Dari uraian terdahulu dapat diambil beberapa kesimpulan:
1. Dalam kajian literature hadis Sunni dikenal dengan al-kutub al-sittah,
yakni kitab hadis yang enam (¢a¥³¥ al-Bukh±r³, ¢a¥³¥ Muslim, Sunan
Ab³ Dawud, Sunan al-Turmu©³, Sunan al-Nas±I, dan Sunan Ibn Majah).
Sedangkan dalam kajian literature Syiah dikenal dengan al-kutub alArba’ah, yakni kitab yang empat (kebanyakannya berisi hadis), yaitu
al-K±fi karya karya al-Syaikh al-Kulainiy (wafat 329 H), Ta¥z³b alAhk±m dan al-Istib¡±r karya al-Syaikh al-°-siy (wafat 460 H), dan M± la
ya¥«uruhu al-Faq³h karya Ibn Bawayah. Perbedaan metodologi dalam
menetapkan criteria/indicator krsahihan hadis menyebabkan antara
Sunni dan Syiah berbeda dalam menilai hadis tentang Nikah Mut’ah.
Orang-orang Syiah menolak hadis Nikah Mut’ah versi Sunni yang
dimuat dalam ¢a¥³¥ al-Bukh±r³ walaupun rawi akhirnya Ali bin Abi
°±lib. Bila dengan hadis ini izin nikah Mut’ah telah dihapus (mans-kh)
menurut Sunni, tapi menurut Syiah nikah Mut’ah malah digalakkan
dan dibuat sistematis seperti bab-bab fikih sehingga yang terlihat
bukan lagi kalam Rasul tapi rekayasa sanad dan materi. Dengan
standar mu¡¯alahul had³s, kita dengan mudah akan mengatakan kitab
hadis al-k±fiy, khususnya tentang nikah Mut’ah umumnya daif
(lemah), baik karena mursal, munqa¯I’, dsb Bagi Syiah hadis sahih
bila diriwayatkan oleh seorang yang ma’¡um.
2. Bagi Syiah hadis-hadis tentang kebolehan Mut’ah tidak dinasakh;
bahkan dasar tentang kebolehan Nikah Mut’ah juga ada dalam
Alquran yakni ayat 24 surah al-Nis±. Kelompok Syiah ini menguatkan
pendapat dengan menyodorkan hadis-hadis tafsir yang ada dalam
literature sunni misalnya Musnad Ahmad dan Sunan Ibn Majah yang dari segi sanadnya sahih. Sikap Syiah ini biasa terbantah bahwa
hadis tafsir ini telah mansukh oleh hadis Bukhari yang lebih
sahih dan hadis lain dan sekaligus ayat-ayat yang menerangkan
bahwa dengan adanya iddah, talak, dan warisan.= Setelah mengkaji
bahan kedua sumber (syiah dan sunni) saya memiliki sikap berikut ini
Saya sependapat dengan ulama-ulama sunni yang memfinalkan
bahwa nikah Mut’ah telah dihapus sesuai dengan hasil kajian Imam
Nawawi. Alasan saya (1) Nikah Mut’ah ada tradisi Arab sebelum Islam.
Toleransi kebolehannya dalam Islam adalah karena faktor darurat.
Artinya kalau pada masa Umar dilarang oleh beliau ini semata-mata
atas kebijakan beliau karena berubahnya situasi dan kondisi. Umar
tampaknya sudah ingin mengatakan taghayyur al-a¥k±m bi taghayyur
azminah wal makan (2) proses nasakh ini sudah betul menurut
ulumul Quran karena terpenuhi unsure-unsur naskh. Nikah Mut’ah
merupakan realitas yang awal, (3) Ditinjaun dari segi tujuan syariah
fakta menunjukkan banyak sekali anak-anak yang tidak ada
bapaknya` (ratusan ribu) dan negara yang melegalkan tentu harus
memiliharanya. Tidak ada kasus perzinahan di Negara yang
melegalkan Mut’ah tapi anak-anak dari hasil Mut’ah banyak. (4)
diduga banyak riwayat yang disandarkan kepada Imam Ja’far al-¢adiq
padahal beliau tidak meriwayatkannya. Oleh karena itu Imam Bukhari
tidak meriwayatkannya.
3. Hadis-hadis tentang nikah Mut'ah menurut literature Syiah mencakup
tema-tema kebolehan Mut'ah, perempuan yang dimut'ah menempati
status budak, Mut'ah dapat menjadi solusi bagi yang tidak cukup
dengan kawin biasa, Mut'ah sebagai bentuk sikap iffah (menjaga
kescian diri), persyaratan sebelum dan sesudah akad Mut'ah, mahar
Mut'ah, masa Mut'ah, tambahan waktu Mut'ah, dan hukum menahan
mahar. Sedangkan tema-tema hadis Mut'ah dalam kitab-kitab Sunni
meliputi kebolehan Mut'ah, perbedaan sahabat dalam menyikapi
Mut'ah, Mut'ah sebagai rukh¡ah dan kemudian dilarang, dan
pelarangan Mut'ah oleh Rasulullah (nasakh Mut'ah)
4. Ada kesulitan metodologis melacak rijal-rijal hadis Mut'ah yang ada di
kalangan Syiah karena kitab-kitab rijalnya sangat terbatas dan tidak
lengkap. Berbeda halnya halnya dengan kitab-kitab rijal di kalangan
Ahli Sunnah yang relative tersedia. Namun sebagaimana dikatakan
pada bagian pendahuluan, ini merupakan kajian awal untuk mengkaji lebih jauh dan mendalam tentang hadis-hadis Syiah dan Ahli Sunnah
secara objektif.
Kata mut’ah atau mit’ah dalam bahasa Arab berarti istimta’
(bersenang-senang) atau intifa’ (mengambil manfaat) (Ibn Sidah, 1413 H).
Nikah Mut’ah merupakan warisan dari tradisi masyarakat pra-Islam.
Tradisi ini bertujuan untuk melindungi wanita di tengah sukunya. Pada
masa Islam nikah ini mengalami pasang surut. Ada beberapa kali perubahan hukum, dua kali dibolehkan dan dua kali dilarang, dan
akhirnya diharamkan. Akan tetapi pengharaman ini tidak dipahami sama
antara mazhab Islam, antara Syiah dan Sunni ada perbedaan.
Pembicaraan tentang Nikah Mut’ah selalu memunculkan
kontroversi di antara umat Islam walaupun nikah yang mengandalkan
kontrak ini tidak hanya terjadi intern umat Islam (khususnya Syiah Itsna
asyariah) tetapi juga terjadi di masyarakat muslim yang lain dan bahkan
di kalangan non-Muslim. Pembicaraan Nikah Mut'ah ada dalam tiga
aliran besar Islam, yakni Syiah, muktazilah dan Ahlu Sunnah
Kontroversi sebenarnya tidak hanya terjadi di antara tokoh tiga aliran
ini tetapi, tetapi juga di kalangan masyarakat Syiah sendiri dalam
konteks kekiniannya. Sementara nikah Mut'ah tidak hanya bermuatan
yuridis, tetapi sarat dengan muatan teologis. Misalnya barangsiapa tidak
Nikah Mut’ah maka dia tidak akan mencium bau sorga. Klaim dari sunni
ditemukan bahwa nikah mut’ah sama saja dengan zina. Zina hukumnya
haram dan oleh karena itu sejak diharamkannya nikah mut’ah pada
penaklukkan kota Mekah (tahun 10 H) hukum keharamannya sampai
hari kiamat. Tulisan berikut ini akan mengemukakan sebagian data hasil
penelitian penulis.
Pada masa Rasul ada beberapa kali perubahan hukum. Lihat
misalnya hadis yang ada dalam Sahih Muslim Juz IX hlm. 115
berdasarkan riwayat Rabiah bin Sabrah al-Juhani dari ayahnya dan
ayahnya menerima dari kakeknya bahwa Rasul tadinya memerintahkan
kami untuk Nikah Mut’ah ketika kami memasuki kota Mekah dan beliau
kemudian melarang ketika kami keluar kota Mekah. Di dalam sumber
lain dikatakan Rasul melarang pada hari Awthas. Baik yauwm al-Awthas
atau fath Mekkah (630 M) sama saja, yakni tahun ke-8 H. Awthas yaitu
satu lokasi di Arab Saudi di mana terjadi pertempuran Hunayn dan
pertempuran Awthas. Lokasinya terletak antara Thaif dan Mekah pada
jarak 14-15 mil dari Mekah.
Versi kedua: Rasul melarang mut’ah pada waktu perang Khaibar
(629 M). Jadi perubahan hukumnya ada dua kali; dua kali dibolehkan
dan dilarang juga dua kali. Pada masa sahabat larangan Rasul tetap
menjadi pegangan. Akan tetapi ada sekelompok sahabat yang masih
membolehkan Nikah Mut’ah bahkan ada yang masih melakukan praktik
nikah Mut’ah, yakni Jabir bin Abdullah. Pada masa kekhalifahan Umar
bin Khaththab (581 M- 644 M) secara tegas melarang siapa saja yang melakukan Nikah Mut’ah dengan ancaman hukuman rajam. Larangan
Umar bin Khaththab dapat menghentikan secara total praktik Nikah
Mut’ah. Keadaan ini tetap terpelihara sampai generasi berikutnya. Pada
masa pemerintahan al-Makmun.
Menurut Syiah nikah mut’ah tetap diperbolehkan atau dihalalkan
hingga sekarang. Ada beberapa hal yang mendasari kebolehkan ini :.
Surat al-Nisa (4): 24 menurut bacaan Ibnu Mas’ud dengan sedikit
tambahan:
ِ
Ibnu Mas’ud membaca teks ayat ini dengan sedikit tambahan
yakni dengan menyisipkan ila ajal al-musamma. Jadi bacaannya: استمتعتم فما
مسمى أول إلى نُمن بهKaum Syiah juga menolak pendapat bahwa ayat ini
dinasakh. Dalam tafsir-tafsir sunni al-Thabari ( w. 310 H) tergolong saz
(janggal) dan demikian pula menurut al-Alusi (w.1127 H) bacaan
demikian dianggap tidak sah. Qurthubi berpendapat dapat diringkas
sebagai berikut “bahwa dilarang atau haram.
yang
dibolehkan dalam ayat ini nikah syar’iy dengan seorang wali dan dua
saksi. Sedangkan nikah mut’ah tidak demikian. Yang dimaksud nikah di
sini adalah nikah Mut’ah; nikah Mut’ah pada periode awal Islam. Ibnu
‘Abbas, Abi, dan Ibn Zubair membaca ayat tsb:
Kemudian dilarang Nabi saw dan Sa’id bin Musayyab berkata ayat
ini dinasakh oleh ayat warisan. Aisyah dan al-Qasim bin
Muhammad: keharaman dan nasakhnya ada dalam Alquran. Demikian
juga (dinasakh) oleh ayat:
ملَ رُ يْغَ menurut riwayata al-Daruquthni “mut’ah bukanlah nikah dan
bukan juga milkul yamin (budak).
ANALISIS METODOLOGI DAN MATERI
Dari hasil telaah tentang nikah Mut'ah, baik yang ada dalam kitab
hadis Syiah atau kitab hadis Ahli Sunnah, ada beberapa hal yang bisa
dipahami Hadis-hadis tentang nikah Mut'ah versi Syiah dilihat dari
kandungan isinya (matn al-hadis) atau kritik intern terlihat lebih
sistematis dan lengkap dibandingkan hadis-hadis nikah Mut'ah yang ada
di kalangan Sunni. Namun deskripsi yang sistematis dan lengkap yang
dimuat oleh al-Kulainiy dalam al-Kafiy ini justru lebih layak dibanding dengan kajian fikih mazhab di dalam Sunni, bukan dengan kitab-kitab
hadis. Hal ini mungkin karena beberapa perbedaan yang mendasar mulai
dari mendefinisikan hadis sampai dengan standardisasi kritiknya. Hadis
di mata orang Syiah harus berupa perkataan, perbuatan atau taqrir
(ketetapan) yang disandarkan kepada imam ma’shum )المعصوم(. (Ja'far alSubh±niy, 1212). Oleh karena itu tidak heran kalau dilihat dari segi
substansinya; baik uslub bahasa atau deskripsinya ada persamaan
dengan kitab fikih. Hadis yang ditampilkan oleh Syiah, khususnya Syiah
Itsna Asyariah, seolah-olah bukan lagi perkataan Nabi karena narasinya
atau eksposisinya bukan lagi memcerminkan perkataan, perbuatan, dan
penetapan rasul. Narasi dan eksposisinya susunan imam-imam periwayat
hadis bukan wahyu yang tertanam dalam jiwa Rasul (baca: Muhammad).
Guru saya yang banyak belajar hadis berkomentar “membaca ushul kafi”
tidak terasosiasi ke kitab hadis. Anehnya maka orang masih banyak yang
percaya. Padahal karya al-Kulayni (932 or 940 A.D) atau 328 atau 329
disebut Dr. I. K.A. Howard sebagai the great work. Di dalam studi hadis
dalam Sunni dikenal dengan al-kutub al-sittah, yakni kitab hadis yang
enam. Kitab hadis yang enam ini etika pengambilannya diurut
mulai Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, dst. Di dalam kajian hadis Syiah
dikenal juga dengan al-kutub al-arba’ah (kitab hadis yang empat), di
antaranya al-Kafi dan Tahzibul Ahkam.
Kandungan hadis-h adis nikah Mut'ah yang disampaikan oleh
imam-imam Syiah ini ada banyak persamaan dengan model
perkataan imam-imam mazhab di kalangan Sunni, bahkan sebagiannya
memang berisi perdebatan antara seorang imam Syiah (Abu Ja'far atau
Imam Ja’far as Shaqiq/83-148 H) dengan seorang imam Sunni (Abu
Hanifah/80-150 H) (Abdullah Mustafa al-Maraghi, 2001). Beberapa
pemahaman tentang konsep nikah Mut'ah yang ada dalam hadis Syiah
sebagai berikut:
a. Kebolehan Mut'ah menurut Abu Ja'far adalah berdasarkan firman
Allah:
Ayat ini tertdapat dalam surat al-Nisa ayat 24 menurut beliau
Madaniyah, sedangkan surat Malaikah (Saala Sailun) adalah Makkiyah.
Oleh karena itu Mut'ah hukumnya halal berdasarkan kitAbullah dan
hadis-hadis Nabi sampai hari kiamat. Abu Ja'far tidak perduli dengan
keharaman yang difatwakan Umar karena beliau mengikuti Rasulullah,
kendatipun sewaktu beliau ditanya oleh 'Abdullah bin 'Umair bagaimana
kalau yang dimut'ah itu ada anak-anak perempuan engkau, saudara
perempuan engkau atau anak perempuan bibi engkau?. Dia juga enggan
(tidak mau) dimut'ah.
b. Perempuan yang dimut'ah menempati kedudukan sebagai budak
karena sistemnya berdasarkan pembayaran dan karena itu tidak ada
batasan jumlah perempuan yang dimut'ah sebagaimana halnya dalam
nikah biasa dibatasi maksimal empat orang wanita.
c. Di samping kehalalan Mut'ah bersifat mutlak karena ia termasuk dasar
agama dan harus dilaksanakan kecuali Syiah Zaidiyah yang justru
menganggapnya konsep tentang mut’ah ini telah dinasakh. Memang
sebelumnya menurut jumhur nikah mut’ah dibolehkan yang dkuatkan
dengan berdasarkan bacaan Ubay bin Ka’ab, Ibnu ‘Abbas dan Sa’id bin
Zubair (Imam al-Syawkani). Sarana Mut'ah juga bisa dimanfaatkan
bagi seseorang yang tidak cukup dengan kawin biasa. Kawin biasa
terbatas hanya empat, kemudian ditambah lagi dengan mut'ah.
d. Mut'ah sebenarnya justru menjaga 'iffah (kesucian diri) agar tidak
terjerumus ke dalam zina (Ibn Bawayah, Juz 3 hlm. 366; al-Kasyaniy,
Tafs³r Minhaj al-¢±diq³n, Juz 3 hlm. 493). Di kalangan ahli sunnah
sendiri ada perbedaan pendapat, ada yang mengatakan nikah
Mut’ah itu hukum haram sama dengan zina dan ada juga yang
berpendapat boleh kalau darurat. Sebagian ulama ahli sunnah
menyatakan ada perbedaan antara zina dan nikah Mut’ah. Menurut M.
Quraish Shihab tidak sedikit yang menyalahpahami persoalan ini
sehingga ada yang mempersamakannya dengan zina padahal ulamaulama yang mengharamkannya pun tidak berpendapat demikian. Jika
pendapat M. Quraish Shihab dihubungkan dengan hukum Islam di
Indonesia, maka pendapat M. Quraish Shihab yang membolehkan
nikah mut’ah dalam kondisi darurat, tampaknya bertentangan dengan
hukum Islam di Indonesia. Hal senada juga disebutkan dalam
Kompilasi Hukum Islam Bab II Pasal 2. Aturan undang-undang ini
menegaskan bahwa perkawinan itu bukanlah bersifat sementara tetapi
untuk selamanya yang tujuan akhirnya adalah membentuk keluarga
sakînah, mawaddah dan rahmah. Dengan demikian, perkawinan
mut’ah berlawanan dengan ketentuan ini karena bersifat sementara.
RUU Hukum Materiil Pengadilan Agama Bidang Perkawinan juga
dengan tegas melarang kawin mut’ah. Hal itu diatur pada pasal 39 dan
pada pasal 144 diatur tentang hukuman terhadap pelaku kawin
mut’ah. Pada pasal ini disebutkan bahwa “Setiap orang yang
melakukan perkawinan mut’ah sebagaimana dimaksud Pasal 39 dihukum dengan penjara selama-lamanya 3 (tiga) tahun dan
perkawinannya batal karena hukum”.
e. Adanya syarat yang disepakati sebelum nikah Mut'ah tidak bisa
dibenarkan. Perjanjian yang disepakati bersama hanya setelah nikah
Mut'ah. Hal ini untuk membedakan antara nikah biasa dengan nikah
Mut'ah.
f. Mahar Mut'ah tergantung kesepakatan kedua belah pihak sesuai
dengan kepantasan masa (lamanya) Mut'ah. Minimal maharnya
sepenuh tapak tangan berisi gandum. Juga bisa satu dirham atau
lebih.
g. Masa Mut'ah, kalau dia haidh, satu bulan setengah (45 hari). Jika
habis waktunya terjadinya perceraian tanpa talak.
h. Tambahan waktu Mut'ah bisa dibenarkan dengan penentuan waktu
baru yang disepakati pihak perempuan selama tambahan itu dengan
laki-laki pertama (semula), kalau dengan laki-laki lain, makaa pihak
perempuan menunggu iddahnya.
i. Pihak laki-laki tidak boleh mengambil kembali mahar Mut'ah kecuali
ada perjanjian yang tidak ditepati. Itupun hanya senilai (sebanding)
dengan ketidaktepatannya dalam perjanjian.
Para perawi /sanad awal yang menyampaikan hadis tentang nikah
Mut'ah kepada Syaikh al-Kulainiy ada enam orang: 'Aliy bin Ibrahim ada
8 buah hadis, Muhammad bin Yahya ada 7 buah hadis, sejumlah
sahabat Syaikh al-Kulainiy yang tidak disebutkan namanya ada 6 buah
hadis, kemudian 'Aliy dan al-Husain bin Muhammad masing-masing 2
buah hadis, dan Ahmad bin Muhammad 1 buah hadis. Kemudian yang
menjadi sanad akhir; yakni imam yang menyampaikan hadis (dalam
konteks Syiah) tentang nikah Mut'ah ada 9 orang. Perawi /sanad akhir
ini adalah Abu Abdillah ada 9 buah hadis, Abu Ja'far ada 7 buah
hadis, Abu Ba¡³r ada 2 buah hadis, dan Bakar bin Muhammad, Abu
Hasyim, al-¦asan bin Syamun, Abu Sarah, dan Zararah masing-masing
1 buah hadis. Jumlah hadis seluruhnya adalah 26 buah hadis.
Perawi-perawi ini apabila dihubungkan dengan para perawi
berikutnya, yaitu Abu Ja'far menyampaikan hadis kepada: 1) Muhammad
bin Nu'man, 2) Muhammad bin Muslim 3) Abi Aban 4) Abu al-¦asan alRifai 5) Abi Ba¡arr, dan 6) Zararah. Kemudian Abu 'Abdillah
menyampaikan hadis kepada: 1) 'Umar bin Az³nah, 2) 'Umar bin
Hanzalah 3) Abi Sarah 4) 'Abdullah bin Bakar 5) Al-Awwal, 6) Aban bin
Taglib 7) Abi 'Amir, dan 8) Zararah. Demikian juga Abu al-Hasan menyampaikan hadis kepada: 1) Bakar bin Muhammad, 2) Abu al-Fath
bin Yazid, dan 3) Al-¦asan bin Syamun. Juga Zararah menyampaikan
hadis kepada Ibn Bakr, Abi Ba¡r menyampaikan kepada Ahmad bin Abi
Na¡ir, dan seterusnya.
Namun tampaknya perawi-perawi yang menerima dari Abu Ja'far
dan juga perawi-perawi yang lainnya umumnya ini tidak terekam dalam
Rijal al-Najasiy. Lihatnya misalnya diantara murid Abu Ja'far yang
ditunjuk oleh al-°-siy dalam kitabnya halaman 122-151 tidak
mencantum perawi-perawi hadis Mut'ah yang disebut al-Kulainiy dan
demikian juga murid Abu Abdillah yang ditemukan hanyalah 'Abdullah
bin Bak³r dan 'Amar bin Han§alah. Hal inipun tanpa penjelasan tentang
keadaan perawi ini (Syaikh al-°±ifah Ab³ Ja'far Mu¥ammad bin al-
¦asan al-°-siy, Rij±l al-°-siy, Ta¥q³q: Jaww±d al-Qayyumiy al-I¡fih±niy,
1420).
Penjelasan yang memadai tentang Aban bin Taglib sebagai murid
dari Abu 'Abdillah ditemukan dalam Rijal al-Najasyiy. Pada kitab ini
disebutkan bahwa beliau meriwayatkan hadis dari 'Aliy bin al-¦usain,
Abi- Ja'far, dan Abi- 'Abdillah. Disebut-sebut ia seorang qar³, fakih, ahli
bahasa, mendengar dari orang Arab dan menghikayatkannya. Juga
dipaparkan penilaian dari ulama, baik kalangan Syiah atau Ahli Sunnah
seperti Abu 'Amar al-Kisysyi, Abu Zur'ah al-Raziy, dan lain-lain (Al-Syaikh
al-Jal³l Abu al-'Abb±s A¥mad bin 'Aliy al-Naj±syiy, Rij±l al-Naj±syiy, (Qum:
Muassasah al-Nasyr al-Isl±miy, 1418).
Namun Rijal al-Najasyiy ini tidak memuat secara lengkap rijalrijal hadis tentang nikah Mut'ah. Beberapa nama rijal (murid) dari Abu
Ja'far dan Abu 'Abdillah, misalnya 1) Muhammad bin Nu'man, 2)
Muhammad bin Muslim, 3) Zararah, 4) Al-¦asan bin Syamun, dan lainlainnya tidak dimuat dalam kitab ini. Oleh karena itu agak sulit melacak
perawi-perawinya yang cukup banyak. Namun paling tidak kajian ini
sudah dapat mendorong penulis untuk lebih tertarik dengan kajian hadis,
baik dari aspek sanad atau matn, baik menurut versi Syiah atau Ahli
Sunnah.
Hadis versi Ahli Sunnah (Sunni)
Hadis-hadis tentang nikah Mut'ah versi Ahli Sunnah (Sunni)
umumnya berkisar soal kebolehan nikah Mut'ah, larangan nikah Mut'ah,
adanya sahabat yang memerintahkan nikah Mut'ah dan ada juga yang
melarangnya, nikah Mut'ah sebagai rukhsah kemudian dilarang, dan
berakhir pada pembebasan wanita dari belenggu Mut'ah. Sebelum komentar ini diteruskan, di sini perlu dikemukakan
bahwa sebagian hadis-hadis Sunni yang membolehkan nikah Mut'ah juga
dikutip oleh penulis-penulis Syiah untuk dijadikan argumen memperkuat
keabadian hukum kebolehan nikah Mut'ah di kalangan Syiah. Misalnya
al-'Allamah al-Syaikh 'Abd al-¦usain Ahmad al-Am³niy dalam kitanya
Talkhis¡ al-Ghadir (al-'All±mah al-Syaikh 'Abd al-¦usain A¥mad al-Am³niy,
Talkh³¡ al-Ghad³r, 1427).
Apabila dicermati matn hadis tentang perkawinan Mut'ah
menurut kitab-kitab Ahli Sunnah ini, maka konsepnya dapat dipetakan
bahwa semula nikah Mut'ah itu diperbolehkan bahkan nikah Mut'ah itu
telah menjadi tadisi masyarakat Jahiliah sebagaimana halnya juga
minuman keras, judi, mengundi nasib dan lain-lainnya. Setelah
diutusnya Rasulullah secara bertahap diharamkan semua bentuk
khurafat dan akhirnya nikah Mut'ah juga dilarang oleh Rasulullah.
Pada tahap kebolehannya, seperti yang diriwayatkan oleh
Bukhariy hadis dari 'Imran bin Husain (sahabat, wafat 52 H di Ba¡rah)
dan perawi-perawi lainnya semua tsiqah ((al-Jarh wa Ta'd³l untuk hadis
ini yang termuat dalam Maws-'ah al-Had³£ al-Syar³f, al-I¡d±r al-
¤±niy: 2000, CISC (1991-1997) bahwa dia berkata "Telah turun ayat
Mut'ah dan kami melaksanakannya bersama Rasulullah dan tidak turun
ayat yang mengharamkannya sehingga dia meninggal". 'Imran bin Husain
menyindir seseorang (Umar) yang berpendapat melarangnya. Pada hadis
yang kedua yang diriwayatkan oleh Sa'³d bin Musayyab (tabi'in besar,
wafat 93 H di Madinah) yang menceritakan bahwa Utsman dan 'Aliy
berbeda pendapat dan kedua mengambil sikap masing-masing dalam hal
Mut'ah. Bentuk sikap ini terlihat pada hadis nomor 4, ketika 'Aliy
dan Utsman berada di antara Mekah dan Madinah, Utsman melarang
Mut'ah (mungkin maksudnya supaya pelaksanaan ibadah haji dan
'Umrah dilaksanakan lebih khusyu'). Ali berargumen bahwa ia tidak akan
meninggalkan sunnah Rasulullah dengan pernyataan seseorang.
Hadis nomor 6 kasus Mut'ah dikaitkan dengan konteks
peperangan bersama Nabi (Gazwah). Para sahabat tidak membawa isteri,
kemudian mereka meminta kekhususan, tapi Nabi melarangnya.
Kemudian setelah berselang waktu diberikan rukh¡ah untuk mengawini
wanita dengan mahar pakaian sampai waktu tertentu (dengan Mut'ah).
Namun Imam Nawawiy memberikan komentar sebagai berikut: (Im±m alNaw±wiy, 2000, CISC (1991-1997)Sedangkan hadis-hadis yang melarang Mut'ah diriwayatkan oleh
Bukhariy bersumber dari Malik bin Isma'il, dari Ibn 'Uyainah, al-Zuhriy,
al-¦asan bin Muhammad bin 'Aliy dan saudaranya 'Abdullah bin
Muhammad, dari ayah keduanya bahwasanya 'Aliy bin Abi Talib ra
berkata kepada Ibn 'Abbas "Sesungguhnya Rasulullah saw telah
melarang Mut'ah dan daging Himar kampung pada masa Khaibar".
Periwayatan hadis ini disampaikan secara mutta¡il dan perawi-perawinya
bisa dipercaya, tidak ada yang tertuduh dusta, walapun ada sebagian
penulis Sunni sendiri yang menganggap Malik bin Isma'il sebagai
tasyayyu'. Misalnya Imam al-Suyutiy memasukkan Malik bin Isma'il
Ghisan) sebagai tasyayyu' dalam periawayatan (Im±m Jal±l al- Suy-¯iy,
t.th). Umumnya ulama menilai Malik bin Isma'il dapat dipercaya (tsiqah)
dalam meriwayatkan hadis. Ibn Hajar mengatakan: (Ibn ¦ajar alAsqal±niy, 1304)
Hadis ini tidak diterima di kalangan Syiah, padahal periwayatnya
Malik bin Isma'il, al-¦asan bin Muhammad, dan saudaranya 'Abdullah
bin Muhammad keduanya anak dari 'Aliy bin Ab³ °alib diakui sebagai
seorang terpercaya. Apabila diurut dan diberi penilaian perawi-perawi
hadis ini:
Sedangkan hadis-hadis yang lainnya dari hadis-hadis yang
melarang Mut'ah hampir memiliki makna atau pesan yang sama, namun
banyak jalur sanad yang menyampaikan ke pendiwan hadis dapat
menjadi argumen kuatnya status hadis tentang larangan Mut'ah. Ada
satu logika umum -yang dipakai oleh Syafi'iy dan Abu Hanifah- bahwa
sesuatu diketahui oleh banyak orang tentu bukan suatu rahasia lagi.
Sulit untuk menyembunyikan sesuatu yang diketahui oleh banyak orang
dan apalagi pada waktu 'Aliy bin Ab³ °alib menjadi khalifah beliau
memindahkan ibu kota Islam dari Madinah ke Kufah. Banyak sahabat
pun yang ikut hijrah ke ibu kota yang baru itu (Muhammad ABU Zahrah,
t. th).
Ada fenomena yang menarik untuk dikaji lebih jauh (mungkin
dalam bentuk disertasi atau tesis) yakni hipotesa berikut ini perlu
dibuktikan: "Diduga penolakan Syiah (Abu Ja'far) terhadap argumentasi
Abu Hanifah pada uraian terdahulu bukan karena ketidaktahuan AB
Ja'far tentang adanya hadis yang menasakh Mut'ah, tetapi karena
fanatisme Abu Ja'far mazhab atau perbedaan metodologi". Hipotesa ini
dibangun atas argumen berikut:
1. Imam Abu Hanifah bukan berasal dari keturunan Arab, dekat dengan
ahl al-bayt dan dilihat dari tahun kelahirannya (80 H) dia adalah
seorang tabi’in senior. Kemasyhuran Imam Abu Hanifah, selain
disebabkan karena tingkat intelektualitasnya, juga karena
kepribadiannya yang agung. Sejak kecil ia dikenal cerdas, rajin, jujur,
dermawan, tenang, teguh, dan berani. Kemudian dalam hal keagamaan
ia dikenal wara’ dan zahib al-‘ibadah (ahli ibadah) (Ahmad Am³n, ¬uh±
al-Isl±m, t. th). Ia dijuluki sebagai al-Imam al-'Azham (Imam Besar) dan
menulis kitab al-Musnad dan al-Fiqh al-Akbar. Artinya kalau ia tidak
mau meneruskan perdebatan dengan Abu Ja'far, itu hanya karena
kewarakannya dan penghormatannya kepada ahl al-bayt. Seolah-olah
ia berkata "Biarkan fakta berbicara sendiri, semua orang juga akan
tahu bahwa Mut'ah kebolehannya telah dinasakh". Mengapa beliau
dekat dengan ahl al-bayt.? Ini memiliki akar sejarah yang terkait
dengan kakeknya sempat bertemu dengan ‘Aly bin Abi Talib. Dari
pertemuan itu tercipta keakraban, sampai akhirnya ‘Aliy bin Abi Talib
berdoa semoga Tsabit anak Zu¯ah, akan dikurnia keturunan yang
membawa berkah bagi keluarga dan umat pada umumnya-lahirlah Abu
Hanifah dan seterusnya.
2. Imam Abu Hanifah tinggal di Kufah dan Kufah merupakan pusat
perkem-bangan ilmu pengetahuan. Di sana ada pakar teologi, tafsir,
hadis, qiraat, dan bahasa. Khusus di bidang hadis, Abd al-Wahhab
Ibrahim Sulaiman dengan mengutip perkataan al-Ramahurmuzi
mengatakan bahwa di Kufah ada 4000 orang muhadditsin, 400 di
antaranya merangkap fuqaha (Abd al-Wahh±b Ibr±him Sulaim±n,
1983). Artinya setelah Rasulullah wafat dan sampai masa 'Aliy
memindahkan ibu kota ke Kufah tidak ada lagi penambahan secara
kuantitas hadis-hadis Nabi di kepala para sahabat. Jadi, pernyataan
'Aliy kepada Ibn 'Abbas tentang Rasulullah melarang nikah Mut'ah
bersifat final dan Ibn 'Abbas tidak membantahnya. Walhasil, kalau
tadinya Ibn 'Abbas membolehkan karena tidak mengetahuinya atau
seperti perkataan Imam Nawawiy terdahulu اُنساخ يبلغاه لام وأناه (dia tidak
mengetahui adanya nasakh Mut'ah).3. Dilihat dari segi kekuatan jalur periwayatan tabi'in yang menerima dari
'Ibn 'Abbas, maka hadis yang membolehkan di antaranya melewati
sanad Isma'il dari Qayis. Ini disebut sebagai al-¯uruq al-«a'³fah alwahiyah. Seharusnya yang kuat adalah melewati sanad Qayis bin
Muslim, dari 'A¯a bin al-Sׅib, dari Sa'³d bin Zubair, dari Ibn 'Abbas
(¦asan Y-nus 'Ubaidu, t.th).
Walhasil, nikah Mut'ah tadinya memang legal (dibolehkan) dengan
pertimbangan proses pembentukan hukum dan alasan sosio-historis
lainnya seperti yang ditunjuk oleh hadis. Kemudian mut'ah dilarang oleh
Rasulullah setelah berlalu Fathu Mekah. Kontroversi yang terjadi
belakangan di kalangan tabi'in besar antara Syiah dan Ahli Sunnah
kemungkinan disebabkan dua faktor, yakni fanatisme mazhab dan
perbedaan dalam mendapatkan informasi mengenai pelarangannya. Atas
dasar menjunjung tinggi nilai kemanusian dan kasih sayang,
menghindari lahirnya berbagai problem sosial sebagai eksis dari nikah
Mut'ah, dan dampak-dampak negatif lainnya, sangat bijaksana kalau
pada akhirnya Rasulullah menyatakan: ِ
سابَ (barang siapa yang masih ada perempuan-perempuan yang dimut'ah,
maka hendaklah ia membebaskannya/menceraikannya). Kalau kita kaji
sejarah tentang nikah Mut’ah ini, maka nikah ini sudah ada sejak pra
Islam. Pada masa Rasul nikah ini faktual ada dan dilegalkan syara. Nikah
ini semula dibolehkan berdasarkan hadis Nabi.
Hadis ini dapat ditemukan beberapa kitab hadis di antaranya kitab
al-Sunan al-Shugra yang ditulis oleh Ahmad bin Husain bin Musa Abu
Bakar al-Baihaqi nomor bab 28 dan nomor hadis 2607 dan nomor
sesudahnya 2608. Menurut Ali kebolehan di sini merupakan rukhshah.
Rukhshah di sini tentu memiliki alasan. Sebagian ulama yang lain
mengatakannya haram. Apa aspek-aspek yuridis yang menyebabkan
keharamannya?
Ulama ahli tafsir mengatakan bahwa telah terjadi nasakh dengan
mengatakan kewajiban puasa Ramadhan telah menghapus semua
kewajiban puasa sunnat, kewajiban zakat menghapus semua kewajiban
sedekah. Adanya talak, iddah, dan beberapa ketentuan waris menghapus
berlakunya Nikah Mut’ah.
Di antara ulama ahli tafsir ini adalah pengarang kitab tafsir
al-Khazin (w.678 H), (Alâu al-Dîn Alî ibn Muhammad ibn Ibrahim alBaghdâdî, Tafs³r al-Kh±zin) Imam al-Qurthubi pengarang kitab Ahkam
al-Qur’an, dan Imam al-Alusi (w. 1127) pengarang kitab Ruh al-Ma’ani³
(Al-Al-si, Tafs³r R-h al-Ma±n³, Jilid V). Menurut mereka keharaman nikah
Mut’ah ini dapat dilihat berdasarkan teori nasakh. Pertama naasakh
berdasarkan hadis sebagaimana dalam hadis Ali bin Abi Thalib di atas.
Kedua berdasarkan ayat Alquran dalam surat Al-Ma’arij: 29-30 atau alMu’minun ayat: 5-7 “dan orang-orang yang menjaga kemaluannya
kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak-budak yang mereka
miliki maka sesunguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.
Barangsiapa yang mencari dibalik itu maka mereka itulah orang-orang
yang melampau batas”, Ayat ini menurut mereka telah menasakh
(membatalkan hukum) nikah Mut’ah.
Menurut al-Alusi kebolehan nikah Mut’ah dibatalkan setelah
turunnya ayat ini karena ayat ini menerangkan haram
mencampuri wanita selain isteri dan budak-budak yang dimiliki. Ibnu
Abbas membolehkan nikah Mut’ah dalam keadaan terpaksa atau ketika
seseorang sedang dalam bepergian dalam waktu yang lama. Beliau
menarik kembali hadisnya setelah turunnya surat al-Ma’arij ini .
Ibnu Jubair pernah berkata kepada Ibnu Abbas nasehatnasehatmu telah tersebar di kalangan kafilah dan sering diucapkan oleh
penyair. Ibnu Abbas berkata apa yang mereka ucapkan. Dijawab : “ketika
lama berada di dalam majelis, aku bertanya kepada Syeikh, Wahai
kawan. Apakah kamu sudah mendengar fatwa Ibnu Abbas. Ia
mengizinkan kita menikahi wanita muda yang cantik dengan cara mut;ah
untuk menjadi isteri sampai setelah kembalinya manusia ke negerinya”.
Mendengar pernyataan ini , Ibnu Abbas berkata:
“Subhanallah, aku tidak pernah berfatwa demikian. Sesungguhnya
pernikahan mut’ah bagaikan bangkai, darah, dan daging babi, ia tidak
dihalalkan kecuali oleh orang-orang yang terpaksa”.
Imam al-Razi juga ketika menafsirkan ayat 24 surat al-Nisa dengan
mengutip pendapat ‘Atha al-Hurasani mengatakan ayat ini dinasakh oleh
ayat 1 surat al-°alaq: “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteriisterimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka
menghadapi iddah”. Sikap al-Razi tentang nasakh di atas (ayat 24
surat al-Nisa dinasakh oleh surat al-Talaq: 1) memang agak sulit untuk
diterima. Ini berarti al-Razi sependapat bahwa ayat 24 surat al-Nisa bisa
dijadikan dalil kawin mut’ah walaupun kemudian dinasakh. Padahal
tidak ada qarinah yang kuat untuk menetapkan nasakh tidaknya dalil
yang mereka pakai. Hemat penulis kita lebih baik keluar dari nasakh
yang dibicarakan karena argumennya tidak jelas. Lafal yang jelas seperti
hadis diriwayatkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadraknya, hadis Anas bin Malik ra yang juga dimuat dalam Shahih Muslim ra bahwasanya ada
pernyataan dari Nabi: “Dulu aku melarang ziarah kubur, sekarang
ziarahilah (http://www.hadithportal.com/index.php?show=contact).
Narasi-narasi lain yang dapat menguatkan adanya nasakh
misalnya adanya qawlu sahabah (perkataan sahabat), ijma’ sahabah
(kesepakatan sahabat), ma’rifah tarikh al-nuz-l, dan nas sahabi. (‘Abd alMuta’al Muhammad al-Jabir, 1987) Satu-satunya di antara dalil
kemungkinan nasakh hanyalah perintah dari Umar bin Khaththab yang
melarang mut’ah. Qadhi Iyadh berkata: “Para ulama sepakat bahwa
menetapkan syarat dihapusnya nikah mut’ah harus disertai dengan
syarat lain. Jika di dalam aqad nikah seseorang berniat untuk
mencerainya beberapa syarat, maka nikahnya sah. Tetapi al-Auzai
membatalkan nikah ini mereka berbeda pendapat.
Argumen nasakh ini ditolak oleh kelompok Syiah. Hal ini
disebabkan terlalu banyak ayat-ayat dan hadis-hadis yang terkait dengan
nasakh. Kelihatannya yang mewacanakan adanya nasakh terhadap ayat
atau hadis yang banyak ulama abad pertengahan dan abad klasik.
Penulis-penulis seperti Ibn Katsir dan al-Qurtubi hidup diabad
pertengahan kajian tafsir sementara al-Razi dikategorikan Arkun sebagai
tafsir klasik.
Pada abad pertengahan kajian tafsir lebih cenderung fanatisme.
Penulis-penulis tafsir cenderung melakukan pembelaan terhadap kitab
tafsir yang ditulisnya atau mazhab yang dibelanya. Karya sangat fanatik
dengan karya-karya sebelumnya. Ini berbeda dengan tafsir periode
modern yang ditandai dengan pemikiran modern yang Muhammad Abduh
dan kawan-kawan.
Hadis-hadis yang menafsirkan Alquran tentang Mut’ah oleh Sunni
banyak diklaim sebagai hadis mansukh. Bahkan sengaja tidak
dimunculkan kepermukaan. Misalnya ayat 24 surat al-Nisa: (lihat
Alquran) Banyak perkataan sahabat Nabi dan tabiin yang sepertinya
diabaikan oleh pihak Sunni dalam menjelaskan ayat ini dan
demikian juga hadis-hadis berkualitas shahih dan tuf³dul yaq³n. Hal ini
karena pernyataan sahabat dan hadis-hadis ini mendukung kawin
mut’ah. Perhatikan perkataan sahabat di bawah ini:
Bagi orang yang konsen dengan kajian hadis akan cepat
mengatakan hadis ini shahih. Siapa yang tidak kenal dengan
Muhammad bin Mu’anna, Muhammad bin Ja’far, Syu’bah bin Hajjaj, Abu
Salamah, dan Abu Narah semuanya orang-orang terpercaya (¡iqat)) (Ibn
Hajar al-Asqalani). Tokoh-tokoh yang meriwayatkan hadis ini dan atau
matnnya tidak dikemukan atau diwacanakan oleh sunni.
Oleh karena itu kaum Syiah sampai saat ini menghalalkan nikah
Mutah sama halnya dengan nikah permanen. Dasar hukumnya ayat-ayat
Alquran dan hadis-hadis yang dikemukakan terdahulu. Nikah Mutah
mempunyai syarat dan rukun yang harus dipenuhi. Syarat ini
adalah baligh, berakal, dan tidak ada halangan syar’I untuk
melangsungkannya, seperti adanya pertalian nasab, saudara sesusuan
atau al-muh¡anat (masih berstatus isteri orang lain). Adapun rukunnya
yang harus dipenuhi sighat (ikrar), calon isteri, mahar, dan batas waktu
tertentu.
Di Indonesia perkawinan mutah ini sekarang cukup banyak tetapi
banyak dilakukan undertable (di bawah meja). Di Bandung tahun 1998
pasangan yang melakukan nikah ini sudah lebih 240an. Yang lain
tersebar juga di Jakarta, Kaltim dan lain-lain. Sebagai warga negara dan
ummat beragama sedikit agak prihatin akan adanya dampaknya. Hakikat
perkawinan dalam negara yang berdasarkan Pancasila, dengan sila yang
pertamanya “Ketuhanan Yang Maha Esa”, maka perkawinan mempunyai
hubungan yang erat sekali dengan agama, sehingga perkawinan bukan
saja mempunyai peranan yang penting untuk membentuk keluarga yang
bahagia, tetapi juga didasarkan pada aturan-aturan agama. Dalam pasal
1 Undang-undang No.1 Tahun 1974 dikatakan bahwa “Perkawinan ialah
ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Pasal ini
merupakan landasan pokok dari aturan hukum perkawinan lebih lanjut,
baik yang ada dalam Undang-undang No.1 tahun 1974 maupun
dalam peraturan lainnya yang mengatur perkawinan.
Perkawinan yang dikatakan Undang-undang ini merupakan ikatan
lahir batin menggambarkan bahwa ada tujuan perkawinan yang mulia
dan tinggi nilainya dari sekedar memperoleh manfaat biologis. Alquran
menyebutnya sebagai perjanjian yang kokoh (m³tsaqan ghal³za) atau
dalam agama Yahudi disebut perkawinan sakramental.
Memang ada hal yang menarik di Iran tidak ada kasus perzinahan
atau bisa dikatakan anak zina tidak ada di Iran, tetapi anak tanpa bapak jumlahnya 100 ribuan. Negara sudah kebingungan karena
tanggungjawab hasil pernikahan mutah dibebankan kepada negara.
Bahkan kalau perkawinan biasa hukumnya ada lima, yakni boleh,
makruh, haram, wajib, dan lain-lain. Sedangkan nikah Mutah hukumnya
hanya satu yakni wajib dan bagi siapa yang tidak melakukannya tidak
hanya berdosa, tetapi ia tidak akan mencium bau sorga, demikian tutur
Ibn Bawayah.
Hukuman pidana bagi pelaku nikah apakah dibenarkan. Dalam hal
ini ulama berbeda pendapat ada yang menegakkan pidana yakni rajam
seperti dilakukan oleh Umar. Kalau kita kembali pada penjelasan di atas
ulama di kalangan ahli sunnah cenderung mengatakan bahwa nikah
mutah telah mansukh (hukum kebolehannya dibatalkan) dan sementara
dari kalangan syiah nikah mutah tetap dibolehkan dari dulu hingga
sekarang.
Perbedaan hukum di antara ulama ini mengakibatkan adanya
hukum syubhat. Syubhat itu sendiri dalam hukum pidana: bisa syubhat
fa’il, syubhat maf’l dan syubhat fa’il dan maf’l (Abu Bakr bin Sy±¯a alDimy±ti, 1412 H). Dalam kitab al-Tasyr³ al-Jina’iy fi al-Islam (Abd Qadir
Audah, 1995), Abd Qadir Audah mengemukakan pembagian yang lebih
jelas, ada yang disebut syubhat subjektif, syubhat objektif, dan ada juga
yang disebut yuridis. Dalam hal terjadi syubhat yuridis maka ulama
sepakat untuk tidak menjatuhkan hukuman had. Berikut penjelasan
hadis Rasul tentang syubhat (http:// binbaz.org.sa/fatwas/20054).
Walhasil bila terjadi perkawinan syubhat (nikah syubhat atau
watha’syubhat); baik yuridis atau lainnya maka hakim tidak boleh
menjatuhkan putusan hukuman rajam. Jauhkanlah hukuman dari kaum
muslimin sedapat mungkin. Jika kamu masih mendapatkan jalan keluar
untuk seorang muslim, maka bebaskanlah ia. Keliru dalam memberi
ampunan lebih baik dari pada keliru dalam menjatuhkan
putusan/hukuman.
Al-Alusi dalam tafsirnya Ruh al-Ma’ani mengatakan: “Tidak ada
perselisihan di antara ulama Basrah dan Kufah dalam mengharamkan
Nikah Mut’ah kecuali golongan Syi’ah Imamiah membolehkannya. Berikut
ini komentar al-Alusi: (Mahmud Al-Al-s³, Juz V)
Menisbahkan bolehnya pernikahan Mut’ah kepada imam Malik
adalah satu kesalahan yang tidak berdasar, bahkan pengikut Imam Malik
berselisih dalam meriwayatkan pendapat imamnya tentang hukuman
terhadap prilaku Nikah Mut’ah. Adapun sebagian besar mazhab
berpendapat tidak perlu menjatuhkan hukuman terhadap pelaku Nikah
Mut’ah dikarenakan adanya kekaburan akad dan adanya perselisihan
pendapat” (Al-Al-s³, Tafs³r R-h al-Ma’±ni tt)
Prof. Dr. Quraish Shihab mengadakan dialog dengan guru beliau
Maulaya beliau mengajukan pertanyaan sebagai berikut:
“Bukankah Khalifah Umar yang diridhai Allah dan beliau meridhaiNya pernah mengharamkan hal-hal sebelumnya diperbolehkan? Masalah
dihapuskan bagian perolehan zakat untuk kaum muallaf oleh beliau
serta pelarangan Mut’ah adalah dua dari sekian contoh yang tidak luput
dari ingatanku”
Adapun hal-hal ini. Anakku, maka ia dibenarkan oleh Islam dan
dimasukkannya dalam kaidah ushul fiqh yang berbunyi: “Keberadaan
atau ketiadaan satu ketetapan hukum tergantung pada illat hukum
sendiri”. Khalifah Umar ketika tidak memberi zakat bagi kaum muallaf
berpendapat illat dalam pemberian itu adalah lemahnya kekuatan Islam
sehingga perlu melunakkan hati orang-orang tertentu agar tidak
menghalangi dakwah Islam. Nah ketika illat ini hilang dan Islam semakin
menguat maka ketetapan hukum pemberian zakat itu tidak diperlukan
lagi.
Demikian juga haknya dengan nikah Mut’ah. Pada zaman Rasul saw
dan Khalifah Abu Bakar ra Mut’ah dibolehkan karena tuntutan zaman
yang mendesak saat itu, di mana sekian banyak kaum muslimin saat itu
yang bepergian keluar kota dan sangat khawatir terjerumus dalam
perbuatan zina. Pada masa kekhalifahan Umar ra saat itu tidak terlihat
lagi kekhawatiran ini dan apalagi dampak negatifnya telah
menonjol, karena itu beliau melarangnya (Quraish Shihab, 2006).Quraish Shihab bertanya lagi “Bukankah ini berarti bahwa suatu
saat nanti peniadaan hak penerimaan zakat bagi kaum muallaf dapat
kembali, begitu pula pengharaman mut’ah dapat berubah menjadi
halal?”
Betul sekali, jika ‘illat hukum muncul kembali sesuai dengan
tuntutan kebutuhan umat Islam, maka berarti hak muallaf dan mut’ah
akan diberlakukan kembali karena prinsip kita adalah “Suatu hukum
(ditetapkan) bergantung pada ada tidaknya ‘illat hukum ini ”
Syiah dan Sunni bukanlah dua mazhab fikih. Dua aliran besar ini
hasil fenomena politik dimasanya, kemudian merembet teologi dan
membincang fikih. Perkawinan mut’ah (kontrak) tidak hanya
berdimensi syara’; tetapi juga berdimensi teologis. Pihak yang
menolaknya tidak akan mencium bau sorga. Dasar kewajiban nikah
mut’ah termaktub di dalam Alquran surat al-Nisa: 24 dan tersebar
dalam kitab-kitab hadis yang empat’ khususnya al-Kafi. Secara
metodologi studi hadis ini sulit sekali untuk dilacak kualitasnya
karena bahan kritik; baik naqd bathini (kritik intreren atau naqd alkhariji kaum Syiah bila hadis diriwayatkan oleh seorang yang
ma’shum sudah dinilai shahih. Adapun sunni dengan sumbernya
shahih Bukhari, shahih Muslim, dan Sunan Nasa’i menggunakan
teori nasakh.





.jpeg)






