Tampilkan postingan dengan label Biksu Budha 26. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Biksu Budha 26. Tampilkan semua postingan

Biksu Budha 26

 


k. Akan tetapi, gajah gila 

Nàëàgãri telah dijinakkan oleh Buddha tanpa memakai   tongkat 

atau senjata apa pun.

(J) Kesempurnaan Ketenangseimbangan (Upekkhà Pàramã)

Terjemahan secara harfiah dari bahasa Pàëi upekkhà yaitu   

‘mengambil pandangan seimbang’ yang artinya memelihara posisi 

netral antara dua ekstrem penderitaan dan kebahagiaan. Para 

terpelajar Myanmar mengartikannya sebagai ‘Tidak berbeda.’

Jika makna dari terjemahan ini tidak dipahami benar, mereka akan 

secara keliru mengartikannya sebagai ‘Tidak peduli’, ‘lalai.’ Tetapi 

upekkhà bukanlah tidak peduli atau lalai. Upekkhà memerhatikan 

objek tetapi hanya dengan cara seimbang dengan perasaan netral 

saat   menemui objek penderitaan atau objek kebahagiaan.

Pengembangan Upekkhà

Pengembangan upekkhà yaitu   sama dengan pengembangan mettà 

yang dijelaskan dalam pañisambhidàmagga. Seperti disebutkan di 

atas, cara yang digunakan dalam mengembangkan mettà ada 528 

sebab   ada empat cara dasar. Akan tetapi, dalam mengembangkan 

upekkhà hanya ada satu cara yaitu kammassakà yang artinya “semua 

makhluk memiliki perbuatan, kamma (yang mereka lakukan), 

sebagai harta mereka.” Oleh sebab   itu jumlah cara dalam kasus 

ini menjadi seperempat dari 528 yaitu 132.

Seperti halnya dalam mengembangkan mettà ada dua belas 

kelompok makhluk: lima anodhisa (tidak ditentukan) dan tujuh 

3465

 1

odhisa (ditentukan). sebab   hanya ada satu cara, kita memiliki hanya 

dua belas metode yang dapat digunakan sebelum melakukannya 

ke sepuluh penjuru.

(1) sabbe sattà kammassakà (semua makhluk memiliki kamma 

sebagai harta mereka sendiri);

(2) sabbe paõà kammassakà (semua benda hidup memiliki kamma 

sebagai harta mereka sendiri);

(3) sabbe bhÃ¥tà kammassakà (semua makhluk yang telah ada 

memiliki kamma sebagai harta mereka sendiri);

(4) sabbe puggalà kammassakà (semua makhluk atau individu 

memiliki kamma sebagai harta mereka sendiri);

(5) sabbe attabhàvapariyàpannà kammassakà (semua makhluk 

yang telah terlahir memiliki kamma sebagai harta mereka 

sendiri);

(6) sabbe itthiyo kammassakà (semua perempuan memiliki kamma 

sebagai harta mereka sendiri);

(7) sabbe purisà kammassakà (semua laki-laki memiliki kamma 

sebagai harta mereka sendiri);

(8) sabbe ariyà kammassakà (semua makhluk mulia memiliki 

kamma sebagai harta mereka sendiri);

(9) sabbe anariyà kammassakà (semua makhluk yang belum 

mencapai kesucian memiliki kamma sebagai harta mereka 

sendiri);

(10) sabbe devà kammassakà (semua dewa memiliki kamma sebagai 

harta mereka sendiri);

(11) sabbe manussà kammassakà (semua manusia memiliki kamma 

sebagai harta mereka sendiri);

(12) sabbe vinipàtikà kammassakà (semua peta di alam sengsara 

memiliki kamma sebagai harta mereka sendiri).

Jika dua belas ini diarahkan ke sepuluh penjuru maka seluruhnya 

yaitu   120. lalu   ditambahkan dua belas metode yang tidak 

ditentukan arahnya maka seluruhnya menjadi 132 metode. Satu 

dari metode-metode ini dapat digunakan untuk mengembangkan 

upekkhà tetapi jangan dianggap bahwa metode lainnya tidak dapat 

dilakukan.

3466


Untuk lebih jelas: seperti halnya pada mettà, seseorang dapat 

mengembangkan upekkhà dengan memakai   kata makhluk 

dan orang jika diinginkan. Kata kammassakà juga dapat digantikan 

dengan kata Pàëi lain yang memiliki makna yang sama, yang 

disebutkan dalam Abhiõha Sutta, Nãvaraõa Vagga, Pa¤caka Nipàta 

dari Aïguttara Nikàya. Di sana dikatakan: 

sabbe sattà kammassakà, kammadàyàdà, kammayonã,

kammabandhå, kammapañissaraõà.

(1) kammassakà, memiliki kamma sebagai harta;

(2) kammadàyàdà, memiliki kamma sebagai warisan;

(3) kammayonã, memiliki kamma sebagai asal mula seseorang;

(4) kammabandhå, memiliki kamma sebagai teman;

(5) kammapañissaraõà, memiliki kamma sebagai perlindungan.

sebab   semua kata Pàëi ini memiliki satu makna dan sama 

pentingnya, seseorang dapat mengembangkan upekkhà dengan 

menggantikan ‘sabbe sattà kammassakà’ dengan salah satu dari 

empat kalimat berikut yang disukai atau dipahami benar.

sabbe sattà kammadàyàdà, 

sabbe sattà kammayonã, 

sabbe sattà kammabandhÃ¥, 

sabbe sattà kammapañissaraõà.

Hal yang Patut Dipertimbangkan

Hal yang patut dipertimbangkan yaitu  : jelas bahwa mettà yaitu   

suatu Kesempurnaan yang harus dipenuhi demi kesejahteraan 

makhluk-makhluk hidup dan sebab   itu layak dipertimbangkan 

sebagai suatu Kesempurnaan mulia. Di pihak lain, walaupun 

upekkhà yaitu   suatu Kesempurnaan yang harus dipenuhi, 

ini yaitu   watak batin yang menganggap bahwa ‘kebahagiaan 

atau penderitaan yaitu   bagian dari kehidupan seseorang; jika 

seseorang memiliki perbuatan baik yang menghasilkan kebahagiaan, 

maka ia akan berbahagia. Jika ia memiliki perbuatan jahat yang 

menghasilkan penderitaan, maka ia akan menderita. Aku tidak 

3467

 1

dapat melakukan apa pun untuk mengubah kamma makhluk 

lain.” Bukankah sulit untuk menyebut watak demikian itu mulia? 

Apakah salah jika seseorang mengatakan bahwa upekkhà yaitu   

watak batin yang tidak peduli terhadap kesejahteraan makhluk 

lain dan yang tetap apatis terhadap mereka? sebab   itu, yaitu   

penting mempertimbangkan mengapa upekkhà diurutkan sebagai 

Kesempurnaan termulia.

Dalam urusan-urusan duniawi maupun spiritual, yaitu   wajar jika 

sesuatu yang sulit diperoleh bernilai tinggi dan sesuatu yang mudah 

diperoleh bernilai rendah. sebab   itu, sudah menjadi pengetahuan 

umum bahwa di dunia ini, benda-benda yang mudah diperoleh 

seperti kerikil dan pasir berharga murah; dan emas, perak, batu 

delima, dan permata lainnya yang sulit diperoleh berharga mahal.

Demikian pula dalam hal spiritual, keserakahan, kebencian, dan 

kondisi batin yang buruk lainnya dapat muncul dengan mudah; 

sebab   itu tidak bernilai. Tidak memerlukan usaha khusus untuk 

memunculkannya. Sesungguhnya, yang sulit yaitu   mencegahnya 

agar tidak muncul dengan cara yang tidak terkendali. Hal-hal 

buruk itu bagaikan rumput liar yang tidak berguna. Sebaliknya, 

dàna, sãla dan perbuatan baik lainnya tidak akan muncul tanpa 

mengerahkan usaha; hal-hal baik ini tidak terjadi secara otomatis. 

Satu dari perbuatan baik ini   yaitu   pengembangan mettà 

sejati yang lebih mulia daripada dàna dan sãla. Cinta kasih sejati ini 

sesungguhnya sulit dikembangkan.

Terdapat tiga jenis pribadi: verã-puggala (musuh), majjhatta-puggala 

(bukan musuh juga bukan teman), dan piya-puggala (teman). 

yaitu   sulit memancarkan mettà kepada seorang veri-puggala, 

tidak terlalu sulit untuk memancarkan kepada seorang majjhima-

puggala; sebaliknya, yaitu   mudah memancarkan mettà kepada 

seorang piya-puggala. Mettà yang objeknya yaitu   bukan verã dan 

bukan majjhatta tetapi hanya piya-puggala yaitu   mettà yang tidak 

bernilai, tidak peduli seberapa pun seringnya hal itu dikembangkan, 

sebab   perbuatan ini   yaitu   tugas yang mudah.

Jika seseorang ingin memenuhi Mettà Pàramã dengan benar, ia 

3468


harus mengembangkan mettà kepada diri sendiri terlebih dahulu. 

sebab   pengembangan ini demi kepentingan diri sendiri, mettà akan 

muncul dengan mudah dan pasti berhasil. Mettà ini yang sempurna 

sebab   dikembangkan kepada diri sendiri harus dijadikan contoh. 

sebab   itu mettà harus diarahkan kepada diri sendiri terlebih 

dahulu.

Jika mettà diarahkan kepada verã, majjhatta, dan piya, ia harus 

melakukannya secara sama tanpa diskriminasi, seperti saat   

ia memancarkannya kepada diri sendiri. Apakah ini mudah 

dilakukan? Tidak. Sesungguhnya, yaitu   sulit memancarkan mettà 

bahkan kepada teman sendiri seperti kepada diri sendiri, apalagi 

kepada seorang musuh atau orang yang netral, seperti yang telah 

diinstruksikan oleh Buddha, attasamaÿ pemaÿ n’atthi, tidak ada 

orang seperti diri sendiri yang ia cintai. Hanya jika mettà yang sulit 

dikembangkan ke arah teman dapat dikembangkan bukan hanya 

kepada teman tetapi juga kepada dua jenis orang yang lain dengan 

cara yang sama seperti kepada diri sendiri dan tanpa sedikit pun 

perbedaan, maka ini yaitu   Mettà Pàramã yang sejati.

Hal ini menyiratkan betap sulitnya mengembangkan mettà sejati dan 

betapa besar nilainya. Sehubungan dengan pengembangan mettà 

jenis ini, seperti telah dijelaskan di atas, Suvaõõa Sàma dicintai oleh 

binatang-binatang buas seperti macan dan singa, dan sebagainya. 

Bahkan lebih sulit lagi mengembangkan upekkhà sebagai suatu 

pemenuhan Kesempurnaan daripada mengembangkan mettà untuk 

tujuan yang sama.

Tidaklah mudah mengembangkan upekkhà bahkan kepada orang 

yang netral dari tiga jenis makhluk. Orang-orang akan berkata, “Aku 

tetap seimbang sehubungan dengannya sekarang” atau “Dalam hal 

ini aku bersikap kammassakà,” dan sebagainya. sebab   kata-kata 

demikian menyiratkan ketidakpedulian dan ketidak-tertarikan, 

upekkhà menjadi kurang bernilai. Kenyataannya upekkhà 

mengisyaratkan untuk memerhatikan dan mementingkan objek 

perenungan (tetapi sebagai pengamat netral).

Seperti mudahnya mengembangkan mettà kepada seorang 

3469

 1

teman, demikian pula mudahnya mengembangkan upekkhà 

kepada orang yang netral. sebab   seseorang tidak mencintai 

ataupun membencinya, yaitu   mudah menjaga sikap seseorang 

tetap seimbang terhadapnya tanpa keinginan untuk melihatnya 

bahagia atau melihatnya menderita. Tetapi yaitu   lebih sulit untuk 

mengembangkan upekkhà kepada seorang musuh. sebab   seseorang 

membencinya, ia dengan mudah merasa gembira saat   ia jatuh dan 

ia merasa iri hati saat   melihat musuhnya makmur. yaitu   sulit 

mencegah munculnya kedua kondisi batin ini  ; jika salah satu 

kondisi itu muncul bahkan dalam bentuk yang terkecilpun, maka 

ia gagal mempertahankan upekkhà.

Juga yaitu   lebih sulit mengembangkan upekkhà kepada seorang 

teman daripada kepada seorang musuh. sebab   seseorang yang 

telah terlanjur melekat kepada seorang teman akan gembira saat 

ia makmur atau berduka saat   kemalangan menimpanya. yaitu   

sulit untuk mencegah munculnya kegembiraan dan kesusahan dari 

dalam dirinya.

Hanya jika seseorang dapat mempertahankan keseimbangan dengan 

sikap yang sama kepada tiga jenis makhluk atau kepada diri sendiri 

tanpa kesulitan yang disebutkan di atas, maka pengembangan 

upekkhà mungkin dapat dilakukan. Selama masih ada sikap 

memihak kepada tiga jenis makhluk ini maka upekkhà masih jauh 

dari berhasil.

Seperti telah disebutkan, pengembangan upekkhà bukanlah sikap 

tidak peduli atau lalai; sebaliknya, upekkhà memerhatikan dan 

menganggap penting (objek perenungan). Dalam melakukan hal 

itu, seseorang mengatakan kepada dirinya sendiri, “Tidak ada yang 

dapat dilakukan untuk membuat makhluk-makhluk termasuk diriku 

menjadi bahagia atau tidak bahagia. Mereka yang memiliki kamma 

baik akan berbahagia dan mereka yang memiliki kamma buruk 

akan tidak berbahagia. sebab   kebahagiaan dan ketidak-bahagiaan 

mereka berhubungan dengan perbuatan masa lampau mereka, 

tidak ada yang dapat dilakukan untuk mengubahnya.” Hanya 

dengan perenungan mendalam dengan cara ini dengan makhluk 

hidup sebagai objek perenungan yang merupakan upekkhà sejati. 

3470


sebab   tidak melibatkan kegelisahan, maka upekkhà ini yaitu   

mulia, tenang, dan damai. Semakin tinggi dari mettà, semakin tinggi 

tingkat spiritualitasnya.

Seperti halnya mettà, upekkhà juga yaitu   salah satu dari 

empat puluh objeks meditasi Samatha dan satu dari Sepuluh 

Kesempurnaan. Seseorang yang ingin bermeditasi dengan objek 

upekkhà menurut metode samatha melakukan hal ini untuk 

mencapai Jhàna tertinggi dan bukan untuk yang lebih rendah. 

Mereka yang lebih lambat untuk menggenggam, mencapai tingkat 

Jhàna tertinggi hanya sesudah   memperolehnya lima kali. Bagi 

mereka, Buddha telah mengajarkan lima Jhàna yang disebut metode 

pa¤caka (metode lima). Jhàna yang dicapai pertama kali disebut 

Jhàna pertama, yang dicapai kedua kali yaitu   Jhàna kedua dan 

seterusnya hingga Jhàna kelima. Demikianlah ada lima Jhàna bagi 

mereka yang tumpul.

Akan tetapi, bagi yang cerdas, dapat mencapai Jhàna tertinggi 

sesudah   mencapainya empat kali. sebab   Buddha telah mengajarkan 

empat Jhàna yang disebut metode catukka (metode empat). Jhàna 

yang dicapai pertama kali disebut Jhàna pertama, dan seterusnya. 

Demikianlah ada empat Jhàna bagi mereka yang cerdas.

Mereka yang belum mencpai Jhàna dalam dua cara ini sebaiknya 

tidak mencoba untuk bermeditasi dengan objek upekkhà untuk 

mencapai Jhàna tingkat tertinggi. Upekkhà sebagai ojek meditasi 

yaitu   untuk mencapai Jhàna kelima dalam metode pa¤caka 

dan Jhàna keempat dalam metode catukka. Mereka yang bodoh 

dapat bermeditasi dengan objek upekkhà hanya jika mereka telah 

mencapai Jhàna keempat dan mereka yang cerdas hanya sesudah   

mencapai tiga Jhàna yang pertama melalui subjek samatha lainnya. 

sebab  , seperti telah dijelaskan, upekkhà halus, tenang dan mulia 

dan dengan demikian hanya digunakan untuk mencapai Jhàna 

tertinggi dan bukan untuk yang lebih rendah.

Di pihak lain, mettà digunakan untuk mencapai empat atau tiga 

Jhàna yang lebih rendah. Hal ini menunjukkan fakta bahwa upekkhà 

lebih tinggi daripada mettà. Jika upekkhà bukan dimaksudkan 

3471

 1

sebagai objek meditasi tetapi dimaksudkan sebagai Kesempurnaan 

yang harus dipenuhi, maka dapat dikembangkan setiap saat.

Mahà Lomahaÿsa Cariya

Sehubungan dengan Kesempurnaan Keseimbangan, kisah 

tumbuhnya rambut Bodhisatta, usaha keras dalam memenuhi 

Upekkhà Pàramã akan dikutipkan di sini dari Komentar Cariyà 

Piñaka.

Suatu saat   Bodhisatta terlahir dalam sebuah keluarga kaya dan 

berstatus tinggi. saat   tiba waktunya beliau untuk menuntut 

ilmu, beliau pergi ke seorang guru terkenal. sesudah   menyelesaikan 

pendidikannya ia pulang ke rumah orangtuanya untuk merawat 

mereka. Saat orangtuanya meninggal dunia, sanak saudaranya 

mendesaknya agar menjaga dan meningkatkan kekayaan yang ia 

warisi.

Akan tetapi, Bodhisatta telah mengembangkan rasa takut terhadap 

semua alam kehidupan dan ketakutannya berdasarkan atas sifat 

ketidakkekalan dari semua hal berkondisi. Beliau juga melihat 

kejijikan dari jasmani dan sama sekali tidak berkeinginan untuk 

terjebak dalam belukar kotoran yang berhubungan dengan 

kehidupan rumah tangga. Sebenarnya, keinginannya untuk keluar 

dari alam indria telah berkembang sejak lama. Demikianlah beliau 

berkeinginan untuk melepaskan keduniawian sesudah   melepaskan 

kekayaannya. “Tetapi sebab   suara puji-pujian, kepergianku 

melepaskan keduniawian akan membuatku terkenal,” beliau 

berpikir. sebab   beliau tidak menyukai kemasyhuran, pendapatan, 

dan penghormatan terhadap dirinya, beliau tidak pergi melepaskan 

keduniawian. Untuk menguji dirinya apakah ia dapat tetap tidak 

tergoyahkan dalam menghadapi perubahan dalam kehidupan 

seperti memperoleh dan tidak memperoleh (kekayaan) dan 

sebagainya, dengan mengenakan pakaian biasa ia meninggalkan 

rumah. Keinginan khususnya yaitu   untuk memenuhi bentuk 

tertinggi dari Upekkhà Pàramã dengan menahankan perlakuan 

jahat dari orang lain. Dengan menjalani hidup mulia yang keras, 

beliau dianggap oleh banyak orang sebagai seorang eksentrik 

3472


yang mengalami keterbelakangan mental, seseorang yang tidak 

pernah marah kepada orang lain. Dianggap sebagai orang yang 

tidak perlu diperlakukan dengan hormat tetapi dengan cara yang 

kurang ajar, beliau bepergian dari desa ke desa, kota, besar dan kecil, 

melewatkan hanya satu malam di setiap tempat. Tetapi beliau akan 

menetap lebih lama jika beliau menerima penghinaan hebat. saat   

pakaiannya usang beliau berusaha menutupi tubuhnya dengan 

potongan-potongan yang masih tersisa. Dan jika potongan-potongan 

itu robek, beliau tidak menerima pakaian apa pun dari siapa pun 

tetapi berusaha menutupi tubuhnya dengan apa pun yang tersedia 

dan terus berjalan.

 sesudah   menjalani kehidupan demikian selama beberapa waktu, 

beliau tiba di sebuah desa. Anak-anak di desa itu memiliki sifat yang 

agresif. Beberapa anak para janda dan teman-teman dari kelompok 

penguasa bersifat sembrono, angkuh, berpendirian tidak tetap, 

banyak bicara, dan senang bergosip. Mereka berjalan-jalan, selalu 

mempermainkan orang lain. saat   mereka melihat orang tua dan 

miskin sedang berjalan, mereka mengikutinya dan melemparkan 

tanah ke punggungnya. Mereka mencoba untuk meletakkan daun 

ketaki di ketiak orang-orang tua (hanya untuk membuat mereka 

merasa tidak nyaman). saat   si orang tua berbalik untuk melihat 

mereka, mereka akan melakukan gerakan membungkuk, menekuk 

kaki, berpura-pura bodoh, dan sebagainya, dan tertawa-tawa 

gembira.

saat   Bodhisatta melihat anak-anak yang susah diatur itu, 

ia bepikir, “Sekarang aku menemukan alat yang baik untuk 

mendukung pemenuhan Kesempurnaan Keseimbangan,” dan 

menetap di desa itu. Melihat dirinya, anak-anak nakal itu mencoba 

mempermainkannya; beliau berpura-pura solah-olah beliau tidak 

tahan dan merasa takut terhadap mereka dan melarikan diri. Anak-

anak itu terus mengikutinya ke mana pun ia pergi.

Bodhisatta dalam pelarian itu tiba di sebuah tanah pekuburan dan 

berpikir, “Ini yaitu   tempat di mana tak seorang pun yang akan 

mencegah anak-anak nakal ini melakukan perbuatan jahat. Sekarang 

aku memiliki kesempatan untuk memenuhi Upekkhà Pàramã 

3473

 1

hingga tingkat yang tinggi.” Beliau masuk ke tanah pekuburan dan 

tidur di sana memakai   tengkorak sebagai bantal. Mendapat 

kesempatan untuk bersenang-senang dalam tindakan kenakalan, 

anak-anak bodoh itu mendatangi Bodhisatta yang sedang tidur dan 

menghinanya dalam berbagai cara, meludahinya, dan melakukan 

berbagai kenakalan dan pergi. Demikianlah mereka melakukan 

kejahatan terhadap Bodhisatta setiap hari.

Menyaksikan perbuatan jahat yang dilakukan anak-anak nakal ini, 

beberapa orang bijaksana menghentikan mereka. Dengan anggapan 

bahwa “dia sesungguhnya yaitu   seorang petapa suci yang sakti”, 

mereka semua bersujud kepadanya dengan penuh hormat.

Bodhisatta mempertahankan sikap yang sama kepada anak-

anak bodoh itu dan kepada orang-orang bijaksana. Ia tidak 

memperlihatkan cinta kepada orang-orang bijaksana juga tidak 

memperlihatkan kebencian kepada anak-anak nakal yang 

menghinanya. Sebaliknya, ia berdiri di posisi netral antara cinta 

dan benci di antara kedua kelompok itu. Demikianlah, ia memenuhi 

Kesempurnaan Keseimbangan.

(Walaupun kisah ini disebut Mahà Lomahaÿsa Jataka, Mahà 

Lomahaÿsa bukanlah Bodhisatta. Nama itu hanya merujuk 

kepada mereka yang datang untuk melihat bagaimana praktik 

yang dijalankan oleh Bodhisatta; cerita yang mengerikan ini dapat 

membuat bulu badan mereka berdiri; itulah sebabnya kisah ini 

disebut Mahà Lomahaÿsa).

Pemenuhan Upekkhà

Padamnya kebencian dan cinta kasih yaitu   pemenuhan upekkhà. 

(Upekkhà Pàramã berarti diamnya kedua kondisi batin ini. Tidak 

ada Kesempurnaan Keseimbangan jika kedua kondisi ini tidak 

ditenangkan.)

Dalam hal-hal tertentu, tetap dalam kondisi lalai tidak tertarik 

terhadap apa pun mengarah pada perusakan upekkhà. Sikap 

demikian tidak dapat disebut upekkhà. Itu hanyalah tidak 

3474


menyadari yang merupakan pikiran salah.

Upekkhà sejati bukanlah ketidakacuhan atau tidak menyadari. 

Upekkhà sejati melihat baik dan buruk yang mengarah kepada 

kebahagiaan dan penderitaan. Tetapi ia yang melaksanakan upekkhà 

merenungkan dengan jelas, “Aku tidak ada hubungannya dengan 

kebahagiaan dan penderitaan ini; itu yaitu   akibat dari perbuatan 

baik dan jahat mereka sendiri.”

Dalam Komentar Netti disebutkan, “Kelalaian ekstrem terlihat 

sebagai ketidakacuhan dengan anggapan bahwa berbagai objek 

indria yang baik maupun buruk yaitu   tipuan. (Kebodohan, moha, 

dalam samaran sebagai upekkhà yaitu   tipuan). Keengganan 

untuk melakukan perbuatan baik juga cenderung menipu 

dengan menampilkan wujud cara mulia melaksanakan upekkhà. 

(Kelambanan, kosajjhà, dalam melakukan perbuatan baik juga 

dapat berpura-pura menjadi upekkhà.) Oleh sebab   itu, kita harus 

berhati-hati agar tidak tertipu oleh kebodohan atau kelambanan 

yang cenderung berperilaku seperti upekkhà.

Inti Upekkhà

Upekkhà dalam pengertian mutlak yaitu   sebuah entitas terpisah. 

Ini yaitu   faktor batin (cetasika) yang disebut tatramajjhattatà 

(posisi tengah). Tetapi semua faktor batin tatramajjhattatà secara 

keseluruhan tidak dapat disebut Upekkhà Pàramã. Tatramajjhattatà 

yaitu   faktor batin yang berhubungan dengan semua sobhana citta 

(kesadaran ‘indah’); ia menyertai setiap munculnya sobhana citta. 

Tatramajjhattatà yang dapat dianggap sebagai Upekkhà Pàramã sejati 

memerhatikan makhluk-makhluk dan merenungkan, “Kebahagiaan 

dan penderitaan makhluk-makhluk dikondisikan oleh kamma 

mereka yang tidak dapat diubah oleh siapa pun. Mereka memiliki 

kamma sebagai harta dan pemicu  .” Tatramajjhattatà yang muncul 

dari perenungan bukan terhadap makhluk-makhluk melainkan 

terhadap Tiga Permata, memberi   persembahan dan pelaksanaan 

sãla bukan merupakan Upekkhà Pàramã.

Jika keseimbangan dipertahankan dalam merenungkan kebahagiaan 

3475

 1

dan penderitaan makhluk-makhluk, tatramajjhattatà tidak muncul 

sendirian, tetapi semua kesadaran dan faktor batin yang berhubungan 

muncul bersamaan dengannya. Walaupun objek tatramajjhattatà dan 

objek-objek dari penyertanya yaitu   hanya satu dan sama untuk 

semuanya, keseimbangan sehubungan dengan kebahagiaan dan 

penderitaan makhluk-makhluk yaitu   fungsi utamanya. Oleh 

sebab   itu tatramajjhattatà ini disebut Upekkhà Pàramã. Kesadaran 

dan faktor-faktor batin yang menyertainya juga termasuk dalam 

Upekkhà Paramã; tatramajjhattatà memainkan peranan utama dan 

ini yaitu   satu-satunya perbedaan antara tatramajjhattatà dan yang 

menyertainya.

Sepuluh Jenis Upekkhà

Ada jenis lain dari upekkhà yang tidak termasuk dalam Upekkhà 

Pàramã walaupun masing-masing merupakan realitas mutlak. 

Visuddhimagga dan Aññhasàlinã menyebutkan sepuluh upekkhà 

ini:

(1) chaëaïg’upekkhà,

(2) brahmàvihàr’upekkhà, 

(3) bojjhaïg’upekkhà, 

(4) viriy’upekkhà, 

(5) saïkhàr’upekkhà, 

(6) vedan’upekkhà,

(7) vipassan’upekkhà,

(8) tatramajjhatt’upekkhà, 

(9) jhàn’upekkhà, 

(10) pàrisuddh’upekkhà.

1. Terdapat enam objek indria baik dan buruk yang muncul di enam 

pintu indria. Para Arahanta tidak bergembira saat   objek-objek 

indria ini menyenangkan dan tidak kecewa jika objek-objek ini 

tidak menyenangkan. Selalu menjaga perhatian dan pemahaman, 

mereka menerimanya dengan keseimbangan, mempertahankan 

kemurnian alami batin mereka. Jenis ketenangseimbangan ini 

disebut chaëang’upekkhà. (Yaitu, upekkhà dengan enam faktor, 

yakni, enam pintu dan enam objek.)

3476


2. Keseimbangan dengan pandangan bahwa kebahagiaan dan 

penderitaan makhluk-makhluk terjadi menurut kamma mereka 

yaitu   brahmàvihàr’upekkhà. (Keseimbangan dengan hidup luhur. 

Upekkhà Pàramã yaitu   upekkhà jenis ini.) 

3. Jika usaha dilakukan untuk mencapai Jalan dan Buah, jika 

beberapa faktor lemah dan faktor lainnya kuat, yang lemah harus 

diperkuat dan yang kuat harus diperlemah; tetapi saat   faktor-

fakor Jalan ini mencapai status Bojjhaïga, faktor-faktor Pencerahan 

Sempurna, faktor-faktor yang menyertainya memiliki kekuatan yang 

sama. Upekkhà yang dilaksanakan secara sama terhadap faktor-

faktor ini disebut bojjhaïg’upekkhà.

4. Dalam usaha untuk mencapai Jalan dan Buah, usaha yang 

dikerahkan dalam jumlah secukupnya, tidak terlalu berlebih dan 

tidak kekurangan, yaitu   viriy’upekkhà.

5. Dalam usaha untuk mencapai konsentrasi, Jalan dan Buah, 

tetap tidak terikat dengan saïkhàradhamma, hal-hal berkondisi, 

seperti nãvaraõa, rintangan, dan lain-lain, yang harus dilenyapkan 

dengan Jhàna pertama, dan seterusnya, disebut saïkhàr’upekkhà. 

(Saïkhàr’upekkhà ini muncul saat kebijaksanaan matang. 

Sebelum matang, seseorang harus berusaha untuk melenyapkan 

saïkhàradhamma. Tetapi begitu kematangan dicapai, tidak lagi 

diperlukan usaha khusus untuk melenyapkannya. Hanya sikap tidak 

membeda-bedakan yang diperlukan untuk tujuan itu.)

6. Perasaan yang mengalami secara netral tanpa merasa gembira 

atau kecewa saat   menerima suatu objek indria disebut 

vedan’upekkhà.

7. Mempertahankan ketenangseimbangan dalam mengembangkan 

Pandangan Cerah terhadap sifat ketidakkekalan dan karakteristik 

la innya dar i  kelompok-kelompok kehidupan disebut 

vipassan’upekkhà. (Makna singkat dari Vipassanà akan dijelaskan di 

sini. Vi artinya ‘istimewa’ dan passanà ‘melihat’; sebab   itu Vipassanà 

yaitu   ‘Pandangan Cerah’. Melihat bahwa ada benda-benda nyata 

3477

 1

seperti laki-laki, perempuan, dan sebagainya yaitu   pengetahuan 

biasa yang umum bagi kita semua. Itu yaitu   pemahaman yang 

berdasarkan atas persepsi tetapi bukan pemahaman khusus 

berdasarkan kebijaksanaan mendalam. Pandangan Cerah Vipassanà 

yaitu  , “Dalam kenyataannya tidak ada yang disebut ‘aku’ atau ‘dia’. 

Apa yang disebut ‘aku’ atau ‘dia’ hanyalah sekelompok jasmani dan 

batin yang akan mengalami kehancuran dan lenyap. Kelompok-

kelompok ini terus-menerus rusak tanpa terputus. Tidak terlihat 

tanda-tanda kerusakan sebab   setiap objek yang rusak akan segera 

digantikan tanpa terputus oleh objek berkondisi yang baru.)

8. Upekkhà yang dilaksanakan tanpa mengerahkan usaha untuk 

mempertahankan netralitas terhadap Dhamma yang saling 

berhubungan ini yang seimbang dalam fungsinya masing-masing 

disebut tatramajjhattat’upekkhà.

9. Dalam mengembangkan Jhàna, tanpa memedulikan kebahagiaan 

luhur yang muncul di Jhàna ketiga disebut jhàn’upekkhà. (Ini yaitu   

upekkhà yang hanya dicapai di Jhàna terakhir.)

10. Dimurnikan dari semua faktor yang berlawanan dan 

tidak memerlukan usaha untuk menenangkannya disebut 

pàrisuddh’upekkhà. (Ini yaitu   keseimbangan di Jhàna keempat 

yang bebas dari semua faktor yang berlawanan.)

Dari sepuluh ini, enam di antaranya, yaitu, chaëaïg’upekkhà, 

brahmàvihàr’upekkhà, bojjhaïg’upekkhà, tatramajjhatt’upekkhà, 

jhàn’ upekkhà, dan pàrisuddh’upekkhà, yaitu   sama dalam 

pengertian mutlak. Semuanya yaitu   tatramajjhattatà cetasika.

Mengapa diuraikan dalam enam jenis? sebab   masing-masing 

berbeda dalam hal waktu kemunculannya. Sebuah perumpamaan 

disajikan dalam kutipan Komentar di atas untuk menjelaskan hal ini. 

Seseorang pada masa kanak-kanak disebut kumàra, ‘anak’; saat   

ia menjadi seorang remaja, ia dipanggil yuva, ‘pemuda’; lalu   

saat ia bertambah dewasa, ia disebut vuóóha, ‘dewasa’, senàpati, 

‘jenderal’, ràja, ‘raja’, dan seterusnya. Demikianlah seseorang 

dipanggil menurut tingkat kehidupannya.

3478


Untuk lebih jelasnya, perbedaan ini sebab   adanya perbedaan dalam 

fungsinya, yaitu:

(1) Seperti telah disebutkan sebelumnya, untuk merenungkan 

seluruh enam objek baik dan buruk dengan seimbang yaitu   

fungsi dari chaëaïg’upekkhà.

(2) Untuk merenungkan kebahagiaan dan pender itaan 

makhluk-makhluk dengan seimbang yaitu   fungsi dari 

brahmàvihàr’upekkhà.

(3) Untuk berusaha mencapai Jhàna, Jalan dan Buah, untuk 

merenungkan dengan seimbang rintangan-rintangan yang 

harus dilenyapkan yaitu   fungsi dari Jalan dan Buah, untuk 

merenungkan dengan seimbang rintangan-rintangan yang 

harus dilenyapkan yaitu   fungsi dari bojjhaïg’upekkhà.

(4) Untuk mengembangkan usaha agar tidak berlebihan dan 

tidak kekurangan dari yang dibutuhkan yaitu   fungsi dari 

viriy’upekkhà.

(5) Untuk merenungkan dengan seimbang semua faktor-faktor yang 

saling berhubungan tanpa memperkuat atau memperlemah 

yaitu   fungsi dari saïkhàr’upekkhà.

(6) Untuk merenungkan perasaan dengan seimbang yaitu   fungsi 

dari vedan’upekkhà.

(7) Untuk merenungkan dengan seimbang tiga karakteristik (anicca, 

dukkha, dan anatta) yaitu   fungsi dari vipassan’upekkhà.

(8) Untuk merenungkan dengan seimbang faktor-faktor 

yang menyertai yang telah seimbang yaitu   fungsi dari 

tatramajjhattatà.

(9) Untuk merenungkan dengan seimbang kebahagiaan luhur 

Jhàna yaitu   fungsi dari jhàn’upekkhà.

(10) Untuk merenungkan dengan seimbang yang dimurnikan 

dari semua faktor yang berlawanan yaitu   fungsi dari 

pàrisuddh’upekkhà.

Demikianlah, bukan hanya perbedaan fungsi tetapi juga perbedaan 

objek-objek indria juga harus dimengerti. Viriy’upekkhà yaitu   

viriya cetasika dan vedan’upekkhà yaitu   vedanà cetasika; kedua 

upekkhà ini terpisah dari cetasika lainnya dalam hal Dhamma. 

3479

 1

Saïkàr’upekkhà dan viriy’upekkhà keduanya yaitu   pa¤¤Ã  

cetasika. Tetapi keduanya memiliki dua fungsi yang berbeda sebagai 

berikut:

Merenungkan tanpa mengerahkan usaha khusus terhadap tiga 

karakteristik objek berkondisi (saïkhàra) yaitu   vipassan’upekkhà; 

keseimbangan saat merenungkan objek-objek berkondisi (saïkhàra) 

tanpa takut yaitu   saïkhàra’upekkhà.

Upekkhà Sebagai Kesempurnaan dan Sepuluh Upekkhà

Daftar sepuluh upekkhà ini yang disebutkan oleh para komentator 

tidak secara langsung memasukkan Pàramã Upekkhà, upekkhà 

sebagai Kesempurnaan. Seseorang mungkin akan menjadi gelisah 

mengetahui: Apakah pengeluaran ini yaitu   sebab   fakta bahwa 

upekkhà sebagai Kesempurnaan tidak berhubungan dengan 

salah satu di antara sepuluh ini atau apakah ini kekeliruan para 

komentator? Tidak dapat dikatakan bahwa para komentator 

begitu lalai sehingga mengeluarkannya dari daftar mereka. Ini 

yaitu   sebab   anggapan bahwa Pàramã Upekkhà terdapat dalam 

brahmàvihàr’upekkhà.

Akan tetapi ,  beberapa pendapat  menyatakan bahwa 

brahmàvihàr’upekkhà dan Pàramã Upekkhà yaitu   dua hal yang 

berbeda. Menurut mereka, bersikap sama kepada musuh dan teman 

yaitu   Pàramã Upekkhà; bersikap sama terhadap kebahagiaan 

dan penderitaan makhluk-makhluk dengan pikiran bahwa kedua 

kondisi ini yaitu   akibat dari perbuatan mereka sendiri yaitu   

brahmàvihàr’upekkhà.

Ini berarti bahwa, Upekkhà Pàramã, yaitu merenungkan kebahagiaan 

dan penderitaan makhluk-makhluk bukanlah Pàrami Upekkhà 

melainkan yaitu   brahmàvihàr’upekkhà.

Akan tetapi, sifat dari Upekkhà Pàramã yang dijelaskan dalam 

Buddhavaÿsa yaitu  :

Tath’eva tvam pi sukhadukkhe 

3480


tulàbhÃ¥to sadà bhava 

upekkhàpàramitaÿ gantvà 

sambodhiÿ pàpuõissati.

Dalam syair ini, sukhadukkhe tulàbhÃ¥to artinya ‘dalam kebahagiaan 

dan penderitaan, jadilah timbangan yang seimbang’.

Demikianlah perenungan kebahagiaan dan penderitaan diajarkan 

sebagai landasan dari Upekkhà Pàramã juga dalam Mahà Lomahaÿsa 

Cariya dari Cariyà Piñaka. Dikatakan:

Ye me dukkhaÿ upadahanti 

ye ca denti sukhaÿ mama 

sabbesaÿ samako homi.

Juga berdasarkan dua tahap kehidupan, diajarkan, ’beberapa 

orang melakukan kejahatan sedangkan orang lain memberi   

kesejahteraan. Sikapku terhadap hal-hal ini yaitu   sama’. 

Sukhadukkhe tulàbhÃ¥to yasesu ayasesu ca, ’apakah dalam 

kebahagiaan dan penderitaan, atau dalam kemasyhuran dan 

ketercemaran, aku bagaikan timbangan yang seimbang’.

Dalam Aññhasàlinã dan Komentar Pàtha Jàtaka yang disebutkan di 

atas, penjelasan diberikan juga berdasarkan atas dua kondisi batin 

itu: kebahagiaan dan penderitaan. Walaupun anak-anak desa itu 

menyakiti (meludahi, dan sebagainya) yang biasanya menyebabkan 

penderitaan dan para warga   lain menghormatinya dengan 

bunga, dupa, dan sebagainya yang biasanya menyebabkan 

kebahagiaan, Bodhisatta memandang keduanya dengan sikap 

batin yang sama. Upekkhà Bodhisatta yang tidak menyimpang dari 

posisi seimbang yaitu   Kesempurnaan Keseimbangan Tertinggi, 

Paramattha Upekkhà Pàramã.

Selain itu, Visuddhimagga dan Aññhasàlini menjelaskan karakteristik, 

dan sebagainya dari brahmàvihàr’upekkhà, dikatakan: sattesu 

majjhattàkàralakkhaõà upekkhà, ’Upekkhà memiliki karakteristik 

memandang hal-hal dengan seimbang’, satta, ‘makhluk-makhluk’, 

di sini digunakan sebagai istilah umum; maksudnya, mereka 

3481

 1

yang menyakiti dan mereka yang menunjukkan kebaikan kepada 

seseorang, atau mereka yang berbahagia dan mereka yang 

menderita. Oleh sebab   itu bersikap netral terhadap musuh dan 

teman jelas yaitu   brahmàvihàr’upekkhà. Oleh sebab   itu, hal 

ini jelas menunjukkan bahwa Pàramã Upekkhà termasuk dalam 

brahmàvihàr’upekkhà.

3482


3483

 2

55

 2

   

Seruan Mengumumkan Kemunculan Buddha

Lima Kolàhala

Kolàhala artinya seruan verbal yang dimulai oleh beberapa orang 

yang mengatakan, “Ini akan terjadi.” Sebelum peristiwa sebenarnya 

terjadi, muncul di antara orang-orang yang berkumpul dan berbicara 

mengenai hal-hal yang akan terjadi dalam bahasa yang sama dan 

suara yang bulat.

Kolàhala tepatnya yaitu   seruan-seruan yang dilakukan dengan 

penuh kegembiraan oleh banyak orang sebagai suatu pertanda 

sebelum hal sebenarnya terjadi. Bukan berarti, seperti kegemparan 

yang terjadi di kota-kota atau di desa-desa yang meramalkan sesuatu 

yang tidak benar misalnya suatu kejadian yang mustahil seperti 

“Pangeran Setkya akan kembali!”

Di Burma, Pangeran Setkya yaitu   putra satu-satunya dan pewaris 

tahta dari Raja Bagyidaw (1819-1837). Ia di bunuh oleh saudara 

Bagyidaw, Raja Tharrawady, yang lalu   merebut tahta di tahun 

1837, pembunuhan ini terjadi di bulan April 1838.

Ada lima jenis Kolàhala di dunia ini:

(1) kappa-kolàhala

3484


(2) cakkavati-kolàhala

(3) buddha-kolàhala

(4) maïgala-kolàhala

(5) moneyya-kolàhala

(1) Kappa-kolàhala

Kolàhala yang mengingatkan umat manusia akan hancurnya 

dunia disebut kappa-kolàhala. saat   saat hancurnya dunia sudah 

mendekat, dewa bernama LokavyÃ¥ha dari alam kenikmatan indria 

(kamàvacara-dewa), dengan mengenakan pakaian merah, dan 

rambut tergerai, mengusap air matanya, menyusuri jalan-jalan 

yang digunakan oleh manusia dan berteriak dengan keras hingga 

terdengar oleh umat manusia di segala penjuru, seratus tahun 

sebelum peristiwa sebenarnya terjadi.

“Teman-teman, seratus tahun sejak hari ini, dunia akan hancur! 

Samudra raya akan mengering! Bumi, Gunung Meru, semuanya 

akan terbakar dan hancur (jika dunia akan hancur oleh api), akan 

terjadi banjir besar dan hancur (jika dunia hancur oleh air), akan 

tertiup oleh badai angin dan hancur (jika dunia hancur oleh angin), 

dunia akan hancur dimulai dari bumi dengan Gunung Meru dan 

samudra hingga alam brahmà! Teman-teman, kembangkan cinta 

kasih (mettà), kembangkan welas asih (karuõà), kembangkan 

rasa bahagia atas kebahagiaan orang lain (mudità), kembangkan 

ketenangseimbangan (upekkhà) yang merupakan sifat brahmà! 

Layani orangtuamu dengan penuh hormat! Berbuatlah kebajikan! 

Jangan gegabah!”

Seruan ini yang dilakukan sambil menangis keras disebut kappa-

kolàhala.

(2) Cakkavatti-kolàhala

Kolàhala yang muncul di alam manusia yang menyerukan bahwa 

“Seorang raja dunia akan muncul” yang memerintah seluruh alam 

manusia di empat benua besar termasuk pulau-pulau kecil di 

sekelilingnya yang berjumlah dua ribu, disebut cakkavatti-kolàhala. 

3485

 2

Dewa penjaga dunia (lokapàla), dari Alam Dewa Kàmàvacara, yang 

telah mengetahui terlebih dahulu akan munculnya seorang raja 

dunia, menyerukan di jalan-jalan dan tempat-tempat umum dan 

meneriakkan kepada umat manusia di segala penjuru mengenai 

peristiwa yang akan terjadi seratus tahun mendatang.

“Teman-teman, seratus tahun sejak hari ini, seorang raja dunia akan 

muncul di dunia ini!”

Seruan ini yang dilakukan sambil berteriak keras disebut cakkavatti-

kolàhala.

(3) Buddha-kolàhala

Kolàhala yang memberitahukan kepada umat manusia di dunia 

bahwa, “Seorang Buddha akan muncul,” disebut Buddha-

kolàhala. Para brahmà dari Alam Suddhàvàsa, mengetahui terlebih 

dahulu mengenai peristiwa munculnya Buddha Yang Mahatahu, 

mengenakan pakaian brahmà, perhiasan, dan mahkota, dengan 

gembira menyusuri jalan-jalan dan tempat-tempat umum dan 

menyerukan kepada umat manusia di segala penjuru.

“Teman-teman, seribu tahun dari hari ini, seorang Buddha Yang 

Mahatahu akan muncul di dunia ini!”

Seruan ini yang dilakukan sambil berteriak keras disebut Buddha-

kolàhala.

(Pernyataan bahwa Buddha-kolàhala terjadi seribu tahun sebelum 

munculnya seorang Buddha, harus mempertimbangkan umur 

kehidupan Buddha ini  . Bodhisatta Dãpankara, Konda¤¤a, 

Maïgala, dan lain-lain yang berumur panjang, menikmati 

kehidupan istana selama sepuluh ribu tahun atau lebih, melepaskan 

keduniawian, mempraktikkan dukkaracariya dan menjadi Buddha. 

Buddha-kolàhala terjadi di alam surga, dan sebab   kolàhala ini  , 

para dewa dan brahmà di seluruh sepuluh ribu alam semesta 

mendatangi Bodhisatta dewa dan mengajukan permohonan. sesudah   

permohonan disetujui barulah Brahmà Suddhàvasa turun ke alam 

3486


manusia, menyusuri tempat-tempat umum dan menyerukan 

ramalan ini. Oleh sebab   itu, bisa lebih dari seribu tahun, atau lebih 

dari lima ribu tahun, mungkin sembilan atau sepuluh ribu tahun 

sesudah   Buddha-kolàhala ini baru seorang Buddha yang berumur 

panjang muncul. Jadi, harus dipahami, bahwa pernyataan “Buddha-

kolàhala terjadi seribu tahun sebelum kemunculan Buddha” tidak 

berlaku untuk semua Buddha. Namun hanya berlaku untuk Buddha-

Buddha yang berumur pendek seperti Buddha Gotama.

(4) Maïgala-kolàhala

sebab   keraguan akan arti dari Maïgala (berkah), umat manusia 

berkumpul dan mengartikan dengan caranya masing-masing, 

dan mengatakan “Ini disebut Maïgala!,” “Ini disebut Maïgala!,” 

sehingga menimbulkan keributan, “Mereka bilang ini Maïgala.” 

Suara-suara perdebatan ini disebut Maïgala-kolàhala. Brahmà 

Suddhàvàsa yang telah mengetahui sebelumnya bahwa Buddha 

akan memberi   khotbah yang menjelaskan tentang Maïgala, 

mengetahui pikiran umat manusia yang mencari kebenaran mengenai 

berkah, menyusuri tempat-tempat umum dan menyerukan kepada 

umat manusia di segala penjuru dua belas tahun sebelum Buddha 

memberi   khotbah-Nya.

“Teman-teman, dua belas tahun sejak hari ini, Buddha akan 

memberi   khotbah Maïgala!”

 

Seruan ini yang dilakukan sambil berteriak keras disebut Maïgala-

kolàhala.

(5) Moneyya-kolàhala

Kolàhala sehubungan dengan praktik pertapaan moneyya (latihan 

mulia) disebut moneyya-kolàhala (Penjelasan mengenai praktik 

moneyya terdapat dalam kisah Thera Nàlaka.) Brahmà Suddhàvàsa 

yang telah mengetahui sebelumnya bahwa seorang bhikkhu di 

alam manusia akan mendatangi Buddha untuk menanyakan 

mengenai pertapaan moneyya, menyusuri tempat-tempat umum 

dan menyerukan kepada umat manusia di segala penjuru tujuh 

3487

 2

tahun sebelum Buddha mengajarkan.

“Teman-teman, tujuh tahun sejak hari ini, seorang bhikkhu 

akan mendatangi Buddha dan menanyakan mengenai Dhamma 

moneyya!”

Seruan ini yang dilakukan sambil berteriak keras disebut moneyya-

kolàhala.

Demikianlah lima kolàhala. Penjelasan lengkap dari lima ini terdapat 

dalam Aññhakathà dari Buddhavaÿsa, Jàtaka, Kosala, Saÿyutta, 

Kuddaka-Pàñha, dan Jinàlaïåkàra.

Permohonan Kepada Bodhisatta Dewa

Lima Pertanda (Pubba-nimitta) yang Meramalkan Kematian 

Para Dewa

Lima pubba-nimitta yaitu  :

(1) bunga-bunga surgawi menjadi layu,

(2) pakaian dan perhiasan surgawi menjadi kotor,

(3) keringat bercucuran dari ketiak,

(4) kecantikan fisik memudar,

(5) merasa tidak nyaman berada di rumah di surga.

(1) Bunga-bunga surgawi menjadi layu: bunga-bunga yang 

bermekaran yang muncul sebagai penghias sejak hari dewa 

ini   dilahirkan di alam dewa, mulai mengering. Bunga-

bunga yang muncul dari tubuhnya bersamaan dengan 

terlahirnya dewa tidak pernah layu sepanjang kehidupan 

mereka. Bunga-bunga ini mulai layu sejak tujuh hari sebelum 

akhir hidup mereka (tujuh hari menurut perhitungan kalendar 

manusia). (Bunga-bunga milik Bodhisatta Dewa Setaketu tidak 

pernah mengering selama dewa ini   hidup di alam Surga 

Tusita, yaitu, selama lima puluh tujuh crore enam juta tahun 

menurut perhitungan kalendar surgawi. Bunga-bunga ini mulai 

mengering sejak tujuh hari manusia sebelum ia meninggal 

dunia.)

3488


(2) Pakaian dan perhiasan surgawi menjadi kotor: sama seperti 

kasus sebelumnya, pakaian dan perhiasan surgawi tidak pernah 

kotor; namun tujuh hari menjelang kematian dewa, pakaian dan 

perhiasan ini menjadi kotor.

(3) Keringat bercucuran dari ketiak: alam surga tidak seperti alam 

manusia, tidak ada perubahan cuaca seperti panas dan dingin. 

Tetapi tujuh hari menjelang kematian dewa, butir-butir keringat 

mengucur dari seluruh tubuhnya (terutama dari ketiak).

(4) Kecantikan fisik memudar: tanda-tanda usia tua, seperti gigi 

yang mulai tanggal, rambut memutih, kulit mulai keriput dan 

tanda-tanda ketuaan lainnya yang memperlihatkan rusaknya 

tubuh tidak pernah terjadi; dewi-dewi selalu terlihat seperti 

berumur enam belas tahun dan dewa-dewa selalu terlihat 

seperti berumur dua puluh tahun, mereka selalu terlihat 

muda dan segar, cerah, memiliki warna-warni yang indah; 

namun keindahan tubuh ini mulai melemah dan memudar saat 

menjelang meninggal dunia.

(5) Merasa tidak nyaman berada di rumah di surga: mereka tidak 

pernah mengalami ketidakbahagiaan di dalam istana surga 

sepanjang kehidupan mereka; mereka mulai merasa tidak 

nyaman dan kehilangan kebahagiaan berada di dalam tempat 

tinggal mereka saat mereka akan meninggal dunia.

Lima Pubba-nimitta Tidak Terjadi Pada Semua Dewa

Meskipun lima pubba-nimitta muncul pada dewa yang sedang 

sekarat seperti yang dijelaskan sebelumnya, harus dimengerti bahwa 

hal ini tidak terjadi pada semua makhluk dewa. Seperti halnya di 

alam manusia, pertanda-pertanda seperti jatuhnya meteor, gempa 

bumi, gerhana bulan dan matahari, dan sejenisnya berhubungan 

dengan raja atau menteri yang mahakuasa, dan lain-lain, demikian 

pula di alam dewa, pubba-nimitta ini hanya terjadi pada dewa atau 

dewi yang maha agung, namun tidak terjadi pada dewa yang tidak 

memiliki kekuasaan dan keagungan yang besar.

3489

 2

Seperti halnya, pertanda baik atau buruk yang muncul di alam 

manusia hanya dipahami oleh orang-orang terpelajar, demikian pula 

pertanda-pertanda, baik atau buruk, yang meramalkan peristiwa 

yang terjadi di alam dewa, hanya dipahami oleh para dewa yang 

bijaksana.

saat   pertanda ini   muncul pada dewa yang tidak pernah 

melakukan kebajikan, mereka menjadi ketakutan, “Siapa yang 

tahu di mana aku akan dilahirkan?” Sedangkan mereka yang 

banyak melakukan kebajikan, tidak merasa khawatir sama sekali, 

mengetahui bahwa, “Kita akan menikmati kebahagiaan yang 

lebih tinggi di alam dewa yang lebih tinggi sebab   jasa yang kita 

peroleh dari dàna, sãla, dan meditasi yang kita lakukan.” (Penjelasan 

Mahàpadàna Sutta, Sutta Mahà Vagga Aññhakathà.)

Bodhisatta Memasuki Rahim, Kehamilan Pada Tahap Kedua 

Kehidupan

Akan muncul pertanyaan sehubungan dengan mengapa Ratu 

Maya mengandung Bodhisatta hanya pada periode ketiga pada 

tahap kedua hidupnya. Jawabannya yaitu  : nafsu indria dalam 

diri manusia dalam tahap pertama kehidupan biasanya sangat 

kuat. Sehingga, perempuan yang hamil pada tahap ini, cenderung 

tidak mampu menjaga kehamilannya. Ketidakmampuan ini 

menyebabkan berbagai bentuk kecelakaan dan kesukaran dalam 

masa kehamilan.

Tahap pertengahan yaitu tahap kedua dari tiga tahap dibagi lagi 

dalam tiga periode yang sama. saat   seorang perempuan berada 

dalam periode yang ketiga, rahimnya bersih dan murni. Bayi yang 

dikandung dalam rahim yang bersih dan murni ini akan sehat, dan 

bebas dari penyakit.

Ibu seorang Bodhisatta dalam kehidupan terakhirnya menikmati 

kenikmatan dalam tahap pertama kehidupannya, dan biasanya ia 

akan meninggal sesudah   melahirkan Bodhisatta selama periode ketiga 

dari tahap kedua hidupnya. (Juga merupakan sebuah fenomena yang 

3490


lazim bahwa ia akan meninggal dunia tujuh hari sesudah   melahirkan 

Bodhisatta. Ia meninggal bukan sebab   melahirkan. Sebenarnya, 

(Bodhisatta) dewa turun ke alam manusia, sesudah   melihat bahwa 

calon ibunya hanya akan hidup selama sepuluh bulan tujuh hari lagi 

sesudah   ia memasuki rahimnya, seperti yang dijelaskan dalam kisah 

Lima Penyelidikan yang dilakukan oleh Bodhisatta dewa. Jadi, jelas 

bahwa kematiannya bukan disebabkan oleh kelahiran anak, namun 

sebab   waktunya telah habis.) (Dãgha Nikàya Aññhakathà.)

Perjalanan Ratu Mahà-Màyà dari Kapilavatthu Menuju 

Devadaha

Kisah mengenai kunjungan Ratu Mahàmàyà dari Kapilavatthu 

menuju Devadaha tertulis dalam Jinattha Pakàsanã sebagai 

berikut:

“sesudah   membersihkan dan meratakan jalan sepanjang lima yojanà 

antara Devadaha dan Kapilavatthu hingga seperti tanah yang 

keras….”

Dalam Tathàgata Udàna Dãpanã, tertulis sebagai berikut:

“sesudah   memperbaiki jalan sepanjang tiga puluh yojanà dari 

Kapilavatthu sampai Devadaha dengan menimbun lubang-lubang, 

memperluas sehingga nyaman untuk dilalui....”

Dua Tulisan yang Berbeda

Dalam buku ini, kami mengikuti apa yang tertulis dalam Aññhakathà 

dari Buddhavaÿsa dan Jàtaka di mana jarak kedua kerajaan ini, 

Kapilavatthu dan Devadaha tidak disebutkan, Komentar ini hanya 

menjelaskan mengenai perbaikan jalan saja.

Kendaraan yang digunakan oleh Ratu Mahàmàyà dalam buku ini 

disebutkan yaitu   tandu emas, sesuai dengan yang tertulis dalam 

Komentar yang sama. (Tidak perlu heran mengenai bagaimana 

tandu ini dapat diangkat oleh seribu orang laki-laki, sama halnya 

dengan yang tertulis dalam kalimat, “Bodhisatta disusui oleh dua 

3491

 2

ratus empat puluh pengasuh,” ini tentu saja dilakukan secara 

bergiliran, atau mungkin juga, tandu ini ditarik oleh mereka secara 

bersamaan dengan memakai   tali kain yang panjang.)

Dalam Tathàgata Udàna Dãpanã, dijelaskan sebagai berikut:

“Jalan itu yang sepanjang tiga puluh yojanà, diperbaiki, dihias 

dengan indah dan megah, ratu mengendarai kereta istana yang 

ditarik oleh delapan kuda berwarna putih teratai dari jenis Valàhaka 

Sindhã; Raja Suddhodana turut menyertainya, menemaninya hingga 

sejauh setengah yojanà; dari sana ia turun dan kembali sesudah   

menerima penghormatan dari ratu dan mengucapkan kata-kata 

dukungan. Kuda-kuda putih itu dengan gembira menarik kereta, 

berpikir, “Pelayanan kita dengan menarik Ratu Mahàmàyà dengan 

Bodhisatta yang sedang dikandungnya akan membuahkan jasa yang 

dapat membawa menuju Nibbàna.”

Aññhakathà dari Buddhavaÿsa dan Jàtaka serta Jinàlaïåkàra Tãkà 

tidak menyebutkan hal ini. Yang disebutkan hanya bahwa perjalanan 

itu dilakukan dengan mengendarai tandu emas.

Hutan Sala Lumbinã

Sehubungan dengan Hutan Sala Lumbinã, dua versi—satu dari 

Buddhavaÿsa Aññhakathà dan yang lain dari Jàtaka Aññhakathà―

dituliskan di sini. Kalimat “…berloncatan ke sana kemari menikmati 

sari makanan untuk mereka dan membawakannya untuk yang lain” 

yaitu   sesuai dengan tulisan Ngakhon Sayadaw. Terlihat dalam 

komentar dari buku Sayadaw ini   berisi “anubhuttasa¤jàràhi”. 

Dalam Komentar-Komentar, bahkan yang bersumber dari edisi 

Chaññha Saïgàyanà, terdapat “anubhuttasa¤jàràhi”. Kamus 

mengartikan panjara yang terdapat dalam Komentar sebagai 

‘sangkar’, namun ‘sangkar’ tidaklah tepat.

Juga, parabhata-madhukara-vadhÃ¥di diterjemahkan “dengan 

lebah-lebah betina yang membawakan (makanan) untuk lebah-

lebah lain juga.” Walaupun parabhata memiliki kicauan seperti 

dalam arti dalam abhidhàna, arti ini   tidak sesuai di sini, tidak 

3492


pada tempatnya. Oleh sebab   itu, Ngakhon Sayadaw menyebutkan 

“membawakan untuk yang lain” dalam terjemahannya.

Mempertimbangkan terjemahan secara rasional, kita dapat melihat 

pembagian tugas antara lebah-lebah ini: (1) ada lebah-lebah (betina) 

yang membawa berbagai jenis makanan yang tersedia dari empat 

penjuru, (2) lebah-lebah betina yang menunggu di sarangnya dan 

mengolah berbagai rasa makanan tadi menjadi madu yang manis.

Di sini dalam Buddhavaÿsa Aññhakathà, yang dimaksudkan yaitu   

lebah betina (pekerja). Oleh sebab   itu “parabhata-madhukara-

vadhÃ¥di” harus diterjemahkan “lebah-lebah betina mengolah 

makanan menjadi madu dari berbagai jenis dan rasa makanan yang 

dibawa oleh lebah-lebah lain (lebah pembawa makanan)”. Sehingga 

dapat diterima jika kalimat ini   yaitu   sebagai berikut: ”Lebah-

lebah betina mengolah makanan menjadi madu dari berbagai jenis 

dan rasa makanan yang dibawa oleh lebah-lebah pembawa makanan 

yang beterbangan ke sana-kemari di antara pohon-pohon besar dan 

kecil untuk mengambil makanan.”

Kelahiran Bodhisatta

 

Sehubungan dengan kelahiran Bodhisatta, Tathàgata Udàna 

Dãpanã dan beberapa tulisan dalam bahasa Myanmar mengenai 

Buddhavaÿsa menyebutkan, “saat   mendekati waktunya bagi 

Ratu Mahàmàyà untuk melahirkan, adiknya, Pajàpati Gotamã, 

memberi   bantuan dengan menyanggahnya dari sebelah kiri; ia 

melahirkan dengan dibantu oleh para pelayannya di sekelilingnya.” 

Dalam Buddhavaÿsa Aññhakathà, Jàtaka Aññhakathà dan Jinàlaïåkàra 

Tãkà, disebutkan bahwa saat   waktu kelahiran hampir tiba sesudah   

ia merasakan desakan dari rahimnya yang mendorong kelahiran, 

mereka yang melakukan perjalanan bersamanya membuat tirai dan 

lalu   pergi menjauhinya; saat   sedang sendirian itulah, ratu 

melahirkan Bodhisatta. Karya ini sesuai dengan apa yang dituliskan 

dalam komentar-komentar ini  . 

Pernyataan mengenai dua aliran air, hangat dan dingin, yang 

memungkinkan (ibu dan anak) menyesuaikan suhu tubuh 

3493

 2

mereka segera sesudah   kelahiran yaitu   berdasarkan penjelasan 

dari Mahàpadàna Sutta, Buddhavaÿsa Aññhakatha, dan Jàtaka 

Aññhakatha.

Apa yang secara khusus tertulis dalam Sutta Mahà Vagga Aññhakathà, 

dari dua aliran air ini, yang dingin mengalir masuk ke dalam kendi 

emas dan yang hangat mengalir masuk ke dalam kendi perak. 

Dua aliran air ini yang turun dari langit itu dimaksudkan untuk 

digunakan oleh anak dan ibu, yang tidak dinodai oleh kotoran 

tanah, untuk diminum atau sekadar bermain-main, tidak untuk 

orang-orang lain. Selain air hangat dan dingin yang turun dari langit 

dan masuk ke dalam kendi emas dan perak, air dari Danau Haÿsa, 

dan lain-lain tersedia dalam jumlah yang tidak terbatas. Inilah hal 

khusus yang perlu menjadi perhatian.

Riwayat Kàladevila, Sang Petapa 

(Nama petapa ini yaitu   Devala dalam versi Sinhala, dalam bahasa 

Myanmar disebut Devila.) Kisah Devila dikutip dari Sutta Nipàta 

Aññhakathà, Vol. II.

Devila sang petapa yaitu   penasihat dari Raja Sãhahanu, Raja 

Kapilavatthu dan ayah dari Raja Suddhodana. sebab   kulitnya 

yang hitam, sang brahmana petapa dipanggil dengan nama Asita. 

Dia yaitu   guru istana dan penasihat yang melayani Raja Sãhahanu 

dengan memberi   nasihat-nasihat sehingga raja dapat mengatasi 

semua situasi, baik itu urusan politik, administrasi, maupun hal-hal 

lain yang dihadapi.

Selama pemerintahan Raja Sãhahanu, ia yaitu   guru dan pengawal 

bagi Pangeran Suddhodana yang masih sebagai pangeran dan 

belum naik tahta. Devila mengajarkan berbagai tata karma istana 

dan peraturan-peratuan kerajaan dan mendidiknya dalam hal 

ketatanegaraan serta melatih banyak keahlian.

saat   Pangeran Suddhodana mewarisi tahta, dan dilantik 

menjadi raja sesudah   Raja Sãhahanu, ia tetap menjadi penasihat Raja 

Suddhodana.

3494


sesudah   naik tahta, Raja Suddhodana tidak menunujukkan 

penghormatan yang tinggi kepada gurunya seperti sewaktu ia 

masih menjadi seorang pangeran muda; dalam suatu persidangan, 

ia hanya mengangkat kedua tangannya untuk memberi   hormat 

sesuai tradisi seorang raja Sakya.

sebab   tidak mendapatkan penghormatan dari raja seperti 

sebelumnya, sebab   keangkuhannya, sebagai seorang yang berasal 

dari kasta brahmana dan seorang guru, ia menjadi tidak bahagia, 

tidak puas, dan merasa bosan akan kewajibannya untuk datang ke 

istana, ia memohon restu dari sang raja untuk menjadi petapa.

Megetahui keinginan yang kuat dari guru, Suddhodana memohon, 

“Engkau boleh menjadi petapa. Tetapi sesudah   menjadi petapa, 

mohon agar tidak pergi jauh. Sudilah engkau menetap di tamanku 

agar aku dapat dengan mudah menemuimu.” sesudah   menyanggupi 

permohonan raja dengan mengatakan, “Baiklah,” dan menjadi 

petapa serta menerima perlakuan yang menyenangkan dari raja 

ia menetap di taman kerajaan, terus-menerus bermeditasi dengan 

objek kasiõa hingga ia mencapai lima kekuatan batin. sesudah   

memperoleh kekuatan batin ini, ia biasanya makan setiap hari di 

istana Raja Suddhodana, lalu   berkunjung ke Pegunungan 

Himàlaya, Alam Catumahàràjika, Alam Tàvatiÿsa, dan tempat-

tempat lain untuk melewatkan hari-harinya.

Silsilah Bodhisatta Secara Singkat

Sehubungan dengan penyelidikan Bodhisatta mengenai keluarga 

di mana ia akan dilahirkan (kula olokana), sejarah raja-raja Sakya, 

akan dijelaskan sebagai berikut. Penjelasan ini dimaksudkan 

untuk memahami ciri-ciri dari tingginya derajat Bodhisatta sebab   

kelahirannya (jàtimahatta-guõa).

Dalam periode pertama dari banyak kappa yang tidak terhitung 

lamanya (vivaññathàyã asaïkhyeyya kappa), raja pertama umat 

manusia di awal terbentuknya dunia yaitu   Bodhisatta kita. Waktu 

itu Beliau bernama Manu.

3495

 2

Bodhisatta Manu terlihat lebih tampan, lebih menyenangkan dilihat, 

lebih dihormati, agung, dan berbudi luhur dibanding siapa pun di 

dunia ini pada masa-masa awal dunia.

Pada masa itu, umat manusia memiliki moral yang suci, namun 

lambat laun muncul orang-orang yang mulai melakukan tindak 

kejahatan seperti mencuri, dan lain-lain. Agar dapat hidup bebas 

dari bahaya ini dan agar dapat hidup dalam damai, orang-orang 

pada masa itu berdiskusi dan memutuskan untuk memilih seseorang 

yang dapat memimpin mereka dengan adil.

Mereka juga setuju bahwa Manu, Bodhisatta, yaitu   yang terbaik 

untuk memimpin mereka, sebab   ia memenuhi semua persyaratan 

yang diperlukan. lalu   mereka semua mendatanginya 

dan mengajukan permohonan agar ia sudi menjadi pemimpin 

mereka.

Sewaktu Manu menjalani kewajibannya sebagai pemimpin, para 

warga   di bawah kepemimpinannya menghormatinya dengan 

membayar pajak, sebagai imbalan atas jasanya sebagai pemimpin, 

yang berjumlah sepersepuluh dari panen yang mereka hasilkan.

Mendapat Tiga Gelar

1. Para warga   secara bulat mengakui kepemimpinan 

Bodhisatta, tidak ada yang keberatan sama sekali, sebagai 

seorang yang mampu memimpin mereka dengan kebajikan, 

sehingga penghargaan diberikan dalam bentuk membayar 

pajak. Oleh sebab   itu ia mendapat gelar mahàsammata.

2. Tidak ada perselisihan atau pertengkaran sehubungan dengan 

kepemilikan tanah. (Jika ada) Yang Mulia Manu dengan 

kekuasaannya akan memutuskan dengan adil. Oleh sebab   itu 

ia mendapat gelar khattiya.

3. sebab   ia dipilih oleh para warga   untuk menjalani tugas-

tugas kerajaan, ia mendapat gelar ketiga, ràjà.

3496


Dalam bhadda kappa ini, Manu, sang Bodhisatta yaitu   yang 

pertama dari semua raja yang memperoleh tiga gelar ini, 

mahàsammata, khattiya, dan ràjà.

Bagaikan matahari yang memiliki seribu berkas cahaya dan 

memberi   sinarnya kepada semua makhluk sehingga dapat 

melihat berbagai bentuk dan warna, demikian pula Manu sang 

Bodhisatta, bagaikan mata umat manusia pada masa itu yang 

memiliki banyak ciri mulia, bersinar terang, seolah-olah ia yaitu   

matahari kedua, sehingga ia juga disebut keturunan àdiccavaÿsa 

(keturunan matahari).

(Sehubungan dengan mahàsammata pada masa awal dunia, 

dan juga sehubungan dengan antara kappa yang sekarang yang 

merupakan yang keempat dari enam puluh empat pembagian 

kondisi Vivattatthàyã dari asaïkhyeyya kappa yang merupakan 

seperempat dari bhadda kappa ini, beberapa penulis terpelajar 

menulis secara berbeda. Dalam “Kronologi Istana Kaca” yang 

ditulis oleh beberapa bhikkhu terpelajar dan beberapa menteri yang 

berkumpul dan mendiskusikan selama tiga tahun di dalam istana 

kaca dalam masa pemerintahan Raja Bagyidaw, pendiri keempat 

dari Kota Ratanapura, dan dalam Kappa Vinicchaya Pàtha Nissaya 

yang ditulis sebagai penyelesaian dari perdebatan, oleh Mohtà 

Thathanabaing Sayadaw, berjudul Sujàtàbhisirãdhajadhipatipavara 

Mahàdhamma-Rajàdhiràjaguru, atas permintaan Raja Mindon, yang 

memimpin sidang Sangha kelima, diputuskan untuk memberi   

bukti-bukti yang kuat dan cukup banyak dari Tipiñaka, Komentar, 

dan Subkomentar, bahwa hanya ada satu Bodhisatta Mahàsammata 

dan antara kappa sekarang yaitu   yang keempat.

(Khususnya di Kappavinicchaya terdapat bagian khusus (visesa 

kaõda) yang berisi pertanyaan-pertanyaan dan jawaban-jawaban 

(codanà dan sodanà) yang memberi   kesimpulan dan keputusan 

atas topik-topik yang diperdebatkan seperti sebelas antara kappa, 

sebelas mahàsammata, antara kappa kedua belas, antara kappa 

kesembilan belas, dan berbagai diskusi yang menjelaskan dengan 

bukti-bukti yang kuat sehingga semua pihak, bhikkhu dan umat 

3497

 2

awam menjadi bebas dari keraguan.

(Berikut ini yaitu   urutan raja-raja (ràjakkama) seperti mahàsammata 

dan seterusnya, yang bersumber dari Mahàvaÿsa dan Mahàsutakàrã 

Maghadeva Laïkà:

(1) pertama, Manu Mahàsammata,

(2) putranya, Raja Roca,

(3) putranya, Raja Vara-roca,

(4) putranya, Raja Kañyàna,

(5) putranya, Raja Vara-Kañyàna,

(6) putranya, Raja Uposattha,

(7) putranya, Raja Mandhàtu (Bodhisatta),

(8) putranya, Raja Vara,

(9) putranya, Raja Upavara,

(10) putranya, Raja Cetiya,

(11) putranya, Raja Mucala,

(12) putranya, Raja Mahàmucala,

(13) putranya, Raja Mucalinda,

(14) putranya, Raja Sàgara,

(15) putranya, Raja Sàgaradeva,

(16) putranya, Raja Bharata,

(17) putranya, Raja Aïågira,

(18) putranya, Raja Ruci,

(19) putranya, Raja Suruci (juga disebut Mahàruci),

(20) putranya, Raja Patàpa,

(21) putranya, Raja Mahàpatàpa,

(22) putranya, Raja Panàda,

(23) putranya, Raja Mahàpanàda,

(24) putranya, Raja Sudassana,

(25) putranya, Raja Mahàsudassana,

(26) putranya, Raja Neru,

(27) putranya, Raja Mahà Neru, dan

(28) putranya, Raja Accima.

(a) Dua puluh delapan raja ini yaitu   manusia yang berumur 

sangat panjang hingga asaïkhyeyya. Dua puluh tujuh raja 

sesudah   Mahàsammata yaitu   keturunannya. Beberapa dari 

3498


dua puluh delapan raja ini memerintah di Kota Kusavatã, yang 

lainnya di Ràjagaha dan Mithilà.

(b) Raja Accima, yang terakhir dari dua puluh delapan raja, 

mendirikan kembali Kota Kusavati dan memerintah di sana; 

keturunannya persis berjumlah seratus orang. (Dãpavaÿsa 

menyebutkan bahwa mereka tinggal di Kapilavatthu.)

(Berdasarkan sumber dari Mahà Sutakàrã Magha Deva Laïåka yang 

mengurutkan raja-raja (a) dan (b) seluruhnya berjumlah seratus dua 

puluh delapan raja.)

(c) Dari seratus raja keturunan Raja Accima, yang terakhir bernama 

Raja Arindama. Putranya mendirikan Kota Ayujjhapura 

dan memerintah di sana; dia dan keturunannya seluruhnya 

berjumlah lima puluh enam.

(d) Raja terakhir dari lima puluh enam ini bernama Duppasaha. 

Putranya membangun Kota Bàràõasi dan memerintah di sana; 

dia dan keturunannya di kota itu berjumlah enam puluh.

(e) Raja terakhir dari enam puluh raja ini bernama Ajita. Putranya 

membangun Kota Kambala; dia dan keturunannya di kota itu 

seluruhnya berjumlah delapan puluh empat ribu.

(f) Raja terakhir dari delapan puluh empat ribu raja ini bernama 

Brahmadatta. Putranya membangun Kota Hatthipura dan 

memerintah di sana; dia dan keturunannya di kota itu 

seluruhnya berjumlah tiga puluh enam.

(Menurut sumber Laïåka yang sama yang mengurutkan raja-raja 

(c), (d), (e), dan (f) seluruhnya berjumlah 84.152.)

(g) Raja terakhir dari tiga puluh enam raja ini bernama Kambala-

vaÿsa. Ia membangun Kota Ekacakkhu dan memerintah di 

sana; dia dan keturunannya di kota itu seluruhnya berjumlah 

tiga puluh dua.

(h) Raja terakhir dari tiga puluh dua raja ini bernama Purindeva 

(Surindeva atau Munindeva dalam versi lainnya). Putranya 

membangun Vajiramutti dan memerintah di sana; dia dan 

keturunannya di kota itu seluruhnya berjumlah dua puluh 

delapan.

3499

 2

(i) Raja terakhir dari dua puluh delapan raja ini bernama Sàdhina. 

Putranya membangun Mathura dan memerintah di sana; dia 

dan keturunannya di kota itu seluruhnya berjumlah dua puluh 

dua.

(j) Raja terakhir dari dua puluh dua raja ini bernama Dhammagutta. 

Putranya membangun Ariññhapura dan memerintah di sana; dia 

dan keturunannya di kota itu seluruhnya berjumlah delapan 

belas.

(k) Raja terakhir dari delapan belas raja ini bernama Sippi. Putranya 

membangun Indapattha-nagara dan memerintah di sana; dia 

dan keturunannya di kota itu seluruhnya berjumlah dua puluh 

dua.

(Menurut sumber Laïåka yang sama yang menggabungkan (g), (h), 

(i), (j), dan (k) seluruhnya berjumlah seratus tujuh belas.)

(l) Raja terakhir dari seratus tujuh belas raja ini yaitu   Brahmàdeva. 

Putranya juga memerintah di Ekacakkhu, ia dan keturunannya 

di kota itu seluruhnya berjumlah lima belas.

(m) Raja terakhir dari lima belas raja ini yaitu   Baladatta. Putranya 

membangun Kosambi dan memerintah di sana; ia dan 

keturunannya di kota itu seluruhnya berjumlah empat belas.

(n) Raja terakhir dari empat belas raja ini yaitu   Hatthideva. 

Putranya membangun Kannagocchi dan memerintah di 

sana; ia dan keturunannya di kota itu seluruhnya berjumlah 

sembilan

(o) Raja terakhir dari sembilan raja ini yaitu   Naradeva. Putranya 

membangun Rocana dan memerintah di sana; ia dan 

keturunannya di kota itu seluruhnya berjumlah tujuh

(p) Raja terakhir dari tujuh raja ini yaitu   Mahinda. Putranya 

membangun Campà dan memerintah di sana; ia dan 

keturunannya di kota itu seluruhnya berjumlah dua belas.

(Menurut sumber Laïåka yang sama yang menggabungkan lima 

paragraf di atas seluruhnya berjumlah lima puluh tujuh raja.)

(q) Raja terakhir dari lima puluh tujuh raja ini yaitu   Nàgadeva. 

Putranya membangun Mithilà dan memerintah di sana; ia dan 

3500


keturunannya di kota itu seluruhnya berjumlah dua puluh 

lima.

(r) Raja terakhir dari dua puluh lima raja ini yaitu   Samuddadatta. 

Putranya kembali memerintah di Ràjagaha; ia dan keturunannya 

di kota itu seluruhnya berjumlah dua puluh lima.

(s) Raja terakhir dari dua puluh lima raja ini yaitu   Tidhaïåkara. 

Putranya membangun Takkasilà dan memerintah di sana; ia dan 

keturunannya di kota itu seluruhnya berjumlah dua belas.

(t) Raja terakhir dari dua belas raja ini yaitu   Tàlissara. Putranya 

membangun Kusinàra dan memerintah di sana; ia dan 

keturunannya di kota itu seluruhnya berjumlah dua belas.

(u) Raja terakhir dari dua belas raja ini yaitu   Purinda. Putranya 

membangun Tàmalitthiya dan memerintah di sana; ia dan 

keturunannya di kota itu seluruhnya berjumlah dua belas.

(Menurut sumber Laïåka yang sama yang menggabungkan lima 

paragraf di atas seluruhnya berjumlah delapan puluh tiga raja.)

(v) Dari delapan puluh tiga raja yang disebutkan di lima paragraf 

di atas. Raja terrakhir bernama Sàgaradeva. Putranya yaitu   

Maghadeva (Magghadeva). Ia dan putranya memerintah di 

Mithilà hingga jumlahnya mencapai delapan puluh empat ribu 

raja.

(w) Raja terakhir dari delapan puluh empat ribu raja ini bernama 

Nimi, Bodhisatta. Putranya bernama Kalàrajanaka, yang 

memiliki putra bernama Samaïåkara, yang putranya bernama 

Asoca (atau Asoka). Keturunan mereka yang berjumlah 84.003 

membangun kembali Bàràõasã dan memerintah di sana.

(x) Raja terakhir dari 84.003 raja ini bernama Sãhappati.

a. putra Raja Sãhappati yaitu   Raja Vijitasena,

b. putra Raja Vijitasena yaitu   Raja Dhammasena,

c. putra Raja Dhammasena yaitu   Raja Nàgasena,

d. putra Raja Nàgasena yaitu   Raja Samiddha,

e. putra Raja Samiddha yaitu   Raja Disampati,

f. putra Raja Disampati yaitu   Raja Reõu,

g. putra Raja Reõu yaitu   Raja Kusa,

h. putra Raja Kusa yaitu   Raja Mahàkusa,

i. putra Raja Mahàkusa yaitu   Raja Navaraññha,

3501

 2

j.  putra Raja Navaraññha yaitu   Raja Dasaraññha,

k.  putra Raja Dasaraññha yaitu   Raja Ràma,

l.  putra Raja Ràma yaitu   Raja Vilaraññha,

m.  putra Raja Vilaraññha yaitu   Raja Cittaraÿsa,

n.  putra Raja Cittaraÿsa yaitu   Raja Ambaraÿsã,

o.  putra Raja Ambaraÿsã yaitu   Raja Sujàta,

p.  putra Raja Sujàta yaitu   Raja Okkàka.

Enam belas raja ini semuanya memerintah di Bàrànasã.

Ada 252.556 keturunan sejak Mahàsammata Bodhisatta di awal 

dunia hingga Raja Okkaka.

(Sumber Maghadeva Laïka melakukan penjumlahan 84.003 dari 

(w), dan 16 dari (x) serta dari sumber-sumber lain, sehingga total 

seluruhnya menjadi 252.556 dimulai dari Mahàsammata hingga 

Raja Okkàka.)

(Di sini, berhubung penjelasan dari Ambaññha Sutta dari 

Sãlakkhandha Aññhakathà dan Muni Sutta dari Sutta Nipàta 

Aññhakathà menyebutkan bahwa “sesudah   delapan puluh empat raja 

dari silsilah Maghadeva, terdapat tiga raja berturut-turut dengan 

nama yang sama Okkàka” dan bahwa “Okkàka ketiga memiliki lima 

ratu, masing-masing ratu memiliki lima ratus pelayan perempuan.” 

Pangeran-pangeran Sakya diperkirakan yaitu   keturunan dari 

Okkàka III, dan raja terakhir dari 252.556 raja ini yaitu   Okkàka 

III.)

Riwayat Raja Okkàka

Istri-istri dari Raja Okkàka, raja terakhir dari 252.556 raja, yaitu   

Hatthà, Città, Jantu, Jèlinã, dan Visàkha. Masing-masing dari mereka 

memiliki lima ratus pelayan perempuan.

(Sang raja diberi nama Okkàka, sebab   saat   ia berbicara, dari 

mulutnya terpancar sinar seolah-olah berasal dari bintang (dikutip 

dari penjelasan Ambaññha Sutta). Layak untuk diketahui bahwa 

dalam sejarah Myanmar, Raja Kyansittha, Raja ManÃ¥hà, juga 

3502


memancarkan sinar yang cemerlang dari mulutnya.)

(Juga jangan beranggapan bahwa kota Raja Okkàka yaitu   Bàrànasã. 

sebab   pada Komentar Ambaññha Sutta disebutkan bahwa putrinya, 

Piyà, menikah dengan Raja Ràma dari Bàrànasã. (Kota Raja Okkàka 

(ketiga) bisa kota apa pun kecuali Bàrànasã.)

Dari kelima ratu, yang tertua, Hatthà melahirkan empat putra, 

bernama, Ukkàmukha, Karakaõóu, Hatthinika, SinisÃ¥ra, dan lima 

putri, bernama, Piyà, Suppiyà, ânandà, Vijità, dan Vijitasenà.

saat   Ratu Hatthà wafat sesudah   melahirkan anak-anaknya, Raja 

Okkàka mengangkat seorang putri yang muda dan cantik sebagai 

permaisurinya; ia melahirkan seorang putra bernama Jantu. Pada 

hari kelima sesudah   melahirkan, sang ratu mengenakan pakaian dan 

perhiasan yang lengkap dan menunjukkan putranya kepada sang 

raja. Raja sangat gembira sehingga ia menganugerahkan sebuah 

permintaan kepada sang ratu, dengan berkata, “Ambillah apa pun 

yang engkau inginkan!”

sesudah   berunding dengan sanak saudaranya, sang ratu meminta 

agar putranya, Jantu, dijadikan raja. Raja menolak dan memarahinya, 

“Engkau jahat, engkau ingin mencelakai putra-putraku!” Dalam 

setiap saat-saat gembira, ratu mencoba membujuk raja dan berkata, 

“Baginda, seorang raja tidak boleh mengingkari janjinya. Engkau 

harus menepati janji.” Demikianlah, ia terus-menerus menuntut agar 

kerajaan dilimpahkan kepada putranya. Raja lalu   memanggil 

putra-putranya, Ukkàmukha dan lain-lainnya dan berkata dengan 

sedih:

“Anak-anakku, sebab   gembira melihat adik kalian, aku menjanjikan 

anugerah kepada ibu Jantu. Sekarang ibu Jantu ingin agar putranya 

menjadi raja. Selain gajah, kuda dan kereta istana, bawalah gajah, 

kuda, dan kereta sebanyak yang kalian inginkan, lalu   pergilah 

menetap di suatu tempat yang jauh dari kota ini sampai aku mati. 

sesudah   kematianku kembalilah dan ambil alih kerajaan ini.”

sesudah   berkata demikian, Raja memberangkatkan putra-putranya 

3503

 2

bersama dengan delapan menteri.

Ukkàmukha dan saudara-saudaranya merasa sangat sedih dan 

menangis. Mereka bersujud kepada ayah mereka dan berkata, 

“Ayah, maafkan kesalahan kami.” Mereka juga meminta maaf 

kepada para pelayan. Lima putri memohon kepada raja, “Ayah, 

izinkan kami pergi bersama saudara kami,” dan lalu   mereka 

keluar dari kota, mereka melakukan perjalanan bersama saudara-

saudara laki-laki mereka yang diiringi oleh delapan menteri 

dan pasukan yang terdiri dari empat lapis prajurit (gajah, kuda, 

kereta, dan berjalan kaki) keluar dari kota. Sejumlah besar laki-laki 

mengikuti para pangeran, dengan pikiran, “Putra-putra raja ini, 

pasti kembali dan memerintah sesudah   kematian ayahnya. Kami 

harus melayani mereka sejak sekarang.”

Jumlah pengikut bertambah dari satu yojanà pada hari pertama 

menjadi dua yojanà pada hari kedua, dan tiga yojanà pada hari 

ketiga. Mereka berunding, “Kekuatan pasukan kita sangatlah besar; 

jika kita menghendaki berperang untuk merebut kerajaan lain di 

sekitar sini dengan kekuatan kita ini; tidak akan ada raja yang berani 

melawan. Tetapi apa gunanya merebut paksa kerajaan lain dengan 

kekerasan. Sama sekali tidak bermanfaat! JambÃ¥dãpa ini sangat luas. 

Kita akan mendirikan kota baru di wilayah hutan yang masih bebas.” 

sesudah   sepakat demikian, mereka menuju Pegunungan Himalaya 

dan mencari sebuah wilayah untuk mendirikan kota.

Mendirikan Kapilavatthu

Pada waktu itu, Bakal Buddha kita yaitu   seorang brahmana 

bernama Kapila yang kaya raya yang berasal dari keluarga yang 

sangat kaya raya. sesudah   meninggalkan semua harta kekayaannya, 

ia menjalani kehidupan sebagai petapa dan tinggal di sebuah gubuk 

dari daun-daunan yang ia dirikan di dekat sebuah danau yang jernih 

airnya di dalam hutan jati di lereng Pegunungan Himalaya.

sebab   menguasai ilmu pengetahuan mengenai tanah (pelajaran 

mengenai tanda-tanda dari tanah), yang disebut BhÃ¥mijàla, Kapila 

sang petapa dan Bakal Buddha mengetahui keunggulan dan 

3504


keburukan dari tanah sampai delapan puluh lengan di bawah dan 

delapan puluh lengan di atas tanah. Di sekitar tempat di mana gubuk 

daun kapila berada, rumput-rumputan, pohon-pohonan, dan semak 

belukar tumbuh dengan subur, dengan tunas-tunas yang tumbuh 

menghadap ke timur. Selain itu, binatang-binatang pemangsa seperti 

singa dan macan yang sedang memburu mangsanya seperti rusa 

dan babi yang merupakan santapan mereka, atau saat   ular dan 

kucing yang sedang memburu katak dan tikus, sampai di tempat 

ini, mereka tidak dapat menangkap buruannya, malah sebaliknya 

mereka akan lari berbalik, sebab   ketakutan akan sikap bermusuhan 

yang ditunjukkan oleh calon mangsanya masing-masing. Melihat 

hal ini, Kapila menyimpulkan, “Tempat ini yaitu   tempat terbaik 

di mana musuh-musuh dapat ditaklukkan.”

saat   para pangeran yang dipimpin oleh Ukkàmukha sedang 

mencari tempat yang tepat untuk dijadikan kota, mereka tiba 

di gubuk daun sang petapa. Menanyakan kepada sang petapa 

mengenai maksud mereka, mereka menceritakan rencana mereka. 

Mengetahui permasalahannya, Kapila, sang petapa dan Bakal 

Buddha merasa sedih dan berkata:

“Pangeran, kota yang didirikan di pertapaanku ini, akan menjadi 

kota yang terbaik di seluruh Jambudãpa. Di antara semua orang 

yang dilahirkan di kota ini, salah satunya akan mampu mengatasi 

yang lain yang berjumlah ratusan bahkan ribuan. Oleh sebab   itu, 

bangunlah sebuah kota baru di sini, di pertapaanku. Bangunlah 

sebuah istana di lokasi gubukku ini. Aku akan mengatakan 

kepadamu keunggulan tempat ini, bahkan seorang yang dilahirkan 

dari kasta rendah, dengan dukungan yang didapat dari tanah ini 

akan menjadi seorang yang memiliki kekuasaan bagaikan seorang 

raja dunia.”

saat   para pangeran bertanya, “Yang Mulia Petapa, bukankah 

tempat ini masih dipakai dan ditempati oleh engkau? Kapila 

menjawab, “Jangan khawatir, jangan pikirkan bahwa tempat ini 

yaitu   milikku. Dirikan sebuah pertapaan buatku di tempat yang 

terpencil, dan dirikanlah sebuah kota untuk kalian tempati seperti 

yang telah kutunjukkan, dan namailah kota ini Kapilavatthu.”

3505

 2

Seperti yang telah ditunjukkan oleh Kapila, sang petapa, empat 

pangeran yang dipimpin oleh Ukkàmukha, dan para menterinya 

serta para prajurit membangun sebuah kota beserta istana kerajaan, 

mereka menamai kota itu Kapilavatthu dan menetap di sana.

Asal Mula Sakya

Selagi menetap di sana, para pangeran tumbuh dewasa dan sudah 

waktunya untuk menikah. lalu   para menteri berunding dan 

berkata, “Tuan, para pangeran telah dewasa. Jika mereka berada di 

dekat ayah mereka, Raja Okkàka, ia pasti akan menikahkan para 

pangeran dan putri, sekarang tanggung jawab ini jatuh pada kita.” 

sesudah   berunding, mereka berdiskusi dengan para pangeran.

Para pangeran menjawab, “O Menteri, tidak ada putri di sini yang 

sederajat dengan kami. Juga tidak ada pangeran dari kasta yang 

sama untuk adik-adik putri kami. Jika kasta yang tidak sama ini 

saling menikah, keturunannya akan menjadi tidak murni baik 

dari pihak ayah maupun pihak ibu; hal ini akan menyebabkan 

bercampurnya kasta-kasta dan rusaknya tatanan kasta (jàti-

sambheda). Oleh sebab   itu, sebaiknya kita menunjuk putri tertua, 

sebagai ibu kami, dan masing-masing kami, empat pangeran dan 

empat putri, saling menikahi untuk mencegah rusaknya silsilah.” 

lalu   sesudah   sepakat demikian, mereka memilih Putri Pãya 

sebagai ibu mereka dan para pangeran menikahi adik-adik putri 

mereka sehingga menjadi empat pasang untuk menghindari 

ketidakmurnian keturunan mereka.

Seiring berjalannya waktu, masing-masing dari empat pasang anak-

anak Okkàka tumbuh berkembang. saat   sang raja mendengar 

mengenai Kapilavatthu yang didirikan oleh anak-anaknya yang 

dipimpin oleh Pangeran Ukkamukha, mengenai perkawainan 

mereka dengan keluarga sendiri dan bukan dari keluarga lain dan 

kesejahteraan yang mereka peroleh dari perkawinan kakak-adik 

yang dilahirkan oleh orangtua yang sama, raja sangat gembira 

sehingga ia mengucapkan pujian terhadap anak-anakanya di tengah-

tengah para menteri dan lainnya:

3506


“Sakyà vata bho kumàrà (sungguh piawai putra dan putriku, O 

menteri!).” “Paramà sakyà vata bhoi kumàrà” (sungguh mulia dan 

piawai putra dan putriku).”

sebab   raja mengucapkan kaya ‘sakyà vata’, ‘sungguh piawai’, untuk 

memuji mereka, sebab   kata ‘sakyà’ ini yang artinya ’piawai’, nama 

sakya diberikan kepada keturunan dari pangeran dan putri yang 

dipimpin oleh Ukkamukha dan menjadi terkenal.

Demikianlah kisah kemunculan para pangeran Sakya.

Mendirikan Koliya

lalu  , pada suatu hari, si putri tertua, yang paling tua di 

antara para pangeran dan putri, terserang penyakit lepra, di seluruh 

tubuhnya timbul bisul-bisul bagaikan bunga-bunga sàlimuggala 

atau parijàta.

Para pangeran berdiskusi, “Jika kita harus tinggal dan makan 

bersama-sama dengan kakak kita yang menderita penyakit kulit 

yang sangat mengerikan, kita juga akan tertular.” Suatu hari, 

mereka berpura-pura akan pergi bersenang-senang di taman dan 

membawa kakak di dalam kereta. saat   tiba di sebuah lapangan 

di tengah hutan, mereka menggali lubang yang cukup luas untuk 

seseorang dalam berbagai postur, berdiri, duduk, berbaring, dan 

berjalan. Dalam lubang itu yang dibuat mirip sebuah kamar, 

mereka meletakkan banyak makanan dan minuman, lalu   

menempatkan sang kakak di dalamnya. Mereka juga menutupi 

lubang itu dengan kayu dan papan sebagai perlindungan dari 

bahaya dan membuat hutan di sekeliling pagar papan itu yang juga 

berfungsi sebagai atap yang ditutupi oleh tanah, lalu   mereka 

pulang ke Kapilavatthu.

Kira-kira pada waktu yang sama, raja Bàrànasã yang bernama Ràma 

menderita penyakit lepra dan para pelayan perempuan dan menteri-

menterinya serta pengawalnya merasa jijik dan takut. Ia menyadari 

keadaannya dan memasuki hutan sesudah   menyerahkan kerajaannya 

3507

 2

kepada putra tertuanya. Ia membangun sendiri sebuah gubuk daun-

daunan sebagai tempat tinggalnya. sebab   memakan buah-buahan 

dan akar-akaran, penyakit kulitnya menjadi hilang dan ia sekarang 

memiliki kulit yang keemasan. saat   sedang berjalan-jalan, ia tiba 

di sebuah pohon raksasa yang memiliki batang yang sangat besar 

dengan lubang di tengahnya. Ia membuat sebuah kamar yang luas, 

enam belas lengan ukurannya di dalam batang pohon ini  . Ia 

membuat pintu masuk, jendela dan tangga. Kamar ini seperti kamar 

istana di mana ia tinggal sebelumnya.

Pada malam hari Ràma membuat api dan mengamati suara-suara 

rusa, babi hutan, dan binatang lainnya yang berasal dari tempat lain 

sebelum pergi tidur. Pagi harinya, ia mendatangi sumber suara yang 

ia dengar malam sebelumnya untuk mencari serpihan daging rusa, 

babi hutan, dan lain-lain yang tersisa dari makanan singa, macan 

dan lain-lain. Ia mengumpulkan daging ini lalu   memasaknya 

sebagai makanan baginya. Demikianlah caranya bertahan hidup.

Suatu hari, seekor macan, mencium bau tubuh putri yang keluar 

dari kamar bawah tanah yang tidak jauh dari tempat tinggal Ràma. 

saat   si macan mengais atap kayu itu dan mencoba membukanya, 

sang putri sangat ketakutan sehingga ia berteriak sangat keras. 

Saat itu menjelang pagi dan Ràma mendengar teriakan itu sesudah   

membuat api dan menyiapkan panci. Mendengar teriakan itu 

dan mengetahui bahwa itu yaitu   teriakan seorang perempuan, 

ia berlari menuju sumber teriakan itu pagi harinya dan bertanya, 

“Siapakah yang tinggal di bawah tanah ini?” saat   ia mendapat 

jawaban, “Saya seorang perempuan,” ia bertanya lagi, “Dari keluarga 

mana?” “Tuan, saya yaitu   putri dari Raja Okkàka.” “Keluarlah,” 

raja berkata. “Tuan, saya tidak bisa keluar,” “Mengapa?” “Saya 

menderita lepra.” Raja lalu   menanyakan permasalahannya 

dan mengetahui bahwa putri tidak keluar sebab   ia bangga akan 

status kebangsawanannya, raja memberitahukan bahwa ia sendiri 

yaitu   seorang raja dengan mengatakan, “Aku juga seorang 

bangsawan.” Ia menarik putri keluar dari kamar bawah tanah dan 

membawanya ke tempatnya. Ia memberi   obat-obatan yang sama 

dengan yang ia gunakan. Sang putri memakannya dan penyakitnya 

berangsur-angsur berkurang hingga akhirnya lenyap. Kulit sang 

3508


putri kembali menjadi berwarna keemasan. Dengan persetujuan 

bersama, dua orang ini hidup bersama sebagai suami-istri.

Seiring berjalannya waktu, Permaisuri Piyà melahirkan putra 

kembar sebanyak enam belas kali sehingga seluruhnya berjumlah 

tiga puluh dua putra. sesudah   usia mereka mencukupi, sang ayah, 

Raja Rèma, mengirimkan mereka untuk belajar sebagai seorang 

pangeran.

Suatu hari, seorang pemburu dari negara asal raja, Bàrànasã, saat   

datang ke hutan di dekat Pegunungan Himàlaya, untuk mencari 

harta, bertemu dengan Ràma, sebab   mengenalinya sang pemburu 

berkata, “Tuan, aku mengenalimu dengan baik.” Sang raja lalu   

menanyakan segala hal mengenai kerajaannya dan selagi mereka 

berbincang-bincang, tiga puluh dua anaknya pulang. Melihat anak-

anak ini, si pemburu bertanya, “Raja, siapakah anak-anak ini?” 

“Mereka yaitu   anakku,” jawab raja. sesudah   bertanya lebih lebih 

lanjut, ia mengetahui siapa ibu mereka dan berpikir, “Aku sekarang 

memiliki informasi yang dapat kuberikan sebagai hadiah kepada 

penguasa Vàràõasã.” Dengan pikiran demikian, ia kembali ke kota 

dan menceritakan kisahnya.

Raja Bàràõasi yang pada waktu itu yaitu   putra Ràma merasa sangat 

gembira dan untuk membawa kembali ayahnya, ia datang disertai 

oleh empat lapis pasukan. Ia memberi hormat kepada ayahnya dan 

memohon, “Ayah, terimalah kembali kerajaan Bàràõasã” “Anakku,” 

jawab Ràma, “Aku tidak lagi memiliki keinginan untuk menjadi 

raja Bàrànasã. Aku tidak akan kembali ke kota. Tebanglah pohon ini 

dan dirikan sebuah tempat tinggal dan sebuah kota baru untukku 

di tempat ini juga di pohon kola ini.” Atas perintah ini, putranya, 

raja Bàrànasã mendirikan sebuah kota baru.

sesudah   kota baru ini   dibangun sesudah   menebang pohon kola 

di tempat tinggal ayahnya, kota itu dinamai Koliya, sebab   kota 

ini terletak di jalur yang sering dilalui oleh macan, kota ini disebut 

juga Vyagghapajja. sesudah   memberi nama kota ini, sang putra, raja 

Bàrànasã, memberi hormat kepada ayahnya lalu   pulang.

3509

 2

Sewaktu Raja Ràma dan permaisurinya menetap di kota baru Koliya, 

Pãya suatu hari berkata kepada putra-putranya yang telah dewasa.

“Anakku, paman-pamanmu, para pangeran Sakya, memerintah di 

Kota Kapilavatthu. Putri-putri dari pamanmu berpakaian seperti 

ini, rambutnya seperti ini, gaya berjalannya dan tingkah lakunya 

seperti ini. saat   mereka mendatangi pemandian untuk mandi, 

tangkaplah putri yang engkau suka dan bawalah kemari.”

Sesuai petunjuk ibu mereka, para pangeran mendatangi pemandian 

para putri dari paman mereka, para pangeran Sakya, di Kapilavatthu 

dan sesudah   mengamati dan memilih, masing-masing membawa 

putri yang mereka pilih, sesudah   memperkenalkan diri dan 

membawa mereka selagi mereka berjemur untuk mengeringkan 

rambut mereka.

Mendengar peristiwa ini, para pangeran Sakya berunding, 

“Saudaraku, biarkanlah hal ini terjadi. Para pangeran Koliya ini 

yaitu   keturunan kakak tertua kita, jadi mereka masih keponakan 

kita, kerabat dekat kita.” Mereka tidak menyalahkan para pangeran 

Koliya, dan sebab   merasa gembira, mereka mendiamkan hal ini.

Dari perkawinan antara Sakya dan Koliya ini, silsilah turun temurun 

tanpa terputus hingga masa Buddha.

Demikianlah, perkembangan keturunan Sakya terjadi dengan murni 

sebab   bercampur hanya dengan kerabat-kerabat dekat. sebab   

tidak pernah terputus sejak Raja Okkàka, sumber dari suku Sakya, 

berlanjut hingga Pangeran Siddhattha, Bakal Buddha, mereka tercatat 

dalam sejarah dengan reputasi yang baik sebagai “asambhinna 

khattiya” silsilah (kesatria yang tak terputus).

Mendirikan Devadaha

Para pangeran Sakya yang tinggal di Kapilavatthu memiliki 

kebiasaan pergi ke danau yang besar, indah, dan menyenangkan 

untuk bersenang-senang bermain air. sebab   danau ini digunakan 

sebagai tempat olahraga bagi para penghuni istana, sehingga dikenal 

3510


sebagai Devadaha. (Deva untuk menyebutkan para pangeran Sakya 

dan daha berarti danau untuk bermain air.)

Suatu saat  , para pangeran Sakya ini   datang ke danau untuk 

bersenang-senang namun tidak kembali lagi ke Kapilavatthu tetapi 

membangun pondok peristirahatan di dekat danau; seiring dengan 

berjalannya waktu, wilayah itu berkembang dan menjadi kota 

sendiri; yang dikenal dengan nama Devadaha.

Para pangeran Sakya yang tinggal di kota itu juga disebut Sakya 

Devadaha sesuai nama kota itu.

(Dikutip dari penjelasan Devadaha Sutta, Uparipaõõàsa 

Aññhakathà).

Keturunan Ukkàmukha, Raja Sakya

Raja-raja Kapilavatthu yaitu   sebagai berikut:

(1) pendiri, Raja Ukkàmukha (saat   raja berbicara, seberkas cahaya 

terang keluar dari mulutnya, tanda keberkuasaan, seperti 

ayahnya Raja Okkàka),

(2) putranya Raja Nipuõa,

(3) putranya Raja Candimà,

(4) putranya Raja Candamukha,

(5) putranya Raja Sivi,

(6) putranya Raja Si¤jaya,

(7) putranya Raja Vessantara, Bodhisatta,

(8) putranya Raja Jàli,

(9) putranya Raja Sãhavahana,

(10) putranya Raja Sãhassara.

Sepuluh raja Sakya ini dan keturunan Raja Sãhassara hingga 

Jeyyasena, seluruhnya berjumlah delapan puluh ribu, berturut-turut 

memerintah Kerajaan Sakya Kapilavatthu.

Yang terakhir dari delapan puluh dua ribu sepuluh raja, Jeyyasena, 

memiliki seorang putra dan seorang putri yang bernama Sãhahanu 

3511

 2

dan Yasodharà.

Pada waktu itu Raja Ukkàsakka dan Ratu Yasavatã dari Devadaha 

(juga) memiliki seorang putra dan seorang putri, bernama A¤jana 

dan Ka¤canà.

Dari perkawinan Pangeran Sãhahanu, putra Raja Jeyyasena dari 

Kapilavatthu dan Putri Ka¤canà, Putri Ukkàsakka dari Devadaha, 

terlahir lima putra bernama (1) Suddhodana, (2) Amitodana, 

(3) Dhotodana, (4) Sakkodana, dan (5) Sukkodana (dikutip dari 

penjelasan Sammàparibbàjaniya Sutta, Suttanipàta Aññhakatthà, Vol. 

2), dan dua putri bernama (1) Amitta dan (2) Pàlità.

Dari perkawinan Pangeran A¤jana, putra Raja Ukkàsakka dari 

Devadaha, dan Putri Yasodhara, putri Raja Jeyyasena dari 

Kapilavatthu, terlahir dua putra dan dua putri. (Di sini, nama Raja 

A¤jana juga dikenal dengan nama Mahà Suppabuddha.) kedua putra 

yaitu   Pangeran Suppabuddha dan Pangeran Dandàpani. Kedua 

putri yaitu   Siri Mahàmàyà dan Pajàpati Gotamã.

Pangeran Suddhodana, putra Raja Sãhahanu, menikah dengan 

kedua putri Raja A¤jana: Putri Siri Mahàmàyà dan Putri Pajàpati 

Gotamã. Putri tertua melahirkan seorang putra bernama Pangeran 

Siddhattha dan putri kedua melahirkan Putri RÃ¥pananda dan 

Pangeran Nanda.

Dari penjelasan ini, ada sepuluh raja keturunan dari Raja 

Ukkàmukha, pendiri Kapilavatthu.

Terdapat delapan puluh dua ribu raja keturunan dari Raja Sãhassara 

hingga Jeyyasena.

lalu   dari putra Raja Jeyyasena, Raja Sãhahanu:

(1) putranya, Raja Suddhodana, dan

(2) putranya, Pangeran Siddhattha, Bakal Buddha.

Menjumlahkan seluruhnya dari tiga kelompok ini, terdapat 82.013 

raja yang semuanya yaitu   Raja Sakya Asabhi¤¤Ã  dan memerintah 

3512


Kota Kapilavatthu.

Jika angka 82.013 ini sejak Raja Ukkàmukha hingga Pangeran 

Siddhattha, Bodhisatta, ditambahkan dengan angka sebelumnya 

252.556 jumlah raja-raja di awal dunia dari Mahàsammata hingga 

Okkàka, hasilnya yaitu   334.569.

Dari perkawinan pangeran Suppabuddha, putra Raja A¤jana dan 

Putri Amittà, putri Raja Sãhahanu, terlahir Putri Bhadda Ka¤canà 

atau Yasodhara dan Pangeran Devadatta.

Dari perkawinan Pangeran Siddhattha, Bakal Buddha, putra Raja 

Suddhodana dari Kapilavatthu dan Ratu Siri Mahàmàyà, dengan 

putri Bhadda Ka¤canà atau Yasodharà, putri dari Raja Suppabuddha 

dari Devadaha dan Ratu Amitta, terlahir Ràhula.

(Pangeran Siddhattha Bakal Buddha hanya memiliki satu anak, 

Pangeran Ràhula; tidak memiliki anak lain lagi. Dalam riwayat 

Buddha dari sumber lain terdapat kisah yang dibuat-buat yang 

menceritakan bahwa selir Pangeran Siddhattha melahirkan anak-

anak yang lain. Tetapi tidak ada bukti mengenai pernyataan ini 

dalam naskah-naskah lain dalam literatur Buddhis. Oleh sebab   

itu, kita harus penuh keyakinan menganggap bahwa hanya ada satu 

putra dan tidak ada putra lain selain Ràhula.)

Raja A¤jana, Kakek Buddha, Mengakhiri Era

Raja A¤jana dari Devadaha, kakek Buddha (ibu Siri Mahàmàyà) 

mengakhiri Era Goza yang berlaku pada waktu itu. Ia membatalkan 

8.649 tahun bulan baru, hari Sabtu di bulan Phagguna (Februari-

Maret); dan sebagai penggantinya ia memperkenalkan era yang lain 

yang dimulai dari bulan Citta (Maret-April). (Ia membuat era baru 

yang digunakan sejak saat itu.) Era ini kelak disebut Mahà Era.

Penghapusan suatu era yaitu   tradisi duniawi yang kerap terjadi 

pada dunia sejarah. Tidak pernah terjadi dalam kasus penolakan 

terhadap suatu era atau penggunaan istilah Sakkaraj dan ungkapan 

Koza atau Goza dalam buku-buku Buddhis. Semua ini hanya 

3513

 2

tercantum dalam kitab-kitab duniawi mengenai astrologi dan sejarah. 

Cara perhitungan dan ungkapan yang terdapat dalam karya-karya 

astrologi dan sejarah diambil dari orang-orang terpelajar selama 

periode Bagan, Pinya dan seterusnya di Myanmar untuk kemudahan 

dalam mencatat tanggal dan tahun dari suatu peristiwa.

Ejaan Sakkaràj, Sakaràj, dan Koza, Goza

Banyak tulisan mengenai Sakkaràj, Sakaràj, Kozs, dan Goza oleh 

Monywe Zetawun Sayadaw dalam karyanya Samanta-Cakhu 

Dãpanã, Vol. 2. Pendapat Sayadaw mengenai hal ini yaitu   sebagai 

berikut:

”Banyak cara ditemui dalam menuliskan istilah ini, yang hanya 

berguna dalam mencatat dan menghitung jumlah tahun. Kesalahan 

ejaan tidak berpengaruh pada hal-hal duniawi; ejaan yang tepat 

juga tidak dapat membantu mendapatkan kebebasan dari saÿsàra 

sebab   tidak memiliki indra untuk memperoleh Pandangan Cerah 

dan pandangan benar. sebab   alasan ini, semua bantuk penulisan 

ini memiliki manfaat masing-masing dan dapat diterima.”

Pernyataan demikian tentu tidak memuaskan.

Singkatnya, disebut Sakkaraj sebab  , tata cara penulisan secara 

kronologis yang dihitung sejak suatu tanggal tertentu, yang 

ditentukan oleh raja yang mampu melindungi rakyatnya; disebut 

Sakaraj sebab  , dilakukan oleh Raja Sakka. Koza dan Goza 

menunjukkan suatu rentang waktu yang ditandai oleh pergerakan 

matahari dan bulan. (Sakkaràj berasal dari kata Sakkaraj, sakka 

artinya ‘mampu’ dan ràja yaitu   ‘raja’; oleh sebab   itu Sakkaraj 

ditentukan oleh raja, yang mampu memberi   perlindungan 

kepada subjeknya. Sakaraj berasal dari Sakaràjà, Saka yaitu   nama 

seseorang dan ràjà yaitu   ‘raja’; sebab   Sakaràjà yaitu   suatu 

era yang dibuat oleh Raja Saka. Sedangkan Koza dan Goza, ko 

yaitu   matahari dan go yaitu   sebuah istilah untuk menyebutkan 

matahari dan bulan; za digunakan untuk menyatakan sesuatu 

yang bergerak. Waktu yang dibutuhkan dalam satu siklus zodiak 

penuh oleh matahari dan bulan disebut tahun Koza atau Goza. 

3514


Juga tertulis Gocar.)

Istilah Kali-yug dan Sakkaràj

Dalam sebuah kalimat “Tahun Kali-yug Sakkaràj ini dan itu” dengan 

memakai   istilah Kali-yug sebagai kata sifat sebelum Sakkaràj, 

Kali-yug dan Sakkaràj memiliki arti yang berbeda. Kalimat ini   

memiliki makna “tahun dari suatu era selama rentang waktu yang 

dimulai dari Kali-yug”, akan dijelaskan secara singkat sebagai 

berikut.

Di antara kappa pembentukan dan penghancuran yang disebut 

antara kappa, satu kappa pembentukan terdiri dari empat masa: 

kata-yuga, tetra-yuga, dvàpara-yuga, dan kali-yuga. Masing-masing 

memiliki periode kemajuan dan periode kemunduran. saat   periode 

ini berulang hingga enam puluh kali, sebuah kappa pembentukan 

berakhir. Demikian pula halnya dengan kappa penghancuran, 

menurut sumber-sumber ilmiah. Dari keempat yuga, yang pertama, 

kata-yuga, berlangsung selama 1.728.000 tahun. lalu   tetra-

yuga selama 1.296.000 tahun. Diikuti oleh dvàpara-yuga selama 

864.000 tahun. Akhirnya kali-yuga selama 432.000 tahun. (Catatan: 

jumlah tahun dvàpara-yuga yaitu   dua kali kali-yuga, tetra-yuga 

yaitu   tiga kali kali-yuga, dan kata-yuga yaitu   empat kali kali-

yuga.). Total dari empat yuga ini yaitu   4.320.000.

Selama masa kata-yuga semua manusia di seluruh empat penjuru 

(semua manusia) menjalani kebajikan seolah-olah mereka berdiri 

di atas empat kaki. Selama masa tetra-yuga semua manusia di tiga 

penjuru menjalani kebajikan seolah-olah mereka berdiri di atas tiga 

kaki, sedangkan satu penjuru tidak menjalani kebajikan. Selama 

masa dvàpara-yuga semua manusia di dua penjuru (setengah) 

menjalani kebajikan, sedangkan dua penjuru yang lain tidak 

menjalani kebajikan. Selama masa kali-yuga hanya manusia di 

satu penjuru menjalani kebajikan, sedangkan tiga penjuru lainnya 

tidak.

Guru kita, Buddha Gotama, muncul dalam tahun ke 2.570 kali-yuga, 

seperti yang tertulis pada Gotama Puràõa. Dalam Kaõóa (bab) 

3515

 2

pertama tertulis:

Kaleràrabbhato su¤¤a satta pa¤caduke gate

saÿvacchare babhuva ve Dhammavido Gotamàbhidho.

“Dua ribu lima ratus tujuh puluh tahun sesudah   dimulainya kali-

yuga. Muncullah Gotama yang memahami Dhamma.”

Jika Anda ingin mengetahui tahun Sàsana sekarang dan tahun 

kali-yuga sekarang, ambillah tahun sekarang (Era Myanmar) dan 

tambahkan 1.182 tahun; hasilnya yaitu   tahun Era Sàsana (Era 

Buddhis).

Untuk mendapatkan tahun kali-yuga yaitu   tahun Sàsana sekarang 

ditambah 2.570; hasilnya yaitu   tahun kali-yuga sekarang.

Secara singkat, saat   seseorang menulis “dalam tahun kali-yuga 

Sakkaràj x“, yang dimaksudkan yaitu   tahun x dari Sakkaràj dalam 

masa kali-yuga. Masa kali-yuga berlangsung selama 432.000 tahun 

seperti yang dijelaskan sebelumnya. Sakkaràj yaitu   perhitungan 

tahun yang ditetapkan oleh raja.

Ciri-Ciri Suara yang Memiliki Delapan Kualitas Bagaikan 

Brahmà

Merdunya Suara Burung Karavãka dan Kisah Asandhimittà

Istri Raja Dhammàsoka, Asandhimità, bertanya kepada Saÿgha 

(sehubungan dengan suara Buddha yang merdu), “Adakah di 

dunia ini yang suaranya mirip dengan suara Buddha?” Jawaban 

yang diberikan oleh Saÿgha yaitu  , “Suara burung karavãka mirip 

dengan suara Buddha.” Sang ratu bertanya lagi, “Di manakah burung 

ini tinggal?” Saÿgha menjawab, “Mereka hidup di Himavanta.”

Sang ratu lalu   berkata kepada Raja Asoka, “Aku ingin melihat 

burung karavãka.” Raja mengirimkan sangkar emas dengan perintah, 

“Seekor burung karavãka harus datang dalam sangkar ini!” Sangkar 

ini   lalu   melayang terbang dan berhenti persis di depan 

3516


seekor burung karavãka. Mempertimbangkan, “Sangkar ini datang 

atas perintah raja; aku tidak dalam posisi untuk tetap tinggal di sini 

dan melawan perintah raja,” burung itu masuk ke dalam sangkar, 

yang segera terbang kembali dan berhenti di depan raja.

Meskipun mereka sekarang telah memiliki burung itu, tak seorang 

pun yang dapat membuat burung itu bersuara. Sang raja berkata, 

“O Menteri, bagaimana kita membuatnya bersuara?” Para menteri 

menjawab, “Burung karavãka ini bersuara, O Raja, saat   mereka 

melihat teman-teman burung mereka.” Asoka lalu   meletakkan 

banyak cermin di sekeliling burung ini  .

saat   burung ini   melihat bayangannya sendiri di dalam kaca, 

berpikir bahwa teman-temannya telah datang, ia mengeluarkan 

suara perlahan namun menyenangkan bagaikan alunan musik yang 

dihasilkan oleh seruling dari batu delima. Mabuk oleh suara raja 

burung karavãka, Ratu Asandhimittà dan para warga   Pàñaliputta 

kegirangan, mereka menari-nari gembira.

lalu   ratu merenungkan, “Bahkan suara burung karavãka 

ini, yang hanya seekor binatang, begitu merdunya. Apalagi 

suara Buddha, yang teragung. Kemerduan suaranya pasti tidak 

terbatas!”

Dengan membayangkan Buddha, ratu menjadi sangat gembira 

(pãti), dengan kegembiraan yang tanpa henti, ia mengembangkan 

Pandangan Cerah Vipassanà, tahap demi tahap, bersama-sama 

dengan tujuh ratus pelayan wanitanya, ia mencapai Buah 

Sotàpatti.

Penjelasan Tiga Puluh Dua Tanda-Tanda Besar

Perbuatan yang Menyebabkan Tiga Puluh Dua Tanda Besar

sebab   disebutkan dalam Jinàlaïåkàra Tãkà bahwa hanya penjelasan 

yang berhubungan dengan empat hal, yaitu (1) kamma, (2) kamma-

sarikkhaka, (3) lakkhaõa, dan (4) lakkhaõànisamsa, dari masing-

masing tiga puluh dua tanda-tanda utama yang dijelaskan dengan 

3517

 2

baik, makna dari empat hal inilah yang akan dijelaskan berikut 

ini.

Dari empat hal ini, (1) kamma artinya unsur kebajikan yang 

dilakukan pada masa lampau yang bertujuan untuk mencapai 

Kebuddhaan, yang menyebabkan munculnya tanda-tanda utama 

ini  ; (2) kamma-sarikkhaka artinya kekuatan dari tanda-tanda 

ini   sehubungan dengan kammanya; (3) lakkhaõa artinya 

masing-masing dari tiga puluh dua tanda ini seperti telapak kaki 

yang rata dan seratus delapan gambar pada telapak kaki, dan lain-lain 

yang diperoleh dalam kehidupan terakhirnya sehubungan dengan 

kebajikan masa lampau; dan (4) lakkhaõànisamsa artinya akibat 

tidak langsung dari kebajikan masa lampau yang menyebabkan 

munculnya tanda-tanda utama ini  .

(Misalnya, Bodhisatta mengumpulkan jasa-jasa kebajikan selama 

kehidupan-kehidupan lampaunya dengan teguh dan mantap yang 

tidak dapat dihalang-halangi atau dihancurkan oleh makhluk 

lain. sebab   kumpulan jasa ini, ia menikmati kenikmatan surgawi 

yang melebihi makhluk-makhluk lain dalam sepuluh hal. saat   

ia terlahir sebagai manusia, ia memperoleh tanda berupa telapak 

kaki yang rata bagaikan telapak sepatu emas. Dengan telapak kaki 

seperti ini, ia dapat berdiri dan berjalan dengan mantap; tidak 

seorang pun, apakah dewa atau manusia atau brahmà yang dapat 

menggoyahkannya. Kebajikan ini juga memberi   akibat lain: ia 

tidak tergoyahkan oleh kotoran-kotoran batin seperti keserakahan, 

kebencian, dan kebodohan dan juga oleh dua jenis kotoran eksternal: 

yang melawannya secara terang-terangan dan yang melawannya 

secara sembunyi-sembunyi.)

Di sini, kelompok kebajikan masa lalu yang ia lakukan dengan teguh 

dan mantap yang tidak dapat dihalang-halangi atau dihancurkan 

oleh makhluk lain yaitu   (1) kamma. Telapak kaki yang rata 

sebagai tanda dari kebajikan-kebajikannya pada masa lampau 

yaitu   (3) lakkhaõa. Kemampuannya untuk berdiri dan berjalan 

dengan mantap yaitu   (2) kamma-sarikkhaka. Kemampuan yang 

melekat pada tanda ini, yang membentuk akibat, dengan kekuatan 

yang melekat pada kebajikan yang bertindak sebagai pemicu  ; 

3518


sifat yang melekat ini disebut kamma-sarikkhaka (sifat yang sesuai 

dengan kamma). Bagaikan membawa sebuah kendi yang penuh 

berisi air sama dengan membawa air di dalam kendi, demikian 

pula membicarakan mengenai tanda-tanda dan kekuatannya 

sama dengan membicarakan kekuatan ini  . Oleh sebab   itu 

penjelasan dari lakkhaõa dan penjelasan dari kamma-sarikkhaka 

terlihat mirip satu sama lain dalam Komentar Lakkhaõà Sutta 

dari Pàthika Vagga Aññhakathà. Usaha yang teguh dan mantap, 

yang diterapkan pada tindakan melakukan perbuatan baik di 

kehidupan lampau, menyebabkan Bodhisatta tidak hanya memiliki 

telapak kaki yang rata, tetapi juga menyebabkan akibat-akibat tidak 

langsung lainnya, yaitu kemampuan untuk mempertahankan diri 

dari serangan musuh-musuhnya dari dalam maupun dari luar 

dirinya; akibat-akibat langsung maupun tidak langsung ini yaitu   

(4) lakkhaõàsaÿasa

(Sekarang, sehubungan dengan tanda-tanda utama Bodhisatta, 

perbuatan-perbuatan pada masa lampau yang menjadi pemicu   

dan hal-hal lainnya akan dijelaskan secara singkat yang dikutip dari 

Lakkhaõa Sutta, Tipiñaka, dan sumber-sumber lain dalam bahasa 

yang mudah dimengerti.)

Telapak Kaki yang Rata

(1) Bodhisatta telah melakukan kebajikan-kebajikan selama 

kehidupan-kehidupan lampau-Nya dengan teguh dan mantap 

yang tidak dapat dihalang-halangi atau dihancurkan oleh makhluk 

lain. sebab   jasa-jasa ini, Ia menikmati kenikmatan surgawi yang 

melebihi makhluk-makhluk lain dalam sepuluh hal: umur panjang, 

kecantikan, kebahagiaan, kekuasaan, pengikut, objek indra yang 

berlimpah di alam surga seperti pemandangan indah, suara 

merdu, wangi-wangian, rasa lezat, dan sentuhan-sentuhan yang 

menyenangkan; di alam manusia, Ia memperoleh tanda berupa 

‘telapak kaki yang rata bagaikan sepatu emas’. sebab   Ia memiliki 

tanda ini, jika Ia memilih untuk tetap menjadi perumah tangga Ia 

akan menjadi raja dunia (cakkavatti) yang memiliki tujuh pusaka 

dan memerintah di empat benua seperti pada waktu terlahir sebagai 

Mahàsudassana Cakkavatti; dan sebagai akibat tidak langsungnya, 

3519

 2

Ia akan terbebas dari bahaya yang berasal dari musuh-musuh-Nya. 

Jika Ia melepaskan keduniawian, seperti pada kelahiran terakhir-

Nya sebagai Pangeran Siddhattha, Ia mencapai Kemahatahuan dan 

mencapai Pencerahan Sempurna, Raja Tiga Alam; dan akibat tidak 

langsungnya yaitu   akibat ini tidak dapat dihentikan atau diancam 

oleh musuh-musuh internal kotoran batin seperti keserakahan, 

kebencian, dan kebodohan, dan oleh musuh eksternal seperti petapa, 

brahmana, dewa, Màra atau brahmà yang menentang-Nya secara 

terang-terangan atau secara sembunyi-sembunyi.

Seratus Delapan Lingkaran Bergambar di Telapak Kaki

(2) Selama banyak kehidupan pada masa lampau, Bodhisatta telah 

melayani makhluk-makhluk lain demi kesejahteraan mereka. Ia 

melenyapkan rasa takut dari mereka yang ketakutan. Ia melakukan 

dàna beserta pemberian-pemberian lainnya. (Misalnya, sewaktu 

Ia mendanakan jubah dan pakaian Ia juga sekaligus mendanakan 

makanan sebagai dàna tambahan kepada penerima dàna-Nya; Ia 

juga mempersilakan mereka duduk, menghormati dengan bunga 

dan wangi-wangian dan menyajikan minuman. lalu  , Ia 

mengucapkan tekad untuk menjalani sãla dan bertekad untuk 

mencapai Kemahatahuan. sesudah   itu, barulah Ia menyerahkan 

jubah dan pakaian dengan penuh hormat. Demikianlah Bodhisatta 

memberi   dàna utama dan dàna tambahan.) Sebagai akibat dari 

kebajikan itu, Ia menikmati kebahagiaan surgawi yang melebihi 

semua dewa-dewa lain dalam sepuluh hal seperti yang telah 

dijelaskan di atas; terlahir di alam manusia Ia memiliki tanda nomor 

2 berupa seratus delapan lingkaran bergambar di telapak kaki-Nya. 

sebab   Ia memiliki tanda ini, jika Ia memilih untuk tetap sebagai 

perumah tangga, Ia akan menjadi raja dunia; dan sebagai akibat 

tidak langsungnya, Ia juga akan memiliki banyak pengikut yang 

terdiri dari para brahmana, orang-orang kaya, dan lain-lain; jika Ia 

melepaskan keduniawian saat menjadi Pangeran Siddhattha, Ia akan 

menjadi seorang Buddha Yang Mahatahu; dan sebagai akibat tidak 

langsungnya, Ia memiliki banyak pengikut yang terdiri dari para 

bhikkhu, bhikkhunã, siswa-siswa awam laki-laki dan perempuan, 

para dewa, manusia, asura, nàga dan gandhabba.

3520


Di sini, perbuatan dàna yang disertai pemberian tambahan dalam 

banyak kehidupan lampaunya yaitu   (1) kamma. Kemampuan 

gambar pada telapak kaki yang sempurna seolah-olah menunjukkan, 

“Agar dewa dan manusia mengetahui bahwa Bodhisatta telah 

melakukan kebajikan dàna yang disertai dengan dàna tambahan” 

yaitu   (2) kamma-sarikkhaka. Tanda pada telapak kaki yaitu   (3) 

lakkhaõa. Pengikut yang banyak (4) lakkhaõànisaÿsa.

Tumit yang Menonjol, Jari-jemari Tangan dan Kaki yang 

Panjang dan Tubuh yang Tegak

(3) Dalam banyak kehidupan lampaunya, Bodhisatta menjauhkan 

diri dari pembunuhan. Tidak pernah Ia memegang senjata dengan 

tujuan untuk membunuh. Ia hidup dalam cinta kasih dan welas 

asih, memelihara kesejahteraan makhluk lain. Sebagai akibat dari 

kebajikan ini, Ia menikmati kebahagiaan surgawi yang melebihi 

semua dewa-dewa lain dalam sepuluh hal; terlahir sebagai manusia, 

Ia memiliki tiga tanda utama; no. 3 tanda tumit-Nya yang menonjol, 

no. 4 jari-jemari tangan dan kaki yang panjang, no. 5 tubuh yang 

tegak, jika Ia memilih untuk tetap sebagai perumah tangga, Ia 

akan menjadi raja dunia; dan sebagai akibat tidak langsungnya, 

Ia akan berumur panjang hingga akhir umur kehidupan manusia 

pada waktu itu; tidak seorang pun yang dapat melukai-Nya (atau 

membunuh-Nya). Jika melepaskan keduniawian seperti pada 

kelahiran terakhir-Nya sebagai Pangeran Siddhattha, Ia akan 

menjadi seorang Buddha Yang Mahatahu; dan sebagai akibat tidak 

langsungnya, Ia akan hidup hingga empat perlima dari umur 

kehidupan manusia waktu itu; tidak satu makhluk pun, baik 

petapa, brahmana, dewa, Màra, atau brahmà, mampu mengancam 

kehidupan-Nya (atau membunuh-Nya).

Empat Harta Buddha yang Tidak Dapat Diganggu

Ada empat harta seorang Buddha yang tidak dapat diganggu oleh 

makhluk lain, yaitu:

(1) empat kebutuhan yang diperuntukkan dan dibawa untuk-

Nya,

(2) kehidupan-Nya,

3521

 2

(3) tanda-tanda-Nya, dan

(4) cahaya-Nya

(Buddhavaÿsa Aññhakathà Vol. 2).

atau,

(1) segala benda yang berhubungan dengan empat kebutuhan yang 

dibawa untuk-Nya,

(2) kehidupan-Nya,

(3) delapan puluh tanda-tanda kecil dan cahaya tubuh-Nya, (cahaya 

bulan, matahari, dewa, dan brahmà tidak mampu menandingi 

cahaya tubuh Buddha), dan

(4) kemahatahuan-Nya

(Vinaya Pàràjika-kaõóa Aññhakathà, Vol. 1)

Kamma, Kamma-sarikkhaka, dan Lain-lain dari Tanda-tanda di 

Atas

Sehubungan dengan tiga tanda-tanda yang telah dijelaskan di atas, 

(1) kamma yaitu   menjauhkan diri dari pembunuhan, (2) kamma-

sarikkhaka yaitu   kemampuan dari bentuk dan panjang dari 

tumit, jari-jemari tangan dan kaki serta tubuh yang tegak untuk 

menjelaskan makna dari tanda ini. Penjelasannya: mereka yang 

melakukan pembunuhan biasanya mendekati korbannya dengan 

berjingkat-jingkat agar langkah kakinya tidak terdengar. Akibatnya, 

saat   terlahir sebaga manusia, beberapa dari mereka memiliki kaki 

yang melengkung ke dalam seperti busur, beberapa melengkung 

keluar, beberapa memiliki telapak yang melengkung, beberapa 

memiliki jari-jemari kaki yang bengkok, dan yang lain lagi memiliki 

tumit yang bengkok; seolah-olah tanda-tanda ketidaksempurnaan 

ini mengatakan, “Biar semua orang tahu perbuatan membunuh yang 

kulakukan dengan berjingkat-jingkat,” tetapi Bodhisatta memiliki 

tanda berupa tumit yang bulat dan panjang seolah-olah mengatakan 

“Biar semua orang tahu bahwa aku tidak pernah membunuh yang 

dilakukan sambil berjingkat-jingkat.” Demikian pula, mereka yang 

ingin membunuh mendekati korbannya dengan membungkuk-

bungkuk agar tidak terlihat oleh orang lain. Sebagai akibatnya, 

sewaktu mereka terlahir kembali sebagai manusia, beberapa 

3522


memiliki tubuh yang bungkuk, beberapa pendek dan gemuk, 

beberapa pincang, seolah-olah tanda-tanda ketidaksempurnaan 

ini mengatakan, “Biar semua orang tahu perbuatan membunuh 

yang kulakukan dengan membungkuk-bungkuk.” Bodhisatta 

memiliki tubuh yang tegak sempurna seperti brahmà, sebuah 

tanda manusia luar biasa; seolah-olah mengatakan, “Biar semua 

orang tahu bahwa aku tidak pernah membunuh, yang dilakukan 

sambil membungkuk-bungkuk.” Demikian pula, mereka yang ingin 

membunuh, memegang senjata, misalnya sebuah pentungan, dan 

memukul korbannya sampai mati. Akibatnya, sewaktu menjadi 

manusia, mereka memiliki lengan yang pendek, jari-jemari yang 

bengkok dan tidak terlihat jelas sebab   jari-jemari tangannya saling 

menempel satu sama lain serta rata dengan telapak tangannya 

seolah-olah mengatakan, “Biar semua orang tahu kejahatan mereka.” 

Sebaliknya, Bodhisatta memiliki lengan yang panjang dan jari-jemari 

yang indah, sebuah tanda seorang manusia luar biasa, seolah-olah 

mengatakan, “Biar semua dewa dan manusia tahu bahwa ia tidak 

pernah membunuh dengan pentungan dalam genggaman tangan-

Nya.” Kemampuan tanda-tanda ini untuk menjelaskan makna umur 

panjang disebut kamma-sarikkhaka. Tiga tanda utama ini—tumit 

yang panjang, jari-jemari tangan dan kaki yang panjang dan tubuh 

yang tegak—yaitu   (3) lakkhaõa. Hidup selama umur kehidupan 

pada waktu itu yaitu   (4) lakkhaõànisamsa.

Daging yang Penuh di Tujuh Bagian Tubuh-Nya

(4) Dalam banyak kehidupan lampaunya, Bodhisatta memberi   

makanan-makanan lezat seperti kue-kue, mentega, nasi susu, dan 

lain-lain. Sebagai akibat dari kebajikan ini, ia menikmati kebahagiaan 

surgawi seperti sebelumnya; saat terlahir sebagai manusia ia 

memiliki tanda utama no. 16 yaitu daging yang penuh di tujuh 

bagian dari tubuhnya, yaitu kedua kura-kura kaki, kedua punggung 

tangan, kedua bahu dan leher. sebab   Ia memiliki tanda ini, jika Ia 

memilih untuk tetap menjadi perumah tangga, Ia akan menjadi raja 

dunia. Jika Ia melepaskan keduniawian, Ia akan menjadi Buddha 

Yang Mahatahu. Dan sebagai akibat tidak langsungnya, Ia akan 

menerima banyak makanan lezat baik dalam bentuk padat maupun 

cair untuk dinikmati, dimakan ataupun diminum.

3523

 2

Di sini, kebajikan memberi   makanan lezat selama masa lebih dari 

seratus ribu kappa yaitu   (1) kamma. Kemampuan dari tanda berupa 

daging yang penuh dan padat di tujuh bagian tubuh-Nya seolah-olah 

mengatakan, “Biar dewa dan manusia tahu bahwa Bodhisatta telah 

melakukan kebajikan memberi   makanan-makanan lezat, dan 

lain-lain dalam kehidupan-kehidupan lampau-Nya yang menjadi 

pemicu   dari apa yang Ia miliki dalam kehidupan sekarang,” yaitu 

(2) kamma-sarikkhaka. Daging yang penuh di tujuh bagian tubuh-

Nya yaitu   (3) lakkhaõa. Menerima banyak makanan lezat yaitu   

(4) lakkhaõànisaÿsa.

Tangan dan Kaki yang Halus dan Lembut Mirip Jaring Emas

(5) Dalam banyak kehidupan lampaunya, Bodhisatta banyak 

membantu makhluk-makhluk lain dengan empat objek pendukung 

(Saïgahavatthu). Kepada mereka yang senang akan benda-benda, ia 

membantu mereka dengan memberi   (dàna); kepada mereka yang 

memerlukan kata-kata hiburan, ia membantu dengan memberi   

kata-kata yang manis (piyavàcà) sebuah Saïgahavatthu yang lain; 

kepada mereka yang memerlukan naiahat-nasihat, ia membantu 

dengan memberi   nasihat-nasihat atau tindakan (atthacariyà), 

Saïgahavatthu (ketiga), dengan mengatakan, “Inilah yang harus 

dilakukan,” “Hal ini tidak boleh dilakukan,” “Orang-orang seperti 

ini harus bergaul dengan…,” “Orang seperti ini tidak boleh bergaul 

dengan…,” dan seterusnya. Mereka yang senang diperlakukan sama 

baik dalam hal kemakmuran maupun kemiskinan, Ia membantu 

dengan memperlakukan mereka dengan sederajat (samànattatà), 

Saïgahavatthu (keempat). Sebagai akibat dari kebajikan ini, Ia 

menikmati kebahagiaan surgawi seperti sebelumnya; saat terlahir 

sebagai manusia ia memiliki tanda utama no. 5 yaitu tangan dan kaki 

yang halus dan lembut serta tanda utama no. 6 yaitu tangan dan 

kaki itu mirip jaring emas. sebab   Ia memiliki dua tanda ini, jika Ia 

memilih untuk tetap menjadi perumah tangga, Ia akan menjadi raja 

dunia. Jika Ia melepaskan keduniawian, Ia akan menjadi Buddha 

Yang Mahatahu. Dan sebagai akibat tidak langsungnya, Ia memiliki 

sekelompok pengikut yang siap melayani-Nya bagaikan tergenggam 

erat dalam genggaman-Nya.

3524


Di sini, kebajikan dalam hal membantu banyak makhluk dengan 

empat saïgahavatthu dalam banyak kehidupan lampaunya yaitu   

(1) kamma. Mereka yang tidak melakukan kebajikan ini memiliki 

tangan dan kaki yang kasar dan jari-jemari yang tidak sama panjang. 

Bodhisatta, memiliki tangan dan kaki yang halus dan lembut; jari-

jemari tangan dan kaki-Nya rata dan sama panjang bagaikan jaring 

emas seolah-olah untuk memberitahukan dewa dan manusia bahwa 

Ia telah memberi   bantuan kepada banyak makhluk dengan empat 

Saïgahavatthu dalam banyak kehidupan lampaunya. Kemampuan 

kualitas kehalusan dan kelembutan tangan dan kaki ini dan kerataan 

jari-jemari ini untuk menjelaskan yaitu   (2) kamma-sarikkhaka. 

Kehalusan dan kelembutan tangan dan kaki ini dan jari-jemari yang 

rata dan sama panjang yaitu   (3) lakkhaõa. Memiliki sekelompok 

pengikut yang siap melayani-Nya bagaikan tergenggam erat dalam 

genggaman-Nya yaitu   (4) lakkhaõànisaÿsa

Pergelangan Kaki yang Agak Tinggi dan Bulu Badan yang 

Bergelung ke Atas

(6) Dalam banyak kehidupan lampaunya, Bodhisatta telah 

menjauhkan diri dari ucapan-ucapan yang tidak bermanfaat; Ia 

hanya mengucapkan kata-kata yang sopan dan bermanfaat untuk 

saat ini dan masa-masa mendatang. Ia hanya memberi   khotbah 

Dhamma yang berhubungan dengan Sepuluh Perbuatan Baik yang 

membawa menuju Pembebasan saÿsàra. Dengan memberi   

khotbah-khotbah keagamaan kepada banyak orang untuk 

meningkatkan kemakmuran mereka dengan sepuluh kebajikan, Ia 

memberi   dàna Dhamma. Sebagai akibat dari kebajikan ini, Ia 

menikmati kebahagiaan surgawi seperti sebelumnya; saat terlahir 

sebagai manusia Ia memiliki tanda utama no. 7 yaitu pergelangan 

kaki yang agak tinggi dan bebas debu dan tanda utama no. 4 yaitu 

bulu badan yang bergelung ke arah atas. sebab   ia memiliki dua 

tanda ini, jika Ia memilih untuk tetap menjadi perumah tangga, 

Ia akan menjadi raja dunia. Jika Ia melepaskan keduniawian, Ia 

akan menjadi Buddha Yang Mahatahu. Dan sebagai akibat tidak 

langsungnya, Ia mencapai tingkat tertinggi mengalahkan semua 

makhluk lainnya dalam hal kemasyhuran dan keunggulan.

3525

 2

Di sini, kebajikan memberi   khotbah Dhamma yang membawa 

ke tingkat yang lebih tinggi yaitu   (1) kamma. Mereka yang tidak 

melakukan kebajikan ini memiliki pergelangan kaki yang rendah dan 

bulu badan yang mengarah ke bawah solah-olah mengatakan, “Biar 

orang-orang tahu tentang kegagalan mereka dalam memberi   

kata-kata Dhamma.” Tetapi, Bodhisatta memiliki dua tanda ini 

yaitu, pergelangan kaki yang agak tinggi dan bulu badan yang 

bergelung dan menghadap ke atas, seolah-olah mengatakan, “Biar 

dewa dan manusia tahu bahwa Ia telah memberi   khotbah yang 

dapat mengangkat mereka ke tingkat spiritual yang lebih tinggi.” 

Oleh sebab   itu kemampuan dari dua tanda untuk menunjukkan 

hal demikian yaitu   (2) kamma-sarikkhaka. Dua tanda itu yaitu   

(3) lakkhaõa. Bodhisatta yang melebihi semua makhluk lainnya 

yaitu   (4) lakkhaõànisaÿsa.

Kaki yang Mirip Kaki Eõã

(7) Dalam banyak kehidupan lampaunya, Bodhisatta dengan 

sungguh-sungguh mengajarkan dan menganjurkan murid-murid-

Nya yang belajar kepada-Nya. Ia memberi   pelajaran sedemikian 

sehingga murid-murid-Nya dapat belajar dan berlatih dengan cepat 

dan tanpa kesulitan; Ia mengajari berbagai ilmu dan keahlian, dalam 

berbagai aturan moralitas (caraõa) seperti Lima Sãla, Sepuluh Sãla 

dan Pàtimokkha Sãla, serta ajaran-ajaran seperti kammasakatà 

(kebenaran bahwa setiap makhluk memiliki kammanya sendiri). 

Dalam setiap pelajarannya, Ia tidak pernah merahasiakan atau 

menyimpan sesuatu untuk diri-Nya sendiri. Sebagai akibat dari 

kebajikan ini, Ia menikmati kebahagiaan surgawi seperti sebelumnya; 

saat terlahir sebagai manusia Ia memiliki tanda utama no. 8 yaitu 

kaki yang bulat penuh, panjang dan elok, bagaikan kaki rusa, yang 

disebut eõã (atau bulir padi). 

sebab   Ia memiliki tanda ini, jika Ia memilih untuk tetap menjadi 

perumah tangga, Ia akan menjadi raja dunia, sebagai akibat tidak 

langsungnya, Ia dengan mudah memperoleh kebutuhan-kebutuhan 

seorang raja baik yang hidup maupun yang mati. Jika Ia melepaskan 

keduniawian, Ia akan menjadi Buddha Yang Mahatahu. Dan sebagai 

3526


akibat tidak langsungnya, Ia dengan mudah dapat memperoleh 

kebutuhan untuk menjadi bhikkhu dengan cepat dan lengkap.

Di sini, kebajikan dalam memberi   berbagai pelajaran dengan 

sungguh-sungguh dalam banyak kehidupan lampaunya yaitu   

(1) kamma. Mereka yang tidak mengajar murid-muridnya dengan 

sungguh-sungguh namun membuang waktu mereka dengan 

menyuruh mereka melayaninya dengan hormat, akan menyebabkan 

betis mereka membesar seolah-olah dipindahkan dari kaki bagian 

depannya. Sebaliknya, betis Bodhisatta bulat dan tinggi seolah-olah 

mengatakan, “Biar dewa dan manusia tahu akan kesungguhan-Nya 

dalam memberi   pelajaran tanpa merahasiakan apa pun untuk 

dirinya sendiri.” Kemampuan tanda ini untuk menunjukkan hal 

demikian yaitu   (2) kamma-sarikkhaka. Betis yang indah yaitu   

(3) lakkhaõa. Dapat memperoleh kebutuhannya dengan mudah dan 

cepat yaitu   (4) lakkhaõànisaÿsa.

Kulit yang Halus

(8) Dalam banyak kehidupan lampaunya, Bodhisatta banyak bergaul 

dengan para petapa dan brahmana dan berdiskusi dan bertanya, 

“Yang Mulia, apakah kebajikan itu?”, “Apakah kejahatan itu?”, 

“Apakah cacat?”, “Apakah yang bukan cacat?”, “Apakah yang harus 

diikuti?”, “Apakah yang tidak boleh diikuti?”, dan “Apakah itu yang 

jika dilakukan akan mengakibatkan kebahagiaan dalam waktu yang 

lama?” Sebagai akibat dari kebajikan ini, Ia menikmati kebahagiaan 

surgawi seperti sebelumnya; saat terlahir sebagai manusia Ia 

memiliki tanda utama no. 12 yaitu kulit yang halus. sebab   Ia 

memiliki tanda ini, jika Ia memilih untuk tetap menjadi perumah 

tangga, Ia akan menjadi raja dunia yang bijaksana, di antara mereka 

yang menikmati kenikmatan indra, tidak ada orang yang dapat 

menandingi apalagi melebihinya dalam hal kebijaksanaan. Jika Ia 

melepaskan keduniawian seperti pada kelahiran terakhirnya sebagai 

Pangeran Siddhattha, Ia akan menjadi Buddha Yang Mahatahu dan 

Mahabijaksana; Ia memiliki puthu-pa¤¤Ã , pengetahuan mengenai 

indra, unsur-unsur dan lain-lain; hàsa-pa¤¤Ã , pengetahuan yang 

timbul bersamaan dengan semangat dan kegembiraan, javana-

pa¤¤Ã , pengetahuan akan peristiwa-peristiwa yang muncul 

3527

 2

dengan cepat, tikha-pa¤¤Ã , pengetahuan yang dengan cepat dapat 

melenyapkan kotoran, dan nibbedhika-pa¤¤Ã , pengetahun yang 

menembus keserakahan, kebencian, dan kebodohan yang sulit 

ditembus; sebagai akibat tidak langsungnya, Ia memiliki kecerdasan 

yang lebih tinggi daripada makhluk lainnya.

Kulit yang Kuning Cerah Bagaikan Emas

(9) Dalam banyak kehidupan lampaunya, Bodhisatta sangat jarang 

marah. Jika Ia sampai marah, ia dengan segera memadamkannya. 

Ia juga sangat jarang gelisah. Walaupun seseorang marah kepada-

Nya, Ia tidak pernah merasa gusar, benci, marah, terganggu atau 

dendam. Selain itu, Ia malah akan memberi   pakaian yang baik, 

jubah dan alas tidur kepada mereka. Sebagai akibat dari kebajikan 

ini, Ia menikmati kebahagiaan surgawi seperti sebelumnya; saat 

terlahir sebagai manusia Ia memiliki tanda utama no. 11 yaitu, kulit 

yang kuning cerah bagaikan emas murni siïågã-nikkha. sebab   Ia 

memiliki tanda ini, jika Ia memilih untuk tetap menjadi perumah 

tangga, Ia akan menjadi raja dunia. Jika Ia melepaskan keduniawian, 

Ia akan menjadi Buddha Yang Mahatahu, sebagai akibat tidak 

langsungnya, Ia dengan mudah memperoleh pakaian yang baik, 

jubah, dan alas tidur.

Di sini, keadaan yang bebas dari kemarahan dan tindakan 

memberi   pakaian yang baik, jubah dan alas tidur dalam banyak 

kehidupan lampaunya yaitu   (1) kamma. Wajah seorang yang 

sedang marah dan tidak tenang, yaitu   sangat buruk sekali. Tidak 

ada hiasan yang lebih baik daripada pakaian yang baik dan indah. 

Oleh sebab   itu, mereka yang tidak dapat menahan kemarahan 

dan tidak pernah memberi   pakaian yang baik, jubah, dan alas 

tidur tidak akan memiliki wajah yang enak dipandang seolah-olah 

memberitahukan tentang kemarahan mereka pada masa lalu. 

Wajah dari orang yang tidak pernah atau jarang marah terlihat enak 

dipandang, wajahnya tenang. Ada empat cara untuk memperoleh 

kecantikan: 

(1) memberi   dàna makanan di kehidupan lampau,

(2) memberi   dàna pakaian di kehidupan lampau,

3528


(3) memberi   bantuan dengan menyapu,

(4) tidak marah-marah.

Dari semua persyaratan ini, Bodhisatta telah memenuhi semuanya 

dalam banyak kehidupan lampaunya. Oleh sebab   itu Bodhisatta 

memperoleh tanda utama no. 11 yaitu kulit kuning cerah bagaikan 

emas murni siïågi-nikkha yang memberitahukan kepada para 

dewa dan manusia bahwa Ia telah memenuhi empat persyaratan 

ini, hal ini yaitu   (2) kamma-sarikkhaka. Kulit keemasan yaitu   (3) 

lakkhaõa. Memperoleh pakaian yang baik dengan mudah yaitu   

(4) lakkhaõànisaÿsa.

Organ Kelamin yang Tersembunyi

(10) Dalam banyak kehidupan lampaunya, Bodhisatta membina 

hubungan yang sangat baik antara sanak saudara dan teman-teman 

yang terpisah jauh; Ia menciptakan hubungan yang harmonis antara 

ibu dan anak yang tidak akrab; antara ayah dan anak yang tidak 

berkecocokan, antara saudara (laki-laki dan perempuan) yang saling 

bermusuhan. Ia bergembira di dalam keharmonisan yang Ia ciptakan. 

Sebagai akibat dari kebajikan ini, Ia menikmati kebahagiaan surgawi 

seperti sebelumnya; saat terlahir sebagai manusia Ia memiliki tanda 

utama no. 10 yaitu, organ kelaminnya tersembunyi di balik kulit 

seperti organ kelamin Raja Gajah Chaddanta. sebab   Ia memiliki 

tanda ini, jika Ia memilih untuk tetap menjadi perumah tangga, Ia 

akan menjadi raja dunia, sebagai akibat tidak langsungnya, Ia akan 

memiliki banyak keturunan yang mampu menghancurkan bala 

tentara musuh. Jika Ia melepaskan keduniawian, Ia akan menjadi 

Buddha Yang Mahatahu. Dan sebagai akibat tidak langsungnya, 

Ia memiliki banyak anak yaitu siswa-siswa mulia yang mampu 

menghancurkan musuh kotoran batin.

Di sini, tindakan kebajikan menciptakan persatuan antara sanak 

saudara dalam banyak kehidupan lampaunya yaitu   (1) kamma. 

saat   sanak saudara rukun, mereka saling melupakan kesalahan 

pihak lainnya. Bahkan saat   mereka bertengkar, mereka akan 

menjaga agar orang lain tidak sampai mengetahui kesalahan yang 

dilakukan oleh saudaranya. Jika ada orang yang mengatakan, 

3529

 2

“Ini yaitu   kesalahannya,” mereka akan mengangkat tangan dan 

menyangkal, “Siapa yang melihat hal itu? Siapa yang mendengar 

hal itu? Tidak ada di antara kami yang melakukan kesalahan itu!” 

Demikianlah mereka saling menutupi kesalahan saudaranya. Dapat 

dikatakan bahwa Bodhisatta tidak memedulikan kesalahan semacam 

itu dan dengan cara demikian Ia membawa keharmonisan bagi sanak 

saudara dan teman-teman-Nya dengan menutupi kesalahan mereka 

agar jangan sampai terlihat sehingga mereka dapat hidup dalam 

kebahagiaan. Hal ini yaitu   (2) kamma-sarikkhaka. Organ kelamin 

yang tersembunyi di balik kulit yaitu   (3) lakkhaõa. Memiliki ribuan 

siswa mulia yang seperti anaknya yaitu   (4) lakkhaõànisaÿsa.

Tubuh yang Simetris dan Proporsional dan Telapak Tangan 

Panjang yang Dapat Menyentuh Lutut Tanpa Membungkukkan 

Badan

(11) Dalam banyak kehidupan lampaunya, Bodhisatta sangat 

menghormati pelayan-pelayan-Nya sesudah   secara pribadi 

mengevaluasi perbuatan-perbuatan dan kualitas mereka. Hanya 

sesudah   Ia mengetahui kualifikasi mereka, Ia menunjukkan 

penghargaan yang sesuai dengan jasa mereka dan memutuskan, 

“Orang ini layak mendapat penghargaan ini,” “Orang ini layak 

mendapat hadiah sebanyak ini.” Jika Anda membayarkan setengah 

dari jumlah yang harus diberikan kepada mereka yang selayaknya 

mendapatkan secara penuh, itu artinya Anda menghancurkan 

setengah dari milik si penerima. Jika Anda memberi   dua 

kepada mereka yang selayaknya mendapatkan satu, artinya Anda 

menghilangkan satu dari milik Anda. Dengan tidak melakukan 

kedua hal ini (memberi   lebih ataupun kurang) Bodhisatta 

memberi   penghargaan kepada pelayan-pelayan-Nya dengan 

memberi   sesuai dengan apa yang layak mereka terima. Sebagai 

akibat dari kebajikan ini, Ia menikmati kebahagiaan surgawi seperti 

sebelumnya; saat terlahir sebagai manusia Ia memiliki tanda utama 

no. 19 yaitu tubuh yang simetris dan proporsional (bulat dan indah) 

bagaikan pohon banyan dan tanda utama no. 9 yaitu telapak tangan 

yang panjang yang dapat menyentuh lutut tanpa membungkukkan 

badan. sebab   Ia memiliki kedua tanda ini, jika Ia memilih untuk 

tetap menjadi perumah tangga, Ia akan menjadi raja dunia, sebagai 

3530


akibat tidak langsungnya, Ia akan memiliki berkah kekayaan seperti 

permata, emas, perak, dan benda-benda berharga lainnya, gudang 

harta dan lumbung. Jika Ia melepaskan keduniawian, Ia akan 

menjadi Buddha Mahatahu. Dan sebagai akibat tidak langsungnya, 

Ia memiliki kekayaan spiritual: keyakinan (saddhà), moralitas (sãla), 

pengetahuan (suta), pengorbanan (càga), kebijaksanaan (pa¤¤Ã ), rasa 

malu (hiri) dan rasa takut (ottappa) akan perbuatan jahat.

Di sini, penghargaan yang Ia berikan atas jasa seseorang yaitu   

(1) kamma. Panjang rentang kedua tangan-Nya yang sama dengan 

tinggi badan-Nya dan panjang yang sama antara bagian tubuh 

atas dengan bagian tubuh bawah-Nya sebagai akibat dari tindakan 

itu yaitu   (2) kamma-sarikkhaka. Tubuh-Nya yang seperti pohon 

banyan, dan panjang yang sama antara bagian tubuh atas dengan 

bagian tubuh bawah-Nya yaitu   (3) lakkhaõa. Memiliki tujuh 

kekayaan spiritual yaitu   (4) lakkhaõànisaÿsa.

Tubuh yang Sempurna, Tidak Terlihat Kerutan Ruas Tulang 

Belakang di Punggung dan di Leher-Nya

(12) Dalam banyak kehidupan lampaunya, Bodhisatta selalu 

menginginkan kesejahteraan banyak makhluk. Ia menginginkan 

keamanan bagi empat kebahagiaan yang dimiliki oleh umat 

manusia. Ia merenungkan, “Bagaimana agar makhluk ini 

memperoleh kemakmuran melalui saddhà?” “Bagaimana agar 

mereka memperoleh kemakmuran melalui sãla, menjalani lima 

peraturan atau sepuluh peraturan?” “Bagaimana agar mereka 

memperoleh kemakmuran melalui suta dan mengikuti nasihat-

nasihat para bijaksana?” “Bagaimana agar mereka memperoleh 

kemakmuran melalui caga, dengan mengorbankan (melepaskan) 

apa yang mereka miliki?” “Bagaimana agar mereka memperoleh 

kemakmuran melalui panna?” “kebenaran dan pengetahuan bahwa 

semua makhluk memiliki kammanya sendiri?” “Bagaimana mereka 

mendapat kemajuan dalam hal kekayaan dan padi, tanah dan ladang, 

binatang-binatang berkaki dua dan berkaki empat, anak-anak dan 

istri, pelayan dan pekerja, sanak saudara dan teman-teman?” Sebagai 

akibat dari kebajikan ini, Ia menikmati kebahagiaan surgawi seperti 

sebelumnya; saat terlahir sebagai manusia Ia memiliki tanda utama 

3531

 2

no. 17 yaitu tubuh yang sempurna bagaikan bagian depan dari 

seekor singa, tanda utama no. 18 yaitu punggung yang sempurna 

dari pinggang sampai leher bagaikan lempengan emas, tidak terlihat 

kerutan sebab   ruas tulang punggung-Nya, tanda utama no. 20 yaitu 

leher yang bundar dan proporsional. sebab   Ia memiliki ketiga 

tanda ini, jika Ia memilih untuk tetap menjadi perumah tangga, Ia 

akan menjadi raja dunia, sebagai akibat tidak langsungnya, Ia akan 

memperoleh banyak perhiasaan kerajaan dan kemewahan-Nya tidak 

akan berkurang. Jika Ia melepaskan keduniawian, Ia akan menjadi 

Buddha Mahatahu; dan sebagai akibat tidak langsungnya, kebajikan 

duniawi dan non-duniawinya seperti saddhà, sãla, suta, càga, pa¤¤Ã , 

dan lain-lain, tidak pernah menurun.

Di sini, keinginan-Nya untuk menyejahterakan banyak makhluk 

yaitu   (1) kamma. Kesempurnaan bentuk tubuh-Nya yang 

menunjukkan keinginan-Nya untuk menyejahterakan makhluk-

makhluk lain yaitu   (2) kamma-sarikkhaka. Tubuh yang sempurna, 

leher yang bundar, dan punggung yang tanpa kerutan yaitu   (30 

lakkhaõa. Kekayaan duniawi dan non-duniawi yang tidak pernah 

berkurang yaitu   (4) lakkhaõisaÿsa.

Tujuh Ribu Pembuluh Darah di Tenggorokan

(13) Dalam banyak kehidupan lampaunya, Bodhisatta tidak pernah 

menyakiti makhluk lain dengan kedua tangan-Nya, dengan 

memakai   batu, tongkat, pedang atau senjata apa pun. Sebagai 

akibat dari kebajikan ini, Ia menikmati kebahagiaan surgawi seperti 

sebelumnya; saat terlahir sebagai manusia Ia memiliki tanda utama 

no. 21 yaitu, “Tujuh ribu pembuluh darah di tenggorokan-Nya dan 

menyebarkan rasa makanan ke seluruh tubuh-Nya bahkan yang 

sekecil biji wijen sekalipun.” sebab   Ia memiliki tanda ini, jika Ia 

memilih untuk tetap menjadi perumah tangga, Ia akan menjadi 

raja dunia, Jika Ia melepaskan keduniawian, Ia akan menjadi 

Buddha Mahatahu; dan sebagai akibat tidak langsungnya, Ia jarang 

menderita penyakit.

Di sini, kebajikannya yang tidak menyakiti makhluk lain yaitu   

(1) kamma. Ia yang melukai orang lain dengan memakai   

3532


kedua tangan, dan lain-lain, biasanya memiliki luka, darah yang 

menggumpal di bagian tubuh korban yang dipukul yang akan 

menyebabkan kesakitan yang lebih lanjut. Sedangkan Bodhisatta, 

seolah-olah memberitahukan bahwa dalam kehidupan-kehidupan 

lampaunya Ia tidak pernah melakukan kekerasan kepada makhluk 

lain, sebuah kebajikan yang mengakibatkan kesehatan yang baik, 

Ia memperoleh tanda berupa pembuluh darah di tenggorokan-

Nya, hal ini yaitu   (2) kamma-sarikkhaka. Pembuluh-pembuluh 

darah ini yaitu   (3) lakkhaõa. Kesehatan-Nya yang baik yaitu   (4) 

lakkhaõànisaÿsa.

Mata yang Biru Jernih dan Bulu Mata yang Lentik

(14) Dalam banyak kehidupan lampaunya, Bodhisatta tidak pernah 

menatap marah dengan mata melotot kepada orang lain bagaikan 

mata udang. Tidak pernah Ia mendelik marah kepada orang lain. 

Jika orang lain menatap marah kepada-Nya, Ia hanya menutup 

mata. Hanya jika orang lain menatap-Nya tanpa kemarahan, Ia 

akan menatap kembali dengan penuh cinta kasih dan ketenangan, 

tidak pernah dengan kebencian. Sebagai akibat dari kebajikan ini, 

Ia menikmati kebahagiaan surgawi seperti sebelumnya; saat terlahir 

sebagai manusia Ia memiliki tanda utama no. 29 yaitu mata yang biru 

jernih dan tanda utama no. 30 yaitu bulu mata yang lentik bagaikan 

bulu mata anak sapi yang baru lahir. sebab   Ia memiliki kedua 

tanda ini, jika Ia memilih untuk tetap menjadi perumah tangga, Ia 

akan menjadi raja dunia, jika Ia melepaskan keduniawian, Ia akan 

menjadi Buddha Mahatahu; dan sebagai akibat tidak langsungnya, 

Ia diperhatikan dan dijaga oleh para manusia, dewa, dan brahmà 

dengan penuh kepercayaan dan cinta kasih.

Di sini, Ia menatap orang lain dengan pandangan penuh cinta kasih 

dalam banyak kehidupan lampaunya yaitu   (1) kamma. Mereka 

yang sering mendelik sambil mengerutkan dahi dalam menatap 

orang lain, matanya cenderung terlihat demikian. Mereka yang 

menatap orang lain dengan tatapan penuh kasih sayang dan penuh 

hormat akan memiliki mata yang tenang dan dihiasi oleh lima 

kecantikan. Bodhisatta memiliki mata yang biru jernih, bulu mata-

Nya lentik dan melengkung ke atas seolah-olah memberitahukan 

3533

 2

tentang tatapan mata-Nya yang penuh kasih sayang dan penuh 

hormat pada masa lampau: semua ini yaitu   (2) kamma-sarikkhaka. 

Mata yang sangat biru jernih dan bulu mata yang sangat lentik 

melengkung ke atas yaitu   (3) lakkhaõa. Diperhatikan dan dijaga 

dengan penuh hormat oleh makhluk-makhluk lain yaitu   (4) 

lakkhaõànisaÿsa.

Lapisan Daging Tipis di Kening-Nya

(15) Dalam banyak kehidupan lampaunya, Bodhisatta selalu 

memimpin sekelompok orang dalam melakukan perbuatan-

perbuatan baik, ucapan-ucapan yang baik, pikiran-pikiran yang 

baik, dàna, moralitas yang baik, berpuasa, melayani orang tua, dan 

lain-lain. Sebagai akibat dari kebajikan ini, Ia menikmati kebahagiaan 

surgawi seperti sebelumnya; saat terlahir sebagai manusia Ia 

memiliki tanda utama no. 32 yaitu, “Lapisan daging tipis yang 

terlihat seperti ikat kepala emas di kening-Nya.” sebab   Ia memiliki 

tanda ini, jika Ia memilih untuk tetap menjadi perumah tangga, Ia 

akan menjadi raja dunia, Jika Ia melepaskan keduniawian, Ia akan 

menjadi Buddha Mahatahu; dan sebagai akibat tidak langsungnya, 

Ia akan memiliki banyak makhluk sebagai pengikut-Nya atau Ia 

menjadi pemimpin dari banyak makhluk.

Di sini, tindakan-Nya memimpin sekelompok orang dalam 

melakukan kebajikan yaitu   (1) kamma; Ia yang memimpin 

orang-orang lain untuk melakukan kebajikan seperti dàna, dan 

lain-lain, tidak pernah terlihat sedih dalam sebuah perkumpulan; 

sebaliknya Ia akan mondar-mandir di antara orang-orang dengan 

kepala tegak tanpa rasa takut, namun dengan gembira dan perasaan 

puas. Ia juga memiliki banyak pengikut. Bodhisatta dalam banyak 

kelahiran lampau-Nya telah melakukan tindakan bajik ini. Untuk 

memberitahukan para dewa dan manusia akan hal ini, Bodhisatta 

lahir dengan daging tipis di kening-Nya (di sekeliling kepala-Nya); 

oleh sebab   itu, kemampuan daging tipis ini untuk memberitahukan 

kepada makhluk lain tentang kebajikan masa lampau-Nya yaitu   

(2) kamma-sarikkhaka; daging tipis ini (di sekeliling kepala-Nya) 

yaitu   (3) lakkhaõa. Banyaknya makhluk yang menjadi pengikut-

Nya yaitu   (4) lakkhaõnisaÿsa.

3534


Bulu Badan dan Rambut di Antara Alis Mata-Nya

(16) Dalam banyak kehidupan lampaunya, Bodhisatta menjauhkan 

diri dari kata-kata dusta (musàvàda); Ia mengatakan apa yang benar; 

(tanpa disertai dusta), kata-kata benar yang Ia ucapkan dipercayai 

hingga akhir; Ia memiliki kata-kata yang sungguh-sungguh dan 

tegas; Ia mengucapkan kata-kata yang dapat dipercaya dan menjadi 

pegangan bagi banyak orang. Sebagai akibat dari kebajikan ini, Ia 

menikmati kebahagiaan surgawi seperti sebelumnya; saat terlahir 

sebagai manusia Ia memiliki tanda utama no. 13 yaitu bulu badan, 

masing-masing sehelai di setiap pori-pori tubuh-Nya dan tanda 

utama no. 31 yaitu rambut di antara kedua alis mata-Nya. sebab   

Ia memiliki kedua tanda ini, jika Ia memilih untuk tetap menjadi 

perumah tangga, Ia akan menjadi raja dunia, Jika Ia melepaskan 

keduniawian, Ia akan menjadi Buddha Mahatahu; dan sebagai 

akibat tidak langsungnya, semua kemauan-Nya dipenuhi oleh 

banyak makhluk.

Di sini, kebajikan-Nya dalam mengucapkan hanya kata-kata yang 

benar dalam banyak kehidupan lampau-Nya yaitu   (1) kamma. 

Kemampuan bulu badan-Nya, yang masing-masing sehelai di 

setiap pori-pori tubuh-Nya dan rambut yang tumbuh di kening-Nya 

untuk memberitahukan tentang kebajikan-Nya dalam berkata-kata 

benar yaitu   (2) kamma-sarikkhaka. Bulu badan dan rambut di 

antara kedua alis mata yaitu   (3) lakkhaõa. Kemauan-Nya yang 

dilaksanakan oleh orang lain yaitu   (4) lakkhaõisaÿsa.

Empat Puluh Gigi yang Saling Bersentuhan Satu Sama Lain

(17) Dalam banyak kehidupan lampau-Nya, Bodhisatta menjauhkan 

diri dari ucapan-ucapan yang menghasut yang dapat menyebabkan 

hilangnya rasa persahabatan di antara orang banyak; Ia sebaliknya 

membawa keharmonisan kepada mereka yang terpisah; Ia menjaga 

keutuhan hubungan mereka yang berhubungan baik; Ia merasa 

gembira di antara orang-orang yang bersahabat baik; Ia sangat 

senang melihat atau mendengar mereka yang bersatu padu; Ia 

hanya mengucapkan kata-kata yang dapat membangkitkan rasa 

persatuan di antara teman-teman. Sebagai akibat dari kebajikan 

3535

 2

ini, Ia menikmati kebahagiaan surgawi seperti sebelumnya; saat 

terlahir sebagai manusia Ia memiliki tanda utama no. 23 yaitu gigi 

yang berjumlah persis empat puluh, dan tanda utama no. 25 yaitu 

gigi-gigi yang saling bersentuhan satu sama lain sehingga tidak 

ada celah di antaranya. sebab   Ia memiliki kedua tanda ini, jika Ia 

memilih untuk tetap menjadi perumah tangga, Ia akan menjadi raja 

dunia, jika Ia melepaskan keduniawian, Ia akan menjadi Buddha 

Mahatahu; dan sebagai akibat tidak langsungnya, Ia diikuti para 

pengikut yang bersatu padu yang tidak dapat dipisahkan oleh 

makhluk lain.

Di sini, menjauhkan diri dari ucapan-ucapan menghasut selama 

banyak kehidupan lampau yaitu   (1) kamma. Mereka yang sering 

menghasut, tidak memiliki gigi lengkap berjumlah empat puluh, 

dan di antara gigi-gigi mereka terdapat celah, sebab   mereka 

membubarkan persatuan orang-orang lain dan memisahkan mereka. 

Bodhisatta, sebaliknya, memiliki empat puluh gigi dan saling 

bersentuhan satu sama lain, seolah-olah memberitahukan kepada 

dewa dan manusia akan perbuatan-Nya yaitu tidak mengucapkan 

kata-kata hasutan dalam banyak kehidupan lampau-Nya dalam 

saÿsàra. Jadi, kemampuan gigi-gigi itu dalam menyatakan tentang 

perbuatan-Nya itu yaitu   (2) kamma-sarikkhaka. Gigi yang lengkap 

berjumlah empat puluh dan tidak terdapat celah di antaranya yaitu   

(3) lakkhaõa. Memiliki pengikut yang bersatu padu dan tidak dapat 

dipisahkan oleh makhluk lain yaitu   (4) lakkhaõànisaÿsa.

Lidah yang Panjang dan Suara yang Memiliki Kualitas 

Bagaikan Suara Brahmà

(18) Dalam banyak kehidupan lampau-Nya, Bodhisatta menjauhkan 

diri dari kata-kata kasar dan menghina; Ia selalu berkata-kata sopan, 

tanpa cela, menyenangkan, dan menarik hati banyak orang. Sebagai 

akibat dari kebajikan ini, Ia menikmati kebahagiaan surgawi seperti 

sebelumnya; saat terlahir sebagai manusia Ia memiliki tanda utama 

no. 27 yaitu, “Lidah yang panjang, rata dan lembut” dan tanda utama 

no. 28 yaitu suara-Nya yang memiliki delapan kualitas bagaikan 

brahmà. sebab   Ia memiliki kedua tanda ini, jika Ia memilih untuk 

tetap menjadi perumah tangga, Ia akan menjadi raja dunia. Jika 

3536


Ia melepaskan keduniawian, Ia akan menjadi Buddha Mahatahu; 

dan sebagai akibat tidak langsungnya, kata-kata-Nya sangat efektif, 

berpengaruh, dan penuh kuasa.

Di sini, tindakan menjauhkan diri dari kata-kata kasar dan menghina 

(pharusa-vàcà) dan hanya berkata-kata yang manis, menyenangkan 

dan sopan dalam banyak kehidupan lampau-Nya dalam saÿsàra 

yaitu   (1) kamma. Mereka yang sering mengucapkan kata-kata kasar 

dan menghina memiliki lidah yang cacat, buruk, tebal, memiliki 

belahan di tengah sehingga orang lain akan mengetahui bahwa 

mereka yaitu   orang yang sering mengucapkan kata-kata yang tidak 

baik dengan memelintir lidahnya. Sebaliknya Bodhisatta memiliki 

lidah yang panjang, rata, dan lembut seolah-olah memberitahukan 

para dewa dan manusia bahwa Ia tidak pernah mengucapkan kata-

kata yang tidak baik melainkan kata-kata yang manis, merdu, dan 

sopan. Mereka yang sering berkata-kata kasar memiliki suara yang 

pecah, kasar, dan tidak menyenangkan dalam berbagai hal sehingga 

orang banyak akan mengetahui sumpah serapah yang mereka 

ucapkan dengan suara yang pecah dan parau. Bodhisatta memiliki 

suara dengan delapan kualitas seolah-olah mengatakan, “Biar para 

dewa dan manusia tahu akan ucapan-ucapan-Nya dalam banyak 

kehidupan lampau yang tidak pernah mengucapkan kata-kata kasar, 

mengutuk yang menyebabkan suara menjadi kasar dan parau.” 

Jadi, lidah yang panjang, rata, dan lembut dan delapan kualitas 

yaitu   yang menjelaskan kebajikan-Nya dalam berkata-kata yaitu   

(2) kamma-sarikkhaka. Lidah yang panjang, rata dan lembut dan 

suara dengan delapan kualitas yaitu   (3) lakkhaõa. Kepatuhan yang 

ditunjukkan oleh para dewa dan manusia, dan kata-katanya yang 

efektif, berpengaruh dan berkuasa yaitu   (4) lakkhaõànisaÿsa

Dagu yang Seperti Dagu Singa

(19) Dalam banyak kehidupan lampau-Nya, Bodhisatta menjauhkan 

diri dari kata-kata yang tidak bermanfaat yang bagaikan tanaman 

padi yang kekurangan pupuk dan gagal berbuah. Ia hanya 

mengatakan apa yang benar dan tepat sesuai peristiwa yang sedang 

berlangsung; Ia mengucapkan kata-kata yang bermanfaat, jujur, 

dan berhubungan dengan Dhamma, dan memberi   nasihat-

3537

 2

nasihat serupa kepada murid-murid-Nya; Ia mengucapkan dengan 

sungguh-sungguh apa yang bermanfaat yang disertai bukti-bukti 

bagaikan di dalam suatu pengadilan, yang layak diperhatikan oleh 

para pendengar-Nya. Sebagai akibat dari kebajikan ini, Ia menikmati 

kebahagiaan surgawi seperti sebelumnya; saat terlahir sebagai 

manusia Ia memiliki tanda utama no. 22 yaitu dagu yang sempurna 

(seperti hendak tersenyum) bagaikan dagu singa. sebab   Ia memiliki 

tanda ini, jika Ia memilih untuk tetap menjadi perumah tangga, Ia 

akan menjadi raja dunia. Jika Ia melepaskan keduniawian, Ia akan 

menjadi Buddha Mahatahu; dan sebagai akibat tidak langsungnya, 

Ia tidak akan dapat dicelakai oleh musuh-musuhnya baik dari dalam 

maupun dari luar.

Di sini, tidak mengucapkan kata-kata yang tidak bermanfaat 

(sampha-palapa) yaitu   (1) kamma. Mereka yang sering 

mengucapkan kata-kata yang tidak bermanfaat memiliki dagu 

yang melengkung, bengkok atau bentuk-bentuk lainnya yang 

tidak indah dilihat sehingga orang lain akan mengetahui bahwa 

mereka telah mengucapkan kata-kata yang tidak bermanfaat. 

Bodhisatta, sebaliknya memiliki rahang yang sempurna seolah-olah 

memberitahukan dewa dan manusia bahwa Ia tidak mengucapkan 

kata-kata yang tidak bermanfaat dan hanya mengucapkan kata-kata 

yang bermanfaat bagi pendengar-Nya. Kemampuan bentuk rahang 

yang sempurna ini untuk memberitahukan tentang kata-kata yang Ia 

ucapkan pada masa lampau yaitu   (2) kamma-sarikkhaka. Rahang 

yang sempurna dengan kemampuannya itu yaitu   (3) lakkhaõa. 

Kekebalan-Nya dalam menghadapi serangan musuh-musuh-Nya 

baik dari dalam maupun dari luar yaitu   (4) lakkhaõànisaÿsa.

Gigi yang Proporsioanal dan Empat Gigi Taring yang Putih

(20) Dalam banyak kehidupan lampau-Nya, Bodhisatta telah 

menjauhkan diri dari penghidupan salah dan memiliki mata 

pencaharian yang bersih; Ia tidak melakukan berbagai bentuk 

kecurangan seperti menipu dalam hal timbangan, menipu dalam 

hal keranjang, menipu dalam hal uang; menerima suap, membujuk 

dengan cara menipu; menipu dengan barang-barang palsu; 

melakukan tindakan kekerasan seperti memotong tangan dan kaki, 

3538


membunuh, mengikat, merampas, menghancurkan kota-kota dan 

desa. Sebagai akibat dari kebajikan ini, Ia menikmati kebahagiaan 

surgawi seperti sebelumnya; saat terlahir sebagai manusia Ia 

memiliki tanda utama no. 24 yaitu gigi yang proporsional dan 

tanda utama no. 26 yaitu gigi taring-Nya putih cemerlang bagaikan 

bintang pagi. sebab   Ia memiliki kedua tanda ini, jika Ia memilih 

untuk tetap menjadi perumah tangga, Ia akan menjadi raja dunia. 

Jika Ia melepaskan keduniawian, Ia akan menjadi Buddha Mahatahu; 

dan sebagai akibat tidak langsungnya, Ia memiliki banyak pengikut 

dan pelayan.

Di sini, penghidupan yang bersih dalam banyak kehidupan lampau-

Nya yaitu   (1) kamma. Mereka yang memiliki penghidupan yang 

tidak bersih tidak memiliki gigi yang proporsional, baik bagian atas 

maupun bagian bawah, dalam maupun luar, dan gigi taringnya 

terlihat kotor seolah-olah memberitahukan orang lain mengenai 

kecurangan mereka. Sebaliknya, Bodhisatta memiliki gigi yang rata 

dan gigi taring-Nya putih cemerlang seolah-olah mengatakan, “Biar 

dewa dan manusia tahu akan penghidupan-Nya yang bersih yang 

Ia lakukan dalam banyak kehidupan lampau-Nya dalam saÿsàra.” 

Jadi, kerapian gigi-Nya yang memberitahukan tentang kemurnian 

penghidupan-Nya dalam kehidupan lampau yang tidak terhitung 

banyaknya dalam saÿsàra yaitu   (2) kamma-sarikkhaka. Gigi yang 

rata dan taring yang putih yaitu   (3) lakkhaõa. Banyaknya pengikut 

dan pelayan yaitu   (4) lakkhaõànisaÿsa

Demikianlah

“”