Tampilkan postingan dengan label Pernikahan muslim 2. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pernikahan muslim 2. Tampilkan semua postingan

Pernikahan muslim 2

 


�صْا  َ َّالل  َّنِإ 

7مٍشِاهَ يِنَب نْمِ يِناَفطَصْاوَ مٍشِاهَ يِنَب شٍيْرَُق


Artinya: 

 “Sesungguhnya Allah telah memilih (atau menyaring) 

suku kinanah dari Bani Ismail, dan memilih Quraisy 

dari Kinanah, dan memilih Bani Hasyim dari Quraisy, 

lali memilih aku dari Bani Hasyim. Maka akuini adalah 

hasil pilihan dari pilihan,” (HR. Muslim).

Demikian pula sabda Nabi Saw., “Dahulukanlah kaum 

Quraisy dan janganlah mendahuli mereka.”

Syafi’I dan sebagian besar sahabatnya 

meriwayatkan bahwa kafaah dalam nasab berlaku 

antar mereka. Berdasarkan qiyas kepada orang-orang 

Arab.Mereka ditimpa aib apabila seorang perempuan 

di antara mereka menikah dengan seorang laki-laki 

yang nasabnya lebih rendah. Karena itu,  hokum 

mereka sama dengan hukum orang-orang Arab 

karena illatnya adalah sama.

Mazhab Maliki tidak mengganggap nasab 

dalam kafaah, karena keistimewan Islam yang inti 

adalah seruan kepada persamaan dan memerangi 

deskriminasi ras. Lain halnya dengan seruan orang-

orang jahiliyah sebelum Islam yang membangga-

banggakan kabilah dan nasab mereka. Deklarasi haji 

wada menjelaskan bahwa semua manusia adalah 

keturunan Adam, dan orang Arab tidak memiliki 

keistimewaan atas orang ‘ajam kecuali dengan 

ketakwaan.

Rasulullah saw mengawinkan kedua putrinya 

dengan Usman bin Affan dan mengawinkan Abu al-

Ash bin Rabi’ kepada Zaenab, yang keduanya berasal 

dari bani Abdu Syams. Demikian pula yang dilakukan 

oleh Ali bin Abi Thalib mengawinkan putrinya ummu 

Kalsum kepada Umar bin Khattab yang berasal dari 

bani Adiy. Usamah bin Zaid juga mengawini Fathimah 

binti Qais yang merupakan perempuan Qurais.8

4.  Segi Kekayaan.

Kekayaan yang dimaksud di sini adalah 

kemampuan seseorang untuk membayar mahar 

dan memenuhi nafkah. Mazhab Hanafi dan Hambali 

mensyaratkan kekayaan sebagai unsur kafaah, 

dengan berdasar kepada hadis Nabi Saw dalam hadis 

riwayat Fatimah binti Qais yang dilamar oleh tiga 

laki-laki sekaligus yaitu: Muawiyah, Abu Jahm dan 

Usamah bin Zaid. Kemudian Rasul Saw bersabda:  

9ُهَل لَامَ لَا كٌوُلعْصَُف ُةَيوِاَعمُ ا َّمَأوَ … سٍيَْق تِنِْب َةمَطِاَف نْعَ

Artinya:

“Dari Fatimah binti Qais … Adapun Mu’awiyah adalah 

seorang laki-laki yang miskin, Nikahilah Usamah bin 

Zid. (HR. Muslim).

 Berdasarkan hadis tersebut dijelaskan bahwa Muawi-

yah adalah orang yang tidak memiliki harta, kemudian 

Rasulullah menyuruh Fatimah binti Qais untuk mener-

ima lamaran Usamah bin Zaid yang lebih banyak har-

tanya. Hal ini menunjukkan bahwa salah satu unsur 

dari kafaah adalah dari segi harta atau kekayaan.Oleh 

karena itu, wanita yang kaya tidak sekufu dengan 

laki-laki yang tidak berharta.Perempuan punya hak 

untuk membatalkan perkawinan akibat kesulitannya 

untuk memberikan nafkah.

Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam kehidupan 

manusia terdapat stratifikasi sosial, di antara mereka 

ada yang kaya dan ada yang miskin. Walaupun kualitas 

seseorang terletak pada dirinya sendiri dan amalnya, 

namun kebanyakan manusia merasa bangga dengan 

nasab dan bertumpuknya harta. Oleh karena itu sebagian 

fuqaha’ memandang perlu memasukkan unsur kekayaan 

sebagai faktor kafa’ah dalam perkawinan. Selain itu, jika 

seorang fakir mengawini perempuan yang sudah terbiasa 

hidup dalam kemewahan harta, dikhawatirkan perempuan 

tersebut nantinya akan melecehkan suaminya yang tak 

berharta itu, dan yang demikian itu akan membuat retaknya 

hubungan perkawinan mereka.

Mazhab Syafi’i dan mazhab Maliki berpendapat 

bahwa kekayaan/ harta tidak masuk dalam unsur kafaah, 

karena harta adalah sesuatu yang bisa hilang dan tidak 

menjadi kebanggaan bagi orang-orang yang zuhud. Bahkan 

kemiskinan bagi mereka adalah sebuah kemuliaan di dalam 

agama, sebagaimana sabda Rasul Saw. 

Artinya:

 “Ya Allah, hidupkanlah aku dalam keadaan miskin, 

dan matikanlah aku dalam keadaan miskin.”



73

5.      Segi Pekerjaan/ Profesi.

Pekerjaan yang dimaksud di sini adalah 

berkenaan dengan segala sarana  maupun prasarana 

yang dapat dijadikan sumber penghidupan baik 

di bidang pemerintahan, perusahaan maupun 

yang lainnya. Profesi atau pekerjaan seseorang 

adakalanya menimbulkan perasaan kebanggaan 

ataupun kehinaan pada dirinya. Jadi apabila ada 

seorang wanita yang berasal dari kalangan orang 

yang mempunyai pekerjaan tetap dan terhormat, 

maka dianggap tidak sekufu’ dengan orang yang 

rendah penghasilannya.

Jumhur fuqaha selain mazhab Maliki 

memasukkan profesi ke dalam unsur kafaah, 

yaitu dengan menjadikan profesi suami atau 

keluarganya sebanding dan setaraf dengan profesi 

isteri dan keluarganya. Oleh sebab itu, orang yang 

pekerjaannya rendah seperti tukang sapu, tukang 

sampah dan penggembala tidak setara dengan 

anak perempuan pemilik pabrik yang merupakan 

orang yang elit dan lain sebagainya.10Yang dijadikan 

landasan untuk mengklasifikasi pekerjaan adalah 

tradisi. Hal ini berbeda dengan berbedanya zaman 

dan tempat.


6. Segi Bebas dari Cacat/ Kesempurnaan Anggota Tubuh

Cacat yang dimaksudkan adalah keadaan yang 

dapat memungkinkan seseorang untuk dapat menuntut 

faskh. Karena orang cacat dianggap tidak sekufu’ 

dengan orang yang tidak cacat. Adapun cacat yang 

dimaksud adalah meliputi semua bentuk cacat baik fisik 

maupun psikis yang meliputi penyakit gila, kusta atau 

lepra.

Sebagai kriteria kafa’ah, segi ini hanya diakui oleh 

ulama Malikiyah tapi dikalangan sahabat Imam Syafi’i 

ada juga yang mengakuinya. Sementara dalam Mazhab 

Hanafi maupun Hanbali, keberadaan cacat tersebut 

tidak menghalani kufu’nya seseorang. Walaupun cacat 

tersebut dapat menghalangi kesekufu’an seseorang, 

namun tidak berarti dapat membatalkan perkawinan. 

Karena keabsahan bebas dari cacat sebagai kriteria 

kafa’ah hanya diakui manakala pihak wanita tidak 

menerima. Akan tetapi, jika terjadi kasus penipuan 

atau pengingkaran misalnya sebelum perkawinan 

dikatakan orang tersebut sehat tapi ternyata memiliki 

cacat maka kenyataan tersebut dapat dijadikan alasan 

untuk menuntut fasakh.



D. KEDUDUKAN KAFAAH DALAM AKAD NIKAH

Fuqaha’ berbeda pendapat tentang apakah kafa’ah 

merupakan syarat keabsahan sebuah aqad pernikahan 

atau tidak, antara lain:11

1. Al-Tsauri, Hasan Basri, dan Karakhi berpendapat 

bahwa kafa’ah bukan merupakan syarat keabsahan 

sebuah pernikahan, dan bukan pula syarat 

luzumnya.12Sebuah pernikahan yang dilangsungkan 

oleh suami istri yang tidak sekufu’ adalah sah dan 

luzum (mengikat dan tidak terdapat peluang khiyar). 

Dasar hukum yang mereka pakai adalah;

a. Beberapa ayat dan hadits yang menerangkan 

bahwa kedudukan semua manusia sama kecuali 

orang yang bertaqwa, diantaranya : Hadits 

riwayat Ibn Lail;

“Manusia itu pada prinsipnya sama, 

sebagaimana rata gigi sisir. Tiada kelebihan 

bagi seorang Arab atas orang ‘ajam( luar arab), 

kecuali aspek taqwanya”.

Hadis ini menjelaskan persamaan mutlak, serta 

tidak disyaratkan adanya kesetaraan.

11 Wahbah Zuhaely, al- Fiqh al- Islam wa- Adillatuhu, h. 236.

12 Luzum sebuah ‘aqad pernikahan artinya pernikahan itu telah 

mengikat sehingga istri atau walinya tidak diberi lagi kesempatan 

khiyar. Yang dimaksud dengan kesempatan khiyar adalah kesempatan 

untuk memilih antara meneruskan pernikahan atau membatalkannya 

disebabkan alasan-alasan yang telah ditentukan.  

b. Beberapa hadits yang menerangkan terjadinya 

peristiwa pernikahan antara seorang perempuan 

merdeka dengan seorang laki-laki bekas budak, 

diantaranya: Ketika Bilal bin Rabbah meminang 

seorang perempuan Anshar dan perempuan 

itu menolaknya, maka Rasul menyuruh Bilal 

agar menyampaikan kepada perempuan 

itu bahwa Rasul yang memerintahkan agar 

mengawininnya. Begitu, juga, hadits yang 

menerangkan bahwa Rasul memerintahkan 

Fatimah binti Qais agar menikahi Usamah anak 

Zaid (bekas budak Rasul). Bahkan, sepupu 

Rasul sendiri, Zainal binti Jassy, juga menikah 

dengan Zaid ayah Usamah. 

2. Jumhur Fuqaha’ berpendapat bahwa, kafa’ah 

merupakan syarat luzum sebuah pernikahan, bukan 

syarat sah. Alasan yang mereka kemukakan adalah:13

a. Beberapa hadits yang memerintahkan wali agar 

menikahkan anak perempuannya dengan laki-

laki yang sekufu’, diantarannya : Hadits yang 

diriwayatkan dari ‘Aisyah.

“Pilihlah perempuan untuk air sperma kalian dan 

nikahilah orang yang setra”

b. Beberapa hadits yang memberikan hak  khiyar 

bagi istri dan suaminya tidak sekufu’, diantaranya: 

Hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Majah, Ahmad, 


dan An-Nasa’i;

Artinya:

“Telah datang seorang perempuan muda kepada 

Rasul, lalu dia berkata: Ayahku telah menikahkan 

aku dengan anak paman(saudara ayah) untuk 

mengangkat derajatnya dengan perantaraan 

(pernikahanku). Perawi berkata: Lalu Rasul 

menyerahkan perkara itu kepada perempuan 

tersebut. Kemudian perempuan itu berkata: 

Sesungguhnya aku membolehkan perbuatan 

ayahku, tetapi aku hanya ingin memberitahukan 

kepada para perempuan bahwa para ayah tidak 

mempunyai hak perintah sedikitpun”.

Selain itu, ada hadits lain yang menceritakan 

tentang seorang budak perempuan yang baru 

dimerdekakan sedangkan suaminya masih 

berstatus budak, lalu Rasul memberikan hak 

khiyar kepadanya.

c. Alasan Nalar.

Pernikahan mesti didasarkan pada kemaslahatan 

bersama, suami-istri. Untuk mencapai 

kemaslahatan itu tidaklah mudah. Banyak hal 

yang harus dilakukan diantaranya suami-istri harus 

sekufu’, akal sehat siapa pun akan membenarkan 

asumsi ini.


Menurut jumhur ulama, syarat kafa’ah menjadi 

gugur dengan ridhanya para pihak yang berhak. Se-

lanjutnya, mereka berpendapat bahwa syarat kafa’ah 

hanya diberlakukan terhadap laki-laki saja, tidak 

diberlakukan terhadap perempuan. Artinya, perem-

puan yang kaya, perempuan yang keturunan bang-

sawan, atau perempuan yang shalih harus menikah 

dengan laki-laki yang sekufu’ dengannya. Jika dia 

menikah dengan laki-laki yang miskin, laki-laki yang 

bukan keturunan bangsawan atau laki-laki yang fasiq, 

maka wali berhak mengajukan gugatan agar pernika-

han itu difasakhkan menurut Hanafiyah dan hak ijbar 

ayah terhadap anak gadisnya menjadi gugur menurut 

syafi’iyah.Berbeda dengan laki-laki. Hal ini disyaratkan 

QS. An-Nuur/24: 26.

تِاَبِّيَّطللِ نَوُبِّيَّطلاوَ نَيِبِّيَّطللِ تُاَبِّيَّطلاوَ ۖ تِاَثيِبخَلْلِ نَوُثيِبخَلْاوَ نَيِثيِبخَلْلِ تُاَثيِبخَلْا

Terjemahnya:

“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang 

keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita 

yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah 

untuk laki-laki yang baik dan laki- laki yang baik adalah 

untuk wanita-wanita yang baik (pula)...”

Kebijakan pemerintah dalam hal kafaah/kesepadan 

dalam hal ini, Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 61 

menyatakan bahwa:



79

“Tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk 

mencegah perkwinan, kecuali tidak sekufu karena 

perbedaan Agama atau ikhtilaafu al-diin.”14

Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan 

bahwa kafaah/kesepadan bukan suatu keharusan dalam 

sebuah pernikahan, dalam artian bahwa pernikahan 

syah, meskipun tanpa kafaah. Tekanan dalam hal kafa’ah 

adalah keseimbangan, keharmonisan, dan keserasian, 

terutama dalam hal agama, yaitu akhlak dan ibadah. Sebab 

kalau kafa’ah diartikan persamaan dalam hal harta atau 

kebangsawanan maka akan berarti terbentuknya kasta. 

Sedangkan dalam Islam tidak dibenarkan adanya kasta, 

karena manusia di hadapan Allah adalah sama,  hanya 

ketakwaanlah yang membedakannya.

Kafa’ah (equality) dalam pernikahan merupakan 

faktor yang dapat mendorong terpeliharanya keharmonisan 

rumah tangga. Jika antara suami dan istri terdapat 

kesepadanan, maka akan lebih berkurang munculnya 

persoalan-persoalan penyebab perceraian.

Kafa’ah dianjurkan oleh Islam dalam memilih 

calon suami/ istri, tetapi tidak menentukan sah atau 

tidaknya perkawinan. Kafa’ah adalah hak bagi wanita atau 

walinya. Karena suatu perkawinan yang tidak seimbang 

akan menimbulkan problema berkelanjutan dan besar 

kemungkinan menyebabkan terjadinya percekcokan dalam 

rumah tangga.


MAHAR DAN UANG 

PENAIK


Kata “mahar” berasal dari bahasa Arab dan telah 

menjadi bahasa Indonesia. Istilah mahar dalam bahasa 

Arab disebut dengan delapan nama yaitu: mahar, shadaq, 

nihlah, faridhah, hiba’, ujr, ‘uqar, dan alaiq. Keseluruhan kata 

tersebut mengandung arti pemberian wajib sebagai imbalan 

dari suatu yang diterima.

Mahar atau maskawin dalam Kamus Bahasa 

Indonesia diartikan sebagai pemberian wajib berupa uang 

atau barang dari mempelai laki-laki kepada mempelai 

perempuan ketika dilangsungkan akad nikah.1Pengertian 

mahar secara etimologi berarti maskawin. Sedangkan 

pengertian mahar menurut terminologi:  pemberian yang 

wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan 

hati calon suami, untuk menimbulkan rasa cinta kasih 

bagi seorang istri kepada calon suaminya dalam kaitannya 

dengan pernikahan.2

Mahar menjadi hak milik pribadi istri. Orang lain, 

termasuk wali atau suaminya sendiri, tidak berhak memiliki 

barang yang dijadikan mahar itu dan tidak boleh pula 

mempergunakannya kecuali dengan izin istri.3Ulama fiqh 

memberikan definisi dengan rumusan yang tidak berbeda 

secara substansial.

Mazhab Hanafi mendefinisikannya sebagai sesuatu 

yang didapatkan seorang perempuan akibat akad pernikahan 

ataupun persetubuhan. Mahar dalam mazhab Hambali 

adalah sesuatu yang diberikan kepada seorang istri sebagai 

imbalan persetubuhan dengannya. Sementara itu, mazhab 

Syafi’i mendefinisikannya sebagai sesuatu yang diwajibkan 

sebab pernikahan atau persetubuhan. Adapun mazhab 

Hambali mendefinisikannya sebagai pengganti dalam akad 

pernikahan, baik mahar ditentukan di dalam akad atau 

ditetapkan setelahnya dengan keridaan kedua belah pihak.4

B. Landasan Hukum Mahar 

1. Al- Qur’an Q.S. An- Nisa’/4:4 dan ayat 24

… ةَلحِن َّنهِِت َٰقُدصَ ءَاسَِّنلٱْاوُتاءَوَ

Terjemahnya:

“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita 

(yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan 

penuh kerelaan….”5

 ةضَيرَِف َّنهُرَوجُُأَّنهُوُتأَ َف َّنهُنمِ ۦِهِب مُتعَتمَتسٱ امََف…

Terjemahnya:

“ …Maka istri-istri yang Telah kamu nikmati 

campuri) di antara mereka, berikanlah kepada 

mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai 

suatu kewajiban....”6

2. Hadis-hadis Rasulullah Saw.

Ada beberapa hadis Rasulullah saw. 

mengenai jenis-jenis mahar, diantaranya: Mahar 

dengan sebuah cicin dari besi, sepasang sandal, 

Mahar dengan hapalan ayat-ayat al-Qur’an.

7…دٍيدِحَ نْمِ امًَتاخَ وَْلوَ سْمَِتلْا لَاَق اًئيْشَ ُدجَِأ امَ لَاَق …

 Artinya: “…carilah sesuatu walaupun cincin dari 

cincin besi 

8ُهزَاجََأَف لَاَق مَْعَن تَْلاَق نِيَْلعَْنِب كِلِامَوَ كِسِفَْن نْمِ تِيضِرََأ…

Artinya:

”…Apakah kamu rela dari dirimu dan hartamu dengan 

sepasang dua sandal? Wanita itu menjawab, “Ya aku 

rela” maka beliau memperbolehkannya”

 اهَكَُتحْكَنَْأ دَْقَف بْهَذْا لَاَق اَذكَ ُةرَوسُوَ اَذكَ ُةرَوسُ يعِمَ لَاَق ءٌيْشَ نِآرُْقلْا نْمِ كََعمَ لْهَ…

9نِآرُْقلْا نْمِ كََعمَ امَِب

Artinya:

“…Rasulullah Saw.bertanya, “Apa yang kau hafal dari Al-

Qur’an?” “Saya hafal surah ini dan surah itu,” jawabnya. 

Rasulullah bersabda pergilah, sungguh aku telah 

menikahkan engkau dengan wanita ini dengan mahar 

berupa surah-surah Al-Qur`an yang engkau hafal”.

Demikian juga tidak ada keterangan dari Nabi Saw. 

bahwa beliau meninggalkan mahar pada suatu pernikahan. 

Andaikata mahar tidak wajib tentu Nabi Saw pernah 

meninggalkannya walaupun sekali dalam hidupnya yang 

menunjukkan tidak wajib. Akan tetapi, beliau tidak pernah 

meninggalkannya, hal ini menunjukkan kewajibannya.10Ibnu 

Abbas mengisahkan, 

يْدِنْعِ امَ :لاقف ,اًئيْشَ اهَطِعَْأ :ملسو هيلع ىلص الله لوسر لاق َةمِطِاَف يّلِعَ جَ َّوزََت ا َّمَل

 .ُهاَّيِا اهَطِعَْأَف :لاق ,يدِنْعِ يَهِ :لاق ؟ُةَّيمِطَحُلا كَعُرْدِ نَيَْا :لاق ,ءٍيشَ نمِ 

Artinya:   

“Ketika Ali ibn Abi Thalib menikahi Fathimah, 

Rasulullah SAW bersabda kepadanya, “Berilah 

ia sesuatu (mahar)”, Ali menjawab: “Aku tidak 

memiliki apa-apa”, Rasulullah SAW bertanya: “Mana 

baju besimu?”, Ali menjawab: Ada padaku”, maka 

Rasulullah SAW bersabda: “Berikan itu kepadanya”. 

(HR. Abu Dawud dan Nasa’i.)

Berdasarkan ayat-ayat di atas dan perintah Nabi untuk 

memberikan mahar itu, maka ulama sepakat menetapkan 

hukum wajibnya memberi mahar kepada isteri.Tidak 

ditemukan dalam literature ulama yang menempatkannya 

sebagai rukun. Mereka sepakat menempatkannya sebagai 

syarat sah bagi suatu pernikahan, dalam arti pernikahan 

yang tidak pakai mahar adalah tidak sah. Bahkan ulama 

Zhahiriyah sebagaimana dikutip Amir Syarifuddin bahwa bila 

dalam keadaan akad nikah dipersyaratkan tidak pakai mahar, 

maka pernikahan tersebut dapat dibatalkan.11Meskipun 

demikian mahar tidak mesti disebutkan dan diserahkan 

ketika akad nikah itu berlangsung.

Hadis-hadis di atas menunjukkan bahwa apa saja 

yang bernilai material, walaupun sedikit syah dijadikan 

mahar. Tidak ada ketentuan mahar harus berupa barang 

tertentu. Bahkan mengajarkan surah-surah Al-Qur`an dapat 

dijadikan mahar, sebagaimana ditunjukkan dalam hadits 

yang telah disebutkan diatas.

Mahar dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) diatur 

dalam Bab V Pasal 30-38. Pasal 30 dinyatakan bahwa: 

calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada 

calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya 

disepakati oleh kedua belah pihak. Selanjutnya dalam pasal 

31 dinyatakan bahwa: penentuan mahar berdasarkan atas 

kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran 

Islam.

C.  Kadar (Jumlah) dan Syarat-Syarat Mahar 

Agama tidak menetapkan jumlah minimum dan 

jumlah maksimum dari mahar/maskawin. Ukuran mahar 

diserahkan kepada kemampuan suami, hal ini disebabkan 

oleh perbedaan tingkatan kemampuan manusia dalam 

memberikannya. Orang yang kaya mempunyai kemampuan 

untuk memberi maskawin yang lebih besar jumlahnya 

kepada calon istrinya. Sebaliknya, orang yang miskin ada 

yang hampir tidak mampu memberinya.12 Oleh karena itu, 

pemberian mahar diserahkan menurut kemampuan yang 

bersangkutan disertai kerelaan dan persetujuan masing-

masing pihak yang akan menikah untuk menetapkan 

jumlahnya. 

Demikian pula tidak ada ketentuan mahar harus berupa 

barang/ benda tertentu. Bahkan mengajarkan surah-surah 

Al-Qur`an dapat dijadikan mahar, sebagaimana ditunjukkan 

dalam hadits di atas. Tidak ada dalam syara’ suatu dalil yang 

membatasi batas maksimal mahar, sebagaimana firman 

Allah Swt dalam QS. An-Nisa/4: 20:


ۚ اًئيْشَ ُهنْمِ اوُذخُْأَت لََف ارًاطَنِْق َّنهُاَدحِْإ مُْتيَْتآوَ ٍجوْزَ نَاكَمَ ٍجوْزَ لَاَدبِْتسْا مُُتدْرََأ نِْإوَ 

اًنيِبمُ امًْثِإوَ اًناَتهُْب ُهَنوُذخُْأَتَأ

Terjemahnya:

“Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan 

isteri yang lain, sedang kamu Telah memberikan 

kepada seseorang di antara mereka harta yang 

banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali 

dari padanya barang sedikitpun…”13

Menurut Quraish Shihab Kata ( اراطنق  ) diterjemahkan 

dengan harta yang banyak. Dari ayat ini pula dipahami bah-

wa  tidak ada batas maksimal dari mahar atau mas kawin.14

Umar bin Khattab ketika hendak mencegah manusia 

berlebih-lebihan dalam mahar dan melarangnya lebih dari 

400 dirham di hadapan manusia, Ia berkata: 

”Ingatlah, jangan berlebihan dalam mahar wanita, 

maka sesungguhnya jika ia dimuliakan di dunia 

atau ditakwakan di akhirat, maka orang yang paling 

berhak untuk mendapatkannya daripada kalian 

adalah Rasulullah. Beliau sama sekali tidak pernah 

menetapkan mahar untuk para istrinya maupun 

anak-anak perempuannya yang melebihi 12 uqiyah. 

Maka barang siapa yang mendapatkan mahar lebih 

dari 400, hendaknya dia berikan kelebihannya 

kepada baitul maal. Lantas ada seorang wanita dari 

Qurais berkata: “Bukan demikian hai Umar.” Sahut 

Umar: “mengapa tidak…” wanita berkata: “karena 

Allah berfirman:Sedang kamu Telah memberikan 

kepada seseorang di antara mereka harta yang 

banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali 

dari padanya barang sedikitpun (QS. Al-Nisa/4:20). 

Beliau berkata: “Allah maaf, Umar bersalah dan benar 

wanita ini.” Selanjutnya beliau berkata: “dulu aku 

mencegah kamu melebihi 400 dirham untuk mahar 

wanita, barang siapa yang berkehendak berilah dari 

hartanya yang disukai.”15

Sekalipun fuqaha sepakat bahwa tidak ada batas 

maksimal dalam mahar, tetapi seyogyanya tidak berlebihan, 

khususnya di era sekarang. Sebagaimana hadis yang diri-

wayatkan dari Rasulullah saw. bersabda:

16هرسيأ قادصل ريخ ملس و هيلع الله ىلص الله لوسر لاقو

 Artinya: “ …sebaik-baik mahar adalah yang paling 

mudah”

17ناجوزلا هب ىضارت ام قادصلا : لاق هنع الله يضر ايلع نأ هيبأ نع

 Artinya:”…mahar itu keridhaan antara suami isteri”

Mahar tidak disukai bila berlebih-lebihan sehingga 

memberatkan pihak laki-laki dan menghambat pernikahan. 

Karena mematok mahar yang tinggi, menjadikan banyak 

wanita memasuki usia tua tanpa sempat menikah. Bagaimana 

tidak, setiap lelaki yang datang ditolak dengan alasan tidak 

mampu memberikan mahar yang tinggi, atau lelaki itu yang 

mundur teratur karena tidak bisa memenuhi tuntutan yang ada.

Hikmah dari pencegahan menetapkan mahar 

yangtinggi adalah jelas, yaitu memudahkan anak muda untuk 

kawin sehingga mereka tidak menghindari pernikahan, yang 

membuat timbulnya berbagai kerusakan moral dan sosial.18 

Oleh krena itu, sunnahnya menurut syara’tidak berlebih-

lebihan dalam mahar, karena hal itu akan mendatangkan 

orang berpaling dari nikah yang diikuti kerusakan secara 

umum.

Meskipun mahar tidak memiliki ukuran atau jumlah 

yang pasti, sebagai lambang kesanggupan dan kesediaan 

suami untuk memberikan nafkah lahir kepada isteri, agar 

mahar dipandang sah harus memenuhi syarat-syarat sebagai 

berikut:

1. Mahar harus sesuatu yang ada harga dan bisa diambil 

manfaatnya. Meskipun sedikit, tetapi ada harga dan 

manfaatnya.

2. Mahar harus suci. Tidak sah mahar dengan seuatu yang 

haram, seperti kahamar, babi dan darah.

3. Mahar harus milik pribadi calon suami, bukan barang 

ghasab.19

4. Mahar harus jelas serta diketahui bentuk dan jumlahnya.20

Pada dasarnya, agama menganjurkan agar mahar 

berupa sesuatu yang bersifat materi.Akan tetapi, jika calon 

suami betul-betul tidak memilki materi, mahar boleh berupa 

jasa, sebagaimana hadis-hadis di atas.

D. Macam-macam Mahar

1. Mahar Musamma

Mahar musamma, yaitu mahar yang sudah 

disebut atau dijanjikan kadar dan besarnya ketika 

akad nikah. Atau, mahar yang dinyatakan kadarnya 

pada waktu akad nikah. Ulama fikih sepakat bahwa, 

dalam pelaksanaannya, mahar musamma harus 

diberikan secara penuh apabila:

a. Telah bercampur (bersenggama). Seperti yang 

dijelaskan dalam QS. An-Nisa/4: 20:


ُهنْمِ اوُذخُْأَت لَف ًاراطنِْق َّنهُادحِْإ مُْتيَْتآ وَ ٍجوْزَ نَاكمَ ٍجوْزَ لَادبِْتسْا مُُتدْرََأ نِْإ وَ 

ً ائيْشَ 

“Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri 

yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada 

seseorang di antara mereka harta yang banyak, 

maka janganlah kamu mengambil kembali sedikitpun 

darinya.” 

b. Salah satu dari suami-istri meninggal. 

c. Mahar musamma  wajib dibayar seluruhnya 

apabila suami telah bercampur dengan istri, dan 

ternyata nikahnya rusak dengan sebab tertentu, 

seperti ternyata istrinya mahram sendiri, atau 

dikira perawan ternyata janda, atau hamil 

dari bekas suami lama. Akan tetapi, kalau istri 

dicerai sebelum bercampur, hanya wajib dibayar 

setengahnya, berdasarkan firman Allah swt 

dalam QS al-Baqarah/2: 237.

امَ فُصِْنَف ًةضَيرَِف َّنهَُل مُْتضْرََف دَْقوَ َّنهُوُّسمََت نَأ لِبَْق نمِ َّنهُومُُتقَّْلطَ نِإوَ 

مُْتضْرََف

“Dan jika kamu menceraikan mereka sebelum 

kamu sentuh (campuri), padahal kamu sudah 

menentukan maharnya, maka (bayarlah) 

seperdua dari  yang telah kamu tentukan”.


2. Mahar Mitsli (Sepadan)

Mahar mitsli yaitu mahar yang tidak disebut besar 

kadarnya pada saat sebelum ataupun ketika terjadi 

pernikahan. Atau mahar yang diukur (sepadan) 

dengan mahar yang pernah diterima oleh keluarga 

terdekat, agak jauh dari tetangga sekitarnya, 

dengan memerhatikan status sosial, kecantikan dan 

sebagainya.

Pembarian Mahar mitsli terjadi dalam keadaan 

sebagai berikut.

a. Apabila tidak disebutkan kadar mahar dan 

besarnya ketika berlangsung akad nikah, 

kemudian suami telah bercampur dengan istri, 

atau meninggal sebelum bercampur.

b. Jika mahar musamma belum dibayar sedangkan 

suami telah bercampur dengan istri dan ternyata 

nikahnya tidak sah.21

Nikah yang tidak disebutkan dan tidak ditetapkan 

maharnya disebut nikah tafwid, hal ini menurut jumhur 

ulama dibolehkan, sebagaimana terdapat dalam QS Al-

Baqarah/2:236.

ًةضَيرَِف َّنهَُل اوضُرِفَْت وَْأ َّنهُوُّسمََت مَْل امَ ءَاسَِّنلا مُُتقَّْلطَ نِْإ مْكُيَْلعَ حَاَنجُ لَ


Terjemahnya: 

“Tidak ada sesuatu pun (mahar)atas kamu, jika kamu 

menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur 

dengan mereka dan sebelum menentukan maharnya.

E. Sompa dan Dui’ Menre’ dalam Tradisi Masyarakat 

Bugis. 

1. Makna dan Kedudukan Sompa (mahar) dan Dui’ 

Menre’ (uang naik) dalam Tradisi Pernikahan Bugis.

Tradisi pernikahan masyarakat Bugis 

merupakan suatu pernikahan yang pelaksanaannya 

banyak diwarnai oleh kebiasaan masyarakat Bugis 

yang sudah menjadi tradisi.  Salah satu kegiatan 

yang wajib dipenuhi dan dilakukan dalam tradisi 

pernikahan masyarakat Bugis adalah pemberian uang 

sebagai  dui’menre’  atau uang belanja dan sompa 

atau mahar. 

Terdapat  dua istilah pemberian dari pihak 

calon mempelai laki-laki kepada pihak calon mempelai 

perempuan dalam tradisi pernikahan Bugis, yaitu 

sompa dan dui’ menre.’ Dui’ menre’ atau dui’ belanca 

(uang belanja) adalah uang pemberian dari pihak 

mempelai laki-laki kepada pihak mempelai perempuan 

untuk dipakai sebagai ongkos pesta pernikahan di 

rumah kediaman  mempelai perempuan. Uang belanja 

ini diserahkan ke orang tua mempelai perempuan 

untuk keperluan pesta pernikahan. 

Sedangkan sompa (mahar) pemberian harta 

atau barang dari tangan mempelai laki-laki kepada 

tangan mempelai perempuan secara lansung.Mahar 

merupakan syarat dari ajaran agama, sedangkan 

dui’ menre’ merupakan pensyaratan dalam tradisi 

pernikahan Bugis di Kec.Baranti.22

Dui’ Menre’(uang belanja) bermakna 

pemberian uang dari pihak keluarga calon mempelai 

laki-laki kepada keluarga calon mempelai wanita 

dengan tujuan sebagai penghormatan dan tanda 

cinta. Penghormatan yang dimaksudkan disini adalah 

rasa penghargaan yang diberikan oleh pihak calon 

mempelai pria kepada wanita yang ingin dinikahinya 

dengan memberikan pesta yang megah untuk 

pernikahannya melalui Dui’ Menre’(uang belanja). 

Secara keseluruhan dui’menre’ (uang belanja) 

merupakan hadiah yang diberikan calon mempelai la-

ki-laki kepada calon istrinya untuk memenuhi keper-

luan pesta pernikahan (walimah), sedangkan sompa 

(mahar) pemberian mempelai laki-laki kepada mem-

pelai perempuan untuk dimilikinya secara peribadi.

Pentingnya makna dan kedudukan dui’ menre’ 

dalam tradisi pernikahan masyarakat Bugis di Kec. 

Baranti seakan sebagai rukun dan syarat yang harus 

dipenuhi untuk melangsungkan acara pernikahan. Jika 

uang belanja tersebut tidak terpenuhi atau tidak sesuai 

dengan ukuran yang ditetapkan oleh pihak  keluarga 

perempuan maka pernikahan itu dapat saja tertunda 

atau dibatalkan. 

Hal ini terlihat ketika sebelum terjadi prosesi 

akad nikah/ijab qabul antara calon mempelai laki-laki 

dan wali perempuan, bapak penghulu yang memimpin 

acara prosesi tersebut bertanya kepada pihak keluarga 

perempuan apakah sudah dibereskan semuanya, 

bahkan penyerahan uang belanja tersebut dilakukan 

di depan para undangan sebelum acara prosesi akad 

nikah.

Jika dianalisa lebih mendalam masalah dui’ 

menre’ lewat teori maqāṣid al-syari‘ah,maka tata 

urutannya adalah: akad nikah/ pernikahan itu sendiri 

kebutuhan dharuriyat (primer), walimah/ pesta 

pernikahan masuk dalam kategori hajiyat  dan dui’ 

menre’  masuk dalam kebutuhan tahsiniyat. Maksudnya 

unsur yang paling pokok yang harus terpenuhi dalam 

pernikahan adalah akad nikah/ pernikahan, sementara 

dui’ menre’ dan walimah itu hanya sekedar pelengkap 

dari pernikahan tersebut. Artinya meskipun dui’ 

menre’ tinggi dan pesta pernikahan sangat meriah 

dan mewah jika tidak terjadi akad nikah, maka  dui’ 

menre’ yang tingi dan pesta pernikahan yang meriah 

dan mewah itu tidak ada artinya. 

Atau dengan kata lain tidak terjadi suatu 

pernikahan. Padahal yang semestinya, meskipun 

tidak ada dui’ menre’/ uang belanja, pernikahan 

tetap dinyatakan syah, asalkan syarat dan rukunnya 

terpenuhi sebagaimana yang telah ditetapkan oleh 

syariat agama Islam.

Dui’ menre’ yang sebenarnya merupakan 

unsur tahsiniyat/pelengkap yang bertujuan untuk 

memperlancar proses jalannya suatu pernikahan, 

justeru dalam tradisi masyarakat Kec. Baranti 

dijadikan sebagai unsur dharuriyat/ pokok. Oleh sebab 

itu, jika tidak terpenuhi tuntutan dui’ menre’/ uang 

belanja sebagaimana yang dipatok oleh pihak kelurga 

perempuan, maka sudah dipastikan pernikahan itu 

tidak akan pernah terwujud. Padahal jika kita kembali 

mengkaji ulang syarat dan rukun pernikahan dalam 

Islam, tidak ditemukan istilah uang belanja, yang ada 

hanya mahar, sebagaimana hadis yang diriwayatkan 

dari Rasulullah saw. 

هرسيأ قادصل ريخ ملس و هيلع الله ىلص الله لوسر لاقو 

Artinya: “ …sebaik-baik mahar adalah yang paling 

mudah” (HR. Baihaqi).

ناجوزلا هب ىضارت ام قادصلا : لاق هنع الله يضر ايلع نأ هيبأ نع

 Artinya:”…mahar itu keridhaan antara suami istri” 

(HR. Daraqutni)

Maksud kedua hadis tersebut anjuran untuk 

mempermudah mahar, begitupula tidaklah disukai bila 

mahar itu berlebih-lebihan sehingga memberatkan pihak 

laki-laki dan menghambat pernikahan. Dari sini jelas, 

bahwa mahar saja yang merupakan syarat syahnya sebuah 

pernikahan, oleh Rasul Saw dianjurkan kepada keluarga 

pihak mempelai perempuan untuk mempermudah dan tidak 

berlebih-lebihan dalam penentuan jumlah mahar, karena itu 

akan mempersulit terlaksananya pernikahan, apatah lagi 

yang namanya dui’ menre’/ uang belanja yang sama sekali 

bukan merupakan rukun apalagi salah satu syarat syahnya 

perkawinan.

Dui’ menre’/ uang belanja merupakan suatu tradisi 

pernikahan dalam masyarakat Bugis Kec. Baranti dan 

seakan merupakan suatu kewajiban yang harus dipenuhi. 

Syariat Islam memberikan kesempatan untuk menetapkan 

ketentuan hukum yang sesuai tradisi/ adat (‘urf) setempat, 

dalam qa’idah fiqhiyah disebutkan,ٌةمََّكحَمُ  ُةَداَعلا artinya adat 

kebiasaan dapat dijadikan dasar(pertimbangan) hukum, 

akan tetapi tidak semua tradisi/ adat (‘urf) manusia dapat 

dijadikan dasar hukum. Tradisi/adat (‘urf) yang dapat 

dijadikan dasar hukum harus memenuhi syarat sebagai 

berikut: 

a. Tidak  bertentangan dengan nash baik Al-Quran 

maupun  Al-hadis.

b. Tidak menyebabkan kemafsadatan dan tidak 

kehilangan kemaslahatan termasuk di dalamnya tidak 

memberikan kesempitan dan kesulitan.

c. Berlaku pada umumnya kaum muslimin dalam arti 

bukan hanya yang biasa dilakukan oleh beberapa 

orang saja.

d. Dan tidak berlaku di dalam masalah ibadah mahdah.

Tradisi/ adat kebiasaan yang dapat dijadikan sebagai 

pertimbangan hukum, selama tidak bertentangan dengan 

hukum Islam dan dinilai baik oleh  masyarakat umum, 

sebagaimana kaedah fikih:

يعرش ليل دب تباث فرعلاب تباثلا

Artinya: “Diktum hukum yang ditetapkan berdasarkan 

‘urf sama dengan diktum hukum yang ditetapkan berdasarkan 

dalil syar’i”.

Hukum-hukum yang didasarkan atas urf (tradisi) itu 

dapat berubah menurut perubahan tradisi  pada suatu zaman 

dan perubahan asalnya. Tradisi merupakan kesepakatan dari 

manusia untuk manusia, yang bisa mengalami perubahan. 

Manakala tradisi dipahami sebagai sebuah kesepakatan, 

keniscayaan musyawarah adalah konsekuensinya. 

Ini artinya tradisi dui’ menre’/ uang belanja yang 

jumlahnya cukup tinggi dan memberatkan serta mempersulit 

bagi pihak keluarga calon mempelai laki-laki, masih 

dapat dimusyawarahkan. Tradisi inipun pada dasarnya 

bertentangan dengan sunah Rasul dan para sahabat 

sebagaimana hadis-hadis tentang anjuran mempermudah 

mahar yang seperti tersebut di atas.

Dui’ menre’/ uang belanja bertujuan untuk membiayai 

pesta pernikahan mempelai perempuan. Menurut beberapa 

informan bahwa, indikator besar kecilnya uang belanja/ 

uang naik bisa dilihat dari kemewahan pesta pernikahan, 

semakin tinggi uang belanjanya semakin meriah pula pesta 

pernikahannya. 

Persaingan yang terjadi dalam mengangkat derajat 

sosial di masyarakat dan terfokus pada  bagaimana 

memeriahkan walimah dengan  pemberian  dui’menre’/ 

uang belanja yang dijadikan syarat mutlak untuk dapat 

terlaksananya suatu pernikahan sehingga seakan 

melupakan hakikat dan tujuan serta hikmah  pernikahan 

itu sendiri. Jika ada pernikahan, maka yang seringkali jadi 

buah bibir utama adalah berapa Dui’ menre’ (uang naik/ 

uang belanjanya)? Pada hal pelaksanaan walimah/ pesta 

pernikahan sebagaimana yang dicotohkan dan dianjurkan 

oleh Nabi Muhammad saw dengan penuh kesederhanaan, 

sebagaimana sabda Rasul saw:

 ةاشَِب وَْلوَ مْلِوَْأ مََّلسَوَ هِيَْلعَ ُ َّالل ىَّلصَ ِ َّالل لُوسُرَ لَاَق

Artinya: adakanlah walimah meskipun dengan seekor 

kambing (H.R Imam Bukhari).

Walimah al-urusy (pesta pernikahan) pada hakikatnya 

bertujuan sebagai  perhelatan dalam rangka mensyukuri 

nikmat Allah atas telah terlaksananya akad pernikahan 

dengan menghidangkan makanan kepada para tamu 

undangan sesuai dengan kesanggupan/keadaan yang 

mengadakan pernikahan. Akan tetapi tampaknya, yang 

terjadi di sebahagian masyarakat dalam menyelenggarakan 

walimah/ pesta pernikahan sangat meriah dan megah, 

meskipun terkadang memaksakan diri bahkan setelah pesta 

selesai mereka menanggung hutang akibat dari kemeriahan 

pesta di luar dari kemampuannya.

Dui’ menre’/ uang belanja  tetaplah menjadi prestise 

hampir di setiap kalangan masyarakat Bugis di Kec. Baranti. 

Jumlah dui’ menre’/ uang belanja   menjadi simbol bentuk 

upaya mempertahankan kelas sosial. Meskipun masih ada 

keluarga Bugis di Kec. Baranti yang tidak menilai pernikahan 

dari jumlah uang dui’ menre’/ uang belanja dan meriahnya 

pesta, apalagi sampai mematok/ menentukan sebuah 

harga untuk anak gadisnya, karena mereka berkeyakinan 

bahwa perkawinan adalah sebuah perjanjian suci mitzaqan 

ghaliidzan yang tidak semestinya dinodai dengan hal-hal 

yang bertentagan dengan aturan Ilahi.

2. Kadar (jumlah) Uang Penaik dalam budaya Bugis.

Tinggi rendahnya nilai sompa (mahar) dan dui’ 

menre’ (uang belanja) merupakan bahasan yang paling 

mendapatkan perhatian dalam tradisi pernikahan Bugis di 

Kec. Baranti Kab. Sidarap, sehingga akan menjadi rahasia 

umum dan menjadi buah bibir di kalangan keluarga dan 

handai tolan di masyarakat. 

Berdasarkan beberapa wawancara di lapangan 

diketahui bahwa yang menjadi faktor tinggi rendahnya 

mahar dan uang belanja di Kec. Baranti Kab. Sidrap adalah 

faktor status sosial orang tua dan perempuan tersebut 

seperti:

1. Faktor kekayaan: karena orang tuanya kaya, 

perempuan sudah berhaji ataukah perempuan 

tersebut sudah mapan seperti perempuan tersebut 

sudah punya rumah atau pekerjaan.

2. Faktor status kelurga: keluarga bangsawan (arung, 

ana’ bau, petta, andi dan puang) ada istilah di 

masyarakat mellikotu petta.

3. Faktor tingginya pendidikan

4. Dan faktor karena kecantikannya. 

Kemampuan ekonomi, keturunan kebangsawanan, 

Tingkat pendidikan yang dienyam dan kecantikan paras 

menjadi variabel berubahnya nilai mahar si wanita. Makin 

tinggi tingkatan variabel yang disebutkan di atas yang 

dimiliki oleh seorang wanita, maka akan semakin tinggi nilai 

mahar yang ditetapkan oleh keluarganya.

Dui’ menre’/ uang belanja  yang diberikan oleh calon 

suami jumlahnya lebih banyak daripada sompa/ mahar. 

Menurut beberapa informan bahwa, saat ini nominal Dui’ 

menre’ (uang naik/ uang belanja) yang termasuk rata-rata 

(standar) berkisar antara 30 sampai 50 juta rupiah. Bahkan 

untuk golongan tertentu  bisa sampai 75 juta hingga ratusan 

juta. Sementara doi sompa/ mahar berkisar antara 3 gram 

emas dan seperangkat alat shalat. 

Tingginya standarisasi jumlah dui’ menre’/ uang 

belanja dalam tradisi pernikahan masyarakat Bugis di Kec. 

Baranti  mempunyai dua dampak yang ditimbulkan yaitu 

dampak positif dan dampak  negatif. Dampak positifnya 

adalah memotivasi para pemuda untuk bekerja keras dalam 

mempersiapkan diri menghadapi pernikahan. Selain itu, ada 

pula anggapan bahwa tingginya dui’ menre’/ uang belanja 

dapat mengurangi tingkat perceraian dalam rumah tangga 

karena tentu seorang suami akan berpikir sepuluh kali 

untuk menikah lagi dengan pertimbangan jumlah uang dui’ 

menre’/ uang belanja yang sangat tinggi.

Sedangkan dampak negatif yang ditimbulkan dari 

tingginya jumlah dui’ menre’/ uang belanja dalam tradisi 

pernikahan masyarakat Bugis di Kec. Baranti diantaranya:

• Ada beberapa laki-laki yang gagal menikah akibat 

ketidakmampuannya memenuhi jumlah dui’ 

menre’/uang belanja yang dipatok oleh keluarga 

perempuan. Baik laki-laki itu telah menjalin 

hubungan serius dengan si gadis yang dilamarnya 

maupun laki-laki yang tidak menjalin hubungan 

serius dengan si gadis yang dilamarnya. 

• Setelah pesta pernikahan selesai ada beberapa 

keluarga khususnya dari pihak mempelai laki-

laki menanggung hutang akibat memaksakan diri 

dalam memeriahkan pesta itu, Karena disamping 

harus membiayai pesta perempuan dalam hal ini 

dui’ menre’, juga mengadakan pesta dirumahnya.

Tingginya jumlah dui’ menre’/ uang belanja dalam 

masyarakat bila ditinjau dari sisi maqāṣid al-syari‘ah, hal 

ini bisa mendatangkan mashlahat/ manfaat dan sekaligus 

mudharat/ bahaya. Dari sisi mashlahat/ manfaatnya karena 

dapat memotivasi para pemuda untuk terus giat bekerja dan 

memiliki penghasilan yang layak sebelum berani mengambil 

keputusan untuk berkeluarga. Selain itu, ada pula anggapan 

bahwa tingginya dui’ menre’/uang belanja dapat mengurangi 

tingkat perceraian dalam rumah tangga karena tentu seorang 

suami akan berpikir sepuluh kali untuk menikah lagi dengan 

pertimbangan jumlah uang dui’ menre’/uang belanja yang 

sangat tinggi. Selain itu, tingginya dui’ menre’/ uang belanja 

merupakan simbol mulianya kedudukan seorang wanita 

sehingga perlu upaya lebih bagi seorang lelaki untuk dapat 

menyuntingnya.

Di sisi lain tingginya dui’ menre’/ uang belanja 

mendatangkan beberapa kemungkinan mudharat/ bahaya 

bagi masyarakat, diantaranya: 

• Ada beberapa laki-laki yang gagal menikah akibat 

ketidakmampuannya memenuhi jumlah dui’ 

menre’/ uang belanja yang dipatok oleh keluarga 

perempuan. Persoalannya tidak hanya sampai 

disitu, pemuda yang lamarannya ditolak tentu 

akan merasa malu dan harga dirinya direndahkan 

begitupula dengan keluarganya.  

• Menyebabkan terbukanya pintu-pintu 

kemaksiatan, misalnya si gadis hamil diluar nikah 

yang membuat orang tua si gadis suka atau tidak 

suka, harus menyetujui pernikahan mereka, nikah 

sirih, kawin lari, dan lambatnya usia pernikahan 

serta  bertambahnya jumlah orang yang lebih 

memilih membujang karena biaya perkawinan 

yang sangat mahal.

Dengan mencermati beberpa kemungkinan mudharat 

yang akan ditimbulkan dengan tingginya dui’menre’/ 

uang belanja, maka alangkah bijaksananya jika sekiranya 

masyarakat terutama dalam hal ini pihak keluarga perempuan 

tidak mematuk/ menentukan harga terlalu tinggi untuk biaya 

dui’ menre’ tapi diserahkan kepada pihak kelurga laki-laki 

berapa kemanpuannya yang ia sanggupi.




WANITA-WANITA YANG 

HARAM DINIKAHI


 Al-Qur’an sangat ketat dan jelas merinci siapa-

siapa yang tidak boleh dinikahi, akan tetapi berdasarkan 

beberapa ayat Al-Qur’an, orang-orang yang tidak boleh 

dinikahi setidaknya disebabkan oleh beberapa sebab. 

Fukqaha mengklasifikasi sebab-sebab pengharaman 

orang tidak boleh dinikahi kedalam dua sebab, yaitu; 

sebab yang bersifat abadi atau selamanya (al-muharramat 

al-muabbadah), dan sebab yang bersifat sementara (al-

muharramat al-muaqqatah).1Berikut ini akan dijelaskan 

lebih rinci wanita-wanita yang haram dinikahi.

A.  Al-Muharramat al-Muabbadah (sebab yang 

bersifat abadi)

Al-Muharramat al-Muabbadah (sebab yang bersifat 

abadi) adalah sebab yang menghalangi seorang laki-laki 

menikahi seorang perempuan selamanya karena sebab 

tersebut tidak bisa hilang atau dihilangkan, ia akan terus 

melekat pada diri masing-masing, baik laki-laki maupun 

perempuan. Yang termasuk dalam kategori ini, yaitu;

1. Diharamkan karena adanya hubungan kekeluargaan 

(nasab)

Dasar hukum dari ketentuan ini adalah firman 

Allah tepatnya pada QS. An-Nisa’/4: 23.

 ِخَلْا  تُاَنَبوَ  مْكُُتلَاخَوَ  مْكُُتا َّمعَوَ  مْكُُتاوَخََأوَ  مْكُُتاَنَبوَ  مْكُُتاهَ َّمُأ  مْكُيَْلعَ  تْمَ ِرّحُ

...  تِخُْلْا  تُاَنَبوَ

Terjemahanya:

“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; 

anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu 

yang perempuan; saudara-saudara bapakmu 

yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang 

perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-

saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan 

dari saudara-saudaramu yang perempuan...”2

Berdasarkan ayat tersebut dipahami bahwa yang 

termasuk tidak boleh dinikahi karena sebab kekeluargaan 

ada tujuh golongan, yaitu; ibu ke atas,3anak ke bawah,4 

saudara perempuan,5 tante baik dari bapak maupun ibu,6 

serta anak saudara (keponakan) baik dari saudara laki-laki 

2         Kementerian Agama RI, Al- Qur’an dan Terjemahnya, h. 105.

3 Yang dimaksud dengan ibu ke atas adalah ibu, nenek dan 

seterusnya.Kata al-umm dalam bahasa Arab dipahami sebagai asal 

sehingga semua yang menjadi asal laki-laki (dalam hal ini ibu, 

nenek dan seterusnya) termasuk haram dinikahi.

4 Yang dimaksud anak ke bawah adalah anak, anaknya anak (cucu) 

dan seterusnya.Karena mereka merupakan keturunan seorang laki-

laki (ayah) sehingga mereka haram dinikahi oleh orang tuanya.

5 Termasuk saudara perempuan adalah saudara kandung (sebapak 

seibu), atau saudara perempuan sebapak saja atau seibu saja.

6 Tante dari pihak ayah disebut dengan istilah ‘ammah, sedangkan 

tante dari pihak ibu disebut dengan istilah khalah. Akan tetapi, 

tante baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu, baik saudara 

kandungnya orang tua atau saudara sebapak atau seibunya tetap 

termasuk orang yang tidak boleh dinikahi.

maupun saudara perempuan.

Alasan atau ‘illah pengharaman ini tidak diketahui 

secara pasti, namun di antara ulama ada yang mencoba 

mengkajinya lebih jauh. Sehingga ada yang berpandangan 

bahwa pelarangan menikahi seorang wanita karena 

sebab kekeluargaan dilatarbelakangi oleh dampak yang 

dapat ditimbulkan dari hubungan tersebut, yaitu dapat 

melahirkan anak cucu yang lemah jasmani dan ruhani. 

Itulah sebabnya ‘Umar ibn al-Khattab mengingatkan untuk 

menikahi wanita asing (yang bukan keluarga) agar anak 

yang lahir dari hubungan tersebut tidak kurus dan lemah.7

Di sisi lain ulama berpandangan bahwa setiap 

orang diharuskan menjaga hubungan kekerabatan 

agar tidak menimbulkan perselisihan atau perceraian 

sebagaimana yang dapat terjadi antara suami isteri.8 M. 

Quraish Shihab menambahkan bahwa ketujuh golongan 

yang disebutkan itu kesemuanya harus dilindungi dari 

rasa birahi, ia pun menegaskan bahwa ada ulama yang 

berpandangan larangan pernikahan antara kerabat sebagai 

upaya Al-Qur’an memperluas hubungan antarkeluarga lain 

7 Sayyid Sabiq, Fikh Sunnah,jil. II, h. 86.Ini sejalan dengan hadis 

nabi yang dikutip oleh al-Sya’arawiy dalam kitab tafsirnya;

ايواض قلخي دلولا نإف ةبيرقلا ةبارقلا اوحكنت لا

 “Jangan nikahi keluarga dekat karena anak yang lahir dari 

hubungan tersebut akan menjadi kurus (lemah)”.

dalam rangka mengukuhkan satu masyarakat.

2. Diharamkan karena adanya hubungan kekerabatan 

melalui pernikahan (musaharah).

Musaharah adalah orang yang awalnya 

tidak termasuk keluarga atau kerabat dekat, namun 

setelah terjadi pernikahan di salah satu anggota 

keluarganya menyebabkan mereka tergolong 

kerabat. Termasuk dalam golongan ini adalah isteri 

bapak (ibu tiri), isteri anak (menantu), ibu isteri 

(mertua), dan anak isteri. Hanya saja khusus untuk 

yang keempat ini, yaitu anak isteri, ia termasuk haram 

dinikahi apabila ibunya (isteri) telah disetubuhi oleh 

suami (ayah tirinya). Apabila isteri belum disetubuhi 

lalu ia berpisah oleh suaminya, baik pisah karena 

talak atau karena isteri tersebut meninggal dunia 

maka anaknya itu (anak tiri suami) tidak lagi haram 

bagi suami ibunya.

Ketentuan ini didasari oleh firman Allah Swt 

dalam QS al-Nisa’/4: 22 & 23.

 اًتقْمَوَ  ًةشَحِاَف  نَاكَ  ُهَّن ِإ  فََلسَ  دَْق  امَ  َّلاِإ  ءِاسَِّنلا  نَمِ  مْكُؤُاَبآ  حَكََن  امَ  اوحُكِنَْت  لَاوَ

لًيِبسَ  ءَاسَوَ

“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang 

telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa 

yang lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat 

keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang 

ditempuh)”.10

مُْتلْخَدَ  يِت َّللا  مُكُِئاسَِن  نْمِ  مْكُرِوجُحُ يِف يِت َّللا  مُكُُبِئاَبرَوَ  مْكُِئاسَِن  تُاهَ َّمُأوَ ... 

نْمِ  نَيذَِّلا  مُكُِئاَنبَْأ  لُِئلَحَوَ  مْكُيَْلعَ  حَاَنجُ  لََف  َّنهِِب  مُْتلْخَدَ  اوُنوكَُت  مَْل  نْإَِف  َّنهِِب 

...  مْكُِبلَصَْأ

“... dan diharamkan pula bagimu (untuk dinikahi) 

ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak isterimu yang 

dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu 

campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan 

istrimu itu (dan sudahkamu ceraikan), maka tidak 

berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan 

bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu)”...11

Terkait dengan ayat 22 di atas, ia merupakan 

respon balik sekaligus solusi atas praktik yang terjadi 

di tengah masyarakat khususnya ketika turunnya 

Al-Qur’an yang menegaskan ketidakbolehan secara 

mutlak seorang anak menikahi mendiang istri 

ayahnya.

Sebab pernikahan sekalipun merupakan 

ketetapan Ilahi sekaligus tuntunan nabi, namun 

ternyata fakta masyarakat khususnya pada masa 

jahiliyah dan awal-awal Islam menunjukkan adanya 

praktik-praktik yang amat berbahaya dan melanggar 

nilai-nilai kemanusiaan, seperti mewarisi secara 

paksa isteri mendiang ayah (ibu tiri). 

Sebab mereka berprinsip bahwa bila 

seseorang (suami) meninggal dunia maka kerabatnya 

itulah yang paling berhak “mewarisi” mendiang 

isterinya. Bila ia ingin, maka ia bisa menikahinya 

sekalipun secara paksa, atau ia bisa menikahkannya 

dengan orang lain atau melarangnya untuk menikah 

dengan orang lain.12 Hal inilah yang melatarbelakangi 

turunnya ayat QS. An-Nisa’/4: 19.

...  اهًرْكَ  ءَاسَِّنلا  اوُثرَِت  نَْأ  مْكَُل  ُّلحَِي  لَ  اوُنمَآ  نَيذَِّلا  اهَُّيَأ  اَي

 Hai orang-orang beriman, tidak halal bagi kamu”

13...‘mempusakai wanita dengan jalan paksa

Ayat ini menegaskan bahwa seorang isteri 

tidaklah sama dengan harta warisan, yang bisa 

diwarisi dan diperlakukan sama dengan harta-harta 

yang ditinggalkan oleh orang yang punya harta itu.

Demikian pula pada golongan ketiga 

selanjutnya yang haram dinikahi, yaitu; mertua, 

menantu, dan anak tiri. Sebagaimana yang disebutkan 

pada ayat 23 di atas menunjukkan perhatian agama 

(Al-Qur’an) yang begitu besar kaitannya dengan 

kehidupan rumah tangga sekaligus menjaga nilai-

nilai kekerabatan itu. Karena itulah, pelarangan 

menikahi mereka, ada yang memahami sebagai upaya 

mencegah timbulnya perselisihan atau perceraian 

seperti yang dapat terjadi pada pasangan suami 

istri, apatah lagi status mereka sama dengan status 

keluarga karena faktor nasab. Sehingga kesemuanya 

itu harus dilindungi dari rasa birahi.14

Terkait dengan ayat 23 tersebut, ada dua 

kata yangperlu diperjelas, yaitu; pertama, kalimat 

wa rabaibukum al-latiy fi hujurikum min nisaikum 

al-latiy dakhaltum bihinna (anak-anak istrimu yang 

dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu 

campuri). Kata rabaib merupakan bentuk jamak 

(plural), yang kata tunggalnya adalah rabibah yang 

berarti anak istri dari suaminya yang lain. Namun 

pelarangan menikahi anak isteri tersebut memiliki 

syarat, yaitu isteri (dalam hal ini ibunya anak itu) 

telah disetubuhi (dukhul) oleh suaminya (ayah 

tiri anak itu). Sehingga bila isteri belum di-dukhul 

oleh suaminya maka anaknya itu bisa dinikahi oleh 

mendiang ayah tirinya setelah ia (suami) berpisah 

dengan isterinya. 

3. Diharamkan karena sesusuan (rada’ah)

Dasar hukum untuk pelarangan menikahi 

wanita karena faktor susuan adalah QS. al-Nisa’/4: 

23.

...  ةِعَاضَ َّرلا  نَمِ  مْكُُتاوَخََأوَ  مْكَُنعْضَرَْأ  يِت َّللا  مُكُُتاهَ َّمُأوَ  ...

 dan diharamkan pula untuk dinikahi) ibu-ibumu) ...”

 yang menyusui kamu; dan saudara perempuan

15...;sepersusuan

Para ulama tafsir sepakat menyatakan bahwa 

berdasarkan ayat tersebut faktor sesusuan (rada’ah) 

menjadi salah satu sebab seseorang haram dinikahi. 

Hanya saja mereka berbeda pendapat mengenai 

ukuran atau kadar air susu yang diminum, batas 

umur yang menyusu, dan cara menyusu.

Penegasan kalimat ummahatukum (ibu-

ibumu) dan ahkawatukum (saudara-saudaramu) pada 

ayat tersebutdilakukan oleh Allah untuk menunjukkan 

hikmah pelarangan menikahi seseorang karena faktor 

susuan (rada’ah). Hal ini mengisyaratkan bahwa ibu 

yang menyusui berkedudukan sama dengan ibu 

kandung, demikian juga saudara sesusuan sama 

dengan saudara kandung.16 Ini disebabkan oleh 

karena seorang wanita bila menyusui seseorang bayi, 

maka air susunya itu akan menjadi makanan dan 

penguat bagi si bayi, selain itu air susu dari wanita 

susuannya akan mengalir di tubuh bayi tersebut 

dan berdampak pada pertumbuhannya.17 Sehingga 

implikasi hukum dari ayat tersebut menyebabkan 

semua kerabat ibu menyusui menjadi kerabat anak 

susuannya. Ibu yang menyusui menjadi ibu bagi anak 

yang menyusu, anak ibu menyusui menjadi saudara 

anak yang menyusu, suami ibu yang menyusui 

menjadi ayah bagi anak yang menyusu.18 Dengan 

kata lain, semua kerabat ibu yang menyusui haram 

dinikahi oleh anak susuannya sebab mereka telah 

menjadi kerabatnya. Ini diperjelas oleh hadis nabi 

yang diriwayatkan oleh sekelompok ulama hadis dari 

‘Aisyah ra.

19ةدلولا  نم مرحي ام عاضرلا  نم مرحي

“Apa yang haram karena kelahiran (nasab) ia pun 

haram karena susuan”.

Ketika menyebutkan pelarangan menikah 

karena susuan, Al-Qur’an tidak menjelaskan secara 

detail seluk beluk pelarangan tersebut. Sehingga 

inilah yang menyebabkan munculnya keragaman 

pendapat ulama mengenai tiga hal yang disebutkan 

di atas, yaitu; ukuran air susu yang diminum, batas 

usia yang menyusu, serta cara menyusu. 

Ulama-ulama bermazhab Malikiy dan 

Hanafiy menilai bahwa penyusuan secara mutlak 

mengharamkan pernikahan. Sekelompok ulama dari 

mazhab Hanabilah menganggap bahwa pengharaman 

tersebut lahir penyusuan terjadi tidak kurang dari 

tiga kali.20 Tetapi, mazhab Syafi’iyyah dan Hanafilah 

bahwa dampak hukumnya baru terjadi bila penyusuan 

itu terjadi sedikitnya lima kali penyusuan.21

Redaksi ayat di atas juga tidak menyebutkan 

juga batas umur yang menyusu sehingga dapat 

mencakup siapa pun yang menyusu sekalipun ia 

telah dewasa. Namun, mayoritas ulama berpendapat 

bahwa penyusuan yang berdampak hukum adalah 

yang terjadi sebelum seorang anak mencapai uisa 

dua tahun.22 Ini didasari oleh firman Allah tepatnya 

QS. al-Baqarah/2: 233.

َّمِتُي نَْأ  َدارََأ نْمَلِ نِيَْلمِاكَ نِيَْلوْحَ َّنهَُدلَاوَْأ نَعْضِرُْي تُاَدلِاوَلْاوَ 

َةعَاضَ َّرلا ...

“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya 

selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin 

menyempurnakan penyusuan”. 

Pemahaman terhadap ayat tersebut 

didukung oleh hadis yang diriwayatkan oleh al-

Daruqutniy dari ibn ‘Abbas; 

نيلوحلا يف ناك ام لاإ عاضر لا. 

‘Tidaklah dianggap rada’ah kecuali dalam 

dua tahun”.

Ulama kontemporer, Syekh Yusuf al-

Qaradawiy, menulis dalam kumpulan fatwanya 

bahwa dasar keharaman yang diletakkan agama bagi 

penyusuan adalah ummahat atau ibu yang menyusui 

sebagai bunyi ayat 23 surah al-Nisa’ di atas. Keibuan 

yang ditegaskan Al-Qur’an itu tidak mungkin terjadi 

hanya dengan menerima/meminum air susunya, 

tetapi dengan mengisap dan menempel sehingga 

menjadi jelas kasih sayang ibu dan ketergantungan 

anak yang menyusu. 

Dengan kata lain, penyusuan yang dilakukan 

adalah secara langsung tanpa melalui perantara dan 

dalam kuantitas yang tidak sedikit.  Selanjutnya Al-

Qaradawiy menegaskan bahwa merupakan keharusan 

untuk merujuk kepada lafaz yang digunakan Al-

Qur’an, sedang makna lafaz yang digunakannya itu 

dalam bahasa Al-Qur’an dan sunnah adalah jelas 

dan tegas, bermakna mengisap tetek dan menelan 

airnya secara perlahan, bukan sekedar makan atau 

meminumnya dengan cara apa pun, walau atas 

pertimbangan manfaat. 


B.  Al-Muharramat al-Muaqqatah (sebab yang 

bersifat sementara).

Al-muharramat al-muaqqatah adalah 

wanita-wanita yang haram dinikahi dalam jangka 

waktu tertentu (sementara) disebabkan adanya 

beberapa sebab. Apabila sebab itu sudah tiada maka 

pelarangan tersebut pun juga terhapus. Sebab-sebab 

yang dimaksud, yaitu;

1. Diharamkan karena status wanita yang sudah ditalak 

tiga.

Pengharaman untuk menikahi wanita yang 

sudah ditalak tiga atau dalam istilah fiqih adalah 

talaq bain berlaku bagi mantan suami yang telah 

menceraikannya. Hal ini didasari oleh firman Allah 

swt dalam QS. al-Baqarah/2: 230.

اهََقَّلطَ نِْإَف ُهرَيْغَ اجًوْزَ حَكِنَْت ىَّتحَ ُدعَْب نْمِ ُهَل ُّلحَِت لََف اهََقَّلطَ نِْإَف 

ِ َّالل َدوُدحُ امَيقُِي نَْأ اَّنظَ نِْإ اَعجَارََتَي نَْأ امَهِيَْلعَ حَاَنجُ لََف …

“Kemudian jika suaminya mentalaknya 

(sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu 

tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan 

suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu 

menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya 

(bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali 

jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan 

hukum-hukum Allah.” 

Dari ayat tersebut dipahami bahwa seorang 

suami bila telah mentalak tiga isterinya maka isterinya 

yang sudah ditalak itu tidak halal lagi baginya. 

Pengharaman ini tentunya memberi pelajaran 

yang sangat pahit bagi suami isteri yang bercerai 

untuk ketiga kalinya. Kalaulah perceraian pertama 

terjadi, peristiwa itu kiranya menjadi pelajaran 

bagi keduanya untuk introspeksi dan melakukan 

perbaikan. Kalaupun masih terjadi perceraian untuk 

kedua kalinya, kesempatan terakhir harus dapat 

menjamin kelangsungan pernikahan, sebab kalau 

tidak, dan perceraian itu terjadi lagi untuk ketiga 

kalinya, tidak ada jalan lain untuk kembali menyatu, 

kecuali memberi kesempatan kepada isteri untuk 

kawin dengan pria lain. 

2. Diharamkan karena status wanita yang terkait dengan 

suaminya (baik sebagai isteri, maupun sementara 

dalam keadaan iddah)

Perempuan yang berstatus isteri orang 

lain termasuk orang yang tidak boleh dinikahi, 

berdasarkan firman Allah swt. dalam QS. An-Nisa’/4: 

24

بَاتَِك مْكُنُامَيَْأ تْكََلمَ امَ َّلِإ ءِاسَِّنلا نَمِ تُانَصَحْمُلْاو 

مْكُيَْلعَ ِ َّالل ...

“Dan (diharamkan juga kamu mengawini) 

wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang 

kamu miliki (Allah menetapkan hukum itu) sebagai 

ketetapan-Nya atas kamu”... 

Turunnya ayat di atas dilatarbelakangi 

oleh peristiwa Hunayn. Yang menurut penjelasan 

ibn ‘Abbas sebagaimana yang diriwayatkan oleh 

al-Tabraniy bahwa masyarakat muslim pada saat 

itu mendapatkan wanita-wanita ahlul kitab yang 

memiliki suami. Dan ternyata di antara mereka ada 

yang menyukai wanita-wanita tersebut. Singkat 

cerita, hal ini pun disampaikan kepada nabi, maka 

turunlah ayat 24 dari surah An-Nisa’ menjelaskan. 

Dari kandungan serta latar belakang 

turunnya ayat tersebut, tampak jelas ketetapan Allah 

yang mengharamkan menikahi wanita yang bersuami. 

Dengan kata lain, jangan ada dua suami yang 

menikah dengan seorang perempuan (poliandri). 

Adapun mengenai wanita yang sementara 

berada dalam masa iddah (istri yang berpisah 

dengan suaminya) apakah karena ditalak atau karena 

suaminya meninggal, ia juga termasuk orang yang 

tidak boleh dinikahi oleh orang lain hingga berakhirnya 

masa iddah tersebut, kecuali oleh suami yang telah 

mentalaknya. Ini terkait dengan isteri yang ditalak 

satu atau talak dua oleh suaminya-  berdasarkan 

firman Allah swt. dalam QS. al-Baqarah/2: 235. 

مْكُسُِفنَْأ يِف مُْتنَْنكَْأ وَْأ ءِاسَِّنلا ةَِبطْخِ نْمِ هِِب مُْتضْ َّرعَ امَيِف مْكُيَْلعَ حَاَنجُ لَاوَ 

اًفورُعْمَ لًاوَْق اوُلوُقَت نَْأ َّلاِإ ا ًّرسِ َّنهُوُدعِاوَُت لَا نْكَِلوَ َّنهَُنورُكُذَْتسَ مْكَُّنَأ  ُ َّالل مَلِعَ

 ُهَلجََأ بُاَتكِلْا غَُلبَْي ىَّتحَ ِحاكَِّنلا  َةَدقْعُ اومُزِعَْت لَاوَ ...

“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang 

wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu 

menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) 

dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan 

menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah 

kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara 

rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada 

mereka) perkataan yang ma’ruf. Dan janganlah 

kamu ber’azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, 

sebelum habis ‘iddahnya... 

Ayat ini merupakan salah satu tuntunan dari 

Allah bagi pria yang ingin menikah, yakni seorang 

pria boleh-boleh saja meminang wanita yang telah 

bercerai dengan suaminya dengan perceraian yang 

bersifat bain, yakni yang telah putus hak bekas 

suaminya untuk rujuk kepadanya kecuali dengan 

akad nikah baru sesuai syarat-syarat yang telah 

disebutkan di atas.  Wanita tersebut diperbolehkan 

untuk dipinang pada masa ‘iddah (masa tunggu) 

mereka, dengan syarat pinangan itu disampaikan 

dengan sindiran.

Kata ‘arradtum yang dimaknai kamu 

menyindirnya dijelaskan oleh Wahbah al-Zuhailiy 

dengan arti lawwahtum (kamu memberi isyarat), 

sehingga sindiran yang dimaksud adalah sebuah 

tanda atau isyarat yang disampaikan oleh seorang 

pria kepada seorang wanita dan wanita tersebut pun 

memahami maksud isyarat itu, sekalipun ia tidak 

disampaikan secara jelas. 

Ayat ini pun mengisyaratkan bahwa agama 

melarang seorang pria meminang wanita yang 

berada dalam masa ‘iddah, dengan perceraian yang 

bersifat bain. Khusus untuk wanita yang ditalak 

raji’iy oleh suaminya ia dilarang secara mutlak 

untuk dipinang sebab status mereka masih dapat 

dirujukoleh suaminya sehingga meminangnya, baik 

sindiran apalagi terang-terangan, dapat berkesan di 

hati mereka yang pada gilirannya dapat berdampak 

negatif dalam kehidupan rumah tangga jika ternyata 

suaminya rujuk kepadanya. 

Terhadap wanita yang berpisah karena 

wafat suaminya dan sedang dalam masa ‘iddah, 

tidak juga diperkenankan untuk dipinang secara 

terang-terangan, baik langsung maupun tidak, 

karena wanita-wanita tersebut dituntut untuk 

berkabung, sedangkan pernikahan adalah sebuah 

kegembiraan. Bahkan ‘Umar ibn al-Khattab pernah 

memisahkan antara pasangan Talihah al-Asadiyah 

dengan suaminya Rasyid al-Saqafiy ketika Rasyid 

menikahinya sementara ia (Talihah) masih berada 

dalam masa ‘iddah. 

3. Diharamkan karena beda agama dan keyakinan 

(Pembahasan ini akan dijelaskan pada bab tersendiri).

4. Diharamkan karena status wanita tersebut sebagai 

saudara atau keluarga dekat istri yang sedang 

berjalan.

Seorang pria dilarang mengumpulkan dua 

wanita bersaudara atau lebih dan dijadikan sebagai 

istrinya. Hal ini didasari oleh firman Allah swt. dalam 

QS al-Nisa’/4: 23.

... فََلسَ دَْق امَ َّلاِإ نِيَْتخُْلْأا نَيَْب اوُعمَجَْت نَْأوَ ...


“... dan (kamu juga diharamkan) 

menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan 

yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada 

masa lampau;... 

Pada ayat di atas Allah menggunakan 

kalimat an tajma’u bayna al-ukhtayni (menghimpun 

dalam pernikahan dua perempuan yang bersaudara). 

Penekanan kata al-ukhtayni tidak terbatas pada 

dua perempuan bersaudara saja, namun ia juga 

mencakup sekian orang yang termasuk keluarga 

dekat. Dalam konteks ini, Rasulullah Saw menjelaskan 

sebagaimana riwayat Muslim dari Abu Hurairah ra.

اهَِتَلاخَ ىَلعَ َلاوَ اهَِت َّمعَ ىَلعَ ُةَأرْمَلْا حُكَنُْت َلا 

“Tidak dibenarkan menghimpun dalam 

pernikahan seorang wanita dengan saudara 

perempuan bapaknya, tidak juga dengan saudara 

perempuan ibunya.”Dalam riwayat yang lain 

ditambahkan anak perempuan saudaranya yang lelaki 

dan anak perempuan saudaranya yang perempuan. 

Tentunya pelarangan ini dilatarbelakangi 

oleh kekhawatiran putusnya hubungan kekeluargaan 

yang dapat muncul akibat pernikahan itu. Bahkan 

Rasulullah saw. sendiri menegaskan bahwa;

مكماحرأ متعطق كلذ متلعف نإ مكنإ 

“Karena kalau itu kamu lakukan, kamu 

memutus hubungan kekeluargaan kamu”.

Ayat di atas juga memberikan kejelasan 

bahwa pernikahan seperti itu yang telah terjadi di 

masa lampau dimaafkan oleh Allah, namun melarang 

untuk dilanjutkan. Dengan kata lain, pernikahan 

tersebut batal dengan sendirinya. Ini dipahami dari 

penggalan ayat illa ma qad salaf (kecuali apa yang 

telah lampau). 

5. Diharamkan karena wanita tersebut akan menjadi 

isteri kelima dalam waktu bersamaan.

Seorang pria tidak boleh menikahi seorang 

wanita apabila wanita tersebut akan menjadi 

isterinya yang kelima di saat isteri pertama sampai 

isteri masih ada dan sementara berjalan. Dengan 

kata lain, seorang pria dilarang poligami lebih dari 

lima isteri.

Ketentuan ini didasari oleh firman Allah 

dalam QS. An-Nisa’ (4) : 3.

 عَاَبرُوَ ثَلَُثوَ ىَنْثمَ ءِاسَِّنلا نَمِ مْكَُل بَاطَ امَ اوحُكِنْاَف ... 

“... Maka kawinilah wanita-wanita (lain) 

yang kamu senangi; dua, tiga, atau empat... 

Dari batasan yang disebutkan Allah dalam 

ayat tersebut sampai pada jumlah empat, maka nabi 

saw. melarang menghimpun dalam saat yang sama 

lebih dari empat orang istri bagi seorang pria. Ketika 

turunnya ayat ini, Rasulullah memerintahkan semua 

yang memiliki lebih dari empat orang isteri, agar 

segera menceraikan istri-istrinya sehingga maksimal 

setiap orang hanya memperisterikan empat orang 

wanita. 

Hal itu dialami oleh Gaylan ibn Umayyah Al-

Saqafiy di saat ia memeluk Islam, ia memiliki sepuluh 

orang isteri, maka nabi mengatakan;

نهرئاس قرافو اعبرأ نهنم رتخا 

“Pilihlah dari mereka empat orang istri dan 

ceraikan selebihnya.”

Larangan kawin seperti telah diuraikan 

diatas dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam 

(KHI), secara rinci dalam Bab IV, sebagai berikut :

Pasal 39

Dilarang melangsungkan perkawinan antara 

seorang pria dengan seorang wanita disebabkan:

1. Karena pertalian nasab:

a. dengan seorang wanita yang melahirkan atau 

yang menurunkannya atau keturunannya.

b. dengan seorang wanita keturunan ayah atau 

ibu.

c. dengan seorang wanita saudara yang 

melahirkannya

2. Karena pertalian kerabat semenda:

a. dengan seorang wanita yang melahirkan 

istrinya atau bekas istrinya

b. dengan seorang wanita bekas istri orang yang 

menurunkannya

c. dengan seorang wanita keturunan istri atau 

bekas istrinya, kecuali putusnya hubungan 

perkawinan dan bekas istrinya itu qabla al-

dukhul

d. dengan seorang wanita bekas istri keturunnya

3. Karena pertalian sesusuan

a. dengan wanita yang menyusuinya dan 

seterusnya menurut garis lurus ke atas.

b. dengan seorang wanita susuan dan seterusnya 

menurut garis lurus ke bawah.

c. dengan seorang wanita saudara sesusuan, 

dan kemenakan sesusuan ke bawah.

d. dengan seorang wanita bibi sesusuan dan bibi 

nenek sesusuan ke atas.

e. dengan anak yang disusui oleh istrinya dan 

keturunannya.


Pasal 40

Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang 

pria dan seorang wanita karena keadaan tertentu:

a. Karena wanita yang bersangkutan masih 

terikat satu perkawinan dengan pria lain.

b. Seorang wanita yang masih berada dalam 

masa ‘iddah dengan pria lain.

c. Seorang wanita yang tidak beragama Islam.

Pasal 41

Seorang pria dilarang memadu istrinya 

dengan seorang wanita yang mempunyai hubungan 

pertalian nasab atau sesusuan denganistrinya:

a. saudara kandung seayah atau seibu serta 

keturunannya

b.   wanita dengan bibinya atau kemenakannya.

Pasal 42

Seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan 

dengan seorang wanita apabila pria tersebut sedang 

mempunyai empat orang istri, yang keempat-

empatnya masih terikat tali perkawinan atau masih 

dalam iddah talak raj’I ataupun salah seorang 

di antara mereka masih terikat tali perkawinan 

sedangkan yang lainnya dalam masa ‘iddah talak 

raj’i.

Pasal 43

1. Dilarang melangsungkan perkawinan antara 

seorang pria:

a.   dengan seorang wanita bekas istrinya yang 

ditalak 3 kali

b.  dengan seorang wanita bekas istrinya yang 

dili’an

2. larangan tersebut pada ayat (I) huruf a gugur 

kalau bekas istri tadi telah kawin dengan pria 

lain kemudian perkawinan tersebut putus ba’da 

dukhul dan habis masa ‘iddahnya.

Pasal 44

Seorang wanita Islam dilarang melasungkan 

perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama 

Islam.


WALIMAH


Kata walimah diambil dari kata walm yang berarti 

pengumpulan karena suami dan istri berkumpul. Walimah 

adalah makanan dalam pesta pernikahan secara khusus. 

1Walimah artinya al-jam’u: kumpul, sebab antara suami 

dan istri berkumpul, bahkan sanak saudara, kerabat dan 

para tetangga. Walimah berasal dari kata Arab “alwalimu” 

artinya makanan pengantin, maksudnya adalah makanan 

yang disediakan khusus dalam acara pernikahan. Bisa juga 

diartikan sebagai makanan untuk tamu undangan atau 

lainnya. 2Lebih khusus walimah al-urusy diartikan dengan 

perhelatan dalam rangka mensyukuri nikmat Allah atas telah 

terlaksananya akad pernikahan dengan menghidangkan 

makanan.3

Tujuan walimah (pesta pernikahan) yang terpenting 

adalah pengumuman atas adanya/telah berlangsungnya 

sebuah perkawinan dan mengumpulkan kaum kerabat 

serta teman-teman dan handai taulan. Sekaligus untuk 

memasukkan kegembiraan dan kebahagiaan ke dalam 

jiwa-jiwa mereka. Memperindah pelaksanaan walimah dan 

menerima ucapan selamat dapat menambah kelembutan 

serta kemesraan.

B. Landasan Hukum Walimah

Jumhur ulama sepakat bahwa hukum mengadakan 

walimah adalah sunnah muakkad berdasarkan dali-dalil 

berikut ini:

5ةٍاشَِب وَْلوَ مْلِوَْأ مََّلسَوَ هِيَْلعَ ُ َّالل ىَّلصَ ِ َّالل لُوسُرَ لَاَق …

 “adakanlah walimah meskipun dengan seekor kambing…”

 

 لُوسُرَ لَاَق لَاَق امَهُنْعَ ىَلاَعَت ُ َّالل يَضِرَ َةمَطِاَف ٌّيلِعَ بَطَخَ ا َّمَلَلاَق هِيِبَأ نْعَ َةَديْرَُب نِبْا نِعَ

6ةٍمَيلِوَ نْمِ سِرُْعلْلِ َّدُب لَا ُهَّنِإ مََّلسَوَ هِيَْلعَ ُ َّالل ىَّلصَ ِ َّالل

“Dari Buraidah ia berkata.” Ketika Ali melamar Fatimah, 

Rasulullah saw. bersabda,”Sesungguhnya untuk pesta 

pernikahan harus ada walimahnya.”

Berdasarkan hadis di atas walimah hukumnya 

adalah sunah muakkadah bagi orang yang menikah dengan 

sesuatu yang sanggup dia lakukan. Demikianlah yang 

dilakukan Nabi Saw telah melakukan walimah untuk istri-

istrinya dan mendorong pada sahabat untuk mengadakan 

walimah.  Mengadakan walimah mengandung arti sunnah 

mengundang khalayak ramai untuk menghadiri pesta itu dan 

memberi makan para tamu yang datang. Tidak disyaratkan 

menyembelih kambing atau yang lainnya dalam walimah, 

akan tetapi sesuai dengan kemampuan suami, karena Nabi 

Saw pun pernah pernah melakukan walimah untuk Shafiyah 

dengan menyediakan hais) kurma yang bijinya dihilangkan 

lalu dicampur dengan keju atau tepung).

Waktu pelaksanaan walimah adalah saat akad 

atau setelah prosesi akad, atau saat percampuran dua 

pengantin atau setelahnya. Hal ini merupakan perkara yang 

dilapangkan waktunya sesuai dengan tradisi dan kebiasaan 

setempat.7

Walimah yang dianjurkan Islam adalah bentuk 

upacara yang tidak berlebih-lebihan dalam segala halnya. 

Dalam walimah dianjurkan pada pihak yang berhajat 

untuk mengadakan makan guna disajikan pada tamu 

yang menghadiri walimah.Namun demikan, semua itu 

harus disesuaikan dengan kemampuan kedua belah pihak. 

Islam melarang upacara tersebut dilakukan, bila ternyata 

mendatangkan kerugian bagi kedua mempelai maupun 

kerugian dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dicontohkan 

Rasul Saw, ketika mengadakan resepsi pernikahannya 

dengan Siti Shafia, hadiah yang disediakan pada acara 

walimah tersebut hanyalah kurma, keju serta minyak samin 

dan para sahabat pun merasa puas/ kenyang dengan jamuan 

hidangan tersebut.

7

Lalu bagaimana dengan budaya pelaksanaan pesta 

pernikahan yang meriah dan mewah di masyarkat kita 

dewasa ini?

Hasil research yang dilakukan penulis pada tahun 

2016 tentang Budaya Dui’ Sompa dan Dui Menre’ di Kab. 

Sidrap menghasilkan bahwa: Tradisi dui’ menre’/ uang 

belanja yang jumlahnya cukup tinggi dan memberatkan 

serta mempersulit bagi pihak keluarga calon mempelai 

laki-laki. Apalagi dui’ menre’/ uang belanja termasuk uang 

hangus yang besar.

Dui’ menre’/ uang belanja bertujuan untuk 

membiayai pesta pernikahan mempelai perempuan. 

Menurut beberapa informan bahwa, indikator besar kecilnya 

uang belanja/ uang naik bisa dilihat dari kemewahan pesta 

pernikahan, semakin tinggi Dui’ menre’/ uang belanjanya 

semakin meriah pula pesta pernikahannya. Persaingan yang 

terjadi dalam mengangkat derajat sosial di masyarakat dan 

terfokus pada  bagaimana memeriahkan walimah dengan 

pemberian  dui’ menre’/ uang belanja yang dijadikan 

syarat mutlak untuk dapat terlaksananya suatu pernikahan 

sehingga seakan melupakan hakikat dan tujuan serta 

hikmah  pernikahan itu sendiri. Jika ada pernikahan, maka 

yang seringkali jadi buah bibir utama adalah berapa Dui’ 

menre’ (uang naik/ uang belanjanya).

Walimah al-urusy (pesta pernikahan) pada 

hakikatnya bertujuan sebagai  perhelatan dalam rangka 

mensyukuri nikmat Allah atas telah terlaksananya akad 

pernikahan dengan menghidangkan makanan kepada para 

tamu undangan sesuai dengan kesanggupan/keadaan 

yang mengadakan pernikahan. Tapi tampaknya, yang 

terjadi di masyarakat Kec. Baranti Kab. Sidrap dalam 

menyelenggarakan walimah/ pesta pernikahan sangat 

meriah dan megah, meskipun terkadang memaksakan diri 

bahkan setelah pesta selesai mereka menanggung hutang 

akibat dari kemeriahan pesta di luar dari kemampuannya.

Dui’ menre’/ uang belanja  menjadi prestise hampir 

di setiap kalangan masyarakat Bugis di Kec. Baranti.  Jumlah 

dui’ menre’/ uang belanja   menjadi simbol bentuk upaya 

mempertahankan kelas sosial. Meskipun demikian, masih 

ada keluarga Bugis di Kec. Baranti yang tidak menilai 

pernikahan dari jumlah uang dui’ menre’/ uang belanja dan 

meriahnya pesta, apalagi sampai mematok/ menentukan 

sebuah harga untuk anak gadisnya, karena mereka 

berkeyakinan bahwa perkawinan adalah sebuah perjanjian 

suci mitzaqan ghaliidzan yang tidak semestinya dinodai 

dengan hal-hal yang bertentangan dengan aturan Ilahi.8

Setelah akad acara nikah maupun walimah selesai, 

dianjurkan bagi mempelai laki-laki untuk tinggal di rumah 

mempelai wanita selama beberapa hari. Untuk mempelai 

wanita yang masih perawan, pihak keluarga si wanita dapat 

menahan menantunya selam tujuh hari berturut-turut. 

Adapun bagi mempelai wanita yang janda, pihak keluarga 

dapat menahan menantu laki-laki selama tiga hari berturut-

turut.

Makna dari anjuran agar mempelai laki-laki setelah 

melangsungkan akad nikah tinggal selama seminggu di 

rumah istrinya adalah untuk memberikan kesempatan si 

istri dalam menyelam makna kehidupan berkeluarga. Selain 

itu, anjuran tersebut juga dimaksudkan agar keluarga istri 

mendapat kesempatan untuk berbagi rasa pada putrinya 

yang sebentar lagi akan meninggalkan kedua orangtuanya 

dan hidup bersama selamanya dengan laki-laki pilihannya.

C. Hukum Menghadiri Walimah

Imam Asy-Syafi’i dan Imam Hambali secara jelas 

menyatakan bahwa menghadiri undangan walimatul ‘ursy 

adalah wajib. Untuk menunjukkan perhatian, memerintahkan, 

dan menggembirakan orang yang mengundang, maka orang 

yang diundang walimah wajib mendatanginya.

Dasar hukum mendatangi undangan walimah adalah 

dalam hadis Nabi Saw Dari Abdullah bin Umar bahwa 

Rasulullah pernah bersabda,

10)هيلع قفتم( . اهتأيلف ةميلولا ىلإ مكدحأ يعد اذإ

“Jika salah seorang di antara kalian diundang 

menghadiri walimah, maka hendaklah ia 

menghadirinya”.

10 Imam Bukhari, Shahih Bukhari, bab Haqqu Ijabatun Walimah 


 نَاكَ نْإَِف بْجُِيلَْف مْكُدُحََأ يَعِدُ اَذِإ مََّلسَوَ هِيَْلعَ ُ َّالل ىَّلصَ ِ َّ