an membunuh (menangkap ikan),
saat tidak berhubungan dengan tindakan membunuh, dà na yang
dilakukan dalam kehidupan lampau tidak dapat berbuah dan sebab
itu kekayaannya menurun.
3174
(6) Persembahan yang Dilakukan Melalui Tangan Sendiri
(SÃ hatthika DÃ na) dan Persembahan yang Dilakukan Melalui
Wakil Atau Dilakukan Atas Perintah Orang Lain (Anattika
DÃ na).
Bahwasanya sà hatthika dà na menghasilkan akibat yang lebih
bermanfaat daripada anattika dà na dapat dibaca dari Payà si Sutta
dari Mahà Vagga, Dãgha Nikà ya, Kitab Pà ëi.
(7) Persembahan yang Dilakukan Dengan Persiapan yang
Benar dan Saksama (Sakkacca DÃ na) dan Persembahan yang
Dilakukan Tanpa Persiapan yang Benar dan Tidak Saksama
(Asakkacca DÃ na)
Misalkan dalam suatu persembahan bunga. sesudah memetik
bunga dari pohonnya, si penyumbang membuat karangan bunga,
dan membentuknya agar terlihat seindah mungkin, dan lalu
memberi persembahan bunga, maka ini disebut sakkacca
dà na, persembahan yang dilakukan dengan persiapan yang benar
dan saksama. Tanpa melakukan persiapan benar dan tidak secara
saksama, bunga-bunga itu dipersembahkan begitu dipetik dari
pohonnya, dengan pikiran bahwa dengan mempersembahkan
bunga saja sudah mencukupi, maka itu yaitu asakkacca dà na,
persembahan yang dilakukan tanpa persiapan benar dan tidak
saksama.
Beberapa penulis menerjemahkan ‘sakkacca dà na’ dan ‘asakkacca
dà na’ sebagai ‘persembahan yang dilakukan dengan penuh hormat’
dan ‘persembahan yang dilakukan tanpa rasa hormat’. Terjemahan
ini, sering disalahartikan oleh para pembaca yang menganggap
bahwa itu berarti menghormati atau tidak menghormati si penerima
persembahan. ‘Dengan penuh hormat’ di sini maksudnya yaitu
‘melakukan persiapan yang saksama’ atas persembahan ini .
3175
1
(8) Persembahan yang Berhubungan Dengan Kebijaksanaan
(¥Ã õasampayutta Dà na) dan Persembahan yang Tidak
Berhubungan Dengan Kebijaksanaan (¥Ã õavippayutta Dà na)
Persembahan yang dilakukan dengan pemahaman murni atas
kehendak dan akibat yang dihasilkan disebut persembahan yang
berhubungan dengan kebijaksanaan; jika persembahan yang
dilakukan tanpa pemahaman murni dan kesadaran, hanya sekadar
mengikuti perbuatan orang lain dalam berdana, maka disebut
¥Ã õavippayutta dà na. Harus disebutkan bahwa hanya kesadaran
atas sebab dan akibatnya, pada saat memberi persembahan,
sudah cukup agar memenuhi syarat sebagai persembahan yang
berhubungan dengan kebijaksanaan. Sehubungan dengan hal
ini, diperlukan penjelasan atas nasihat: Pada saat memberi
persembahan, harus disertai dengan Pengetahuan Pandangan Cerah,
Vipassanà ¥aõa, dengan cara: aku, penyumbang benda ini, yaitu
anicca, bersifat tidak kekal, benda yang kuberikan juga anicca,
bersifat tidak kekal, dan penerima benda ini juga anicca, bersifat
tidak kekal. Aku yang tidak kekal, mempersembahkan benda yang
tidak kekal kepada penerima yang tidak kekal. Demikianlah kita
harus merenungkan pada saat memberi suatu persembahan.
Nasihat ini ber tujuan untuk mendorong praktik
mengembangkan Pengetahuan Pandangan Cerah, VipassanÃ
¥Ã õa. Jangan disalahartikan bahwa tindakan kedermawanan tidak
berhubungan dengan kebijaksanaan jika si penyumbang tidak
melakukan perenungan seperti nasihat di atas.
Sesungguhnya, siapa pun yang ingin mengembangkan VipassanÃ
¥Ã õa sejati harus terlebih dahulu menyingkirkan gagasan tentang
aku, dia, laki-laki, perempuan, yaitu, ilusi tentang aku, ilusi
tentang diri, untuk dapat melihat bahwa semua itu hanyalah
kelompok-kelompok jasmani dan kelompok-kelompok batin.
lalu ia harus melanjutkan dengan merenungkan bahwa
kelompok-kelompok jasmani dan batin ini bersifat tidak kekal, tidak
memuaskan dan tanpa-diri. Tanpa membeda-bedakan kelompok-
kelompok batin dan jasmani, jika seseorang merenungkan dengan
konsep konvensional: aku anicca, objek persembahan ini anicca,
3176
penerima juga anicca, akan ada Pengetahuan Pandangan Cerah
yang sejati.
(9) Persembahan yang Diberikan Dengan Enggan dan Hanya
sesudah Dipaksa (Sasaïkhà rika Dà na); Persembahan yang
Diberikan Secara Spontan Tanpa Paksaan (Asaïkhà rika Dà na)
Di sini paksaan berarti dorongan atau permintaan dari seseorang
untuk memberi sedangkan ia segan atau enggan melakukannya.
Jika persembahan dilakukan dengan permintaan sederhana, maka
itu tidak dianggap paksaan. Misalnya, seseorang yang belum
memutuskan apakah ia akan memberi persembahan atau tidak,
didatangi oleh seseorang yang meminta sumbangan; dan orang
ini memberi tanpa merasa enggan. Ini yaitu pemberian
spontan atas suatu permintaan sederhana; sebab itu dikelompokkan
sebagai asaïkhà rikadà na (tanpa paksaan), dan tidak disebut
sasaïkhà rika dà na (meskipun dilakukan sesudah suatu permintaan).
Seorang yang lain mengalami hal yang sama—didatangi dan
dimintai sumbangan; pada mulanya ia enggan dan menolak untuk
memberi. Namun saat permintaan ini diulangi dengan paksaan
‘Mohon berikan sumbangan; jangan menghindar’ maka lalu
ia memberi sumbangan. DÃ na-nya yang dilakukan sebagai akibat
dari paksaan disebut sasaïkhà rika dà na (dengan paksaan). Bahkan
dalam kasus di mana tidak ada orang yang datang untuk meminta
dà na, jika ia pertama-tama berniat memberi persembahan, dan
lalu merasa enggan melakukannya, tetapi sesudah membujuk
diri sendiri, mendesak diri sendiri, akhirnya ia memberi , dà na-
nya juga dikelompokkan dalam jenis sasaïkhà rika juga.
(10) Persembahan yang Dilakukan Saat Seseorang Sedang
Dalam Keadaan Gembira (Somanassa DÃ na); Persembahan
yang Dilakukan Dengan Batin Seimbang, Tidak Gembira Juga
Tidak Berduka (Upekkhà Dà na)
(Jika tindakan berdana disertai oleh kegembiraan, itu yaitu
somanassa dà na; jika disertai oleh keseimbangan, maka disebut
upekkhà dà na).
3177
1
(11) Persembahan Harta Benda yang Diperoleh Sesuai Dengan
Dhamma (Dhammiya DÃ na); Persembahan Harta Benda yang
Diperoleh Dengan Cara-cara yang Tidak Sesuai Dengan
Dhamma (Adhammiya DÃ na)
Walaupun harta benda diperoleh dengan cara-cara yang tidak
brmoral, namun mempersembahkan barang-barang ini juga
merupakan perbuatan baik; namun akibat baik yang dihasilkan dari
dà na jenis ini tidak sebesar akibat baik yang dihasilkan dari jenis
pertama, dhammiya dà na. Perumpamaan dari perbedaan kedua ini
yaitu bagaikan tanaman yang tumbuh dari benih yang baik dan
dari benih yang buruk.
(12) Persembahan yang Dilakukan Dengan Harapan Untuk
Memperoleh Kenikmatan Duniawi yaitu Memperbudak
DÃ na (DÃ sa DÃ na), Persembahan yang Dapat Memperbudak
Seseorang
Sebagai seorang budak dari kemelekatan terhadap kenikmatan
indria, seseorang menjadikan dà na jenis ini untuk melayani
majikannya, kemelekatan untuk memenuhi keinginannya.
Persembahan yang dilakukan dengan cita-cita untuk mencapai Jalan
dan Buahnya, Nibbà na, yaitu dà na untuk kebebasan, bhujissa dà na
(persembahan yang dilakukan sebagai pemberontakan melawan
perintah majikan, si kemelekatan).
Makhluk-makhluk hidup yang berada dalam lingkaran kehidupan
yang tiada akhir ingin menikmati kenikmatan indria yang
menyenangkan (objek terlihat, suara, bau-bauan, rasa kecapan,
sentuhan). Keinginan untuk bersenang-senang yang disebut
kenikmatan ini disebut keserakahan. Setiap saat dalam kehidupan
mereka dicurahkan untuk memuaskan keserakahan ini; dengan
memenuhi keserakahan ini, mereka menjadi pelayannya. Terus-
menerus berusaha, siang dan malam sepanjang hidup mereka demi
kekayaan bukan lain yaitu pemenuhan keinginan dari keserakahan
yang menuntut makanan terbaik, pakaian terbaik, dan gaya hidup
yang paling mewah.
3178
Tidak puas dengan menjadi budak bagi keserakahan dalam
kehidupan ini, bekerja untuk memenuhi segala kebutuhan,
kita melakukan tindakan dà na untuk memastikan tercapainya
kemewahan pada masa depan. Jenis persembahan yang disertai
oleh keinginan kuat untuk menikmati kenikmatan duniawi
terus-menerus dalam kehidupan-kehidupan mendatang, yaitu
memperbudak dà na, dà sa dà na.
Jenis dà na ini dalam memenuhi keinginan dari keserakahan dan yang
melayani keserakahan sepanjang lingkaran kehidupan yang tiada
akhir, berpikir bahwa itu yaitu yang terbaik, sebelum seseorang
bertemu dengan ajaran Buddha. Tetapi begitu kita cukup beruntung
dapat mendengarkan Buddhadhamma, kita menjadi memahami
betapa berkuasanya keserakahan itu, betapa tidak pernah puasnya
ia, betapa kita harus menderita untuk memenuhi keinginan dari si
keserakahan ini. lalu dengan bertekad, ‘Aku tidak mau lagi
menjadi pelayan dari keserakahan yang sungguh mengerikan ini,
aku tidak mau lagi memenuhi keinginannya, aku akan memberontak
melawannya, aku akan menentangnya’, dan untuk mencabut, untuk
melenyapkan keserakahan jahat ini, seseorang harus memberi
persembahan dengan cita-cita untuk mencapai Jalan dan Buahnya,
Nibbà na. Dà na ini disebut dà na yang dilakukan demi kebebasan,
bhujissa dà na (persembahan yang dilakukan sebagai pemberontakan
melawan perintah majikan, si kemelekatan).
(13) Persembahan Benda-benda yang Bersifat Diam, Tidak
Bergerak, Seperti Pagoda, Vihà ra, Penginapan, Kamar Mandi,
dan Sebagainya (Thà vara Dà na); Persembahan Benda-
benda yang Bersifat Dapat Bergerak, yang Dimaksudkan
untuk Penggunaan Sementara, Seperti Makanan, Jubah, dan
Sebagainya (Athà vara Dà na)
(14) Persembahan yang Diberikan Dengan Disertai Barang-
barang Pelengkap yang Biasanya Menyertai Barang-barang
Persembahan ini (Saparivà ra Dà na)
Misalnya, dalam mempersembahkan jubah, sebagai barang utama
dari suatu persembahan, jika disertai dengan barang-barang
3179
1
pelengkap yang sesuai, maka itu yaitu saparivà ra dà na; jika
tidak ada barang lain selain barang utama jubah, maka itu yaitu
persembahan tanpa barang pelengkap, aparivà ra dà na. Hal yang
sama berlaku bagi barang persembahan lainnya.
Karakteristik istimewa yang terdapat pada tubuh para Bodhisatta
yang memiliki banyak pengikut yang melayani mereka yaitu akibat
dari dà na jenis saparivà ra.
(15) Persembahan yang Diberikan Secara Rutin dan Teratur
Seperti Persembahan Makanan Kepada Saÿgha Setiap Hari
(Nibaddha DÃ na); Persembahan yang Dilakukan Secara Tidak
Rutin Tetapi Hanya Kadang-kadang (Anibaddha DÃ na)
(16) Persembahan Ternoda (Paramattha DÃ na); Persembahan
Tidak Ternoda (Aparamattha DÃ na)
Persembahan yang dinodai oleh keserakahan dan pandangan
salah yaitu parà mattha dà na; persembahan yang tidak dirusak
oleh keserakahan dan pandangan salah yaitu aparamattha dà na.
Menurut Abhidhammà , seseorang menjadi rusak jika disesatkan
hanya oleh pandangan salah; tetapi pandangan salah selalu
berdampingan dengan keserakahan. saat pandangan salah
merusak dan menyesatkan seseorang, keserakahan juga terlibat.
Oleh sebab itu keserakahan dan pandangan salah keduanya
disebutkan di atas. Dan berikut ini yaitu bagaimana keserakahan
dan pandangan salah membawa kerusakan. sesudah memberi
persembahan, jika seseorang mengungkapkan keinginan yang baik
dan sungguh-sungguh, ”Semoga aku segera mencapai Jalan dan
Buahnya, Nibbà na, sebagai akibat dari kebajikan ini’, persembahan
ini berjenis vivattanissita (lihat jenis (4) di atas), dan dapat menjadi
kondisi yang cukup kuat untuk mencapai Jalan dan Buahnya,
Nibbà na. Tetapi, bukannya berkeinginan untuk mencapai Nibbà na,
saat seseorang dirusak dan disesatkan oleh keserakahan dan
pandangan salah, sebagai akibat dari kebajikannya, ia bercita-cita,
”Semoga aku menjadi dewa yang berkuasa seperti Sakka, Raja
Alam Tà vatiÿsa, atau dewa yang berumur panjang,” dà nanya
tidak bertindak sebagai kondisi yang mencukupi untuk mencapai
3180
Nibbà na dan dikelompokkan hanya sebagai paramattha dà na, dà na
yang tidak mengandung kondisi yang mencukupi untuk mencapai
Nibbà na, sebab dinodai oleh keserakahan dan pandangan salah.
DÃ na yang tidak ternoda oleh keserakahan dan pandangan
salah tetapi dilakukan dengan tujuan tunggal mencapai Nibbà na
dikelompokkan sebagai aparamattha dà na.
Banyak kedermawanan dipraktikkan di luar ajaran Buddha; tetapi
hanya jenis parà mattha yang mungkin. Hanya di dalam ajaran
Buddha, dà na jenis aparamattha dapat dipraktikkan. Oleh sebab
itu, sebab kita mendapat kesempatan yang langka dapat bertemu
dengan ajaran Buddha, kita harus berusaha semaksimal mungkin
untuk memastikan agar persembahan yang kita lakukan yaitu
yang berjenis aparà mattha.
(17) Persembahan Barang-barang Sisa, yang Berkualitas Rendah
(Ucchiññha Dà na); Persembahan Barang-barang yang Bukan
Sisa, Tidak Berkualitas Rendah (Anucchiññha Dà na)
Misalnya, sewaktu mempersiapkan makanan, seorang penerima
dà na datang dan seseorang memberi makanan yang telah
dipersiapkan sebelum ada orang yang memakannya; itu dianggap
sebagai ‘pemberian tertinggi’ (agga dà na) dan itu juga disebut
anucchiññha dà na sebab persembahan itu bukanlah makanan sisa.
Jika si penerima datang sewaktu seseorang sedang makan, tetapi
belum menyelesaikan makannya, dan orang itu mempersembahkan
makanan yang diambil dari makanan yang sedang ia makan, itu
juga dianggap sebagai anucchiññha dà na; juga dianggap sebagai
persembahan mulia. Jika persembahan terdiri dari makanan sisa
saat seseorang telah selesai makan, itu yaitu sisa, ucchiññha dà na,
yang berkualitas rendah. Akan tetapi, harus dimengerti, suatu
persembahan sederhana yang diberikan oleh seseorang yang
tidak memiliki apa pun kecuali makanan sisa, juga dapat disebut
anucchiññha dà na, hanya jika persembahan ini dilakukan oleh
orang yang mampu memberi persembahan yang lebih baik maka
persembahan itu disebut berkualitas rendah, ucchiññha dà na.
3181
1
(18) Persembahan yang Dilakukan Sewaktu Masih Hidup
(Sajivadà na); Persembahan yang Dilakukan sesudah Meninggal
Dunia (Accaya DÃ na)
Seorang bhikkhu tidak diperbolehkan melakukan dà na jenis accaya,
yaitu, ia tidak boleh mewariskan hartanya kepada orang lain sesudah
meninggal dunia. Bahkan jika ia melakukan hal itu, tindakan itu
bukanlah dà na; calon penerima juga tidak berhak memilikinya.
Jika seorang bhikkhu memberi hartanya kepada bhikkhu lain
sewaktu ia masih hidup, si penerima berhak atas apa yang diberikan;
atau jika bhikkhu itu masih hidup, bhikkhu-bhikkhu lain yang akrab
(vissà ssagaha) dengannya boleh mengambil dan memilikinya; atau
jika ia memilikinya secara bersama (dvisantaka) dengan bhikkhu
lain, jika ia meninggal dunia, bhikkhu yang masih hidup akan
menjadi pemilik sah. Jika kondisi-kondisi ini tidak terpenuhi,
yaitu, memberi harta saat masih hidup, atau memilikinya
sebab keakraban sewaktu masih hidup, atau memilikinya sebab
kepemilikan bersama, maka harta bhikkhu itu menjadi harta
Saÿgha, perkumpulan para bhikkhu jika ia meninggal. Oleh
sebab itu, jika seorang bhikkhu melakukan accaya dà na, dengan
mengatakan, ”Aku memberi hartaku kepada si anu saat aku
meninggal dunia. Ia boleh memilikinya,” itu berarti memberi
hartanya itu kepada Saÿgha. Pemberiannya itu bukanlah tindakan
dà na dan calon penerima juga tidak berhak memilikinya. Hanya di
antara umat-umat awam, pemberian demikian, accaya dà na, boleh
dilakukan dan sah.
(19) Persembahan yang Diberikan Kepada Satu Atau Beberapa
Bhikkhu Secara Terpisah (Puggalika DÃ na); Persembahan yang
Diberikan Kepada Saÿgha (Saÿghika Dà na)
Saÿgha artinya kelompok, perkumpulan atau komunitas; di sini,
yang dimaksudkan yaitu seluruh komunitas para siswa Ariya
Buddha. Dalam memberi persembahan kepada Saÿgha, si
pemberi tidak boleh memikirkan seorang siswa Ariya secara
individu sebagai Saÿgha, tetapi komunitas para siswa Ariya secara
keseluruhan, maka persembahannya termasuk jenis Saÿghika.
3182
Dakkhinavibhaïga Sutta (dari Majjhima Nikà ya Pà ëi) menyebutkan
14 jenis pemberian kepada individu, puggalika dà na dan 7 jenis
pemberian kepada Saÿgha, saÿghika dà na.
14 Jenis Persembahan Kepada Individu.
(1) Persembahan kepada seorang Buddha,
(2) Persembahan kepada seorang Pacceka Buddha, Buddha yang
tidak mengajar,
(3) Persembahan kepada seorang Arahanta atau seorang yang telah
mencapai tingkat Arahatta-Phala,
(4) Persembahan kepada seorang yang sedang berlatih untuk
mencapai tingkat Arahatta-Phala atau seorang yang telah
mencapai tingkat Arahatta- Magga,
(5) Persembahan kepada seorang Anà gà mã atau seorang yang telah
mencapai tingkat Anà gà mã-Phala,
(6) Persembahan kepada seorang yang sedang berlatih untuk
mencapai Anà gà mã-Phala atau seorang yang telah mencapai
tingkat Anà gà mã-Magga,
(7) Persembahan kepada seorang Sakadà gà mã atau seorang yang
telah mencapai tingkat Sakadà gà mã-Phala,
(8) Persembahan kepada seorang yang sedang berlatih untuk
mencapai Sakadà gà mã-Phala atau seorang yang telah mencapai
tingkat Sakadà gà mã-Magga,
(9) Persembahan kepada seorang Sotà panna atau seorang yang
telah mencapai tingkat Sotà patti- Phala,
(10) Persembahan kepada seorang yang sedang berlatih untuk
mencapai Sotà patti-Phala atau seorang yang telah mencapai
tingkat Sotà patti-Magga,
(11) Persembahan kepada petapa (di luar ajaran Buddha atau di
mana tidak ada ajaran Buddha) yang telah berhasil mencapai
Jhà na atau mencapai kekuatan batin,
(12) Persembahan kepada orang biasa yang memiliki moralitas,
(13) Persembahan kepada orang biasa yang tidak memiliki moralitas,
dan
(14) Persembahan kepada seekor binatang.
Dari 14 jenis persembahan kepada individu ini, memberi
3183
1
satu kali makanan kepada seekor binatang akan menghasilkan
akibat baik berupa umur panjang, kecantikan, kesehatan jasmani,
kekuatan, dan kecerdasan selama seratus kehidupan. lalu
dengan urutan naik, memberi makanan satu kali kepada
seorang biasa yang tidak memiliki moralitas akan menghasilkan
akibat baik selama seribu kehidupan; kepada seorang biasa yang
memiliki moralitas yang baik pada saat tidak ada ajaran Buddha
dan ia tidak berkesempatan menerima perlindungan dari Tiga
Permata, selama seratus ribu kehidupan; kepada para petapa yang
mencapai Jhà na, selama sepuluh juta kehidupan; kepada orang
biasa dan para sà maõera (pada masa adanya ajaran Buddha) yang
telah menerima perlindungan dalam Tiga Permata, dan hingga para
mulia yang telah mencapai Sotà patti-Magga, selama tidak terhingga
lamanya (asaïkhyeyya) kehidupan; dan kepada orang-orang yang
telah mencapai pencapaian yang lebih tinggi, selama tidak terhitung
banyaknya kehidupan. (Menurut Komentar, bahkan seorang yang
hanya menerima perlindungan dalam Tiga Perlindungan dapat
dianggap sebagai seorang yang sedang berlatih untuk mencapai
tingkat Sotà patti-Phala).
Tidak disebutkan tentang para bhikkhu yang memiliki moralitas
yang kurang baik dalam daftar 14 jenis penerima dà na kepada para
individu di atas. Persembahan kepada orang yang tidak bermoral
hanya pada masa ajaran Buddha tidak ada. sebab alasan ini, ada
kecenderungan untuk menganggap bahwa persembahan kepada
para bhikkhu yang memiliki moralitas yang buruk selama ajaran
Buddha masih ada yaitu tercela. Namun harap diingat bahwa siapa
pun yang telah menjadi umat Buddha minimal telah menerima
perlindungan di dalam Tiga Permata; dan Komentar mengatakan
bahwa siapa pun yang telah menerima perlindungan di dalam Tiga
Permata yaitu orang yang sedang berlatih untuk mencapai tingkat
Sotà patti-Phala. Lebih jauh lagi jika persembahan kepada orang biasa
yang tidak memiliki moralitas (saat ajaran Buddha tidak ada) dapat
menghasilkan manfaat; tidak diragukan lagi bahwa persembahan
kepada orang biasa yang tidak memiliki moralitas selama ajaran
Buddha masih ada juga dapat menghasilkan manfaat.
lalu , di dalam Kitab Milinda Pa¤hà , Thera Nà gasena
3184
menjelaskan bahwa seorang bhikkhu yang tidak bermoral yaitu
lebih unggul daripada seorang biasa yang tidak bermoral dalam
sepuluh hal seperti penghormatan kepada Buddha, penghormatan
kepada Dhamma, penghormatan kepada Saÿgha, dan seterusnya.
Dengan demikian, menurut Milinda Pa¤hà , seorang bhikkhu
yang tidak bermoral yaitu lebih unggul daripada seorang biasa
yang tidak bermoral; dan sebab dalam daftar yang terdapat
dalam Komentar, sebagai seorang yang berlatih untuk mencapai
tingkat Sotà patti-Phala, seseorang tidak boleh mengatakan bahwa
memberi persembahan kepada seorang bhikkhu yang tidak
memiliki moralitas yaitu tercela.
Ada lagi pandangan lain sehubungan dengan hal ini. Pada masa
tidak ada ajaran Buddha, para bhikkhu yang tidak bermoral tidak
dapat menyebabkan gangguan terhadap Dhamma; tetapi saat ada
ajaran Buddha, mereka dapat menimbulkan gangguan terhadap
Dhamma. sebab alasan itu, tidak perlu memberi persembahan
kepada para bhikkhu yang tidak memiliki moralitas pada masa ada
ajaran Buddha. Namun pandangan ini ditunjukkan oleh Buddha
sebagai pandangan yang tidak dapat dipertahankan.
Pada penutup dari khotbah tentang tujuh jenis persembahan kepada
Saÿgha, Saÿghika dà na (pada bagian berikut), Buddha menjelaskan
kepada ânanda:
“ânanda, pada masa-masa mendatang, akan muncul bhikkhu-
bhikkhu kotor, yang tidak memiliki moralitas, yang hanya
memakai nama bhikkhu, yang mengenakan jubah mereka
melingkari leher mereka. Dengan niat untuk memberi kepada
Saÿgha, persembahan diserahkan kepada para bhikkhu tidak
bermoral ini. Bahkan jika dipersembahkan dengan cara ini, suatu
Saÿghika dà na, persembahan yang ditujukan kepada seluruh
Saÿgha, Aku menyatakan, akan menghasilkan manfaat yang tidak
terhingga.”
Ada lagi hal lain yang patut dipertimbangkan. Dari empat kemurnian
kedermawanan (Dakkhiõà Visuddhi), Kemurnian pertama yaitu :
bahkan jika si penerima memiliki moralitas yang buruk, sedangkan
3185
1
si pemberi memiliki moralitas yang baik, persembahan ini
yaitu murni sebab kemurnian si penyumbang. sebab alasan ini
juga, seseorang tidak boleh mengatakan bahwa seorang bhikkhu
yang tidak bermoral tidak layak menerima persembahan, dan
bahwa tidak ada manfaat yang akan dihasilkan dengan memberi
persembahan kepadanya.
Oleh sebab itu, harus diperhatikan, suatu persembahan yaitu
tercela hanya jika persembahan dilakukan dengan niat buruk yaitu
menyetujui dan mendorong seorang bhikkhu yang tidak bermoral
untuk terus melakukan praktik buruknya; tanpa mempertimbangkan
sifatnya. Jika seseorang memberi persembahan dengan batin
yang murni, hanya berpikir, ”Seseorang harus memberi jika
seseorang datang untuk menerima persembahan,” maka hal itu
tidaklah tercela.
Tujuh Jenis Persembahan Kepada Saÿgha (Saÿghika Dà na)
(1) Persembahan kepada komunitas para bhikkhu dan bhikkhunã
yang dipimpin oleh Buddha, pada masa Buddha masih
hidup;
(2) Persembahan kepada komunitas para bhikkhu dan bhikkhunã
sesudah Buddha Parinibbà na;
(3) Persembahan kepada komunitas para bhikkhu saja;
(4) Persembahan kepada komunitas para bhikkhunã saja;
(5) Persembahan kepada sekelompok bhikkhu dan bhikkhunã
yang ditunjuk oleh Saÿgha (dengan niat kepada seluruh
Saÿgha), persembahan ini dilakukan jika si penyumbang
tidak mampu memberi persembahan kepada seluruh
bhikkhu dan bhikkhunã; si penyumbang mendatangi komunitas
bhikkhu dan memohon untuk menunjuk sejumlah tertentu
(sesuai kemampuannya) para bhikkhu dan bhikkhunã untuk
menerima persembahannya. Saÿgha lalu menunjuk
sejumlah bhikkhu dan bhikkhunã, lalu si penyumbang
memberi persembahan kepada sekelompok bhikkhu dan
bhikkhunã ini (dengan pikiran tertuju pada seluruh Saÿgha);
(6) Persembahan kepada sekelompok bhikkhu saja (dengan niat
kepada seluruh Saÿgha) sesudah memohon Saÿgha untuk
3186
menunjuk sejumlah yang mampu ia berikan; dan
(7) Persembahan kepada sekelompok bhikkhunã saja (dengan niat
kepada seluruh Saÿgha) sesudah memohon Saÿgha untuk
menunjuk sejumlah yang mampu ia berikan.
Dari ketujuh jenis saÿghika dà na ini, akan muncul pertanyaan
apakah mungkin memberi persembahan jenis pertama, yaitu,
persembahan kepada para bhikkhu dan bhikkhunã yang dipimpin
oleh Buddha, sesudah Buddha Parinibbà na. Jawabannya yaitu “Ya,
mungkin saja” dan persembahan harus dilakukan sebagai berikut:
sesudah menempatkan patung Buddha yang berisikan relik-relik di
depan komunitas para bhikkhu dan bhikkhunã yang berkumpul
dalam Ritual ini , persembahan harus dilakukan dengan
mengucapkan, “Aku memberi persembahan ini kepada para
bhikkhu dan bhikkhunã yang dipimpin oleh Buddha.”
sesudah melakukan persembahan jenis pertama, muncul pertanyaan
apakah yang dilakukan terhadap objek yang ditujukan untuk
Buddha. Seperti halnya harta seorang ayah yang umumnya akan
diwariskan kepada anaknya, demikian pula, persembahan kepada
Buddha diwariskan kepada bhikkhu yang melakukan tugas-tugas
melayani Buddha atau komunitas para bhikkhu. Khususnya, jika
objek yang dipersembahkan termasuk barang-barang seperti
minyak, mentega, dan sebagainya, barang-barang itu harus
digunakan dalam persembahan pelita kepada Buddha; kain yang
termasuk dalam persembahan dapat dibuat menjadi spanduk dan
dipersembahkan dalam Ritual kebaktian.
Pada masa kehidupan Buddha, orang-orang biasanya tidak
memberi dengan kemelekatan kepada, atau melibatkan diri
mereka dengan, para pribadi secara individu; pikiran mereka
tertuju pada Komunitas para bhikkhu secara keseluruhan, dan
dengan demikian mereka dapat memberi persembahan yang
berjenis saÿghika dà na. Akibatnya, kebutuhan para anggota
Saÿgha pada umumnya dipenuhi dengan cara dibagikan oleh
Komunitas; mereka jarang sekali bergantung pada umat awam dan
sebab itu mereka memiliki sangat sedikit kemelekatan terhadap
mereka sebagai “penyumbang vihà raku, penyumbang jubahku, dan
3187
1
sebagainya”. Dengan demikian, bhikkhu dapat bebas dari belenggu
kemelekatan.
Kisah Singkat Ugga Si Perumah Tangga
Mereka yang ingin memberi persembahan jenis saÿghika dà na
murni harus meniru teladan si perumah tangga Ugga. Kisah tentang
perumah tangga Ugga terdapat dalam khotbah kedua dari Gahapati
Vagga, Aññhakanipà ta, Aïguttara Nikà ya Pà ëi.
Pada suatu hari saat Bhagavà sedang menetap di Desa Gajah di
Negeri Vajjã, Bhagavà berkata kepada para bhikkhu, “Para bhikkhu,
kalian harus menghormati perumah tangga Ugga dari Desa Gajah
sebagai seorang yang memiliki delapan kualitas menakjubkan.”
sesudah berkata demikian tanpa memberi penjelasan, BhagavÃ
masuk ke dalam vihà ra.
lalu pada pagi harinya seorang bhikkhu pergi ke rumah
perumah tangga itu dan berkata, “Perumah tangga, BhagavÃ
mengatakan bahwa engkau yaitu seorang yang memiliki delapan
kualitas menakjubkan. Apakah delapan kualitas menakjubkan
ini yang dikatakan oleh Bhagavà engkau miliki?”
“Yang Mulia, aku tidak yakin delapan kualitas menakjubkan
apa yang dimaksudkan oleh Buddha yang kumiliki, akan tetapi,
dengarkanlah dengan saksama delapan kualitas menakjubkan yang
benar-benar kumiliki.” lalu ia menjelaskan delapan kualitas
menakjubkan sebagai berikut:
(1) Pertama kali aku melihat Buddha yaitu saat aku sedang minum
minuman keras dan bersantai di dalam hutan bunga pohon kayu
besi. Segera sesudah aku melihat Buddha datang dari jauh, aku
menjadi sadar dan pengabdian serta keyakinan terhadap kemuliaan
Buddha muncul dalam diriku. Ini yaitu kualitas pertama.
(2) Pada pertemuan pertama dengan Buddha itu, aku menerima
perlindungan di dalam Buddha dan mendengarkan khotbah-Nya.
Hasilnya, aku menjadi seorang Sotà panna, seorang ‘Pemenang
3188
Arus’, dan melaksanakan Brahmacariya-Pa¤cama-Sãla. Ini yaitu
kualitas kedua.
(Brahmacariya-Pa¤cama-Sãla mirip dengan Lima Sãla yang biasa
dilaksanakan oleh umat awam kecuali bahwa, sãla “menghindari
hubungan seksual yang salah” diganti dengan “menghindari
segala bentuk hubungan seksual”. Dalam Lima Sãla, seseorang
menghindari hubungan seksual dengan siapa pun kecuali istri
sendiri; tetapi Brahmacariya-Pa¤cama-Sãla menuntut menghindari
secara total segala bentuk hubungan seksual, bahkan tidak dengan
istri sendiri sekalipun).
(3) Aku memiliki empat istri; segera sesudah aku pulang ke rumah,
aku berkata kepada mereka: aku bertekad untuk melaksanakan sãla
menghindari secara total; siapa pun dari kalian yang ingin tetap
tinggal di rumah ini, boleh tinggal dan menikmati kekayaanku
sesuka kalian dan melakukan kebajikan dengan kekayaanku ini;
siapa pun yang ingin pulang ke rumah orangtuanya juga boleh
melakukannya; dan siapa pun yang ingin menikah dengan laki-
laki lain, katakan kepadaku kepada siapa aku harus menyerahkan
kalian.’ Istri tertua dari empat istri ini mengungkapkan
keinginannya untuk diserahkan kepada seseorang yang ia sebutkan
namanya. Aku memanggil orang itu dan memegang tangan istri
tertuaku dengan tangan kiriku dan sekendi air dengan tangan
kananku, aku menyerahkan istriku kepada laki-laki itu. Dalam
melakukan penyerahan istriku ini kepada laki-laki itu, aku tetap
tenang, tidak terpengaruh. Ini yaitu kualitas ketiga.
(4) Aku bertekad untuk memakai seluruh kekayaanku
bersama-sama dengan orang-orang yang memiliki karakter moral
yang baik. Ini yaitu kualitas keempat.
(5) Aku selalu mendatangi seorang bhikkhu dengan penuh
hormat, tidak pernah dengan tidak hormat; jika bhikkhu ini
memberi khotbah Dhamma, aku mendengarkan khotbahnya
dengan penuh hormat, tidak pernah dengan tidak hormat; jika
bhikkhu ini tidak memberi khotbah Dhamma, aku akan
membabarkan khotbah kepadanya. Ini yaitu kualitas kelima.
3189
1
(6) Setiap saat aku mengundang Saÿgha ke rumahku untuk
memberi persembahan, para dewa akan mendahului mereka
dan memberitahukan kepadaku: ‘Perumah tangga, bhikkhu itu
yaitu orang-orang yang telah mencapai Pencerahan, para Ariya;
bhikkhu itu yaitu orang-orang biasa yang memiliki moralitas;
bhikkhu itu tidak memiliki moralitas.’ Bahwa para dewa datang dan
memberi informasi kepadaku tentang para bhikkhu tidaklah
mengherankan bagiku; yang menakjubkan yaitu bahwa saat aku
memberi persembahan makanan atau materi lainnya kepada
Saÿgha, pikiran-pikiran seperti, ‘Aku akan memberi lebih
banyak kepada bhikkhu ini sebab ia yaitu orang mulia yang
telah mencapai Pencerahan, yang memiliki moralitas baik; atau aku
akan memberi sedikit kepada bhikkhu ini sebab ia memiliki
moralitas yang tidak baik’ tidak pernah muncul dalam diriku.
Sesungguhnya, tanpa membeda-bedakan siapa yang mulia, siapa
yang bermoral atau siapa yang tidak bermoral, aku memberi
persembahan secara adil kepada setiap orang. Ini yaitu kualitas
keenam.
(7) Yang Mulia, para dewa datang dan memberitahuku bahwa ajaran
Buddha telah dibabarkan dengan sempurna, memiliki kebajikan
sebab dibabarkan dengan sempurna. Berita yang disampaikan
para dewa kepadaku tidak mengherankan bagiku. Kualitas
menakjubkannya yaitu , pada kesempatan itu, aku memberitahu
para dewa sebagai jawaban, ‘Para dewa, apakah engkau mengatakan
kepadaku atau tidak, sesungguhnya, ajaran Buddha memang
dibabarkan dengan sempurna’; (ia yakin bahwa ajaran Buddha
memang dibabarkan dengan sempurna, bukan sebab para dewa
memberitahukan kepadanya, tetapi sebab ia sendiri mengetahui
hal itu). Walaupun aku berkomunikasi dengan para dewa, aku tidak
merasa bangga bahwa para dewa mengunjungiku dan bahwa aku
telah bercakap-cakap dengan mereka. Ini yaitu kualitas ketujuh.
(8) Juga tidak mengherankan, jika aku meninggal dunia terlebih
dahulu sebelum Bhagavà meninggal dunia dan Bhagavà akan
meramalkan, ‘Perumah tangga Ugga telah menghancurkan secara
total Lima Belenggu yang lebih rendah yang dapat mengarah
3190
kepada kelahiran kembali di alam indria yang lebih rendah; ia
yaitu seorang Anà gamã. Bahkan sebelum Buddha meramalkan,
aku telah menjadi seorang Anà gamã dan aku telah mengetahui hal
ini. Ini yaitu kualitas kedelapan.
Dari delapan kualitas menakjubkan yang dijelaskan oleh si
perumah tangga Ugga, yang keenam yaitu mengenai memberi
persembahan secara adil kepada orang mulia, orang bermoral
atau orang yang tidak bermoral. Perlu untuk diketahui mengenai
bagaimana caranya untuk bersikap adil dalam situasi demikian.
Sikap adil dapat dilakukan dengan cara berikut, “sebab aku telah
mengundang dengan niat untuk memberi persembahan kepada
Saÿgha, secara keseluruhan, saat aku memberi kepada orang
yang mulia, aku tidak akan menganggapnya demikian; aku tidak
menganggap bahwa aku sedang memberi persembahan kepada
seorang mulia; aku harus ingat bahwa aku sedang memberi
persembahan kepada Saÿgha, siswa mulia Buddha secara
keseluruhan. saat aku memberi kepada orang yang tidak
bermoral, aku tidak akan menganggapnya demikian; aku tidak
menganggap bahwa aku sedang memberi persembahan kepada
seorang yang tidak bermoral; aku harus ingat bahwa aku sedang
memberi persembahan kepada Saÿgha, siswa mulia Buddha
secara keseluruhan.” Demikianlah, sikap adil dapat dipelihara.
Meniru teladan perumah tangga Ugga, saat memberi
persembahan, seseorang harus mengabaikan status si penerima,
singkirkan perasaan pribadi terhadapnya, dan berusahalah untuk
mengingat hanya komunitas para bhikkhu secara keseluruhan,
sehingga dà na-nya dapat digolongkan sebagai jenis saÿghika
dà na. Seperti yang dijelaskan secara tegas oleh Buddha dalam
Dakkhinà -Vibhaïga Sutta yang telah disebutkan di atas, saat suatu
persembahan yaitu berjenis saÿghika, yaitu dengan niat tertuju
kepada komunitas para bhikkhu secara keseluruhan, maka manfaat
yang didapat oleh si pemberi yaitu tidak terhingga besarnya,
bahkan jika penerimanya yaitu orang yang tidak bermoral dan
tidak memiliki kebajikan.
Suatu persembahan yaitu berjenis saÿghika dà na jika dilakukan
3191
1
dengan penuh penghormatan kepada Saÿgha; tetapi tidak selalu
mudah melakukannya. Misalnya seseorang memutuskan untuk
memberi persembahan berjenis saÿghika, sesudah melakukan
persiapan, ia pergi ke vihà ra dan berkata kepada para bhikkhu,
“Yang Mulia, aku ingin memberi persembahan berjenis
saÿghika; mohon kalian menunjuk seseorang di antara Saÿgha
sebagai wakil.” Jika para bhikkhu menunjuk seorang sà maõera
mewakili Saÿgha, si pemberi mungkin menjadi tidak senang; jika
mereka memilih seorang Thera senior mewakili mereka, ia akan
diliputi oleh kegembiraan, “Aku mendapatkan seorang Thera senior
sebagai penerima persembahanku.” Kedermawanan demikian yang
dipengaruhi oleh kepribadian si penerima tidak akan menjadi
persembahan jenis saÿghika sempurna.
Hanya jika seseorang dapat menerima wakil yang ditunjuk oleh
Saÿgha tanpa merasa terganggu dan tanpa memerhatikan apakah si
penerima yaitu seorang sà maõera atau seorang bhikkhu, seorang
bhikkhu muda atau bhikkhu senior, seorang bhikkhu bodoh atau
bhikkhu terpelajar, dan memberi persembahannya, dengan
pikiran, “Aku memberi persembahan kepada Saÿgha,” dengan
penuh penghormatan kepada Saÿgha, maka ia disebut memberi
Saÿghika dà na yang sesungguhnya.
Kisah Seorang Penyumbang Vihà ra
Peristiwa ini terjadi di seberang lautan, yaitu di India. Seorang
perumah tangga kaya yang telah menyumbangkan sebuah vihà ra
bermaksud untuk memberi persembahan kepada Saÿgha.
sesudah melakukan persiapan, ia pergi menemui Saÿgha dan
berkata, “Yang Mulia, mohon kalian menunjuk seseorang untuk
menerima persembahanku kepada Saÿgha.” Kebetulan saat itu
yaitu giliran seorang bhikkhu yang kurang bermoral untuk
mewakili Saÿgha dalam menerima persembahan. Meskipun orang
itu mengetahui bahwa bhikkhu yang ditunjuk itu yaitu bhikkhu
yang kurang bermoral, namun ia tetap memperlakukannya dengan
penuh hormat; tempat duduk untuk bhikkhu ini yaitu tempat
duduk yang dipersiapkan untuk Ritual -Ritual , berhiaskan
atap dan bunga-bunga harum. Ia mencuci kaki bhikkhu ini
3192
dan meminyakinya dengan penuh hormat seolah-olah ia sedang
melayani Buddha sendiri. Ia lalu memberi persembahan
kepada bhikkhu ini dan memberi penghormatan penuh
kepada Saÿgha.
Sore harinya, bhikkhu yang tidak bermoral ini kembali
mendatangi rumahnya dan berdiri di pintu meminta cangkul yang
ia perlukan untuk melakukan perbaikan di vihà ra. Si penyumbang
vihà ra itu bahkan tidak bangkit dari duduknya; ia hanya mendorong
cangkul dengan kakinya ke arah si bhikkhu. Anggota keluarganya
bertanya kepadanya, “Tuan, pagi ini engkau melayani bhikkhu
itu dengan penghormatan yang berlebih; sekarang engkau sama
sekali tidak menunjukkan secuil pun dari penghormatan itu. Ada
apa ini? Perbedaan antara sikapmu kepada bhikkhu itu tadi pagi
dan sore ini?” Orang itu menjawab, “Keluargaku, penghormatan
yang kuperlihatkan tadi pagi yaitu kepada Saÿgha bukan kepada
bhikkhu tidak bermoral ini.”
Beberapa Hal yang Harus Dipertimbangkan Sehubungan
Dengan Persembahan Kepada Individu (Puggalika DÃ na) dan
Kepada Saÿgha (Saÿghika Dà na)
Ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa jika seseorang
datang untuk meminta dà na dan jika diketahui sebelumnya bahwa
orang itu memiliki moralitas yang tidak baik, maka kita sebaiknya
tidak memberi dà na kepada orang itu; jika kita melakukannya,
hal itu bagaikan menyiram tanaman beracun.
Tetapi tidak dapat dikatakan bahwa semua tindakan memberi
dengan sengaja kepada orang yang tidak bermoral yaitu tidak
baik. yaitu kehendak si pemberi yang harus dipertimbangkan
di sini. Jika si pemberi menyetujui kebiasaan buruk si penerima
dan memberi kepadanya dengan tujuan untuk mendukung
dan mendorongnya untuk melanjutkan praktik tidak bermoralnya,
maka pemberian itu yaitu bagaikan menyirami tanaman beracun.
Jika si pemberi tidak menyetujui kebiasaan buruk si penerima,
tetapi meniru teladan si penyumbang vihà ra yang telah dijelaskan
sebelumnya, jika ia memberi persembahan dengan cara yang
3193
1
menjadikan persembahan itu yaitu saÿghika dà na, maka tidak
ada cacat dalam persembahan seperti itu.
Ada juga yang berpendapat bahwa apakah si penerima memiliki
moral yang baik atau buruk, hal itu bukanlah urusan si pemberi;
itu yaitu urusan si penerima. Oleh sebab itu, dengan tanpa
membeda-bedakan karakter si penerima, apakah baik atau buruk,
si pemberi harus tetap memberi dengan pikiran, “Ini yaitu
orang mulia, seorang Ariya (atau seorang Arahanta).” Mereka
berpendapat bahwa tindakan memberi seperti ini yaitu tanpa cacat
dan bermanfaat bagaikan memberi persembahan kepada seorang
Arahanta. Pandangan ini juga tidak dapat dipertahankan.
Murid-murid dari para guru-guru lain yang tidak mengetahui
apakah seseorang yaitu seorang Ariya, atau seorang Arahanta,
secara keliru menganggap guru-guru mereka sebagai orang mulia,
Arahanta yang telah mencapai Pencerahan Sempurna. Kepercayaan
seperti ini yang disebut micchà dhimokkha, membuat keputusan
atau kesimpulan yang salah yaitu suatu keburukan. Tentu saja
yaitu suatu kejahatan dan suatu keputusan salah jika seseorang
menganggap, “Orang-orang ini mulia, para Arahanta yang telah
mencapai Pencerahan Sempurna,” jika ia mengetahui bahwa mereka
bukan orang mulia. Oleh sebab itu, tidaklah benar menganut
pandangan demikian.
saat menghadapi penerima seperti itu dalam memberi
persembahan, s ikap bat in yang baik yaitu dengan
mempertimbangkan, “Para Bodhisatta dalam memenuhi
Kesempurnaan Kedermawanan memberi persembahan
tanpa membeda-bedakan status tinggi, menengah atau rendah.
Aku juga akan meniru teladan para Bodhisatta dan memberi
persembahan kepada siapa pun yang datang tanpa membeda-
bedakan.” Demikianlah seseorang tidak memberi dukungan
dan dorongan terhadap praktik kebiasaan-kebiasaan buruk dan
tidak akan membuat keputusan atau kesimpulan salah tentang
pengembangan batin si penerima; tindakan persembahan demikian
menjadi bebas dari cacat.
3194
Kontroversi dan kesulitan muncul hanya dalam kasus persembahan
yang diberikan kepada individu, puggalika dà na, sebab terdapat
berbagai jenis individu, baik atau buruk, pada persembahan kepada
Saÿgha, saÿghika dà na, hanya ada satu jenis Saÿgha, bukan
dua—baik atau buruk. (yang dimaksudkan disini, yaitu para Siswa
Mulia Buddha, para Ariya). Tidak ada perbedaan di antara para
Ariya Saÿgha, sebagai yang berstatus tinggi, menengah atau rendah,
mereka semuanya sama mulianya. Oleh sebab itu, seperti telah
dijelaskan di atas, pada saat seorang penerima datang ke hadapan
seseorang, tanpa mempertimbangkan sifatnya, ia harus memberi
persembahan dengan pikiran, “Aku memberi persembahan
kepada para siswa Buddha, komunitas mulia para bhikkhu.” Maka
persembahan ini yaitu berjenis saÿghika dà na dan penerimanya
yaitu Saÿgha; orang yang datang ke hadapannya hanyalah wakil
dari Saÿgha. Betapa pun rendahnya orang itu dalam hal moralitas,
penerima sesungguhnya dari persembahan itu yaitu Saÿgha mulia
dan sebab nya, persembahan itu menjadi persembahan mulia.
Beberapa orang menganggap bahwa yaitu sangat sulit
mempraktikkan nasihat agar mengabaikan sifat pribadi dari
penerima yang tidak bermoral yang datang ke hadapannya dan
ia memberi persembahan dengan pikiran yang tertuju bukan
kepada pribadi si penerima tetapi kepada Saÿgha mulia, dan
menganggap si penerima hanyalah seorang wakil dari Saÿgha.
Kesulitan muncul sebab tidak biasa dalam melakukan hal demikian.
Dalam melakukan penghormatan dengan bersujud pada patung
Buddha, menganggap patung ini sebagai wakil Buddha, kita
sudah begitu terbiasa dalam melakukan praktik memproyeksikan
pikiran kita dari patung kepada pribadi Buddha hidup sehingga tak
seorang pun yang akan mengatakan bahwa hal itu sulit dilakukan.
Seperti halnya si perumah tangga Ugga pada masa Buddha dan
si penyumbang vihà ra di Jambudãpa yang memiliki kebiasaan
memberi persembahan kepada bhikkhu yang tidak bermoral
yang mewakili Buddha, demikian pula para umat Buddha di zaman
modern ini harus membiasakan diri dalam bersikap demikian.
3195
1
Empat Jenis Persembahan Kepada Saÿgha Seperti yang
Dijelaskan Dalam Vinaya Piñaka
Vinaya Piñaka, Kitab Disiplin bagi para anggota Saÿgha, menjelaskan
empat kelompok persembahan yang diberikan kepada Saÿgha.
Tetapi empat kelompok saÿghika dà na ini bukan untuk umat awam;
hanya tujuh jenis saÿghika dà na seperti yang dijelaskan di atas
yang dapat dilakukan oleh umat awam. Pembagian yang terdapat
dalam Vinaya ditujukan untuk anggota Saÿgha saja agar mereka
memahami bagaimana membagi persembahan di antara mereka.
Empat kelompok ini yaitu :
(1) Sammukhibhåta Saÿghika. Persembahan yang dibagikan di
antara anggota Saÿgha yang benar-benar hadir pada waktu dan
tempat persembahan diberikan. Misalnya suatu persembahan
jubah dilakukan di suatu tempat di dalam kota atau desa di mana
terdapat beberapa bhikkhu berkumpul, dan persembahan diberikan
kepada Saÿgha mulia secara keseluruhan oleh penyumbang
dengan mengatakan, “Aku mempersembahkan kepada Saÿgha.”
yaitu sulit untuk menjangkau semua Saÿgha mulia di kota atau
desa ini . Oleh sebab itu, pembagian dilakukan di antara
Saÿgha yang hadir di tempat itu pada waktu itu. sebab itu disebut
Sammukhibhuta Saÿghika (Sammukhibhuta―hadir di waktu dan
tempat itu; saÿghika―milik Saÿgha).
(2) ârà maññha Saÿghika. Persembahan yang dibagikan di antara
Saÿgha yang menetap di seluruh kompleks vihà ra. Misalnya seorang
penyumbang datang ke vihà ra dan memberi persembahan
jubah kepada bhikkhu yang ia jumpai, dengan mengatakan, “Aku
mempersembahkan kepada Saÿgha.” sebab persembahan itu
dilakukan di dalam kompleks vihà ra, maka persembahan itu yaitu
milik semua Saÿgha yang menetap di dalam kompleks vihà ra,
bukan hanya milik para bhikkhu di sekitar sana. sebab itu disebut
ârà maññha―menetap di kompleks; saÿghika―milik Saÿgha.)
(3) Gatà gata Saÿghika. Persembahan yang menjadi hak Saÿgha
yang berada di tempat mana pun yang dikunjungi oleh si
bhikkhu penerima dengan membawa persembahan itu. Misalnya
3196
seorang penyumbang datang ke vihà ra di mana menetap seorang
bhikkhu yang sedang menyepi menetap, dan penyumbang
ini mempersembahkan seratus jubah dengan mengatakan,
“Aku mempersembahkannya kepada Saÿgha.” Jika bhikkhu
ini memahami peraturan disiplin, ia boleh memiliki seluruh
persembahan itu untuk dirinya sendiri dengan mengatakan, “Pada
saat ini, di vihà ra ini, aku yaitu satu-satunya Saÿgha; oleh sebab
itu, seluruh seratus jubah ini, yaitu milikku.” Ia berhak (menurut
peraturan Vinaya) melakukannya; ia tidak bisa disalahkan sebab
memonopoli persembahan yang diberikan kepada Saÿgha. Jika
bhikkhu ini tidak memahami peraturan Vinaya, ia tidak tahu
apa yang harus dilakukan. Dan tanpa ketetapan dalam memutuskan,
“Aku yaitu pemilik satu-satunya; aku memiliki semuanya,” jika
ia pergi ke tempat lain dengan membawa jubah-jubah itu, dan
para bhikkhu yang ia temui di tempat lain menanyakan bagaimana
ia mendapatkan jubah-jubah itu. Misalnya, sesudah mengetahui
bagaimana ia mendapatkannya, para bhikkhu itu menuntut bagian
dari jubah-jubah itu dengan mengatakan, “Kami juga berhak
atas jubah-jubah ini,“ dan lalu semua jubah itu dibagi rata
di antara mereka, maka pembagian jubah ini yaitu pembagian
yang benar. Akan tetapi, misalkan, tanpa membagi jubah-jubah
itu, ia melanjutkan perjalanan dan berjumpa dengan para bhikkhu
lainnya. Para bhikkhu lain ini juga berhak menerima bagian
atas jubah-jubah itu. Demikianlah, ke mana pun bhikkhu itu pergi
dengan membawa jubah-jubah itu, para bhikkhu di tempat yang
ia kunjungi juga berhak atas jubah-jubah itu. sebab itu disebut
Gatà gata Saÿghika (Gatà gata―ke mana pun seseorang pergi;
Saÿghika―milik Saÿgha).
(4) Catuddisà Saÿghika. Persembahan yang menjadi milik semua
bhikkhu yang datang dari empat penjuru. Persembahan itu termasuk
pemberian yang besar dan penting, yang harus diperlakukan
dengan penuh hormat, misalnya, vihà ra. Bukan untuk dibagikan
kepada Saÿgha yang datang dari empat penjuru. sebab itu disebut
Catuddisa-Saÿghika (Catuddisà ―dari empat penjuru; Saÿghika―milik
Saÿgha.)
Tanpa menyadari fakta bahwa empat kelompok ini disebutkan
3197
1
dalam peraturan Vinaya untuk melakukan pembedaan kepemilikan
dan pembagian persembahan yang diserahkan kepada Saÿgha,
beberapa (bhikkhu) memanfaatkan ketentuan Vinaya ini saat
umat-umat awam memberi persembahan. Sebagai ilustrasi,
misalnya seorang penyumbang yang tergerak oleh pengabdian
terhadap seorang bhikkhu membangun vihà ra, meskipun bukan
ditujukan untuknya, melainkan untuk seluruh Saÿgha. Untuk
Ritual menuang air, ia mengundang sepuluh bhikkhu termasuk
bhikkhu yang terhadapnya ia begitu penuh pengabdian. sesudah
pembacaan paritta-paritta, saat tiba waktunya untuk menyerahkan
persembahan, bhikkhu itu ingin agar persembahan diserahkan
sebagai puggalika dà na. Persembahan yang ditujukan kepada
individu tertentu, sebab ia merasa bahwa menetap di vihà ra
yang merupakan milik Saÿgha menuntut banyak kewajiban
dan tanggung jawab. Tetapi si penyumbang lebih memilih untuk
menjadikannya saÿghika dà na sebab , ia yakin, dà na demikian
yaitu lebih mulia dan menghasilkan jasa yang lebih besar. Para
bhikkhu lainnya menengahi perselisihan antara si penyumbang
dan gurunya dengan meminta agar si penyumbang memberi
persembahan dengan mengatakan, “Aku mempersembahkan vihà ra
ini kepada Saÿgha yang hadir di sini sekarang” (SammukhibhÃ¥ta
Saÿgha). lalu sembilan bhikkhu lain ini berkata kepada
satu bhikkhu itu, “Kami menyerahkan hak kepemilikan atas vihà ra
ini kepada Yang Mulia,” lalu menyerahkan vihà ra baru itu
kepadanya dan pergi.
Demikianlah prosedur ini dilakukan, dengan meyakini bahwa
dengan melakukan cara ini , keinginan si penyumbang untuk
mempersembahkan saÿghika dà na terpenuhi dan si penerima
yang ingin menjadi pemilik tunggal juga terpenuhi sebab sembilan
pemilik lainnya telah melepaskan hak kepemilikan vihà ra itu dan
menjadikannya pemilik tunggal.
Akan tetapi dalam kenyataan, prosedur demikian tidaklah benar
dan seharusnya tidak dilakukan. Pemberian sebuah vihà ra yaitu
pemberian yang besar dan penting; sepuluh bhikkhu yang telah
menerima persembahan vihà ra tidak dapat melakukan pembagian
dalam bentuk apa pun di antara mereka; dan pemberian si
3198
penyumbang hanya sebagai pemberian kepada sepuluh bhikkhu
yang hadir pada saat itu saja dan bukan kepada Saÿgha secara
keseluruhan.
(20) Persembahan yang Dilakukan Pada Kesempatan Khusus
(Kà la Dà na); Persembahan Yang Dilakukan Setiap Saat (Akà la
DÃ na)
Persembahan jubah Kathina pada akhir masa vassa selama
satu bulan, mempersembahkan jubah pada awal masa vassa,
mempersembahkan makanan-makanan untuk bhikkhu yang
sedang sakit, mempersembahkan makanan untuk bhikkhu-bhikkhu
tamu, mempersembahkan makanan kepada bhikkhu yang hendak
melakukan perjalanan, semua ini yaitu persembahan yang
diberikan pada waktu tertentu untuk tujuan tertentu dan disebut
kà la dà na; semua persembahan lainnya yang dilakukan setiap saat
diinginkan tanpa mempertimbangkan waktu disebut akà la dà na.
Kà la dà na menghasilkan jasa yang lebih besar daripada akà la
dà na sebab persembahan diberikan untuk memenuhi kebutuhan
tertentu pada waktu tertentu. Dà na jenis kà la, pada saat berbuah,
akan menghasilkan akibat baik pada saat diperlukan. Misalnya, jika
si penyumbang menginginkan makanan khusus, keinginannya akan
segera tercapai; demikian pula jika ia menginginkan pakaian khusus,
ia akan mendapatkannya. Ini yaitu contoh manfaat istimewa yang
dihasilkan dari persembahan yang dilakukan pada waktu khusus
untuk memenuhi kebutuhan khusus.
(21) Persembahan yang Dilakukan Dengan Dihadiri Oleh Si
Pemberi (Paccakkha DÃ na); Persembahan yang Dilakukan
Tanpa Dihadiri Oleh Si Pemberi (Apaccakkha DÃ na)
Paccakkha dalam bahasa Pà ëi terdiri dari pati dan akkha. Pati
artinya ke arah; akkha artinya lima indria: mata, telinga, hidung,
lidah, badan. Walaupun Paccakkha biasanya diartikan ‘di depan
mata’, arti lengkapnya yaitu ‘dikenali oleh indria’. sebab itu
paccakkha dà na memiliki makna yang lebih luas, bukan hanya
jenis persembahan yang dapat dilihat oleh si penyumbang tetapi
3199
1
juga persembahan yang dapat dikenali oleh indria lainnya, yaitu,
suara, bau-bauan, rasa, dan sentuhan. Sehubungan dengan hal
ini, harus dipahami bahwa persembahan yang dilakukan dengan
dihadiri oleh si penyumbang, paccakkha dà na tidak sama dengan
sà hatthika dà na, persembahan yang dilakukan dengan kedua
tangan sendiri. Persembahan yang dilakukan dengan dihadiri oleh
si penyumbang atas perintah si penyumbang tetapi bukan melalui
tangan si penyumbang yaitu jenis anattika dà na, persembahan
yang dilakukan atas permintaan atau perintah seseorang.
(22) Persembahan yang Dapat Ditandingi Oleh Orang Lain
(Sadisa DÃ na); Persembahan yang Tidak Dapat Ditandingi Oleh
Orang Lain (Asadisa DÃ na)
Jika persembahan dilakukan dengan semangat bersaing, para
penyumbang berusaha untuk mengalahkan saingan mereka dalam
hal skala dan kemegahan persembahan. Dalam persaingan itu,
persembahan yang terbukti tidak tertandingi, tidak dapat ditiru
disebut persembahan tanpa tandingan, asadisa dà na.
Menurut Komentar Dhammapada, dijelaskan dalam kisah
Persembahan tanpa tandingan dalam Loka Vagga, hanya ada
satu penyumbang dalam masa tiap-tiap Buddha yang melakukan
persembahan tanpa tandingan. Kisah ini yaitu sebagai
berikut:
Pada suatu saat , Bhagavà , sesudah melakukan perjalanan panjang
disertai oleh lima ratus Arahanta tiba kembali di Vihà ra Jetavana.
Sang Raja, Pasenadã dari Kosala, memberi penghormatan kepada
Buddha dan lima ratus siswa-Nya dengan mengundang mereka
ke istana dan mempersembahkan dà na berskala besar. Raja juga
mengundang warga Sà vatthã untuk menghadiri Ritual
persembahan itu sehingga mereka dapat menyaksikan dan
bergembira dalam kebajikan yang ia lakukan. Keesokan harinya,
warga Sà vatthã, menyaingi raja, mempersiapkan seluruh kota
dan memberi persembahan yang melampaui persembahan
raja kepada Bhagavà dan para siswa-Nya. Mereka mengundang
raja untuk menghadiri Ritual persembahan mereka untuk
3200
menyaksikan perbuatan mereka dan bergembira dalam Ritual
ini .
Menangkap semangat persaingan, raja menerima tantangan para
warga . Keesokan harinya ia melakukan Ritual persembahan
yang lebih megah lagi. Para warga melakukan lagi Ritual
persembahan besar untuk mengalahkan usaha raja. Demikianlah,
persaingan sengit antara raja dan para warga nya berlangsung
hingga masing-masing pihak melakukan enam kali Ritual
persembahan. (Persaingan itu masih belum berakhir.)
Pada babak ke tujuh, raja merasa sedih, “Sulit sekali untuk
melampaui usaha para warga dalam babak ke tujuh ini; dan
hidup menjadi tidak berarti, jika aku, yang berkuasa atas negeri ini,
kalah terhadap para warga yang kuperintah dalam babak ini.”
(Untuk menghiburnya), Ratu, Mallikà , memikirkan sebuah rencana
agar raja dapat melakukan persembahan yang sungguh megah yang
mustahil dapat ditandingi oleh para warga . Ia membangun
sebuah aula besar; lima ratus siswa Buddha, para Arahanta, akan
duduk di dalam aula dengan lima ratus putri mengipasi mereka
dan memercikkan wangi-wangian dan air harum di dalam aula.
Di belakang lima ratus Arahanta itu, terdapat lima ratus ekor gajah
yang berlutut dan memegang payung putih menaungi tiap-tiap
Arahanta.
Saat persiapan sedang dilakukan sesuai rencana di atas, mereka
kekurangan satu ekor gajah jinak, jadi mereka memakai seekor
gajah liar dan ganas yang terkenal akan kebuasannya di belakang
Yang Mulia Aïgulimala; gajah itu memegang payung putih seperti
gajah-gajah lainnya. Para warga takjub melihat binatang buas
itu turut serta dalam Ritual dan memegang payung di atas kepala
Yang Mulia Aïgulimala dengan jinaknya.
sesudah makanan dipersembahkan, raja menyatakan, “Aku
melakukan persembahan segala benda di dalam aula ini, barang-
barang yang diperbolehkan juga barang-barang yang tidak
diperbolehkan. Dalam pernyataan ini, para warga harus
mengaku kalah atas persaingan ini, sebab mereka tidak memiliki
3201
1
putri, tidak memiliki payung putih, dan tidak memiliki gajah.
Dengan demikian, penyumbang dari persembahan tanpa tandingan
pada masa ‘Makhluk Teragung di tiga alam’, Buddha Gotama yaitu
Raja Pasenadã dari Kosala. Setiap Buddha memiliki penyumbang
yang mempersembahkan dà na tanpa tandingan.
Jenis DÃ na Dalam Kelompok Tiga
(1) DÃ na juga dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu,
rendah (hina), menengah (majjhima), dan tinggi (paõita). Tingkat
kebajikan suatu tindakan bergantung pada kuatnya kehendak
(chanda), kesadaran (citta), usaha (viriya), dan pengetahuan
penyelidikan (vimaÿsà ) yang terlibat dalam tindakan ini . Jika
empat unsur ini lemah, maka dà na dikatakan berjenis rendah; jika
berstandar menengah maka dà na dianggap berjenis menengah; jika
semuanya kuat, maka dà na dianggap berjenis tinggi.
(2) Jika tindakan dà na dimotivasi oleh keinginan untuk mendapatkan
kemasyhuran dan pujian, ini yaitu jenis rendah; jika tujuan dà na
yaitu untuk mencapai kebahagiaan hidup sebagai manusia atau
dewa, ini yaitu jenis menengah; jika persembahan diberikan
sebagai penghormatan kepada para Ariya atau Bodhisatta atas
teladan mereka dalam berdana, ini yaitu persembahan mulia
berjenis tinggi.
(Dalam berbagai khotbah dalam Kitab Pà ëi disebutkan taman-taman
dan vihà ra-vihà ra yang diberi nama sesuai nama penyumbangnya,
misalnya, Jetavana, taman Pangeran Jeta; Anà thà piõóikà rà ma,
vihà ra yang disumbangkan oleh orang kaya Anà thapiõóika;
Ghosità rà ma, vihà ra yang disumbangkan oleh orang kaya Ghosita.
Sistem penamaan seperti ini digunakan oleh sidang Pertama para
Sesepuh dengan tujuan untuk mendorong orang-orang lain agar
mengikuti teladan mereka dan dengan demikian memperoleh
jasa. sebab itu, para penyumbang masa kini, sesudah memberi
persembahan, menuliskan nama mereka di atas marmer atau batu.
Dalam melakukan hal itu, mereka harus mengendalikan diri, dengan
mengerahkan perhatian, segala keinginan akan kemasyhuran
3202
dengan mengingat bahwa mereka memberi persembahan untuk
menjadi teladan bagi mereka yang ingin memperoleh jasa.)
(3) Jika si penyumbang bercita-cita untuk mencapai kebahagiaan
hidup sebagai manusia atau dewa, maka persembahannya yaitu
berjenis rendah; jika cita-citanya yaitu mencapai Pencerahan
sebagai seorang siswa (Sà vakabodhi ¥Ã õa), atau sebagai seorang
Buddha diam (Paccekabuddha ¥Ã õa), persembahannya yaitu
berjenis menengah; jika ia bercita-cita untuk mencapai Pencerahan
Sempurna dengan usaha sendiri (Sammà sambodhi ¥Ã õa atau
Sabba¤¤uta ¥Ã õa), maka persembahannya yaitu berjenis tinggi.
(Bodhi atau Pencerahan yang dimaksudkan yaitu satu dari Empat
Jalan. Para bijaksana masa lampau menasihatkan bahwa agar
persembahan dapat bertindak sebagai alat untuk melarikan diri dari
lingkaran kelahiran kembali (vivaññanissita), seseorang seharusnya
tidak memberi persembahan dengan cara yang sembrono atau
cara-cara umum, ia seharusnya dengan serius (penuh keyakinan)
bercita-cita untuk mencapai satu dari tiga bentuk Pencerahan
sewaktu memberi persembahan.)
(4) Selanjutnya, persembahan terdiri dari tiga jenis, yaitu, dà na dà sa,
persembahan untuk seorang pelayan; dà na sahà ya, persembahan
untuk seorang teman, dan dà na sà mi, persembahan untuk seorang
guru.
Seperti halnya dalam kehidupan sehari-hari, seseorang memakai
barang-barang yang berkualitas baik dan memberi barang-
barang berkualitas rendah kepada para pelayan, demikian pula
jika seseorang memberi barang-barang berkualitas yang lebih
rendah daripada yang ia gunakan sendiri, maka pemberian ini
yaitu berjenis rendah, dà na dasa, yang layak untuk pelayan; seperti
halnya dalam kehidupan sehari-hari, seseorang memberi kepada
temannya barang-barang yang berkualitas sama dengan ia gunakan
sendiri, maka pemberian ini dikatakan berjenis menengah (dà na
sahà ya); seperti halnya dalam kehidupan sehari-hari, seseorang
memberi persembahan kepada yang lebih dihormati, barang-
barang yang berkualitas lebih baik daripada yang ia gunakan
3203
1
sendiri, demikian pula jika seseorang memberi dà na berupa
barang-barang yang berkualitas tinggi, maka persembahan ini
dikatakan berjenis tinggi, dà na sà mi.
(5) Ada tiga jenis Dhamma dà na (pembagian ini berdasarkan arti
kata ‘Dhamma’ untuk masing-masing jenis).
Jenis pertama Dhamma dà na, ‘Dhamma’ yaitu yang berhubungan
dengan à misa Dhamma dà na, telah disebutkan di atas pada bagian
dà na dalam kelompok dua. Disebutkan bahwa à misa Dhamma
dà na yaitu pemberian naskah daun palem atau kitab-kitab. Dalam
kelompok ini, ‘Dhamma’ yaitu naskah itu sendiri, Pariyatti,
Dhamma yang diajarkan oleh Buddha dan dicatat di atas daun palem
atau kitab-kitab sebagai naskah.) oleh sebab itu, Dhamma dà na, di
sini berarti mengajarkan kitab-kitab atau memberi pengetahuan
ajaran Buddha kepada orang lain. Pariyatti yaitu objek pemberian,
materi yang diberikan; pendengar yaitu penerima dan orang yang
mengajarkan atau menjelaskan Dhamma yaitu si penyumbang.
(Jenis kedua Dhamma dà na, ‘Dhamma’ merujuk pada ‘Dhamma’
yang terdapat dalam pengelompokan Abhidhammà atas dà na
dalam enam kelompok, yaitu råpa dà na, gandha dà na, rasa dà na,
phoÿñhabba dà na, dan Dhamma dà na. Dhamma yang dimaksud di
sini dijelaskan sebagai segala sesuatu yang membentuk objek batin.
Objek batin yaitu : (1) lima organ indria (pasà da råpa); (2) enam
belas bentuk halus (sukhuma råpa); (3) delapan puluh sembilan
kondisi kesadaran (citta); (4) lima puluh dua faktor batin (cetasika);
(5) Nibbà na, dan (6) konsepsi (pa¤¤Ã tti). Sedangkan dalam Pariyatti
Dhamma, ‘Dhamma’ berarti ‘mulia’; di sini bermakna ‘kebenaran
sehubungan dengan sifat sejati dari segala sesuatu’.
Dhamma dà na jenis ini dilakukan melalui pelayanan terhadap
mereka yang menderita cacat (organ tubuh), misalnya, penglihatan
yang lemah, kesulitan pendengaran, dan lain-lain. Membantu orang
lain dalam memperbaiki penglihatannya yaitu cakkhu (Dhamma)
dà na; membantu orang lain dalam memperbaiki pendengarannya
yaitu sota (Dhamma) dà na, dan seterusnya. Dà na yang paling
istimewa dari jenis ini yaitu jivita dà na, membantu memperpanjang
3204
umur orang lain. Dengan cara yang sama, dà na-dà na yang lainnya
dapat dipahami.
Dalam jenis ketiga Dhamma dà na, ‘Dhamma’ merujuk pada
Dhamma dari Tiga Permata, yaitu, Buddha, Dhamma, dan Saÿgha.
Seperti halnya Dhamma dà na jenis pertama, Dhamma di sini
berarti kitab-kitab ajaran Buddha. Sedangkan dalam jenis kedua,
‘Dhamma’ yaitu objek persembahan, dan pendengar yaitu
penerima; dalam jenis ketiga ini, Dhamma, yang merupakan
bagian dari Trinitas—Buddha, Dhamma, dan Saÿgha itu sendiri
yaitu penerima persembahan. Jika Buddha dan Saÿgha menjadi
penerima, Dhamma juga menjadi penerima persembahan.
Sebagai ilustrasi, Buddha sedang menetap di Vihà ra Jetavana di
Sà vatthã. Pada waktu itu, seorang perumah tangga kaya yang
berkeyakinan di dalam Dhamma, berpikir, ”Aku telah berkesempatan
untuk memberi penghormatan kepada Buddha dan Saÿgha
dengan secara rutin memberi persembahan makanan, jubah,
dan lain-lain. Tetapi aku tidak pernah memberi penghormatan
kepada Dhamma dengan memberi persembahan. Sekarang
yaitu waktunya untuk melakukan hal itu.” Dengan pikiran ini,
ia menemui Bhagavà dan bertanya kepada Bhagavà mengenai
bagaimana melakukan hal itu.
Bhagavà menjawab: ”Jika engkau ingin memberi penghormatan
kepada Dhamma, engkau dapat mempersembahkan makanan,
jubah, dan sebagainya kepada bhikkhu yang telah memelajari
Dhamma dengan baik, tetapi dengan niat jelas untuk menghormati
Dhamma yang telah ia kuasai.”
saat perumah tangga itu bertanya kepada Bhagavà , bhikkhu mana
yang layak menerima persembahan itu, Buddha memberitahunya
agar menanyakan hal itu kepada Saÿgha. Saÿgha mengarahkannya
agar memberi persembahannya kepada Yang Mulia ânanda.
sebab itu ia mengundang Yang Mulia ânanda dan memberi
persembahan makanan, jubah dan sebagainya yang melimpah,
dengan mengingat bahwa ia sedang menghormati Dhamma yang
telah dikuasai oleh Yang Mulia ânanda. Kisah ini dijelaskan dalam
3205
1
bagian pendahuluan dari Bhikkhà parampara Jà taka, Jà taka ketiga
belas dari Pakinnaka Nipà ta.
Menurut kisah ini, si perumah tangga yaitu penyumbang;
makanan, jubah, dan sebagainya yaitu objek persembahan; dan
tubuh Dhamma yang terdapat dalam diri Yang Mulia ânanda yaitu
penerima persembahan.
Perumah tangga ini bukanlah satu-satunya yang melakukan
persembahan ini pada masa Buddha, dengan pikiran tertuju pada
Dhamma sebagai penerima persembahan. Kitab dengan jelas
menyebutkan bahwa penguasa besar Sãri Dhammà soka (Asoka)
dengan penghormatan besar terhadap Dhamma membangun
banyak vihà ra, seluruhnya berjumlah 84.000, satu untuk masing-
masing dari 84.000 kelompok Dhamma (Dhammakkhandha) yang
membentuk ajaran Buddha yang lengkap.
(Perhatian) Banyak orang telah mendengar tentang dà na besar oleh
Asoka ini dan berkeinginan untuk menirunya. Tetapi sangatlah
penting untuk mengikuti teladannya dengan cara yang benar.
Tujuan sesungguhnya dari Raja Besar Asoka bukanlah sekadar
mempersembahkan vihà ra-vihà ra, tetapi memberi penghormatan
kepada masing-masing kelompok Dhamma. Bangunan vihà ra hanya
sebagai benda-benda persembahan. Generasi-generasi penyumbang
selanjutnya yang ingin meniru teladan Sãri Dhammà soka harus
memahami bahwa mereka membangun vihà ra bukan sebagai
objek persembahan, bukan dengan tujuan untuk memperoleh
kemasyhuran sebagai penyumbang vihà ra, tetapi dengan tujuan
tunggal untuk menghormati Dhamma.
Pentingnya Dhamma dà na ini dapat dipahami saat seseorang
mengingat pentingnya ajaran, Dhamma. Komentator besar, yang
Mulia Mahà Buddhaghosa mengakhiri karyanya, Aññhasà linã,
Komentar Dhammasaïgaõã, buku pertama dari Abhidhammà ,
dengan harapan, “Semoga Dhamma sejati bertahan lama.
Semoga semua makhluk menghormati Dhamma.” (Ciraÿ tiññhatu
saddhà mmo; Dhamme hontu sagà ravà , sabbepi sattà ). Ia menuliskan
harapan ini sebab ia menyadari peranan penting Dhamma. Ia
3206
menyadari bahwa selama Dhamma bertahan, maka ajaran Buddha
tidak akan memudar dan setiap orang yang menghormati Dhamma
akan menghormati ajaran dan mengikutinya. Dan Buddha telah
berkata, “Hanya mereka yang melihat Dhamma, dapat melihat
Aku.” Dan menjelang akhir hidup-Nya, Buddha berkata bahwa,
“Dhamma akan menjadi gurumu sesudah kematian-Ku.” (So vo
mamaccayena satthà .)
Oleh sebab itu, kita harus berusaha untuk mengembangkan jenis
ketiga Dhamma dà na ini yang memainkan peranan yang begitu
penting.
(6) Tiga jenis dà na yang lainnya dikelompokkan sebagai dukkara
dà na, persembahan yang sulit diberikan; mahà dà na, persembahan
besar penuh kemegahan; dan sà ma¤¤a dà na, persembahan biasa,
yang tidak terlalu sulit dilakukan, juga tidak terlalu megah.
Contoh dari jenis pertama, dukkara dà na, dapat dibaca dalam kisah
dà na yang diberikan oleh Dà rubhaõóaka Tissa. Kisah ini terdapat
dalam Komentar Vagga ke-28 dari EkadhammaJhà na, Ekaka Nipà ta,
Aïguttara Nikà ya.
Kisah Dà na yang Dipersembahkan Oleh Dà rubhaõóaka
Terdapat seorang miskin yang menetap di Mahà gà ma, Sri Lanka,
yang mencari nafkah dengan menjual kayu bakar. Namanya Tissa,
tetapi sebab mata pencahariannya yaitu menjual kayu bakar,
maka ia dikenal sebagai Dà rubhaõóaka Tissa (Tissa yang hanya
memiliki kayu bakar sebagai harta).
Suatu hari ia berbicara dengan istrinya, “Kehidupan kita sangat
sederhana, malang, dan rendah; walaupun Buddha telah mengajarkan
manfaat dari nibaddha dà na, pelaksanaan kewajiban memberi
secara rutin, kita tidak mampu melatih praktik demikian. Tetapi kita
dapat melakukan satu hal; kita dapat memulai memberi dà na
makanan secara rutin dua kali setiap bulan, dan pada saat kita lebih
mampu lagi, kita akan melakukan persembahan makanan yang
lebih tinggi dengan memakai kupon (salà kabhatta).” Istrinya
3207
1
menyetujui usulnya dan mereka mulai memberi dà na makanan
keesokan paginya.
Sungguh menggembirakan bagi para bhikkhu yang menerima
banyak makanan baik. Beberapa bhikkhu muda dan para sà maõera
menerima dà na makanan yang buruk yang dipersembahkan oleh
keluarga Dà rubhaõóaka, mereka membuangnya di hadapan mereka.
Sang istri melaporkan kepada suaminya, “Mereka membuang
makanan persembahan kita,” tetapi ia tidak pernah berpikiran
buruk atas kejadian ini.
lalu Dà rubhaõóaka Tissa berdiskusi dengan istrinya. “Kita
begitu miskin sehingga kita tidak mampu mempersembahkan
makanan yang dapat menyenangkan para mulia. Apa yang harus
kita lakukan untuk memuaskan mereka?” “Mereka yang memiliki
anak-anak tidaklah miskin,” jawab istri untuk menghibur dan
memberi dukungan dan menasihatinya untuk memperkerjakan
putri mereka sebagai pembantu rumah tangga, dan dengan uang
yang diperoleh, mereka akan membeli sapi perah. Dà rubhaõóaka
menerima nasihat istrinya; ia mendapatkan dua belas keping uang
dan membeli seekor sapi. sebab kemurnian niat baik mereka, sapi
itu menghasilkan banyak susu.
Susu yang mereka ambil pada malam hari dijadikan keju dan
mentega. Susu yang diambil pada pagi hari digunakan istrinya
untuk membuat bubur susu dan sesudah ditambah keju dan mentega,
mereka mempersembahkannya kepada Saÿgha. Demikianlah,
mereka mampu memberi persembahan makanan yang
diterima dengan baik oleh Saÿgha. Sejak saat itu salà kabhatta
dari Dà rubhaõóaka hanya tersedia bagi para mulia yang memiliki
pencapaian yang tinggi.
Suatu hari Dà rubhaõóaka berkata kepada istrinya, “Berkat putri
kita, kita selamat dari hinaan. Kita telah mencapai posisi di
mana para mulia menerima persembahan makanan kita dengan
penuh kepuasan. Sekarang, jangan lupa tugas rutin memberi
persembahan makanan selama aku tidak ada. Aku akan mencari
pekerjaan; aku akan kembali sesudah menebus anak kita dari
3208
perbudakan.” lalu ia pergi bekerja selama enam bulan di
pabrik gula dan berhasil mengumpulkan dua belas keping uang
untuk menebus putrinya.
Berangkat pulang pada suatu pagi, ia melihat di depannya ada Yang
Mulia Tissa yang sedang dalam perjalanan untuk melakukan puja
bakti di Pagoda Mahà gà ma. Bhikkhu ini yaitu orang yang melatih
praktik keras piõóindapà ta, yaitu, ia hanya memakan makanan yang
dipersembahkan kepadanya saat ia pergi mengumpulkan dà na
makanan. Dà rubhaõóaka berjalan cepat untuk mengejar bhikhhu
dan berjalan beriringan dengannya, mendengarkan khotbahnya
tentang Dhamma. Mendekati sebuah desa, Dà rubhaõóaka melihat
seorang laki-laki keluar dengan membawa sebungkus nasi di
tangannya. Ia menawarkan orang itu satu keping uang untuk
menjual nasi bungkus itu kepadanya.
Orang itu yang menyadari pasti ada alasan khusus dengan
menawarkan satu keping uang untuk mekanan yang bahkan tidak
bernilai seperenam belasnya, menolak untuk menjualnya dengan
harga satu keping uang. Dà rubhaõóaka menaikkan tawarannya
menjadi dua, lalu tiga keping uang dan seterusnya hingga
ia menawarkan semua uang yang ia miliki, tetapi orang itu tetap
menolak tawaran itu (sebab berpikir bahwa Dà rubhaõóaka masih
memiliki uang).
Akhirnya, Dà rubhaõóaka menjelaskan kepada orang itu, “Aku
tidak memiliki uang lagi selain dua belas keping ini. Aku pasti
memberi lebih jika aku memilikinya. Aku membeli makanan
ini bukan untuk diriku; sebab ingin mempersembahkan makanan,
aku memohon kepada seorang bhikkhu agar menungguku di bawah
pohon. Makanan ini akan dipersembahkan kepada bhikkhu itu.
Mohon jual kepadaku nasi bungkus ini dengan harga dua belas
keping uang ini. Engkau juga akan mendapatkan jasa dengan
melakukan hal itu.”
Orang itu akhirnya setuju untuk menjual nasi bungkusnya dan
Dà rubhaõóaka menyerahkannya dengan penuh kegembiraan kepada
bhikkhu yang sedang menunggu itu. Mengambil mangkuk dari
3209
1
bhikkhu itu, Dà rubhaõóaka memindahkan nasi itu dari bungkusnya
ke dalam mangkuk itu. Tetapi Yang Mulia Thera hanya menerima
setengah dari makanan itu. Dà rubhaõóaka memohon kepada
bhikkhu, “Yang Mulia, makanan ini hanya cukup untuk satu orang.
Aku tidak akan memakannya sedikit pun. Aku membeli makanan
ini khusus untukmu. Berkat welas asihmu kepadaku, sudilah Yang
Mulia menerima semua makanan ini.” Atas permohonan ini, Yang
Mulia mengizinkannya mempersembahkan semua makanan dalam
bungkusan itu.
sesudah Thera selesai makan, mereka melakukan perjalanan
bersama-sama dan bhikkhu itu bertanya kepada Dà rubhaõóaka
tentang dirinya. Dà rubhaõóaka menceritakan segalanya dengan
jujur tentang dirinya kepada bhikkhu. Sang Thera merasa takjub atas
bakti yang ditunjukkan oleh Dà rubhaõóaka dan berpikir, “Orang ini
telah melakukan dukkara dà na, persembahan yang sulit dilakukan.
sesudah memakan makanan yang dipersembahkan olehnya dengan
susah payah, aku sangat berhutang kepadanya dan aku harus
menunjukkan terima kasih sebagai balasan. Jika aku menemukan
tempat yang layak, aku akan berusaha keras untuk mencapai
Kearahattaan dalam satu kali duduk. Biarpun kulitku, dagingku,
dan darahku mengering. Aku tidak akan mengubah posisiku hingga
aku mencapai tujuan.” Saat mereka tiba di Mahà gà ma, mereka
berpisah.
Sesampainya di Vihà ra Tissa Mahà vihà ra, Thera mendapatkan
satu ruangan untuk dirinya, di mana ia mengerahkan usaha
kerasnya, bertekad untuk tidak berpindah dari tempat itu hingga
ia telah melenyapkan semua kotoran dan menjadi seorang
Arahanta. Bahkan tidak pergi mengumpulkan dà na makanan, ia
dengan teguh berusaha, hingga pagi pada hari ketujuh ia menjadi
seorang Arahanta yang menguasai Empat Pengetahuan Analitis
(Patisambhidà ). lalu ia berpikir, “Tubuhku sangat lemah.
Aku ingin tahu apakah aku dapat hidup lebih lama.” Ia menyadari
melalui kekuatan batinnya bahwa fenomena nà ma råpa yang
merupakan tubuh hidupnya tidak akan bertahan lebih lama lagi.
Ia merapikan kamarnya dan mengambil mangkuk dan jubahnya
lalu pergi ke ruang pertemuan di tengah vihà ra dan menabuh
3210
genderang untuk mengumpulkan para bhikkhu.
saat semua bhikkhu telah berkumpul, Thera kepala bertanya siapa
yang memanggil untuk berkumpul. Yang Mulia Tissa yang berlatih
keras dengan mempraktikkan hanya memakan yang diperoleh
dari perjalanan mengumpulkan dà na makanan, menjawab, “Aku
yang menabuh genderang, Yang Mulia.” “Dan mengapa engkau
melakukan itu?” “Aku tidak memiliki tujuan lain, tetapi jika ada
anggota Saÿgha yang meragukanku dalam pencapaian Jalan dan
Buah, aku ingin agar mereka bertanya kepadaku.”
Thera kepala memberitahunya bahwa tidak ada pertanyaan. Ia
lalu bertanya kepada Yang Mulia Tissa mengapa berlatih begitu
keras bahkan hingga mengorbankan nyawanya untuk mencapai itu.
Ia menceritakan segala yang telah terjadi dan memberitahukan
bahwa ia akan meninggal dunia pada hari itu juga. lalu
ia berkata, “Semoga papan tempat jasadku terbaring tetap tidak
bergerak hingga penyumbang makananku, Dà rubhaõóaka, datang
dan mengangkatnya dengan kedua tangannya,” dan lalu ia
meninggal dunia pada hari itu juga.
lalu Raja Kà kavaõõatissa datang dan memerintahkan orangnya
untuk meletakkan jasad itu di atas papan dan membawanya ke
tumpukan kayu bakar di tanah pemakaman, tetapi mereka tidak
mampu mengangkatnya. Mengetahui alasannya, raja memanggil
Dà rubhaõóaka, memberinya pakaian yang baik dan memintanya
untuk mengangkat papan jenazah itu.
Kitab menjelaskan kisah lengkap tentang bagaimana Dà rubhaõóaka
mengangkat papan jenazah itu dengan mudah ke atas kepalanya dan
bagaimana, sesudah ia mengangkatnya, papan jenazah itu melayang
di udara dan berjalan sendiri ke tumpukan kayu pemakaman.
Dà na yang dilakukan oleh Dà rubhaõóaka yang melibatkan
pengorbanan tanpa ragu atas dua belas keping uang yang ia perlukan
untuk menebus putrinya dari perbudakan dan yang memerlukan
enam bulan untuk mengumpulkannya yaitu sungguh sangat sulit
untuk dilakukan dan sebab itu disebut dukkara dà na.
3211
1
Contoh lain dari pemberian semacam ini terdapat dalam kisah
Sà maõera Sukha yang dijelaskan dalam Vagga kesepuluh dari
Komentar Dhammapada. Sebelum ia menjadi seorang sà maõera,
ia yaitu seorang miskin yang ingin memakan makanan mewah
seorang kaya. Orang kaya Gandha memberitahunya bahwa ia
harus bekerja selama tiga tahun untuk dapat memakan makanan
seperti itu. Demikianlah ia bekerja selama tiga tahun dan akhirnya
mendapatkan makanan yang sangat ia dambakan; saat ia hendak
memakan makanan itu, seorang Pacceka Buddha kebetulan datang.
Tanpa ragu, ia mempersembahkan kepada Pacceka Buddha makanan
yang sangat ia harapkan itu yang memerlukan tiga tahun bekerja
untuk mendapatkannya.
Contoh lain lagi terdapat dalam Ummà dantã Jà taka dari Pa¤¤Ã sa
Nipà ta yang mengisahkan tentang seorang gadis miskin yang
bekerja selama tiga tahun untuk mendapatkan kain bergambar
untuk menghias dirinya. saat ia hendak menghias dirinya dengan
kain yang sangat ia dambakan itu, seorang siswa Buddha Kassapa
datang (yang hanya ditutupi dengan daun-daunan sebab ia telah
dirampok oleh gerombolan perampok). Pemberian kain yang sangat
ia dambakan dan membutuhkan tiga tahun bekerja juga yaitu
dà na jenis dukkara.
Pemberian yang sangat menakjubkan dalam hal kemegahan disebut
mahà dà na, Pemberian Sirãdhammà soka yang agung (Asoka) berupa
84.000 vihà ra untuk menghormati 84.000 bagian dari Piñaka yaitu
dà na besar dalam jenis ini. Sehubungan dengan hal ini, Yang
Mulia Mahà moggalliputta Tissa berkata, “Dalam masa pengajaran
Buddha, atau bahkan dalam masa kehidupan Buddha, tidak
ada yang menyamaimu sebagai penyumbang empat kebutuhan.
Persembahanmu yaitu yang terbesar.”
Meskipun Yang Mulia Mahà moggaliputta Tissa berkata demikian,
persembahan Asoka dilakukan atas kehendaknya sendiri dan
tidak ada pihak lain yang menyainginya dan sebab itu tidak perlu
disebutkan sebagai jenis dà na sadisa atau asadisa. Persembahan
Passenadã Kosala dilakukan dalam sebuah persaingan dengan
3212
para warga (Sà vatthã) dan sebab itu disebut ‘asadisa dà na’,
persembahan tanpa tandingan.
Semua persembahan lainnya yang bersifat biasa yang tidak sulit
dilakukan juga tidak besar, hanya pemberian biasa, disebut sà ma¤¤a
dà na.
Sebagai tambahan, ada pengelompokan lain dari Dhamma dà na
yang disebutkan dalam Kitab Vinaya Parivà ra dan komentarnya,
yaitu:
1. memberi kepada Saÿgha, pemberian yang dinyatakan melalui
ucapan untuk dipersembahkan kepada Saÿgha,
2. memberi kepada pagoda, pemberian yang dinyatakan melalui
ucapan untuk dipersembahkan kepada pagoda,
3. memberi kepada individu, pemberian yang dinyatakan
melalui ucapan untuk dipersembahkan kepada individu.
Semua ini disebut dhammika dà na, persembahan yang dilakukan
sehubungan dengan Dhamma. (Penjelasan lebih lanjut atas jenis-
jenis persembahan ini akan dijelaskan lalu dalam sembilan
pemberian Adhammika dà na.)
Jenis-Jenis DÃ na Dalam Kelompok Empat
Kitab tidak menyebutkan jenis persembahan apa pun dalam
kelompok empat. Tetapi Vinaya mencantumkan empat jenis
kebutuhan yang dapat dipersembahkan, yaitu:
(1) Persembahan jubah atau bahan jubah (cãvara dà na).
(2) Persembahan makanan (piõóapà ta dà na).
(3) Persembahan tempat tinggal (senà sana dà na), dan
(4) Persembahan obat-obatan (bhesajja dà na).
Persembahan juga dapat dikelompokkan menjadi empat berdasarkan
kemurnian si penyumbang dan si penerima, yaitu:
(1) DÃ na di mana si penyumbang memiliki moralitas tetapi si
3213
1
penerima tidak,
(2) DÃ na di mana si penerima memiliki moralitas tetapi si
penyumbang tidak,
(3) DÃ na di mana si penyumbang dan si penerima tidak bermoral,
dan
(4) DÃ na di mana si penyumbang dan si penerima memiliki
moralitas.
Jenis-Jenis DÃ na Dalam Kelompok Lima
Kà ladà na Sutta dalam Sumanà Vagga, Pa¤caka Nipà ta, Aïguttara
Nikà ya menyebutkan lima jenis pemberian berikut ini yang dapat
diberikan pada waktu yang tepat:
(1) Pemberian kepada seorang tamu,
(2) Pemberian kepada seseorang yang hendak melakukan
perjalanan,
(3) Pemberian kepada seseorang yang sakit,
(4) Pemberian yang diberikan pada saat kekurangan, dan
(5) Pemberian hasil pertanian yang baru dipanen kepada mereka
yang memiliki kebajikan.
Jenis kelima berhubungan langsung dengan para petani, tetapi
harus dimengerti bahwa ini juga termasuk penghasilan pertama
dari bekerja yang dipersembahkan sebagai dà na sebelum
memakai nya untuk diri sendiri.
Lima Jenis Asappurisa DÃ na
Terdapat lima jenis pemberian yang dilakukan oleh orang-orang
yang tidak memiliki kebajikan:
(1) DÃ na yang dilakukan tanpa memerhatikan bahwa barang-
barang yang akan dipersembahkan telah dipersiapkan dengan
baik, segar, baik, dan bersih;
(2) DÃ na yang di lakukan tanpa penghor matan atau
pertimbangan;
(3) DÃ na yang dilakukan tanpa memberi langsung dengan
3214
kedua tangan sendiri; (misalnya, dà na yang diberikan
oleh Raja Pà yà si* yang bukan dengan tangannya sendiri
melainkan dengan tangan pelayannya Uttara.) (*Catatan:
Pà yà si, kepala suku di Setavya di kerajaan Kosala, terlahir
kembali di Alam Catumahà rà jika sebagai hasil dari pemberian
yang dilakukan sewaktu di alam manusia. Ia menceritakan
kehidupan lampaunya kepada Mahà thera Gavaÿpati yang
datang berkunjung. Ia mengatakan bahwa ia memberi
persembahan tanpa mempersiapkan dengan saksama, tidak
dengan tangannya sendiri, tanpa pikiran baik, hanya sebagai
sesuatu yang dibuang; sebab itu ia terlahir kembali di alam
terendah dari enam alam surga.





.jpeg)
.jpeg)





