Tampilkan postingan dengan label Kosmologi Hindu 2. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kosmologi Hindu 2. Tampilkan semua postingan

Kosmologi Hindu 2

 


Kosmologi Hindu pada intinya merupakan ajaran yang mengajarkan tentang 

konsep asal usul penciptaan alam beresta isinya serta perkembangannya dengan 

menempatkan Tuhan/Ida Sang hyang Widhi Wasa yang kerap disebut jiwa Semesta 

sebagai asal mula alam semesta. Jiwa semesta itu sudah ada jauh-jauh sebelum alam 

semesta ini ada. Untuk memahami keterkaitan antara Tuhan sebagai pencipta dan alam 

semesta ini sebagai ciptaan-Nya ada empat status Tuhan Yang Maha Nyata, yang harus 

dipahami oleh manusia terlebih dahulu yaitu: (1) Tuhan “Yang Mutlak”, (2) Īśvara

“Jiwa Yang Berkemampuan” (3) Jiwa Alam Semesta (4) Jagad Raya “Alam Semesta”. 

Beginilah para pemikir timur menafsirkan sifat dari Yang Nyata dan Maha Tinggi. 

Mandukya Upanisad menguraikan bahwa Brahman adalah catuspat berkaki empat. 

Dalam bagian keempat kitab Taitriya Upanisad menjelaskan perumpamaan tentang tri￾suparna yaitu Tuhan Yang Maha Mutlak dianggap sebagai “sarang” yang dari padanya 

muncul “tiga ekor burung” yaitu : 1) Viraj, 2) Hiranya-garbha, 3) Īśvara. Sedangkan 

Brahma yang mutlak dibayangkan berada pada dirinya sehingga bebas dari ciptaan 

apapun.

Kosmologi Hindu terkait dengan keberadaan palinggih kiwa tengen pada mandala 

keeman Pura Agung Besakih. Susunan pembagian struktur Pura Agung Besakih yang 

terdiri dari tujuh mandala menyerupai konsep penciptaan dunia yang berawal dari 

kosong atau sunia pada mandala ke tujuh. Selain itu dalam sarana yang digunakan yang 

berupa banten yang banyak mengandung arti dalam simbol-simbol yang digunakan 

yang menggambarkan seluruh isi jagat raya ini. 

Rincian banten yang dipergunakan dalam upacara ngetiban, odalan pengenen 

sasih serta purnama dan tilem pada palinggih kiwa tengen menunjukkan beberapa 

sarana yang dipergunakan merupakan simbol-simbol dari alam semesta sehingga dalam 

banten yang dipergunakanpun terdapat makna kosmologi yang terkandung di dalamnya. 

Salah satu upakara yang dipersembahkan pada palinggih kiwa tengen saat upacara 

ngatiban Bhatara Turun Kabeh yaitu Sesayut Turun Sembilan (pengulapan, 

pengambeyan, puncak manik, penuku, sidakarya, kasunaran, kayu sakti, nagasari, 

sudamala. Sembilan sesayut yang dipersembahkan melambangkan sembilan penjuru 

arah angin yang meliputi Dewata Nawa Sanga. Sehingga dalam sesayut yang 

dipersembahkan pun ada makna kosmologi yang terkandung didalamnya.




Agama Hindu memiliki tempat suci untuk melakukan persembahyangan yang 

disebut dengan pura. Tempat suci agama Hindu tersebut jumlahnya sangat banyak di 

wilayah Bali. Keberadaan jenis pura yang jumlahnya banyak itu erat kaitannya dengan 

jenis dan fungsi dalam kehidupan masyarakat Bali atau profesi yang dianutnya, 

sehingga pura-pura yang ada di Bali banyak jumlahnya, oleh karena itu tepatlah 

predikat yang diberikan oleh masyarakat luar Bali bahwa Bali sebagai pulau seribu 

pura.

Pura sebagai tempat suci agama Hindu mempunyai fungsi sebagai tempat untuk 

menghadap kehadapan Tuhan Yang Maha Esa beserta manifestasinya, sebagai tempat 

suci untuk menstanakan dan memuja dwata dwati yang telah meninggal. Pura selain 

sebagai tempat seperti itu juga seringkali pura dipergunakan untuk kegiatan sosial 

seperti tempat untuk istirahat jika ada umat bepergian jauh, berdharmatula dalam 

kegiatan memajukan intelektual umat, serta sebagai tempat untuk menyampaikan

perasaan masing-masing dan sebagai media pendidikan. 

Keberadaan jenis pura yang jumlahnya demikian banyak erat kaitannya dengan 

jenis dan fungsi dalam kehidupan masyarakat Bali atau profesi yang dianutnya, dengan 

demikian pura yang ada di Bali banyak jumlahnya. Pada setiap pura akan terdapat 

palinggih, maka tidak mengherankan bila pura dan palinggih adalah satu kesatuan yang 

tidak dapat dipisahkan. Palinggih berasal dari kata linggih yang bersinonim dengan kata 

lingga, merupakan simbol penyembahan terhadap Åšiva dengan alasnya disebut Yoni 

(Sutjaja,2003: 219). Jadi palinggih adalah bangunan suci yang berdiri tegak yang 

dengan sengaja dibangun oleh umatnya untuk dapat lebih mendekatkan dirinya pada 

sang pencipta. 

Pura Besakih sebagai pura yang sangat disucikan oleh umat Hindu sebagai Pura 

yang paling besar di Bali terletak di Kabupaten Karangasem memiliki sejarah dan 

riwayat yang begitu besar terhadap perjalanan umat Hindu di Bali. Pura Besakih dalam 

kesehariannya begitu banyak dikunjungi oleh umat untuk bersembahyang dan 

melakukan ritial lainnya. Pura Penataran Agung Besakih dikenal dengan istilah Sari 

Padma Bhuwana dalam wujud yang dilambangkan sebagai pusatnya dunia yang 

disimbulkan berbentuk bunga teratai. Pura Agung Besakih menjadi terkenal karena 

terdiri dari beberapa komplek bangunan yang begitu luas, sehingga dikenal dengan 

sebutan pusatnya pura yang ada di Bali (Fox, 2010: xi). Lokasi atau tempat yang paling luas keberadaannya diantara pura-pura yang ada 

di komplek pura besakih adalah pura Pura Penataran Agung Besakih yang terletak 

lereng Gunung Agung yaitu Gunung tertinggi di Bali, tepatnya di Desa Besakih, 

Kecamatan Rendang Kabupaten Karangasem, Bali. Pura Agung Besakih terdiri dari satu 

Pura pusat yaitu Pura Penataran Agung Besakih dan delapan belas Pura Pendamping 

yaitu satu Pura Basukian dan tujuh belas Pura lainnya. Keberadaan Pura Besakih 

merupakan peninggalan sejarah yang sangat tua, karena bisa dilihat dari keberadaan 

yang menyertai pura yang terbesar di Bali ini berupa banyaknya peninggalan–

peninggalan dari zaman megalitik, seperti pemujaan dari batu yang dikenal dengan 

menhir, tahta batu, struktur teras piramid yang ditemukan di kompleks bangunan suci 

Pura Besakih.

Tempat suci Penataran Agung digambarkan simbol dari dunia ini, di jelaskan 

bahwa Pura Penataran Agung Besakih merupakan sari Padma Bhuwana kalau dilihat 

secara horizontal, yaitu berdasarkan arah mata angin. Sedangkan dari sudut pandang 

vertikal maka dunia ini terdiri dari tiga lapisan. Alam bawah terdiri dari tujuh lapisan 

juga disebut “sapta patala, yaitu Patala, W a t a l a , N i t a l a , Mahatala, S u t a l a , 

Tala-tala, dan Rasa tala. Alam tengah juga terdiri dari tujuh pulau yang terkenal 

dengan nama sapta dwipa dan sapta sagara. Demikian juga alam atas terdiri dari tujuh 

lapisan yang di sebut dengan istilah sapta loka, yaitu Bhur Loka, Bhuwah Loka, Swah 

Loka, Maha Loka, Jana Loka, Tapa Loka, dan Satya Loka” (Sandika, 2011: 80). 

Penataran Agung Besakih selain memiliki keunikan dengan tujuh tingkatan atau 

yang dikenal dengan sapta mandala. Ajaran agama Hindu percaya bahwa Tuhan 

merupakan zat tertinggi dan sebagai sumber segalanya. Semua yang ada adalah ciptaan 

Tuhan, beliau tidak dapat diraba, ditangkap dan dilihat oleh indria, tapi kebesarannya 

dapat dibuktikan dengan jelas apabila kita menelusuri keberadaan benda-benda dan 

mahluk yang beraneka ragam di dunia ini. Semua mengagumkan dan tentu berasal dari 

sumbernya yaitu Tuhan. Dalam kitab suci Hindu ada disebutkan tentang salah satu asal 

alam semesta.

Tuhan menciptakan dunia ini dengan segala isinya baik yang diam maupun yang 

bergerak. Tuhan mengendalikan semua benda-benda tersebut dan kesemuanya tentunya 

memiliki guna. Begitu juga manusia sebagai benda ciptaan Tuhan yang disebut mahkluk 

yang dilengkapi akal budi. Maka di dalam rasa dan kemauannya, manusia ingin 

mengetahui keberadaan Tuhan. Karenanya banyak orang yang menginginkan untuk bertemu dengan pencipta dunia ini. Berbagai cara dilakukan orang untuk mendekatkan 

diri pada Tuhan, baik dengan memuja, menyanyikan nyanyian suci (kirtanam), bekerja 

sambil memikirkan Tuhan, dan dalam tidur pun manusia akan mencari Tuhan dan 

menempatkan posisinya pada penyerahan segalanya kepada sang pencipta.

Pemujaan Tuhan dalam konsep Rwa Bhineda adalah untuk mendapatkan 

kehidupan yang subur demi berlanjutnya Tri Kona itu. Artinya berlanjutnya proses 

penciptaan (Utpati), pemeliharaan dan perlindungan (Stithi) dan kembalinya ke asal 

(Pralina). Di Pura Penataan Agung Besakih dilukiskan dengan keberadaan dua 

palinggih kembar Kiwa dan Tengen pada mandala keenam, pada mandala selanjutnya 

dari yang kelima sampai yang ketiga dilukiskan berbagai hal yang diciptakan oleh 

Tuhan. Bhuwana Agung maupun di Bhuwana Alit beserta isinya semua diciptakan oleh 

Tuhan yang diawali dari Sunia Loka dengan dua unsur yaitu Purusa dan Pradhana. 

Tentunya penciptaan ini tidak akan terjadi apabila kekuatan Purusa dan Pradhana itu 

tidak seimbang adanya. Inilah tujuan utama Palinggih Kiwa Tengen dibuat seperti 

bangunan kembar. Karena unsur rohani dan jasmani yang bersinergilah akan membawa 

terjadinya penciptaan. Dari pemujaan di palinggih kembar ini diharapkan muncul suatu 

motivasi untuk berbuat nyata menguatkan secara seimbang antara pembangunan rohani 

dan pembangunan fisik material.

Metode

Penelitian tentang keberadaan pura Kiwa Tengen ini merupakan penelitian 

kualitatif dengan design penelitian yang terfokus pada observational case studies.

Penelitian ini dilakukan di Pura Besakih, Karangasem. Di dalam komplek bangunan 

pura Besakih terdapat pemujaan berupa simbul dalam Hindu dikenal ajaran 

Rwabhineda, pada palinggih Kiwa Tengen. Hal tersebut yang menyebabkan dunia ini 

tidak pernah mutlak ada orang baik dan benar sepenuhnya. Demikian juga ada orang 

jahat, buruk dan tidak benar sepenuhnya. Hal ini merupakan kondisi alamiah kehidupan 

di dunia. Subyek penelitian adalah masyarakat yang mengempon keberadaan pura 

Besakih. Informan dipilih berdasarkan kemampuan dari seseorang yang dianngap 

mampu memberikan penjelasan dari kondisi Pura Kiwa Tengen. Teknik pengumpulan 

data dilakukan dengan observasi langsung dilapangan, disamping melakukan 

wawancara yang mendalam terhadap para informan, dan studi kepustakaan yang 

berkaitan dengan masalahnya. Analisis data menggunakan analisis data kualitatif.Pada dasarnya umat Hindu melaksanakan upacara keagamaan dengan tujuan 

untuk mencari keseimbangan hidup antara ciptaan dengan penciptaNya, antara manusia 

dengan sesame ciptaanNya, manusia dengan dimana dia berada. Dua hal yang menjadi 

kecenderungan sifat manusia yaitu berbuat baik dan berbuat buruk. Dalam hal ini ajaran 

agama senantiasa menganjurkan agar manusia senantiasa berbuat kebaikan dan 

melangkah sesuai dengan ajaran Tuhan, serta berusaha menjauhi aktivitas yang 

bertentangan dengan ajaran Tuhan sebagaimana dalam agama Hindu. Sebagai contoh 

misalnya agama Hindu menganjurkan umatnya untuk selalu berbuat kebajikan seperti 

kasih sayang, berkata yang benar, menepati janji, hormat kepada orang lain, dan jujur. 

Sebaliknya agama Hindu juga menganjurkan agar umatnya tidak melakukan perbuatan 

jahat yang dilarang Tuhan seperti: berbohong, menfitnah, berjudi, dengki, iri hati, 

tamak, mabuk, dan sebagainya (Sura, 1985:25).

Ajaran hukum karma sebagai salah satu pokok-pokok keimanan agama Hindu 

menjelaskan bahwa segala perbuatan makhluk hidup di dunia ini baik atau buruk akan 

selalu membuahkan hasil. Perbuatan baik akan menghasilkan buah kebaikan, sedangkan 

perbuatan yang kurang baik akan menghasilkan yang hasil yang tidak baik juga; sesuatu 

yang dapat dirasakan langsung dalam tidak terlalu lama, bisa juga mendapatkan hasil 

yang memakan waktu tidak sedikit atau lama; bahkan pada masa kehidupan yang akan 

datang (Punyatmadja, 1992:63). Moksa, pada saat jiwa mendapatkan kebahagiaan hidup 

yang abadi karena jiwatman (roh) dapat bersatu dengan Paramàtman/Tuhan, merupakan 

dambaan setiap umat Hindu. Untuk mencapai cita-cita pendakian spiritual tertinggi 

tersebut, umat Hindu dapat melaksanakannya melalui ajaran agama; baik melalui jalur 

tattwa (filsafat), upacara (ritual), maupun prilaku yang dibenarkan agama (etika).

Konsep Rwa Bhinneda, merupakan suatu ajaran dalam agama Hindu dalam 

kesehariannya tidak secara langsung ada kaitannya dengan tingkah laku perbuatan atau 

karma. Secara umum konsep dua hal yang berbeda ini (Rwa Bhinneda) mempunyai 

sesuatu yang bersifat yang rahasia dan esensial. Tidak semua yang Nampak dalam 

kehidupanya nyata di dunia ini dan yang bertentangan disebut dengan rwa bhinneda. Kata rwa bhinneda disusun oleh kata Rwa dan Bhinneda, yang mempunyai makna 

“Rwa” artinya dua, serta Bhinneda mengandung arti hal yang tidak sama. Dengan 

demikan rwa bhinneda bisa diartikan, bahwa setiap dua hal yang tidak sama/berbeda 

serta nampak bertentangan diistilahkan dengan rwa bhinneda. Sehingga sebutan 

Sanghyang Rwa Bhinneda bisa didefinisikan menjadi suatu perwujudan rasa hormat 

atau bhakti kepada dewa dalam manifestasi beliau sebagai Rwa Bhinneda dalam 

perwujudan purusa dan pradhana.

Keberadaan Palinggih Purusa Pradana di tingkat ke keenam Pura Penataran 

Agung Besakih adalah suatu konsep dalam memuja Hyang Maha Kuasa yang 

mempunyai fungsi sebagai pencipta alam yang berbentuk jiwa Purusa serta Pradhana. 

Purusa sebagai unsur kejiwaan terhadap hal-hal yang berhubungan dengan semua 

mahluk di dunia. Konsep Pradhana sebagai unsur yang nyata dari semua ciptaan Ida 

Sang Hyang Widhi Wasa. Adanya kejiwaan dan kebendaan inilah yang disebut hukum 

Rwa Bhinneda ciptaan Hyang Maha Kuasa inilah yang akan mendukung keberadaan di 

dunia sekala dan niskala ini berakibat ada dua hal yang berbeda dan bertentangan 

misalnya siang malam, hitam putih dan sebagainya dalam hal ini berdimensi serba dua. 

Keberadaan semua hal ini yang mengakibatkan terjadinya semua ciptaan Ida Sang 

Hyang Widhi Wasa ada dalam kodrat Rwa Bhineda. Jika keberadaan konsep Purusa 

dalam kondisi yang baik dan memenuhi unsur Pradhana maka terjadinya di dunia ini 

pun menjadi tentram, kertarahaja dan lohjinawi. Sloka 6 dalam kitab Wrehaspati 

Tattwa disebutkan.

Dvividan tatvan

Cetanam cetananca

Vyapnoti sarva tattesu

Suksmunneyam taynatah

Terjemahannya : 

Inilah tatwa itu ketahuilah olehmu yaitu cetana dan acetana. Cetana bersifat tahu, 

mengetahui dengan tidak terkenan lupa, tenang dan senantiasa tetap selamanya, 

tak terhalang. Itulah yang disebut cetana. Acetana artinya tanpa pengetahuan 

seperti wujudnya batu. Itulah yang disebut acetana. Bertemunya cetana dengan 

acetana melahirkan berbagai tatwa seperti Pradhana Tatwa, Triguna Tatwa, 

Buddhi Tatwa, Ahangkara Tatwa, Bahyendrya Tatwa, Karmendriya Tatwa dan 

Panca Maha Bhuta Tatwa (Wrhaspati Tatwa,1994: 18-19).Konsep dua hal yang berbeda ini, sebenarnya secara harfiah membahas sesuatu 

yang nyata dan tidak nyata keberadaannya di dunia ini. Ajaran Rwa Bhinneda ini dalam 

kenyataannya membahas melampaui batashal-hal yang menjadi pemikiran kita. Artinya 

hal-hal yang dibahas dalam kontek tersebut menyangkut hakikat dan esensial tentang 

kehidupan di dunia ini yaitu Ang dan Ah. Ang dengan Ah adalah asal (orang tua) 

aksara. Sebagaimana dalam kitab Siwagama, Ang Ah inilah yang bermakna dengan 

sebutan Sanghyang Rwa Bhinneda, sebagai asalnya (orang tua) aksara. Ang adalah 

angkasa/alam atas, Ah adalah prathiwi/alam bawah tempat kita berada. Akasa adalah 

bapak/laki-laki, sedangkan prethiwi adalah ibu/perempuan.

Jika unsur laki-laki lebih dominan dari perempuan maka keberadaan kehidupan 

keseharian manusia di alam semesta ini akan mengarah pada jalan kebenaran. 

Sedangkan jika unsur perempuan begitu besar dari laki-laki maka perilaku manusia 

akan mengarah pada unsur keburukan. Ida Sanghyang Widhi Wasa sebagai pencipta 

kehidupan di pura Kiwa dan Tengen itu untuk memohon agar dalam kehidupan ini 

senantiasa dapat meninggikan kekuatan Purusa di atas Pradhana. Keadaan ini sangat 

diharapkan dalam kehidupan di dunia ini atau unsur hakiki dan unsur ke sekala/nyata 

senantiasa bersinergi secara proporsional, sehingga dalam hidup ini terjadi 

keseimbangan yang dapat menimbulkan keharmonisan baik secara lahir maupun bathin. 

Karena itulah umat diajarkan agar memuja Sanghyang pencipta alam semesta sebagai 

pencipta keharonisan yang seimbang. Karena segala kegiatan dalam bentuk seperti 

apapun yang diupayakan oleh manusia tanpa karunia Sang Pencipta akan sulit berhasil. 

Yang lebih baik lagi adalah pemujaan kepada sang Pencipta yang melahirkan sikap 

hidup yang benar-benar seimbang untuk membina kehidupan jiwa dan raga. Dari 

kehidupan yang seimbang itu akan terbangun manusia yang berguna untuk membentuk 

masyarakat yang sejahtera lahir maupun bathin. Sebelum terjadinya alam semesta yang 

ada hanyalah ruang hampa. Di dalam Regveda dijelaskan sebagai berikut: 

nasad asitro sad asit tadanim nasid rajo no vyoma paro yat kim avariyah kuha 

kasya sarma trambhah kim asid amrtam na tarhi na ratya ahna asit praketah anid 

avatam svadhaya tad ekam tasmad dhanyam na parah kim canasa.

Terjemahannya:

Pada mulanya tidak ada yang tidak nyata maupun yang nyata, tidak ada udara 

tidak ada langit, apa yang menyelimutri dan dimana, apakah ada cair, tidak 

terduga dan dalam. Pada masa itu tidak ada kematian, tidak ada siang dan juga tidak ada malam, yang tunggal bernafas di hampa udara dengan kekuatan dalam 

diri, diluar tidak ada apa-apa sama sekali.

Lima hal sebagai pokok-pokok keimanan dalam agama Hindu yang dikenal 

dengan Panca Srada, sebagai berikut.

1) Yakin dengan adanya Tuhan (Widhi Srada).

2) Yakin dengan adanya hukum karma phala (Karma Phala Srada).

3) Yakin dengan adanya penjelmaan kembali (Punarbhawa/Samsara Srada).

4) Yakin dengan adanya roh dalam setiap makhluk (Atman Srada).

5) Yakin akan adanya kehidupan abadi terbebas dari belenggu duniawi (Moksha 

Srada) (Punyatmadja, 1992:33—89). 

Pengamalan dari pokok-pokok keimanan Hindu tersebut di atas, terlihat dari 

penyelenggaraan berbagai aktivitas budaya Hindu di Bali; baik yang tergolong tattwa

(filsafat), upacara atau ritual, maupun prilaku (etika). Penyelenggaraan aktivitas 

keagamaan masyarakat Hindu di Bali khususnya dilakukan dengan penyatuan antara 

pikiran dan gerak, sehingga penyatuan sangat penting dalam pelaksanaan ritual 

keagamaan di Bali disamping juga dipengaruhi oleh keyakinan yang logis.

Dalam penyatuan ini berkaitan erat dengan Pura Batur yang merupakan Pradhana

sedangkan Pura Besakih merupakan Purusa. Pura Batur sebagai lambang kesuburan 

sedangkan Pura Besakih sebagai pemerintahan yang memegang Jiwa mahluk hidup. 

Sehingga pada saat Upacara Bhatara Turun Kabeh di Pura Besakih umat yang datang 

untuk melakukan persembahyangan terlebih dahulu melakukan pesembahyangan ke 

Pura Batur setalah itu baru dilanjutkan dengan melakukan persembahyangan di Pura 

Besakih. Hal ini menunjukkan bahwa umat percaya bahwa ada kaitan antara Purusa

serta Pradhana yang sangat menyatu keberadaannya.

Konsep Panca Maha Bhuta dan Panca Tan Mantra mendapat perhatian kita. 

Panca Maha Bhuta terdiri atas Pratiwi, apah, teja, bayu dan akasa. Komponen itu 

merupakan unsur dari alam semesta, ini juga merupakan objek indria manusia. 25 

tattwa sebagaimana yang diajarkan dalam Samkhya Yoga dapat dipandang sebagai suatu 

sistem alam semesta, terdiri dari 5 unsur Panca maha Bhuta, 5 unsur Panca Tan Mantra, 5 unsur Panca Budhhi indria, 5 unsur Panca Karma Indria dan ditambah 

dengan manah, ahamkara, budhi, purusa dan pradhana. 

Simbol Purusa Pradhana dalam tradisi agama Hindu di Bali ini disimbolkan 

dalam skala kecil dan luas. Untuk tingkat daerah Bali di mana Bali disimbolkan sebagai 

Padma Bhuwana unsur Purusa-nya adalah Pura Besakih dan unsur Pradhana -nya 

adalah Pura Batur. Pura Besakih dan Pura Batur disebut juga Pura Rwa bhineda. Dalam 

sarana upakara disimbolkan juga dalam puja pangenter banten penyeneng. Rohaniwan 

saat memanjatkan puja untuk banten panyeneng menggunakan puja awal: Om Kaki 

penyeneng, nini menyeneng. Dalam puja ini ada istilah ''kaki penyeneng'' dan ''nini 

menyeneng''. Dari pertemuan Kaki dan Nini inilah terjadi kehidupan yang dalam puja 

disebut ''penyeneng''. Nyeneng dalam bahasa Bali halus artinya ''hidup''. Artinya hidup 

itu akan terjadi dan berlanjut apabila Kaki dan Nini penyeneng itu bertemu dengan 

sebaik-baiknya. Dalam puja banten penyeneng inilah hidup ini dinyatakan sebagai 

media untuk merealisasikan konsep Tri Kona dengan memuja Sang Hyang Tri Murti.

Sehingga jelas sekali dengan adanya penyatuan maka akan dapat tercipta dunia ini

(Wiana, 2009:102-103). Pemujaan Tuhan sebagai penciptaan Purusa dan Pradhana 

adalah untuk mendapatkan kehidupan yang subur demi berlanjutnya Tri Kona itu. 

Artinya berlanjutnya proses penciptaan (Utpati), pemeliharaan dan perlindungan Stithi

dan Pralina. Karena itu di Pura Penataan Agung Besakih akan dilukiskan bahwa setelah 

dua palinggih kembar Kiwa dan Tengen. Pada mandala keenam, maka pada mandala

selanjutnya dari yang kelima sampai yang ketiga akan dilukiskan berbagai hal yang 

diciptakan oleh Tuhan .

Bhuwana Agung maupun di Bhuwana Alit beserta isinya semua diciptakan oleh 

Tuhan yang di awali dari Sunia Loka dengan dua unsur yaitu Purusa dan Pradhana. 

Tentunya penciptaan ini tidak akan terjadi apabila kekuatan Purusa dan Pradhana itu 

seimbang adanya. Inilah tujuan utama Palinggih Kiwa dan Tengen dibuat seperti 

bangunan kembar. Karena unsur rohani dan jasmani yang bersinergilah akan membawa 

terjadinya penciptaan. Dari pemujaan di palinggih kembar ini diharapkan muncul suatu 

motivasi untuk berbuat nyata menguatkan secara seimbang antara pembangunan rohani 

dan pembangunan fisik material


Kosmologi Hindu pada Palinggih Kiwa Tengen, adalah adanya 

unsur keseimbangan pada pemujaan Ida Sang Hyang Widhi 

Wasa sebagai maha kuasa alam semesta dalam hal menjadikan 

keseimbangan hidup di dunia dan akhirat. Ajaran agama inilah 

sebagai sumber keseimbangan hidup dan berkesinambungan 


lahir batin. Selanjutnya adanya unsur penyatuan Bhuwana 

Agung maupun di Bhuwana Alit beserta isinya semua 

diciptakan oleh Tuhan yang diawali dari Sunia Loka dengan 

dua unsur yaitu Purusa dan Pradhana. Kosmologi Hindu ini 

dapat lebih memahami terkait dengan konsep penciptaan jagat 

raya atau alam semesta ini.Dalam konsep pura di besakih 

bentuk serta struktur pura yang bertingkat-tingkat dengan tujuh 

tingkatan atau mandala merupakan refleksi dari penciptaan 

dunia ini.