Tampilkan postingan dengan label Nikah muhtah 2. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Nikah muhtah 2. Tampilkan semua postingan

Nikah muhtah 2

 



Dari uraian terdahulu dapat diambil beberapa kesimpulan:

1. Dalam kajian literature hadis Sunni dikenal dengan al-kutub al-sittah, 

yakni kitab hadis yang enam (¢a¥³¥ al-Bukh±r³, ¢a¥³¥ Muslim, Sunan 

Ab³ Dawud, Sunan al-Turmu©³, Sunan al-Nas±I, dan Sunan Ibn Majah). 

Sedangkan dalam kajian literature Syiah dikenal dengan al-kutub al￾Arba’ah, yakni kitab yang empat (kebanyakannya berisi hadis), yaitu 

al-K±fi karya karya al-Syaikh al-Kulainiy (wafat 329 H), Ta¥z³b al￾Ahk±m dan al-Istib¡±r karya al-Syaikh al-°-siy (wafat 460 H), dan M± la 

ya¥«uruhu al-Faq³h karya Ibn Bawayah. Perbedaan metodologi dalam 

menetapkan criteria/indicator krsahihan hadis menyebabkan antara 

Sunni dan Syiah berbeda dalam menilai hadis tentang Nikah Mut’ah. 

Orang-orang Syiah menolak hadis Nikah Mut’ah versi Sunni yang 

dimuat dalam ¢a¥³¥ al-Bukh±r³ walaupun rawi akhirnya Ali bin Abi 

°±lib. Bila dengan hadis ini izin nikah Mut’ah telah dihapus (mans-kh) 

menurut Sunni, tapi menurut Syiah nikah Mut’ah malah digalakkan 

dan dibuat sistematis seperti bab-bab fikih sehingga yang terlihat 

bukan lagi kalam Rasul tapi rekayasa sanad dan materi. Dengan 

standar mu¡¯alahul had³s, kita dengan mudah akan mengatakan kitab 

hadis al-k±fiy, khususnya tentang nikah Mut’ah umumnya daif 

(lemah), baik karena mursal, munqa¯I’, dsb Bagi Syiah hadis sahih 

bila diriwayatkan oleh seorang yang ma’¡um. 

2. Bagi Syiah hadis-hadis tentang kebolehan Mut’ah tidak dinasakh; 

bahkan dasar tentang kebolehan Nikah Mut’ah juga ada  dalam 

Alquran yakni ayat 24 surah al-Nis±. Kelompok Syiah ini menguatkan 

pendapat dengan menyodorkan hadis-hadis tafsir yang ada dalam 

literature sunni misalnya Musnad Ahmad dan Sunan Ibn Majah yang dari segi sanadnya sahih. Sikap Syiah ini biasa terbantah bahwa 

hadis tafsir ini  telah mansukh oleh hadis Bukhari yang lebih 

sahih dan hadis lain dan sekaligus ayat-ayat yang menerangkan 

bahwa dengan adanya iddah, talak, dan warisan.= Setelah mengkaji 

bahan kedua sumber (syiah dan sunni) saya memiliki sikap berikut ini 

Saya sependapat dengan ulama-ulama sunni yang memfinalkan 

bahwa nikah Mut’ah telah dihapus sesuai dengan hasil kajian Imam 

Nawawi. Alasan saya (1) Nikah Mut’ah ada tradisi Arab sebelum Islam. 

Toleransi kebolehannya dalam Islam adalah karena faktor darurat. 

Artinya kalau pada masa Umar dilarang oleh beliau ini semata-mata 

atas kebijakan beliau karena berubahnya situasi dan kondisi. Umar 

tampaknya sudah ingin mengatakan taghayyur al-a¥k±m bi taghayyur 

azminah wal makan (2) proses nasakh ini sudah betul menurut 

ulumul Quran karena terpenuhi unsure-unsur naskh. Nikah Mut’ah

merupakan realitas yang awal, (3) Ditinjaun dari segi tujuan syariah 

fakta menunjukkan banyak sekali anak-anak yang tidak ada 

bapaknya` (ratusan ribu) dan negara yang melegalkan tentu harus 

memiliharanya. Tidak ada kasus perzinahan di Negara yang 

melegalkan Mut’ah tapi anak-anak dari hasil Mut’ah banyak. (4) 

diduga banyak riwayat yang disandarkan kepada Imam Ja’far al-¢adiq 

padahal beliau tidak meriwayatkannya. Oleh karena itu Imam Bukhari 

tidak meriwayatkannya.

3. Hadis-hadis tentang nikah Mut'ah menurut literature Syiah mencakup 

tema-tema kebolehan Mut'ah, perempuan yang dimut'ah menempati 

status budak, Mut'ah dapat menjadi solusi bagi yang tidak cukup 

dengan kawin biasa, Mut'ah sebagai bentuk sikap iffah (menjaga 

kescian diri), persyaratan sebelum dan sesudah akad Mut'ah, mahar 

Mut'ah, masa Mut'ah, tambahan waktu Mut'ah, dan hukum menahan 

mahar. Sedangkan tema-tema hadis Mut'ah dalam kitab-kitab Sunni 

meliputi kebolehan Mut'ah, perbedaan sahabat dalam menyikapi 

Mut'ah, Mut'ah sebagai rukh¡ah dan kemudian dilarang, dan 

pelarangan Mut'ah oleh Rasulullah (nasakh Mut'ah)

4. Ada kesulitan metodologis melacak rijal-rijal hadis Mut'ah yang ada di 

kalangan Syiah karena kitab-kitab rijalnya sangat terbatas dan tidak 

lengkap. Berbeda halnya halnya dengan kitab-kitab rijal di kalangan 

Ahli Sunnah yang relative tersedia. Namun sebagaimana dikatakan 

pada bagian pendahuluan, ini merupakan kajian awal untuk mengkaji lebih jauh dan mendalam tentang hadis-hadis Syiah dan Ahli Sunnah

secara objektif.

Kata mut’ah atau mit’ah dalam bahasa Arab berarti istimta’

(bersenang-senang) atau intifa’ (mengambil manfaat) (Ibn Sidah, 1413 H).

Nikah Mut’ah merupakan warisan dari tradisi masyarakat pra-Islam. 

Tradisi ini bertujuan untuk melindungi wanita di tengah sukunya. Pada 

masa Islam nikah ini mengalami pasang surut. Ada beberapa kali perubahan hukum, dua kali dibolehkan dan dua kali dilarang, dan 

akhirnya diharamkan. Akan tetapi pengharaman ini tidak dipahami sama 

antara mazhab Islam, antara Syiah dan Sunni ada  perbedaan.

Pembicaraan tentang Nikah Mut’ah selalu memunculkan 

kontroversi di antara umat Islam walaupun nikah yang mengandalkan 

kontrak ini tidak hanya terjadi intern umat Islam (khususnya Syiah Itsna 

asyariah) tetapi juga terjadi di masyarakat muslim yang lain dan bahkan 

di kalangan non-Muslim. Pembicaraan Nikah Mut'ah ada dalam tiga 

aliran besar Islam, yakni Syiah, muktazilah dan Ahlu Sunnah 

Kontroversi sebenarnya tidak hanya terjadi di antara tokoh tiga aliran 

ini  tetapi, tetapi juga di kalangan masyarakat Syiah sendiri dalam 

konteks kekiniannya. Sementara nikah Mut'ah tidak hanya bermuatan 

yuridis, tetapi sarat dengan muatan teologis. Misalnya barangsiapa tidak 

Nikah Mut’ah maka dia tidak akan mencium bau sorga. Klaim dari sunni 

ditemukan bahwa nikah mut’ah sama saja dengan zina. Zina hukumnya 

haram dan oleh karena itu sejak diharamkannya nikah mut’ah pada 

penaklukkan kota Mekah (tahun 10 H) hukum keharamannya sampai 

hari kiamat. Tulisan berikut ini akan mengemukakan sebagian data hasil 

penelitian penulis.

Pada masa Rasul ada beberapa kali perubahan hukum. Lihat 

misalnya hadis yang ada  dalam Sahih Muslim Juz IX hlm. 115

berdasarkan riwayat Rabiah bin Sabrah al-Juhani dari ayahnya dan 

ayahnya menerima dari kakeknya bahwa Rasul tadinya memerintahkan 

kami untuk Nikah Mut’ah ketika kami memasuki kota Mekah dan beliau 

kemudian melarang ketika kami keluar kota Mekah. Di dalam sumber 

lain dikatakan Rasul melarang pada hari Awthas. Baik yauwm al-Awthas 

atau fath Mekkah (630 M) sama saja, yakni tahun ke-8 H. Awthas yaitu 

satu lokasi di Arab Saudi di mana terjadi pertempuran Hunayn dan 

pertempuran Awthas. Lokasinya terletak antara Thaif dan Mekah pada 

jarak 14-15 mil dari Mekah.

Versi kedua: Rasul melarang mut’ah pada waktu perang Khaibar 

(629 M). Jadi perubahan hukumnya ada dua kali; dua kali dibolehkan 

dan dilarang juga dua kali. Pada masa sahabat larangan Rasul tetap 

menjadi pegangan. Akan tetapi ada sekelompok sahabat yang masih 

membolehkan Nikah Mut’ah bahkan ada yang masih melakukan praktik 

nikah Mut’ah, yakni Jabir bin Abdullah. Pada masa kekhalifahan Umar 

bin Khaththab (581 M- 644 M) secara tegas melarang siapa saja yang melakukan Nikah Mut’ah dengan ancaman hukuman rajam. Larangan 

Umar bin Khaththab dapat menghentikan secara total praktik Nikah 

Mut’ah. Keadaan ini tetap terpelihara sampai generasi berikutnya. Pada 

masa pemerintahan al-Makmun.

Menurut Syiah nikah mut’ah tetap diperbolehkan atau dihalalkan 

hingga sekarang. Ada beberapa hal yang mendasari kebolehkan ini :. 

Surat al-Nisa (4): 24 menurut bacaan Ibnu Mas’ud dengan sedikit 

tambahan:

ِ

Ibnu Mas’ud membaca teks ayat ini  dengan sedikit tambahan 

yakni dengan menyisipkan ila ajal al-musamma. Jadi bacaannya: استمتعتم فما

 مسمى أول إلى نُمن بهKaum Syiah juga menolak pendapat bahwa ayat ini  

dinasakh. Dalam tafsir-tafsir sunni al-Thabari ( w. 310 H) tergolong saz 

(janggal) dan demikian pula menurut al-Alusi (w.1127 H) bacaan 

demikian dianggap tidak sah. Qurthubi berpendapat dapat diringkas

sebagai berikut “bahwa dilarang atau haram. 

 yang 

dibolehkan dalam ayat ini nikah syar’iy dengan seorang wali dan dua 

saksi. Sedangkan nikah mut’ah tidak demikian. Yang dimaksud nikah di 

sini adalah nikah Mut’ah; nikah Mut’ah pada periode awal Islam. Ibnu 

‘Abbas, Abi, dan Ibn Zubair membaca ayat tsb:


Kemudian dilarang Nabi saw dan Sa’id bin Musayyab berkata ayat 

ini  dinasakh oleh ayat warisan. Aisyah dan al-Qasim bin 

Muhammad: keharaman dan nasakhnya ada dalam Alquran. Demikian 

juga (dinasakh) oleh ayat: 

ملَ رُ يْغَ menurut riwayata al-Daruquthni “mut’ah bukanlah nikah dan 

bukan juga milkul yamin (budak).

ANALISIS METODOLOGI DAN MATERI

Dari hasil telaah tentang nikah Mut'ah, baik yang ada dalam kitab 

hadis Syiah atau kitab hadis Ahli Sunnah, ada beberapa hal yang bisa 

dipahami Hadis-hadis tentang nikah Mut'ah versi Syiah dilihat dari 

kandungan isinya (matn al-hadis) atau kritik intern terlihat lebih 

sistematis dan lengkap dibandingkan hadis-hadis nikah Mut'ah yang ada 

di kalangan Sunni. Namun deskripsi yang sistematis dan lengkap yang 

dimuat oleh al-Kulainiy dalam al-Kafiy ini justru lebih layak dibanding dengan kajian fikih mazhab di dalam Sunni, bukan dengan kitab-kitab 

hadis. Hal ini mungkin karena beberapa perbedaan yang mendasar mulai 

dari mendefinisikan hadis sampai dengan standardisasi kritiknya. Hadis 

di mata orang Syiah harus berupa perkataan, perbuatan atau taqrir 

(ketetapan) yang disandarkan kepada imam ma’shum )المعصوم(. (Ja'far al￾Subh±niy, 1212). Oleh karena itu tidak heran kalau dilihat dari segi 

substansinya; baik uslub bahasa atau deskripsinya ada  persamaan 

dengan kitab fikih. Hadis yang ditampilkan oleh Syiah, khususnya Syiah 

Itsna Asyariah, seolah-olah bukan lagi perkataan Nabi karena narasinya 

atau eksposisinya bukan lagi memcerminkan perkataan, perbuatan, dan 

penetapan rasul. Narasi dan eksposisinya susunan imam-imam periwayat 

hadis bukan wahyu yang tertanam dalam jiwa Rasul (baca: Muhammad). 

Guru saya yang banyak belajar hadis berkomentar “membaca ushul kafi”

tidak terasosiasi ke kitab hadis. Anehnya maka orang masih banyak yang 

percaya. Padahal karya al-Kulayni (932 or 940 A.D) atau 328 atau 329 

disebut Dr. I. K.A. Howard sebagai the great work. Di dalam studi hadis 

dalam Sunni dikenal dengan al-kutub al-sittah, yakni kitab hadis yang 

enam. Kitab hadis yang enam ini  etika pengambilannya diurut 

mulai Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, dst. Di dalam kajian hadis Syiah 

dikenal juga dengan al-kutub al-arba’ah (kitab hadis yang empat), di 

antaranya al-Kafi dan Tahzibul Ahkam. 

Kandungan hadis-h adis nikah Mut'ah yang disampaikan oleh 

imam-imam Syiah ini ada  banyak persamaan dengan model 

perkataan imam-imam mazhab di kalangan Sunni, bahkan sebagiannya 

memang berisi perdebatan antara seorang imam Syiah (Abu Ja'far atau 

Imam Ja’far as Shaqiq/83-148 H) dengan seorang imam Sunni (Abu

Hanifah/80-150 H) (Abdullah Mustafa al-Maraghi, 2001). Beberapa 

pemahaman tentang konsep nikah Mut'ah yang ada dalam hadis Syiah 

sebagai berikut:

a. Kebolehan Mut'ah menurut Abu Ja'far adalah berdasarkan firman 

Allah:


Ayat ini tertdapat dalam surat al-Nisa ayat 24 menurut beliau 

Madaniyah, sedangkan surat Malaikah (Saala Sailun) adalah Makkiyah. 

Oleh karena itu Mut'ah hukumnya halal berdasarkan kitAbullah dan 

hadis-hadis Nabi sampai hari kiamat. Abu Ja'far tidak perduli dengan 

keharaman yang difatwakan Umar karena beliau mengikuti Rasulullah, 

kendatipun sewaktu beliau ditanya oleh 'Abdullah bin 'Umair bagaimana

kalau yang dimut'ah itu ada anak-anak perempuan engkau, saudara 

perempuan engkau atau anak perempuan bibi engkau?. Dia juga enggan 

(tidak mau) dimut'ah.

b. Perempuan yang dimut'ah menempati kedudukan sebagai budak 

karena sistemnya berdasarkan pembayaran dan karena itu tidak ada 

batasan jumlah perempuan yang dimut'ah sebagaimana halnya dalam 

nikah biasa dibatasi maksimal empat orang wanita.

c. Di samping kehalalan Mut'ah bersifat mutlak karena ia termasuk dasar 

agama dan harus dilaksanakan kecuali Syiah Zaidiyah yang justru 

menganggapnya konsep tentang mut’ah ini telah dinasakh. Memang 

sebelumnya menurut jumhur nikah mut’ah dibolehkan yang dkuatkan 

dengan berdasarkan bacaan Ubay bin Ka’ab, Ibnu ‘Abbas dan Sa’id bin 

Zubair (Imam al-Syawkani). Sarana Mut'ah juga bisa dimanfaatkan 

bagi seseorang yang tidak cukup dengan kawin biasa. Kawin biasa 

terbatas hanya empat, kemudian ditambah lagi dengan mut'ah.

d. Mut'ah sebenarnya justru menjaga 'iffah (kesucian diri) agar tidak 

terjerumus ke dalam zina (Ibn Bawayah, Juz 3 hlm. 366; al-Kasyaniy, 

Tafs³r Minhaj al-¢±diq³n, Juz 3 hlm. 493). Di kalangan ahli sunnah 

sendiri ada  perbedaan pendapat, ada yang mengatakan nikah 

Mut’ah itu hukum haram sama dengan zina dan ada juga yang 

berpendapat boleh kalau darurat. Sebagian ulama ahli sunnah 

menyatakan ada perbedaan antara zina dan nikah Mut’ah. Menurut M. 

Quraish Shihab tidak sedikit yang menyalahpahami persoalan ini 

sehingga ada yang mempersamakannya dengan zina padahal ulama￾ulama yang mengharamkannya pun tidak berpendapat demikian. Jika 

pendapat M. Quraish Shihab dihubungkan dengan hukum Islam di 

Indonesia, maka pendapat M. Quraish Shihab yang membolehkan 

nikah mut’ah dalam kondisi darurat, tampaknya bertentangan dengan 

hukum Islam di Indonesia. Hal senada juga disebutkan dalam 

Kompilasi Hukum Islam Bab II Pasal 2. Aturan undang-undang ini 

menegaskan bahwa perkawinan itu bukanlah bersifat sementara tetapi 

untuk selamanya yang tujuan akhirnya adalah membentuk keluarga 

sakînah, mawaddah dan rahmah. Dengan demikian, perkawinan 

mut’ah berlawanan dengan ketentuan ini karena bersifat sementara.

RUU Hukum Materiil Pengadilan Agama Bidang Perkawinan juga 

dengan tegas melarang kawin mut’ah. Hal itu diatur pada pasal 39 dan 

pada pasal 144 diatur tentang hukuman terhadap pelaku kawin 

mut’ah. Pada pasal ini disebutkan bahwa “Setiap orang yang 

melakukan perkawinan mut’ah sebagaimana dimaksud Pasal 39 dihukum dengan penjara selama-lamanya 3 (tiga) tahun dan 

perkawinannya batal karena hukum”.

e. Adanya syarat yang disepakati sebelum nikah Mut'ah tidak bisa 

dibenarkan. Perjanjian yang disepakati bersama hanya setelah nikah 

Mut'ah. Hal ini untuk membedakan antara nikah biasa dengan nikah 

Mut'ah.

f. Mahar Mut'ah tergantung kesepakatan kedua belah pihak sesuai 

dengan kepantasan masa (lamanya) Mut'ah. Minimal maharnya 

sepenuh tapak tangan berisi gandum. Juga bisa satu dirham atau 

lebih. 

g. Masa Mut'ah, kalau dia haidh, satu bulan setengah (45 hari). Jika 

habis waktunya terjadinya perceraian tanpa talak. 

h. Tambahan waktu Mut'ah bisa dibenarkan dengan penentuan waktu 

baru yang disepakati pihak perempuan selama tambahan itu dengan 

laki-laki pertama (semula), kalau dengan laki-laki lain, makaa pihak 

perempuan menunggu iddahnya.

i. Pihak laki-laki tidak boleh mengambil kembali mahar Mut'ah kecuali 

ada perjanjian yang tidak ditepati. Itupun hanya senilai (sebanding) 

dengan ketidaktepatannya dalam perjanjian.

Para perawi /sanad awal yang menyampaikan hadis tentang nikah 

Mut'ah kepada Syaikh al-Kulainiy ada enam orang: 'Aliy bin Ibrahim ada 

8 buah hadis, Muhammad bin Yahya ada 7 buah hadis, sejumlah 

sahabat Syaikh al-Kulainiy yang tidak disebutkan namanya ada 6 buah 

hadis, kemudian 'Aliy dan al-Husain bin Muhammad masing-masing 2 

buah hadis, dan Ahmad bin Muhammad 1 buah hadis. Kemudian yang 

menjadi sanad akhir; yakni imam yang menyampaikan hadis (dalam 

konteks Syiah) tentang nikah Mut'ah ada 9 orang. Perawi /sanad akhir 

ini  adalah Abu Abdillah ada 9 buah hadis, Abu Ja'far ada 7 buah 

hadis, Abu Ba¡³r ada 2 buah hadis, dan Bakar bin Muhammad, Abu

Hasyim, al-¦asan bin Syamun, Abu Sarah, dan Zararah masing-masing 

1 buah hadis. Jumlah hadis seluruhnya adalah 26 buah hadis.

Perawi-perawi ini  apabila dihubungkan dengan para perawi 

berikutnya, yaitu Abu Ja'far menyampaikan hadis kepada: 1) Muhammad 

bin Nu'man, 2) Muhammad bin Muslim 3) Abi Aban 4) Abu al-¦asan al￾Rifai 5) Abi Ba¡arr, dan 6) Zararah. Kemudian Abu 'Abdillah 

menyampaikan hadis kepada: 1) 'Umar bin Az³nah, 2) 'Umar bin 

Hanzalah 3) Abi Sarah 4) 'Abdullah bin Bakar 5) Al-Awwal, 6) Aban bin 

Taglib 7) Abi 'Amir, dan 8) Zararah. Demikian juga Abu al-Hasan menyampaikan hadis kepada: 1) Bakar bin Muhammad, 2) Abu al-Fath

bin Yazid, dan 3) Al-¦asan bin Syamun. Juga Zararah menyampaikan 

hadis kepada Ibn Bakr, Abi Ba¡r menyampaikan kepada Ahmad bin Abi

Na¡ir, dan seterusnya. 

Namun tampaknya perawi-perawi yang menerima dari Abu Ja'far 

dan juga perawi-perawi yang lainnya umumnya ini tidak terekam dalam 

Rijal al-Najasiy. Lihatnya misalnya diantara murid Abu Ja'far yang 

ditunjuk oleh al-°-siy dalam kitabnya halaman 122-151 tidak 

mencantum perawi-perawi hadis Mut'ah yang disebut al-Kulainiy dan 

demikian juga murid Abu Abdillah yang ditemukan hanyalah 'Abdullah 

bin Bak³r dan 'Amar bin Han§alah. Hal inipun tanpa penjelasan tentang 

keadaan perawi ini  (Syaikh al-°±ifah Ab³ Ja'far Mu¥ammad bin al-

¦asan al-°-siy, Rij±l al-°-siy, Ta¥q³q: Jaww±d al-Qayyumiy al-I¡fih±niy, 

1420).

Penjelasan yang memadai tentang Aban bin Taglib sebagai murid 

dari Abu 'Abdillah ditemukan dalam Rijal al-Najasyiy. Pada kitab ini  

disebutkan bahwa beliau meriwayatkan hadis dari 'Aliy bin al-¦usain, 

Abi- Ja'far, dan Abi- 'Abdillah. Disebut-sebut ia seorang qar³, fakih, ahli 

bahasa, mendengar dari orang Arab dan menghikayatkannya. Juga 

dipaparkan penilaian dari ulama, baik kalangan Syiah atau Ahli Sunnah 

seperti Abu 'Amar al-Kisysyi, Abu Zur'ah al-Raziy, dan lain-lain (Al-Syaikh 

al-Jal³l Abu al-'Abb±s A¥mad bin 'Aliy al-Naj±syiy, Rij±l al-Naj±syiy, (Qum: 

Muassasah al-Nasyr al-Isl±miy, 1418).

Namun Rijal al-Najasyiy ini tidak memuat secara lengkap rijal￾rijal hadis tentang nikah Mut'ah. Beberapa nama rijal (murid) dari Abu

Ja'far dan Abu 'Abdillah, misalnya 1) Muhammad bin Nu'man, 2) 

Muhammad bin Muslim, 3) Zararah, 4) Al-¦asan bin Syamun, dan lain￾lainnya tidak dimuat dalam kitab ini. Oleh karena itu agak sulit melacak 

perawi-perawinya yang cukup banyak. Namun paling tidak kajian ini 

sudah dapat mendorong penulis untuk lebih tertarik dengan kajian hadis, 

baik dari aspek sanad atau matn, baik menurut versi Syiah atau Ahli 

Sunnah. 

Hadis versi Ahli Sunnah (Sunni) 

Hadis-hadis tentang nikah Mut'ah versi Ahli Sunnah (Sunni) 

umumnya berkisar soal kebolehan nikah Mut'ah, larangan nikah Mut'ah, 

adanya sahabat yang memerintahkan nikah Mut'ah dan ada juga yang 

melarangnya, nikah Mut'ah sebagai rukhsah kemudian dilarang, dan 

berakhir pada pembebasan wanita dari belenggu Mut'ah. Sebelum komentar ini diteruskan, di sini perlu dikemukakan 

bahwa sebagian hadis-hadis Sunni yang membolehkan nikah Mut'ah juga 

dikutip oleh penulis-penulis Syiah untuk dijadikan argumen memperkuat 

keabadian hukum kebolehan nikah Mut'ah di kalangan Syiah. Misalnya 

al-'Allamah al-Syaikh 'Abd al-¦usain Ahmad al-Am³niy dalam kitanya 

Talkhis¡ al-Ghadir (al-'All±mah al-Syaikh 'Abd al-¦usain A¥mad al-Am³niy, 

Talkh³¡ al-Ghad³r, 1427).

Apabila dicermati matn hadis tentang perkawinan Mut'ah 

menurut kitab-kitab Ahli Sunnah ini, maka konsepnya dapat dipetakan 

bahwa semula nikah Mut'ah itu diperbolehkan bahkan nikah Mut'ah itu 

telah menjadi tadisi masyarakat Jahiliah sebagaimana halnya juga 

minuman keras, judi, mengundi nasib dan lain-lainnya. Setelah 

diutusnya Rasulullah secara bertahap diharamkan semua bentuk 

khurafat dan akhirnya nikah Mut'ah juga dilarang oleh Rasulullah.

Pada tahap kebolehannya, seperti yang diriwayatkan oleh 

Bukhariy hadis dari 'Imran bin Husain (sahabat, wafat 52 H di Ba¡rah) 

dan perawi-perawi lainnya semua tsiqah ((al-Jarh wa Ta'd³l untuk hadis 

ini  yang termuat dalam Maws-'ah al-Had³£ al-Syar³f, al-I¡d±r al-

¤±niy: 2000, CISC (1991-1997) bahwa dia berkata "Telah turun ayat 

Mut'ah dan kami melaksanakannya bersama Rasulullah dan tidak turun 

ayat yang mengharamkannya sehingga dia meninggal". 'Imran bin Husain 

menyindir seseorang (Umar) yang berpendapat melarangnya. Pada hadis 

yang kedua yang diriwayatkan oleh Sa'³d bin Musayyab (tabi'in besar, 

wafat 93 H di Madinah) yang menceritakan bahwa Utsman dan 'Aliy 

berbeda pendapat dan kedua mengambil sikap masing-masing dalam hal 

Mut'ah. Bentuk sikap ini  terlihat pada hadis nomor 4, ketika 'Aliy 

dan Utsman berada di antara Mekah dan Madinah, Utsman melarang 

Mut'ah (mungkin maksudnya supaya pelaksanaan ibadah haji dan 

'Umrah dilaksanakan lebih khusyu'). Ali berargumen bahwa ia tidak akan 

meninggalkan sunnah Rasulullah dengan pernyataan seseorang.

Hadis nomor 6 kasus Mut'ah dikaitkan dengan konteks 

peperangan bersama Nabi (Gazwah). Para sahabat tidak membawa isteri, 

kemudian mereka meminta kekhususan, tapi Nabi melarangnya.

Kemudian setelah berselang waktu diberikan rukh¡ah untuk mengawini 

wanita dengan mahar pakaian sampai waktu tertentu (dengan Mut'ah). 

Namun Imam Nawawiy memberikan komentar sebagai berikut: (Im±m al￾Naw±wiy, 2000, CISC (1991-1997)Sedangkan hadis-hadis yang melarang Mut'ah diriwayatkan oleh 

Bukhariy bersumber dari Malik bin Isma'il, dari Ibn 'Uyainah, al-Zuhriy, 

al-¦asan bin Muhammad bin 'Aliy dan saudaranya 'Abdullah bin 

Muhammad, dari ayah keduanya bahwasanya 'Aliy bin Abi Talib ra 

berkata kepada Ibn 'Abbas "Sesungguhnya Rasulullah saw telah 

melarang Mut'ah dan daging Himar kampung pada masa Khaibar". 

Periwayatan hadis ini disampaikan secara mutta¡il dan perawi-perawinya 

bisa dipercaya, tidak ada yang tertuduh dusta, walapun ada sebagian 

penulis Sunni sendiri yang menganggap Malik bin Isma'il sebagai 

tasyayyu'. Misalnya Imam al-Suyutiy memasukkan Malik bin Isma'il 

Ghisan) sebagai tasyayyu' dalam periawayatan (Im±m Jal±l al- Suy-¯iy, 

t.th). Umumnya ulama menilai Malik bin Isma'il dapat dipercaya (tsiqah) 

dalam meriwayatkan hadis. Ibn Hajar mengatakan: (Ibn ¦ajar al￾Asqal±niy, 1304)

Hadis ini tidak diterima di kalangan Syiah, padahal periwayatnya

Malik bin Isma'il, al-¦asan bin Muhammad, dan saudaranya 'Abdullah 

bin Muhammad keduanya anak dari 'Aliy bin Ab³ °alib diakui sebagai 

seorang terpercaya. Apabila diurut dan diberi penilaian perawi-perawi 

hadis ini:

Sedangkan hadis-hadis yang lainnya dari hadis-hadis yang 

melarang Mut'ah hampir memiliki makna atau pesan yang sama, namun 

banyak jalur sanad yang menyampaikan ke pendiwan hadis dapat 

menjadi argumen kuatnya status hadis tentang larangan Mut'ah. Ada 

satu logika umum -yang dipakai oleh Syafi'iy dan Abu Hanifah- bahwa 

sesuatu diketahui oleh banyak orang tentu bukan suatu rahasia lagi. 

Sulit untuk menyembunyikan sesuatu yang diketahui oleh banyak orang 

dan apalagi pada waktu 'Aliy bin Ab³ °alib menjadi khalifah beliau 

memindahkan ibu kota Islam dari Madinah ke Kufah. Banyak sahabat 

pun yang ikut hijrah ke ibu kota yang baru itu (Muhammad ABU Zahrah, 

t. th).

Ada fenomena yang menarik untuk dikaji lebih jauh (mungkin 

dalam bentuk disertasi atau tesis) yakni hipotesa berikut ini perlu


dibuktikan: "Diduga penolakan Syiah (Abu Ja'far) terhadap argumentasi 

Abu Hanifah pada uraian terdahulu bukan karena ketidaktahuan AB

Ja'far tentang adanya hadis yang menasakh Mut'ah, tetapi karena 

fanatisme Abu Ja'far mazhab atau perbedaan metodologi". Hipotesa ini 

dibangun atas argumen berikut: 

1. Imam Abu Hanifah bukan berasal dari keturunan Arab, dekat dengan 

ahl al-bayt dan dilihat dari tahun kelahirannya (80 H) dia adalah 

seorang tabi’in senior. Kemasyhuran Imam Abu Hanifah, selain 

disebabkan karena tingkat intelektualitasnya, juga karena 

kepribadiannya yang agung. Sejak kecil ia dikenal cerdas, rajin, jujur, 

dermawan, tenang, teguh, dan berani. Kemudian dalam hal keagamaan 

ia dikenal wara’ dan zahib al-‘ibadah (ahli ibadah) (Ahmad Am³n, ¬uh± 

al-Isl±m, t. th). Ia dijuluki sebagai al-Imam al-'Azham (Imam Besar) dan 

menulis kitab al-Musnad dan al-Fiqh al-Akbar. Artinya kalau ia tidak 

mau meneruskan perdebatan dengan Abu Ja'far, itu hanya karena 

kewarakannya dan penghormatannya kepada ahl al-bayt. Seolah-olah 

ia berkata "Biarkan fakta berbicara sendiri, semua orang juga akan 

tahu bahwa Mut'ah kebolehannya telah dinasakh". Mengapa beliau 

dekat dengan ahl al-bayt.? Ini memiliki akar sejarah yang terkait 

dengan kakeknya sempat bertemu dengan ‘Aly bin Abi Talib. Dari 

pertemuan itu tercipta keakraban, sampai akhirnya ‘Aliy bin Abi Talib 

berdoa semoga Tsabit anak Zu¯ah, akan dikurnia keturunan yang 

membawa berkah bagi keluarga dan umat pada umumnya-lahirlah Abu

Hanifah dan seterusnya.

2. Imam Abu Hanifah tinggal di Kufah dan Kufah merupakan pusat 

perkem-bangan ilmu pengetahuan. Di sana ada pakar teologi, tafsir, 

hadis, qiraat, dan bahasa. Khusus di bidang hadis, Abd al-Wahhab 

Ibrahim Sulaiman dengan mengutip perkataan al-Ramahurmuzi 

mengatakan bahwa di Kufah ada  4000 orang muhadditsin, 400 di 

antaranya merangkap fuqaha (Abd al-Wahh±b Ibr±him Sulaim±n, 

1983). Artinya setelah Rasulullah wafat dan sampai masa 'Aliy 

memindahkan ibu kota ke Kufah tidak ada lagi penambahan secara 

kuantitas hadis-hadis Nabi di kepala para sahabat. Jadi, pernyataan 

'Aliy kepada Ibn 'Abbas tentang Rasulullah melarang nikah Mut'ah 

bersifat final dan Ibn 'Abbas tidak membantahnya. Walhasil, kalau 

tadinya Ibn 'Abbas membolehkan karena tidak mengetahuinya atau 

seperti perkataan Imam Nawawiy terdahulu اُنساخ يبلغاه لام وأناه (dia tidak 

mengetahui adanya nasakh Mut'ah).3. Dilihat dari segi kekuatan jalur periwayatan tabi'in yang menerima dari 

'Ibn 'Abbas, maka hadis yang membolehkan di antaranya melewati 

sanad Isma'il dari Qayis. Ini disebut sebagai al-¯uruq al-«a'³fah al￾wahiyah. Seharusnya yang kuat adalah melewati sanad Qayis bin 

Muslim, dari 'A¯a bin al-Sׅib, dari Sa'³d bin Zubair, dari Ibn 'Abbas

(¦asan Y-nus 'Ubaidu, t.th).

Walhasil, nikah Mut'ah tadinya memang legal (dibolehkan) dengan 

pertimbangan proses pembentukan hukum dan alasan sosio-historis 

lainnya seperti yang ditunjuk oleh hadis. Kemudian mut'ah dilarang oleh 

Rasulullah setelah berlalu Fathu Mekah. Kontroversi yang terjadi 

belakangan di kalangan tabi'in besar antara Syiah dan Ahli Sunnah 

kemungkinan disebabkan dua faktor, yakni fanatisme mazhab dan 

perbedaan dalam mendapatkan informasi mengenai pelarangannya. Atas 

dasar menjunjung tinggi nilai kemanusian dan kasih sayang, 

menghindari lahirnya berbagai problem sosial sebagai eksis dari nikah 

Mut'ah, dan dampak-dampak negatif lainnya, sangat bijaksana kalau 

pada akhirnya Rasulullah menyatakan: ِ

سابَ (barang siapa yang masih ada perempuan-perempuan yang dimut'ah, 

maka hendaklah ia membebaskannya/menceraikannya). Kalau kita kaji 

sejarah tentang nikah Mut’ah ini, maka nikah ini sudah ada sejak pra 

Islam. Pada masa Rasul nikah ini faktual ada dan dilegalkan syara. Nikah 

ini semula dibolehkan berdasarkan hadis Nabi.

Hadis ini dapat ditemukan beberapa kitab hadis di antaranya kitab 

al-Sunan al-Shugra yang ditulis oleh Ahmad bin Husain bin Musa Abu

Bakar al-Baihaqi nomor bab 28 dan nomor hadis 2607 dan nomor 

sesudahnya 2608. Menurut Ali kebolehan di sini merupakan rukhshah. 

Rukhshah di sini tentu memiliki alasan. Sebagian ulama yang lain 

mengatakannya haram. Apa aspek-aspek yuridis yang menyebabkan 

keharamannya?

Ulama ahli tafsir mengatakan bahwa telah terjadi nasakh dengan 

mengatakan kewajiban puasa Ramadhan telah menghapus semua 

kewajiban puasa sunnat, kewajiban zakat menghapus semua kewajiban 

sedekah. Adanya talak, iddah, dan beberapa ketentuan waris menghapus 

berlakunya Nikah Mut’ah. 

Di antara ulama ahli tafsir ini  adalah pengarang kitab tafsir 

al-Khazin (w.678 H), (Alâu al-Dîn Alî ibn Muhammad ibn Ibrahim al￾Baghdâdî, Tafs³r al-Kh±zin) Imam al-Qurthubi pengarang kitab Ahkam 

al-Qur’an, dan Imam al-Alusi (w. 1127) pengarang kitab Ruh al-Ma’ani³

(Al-Al-si, Tafs³r R-h al-Ma±n³, Jilid V). Menurut mereka keharaman nikah 

Mut’ah ini dapat dilihat berdasarkan teori nasakh. Pertama naasakh 

berdasarkan hadis sebagaimana dalam hadis Ali bin Abi Thalib di atas. 

Kedua berdasarkan ayat Alquran dalam surat Al-Ma’arij: 29-30 atau al￾Mu’minun ayat: 5-7 “dan orang-orang yang menjaga kemaluannya 

kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak-budak yang mereka 

miliki maka sesunguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. 

Barangsiapa yang mencari dibalik itu maka mereka itulah orang-orang 

yang melampau batas”, Ayat ini menurut mereka telah menasakh 

(membatalkan hukum) nikah Mut’ah.

Menurut al-Alusi kebolehan nikah Mut’ah dibatalkan setelah 

turunnya ayat ini  karena ayat ini  menerangkan haram 

mencampuri wanita selain isteri dan budak-budak yang dimiliki. Ibnu 

Abbas membolehkan nikah Mut’ah dalam keadaan terpaksa atau ketika 

seseorang sedang dalam bepergian dalam waktu yang lama. Beliau 

menarik kembali hadisnya setelah turunnya surat al-Ma’arij ini . 

Ibnu Jubair pernah berkata kepada Ibnu Abbas nasehat￾nasehatmu telah tersebar di kalangan kafilah dan sering diucapkan oleh 

penyair. Ibnu Abbas berkata apa yang mereka ucapkan. Dijawab : “ketika 

lama berada di dalam majelis, aku bertanya kepada Syeikh, Wahai 

kawan. Apakah kamu sudah mendengar fatwa Ibnu Abbas. Ia 

mengizinkan kita menikahi wanita muda yang cantik dengan cara mut;ah 

untuk menjadi isteri sampai setelah kembalinya manusia ke negerinya”.

Mendengar pernyataan ini , Ibnu Abbas berkata: 

“Subhanallah, aku tidak pernah berfatwa demikian. Sesungguhnya 

pernikahan mut’ah bagaikan bangkai, darah, dan daging babi, ia tidak 

dihalalkan kecuali oleh orang-orang yang terpaksa”.

Imam al-Razi juga ketika menafsirkan ayat 24 surat al-Nisa dengan 

mengutip pendapat ‘Atha al-Hurasani mengatakan ayat ini dinasakh oleh 

ayat 1 surat al-°alaq: “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri￾isterimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka 

menghadapi iddah”. Sikap al-Razi tentang nasakh di atas (ayat 24 

surat al-Nisa dinasakh oleh surat al-Talaq: 1) memang agak sulit untuk 

diterima. Ini berarti al-Razi sependapat bahwa ayat 24 surat al-Nisa bisa 

dijadikan dalil kawin mut’ah walaupun kemudian dinasakh. Padahal 

tidak ada qarinah yang kuat untuk menetapkan nasakh tidaknya dalil 

yang mereka pakai. Hemat penulis kita lebih baik keluar dari nasakh 

yang dibicarakan karena argumennya tidak jelas. Lafal yang jelas seperti 

hadis diriwayatkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadraknya, hadis Anas bin Malik ra yang juga dimuat dalam Shahih Muslim ra bahwasanya ada 

pernyataan dari Nabi: “Dulu aku melarang ziarah kubur, sekarang 

ziarahilah (http://www.hadithportal.com/index.php?show=contact).

Narasi-narasi lain yang dapat menguatkan adanya nasakh 

misalnya adanya qawlu sahabah (perkataan sahabat), ijma’ sahabah 

(kesepakatan sahabat), ma’rifah tarikh al-nuz-l, dan nas sahabi. (‘Abd al￾Muta’al Muhammad al-Jabir, 1987) Satu-satunya di antara dalil 

kemungkinan nasakh hanyalah perintah dari Umar bin Khaththab yang 

melarang mut’ah. Qadhi Iyadh berkata: “Para ulama sepakat bahwa 

menetapkan syarat dihapusnya nikah mut’ah harus disertai dengan 

syarat lain. Jika di dalam aqad nikah seseorang berniat untuk 

mencerainya beberapa syarat, maka nikahnya sah. Tetapi al-Auzai 

membatalkan nikah ini  mereka berbeda pendapat.

Argumen nasakh ini ditolak oleh kelompok Syiah. Hal ini 

disebabkan terlalu banyak ayat-ayat dan hadis-hadis yang terkait dengan 

nasakh. Kelihatannya yang mewacanakan adanya nasakh terhadap ayat 

atau hadis yang banyak ulama abad pertengahan dan abad klasik. 

Penulis-penulis seperti Ibn Katsir dan al-Qurtubi hidup diabad 

pertengahan kajian tafsir sementara al-Razi dikategorikan Arkun sebagai 

tafsir klasik.

Pada abad pertengahan kajian tafsir lebih cenderung fanatisme. 

Penulis-penulis tafsir cenderung melakukan pembelaan terhadap kitab 

tafsir yang ditulisnya atau mazhab yang dibelanya. Karya sangat fanatik 

dengan karya-karya sebelumnya. Ini berbeda dengan tafsir periode 

modern yang ditandai dengan pemikiran modern yang Muhammad Abduh 

dan kawan-kawan.

Hadis-hadis yang menafsirkan Alquran tentang Mut’ah oleh Sunni 

banyak diklaim sebagai hadis mansukh. Bahkan sengaja tidak 

dimunculkan kepermukaan. Misalnya ayat 24 surat al-Nisa: (lihat 

Alquran) Banyak perkataan sahabat Nabi dan tabiin yang sepertinya 

diabaikan oleh pihak Sunni dalam menjelaskan ayat ini  dan 

demikian juga hadis-hadis berkualitas shahih dan tuf³dul yaq³n. Hal ini 

karena pernyataan sahabat dan hadis-hadis ini  mendukung kawin 

mut’ah. Perhatikan perkataan sahabat di bawah ini:

Bagi orang yang konsen dengan kajian hadis akan cepat 

mengatakan hadis ini  shahih. Siapa yang tidak kenal dengan 

Muhammad bin Mu’anna, Muhammad bin Ja’far, Syu’bah bin Hajjaj, Abu

Salamah, dan Abu Narah semuanya orang-orang terpercaya (¡iqat)) (Ibn 

Hajar al-Asqalani). Tokoh-tokoh yang meriwayatkan hadis ini dan atau 

matnnya tidak dikemukan atau diwacanakan oleh sunni. 

Oleh karena itu kaum Syiah sampai saat ini menghalalkan nikah 

Mutah sama halnya dengan nikah permanen. Dasar hukumnya ayat-ayat 

Alquran dan hadis-hadis yang dikemukakan terdahulu. Nikah Mutah 

mempunyai syarat dan rukun yang harus dipenuhi. Syarat ini  

adalah baligh, berakal, dan tidak ada halangan syar’I untuk 

melangsungkannya, seperti adanya pertalian nasab, saudara sesusuan 

atau al-muh¡anat (masih berstatus isteri orang lain). Adapun rukunnya 

yang harus dipenuhi sighat (ikrar), calon isteri, mahar, dan batas waktu 

tertentu.

Di Indonesia perkawinan mutah ini sekarang cukup banyak tetapi 

banyak dilakukan undertable (di bawah meja). Di Bandung tahun 1998 

pasangan yang melakukan nikah ini sudah lebih 240an. Yang lain 

tersebar juga di Jakarta, Kaltim dan lain-lain. Sebagai warga negara dan 

ummat beragama sedikit agak prihatin akan adanya dampaknya. Hakikat 

perkawinan dalam negara yang berdasarkan Pancasila, dengan sila yang 

pertamanya “Ketuhanan Yang Maha Esa”, maka perkawinan mempunyai 

hubungan yang erat sekali dengan agama, sehingga perkawinan bukan 

saja mempunyai peranan yang penting untuk membentuk keluarga yang 

bahagia, tetapi juga didasarkan pada aturan-aturan agama. Dalam pasal 

1 Undang-undang No.1 Tahun 1974 dikatakan bahwa “Perkawinan ialah 

ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai 

suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang 

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Pasal ini 

merupakan landasan pokok dari aturan hukum perkawinan lebih lanjut, 

baik yang ada  dalam Undang-undang No.1 tahun 1974 maupun 

dalam peraturan lainnya yang mengatur perkawinan.

Perkawinan yang dikatakan Undang-undang ini merupakan ikatan 

lahir batin menggambarkan bahwa ada tujuan perkawinan yang mulia 

dan tinggi nilainya dari sekedar memperoleh manfaat biologis. Alquran 

menyebutnya sebagai perjanjian yang kokoh (m³tsaqan ghal³za) atau 

dalam agama Yahudi disebut perkawinan sakramental.

Memang ada hal yang menarik di Iran tidak ada kasus perzinahan 

atau bisa dikatakan anak zina tidak ada di Iran, tetapi anak tanpa bapak jumlahnya 100 ribuan. Negara sudah kebingungan karena 

tanggungjawab hasil pernikahan mutah dibebankan kepada negara. 

Bahkan kalau perkawinan biasa hukumnya ada lima, yakni boleh, 

makruh, haram, wajib, dan lain-lain. Sedangkan nikah Mutah hukumnya 

hanya satu yakni wajib dan bagi siapa yang tidak melakukannya tidak 

hanya berdosa, tetapi ia tidak akan mencium bau sorga, demikian tutur 

Ibn Bawayah.

Hukuman pidana bagi pelaku nikah apakah dibenarkan. Dalam hal 

ini ulama berbeda pendapat ada yang menegakkan pidana yakni rajam 

seperti dilakukan oleh Umar. Kalau kita kembali pada penjelasan di atas 

ulama di kalangan ahli sunnah cenderung mengatakan bahwa nikah 

mutah telah mansukh (hukum kebolehannya dibatalkan) dan sementara 

dari kalangan syiah nikah mutah tetap dibolehkan dari dulu hingga 

sekarang.

Perbedaan hukum di antara ulama ini mengakibatkan adanya 

hukum syubhat. Syubhat itu sendiri dalam hukum pidana: bisa syubhat 

fa’il, syubhat maf’­l dan syubhat fa’il dan maf’­l (Abu Bakr bin Sy±¯a al￾Dimy±ti, 1412 H). Dalam kitab al-Tasyr³ al-Jina’iy fi al-Islam (Abd Qadir 

Audah, 1995), Abd Qadir Audah mengemukakan pembagian yang lebih 

jelas, ada yang disebut syubhat subjektif, syubhat objektif, dan ada juga 

yang disebut yuridis. Dalam hal terjadi syubhat yuridis maka ulama 

sepakat untuk tidak menjatuhkan hukuman had. Berikut penjelasan 

hadis Rasul tentang syubhat (http:// binbaz.org.sa/fatwas/20054). 

Walhasil bila terjadi perkawinan syubhat (nikah syubhat atau 

watha’syubhat); baik yuridis atau lainnya maka hakim tidak boleh 

menjatuhkan putusan hukuman rajam. Jauhkanlah hukuman dari kaum 

muslimin sedapat mungkin. Jika kamu masih mendapatkan jalan keluar 

untuk seorang muslim, maka bebaskanlah ia. Keliru dalam memberi 

ampunan lebih baik dari pada keliru dalam menjatuhkan 

putusan/hukuman. 

Al-Alusi dalam tafsirnya Ruh al-Ma’ani mengatakan: “Tidak ada  

perselisihan di antara ulama Basrah dan Kufah dalam mengharamkan 

Nikah Mut’ah kecuali golongan Syi’ah Imamiah membolehkannya. Berikut 

ini komentar al-Alusi: (Mahmud Al-Al-s³, Juz V)

Menisbahkan bolehnya pernikahan Mut’ah kepada imam Malik 

adalah satu kesalahan yang tidak berdasar, bahkan pengikut Imam Malik 

berselisih dalam meriwayatkan pendapat imamnya tentang hukuman 

terhadap prilaku Nikah Mut’ah. Adapun sebagian besar mazhab 

berpendapat tidak perlu menjatuhkan hukuman terhadap pelaku Nikah 

Mut’ah dikarenakan adanya kekaburan akad dan adanya perselisihan 

pendapat” (Al-Al-s³, Tafs³r R-h al-Ma’±ni tt)

Prof. Dr. Quraish Shihab mengadakan dialog dengan guru beliau 

Maulaya beliau mengajukan pertanyaan sebagai berikut: 

“Bukankah Khalifah Umar yang diridhai Allah dan beliau meridhai￾Nya pernah mengharamkan hal-hal sebelumnya diperbolehkan? Masalah 

dihapuskan bagian perolehan zakat untuk kaum muallaf oleh beliau 

serta pelarangan Mut’ah adalah dua dari sekian contoh yang tidak luput 

dari ingatanku”

Adapun hal-hal ini. Anakku, maka ia dibenarkan oleh Islam dan 

dimasukkannya dalam kaidah ushul fiqh yang berbunyi: “Keberadaan 

atau ketiadaan satu ketetapan hukum tergantung pada illat hukum 

sendiri”. Khalifah Umar ketika tidak memberi zakat bagi kaum muallaf 

berpendapat illat dalam pemberian itu adalah lemahnya kekuatan Islam 

sehingga perlu melunakkan hati orang-orang tertentu agar tidak 

menghalangi dakwah Islam. Nah ketika illat ini hilang dan Islam semakin 

menguat maka ketetapan hukum pemberian zakat itu tidak diperlukan 

lagi.

Demikian juga haknya dengan nikah Mut’ah. Pada zaman Rasul saw 

dan Khalifah Abu Bakar ra Mut’ah dibolehkan karena tuntutan zaman 

yang mendesak saat itu, di mana sekian banyak kaum muslimin saat itu 

yang bepergian keluar kota dan sangat khawatir terjerumus dalam 

perbuatan zina. Pada masa kekhalifahan Umar ra saat itu tidak terlihat 

lagi kekhawatiran ini  dan apalagi dampak negatifnya telah 

menonjol, karena itu beliau melarangnya (Quraish Shihab, 2006).Quraish Shihab bertanya lagi “Bukankah ini berarti bahwa suatu 

saat nanti peniadaan hak penerimaan zakat bagi kaum muallaf dapat 

kembali, begitu pula pengharaman mut’ah dapat berubah menjadi 

halal?”

Betul sekali, jika ‘illat hukum muncul kembali sesuai dengan 

tuntutan kebutuhan umat Islam, maka berarti hak muallaf dan mut’ah 

akan diberlakukan kembali karena prinsip kita adalah “Suatu hukum 

(ditetapkan) bergantung pada ada tidaknya ‘illat hukum ini ”

Syiah dan Sunni bukanlah dua mazhab fikih. Dua aliran besar ini 

hasil fenomena politik dimasanya, kemudian merembet teologi dan 

membincang fikih. Perkawinan mut’ah (kontrak) tidak hanya

berdimensi syara’; tetapi juga berdimensi teologis. Pihak yang 

menolaknya tidak akan mencium bau sorga. Dasar kewajiban nikah 

mut’ah termaktub di dalam Alquran surat al-Nisa: 24 dan tersebar 

dalam kitab-kitab hadis yang empat’ khususnya al-Kafi. Secara 

metodologi studi hadis ini sulit sekali untuk dilacak kualitasnya

karena bahan kritik; baik naqd bathini (kritik intreren atau naqd al￾khariji kaum Syiah bila hadis diriwayatkan oleh seorang yang 

ma’shum sudah dinilai shahih. Adapun sunni dengan sumbernya

shahih Bukhari, shahih Muslim, dan Sunan Nasa’i menggunakan 

teori nasakh.