Kosmologi Hindu pada intinya merupakan ajaran yang mengajarkan tentang
konsep asal usul penciptaan alam beresta isinya serta perkembangannya dengan
menempatkan Tuhan/Ida Sang hyang Widhi Wasa yang kerap disebut jiwa Semesta
sebagai asal mula alam semesta. Jiwa semesta itu sudah ada jauh-jauh sebelum alam
semesta ini ada. Untuk memahami keterkaitan antara Tuhan sebagai pencipta dan alam
semesta ini sebagai ciptaan-Nya ada empat status Tuhan Yang Maha Nyata, yang harus
dipahami oleh manusia terlebih dahulu yaitu: (1) Tuhan “Yang Mutlak”, (2) Īśvara
“Jiwa Yang Berkemampuan” (3) Jiwa Alam Semesta (4) Jagad Raya “Alam Semesta”.
Beginilah para pemikir timur menafsirkan sifat dari Yang Nyata dan Maha Tinggi.
Mandukya Upanisad menguraikan bahwa Brahman adalah catuspat berkaki empat.
Dalam bagian keempat kitab Taitriya Upanisad menjelaskan perumpamaan tentang trisuparna yaitu Tuhan Yang Maha Mutlak dianggap sebagai “sarang” yang dari padanya
muncul “tiga ekor burung” yaitu : 1) Viraj, 2) Hiranya-garbha, 3) Īśvara. Sedangkan
Brahma yang mutlak dibayangkan berada pada dirinya sehingga bebas dari ciptaan
apapun.
Kosmologi Hindu terkait dengan keberadaan palinggih kiwa tengen pada mandala
keeman Pura Agung Besakih. Susunan pembagian struktur Pura Agung Besakih yang
terdiri dari tujuh mandala menyerupai konsep penciptaan dunia yang berawal dari
kosong atau sunia pada mandala ke tujuh. Selain itu dalam sarana yang digunakan yang
berupa banten yang banyak mengandung arti dalam simbol-simbol yang digunakan
yang menggambarkan seluruh isi jagat raya ini.
Rincian banten yang dipergunakan dalam upacara ngetiban, odalan pengenen
sasih serta purnama dan tilem pada palinggih kiwa tengen menunjukkan beberapa
sarana yang dipergunakan merupakan simbol-simbol dari alam semesta sehingga dalam
banten yang dipergunakanpun terdapat makna kosmologi yang terkandung di dalamnya.
Salah satu upakara yang dipersembahkan pada palinggih kiwa tengen saat upacara
ngatiban Bhatara Turun Kabeh yaitu Sesayut Turun Sembilan (pengulapan,
pengambeyan, puncak manik, penuku, sidakarya, kasunaran, kayu sakti, nagasari,
sudamala. Sembilan sesayut yang dipersembahkan melambangkan sembilan penjuru
arah angin yang meliputi Dewata Nawa Sanga. Sehingga dalam sesayut yang
dipersembahkan pun ada makna kosmologi yang terkandung didalamnya.
Agama Hindu memiliki tempat suci untuk melakukan persembahyangan yang
disebut dengan pura. Tempat suci agama Hindu tersebut jumlahnya sangat banyak di
wilayah Bali. Keberadaan jenis pura yang jumlahnya banyak itu erat kaitannya dengan
jenis dan fungsi dalam kehidupan masyarakat Bali atau profesi yang dianutnya,
sehingga pura-pura yang ada di Bali banyak jumlahnya, oleh karena itu tepatlah
predikat yang diberikan oleh masyarakat luar Bali bahwa Bali sebagai pulau seribu
pura.
Pura sebagai tempat suci agama Hindu mempunyai fungsi sebagai tempat untuk
menghadap kehadapan Tuhan Yang Maha Esa beserta manifestasinya, sebagai tempat
suci untuk menstanakan dan memuja dwata dwati yang telah meninggal. Pura selain
sebagai tempat seperti itu juga seringkali pura dipergunakan untuk kegiatan sosial
seperti tempat untuk istirahat jika ada umat bepergian jauh, berdharmatula dalam
kegiatan memajukan intelektual umat, serta sebagai tempat untuk menyampaikan
perasaan masing-masing dan sebagai media pendidikan.
Keberadaan jenis pura yang jumlahnya demikian banyak erat kaitannya dengan
jenis dan fungsi dalam kehidupan masyarakat Bali atau profesi yang dianutnya, dengan
demikian pura yang ada di Bali banyak jumlahnya. Pada setiap pura akan terdapat
palinggih, maka tidak mengherankan bila pura dan palinggih adalah satu kesatuan yang
tidak dapat dipisahkan. Palinggih berasal dari kata linggih yang bersinonim dengan kata
lingga, merupakan simbol penyembahan terhadap Åšiva dengan alasnya disebut Yoni
(Sutjaja,2003: 219). Jadi palinggih adalah bangunan suci yang berdiri tegak yang
dengan sengaja dibangun oleh umatnya untuk dapat lebih mendekatkan dirinya pada
sang pencipta.
Pura Besakih sebagai pura yang sangat disucikan oleh umat Hindu sebagai Pura
yang paling besar di Bali terletak di Kabupaten Karangasem memiliki sejarah dan
riwayat yang begitu besar terhadap perjalanan umat Hindu di Bali. Pura Besakih dalam
kesehariannya begitu banyak dikunjungi oleh umat untuk bersembahyang dan
melakukan ritial lainnya. Pura Penataran Agung Besakih dikenal dengan istilah Sari
Padma Bhuwana dalam wujud yang dilambangkan sebagai pusatnya dunia yang
disimbulkan berbentuk bunga teratai. Pura Agung Besakih menjadi terkenal karena
terdiri dari beberapa komplek bangunan yang begitu luas, sehingga dikenal dengan
sebutan pusatnya pura yang ada di Bali (Fox, 2010: xi). Lokasi atau tempat yang paling luas keberadaannya diantara pura-pura yang ada
di komplek pura besakih adalah pura Pura Penataran Agung Besakih yang terletak
lereng Gunung Agung yaitu Gunung tertinggi di Bali, tepatnya di Desa Besakih,
Kecamatan Rendang Kabupaten Karangasem, Bali. Pura Agung Besakih terdiri dari satu
Pura pusat yaitu Pura Penataran Agung Besakih dan delapan belas Pura Pendamping
yaitu satu Pura Basukian dan tujuh belas Pura lainnya. Keberadaan Pura Besakih
merupakan peninggalan sejarah yang sangat tua, karena bisa dilihat dari keberadaan
yang menyertai pura yang terbesar di Bali ini berupa banyaknya peninggalan–
peninggalan dari zaman megalitik, seperti pemujaan dari batu yang dikenal dengan
menhir, tahta batu, struktur teras piramid yang ditemukan di kompleks bangunan suci
Pura Besakih.
Tempat suci Penataran Agung digambarkan simbol dari dunia ini, di jelaskan
bahwa Pura Penataran Agung Besakih merupakan sari Padma Bhuwana kalau dilihat
secara horizontal, yaitu berdasarkan arah mata angin. Sedangkan dari sudut pandang
vertikal maka dunia ini terdiri dari tiga lapisan. Alam bawah terdiri dari tujuh lapisan
juga disebut “sapta patala, yaitu Patala, W a t a l a , N i t a l a , Mahatala, S u t a l a ,
Tala-tala, dan Rasa tala. Alam tengah juga terdiri dari tujuh pulau yang terkenal
dengan nama sapta dwipa dan sapta sagara. Demikian juga alam atas terdiri dari tujuh
lapisan yang di sebut dengan istilah sapta loka, yaitu Bhur Loka, Bhuwah Loka, Swah
Loka, Maha Loka, Jana Loka, Tapa Loka, dan Satya Loka” (Sandika, 2011: 80).
Penataran Agung Besakih selain memiliki keunikan dengan tujuh tingkatan atau
yang dikenal dengan sapta mandala. Ajaran agama Hindu percaya bahwa Tuhan
merupakan zat tertinggi dan sebagai sumber segalanya. Semua yang ada adalah ciptaan
Tuhan, beliau tidak dapat diraba, ditangkap dan dilihat oleh indria, tapi kebesarannya
dapat dibuktikan dengan jelas apabila kita menelusuri keberadaan benda-benda dan
mahluk yang beraneka ragam di dunia ini. Semua mengagumkan dan tentu berasal dari
sumbernya yaitu Tuhan. Dalam kitab suci Hindu ada disebutkan tentang salah satu asal
alam semesta.
Tuhan menciptakan dunia ini dengan segala isinya baik yang diam maupun yang
bergerak. Tuhan mengendalikan semua benda-benda tersebut dan kesemuanya tentunya
memiliki guna. Begitu juga manusia sebagai benda ciptaan Tuhan yang disebut mahkluk
yang dilengkapi akal budi. Maka di dalam rasa dan kemauannya, manusia ingin
mengetahui keberadaan Tuhan. Karenanya banyak orang yang menginginkan untuk bertemu dengan pencipta dunia ini. Berbagai cara dilakukan orang untuk mendekatkan
diri pada Tuhan, baik dengan memuja, menyanyikan nyanyian suci (kirtanam), bekerja
sambil memikirkan Tuhan, dan dalam tidur pun manusia akan mencari Tuhan dan
menempatkan posisinya pada penyerahan segalanya kepada sang pencipta.
Pemujaan Tuhan dalam konsep Rwa Bhineda adalah untuk mendapatkan
kehidupan yang subur demi berlanjutnya Tri Kona itu. Artinya berlanjutnya proses
penciptaan (Utpati), pemeliharaan dan perlindungan (Stithi) dan kembalinya ke asal
(Pralina). Di Pura Penataan Agung Besakih dilukiskan dengan keberadaan dua
palinggih kembar Kiwa dan Tengen pada mandala keenam, pada mandala selanjutnya
dari yang kelima sampai yang ketiga dilukiskan berbagai hal yang diciptakan oleh
Tuhan. Bhuwana Agung maupun di Bhuwana Alit beserta isinya semua diciptakan oleh
Tuhan yang diawali dari Sunia Loka dengan dua unsur yaitu Purusa dan Pradhana.
Tentunya penciptaan ini tidak akan terjadi apabila kekuatan Purusa dan Pradhana itu
tidak seimbang adanya. Inilah tujuan utama Palinggih Kiwa Tengen dibuat seperti
bangunan kembar. Karena unsur rohani dan jasmani yang bersinergilah akan membawa
terjadinya penciptaan. Dari pemujaan di palinggih kembar ini diharapkan muncul suatu
motivasi untuk berbuat nyata menguatkan secara seimbang antara pembangunan rohani
dan pembangunan fisik material.
Metode
Penelitian tentang keberadaan pura Kiwa Tengen ini merupakan penelitian
kualitatif dengan design penelitian yang terfokus pada observational case studies.
Penelitian ini dilakukan di Pura Besakih, Karangasem. Di dalam komplek bangunan
pura Besakih terdapat pemujaan berupa simbul dalam Hindu dikenal ajaran
Rwabhineda, pada palinggih Kiwa Tengen. Hal tersebut yang menyebabkan dunia ini
tidak pernah mutlak ada orang baik dan benar sepenuhnya. Demikian juga ada orang
jahat, buruk dan tidak benar sepenuhnya. Hal ini merupakan kondisi alamiah kehidupan
di dunia. Subyek penelitian adalah masyarakat yang mengempon keberadaan pura
Besakih. Informan dipilih berdasarkan kemampuan dari seseorang yang dianngap
mampu memberikan penjelasan dari kondisi Pura Kiwa Tengen. Teknik pengumpulan
data dilakukan dengan observasi langsung dilapangan, disamping melakukan
wawancara yang mendalam terhadap para informan, dan studi kepustakaan yang
berkaitan dengan masalahnya. Analisis data menggunakan analisis data kualitatif.Pada dasarnya umat Hindu melaksanakan upacara keagamaan dengan tujuan
untuk mencari keseimbangan hidup antara ciptaan dengan penciptaNya, antara manusia
dengan sesame ciptaanNya, manusia dengan dimana dia berada. Dua hal yang menjadi
kecenderungan sifat manusia yaitu berbuat baik dan berbuat buruk. Dalam hal ini ajaran
agama senantiasa menganjurkan agar manusia senantiasa berbuat kebaikan dan
melangkah sesuai dengan ajaran Tuhan, serta berusaha menjauhi aktivitas yang
bertentangan dengan ajaran Tuhan sebagaimana dalam agama Hindu. Sebagai contoh
misalnya agama Hindu menganjurkan umatnya untuk selalu berbuat kebajikan seperti
kasih sayang, berkata yang benar, menepati janji, hormat kepada orang lain, dan jujur.
Sebaliknya agama Hindu juga menganjurkan agar umatnya tidak melakukan perbuatan
jahat yang dilarang Tuhan seperti: berbohong, menfitnah, berjudi, dengki, iri hati,
tamak, mabuk, dan sebagainya (Sura, 1985:25).
Ajaran hukum karma sebagai salah satu pokok-pokok keimanan agama Hindu
menjelaskan bahwa segala perbuatan makhluk hidup di dunia ini baik atau buruk akan
selalu membuahkan hasil. Perbuatan baik akan menghasilkan buah kebaikan, sedangkan
perbuatan yang kurang baik akan menghasilkan yang hasil yang tidak baik juga; sesuatu
yang dapat dirasakan langsung dalam tidak terlalu lama, bisa juga mendapatkan hasil
yang memakan waktu tidak sedikit atau lama; bahkan pada masa kehidupan yang akan
datang (Punyatmadja, 1992:63). Moksa, pada saat jiwa mendapatkan kebahagiaan hidup
yang abadi karena jiwatman (roh) dapat bersatu dengan Paramà tman/Tuhan, merupakan
dambaan setiap umat Hindu. Untuk mencapai cita-cita pendakian spiritual tertinggi
tersebut, umat Hindu dapat melaksanakannya melalui ajaran agama; baik melalui jalur
tattwa (filsafat), upacara (ritual), maupun prilaku yang dibenarkan agama (etika).
Konsep Rwa Bhinneda, merupakan suatu ajaran dalam agama Hindu dalam
kesehariannya tidak secara langsung ada kaitannya dengan tingkah laku perbuatan atau
karma. Secara umum konsep dua hal yang berbeda ini (Rwa Bhinneda) mempunyai
sesuatu yang bersifat yang rahasia dan esensial. Tidak semua yang Nampak dalam
kehidupanya nyata di dunia ini dan yang bertentangan disebut dengan rwa bhinneda. Kata rwa bhinneda disusun oleh kata Rwa dan Bhinneda, yang mempunyai makna
“Rwa” artinya dua, serta Bhinneda mengandung arti hal yang tidak sama. Dengan
demikan rwa bhinneda bisa diartikan, bahwa setiap dua hal yang tidak sama/berbeda
serta nampak bertentangan diistilahkan dengan rwa bhinneda. Sehingga sebutan
Sanghyang Rwa Bhinneda bisa didefinisikan menjadi suatu perwujudan rasa hormat
atau bhakti kepada dewa dalam manifestasi beliau sebagai Rwa Bhinneda dalam
perwujudan purusa dan pradhana.
Keberadaan Palinggih Purusa Pradana di tingkat ke keenam Pura Penataran
Agung Besakih adalah suatu konsep dalam memuja Hyang Maha Kuasa yang
mempunyai fungsi sebagai pencipta alam yang berbentuk jiwa Purusa serta Pradhana.
Purusa sebagai unsur kejiwaan terhadap hal-hal yang berhubungan dengan semua
mahluk di dunia. Konsep Pradhana sebagai unsur yang nyata dari semua ciptaan Ida
Sang Hyang Widhi Wasa. Adanya kejiwaan dan kebendaan inilah yang disebut hukum
Rwa Bhinneda ciptaan Hyang Maha Kuasa inilah yang akan mendukung keberadaan di
dunia sekala dan niskala ini berakibat ada dua hal yang berbeda dan bertentangan
misalnya siang malam, hitam putih dan sebagainya dalam hal ini berdimensi serba dua.
Keberadaan semua hal ini yang mengakibatkan terjadinya semua ciptaan Ida Sang
Hyang Widhi Wasa ada dalam kodrat Rwa Bhineda. Jika keberadaan konsep Purusa
dalam kondisi yang baik dan memenuhi unsur Pradhana maka terjadinya di dunia ini
pun menjadi tentram, kertarahaja dan lohjinawi. Sloka 6 dalam kitab Wrehaspati
Tattwa disebutkan.
Dvividan tatvan
Cetanam cetananca
Vyapnoti sarva tattesu
Suksmunneyam taynatah
Terjemahannya :
Inilah tatwa itu ketahuilah olehmu yaitu cetana dan acetana. Cetana bersifat tahu,
mengetahui dengan tidak terkenan lupa, tenang dan senantiasa tetap selamanya,
tak terhalang. Itulah yang disebut cetana. Acetana artinya tanpa pengetahuan
seperti wujudnya batu. Itulah yang disebut acetana. Bertemunya cetana dengan
acetana melahirkan berbagai tatwa seperti Pradhana Tatwa, Triguna Tatwa,
Buddhi Tatwa, Ahangkara Tatwa, Bahyendrya Tatwa, Karmendriya Tatwa dan
Panca Maha Bhuta Tatwa (Wrhaspati Tatwa,1994: 18-19).Konsep dua hal yang berbeda ini, sebenarnya secara harfiah membahas sesuatu
yang nyata dan tidak nyata keberadaannya di dunia ini. Ajaran Rwa Bhinneda ini dalam
kenyataannya membahas melampaui batashal-hal yang menjadi pemikiran kita. Artinya
hal-hal yang dibahas dalam kontek tersebut menyangkut hakikat dan esensial tentang
kehidupan di dunia ini yaitu Ang dan Ah. Ang dengan Ah adalah asal (orang tua)
aksara. Sebagaimana dalam kitab Siwagama, Ang Ah inilah yang bermakna dengan
sebutan Sanghyang Rwa Bhinneda, sebagai asalnya (orang tua) aksara. Ang adalah
angkasa/alam atas, Ah adalah prathiwi/alam bawah tempat kita berada. Akasa adalah
bapak/laki-laki, sedangkan prethiwi adalah ibu/perempuan.
Jika unsur laki-laki lebih dominan dari perempuan maka keberadaan kehidupan
keseharian manusia di alam semesta ini akan mengarah pada jalan kebenaran.
Sedangkan jika unsur perempuan begitu besar dari laki-laki maka perilaku manusia
akan mengarah pada unsur keburukan. Ida Sanghyang Widhi Wasa sebagai pencipta
kehidupan di pura Kiwa dan Tengen itu untuk memohon agar dalam kehidupan ini
senantiasa dapat meninggikan kekuatan Purusa di atas Pradhana. Keadaan ini sangat
diharapkan dalam kehidupan di dunia ini atau unsur hakiki dan unsur ke sekala/nyata
senantiasa bersinergi secara proporsional, sehingga dalam hidup ini terjadi
keseimbangan yang dapat menimbulkan keharmonisan baik secara lahir maupun bathin.
Karena itulah umat diajarkan agar memuja Sanghyang pencipta alam semesta sebagai
pencipta keharonisan yang seimbang. Karena segala kegiatan dalam bentuk seperti
apapun yang diupayakan oleh manusia tanpa karunia Sang Pencipta akan sulit berhasil.
Yang lebih baik lagi adalah pemujaan kepada sang Pencipta yang melahirkan sikap
hidup yang benar-benar seimbang untuk membina kehidupan jiwa dan raga. Dari
kehidupan yang seimbang itu akan terbangun manusia yang berguna untuk membentuk
masyarakat yang sejahtera lahir maupun bathin. Sebelum terjadinya alam semesta yang
ada hanyalah ruang hampa. Di dalam Regveda dijelaskan sebagai berikut:
nasad asitro sad asit tadanim nasid rajo no vyoma paro yat kim avariyah kuha
kasya sarma trambhah kim asid amrtam na tarhi na ratya ahna asit praketah anid
avatam svadhaya tad ekam tasmad dhanyam na parah kim canasa.
Terjemahannya:
Pada mulanya tidak ada yang tidak nyata maupun yang nyata, tidak ada udara
tidak ada langit, apa yang menyelimutri dan dimana, apakah ada cair, tidak
terduga dan dalam. Pada masa itu tidak ada kematian, tidak ada siang dan juga tidak ada malam, yang tunggal bernafas di hampa udara dengan kekuatan dalam
diri, diluar tidak ada apa-apa sama sekali.
Lima hal sebagai pokok-pokok keimanan dalam agama Hindu yang dikenal
dengan Panca Srada, sebagai berikut.
1) Yakin dengan adanya Tuhan (Widhi Srada).
2) Yakin dengan adanya hukum karma phala (Karma Phala Srada).
3) Yakin dengan adanya penjelmaan kembali (Punarbhawa/Samsara Srada).
4) Yakin dengan adanya roh dalam setiap makhluk (Atman Srada).
5) Yakin akan adanya kehidupan abadi terbebas dari belenggu duniawi (Moksha
Srada) (Punyatmadja, 1992:33—89).
Pengamalan dari pokok-pokok keimanan Hindu tersebut di atas, terlihat dari
penyelenggaraan berbagai aktivitas budaya Hindu di Bali; baik yang tergolong tattwa
(filsafat), upacara atau ritual, maupun prilaku (etika). Penyelenggaraan aktivitas
keagamaan masyarakat Hindu di Bali khususnya dilakukan dengan penyatuan antara
pikiran dan gerak, sehingga penyatuan sangat penting dalam pelaksanaan ritual
keagamaan di Bali disamping juga dipengaruhi oleh keyakinan yang logis.
Dalam penyatuan ini berkaitan erat dengan Pura Batur yang merupakan Pradhana
sedangkan Pura Besakih merupakan Purusa. Pura Batur sebagai lambang kesuburan
sedangkan Pura Besakih sebagai pemerintahan yang memegang Jiwa mahluk hidup.
Sehingga pada saat Upacara Bhatara Turun Kabeh di Pura Besakih umat yang datang
untuk melakukan persembahyangan terlebih dahulu melakukan pesembahyangan ke
Pura Batur setalah itu baru dilanjutkan dengan melakukan persembahyangan di Pura
Besakih. Hal ini menunjukkan bahwa umat percaya bahwa ada kaitan antara Purusa
serta Pradhana yang sangat menyatu keberadaannya.
Konsep Panca Maha Bhuta dan Panca Tan Mantra mendapat perhatian kita.
Panca Maha Bhuta terdiri atas Pratiwi, apah, teja, bayu dan akasa. Komponen itu
merupakan unsur dari alam semesta, ini juga merupakan objek indria manusia. 25
tattwa sebagaimana yang diajarkan dalam Samkhya Yoga dapat dipandang sebagai suatu
sistem alam semesta, terdiri dari 5 unsur Panca maha Bhuta, 5 unsur Panca Tan Mantra, 5 unsur Panca Budhhi indria, 5 unsur Panca Karma Indria dan ditambah
dengan manah, ahamkara, budhi, purusa dan pradhana.
Simbol Purusa Pradhana dalam tradisi agama Hindu di Bali ini disimbolkan
dalam skala kecil dan luas. Untuk tingkat daerah Bali di mana Bali disimbolkan sebagai
Padma Bhuwana unsur Purusa-nya adalah Pura Besakih dan unsur Pradhana -nya
adalah Pura Batur. Pura Besakih dan Pura Batur disebut juga Pura Rwa bhineda. Dalam
sarana upakara disimbolkan juga dalam puja pangenter banten penyeneng. Rohaniwan
saat memanjatkan puja untuk banten panyeneng menggunakan puja awal: Om Kaki
penyeneng, nini menyeneng. Dalam puja ini ada istilah ''kaki penyeneng'' dan ''nini
menyeneng''. Dari pertemuan Kaki dan Nini inilah terjadi kehidupan yang dalam puja
disebut ''penyeneng''. Nyeneng dalam bahasa Bali halus artinya ''hidup''. Artinya hidup
itu akan terjadi dan berlanjut apabila Kaki dan Nini penyeneng itu bertemu dengan
sebaik-baiknya. Dalam puja banten penyeneng inilah hidup ini dinyatakan sebagai
media untuk merealisasikan konsep Tri Kona dengan memuja Sang Hyang Tri Murti.
Sehingga jelas sekali dengan adanya penyatuan maka akan dapat tercipta dunia ini
(Wiana, 2009:102-103). Pemujaan Tuhan sebagai penciptaan Purusa dan Pradhana
adalah untuk mendapatkan kehidupan yang subur demi berlanjutnya Tri Kona itu.
Artinya berlanjutnya proses penciptaan (Utpati), pemeliharaan dan perlindungan Stithi
dan Pralina. Karena itu di Pura Penataan Agung Besakih akan dilukiskan bahwa setelah
dua palinggih kembar Kiwa dan Tengen. Pada mandala keenam, maka pada mandala
selanjutnya dari yang kelima sampai yang ketiga akan dilukiskan berbagai hal yang
diciptakan oleh Tuhan .
Bhuwana Agung maupun di Bhuwana Alit beserta isinya semua diciptakan oleh
Tuhan yang di awali dari Sunia Loka dengan dua unsur yaitu Purusa dan Pradhana.
Tentunya penciptaan ini tidak akan terjadi apabila kekuatan Purusa dan Pradhana itu
seimbang adanya. Inilah tujuan utama Palinggih Kiwa dan Tengen dibuat seperti
bangunan kembar. Karena unsur rohani dan jasmani yang bersinergilah akan membawa
terjadinya penciptaan. Dari pemujaan di palinggih kembar ini diharapkan muncul suatu
motivasi untuk berbuat nyata menguatkan secara seimbang antara pembangunan rohani
dan pembangunan fisik material
Kosmologi Hindu pada Palinggih Kiwa Tengen, adalah adanya
unsur keseimbangan pada pemujaan Ida Sang Hyang Widhi
Wasa sebagai maha kuasa alam semesta dalam hal menjadikan
keseimbangan hidup di dunia dan akhirat. Ajaran agama inilah
sebagai sumber keseimbangan hidup dan berkesinambungan
lahir batin. Selanjutnya adanya unsur penyatuan Bhuwana
Agung maupun di Bhuwana Alit beserta isinya semua
diciptakan oleh Tuhan yang diawali dari Sunia Loka dengan
dua unsur yaitu Purusa dan Pradhana. Kosmologi Hindu ini
dapat lebih memahami terkait dengan konsep penciptaan jagat
raya atau alam semesta ini.Dalam konsep pura di besakih
bentuk serta struktur pura yang bertingkat-tingkat dengan tujuh
tingkatan atau mandala merupakan refleksi dari penciptaan
dunia ini.





.jpeg)
.jpeg)





