhu?” “Bukankah sekarang saatnya untuk berbaring di 

sisi kanan dalam keagungan Buddha (seperti singa)?” “Bukankah 

sekarang saatnya mencuci muka?” Ia tidak dapat menahan tangis 

dalam melakukan rutinitas dalam melayani Buddha itu sebab  , 

mengetahui manfaat dari kualitas menenangkan dari Bhagavà, ia 

memiliki cinta yang mendalam terhadap Buddha sebab   keyakinan 

juga sebab   kasih sayangnya; ia belum melenyapkan semua noda 

moral; ia memiliki hati yang lembut terhadp Buddha sebab   

kebersamaan yang terjadi antara dirinya dan Buddha selama jutaan 

kehidupan yang lampau.

Nasihat yang Diberikan Oleh Dewa Hutan

Meskipun dirinya menderita kesedihan yang hebat dan dukacita 

akibat kehilangan Buddha, Yang Mulia ânanda juga memberi   

banyak penghiburan kepada para umat yang datang menjumpainya 

yang berduka sebab   kematian Buddha. Saat ia menetap di dalam 

hutan di Kerajaan Kosala, dewa penjaga hutan itu juga turut 

bersedih sebab  nya; dan untuk mengingatkannya agar melawan 

kesedihannya, dewa itu menyanyikan syair berikut untuknya:

RukkhamÃ¥lagahanaÿ pasakkiya 

Nibbànaÿ hadayasmiÿ opiya. 

Jhàya Gotama mà pamàdo Kiÿ 

te biëibiëikà karissati.

“O Yang Mulia dari keluarga Gotama, pergilah ke bawah pohon, 

celupkan batinmu ke dalam Nibbàna (‘arahkan batinmu ke 

Nibbàna’, Komentar) dan berdiamlah dalam Jhàna yang ditandai 

oleh konsentrasi pada objek (‘celupkan batinmu ke dalam Nibbàna: 

‘Arahkan batinmu ke Nibbàna―Komentar, meditasi) dan pada 

coraknya (yaitu ketidakkekalan, penderitaan, tanpa-diri). Apa 

gunanya engkau bercakap-cakap dengan para pengunjung untuk 

menghibur mereka?”

Teguran itu membangkitkan saÿvega dalam diri Yang Mulia 

ânanda. Sejak Buddha meninggal dunia, ia terlalu banyak berdiri 

2733

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

dan duduk sehingga ia merasa kurang sehat; dan untuk memulihkan 

dirinya, keesokan harinya ia meminum obat pencahar dari susu, 

dan tidak keluar dari vihàra.

Pada hari itu, Subha, putra Todeyya, seorang brahmana (yang 

meninggal dunia) datang mengundang Yang Mulia ânanda untuk 

mempersembahkan makanan. Yang Mulia ânanda berkata kepada 

pemuda itu bahwa ia tidak dapat datang hari itu sebab   ia telah 

meminum susu pencahar, dan bahwa ia akan datang keesokan 

harinya. Keesokan harinya ia pergi ke tempat Buddha di mana 

pemuda brahmana kaya itu mengajukan pertanyaan yang menyentuh 

Dhamma. Sebagai jawaban Yang Mulia ânanda membabarkan 

khotbah seperti yang tercatat dalam Subha Sutta, khotbah kesepuluh 

dalam Sãlakkhandha Vagga dari Dãgha Nikàya.

lalu   Yang Mulia ânanda mengawasi perbaikan Vihàra 

Jetavana. Menjelang vassa, ia meninggalkan para siswa bhikkhu di 

vihàra dan berangkat ke Ràjagaha. Anggota lainnya yang terpilih 

untuk membacakan Piñaka juga datang ke Ràjagaha pada waktu yang 

hampir bersamaan. Seluruh anggota ini   melakukan uposatha 

pada malam purnama bulan âsaëha (Juni-Juli) dan pada keesokan 

harinya mereka bertekad untuk menetap di Ràjagaha selama tiga 

bulan vassa.

Pada waktu itu terdapat delapan belas vihàra di Ràjagaha. sebab   

tidak ditempati selama beberapa waktu, bangunan dan halamannya 

dalam keadaan rusak dan terabaikan. Pada saat Buddha meninggal 

dunia, semua bhikkhu meninggalkan Ràjagaha menuju Kusinàrà dan 

vihàra-vihàra itu tidak ditempati sehingga bangunannya menjadi 

kotor dan berdebu serta banyak jendela yang pecah dan dinding 

yang bercelah.

Para bhikkhu mengadakan rapat dan memutuskan bahwa sesuai 

peraturan yang ditetapkan oleh Buddha dalam Vinaya; dalam bab 

tentang tempat tinggal, bangunan vihàra dan sekitarnya harus 

diperbaiki sebaik-baiknya. Maka mereka menyediakan waktu satu 

bulan pertama dari masa vassa itu untuk memperbaiki vihàra-

vihàra, dan bulan kedua untuk pembacaan. Mereka melakukan 

2734


pekerjaan perbaikan itu untuk menghormati instruksi Buddha yang 

tercantum dalam peraturan Vinaya, dan juga untuk menghindari 

kritik oleh aliran kepercayaan di luar ajaran Buddha yang akan 

mengatakan, “Para siswa Samaõa Gotama memelihara vihàra 

hanya pada saat guru mereka masih hidup, tetapi sesudah   Beliau 

meninggal dunia, mereka mengabaikan vihàra-vihàra itu dan 

menyia-nyiakan harta berharga yang disumbangkan oleh empat 

kelompok pengikutnya.”

sesudah   memutuskan demikian, para bhikkhu mendatangi istana 

Raja Ajàtasattu, seorang penyumbang. Raja bersujud kepada 

mereka dan menanyakan tujuan dari kunjungan mereka. Mereka 

memberitahunya bahwa mereka memerlukan bantuan tenaga untuk 

pekerjaan memperbaiki delapan belas vihàra. Raja menyediakan 

pekerja untuk melakukan pekerjaan perbaikan di bawah pengawasan 

para bhikkhu. Dalam bulan pertama, pekerjaan itu selesai dilakukan. 

Para bhikkhu lalu   menghadap Raja Ajàtasattu dan berkata, 

“Tuanku, pekerjaan memperbaiki vihàra telah selesai. Sekarang 

kami akan mengadakan sidang untuk membacakan Dhamma dan 

Vinaya bersama-sama.” Raja berkata, “Para Mulia, lakukanlah 

tugas kalian.” Semoga ada kerjasama antara kekuasaan kerajaan 

dan kekuasaan Dhamma. Sebutkanlah kebutuhan kalian dan aku 

akan menyediakannya.” Para bhikkhu berkata, “Kami memerlukan 

aula pertemuan untuk Saÿgha untuk melakukan tugas itu.” Raja 

menanyakan tempat yang mereka pilih, dan mereka menyebutkan di 

lereng Gunung Vebhàra di mana berdiri sebatang pohon sattapaõni 

(Alstonia scholaris).

Sebuah Paviliun Besar Sumbangan Raja Ajàtasattu

“Baiklah, Yang Mulia,” Raja Ajàtasattu berkata dan ia membangun 

sebuah paviliun besar untuk sidang ini   semegah paviliun 

yang pernah dibangun oleh Visukamma, dewa arsitek. Terdiri dari 

beberapa ruangan untuk melakukan berbagai pekerjaan dalam 

sidang ini  , masing-masing memiliki tangga dan koridor, 

semua dinding dan tiang dihiasi dengan lukisan yang artistik. 

Keseluruhan paviliun itu melampaui kemegahan istana kerajaan 

dan keindahannya mengalahkan istana dewa. Tampak seperti 

2735

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

istana megah yang menarik perhatian mereka yang melihatnya, baik 

dewa maupun manusia, bagaikan tepi sungai yang menyenangkan 

menarik perhatian segala jenis burung. Sesungguhnya, paviliun 

itu memiliki kesan seperti sebuah objek kegembiraan yang setara 

dengan gabungan seluruh hal-hal yang menggembirakan.

Aula dewan memiliki kanopi yang berhiaskan permata. Kuntum-

kuntum bunga berbagai ukuran, bentuk, dan warna tergantung 

dari kanopi itu. Di lantainya bertebaran permata-permata yang 

terlihat bagaikan lantai yang terbuat dari batu delima utuh. Di 

atasnya terhampar karangan-karangan bunga berbagai warna yang 

membentuk karpet yang menghiasi istana brahmà. Lima ratus 

tempat duduk untuk lima ratus bhikkhu pembaca dibuat dari bahan-

bahan yang tidak ternilai, namun dibuat sedemikian sehingga layak 

untuk dipakai oleh para bhikkhu. Singgasana, yaitu, mimbar yang 

tinggi, untuk bhikkhu senior yang bertugas mengajukan pertanyaan 

memiliki sandaran punggung yang disandarkan pada dinding 

sebelah selatan, menghadap ke utara. Di tengah-tengah terdapat 

sebuah singgasana atau mimbar untuk bhikkhu yang bertugas 

menjawab pertanyaan-pertanyaan, menghadap ke timur, yang cocok 

untuk digunakan oleh Buddha. Di atasnya diletakkan sebuah kipas 

bundar Ritual   yang terbuat dari gading. sesudah   membuat semua 

persiapan secara saksama, raja memberitahukan kepada Saÿgha 

bahwa semuanya telah siap.

Hari itu yaitu   hari keempat bulan tua di bulan Savana (Juli-

Agustus). Pada hari itu beberapa bhikkhu berkata kepada temannya, 

“Dalam kelompok para bhikkhu, ada satu yang masih memiliki 

kotoran” yang merupakan sindiran terhadap Yang Mulia ânanda. 

saat   kata-kata ini sampai di telinga Yang Mulia ânanda, ia 

menyadari bahwa bukan orang lain melainkan dirinya sendirilah 

yang menyebarkan bau kotoran itu. Ia membangkitkan saÿvega 

dari kata-kata itu. Bhikkhu lainnya berkata kepadanya, “Teman 

ânanda, sidang akan dimulai besok. Engkau masih harus mencapai 

tingkatan Jalan yang lebih tinggi. Tidaklah tepat jika engkau 

berpartisipasi dalam sidang sebagai seorang sekkha (Seorang Ariya 

yang masih berlatih untuk mencapai Kearahattaan). Kami ingin agar 

engkau berusaha dengan penuh perhatian agar dapat mencapai 

2736


Kearahattaan pada waktunya.”

Kearahattaan di Luar Empat Postur

lalu   Yang Mulia ânanda berpikir, “Besok, sidang akan 

dimulai. Tidaklah tepat jika aku berpartisipasi dalam sidang sebagai 

seorang sekkha (hanya seorang Sotàpanna).” Ia bermeditasi dengan 

objek badan jasmani sepanjang malam. Saat menjelang pagi, ia 

berpikir untuk beristirahat sejenak. Ia kembali ke vihàra, dengan 

penuh perhatian ia berbaring di atas selimut. Saat kedua kakinya 

naik dari lantai dan kepalanya belum menyentuh bantal, ia sesaat   

mencapai Kearahattaan, bukan dalam satu dari empat postur. 

Penjelasan lebih lanjut: Yang Mulia ânanda telah bermeditasi 

berjalan mondar-mandir di luar vihàra. Magga-Phala (tiga tingkat 

yang lebih tinggi) masih belum tercapai. lalu   ia teringat kata-

kata Buddha saat menjelang meninggal dunia: ”ânanda, engkau 

telah melakukan banyak kebajikan. Bermeditasilah dengan tekun. 

Engkau akan segera mencapai Kearahattaan.” Ia tahu bahwa kata-

kata Buddha tidak pernah keliru. Ia meninjau kembali latihannya 

“Aku telah terlalu keras berusaha; ini membuat pikiranku kacau. 

Aku harus berusaha menyeimbangkan usaha dan konsentrasi.” 

Dengan merenungkan demikian, ia mencuci kakinya dan masuk 

ke dalam ruang meditasinya, berniat untuk beristirahat sejenak. 

Dengan penuh perhatian, ia berbaring di atas selimut. Saat kedua 

kakinya naik dari lantai dan kepalanya belum menyentuh bantal, 

dalam waktu yang sangat singkat itu, ia mencapai Arahatta-Phala, 

menyucikan semua noda moral.

sebab   itu jika seseorang mengajukan pertanyaan, “Bhikkhu 

siapakah dalam Dhamma ini yang mencapai Kearahattaan di 

luar dari empat postur tubuh?” Jawabannya yaitu   “Yang Mulia 

ânanda.”

ânanda Dipuji Oleh Mahà Kassapa

Hari itu yaitu   hari kelima bulan tua di bulan Savana (Juli-Agustus), 

sehari sesudah   Yang Mulia ânanda mencapai Kearahattaan. sesudah   

2737

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

selesai makan, para pembaca terpilih dalam sidang itu menyimpan 

mangkuk dan perlengkapan lainnya dan berkumpul di paviliun 

besar untuk memulai tugas mereka. (Sesuai tradisi di India, periode 

yang dimulai sejak hari purnama di bulan âsaëha (Juni-Juli) hingga 

hari purnama di bulan Sayaria dihitung satu bulan. Selama periode 

satu bulan itu, Saÿgha melakukan pekerjaan perbaikan dan 

pemeliharaan vihàra. Pada hari pertama bulan tua di bulan Savana 

mereka memohon kepada Raja Ajàtasattu untuk dibangunkan 

sebuah paviliun. Pembangunan itu membutuhkan waktu tiga hari. 

Pada hari keempat Yang Mulia ânanda mencapai Kearahattaan. 

Pada hari kelima kegiatan sidang dimulai.)

Pada kesempatan itu Yang Mulia ânanda menghadiri sidang sebagai 

seorang Arahanta.

Ia memasuki paviliun itu saat semua yang lainnya telah hadir. 

Mengenakan jubahnya dengan cara yang diharuskan bagi para 

bhikkhu yang akan menghadiri suatu pertemuan (atau pergi ke 

desa), ia melangkah masuk ke ruang sidang dengan wajah bersinar 

bagaikan buah kelapa segar yang baru dipetik, atau bagaikan sebutir 

batu delima yang diletakkan di atas sehelai kain putih, atau bagaikan 

bulan purnama di langit yang bersih, atau bagaikan bunga teratai 

paduma yang mekar sebab   menerina sinar matahari pagi. Terlihat 

memancarkan kesucian Arahatta. Kemegahannya mengungkapkan 

Kearahattaannya.

(“Mengapa ânanda memasuki ruangan seolah-olah mengungkapkan 

Kearahattaannya?” “Seorang Arahanta tidak mengungkapkan 

pencapaian Arahatta-Phala dalam kata-kata tetapi membiarkan 

fakta itu diketahui oleh orang lain, dan hal ini dipuji oleh Buddha,” 

demikianlah renungan Yang Mulia ânanda. Ia menyadari bahwa 

Dewan itu mengizinkannya berpartisipasi dalam sidang sebab   

pengetahuannya, meskipun ia masih seorang sekkha. Dan sekarang 

ia telah mencapai Kearahattaan, para bhikkhu lain akan gembira 

mengetahui fakta itu. Lebih jauh lagi, ia ingin membuktikan kepada 

semua orang tentang sabda terakhir Buddha, ‘Berusahalah dengan 

tekun untuk mencapai tujuan yang engkau tetapkan’, terbukti 

benar.)

2738


Melihat Yang Mulia ânanda, Mahà Kassapa berpikir, “Ah, ânanda 

sebagai seorang Arahanta terlihat begitu agung. Jika Bhagavà masih 

hidup, ia pasti akan bersorak untuk ânanda hari ini. Sekarang aku 

harus mengucapkan kata-kata pujian mewakili Bhagavà.” lalu   

ia berkata, “Teman ânanda, keagunganmu menunjukkan bahwa 

engkau telah memenangkan Arahatta-Phala, dan seterusnya,” ia 

mengucapkan kata-kata itu tiga kali dengan suara keras.

Memulai Sidang

Dengan kedatangan Yang Mulia ânanda, Dewan itu menjadi 

lengkap dengan lima ratus pembaca terpilih. Yang Mulia Mahà 

Kassapa bertanya kepada Dewan bagian mana yang akan dimulai 

lebih dulu, apakah Dhamma, Suttanta, dan Abhidhammà yang 

harus dibacakan terlebih dahulu, atau Disiplin, Vinaya, yang harus 

dibacakan terlebih dahulu. Saÿgha sepakat mengusulkan, “Yang 

Mulia Mahà Kassapa, Vinaya yaitu   sumber kehidupan ajaran 

Buddha. sebab   jika Vinaya bertahan lama maka ajaran Buddha juga 

bertahan lama. sebab   itu marilah kita memulai pembacaan kita 

dengan membacakan Vinaya.” Yang Mulia Mahà Kassapa lalu   

bertanya, “Siapakah yang akan menjadi bhikkhu pemimpin dalam 

membacakan Vinaya?” “Kami akan memilih Yang Mulia Upàli 

sebagai bhikkhu pemimpin.” “Apakah Yang Mulia ânanda tidak 

mampu melakukannya?” “ânanda cukup mampu melakukannya. 

Tetapi, saat   Bhagavà masih hidup, Beliau menyatakan Yang Mulia 

Upàli sebagai yang terbaik di antara para siswa bhikkhu yang 

menguasai Vinaya. sebab   itu, kami memilih Yang Mulia Upàli, 

kalau ia bersedia, menjadi bhikkhu pemimpin dalam membacakan 

Vinaya.”

Yang Mulia Mahà Kassapa yaitu   bhikkhu ketua dalam sidang 

pertama. Ia juga bertanggung jawab dalam mengajukan pertanyaan-

pertanyaan. Yang Mulia Upàli bertanggung jawab dalam menjawab 

pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan Vinaya. Dua 

bhikkhu mulia ini   duduk di tempat yang telah dipersiapkan 

untuk mereka dan melaksanakan tugas mereka. Tiap-tiap peraturan 

dari Vinaya diajukan sebagai suatu pertanyaan yang terdiri dari topik, 

2739

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

kisah yang melatarbelakangi, orang yang menyebabkan Buddha 

menetapkan peraturan itu, peraturan asli, amandemen (jika ada), 

apakah pelanggaran terhadap peraturan itu memerlukan penebusan 

atau tidak; dan setiap pertanyaan dijawab secara lengkap sesuai 

urutan demikian. sidang itu lalu   mencatatnya dengan cara 

membacakannya bersama-sama, menyebutkan dengan ungkapan-

ungkapan resmi seperti: ‘Pada saat itu’, ‘Selanjutnya’, ‘lalu  ’, 

‘Dikatakan’ untuk merangkum berbagai hal. Para pembaca sepakat, 

“Pada saat itu Bhagavà sedang berdiam di Vera¤ja, dan seterusnya.” 

(Pembacaan sabda-sabda Buddha oleh Saÿgha dalam pertemuan 

khusus disebut mengadakan sidang, Saÿgàyanà.)

saat   pembacaan Pàràjika Pertama selesai, bumi ini berguncang 

hingga ke bawah batas permukaan air, seolah-olah menyoraki 

peristiwa bersejarah itu.

Tiga peraturan Pàràjika berikutnya dibacakan dengan cara yang 

sama, demikian pula dengan dua ratus dua puluh tujuh peraturan 

lainnya, masing-masing diajukan sebagai sebuah pertanyaan dan 

diikuti oleh jawabannya. Keseluruhan kitab itu disebut Pàràjikakaõóa 

Pàëi, dan juga dikenal sebagai Bhikkhu Vibhaõga, yang lebih terkenal 

dengan sebutan “Mahàvibhaïga.” Yang ditetapkan sebagai kitab 

resmi yang sejak saat itu diajarkan (di vihàra-vihàra) dari generasi 

ke generasi. Pada akhir pembacaan Mahàvibhaïga itu, bumi ini juga 

berguncang keras seperti sebelumnya.

lalu   menyusul tiga ratus empat peraturan Bhikkhunã 

Vibhaïga, dibacakan dalam bentuk pertanyaan dan jawaban seperti 

sebelumnya. Bhikkhunã Vibhaïga ini dan Mahàvibhaïga bersama-

sama dikenal sebagai ‘Ubhato Vibhaïga dari enam puluh empat 

pembacaan atau bhàõavàra.’ Yang ditetapkan sebagai kitab resmi 

yang sejak saat itu diajarkan dari generasi ke generasi. Pada akhir 

pembacaan Ubhato Vibhaïga itu, bumi ini juga berguncang keras 

seperti sebelumnya.

Upàli Bertanggung Jawab Dalam Vinaya Piñaka

Dewan yang terdiri dari lima ratus pembaca mempercayakan versi 

2740


yang telah disetujui dari Vinaya Piñaka kepada Yang Mulia Upàli 

sebagai penanggung jawab, “Teman, ajarkanlah Vinaya Piñaka 

ini kepada para siswa yang datang untuk memohon instruksi 

darimu.” saat   pembacaan Vinaya Piñaka selesai, Yang Mulia 

Upàli, yang telah menyelesaikan tugasnya, meletakkan kipas bundar 

gading itu di atas mimbar, lalu   turun dari mimbar ini  , 

memberi hormat kepada para bhikkhu senior, dan duduk di tempat 

duduknya.

sesudah   pembacaan Vinaya, Dhamma (yaitu, Suttanta dan 

Abhidhammà) juga dibacakan. Maka Yang Mulia Mahà Kassapa 

bertanya kepada dewan pembaca, “Bhikkhu siapakah yang akan 

memimpin pembacaan Dhamma?” Dewan itu sepakat menyebutkan 

Yang Mulia ânanda untuk posisi ini  .

lalu   Yang Mulia Mahà Kassapa menunjuk dirinya sendiri 

sebagai penanya, dan Yang Mulia ânanda sebagai penjawab. Bangkit 

dari duduknya, membetulkan jubah, dan bersujud kepada para 

bhikkhu, Yang Mulia ânanda memegang kipas bundar gading dan 

duduk di atas mimbar. lalu   rencana pembacaan Dhamma 

didiskusikan oleh Yang Mulia Mahà Kassapa dan para Thera yang 

berparitisipasi:

Kassapa, “Teman-teman, ada dua bagian Dhamma, Suttanta Piñaka 

dan Abhidhammà Piñaka, yang mana lebih dulu?”

Para Thera, “Yang Mulia, marilah kita mulai dengan Suttanta 

Piñaka.” (Vinaya berhubungan dengan Moralitas Tinggi (Adhi-

Sãla); Suttanta membahas Kesadaran Tinggi (Adhi-Citta), yaitu 

konsentrasi; dan Abhidhammà membahas Kebijaksanaan Tinggi 

(Adhi-Pa¤¤Ã ). Oleh sebab   itu, Dewan membacakan Tiga Latihan, 

Moralitas, Konsentrasi, dan Kebijaksanaan sesuai urutannya.)

Kassapa, “Teman-teman, ada empat kumpulan (Nikàya) dari Sutta 

dalam Suttanta Piñaka; yang mana lebih dulu?”

Para Thera, “Yang Mulia, marilah kita mulai dengan yang panjang, 

Dãgha Nikàya.”

2741

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

Kassapa, “Teman-teman, Dighà Nikàya terdiri dari tiga puluh 

empat khotbah (Sutta) dalam tiga bagian (Vagga), yang mana lebih 

dulu?”

Para Thera, “Yang Mulia, marilah kita mulai dari Sãlakkhandha 

Vagga.”

Kassapa, “Teman-teman, Sãlakkhandha Vagga terdiri dari tiga belas 

khotbah; yang mana lebih dulu?”

Para Thera, “Yang Mulia, Brahmajàla Sutta menggambarkan tiga 

tingkat moralitas; berguna untuk menghindari dari ucapan-ucapan 

yang tidak benar atau kemunafikan bagi para bhikkhu yang dapat 

mengganggu ajaran. Juga menjelaskan enam puluh dua jenis 

pandangan salah. Terjadi enam puluh dua kali gempa bumi saat 

dibabarkan oleh Bhagavà. Marilah kita mulai dengan Brahmajàla 

Sutta.”

sesudah   sepakat dengan rencana ini  , Yang Mulia Mahà Kassapa 

mengajukan pertanyaan tentang Brahmajàla Sutta kepada Yang 

Mulia ânanda sehubungan dengan kisah yang melatarbelakangi, 

orang-orang yang terlibat dalam khotbah ini  , topik, dan lain-

lain. Yang Mulia ânanda menjawab setiap pertanyaan dengan 

lengkap, dan selanjutnya, lima ratus pembaca itu bersama-sama 

membacakan Brahmajàla Sutta. saat   pembacaan Sutta itu selesai, 

bumi ini berguncang keras seperti sebelumnya.

lalu   diikuti dengan pertanyaan dan jawaban dan pembacaan 

bersama dua belas Sutta lainnya dari Sãlakkhandha Vagga.

lalu   Mahà Vagga yang terdiri dari sepuluh Sutta menyusul, 

dan lalu   Pàthika Vagga yang terdiri dari sebelas Sutta, masing-

masing dengan pertanyaan dan jawaban. Dengan demikian tiga 

puluh empat Sutta dalam tiga bagian (Vagga), yang pembacaannya 

berjumlah dua puluh empat, tercatat sebagai Sabda-Sabda Buddha 

dengan judul Dãgha Nikàya, Kumpulan Khotbah Panjang, lalu   

mereka mempercayakan versi yang telah disetujui itu kepada Yang 

2742


Mulia ânanda, “Teman ânanda, ajarkanlah Dãgha Nikàya ini 

kepada siswa yang datang untuk memohon instruksi darimu.”

Selanjutnya Dewan itu menyetujui Majjhima Nikàya, kumpulan 

Khotbah-Khotbah yang tidak terlalu panjang dan tidak terlalu 

pendek, sesudah   proses tanya dan jawab, yang seluruhnya 

memerlukan waktu delapan puluh pembacaan. lalu   mereka 

mempercayakan versi kitab yang telah disetujui itu kepada siswa-

siswa Yang Mulia Sàriputta, dengan mengatakan, “Teman-teman, 

lestarikanlah Majjhima Nikàya ini dengan baik.”

Selanjutnya Dewan itu menyetujui Saÿyutta Nikàya, Kumpulan 

Khotbah-Khotbah yang Saling Berhubungan, sesudah   proses tanya 

dan jawab, yang seluruhnya memerlukan waktu seratus pembacaan. 

lalu   mereka mempercayakan versi kitab yang telah disetujui 

itu kepada Yang Mulia Mahà Kassapa, dengan berkata, “Yang Mulia, 

ajarkanlah Saÿyutta Nikàya ini, Sabda-Sabda Bhagavà, kepada para 

siswa yang mendatangimu untuk memohon instruksi.”

Selanjutnya Dewan itu menyetujui Aïguttara Nikàya, kumpulan 

Khotbah-Khotbah Bertingkat, sesudah   proses tanya dan jawab, 

yang seluruhnya memerlukan waktu delapan puluh pembacaan. 

lalu   mereka mempercayakan versi kitab yang telah disetujui 

itu kepada Yang Mulia Anuruddhà, dengan berkata, “Yang 

Mulia, ajarkanlah Aïguttara Nikàya ini, kepada para siswa yang 

mendatangimu untuk memohon instruksi.”

lalu   Dewan menyetujui tujuh kitab Abhidhammà, yaitu, 

Dhammasaïgaõã, Vibhaïga, Dhàtukathà, Puggala Pa¤¤Ã tti, 

Kathàvatthu, Yamaka, dan Paññhàna, sesudah   melewati pertanyaan, 

jawaban, dan pembacaan. Pada akhir pembacaan kitab-kitab 

Abhidhammà ini, bumi ini berguncang keras seperti sebelumnya.

lalu   Dewan membacakan: Jàtaka, Niddesa, Pañisambhidà 

Magga, Apadàna, Sutta Nipàta, Khuddakapàñha, Dhammapada, 

Udàna, Itivuttaka, Vimànavatthu, Petavatthu, Theragàtha, dan 

Therãgàthà, sesudah   melewati proses tanya-jawab. Tiga belas kitab ini 

secara keseluruhan disebut Khuddaka Nikàya, Kumpulan Khotbah-

2743

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

Khotbah Sejenis.

Menurut para bhikkhu yang telah menghafalkan Dãgha Nikàya, 

disebutkan bahwa, “Khuddaka Nikàya dibacakan dan disetujui 

bersama-sama dengan Abhidhammà Piñaka.” Tetapi menurut para 

bhikkhu yang telah menghafalkan Majjhima Nikàya, tiga belas 

kitab ini, bersama-sama dengan Buddhavaÿsa dan Cariyà Piñaka, 

sehingga seluruhnya berjumlah lima belas, disebut Khuddaka 

Nikàya dan dikelompokkan dalam Suttanta Piñaka, (Pernyataan 

ini berdasarkan pada Komentar Sãlakkhandha. Satu Bhàõavàra 

atau satu ‘pembacaan’ yaitu   lama waktu yang dibutuhkan untuk 

membacakan satu kitab, yang menurut perkiraan waktu modern, 

yaitu   kira-kira setengah jam. Nama para bhikkhu pemimpin, 

yaitu, Yang Mulia Mahà Kassapa, Yang Mulia Upàli, dan Yang 

Mulia ânanda, dan tugasnya masing-masing, tercatat dalam Vinaya 

Cåëàvagga Pa¤casatikkhandhaka.)

Demikianlah Yang Mulia ânanda yaitu   seorang bhikkhu penting 

dalam sidang Pertama, yang menjawab dengan terampil semua 

pertanyaan yang berhubungan dengan Dhamma yang terdiri dari 

Suttanta Piñaka dan Abhidhammà Piñaka.

(Ini yaitu   kisah dari peran penting yang dimainkan oleh Yang 

Mulia ânanda pada sidang Pertama.)

Thera ânanda Parinibbàna

Pada saat sidang Pertama, di tahun 148 Mahà Era, Yang Mulia 

ânanda, yang terlahir pada hari yang sama dengan Buddha, telah 

berusia delapan puluh tahun. Empat puluh tahun sesudah   sidang 

pertama, saat ia berusia seratus dua puluh tahun, ia memeriksa 

kelompok penunjang kehidupannya, dan melihat bahwa ia hanya 

akan hidup selama tujuh hari lagi. Ia memberitahukan hal ini kepada 

para siswanya.

saat   orang-orang mendengar berita ini, mereka yang menetap di 

seberang sini Sungai Rohiõi (yang menjadi rebutan antara para Sakya 

dan Koliya sehubungan dengan pembagian air yang melatarbelakangi 

2744


khotbah Buddha yang dikenal dengan Mahàsamaya Sutta) berkata 

bahwa Yang Mulia ânanda telah banyak memperoleh persembahan 

dari mereka dan sebab   itu ia harus meninggal dunia di tempat 

mereka, sisi sebelah sini dari sungai itu dan mereka yang menetap 

di seberang sana juga mengatakan hal yang sama.

Mendengar kata-kata dari kedua belah pihak, Yang Mulia ânanda 

berpikir, “Kedua belah pihak telah banyak berjasa kepadaku. Tidak 

seorang pun yang dapat menyangkalnya. Jika aku meninggal dunia 

di seberang sini, warga   di seberang sana akan berperang dengan 

warga   di seberang sini untuk memperebutkan relik-relikku. 

Dan jika aku meninggal dunia di seberang sana, para warga   

di seberang sini juga akan berperang untuk alasan yang sama. Dan 

aku hanya menjadi pemicu   perselisihan di antara mereka. Jika 

dapat berdamai, aku ingin menjadi pemicu   perdamaian itu. Ini 

tergantung dari bagaimana aku mengatasi masalah ini.” sesudah   

merenungkan demikian, ia berkata kepada kedua belah pihak:

“O para penyumbang, laki-laki dan perempuan, kalian yang 

menetap di seberang sini telah banyak berjasa kepadaku. Demikian 

pula, kalian yang menetap di seberang sana juga banyak berjasa 

kepadaku. Tidak ada di antara kalian yang tidak berjasa kepadaku. 

Silakan bagi mereka yang menetap di seberang sini, berkumpul di 

sini, dan mereka yang menetap di seberang sana, berkumpul di 

sana.”

lalu   pada hari ketujuh, ia berdiam tinggi di angkasa kira-

kira setinggi tujuh pohon kelapa, duduk bersila di atas di tengah-

tengah Sungai Rohiõã dan membabarkan khotbah kepada para 

warga  .

Pada akhir khotbah ini  , ia berkehendak agar tubuhnya terbelah 

menjadi dua dan satu bagian akan jatuh di seberang sini sedangkan 

bagian lainnya akan jatuh di seberang sana. lalu   ia masuk ke 

dalam Jhàna tejo dhàtu yang merupakan dasar dari kekuatan batin. 

Keluar dari Jhàna itu, proses pikiran yang berhubungan dengan 

kekuatan batin muncul dalam dirinya. Pada saat proses pikiran 

ini   tubuhnya terbakar dan segera sesudah   proses pikiran itu 

2745

Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga

berakhir, kesadaran-kematiannya muncul dan ia meninggal dunia, 

menembus Nibbàna dan mengakhiri semua jejak kehidupan.

Tubuhnya terbelah menjadi dua sesuai kehendaknya, satu bagian 

jatuh di seberang sini dan bagian lainnya jatuh di seberang sana. 

Para warga   di kedua sisi meratap sedih. Ledakan emosi mereka 

bergema seolah-olah terjadi gempa bumi. Kesedihan yang terjadi 

pada peristiwa ini terlihat bahkan lebih menyedihkan dibandingkan 

pada saat kematian Buddha. Mereka menangis selama empat bulan 

penuh, meratap, “Selama kami masih melihat p