hari itu ia menyaksikan Buddha menganugerahkan gelar
etadagga kepada seorang bhikkhu yang terbaik di antara mereka yang
berasal dari silsilah tinggi (uccakulika). Ia menjadi bercita-cita, “Aku
juga harus menjadi seorang yang seperti dia dalam masa pengajaran
Buddha pada masa depan.” Demikianlah, ia mengundang Saÿgha
yang dipimpin oleh Buddha untuk menerima mahà dà na yang ia
lakukan selama tujuh hari. Dengan bersujud di kaki Buddha, ia
berkata, “Buddha Yang Mulia, aku tidak menginginkan kehidupan
mewah sebagai hasil dari DÃ na yang kulakukan tetapi aku bercita-
cita untuk menjadi seorang bhikkhu yang terbaik di antara mereka
yang berasal dari keluarga tinggi.”
sesudah melihat ke masa depan Buddha mengetahui bahwa cita-
citanya akan tercapai dan berkata, “Cita-citamu akan tercapai.
Seratus ribu kappa dari sekarang Buddha Gotama akan muncul. Dan
engkau akan menjadi seorang yang mendapat gelar terbaik di antara
mereka yang berasal dari keluarga tinggi.” sesudah mengucapkan
ramalan itu, Buddha membabarkan khotbah penghargaan atas
persembahan ini dan pulang ke vihà ra.
sesudah menerima ramalan itu, ia melakukan banyak kebajikan
untuk mendukung cita-citanya ini . Ia membuat tempat-tempat
duduk untuk para pengkhotbah dan mempersembahkannya, ia
membuat penutup tempat duduk dan mempersembahkannya.
Ia mempersembahkan kipas-kipas untuk digunakan oleh para
pengkhotbah sewaktu membabarkan khotbah, ia memberi
persembahan untuk menghor mati para pengkhotbah,
mempersembahkan pelita di bagian luar sãmà , rumah pertemuan
para bhikkhu. Demikianlah, ia melakukan banyak kebajikan hingga
akhir hidupnya, dan saat meninggal dunia, ia terlahir kembali di
alam surga dan alam manusia silih berganti. Pada suatu masa antara
2543
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
masa Buddha Kassapa dan Buddha Gotama, ia terlahir kembali
sebagai putra seorang perumah tangga di Kota Bà rà õasã.
Pada waktu itu banyak Pacceka Buddha datang dari Gunung
Gandhamà dana menuju Bà rà õasã dan, sesudah duduk di tepi Sungai
Gaïga, di mana banyak air tersedia, mereka memakan makanan
mereka. Mengetahui bahwa para Pacceka Buddha sering datang
ke tempat itu untuk memakan makanan mereka, si perumah
tangga, bakal Bhaddiya, membuat delapan batu datar besar
dan mempersembahkannya kepada para Pacceka Buddha serta
mempersembahkan makanan kepada mereka seumur hidupnya.
(b) Kehidupan pertapaan dalam kehidupan terakhir
Selama selang waktu antara dua Buddha, Kassapa dan Gotama,
dalam kappa yang tidak terhingga lamanya (periode Buddhantara
asaïkhyeyya), ia terlahir silih berganti di alam dewa dan manusia,
dan dalam masa kehidupan Buddha kita ini, ia terlahir kembali
sebagai seorang pangeran Sakya di Kota Kapilavatthu. Oleh
orangtuanya, ia diberi nama Bhaddiya.
saat dewasa, ia menjadi pangeran yang memimpin enam orang
(yang menjadi bhikkhu bersama si tukang cukur Upà li), sewaktu
Buddha sedang berada di hutan mangga di dekat Kota Anupiya,
ia ditahbiskan menjadi bhikkhu dan mencapai kesucian Arahatta
dalam masa vassa di tahun yang sama.
(sesudah ia mencapai kesucian Arahatta saat ia berdiam di dalam
Phala Samà patti; ia mengucapkan “O, aku sungguh bahagia!, O
aku sungguh bahagia!” Para bhikkhu awam yang tidak mengetahui
pencapaiannya keliru menganggap bahwa ucapannya itu yaitu
sebab kenangan akan kehidupan mewahnya saat masih menjadi
seorang pangeran; mereka melaporkan hal itu kepada Buddha. Kisah
ini dapat dibaca dalam Udà na.)
(c) Gelar Etadagga
Suatu saat , saat Buddha sedang menetap di Vihà ra Jetavana dan
2544
mengadakan pertemuan untuk menganugerahkan gelar etadagga,
ia berkata kepada para bhikkhu tentang Thera Bhaddiya:
“Etadaggaÿ bhikkhave mama sà vakà naÿ bhikkhÃ¥naÿ
uccà kulikà naÿ yad’idaÿ Bhaddiyo Kà ëãgodhà ya putto,”
Para bhikkhu, di antara para bhikkhu siswa-Ku yang berasal dari
keluarga berstatus tinggi, Bhaddiya, Putra Kà ëãgodhà , yaitu yang
terbaik.”
Demikianlah Buddha memuji dan menganugerahkan gelar etadagga
kepada Thera Bhaddiya sehubungan dengan status kelahiran
tinggi.
(Nama asli ibu Thera yaitu Godhà . sebab ia berkulit agak gelap,
ia dipanggil dengan nama Kà ëãgodha, si putri Sakya. sebab itu
nama Thera menjadi Kà ëãgodhà putta Bhaddiya, “Bhaddiya putra
Kà ëãgodhà .”
(Kà ëãgodhà yaitu yang tertua di antara para putri Sakya.
Pada waktu Bodhisatta mencapai Kebuddhaan, ayah-Nya, Raja
Suddhodana telah berusia sembilan puluh tahun lebih. sebab itu,
ia sudah tidak cukup kuat untuk melaksanakan tugas-tugasnya
sebagai raja, tidak seperti saat ia masih muda. sebab itu, ia harus
memilih seorang calon dari antara para pangeran Sakya. Bhaddiya
terpilih menjadi raja, sebab pilihan yang dilakukan dari keluarga
senior hingga junior jatuh kepadanya. Tetapi sang pangeran menolak
menjadi Raja Sakya dan menjadi seorang bhikkhu. Demikianlah
penganugerahannya sebagai “Yang Terbaik di antara para bhikkhu
yang berasal dari keluarga berstatus tinggi.”
Penjelasan lain, Thera Bhaddiya telah menjadi raja dalam lima
ratus kehidupan berturut-turut sebagai akibat dari cita-cita masa
lampaunya. Demikianlah gelar Uccà kulika-etadagga.)
Demikianlah kisah Thera Bhaddiya
2545
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
(7) Thera Lakuõóaka Bhaddiya
(a) Cita-cita masa lampau
Thera Lakuõóaka Bhaddiya ini juga yaitu putra seorang perumah
tangga kaya di Kota Haÿsà vatã pada masa kehidupan Buddha
Padumuttara. Dengan cara yang sama seperti yang telah diceritakan
sebelumnya (dalam kisah Thera Anuruddhà ), ia pergi ke vihà ra
untuk mendengarkan khotbah.
Pada saat itu Buddha sedang menganugerahkan gelar etadagga
kepada seorang bhikkhu yang memiliki suara yang paling merdu.
Menyaksikan hal itu, ia menjadi bercita-cita untuk menjadi
seperti bhikkhu ini dan berkeinginan untuk mendapatkan
gelar yang sama pada masa kehidupan Buddha mendatang.
Maka ia mengundang Saÿgha yang dipimpin oleh Buddha
dan mempersembahkan DÃ na selama tujuh hari. Selanjutnya ia
memohon “Buddha Yang Agung. Aku tidak menginginkan hasil lain
dari DÃ na ini. Sesungguhnya aku ingin menjadi seorang bhikkhu
yang bergelar etadagga di antara mereka yang memiliki suara merdu
pada masa kehidupan Buddha mendatang.” Ia berkata demikian
sambil bersujud di kaki Buddha.
Dengan melihat ke masa depan, Buddha melihat bahwa cita-citanya
akan tercapai. sebab itu Beliau berkata, “Cita-citamu akan tercapai.
Seratus ribu kappa dari sekarang, Buddha Gotama akan muncul. Dan
engkau akan menjadi seorang bhikkhu dalam masa pengajaran-Nya
dan akan dinyatakan sebagai yang terbaik di antara mereka yang
memiliki suara merdu.” sesudah mengucapkan ramalan demikian,
Buddha kembali ke vihà ra.
Kehidupan Sebagai Burung Tekukur Cittapatta
sesudah menerima ramalan itu, putra si orang kaya itu melakukan
banyak kebajikan hingga akhir hidupnya dan saat meninggal dunia,
ia terlahir kembali di alam dewa dan manusia. saat Buddha
Vipassã muncul, ia menjadi seekor burung tekukur bernama
Cittapatta yang hidup di Taman Rusa Khemà . Suatu hari ia terbang
2546
ke Himavanta dan kembali membawa sebuah mangga manis di
paruhnya. Saat melihat Buddha yang dikelilingi oleh para bhikkhu,
ia berpikir, “Pada hari-hari sebelumnya, saat aku bertemu dengan
Buddha, aku tidak memiliki apa pun untuk dipersembahkan.
Tetapi, hari ini aku membawa mangga masak ini sebagai makanan
anak-anakku. Aku akan membawakan buah lain untuk mereka.
Mangga ini harus kupersembahkan kepada Buddha.” Maka ia
terbang turun dan melayang-layang rendah (tetapi tidak sampai
ke tanah). Mengetahui pikiran si burung, Buddha Vipassã menatap
pelayan-Nya, Asoka Thera, yang segera mengeluarkan mangkuk
dari tas dan menyerahkannya kepada Buddha. lalu burung
itu meletakkan mangga itu yang ia bawa di paruhnya ke dalam
mangkuk Buddha sebagai persembahan. Di tempat itu juga Buddha
memakan mangga ini sambil duduk. Diliputi oleh saddhà ,
burung itu terus-menerus merenungkan kemuliaan Buddha sejauh
yang ia pahami dan sesudah memberi hormat kepada Buddha,
ia kembali ke sarangnya dan selama seminggu ia tidak mencari
makanan; ia melewatkan waktunya menikmati kegembiraan dan
kebahagiaan.
Demikianlah kebajikan yang ia lakukan dalam kehidupannya
sebagai burung tekukur Cittapatta. Sebagai akibat dari jasa ini, Thera
terbukti memiliki suara yang paling merdu dan menyenangkan.
Kehidupan Sebagai Tukang Kayu
Pada masa kehidupan Buddha Kassapa, bakal Thera Lakuõóaka
Bhaddiya menjadi seorang tukang kayu. sesudah Buddha Parinibbà na,
para siswa-Nya berdiskusi tentang pembangunan cetiya untuk
menyemayamkan relik satu-satunya. Dan satu-satunya masalah
yang timbul yaitu mengenai ukuran dari cetiya itu. Beberapa
orang berkata, “Harus berukuran tujuh yojanà .” Yang lainnya
berkata, “Tujuh yojanà terlalu besar. (Bangunan itu tidak akan dapat
diselesaikan.) mari kita membangunnya dengan ukuran enam
yojanà .” Beberapa berkata, “Enam yojanà juga masih terlalu besar.
(Masih tidak dapat dilakukan.) mari kita membangunnya dengan
ukuran lima yojanà .” Demikianlah ukuran itu diturunkan menjadi
empat yojanà , tiga yojanà , dua yojanà . lalu si tukang kayu,
2547
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
bakal Thera Lakuõóaka Bhaddiya, sebagai pemimpin pertemuan
itu memutuskan, “Teman-teman. Marilah kita membangun sebuah
cetiya yang mudah diperbaiki pada masa depan.” lalu ia
mengambil pita pengukur dan pergi ke lokasi pembangunan. Dalam
pengukuran itu, ia memotong pita itu sepanjang satu gà vuta dan
berkata, “Masing-masing sisi cetiya berukuran satu gà vuta sehingga
empat sisi akan menjadi satu yojà nà . sebab dasarnya satu yojanà ,
maka tingginya juga satu yojanà .” Demikianlah keputusan si tukang
kayu mengakhiri diskusi itu.
Sesuai kesepakatan, orang-orang membangun dhà tucetiya, tempat
pemujaan relik, yang masing-masing sisinya sepanjang satu
gà vuta sehingga totalnya menjadi satu yojanà dan satu yojanÃ
tingginya. Demikianlah si tukang kayu memutuskan ukuran dan
pembangunan cetiya yang dipersembahkan kepada Buddha yang
memiliki kemuliaan yang tiada bandingnya.
(b) Kehidupan pertapaan dan pencapaian kesucian Arahatta
dalam kehidupan terakhir
Sebagai akibat dari perbuatannya dalam memutuskan ukuran
yang pendek untuk cetiya Buddha, pemilik kemuliaan istimewa, ia
menjadi memiliki badan jasmani yang pendek, lebih pendek dari
orang lainnya, dalam seluruh kehidupan berikutnya, dan dalam
kehidupan terakhirnya dalam masa kehidupan Buddha kita, ia
terlahir kembali dalam sebuah keluarga kaya di Kota Sà vatthã.
Orangtuanya menamainya Bhaddiya.
saat Bhaddiya telah dewasa, Buddha sedang berdiam di Vihà ra
Jetavana, ia pergi ke vihà ra dan mendengarkan Dhamma. Begitu
besarnya keyakinannya sehingga ia menjadi bhikkhu dan memelajari
subjek meditasi dari Buddha. Berusaha keras dalam praktik
Vipassanà , akhirnya ia berhasil mencapai kesucian Arahatta.
Ajaran-ajaran yang Berhubungan Dengan Thera Lakuõóaka
Bhaddiya
(Khotbah-khotbah yang penting sehubungan dengan Thera akan
2548
dijelaskan secara singkat)
Khotbah yang Mengantarkan Thera Menuju Kearahattaan
sesudah menjadi bhikkhu, ia memelajari subjek meditasi dari Buddha
dan melatih Vipassanà dan mencapai Sotà patti-Phala. Pada waktu
itu, para bhikkhu pelajar (sikkhà ) (Sotà panna, Sakadà gà mã, dan
Anà gà mã) mendatangi Yang Mulia Sà riputta dan bertanya tentang
subjek meditasi atau memohon khotbah atau memohon nasihat atas
masalah-masalah yang mereka hadapi untuk mencapai kesucian yang
lebih tinggi. Atas permohonan mereka, Thera SÃ riputta menjelaskan
kepada mereka tentang bagaimana bermeditasi; ia membabarkan
khotbah kepada mereka dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
mereka ajukan. Para bhikkhu lalu melanjutkan latihan mereka,
dan beberapa berhasil mencapai tingkat Sakadà gà mã, beberapa
mencapai tingkat Anà gà mã, beberapa mencapai tiga pengetahuan,
beberapa mencapai enam kekuatan batin, dan beberapa mencapai
empat pengetahuan analitis.
Melihat para bhikkhu itu dan berusaha menangkap peluang
untuk meningkatkan kemajuannya, Thera Lakuõóaka Bhaddiya
merenungkan kemampuannya yang hampir melenyapkan kotoran.
Dengan perenungan itu ia mendatangi Thera SÃ riputta dan sesudah
saling bertukar sapa dan memohon pembabaran Dhamma. Thera
membabarkan khotbah yang sesuai dengan kecenderungan
Thera.
Sesuai khotbah yang disampaikan oleh Thera, bhikkhu itu
mengembangkan Kebijaksanaan Vipassanà yang sesuai dengan
yang telah digariskan dalam Dhamma. sebab dua faktor, yaitu,
kekuatan ajaran Thera dan jasa masa lampaunya, Kebijaksanaan
Vipassanà -nya berkembang dan memuncak pada Kearahattaan.
Mengetahui hal ini, Buddha mengucapkan syair berikut:
Uddliaÿ adho sabbadhi vippamutto
ayaÿ hamasmã ti anà nupassã.
Evaÿ vimutto udatà ri oghaÿ
2549
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
atiõõapubbaÿ apunabbhavà ya.
Seorang Arahanta yang telah menghancurkan à sava yaitu bebas
dari yang tinggi (uddhaÿ), yaitu unsur-unsur materi (råpa-dhà tu)
dan unsur-unsur tanpa materi (aråpa-dhà tu) serta bebas dari yang
rendah (adho), yaitu, unsur-unsur kenikmatan indria (kà ma-dhà tu)
dan juga sehubungan dengan semua jenis bentuk (sabbadhi);
ia terbebas melalui tiga jenis pembebasan, yaitu, pembebasan
melalui pelenyapan (vikkhambhana-vimutti), pembebasan melalui
pemotongan (samuccheda-vimutti), dan pembebasan melalui
ketenangan (pañipassaddhi-vimutti). Arahanta itu yang telah
menghancurkan à sava tidak lagi keliru sebab keangkuhan dan
pandangan salah (sehubungan dengan lima kelompok råpa, vedanà ,
sa¤¤Ã , saïkhà ra, dan vi¤¤Ã õa), menganggap “Ini yaitu aku!”
Arahanta itu yang telah terbebaskan dalam semua cara dari sepuluh
belenggu dan semua hal-hal jahat, telah menyeberangi empat kolam
bergolak atau kolam saÿsà ra yang belum pernah terbayangkan
olehnya sebelum mencapai Jalan Mulia; ia telah menyeberang ke
pantai seberang melalui pemadaman total (Anupà disesa-Nibbà na)
dan berdiam penuh kebahagiaan di sana sebab tidak akan terlahir
kembali.
(Dikutip dari Pathama-Lakuõóaka Bhaddiya Sutta Cåëavagga,
Udà na Pà ëi.)
Khotbah Lain yang Dibabarkan Oleh Thera SÃ riputta
Seperti telah dijelaskan dalam Sutta pertama, selagi masih dalam
posisi duduk, pada nasihat pertama yang diterima (dari Thera
Sà riputta, Thera Lakuõóaka Bhaddiya mencapai kesucian Arahatta.
Namun Thera SÃ riputta tidak mengetahui hal ini (sebab tidak
merenungkannya); berpikir bahwa Bhaddiya masih seorang pelajar.
(Pada hari berikutnya) Thera membabarkan kepadanya secara
terperinci, tentang bagaimana mencapai Kearahattaan, dengan
menggandakan panjang khotbahnya dan menjelaskan banyak
hal bagaikan seorang dermawan yang pada saat diminta sedikit
akan memberi lebih dari yang diminta. Sebaliknya Lakuõóaka
Bhaddiya tidak berpikir “Sekarang aku telah menyelesaikan tugasku
2550
sebagai seorang bhikkhu, apa gunanya Ajarannya ini;” ia tetap
mendengarkan khotbah itu seperti sebelumnya dengan penuh
hormat terhadap Dhamma (Dhamma-gà rava).
Melihat situasi itu, Buddha yang saat itu berdiam di Vihà ra Jetavana
di Sà vatthã, mengucapkan syair berikut melalui kekuatan batin-Nya
sehingga Thera SÃ riputta dapat mengetahui hancurnya kotoran
moral Thera Lakuõóaka Bhaddiya:
Acchecchi vaññaÿ vyagà nirà saÿ
visukkhà sarità na sandati.
Chinnaÿ vaññaÿ na vattati
esevanto dukkhassa.
Dalam diri seorang Arahanta, yang telah menghancurkan
à sava, lingkaran kotoran moral (kilesa-vañña) telah terpotong.
(Catatan: pemotongan lingkaran kotoran moral mengarah kepada
pemotongan lingkaran perbuatan (kamma-vatta). Seorang Arahanta
yang telah menghancurkan à sava mencapai kebahagiaan yang
menakjubkan Nibbà na yang bebas dari kemelekatan. Dalam
diri seorang Arahanta yang telah menghancurkan à sava, sungai
kemelekatan yang mengotori moral yang mengalir deras telah
dikeringkan oleh matahari keempat Arahatta-Magga dalam
aliran lima sungai besar, sebab munculnya matahari keempat
saat dunia sedang berada di ambang kemerosotan. (Kemelekatan,
taõhà ), yaitu pemicu penderitaan, samudaya sacca: sebab itu
melenyapkan kemelekatan berarti melenyapkan segala jenis nafsu.
Yang ditekankan di sini yaitu kemelekatan, taõhà .) tidak mungkin
kemelekatan yang bagai sungai itu dapat mengalir lagi. Lingkaran
perbuatan yang telah dipotong seperti pohon yang tercabut, tidak
akan muncul lagi. (Catatan: pemotongan lingkaran perbuatan akan
menyebabkan pemotongan lingkaran akibat (vipà ka-vañña) yang
mungkin muncul pada masa depan.) Tidak adanya lingkaran akibat
sebab terpotongnya lingkaran nafsu dan perbuatan, yaitu akhir
dari penderitaan.
(Ini yaitu kutipan dari Lakuõóaka Bhaddiya Sutta kedua,
Cåëavagga, Udà na Pà ëi.)
2551
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
Suatu saat , saat Buddha sedang berdiam di Jetavana, Sà vatthã,
sejumlah bhikkhu mengunjungi Beliau. Pada waktu itu Thera
Lakuõóaka Bhaddiya, sesudah mengumpulkan dà na makanan
bersama banyak bhikkhu, memakan makanannya, mencuci
mangkuknya, mengeringkannya, menyimpannya ke dalam tas,
menyandangnya di bahunya dengan seutas tali kain; ia juga melipat
jubah luarnya dan menyampirkannya di bahu kirinya; ia memiliki
semua tingkah laku yang menyenangkan seperti melangkah ke
depan, melangkah ke belakang, menatap ke depan, menatap ke
samping, membungkuk, dan menatap ke bawah. Ia berjalan kaki
mendatangi Buddha dengan pikiran yang terpusat dalam perhatian
(sati) dan pemahaman murni (sampaja¤a) menginjak jejak kaki
depan dengan kaki belakangnya.
Dalam perjalanan itu, ia tidak bergabung dengan para bhikkhu
lainnya tetapi mengikuti mereka dari belakang. Alasan: ia menjalani
kehidupan penyepian (eka-cà rã). Penjelasan lain: perawakan
tubuhnya yang pendek dan jelek akan memancing ejekan dan
cemoohan dari para bhikkhu awam seperti Chabaggãya-bhikkhu
(Kelompok Enam). Mengingat hal ini, Thera berpikir, “Jangan
sampai para bhikkhu awam ini mengembangkan pikiran buruk
terhadapku!”
sebab itu ia mengikuti mereka dari belakang. Demikianlah para
bhikkhu dan Thera tiba di Sà vatthã dan memasuki Vihà ra Jetavana
dan menghadap Buddha.
Melihat penampilan menyenangkan Thera dari jauh, berjalan
mengikuti para bhikkhu dari belakang, Buddha berpikir, “Para
bhikkhu ini tidak mengetahui kemuliaan putra-Ku. sebab itu
para bhikkhu awam ini akan mengejek dan mencemooh putra-Ku.
Perbuatan itu tidak akan memberi manfaat bagi mereka namun
akan menyebabkan penderitaan bagi mereka dalam waktu yang
lama. Sekarang yaitu saatnya bagi-Ku untuk mengungkapkan
kemuliaan putra-Ku dan membebaskannya dari cemoohan dan
ejekan mereka. Maka Buddha bertanya kepada para bhikkhu,
“Apakah kalian melihat, para bhikkhu, bhikkhu yang mengikuti
2552
kalian dari belakang dan diganggu oleh beberapa bhikkhu awam
dengan kata-kata mengolok sebab tubuhnya yang pendek dan
jelek?” “Ya, kami melihatnya, Buddha Yang Agung,” jawab para
bhikkhu. lalu Buddha berkata:
“Para bhikkhu, bhikkhu itu memiliki kekuatan batin yang hebat.
Nyaris tidak ada Jhà na yang belum dicapainya. (Maksudnya
yaitu bahwa bhikkhu itu telah mencapai semua Jhà na seperti
råpa-samà patti, aråpa-samà patti, brahmà vihà ra-samà patti, nirodha-
samà patti, Phala Samà patti. Dengan pernyataan ini, kekuatan
batin Thera diungkapkan.) Thera itu telah mencapai Kearahattaan
dalam kehidupan ini dengan menembusnya melalui kecerdasannya
yang luar biasa—Kearahattaan yang merupakan tujuan termulia
dan praktik mulia yang dicari oleh orang-orang yang memilih
meninggalkan kehidupan rumah tangga untuk menjadi bhikkhu.
(maksudnya yaitu bahwa seorang bhikkhu yang terus-menerus
tercerap di dalam Arahatta-Phala Samà patti. Dengan pernyataan
ini, kekuatan Thera diungkapkan. Arahatta-Phala Samà patti yang
dinikmati oleh para Thera mulia sebagai makanan (Ã nubhava).”
sesudah berkata demikian Buddha juga mengucapkan syair
berikut:
Nelaïgo setapacchà do, ekà ro vattati ratho
anãghaÿ passa à yantaÿ, chinnasotaÿ abandhanaÿ.
Perhatikanlah dengan saksama jasmani bagai kereta dari putra-Ku
Lakuõóaka Bhaddiya. Yang terdiri dari roda, komponen penting dari
sebuah kereta yang menyamai moralitas tanpa cacat Kearahattaan;
atap kereta yang menyamai kebebasan yang putih bersih dari
Kearahattaan, jeruji roda kereta yang menyamai perhatian yang
tanpa banding dari Kearahattaan; jasmani mirip kereta putra-Ku
Bhaddiya berjalan tanpa rintangan bahkan tanpa pelumas. Mengikuti
sejumlah besar bhikkhu dari belakang; ia tidak menderita kotoran;
semua minyak kemelekatan yang mengikutinya telah dilenyapkan,
ia tidak memiliki lagi satu pun dari sepuluh belenggu.
Buddha begitu gembira sebab kemuliaan Thera sehingga Ia
2553
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
menyuruh para bhikkhu lainnya melihat jasmani Thera.
(Ini dikutip dari 5-Apara Lakuõóaka Bhaddiya Sutta, 7-Cåëà Vagga,
Udà na Pà ëi, khu-1).
Kisah dan khotbah lainnya sehubungan dengan Yang Mulia
Lakuïóaka Bhaddiya dapat dibaca dalam Dhammapada Pà ëi dan
Komentar, Theragà thà Pà ëi dan Komentar, dan lain-lain.
(c) Gelar Etadagga
Pada kesempatan lain, sewaktu Buddha sedang berdiam di Jetavana
dan mengadakan pertemuan untuk menganugerahkan gelar
etadagga, Buddha memuji Thera Lakuõóaka Bhaddiya sebagai
berikut:
“Etadaggaÿ bhikkhave mama sà vakà naÿ, bhikkhÃ¥naÿ
ma¤jussarà naÿ yadidam Lakuõóaka Bhaddiyo”, “Para bhikkhu,
Lakuõóaka Bhaddiya yaitu yang terbaik di antara para siswa-Ku
yang bersuara merdu.”
Demikianlah kisah Thera Lakuõóaka Bhaddiya
(8) Piõóola Bhà radvà ja
(a) Cita-cita masa lampau
Bakal Piõóola Bhà radvà ja terlahir di dalam keluarga singa pada
masa kehidupan Buddha Padumuttara yang hidup dan mencari
mangsa di kaki sebuah gunung. Suatu pagi, saat Buddha sedang
mengamati dunia, Ia melihat singa yang berpotensi untuk mencapai
Jalan dan Buahnya, Nibbà na. sebab itu, Buddha mengumpulkan
dà na makanan di Kota Haÿsà vatã dan sore harinya, sewaktu singa
itu sedang mencari makanan, Beliau memasuki sarang singa itu
dan tercerap dalam Nirodha Samà patti dalam posisi duduk bersila
di udara.
saat singa itu kembali dari perburuannya dan berdiri di pintu
2554
masuk gua itu, ia melihat Buddha yang duduk melayang di udara,
ia berpikir, “Orang ini yang datang ke tempatku mampu duduk
demikian. Orang mulia ini pasti sakti dan layak dihormati! sebab
Ia layak dihormati, Ia mampu duduk bersila di udara di dalam
gua ini. Cahaya tubuh-Nya juga memancar ke segala penjuru. Aku
belum pernah melihat keajaiban seperti ini. Orang mulia ini tentu
yaitu yang terbaik di antara semua yang layak dihormati. Aku juga
harus memberi penghormatan semampuku.” Dengan pikiran
demikian, ia membawa segala jenis bunga-bunga yang ada di bumi
ini dari hutan dan menebarkannya di atas tanah hingga setinggi
tempat di mana Buddha sedang duduk. lalu ia berdiri di
depan Buddha, memberi hormat kepada Beliau. Hari berikutnya,
ia membuang bunga-bunga itu dan menebarkan bunga-bunga baru
sebagai tempat duduk. Demikianlah ia menghormati Buddha.
Demikianlah singa itu membuat tempat duduk bunga selama tujuh
hari dan menjadi gembira sebab nya, ia juga bertindak sebagai
penjaga gua untuk menghormati Buddha. Pada hari ketujuh Buddha
bangun dari Nirodha Samà patti dan berdiri di pintu masuk gua.
lalu singa itu mengelilingi Buddha tiga kali dengan Buddha
berada di sisi kanannya, ia memberi hormat dari empat penjuru
dan berdiri di sana sesudah melangkah mundur.
Buddha, menyadari bahwa perbuatan baiknya itu akan membantunya
dalam mencapai Jalan dan Buahnya, Beliau melayang ke angkasa
dan kembali ke vihà ra.
Kehidupan Sebagai Seorang Pedagang Kaya
sebab berpisah dengan Buddha, singa menjadi tidak bahagia dan
saat meninggal dunia, ia terlahir kembali dalam sebuah keluarga
pedagang kaya (Mahà sà la) di Kota Hamsà vatã. Saat ia dewasa, suatu
hari ia pergi bersama para warga dan saat mendengarkan
khotbah Buddha, ia melihat Buddha menganugerahkan seorang
bhikkhu yang terbaik dalam ketegasan kata-katanya tentang Jalan
dan Buahnya. Seperti halnya para Thera sebelumnya, si putra
pedagang itu melakukan Mahà dana kepada Buddha selama tujuh
hari dan bercita-cita untuk mendapatkan gelar yang sama pada
2555
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
masa depan.
Mengetahui bahwa cita-cita orang itu akan tercapai, Buddha
mengucapkan ramalan-Nya. sesudah menerima ramalan, si putra
pedagang melakukan banyak kebajikan hingga akhir hidupnya.
Saat meninggal dunia, ia jauh dari alam sengsara selama seratus
ribu kappa melainkan terlahir kembali silih berganti di alam dewa
dan alam manusia.
(b) Kehidupan pertapaan dalam kehidupan terakhir
sesudah mengembara di alam manusia dan alam dewa silih
berganti, Piõóola terlahir kembali dalam keluarga brahmana kaya
di Kota RÃ jagaha pada masa kehidupan Buddha kita dan bernama
Bhà radvà ja.
Nama Piõóola Bhà radvà ja
saat Bhà radvaja menginjak usia sekolah, ia memelajari tiga Veda
dan sesudah menyelesaikan pelajarannya, ia menjadi seorang guru
yang pergi dari suatu tempat ke tempat lain, mengajar lima ratus
pemuda brahmana. sebab ia yaitu seorang guru, di setiap tempat,
ia selalu menerima makanan secara berlebihan. sebab ia agak
serakah dalam hal makanan, ia selalu mencari makanan bersama
para muridnya, bertanya, “Di manakah tersedia bubur? Di manakah
tersedia nasi?” sebab kegemarannya akan makanan di mana pun ia
berada, ia menjadi dikenal sebagai Piõóola Bhà radvà ja, “Bhà radvà ja
si pencari makanan.”
Nama Tetap Dipertahankan Bahkan sesudah Menjadi Bhikkhu
Pada suatu saat Piõóola Bhà radvà ja menderita kesulitan
ekonomi dan jatuh miskin. Suatu hari Buddha datang ke RÃ jagaha
dan membabarkan khotbah. sesudah mendengarkan khotbah itu,
brahmana menjadi berkeyakinan dan ditahbiskan menjadi seorang
bhikkhu.
Mereka yang bergabung dalam Saÿgha biasanya dikenal dengan
2556
nama keluarga mereka. sebab itu, sang bhikkhu seharusnya
dikenal sebagai Bhà radvà ja. Tetapi tidak demikian; ia dipanggil
dengan nama Thera Piõóola Bhà radvà ja. Alasannya yaitu sebab
ia membawa mangkuk berbentuk kendi dan memakan semangkuk
penuh bubur, atau semangkuk penuh kue, dan semangkuk penuh
nasi. Maka para bhikkhu lain memberitahu Buddha tentang
kerakusan si bhikkhu.
Buddha melarangnya memakai tas untuk menyimpan
mangkuknya. Maka si bhikkhu miskin ini terpaksa
menyimpannya di bawah dipan dengan posisi terbalik. saat
menyimpannya ia mendorongnya ke bawah dipan hingga terjadi
gesekan antara bibir mangkuk dengan tanah yang kasar. saat ia
mengambilnya, juga terjadi gesekan yang sama. Seiring berlalunya
waktu, sebab gesekan terus-menerus, mangkuk yang semula
berukuran sebesar kendi besar menjadi sebuah mangkuk yang
berkapasitas sebanyak nasi yang berasal dari beras sebanyak
satu satuan ambaõa. Para bhikkhu melaporkan hal itu kepada
Buddha yang mulai saat itu mengizinkan Thera memakai tas.
Demikianlah Thera bagaikan seorang yang menjadi bhikkhu demi
mendapatkan makanan, sebab itu ia dikenal dengan nama Piõóola;
sebab ia berasal dari keluarga Bhà radvà ja, ia bernama Bhà radvà ja.
Juga sesudah menjadi seorang bhikkhu, ia tetap dipanggil Piõóola
Bhà radvà ja, nama dengan dua kata.
Suatu saat , saat ia berusaha mengembangkan indrianya (indriya-
bhà vanà ) ia berhasil mencapai Arahatta-Phala dan menjadi seorang
Arahanta.
sesudah mencapai kesucian Arahatta, ia bepergian dari suatu tempat
ke tempat lainnya, dari suatu vihà ra ke vihà ra lainnya, membawa
tongkat besi melengkung yang digunakan sebagai kunci dan dengan
berani mengucapkan raungan singa, “Mereka yang memiliki
keraguan sehubungan dengan Jalan dan Buahnya, boleh bertanya
kepadaku!” (Kisah lengkap mengenai hal ini dapat dibaca dalam
terjemahan Piõóolabhà radvà ja Sutta, Jarà vagga, Indriya-saÿyutta,
dalam Mahà Vagga dari Saÿyutta Nikà ya.)
2557
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
Suatu hari, sesudah dengan kekuatan batinnya ia mengambil
mangkuk cendana yang digantung di atas batang-batang bambu
yang sambung-menyambung yang tingginya enam puluh lengan
oleh seorang pedagang kaya dari RÃ jagaha; diiringi oleh sorakan
para warga , Thera datang ke Vihà ra Veëuvana dan menyerahkan
mangkuk itu kepada Buddha. Meskipun mengetahui, Buddha
tetap menanyakan, “Putra-Ku Bhà radvà ja, dari manakah engkau
mendapatkan mangkuk ini?” sesudah dijelaskan oleh Thera, Guru
berkata, “Engkau, anak-Ku, telah memperlihatkan Uttarimanussa
Dhamma, yaitu, Jhà na, Magga, dan Phala yang melampaui Sepuluh
Perbuatan Baik umat manusia (Kusala-kamma-patha) (hanya demi
perolehan yang tidak berarti). Engkau, anak-Ku, telah melakukan
sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan!” Dimulai dengan
kata-kata ini, Buddha memarahi Thera dalam berbagai cara dan
menetapkan larangan untuk memperlihatkan kesaktian.
Selanjutnya terjadi tiga jenis pembicaraan di antara para bhikkhu
sehubungan dengan tingkah lakunya: (1) Yang Mulia Piõóola
Bhà radvà ja, dikenal sebagai Thera Sãhainà diya, sebab ia memiliki
kebiasaan mengucapkan kata-kata berani, pada hari ia mencapai
kesucian Arahatta, ia dengan berani mengucapkan, “Mereka
yang memiliki keraguan sehubungan dengan Jalan dan Buahnya,
boleh bertanya kepadaku!,” (2) “Ia melaporkan pencapaian
Kearahattaannya kepada Buddha; para Thera lainnya tetap diam.”
(3) “Sang Thera memiliki kebiasaan bertutur-kata berani dan
menyenangkan orang lain; ia terbang dan mengambil mangkuk
cendana dari pedagang RÃ jagaha.” Para bhikkhu melaporkan tiga
tingkah laku ini kepada Buddha.
yaitu sifat para Buddha untuk menyalahkan apa yang seharusnya
disalahkan dan memuji apa yang seharusnya dipuji, Buddha
mengetahui apa yang layak dipuji, dan mengucapkan pujian:
“Para bhikkhu, dengan mengembangkan tiga keterampilan dan
dengan berulang-ulang merenungkannya, Bhikkhu Bhà radvà ja
menyatakan Kearahattaannya, mengucapkan ‘Aku mengetahui
bahwa tidak ada lagi kelahiran kembali bagiku, bahwa aku telah
melakukan praktik mulia, bahwa apa yang harus dilakukan telah
2558
dilakukan dan aku tidak perlu melakukan apa pun lagi sehubungan
dengan Jalan!’”
“Apakah tiga keterampilan itu? Keterampilan perhatian (satindriya),
keterampilan konsentrasi (samà dhindriya), keterampilan
kebijaksanaan (pa¤¤indriya); dengan berulang-ulang merenungkan
tiga hal itu, ia menyatakan pencapaian Kearahattaannya, dengan
mengatakan, ‘Aku mengetahui bahwa tidak ada lagi kelahiran
kembali bagiku, bahwa aku telah melakukan praktik mulia, bahwa
apa yang harus dilakukan telah dilakukan dan aku tidak perlu
melakukan apa pun lagi sehubungan dengan Jalan!’”
“Para bhikkhu, dan apakah akhir dari tiga keterampilan itu? Tiga
itu berakhir dengan membawa penghancuran. Penghancuran
apakah? Penghancuran kelahiran kembali, usia tua, dan kematian.
Para bhikkhu, sebab ia mengetahui dengan baik bahwa tidak ada
lagi kelahiran kembali, usia tua, dan kematian, Bhikkhu Bhà radvà ja
menyatakan Kearahattaannya: ‘Aku mengetahui bahwa tidak ada
lagi kelahiran kembali bagiku, bahwa aku telah melakukan praktik
mulia, bahwa apa yang harus dilakukan telah dilakukan dan aku
tidak perlu melakukan apa pun lagi sehubungan dengan Jalan!’”
Demikianlah Buddha memuji Thera Piõóola Bhà radvaja.
Yang Mulia Thera inilah yang membabarkan khotbah kepada
Raja Udena dari Kosambi dan membantunya menjadi seorang
umat awam yang berlindung di dalam Tiga Permata. (Merujuk
pada terjemahan Saëà yatana Vagga dari Saÿyutta Nikà ya untuk
penjelasan lengkap mengenai hal ini.)
(c) Gelar Etadagga
Sewaktu mengadakan pertemuan untuk menganugerahkan gelar
etadagga kepada para bhikkhu, Buddha memuji Piõóola Bhà radvà ja
sebagai berikkut:
“Para bhikkhu, di antara para bhikkhu siswa-Ku yang dengan
berani mengucapkan raungan singa, Bhikkhu Piõóola Bhà radvà ja
2559
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
yaitu yang terbaik!” demikianlah Buddha menunjuk Yang Mulia
Piõóola Bhà radvà ja sebagai pemegang gelar etadagga dalam hal
Sãnhanà dika, “Mengucapkan raungan singa.”
Demikianlah kisah Thera Piõóola Bhà radvà ja
(9) Thera Mantà õiputta Puõõa
(Nama asli Thera yaitu Puõõa. sebab ia yaitu putra dari adik
perempuan Thera Koõóa¤¤a, si brahmana perempuan bernama
Mantà õã, ia dikenal dengan nama Thera Mantà õiputta Puõõa.)
(a) Cita-cita masa lampau
Orang yang kelak menjadi Yang Mulia Mantà õãputta Thera lahir
dalam sebuah keluarga brahmana kaya di Kota Haÿsà vatã sebelum
Buddha Padumuttara muncul seratus ribu kappa yang lalu. Pada hari
pemberian nama, orangtuanya menamainya Gotama.
Saat menginjak usia sekolah, si pemuda brahmana, putra
brahmana kaya, memelajari tiga Veda dan menjadi terampil
dalam segala keahlian. Sewaktu mengembara dari suatu tempat ke
tempat lainnya bersama lima ratus pemuda (yang yaitu murid-
muridnya) ia merenungkan Veda dan melihat bahwa Veda tidak
akan membebaskan dari saÿsà ra, ia berpikir, “Bagaikan batang
pohon pisang, Veda ini halus di luar tetapi tidak ada inti apa pun
di dalamnya. Pengembaraanku yang melekat pada Veda bagaikan
perbuatan menggiling sekam untuk mendapatkan beras. Apa
gunanya tiga Veda ini? Tidak ada gunanya sama sekali bagiku.”
Ia merenungkan lagi, “Aku akan menjalani kehidupan pertapaan
dan mengembangkan Brahmà vihà ra Jhà na. Sebagai seorang yang
tidak pernah jatuh dari Jhà na itu, aku akan terlahir kembali di
alam brahmà .” Dengan pikiran demikian, ia bersama lima ratus
pemuda muridnya pergi ke kaki bukit dan menetap di sana sebagai
petapa.
Para pengikut Petapa Gotama berjumlah delapan belas ribu orang.
Guru Gotama sendiri berhasil mencapai lima kekuatan batin Lokiya
2560
dan delapan Lokiya Jhà na dan mengajarkan kepada delapan belas
ribu muridnya tentang bagaimana mengembangkan konsentrasi
pikiran melalui objek tertentu. Mengikuti ajaran guru mereka,
delapan belas ribu murid ini juga berhasil menguasai lima
kekuatan batin Lokiya dan delapan Lokiya Jhà na.
Demikianlah, seiring berjalannya waktu, saat Guru, Petapa
Gotama, telah berusia lanjut, Buddha Padumuttara menetap di
tengah-tengah seratus ribu bhikkhu dengan Kota Haÿsà vatã sebagai
sumber dà na makanan-Nya. Ia menjadi Buddha dan membabarkan
Khotbah Pertama. Suatu hari saat Buddha mengamati dunia
makhluk-makhluk hidup, Buddha melihat potensi dari para petapa
murid Gotama ini .
Ia juga mengetahui bahwa “Pada satu kunjungan, Petapa Gotama
akan bercita-cita untuk mencapai gelar etadagga di antara mereka
yang mampu mengajarkan Dhamma dengan baik dalam masa
pengajaran Buddha mendatang.” sebab itu Beliau membersihkan
diri, membawa mangkuk dan jubah-Nya, dan pergi dengan
menyamar sebagai seorang yang tidak dikenal dan berdiri di pintu
masuk menuju pertapaan Gotama sewaktu para murid petapa itu
sedang pergi mencari tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan.
Walaupun ia belum mengetahui bahwa Buddha Padumuttara telah
muncul, si Petapa Gotama saat melihat Buddha dari jauh menebak,
“Melihat kesempurnaan fisik tamu mulia ini, pribadi yang demikian
akan menjadi seorang raja dunia jika ia menjalani kehidupan rumah
tangga; tetapi jika ia menjalani kehidupan pertapaan, ia akan menjadi
seorang Buddha Sejati Yang Mahatahu, yang akan membuka lebar-
lebar atap kilesa. Orang yang sedang mendekat itu terlihat seperti
seorang yang terbebas dari tiga alam.” Segera saat ia melihat Buddha,
ia membungkukkan kepalanya dengan penuh hormat dan berkata,
“Buddha Yang Agung, silakan lewat sini!” sambil berkata demikian,
ia menyediakan tempat duduk dan mempersembahkannya kepada
Buddha. Buddha Padumuttara lalu duduk dan membabarkan
Dhamma kepada Gotama.
Pada saat itu, para murid petapa kembali dengan pikiran “Kami akan
2561
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
mempersembahkan buah-buahan dan akar-akaran yang baik untuk
guru kami dan kami akan memakan sisanya,” mereka terkesima
melihat pemandangan Buddha yang duduk di tempat yang lebih
tinggi dan guru mereka di tempat yang lebih rendah.
“Lihat, kita telah mengembara dengan kesan bahwa tidak ada
seorang pun yang lebih mulia daripada guru kita di dunia ini.
Sekarang, jelas terlihat seorang manusia luar biasa yang membiarkan
guru kita duduk di tempat yang rendah sedangkan diri-Nya
duduk di tempat yang lebih tinggi. Orang mulia itu pasti sungguh
terhormat!” dengan pikiran demikian mereka membawa keranjang
buah-buahan mereka. Guru Gotama khawatir bahwa murid-
muridnya akan menyembahnya di depan Buddha, maka ia berkata
dari jauh, “Murid-murid, jangan menyembahku! Yang tertinggi di
seluruh dunia makhluk-makhluk hidup termasuk para dewa dan
brahmà yang layak dipuja oleh semua makhluk telah duduk di sini.
Sembahlah Beliau!” Memercayai guru mereka bahwa ia tidak akan
mengatakan sesuatu yang tidak ia ketahui, mereka semua bersujud
di kaki Buddha.
“Murid-murid, aku tidak memiliki makanan untuk dipersembahkan
kepada Buddha. Marilah kita mempersembahkan buah-buahan
dan akar-akaran ini.” Dengan berkata demikian, ia memasukkan
buah dan akar pilihan ke dalam mangkuk Buddha. Hanya sesudah
Buddha telah memakan buah-buahan dan akar-akaran itu, si petapa
dan murid-muridnya memakan bagian mereka.
sesudah memakan buah-buahan itu, Buddha berkehendak “Agar dua
Siswa Utama-Ku datang bersama seratus ribu bhikkhu.” Pada saat
itu, Siswa Utama Thera Mahà devala, merenungkan, “Ke manakah
Yang Mulia pergi?” dan mengetahui bahwa “Buddha menginginkan
kedatangan kami,” ia segera pergi ke tempat Buddha bersama seratus
ribu bhikkhu, dan berdiri dengan kepala dibungkukkan.
Gotama, sang guru, berkata kepada murid-muridnya, “Murid-
murid, kita tidak memiliki apa pun untuk dipersembahkan kepada
para bhikkhu. Mereka terpaksa berdiri. Marilah kita membuat
tempat-tempat duduk dari bunga untuk dipersembahkan kepada
2562
Saÿgha yang dipimpin oleh Buddha. Bawalah bunga-bunga air
dan darat, cepat!” Para murid petapa ini segera membawa
bunga-bunga harum dengan kekuatan batin mereka dari kaki bukit.
Dan dengan cara yang sama seperti diceritakan dalam kisah Thera
SÃ riputta, mereka membuat tempat-tempat duduk bunga. Buddha
dan para bhikkhu yang berdiam di dalam Nirodha Samà patti Jhà na,
memegang payung bunga, menaungi mereka oleh para petapa dan
lain-lainnya juga harus dipahami dengan cara yang sama seperti
yang telah diceritakan dalam kisah Thera SÃ riputta.
Pada hari ketujuh saat Buddha bangun dari Nirodhasamà patti
Jhà na, Ia melihat para petapa yang mengelilingi-Nya dan berkata
kepada seorang bhikkhu yang mendapat gelar etadagga dalam hal
pembabaran Dhamma, “Anak-Ku, para petapa ini telah melakukan
jasa besar. Engkau, anak-Ku, babarkanlah khotbah kepada mereka
sebagai penghargaan atas persembahan tempat duduk bunga ini.”
Arahanta, yang mendapat gelar etadagga, menerima perintah
itu dengan hormat dan menyampaikan khotbah penghargaan
sesudah merenungkan Tiga Piñaka. Pada akhir khotbah ini ,
Buddha sendiri membabarkan Dhamma sebagai tambahan untuk
mengarahkan mereka menuju pencapaian Jalan dan Buah dengan
suara yang menyerupai suara brahmà . Saat khotbah berakhir,
delapan belas ribu petapa itu mencapai Kearahattaan kecuali guru
mereka Gotama.
Sang guru, tidak mampu menembus Kebenaran dalam kehidupannya
saat itu. Ia bertanya kepada Buddha, “Buddha Yang Agung, siapakah
bhikkhu yang memberi khotbah tadi?” Buddha menjawab,
“Petapa Gotama, bhikkhu yang pertama membabarkan Dhamma
bergelar etadagga di antara mereka yang mampu membabarkan
Dhamma dengan baik dalam pengajaran-Ku.” Gotama berkata,
“Buddha Yang Agung, sebagai akibat dari kebajikanku dalam
memberi pelayanan (adhikà ra) kepada-Mu, semoga aku, seperti
halnya bhikkhu yang membabarkan Dhamma tadi, mendapatkan
gelar etadagga sebagai yang terbaik di antara para pengkhotbah yang
baik dalam masa pengajaran Buddha mendatang.” Sambil berkata
demikian, ia bersujud di kaki Buddha.
2563
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
Buddha melihat ke masa depan dan mengetahui bahwa cita-
cita Gotama itu akan tercapai tanpa rintangan. Maka Beliau
mengucapkan ramalan, “Pada masa depan, seratus ribu kappa
dari sekarang, Buddha Gotama akan muncul. lalu engkau
akan menjadi yang terbaik di antara para pengkhotbah Dhamma
yang baik!” dan lalu Ia menahbiskan para murid petapa
yang telah menjadi para Arahanta, “Datanglah, Bhikkhu!” (“etha
bhikkhavo!”). Selanjutnya rambut dan janggut semua petapa itu
lenyap (tanpa dicukur); mereka sesaat menjadi berjubah, lengkap
dengan mangkuk dan jubah yang diciptakan melalui kekuatan batin,
penampilan petapa mereka lenyap dan mereka menjadi bhikkhu
seperti para Thera yang telah bergabung dalam Saÿgha selama
enam puluh tahun atau berusia delapan puluh tahun. Buddha
Padumuttara kembali ke vihà ra bersama seluruh bhikkhu.
(b) Kehidupan pertapaan dalam kehidupan terakhir.
sesudah memberi pelayanan kepada Buddha hingga akhir
hidupnya dan melakukan banyak kebajikan sebatas kemampuannya,
Petapa Gotama terlahir kembali hanya di alam dewa atau di alam
manusia selama seratus ribu kappa. Pada waktu Buddha kita
muncul, ia terlahir kembali dalam sebuah keluarga brahmana kaya
di Desa Brahmana Doõavatthu. Anak itu diberi nama Puõõa oleh
orangtua dan sanak saudaranya.
sesudah mencapai Jalan Kebijaksanaan Kearahattaan dan
Kemahatahuan, Buddha membabarkan Khotbah Pertama dan
dalam perjalanan-Nya Beliau menetap di suatu tempat dengan
Rà jagaha sebagai sumber dà na makanan-Nya. Sewaktu Buddha
sedang berdiam di sana, Thera A¤¤Ã si Koõóa¤¤a datang ke Desa
Brahmana Doõavatthu, di dekat Kapilavatthu, dan menahbiskan
pemuda Puõõa, keponakannya (putra dari adik perempuannya),
dan mengajarkan kepadanya bagaimana melatih diri sebagai seorang
bhikkhu. Keesokan harinya ia mengunjungi Buddha dan sesudah
memberi hormat dan meminta izin, ia pergi ke Hutan Chaddanta
dan menetap di sana hingga meninggal dunia.
Thera Mantà nãputta Puõõa, tidak pergi bersama pamannya (kakak
2564
dari ibunya) mengunjungi Buddha, sebab ia berpikir, “Aku
akan mengunjungi Buddha hanya sesudah aku mencapai kesucian
Arahatta, puncak dari tugas-tugasku sebagai seorang bhikkhu.”
Maka ia tetap tinggal di Kota Kapilavatthu. Dan saat ia berusaha
keras, akhirnya ia mencapai Kearahattaan.
Yang Mulia Mantà õiputta menahbiskan lima ratus orang. sebab ia
sendiri menjalani praktik sepuluh bentuk ucapan (kathà -vatthu*),
kepada lima ratus bhikkhu itu ia juga memberi nasihat yang
melibatkan sepuluh bentuk ucapan ini. Mengikuti nasihat guru
mereka, seluruh lima ratus bhikkhu itu berusaha memenuhi
tugas-tugas pertapaan mereka dan akhirnya mencapai kesucian
Arahatta.
(*Catatan: sepuluh bentuk ucapan (katthà -vatthu) yaitu : (1)
apiccha-katthà , ucapan sehubungan dengan sedikit keinginan,
(2) santaññhi-kathà , ucapan sehubungan dengan mudah puas,
(3) paviveka-kathà , ucapan sehubungan dengan penyepian, (4)
asaüsagga-kathà , ucapan sehubungan dengan kebebasan dari lima
kontak, (5) viriya-kathà , ucapan sehubungan dengan ketekunan,
(6) sãla-kathà , ucapan sehubungan dengan moralitas, (7) samà dhi-
kathà , ucapan sehubungan dengan semadi, (8) pa¤¤Ã -kathà , ucapan
sehubungan dengan kebijaksanaan, (9) vimutthi-katthà , ucapan
sehubungan dengan pembebasan, (10) paccavekkhaõà -kathà , ucapan
sehubungan dengan kebijaksanaan perenungan. sebab ia menjalani
sepuluh bentuk ucapan ini, maka ia juga memberi sepuluh
nasihat ini kepada para pengikutnya.)
Mengetahui puncak (Kearahattaan) dari tugas-tugas pertapaan
mereka, lima ratus bhikkhu itu mendatangi penahbis mereka
(upajjhà ya), Thera Mantà õiputta dan melayaninya. Mereka
berkata, “Yang Mulia, tugas-tugas pertapaan kami telah mencapai
puncaknya—Kearahattaan. Telah tiba waktunya bagi kami untuk
menemui Yang Agung.” Mendengar kata-kata para bhikkhu ini ,
Thera berpikir, “Buddha Yang Agung mengetahui latihanku dalam
sepuluh bentuk ucapan. saat aku memberi khotbah, aku selalu
menekankan ucapan demikian. Jika sekarang aku pergi bersama
mereka, pasti mereka akan berada di sekelilingku. Tidaklah tepat
2565
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
jika aku mengunjungi Buddha dengan dikelilingi oleh para bhikkhu.
Biarlah mereka pergi terlebih dahulu dan lebih dulu bertemu dengan
Buddha.” Dengan pikiran demikian ia berkata kepada para bhikkhu,
“Teman-teman, silakan kalian pergi lebih dulu dan menjumpai
Buddha sebelum aku. Juga kalian harus bersujud di kaki Buddha
atas namaku. Aku akan mengikuti jalan yang kalian tempuh.”
Lima ratus bhikkhu itu, yang semuanya yaitu warga asli
Kapilavatthu di mana Buddha dilahirkan, yang seluruhnya yaitu
Arahanta yang bebas dari à sava dan yang telah dengan mudah
mempraktikkan sepuluh bentuk ucapan, tidak mengabaikan nasihat
penahbis mereka; dan saat mereka melakukan perjalanan, mereka
tiba di Vihà ra Veëuvana, Rà jagaha sesudah menempuh jarak enam
puluh yojanà . sesudah bersujud di kaki Buddha, mereka duduk di
tempat yang semestinya.
yaitu kebiasaan para Buddha (dhammatà -à ciõõa) untuk saling
bertukar sapa dengan para tamu, Buddha mengucapkan kata-kata
sambutan yang hangat dengan menanyakan, “Bagaimana kabar
kalian para bhikkhu? Apakah kalian dalam keadaan baik dan
sehat?” dan seterusnya. Beliau juga mengajukan pertanyaan, “Dari
manakah kalian berasal?” “Kami berasal dari Kapilavatthu, tempat
kelahiran-Mu,” jawab para bhikkhu. lalu Buddha bertanya,
“Di antara para bhikkhu di Kapilavatthu, tempat kelahiran-Ku,
siapakah yang dipuji oleh para bhikkhu lainnya sebagai seorang
yang sedikit keinginan, dan sebagai orang yang selalu mengucapkan
kata-kata Dhamma yang berhubungan dengan sedikit keinginan?”
Sebagai pendahuluan Buddha mengajukan pertanyaan ini tentang
bhikkhu yang mempraktikkan sepuluh bentuk ucapan tanpa
kesulitan. Jawaban tunggal yang diberikan oleh lima ratus bhikkhu
itu yaitu , “Yang Mulia, dia yaitu Thera Mantà õiputta Puõõa.”
Mendengar jawaban ini , Thera SÃ riputta sangat berkeinginan
untuk bertemu dengan Thera Mantà õiputta Puõõa.
Selanjutnya Buddha pergi dari Rà jagaha menuju Sà vatthã.
Mengetahui kunjungan Buddha ke Sà vatthã, Thera Puõõa melakukan
perjalanan sendirian menuju Sà vatthã dan bertemu Buddha secara
langsung (tanpa didahului oleh seorang bhikkhu pun juga).
2566
Buddha membabarkan khotbah sehubungan dengan sepuluh
bentuk ucapan (Kathà vatthu). sesudah mendengarkan khotbah itu,
Thera bersujud kepada Buddha dan pergi ke Hutan Andhavana
untuk berdiam dalam kesunyian dan melewatkan harinya di
bawah sebatang pohon. Mendengar bahwa Thera sedang dalam
perjalanan menuju Andhavana, Yang Mulia SÃ riputta mengikutinya
dengan terus-menerus melihat kepala Thera dari belakang agar ia
tidak kehilangan. sesudah menunggu kesempatan, malam harinya
Thera Sà riputta mendekati pohon itu (di mana Thera Puõõa
berada). sesudah saling bertukar sapa, Thera SÃ riputta mengajukan
pertanyaan tentang tujuh kesucian (visuddhi). Thera Puõõa
menjawab semua pertanyaan yang diajukan oleh Thera SÃ riputta.
lalu mereka saling mengucapkan penghargaan atas diskusi
Dhamma mereka itu. (Kisah lengkap mengenai hal ini terdapat
dalam 4-Rathavinãta Sutta, Opamma Vagga 3, Målapaõõà sa dari
Majjhima Nikà ya).
(c) Gelar Etadagga
saat Buddha menganugerahkan gelar etadagga, Beliau memuji
Thera Mantà õiputta Puõõa:
“Etadaggaÿ bhikkhave mama sà vakà naÿ bhikkhÃ¥naÿ
dhammakathikà naÿ yadidaÿ Puõõo Mantà õi-putto,” “Para
bhikkhu, di antara para bhikkhu yang membabarkan Dhamma,
Mantà õiputta Puõõa yaitu yang terbaik.”
Demikianlah Buddha menempatkan Thera sebagai yang terbaik di
antara para pembabar Dhamma yang baik.
Demikianlah kisah Thera Mantà õiputta Puõõa
(10) Thera Kaccà yana
(a) Cita-cita masa lampau
Si orang baik, bakal Thera Kaccà yana, dibesarkan dalam sebuah
keluarga pada masa kehidupan Buddha Padumuttara. Suatu hari,
2567
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
ia pergi ke vihà ra dan berdiri di belakang para hadirin untuk
mendengarkan khotbah. Melihat Buddha sedang menganugerahkan
gelar etadagga kepada seseorang di antara mereka yang mampu
menjelaskan secara analitis Dhamma yang telah diucapkan secara
ringkas. lalu ia berpikir, “Bhikkhu ini sungguh hebat! Ia dipuji
oleh Buddha Yang Agung (sebagai yang terbaik di antara mereka
yang mampu menjelaskan dan mengajarkan secara terperinci
(apa yang diajarkan secara singkat oleh Buddha), aku juga harus
menjadi seorang bhikkhu yang mendapat gelar seperti itu pada
masa pengajaran Buddha mendatang.” Dengan pikiran demikian, ia
mengundang Buddha dan melakukan DÃ na besar selama tujuh hari
dengan cara yang telah dijelaskan sebelumnya. “Yang Agung,” orang
itu berkata, “Sebagai akibat mahà dà na yang kulakukan selama tujuh
hari, aku tidak menginginkan kebahagiaan lain. Sesungguhnya,
aku ingin memperoleh gelar etadagga seperti bhikkhu yang
mendapatkan gelar itu tujuh hari yang lalu (sebagai yang terbaik di
antara mereka yang mampu menjelaskan dan mengajarkan secara
terperinci apa yang diajarkan secara singkat oleh Buddha),” sesudah
berkata demikian, ia bersujud di kaki Buddha.
saat Buddha Padumuttara melihat ke masa depan, Beliau
mengetahui bahwa cita-cita orang itu akan tercapai; sebab itu
Buddha mengucapkan ramalan, “O sahabat, di akhir seratus ribu
kappa dari sekarang akan muncul Buddha Gotama. Dalam masa
pengajaran-Nya, engkau akan menjadi seorang yang mendapat
gelar etadagga di antara mereka yang mampu menjelaskan
secara terperinci ajaran yang diajarkan secara singkat.” sesudah
membabarkan khotbah penghargaan, Buddha meninggalkan tempat
itu.
Menyumbangkan Bata Emas
sesudah melakukan banyak kebajikan hingga akhir hidupnya, orang
itu mengembara di alam dewa dan manusia selama seratus ribu
kappa dan terlahir dalam sebuah keluarga baik di Kota Bà rà õasã
pada masa kehidupan Buddha Kassapa. Saat Buddha Parinibbà na,
orang itu mendatangi lokasi pembangunan cetiya. Di sana ia
menyumbangkan bata-bata emas senilai seratus ribu keping uang
2568
sebagai penghormatan kepada Buddha dan berkata, “Buddha Yang
Mulia, di alam mana pun aku dilahirkan, semoga tubuhku berwarna
keemasan!”
(b) Kehidupan pertapaan dalam kehidupan terakhir
sesudah melakukan banyak kebajikan, ia terlahir kembali di alam
dewa dan alam manusia selama satu asaïkhyeyya-kappa selama
selang waktu antara dua Buddha, dan pada masa kehidupan
Buddha kita, ia menjadi putra Purohita di Kota Ujjenã. Pada hari
pemberian nama, ayahnya berkata, “Putraku yang berkulit keemasan
telah memberi nama untuk dirinya sendiri.” sebab itu anak itu
diberi nama Kaccà na (emas) oleh orangtua dan sanak saudaranya.
saat dewasa, anak emas itu menguasai tiga Veda, saat ayahnya,
Purohita, meninggal dunia, ia mewarisi posisi yang sama. Ia
sebagai Purohita juga dikenal dengan nama sukunya yaitu Kaccà na.
(pemendekan dari Kaccà yana).
Raja Caõóapajjota memanggil para menterinya dan berkata, “Para
menteri, seorang Buddha telah muncul di dunia ini. Jika ada di
antara kalian yang mampu mendatangkan Beliau, silakan lakukan.”
Para menteri sepakat menjawab, “Tuanku, tidak seorang pun kecuali
Purohita Kaccà na yang mampu melakukannya; ia akan mampu
mendatangkan Buddha,” maka raja memanggilnya dan berkata,
“Teman Kaccà na, pergi dan bawalah Buddha kepadaku.” “Tuanku,”
jawab Kaccà na, “Aku akan pergi jika aku mendapat izin untuk
menjadi seorang bhikkhu.” “Teman Kaccà na, lakukanlah apa yang
ingin engkau lakukan, tetapi bawalah Buddha kepadaku.” Dengan
kata-kata raja memberi izinnya.
Berpikir bahwa, “Mereka yang pergi menemui Buddha sebaiknya
tidak pergi dalam rombongan besar,” ia pergi menemui Buddha
dengan beberapa orang lainnya, ia yaitu orang kedelapan (ia hanya
mengajak tujuh orang untuk menyertainya). lalu Buddha
membabarkan khotbah. Pada akhir khotbah itu, Purohita Kaccà na
mencapai kesucian Arahatta beserta tujuh orang pendampingnya,
semuanya memiliki Pengetahuan Analitis (Pañisambhidà -patta).
lalu Buddha merentangkan tangan-Nya dan mengucapkan,
2569
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
“Datanglah, Bhikkhu!” rambut dan janggut delapan orang itu
sesaat lenyap; mangkuk dan jubah yang diciptakan melalui
kekuatan batin (iddhimaya) muncul di tubuh mereka. Mereka
berpenampilan seperti para Thera yang telah enam puluh atau
delapan puluh tahun bergabung di dalam Saÿgha.
sesudah mencapai puncak dari tugas-tugasnya sebagai seorang
bhikkhu (yaitu Kearahattaan), Thera Kaccà yana tidak lalai, ia
memohon agar Buddha sudi berkunjung ke Kota Ujjenã dengan
mengucapkan syair-syair yang memuji perjalanan itu seperti yang
dilakukan oleh Yang Mulia Thera Kà ëudà yã. Mendengar kata-
kata Thera Kaccà na, Buddha mengetahui “Kaccà na ingin Aku
mengikutinya ke Ujjenã. Para Buddha tidak pergi ke suatu tempat
yang tidak layak dikunjungi sebab beberapa alasan.” Oleh sebab
itu Beliau berkata kepada Thera Kaccà na, “Anak-Ku, engkau
pergilah sendiri ke Ujjenã. Jika engkau pergi, Raja Caõóapajjota
akan gembira.”
Mengetahui bahwa “Para Buddha tidak pernah mengucapkan
kata-kata yang meragukan,” Thera bersujud dengan penuh
hormat dan berangkat ke Kota Ujjenã bersama tujuh bhikkhu yang
mendampinginya.
Dua Putri dari Dua Pedagang
Dalam perjalanan menuju Ujjenã, Thera mengumpulkan dà na
makanan di Kota Telapanà ëi di tengah perjalanannya. Di kota itu,
hiduplah dua orang putri dari dua orang pedagang. Dari kedua putri
itu, yang pertama berasal dari keluarga pedagang yang usahanya
gagal. saat orangtuanya meninggal dunia, ia terpaksa hidup
mengandalkan pengasuhnya. Tetapi ia memiliki tubuh yang sehat
dan cantik; rambutnya lebih panjang dari perempuan lainnya, lebih
halus dan lebih lembut, hitam bagaikan kumbang. Putri lainnya
yang hidup di kota yang sama, memiliki rambut yang lebih sedikit.
Sebelum kedatangan Thera Kaccà na, ia mencoba untuk membeli
rambut dari perempuan yang memiliki rambut yang indah melalui
seorang utusan dengan pesan bahwa ia akan membayar seratus
atau seribu atau berapa pun harga yang diminta. Tetapi pemilik
2570
rambut itu menolak menjual rambutnya dan ia tidak berhasil
mendapatkannya.
Pada hari Thera Kaccà na datang untuk menerima dà na makanan,
perempuan berambut indah itu melihat Thera disertai oleh tujuh
bhikkhu tetapi mangkuk mereka kosong. lalu ia berpikir,
“Keturunan brahmà berkulit keemasan telah datang dengan
mangkuk kosong tetapi aku tidak mempunyai apa pun yang dapat
dipersembahkan. Perempuan itu telah mengutus seseorang untuk
membeli rambutku. Sekarang aku akan mendapatkan banyak
persembahan untuk Thera mulia itu dengan uang hasil penjualan
rambutku.” Maka ia mengutus pengasuhnya untuk mengundang
Thera dan menyediakan tempat duduk di rumahnya.
saat para Thera telah duduk, si perempuan masuk ke kamar
dan meminta pengasuhnya untuk memotong rambutnya dan
mengutusnya dengan berkata, “Ibu, pergilah dan berikan rambut
ini kepada perempuan itu dan terimalah berapa pun yang yang
akan ia bayarkan. Kita harus mempersembahkan makanan kepada
para mulia itu.” Pengasuh itu mengusap air matanya dengan satu
punggung tangannya dan tangan lainnya memegang dadanya, ia
pergi ke perempuan lainnya, diam-diam membawa rambut itu agar
para Thera itu tidak melihatnya.
“yaitu wajar dalam transaksi jual beli bahwa si pembeli tidak akan
menghargai benda yang diantarkan oleh si penjual meskipun benda
itu yaitu benda yang baik dan bernilai tinggi.” Si pembeli akan
berusaha untuk membeli dengan harga yang sangat murah.
sebab itu si perempuan kaya namun berambut sedikit berpikir,
“Dulu aku tidak berhasil mendapatkan rambut ini walaupun aku
bersedia membayar mahal. Tetapi sekarang rambut ini telah dipotong
dan ia tidak akan mendapat bayaran semula; ia pasti menerima
berapa pun yang akan kubayarkan.” Maka ia berkata kepada
pengasuh itu, “Pengasuh, aku tidak berhasil mendapatkan rambut
ini walaupun aku menawarkan banyak uang kepada majikanmu.
Benda mati seperti rambut ini yang mungkin berguguran dari
berbagai tempat, hanya bernilai delapan keping uang.” Maka ia
2571
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
membayar hanya delapan keping yang kepada pengasuh itu, harga
yang sangat murah.
Si pengasuh membawa uang itu kepada majikannya yang
mempersembahkan makanan senilai satu keping uang kepada
masing-masing dari delapan bhikkhu itu. saat Thera Kaccà na
merenungkan, ia mengetahui bahwa jasa si perempuan memiliki
potensi besar. Maka ia bertanya, “Di manakah si gadis sekarang?”
“Di dalam kamarnya, Yang Mulia,” jawab si pengasuh. Thera
meminta si pengasuh untuk membawa si gadis ke hadapannya.
Si gadis, penyumbang dà na, keluar atas permintaan Thera. sebab
ia sangat menghormat para bhikkhu dan sesudah bersujud kepada
mereka, ia mengembangkan keyakinan kuat terus-menerus terhadap
mereka. (benih dari persembahan makanan yang ditanam dalam
masa pengajaran Buddha dapat diumpamakan seperti lahan subur
yang akan memberi hasil yang baik dalam kehidupannya saat
itu juga.) sebab itu, segera sesudah si gadis bersujud, rambutnya
menjadi indah seperti semula. Para Thera menerima makanan
itu dan melayang ke angkasa bahkan selagi dilihat oleh gadis itu;
dan mereka turun di taman Kerajaan Caõóapajjota yang disebut
Kaccà na-vana.
Melihat Thera Kaccà na, si tukang kebun menghadap raja dan
melaporkan, “Tuanku, guru kita, Purohita Kaccà na, menjadi seorang
bhikkhu dan mengunjungi taman kerajaan.” Raja Caõóapajjota pergi
ke taman dan bersujud kepada Thera yang telah menyelesaikan
makannya, lalu duduk di tempat yang semestinya dan
bertanya, “Yang Mulia, di manakah Buddha?” saat Thera
menjawab, “Tuanku, Buddha belum datang; ia hanya mengutusku.”
Raja bertanya lagi, “Yang Mulia, dari manakah engkau mendapatkan
makanan hari ini?” Untuk menjawab pertanyaan raja, Thera Kaccà na
menceritakan kepada raja semuanya tentang jasa si gadis yang
diperoleh dengan susah-payah untuk mempersembahkan makanan
kepadanya.
sesudah menyediakan akomodasi untuk Thera, Raja Caõóapajjota
mengundangnya untuk makan keesokan harinya lalu
2572
pulang ke istana dan memanggil secara resmi si gadis yang
mempersembahkan makanan dan menjadikannya sebagai
permaisurinya. Ini yaitu perolehan kekayaan dan kebahagiaan
dalam kehidupan saat ini oleh si gadis sebagai hasil dari kehendak
baik yang muncul pertama kali (pañhama-javana).
(Artinya yaitu : dalam melakukan DÃ na seperti mempersembahkan
makanan, terdapat tujuh momen-pikiran sehubungan dengan
kehendak baik yang besar (Mahà -kusala cetanà ). Kehendak saat
pertama, akan berakibat dalam kehidupan saat ini jika situasi
mendukung. sebab itu, kehendak saat pertama disebut diññha-
Dhamma vedanãya-kamma “Perbuatan yang berakibat dalam
kehidupan saat ini.” Kehendak saat ketujuh akan berakibat dalam
kehidupan kedua jika situasi mendukung. sebab itu disebut
upapajja-vedanãya-kamma “Perbuatan yang berakibat segera dalam
kehidupan berikutnya.” Sedangkan kehendak yang muncul dalam
lima momen-pikiran di antaranya akan berakibat dalam kehidupan
berikutnya berturut-turut dimulai dari kehidupan ketiga jika situasi
mendukung. sebab itu semua kehendak dalam lima momen-
pikiran ini disebut aparà pariya-vedanãya-kamma “Perbuatan yang
berakibat dalam kehidupan berikutnya berturut-turut.” Artinya
perbuatan yang berakibat dalam kehidupan berturut-turut.”
(“saat suatu perbuatan akan memunculkan akibatnya, akibat
terdiri dari dua jenis: bhava dan bhavasampatti. Kelompok-
kelompok batin dan jasmani hasil yang terbentuk oleh kamma
yang muncul pada saat memasuki rahim (pañisandhi) dan pada saat
tumbuh besar (pavatti) disebut akibat bhava. Kelompok-kelompok
batin dan jasmani yang dihasilkan oleh kamma disebut upapatti-
bhava. Berbagai bentuk kekayaan yang dinikmati dalam hidup
disebut akibat bhavasampatti.
(Dari tiga jenis akibat perbuatan ini, upapajjavedanãya-kamma dan
aparà pariya-vedanãya-kamma akan menghasilkan akibat bhava
dan akibat bhava-sampatti. Sehubungan dengan kehendak pada
momen-pikiran pertama atau perbuatan yang berakibat dalam
kehidupan saat ini, saat akibatnya muncul, hanya mengakibatkan
bhavasampatti saja, yaitu, berbagai bentuk kekayaan yang dinikmati
2573
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
dalam kehidupan saat ini. Tetapi bukan bhava sebab akibatnya
telah dihasilkan oleh janakakamma yang terbentuk saat masuk
ke dalam rahim sebagai akibat dalam kehidupan saat ini. sebab
itu, kehendak pada momen-pikiran pertama atau perbuatan yang
berakibat dalam kehidupan saat ini dari si gadis itu menghasilkan
hanya akibat bhavasampatti yang berbentuk kekayaan dalam
kehidupan itu juga.)
Sejak saat itu, Raja Caõóapajjota melakukan penghormatan besar
kepada Thera Kaccà na. sebab gembira dengan ajaran Thera, banyak
orang yang menjadi bhikkhu di bawah bimbingannya. Sejak saat
itu, seluruh Kota Ujjenã diliputi oleh warna kuning tua jubah yang
berkibar sebab tiupan angin yang ditimbulkan dari gerakan para
bhikkhu. Sang ratu mengandung seorang putra dan saat melahirkan
sepuluh bulan lalu , pangeran diberi nama Gopà la. Selanjutnya
ratu menjadi terkenal dengan nama Gopà lamà tà sebab anaknya.
sebab Ratu Gopà lamà tà sangat menghormati Thera Kaccà na, ia
membangun sebuah vihà ra besar untuk Thera di Taman Kaccà na-
vana dan mempersembahkannya kepada Thera atas izin sang raja.
sesudah membangkitkan keyakinan para warga Ujjenã dalam
pengajaran Buddha, Thera kembali kepada Buddha.
(c) Gelar Etadagga
saat Buddha sedang berdiam di Jetavana, saat menganugerahkan
gelar etadagga kepada para bhikkhu, Buddha memuji Thera Kaccà na
dan menganugerahkan gelar etadagga kepadanya sehubungan
dengan tiga Khotbah: (1) Madhupiõóika Sutta, (2) Kaccà yana-
peyyà la, dan (3) Pà rà yana Sutta.
“Etadaggaÿ bhikkhave mama sà vakà naÿ bhikkhÃ¥naÿ
saÿkhittena bhà sitassa vitthà rena atthaÿ vibhajantà naÿ yadidaÿ
Mahà kaccà no.”
“Para bhikkhu, di antara para siswa-Ku yang mampu menjelaskan
secara terperinci dan analitis apa yang telah diajarkan secara singkat,
Bhikkhu Mahà kaccà na yaitu yang terbaik.”
Khotbah-khotbah yang dibabarkan oleh Thera dapat dibaca dalam
2574
Apadà na dan Komentarnya, Theragà thà dan Komentarnya, dan
lain-lain.
Demikianlah kisah Thera Kaccà na
(11 & 12) Dua Thera Panthaka
(a) Cita-cita masa lampau
Seratus ribu kappa yang lalu, pada waktu munculnya Buddha
Padumuttara, perumah tangga bersaudara yang yaitu warga
Kota Haÿsà vati, memiliki keyakinan yang mendalam terhadap Tiga
Permata, secara rutin mendatangi Buddha untuk mendengarkan
khotbah Dhamma. Suatu hari si adik dari dua bersaudara itu melihat
seorang bhikkhu yang memiliki dua kualitas sedang mendapatkan
anugerah gelar etadagga sebagai yang terbaik (1) di antara mereka
yang mampu menciptakan tubuh melalui pikiran dan (2) di antara
mereka yang terampil dalam RÃ¥pà vacara Jhà na. Ia berpikir, “Hebat
sekali bhikkhu itu. Meskipun ia sendirian, ia mengembara dengan
melatih dua hal. Baik sekali jika aku juga mengembara melatih dua
hal ini dalam masa pengajaran Buddha mendatang.”
Demikianlah, si adik lalu mengundang Buddha, melakukan
persembahan besar kepada Beliau selama tujuh hari. lalu ia
mengungkapkan cita-citanya kepada Buddha, “Yang Mulia, tujuh
hari yang lalu Engkau menganugerahkan gelar etadagga kepada
seorang bhikkhu dengan menyatakan ‘Bhikkhu ini yaitu yang
terbaik dalam masa pengajaran-Ku yang memiliki dua kualitas,
yaitu, kemampuan menciptakan tubuh melalui pikiran dan
terampil dalam Råpà vacara Jhà na. Sebagai hasil dari kebajikan
yang kulakukan secara khusus ini, semoga aku juga mendapatkan
dua kualitas itu.”
saat Buddha melihat ke masa depan, Beliau melihat bahwa cita-
cita si perumah tangga akan tercapai, Beliau berkata, “Pada masa
depan, seratus ribu kappa dari sekarang, akan muncul Buddha
Gotama. Buddha itu akan menunjuk engkau sebagai yang terbaik
sehubungan dengan dua hal ini.” sesudah membabarkan khotbah
2575
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
penghargaan, Buddha meninggalkan tempat itu. (Ini yaitu cita-cita
yang diungkapkan oleh si adik.)
Sang kakak suatu hari melihat seorang bhikkhu yang mendapat
anugerah gelar etadagga oleh Buddha dalam bidang sa¤¤Ã -vivañña-
kusala atau terampil dalam Aråpà vacara-Jhà na, dan sama seperti
adiknya, ia juga melakukan kebajikan istimewa dan mengungkapkan
cita-citanya, “Semoga aku mendapatkan gelar etadagga dalam
bidang ArÃ¥pà vacara-Jhà na” Buddha meramalkan bahwa cita-citanya
akan tercapai.
Kedua perumah tangga itu melakukan banyak kebajikan sepanjang
kehidupan Buddha; dan saat Buddha mencapai Parinibbà na,
mereka mempersembahkan emas di altar yang dibangun untuk
memuja relik-relik jasmani Buddha. Saat meninggal dunia, mereka
terlahir kembali di alam dewa. Sewaktu mereka silih berganti terlahir
di alam dewa dan manusia (tanpa pernah terlahir di alam sengsara),
seratus ribu kappa berlalu.
(Dari dua bersaudara ini, kisah kebajikan yang dilakukan oleh sang
kakak, Mahà panthaka, dalam kehidupan-kehidupan berikutnya
tidak diceritakan secara khusus dalam Mahà Aññhakathà ). Sedangkan
sang adik, Cåëapanthaka, ia menjadi seorang bhikkhu pada masa
pengajaran Buddha Kassapa, dan selama dua puluh ribu tahun
ia melatih meditasi odà ta-kasiõa (meditasi dengan objek warna
putih) dan terlahir kembali di alam dewa. Selanjutnya, Buddha
kita mencapai Pencerahan Sempurna, membabarkan khotbah
Dhammacakka, dan menetap di Hutan Bambu RÃ jagaha.
(Kisah munculnya dua Panthaka bersaudara akan disisipkan di
sini). Putri Dhanaseññhi, si pedagang kaya, di Kota Rà jagaha jatuh
cinta dengan pelayan laki-lakinya, dan khawatir jika orang lain
mengetahui skandal mereka, ia berdiskusi dengan suaminya,
“Kita sebaiknya tidak menetap di sini. Jika orangtuaku mengetahui
skandal kita ini, mereka akan membunuhku, memotong tubuhku
hingga berkeping-keping. Marilah kita pergi dan menetap di tempat
lain!” Mereka sepakat, diam-diam mengambil perhiasan dan keluar
melalui pintu yang telah dibuka sebelumnya. lalu mereka
2576
pergi dan menetap di tempat lain yang tidak diketahui oleh orang
lain.
Sewaktu menetap di tempat yang tidak dikenal, sang istri
mengandung. Saat menjelang kelahiran, ia berkata kepada suaminya,
“Tuan, kehamilanku telah cukup matang. Sungguh menyedihkan
bagi kita jika melahirkan anak di tempat yang jauh dari sanak
saudara dan teman-teman. Marilah kita pulang ke rumah orangtua
kita.” Sang suami menunda-nunda, mengucapkan kata-kata untuk
menyenangkan istrinya “Kita akan berangkat hari ini” atau “Kita
akan berangkat besok.” lalu sang istri berpikir, “Orang bodoh
ini tidak berani pulang, sebab kesalahannya sangat berat. Para
orangtua pasti menginginkan kesejahteraan anak-anak mereka.
Apakah orang bodoh ini akan menyertaiku atau tidak. Aku tetap
akan pergi.” Maka, saat suaminya sedang pergi, sang istri berangkat
sendirian sesudah menyimpan hartanya dan menitipkan pesan
kepada tetangganya bahwa ia pulang ke rumah orangtuanya.
saat sang suami pulang, ia tidak melihat istrinya dan bertanya
kepada tetangga. Mendapat pesan bahwa istrinya sedang dalam
perjalanan ke rumah orangtuanya, ia mengikuti istrinya dengan
tergesa-gesa dan berhasil menyusulnya di tengah perjalanan. Di
tempat pertemuan mereka itu, istri melahirkan seorang anak. Sang
suami bertanya, “Apakah benda ini, istriku?” Sang istri menjawab,
“Tuan, seorang putra telah lahir,” “Apa yang harus kita lakukan
sekarang,” mereka berdiskusi dan memutuskan, “Kita pergi ke
rumah orangtua kita untuk melahirkan anak. Sekarang anak itu
telah lahir di tengah perjalanan. Apa gunanya kita pergi ke rumah
orangtua kita. Mari kita pulang!” Mereka berdua sepakat dan pulang
ke rumah mereka. Bayi itu diberi nama Panthaka, “Tuan Jalan,”
(sebab ia dilahirkan di jalan).
Tidak lama lalu istri mengandung lagi, saat si anak kedua
menjelang kelahiran, ia juga dilahirkan dalam perjalanan menuju
rumah orangtua sang istri. sebab itu, anak pertama diganti
namanya menjadi Mahà panthaka “Tuan Jalan Besar,” dan anak
kedua diberi nama Cåëapanthaka “Tuan Jalan Kecil.”
2577
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
Suami istri itu pulang ke rumah mereka, masing-masing
menggendong seorang putra. Selama mereka menetap di sana,
mendengar kata-kata seperti ‘paman’, ‘kakek’, ‘nenek’, dan
sebagainya, dalam percakapan dengan anak-anak lainnya, putra
pertama Mahà panthaka bertanya kepada ibunya, “O ibu, anak-anak
lain mengatakan, ‘kakek’, ‘nenek’, dan sebagainya. Apakah kami
tidak mempunyai sanak saudara?” Sang ibu menjawab, “Engkau
benar, Anakku! Engkau tidak memiliki sanak saudara di sini. Tetapi
di RÃ jagaha, engkau memiliki kakek, seorang pedagang kaya. Sanak
saudaramu banyak di kota itu.” “O ibu, mengapa kita tidak pergi
ke Rà jagaha?” tanya Mahà panthaka.
Sang ibu tidak memberi alasan mengapa mereka tidak pergi ke
RÃ jagaha. sebab ditanya terus-menerus oleh putranya; ia berkata
kepada suaminya, “Tuan, anak-anak sangat mengganggu pikiranku.
Melihat kita, orangtua kita tidak akan memotong dagingku dan
memakannya. Marilah kita pergi! Marilah kita memperlihatkan
rumah kakek mereka kepada anak-anak. Marilah kita mengirim
mereka ke sana!”
“Istriku, aku tidak berani pergi ke rumah orangtuamu,” jawab
sang suami, “Tetapi aku akan mengatur agar kalian tiba dengan
selamat di sana.” “Baiklah suamiku,” sang istri berkata, “rumah
kakek nenek mereka harus diperlihatkan kepada mereka dalam
satu dan lain cara.” Pasangan itu lalu berangkat menuju
RÃ jagaha, membawa anak-anak mereka dan akhirnya tiba di kota
itu. Mereka berdiam di penginapan dekat gerbang kota. Sang ibu
membawa anak-anak dan memberitahukan kunjungan mereka
melalui seseorang.
saat orangtua sang istri mendapat informasi itu, mereka
mempertimbangkan sebagai berikut, “Bagi mereka yang mengembara
dalam saÿsà ra tidak ada seorang pun yang belum pernah menjadi
putra mereka, atau putri mereka. Tetapi, kedua orang itu, telah
melakukan pelanggaran besar terhadap kita. Mereka tidak boleh
tinggal bersama kita. Mereka tidak pantas hidup bersama kita.
Tetapi, biarlah mereka mendapatkan sejumlah uang ini dan hidup
di tempat yang layak. Biarlah mereka mengirimkan kedua anak itu
2578
kepada kita.” Maka mereka mengirim utusan. Sang istri mengambil
uang yang dikirimkan oleh orangtuanya dan menyerahkan kedua
anak kecil itu kepada si utusan untuk diantarkan kepada kakek-
neneknya. Dua bersaudara itu, Mahà panthaka dan Cåëapanthaka
dibesarkan dalam kemewahan di rumah kakek-nenek mereka.
(b) Kehidupan pertapaan dalam kehidupan terakhir
Dari kedua bersaudara itu, Cåëapanthaka sangat muda dan
lembut, tetapi Mahà panthaka, selalu pergi bersama kakeknya
mengunjungi Buddha untuk mendengarkan khotbah-Nya. sebab
sering mendengarkan khotbah yang disampaikan oleh Buddha,
ia menjadi berkeinginan untuk menjadi seorang bhikkhu. sebab
itu ia memohon izin dari kakeknya, Dhanaseññhi, “Kakek, jika
engkau mengizinkan, aku ingin menjadi seorang bhikkhu.”
“Betapa menakjubkan kata-katamu itu,” jawab si pedagang kaya.
“Bagiku, jika engkau menjadi seorang bhikkhu yaitu jauh lebih
baik daripada seluruh dunia! Silakan jika engkau mampu, cucuku!”
Jawabnya gembira mengabulkan permohonan Mahà panthaka dan
membawanya menghadap Buddha. “Pedagang,” Buddha berkata,
“Bagaimana ini? Apakah engkau membawa seorang anak?” “Ya,
Buddha Yang Mulia,” jawab si pedagang, “Anak ini yaitu cucu
tertuaku. Ia memintaku untuk menjadikannya seorang bhikkhu di
bawah bimbingan-Mu.”
lalu Buddha memerintahkan seorang bhikkhu yang berada
di dekatnya yang hendak pergi mengumpulkan dà na makanan,
“Tahbiskan anak ini menjadi sà maõera!” sesudah menjelaskan
meditasi dengan objek lima bagian tubuh “dengan kulit sebagai
bagian kelima” (tacapa¤caka kammaññhà na) kepada anak itu,
bhikkhu itu menjadikannya seorang sà maõera. Sejak ia menjadi
Sà maõera Mahà panthaka, ia memelajari banyak sabda-sabda
Buddha, naskah-naskah kitab suci, dan sesudah berusia dua puluh
tahun, ia ditahbiskan menjadi seorang bhikkhu. sesudah menjadi
bhikkhu, ia berlatih dengan sungguh-sungguh dalam latihan
meditasi hingga menguasai empat Aråpà vacara Jhà na. sesudah
keluar dari Jhà na, ia dengan tekun melatih meditasi VipassanÃ
dan akhirnya berhasil mencapai kesucian Arahatta. Demikianlah
2579
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
Arahanta Mahà panthaka menjadi yang terbaik di antara para
bhikkhu yang sangat terampil dalam meditasi.
Penahbisan Sang Adik
Thera Mahà panthaka melewatkan waktunya dengan menikmati
kebahagiaan Buah; dan suatu hari sesudah mempertimbangkan
apakah mungkin baginya untuk membagi kebahagiaan itu
dengan adiknya, ia mendatangi si pedagang kaya, kakeknya,
dan memohon, “Penyumbang, jika engkau setuju, aku ingin
menjadikan Cåëapanthaka seorang sà maõera.” Si kakek setuju
dengan berkata, “Lakukanlah apa yang engkau inginkan! Engkau
boleh menahbiskannya menjadi seorang sà maõera!” Maka Thera
Mahà panthaka menahbiskannya dan memberi tuntunan
Sepuluh Sãla.
Sà maõera Cåëapanthaka berusaha memelajari syair berikut dari
kakaknya:
Padumaÿ yathà kokanadaÿ sugandhaÿ
pà to siyà phullam avãtagandhaÿ.
Aïgãrasaÿ passa virocamà naÿ
tapanta mà dicca mivantalikkhe.
Bagaikan bunga teratai kokanada, sebab keindahannya dan banyak
daunnya, menebarkan keharuman, indah dengan kemegahan dan
keharumannya, saat mekar pada pagi hari, demikian pula melihat
Buddha dengan penuh keyakinan, keharuman tubuh-Nya dan
kemuliaan pribadi-Nya, gemerlap dalam keagungan-Nya, megah
dilihat orang lain, memancarkan cahaya dari tubuh-Nya bagaikan
matahari bundar yang terbit di angkasa pada musim Sarada
(Agustus-November).
Tetapi kata apa pun yang ia pelajari sebelumnya menjadi hilang dari
ingatannya saat ia melanjutkan dengan kata berikutnya. Ia berusaha
menghafalkan syair itu selama empat bulan. (walaupun empat bulan
telah berlalu, ia masih belum dapat menghafalkannya.)
2580
(Pada masa kehidupan Buddha Kassapa, Cåëapanthaka menjadi
seorang bhikkhu terpelajar; tetapi ia mengejek seorang bhikkhu
bodoh dalam memelajari Pà ëi. Si bodoh itu tidak berani melanjutkan
pelajarannya, sebab malu akan ejekan itu dan kehilangan
kepercayaan diri dalam belajar. sebab perbuatan jahatnya itu,
sebagai Cåëapanthaka, ia menjadi bodoh sesudah ia ditahbiskan
menjadi seorang sà maõera. sebab itu, ia secara ajaib menjadi lupa
akan semua yang telah ia hafalkan saat ia melanjutkan dengan
bagian berikutnya, Aïguttara Nikà ya.)
Selanjutnya sang kakak Mahà panthaka menariknya keluar dan
berkata, “Cåëapanthaka! Dalam pengajaran ini, engkau yaitu
seorang yang tidak layak mencapai Jalan dan Buahnya (abhabba).
Engkau bahkan tidak dapat menghafalkan satu syair dalam waktu
empat bulan. Bagaimana mungkin engkau, yang tidak mampu
memelajari satu syair dalam waktu empat bulan, dapat mencapai
puncak kebhikkhuan (Kearahattaan)? Jadi, keluarlah dari tempat
ini!” diusir oleh kakaknya, Sà maõera Cåëapanthaka tidak berani
tetap tinggal dan berdiri sambil menangis di luar gubuk itu (di
mana kakak tidak melihatnya).
Pada waktu itu, Buddha sedang berkunjung ke Vihà ra Hutan-
Mangga, yang dibangun dan dipersembahkan oleh Dokter Jãvaka,
dengan Rà jagaha sebagai sumber dà na makanan-Nya. lalu
Jãvaka mengutus seseorang untuk mengundang Buddha bersama
lima ratus bhikkhu untuk makan keesokan harinya. Saat itu,
Thera Mahà panthaka bertindak sebagai bhattuddesaka “bertugas
menerima makanan.” Orang itu lalu menyampaikan
undangan itu kepada Thera, dengan berkata, “Yang Mulia,
terimalah persembahan makanan untuk lima ratus bhikkhu.” “Aku
menerima makanan untuk para bhikkhu” jawab Thera, “kecuali
Cåëapanthaka.”
Subjek Meditasi yang Diajarkan Oleh Buddha
Mendengar kata-kata itu, Thera Cåëapanthaka menjadi sangat
kecewa. Melihat kesedihan Thera dan mengetahui bahwa ia
akan mencapai Pembebasan ‘Pada kunjungan-Ku’, Buddha
2581
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
mendatanginya dan memperlihatkan diri-Nya dari jarak yang
tidak terlalu jauh dan tidak terlalu dekat, dan bertanya, “Anak-Ku,
Cåëapanthaka, mengapa engkau menangis?” “sebab , Yang Mulia,
kakakku Thera mengusirku,” jawab Cåëapanthaka. “Anak-Ku
Panthaka,” Buddha berkata, “Kakakmu tidak memiliki âsayà nusaya
¥Ã õa, kekuatan mengetahui watak dan kecenderungan makhluk-
makhluk. Engkau yaitu Buddhaveneyya-puggala ‘individu yang
hanya dapat diajarkan oleh seorang Buddha.’ Dengan kata-kata
dorongan ini, Buddha memberinya sehelai kain bersih tetapi kasar
yang diciptakan melalui kekuatan-Nya. Buddha menambahkan,
“Anak-Ku Panthaka; genggamlah ini, ucapkan ‘rajo haraõaÿ, rajo
haraõaÿ’ Kain ini dapat menjadi kotor! Kain ini dapat menjadi kotor!
Demikianlah engkau bermeditasi merenungkannya.”
(Cåëapanthaka dalam kehidupan sebelumnya yaitu seorang raja,
sewaktu mengadakan inspeksi di kota, keningnya berkeringat
dan ia mengusap keringat itu dengan memakai kain sabuk
pinggangnya. Kain itu menjadi kotor. Raja lalu berkata pada
dirinya sendiri, “sebab tubuh yang kotor ini, kain yang bersih ini
menjadi kotor, meninggalkan sifat aslinya. Sungguh tidak kekal
segala sesuatu yang berkondisi!”
Demikianlah ia mencapai persepsi ketidakkekalan. Bagi
Cåëapanthaka, subjek meditasi ‘rajo haraõaÿ, rajo haraõaÿ’
mendukung pencapaian Kearahattaan. sebab itu Buddha
memberi sepotong kain kasar yang bersih saat Beliau melihat
perbuatan baik masa lampau Thera dan Beliau ingin mendorongnya
untuk melatih meditasi dengan subjek yang sesuai dengan perbuatan
baik ini .)
Pencapaian Kearahattaan
Thera Cåëapanthaka duduk dan menggosok kain yang diberikan
oleh Buddha dengan tangannya dan mengucapkan ‘rajo haraõaÿ,
rajo haraõaÿ’, “Kain ini dapat menjadi kotor! Kain ini dapat
menjadi kotor!” sesudah ia menggosok beberapa kali, benang kain
itu mulai terlihat kotor. saat ia meneruskan gosokannya, kain
itu menjadi semakin kotor seperti lap dapur. Saat tiba waktunya
2582
bagi kebijaksanaannya untuk mencapai kematangan, hukum
pemadaman dan penghancuran muncul dalam batinnya. Dan ia
merenungkan, “Potongan kain ini tadinya putih dan bersih. Tetapi
sebab bersentuhan dengan tubuh upà dinnaka ini, sekarang kain
ini menjadi kotor. Batinku juga seperti kain ini. Sama seperti kain
ini. Batin ini tadinya bersih dan murni dalam keadaan yang tidak
ternoda dan cenderung menjadi kotor sebab bersentuhan dengan
faktor-faktor buruk seperti keserakahan, kebencian, kebodohan, dan
lain-lain. sesudah merenungkan jasmani dan batinnya, ia melanjutkan
usahanya untuk mencapai konsentrasi pikiran dan mencapai empat
Råpà vacara Jhà na. Dengan berlandaskan pada Jhà na ini, ia melatih
meditasi Vipassanà , dan akhirnya ia mencapai Kearahattaan beserta
empat Pengetahuan Analitis. sebab ia menguasai Manomaya-
råpà vacar





.jpeg)
.jpeg)





